KEHIDUPAN WARIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM ( Studi kritis perilaku keberagamaan di Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta) Skripsi Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh FEBRI AYU CHOIRIYAH 21106025
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2011
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
:
Febri Ayu Choiriyah
NIM
:
21106025
Jurusan
:
Syari’ah
Program Studi
:
Ahwal Al Syakhshiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 14 Oktober 2011 Yang menyatakan
Febri Ayu Choiriyah
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO : “ Jadikanlah ilmu kekasih hatimu”
PERSEMBAHAN
Untuk Orang tua & keluarga yang selalu memimbing & menyayangiku Sahabat yang selalu suport aku
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb. Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan
rahmat
serta
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan, dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga. 2.
Bapak Haryo Aji Nugroho M. Hum, selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 3.
Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah STAIN
Salatiga. 5.
Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al
Syakhshiyyah. 6. Seluruh dosen STAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang diberikan. 7.
Orang tuaku tersayang dan saudaraku yang telah turut serta membantu dan
memberikan dukungan baik materi maupun non-materi. 8.
Sahabat-sahabatku yang tak lelah memberikan supportnya hingga
terselesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman AHS’06 yang penulis sayangi 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do’a dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Amin. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Penulis
vi
ABSTRAK Febri Ayu Choiriyah. 2011 Kehidupan Waria Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Perilaku Keberagamaan Waria di Ponpes Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta ). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Haryo Aji Nugroho M.Hum Kata kunci : Keberagamaan Waria, Perlindungan Hukum Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui Mengkaji bagaimana Kehidupan Keberagamaan Waria di Ponpes Waria?Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah Bagaimana latar belakang kehidupan waria di Ponpes Waria?Mengapa mereka ingin mendalami Agama Islam? Bagaimana kendala perjuangan mereka untuk menjadi muslimah? Bagaiamana Kaum Waria menerapkan Hukum Islam di Ponpes Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta?Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan normatif dan sosiologis. Temuan penelitian ini menunjukkan Tidak seorang pun dari yang ingin hidup sebagai waria, kalaupun kemudian tertangkap menjadi waria tidak berarti hak-hak dan kewajiban-kewajiaban keagamaan mereka terhapus sama sekali. Oleh karena itu salah satu mantan ketua waria jogjakarta berinisiatif untuk mendirikan “Pondok pesantren waria Senin-Kamis” di Daerah Notoyudan Yogyakarta sebagai wadah bagi kaum waria dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Oleh Karena itu hendaknya masyarakat bisa menerima keberadaan mereka, dan memberi kesempatan kepada mereka untuk lebih mendekatkan diri pada Allah dan pemerintah menghapus diskriminasi, khususnya diskriminasi ekonomi, agar mereka bisa bekerja layak, dan tegakkan HAM sebagaimana peraturan yang ada.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................................
ii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................
v
KATA PENGANTAR ................................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
vii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Penegasan Istilah ...................................................................
6
C. Rumusan Masalah .................................................................
7
D. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
E. Kegunaan Penelitian ..............................................................
8
F. Kerangka Pemikiran ..............................................................
8
G. Metodologi Penelitian ...........................................................
13
1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ......................................
13
2. Lokasi Penelitian .............................................................
14
3. Sumber Data ....................................................................
14
4. Prosedur Pengumpulan Data ............................................
15
5. Analisis dan Pengecekan Data .........................................
16
6. Tahap-Tahap Penelitian ...................................................
17
7. Sistematika Penulisan ......................................................
17
viii
BAB II
WARIA DALAM BERBAGAI PRESPEKTIF A. Telaah Pustaka ......................................................................
20
B. Deskripsi tentang Waria .........................................................
20
1. Pengertian Waria ..............................................................
21
2. Macam-macam Waria .......................................................
23
C. Waria dalam Lintas Sejarah ....................................................
31
BAB III PERILAKU KEBERAGAMAAN WARIA DI PONPES WARIA A. Gambaran Umum Ponpes Waria ............................................
41
1. Sejarah Berdirinya Ponpes ................................................
41
2. Deskripsi Ponpes Waria ...................................................
45
B. Kegiatan Rutinitas Pondok .....................................................
49
C. Profil Waria-Waria Pondok ....................................................
52
BAB IV DISKRIMINASI WARIA “MUSLIMAH” DAN PAYUNG HUKUM A. Bentuk-bentuk Diskriminasi Terhadap ”Muslimah” WARIA
57
B. Eksistensi hukum positif dan hukum Islam terhadap Perlindungan Muslimah Waria dari diskriminasi ..................
58
C. Pandangan Syariat terhadap legalitas kegiatan pondok Waria
63
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................
65
B. Saran ...................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Kaum
Waria
merupakan
salah
satu
penyandang
masalah
kesejahteraan sosial di Indonesia, baik di tinjau dari segi psikologis, sosial, norma, maupun secara fisik. Secara fisik mereka adalah laki-laki namun secara ruhaniyah mereka merasa sebagai wanita,gambaran ruhaniyah mereka tampak dari sikap dan perilaku mereka. Umumnya mereka menampilkan citra gaya cenderung hidup bergelamor dalam berpakaian, namun kehidupannya sangat eksklusif dalam komunitasnya saja. Terbatasnya komunitas dan sempitnya peluang kerja membuat mereka sering terjerumus pada dunia pelacuran dan hal-hal lain yang menurut agama, aturan, dan nilai masyarakat menyimpang. Permasalahan sosial yang dihadapi kaum Waria di Indonesia termasuk sangat rumit dan kompleks akibat struktur sosial budaya yang ada kurang mendukung mereka dalam menjalani kehidupannya secara wajar baik
yang
diakibatkan
oleh
faktor
intern
sendiri
seperti
hidup
menyendiri/hanya terbatas pada komunitasnya juga karena faktor ekstern seperti pendidikan terbatas, kemiskinan, ketidaktrampilan, diskriminasi baik dikalangan masyarakat umum maupun oleh keluarganya sendiri. Dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh kaum Waria tersebut membuat mereka cenderung terjerumus pada hal-hal yang menyimpang seperti jadi
2
pelacur, pengemis, pengangguran dan lainnya. Akibat dari perilakunya tersebut berdampak pada masalah kesehatan/penyakit fisik, dan kehidupan sosial, seperti penyakit kelamin, kulit, HIV/AIDS, narkoba dan penyakit menular lainnya. Sedangkan secara sosial mereka terkucikan/didiskriminasi dari masyarakat maupun keluarganya sendiri, mengganggu ketertiban umum, pemalas dan lain-lainnya. Waria sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dalam konteks keberagaman, pada satu sisi hendaknya dapat ditempatkan sebagai sebuah kenyataan sosial yang tidak terelakan keberadaannya. Pada sisi lain keberadaan Waria bagi sebagian masyarakat Indonesia masih dipandang sebagai bentuk penyimpangan perilaku menurut kacamata masyarakat yang menggunakan ukuran normal dan tidak normal serta lazim dan tidak lazim dan ukuran-ukuran sejenis lainnya. Kedua pandangan dan kondisi masyarakat dalam mensikapi keberadaan Waria idealnya tidak selalu dihadapkan secara berhadapan (diametral) yang dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang kurang mendukung bagi persatuan bangsa, dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya salah satunya dipahami sebagai upaya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia Indonesia itu sendiri termasuk di dalamnya para Waria. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, kedewasaan sebagai bangsa akan teruji dalam mensikapi keberadaan Waria. Idealnya, memahami Waria hendaknya dipahami secara utuh (holistik), baik sebagai individu maupun anggota masyarakat yang memiliki
3
kelebihan dan berbagai kekurangan. Waria sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, didalamnya terdapat potensi-potensi yang memungkinkan dikembangkan kearah yang lebih membangun atau konstruktif bagi upaya untuk memberdayakan Waria dalam pembangunan bangsa. Disamping itu, pada sebagian Waria juga terdapat keterbatasan-keterbatasan yang biasanya berdampak pada ketidak keberfungsian sosialnya, misalnya gangguan dalam beradaptasi dengan lingkunganya, mempertahankan hidup dengan cara yang menyimpang seperti melacurkan diri, mengamen dan menggelandang di jalanan dan sebagainya. Kondisi ini berdampak pada keteraturan sosial dan tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan Waria menjadi sebuah tuntutan baik dalam kerangka pembangunan harkat dan martabat mereka maupun dalam upaya perlindunagan sosial kepada Waria sebagai bagian dari kelompok minoritas agar tidak terpinggirkan serta mendapat perlakuan diskriminatif. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Waria juga memiliki hak yang sama sebagai warga Negara lainnya. Namun fakta di lapangan, komunitas Waria menghadapi kendala dengan adanya orientasi gender yang diberikan oleh masyarakat saat ini yaitu maskulin bagi laki–laki dan feminin bagi perempuan. Sementara itu fisik Waria yang laki–laki dengan orientasi gender yang feminin membuat mereka belum sepenuhnya diterima dalam kehidupan sosial. Hal ini mengakibatkan kehidupan Waria lebih terbatas mengakses layanan publik seperti kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, akses layanan kesehatan, hukum dan lain-lain. Diskriminasi terhadap kaum Waria secara tidak
4
langsung menimbulkan banyak permaslahan yang menimbulkan banyak stigma serta pencitraan kaum negatif terhadap Waria semakin besar dan membuat mereka semakin tidak memiliki ruang yang cukup untuk menunjukkan potensi dan ekstensi di ruang publik. Dalam kehidupan sehari-hari, hanya ada dua jenis kelamin yang diakui secara obyektif oleh masyarakat yakni pria dan wanita. Seorang pria harus bersikap maskulin sedangkan wanita harus bersikap feminin. Hal ini berarti tidak ada pengakuan secara obyektif terhadap pria yang bersikap dan bertingkah laku seperti wanita yang sering disebut Waria. Dalam Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa manusia diciptakana berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan) sebagai pasangan langit dan bumi, siang dan malam dan sebagainya. Dengan demikian kehadiran Waria sebagai kelompok ketiga dalam struktur kehidupan manusia tentunya menjadi “tidak diakui” karena secara eksplisit Al-Qur’ana tidak pernah menyebut jenis kelamin di luar lai-laki dan perempuan. Sementara dalam teks hadis pun Waria juga sedikit disinggung bahwa Nabi Muhammad SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan (Waria) dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Berkaitan dengan dengan permasalahan Waria, sebagai agama yang universal, Islam mengelompokkan golongan ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah khunsa yang dalam istilah kontemporer dikenal sebagai hermaphrodite, yaitu seorang yang alat kelaminnya bisa dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan kelompok kedua adalah khunsa
5
musykil yang mempunyai dua alat kelamin yang tidak dapat dibedakan lakilaki atau perempuan. (Ali mansyur dan Noer Iskandar Al-Barsyani,1981:18) Dalam menentukan hukum yang di pakai terhadap Waria, menurut Ali Mansyur dan Iskandar, mengutip pendapat Juharto adalah dengan cara melihat kecondongannya. Kalau condong ke laki-laki maka belaku hukumnya laki-laki, tetapi kalau condong ke perempuan hukum yang berlaku baginya adalah perempuan. Akan tetapi bila tidak diketahui kecondongannya, maka diberlakukan hukum yang menguntungkan. Tidak seorang pun yang ingin hidup sebagai Waria , kalaupun kemudian tertangkap menjadi Waria tidak berarti hak-hak dan kewajibankewajiaban keagamaan mereka terhapus sama sekali. Oleh karena itu salah satu mantan ketua Waria Yogyakarta berinisiatif untuk mendirikan “Pondok pesantren Waria Senin-Kamis” di Daerah Notoyudan Yogyakarta sebagai wadah bagi kaum Waria dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Karena beribadah
menjadi
hal
yang
dikotomis
bagi
seorang
Waria
(Koeswinarno,2004:120) Disatu sisi Waria dihadapkan dengan praktik seks bebas (pelacuran), namun disisi lain Waria juga mempunyai kesadaran untuk hidup secara religius. Karena pada hakikatnya Waria adalah manusia, yang merupakan makhluk religius yang memiliki hak untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Selain itu Waria juga memiliki hak untuk melakukan interprestasi agama dan memaknai agama. sebagaimana firmaNya “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembahKu” (Q.S Adz-dzariat:56)
6
Dua sisi kehidupan Waria, antara kehidupan jalanan (pelacur, pengamen) dan kehidupan religius, inilah yag menjadi menarik perhatian penulis untuk melihat secara kritis dan lebih mendalam tentang bagaimana kehidupan peneliti
keagamaan kaum Waria. Dan setelah mengkaji lebih dala
membuat
laporan
dalam
bentuk
skripsi
dengan
judul
:
KEHIDUPAN WARIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM ( Studi kritis perilaku keberagamaan di
Pesantren Waria Senin-Kamis
Notoyudan Yogyakarta.
