KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, prosiding seminar nasional NSTD forum ini akhirnya dapat diselesaikan kurang lebih dua setengah bulan setelah seminar dilakukan. Prosiding ini merupakan publikasi berbagai makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional dengan tema ‘Peran Jejaring dalam Meningkatkan Inovasi dan Daya Saing Bisnis’. Kegiatan ini merupakan seminar pertama yang diselenggarakan dalam rangka Forum Tahunan NSTD (National Science and Technology Development) yang digagas oleh Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK)-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan diselenggarakan di Gedung Widya Graha LIPI Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2011. Seminar ini dibuka secara resmi oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Lukman Hakim, MSc dan mengundang Bapak Suharna Supranata (Menteri Riset dan Teknologi RI) sebagai ‘keynote address’ dan Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Kadir, MSc sebagai panelis utama. Sambutan panitia, Kepala LIPI, dan keynote address disampaikan pada bagian awal prosiding ini. Dalam prosiding ini dimuat tiga makalah panel utama yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Kadir, MSc, Dra. Nani Grace Berliana, M.Hum dan Professor Dr. Erman Aminullah, M.Sc. Selain itu juga disajikan berbagai makalah yang disampaikan secara paralel dalam tiga area kajian. Makalah yang masuk kedalam prosiding adalah makalah yang dipresentasikan oleh penulisnya pada seminar tersebut, yang terdiri dari 25 makalah yang dipresentasikan secara oral, dan 7 makalah yang dipresentasikan melalui poster. Makalah presentasi oral dikategorikan menjadi tiga, yakni Kebijakan Iptek, Manajemen Litbang dan Teknologi (11 makalah); Sistem dan Manajemen Inovasi (9 makalah); dan Pengukuran Perkembangan Iptek, Difusi dan Adopsi Teknologi (5 makalah). Atas penilaian redaksi Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang (PAPPIPTEK-LIPI), sejumlah 4 makalah yang dianggap layak telah diundang untuk masuk ke jurnal tersebut, sehingga pada prosiding ini tidak ditampilkan makalah lengkapnya. Pada bagian akhir dilampirkan pula daftar peserta dan pemakalah. Penyiapan prosiding ini melibatkan banyak pihak, mulai dari tim penyeleksi makalah, tim persidangan yang mengumpulkan seluruh bahan untuk persiapan prosiding, maupun tim editor dan lay-out prosiding. Kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan prosiding ini, kami atas nama panitia mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 21 Desember 2011 Ketua Panitia
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii LAPORAN KEPALA PAPPIPTEK-LIPI ................................................................................ v SAMBUTAN KEPALA LIPI ................................................................................................ vii KEYNOTE ADDRESS OLEH MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI RI ............................... ix
PERSIDANGAN UTAMA ...................................................................................................... 1 MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) DAN IMPLEMENTASINYA .............................................................. 2 DINAMIKA DANA RISET NASIONALDAN PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA JANGKA PANJANG .......................................................................................................... 7 MENGUNGKAP FAKTA R&D INDONESIA .................................................................... 17
KEBIJAKAN IPTEK MANAJEMEN LITBANG DAN TEKNOLOGI ..................................... 40 ARAH RISET TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI INDONESIA ................ 41 PERANAN PUSLIT BIOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PRODUKSI JAMUR PANGAN DI INDONESIA ................................................................................................ 50 FASILITASI PROVEN TECHNOLOGY DAN AKSES PEMBIAYAAN UNTUK PENGUATANBISNIS: EXPERIENCES AND LESSONS LEARNT PADA UMKM PETERNAKAN SAPIPOTONG DAN KAMBING .............................................................. 55 KEBIJAKAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI PERKERETAAPIAN INDONESIA SEBAGAI MODA TRANSPORTASI MASSAL ................................................................. 67 ANALISIS KAPASITAS TEKNOLOGI, INVESTASI DAN TENAGA KERJA SERTA ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH PASAR EKSPOR ............................................................................................................ 79 ESTIMASI FUNGSI USAHA KOPERASI DENGAN MODEL POWER FUNCTION MULTIPLE REGRESSION TERHADAP KOPERASI BERPRESTASI TAHUN 2009 ....... 99 EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PENGRAJIN BATIK DI DUSUNMENDIRO, GULUREJO, LENDAH, KULONPROGODAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.............................................................................................................. 113 PENGARUH TATAKELOLA PADA KEMAMPUAN KOMERSIALISASI TEKNOLOGI .... 127
SISTEM DAN MANAJEMEN INOVASI............................................................................. 133 ANALISIS EKONOMI, LINGKUNGAN, DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN PADA PENGEMBANGAN TURBIN PROPELER HEAD RENDAH ........................................... 134 ii
SISTEM DAN MANAJEMEN INOVASI ORGANISASI BERBASIS PENGETAHUAN (KNOWLEDGE): INOVASI USAHA BATIK DI JAWA TIMUR MENGHADAPI PERSAINGAN NASIONAL DAN GLOBAL .................................................................... 144 MODEL PLATFORM TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK E-FORUM RISET ................. 156 SISTEM INOVASI NASIONAL BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI ................................................................................................................ 165 MEMOTRET JARINGAN AGROBISNIS DAN AGROINDUSTRI YANG SELARAS DAN SEPADAN DENGAN SEGMEN PASAR JEPANG ......................................................... 176 MEMBANGUN BLOG SEBAGAI MEDIA KONSULTASI ONLINE DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN PENGETAHUAN : KASUS BIOTEKNOLOGI PERTANIAN DAN KOMODITAS CABAI ..................................................................................................... 184 KARAKTERISTIK PERUSAHAAN INOVATIF PADA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA................................................................................................................... 196 PENGARUH MODAL SOSIAL DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA MANDIRI ENERGI......................................................................................................... 207
PENGUKURAN PERKEMBANGAN IPTEK DIFUSI DAN ADOPSI TEKNOLOGI ............ 215 LIKU-LIKU DIFUSI TEKNOLOGI PADA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH ..... 216 PENINGKATAN KUALITAS LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAHDI PROPINSI BANGKA BELITUNG........................... 224 REKAYASA SOSIAL ADOPSI TEKNOLOGI PASCA PANEN PADI UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) ................................................................................................. 233 KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM USAHA LISTRIK BERBASIS MIKROHIDRO DI INDONESIA ................................................................... 246 PEMANFAATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BAYU UNTUK KETERSEDIAAN ENERGI LISTRIK DI MASYARAKAT............................................................................. 259
PRESENTASI POSTER ................................................................................................... 271 KAJIAN POTENSI DAN TEKNO EKONOMI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO (PLTMH) DI WILAYAH SULAWESI ................................................................... 272 PENGARUH EC DAN pH NUTRISI PADA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium cepaL.) HIDROPONIK DALAM RANGKA MEMPEROLEH BIBIT BERMUTU SESUAI KEBUTUHAN PETANI DAN MENDUKUNG PRODUK UNGGULAN DAERAH ............. 285 MODEL PEMBELAJARAN LIFELONG LEARNING IBU RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN INTERNET ....................................................................................... 295 PERANAN KEBIJAKAN LEMBAGA LITBANG DAERAH DALAM PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI KABUPATEN PATI..................................... 302
iii
OPTIMISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TEKNOLOGI NASIONAL UNTUK MASA DEPAN BANGSA .......................................................................................................... 311 INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DALAM BUDIDAYA TANAMAN PADI RAMAH LINGKUNGAN MELALUI BIOBAKTERISIDA BERBASIS Bacillus sp. B1 ............................................................................................ 322 INOVASI TEKNOLOGI PENGERASAN PERMUKAAN UNTUK PENINGKATAN KUALITAS RODA GIGI PRODUK IKM .......................................................................... 333
PIDATO PENUTUP SEKRETARIS UTAMA LIPI ............................................................. 345 LAMPIRAN ....................................................................................................................... 346
iv
Laporan Kepala Pappiptek-LIPI
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera. Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT dipagi ini kita dapat berkumpul pada acara Seminar Pengembangan Iptek Nasional Para hadirin sekalian, Beberapa tahun belakangan dalam setiap tahunnya Pappiptek menyelenggarakan seminar tentang Pengembangan Iptek Nasional, akan tetapi penyelenggaraan tersebut masih terbatas bagi para peserta yang memang kami pilihdan kami undang untuk dapat mengkritisi hasil-hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para peneliti Pappiptek. Pada tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk pertama kali seminar ini diselenggarakan secara terbukayaitu dengan mengundang pemakalah para peneliti, akademisi, pemerhati dan praktisi di bidang kajian kebijakan dan manajemen perkembangan iptek. Dimulai dengan tahun ini diharapkan dapat terbangunnya jaringan para pelaku dan pemerhati iptek, oleh karenanya pula kita ambil tema “Peran Jejaring dalam Meningkatkan Inovasi dan Daya Saing Bisnis”. Dengan terbangunnya jaringan ini diharapkan secara alami pada gilirannya nanti dapat terbentuk suatu forum iptek, dan untuk hal ini kami juga mencoba menawarkan suatu nama yang disebut “Forum Pengembangan Iptek Nasional”. Komitmen Pappiptek sebagai insitusi dalam mendorong dan memfasilitasi aktivitas dari Forum tersebut akan terus kami laksanakan, oleh karenaya pula kami dari Pappiptek telah mengukuhkan bahwa “Seminar Pengembangan Iptek Nasional” akan diselenggarakan secara rutin setiap tahun, yang kami perkirakan jatuhnya pada setiap bulan Oktober. Seminar tahunan ini kami declaresebagai “Forum Tahunan Pengembangan Iptek Nasional”. Untuk memudahkan dalam mengingat event ini kami coba cari kependekannya, rupanya ketika mencoba mengutak-katik kependekan dari bahasa Indonesia ternyata “tidak terlalu sedap untuk didengar, kurang nyaman untuk diucapkan”, maka kita coba ungkap pakai bahasa Inggris“Forum Tahunan Pengembangan Iptek Nasional” menjadi “Annual Forum for National Science and Technology Development” dan disingkat dengan “NSTD Forum” nampaknya agak sedikit nyaman baik terdengarnya maupun mengucapkannya. Sejak awal tahun ini, kami menyampaikan call for papers guna mengundang para pemakalah dari berbagai institusi baik pemerintah maupun organisasi swadaya masyarakat, perguruan tinggi negeri dan swasta, litbang pemerintah dan di industri yang mungkin tertarik dengan penelitian, pengkajian serta analisis yang terkait dengan kebijakan publik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi (iptekin). Masuk sebanyak 67 makalah setelah diseleksi yang memenuhi persyaratan dari segi lingkup subtansi dan pemenuhan kriteria publikasi makalah, tesaring sebanyak 34 makalah: 7 dipresentasikan melalui poster, dan 27 dipresentasikan secara oral. Yang dipresentasikan secara oral dilakukan pada sesi siang secara paralel. Secara garis besar subtansi yang dimuat dalam makalah-makalah tersebut terbagi pada 3 ruang lingkup. Untuk lingkup “Kebijakan Iptek, Manajemen Litbang dan Teknologi” terdapat 11 makalah. Untuk lingkup “Sistem dan Manajemen Inovasi” terdiri dari 10 makalah, dan kemudian untuk lingkup “Pengukuran Perkembangan Iptek dan Difusi adopsi Teknologi” terdapat 6 makalah. Sesi di pagi hari ini setelah nanti dibuka secara resmi oleh Professor Dr. Lukman Hakim, kemudian kita sama-sama mendengarkan “Keynote Address” yang akan disampaikan oleh Bapak Suharna Surapranata. Setelah itu kita langsung di ruangan ini mengikuti paparan tiga panelis: Pertama, Professor Dr. Ir. Zuhal Abdul Kadir yang akan menyampaikan materi yang v
terkait dengan langkah-langkah yang sekiranya harus dilakukan Indonesia guna mencapai cita-cita bangsa kita yang secara komprehensif tertuang dalam konsep MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Panelis ke dua, Dra. Nani Grace Berliana, M.Hum yang akan mengungkap data-data hasil survey dan olahan para peneliti Pappiptek terkait dengan status perkembangan R&D Iptek di Indonesia, dan panelis ke tiga Professor Dr. Erman Aminullah, M.Sc yang akan menyampaikan analisis dan simulasi dari data-data mengenai anggaran R&D secara nasional serta bagaimana implikasinya terhadap perkembangan pertumbuhan perekonomian kita pada jangka panjang. Ketiga paparan dari para panelis tersebut akan dipandu oleh seorang wartawan senior yang sudah tidak asing lagi bagi kita yaitu Dr. Ninok Leksono. Kami mohon dengan hormat kepada Professor Lukman Hakim, M.Sc, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, untuk berkenan membuka secara resmi kegiatan “Seminar pengembangan Iptek Nasional tahun 2011” ini. Kami penyelenggara mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Suharna Surapranata, Menteri Riset dan Teknologi atas kesediaanya dalam memberikan “keynote address”. Kepada seluruh hadirin, pemakalah, peserta dan para undangan kami tidak lupa menyampaikan permohonan maaf sekiranya terdapat kekurangan serta terdapat hal-hal yang membuat ibu dan bapak kurang nyamanselama penyelenggaraan seminar ini. Billahi Taufik Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, 10 Oktober 2011 Kepala Pusat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr. Ir. Husein Avicenna Akil, M.Sc.
vi
Sambutan Kepala LIPI
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera. Pertama-tama, kami mengucapkan selamat datang di Gedung LIPI dan terima kasih atas kesediaan waktu Bapak dan Ibu sekalian untuk berpartisipasi dalam acara yang penting ini. Seminar Pengembangan Iptek Nasional dengan tema : Peran Jejaring Dalam Meningkatkan Inovasi dan Daya Saing Bisnis, digagas oleh PAPPIPTEK-LIPI dengan maksud untuk memberikan kontribusi pada pemerintah dalam menjawab tantangan kemajuan iptek dan inovasi dunia. Peran jejaring adalah kata kunci dalam seminar ini, dengan adanya jejaring inovasi nasional akan berfungsi. Tanpa jejaring semua unsur, aktor dan stakeholders, inovasi yang terjadi tidak lebih dari agregat dan terjadi tanpa koordinasi, atau bahkan dapat dikatakan tanpa arah karena berjalan sendiri-sendiri. Isu jejaring ini revelan dengan situasi iptek Indonesia, yang saat ini sedang digerakkan dengan keterpaduan lintas bidang, lintas sektoral dan lintas disiplin dan merupakan jalan terobosan yang digagas oleh Komite Inovasi Nasional (KIN) khususnya untuk mencapai dan mewujudkan gagasan yang tertuang dalam MP3EI. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing suatu bangsa di setiap negara disebabkan oleh meningkatnya kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri. Salah satu faktor pendorong penting dalam kemajuan iptek adalah peran penelitian dan pengembangan (litbang), sosialisasi, difusi dan komersialisasi, baik yang dilakukan oleh institusi pemerintah, universitas maupun swasta atau industri. Laporan indikator iptek Indonesia 2009 yang diterbitkan oleh PAPPIPTEK LIPI memperlihatkan bahwa sejak awal dekade pembangunan, struktur industri manufaktur Indonesia didominasi oleh produk-produk dengan kandungan teknologi rendah dan kondisi ini tidak berubah sampai saat ini. Nilai output produk manufaktur dengan kandungan teknologi rendah pada tahun 2007 mencapai sekitar 53% dari total output industri manufaktur sekitar Rp. 1547 trilyun. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan nilai output produk manufatur dengan kandungan teknologi menengah rendah sebesar 21%, teknologi menengah tinggi sebesar 22% dan teknologi tinggi sebesar 5%. Hasil penelitian dan survei yang dilakukan PAPPIPTEK-LIPI juga menunjukkan bahwa proses pembelajaran teknologi belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, masalah umum yang dihadapi Indonesia adalah tidak terjadinya interaksi antara aktor yang terlibat dalam sistem inovasi iptek dan sektor produksi nasional. Hal ini menyebabkan sektor produksi nasional, terutama sektor industrinya menjadi kurang berkembang dan banyak tergantung pada aktor prinsipal asing untuk impor kebutuhan domestik. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses penciptaan, pengembangan dan pemanfaatan iptek di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang kita inginkan. Hadirin yang saya hormati, Salah satu hal yang penting untuk dapat mendorong inovasi dan kinerja ekonomi khususnya daya saing industri melalui peningkatan peran iptek adalah peningkatan interaksi antar aktor sistem iptek dan sistem produksi. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan interaksi tersebut antara lain melalui forum komunikasi dan kerjasama antara ilmuwan, perekayasa, praktisi di industri, serta masyarakat, dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam merumuskan kebijakan iptek. vii
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui berbagai Pusat penelitian yang ada termasuk PAPPIPTEK-LIPI berperan penting dalam intermediasi melalui aktivitas penelitian, pengembangan iptek. LIPI dapat memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring, kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka kemajuan litbang iptek dan advokasi ilmiah dalam kebijakan terkait. Perkembangan atau kemajuan iptek, inovasi dan difusinya dalam masyarakat memerlukan dukungan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Interaksi yang saling mendukung antara banyak pihak sangat diperlukan. LIPI sebagai lembaga yang memiliki fungsi tanggung jawab terhadap masyarakat LIPI turut berperan dalam menstimulasi terciptanya hubungan antara Akademisi, Pengusaha dan Pemerintah dapat terbangun dan terbina sehingga menghasilkan sinergi yang dapat mendukung Sistem Inovasi Nasional. Sebenarnya UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu fasilitas regulasi guna mendorong terciptanya inovasi nasional. Akan tetapi sampai saat ini fasilitas tersebut masih belum memberikan manfaat yang sangat nyata. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan dengan sangat jelas bahwa fungsi jaringan Iptek yakni untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan Iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar. Unsur-unsur yang dimaksud terdiri atas unsur kelembagaan, unsur sumber daya, dan unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ibu, Bapak serta undangan yang saya muliakan, Melalui Seminar Pengembangan Iptek Nasional: Peran Jejaring Dalam Meningkatkan Inovasi dan Daya Saing Bisnis, LIPI mengajak semua pemangku kepentingan bidang iptek untuk mempercepat dan memperkuat terbentuknya sinergi untuk mengembangkan inovasi dan kemajuan iptek di Indonesia. Kami berharap forum ini akan menjadi ajang berbagi pengetahuan dan pengalaman bagi semua peserta, yang akhirnya akan terwujud jejaring pengembang iptek nasional. Akhirnya, kami mengucapkan selamat berseminar, semoga menghasilkan rumusan dan usulan yang akan mempercepat terbentuknya sinergi untuk mengembangkan inovasi dan daya saing bangsa Indonesia. Dengan mengucap Bismillaahirrohmaanirohiim, Seminar Pengembangan Iptek Nasional tahun 2011 ini secara resmi saya buka. Wabillahitaufik Wal hidayah. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 10 Oktober 2011 Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Sc.
viii
Keynote Address oleh Menteri Riset dan Teknologi RI Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah menunjukkan dirinya sebagai faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, dan pada gilirannya iptek merupakan faktor yang sangat penting bagi kemakmuran suatu bangsa. Oleh karena itu, seluruh bangsa di dunia berupaya untuk mengembangkan iptek di negaranya masingmasing. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tidak banyak negara yang berhasil mengembangkan iptek bagi pertumbuhan ekonominya. Kita memang melihat Negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, China dan India berhasil mengembangkan iptek dan mendayagunakannya bagi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bangsanya. Tetapi kita juga melihat Negara seperti Meksiko, Argentina di Amerika latin dan Negara-negara Asia Selatan yang belum berhasil mendayagunakan iptek bagi pembangunan ekonoi. Barangkali, kita pun harus melihat bangsa kita sebagai bangsa yang masih perlu terus berjuang menempuh perjalanan pangang mengembangkan iptek bagi pembangunan bangsanya. Kita telah cukup banyak mengeluarkan investasi pengembangan iptek sejak tahun 1970-an. Pembangunan puspiptek di Serpong pada tahun 1978 merupakah salah satu bukti dari tekad kita untuk mengembangkan iptek dan mendayagunakannya bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Kita telah membangun dan terus mengembangkan berbagai lembaga iptek. Kita juga telah merancang dan mengimplementasikan cukup banyak program dan kebijakan pengembangan iptek. Trilyunan rupiah telah kita investasikan. Namun pada kenyataannya, perkembangan iptek di Indonesia belum mencapai tingkat yang kita inginkan. Berbagai indikator perkembangan iptek menunjukkan bahwa kita masih belum berhasil mengembangkan dan mendayagunakan iptek bagi pertumbuhan ekonomi. Perekonomian kita masih sangat didominasi oleh sektor-sektor yang berkandungan teknologi rendah. Jumlah paten dihasilkan masih sangat sedikit; sebagian besar paten yang terdaftar di kantor paten Indonesia adalah paten yang berasal dari luar negeri. Demikian pula, pengukuran perkembangan iptek oleh berbagai lembaga internasional dengan menggunakan berbagai indeks mengindikasikan ketertinggalan kita. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa persepsi para pelaku industri terhadap peran iptek masih sangat rendah. Keadaan ini tentunya menuntut kita untuk bekerja lebih keras lagi. RPJMN 2010-2014 telah menetapkan bahwa strategi pengembangan iptek ditekankan pada dua strategi utama yang diharapkan akan menghasilkan iptek yang relevan dan berdayaguna bagi penyelesaian masalah masyarakat dan industry. Kedua strategi tersebut adalah penguatan sistem inovasi nasional dan peningkatan penelitian, pengembangan dan penerapan iptek di tujuh bidang prioritas. Upaya memperkuat sistem inovasi nasional mencakup penguatan kelembagaan iptek, sumber daya iptek dan jaringan iptek. Dalam kaitan dengan penguatan sistem inovasi nasional ini, Saya menyambut gembira diselenggarakannya Forum Perkembangan Iptek yang kali ini mengambil tema “Peran Jejaring dalam Meningkatkan Inovasi dan daya saing bisnis’. Tema ini selaras dengan upaya pemerintah untuk memperkuat sistem inovasi nasional dengan diantaranya memperkuat jaringan iptek. Saya berharap bahwa diskusi dalam forum ini dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan pemahaman serta rekomendasi nyata bagi upaya penguatan jejaring iptek di Indonesia. ix
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, 10 Oktober 2011 Menteri Riset dan Teknologi RI Drs. Suharna Surapranata, MT.
x
PERSIDANGAN UTAMA
1
MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) DAN IMPLEMENTASINYA Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Kadir M.Sc.EE Ketua Komite Inovasi Nasional
1. PARADOKS PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA Indonesia, negara kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke dan berpenduduk hampir 250 juta jiwa, dalam laporan IMF tahun 2011, masuk ke dalam salah satu negara yang tergabung dalam G-20 dan berada di urutan 18 sebelum Switzerland. Tentu hal ini menggembirakan bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara di antara 4 negara di Asia lainnya, yakni China, Jepang, India dan Korea Selatan. Namun, di satu sisi terjadi peningkatan jumlah pengangguran intelektual berpendidikan diploma, akademi, dan sarjana di antara total pengangguran di Indonesia dalam kurun waktu 2000 – 2008. Secara tidak langsung, peningkatan penggangguran intelektual ini berpengaruh pada merosotnya index Knowledge Economy Indonesia pada tahun 2007 di peringkat 91, menjadi peringkat 103 pada tahun 2010. Alhasil, kondisi ini juga berdampak pada kemerosotan daya saing Indonesia pada tahun 2010 di peringkat 35, menjadi peringkat 37 pada tahun 2011. Apa jalan keluar dari situasi paradoks ini? Tak lain adalah perbaikan infrastruktur pendidikan dan perbaikan infrastruktur penelitian dan pengembangan (litbang). Berdasarkan laporan IMF tahun 2011, perbaikan infrastruktur ilmu pengetahuan meningkat dari peringkat 48 pada tahun 2010 menjadi peringkat 47 pada tahun 2011, dan perbaikan infrastruktur pendidikan dari peringkat 55 pada tahun 2010 menjadi peringkat 53 pada tahun 2011. Keadaan infrastruktur IPTEK yang menggembirakan ini menjadi modal dasar untuk pengurangan pengangguran intelektual sekaligus mengungkit daya saing Indonesia, melalui pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bernilai tambah. Semua ini dapat dibuktikan melalui peningkatan jumlah publikasi dan paten Indonesia yang beberapa tahun terakhir belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Daya saing Indonesia saat ini (2010) merupakan tahap transisi menuju “efficiencydriven economies”. Daya saing kita perlu terus ditingkatkan terutama melalui penguatan sistem pendidikan (human capital), kesiapan teknologi (technological readiness), dan inovasi. Penguatan kriteria-kriteria yang dianjurkan oleh World Economic Forum itu sangat diperlukan pada saat memasuki tahap “innovation-driven economies”. 2. INFRASTRUKTUR LITBANG Salah satu wahana agar terjadi sirkulasi ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian untuk terciptanya kreasi dan inovasi yang meningkatkan nilai tambah pertumbuhan ekonomi adalah Science and Technology Park yang di dalamnya terdapat fasilitas inkubator teknologi untuk menampung gagasan-gagasan invensi dari para pelaku riset di perguruan tinggi maupun di industri. Contoh baik Science and Technology Park yang 2
bisa dipelajari adalah Zhungguanchun Science Park di Beijing, di mana telah tercipta 12.000 high-tech company dengan 500.000 pekerja ahli yang terintegrasi dengan Tsinghua University dan Peking University. Bahan bakar dari aktivitas riset ini berwujud anggaran litbang 1,49% PDB (2007) yang akan meningkat menjadi 2,5% PDB (2020). Science and Technlogy Park yang nantinya menjadi tempat penajaman pola pikir dan pola sikap inovasi di kalangan ilmuwan dan birokrat dapat dikatakan berhasil apabila terpenuhinya target-target berikut ini: -
Perencanaan kegiatan, proyek, dan program yang berkenaan dengan penelitian, pengembangan, perekayasa, implementasi kebijakan, dan pengawasan serta penilaiannya sudah memasukkan unsur-unsur inovasi, yakni: (a) mobilitas ilmuwan dan birokrat yang fleksibel di bidang sains, teknologi dan humaniora; (b) pelatihan berkala; (c) kesigapan mengadopsi dan mengadaptasi serta menciptakan ilmu dan metoda baru; (d) kolaborasi penelitian, pengembangan, dan rekayasa (litbangyasa) universitas-industripemerintah hingga ke penetrasi pasar dan usulan paten bersama; (e) sistem procurement yang berpihak kepada penciptaan “advanced technology products”; dan (f) alokasi anggaran yang memadai untuk membiayai unsur (a), (b), (c), (d), dan (e).
-
Terdapat sejumlah innovator yang berhasil mendaftarkan Intellectual Property Right (IPR) dan menjual lisensi dari IPR-nya.
-
Terdapat kapasitas, kreativitas, dan inovasi baik di skala kecil (inovasi kecil di tingkat individu dan organisasi) namun bersifat massal – skala menengah (inovasi menengah di tingkat wilayah) – skala besar (inovasi besar di tingkat nasional). 3.
PERANAN KIN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI MASA DEPAN
Penajaman pola pikir seperti di atas merupakan peran kunci Komite Inovasi Nasional (KIN). Sistem Perencanaan dan Penganggaran dijalankan berdasarkan UU no 25/2004 dan UU no 17/2003 yang kemudian dapat diturunkan dalam bentuk RPJPN, RPJM, dan RKP/RAPBN pertahun. Master Plan Percepatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam pelaksanaannya dijabarkan dalam bentuk program dan proyek-proyek. Khusus untuk MP3EI, terdapat tiga tujuan utama yaitu: 1. Penguatan Koridor Ekonomi Indonesia 2. Penguatan Konektivitas Nasional 3. Mempercepat Kemampuan IPTEKNAS (SDM, Inovasi) Ketiga tujuan utama ini bersama RPJPN dapat dilakukan secara simultan dengan melibatkan KIN sebagai think tank dalam menentukan konten inovasi negara sehingga tercapai sebuah MP3EI yang konvergen dan fokus dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Adapun peranan KIN dalam koridor MP3EI adalah: 1.
KIN telah memasukkan kebutuhan pengembangan inovasi dalam koridor ekonomi Indonesia (MP3EI).
2.
Hal tersebut dimaksudkan agar seiring dengan terjadinya percepatan pembangunan di masing-masing koridor, dapat pula ditingkatkan kemampuan sumber daya manusia baik akademis dan tenaga terampil untuk menghindari terjadinya kasus seperti Freeport di Papua.
3.
Penguatan universitas dan lembaga pendidikan serta industri untuk mendukung terbentuknya human capital yang dapat mendukung setiap koridor ekonomi. 3
4.
Untuk itu akan dilakukan sosialisasi menemui para aktor inovasi di masingmasing koridor melalui kunjungan 30 anggota KIN yang akan disebar di masing masing koridor.
5.
Kepada Menteri Keuangan kami mengharapkan dukungan tersedianya sistem keuangan ventura di setiap koridor ekonomi yang mudah diakses.
Peningkatan produktivitas menuju keunggulan kompetitif akan dicapai seiring dengan upaya memperkuat kemampuan SDM berbasis Iptek. Warisan ekonomi berbasis sumber daya alam yang bertumpu pada labor intensive perlu ditingkatkan secara bertahap menuju human capital intensive ketika memasuki Tahap Ekonomi Berbasis Inovasi. Inisiatif Presiden 1-747 menjadi pendorong utama terjadinya proses transformasi sistem ekonomi berbasis inovasi melalui penguatan sistem pendidikan (human capital) dan kesiapan teknologi (technological readiness). Proses transformasi tersebut memerlukan input pendanaan litbang yang terus ditingkatkan. Komite Inovasi Nasional mengusulkan kepada Presiden usulan Inisiatif Inovasi 1747 yang intinya mengalokasikan dana sebesar 1 persen dari PDB yang terus ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan pemerintah beserta partisipasi swasta di antaranya skema venture capital, angel capital, dan corporate social responsibility. Selanjutnya, pendanaan program litbang ini ditingkatkan secara bertahap sampai dengan 3% PDB menuju tahun 2025. Pelaksanaannya dilakukan melalui tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, sedangkan prosesnya dilakukan dengan menggunakan empat wahana percepatan pertumbuhan ekonomi sebagai model penguatan aktor-aktor inovasi yang dikawal dengan ketat. Dengan demikian diharapkan tujuh sasaran visi Indonesia 2025 akan dapat tercapai sehingga menjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 4. MODEL-MODEL INOVASI Sebenarnya Indonesia sudah memiliki banyak komponen pendukung inovasi, tetapi semuanya belum tertata dalam satu ekosistem inovasi. Komponen-komponen tersebut masih terkotak-kotak di dalam sektor yang berdiri sendiri. Beberapa faktor strategis yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh antara lain: bidang pendidikan, peningkatan sistematika dan etos kerja, sosial budaya, harmonisasi kebijakan, dan aspek pendanaan. Pendanaan litbang dan infrastruktur iptek Indonesia masih relatif sangat kecil di banding negara Asia lainnya. Untuk itu, upaya merasionalisasi anggaran litbang merupakan tantangan tersendiri yang harus diiringi oleh upaya kreatif dan inovatif di bidang penelitian dan pengembangan. Selama pendanaan litbang kita masih lemah dan indikator competitiveness (berdasarkan World Economic Forum meliputi indeks kesiapan teknologi dan indeks inovasi) kita masih rendah, perlu peningkatan untuk mengejar ketertinggalan. Penguatan ekosistem inovasi dapat dilakukan dengan pendekatan top down yang mengandalkan peranan pemerintah, serta pendekatan bottom up dengan mengerahkan partisipasi masyarakat. Subsidi BBM sekitar Rp 100 triliun setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan listrik perlu dikurangi dengan memanfaatkan comparative advantage kita yang paling banyak dengan menggunakan sumber cahaya matahari, panas bumi, angin, dan lain-lain. Karena itu diperlukan kebulatan tekad untuk melakukan investasi guna menghasilkan teknologi energi alternatif seperti solar cell dan baterai yang dibuat dan 4
dikembangkan dengan menggunakan SDM dan teknologi dalam negeri (memaksimalkan konten lokal yang tinggi). BYD (perusahaan high-tech Cina) mempunyai program untuk mewujudkan kota impian green city solution dengan merekayasa zero emission eco system dimulai dengan memperkuat teknologi solar cell dan energy storage dan program 13.000 sarana green transportasi umum dengan subsidi pemerintah Cina. Subsidi BBM sebagian dialihkan untuk mengembangkan riset untuk mengembangkan green technology. Rintisan ke arah itu telah dilakukan ketika kami bersama dengan kepala BKPM berkunjung ke Shenzen tahun 2011 yang menghasilkan rintisan kerja sama berbentuk MOU antara perusahaan tersebut dengan PT Inti dan BPPT dengan tujuan mengembangkan teknologi di atas di Indonesia. Seperti dimaklumi saat ini, program-program litbang maupun pendanaannya tersebar di seluruh jajaran litbang baik LPNK, kementerian, maupun perguruan tinggi (Diknas). Hal tersebut mengakibatkan tidak fokusnya program inovasi sehingga tidak menghasilkan Riset Unggulan Inovasi Nasional (RUIN) yang dapat menghasilkan produk inovasi untuk memenuhi kebutuhan bangsa dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Meskipun Menristek diberi wewenang untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan riset strategis nasional sesuai dengan Inpres No. 4 Tahun 2003, namun karena mekanisme pendanaan litbangnya tersebar seperti disebutkan di atas, RUIN tidak dapat diwujudkan. Oleh sebab itu, dalam rapat-rapat kordinasi KP3EI telah diusulkan untuk menghilangkan sekat-sekat ego sektoral dengan mengefektifkan koordinasi terpadu baik program maupun anggaran dalam satu tatanan manajemen litbang melalui kordinasi Kemenristek berkolaborasi dengan kementerian teknis terkait. Dalam forum KP3EI, KIN sudah mengusulkan agar mulai diarahkan untuk mengalokasikan 40% pendanaan litbang yang tersebar difokuskan untuk mendukung program-progam RUIN. Perlu sistem regulasi dan insentif yang menunjang penajaman pola pikir dan pola sikap inovasi di kalangan ilmuwan dan birokrat serta yang menumbuhkan sistem nilai yang berorientasi proses inovasi melalui pendidikan, pembelajaran dan pembudayaan sedari dini, sehingga masyarakat Indonesia dapat mencintai produk dan jasa yang dihasilkan dari inovasi dalam negeri. Sistem regulasi dan insentif yang dibutuhkan antara lain: a. b.
c.
Peninjauan ulang dan penajaman fokus PP No. 35. Sosialisasi dan implementasi UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas P3 Iptek). Mendorong kegiatan penemuan/penciptaan HAKI atau kegiatan inovasi.
d.
Penyusunan RPP Perlisensian (yang sebenarnya sudah diperintahkan antara lain oleh UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten), dan mengatur pemberian bagian penerimaan royalti yang diterima oleh penemu/pencipta HAKI dan inovator.
e.
Melengkapi Juklak dan Juknis PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi untuk merealisasikan keberpihakan pada pelaku Alih Teknologi.
f.
Menyiapkan Instruksi Presiden tentang Gerakan Aku Cinta Inovasi Indonesia.
g.
Menyiapkan Peraturan Pemerintah mengenai Pembiayaan Co-Sharing Infrastruktur Iptek antara Pemerintah Pusat–Pemerintah Daerah–Industri Telekomunikasi sebagai produk hukum dari UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 22 Tahun 1999.
h.
Menyiapkan Peraturan Pemerintah berupa Tax Credit bagi Industri Perbankan yang mau mendanai Infrastruktur Iptek sebagai bagian dari Program 5
Corporate Social Responsibility, serta Tax Credit bagi start-up company yang merintis komersialisasi atas produk dan jasa hasil inovasinya untuk periode tertentu. 5. PENUTUP Kunci utama langgengnya suatu prakarsa yang bersifat inovatif adalah adanya penghargaan dan penerimaan yang kontinu dari masyarakat terhadap produk dan jasa hasil litbangyasa karya dalam negeri. Produk dan jasa hasil litbangyasa ini dapat berupa upaya imitasi-adopsi-adaptasi dari produk dan jasa hasil litbangyasa luar negeri, namun dengan penjaminan mutu yang berstandar internasional dan terukur. Pada saat proses imitasi-adopsi-adaptasi ini berlangsung, seyogyanya pemerintah mengawalnya dengan serangkaian regulasi dan insentif (program ‘stick and carrot’) atas ide kreatif, kolaborasi litbangyasa antara akademisi-bisnis-pemerintah, serta komersialisasinya. Sebagai contoh, kendaraan roda empat hasil litbangyasa putera bangsa seyogyanya diproduksi dan dijual di dalam negeri yang diberi perlindungan dengan status perusahaan ‘milik negera’. Ketika kendaraan roda empat ini terjual melampaui critical mass-nya, perusahaan ’milik negara’ ini dijual sahamnya kepada publik (initial public offering) melalui bursa saham. Suatu sistem regulasi dan insentif di bidang perpajakan yakni pajak bea impor, pajak pertambahan nilai, dan pajak produksi lainnya yang rendah, diperkirakan dapat menekan biaya produksi suatu karya litbangyasa dalam negeri sehingga dapat terjual dengan harga yang terjangkau di masyarakat. Jika produk dan jasa hasil inovasi dijual di dalam negeri dengan harga yang terjangkau (melalui quasi-proteksi) dan jaminan mutu terbaik, kecintaan masyarakat terhadap barang dan jasa dalam negeri akan makin meningkat, dan lapangan kerja di sektor industri yang mengandalkan aktivitas litbangyasa yang bernilai tambah dalam proses produksinya akan makin luas terbuka.
6
DINAMIKA DANA RISET NASIONALDAN PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA JANGKA PANJANG Erman Aminullah
[email protected];
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 1. PENGANTAR Makalah ini membahas perubahan dalam fungsi waktu, khususnya penurunan berkelanjutan intensitas riset nasional dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi pada masa lampau, dan kemungkinannya ke depan. Pembahasan akan menjelaskan dinamika dana riset nasional dalam perspektif sistem ekonomi. Disini sistem ekonomi dianalogikan sebagai sebuah sistem tubuh manusia yang kompleks adaptif (HCAS= Human Complex Adaptive System).1 Dalam sistem ini, dana riset nasional untuk inovasi teknologi adalah unsur sistem dan menyatu (embedded) dalam interaksi sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, penurunan berkelanjutan intensitas riset nasional akan dijelaskan dari pola dan mekanisme interaksi di dalam sistem itu sendiri. Sistem di atas berbentuk sebuah model ekonomi sebagai HCAS, yang penulis sebut “model EDTI” (Economic Dynamics Through Innovation).2 Model dipakai sebagai alat untuk menjelaskan mekanisme yang menyebabkan penurunan berkelanjutan intensitas riset nasional. Disamping itu, model juga dipakai sebagai alat untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan perkembangan ke depan jangka panjang. Makalah ini disusun sebagai makalah kebijakan (policy paper) yang berisi alternatif solusi masalah berdasarkan analisis ilmiah. Urutan uraian adalah sebagai berikut: realitas, masalah, analisis, solusi alternatif, dan kesimpulan. 2. REALITAS Secara umum, ekonomi Indonesia tetap tumbuh meskipun pembiayaan riset nasional terus menurun dalam periode 1990-2010. Hal ini ditunjukkan oleh intensitas riset nasional (R&D/PDB) turun dari 0.13% (1990) menjadi 0.08% (2010), dimana sektor pemerintah menyumbang 85% dari total pembiayaan riset nasional. Sebaliknya dalam periode yang
1
Ide dasar ekonomi sebagai HCAS adalahkerja ekonomi yang dianalogikan sebagai sebuah sistem tubuh manusia yang kompleks adaptif. Iniadalah sudut pandang berbasis ilmu hayat (life science) yang berkembang sejak tahun 1990-an, sebagai alternatif terhadap sudut pandang berbasis ilmu fisika (physics) yang menganalogikan kerja ekonomi sebagai mesin mekanis. Untuk penjelasan bangunan model EDTI sebagai HCAS, lihat E. Aminullah (2007), “Long-term Forecasting of Technology and Economy in Indonesia”, Asian Journal of Technological Innovation, 15(1)2007:1-20.
2
Model EDTI dalam makalah ini adalah penyempurnaan model EDTI yang pernah dipublikasikan pada tahun 2007. Untuk penyempurnaan model lihat Lampiran 1.
7
sama, PDB dalam harga berlaku telah naik 30 kali lipat atau dalam harga konstan tumbuh rata-rata sebesar 7% sebelum krisis dan sekitar 5% setelah krisis ekonomi 1997. Realitas diatas menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang relevan dikaitkan dengan: i) intensitas R&D di sektor swasta yang sangat rendah; dan ii) kegiatan R&D pemerintah yang jarang sekali menghasilkan inovasi komersial. Realitas di atas mengukuhkan sebuah pernyataan bahwa di Indonesia peningkatan kemampuan ekonomi untuk tumbuh bersumber dari inovasi hasil pembelajaran melalui “pengalaman” informal dan bukan melalui “kegiatan ilmiah” formal. Beberapa hasil penelitian terdahulu, misal Ricardo (2009), Riyanto (2009), dan Aminullah (2011) mendukung bahwa umumnya inovasi di sektor riil cenderung terjadi sebagai hasil: i) pembelajaran melalui pekerjaan di lantai produksi (learning by doing); ii) pembelajaran melalui pemakaian mesin, peralatan dan sistem produksi (learning by using); dan, ii) pembelajaran melalui interaksi dengan pemakai, pemasok, dan perusahan induk dalam perancangan modifikasi produk serta proses produksi (learning by interaction). Masalah Berangkat dari realitas, perilaku intensitas riset (R&D/PDB) nasional yang mantap turun terus selama 30 tahun (1980-2010). Pertama, keadaan ini dapat dipandang sebagai “keniscayaan”, artinya penurunan intensitas riset adalah hal normal. Pertanyaannya adalah: i) keadaan apa yang telah menciptakan keniscayaan itu; dan, ii) apa kemungkinan kejadian lanjutan ke depan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan dibahas padabagian 4: analisis. Kedua, kejadian ini juga dapat dipandang sebagai “keanehan”, artinya penurunan intensitas riset nasional adalah hal tidak normal. Pertanyaannya adalah: i) bagaimana mengubah keadaan ke depan; dan, ii) apa kemungkinan kejadian harapan dengan perubahan itu. Jawaban terhadap pertanyaan ini akan dijelaskan padabagian 5: solusi alternatif. Analisis Analisis terhadap keadaan yang telah menciptakan keniscayaan intensitas riset (R&D/PDB) nasional turun terus selama 30 tahun adalah sebagai berikut. Ada tiga keadaan sebagai unsur pembentuk keniscayaan, yaituinvestasi R&D swasta, industri low and medium technology (LMT), dan perhatian pemerintah. Pertama, sektor swasta umumnya tidak tertarik menginvestasikan kembali hasil penigkatan produksi dalam kegiatan R&D. Pada umumnya, sektor swasta sudah dapat meningkatkan produktivitas meskipun tanpa dukungan fasiltas dan kegiatan R&D. Hal ini ditunjukan oleh efek peningkatan produksi terhadap investasi riset swasta selalu kecil sekali atau tidak berefek dalam simulasi model. Hasil estimasi model EDTI menunjukkanbahwa pada tahun 2010, belanja riset sektor swasta diperkirakan hanya sekitar Rp 800 milyar atau 0,013% PDB yang berjumlah sekitar Rp 6,5 ribu triliun. Kedua,sektor industri di Indonesia didominasi oleh produk berteknologi rendah dan menengah (LMT) dan tidak memerlukan R&D. Dalam periode 1998-2007, sekitar 65-70% hasil industri di Indonesia adalah produk berteknologi rendah seperti produk makanan, minuman, tembakau, produk tekstil dan barang dari tekstil, kulit dan barang dari kulit, kayu dan barang dari kertas, karet dan barang dari plastik, logam dan barang dari logam. Industri berteknologi menengah yang menyumbang 25-30% produk industri hanya sebagian kecil melakukan R&D dan dalam intensitas rendah. Bahkan pada industri berteknologi menengah seperti kendaraan bermotor hampir tidak melakukan R&D sendiri sebagai sumber inovasi. Umumnya R&D dilakukan oleh perusahaan induk. Ketiga,sepanjang tahun 1980-2010 terjadi penurunan perhatian pemerintah terhadap iptek sehingga prioritas iptek yang sudah rendah semakin rendah dalam anggaran pemerintah. Pada tahun 1980-an, anggaran iptek berkisar 2,5% dari total anggaran 8
pemerintah, selanjutnya tahun 1990-an menurun menuju angka sekitar 0,5% dari total anggaran pemerintah, kemudian sejak tahun 2000-an sampai sekarang anggran iptek tetap sekitar 0,5% dari total anggaran pemerintah. Hal ini berbeda dengan perhatian Cina terhadap iptek yang tetap tinggi selama 30 tahun terakhir, dengan anggaran iptek 4-5% dari total anggaran pemerintah Cina. Tiga keadaan tersebut telah menyumbang dalam membentuk keniscayaan penurunan intensitas riset (R&D/PDB) di Indonesia. Apabila keniscayaan ini berkelanjutan, kemungkinan keadaan iptek dalam perspektif ekonomi Indonesia ke depan adalah sebagai berikut. Pertumbuhan per tahun anggaran riset nasional adalah 14% (2010-2015), 23% (2015-2020), dan 19% (2020-2025). Dengan pertumbuhan tersebut, jumlah anggaran riset nasional akan mencapai masing Rp 12 triliun, Rp 45 trilun dan Rp 134 triliun pada tahun 2015, 2020 dan 2025. Dengan demikian, intensitas riset nasional (R&D/PDB) akan naik perlahan sekali 0,09% (2015), 0,17% (2020) dan 0,3% (2025). Pada tahun 2035, intensitas riset nasional mencapai 0,38 PDB. Lihat Gambar 1. Kemudian dana riset sektor swasta diperkirakan akan tumbuh rata-rata pertahun 16%, 25%, dan 22% pada periode 2010-2015, 2015-2020 dan 2020-2025. Sehingga jumlah dana riset swasta akan mencapai Rp 2,2 triliun (2015), Rp 9,2 triliun (2020), dan 32,5 triliun (2025). Sumbangan dana riset swasta meningkat perlahan dari 16% (2010) menjadi 18% (2015), 21% (2020) dan 24%(2025). Pada tahun 2035 meningkat menjadi 34%. Dalam skenario normal, ekonomi niscaya akan tetap tumbuh meskipun perhatian terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi melalui R&D tetap seperti sekarang. Hasil simulasi skenario normal tentang perekonomian Indonesia memperkirakan keadaan berikut: PDB perkapita akan mencapai US$ 11.000 pada tahun 2020, US$ 17.000 pada tahun 2025, dan US$ 35.000 tahun 2035. Pada tahun 2025, jumlah PDB Indonesia sekitar US$ 5 triliun.3 Lihat Gambar 2.
3
MP3EI memperkirakan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan PDB per kapita berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dan jumlah PDB berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun (Kantor Menko Ekuin, MP3EI, hal 15).
9
Gambar 1. Simulasi Pembiayaan Riset Nasional 1990-2035, Skenario Normal
10
Gambar 2. Simulasi Pertumbuhan PDB, Pembentukan Modal dan Konsumsi Swasta 1990-2035, Skenario Normal Skenario pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dengan peranan iptek domestik masih rendah tersebut adalah keadaan yang tidak sehat. Ekonomi dengan PDB yang besar dan kapasitas inovasi yang rendah rentan krisis. Ini klaim dari model EDTI sebagai HCAS, yaitu tubuh (ekonomi) yang besar tetapi kurang gizi (teknologi) rentan penyakit (ketidakseimbangan/ketimpangan dan krisis). 5. SOLUSI ALTERNATIF Sekarang realitas penurunan intensitas riset selama 30 tahun dilihat sebagai hal yang tidak normal dan perlu langkah perbaikan ke depan. Disini reinvestasi hasil produksi dalam R&D swasta adalah solusi alternatif untuk perbaikan berdasarkan simulasi model EDTI.4 Langkah alternatif yang diperlukan untuk mendorong investasi R&D swasta adalah penerapan konsep penggandaan kapasitas absorpsi.5 Tindakan yang diperlukan dalam 4
Penelusuran melalui simulasi model EDTI menemukan penyebab mendasar rendahnya intensitas riset nasional adalah: sudah terpolaselama 30 tahun, umpanbalik kecil sekali dari output berbentuk nilai produksi kembali ke inputberbentuk investasi R&D pada sektor riil dalam perekonomian Indonesia.
5
Esensi konsep ini dalam model EDTI adalah “umpanbalik positif komplementer” yaitu hubungan saling memperkuat dan melengkapi, antara inovasi dengan R&D di lembaga pemerintah dan inovasi dengan pengalaman produksi di sektor swasta, untuk menghasilkan penggandaan kapasitas absorpsi (multiplying absorptive capacity)inovasi,baik dengan R&D maupun didukung pengalaman produksi.
11
bingkai konsep ini adalah: fleksibilitas modal intelektual untuk industri LMT, peningkatan pembelajaran inovasi IKM unggulan, dan pembentukan lingkungan inovasi yang kondusif. Kemudian dilanjutkan dengan prakarsa memacu riset dasar untuk pengembangan industri unggulan masa depan berbasis ilmu hayat. Pertama, fleksibiltas modal intelektual untuk industri LMT (Low and Medium Technology), yaitu memfasilitasi mobilitas keahlian antara lembaga riset pemerintah dengan industri LMT. Interaksi melalui pertukaran modal intelektual ini saling melengkapi, yaitu: i) lembaga riset pemerintah mengisi keterbatasan keahlian di industri LMT dalam melakukan inovasi berdasarkan R&D; dan ii) industri LMT berbagi pengalaman dengan lembaga riset pemerintah tentang dunia produksi yang kompleks. Interaksi dua kemampuan ini akan saling mendorong agar inovasi sektor pemerintah tetap relevan dengan dunia produksi dan inovasi di industri LMT dapat berkembang dengan R&D. Selanjutnya untuk lebih memacu peningkatan R&D di industri yang sudah berjalan baik, industri LMT domestik perlu didorong naik kelas mejadi LMT multinasional (MNC) dengan berbagai insentif fiskal dan keuangan. Kedua, peningkatan pembelajaran inovasi IKM unggulan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu memfasilitasi peningkatan inovasi IKM, yang semula berdasarkan pengalaman produksi bergeser menjadi berdasarkan R&D bantuan pemerintah (upgrading grant). Interaksi melalui R&D bantuan pemerintah ini saling melengkapi, yaitu: i) hasil inovasi berdasarkan R&D di lembaga riset pemerintah adalah sebagai penyedia inovasi IKM; dan ii) inovasi berdasarkan pengalaman produksi IKM sebagai sumber informasi untuk inovasi berdasarkan R&D di lembaga riset pemerintah. Kemudian pemda kabupaten/kota memfasilitasi prokuremen produk IKM inovatif unggulan ini pada masing-masing daerah, misal melalui koperasi-koerasi pegawai pemda, dengan target IKM inovatif berdasarkan pengalaman bergeser menjadi IMB (industri menengah besar) inovatif berdasarkan R&D di setiap daerah di Indonesia. Dengan demikian, inovasi dengan R&D oleh IMB dan menyebar di setiap daerah dalam jangka panjang untuk mendukung pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional (inclusive growth).6 Ketiga, pembentukan lingkungan inovasi yang kondusif untuk mendukung penggandaan kapasitas absorpsi inovasi di sektor riil. Ketersediaan kelembagaan ilmiah yang berkompeten, kelembagaan ekonomi yang efisien, dan kelembagaan sosial yang terpercaya adalah lingkungan yang mendukung absorpsi inovasi di sektor rill dan difusi inovasi dalam masyakarakat. Contoh kegagalan akibat lingkungan inovasi yang tidak kondusif adalah sebagai berikut: penggandaan kapasitas absorpsi akan gagal dengan tenaga, sarana dan prasarana iptek yang kurang berkualitas, pengelolaan riset yang tidak transparan, penghargaan yang rendah dengan ketimpangan yang tinggi, serta aparat negara yang korup. Langkah penggandaan kapasitas absorpsi inovasi tersebut diperkirakan akan menunjukkan hasil peningkatan R&D industri LMT dan IKM dalam jangka menengah, yaitu setelah lima tahun ke depan. Peningkatan R&D swasta secara berarti mulai terjadi setelah tahun 2017 yang mencapai 0,6% PDB pada tahun 2025 dan sebesar 0,96% PDB pada tahun 2035. Sedangkan intensitas riset nasional mencapai 0,8 %PDB (2025), 1 %PDB (2030), dan diperkirakan 1,2%PDB tahun 2035.7 Lihat Gambar 3.
6
Langkah solusi melalui penggandaan kapasitas absorpsi inovasi untuk pemerataan pembangunan ekonomi dalam model ini sejalan dan mendukung inisiatif inovasi 1-747 MP3EI tentang pembentukan “Klaster Inovasi Daerah untuk Pemerataan Pertumbuhan”.
7
Pencapaian intensitas riset nasional 1%PDB (2030) dalam model ini masih sangat jauh dibawah target inisiatif inovasi 1-747 MP3EI sebesar 1%PDB (2014). Artinya disamping solusi alternatif dari model ini,diperlukan tambahan langkah solusi “terobosan” lainnya untuk mendukung capaian MP3EI.
12
Gambar 3. Simulasi Pembiayaan Riset Nasional 1990-2035, Skenario Moderat Keempat, pengembangan industri unggulan masa dapan berbasis ilmu hayat dengan mendorong riset dasar, dimana Indonesia mempunyai: i) keunggulan komparatif, yaitu keragaman kekayaan hayati dan nabati di laut dan di darat; dan ii) infrastruktur iptek sebagai pendukung di Cibinong Science Center (CSC) sudah tersedia untuk dipacu kemajuannya. Program penelitian dalam CSC perlu diarahkan untuk pengembangan industri unggulan masa depan. Industri unggulan masa depan bukan menciptakan industri baru sama sekali, tetapi berdasarkan industri yang sudah dirintis dan sedang dikembang di Indonesia. Dengan demikian, program dan pelaksanaan riset CSC perlu bekerjasama dengan industri terkait. Pemerintah mendorong riset kerjasama dengan bantuan dana riset jangka panjang 5-10 tahun (multi years) dan dalam jumlah yang mencukupi (bukan kecil-kecilan) untuk mencapai hasil. Langkah pengembangan industri unggulan masa depan berbasis ilmu hayat ini diperkirakan akan menunjukkan hasil peningkatan R&D industri berbasis ilmu hayat (life science based-industry) dalam jangka panjang, yaitu setelah 10 tahun ke depan. Langkah ini diperkirakan akan meningkatkan R&D swasta setelah tahun 2025sehingga intensitas riset swasta akan mencapai 1%PDB dan intensitas riset nasional mencapai 1,3%PDB pada tahun 2035. Lihat Gambar 4.
13
Gambar 4. Simulasi Pembiayaan Riset Nasional 1990-2035, Skenario Optimis 6. KESIMPULAN Penurunan berkelanjutan intensitas riset nasional dalam jangka panjang masa lampau secara empiris disebabkan oleh tiga hal: investasi R&D swasta yang sangat rendah, jumlah terbesar industri adalah LMT yang tidak memerlukan riset, dan perhatian pemerintah terhadap iptek yang menurun. Jika keadaan ini berlanjut, hasil simulasi model EDTIskenario normal memperkirakan intensitas riset masih sekitar 0,3%PDB pada tahun 2025 dan meningkat pelan menjadi 0,38% PDB pada tahun 2035. Untuk peningkatan intensitas riset nasional ke depan perlu didorong reinvestasi hasil produksi dalam R&D swasta. Langkah-langkah alternatif yang diperlukan untuk mendorong investasi R&D swasta ke depan adalah: i) fleksibilitas modal intelektual untuk industri LMT; ii) peningkatan pembelajaran inovasi IKM unggulan; iii) pembentukan lingkungan inovasi yang kondusif; dan iv) pengembangan industri unggulan masa depan berbasis ilmu hayat. Tiga langkah pertama esensinya adalah penerapan konsep penggandaan kapasitas absorpsi inovasi untuk mendukung pemerataan pertumbuhan ekonomi (inclusive growth). Hasil simulasi model EDTIskenario moderat dengan asumsi penerapan konsep penggandaan kapasitas absorpsi inovasi, memperkirakan intensitas riset akan mencapai 0,8%PDB pada tahun 2025 dan meningkat menjadi 1,2% PDB pada tahun 2035. Selanjutnya, skenario optimis dengan penerapan langkah diatas ditambah prakarasa riset dasar untuk pengembangan industri unggulanmasa depan berbasis ilmu hayat, memperkirakan intensitas riset akan tetap sebesar 0,8%PDB pada tahun 2025 dan meningkat menjadi 1,3% PDB pada tahun 2035. REFERENSI 14
Aminullah, E. (2007), “Long-term forecasting of technology and economic growth in Indonesia”. Asian Journal of Technology Innovation, (1)15:1-20. Aminullah, E. and Ricardi, A. (2011), “ The role of Academia as External Resource of Innovation for Automotive Industry in Indonesia, GRIPS-ERIA Research Paper. Tokyo Arthur, W.B.; Steven N. Durlauf and David A. Lane (Ed) (1996), The Economy as An Evolving Complex System II. SantaFe: SanteFe Institute. BPS (2010 dan tahun-tahun sebelumnya), Pendapatan Nasional Indonesia, Jakarta: BPS Cowan, G.; David Pines and David Meltzer (Ed) (1999), Complexity: Metaphors, Models and Reality. Westview Press. Dhewanto, W. and Khamdan Khoiril Umam (2009), "Commercialization Technology in a developing country: its current condition and challenge in premises". The Asian Journal of Technology Management, (1)2: p. 52, 54. Dutz, Mark A (Ed) (2007), Unleashing India’s Innovation: Toward Sustainable and Inclusive Growth. Washington: World Bank/IBRD. Gru¨nfeld, L.A. (2003) “Meet me halfway but don’t rush: absorptive capacity and strategic R&D investment revisited”, International Journal of Industrial Organization. (21) p. 1091 Hirsch-Kreinsen, H. and David Jacobson (Ed) (2008), Innovation in Low-Tech Firms and Industries. Cheltenham: Edward Elgar. Hervas-Oliver, J-L.; Jose Albors Garrigos and Igna´ cio Gil-Pechuan (2011), “Making sense of innovation by R&D and non-R&D innovators in low technology contexts: A forgotten lesson for policy makers. Technovation (31): p. 427 Krugman, P.R. (1996), The Self Organizing Economy, Cambridge: Blackwell Publisher Lundvall, B.A.; K.J. Joseph; C. Chaminade and J.Vang (2009), Handbook of Innovation System and Developing Countries: Building Domestic Capabilities in Global Setting. Chentelham: Edward Elgar. LIPI (2010), Indikator Iptek Indonesia 2009. Jakarta: LIPI Press Miller, J.Hr and Scott E. Page (2007), Complex Adaptive Systems: an introduction to computational models of social life. Oxford: Princenton University Press. Menkobid Perekonomian (2011), Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Menkobid Perekonomian. Riyanto, Y.; Chichi Shintia Laksani and Dian Prihadiyanti (2009), "Vertical specialization as a driver of technological and innovation capability building in automotive industry". paper in Asialics conference, Hongkong. Santamaríaa, L.; María Jesús Nietob and Andrés Barge-Gil (2009), “Beyond formal R&D: Taking advantage of other sources of innovation in low-and medium-technology industries”.Research Policy, (38): p 507 Simpson, D. (2000), Rethinking Economic Behaviour How the Economy Really Works. London: MacMillan Press. Zong-lai, K.(ed) (2010),Toward an Innovative Nation: 30 Years of China’s Reform Studies Series. Singapore: Chenage Learning Asia. P.72
15
LAMPIRAN STRUKTUR DASAR MODEL EDTI
Penyempurnaan struktur umpan balik model tahun 2011
•
EKONOMI SEBAGAI “LIVING SYSTEM” (BUKAN “MECHANICAL SYSTEM”)
•
“BODY SYSTEM”: TUBUH YANG TUMBUH BESAR DENGAN KALORI BANYAK DAPAT SAKIT KARENA GIZI KURANG
•
“ECONOMIC BODY”: EKONOMI YANG TUMBUH BESAR DENGAN PEMBIAYAAN INVESTASI BANYAK DAPAT KRISIS KARENA INOVASI TEKNOLOGI KURANG
•
PROSES UMPAN BALIK DALAM ”TUBUH EKONOMI” EKONOMI LESU: KEKURANGAN PEMBIAYAAN INVESTASI MODAL AKIBAT DAYA SAING LEMAH DALAM KEGIATAN EKONOMI EKONOMI BESAR DAN SEHAT: HASIL INOVASI TEKNOLOGI -BERFUNGSI MENGEFISIENKAN PEMBIAYAAN INVESTASI DAN MENAIKKAN KEGIATAN EKONOMI -- YANG MEMELIHARA DAYA TAHAN EKONOMI KUAT
16
MENGUNGKAP FAKTA R&D INDONESIA Nani Grace Simamora
[email protected];
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi –Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 1. PENDAHULUAN Di era globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Kenyataan tersebut jelas terlihat di beberapa negara seperti Korea Selatan, Taiwan, bahkan India yang tumbuh pesat karena kepeduliannya terhadap penelitian dan pengembangan (litbang). Kemampuan litbang memberikan kekuatan untuk bersaing dalam perdagangan internasional yang kompetitif. Karenanya, fungsi litbang menjadi semakin strategis. Saat ini, Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam perekonomian global. Pada tahun 2008, Indonesia berhasil melewati krisis ekonomi global yang menyebabkan Indonesia mendapatkan apresiasi positif dari berbagai badan internasional seperti ASEAN, APEC, dan lain-lain. Indonesia juga termasuk dalam G20 atau kelompok 20 negara dengan kekuatan ekonomi maju dan berkembang yang secara kontinu berhimpun untuk membahas isu ekonomi global. Namun dari sisi penguasaan teknologi, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN sekalipun. Misalnya hasil survei Growth Competitiveness Index menunjukkan kemampuan teknologi (terdiri dari inovasi, telematika dan transfer tekhnologi) Indonesia berada pada peringkat 46, jauh di bawah beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia (21), Singapura (2), dan Brunei Darussalam (28) (Tabel 1). Tabel 1. Peringkat Index Daya Saing Negara Asean, 2011-2012(GlobalGrowth Competitiveness Index) Negara Singapura Malaysia Brunei Darussalam Thailand Indonesia Filipina
2 21 28 39 46 75
Global Growth Copetitiveness index Peringkat Nilai 5,63 5,08 4,78 4,52 4,38 4,08
Sumber: World Economic Forum | www.weforum.org/gcr (2011) Indonesia juga belum memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembentukan keunggulan posisi (positional advantage) dalam meningkatkan daya saing. Hal tersebut terlihat dari Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2010 yang menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 110 (masuk dalam kategori peringkat 17
medium). Dengan peringkat tersebut, Indonesia berada di bawah Thailand (92) dan Filipina (99). Indonesia bahkan sangat jauh tertinggal dengan negara Singapura (27, termasuk dalam kategori sangat tinggi) dan Malaysia (57) (hdr.undp.org/en/reports/global/). Hasil survei badan dunia di atas menunjukkan bahwa kemampuan penguasaan teknologi bangsa Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN. Padahal penguasaan teknologi merupakan modal dasar dalam menghasilkan sebuah inovasi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan daya saing nasional, pemerintah mencanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI merupakan langkah awal untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju seperti Cina dan Korea Selatan, bahkan pada tahun 2025 diharapkan menjadi bagian dari sepuluh negara besar dunia dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Karenanya, salah satu strategi utama MP3EI adalah meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan Iptek Nasional. SDM yang produktif menjadi kunci utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Indonesia membutuhkan SDM yang mampu beradaptasi dengan iptek dan mampu membangun inovasi berbasis riset teknologi yang berdampak langsung pada produktivitas. Berbagai hal harus dilakukan untuk mempersiapkan SDM berbasis iptek dan inovasi. Dalam MP3EI dinyatakan bahwa Indonesia harus memiliki SDM yang berbekalkan program pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Pendidikan SDM tidak berhenti pada pendidikan menengah saja, tetapi sampai pada pendidikan tinggi. Dalam hal ini, pendidikan tinggi yang dimaksud adalah pendidikan akademik, pendidikan vokasi dan pendidikan profesi. Mengingat geografis Indonesia yang demikian luas, infrastruktur pendidikan ini harus dipersiapkan di seluruh wilayah Indonesia. MP3EI mencanangkan pembangunan pendidikan tinggi setingkat akademi atau politeknik di setiap kabupaten. Pendidikan tinggi tersebut memiliki program yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan kabupaten tersebut. Selain itu, salah satu upaya memperkuat kemampuan SDM berbasis iptek dan inovasi adalah dengan mengoptimalkan SDM berpendidikan S2 dan S3 yang telah ada serta menambah 7.000-10.000 orang berpendidikan S3 di bidang sains dan teknologi secara bertahap dan terencana sampai pada tahun 2014. Peningkatan kemampuan iptek nasional bertujuan untuk membangun daya saing nasional melalui peningkatan produktivitas menuju keunggulan kompetitif. Untuk itu diperlukan suatu inovasi yang berbasis kapitalisasi produk riset teknologi. Dalam embangun inovasi, MP3EI menginisiasi program inovasi 1-747 (Gambar 1).
18
Gambar 1. Usulan Inisiatif Inovasi 1-747 Sumber: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (2011) Insiasi Inovasi tersebut didahului dengan meningkatkan dana litbang sebesar 1 persen per PDB setiap tahun sampai pada tahun 2014. Setelah itu dilanjutkan dengan tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi dan empat wahana percepatan pertumbuhan ekonomi yang merupakan proses transformasi ekonomi berbasis inovasi. Namun pemberian langkah yang tepat untuk mencapai target serta tujuan MP3EI memerlukan gambaran atau kondisi terkini dari setiap hal yang menjadi sasaran dari target tersebut. Gambaran tersebut sangat diperlukan untuk membangun program yang tepat sasaran. Tulisan ini berusaha untuk mengungkap fakta kondisi litbang Indonesia. Pengungkapan fakta tersebut berupa gambaran nyata ketersediaan SDM iptek Indonesia serta kegiatan iptek yang dikhususkan pada kegiatan peneltian dan pengembangan (litbang) dan kontribusi tiga sektor iptek yaitu pemerintah, perguruan tinggi, dan industri (dalam hal ini industri manufaktur) terhadap belanja litbang nasional. Penggambaran ketersediaan iptek diperoleh dari Indikator Iptek Indonesia yang telah dikembangkan oleh PAPPIPTEK LIPI. 2. PENGEMBANGAN INDIKATOR Indikator iptek nasional merupakan suatu analisis statistik yang dapat menggambarkan secara obyektif keadaan dan perkembangan kemampuan iptek suatu negara. Banyak negara telah mengembangkan serta memanfaatkan indikator iptek tersebut terutama untuk (1) memetakan, mengukur, dan membandingkan kondisi iptek dengan negara lain; (2) mengevaluasi kinerja iptek; dan 3) merencanakan pengembangan iptek ke depan. Pentingnya data dan indikator Iptek sangat mudah dipahami dengan mengingat bahwa para perumus dan pengambil kebijakan iptek sangat membutuhkan data dan informasi iptek dalam merumuskan kebijakan yang tepat bagi pengembangan iptek. Bagaimana mungkin mereka bisa merumuskan kebijakan yang tepat tanpa mengetahui kondisi iptek saat ini. Mereka perlu mengetahui berapa banyak dana yang telah dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan bagaimana distribusi dana ini menurut berbagai bidang penelitian. Mereka perlu mengetahui berapa banyak tenaga peneliti yang ada di berbagai bidang penelitian dan bagaimana kualifikasinya. Karena indikator iptek dapat memberikan ukuran yang tepat, mereka akan sangat membutuhkan data dan indikator iptek untuk mengevaluasi perkembangan iptek. 19
Pada tahun 1993, BPPT dan LIPI menyelenggarakan proyek penyusunan indikator iptek. Pada tahun tersebut, proyek ini telah menghasilkan sebuah laporan yang memaparkan dan menganalisa kondisi iptek di Indonesia dengan menggunakan indikator yang berhasil dikumpulkan. Laporan ini secara cukup komprehensif memuat indikator iptek di tiga sektor utama: pemerintah, industri dan perguruan tinggi. Namun setelah proyek ini berakhir, tidak ada lagi terbitan Indikator Iptek Indonesia yang komprehensif. Sejak tahun 2005, secara berkelanjutan, Pappiptek LIPI kembali mengembangkan indikator iptek Indonesia dengan memutakhirkan data iptek nasional di tiga sektor, yaitu pemerintah, perguruan tinggi, dan industri. Data yang digunakan dalam indikator ini terbagi atas dua bagian, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, misalnya Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), BKPM, Bank Indonesia (BI), dan lain-lain. Data primer diperoleh dari survei di dua sektor, yaitu industri manufaktur dan perguruan tinggi. Kedua survei tersebut menggunakan metode sensus survei yang berarti menjadikan seluruh populasi sebagai responden. Survei tersebut dilakukan dua tahun sekali secara bergantian. Misalnya pada tahun genap dilakukan survei litbang di sektor perguruan tinggi, kemudian di tahun ganjil akan dilakukan survei litbang sektor industri manufaktur. Survei litbang di perguruan tinggi terakhir kali dilakukan pada tahun 2009. Jumlah komposisi responden perguruan tinggi adalah 50 PTN, 25 politeknik, dan 15 swasta. Cakupan data meliputi belanja litbang dan SDM litbang. Belanja litbang dipilah berdasarkan sumber dana, jenis penelitian (penelitian dasar, penelitian terapan dan penelitian eksperimental), bidang penelitian, dan tujuan sosial ekonomi penelitian. SDM litbang dipilah berdasarkan tingkat pendidikan dan bidang ilmu. Pada tahun tersebut, lebih dari 90 persen responden mengembalikan kuesioner. Setahun kemudian, yaitu tahun 201, Pappiptek-LIPI melakukan survei litbang di sektor industri manufaktur. Pada dasarnya Pappiptek-LIPI telah melakukan dua kali survei seperti ini, namun survei tersebut memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan survei litbang perguruan tingi. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data dan informasi perusahaan pelaku litbang di Indonesia, sedangkan terdapat 25.000 perusahaan manufaktur yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan keterbatasan sumberdaya, PappiptekLIPI kemudian melakukan beberapa hal, yaitu: (1) menitipkan satu pertanyaan mengenai kepemilikan unit litbang di perusahaan pada saat BPS melakukan sensus sektorindustri manufaktur; (2) menjaring data industri pada Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kemenristek, dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin); (3) menambahkan data yang berasal dari hasil survei terdahulu. Pada akhirnya diperoleh sekitar 3000 perusahaan yang mengaku melakukan kegiatan litbang. Perusahaan tersebut kemudian dijadikan kerangka sampel dalam survei ini. Di akhir survei diperoleh sekitar 1547 perusahaan. Hal ini berarti tingkat pengembalian kuesioner sekitar 53 persen. Berdasarkan data (baik data sekunder dan primer) yang berasal dari Indikator Iptek Indonesia, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan fakta kegiatan litbang di Indonesia. 2.1. SDM Iptek Seperti telah diuraikan di atas, penguatan SDM merupakan salah satu strategi pelaksanaan MP3EI. Peran SDM berpendidikan tinggi merupakan kunci utama dalam mendukung ekonomi berbasis pengetahuan. Seberapa banyak SDM berpendidikan tinggi terlihat dalam penjelasan di bawah ini. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Untuk mengetahui perkembangan pencapaian pendidikan siswa, di bawah ini diperlihatkan rata-rata perbandingan perkembangan siswa yang lahir pada tahun 1987 yang memasuki pendidikan dasar sampai dengan lulus ke perguruan tinggi (Gambar 20
2). Siswa sekolah dasar (SD) yang lahir dalam kurun tersebut akan lulus SD pada tahun 1993 dan diharapkan lulus dari perguruan tinggi antara tahun 2008-2009. Dari 4.538.855siswa SD yang masuk pada tahun ajaran 1993/1994, yang berhasil lulus perguruan tinggi hanya 5,59 persen (250.126 orang). Hal ini berarti semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit jumlah siswa yang memasukinya.
Gambar 2. Pipe Line siswa pada setiap jenjang pendidikan Sumber: Diolah oleh Pappiptek-LIPI dari Indonesia Educational Statistics in Brief 2008/2009, Kemendiknas. Walaupun terdapat kesenjangan antara siswa yang memasuki dan yang tidak memasuki perguruan tinggi, selama kurun waktu 10 tahun, jumlah mahasiswa yang masuk ke PTN meningkat hampir dua kali lipat. Bila pada tahun 1998 jumlah mahasiswa yang masuk adalah 234.374 orang, pada tahun 2009 menjadi 476.393 mahasiswa (Gambar 3).
Gambar 3. Jumlah Mahasiswa PTN berdasarkan Status, 1998-2009 Sumber: Diolah oleh Pappiptek-LIPI dari Statistik PT 1999-2010, Ditjen DIKTI Kemendiknas.
21
Pertumbuhan PTN mempengaruhi peningkatan jumlah mahasiswa masuk. Pada tahun 2000, jumlah PTN adalah 76 yang kemudian menjadi 83 di tahun 2009 (Gambar 4).
Gambar 4. Jumlah PTN, 2000-2009 Sumber: Diolah Pappiptek-LIPI dari statistik PT 2000-2008, Ditjen DIKTI KEMENDIKNAS. Pada tahun 1999, rasio lulusan terhadap mahasiswa terdaftar PTN adalah 28,72 persen. Jumlah ini menurun menjadi 17,22 persen pada tahun 2009 (Gambar 5). Menurunnya rasio kelulusan memberikan beberapa arti di antaranya meningkatnya minat siswa masuk ke perguruan tinggi sehingga bertambah jumlah mahasiswa; bertambahnya jumlah perguruan tinggi; atau bertambahnya waktu penyelesaian pendidikan.
Gambar 5. Rasio Lulusan terhadap Mahasiswa Terdaftar di PTN, 1998-2009 Sumber : diolah Pappiptek-LIPI dari statistik PT, Ditjen DIKTI Kemendiknas. Gambar 6 memperlihatkan jumlah kelulusan berdasarkan jenjang pendidikan dan tahun akademik. Gambar tersebut menunjukkan adanya kesenjangan jumlah kelulusan antara jenjang S1 dan S2 bahkan S3. Lebih dari itu, kecenderungan kelulusan S3 dari tahun ke tahun sama, tidak mengalami peningkatan bahkan pada tahun 2009 menurun. Gambar 22
7menunjukkan jumlah kelulusan luar negeri untuk jenjang S2 dan S3 pada kurun 20062009. Gambar tersebut juga mengindikasikan kecenderungan yang stagnan dari lulusan S3 Indonesia. Hal ini menjadi perhatian penting terutama karena MP3EI menargetkan penambahan sekitar 7.000-10.000 kelulusan S3 utamanya bidang sains dan teknologi sampai tahun 2014. Karena Gambar 6 dan 7 adalah jumlah kelulusan seluruh bidang ilmu, maka diperlukan peningkatan sekitar 10 kali dari jumlah kelulusan S3 bidang sains dan teknologi yang ada saat ini untuk memenuhi target dan sasaran MP3EI.
Gambar 6. Jumlah Kelulusan berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Tahun Akademik, 2007/2008-2009/2010 Sumber : diolah Pappiptek-LIPI dari statistik PT 2009/2010, Ditjen DIKTI Kemendiknas.
Gambar 7. Lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri Jenjang S2 dan S3 Sumber: diolah oleh Pappiptek-lipi dari www.evaluasi.or.id (2009). Salah satu yang mempengaruhi peningkatan kelulusan S3 bidang sains dan teknologi adalah jumlah program S2 dan S3 bidang sains dan teknologi di Indonesia. Gambar 8 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki perguruan tinggi dengan program S2 dan S3 bidang sains dan teknologi sebanyak 70 perguruan tinggi (PTN dan PTS) dan jumlah terbanyak terdapat di daerah Jawa dan Sumatera. 23
Gambar 8. Sebaran PTN dan PTS yang menyelenggarakan Program S2 dan S3 MIPA dan Teknik Sumber: Diolah oleh Pappiptek-LIPI dari www.evaluasi.or.id (2009) 2.2. SDM Litbang Kegiatan litbang dalam tulisan ini adalah kegiatan yang didefinisikan oleh Fracasti Manual. Definisi tersebut adalah aktivitas kreatif yang dilakukan dengan sistematis untuk menambah pengetahuan (stock of knowledge), termasuk pengetahuan tentang manusia, kebudayaan, dan masyarakat (knowledge of man, culture and society), dan pemanfaatan pengetahuan ini untuk merancang penerapan baru (to devise new applications). Kegiatan yang tidak termasuk litbang adalah: (1) pendidikan dan pelatihan; (2) kegiatan iptek lainnya seperti: pelayanan informasi iptek, pengumpulan data untuk tujuan umum seperti ekspedisi, identifikasi spesies, pengujian dan standarisasi, studi fisibilitas dan pekerjaan mempatenkan. SDM litbang yang dimaksud dalam tulisan ini adalah SDM yang terlibat dalam kegiatan penelitian pada tahun berjalan. SDM litbang terdiri atas tiga kualifikasi sesuai dengan tugas pokoknya, yaitu peneliti, teknisi, dan staf pendukung. Pengertian dari ketiga kualifikasi SDM tersebut adalah sebagai berikut.Peneliti adalah profesional yang terlibat dalam pembuatan konsep atau penciptaan pengetahuan baru, produk, proses, metode, dan sistem serta profesional yang terlibat dalam pengelolaan proyek penelitian.Teknisi adalah orang yang dalam melaksanakan tugas utamanya membutuhkan pengetahuan dan pengalaman teknis. Mereka terlibat dalam aktivitas penelitian dengan melakukan tugas ilmiah dan teknis yang menyangkut aplikasi konsep dan metode operasional yang pada umumnya di bawah supervisi peneliti.Staf pendukung lainnya, meliputi para tukang/juru baik terlatih maupun tak terlatih, tenaga administrasi misalnya sekretaris atau juru tulis yang terlibat dalam proyek penelitian atau secara langsung terkait dengan proyek penelitian. Dalam tulisan ini, SDM litbang diperoleh dari tiga sektor yaitu pemerintah, pendidikan tinggi, dan industri manufaktur. Gambar 9 menunjukkan jumlah SDM litbang (meliputi tenaga peneliti, teknisi dan staff pendukung) pada masing-masing sektor. Pemerintah merupakan sektor yang paling banyak memiliki tenaga litbang. Sektor industri manufaktur merupakan sektor yang memiliki tenaga litbang paling sedikit. 24
Gambar 9. SDM Litbang menurut sektor, 2009 Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008). Pada tahun 2009, secara nasional jumlah SDM yang melakukan kegiatan litbang adalah 62.995 orang, meliputi 58 persen peneliti, 23 persen teknisi, dan 19 persen staf pendukung (Gambar 10). Dalam hal ini perbandingan antara peneliti, teknisi dan staf pendukung adalah 2:1:1 (bandingkan dengan Malaysia yang mempunyai perbandingan 9:2:1).
Gambar 10.Komposisi SDM Iptek Nasional, 2009 Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008)
25
Gambar 11 adalah rasio peneliti terhadap 10.000 angkatan kerja dan 10.000 populasi Indonesia pada tahun 2009. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pada tahun 2009, Indonesia memiliki 3,60 peneliti per 10.000 angkatan kerja dan 1,72 peneliti per 10.000 populasi. Bandingkan dengan negara ASEAN, pada tahun 2006, Malaysia memiliki 7,1 peneliti per 10.000 populasi; Singapura, 5,8 peneliti per 10.000 populasi (2009); Thailand 3,4 peneliti per 10.000 populasi (2009); dan Filipina 1,3 peneliti per 10.000 populasi (2009).
*Angkatan kerja, 2009 (BPS 2010): 113.833.290 **Populasi (2009) (BPS 2010): 237.641.326
Gambar 11. Rasio Peneliti terhadap Angkatan Kerja dan Populasi, 2009 Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008) Bila dipilah berdasarkan tingkat pendidikan, maka peneliti nasional terbanyak berpendidikan S2, menyusul S1 dan S3. Hal yang menarik dalam Gambar 12 adalah adanya peneliti yang memiliki tingkat pendidikan yang kurang dari D3. Dalam Frascati Manual, peneliti adalah seseorang yang berpendidikan minimal S1 dan melakukan kegiatan litbang.
Gambar 12. Peneliti berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2009 Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008). 26
Bila dipilah berdasarkan sektor iptek, perguruan tinggi memiliki peneliti terbanyak yaitu 32 persen dari total SDM iptek, menyusul pemerintah (16 persen) dan industri (11 persen) (Gambar 13). Komposisi SDM iptek masih-masing sektor berbeda. Sektor perguruan tinggi memiliki peneliti yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan teknisi dan staf pendukung dengan perbandingan 16:1:1. Gambaran yang berbeda terlihat pada sektor pemerintah dan industri. Sektor pemerintah mempunyai komposisi SDM iptek sebesar 1:1:1 yang berarti satu peneliti dengan satu teknisi dan satu staf pendukung. Sementara perbandingan untuk sektor industri adalah 2:2:1.
Gambar 13. SDM Litbang bedasarkan Institusi, 2009 Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008). Gambar 14 menunjukkan persentase peneliti berdasarkan tingkat pendidikan. Peneliti perguruan tinggi terbanyak memiliki jenjang pendidikan S2. Sektor pemerintah mempunyai peneliti dengan tingkat pendidikan S1. Selanjutnya peneliti dengan tingkat pendidikan S1 dan D3 ke bawah banyak dimiliki oleh sektor industri manufaktur.
27
Gambar 14. Persentase Peneliti berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Sektor Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008). MP3EI menyatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan inisiatif inovasi adalah kepemilikan aktor yang cerdas, efektif dan inovatif. Akademisi dan peneliti merupakan salah satu aktor inovasi yang menjadi model penguatan terutama dalam melaksanakan empat wahana percepatan pertumbuhan ekonomi. Gambar 15 menunjukkan kekuatan akademisi dan peneliti Indonesia yang tertuang dalam bidang ilmu yang dikuasainya. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa peneliti Indonesia terbanyak memiliki bidang ilmu: agricultural sciences, medical sciences, tecnological sciences, dan economical sciences.
Gambar 15. Jumlah Peneliti PTN berdasarkan Bidang Ilmu Sumber: Survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEKLIPI
28
Tingkat pendidikan masing-masing bidang ilmu agricultural dan medical terlihat dalam Gambar 16. Tingkat pendidikan terbanyak di dua bidang ilmu tersebut adalah S2. Sedangkan jumlah S3 pada bidang ilmu agricultural adalah 1111 peneliti dan bidang ilmu medical 914 peneliti.
Gambar 16. Tingkat Pendidikan Peneliti dengan kepakaran Agricultural Sciences dan Medical Sciences Sumber: survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) yang dilakukan PAPPIPTEK-LIPI 2.3. Belanja Litbang Sejak tahun 1969/1970, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk meningkatkan pemanfaatan, penguasaan, dan pengembangan teknologi yang dibutuhkan dalam berbagai bidang pembangunan. Pada tahun yang sama, pemerintah pernah mengalokasikan anggaran litbang sebesar 2,03% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tersebar di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian. Pada tahun 2009, alokasi anggaran litbang menurun menjadi 0,21% (Gambar 17). Walaupun selama 40 tahun secara absolut anggaran litbang selalu meningkat, yaitu hampir 420 kali lipat, dibandingkan dengan kenaikan APBN yang lebih dari 4000 kali lipat maka rasio anggaran litbang terhadap APBN cenderung menurun. Gambar 17 juga menunjukkan pola eksponensial menurun yang menggambarkan menurunnya perhatian pemerintah terhadap litbang.
29
Gambar 17. Rasio Anggaran Litbang terhadap APBN Sumber: Data potensi iptek tahunan Pappiptek-LIPI, 1969-2006; Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, 2007-2010 2.3.1. Belanja Litbang Sektor Pemerintah Secara khusus, survei litbang pemerintah dilakukan oleh Kemenristek. Dalam survei litbang sektor pemerintah yang dilakukan pada tahun 2007, dengan tingkat pengembalian 89% diketahui bahwa total belanja kegiatan litbang pemerintah yang dilakukan tahun 2006 adalah sekitar Rp. 1.829,7 miliar. Belanja litbang tersebut tersebar di berbagai institusi litbang pemerintah dengan persentase terbesar pada Lembaga Pemerintah Kementerian (LPK) sebesar 77 persen, menyusul Lembaga Pemerintah non Kementerian (21 persen) dan terakhir adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) (2 persen).
Gambar 18. Sebaran Belanja Litbang berdasarkan Institusi Sumber: Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah (2007) Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, arah peningkatan kemampuan iptek difokuskan pada enam bidang prioritas. Prioritas 30
tersebut adalah: (1) Pembangunan Ketahanan Pangan; (2) Penciptaan dan Pemanfaatan Sumber Energi Baru dan Terbarukan; (3) Pengembangan Teknologi dan Manajemen Transportasi; (4) Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi; (5) Pengembangan Teknologi Pertahanan, dan (6) Pengembangan Teknologi Kesehatan dan Obat-obatan. Gambar 19 menunjukkan proporsi belanja litbang berdasarkan bidang prioritas. Gambar tersebut memperlihatkan tiga bidang prioritas yang memiliki belanja litbang terbesar. Ketiga bidang prioritas tersebut adalah bidang ketahanan pangan (37 persen), bidang energi (36 persen) dan bidang teknologi informasi dan komunikasi (15 persen).
Gambar 19. Proporsi Belanja Litbang berdasarkan Bidang Prioritas Sumber: Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah (2007) 2.3.2. Belanja Litbang sektor Perguruan Tinggi Survei litbang sektor perguruan tinggi yang dilakukan tahun 2009 dengan tingkat pengembalian kuesioner lebih dari 90 persen menginformasikan jumlah belanja litbang sektor perguruan tinggi sebesar Rp. 1.747 miliar. Jumlah belanja litbang tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan alokasi belanja litbang tersebut seiring dengan meningkatnya anggaran pendidikan nasional yaitu sebesar 20 persen dari APBN. Gambar 20 menunjukkan sebaran belanja litbang PTN berdasarkan sumber dana. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa sumber dana penelitian terbesar berasal dari Ditjen Dikti sebesar 65,53 persen, kemudian menyusul dana yang berasal dari perguruan tinggi itu sendiri yaitu 15,18 persen. Dana lainnya yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri mengindikasikan kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Gambar 20 menunjukkan bahwa sekitar 19,24 persen dana berasal dari hasil kerjasama yaitu meliputi 15,04 persen hasil kerjasama dengan institusi dalam negeri seperti KRT dengan insentif ristek dan lain-lain, 3,60 persen kerjasama dengan luar negeri, dan sisanya adalah kerjasama dengan organisasi nirlaba.
31
Gambar 20. Proporsi Belanja Litbang PTN berdasarkan Sumber Dana Sumber: Survei Litbang sektor Perguruan Tinggi, Pappiptek-LIPI (2009) 2.3.3. Belanja Litbang sektor Industri Manufaktur Seperti telah diuraikan di atas bahwa salah satu sektor yang melakukan kegiatan litbang adalah industri. Dalam hal ini, industri yang dimaksud tidak hanya industri manufaktur, tetapi juga termasuk jasa. Namun Indonesia hanya mengambil industri manufaktur sebagai industri yang aktif dalam kegiatan litbang. Hal tersebut dengan asumsi bahwa industri manufaktur adalah industri yang memanfaatkan teknologi untuk berdayasaing, sedangkan teknologi tersebut berasal dari kegiatan litbang. Industri jasa Indonesia diasumsikan tidak banyak yang melakukan kegiatan litbang. Survei yang dilakukan oleh Pappiptek-LIPI pada tahun 2010 dengan tingkat pengembalian kuesioner sekitar 50% memperlihatkan total alokasi belanja litbang sekitar Rp 800 miliar. Alokasi belanja litbang tersebut terbagi atas belanja intramural dengan persentase sebesar 96 persen dan belanja ekstramural sebesar 4 persen. Belanja litbang intramural adalah dana atau anggaran yang dibelanjakan oleh perusahaan untuk kegiatan litbang yang dilakukan sendiri oleh perusahaan. Selanjutnya, belanja ekstramural adalah dana atau anggaran yang disediakan perusahaan untuk diberikan kepada instansi lain yang melakukan kegiatan litbang untuk kepentingan perusahaan tersebut. Dalam hal ini, belanja ektramural dapat mengindikasikan kegiatan kerjasama yang dilakukan perusahaan. Gambar 21 menunjukkan bahwa nilai yang dihasilkan dari kegiatan kerjasama yang dilakukan perusahaan manufaktur masih sangat kecil yaitu hanya 4 persen.
32
Gambar 21. Proporsi Belanja Litbang Sektor Industri Manufaktur Sumber: Survei Litbang sektor Industri Manufaktur, Pappiptek-LIPI (2009) 2.3.4. Belanja Litbang Nasional Untuk mengetahui belanja litbang nasional, pada tahun 2009 dilakukan estimasi terhadap belanja litbang dari tiga sektor dengan menggunakan data hasil survei di atas. Gambar 22 memperlihatkan data belanja litbang nasional yang dipilah berdasarkan tiga sektor, yaitu sektor pemerintah, perguruan tinggi, dan industri pada tahun 2009. Jumlah belanja litbang nasional tersebut adalah sekitar Rp 4,72 triliun. Proporsi belanja litbang untuk masing-masing sektor adalah sebagai berikut: sektor pemerintah sebesar 42,8 persen, perguruan tinggi 38,5 persen dan industri 18,7 persen. Karena sektor perguruan tinggi merupakan sektor pemerintah (karena perguruan tinggi yang dimaksud adalah perguruan tinggi negeri), maka proporsi belanja litbang pemerintah adalah 81,3 persen. Proporsi belanja pemerintah yang tinggi menunjukkan aktivitas litbang terbanyak dilakukan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, rasio belanja litbang yang bersumber dari pemerintah di Singapura sebesar 36,6 persen (2004). Malaysia memiliki rasio belanja litbang yang bersumber dari pemerintah sebesar15 persen, sedangkan yang berasal dari swasta sebesar 85 persen (2006). Thailand memiliki rasio belanja litbang pemerintah senilai 55 persen sedangkan yang bersumber dari swasta sebesar 45 persen (de La Pena, 2011)8. Besarnya proporsi pemerintah dalam membelanjakan anggarannya untuk kegiatan litbang, yaitu lebih dari 80 persen, patut menjadi perhatian terutama dalam mengembangkan strategi pelaksanaan MP3EI. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa secara bertahap peran pemerintah di dalam pendanaan litbang akan semakin berkurang yang kemudian digantikan dengan peran swasta.
