KEEFEKTIFAN PERLAKUAN UAP PANAS PADA UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) UNTUK MENEKAN INSIDENSI VIRUS
CINDY FITRASARI S
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keefektifan Perlakuan Uap Panas pada Umbi Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Menekan Insidensi Virus adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Cindy Fitrasari S NIM A34110062
ABSTRAK CINDY FITRASARI S. Keefektifan Perlakuan Uap Panas pada Umbi Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Menekan Insidensi Virus. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan komoditas sayuran yang sangat penting di Indonesia. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas bawang putih adalah infeksi patogen dari kelompok virus. Petani bawang putih di Indonesia umumnya menggunakan umbi sebagai organ vegetatif dalam perbanyakan tanaman sehingga diduga tidak ada benih yang bebas dari virus. Penelitian dilakukan dengan tujuan mengevaluasi pengaruh perlakuan uap panas pada suhu 25, 40, 45, dan 50 ºC dengan waktu perendaman 5, 10, dan 15 menit terhadap insidensi virus pada kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning. Sampel siung yang digunakan dipotong sepertiga bagian atas untuk deteksi umbi, sedangkan bagian bawah diberikan perlakuan uap panas dan ditanam dengan metode growing on test. Metode Dot immunobinding assay (DIBA) digunakan untuk mendeteksi virus pada sampel umbi dan daun. Pengamatan dilakukan terhadap daya berkecambah umbi, tinggi tanaman, gejala, insidensi, dan masa inkubasi virus. Hanya GCLV yang terdeteksi pada sampel umbi ‘Lumbu Hijau’; sedangkan GCLV, OYDV, dan SLV terdeteksi pada sampel umbi ‘Lumbu Kuning’. GCLV, OYDV, dan SLV terdeteksi pada sampel daun ‘Lumbu Hijau’ dan ‘Lumbu Kuning’. Insidensi virus pada kultivar Lumbu Hijau mencapai 100% untuk GCLV dan OYDV pada seluruh perlakuan, dan 0 – 75% untuk SLV. Insidensi virus pada kultivar Lumbu Kuning mencapai 50 – 100% untuk GCLV, 75 – 100% untuk OYDV, dan 0 – 50% untuk SLV. Kombinasi suhu dan waktu perendaman pada perlakuan uap panas pada penelitian ini belum efektif menekan GCLV, OYDV, dan SLV pada kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning. Kata kunci: Dot immunobinding assay, GCLV, OYDV, SLV
ABSTRACT CINDY FITRASARI S. Effectiveness of Heat Vapour Treatment on Garlic Bulbs (Allium sativum L.) to Suppress the Incidence of Viruses. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Garlic (Allium sativum L.) is one of the most essential vegetable commodity in Indonesia. One of the factors causing low productivity of garlic is pathogen infection, including plant viruses. Farmers in Indonesia generally use bulbs as vegetative organ for propagation of garlic, therefore it is assumed that no seed bulbs are free from viruses. This research was aimed to evaluate the significance of heat vapour treatment at 25, 40, 45 and 50 °C with the soaking time of 5, 10, 15 minutes to suppress virus incidence. The samples for this experiment were garlic cloves from two cultivars, i.e. ‘Lumbu Hijau’ and ‘Lumbu Kuning’. Each garlic cloves was cut about one third, the top end was used to detect viruses from bulbs, while the low end was given heat vapour treatment and planted using growing on test method. Dot immunobinding assay (DIBA) method was used to detect the virus on the bulbs and leaves of the sample plants. Observation during the experiment involved percent of germination, plant height, disease symptom, incidence, and incubation period. GCLV was detected on bulb of ‘Lumbu Hijau’, while GCLV, OYDV, and SLV were detected on bulb of ‘Lumbu Kuning’. GCLV, OYDV, and SLV were detected on leaf samples of both cultivars. Virus incidence on ‘Lumbu Hijau’ was 100% for GCLV and OYDV in all treatment, and 0 – 75% for SLV. Virus incidence on ‘Lumbu Kuning’ reached 50 – 100% for GCLV, 75 – 100% for OYDV, and 0-50% for SLV. Combination of temperature and soaking time on heat vapour treatment in this experiment have not been effective in suppressing GCLV, OYDV, and SLV on cultivar Lumbu Hijau and Lumbu Kuning. Keywords: Dot immunobinding assay, GCLV, OYDV, SLV
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEEFEKTIFAN PERLAKUAN UAP PANAS PADA UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) UNTUK MENEKAN INSIDENSI VIRUS
CINDY FITRASARI S
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Keefektifan Perlakuan Uap Panas pada Umbi Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Menekan Insidensi Virus”. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua, adik, serta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan doa, dukungan, kasihsayang, serta semangatnya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih kepada pihak Kementerian Riset dan Teknologi Dinas Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) yang telah memberikan beasiswa pendidikan jenjang S1 kepada penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dengan sabar, memberikan ilmu, saran, dan perhatian kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan biaya penelitian melalui program Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR): Increasing Productivity of Allium and Solanaceous Vegetable Crops in Indonesia and Sub-Tropical Australia. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada rekan-rekan di Laboratorium Virologi Tumbuhan atas kebersamaan dan berbagai hal yang menginspirasi, terutama Sari Nurulita, SP, M.Si, Susanti Mugi Lestari, SP, M.Si, dan Rizki Haerunisa, SP, M.Si yang telah membimbing, orang-orang terkasih yang senantiasa menemani serta seluruh teman PTN 48. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan memperoleh balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2016 Cindy Fitrasari S
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelian HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Infeksi pada Tanaman Bawang Putih Hasil Deteksi Virus pada Sampel Umbi Hasil Deteksi Virus pada Sampel Daun SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
ix x xi 1 1 2 2 3 3 3 7 7 9 10 19 19 20 23 35
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
6
7 8 9 10 11
Rata-rata insidensi infeksi virus (%) pada dua kultivar bawang putih berdasarkan jenis gejala Periode inkubasi pada kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning Rata-rata insidensi virus pada sampel umbi berdasarkan hasil deteksi DIBA Rata-rata skor titer virus berdasarkan indikator DIBA pada sampel umbi Insidensi GCLV, OYDV, dan SLV (%) berdasarkan hasil deteksi DIBA pada sampel daun bawang putih kultivar Lumbu Hijau (LH) dan Lumbu Kuning (LK) setelah perlakuan uap panas pada umbi Rata-rata skor titer virus berdasarkan indikator DIBA pada sampel daun bawang putih kultivar Lumbu Hijau (LH) dan Lumbu Kuning (LK) setelah perlakuan uap panas pada umbi Rata-rata insidensi virus (%) setelah perlakuan uap panas berdasarkan pengamatan gejala Rata-rata daya berkecambah (%) setelah perlakuan uap panas pada kutivar Lumbu Hijau Rata-rata daya berkecambah (%) setelah perlakuan uap panas pada kutivar Lumbu Kuning Rata-rata tinggi tanaman (cm) setelah perlakuan uap panas pada kultivar Lumbu Hijau Rata-rata tinggi tanaman (cm) setelah perlakuan uap panas pada kultivar Lumbu Kuning
8 8 9 9
10
12 13 15 16 17 18
DAFTAR GAMBAR 1
2
3
4
Siung bawang putih dipotong sepertiga bagian atasnya (a). Bagian atas digunakan untuk deteksi virus, sedangkan bagian bawah di beri perlakuan uap panas kemudian ditumbuhkan (b) Tahapan perlakuan uap panas umbi bawang putih dan penanaman dengan metode growing on test, (a) Siung dimasukkan ke dalam botol; (b) botol dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu dan lama perendaman sesuai dengan perlakuan; (c) siung ditanam pada media sryrofoam yang dilektakkan di baki berisi air; (d) bawang putih yang sudah tumbuh Skor reaksi DIBA (x) berdasarkan intensitas warna ungu yang muncul pada akhir pengujian. (a) reaksi negatif, x = 0; (b) reaksi lemah, 0 < x ≤1; (c) reaksi kuat, 1 < x ≤ 2; (d) reaksi sangat kuat, 2 < x ≤ 3 Gejala pada sampel daun bawang putih. (a) bergaris hijau muda, (b) mosaik hijau muda, (c) daun menutup kaku, (d) permukaan daun berlekuk, (e) ujung daun memutih, (f) kerdil, dan (g) keriting
3
5
6
7
5
Reaksi perubahan warna pada membran dengan metode DIBA pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) menggunakan antibodi GCLV, sampel umbi (c) dan sampel daun (d) menggunakan antibodi OYDV, serta sampel umbi (e) dan sampel daun (f) menggunakan antibodi SLV
12