B.
Penegasan Istilah Penulis merasa perlu menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul skripsiagar tidak terjadi salah penafsiran. Istilah Waria berasal dari singkatan dari kata wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam atau wanita adam (www.KBBI.com). Meskipun demikian semua ahli psikolog sepakat bahwa Waria masuk katagori kelainan seksual yang disebut transeksualisme yaitu suatu gejala seseorang yang merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya (Kartini Kartono, 1989 :192 ) Sedangkan pengertian keagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada ajaran agama. Perilaku keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berdasarkan pada ketaatan terhadap agama yang dianutnya. Sedang perilaku keagamaan
7
adalah suatu tindakan yang diorientasikan kepada yang suci dalam hal ini menyangkut hubungan manusian dengan Allah SWT, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan manusia itu sendiri.
C.
Rumusan Masalah Riset
ini
hendak
mempertanyakan
bagaimana
kehidupan
keberagamaan santri Waria di Pesantren Waria Senin-Kamis Notoyudan, Yogyakarta. Adapun rincian pertanyaan penelitian yang berkembang adalah: 1.
Bagaimana kehidupan keseharian Waria santri pesantren
2.
Bagaimana keberagamaan “muslimah” Waria di presantren?
3.
Bagaimana aktivitas keberagamaan di
presantren ini bila ditinjau
secara syariat Islam?
D.
Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui latar belakang kehidupan Waria di presantren Waria SeninKamis di Notoyudan Yogyakarta
2.
Mengetahui alasan mereka ingin mendalami agama Islam.
3.
Mengetahui kendala yang mereka dihadapi dalam memperjuangkan status muslimah
4.
Mengetahui bagaimana mereka menjalankan syariat Islam selama di presantren Waria
5.
Mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai perkumpulan ini.
8
E.
Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya. Kegunaan yang diharapkan dapat dipetik adalah : a.
Menyumbangkan bahan pengembangan ilmu pengetahuan dalam memperluas cakrawala dalam menghadapi kondisi sosial yang dinamis
dan
pengembangan
fiqh
yang
mengakomodir
hak
keberagamaan Waria b.
Menyumbangkan bahan dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam memperluas cakrawala dalam menghadapi kondisi social yang dinamis.
c.
Sebagai
pengetahuan
sekaligus
informasi
bagi
masyarakat,
pemerintah dan ulama tentang adanya kehidupan dan perilaku keberagamaan Waria diPonpes Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta.
F.
Kearangka Pemikiran a. Perilaku keberagamaan Perilaku keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berdasarkan pada ketaatan terhadap agama yang dianutnya. Sedang perilaku keagamaan adalah suatu tindakan yang diorientasikan kepada yang suci dalam hal ini menyangkut hubungan
9
manusian dengan Allah, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan manusia itu sendiri. Jalaludin Rahmat (2003:40) menyebutkan bahwa ada dua kajian agama yaitu ajaran dan keberagamaannya. Ajaran adalah lisan atau tulisan yang sakral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agama. Sedangkan keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung dan tidak langsung kepada ajaran agama. Perilaku keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berdasarkan pada ketaatan pada agama yang dianutnya. Jadi perilaku keberagamaan merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama. Perilaku keberagamaan terbentuk oleh dua faktor. Pertama, faktor intern yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak. Kedua, faktor eksternal, bahwa manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor dari luar dirinya seperti rasa takut, rasa ketergantungan, rasa bersalah.(Jalaludin Rahmat, 2003:42) Kedua faktor tersebut faktor tersebut secara psikologi manusia sulit dipisahkan dari agama. Pengaruh psikologi ini pula yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku keagamaan manusia baik individu ataupun sosial. Dengan demikian sesuai dengan tema keberagamaan Waria muslim yang berada di Ponpes Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta, sejauh mana mereka
mempunyai
kesadaran
terhadap
nilai
rohani
dan
melaksanakan kewajiban agamanya. (Jalaludin Rahmat; 2003: 44)
dalam
10
b.
Pondok Pesantren Kata “Pesantren” berasal dari kata santri dengan awalan pe dan
akhiran –an, yang berarti tempat tinggal santri (Zamakhasyari,1984:18). Dalam catatan sejarah Ponpes dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo, ketika itu sunan ampel mendirikan sebuah padepokan di Surabaya dan menjadikanya sebagai pusat pendidikan di Jawa untuk menuntut ilmu agama. Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dibagi menjadi dua periodesasi: 1.
Periode ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif
2.
Periode gontor yang mencerminkan kemodern-nan dalam system metode dan fisik bangunan. Sifat modern tidak sebatas kurikulum dan mode penyampaian
materi yang menyerupai sistem institusi pendidikan umum (sekolah atau perguruan tinggi). Sifat modern juga terkait gaya hidup (seperti mode pakaian). Kondisi berbeda pada aliran ampel (salaf) mengingat para kyai salaf
menekankan perasaan anti kolonial dan barat pada santri dan
masyarakat yang berimbas pada sistem kurikulum dan gaya hidup yang dikembangkan. Berkaitan dengan hal tersebut Daulay (2001: 8-9) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu Agama
11
Islam, dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat dan berorientasi memberikan
pendidikan dan pengajaran
keagamaan.
Kesimpulannya bahwa pesantren memiliki makna substansi sebagai tempat bagi satri untuk menimba ilmu agama dan belajar mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. c.
Waria Pengertian Waria adalah singkatan dari kata “wanita pria”; pria
yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam atau wanita adam (www.KBBI.com). Sementara Koeswinarno (2004:1) menjelaskan senada bahwa Waria merupakan akronim dari wanita-pria, yaitu orang yang secara fisik adalah laki-laki normal, namun secara psikis ia merasa dirinya adalah perempuan. Akibatnya perilaku yang ditimbulkan dalam keadaan sehari cenderung mengarah kepada perempuan, baik dari cara berjalan, berbicara maupun berdandan. Kartini Kartono( 1989 :192 ) menjelaskan dari prespektif psikolog bahwa Waria masuk katagori kelainan seksual yang disebut transeksualisme yaitu suatu gejala seseorang yang merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Islam memandang Waria dengan pandangan yang proporsional. Dalam syariat Islam dikenal dengan dua hal yang berkaitan dengan fenomena Waria. Pertama adalah istiah khunsa dan kedua adalah takhanus. Keduanya mirip-mirip tetapi berbeda secara mendasar.
12
1.
Khunsa adalah orang yang secara biologis kelamin ganda, yakni lakilaki dan perempuan. Namun di antara sekian banyak fenomena di dunia ini, kasus ini tergolong sedikit seseorang yang memiliki kelamin laki-laki dan kelamin wanita sekaligus. Muhammad makhlif dalam ensiklopedia Islam membagi khunsa menjadi dua golongan yaitu: pertama, khunsa musykil mempunyai kelamin ganda dan berfungsi semuanya. Kedua, Khunsa ghairu musykil mempunyai dua kelamin ganda hanya salah satu kelamin yang berfungsi
2.
Takhanus, adalah orang yang berlagak atau berpura-pura jadi khunsa, padahal secara fisik sudah punya organ kelamin jelas. Dalam Syarah Shahih Bukhari takhanus ini dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, mukhanas yang sejak lahir memang diciptakan seperti perempuan (berperilaku seperti perempuan, secara rohani merasa perempuan) sebagai bentuk kelainan yang diderita sejak kecil. Kedua, mukhanas yang berperilaku sebagian perempuan namun karena sengaja, karena kebutuhan hidup, atau karena terpaksa (dengan sengaja). Waria yang menuntut ilmu di pondok adalah yang tergolong
takhanus mukhanas. Waria jenis ini unik karena sejak lahir mereka merasa sebagai wanita namun dikarunia tubuh laki-laki. Mereka merasa terjebak dalam tubuh yang salah. Persoalan kemudian adalah mereka mengalami diskriminasi luar biasa baik secara sosial maupun institusi agama. Diskriminasi merujuk kepada perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena kelainan yang dimilikinya. Perlakuan diskriminatif dapat bersumber
13
dari karakteristik suku-bangsa, golongan, jenis kelamin, ras, agama, kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik, atau karateristik lain yang berbeda dari keumuman masyarakatnya. Para Waria takhanus mukhanas ini mengalami dikriminasi karena gaya hidup (meliputi cara berpikir, perasaan, dan penampilan) yang berbeda dari standart umum masyarakat. Mereka mengalami diskriminasi dalam memperoleh hak asasi kemanusiaan, peri kehidupan dalam memenuhi kebutuhan basic needs, maupun pelayanan agama. Persoalan menjadi makin rumit ketika para Waria yang terdiskriminasi ini adalah seorang muslim yang tengah berusaha mendalami agama. Tidak tersedianya institusi pendidikan agama Islam yang bersedia menerima mereka membuat mereka kemudian membentuk
wadah
aktualisasi sendiri. Pesantren “Waria” yang mereka bentuk adalah dalam rangka resistensi perjuangan mereka menjadi seorang muslimah.
G.
Metodologi Penelitian Metode penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian. Penelitian
ini
merupakan
penelitian
lapangan
yang
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan normatif antropologis. Penelitian kualitatif dipilih untuk
menghasilkan data
deskriptif yang diperlukan dalam studi ini. Peneliti bertindak sebagai
14
instrument sekaligus pengumpul data yang mana penulis terjun langsung mewawancarai masyarakat sekitar, serta Ustadz dan beberapa Waria yang menjadi santri di Ponpes Waria. Kehadiran peneliti diketahui statusnya secara jelas agar terhindar dari kesalahpahaman antara informan dan peneliti. Penelitian deskriptif ini bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu (Azwar,2007:7). Perdekatan antropologis digunakan untuk memetakan pola-pola kehidupan kompleksitas perilaku seorang Waria di Ponpes Waria Senin-Kamis di Notoyudan Yogyakarta, dan mengupas makna-makna kegiatan keberagamaan tersebut bagi pelakunya. 2.
Lokasi Penelitian Penelitian ini difokuskan di Ponpes Al-Fatah “Waria” SeninKamis. Lokasi pondok mereka berlokasi di kampung Notoyudan Kelurahan Gedong Tengen, Kecamatan Ngampilan GT II/ 1294 RT.85/ RW.24 Daerah Istimewa Yogyakarta.
3.
Sumber Data Adapun jenis data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi : a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari wawancara dengan para informan. Dalam hal ini sumber data atau keterangan diperoleh dari tiga Waria yang menjadi santri, mereka adalah orang
15
yang paling tahu terhadap kondisi dirinya, dua Ustadz sebagai orang yang aktif membina mereka dan dua warga masyarakat yang tinggal disekitar Ponpes Waria tersebut. b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari fihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya (Azwar,2007:91), dalam format dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan menelusuri data berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. 4.