8
de La Pena. F. Prof. 2011. State of Development R&D in ASEAN. Inceptition Meeting. 4-7 Juli 2011.
Manila Philippines
33
Gambar 22. Proporsi Belanja Litbang Berdasarkan Sektor Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008). Gambar 23 menunjukkan rasio belanja litbang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2009. Rasio belanja litbang terhadap PDB untuk sektor pemerintah adalah 0,04, pendidikan tinggi 0,03, dan industri 0,02. Dengan total belanja litbang nasional sebesar Rp 4.72.341.818.344, maka rasio belanja litbang nasional terhadap PDB adalah 0,08 (dengan PDB Indonesia tahun 2009 adalah Rp. 5.613.441.700.000.000 (BPS, 2010)). Rasio belanja litbang nasional terhadap PDB tersebut cukup rendah dibandingkan dengan negara ASEAN, seperti Malaysia yang memiliki rasio 0,64 (2006), Singapura sebesar 2,29 (2009), dan Thailand yang telah mencapai 0,21 (2009) (de La Pena, 2011). Kondisi ini merupakah hal kedua yang perlu mendapatkan perhatian untuk mencapai target dan sasaran MP3EI. MP3EI menyatakan bahwa untuk mencapai proses transformasi menuju sistem ekonomi berbasis inovasi, diperlukan pendanaan litbang sebesar 1 persen dari PDB pada tahun 2014. Kemudian secara bertahap ditingkatkan sampai kepada 3 persen per PDB pada tahun 2025. Bila PDB pada tahun 2014 adalah sekitar Rp. 7.000 triliun (sesuai dengan target MP3EI-kenaikan PDB setiap tahun adalah sebesar 12,7 persen), maka belanja litbang nasional mencapai Rp. 70 triliun. Namun apakah penguatan inovasi hanya sekedar menaikkan angkat tersebut? Hal tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
34
Gambar 23. Rasio belanja litbang nasional terhadap PDB Sumber: Data estimasi dari survei litbang sektor perguruan tinggi (2009) dan Industri Manufaktur (2009) yang dilakukan oleh PAPPIPTEK-LIPI dan survei litbang sektor pemerintah (2008). Sektor industri manufaktur merupakan salah satu sektor yang dipandang dapat menjadi salah satu daya dukung litbang nasional. Secara keseluruhan, industri manufaktur hanya membelanjakan 4 persen dari pendapatannya untuk kegiatan litbang. Belanja terbanyak adalah untuk promosi dan membeli lisensi. Keadaan ini menunjukkan bahwa kegiatan litbang belum menjadi prioritas sektor ini.
Gambar 24. Proporsi Belanja sektor Industri Manufaktur, 2009 Sumber: Survei Litbang Sektor Perguruan Tinggi, Pappiptek-LIPI (2009). Kecilnya belanja sektor litbang manufaktur menjadi sangat wajar terlebih bila diketahui populasi industri manufaktur Indonesia dan nilai ekspor produksi manufaktur. Gambar 25 menunjukkan bahwa kelompok industri manufaktur Indonesia terbanyak pada industri yang berteknologi rendah, yaitu kelompok industri yang memiliki aktivitas litbang yang rendah. Kelompok industri tersebut adalah kelompok industri makanan dan minuman, pakaian jadi, tekstil, furnitur, karet, dan barang galian. 35
Gambar 25. Populasi Industri Manufaktur Indonesia, 2010 Sumber: diolah oleh Pappiptek-LIPI dari Direktori Industri Manufaktur, BPS (2010) Nilai ekspor industri manufaktur Indonesia paling besar terdapat juga pada kelompok industri manufaktur dengan teknologi rendah, yaitu kelompok industri makanan dan minuman, kayu, tekstil, kertas atau percetakan. Kelompok industri manufaktur teknologi rendah adalah kelompok industri yang dalam produksinya tidak memerlukan kegiatan litbang.
Gambar 26. Nilai Ekspor Industri Manufaktur berdasarkan Intensitas Teknologi, 2009 Sumber: Diolah oleh Pappiptek-LIPI dari data Industri Manufaktur, BPS (2010) 2.4. Luaran Iptek Salah satu sasaran visi inovasi 2025 adalah meningkatkan jumlah HaKI yang berasal dari kegiatan penelitian yang langsung berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Gambar 27 memperlihatkan perbedaan jumlah yang cukup besar antara paten yang dimiliki oleh penduduk Indonesia dan paten yang dimiliki oleh warga asing. Bila dilihat kecenderungan selama sepuluh tahun yaitu dari tahun 2001 sampai 2010, paten milik penduduk Indonesia yang telah disetujui mengalami peningkatan, namun bukan merupakan peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010, jumlah paten yang dimiliki penduduk Indonesia adalah 115 buah. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat Indonesia memiliki 36
jumlah penduduk lebih dari 200 juta. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki jumlah paten 204 (tahun 2010). Dengan terpenuhinya penguatan SDM dan Iptek, diharapkan terjadi peningkatan jumlah paten milik penduduk Indonesia.
Gambar 27. Paten yang Disetujui Berdasarkan Warga Negara Pendaftar Sumber: Diolah oleh Pappiptek-LIPI dari Ditjen HKI, Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Selain paten, publikasi ilmiah merupakan salah satu dari kekayaan intelektual yang perlu ditingkatkan. Selama kurun waktu 10 tahun, terjadi peningkatan jumlah publikasi di jurnal internasional. Pada tahun 2010, jumlah publikasi Indonesia di jurnal internasional adalah 1195 buah. Namun bila dibandingkan dengan negara ASEAN, jumlah tersebut menjadi tidak terlalu besar. Thailand misalnya pada tahun 2009 memiliki 2552 publikasi internasional (Gambar 28). Publikasi internasional tersebut menjadi lebih berharga bila banyak yang merujuknya. Gambar 28 juga menunjukkan jumlah sitasi publikasi Indonesia di jurnal internasional. Gambar tersebut memperlihatkan publikasi Indonesia cukup banyak disitasi. Setiap tahun jumlah sitasi semakin besar. Pada tahun 2010, jumlah sitasi publikasi Indonesia adalah 11.150 sitasi.
37
Gambar 28. Jumlah Publikasi Internasional dan Sitasi, 2001-2010 Sumber: Diolah oleh Pappiptek dari ISI Web of Knowledge, diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 14:13 WIB. Gambar 29 menunjukkan jumlah paper dan sitasi berdasarkan bidang ilmu. Gambar tersebut menunjukkan bahwa tulisan ilmiah yang paling banyak dipublikasikan pada tingkat internasional adalah tulisan ilmiah dengan bidang ilmu clinical medicine. Sedangkan jumlah publikasi yang paling banyak disitasi adalah publikasi dengan bidang ilmu Molecular Biology and Genetics. Informasi ini memperlihatkan kekuatan intelektual peneliti Indonesia yang dapat dihubungkan dengan bidang prioritas penelitian di Indonesia.
Gambar 29. Jumlah Publikasi Internasional dan Sitasi, 2000-2010 Sumber: Diolah oleh PAPPIPTEK-LIPI dari Essential Science Indicator. Data di akses tanggal Juli 2011 mencover 10 tahun+4 bulan (1 Januari 2001-30 April 2011).
38
3. KESIMPULAN Proses transformasi sistem ekonomi berbasis inovasi dilakukan melalui penguatan SDM (human capital) dan kesiapan teknologi (technological readiness). Untuk itu, diperlukan SDM produktif yang dihasilkan oleh program pendidikan yang bermutu dan relevan terhadap kebutuhan pembangunan dan untuk memperkuat aktor inovasi. Semua itu memerlukan SDM berpendidikan tinggi. MP3EI bahkan mencanangkan pada tahun 2014 terdapat penambahan 7000-10.000 SDM dengan pendidikan S3 bidang sains dan teknologi. Namun kondisi saat ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit siswa memasukinya. Hanya sekitar 5 persen dari total siswa pendidikan dasar yang dapat lulus di perguruan tinggi. Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua siswa pendidikan dasar dapat meneruskan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Hal ini perlu dicermati terlebih bila mengetahui seberapa besar SDM berpendidikan S3 khususnya yang memiliki bidang sains dan teknologi di Indonesia. Selama periode tiga tahun, rata-rata lulusan dalam negeri S3 setiap tahun adalah sekitar 2000 orang setiap tahunnya (untuk semua bidang). Sedangkan jumlah lulusan luar negeri kurang dari 500 orang. Untuk mencapai target pelaksanaan MP3EI diperlukan strategi dan program yang tepat serta komitmen dan kerja yang sangat keras karena bila pada tahun 2014 keadaan tidak berubah, penambahan jumlah lulusan S3 bidang sains dan teknologi akan mencapai maksimal sekitar 2000 orang. Kesiapan teknologi memerlukan pendanaan. Saat ini, beberapa kondisi litbang Indonesia adalah sebagai berikut: belanja litbang nasional per PDB adalah 0,08 dengan kontribusi terbesar pada sektor pemerintah;kontribusi belanja litbang sektor industri manufaktur adalah 20 persen. Peningkatan kontribusi belanja litbang sektor industri manufaktur perlu memperhatikan: (1) populasi industri manufaktur Indonesia di mana perusahaan manufaktur Indonesia terbanyak adalah kelompok industri yang memiliki aktivitas litbang yang rendah, yaitu kelompok industri makanan dan minuman, tekstil, dan furnitur; (2) nilai ekspor industri manufaktur Indonesia, yang terbesar juga kelompok industri manufaktur berteknologi rendah. REFERENSI Global
Growth Competitiveness |www.weforum.org/gcr.
Index
©
2011
World
Economic
Forum
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), 2011. Jakarta: Kementerian. Meiningsih, S. et.al. Indikator Iptek Indonesia 2009. Jakarta:LIPI Press, 2010. Rahmaida, R & Wendo. 2009. Indikator Iptek: Survei Litbang sektor Perguruan Tinggi 2010. Jakarta:LIPI Press, 2010.
39
I KEBIJAKAN IPTEK MANAJEMEN LITBANG DAN TEKNOLOGI
40
ARAH RISET TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI INDONESIA Prof.Dr. Ir. Engkos Koswara Natakusumah, Msc.
[email protected] Kementerian Riset dan Teknologi ABSTRAK Riset teknologi informasi dan komunikasi diarahkan untuk mendukung tema strategis di berbagai sektor seperti: masyarakat menuju knowledge-based society, terutama agar seluruh masyarakat dapat menikmati manfaat Teknologi Informasi dan Komunikasi(TIK) yang terjangkau, sehingga menjadi produktif, cerdas, kreatif dan inovatif; pemerintah menuju penerapan e-government, terutama agar roda pemerintahan dan layanan pemerintah dapat berjalan lancar, hemat dan transparan, serta masyarakat demokratis dapat terwujud; pelayanan publik menuju penerapan e-services, terutama agar sektor layanan publik dapat berjalan dengan efektif, berkualitas dan efisien pada target layanannnya; industri termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menuju industri yang berdaya saing global, agar industri nasional tumbuh berkembang dalam era persaingan global dan menjadi tuan rumah di Indonesia; masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek) dan lembaga risetnya menuju kelas dunia, terutama agar iptek yang strategis dikuasai lembaga nasional, serta masyarakat iptek Indonesia tumbuh dalam lingkungan dan budaya yang kondusif menuju kelas dunia dalam menghasilkan iptek baru. Sedangkan prioritas utama kegiatan riset TIK terbagi dalam lima katagori yaitu: infrastruktur yang terdiri dari telekomunikasi berbasis internet protocol dan penyiaran multimedia berbasis digital; aplikasi yang terdiri dari aplikasi perangkat lunak dan framework atau flatform perangkat lunak berbasis open source; konten yang berupa teknologi digital untuk industri kreatif; device yang merupakan piranti untuk mendukung TIK; dan sumber daya manusia untuk pengembangan dan pendayagunaan TIK. Keywords: riset, TIK, open source software(OSS), industri kreatif, Iptek 1. PENDAHULUAN Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa. (Ristek, 2006) Kenyataan menunjukkan bahwa TIK telah membawa perubahan penting dalam perkembangan peradaban, terutama perekonomian dunia. Abad ke-21 bahkan diyakini akan menjadi abad baru yang disebut era informasi-ekonomi (digitaleconomic) dengan ciri khas perdagangan yang memanfaatkan elektronika (electronic commerce). Kondisi ini mengakibatkan adanya pergeseran paradigma strategi pembangunan bangsa-bangsa dari pembangunan industri menuju ke era informasi (information age). 41
Pergeseran paradigma memberikan implikasi terhadap terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (resource based economy) menjadi perekonomian yang berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Pembangunan TIK merupakan sumber terbentuknya iklim yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumberdaya manusia yang pada gilirannya dapat menjadi sumberdaya pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa TIK merupakan faktor yang memberikan kontribusi sangat signifikan dalam peningkatan kualitas masyarakat melalui peranannya yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Pengembangan TIK sejalan dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangiunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025), dalam strategi pengembangan ekonomi di 6 koridor (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Irian dan Maluku), pengembangan konektivitas, pengembangan sumber daya manusia dan Iptek. Dalam konteks pembangunan ekonomi, terdapat beberapa pergeseran paradigma dalam kaitannya dengan kehadiran dan perkembangan TIK, antara lain: (1) Kompetisi akan menggantikan monopoli dalam kehidupanbernegara, berorganisasi ataupun berusaha; (2)Desentralisasi akan menggantikan sentralisasi,baik bagi organisasi pemerintah, swastamaupun organisasi masyarakat lainnya; (3) Regulasi fasilitas (enabler) yang jauh lebih longgar akan menggantikan regulasi penghambat (wall) yang dirasakan terlalu ketat dan bertentangan dengan kaidah-kaidah reformasi yang lebih bersifat demokratis dan adil; (4) Ekonomi digital yang diharapkan dapat menciptakan peluang baru bagi pelaku ekonomi kecil dan menengah melalui pemerataan informasi dan jalur distribusi yang lebih adil akan menggantikan ekonomi kapitalistik yang dikuasai oleh konglomerat dan tidak adil; (5) Infrastruktur telekomunikasi akan digantikan oleh infratruktur informasi dengan dorongan konvergensi TIK; (6) Masyarakat yang berbasis materi(material/ resource base) akan digantikan oleh masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge base). Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan TIK mempunyai banyak dimensi, termasuk kurang optimalnya peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam memacu pertumbuhan TIK dan kelancaran distribusi TIK yang sepadan dengan kebutuhan masyarakat akan TIK yang cukup dan terjangkau. Akan tetapi tidak semua kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi melalui pendekatan teknologi, karena akar permasalahannya tidak selalu terletak pada ketidakmampuan dalam mengembangkan teknologi yang sesuai, tetapi kadang lebih disebabkan oleh faktor-faktor non-teknologi, misalnya kebijakan yang tidak kondusif bagi peneliti atau industri untuk meningkatkan produktivitasnya, dan/atau kebijakan yang tidak kondusif bagi pelaku bisnis untuk menggeluti industri TIK. Untuk menentukan arah riset perlu dilihat antara lain kebutunan layanan TIIK seperti pengguna telepon tetap melalui kabel, penggunaan komputer di masyarakat, pengguna dan pelanggan internet, jumlah desa yang memiliki warung internet (warnet) perlu diketahui karena ada keterbatasan dalam kepemilikan komputer pribadi, distribusi warnet di Indonesia, kondisi pasar telekomunikasi dan informasi di dunia; prioritas utama kegiatan riset, dan alur pikir riset TIK. 2. KEBUTUHAN LAYANAN TIK Seiring dengan semakin tingginya pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan, indikator pemanfaatan infrastruktur TIK seperti: penggunaan komputer (hardware, software), telepon tetap dan bergerak serta penggunaan internet menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, meskipun dari sisi penyebarannya masih terbatas pada wilayah perkotaan dan kawasan industri. Secara umum, pertumbuhan pelanggan telepon tetap kabel cenderung menurun, hal ini terlihat dari penetrasi di tahun 2008 hanya 3.65% dengan 8,3 juta pelanggan yang 42
memanfaatkan jaringan telepon kabel tetap. Sedangkan di tahun 2004 penetrasi mencapai 3,76% dengan jumlah 8,1 juta pelanggan. Sedangkan pelanggan yang menggunakan teknologi tanpa kabel baik telepon tetap nirkabel maupun telepon selular menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun. Pelanggan dengan telepon selular mencapai 140 juta lebih atau mencapai penetrasi 61,72% di tahun 2008 dengan pertumbuhan sekitar 30%. Data pelanggan telepon tetap dan seluler dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pelanggan Telepon Tetap dan Seluler Tahun
Telepon Tetap Kabel
Telepon Tetap Nirkabel
Telepon Seluler
Pelanggan
Penetrasi
Pelanggan
Penetrasi
Pelanggan
Penetrasi
2004
8.139.512
3,76%
1.662.205
0,77%
30.336.607
14,02%
2005
8.283.400
3,78%
4.784.268
2,18%
46.992.118
21,44%
2006
8.328.179
3,75%
5.996.960
2,70%
63.802.925
28,73%
2007
8.324.197
3,70%
10.765.212
4,79%
93.386.881
41,52%
2008
8.302.730
3,65%
21.109.265
9,27%
140.585.799
61,72%
Sumber: Diolah dari Indikator TIK Edisi 2009, BPPT Berdasarkan data pemanfaatan komputer di Indonesia, terlihat bahwa pertumbuhan penetrasi kepemilikan komputer baik yang berupa komputer personal (PC) maupun laptop untuk setiap rumah tangga meningkat. Pada tahun 2008 persentase rumah tangga di Indonesia yang memiliki komputer adalah sekitar 8,3%. Angka penetrasi komputer ini lebih besar dari tahun 2007 yaitu sekitar 5.9%. Dari sisi penyebarannya terlihat rumah tangga di Pulau Jawa memiliki pertumbuhan yang cukup baik dengan penetrasi sekitar 9,17% di tahun 2008. Penetrasi komputer di rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Penetrasi Komputer di Rumah Tangga No.
Wilayah
% Rumah Tangga Dengan Komputer 2006
2007
2008
1
Sumatera
2,99
4,83
6,84
2
Jawa
5,26
6,61
9,17
3
Bali Nusra
2,96
3,96
6,33
4
Kalimantan
4,58
5,93
8,65
5
Sulawesi
2,54
4,45
6,01
6
Maluku Papua
2,18
3,73
6,37
Jumlah
4,36
5,88
8,25
Sumber: Indikator TIK Edisi 2009, BPPT Kondisi dan keadaan pasar infrastruktur telematika secara Nasional dapat pula dilihat dari indikator penetrasi internet dari sisi pengguna dan pelangan. Berdasarkan data yang berasal dari Indikator TIK Edisi 2009 disebutkan bahwa terjadi peningkatan dari sisi pengguna maupun pelanggan. Jumlah pelanggan di tahun 2008 sebanyak 3,13 juta dan 43
jumlah pengguna mencapai 25 juta atau mencapai densitas pengguna sebanyak 10,94%. Jumlah pengguna dan pelanggan internet di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pengguna dan Pelanggan Internet Indonesia Tahun
Jumlah Penduduk
Pelanggan
Pengguna
Jumlah
Pertumb uhan
Jumlah
Densitas Pengguna
Pertumb Densit Pertumb uhan as uhan
2004
216.382.000
1.346.300
55,81%
5.628.100
10,35%
2,60
8,91%
2005
218.889.000
1.853.000
37,64%
7.896.000
40,30%
3,61
38,69%
2006
222.192.000
2.543.600
37,27%
10.575.700
33,94%
4,76
31,95%
2007
225.642.000
3.126.000
22,90%
13.000.000
22,92%
5,76
21,04%
2008
228.523.000
3.126.000
---
25.000.000
92,31%
10,94
89,88%
Sumber: Indikator TIK Edisi 2009, BPPT Bagi masyarakat yang belum memiliki fasilitas komputer dan internet di rumah, keberadaan Warnet (warung internet) di desa/kelurahan sebagai unit wilayah administrasi terkecil sangat penting artinya. Berdasarkan tabel 1.4 pada tahun 2008 rata-rata 6% dari sekitar 75.410 desa yang telah memiliki Warnet. Sekitar 94% sisanya belum memiliki Warnet. Jumlah desa atau kelurahan yang sudah memiliki warnet (warung internet) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah Desa/Kelurahan yang Memiliki Warnet Wilayah
Desa Dengan Warnet
Desa Tanpa Warnet
2005
2008
2005
2008
Sumatera
430
970
20.834
22.554
Jawa
1.243
2.654
23.793
22.505
Bali Nustra
115
197
4.144
4.231
Kalimantan
120
223
6.064
6.407
Sulawesi
165
243
8.054
9.031
Maluku Papua
55
72
4.938
6.383
Jumlah
2.128
4.296
67.827
71.111
Sumber: Indikator TIK Edisi 2009, BPPT Dari sisi ketersebarannya pun masih terjadi perbedaan yang signifikan. Dari angka penyebaran Warnet 6% tersebut, sekitar 3,5 % atau 2.654 kelurahan berada di pulau Jawa, sedangkan di daerah Maluku Papua hanya 0,1% atau 72 kelurahan/desa yang memiliki Warnet. Berdasarkan Tabel di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa pengguna Warnet belum merata diseluruh wilayah Indonesia. Keadaan ini menunjukkan bahwa akses informasi masih sulit dilakukan masyarakat. 44
Pada tahun 2008 densitas TIK rata-rata negara ASEAN adalah sekitar 13,62% untuk telepon tetap, 66,45% untuk telepon seluler adalah 66,45%. Sedangkan indikator untuk telematika yaitu densitas jumlah komputer per 100 penduduk mencapai 6,04% dan densitas pengguna internet mencapai 13,91%. Kondisi pasar telekomunikasi dan informatika dunia pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kondisi Pasar Telekomunikasi dan Informatika Dunia Tahun 2008 Negara
Brunei Darusalam
Populasi (juta)
Komunikasi Telepon Tetap (ribu)
Telepon Seluler (ribu)
Infomatika Jumlah (ribu)
Pelanggan Pelanggan Internet Broadband (ribu) (ribu)
Pengguna Internet (ribu)
PC per 100 penduduk *)
0,39
76,6
376,0
452,6
17,6
13,9
217,0
8,83
Kamboja
14,56
43,1
4.237,0
4.280,1
18,0
16,6
74,0
0,36
Indonesia
227,35
30.378,1
140.578,2
170.956,3
3.126,0
400,0
18.000,0
2,00
6,21
127,8
2.022,1
2.149,9
5,5
6,1
527,4
1,69
Malaysia
27,01
4.292,0
27.713,0
32.005,0
5.221,6
1.331,8
15.074,0
23,41
Myanmar
49,56
811,4
367,4
1.178,8
21,3
10,1
108,9
0,88
Filipina
90,35
4.076,1
68.117,2
72.193,3
3.000,0
1.045,7
5.618,0
7,46
4,62
1.857,1
6.375,5
8.232,6
1.103,4
1.003,1
3.370,0
76,80
Thailand
67,39
7.024,0
62.000,0
69.024,0
---
950,0
16.100,0
6,86
Vietnam
87,10
29.591,0
70.000,0
99.591,0
5.240,6
2.049,0
20.834,0
9,51
ASEAN
574,53
78.277,2
381.786,4
460.063,6
17.754,0
6.826,3
79.923,3
6,04
Afrika
986,60
32.326,6
371.311,0
403.637,6
8.785,5
2.868,4
81.183,5
2,24
Amerika
921,10
280.240,0
754.010,2 1.034.250,2
115.158,6
111.157,2
421.618,5
34,73
608.361,9 1.913.221,0 2.521.582,9
222.768,6
153.780,9
660.307,9
6,51
806,29
319.881,6
171.739,7
137.031,5
405.527,5
30,21
34,95
11.638,5
40.380,8
9.583,2
6.130,1
18.782,2
50,73
6.772,51 1.252.448,6 4.045.977,0 5.298.425,2
528.035,0
410.968,0 1.587.419,8
13,38
Laos
Singapura
Asia Eropa Oceania DUNIA
4.023,60
978.692,1 1.298.573,7 28.742,3
Sumber: Diolah dari Indikator TIK Edisi 2009, BPPT Berdasarkan tabel tersebut terlihat teledesitas secara global untuk penggunaan alat telepon sekitar 78,23%, untuk penetrasi pengguna internet sekitar 23,43% dan densitas jumlahkomputer per 100 penduduk mencapai 13,38. Ini menunjukan masih adanya peluang untuk mengisi pengembangan infrastruktur telematika baik untuk kebutuhan dalam negeri, regional maupun dunia. 3. PRIORITAS UTAMA KEGIATAN RISET TIK Prioritas utama kegiatan riset teknologi informasi dan komunikasi terbagi dalam 5 kategori (DRN-RISTEK, 2009) yaitu: infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi yang terdiri dari telekomunikasi berbasis Internet Protocol (IP) dan penyiaran multimedia berbasis digital, aplikasi TIK yang terdiri dari aplikasi perangkat lunak dan framework atau flatform perangkat lunak berbasis open source, konten yang berupa teknologi digital untuk industri kreatif, device yang merupakan piranti untuk mendukung TIK, manusia untuk pengembangan dan pendayagunaan TIK. Dari lima prioritas utama kegiatan riset, diuraikan 45
menjadi 7 topik riset yaitu Telekomunikasi berbasis IP, Penyiaran Mulitimedia berbasis digital, Aplikasi perangkat lunak berbasis open source (Koswara, 2005), Framework/platform perangkat lunak berbasis open source (Koswara, 2006), Teknologi digital untuk industri kreatif, Piranti teknologi informasi dan komunikasi, Manusia dalam pengembangan, pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi. Tema prioritas tersebut masing-masing mempunyai sasaran sampai dengan 2025, Rencana capaiannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sasaran Tema Riset No. 1
Tema Riset
Capaian 2025
Infrastruktur 1.Telekomunikasi berbasis IP
Perangkat dan sistem telekomunikasi berbasis IP yang terjangkau, dan sesuai dengan kebutuhan rakyat serta kondisi alam Indonesia.
2.Penyiaran Myltimedia Berbasis 1.Perangkat dan sistem penyiaran multimedia Digital berbasis digital yang diproduksi industri dalam negeri. 2.Migrasi dari siaran analog ke digital oleh lembaga penyiaran dan masyarakat. 2
Aplikasi (Layanan) 1. Aplikasi Perangkat Lunak Berbasis Open Source
Kemandirian, kreatifitas dan inovasi perangkat lunak berbasis open source untuk public services, health care, education dan small medium enterprise (UKM).
2. Framework/Platform Tersedianya berbagai application framework, Perangkat Lunak Berbasis Open development platform, repository yang berkualitas Source untuk perangkat lunak berbabasis open source 3
Konten 1. Teknologi Digital untuk Industri Kreatif
4
Device 1. Piranti TIK
5
Kemandirian dan inovasi industri kretif berbasis digital untuk preservasi sistem nilai dan warisan budaya nasional. Penyediaan piranti dan komponen pendukung maupun piranti-piranti khusus untuk pemanfaatan TIK fokus ke bidang pangan, energi dan transportasi.
Manusia TIK 1. Manusia Dalam Masyarakat TIK yang informatif dan kreatif untuk Pengembangan Pendayagunaan menciptakan produk-produk yang inovatif. Teknologi Informasi dan Komunikasi
4.ALUR PIKIR RISET BIDANG TIK Alur pikir penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) Iptek di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat dilihat pada Gambar 1, dimulai dengan menjelaskan kondisi saat ini meliputi kebutuhan layanan TIK masyarakat meliputi kondisi 46
pasar layanan TIK, kondisi infrastruktur layanan, dan kondisi pasar TIK dunia; kondisi produksi peralatan layanan TIK nasional meliputi kondisi produksi peralatan TIK nasional, peta jaringan rantai produksi peralatan layanan, potensi pengembangan layanan, kegiatan layanan TIK yang ada saat ini, dan kegiatan layanan TIK dunia yang sedang menonjol; dan kondisi teknologi dan pengembangan TIK termasuk pasar global, meliputi kondisi teknologi produksi peralatan layanan TIK yang dipakai oleh produsen nasional; kondisi riset dalam negeri untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi; kegiatan riset yang sudah, sedang berjalan dan sedang direncanakan, review teknologi informasi dan komunikasi yang paling frontier di dunia. Kondisi awal ini dipakai sebagai titik tolak untuk menghitung kemajuan yang dicapai setiap tahun, sampai tahun 2025 atau merupakan kondisi yang diinginkan meiputi prediksi kebutuhan untuk layanan TK nasional, prediksi kebutuhan infrastruktur TIK nasional dan prediksi kebituhan TIK pasar dunia. Kondisi lain yang dinginkan adalah target produksi TIK nasional dan target riset pengembangan dan penerapan teknologi, meliputi pengembangan teknologi infrastruktur, pengembangan aplikasi dan layanan elektronika, pengembangan konten, peralatan hardware, pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan. Akan terjadi delta atau gap dari kondisi yang ada ke kondisi yang diinginkan. Delta ini kemudian dianalisis. Dalam menganalisis dilihat kondisi framework, terdiri dari kondisi supra seperti SDM dan pendidikan, seperti kondisi SDM TIK, dukungan pendidikan dan infrastruktur khusus. Disamping itu, disampaikan kondisi perundang-undangan, kebijakan pemerintah di bidang TIK, dan kondisi lingkungan strategis internasional. Hasil analisis framework digunakan untuk menentukan kebijakan dan roadmap dalam mencapai tujuan yang diinginkan, berupa rekomendasi kebijakan nasional; roadmap pengembangan produksi dan infrastruktur TIK terdiri dari roadmap industri telematika nasional 2010-2015 dan roadmap penyiaran TV digital. Salah satu roadmap yang terpenting yang berhubungan dengan kegiatan Kementerian Riset dan Teknologi adalah roadmap pengembangan riset dan teknologi yang meliputi peta rencana riset TIK 2005-2025, arah kebijakan prioritas, pengembangan dan penelitian telekomunikasi berbasis internet protokol untuk masyarakat pedesaan, penembangan dan penelitian teknologi penyiaran berbasis digital, kajian regulasi untuk bidang TIK dan broadcasting, difusi dan pemanfaatan TIK untuk perangkat keras dan open source software, peningkatan kapasitas Iptek TIK untuk creative digital. Berbagai kegiatan yang dilakukan di bidnag TIK digunakan untuk mendukung program besar Kementrian Riset dan Teknologi berupa pengembangan Sistem Inovasi Nasional (SINAS) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDA).
47
Gambar 1 Alur Pikir Riset TIK Kegiatan riset bidang fokus TIK yang dilaksanakan melalui program Insentif Riset tahun 2009 sebanyak 45 kegiatan. Pelaksananya berasal dari Perguruan Tinggi didominasi oleh Institut Teknologi Bandung (ITB); dari Lembaga Penelitian Non Kementrian (LPNK) oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Untuk tahun 2010 sebanyak 44 kegiatan. Pelaksananya berasal dari Perguruan Tinggi didominasi oleh ITB dan Universitas Indonesia (UI), dari LPNK didominasi oleh BPPT dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Terlihat bahwa ada sedikit penurunan jumlah kegiatan dari tahun 2009 ke 2010, sedangkan dominasi peleksana kegiatan riset hampir sama. 5. KESIMPULAN Litbangrap bidang TIK diarahkan untuk mendukung masyarakat menuju knowledgebased society, sehingga masyarakat menjadi produktif, cerdas dan kreatif hal ini dapat mendukung percepatan program sistem inovasi nasional; mendukung pemerintah dalam penerapan program e-government, pada tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama agar roda pemerintahan dan layanan pemerintah dapat berjalan lancar, hemat dan transparan, beberapa pemerintah daerah/kota sudah melaksanakan kegiatan ini, seperti Pemkot Pekalongan, Pemda Jembrana, Sragen dan Kebumen;; mendukung pelayanan publik untuk menuju penerapan e-services; mendukung industri termasuk badan usaha milik negara untuk menuju industri yang berdaya saing global sehingga industri nasional dapat tumbuh berkembang; mendukung penelitian dan lembaganya menuju kelas dunia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Prioritas utama kegiatan riset TIK meliputi bidang Infrastruktur yang terdiri dari telekomunikasi berbasis Internet Protocol dan penyiaran multimedia berbasis digital; aplikasi perangkat lunak dan framework atau flatform perangkat lunak berbasis open source, dimana Indonesia menjadi flagshipOSS untuk negara ASEAN; konten yang berupa teknologi data digital untuk industri kreatif, sejalan dengan program pengembangan ekonomi kreatif (Inpres 48
No.6, 2009); piranti untuk mendukung pengembangan TIK; dan sumber daya manusia untuk pengembangan dan pendayagunaan TIK. Untuk mempunyai arah riset yang jelas, dibuat alur pikir litbangrap iptek di bidang TIK, dimulai dengan menjelaskan kondisi saat ini seperti kebutuhan layanan, kondisi pasar, kondisi infrastruktur layanan, kondisi produksi peralatan, peta jaringan rantai produksi, potensi pengembangan layanan, kegiatan layanan, kondisi teknologi dan pengembangannya, kegiatan riset. Seiring dengan semakin tingginya pemanfaatan TIK dalam berbagai sektor kehidupan, indikator pemanfaatan infrastruktur TIK seperti: penggunaan komputer (hardware, software), telepon tetap dan bergerak serta penggunaan internet menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, meskipun dari sisi penyebarannya masih terbatas pada wilayah perkotaan dan kawasan industri. Berdasarkan data pemanfaatan komputer di Indonesia, terlihat bahwa pertumbuhan penetrasi kepemilikan komputer baik yang berupa komputer personal (PC) maupun laptop untuk setiap rumah tangga meningkat. Kondisi dan keadaan pasar infrastruktur telematika secara nasional dapat pula dilihat dari indikator penetrasi internet dari sisi pengguna dan pelanggan. Bagi masyarakat yang belum memiliki fasilitas komputer dan internet di rumah, keberadaan Warnet (warung internet) di desa/kelurahan sebagai unit wilayah administrasi terkecil sangat penting artinya. pengguna Warnet belum merata diseluruh wilayah Indonesia. Keadaan ini menunjukkan bahwa akses informasi masih sulit dilakukan masyarakat. Sehingga diperlukan riset yang mengarah pada produk telekomunikasi berbiaya murah dan terjangkau. Arah litbangrap TIK perlu matriks program pengembangan dan penelitian telekomunikasi berbasis internet protocol untuk masyarakat pedesaan, teknologi penyiaran berbasis digital, regulasi untuk bidang teknologi informasi, komunikasi dan broadcasting, standardisasi, difusi dan pemanfaatan perangkat keras dan perangkat lunak berbasis open source software, dan peningkatan kapasitas untuk creative digital untuk mendukung program pemerintah dalam pengembangan ekonomi kreatif, pengembangan sistem inovasi nasional dan daerah. REFERENSI DRN-RISTEK (2009), Pedoman Insentif Riset, Edisi 5, Jakarta: Dewan Riset NasionalKementrian Riset dan Teknologi; BPPT (2009), Indikator TIK; Jakarta:Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Inpres No 6 (2009) tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif; Inpres No. 6 (2001), Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia; Koswara, E. (2005), Competitiveness Development and Innovation Strategy through IGOS (Indonesia, Go Open Source) Program. Regional Innovation Forum, Organized By Business Software Alliance (BSA). Putrajaya, Malaysia, November 22, 2005; Koswara, E. (2006), Development of IGOS Program. Euro Southeast Asia 2006 Cooperation Forum on the Information Society, Shangri-La Hotel, Singapore, 19-23 June 2006; Ristek (2006), Buku Putih Teknologi Informsi dan Komunikasi; Jakarta: Kementrian Riset dan Teknologi.
49
PERANAN PUSLIT BIOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PRODUKSI JAMUR PANGAN DI INDONESIA Iwan Saskiawan1, Krisna Rubowo2
[email protected],
[email protected] 1
Pusat Penelitian Biologi – LIPI
2
Asosiasi Pembudidaya Jamur Indonesia (APJI) ABSTRAK
Indonesia merupakan negara dengan kekayaaan sumber daya hayati melimpah yang berpotensi sebagai sumber bahan pangan. Salah satu sumber bahan pangan tersebut adalah jamur pangan (edible mushroom). Untuk lebih mengoptimalkan pengembangan produksi jamur pangan di Indonesia diperlukan beberapa komponen yang harus berperan secara sinergis dan interaktif. Dalam tulisan ini kolaborasi Triple Helix antara Akademisi, Pelaku Budidaya Jamur dan Pemerintah akan dipaparkan. Institusi-institusi tersebut adalah lembaga pemerintah sebagai penentu kebijakan teknis, regulator umum maupun stimulator. Termasuk dalam kelompok ini adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Institusi litbang dan perguruan tinggi dengan para penelitinya sebagai inovator teknologi. Terakhir adalah pelaku pembudidaya jamur yang dapat berbentuk sebagai asosiasi. Dalam tulisan ini ditampilkan beberapa kegiatan baik yang berupa penelitian di laboratorium,lokakarya maupun kegiatan ilmu pengetahuan bagi daerah (iptekda) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian (Puslit) Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menunjang pengembangan produksi jamur pangan di Indonesia. Kata Kunci : Penelitian jamur pangan, Puslit Biologi LIPI I. PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk hampir mencapai 260 juta Indonesia harus dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional dengan memanfaatkan sumber daya hayati yang dimilikinya. Jamur pangan atau edible mushroom merupakan salah satu sumber daya hayati yang telah menjadi komoditas pertanian dan akhir-akhir ini berkembang dengan pesat (Dimyati, 2005). Menurut data dari Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia luas kebun jamur di Indonesia meningkat tajam. Kecenderungan peningkatan luas tanam budidaya jamur ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah : a. b. c. d. e. f.
Jamur merupakan produk hortikultura yang bernilai gizi tinggi Teknologi budidaya jamur mudah dan ramah lingkungan Sumber daya alam dan kondisi agroklimat yang mendukung Mempunyai nilai ekonomi yang tinggi Menyerap tenaga kerja Peluang pasar yang luas. 50
Selain dikenal dengan nilai gizinya yang tinggi, jamur pangan juga dapat digunakan sebagai bahan pangan fungsional, baik yang bersifat sebagai nutraceutical(jamur segar) maupun nutriceutical (bahan olahan/ekstrasi jamur) (Miles, PG dan Chang, ST., 1997). Selain itu jamur pangan juga mulai dikembangkan sebagai komoditas sayuran organik yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia sehingga sangat membantu dalam menjaga kelestarian lingkungan.Limbah yang berasal dari media tanam jamur pangan dapat diolah dan dijadikan sebagai pupuk organik untuk menjaga kesuburan tanah (Sagar, et al.2009) Budidaya jamur pangan mempunyai sejarah yang cukup panjang. Di Cina, jamur shiitake yang nama ilmiahnya Lentinus edodes sudah dibudidayakan sejak seribu tahun yang lalu. Menurut catatan, budidaya shiitake ditulis oleh Wu Sang Kuang di zaman Dinasti Song (960-1127) meskipun demikian orang di daratan Cina sudah memakan jamur ini sejak tahun 199 (Chang, ST 2005). Di Indonesia, beberapa petani di pantai utara pulau Jawa sudah mulai membudidayakan jamur merang pada awal tahun 1970an sedangkan budidaya jamur kayu yang menggunakan serbuk gergaji sebagai media tanam baru mulai dilakukan pada awal tahun 1980an. Budidaya jamur pangan biasanya dilakukan dengan menggunakan limbah pertanian sebagai media tanam. Limbah pertanian dipilih sebagai bahan alternatif untuk media tanam jamur karena mengandung lignoselulosa, selulosa, dan hemiselulosa yang sangat diperlukan oleh jamur untuk pertumbuhannya (Chang, ST dan Miles, PG., 1989). Beberapa jenis jamur pangan bisa dibudidayakan dengan menggunakan limbah jerami padi, limbah kopi, tanaman enceng gondok,serbuk gergaji dan limbah pertanian lainnya (Saskiawan dan Sudarmono, 1993; Bisaria et al., 1987; Madan et al., 1987; Royse et al. 2004; Murugesan, et al.,1995). Berdasarkan media tanam yang digunakan, di Indonesia dikenal dua jenis jamur pangan yang dibudidayakan yaitu: a. Jamur merang, yang menggunakan jerami padi sebagiai media tanam, meliputi jamur merang (Volvariella sp) dan jamur kancing (Agaricus sp) b. Jamur kayu, yang menggunakan serbuk gergaji sebagai media tanam, meliputi jamur tiram (Pleurotus sp), jamur kuping (Auricularia sp), jamur shitake (Lentinus sp). Jenis jamur tiram yang dibudidayakan adalah: Jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan antara lain adalah sebagai berikut: tiram putih (P. ostreatus var. florida), tiram abu-abu (P. sajor caju), tiram coklat (P. cystidiosus), tiram merah muda (P. flabelatus), tiram hitam (P. sapidus), dan tiram kuning (P. citrinopileatus). Berdasarkan paparan di atas, diperlukan suatu strategi yang terencana untuk dalam pengembangan teknologi jamur pangan. Tujuan tulisan ini adalah menunjukkan pentingnya kerjasama antara lembaga penelitian/perguruan tinggi, industri dalam hal ini adalah pembudidaya jamur dan pemenrintah dalam usaha pengembangan teknologi jamur pangan. 2. STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI JAMUR PANGAN Secara umum teknologi budidaya jamur pangan mencakup teknologi pembuatan bibit, budidaya, pasca panen serta pengembangan produk untuk bahan pangan dan kesehatan. Bidang ilmu yang digunakan dalam teknologi budidaya jamur pangan adalah mushroom science yang meliputi mikrobiologi, teknologi fermentasi substrat padat dan tehknologi lingkungan. Sedangkan bidang ilmu yang digunakan untuk memperoleh pengembangan produk dari jamur pangan untuk kesehatan adalah teknologi fermentasi substrat cair dan biokimia. Penguasaan bidang mikrobiologi diperlukan dalam teknologi pembuatan bibit untuk memperoleh strain yang berkualitas tinggi. Teknologi fermentasi substrat padat diperlukan dalam persiapan pembuatan media tanam melalui proses yang disebut dengan pengomposan. Dalam pengomposan terjadi fermentasi yang melibatkan aktivitas mikroba yang merombak molekul ikatan rantai panjang media tanam menjadi 51
molekul ikatan rantai pendek sehingga dapat digunakan oleh jamur pangan untuk pertumbuhannya. Teknologi fermentasi substrat cair diperlukan untuk memanen miselia jamur yang diduga mengandung senyawa aktif yang bisa digunakan untuk bahan-bahan obat. Selain itu juga diperlukan penguasaan ilmu biokimia untuk proses ekstraksi senyawa aktif tersebut dari tubuh buah jamur pangan. Untuk lebih mengoptimalkan pengembangan produksi jamur di Indonesia diperlukan beberapa komponen yang harus berperan secara sinergis dan interaktif. Institusi-intstitusi tersebut adalah lembaga pemerintah sebagai penentu kebijakan teknis, regulator umum maupun stimulator. Dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian termasuk di dalamnya institusi litbang dan perguruan tinggi dengan para penelitinya sebagai inovator teknologi. Terakhir adalah pelaku pembudidaya jamur yang dapat berbentuk sebagai asosiasi. Pola interaksi diantara masing-masing institusi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Pola kemitraan dan jejaring kerjasama beberapa sektor untukpengembangan produksi jamur pangan di Indonesia. Menurut Etzkowitz (1997) kemitraan antara ketiga komponen ini dalam pengembangan suatu teknologi untuk dapat diterapkan dalam masyarakat dikenal dengan kolaborasi Triple Helix. Sinergi antara ketiga komponen tersebut sangat diperlukan sehingga lembaga penelitian tidak akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Pihak akademisi dan pembudidaya/pelaku bisnis jamur hanya bisa didekatkan sehingga bisa saling memberi manfaat apabila pemerintah menciptakan suasana yang kondusif. 3.
KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN JAMUR PANGAN DI PUSLIT BIOLOGI LIPI
Puslit Biologi sebagai salah satu satuan kerja di lingkungan kedeputian IlmuHayati LIPI mempunyai visi untuk menjadi pusat acuan terpercaya di bidang pemberdayaan dan konservasi aset keanekaragaman hayati Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut Puslit Biologi telah menyusun program penelitian tentang bioprospeksi tanaman, hewan dan mikroba untuk pangan dan kesehatan. Salah satu kegiatan dari program tersebut adalah biokonversi limbah organik untuk produksi jamur pangan (edible mushroom) sebagai bahan pangan bergizi tinggi dan pangan fungsional. Kegiatan tentang budidaya jamur di Puslit Biologi LIPI diawali dengan kegiatan IPTEKDA pada tahun 1997 tentang budidaya jamur kayu di desa Gunung Endut, Kecamatan Kelapa Nunggal, Kabupaten Sukabumi. Pada waktu itu kegiatan budidaya jamur kayu dengan menggunakan serbuk gergaji belum banyak dikenal masyarakat oleh karena itu 52
kegiatan ini terkendala dengan pemasaran produk jamur pangannya. Beberapa peserta pelatihan kegiatan IPTEKDA tersebut masih tetap menekuni budidaya jamur dan sekarang sudah menjadi pembudidaya jamur yang sukses. Kegiatan penelitian tentang jamur pangan di Puslit Biologi secara umum dibagi menjadi 2. Yang pertama merupakan penelitian dasar yang meliputi eksplorasi dan identifikasi jamur pangan dari berbagai ekosistem. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti di bidang taksonomi jamur dan hasilnya berupa informasi penting tentang keberadaan jamur pangan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan secara komersial. Selanjutnya adalah penelitian tentang teknologi budidaya jamur pangan dan bioprospeksi jamur pangan sebagai pangan fungsional. Di dalam penelitian ini dikaji teknologi yang tepat untuk menghasilkan jamur pangan yang berkualitas tinggi. Sedangkan penelitian tentang bioprospeksi jamur untuk pangan fungsional mengkaji tentang senyawa aktif yang terdapat pada jamur pangan. Diseminasi hasil penelitian tersebut di atas dilakukan melalui kerjasama dengan Asosiasi Pembudidaya Jamur Indonesia (APJI), sehingga hasil penelitian bisa langsung diterapkan oleh pembudidaya jamur. Kegiatan diseminasi tersebut adalah melalui pelaksanaan Lokakarya Nasional Budidaya Jamur yang diselenggarakan setiap tahun. Peserta lokakarya tersebut meliputi beberapa peneliti dari perguruan tinggi,lembaga penelitian, birokrat dari kementrian terkait dan pembudidaya jamur. Dari lokakarya tersebut biasanya akan akan muncul masalah-masalah yang dihadapi oleh pembudidaya jamur baik dari segi teknologi budidaya, masalah paska panen, manajeman hingga pemasaran produk jamur pangan. Permasalahan tersebut kemudian akan dijadikan bahan penelitian oleh beberapa peneliti untuk kemudian dicarikan pemecahan masalahnya. Selain itu sebagai center of exellence di bidang teknologi budidaya jamur, Puslit Biologi menjadi semacam information center bagi pembudidaya jamur pangan. Pada tahun 2006 Puslit Biologi LIPI mendapat bantuan dari Pemerintah Jepang untuk mengembangkan LIPI Microbial Culture Collection (LIPI MC). Melalui kegiatan ini telah terbentuk Microbial Culture Collection yang berstandar international yang memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah: 1. Teknologi pennyimpanan mikroba yang terakreditasi secara internasional 2. Puslit Biologi menjadi anggota dari World Federation of Culture Collection sehingga mempunyai akses keseluruh Culture Collection di dunia. Dengan berbagai fasilitas yang ada tersebut Puslit Biologi LIPI diharapkan dapat menyimpan beberapa kultur murni jamur pangan dengan teknologi yang lebih canggih sehingga kestabilan genetiknya dapat lebih terjaga. 4.
KESIMPULAN 1. Penelitian di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang terkait dengan mushroom science baik yang bersifat penelitian dasar maupun terapan telah memberi sumbangan dalam pengembangan teknologi budidaya jamur pangan di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan posisi LIPI sebagai salah satu komponen dalam kolaborasi Triple Helix. 2. Masih diperlukan penelitian budidaya jamur pangan yang lebih terarah dengan masukan dari praktisi budidaya jamur tentang masalah-masalah yang mereka hadapi dalam budidaya jamur.
53
REFERENSI Bisaria, R., Madan, M., and Bisaria, V.S. 1987. Biological efficiency and nutritive value of Pleurotus sajor-caju cultivated on different agro-wastes. Biological Waste 19, 239255. Chang, ST and Miles, PG. 1989. Edible mushrooms and their cultivation. CRC Press. Inc. Florida. USA. Chang, ST. 2005 Witnessing the Development of the Mushroom Industry in China. Proceeding of the Fifth Intrnational Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products. Shanghai. China. Dimyati, A. 2005. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Pengembangan Jamur pangan. Makalah pada Pra Workshop Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan Indonesia. BPPT Jakarta, 1-2 Agustus 2005. Viale, R., Ghiglione, B., and Rosselli, F. 1997. The Triple Helix model: a tool for the Study of European Regional Socio Economic Systems. www.fondazionerosselli.it/DocumentFolder/Helix.doc , diakses tanggal 16 September 2011. Madan, M., Vasudevan, P., and Sharma, S. 1987. Cultivation of Pleurotus sajor-caju on different wastes. Biological Waste 22, 241-250. Miles, PG and Chang, ST., 1997. Mushroom Biology. Concise Basics and Current Developtment. World Scientific. Singapore. New Jersey. London. Hongkong. Murugesan, A.G., Vijayalakshmi, G.S, Sukumaran, N., and Mariappan. 1995. Utilization of water hyacinth for oyster mushroom cultivation. Bioresource Technology 51, 97-98. Royse, D.J., Rhodes, T.W., Ohga, S., and Sanchez, J.E. 2004. Yield, mushroom size and time to production of Pleurotus cornucopiae (oyster mushroom) grown on switch grass substrate spawned and supplemented at various rates. Bioresource Technology 91, 85-91. Sagar, MP., Ahlawat, OP., Raj, D., Vijay, B., and Induran, C. 2009. Indigenous technical knowledge about the use of spent mushroom substrate. Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol. 8(2), pp. 242-248 Saskiawan, I. dan Sudarmono. 1993. Alternatif penggunaan sekam padi pada budidaya jamur tiram (Pleurotus). Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH. Puslitbang Biologi LIPI Bogor.
54
FASILITASI PROVEN TECHNOLOGY DAN AKSES PEMBIAYAAN UNTUK PENGUATANBISNIS: EXPERIENCES AND LESSONS LEARNT PADA UMKM PETERNAKAN SAPIPOTONG DAN KAMBING Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc.agr* E-mail:
[email protected] *Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman,Alamat Jln. Dr. Soeparno No.60, Po. Box 110, Purwokerto, Jawa-Tengah, Telp/Fax: 0281-638792 *Koordinator program Sarjana Membangun Desa (SMD) wilayah Jawa-Tengah *Konsultan program Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (PPED), Kantor Bank Indonesia Purwokerto tahun 2007-2009 ABSTRACT The aim of this paper are (i) to describe some experiences of the implementation result regarding the facilitating program of both proven technology and the accessibility of small medium enterprises (UMKM) getting financial support from the bank, (ii) to discuss as a lesson learn for the development program of small-scale enterprises. This study result from the implementation of action program in term of community economic empowerment focus on the livestock small medium enterprises consist of six programs as fallows (1) Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah; (2) Sarjana Membangun Desa; (3) Penyelamatan Sapi Betina Produktip; (4) IPTEKDA-LIPI bottom-up year 2008-2009; (5) Penerapan Iptek and Vucer; and (6) Ipteks buat Produk Ekspor (IbPE). In this paper also presented the description of each program with the various proven technology implemented and the name of the financial aid scheme that accessed by the livestock small medium enterprises for increasing their business. Keywords: small medium enterprises, technology, livestock sector, finance, bank. 1. PENDAHULUAN Sektor pertanian dan peternakan merupakan komponen utama pendapatan pada daerah pedesaan dan daerah tertinggal (FAO, 1999). Kebutuhan akan ternak dan produk peternakan di negara-negara berkembang diprediksi meningkat dua kali lipat hingga lebih dari 20 tahun (LID, 1999; ATSE, 2003). Strategi dan implementasi pola pengembangan peternakan harus memperhatikan karakteristik sistem produksi (ILRI, 1995; Devendra, 2007; Sodiq dan Setianto, 2007). Peningkatkan peran dan keberlanjutan peternakan di negara berkembang, direkomendasikan melalui pengoptimuman pengelolaan sumberdaya lokal (Mack, 1990; Devendra, 2004). Faktor kunci keberhasilan pengembangan peternakan adalah perbaikan sistim produksi diantaranya adalah melalui pendekatan teknologi terapan berbasis kelembagaan kelompok yang memberdayakan ekonomi peternak (Sodiq dan Setianto, 2005a, 2005b, 2009). Kajian sistim produksi peternakan mengklasifikasikan dua tipe utama yaitu sistem tradisional dan moderen. Dari sisi pengembangan usaha, peternakan di pedesaan dikategorikan sebagai Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pengembangan UMKM 55
termasuk subsektor peternakan di pedesaan menjadi penting dan memiliki peranan yang sangat strategis untuk mengatasi berbagai dampak krisis ekonomi seperti terbatasnya kesempatan kerja dan masih rendahnya pendapatan masyarakat. Perbaikan aspek budidaya melalui penerapan teknologi yang well proven (sudah teruji kehandalanya) sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi dan fisibilitas usaha. Dukungan pembiayaan dari lembaga pemerintah maupun lembaga keuangan sangat dibutuhkan. Peningkatan fisibilitas usaha UMKM yang dukung oleh kemampuan akses pembiayaan perbankan akan berdampak kepada peningkatkan skala usaha dan bisnis. Diperlukan fasilitasi Iptek dan penguatan modal melalui sinergi Goverment, Academician, Businessman, Bank, dan Social-Community (Sodiq, 2009, 2010a, 2010b). Teknologi terapan yang proven diarahkan untuk memperbaiki aspek bibit dan reproduksi, kandang dan pengelolaan kesehatan, pakan dan pasca panen. Tujuan tulisan ini adalah (i) mendiskripsikan berbagai pengalaman hasil implementasi program fasilitasi proven technology dan akses pembiayaan UMKM bidang peternakan, dan (ii) mendiskusikan sebagai bahan Lessons Learnt untuk program pengembangan penguatan bisnis UMKM. 2. METODE PENELITIAN Data bersumber dari hasil kompilasi berbagi kegiatan program aksi pemberdayaan ekonomi masyarakat pada UMKM peternakan sapi potong dan kambing, meliputi (1) Implementasi pilot project Program Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (PPED) di tiga kabupaten kerjasama Bank Indonesia dengan bank teknis, pemerintah daerah dan UMKM; (2) Implementasi Program Sarjana Membangun Desa (SMD) mencakup 138 kelompok tani ternak (UMKM) tersebar di 12 kabupaten kerjasama Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah dan UMKM; (3) Implementasi Program Penyelamatan Sapi Betina Produktip kerjasama Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan UMKM, (4) Implementasi Program IPTEKDA-LIPI bottom-up tahun 2008-2009; (5) Implementasi Program Penerapan Iptek dan Vucer diprakarsai Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi; dan (6) Implemetasi Program Ipteks buat Produk Ekspor (IbPE) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan perguruan tinggi dan UMKM. Metode pengumpulan data dilakukan melalui catatan sekunder dan laporan rutin, pengamatan lapang, wawancara dan forum group discussion. Analisis deskriptif diterapkan pada kajian ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan petani adalah sangat penting, hal ini disebabkan adanya hambatan keterbatasan sumberdaya alam dan faktor sosial ekonomi. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang mampu diadopsi dan diterapkan secara luas, dan memberikan dampak utama pada peningkatan produktivitas sistim pertanian yang berkelanjutan (Devendra, 1993). Quantum leaps dalam produktivitas hanya dapat diperoleh melalui penerapan teknologi, termasuk pemanfaatan hasil-hasil riset dan didukung oleh komitmen untuk pengembangan investasi. Kedepan sangat dibutuhkan mekanisme bagaimana mengupayakan secara kuat penggunaan suatu teknologi dan bagaimana metode alih teknologi agar dapat diterima oleh petani/peternak (UMKM). Berikut ini disajikan berbagai pengalaman mengenai implementasi program fasilitasi proven technology dan akses pembiayaan yang ditujukan untuk penguatan usaha (bisnis) pada UMKM peternakan sapi potong dan kambing yang mencakup deskripsi program, teknologi yang diimplementasikan beserta skim pembiayaan perbankan.
56
3.1. Program Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (PPED) a. Deskripsi Program Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, Bank Indonesia Purwokerto melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah, Perbankan, dunia usaha (UMKM) dan instansi terkait melalui pemanfaatan hasil kajian (penelitian) Kantor Bank Indonesia dan kesepakatan bersama. Program kerja ini merupakan pelaksanaan insiatif Bank Indonesia melalui kegiatan “Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah” yang difokuskan untuk mempercepat pertumbuhan sektor riil dan peningkatan intermediasi perbankan di daerah. Kegiatan difokuskan pada sektor pertanian dan dilaksanakan berdasarkan hasil kajian Bank Indonesia bekerjasama dengan perguruan tinggi. Program dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia, yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan kelompok masyarakat penderes gula kelapa yang merupakan bagian besar masyarakat miskin di eks karesidenan Banyumas dan kelompok peternakan kambing Peranakan Etawah. Kegiatan diarahkan untuk poverty alleviation dan pemberdayaan ekonomi. Peningkatan aksesibilitas UMKM terhadap pembiayaan diperlukan agar tercapai realisasi investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. b. Teknologi yang Diimplementasikan Tema program PPED tahun 2007 adalah “Penguatan Kelompok Peternak Kambing Peranakan Etawah (PE) sebagai Ternak Dwi-Guna, dan Program Integrasi Usaha Peternakan Kambing PE pada Usaha Penderes Gula Kelapa”. Tujuan umum kegiatan ini adalah untukpercepatan pemberdayaan ekonomi daerah dalam rangka percepatan sektor rill melalui pengembangan UMKM peternakan Kambing Peranakan Etawah dalam dua bentuk (i) Penguatan Kelompok Peternak Kambing PE sebagai ternak Dwi-Guna (penghasil anakan dan susu), dan (ii) Integrasi Usaha Peternakan Kambing PE pada Usaha Industri (penderes) Gula Kelapa. Tujuan khusus kegiatan ini adalah (i) Memfasilitasi UMKM peternakan kambing PE dalam aksesibilitas terhadap lembaga perbankan, dan (ii) Memfasilitasi UMKM peternakan kambing PE dalam aspek kelembagaan dan kewirausahaan, serta aspek budidaya. Teknologi yang diterapkan untuk memacu produktivitas adalah teknologi (1) pakan, (2) pemuliabikan, (2) perkandangan, dan (3) pengolahan hasil. Diterapkan teknologi pakan complete feed dengan mendayagunakan sumberdaya bahan pakan lokal (limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri). Penerapan teknologi pakan lengkap mampu menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun, meningkatkan produktivitas kambing, serta meningkatkan efisiensi usaha (Sodiq and Setianto, 2009; Setianto dkk., 2009; Rustomo dkk., 2009). Penerapan teknologi pakan lengkap merupakan usaha Low External Input Sustainable Agriculture(LEISA). Diterapkan pula model integrasi Crop Livestock System (CLS). Model ini sangat disarankan (Devendra, 2004 dan 2007) dan melalui inovasi teknologi yang tepat, ’limbah’ tanaman dapat diubah menjadi bahan pakan sumber serat bagi ternak sapi, sehingga dapat dilakukan optimasi produksi tanaman dan ternak (Pamungkas dan Hartati, 2004; Priyanti dan Djajanegara, 2004). Penerapan sistim integrasi dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan memanfaatkan forest margin dan tumpang sari. Teknologi pemuliabiakan dilakukan dengan mengintroduksi pejantan unggul (kambing Peranakan Etawah Grade A) untuk memperbaiki populasi yang ada. Penerapan kandang tipe panggung (stilted housing) direkomendasikan untuk menjamin kebersihan dan kesehatan ternak dan produk susunya. Penempatakan kandang sesuai umur fisiologis ternak diintroduksikan untuk menekan angka kematian cempe prasapih dan memenuhi Social Peck Order. Berbagai teknologi pengolahan susu diberikan kepada peternak.
57
c. Akses Pembiayaan dari Perbankan Pada tahap pertama UMKM Kelompok Tani Ternak Kambing Peranakan Etawah mempeoleh pembiayaan dari Bank BTN melalui skim Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) kemudian ditambah dari Bank Syariah Mandiri berupa skim Debt for Natur Swap dan Kredit Usaha Rakyat (KUR-Barokah). Untuk UMKM kelompok tani ternak kambing pola integrasi dengan usaha penderes kelapa memperoleh pembiayaan dari Bank Perkreditan Rakyat Bank Kredit Kecamatan (BPR-BKK Purbalingga) untuk tiga kelompok dengan skim subsidi bunga 50% dari pemerintah daerah, dan satu kelompok memperoleh pembiayaan dari Bank Syariah Mandiri berupa skim Kredit Usaha Rakyat (KUR-Barokah). Semua pembiayaan UMKM bunga rendah (6-8% per tahun) dengan menerapkan grase period selama enam bulan. UMKM binaan memperoleh bantuan Corporate Social Responsibility (CRS) dari Bank Indonesia berupa alat pencacah rumput (chooper) dan drum fermentor untuk mendukung aplikasi teknologi complete feed, dan pejantan unggul untuk memperbaiki kualitas genetik populasi melalui teknologi pemuliabikan grading-up dan seleksi. 3.2. Program Sarjana Membangun Desa (SMD) a. Deskripsi Program Kegiatan Sarjana Membangun Desa (SMD) merupakan kegiatan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam upaya pemberdayaan kelompok tani ternak yang dilakukan dengan menempatkan tenaga Sarjana Peternakan dan Kedokteran Hewan maupun D-3 Ilmu-ilmu Peternakan dan Kedokteran Hewan di kelompok tani. Dengan penempatan SMD di pedesaan diharapkan dapat melakukan transfer teknologi dari Perguruan Tinggi ke masyarakat dan meningkatkan jiwa kewirausahaan (Deptan, 2010a). Program SMD merupakan pemberdayaan kelompok peternak yang akan melalui pendampingan kelompok sekaligus penyaluran dana penguatan modal usaha, bertujuan (1) memperkuat modal usaha, sarana dan prasarana dalam mengembangkan usaha peternakan; (2) meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan peternak; (3) meningkatkan kemadirian dan kerjasama kelompok; (4) mendorong tumbuh dan berkembangnya pelaku agribisnis muda dan terdidik pada usaha peternakan; dan (5) mengembangkan sentra-sentra kawasan usaha peternakan. Penguatan kelembagaan ekonomi peternak melalui SMD adalah upaya pemanfaatan potensi sumber daya lokal yang dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah melalui kegiatan budidaya atau perbibitan ternak, sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan SMD, kelompok peternak dan masyarakat sekitarnya. b. Teknologi yang Diimplementasikan Pelaksanaan program SMD melalui Fakultas Peternakan dilakukan sejak tahun 2008 dengan komoditas sapi potong (21 kelompok tani ternak). Bangsa sapi yang digunakan adalah Peranakan Ongole, Peranakan Simental dan Charolois untuk tujuan penggemukan, serta Sapi Brahman Cross untuk tujuan menghasilkan pedet. Mulai tahun 2009 komoditas yang diusahakan meningkat meliputi sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing, unggas lokal, dan kelinci. Jumlah kelompok yang dibina Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman hingga saat ini mencapai 138 kelompok tani ternak program SMD berlokasi di 12 kabupaten. Hasil memperlihatkan bahwa tingkat reproduksi Sapi Brahman Cross sangat rendah terutama pada kelahiran kedua (Sodiq, 2011; Sodiq, 2010c; Yuwono and Sodiq, 2010). Teknologi yang diterapkan mencakup teknologi pakan (amoniasi dan silase), pemuliabiakan dan reproduksi (perkawinan, inseminasi buatan, rekording), pengolahan limbah dan kotoran (kompos, pupuk cair dan biogas). Untuk unggas lokal diterapkan pula 58
teknologi penetasan buatan. Untuk meningkatkan hasil usaha diterapkan sistim CLS danLEISA dengan memanfaatkan sumberdaya lokal (limbah hasil pertanian, perhutanan dan agroindustri) (Sodiq dkk., 2010; Sodiq, 2011). Model integrasi tanaman dan ternak sangat disarankan (Devendra, 2004 dan 2007) dan melalui inovasi teknologi yang tepat, ’limbah’ tanaman dapat diubah menjadi bahan pakan sumber serat bagi ternak sapi, sehingga dapat dilakukan optimasi produksi tanaman dan ternak (Pamungkas dan Hartati, 2004; Priyanti dan Djajanegara, 2004). c. Akses Pembiayaan dari Perbankan Beberapa UMKM kelompok SMD telah melakukan akses pembiayan kepada perbankan antara lain (1) Bank Mandiri melalui skim Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dengan bunga lunak (6% per tahun selama tiga tahun dan tidak ada biaya administrasi, (2) Bank Janteng melalui skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, (3) Bank BTN melalui skim Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dengan bunga 6% per tahun disertai pemberian CSR berupa berupa alat pencacah rumput (chooper) untuk mendukung aplikasi teknologi pengolahan pakan. 3.3. Program Penyelamatan Sapi Potong Betina Produktip a. Deskripsi Program Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengimplementasikan pola pemberdayaan dan fasilitasi kelembagaan petani peternakan sapi potong dalam rangka akselerasi pertumbuhan populasi sapi potong dalam negeri, sekaligus mengeliminir berbagai faktor penghambat laju pertumbuhan populasi sapi potong dalam negeri. Program ini juga merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti pada masa lalu. Target berupa peningkatan ketersedian daging sapi domestik sebesar 90 persen. Program aksi yang dilakukan diantaranya dengan memfasilitasi kelompok tani ternak yang potensi di lokasi strategis guna melakukan kegiatan penyelamatan sapi betina produktip yang diperdagangkan dengan tujuan akhir Rumah Potong Hewan. Sasaran yang ingin dicapai yaitu meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan penyelamatan sapi betina produktip melalui (1) penyelamatan sekaligus pengawasan dan pencegahan pemotongan sapi betina produktif secara efektif; (2) terbinanya kelompok/unit usaha budidaya perbibitan dan penggemukan sapi potong secera efektif; dan (3) terjaganya struktur populasi sapi betina produktif sehingga dapat menjamin kontinuitas peningkatan populasi yang optimal (Deptan, 2010b). Teknologi utama pada program Penyelamatan Sapi Potong Betina Produktip adalah (1) teknologi reproduksi yaitu deteksi kebuntingan dan inseminasi buatan, (2) teknologi pakan untuk menjamin kondisi tubuh Body Condition Score (BCS) 6-7 (pada skala 1-10) agar proses reproduksi tidak terganggu. Dilaporkan oleh Bridges and Lemenager (2000) bahwa Sapi dengan BCS 3 dan 4 akan menurun laju kebuntingan, peningkatan calving intervals, penurunan bobot pedet, dan penurunan pendapatan. Lebih lanjut Moraes et al., (2007) menunjukkan hanya BCS 3 (pada skala 1 sampai 5) pada periode pertama postpartum yang dapat diinseminasi dan menghasilkan kebuntingan. Winugroho (2002) merekomendasikan penerapan strategi pakan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi. b. Teknologi yang Diimplementasikan Teknologi utama pada program Penyelamatan Sapi Potong Betina Produktip adalah (1) teknologi reproduksi yaitu deteksi kebuntingan dan inseminasi buatan, (2) teknologi pakan untuk menjamin kondisi tubuh Body Condition Score (BCS) 6-7 (pada skala 1-10) agar proses reproduksi tidak terganggu. Dilaporkan oleh Bridges and Lemenager (2000) bahwa Sapi dengan BCS 3 dan 4 akan menurun laju kebuntingan, peningkatan calving intervals, penurunan bobot pedet, dan penurunan pendapatan. Lebih lanjut Moraes et al., 59
(2007) menunjukkan hanya BCS 3 (pada skala 1 sampai 5) pada periode pertama postpartum yang dapat diinseminasi dan menghasilkan kebuntingan. Winugroho (2002) merekomendasikan penerapan strategi pakan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi. c. Akses Pembiayaan dari Perbankan UMKM kelompok tani ternak program Penyelamatan Sapi Potong Betina Produktif (Kelompok Mekar Djaya) memperoleh akses pembiayan dari Bank Mandiri melalui skim Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dengan bunga lunak (6% per tahun selama tiga tahun dan tidak ada biaya administrasi. Proses akad kredit dilakukan di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 3.4. Program IPTEKDA-LIPI bottom-up tahun 2008-2009 a. Deskripsi Program Program IPTEKDA-LIPI merupakan kegiatan Penerapan dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Daerah yang diprakasai LIPI. Kegiatan dirancang untuk membudayakan dan mengembangkan UMKM dengan azas mendidik, berorientasi alih teknologi tepat guna, ekonomis, dan berkelanjutan sesuai dengan kearifan (potensi) lokal di masing-masing daerah. Melalui kegiatan ini, didorong munculnya usaha baru yang ekonomis dengan memanfaatkan teknologi yang telah ada dan telah terbukti dapat diterapkan dengan ekonomis. Kegiatan bertujuan untuk memberdayakan UMKM melalui introduksi ilmu dan teknologi serta penyediaan dana awal yang bersifat berkelanjutan. Pengertian berkelanjutan dimaksudkan agar usaha tersebut dapat memiliki multiplier effect dengan memanfaatkan fasilitas yang diberikan. Tujuan penerapan Kegiatan Iptekda LIPI Program bottom up adalah untuk : (1) Meningkatkan kemampuan UMKM yang ada serta menumbuhkembangkan UMKM yang produktif (termasuk bidang jasa), melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membina usaha yang berkelanjutan; (2) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM), di daerah dan mendekatkan lembaga penelitian dengan UMKM serta sebaliknya; (3) Menciptakan lapangan kerja di daerah serta memanfaatkan produk unggulan/spesifik daerah; (4) Menumbuhkan embrio lembaga pemberdayaan (intermediasi) UMKM di daerah dan mengembangkan pola pemberdayaan UMKM; dan (5) Menciptakan akses bagi UMKM dalam perspektif diseminasi Iptek, pengentasan kemiskinan dan kesetaraan gender (LIPI, 2009). b. Teknologi yang Diimplementasikan Pada Tahun I (2008), kegiatan Iptekda LIPI Program bottom up adalah “Perbaikan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah melalui Aplikasi Teknologi Pakan Komplit (Complete Feed) di Kabupaten Banyumas” Tujuan kegiatan adalah (1) Meningkatkan produktivitas Kambing PE yaitu produksi susu dan bobot sapih cempe; (2) Memproduksi pakan lengkap untuk memenuhi kebutuhan pakan kambing pada saat musim kemarau (Rustomo dkk., 2008). Pada tahun II (2009), kegiatan Iptekda LIPI Program bottom up adalah “Penguatan Program Perbaikan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah melalui Aplikasi Teknologi Pakan Komplit di Kabupaten Banyumas”. Tujuan kegiatan ini adalah (1) Mempertahankan keberlanjutan aplikasi teknologi complete feed untuk pakan kambing PE di UMKM; (2) Mengembangkan jumlah UMKM yang mengaplikasi teknologi complete feed; (3) Menjaga keberlanjutan dan meningkatkan produksi complete feed untuk UMKM; dan (4) Menjaga keberlanjutan dan mengembangkan program dana bergulir (Rustomo dkk., 2009). Teknologi yang diterapkan fokus pada teknologi pakan lengkap untuk ternak kambing PE dengan variasi umur fisiologis (induk bunting, induk menysui, dan cempe). Penerapan teknologi ini mampu meningkatkan rataan bobot lahir cempe dari 2,5 menjadi 3,5 kg dan bobot sapih dari 15 menjadi 18kg (Yuwono dkk., 2008), dan meningkatkan 60
produktivitas kambing PE (Sodiq, 2010; Sodiq and Setianto, 2009; Rustomo dkk., 2008, 2009). c. Akses Pembiayaan dari Perbankan Dengan menerapkan teknologi pakan jadi usaha yang dilakukan UMKM peternak Kambing Peranakan Etawah meningkat skala usahanya, diantaranya melalui dukungan penguatan modal dari pembiayaan dua perbankan, yaitu (1) Bank BTN melalui skim Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) berjumlah Rp.223.000.000,- (2) Bank Syariah Mandiri berupa skim Kredit Usaha Rakyat (KUR-Barokah) berjumlah Rp.650.000.000,3.5. Program Penerapan Ipteks dan Vucer a. Deskripsi Program Penerapan Ipteks merupakan program pengabdian kepada masyarakat yang dikembangkan oleh DP2M Ditjen Dikti. Tujuan program adalah menerapkan hasil-hasil ipteks untuk pemberdayaan masyarakat serta dapat menghasilkan perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap dari kelompok masyarakat sasaran. Penerapan ipteks perlu dilaksanakan dalam bentuk jaringan kerjasama yang sinergis dan berorientasi pada kemandirian masyarakat. Khalayak sasaran adalah masyarakat luas dapat sebagai peserta perorangan, kelompok, komunitas maupun lembaga yang berada diperkotaan maupun pedesaan dengan kegiatan diberbagai bidang (Ditjen-Dikti, 2006). Program Vucer memberikan prioritas pada teknologi maupun manajemen termasuk pembukuan dan pemasaran. Sasaran utama dari Program Vucer adalah kelompok produktif di masyarakat seperti industri kecil atau koperasi. Permasalahan pokok dan strategis tersebut, yang ditampilkan sebagai topik program, diselesaikan secara bersama-sama oleh perguruan tinggi pelaksana dengan pengusaha kecil atau koperasi. Jadi, interaksi antara ilmu pengetahuan dan teknologi di antara kedua pihak diharapkan dapat terwujud melalui kegiatan ini. Aktivitas Program Vucer ditujukan bagi peningkatan kinerja dan kemandirian industri kecil perdesaan maupun perkotaan dan wirausaha baru (Ditjen-Dikti, 2006). b. Teknologi yang Diimplementasikan Kegiatan Penerapan Ipteks I adalah “Aplikasi Teknologi Pemuliabiakan untuk Memperbaiki Penampilan Produksi Ternak Kambing di Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas”. Tujuan kegiatan (1) Memperbaiki penampilan luar kambing PE di pedesaan; (2) Meningkatkan potensi genetik produksi kambing PE di pedesaan. Kegiatan Penerapan Ipteks II adalah “Optimalisasi Produksi Ternak Kambing PE di Daerah Sumber Bibit melalui Penerapan Paket Teknologi Kalender Reproduksi dan Manajemen Produksi”.Tujuan kegiatan adalah (1) Memperpendek selang beranak pada induk kambing PE; (2) Meningkatkan laju reproduksi induk kambing PE, dan (3) Meningkatkan produktivitas induk kambing PE. Teknologi yang diimplementasikan pada program penerapan Ipteks adalah (1) Teknologi pemuliabiakan dengan mengintroduksi pejantan unggul sebagai pemacek pada kelompok ternak, dan (2) Teknologi penanggalan reproduksi yang digunakan sebagai panduan peternak dalam merencanakan perkawinan induk, penyiapan beranak, dan penyapihan cempe. Penerapan teknologi ini dapat meningkatkan produktivitas induk dengan memperpendek periode kidding interval diikuti dengan meningkatkan daya hidup cempe prasapih(Sodiq, 2000). Kegiatan Vucer Tahun 2007 adalah “Teknologi pakan lengkap untuk meningkatkan produktivitas kambing perah PE”. Tujuan kegiatan adalah (1) Memproduksi pakan lengkap untuk memenuhi kebutuhan pakan kambing pada saat musim kemarau (2) Menyediakan instalasi pembuatan pakan lengkap dengan kapasitas produksi minimum 100 kg per hari); 61
dan (3) Meningkatkan produktivitas kambing perah PE yaitu produksi susu serta pencapaian bobot sapih. Teknologi yang diterapkan fokus pada pengolahan pakan yaitu teknologi pakan lengkap untuk ternak kambing. Penerapan teknologi ini nyata meningkatkan produktivitas bobot cempe (Yuwono dkk., 2008) dan menjamin ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau. c. Akses Pembiayaan dari Perbankan UMKM peternakan kambing mitra binaan program Penerapan Ipteks dan Vucer telah berhasil memperoleh akses pembiayaan dari Bank Syariah Mandiri berupa skim Debt for Natur Swap dengan bunga 6% per tahun dan grase period 6 bulan. Jumlah kredit per peternak berkisar dari Rp.8-30 juta dengan masa pelunasan 3-5 tahun. 3.6. Program Ipteks buat Produk Ekspor (IbPE) a. Deskripsi Program Program Ipteks bagi Produk Ekspor (IbPE) merupakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk penerapan dan pengembangan hasil riset perguruan tinggi, berlangsung selama 3 (tiga) tahun. Persoalan yang ditangani meliputi seluruh aspek bisnis UKM sejak bahan baku sampai ke pemasaran produk. Demikian juga persoalan produksi dan manajemen perusahaan, menjadi bidang garapan wajib IbPE. UKM mitra yang dipilih harus mampu menghasilkan produk atau komoditas yang berpeluang ekspor atau minimal dijual antar pulau (Ditjen-Dikti, 2009). Misi program IbPE adalah meletakkan UKM pada posisi sains, teknologi dan ekonomi yang lebih tinggi dan kokoh. Tujuan program ini adalah untuk: (1) Memacu pertumbuhan ekspor produk Indonesia melalui pertumbuhan pasar yang kompetitif; (2) Meningkatkan pengembangan UKM dalam merebut peluang ekspor melalui peningkatan kualitas produk dan pemasaran; (3) Mempercepat alih teknologi dan manajemen PT ke masyarakat industri; (4) Mengembangkan proses link & match antara PT, industri, Pemda, dan masyarakat luas. Luaran program yang diharapkan adalah: (1) meningkatnya nilai aset UKM; (2) terjalinnya kerjasama antara PT dan UKM; (3) bertambahnya jumlah dan mutu produk yang dipasarkan; (4) meningkatnya imbalan jasa bagi semua yang terlibat; (5) meningkatnya jumlah tenaga kerja UKM. b. Teknologi yang Diimplementasikan Program Ipteks bagi Produk Ekspor (IbPE) pada tahun 2010-2011 adalah IbPE Industri Peternakan Kambing Peranakan Etawah di Banyumas Jawa-Tengah. Teknologi yang diimplementasikan meliputi (1) teknologi pemuliabiakan (bibit, perkawinan, seleksi, rekording), (2) teknologi pakan berbasis sumberdaya bahan pakan lokal), (3) teknologi budidaya, (4) teknologi penanganan dan pengolahan susu, dan (5) teknologi pemasaran dengan memanfaatkan teknologi informasi pembuatan website (Sodiq dkk., 2009). c. Akses Pembiayaan dari Perbankan UMKM peternakan kambing Peranakan Etawah program IbPE untuk meningkatkan skala usahanya telah memperoleh penguatan modal melalui pembiayaan dari Bank BTN skim Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dengan bunga 6% per tahun dan tidak dibebani biaya administrasi. Masa kredit berkisar 3-5 tahun. Setiap peternak memperoleh kredit maksimal Rp.20.000.000,- dan untuk satu kelompok mencapai Rp.500.000.000,3.7. Strategi Peningkatan Akses Pembiayaan dari Perbankan Akses peternak kepada permodalan selama ini masih menjadi salah satu kendala, sehingga secara umum mempengaruhi produktivitas nasional. Lemahnya struktur modal UMKM peternak diakibatkan tidak adanya aset yang dapat dijadikan agunan. Dilaporkan 62
bahwa terdapat permasalahan UMKM (Bank Indonesia, 2008) dilihat dari perspektip perbankan dan perspektip UMKM. Dari perspektip perbankan adalah sebagai berikut: (1) UMKM adalah sektor yang dianggap beresiko tinggi (high risk), (2) keuntungannya kecil (low profit), (3) Jaminan UMKM yang terbatas, dan (4) UMKM yang potensial dibiayai sulit didapat. Dari perspektip UMKM adalah (1) Persyaratan jaminan fisik/.tambahan yang diminta bank, (2) Prosedur pengajuan kredit yang dianggap sulit dan berbelit-belit, (3) Relatip tingginya tingkat suku bunga perbankan. Pengembangan usaha melalui penambahan permodalan harus dilandasi perbaikan pada aspek pemasarn, produksi, SDM dan lainnya. Hasil implementasi program Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (Sodiq, 2008; 2010a) merumuskan constraints sebagai berikut (i) Persyaratan Jaminan, pada umumnya tidak memiliki sertifikat dan BPKB, (ii) Suku bunga atau margin masih relatif tinggi, (iii) Siklus produksi (gestation period), dibutuhkan waktu 8-9 bulan, (iv) Analisis kelayakan, pada umumnya sangat lemah, dan (v) Kelembagaan kelompok relatip belum solid. Ditemukan beberapa tipologi UMKM berdasarkan karakteristik (bankable dan feaseable) (Tabel 1) serta rumusan strategi untuk pengembagannya termasuk penerapan proven technology. Tabel 1. Tipologi dan Karakteristik UMKM Beserta Alternatip Solusi Kategori UMKM
Karakteristik Bankable Feasible
Alternatif Solusi Fasilitasi akses pada lembaga keuangan Fasilitasi akses pada lembaga keuangan dengan penjaminan kredit
Kategori I
Ya
Ya
Kategori II
Tidak
Ya
Kategori III
Ya
Tidak
Fasilitasi teknis produksi (proven technology)
Tidak
Fasilitasi teknis produksi (proven technology) dan pembiayaan non komersial oleh pemerintah/pemda
Kategori IV
Tidak
Strategi perbaikan sistim produksi untuk peningkatan aksesibilitas terhadap lembaga perbankan mencakup (1) Potensi peternak individu ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, (2) Wadahi peternak pada kelembagaan kelompok yang solid, (3) Fasilitasi teknologi terapan yang proven untuk meningkatkan fisibilitas usaha, dan (4) Mediasi kepada lembaga perbankan berupa fasilitasi informasi dan akses pembiayaan (Sodiq dan Setianto, 2008; dan Sodiq, 2009; 2010a). Usaha peternakan yang sudah feaseable tetapi belum bankable difasilitasi akses pada lembaga keuangan dengan penjaminan kredit maupun model tanggung renteng dalam wadah kelembagaan kelompok tani ternak. 4. KESIMPULAN Implementasi enam program aksi pemberdayaan ekonomi masyarakat pada UMKM peternakan sapi potong dan kambing membutuhkan dukungan teknologi yang proven untuk memperbaiki sistem produksi dengan memperhatikan sumberdaya lokal dan agroekosistem. Untuk peningkatan usaha dan bisnis diperlukan dukungan pembiayaan dari perbankan dengan skim pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik sistem produksi peternakan sapi potong dan kambing. Kerjasama berbagai pihak (Government, Academician, Businessman, 63
Bank, and Social-Community) sangat diperlukan untuk memfasilitasi penguatan teknologi dan akses pembiayaan UMKM peternakan sapi potong dan kambing. REFERENSI ATSE, 2003. The Livestock Revolution: A Pathway from Poverty? Record of conference conducted by the ATSE Crowford Fund Parliament House, Canberra. 13 August 2003. Bank Indonesia, 2008. Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Makalah, Disampaikan pada Forum Komunikasi antara UMKM dan Perbankan, Purwokerto, 26 Juni 2008. Bridges, A. and Lemenager, R., 2000. Impact of Body Condition at Calving on Reproductive Productivity in Beef Cattle. Extension Specialist, Reproduction and Beef, Department of Animal Science, Purdue University. Deptan, 2010a. Pedoman Pelaksanaan Sarjana Membangun Desa (SMD) Tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian RI. Deptan, 2010b. Penyelamatan Sapi Betina Produktip. Pedoman Pelaksanaan. Departemen Pertanian 2010. Devendra, C., 2007. Perspectives on animal production systems in Asia. Livestock Science, 106: 1-18. Devendra, C., 2004. Organic farming-closing remarks. Livestock Production Science. 90:6768. Devendra, C., 1993. Sustainable Animal Production from Small Farm Systems in South-East Asia. FAO Animal Production and Health Paper 106. Food and Agricultural Organization of United Nations, Rome. Ditjen-Dikti, 2009. Buku Panduan Pelaksanaan Hibah Pengabdian kepada Masyarakat. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. Ditjen-Dikti, 1996. Panduan Pengelolaan Program Hibah DP2M Ditjen Dikti. Edisi VII. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. FAO (Food and Agriculture Organization), 1999. Poverty Alleviation and Food Security in Asia: Role of Livestock. RAP Publication 1999/4. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Bangkok 10200, Thailand. ILRI (International Livestock Research Institute), 1995. Livestock Policy Analysis. ILRI Training Manual 2. ILRI, Nairobi, Kenya. pp. 264. LID (Livestock in Development), 1999. Livestock in Poverty-Focused Development. Antony Rowe Ltd, Bumper’s Farm, Wiltshire. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), 1998. Panduan Penyusunan Proposal Kegiatan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Daerah (Iptekda) LIPI (Program Bottom Up 2009). LIPI Press, Jakarta. Mack, S. 1990. Strategies for sustainable animal agriculture in developing countries. FAO Animal Production Health, Paper 107. Proc, the FAO Expert Consultation held in Rome, Italy 10–14 December 1990.
64
Moraes, J.C.F., Jaume, C.M. and Souza, C.J.H., 2007. Body condition score to predict the postpartum fertility of crossbred beef cows. Pesq. agropec. bras. Brasília 42(5):741746. Pamungkas, D. dan Hartati, 2004. Peranan ternak dalam kesinambungan sistem usaha pertanian. Lokakarya Nasional Integrasi Ternak. Ciawi, Bogor, 2004. Priyanti, A and Djajanegara, A., 2004. Development of cattle beef production towards integrated farming systems. Lokakarya Nasional Sapi Potong, Ciawi, Bogor. Rustomo, B., Sodiq, A., Sumarmono, J., Bata, M. dan Setianto, N.A., 2008. Perbaikan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah melalui Aplikasi Teknologi Pakan Komplit di Kabupaten Banyumas. Final Report Program Iptekda LIPI. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (Tidak diterbitkan). Rustomo, B., Sodiq, A., Sumarmono, J., dan Setianto, N.A., 2009. Penguatan Program Perbaikan Produktivitas Kambing Peranakan Etawah melalui Aplikasi Teknologi Pakan Komplit di Kabupaten Banyumas. Final Report Program Iptekda LIPI. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (Tidak diterbitkan). Setianto, N.A., Djatmiko O.E. and Priyono, A., 2009. Adoption of Complete Feed Technology on PE Goat Farming in Banyumas. Research Report Program I-MHERE. Jenderal Soedirman University, Purwokerto (Tidak diterbitkan). Sodiq, A., 2011. Analisis Kawasan Perbibitan dan Penggemukan Sapi Potong Berbasis Sumberdaya Lokal Pedesaan. Jurnal Agripet Universitas Syiah Kuala11(1): 45-54. Sodiq, A., 2010. Development strategy for increasing goat productivity and population. Proceeding 31st Annual Conference Malaysian Society of Animal Production, 6-8 June 2010, Kota Bharu, Malaysia. Sodiq, A., 2010a. Improving Livestock Production System of Peranakan Etawah Goat Farming for Increasing Accessibility to Bank. Proc. International Seminar on Prospects and Challenges of Animal Production in Developing Countries in the 21st Century, Malang, March 23-25, 2010. Sodiq, A., 2010b. Empowerment of Goat Farming: Lessons Learnt from the Development of Goat Farming Group of Peranakan Etawah Gumelar Banyumas. The 5th International Seminar On Tropical Animal Production, 19-22 October 2010, Yogyakarta, Indonesia. Sodiq, A., 2010c. Kinerja Sarjana Membangun Desa dalam Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Jurnal Ilmiah Inkoma21(3):219-226. Sodiq, A., 2009. Aksesibiltas terhadap Perbankan dalam Mendukung Pembangunan Peternakan. Makalah Utama Sidang Pleno pada Pertemuan Teknis Fungsi-Fungsi Pembangunan Peternakan di Indonesia, Mataram NTB, 23-25 April 2009. Sodiq, A., 2008. Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah: Program Penguatan Kelompok Peternak Kambing PE sebagai Ternak Dwi-Guna, dan Program Integrasi Usaha Peternakan Kambing PE pada Usaha Penderes Gula Kelapa. Final Report. Kantor Bank Indonesia Purwokerto. Sodiq, A., 2005. Small ruminants: Implication and research strategies on rural poverty reduction. Journal of Rural Development. 1(7):1-7. Sodiq, A., 2000. Ewe and Doe Productivity under Village and Improved Management System. International Symposium Cum Workshop Sustainable Development in the Context Globalization and Locality. Sept. 18-22, 2000, Bogor, Indonesia.