DAFTAR LAMPIRAN 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Peta DIBA untuk deteksi GCLV, OYDV, dan SLV ulangan 1 – 4. (A) kultivar, 1 = Lumbu Hijau, 2 = Lumbu Kuning; (B) suhu, 1 = 25 °C, 2= 40 °C, 3 = 45 °C, 4 = 50 °C; (C) lama perendaman, 1 = 5 menit, 2 = 10 menit, 3 = 15 menit Hasil deteksi GCLV pada kultivar Lumbu Hijau pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) Hasil deteksi GCLV pada kultivar Lumbu Kuning pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) Hasil deteksi OYDV pada kultivar Lumbu Hijau pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) Hasil deteksi OYDV pada kultivar Lumbu Kuning pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) Hasil deteksi SLV pada kultivar Lumbu Hijau pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) Hasil deteksi SLV pada kultivar Lumbu Kuning pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) Analisis sidik ragam insidensi GCLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Analisis sidik ragam insidensi OYDV berdasarkan DIBA pada sampel daun Analisis sidik ragam insidensi SLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Analisis sidik ragam skor titer GCLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Analisis sidik ragam skor titer OYDV berdasarkan DIBA pada sampel daun Analisis sidik ragam skor titer SLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Analisis sidik ragam rata-rata insidensi virus setelah perlakuan uap panas berdasarkan pengamatan gejala Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 3 HST Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 6 HST Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 9 HST Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 12 HST Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 15 HST Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 18 HST Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 3 HST Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 6 HST Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 9 HST
24 25 25 26 26 27 27 28 28 28 29 29 29 30 30 30 31 31 31 32 32 32 33
24 25 26 27
Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 12 HST Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 15 HST Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 18 HST Nilai RC dan jumlah sampel positif yang dideteksi dengan DAS-ELISA sepanjang siklis tanam pada kultivar Blanco Mendoza (a) dan Rosado Paraguayo (b) (Conci V, Lunello P, Buraschi D 2002)
33 33 34
34
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan komoditas yang sangat penting di Indonesia. Bawang putih memiliki nilai ekonomi tinggi dan memiliki banyak kegunaan. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (2015), bawang putih merupakan salah satu bumbu masakan yang paling populer digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kegunaan lain bawang putih adalah sebagai obat tekanan darah tinggi, reumatik, sakit gigi, kena gigitan ular, dan lainlain. Kebutuhan bawang putih nasional terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan ragam penggunaan yang semakin banyak (BPS 2014). Kebutuhan bawang putih nasional per tahun mencapai 312 000 ton. Kebutuhan sebanyak itu belum mampu dipenuhi karena produksi bawang putih nasional hanya 15 766 ton (BPS 2015). Menurut Duriat et al. (2008), faktor yang menyebabkan rendahnya produksi bawang putih nasional antara lain kurangnya ketersediaan lahan yang sesuai untuk budidaya, kurangnya ketersediaan infrastruktur, kurangnya penanganan pasca panen, kurangnya pengetahuan budidaya dan juga teknologi yang memadai bagi petani, keadaan iklim yang tidak menentu, sulitnya mendapatkan umbi benih berkualitas, serta gangguan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Faktor lain penyebab rendahnya produksi bawang putih nasional yaitu kebijakan impor secara besar-besaran oleh pemerintah. Kebijakan impor bawang putih secara besar-besaran juga membuat petani bawang putih lokal kesulitan menjual hasil panen karena konsumen lebih memilih bawang putih impor yang harganya lebih murah dan penampilan umbinya lebih baik. Virus menjadi salah satu OPT yang penting pada tanaman bawang merah dan bawang putih. Virus-virus yang dapat menginfeksi tanaman bawang di antaranya Onion yellow dwarf virus (OYDV, Potyvirus), Leek yellow stripe virus (LYSV, Potyvirus), Garlic common latent virus (GCLV, Carlavirus), Shallot latent virus (SLV, Carlavirus), dan beberapa virus dari genus Allexivirus (Klukácková et al. 2007). Kadwati dan Hidayat (2015) melaporkan bahwa sampel bawang putih yang berasal dari Jawa Barat (Bandung, Bogor, dan Cirebon), Jawa Tengah (Brebes), dan Yogyakarta (Bantul) terinfeksi GCLV, SLV, dan virus dari genus Potyvirus. Conci et al. (2003) melaporkan bahwa persentase infeksi virus yang tinggi ditemukan pada pertanaman tahun pertama bawang putih di lapangan. Infeksi bervariasi berdasarkan siklus panen dan jenis spesies virus. Persentase infeksi OYDV antara 42 sampai 100% pada siklus panen pertama, 66 sampai 100% pada siklus panen kedua, dan 99 sampai 100% pada siklus panen ketiga, keempat, dan kelima. Virus yang menginfeksi secara sistemik terdapat pada sebagian besar bagian vegetatif tanaman. Perbanyakan tanaman secara vegetatif melalui umbi, stek, dan potongan cangkok dapat menyebarkan virus secara efektif. Tanaman yang secara sistemik terinfeksi sepanjang masa hidupnya dapat menjadi sumber inokulum (Hull 2009). Petani bawang putih di Indonesia umumnya menggunakan umbi sebagai organ vegetatif dalam perbanyakan tanaman sehingga diduga tidak ada benih yang bebas dari virus. Berdasarkan laporan Conci et al. (2003), persentase virus semakin
2 tinggi pada siklus panen kedua dan seterusnya. Hal ini disebabkan benih yang digunakan pada masa tanam selanjutnya berasal dari benih pada masa panen sebelumnya yang sudah terinfeksi virus. Penyediaan benih yang bermutu dan bebas virus penting untuk meningkatkan produksi bawang putih nasional. Banyak virus dapat dieliminasi dari tanaman inangnya menggunakan perlakuan panas. Perlakuan panas dapat menghambat replikasi virus, translokasi virus, tetapi dapat pula mengganggu proses-proses dalam pertumbuhan tanaman (Hadidi et al. 1998). Wulandari (2016) melaporkan pemanasan umbi bawang merah pada suhu 45 ºC selama 15 menit yang dikombinasikan dengan perlakuan kultur jaringan dapat menekan Potyvirus dan Carlavirus sampai 100% pada kultivar Bima Curut, sedangkan suhu 50 ºC selama 15 menit dapat menekan Potyvirus sebesar 100% tetapi hanya dapat menekan Carlavirus sebesar 33.33% pada kultivar Sumenep. Varietas tanaman menentukan efisiensi perlakuan panas untuk menekan insidensi penyakit. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi perlakuan panas untuk menekan infeksi virus pada umbi bawang putih yang umum ditanam petani di Indonesia.
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan uap panas pada suhu 25, 40, 45, dan 50 ºC dengan waktu perendaman 5, 10, dan 15 menit terhadap insidensi virus pada umbi bawang putih kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning.
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada masyarakat, khususnya petani bawang putih, tentang perlakuan pada umbi benih yang efektif untuk menekan insidensi virus sehingga didapatkan umbi benih bawang putih yang lebih sehat dan hasil panen yang lebih optimal.
3
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai Maret 2016 di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelian Penelitian terdiri atas enam kegiatan, yaitu (1) pengumpulan benih dan pengambilan sampel; (2) deteksi virus pada umbi bawang putih dengan dot immunobinding assay (DIBA); (3) perlakuan uap panas pada umbi bawang putih; (4) penanaman dan pengamatan umbi yang sudah diberi perlakuan uap panas (growing on test); (5) konfirmasi infeksi virus pada daun dengan metode DIBA; (6) pengolahan dan analisis data. Pengumpulan dan Pengambilan Sampel Umbi Umbi yang digunakan diperoleh dari penangkar umbi benih bawang putih dari daerah Tawangmangu, Jawa Tengah. Kultivar yang tersedia adalah kultivar Lumbu Kuning dan Lumbu Hijau. Umbi dipisahkan menjadi bagian-bagian siung, setelah itu diambil sebanyak 240 siung dari tiap kultivar. Sampel tiap kultivar tersebut dibagi menjadi dua bagian, satu bagian sampel, yaitu sebanyak 120 siung, digunakan untuk perlakuan uap panas dan satu bagian lainnya, sebanyak 120 siung, ditanam sebagai perlakuan kontrol (tanpa perlakuan uap panas). Umbi (siung) sampel yang akan diberi perlakuan uap panas dipotong sepertiga bagian atasnya (Gambar 1), potongan bagian atas digunakan sebagai sampel deteksi awal virus pada umbi.