Prosedur Pengumpulan Data a. Metode Wawancara Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998:115). Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya. b. Observasi Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi objektif mengenai objek penelitian. Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah mengguanakan
format
atau
blangko
pengamatan
sebagai
16
instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang akan digambarkan akan terjadi. (Arikunto, 1998 : 234). Dalam penelitian ini peneliti mencoba mengamati situasi pondok, kegiatan yang berlangsung di ponpes serta penampilan dan gaya hidup mereka. 5.
Analisis dan keabsahan data Analisis data merupakan hal yang penting dalam metode ilmiah karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna untuk menyelesaikan masalah penelitian. Dalam analisis ini penulis menggunakan analisis kualitatif yang mendeskripsikan tinjauan hukum Islam tentang kehidupan dan perilaku keberagamaan Waria di Ponpes Waria. Pengecekan
keabsahan
data
Peneliti
menggunakan
triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Di mana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleng,2004:330). Pengecekan
keabsahan
membandingkan Waria,
data
ini
dilakukan
dengan
cara
informasi dari berbagai pihak yaitu para santri
para Ustadz, dan masyarakat sekitar Ponpes Waria.
Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis.
17
6.
Tahap-tahap penelitian Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama pra lapangan, peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang diskriminasi yang dialami oleh seorang Waria. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari data informan dan pelaku dan melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu santri Waria, Ustadz dan masyarakat yang tinggal disekitar Ponpes. Tahap terakhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data/temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif dengan pendekatan normatif.
H.
Sistematika Pembahasan Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan di dalam bab terdapat sub-sub bab. Sistematika pembahasannya dapat dilihat sebagai berikut: Bab Pertama : Pendahuluan. Bagian ini merupakan yang paling umum pembahasannya karena berisi dasar-dasar penelitian ini. Isi dari bagian ini terdiri dari : Latar Belakang Masalah; diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar atau pendukung timbulnya masalah yang akan diteliti serta memperjelas alasan-alasan yang dianggap menarik dan penting untuk diteliti, penegasan istilah; diperlukan untuk
18
menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul skripsi agar tidak terjadi salah penafsiran, rumusan masalah; diperlukan untuk mengetahui permasalahan dalam penelitian secara komprehensip dan terfokus. tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran; sebagai cara pandang dan acuan terhadap penelitian yang dilakukan,
metode penelitian;
dimasukkan sebagai langka-langkah yang akan ditempuh dalam menganalisi data. Bab Kedua : Pada bab ini memuat Studi Tentang Waria dan Berbagai prespektif tentang waria. Sub bab pertama yaitu Deskripsi tentang waria yang meliputi pengertian waria dan istilah katagorisasi waria. Sub bab pertama ini penting disampaikan sebagai langkah awal untuk memahami waria secara utuh, karena di dalam masyarakat masih sering terjadi kekacauan terhadap definisi waria. Sub bab kedua Waria dan Eksistensinya dalam lintas sejarah. Merupakan penjelasan proses menjadi waria dan kondisi wariadalam berbagai lingkungan. Sub bab ketiga yaitu Waria dalam berbagai prespektif yang meliputi Prespektif hukum Islam, prespektif HAM dan prespektif sosial. Bab Ketiga : Bab ini memuat Fenomena Keberagamaan Waria di Ponpes Waria. Bab ini merupakan hasil penelitian yang ditemukan dilapangan yang terdiri dari: Sub bab pertama yaitu Gambaran Umum Ponpes waria yang meliputi sejarah berdirinya Ponpes waria dan deskripsi Ponpes waria. Sub bab kedua Kegiatan Rutinitas Ponpes. Sub bab ketiga Profil Waria Ponpes.
19
Bab Keempat : Bab ini memuat Diskriminasi Muslimah waria dan Payung Hukum. Bab ini merupakan hasil analisi penelian yang terdiri dari bebrapa sub bab diantaranya: Sub bab pertama Bentuk2 Diskriminasi Terhadap ”Muslimah” Waria. Sub bab kedua Eksistensi hukum positif dan hukum Islam terhadap perlindungan Muslimah Waria dari diskriminasi dan Sub bab ketiga Pandangan/ intepretasi Syariat terhadap kegiatan pondok. Bab Kelima: Penutup. Bagian ini terdiri dari kesimpulan dan saransaran sebagai akhir dari pengkajian penelitian ini.
20
BAB II STUDI TENTANG WARIA DAN BERBAGAI PRESPEKTIF TENTANG WARIA
A.
Deskripsi tentang Waria 1. Pengertian Waria Waria adalah suatu istilah yang dipakai dalam masyarakat yang dapat diartikan sebagai pria dan wanita. Sebelumnya disebut wadam (www.gaya nusantara.org/sejarah hml) dan kemudian diusahakan oleh masyarakat jawa timur dan kemudian diganti dengan istilah Waria (Mansyur dkk, 1981: 7) Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Waria disebutkan dengan istilah Khunsa yang berarti banci; bukan laki-laki dan tidak lazim disebut dengan perempuan (www.KBBI.com) Dalam Bahasa Arab istilah Waria atau Banci disebut dengan istilah Khunsa yang artinya adalah orang yang mempunyai dua alat kelamin yaitu alat kelamin laki-laki dan perempuan. Namun di dalam masayrakat terjadi kesimpangsiuran dalam mendefisinikan Waria, ada yang mendefisinikan berdasarkan tingkah laku. Beberapa presepsi masayarakat tersebut antara lain: a.
Waria adalah orang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan
b.
Waria adalah orang yang berpakaian perempuan untuk sementara waktu karena mempunyai tujuan tertentu
20
21
c.
Waria adalah orang yang mempunya dua alat kelamin yaitu alat kelamin laki-laki dan perempuan (Puspitosari, dkk, 2005:10) Menurut Setianto sebagaimana dikutip oleh (Puspitosari dkk, 2005:
9) mengungkapkan bahwa Waria memiliki empat katagori : a.
Pria yang menyukai pria.
b.
Kelompok yang secara permanen mendandani dirinya sebagai perempuan.
c.
Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan.
d.
Kelompok yang coba-coba atau memanfaatkan keberadan kelompok itu bagian dari kehidupan seksual mereka.
2. Istilah dan Kategorisasi Waria a. Hermaprodit Hermaprodit adalah keadaan ekstern interseksualitas dengan gangguan perkembangan pada proses pembedaan kelamin apakah menjadi laki-laki atau perempuan.
Atau dengan kata lain
hermaprodit adalah seseorang yang mempunyai dua alat kelamin yaitu
alat
kelamin
laki-laki
dan
alat
kelamin
perempuan
(Mansyur dkk,, 1981: 9) Pada Hermaprodit kesulitan utamanya adalah ketika harus menentukan jenis kelaminnya, yaitu apakah dia akan menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan (Nadia, 2005: 34)
22
b. Transeksualitas Transeksual adalah seseorang yang memilik kelamin sempurna tetapi jiwanya sangat membenci alat kelaminnya itu. Sehingga dia mengubah bentuk tubuhnya untuk dapat serupa dengan lawan jenisnya. Biaswanya secara psikis seorang transeksual tidak sama atau bertentangan dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaiana atau atribut dari lawan jenisnya. Sebagian besar kaum transeksual adalah dari kaum laki-laki yang merasa sebagai perempuan. Kaum inilah yang mendominasi kaum Waria yang ada di Indonesia. Namun demikian ada juga kaum transeksual dari kalangan perempuan walaupun sangat sedikit. c. Tranvestisime Transvetisisme adalah seorang yang secara fisik dan psikis normal sebagai laki-laki atau perempuan namun pada waktu tertentu dia dia kesenangan untuk memakai pakaian atau atribut sebagai lawan jenisnya. Dengan memakai atribut atau pakaian lawan jenisnya tersebut dia dapt membangkitkan gairah seksualnya. Dengan istilah lain transvestitisme adalah nafsu untuk memakai pakaian atau atribut lawan jenisnya, atau orang yang hanya mendapatkan kepuasan seksualnya jika memakai pakaian atau atribut dar lawan jenisnya itu (Nadia, 2005: 36)
23
d. Homoseksual Homoseksual adalah hubungan dengan jenis kelamin yang sama, atau mempunyai rasa ketertarikan dengan jenis kelamin yang sama. Homoseksual dikalangan pria disebut dengan gay, seorang gay adalah seorang laki-laki yang lengkap dan sempurna yang berfungsi dengan baik namun orientasi seksualnya dengan jenis kelamin yang sama yaitu laki-laki. Sedangkan homoseksual dikalangan wanita disebut dengan lesbian. Yaitu seorang perempuan yang mempunyai alat kelamin wanita yang lengkap dan normal namun orientasi seksualnya kepada sesama jenis yaitu wanita.
B.
Waria dan Eksistensinya dalam Lintas Sejarah 1.
Kaum Nabi Luth Homosekualitas pada pria telah ada sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.Perbuatan homoseks bukan hanya terjadi pada zaman modern saja tetapi juga terjadi pada zaman Nabi Luth. Tepatnya terjadi di kota Sodom dan Gomorah pada tahun 3000 SM. Kata Sodom berasal dari bahasa Hebrew 'S'dom' yang berarti 'terbakar', sedangkan Gomorah berasal dari kata 'Amorah' yang bermakna 'tumpukan yang hancur'. Ini mempunyai arti bahwa kota Sodom dan Gomorah diberi nama setelah keduanya hancur, dan bukanlah nama asal kota tersebut. Artinya interpretasi sodomi muncul setelah kedua kota tersebut hancur. Penduduk kota Sodom adalah
24
orang-orang yang suka berbuat maksiat, seperti perampokan, perzinahan, dan yang paling keji dan belum pernah dilakukan oleh seorangpun
diantara
anak-anak
Adampada
zamannya
adalah
perbuatan "liwaath" (homoseks). Seperti yang dinyatakan dalam AlQuran dijelaskan mengenai homoseksual pada surat Al-Araaf ayat 8084 yang berbunyi:
80. Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" 81. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu Ini adalah kaum yang melampaui batas. 82. Jawab kaumnya tidak lain Hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." 83. Kemudian kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). 84. Dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. Al-Qur'an menjelaskan bahwa perbuatan homoseksual pertama kali dilakukan oleh kaum Luth. Perbuatan ini disebut Liwath atau
25
'amal qauni Luthin yang artinya perbuatan kaum Luth.Riwayat dari Ibnu Abi Dunya, dari Thawus menyatakan bahwa mula-mula kaum Luth mendatangi wanita-wanita pada duburnya, kemudian mendatangi laki-lakinya. Perbuatan
kaum
Nabi
Luth
telah
melampaui
batas
kemanusiaan, yang hanya bersyahwat kepada sesama laki-laki dan bukan kepada wanita sebagaimana telah ditawarkan oleh Nabi Luth.Pada waktu itu malaikat-malaikat datang ke rumah Nabi Luth sebagai tamu yang menyamar dalam bentuk pemuda, malaikat tersebut datang dengan tujuan untuk membinasakan kaum Luth karena telah menjadi kaum yang membangkang dan telah melakukan perbuatan keji. Seperti yang disebutkan dalam Al-Quran pada surat Hud ayat 77 - 83 yang berbunyi:
26
77. Dan tatkala datang utusan-utusan kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya Karena kedatangan mereka, dan dia berkata: "Ini adalah hari yang amat sulit" 78. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegasgegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatanperbuatan yang keji[730]. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteriputeriku, mereka lebih Suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?" 79. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu Telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang Sebenarnya kami kehendaki." 80. Luth berkata: "Seandainya Aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau Aku dapat berlindung kepada keluarga yang Kuat (tentu Aku lakukan)." 81. Para utusan (malaikat) berkata: "Hai Luth, Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka Karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?". 82. Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, 83. Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. 2.