65
Sodiq, A. and Setianto, N.A., 2009.Production System of Peranakan Etawah Goat under Application of Feed Technology: Productivity and Economic Efficiency. Animal Producion Journal 11(3):202-208. Sodiq, A. dan Setianto, N.A., 2008. Keragaan Produktivitas dan Kelembagaan Peternakan Kambing serta Potensi Aksesibilitas terhadap Lembaga Perbankan. Laporan Penelitian. Program Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (Tidak diterbitkan). Sodiq, A. and Setianto, N.A., 2007. A Beef-Cattle Development Assessment: Identification of Production System Characteristics of Beef-Cattle in Rural Area.Journal of Rural Development, 7(1):1-8. Sodiq, A. dan Setianto, N.A., 2005a. Kajian Pengembangan Sapi Potong Nasional. Laporan Penelitian. Kerjasama Fakultas Peternakan Unsoed dengan Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta (Tidak diterbitkan). Sodiq, A. dan Setianto, N.A., 2005b. Analisis Pola Gaduhan Ternak Sapi Potong di Indonesia. Laporan Penelitian. Kerjasama Fakultas Peternakan Unsoed dengan Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Sodiq, A., B. Rustomo and Setianto, N.A., 2009. Ipteks buat Produk Eksport (IbPE): Industry of PE Goat Farming in Banyumas, Central Java. Jenderal Soedirman University, Purwokerto (Tidak diterbitkan). Sodiq, A., Munadi dan Purbojo, S.W., 2010. Sistim produksi peternakan sapi potong berbasis sumberdaya lokal pada Program Sarjana Membangun Desa. Jurnal Pembangunan Pedesaan 10(2):61-68. Winugroho, M., 2002. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki efisiensi reproduksi induk sapi. Jurnal Litbang Pertanian 21(1):19-23. Yuwono, P. and Sodiq, A., 2010. Cow-calf operation of Brahman Cross at Village Breeding Centre: Pitfall and Lesson Learnt. Journal of Animal Production 12(3): 66-72. Yuwono, P., Sumarmono, J. dan Sodiq, A., 2008. Teknologi pakan lengkap untuk meningkatkan produktivitas kambing perah Peranakan Etawah (PE). Final Report Program Vucer. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (Tidak diterbitkan).
66
KEBIJAKAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI PERKERETAAPIAN INDONESIA SEBAGAI MODA TRANSPORTASI MASSAL Galuh Syahbana Indraprahasta9 dan Anugerah Yuka Asmara10 E-mail:
[email protected],
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI ABSTRACT Transportationinfrastructuredevelopment inmany developed countriesprioritizestheprovision of mass transportation. No wonderifthe transportation policydevelopment in these countries have been madeconsidering several criterias, such asefficientmovement(timeand effort), affordable, andfairnessfor everyclass ofsociety. One mode oftransportation supporting thecriteriasis train.Indonesia, indeed,has a good potentialin developing trainasthe primarymode ofmass transportationbecause it is supportedbythe nationalrail industry(PT INKA) thatata regional level (Asia)is quiterecognized.On theotherhand, historicalfactors particularly inthe Dutchcolonialerathathad used thetrainasthe mainmodeof land transportationcanbe avaluablebasic foundationto continue train development in Indonesia.This paperaimstoexplore the aspect ofless-in-favor ofmass transportation development, especially the railway industrydevelopmentinIndonesia. The development ofthe nationalrailway industryis strongly influencedby the masstransportation developmentparadigm. Currently, thedevelopment ofmass transportationhas the impression to bemarginalizedby thedevelopment ofpersonaltransportation modes, especiallymotorcyclesand cars. Policy debottleneckingandcross-sectors policy support for the railway industrydevelopment are needed as aneffort to developanintegratedrailway industry in Indonesia. Keywords:policy, mass transportation, railway industry-technology 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai penelitian ekonomi pembangunan (Thulin, 2009; Fonseca, 2003; Premius, 2001) mengemukakan bahwa mobilitas menjadi salah satu input penentu bagi produktivitas.Artinya mobilitas manusia yang baik akan mendorong peningkatan produktivitas regional yang tentunya merupakan indikasi berjalannya pembangunan. Mobilitas manusia ini dapat direpresentasikan, salah satunya, dengan pergerakan yang dapat diakomodasi denganinfrastruktur transportasi yang baik. Pengembangan transportasi yang baik di banyak negara terbukti mampu mendorong pembangunan ekonomi (Lakshmanan, 2007; Banister and Berechman, 2000; Banister and Berechman, 2001; Carapetis et al, 1984). Pengembangan infrastruktur di banyak negara maju mengedepankan aspek masyarakat (massal). Tidak heran jikalau kebijakan pengembangan transportasi yang dibuat 9
Spesialisasi dalam bidang Ekonomi Pembangunan, Perencanaan Wilayah, dan Geografi Manusia Spesialisasi dalam bidang Kebijakan Publik
10
67
di negara-negara tersebut mengedepankan aspek pergerakan yang efisien (waktu dan tenaga), terjangkau (affordable), dan berkeadilan bagi setiap golongan masyarakat. Salah satu moda yang mendukung aspek-aspek pergerakan ini adalah kereta api. Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang baik dalam mengembangkan kereta api sebagai moda transportasi massal utama, antara lain karena didukung oleh industri perkeretaapian nasional (PT. INKA) yang di level regional Asia mempunyai kemampuan teknologi kompetitif (terutama untuk kategori kereta dengan kelas medium). Namun penggunaan kereta api sebagai moda transportasi massal belum sepenuhnya mendapatkan tempat. Bahkan dalam payung yang lebih besar, sistem transportasi massal di Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Dengan potensi lokal yang dimiliki, pengembangan transportasi massal di Indonesia, khususnya dalam hal ini kereta api, dapat didukung sehingga mampu menjadi pendorong bagi pembangunan ekonomi regional dan nasional. Pengembangan industri perkeretaapian akan berimplikasi terhadap pengembangan pemanfaatan teknologi perkeretaapian yang saat ini banyak diproduksi secara domestik. 1.2. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk mendalami aspek kekurangberpihakan pengembangan transportasi massal, khususnya pengembangan industri perkeretaapian di Indonesia. 2. KEBUTUHAN PENGEMBANGAN TRANSPORTASI MASSAL Untuk daerah berpenduduk padat, kereta api merupakan sarana transportasi massal dengan daya angkut besar, memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi dibanding dengan sarana transportasi darat lainnya, dan merupakan transportasi ramah lingkungan (Nikmah dan Wijiyati, 2008).Ketersediaan transportasi massal baik yang sifatnya dalam kota ataupun lintas kota/daerah sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Pengembangan transportasi massal akan sangat membantu efisiensi, dalam hal waktu dan tenaga, serta mengurangi eksternalitas-eksternalitas negatif seperti kemacetan dan polusi udara. Belum lama ini dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas,dinyatakan bahwa masalah kemacetan menjadi masalah utama yang paling dirasakan oleh masyarakat DKI Jakarta. Jakarta dapat menjadi salah satu contoh bagaimana kota yang sudah sedemikian kompleks menempatkan transportasi sebagai masalah utama. Hal yang sama berlaku bagi pengembangan transportasi massal antarkota/daerah yang masih bertumpu pada paradigma lama, yakni berbasis pada jalan raya. Transportasi yang terlalu bertumpu pada jalan raya ini, jika mengacu pada kejadian saat mudik dan dalam kondisi puncak, dapat menimbulkan kemacetan yang menjadikan perjalanan menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi (bensin, waktu, dan tenaga). Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa pengembangan sistem transportasi yang baik danbertumpu pada transportasi massal perlu mendapatkan tempat yang selayaknya, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia. Dukungan terhadap pengembangan transportasi massal saat ini terkesan masih dilakukan di ranah akademis dan masih terbatas pada tahap wacana. Beberapa daerah seperti Kota Solo sudah menunjukkan contoh yang baik bagaimana pengembangan transportasi massal harus dimulai dengan komitmen yang kuat.
68
Kotak 1. Komitmen Walikota Solo Komitmen pengembangan transportasi massal oleh Walikota Solo, Joko Widodo, tidak perlu dipertanyakan lagi. Komitmen ini untuk kebanyakan terkesan berani dan diluar kebiasaan. Selain Batik Solo Trans, Kota Solo juga mempunyai bus pariwisata bertingkat dengan atap terbuka Werkudoro, Kereta Klutuk Jalaradara yang diambil dari Museum Kereta Api Ambarawa yang dijadikan kereta wisata, serta rail bus Batara Kresna (semacam kereta api berkecepatan sedang yang menghubungkan Solo dengan Wonogiri). Sebagai catatan, rail bus ini diproduksi oleh PT. Inka Madiun. Terobosan yang dibangun didasarkan atas pemikiran Joko Widodo bahwa pengembangan sistem transportasi massal mutlak dilakukan sebelum terjadinya kemacetan. Jika sudah terjadi kemacetan, maka biaya yang akan dikeluarkan akan semakin besar. Selain itu, pengembangan transportasi massal sejak dini dapat memberikan pembelajaran bagi warga untuk membiasakan diri menggunakan transportasi massal. Selain itu, jalur rel kereta antara Gladag-Stasiun Jebres akan kembali dibangun dan akan selesai tahun 2012 di samping pembangunan jalur baru di ruas Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo. Untuk membangun sistem transportasi massal yang terintegrasi ini, dikembangkan integrasi tiket moda 11 12lokal 13 transportasi (smart card) Solo dan Yogyakarta. Joko Widodo juga membangun area traffic control untuk Sumber: , , mengendalikan kemacetan. Joko Widodo juga akan menerapkan teknologi variable message sign untuk mencegah terjadinya kemacetan.
Perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia cukup signifikan, terutama jika dilihat dari jenis sepeda motor yang pada tahun 2009 mencapai 52.433.132 unit, setara dengan 74,15% jumlah unit seluruh jenis kendaraan. Lain cerita dengan perkembangan kendaraan pribadi, perkembangan kereta api sebagai salah satu moda transportasi massal dapat dikatakan stagnan. Hanya pulau Jawa dan Sumatera yang terlayani dengan moda kereta api. Sejak tahun 1991, pertambahan penumpan kereta api meningkat secara signifikan dan menurun di tahun 2001. Tahun 2005, penumpang kereta api kembali beranjak naik. Hal ini menunjukkan adanya fluktuasi penggunaan kereta api oleh penduduk.Untuk tahun 2009, jumlah penumpang kereta api yang tercatat sebanyak 207.000.000 jiwa dimana 64,27% penumpang berada di wilayah Jabodetabek (Gambar 1).
Gambar1. Perkembangan Jumlah Penumpang dan Barang Kereta Api
11
Jokowi Hubungkan Solo dan Wonogiri dengan Railbus Batara Kresna. 26 Juli 2011. http://giewahyudi.com/jokowi-hubungkansolo-dan-wonogiri-dengan-railbus-batara-kresna/ 12 Jokowi Tandatangi MOU Integrasi Tiket Transportasi Solo – Jogja. 24 Januari 2011. http://sosial.timlo.net/baca/6551/jokowitandatangi-mou-integrasi-tiket-transportasi-solo-jogja 13 Solo akan mempunyai transportasi yang nyaman di hari Jadi kota ke 266. http://www.surakarta.go.id/id/news/solo.akan. mempunyai.transportasi.yang.nyaman.di.hari.jadi.kota.ke.266.html
69
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
3. PERKEMBANGAN PT. INKA PT. PT. INKA (Industri Kereta Api Persero) yang terletak di Jl. Yos Sudarso No. 71 Madiun merupakan satu-satunya perusahaan pembuatan kereta api yang berada di Indonesia, bahkan di regional Asia Tenggara. Dengan luas tanah 22,5 hektar dan karyawan sebanyak 820 orang memiliki 4 (empat) lingkup usaha, antara lain : 1) manufaktur sarana kereta api, 2) jasa perawatan/rehabilitasi, 3) jasa rekayasa dan perniagaan, dan 4) diversifikasi. Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara yang strategis (BUMNIS), PT. INKA memiliki visi menjadi perusahaan manufaktur sarana kereta api dan tranportasi kelas dunia yang unggul di Indonesia. Sementara itu misi PT. INKA ialah menciptakan keunggulan kompetitif bisnis dan teknologi sarana kereta api dan transportasi untuk menguasai pasar domestik dan memenangkan persaingan bisnis di pasar regional, ASEAN, serta negara berkembang. Sesuai visi dan misi di atas, PT. INKA bertujuan menjadi perusahaan yang tumbuh dan berkembang (viable)(PT. INKA, 2011). Cakupan kerja PT. INKA ialah kemampuan untuk design engineering, integrating manufacturing, dan testing. Sebagai salah satu BUMN, PT. INKA merupakan perusahaan yang memenuhi spesifikasi pelanggan, sertifikasi pemerintah, dan tentunya standar internasional. Hal ini ditambah lagi dengan kualifikasi PT. INKA yang berpengalaman dalam manajemen perusahaan, mendapatkan sertifikat ISO 9001:2000 tentang sistem manajemen mutu, dan kemampuan mendesain transportasi angkutan darat massal. PT. INKA menuju industri yang viable sedang melakukan strategi bisnis dan teknologi melalui implementasi strategic-curve(s-curve). Strategi ini dilakukan melalui dua jalan yaitu strategi transformasi industri dan roadmap pengembangan produk. Strategi scurve dilakukan dengan melakukanempat tahapan.Tahap satu yaitu lisensi (gerbong barang dan penumpang), tahap dua melakukan co-design dan co-manufacure (electric railcar), tahap tiga pengembangan teknologi (kereta diesel pendorong dan penarik), dan tahap empat inovasi teknologi dan bisnis (konsep baru transportasi perkotaan). Tahap satu dilakukan sekitar tahun 1982-1991 dengan membentuk carbuilder yang kompleks dan terintegrasi, tahap dua dilakukan pada tahun 1992-2001 dengan meningkatkan carbuilder mandiri yangmendukung piramida industri, tahap tiga dilakukan pada tahun 2002-2011 dengan menciptakan keuntungan kompetitif untuk menjadi perusahaan kelas dua, dan tahap empat dilakukan pada tahun 2012-2021 dengan menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan untuk menjadi pemain global yang inovatif. Strategi transformasi industri didasarkan pada proses nilai tambah, sedangkan roadmap pengembangan produk didasarkan pada kompetensi inti (PT. INKA Persero, 2011). Sebagai satu-satunya perusahaan kereta api di Indonesia,PT. INKA telah meluncurkan beberapa produk kereta api baik yang beroperasi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Dari data PT. INKA (2011), antara tahun 1982-2008 perusahaan ini telah memproduksi gerbong pengangkut/cargo sebanyak 3000 unit (ekspor 340 unit dan 485 unit). Pada tahun 1985-2008,dihasilkan gerbong penumpang sebanyak 750 unit (ekspor 2 unit dan 50 unit). Pada tahun 1987-2008,dihasilkan 156 unit electric railcar atau kereta listrik (KRL). Pada tahun 1996-2008,dihasilkan 100 unit kereta diesel (diesel railcar).Pada rentang tahun yang sama, PT. INKA telah menghasilkan 49 unit lokomotif (ekspor 1 unit). Sementara itu, Nikmah dan Wijayanti (2008) menguatkan keunggulan PT. INKA dimana PT. INKA yang berdiri pada tahun 1981 memiliki kompetensi dan kapasitas untuk menyediakan produk sarana perekeretaapian. Keunggulan produk PT. INKA sudah mendapatkan pengakuan internasional dengan diekspornya produk PT. INKA ke Malaysia, Thailand, Australia, dan Bangladesh.
70
Terkait dengan penerapan sistem transportasi darat massal di Indonesia, PT. INKA telah menghasilkan beberapa kereta penumpang yang diluncurkan melalui tiga tahapan. Dari data PT. INKA (2011), tahap pertama dimulai pada tahun 1982-2007 dengan diluncurkannya kereta penumpang jarak jauh baik kelas ekonomi, bisnis, maupun eksekutif misalnya kereta ekonomi Matarmaja jurusan Jakarta-Malang atau kereta eksekutif Argo Bromo jurusan Jakarta-Surabaya. Tahap kedua dimulai pada tahun 1993-2011 dengandiresmikannya kereta penumpang komuter bertenaga listrik (KRL) di wilayah Jabodetabek baik yang non AC maupun AC. Salah satu contohnya adalah KRL Ciliwung. Tahap ketiga dimulai pada tahun 2005-2010 ketika PT. INKA meluncurkan kereta penumpang diesel elektrik/KRDE (seperti kereta komuter) dan railbus yang melayani jarak beberapa kota di Pulau Jawa dan Sumatera, khususnya di Propinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Beberapa kereta diesel untuk jurusan itu misalnya ialah Kereta Arek Surokerto jurusan Surabaya-Mojokerto, Kereta Prameks jurusan YogyakartaSurakarta, dan Kereta Madiun Jaya jurusan Yogyakarta-Madiun. Khusus railbus dipesan oleh Pemerintah Kota Surakarta.Sementara itu di Palembang, Sumatera Selatan telah dioperasikan KRDE Kertalaya jurusan Kertapati-Indralaya dan KRDE Sri Lelawangsa di Medan, Sumatera Utara yang melayani trayek dalam kota Medan. Komitmen PT. INKA sebagai solution provider terutama bagi transportasi angkutan darat massal tercermin dalam rencana pengembangan produk dan pasarnya. Berdasarkan data PT. INKA (2011), perusahaan iniberencana mengembangkan lokomotif diesel hidrolik dan lokomotif diesel elektrik. PT. INKA juga merencanakan pembuatan kereta rel diesel Indonenesia (KRDI) yang menghubungkan kota dengan bandara serta pengembangan KRL MRT. Sementara itu,rencana pengembangan pasar dilakukan dengan mengekspor kereta ke negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura serta negara-negara berkembang lain seperti Bangladesh dan Mesir. Saat ini negara yang menjadi target PT. INKA untuk ekspor kereta api ialah Iran.PT. INKA juga melakukan penyediaan kereta api bagi calon penyelenggara kereta api swasta (misalnya PT. Freeport dan MEC). Disamping itu, komitmen PT. INKA ialah melakukan strategi customer intimacy dengan melakukan repowering KRL Jabodetabek, rencana kebutuhan untuk angkutan tiga juta penumpang per hari, melakukan modifikasi kereta ekonomi dengan AC, dan memodifikasi kereta ekonomi menjadi kereta eksekutif. PT. INKA juga berinvestasi melalui kegiatan workshop dalam penambahan kapasitas lokomotif, penambahan kapasitas KRL, dan produksi AC lokal dengan Toshiba. Sebagaimana yang diuraikan di atas, kapabilitas PT. INKA dalam memproduksi transportasi angkutan darat massal, dalam hal ini kereta api, disertai komitmen PT. INKA sebagai solutionprovider yang viable dan unggul dalam persaingan di kompetisi internasional, hendaknya mendapatkan perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2007 Pasal 13 ayat (1),disebutkan bahwa, “Perkeretaapian dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah”. Sebagai salah satu BUMN strategis yang diperuntukkan untuk menarik industri-industri pendukung lainnya, pemerintah perlu memberikan insentif bagi PT. INKA agar dapat menghasilkan produk dengan baik dan memenuhi kebutuhan pasar, paling tidak padasektor transportasi kereta api dalam negeri. Hal ini disebabkan kemampuan yang dimiliki oleh PT. INKA, baik dari segi manufaktur, desain, serta pengujian produk dengan dukungan sumber daya manusia (engineer) di dalamnya, yang sudah dapat bersaing di level negara-negara berkembang seperti di negara-negara ASEAN, Asia Selatan, dan sebagian negara di Timur Tengah. 4. EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN PERKERETAAPIAN 4.1. Pentingnya Keberpihakan pada Transportasi Massal 71
Meskipun telah disediakan pondasi pengembangan transportasi kereta api oleh penjajah kolonial,nampaknya sektor transportasi ini sangat lambat berkembang dibandingkan dengan sektor transportasi lainnya. Pada awalnya, perkeretaapian mendapatkan bobot kepentingan tinggi. Hal ini tergambar dari sejarah bagaimana ditetapkannya Hari Kereta Api pada tanggal 28 September. Tanggal tersebut ditetapkan untuk memperingati peristiwa pengambilalihan perkeretaapian dari tangan penjajah Jepang oleh para pekerja yang tergabung dalam Angkatan Muda Kereta Api pada tanggal 28 September 1945. Tentunya peristiwa heroik ini menunjukkan bahwa perkeretaapiansudah manjadi milik bangsa Indonesia dan tidak lagi menjadi milik bangsa asing/kolonial.Fungsi kereta api sangat strategis dalam pembangunan bangsa. Isnaeni (2008) menyebutkan kereta api merupakan moda transportasi yang memiliki keunggulan bersifat massal, hemat lahan dan energi, serta ramah lingkungan. Namun, pengelolaan angkutan massal warisan Belanda ini justru mengalami kemunduran. Banyak rute kereta api yang sudah tak dilayani lagi, rel hilang, atau tertimbun jalan umum. Sarana berupa rel, stasiun, jembatan, dan lainlain sudah berusia tua tetapi masih saja difungsikan. Aset tanah dan bangunan tidak diurus lagi dan banyak berpindah tangan Kebijakan publik yang dikedepankan dalam transportasi ini seringkali lebih terlihat mengedapankan rente ekonomi daripada pelayanan publik. Kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Soenarko (2005) bahwa “kebijakan pemerintah yang baik haruslah mengandung kepentingan rakyat (public interests)”.Bagaimana mudahnya kredit kendaraan bermotor, semaraknya pasar bekas mobil dan motor, serta minimnya wacana pengembangan transportasi massal di dokumen perencanaan resmi (RPJMD dan RTRW) menjadi indikasi adanya penghilangan nilai transportasi massal termasuk kereta api.Fenomena di atas jelas tidak sepadan dengan apa yang terkandung di dalam UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian terutama Pasal 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 yang memuat perihal rencana induk perkeretaapian mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.Salah satu hal yang juga menjadi cerminan bagaimana kurangnya dukungan transportasi massal ini adalah ketika dilakukannya realokasi dana dari subsidi BBM untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bukan langsung ke pengembangan sektor transportasi massal.Sebagai gambaran, proporsi subsidi BBM terhadap APBN secara berurutan dari tahun 2007 sampai 2010 adalah: 7,79%; 15,54%; 11,47%; 8,96% yang artinya sangat membebani anggaran. Salah satu ekonomi politik transportasi massal adalah adanya pengaruh ekonomi dari para pemain besar industri otomotif yang tentunya akan merasa sangat terganggu dengan kehadiran transportasi massal yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa industri otomotif mempunyai peranan penting dalam ekonomi nasional, baik dalam pertambahan nilai maupun penyerapan tenaga kerja. Struktur ekonomi yang bertumpu pada industri otomotif kendaraan pribadi perlu lebih dikaji ulang sehingga eksternalitas negatif yang ditimbulkan bisa lebih diminimalisir. Djoko Setijowarno dalam Kompas (9 Agustus 2011) menyatakan bahwa industri otomotif dinilai tak rasional sebab selalu saja memproduksi kendaraan walaupun ada desakan politik supaya pemerintah menyediakan infrastruktur jalan. Industri otomotif pun dinilai tidak memberikan solusi bagi inefisiensi yang disebabkan oleh pengoperasian kendaraan di jalan raya. Lebih lanjut lagi, bila industri otomotif ingin disediakan lebih banyak infrastruktur, dapat disisihkan sendiri sebagian laba untuk membangun jalan tol; tidak lagi membangun jalan menggunakan dana dari APBN. Kebijakan negara yang lebih mengembangkan jaringan jalan raya dibandingkan jalan rel menunjukkan lemahnya keberpihakan negara terhadap pengembangan kereta api. Belum lagi rencana induk (master plan) perkeretaapian yang belum memadai. Industri kereta api sudah ada di Indonesia sejak tahun 1864, namun pemerintah baru merumuskan rencana induk perkeretaapian pada tahun 2005. Pemerintah juga baru membentuk Direktorat Perkeretaapian pada tahun 2005 yang sebelumnya berada di bawah Direktorat Perhubungan Darat Divisi Jaringan Jalan Rel (Nikmah dan Wijiyati, 2008). 72
Premis yang menyebutkan bahwa transportasi massal lebih tidak menarik secara ekonomi daripada transportasi pribadi perlu dikaji ulang kembali. Upayamengubah paradigma ini tentunya perlu didukung oleh semua pihak; pemerintah sebagai regulator tampaknya menjadi pihak yang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam menyusun suatu kebijakan publik transportasi massal yang lebih arif. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wahab (2008) bahwa “suatu kebijakan melibatkan beragam aktor (stakeholders) dan beragam organisasi yang masing-masing harus bekerjasama dalam suatu hubungan yang amat kompleks”. Pernyataan Wahab ini menguatkan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan, pemerintah sebagai pembina perkeretaapian memang harus memfokuskan pada kebijakan sektor pengembangan perkeretaapian di Indonesia sebagai moda transportasi massal yang tentunya juga dapat mengakomodasi kepentingan lainnya di luar sektor ini. Sebenarnya ada nilai ekonomi yang dihasilkan dari perkeretaapian namun hal ini seringkali tidak terpikirkan karena pemerintah tidak terbiasa dengan “ekonomi transportasi massal”. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara dampak jangka pendek dan jangka panjang pengembangan transportasi massal. Dalam jangka pendek, dampak yang ditimbulkan seringkali kurang menyenangkan dalam kaitannya untuk mencapai target jangka panjang yang baik. Pada akhirnya, pengembangan transportasi massal dan khususnya perkeretaapian tidak bisa dilakukan oleh satu sektor semata, tetapi harus melibatkan sektor-sektor lainnya. Belajar dari konflik antara Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Menteri Perdagangan baru-baru ini (lihat: Harian Tribunnews, 12 Agustus 2011)akibat tidak relevannya kebijakan perdagangan dalam mendukung pengembangan garam lokal menjadi indikasi kuat bahwa koordinasi strategis antarsektor serta debottlenecking regulasi menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki fokus pembangunan. 4.2. Kebijakan Industri Perkeretaapian Nasional dan Tantangannya Kementerian Perhubungan sendiri telah mempunyai Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030 yang tentunya menjadi salah satu sinyalemen positif terwujudnya pengembangan perkeretaapian Indonesia yang lebih baik. Visi perkeretaapian nasional tahun 2030 yaitu“Mewujudkan perkeretaapian yang berdaya saing,berintegrasi, berteknologi, bersinergi dengan industri,terjangkau dan mampu menjawab tantanganperkembangan.”Salah satu strategi yang ada dalam rencana induk ini adalah “Strategi Alih Teknologi dan Pengembangan Industri”. Menurut rencana induk ini, permasalahan mendasar dalam pengembangan teknologi perkeretaapian nasional adalahbelum adanya grand design pengembanganteknologi.Hal ini terlihat dari belum adanyastandarisasi teknologi yang digunakan dalampenyelenggaraan perkeretaapian nasional. Sasaran yang ingin dicapai adalah “Terwujudnya penguasaan teknologi perkeretaapian dengan mengurangi ketergantungan teknologi sarana dan prasarana maksimal 25%, kandungan lokal minimal 85% dan disuplai oleh minimal 90% industri dalam negeri”. Kebijakan pemerintah juga dapat dilihat dari regulasi yang dikeluarkannya (Wahab, 2008). Beberapa regulasi yang mendukung pertumbuhan PT. INKA sebagai industri kereta api nasional dapat dilihat dalam UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 2 ayat (1) dan UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.Salah satu isi UU (pasal 3) menyebutkan bahwa “Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional”. Ditambah lagi Perpres No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, pasal 4 ayat (1) huruf (a), dan juga Perpres No. 28 Tahun 2008Tentang Kebijakan Industri Nasional, pasal 4 ayat (1) dan (2). Beberapa regulasi di 73
atas merupakan sound legality bagi pemerintah untuk lebih mendukung PT. INKA dalam pengembangan teknologi, infrastruktur, serta produknya. Hal terpenting dalam pengembangan teknologi adalah meningkatkan peran industri dalam negeri guna mendukung teknologi perkeretaapian. Saat ini terdapat beberapa industri nasional (BUMN) yang menunjang teknologi perkeretaapian dengan PT. INKA sebagai satusatunya BUMN Strategis yang bisnis utamanya adalah perkeretaapian. Berikut adalah BUMN yang menunjang teknologi perkeretaapian. Tabel 1. BUMN yang Menunjang Teknologi Perkeretaapian Nasional Teknologi On-Board
Prasarana
Perusahaan PT. Inka PT. Len Industri PT. Wijaya Karya PT. Adhi Karya PT. Wijaya Karya PT. Pindad PT. BBI PT. Barata Indonesia
Kemampuan Lokomotif, rolling stock, Sinyal, TOCS, relay interlocking, level crossing, HVITS, NSTO Train Operation Control Kontraktor Bantalan beton, kontraktor Penambat rel, rem udara tekan Jembatan, base plate, slide chair Shoulder, base plate, three pieces bogies
Sumber: Perkeretaapian Nasional 2030
Perwujudan implementasi dari Rencana Induk ini tidaklah mudah karena butuh komitmen kebijakan pemerintah yang kuat khususnya di bidang perkeretaapian. Dari analisis lapangan diperoleh kesimpulan bahwa dukungan kebijakan pendukung, baik dari sektor lainnya maupun sektor perhubungan, masih kurang. Kasus pembelian KRL (yang terakhir adalah kasus hibah 60 unit kereta dari Jepang yang saat ini sudah menyeret beberapa pejabat di Kementerian Perhubungan menjadi tersangka kasus korupsi) menjadi salah satu indikasi ketidakberpihakan pengembangan industri dan teknologi perkeretaapian nasional. Selain pembelian secara instan “barang bekas” ini, kebijakan yang dirasa mengganjal adalah masih diberlakukannya pajak tinggi beberapa komponen pendukung sehingga harga menjadi tidak kompetitif serta dibiarkannya PT. INKA bersaing bebas dengan perusahaan asing terutama dari China (yang mempunyai dukungan besar dari Pemerintah China) sehingga membuat PT. KAI dalam posisi yang kurang menguntungkan. Sebagai catatan, Pemerintah China menerapkan tarif pajak 0 % untuk barang-barang impor yang diperuntukkan bagi pengembangan inovasi teknologii dalam negeri.. Sedangkan di Indonesia, PT. INKA dikenakan tarif pajak 10% untuk impor barang-barang kebutuhan yang diperuntukkan bagi pengembangan inovasi teknologi kereta api dalam negeri. Gambar 2dibawah ini menunjukkan bagaimana China sebagai negara yang sedang menjadi salah satu kekuatan besar dunia, menginvestasikan jumlah yang begitu besar untuk pengembangan perkeretaapian.
74
Gambar 2. Investasi Pengembangan Infrastruktur Perkeretaapian Sumber: WorldWatch Institute, 2010
Berdasarkan gambar di atas yang merupakan hasil survei tahun 2008, China dan India merupakan dua negara teratas di kawasan Asia yang berinvestasi cukup besar dalam pengembangan infrastruktur perkeretaapian di antara negara-negara lain di dunia. Tabel 2. Perkembangan Aset Perkeretaapian Indonesia Tahun
Komponen 1939 Panjang jalan kereta api
6.811 km
1955/1956
Kondisi 2000
6.096 km
4.030 km
Turun 40% dalam 61 tahun
1.516 buah
571 buah
Turun 62 % dalam 45 tahun
n/a
530 buah
Turun 60% dalam 61 tahun
Jumlah penumpang
146,9 juta
191,9 juta
Naik 30% dalam 45 tahun
Jumlah penduduk (Jawa dan Madura)
54,5 juta
114,9 juta
Jumlah penumpang kereta api
132,5 juta
69,2 juta
Tahun 1955 kereta api mengangkut 248%, sementara tahun 2000 hanya mengangkut 60%
Jumlah stasiun dan pemberhentian Jumlah lokomotif
1.314 buah
Sumber: Lubis dalam Nikmah dan Wijiyati (2008)
Tabel 2di atas menunjukkan bahwa pengembangan infrastruktur perkeretaapian Indonesia mengalami deklinasi bila dibandingkan dengan tahun-tahun saat penjajahan kolonial. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan kondisi dan kebutuhan saat ini, dimana jumlah penduduk semakin meningkat, mobilitas semakin tinggi, maka pembangunan infrastruktur kereta api belum memadai. Guna menjawab tantangan publik saat ini, dibutuhkan tidak hanya pengembangan infrastruktur perkeretaapian, tetapi juga pemutakhiran teknologi perkeretaapian yang didukung oleh kebijakan pemerintah.
75
Kebijakan pemerintah yang mendukung teknologi perkeretaapian nasional erat kaitannya dengan industri perkeretaapian. Jika ingin mengembangkan perindustrian perkeretaapian, diperlukan upaya lebih serius untuk memfasilitasi PT. INKA sebagai satusatunya BUMN yang usaha utamanya adalah perkeretaapian. Kebijakan pengembangan industri perkeretaapian nasional sangat rasional mengingat potensi nasional yang ada, dibuktikan dengan kepercayaan pihak luar terhadap produk-produk PT. INKA serta tindakan yang dicontohkan Walikota Solo dengan menggandeng PT. INKA dalam mengembangkan sistem transportasi massal. Dengan menempatkan PT. INKA sebagai titik utama (center point) pengembangan industri perkeretaapian, maka industri dan sektor-sektor perlu lebih disinergikan, semisal dengan mensinkronkan kebijakan PT. KAI untuk tidak “latah” membeli kereta bekas dari luar negeri. Investasi dalam pengembangan industri perkeretaapian memang tidak murah karena syarat teknologi, tetapi hanya berpusat di awal pengembangan. Jika sistem transportasi massal sudah berkembang dengan baik dimana kereta api termasuk moda utama di dalamnya, investasi yang dilakukan akan kembali dengan tingkat keuntungan yang setimpal. Bagi pemerintah sendiri, terutama dari kalangan peneliti/perekayasa seperti BPPT, telah berkomitmen untuk mendukung teknologi yang terus dikembangkan PT. INKA melalui beberapa penandatanganan kerjasama antar keduanya. Kotak 2. Komitmen BPPT terhadap PT. INKA Kepala BPPT, Marzan A. Iskandar, mengemukakan bahwa BPPTberkomitmen untuk mendorong terus kemajuan pembangunan sistem transportasi kereta api di Indonesia. Di samping itu, BPPTmenekankan pentingnya industri kereta api yang kuat dalam mendukung terciptanya sistem transportasi massal yang kuat. Salah satu bentuk komitmen tersebut ialah penandatanganan kontrak kerjasama antara BPPTdan PT. INKA terkait 1) riset dan pengembangan standarisasi, regulasi dan sertifikasi teknologi sistem kendali kereta api, serta pengkajian dan penerapan audit teknologi dan tata kelola teknologi informasi, 2) pemanfaatan dan pengembangan fudika, pembuatan desain sistem pengukuran rel dan catenary dengan teknologi laser untuk kereta ukur, dan 3) pengembangan sistem kendali untuk propulsi kereta rel diesel elektrik (KRDE) atau kereta rel listrik (KRL) Sumber:www.bppt.go.id, 27 Mei 2010
Sebagai tambahan, kebijakan pemerintah yang mendukung industri perkeretaapian nasional akan dengan sendirinya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Nikmah dan Wijiyati (2008) mengemukakan bahwa dalam ilmu ekonomi, setiap investasi di sektor riil memiliki efek ganda (multiplier effect). Melalui penyediaan sarana perkeretaapian oleh PT. INKA, efek ganda kegiatan produksi memiliki sumbangan besar bagi perekonomian nasional. Pilihan memproduksi sarana perkeretaapian di dalam negeri dapat menyediakan lapangan kerja yang besar dan menggerakkan perekonomian secara riil. Ini terjadi karena penyediaan komponen sarana perkeretaapian, mulai dari komponen-komponen teknis sampai komponen interior kereta yang tidak seluruhnya bisa ditangani oleh PT. INKA, bisa disub-kontrakkan kepada koperasi dan usaha kecilmenengah di Indonesia. Dengan demikian jelas bahwa kebijakan pemerintah guna mendukung pengembangan industri kereta api nasional, dalam hal ini PT. INKA, juga akan membawa dampak pada pertumbuhan perekonomian nasional. 5. PENUTUP Pengembangan industri perkeretaapian nasional sangat dipengaruhi oleh paradigma pengembangan transportasimassal. Sedangkan pengembangan transportasi massal sendiri terkesan tersisihkan dengan pengembangan transportasi pribadi, terutama motor dan mobil. Perubahan paradigma pengembangan transportasi massal perlu dimulai dengan komitmen 76
yang kuat. Contoh yang telah diberikan oleh Joko Widodo (walikota Solo) di Kota Solo dan nota penandatanganan kerjasama antara PT. INKA dengan BPPT dapat memberikan pembelajaran bahwa perubahan paradigma tidak dilakukan dengan perlahan dantentunya membutuhkan komitmen yang kuat dan konsisten. Potensi industri dan teknologi perkeretaapian Indonesia sesungguhnya cukup kompetitif jika terus didukung dan dikembangkan oleh berbagai pihak.Hal ini juga akan sangat berdampak terhadap perkembangan ekonomi nasional secara keseluruhan dalam jangka panjang. Debottlenecking dan keberpihakan terdapat pengembangan industri perkeretaapian secara lintas sektor perlu lebih diupayakan sebagai upaya pengembangan industri perkeretaapian yang terintegrasi. Maka kebijakan pemerintah yang berpijak pada transportasi massal, terutama sektor perkeretaapian amat dibutuhkan guna mendukung kontinuitas industri perkeretaapian nasional, baik dari segi infrastruktur pendukung maupun teknologi kereta api. REFERENSI Banister, D. and Berechman, Y. (2000) Transport Investment and Economic Development. UCL Press, UK and USA _________________________ (2001) Transport Investment and the Promotion of Economic Growth. Journal of Transport Geography, 9(3): 209-218. BPPT. 27 Mei 2010. Budayakan Kereta Api Sebagai Transportasi Massal. http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=445:budayak an-kereta-api-sebagai-transportasi-massal&catid=61:teknologi-proses-dan-rancangbangun Carapetis, S., H. Beenhakker, and J. Howe(1984) The Supply and Quality of Rural Transport Services in Developing Countries. World Bank Staff Working Paper 654, August 1984 Fonseca, R. (2003) On the Interaction between Unemployment and Inter-regional Mobility. Working Paper No. 105. Centre for Studies in Economics and Finance. Dipartimento di Scienze Economiche, Universita Degli Studi di Salerno Indonesia Infrastructure Initiative (2009) Potensi Pasar Kereta Api di Indonesia. Australia Indonesia Partnership. IndII Publication: Jakarta Kompas. Selasa, 9 Agustus 2011.Industri Otomotif Tak Rasional. http://bisniskeuangan. kompas.com/read/2011/08/09/11055550/Industri.Otomotif.Tak.Rasional Nikmah dan Wijiyati (2008)Kereta Apiku Sayang, Kereta Apiku Malang. “Proyek Efisiensi “Perkeretaapian”. Working Paper No. 1, 2008. International NGO forum on Indoensian Development (infid). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur Priemus, H., Nijkamp, P. and Banister, D. (2001) Mobility and Spatial Dynamics: An Uneasy Relationship. Journal of Transport Geography, 9(3): 167-171. PT. INKA (2011)Transformasi Bisnis Industri Kereta Api. Hasil Presentasi disampaikan pada kunjungan lapangan pada tanggal 18 Juli 2011. ________(2011)INKA’s Capability In Design, Manufacturing & Testing of Railway Rolling Stock. Hasil Presentasi disampaikan pada kunjungan lapangan pada tanggal 18 Juli 2011. 77
Renner, M and Gardner, G. (2010) Global Competitiveness in the Rail and Transit Industry. WorldWatch Institute, Apollo Alliance, and Nortesteastern University. WorldWatch Institute Publication: Washington DC Soenarko (2005) Public Policy. Surabaya: Airlangga University Press. Thulin, P. (2009) Labor Mobility, Knowledge Diffusion and Regional Growth. CESIS Electronic Working Paper Series. Center for Excellence of Science and Innovation Studies (CESIS), The Royal Institute of Technology Tribunnews. Jumat, 12 Agustus 2011. Perseteruan Fadel vs Mari Elka, Presiden SBY di Pihak Fadel?. http://www.tribunnews.com/2011/08/12/perseteruan-fadel-vs-marielka-presiden-sby-di-pihak-fadel Wahab, S. A. (2008) Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press. Wiratama, G. (2010) Analisis Proses dan Promosi Ekspor PT. Industri Kereta Api (INKA) Madiun dalam Menghadapi Persaingan di Kawasan Asia. Tugas Akhir. Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret Surakarta World Resources Institute (2010) Modernizing Public Transportation. WRI Publication: Washington DC . Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian.
78
ANALISIS KAPASITAS TEKNOLOGI, INVESTASI DAN TENAGA KERJA SERTA ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH PASAR EKSPOR Dr. Ir. Adolf B. Heatubun, M.Si
[email protected] Universitas Pattimura 1. LATAR BELAKANG Pemerintah Indonesia meletakkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada posisi utama dalam membangun demokrasi ekonomi Indonesia. Upaya membangun UMKM diyakini pemerintah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah kini menetapkan untuk memberdayakan UMKM dengan lebih intensif. Lebih khusus, kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) lebih diprioritaskan dalam pemberdayaan untuk sasaran peningkatan kemampuan dan daya saing karena kelompok usaha ini memiliki kemampuan berkembang sebagai pembentuk industri dalam negeri. Salah satu dukungan pemerintah dalam pemberdayaan UKM adalah ditujukan pada UKM berorientasi ekspor. Kontribusi UKM terhadap total ekspor nasional terus meningkat, tahun 2008 UKM menyumbang sebesar Rp. 142,8 triliun atau 20 % terhadap total ekspor non-migas nasional (BPS, 2008). Perkembangan ekspor UKM tersebut berpotensi untuk terus meningkat, dan ini semakin membuka peluang untuk meningkatkan penggunaan teknologi yang lebih tinggi. Ketika UKM memperlihatkan potensi ekspor, pada saat yang sama UKM terus menghadapi banyak kendala. Rendahnya produktivitas UKM, menunjuk pada kemampuan produksi baik teknis maupun kemampuan tenaga kerja. Ini bersumber dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia UKM dan penguasaan terhadap teknologi. UKM juga terbatas pada akses permodalan, teknologi, informasi dan pasar. Kendala-kendala yang dihadapi UKM di atas mendorong untuk perlu diketahui bagaimana secara aktual kondisi produksi dan proses produksi yang tengah dialami UKM? Bagaimana pengaruh teknologi, investasi, perkembangan ekspor dan apa kendala yang cukup menghambat pembangunan UKM ekspor ke depan? Dukungan pemerintah dalam hal apa saja yang perlu dilakukan untuk mendukung pemberdayaan UKM ke depan? 2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kapasitas investasi, teknologi, tenagakerja, produksi dan ekspor Usaha Kecil (UK) dan Usaha Menengah (UM) di pasar ekspor.
79
3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Pertumbuhan Ekonomi dalam Teori Perdagangan Internasional Dalam konteks perdagangan internasional, Krugman dan Obstfeld (2000) menyatakan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu pergeseran keluar dari Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi ini dapat bersumber dari adanya peningkatan jumlah sumberdaya yang dimiliki dan atau disebabkan oleh peningkatan efisiensi atas penggunaan sumberdaya tersebut. Chacholiades (1978) juga Dunn dan Mutti (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi sebagai ekspansi keluar production-possibilities frontier (PPF) akibat pertumbuhan sumberdaya yang dimiliki sebuah negara. Dari waktu ke waktu sumberdaya suatu negara terus mengalami pertumbuhan. Misalnya, angkatan kerja meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, stok kapital fisik bertumbuh karena dihasilkan net investasi positif dari tahun ke tahun. Juga ditemukan metode produksi yang baru dan lebih efisien untuk menggantikan metode produksi lama dan kurang efisien. Pertumbuhan faktor endowment ini menyebabkan production-possibilities frontier bergeser ke kanan yang menunjukkan bahwa kapasitas sebuah negara dalam berproduksi mengalami peningkatan (Gambar 1).
Gambar 1. Pertumbuhan Kapasitas Produksi dan Kuantitas Perdagangan Negara A Pertumbuhan yang terjadi pada suatu perekonomian juga dapat mengalami bias yakni batas kemungkinan produksi yang bergeser keluar cenderung lebih tertuju ke satu arah daripada ke arah yang lain, dan bukan terjadi secara proporsional (Gambar 2) (Krugman dan Obstfeld, 2000).
80
Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi yang bias Bias pertumbuhan di atas terjadi karena dua hal yakni pertama, bias disebabkan oleh kemajuan teknologi yang terjadi di satu sektor ekonomi. Kemajuan teknologi akan memperluas kemungkinan-kemungkinan produksi suatu perekonomian, di mana pergeseran ke arah output sektor tersebut lebih besar dibanding pergeseran ke arah output sektor lainnya. Kedua, bias pertumbuhan karena adanya peningkatan penawaran faktor produksi di suatu negara, misalnya peningkatan stok modal karena ada akumulasi tabungan dan investasi. Bias pertumbuhan ini mengarah pada barang yang produksinya menggunakan faktor produksi spesifik (digunakan untuk menghasilkan barang tertentu) atau ke arah barang-barang yang produksinya lebih banyak menggunakan faktor produksi yang penawarannya meningkat. 3.2. Economies of Scale dan Perdagangan Internasional Tujuan suatu negara melakukan perdagangan internasional adalah untuk mencapai keuntungan dari perdagangan tersebut. Krugman dan Obstfeld (2000) menyatakan salah satu alasan melakukan perdagangan adalah untuk mencapai economies of scale.Economies of scale di dalam teori ekonomi pada dasarnya menunjuk pada efisiensi yang dicapai di dalam produksi. Berdasarkan hal ini, dalam perdagangan jika suatu negara dapat membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumberdayanya sehingga dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar. Pengertian economies of scale di dalam teori perdagangan (Suranovic, 2008 dan Lindert, 1993) adalah peningkatan produksi pada skala yang lebih besar (output lebih banyak) menyebabkan biaya per unit output makin menurun atau lebih rendah. Secara khusus Koutsoyiannis (1979) menunjukkan penurunan biaya per unit output dapat terkait dengan kenaikan ukuran perusahaan, dan ini disebut sebagai internal economies of scale. Economies of scale dapat juga dicapai ketika ada kenaikan jumlah perusahaan baik itu perusahaan-perusahaan baru yang masuk ke dalam industri maupun penggabungan dari perusahaan-perusahaan yang telah ada. Berkaitan dengan perdagangan, model keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo pada dasarnya berdasar pada asumsi constant returns to scale, yaitu jika input suatu industri digandakan atau dinaikkan dua kali lipat maka output industri tersebut juga akan berlipat dua. Namun, kenyataan menunjukan banyak industri atau sektor ekonomi beroperasi atas dasar economies of scale dan juga increasing returns to scale, yaitu semakin besar skala produksinya, semakin besar kelipatan produktivitasnya. Ini berarti penggandaan input-input yang digunakan akan meningkatkan output industri atau sektor ekonomi tersebut lebih dari dua kali lipat (Gambar 3). 81
Pada level produksi Q1S (Gambar a), unit tenagakerja yang dibutuhkan sebesar a1LS. Jika produksi meningkat pada Q2S, unit tenagakerja yang dibutuhkan menurun pada a2LS. Jadi pada level output lebih tinggi, tenagakerja yang dibutuhkan lebih sedikit (atau lebih sedikit sumberdaya atau biaya) per unit output.
Gambar 3. Economies of Scale dan Increasing Returns to Scale Gambar (b) menunjukkan economies of scale di dalam produksi adalah ekivalen dengan increasing returns to scale. Increasing returns to scale memiliki arti kenaikan penggunaan resource misalkan sebesar x %, mengakibatkan kenaikan di dalam output lebih dari x %. Negara-negara yang memiliki economies of scale dapat memproduksi output dalam jumlah besar. Suranovic (2008) dan Krugman dan Obstfeld (2000) menyatakan bahwa economies of scale terkait dengan struktur pasar. Terkait dengan peningkatan jumlah produksi seperti apa yang menurunkan biaya rata-rata, maka economies of scale mencakup external economies of scale dan internal economies of scale. External economies of scale tercipta apabila jumlah biaya per unit sudah tergantung pada besarnya industri, tidak perlu pada besarnya satu perusahaan. Sebaliknya internal economies of scale terjadi jika biaya per unit tergantung pada besarnya satu perusahaan, sehingga hal ini tidak perlu dikaitkan dengan besarnya industri. Efek masing-masing economies of scale ini terhadap struktur pasar berbeda-beda. Industri dengan external economies of scale biasanya terdiri dari banyak perusahaanperusahaan kecil, dan struktur pasarnya berkembang menjadi persaingan sempurna. Internal economies of scale berlaku bagi perusahaan-perusahaan berukuran besar yang memiliki keunggulan biaya atas perusahaan-perusahaan kecil, dan strukturnya berkembang kearah pasar persaingan tidak sempurna. 3.3. Fungsi Produksi Output dan Input Fungsi produksi agregat yang menjelaskan tentang perkembangan produksi sebuah perekonomian, ditentukan oleh pertumbuhan faktor produksi utama seperti kapital fisik, teknologi, dan tenaga kerja (Romer, 1996). Dalam fungsi tersebut, teknologi hanya dianggap sebagai eksogen. Fungsi produksi dimaksud adalah :
Y(t ) [(1 a K )K(t )] [A(t )(1 a L )L(t )]1 ,
0 1. .................
(1)
keterangan : Y
= output agregat
K, L
= masing-masing input kapital dan labor (tenaga kerja) 82
A
= teknologi.
Fungsi produksi ini bersifat constant returns to scale pada kapital dan labor. Fungsi produksi di atas kemudian dikembangkan dalam model endogenous growth, di mana turut dimasukkan knowledge sebagai peubah endogen. Selain kapital fisik, model ini juga memasukkan human capital sebagai faktor utama penentu pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi agregat dalam model human capital dinyatakan sebagai :
Y(t ) K(t ) H(t ) [A(t )L(t )]1 , 0, 0, 0, .............
(2)
keterangan : Y
= output agregat
K, L
= masing-masing input kapital dan labor (tenaga kerja)
H, A
= masing-masing stok human capital dan teknologi.
Persamaan ini bersifat constant returns bagi K, H, dan L bersama-sama. Berkaitan dengan perdagangan internasional dan pentingnya peranan pemerintah dalam menggerakan perekonomian, Moshin dan Anam (1999), Crespo-Cuaresma dan Worz (2003) memasukkan faktor ekspor ke dalam fungsi produksi agregat, sehingga fungsi di atas menjadi :
Y
= Y(K, L, G, X) .........................................................................................
(3)
keterangan : Y
= output agregat
K, L
= masing-masing input kapital dan labor (tenaga kerja)
G
= pengeluaran pemerintah X = ekspor nasional.
Romer (1996) juga membentuk fungsi produksi dari input-input secara agregat. Fungsi produksi kapital dan teknologi baru tergantung pada stok kapital, labor, dan level teknologi yang ada. Fungsi produksi masing-masing sesuai asumsi Cobb-Douglas adalah :
(t ) s(1 a ) (1 a )1 K(t ) A(t )1 L(t )1 .................................... K K L
(4)
(t ) B[a K(t )] [a L(t )] A(t ) , A K L
(5)
B 0, 0, 0. .................
keterangan :
= capital dan teknologi baru ,A K K, A, L = masing-masing input capital, teknologi, dan labor (tenaga kerja). B adalah sebuah parameter shift. Fungsi produksi kapital diasumsikan bersifat constant returns to scale tetapi fungsi produksi knowledge diasumsikan bersifat increasing returns to scale. Chirichiello, (1994) berdasarkan teori klasik, menunjukkan fungsi permintaan dan penawaran tenaga kerja secara agregat sebagai berikut :
Ld Ld ( W / P) .....................................................................................
(6)
Ls Ls (W / P) ......................................................................................
(7) 83
keterangan : Ld, Ls = masing-masing permintaan dan penawaran tenaga kerja W
= tingkat upah nominal
P
= tingkat harga
W / P = tingkat upah riil. Bahmani-Oskooee, (1986) mengestimasi ekspor agregat dengan menggunakan fungsi sebagai berikut :
X X(YW, (PX / PXW), E) .................................................................
(8)
keterangan :
4. 4.1.
X
= jumlah ekspor
YW
= rata-rata bobot GNP riil negara-negara patner perdagangan
PX
= harga ekspor
PXW
= rata-rata bobot harga ekspor negara-negara patner perdagangan
E
= ekspor sebagai pembobot nilai tukar efektif.
METODE PENELITIAN Kerangka Model
Model ekonometrika yang digunakan dalam analisis ini dibangun berdasarkan teoriteori berikut. Dalam sebuah perekonomian, pertumbuhan ekonomi terjadi ketika ada pergeseran keluar pada production possibilities boundary (PPB). Pergeseran tersebut disebabkan oleh adanya pertumbuhan pada faktor produksi kapital (K), labor (L), dan teknologi (A) (Gillis et al, 1992; Hess dan Ross, 1997; Lindert, 1993; Chacholiades, 1978; Dunn dan Mutti, 2000; dan Krugman dan Obstfeld, 2000). Untuk mengetahui seberapa besar output yang dihasilkan dalam suatu perekonomian dan pengaruh fungsional dari faktor pembentuknya, Solow telah membentuk sebuah fungsi produksi agregat sebagai berikut (Romer, 1996) :
Yt F ( K t , At Lt ) ....................................................................................
(9)
keterangan : Y, K, L, A t
= berturut-turut output, kapital, labor dan pengetahuan = waktu.
Persamaan (9) menunjukkan bahwa output nasional atau Produk Domestik Bruto dipengaruhi oleh jumlah kapital, tenaga kerja dan teknologi dalam perekonomian. Jadi pertumbuhan output ditentukan oleh pertumbuhan faktor produksi K, L, dan A, meskipun Solow lebih mengutamakan pada pertumbuhan K. Romer (1996) dalam model endogenous growth memasukkan knowledge sebagai peubah endogen. Selain kapital fisik, model ini juga memasukkan human capital sebagai faktor utama penentu pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi agregat yang ditunjukkan adalah :
Y(t ) K(t ) H(t ) [A(t )L(t )]1 , 0, 0, 0, .............
(10)
84
dimana H adalah stok human capital, dan persamaan tersebut bersifat constant returns bagi K, H, dan L bersama-sama. Dalam konteks teori perdagangan internasional, Chacholiades (1978) menunjukkan fungsi produksi suatu perekonomian dengan tiga produksi, masing-masing X, Y dan Z. X dan Y adalah produksi akhir sedangkan Z sebagai barang intermediate. Fungsi produksi masing-masing adalah :
X = F(L x , Tx , Z x ) .............................................................................
(11)
= G(L y , Ty , Z y ) ............................................................................
(12)
= H(L z , Tz ) ...............................................................................................
(13)
Y Z
keterangan : X, Y
= produksi barang akhir X dan Y
Z
= produksi barang intermediate Z
Lx, Ly, Lz = jumlah tenaga kerja bagi produksi barang X, Y, dan Z Tx, Ty, Tz = jumlah lahan bagi produksi barang X, Y, dan Z. Di dalam pengukuran, Moshin dan Anam (1999) memperluas fungsi agregat dengan memasukkan faktor ekspor sebagai berikut :
Y
= Y(K, L, G, X) .........................................................................................
(14)
keterangan : Y
= output agregat
K, L
= berturut-turut input kapital dan labor
G
= pengeluaran pemerintah
X
= ekspor nasional.
Berdasarkan kerangka teori pertumbuhan ekonomi di atas dimana pertumbuhan bersumber dari perkembangan faktor produksi (K, L, A, dan H) yang dicakup dalam sektorsektor produksi perekonomian, serta ekspor dan pelaku usaha (entrepreneur) yang berperan mengambil tindakan menggerakan pertumbuhan dimaksud, maka perlu diletakkan posisi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di dalam kerangka perekonomian nasional. Pertama, perkembangan data nilai tambah Usaha Kecil (UK), Usaha Menengah (UM), dan Usaha Besar (UB) tahun 1997 hingga tahun 2007 menunjukkan bahwa share UK dan UM terus mengalami kenaikan. Kedua, berdasarkan data perkembangan faktor produksi terutama kapital dan penyerapan tenagakerja, share investasi UK dan UM makin meningkat. Pada penyerapan tenagakerja, UK dan UM pada dasarnya mendominasi penyerapan tenagakerja nasional. Ketiga, berdasarkan share ekspor UKM terhadap ekspor nasional hanya sebesar 15.70 persen, namun UKM tetap memiliki peluang mampu meningkatkan ekspornya. Keempat, sebagaimana teori pertumbuhan menyatakan bahwa aktor yang menyelenggarakan pertumbuhan ekonomi adalah entrepreneur, maka pengusaha UKM adalah aktor dan pelaku utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data jumlah pengusaha, 99.98 persen dari total pengusaha adalah pengusaha UKM. Berarti dari segi jumlah, aktor UKM berperan sangat besar dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional. Peran besar pengusaha UKM yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui aktivitas / usaha yang berskala kecil tersebut sesuai fakta sekarang ini sedang terjadi. 85
Keempat dasar kemampuan di atas menunjukkan UKM dapat menjadi sumber bagi pertumbuhan ekonomi. Sumber pertumbuhan tersebut berasal dari perkembangan faktor produksi yang dimiliki UKM (investasi dan penyerapan tenagakerja), peluang ekspor dan efek yang dapat dihasilkan, dan jumlah pengusaha yang bebas berkompetisi tanpa proteksi baik dalam produksi, merebut pasar dan mengembangkan ekspor. Untuk melihat kedudukan UKM dalam perekonomian nasional dan kontribusi yang dapat disumbangkan, dikenal UKM memiliki sektor produksi baik produksi untuk konsumsi domestik maupun produksi ekspor. Kedua sisi produksi ini dapat memberikan kontribusi secara langsung kepada Gross Domestic Product (GDP) dan pertumbuhan ekonomi. Saling keterkaitan efek ini digambarkan sebagai kerangka pikir pada Gambar 4. Secara operasional kerangka pikir ini diaplikasi dalam bentuki riil sesuai kondisi UKM dan UB (Usaha Besar). Keterkaitan 9 sektor baik UK, UM dan UB dengan GDP, pertumbuhan ekonomi dan ekspor nasional disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Teoritis Keterkaitan dan Efek-efek UKM pada GDP dan Pertumbuhan Ekonomi
86
Gambar 5. Keterkaitan 9 Sektor UKM dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Ekspor
Dalam bentuk yang dapat diestimasi dan terukur, kerangka pikir dan kerangka model di atas dapat diwujudkan dalam model ekonometrika seperti fungsi input dan output sektorsektor Usaha Kecil yang diformulasi sebagai berikut : K UKt
1 2 3 = H UKt [A UKt L UKt ]1 ; Q DUKt , Q XUKt , X UKt , GDPt 4 ,
5 6 7 8 ................................................................... G DUKt , G XUKt , U DUKt , U XUKt
(15)
1 1 2 3 5 = H UKt A1UKt L UKt ; Q DUKt , Q XUKt , X UKt , GDPt 4 , G DUKt ,
6 7 8 G XUKt , U DUKt , U XUKt
ln K UKt = ln H UKt (1 ) ln A UKt (1 ) ln L UKt 1ln Q DUKt
2 ln Q XUKt 3 ln X UKt 4 ln GDPt 5 ln G DUKt 6 ln G XUKt 7 ln U DUKt 8 ln U XUKt .............................................................. A UKt 6 G XUKt
(16)
1 2 3 4 5 = K UKt a H UKt b L UKt c ; Q DUKt , Q XUKt , X UKt , GDPt , G DUKt ,
................................................................................................ (17)
ln A UKt = a ln K UKt b ln H UKt c ln L UKt 1 ln Q DUKt 2 ln Q XUKt
3 ln X UKt 4 ln GDPt 5 ln G DUKt 6 ln G XUKt ................................... L UKt
(18)
1 2 3 4 5 = K UKt H UKt A1UKt ; U DUKt , U XUKt , WUKMt , PUKt , Q DUKt ,
6 8 9 .................................................................. Q XUKt , GDPt7 , G DUKt , G XUKt
(19)
87
ln L UKt = ln K UKt ln H UKt (1 ) ln A UKt 1ln U DUKt
2 ln U XUKt 3 ln WUKMt 4 ln PUKt 5 ln Q DUKt 6 ln Q XUKt 7 ln GDPt 8 ln G DUKt 9 ln G XUKt ..................................
(20)
1 2 3 , X UKt , PUKt = K UKt H UKt (A UKt L UKt )1 ; Q XUKt ........................
(21)
Q DUKt 0 1,
0 1,
1
ln Q DUKt = ln K UKt ln H UKt (1 ) ln A UKt (1 ) ln L UKt
1ln Q XUKt 2 ln X UKt 3 ln PUKt ................................................................
(22)
1 2 4 5 6 = K UKt H UKt (A UKt L UKt )1 ; Q DUKt ... ........ , X UKt , PUKt , PXUKt , M UKt
(23)
QXUKt
0 1,
0 1,
1
ln Q XUKt = ln K UKt ln H UKt (1 ) ln A UKt (1 ) ln L UKt 1 ln Q DUKt 2 ln X UKt 4 ln PUKt
5 ln PXUKt 6 ln M UKt ............................................................
(24)
Keterangan : K, L, H, A ..( UKt) = berturut-turut stok kapital, labor, human capital dan
level teknologi sektor UK QDUKt , QXUKt
= berturut-turut produksi output sektor UK orientasi domestik dan ekspor
U DUKt , U XUKt = berturut-turut jumlah unit usaha sektor UK orientasi
domestik dan ekspor X UKt
= ekspor sektor UK
GDPt
= Gross Domestic Product
G DUKt
= pengeluaran pemerintah sektor UK orientasi domestik
G XUKt
= pengeluaran pemerintah sektor UK orientasi ekspor
PUKt
= harga per unit output domestik sektor UK
PXUKt
= harga per unit ekspor sektor UK
WUKMt
= tingkat upah rata-rata sektor UKM
M UKt
= impor sektor UK.
88
Fungsi penawaran ekspor, permintaan impor dan harga-harga dirumuskan dalam persamaan-persamaan berikut ini. = f (Q XUKt , ER t , PXUKt , PUKt , G XUKt ) ...........................................
(25)
ln X UKt = k ln Q XUKt l ln ER t m ln PXUKt n ln PUKt o ln G XUKt .............
(26)
= f (GDPt , X UKt , ER t , Pft , PUKt ) ....................................................
(27)
ln M UKt = p ln GDPt q ln X UKt r ln ER t s ln Pft t ln PUKt ........................
(28)
ln PUKt
= f (Q DUKt , Q XUKt , ER t , PXUKt ) ....................................................
(29)
ln PUKt
= u ln Q DUKt v ln Q XUKt w ln ER t x ln PXUKt ............................
(30)
PXUKt
= f (Q XUKt , X UKt , ER t , Pft ) ..........................................................
(31)
ln PXUKt = y ln Q XUKt z ln X UKt aa ln ER t ab ln Pft .................................
(32)
X UKt
M UKt
keterangan :
4.2.
X UKt
= penawaran ekspor sektor UK
M UKt
= permintaan impor sektor UK
ER t
= nilai tukar
PUKt
= harga per unit output domestik sektor UK
PXUKt
= harga per unit ekspor sektor UK
Pft
= harga per unit impor sektor UKM.
Unit Analisis dan Sumber Data
Unit analisis dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi yang terlibat dalam kegiatan ekspor seperti (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, dan (3) industri pengolahan. Dua kelompok skala usaha yang dianalisis adalah Usaha Kecil (UK) dan Usaha Menengah (UM). Data yang digunakan adalah pool data (cross section dan time series) dari tahun 1997 hingga 2007. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Koperasi dan UKM. 4.3. Model Operasional, Hipotesis dan Metode Pendugaan Model terdiri atas 2 blok yaitu UK dan UM dengan persamaan-persamaan seperti berikut ini. Usaha Kecil KUKS
= a0 + a1 SBI + a 2 RHUKS + a 3 EUK + a 4 QUKS + a 5 PUKS + a 6 LKUKS + e1 .............................................
AUKS
= b0 + b1 KUKS + b2 HUKS + b3 LUKS + b4 QUKS + b5 GUKS + b6 LAUKS + e2 ..............................................
LUKS
(33) (34)
= c0 + c1 UMR + c2 KUKS + c3 UUKS + c4 QUKS + c5 LLUKS + e3 .................................................................
(35) 89
QUKS EUK
= d0 + d1 MKUKS + d2 HUKS + d3 AUKS + d4 LUKS + d5 EUK + d6 GUKS + d7 RPUKS + d8 GDP + d9 LQUKS + e4 .........
(36)
= e0 + e1 PEUK + e2 ER + e3 QUKS + e4 LEUK + e5 ..............
(37)
Usaha Menengah KUMS
= f0 + f1 SBI + f2 RAUMS + f3 EUM + f4 RQUMS + f5 PUMS + f6 GUMS + f7 RINAS + f8 LKUMS + e6 ...........
AUMS
= g0 + g1 KUMS + g2 HUMS + g3 RLUMS + g4 QUMS + g5 RGUMS + g6 LAUMS + e7 ..........................................
LUMS
EUM
(39)
= h0 + h1 UMR + h2 KUMS + h3 HUMS + h4 AUMS + h5 UUMS + h6 MQUMS + h7 RPUMS + h8 LLUMS + e8 ...
QUMS
(38)
(40)
= i0 + i1 KUMS + i2 RAUMS + i3 LUMS + i4 EUM + i5 GUMS + i6 RPUMS + i7 GDP + i8 LQUMS + e9 ............
(41)
= j0 + j1 PEUM + j2 ER + j3 QUMS + j4 LEUM + e10 .................
(42)
keterangan : KUKS, KUMS
= Investasi UK dan UM ;
AUKS, AUMS
= teknologi UK dan UM
LUKS, LUMS
= Tenagakerja UK dan UM;
QUKS, QUMS
= output UK dan UM
EUK, EUM
= Ekspor UK dan UM;
HUKS, HUMS
= human capital UK, UM
PUKS, PUMS
= Harga output UK dan UM;
PEUK, PEUM
= harga ekspor UK, UM
MKUKS
= Marginal investasi UK;
UUKS, UUMS
= jumlah unit UK, UM
GUKS, GUMS
= Penglrn pemerintah UK, UM
SBI
= Suku bunga
UMR
= Upah Minimum Regional
ER
= Nilai tukar
GDP
= Gross Domestic Product.
JEKSUK
= Jumlah eksportir UKM
EKSUB
= Jumlah eksportir UB
RINAS
= Total rencana invest.nas.
R...
= Rasio masing-masing
L...
= Lag endogen tiap peubah.
Hipotesis 90
Semua tanda parameter dugaan yang diharapkan (hipotesis) pada persamaanpersamaan kelompok Usaha Kecil dan Usaha Menengah di atas adalah positif, kecuali parameter a1, c1, f1, dan h1 adalah negatif. Parameter positif dan negatif diperoleh dari hasil pengolahan data yang menunjukkan tanda parameter tersebut positif atau negatif. Bila tidak sesuai tanda yang diharapkan berarti hasil estimasi melanggar hipotesis dan harus ditolak. Arti parameter bertanda positif adalah makin tinggi / besar nilai variabel (independen) tersebut maka makin tinggi juga nilai variabel dependen yang dipengaruhinya. Sebaliknya, arti parameter bertanda negtif adalah makin tinggi / besar nilai variabel (independen) tersebut maka makin rendah / kecil nilai variabel dependen yang dipengaruhinya. Sebelum dilakukan pendugaan, model di atas diidentifikasi dengan order condition, dimana hasilnya adalah semua persamaan overidentified. Model kemudian diduga dengan menggunakan metode 2 SLS (Two Stage Least Squares). 5.
HASIL PENDUGAAN PEUBAH-PEUBAH INPUT, OUTPUT DAN EKSPOR USAHA KECIL DAN USAHA MENENGAH
Dalam proses produksi sektoral, Usaha Kecil dan Usaha Menengah di pasar ekspor menggunakan input-input kapital, labor, human capital dan teknologi tersedia untuk menghasilkan output. Tiap skala usaha mengakumulasi kapital, meningkatkan teknologi dan menyerap tenagakerja serta melakukan ekspor. Hasil pendugaan masing-masing peubah pada tiap skala disajikan di bawah ini. 5.1. Usaha Kecil KUKS = - 30961 – 934.471 SBI* + 21013 RHUKS* + 0.0041 EUK* + 0.0021 QUKS* (-2.71)
(3.09)
(1.01)
(1.65)
+ 12753 PUKS* + 0.9632 LKUKS*............................................................. (43) (2.04) (Prob. F = 0.0001;
R2 = 0.9609;
Adj R2 = 0.9583;
DW = 2.122)
AUKS = - 154389 + 0.4575 KUKS* + 2.5001 HUKS* + 0.4544 LUKS* (0.03)
(0.29)
(0.50)
+ 0.1207 QUKS* + 0.2075 GUKS* + 0.1329 LAUKS* ............................. (44) (0.21) (Prob. F = 0.0001;
(0.03) R2 = 0.9904;
Adj R2 = 0.9897;
DW = 1.227)
LUKS = 196500 – 317.1934 UMR* + 0.3408 KUKS* + 1.0421 UUKS* (- 0.06)
(0.03)
(0.80)
+ 0.0927 QUKS*+ 0.1807 LLUKS* ......................................................... (45) (0.18) (Prob. F = 0.0001;
R2 = 0.9974;
Adj R2 = 0.9972;
DW = 1.653)
91
QUKS = - 661453 +1.7152 MKUKS* + 2.611 HUKS* + 0.1975 AUKS* (0.02)
(0.22)
(0.17
+0.5163 LUKS*+ 0.113 EUK* + 0.0457 GUKS + 293213 RPUKS* (0.41)
(0.04)
+ 0.0306 GDP*+ 0.2017 LQUKS*
(0.06) .......................................................... (46)
(0.24) (Prob. F = 0.0001; EUK
R2 = 0.9942;
Adj R2 = 0.9936;
DW = 1.677)
= -870365 +25891 PEUK* + 102.9654 ER* + 0.0054 QUKS (0.81)
(2.87)
+ 9.9095 JEKSUK* + 0.8138 LEUK*
...................................................... (47)
(0.52) R2 = 0.7822;
(Prob. F = 0.0001;
Adj R2 = 0.7701;
DW = 1.539)
5.2. Usaha Menengah KUMS = - 40635 – 2702.625 SBI* + 25840 RAUMS + 0.0115 EUM* (- 0.06)
(0.77)
+ 36728 RQUMS + 4435.7093 PUMS + 0.1162 GUMS* + 0.0052 RINAS* (0.27)
(0.28)
+ 0.8454 LKUMS* ..................................................................................... (48) (Prob. F = 0.0001;
R2 = 0.9011;
Adj R2 = 0.8920;
DW = 0.993)
AUMS = - 83298 + 0.0512 KUMS* + 0.0654 HUMS* + 75536 RLUMS* (0.28)
(0.13)
(0.80
+ 0.0267 QUMS*+ 3048.2328 RGUMS* + 0.4399 LAUMS* ................. (49) (0.57) (Prob. F = 0.0001;
(0.06) 2
R = 0.8390;
Adj R2 = 0.8281;
DW = 2.031)
LUMS = - 40188 – 87.8324 UMR* + 36753 RKUMS* 17379 RHUMS* (- 0.31) (0.23)
(0.10)
+ 11971 RAUMS*+ 102.0468 UUMS* + 0.0163 QUMS* (0.07)
(0.07)
(0.20
+ 35898 RPUMS + 0.5281 LLUMS* ……………………………………... (Prob. F = 0.0001;
R2 = 0.9705;
Adj R2 = 0.9677;
(50)
DW = 1.147)
92
QUMS = - 1145014 + 0.1235 KUMS* + 413493 RAUMS* + 0.7767 LUMS* (0.21)
(1.34)
(0.89)
+ 0.0095 EUM* + 0.2828 GUMS* + 685044 RPUMS* + 0.0023 GDP* (0.18)
(2.04)
(0.25)
(0.17)
+ 0.8483 LQUMS* …………………………………………………………. (Prob. F = 0.0001; EUM
2
R = 0.9763;
2
Adj R = 0.9741;
(51)
DW = 2.283)
= - 6908198 + 102165 PEUM* 759.5474 ER* + 0.6144 QUMS* (0.52)
(1.61)
(0.30)
+ 152.835 JEKSUB*+ 0.2355 LEUM* ...................................................... (52) (0.20) (Prob. F = 0.0001;
R2 = 0.7937;
Adj R2 = 0.7822;
DW = 1.292)
Keterangan : *
= berpengaruh nyata pada taraf 1 – 20 %.
( ) = nilai elastisitas jangka panjang. 6. PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh dan Saling Keterkaitannya dalam Usaha Kecil Hasil pendugaan terhadap persamaan investasi menunjukkan, peubah suku bunga, human capital, ekspor, produksi dan harga output adalah peubah-peubah yang signifikan mempengaruhi penanaman investasi sesuai hasil uji t. Peubah-peubah human capital, ekspor, produksi dan harga output masing-masing dalam jangka panjang memiliki efek kuat (bersifat elastis) terhadap investasi. Ini menunjukkan peningkatan masing-masing peubah tersebut memiliki kekuatan mendorong penanaman investasi dalam jumlah besar. Sebaliknya peningkatan suku bunga menyebabkan penurunan investasi dalam jumlah besar. Teknologi dipengaruhi oleh investasi, human capital, tenagakerja, produksi dan pengeluaran pembangunan. Semua peubah ini hanya memiliki efek lemah (inelastis) sehingga tidak memberikan perubahan yang drastis pada teknologi. Begitu juga penyerapan tenagakerja dipengaruhi oleh UMR, investasi, unit usaha dan produksi, dan keempat peubah ini hanya memiliki efek lemah (inelastis). Produksi sendiri dipengaruhi oleh investasi, teknologi, tenagakerja, human capital, ekspor, harga output dan GDP. Semua peubah pengaruh dalam persamaan produksi bersifat inelastis sehingga tidak cukup kuat mendorong kenaikan produksi secara drastis. Jumlah ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar dan jumlah eksportir. Efek saling mempengaruhi antar peubah pada sisi produksi adalah investasi UK berpotensi meningkat secara drastis jika dilakukan ekspansi pada human capital, jumlah ekspor, produksi, harga output. Efek kenaikan suku bunga adalah negatif karena itu kontrol pemerintah terhadap suku bunga sangat diperlukan jika ada political wiil untuk mendorong pertumbuhan UKM. Efek kenaikan investasi ini kemudian akan berpengaruh kepada teknologi, penyerapan tenagakerja dan produksi. Namun secara internal, efek investasi tersebut terhadap ketiga peubah di atas bukan sebagai insentif yang kuat karena efek investasi terhadap ketiga peubah hanya bersifat inelastis. Jadi, kenaikan yang dapat dialami 93
baik oleh kemajuan teknologi, penyerapan tenagakerja dan produksi bukan diharapkan langsung bersumber dari peningkatan investasi semata. Berkaitan dengan peubah lain, kekuatan potensial investasi semula bersama-sama dengan teknologi dan tenagakerja serta ditambah human capital dapat menstimulasi kenaikan produksi. Berdasarkan nilai elastisitas, diantara peubah-peubah pengaruh di dalam persamaan produksi, peubah tenagakerja-lah yang memiliki elastisitas yang lebih besar sehingga peluang kenaikan produksi dapat besumber dari kenaikan jumlah tenagakerja. Efek selanjutnya, kenaikan produksi kembali akan mendorong kenaikan yang kuat (elastis) hanya pada investasi dan tidak kepada input teknologi ataupun penyerapan tenagakerja. Jadi, efek akhir dari hubungan antar peubah ini kemungkinan akan menyebabkan investasi meningkat dalam jumlah yang besar. Dalam keterkaitan antar peubah inipun, jalur keterkaitan yang secara internal memiliki daya efek yang kuat adalah jalur investasi, tenagakerja dan produksi. Melalui jalur ini teknologi juga dapat mengalami kenaikan. 6.2. Pilihan Alternatif Pengembangan Usaha Kecil Hasil estimasi dan pembahasan di atas menunjukkan bahwa secara teknis di dalam proses produksi UK, kemampuan teknis internal UK belum memperlihatkan kapasitas yang kuat atau kapasitas dari dalam yang menunjukkan kemampuan teknis berproduksi. Kemampuan disini dimaksudkan sebagai kapasitas produksi yang mampu memproses semua faktor produksi dasar seperti investasi, teknologi dan tenagakerja untuk menghasilkan produksi secara efektif, dan kemampuan yang ditunjukkan input-input adalah kuat (elastis). Seperti yang dibahas di atas, di dalam proses produksi UK hanyalah investasi yang menunjukkan dinamika meningkat secara drastis. Namun di dalam fungsi produksi dinamika inipun belum terlihat yakni investasi hanya bersifat inelastis terhadap produksi, begitu juga input-input lain. Meskipun tidak berpotensi meningkat seperti investasi, teknologi UK menerima efek linear dari kenaikan investasi yaitu kenaikan investasi secara segera dapat meningkatkan teknologi secara inelastis. Pada satu sisi investasi dan teknologi keduanya menyatu sementara pada sisi lain peningkatan investasi tidak cukup kuat memacu kenaikan teknologi maka diperlukan stimulus dari peubah eksternal. Dalam persamaan teknologi stimulus tersebut adalah human capital dan pengeluaran pembangunan. Jadi, melalui ekspansi human capital dan pengeluaran pembangunan oleh pemerintah, teknologi UK dapat ditingkatkan. Kedua peubah inipun secara langsung menstimulasi kenaikan investasi yang lebih besar. Penyerapan tenagakerja UK dapat dipicu oleh peningkatan jumlah unit usaha (elastisitas 0.80), produksi (elastisitas 0.18) dan investasi (elastisitas 0.03). Meskipun peubah unit usaha memiliki efek yang inelastis terhadap penyerapan tenagakerja namun secara skala, peningkatan kuantitas usaha memiliki kesamaan arti dengan perluasan lapangan kerja sehingga dapat menyerap tenagakerja lebih banyak. Jika UK bersifat padat karya maka ekspansi jumlah unit usaha potensial menyerap tenagakerja sehingga berpengaruh meningkatkan jumlah produksi yang seterusnya menarik investasi dan teknologi yang lebih besar. Berdasarkan hasil ini, rencana penyerapan tenagakerja yang lebih banyak yang bertujuan mengurangi pengangguran harus dibarengi dengan peningkatan jumlah unit usaha, investasi dan teknologi. Kenaikan nilai tukar (dalam hal ini depresiasi rupiah) menyebabkan ekspor UK meningkat secara tajam. Efek ini akan menghantar efek ekspor yang besar kepada kenaikan investasi dan produksi. Efek ekspor terhadap investasi adalah kuat (elastis) sehingga akan menyebarkan efek lanjutan pada teknologi dan penyerapan tenagakerja. Menurut skala, jumlah ekspor akan meningkat jika jumlah eksportir UK ditingkatkan. 94
Keterkaitan antar peubah UK menunjukkan bahwa rangsangan terhadap produksi secara internal bersumber dari akumulasi investasi. Akumulasi investasi akan menstimulasi teknologi dan penyerapan tenagakerja. Rangsangan yang datang dari instrumen kebijakan pemerintah bersumber dari penambahan dana pembangunan SDM dan pengeluaran pembangunan. Gabungan kedua instrumen ini menstimulasi langsung dan menyebarkan efek kepada produksi, investasi, teknologi dan penyerapan tenagakerja. Insentif dari lingkungan eksternal terhadap produksi dapat bersumber dari kenaikan harga output, nilai tukar dan jumlah eksportir melalui ekspor. Ekspor memiliki peran langsung dalam mendorong produksi dan investasi. 6.3. Pengaruh dan Saling Keterkaitannya dalam Usaha Menengah Investasi dipengaruhi oleh suku bunga, ekspor, pengeluaran pembangunan dan rencana investasi yang disetujui pemerintah. Keempat peubah ini bersifat inelastis terhadap investasi sehingga peningkatan masing-masing peubah hanya memiliki efek lemah meningkatkan investasi. Peubah investasi, human capital, penyerapan tenagakerja, produksi dan pengeluaran pembangunan mempengaruhi perilaku teknologi UM. Kelima peubah ini memiliki efek lemah (inelastis) namun peubah tenagakerja memiliki nilai elastisitas yang lebih besar (0.80) yang menunjukkan peubah ini lebih dominan mendorong perbaikan teknologi. Penyerapan tenagakerja dipengaruhi oleh UMR, investasi, human capital, teknologi, unit usaha dan produksi, dan semua peubah hanya memiliki efek lemah (inelastis). Diantara peubah pengaruh dalam persamaan tenagakerja, unit usaha memiliki elastisitas yang lebih tinggi (0.75) karena itu penambahan unit usaha akan lebih besar menyerap tenagakerja. Produksi dipengaruhi oleh investasi, teknologi, tenagakerja, ekspor, pengeluaran pembangunan. harga output dan GDP. Peubah teknologi dan harga output memiliki efek kuat (elastis) terhadap produksi dan peubah lainnya memiliki efek lemah (inelastis). Jumlah ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar, produksi dan jumlah eksportir. Ekspor dapat berubah secara drastis (elastis) akibat perubahan nilai tukar. 6.4. Pilihan Alternatif Pengembangan Usaha Menengah Hasil estimasi telah menunjukkan bahwa kemampuan teknis UM belum terlampau baik menggerakan produksi secara internal. Produksi hanya didukung secara kuat oleh pengembangan teknologi dan belum melalui pengembangan input investasi maupun tenagakerja. Pilihan variabel instrumen lainnya dapat dipilih untuk mendukung pengembangan produksi UM sebagaimana diuraikan di bawah ini. Peluang kenaikan ekspor akan mampu mendorong kenaikan penanaman investasi UM karena elastisitas ekspor cukup besar (0.77) dibanding efek peubah pengeluaran pembangunan ataupun rencana investasi yang disetujui pemerintah. Investasi selanjutnya memiliki efek mempengaruhi kemajuan teknologi, penyerapan tenagakerja dan peningkatan produksi. Tetapi berdasarkan elastisitas, efek lanjutan investasi di dalam ketiga peubah di atas adalah lemah. Ini berarti kekuatan efek investasi yang diharapkan dapat menggerakkan baik produksi, kemajuan teknologi dan penyerapan tenagakerja tidak dapat terjadi secara alami. Oleh karena itu stimulus untuk memupuk efek lebih besar pada investasi dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pengaturan dana pengeluaran pembangunan. Peubah-peubah internal sisi produksi yang mempengaruhi kemajuan teknologi UM tidak memiliki efek kuat (hanya bersifat inelastis). Sesuai hal ini, upaya perbaikan terhadap teknologi dapat dilakukan melalui mengendalikan peubah-peubah eksternal/instrumen. Terlihat dalam persamaan teknologi, peubah instrumen dimaksud adalah dana pembangunan SDM dan pengeluaran pembangunan. Kedua peubah ini hanya bersifat inelastis di dalam persamaan teknologi tetapi sebagai peubah instrumen keduanya dapat dikendalikan untuk menstimulasi kemajuan teknologi UM. Selanjutnya efek teknologi di 95
dalam fungsi produksi adalah kuat (elastis). Hal ini menunjukkan perkembangan teknologi yang lebih maju berpotensi menstimulasi kenaikan produksi. Sesuai hasil estimasi, teknologi berperan menstimulasi produksi (elastis), namun berdasarkan nilai elastisitasnya pada persamaan tenagakerja peran tersebut lemah (bersifat inelastis). Ini berarti makin majunya teknologi UM tidak secara otomatis menarik penyerapan tenagakerja yang lebih banyak. Terlihat pada persamaan tenagakerja bahwa peubah eksternal yang mendukung peningkatan penyerapan tenagakerja adalah dana pengembangan SDM dan jumlah unit usaha. Diantara kedua peubah eksternal ini, secara alami peubah unit usaha memiliki efek yang lebih besar (elastisitas 0.75) untuk menarik serapan tenagakerja lebih banyak. Ini berarti peluang peningkatan jumlah unit usaha berpotensi membuka kesempatan lebih besar terhadap penyerapan tenagakerja. Selanjutnya, efek peubah tenagakerja di dalam persamaan produksi dan juga teknologi adalah kuat (elastisitas 0.89 dan 0.80). Ini menunjukkan peran tenagakerja di dalam menstimulasi baik produksi maupun teknologi adalah cukup kuat. Berdasarkan penjelasan di atas, di dalam skala UM pasar ekspor, peran tenagakerja cukup sentral baik dalam menggerakkan produksi maupun teknologi. Produksi dapat juga digerakkan oleh peubah-peubah eksternal pengeluaran pembangunan, harga output dan GDP. Harga output memiliki efek kuat (elastis) menarik kenaikan produksi, akan tetapi harga output sendiri turut dipengaruhi dengan kuat (elastis) oleh nilai tukar. Jadi, peran nilai tukar makin besar dalam mempengaruhi kenaikan produksi. Peubah ekspor turut mendukung kenaikan produksi meskipun hanya memiliki efek yang lemah (inelastis). Peran ekspor juga cukup kuat (elastisitas 0.77) mendukung akumulasi investasi dan efek lanjutan ekspor terhadap kemajuan teknologi maupun penyerapan tenagakerja terjadi secara tidak langsung melalui efeknya terhadap investasi. Selanjutnya ekspor dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar dimana pergerakkan nilai tukar dapat secara drastis (elastis) merubah jumlah ekspor. 7. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1.
Faktor-faktor yang sangat kuat mempengaruhi penanaman investasi pada UK adalah suku bunga, human capital, ekspor, produksi dan harga output. Teknologi dipengaruhi oleh investasi, human capital, tenagakerja, produksi dan pengeluaran pembangunan. Penyerapan tenagakerja dipengaruhi oleh UMR, investasi, penambahan unit usaha dan produksi. Produksi dipengaruhi oleh investasi, teknologi, tenagakerja, human capital, ekspor, harga output dan GDP. Jumlah ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar dan jumlah eksportir.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi UM adalah suku bunga, ekspor, pengeluaran pembangunan dan rencana investasi pemerintah. Teknologi dipengaruhi investasi, human capital, tenagakerja, produksi dan pengeluaran pembangunan. Tenagakerja dipengaruhi UMR, investasi, human capital, teknologi, unit usaha dan produksi. Produksi dipengaruhi investasi, teknologi, tenagakerja, ekspor, pengeluaran pembangunan. harga output dan GDP. Jumlah ekspor dipengaruhi harga ekspor, nilai tukar, produksi dan jumlah eksportir.
3.
Investasi UK berpeluang bertumbuh dengan cepat ketika terjadi peningkatan ekspor, tetapi kenaikan investasi belum cukup kuat mendorong perbaikan teknologi, sementara ekspor membutuhkan teknologi yang lebih baik. Kelemahan UK ini perlu diintervensi pemerintah melalui pengembangan human capital dan pengeluaran pembangunan untuk pengembangan UK.
96
4.
Peran UK dalam penyerapan tenagakerja dan pengurangan pengangguran dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah unit usaha sebagai penjelmaan penciptaan lapangan kerja. Untuk mendorong peningkatan ekspor, perlu diperbanyak jumlah eksportir UK.
5.
Pemupukan investasi pada UM belum kuat secara internal sehingga diperlukan dukungan pemerintah melalui peningkatan dana pengeluaran pembangunan untuk pengembangannya maupun melalui ekspansi ekspor. Ekspansi ekspor juga mampu mendorong peningkatan produksi. Dukungan pemerintah juga diperlukan untuk mendorong perkembangan teknologi UM melalui peningkatan dana pembangunan SDM. Peran penyerapan tenagakerja UM dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah unit usaha.
REFERENSI Badan Pusat Statistik. 2008. Indikator Makro Ekonomi Usaha Kecil Menengah. Kinerja UKM dalam Perekonomian Indonesia Tahun 2008. BPS, Jakarta. Bahmani-Oskooee, 1986. Determinants of International Trade Flows : The Case of Developing Countries. Journal of Development Economics, 20:107 – 407. Chacholiades M. 1978. International Trade Theory and Policy. McGraw-Hill International. Tokyo. Chirichiello, G. 1994. Macroeconomic Model and Controversies. St. Martin’s Press, Inc., New York. Crespo-Cuaresma. J. and J. Worz. 2003. On Export Composition and Growth. Department of Economics, University of Vienna, Vienna, Austria. Djaimi. 2006. Analisis Peranan, Perilaku, dan Kinerja Industri Kecil dan Menengah dalam Perekonomian Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dunn. M. Robert and John H. Mutti. 2000. International Economics. Fifth Edition. Routledge, London & New York. Gillis M, Perkins D.H, Roemer M, Snodgrass D.R. 1992. Economics of Development. Third Edition. W.W. Norton & Company. New York. Hess P, and Ross C. 1997. Economic Development. Theories, Evidence, and Policies. The Dryden Press. Harcourt Brace College Publishers, Orlando, USA. Intriligator. M., R. Bodkin and C. Hsiao. 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications. Second Editions. Prentice-Hall International, Inc. Krugman, Paul R, and Obstfeld M. 2000. International Economics, Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, USA. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London. Koutsoyiannis, A. 1979. Modern Microeconomics. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, Hongkong. Lindert. P.H. 1993. Ekonomi Internasional. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Moshin M, and M. Anam . 1999. Export and Economic Growth : Evidence From The Asean Countries. Department of Economics, York University. Canada. Pindyck. R.S. and Rubinfeld. D.L. 1998. Econometric Models and Economic Forecast. Fourth Edition. Irwin McGraw-Hill. New York. 97
Romer D. 1996. Advance Macroeconomics. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Sirait. H. 2007. Inefisiensi Teknis, Stagnasi Teknologi, dan Total Faktor Produktivitas Industrim Manufaktur Usaha Menengah dan Besar : Pendekatan Stochastic Production Frontier. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunaryanto. L.T. 2006. Dinamika Industri Skala Menengah, Gejala Missing of The Middle dan Sumber-sumber Pertumbuhan Industri. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suranovic. S.M. 2008. International Trade Theory and Policy. The International Economics Study Center. The George Washington University. Washington D.C. LAMPIRAN Data dan Sumber Data Penelitian Data yang digunakan dalam analisis hasil riset ini adalah data Usaha Kecil dan Menengah dan Usaha Besar tingkat nasional. Data diperoleh dari berbagai sumber diantaranya Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan lembaga lainnya yang terkait. Data termasuk data sekunder berupa pooling data (cross section dan time series). Data cross section dirinci menurut sektor ekonomi sedangkan data time series dimulai tahun 1997 hingga 2007. Unit-unit Analisis Unit-unit yang dianalisis adalah sektor-sektor UKM. Sesuai data pada Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Koperasi dan UKM, perekonomian secara sektoral terdiri dari 9 (sembilan) sektor, masing-masing : (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa. Dari ke-9 sektor tersebut, 3 (tiga) sektor diantaranya : (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, dan (3) industri pengolahan menghasilkan produk untuk tujuan konsumsi dalam negeri dan untuk ekspor. Sedangkan 6 (enam) sektor lainnya hanya menghasilkan produk untuk tujuan konsumsi dalam negeri. Analisis ini menggolongkan ke-3 sektor yang menghasilkan produk untuk konsumsi domestik dan untuk tujuan ekspor sebagai pasar ekspor. Sedangkan sektor-sektor yang menghasilkan produk hanya untuk konsumsi domestik disebut sebagai pasar domestik. Selanjutnya, masing-masing kelompok sektor memiliki ketiga skala usaha yaitu Usaha Kecil (UK), Usaha Menengah (UM), dan juga Usaha Besar (UB) yang tidak diikutkan analisisnya dalam tulisan ini.