a
b
Gambar 1 Siung bawang putih dipotong sepertiga bagian atasnya (a). Bagian atas digunakan untuk deteksi virus, sedangkan bagian bawah diberi perlakuan uap Umbi panas kemudian ditumbuhkan (b). Deteksi Awal Virus dari
4 Infeksi virus dideteksi dari umbi bawang putih menggunakan metode DIBA mengacu pada Asniwita (2013). Sampel dari umbi berupa bakal daun digerus dalam tris buffer saline (TBS) dengan perbandingan 1:10 (b : v) (TBS: Tris-HCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7.5). Suspensi tanaman selanjutnya diteteskan di atas membran nitroselulosa sebanyak 2 µl. Setelah tetesan sampel kering, membran direndam di dalam 10 ml larutan blocking non fat milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan konsentrasi akhir 2%. Setelah itu membran diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm menggunakan EYELA multy shaker selama 1 jam (sampai warna sap tanaman pada kertas membran hilang). Membran kemudian dicuci 5 kali dengan akuades, setiap pencucian berlangsung selama 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran selanjutnya direndam dalam 2 ml TBS yang mengandung 2 µl antibodi ditambah dengan non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan diinkubasi semalam pada suhu 4 ºC. Setelah itu membran dicuci dengan TBST (TBS ditambah Tween 0.05%) sebanyak 5 kali, setiap pencucian berlangsung selama 5 menit. Membran kemudian direndam dalam 2 ml TBS yang mengandung konjugat 2 µl (antibodi kedua) ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% kemudian diinkubasi selama 2 jam sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Setelah itu membran dicuci kembali dengan TBST 5 kali, setiap pencucian berlangsung selama 5 menit. Membran selanjutnya direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer AP (Tris-HCl 0.1 M, NaCl 0.1 M, MgCl2 5 mm, dan akuades) yang mengandung 1 tablet nitro blue tetrazolium (NBT) dan bromo chloro indolil phosphate (BCIP). Reaksi positif ditandai dengan perubahan warna putih kertas membran menjadi ungu dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran dalam akuades. Antibodi yang digunakan yaitu antibodi terhadap GCLV, OYDV, dan SLV. GCLV dan OYDV dideteksi menggunakan metode double antibody sandwich (DAS), sedangkan SLV dideteksi menggunakan metode triple antibody sandwich (TAS). Perlakuan Uap Panas pada Siung Bawang Putih Siung bawang putih yang sudah dipotong sepertiga bagian atasnya dimasukkan ke dalam botol kaca ukuran 140 ml, kemudian botol dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu masing-masing perlakuan yaitu 25, 40, 45, dan 50 ºC. Perlakuan waktu perendaman untuk masing-masing suhu yaitu 5, 10, dan 15 menit. Siung bawang putih yang sudah diberi perlakuan uap panas kemudian ditumbuhkan di laboratorium pada ruangan dengan suhu 21 ºC. Lembar styrofoam berukuran 24 x 32 cm dilubangi, sehingga terdapat 20 lubang pada tiap lembar. Lubang tersebut digunakan untuk meletakkan siung bawang putih, masing-masing styrofoam diletakkan di atas baki plastik yang berisi air (Gambar 2).
5
a
b
c
d
Gambar 2 Tahapan perlakuan uap panas umbi bawang putih dan penanaman dengan metode growing on test, (a) Siung dimasukkan ke dalam botol; (b) Botol dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu dan lama perendaman sesuai dengan perlakuan; (c) Siung ditanam pada media styrofoam yang diletakkan di baki berisi air; (d) Bawang putih yang sudah tumbuh. Masing-masing perlakuan (suhu dan waktu perendaman umbi) dilakukan sebanyak 4 ulangan. Satu unit percobaan menggunakan 5 siung bawang putih, total terdapat 96 unit percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap daya berkecambah, jenis gejala, tinggi tanaman, insidensi dan masa inkubasi penyakit. Pengamatan dilakukan setiap tiga hari sekali sejak siung bawang putih diletakkan pada lembar styrofoam sampai dengan 18 hari setelah tanam. Deteksi Infeksi Virus setelah Perlakuan Uap Panas Konfirmasi infeksi virus setelah perlakuan uap panas dilakukan berdasarkan gejala yang tampak pada tanaman bawang putih hasil growing on test dan berdasarkan deteksi DIBA. Sampel yang digunakan untuk DIBA adalah bagian daun. Sampel daun diambil secara komposit, yaitu 5 tanaman pada setiap perlakuan dikomposit menjadi satu, kemudian ditimbang sebanyak 0.1 g untuk satu sampel. Setelah itu dilakukan deteksi virus dengan metode DIBA pada masing-masing sampel seperti diuraikan sebelumnya. Persentase insidensi infeksi virus berdasarkan gejala yang tampak diukur menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase infeksi virus =
Jumlah sampel bergejala Jumlah sampel yang ditanam
x 100%
6 Perkiraan titer virus pada sampel uji diukur berdasarkan hasil DIBA, yaitu dengan sistem skoring berdasarkan intensitas warna ungu yang muncul pada akhir pengujian. Intensitas warna ungu dibedakan atas empat skor, yaitu 0 untuk reaksi negatif, 0 < x ≤ 1 untuk reaksi lemah, 1 < x ≤ 2 untuk reaksi kuat, dan 2 < x ≤ 3 untuk reaksi sangat kuat (Gambar 3).
a
b
c
d
Gambar 3 Skor reaksi DIBA (x) berdasarkan intensitas warna ungu yang muncul pada akhir pengujian. (a) reaksi negatif, x = 0; (b) reaksi lemah, 0 < x ≤ 1; (c) reaksi kuat, 1 < x ≤ 2; (d) reaksi sangat kuat, 2 < x ≤ 3. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian disusun dengan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor. Faktor pertama adalah varietas dengan 2 taraf, yaitu Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning; faktor kedua adalah suhu dengan 4 taraf, yaitu 25, 40, 45, dan 50 ºC; dan faktor ketiga adalah waktu perendaman dengan 3 taraf, yaitu 5, 10, dan 15 menit. Setiap perlakuan masing-masing terdiri atas 5 ulangan dan kontrol. Data hasil pengamatan diolah menggunakan Microsoft Excel 2010 dan analisis sidik ragam diperoleh dari prosedur general linier model (GLM) pada program MINITAB 16 dengan selang kepercayaan 95%. Apabila ditemukan hasil analisis sidik ragam yang berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Infeksi pada Tanaman Bawang Putih Pengamatan gejala dilakukan pada bawang putih yang ditumbuhkan dengan metode growing on test. Gejala yang muncul dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis, yaitu (a) gejala bergaris hijau muda, (b) mosaik hijau muda, (c) daun menutup kaku, (d) permukaan daun berlekuk, (e) ujung daun memutih, (f) kerdil, dan (g) keriting (Gambar 4). Jenis gejala yang paling dominan ditemukan, yaitu gejala bergaris hijau muda dan permukaan daun berlekuk. Gejala mosaik hijau muda dan keriting juga cukup banyak ditemukan, tetapi tidak sebanyak gejala bergaris hijau muda dan permukaan daun berlekuk. Gejala yang paling sedikit ditemukan yaitu gejala kerdil dan ujung daun memutih (Tabel 1).
a
b
e
c
f
d
g
Gambar 4 Gejala pada sampel daun bawang putih. (a) bergaris hijau muda, (b) mosaik hijau muda, (c) daun menutup kaku, (d) permukaan daun berlekuk, (e) ujung daun memutih, (f) kerdil, dan (g) keriting
8 Tabel 1 Rata-rata insidensi infeksi virus (%) pada dua kultivar bawang putih berdasarkan jenis gejala Jenis Gejala Bergaris hijau muda Mosaik hijau muda Permukaan daun berlekuk Daun menutup kaku Ujung daun memutih Keriting Kerdil
Kultivar Lumbu Hijau
Lumbu Kuning
47 36 46 15 3 29 3
40 17 39 3 0 21 1
Beberapa gejala pada bawang putih telah dilaporkan sebelumnya. Kadwati dan Hidayat (2015) melaporkan gejala mosaik kuning, bergaris kuning, bercak kuning, dan permukaan daun berlekuk. Pappu (2008) melaporkan bahwa gejala infeksi virus pada bawang putih yang paling dominan yaitu daun bergaris kuning. Gejala yang pertama kali muncul yaitu bintik-bintik kuning yang menyebar dengan cepat, bersatu, dan menjadi lebih jelas. Gejala daun menguning dan pertumbuhan terhambat dilaporkan pada dua kultivar bawang putih Italia, yaitu ‘Bianco Piacentino’ dan ‘Rosso di Sulmona’, gejala bergaris kuning putus-putus dan mosaik kuning ditemukan pada sampel yang berasal dari California, gejala bergaris kuning ditemukan pada sampel yang berasal dari Cina, Argentina, dan California (Parrano 2012). Menurut Gunaeni dan Duriat (2011), gejala virus pada tanaman bawang umumnya klorosis, mosaik bergaris vertikal kuning terputus-putus, bergaris vertikal hijau dan ukuran daun menjadi relatif lebih kecil. Klukácková et al. (2004) menyatakan bahwa infeksi virus di lapangan tidak selalu menunjukkan gejala, sehingga perlu dilakukan deteksi menggunakan metode yang akurat dan cukup sensitif untuk memastikan jenis virus yang menginfeksi tanaman bawang. Virus memerlukan waktu setelah penetrasi ke dalam sel tanaman sampai menimbulkan gejala pada tanaman yang disebut periode inkubasi. Lamanya periode inkubasi berkaitan dengan ketahanan kultivar tanaman terhadap virus, replikasi virus dan penyebarannya secara sistemik di dalam tanaman (virulensi), serta faktor lingkungan yang mendukung replikasi dan penyebaran virus di dalam sel tanaman (Hull 2002). Periode inkubasi pada tanaman sampel berkisar antara 4 sampai 29 hari setelah tanam (Tabel 2). Tabel 2 Periode inkubasi pada kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning Jenis gejala Keriting Mosaik Hijau Muda Bergaris Hijau Muda Ujung daun berlekuk Daun menutup kaku Ujung daun memutih Kerdil