Homoseks di Barat Penggunaan istilah pertama di barat tercacat dalam sejarah tahun 1869 Karl-Maria Kertbeny dan kemudian dipopulerkan Richard Freiherr von Krafft-Ebing pada bukunya Psychopathia Sexualis.
27
Istilah”'homo” berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'sama', dan 'seks' yang berarti 'jenis kelamin. Pada abad ke 20 semakin banyak homo atau bahasa gaulnya Maho-maho
bermunculan,
sehingga
munculnya
komunitas
homoseksual di kota-kota besar di Hinda-Belanda sekitar pada tahun 1920an. Sekitar tahun 1968 mulai dikenal isitilah wadam yang diambil dari kata hawa dan adam. Kata wadam menunjukkan seseorang pria yang mempunyai prilaku menyimpang yang bersikap seperti perempuan, yang pada jaman sekarang lebih dikenal dengan istilah banci atau bencong. Pada tahun 1969 tepatnya bulan Juni di New York, Amerika berlangsung Huru-hara Stonewall ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar bernama Stonewall Inn. Perlawanan ini merupakan langkah awal dari Waria dan Gay, dalam mempublikasikan keberadaan mereka. Sejak itu kaum waria atau gay sering mengadakan pawai dan acaraacara lainnya termasuk di Israel, Amerika Latin, Jepang, bahkan Indonesia.
28
3.
Homoseks di Indonesisa
Menurut Dede Oetomo dalam sebuah koran menyebutkan bahwa keberadaan gay dan lesbian di Indonesia belangsung sejak ratusan tahun silam. Bahkan di beberapa daerah, perilaku homoseks malah menjadi semacam tradisi. Perilaku homoseksual ini tidak hanya dibatasi oleh suatu daerah yang mempunyai keadaan religiusitas yang tinggi. Di kota Aceh dan Jawa timur saja yang dikenal dengan daerah yang mempunyai religious tinggi praktek homoseksual tetap saja ada. Hal ini
dibuktikan
dalam
buku
The
Achehnesekarya
Snouck
Hurgronje.Dalam buku ini, Snouck melaporkan, lelaki Aceh pada abad ke-19 mempunyai kebiasaan berkasih-kasihan dengan anak muda sejenis. Eksistensi homoseksual di Aceh tertuang dalam kesenian roteb sadati. Tarian ini disebut dalem atau aduen, umumnya tarian ini dimainkan oleh pria dewasa yang berjumlah 15 - 20 orang. Dalam tarian tersebut bukan hanya melibatkan pria dewasa saja akan tetapi menyertakan seorang anak laki-laki kecil. Anak laki-laki kecil ini kemudian didandani mirip perempuan dan disebut dengan sadati. Mereka yang melakukan tarian ini umumnya berasal dari Aceh pegunungan atau Nias. Menurut Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, guru besar ilmu budaya Universitas Gadjah Mada,
29
Yogyakarta. Fenomena homoseksual Aceh masa lampau itu muncul karena ketatnya norma yang membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan lajang. Kegiatan homoseks juga terjadi di ligkungan dayah atau pesantren. Pada masa lampau anak laki-laki di Aceh yang sudah menginjak tujuh belas tahun sering tidur di meunasah (surau), anak baru ini sering disebut anekeh. Di lingkungan pesantren di Jawa pun tedapat praktek homoseks. Sebelum tahun 1970-an, di pesantren muncul istilah mairil di kalangan sejumlah santri. Istilah mairil atau amrot-amrotan merupakan kebiasaan beberapa santri senior yang gemar tidur dalam satu ranjang bersama santri cilik berwajah manis. Pada jaman dahulu, perilaku homoseks juga mewarnai kehidupan para warok dalam kesenian reog di ponorogo, Jawa Timur.Gemblak yang artinya anak laki-laki pilihan warok dipinang dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang tanah. Gemblak tersebut akan dipenuhi kebutuhannya dan diperlakukan layaknya seorang "istri" selain istrinya yang asli. Sang warok percaya apabila ia berhubungan seks dengan wanita, apalagi wanita yang bukan istrinya maka kesaktian warok tersebut akan hilang. Dalam seni reog, gemblak juga mempunyai peran sebagai penari jaranan atau jathilan yang didandani
30
menyerrupai wanita.Namun, saat ini kebiasaan tersebut sudah luntur. Tari jaranan dalam grup-grup reog dimainkan oleh perempuan tulen. Homoseksual
memang
sudah
terjadi
pada
kehidupan
masyrakat tradisional di Indonesia. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Jaleswari Pramodhawardani. Pada masa lampau di suku Asmat di Papua ada ttradisi menyodomi anak laki-laki yang baru menginjak dewasa. Suku Asmat ini mempercayai bahwa anak membawa sifat wanita karena anak tersebut selalu mendapatkan cairan ibu dari sejak berada di rahim hingga menyusui. Agar anak tersebut menjadi jantan, sang anak harus diberi cairan laki-laki dengan melakukan ritual sodomi, tetapi tindakan sodomi tersebut bukan dilakukan oleh ayah kandungnya melainkan oleh pria seangkatan ayahnya Dari uraian kisah-kisah diatas, ini menyiratkan bahwa praktek homoseks di Indonesia telah ada sejak jaman dahulu.Akan tetapi, sampai saat ini masyarakat umum Indonesia belum sepenuhnya menerima perilaku homoseks.Namun beberapa tahun belakangan ini kaum homoseks mulai memberanikan diri menunjukan eksistensinya.
31
C.
Waria Dalam Berbagai Prespektif 1.
Waria Prespeketif Hukum Islam Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan perempuan berikut
kelengkapan dan
tanda-tandanya
sebagai
lelaki
atau
perempuan. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Mereka itu adalah makhluk Allah yang disebut khuntsa dan mukhanas (Waria). Khuntsa, secara umum para ulama mendefinisikannya sebagai orang yang mempunyai dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan. Atau, bahkan tidak mempunyai alat kelamin, baik kelamin laki-laki maupun perempuan. Artinya, dia bukan laki-laki juga bukan perempuan.Tetapi, Imam Al-Kasani berpendapat bahwa seorang manusia tidak bisa menjadi laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Dia mesti laki-laki, atau mesti perempuan. [Bada`i’ AshShana`i’/Al-Kasani]. khuntsa ada dua macam, yaitu: khuntsa “ghairul musykil” (tidak sulit) dan khuntsa “al-musykil” (sulit).Pertama; al-Khuntsa ghairul
musykil,
yaitu
orang/khuntsa
yang
jelas
tanda-tanda
kelelakiannya atau tanda-tanda keperempuanannya. Tanda-tanda ini bisa dilihat secara fisik, mana yang lebih dominan. Untuk yang belum baligh, biasanya dilihat dari saluran mana dia kencing. Jika air
32
kencing keluar dari kemaluan laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika keluar dari kelamin perempuan, maka dihukumi sebagai perempuan.Sedangkan setelah baligh, jika dia mimpi junub, (maaf) penisnya lebih menonjol dari sebelumnya, suaranya lantang, menyukai tantangan, keluar jenggot atau kumis, dan sebagainya; maka dia dihukumi sebagai laki-laki.Adapun jika dia mengalami menstruasi, payudaranya membesar, suaranya lembut, menyukai permainan atau aktifitas yang cenderung disukai wanita, suka berdandan, dan sebagainya; maka dia dihukumi sebagai perempuan. Kedua; khuntsa musykil, yaitu orang/khuntsa yang mempunyai tanda-tanda maskulinitas dan feminitas dalam dirinya, misalnya; dia buang air kecil dari saluran kencing perempuan dan laki-laki secara bersamaan, atau tumbuh jenggot dan payudara dalam satu waktu; sehingga tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan. Dan, sejatinya yang dimaksud dengan kata al-khuntsa dalam kitab-kitab fiqih adalah khuntsa ini, yakni khuntsa musykil.Namun demikian, jika seorang khuntsa musykil mengaku sebagai laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika dia mengaku sebagai perempuan, maka dia dihukumi sebagai seorang perempuan. Mukhannat (dan Mutarajjil) mukhannats berbeda dengan khuntsa. Mukhannats (yang kewanita-wanitaan) yaitu orang yang secara fisik adalah lelaki tulen, dan memiliki satu alat kelamin, yakni kelamin laki-laki. Tetapi, dia berperilaku layaknya perempuan atau
33
menyerupai perempuan dalam tingkah lakunya, gerak-geriknya, suaranya, dan gaya bicaranya. Adapun untuk perempuan yang menyerupai laki-laki, disebut sebagai mutarajjil (yang kelelakilakian). Dalam istilah kita, mukhannats sering disebut sebagai banci atau bencong atau waria. Sedangkan mutarajjil, biasa disebut sebagai tomboy, atau mungkin lebih tepatnya tomboy yang ekstrim, alias betul-betul seperti laki-laki dalam hampir segala hal. Menurut para ulama –sebagaimana dikatakan Imam AnNawawi–, mukhannats ada dua macam. Pertama; Adalah orang yang memang pada dasarnya tercipta seperti itu. Dia tidak mengada-ada atau berlagak dengan bertingkah laku meniru perempuan; dalam gayanya, cara bicaranya, atau gerak-geriknya. Semuanya alami. Allah memang menciptakannya dalam bentuk seperti itu. Yang demikian, dia tidak tercela, tidak boleh disalahkan, tidak berdosa, dan tidak dihukum. Mukhannats jenis ini dimaafkan, karena dia tidak membuatbuat menjadi seperti itu. Karena itulah, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak mengingkari seorang mukhannats jenis ini berkumpul bersama para perempuan. Beliau juga tidak mengingkari tingkah lakunya yang seperti perempuan, karena dia aslinya memang seperti itu. Tetapi kemudian beliau mengingkari mukhannats ini, setelah dia menceritakan apa-apa yang dilihatnya dari kaum perempuan. Namun, beliau tidak mengingkari keberadaannya sebagai seorang mukhannats.
34
Kedua; Yaitu mukhannats yang pada dasarnya tidak tercipta sebagai seorang mukhannats. Tetapi, dia membuat-buat dan bertingkah
laku
layaknya
perempuan
dalam
gerakannya,
dandanannya, cara bicara, dan gaya berpakaian. Inilah mukhannats yang tercela, di mana terdapat hadits-hadits shahih yang melaknatnya. Adapun mukhannats yang pertama, maka ia tidak dilaknat. [Syarh Shahih Muslim] Hukum-Hukum Yang Terkait Dengan Mukhonats antara lain: a.
Hukum Mukhonats di Depan Wanita Mukhonats yang memiliki ketertarikan pada wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang haramnya dia masuk kepada wanita dan memandang kepada mereka. Adapun Al-Mukhonats yang berasal dari kodratnya dan tidak memiliki ketertarikan pada wanita maka ada dua pendapat: Pertama : Al-Malikiyah, Al-Hanabilah, dan sebagian AlHanifiyah memberi keringanan kepada Mukhonats jenis ini untuk berada bersama wanita dan bolehnya dia memandang wanita. Berdalil pengecualian tentang golongan yang boleh memandang kepada wanita dalam Firman Allah :
ِاﻟﺘﱠﺎﺑِﻌِﯿﻦَ ﻏَﯿْﺮِ أُوﻟِﻲ اﻟْﺈِرْﺑَﺔِ ﻣِﻦَ اﻟﺮﱢﺟَﺎل Artinya : ” “Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.” (QS. An-Nur: 31)
35
Pendapat kedua : As-Syafi’iyah dan kebanyakkan Al-Hanafiyah berpendapat bahwa Al-Mukhonats yang tidak memiliki ketertarikan pada wanita tidak boleh masuk kepada wanita dan memandang kepada
mereka.