98
ESTIMASI FUNGSI USAHA KOPERASI DENGAN MODEL POWER FUNCTION MULTIPLE REGRESSION TERHADAP KOPERASI BERPRESTASI TAHUN 2009 Johnny W. Situmorang
[email protected] Kementerian KUKM ABFII Perbanas ABSTRACT As a business entity, cooperative organizes input factors to produce maximum output. The relationship between production factors and output of cooperative can be estimated by production function. With case study of the Achievement Cooperative, application of power function model reveals the significant relationship between input factors, labor, own capital, and outer capital, and business volume of cooperative where outer capital as a most significant. Also, cooperative as industry exists on economy of scale of increasing return to scale. This analysis also reveals the efficiency of using capital is higher. It means cooperative business will be more efficient when expansion of its business. Because of business expansion supports competition, the efforts for expansion could be done by enhancing of innovation and networking by horizontal and vertical inter-cooperative and collaboration with research and international institution. Keyword: cooperative, elasticity, ICOR, innovation, network 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perkoperasian adalah salah satu tugas pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Undang-Undang (UU) Nomor 25/1992 tentang Perkoperasian. Kemudian berdasarkan UU No. 34/2002 tentang Pemerintahan Daerah, pengembangan koperasi merupakan urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Namun, dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan koperasi juga bagian tugas dari pemerintah pusat dengan keberadaan Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) sejak tahun 1983. Berdasarkan UU nomor 38/2009, Kementerian KUKM terbentuk dalam rangka fokus dan penajaman tugas pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua (KIB-2). Berdasarkan sejarah, keberadaan koperasi di Indonesia sudah menjadi tonggak bagi kalangan petani dan buruh untuk memperjuangkan hak ekonomi. Jumlah koperasi di Indonesia sangat banyak, mencapai ratusan ribu unit. Namun, koperasi lemah dalam hal inovasi dan jejaring bisnis sehingga sulit melakukan ekspansi. Sesuai dengan UU No. 25/1992, koperasi adalah badan usaha berwatak sosial yang diharapkan menjadi wadah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atas dasar gotongroyong. Tetapi pemerintah bertekad memajukan koperasi sebagai pilar perkonomian nasional berbasis kerakyatan. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis 99
eksternal, khususnya globalisasi, perdagangan bebas, China-Asean FTA (CAFTA) dan demokratisasi, koperasi harus mampu memanfaatkan peluang bisnis dan ekonomi, dan lingkungan strategis internal, Kementerian KUKM meluncurkan berbagai program pemberdayaan koperasi agar koperasi mampu memanfaatkan peluang dan menjadikan koperasi berdaya. Disamping itu, direncanakan juga untuk mewujudkan koperasi skala besar pada akhir pengabdian KIB-2. Salah satu upaya pemerintah adalah memberikan penghargaan kepada koperasi dengan kategori berprestasi. Selama tahun 2004-2009, Pemerintah telah menyatakan bahwa ratusan koperasi telah masuk kategori berprestasi. 1.2. Permasalahan Koperasi adalah suatu badan usaha berbadan hukum yang memobilisasi sumberdaya untuk mencapai tujuan bisnis dan ekonomi yang berbasis anggota. Dari ratusan ribu koperasi, selama tahun 2004-2009, sebanyak 475 koperasi telah dinyatakan oleh Pemerintah sebagai koperasi berprestasi. Pada tahun 2009, sebanyak 75 koperasi masuk kategori berprestasi.Salah satu indikator yang dapat menjelaskan kemajuan koperasi adalah volume usaha yang menjadi nilai bisnis koperasi. Secara hipotetis, faktor-faktor yang kemungkinan mempengaruhi volume usaha adalah anggota serta penggunaan tenagakerja, dan modal koperasi. Oleh karena itu bagaimana fungsi usaha koperasi adalah permasalahan yang timbul. 1.3. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan uraian pada latar belakang dan permasalahan, tujuan umum dari kajian ini adalah mengetahui performa koperasi Indonesia memasuki era globalisasi. Secara spesifik, tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui fungsi usaha, skala ekonomi, dan efisiensi penggunaan modal Koperasi Berprestasi.Dari tujuan tersebut, kajian ini sebagai masukan bermanfaat dalam upaya memajukan koperasi Indonesia dan dalam pengambilan kebijakan pembangunan koperasi Indonesia. 2. TINJAUAN KONSEPTUAL Sejarah keberadaan koperasi di Indonesia secara resmi telah berumur 63 tahun. Koperasi dinyatakan sebagai lembaga ekonomi yang mampu memanifestasikan azas ekonomi kekeluargaan, sebagaimana tertera dalam UUD 1945.Koperasi bekerja berdasarkan doktrin atau prinsip koperasi (Marcus, 1992; Book, 1994; Situmorang, 2000; Situmorang dan Tamba, 2000, Situmorang, 2009).Sebagai badan hukum, koperasi menjalankan bisnis sebagaimana bentuk perusahaan lainnya. Untuk memajukan koperasi, salah satu upaya yang dilakukan adalah memberikan insentif dengan menetapkan beberapa koperasi sebagai Koperasi Berprestasi14, inovatif, dan jejaring yang luas. Dengan jumlah koperasi mencapai lebih dari 177 ribu unit, dalam era global, koperasi Indonesia belum satupun menembus pasar global berdasarkan omset (Rahardjo, 2010). Sebagai badan usaha, koperasi harus dapat menunjukkan performa berdasarkan prinsip bisnis dan ekonomi karena koperasi menggunakan input dan menghasilkan output, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Output bisnis utama koperasi adalah nilai transaksi dengan anggota yang dikenal sebagai volume usaha koperasi. Pada umumnya koperasi adalah multi-business, bergerak dalam berbagai bidang usaha. Semakin tinggi volume usaha maka semakin berperan koperasi sebagai badan usaha yang berwatak sosial. Sejalan dengan teori produksi maka fungsi usaha dapat diestimasi berdasarkan tenagakerja dan modal sendiri dan modal luar. 14
Kepmenneg KUKM 23/2009 tentang pentapan Koperasi Berprestasi Tahun 2009.
100
3. MODEL ANALISIS 3.1. Model Umum Estimasi fungsi usaha koperasi dalam kajian ini menggunakan model multiple regression dimana volume usaha adalah sebagai peubah dependen dan faktor-faktor anggota, tenagakerja, modal dalam, modal luar adalah peubah independen. Asumsi model ini adalah ragam tetap dari kesalahan regressi (homoskedasitas), residu adalah independen, nilai residual plot terdistribusi secara normal (Makridakis, 1989; Anderson et al, 2004; Keller, 2005). Pemenuhan asumsi ini menyatakan estimasi sebagai BLUEs (Best Linear Unbiased Estimators), menurut Teorema Gauss-Markov (Johnston, 1972; Supranto, 1984; Nachrowi dan Usman, 2006). Bentuk power function persamaan (1) umumnya adalah VU = âAngαTKβMSγMLδ VU
………..…………………………………………
(1)
= volume usaha koperasi berprestasi (Rp miliar)
ANG = jumlah anggota koperasi (orang) TK
= tenaga kerja koperasi (orang)
MS
= modal sendiri koperasi (Rp miliar)
ML
= modal luar koperasi berprestasi (Rp miliar).
Huruf â adalah konstanta dan masing-masing α, β, dan γ, adalah koefisien estimasi yang menggambarkan dimensi hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi usaha koperasi. Anggota menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi usaha sejalan dengan prinsip koperasi yang menjadikan anggota sebagai ciri utama koperasi. Bila terjadi multikolinieritas, model akan dikoreksi dengan menghilangkan satu atau lebih peubah independen yang memiliki kolonieritas (Nachrowi dan Usman, 2006). Hubungan usaha dan faktor-faktornya berbentuk power function yang menunjukkan hubungan tidak linier dengan pertimbangan bahwa semua faktor independen dan berinteraksi satu dengan lainnya untuk mempengaruhi volume usaha koperasi. Persamaan (1) dapat diubah menjadi bentuk hubungan liniear dengan bentuk persamaan logaritma alami (natural logarithm atau Ln) dengan model Ln-Ln yang ditunjukkan oleh persamaan berikut. LnVU = lnâ + αlnAng + βlnTK + γlnMS + δlnML
………………………….…..…..(2)
Manakala estimasi persamaan (2) tidak memuaskan, misalnya hubungan yang semestinya positif tapi hasil estimasi negatif atau terjadi multikolinieritas, maka persamaan (3) dapat dimodifikasi dengan mengeluarkan salah satu faktor yang dianggap mengganggu atau menjadikan salah satu faktor independen dalam skala rasio. Misalnya, persamaan (2) diubah menjadi LnVU = lnâ + α lnTK +β lnMSA + γlnML
…………..…………………………..
(3)
di mana MSA adalah rasio MS dan Anggota (MS/Ang) 3.2. Pengujian Asumsi: Multikolinieritas, Kelayakan, Homoskedasitas, dan Normalitas Untuk memenuhi criteria BLUES, model diuji dengan non-multikolinieritas, kelayakan, homoskedasitas, dan normalitas. Uji multikolinieritas adalah untuk mengetahui siginifikansi kolinieritas antar peubah bebas dengan VIF dan Tol (Tolerance). Jika VIF dan Tol mendekati nilai satu, tidak ada kolinieritas. Uji kelayakan model dilakukan dengan metode SDRESID (Studenitized Delete/Press Residual) dan ZPRED (Standardized Predicted Value). Uji homoskedasitas dilakukan dengan metode ZRESID (Regression 101
Standardized Residual) dan ZPRED. Uji normalitas dengan SRP (Standardized Residual Plots’) dan NPP (Normal Probability Plot). 3.3. Elastisitas dan Peramalan Untuk mengetahui respon dan peramalan (forecasting) usaha dari perubahan faktorfaktor yang memengaruhinya adalah dengan elastisitas usaha. Angka elastisitas menunjukkan berapa persen perubahan volume usaha apabila setiap faktor yang memengaruhinya (TK, MS, ML) berubah sebesar 1 (satu) persen. Persamaannya adalah …… ………….…………………………………………………………… (4) dimana Fi adalah faktor ke i dan adalah elastisitas volume usaha dari faktor ke i. Berdasarkan persamaan (4), maka α, β, dan γ masing-masing adalah elastisitas usaha atas tenagakerja, rasio modal sendiri dan anggota, dan modal luar koperasi. Pertumbuhan bisnis koperasi dapat diramal dengan penjumlahan dari interaksi elastisitas dan perubahan faktorfaktor yang mempengaruhi volume usaha. Persamaannya adalah (Solow, R. 1956; Barro, 1991; Aghion and Howitt, 1992; Elias, 1992; Barro and Sala-i-Martin. 1998;)
gvolush = ∑i єi.gi
…………………………………………………………..……
(5)
dimana gvolush adalah pertumbuhan volume usaha (dalam %) dan gi adalah pertumbuhan faktor ke i (dalam %). 3.4. Skala Ekonomi dan Efisiensi Penggunaan Kapital Koperasi Estimasi skala ekonomi salah satu keunggulan dari persamaan (4) karena secara langsung dapat diketahui dari penjumlahan pangkat dari masing-masing faktor yang mempengaruhi volume usaha. Estimasi skala ekonomi tersebut adalah SE = ∑εi
…………………………………………………………………….
(6)
dimana SE adalah skala ekonomi. Bila SE < 1, kondisinya adalah Decreasing Return to Scale (DRS). Bila SE = 1, kondisinya Constant Return to Scale (CRS) dan bila SE > 1, kondisi Increasing Return to Scale (IRS). Efisiensi penggunaan kapital biasanya dinyatakan dalam ICOR (increamental capital output ratio) diketahui dari dengan persamaan (1), yakni (Ferguson and Gould, 1975; Doll and Orazem, 1984) …………………………..…………………………………………….
(7)
Kebalikan dari ICOR pada persamaan (7) tersebut adalah ΔQ/ΔK, yakni …………………………………………………..…………………. dimana Q = VU, K adalah MSA atau ML, Q/K adalah produk rata-rata dari K. menggunakan persamaan (7) dan (8) maka …………………………………………………………………….
(8)
Dengan (9)
102
3.5. Metode Jenis data yang dipakai dalam analisis ini adalah penampang (cross-section) dan sumber data sekunder yang diterbitkan oleh Kemenneg KUKM tahun 200915. Terdapat sebanyak 75 pengamatan yang terdiri dari 15 Koperasi Simpan Pinjam (KSP), 30 Koperasi Produsen (KK), 10 Koperasi Produsen (KP), 10 Koperasi Pemasaran (KM), dan 10 Koperasi Jasa (KJ). Jumlah pengamatan ini sangat memadai untuk suatu pendugaan (Lampiran 1). Asumsi dalam penciptaan usaha, kelima jenis koperasi adalah sama. Uji hipotesis adalah dengan uji-t dengan α = 5%. Metode estimasi dengan Ordinary Least Square (OLS) dan komputasi dengan “SPSS”, sebagai salah satu software yang penggunaannya sangat luas di kalangan akademisi, terutama untuk pengolahan cross-section data. Peubah dependen adalah volume usaha (VU) yang menunjukkan nilai transaksi koperasi terkait anggota atau kemampuan koperasi menciptakan bisnis. Sedangkan peubah-peubah independen (bebas) adalah tenagakerja (TK). rasio modal sendiri koperasi dan anggota (MSA), dan modal luar koperasi (ML). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaan Koperasi Selama tahun 2004-2008, rata-rata per tahun jumlah koperasi sebanyak lebih dari 142 ribu unit dengan anggota sebanyak 27,77 juta orang atau setiap koperasi beranggotakan sedikitnya 195 orang. Dengan jumlah koperasi sebanyak itu, volume usaha yang tercipta mencapai rata-rata Rp.51,63 triliun per tahun dan modal sebesar Rp.37,1 juta. Setiap anggota koperasi menciptakan bisnis sebesar Rp.1,86 juta dan setiap koperasi menciptakan bisnis Rp.363,59 juta per tahun selama periode tersebut. Selama periode itu, rasio usaha koperasi dan PDB ketika PDB sebesar rata-rata Rp.3.464,47 triliun per tahun adalah sebesar 1.49%, sisanya, 98.51%, adalah kontribusi dunia usaha di luar koperasi. Keragaan koperasi yang termasuk kategori berprestasi tahun 2009 tertampil pada Tabel 1. Jumlah anggota per koperasi antara 1058-1846 orang, tenagakerja 14-52 orang, modal sendiri Rp.0,96-4,11 miliar, modal luar Rp.5,37-10,79 miliar, dan volume usaha Rp.13,8-28,39 miliar, tertinggi pada KP dan terrendah KK. Nilai tertinggi volume usaha dimiliki oleh KP, mencapai Rp.28,39 miliar, disusul oleh KJ (Rp.24,4 miliar), KM (Rp.21,06 miliar), KK (Rp.18,94 miliar), dan KSP (Rp.14,97 miliar). KSP hanya bergerak dalam bidang jasa keuangan (simpan-pinjam) yang termasuk dalam kategori lembaga keuangan nonbank. Selain KSP, semua jenis koperasi (KP,KJ,KM,KK) adalah multi-usaha. Profitabilitas koperasi adalah 3.23-8.99%, termasuk rendah. Tampaknya, ada keragaman koperasi berdasarkan faktor-faktor tersebut. Sayangnya, analisis ini tidak mengungkapkan uji keragaman usaha. Asumsi, perbedaaan tersebut hanya menyangkut nilai usaha saja.
15
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara KUKM nomor 23/Kep/M.KUKM/VII/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Penetapan Koperasi Berprestasi dan koperasi Penerima Award Tahun 2009.
103
Tabel 1. Keragaan Koperasi Berprestasi Tahun 2009 Berdasarkan Beberapa Faktor No Uraian 1 Jumlah anggota 2 Tenagakerja 3 Modal Sendiri 4
Modal Luar
5
Volume Usaha
Satuan Orang/kop Orang/kop Rp miliar /kop Rp miliar /kop Rp miliar /kop
KSP 1846 13,93 3,79
KK 1058 52,23 4,11
KP 1769 34,30 2,73
KM 1109 56,30 0,96
KJ 1192 49.00 3,87
10,79
6,70
5,68
5,37
7,73
13,80
14,81
28,39
21,06
24,40
Sumber: Diolah dari Kemen KUKM (2010). Catatan: KSP = 15, KK =30, KP = 10, KM = 10, KJ = 10 4.2. Uji Asumsi dan Estimasi Parameter Fungsi Usaha Koperasi Berprestasi Uji asumsi berdasarkan kelayakan, homoskedasitas, dan normalitas. Uji kelayakan terlihat pada scatterplot di mana kasus outlier tidak menonjol. Oleh karena itu, model adalah layak (fit) sebagai alat estimasi. Homoskedasitas menjamin model BLUEs dengan var(μ)= σ 2 atau semua varian residual adalah sama. Hubungan antara RSR (regression standardized Residual) dan RSPV (regression standardized predicted value) tidak mempunyai pola tertentu. Artinya, residual adalah homoskedasitas. Uji normalitas dilakukan dengan menampilkan plotting. Hubungan antara OCP (observed cumulative probability) dan ECP (expected cumulative probability) menunjukkan arah sepanjang garis dengan penyimpangan tidak terlalu besar. Sehingga residual telah terdistribusi secara normal. Tabel 2. Hasil Estimasi Fungsi Usaha Koperasi Berprestasi Peubah Bebas
Konstanta LnTK LnMSA LnML R2 Adj R2 F-hitung
Koefisien Takterstandard B Std Error -0.432 .825 0.314 .081 0.151 .060 0.591 .098 0.709 0.697 57.781
Koefisien Terstandard (Beta)
0.275 0.690 0.099
tHitung
Sig
-0.524 3.882 9.810 1.539
.602 .000 .000 .128
Statistik Kolinieritas Tolerance
VIF
.817 .827 .987
1.225 0.987 1.014
Peubah Dependen: LnVU; Estimasi menurut modifikasi persamaan (2), dimana MSA = rasio MS dan Ang Dengan persamaan (3), hasil estimasi tidak memuaskan karena pengaruh MS adalah negatif yang semestinya positif. Sehingga faktor anggota dikeluarkan dan menjadi denominator pada faktor MS, sehingga faktor MS menjadi MSA sebagai rasio MS dan Ang. Hasil estimasi persamaan (4) memuaskan yang terlihat pada Tabel 2. Dengan adj-R2 sebesar 0.697, model cukup baik menjelaskan variasi data, sebesar 69.7%. Berdasarkan ANOVA, uji-F = 57.781menunjukkan signifikansi yang tinggi pada α =5%. Artinya, paling 104
tidak ada satu faktor yang berpengaruh nyata pada VU. Uji hipotesis dari estimasi menunjukkan TK dan MSA adalah sangat signifikan dengan α = nol. Sedangkan ML signifikan pada α =12.8%. Peubah ML masih cukup baik menjelaskan VU. Tidak terjadi multikolinearitas antar peubah independen, terutama MS dan ML, yang tampak dari nilai Tolerance dan VIF yang mendekati satu. Estimasi yang telah diubah telah mencerminkan harapan sesuai dengan BLUEs. Pengaruh TK dan MSA yang nyata pada VU juga sejalan dengan kontribusinya terhadap VU. Koefisien Beta masing-masing 0.275 dan 0.690. Artinya, kontribusi TK dan MSA mempengaruhi VU adalah masing-masing 27.5% dan 69%. Berdasarkan persamaan (3) dan Tabel 2, fungsi usaha Koperasi Berprestasi tahun 2009 adalah LnVU = -0.432 + 0.314lnTK + 0.151lnMSA + 0.591lnML ……………………
(10)
Bentuk linier fungsi usaha Koperasi Berprestasi sesuai persamaan (3) diubah menjadi bentuk non-linear power function sesuai persamaan (1), yaitu VU = 0.6492TK0.314MSA0.151ML0.591 ……………….…………………………….
(11)
4.3. Penafsiran Hasil Estimasi Usaha: Elastisitas Berdasarkan persamaan (10) dan (11), koefisien TK, MSA, dan ML (0.314, 0.151, 0.591) adalah besaran pengaruh TK, MSA, dan ML terhadap VU atau elastisitas masingmasing faktor pada persamaan (5). Pengaruh faktor yang paling tinggi terhadap volume usaha adalah modal luar, menyusul tenagakerja, dan rasio modal sendiri-anggota. Elastisitas usaha terhadap tenagakerja sebesar 0.314 artinya kalau tenagakerja bertambah 1% maka volume usaha bertambah 0.314%. Demikian juga, pertambahan rasio modal sendiri-anggota dan modal luar sebesar 1% akan meningkatkan volume usaha koperasi sebesar 0.151% dan 0.591%. Angka-angka tersebut menunjukkan hubungan volume usaha dengan faktor-faktor tersebut tidak elastis, karena elastitasnya ׀ε <׀1. Faktor modal luar adalah faktor yang paling kuat mendorong perkembangan usaha koperasi. Komposisi modal luar dan modal dalam Koperasi Berprestasi adalah 72.09% dan 27.91%. 4.4. Peramalan Bisnis Koperasi Berprestasi Berdasarkan elastisitas usaha dari tenagakerja, modal sendiri-anggota, dan modal luar maka peramalan bisnis koperasi dapat dilakukan dengan beberapa skenario berdasarkan persamaan (6), yaitu Skenario I: Tenagakerja dan rasio modal sendiri-anggota naik masing-masing 10%, dan modal luar tetap. Skenario sedang (II): tenagakerja tetap, dan rasio modal sendiri-anggota dan modal luar naik masing-masing 10% dan 25%. Skenario tinggi (III): tenagakerja naik 10%, rasio modal sendiri-anggota naik 25% dan modal luar naik 50%. Dari 3 skenario tersebut, Skenario I termasuk skenario optimistik karena mungkin dilakukan untuk mencapai target. Sedangkan Skenario II dan III termasuk skenario pesimistik karena peluangnya rendah. Hasil skenario tersebut adalah ramalan perubahan bisnis Koperasi Berprestasi terlihat pada Tabel 9. Pada Skenario I, total pertumbuhan bisnis Koperasi Berprestasi hanya mencapai 4.65%, kategori rendah. Pada Skenario II, total pertumbuhan bisnis Koperasi Berprestasi sebesar 16.29%, kategori sedang, dan pada Skenario III, pertumbuhan bisnis Koperasi Berprestasi sebesar 36.45%, kategori tinggi.
105
Tabel 3. Peramalan Bisnis Koperasi Berprestasi dengan 3 Skenario Pengembangan Skenario
I
II
III
Faktor-faktor
Pertumbuhan Faktor (%) Tenagakerja 10 Modal Sendiri10 Anggota Modal Luar 0 Total Pertumbuhan Bisnis Tenagakerja 0 Modal Sendiri 10 Modal Luar 25 Total Pertumbuhan Bisnis Tenagakerja 10 Modal Sendiri 25 Modal Luar 50 Total Pertumbuhan Bisnis
Elastisitas Usaha 0.314 0.151
Pertumbuhan Volume Usaha (%) 3.14 1.51
0.591
0.00 4.65 0.00 1.51 14.78 16.29 3.14 3.76 29.55 36.45
0.314 0.151 0.591 0.314 0.151 0.591
Keterangan: Peramalan sesuai persamaan (5) 4.5. Skala Ekonomi danEfisiensi Penggunaan Kapital Koperasi Berprestasi Skala ekonomi (Return to Scale) koperasi berdasarkan persamaan (6) dapat dengan mudah diketahui. Karena power function maka jumlah semua pangkat dari masing-masing faktor yang mempengaruhi dapat menjelaskan kondisi skala ekonomi (Tabel 4). Penjumlahan α(0.314), β(0.151), dan γ(0.591) adalah SE sebesar 1.056 atau lebih besar dari 1. Sehingga Koperasi Berprestasi adalah industri pada kondisi skala ekonomi yang Increasing Return to Scale (IRS). Industri koperasi lebih kompetitif bila dalam skala usaha yang besar. Oleh karena itu, untuk mencapai skala yang ekonomis, ekspansi bisnis koperasi harus dilakukan. Ekspansi bisnis dapat ditempuh dengan membangun jejaring bisnis horizontal antar koperasi dengan memanfaatkan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah untuk menampung aspirasi dan jejaring vertikal dari koperasi primer, sekunder, sampai tersier. Ekspansi bisnis harus didukung oleh inovasi atau perubahan teknologi terus menerus agar efisiensi semakin tinggi. Hal tersebut adalah kelemahan koperasi. Namun, koperasi berpotensi mengembangkan inovasi melalui jejaring horizontal dan vertikal serta kerjasama dengan universitas atau lembaga riset pemerintah. Tabel 4. ICOR Koperasi Berprestasi 2009 (KSP dan Non-KSP) Berdasarkan Modal Sendiri dan Modal Luar No 1 2
Penggunaan Kapital Modal Sendiri (MS) Modal Luar (ML)
Persamaan (8) 0.7964 1.2067
ICOR Koperasi Berprestasi {Persamaan (9)} 1.2557 0.8287
Berdasarkan persamaan (7) - (9), ICOR Koperasi Berprestasi terlihat pada Tabel 4. ICOR modal sendiri adalah 1.2557 dan modal luar adalah 0.8287. Artinya, untuk memperoleh tambahan output koperasi sebesar Rp1.0 dibutuhkan tambahan modal sendiri 106
sebesar Rp1.26. Sedangkan kebutuhan tambahan modal luar hanya sebesar Rp0.83. Penggunaan modal koperasi termasuk kategori efisien, karena mendekati angka di bawah satu. Penggunaan modal yang paling efisien adalah modal luar. 5. PENUTUP Model analisis power function sangat memadai untuk menduga fungsi usaha koperasi karena memenuhi asumsi. Model ini sekaligus mampu mengungkapkan elastisitas, peramalan dan strategi pengembangan, skala ekonomi, dan efisiensi penggunaan kapital. Hubungan paling nyata antara usaha koperasi dan faktor-faktornya adalah tenagakerja dan rasio modal. Namun faktor yang paling besar pengaruhnya adalah modal luar yang diukur dari elastisitasnya. Ini berarti, modal luar adalah faktor paling strategis untuk mengembangkan usaha koperasi. Hubungan usaha koperasi dengan faktor-faktor tenagakerja, modal sendiri, dan modal luar adalah tak-elastis. Pertumbuhan usaha koperasi akan selalu positif sepanjang pertumbuhan faktor positif. Berdasarkan skala ekonominya, kondisi usaha koperasi adalah increasing return to scale, kondisi industri yang semakin efisien apabila skala usaha semakin besar. Dari sisi efisiensi penggunaan modal, koperasi ini termasuk kategori efisien. Sebagai saran dari hasil kajian ini adalah manajemen koperasi harus mampu memainkan modal luar sebagai instrumen ekspansi bisnis dengan baik. Disamping itu, ekspansi bisnis harus dilakukan oleh koperasi untuk mencapai skala usaha yang paling ekonomis dan dayasaing yang tinggi. Dalam konteks ini, perbaikan organisasi dan manajemen, serta “mindset” ke arah internasionalisasi atau korporasi adalah pilihan yang tepat untuk memajukan koperasi agar inovatif. Dalam hal ini, budaya korporasi sudah harus diterapkan sedini mungkin. Upaya yang mungkin dilakukan ke depan adalah membangun jejaring horizontal dan vertikal antar koperasi serta kerjasama dengan universitas danlembaga riset pemerintah. Karena Indonesia adalah anggota International Cooperative Alliance (ICA), membangun jejaring dengan koperasi global adalah juga potensi besar dalam ekspansi bisnis koperasi Indonesia. REFERENSI Anderson, David R., Dennis J. Sweeney, Thomas A. Williams. 2004. Essentials of Modern Business Statistics With Microsoft® Excel, 2e. Thomson South-Western. Anonim. 2009. Profil Koperasi Berprestasi Tahun 2009. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Jakarta. Aghion, P. and P. Howitt. 1992. “A Model of Growth through Creative Destruction,” Econometrica LX: 323–351. Barro R. J. and X. Sala-i-Martin. 1998. Economic Growth. Cambridge, MA: MIT Press. Barro, R. 1991. “Economic Growth in a Cross Section of Countries,” Quarterly Journal of Economics106: 407–444. Book, Sven Ake. 1994. Nilai-Nilai Koperasi Dalam Era Globalisasi. Laporan Kepada Kongres ICA di Tokyo, Oktober 1992. Koperasi Jasa Audit. PenerjemahDjabarudin Djohan. Jakarta, April. Elias, Victor J., 1992. Sources of Growth. A Study of Seven Latin American Economies. A Joint Research Project of the Foundacion del Tucuman and the International Center for Economic Growth. Press San Francisco, California. Ferguson, C. E. and J. P. Gould, 1975. Microeconomic Theory. Fourth Edition. John P. Doll and Frank Orazem. Productions Economics. Theory with Applications, Second Edition. John Wiley & Sons. 107
Johnston, J., 1972. Econometrics Methods. 2nd Edition, International Standard Edition, McGraw-Hill International Book Company. Keller, Gerald. Statistics for Management and Economics. Seven Edition. Brooks/Cole.
Thomson
Marcus, Lars. 1992. Nilai-nilai Dasar dan Kecendeurngan Global Kooperatif. Majalah INFOKOP, Media Pengkajian Perkoperasian, nomor 11 tahun IX, Mei. Badan Litbangkop & PPK, Depkop & PPK, Jakarta. Nachrowi, Nachrowi D dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Makridakis, Spiros and Steven C. Wheelwright. 1989. Forecasting Methods for Management. Fifth Edition, John Wiley & Sons, NY, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. Rahardjo, Dawam. 2010. Ekonomi Politik Perkoperasian Indonesia. Prosiding Seminar “Ekonomi Politik Perkoperasian Indonesia”. Ibnu Soedjono Center dan GKBI. Jakarta, 8 & 12 Juli 2010. Situmorang, Johnny W. 2000. Doktrin/Ajaran Koperasi Indonesia. Koperasi Dalam Paradigma Reformasi Menuju Indonesia Baru. Forum Dialog Nasional Menngenai Gerakan Perkoperasian di Indonesia. Aliansi Koperasi Indonesia (Alkindo), Hotel Indonesia, Jakarta, 4-5 September _________________. 2009. Tinjauan Kelembagaan Koperasi Dalam Pembangunan Nasional Ke Depan. Disampaikan dalam Program Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah untuk Rencana Tindak KUKM. Kemenneg KUKM, Mei. Situmorang, Johnny W., dan Haloman Tamba. 2000. Kembalikan Doktrin Koperasi. Artikel Solow, R. 1956. “A Contribution to the Theory of Economic Growth,” Quarterly Journal of Economics, 70: 65–94. 26 Supranto, J. 1984. Ekonometrika. Buku Dua. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
108
109
LAMPIRAN Lampiran 1. Beberapa Indikator Performa Koperasi Berprestasi 2009 yang Digunakan dalam Analisis No
Kode
Kabupaten/Kota
JAng
JTK
MS
ML
VU
SHU
MS/Ang
(orang)
(0rang)
(Rp m)
(Rp m)
(Rp m)
(Rp m)
(Rp juta)
80858
180
139,25
470,83
687,48
5,23
1,72
1
SP-1
Kab. Sanggau
2
SP-2
Kab. Ngada
7455
29
12,43
49,01
43,98
3,93
1,67
3
SP-3
Kota Bandar Lampung
5746
19
8,87
43,44
45,19
1,42
1,54
4
SP-4
Kab. Bandung
3520
13
2,75
7,25
8,14
0,44
0,78
5
SP-5
Kodya Jakarta Barat
2881
8
7,76
23,60
18,92
0,60
2,69
6
SP-6
Kab. OKI
1737
32
5,87
4,77
11,27
0,89
3,38
7
SP-7
Kab. Bintan
1512
3
5,26
0,90
16,75
1,02
3,48
8
SP-8
Kota Baru
946
10
1,31
3,06
5,98
0,02
1,38
9
SP-9
Kab. Sidoarjo
720
21
1,37
3,03
15,39
0,09
1,90
10
SP-10
Kab. Pandeglang
569
7
3,33
3,00
6,33
0,65
5,85
11
SP-11
Kab. Lombok Timur
210
18
1,31
2,17
5,68
0,17
6,24
12
SP-12
Kab. Boyolali
195
26
1,45
8,65
12,48
0,29
7,44
13
SP-13
Kota Samarinda
164
5
0,35
0,44
0,62
0,07
2,13
14
SP-14
Kab. Klungkung
125
3
0,49
1,33
2,31
0,01
3,92
15
SP-15
Kota Banda Aceh
67
1
0,49
0,47
0,16
0,10
7,31
16
KK-1
Kab. Kutai Timur
3664
651
13,00
28,79
65,14
8,24
3,55
17
KK-2
Kota Padang
3852
214
10,23
43,71
57,18
3,34
2,66
18
KK-3
Kota Batam
3321
17
7,49
4,90
4,53
0,16
2,26
19
KK-4
Kota Bandar Lampung
3142
19
21,88
31,36
52,10
3,20
6,96
20
KK-5
Kab. Situbondo
1660
34
8,79
28,99
62,55
1,45
5,30
21
KK-6
Bangka Barat
717
13
9,74
2,53
16,02
0,98
13,58
22
KK-7
Kab. Sleman
281
158
2,49
3,36
20,48
0,84
8,86
23
KK-8
Kota Medan
1589
19
3,14
20,64
27,40
0,83
1,98
110
24
KK-9
Kab. Sleman
1115
77
0,44
0,57
3,96
0,13
0,39
25
KK-10
Kab. Tanjab Barat
1045
16
1,42
1,73
11,20
0,77
1,36
26
KK-11
Kab. Flores
1029
17
4,93
1,99
6,46
0,36
4,79
27
KK-12
Kab. Ende
984
5
0,70
1,30
2,07
0,04
0,71
28
KK-13
Kab. Tangerang
914
3
2,32
0,35
0,77
0,58
2,54
29
KK-14
Kab. Jembrana
861
7
1,38
2,60
5,18
0,11
1,60
30
KK-15
Kodya Jakarta Timur
809
20
2,92
3,28
10,23
0,06
3,61
31
KK-16
Kepahiang
764
11
1,63
0,14
1,96
0,41
2,13
32
KK-17
Kab. Muna
676
2
1,89
0,59
2,60
0,39
2,80
33
KK-18
Kota Bukittinggi
637
8
4,14
0,69
6,17
0,21
6,50
34
KK-19
Kab. Jayapura
618
7
0,58
0,28
1,51
0,13
0,94
35
KK-20
Kab. Simalungun
599
11
8,44
6,57
11,87
0,09
14,09
36
KK-21
Kab. Subang
590
11
1,79
2,01
15,92
0,36
3,03
37
KK-22
Kab. 50 Koto
551
4
4,51
4,97
1,09
0,02
8,19
38
KK-23
Kab. Gorontalo
514
14
0,78
2,73
17,08
0,18
1,52
39
KK-24
Kab. Pekalongan
404
4
1,32
1,08
4,70
0,06
3,27
40
KK-25
Kota Samarinda
376
2
1,92
0,17
2,17
0,27
5,11
41
KK-26
Kab. Tasikmalaya
310
26
1,05
2,57
13,14
0,29
3,39
42
KK-27
Kab. Kubu Raya
203
171
2,06
0,44
4,71
0,77
10,15
43
KK-28
Kota Sibolga
203
12
0,60
0,33
1,32
0,16
2,96
44
KK-29
Kab. Kep. Sangihe
161
12
1,19
1,14
9,65
0,08
7,39
45
KK-30
Kab. Hulu Sungai Selatan
160
2
0,64
1,05
5,26
0,15
4,00
46
KP-1
Kab. Pasuruan
4116
107
11,93
22,97
110,26
0,48
2,90
47
KP-2
Kabupaten Indragiri Hulu
585
14
1,40
1,93
5,37
0,72
2,39
48
KP-3
Kab. Semarang
6287
26
1,31
2,63
4,98
0,07
0,21
49
KP-4
Kab. Cirebon
2411
10
0,46
2,59
6,34
0,34
0,19
50
KP-5
Kab. Lamongan
1616
21
1,70
12,00
42,67
0,10
1,05
51
KP-6
Kab. Musi Banyuasin
1579
68
7,67
10,22
80,64
0,17
4,86
111
52
KP-7
Kab. Lombok Timur
330
24
0,90
2,70
8,65
0,10
2,73
53
KP-8
Kab. Malang
324
13
1,44
1,07
21,98
0,17
4,44
54
KP-9
Kab. Tanjab Barat
257
15
0,26
0,42
2,10
0,10
1,01
55
KP-10
Kab. Siak
183
45
0,26
0,24
0,88
0,04
1,42
56
KM-1
Kodya Jakarta Pusat
251
14
1,61
5,77
22,13
0,37
6,41
57
KM-2
Kab. Aceh Tengah
6776
399
0,62
26,06
75,45
0,22
0,09
58
KM-3
Kab. Ogan Komering Ulu
1536
29
1,53
7,21
4,39
0,49
1,00
59
KM-4
Kab. Merangin
627
23
1,12
1,71
4,68
0,48
1,79
60
KM-5
Kab. Rohul
549
18
1,55
0,91
2,76
0,59
2,82
61
KM-6
Kab. Merangin
518
16
0,82
1,61
5,47
0,33
1,58
62
KM-7
Kab. Malang
324
39
1,51
0,28
11,58
0,14
4,66
63
KM-8
Kota Baru
242
11
0,38
0,13
3,51
0,10
1,57
64
KM-9
Kab. Mojokerto
177
5
0,35
9,77
79,37
0,11
1,98
65
KM-10
Kab. Majalengka
90
9
0,07
0,27
1,25
0,01
0,78
66
KJ-1
Kodya Jakarta Pusat
1331
21
5,53
31,90
30,56
0,72
4,15
67
KJ-2
Kab. Kotawaringin Barat
1424
9
4,84
0,59
9,05
1,45
3,40
68
KJ-3
Kota Balikpapan
973
189
6,09
1,01
12,08
2,55
6,26
69
KJ-4
Kab. Jombang
4306
24
13,77
12,61
52,32
0,45
3,20
70
KJ-5
Kota Malang
1496
17
2,44
7,48
32,79
0,65
1,63
71
KJ-6
Kota Pekalongan
661
20
0,59
5,05
11,42
0,09
0,89
72
KJ-7
Kab. Lombok Timur
494
21
0,50
2,22
3,34
0,07
1,01
73
KJ-8
Kota Surabaya
449
21
2,49
15,40
72,29
0,37
5,55
74
KJ-9
Kota Padang
405
11
1,14
0,71
14,42
0,34
2,81
75
KJ-10
Kota Samarinda
381
157
1,29
0,34
5,69
0,42
3,39
2388,69
44,51
5,22
13,47
27,51
0,69
3.51
Rata-rata
Sumber: Kemen KUKM (2010)
112
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PENGRAJIN BATIK DI DUSUNMENDIRO, GULUREJO, LENDAH, KULONPROGODAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Nahiyah Jaidi Faraz
[email protected] Pusat Studi Wanita, Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRACT This research aims to evaluate women empowerment programs, especially related to entrepreneurship awareness, daily income, and institutional strengthening of female batik producers in Mendiro, Gulurejo, Lendah, Kulonprogo, the Yogyakarta Special Territory.The program evaluation model used in this research is Logical Framework Model. The population of the female batik producers in Mendiro, Gulurejo, Lendah, Kulonprogo is about 85 people, and all of them are respondents of this research.. Regarding the similar characteristics of the batik producers, this research used purposive sampling, with QUEST program as the validity and the reliability, mathematical descriptive (mean and percentage) as the analysis technique. The research result shows that the income of the female batik producers are 100% higher after adopting the program, namely about Rp 350.000– Rp.500.000 per month. Female producers also have high entrepreneurship awareness. There is a significant increase in business skill both qualitatively and quantitatively. Their business awareness and network are also increasing, as evidenced by the establishment of 8 groups of female batik producers and “Lumintu” cooperation Keywords:women empowerment, model logical framework, business management 1. PENDAHULUAN ‘Mendiro’ merupakan salah satu dusun yang berada di desa Gulurejo, kecamatan Lendah, Kolonprogo. Dusun ini terkenal para warganya sebagai pengrajin batik. Kondisi lingkungan Mendiro juga sangat kondusif bagi usaha atau kegiatan membatik. Kegiatan membatik juga merupakan konsekuensi dari lahan di Mendiro yang umumnya kurang mendukung untuk ditanami tanaman pangan. Warga di Mendiro umumnya buruh bukan petani. Persoalannya ada ratusan pengrajin batik di Mendiro yang nasibnya tergantung dari tiga juragan pengrajin yang juga memiliki usaha batik. Karena usaha para juragan ini masuk kategori usaha mikro, maka mereka tidak mampu mempekerjakan buruhnya secara tetap maupun kontrak, yang terjadi adalah mereka mempekerjakan pengrajin batik di sekitarnya sebagai buruh upahan. Satu kain dibayar sebesar Rp. 15.000 (lima belas ribu rupiah). Sebulan rata-rata para buruh ini hanya mendapat masukan sebesar Rp. 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah), karena pekerjaan yang tersedia cuma sepertiga dari waktu yang ada. Kurang lebih ada 129 warga, umumnya perempuan, yang pandai membatik. Kemampuan membatik mereka diwariskan secara turun - menurun disetiap keluarga. Remaja-remaja putri telah dibiasakan membatik dari kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat perempuan Mendiro tidak ada yang tidak dapat membatik.Sebagai pengrajin 113
batik, merekasebelumnya bekerja sebagai buruh membatik di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan sekitarnya. Jarak tempat kerja dengan tempat tinggalnya kurang lebih 20-30 km.Musibah gempa tahun 2006 yang menghancurkan kabupaten Bantul dan sebagian kota Yogya membuat mereka kehilangan pekerjaan. Sementara para suami mereka yang bekerja sebagai penambang pasir, penghasilannya juga relatif kecil dan tidak pasti. Saat musim kemarau mereka bisa memperoleh upah Rp.20–Rp. 30 ribu, tetapi saat banjir mereka mendapat Rp.15 ribu saja sudah bagus. Dari kondisi tersebut masalah utama perempuan pengrajin batik di desa Gulurejo adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan merekadari status buruh menjadi pengrajin yang memiliki usaha sendiri meskipun sekelas usaha mikro. Untuk mewujudkan hal ini pengrajin batik tulis dusun Mendiro menghadapi beberapa masalah seperti: terbatasnya akses perempuan sebagai pengusaha mikro dan kecil dalam program kredit, informasi pasar, manajemen dan pengembangan usaha, terbatasnya keterampilan dan pendidikan perempuan untuk memperoleh peluang dan kesempatan kerja yang lebih baik, serta rendahnya perlindungan dan jaminan sosial bagi perempuan pekerja. Sementaraitu, mereka mempunyai potensi yang patut dikembangkan antara lain: a) Keahlian membatik yang relatif baik dan dapat bersaing dengan diesain atau motif batik dari daerah lain. Para tokoh masyarakatnya, baik kepala desa maupun kepala dukuh, sangat mendukung kegiatan membatik, dan b) Keluarga dari perempuan pengrajin batik (suami dan anak) sangat mendukung keterlibatan istri/ibunya dalam kegiatan pemberdayaan ini. Usaha batik merupakan kegiatan pokok mereka untuk menopang kehidupan keluarga. Oleh karena itu, melalui berbagai pengarahan pengetahuan produksi yang berkualitas dan berwirausaha yang baik diharapkan dapat membuka wawasan dan cara kerja yang benar dan pada akhirnya akan menjadikan mereka mandiri serta meningkatkan penghasilan atau taraf hidupnya. Dengan sendirinya pemberdayaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan negara yang menyeluruh untuk membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mewujudkan kemajuan di segala bidang. Sejak lima tahun lalu, program pemberdayaan perempuan di Indonesia telah memiliki konsep yang jelas, yakni memadukan program tersebut ke dalam grand programme dari pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Program pemberdayaan perempuan khususnya untuk para pengrajin batik yang dilakukan di Dusun Gulurejo pada tahun 2009 yaitu: a) pelatihanmanajemen usaha bagi pengrajin batik tulis; b) pendampingan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha;dan c) pendampingan pembentukan kelompok dan paguyuban pengrajin batik tulis.Dengan bantuan pendanaan dari YCAP-An Australian Govermment Initiative (sebagai sponsor). Program ini bertujuan untuk a) meningkatnya ketrampilan usaha para perempuan pengrajin batik tulis yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). b) meningkatnya pendapatan para perempuan pengrajin batik tulis. c) menguatnya kelembagaan para perempuan pengrajin batik tulis. Semenjak dilakukan intervensi program ini, belum pernah dilakukan evaluasi secara komprehensif. Oleh karena itu akan dievaluasi yaitu bagaimana meningkatkan ketrampilan usaha perempuan pengrajin batik tulis yang berbasis IPTEK, yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan perempuan pengrajin batik tulis dan menguatkan kelembagaan para perempuan pengrajin batik tulis perlu dilakukan. 2.
TINJAUAN TENTANG PEMBERDAYAAN UMKM
2.1.
Permasalahan dan Tantangan yang Dihadapi
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karenapotensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligusmenjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam meningkatkankesejahteraannya. Eksistensi dan peran UMKM pada tahun 2007 mencapai 114
49,84 jutaunit usaha, dan merupakan 99,99% dari pelaku usaha nasional. Kontribusi UMKM dalam tata perekonomiannasional sudah tidak diragukan lagi melalui penyerapantenaga kerja, pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, nilai ekspornasional, dan investasi nasional. Hasil Penelitian Nur Afiah (2009) menunjukkan bahwa sektor UMKM memiliki kontribusi terhadap ekonomi dan pembangunan Indonesia. Tantangan lain yang dihadapi oleh pengusaha perempuanadalah bagaimana meningkatkan kapabilitas kewirausahaan. Menghadapi Era Krisis Global, UMKM di Indonesia secara umum memiliki beberapa masalah. Menurut Mudrajad Kuncoro (2009) permasalahan tersebut antara lain: 1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi.Kebanyakan UMKM dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemiliksekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluargadan kerabat dekatnya. 2. Akses industri kecil terhadap lembaga kredit formal rendah, sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumberlain, seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. 3. Sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dimilikinya status badan hukum.Mayoritas UMKM merupakan perusahaan perorangan yang tidak beraktanotaris, 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris, dan hanya 1,7% yang sudah memiliki badan hukum (PT, CV, Firma, atau koperasi). 4. Tren nilai ekspor menunjukkan betapa sangat berfluktuatif ubahnyakomoditas ekspor Indonesia selama periode 1999-2006.
dan berubah-
5. Pengadaan bahan baku merupakan masalah terbesar yang dihadapi, terutama berhubungan dengan harga yang mahal, terbatasnya ketersediaan, dan jarak yang relatif jauh, terutama bagi UMKM yang berorientasi ekspor, dimana sebagian besar bahan baku yang dibutuhkan berasal dari luar daerah. 6. Masalah utama yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah ketersediaan tenaga kerja yang tidak terampil relatif lebih mudah didapat dan mahalnya biaya tenaga kerja. Regenerasi perajin dan pekerja terampil relatif lambat. Akibatnya,dibanyak sentra ekspor mengalami kelangkaantenaga terampil untuk sektor tertentu. 7. Dalam bidang pemasaran, masalahnya terkait dengan banyaknya pesaing yangbergerak dalam industri yang sama, relatif minimnya kemampuan bahasa asing sebagai suatu hambatan dalam melakukan negosiasi, dan penetrasi pasar di luarnegeri. Langkah Strategis untuk Pengembangan Sektor UMKM yaitu, a) Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti paten, fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri, dan menyediakan peluang pasar. b) Supply push strategy yang mencakup strategi pendorong sisi penawaran. Ini bisa dilaksanakan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia. Salah satu langkah strategis untuk mengamankan UMKM Indonesia dari ancaman dan tantangan krisis global adalah dengan melakukan penguatan pada multi-aspek, salah satu diantaranya adalah aspek kewirausahaan. Wirausaha dapat mendayagunakan segala sumber daya yang dimiliki,dengan proses yangkreatif dan inovatif, menjadikan UMKM siap menghadapi tantangan krisisglobal. 115
Nur Afiah Nunuy (2009), menyebutkan beberapa peran kewirausahaan dalam mengatasi tantangan di UMKM, diantaranya adalah: 1.Memiliki daya pikir kreatif, yang meliputi: a.
Selalu berpikir secara visionaris (melihat jauh ke depan), sehingga memilikiperencanaan tidak saja jangka pendek, namun bersifat jangka panjang;
b.
Belajar dari pengalaman orang lain, kegagalan, dan dapat menerimakritik dan saran untuk masukan pengembangan UMKM.
terbuka
2. Bertindak inovatif, yaitu: a.
Selalu berusaha meningkatkan efisiensi, dalamsetiap aspek kegiatan UMKM.
efektivitas,
dan
produktivitas
b.
Meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi persaingan bisnis.
3.Berani mengambil resiko, dan menyesuaikan profil resiko sertamengetahui resiko dan manfaat dari suatu bisnis. UMKM harus memiliki manajemen resiko dalam segala aktivitas usahanya. 2.2. Aspek manajemen usaha Dengan memanfaatkan sumber daya, dana dan sarana untuk mencapai tujuan usaha maka diperlukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan serta pengawasan. Perencanaan : Perencanaan adalah suatu kegiatan yang ditentukan sekarang untuk dilaksanakan pada masa yang akan datang. Penyusunan rencana harus memperhitungkan 3 hal yaitu : kondisi masal lalu, keadaan sekarang dan antisipasi masa yang akan datang. (Jame AF. Stonner, 1986, GR. Terry, 1966) Pengorganisasian : Pengertian Pengorganisasian adalah penentuan, pengelompokan, serta pengaturan dari berbagai macam kegiatan usaha yang dianggap perlu untuk mencapai tujuan, menyuruh orang melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. (GR. Terry 1966, Basu Swasta 1985, T. Hani Handoko, 1989) Penggerakan: Penggerakan (Actuating) berarti tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok (keluarga)berusaha untuk mencapai sasaran, agar sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha organisasi. (GR. Terry 1966, Jame A.F. Stoner, 1986) Pengawasan: Pengertian Pengawasan : Pengawasan (controlling) sebagai proses untuk mengeliminir apa yang dilaksanakan, mengevaluasi pelaksanaan dan bila perlu menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga pelaksanaan sesuai rencana. (Hani Handoko,1989,Basu Swasta, 1985). Untuk menjawab permasalahan yang dialami para perempuan pengrajin batik tersebut, sebagai pelaku usaha mikro yang belum feasible dan bankablesangat perlu pendampingan, bimbingan dan sponsorship. Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Yogyakarta (PSW-UNY) bekerjasama dengan YCAP-An Australian Govermment Initiative (sebagai sponsor) telah melakukan pemberdayaan ekonomi pada tahun 2010 dengan tujuan agar pendapatan pengrajin batik meningkat serta proses produksi efisien dan efektif, juga kualitas produk batik meningkat, disain produk batik yang bervariasi, serta punya peluang pasar. Sebagai tindak lanjut dan penguatan kelembagaan pengrajin batik perlu dilakukan evaluasi program pemberdayaan terhadap para perempuan pengrajin batik guna memperoleh informasi untuk perbaikan dan peningkatan. 116
3. MODEL EVALUASI Logic model merupakan salah satu model evaluasi program, yangpenggunaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Clarifying what is really intended in a project or polecy. 2). Enhancing communication among project team member. 3). Managing the project. 4). Designing an evaluation plan and determining the questions be addressed. 5). Documenting a project and how it worked. 6). Examing a program or constellation of projects.(Jossey – Bass, 2007:11) Gambar 1 memperlihatkan salah satu contoh logic model yang digunakan oleh Universitas Wisconsin-Extension (UW-Extension Program Development, 2005) sebagai berikut:
Gambar 1 : Model Evaluasi UW-Extension Program Development Sumber : UW-Extension Program Development (2005).
117
Gambar 2 memperlihatkan logic modelSanders & Sullins
Gambar 2 : Logic Model Sanders & Sullins Gambar 3Logic Model yakni Logical Framework Analysis dari Valadez & Bamberger (1994):
Gambar 3: Logic Model Valadez & Bamberger 4. METODOLOGI PENELITIAN Ketiga Logic Model tersebut diatas yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Logical Framework AnalysisModel dari Valadez & Bamberger (1994) karena jika dibandingkan dengan kedua Logical Framework AnalysisModel tersebut diatas memiliki beberapa kelebihan antara lain: Lebih komprehensif dan lengkap untuk menjaring informasi, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil (output) semata tetapi juga mencakup masukan (input), tujuan (purpose) dan sasaran akhir (general goals) beserta indikator-indikator nya, juga mudah untuk monitoring dan evaluasi (monev) yakni sebagai berikut : 1
Sasaran Akhir (Goals) adalah pendapatan rata-rata pengrajin batik tulis per-Bulan di dusun Mendiro, Gulurejo, Lendah, Kulonprogo DIY.
2
Tujuan (Purpose)
118
a. Meningkatnya ketrampilan usaha para perempuan pengrajin batik tulis yang berbasis IPTEK.
3
b.
Meningkatnya pendapatan para perempuan pengrajin batik tulis.
c.
Menguatnya kelembagaan para perempuan pengrajin batik tulis.
Keluaran (Output) a. Peningkatan proses produksi batik tulis. b. Penggunaan peralatan produksi usaha batik tulis yang berbasis IPTEK. c. Peningkatan disain produksi batik tulis. d. Peningkatan kualitas produksi batik tulis. e. Peningkatan volume produksi tulis. f.
Peningkatan volume penjualan batik tulis.
g. Terbentuknya kelompok dan paguyuban pengrajin batik tulis. 4.
Masukan (Input)terdiri atas : (1) Materi Pelatihan; (2) Sarana Prasarana; (3) Motivasi; (4) Lingkungan.
Indikator Variabel : 1. Sasaran Akhir(Goals): Pendapatan pengrajin batik tulis meningkat minimal100% yakni lebih dari Rp. 250.000 per orang per Bulan.( semula Rp 250.000 – 500.000 per Bulan) 2. Tujuan (Purpose): a. Jumlah yang mengikuti pelatihan b. Penilaian terhadap pelaksanaan pelatihan c. Jumlah pendapatan per-bulan. d. Jumlah kelompok dan paguyuban perempuan pengrajin batik tulis. 3. Keluaran (Output): a. Pelaksanaan proses produksi batik tulis. b. Pemilihan peralatan yang digunakan dalam memproduksi batik tulis (terutama proses pewarnaan) c. Jumlah disain produksi batik tulis. d. Kualitas produk batik tulis. e. Volume produksi batik tulis. f.
Volume Penjualan batik tulis.
g. Jumlah anggota kelompok dan anggota paguyuban perempuan pengrajin batik tulis. Kelengkapan informasi yang dihasilkan dari Logical Framework AnalysisModeloleh Valadez & Bamberger akan mampu memberikan dasar yang lebih baik dalam mengambil keputusan, kebijakan maupun penyusunan program – program selanjutnya. Selain memiliki kelebihan Logical Framework AnalysisModeloleh Valadez & Bamberger memiliki keterbatasan yakni untuk mengukur masukan maupun hasil dalam arti yang luas akan melibatkan banyak pihak yang akan membutuhkan waktu dan biaya yang lebih. 119
Kegiatan Utama Program Pemberdayaan Perempuan : 1. Pelatihan manajemen usaha bagi pengrajin batik tulis. 2. Pendampingan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha. 3 Pendampingan pembentukan kelompok dan paguyuban pengrajin batik tulis. Subyek Penelitian adalah Para pengrajin batik di dusun Mendiro, desa Gulurejo, kecamatan Lendah, kabupaten Kulonprogo DIY, yang dapat membaca dan menulis serta mempunyai keterampilan membatik dan memasarkannya. Populasi dan Sampel berjumlah sama dengan jumlah populasi yakni 85 orang perempuan pengrajin batik tulis. Teknik sampling yaitu purposive sampling yakni responden yang mempunyai karakteristik yang sama seperti dapat membaca dan menulis dan terampil membatik. Instrumen : 1. Kuesioner : Untuk mengevaluasi kegiatan pelatihan tentang kemanfaatan dan ketepatan materi serta metode yang digunakan pada pelatihan. Kuesioner ini menggunakan skala Likert. Kuesioner ini diujicobakan pada 85 orang perempuan pengrajin batik tulis di dusun Mendiro, Gulurejo, Lendah, Kulonprogo. 2.
Pedoman wawancara: Untuk memperoleh informasi tentang pendapatan pengrajin batik tulis perbulan, volume produksi, volume penjualan, serta permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan usaha.
Teknik Pengumpulan Data meliputi wawancara, observasi dan pengisian kuesioner kegiatan pelatihan oleh responden. Teknik Analisis : 1. Ujicoba kuesioner dengan program QUEST yakni bukti kecocokan item dan reliabilitas tes. 2. Teknik analisis data : descriptive matematical dengan menghitung rerata dan persentase. 4.1. Hasil Uji Coba Kuesioner (kegiatan pelatihan) Hasil ujicoba kuesioner dengan menggunakan program QUEST menunjukkan bahwa keseluruhan item (10 item) yang mengukur kemanfaatan pelatihan, ketepatan materi dan metode yang digunakan memenuhi persyaratan sebagai item yang cocok atau fit untuk hal tersebut. Sedangkan keterandalan kuesioner menunjukkan bahwa index reliabilitas sebesar 0,76 yakni reliabel. (Hasil Uji terlampir). 5.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi mengenai kisah sukses mereka, hambatan-hambatan yang mereka hadapi dalam membatik, potensi dan keterampilan yang mereka miliki, permasalahan utama yang mereka hadapi, dan harapan masa depan mereka. Hasil kuesioner ini di tambah hasil wawancara tersebut di atas menjadi modal untuk membuat kesepakatan-kesepakatan. Pertama, sepakat untuk membentuk kelompokkelompok. Kedua, sepakat untuk adanya kegiatan pelatihan terutama untuk meningkatkan 120
kualitas produk dan meningkatkan motivasi pengrajin untuk berwirausaha. Ketiga, sepakat untuk dilakukan pendampingan kepada pengrajin batik. Aktivitas utama dari kegiatan ini adalah pelatihan dan pendampingan. Kedua kegiatan utama ini meliputi: a. Sosialisasi dan diskusi mengenai kegiatan. b. Pembentukan kelompok-kelompok. c. Menyiapakan lokasi (lahan) untuk aktivitas kelompok. d. Menyusun Modul praktis untuk desain dan ketrampilan membatik. e. Pelatihan mengenai motivasi dan ketrampilan berwirausaha batik. f.
Pemberian peralatan dan bahan baku batik.
g. Promosi dan pencarian pasar-pasar baru. h. Pendampingan praktek membuat sketsa, membatik, pewarnaan, dan finishing, serta pemasaran i.
Persiapan dan proses produksi batik tulis.
j.
Pemasaran produk batik tulis.
5.1.
Tingkat
Pendidikan
Perempuan Pengrajin Batik Para perempuan pengrajin batik di dusun Mendiro, desa Gulurejo, kecamatan Lendah, Kulonprogo seperti terlihat pada Tabel 1,menunjukkan tingkat pendidikan terbesar yang ditamatkan adalah lulusan SD yakni 92% , untuk lulusan SMP 5.8 % dan lulusan SMA/sederajat 2.2%. Tabel 1. Perempuan Pengrajin Batik Tulis di Dusun Mendiro, Gulurejo, Lendah, Kulonprogo Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2009 No 1 2 3 4
Tingkat Pendidikan SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Sarjana Total
Jumlah 78 5 2 0
Presentase 92% 5.8% 2.2% 0%
85
100%
Sumber: data primer 5.2.
Umur Perempuan Pengrajin Batik Tulis
Umur perempuan pengrajin batik tulis didominasi antara 31-40 tahun berjumlah 38 orang (44,71%), 41-50 tahun berjumlah 34 orang (40%), dan usia antara 21-30 tahun berjumlah 13 orang (15.29%), seperti terlihat pada Grafik 1
121
Grafik 1. Umur Perempuan Pengrajin Batik Tulis Desa Gulurejo, Lendah, Kulonprogo Tahun 2009 5.3.
Pelaksanaan Pelatihan bagi Perempuan Pengrajin Batik Tulis
Pelatihan yang diikuti 85 perempuan pengrajin batik tulis Mendiro, Gulurejo, Kulonprogo, dibagi dalam delapan kelompok. Mereka mendapat materi pelatihan tentang:Kesetaraan dan Keadilan gender, Kewirausahaan, Manajemen Usaha, Teknologi Tepat Guna, dan Pemasaran. Adapun penilaian mereka terhadap pelaksanaan kegiatan pelatihan seperti pada Tabel2 menunjukkan hasil yang menggembirakan yakni: Mereka sangat setuju (52%) dan setuju (47%) dengan materi pelatihan yang diberikan juga metode yang digunakan dalam pelatihan, dan bermanfaat bagi pengembangan usaha mereka. Dan hanya 1% dari mereka yang menyatakan kurang setuju.
122
Tabel 2. Evaluasi Kegiatan Pelatihan Perempuan Pengrajin Batik Tulis No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Materi kesetaraan dan keadilan gender disampaikan secara jelas Materi kewirausahaan jelas Materi Manajemen Usaha jelas Materi Pemasaran jelas Metode ceramah dengan teknik Tanya jawab yang digunakan tepat Metode pemecahan masalah yang dipakai sangat tepat Pelatihan ygdilaksanakanmemberikan tambahan bagi pengetahuan kami
9
Pelatihan yang dilakukan memberikan manfaat bagi usaha kami Latihan seperti ini perlu dilaksanakan lagi untuk anggota kelompok yang lain
10
Hasil pelatihan akan dilaksanakan untuk mengembangkan usaha
8
Sangat Setuju
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
(4)
(3)
(1)
(0)
32
29
1
33 38 22
16 15 22
1
15
25
36
18
25
20
20
32
18
20
22
31
261
228
1
2
5
0
Sumber data primer 5.4. Produksi dan Proses Produksi Disain produksi batik tulis meningkat yang semula hanya motif tamplek dan pletuk bertambah motif galaran dan sisik. Adapun jumlahnya rata-rata tiap minggu, tiap orang ratarata dua potong kain batik tulis per potong nya dua meter. Sedangkan volume produk batik tulis yang sebelumnya tidak dimiliki karena mereka sebagai buruh maka hanya menerima upah saja per hari sepuluh ribu rupiah. Sekarang mereka sebagai pengrajin setelah mendapat bantuan material dan pendampingan dari YCAP dan PSW-UNYmenjadi memiliki rata-rata per- orang sekitar dua puluh potong. Proses produksi batik tulis menunjukan proses yang berkualitas yakni para perempuan pengrajin batik tulis telah memperhatikan pewarnaan, Yakni semula bahan kain putih yang dua meteran di celup begitu saja tidak memperhatikan ke rataan warna dari obat batik yang digunakan, setelah ada pendampingan proses pewarnaan mendapat perhatian yaitu tidak sekedar di celup tapi diratakan dengan tangan (pengrajin menggunakan sarung tangan karet) agar hasilnya bagus. Sedang peralatan yang digunakan para pengrajin batik tulis sudah berbasis teknologi seperti: tempat pewarnaan stainless, wajan stainless (untuk memanaskan lilin),kompor yang kecil. Adapun Packing produksi batik tulis dengan logo serta pelastik membuat konsumen lebih tertarik dan yakin akan kualitasnya.
123
5.5.
Pendapatan Perempuan Pengrajin Batik Tulis
Pendapatan para perempuan pengrajin batik tulis tiap Bulan nya dapat dilihat pada Tabel 3.Dari Tabel tersebut diketahui bahwa pendapatan rata-ratatotal perempuan pengrajin batik tulis tiap Bulan nya, tiap orang sebesar Rp 450.000 (empat ratus lima puluhribu rupiah) yang menunjukkan di atas target sebesar Rp350.0000 per Bulan nya .(Rp 450.000> Rp 350.000). Selanjutnya bila dilihat secara rinci ada empat (3.52%) perempuan pengrajin batik tulis yang pendapatannya Rp 300.000 (dibawah target). Selain itu ada satu orang perempuan pengrajin batik tulis pendapatannya dua kali lipat dari target yaitu Rp 700.000. Dengan demikian secara keseluruhan perempuan pengrajin batik tulis yang berpenghasilan memenuhi target sebesar delapan puluh satu orang (96,48%), yang selanjutnya dapat dikatakan efektif karena hasil yang didapat melebihi atau lebih besar dari hasil yang diharapkan. Tabel 3. Pendapatan Perempuan Pengrajin Batik Tulis Per Bulan–per-Orang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah pendapatan per Bulan/per orang Rp 300.000 Rp 350.000 Rp 325.000 Rp 400.000 Rp 450.000 Rp 475.000 Rp 500.000 Rp 550.000 Rp 600.000 Rp 700.000 Total: Rerata:
Frekuensi 3 1 6 3 20 10 25 9 7 1 85
Rp & Prosentase/% Rp 900.000/3.52% Rp 350.000/1.17% Rp 1.950.000/7% Rp 1.200.000/3.52% Rp 9.000.000/23.53% Rp 4.750.000/11.75% Rp10.250.000/29.41% Rp4.950.000/10.59% Rp 4.200.000/8.24% Rp 700.000/1.17% Rp 38.250.000/100% Rp450.000
Berdasarkan hasil kegiatan pelatihan manajemen usaha yang dilaksanakan menunjukkan peningkatan yang signifikan baik terhadap ketrampilan usaha yakni peningkatan disain, volume produksi dan penjualan serta proses produksi yang berkualitas maupun tingkat pendapatan yakni melebihi target. 5.6. Kelembagaan Para perempuan pengrajin batik tulis melalui pertemuan-pertemuan dan sosialisasi telah membentuk kelompok sebanyak delapan (8), tiap kelompoknya rata-rata sepuluh orang. Selain itu mereka juga telah mendirikan paguyuban bernama”LUMINTU” yang beranggotakan delapan puluh lima (85) orang perempuan pengrajin batik tulis. 5.7. Isu Lintas Sektor 1. Ketimpangan gender yang terjadi di dusun Mendiro didasarkan pada kenyataan bahwa pendidikan laki-laki (para suami) relatif lebih tinggi (rata-rata lulusan SMP) dibandingkan para istrinya (rata-rata lulusan SD). Dari hasil wawancara mendalam dengan pengrajin batik menyebutkan bahwa hampir semua aktivitas pengambilan 124
keputusan dalam rumah tangga dilakukan oleh suami. Pertemuan pada tingkat RT, RW dan Pedukuhan dihadiri oleh para suami. 2. Pengrajin batik umumnya adalah kaum ibu yang berpendidikan rendah tetapi mempunyai tanggungjawab untuk mencari nafkah dalam menambah penghasilan keluarga. Kaum laki-laki di dusun Mendiro pada umumnya sudah bekerja sebagai penambang pasir (di Kali Progo), buruh tani, tukang batu atau tukang kayu, dan pedagang keliling. Pada umumnya, penghasilan kaum perempuan Mendiro sebagai buruh membatik per bulan kurang lebih 100 ribu. Sementara, kaum laki-laki pada umumnya lebih dari 300 ribu perbulan. 3. Selama ini di Mendiro belum ada pengelolaan air limbah secara baik. Air limbah terbuang begitu saja disekitar sumur (sumber air minum). Alasan mereka tidak membuat lubang karena jumlah air limbahnya sedikit jadi tidak perlu. Yang terjadi di rumah salah satu pengrajin batik pembuangan air limbah batik pernah diprotes warga karena sempat mencemari air sumur disekitarnya. Sejak itu para pengrajin yang terbagi dalam delapan kelompok dibuatkan lubang resapan air limbah yang jauh dari sumur para warga. Hambatan : 1. Mental kerja sebagian para perempuan pengrajin batik tulis masih dibatasi hanya untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarga, tidak lebih dari itu,jarang yang mempunyai cita-cita menjadikan usahanya maju lebih besar atau menjadi usaha utama dalam hidupnya. 2. Adanya tingkat solidaritas sosial masyarakat desa yang tinggi. Ketika ada hajatan, satu Rukun Warga (RW) apalagi satu Rukun Tetangga (RT) seringkali perempuan pengrajin batik tulis membantu orang yang hajatan. Tidak hanya itu mereka juga harus memberi sumbangan, yang rata-rata sebesar Rp 50.000. Kalau ada tiga tetangga yang hajatan berarti ia harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp. 150.000 dan ini sangat mengganggu arus modal penjualan batik tulis. 3. Bentuk solidaritas yang lain, para perempuan pengrajin batik tulis juga harus menyumbang dalam pertemuan-pertemuan rutin, ini termasuk yang mereka keluhkan. Sementara mereka tidak dapat menghindar, atau tidak enak dengan tetangga bila tidak datang dalam peran rutin desa atau sesama pengrajin batik tulis. 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan : 1. Pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pendampingan berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan usaha dan tingkat pendapatan perempuan pengrajin batik tulis. 2. Keterampilan usaha para pengrajin batik tulis meningkat, ditandai dengan meningkatnya desain produk batik tulis dan variasi warna produk sesuai permintaan pasar serta kualitas produksi batik tulis. 3. Pendapatan perempuan pengrajin batik tulis (96,48%) telah melebihi target dari sebelumnya sebesar Rp. 250.000, kini memperolehRp. 450.000 rata-rata per bulan sehingga dapat dikatakan efektif. 4. Telah terbentuk paguyuban bernama ”LUMINTU”. Rekomendasi :
125
1. Diperlukan peningkatan keterampilan mewarna, untuk meningkatkan dan memelihara kualitas produk batik tulis yang efisien dan efektif, sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang selanjutnya akan dapat meningkatkan pendapatan usaha batik. 2. Perlu dilakukan pengembangan usaha batik guna meningkatkan pendapatan,agardapat tetap menjaga solidaritas sosial berupa pemberian sumbangan dapat diatasi. 3. Kepala Desa, Kepala Dukuh dari dusun tersebut bersama-sama dengan para koordinator kelompok dan tim fasilitator, perlu menjaga kesinambungan kegiatan, dan meningkatkan jalinan hubungan yang lebih intens dengan instansi-instansi pemerintah maupun swasta, seperti : Dinas Deperindagkop Kulonprogo dan Provinsi, Dinas Pariwisata Kulonprogo, dan Provinsi, Dekranasda Kulonprogo dan Provinsi.
REFERENSI Choirul Saleh, (2000) Strategi Pengembangan Perekonomian Rakyat Dan Koperasi Di Daerah, Jurnal Administrasi Negara, Vol.I, No.1 Cochran, William G., Teknik Penarikan Sampel, 2005, Jakarta: UI Press. Hisrich, et. al.( 2009). Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc. Jossey – Bass (2007) Logic Modeling Method In Program Evaluation. John Wiley & Sons, Inc. Kuncoro Mudrajad, (2009) Small Is Beautiful, Yogyakarta. Nur Afiah Nunuy (2009 ) Peran Kewirausahaan Dalam Memperkuat UKM Indonesia Menghadapi Krisis Glibal.Working Paper In Accounting and Finance (Padjadjaran University) Stoner, James A.F.(1986)Manajemen, Jakarta: Penerbit Erlangga. Stoler, Ann, (1997) ”Class Structure and Female Autonomy in Rural Jawa, ” Dalam Women and National Development, Universty of Chicago Swasta, Basu, 1985, Azas-azas Manajemen Modern, Yogyakarta: Liberty Press Terry, GR, (1966)Principles of Management, edisi IV, Chicago: R.D. Irwin IN. Valadez, Joseph & Bamberger, Michael, (1994) Monitoring and Evaluating Sosial Programs in Developing Countries. Washington : World Bank. Worthen,B.R,& Sanders, J.R (1981) Educational Evaluation: Theory and Practice. Charles A. Jones Publishing Company. Worthington, Ohio.
126
PENGARUH TATAKELOLA PADA KEMAMPUAN KOMERSIALISASI TEKNOLOGI Ikbal Maulana, Hartiningsih, dan Kusbiantono
[email protected];
[email protected];
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi –Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ABSTRACT This studysuggeststhat thegovernanceof researchandcommercializationcapabilitiesof R&Dinstitutionsaffect each other.Commercialization activities and interaction between R&D institutionand the marketencouragingR&D institutionstodevelop andadoptcertain rulestoensurethat their results meet what market desired. Thus, researchgovernancehelpsR&D institutionsto ensure a better quality of the R&Dactivitiesandoutcomes. Twocase studiesin this researchshowthe marketpressures, resulting from commercialization activities, make the institutionsmore open toadoptingandmodifyingtheirgovernance. 1. LATAR BELAKANG Setiap lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) dituntut untuk memberikan hasil sebagai pertanggungjawaban atas anggaran yang diterimanya. Namun, ada kesulitan tertentu dalam menuntut pertanggungjawaban lembaga litbang. Pertama, masalah principalagency, di mana lembaga litbang yang tidak menjadi unit bisnis sebuah perusahaan (yang menjadi kajian dalam makalah ini) tidak memiliki prinsipal atau pemilik yang nyata. Lembaga litbang publik memang dimiliki negara, tetapi negara adalah sesuatu yang abstrak yang tidak memiliki penanggung jawab yang merasa dirugikan jika lembaga litbang tersebut berkinerja rendah. Kedua, pemantauan lembaga litbang relatif sulit dilakukan karena luarannya adalah hasil penelitian yang sulit diukur manfaat ataupun nilai ekonominya. Akibatnya adalah adanya kesenjangan informasi (information asymmetry) yang besar antara peneliti dan pihak luar yang harus melakukan pemantauan. Pada perusahaan swasta, kesenjangan informasi ini menjadi sumber masalah kritis karena bisa menyebabkan penyimpangan ataupun kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan (Williamson, 1996; Ng, 2006). Masalah lain muncul dikarenakan adanya keinginan untuk memenuhi kepentingan diri (self-interest-seeking attribute) pada individu. Keinginan ini jika tidak terkelola dan terjaga dengan baik, bisa menjadi penyebab oportunisme, penyimpangan moral, dan masalah agency (Williamson, 1996, hlm. 56). Ini terjadi karena ketika individu-individu peneliti disatukan dalam organisasi lembaga litbang, sementara mereka memiliki kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, kepentingan organisasi belum tentu bisa dikenali dan diperjuangkan sehingga terjadi ketidakselarasan kepentingan antara individu peneliti dengan lembaganya. Contohnya, kegiatan penelitian lebih dinilai dalam karya tulis ilmiah yang dibuat individu, daripada hasil difusi litbangnya atau kemampuan lembaga dalam melakukan komersialisasi hasil litbang. 127
Dalam tulisan ini dibedakan antara kegiatan difusi dengan komersialisasi hasil litbang. Pada kegiatan difusi, yang penting adalah bagaimana hasil litbang dikomunikasikan dan digunakan oleh pihak luar tanpa adanya keharusan membayar dari pihak terakhir ini. Sebenarnya dalam upaya difusi perlu dievaluasi apakah difusi ini berhasil dan apakah adopsi masyarakat terhadap hasil litbang tetap dipertahankan beberapa tahun setelah proyek berakhir. Namun, ini tidak dilakukan karena biasanya lembaga litbang sudah sibuk dengan kegiatan yang lain. Tulisan ini memfokuskan pada komersialisasi hasil litbang karena penghargaan pihak luar terhadap hasil litbang bisa dilihat pada kesediaan mereka untuk membeli hasil litbang tersebut. Selain itu, komersialisasi juga menunjukkan kemampuan lembaga litbang memposisikan diri dalam industri. Perkembangan industri dan teknologi itu sangat kompleks dan sulit dipahami kecuali dengan melibatkan langsung melalui “partisipasi aktif dalam pengembangan kompetensi internal dan berinteraksi dengan dinamika pasar eksternal” (Ng, 2006, hlm. 493). Aktivitas komersialisasi merupakan bentuk interaksi yang menuntut lembaga litbang meningkatkan kompetensinya agar bisa bersaing dengan penyedia teknologi yang lain. Komersialisasi juga akan menuntut lembaga litbang agar bisa menetapkan tingkat kepastian layanannya, karena itu lembaga litbang perlu menerapkan tatakelola. Di sini kami mencoba mengeksplorasi kaitan antara tatakelola dengan kemampuan lembaga litbang dalam mengaplikasikan teknologinya. 2. STUDI PUSTAKA 2.1.
Karakter Lembaga Litbang
Dalam hubungannya dengan pasar, lembaga litbang, terutama lembaga litbang publik, lebih mirip perguruan tinggi daripada perusahaan. Perguruan tinggi, menurut Martin (2007), memiliki misi maupun ukuran-ukuran keberhasilan yang tidak sama dengan perusahaan. Di perguruan tinggi, proses penciptaan pengetahuannya berbeda dengan di perusahaan. Di sini mayoritas penelitiannya adalah penelitian dasar, bukan terapan; dan agenda penelitiannya tidak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Martin (2007) juga melihat perbedaan budaya di antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Di perguruan tinggi, kebebasan memilih topik dan agenda penelitian sangat dijunjung tinggi sedangkan pertimbangan pasar sering diabaikan. Selain itu, pendekatan multidisiplin kurang mendapatkan perhatian karena fokus para peneliti lebih ke bidangnya masing-masing. Sementara dalam bisnis, banyak hal harus dipertimbangkan untuk menjamin keberhasilan pasar. Lembaga litbang milik pemerintah memiliki persoalan-persoalan lain pula. Lembaga litbang publik bisa memiliki masalah sebagaimana lembaga birokrasi maupun lembaga politik, seperti yang telah diidentifikasi oleh De Figueiredo (2010), yakni paksaan atau tekanan dari pihak ketiga tidak selalu ada. Lembaga litbang pemerintah memiliki jaminan pembiayaan sehingga lembaga ini bisa merasa tidak tergantung pada siapapun. Kedua, terbatasnya pilihan-pilihan organisasional, sehingga menyulitkan organisasi untuk melepaskan diri dari kebiasaannya (business as usual). Ketika ada manajer lembaga litbang yang memiliki berbagai ide komersialisasi yang inovatif, dia akan terbentur pada berbagai aturan yang membatasinya. Padahal lembaga litbang semestinya bisa mengikuti perkembangan industri dan teknologi yang sangat pesat. Ketiga, organisasi publik juga menghadapi masalah berkaitan dengan kontrak yang tidak lengkap (incomplete contracting) dan kurangnya komitmen yang bisa dipercaya (credible commitment). Lembaga litbang publik memiliki kesulitan karena tidak semua kesepakatan bisa dilakukan, baik dengan pihak luar maupun dengan stafnya sendiri, dan ini menyulitkan baik dalam memberikan komitmen pada pihak luar, maupun menuntut komitmen dari para stafnya. 128
Berbagai aturan yang membatasi sejak lama akan membentuk budaya organisasi yang tidak peka terhadap tuntutan lingkungannya. Karena itu, organisasi litbang, menurut Franza & Grant (2006), perlu mengembangkan budaya alih teknologi (transfer culture) sebelum berbagai upaya strategi alih teknologi dirancang dan diterapkan. Budaya ini bisa dimulai oleh manajemen puncak dengan menyediakan lingkungan yang mempromosikan alih teknologi. Langkah penting dari hal ini adalah dengan mendirikan unit yang bertugas khusus melakukan alih teknologi. Tindakan ini menunjukkan komitmen melakukan alih teknologi dan yang lebih penting lagi menyediakan personil yang bertugas menemukan dan mengenali peluang-peluang alih teknologi. 2.2. Tantangan Komersialisasi bagi Lembaga Litbang Keberhasilan komersialisasi teknologi tergantung dari berbagai faktor seperti produksi, pemasaran, dan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan penjualan. Kontribusi faktor-faktor ini bagi keberhasilan komersialisasi teknologi bisa melampaui kontribusi faktor litbang (Gassmann et al, 2009, hal. 16). Tingginya pengaruh faktor-faktor lain bukan berarti faktor litbang bisa diabaikan, justru sebaliknya keberhasilan faktor-faktor lain tersebut pada akhirnya bertumpu pada kualitas faktor litbang. Sebagaimana dikatakan oleh Gassmann et al (2009, hal. 17), “... reputasi laboratorium litbang korporat yang dikelola dengan baik memiliki pengaruh langsung pada nilai merek (brand value) perusahaan. Dengan kata lain, laboratorium penelitian korporat seharusnya tidak hanya diukur dari hasil teknologinya saja, tetapi juga dari pengaruh mereka pada nilai merek perusahaan....” Temuan ini selain menunjukkan pentingnya kreativitas unit litbang, juga pentingnya tatakelola sehingga berbagai praktek baik dalam unit litbang bisa dipastikan berjalan. Untuk mempelajari bagaimana tatakelola di lembaga litbang seharusnya diterapkan, pengalaman perguruan tinggi di negara-negara maju bisa juga dipelajari. Berbagai cara dicari agar perguruan-perguruan tinggi bisa meningkatkan kemampuannya dalam mengkomersialkan hasil litbangnya, terutama pembenahan struktur agar bisa membantu dan bukan menghalangi inovasi sertakomersialisasinya (Litan et al, 2007). The Bayh-Dole Act 1980 telah disahkan untuk mempermudah dan mempercepat proses komersialisasi serta membuat lebih produktif dengan membuka jalan bagi perguruan tinggi untuk mengklaim hak legal atas inovasi yang dikembangkan stafnya yang menggunakan dana pemerintah. Munculnya hak baru ini juga dibarengi dengan munculnya birokrasi baru, yakni technology transfer office (TTO) sebagai pusat saluran alih teknologi. Namun, dalam banyak kasus TTO ini justru menjadi penghambat (bottleneck) daripada fasilitator karena TTO lebih menekankan pada maksimalisasi pendapatan dari lisensi yang ada daripada memaksimalkan jumlah inovasi ke pasar. Hal yang sama di atas bisa terjadi di Indonesia, di mana struktur (adanya unit organisasi) lebih dianggap penting dari pada apa yang seharusnya dilakukan. Padahal keberadaan struktur tidak menjamin bahwa struktur melakukan tindakan-tindakan optimal yang memastikannya mencapai misi dan visi yang diembannya. Karena itu, peran tatakelola menjadi sangat penting untuk melengkapi atau mengisi struktur. Tatakelola diterapkan untuk mengoptimalkan kinerja dengan cara meminimalkan peluang manajer (atau lembaga litbang) dalam melakukan tindakan yang oportunis serta memberikan insentif bagi mereka untuk melakukan kegiatan litbang yang menguntungkan. 3. STUDI KASUS 3.1. Engineering Center Engineering Center adalah nama tidak resmi dari salah satu litbang yang berada di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sebelum menjadi balai sendiri, 129
litbang ini berasal dari sekelompok insinyur yang mengerjakan proyek dari Westinghouse. Karena proyek ini mengelola dana yang sangat besar dan dituntut tanggung jawab yang tinggi, kelompok ini kemudian mengembangkan aturan-aturan internal yang mengatur proses kerja mereka agar kualitas kerja mereka sesuai dengan tuntutan Westinghouse. Setelah proyek ini selesai dan mereka mengerjakan proyek-proyek yang lain, kelompok ini sepakat untuk mempertahankan aturan-aturan yang telah mereka buat. Bahkan setelah kelompok ini berkembang menjadi balai dan banyak mengerjakan proyek-proyek dari luar, mereka melihat bahwa tatakelola sangat berguna, baik untuk menjamin kualitas kerja mereka agar sesuai dengan tuntutan klien maupun dalam memberikan rasa keadilan bagi seluruh anggotanya, karena dalam tatakelola ini ada aturan pembagian beban kerja yang jelas. Dengan adanya pengalaman tatakelola, ketika BPPT menerapkan sistem kerekayasaan, Engineering Center dengan mudah mengadopsinya karena hal-hal yang dituntut oleh sistem ini sudah mereka lakukan. 3.2. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Puslitkoka (Puslitkoka) Awalnya Puslitkoka mendapatkan sebagian besar dana dari perusahaan-perusahaan perkebunan negara (PTPN) yang disalurkan melalui Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) sedangkan 10 persen sisanya diperoleh dari dana APBN yang juga disalurkan melalui Departemen Pertanian. Namun, menjelang akhir 1990-an, perusahaanperusahaan negara dialihkan pengelolaannya dari Departemen Pertanian ke Menteri Negara BUMN sehingga Departemen Pertanian tidak bisa lagi memaksa perusahaanperusahaan perkebunan itu untuk mengumpulkan dana bagi puslit-puslit perkebunan di mana Puslitkoka merupakan salah satunya. Saat itu, harga sebagian komoditas perkebunan dunia juga turun. Secara administratif, sumbangan ini juga dipertanyakan keabsahannya oleh auditor internal mereka. Status Puslitkoka ini memang tidak jelas; bukan lembaga pemerintah, bukan BUMN, namun juga bukan perusahaan swasta. Hal ini menyulitkan Puslitkoka dalam mencari sumber-sumber pendanaan karena bantuan dari APBN maupun dari PTPN dipertanyakan keabsahannya. Kesulitan ini memaksa manajemen Puslitkoka untuk mengubah haluannya. Jika sebelumnya peneliti lebih terfokus untuk memproduksi karya tulis ilmiah, sekarang diarahkan agar penelitiannya juga sesuai dengan kebutuhan pasar. Bahkan jika diperlukan, peneliti juga harus melakukan penelitian yang dari segi ilmiah rendah, namun sangat diperlukan dalam komersialisasi hasil-hasil litbang puslitkoka. Misalnya, penelitian mengenai pengiriman bibit yang aman melalui berbagai moda transportasi atau pembuatan berbagai mesin untuk mengolah hasil panen. Penelitian-penelitian ini relatif kurang berbobot ilmiah namun sangat diperlukan. Perubahan di atas membutuhkan perubahan cara pikir (mindset) para peneliti agar lebih berorientasi bisnis. Puslitkoka menyediakan solusi bagi berbagai pihak, mulai dari industri perkebunan, pemerintah, industri kopi dan kakao sampai petani. Puslit menyediakan produk dan layanan mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari penyediaan benih sampai mesinmesin pengolah hasil panen, bahkan juga sampai teknologi pengolahan limbah. Beragamnya produk dan layanan menuntut Puslitkoka mengembangkan cara untuk menjamin kualitas produk dan layanannya. Selain berbagai perubahan yang bersifat organisasional, Puslitkoka juga menerapkan tatakelola untuk menjamin kualitas luarannya agar sesuai dengan yang dituntut pasar. Dalam pengembangan tatakelola sendiri, puslit ini juga menerapkan KAN (Komisi Akreditasi Nasional) sebagai tatakelola di laboratorium pengujian, dan KNAPP (Komisi Nasional Akreditasi Pranata dan Pengembangan) yang meliputi hampir semua proses penelitian, mulai dari seleksi topik penelitian sampai pelaporan hasil penelitian. 130
Adanya tatakelola selain bermanfaat untuk mengefisienkan proses-proses internal, juga bisa digunakan untuk meyakinkan pihak luar bahwa proses kegiatan di Puslitkoka sangat dijaga kualitasnya. Bahkan untuk tatakelola laboratorium (KAN) menjadi syarat yang memungkinkan bagi Puslitkoka untuk membuat bisnis pengujian. 4. DISKUSI Engineering Center dan Puslitkoka menerapkan tatakelola untuk bisa memenuhi tuntutan pihak luar. Pengaruh pihak luar ini besar karena merupakan sumber dana utama bagi jalannya organisasi. Hal ini lebih dirasakan oleh Puslitkoka, karena sumber pendanaan eksternal menentukan keberlanjutan hidup organisasi. Sementara itu Engineering Center berubah secara bertahap. Lembaga ini tidak mengadopsi tatakelola karena terpaksa, tetapi lebih karena ingin mendapatkan insentif yang lebih baik. Oleh karena itu, proses adopsinya juga dijalankan secara perlahan. Engineering Center mengembangkan seluruh tatakelolanya sendiri. Ini dipermudah oleh sifat pekerjaannya yang berupa proyek untuk pihak luar sehingga relatif jelas apa yang harus dipenuhinya pada setiap tahapan proyek. Untuk mencapai hal tersebut, Engineering Center melakukan penyesuaian secara bertahap aturan-aturannya. Hal yang tidak mudah didapati di pusat-pusat lain adalah para perekayasa di Engineering Center bisa terbuka membicarakan berbagai hal termasuk hal-hal yang di tempat lain dianggap sensitif, seperti pembagian beban kerja dan insentif untuk beban kerja tertentu. Sementara itu, Puslitkoka dituntut berubah secara cepat. Untuk memudahkan perubahan ini, secara struktural Puslitkoka membentuk tim adhoc terlebih dulu sehingga jika terjadi kesalahan dalam menempatkan personil, akan mudah menggantikannya. Tatakelola dikaitkan dengan kecepatan dan ketepatan dalam menghasilkan layanan bagi pengguna hasil litbang mereka. 5. SIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk melakukan komersialisasi bisa melancarkan proses adopsi tatakelola. Kebutuhan ini bisa disebabkan oleh keterpaksaan atau oleh adanya insentif lebih jika komersialisasi dilakukan. Keterpaksaan yang dialami Puslitkoka membuat puslit ini tidak punya pilihan lain kecuali meningkatkan kualitas proses dan produknya agar bisa menjual hasil litbangnya. Tekanan yang dialami oleh Engineering Center relatif lebih rendah, atau bisa dikatakan tekanan ini mereka ciptakan sendiri demi mendapatkan insentif lebih baik. Cara terakhir ini bisa dilakukan karena mereka melakukannya secara bertahap dan aturan-aturannya mereka kembangkan sendiri secara evolutif. REFERENSI De Figueiredo, Jr. R.J.P. (2010). Institutions, Politics, and Non-market Strategy. California Management Review 52(2). Franza, R. M., & Grant, K. P. (2006). Improving Federal To Private Sector Technology Transfer. Research Technology Management, 49(3), 36-40. Gassmann, O., Rumsch, W., Rüetsche, E., & Bader, M. A. (2009). R&D Reputation And Corporate Brand Value. Research Technology Management, 52(4), 16-19. Litan, R.E., Mitchell, L., & Reedy, E.J. (2007). The University As Innovator: Bumps in the Road. Issues in Science and Technology, 23(4). Martin, M.J. (2007). University Perspective on Commercialization of IP. Research Technology Management, September – October. 131
Ng, A.W. (2006). Reporting intellectual capital flow in technology-based companies: case studies of Canadian wireless technology companies. Journal of Intellectual Capital, 7(4). Williamson, O.E. (1996). The Mechanisms of Governance. Oxford: Oxford University Press.