Periode inkubasi (hari) 4 - 19 6 - 19 4 - 19 4 - 12 12 - 16 14 - 29 15 - 29
9 Hasil Deteksi Virus pada Sampel Umbi Berdasarkan hasil DIBA, sampel umbi kultivar Lumbu Hijau hanya terinfeksi GCLV, yaitu sebesar 97.92%; sedangkan sampel umbi kultivar Lumbu Kuning terinfeksi GCLV, OYDV, dan SLV masing-masing sebesar 97.92, 100.00, dan 2.08% (Tabel 3). Skor titer virus berdasarkan intensitas perubahan warna pada hasil DIBA menunjukkan bahwa kultivar Lumbu Kuning memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Lumbu Hijau (Tabel 4). Rata-rata skor titer GCLV pada kultivar Lumbu Hijau sebesar 1.93, sedangkan rata-rata skor titer GCLV dan OYDV pada kultivar Lumbu Kuning berturut-turut 1.98 dan 1.00. Rata-rata skor titer SLV pada kultivar Lumbu Hijau 0.00, sedangkan rata-rata skor titer SLV pada Lumbu Kuning mencapai 0.06. Penelitian ini menggunakan siung untuk deteksi virus pada umbi. Siung dapat digunakan sebagai acuan dalam deteksi kesehatan umbi, karena hasil deteksi pada siung dapat mewakili hasil deteksi umbi secara keseluruhan. Conci et al. (2010) melaporkan bahwa 81% siung dalam umbi saat dideteksi menunjukkan hasil seluruh siung positif atau seluruh siung negatif. Hanya 6% kasus yang menunjukkan ada siung yang positif dan siung yang negatif terdapat di dalam umbi yang sama. Hasil yang berbeda dalam satu umbi tersebut disebabkan perbedaan letak lapisan siung dalam umbi. Siung yang berada di bagian terdalam umbi biasanya menunjukkan hasil yang berbeda dengan siung yang lain, akan tetapi hal tersebut kurang mewakili jika jumlah siung dalam umbi sedikit. Tabel 3 Rata-rata insidensi virus pada sampel umbi berdasarkan hasil deteksi DIBA Kultivar Lumbu Hijau Lumbu Kuning
Insidensi virus (%) GCLV
OYDV
SLV
97.92 97.92
0.00 100.00
0.00 2.08
Tabel 4 Rata-rata skor titer virus berdasarkan indikator DIBA pada sampel umbi Kultivar Lumbu Hijau Lumbu Kuning
Skor titer virus GCLV
OYDV
SLV
1.93 1.98
0.00 1.00
0.00 0.06
Umbi bawang putih secara alami mengalami infeksi campuran jika benih yang digunakan berasal dari siklus tanam sebelumnya yang mengandung virus (Conci et al. 2010). Menurut Van Dijk (1993), infeksi virus pada tanaman bawang akan terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya melalui umbi. Virus terbawa benih (umbi) dapat menjadi inokulum primer di lapangan, kemudian inokulum di lapangan dapat menyebar dengan bantuan serangga vektor. Infeksi virus menyebabkan kerugian pada hasil panen berupa penurunan kualitas dan kuantitas. Moreno et al. (2014) melaporkan bahwa umbi bawang putih yang terinfeksi virus bobotnya menjadi lebih rendah sehingga menyebabkan penurunan hasil panen. Penurunan bobot pada tanaman bawang putih oleh infeksi
10 OYDV sebesar 21.5% (Bagi et al. 2012) dan LYSV sebesar 36% (Lunello et al. 2007). Infeksi virus menurunkan bobot umbi secara terus menerus selama lima tahun periode penanaman (Conci et al. 2003).
Hasil Deteksi Virus pada Sampel Daun Berbeda dengan hasil deteksi pada umbi, sampel daun kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning menunjukkan adanya infeksi GCLV, OYDV, dan SLV (Tabel 5). Insidensi GCLV dan OYDV mencapai 100% pada seluruh perlakuan kultivar Lumbu Hijau, sedangkan insidensi SLV berkisar antara 0% sampai 75%. Insidensi SLV terendah pada kultivar Lumbu Hijau (0%), yaitu pada perlakuan suhu 25 dan 45 °C dengan lama perendaman 5 menit. Insidensi GCLV pada kultivar Lumbu Kuning berkisar antara 50% sampai 100%, dengan insidensi terendah (50%) pada perlakuan 40 °C dengan lama perendaman 10 menit. Insidensi OYDV pada kultivar Lumbu Kuning berkisar antara 75% sampai 100%, dengan insidensi terendah (75%) pada perlakuan 45 °C dengan lama perendaman 10 dan 15 menit. Insidensi SLV pada kultivar Lumbu Kuning berkisar antara 0% sampai 50%, dengan insidensi terendah (0%) pada perlakuan 25 °C dengan lama perendaman 10 dan 15 menit, 40 °C dengan lama perendaman 5, 10, dan 15 menit, 45 °C dengan lama perendaman 10 menit, dan 50 °C dengan lama perendaman 5 dan 15 menit. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kombinasi perlakuan uap panas tidak berpengaruh nyata terhadap insidensi virus (nilai P > 0.05). Tabel 5 Insidensi GCLV, OYDV, dan SLV (%) berdasarkan hasil deteksi DIBA pada sampel daun bawang putih kultivar Lumbu Hijau (LH) dan Lumbu Kuning (LK) setelah perlakuan uap panas pada umbi Suhu (°C) 25
40
45
50 *
Waktu (menit) 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
GCLV LH 100.00* 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
LK 75.00 100.00 75.00 100.00 50.00 75.00 75.00 75.00 75.00 75.00 100.00 75.00
OYDV
SLV
LH
LK
LH
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 75.00 75.00 100.00 100.00 100.00
0.00 25.00 50.00 50.00 25.00 25.00 0.00 50.00 50.00 50.00 50.00 75.00
LK 0.00 25.00 0.00 0.00 0.00 0.00 25.00 0.00 25.00 0.00 50.00 0.00
Seluruh kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
11 Hasil analisis sidik ragam pada perlakuan uap panas juga memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap skor titer virus pada sampel daun (Tabel 6). Skor titer virus pada kultivar Lumbu Hijau berkisar antara 1.50 sampai 2.50 untuk GCLV, 1.25 sampai 1.75 untuk OYDV, dan 0.0 sampai 1.0 untuk SLV. Skor titer virus pada kultivar Lumbu Kuning berkisar antara 0.50 sampai 3.0 untuk GCLV, 1.25 sampai 2.50 untuk OYDV, dan 0.0 sampai 1.50 untuk SLV. Skor titer virus pada kultivar Lumbu Hijau cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kultivar Lumbu Kuning. Hasil deteksi DIBA pada sampel daun menunjukkan bahwa insidensi dan titer virus pada sampel daun lebih tinggi dibandingkan dengan sampel umbi (Gambar 5). Hal ini disebabkan konsentrasi virus pada sampel umbi lebih rendah daripada konsentrasi virus pada daun, sehingga untuk deteksi virus tular umbi sebaiknya umbi bawang putih ditumbuhkan terlebih dahulu (Kurniawan dan Suastika 2013). Conci et al. (2010) menyarankan pengambilan sampel daun (tanaman yang terinfeksi secara alami) untuk deteksi virus dilakukan pada akhir siklus tanaman, sekitar 200 hari setelah tanam karena konsentrasi virus beberapa kali lebih tinggi pada tanaman yang lebih tua. Menurut Conci et al. (2002), nilai RC (relative concentration) SLSV pada bawang putih yang dideteksi menggunakan DAS-ELISA bervariasi berdasarkan kultivar, tahapan pertumbuhan sepanjang siklus tanam, dan wilayah pertanaman. Hasil penelitian Conci et al. (2002) menunjukkan bawang putih kultivar Blanco Mendoza memiliki konsentrasi virus terbesar pada masa awal siklus tanam (60 hari) dengan nilai RC sebesar 9.7, kemudian turun perlahan pada 98 hari, dan kemudian naik lagi secara bertahap pada fase pengumbian sampai akhir siklus tanam (227 hari). Berbeda dengan kultivar Blanco Mendoza, kultivar Rosado Paraguayo mengalami kenaikan RC secara bertahap sejak awal siklus tanam, kemudian turun pada fase pengumbian dan RC naik secara signifikan pada akhir siklus tanam (189 hari). Manzila et al. (2005) melaporkan bahwa daun kacang tanah yang terinfeksi PStV (Peanut stripe virus) yang dideteksi dengan metode DIBA menggunakan antibodi poliklonal efektif sampai pengenceran 500 kali. Kadwati dan Hidayat (2015) mendeteksi virus dari sampel daun bawang merah dan bawang putih yang diperoleh dari beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah menggunakan DIBA dan tiga jenis metode ELISA yaitu DAS-ELISA untuk GCLV, triple antibody sandwich-ELISA (TAS-ELISA) untuk SLV, dan indirect-ELISA (IELISA) untuk Potyvirus. Metode DIBA mampu mendeteksi GCLV, SLV, dan Potyvirus hingga pengenceran antibodi 10-7, sedangkan metode ELISA hanya mampu mendeteksi pada pengenceran 100. Menurut Anggraini dan Hidayat (2014), metode DIBA lebih sensitif dibandingkan dengan metode I-ELISA. Batas sensitivitas metode DIBA lebih tinggi dibandingkan dengan metode I-ELISA. Metode DIBA dapat memberikan hasil positif untuk BCMV sampai pengenceran sap 10-5, sedangkan I-ELISA hanya menunjukkan hasil positif untuk BCMV hanya sampai pengenceran sap 10-3. Selain itu, metode DIBA juga membutuhkan antiserum lebih sedikit dibandingkan dengan metode I-ELISA dengan jumlah sampel yang sama. Metode DIBA juga merupakan metode yang mudah dilakukan, karena tidak memerlukan peralatan canggih dan hasilnya dapat ditentukan dengan membandingkan warna substrat antar sampel, kontrol positif, kontrol negatif, dan larutan penyangga.