Berdalil
dengan
hadits
Ummu
salamh
Rhadiyallahu ‘anha: Yang Artinya : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada seorang mukhannats. Aku mendengar mukhannats itu berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah, pen.): “Wahai Abdullah! Jika besok Allah membukakan/ memenangkan Thaif untuk kalian, maka hendaklah engkau berupaya dengan sungguhsungguh untuk mendapatkan putri Ghailan, karena dia menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan”. Ucapannya yang demikian didengar oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam , maka beliau pun menetapkan:“Mereka (mukhannats) itu sama sekali tidak boleh masuk menemui kalian lagi.” (HR. AlBukhari no. 4324 dan Muslim no. 21807) Makna kalimat : “ menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan ” ini adalah penyifatan fisik wanita yang disukai pada saat itu yaitu lakukan itu sampai ke pinggangnya, pada masing-masing sisi (pinggang) empat sehingga dari belakang terlihat seperti delapan.
36
b.
Wanita menikah dengan Mukhonats Tidak boleh seorang wanita menikah dengan Mukhonats sampai dia bertaubat, apalagi Mukhonats tersebut seorang pelaku homoseksual. Karena tergabung padanya dua laknat , laknat pelaku homoseksual dan laknat karena dia menyerupai wanita. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam bersabda : َ ﻟﻌَﻦَ اﷲُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞ، ٍﻟﻌَﻦَ اﷲُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻞَ ﻗﻮْمِ ﻟﻮط، ٍﻋَﻦَ اﷲُ ﻣﻦ ﻋﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻞَ ﻗﻮمِ ﻟُﻮط ٍﻋَﻤَﻞَ ﻗﻮمِ ﻟﻮط Artinya : ‘Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth’” (HR Ahmad dan selainnya dari Ibnu Abbas Rhadiyallahu ‘anhuma, As-Shohihah No. 3462). Dan juga dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma , beliau berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari No. 5885)
c.
Sholat dibelakang Mukhonats Berkata Az-Zubaidi, berkata Az-Zuhri : “Kami tidak berpendapat bolehnya sholat dibelakang (menjadi ma’mum) Al-Mukhonats kecuali dalam perkara darurat yang tidak bisa dihindari” (Bukhori No. 659)
37
d.
Salam kepada Mukhonats Berkata Abu Dawud Rahimahullahu : Aku bertanya kepada Imam Ahmad Rahimahullahu : ” Apakah boleh (aku) mengucapkan
salam
kepada
Al-Mukhonats
??”
beliau
menjawab ? : “Aku tidak tahu, As-Salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah Azza wa jalla” Berkata Ibnu Taimiyah :
“Maka sungguh beliau telah
Tawaqquf (tidak memberi keputusan) dalam perkara salam terhadap Al-Mukhonats “ (Mustadrok ala Majmu’ul Fatawa, 3/211) e.
Menjadikan Mukhonats pemimpin Berkata
Ibnu
Taimiyah
Rahimahullahu
:
“Maka
yang
mengagungkan Al-Mukhonats dari kalangan laki-laki dan menjadikan untuk mereka kepemimpinan dan memegang urusan maka hal tersebut adalah haram.” (Al-Istiqomah, 1/321)
(http://assamarindy.com/?p=900#ixzz1dgJ4noJn)
2.
Waria Prespektif HAM Waria
adalah
sebuah
kata
yang
ditujukan
untuk
menggambarkan sosok pria dewasa yang berprilaku layaknya seorang perempuan, mereka masih berjenis kelamin laki-laki, meskipun mereka telah memiliki payudara layaknya seorang perempuan
38
dewasa.Waria bukan mahluk baru lagi di negeri ini, mereka sudah lama ada. Akhir-akhir ini mereka semakin berani dan tidak malu lagi untuk menunjukkan keberadaan mereka, atas nama HAM dan didukung oleh KOMNAS HAM mereka semakin berani untuk menuntut persamaan dalam HAM. Pertumbuhan mahluk waria yang sangat signifikan tidak terlepas dari pemerintah, pemerintah telah melakukan pembiaran yang justru mengakomodir seluruh kegiatan waria dan bahkan melalui KOMNAS HAM melakukan pelatihan khusus buat waria. Sesuatu yang sangat aneh, Indonesia dalam hal ini kalangan yang mendukung waria berusaha untuk menciptakan jenis kelamin baru yang bernama WARIA, Tuhan saja hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, kalaupun ada yang terlahir manusia berkelamin ganda itu adalah sesuatu kelainan dan jarang terjadi dan selalu dibuat suatu pilihan tentang jenis kelamin yang akan dipergunakan. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, tapi sayang orang –orang yang berkecimpung dalam masalah HAM tidak memahami Undang-undang tersebut, disana jelas dikatakan yang dimaksud dengan HAM adalah,Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
39
manusia. Dari pengertian itu jelas diketahui bahwa HAM itu adalah milik manusia yaitu laki-laki dan perempuan bukan waria, waria bukan
anugrah
Tuhan
melainkan
melawan
takdir
Tuhan.
(http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/03/waria-dan-ham/). 3.
Waria Prespektif Sosial Waria dalam kehidupan sosialnya banyak dihadapkan pada tekanan social, dan juga mereka kurang mendapatkan tempat dalam struktur masyarakat. TEkanan-tekanan itu muncul disebabkan Karen aseseorang harus hidup berdasarkanaturan-aturan social. Sedangkan aturan-aturan social itu sendiri sering dirasakn oleh individu sebagai suatu tekanan. Tekanan yang dating dari masyarakat sifatnya lebih kompleks dari takanan yang datang dari dalam keluarga. Akibatnya kaum waria menjadi salah satu kaum yang termarjinalkan atau tersisih dari tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Mereka dikucilkan, dicemooh dan ditekan dengan aturan-aturanyang sangat ketat oleh lingkngan dan masyarakat Mayoritas masyarakat Indonesia masih mempunyai anggapan bahwa kaum Waria dan perilakunya tidak selaras dengan agama dan budaya sebagai perilau seks yang menyimpang. Opini masyarakat tersebut dihubungkan dengann realitas social bahwa penyimpangan seksual kaum Waria berada dalam satu pemahamn relasi seksualyang dilakukan
bersifathomoseks,
sedangkan
masyarakat
masih
40
memandang bahwa hubungan seksualyang tidak meyimpang adalah hubungan yang bersifat heteroseksual. Walaupun sebagian besar masyarakat masih menolak untuk ditempati kaum waria dalam lingkugannya, namun ternyata masih ada masyarakat yang peduli terhadap keberadaan kaum Waria tersebut terlepas apakah ada motivasi lain dibalik smua itu.
41
BAB III FENOMENA KEBERAGAMAAN WARIA DI PONPES WARIA
A.
Gambaran Umum Ponpes Waria 1. Sejarah Berdirinya Ponpes Waria Ponpes Waria Senin-Kamis merupakan Pondok Pesantren Waria pertama di Indonesia yang diprakarsai oleh Maryani yang sampai sekarang masih berstatus sebgai Waria. Berdirinya Pondok Pesantren ini berawal dari keikutsertaan Maryani dalam pengajian/ mujadahan AlFatah yang pada waktu itu masih berlokasi di kawasan pathuk, di bawah bimbingnan KH. Haroemlie Harun yang sekaligus nantinya sebagai pendiri dan pembimbing di Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis. Pada saat itu dari sekian banyak jamaah hadir, baik laki-laki maupun perempuan hanya Maryani saja yang menjadi Waria. Namun itu tidak menjadi halangan buat Maryani untuk mencari ilmu di samping juga mayoritas jamaah tidak mempersoalkan keWariannya yang selama ini identik dengan dunia cebongan (pelacuran) dan perilaku menyimpang lainnya. Beberapa saat
setelah aktif
mengikuti
pengajian
KH.
Hamroemli Harun, Maryani yang kala itu masih tinggal di kampung Surakarsan, berinisiatif menggelar pengajan di rumahnya, dengan harapan dengan adanya pengajian tersebut dapat mengajak teman-teman Warianya yang lain untuk ikut serta dalam pengajian itu, dan juga 41
42
sebagai wujud pembuktian pada masyarakat bahwa Waria tdak hanya semata-mata hidup dalam dunia pelacuran dan perilaku yang menyimpang lainya. Pengajian ini dilaksanakan setiap malam Rabu Pon, yang diperuntukkan untuk umum bukan hanya khusus Waria. Rata-rata jamaah yang kurang lebih 50 orang, akan tetapi dari sekian banyak jamaah yang hadir hanya dua orang saja dar Waria yang ikut dalam pengajian tersebut.Pengajian setiap malam Rabu Pon ini berlangsung lancar. Sampai kemudian, terjadi gempa di Yogyakarta dan sekitarnya, pada tanggal 27 Mei 2006 yang menjadikan kegiatan itu berhenti. Gempa tersebut tidak hanya menjadi duka bagi masyarakat Yogyakarta namun juga bagi para Waria yang bermukim di Yogyakarta. Akibat dari gempa tersebut tidak hanya merusak tempat tinggal tetapi juga ikut merenggut harta jiwa mereka, tidak terkecuali para kaum Waria pun ikut terkena musibah ini, ada yang meniggal dunia dan ada yang hanya lukaluka saja. Pasca gempa Maryani berinisiatif untuk mengumpulkan temantemanya di rumahnya yang baru yang terletak di kawasan Notoyudan guna mengadaskan acara do’a bersama. Acara tersebut tidak hanya dihadiri oleh para Waria dari Yogyakarta saja tetapi mengundang Waria dari berbagai kota yang antara lain Surabaya, Semarang, Solo, Madiun dan Ponorogo untuk diajak do’a bersama. Saat itu hadir sekitar 30 Waria. Setelah berdoa Maryani mengajak mangunjungi ketempat teman-
43
teman mereka yang terkena musibah sekaligus memberikan bantuan seadaanya kepada mereka. Sesudah itu, Waria yang sekarang baru terpilih menjad ketua Ikatan Waria Yogyakarta periode 2010 - 2012 tersebut mengaktifkan kembali pengajian/ mujahadah yang sempat vakum karena gempa. Sekarang pengajian berkembang berbeda dari sebelumnya. Waria yang datang rata-rata kini berjumlah antara 15-20 orang. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan profesi, seperti pekerja salon pengamen dan bahkaan pekerja malam. Mengetahui minat kaumnya ikut pengajian cukup tinggi, Maryani kemudian mendatangi KH Hamrolie Harun, menyatakan hendak mendirikan sebuah Pondok Pesantren khusus Waria sekaligus minta saran dan bantuan dari sang kiai. Gayung bersambut, KH Hamrolie Harun menyambut positif dan bersedia memberikan bantuan dalam bentuk mengirim bantuan apara Ustadzz untuk pengajar. Saat ini Ustadzz yang ada berjumlah 25 orang. Mereka bersedia aktif memberikan bimbingan keagamaan bagi para Waria di pondok pesantren tersebut. Setelah mendapat dukungan dan restu dari KH Hamrolie Harun untuk
mendirikan
Pondok
Pesantren
tersebut,
Maryani
segera
mengumpulkan teman-teman Warianya untuk mendiskusikanya tentang rencana pendirian Pondok Pesantren tersebut. Hasil diskusi tersebut sebagian besar teman-teman Warianya menerima usulan pendirian
44
Pondok Pesantren tersebut. Pada tanggal 8 Juli 2008 berdirilah Pondok Pesantren Waria pertama di Indonesia itu dengan nama Pondok Pesantren
Waria
Senin-Kamis.