132
II SISTEM DAN MANAJEMEN INOVASI
133
ANALISIS EKONOMI, LINGKUNGAN, DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN PADA PENGEMBANGAN TURBIN PROPELER HEAD RENDAH Henny Sudibyo1, Ridwan Arief Subekti2
[email protected] Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI ABSTRAK Turbin head rendah sangat cocok dengan kondisi potensi Indonesia dimana sungaisungainya memiliki debit besar dan head yang rendah. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan MekatronikLIPI telah merancang teknologi turbin propeler head rendah.Pada tahun 2010, prototipe turbin hasil rancangan tersebut telah dipasang di aliran sungai di kawasan Kebun Raya CibodasJawa Barat dan dimanfaatkan sebagai sarana penerangan serta pendidikan. Daya keluaran prototipe turbin tersebutadalah 500 watt sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga pikohidro. Hasil analisis perhitungan ekonomi terhadap prototipe turbin head rendahyang diperoleh menunjukkan perbandingan benefit dan cost dengan nilai lebih kecil daripada 1, sehingga dapat disimpulkan bahwa turbin head rendah sebagai pembangkit listrik tenaga pikohidro ini belum ekonomis jika diproduksi dalam satuan. Namun dari kajian sosial dan ekonomi, energi listrik yang dibangkitkan oleh turbin head sangat rendah inimemiliki dampak lingkungan maupun sosial kemasyarakatan yang baik. Salah satu dampak positifnyaadalah peningkatan taraf kesejahteraan hidup masyarakat pedesaan. Kata kunci: analisis ekonomi, analisis lingkungan, analisis sosial, turbin propeler head rendah, pembangkit listrik tenaga pikohidro 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Turbinheadrendah sangat cocok dengan kondisi potensi Indonesia, di mana sungaisungaipada umumnya memiliki debit besar dan head yang rendah. Untuk itu, penelitian turbin air headrendah sangat diperlukan, dimana turbin jenis ini dapat beroperasi pada head dibawah satu meter. Turbin head rendah juga dapat dipasang pada lokasi aliran deras yang terdapat pada saluran air atau saluran irigasi. Jumlah saluran irigasi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia merupakan potensi energi yang perlu dimanfaatkan. Turbin yang optimal untuk beda ketinggian relatif kecil adalah turbin reaksi. Turbin ini bekerja memanfaatkan perubahan tekanan dan beroperasi dalam keadaan terendam dalam air. Salah satu turbin reaksi adalah turbin propeler. Perkembangan penelitiandi Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan MekatronikLIPI saat ini adalah telah dirancangnya sebuah turbinpropeler head rendah. Namun saat ini belum dilakukan analisis kelayakan tekno ekonomi, dampak sosial, dan lingkungan apabila hasil penelitian tersebut diaplikasikan ke masyarakat. 1.2. Rumusan Masalah 134
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang diuraikan di atas maka dapat diambil rumusan masalah yaitu: 1. Perlu dilakukan analisis ekonomi dari turbin yang telah dirancang. 2. Perlu dilakukan kajian tentang dampak sosial dan lingkunganuntuk mewujudkan teknologi yang ramah lingkungan. 1.3. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan hasil analisis kelayakan turbin yang telah dirancang berdasarkan perhitungan ekonomi. Selain itu, akan dipaparkan hasil analisis dampak lingkungan dan sosialapabila hasil penelitian tersebut diaplikasikan ke masyarakat. 2.
LANDASAN TEORI
2.1. Turbin Propeler Turbin reaksi adalah turbin air yang cara kerjanya mengubah seluruh energi air yang tersedia menjadi energi puntir. Turbin reaksi dibagi menjadi dua jenis, yaitu turbin Francis dan Propeler. Turbin Propeler ada yang memiliki sudu tetap (fixed blade) dan ada yang memiliki sudu yang dapat diatur (adjustable blade). Turbin dengan sudu tetap merupakan turbin generasi pertama dari jenis ini. Karena sudunya yang tidak dapat diatur, maka efisiensinya menjadi berkurang jika digunakan pada range debit air yang lebar. Oleh karena itu, dikembangkan suatu jenis sudu yang dapat diatur agar efisiensi tetap tinggi walaupun bekerja pada range debit air yang lebar (Harvey, 1993). 2.2. Turbin Head Rendah Menurut pendapat Leclerc (2006), konsep very low head (VLH) yang diterapkan untuk tinggi jatuh air 1,5 meter sampai 2,5 meter dapat menggunakan turbin jenis propeler dengan kecepatan air kurang dari 2 meter per detik (m/s). Turbin very low head memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah bentuknya sederhana, biaya pekerjaan sipil murah,biaya instalasi sistem tidakmahal, reliabilitas tinggi, pay back period lebih cepat, pengoperasian yang mudah, dan ramah terhadap populasi ikan. VLH project yang telah dirancang saat ini dioperasikan pada head dibawah 2,5 meter menggunakan turbin jenis propeler dengan jumlah runner 8 berdiameter 4,5 meter. Daya yang dihasilkan oleh VHL tersebut adalah 450 kW. VLH bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan energi di negara-negara yang mempunyai potensi sungai dengan head rendah atau saluran irigasi yang melimpah. 2.3. Kajian Ekonomi BiayaPembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro adalah suatu pembangkit listrik tenaga air dengan daya dibawah 1 kW. Sebelum membangun pembangkit listrik tenaga pikohidro, perlu diperhatikan analisis biaya dan tahapan-tahapanpembangunannya. Perhitungan analisis hargamerupakan tahapan paling utama dari estimasi biaya pembangunan. Adapun komponen biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga pikohidro yaitu(Media of Indonesian Reneweble Energy Society, 2007): 1. Engineering 2. Peralatan elektrikal-mekanik 135
3. Pekerjaan sipil 4. Jaringan transmisi, distribusi, dan instalasi rumah 5. Komponen lain-lain 6. Pajak 7. Biaya pengembangan (project development). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Overview tentang Turbin Propeler Head Rendah Hasil Perancangan Pada tulisan ini akan disajikan deskripsi turbin propeler yang telah dirancang. Berdasarkan hasil perancangan turbin propeler, dengan debit air (Q) 0,120 m3/s, tinggi jatuh 1 meter dan efisiensi 50 % akan diperoleh daya sekitar500watt. Turbin propeler ini memiliki dimensi diameter luar0,3 meter dan putaran (n) 500 rotasi per menit (rpm). Untuk memaksimalkan aliran fluida, maka turbin propeler head rendah ini menggunakanprofil sudu airfoil NACA 6412 dengan jumlah sudu 6 buah. Turbin dan generator dalam satu poros. Desain global turbin propeler yang telah dirancang dan spesifikasinya ditampilkan pada Gambar 1 dan Tabel 1 di bawah ini.
Gambar 1.Desain turbinhead rendah Sumber : Laporan Penelitian Kompetitif , 2009 Tabel 1. Spesifikasi turbin head rendah NO 1.
SPESIFIKASI Head netto
NILAI 1 meter
2.
Kapasitas maksimum
0,12 m3/s
3.
Putaran
500 rpm
4.
Daya maksimum
588,6 watt
5.
Putaran spesifik
173 rpm
6.
Diameter turbin
0,3 meter
7.
Diameter hub
0,15 meter
8.
Jumlah sudu
6 blade
Sumber: Laporan Penelitian Kompetitif, 2009
136
Generator yang digunakan adalah generator hasil rancangan Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik – LIPI, Bandung. Spesifikasi generator adalah generator AC permanent magnet 1 phase dengan tegangan nominal 220 V AC dan frekuensi 50 Hz sertaputaran nominalnya sama dengan putaran turbin yaitu 500 rpm. Pengerjaan pembuatan prototipe turbin head rendah ini dikerjakan di Laboratorium Permesinan dan Laboratorium Mesin Listrik yang dimiliki oleh Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI, Bandung. Turbin ini termasuk turbin tipe submersible(tercelup dalam air) dan memiliki berat45 kg.
Gambar 2. Turbin propeler head rendah Sumber: Laporan Penelitian Kompetitif , 2009 3.2. Analisis Ekonomi Turbin Head Rendah 3.2.1. Pembiayaan Bila turbin head rendah hasil rancangan ini ingin diproduksi dan dipasarkan, maka sebelumnya perlu dilakukan perhitungan analisis ekonominya. Perhitungan analisis ekonomi terdiri dari beberapa komponen pembiayaan yang antara lain adalah: a. Biaya investasi Biaya investasi terdiri dari pembiayaan langsung dan pembiayaan tidak langsung. 1) Pembiayaan langsung Pembiayaan langsung adalah pembiayaan yang timbul akibat proses produksi dari suatu barang. Untuk lebih jelasnya, pembiayaan langsung dari pembuatan turbin propeler head rendah ini disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini (Tabel 2).
137
Tabel 2. Pembiayaan langsung * NO 1
2 3 4 5
URAIAN Bahan : besi plat, alumunium cor, bearing, besi cor, al bronze,stainless steell,kabel, seal, generator, dll. Mekanikal: pengecoran dan machining Elektrikal Finishing JUMLAH PPN 10% TOTAL
VOLUME
BIAYA (Rp)
1 set
8.700.000
1 set
3.300.000
1 set 1 set
600.000 700.000 13.300.000 1.330.000 14.630.000
*harga pada saat tahun 2010 Sumber: Hasil perhitungan 2) Pembiayaan tidak langsung Biaya tidak langsung yang diperhitungkanmeliputi biaya contingency dan biaya engineering. Biaya contingency merupakan biaya tak terduga untuk keperluan yang belum pasti dan diperkirakan dari sekarang. Biaya contingency ditetapkan 5% dari biaya langsung. Biaya engineering adalah pembiayaan yang mencakup biaya untuk kegiatan yang terkait dengan aspek engineering, seperti biaya survei lapangan, desain,dan biaya operasional. Biaya engineering ditetapkan sebesar 6% dari biaya langsung. Untuk jelasnya pembiayaan tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini (Media of Indonesian Reneweble Energy Society, 2007). Tabel 3. Pembiayaan tidak langsung * N O
URAIAN
VOLUME
BIAYA (Rp)
Biaya 1 contingency(5 %)
1 set
731.500
Biaya 2 Engineering(6%)
1 set
877.800
TOTAL
1.609.300
* harga pada saat tahun 2010 Sumber : Hasil perhitungan Dari pembiayaan langsung dan tidak langsung di atas, maka total biaya investasi pembuatan turbin propeler head rendah ini adalah Rp 16.239.300,00. b. Pembiayaan tahunan(annual cost) Salah satu pembiayaan tahunan adalah pembayaran bunga pinjaman, yang dalam hal ini kita misalkan 8 persen per tahun dalam kurun waktu 7 tahun. Selain itu 138
juga terdapat biaya perawatan yang nilainya diambil 1 persen dari total investasi. Umur peralatan mekanikal diperkirakan15 tahun dan biaya penyusutan (A/F) sebesar 8 persen. Untuk lebih jelasnya biaya tahunan dibuat dalam bentuk tabel di bawah ini. Tabel 4. Pembiayaan tahunan* N URAIAN O Pembayaran 1 pinjaman bunga = 8 % dalam kurun waktu 7 tahun (A/F, 8%,7 tahun)= 0,1921 x total biaya investasi = 0,1921 x 16.239.300 Biaya 2 perawatan (1% dari total biaya investasi) = 0,01 x 16.239.300 Biaya 3 penyusutan(A/F,8%,15 th) = 0,0690 x total biaya investasi = 0,0690 x 16.239.000
VOLUME
BIAYA (Rp)
1 set
3.119.569
1 set
162.393
1 set
1.120.491
TOTAL
4.402.353
* harga pada saat tahun 2010 Sumber: Hasil perhitungan 3.2.2. Pendapatan (benefit) Pada perancangan turbin propeler head rendahini, daya listrik yang dihasilkan adalah500 watt dan beroperasi selama 360 hari dalam satu tahunnya. Faktor daya yang digunakan oleh pembangkit listrik tenaga pikohidro iniadalah 0,9.Denganperhitungan harga jual listrik ke PLN sebesar Rp 656/kWh, maka dalam waktu 1 tahun akan menghasilkan pemasukan sebesar: 0,5x 360x 24 x 0,9x Rp 656,00 = Rp 2.550.528,00 3.2.3. Perbandingan benefit dengan cost a. Menggunakan sistem pembiayaan dari bank Perhitungan benefit dengan cost adalahnilai perbandingan antara pendapatan atau benefit dengan pembiayaan tahunan atau annual cost, sehingga besarnya perbandingan benefit dengan cost tersebut adalah: pendapatan / pembiayaan tahunan = 2.550.528 / 4.402.353 = 0,58 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan benefit dan cost kurang dari 1, sehinggabila menggunakan sistem pembiayaan dari bank maka turbin propelersebagai pembangkit listrik tenaga pikohidro ini belum ekonomis bila ingin diproduksi dan dipasarkan. b. Menggunakan sistem pembiayaan dengan modal sendiri 139
Apabila dalam memproduksi turbin propeler head rendah ini menggunakan modal sendiri, maka tidak ada biaya pembayaran pinjaman beserta bunga pada komponen pembiayaan tahunan sehingga yang diperhitungkan pada pembiayaan tahunan hanya biaya perawatan dan biaya penyusutan. Besarnya perbandingan benefit dan cost bila menggunakan modal sendiri adalah: pendapatan / pembiayaan tahunan = 2.550.528 / 1.282.784 = 1,99 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan benefit dan cost lebih dari 1, sehingga dengan menggunakan modal sendiri maka turbin propelerhead rendah inilebih ekonomis bila ingin diproduksi dan dipasarkan. 3.3. Analisis Dampak Lingkungan dan Sosial Kemasyarakatan Usaha pengembangan pembangunan turbin propeler head rendah hasil penelitian ini cukup menjanjikan karena Indonesia memiliki potensi yang sangat besar berupa sungaisungai dengan head rendah. Karena potensi sungai-sungai ini banyak tersebar di pedesaan, energi listrik yang dibangkitkan oleh pengembangan turbin propeler head rendah ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dalam bidang lingkungan maupun sosial kemasyarakatan. 3.3.1. Dampak Lingkungan Turbin propeler head rendah hasil penelitian ini adalah salah satu turbin air penghasil energi listrik terbersih karena menggantikan pembakaran bahan bakar fosil. Turbin air ini menggunakan energi terbarukan dan didesain untuk dapat beroperasi dalam jangka waktu lama (dua puluh tahun). Sumber energi dari turbin propeler head rendah ini melimpah serta mendorong upaya penyelamatan lingkungan.Kajian terhadap dampak lingkungan dari beroperasinya turbin propeler head rendah ini telah diamati di lokasi pengujian lapangan yaitu di areal Kebun Raya Cibodas, Cianjur Jawa Barat. Aspek-aspek yang mendorong upaya penyelamatan lingkungan dari penggunaan turbin head rendah antara lain: 1. Energi air untuk pembangkit listrik tenaga pikohidromenggunakan turbin propeler head rendah ini tidak akan pernah habis dan akan selalu diperbaharui karena air yang digunakan oleh turbin tidak akan mengalami penyusutan. 2. Menumbuhkan kesadaran untuk tidak membuang sampah tidak ke sungai, yang merupakan salah satu kelangsungan jalannya pembangkit listrik turbin head rendah. 3. Mengurangipencemaran udara karena turbin propeler head rendah ini merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Turbin ini menghasilkan green energy yang tidak menimbulkan polusi udara serta gas buang. 4. Instalasi pembangunan turbin propeler head rendah ini dilakukan dengan cara membendung airuntuk mendapatkan head.Pada sistem instalasinya diperlukan saluran pembuangan yang berfungsi mengalirkan air apabila debit air lebih besar dari yang dibutuhkan. Air yang mengalir pada saluran pembuangan tersebut akan kembali ke sungai sehinggahanya sedikit mempengaruhi populasi ikan yang berada pada daerah sekitar instalasi turbin. Pengaruh pada ekosistem ikan tidak akan banyak merugikan karena ikan dapat melakukan migrasi melalui saluran pembuangan. 140
5. Keberadaan turbin propeler head rendah tidak mengganggu sistem ekologi natural sungai atau saluran irigasi. Install\asi turbin dapat dipasang sedemikian rupa agar tidak mengganggu keindahan lingkungan.
Turbin Head Rendah
Saluran Air
Gambar 3. Turbin propeler head rendah yang terpasang pada saluran air Sumber: Dokumentasi saat pengujian Instalasi turbin propeler head rendah pada saluran air seperti yang terdapat pada Gambar 3di atas mengambarkan bahwa teknologi turbin head rendah ini sangat ramah terhadap lingkungan. Instalasi turbin tidak memerlukan tambahan bangunan sipil sehingga tidak mengubah fungsi saluran air. Kelebihan lain dari pemanfaatan turbin ini adalah ekosistem lingkungan di sekitar instalasimasih terjaga. 3.3.2. Dampak sosial kemasyarakatan Jika turbin propeler head rendah ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan penyediaan energi listrik, tentu akan memberikan dampak positif untuk peningkatan pemberdayaan sosial kemasyarakatan. Adapun dampak sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh pembangunan pembangkit listrik tenaga pikohidro ini antara lain: 1. Daya listrik yang dihasilkan oleh turbin ini dapat dijual kepadacustomer, sehingga dapat diperoleh pendapatan untuk menutup biaya operasional, biaya pemeliharaan dan keperluan lainnya yang bermanfaat. 2. Melalui pembangkit listrik ini dapat di kembangkan kerjasama sosial kemasyarakatan pada lokasi instalasi tersebut sehingga terjadi perkembangan positif hubungan sosial antar masyarakat yang bermanfaat. 3. Pemasangan instalasi pembangkit ini dapat dilakukan di tempat-tempat wisata seperti kebun raya, taman nasional, taman rekreasi serta lokasi-lokasi yang mempunyai saluran air yang mencukupi. Turbin tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana penerangan serta sarana pendidikan untuk pelajar maupun masyarakat umum yang ingin mempelajari sistem pembangkit listrik tenaga pikohidro. 141
4. Pengembangan pembangkit listrik menggunakan turbin propelerhead rendah ini akan berdampak pada berkembangnya sumber daya manusia yang mempunyai keahlian di bidang pembangkit energi terbarukan. 5. Turbin hasil penelitian ini praktis digunakan karena tidak memerlukan instalasi sipil yang rumit dandapat dipasang pada saluran irigasi. Listrik yang dihasilkan oleh turbin tersebut dapatdimanfaatkanoleh petani untuk mengelola hasil panen seperti pada proses pengeringan gabah, pengeringan palawija, dan hasil produk pertanian lainnya. 3. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian analisis ekonomi, lingkungan, dan sosial kemasyarakatan pada turbinpropeler head rendah hasil penelitian Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Berdasarkan analisis kelayakan turbin yang dirancang, turbin propeler head rendah ini tidak ekonomis jika diproduksi secara satuan karena dengan pembiayaan investasi dari pinjaman bank, perbandingan benefit dan cost kurang dari 1. Jika menggunakan sistem pembiayaan dengan modal sendiri, turbin propeler head rendah ini lebih ekonomisuntuk diproduksi dan dipasarkan karena perbandingan benefit dan cost lebih besar dari 1. 2. Jika turbin head rendah ini diproduksi secara masal tentu akan dapat mengurangi biaya investasi, sehingga perbandingan benefit dan cost akan lebih besar. 3. Analisis lingkungan dan sosial kemasyarakatan dari pembangunan pembangkit listrik menggunakan turbin propeler head rendah ini secara keseluruhan berdampak positif yang akan memberikan berbagai keuntungan bagi peningkatan taraf hidup manusia. 4.2. Saran Apabilaturbin propelerhead rendah ini dapat diproduksi secara masal, harga jual dapat ditekan menjadi di bawah Rp 10.000.000,00sehingga memungkinkanlebih banyak konsumen yang membeli turbin tersebut. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir.Anjar Susatyo selaku mantan Kepala Bidang Elektronika Daya dan Mesin Listrik yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian Turbin Propeler Head Rendah. Ucapan terimakasih kami sampaikan juga untuk Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik yang telah mendukung pelaksanaan penulisan makalah ini. REFERENSI Arismunandar, A. dan S. Kuwahara (1974). Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik – Jilid I Pembangkitan denganTenaga Air.Pradnya Paramita, Jakarta. Bacon,I., and Davison,I., 2004. Low Head Hydro Power in the South-East of England –A Review of the Resource and Associated Technical, Environmental and SocioEconomic Issues, TV Energy and Mongomery Watson Harza. 142
Busono,S., 2008. Pemanfaatan Teknologi Hidroelektrik Untuk Listrik Pedesaan Di Indonesia, IPTEK VOICE, Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta. DESDM, 2006, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP-PEN) 2005–2025, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, Jakarta. Dietzel, F. dan Sriyono, D., 1990. Turbin Pompa dan Kompresor. Erlangga, Jakarta. Harvey,A, at al.,1993. Microhydro Design Manual - A Guide to Small Scale Water Power Schemes.ITGD Publishing,Southampton Row, London,UK. IMIDAP, 2009, Panduan Pengembangan Usaha Produktif di Lokasi PLTMH, DJLPE, Jakarta ----------, 2009, Pembiayaan Mikrohidro Profil Sumber Sumber Pembiayaan Pendukung Pengembangan Energi Mikrohidro, DJLPE, Jakarta. Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006, Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2025, Buku Putih , Jakarta. Krompholz., D., 2008. Low Head Hidro Turbines, Small Hydro Power Schemes in the North West of England: Overcoming the Barriers. Joule Centre Annual Conference. England . Khurmi, R.S. 2001. Hidraulic Machines, S.Chand & Company LTD. Pam Nagar, New Delhi. Leclerc, M., 2007.The Very Low Head Turbo Generator A New Turbine For Profitable Harnessing of Very Low Head Application, MJ2 Technologies, France. ----------, M., 2006. The Very Low Head Turbo Generator for extremely low water falls, Conference Proceding Hidroneregia 2006, MJ2 Technologies, France. Susatyo,A.,2009.Laporan Penelitian Kompetitif, Perancangan Turbin Head Rendah, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik,LIPI. _________, 2007.Microhydro Power Construction Plan Cost, 6th Edition, Desember 2007.Media of Indonesian Reneweble Energy Society
143
SISTEM DAN MANAJEMEN INOVASI ORGANISASI BERBASIS PENGETAHUAN (KNOWLEDGE): INOVASI USAHA BATIK DI JAWA TIMUR MENGHADAPI PERSAINGAN NASIONAL DAN GLOBAL Dr. Puji Wahono
[email protected] FISIP - Universitas Jember Abstrak Knowledge (Pengetahuan) merupakan suberdaya yang sangat penting dalam organisasi sekarang dan mendatang, karena pengetahuan merupakan sumber dari pembentukan daya saing. Penciptaan pengetahuan ini juga tidak hanya terjadi pada usaha besar dan moderen saja tetapi juga pada usaha kecil dan tradisonal seperti usaha batik yang membutuhkan inovasi berkesinambungan. Sistem dan manajemen inovasi karena itu sangat penting dan ini dapat dilihat dari model penciptaan pengetahuan pada usaha batik khas Jawa Timur itu sendiri yang bervariasi sesuai dengan lingkungan dan kultur setempat. Perbedaan tersebut tampak sekali terutama pada industri batik Bangkalan, Madura yang memiliki pola pengorganisasian khas dan berbeda dibanding pola-pola di luar Bangkalan dan Madura, Implikasinya penciptaan pengetahuan pada usaha batik Bangkalan, Madura ini juga memiliki karakteristik yang khas pula dibandingkan dengan usaha batik di luar daerah diluar Bangkalan dan Madura pada umumnya. Kata kunci: Knowledge Creation, Inovasi, tacit, eksplisit, tangible dan intangible sssets, Batik Madura, Batik Bangkalan, Batik Tuban, Batik Banyuwangi, Batik Gedog, Batik Gajah Oling, Batik Gentongan, persaingan masa depan. 1. LATAR BELAKANG Inovasi menjadi kata kunci dalam persaingan usaha sekarang ini. Meningkatnya globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi, mengakibatkan organisasi dituntut untuk dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan dan persaingan pasar yang kian kompetitif. Dalam kondisi demikian, inovasi menjadi sangat vital, organisasi harus terusmenerus melakukan inovasi guna menciptakan atau meningkatkan kualitas produk barang dan jasa, meningkatkan sistem, dan mengembangkan model serta strategi bisnis, serta yang tidak kalah pentingnya adalah untuk menghasilkan model marketing yang paling kompetitif. Di negara-negara industri terkemuka, inovasi diakui sebagai pendorong kemakmuran ekonomi. Perusahaan-perusahaan besar, menengah, dan kecil, termasuk usaha keluarga, tidak terkecuali secara terus-menerus mendorong inovasi dengan jalan mendukung temuantemuan baru, pengembangan pemikiran kreatif, dan ide-ide cemerlang, guna membantu diferensiasi serta kompetisi (Sharma, 1999). Nokia dan sejumlah perusahaan terkemuka dunia dikenal sebagai perusahaan yang mengkonsentrasikan diri riset untuk mendukung munculnya kreatifitas dan ide-ide cemerlang tersebut.
144
Perusahaan-perusahaan yang sukses dalam inovasi tersebut umumnya adalah yang sangat peduli terhadap penciptaan, pengelolaan, dan penerapan pengeteahuan (knowledge). Pengetahuan inilah, terutama yang sifatnya tidak eksplisit (tacit) yang kemudian diyakini sebagai pemicu utama terjadinya inovasi. Selain itu knowledge dapat pula menghasilkan kompetensi baru, produk dan jasa baru atau peningkatan kegiatan perusahaan secara signifikan. Proses knowledge creation dan inovasi secara terus menerus tersebut pada akhirnya akan bermuara terciptanya pengetahuan baru yang apabila diimplementasikan ke dalam produk dan sistem akan menghasilkan inovasi yang memicu peningkatan daya saing perusahaan. Usaha batik di Jawa Timur, yang banyak digeluti masyarakat, juga tidak luput dari upaya untuk mendorong inovasi tersebut. Usaha batik dan produk batik dalam beberapa tahun terakhir memang terus melakukan inovasi yang siginifikan setelah mampu keluar dari pakem tradisional dan juga ‘mitos’ yang ada dalam masyarakat selama ini. Dalam lima tahun terakhir industri batik, usaha batik, dan produk batik sangat gencar melakukan inovasi sebagaimana terlihat dari ragam dan corak batik yang demikian berkembang pesat. Batik Madura yang khas dan Batik Gedog Tuban merupakan dua daerah di Jatim yang berupaya berlari kencang untuk mengejar kompetisi dengan produk-produk daerah lainnya maupun produk manca negara. Tidak hanya itu, usaha batik juga telah turut memakmurkan para pengusahanya dan mendongkrak perekonomian mereka secara signifikan. Bagi pemerintah daerah, usaha batik juga dapat menjadi alternatif pengembangan ekonomi rakyat yang tidak banyak membutuhkan modal dan campurtangan pemerintah daerah secara langsung. Usaha batik telah bisa berjalan dan berkembang sendiri tanpa membutuhkan dukungan dana dari kas daerah. Usaha batik benar-benar telah menjadi usaha yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, baik ada maupun tidak ada dukungan pemerintah daerah. Dengan demikian perkembangan usaha batik lebih banyak memberikan dampak positif kepada pemerintah daerah setempat, dan dukungan yang banyak diharapkan terkait dengan pasar. Berbagai indikator juga menunjukkan bahwa usaha batik dan produk batik dapat menjadi produk kebanggaan Indonesia, sekaligus menyumbang devisa yang besar bagi kas negara. Gelombang pasang industri batik yang tejadi belakangan ini juga telah membawa dampat pada para pelaku usaha di industri batik baik yang baru berkembang maupun telah lama dikenal seperti Yogya, Solo, Pekalongan, Cirebon, serta sejumlah daerah lainnya yang dapat dikatakan baru berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari itu kini produk batik telah menjadi incaran para designer terkemuka dunia dan juga para konsumen manca negara. Agar usaha batik dan produk batik ini mampu survive dalam kerasnya persaingan dunia maka kreativitas dan inovasi adalah segalanya. Apalagi batik merupakan produk yang masuk dalam industri kreatif berbasis budaya. Sumberdaya yang paling utama usaha dan produk batik ini pun lebih banyak bersifat intangible yakni berupa tacit knowledge, yang tidak mudah ditiru dan dibajak pihak-pihak lain karena keberadaan aset usaha batik ini ada di kepala masing-masing pengrajinnya. Bagaimana manajemen dan sistem inovasi dalam usaha batik ini dilakukan sehingga mampu tetap bertahan dan bersaing dengan produk-produk daerah lain dan bahkan produk mancanegara, akan menjadi bahasan dalam makalah ini. 2. INOVASI DAN MANAJEMEN PENGETAHUAN Kerasnya persaingan pada era sekarang ini menjadikan inovasi sebagai suatu yang mutlak harus dilakukan setiap perusahaan bila agar tetap survive. Sejalan dengan itu, Clarke dan Clegg (1998), menyatakan inovasi menjadi kebutuhan untuk dapat bertahan 145
hidup bagi perusahaan di berbagai pasar. Inivasi itu sendiri menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) dihasilkan perusahaan melalui suatu proses penciptaan pengetahuan. Perusahaan, mengakumulasikan pengetahuan dari luar kemudian disebarkan secara luas ke dalam organisasi untuk disimpan sebagai bagian pengetahuan perusahaan, selanjutnya digunakan untuk pengembangan teknologi dan produk-produk baru. Proses pertautan antara internal dan eksternal organisasi itulah yang menjadi motor inovasi berkelanjutan dalam berbagai perusahaan, yang pada kemudian menghasilkan keunggulan bersaing. Soo, Midgley, dan juga Devinney (2002) melihat hubungan yang konsisten antara pengetahuan baru yang diciptakan, inovasi, dan kinerja suatu organisasi. Meskipun menyebut tentang pengetahuan baru sebagimana dikatakan Nonaka dan Takeuchi (1995) diatas, namun demikian kedua orang ini tidak memberikan penjelasan secara mendetail tentang keterkaitan antara pengetahuan dan pengetahuan baru dengan daya saing perusahaan tersebut. Setidaknya sebagaimana telah disinggung Clarke dan Clegg (1998) inovasi itu sendiri telah menjadi bahasan utama dari buku Adam Smith The Wealth of Nations. Berkenaan dengan terjadinya globalisasi belakangan ini, masalah inovasi kembali menjadi titik bahasan, karena dianggap sebagai salah satu senjata utama dalam memenangi persaingan. Inovasi itu sendiri sebenarnya merupakan suatu yang biasa dalam suatu kehidupan, karena sangat terkait erat dengan tantangan dan perubahan. Inovasi bisa menjadi momok dan seakan-akan sesuatu yang mahal dan hanya bisa dilakukan oleh usaha-usaha besar semata. Semua itu bisa salah, karena inovasi itu sendiri bisa dimulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks dari peningkatan setiap aspek organisasi. Selain itu inovasi juga dapat mencakup berbagai upaya kreatif yang tidak terprediksi, yang muaranya pada suatu kondisi yang lebih baik dan memberikan nilai tambah lebih tinggi. Arti pentingnya inovasi ini juga dapat dilihat dari banyaknya para ahli yang mengaitkan masalah ini dengan survival organisasi; inovasi atau mati! Organisasi yang inovatif dengan demikian adalah organisasi yang memiliki pemahaman perubahan yang lebih baik serta cenderung mendukung budaya kreatif. Organisasi tersebut adalah yang bersifat organik, fleksibel, dan memberdayakan anggotanya. Perusahaan yang inovatif juga memiliki kepedulian dan pemahaman yang tinggi akan kebutuhan konsumennya. Sebagaimana dikatakan Hamel dan Prahalad (1985) perusahaan yang berhasil menghadapi tantangan adalah mereka yang paling efektif dalam memikirkan kembali organisasi, bisnis, dan industrinya, dengan cara yang kreatif guna menjawab lingkungan pasar yang baru. Porter (1990) telah lebih jauh melangkah dan menyatakan inovasi merupakan kekuatan utama dalam persaingan ekonomi, karena itu ia kemudian mengaitkan kemajuan pengetahuan, pencapaian dalam inovasi, dan keunggulan bersaing secara nasional suatau bangsa. Dalam pencariannya terhadap paradigma keunggulan bersaing nasional ini, ia berangkat dari premis bahwa kompetisi adalah sesuatu yang dinamis dan terus berkembang. Pemikiran tradisional (paradigma lama) tentang keunggukan bersaing, menurutnya memiliki pandangan yang statis tentang efisiensi biaya sebagai akibat faktor keunggulan skala ekonomis. Untuk itu efisiensi statis ini selalu disusul oleh tingkat kemajuan dalam perubahan produk, pemasaran, proses produksi baru, dan juga pasar yang baru. Paradigma baru inovasi menurutnya, memandang inovasi dalam metode dan teknologi merupakan hal yang pokok. Untuk itu masalah utama yang dihadapi suatau perusahaan dan bangsa adalah bagaimana meningkatkan kualitas faktor produksi, meningkatkan produktivitas dengan alat-alat yang digunakan. Kemudian tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mereka menciptakan pengetahuan baru. Ini dikarenakan basis persaingan itu sendiri telah berubah ke tahap penciptaan dan asimilasi pengetahuan. Keunggulan kompetisi berkelanjutan diciptakan melalui proses yang sangat terlokalisir, 146
dimana perusahaan melakukannya melalui inovasi dan inovasi dapat diwujudkan dalam desain produk baru, proses baru dalam produksi, pendekatan pemasaran, teknik baru yang digunakan. Yoffie (1997) dan Soo et.al (2002) menyatakan bahwa salah satu indikator adanya penciptaan pengetahuan dapat dilihat dari inovasi-inovasi yang telah terjadi. Kemudian berbagai inovasi tersebut menurut Appleby dan Marvin (2000) serta Janszen (2000) dapat dilihat dari banyaknya produk baru yang dihasilkan, kemasan baru, cara baru dalam memproduksi barang dan jasa, serta perubahan-perubahan positif dalam kualitas produk (Q=quality), biaya produksi (C=cost), kecepatan pengiriman (D=delivery), keamanan dalam memproduksi (S=safety), serta semangat para karyawan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pekerja (M =morale). Sejalan dengan ukuran inovasi tersebut menurut Rogers (1998), Schumpeter adalah ekonom pertama yang menaruh perhatian pada inovasi, di mana pada tahun 1930 tokoh ini memberikan definisi tentang inovasi yang menurutnya mencakup: (i) produk baru atau modifikasi yang dilakukan perusahaan terhadap produk yang telah ada; (ii) proses produksi yang baru dikenal atau baru digunakan di dalam industri; (iii) pengembangan pasar yang baru; (iv) pengembangan input-input baru; serta (v) pengembangan cara-cara baru tentang pengelolaan organisasi. Rogers (1998) mengutip rumusan Organisasi Kerjasasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD; 1997) menyebut cakupan inovasi adalah: (i) Inovasi teknologi produk (A technological product innovation), yakni produk yang dimodifikasi sehingga karakter produk berbeda dari sebelumnya, akibat penggunaan teknologi baru, bahan baku baru, atau penerapan pengetahuan baru; (ii) inovasi teknologi pemroses, mencakup proses produksi baru, atau hasil modifikasi; (iii) inovasi organisasi, mencakup desain baru organisasi, mekanisme baru dalam pengelolaan organisasi, serta strategi baru yang diterapkan. Rogers dengan demikian menilai batasan OECD tersebut telah mencakup unsur penciptaan pengetahuan dan penyebarannya atau penerapan pengetahuan yang telah ada dalam perusahaan namun merupakan hal yang baru bagi perusahaan lainnya. Cooper (2001) kemudian menyebutkan enam kategori produk baru yang disebut hasil inovasi perusahaan: (i) Produk yang benar-benar baru dan menciptakan pasar yang baru pula; (ii) lini produk baru, yang menyebabkan perusahaan memasuki pasar baru; (iii) tambahan lini produk yang telah ada; (iv) penyempurnaan dan perbaikan produk yang telah ada; (v) reposisioning; dan (vi) penurunan biaya. Sedangkan Dundon (2002) memakai istilah kesatuan rangkaian inovasi nilai (the innovation value continum) yang mencakup: (i) inovasi efisiensi, yang berfokus pada identifikasi gagasan-gagasan baru untuk menyempurnakan yang telah ada; (ii) inovasi evolusioner, yakni identifikasi gagasan-gagasan yang ditunjukkan dengan adanya perberbedaan dan sifat yang lebih baik; (iii) inovasi revolusioner, mencakup identifikasi berbagai gagasan secara radikal baru dan baik, kerapkali bahkan mengubah struktur organisasi, pasar dan juga industri. Kemudian Gaynor (2002) menyebut inovasi melibatkan lebih dari sekadar mendapatkan pengetahuan, memajukan belajar berkesinambungan, atau berfikir mendalam, karena inovasi mencakup penterjemahan pengetahuan dan gagasan dan pengaplikasiannya ke dalam tindakan. Semua memang penting, tetapi tingkat perorangan tidak akan mencukupi, dan inovasi harus melibatkan semua komponen organisasi, sehingga tidak ada satu kelompok atau fungsi tertentu dalam organisasi yang memonopoli inovasi. Begitu pula para eksekutif dan manajer, karena mereka tidak dapat berharap inovasi datang dari orang lain, maka mereka sendiri juga harus menjadi inovator, dan setiap anggota organisasi berpotensi mendukung inovasi. Sungguhpun demikian, dikatakan oleh Gaynor ini, sebagaimana disarankan pula oleh Drucker (1985) tidak semua anggota organisasi harus menjadi inovator. Sebab, jika semua pegawai menjadi inovator tanpa cukup dukungan dari staf, maka yang terjadi adalah kekacauan dan berarti tidak ada inovasi. 147
Gaynor (2002) lebih lanjut menekankan pentingnya standar kateogori tentang inovasi yakni : (i) inovasi inkremental, meliputi modifikasi, penyederhanaan, perbaikan, konsolidasi dan peningkatan produk yang ada, proses, kegiatan kualitas produksi dan distribusi; (ii) inovasi yang diskontinyu seperti dari kereta kuda menjadi otomobil; (iii) inovasi arsitektural, yakni dengan melakukan rekonfigurasi sistem komponen yang digunakan suatu produk, proses, atau jasa; (iv) inovasi sistem, mencakup kegiatan yang butuh sumberdaya penting dari berbagai disiplin, dan melibatkan kalangan bisnis, akademisi, pemerintah, serta butuh waktu lama untuk dikerjakan; (v) inovasi radikal, melibatkan pengenalan produk barang dan jasa baru yang berkembang menjadi bisnis besar yang baru atau menghasilkan industri baru, atau juga yang menyebabkan perubahan signifikan dalam keseluruhan industri serta cenderung menghasilkan nilai yang baru; (vi) inovasi yang mengacaukan (disruptive), merujuk pada teknologi yang mengacaukan. Akhirnya Weir (1984) menyatakan bahwa definisi inovasi ini dapat dilihat dari outputnya atau prosesnya. Berdasarkan outputnya, inovasi adalah aplikasi di berbagai organisasi tentang gagasan-gagasan baru baginya, apakah yang melekat di dalam produkproduk, proses, jasa-jasa, sistem manajemen dan pemasaran, dimana organisasi tersebut beroperasi. Sedangkan berdasarkan prosesnya, inovasi merupakan proses kreatif melalui mana nilai tambah ekonomi diperoleh dari pengetahuan; nilai tambah ekonomi diperoleh melalui transformasi pengetahuan ke dalam produk-produk baru, proses-proses, dan jasajasa baru (OECD; 1996). 3. PENGETAHUAN SEBAGAI ASET UTAMA Dalam era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) sekarang, pengetahuan menjadi aset utama organisasi (Nonaka & Takeuchi; 1995). Pemicu pertumbuhan ekonomi, bergeser dari ketersediaan bahan baku sebagai input atau inputdriven growth kepada inovasi atau innovation-driven growth (Lester Thurow, 1999). Perubahan lingkungan bisnis ini pada gilirannya berdampak pula terhadap basis pertumbuhan ekonomi dari yang berbasis industri menjadi berbasis pentahuan (knowledge). Selain pertumbuhan ekonomi, daya saing organisasi juga kini bergeser kepada basis pengetahuan. Pengetahuan, sebagai sumberdaya yang sangat penting, dengan demikian harus dapat dikelola dengan baik agar dapat meningkatkan kinerja perusahaan (Junior, 2004). Penciptaan pengetahuan pada perusahaan atau organisasi dengan demikian memiliki arti yang sangat penting dan strategis dikaitkan dengan inovasi (Christine W. Soo, Devinney dan Medgley, 2001), sebab pengetahuan memberi dasar bagi setiap tindakan yang akan dilakukan perusahaan (Ron Sanches dan Aime Heene, 2004). Makna strategis pengetahuan bagi perusahaan dapat dilihat dari semakin banyaknya pengakuan para akademisi dan praktisi terhadap perannya dalam organisasi pada akhirakhir ini (Winter, 2001). Mereka mengatakan knowledge merupakan sumberdaya yang sangat berharga bagi pengembangan keunggulan bersaing perusahaan (Quinn, 1992, Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dengan demikian, kreativitas, intelegensia, dan ide-ide menjadi kecakapan utama yang harus dimiliki perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan daya saingnya. Titik berat penciptaan pengetahuan yang harus dilakukan perusahaan adalah menciptakan pengetahuan yang sangat berharga, sulit ditiru, dan dapat menghasilkan keunggulan bersaing secara berkelanjutan (Soo, Devinney dan Medgley, 2002). Perkembangan tersebut pertanda bahwa manusia dengan akal budinya sedang berada pada titik paling perkasa. Ini ditandai dengan bentuk produksi ekonomi yang semakin canggih dan semakin bergantung pada kepandaian akal manusia, bukan pada otot belaka (Alvin Toffler, 2003). Era manu-facturing bergeser menuju era mento-facturing (Marquardt dan Reynolds, 2004). Semua pergeseran tersebut sejalan dengan datangnya era baru 148
ekonomi informasi yang berbasis knowledge _the knowledge-based information economy_ (Thomas Clarke dan Steward Clegg, 1998). Aset berupa pengetahuan ini berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi dua kategori utama yakni;pengetahuan yang tersimpan di benak atau dalam pikiran masingmasing anggota organisasi (tacit knowledge). Pengetahuan ini tidak berwujud dan tidak bisa diraba, kerena itu sulit dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Berikutnya adalah pengetahuan yang eksplisit (explicit knowledge),yakni pengetahuan yang telah terkodifikasi ke dalam bentuk dokumen-dokumen yang dapat dengan mudah dipertukarkan satu dan lainnya. Pada tingkat perusahaan pengetahuan ini dapat diciptakan dan prosesnya melalu konversi knowledge yang mencakup empat tahapan penting, yakni meliputi: (i) sosialisasi (socialization), yaitu penyebaran/penularan knowledge yang tidak berwujud tadi kepada orang lain; (ii) eksternalisasi (externalization), yakni penterjemahan gagasan atau ide-ide ke dalam konsep atau tulisan, motif, desain dan juga kertas kerja; (iii) kombinasi (combination), yakni penggabungan knowledge eksplisit, seperti antara desain yang satu dengan desain yang lain atau motif yang satu dengan motif lainnya; (4) internalisasi (internalization), yakni penyerapan kembali atas knowledge yang telah terjadi tersebut ke dalam pemahaman manusia (kognitif). Dalam proses penciptaannya, organisasi memiliki peran yang sangat penting terutama dalam rangka mendukung terciptanya proses konversi ini, yaitu melalui penyediaan konteks yang tepat bagi terciptanya pengetahuan tersebut. Konteks yang dimaksud adalah penyediaan fasilitas bagi individu-individu yang kreatif dalam perusahaan sehingga mereka dapat menyebarkan pengeahuan yang dimiliki kepada anggota lain dalam organisasi untuk kemudian dikonversi menjadi pengetahuan perusahaan. Fasilitas yang harus disediakan perusahaan adalah berupa: (i) kejelasan tentang maksud atau tujuan dari organisasi, (ii) adanya otonomi yang diberikan kepada para anggota organisasi untuk berkreasi, (iii) adanya dinamika internal organisasi yang dapat memicu munculnya kreatifitas atau berupa fluktuasi dan ‘kekacauan kreatif’ bukan destruktif, (iv) pengulangan sehingga memungkinkan seseorang dapat menguasai pengetahuan yang sedang diciptakan, serta (v) keragaman atau terpeliharanya perbedaan yang dapat memicu adanya perspektif berbeda dalam melihat suatu permasalahan. Sayangnya bila dilihat sejarah perkembangan teori organisasi, paradigma yang ada, organisasi diperlakukan sebagai pengelola informasi (‘pemroses informasi’ atau ‘pemecah permasalahan’) secara efisien untuk pengambilan keputusan. Paradigma itu tidak lagi mencukupi lagi karena perusahaan sekarang harus mampu menciptakan informasi dan knowledge, sebab knowledge creation pada perusahaan merupakan kunci bagi inovasi dan keunggulan bersaing perusahaan (Nonaka dan Takeuchi, 2002). Sungguhpun arti pentingnya knowledge perusahaan ini tidak lagi terbantahkan tetapi kurangnya studi empirik tentang knowledge creation perusahaan ini telah mengakibatkan kurangya pemahaman fenomena yang sangat penting bagi perusahaan tersebut. Penyebabnya karena masih belum banyak teori yang dikembangkan terkait dengan knowledge creation (Soo, Devinney, dan Medgley, 1999, Nonaka dan Takeuchi, 2002). Konversi pengetahuan ini kemudian dikenal dengan model SECI (Socialization, Externalization, Combination, and Internalization). SECI model ini secara lebih detail dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
149
Gambar-1 Model Konversi knowledge Sumber: Nonaka dan Takeuchi, 1995 Langkah diatas dengan demikian mencakup: (i) pengembangan pengetahuan pribadi, (ii) berbagi pengetahuan tacit individu melalui interaksi sosial sehingga muncul perspektif baru, (iii) eksternalisasi perspektif yang sudah tercipta tersebut ke dalam bentuk konsep, (iv) konsep yang sudah tercipta tersebut selanjutnya dikristalisasikan melalui uji coba ke beberapa bagian atau departemen yang ada di dalam organisasi, (v) menyatukan dan menyaring apakah pengetahuan yang diciptakan pada tingkat organisasi benar-benar berguna bagi organisasi dan masyarakat melalui langkah-langkah penilaian, dan terakhir (vI) pengetahuan baru yang tercipta disebarkan ke seluruh organisasi sehingga terintegrasi di dalam basis pengetahuan organisasi. Pengetahuan baru tersebut kemudian dapat diimplementasikan ke dalam desaindesain dan motif serta produk-produk, jasa maupun sistem yang unggul dan inovatif yang dihasilkan perusahaan. Seluruh proses inilah yang akan membentuk kompetensi dan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Temuan Wahono (2005), menunjukkan transfer pengetahuan dalam usaha batik paling banyak dilakukan melalui mekanisme magang, masukan dari konsumen, melihat motif atau gambar lain untuk dipadukan (tukar menukar dan kombinasi). Pola-pola ini sangat dominan dalam sistem dan manajemen inovasi di industri batik. 4. SISTEM DAN MANAJEMEN INOVASI USAHA BATIK 4.1.
Batik Tuban
Sistem dan manajemen inovasi di usaha batik kini mulai berkembang dengan baik, meskipun sebagian besar masih bersifat trandisional. Ini tentu tidak lepas dari karakteristik usaha batik itu sendiri yang sebagian besar merupakan usaha keluarga dan pada awalnya dilakukan sebagai usaha sampingan. Latar belakang ini tampaknya yang tidak gampang diubah dalam usaha batik selama ini. Namun demikian kita juga dapat melihat usaha batik yang dikelola secara lebih profesional dan berkembang menjadi usaha yang mulai meninggalkan karakteristik tradisional meskipun tidak sepenuhnya ciri tersebut ditinggalkan. Ketradisionalan inilah yang justru menjadi nilai lebih dari usaha batik itu sendiri. Seperti dipaparkan dalam teori penciptaan pengetahuan, proses penciptaan pengetahuan yang terjadi di usaha batik umumnya berjalan dengan baik. Umumnya dalam usaha batik juga terdapat kondisi yang memungkinkan bagi berkembangnya pengetahuan. Tuban dikenal dengan batik gedog-nya, merupakan satu-satunya batik di Indonesia yang paling khas dan unik. Proses pembatikannya dimulai dari bahan kain yang digunakan untuk membatik, dipintal langsung dari kapas. Jadi gulungan kapas dipintal menjadi benang, 150
lalu ditenun, dan setelah jadi selembar kain lalu dibatik. Batik ini kemudian disebut Batik Gedog. Sayangnya batik gedog terancam punah akibat kurangnya para pembuat tenun sebagai media dasar batik. Usawatun salah satu pionir inovasi batik di Tuban mengutarakan bahwa untuk mencegah kepunahan batik khususnya gedog, bisa dilakukan dengan memberikan harga jual yang sesuai dengan jerih payah. Jika harga tinggi, maka para orang tua dengan suka rela akan mengajarkan ketrampilannya menenun kepada anak-anaknya. Pengelolaan inovasi di batik Tuban paling mencolok dapat dilihat dari upaya Uswatun ini dalam proses transfer pengetahuan kepada generasi muda. Untuk batik gedog, Uswatun sudah mengajarkan kepada beberapa orang. Sedang untuk batik tulisnya, ia bahkan sudah ajarkan pada anak-anak Sekolah Dasar (SD). Sepulang sekolah, anak-anak membatik dan jika ia berbakat, maka sudah terlihat guratan-guratan cantingnya itu halus dan rapi. Jika dia sudah pandai maka dia bisa naik kelas ke bagian pembatikan yakni pada proses “isen-isen”. Uswatun (2010) mengaku, semakin tidak ragu menggeluti dunia batik dan diyakini batik Tuban tidak akan pernah punah. Apalagi, batik gedog yang memiliki ciri khas tradisional dan kasar, semakin diburu pembeli lokal maupun luar negeri, mulai Jepang hingga Amerika Serikat. Namun di Desa lain sebagaimana diutarakan Darson (2010) bahwa di Desa Sumurgung belum ada anak muda yang tertarik belajar membatik. Tapi dia optimis, suatu saat anak-anak akan tertarik belajar membatik, seperti halnya dia dulu. Sedangkan untuk inovasi motif, mayoritas pengrajin batik mengutarakan bahwa ideide kreatif mereka peroleh dari lingkungan sekitar, media televisi dan motif-motif batik daerah lain. Seperti yang diutarakan Uswatun, selama dirinya menekuni batik tulis khas Tuban sejak 1993 lalu, dirinya sudah membuat sedikitnya 170 motif batik. Terdapat 75 motif batiknya yang sudah diberi nama, seperti motif ‘kates gantung’, ‘singo barong’ dan ‘dangkel sungsang’. Menurut dia, masih ada sekitar 100 motif batik baru yang berhasil diciptakan belum diberi nama, dengan alasan masih dicarikan nama yang tepat untuk lebih aspiratif. Memperhatikan temuan lapangan di Tuban, dapat diringkas bahwa ketrampilan membatik para pengrajin berasal dari turun temurun. Hanya saja saat ini proses transfer pengetahuan kepada generasi selanjutnya baru difikirkan secara matang oleh Uswatun di Desa Kedungrejo. Sementara desa yang lain cenderung hanya bertahan hidup dengan membatik, sehingga kurang dapat mampu mengembangkan industri tersebut.
151
Gambar-2Sitem dan manajemen Inovasi pada usaha batik di Jawa Timur Sumber: Puji Wahono dkk, 2010 4.2.
Batik Bangkalan (Madura)
Batik Bangkalan (Madura) memiliki ciri yang khas dengan warna-warna yang mencolok. Pusat kerajinan batik khas Madura ini berlokasi di Kecamatan Tanjungbumi yang berada di pesisir utara pulau Madura. Di kecamatan ini terdapat home industry batik yang tersebar di rumah-rumah penduduk. Batik bangkalan memiliki motif dan corak yang khas jika dibandingkan batik dari Solo, Pekalongan, Madiun maupun daerah lainnya. Motif-motif tersebut asli hasil kreasi leluhur setempat. Dalam perkembangannya motif-motif tersebut berkembang menjadi banyak sesuai dengan kreasi perajin batik, di antaranya adalah motif Gejekereng, Lamuk, dan Panji. Motif-motif khas ini hendaknya dipatenkan agar tidak diklaim oleh daerah ataupun Negara lain. Beberapa motif batik Bangkalan dapat dilihat pada gambar berikut ini : Selain motifnya yang khas, batik Bangkalan juga dicirikan oleh pemilihan warnanya yang cendereng ‘berani’. Kebanyakan batik Bangkalan didominasi oleh warna-warna merah, kuning dan hijau. Perpaduan warna-warna ini menjadikan batik Bangkalan lebih bernafas kontemporer dan cenderung lebih “berani” dari pakem batik klasik sebagaimana berkembang di Jogja – Solo. Pembinaan kepada pengrajin batik dilakukan pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Pembinaan yang dilakukan adalah memberikan pelatihan dalam bidang teknik pembatikan, penjaminan kualitas dan pewarnaan. Selain itu juga dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada pengrajin untuk mengikuti pameran-pameran produk unggulan. Salah satu langkah yang diambil oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bangkalan adalah mendirikan show room bagi produk unggulan kabupaten. Salah satu pengrajin batik di Kabupaten Bangkalan adalah Ahmadi (2010) menjelaskan bahwa penentuan motif hanya dia yang mengambil keputusan. Karyawannya 152
tidak ada yang dapat membuat kreasi motif batik. Kesempatan sudah diberikan kepada karyawannya untuk membuat motif, namun mereka kurang berminat. Mereka lebih suka mengerjakan motif-motif yang sudah biasa dikerjakan. Jadi mereka itu kurang kreatif; kalau sudah mengerjakan itu ya itu terus. Ini terjadi karena, mereka umumnya hanya memperhitungkan jumlah kain yang bisa dihasilkan. Lebih cepat mereka menyelesaikan membatiknya, makin cepat juga mereka dapat uang. Sumber inspirasi Ahmadi dalam membuat motif baru bersumber dari media televisi dan lingkungan sekitar. Ahmadi berusaha tampil beda dengan pembatik Bangkalan lainnya dengan memadukan motif daerah lain dalam motif batik kreasinya, sehingga dia mampu membuat ceruk pasar (niche market). Karena itu dalam hal pemasaran Ahmadi mengaku tidak kesulitan. Ia telah memiliki pelanggan yang mengambil batik produksinya. Bahkan tidak jarang mereka datang dengan membawa pembeli-pembeli baru, sehingga semakin banyak orang yang tahu batiknya. Sementara itu bersamaan dengan booming-nya batik dua tahun terakhir, kata Zubaidah (di Desa Pesesek; 2010), dia bersama perajin batik tulis lainnya memang dituntut terus berkreasi. Motif dan warna memang boleh mengalami modifikasi untuk mengikuti selera pasar. Namun soal proses pembuatan, Zubaidah tetap mempertahankan teknik warisan leluhur, yakni dengan bahan pewarna alam. Ini demi menjaga kekhasan kualitas batik Madura yang dikenal tak gampang pudar dan tetap tahan lama. Batik Gentongan yang dibuatnya bisa memakan waktu hampir satu tahun, karena harus konsisten dengan pakem yang diturunkan nenek-moyangnya. Guna melestarikan corak dan motif kuno batik gentongan asli Madura, Zubaidah dan para perajinnya kini tengah berupaya mereproduksi ulang kekhasan itu, sesuai pakem kuno yang ada, mulai dari teknik pembuatan hingga bahan yang digunakan. ’Sekarang ini pengoleksi batik lebih menyukai original. Sehingga, para pecinta batik banyak yang memburu corak kuno’, ujarnya. Karena keistimewaan motif, corak, karakter, hingga proses pembuatannya yang lama, harga batik gentongan di pasaran terbilang cukup mahal, bilangan jutaan rupiah per helainya. Untuk menggenjot produksi, Zubaidah kini sudah mempunyai perajin binaan yang mencapai 30 orang dan mayoritas tinggal di Tanjung Bumi. 4.3.
Batik Banyuwangi (Gajah Oling)
Batik yang khas adalah Banyuwangi, kota yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa ini adalah diberi nama ‘Gajah Oling’, karena motofnya mirip belalau gajah dan belut besar (oling). Secara filosofi motif Gajah Uling yang gambar dasarnya berupa gajah dan uling berbentuk seperti tanda tanya yang juga dikelilingi sejumlah atribut lain di antaranya kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan menyerupai rumput laut), dan mangar (bunga kelapa). Secara harfiah, penggambaran gajah uling ini mempunyai makna tersendiri. Arti kata gajah yang merupakan hewan bertubuh besar, berarti mahabesar. Sedangkan uling berarti eling, atau ingat. Saat ini terdapat enam sentra batik Banyuwangi, yakni di Keluarahan Tumenggungan sebayak dua sentra, Kecamatan Cluring satu sentra, Kecamatan Siliragung satu sentra, Kecamatan Sempu satu sentra dan Kecamatan Kabat satu sentra. Sejarah batik Banyuwangi dimulai pada era 1980 an, ketika Pemerintah Daerah mengirim beberapa orang dari kelurahan Tumenggungan untuk belajar membatik di Solo. Diantara yang mampu bertahan yaitu UD Sayu Wiwit (dikelola Fony) danUD Sri Tanjung (ibu Nemy), batik Virdes (Suyadi). Ketiganya tidak banyak berbeda dalam mengelola motif dan inovasi produknya, yakni melalui tukar-menukar desain atau menggabungkan dengan belajar dari lingkungan, desain atau keingingan konsumen, dan juga training yang pernah didapat, atau juga melihat desain lain yang pernah ada. Yang jelas ketebukaan dalam menciptakan dan mengelola 153
pengetahuan bidang batik sudah mulai terbuka dan tidak lagi sebagimana yang terjadi di Solo pada masa lalu, yang harus dipasang tembok tinggi untuk melindungi property mereka. 5. SIMPULAN Sistem dan Manajemen Inovasi pada usaha batik di tiga daerah di Jawa Timur melalui proses penciptaan dan pengelolaan pengetahuan sepintas tidak menujukkanperbedaan yang signifikan satu dan lainnya. Namun bila ditilik lebih mendalam lagi tampak adanya perbedaan terutama sekali pada usaha batik di Bangkalan, Madura. Penyebab utama adanya perbedaan tersebut adalah terkait dengan pola pengorganisasian usaha batik yang berbeda dibanding dua daerah lainnya yang ada di Jawa. Bila sistem pengorganisasian usaha batik di Jawa dilakukan secara terintegrasi mulai hulu sampai hilir dalam satu wadah atau unit usaha, maka pada usaha batik Bangkalan, Madura justru pengorganisasian lebih menyerupai komunitas homogen dimana pembatik merupakan kelompok komunitas tersendiri dalam satu rangkaian proses produksi kain batik. Begitu pula dengan komunitas jasa pewarnaan dan pencelupan serta pelepasan lilin dari kain, memiliki komunitas yang otonom dan tidak berada dalam satu unit organisasi yang sama dengan komunitas para pembatik. Implikasinya adalah bahwa sistem dan manajemen inovasi pengetahuan yang dilakukan pada usaha batik Bangkalan, Madura ini memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan pola yang ada di dua wilayah lainnya di Jawa tersebut. Proses penciptaan pengetahuan yang berlangsung di usaha batik Madura dengan demikian berada pada masing-masing simpul rangkaian proses pembuatan produk batik. Komunitas pembatik terklaster dalam kelompok pembatik dan tidak langsung berinteraksi dan terintegrasi dengan klaster lainnya yakni klaster pencelupan atau pewarnaan, mereka lebih tersegmentasi pada masing-masing aktivitasnya. Sebaliknya pada usaha batik di Banyuwangi dan Tuban berlangsung secara normal dalam perspektif knowledge creation sebagaimana dijelaskan oleh Nonaka dan Takeuchi. Sungguhpun demikian secara umum sistem dan manajemen inovasi keduanya kelompok wilayah tersebut masih lebih mengandalkan faktor eksternal seperti masukan dari para konsumen dan tuntutan pasar. REFERENSI Alan Cooper., 2001.The Inmates Are Running the Assylum: Why High-Tech Products Drive Us Crazy and How to Restore the Sanity, Indiana Polis: SAMS Macmillan, halaman 14-15. Appleby, A dan Marvin, S., 2000. “Innovation not Immitation: Human Resource Strategy and the Impact on World-Class Status”. Total Wuality Management. Vol. 11. 4-6. halaman 554-560. David B. Yoffie (ed)., 1997.Competing in the Age of Digital Convergence. Massachussets: Harvard Business School Press. Elaine Dundon., 2002.The Sheeds of Innovation: Cultivating the Sinergy That Fosters New Ideas. Reviewed by Anne Durrum Robinson. New York: AMACOM-American Management Association, halaman 9-13. Felix Janszen., 2000.The Age of Innovation: Making Business Creativity a Competence, Not A Coincidence,London: Pearson Education Ltd. Gerrard H.Gaynor., 2002.Innovation by Design: What It Takes to Keep Your Company on the Cuting Edge, New York, USA: Gaynor and Associate, halaman 5. Michael., 1990.The Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press. 154
Mark Rogers., 1998. “The Definition and Measurement of Innovation”, Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research, The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052 Australia, halaman 2-3. Diambil dari http://www.ecom. unimelb. edu.au/iaesrwww/ wp/ wp98n10.pdf. halaman, 1. Soo, Midgley, dan Devinney., 2002. “Knowledge Creation in Organization: Exploring Firms and Context Specific Effects”, INSEAD Working Paper Series, New South Wales, Australis, halaman 17. Tony Weir., 1996. Organization for Economic Co-opeation and Development (OECD). “Knowledge Based Economy”. Working Paper. Paris.http://ngsm.anu.edu.au/research/tony weir. pdf
155
MODEL PLATFORM TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK E-FORUM RISET Kudang B. Seminar e-mail:
[email protected] Fateta IPB ABSTRAK Riset adalah tindakan (proses) sistematik yang memenuhi kaedah-kaedahilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya hasil riset sangatlah vital untuk menjadi landasan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya. Untuk itu hasil riset perlu didokumentasikan, didiskusikan, dikaji, didayagunakan dan didiseminiasikan ke komunitas luas yang berkepentingan agar dapat dimanfaatkan dengan benar sesuai kebutuhan nyata. Hasil riset ini juga perlu dikelola secara lestari dan profesional agar dapat dijadikan acuan dan penyusunan rekam jejak perjalanan riset (research road map) dan “state of the art” dari riset-riset terkini. Pengembangan forum jaringan riset ini harus berbasis pada platform teknologi informasi yang memungkinkan penghimpunan semua agen dan lembaga penelitian serta berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Paper ini membahas model platform teknologi informasi yang dapat digunakan untuk mengelola ilmu pengetahuan (knowledge management), berbagi-guna pengetahuan (knowledge sharing), mendistribusikan pengetahuan (knowledge dissemination), dan membangun mekanisme interaksi antar agen-agen pemilik pengetahuan (experts/knowledge sources) dan agen-agen pengguna pengetahuan (knowledge users) dalam satu model kerangka yang terpadu yang diadopsi dari model KMS (Knowledge Management System) dan model KS (Knowledge Sharing) yang dikembangkan oleh Nonaka.Implementasi model dengan fitur-fitur terbatas yang diusulkan di paper ini sudah pernah diimplementasikan di KMS IPB, Forum Konsultasi Botani on-line Kebun Raya Bogor dan forum diskusi elektronik UNESCO (STIE/Science, Technology, Innovation Policy) forum. Kata kunci: Platform Teknologi Informasi, E-Forum Riset, KMS, Bagi-guna Pengetahuan, Matriks Teknologi Interaksi, Standar Interoperabilitas 1. LATAR BELAKANG Riset adalah tindakan (proses) sistematik yang memenuhi kaedah-kaedahilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya hasil riset sangatlah vital untuk menjadi landasan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya. Untuk itu hasil riset perlu didokumentasikan, didiskusikan, dikaji, didayagunakan dan didiseminiasikan ke komunitas luas yang berkepentingan agar dapat dimanfaatkan dengan benar sesuai kebutuhan nyata. Hasil riset ini juga perlu dikelola secara lestari dan profesional agar dapat dijadikan acuan dan penyusunan rekam jejak perjalanan riset (research road map) dan “state of the art” dari riset-riset terkini. Peneliti dan lembaga penelitian serta komunitas lain yang relevan memerlukan wadah komunikasi dan bersinergi dalam suatu forum jaringan riset yang profesional dan 156
strategis dalam melestarikan dan mempropagasikan proses dan produk riset. Forum jaringan riset ini sangat dibutuhkan, khususnya terkait dengan informasi dan penyediaan hasil penelitian yang dilakukan oleh semua peneliti baik individu maupun institusi yang tersebar di berbagai wilayah geografis di tingkat nasional maupun internasional. Pengembangan forum jaringan riset ini harus berbasis pada platform teknologi informasi yang memungkinkan penghimpunan semua agen dan lembaga penelitian serta berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Mekanisme sosial dalam berbagi pengetahuan yang dibangun dalam forum berbasis teknologi informasi itu mewarisi definisi dan karakteristik dari apa yang disebut sebagai Sistem Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management System/KMS). Menurut Awad & Ghaziri (2004), Surepong et al (2007), Antonova, A. & Nikolov, R. (2009), serta Abdullah, R.H., Sahibuddin, S., Alias, R.A., & Selamat, M.H. (2006), KMS adalah integrasi dan sinergi antara teknologi informasi modern (terkini) dengan mekanisme sosial/struktural dalam manajemen pengetahuan secara kolaboratif. Secara garis besar aktivitas KMS meliputi akuisisi, pengelolaan dan utilisasi pengetahuan, seperti disajikan di Gambar 1. Akuisisi pengetahuan meliputi proses ekstraksi, representasi, dan kodifikasi pengetahuan dari berbagai sumber pengetahuan baik eksplisit (tersimpan dalam dokumen atau aplikasi program) maupun tasit (tersimpan di otak pakar/peneliti). Manajemen pengetahuan merupakan aktivitas pemeliharaan pengetahuan sehingga dalam kondisi yang konsisten, utuh, aman untuk diremajakan, dikembangkan, dan didayagunakan. Sedangkan utilisasi pengetahuan merupakan proses pendayagunaan, penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan oleh berbagai pihak berkepentingan. Keseluruhan proses KMS memungkinkan adanya bagi-guna pengetahuan (knowledge sharing).
Gambar 1. Proses utama dalam KMS Sumber: IPB, 2008 2. MODEL PENGEMBANGAN BAGI-GUNA PENGETAHUAN (KNOWLEDGE SHARING) Berbagai model bagi-guna pengetahuan telah dikembangkan sesuai dengan kondisi dan konteks pemanfaatannya. 2.1. Model Bagi-Guna Pengetahuan Berbasis Kultur Model bagi-guna pengetahuan berbasis kultur telah dikembangkan oleh Lodhi (2005). Pada model ini organisasi pengelolaan pengetahuan dipandang sebagai jejaring hubungan manusia (network of human relationship) yang mencakup empat entiti kunci: (1) 157
sikap individu (attitude at individual level), (2) sikap grup (attitude at individual level), (3) saluran komunikasi, dan (4) kebijakan organisasi sebagai promotor bagi-guna pengetahuan. Dengan model ini “pengetahuan” tidak dapat dipisahkan dengan “proses mental”, artinya pengetahuan itu tidak terbatas hanya sebagai aset dalam bentuk buku, karya tulis, software namun dimaknai sebagai sesuatu yang membentuk kecerdasan (intelligence) dan menciptakan nilai (value) dalam suatu organisasi (enterprise). 2.2. Model Bagi-Guna Pengetahuan Berbasis Pembelajaran dan Riset Model bagi-guna pengetahuan berbasis pembelajaran dan riset (learning and rersearch based knowledge sharing models) telah diulas dan dikembangkan oleh Seminar (1993), Setiarso (2006), Abdullah, R.H., Sahibuddin, S., Alias, R.A., & Selamat, M.H. (2006). Pada model ini bagi-guna pengetahuan difokuskan pada aspek pembelajaran dan riset yang memungkinkan perubahan sikap dan perilaku komunitas riset untuk menjadi bagian dari jejaring peneliti yang berperan aktif, kreatif, dan kolaboratif dalam mengembangkan, mengkaji, mendiskusikan, dan mendesiminasikan riset sehingga proses pembelajaran terus tumbuh dan berkembang. Riset adalah ajang utama dari interaksi antar peneliti dalam model ini dengan mengetengahkan “lesson-learned discussion and materials”. Formalitas lebih dominan pada model ini dibandingkan model bagi-pengetahuan berbasis kultur. Kode etik ditetapkan dan digunakan untuk menjamin atmosfir yang sehat dan nyaman untuk interaksi dan dialog para peneliti. Dalam kondisi ini sistem merit perlu dikembangkan. Setiarso (2006) menyatakan bahwa organisasi perlu lebih condong pada sistem insentif untuk memacu aktivitas dan kreativitas peneliti dalam jejaring pengetahuan. Model hibrid yang menggabungkan dua model di atas merupakan solusi alternatif untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimkan kekurangan dari dua model tersebut. Model hibrid ini tidak memisahkan antara ”pengetahuan” dengan ”proses mental” dalam kultur organisasi dengan formalitas dan fokus yang dibentuk oleh organisasi yang berorientasi riset. 3. PANDANGAN BERLAPIS SISTEM BAGI-GUNA PENGETAHUAN Pada dasarnya pandangan berlapis dalam sistem bagi-guna pengetahuan dapat dideskripsikan seperti pada Gambar 2. Pada lapisan inti (lapisan paling dalam) adalah pengetahuan berupa aset riset (buku, karya tulis, software, scientific reports, prototypes & patents)dan nilai riset (klusterisasi riset, tren riset, adopsi dan aplikasi triset, research roadmap, state-of-the art, research asessment). Lapisan tengah adalah proses manajemen dan bagi-guna pengetahuan yang meliputi akuisisi, penciptaan, transfer, pemeliharaan, dan pembaharuan pengetahuan. Lapisan terluar adalah enabler manajemen dan bagi-guna pengetahuan secara organisasional, kultural, dan teknologikal yang tentu harus memanfaatkan platform teknologi informasi.
158
Gambar 2. Pandangan Berlapis Sistem Bagi-Guna Pengetahuan Sumber: (Lodhi 2005) 4. PROSES BAGI-GUNA PENGETAHUAN Proses bagi-guna pengetahuan memerlukan proses manajemen yang meliputi akuisisi, penciptaan, transfer, kodifikasi dan distribusi pengetahuan. Oleh karenanya model Nonaka (Awad & Ghaziri 2004) dapat digunakan untuk mewujudkan proses bagi-guna pengetahuan sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Model Nonaka untuk Kreasi dan TransformasiPengetahuan Sumber: Awad & Ghaziri, 2004 Socialization (tacit-to-tacit): Mencakup formasi dan komunikasi pengetahuan, pengalaman empiris maupun praktis antar peneliti, komunitas pengguna dan pengembang kebijakan melalui diskusi tatap muka atau elektronik (face-to-face or electronic discussion). Tatap muka bisa dalam bentuk focus group discussion (FGD), workshop, simposium, seminar. Tatap muka elektronik memiliki banyak variasi dengan pendayagunaan teknologi informasi seperti e-mail, discussion forum, chatting, video conference, voice conferencing, data conferencing, e-mail (milist group). Externalization (tacit-to-explicit): Mencakup transformasi pengetahuan tasit menjadi eksplisit melalui konseptualisasi, elisitasi, dan artikulasi pengetahuan dari beberapa peneliti dan komunitas yang relevan secara kolaboratif sehingga dihasilkan produk berupa buku, jurnal, prosiding, panduan praktis, sofware aplikasi yang merupakan perwujudan pengetahuan tasit yang bisa dilestarikan, dipelajari, diajarkan dan dimanfaatkan. Internalization (explicit-to-tacit): Mencakup pembahasan dokumen riset (paper, buku, artikel) oleh beberapa peneliti dan komunitas yang relevan untuk melakukan eksplorasi lanjut bahkan mungkin sampai penerapan best practices darisuatu hasil riset yang dibahas tersebut. Salah satu bentuk internalization adalah bedah buku, bedah software, atau ulasan paper. 159
Combination (explicit-to-explicit): Mencakup transformasi dan bagi-guna pengetahuan yang sudah dalam bentuk eksplisit (dokumen, software) melalui pertemuan tatap muka maupun virtual, bisa menggunakan teknologi e-learning, vicon, e-conference, bulletin board system (BBS), e-discussion, shared databases, milist system, situs sosial (social networks) dan search engines. 5. SALURAN KOMUNIKASI DAN MEDIA INFORMASI Interaksi antar peneliti dan dan bagi-guna pengetahuan perlu saluran komunikasi dan media informasi sesuai agar fitur-fitur model Nonaka untuk bagi-guna pengetahuan dapat diimplementasikan. Berdasarkan dimensi lokasi dan waktu, interaksi grup dapat dikategorikan seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Matriks interaksi grup Sumber: Khosafian dan Buckiewicz 1995 di dalam Abdullah, R.H., Sahibuddin, S.,Alias, R.A., & Selamat, M.H. 2006 Dari Gambar 4 di atas dapat diturunkan ke matriks teknologi interaksi dan bagi-guna pengetahuan seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks Teknologi Interaksi
Same Place
Different Place
Same Time Face-to-face meeting berbantuan komputer terkoneksi dalam LAN (Local Area Network) Audio Visual Presentation Systems, Shared Screen Display Electronic-Meeting: Audio/Video/Computer Conferencing, E-Discussion, EChatting, VOIP, ROIP
Different Time Shared Memory: Bulletin Board System (BBS), Story Board System (SBS), EMeeting Agenda & Minutes, CoAuthoring System Electronic Messaging System, E-Memo, Wide/Large Screen Display Shared Memory: Bulletin Board System (BBS), Story Board System (SBS), EMeeting Agenda & Minutes, CoAuthoring System E-mail & Voice-mail System & Electronic Messaging System, Collborative Virtual Environment (CVE) 160
Grudin (1994) membuat matriks interaksi dengan menambahkan unsur unknown time dan unknown space, seperti disajikan di Tabel 2. Penambahan kedua aspek tersebut diperlukan untuk mengakomodir komunikasi bergerak (mobile discussion) yang tidak bisa dideterminasikan waktu dan tempat dari partisipan terlibat dalam froum diskusi walaupun bisa dimana saja dan kapan saja. Tabel 2. Matriks Teknologi Interaksi
Sumber: Versi Grudin, 1994 6. FORMAT STANDAR PELAYANAN FORUM BAGI-GUNA PENGETAHUAN 6.1. Arsitektur Arsitektur bagi-guna informasi untuk forum riset dirancang untuk menghubungkan masyarakat peneliti dan komunitas relevan melalui berbagai pilihan interface akses seperti: inter-,extra-, atau intra-net portal, PDA, e-mail, VOIP (Voice Over Internet Protocol), ROIP (Radio Over Internet Protocol), WAP (Wireless Application Protocol), UTMS (Universal Mobile Telecommunication System) berbasis 3G, WebTV, atau Video Conference (Gambar 6). Melalui pilihan interface akses ini maka antar peneliti dan komunitas relevan mendapatkan layanan akuisisi, transformasi, diseminasi, dan aplikasi riset yang telah, sedang atau akan dihasilkan.Layanan tersebut harus didukung oleh berbagai fungsi aplikasi untuk fungsi-fungsi individu dan grup seperti: document browser, data mining, chatting, expert system, DSS/GDSS. Dukungan databases menyediakan relational DBMS, datawarehouse, dan knowledge repository.
161
Gambar 5. Aristektur Berlapis (layered architecture) SistemBagi-Guna Pengetahuan. 6.2. Standar Interoperabilitas Mengingat bahwa forum bagi-guna informasi berbasis berbasis TIK ini secara faktual berhadapan dengan heterogenitas dari platform TIK di berbagai lembaga atau organisasi maka isu interoperabilitas harus menjadi perhatian utama. Perbedaan format data antar aplikasi komputer memerlukan format “netral” yang disepakati oleh aplikasi yang saling berkomunikasi. Menurut Nugroho (2008) kata “netral” berarti tidak memihak ke format yang digunakan oleh salah satu aplikasi. Format netral ini kemudian digunakan sebagai format “antara” dalam pengiriman data, seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Penggunaan format netral juga meningkatkan ekstensibilitas; aplikasi yang lain dapat pula memanfaatkannya, tanpa harus mengetahui format aslinya.
Format asli aplikasi A
Format netral encode
Format asli aplikasi B decode
Format netral
Format asli aplikasi C decode
Gambar 6. Pengiriman data dengan format “netral” meningkatkan ekstensibilitas Sumber: Nugroho, 2008. 6.3. Format Pertukaran Data Saat ini, format netral untuk pertukaran data umumnya menggunakan format XML (eXtensible Markup Language). XML adalah sebuah format dokumen yang mampu mendeskripsikan struktur (sintaks) dan makna (semantik) dari data yang terkandung di 162
dokumen tersebut (Bray , Paoli, Sperberg-McQueen, Maler, E., & Yergeau 2008). Menurut Nugroho (2008), berbeda dengan HTML yang lebih berorientasi pada tampilan (appearance), XML lebih fokus pada substansi data, sehingga lebih cocok digunakan sebagai media pertukaran data. Dengan karakteristiknya ini, XML telah menjadi standar defacto bagi pertukaran data antar aplikasi komputer. 7. PEDOMAN & REGULASI PEMANFAATAN MEDIA INFORMASI Untuk mengatur, mengawal dan mengamankan pemanfaatan media informasi oleh peneliti dan lelmbaga litbang di FJPLL, maka perlu adanya pedoman dan regulasi yang seharusnya menjadi bagian dari aspek legal FJPLL berbasis TIK. 7.1. Pedoman Pemanfaatan Media Informasi Pedoman yang harus dikembangkan untuk pengembangan dan implementasi FJPLL mencakup:
Pedoman pengembangan, implementasi dan pemanfaatan FJPLL di lingkungan peneliti dan lembaga litbang.
Pedoman platform TIK, Aplikasi, Layanan dan Interaksi di FJPLL.
Pedoman pemanfaatan atau interkoneksi FJPLL dengan masyarakat luas.
Pedoman penyusunan indikator kinerja FJPLL untuk monev.
Pedoman kerjasama riset, pengurusan paten, dan diseminasi riset
7.2. Regulasi Pemanfaatan Media Informasi Sedangkan regulasi menjadi landasan kekuatan pengaturan (law enforcement) untuk pengamanan pemanfaatan media di FJPLL. Regulasi yang harus dikembangkan mencakup:
Regulasi TIK (Cyberlaw) nasional dan internasional
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)
UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik)
Regulasi tentang HKI (Hak Kekayaaan Intelektual)
Norma dan Kode Etik
Implementasi model dengan fitur-fitur terbatas yang diusulkan di paper ini sudah pernah diimplementasikan di KMS IPB, Forum Konsultasi Botani on-line Kebun Raya Bogor dan forum diskusi elektronik UNESCO (STIE/Science, Technology, Innovation Policy) forum. REFERENSI Abdullah, R.H., Sahibuddin, S., Alias, R.A., & Selamat, M.H. (2006). Knowledge Management System Architecture for Organizational Learning with Collborative Environment. IJCSNS International Journal on Computer Science & Network Security, pp. 237, vol 6, no 3A. Antonova, A. & Nikolov, R. (2009). Conceptual KMS Architecture within Enterprise 2.0 and Cloud Computing. Diakses jam 06:30 6 Nop. 2010 dihttp://telearn.noekaleidoscope.org/warehouse/ifipi3e2009_submission_14_(001894v1).pdf 163
Awad, E.M. & Ghaziri, H.M. (2004). Knowledge Management. Prentice Hall. ISBN: 0-13034820-1. Bray, T., Paoli, J., Sperberg-McQueen, C.M., Maler, E., dan Yergeau, F. (2008). Extensible Markup Language 1.0 (Fifth Edition). Dokumen web http://www.w3.org/TR/xml/ diakses pada tanggal 07 Nopember 2010. Grudin, Jonathan (1994). CSCW: History and Focus. IEEE Computer, 27, 5, 19-26. IPB (2008). Final Report on Program Developing IPB Knowledge Management System (IPB-KMS). IPB I-MHERE Project. Lodhi, Suleman A. (2005). Culture Based Knowledge Sharing Model. PhD Thesis. National College of Business Administration & Economics. Nugroho, Lukito E. (2008). Interoperabilitas Data dalam Implementasi E-Government. Dokumen web http://www.mti.ugm.ac.id/~lukito/CommService/Interoperabilitas-EGov.doc. Diakses pada tanggal 07 Nopember 2010. Surepong, P., Chakpitak, N., Ouzrout, Y., Neubert, G., & Bouras, A. (2007). Knowledge Management System Architecture for the Industry Cluster. Proc. of the International Conference on Industrial Engineering and Engineering Management (IEEM 2007). Seminar, Kudang B. (1993). Methodologies for Maintaining and Comparing Designs in a Cooperative Design Environment. PhD Thesis. Faculty of Computer Science, University of New Brunswick. Setiarso, Bambang (2006). Knowledge Sharing Indonesian Research Center: Models & Mechanisms. Komunitas e-Learning IlmuKomputer.com.
164
SISTEM INOVASI NASIONAL BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Prof.Dr. Ir. Engkos Koswara Natakusumah, Msc. E-mail:
[email protected] Kementerian Riset dan Teknologi ABSTRACT The strategic planning Ministry of Research and Technology for 2010-2014 is also available in a decree of the Ministry of Research and Technology No. 03/M/Kp/2010, to support National Innovation System (NIS) needs to increase the network of information and communication technology through development of Science and Technology Park in the area of Puspiptek in Serpong. Puspiptek can be used for increasing science and technology network for the academics, government and industries or business. The Ministry of Resarch and Technology commits to develop Broadband Wireless Access (BWA) with the concepts that Puspiptek as an area free of frequencies, a center for advanced information and communication technology, and as an area of Science and Technology Cyber. The purpose of this development is to add testing faciliity for developing BWA technology and to support development of industrial research consortium for developig BWA technology. In 2010 has some testing facilities to carry out research in BWA technology and increasing capability of local industries in telecommunication technology, such as, PT Xirka is already seatled in Puspiptek area and carry out some testing for BWA as a NIS. NIS is a tool to reach the national goal, that is, “masyarakat yang aman, adil dan sejahtera”. The components for increasing efforts of innovation system are “kelembagaan” the resources, and the networks for supporting productivities and increasing utilization of science and technology, in line with MP3EI program in the year 2011-2025. Keywords: NIS, ICT, Innovation, BWA, Science and technology 1. PENDAHULUAN Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi. Berpegang pada keyakinan itu, sejumlah negara industri baru, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Cina, Thailand, Singapura, dan Malaysia, secara konsisten mengalokasikan sejumlah besar dana untuk memajukan TIK di negaranya. Mereka berhasil menciptakan invensi dan inovasi secara signifikan yang kemudian diterapkan pada industri. Kegiatan berinovasi secara mandiri memang merupakan tuntutan masa kini dan masa mendatang. Negara dengan kemampuan berinovasi rendah akan semakin bergantung pada negara yang memiliki inovasi tinggi, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual. Hasil inovasi teknologi informasi dan komunikasi diterapkan pada industri untuk meningkatkan nilai tambah, mulai dari material, mesin produksi, hingga produk. Semakin efisien dan produktif proses tersebut, akan semakin tinggi kualitas produk yang dihasilkan. Kegiatan ini terbukti telah menaikkan daya saing dan pendapatan negara tersebut sehingga pada akhirnya mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa yang bersangkutan. Atas dasar itu, United Nations Development Programme (UNDP), World 165
Economics Forum (WEF), dan International Institute for Management Development (IMD) menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor penentu daya saing, termasuk di dalamnya teknologi informasi dan komunikasi. Inovasi sering diasosiasikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih yang merupakan milik orang berkemampuan tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan inovasi terkait langsung dengan tingkat pengetahuan dan kecerdasan yang tercermin dalam kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) oleh sekelompok orang berpendidikan di lembaga pemerintah serta perguruan tinggi. Sebenarnya, kegiatan inovatif tidak sama dengan litbang yang cenderung lebih sistematik dan terprogram, tetapi lebih kepada suatu proses kreatif yang muncul pada waktu seseorang menjalankan kegiatannya sehari-hari. Kegiatan inovatif pun dapat dilakukan oleh masyarakat luas dalam bentuk yang bervariasi. Inovasi adalah sesuatu yang baru bagi seseorang/lembaga, bisa berupa inovasi produk, yaitu sesuatu yang telah diterima oleh pasar, dan inovasi proses, yaitu sesuatu yang telah diterapkan dalam proses produksi. Kebaruan ini bersifat relatif sehingga dalam konteks global, suatu inovasi di negara berkembang merupakan hal yang usang di negara maju. Ini memunculkan pembedaan yang secara umum mengelompokkan negara maju berdasarkan tingkat kemampuan teknologinya menjadi ‘technologically innovating countries’ dan negara berkembang sebagai ‘technologically learning countries’. Sifat kebaruan inovasi yang relatif ini juga berlaku di tingkat lokal, misalnya kemampuan mengoperasikan komputer untuk pembukuan dan pangkalan data yang merupakan hal biasa di kantor modern di Jakarta akan merupakan suatu inovasi proses di sebuah industri kerajinan rumah tangga. Kondisi SINAS saat ini masih berupa pemetaan dan konsep serta masih tersebar di beberapa instansi pemerintah, sehingga perlu disusun dengan menghubungkan tagline negara dan hasil pemetaan yang tersedia, perlu pembentukan klaster industri nasional dan daerah yang saling terkait sebagai strategi implementasinya untuk meningkatkan daya saing negara dan pemerataan kesejahteraan nasional, sekaligus memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa dengan mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi. Belum ada efektivitas dan efisiensi regulasi serta sistem insentif yang mendukungnya sehingga perlu menjadikan tagline SINAS sebagai rujukan regulasi dan sistem insentif yang tertuang dalam program pembangunan. Belum ada sistem aliran pengetahuan dan mobilitas human capital antara industri dan perguruan tinggi atau lembaga riset, sehingga perlu regulasi untuk memperkuat institusi triple helix (akademisi – industri – pemerintah). Belum ada skema pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang mendukung, sehingga perlu mekanisme pendanaan venture capital dan iklim investasi yang fokus dan terukur. Pengembangan SINAS sangat erat kaitannya dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (2011-2015) yang dilaksanakan melalui tiga strategi, yaitu: (1) strategi pengembangan koridor ekonomi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku; (2) strategi pengembangan konektivitas; serta (3) strategi pengembangan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). 2. EKOSISTEM INOVASI Penguatan ekosistem inovasi ditempuh dengan mencari titik temu antara pendekatan top-down dan bottom-up. Siklus dimulai dari riset, pengembangan, dan aplikasi kemudian kembali lagi ke riset untuk meningkatkan inovasi pada aplikasi tersebut. Siklus ini sangat dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang mendukung untuk tumbuhnya inovasi yang ditunjang oleh pendanaan yang cukup, kepemimpinan yang memadai dan mampu membuat prioritas inovasi yang bernilai ekonomi tinggi serta konsisten dalam melaksanakan kegiatannya; budaya yang mendukung tumbuhnya inovasi bernilai ekonomi tinggi dan budaya lokal yang bernilai ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat setempat; serta 166
pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia yang dapat berinovasi. Ekosistem inovasi dapat dilihat pada Gambar 1.