12 Tabel 6 Rata-rata skor titer virus berdasarkan indikator DIBA pada sampel daun bawang putih kultivar Lumbu Hijau (LH) dan Lumbu Kuning (LK) setelah perlakuan uap panas pada umbi Suhu (°C) 25
40
45
50
Waktu (menit) 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
GCLV LH *
1.75 2.00 2.00 1.50 2.50 2.25 2.25 2.00 1.75 2.25 2.00 2.00
OYDV
LK 1.25 2.00 2.00 3.00 0.50 1.50 2.00 2.25 1.50 1.75 3.00 2.25
SLV
LH
LK
LH
LK
1.75 1.25 1.75 1.75 1.50 1.75 1.75 1.25 1.25 1.50 1.50 1.75
1.25 1.50 2.50 2.00 1.75 2.00 1.75 1.50 1.25 2.00 1.75 1.50
0.00 0.25 0.50 0.50 0.25 0.25 0.00 1.00 0.50 0.50 0.50 0.75
0.00 0.75 0.00 0.00 0.00 0.00 0.25 0.00 0.25 0.00 1.50 0.00
*
Seluruh kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
a
b
c
d
e
f
Gambar 5 Reaksi perubahan warna pada membran dengan metode DIBA pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) menggunakan antibodi GCLV, sampel umbi (c) dan sampel daun (d) menggunakan antibodi OYDV, serta sampel umbi (e) dan sampel daun (f) menggunakan antibodi SLV.
13 Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Opriana et al. (2012) pada kegiatan seleksi atau skrining plasma nutfah dalam rangka perakitan varietas tahan ChiVMV. Dilaporkan bahwa batas sensitifitas metode DIBA lebih rendah dibandingkan metode I-ELISA. Walaupun demikian metode DIBA memerlukan antiserum yang lebih sedikit dibandingkan metode I-ELISA untuk pengujian jumlah sampel yang sama. Selain itu, pelaksanaan pengujian dengan metode DIBA relatif lebih cepat. Pengaruh Perlakuan Uap Panas Terhadap Insidensi Virus dan Pertumbuhan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata terhadap insidensi virus (berdasarkan gejala). Insidensi pada kultivar Lumbu Hijau lebih tinggi dibandingkan kultivar Lumbu Kuning (Tabel 7). Nilai standar deviasi yang besar menunjukkan bahwa keragaman data cukup tinggi pada setiap ulangan. Tabel 7 Rata-rata insidensi virus (%) setelah perlakuan uap panas berdasarkan pengamatan gejala Perlakuan Suhu (°C) 25
40
45
50
Kultivar
Waktu (menit)
Lumbu Hijau
Lumbu Kuning
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
65 ± 30.00* 60 ± 32.66 50 ± 34.64 45 ± 41.23 50 ± 25.82 65 ± 25.17 50 ± 25.82 60 ± 16.33 40 ± 28.28 25 ± 19.15 60 ± 28.28 75 ± 19.15
30 ± 20.00 55 ± 44.35 35 ± 30.00 45 ± 34.16 40 ± 32.66 35 ± 30.00 45 ± 25.17 50 ± 57.74 40 ± 28.28 60 ± 43.20 50 ± 34.64 45 ± 34.16
*
Seluruh kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
Perlakuan suhu dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah pada kultivar Lumbu Hijau (Tabel 8). Daya berkecambah pada 3 hari lebih rendah dari kontrol, kecuali pada perlakuan suhu 45 °C dengan lama perendaman 5 menit. Perlakuan suhu 25 °C dengan perendaman 10 menit memiliki nilai daya berkecambah tertinggi pada 6, 9, 12, 15, dan 18 HST. Perlakuan suhu 40 °C dengan lama perendaman 15 menit cenderung menghasilkan daya berkecambah paling rendah dibandingkan perlakuan lain, walaupun daya berkecambah kemudian meningkat cepat pada 12-18 HST. Perlakuan suhu dan lama perendaman juga tidak berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah pada kultivar Lumbu Kuning (Tabel 9). Daya kecambah pada 3 HST masih lebih rendah dibandingkan tanaman kontrol pada setiap perlakuan. Daya berkecambah paling
14 tinggi pada 6-18 HST terlihat pada perlakuan suhu 45 °C dengan waktu perendaman 5 menit. Data hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada kultivar Lumbu Hijau (nilai P > 0.05). Data menujukkan bahwa perlakuan suhu 25 °C dengan lama perendaman 5 menit menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya; sedangkan perlakuan suhu 45 °C dengan lama perendaman 15 menit dan perlakuan suhu 50 °C dengan lama perendaman 5 menit menghasilkan tinggi tanaman yang paling rendah (Tabel 10). Demikian pula hasil uji statistik untuk kultivar Lumbu Kuning menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Perlakuan suhu 45 °C dengan lama perendaman 5 menit pada 3-15 HST cenderung menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan suhu 45 °C dengan lama perendaman 15 menit cenderung membuat pertumbuhan tinggi tanaman rendah (Tabel 11). Umbi bawang putih yang dipanaskan dengan suhu dan waktu penyimpanan tertentu masih bisa tumbuh dengan baik. Gunaeni et al. (2008) melaporkan bahwa umbi bawang putih yang disimpan pada suhu 30 °C dan 37 °C selama 1 sampai 8 minggu masih memungkinkan umbi bawang putih tumbuh dengan baik dengan keberhasilan 80 sampai 100%. Tingkat toleransi umbi terhadap suhu tinggi dilaporkan oleh Wulandari (2016) yang menyatakan bahwa jumlah umbi bawang yang tumbuh semakin menurun seiring dengan bertambahnya suhu pemanasan. Insidensi virus dapat menyebabkan kerugian, salah satunya pertumbuhan tanaman yang terhambat. Insidensi virus yang diakibatkan oleh infeksi virus campuran lebih merugikan dibandingkan insidensi oleh infeksi virus tunggal. Subekti et al. (2006) melaporkan bahwa infeksi campuran antara Cucumber mosaic virus dan Chili veinal mottle virus dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan tanaman dan penurunan produksi lebih berat dari infeksi tunggal pada tanaman cabai. Perlakuan panas dapat menjadi alternatif untuk menekan infeksi virus, sehingga insidensi virus dapat ditekan. Gunaeni et al. (2008) melaporkan bahwa suhu penyimpanan 30 °C dengan waktu penyimpanan selama 5 minggu dapat mengurangi persistensi dan degradasi kandungan SLV, OYDV, dan GCLV dalam benih bawang putih dan dapat menekan gejala virus secara visual.