Tidak
tanggung-tanggung
acara
peresmian tersebut menghadirkan Ketua DPRD Yogyakarta. Pondok Pesantren ini diberi nama Pondok Pesantren SeninKamis karena kegiatan pesantren dilakukan setiap Senin dan Kamis. Alasan pemilihan nama Senin-Kamis juga karena hari Senin dan Kamis itu biasanya digunakan oleh orang Jawa untuk bertirakat atau baribadat. Sejak didirikan, pondok pesantren ini telah memiliki santri kurang lebih berjumlah 10-25 orang. Mereka bukan berasal dari komunitas Waria tetapi juga komunitas lesbi dan gay. Ini membuktikan bahwa pesantren mampu memberikan wadah bagi mereka untuk memperdalami agama Islam. Pesantren mampu memfasilitasi kebutuhan mereka untuk beribadah Selain sarana religi pesantren ini juga berfungsi sebagai rumah singgah bagi mereka yang belum dapatkan di lingkungan tempat tinggal. Masyarakat sekitar lebih menganggap mereka sebagai komunitas aneh, menyimpang dan perlu dijauhi tanpa memberikan jalan keluar bagi masalah Waria dalam memenuhi kebutuhan religiusnya. Seiring berjalanya waktu kegiatan pesantren ini hanya dilaksanakan pada hari Minggu petang hingga Senin pagi. Kebijakan ini terpaksa dilakukan karena menyesuaikan dengan kesibukan dan
45
keinginan para santri Waria. Di luar hari tersebut pesantren relatif sepi dan hanya digunakan sebagai ruang salon kecantikan dan rias pengantin. 2. Kondisi Geografis Pondok Pesantren Waria Notoyudan adalah salah satu kampung
di kelurahan
Pringgokysuman. Berada di wilayah Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kampung Notoyudan terbagi atas 4 Rukun Warga (RW) dan 19 Rukun Tetangga (RT). Batas-batas wilayah Kampung Notoyudan adalah: 1.
Utara
: Kampung Pringgokusuman (Pringgokusuman, Gedongtengen)
2.
Timur
: Kampung Sutodirjan (Pringgokusuman, Gedongtengen)
3.
Selatan
: Kampung Sanggrahan (Ngampilan, Ngampilan)
4.
Barat
: Sungai Winongo dan Kampung Sudagaran (Tegalrejo)
Notoyudan
termasuk
perkampungan
yang
penduduknya
tergolong padat. Penduduk di wilayah kelurahan Pringgokusuman mayoritas adalah pendatang, baik itu datang dari DIY sendiri maupun dari luar kota. 3. Deskripsi Ponpes Waria Saat hendak memasuki pesantren yang didirikan pada tanggal 8 Juli 2008 ini, saya melihat sebuah papan nama tergantung. Papan nama yang menggantung bertuliskan “ Pondok Pesantren Khusus Waria SeninKamis”. Bangunan pesantren khusus Waria ini sekaligus difungsikan
46
sebagai salon tata arias pengantin pada hari biasa. Bangunan ini adalah sebuah rumah kontrakan yang dimiliki oleh bu Maryani (51th) sebagai ketua pondok dan seorang anak angkat perempuan yang bernama Rizki Maryani (11th) Ketika memasuki ruang tamu, saya melihat tiga buah bangku yang bewarna hitam yang biasa digunakan untuk menerima tamu, di atas sofa terpampang dua buah foto yang diapiti sebuah jam cantik bewarna hitam. Foto bu Maryani sebelah kiri jam dengan sanguulnya kelihatan anggun dan cantik dan sebelah kanan jam terpampang foto Ustadz Hamroeli bersama istrinya, beliau orang yang paling berjasa dalam pendirian ponpes khusus Waria ni termasuk dalam hal pemberian nama Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis yang di ambil dari puasa sunnah yang dilakukan Nabi Muhammad dan pengadaan staf pengajar untuk para santri Waria tanpa di pungut biaya. Selain sebagai ruang tamu, ruangan ini juga berfungsi sebagai salon kecantikan dan tata rias pengantin. Setelah puas mengamati benda yang berada di ruang tamu, saya melangkah ke ruang tengah. Di ruang inlah kegiatan pondok berlangsung. Oleh karena itu tak mengherankan saya menemukan banyak simbol keagamaan yang terpampang di dinding tembok. Tiga buah tulisan kaligrafi yang bertuliskan Allah dan Muhammad.
Serta
dua
buah
poster
yang
berukuran
sedang
bergambarkan tata cara melaksanakan sholat. Di pojok kiri saya melihat sebuah rak buku yang didalamnya berisikan perlengkapan sholat,
47
mukena, sarung dan beberapa sajadah, di bawahnya ada beberapa bukubuku dan Al-Qur’an, kertas karton yang bertuliskan susunan kepengurusan Ponpes Waria. Struktur kepengurusan pesantren dan berikut tugas pokoknya adalah sebagai berikut:
KH. Hamroeli Harun Penasihat & Pelindung
Ustadzz-Ustadzz Pembimbing
Maryani Ketua
Shinta Ratri
Ayuk
Ruli & Wulan
Uki Darban & Oki
Sekretaris I
Bendahara I
Sie Kerumahtanggaan
Seksi Dakwah
Sonya
Christine
Sekretaris II
Bendahara II
Bagan I. Struktur Kepengurusan Pesantren Waria •
KH. Hamroeli Harun, merupakan penasehat dan pelindung, serta pembina di Ponpes Waria Senin-Kamis, beliau juga pemimpin dari jamaa’ah
48
pengajian Mujahadah Al-Fatah. Selain itu beliau jg menjadi dosen aktif di Universitas Janabadra Yogyakarta. Keberadaan Ponpes Waria bagi beliau sebagai wadah bagi kaum Waria untuk mendekatkan diri pada Allah, berangkat dari situlah beliau memberanikan diri untuk merangkul para Waria dalam memberikan bimbingan spiritual. •
Ustadzz-Ustadzz Dalam proses belajar mengajar dan pemberian konseling dilaksanakan para Ustadzz yang ditunjuk oleh KH. Hamroeli diantaranya: -
Seno, salah satu Ustadzz asli Yogyakarata yang bekerja sebagai karyawan di bandara Adi Sucipto, ditengah kesibukannya beliau masih bisa meluangkan waktunya untuk mengajar di Ponpes Waria.
-
Agus Supriayanto, selain sebagai Ustadzz di Ponpes Waria beliau juga bekerja di Universitas Janabadra Yogyakarta sebagai staff adminitrasi.
•
Maryani, sang pemilik sekaligus pencetus berdirinya Ponpes
•
Sinta Ratri dan Sonya yang mempunyai jabatan sekretaris di Ponpes Waria, mereka mempunyai tugas mencatat agenda kegiatan Ponpes, sekaligus membuat undangan setiap kali ada acra yang diselenggarakan di Ponpes Waria.
•
Ayuk dan Cristine sebagai bendahara mereka bertanggung jawab memegang kas dan donatur yang masuk di Ponpes, dan sekaligus saat arisan berlangsung.
•
Ruli dan wulan sebagai sie kerumahtanggan mereka bertugas mengurusi makanan yang akan disajikan saat kegiatan Ponpes berlangsung.
49
•
Uki Darban dan Oki sebagai sie. Dakwah mereka bertugas menggantiakn posisi Ustadzz saat beliau tidak bisa hadir untuk mengajarkan, menjadi imam, muadzin saat sholat sekaligus memimpin pengajian.
B.
Kegiatan Rutinitas Ponpes Waria Kegiatan Ponpes dimulai pada hari minggu 17.30 WIB yang diakhiri pada hari senin 19.30 WIB dan hari Rabu yang diakahiri pada hari kamis dengan waktu yang sama. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: 1.
Sholat Berjamaah Sholat berjamaah dilakukan sebelum pengajian dimulai, yaitu setelah para santri Waria berdatangan di Ponpes pada hari Minggu pukul 17.30 WIB. Mereka mempersiapkan diri untuk sholat magrib yang dilanjutkan sholat isya’ berjamaah pukul 19.30 WIB,Sholat hajad pukul 21.00 WIB, Sholat tahajud pada pagi hari Senin pukul 02.00 WIB, dan sholat fajar yang dilanjutkan sholat shubuh pada pukul 04.00 WIB. Imam sholat dan muadzin biasanya diambil dari sie.dakwah dari kepengurusan di Ponpes Waria. Mereka tidak mempermasalahkan untuk memakai peci ataupun mukena, karena bagi mereka menjalankan sholat adalah kewajiaban yang sah atau tidaknya karena sarana dan prasarana biar menjadi urusan Allah. Kalau urusan yang satu ini (sholat) saya tetap memakai peci, sarung, dan baju koko karena fisik yang tampak pada diri saya kan pria toh..?(hasil wawancara dengan Uki darban 13 Agustus 2011) Meskipun banyak orang bilang lo saya ni waria, tapi hati kecil saya mengatakan wanita je, saya ni muslimah dan kewajiaban
50
seorang muslimah sholat dengan menutup auratnya (hasil wawancara dengan Maryani 13 Agustus 2011)
2.
Dzikir/ sholawatan Dzikir ataupun sholawatan dilakukan sehabis sholat magrib dzikir kesehatan: Allahuma ‘aafini fibadani.Allahuma ‘aafini fi sama’i.Allahuma ‘aafini fi bashori. Artinya:YaAllah sehatkanlah badanku.YaAllah sehatkanlah pendengaranku, dan penglihatanku. Dilanjutkan membaca surat Al-fathehah 100x, sehabissholat hajad membaca sholawat nariyah 100x: Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka Artinya:“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.” Dilanjutkan dzikir keluarga bahagia, sehabis sholat tahajud dzikir ekonomi yang dilanjutkan sholawat memohon rezeki 100x yang berbunyi: Allahuma inkaana rizqi fis samma-i fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa inkaana mu’asaran fayassirhu,
51
wainkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana ba’idan fa qaribhu, bihaqqiduhaa-ika wa bahaaika, wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita ‘ibadikash shalihin. Artinya: Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”. 3.
Pengajian Pengajian dilaksanakan setelah sholat isya’ yang disampaikan oleh para ustadz sesuai dengan jadwal masing-masing. Ustadz Seno misalnya beliau bertugas mengajari mengaji menurut kemampuan masing-masing. Selain ustadz Seno ada juga ustadz Agus, beliau biasa mengisi pengajian yang bertemakan Akhlakul karimah.
4.
Ziarah kubur Ziarah kubur biasanya dilaksanakan 2 minggu sekali setiap hari Kamis seusai kegiatan di Ponpes. Mereka mendatangi makam-makamm para Waria yang telah meninggal dunia. Kegiatan ini bertujuan agar para waria juga ingat akan kematian dan menamabah ketakwaanya pada Allah dengan cara tetap menjalankan kewajibanya sebagai seorang muslim.
5.
Bakti sosial Para Waria diPonpes sering melakukan bakti sosial di lokasi bencana alam. Misalnya, saat Gunung Merapi meletus tahun lalu. Ponpes AlFatah mengirimkan 20 waria yang ahli di bidang pangkas rambut. “Mereka bertugas di posko penampungan korban. Tugasnya, antara
52
lain, memotong rambut para pengungsi. Bakti sosial itu dilakukan Maryani dan kawan-kawan di beberapa tempat penampungan pengungsi di Magelang. “Alhamdulillah, selama kegiatan, kami bisa mencukur sekitar 250 pengungsi. Karena yang kami miliki keahlian memotong rambut, ya itu yang bisa kami sumbangkan.
C.