167
Gambar 1. Ekosistem Inovasi Pendekatan top-down memerlukan dirigen, yaitu kemauan politik dan sinkronisasi kebijakan pemerintah yang kondusif bagi iklim inovasi-bisnis yang merupakan harmonisasi orkestra inovasi nasional. Bottom-up memerlukan partisipasi masyarakat yang membuka peluang tumbuhnya inisiatif inovasi-bisnis bagi masyarakat luas melalui regulasi dan sistem insentif yang transparan serta masyarakat yang berbasis knowledge dan innovation. Untuk merealisasikan sistem inovasi nasional di bidang teknologi informasi dan komunikasi, maka aktivitas penelitian dan rekayasa harus berorientasi pada pasar, dimulai dengan masalah pelanggan, kemudian dibuat spesifikasi fungsi, spesifikasi teknis dan solusi teknis. Perpaduan antara pengetahuan aplikasi dan pengetahuan spesialis keteknikan menghasilkan transformasi pengetahuan, proses orientasi pasar, proyek yang dipicu oleh kebutuhan konsumen, dan kompetensi lintas fungsi seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Aktivitas penelitian dan rekayasa berorientasi pasar 168
3. PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA INOVASI Kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap perkembangan inovasi, minimal ada empat komponen besar yang mempengaruhi inovasi bisnis, yaitu: (1) kesempatan seperti pengadaan publik dan peraturan; (2) enablers seperti kerangka hak cipta intelektual, sistem penilaian dan standarisasi; (3) dukungan bagi bisnis seperti program best practice, dukungan bagi pengembangan teknologi baru, bantuan akses finansial, kredit pajak litbang, dukungan bagi investasi ke dalam, dan akses ke database pengetahuan global; (4) bahan dasar inovasi adalah iklim yang mendukung, seperti stabilitas ekonomi makro, kebijakan kompetisi, kebijakan diklat, prasarana fisik dan teknologi informasi, kebijakan perdagangan, dan kebijakan iptek, seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh kebijakan pemerintah pada inovasi Kebijakan pemerintah dalam membiayai dana riset dan pengembangan masih relatif rendah, yaitu sekitar 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), seperti terlihat pada Tabel 1. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mendapatkan hasil litbang yang yang teruji, mempunyai nilai tambah ekonomi, dan sampai ke pasar. Hal ini disebabkan masih kalah bersaing dengan produk luar yang harganya relatif lebih murah. Kondisi ini akan terus berlangsung bila tidak dilakukan perubahan dalam kebijakan untuk manajemen litbang dan industri. Sama halnya dengan pendidikan tinggi sebagai penghasil sumber daya manusia, kualitasnya harus sesuai dengan kebutuhan pasar.
169
Tabel 1. Komposisi Pembiayaan R & D Sumber Pembiayaan R & D Negara
Belanja R & D
Swasta (%)
Pemerintah (%)
Masyarakat (%)
Miliar dolar AS
% PDB
Singapura
54.3
36.6
2.3
2.2
2.2
Malaysia
51.5
32.1
4.9
1.5
0.7
Thailand
41.8
38.6
15.1
1.1
0.2
Filipina
59.7
24.6
7.5
0.4
0.1
Cina
60.1
29
10
72
1.3
Indonesia
14.7
84.5
0.2
0.3
0.1
Sumber: World Bank 2007 dan UNESCO 2006 4. KEBIJAKAN PENINGKATAN INOVASI DAN KREATIVITAS Kebijakan peningkatan inovasi dan kreativitas tidak terlepas dari adanya linkage dan network. Pada dasarnya, linkages dan network akan terbangun jika ada empat unsur yang terkait yaitu kepemilikan (ownership), pemberdayaan (empowerment), kemampuan (skills) dan insentif (incentives). Semua unsur ini akan saling berhubungan dan akan muncul melalui aliran informasi dan ‘knowledge’ yang berlangsung dalam network ini. Network dibentuk dan dikembangkan berawal dari orang ‘people first’, yang bersifat informal dan selanjutnya dapat dilembagakan dalam bentuk ‘formallinkages’ serta diperkuat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Proses komunikasi menjadi unsur utama dalam diseminasi data, informasi dan pengetahuan yang diawali oleh orang per orang. Penguatan network untuk pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar. Di samping faktor geografis dan keterbatasan infrastruktur telekomunikasi, yang utama adalah kesenjangan kemampuan antara masyarakat dengan kelompok pemilik ilmu dan teknologi yang terkonsentrasi di lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Minimnya komunikasi antara kedua entitas ini menghambat aliran informasi dan pengetahuan serta meniadakan kesempatan learning bagi keduanya. Teknologi internet yang menawarkan peluang untuk menghubungkan dan mempercepat proses komunikasi antara masyarakat dengan simpul-simpul sumber ilmu dan teknologi dengan lebih cepat dan murah sehingga setelah melalui proses belajar daya saing masyarakat dapat meningkat, tidak selalu berhasil diterapkan. Ini antara lain disebabkan oleh lebarnya kesenjangan kemampuan di antara keduanya sehingga diperlukan kelompok yang berperan sebagai penerjemah atau ‘interface’ untuk menjembatani proses komunikasi yang berlangsung. Teknologi informasi dan komunikasi secara umum berkembang pada generasi muda. Pendekatan dengan kampus dan sekolah menengah dapat dilakukan dengan membuat kurikulum yang membiasakan mahasiswa dan siswa untuk mencari informasi kemudian mengolah informasi tersebut menjadi pengetahuan untuk mengakomodir kebutuhan yang spesifik. Misalnya, orang tua siswa yang kebetulan pemilik usaha memerlukan aplikasi untuk mengatur ‘inventory’ di pabrik dapat dibantu oleh anaknya yang belajar database. Akan sangat ideal jika proses komunikasi secara efektif dalam jejaring yang melibatkan unsur pengguna, interface, penyedia, serta pembuat informasi dan knowledge dapat membantu suburnya proses kreatif masyarakat luas dan munculnya inovasi yang dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri pada gilirannya dapat memperkuat daya saing industri Indonesia. 170
Pekerjaan besar ini mustahil dilakukan sendiri, maka pendekatan bekerja bersama dalam suatu jejaring baik di tingkat nasional maupun lokal perlu terus dikembangkan. Bisa jadi nantinya akan lahir sistem inovasi daerah dan sistem inovasi lokal yang merupakan bagian dari sistem inovasi nasional. Kuncinya adalah kapasitas lokal yang kuat sebagai fondasi pertumbuhan masyarakat daerah dalam menghadapi persaingan di abad 21. Berbagai program telah dikembangkan oleh instansi baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun demikian, program-program tersebut belum memberikan dampak yang dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya reorientasi dari kebijakan dan program dalam pemberdayaan masyarakat, terutama para pemuda. Strategi peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas perlu terus didorong dan dikembangan dalam bentuk kebijakan dan program yang terarah serta terukur karena dengan upaya tersebut akan mampu menciptakan generasi yang mandiri. Dengan kemandirian, diharapkan mereka mampu menciptakan lapangan kerja dan bukan hanya mencari kerja. Langkah-langkah dalam peningkatan kemampuan inovasi dan kreatif pemuda tersebut tidaklah dapat dilakukan oleh satu atau dua instansi saja, akan tetapi memerlukan sinergi dari program yang telah dikembangkan oleh berbagai instansi terkait. Langkahlangkah penyusunan arah kebijakan peningkatan inovasi dan kreativitas pemuda mengikuti alur pikir dan pola pikir seperti terlihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4. Alur pikir penyusunan platform kebijakan peningkatan inovasi dan kreativitas
171
Gambar 5. Pola pikir penyusunan platform kebijakan peningkatan inovasi dan kreativitas 5. PENINGKATAN INOVASI DAN KREATIVITAS Kemampuan inovasi dan kreativitas harus diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik regional maupun nasional sejalan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indoneisa tahun 2011-2025. Oleh sebab itu, pemberdayaan kemampuan masyarakat harus menjadi tanggung jawab bersama berbagai instansi. Dari data-data yang ada, beberapa instansi telah mengembangkan berbagai program pemberdayaan seperti Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, LIPI, dan BPPT. 1) Kementerian Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia sudah menyusun beberapa kebijakan terkait terutama dengan Pengembangan Ekonomi Kreatif (Kemendiknas, 2010). Sasaran yang hendak dicapai dari kebijakan ini antara lain: mewujudkan insan kreatif dengan pola pikir dan moodsetkreatif, mewujudkan industri yang unggul di pasar dalam dan luar negeri dengan peran dominan wirausahawan lokal, mewujudkan teknologi yang mendukung penciptaan kreasi dan terjangkau oleh masyarakat Indonesia, meningkatkan pemanfaatan bahan baku dalam negeri secara efektif bagi industri di bidang ekonomi kreatif, mewujudkan masyarakat yang menghargai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan mengkonsumsi produk kreatif lokal, dan tercapainya tingkat kepercayaan yang tinggi oleh lembaga pembiayaan terhadap industri di bidang ekonomi kreatif. Sebagai langkah awal, Kemendiknas menerapkan strategi untuk meningkatkan insan dan wiraswasta kreatif di seluruh Indonesia yaitu melakukan perbaikan kurikulum bermuatan lokal, penguatan database, dan membangun jaringan kerja dengan pihak swasta. Perbaikan kurikulum ini bertujuan untuk meningkatan penguasaan teknologi, terutama teknologi informasi dan pemanfaatan bahan baku untuk menunjang Pengembangan 172
Ekonomi Kreatif (DPR, 2009). 2).`Kementerian Tenaga Kerja mempunyai beberapa program peningkatan kualitas SDM dan produktivitas tenaga kerja. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan keterampilan, keahlian, dan kompetensi tenaga kerja dan produktivitas, sedangkan peningkatan kualitas tenaga kerja dilakukan melalui pendidikan formal, pelatihan kerja, dan pengembangan di tempat kerja sebagai satu kesatuan sistem pengembangan SDM. Program ini menitikberatkan pada standarisasi, uji kompetensi, dan peningkatan profesionalitas peserta pelatihan kerja. Dalam usaha mengurangi pengangguran. Kementerian Tenaga Kerja juga memliki program yang bertujuan untuk mendorong kesempatan kerja produktif serta mobilitas tenaga kerja dalam rangka mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran, baik di pedesaan maupun di perkotaan serta memenuhi kebutuhan pasar kerja internasional. Program ini menekankan pada usaha penciptaan lapangan kerja baru, penyebaran informasi dan peningkatan kerjasama antarlembaga bursa kerja dengan industri/perusahaan. Selain program-program yang terkait langsung dengan ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja juga mempunyai program kelembagaan iptek yang berifat penunjang serta program pelatihan kompetensi tenaga kerja. Kegiatan-kegiatan yang diarahkan untuk program kelembagaan iptek ini adalah peningkatan keterlibatan organisasi profesi ilmiah, perguruan tinggi serta masyarakat dalam memperkuat landasan etika dalam perumusan kebijakan iptek dan peningkatan kuantitas dan kualitas, serta optimalisasi dan mobilisasi potensi SDM iptek melalui kerja sama nasional maupun internasional. 3). Kementerian KUKM mempunyai program-program yang bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan wirausaha/pengusaha baru. Terdapat kegiatan-kegiatan untuk pelatihan perkoperasian dan kewirausahaan bagi pengusaha kecil, pengembangan wirausaha, pelatihan koperasi, dll. Adapun program-program yang dilaksanakan adalah program pengembangan kewirausahaan dan SDM KUKM serta program penumbuhan unit UKM baru. Program pengembangan kewirausahaan dan SDM KUKM bertujuan untuk mengembangkan kewirausahaan KUKM di Indonesia dalam rangka meningkatkan produktivitas dan daya saingnya (Kementerian KUKM, 2004). 4). Kementerian Pertanian mempunyai kegiatan-kegiatan yang terkait langsung dengan petani. Sebagian besar kegiatan tersebut berada di bawah Badan Pengembangan SDM Pertanian. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi pelatihan petani muda yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan mental petani muda dalam mengelola usaha pertanian yang berorientasi agribisnis, dan memberikan pembekalan kepada peserta agar memiliki etos kerja, mental, fisik, dan disiplin yang tinggi dalam berwirausaha. Selain itu, dengan program Prima Tani, Kementerian Pertanian juga mencoba menciptakan petani-petani muda baru di seluruh Indonesia yang bekerja sama dengan dinas dan BPTP setempat. Pada program ini, pada umumnya dilakukan pelatihan-pelatihan teknologi pertanian yang sudah dihasilkan oleh BPTP setempat. Selain itu, Badan Pengembangan SDM Pertanian juga memberikan program, training, dan penyuluhan pertanian, pengembangan kompetensi widyaiswara dan sumberdaya manusia pelatihan pertanian, serta pengembangan jenjang kerja sama pelatihan pertanian dalam dan luar negeri (program magang petani muda ke luar negeri). 5). Kementerian Pemuda dan Olah Raga bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan beberapa kegiatan terkait dengan teknologi budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia. Program ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial kewirausahaan serta meningkatkan kemampuan profesionalistas tenaga kerja muda agar lebih mampu mandiri, memanfaatkan peluang usaha bahkan menciptakan lapangan kerja bagi pemuda untuk 173
meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan berwirausaha pemuda. Selain itu, DKP melalu Badan Diklat Perikanan yang ada di seluruh Indonesia juga mempunyai banyak kegiatan-kegiatan terkait pengusaha pemula di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai contoh adalah Program Rintisan Akselerasi dan Sosialisasi Inovasi Kelautan dan Perikanan. Program ini adalah salah satu upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (SDM-KP) berupa perubahan perilaku, baik pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang perlu terus dilakukan melalui pendidikan, pelatihan maupun penyuluhan. Penyuluhan Kelautan dan Perikanan merupakan proses pembelajaran dalam rangka peningkatan kapasitas kemampuan SDM-KP untuk mengorganisasikan dirinya dalam mengembangkan bisnis perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2004). 6). Kementerian Negara Riset dan Teknologi,mengembangkan program Membangun Masyarakat Berbudaya Iptek (MMBI) dalam upaya untuk menjadikan iptek sebagai budaya bangsa, kegiatan ini dalam pelaksanaannya dapat melibatkan pemuda, baik pemuda yang putus sekolah maupun pemuda terdidik lainnya (lulusan perguruan tinggi atau SLTA). Di samping itu, melalui program inovasi yang dikembangkan mulai tahun 2008, saat ini telah teridentifikasi tidak kurang dari 200 hasil inovasi para peneliti baik dari lembaga litbang, industri, maupun individu yang siap untuk diaplikasikan di sektor produksi. Berbekal informasi tersebut, kolaborasi antara lembaga litbang dengan pemuda/organisasi kepemudaan dapat didorong untuk pemanfaatannya sehingga hasil riset tersebut dapat berwujud produk inovasi litbang/perguruan tinggi. 7). LIPI mempunyai program yang mengikutkan peran masyarakat dalam Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Program ini terwujud sebagai suatu bentuk kepedulian terhadap keinginan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan teknologi yang bersifat tepat guna untuk mendukung pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan daerah. Dengan adanya kegiatan ini, pemuda dapat terlibat secara aktif dalam pelayanan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna masyarakat Indonesia yang majemuk. Kekhasan sosial budaya dan tingkat ekonomi masyarakat tidak menjadi kendala untuk melayani, justru menjadi masukan yang diperhatikan dalam menentukan strategi pemasyarakatan. Kegiatan ini mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan pelayanan teknologi tepat guna serta pemberdayaan masyarakat termasuk pemuda dan industri yang berskala kecil dan menengah. Program LIPI lainnya yang bertujuan meningkatkan pemberdayaan masyarakat adalah Program Pemanfaatan IPTEK di daerah (IPTEKDA). Program ini untuk memacu inovasi anak negeri dan menjangkau pelosok daerah dalam penyebaran informasi ilmiah, upaya pendayagunaan, dan pemanfaatan IPTEK. Pada gilirannya, masyarakat diharapkan akan mengembangkan kreativitas dan menumbuhkan motivasinya. 8). BPPT ikut bereperan aktif dalam pengembangan PI-UMKM. Program ini bertujuan mengembangkan UMKM inovatif yang salah satu pelakunya adalah pemuda. Salah satu program yang dikembangkan di antaranya penunjukan Lembaga Intermediasi (LI). Kegiatan ini membutuhkan peran aktif para inkubator bisnis dalam mensinergikan tujuan bersama agar dapat lebih bermanfaat untuk negara. Selain itu, program BPPT dalam peningkatan kemampuan pemuda adalah pemberdayaan siswa/siswi magang yang berfungsi untuk mencari pengalaman di luar kegiatan akademis yang berguna bagi karier nantinya. Tujuan dari program magang ini adalah memberikan kesempatan bagi pemuda atau profesional muda yang penuh semangat untuk mengembangkan keterampilan mereka sekaligus mempraktekkan langsung ilmu yang mereka dapatkan lewat bangku sekolah atau kuliah ke dunia kerja nyata; tentunya mereka juga akan mendapatkan pengalaman berharga dengan bekerja dalam lingkungan baru. 174
6. PENUTUP Sistem inovasi nasional bidang teknologi informasi dan komunikasi sangat erat kaitannya dengan peningkatan kelembagaan, sumber daya dan jaringan untuk meningkatkan produktivitas dan pendayagunaan yang mempunyai nilai tambah ekonomi, sejalan dengan MP3EI. Banyak program masih menekankan kepada aspek peningkatan sumber daya manusia dan belum banyak yang mengkonsentrasikan kepada penguatan kelembagaan dan jaringan. Padahal dua hal ini perlu mendapatkan perhatian untuk mendorong terjadinya sinergi antar program dan keberlanjutannya. Di samping itu, fokus progam lebih banyak menekankan kepada aspek sosial dan peningkatan kemampuan dalam bidang ketenagakerjaan. Program-program tersebut masih berorientasi pada upaya penciptaan masyarakat sebagai “pencari kerja” dan belum banyak mengacu padapeningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas yang mendorong masyarakat sebagai “pencipta kerja” atau sebagai “technopreneur”. Dilihat dari Undang-Undang SINAS P3 Iptek, isu atau kendala dalam peningkatan inovasi dan kreativitas dapat dikelompokkan menjadi permasalahan kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan (DPR (2002). Adapun secara lebih rinci permasalahan tersebut meliputi masalah kelembagaan, antara lain terbatasnya aplikasi hasil-hasil riset di masyarakat yang melibatkan generasi muda, masih kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan inovasi; kurangnya keterlibatan badan usaha dalam pengembangan inovasi dan kreativitas pemuda; kurangnya peran lembaga inkubator teknologi dalam peningkatan inovasi dan kreativitas pemuda; kurangnya keterlibatan organisasi kepemudaan dalam mengembangkan inovasi dan kreativitas; serta pemerintahan (public authorities), yang umumnya juga belum menghargai pentingnya kewirausahaan dan inovasi kalangan pemuda. Dari uraian di atas disadari bahwa pemberdayaan masyarakat, terutama para pemuda, akan dapat dirasakan manfaatnya apabila disertai dengan upaya untuk meningkatkan kapasitas inovasi dan kreativitasnya. Kapasitas inovasi dan kreativitas di bidang teknologi informasi dan komunikasi akan berkembang apabila didukung iklim dan budaya yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas dan budaya inovasi di kalangan masyarakat. REFERENSI Kemendiknas. 2010. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2014.
tahun 2010-
KemenNeg KUKM. 2004. Rencana Strategis Kementerian Negara Koperasi Usaha Kecil dan Menengah tahun 2004-2009. Kemenkelautan&perikanan. 2004. Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2004-2009. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. 2009. Riset dan Teknologi Untuk Masyarakat. DPR. 2002. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Peneliti, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. DPR. 2008. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. DPR. 2009. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
175
MEMOTRET JARINGAN AGROBISNIS DAN AGROINDUSTRI YANG SELARAS DAN SEPADAN DENGAN SEGMEN PASAR JEPANG Syamsuddin Hasan1, Andi Suarda2, Muh. Irwan3
[email protected],
[email protected],
[email protected] Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin ABSTRAK Jaringan Agrobisnis dan Agroindustri merupakan kunci penggerak perekonomian suatu bangsa. Keberhasilan Jepang dalam membangun bangsa dan negaranya diperkuat oleh kekuatan jaringan Agrobisnis dan agroindustri sebagai home based dalam ketahanan pangan nasionalnya. Indonesia sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), harus membangun komponen – komponen Agrobisnis dan agroindustri yang kuat dan menjadikannya sebagai kekuatan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan Indeks Pendapatan Masyarakat (Human Development INDEX). Faktor utama dalam membangun jaringan ini terletak pada hubungan yang baik antara komponen – komponen penggerak mulai dari hulu hingga hilir. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu perbaikan sehingga terbentuk satu kekuatan yang sistemik pada sektor pertanian secara umum. Grand scenario yang dapat dilakukan dalam membentuk dan membangun jaringan Agrobisnis dan agroindustri adalah membangun jaringan kerjasama dalam negeri, membuat jaringan kerjasama antar negara, regionalisasi, mengadakan lokarya internasional, melakukan publikasi melalui media dalam dan luar negeri, menajamkan fungsi – fungsi saluran pemasaran. Kata Kunci : Jaringan agrobisnis, agroindustri 1. PENDAHULUAN Jaringan Agrobisnis dan Agroindustri sangat penting dibentuk dan dikembangkan dalam menggerakkan roda perekonomian suatu bangsa.Pengertian Agrobisnis sendiri merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan (Saragih, 1998). Agroindustri sendiri diartikan sebagai kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian secara luas sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut (Anonim, 2011). Dengan kata lain, di dalam pengembangan agroindustri, di dalamnya terdapat suatu proses industrialisasi pertanian secara luas yang mampu mengakomodasi kebutuhan – kebutuhan dasar dalam proses industrialisasi,kemudian diikuti dengan suatu proses pembentukan dan pengembangan jaringan Agrobisnis (Udo and Brower, 1991). Pada prinsipnya Pertaniansecara umum tidak boleh lagi dianggapsebagaisektor pasif darimana sumber dayadiperoleh dan diekstraksiuntuk mendukungsektor lain, terutamaindustri.Sebaliknya, diyakini bahwa pertaniansecara signifikanmemiliki peran dalampembangunan ekonomi (Fatah, 2007). Lebih jauh, Peranpertanianmenjadi lebih jelasjika dilihatdalam 176
konteksprosestransformasi struktural. Pertanianmemiliki pengaruhpenting padaindustrialisasi danpertumbuhan ekonomi(Ruttan and Hayami 1984, Lewis 2000;) Usaha Agrobisnis tidak akan berhasil tanpa adanya suatu jaringan. Hasil produksi on farm yang melimpah tidak akan ada artinya jika tidak dapat dipasarkan dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya jaringan usaha yang dapat memberi keuntungan kepada masing – masing pihak. Networking Agrobisnis yang baik hanya dapat dicapai dengan kepercayaan diantara berbagai pihak. Apalagi dalam usaha Agrobisnis dimana supplier tidak hanya mampu memenuhi standar kualitas namun juga kuantitas dan ketetapan waktu serta kontiunitas produk yang dihasilkan. Jika kita memotret perkembangan sektor Agrobisnis dalam perkembangan ekonomi Indonesia dalam 2 dekade terakhir apakah ada kemajuan atau kemunduran? Melihat fakta sekarang, terjadi kemunduran yang cukup signifikan dibandingkan dengan era orde baru. Sekarang ini hampir semua komoditi pertanian secara umum diimpor (utamanya untuk sapi). Jika dicermati lebih dalam, kemunduran tersebut disebabkan oleh adanya kebijakan – kebijakan pemerintah yang mungkin keliru dan beberapa faktor – faktor lain seperti degradasi lahan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang pesat. Jika dicermati, Peranan sektor Agrobisnis dan agroindustri yang begitu besar dalam perekonomian Indonesia dapat menjadi pemicu dan pemacu pertumbuhan ekonomi nasional termasuk sebagai sumber perolehan devisa. Selain itu juga sebagai penyedia pangan dan papan serta penyedia bahan baku industri. Lebih lanjut, sektor Agrobisnis dan agroindustri juga berperan dalam penciptaan kesempatan dan perluasan lapangan kerja dan yang lebih utama adalah sebagai pemacu pemerataan pembangunan nasional dan stabilitas nasional (Didu,2000) Keberhasilan pengembangan Jaringan Agrobisnis dan Agroindustri secara prinsip memerlukan dukungan dari segala lini seperti pemerintah sebagai penentu kebijakan, perbankan sebagai penyedia modal, perguruan tinggi sebagai pusat informasi teknologi baru, pengusaha dan asosiasi pengusaha sebagai penggerak distribusi komoditi – komoditi bisnis (Lihat skema 1). Untuk mencapai hal tersebut, maka langkah strategis yang harus dilakukan adalah mencari negara – negara yang dapat dijadikan sebagai sasaran pemasaran. Salah satu negara yang dapat dijadikan sasaran pemasaran tersebut adalah Jepang. Jepang adalah negara raksasa yang terdapat di benua Asia yang patut disejajarkan dengan negara raksasa lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Australia. Dalam kaitannya dengan pengembangan Jaringan Agrobisnis dan Agroindustri, keberhasilan Jepang yang diperoleh hingga sekarang, sesungguhnya ditopang dengan jaringan, baik jaringan politik, jaringan kerjasama disemua sektor termasuk di dalamnya jaringan Agrobisnis dan agroindustri. Keberhasilan jaringan Agrobisnis dan agroindustri Jepang dapat dilihat dengan terpenuhinya segala jenis kebutuhan Pangan dan papan ditengah sumber daya alam yang sedikit. Melihat kenyataan tersebut, maka peluang pengembangan kerjasama Agrobisnis dan agroindustri antara Indonesia dengan Jepang sangat terbuka lebar untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat berlimpah namun pangsa pasar ke kancah internasional sangat sedikit. Oleh karena itu, usaha untuk mengembangkan jaringan Agrobisnis dan agroindustri bagi Indonesia utamanya untuk menembus pasar jepang sangatlah penting untuk dilakukan. lebih jauh lagi, kemajuan Jepang sendiri dalam membangun bangsa dan negaranya, tentu sangat terkait dengan penguatan komponen – komponen jaringan Agrobisnis dan agroindustri yang telah dibangun sejak lama. 2.
KOMPONEN-KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM JARINGAN AGROBISNIS DAN AGROINDUSTRI 177
Dalam membuat jaringan agrobisnis dan agroindustri, keterlibatan beberapa komponen tetap harus diperhatikan. Berikut skema komponen yang terlibat:
Investor dan Pengusaha
Kelembagaan dan Asosiasi :
HIPMI, HKTI, Koperasi
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan
Petani, peternak , nelayan
Perg. tinggi. dan Lembaga riset pemerintah maupun swasta
Perbankan sebagai penyedia modal
Konsumen dalam dan luar negeri
Gambar 1. Sinkronisasi Fungsi antara Komponen-komponen Penggerak Berdasarkan skema yang ada di atas, penulis akan mencoba menggali fungsi dan tugas masing – masing dari tiap komponen yang ada. Pemerintah pada dasarnya memiliki peranan yang sangat utama dibandingkan dengan komponen yang lainnya yang secara prinsip berperan dalam penentuan kebijakan – kebijakan regulasi yang tidak boleh dilanggar. Kebijakan regulasi ini seyogyanya menjadi pedoman bagi pelaku bisnis dan menjadi tantangan pemerintah dalam proses implementasinya yang pada akhirnya akan berdampak pada kredibilitas pemerintah itu. Jika ditelaah lebih jauh, fungsi pemerintah terbagi ke dalam 2 sasaran utama yaitu internal dan eksternal. Fungsi internal pemerintah berupa penentuan kebijakan– kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat seperti : (1) Regulasi perbankan terhadap petani, peternak, dan nelayan; (2) Regulasi lembaga– lembaga terkait (pengusaha dan kelompok–kelompok lainnya); (3) Regulasi pemerintah terhadap investor lokal; dan lain–lain . Sedangkan peran pemerintah dari sisi eksternal itu lebih banyak mengarah pada penciptaan perjanjian kerjasama yang tentunya akan lebih membuka aspek pasar internasional. Terciptanya perjanjian (Memorandum of understanding/Mou) antara pemerintah dengan negara lain seperti Jepang, akan mampu mendorong prestasi peningkatan pendapatan masyarakat dan akan mengurangi angka kemiskinan masyarakat Indonesia sebagai negara agraris. Hal irttni telah dijelaskan oleh Mangunwidjaja dan Sailah (2005) dalam kaitannya dengan pembangunan suatu negara agraris seperti Indonesia, bahwa pembangunan agroindustri oleh para ahli diyakini sebagai fase pertumbuhan yang dilalui untuk menuju ke tahapan industri. Implementasi yang baik dan sesuai dengan regulasi yang ditentukan, akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap komponen – komponen yang lainnya. Berbicara mengenai keberhasilan Jepang, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengetahui bagaimana kualitas pendidikan petani, peternak, dan nelayan Jepang yang dijadikan sebagai kunci dasar keberhasilan pembangunan jaringannya. Kualitas pendidikan petani, peternak, dan nelayan Jepang sangatlah baik dan menjadi indikator yang tak ternilai jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan yang dimiliki oleh petani, peternak, dan nelayan Indonesia. Petani, peternak, dan nelayan Jepang memiliki latarbelakang pendidikan S1, S2, dan semuanya berani mengimplementasikan keilmuan yang telah diperoleh dengan didukung oleh kelembagaan petani secara umum. Hal ini sangatlah berbeda dengan petani, peternak, dan nelayan Indonesia yang hanya berlatarbelakang pendidikan SD, SMP, serta SMA. Masyarakat Indonesia yang berlatarbelakang pendidikan pertanian, peternakan, perikanan, serta kelautan cenderung tidak mengimplementasikan keilmuannya karena faktor gengsi yang terdapat dalam budaya masyarakat Indonesia. Selain itu, iming – iming PNS dari pemerintah juga sangat berpengaruh besar terhadap masalah ini. 178
Selain itu, kendala lain yang menjadi penghambat pembangunan jaringan Agrobisnis dan agroindustri di Indonesia adalah motivasi dan pendanaan. Motivasi petani, peternak dan nelayan Indonesia secara umum masih sangat rendah. Penyebabnya adalah keuntungan atau materi yang diperoleh dari sektor tersebut sangatlah kurang jika dibandingkan dengan sektor – sektor lain seperti pertambangan. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang sebelumnya bergerak pada sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kelautan beralih profesi menjadi karyawan pada perusahaan – perusahaan besar walaupun pada kenyataannya keahlian masyarakat tersebut kontradiktif dengan kondisi yang ada. Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah membangun satu peradaban pertanian, peternakan, perikanan, dan kelautan yang dulunya primitif menjadi peradaban modern (industrialisasi). Untuk mengatasi hal tersebut, maka usaha yang dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran perguruan tinggi sebagai pusat informasi teknologi baru seperti yang dilakukan oleh Jepang. Perguruan tinggi yang ada di Jepang memiliki sinkronisasi fungsi dengan masyarakat dan dalam kurikulum pendidikannya terdapat cakupan dunia usaha yang mampu membuka cakrawala berpikir mahasiswanya. Selain itu, pergurunan tinggi juga sangat rajin melakukan interview langsung dilapangan guna mencari masalah yang harus segera diselesaikan. Untuk memecahkan masalah tersebut dan menjadikan sistem yang ada di Indonesia sepadan dengan jepang dibutuhkan dana yang cukup besar. Oleh karena itu, peran perbankan sebagai Penyedia modal tidak boleh dikesampingkan dan harus dijalankan bersama sesuai dengan kebijakan yang ditentukan. Penentuan dan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan menjadi pemicu dan pemacu pembangunan jaringan Agrobisnis dan agroindustri utamanya. Sebab, pengurusan pengucuran dana bantuan dan pinjaman yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat menjadi sangat mudah dan tentunya dengan bunga yang sangat kecil. Kendala yang juga sering dihadapi adalah jaminan sebagai persyaratan pinjaman. Peran perbankan yang baik akan menjadi salah satu sebab tumbuhnya pengusaha yang berperan sebagai mobilisator perdagangan. Sistem yang diperbaiki mulai dari kebijakan yang sangat berpengaruh terhadap komponen – komponen lainnya utamanya peningkatan kualitas pendidikan petani, peternak, serta nelayan khususnya dan pada akhirnya akan mengubah paradigma masyarakat yang dulunya pesimis dalam sektor ini menjadi optimis dalam membangun peradaban pertanian secara umum yang nyata. Keberhasilan dalam memperbaiki sistem akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Pada dasarnya, iklim investasi merujuk pada semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa yang akan datang, yang dapat mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Secara umum beberapa alasan utama mengapa investor masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah ketidakstabilan ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi, (oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat), keamanan negara tidak menentu, perizinan usaha, regulasi pasar tenaga kerja dan keterbatasan infrastruktur (Daryanto, 2009). 3. GRAND SCENARIO MEMBENTUK DAN MEMBANGUN JARINGAN AGROBISNIS DAN AGROINDUSTRI DENGAN LUAR NEGERI TERUTAMA JEPANG Pembentukan grand scenario dalam pembuatan jaringan dalam kaitannya Agrobisnis dan agroindustri sangat penting. Grand scenario dirancang dan dibentuk untuk menjadi pedoman kerja pembentukan jaringan, baik yang berskala nasional maupun internasional. Untuk menembus pasar Jepang, maka beberapa langkah dalam grand scenario yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. 179
3.1. Membangun Jaringan Kerja Sama dalam Negeri Jaringan kerjasama agrobisnis adalah sebuah jaringan yang terfokus pada sektor pertanian dalam arti luas. Mulai dari sub sektor hortikultura, tanaman pangan, berkembangnya komunitas – komunitas petani, peternak, nelayan dan petani ikan, menuju terbentuknya lembaga – lembaga koperasi dan asosiasi bagi masing –masing komoditas. Komunitas – komunitas dan lembaga ini diharapkan bisa membangun jaringan kerjasama fungsional secara horizontal sesama petani, vertikal dengan asosiasi bersama pemerintah serta sektor dan bidang lain. Selain itu, para pelaku Agrobisnis juga akan didorong untuk membangun jaringan hulu, tengah, hilir dan hubungan kecil, sedang, besar secara sehat dan saling menguntungkan di dalam negeri. Pembuatan jaringan kerjasama tersebut di atas harus dilakukan. Urgenitas dari pembuatan jaringan sangatlah tinggi yang diantaranya : a. Memudahkan akses informasi yang akan diperoleh oleh masyarakat terutama informasi pemasaran b. Memudahkan kontrol kerja dan prestasi masyarakat sebagai pengumpul produksi c. Memudahkan pelaku pasar dalam menembus pasar – pasar nasional maupun luar negeri terutama Jepang 3.2. Membuat Jaringan Kerja Sama Antar Negara Jaringan kerjasama pada prinsipnya sangat membantu dalam menyukseskan kegiatan ekspor – impor yang dilakukan Indonesia. Khususnya untuk kegiatan ekspor, urgenitas dari pembuatan jaringan ini antara lain : a. Memudahkan akses pasar luar negeri b. Memudahkan pelaku pasar nasional untuk menembus pasar – pasar internasional utamanya negara Jepang dan negara – negara maju lainnya di dunia. c. Memudahkan dalam membentuk hubungan bilateral dan multilateral 3.3. Regionalisasi Krisis ekonomi Indonesia saat ini setidaknya membuat bangsa Indonesia lebih memperhatikan secara lebih serius dalam pengembangan Agrobisnis nasional. Di satu sisi, sebagaimana disinyalir oleh banyak pakar pertanian, bahwa pembangunan sektor pertanian pada era baru masih terkonsentrasi hanya pada upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras. Sementara itu, pengembangan sub sektor pertanian lainnya seperti holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan juga kelautan masih relatif terbengkalai padahal pada komoditi tersebut Indonesia memiliki berbagai keunggulan komparatif dan bahkan keunggulan kompetitif untuk masuk dalam pasar internasional. Berbagai potensi dan keunggulan yang dimiliki masih belum optimal termanfaatkan. Ketidakmampuan dalam mengembangkan dan memasarkan produk Agrobisnis menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan domestik maupun peluang ekspor produk Agrobisnis berkualitas. Hal ini menyebabkan defisit neraca perdagangan Indonesia yang kemudian menjadi salah satu faktor utama pemicu krisis berlangsung. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu ditelusuri langkah terobosan strategis guna meningkatkan kinerja pemasaran produk Agrobisnis nasional khususnya di pasaran internasional. Membaiknya kinerja pemasaran ini diyakini akan berdampak sangat kuat pada upaya pengembangan sektor produksi dalam negeri, baik dalam konteks kuantitas, kualitas, variabilitas dan kontinuitas. 180
3.4. Mengadakan Lokakarya Internasional Lokakarya internasional merupakan sarana atau media untuk memperkenalkan agrobisnis di penjuru dunia, karena agrobisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan "hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa Agrobisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Agrobisnis dengan perkataan lain adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Sebagai subjek akademik, Agrobisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran. 3.5. Melakukan Publikasi Melalui Media Dalam dan Luar Negeri Menjelang akhir abad 20terjadi perubahan yang cukup drastis bagi dunia bisnis yaitu dengan adanya media teknologi informasi internet sebagai media alternatif untuk menjalin kontak bisnis diseluruh dunia. Teknologi internet membawa perubahan radikal dalam dunia bisnis yaitu informasi bisnis dari seluruh dunia dapat diakses hanya dari sebuah komputer di meja kerja kantor sendiri, dirumah bahkan diperjalanan dengan menggunakan handphone terbaru serta dapat berkorespondensi dengan menggunakan e-mail. Informasi yang diperoleh serupa penawaran produk dari luar negeri maupun dalam negeri dapat langsung dilanjutkan dengan transaksi secara on-line yaitu langsung memesan dan membayar melalui komputer sendiri tentu dengan syarat pembayaran menggunakan kartu kredit. Dengan demikian, teknologi internet telah mendobrak batasan ruang, jarak dan waktu dalam transaksi bisnis dengan mitra bisnis diseluruh dunia. Namun disisi lain pemakaian internet khususnya dibidang Agrobisnis belum banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis di Indonesia. Hal ini terbukti dengan sedikitnya permintaan atau penawaran dari Indonesia yang tampil pada website World Trade Center di beberapa negara seperti Korea maupun Hongkong sedangkan pelaku Agrobisnis dari Pakistan, India dan beberapa negara di Afrika aktif mengisi ruang offer to buy maupun offer to sell. Guna mensosialisasikan website Agrobisnis yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku Agrobisnis di Indonesia, sebaiknya pemilik website Agrobisnis di Indonesia seperti departemen-departemen maupun asosiasiasosiasi pengusaha secara aktif menginformasikan keberadaan websitenya melalui media massa, seminar, diklat Agrobisnis maupun terjun langsung kepada koperasi Agrobisnis. 3.6. Menajamkan Fungsi Saluran Pemasaran Pemasaran adalah merupakan kegiatan untuk memindahkan barang atau jasa dari produsen ke konsumen. Fungsi pemasaran yang dilakukan meliputi: pembelian, penjualan, pengangkutan, pergudangan, pembiayaan, penanggungan resiko, dan standarisasi serta informasi pasar. Menurut Downey dan Erickson, 1992 bahwa penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir sering dinamakan sebagai saluran pemasaran. Jenis dan kerumitan saluran tersebut tergantung pada jenis komoditinya. Kotler dalam Soekartawi (1993) mengatakan bahwa ada lima faktor yang menyebabkan mengapa pemasaran itu penting diantaranya adalah : 1) jumlah produk yang dijual menurun, 2) Pertumbuhan penampilan perusahaan juga menurun, 3) Terjadinya perubahan yang diinginkan konsumen, 4) Kompetisi yang semakin tajam, 5) terlalu besarnya pengeluaran untuk penjualan. Swastha dan Sukotjo (1983) mengemukakan bahwa ada lima macam saluran dalam pemasaran masing-masing konsumsi yaitu : 181
1. Produsen
Konsumen akhir
2. Produsen
Pengecer
Konsumen akhir.
3. Produsen
Pedagang besar
Pengecer
Konsumen akhir.
4. Produsen
Agen
Pengecer
Konsumen akhir
5. Produsen
Agen
Pedagang besar
Pengecer
Konsumen akhir
Pada hakekatnya pemasaran pertanian mencakup pasar hasil produksi pertanian dan pasar sarana produkasi yang diperlukan oleh petani. Sistem pemasaran dianggap efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu : 1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya semurah mungkin, 2) Mampu mengadakan pembagian yang adil dari pada keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan tataniaga. 4. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pemerintah Indonesia seyogyanya mencontoh Jepang dalam membangun jaringan Agrobisnis dan Agroindustri sebagai home based ketahanan pangan nasional. 2. Perlu pengkajian tentang kebijakan pemerintah ini tentang impor komoditi pertanian dalam arti luas. 3. Peluang Agrobisnis dan Agroindustri dengan Jepang sangat tinggi, hanya saja persyaratan – persyaratan seperti kualitas, kuantitas, safety product dan lain – lain harus dipenuhi atau dipersiapkan. REFERENSI Anonim, 2011. Agrobisnis. http://id.wikipedia.org/wiki/Agrobisnis. Diakses tanggal 26 juni 2011 Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor Didu, M.S. 2000. Mencari Format Baru Agroindustri Millenium III. Journal.ipb.ac.id diakses tanggal 25 juni 2011. Downey, W.D. dan Erickson S.P 1992. Manajemen Agrobisnis. Edisi kedua, Erlangga, Jakarta. Fatah, L. 2007. The Potentials of Agro-Industry for Growth Promotion and Equality Improvement in Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development, Vol. 4, No. 1 Lewis, W.A. 2000. Development Strategy in a Limping World Economy. New York: Oxford University Press. Mangunwidjaja, D dan Sailah, I. 2005. Pengantar Teknologi Pertanian. Penebar Swadaya. Depok Ruttan, V.W. and Y. Hayami. 1984. Induced Innovation Model of Agricultural Development. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Saragih, B. 1998. Agrobisnis, Pardigma Baru Pembangunan EKonomi Berbasis Pertanian. Penerbit Yayasan Mulia Persada Indonesia dan PT. Surveyor Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 182
Soekartawi, . 1993. Agrobisnis Teori dan Aplikasinya. CV. Radjawali, Jakarta. Swastha, B. Dan Sukotjo. I. 1983. Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern. Libarty, Yogyakarta. Udo, H. M. J. and Brouwer, B. O. 1991. Consepts and Practices for systematically analysing the livestock component of farming system. Livestock and feed development in the tropics, proceedings of the international seminar. Brawijaya University, Malang Indonesia.
183
MEMBANGUN BLOG SEBAGAI MEDIA KONSULTASI ONLINE DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN PENGETAHUAN : KASUS BIOTEKNOLOGI PERTANIAN DAN KOMODITAS CABAI Andi Hasad, Nur Husna Nasution dan Kudang Boro Seminar
[email protected];
[email protected];
[email protected] Sekolah Pascasarjana IPB, Departemen Ilmu Komputer ABSTRACT Blogis one of communication mediabased on informationandcommunicationtechnologies which arepopularnowadays.The objectiveofblog constructionis as a consultationmediainthe field ofagriculturetoovercome thelimitations ofinformationandknowledgefaced by farmers. Consultation mediais builtby usingweblogsin the domainof Bogor Agricultural Institute (IPB)and can beaccessed online. This blog isequipped with Content ManagementSystem (CMS) as a medium, whether usingsynchronoustechnology(online chat) andasynchronoustechnologies(comments and emails), so thatblogvisitors caninteractanddiscusswith theadminandexperts. The result shows the existence of this blogto be suitableand appropriatemeansto shareknowledgeamongfarmers,experts, students, community, government, and thevariousstakeholderswho have interestinthe field ofagriculturalbiotechnologyandchili. Inthe future, farmers canuse blogsfor thepurposes oftheir business and blogs can make farmers asagribusinessagriculture actors(directusers). Keywords: blog, knowledge, farmers, agricultural biotechnology, chili. 1. PENDAHULUAN Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi semakin berkembang pesat.Perkembangan ini meliputi software dan hardware, yang memungkinkan setiap orang untuk mengakses informasi tersebut dimana pun dan kapan pun.Tempat dan waktu bukan lagi penghalang untuk mendapatkan dan melakukan pertukaran informasi. Kemudahan ini dimungkinkan dengan adanya teknologi internet, yang menghubungkan setiap orang maupun perusahaan di seluruh dunia dalam suatu jaringan komputer internasional. Salah satu media komunikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang populer digunakan saat ini adalah blog. Media blog pertama kali dipopulerkan oleh Blogger.com, yang dimiliki oleh PyraLab sebelum akhirnya PyraLab diakuisi oleh Google.Com pada akhir tahun 2002 yang lalu. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasiaplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan kepada perkembangan para penulis blog tersebut. Situs-situs web yang saling berkaitan berkat weblog, atau secara total merupakan kumpulan weblog sering disebut sebagai blogosphere. Pembangunan blog sebagai media konsultasi dalam bidang pertanian, tidak hanya terbatas pada informasi komoditas pertanian saja, melainkan sudah difokuskan pada sharing teknologi yang dapat menciptakan sifat-sifat komoditas yang unggul seperti yang diinginkan oleh konsumen. Pemasalahan yang dihadapi para petani dalam rangka mengimplementasikan teknologi dalam bidang ini, salah satunya adalah kurangnya 184
informasi dan pengetahuan terkait dengan bidang tersebut. Untuk memecahkan permasalahan ini maka perlu dibangun suatu media konsultasi yang dapat diakses secara online, yang dilengkapi berbagai fasilitas agar para pengunjung (petani, mahasiswa, pengusaha, pemerintah dan masyarakat umum) dapat berinteraksi dan berdiskusi dengan admin dan para pakar. Media konsultasi ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi dan pengetahuan para petani dalam rangka peningkatan hasil dalam kegiatan pertanian, yang pada akhirnya dapat menunjang dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, khususnya para petani. Dalam makalah ini, media konsultasi yang dimaksud adalah media yang dikembangkan dengan implementasi berbasis webblog yang berada dalam domain webblog IPB yang dapat diakses dari tempat-tempat yang berbeda, dimana saja dan kapan saja, melalui akses internet. Informasi dan pengetahuan akan dapat disediakan secara real time dan diperbaharuisecara berkala. Dalam perkembangannya, diharapkan blog ini memberikan kontribusi yang nyata dalam membangun media sharing pengetahuan dan konsultasi pada bidang pertanian, dapat memberikan informasi, tacit knowledge maupun explicit knowledge dan transformasi dari kedua pengetahuan tersebut serta mampu mensinergikan pemanfaatan teknologi informasi dengan pengetahuan pada bidang bioteknologi pertanian dan komoditas tanaman cabai. 2. TINJAUAN LITERATUR 2.1. Blog Blog merupakan singkatan dari “web log” adalah bentuk aplikasi web yang berisi tulisan yang dimuat sebagai posting pada sebuah halaman web, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, sehingga memungkinkan pengelola blog (admin) dan pengunjung blog dapat saling berinteraksi. Blog dapat diakses secara gratis oleh semua pengunjung internet sesuai dengan topik dan tujuan dari pembuatan blog tersebut.Blog dibuat oleh para desainer penyedia blog agar dapat menyajikan informasi secara cepat, mudah diakses, bebas biaya dan dapat diperbaharui oleh admin blog secara berkala. Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam, dari sebuah catatan harian, media konsultasi, media publikasi dalam sebuah kampanye politik, media petunjuk dengan menyediakan berbagai link, sampai dengan program-program media dan perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis. Blog yang baik memiliki fasilitas terjemahan multi bahasa dan fasilitas untuk berinteraksi dengan para pengunjungnya, seperti fasilitas chat, dan kolom comment yang dapat memperkenankan para pengunjungnya untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan (Hasad, 2011). 2.2. Manajemen Pengetahuan Randeree (2006) menyatakan bahwa manajemen pengetahuan semakin berperan penting dalam bisnis dari banyak organisasi, karena mereka menyadari bahwa daya saing tergantung pada manajemen sumber daya intelektual yang efektif. Manajamen pengetahuan merupakan sebuah sistem manajemen yang menangkap aspek model mapan organisasi dan memperluasnya untuk menyediakan metodologi praktis. Konsep khusus mengenai manajemen pengetahuan adalah sebagai alat manajemen yang ditandai dengan seperangkat prinsip bersama dengan serangkaian praktek dan teknik melalui prinsip-prinsip yang diperkenalkan, tujuannya yakni untuk membuat, mengubah, menyebarkan dan memanfaatkan pengetahuan. 185
2.3. Sumber Pengetahuan Pada sistem manajemen pengetahuan atau Knowledge Management System (KMS) dikenal istilah tacit knowledge dan explicit knowledge (Elias M. Awad, Hassan M. Ghaziri, 2004). Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang pada umumnya belum terdokumentasi, karena pengetahuan ini masih ada pada keahlian atau pengalaman seseorang. Tacit Knowledge dapat berupa ide-ide, gagasan yang tidak langsung dapat ditangkap dan masih terletak dalam pikiran seseorang (pakar). Tacit Knowledge berhubungan dengan hal-hal yang bersifat praktek, dimana transfer knowledge tersebut masih dilakukan dengan cara sosialisasi langsung. Tacit Knowledge dapat didokumentasikan, tetapi membutuhkan penjelasan rinci agar tidak terjadi kesalahpahaman kepada orang yang membaca dokumentasi dari pengetahuan tersebut. Sebaliknya explicit knowledge adalah pengetahuan yang formal, sistematis dan mudah untuk ditransfer atau dibagikan ke orang lain dalam bentuk dokumentasi, karena umumnya merupakan pengetahuan yang bersifat teori dimana memudahkan para ahli untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain melalui buku, artikel dan jurnal tanpa harus datang langsung untuk mengajari orang tersebut (Seminar, 2011). 2.4. Transfer Knowledge Transfer antara tacit knowledge dan explicit knowledge kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi atau perusahaan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: a. Socialization (tacit to tacit) Tacit knowledge dishare kepada orang lain dengan cara mengamati, mencontoh dan melatih tanpa mendokumentasikan dan mempublikasikan knowledge tersebut. b. Externalization (tacit to explicit) Tacit knowledge dishare dengan cara mendokumentasikan secara logis dan konseptual, sehingga mudah untuk dimengerti orang lain. c. Combination (explicit to explicit) Explicit knowledge yang sudah dimiliki dan eksternal knowledge dikombinasikan untuk mengembangkan explicitknowledge yang sudah ada. d. Internalization (explicit to tacit) Explicit knowledge yang sudah ada dipelajari dan dipraktekkan untuk mendapatkan tacit knowledge yang baru dan bermanfaat. 2.5. MetodologiKMS Tahapan dari Knowledge Management System Life Cicle (KMSLC) sebagai berikut :
186
Evaluate Existing Infrastructure
Form the KM Team
Knowledge Capture
Iterative
Design KMS Blueprint Verify and Validate the KM System
Implement the KM System
Manage Change and Rewards Structure
Post-System Evaluation
Gambar 1. Tahapan KMSLC Metodologi KMS diawali dengan melakukan evaluasi pada infrastruktur pertanian. Kemudian membentuk Tim KM. Tahap selanjutnya, melakukan knowledge capturing dengan berbagai tools yang tersedia, mendesain KMS Blueprint, melakukan verifikasi dan validasi sistem Knowledge Management (KM) dimana pada tahap ini dapat terjadi iterasi, jika verifikasi dan validasi sistem tidak tepat maka akan kembali ke tahap desain KMS Blueprint. Tahap berikutnya adalah menerapkan KMS, mengatur jika terjadi perubahan dan struktur, dan tahap terakhir adalah melakukan evaluasi post – system(Elias dan Hassan, 2004).Fase KMS meliputi : a. Capturing Knowledge, tahap ini secara implicit terkait dengan bagaimana para petani dapat mendapatkan pengetahuan dari berbagai kumpulan data yang ada maupun pengetahuan yang sudah ada pada para pakar pertanian. Dari beberapa teknik capturing knowledge, yang dapat digunakan antara lain : Interview Dalam prakteknya, aktivitas wawancara dapat dilakukan dengan mewawancarai para peneliti (pakar) pertanian, penyuluh pertanian dan dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) atau melalui media elektronik berbasis internet ( email atau chatting). On-site Observation (Action Protocol) Dalam prakteknya, on-site observation : dilakukan langsung kepada salah satu atau semua pakar pertanian, atau dapat juga dilakukan dengan mengamati website masing-masing pakar. Brainstorming (Conventional & Electronic) Dalam prakteknya, brainstorming : dapat dilakukan dengan cara diskusi dengan penyuluh, mengundang pakar pertanian dalam negeri, dan kalau diperlukan mendatangkan pakar dari luar negeri sebagai pembanding, bisa dilakukan electronic brainstorming, misalnya dengan menggunakan Facebook atau Yahoo Group. Consensus DecisionMaking 187
Para pakar pertanian yang terlibat di dalamnya Tim KMS diminta melakukan voting untuk menghasilkan solusi alternatif yang akan dipilih menjadi solusi terbaik bagaimana cara mengatasi permasalahan yang ada. b. Discovery knowledge, tahap ini terkait dengan explicit knowledge. Pengetahuan yang sudah dicapture kemudian dianalisis dengan menggunakan salah satu teknik, misalnya menggunakan analisis data statistik, analisis numerik atau data mining; untuk mengklasifikasikan (classification) atau mengklasterkan (clustering) berbagai data dan parameter yang digunakan. c. Transfer Knowledge, tahap ini dilakukan dengan melakukan transfer pengetahuan dari para expert (ahli) ke para petani, atau mentransfer pengetahuan bagaimana menggunakan sebuah mesin pertanian sesuai manual book dari tim support vendor mesin pertanian ke petani, atau kelompok tani. d. Sharing Knowledge, tahap ini dapat dilakukan dalam bentuk memberikan seminar atau pelatihan kepada para petani, diskusi, membuat simulasi mesin pertanian, atau menyediakan informasinya menggunakan media internet (website). 2.6. Bioteknologi Pertanian Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa. Bioteknologi menawarkan suatu solusi untuk mengembangkan pertanian diIndonesia.Peningkatan kualitas bahan tanam melalui bioteknologi berdasarkan pada empat kategori peningkatan: peningkatan kualitas pangan, resistensi terhadap hama atau penyakit, toleransi terhadap stress lingkungan, dan manajemen budidaya. Keuntungan dalam menggunakan bioteknologi ini dalam pertanian adalah potensi hasil panen yang lebih tinggi, mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida, pemanfaatan lahan marjinal, identifikasi dan eliminasi penyakit di dalam makanan ternak, kualitas makanan dan gizi yang lebih baik, dan perbaikan defisiensi mikronutrien.Bioteknologi merupakan sebuah revolusi teknologi yang dapat memberikan kontribusi penting dalam pencapaian sasaran produksi pertanian dan diharapkan dalam penerapan bioteknologi pertanian dapat menjamin keamanan dan ketahanan pangan (Hasad, 2011). 2.7. Komoditas Tanaman Cabai Kualitas suatu produk pertanian ditentukan oleh proses budidayanya, salah satu diantaranya adalah perlindungan tanaman cabai besar merah (Capsicum annuum L.) terhadap penyakit dan hama. Serangan penyakit dapat menimbulkan kerugian dalam kualitas maupun kuantitas. Tingkat kerugian atau kehilangan hasil panen cabai yang dapat ditaksir akibat serangan penyakit busuk daun adalah sekitar 30%, 17 % akibat penyakit bercak daun dan 5 % kehilangan hasil akibat serangan embun tepung. Untuk meminimalkan kerugian maka serangan penyakit perlu dikendalikan secara tepat dan cepat sesuai dengan jenis penyakitnya. Untuk jenis penyakit dan hama pada cabai merah besar pada saat ini ada 12 macam dengan gejala penyakit ada yang menyerupai tapi nama penyakit dan hamanya berbeda. Karena itu diperlukan Identifikasi jenis penyakit beserta pengendaliannya dapat dilakukan oleh orang yang telah berpengalaman hanya dengan memperhatikan gejala atau serangkaian gejalanya saja. Dalam hal ini peran seorang pakaratau penelitisangat 188
diandalkan untuk mendiagnosa dan menentukan jenis hama dan penyakit serta memberikan contoh cara penanggulangan guna mendapatkan solusi terbaik. Demikian pula jika ditemukan adanya jenis hama dan penyakit baru pada tanaman tersebut, maka seorang peneliti harus melakukan penelitian guna mendapatkan keterangan-keterangan dari hama atau penyakit baru tersebut dan secepat mungkin memberikan sosialisasi kepada para petani atau kelompok tani mengenai jenis hama dan penyakit baru tersebut beserta cara penanganannya (Ginanjar, 2010). 2.8. Penerapan Manajemen Pengetahuan Penerapan pengelolaan manajemen pengetahuandalam dunia pertanian secara umum akan dapat memberikan keuntungan kepada petani, peneliti, dunia usaha, pemerintah dan masyarakat umum dari sisi efisiensi, produktifitas, kualitas dan inovasi. Dengan memiliki akses terhadap manajemen pengetahuansemua pihak dapat memperbaiki sesuatu yang salah yang selama ini dilakukan, melakukan pengambilan keputusan yang tepat dengan kondisi yang ada dan memiliki kerjasama yang baik. Salah satu faktor utama penentu dari berjalannya manajemen pengetahuanadalah terjadinya aliran informasi (contoh kasus blog tanaman cabai) yang dapat dirangkum sebagai berikut : a. Petani memberikan informasi gejala-gejala penyakit cabai kepada peneliti b. Peneliti akan memberikan informasi mengenai penyebab dan penanggulangan penyakit c. Petani akan memberikan informasi kuantitas panen kepada dunia usaha d. Pemerintah menentukan nilai beli dan jual terhadap cabai e. Dunia usaha akan membeli cabai dari petani sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah f. Peneliti akan memberikan informasi ke petani, dunia usaha dan pemerintah berkenaan dengan pengembangan dan perkembangan teknologi dalam pertanian cabai. Aliran informasi tersebut diatas dapat berupa tacit knowledge ataupun explicit knowledge. Penyampaian informasi tacit, explicit ataupun tacit menjadi explicit sebaiknya dibentuk dengan menggunakan teknologi informasi. Pembangunan blog menjadi sarana bagi petani, peneliti, dunia usaha, pemerintah dan masyarakat umum dalam proses pertukaran informasi tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu (Nasution, 2011). 3. BLOG SEBAGAI MEDIA KONSULTASI ONLINE 3.1. Pemodelan Sistem Pemodelan sistem blog sebagai media konsultasi online dapat dilihat pada gambar 2.
189
Informasi Konten , Komentar, Chat, Email
Hasil Posting Konten, Komentar, Chat,
Sistem Informasi Blog
Pengunjung Blog
Email
Admin Blog
Baca Konten, Respon Komentar, Respon Chat, Email
Posting Konten, Respon Komentar, Respon Chat, Reply Email
Gambar 2. Context diagram blog Keterangan:
Pengunjung merupakan entitas atau pihak yang akan mengakses informasi pada blog, seperti para petani, pemerhati / pakarpertanian atau masyarakat.
Sistem Informasi Blog merupakan proses yang (penambahan, pengeditan dan penghapusan data)
Konten, komentar, chat merupakan aliran data dari pengunjung ke sistem informasi blog
Baca Konten, Respon Komentar, Respon Chat merupakan aliran data dari sistem informasi blog ke pengunjung
Posting Konten, Respon Komentar, Respon Chatmerupakan aliran data dari admin ke sistem informasi blog
Hasil Posting Konten, Komentar, Chatmerupakan aliran data dari admin ke sistem informasi blog
Email merupakan aliran data dari pengunjung kesistem informasi blog
Respon Email merupakan aliran data dari admin ke pengunjung melalui sistem informasi blog.
melakukan
manipulasi
data
3.2. User Interface Blog Blog untuk media konsultasi bioteknologi pertanian dan komoditas cabai dapat diakses di http://andi.hasad10.student.ipb.ac.id, http://nur.nasution10.student.ipb.ac.iddan http://cabe.ipb.ac.id, seperti yang terlihat pada gambar 3, 4 dan 5.
190
Gambar 3. Blog Media Konsultasi Bioteknologi Pertanian
Gambar 4. Blog Media Konsultasi Komoditas Cabai
191
Gambar 5. Sistem Konsultasi OnlineAgribisnis Cabai User Interface Blogpada blog bioteknologi pertanian (gambar 3) sebagai berikut : a. Judul Blog Judul blog ini memberikan informasi pada masyarakat bahwa blog ini berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi antara masyarakat yang tertarik dengan bidang bioteknologi pertanian dengan para pakar pertanian yang membidangi bidang tersebut. Diharapkan ada interaksi dua arah dari pengunjung blog dan pengelola blog, baik berupa saran, kritik atau ikut berpartisipasi memberikan konten untuk dimuat di halaman isi. b. Konsultasi
Admin : berisi informasi terkait dengan admin seperti nama dan alamt email
Konsultasi Bioteknologi : berisi ruang rubrik untuk tanya jawab terkait informasi bioteknologi pertanian atau yang relevan dengan teknologi di bidang pertanian.
Photo dan Video : berisi informasi berbagai photo dan video kegiatan yang berhubungan dengan bioteknologi pertanian seperti seminar, penyuluhan, pelatihan, dan lain-lain
c. Chat admin Fasilitas yang disediakan untuk dapat berkomunikasi secara langsung (sinkronous) kepada administrator d. Manajemen Pengetahuan Berisi informasi pengetahuan tentang bioteknologi yang sengaja di posting oleh administrator blog, baik merupakan informasi hasil dari tulisan/olahan sendiri, maupun informasi dari para pakar atau dipindahkan dari halaman web lain yang tentunya disertai dengan identitas sumber aslinya. Pada halaman ini, memungkinkan pengunjung untuk memberikan komentar yang bisa berupa pertanyaan, masukan ataupun saran. e. Beranda Berisi informasi terkait kajian, penelitian, pengembangan, dan implementasi pengetahuan bioteknologi pertanian dan informasi lain yang masih relevan. 192
f. Awan Topik Awan topik digunakan untuk link dan berisi kata kunci dari topik tulisan yang sudah diposting di dalam blog. g. Pencarian Menu pencarian digunakan untuk mencari informasi yang diprediksi ada dalam blog ini, baik pertopik maupun berupa kata kunci lebih dari satu kata. Ini akan membantu user untuk bisa mencari informasi yang dibutuhkan secara acak. h. Terjemahkan Blog ini dilengkapi terjemahan multi bahasa, sehingga memungkinkan pengunjung yang tidak mengerti bahasa Indonesia sekalipun (dari luar negeri) dapat mengerti bahasa yang digunakan dalam blog, dengan memanfaatkan fasilitas ini. i. Kategori Menu kategori ini digunakan untuk mencari informasi yang diprediksi ada dalam blog ini, sesuai dengan kategori topik yang sudah disediakan. Ini akan membantu user untuk bisa mencari informasi yang dibutuhkan secara acak. j. Arsip Menu arsip memuat semua informasi yang sudah dipost oleh administrator, dimana akan dikategorikan per bulan dan per tahun. Ini akan bermanfaat sebagai warehouse data ketika informasi sudah sangat banyak yang melebihi kapasitas blog. k. Tulisan Terkini Berisi semua informasi terbaru yang sudah di posting oleh administrator, sehingga memudahkan pengunjung untuk mengetahui informasi yang baru. l. Komentar Terkini Menu ini memberikan informasi kepada semua pengunjung termasuk admin tentang adanya komentar dari pengunjung baik berupa pertanyaan maupun masukan atau saran. m. Pengunjung Menu ini memberikan informasi bahwa jumlah pengunjung yang telah mengupdate informasi dari blog ini. n. Link Menu link ini digunakan untuk mengakses link-link web yang telah terhubung dengan blog (blogroll) ini guna memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan pengunjung yang berasal dari luar yang masih relevan. o. Kalender Memberikan informasi kepada pengunjung terkait hari, tanggal, bulan, dan tahun secara real time serta informasi yang telah di posting oleh administrator pada bulan yang berjalan. p. Rekam Jejak Blog Berguna sebagai alat untuk menghitung jumlah pengunjung unik yang mengakses ke blog (otomatis di-count oleh Google Analytic) Fasilitas-fasilitas yang dimiliki blog yang berbasis teknologi sinkronous (chat online) maupun asinkronous (comment dan email), dan dilengkapi fasilitas Content management System (CMS),memungkinkan para pengunjung blog dapat berinteraksi secara lebih intensif dengan pengelola blog dan para pakar bioteknologi pertanian. 193
3.3. Knowledge Map Blog Knowledge mapblog dapat dilihat pada berikut :
Gambar 6. Knowledge Map Proses knowledge map dimulai pada saat pakar memberikan pengetahuan tacit kepada tim admin blog melalui proses knowledge capture. Tim admin blog melakukan kodifikasi tacit knowledge dan dokumen penunjang untuk membentuk explicit knowledge yang akan diserahkan kepada administrator (admin) agar dimuat dalam konten blog. Setelah pengetahuan dimuat dalam blog, diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengguna (pengunjung blog), dan transfer tacit dan explicit knowledge kepada pengguna, tim admin blog, bahkan kepada pakar untuk pengembangan kepakarannya. 4. PENUTUP Filosofi dari pembangunan blog konsultasi online bioteknologi pertanian dan komoditas cabai dalam perspektifmanajemen pengetahuan adalah memberikan pengetahuan kepada pengunjung mengenai informasi dan pengetahuan terkini di bidang bioteknologi pertanian, komoditas cabai atau teknologi di bidang pertanian yang relevan dan memberi kemudahan serta kenyamanan pengunjung dalam berkomunikasi dengan pengelola blog (admin) dan para pakar, dengan menyediakan berbagai fasilitas Content management System (CMS) sebagai media konsultasi seperti tanya jawab antara petani dengan pakar dan komentar pengunjung blog, baik menggunakan teknologi sinkronous (chat online) maupun asinkronous (comment dan email). Keberadaan blog yang dibangun diharapkan dapat menjadi sarana yang sesuai dan tepat untuk menerapkan dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) kepada target pengetahuan, yaitu para petani, pengusaha, mahasiswa, pemerintah serta masyarakat umum, khususnya pada bidang bioteknologi pertanian dan tanaman cabai. REFERENSI Elias M. A., Hassan M. G., 2004. Knowledge Management. Prentice Hall, USA. 194
Ginanjar W. S., 2010. Aplikasi Sistem Pakar untuk Simulasi Diagnosa Hama dan Penyakit Tanaman Bawang Merah dan Cabai Menggunakan Forward Chaining dan Pendekatan Berbasis Aturan. Sekolah Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang. Hasad A. dan Sikki M. I., 2011. Rancangan Blog Media Konsultasi Bioteknologi Pertanian, Departemen Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor. http://andi.hasad10.student.ipb.ac.id, diaksestanggal 10Agustus 2011. http://cabe.ipb.ac.id, diakses tanggal 3 Oktober 2011. http://nur.nasution10.student.ipb.ac.id, diaksestanggal 10Agustus 2011. http://repository.ipb.ac.id, diaksestanggal 10Agustus 2011. Nasution N. H. dan Ichsani Y., 2011. Rancangan Blog Komoditas Cabai, Departemen Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor. Randeree, E. 2006. Knowledge Management: Securing the Future, Journal of Knowledge Management, 10(4), 145-156. Seminar K.B., 2011. Materi Kuliah Manajemen Pengetahuan, Sekolah PascasarjanaIPB, Departemen Ilmu Komputer, Bogor. SatzingerJ., 2007. System Analysis and Design in a Changing World. Thomson, USA.
195
KARAKTERISTIK PERUSAHAAN INOVATIF PADA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA Irene Muflikh Nadhiroh
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ABSTRACT In theera offree tradewith tight competition, the manufacturing industry is notonlyrequired to continue toproduceandcontribute, butalsotosurviveandcompetewithother products. Manufacturingcompaniesmust therefore continueto innovate. It is then necessary torecognizethe characteristicsofinnovativecompaniestobeused asa benchmark to provideappropriate policyrelatedtostrengtheningthissector. Using CHAID Analysis, this study attemptstodemonstratethe company's internalfactorsthatmostinfluenceacompany'sinnovationandthe charactersforminganinnovative company. The resultsof empiricalstudiesoninnovationsurvey data fromPAPPIPTEK-LIPI indicatethat, acquisition activity; internalR&Dandgreat influenceon thesourceinformationfrom theconference/trade exhibition have significant relation to innovationand become thevariablesformingcharacteristics ofinnovativecompanies. Keywords: Innovative Company, Internal Factor, CHAID Analysis, Manufacturing Industry 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan 1Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI), Indonesia saat ini berada pada peringkat 54 dari 137 negara. Posisi ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura (peringkat 3), Malaysia (peringkat 24) dan Thailand (peringkat 36). Pada 2Innovation Capacity Index, Indonesia berada pada peringkat 77 dari 135 negara. Posisi ini sangat jauh dibandingkan dengan Malaysia (peringkat 39) dan Singapura (peringkat 3). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia perlu memperkuat ekonomi berbasiskan pengetahuan seperti yang telah dilakukan oleh banyak negara maju untuk terus memperbaiki kemajuan ekonomi negaranya. Industri manufaktur merupakan salah satu sektor penggerak ekonomi Indonesia. Selain karena sektor ini merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja, sektor ini juga memiliki nilai tambah lebih tinggi dibandingkan sektor primer. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara adalah adanya peningkatan pangsa pasar industri manufaktur sebagai sektor sekunder. Data BPS memperlihatkan bahwa sumbangan sektor manufaktur terhadap PDB mengalami peningkatan dari sebesar 20,33% di tahun 1990 menjadi 27.06% di tahun 2007 (3BPS, 2008), tetapi sumbangan sektor ini di tahun-tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Sektor ini juga sempat mengalami penurunan cukup signifikan di masa krisis (1998-2001), bahkan saat itu lebih rendah dibandingkan sektor primer. Hal ini menunjukkan bahwa perlu ada perhatian khusus terhadap sektor ini, terkait dengan daya 196
tahan dan daya saingnya terutama dalam menghadapi era persaingan bebas yang semakin menuntut sektor industri untuk terus melakukan inovasi agar produknya dapat bersaing. Beberapa tahun terakhir banyak penelitian yang terkait dengan inovasi dari berbagai aspek, baik makro maupun mikro. Kajian yang dilakukan oleh 4Simamora dan Nadhiroh (2010) adalah melihat pola interaksi perusahaan industri manufaktur dalam melakukan kerjasama dalam mengembangkan inovasi. Tetapi di Indonesia belum ada penelitian yang secara khusus memberikan perhatian pada bagaimana karakteristik pada perusahaan manufaktur Indonesia yang inovatif. Penelitian serupa dilakukan oleh 5Medina dkk (2001) yaitu dengan mengeksplorasi karakter perusahaan inovatif untuk studi kasus di Spanyol. Penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada karakter struktur organisasi dan manajemen sebagai pembentuk perusahaan inovatif. Penelitian tersebut merupakan studi kasus terhadap 4 perusahaan inovatif dan dilakukan wawancara personal terhadap manajemen perusahaan terkait dengan kegiatan inovasi. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh 6de Mello dkk (2008), yaitu melihat bagaimana bentuk lingkungan organisasi perusahaan inovatif dari segi kultur, sumberdaya, kompetensi dan hubungan inter-organisasional. Penelitian tersebut pun merupakan penelitian studi kasus dari perusahaan di Brazil dengan menggunakan pendekatan kualitatif. 7Tether (2002) juga telah melakukan analisis empirik mengenai pola dan karakter perusahaan industri manufaktur di Inggris yang melakukan kegiatan kerjasama dan hubungannya dengan inovasi yang dilakukan perusahaan. 8Galende dan de la Fuente (2003) melakukan analisis perilaku inovatif dari sisi internal faktor perusahaan, penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku inovatif perusahaan dipengaruhi beberapa faktor seperti metode yang digunakan perusahaan dalam menghasilkan teknologi, sumber informasi perusahaan, akumulasi kemampuan perusahaan, tujuan umum perusahaan, mekanisme dalam melakukan perlindungan hasil kekayaan intelektual, dan jenis kegiatan litbang yang dilakukan. Sesungguhnya dalam menyusun strategi Sistem Inovasi Nasional, perlu dikenali karakteristik dari perusahaan manufaktur yang inovatif. Dengan mengenali karakter perusahaan inovatif, bisa dijadikan patokan untuk membuat kebijakan berupa insentif atau kegiatan yang membantu perusahaan tidak inovatif agar berubah menjadi perusahaan inovatif. Karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai apa karakteristik yang membedakan antara perusahaan inovatif dan perusahaan tidak inovatif. 1.2. Perumusan Masalah Pada kenyataannya terdapat perusahaan yang inovatif dan perusahaan tidak inovatif. Banyak pertanyaan yang muncul mengenai penyebab munculnya keragamanan ini. Terdapat banyak faktor yang membentuk suatu perusahaan menjadi perusahaan yang inovatif dan tidak inovatif. Faktor internal merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi karakter inovatif suatu perusahaan. Maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah apa faktor internal yang membentuk suatu perusahaan yang inovatif. 1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam menjadi perusahaan yang inovatif. 2. Mengidentifikasi karakteristik perusahaan inovatif industri manufaktur Indonesia. 1.4. Hipotesis Penelitian 197
Berdasarkan kepada studi literatur mengenai faktor internal dan karakter inovasi, hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah perusahaan yang inovatif didukung oleh faktor internal yang kuat. Perusahaan yang inovatif memiliki kemampuan internal yang memadai serta akses informasi yang baik. 2. TINJAUAN TEORI 2.1. Konsep Inovasi Walaupun telah begitu banyak literatur yang menjelaskan mengenai inovasi tetapi aspek kontradiksi dari masing-masing penelitian masih sangat tinggi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam melihat inovasi sebagai subjek penelitian. Setiap penelitian menggunakan terminologi dan konsep inovasi yang berbeda dalam mengukur dan membahas inovasi. Secara epistomologi, definisi kata inovasi adalah membuat sesuatu yang baru. 5Medina (2002) menyebutkan bahwa berdasarkan Quinn (1979), Tidd et all (1999) dan Ercosca dan Valls (2000) inovasi berkaitan dengan mengaplikasikan suatu ide baru atau solusi pada suatu yang lebih praktis. Sedangkan perubahan yang terjadi karna inovasi bisa bersifat teknik maupun non-teknologi seperti pemasaran, finansial, sosial (terkait dengan sumber daya manusia), administratif atau organisasional. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa suatu produk baru bisa disebut sebagai suatu inovasi bukan hanya sebagai sesuatu yang baru, tetapi juga harus sukses di pasar dan terjual secara efektif yang artinya memberikan keuntungan kepada perusahaan (Escorsa dan Valls (2000), Burgelman dan Sayles (1986) dalam 5Medina (2002)). 9Edquist (2001) menekankan perbedaan antara invensi dan inovasi, dimana invensi merupakan ide awal mengenai sesuatu produk baru atau metode baru, sedangkan inovasi merupakan komersialisasi dari ide tersebut. Beberapa penelitian juga menggunakan terminologi cakupan dari tingkat kebaruan hasil inovasi, Guellec (1999) dalam 5Medina (2002) menyebutkan bahwa ada dua tipe inovasi yaitu inovasi global dimana penemuan memberikan dampak pada ekonomi global; inovasi lokal dimana penemuan hanya berdampak secara terbatas pada tingkat perusahaan atau pasar dengan cakupan lebih sempit. Sedangkan konsep inovasi berdasarkan 10OECD dalam Oslo Manual (2005) dengan terminologi teknologi adalah mengenalkan produk, jasa, metode produksi atau proses produksi yang bersifat baru atau yang mengalami perubahan signifikan. Sedangkan inovasi yang bersifat non-teknologi adalah penerapan sesuatu yang baru pada metode pemasaran atau metode pengorganisasian pada perusahaan. Penelitian ini menggunakan konsep inovasi berdasarkan OECD dalam 10Oslo Manual (2005), karena konsep inovasi ini yang digunakan secara internasional dan dijadikan acuan dalam survei inovasi oleh negara anggota OECD dan negara lain yang adopsi panduan Oslo Manual dalam survei inovasinya. 2.2. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam perusahaan. Faktor internal sendiri terdiri dari banyak hal dan tidak dapat dipungkiri bahwa faktor internal sendiri dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor eksternal perusahaan. Berdasarkan sifatnya, faktor internal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tangible dan faktor intangible. Faktor tangible merupakan faktor yang mudah terukur. Dan bagaimana hubungan faktor tangible terhadap inovasi telah dibahas di banyak penelitian. 11Schumpeter (1932) telah menjelaskan bagaimana pengaruh skala usaha perusahaan terhadap kegiatan inovasi. Inovasi yang terjadi pada perusahaan dengan skala usaha besar didukung oleh kemampuan modal, resiko yang kecil, pasar yang besar dan peluang pengembangan yang mencukupi dan rasional. Sedangkan inovasi yang terjadi pada perusahaan dengan skala usaha kecil 198
didukung oleh fleksibilitas, komunikasi yang lebih baik, spesialisasi pekerjaan serta kontrol yang informal. Faktor tangible lain yang banyak dibahas adalah modal/biaya. Dari sudut pandang teori, transaction cost theory dan the positive theory of agency merupakan teori yang membahas mengenai keterkaitan antara biaya dan inovasi. Berdasarkan teori tersebut, mempertimbangkan unsur ketidakpastian dan resiko tinggi dari kegiatan inovasi mengindikasikan bahwa transaksi biaya memiliki hubungan negatif terhadap performa dan kapabilitas inovasi perusahan. Seperti penelitian empirik yang telah dilakukan oleh 12Giudici dan Paleari (2000) mengenai pengaruh pembiayaan terhadap inovasi yang dilakukan terhadap perusahaan skala kecil berbasis teknologi di Italia, penelitian tersebut telah membuktikan secara empirik bahwa pembiayaan tinggi tidak serta merta mempengaruhi inovasi pada perusahaan. Tabel 1.Matriks Studi Empirik Mengenai Faktor Internal dalam Inovasi
Sumber: 8Jesus Galende dan Juan Manuel de la Fuente (2003) Faktor intangible merupakan faktor yang sulit diukur, hal ini menyebabkan sangat sedikit literatur yang menjelaskan keterkaitan faktor ini terhadap inovasi. Beberapa literatur, telah disebutkan faktor intangible yang memberikan pengaruh terhadap inovasi yaitu sumber daya manusia, kemampuan komersial, kemampuan organisasi, internasionalisasi serta diversifikasi pekerjaan. Pada tabel 1, 8Galende dan de la Fuente (2003) telah merangkum studi empirik yang pada penelitian sebelumnya mengenai pengaruh faktor tangible dan faktor intangible terhadap inovasi. Penelitian ini menggunakan variabel yang telah digunakan dari konsep dan hasil studi empirik yang sudah dilakukan sebelumnya. Faktor tangible yang terukur adalah skala usaha perusahaan serta modal perusahaan, sedangkan faktor intangible adalah sektor usaha dari perusahaan, alternatif metode yang digunakan perusahaan untuk mengembangkan teknologi, pengalaman dari perusahaan serta sumber informasi perusahaan terkait dengan pengembangan inovasi di perusahaannya. Variabel lain yang 199
tidak dimasukkan dalam model pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan data yang tersedia karena belum terukur dalam survei inovasi Indonesia 3. METODE PENELITIAN 3.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil survei inovasi yang dilaksanakan oleh PAPPIPTEK-LIPI terhadap 1344 perusahaan industri manufaktur Indonesia pada tahun 2009. Pelaksanaan survei ini mengikuti standar internasional survei inovasi yang disusun oleh 13OECD yaitu Oslo Manual (2005). Susunan pertanyaan yang digunakan juga mengikuti standar internasional dengan melakukan sedikit penyesuaian dengan keadaan Indonesia sebagai negara berkembang. Dengan sampling error 3 persen, survei ini menjaring seluruh sektor usaha di manufaktur meliputi ISIC 15 – ISIC 37 dan merepresentasikan seluruh perusahaan industri manufaktur di Indonesia. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode pengambilan sampel acak stratifikasi, berdasarkan ISIC dan provinsi. Unit sampel pada survei ini adalah perusahaan industri manufaktur, mencakup perusahaan yang berdiri sendiri maupun perusahaan yang merupakan bagian dari perusahaan lain. Survei ini menjaring data kegiatan inovasi perusahaan pada akumulasi tahun 2005-2008. Beberapa penelitian telah menggunakan data survei inovasi ini, diantaranya Aminullah dan Ricardi (2011) untuk melihat peranan universitas dan lembaga litbang pemerintah dalam inovasi di sektor otomotif Indonesia. 5Simamora dan Nadhiroh (2010) juga menggunakan data survei ini untuk melihat pengaruh kegiatan kerjasama formal dalam kegiatan inovasi perusahaan industri manufaktur Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini faktor internal yang diindikasikan memberikan pengaruh terhadap karakter inovatif suatu perusahaan (lihat Lampiran 1). Sedangkan karakter inovatif pada penelitian ini dibagi menjadi 3, yaitu perusahaan yang tidak melakukan inovasi, perusahaan yang melakukan inovasi pada produk saja atau pada proses saja dan perusahaan yang melakukan inovasi pada produk dan proses. Keterbatasan pada penelitian ini adalah pada data yang tersedia hanya bersifat kategorik seperti biner dan likert. Sedangkan variabel yang cukup penting seperti biaya litbang tidak tersedia. Data hanya menyebutkan informasi apakah perusahaan tersebut melakukan kegiatan litbang atau tidak. Tetapi keterbatasan data tersebut dapat diatasi dengan pemilihan metode analisis yang tepat dengan jenis data, sehingga hasil penelitian ini bisa memberikan gambaran yang tidak bias. 14
3.2. Metode Pengolahan Data Untuk mencapai tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data survei inovasi diolah dengan menggunakan analisis pohon klasifikasi CHAID (Chi-Squared Automatic Interaction Detector). Metode CHAID merupakan teknik eksplorasi non-parametrik untuk menganalisis sekumpulan data yang berukuran besar, analisis ini efisien untuk menduga peubah-peubah bebas yang paling signifikan terhadap peubah tak bebas. Peubah yang digunakan dalam analisis CHAID adalah berskala nominal atau ordinal dan diuji dengan statistik uji chi-square. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Faktor Internal yang Mempengaruhi Inovasi Perusahaan Berdasarkan hasil analisis Chi-Square, dari 30 variabel yang merupakan faktor internal perusahaan, terdapat 28 variabel yang memiliki hubungan signifikan terhadap inovasi. Variabel yang tidak terdapat hubungan signifikan adalah perusahaan melakukan 200
kegiatan litbang eksternal dan skala usaha perusahaan berdasarkan tenaga kerja. Melakukan kegiatan litbang eksternal artinya perusahaan melimpahkan kegiatan litbang pada pihak lain. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara variabel ini dan inovasi dikarenakan masih sangat sedikit perusahaan yang melakukan kegiatan litbang eksternal. Berdasarkan data, hanya 12 persen perusahaan yang melakukan kegiatan litbang eksternal. Kegiatan litbang eksternal masih belum umum dilakukan oleh perusahaan manufaktur Indonesia mengindikasikan bahwa tingkat keterbukaan perusahaan manufaktur Indonesia masih sangat kecil. Selain itu kegiatan litbang terkait inovasi dianggap sebagai salah satu strategi perusahan dalam mengatasi persaingan. Selain isu tidak percaya, rumitnya prosedur dalam proses kegiatan litbang eksternal juga menjadi pertimbangan perusahaan sehingga perusahaan memilih untuk melakukan pembinaan secara mandiri terhadap sumberdaya manusia yang dimiliki dan melakukan kegiatan litbang secara internal. Sedangkan variabel skala usaha berdasarkan tenaga kerja yang tidak memiliki hubungan signifikan terhadap inovasi mengindikasikan bahwa inovasi tidak hanya dilakukan oleh perusahaan manufaktur dengan skala usaha tenaga kerja besar, tetapi juga pada perusahaan manufaktur dengan skala usaha tenaga kerja menengah dan kecil. Tetapi yang belum terlihat pada penelitian ini adalah apakah ada perbedaan tingkat kebaruan dari hasil inovasi perusahaan skala usaha besar, menengah dan kecil. Hal ini bisa dijadikan masukan untuk penelitian selanjutnya. Dari variabel kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan terkait inovasi, kegiatan akuisisi mesin adalah variabel yang memiliki hubungan paling signifikan terhadap inovasi pada perusahaan. Diikuti oleh kegiatan litbang internal perusahaan serta kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kemampuan sumber dayanya dalam melakukan inovasi. Kegiatan akuisisi mesin yang memiliki hubungan lebih signifikan dibandingkan kegiatan litbang internal mengindikasikan bahwa inovasi yang dilakukan di perusahaan manufaktur Indonesia masih belum berdasarkan kemampuan teknologi atau kemampuan dalam menghasilkan pengetahuan baru, tetapi lebih banyak karena hasil transfer pengetahuan ataupun kegiatan absorbsi teknologi dari perusahaan lain. Dan hal merupakan fenomena litbang dan kegiatan inovasi yang terjadi di negara berkembang. Sedangkan dari variabel sumber informasi, persepsi perusahaan terhadap informasi dari konferensi atau pameran dagang adalah yang paling memiliki hubungan signifikan terhadap inovasi perusahaan, diikuti oleh staf unit produksi dan staf pemasaran. Hal ini cukup menarik, karena hubungan dari staf unit produksi dan staf unit pemasaran lebih signifikan dibandingkan pengaruh informasi dari staf unit litbang sendiri. Ini menunjukkan bahwa staf unit litbang di perusahaan manufaktur Indonesia lebih berfungsi sebagai pelaksana kegiatan litbang dan pengembang ide, sedangkan ide awal sera gagasan baru lebih banyak didapatkan dari staf unit produksi yang lebih banyak berinteraksi dengan proses produksi dan staf unit pemasaran yang lebih sering berinteraksi dengan konsumen sehingga bisa menangkap banyak gagasan yang berasal dari luar perusahaan. Selain itu, peranan teknologi informasi juga signifikan terhadap inovasi, hal ini terlihat dari sumber informasi dari internet yang memiliki hubungan signifikan terhadap inovasi perusahaan. Bahkan sumber informasi dari internet memiliki signifikansi hubungan yang lebih tinggi dibandingkan sumber informasi dari perguruan tinggi. Sedangkan hal yang menarik lainnya adalah sumber informasi dari litbang pemerintah memiliki signifikansi hubungan yang lebih rendah dibandingkan sumber informasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa kurangnya interaksi dan jejaring antara industri dan lembaga litbang pemerintah. Padahal idealnya perguruan tinggi serta institusi litbang merupakan sumber informasi utama perusahaan dalam melakukan inovasi. Perguruan tinggi dan institusi litbang merupakan tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan industri dengan sumber daya modal dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuat produk dan teknologi dalam skala besar. 201
Dari hasil analisis, terlihat pula bahwa rata-rata penjualan pertahun dan ISIC memiliki hubungan yang signifikan terhadap inovasi. Ini menunjukkan bahwa inovasi terjadi lebih banyak pada sektor ISIC tertentu dan pada perusahan dengan rata-rata hasil penjualan tertentu. 4.2. Analisis Karakteristik Perusahaan Inovatif Berdasarkan analisis CHAID, variabel yang berpengaruh dalam pembentukan klasifikasi inovatif suatu perusahaan terdiri dari 8 peubah yaitu pengaruh sumber informasi dari konferensi/pameran dagang terhadap perusahaan, pengaruh sumber informasi dari unit litbang perusahaan lain yang masih 1 induk terhadap kegiatan inovasi perusahaan, pengaruh sumber informasi dari staf produksi terhadap perusahaan, apakah perusahaan melakukan kegiatan akuisisi mesin atau tidak, apakah perusahaan melakukan kegiatan litbang internal, pengaruh sumber informasi dari pemasok terhadap perusahaan, apakah perusahaan melakukan kegiatan pelatihan atau tidak dan status kepemilikan modal perusahaan. Pengaruh sumber informasi dari konferensi/pameran dagang terhadap perusahaan merupakan peubah bebas yang terpilih pertama sebagai karakter inovatif perusahaan. Kesesuaian klasifikasi yang dihasilkan oleh analisis CHAID yaitu sebanyak 69.7%, seperti terlihat pada tabel 2. Persentase untuk menduga perusahaan inovatif dengan benar yaitu 85.1%, persentase untuk menduga perusahaan inovatif tingkat 1 sebesar 42% dan persentase untuk menduga perusahaan yang tidak inovatif adalah sebesar 25%. Risk estimate analisis ini adalah sebesar 0.3 dengan standar error 0.013, hal ini menunjukkan bahwa model klasifikasi ini sudah cukup baik karena nilai risk estimate dan standard error yang kecil. Tabel 2. Kesesuaian Klasifikasi dan Risk Estimate Analisis CHAID Classification Observed
Predicted Tidak Inovasi pada produk Berinovasi saja/proses saja 11 23
Tidak Berinovasi Inovasi pada produk 0 saja/proses saja Inovasi pada 0 produk dan proses Overall Percentage 0.0%
Inovasi pada Percent produk dan proses Correct 10 25.0%
175
242
42.0%
132
751
85.1%
24.6%
74.6%
69.7%
Risk Estimate Estimate 0.311
Std. Error 0.013
Sumber: Hasil Olahan SPSS dari data survei inovasi PAPPIPTEK-LIPI Hasil analisis CHAID menghasilkan 7 klasifikasi perusahaan inovatif seperti yang terlihat pada tabel 3. Berdasarkan kriteria klasifikasi, 7 klasifikasi yang dihasilkan terdiri dari 4 klasifikasi merupakan klasifikasi perusahaan inovatif, 3 klasifikasi merupakan klasifikasi 202
perusahaan inovatif tingkat 1. Karakteristik dari hasil klasifikasi perusahaan yang inovatif adalah mendapatkan pengaruh yang >rendah dari konferensi/pameran dagang terhadap kegiatan inovasi perusahaannya, mendapatkan pengaruh sumber informasi >sedang dari unit litbang perusahaan lain yang masih 1 induk terhadap kegiatan inovasi di perusahaannya, memiliki status kepemilikan modal PMA atau PMDN, melakukan kegiatan akuisisi mesin serta mendapatkan pengaruh >sedang dari pemasok sebagai sumber informasi inovasi perusahaan. Perusahaan yang terklasifikasi sebagai perusahaan inovatif tingkat 1 artinya perusahaan yang inovatif pada satu jenis kegiatan inovasi. Karakteristik perusahaan inovatif tingkat 1 adalah mendapatkan pengaruh antara <=rendah dan sedang dari konferensi/pameran dagang terhadap kegiatan inovasi perusahaannya, melakukan kegiatan training terkait pengembangan kemampuan SDMnya untuk melakukan inovasi, tidak melakukan akuisisi mesin tetapi melakukan kegiatan litbang internal. Tabel 3.Ringkasan Analisis CHAID terhadap Hasil Klasifikasi Perusahaan yang Inovatif
Klasifik asi
No de
1
9
2
17
3
8
4
13
5
15
6
16
7
11
Karakteristik Perusahaan
konferensi>sedang ; unit_perush_perush_lain> sedang konferensi (rendah;sedang) ; staf_produksi>sedang ; status modal (PMDN;PMA) konferensi>sedang ; unit_perush_perush_lain< =sedang konferensi (rendah<=rendah) ; akuisisi_mesin (yes) ; pemasok>sedang konferensi (rendah;sedang) ; staf_produksi<=sedang ; training (yes) konferensi (rendah;sedang) ; staf_produksi>sedang ; status modal (lainnya) konferensi<=rendah ; akuisisi_mesin (no) ; rnd_internal (yes)
Persentase (%) inovasi pada tdk produk inovatif saja/pros es saja
inovasi pada produk dan proses
0% (n=0)
1,7% (n=1)
98.3% (n=58)
inovatif
0% (n=0)
6.3% (n=4)
93.7 (n=59)
inovatif
1.2% (n=2)
11.4% (n=19)
87.4% (n=148)
inovatif
2,3% (n=4)
20% (n=35)
77.7 (n=136)
inovatif
2.2% (n=3)
28.4% (n=38)
69.4% (n=93)
inovatif tk 1
0% (n=0)
31.8% (n=18)
68.4% (n=39)
inovatif tk 1
1.2% (n=1)
33.8% (n=27)
65% (n=52)
inovatif tk 1
Hasil Klasifik asi
Sumber: Hasil Olah dari Survei Inovasi PAPPIPTEK-LIPI
203
Pengaruh konferensi/pameran dagang sebagai sumber informasi kegiatan inovasi perusahaan sebagai variabel pengklasifikasian pertama menunjukkan bahwa perusahaan yang secara aktif mengikuti konferensi dan pameran dagang mendapatkan informasi yang bermanfaat terhadap penambahan pengetahuan yang berguna bagi pengembangan inovasi di perusahaannya. Konferensi/pameran dagang merupakan salah satu tempat pertemuan antara peneliti di litbang pemerintah dan universitas dengan pihak industri. Konferensi/pameran dagang adalah suatu acara dimana perusahaan dan institusi litbang/universitas memamerkan teknologi serta pengetahuan yang dimilikinya, sehingga terjadi interaksi antar aktor-aktor tersebut. Proses pertukaran pengetahuan maupun transfer pengetahuan yang terjadi secara lebih efektif dimungkinkan karena bentuk acara konferensi/pameran dagang yang cenderung semi formal. Pengaruh informasi dari unit litbang perusahaan lain yang masih satu induk perusahaan serta status kepemilikan modal PMDN dan PMA adalah salah satu karakteristik pembentuk perusahaan yang inovatif. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan lain yang masih 1 induk perusahaan serta kepemilikan modal yang terdiri dari 1 sumber dana (bukan campuran antara asing dan lokal) memiliki proses transfer pengetahuan dan proses kreatif yang lebih efektif dan lebih produktif dalam mendukung kegiatan inovasi. Selain itu, kegiatan akuisisi mesin, litbang internal serta pelatihan merupakan pembeda yang jelas antara perusahaan yang inovatif baik inovatif maupun inovatif tingkat 1 dengan perusahaan yang tidak inovatif. Ini menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan kemampuan SDM melalui pelatihan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan inovasi perusahaan. Kegiatan litbang internal serta akuisisi mesin merupakan salah satu proses pembelajaran bagi perusahaan jelas memberikan pengaruh terhadap inovasi. Kegiatan litbang merupakan kunci penting dalam pengembangan inovasi yang berbasiskan teknologi. Kegiatan litbang bertujuan untuk menghasilkan imu pengetahuan baru, mengaplikasikan ilmu pengetahuan baru atau melakukan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari kegiatan litbang inilah yang diharapkan mampu untuk menciptakan inovasi dan memecahkan permasalahan yang ada. Kegiatan akuisisi mesin ternyata bukan hanya memberikan efisiensi dan efektivitas produksi tetapi juga memancing ide kreatif baru untuk pengembangan produk dan proses produksi yang menghasilkan inovasi. Pemasok sebagai aktor yang berinteraksi dengan banyak perusahaan juga menjadi variabel pembentuk perusahaan yang inovatif. Pemasok ternyata merupakan sumber informasi berpengaruh terhadap kegiatan inovasi. Hal ini dikarenakan pemasok sendiri pun juga terus melakukan pengembangan terhadap produk yang dijualnya, untuk mempertahankan kedudukannya di pasar. Selain itu pemasok seringkali menjadi pemasok di lebih dari 1 perusahaan, ini menyebabkan pemasok mendapatkan informasi dari perusahaan lain yang mungkin berguna bagi perusahaan. Staf produks sebagai staf pelaksana kegiatan produksi, bisa dikatakan sebagai staf yang paling mengetahui kegiatan produksi produk mendapatkan ide untuk melakukan pengembangan terhadap produk dan proses produksi. Karena itulah informasi dari staf produksi merupakan informasi berpengaruh terhadap kegiatan inovasi perusahaan. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor internal perusahaan memberikan pengaruh terhadap kegiatan inovasi perusahaan. Dari variabel kegiatan yang dilakukan perusahaan, kegiatan litbang internal adalah kegiatan yang memiliki hubungan paling signifikan diikuti oleh kegiatan akuisisi mesin dan training. Dari sumber informasi yang didapatkan perusahaan terkait inovasi, konferensi/pameran dagang merupakan sumber 204
informasi yang memiliki hubungan paling signifikan terhadap kegiatan inovasi, diikuti oleh staf dari unit produksi, staf dari unit pemasaran dan penjualan, pemasok dan pelanggan. Sedangkan sumber informasi dari perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah juga memiliki hubungan signifikan tetapi tingkat signifikansinya masih dibawah sumber informasi lainnya. 2. Terdapat 8 variabel yang membentuk karakter inovasi suatu perusahaan, yaitu pengaruh sumber informasi dari konferensi/pameran dagang, unit litbang perusahaan lain yang masih 1 induk, staf produksi dan pemasok, apakah melakukan perusahaan melakukan kegiatan akuisisi mesin, litbang internal dan pelatihan atau tidak, serta status kepemilikan modal perusahaan. Terdapat 7 karakter faktor internal yang membentuk perusahaan yang inovatif, karakter tersebut merupakan kombinasi dari 8 variabel pembentuk karakter tersebut. 5.2. Saran Pemerintah sebagai regulator sektor ekonomi dapat membuat kebijakan yang mendorong inovasi di sektor industri. Berdasarkan penelitian ini, untuk meningkatkan jumlah perusahaan yang inovatif bisa dengan memberikan stimulasi melalui variabel pembentuk karakter perusahaan inovatif. Salah satu yang bisa dilakukan pihak pemerintah adalah dengan mengadakan konferensi/pameran dagang dengan mengundang pihak universitas, institusi litbang dan perusahaan sektor manufaktur. Pemerintah telah membuat regulasi dengan adanya PP No.5/2005 mengatur tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. PP tersebut diharapkan dapat mendorong akademisi (peneliti) melakukan penelitian yang dibutuhkan oleh industri yang kemudian mensosialisasikannya dan mencari jalan untuk dapat bekerjasama dengan pihak industri. Tetapi hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan memberikan ruang interaksi yang mempertemukan aktor-aktor litbang tersebut. Kegiatan litbang internal dan akuisisi mesin juga salah satu variabel yang mempengaruhi kegiatan inovasi. Pemerintah telah Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2007 tentang ‘Pengalokasian sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi’. Dalam PP tersebut ditegaskan adanya pemberian insentif bagi setiap badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Hal tersebut mengacu pada UU no 10/1995 tentang kepabean yang mengatur pembebasan bea masuk impor buku dan barang untuk riset. Tetapi peraturan pemerintah tersebut tidak diketahui oleh pihak industri. Oleh karena itu pemerintah diharapkan melakukan sosialisasi mengenai PP tersebut. Selain kurangnya sosialisasi, pihak industri juga terkesan menghindari urusan dengan pemerintah karena birokrasi yang rumit. Oleh karena itu pemerintah juga diharapkan bisa memastikan bahwa PP tersebut berjalan dengan semestinya. REFERENSI 1
World Economic Forum. 2010. The Global Competitiveness Index 2010-2011. Geneva: WEC.