a
6 15.00 ± 1.5 40.00 ± 2.45 15.00 ± 1.5 15.00 ± 1.50 10.00 ± 1.00 5.00 ± 0.50 30.00 ± 2.38 10.00 ± 1.00 25.00 ± 1.50 35.00 ± 1.26 30.00 ± 1.73 20.00 ± 2.00
3
15.00 ± 0.50 b 20.00 ± 2.00 15.00 ± 1.50 15.00 ± 1.50 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 25.00 ± 2.50 5.00 ± 0.50 0.00 ± 0.00 5.00 ± 0.50 5.00 ± 0.50 20.00 ± 2.00
Waktu (Menit)
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
40.00 ± 2.45 65.00 ± 2.36 50.00 ± 2.89 55.00 ± 2.63 40.00 ± 2.45 30.00 ± 2.38 55.00 ± 2.63 35.00 ± 2.36 50.00 ± 2.08 55.00 ± 0.96 50.00 ± 1.73 45.00 ± 2.63
9 65.00 ± 2.36 75.00 ± 1.50 55.00 ± 2.63 70.00 ± 1.91 55.00 ± 2.63 70.00 ± 1.73 65.00 ± 2.06 55.00 ± 2.06 50.00 ± 2.08 55.00 ± 0.96 65.00 ± 0.50 55.00 ± 2.06
12
Daya berkecambah pada..... HSTa
65.00 ± 2.36 70.00 ± 1.29 55.00 ± 2.63 70.00 ± 1.91 55.00 ± 2.63 70.00 ± 1.73 65.00 ± 2.06 55.00 ± 2.06 50.00 ± 2.08 55.00 ± 0.96 75.00 ± 0.96 55.00 ± 2.06
15
HST, Hari setelah tanam; b Seluruh perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
50
45
40
25
Suhu (°C)
Perlakuan
Tabel 8 Rata-rata daya berkecambah (%) setelah perlakuan uap panas pada kutivar Lumbu Hijau
80.00 ± 1.41 80.00 ± 0.82 65.00 ± 2.36 70.00 ± 1.91 60.00 ± 2.45 80.00 ± 1.15 70.00 ± 1.91 60.00 ± 1.63 60.00 ± 1.41 55.00 ± 0.96 75.00 ± 0.96 85.00 ± 0.96
18
15
a
6 40.00 ± 1.41 50.00 ± 2.38 15.00 ± 1.50 25.00 ± 2.50 25.00 ± 1.26 35.00 ± 2.22 75.00 ± 0.96 45.00 ± 1.71 40.00 ± 2.45 40.00 ± 1.83 45.00 ± 1.71 25.00 ± 0.96
3
15.00 ± 1.50 b 25.00 ± 1.89 15.00 ± 1.50 25.00 ± 2.50 5.00 ± 0.50 0.00 ± 0.00 35.00 ± 2.36 20.00 ± 1.41 35.00 ± 2.36 20.00 ± 1.41 15.00 ± 0.50 15.00 ± 0.96
Waktu (Menit)
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
40.00 ± 1.41 50.00 ± 2.38 30.00 ± 1.29 40.00 ± 2.45 40.00 ± 0.82 50.00 ± 1.73 80.00 ± 0.82 45.00 ± 1.71 55.00 ± 1.71 50.00 ± 1.29 70.00 ± 1.00 40.00 ± 0.82
9 40.00 ± 1.41 60.00 ± 1.83 45.00 ± 0.96 65.00 ± 1.50 45.00 ± 0.96 60.00 ± 1.63 80.00 ± 0.82 45.00 ± 1.71 65.00 ± 1.26 50.00 ± 1.29 70.00 ± 1.00 45.00 ± 0.96
12
Daya berkecambah pada..... HSTa
40.00 ± 1.41 60.00 ± 1.83 50.00 ± 1.29 65.00 ± 1.50 45.00 ± 0.96 60.00 ± 1.63 80.00 ± 0.82 55.00 ± 1.71 65.00 ± 1.26 70.00 ± 1.29 75.00 ± 0.96 45.00 ± 0.96
15
HST, Hari setelah tanam; b Seluruh perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
50
45
40
25
Suhu (°C)
Perlakuan
Tabel 9 Rata-rata daya berkecambah (%) setelah perlakuan uap panas pada kutivar Lumbu Kuning
40.00 ± 1.41 60.00 ± 1.83 55.00 ± 0.96 70.00 ± 1.29 45.00 ± 0.96 60.00 ± 1.63 80.00 ± 0.82 65.00 ± 1.26 65.00 ± 1.26 70.00 ± 1.29 75.00 ± 0.96 30.00 ± 1.00
18
16
a
6 0.75 ± 1.49 0.54 ± 1.03 0.26 ± 1.51 0.24 ± 0.47 0.06 ± 0.12 0.09 ± 1.18 0.32 ± 0.63 0.19 ± 0.37 0.03 ± 0.04 0.07 ± 0.08 0.19 ± 0.34 0.07 ± 0.13
3
0.08 ± 0.16 b 0.07 ± 0.14 0.05 ± 0.09 0.04 ± 0.08 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 0.06 ± 0.11 0.03 ± 0.06 0.00 ± 0.00 0.01 ± 0.01 0.03 ± 0.05 0.03 ± 0.06
Waktu (Menit)
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
1.67 ± 3.15 1.21 ± 2.26 0.56 ± 0.85 0.68 ± 1.12 0.21 ± 0.24 0.28 ± 0.37 0.84 ± 1.49 0.68 ± 1.05 0.18 ± 0.20 0.18 ± 0.16 0.55 ± 0.92 0.25 ± 0.30
9 3.47 ± 6.15 2.89 ± 5.25 1.48 ± 2.61 1.75 ± 3.14 0.69 ± 0.87 1.32 ± 1.86 2.15 ± 3.64 1.72 ± 2.48 0.24 ± 0.20 0.21 ± 0.27 1.48 ± 2.16 0.88 ± 1.37
12
Tinggi tanaman pada..... HSTa
4.32 ± 6.98 4.27 ± 7.56 3.11 ± 5.80 3.53 ± 6.64 1.84 ± 2.90 3.45 ± 5.46 3.51 ± 5.96 3.04 ± 3.81 0.71 ± 0.86 0.47 ± 0.46 2.85 ± 4.32 2.14 ± 3.70
15
HST, Hari setelah tanam; b Seluruh perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
50
45
40
25
Suhu (°C)
Perlakuan
Tabel 10 Rata-rata tinggi tanaman (cm) setelah perlakuan uap panas pada kultivar Lumbu Hijau
6.28 ± 7.77 5.22 ± 8.88 4.66 ± 8.10 4.69 ± 8.32 3.75 ± 5.66 5.67 ± 7.89 5.18 ± 7.21 4.64 ± 5.41 1.75 ± 2.03 1.32 ± 1.46 4.79 ± 6.39 4.54 ± 6.12
18
17
a
6 0.67 ± 0.82 1.42 ± 1.89 0.99 ± 1.95 0.94 ± 1.87 0.59 ± 0.96 0.46 ± 0.54 2.10 ± 2.92 1.29 ± 1.64 0.33 ± 0.60 1.39 ± 1.01 0.09 ± 0.07 0.61 ± 1.16
3
0.12 ± 0.24 b 0.21 ± 0.39 0.15 ± 0.29 0.16 ± 0.31 0.07 ± 0.14 0.00 ± 0.00 0.34 ± 0.61 0.14 ± 0.22 0.11 ± 0.18 0.05 ± 0.06 0.02 ± 0.01 0.12 ± 0.23
Waktu
5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15
1.13 ± 0.82 2.27 ± 2.65 1.24 ± 2.30 1.36 ± 2.58 1.55 ± 1.70 1.12 ± 1.15 3.96 ± 3.04 2.38 ± 2.89 0.40 ± 0.53 3.26 ± 2.42 0.41 ± 0.22 0.87 ± 1.63
9 1.28 ± 1.30 2.49 ± 2.83 1.74 ± 2.56 2.35 ± 3.45 2.66 ± 3.20 2.20 ± 1.96 4.85 ± 3.65 3.57 ± 4.25 0.44 ± 0.42 3.97 ± 2.69 1.42 ± 1.03 1.52 ± 2.14
12
Tinggi tanaman pada..... HSTa 2.38 ± 2.31 3.69 ± 4.04 3.12 ± 4.51 3.42 ± 4.62 4.53 ± 5.02 3.41 ± 2.48 7.75 ± 5.24 5.93 ± 6.39 0.72 ± 0.63 7.42 ± 5.28 2.60 ± 2.04 3.43 ± 5.08
15
HST, Hari setelah tanam; b Seluruh perlakuan tidak berbeda nyata pada analisis sidik ragam sehingga tidak diuji lanjut
50
45
40
25
Suhu (°C)
Perlakuan
Tabel 11 Rata-rata tinggi tanaman setelah perlakuan uap panas pada kultivar Lumbu Kuning
3.57 ± 2.73 5.62 ± 5.15 4.48 ± 5.07 4.84 ± 5.13 6.78 ± 5.37 4.67 ± 3.47 7.48 ± 5.56 8.20 ± 7.80 1.43 ± 0.98 10.37 ± 8.24 4.20 ± 3.46 5.42 ± 5.65
18
18
19
SIMPULAN Infeksi GCLV, OYDV, dan SLV ditemukan pada sampel daun kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning. Perlakuan uap panas tidak memengaruhi daya berkecambah umbi dan pertumbuhan tanaman. Kombinasi suhu dan waktu perendaman perlakuan uap panas pada penelitian ini belum efektif menekan GCLV, OYDV, dan SLV pada kultivar Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning.
SARAN Deteksi virus dengan metode DIBA sebaiknya dilakukan pada daun muda, karena titer virus sangat rendah pada umbi sehingga tidak dapat dideteksi. Infeksi virus pada tanaman bawang putih selain GCLV, OYDV, dan SLV perlu dikonfirmasi baik pada umbi maupun pada tanaman di lapangan. Pengaruh infeksi virus terhadap kehilangan hasil panen bawang putih perlu dipelajari untuk meningkatkan pemahaman petani dalam menerapkan upaya pengendalian penyakit. Pengendalian dengan perlakuan lain perlu dipelajari untuk memberikan alternatif pengendalian dalam menekan insidensi virus pada bawang putih.