Profil Waria-Waria di Ponpes 1. Maryani Maryani merupakan pencetus, pendiri sekaligus santri di pesantren Waria, yang sekarang terplih menjadi ketua IWAYO (ikatan Waria yogyakarta) periode 2010-2011. Terlahir dengan nama Maryono 15 Agustus 1960 di Yogyakarta. Di adopsi oleh marto wiyardi sejak usia 4jam yang kemudian menjadi bapak tirinya sendiri setelah menikahi ibunya. Sejak kecil sudah memilih dan memposisikan dirinya sebagai perempuan. Ketika dewasa sempat dipertanyakan juga oleh orang tuanya tentang keWariaanya, namun ia tetap kokoh dengan pendirianya untuk menjadi seorang Waria, kekokohan pendirian dari seorang maryono tersebut membuat pak Marta hanya bisa menerima apa adanya dengan anggapan mungkin semua ini sudah takdir Maryono untuk menjadi seorang Waria. Ketika menginjak usia 17 tahun, Maryani sudah mulai menggunakan pakaian wanita ketika keluar rumah.
53
Dalam menjalani kehidupannya Waria dengan perawakan tinggi besar ini banyak sekali pengalaman pahit yang ia alami, mulai dari keputusannya untuk meningglakan bangku sekolah dasar akibat dari penolakan lingkungan diantaranya ejekan teman-temannya tentang keWariannya. Sebagai seorang Waria, Maryani memiliki pengalaman hidup dan pekerjaan yang panjang. Termasuk keluar malam alias mencari pelanggan laki-laki hidung belang, mulai dari Yogyakarta, Semarang (kawasan Simpang Lima), Solo (kawasan lapangan Manahan), hingga ke Jakarta (Taman Lawang) dia juga pernah menjadi seorang pengamen. Keputusan koversi agama yang sebelumnya katolik menjadi Islam, yang kemudian beberapa tahun terahir di ikuti bapak tirinya untuk memeluk agama Islam, hingga kehidupan malam semua pernah ia lakukan. Dari lika-liku kehidupannya itu dia mulai merenungkai hakikat dari kehidupannya, hingga hidayah Allah pun datang kepadanya. Status sebagai muallaf menjadikan Maryani rajin mempelajari tentang agama barunya ini, tetapi semangatnya itu terbentur oleh lingkungan yang kurang bersahabat dengannya. “Sebagai muslim saya kan juga pengen kemasjid, tapi selalu dicemooh sama orang-orang, saat saya sholat di tempat perempuan ibuibunya pada liatin trus nyuruh pindah ke tempat laki-laki, padahal saya merasa diri saya perempuan”(hasil wawancara dengan Maryani) Akibat perlakuan itu dia merasa enggan untuk beribadah ke Masid lagi, sehingga timbul inisiatif untuk membangun sebuah wadah yang khusus untuk Waria agar mereka merasa nyaman menjalakan
54
ibadah sekaligus tempat yang bisa mewadahinya dalam belajar agama. Keberadaan Ponpes Waria Senin-Kamis ini begitu penting atinya untuk Maryani dan juga para Waria yang menjadi santri, di sini mereka tidak hanya adapat beribadah dengan tenang dan nyaman, atau hanya sekedar kumpul dengan teman-tema Waria yang lainnya, tetapi juga dapat menunjukkan eksistensi mereka sebagai Waria. Artinya melalui Ponpes ini mereka ingin agar status keWariannya diakui oleh masyarakat. Disamping mengurusi sebuah pesantren Maryani juga membuka salon rias pengantin, hasil dari salon tersebut dia gunakan untuk menghidupi pesantren, orang tua dan anak semata wayangnya, yang diadopsi 1jam pasca kelahiran. “Hartaku satu-satunya yang tidak bisa diganti dengan apapun juga adalah anakku Rizki Ariyani saya akan berbuat apapun untuknya” (hasil wawancara dengan Maryani) 2. Shinta Ratri Waria asli Jogjakarta ini terlahir dengan nama Tri Santoso pada tanggal 11 November 1958, dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara yang semuanya adalah wanita. Gejala keWariaanya telah tampak sejak kecil, ketika menginjak remaja perilaku tersebut sempat di tentang oleh keluarga, sampai diusir dari rumah, tetapi itu semua tidak dapat membendung gejolak psikologis Shinta yang cenderung mengarah pada posisi seorang wanita. Keluargapun hanya bisa pasrah atas keputusannya itu dan menerima nya kembali untuk tinggal bersma keluarganya.
55
Kecerdasan dan solidaritas yang tinggi membuatnya terpilih sebagai wakil ketua IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) periode 20102012, selain itu ia juga aktif di LSM KEBAYA (Keluarga Besar Waria Yogyakarta), dia juga sebagai salah satu Waria yang dituakan di DIY sehingga ia banyak dikenal dikalangan Waria. Dalam kehidupanya sehari-hari dia menekuni usaha kos-kosaan untuk
menghidupi
orang
tuanya
sekaligus
membantu
dalam
pekembangan Ponpes. Shinta merupakan Waria Yogyakarta yang dapat merasakan
pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi swasta di
Yogyakarata, sehingga tidak heran kalau dibeberapa kegiatan terutama dalam peliputan masalah pesantren dia yang sering dimintai untuk menjadi juru bicaranya sebagai pengganti Maryani jika berhalangan. Dia termasuk santri yang aktif dalam mengikuti kegiatan pesantren. “Saya akan berusaha meluangkan waktu dan mengabdikan diri di Ponpes ini, ini keluarga saya, di sini saya benar-benar menemukan kenyaman dalam hidup untuk lebih dekat kepaNYA” (wawancara dengan Sinta) 3. Novi Novi merupakan Waria asli Surabaya, lahir pada tanggal 1 Februari 1980 dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Gejala keWariaanya sudah tampak semenjak kecil, ketika usia remaja dia disekolahkan di salah satu Pondok Pesantren yang ada di Sidoarjo, dengan harapan agar ia dapat kembali menjadi seorang laki-laki normal pada umumnya. Setelah lulus pondok pesantren ternyata itu semua tidak merubah
56
perilakunya sebagai Waria. Bahkan di pesantren tersebut ia terlibat cinta lokasi dengan teman sekamarnya. Pada tahun 1996 dia merantau ke Yogyakarta, kepergianya dari kampung halaman disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penolakan dari keluarganya yang pada waktu itu belum bisa menerima keadaan dirinya seperti sekarang. Setelah beberapa lama, dia dapat meyakinkan kepada orang tuanya bahwa memang beginilah keadaan dirinya, orang tuanya pun hanya bisa menerima dan hanya berpesan satu hal kepadanya untuk tidak lupa shalat dan menjaga nama baik keluarga. Kehidupan nyebong (pelacuran) menjadi mata pencahariannya untuk tetap bertahan hidup karena jauh dari keluarganya, sampai hidayah itu datang kepadanya dan membuatnya pindah tempat tinggal dan memilih untuk kos di tempat ibu Santi Ratri, dari beliaulah Novi mengenal Ponpes Waria. Sejak saat itu dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi pelacur dan bekerja disebuah salon dekat tempat tinggalnya. “ Di ponpes ini saya merasa menemukan kembali keluarga saya, dan di tempat ini saya akan tetap menjalankan amanat orang tua saya untuk tetap menjalankan sholat”(Hasil wawancara dengan mbk.novi)
57
BAB IV PERILAKU KEBERAGAMAAN WARIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN EKSISTENSINYA
A.
Pandangan Para Ulama tentang Perilaku Keberagaam Waria Dari hasil penelitian yang sudah dipaparkan diatas penulis mencoba menganalisis bahwa kisah para waria yang berada di Ponpes Waria di Yogayakarta berbeda dengan kisah kaum Nabi Luth As yang bisa kita temukan di beberapa surat didalam al-Qur’an. Allah SWT kemudian mengutus nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul untuk melengkapi risalah-risalah para nabi dan rasul sebelumnya. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah secara jelas telah mengharamkan praktek homoseksual dan mengancam pelakunya dengan hukuman yang sangat berat. Dan ini juga telah diyakini oleh sahabat-sahabatnya dan seluruh kaum muslimin selama berabad-abad. Setelah kaum nabi Luth A.S musnah dari muka bumi berabad-abad yang lalu, pada saat ini muncul generasi penerus mereka yang secara mati-matian memperjuangkan praktek homoseksual. Sebenarnya ulama-ulama fiqh bebeda pendapat mengenai hukuman bagi pelaku homoseksual. Diantara pendapat para ulama tersebut adalah: Pertama, Fuqoha Madzhaf Hanbali: Mereka sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan. Yang sudah menikah di rajam dan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Adapun dalil yang mereka pergunakan 57
58
adalah Qiyas. Karena defenisi Homoseksual (Liwath) menurut mereka adalah menyetubuhi sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah. Maka mereka menyimpulkan bahwa hukuman bagi pelakunya adalah sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan. Tetapi qiyas yang mereka lakukan adalah qiyas ma’a al-fariq (mengqiyaskan sesuatu yang berbeda) karena liwath (homoseksual) jauh lebih mejijikkan dari pada perzinahan. Pendapat yang benar adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Karena virus ini kalau saja tersebar dimasyarakat maka ia akan menghancukan masyarakat tersebut. Padahal para santri Waria yang berada di Ponpes Waria sangat berbeda dengan kaum Nabi Luth As. Mereka seorang mukhonats yang dari kecil mengalami kelainan. Maka dari itu Upaya-upaya Islami dengan hanya mengecam atau menghukum atas tindakan kaum Waria adalah kurang bijaksana, yang malah justru akan menjauhkan mereka dari seruan agama. Semakin banyak yang mengecam mereka, hanya akan membuat solidaritas diantara mereka semakin kuat, dan akan semakin sulit mereka untuk dapat disembuhkan.
B.
Eksistensi hukum positif dan hukum Islam terhadap Muslimah Waria 1.
Eksistensi hukum positif terhadap Waria Hukum positif kita (konstitusi dan regulasi) memang tidak secara
spesifik mengatur tentang hak-hak Waria. Meski begitu, tak berarti bahwa
59
keberadaan Waria tak mendapatkan perlindungan hukum. Sebaliknya dengan tidak diatur, menandakan bahwa di mata hukum, hak dan kewajiban Waria adalah sederajat dengan warga negara lainnya. Jadi, tak ada alasan hukum untuk mendiskriminasi Waria dalam mendapatkan hakhaknya sebagai warga negara. Waria adalah juga warga negara yang memiliki hak konstitusional. Dalam UUD 45, konstitusi kita, terdapat beberapa hak warga negara terkait dengan hak asasi manusia. Yaitu pertama, pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kedua, pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Ketiga, Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Ketiga hak di atas, adalah salah satu hak warga negara yang mestinya juga dapat dinikmati oleh kaum Waria. Selain itu pasal 5 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa: a.
Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh pengakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan hukum.
60
b.
Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlakuanyang adil dan pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
c.
Setiap orang yang termasuk kelompok masarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlakuan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pasal 71 dan 72 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM: “ Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asai yang diatur dalam Undang-undang” Kewajiban
dan
tanggung
jawab
tersebut
meliputi
langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, ekonomi, politikdan sosial budaya, sehingga tidak ada satu alasan pemerintah untuk mengabaikan kasus-kasus yang menimpa para kaum Waria. 2.