2
The Innovation for Development Report. 2010. (Innovation Capacity Index Rangking 20102011.(http://theinnovationfordevelopment/ICIrangking2010_11.pdf, diakses 28 Desember 2010).
3
Badan Pusat Statistik. 2008. Pendapatan Nasional Indonesia 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 205
4
Simamora, N. G dan I. M. Nadhiroh, 2010. Kajian Inovasi Industri Manufaktur: Pola Interaksi Perusahaan dalam Mengembangkan Inovasi. Warta PAPPIPTEK. 8(1):120.
5
Medina, C. C., A. C. Lavado and R. V. Cabrera. 2001. Exploring Characteristics of Innovative Companies: A Case Studies. Sevila: Universidad Pablo de Olavide.
6
De Mello, A. M. et al. 2008. Innovative Capacity and Advantage: A Case Study of Brazillian Firms. RAI-Revista de Administracao e Inovacao, 5(2): 57-72.
7
Tether, B. S. 2002. Who co-operates for Innovation, and Why: An Empirical Studies. Research Policy, 31: 947-967.
8
Galende, J and J. M. de la Fuente. 2003. Internal Factor Determining a Firm’s Innovative Behaviour. Research Policy, 715-736.
9
Edquist. 2001. The System Innovation Approach and Innovation Policy: An Account of the State of the Art. DRUID.
10
OECD. 2005. Oslo Manual: Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. Paris: OECD Publishing.
11
Schumpeter, J. A. 1934. The Theory of Economic Development. Cambridge: Harvard University Press.
12
Giudici, G and S. Paleari. 2000. The Provision of Finance to Innovation: A Survey conducted among Italian Technology-Based Small Firm. Small Business Economic, 4:37-53. 13
Aminullah, E dan Ricardi. 2011. Resources of Innovation in Innovation Automotive Industry: The Role of University and Public Research Institution. Makalah dalam ERIA Study Project, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS). Tokyo, Januari 2011: PAPPIPTEK-LIPI.
206
PENGARUH MODAL SOSIAL DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA MANDIRI ENERGI Hartiningsih dan Sigit Setiawan
[email protected];
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi –Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ABSTRACT Energy is one of the basic needs of humans. Traditionally, the largest energy source is from fossil energy. On the other hand, the world's fossil energy reserves and also Indonesia’s have been decreasing and they can not be replaced. Therefore, there is a need to develop alternative energy that is not based on fossil energy, namely renewable energy (EBT). EBT can be developed from the users who own the environment so that a place or environment can in theory become energy independent. Ministry of Human Resources stated that if a village is able to produce its own energy, it is called an energy independent village. To establish an energy independent village, it needs supportive social conditions. The social conditions are influenced by several factors that will form a social capital in society, namely: a) participation and social networks, (b) exchanging good (resiprocity), (c) social norms, (d) social values, and (e) the proactive action. Without those mentioned things, the society will not be able to move to an integrated energy independent village. The area studied is an independent village of energy from biogas, which is derived from cow manure. The discussion carried out by describing the phenomena that exists in the form of an integrated self-contained village Haurngombong. The results show that social capital in society is a crucial factor for the establishment of rural energy, especially energy independent village. Keyword: renewable energy, energy independent village, social capital, Haurngombong 1. LATAR BELAKANG Energi merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Hal ini terlihat dari naiknya kebutuhan energi dunia saat ini yaitu dari 102,3 PWh ke 142,3 (IEA Key Energy Statistics 2010) PWh pada tahun 2008. Di lain pihak, jumlah energi fosil yang tersedia selalu berkurang. Oleh karena itu diperlukan energi alternatif yang dapat menggantikan energi fosil itu. Energi tersebut selayaknya dapat diperbaharui, tidak seperti dengan energi fosil. Energi tersebut disebut energi baru dan terbarukan (EBT). Di lain pihak, penerapan dan penggunaan EBT mengalami berbagai tantangan. Tantangan ini banyak berasal dari perubahan cara guna energi dan penerapan alat pembangkit energi tersebut. Salah satu upaya penanggulangan tantangan penerapan EBT adalah melalui peningkatan modal sosial dari wilayah yang akan menerapkan EBT tersebut. Dengan adanya modal sosial yang cukup pada masyarakat dimana EBT akan diterapkan, maka diharapkan penyebaran praktek penggunaan EBT secara cepat sehingga semua anggota masyarakat dapat menikmati energi yang berasal dari sumber EBT tersebut. Dengan adanya modal sosial dengan berbagai aspeknya maka kedekatan masyarakat akan 207
menyebabkan penerimaan sebuah gaya hidup baru berupa sumber energi yang berasal dari EBT dapat dengan cepat diterima dan tersebar di masyarakat. Penulisan ini ingin memperlihatkan faktor-faktor modal social yang mempengaruhi penyebaran EBT dalam masyarakat. Juga dilihat faktor-faktor apa saja dari modal sosial itu yang paling dominan mempengaruhi penyebaran EBT dalam masyarakat. Pembahasan digunakan metoda diskripsi karena hanya memiliki kasus tunggal yaitu di Desa Haurngombong. 2. EBT DAN MODAL SOSIAL Energi baru dan terbarukan atau yang disebut EBT adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang dapat diperbarui atau bisa dikelola dengan baik, maka sumber dayanya tidak akan habis (Soepardjo, 2007). EBT dari katanya terbagi menjadi dua golongan utama yang bisa saja menjadi satu atau terpisah, yaitu energi baru dan energi terbarukan. Energi baru adalah tipe atau sumber energi yang belum lama ditemukan atau diteliti seperti hidrogen, sedangkan energi terbarukan adalah sumber energi yang bersifat terbarukan atau dapat diperbaharui sehingga sumber tersebut tidak akan habis. Terdapat berbagai macam tipe dari EBT, antara lain adalah yang berasal dari air dan biomassa. Energi yang berasal dari air adalah energi yang diambil dari daya kinetik air, dalam bentuk air mengalir. Pembangkitan energi air menggunakan kincir atau turbin air yang akan menggerakkan sebuah permesinan/pesawat. Jika digunakan untuk membangkitkan listrik maka akan digunakan generator listrik. Nama sistem pembangkit tenaga listrik tenaga air adalah PLTA Sedangkan energi biomassa adalah energi yang berasal dari mahluk hidup apakah tumbuhan atau binatang. Biasanya terbagi atas pengolahan dari tumbuhan menjadi berbagai bentuk minyak yang dapat digunakan bahan bakar, atau fermentasi kotoran sapi atau sampah tumbuhan menjadi gas methan yang disebut biogas. Penerapan EBT dalam sebuah masyarakat biasanya akan memerlukan sebuah proses dalam penerimaan teknologi itu. Proses penerimaan itu setelah teknologi berhasil diterapkan atau didemonstrasikan memerlukan sebuah kekompakan atau hubungan social yang baik agar teknologi tersebut dapat menyebar di anggota masyarakat di wilayah itu. Hal itu merupakan sebuah modal social yang ada di masyarakat. Sedangkan modal sosial adalah modal dapat diterapkan untuk berbagai kebutuhan, namun yang paling banyak adalah untuk upaya pemberdayakan masyarakat. Terdapat banyak definisi mengenai modal sosial. Salah satu definisi modal sosial menurut Fukuyama adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memunmgkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 1990). Menurut World Bank (1999), modal sosial sebagai institusi-institus, hubunganhubungan dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi-interaksi sosial masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa modal sosial menjadi semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat (dalam Yulizar, 2007). Norma-norma atau nilai sosial itu dijadikan landasan kerjasama dan merekatkan setiap anggota masyarakat dalam hubungan sosial. Norma-norma tersebut, tidak hanya sebagai landasan atau perkat hubungan kerjasama di antara anggota masyarakat, tetapi berisi hubungan-hubungan atif orang-orang yang meliputi kepercayaan, saling pengertian, dan tingkah laku serta nilai-nilai bersama yang mengikat setiap anggota yang terlibat (Cohen & Prusak, 2001). Manfaat umum yang diperoleh dari modal sosial menurut Putman (2000, dalam Yulizar, 2007) antara lain (a) modal sosial memungkinkan masyarakat memecahkan masalah-masalah bersama dengan lebih mudah, (b) modal sosial menumbuhkan rasa saling percaya dalam hubungan sosial untuk mewujudkan kepentingan bersama, dan (c) modal sosial memungkinkan terciptanya jaringan kerja sehingga mudah mendapat informasi. 208
Sebagaimana yang dikemukan Pierre Bourdieu, sosiolog asal Perancis, bahwa ada tiga elemen yang menentukan corak karakter suatu masyarakat, yaitu kepercayaan yang menjadi salah satu pilar yang krusial dalam konsep modal sosial dalam masyarakat, di samping dua pilar lain yaitu jejaring sosial dan norma-norma. Modal sosial ini tidak bersifat ekonomis, tapi prasyarat terjadinya tata-ekonomi sehat yang rasional dan operasional serta memberi energi sosial bagi berjalannya sistem sosial masyarakat. Selain itu, di dalam masyarakat bahwa kepercayaan akan ada lima makna yang terkandung, yakni: 1) komitmen (commitment), 2) penjaminan (assurance), 3) dapat dipertanggungjawabkan (accountability), 4) dapat diandalkan (reliability), dan 5) stabilitas hubungan sosial (stability)(Intisari, 2011). Sebagaimana Robert Putnam (Putnam, 1995) telah berhasil menggambarkan modal sosial sebagai konsep yang lebih sederhana. Dia menyatakan modal sosial sebagai bentuk organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang dapat memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk tujuan yang menguntungkan. Dengan mengutamakan hubungan horisontal antara orang-orang yang memiliki keterlibatan jaringan sehingga dapat menjembatani norma dan aturan operasional dari masyarakat serta memperkuat kepercayaan dalam lingkup kredibilitas dari semua peraturan dan hubungan sosial. Dimensi dari modal sosial menurut Cropper dan Ong (Cropper & Ong, 2002) dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Dimensi Modal Sosial Sumber : Cropper and Ong, 2002 3. DESA MANDIRI ENERGI Sebuah wilayah atau desa yang membangkitkan energi sendiri disebut desa mandiri energi. Mandiri menurut kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti keadaan yang dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain. Sedang pengertian desa mandiri mempunyai konotasi yang sangat luas, sehingga perlu batasan lain yang lebih spesifik. Menurut konsep E3I (Empowering, Energi, Economics and environment, and Independent), bahwa desa mandiri energi adalah desa yang mampu memenfaatkan sumber-sumber energi terbarukan dan memanfaatkan energi bersih untuk keperluan masyarakat yang dapat dikelola tenaga terdidik dan terlatih (Media Indonesia, 2007). Sehingga akan tercipta desa mandiri yang berwawasan lingkungan hidup dengan masyarakat yang ramah karena hidup di lingkungan yang nyaman, segar, dan asri sepanjang tahun. Sedang menurut Bambang 209
Heliyanto, Konsep Desa Mandiri Energi (DME) merupakan pola pengembangan pedesaanberbasis kepada konsep terintegrasinya kegiatan dalam sebuah sistem yang terdiri atas subsistem input, subsistem produksi primer atau usaha tani (on farm), subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran, dan subsistem layanan dukungan (supporting system). Dilain pihak Desa Haurngombong menggunakan definisi sendiri terhadap desa mandiri energi. Menurut Desa Haurngombong sendiri, bahwa desa mandiri energi adalah desa yang dikembangkan dengan menitik beratkan pada rekayasa sosial (social engineering) untuk membangun kemandirian masyarakat guna mengurangi ketergantungan pada pihak lain, baik dari aspek teknis, finansial maupun pihak konflik sosial. 4. DESA HAURNGOMBONG Desa Haurngombong adalah suatu desa yang berada di wilayah administratif Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk sekitar 5.800 orang, yang terdiri dari 1.500 kepala keluarga (KK). Secara umum desa Haurngombong merupakan kawasan dengan mayoritas penduduk sebagai petani dan peternak khusus sapi perah. Potensi peternakan sapi perah dan perikanan telah memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat khususnya para peternak. Populasi ternak sapi perah berdasarkan data per Agustus 2010 berjumlah 986 ekor dengan rata-rata kepemilikan ternak sekitar 2-3 ekor sapi perah (Hourngombong, 2010). Saat ini, instalasi biogas telah terpasang baik yang berbahan plastik, fiber, dan beton yang jumlah 145 instalasi yang dimanfaatkan oleh 400 KK baik peternak maupun non peternak, jadi kira-kira 30% dari jumlah penduduk (Radius, 2010). Biogas digunakan masyarakat desa ini untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan (lampu petromak). Selain itu, desa ini sudah mampu menghasilkan listrik secara mandiri dengan bantuan dan binaan PLN. Pada tahun 2008, PLN telah member 10 generator yang telah dimodifikasi dengan daya masing-masing sebesar 450 watt. Setiap generator yang menggunakan biogas bisa menghasilkan listrik untuk empat rumah dari pukul 18.00 sampai pukul 21.00. Desa Haurngombong juga sudah membuat pabrik untuk merubah sisa biogas (slurry) menjadi pupuk yang telah dilakukan kerjasama dengan Kabupaten Purwakarta, sehingga dapat menambah pendapatan untuk kebutuhan keluarga. 5. MODAL SOSIAL DALAM MEMBANGUN DESA MANDIRI ENERGI Desa Haurngombong merupakan salah satu desa yang cukup terpencil. Oleh karena itu penyediaan energi baik berupa energi listrik dan energi untuk bahan bakar harus melalui rantai pedagang yang panjang sehingga meningkatkan biaya energi dari masyarakat. Penyediaan energi yang dihasilkan di desa itu sendiri merupakan sebuah keuntungan. Penerapan energi dalam bentuk biogas dipilih karena banyaknya ternak sapi di desa Haurngombong. Karena letak desa yang khas, telah ada dua kali penerapan biogas, yaitu bantuan dari Universitas Parahiyangan dan saat ini penerapan mandiri dari masyarakat. Penerapan biogas sudah banyak dilakukan di berbagai daerah, namun sustainability dari program penerapan biogas merupan suatu permasalahan besar. Biasanya dilakukan 3 macam cara pendanaan yang memberikan efek yang berbeda-beda. Pertama hibah oleh sebuah lembaga (biasanya dari lembaga pemerintah), dimana sebuah digester biogas diberikan kepada masyarakat secara gratis. Biasanya tidak lama kemudian digester itu akan ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak mempunyai rasa memiliki kepada digester tersebut. Cara kedua berupa penyertaan dana dari masyarakat pada program 210
biogas yang dilaksanakan oleh pihak di luar masyarakat tersebut. Dapat juga diberikan dana hibah pada sebagian dana untuk pembuatan digester. Dengan cara ini program lebih sustainable karena masyarakat mempunyai rasa meiliki terhadap digester tersebut. Cara yang paling akhir adalah pembuatan digester oleh masyarakat sendiri, mungkin dengan bimbingan teknis oleh sebuah lembaga yang berkompeten. Cara ini paling berkesinambungan. Bila dilihat dari pembahasan di atas, maka yang paling krusial adalah rasa kepemilikan dan rasa kebutuhan dari penerapan EBT dalam hal ini biogas. Selain itu, dibutuhkan rasa kepercayaan terhadap teknologi yang ada untuk meyakinkan masyarakat agar menanamkan uangnya kepada teknologi baru tersebut. Di lain pihak untuk menduplikasi penggunaan teknologi tersebut agar semua anggota masyarakat dapat menggunakan biogas sehingga mampu membentuk desa mandiri energi diperlukan beberapa norma hubungan antar masyarakat agar teknologi dapat menyebar. Juga diperlukan contoh berhasil dari teknologi itu agar anggota masyarakat lain percaya. Bila dilihat dari dimensi modal sosial menurut Cropper dan Ong Terdapat 8 dimensi yang menentukan modal sosial dari sebuah tempat. Dari ke 8 modal sosial itu dapat dijelaskan sebagai berikut. 5.1. KEBERAGAMAN Desa Haurngombong memiliki cukup keberagaman dalam bentuk keragaman demografi pada penduduknya yang menyebabkan timbulnya keterikatan hubungan antara penduduk yang tidak sama dalam keragaman itu seperti tingkat sosial, mata pencarian, dan sebagainya. Keberagaman ini dapat menimbulkan dua hasil, yaitu perpecahan akibat keberagaman yang tidak dapat dijembatani, atau persatuan akibat hubungan antar keberagaman yang mendatangkan manfaat bersama. Dalam hal ini, yang terjadi di desa Haurngombong adalah hal yang kedua. Mereka mampu bersatu dengan memanfaatkan hubungan secara kekeluargaan walaupun berbeda status, pencarian dan lain-lain. Hal ini menyebabkan dimensi ini cenderung cukup bagus dalam mendukung modal sosial di masyarakat tersebut. Tetapi hubungan antar keragaman tersebut tidak membentuk rantai nilai ekonomis yaitu hubungan yang memiliki nilai ekonomis yang berasal dari adanya energy biogas. Hal ini disebabkan karena produk biogas hanya digunakan untuk keperluan sendiri oleh pemilik reactor biogas dan tidak digunakan untuk kegiatan bernilai ekonomis, dan akibatnya tidak ada rantai nilai tambah yang tercipta dari satu anggota masyarakat ke anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dimensi ini tidak secara langsung mendukung terjadinya desa mandiri energi dengan penyebaran energi biogas. 5.2. Nilai Hidup Nilai hidup seseoarang atau yang dianut bersama oleh kelompok masyarakat juga menentukan tingkat modal sosial dalam masyarakat. Desa Haurngombong memiliki nilai hidup secara umum bergotong royong. Tetapi nilai ini tidak banyak berpengaruh kepada penerapan energi biogas, kecuali pada taraf pembangunannya dimana anggota masyarakat akan membantu anggota masyarakat lainnya yang sedang membangun digester biogas. Selain itu, tidak ada pengaruh langsung antara dimensi nilai hidup dengan kesuksesan penerapan energi biogas dalam membangun desa mandiri energi di Haurngombong. 5.3. Partisipasi Masyarakat akan memiliki modal sosial yang lebih besar/baik bila merasa berpartisipasi dalam melakukan tujuan bersama. Dalam hal penerapan energi biogas di 211
desa Haurngombong, masyarakat terpacu untuk berpartisipasi pada program karena melihat dari manfaat finansial. Dengan menggunakan biogas, masyarakat desa Haurngombong hanya mengeluarkan setengah dari biaya yang dikeluarkan oleh pengguna nonbiogas. Dengan menggunakan biogas, masyarakat desa Haurngombong merasa lebih praktis, mudah didapat, memanfaatkan limbah, dan harga terjangkau. Juga ada beberapa anggota masyarakat di desa Haurngombong yang menggunakan secara bersama digester biogas, setiap digester biogas digunakan oleh 2-3 keluarga. 5.4. Umpan Balik Masyarakat akan terbangun modal sosialnya apabila mendapat umpan balik yang baik/menyenangkan, baik dari anggota masyarakat lainnya atau dari manfaat suatu kegiatan bersama. Dalam hal penerapan energi biogas di desa ini mendapatkan publikasi yang baik akibat desa ini menggunakan energi biogas sehingga mencapai desa mandiri energi. Oleh karena itu, masyarakat mendapatkan umpan balik yang sangat positif dalam penerapan energi biogas, sehingga modal sosial dalam masyarakat akan meningkat. 5.5. Persepsi Akan Sebuah Komunitas yang Baik Masyarakat akan lebih meningkat modal sosialnya bila masyarakat tersebut dipersepsikan oleh pihak lain menjadi komunitas yang lebih baik akibat dari sebuah kegiatan yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat. Dalam hal ini sebagaimana halnya dengan dimensi umpan balik, masyarakat desa Haurngombong mendapatkan citra yang baik dengan penerapan energi biogas di lingkungan mereka. Akibatnya nilai modal sosial antar mereka akan meningkat sehingga menyebabkan penerapan energi biogas semakin banyak digunakan di lingkungan desa Haurngombong. 5.6. Rasa Percaya Rasa percaya terhadap sesuatu hal apakah hal itu positif atau negatif akan mempengaruhi tingkatan dari modal sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini penduduk desa Haurngombong memiliki kepercayaan penuh terhadap teknologi biogas dalam mengubah tingkat hidup mereka. Hal ini menyebabkan dimensi ini sangat krusial dalam kesuksesan penerapan energi biogas di desa Haurngombong. Rasa percaya terhadap teknologi ini terbangun akibat adanya kisah sukses dari penerapan awal teknologi biogas ini. Walaupun demikian, diperlukan waktu dimana pada awalnya tahun 2003, atas bantuan salah satu dosen ITB, inisiatif penggunaan biogas ini hanya dilakukan oleh 3 orang dan kurang diterima oleh masyarakat. Setelah harga minyak membumbung tinggi dan sulit didapat, biogas sebagai energi alternatif bisa diterima oleh masyarakat desa, terutama oleh para peternak sapi perah. 5.7. Kekuatan atau Kemampuan Proaktif dari Masyarakat/Perorangan Sejak tahun 2008, kepada desa Haurngombong membentuk badan usaha milik desa yang bergerak di bidang biogas. Usaha ini dikelola tiga pegawai inti dan didukung 20 teknisi. Layanan usaha yang dilakukan adalah pengadaan instalasi biogas, penyediaan suku cadang, dan simpan pinjam. Selain itu, usaha ini juga berfungsi sebagai sentra komunikasi biogas. Setelah masyarakat melihat keuntungan penggunaan biogas, banyak masyarakat mempunyai inisiatif sendiri untuk membangun instalasi (digester) biogas, dengan bantuan 212
dari teknisi dan biaya pinjaman dari badan usaha tersebut. Masyarakat yang membangun instalasi biogas baik masyarakat peternak sapi maupun yang non peternak sapi. Bagi non peternak, untuk mengisi digester dengan cara membeli kotoran sapi dari tetangga yang mempunyai sapi dengan harga Rp. 7000,-/per bulan. 5.8. Network/Penjembatanan Upaya untuk menjadikan desa Haurngombong sebagai desa mandiri energi (DME) sudah dilakukan sejak tahun 2003 atas bantuan salah satu dosen dari ITB yang bernama Sulaksono. Namun pada awalnya inisiatif ini kurang diterima oelh masyarakat, karena pemasangan instalasi untuk biogas masih mahal dan ketersediaan energi lain masih lebih murah. Setelah tahun 2007 harga minyak tanah yang mahal dan susah didapat, biogas bisa diterima oleh masyarakat. Dan, tahun ini pula, penggunaan biogas diintensifkan melalui melalui kerja sama dengan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran (UNPAD), yang memberikan dukungan teknologi biogas dan pembinaan untuk warga. Selain itu, berkat upaya kepala desa, dan gotong royong yang dilakukan oleh generasi muda di desa ini sehingga banyak masyarakat yang sudah menggunakan biogas untuk kebutuhan rumah tangga dan listrik. Kesemua dimensi modal sosial ini membangun nilai-nilai bersama, partisipasi, kepercayaan, dan kontribusi finansial yang mempengaruhi dalam membangun kemandirian desa Haurngombong. Bila dilihat dari partisipasinya, dengan adanya modal sosial yang cukup tinggi di masyarakat maka masyarakat desa Haurngombong akan secara sukarela berpartisipasi pada kegiatan EBT biogas ini dalam membangun desa mandiri energi. Apalagi ditambah dengan adanya berbagai nilai positif yang menjadi penarik dari program ini. Di lain pihak, kepercayaan yang tinggi pada teknologi biogas dengan adanya kisah sukses 3 digester pertama menyebabkan resistensi dari masyarakat terhadap teknologi ini dengan cepat menurun. Hal ini sama halnya dengan pada dimensi rasa percaya dalam modal sosial. Sedangkan mereka juga diikat dengan adanya kontribusi finansial pribadi mereka dalam kegiatan biogas ini, sehingga akan berpulang lagi ke partisipasi yang lebih tinggi ke program desa mendiri energi ini. 6. KESIMPULAN Dari tulisan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : -
Salah satu pendukung suksesnya desa mandiri energi di Hourngombong adalah adanya modal sosial yang kuat di masyarakat.
-
Dari 8 dimensi modal sosial oleh Cropper dan Ong, enam dimensi dinyatakan berkaitan langsung terhadap kesuksesan penerapan energi biogas dan desa mandiri energi di Horungombong. Sedangkan dua tidak berkaitan.
-
Enam dimensi yang berhubungan adalah : partisipasi, umpan balik, persepsi akan sebuah komunitas yang baik, rasa percaya, kekuatan atau kemampuan proaktif dari masyarakat/perorangan, network/penjembatanan. Sedangkan dua dimensi yang kurang berhubungan adalah keberagaman dan nilai hidup.
-
Dimensi modal sosial tersebut akan membangun nilai-nilai bersama, partisipasi, kepercayaan, dan kontribusi finansial
Dengan melihat kasus desa Haurngombong ini, maka model modal social yang ada di desa itu dapat diupayakan dapat ditingkatkan pada wilayah lain dimana ada penerapan teknologi EBT biogas. 213
REFERENSI Agency, I. E. (n.d.). IEA Key Energy Statistics 2010. Cohen, & Prusak. (2001). In Good Company. Boston: Havard Business School Press. Cropper, S., & Ong, P. (2002). How did ‘social capital’ translate in Salford and Nottingham? Social Action Research Project: findings of the process evaluation. London. Fukuyama, F. (1990). Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Hourngombong. (2010). Naskah RPJM Des 2010. Sumedang. Putnam, R. D. (1995). Turning In, Turning Out: The Strange Disappereances of Social Capital in America. Political Science and Politics XXVIII, 664-683. Radius, D. B. (2010, 12 30). Desa mandiri Haurngombong. Retrieved 9 20, 2011, from Niamchomsky: http://niamchomsky.wordpress,com/tag/desa-mandiri/ Soepardjo, A. H. (2007, April 12). Energi Baru dan Terbarukan. Retrieved 23 September, 2011, from Energi Limbah: http://energilimbah.wordpress.com/2007/04/12/energibaru-dan-terbarukan/ Soepardjo, A. H. (2007, October 24). Energi Baru dan Terbarukan. Retrieved 9 20, 2011, from Energi Limbah: http://energilimbah.wordpress.com/2007/04/12/energi-baru-danterbarukan/
214
III PENGUKURAN PERKEMBANGAN IPTEK DIFUSI DAN ADOPSI TEKNOLOGI
215
LIKU-LIKU DIFUSI TEKNOLOGI PADA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Suharwaji Sentana
[email protected],
[email protected] UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ABSTRACT According to the Indonesian Law I No. 18 / 2002 and Government Regulation No. 20 / 2005, Research and Development Institutions and Universities have to carry out diffusion of technologies. Diffusion of technology is affected either individually or simultaneously by various parameters. Three most important parameters were identified namely technology providers, technologies, and technology adopters, Target of technology diffusion should be dynamic and high motivated Micro, Small and Medium Scales Entrepreneurs (MSSE).Supervision, evaluation, and monitoring to those MSSE must be done periodically and continuously. In addition, to stimulate the diffusion of technologies process, formal / nonformal leaders must be actively involved. This paper was written based on the writer own experiences and various references related to the diffusion of technologies onto MSSE, especially in the food processing and technologies areas. Keywords: Diffusion of technologies, management, informal leaders 1. PENDAHULUAN Disadari atau tidak proses difusi teknologi sudah berlangsung bersamaan dengan lahirnya manusia di dunia ini. Bayi yang belajar makan hingga berjalan sendiri adalah merupakan proses difusi teknologi. Ribuan penduduk di berbagai daerah dapat membuat tempe kedelai dengan cara yang sama merupakan contoh keberhasilan difusi teknologi. Begitu juga dengan mewabahnya perangkat teknologi informasi di berbagai belahan dunia saat ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anonim, 2008a) difusi adalah penyebaran atau perembesan sesuatu (kebudayaan, teknologi, ide) dari satu pihak ke pihak lain. Sedang inovasi adalah pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; atau merupakan penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Undang Undang Republik IndonesiaNo. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Anonim, 2002) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Anonim, 2005) telah mendefinisikan teknologi, difusi teknologi, dan adopsi.
216
Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih intensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. Sedang adopsi adalah merupakan hasil dari kegiatan menyampaikan pesan (innovation), maka proses difusi dan adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai terjadinya perubahan perilaku (Rogers dan Shoemaker, 1971). Dengan demikian difusi teknologi adalah penyebaran atau perembesan cara atau metode serta proses atau produk termasuk alat yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Pada kenyataannya difusi teknologi tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pengertian UMKM, menurut Undang Undang No. 20 tahun 2008 (Anonim, 2008b) tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang dimaksud dengan Usaha Mikro (UM) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau Badan Usaha Perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. Usaha Kecil (UK) adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Selama masa krisis moneter pada tahun 1998 telah terbukti bahwa sektor UMKM menjadi salah satu juru selamat perekonomian Indonesia dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya (Anonim, 2010a). Hal ini dikarenakan UMKM mempunyai potensi yang sangat besar dan strategis dalam menopang perekonomian nasional, disebabkan 99% dunia bisnis Indonesia didominasi oleh peran usaha ini. Peran tersebut antara lain adalah: UMKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar tanpa mengenal jenjang pendidikan atau keahlian tertentu dan jumlah UMKM yang banyak dan tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air (Suyasa, 2007; Partomo, 2009; Surya, 2010; Anonim, 2010a). Namun demikian, menurut berbagai laporan, pada umumnya UMKM di negara kita masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan.Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain adalah: pemasaran, modal kerja, bahan baku, tenaga kerja, jaringan bisnis, dan teknologi (Welirang, 2003; Anonim, 2003; Rafinaldy, 2004; Partomo, 2009; Soetrisno, 2010; Anonim, 2010c). Selain itu, masalah lainnya adalah inovasi produk (Rafinaldy, 2004), daya saing (Anonim, 2010c), kelembagaan (Partomo, 2009; Soetrisno, 2010), birokrasi (Welirang, 2003), dan iklim usaha yang kurang kondusif (perizinan, aturan / perundang-undangan) (Anonim, 2003). Berdasarkan kepada berbagai permasalahan yang dihadapi UMKM tersebut, maka pada kesempatan ini pembahasan akan dibatasi tentang penyelesaian permasalahan UMKM pada bidang teknologi, khususnya difusi teknologi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta (kementerian, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat) melakukan difusi teknologi kepada UMKM di berbagai daerah. Akan tetapi tidak semua kegiatan difusi ini berjalan sesuai dengan harapan, dengan kata lain berbagai kegiatan difusi teknologi masih menemui berbagai kegagalan/kendala. Menurut Angkasa et al. (2003) dalam penerapan teknologi tepat guna (TTG) pertanian di Kabupaten Donggala, Sulawesi baik melalui mediator maupun langsung oleh penghasil TTG ternyata 40% nya mengalami kegagalan. Kegagalan ini lebih banyak disebabkan oleh masalah kelembagaan. Laporan lain menyatakan bahwa tingkat difusi teknologi budidaya bawang merah dan kacang tanah masing-masing adalah 40,3 dan 20,2% (Hutahaen, 2006). Rendahnya tingkat difusi ini lebih disebabkan karena teknologi yang diadopsi masyarakat belum memenuhi kebutuhan 217
masyarakat yaitu teknologi yang berhubungan dengan pemberantasan hama penyakit tanaman bawang merah dan kacang tanah. Pada makalah ini akan diuraikan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan difusi teknologi kepada UMKM, khususnya UMKM di bidang pengolahan hasil pertanian berdasarkan kepada pengalaman pribadi penulis dan beberapa pustaka yang terkait. 2. DASAR DIFUSI TEKNOLOGI Landasan yang digunakan untuk melakukan difusi teknologi kepada UMKM minimal ada dua hal, yaitu Undang Undang (UU) Republik IndonesiaNo. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Anonim, 2002) dan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Anonim, 2005).UU dan PP tersebut mewajibkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai seluruhnya atau sebagian oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan. UU No. 18 tahun 2002 Pasal 13, ayat (2) juga menyatakan bahwa perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan intelektual yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan kekayaan intelektual (Anonim, 2002). Berdasarkan kepada UU No. 18 tahun 2002 dan PP RI No. 20 tahun 2005 tersebut maka kita selaku anggota sivitas lembaga penelitian dan pengembangan sudah sepantasnya melakukan difusi teknologi kepada UMKM skala mikro dan kecil. 3. FAKTOR BERPENGARUH Difusi teknologi yang biasa dilakukan oleh instansi litbang dan perguruan tinggi kepada UMKM adalah alih teknologi, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Namun demikian kegiatan ini tidak selalu berhasil. Selain faktor UMKM sebagai penerima difusi teknologi, terdapat berbagai faktor penting lainnya yang mempengaruhi keberhasilan proses difusi teknologi, yaitu pemberi / penyedia teknologi, teknologi yang didifusikan, manajemen, jenis produk, sumber daya, dan infrastruktur. Secara rinci berbagai faktor berpengaruh tersebut akan diuraikan berikut ini. 1. Pemberi teknologi Pemberi / penyedia teknologi harus dapat mengkomunikasikan dengan sebaikbaiknya apa yang akan terjadi dengan berlangsungnya difusi teknologi (misal: jenis teknologi yang didifusikan, manfaat teknologi, cara kerja, kelebihan / keuntungan dengan pemakaian teknologi tersebut) (Angkasa et al., 2003). Tentu saja dengan kehadiran difusi teknologi ini diharapkan akan terjadi peningkatan pendapatan atau kehidupan, karena tujuan utama difusi teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan UMKM dan masyarakat sasaran. Cara penyampaian pesan oleh penyedia teknologi sangat menentukan dalam keberhasilan difusi teknologi. Demo / demplot misalnya, akan sangat membantu sasaran untuk mempermudah menerima difusi teknologi atau menolaknya tanpa harus banyak bicara karena demplot adalah media promosi yang sangat ampuh. 218
2. Jenis Teknologi Jenis teknologi juga memegang peranan penting dalam keberhasilan difusi teknologi (Adnyana et al., 1999; Angkasa et al., 2003), dan untuk menentukan jenis teknologi yang tepat pada suatu daerah atau UMKM, diperlukan studi kelayakan terlebih dahulu (Angkasa et al., 2003). Teknologi yang dapat menjawab kebutuhan yang dirasakan dan memberikan keuntungan secara nyata kepada UMKM dan masyarakat tentu akan dengan mudah didifusikan (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Penentuan teknologi, walaupun sudah dilakukan bersama-sama oleh calon pemberi dan penerima teknologi, tetapi kadang-kadang tidak tepat juga, teknologi yang didifusikan masih juga belum mencapai sasaran. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Tidak Menjawab Kebutuhan Teknologi / alat tersebut harus benar-benar dibutuhkan oleh UMKM agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu penentuan jenis teknologi yang akan didifusikan harus dibicarakan dengan matang antara pemberi dan calon penerima teknologi. Studi kelayakan sangat membantu dalam penentuan jenis teknologi yang dapat menjawab kebutuhan (Angkasa et al. 2003), walaupun diperlukan waktu, tenaga dan dana. b. Kerumitan Teknologi Tingkat teknologi / alat yang menurut kita sederhana belum tentu menurut UMKM juga sederhana, malah bisa jadi teknologi tersebut rumit, dikarenakan perbedaan pandang atau tingkat pendidikan. Teknologi yang rumit tentu tidak akan dapat dioperasikan dengan mudah, dengan demikian akan menyulitkan UMKM dalam menerima difusi teknologi. Semakin rumit/kompleks teknologi dioperasikan maka akan semakin sulit untuk diadopsi (Rogers dan Shoemaker, 1971; Sudarmo, 2005). c. Pendapatan Bila perbedaan pendapatan/keuntungan antara setelah difusi (pakai alat) dengan sebelum difusi (belum pakai alat) hanya kecil / tidak nyata atau alat tidak efisien, maka difusi tidak akan diterima (Sudarmo, 2005). Apalagi kalau penampilannya juga kurang menarik. Jika suatu teknologi dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar 50-150% (Bunch, 2001 dalam Musyafak dan Ibrahim, 2005) maka difusi akan dengan mudah diterima masyarakat petani. 3. Penerima teknologi / sasaran a. Dinamis dan bermotivasi tinggi Masyarakat sasaran termasuk UMKM yang dinamis dan mempunyai motivasi yang besar untuk maju akan memperbesar kemungkinan keberhasilan difusi teknologi dibandingkan dengan masyarakat sasaran yang pasif dan tidak mempunyai motivasi. Adnyana et al. (1999) dan Hutahaen (2006) juga menekankan perlunya motivasi yang tinggi yang dimiliki oleh UMKM agar difusi teknologi dapat berhasil dengan memuaskan. b. Peran tokoh masyarakat (formal / informal). Biasanya tokoh masyarakat mempunyai kharisma yang besar sehingga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Masyarakat biasanya akan dengan mudah/senang hati mengikuti apa yang disarankan / dilakukan oleh tokoh ini. 219
Bila seorang tokoh masyarakat sudah menyetujui terhadap suatu konsep difusi teknologi dan jenis teknologinya yang akan didifusikan maka masyarakat atau UMKM akan dengan mudah untuk menyetujuinya pula. c. Kondisi adat istiadat dan budaya masyarakat Adat istiadat dan budaya masyarakat sasaran sangat menentukan keberhasilan difusi teknologi. Teknologi yang akan didifusikan haruslah sesuai dengan adat istiadat dan budaya masyarakat sasaran / UMKM (Sudarmo, 2005; Musyafak dan Ibrahim, 2005). Peternakan babi misalnya, tentu akan ditolak bila akan didifusikan kepada masyarakat dengan mayoritas beragama islam. d. Bahan baku Suatu kegiatan produksi yang bahan bakunya tersedia secara kontinyu, konsisten, dan berkualitas bagus akan meningkatkan keberhasilan difusi teknologi pada UMKM atau sasaran lainnya. Jika ketersediaan bahan baku dan input lainnya pada daerah tertentu tidak terjamin maka suatu teknologi akan sulit diadopsi (Musyafak dan Ibrahim, 2005; Hutahaen, 2006). 4. Manajemen Paling tidak terdapat tiga hal yang berperanan penting pada difusi teknologi pada aspek manajemen, yaitu: a. Kelembagaan Sistem kelembagaan penting dalam mendukung keberhasilan difusi teknologi (Angkasa et al., 2003). Kehadiran suatu badan atau koperasi atau apapun namanya sangat diperlukan di dalam suatu proses, termasuk difusi teknologi. Badan atau koperasi berfungsi untuk menjembatani/sebagai mediasi atau pengelola dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan adanya badan khusus yang mengelola suatu kegiatan, misalnya perencanaan, administrasi dan keuangan pada umumnya kegiatan akan berjalan dengan lancar. b.
Surat Perjanjian Surat Perjanjian/Kerjasama antara pemberi dan penerima teknologi sangat membantu dalam keberhasilan difusi teknologi. Hal ini dikarenakan di dalam Surat Perjanjian minimal terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga terdapat pembagian tugas yang jelas termasuk pihak mana yang harus bertanggung jawab.
c.
Monitoring Monitoring dan evaluasi secara berkala mutlak diperlukan. Kegiatan ini tidak selalu dilakukan oleh pemberi / penyedia teknologi, padahal dengan monitoring dan evaluasi dapat diidentifikasi apakah suatu kegiatan sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum/tidak. Kalau tidak sesuai maka masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.
5. Produk Indikator produk meliputi kualitas, kontinuitas, dan konsistensi. Produk yang berkualitas bagus, termasuk penampilannya, tersedia secara berkesinambungan dan konsisten akan mempengaruhi difusi teknologi. Makin bagus kualitas suatu produk, konsisten dan tersedia secara berkesinambungan maka akan semakin besar keberhasilan difusi teknologi (Bunch, 2001 dalam Musyafak dan Ibrahim, 2005; Sudarmo, 2005). Sebaliknya kalau kualitas produk tidak bagus, tidak konsisten dan tidak tersedia secara berkesinambungan maka pemasaran produk tidak akan lancar, sehingga difusi teknologi akan mengalami kegagalan. 220
6. Infrastruktur dan Sumberdaya Tersedianya sarana transportasi yang layak sangat membantu dalam rangka pengadaan bahan baku, dan pemasaran produk. Tersedianya sumber air, sumber tenaga dan sumber daya lainnya yang memadai juga akan sangat membantu keberhasilan difusi teknologi tertentu. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi karena bila UMKM tertentu sebagai penerima teknologi mengalami kesulitan dalam penyediaan bahan baku dan atau pemasaran produknya tidak lancar berarti UMKM tersebut mengalami kegagalan. Dengan demikian difusi teknologi juga akan mengalami kegagalan. Pada umumnya pengaruh berbagai faktor tersebut terhadap keberhasilan atau kegagalan suatu difusi teknologi dapat bekerja sendiri-sendiri dan atau bersama-sama tergantung kepada kondisi UMKM sebagai penerima teknologi, pemberi teknologi, dan teknologi yang didifusikan. UMKM yang dinamis dan mempunyai motivasi tinggi biasanya hanya akan dipengaruhi sedikit faktor dibandingkan dengan UMKM yang kurang dinamis. Pada prinsipnya semua faktor tersebut dapat dibagi menjadi tiga faktor utama, yaitu pemberi teknologi, teknologi, dan penerima teknologi. Interaksi berbagai faktor tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Kondisi ini juga dapat berlaku untuk seluruh lembaga yang melakukan difusi teknologi kepada UMKM tertentu. Pemberi Teknologi
- Pesan - Manajemen - Studi kelayakan Penerima
Teknologi
Teknologi
-
Studi kelayakan Level/jenis Keuntungan Dibutuhkan
-
Dinamis Motivasi Manajemen Tokoh masyarakat Adat istiadat/sosbud Sarana dan sumber daya
Gambar 1. Interaksi Berbagai Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberhasilan Difusi Teknologi 4. PENUTUP 221
Berikut akan disampaikan kesimpulan dan saran-saran liku-liku difusi teknologi pada UMKM. 4.1. Kesimpulan Di antara enam faktor yang berhasil diidentifikasi dalam pelaksanaan difusi teknologi, terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh, yaitu: pemberi teknologi, teknologi, dan penerima teknologi. 4.2. Saran-saran Dalam difusi teknologi harus diprioritaskan kepada UMKM yang dinamis, dan bermotivasi tinggi sebagai penerima teknologi. Pembinaan terhadap UMKM, evaluasi dan monitoring mutlak perlu dilakukan. Dengan adanya kegiatan ini maka jalannya difusi teknologi dapat dikendalikan, bila terjadi penyimpangan atau hambatan akan segera dapat diidentifikasi dan diselesaikan. Untuk daerah-daerah tertentu, tokoh masyarakat, baik formal maupun nonformal mempunyai kharisma dan pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat sekitar. Oleh karena itu di dalam proses difusi teknologi tokoh masyarakat setempat perlu dilibatkan. REFERENSI Adnyana, M.O., Erwidodo, Amin, L.I., Sutjipto, Suwandi, dan Hermanto (1999),Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian, dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta: 67pp. Angkasa, W.I., Risdianto, B., dan Kasman(2003), Pengkajian Mekanisme Difusi TTG Pertanian. Proc. Sem. Teknologi untuk Negeri, Jakarta. Anonim (2002), Undang Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi RI., Jakarta. Anonim (2003), Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Jakarta. Anonim (2005),Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Jakarta. Anonim (2008a),Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Departemen Pendidikan Nasional. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1701pp. Anonim (2008b), Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 8 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Jakarta. Anonim (2010a), Pemberdayaan UMKM Pangan untuk Mengatasi Krisis, Food Review Indonesia5: 5. Anonim (2010b), Kemenkop: 79,42 persen UKM Pangan tanpa Label, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, www.depkop.go.id/, diakses tanggal 20 Juni 2011. 222
Hutahaen, L. (2006),Analisis Keefektivan dan Dampak Diseminasi Teknologi Pertanian di Sulawesi Tengah, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Musyafak, A., dan Ibrahim, T.M. (2005), Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani, Analisis Kebijakan Pertanian 3: 20-37. Partomo, T.S. (2009), Peranan UKM dan Pentingnya Modal Ventura. Fakultas Ekonomi, Universitas Tri Sakti, Jakarta: 16pp. Rafinaldy, N. (2004), Prospek Pengembangan Ekspor UKM, Infokop20: 99-105. Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F. (1971),Communication of Innovation, A Cross Cultural Approach, 2nd Ed., The Free Press. New York. Sudarmo, M.S. (2005),Perspektif Pengembangan TTG. BPPTG LIPI, Subang. Soetrisno, N. (2010), Strategi Penguatan UKM Melalui Pendekatan Klaster Bisnis, Konsep, Pengalaman Empiris, dan Harapan. www.smecda.com/deputi7/fileinfokop/noer_s.htm, diakses tanggal 13 Juni 2011. Surya, I.B.K. (2010), Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Sektor Pertanian dalam Mendukung Sektor Pariwisata di Provinsi Bali, ejournal.unud.ac.id/abstrak/(3)soca-bagussurya-ukm.pertanian(1).pdf, diakses tanggal 6 Juni 2011. Suyasa, I.B.K. (2007), Prospek Entrepreneurship dan Leadreship pada Industri KecilMenengah (SMIs) di Indonesia, Jurnal Valid 4: 37-44. Welirang, F. (2003), Mendorong Pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah yang Sehat dan Kompetitif, Makalah disampaikan pada Lokakarya diselenggarakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hotel Aston Atrium, Jakarta, 12 Desember 2003 (Tidak diterbitkan)
223
PENINGKATAN KUALITAS LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAHDI PROPINSI BANGKA BELITUNG Ishak Juarsah1) dan D. Subardja2)
[email protected] 1) 2)
Balai Penelitian Tanah, Jl.Ir.H.Juanda 98, Bogor
Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor ABSTRAK
Peningkatan kualitas lahan pasca penambangan timah yang berada dalam kawasan hutan produksi di Provinsi Bangka Belitung diperlukan informasi karakteristik lahan sebelum dan sesudah eksploitasi tambang timah. Praktek penambangan timah terbuka menyingkirkan seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan galian menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius yakni: kerusakan sifat fisik dan kimia tanah, menghilangkan vegetasi, flora dan fauna pada ekosistem yang dapat merubah iklim mikro setempat. Untuk mendapatkan timah, dilakukan proses pencucian yang pada akhirnya menyisihkan tailing berupa lumpur dan pasir yang memiliki struktur sangat tidak stabil, kandungan bahan organik sangat rendah sehingga rawan longsor dan erosi apabila ditimbun berbentuk bukit-bukit. pH tanah masam sampai sangat masam, kandungan hara yang sangat rendah, daya menyimpan air rendah dan suhu tanah yang tinggi.Sifat Fisik dan kimia tanah pada areal tailing pasca penambanganmerupakan faktor penghambat utama dalam peningkatan kualitas lahan..Pengelolaan tanah pucuk dan bahan organik merupakan suatu keharusan, selain untuk memperbaiki struktur tanah, memelihara kelembapan tanah, juga untuk mengurangi kehilangan hara, karena pada tanah-tanah yang bertekstur kasar/ berpasir hara dalam tanah mudah tercuci. Kata kunci:kualitas lahan, pasca penambangan. timah, sifat fisik, kimia tanah, Bangka Belitung 1. PENDAHULUAN Penambangan adalah kegiatan yang dilakukan baik manual maupun mekanis untuk mendapatkan bahan galian (SK Mentamben Nomor: 1211.K/008/M.PE-/1995).Kegiatan penambangan dapat dilakukan di atas permukaan tanah (tambang terbuka) maupun di dalam tanah (tambang dalam) yang meliputi antara lain penggalian, pengerukan, dan penyedotan yang menyebabkan terjadinya tumpukan bukit-bukit dan kolong-kolong yang berisikan air. Kolong dapat didefinisikan sebagai kolam bekas penambangan yang merupakan perairan/badan air yang terbentuk dari lahan bekas penambangan atau lahan galian. Lahan bekas pertambangan di daratan berbentuk lubang/cekungan-cekungan di permukaan tanah yang kemudian terisi air dan limpasan air permukaan(hujan, sungai, laut) sehingga menyerupai kolam atau danau besar. Terjadinya peningkatan kualitas lahan pasca penambangan timah yang berada dalam kawasan hutan produksi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung oleh PT. Tambang 224
Timah, diperlukan informasi karakteristik lahan sebelum dan sesudah eksploitasi tambang timah. Informasi spasial sumberdaya lahan tentang lokasi, distribusi, luasan, potensi, kesesuaian dan kendala biofisik lahan sebelum dan sesudah penambangan sangat diperlukan untuk menentukan teknik rehabilitasi yang mempercepat pemulihan lahan yang terdegradasi. Informasi ini diperlukan untuk memberikan arah dalam perencanaan dan pelaksanaan reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang timah agar kerusakan lingkungan dapat diperkecil dan produktivitas lahan dipulihkan. Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi optimal dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan (UU No. 4 Tahun 1982). Di dalam kawasan hutan produksi Bangka Belitung terdapat tambang timah seluas 60.000 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2006), yang perlu diidentifikasi dan direhabilitasi setelah lahan tersebut ditambang. Hal ini dilakukan untuk menetapkan komoditas yang sesuai dikembangkan dan teknologi pengelolaan lahan spesifik lokasi (perbaikan kesuburan tanah dan penerapan teknologi konservasi tanah) yang diarahkan pada perbaikan produktivitas lahan dan pengendalian kerusakan lingkungan. Penentuan jenis tanaman dan teknologi spesifik lokasi dilakukan berdasarkan karakterisasi dan evaluasi potensi sumberdaya lahan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan reklamasi/rehabilitasi lahan agar pemanfaatan lahan bekas tambang optimal dan dapat memulihkan kembali fungsi lingkungan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat kondisi sifat fisik tanah dan lingkungan pada bekas areal penambangan sebagai akibat dari ulah manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan baik mikro maupun makro 2. METODOLOGI PENELITIAN Pengambilan contoh fisika tanah diambil dari minipit atau profil tanah yang mewakili (representatif) setiap satuan tanah dalam satu satuan lahan pada kedalaman 0-15 cm dan 15-30 cm. Apabila satuan lahan mempunyai penyebaran cukup luas, maka contoh tanah diambil lebih dari satu profil. Untuk keperluan analisis sifat fisika tanah, dilakukan pengambilan contoh tanah utuh menggunakan tabung kuning (ring sample) berukuran tinggi 4 cm,diameter dalam 7,63 cm dan diameter luar 7,93 cm. Sifat fisik tanah yang dianalisis meliputi berat volume (BD), ruang pori toral (RPT) dan distribusi ukuran pori (pF) serta permeabilitas tanah,(Ricards and Fireman (1943) dan Ricards (1947), sedangkan untuk analisa sifat fisik tanah dilakukan pengambilan tanah komposit dengan kedalaman 0-20 cm. Hasil pengamatan lapangan tentang kondisi fisik tanah dan teknik konservasi tanah yang sudah diterapkan, serta hasil analisis fisika tanah di laboratorium digunakan untuk menilai potensi biofisik lahan dan arahan teknik konservasi/reklamasi lahan yang tepat. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kondisi Lingkungan Pasca Penambangan Proses penambangan di daratan dilakukan dengan penggalian dan penyemprotan. Penggalian dilakukan untuk mengupas material di atas lapisan deposit timah. Material yang dikupas dapat mencapai kedalaman 5 m hingga puluhan meter di bawah permukaan tanah, yang selanjutnya diangkut ke tempat penimbunan/dumping area. Pasca penambangan akan didapatkan:1).Kolong (kolam besar) dengan kedalaman dangkal atau dalam, terisi air atau kering. 2).Dumping area merupakan tumpukan material berupa campuran tanah, batuan induk, pasir, kerikil atau yang lain 3). Tailing merupakan tumpukan material hasil proses pemisahan timah dengan material lain yang dibuang setelah melalui proses pencucian. Material ini dapat berupa pasir, kerikil dan batu-batu kecil. Seperti terlihat pada Gambar1. 225
Gambar 1. Kondisi Lingkungan Pasca Penambangan Timah Dumping area dan tailing tidak dapat dikatakan tanah lagi sesuai definisi ilmiah, karena tidak ada perkembangan tanah, dan bukan melalui proses pedogenik.Keduanya mempunyai tingkat kesuburan tanah sangat rendah, dengan alasan: (a) material tailing telah kehilangan koloid tanah karena proses penyemprotan, timah dan material lainya dipisahkan dengan cara penyemprotan dengan tekanan tinggi sehingga koloid tanahnya hilang; (b) pada dumping area telah terjadi pembalikkan lapisan”tanah” akibat cut and fill, dan dikembalikan sesuai susunan lapisan sebelumnya.Akibat proses ini material lapisan di bawahnya bisa menjadi lapisan atas, dan telah terjadi campur-aduk. Lahan pasca penambangan inilah yang nantinya akan direklamasi sesuai dengan fungsi lahan sebelumnya, yaitu hutan atau untuk komoditas perkebunan sesuai dengan peruntukannya.Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa semua calon lokasi kuasa penambangan PT Tambang Timah dapat dikelompokkan berdasar kegiatan tambang, yaitu : (1) areal belum pernah ditambang, (2) areal yang telah ditambang tetapi ditambang lagi oleh penambang inkonvesional (TI), dan (3) areal yang tidak ditambang lagi. 3.2. Sifat Fisik Tanah Pasca Penambangan Sifat fisik tanah dipelajari agar dapat memberikan media tumbuh yang baik atau ideal untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Sifat fisik tanah yang ditetapkan di laboratorium adalah: berat volume, berat jenis partikel, permeabilitas tanah,distribusi ukuran pori tanah termasuk ruang pori total (RPT), pori drainase, pori air tersedia, kadar air tanah, kadar air tanah optimum untuk pengolahan tanah (Husein etal., 2006; Fahmuddin et al., 2006;). Berat volume tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang sering ditetapkan, karena berhubungan erat dengan kemudahan penetrasi akar di dalam tanah, drainase, dan aerasi tanah. Hasil analisia di laboratorium fisika, Balai Penelitian Tanah, Bogor. (Tabel.1) menunjukkan bahwa, BD tanah lapisan atas cukup tinggi yakni 1,51-2,60 g/cm3 disertai dengan ruang pori total yang berkisar antara 28,17-35,67 %Vol.; sedangkan pori aerasinya antara 8,99-16,97 % Vol.(tergolong tinggi). Tingginya nilai BD tanah disebabkan oleh tekstur tanah yang berpasir dan rendahnya kandungan bahan organik tanah. Kondisi fisik tanahtanah ini perlu diperbaiki melalui pengolahan tanah dan pengelolaan bahan organik guna menciptakan media tumbuh yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman. Kondisi tanah yang demikian cukup menunjang pertumbuhan tanaman reklamasi namun masih memerlukan upaya pengelolaan bahan organik yang disertai dengan sistem pemupukan berimbang spesifik lokasi yang sesuai kebutuhan tanaman. Pergerakan air di dalam tanah merupakan aspek penting yang berhubungan dengan bidang pertanian seperti: masuknya air ke dalam tanah, pergerakan air ke zone perakaran, drainase, aliran permukaan, dan evaporasi yang sangat berkaitan erat dengan kemampuan 226
tanah untuk melewatkan air. Permeabilitas merupakan salah satu sifat lapisan tanah yang sangat berpengaruh terhadap kepekaan tanah terhadap erosi.Tanah-tanah dengan permeabilitas tinggi relatif kurang peka terhadap erosi dibandingkan dengan yang permeabilitas rendah. Banyaknya air di dalam penampang tanah ditentukan oleh permeabilitas horizon tanah yang paling padat. Jika horizon tersebut berada pada lapisan tanah yang lebih dalam, maka permeabilitas penampang tanah tergantung pada kecepatan air yang bergerak dalam penampang tanah tersebut. Mekanisme tersebut tidak terlepas dari kemampuan tanah dalam memegang atau menahan air, yang tergantung juga pada ikatan partikel-partikel tanahnya, sehingga kelebihan air yang tidak dapat ditahan oleh tanah akan bergerak ke lapisan tanah yang lebih dalam. Pergerakan air di dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah seperti: tekstur, bahan organik, dan lapisan padat/kedap. Umumnya rata-rata permeabilitas tanah-tanah di lokasi penelitian tergolong sedang (4,21 cm/jam) agak cepat (9,77 cm/jam. Dengan pengolahan tanah dan pengelolaan bahan organik akan turut memperbaiki kondisi permeabilitas tanah. Tabel 1. Sifat Fisik Tanah pada Lokasi Tambang Timah di Pulau Bangka Belitung Lokasi/
Kedalaman
BD
PD
RPT
Desa
Pori drainase Cepat
(Cm)
3
(g/cm )
Air tersedia
Permeabilitas
lambat (% Vol.)
(Cm/jam)
S.Pesak
0-15
1,58
2,28
30,86
15,65
6,21
4,46
9,77
Lasar
0-15
1,64
2,28
28,17
16,97
5,78
3,42
6,14
Lasar
0-15
1,51
2,35
35,67
8.99
4,49
9,40
4,68
Sijuk
0-15
1,21
2,46
50,90
22,93
2,87
12,97
2,92
J. Asem
0-15
0,94
2,54
62,92
39,38
3,43
10,11
14,07
H. Makmur
0-15
1,15
2,61
56,04
28,78
3,09
9,99
8,68
Kelidang
0-15
0,90
2,38
62,22
23,69
3,91
18,75
5,50
Keretak
0-15
0,80
2,66
69,87
33,19
3,95
16,32
15,12
Lintang
0-15
1,07
2,62
59,20
23,69
3,91
14,16
14,07
Air Slumar
0-15
0,93
2,35
60,55
37,62
3,89
10,56
12,86
Air Sungkai
0-30
1,12
2,37
52.58
17,86
6,62
17,52
1,36
Mayang 1
0-30
0,85
2,57
67,07
34,82
3,14
17,36
16,11
Tempilang.2
0-30
0,85
2,60
67,38
59,19
2,77
2,97
6,14
Panganak.1
0-30
1,06
2,58
58,89
14,30
6,55
11,86
5,56
Panganak 6
0-30
1,24
2,57
51,74
18,38
3,90
4,07
1,48
227
Lumut.4
0-30
1,56
2,44
35,89
17,74
3,06
5,46
9,36
Lumut 4
0-30
1,24
2,61
52,39
8,74
3,55
29,59
8,20
.Bendol
0-20
1,08
2,58
58,09
31,40
3,92
9,68
6,98
.Air BElo
0-20
1,21
2,50
51,60
26,11
3,80
9,72
4,04
Gg .Muda
0-30
1,43
2,55
44,09
6,19
4,46
11,.38
6, 01
Sumber:Analisis Laboratorium fisika, Balai Penelitian Tanah, Bogor (2009) 3.3. Sifat Kimia Tanah Pasca Penambangan Tambang inkonvensional dilakukan dengan mengaduk semua tanah bagian atas dan bawah, serta dilumpurkan. Tanah yang telah melumpur disedot dengan pompa mesin dan dialirkan ke suatu tempat penampungan yang dibuat dari kayu (sakan) untuk memisahkan antara tanah dengan timah. Berdasarkan berat jenis (bulk density = BD) material, material yang BD ringan seperti mineral liat dan debu terbawa oleh air dan masuk ke badan air/sungai, dan material ber-BD berat seperti pasir dan kerikil mengendap di areal tailing. Sementara timah dengan BD yang lebih berat tinggal di sakan. Hal ini dibuktikan oleh kekeruhan air bekas penambangan yang mengalir di sungai. Proses penambangan yang demikian mengakibatkan tailing yang bertekstur berpasir lepas, sebagian besar berupa pasir kuarsa dan kolong yang cukup dalam dan luas. Kuarsa merupakan mineral pasir yang sulit melapuk, sementara fraksi pasir yang mudah lapuk sudah habis, sehingga dapat dikatakan bahwa tanah tersebut sangat kurus. Tanah didominasi oleh Udipsamment, Psammaquents, Udortent dengan tekstur pasir lepas berwarna putih kekelabuan, dan putih kecoklatan. Pada tanah yang bertekstur pasir tingkat kesuburan tanah sangat rendah, karena tanah tidak mampu memegang unsur hara akibatnya hara dalam tanah banyak yang hilang tercuci, KTK dan kadar bahan organik rendah. Tanaman sering mengalami kekeringan, terutama di musim kemarau sehingga tidak dapat menyerap hara tanah, karena kemampuan tanah berpasir dalam memegang air sangat rendah. Akibat kondisi tanah yang demikian, tanaman yang tumbuhpun sangat terbatas atau hanya tanaman yang mempunyai adaptasi tinggi terhadap kondisi yang ekstrim ini. Misalnya melastoma, kerinyu, rumput purun, Acasia mangium dan tanaman semak (puspa, karimunting), sedangkan pada tanah cekungan yang terpengaruh air laut tanaman yang dominan adalah bakau, gelam, dan cemara laut. Sifat fisik dan kimia tanah yang sudah terganggu atau tailling disajikan pada Tabel 2. Kadar pasir pada tailling baik yang berwarna putih, kekelabuan, coklat maupun yang campur berkisar antara 89 – 98%. Dari pengamatan lapang menunjukkan bahwa pasir pada tailling lepas, kadar pasir yang demikian kemungkinan tidak dapat mengikat air atau hara untuk tanaman
228
Tabel 2. Sifat Kimia Tanah Pasca Penambangan(tailling)
Profil
Pasir
pH H2O
%
Bahan organik C
N
HCl 25%
P Bray
NH4OAc 1 N, pH 7
P2O5 K2O P2O5 Ca
.........%......... ..mg/100g.. Ppm
MA03/II
97
4,6
0,19
0,02
8
3
MA04/IIP
94
4,9
0,07
0,01
1
3
MA04/IIC
91
4,4
0,73
0,07
5
3
MA06/IIP
98
4,5
0,24
0,02
7
9
MA06/IIK
89
4,6
0,59
0,05
5
4
MA07/IICa
94
4,8
0,09
0,01
1
MA07/II
82
4,3
0,38
0,03
MA08/I
93
4,5
0,51
MA09/I
96
4,4
MA11/I
95
MA12/I
91
-
Mg
K
Kej. Al
Na KTK KB
........cmol(+)/kg..... 0,23 0,06 0,03 0,10 0,72
...%... -
3,8 0,18 0,06 0,03 0,05 1,12 29 -
7 3
0,23 0,06 0,03 0,05 2,80 13
56
1,5 0,28 0,17 0,03 0,14 3,11 20
18
-
0,23 0,08 0,03 0,06 3,57 11
56
6
6,2 0,09 0,12 0,03 0,05 1,78 16
10
1
6
5,1 0,18 0,12 0,03 0,05 3,24 12
54
0,05
3
3
-
0,05 0,05 0,00 0,02 2,90
4
56
0,51
0,05
3
3
-
0,18 0,06 0,00 0,05 3,32
9
53
4,6
0,15
0,01
2
3
4,9 0,14 0,06 0,00 0,05 1,93 13
56
4,8
0,40
0,03
3
3
-
0,14 0,06 0,00 0,07 2,24 12
29
Keterangan: P = tailling putih, C = tailling coklat, K = tailling kekelabuan, Ca = tailling campuran Tailling bekas penambangan bersifat masam, berkadar C-organik rendah, kadar N, P, K, Ca, Mg, dan KTK rendah. Kejenuhan basa rendah (4 – 29%), hal ini menunjukkan bahwa kation basa pada tailling sangat rendah. Kejenuhan Al dalam tailing berkisar antara 3-56%. Padakondisi demikian, tanpa perbaikan kesuburan tanah, tailling tidak layak untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini ditujukkan oleh pertumbuhan tanaman di lapang, sebagian besar tanaman tidak mampu tumbuh pada tailling. 3.4. Konservasi Tanah dan Reklamasi Pelaksanaan tindakan konservasi reklamasi/rehabilitasi lahan bekas penambangan sebaiknya menggunakan tanaman lokal yang telah ada disekitar lokasi penambangan antara lain : Mentangor, Melastoma, Mentru, Seru, mangrov dipantai dll, sedangkan tanaman Acasia yang tumbuh cocok disetiap lokasi atau untuk semua jenis lahan baik yang subur sampaikritis dilokasi penambangan adalah merupakan tanaman introduksi. Tanaman yang ada dan telah tumbuh dilokasi penambangan adalah : Jambu mete, Mahion, Albasia yang ditanam dengan sistim pot seperti yang dijumpai di KP Bandul di Mentok. Kesemua 229
tanaman tersebut harus dipersiapkan atau dibuat persemaian dalam jumlah yang cukup banyak. Kondisi lahan pasca penambangan yang belum stabil, drainase dan permeabilitas yang jelek/lambat, kemampuan memegang air sangat rendah, pH yangsangat masam, kadar bahan organik tanah rendah dan miskin unsur hara serta rendahnya daya adaptasi beberapa jenis tanaman pada kondisi ekstrim seperti ini juga turut mempengaruhi tingkat kematian dan proses pertumbuhan tanaman. Untuk meningkatkan kadar bahan organik pada lahan pasca penambangan dapat ditempuh melalui: penggunaan pupuk kandang, pemberian mulsa, dan penanaman jenis tanaman legum penutup tanah (Sudjadi, 1996). Apabila kadar bahan organik dalam tanah rendah, maka efisiensi pemupukan juga rendah. Untuk meningkatkan kadar bahan organik pada lahan pasca penambangan dapat ditempuh melalui: penggunaan pupuk kandang, pemberian mulsa, dan penanaman jenis tanaman legum penutup tanah (Adiningsih dan Sudjadi, 1993), Reklamasi lahan ditujukan pada usaha perbaikan lahan di dumping area,tailing dan kolong untuk memulihkan fungsi produksi dan atau lingkungan.Kondisi lahan pasca penambangan yang belum stabil, drainase dan permeabilitas yang jelek/lambat, kemampuan memegang air sangat rendah, pH yang sangat masam, kadar bahan organik tanah rendah dan miskin unsur hara serta rendahnya daya adaptasi beberapa jenis tanaman pada kondisi ekstrim seperti ini juga turut mempengaruhi tingkat kematian dan proses pertumbuhan tanaman (Gambar 2).
Gambar 2. Reklamasi Lahan Diperlukan Tanaman yang Spesifik Lokasi dan Sesuai . Prinsip reklamasi lahan pasca penambangan adalah: (1) penataan ruang danbentuk lahan, (2) pengelolaan tanah pucuk, (3) reklamasi lahan dengan pembenah tanah dan penanaman vegetasi baru, (4) reklamasi kolong bekas galian tambang, dan (5) sosialisasi. Kelima kegiatan tersebut harus berjalan secara bersamaan. Penataan lahan pasca penambangan memegang peranan penting dalam upayareklamasi lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk lahan adalah: (a) volume bahan yang dipindahkan, (b) penambahan volume saat penempatan kembali, (c) terbatasnya ruangan, (d) bentang lahan sebelum ditambang.Pengelolaan tanah pucuk sangat menentukan keberhasilan reklamasi lahan.Tanah pucuk digunakan sebagai media tumbuh tanaman dengan ketebalan 30-50 cm ditempatkan di atas lapisan tanah/bahan eks galian (tailing,).(Sidik H. Tala'ohu,. et al, 1996, Puslittanak. 1997). Pengalaman menunjukkan, bahwa tanpa dilapisi tanah pucuk ternyata lahan pasca penambangan sulit ditumbuhi tanaman pada 2 sampai 3 tahun pertama. Tanah pucuk terdiri dari: top soil dan sub soil, bahkan bahan induk tanah yang telah melapuk. Sifat kimia, fisika, dan biologi tanah atas ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tailing. Untuk itu pemisahan tanah pucuk dan menempatkannya di daerah yang aman merupakan keharusan. Pada awal penambangan, untuk mendapatkan tanah pucuk tidak begitu bermasalah. Namun menjelang berakhirnya proses penambangan, lapisan tanah atas semakin sulit untuk didapatkan. Hal initerjadi karena: (1) sebagian tanah atas tertimbun bahan galian berupa tailing, dan (2) luas permukaan lahan yang perlu ditutup dengan tanah pucuk sangat luas. 230
Untuk lahan bekas penambangan yang tidak memungkinkan untuk dilapisi dengan tanah pucuk, diusahakan lapisan atasnya berasal dari material tambang yang tidak bersifat racun bagi tanaman. Mengingat umur penambangan relatif pendek maka sejak dibukanya penambangan, selayaknya sudah memperhatikan dan merencanakan pemanfaatan lahan pasca penambangan secara komprehensif apakah akan dihutankan kembali, menjadi hutan tanaman industri, perkebunan, atau sebagai obyek wisata.Setelah proses penambangan dianggap selesai, kegiatan berikutnya adalah meratakan (leveling), perbaikan dan pembuatan saluran drainase serta terjunan air dari kayu pada tempat-tempat dimana air aliran permukaan terkonsentrasi, menanami dengan vegetasi lokal maupun introduksi yang adaptif dengan kondisi ekstrim lahanpasca penambangan. Upaya reklamasi lahan pasca penambangan dapat dilakukanantara lain: dengan pemberian bahan pembenah tanah, misalnya: bahan organik,kapur, dolomit, P- alam, zeolit, terak baja, dan atau bitumen. Bahan organik dapat berupa: pupuk kandang, pupuk hijau, sisa panen, limbah sawmill dan lain sebagainya.Pupuk hijau dapat diusahakan melalui tanaman kacang-kacangan penutup tanah(legume cover crop), rumput-rumputan, pohonpohonan atau perdu lainnya. (Puslittanak. 1997). 4. KESIMPULAN 1. Status kesuburan tanah-tanah umumnya rendah sampai sangat rendah. Kondisi ini disebabkan bahan induk tanahnya sendiri miskin cadangan mineral, dan ditambah lagi dengan terjadinya pencucian hara secara intensif, sehingga tanah miskin hara terutama NPK, C organik dan basa-basa dapat ditukar. Tanah-tanah yang drainase terhambat, mempunyai status kesuburan sedikit lebih baik dari tanah lahan kering. Penambahan pupuk NPK, pengapuran dan bahan organik sangat dibutuhkan guna memperbaiki dan meningkatkan status K sesuai dengan kebutuhan. 2. Lahan pasca penambangan rawan erosi, sehingga memerlukan penanganan berupa penanaman LCC dan tanaman tahunan yang adaptif, pembuatan saluran pembuangan air (SPA), pemberian pupuk organik dan an-organik guna menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman reklamasi pada awal pertumbuhan. 3. Tanaman tahunan atau tanaman penghijauan yang dapat dikembangkan diareal pascapenambangan antara lain: tanaman lokal (gelam, simpur, seru,mentru, karamunting,sapu-sapu, asam, nyatoh); tanaman introduksi (Acasiamangium, Albizia falcata,Switenia mahagoni, Leucaena leucocephala,Gliricideae sp., Gmelina arborea, Kapuk,Angsana, kemiri), serta jenis buah buahan (jambu mete, sukun, durian, dukuh, langsat,rambutan). REFERENSI Adiningsih S. dan M. Sudjadi (1993), Peranan sistem bertanam lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Hal 30-40 dalam Risalah SeminarHasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Puslittanak,Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2006), Belitung Dalam Angka. Katalog BPS:1403.1902. ISSN: 0215.4005. pp. 295. Cetakan 2007. Fahmuddin, A., R. D. Yustika, dan U. Haryati (2006), Penetapan berat volumeTanah dalam Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisanya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 231
Husein . S., A. Rachman, dan Sutono (2006), Petunjuk pengambilan contoh tanah alam Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisanya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,Departemen Pertanian. Puslittanak-P4LH (1996), Laporan akhir penelitian studi upaya rehabilitasi lingkungan penambangan timah. Kerja sama Puslittanak dengan Proyek Penataan Lingkungan Hidup.(tidakdipublikasikan). Puslittanak (1997), Laporan Akhir Pengujian dan Pengembangan Reklamasi SumberdayaLahan serta Pelatihan Tahun III. Kerja Sama PTBA dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. (Tidak dipublikasikan). Ricards, L. A., and L. A. Fireman (1943), Pressure plate apparatus for measuring misturesorption and transmission by soils. Soil Sci. 56:395-404. Ricards, L. A (1947), Pressure membrane apparatus, construction and use, Agric. Eng. 28:451 454. Sidik H. Tala'ohu, S. Sukmana, D. Erfandi dan D. Sudjarwadi (1996), Reklamasi tanahpasca penambangan sisa galian penambangan batubara dan monitoring erosi di Tanjung Enim. Kerja Sama PTBA dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. Prosiding Pembahasan Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bidang Fisika, Konservasi Tanah dan Air dan Agroklimat. Bogor, 21-23 Agustus 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sudjadi M (1996), Reklamasi dan reboisasi lahan bekas tambang, Makalah disajikan pada pertemuan teknis pengelolaan lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi 1995/1996. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. (Tidak dipublikasikan)
232
REKAYASA SOSIAL ADOPSI TEKNOLOGI PASCA PANEN PADI UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Mahra Arari Heryanto, SP., MT.1 dan Dr. Ir. Muhammad Tasrif, M.Eng2
[email protected] LPPM Universitas Padjadjaran
1
SAPPK Institut Teknologi Bandung
2
ABSTRACT Adoption of post harvest technology (threser) have a negative impact if not accompanied by social engineering in the institutional of rice farmers. The original goal to increase rice farmers can not be achieved because only benefits farmers partially, which are farmers who have large land. Economic dualism between farmers and workers (peasants) becomes sensitive in terms of adoption of technology because of the farmers’ income. This study simulates the social-engineering by the application of “zakat system” in agriculture and harvest-management services by the peasants. Simulation results show that the socialengineering increases the transfer of value from farmers to peasants, thus the adoption of technologies do not harm the peasant class workers. Keyword: adoption of technology, social-engineering, “zakat” in agriculture, system dynamic 1. PENDAHULUAN Teknologi pasca panen padi yang diperkenalkan sejak masa Revolusi Hijau sampai sekarang banyak menuai kontroversi. Salah satunya adalah teknologi mesin perontok padi yang secara spesifik mempengaruhi produksi petani dalam hal menurunkan kehilangan hasil produksi gabah pada saat kegiatan pasca panen. Namun demikian, pada saat yang bersamaan juga menghilangkan kesempatan para buruh tani untuk mendapatkan kesempatan bekerja pada saat musim panen. Artinya para buruh tani dan petani yang berlahan sempit akan mengalami kehilangan pendapatannya. Pemerintah dalam hal adopsi teknologi mesin perontok padi (thresher) telah melakukan beberapa upaya seperti membentuk UPJA (Unit Pengelolaan Jasa Alat Mesin Pertanian), yaitu lembaga usaha untuk mengelola penggunaan alat mesin pertanian, salah satunya threser. Akan tetapi alasan sosial para buruh tani menjadi hambatan, yang berdampak kepada pengurangan kesempatan kerja yang digantikan oleh teknologi. Dengan berkurangnya kesempatan kerja berarti kehilangan pendapatan bagi kelompok petani kecil, yang hampir seluruhnya bekerja sebagai buruh tani untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selain dari menggarap lahan. Lebih jauh lagi Heryanto (2010) mengatakan bahwa penggunaan threser berujung kepada penurunan pendapatan petani kecil pada satu sisi dan peningkatan pendapatan petani berlahan luas pada sisi yang lain. Kondisi tersebut menciptakan jurang pemisah antara si kaya di si miskin di perdesaan, petani berlahan luas yang memiliki banyak simpanan akan terus berlipat simpanannya dari penurunan kehilangan hasil, tetapi petani 233
kecil yang sering kali defisit pemasukannya semakin tertekan dengan berkurangnya pemasukan sebagai buruh tani. Hal tersebut diungkapkan oleh Saeed (1980) sebagai dualisme ekonomi petani yang banyak terjadi di negara berkembang. Boeke (1953), Geertz (1983), dan Collier (1996) banyak mengambil contoh kasus dualisme yang terjadi di perdesaan yang ada di Indonesia, yaitu bagaimana pertentangan antara petani pemilik lahan dengan buruh tani. Kondisi ekonomi petani berlahan luas selalu lebih baik dan lebih sejahtera dibandingkan dengan petani buruh dan berlahan sempit, distribusi pendapatan antara kedua kelompok petani tersebut tidak merata sehingga terjadi ketimpangan. Polarisasi semacam ini apabila terus dibiarkan akan berdampak buruk bagi pembangunan ekonomi di perdesaan yang sebagian besar menggantungkan hidupnya kepada sektor pertanian. Pada beberapa kasus penggunaan teknologi threser menuai konflik yang disebabkan penolakan oleh para buruh tani, terutama pada saat panen. Sebagai salah satu kegiatan padat karya, pemanenan padi memerlukan banyak tenaga buruh tani, tetapi dengan masuknya mesin perontok padi akan mengurangi penggunaan tenaga buruh tani. Permasalahan adopsi teknologi pasca panen padi berdasarkan persoalan di atas berkaitan erat dengan kelembagaan petani padi. Pertentangan yang terjadi antara manfaat yang diterima oleh petani berlahan luas dengan kerugian yang diterima oleh buruh tani dan petani berlahan sempit berpotensi menimbulkan konflik sosial. Diperlukan suatu rekayasa sosial untuk mengatasi persoalan di atas agar teknologi yang digunakan memberikan manfaat baik kepada petani berlahan luas maupun kepada buruh tani. 2. PERUMUSAN MASALAH Persoalan adopsi teknologi threser tidak hanya melibatkan hubungan antara teknologi (artifak teknis) dengan manusia (petani padi) saja, tetapi juga melibatkan hubungan antar manusia yakni, petani berlahan luas dengan petani buruh. Bagaimana model rekayasa sosial yang diperlukan dalam interaksi antara petani berlahan luas, petani buruh dan threser agar memberikan manfaat secara ekonomis baik bagi petani besar (lahan luas) maupun petani buruh? 2.1. Metode Penelitian 2.1.1. Metode Analisis Fenomena dalam sektor pertanian sebagaimana dijelaskan sebelumnya melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan teknologi. Dampak dari adopsi teknologi yang terkait dengan aspek sosial-ekonomi-teknologi sangat dirasakan oleh petani di perdesaan. Berdasarkan kompleksitas tersebut, maka metodologi yang digunakan adalah Dinamika Sistem atau System Dynamics dengan pertimbangan bahwa metodologi tersebut mampu mengakomodasi dinamika sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem dengan bertambahnya waktu. Penggunaan metodologi Dinamika Sistem lebih ditekankan kepada tujuan peningkatan pemahaman tentang bagaimana tingkah laku muncul dari struktur dalam sistem yang terbentuk. Pemahaman ini sangat penting dalam perancangan kebijakan yang efektif (Tasrif, 2006).