20
DAFTAR PUSTAKA Anggraini S, Hidayat SH. 2014. Sensitivitas metode serologi dan polymerase chain reaction untuk mendeteksi Ben common mosaic potyvirus pada kacang panjang. J Fitopatol Indones. 10(1):17-22.doi:10.14692/jfi.10.1.17. Antoniw J, Adams M. 2012. Descriptions of plant viruses [Internet]. [diunduh 2016 Jan 27]. Tersedia pada: http://www.dpvweb.net/note/showem.php? genus=Allexivirus. Asniwita, Hidayat SH, Suastika G, Sujiprihati S, Sausanto S, Hayati I. 2012. Eksplorasi isolat lemah Chili veinal mottle virus pada tanaman cabai di Jambi, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. J.Hort. 22(2):181-186. Becker R, Fritz V, Hutchison J, Rosen C, Tong C, Wright J. 2007. Growing garlic in Minnesota, University of Minnesota Extension Service [internet]. [Diunduh 2016 Jan 27]. Tersedia pada: cms.cnr.edu.bt/cms/files/docs/File/.../ garlic%20cms.pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi rata-rata per kapita seminggu beberapa macam bahan makanan penting, 2007-2014 [internet]. [Diunduh 2016Feb2]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/950. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Tabel dinamis produksi bawang putih nasional [internet]. [Diunduh 2015 Agu 7]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/si te/resultTab. Cafrune EE, Perotto MC, Conci VC. 2006. Effect of two Allexivirus isolates on garlic yield. Plant Dis. 90:898-904. Chen Z, Liu J, Zeng M, Wang Z, Yu D, Yin C, Jin L, Yang S, Song B. 2012. Dot immunobinding assay method with chlorophyll removal for the detection of Southern rice black-streaked dwarf virus.Molecules.17:6886-6900. doi:10.3390/molecules17066886. Conci V, Lunello P, Buraschi D. 2002. Variations of Leek yellow stripe virus concentration in garlic and its incidence in Argentina. Plant Ds. 86:10851088. Conci VC, Canavelli A, Lunello P, Di Rienzo J, Nome SF, Zumelzu F, and Italia R. 2003. Yield lost associated with virus-infected garlic plants during five successive years. Plants Dis. 87:1411-1415. Conci VC, Canavelli A, Lunello P. 2003. Yield losses associated with virusinfected garlic plants during five successive years. Plant Dis. 87:1411-1415. Conci VC, Canavelli AE, Balzarini MG. 2010. The distribution of garlic viruses in leaves and bulbs during the first year of infection. J Phytopathol. 158:186193.doi:10.1111/j.1439.0434.2009.01601.x. Duriat AS. 1989. Pengaruh perlakuan panas pada bibit kentang yang mengandung virus. Buletin Penelitian Hortikultura. 1:1-10. Duriat AS, Gunaeni N, Ratnawati ML. 2008. Pengaruh suhu dan waktu pemanasan benih umbi terhadap persistensi dan degradasi virus pada bawang putih (Allium sativum). Di dalam: Hadisoeganda WW et al. Editor. Peningkatan Produktivitas Kentang dan Sayuran Lainnya dalam Mendukung Ketahanan Pangan, Perbaikan Nutrisi, dan Ketahanan Lingkungan. Prosiding Seminar
21 Nasional Pekan Kentang; 2008 Agustus 20-21; Lembang. Bandung (ID): hlm 712-713. Fajardo TVM, Nishijima M, Buso JA, Torres AC, Ávila AC, Resende RO. 2001. Garlic viral complex: Identification of Potyviruses and Carlavirus in Central Brazil. Fitopatol Bras. 26(3):619-626. [GRIN] Germplasm Resource Information Network. 2011. National plant germplasm system [internet]. [Diunduh 2016 Feb 13]. Tersedia pada: https://npgsweb.ars-grin.gov/gringlobal/taxonomydetail.aspx?id=2368. Gunadi IG, Sarwadana MS. 2007. Potensi pengembangan bawang putih (Allium sativum L.) dataran rendah varietas lokal sanur. Agritrop 26 (1): 19-23. Gunaeni N, Wulandari AW, Duriat AS, Muharam A. 2011. Insiden penyakit virus tular umbi pada tiga belas varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah. J Hort. 21(2):164-172. Hawkes R, Niday E, Gordon J. 1982. A dot-immunobinding assay for monoclonal and other antibodies. Analytical Biochemistry. 119:142-147. Hilman Y, Hidayat A, Suwandi. 1997. Budidaya Bawang Putih di Dataran Tinggi. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Hull R. 2002. Plant Virology. 4th ed. London (GB): Academic Press. Hull R. 2009. Comparative Plant Virology. 2nd ed. Oxford (GB): Elsevier Academic Press. Kadwati, Hidayat SH. 2015. Deteksi virus utama bawang merah dan bawang putih dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. J Fitopatol Indones. 11(4):121127.doi:10.14692/jfi.11.4.121. [Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Produksi bawang putih menurut Provinsi, 2010-2014 [internet]. [Diunduh 2016 Mar 23]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/datahorti. Klukácková J, Navrátil M, Duchoslav M. 2007. Natural infection of garlic (Allium sativum L.) by viruses in the Czech Republic. J Plant Dis Prot. 114 (3):97100. Kurniawan A, Suastika G. 2013. Deteksi dan identifikasi virus pada umbi bawang. J Fitopatol Indones. 9(2):47-52.doi:10.14692/jfi.9.2.47. Lunello P, Rienzo JD, Conci VC. 2007. Yield lost in garlic by Leek yellow stripe virus Argentine isolate. Plant Disease. 91(2):153-158.doi:10.1094/PDIS-912-0153. Manzila I, Jumanto H, Suseno R, Hidayat S. 2005. Produksi antibodi poliklonal peanut stripe virus. J Biotek Pertan. 10(2):39-44. Marpaung DT. 2010. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan Bawang Putih (Allium sativum L.) di desa harian dan desa sitinjak kecamatan Onan Rungu Kabupaten Samosir [Skripsi]. Sumatera Utara (ID): Universitas Sumatera Utara. Moreno P, Jaramillo S, Celedόn B, Malagόn R, Palenius N. 2014. Effect of natural virus infection on quality and yield of garlic elite lines. Jebas. 2(2S). Opriana E, Hidayat SH, Manzila I, Sujiprihati S. 2012. Occurence of Chili veinal mottle virus (ChiVMV) in Indonesia and response of chili germplasm to ChiVMV infection. J. ISSAAS. 18(2):55-61.
22 Pappu HR, Hellier BC, Dugan FM. 2008. Evaluation of the national plant germplasm system’s garlic collection for seven viruses. Plant Health Progress. doi:10.1094/PHP-2008-0919-01-RS. Parrano L, Afunian M, Pagliaccia D, Douhan G, Vidalakis G. 2012. Characterization of viruses associated with garlic plants propagated from different reproductive tissues from Italy and other geographic regions. Phytopathol Mediteranea. 51(3):549-565. [Puslitbanghorti] Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2015. Budidaya tanaman bawang putih [internet]. [Diunduh 2016 Feb 2]. Tersedia pada: http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/teknologi-detail-43.html. Suryadi Y, Manzila I, Machmud M. 2009. Potensi pemanfaatan perangkat diagnostic ELISA serta variannya untuk deteksi pathogen tanaman. Jurnal Agro Biogen. 5(1):39-48. Setiawati W, Murtiningsih R, Sopha GA, Handayati T. 2007. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Sayuran. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Setiawati W, Murtiningsih R, Gunaeni N, Tubiati T. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Suhendra. 2014 Maret 04. Indonesia importir bawang putih terbesar di dunia. Detik finance [internet]. [Diunduh pada 2015 Juli 27]. Tersedia pada http://finance.detik.com/read/2014/03/04/131936/2514763/4/2/indonesiaimportir-bawang-putih-terbesar-di-dunia ditulis Suhendra: Selasa, 04/03/2014 13:33 WIB. Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi Cucumber mosaic virus dan Chili veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai. Hayati. 13(2):53-57. Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wahab ASA. 2009. Aphid-transmission efficiency of two main viruses on garlic in Egypt, Onion yellow dwarf virus (OYDV-G) and Leek yellow stripe virus (LYSV-G). Acad J Entomol. 2(1):40-42. Van Dijk P. 1993. Carlavirus isolates from cultivated Allium sp. Represent three viruses. Netherland Journal of Plant Pathology. 99(1993):233-257. Webster CG, Wylie SJ, Jones MGK. 2004. Diagnosis of plant viral pathogens. Curr Sci. 86(12):1604-1607. Wulandari AW. 2016. Deteksi dan eliminasi virus pada umbi bawang merah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Xin-xi H, Yan L, Pei W, Lin-fei T, Chang-zheng H, Yong S, Xing-yao X, Xianzhou N. 2015. Development of a multiplex reserve transcription-PCR assay for simultaneous detection of garlic viruses. J Integrated Agric. 14(5):900908.