Eksistensi Hukum Islam terhadap Waria. Walaupun Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku
homoseksual/lesbian adalah terkutuk, akan tetapi adalah sangat tidak bijak jika para pelaku homo dan lesbi tersebut tidak mendapat penanganan (pendampingan, advokasi) yang memadai, yang memungkinkan mereka dapat meninggalkan perbuatannya itu. Islam telah memproklamirkan diri sebagai rahmat bagi seluruh alam, sehingga adalah wajar jika Islam tidak hanya tampil sebagai penghukum bagi orang yang bersalah, tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana Islam mampu memberi solusi atas
61
berbagai persoalan yang dialami oleh umat, termasuk persoalan homoseksual/lesbian Sebagaimana telah disebut di muka, bahwa penyebab timbulnya homoseksual beraneka macam. Ada karena faktor kelainan otak dan genetik maupun karena faktor psikologi dan faktor lingkungan (kultural). Masing-masing penyebab itu membutuhkan penanganan yang spesifik (khusus), sehingga pelaku secara bertahap dapat disembuhkan dan kembali dapat menjalani kehidupan seksual yang “normal” Dalam tradisi Islam dinyatakan bahwa setiap kesulitan (persoalan) pasti ada kemudahan jalan keluar(QS. Al-insyiroh:5 ,()ﻓَﺈِنَّ ﻣَﻊَ اﻟْﻌُﺴْﺮِ ﯾُﺴْﺮًا setiap aturan (hukum) selalu diikuti dengan jalan kelua dan di setiap penyakit pasti ada obatnya. Seperti sudah dinyatakan di atas, bahwa memberi hukuman semata bagi pelaku homo/lesbi tidak akan menyelesaikan masalah. Justru hal ini akan memunculkan persoalan baru yaitu perasaan bersalah dan takut yang berlebih dari para pelaku homo lesbi yang berakibat mereka terperosok dalam depresi mental yang akut atau malah justru para pelaku homo/lesbi akan semakin mengokohkan perilakunya dengan membentuk kelompok atau perkumpulan sebagai sarana “curhat” bagi sesama orang-orang yang dicap “durhaka” terhadap agama. Untuk mereka yang sudah membentuk dan melibatkan diri secara aktif dalam perkumpulan/organisasi kaum homo/lesbi hanya akan mempersulit penanganan terhadap mereka, karena mereka semakin menikmati (enjoy) dengan perbuatan mereka.
62
Sangat diharapkan peranan organisasi-organisasi Islam dalam penanganan
terapi
psikoreligius
semacam
ini.
Khusus
untuk
Muhammadiyah, dapat dibentuk tim khusus yang melibatkan berbagai majlis dan lembaga terkait yang berada dalam struktur Muhammadiyah untuk menangai secara serius kaum homoseksual/lesbian. Data-data tentang mereka dapat dilacak di berbagai LSM atau lembaga konseling yang selama ini concern terhadap eksistensi mereka. Pesantren
menjadi
pilihan
untuk
menjadi tempat
mereka
mendekatkan diri kepada sang Pencipta, yang telah mentakdirkan mereka berwadag laki-laki, tetapi dalam diri mereka terpenjara jiwa perempuan. Dan mereka yang berwadag perempuan, tetapi dalam tubuh itu terperangkap jiwa laki-laki. Hanya saja, untuk penciptaan yang kedua, memang
tidak
terlalu
menampak
dalam
kehidupan
keseharian.
Para Waria tampaknya tetap merasa yakin, sang Pencipta tetap mencintai mereka, memberikan anugerah kepada mereka, dan tetap menjajikan surga bagi merak yang beramal baik dan mengancam dengan neraka bagi mereka yang beramal buruk. Seperti juga yang selalu dijanjikan dan diancamkan kepada semua pemeluk agamanya. Mereka tak perduli bagaimana kehadirannya disia-siakan oleh mereka yang seagama, bagaimana eksistensinya ditolak-tolak oleh saudara seiman mereka. Di Pesantren Al-Fattah, mereka tetap berdoa, membaca Alqur’an, dan sembahyang berjama’ah. Mereka yang nyaman menggunakan sarung dan peci, silakan mengenakannya. Mereka yang nyaman menggunakan
63
mukena tak juga harus dipersoalkan. Pada hari-hari yang telah disepakati, mereka mengaji. C.
Pandangan/ intepretasi Syariat terhadap kegiatan pondok Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta. Alam semesta yang begitu kaya ragam isi dengan berbagai makhluk yang menghuninya. Islam adalah sebuah penghidupan, penghiburan dan sumber energi bagi banyak orang yang memaklumi dan mengamininya. Ia tidak ingin mengkotak-kotakan manusia dalam lubang-lubang yang berlabel, ia ingin merengkuh siapa saja, merangkul siapa saja apapun orientasi pikir, ideologi ataupun seksualitasnya. Islam adalah afirmasi bagi keragaman, ia tidak melihat manusia secara banal, ia melihat manusia secara esensial, bukan dari topeng-topeng lahiriahnya. Dalam (QS. al-Hujurat, 49:13)
13. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ukuran kemuliaan seorang manusia di hadapan Allah swt, adalah prestasi dan kualitas takwa, tanpa membedakan jenis kelamin, bahkan tanpa menghiraukan orientasi seksualnya. Manusia berjenis kelamin perempuan, manusia berjenis kelamin laki-laki serta manusia berjenis
64
kelamin “antara” sama-sama berpotensi untuk menjadi manusia yang paling bertakwa. Al-Qur’an tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Semua manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid (hamba yang saleh) dan khalifah (pemimpin) (QS. al-Nisa’, 4:124 dan S. al-Nahl, 16:97). Dan juga hadits juga dalam sebuah hadits menyatakan bahwa Allah tidak melihat bentuk fisik dari seorang hamba melainkann ketaqwaanya.
65
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN Tidak seorang pun yang ingin hidup sebagai Waria. Menjadi Waria bukanlah sebuah pilihan. Mereka merasa tidak nyaman atas penciptaan dirinya dan merasa terjebak dalam fisik yang salah. Status Waria tidak diakui sehingga cenderung dilecehkan masyarakat. Mereka kehilangan hakhak termasuk dibidang keagamaan. Diskriminasi telah mendiskreditkan Waria santri pesantren sehingga mereka terjungkal dari trend sistem masyarakat formal. Diskriminasi ini telah memangkas akses mereka di sektor sosial-ekonomi, sehingga hanya mampu bertahan pada praktikpraktik ekonomi yang kurang populer. Mereka pun mudah terjebak dalam praktik pelacuran. disisi lain Waria juga mempunyai kesadaran untuk hidup secara religius. Keinginan hidup secara normal dan panggilan psikologis sebagai perempuan muslim membuat mereka menerobos keangkuhan tembok diskriminasi. Keinginan kuat belajar agama membawa mereka aktif dalam pesantren yang dibuatnya sendiri.
Mereka belajar menegakkan ibadah
dengan cara mereka dan dengan segala keterbatasan mereka. Keberadaan pesantren Waria Senin-Kamis demikian penting bagi mereka. Sayang apresiasi masyarakat dan pemerintah sangat kurang akibat
66
ketentuan-ketentuan agama Islam yang tidak berpihak bagi kepentingan mereka.
B.
SARAN 1. Untuk para santri Waria yang ada di Ponpes, selalu sabar dalam setiap menghadapi masalah tetap tunjukkan pada masyarakat eksistensi kalian. 2. Untuk Masyarakat berusaha menerima keberadaan Waria, karena bagaimanapun juga mereka makhluk Allah sama seperti kita. 3. Untuk Pemerintah hendaknya menghapus diskriminasi, khususnya diskriminasi ekonomi, agar mereka bisa bekerja layak, dan tegakkan HAM sebagaimana peraturan yang ada.
67
DAFTAR PUSTAKA
An Nawawi, Imam. Syarah Riyadhush Shalihin 5. diterjemahkan Hamidi. 2005. Surabaya: Bina Ilmu
Mu’amal
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, Aryanti dan Rido Triawan. 2008. Study Kasus Diskriminasi Waria Dan Kekerasan Terhadap LGBTI. Jakarta: Arus Pelangi Atmojo, Kemala. Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: LP3ES Azwar, Saifuddin. 2007.Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemah. Bandung: CV penerbit J-Art Dofier, Zamakhasyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES Kartono, Kartini. 1989. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali pers. Koeswinarno. 2004 Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: PT LKIS. Mansyur, Ali.1981.Waria dan pengubahan kelamin ditinjau dari hukum Islam.Nur Cahaya Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat Atau Kodrat. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Puspitosari, Hesti dkk.2005.Waria dan tekanan sosial.Malang: UMM Press Rahmat, Jalaludin.2003. psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan Saadah, Marzuki Umar. 2001. Pelaku Seks Menyimpang Dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam. Yogyakarta: UII Press. Safitri, Tina. 1997. Prostitusi Di Ibu Kota. Femina. Syarifuddin. 2005. Mairil, Sepenggal Kisah Biru di Pesantren. Yogyakarta: P_Idea. Cetakan 1. UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.2000.Jakarta: Sinar Grafika
68
Www.KBBI.com Www.gaya nusantara.org/sejarah hml www.indahjuli.multiply.com/reviews www.jawapos.co.id/indeks.php?act=detail=176607
69
Visi dan Misi Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Al-Fatah Yogyakarata Visi: “Mewujudkan kehidupan Waria yang bertaqwa kepada Allah SWT, dan bertanggng jawab terhadap diri dan keluarga/ masyarakat/ negara keasatuan Republik Indonesia”
Misi: “ Mendidik para santri waria menjadi pribadi yang taqwa dengan berbekal ilmu agama Islam yang kuat yang mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan segala lapisan komponen masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika”
70
jADWAL KEGIATAN PONDOK PESANTREN KHUSUS WARIA
“SENIN-KAMIS” JAM
KEGIATAN
17.30
Sholat magrib berjamaah
18.00
Dzikir kesehatan Membaca surat Al-Fatikhah 100 kali
19.30
Sholat isyak berjamaah
20.00
Istirahat : makan malam
21.00
Sholat hajat 4 rakaat, 2 rakaat salam Membaca Solawat Nariyah100 kali Dzikir keluarga bahagia
22.30
Istirahat : tidur
02.00
Sholat Tahajud 8 rakaat, 2 rakaat salam, 1 rakaat witir Membaca sholawat memohon rezeki 100 kali Dzikir Ekonomi
03.00
Istirahat : makan sahur
04.00
Sholat fajar 2 rakaat, Wirid Istigfar
04.30
Sholat subuh berjamaah
05.00
Istirahat : olahraga, pulang
71
“JADWAL PIKET”
((PONDOK PESANTREN KHUSUS WARIA SENIN-KAMIS)) HARI
NAMA
NAMA
Senin
Ys
Septi
Selasa
Ines
Sheila
Rabu
Yetty
Sinta ratri
Kamis
Novie
Irma
Jum’at
Wulan
Vera
Sabtu
Ruli malay
Nur kayla
72
DAFTAR NAMA SANTRI PONPES WARIA “Al-Fattah” Yogyakarta Nama: TTL: Alamat:
Maryani Yogyakarta,15-08-1960 Notoyudan, Rt 085/024 Yogyakarta.
Nama: TTL: Alamat:
Sinta ratri Bantul,15 oktober 1963 Celenan,B27 Jagalan rt 09/02, Banguntapan, Yogyakarta.
Nama: TTL: Alamat:
Yuni shara Yogyakarta,02-10-1962 Badran,Jt I, rt 08/11 Yogyakarta.
Nama: TTL: Alamat:
Rully Mallay Tb pecak,24 maret 1961 Rejoinangun,rt05/rw23, Maguwoharjo Yogyakarta.
Nama: TTL: Alamat:
Wulan agustian B Tasikmalaya 2-3-1963 Badran Jt I rt047/11 Yogyakarta.
Nama: TTL: Alamat:
Noviz Surabaya,25-02-1977 Jl.Bugisan Patang Pusunan Yogyakarta.
73
Nama: TTL: Alamat:
Nur khaila Mataram,14-12-1991 Notoyudan,rt085/24 Yogyakarta
Nama: TTL: Alamat:
Vera nendra dewi Jl.solo Km 08 Yogyakarta
Nama: TTL: Alamat:
Sabila Padang,26 Juni 1963 Sidomulyo,rt02/365 Rt16,rw04
Nama: TTL: Alamat:
Insa Sukoharjo,24-10- 1963 Rejoinangun,rt05/28 Yogyakarta
74
75
76
77
78