23
LAMPIRAN
24 Lampiran 1 Peta DIBA untuk deteksi GCLV, OYDV, dan SLV ulangan 1 – 4. (A) kultivar, 1 = Lumbu Hijau, 2 = Lumbu Kuning; (B) suhu, 1 = 25 °C, 2= 40 °C, 3 = 45 °C, 4 = 50 °C; (C) lama perendaman, 1 = 5 menit, 2 = 10 menit, 3 = 15 menit Ulangan
Perlakuan A1B1C1
A1B1C2
A1B1C3
A1B2C1
A1B2C2
A1B2C3
A1B3C1
A1B3C2
A1B3C3
A1B4C1
A1B4C2
A1B4C3
A2B1C1
A2B1C2
A2B1C3
A2B2C1
A2B2C2
A2B2C3
A2B3C1
A2B3C2
A2B3C3
A2B4C1
A2B4C2
A2B4C3
K+
K+
K-
K-
Buffer
Buffer
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
A2B1C1
A2B1C2
A2B1C3
A2B2C1
A2B2C2
A2B2C3
A2B1C1
A2B1C2
A2B1C3
A2B2C1
A2B2C2
A2B2C3
A2B3C1
A2B3C2
A2B3C3
A2B4C1
A2B4C2
A2B4C3
A2B3C1
A2B3C2
A2B3C3
A2B4C1
A2B4C2
A2B4C3
K+
K+
K-
K-
Buffer
Buffer
25 Lampiran 2 Hasil deteksi GCLV pada kultivar Lumbu Hijau pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) (a)
(b)
Lampiran 3 Hasil deteksi GCLV pada kultivar Lumbu Kuning pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) (b) (a)
26 Lampiran 4 Hasil deteksi OYDV pada kultivar Lumbu Hijau pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) (a)
(b)
Lampiran 5 Hasil deteksi OYDV pada kultivar Lumbu Kuning pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) (b) (a)
27 Lampiran 6 Hasil deteksi SLV pada kultivar Lumbu Hijau pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) (a) (b)
Lampiran 7 Hasil deteksi SLV pada kultivar Lumbu Kuning pada sampel umbi (a) dan sampel daun (b) (b) (a)
28 Lampiran 8 Analisis sidik ragam insidensi GCLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Sumber
DB
JK
KT
F
P
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
8333.3 2500.0 166.7 2500.0 166.7 4000.0 4000.0 70000.0
8333.3 625.0 83.3 625.0 83.3 500.0 500.0 777.8
10.71 0.80 0.11 0.80 0.11 0.64 0.64
0.002 0.526 0.899 0.526 0.899 0.740 0.740
Lampiran 9 Analisis sidik ragam insidensi OYDV berdasarkan DIBA pada sampel daun Sumber
DB
JK
KT
F
P
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
333.3 1333.3 166.7 1333.3 166.7 666.7 666.7 15000.0
333.3 333.3 83.3 333.3 83.3 83.3 83.3 166.7
2.00 2.00 0.50 2.00 0.50 0.50 0.50
0.161 0.101 0.608 0.101 0.608 0.853 0.853
Lampiran 10 Analisis sidik ragam insidensi SLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Sumber
DB
JK
KT
F
P
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
14083 118000 2667 6333 2667 6500 13167 122500
14083 29500 1333 1583 1333 813 1646 1361
10.35 21.67 0.98 1.16 0.98 0.60 1.21
0.002 0.000 0.379 0.332 0.379 0.778 0.303
29 Lampiran 11 Analisis sidik ragam skor titer GCLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 0.2083 22.4500 0.2000 1.4167 0.2667 5.8000 15.2333 75.7500
KT
F
P
0.2083 5.6125 0.1000 0.3542 0.1333 0.7250 1.9042 0.8417
0.25 6.67 0.12 0.42 0.16 0.86 2.26
0.620 0.000 0.888 0.793 0.854 0.552 0.030
Lampiran 12 Analisis sidik ragam skor titer OYDV berdasarkan DIBA pada sampel daun Sumber
DB
JK
KT
F
P
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
0.5333 36.5833 0.8167 0.2167 0.1167 3.2667 2.1333 29.5000
0.5333 9.1458 0.4083 0.0542 0.0583 0.4083 0.2667 0.3278
1.63 27.90 1.25 0.17 0.18 1.25 0.81
0.205 0.000 0.293 0.955 0.837 0.282 0.592
Lampiran 13 Analisis sidik ragam skor titer SLV berdasarkan DIBA pada sampel daun Sumber
DB
JK
KT
F
P
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
0.6750 139.4667 1.8667 0.7000 0.8000 2.3833 5.4500 31.2500
0.6750 34.8667 0.9333 0.1750 0.4000 0.2979 0.6812 0.3472
1.94 100.42 2.69 0.50 1.15 0.86 1.96
0.167 0.000 0.073 0.733 0.321 0.555 0.060
30 Lampiran 14 Analisis sidik ragam rata-rata insidensi virus setelah perlakuan uap panas berdasarkan pengamatan gejala Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 3000.0 5946.7 186.7 1066.7 1280.0 4013.3 5253.3 89800.0
KT 3000.0 1486.7 93.3 266.7 640.0 501.7 656.7 997.8
F
P
3.01 1.49 0.09 0.27 0.64 0.50 0.66
0.086 0.212 0.911 0.898 0.529 0.851 0.727
Lampiran 15 Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 3 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 1763.3 2820.0 1940.0 1220.0 326.7 4160.0 1640.0 84900.0
KT 17633 705.0 970.0 305.0 163.3 520.0 205.0 943.3
F
P
1.87 0.75 1.03 0.32 0.17 0.55 0.22
0.175 0.562 0.362 0.862 0.841 0.815 0.987
Lampiran 16 Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 6 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 7363 4367 2927 2287 287 8573 2213 112700
KT 7363 1092 1463 572 143 1072 277 1252
F 5.88 0.87 1.17 0.46 0.11 0.86 0.22
P 0.017 0.484 0.315 0.767 0.892 0.557 0.986
31 Lampiran 17 Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 9 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 83 2187 1327 2200 127 7773 3840 146300
KT 83 547 663 550 63 972 480 1626
F
P
0.05 0.34 0.41 0.34 0.04 0.60 0.30
0.821 0.853 0.666 0.851 0.962 0.777 0.966
Lampiran 18 Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 12 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 213 687 527 1753 287 8473 1247 101000
KT 213 172 263 438 143 1059 156 1122
F
P
0.19 0.15 0.23 0.39 0.13 0.94 0.14
0.664 0.961 0.791 0.815 0.880 0.485 0.997
Lampiran 19 Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 15 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 53 247 980 2913 207 7053 1627 100400
KT 53 62 490 728 103 882 203 1116
F
P
0.05 0.06 0.44 0.65 0.09 0.79 0.18
0.827 0.994 0.646 0.626 0.912 0.612 0.993
32 Lampiran 20 Analisis sidik ragam rata-rata daya kecambah pada 18 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 1470.0 300.0 326.7 3646.7 380.0 5240.0 4053.3 76900.0
KT 1470.0 75.0 163.3 911.7 190.0 655.0 506.7 854.4
F
P
1.72 0.09 0.19 1.07 0.22 0.77 0.59
0.193 0.986 0.826 0.378 0.801 0.633 0.781
Lampiran 21 Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 3 HST Sumber
DB
JK
KT
F
P
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
0.21168 0.12589 0.03488 0.05549 0.00744 0.14145 0.06889 3.71140
0.21168 0.03147 0.01744 0.01387 0.00372 0.01768 0.00861 0.04124
5.13 0.76 0.42 0.34 0.09 0.43 0.21
0.026 0.552 0.656 0.853 0.914 0.901 0.989
Lampiran 22 Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 6 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 12.900 2.787 1.211 1.261 0.175 6.113 5.464 120.759
KT 12.900 0.697 0.605 0.315 0.088 0.764 0.683 1.342
F
P
9.61 0.52 0.45 0.23 0.07 0.57 0.51
0.003 0.722 0.638 0.918 0.937 0.800 0.847
33 Lampiran 23 Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 9 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 30.180 5.681 7.114 5.432 1.027 29.702 25.616 277.379
KT 30.180 1.420 3.557 1.358 0.514 3.713 3.202 3.082
F
P
9.79 0.46 1.15 0.44 0.17 1.20 1.04
0.002 0.764 0.320 0.779 0.847 0.305 0.413
Lampiran 24 Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 12 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 21.854 6.560 10.329 21.761 0.391 53.383 33.383 736.707
KT 21.854 1.640 5.164 5.440 0.195 6.673 4.173 8.186
F
P
2.67 0.20 0.63 0.66 0.02 0.82 0.51
0.106 0.938 0.534 0.618 0.976 0.591 0.846
Lampiran 25 Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 15 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK 51.01 6.77 9.81 46.94 6.16 149.58 89.58 1931,48
KT 51.01 1.69 4.91 11.74 3.08 18.70 11.20 21.46
F
P
2.38 0.08 0.23 0.55 0.14 0.87 0.52
0.127 0.989 0.796 0.702 0.867 0.544 0.837
34 Lampiran 26 Analisis sidik ragam rata-rata tinggi tanaman pada 18 HST Sumber
DB
Kultivar Suhu Waktu Kultivar*Suhu Kultivar*Waktu Suhu*Waktu Kultivar*Suhu*Waktu Error Total
1 4 2 4 2 8 8 90 119
JK
KT
63.10 12.42 3.94 57.12 11.50 196.72 145.30 3184.44
63.10 3.10 1.97 14.28 5.75 24.59 18.16 35.38
F
P
1.78 0.09 0.06 0.40 0.16 0.69 0.51
0.185 0.986 0.946 0.806 0.850 0.695 0.844
Lampiran 27 Nilai RC dan jumlah sampel positif yang dideteksi dengan DASELISA sepanjang siklis tanam pada kultivar Blanco Mendoza (a) dan Rosado Paraguayo (b) (Conci V, Lunello P, Buraschi D 2002) (a)
(b)
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Majalengka, Jawa Barat pada 16 Maret 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Suyanto dan Ibu Ade Ratini. Penulis menyelesaikan Pendidikan di SMA Negeri 1 Jatiwangi, Majalengka pada tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan sekaligus mendapatkan beasiswa Bidik Misi dari Kemenristek Dikti, diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai anggota LPQ Al Hurriyyah selama 3 periode kepengurusan sebagai anggota divisi Tahsin Quran periode 2011/2012, Sekretaris Divisi Syiar Quran periode 2012/2013, dan Sekretaris umum pada periode 2013/2014, Sekretaris Divisi Dana Usaha S’MARAK 49 Open House IPB pada tahun 2012, Bendahara Divisi Penanggungjawab Rumpun MPKMB 49 pada tahun 2012, Anggota Divisi PDD PORRSITA 2012, Anggota Penanggungjawab Kelompok POEPA 49 pada tahun 2013, Anggota Divisi Humas National Plant Protection Event (NPV) pada tahun 2013, Anggota divisi Dana Usaha SALAM ISC pada tahun 2014, Sekretaris Divisi Dana Usaha MUNAS IMMPERTI 2014, dan Sekretaris Panitia Migratoria pada tahun 2014. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada tahun 2012 dan mata kuliah Virologi Tumbuhan pada tahun 2014. Penulis juga pernah menjadi peserta PKM yang didanai oleh Kemenristek Dikti pada tahun 2012.