234
2.1.2. Sumber dan Jenis Data Data terdapat dalam basis data yang berbentuk numerik, tulisan (literatur) dan mental (mental data base). Menurut Forrester (1987) basis data mental adalah informasi detil tentang segala sesuatu yang terdapat pada pengambilan keputusan dimana masyarakat dan barang bergerak, dan keputusan dibuat. Informasi data mental harus di cek secara bersilang dengan berbagai sumber informasi. Basis data tertulis (written data base) lebih luas daripada basis data numerik (numerical data base) dan basis data mental (mental data base) jauh lebih luas dibandingkan data tertulis. Proses pemodelan dinamika sistem dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif karena terkait dengan pengambilan keputusan para aktor yang terlibat dan juga menggunakan data kuantitaif. Menurut Reyes (2003) proses pemodelan dinamika sistem terbagi ke dalam beberapa tahapan yang dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Proses Pemodelan Dinamika Sistem dalam Adopsi Teknologi Pasca Panen Padi Tahapan Pemodelan
Isu dalam Pemodelan
Definisi masalah
Konflik antara petani berlahan luas dengan buruh tani dalam adopsi teknologi threser
Konseptualisasi sistem
Petani berlahan luas dan buruh tani berinteraksi dalam penggunaan threser untuk usahatani padi
Formulasi model
Pembuatan diagram sebab-akibat dan diagram alir, kemudian disimulasikan menggunakan komputer
Konseptualisasi
Formulasi
Analisis model
perilaku Analisis perilaku model tahun 2006 sampai tahun 2070
Pengujian Evaluasi model
Membandingkan dengan dunia nyata (petani padi) dan studi literatur (artikel yang membahas adopsi teknologi dan ekonomi petani)
Analisis kebijakan
Menyimulasikan berbagai kebijakan yang telah diterapkan dan akan diterapkan (UPJA, zakat pertanian, jasa panen padi)
Penggunaan Model
Menggunakan model untuk merancang upaya mengatasi persoalan yang terjadi dalam dualisme ekonomi pertanian
Implementasi
Sumber: diadopsi dari Reyes, Luna dan Anderson L. Deborah (2003) Data mental diperoleh melalui wawancara dengan beberapa petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Harapan di Desa Ujungaris, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu dan petugas PPL (Penyuluh Lapangan) setempat. Kabupaten Indramayu merupakan sentra produksi beras regional dengan kontribusi 10,37% terhadap produksi Jawa Barat (2010). Sebagai sentra produksi beras Kabupaten Indramayu memiliki petani dan buruh tani padi dalam jumlah yang sangat banyak. Para buruh tani di Desa Ujungaris, 235
Kecamatan Widasari pada saat dilakukan penelitian masih belum menggunakan teknologi threser pada saat pemanenan padi, sehingga dapat dipilih sebagai lokasi penelitian. 3. STRUKTUR MODEL ADOPSI TEKNOLOGI THRESER OLEH PETANI PADI Threser adalah metode baru yang digunakan oleh petani berlahan luas bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi agar tingkat kehilangan hasil gabah pada saat pemanenan padi dapat ditekan. Petani berlahan luas melakukan investasi terhadap teknologi threser dengan cara membeli teknologi tersebut. Sebelum adanya teknologi threser, para petani berlahan luas melakukan pemanenan padi dengan menggunakan tenaga buruh tani yang disebut dengan istilah lokal sebagai penderep. Imbalan yang diberikan oleh petani berlahan luas kepada buruh tani atas pekerjaannya memanen padi berupa natura gabah atau dikenal dengan istilah bawon. Sistem bawon menggunakan proporsi 1:6 atau sebanyak satu per tujuh (14,3%) bagian gabah yang berhasil dipanen disisihkan untuk diberikan kepada penderep (buruh tani panen) sebagai upah (Gambar 1). Sistem pemanenan padi seperti ini telah berlangsung lama dan turun temurun, sehingga tidak aneh pada saat musim panen tiba, sering kali di perdesaan kekurangan tenaga kerja untuk melakukan panen. Selain penderep, dari golongan buruh tani dikenal juga dengan istilah pengeprik yaitu salah seorang dari angota keluarga petani buruh yang memunguti gabah yang tercecer pada saat padi di gepyok atau di gebot. Pengeprik memungut sisa-sisa gabah yang tercecer pada saat penderep bekerja memanen padi. Kehilangan hasil panen berdasarakan hasil penelitian di Karawang bisa mencapai 8% dari hasil produksi gabah (Gambar 1).
n Pe
P H enu as r il un Pa an ne K n eh (lo ila se n g s ) an
Teknologi Threser ol er
gi lo no
es
iT ek
r Th
ta s
an
In v
ja
es
ak
n er ga K an an ur at n g mp Pe ese K Bawon
Petani Berlahan Luas
Buruh Tani/ Petani Lahan Sempit
1. Pemanenan Padi/Penderep 2. Pengeprik
Gambar 1. Interaksi antara Teknologi Threser, Petani Berlahan Luas dan Buruh Tani pada Kegiatan Pemanenan Padi
Interaksi antara petani berlahan luas dengan petani buruh menghasilkan transfer nilai berupa faktor produksi dalam bentuk pembayaran atas faktor produksi yang didapatkan oleh masing-masing. Petani berlahan luas mendapatkan tenaga kerja dan membayar dalam bentuk upah tenaga kerja (buruh tani), sementara petani buruh menerima pendapatan dari hasil bekerja memanen padi (penderep) dan memunugut gabah (pengeprik). 236
Sejak masuknya teknologi threser pada awal tahun 2000-an melalui program mekanisasi pertanian yang gencar dilakukan oleh Pemerintah terjadi pergolakan terutama dari kalangan buruh tani yang berprofesi sebagai pengeprik atau pemulung gabah. Kelompok petani buruh menentang adanya teknologi threser karena akan mengurangi penggunaan tenaga kerja pada saat panen. Lebih besar lagi dampaknya adalah bagi para pengeprik yang kehilangan pendapatan secara keseluruhan karena tidak ada lagi gabah tercecer. Berdsarkan informasi dari PPL setempat, penolakan yang terjadi menimbulkan gejolak sosial antara petani buruh dengan petani berlahan luas atau dalam teori dualisme Boeke (1953) dikenal antara buruh dan majikan. Salah seorang petani buruh Pak Warsim mengungkapkan: “kalo ada mesin yang kerja nderep jadi kurang, nanti kita makan apa kalo gak kerja?” Setelah terjadinya penolakan yang luar biasa dari petani buruh, akhirnya penggunaan teknologi threser di desa Ujungaris dihentikan. Teknologi bantuan dari pemerintah tidak lagi digunakan oleh petani untuk melakukan pemanenan padi di daerah tersebut. Struktur dari interaksi tersebut akan dijelaskan menggunakan hubungan sebabakibat (Causal Loop Diagram/CLD) 3.1. Hubungan Sebab-Akibat (Causal Loop Diagram) Teknologi Threser dengan Pendapatan Petani Padi Dalam perspektif berpikir sistem (system thinking), lingkar sebab-akibat positif akan menghasilkan suatu perilaku pertumbuhan (growth) atau penurunan dengan cepat16 (Tasrif, 2004). Lingkar P1, P2, P3 dan P4 pada Gambar 2 merupakan lingkar positif yang dapat meningkatkan pendapatan petani berlahan luas dan petani buruh.
16
Sebagai suatu contoh, apabila bunga tabungan yang kita peroleh setiap bulan ditabungkan kembali ke dalam tabungan sebelumnya, proses pembuatan keputusan ini membentuk suatu lingkar sebab-akibat positif. Tahun demi tahun (bila struktur itu terus dipertahankan), kita mengetahui, jumlah tabungan tersebut akan meningkat dengan cepat
237
Kas Jasa Panen
Penerimaan Jasa Panen + +
Pembayaran Jasa Anggota
harga thresher
+ Reinvestasi Thresher
Harga jasa panen P2 (+)
+ Intensitas tanam
+
+ Gabah dirontok dgn thresher + Waktu kerja thresher
Rasio gabah dirontok thresher -
-
Penyusutan Thresher
umur teknis thresher
Kapasitas thresher
pengadaan thresher
Thresher kaki
+
P3 (+)
P4 (+) Penambahan thresher kaki + +
P1 (+)
+ Penerimaan teknologi + +
Fraksi kehilangan hasil pengeprik +
-
+
-
-
Pendapatan jasa panen PBu
+ Pendapatan pengeprik
Kehilangan hasil krn Pengeprik
Pendapatan Jasa Panen PBs
+
+ Pendapatan PBu
tenaga kerja pertanian
+ +
Kehilangan hasil karena tercecer
-
+
Produksi gabah PBu
+ Pendapatan PBs +
-
Fraksi kehilangan hasil tercecer
-
Produksi gabah PBs
+ Produksi gabah total
+
Kebijakan Pemerintah PBu : Petani Buruh PBs : Petani Berlahan Luas Gambar 2. Diagram Lingkar Sebab-Akibat Positif Model Teknologi threser dan Pendapatan Petani Padi Bagi petani berlahan luas, peningkatan pendapatan tidak hanya berasal dari peningkatan produksi gabah saja, tetapi juga berasal dari pengelolaan teknologi threser yang disebut dengan UPJA. Sebagian besar pengelola UPJA adalah petani berlahan luas yang memiliki kemampuan untuk melakukan pengadaan teknologi threser dan lebih dipercaya oleh Pemerintah untuk mengelola usaha bentukan pemerintah tersebut. Penerimaan dari jasa panen yang diterima oleh UPJA akan menambah pendapatan kelompok petani berlahan luas lebih tinggi dibandingkan petani buruh karena keterlibatan petani buruh yang bertindak bukan sebagai pengambil keputusan pada kelompok UPJA (Lingkar P3 dan P4). Perlu diketahui, dengan menggunakan paradigma berfikir sistem dapat terlihat bahwa penggunaan teknologi threser pada dasarnya tidak hanya memberikan keuntungan kepada petani berlahan luas saja, tetapi juga kepada petani buruh yang sama-sama melakukan proses produksi padi. Produksi gabah dari petani buruh akan meningkat seiring dengan berkurangnya kehilangan hasil gabah akibat tercecer. Peningkatan hasil gabah ini 238
akan meredam sebagian petani buruh untuk menolak penerimaan teknologi threser, sehingga penambahan threser dapat terus dilakukan (Lingkar P1). Selanjutnya lingkar positif P2 adalah lingkar positif dari reinvestasi threser. Reinvestasi tersebut berasal dari biaya penyusutan yang kemudian disisihkan untuk melakukan investasi membeli trheser yang baru agar usaha UPJA tetap berkelanjutan. Skenario inilah yang pada awalnya direncanakan dalam adopsi teknologi threser dimana para petani padi baik petani berlahan luas dan petani buruh dapat menerima teknologi selain peningkatan efisiensi produksi padi. Kas Jasa Panen
Penerimaan Jasa Panen +
Pembayaran Jasa Anggota
harga thresher
+ Reinvestasi Thresher
+ Harga jasa panen
Kapasitas thresher Intensitas tanam +
+ Gabah dirontok dgn thresher
+
Penyusutan Thresher
umur teknis thresher
+ Waktu kerja thresher
Rasio gabah dirontok thresher -
-
N1 (-)
Penerimaan teknologi + +
Fraksi kehilangan hasil pengeprik +
Kehilangan hasil krn Pengeprik
+
Pendapatan pengeprik
N2 (-) +
Kehilangan hasil karena tercecer N3 (-) +
Produksi gabah total
Produksi gabah PBu N4 (-) -
-
Fraksi jasa panen PBs + + Pendapatan Jasa Panen PBs
+ Pendapatan jasa panen PBu
-
+ + Pendapatan PBu
tenaga kerja pertanian
+ Fraksi kehilangan hasil tercecer
N5 (-)
+
-
-
+ Penambahan thresher kaki +
Thresher kaki
+
pengadaan thresher
-
+
+ Pendapatan PBs +
Produksi gabah PBs
+
PBu : Petani Buruh PBs : Petani Berlahan Luas Gambar 3. Diagram Lingkar Sebab-Akibat Negatif Model Teknologi threser dan Pendapatan Petani Padi Skenario awal tersebut mungkin bisa berhasil di beberapa lokasi sentra produksi padi seperti Subang atau Karawang, akan tetapi berbeda dengan kasus yang terjadi Desa Ujungaris, Kecamatan Widasari, Indramayu ini. Keberadaan teknologi threser mengakibatkan berkurangnya jam kerja petani buruh pada saat panen (penderep) dan pemulung gabah (ngeprek atau negprik) tidak mendapatkan gabah yang tercecer. Akibatnya pendapatan petani buruh dari kedua saluran tersebut menjadi berkurang, semakin banyak 239
mesin threser yang beroperasi, maka semakin banyak pula penurunan pendapatan petani berlahan sempit (N1 dan N2). Lebih jauh akibatnya adalah penolakan teknologi threser oleh petani buruh dan terutama dari kalangan pengeprik di wilayah kerja mereka sehingga tidak terjadi penambahan threser. Adopsi teknologi threser pada satu sisi menguntungkan petani berlahan luas yang hasil produksi padinya meningkat karena kehilangan hasil menjadi berkurang. Akan tetapi pada sisi lain mengurangi pendapatan petani buruh yang juga petani berlahan sempit (derep) (N1 dan N2). Bagi kelompok petani buruh, penggunaan threser bagaikan pedang bermata dua, satu sisi menguntunkan mereka karena dapat menekan kehilangan hasil (tercecer), tetapi di sisi yang lain merugikan karena berkurangnya jam kerja penderep. Apabila dilihat dari sisi efisiensi usaha tani, penggunaan thresher dapat memperbesar efisiensi para petani, baik petani berlahan luas maupun petani berlahan sempit. Dengan menurunnya tingkat kehilangan hasil gabah, menjadikan produksi gabah petani berlahan luas maupun petani berlahan sempit meningkat. Lingkar negatif N3 dan N4 menekan jumlah kehilangan hasil karena tercecer sehingga produksi gabah dapat meningkat. Lingkar negatif N5 berhubungan dengan sistem pengelolaan jasa panen UPJA. Reinvestasi yang berasal dari penyusutan akan mengurangi kas jasa panen, sehingga pendapatan dari jasa semakin mengecil, termasuk bagian yang diterima oleh petani buruh. 4. VALIDASI MODEL Kesesuaian antara perilaku model dengan perilaku sistem dalam penelitian ini dapat dibandingkan dengan menggunakan data historis Nilai Tukar Petani atau NTP. Simatupang (2007) menulis pengertian NTP adalah rasio indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar petani. Sampai saat ini masih belum ada penanda tolok ukur kesejahteraan rumah tangga petani selain NTP, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian.
Gambar 4. Perbandingan NTP Hasil Simulasi dengan NTP Historis dari BPS Berdasarkan perbandingan di atas (Gambar 4), perilaku antara NTP hasil simulasi dengan NTP historis memiliki perilaku yang mirip, walaupun nilainya tidak sama. 240
Ketidaksamaan tersebut karena nilai NTP yang bersumber dari BPS merupakan penjumlahan dari NTP petani tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perilaku hasil simulasi model Distribusi Pendapatan Petani Padi sesuai dengan perilaku sistem sebenarnya di dunia nyata. 5. PERILAKU MODEL DAN ANALISIS ADOPSI TEKNOLOGI THRESER OLEH PETANI PADI Simulasi untuk melihat dampak penerapan teknologi terhadap buruh tani dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) simulasi. Simulasi pertama dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku pada buruh tani apabila tanpa threser, kemudian simulasi kedua dengan menggunakan threser, tanpa penolakan dari petani buruh; dan ketiga simulasi penggunaan threser dengan penolakan.
Simulasi ke-: 1. tidak ada threser 2. penggunaan threser tanpa penolakan dari buruh tani 3. penggunaan threser dengan penolakan dari buruh tani a. Pedal threser [unit] b. Fraksi kehilangan hasil [tanpa dimensi] c. Pendapatan rutin [Rp/tahun] d. Rata-rata jam kerja [jam/Musim Tanam] Gambar 5. Perilaku Dampak Penggunaan Teknologi Thresher bagi Buruh Tani
241
1,0
123
123
123
123
123
1,0
123
penerimaan_teknologi_Pengeprik
penerimaan_teknologi_PBu 0,8
0,8
0,6
0,6
0,4
0,4
0,2
0,2
13
13
13
13
13
13
2 2.020
2 2.030
2 2.040
2 2.050
2 2.060
2 0,0
0,0 2.010
2.020
2.030
2.040
2.050
2.060
2.070
2.010
Time
2.070
Time
Simulasi ke-: 1. tidak ada threser 2. penggunaan threser tanpa penolakan dari buruh tani 3. penggunaan threser dengan penolakan dari buruh tani Gambar 6. Perilaku Penerimaan Teknologi Threser pada Petani Buruh dan Pengeprik
Hasil dari simulasi ke-2 menunjukkan bahwa penggunaan threser menurunkan jam kerja buruh tani dalam waktu yang singkat. Penggunaan threser juga menurunkan tingkat kehilangan hasil akibat gabah tercecer dan pengeprek (Gambar 5). Akibatnya dalam jangka panjang pendapatan total petani berlahan sempit mengalami penurunan. Penurunan pendapatan inilah yang kemudian diprotes oleh para buruh tani, terutama kaum pengeprik yang juga bagian dari golongan buruh tani itu sendiri. Tingkat penerimaan teknologi threser petani buruh dalam hal ini lebih baik daripada pengeprik (Gambar 6). Hal tersebut disebabkan oleh dampak terbesar dari penggunaan thresher lebih dirasakan oleh pengeprik daripada buruh tani secara keseluruhan. Penolakan yang sangat hebat dari pengeprik pada akhirnya membuat penambahan trheser tidak terjadi, sehingga tingkat kehilangan hasil masih tetap tinggi. 6. REKAYASA STRUKTUR MODEL ADOPSI TEKNOLOGI THRESER OLEH PETANI PADI Modifikasi yang dilakukan terhadap struktur model adalah dengan menambahkan lingkar (loop) positif yang bekerja sebagai akslerator agar pendapatan pengeprik meningkat, sehingga lebih terbuka terhadap penerimaan teknologi yang baru. Para pengeprik diberikan bantuan sosial atau CSR pertanian berupa zakat yang berasal dari hasil panen petani berlahan luas (Gambar 7). Sebagian besar petani yang berada di daerah kajian adalah beragama Islam sehingga berpeluang dalam pengambangannya menggunakan kearifan konsep zakat pertanian.
242
Kas Jasa Panen
Penerimaan Jasa Panen
+ Reinvestasi Thresher
+
+
Pembayaran Jasa Anggota
harga thresher
Harga jasa panen
N3 (-)
P3 (+) Kapasitas thresher
Penyusutan - Thresher
umur teknis thresher
Intensitas tanam +
+ Gabah dirontok dgn thresher + Waktu kerja thresher
+ Rasio gabah dirontok thresher
-
N1 (-)
Penerimaan teknologi + +
Fraksi kehilangan hasil pengeprik +
Kehilangan hasil krn Pengeprik
Pendapatan pengeprik
+
+ Pendapatan jasa panen PBu
+
N2 (-)
+ + Pendapatan PBu
tenaga kerja pertanian P2 (+) P1 (+)
Kehilangan hasil karena tercecer -
+ Fraksi kehilangan hasil tercecer
+ Pendapatan Jasa Panen PBs + -
+
-
-
P4 (+)
+ Penambahan thresher kaki +
Thresher kaki
+
pengadaan thresher
-
Fraksi jasa panen PBs
+ "CSR" pertanian PBs + +
Fraksi "CSR" pertanian
Produksi gabah PBs
Gambar 7. Modifikasi Struktur Model Adopsi Teknologi Threser Untuk Meningkatkan Penerimaan Teknologi Pascapanen
Semakin banyak gabah yang dihasilkan, maka penerimaan pengeprik dari zakat pertanian PBs semakin banyak pula (P1 dan P2). Para pengeprik tidak harus mengemis atau bahkan mencuri gabah dari penderep dan pemilik lahan untuk mendapatkan makan atau mencari pendapatan, tetapi petani berlahan luas secara sukarela memberikan sebagian hasil panen sebagai zakat bagi yang tidak mampu. Dengan memperoleh pendapatan pengganti dari mata pencahariannya yang hilang karena dampak dari teknologi, dimodelkan pengeprik tidak lagi menolak penggunaan teknologi karena tidak menghilangkan pendapatannya. Bahkan apabila efisiensi usahatani petani berlahan luas lebih tinggi akan memperbesar zakat pertanian yang dikeluarkan oleh petani berlahan luas. Membangun kepedulian tersebut tidak mudah, oleh karena itu diperlukan modifikasi struktur lainnya dalam sistem pengelolaan jasa panen agar saling menguntungkan. Dalam struktur tersebut, pengelolaan jasa panen menjadi sepenuhnya dikelola oleh petani buruh, agar pendapatan dari jasa panen tersebut dapat dinikmati seluruhnya oleh petani buruh untuk meningkatkan taraf hidupnya, sehingga dapat menambah menfaat yang diterima oleh petani buruh dengan adanya teknologi. Zakat yang diterima oleh pengeprik membuat mereka menerima masuknya teknologi threser karena pendapatan yang hilang akibat adanya teknologi telah tergantikan oleh zakat. 243
penerimaan_teknologi_PBu
1,0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 1
2
3
4
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
penerimaan_teknologi_Pengeprik
Penerimaan teknologi tersebut membuat penambahan threser dapat berangsur-angsur diterima. Dengan semakin banyaknya petani menggunakan threser, maka tingkat kehilangan hasil dapat ditekan (Gambar 8).
1,0 9
10
11 9
10
11 9 10
11 9 10 11 11 9 10 11 9 10
0,8
0,6 1
2
3
7
8 1
2
3
4
5
6
7
8 1
2
3
4
5
0,4 4
0,2
6 0,0
2.010
2.020
2.030
2.040
Time
2.050
2.060
2.070
2.010
2.020
2.030
2.040
2.050
2.060
2.070
Time
Simulasi ke-: 9,10,11 menerapkan zakat pertanian sebesar 7,5% Gambar 8. Perilaku Penerimaan Teknologi Threser pada Petani Buruh dan Pengeprek dengan Intervensi Struktur
7. KESIMPULAN Rekayasa sosial pada kelembagaan petani padi dengan menerapkan sistem zakat pertanian dan pengelolaan jasa panen oleh petani buruh berdsarkan hasil simulasi mampu mengurangi resistensi kelompok buruh tani terutama pengeprik terhadap penerimaan adopsi teknologi threser. Transfer nilai dari petani berlahan luas kepada petani buruh menjadi bertambah dengan adanya sistem zakat pertanian dan pengelolaan jasa panen oleh golongan petani buruh. Pertentangan yang terjadi dalam dualisme ekonomi petani padi dapat diredam dengan rekayasa sosial yang saling menguntungkan di antara petani berlahan luas dan petani buruh. Simulasi yang dilakukan memperlihatkan bahwa program pemerintah memperkenalkan teknologi threser yang tujuan awalnya baik untuk meningkatkan pendapatan petani padi ternyata tidak akan memberikan manfaat apabila tidak diikuti oleh rekayasa sosial di kelembagaan petani padi. Rekayasa sosial tersebut adalah penerapan sistem zakat pertanian yang diberikan kepada petani buruh dan memberikan sepenuhnya pengelolaan kelembagaan teknologi threser (seperti UPJA) kepada petani buruh untuk diintegrasikan dengan jasa pemanenan (penderep) yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kedua rekayasa tersebut adalah upaya untuk memperbesar transfer nilai dari petani berlahan luas kepada petani buruh untuk meningkatkan pendapatan petani buruh. Namun demikian, mengubah suatu kebiasaan yang sudah lama dilakukan bukan suatu hal yang mudah. Diperlukan kesadaran petani terutama yang berlahan luas untuk menerapkan sistem zakat pertanian dan memberikan sepenuhnya pengelolaan kelembagaan teknologi threser (UPJA) kepada petani buruh. Rekayasa sosial tersebut tidak akan berhasil tanpa ada kesadaran dari petaninya itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan dari model ini dari aspek pendekatan antropologi petani padi terkait dengan penerapan sistem zakat pertanian oleh petani berlahan luas dan pengelolaan jasa panen oleh petani buruh. Kecukupan model ini masih harus dikembangkan lagi untuk melihat sejauh mana upaya rekayasa sosial di masyarakat petani dapat diimplementasikan. Kearifan lokal petani berupa zakat pertanian ini disimulasikan untuk menjawab persoalan penolakan penggunaan 244
teknologi pada pasca panen padi. Penerapan rekayasa sosial di masyarakat tidak mudah, kebiasaan petani padi yang berakumulasi bertahun-tahun memiliki resistensi yang besar terhadap perubahan, bisa karena faktor ekonomi, faktor sosial, ataupun faktor budaya. REFERENSI Boeke, J. H (1982), Memperkenalkan teori ekonomi ganda. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Penyunting, Sajogyo. Collier, William L., Santoso, Kabul., Soentoro,. Wibowo, Rudi (1996), Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa. Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Forrester, Jay W. (1987), Lessons from system dynamics modeling. System Dynamics Review 3 (no. 2 Summer 1987). System Dynamics Society. Heryanto, Mahra Arari (2010), Kajian Distribusi Pendapatan Petani Padi dengan Pendekatan Dinamika Sistem. Tesis Program Magister. Institut Teknologi Bandung. Reyes, Luna Felipe Luis,. Anderson, Lines Deborah (2003), Collecting and analyzing qualitative data for system dynamics: methods and models. System Dynamics Review Vol. 19, No.4. Wiley Inter Science. Saeed, Khalid (1980), Rural Development and Income Distribution: The Case of Pakistan. Disertasi Program Doktor, Massachusetts Institute of Technology. Simatupang, Pantjar., Maulana, Mohamad (2007), Kaji Ulang Konsep dan Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 2003-2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Tasrif, Muhammad (2004), Analisis Kebijakan Menggunakan System Dynamics. Program Magister Studi Pembangunan Intitut Teknologi Bandung, Bandung. Wahyuni, Sri (2002), Analisis Pemilihan, Kebutuhan dan Pengalokasian Alat Perontok Padi Mekanis di Kabupaten Batang Jawa Tengah. Skripsi Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
245
KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM USAHA LISTRIK BERBASIS MIKROHIDRO DI INDONESIA Dra. Wati Hermawati, MBA dan Ishelina Rosaira, SE
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ABSTRAK Mikrohidro atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) merupakan salah satu teknologi energi terbarukan yang diharapkan pemerintah dapat mengatasi kelangkaan energi listrik terutama di daerah perdesaan. Namun demikian, keberhasilan pembangunan dan keberlanjutan pengelolaan Mikrohidro atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) masih menjadi pertanyaan banyak pihak. Padahal, Mikrohidro dapat beroperasi dengan dua sistem yaitu sistem terkoneksi atau on-grid dengan PLN maupun sistem tidak terkoneksi atau off-grid, yaitu menjual langsung listrik Mikrohidro ke masyarakat. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa dengan kemampuan yang dimiliki oleh pengelola mikrohidro, penjualan listrik yang dihasilkan oleh mikrohidro dapat dipergunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan modal pembangunan masyarakat perdesaan itu sendiri. Namun demikian, implementasi teknologi mikrohidro mayoritas hanya berjalan dengan baik dan maksimal dalam waktu relatif singkat dibandingkan dengan usia teknologi tersebut. Oleh karena itu, berbagai faktor yang mempengaruhi upaya untuk melakukan bisnis listrik mikrohidro perlu di ketahui secara rinci. Penelitian ini dilakukan di delapan lokasi Mikrohidro di Kabupaten Subang, Sleman, Mojokerto, dan Malang. Selain survey langsung ke lokasi Mikrohidro, wawancara mendalam dengan para pakar, teknisi, pengelola Mikrohidro dan perumus kebijakan energi juga dilakukan di Jakarta dan Bandung. Metode yang digunakan antara lain analisis deskriptif, Evaluasi Faktor Internal dan Evaluasi Faktor Eksternal dan analisis SWOT. Hasil akhir penelitian menetapkan ada 20 (duapuluh) faktor yang harus dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan termasuk, penyandang dana, implementor Mikrohidro dan pengelola Mikrohidro. Hasil penilaian memperlihatkan terdapat 4 (empat) faktor utama dari komponen SWOT yang memiliki bobot paling besar dan berpengaruh terhadap usaha listrik berbasis mikrohidro yaitu : (1) kegiatan kerjasama antara pengelola Mikrohidro dengan pelanggan dan masyarakat dengan bobot0.1189 ; (2) ketersediaan jumlah dan kemampuan teknisi yang berkopetensi saat ini untuk mendukung kesinambungan kerja Mikrohidro dengan bobot 0,1119; adanya kebutuhan/permintaan listrik oleh masyarakat, (0.1155); dan komitmen membayar listrik dari masyarakat pengguna listrik di perdesaan dengan bobot nilai 0.1278. Keterlibatan berbagai stakeholders dan kebijakan dalam mengatasi faktor-faktor tersebut juga disampaikan dalam tulisan ini. Kata kunci:Mikrohidro (PLTMH), Listrik, Perdesaan, IFE, EFE, SWOT.
246
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi energi yang terus meningkat termasuk penyediaan listrik untuk masyarakat, baik untuk keperluan rumah tangga maupun usaha kecil dan mikro, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan tentang energi, terutama yang terkait dengan penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Diantara beberapa kebijakan terkait adalah Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2006 dan UU No. 30 tahun 2007 tentang prioritas penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Sampai saat ini ini cadangan potensi EBT di Indonesia sangat besar dan belum dimanfaatkan secara maksimal (Tabel 1). Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Energi Terbarukan
Kapasitas Terpasang (MW)
Potensi (MW)
Air skala besar
4.200
75.674
Mikrohidro
84
459
Panas bumi
800
27.000
Biomassa
302,4
49.807
Energi surya
8
4-6 kWh/m2/day
Angin
0.5
448 at 3-6 m/sec
Sumber: Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (2008) Target pemerintah sampai tahun 2025 untuk peningkatan penggunaan energi terbarukan adalah sampai 15%, dengan mengurangi penggunaan energi fosil sampai 20%, pengurangan penggunaan batubara sampai 33 % dan peningkatan penggunaan energi terbarukan lainnya seperti biomass, small hydro, solar energy dan nuclear, menjadi 5% dan penggunaan biofuel ditingkatkan menjadi lebih besar dari 5% (Hutapea, 2009). Mikrohidro atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) merupakan salah satu jenis EBT yang menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah dalam memenuhi kebutuhan listrik untuk masyarakat terutama di perdesaan. Hal ini disebabkan Mikrohidro memiliki banyak kelebihan seperti: (1) energi yang tersedia tidak akan habis selama siklus air dapat terjaga dengan baik, seperti terjaganya daerah tangkapan atau catchment area, dan sungai; (2) proses yang dilakukan mudah dan murah, harga turbin, generator, panel kontrol, hingga pembangunan sipilnya kira-kira Rp 5 juta per kW (kondisional); (3) tidak menimbulkan polutan yang berbahaya; (4) dapat diproduksi di Indonesia; (5) ekosistem sungai atau daerah tangkapan akan tetap terjaga (Basuki, 2007). Indonesia memiliki sekitar 75.000 MW potensi kelistrikan tenaga air, 7.500 MW (10%) bisa digunakan untuk PLTMH. Namun saat ini, Mikrohidro yang terbangun baru memanfaatkan sekitar 60 MW (Basuki, 2007). Data DJLPE (2009) menunjukkan bahwa
247
jumlah Mikrohidro yang telah diimplementasikan di Indonesia adalah 494 buah.17 Mayoritas dari Mikrohidro ini berada di perdesaan yang terpencil dan jauh dari jangkauan PLN. Namun, banyak Mikrohidro yang terbangun ini hanya bertahan kurang dari lima tahun, dibandingkan dengan ketahanan teknologi tersebut (Nur’aini, 2008). Hermawati, dkk, (2009) menunjukkan bahwa Mikrohidro yang bertahan beroperasi sampai lebih dari lima tahun (Kasus PLTMH Cinta Mekar, Subang dan PLTMH Kalimaron di Trawas, Mojokerto) memperlihatkan besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Selain itu, Mikrohidro yang telah menjual listrik yang dihasilkannya (interkoneksi/on grid) ke PLN, merupakan faktor penunjang utama keberlanjutan Mikrohidro di kedua lokasi tersebut serta adanya pengelolaan yang baik terhadap usaha listrik berbasis Mikrohidro. Namun, usaha listrik berbasis Mikrohidro belum banyak diminati oleh masyarakat maupun industri kecil, meskipun pemerintah telah menyediakan perangkat peraturan atau kebijakannya, seperti Kepmen ESDM 1122K tahun 2002, Permen ESDM no 002 tahun 2006 dan terakhir adalah Permen ESDM No. 31 tahun 2009 yang memberi peluang bagi usaha kecil dan menengah untuk berusaha listrik. Gambaran tersebut mencerminkan adanya permasalahan dalam mengembangkan usaha listrik berbasis Mikrohidro. 1.2. Perumusan Masalah Data DJLPE (2009) menunjukkan bahwa jumlah Mikrohidro yang telah diimplementasikan di Indonesia sebanyak 494 buah.18 Mayoritas dari Mikrohidro ini berada di perdesaan yang terpencil dan jauh dari jangkauan PLN. Tujuan utama pembangunan Mikrohidro pada umumnya adalah melistriki masyarakat (tingkat rumah tangga) dan meningkatkan usaha ekonomi masyarakat. Namun, tingkat kesinambungan operasional kebanyakan Mikrohidro tidak dapat dipertahankan. Mayoritas Mikrohidro hanya mampu beroperasi kurang dari 5 tahun. Penyebab ketidakberlanjutannya Mikrohidro ini antara lain berhubungan dengan pengelola, pemanfaat dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Padahal saat ini, penerapan Mikrohidro telah mendapat perhatian pemerintah dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan seperti Kepmen ESDM 1122K tahun 2002, Permen ESDM no 002 tahun 2006 dan terakhir adalah Permen ESDM No 31 tahun 2009 yang memberi peluang bagi usaha kecil dan menengah untuk berusaha listrik. Oleh karena itu perlu dicari faktor apa yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha listrik Mikrohidro ini. Perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah: (1) Faktor-faktor internal dan eksternak apa yang pengembangan usaha listrik berbasis Mikrohidro ? (2) Strategi apa saja yang harus dilakukan keberlanjutannya dapat dipertahankan?
oleh
paling
berpengaruh terhadap
pengelola
Mikrohidro
agar
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah menetapkan beberapa faktor yang paling berpengaruh terhadap pengembangan usaha listrik berbasis Mikrohidro, agar kesinambungan Mikrohidro dapat meningkatkan pembangunan masyarakat pedesaan. Adapun sasaran yang ingin dicapaiadalah sebagai berikut: (1) Teridentifikasinya faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap usaha listrik berbasis Mikrohidro. 17
Data ini hanya yang tercatat di DJLPE, ESDM.
18
Data ini hanya yang tercatat di DJLPE, ESDM. 248
(2) Terumuskannya strategi pengembangan usaha listrik berbasis Mikrohidro. 2. METODE PENELITIAN 2.1. endekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan survei dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Survei dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan pihak pengelola Mikrohidro, pengguna (masyarakat) dan pemangku kepentingan yang terkait dengan Mikrohidro di lokasi penelitian, yaitu di Kabupaten Subang, Sleman, Mojokerto, dan Malang. Wawancara dengan pakar juga dilakukan di Bandung dan Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010. Responden dipilih dengan teknik convenience sampling sebanyak 20 orang yang berasal dari pengelola, pengembang dan pembangun PLTMH (Sugiarto 2001). Hasil wawancara dan pengisian kuesioner dianalisis secara kualitatif. Perhitungan pengaruh utama faktor eksternal dan internal dilakukan secara kuantitatif. 2.2. Data yang Diperlukan dan Sumbernya Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan pengembangan dan keberlanjutan usaha listrik berbasis Mikrohidro. Data primer terkait dengan kondisi dimana Mikrohidro berdiri, yang meliputi: permasalahan yang dihadapi, kegiatan yang dilakukan, kondisi sumberdaya yang dimiliki serta pengguna/masyarakat pemanfaat PLTMH. Data eksternal terkait dengan kondisi eksternal beroperasinya Mikrohidro. Data diperoleh dari beberapa sumber, yaitu PLN, instansi pemerintah (Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Pertanian, dan Lingkungan Hidup), akademisi, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat. 2.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penetapan faktor internal dan eksternal yang berhubunagn dengan usaha listrik berbasis PLTMH dilakukan dengan Matriks IFE dan EFE, yang kemudian diberi bobot dan dianalisis menggunakan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Penetapan bobot dilakukan oleh responden yang telah ditunjuk Melalui analisis SWOT ini dihasilkan beberapa alternatif kebijakan yang harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan Mikrohidro dalam mempertahankan kesinambungan usaha listrik. 3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Tinjauan Ketenagalistrikan di Indonesia Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (KESDM) telah melaksanakan program penyediaan listrik perdesaan melalui energi terbarukan seperti diperlihatkan pada Tabel 2.
249
Tabel 2. Hasil Pembangunan Ketenagalistrikan Melalui Kegiatan Listrik Perdesaan No 1 2 3 4 6 7
Jenis Pembangkit PLTMH PLTS PLTS Terpusat PLTB Jaringan Teg. Menengah Jaringan Tegangan Tinggi
Satuan kW kWp kWp kW kms kms
2005 314 1.690 80 1.150 1.470
2006 714 1.550 160 1.279 1.640
2007 260 2.029 102 735 1.279 1.475
2008 1.909 1.864 240 202 1.306 1.323
Sumber : Renstra KESDM 2010-2014 Sampai saat ini, penyedia listrik terbesar di Indonesia dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Statistik Ketenagalistrikan dan Energi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2009) menyebutkan bahwa kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik PLN sampai akhir tahun 2009 mencapai 28.234 MW, naik sebesar 3.939 MW dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 24.295 MW. Namun demikian, dengan kapasitas terpasang tersebut, produksi listrik sampai akhir tahun 2009 hanya sebesar 122.578,10 GWh. Dibandingkan dengan tahun 2008 produksi tenaga listrik PLN sebesar 117.032 GWh naik sebesar 5.546 GWh19. Data PLN 2007, menyebutkan bahwa jumlah pelanggan tahun 2007 mencapai 37.333.729 pelanggan. Dibandingkan dengan tahun 2006 naik sebesar 1.528.505 pelanggan atau 4%. Dari jumlah pelanggan seluruhnya, kelompok rumah tangga merupakan jumlah pelanggan terbesar yaitu 34.684.540 pelanggan atau 93%, dengan pelanggan terbesar ada di empat propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Konsumsi tenaga listrik PLN per kapita merupakan perbandingan konsumsi tenaga listrik dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 225.886.000 jiwa dan konsumsi tenaga listrik pada tahun yang sama sebesar 121.247 GWh, maka konsumsi tenaga listrik PLN per kapita adalah 0,537 kWh/penduduk20. Rasio elektrifikasi sampai dengan akhir tahun 2008 mencapai 65% dibandingkan dengan tahun 2009 hanya mencapai 64,90%. Penurunan ini disebabkan oleh pertumbuhan rumah tangga yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan jaringan listrik keluarga. Status ketenagalistrikan di tingkat perdesaan bisa dilihat dari jumlah desa yang terlistriki atau dari rasio desa berlistrik, yaitu perbandingan antara jumlah desa berlistrik dengan jumlah seluruh desa. Statistik Ketenagalistrikan dan Energi (DJLPE, 2007) memperlihatkan, sampai akhir tahun 2007, jumlah desa di Indonesia mencapai 71.555 desa. Desa yang telah memiliki listrik sebanyak 65.776 desa atau sekitar 91,92% dengan jumlah pelanggan desa sebanyak 35.629.804 pelanggan. Jika dibedakan antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa, maka rasio desa berlistrik di luar Jawa mencapai 87,69% sedangkan rasio desa berlistrik di Jawa sudah mencapai 99,78%. Disinilah pentingnya peran pemerintah untuk menggalakkan potensi energi terbarukan menjadi listrik untuk masyarakat, agar rasio elektrifikasi meningkat dan lebih banyak lagi rumah tangga mendapatkan akses listrik. Rencana pemerintah meningkatkan rasio elektrifikasi dan desa berlistrik dilakukan melalui Kementrian ESDM seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.
19
Rencana Strategis Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral 2010-2014 Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen ESDM. “Statistik Ketenagalistrikan dan Energi Tahun 2007
20
250
Gambar 1. Rencana Rasio Elektrifikasi dan Desa Berlistrik Sumber: Renstra, KESDM 2010-2014 3.2. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) biasa disebut dengan Mikrohidro adalah istilah yang digunakan untuk instalasi pembangkit listrik yang menggunakan energi air. Kondisi air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya penghasil listrik harus memiliki kapasitas aliran dan ketinggian tertentu dalam sebuah rumah instalasi pembangkit (dikenal dengan rumah turbin). Turbin dan generator dalam instalasi pembangkit akan bekerja mengubah air menjadi listrik. Semakin besar kapasitas aliran maupun ketinggiannya dari instalasi maka semakin besar energi yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Istilah kapasitas mengacu kepada jumlah volume aliran air persatuan waktu (flow capacity atau debit air) sedangkan beda ketinggian daerah aliran sampai ke instalasi dikenal dengan istilah head. Karena Mikrohidro menggunakan sumber daya alam (sungai) dengan teknologi turbin yang tidak merusak lingkungan, maka penyediaan listrik melalui teknologi ini dapat digolongkan kepada ramah lingkungan. Mikrohidro menghasilkan daya lebih rendah dari 100 kW, sedangkan untuk minihidro daya keluarannya berkisar antara 100 kW sampai 5000 kW. Lebih besar dari 5000kW disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)21. Secara teknis, Mikrohidro memiliki tiga komponen utama yaitu air (sumber energi), turbin dan generator. Namun demikian, untuk memaksimalkan produktivitas kerja PLTMH, beberapa bagian penunjang penting lainnya harus dibangun yaitu antara lain : (1) Saluran pengambilan dan bendungan yang pada pintu airnya biasanya terdapat perangkap sampah; (2) Saluran pembawa air dari saluran pemasukan (Intake) ke arah bak pengendap; (3) Bak Pengendap/ Bak Penenang (Forebay), yang berfungsi mengendapkan tanah yang terbawa dalam air sehingga tidak masuk ke pipa pesat; (4) Pipa pesat (Penstock), adalah pipa yang membawa air jatuh ke arah mesin turbin. Air di dalam pipa pesat tidak boleh bocor karena mengakibatkan hilangnya tekanan air (Suroso, 2008; Satrio, 2008). Rumah Pembangkit/PowerHouse, adalah rumah tempat semua peralatan mekanik dan elektrik PLTMH. Peralatan Mekanik seperti turbin dan generator berada dalam rumah pembangkit, demikian pula peralatan elektrik seperti kontroler. Turbin adalah jenis balingbaling yang menerima tenaga aliran air dari pipa pesat dan berputar. Putaran poros (as) turbin dengan bantuan sabuk pemutar (belt), disalurkan (transmisi) ke poros generator (dinamo besar penghasil listrik) untuk mengubah tenaga putar/gerak menjadi listrik. Panel 21
Mikrohidro (2007) dalam www.energiterbarukan.net/index.php diakses tanggal 4 April 2009
251
atau Peralatan Pengontrol Listrik, biasanya berbentuk kotak yang ditempel di dinding. Berisi peralatan elektronik untuk mengatur listrik yang dihasilkan generator. Penyaluran listrik dari rumah pembangkit ke pelanggan dilakukan dengan menggunakan jaringan kabel listrik. 3.3. Kebijakan Tentang Penggunaan dan Harga Energi Terbarukan Pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional melalui Perpres No. 5 Tahun 2006, dengan tujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dengan sasaran pada tahun 2025 elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) dan terjadi optimalisasi sumber energi primer. Melalui Perpres No 5/2006, EBT diharapkan mampu menyumbangkan 17% terhadap ketersediaan energi mix di tahun 2025. Biomasa, nuklir, air, surya dan angin diharapkan menyumbang sebanyak 5%. Kemandirian energi ini ditandai dengan: (1) Availability, yaitu kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan energi. (2) Accessibility, yaitu kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi (3) Affordability, yaitu kemampuan untuk menjangkau harga keekonomian energi. Dalam rangka mendorong partisipasi BUMN, BUMD, BUS, koperasi dan swadaya masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional, pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 31 Tanggal 13 November 2009 mengeluarkan kebijakan tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik. Kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong pembelian tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah atau kelebihan tenaga listrik dari BUMN, BUMD, BUS, Koperasi dan swadaya masyarakat. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 dinyatakan bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga listrik dari BUMN, BUMD, BUS, Koperasi dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat dengan formula harga yang telah ditetapkan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Usaha Mikrohidro di Lokasi Penelitian PLTMH Cinta Mekar dan Seloliman di Mojokerto merupakan PLTMH dengan menggunakan skema on-grid (listrik hasil PLTMH dijual ke PLN). Hasil penjualan listrik setelah dikurangi biaya perawatan PLTMH dibagi untuk pengelola dan keperluan pengembangan masyarakat, antara lain untuk penyediaan dana pinjaman/modal, beasiswa anak sekolah, sumbangan kesehatan, dan pembangunan serta perbaikan infrastruktur desa. Di Cinta Mekar sejak tahun 2006, setelah beroperasinya PLTMH ini, tidak lagi menyandang predikat Desa Miskin. Beberapa perbaikan utama yang telah dilakukan dan membawa desa ini keluar dari predikat desa miskin antara lain: (1) Perbaikan infrastruktur jalan, bendungan, jembatan dan transportasi; (2) Listrik masuk desa telah mencapai lebih dari 90 %; (3) Produksi sawah meningkat, karena irigasi menjadi lebih baik; (4) Pendidikan terjangkau untuk anak usia sekolah. Selain itu, sejak tahun 2008 subsidi pemerintah terhadap Desa Cinta Mekar telah meningkat menjadi sebesar 130 juta rupiah per tahun dibandingkan tahun 2003 hanya sebesar 25 juta rupiah per tahun.
252
PLTMH Cinta Mekar memiliki kapasitas 120 kW. Seluruh hasil produksi PLTMH ini dimasukkan ke jaringan PLN, dan dijual dengan harga Rp. 432/kWh. Rata-rata pemasukan per bulan sebesar Rp 25.920 juta. Keuntungan yang dikelola oleh Koperasi Cinta Mekar, pada 17 bulan pertama, dialokasikan untuk kepentingan penyambungan listrik ke rumah penduduk sebesar 62,5%, dan pendidikan 8%. Sisanya digunakan untuk dana kesehatan, permodalan, infrastruktur desa, dan biaya rutin koperasi. Mulai tahun 2008, seluruh penduduk telah mendapatkan sambungan listrik, alokasi pemasukan PLTMH untuk melistriki masyarakat dialihkan menjadi penyediaan modal usaha (60%), pendidikan (9,5%), perbaikan infrastruktur desa (6%), biaya opersional koperasi (16%), kesehatan (5%) dan biaya opersional desa 3,5%. PLTMH Seloliman dibangun tahun 1995 memiliki kapasitas 12 kW, awalnya dimanfaatkan oleh kurang lebih 27 kepala keluarga di dusun Janjing, Sempur dan dimanfaatkan pula untuk melistriki sarana PPLH. Masing-masing KK penerima listrik PLTMH membayar sekitar Rp 3.000 sampai Rp 5.000 setiap bulan sesuai dengan kesepakatan bersama antara pengelola dan masyarakat. Kemudian setelah lima tahun baik masyarakat maupun PPLH merasakan bahwa kapasitas listrik masih belum memadai, disamping itu sistem yang ada masih bersifat manual serta pengawasan juga masih kurang baik. Oleh karena itu pada tahun 2000 Paguyuban Kalimaron mulai dibentuk dan kapasitas listrik dinaikkan menjadi 35 kW. Pada akhir tahun 2002 pengelola menginterkoneksikan sisa daya listrik yang dihasilkan PLTMH ke jaringan PLN terdekat. Paguyuban Kalimaron juga berupaya memanfaatkan listrik untuk meningkatkan ekonomi anggotanya dengan cara (1) menyesuaikan tarif agar mendekati tarif ke-ekonomian; (2) mengupayakan penggunaan listrik untuk usaha produktif siang hari misalnya usaha daur ulang kertas yang dilakukan oleh ibu-ibu dari Kelompok Bina Usaha, kerajinan tangan serta blower kapas. Upaya interkoneksi dengan PLN (on grid) yang dilakukan oleh Koperasi Cinta Mekar maupun PPLH Seloliman bukan merupakan kegiatan yang mudah. Selain secara teknis PLTMH harus memenuhi syarat kestabilan dan kesamaan teknis, seperti arus listrik, dan tegangan, komunikasi yang intensif melalui kedekatan hubungan dengan pengambil kebijakan di PLN, yang kemudian menumbuhkan rasa percaya PLN kepada pengelola juga mempermudah terbangunnya sistem interkoneksi tersebut. Keberadaan mikrohidro di daerah yang tidak terjangkau oleh PLN memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan penyediaan energi di tingkat rumah tangga, fasilitas umum dan sosial, dan usaha kecil/menengah yang menggunakan teknologi dengan energi listrik. Selain untuk dijual ke masyarakat, usaha listrik mikrohidro juga bisa dijual ke PLN, sesuai dengan Permen NO 31/2009 tentang penjualan listrik EBT. 4.2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Usaha Listrik Berbasis Mikrohidro Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dilakukan oleh para responden dan menghasilkan 10 faktor internal dan 10 faktor eksternal. Selanjutnya faktor-faktor tersebut dinilai berdasarkan ketentuan David (2009). Hasil penilaian terhadap faktor strategis lingkungan internal dan eksternal dikelompokkan Hasil penilaian (pembobotan) terhadap faktor strategis lingkungan internal dan eksternal yang dikelompokkan kedalam kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman diperlihatkan pada Tabel 3 dan 4.
253
Tabel 3. Matriks Evaluasi Faktor Internal Usaha Listrik Berbasis Mikrohidro FAKTOR PENENTU INTERNAL BOBOT RATING KEKUATAN Kerjasama antara pengelola dengan pelanggan dan masyarakat 0.1189 4 Kerjasama antara pengelola dengan Desa dan Kecamatan 0.0898 3 Ketersediaan alat dan kemudahan akses untuk perbaikan alat seperti turbin atau alat koneksitas ke PLN dan kualitasnya 0.1152 4 Bentuk dan legalitas kelembagaan pengelola saat ini 0.0996 4 Kejelasan program kerja dan kemampuan non teknis pengelola dalam bidang administrasi, pemasaran dan harga listrik PLTMH 0.1102 4 TOTAL KEKUATAN KELEMAHAN Ketersediaan jumlah dan kemampuan teknisi yang berkompetensi untuk mendukung kesinambungan Mikrohidro 0.1119 2 Ketersediaan insentif yang memadai bagi pengelola 0.0873 2 Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang Mikrohidro 0.0835 2 Tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan pengelola 0.1039 2 Kerjasama antara pengelola dengan PLN 0.0737 2 TOTAL KELEMAHAN
SKOR
0.4756 0.2694
0.4608 0.3984
0.4408 2.0450
0.2238 0.1746 0.1670 0.2078 0.1474 0.9206
254
Tabel 4. Matriks Evaluasi Faktor External Usaha Listrik Berbasis PLTMH Faktor Penentu Eksternal PELUANG Kebijakan pemerintah tentang penjualan listrik (UU No. 30/2007 dan Permen No.31/2009 Adanya kebutuhan/permintaan listrik oleh masyarakat Listrik PLTMH dapat bersifat on grid atau off grid Potensi UKM pengguna Mikrohidro Banyaknya daerah terpencil dengan sumberdaya air sepanjang tahun, namun belum terjangkau listrik PLN TOTAL PELUANG ANCAMAN Kecenderungan kerusakan kondisi / keadaan alam / hutan / sungai dan lingkungan sekitar PLTMH saat ini Ketersediaan penyandang dana dan bengkel perbaikan turbin dan seluruh suku cadangnya kurang di lokasi Mikrohidro Komitmen membayar listrik dari masyarakat pengguna listrik Potensi sumber listrik dari EBT lainnya ( Biomassa, angin, dll) Masuknya listrik PLN ke daerah pelanggan Mikrohidro dan belum terintegrasinya kebijakan, peraturan dan tata kelola institusi untuk pengembangan Mikrohidro TOTAL ANCAMAN
Bobot
Rating
Skor
0.0871
3
0.2613
0.1155 0.0865 0.0908 0.1081
4 3 3 4
0.4620 0.2595 0.2724 0.4324 1.6876
0.1204
3
0.3612
0.1069
3
0.3207
0.1278
4
0.5112
0.0785
2
0.1570
0.0784
3
0.2352
1.5853
Berdasarkan hasil penilaian dari faktor-faktor tersebut, terlihat bahwa skor faktor kekuatan memiliki nilai lebih besar (2.0450) dibandingkanfaktor kelemahannya (0.9206), artinyakemampuan internal pengelolaan mikrohidro yang baik akan dapat mengatasi kelemahan yang mungkin timbul. Demikian juga dengan peluang yang sedikit lebih besar (1,6876) dibandingkan dengan ancaman (1.5853) yang dihadapi oleh pengelola mikrohidro. Kesuksesan pengembangan usaha listrik berbasis mikrohidro, terutama yang dikelola oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang telah disebutkan di atas. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari lingkungan pengelola, dan dikelompokkan menjadi faktor kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan usaha listrik berbasis PLTMH. Faktor eksternal berasal dari lingkungan luar, dan dikelompokkan menjadi faktor peluang dan ancaman bagi pengembangan usaha listrik berbasis mikrohidro . Empat faktor utama yang berasal dari lingkungan internal dan eksternak yang memiliki bobot terbesar dalam menjaga kesinambungan mikrohidro dan pengembangan usaha listrik berbasis mikrohidro antara lain: (1) Faktor yang menjadi kekuatan utama adalah kerjasama antara pengelola mikrohidro dengan pelanggan dan masyarakat dengan bobot 0.1189. (2) Faktor yang menjadi kelemahan utama dari usaha listrik berbasis mikrohidro dengan bobot 0.1119 adalah ketersediaan jumlah dan kemampuan teknisi yang berkopetensi saat ini untuk mendukung kesinambungan kerja mikrohidro. (3) Faktor strategis peluang yang mendapatkan bobot tertinggi (0.1155) adalah adanya kebutuhan/permintaan listrik oleh masyarakat.
255
(4) Faktor tertinggi ancaman dengan bobot 0,1278 yang dihadapi oleh pengelola adalah komitment menbayar listrik dari masyarakt pengguna listrik di pedesaan. Untuk memaksimalkan dukungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesinambungan mikrohidro dan memaksimalkan manfaatnya bagi masyarakat perdesaan, maka beberapa pemangku kepentingan diyakini dapat membantu mengatasi kelemahan dan ancaman terhadap mikrohidro. Sebaliknya, pemangku kepentingan lain juga dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang yang ada dalam pengembangan mikrohidro. Pemangku kepentingan yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan usaha listrik berbasis mikrohidro antara lain: Pengelola, Masyarakat pengguna, PLN, Kementerian ESDM, Pemerintah Daerah (Desa/Kelurahan, Kecamatan), Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral, Dinas Pengairan, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas UMKM, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan; Lembaga Litbang; Industri Turbin; dan Akademia. Apabila dilihat dari faktor utama yang berasal dari lingkungan internal dan ekstnal yang memiliki bobot terbesar terlihat bahwa kerja sama yang baik antara pengelola mikrohidro dengan pelanggan merupakan faktor utama bagi keberlanjutan mikrohidro. Kerjasama saling menguntungkan harus dibangun antara pengelola PLTMH dengan pelangan. Pengelola dapat menyediakan listrik murah sesuai dengan kebutuhan pelanggan, di sisi lain pelanggan memiliki komitmen untuk membayar listrik dan menjaga kelestarian lingkungan alam sekitar, utamanya ketersediaan air dan sungai yang terjaga dengan baik. Sosialisasi tentang manfaat mikrohidro harus dilakukan dengan sungguh-sungguh baik oleh para pengelola maupun lembaga penerap. Contohnya IBEKA dan Koperasi Cinta Mekar di Subang dan PPLH Seloliman di Mojokerto telah melakukan kerja sama yang baik dengan masyarakat sehingga mampu meyakinkan masyarakat pengguna akan manfaat mikrohidro bagi perkembangan ekonomi dan lingkungan mereka. Dengan keyakinan akan manfaat tersebut, para pengguna (masyarakat) akan turut serta menjaga mikrohidro dan lingkungan sekitarnya. Hubungan yang baik antara pengelola mikrohidro dengan pelanggan akan saling menguntungkan. Pelanggan akan mendapat pasokan aliran listrik yang berkualitas (kontinu dan stabil) yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga maupun usaha ekonomi, jika kewajiban pelanggan untuk membayar biaya listrik dan ikut memelihara semua sarana mikrohidro (seperti saluran air, rumah pembangkit, jaringan listrik, kelestarian daerah aliran sungai) dilakukan. Sebaliknya, uang pembayaran listrik yang terkumpul dari pelanggan dapat dipergunakan oleh pengelola untuk mengoperasikan mikrohidro dengan baik, mulai dari menjamin kontinuitas aliran listrik, memelihara fasilitas sipil seperti rumah turbin dan saluran air maupun jaringan listrik. Di Subang dan Mojokerto, sebagian dari dana yang terkumpul dari masyarakat sebagai hasil pembayaran penggunaan listrik dipergunakan untuk meningkatkan pembangunan masyarakat dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan dan peningkatan ekonomi rumah tangga. Semua lokasi mikrohidro yang disurvei dalam studi ini memiliki keterbatasan petugas atau operator yang menangani operasi mikrohidro. Terbatas dalam arti jumlah maupun kemampuannya. Data hasil survei memperlihatkan hanya sedikit mikrohidro yang memiliki dua teknisi. Kebanyakan hanya memiliki satu teknisi. Kondisi teknisi yang hanya satu orang sangat berisiko bagi kesinambungan mikrohidro, terutama jika terjadi kerusakan atau kemacetan mesin mikrohidro dan teknisi tersebut sedang berhalangan atau tidak ada di desa. Fasilitas mikrohidro biasanya berada jauh dari lokasi pemukiman (pemakai) dan memiliki fasilitas kurang memadai. Untuk itu, diperlukan teknisi dengan usia muda yang masih mempunyai kekuatan fisik prima. Teknisi yang tersedia pada semua mikrohidro yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah laki-laki. Sementara pemuda di desa memiliki kecenderungan besar untuk bekerja di luar desanya dan bahkan menjadi tenaga migran ke luar negeri. Kecenderungan ini mengakibatkan teknisi laki-laki tidak mudah diperoleh dan teknisi laki-laki yang ada memiliki kesempatan besar untuk pergi bekerja di luar desa. 256
Pergantian teknisi tanpa melalui pelatihan khusus akan mengakibatkan tenaga teknisi kurang berkompeten. Hal ini merupakan faktor kelemahan utama dari usaha listrik berbasis mikrohidro yang akan mempengaruhi kelancaran operasional maupun perawatan mikrohidro yang ada. Untuk mengatasi hal ini diperlukan tambahan pendidikan dan pelatihan dalam bidang manajemen dan teknis mikrohidro yang diberikan oleh pegelola atau pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pengelola dan teknisi terutama dalam bidang teknis yang berhubungan dengan mikrohidro. Peningkatan kemampuan ini diperlukan karena besarnya peluang yang akan diraih jika mikrohidro beroperasi maksimal. Masyarakat di lokasi pembangunan mikrohidro merupakan calon pemakai yang akan langsung memanfaatkan listrik yang dihasilkan sehingga dengan adanya respons kebutuhan listrik dari masyarakat merupakan peluang bagi keberadaan PLTMH untuk dapat berkembang lebih lanjut. Respons masyarakat tidak terlepas dari proses sosialisasi oleh inisiator mikrohidro pada saat akan membangun maupun pada saat akan menjual listrik mikrohidro. Apalagi bila inisiatif pembangunan datang dari masyarakat maka dukungan akan keberadaan mikrohidro sangat baik, dan pada saatnya masyarakat dapat berinovasi atau bahkan mempunyai ketergantungan pada mikrohidro. Kebutuhan masyarakat perdesaan yang utama akan listrik adalah untuk penerangan, diikuti dengan keperluan untuk menjalankan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik, seperti televisi, mesin cuci, lemari es, dan kipas angin. Masyarakat pengguna PLTMH biasanya berada pada daerah terpencil dengan tingkat kehidupan ekonomi rumah tangga yang rendah. Rendahnya kondisi ekonomi rumah tangga ini seringkali menyebabkan pembayaran listrik tidak dapat dilakukan sesuai dengan harga keekonomiannya. Selain itu, pada beberapa tempat masih terdapat individu masyarakat yang enggan membayar listrik mikrohidro karena mereka menganggap mikrohidro sebagai bantuan gratis untuk masyarakat. Keengganan membayar listrik ini bukan karena alasan ekonomi, tetapi lebih kepada perilaku masyarakat sendiri. Nyatanya, setelah ada listrik para pengguna ini segera mengganti atau membeli peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik seperti televisi, lemari es, dan mesin cuci. Bila keadaan ini terjadi berkepanjangan atau terus menerus maka dapat mengancam keberadaan dan keberlangsungan mikrohidro. Di beberapa daerah perdesaan dengan kondisi masyarakat yang cukup mampu karena mempunyai pendapatan cukup seperti kekayaan dari kebun maka semangat membayar iuran listrik cukup baik. Untuk mengatasi ancaman tersebut diperlukan sosialisasi mengenai pentingnya listrik dan mikrohidro yang akan menyadarkan masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif terhadap pemeliharaan dan keberlanjutan operasional mikrohidro. Selain itu, masyarakat juga akan menjaga lingkungan sekitar yang mendukung keberadaan dan keberlanjutan mikrohidro dan dapat memberikan kesempatan belajar sambil bekerja (learning by doing) bagi para teknisi dan pengelola. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Dengan memperhatikan faktor utama yang berpengaruh terhadap usaha listrik mikrohidro di atas, maka strategi pengelola harus difokuskan kepada kerjasama yang baik dengan pelanggan dan masyarakat; harus terpenuhinya jumlah dan kemampuan teknisi yang berkompetensi; menumbuhkan kebutuhan/permintaan listrik oleh masyarakat dan menumbuhkan komitment membayar listrik dari masyarakat pengguna listrik. Itu semua merupakan kunci pokok kesinambungan mikrohidro. Saran bagi para pemilik program PLTMH dan pengelola PLTMH agar penerapan program PLTMH harus dibarengi dengan program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam bidang lainnya seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan dan 257
lingkungan. Oleh karena itu, penyusunan program PLTMH harus melibatkan programprogram pemberdayaan masyarakat lainnya. REFERENSI Basuki, K. (2007), “Mengapa Mikrohidro”. Dalam Seminar Nasional Teknologi, 2007.Yogyakarta, 24 November 2007 dalam www.opensubscriber.comdiakses tanggal 2 September 2009. David F.R. (2009),Strategic Management: Concepts and Cases, 12nd edition. Pearson Prentice Hall, New Jersey. DJLPE (2007), Pembangkit EBT Interkoneksi Jaringan PLN, Jakarta. (Tidak dipublikasikan) Hermawati, dkk (2009), Kajian Pemanfaatan PLTMH untuk Pengembangan Usaha Masyarakat Perdesaan. LIPI Press, Jakarta. Hutapea (2009), Kebijakan Energi dan Pentingnya Perspektif Gender, Prosiding Pertemuan II JKGEI, Yogyakarta, 6-9 April 2009. Nur'aini. R (2008), Dian Tak Kunjung Padam. www. opensubscriber.com. Diakses 2 September 2009. Satriyo, Puguh Adi (2008), Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro untuk Daerah Terpencil. Lembaga Kajian Creative. www.elkace.wordpress.com. Sugiarto, et al. (2001), Teknik Sampling, PT. Gramedia Pustaka Utama., Jakarta. Suroso (2008,Memutar Otak Memutar Turbin, dalam Lokakarya Teknologi Energi Terbarukan: Ditinjau dari Perspektif Gender, Yogyakarta, Desember 2007. http://re.djlpe.esdm.go.id diakses tanggal 1 September 2009. Rencana Strategis Kementerian ESDM, 2010-2014, Jakarta
258
PEMANFAATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BAYU UNTUK KETERSEDIAAN ENERGI LISTRIK DI MASYARAKAT Saut H. Siahaan
[email protected] Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi –Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ABSTRACT Potential and opportunities for development of wind power energy sources for electricity in Indonesia are quite large, but until recently the potential of these resources are still not utilized optimally. Various cases illustrate this, such as the application of Wind Power Generator (PLTB) in Bantul-Yogyakarta which are not functioning properly, or development programs of PLTB plant that have not been realized to meet the needs of 10,000 households in the Garut district (http:/ / www.garutkab.go.id/, 2009). These PLTB exploit the potential of wind resources along the coast, approximately 81 km. On the other side, some wind power plant technologies have been produced, ranging from small capacity 80 W to 1 kW or larger capacity 30 kW to 50 kW. In building this technology, R&D institutions are also working with a manufacturing plant, including PT. Pindad and PT. Smart Aviation. The R&D institution has also already established cooperation with local government as a facilitator for technology application.Nevertheless, the technology generated has not been accepted by society. This problem theoretically can be revealed through an understanding of the activities of PLTB plant R&Dactors. OECD/IEA (2009) showed that the actors of PLTB plant utilization activities are grouped as follows: (a) Wind Industry (i.e. R&D institutions of government, private, and university; manufacturing company and distributor of turbine and its components); (b) Government (i.e. the international and national scope, both central and local); and (c) Power System (i.e. the transmission company/PLN, the government and private operators ofPLTB plant). Qualitative methods are used, specifically in support of this research to obtain the PLTB utilization in Indonesia. Methods of analysis refer to the conceptual framework related to the roles and interaction of PLTB plant utilization actors, and comparing the utilization of PLTB plant in Indonesia and other nations. Analysis of the activities and actors and its comparison with other countries, such as Germany, America, and China, indicates Indonesia needs better consistent planning and integrated technology development; policies support; and international collaboration, towards the institutional infrastructure readiness of actors. Keyword: energy, industry, research, development, power, technology, wind 1. PENDAHULUAN Sistem pembangkit listrik tenaga angin yang lebih dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), mengkonversi energi angin menjadi energi listrik secara sederhana disusun dari turbin angin, generator, penyearah, penyimpan energi listrik atau batere (jika perlu), dan inverter yang mengubah arus searah ke tegangan AC 50 Hz untuk masuk ke jaringan distribusi. Dalam berbagai kasus, keberhasilan pemanfaatan PLTB sebagai sistem 259
pembangkit energi listrik di berbagai negara juga terletak pada rendahnya biaya operasional karena pemanfaatan tenaga angin tersedia yang diperoleh tanpa biaya. Oleh karena itu pemilihan lokasi yang optimum terkait potensi anginmerupakan faktor utama keberhasilan penerapan PLTB. Faktor utama lainnya yang juga turut menentukan keberhasilan pemanfaatan PLTB adalah teknologi dan pembangunan transmisinya.. IEA (2009) menunjukkan bahwa Eropa memimpin dalam pemanfaatan PLTB di dunia dengan hampir 60 % kapasitas terpasang dunia ada di negara pada belahan dunia ini. Pada tahun 2008, PLTB disediakan untuk memenuhi hampir 20 % dari konsumsi listrik di Denmark, berkontribusi untuk memenuhi 11 % konsumsi listrik di Portugal, 9 % di Irlandia dan hampir 7 % di Jerman. Amerika sebagai negara berkembang juga memanfaatkan tenaga angin, di negara ini 2 % energi listriknya dipasok oleh PLTB. Negara ini merupakan negara pengguna terbesar energi listrik dari PLTB setelah Cina, yaitu sebesar 25.170 MW (MEAI, 2010). Sedangkan di Indonesia pemanfaatan PLTB untuk pembangkit listrik masih belum populer. Masyarakat Energi Angin Indonesia (MEAI, 2010) menunjukkan bahwa pemanfaatan PLTB kurang lebih 1,5 MW, dan yang terkoneksi dengan PLN baru 1.275 kW di Nusa Penida, Sangihe dan Selayar. Sementara potensi yang ada mencapai 9,29 GW untuk kecepatan angin 3 s/d 5 m/det ( KIP PLN, 2011). Faktor ke dua yang menentukan keberhasilan penerapan PLTB seperti telah disebutkan diatas adalah teknologi. Dukungan teknologi dalam pemanfaatan PLTB dapat diupayakan melalui kegiatan R &D. Teknologi yang andal diharapkan mampu mengurangi biaya operasional dan perawatan karena siklus hidup sistem PLTB yang lebih panjang. Teknologi baru sistem PLTB yang dihasilkan melalui kegiatan R & D ini dengan demikian perlu mengikuti standar dan prosedur sertifikasi agar penyebaran teknologi sistem ini berhasil dengan baik. Keberhasilan penyebaran teknologi baru juga dipengaruhi oleh rantai pasokan pemasok-produsen-distributor, atau manufaktur dan perakitan yang sebaiknya dirancang dekat dengan sumber daya angin dan pertimbangan keseimbangan antara produksi dan permintaan terkait pada segmen pasarnya. Keseriusan pemanfaatan energi angin dari berbagai negara ditunjukkan dari besarnya dana penelitian untuk pengembangan teknologi PLTB. Tercatat selama 3 dekade terakhir pendanaan penelitian oleh OECD untuk energi angin antara 1 s/d 2 % dari seluruh dana R & D energi atau berkisar USD 200 juta. Penelitian ini ditunjang oleh institusi litbang swasta dan pemerintah. Litbang swasta umumnya mempunyai sasaran jangka pendek, sementara pemerintah jangka panjang dan terrkait kebijakan. Beberapa perusahaan swasta yang sudah berhasil dalam pengembangan, pembangunan dan pengoperasian PLTB menurut versi ini diantaranya adalah: Western Wind Energy Corp; Canadian Hydro Developers; Boralex Inc; dan Innergex Renewable Energy Inc. (IEA, 2009). Sementara di Indonesia saat ini belum tersedia perusahaan inti produsen PLTB (MEAI, 2010). Perusahaan yang ada lebih sebagai penunjang komponen PLTB seperti rotor, generator, menara, roda gigi, dan sistem kontrol. Tercatat beberapa industri sebagai produsen komponen ini seperti PT. DI, PT.SMART AVIATION,PT. PINDAD, PT BBI, dan lainnya. Saat ini produsen turbin angin belum ada, turbin angin dibuat oleh lembaga litbang yang sifatnya lebih sebagai prototipe untuk kegiatan penelitian dan pengujian. Faktor ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah jaringan transmisi, baik pembangunan jaringan transmisinya ataupun integrasi sistem PLTB ke jaringan transmisi yang telah ada. Dalam beberapa kasus pembangunan instalasi transmisi memerlukan biaya yang tinggi. Investasi pembangunannya pada akhirnya dibebankan pada konsumen listrik jika perusahaan tidak menerima bantuan dalam pembangunannya. Oleh karena itu perusahaan perlu fokus dalam perencanaan strategis, struktural dan operasionalnya untuk keberhasilan pemanfaatan PLTB. Di berbagai negara seperti Amerika, negara Eropa dan Cina tantangan utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan sistem ini ke jaringan listrik utama yang telah ada, karena jarak pusat pembangkit dengan jaringan distribusi utama tersebut relatif jauh terkait potensi energi angin yang umumnya terletak di sepanjang sisi pantai bahkan di laut lepas berjarak sampai 40 km dari pantai. Berbeda halnya dengan 260
negara Eropa yang lebih berkonsentrasi pada pembangunan PLTB dengan kapasitas besar. Di Indonesia PLTB cocok digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di satu daerah dengan kapasitas di bawah 100 kW. Potensi tenaga angin di Indonesia pada umumnya berada sepanjang pantai yang wilayahnya cukup luas. Daerah ini pada umumnya belum terjangkau jaringan listrik PLN, sehingga pemanfaatan PLTB dan jaringannya merupakan peluang yang cukup besar sebagai alternatif penyediaan listrik di daerah tersebut. Selanjutnya berdasarkan roadmap sektor energi angin dapat ditunjukkan target produksi PLTB skala rendah sampai dengan 300 kW sudah terwujud pada tahun 2010 – 2014 dan PLTB 750 kW terwujud pada tahun 2025. Roadmap sektor energi angin ini pada dasarnya juga didukung oleh kebijakan pemerintah dalam pembangunan sektor energi yang tertuang dalam PP No 5 Tahun 2006 untuk pemanfaatan energi baru terbarukan demi terwujudnya energi mix yang optimum melalui pengurangan penggunaan minyak bumi sampai 20 % pada tahun 2025. Tapi apakah keinginan pemerintah ini dapat terwujud, masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Mencermati keadaan pengembangan PLTB di Indonesia beberapa tahun yang lalu dan perbandingannya dengan negara lain yang lebih maju seperti diuraikan diatas tampak beberapa perbedaan yang cukup signifikan, baik pada kesiapan industri dalam negeri untuk penyediaan teknologi PLTB, maupun kesiapan operator pengelola pembangkit dan distribusi listrik dari instalasi PLTB. Demikian pula dengan peraturan pemerintah yang sebenarnya diharapkan mampu mendorong pengembangan dan pemanfaatan PLTB. Oleh karena itu perlu digali lebih jauh pemahaman yang baik, bagaimana pengembangan teknologi PLTB dan pemanfaatannya di masyarakat terkait pada peran dan interaksi para pelaku energi angin. Baik dari sisi pengembangan teknologi dan pabrikasinya di industri, sampai dengan penerapan, penyebarluasan, dan pemanfaatannya oleh operator sistem daya untuk menghasilkan energi listrik bagi masyarakat. 2. KERANGKA PIKIR Pemahaman para pelaku pemanfaatan PLTB sebagai sarana untuk penyediaan energi listrik secara teoritis sudah diungkapkan oleh berbagai kalangan yang berkompeten. Salah satunya dikemukakan oleh pakar energi dari OECD, 2009. Menurut mereka para pelaku kegiatan pemanfatan teknologi PLTB dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar sebagai berikut: (a) pelaku industri energi angin/ “Wind Industry” (yaitu: lembaga litbang pemerintah, swasta, dan universitas; perusahaan manufaktur dan penyalur turbin serta komponennya), (b)pelaku pemerintah/ “Goverment”(yaitu: lingkup internasional dan lingkup nasional, baik pemerintah pusat dan daerah), dan (c) pelaku sistem daya/ “Power System” (yaitu perusahaan transmisi/PLN, operator pemerintah dan swasta sistem pembangkit listrik). Industri selalu mendorong percepatan penelitian untuk mendapatkan hasil bagi penerapan praktis, halmana sejalan dengan tantangan bisnis dalam pencapaian hasil inovasi melalui peran industri yang mendorong inovasi. Industri menghargai penelitian di lembaga litbang ataupun perguruan tinggi yang perlu beberapa tahun sampai mendapatkan hasil praktis, dan umumnya sulit diprediksi. Dalam kasus ini maka keuntungan bagi industri dari hasil penelitian tidak dapat dicapai dengan segera. Oleh karena itu kerjasama dan kooperasi dalam hak intelektual perlu dibangun terkait dengan privasi industri untuk perolehan hak atas hasil penelitian dalam pencapaian keuntungan. Hubungan yang bermutu dan saling menghargai walau ada perbedaan budaya antar industri, lembaga litbang, dan perguruan tinggi. Industri dapat membantu peneliti membawa ide/inovasi ke pasar, pabrik, keteknikan, dan layanan. Sementara itu pada saat yang sama industri memperoleh keuntungan dari kemudahan akses ke lembaga litbang untuk memperoleh produk litbang dan penggunaan fasilitasnya. Dalam konsep OECD/IEA, 2009 tentang para pelaku pemanfaatan pembangkit listrik, khususnya PLTB jelas dinyatakan bahwa lembaga litbang, 261
perguruan tinggi dan industri (produsen dan distributor) berada dalam satu payung kelompok yaitu pelaku industri energi angin. Oleh karena itu akan lebih mudah dipahami bahwa pemanfaatan PLTB hasil litbang dimungkinkan jika infrastruktur industri teknologi PLTB sudah terbangun. Hal mana juga dapat dipahami karena keberlanjutan pemanfaatan PLTB bergantung dukungan industri PLTB maupun industri komponen penunjuangnya. Dalam kasus diatas peran dari industri dengan demikian adalah sebagai penyedia produk teknologi yang andal dan komersial agar tercapai keseimbangan antara biaya investasi dengan operasional dan perawatan. Faktor keandalan dan komersial dengan demikian menjadi sangat penting bagi produk teknologi PLTB dalam peningkatan nilai tambah dan daya saingnya. Inovasi teknologi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan meliputi perancangan dan demonstrasi yang kemudian dipasarkan melalui industri belum lengkap jika tidak disertai tarikan pasar yang kuat. Dalam hal inilah pemerintah dapat berperan, yaitu menarik investasi teknologi energi angin PLTB dari sektor swasta. Pemerintah berperan sebagai penyedia fasilitas informasi yang baik, seperti data potensi angin dan infrastruktur jaringan listrik yang ada di daerah, atau informasi produsen instalasi PLTB dan penunjangnya di dalam dan luar negeri, akses ke sumber dana dan lain sebagainya. Pemerintah sebagai regulator juga dapat melakukan penyesuaian aturan kebijakan dan pemberian insentif yang mendorong penyebaran teknologi. Tanpa insentif pemerintah atau dukungan yang setara dengan itu, tingkat pengembalian investasi menjadi tidak menarik bagi investor karena harus bersaing dengan pembangkit listrik konvensional. Dukungan dan insentif pemerintah untuk produsen energi listrik PLTB dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti subsidi, pemberian modal hibah dan jaminan pinjaman, serta cara lainnya yang pada dasarnya bertujuan untuk menjamin nilai jual listriknya kompetitif. Secara khusus, di Indonesia pemberian insentif dan dukungan pemerintah terhadap pemanfaatan PLTB sangat diharapkan dan dimungkinkan. Hal ini penting mengingat cakupan kebijakan dan aturan pemerintah dapat diberikan pada seluruh sektor terkait, baik produksi di industri melalui kementrian perindustrian, pembangunan instalasi pembangkit listrik dan pemanfaatan sumber daya energi melalui kementrian ESDM, kegiatan litbang oleh kementrian Ristek, pemberian insentif pajak oleh kementrian keuangan, dan lain sebagainya. Oleh karenanya peran pemerintah ditujukan untuk mendorong kerjasama yang efektif diantara industri dan pelaku sistem daya untuk peningkatan investasi publik di kedua kelompok. Sementara itu dari sisi pelaku sistem daya yang terkait pada jaringan listriknya, tercatat beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah penundaan pemanfaatan listrik dari pembangkit listrik baru karena tidak tersedianya jaringan listrik yang investasinya relatif besar. Sebagian besar infrastruktur transmisi yang ada umumnya berada di luar jangkauan PLTB, sehingga teoritis perlu dibangun sistem transmisi dan distribusinya. Oleh karena itu perencanaan terpadu pembangunan PLTB beserta dengan sistem transmisinya kadangkala merupakan pilihan alternatif yang harus dilaksanakan. Pengembangan sistem transmisi dan mengintegrasikannya dengan sistem yang sudah ada seringkali melibatkan yuridiksi pemerintah daerah dan pengelola sistem tansmisi yang sudah ada. Masing-masing kepentingan menggunakan metode penilaian biaya dan manfaatnya sendiri termasuk dampak lingkungan. Jika hal ini tidak dipadukan berpotensi sebagai penghambat pemanfaatan PLTB. Kurangnya perencanaan terpadu dan investasi sering dinyatakan sebagai faktor utama penghambat pemanfaatan PLTB (OECD/IEA, 2009) Berdasarkan pemahaman para pelaku pemanfaatan PLTB seperti diuraikan diatas, maka keberhasilan pemanfaatan PLTB sagat ditentukan dari peran dan interaksi para pelaku yang secara sistematis dinyatakan dalam gambar 1 di bawah ini.
262
Pemerintah
Pemanfaatan PLTB
Sistem Daya
Industri
Gambar 1. Kerangka Pikir Para Pelaku Pemanfaatan PLTB
Interaksi para pelaku pemanfaatan PLTB pada dasarnya terbangun sejalan dengan kegiatan para pelaku menurut tugas dan fungsi masing-masing yang pada akhirnya mengkerucut pada pengembangan dan pemanfaatan PLTB. Sesuai dengan perannya, industri menyediakan teknologi PLTB dan jaringannya melalui kegiatan penelitian dan manufaktur. Pemanfaatan teknologi yang terbangun dilakukan oleh operator sistem daya melalui pembangunan dan pengoperasian PLTB dan sistem jaringannya, dalam hal ini operator sistem daya merupakan konsumen bagi industri PLTB. Oleh karena itu pasar PLTB dapat terbangun jika operator sistem daya ini tersebar di daerah yang memiliki potensi energi angin. Sementara itu pemerintah sebagai regulator mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang secara tidak langsung mengatur dan mendorong para pelaku dalam pengembangan dan pemanfaatan PLTB, baik dari sisi ekonomi, teknologi, maupun lingkungan. Dalam kasus ini pemerintah dapat aktif memberikan dukungan untuk tercapainya keberhasilan dalam pemanfaatan PLTB. Dukungan pemerintah dari sisi ekonomi terkait pada investasi dan perlindungan teknologi baru melalui pendekatan pajak dan kuota energi listrik, sementara dukungan pemerintah terhadap teknologi dapat berupa sertifikasi pencerminan nilai produksi energi bersih dan pengurangan emisi polutan. Dalam bebagai kasus dukungan terhadap teknologi ini sejalan dengan waktu sebaiknya menurun agar teknologi mampu berdaya saing.Teknologi berkembang dan mampu memenuhi tuntutan penggunanya. Secara khusus insentif merupakan bagian dari kerangka kerja yang konsisten dari ketiga pelaku dengan langkah-langkah dengan target penghapusan hambatan birokrasi atau administrasi, dan dukungan terhadap kegiatan R & D yang pada akhirnya mendorong investor dalam pemanfaatan sumber daya angin di daerah potensial. 3. METODE PENELITIAN Metode kualitatif secara spesifik digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh gambaran sistematis pemanfaatan teknologi energi terbarukan PLTB di Indonesia (Sugiyono, 2006). Dalam kasus ini data primer diperoleh melalui teknik dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam kepada para pelaku energi angin di Indonesia. Teknik dokumentasi untuk memperoleh informasi proses kegiatan inovasi teknologi yang tercatat oleh responden, baik berupa MOU, dokumen uji coba, perjanjian kerjasama, dsb. Teknik observasi digunakan untuk memperoleh gambaran awal perilaku para pelaku pada saat 263
kunjungan ke lapangan terkait kegiatan pemanfaatan teknologi. Sementara wawancara mendalam dilakukan menggunakan panduan wawancara, hasilnya kemudian dinarasikan sebagai bahan analisis. Sebagai pendukung analisis data primer dilengkapi data sekunder yang diperoleh dari berbagai publikasi ilmiah media cetak dan elektronik. Responden untuk wawancara adalah Kepala dan peneliti senior Puslit lembaga litbang pemerintah dan industri, yaitu: Puslit Telimek-LIPI, Pusat Teknologi Dirgantara Terapan-LAPAN, dan CV. Cihanjuang. Demikian pula telah dilakukan wawancara mendalam Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) dan Dinas Perikanan kabupaten Bantul. Sementara kunjungan kelapangan dilakukan pada pemanfaatan PLTB untuk: (a) penerangan pada Kelompok ternak sapi – Jogyakarta; (b) penerangan di Laboratorium alam Bakorsutanal – Jogyakarta. Berdasarkan data tersebut diatas dilakukan analisis yang mengacu pada kerangka pikir, yaitu peran dan interaksi para pelaku pemanfaatan PLTB secarakomparatif atau membandingkan kegiatan pemanfaatan PLTB di Indonesia dan negara lainnya. 4. PEMANFAATAN PLTB DI INDONESIA Menurut laporan World Wind Energy Association (WWEA) tahun 2009 dapat ditunjukkan bahwa kapasitas terpasang PLTB di Indonesia pada akhir tahun 2006 adalah sebesar 0,8 MW dan menjadi 1 MW pada akhir tahun 2007. Kapasitas terpasang PLTB terus berkembang sampai 1,4 MW pada akhir tahun 2009, pada akhir tahun 2008 hanya sebesar 1,2 MW. Sehingga terjadi penambahan kapasitas sebesar 0,2 MW atau tumbuh 16,7 %. Menurut pakar PLTB22, pengoperasian PLTB dengan kapasitas kecil di Indonesia tidaklah efisien. Walaupun demikian keinginan pemerintah untuk memperoleh energi listrik dari PLTB tidak surut. Dalam kasus ini,diharapkan untuk daerah potensial, pengoperasian PLTB dengan kapasitas besar dapat bersaing dengan pembangkit energi listrik mesin diesel. Diantaranya yang mempunyai prospek yang cukup baik adalah pembangunan proyek PLTB di Kecamatan Kluet, Aceh Selatan yang dimulai awal tahun 2010 oleh PT. Gelora Lintas Arta. Investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan PLTB ini rencananya sebesar Rp. 130 Milyar, dan akan memasok listrik ke PLN sampai sebesar 10 MW secara bertahap pada tahun 2012. Pasokan listrik ke PLN dijadwalkan pertama kali sebesar 2 MW pada akhir tahun 2011, dan pada akhir 2012 kapasitas pasokannya diharapkan sudah mencapai 10 MW. Penandatanganan perjanjian jual beli listrik kepada konsumen (PLN) dengan harga jual listriknya sebesar Rp 787/kWh menurut pihak PLN sangat menguntungkan karena harganya dapat bersaing dengan pembangkit dari mesin diesel yang mencapai Rp 2500/ kWh (Black Peking, 2011). Sementara di Nusa penida Bali telah dioperasikan oleh PLN sebuah pembangkit listrik tenaga bayu dengan kapasitas 150 kW perhari sebagai dukungan pelayanan PLN yang sampai saat ini baru mampu memasok daya listrik sebesar 2,6 MW untuk masyarakat di daerah ini (Arena, 2011). Sementara itu pada sisi litbang tercatat bahwa hasil litbang Pusat Teknologi Dirgantara Terapan dalam inovasi PLTB yang dimanfaatkan oleh masyarakat melalui kerjasama dengan pemerintah daerah diantaranya adalah:
pemanfaatan/ operasionalisasi 1 unit turbin angin kapasitas 1000 watt di unit pemukiman transmigrasi (UPT) Oitui-Bima, NTB, (2001);
pengembangan dan pemanfaatan prototip PLTB untuk penyediaan jasa listrik di Kabupaten Bantul, (2002);
implementasi teknologi PLTB kapasitas 25,5 kW, dan sosialisasinya kepada operator dan masyarakat pengguna di Kabupaten SumenepProvinsi Jawa Timur, (2005);
22
Sitinjak S, Pakar dari LAPAN , 2011
264
pemanfaatan PLTB untuk pembangkit tenaga listrik di Sumatera Utara, (2005);
pemanfaatan PLTB untuk pembangkit tenaga listrik di Bangka Belitung, (2007).
Pemanfaatan hasil litbang PLTB oleh Pusat Teknologi Terapan – LAPAN juga dilakukan melalui kerjasama dengan industri yaitu dengan:
Smart Aviation Indonesia, PT: Perancangan, fabrikasi dan prototyping; Pengujian dan sertifikasi produk; dan Industrialisasi dan pemasaran produk (2006)
Indokomas Buana Perkasa, PT: Relokasi 5 unit turbin angin dari Bulak Baru dan Kali Anyar ke Pulau Karya, Kep. Seribu, Provinsi DKI Jakarta,(2003).
Prasetya Indra Barata (PIB), PT: Pemanfaatan PLTB melalui relokasi turbin angin dari Desa Bulak Baru dan Kalianyar ke Desa Tanggul Tlare, (2002).
PLN (Persero) Litbang Ketenagalistrikan:Pilot project skala besar interkoneksi ke jaringan PLN. (2005).
Dari hasil pengamatan beberapa kegiatan operasional PLTB di Yogya dan dokumentasi yang diperoleh terungkap berbagai permasalahan yang terkait pada ekonomi, teknologi, sosial, dan kebijakan yaitu :
Pengoperasian PLTB tidak menguntungkan, karena nilai jual listriknya masih lebih mahal dibandingkan listrik PLN agar tercapainya BEP (investasi dan perawatan). Sementara untuk PLTB yang sudah komersial dari luar negeri umumnya relatif mahal dan beroperasi pada kecepatan angin yang relatif tinggi hingga jika dioperasikan pada kondisi angin di Indonesia tidak efisien.
Tingkat ekonomi masyarakat di pedesaan yang umumnya petani masih rendah sehingga belum mampu untuk membeli listrik walaupun di daerahnya tersedia potensi energi angin.
Tidak tersedianya SDM terampil di pedesaan,
Tidak tersedianya teknologi yang handal terkait harga investasi.
Keterbatasan dukungan infrastruktur di daerah dan kurangnya dukungan pemerintah dalam pembiayaan operasional.
Lokasi penempatan PLTB tidak dilakukan dengan benar karena tidak sesuai dengan potensi angin dan tata letak peralatan. Dalam hal ini perlunya kajian yang didukung oleh data yang berkualitas.
Selanjutnya berdasarkan kondisi tersebut diatas maka secara sistematis dapat ditunjukkan bahwa pemanfaatan PLTB di Indonesia masih terhambat karena: (1) Belum terlaksananya kebijakan pemerintah yang mendorong pemanfaatan teknologi PLTB sebagai salah satu alternatif pembangkit energi listrik, baik dari dukungan insentif litbang, maupun operasionalnya agar mampu bersaing dengan pembangkit energi listrik dari sumber daya minyak bumi; (2) Faktor pencemaran lingkungan hidup masih belum merupakan faktor yang cukup kuat sebagai pendorong pemanfaatan PLTB, terkait pada biaya yang harus di bayar oleh masyarakat kedepan; (3) Pemanfaatan PLTB masih belum mendorong usaha masyarakat desa karena tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Dalam kasus ini perlunya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan operasional, penentuan harga jual listriknya, dan sebagainya. (4) Belum tersedianya produk PLTB yang sesuai dengan kondisi angin di Indonesia. Sampai saat ini belum terbangun industri PLTB, meskipun kemampuan industri 265
Indonesia menurut pakar seperti(MEAI, 2010):
sudah
mampu
untuk
membuat
komponen
PT. DI dan PT.SMART AVIATION untuk pembuatan rotor
PT. PINDAD dan PT. BBI untuk pembuatan generator
PT. KORINDO dan PT. BARATA untuk pembuatan menara
PT. DI, PT. PINDAD, dan PT. BARATA untuk pembuatan nozel
PT. GUNA ELEKTRO dan PT. LEN untuk pembuatan sistem kontrol
PT. BARATA,PT. Yawing System
PT. DI, PT. PINDAD, dan PT. KORINDO untuk pembuatan turbin angin.
PLTB,
CAKRA, PT. LEN,PT. DI, dan PT.PINDAD untuk pembuatan
Pada akhirnya dapat pula ditunjukkan bahwa sampai saat ini belum tersedia asosiasi pengguna PLTB, demikian pula dengan asosiasi profesi maupun asosiasi industri PLTB (MEAI, 2010), sehingga interaksi antar para pelaku pemanfaatan PLTB belum terkoordinasi dengan baik. 5. PEMANFAATAN PLTB DI DUNIA Pemanfaatan PLTB didunia sampai dengan pertengahan tahun 2011 menurut World Wind Energy Association (WWEA, 2011) mulai dari akhir tahun 2009 sampai dengan saat ini terus meningkat. Tercatat bahwa kapasitas terpasangnya sampai dengan pertengahan 2011 mencapai 215.000 MW. Secara lebih rinci pada Tabel 1 ditunjukkan sepuluh negara yang memanfaatkan PLTB untuk pembangkit listrik, mulai dari Cina yang memiliki instalasi PLTB dengan kapasitas terpasang terbesar, yaitu 52.800 MW sampai dengan portugal dengan kapasitas terpasang 3.960 MW pada pertengahan tahun 2011. Secara khusus telah pula diperkirakan kapasitas terpasang PLTB sampai dengan akhir 2011 seperti pada Gambar 2. Tabel 1.Sepuluh Negara Terbesar Pemanfaatan PLTB
Sumber: WWEA, 2011
266
Berdasarkan data ini maka dapat dilihat bahwa tingkat perkembangan kapasitas PLTB selama 6 bulan pada tahun 2010 cukup baik, yaitu 12,4 % (mulai dari pertengahan tahun 2010 sampai dengan akhir 2010). Tingkat pekembangan ini berubah menjadi sebesar 9,3 % dalam waktu 6 bulan (akhir 2010 sampai dengan pertengahan 2011) dan 22,9 % secara tahunan (pertengahan 2010 sampai dengan pertengahan 2011). Grafik perkembangan kapasitas PLTB dunia mulai awal 2010 sampai dengan pertengahan 2011 ditunjukkan pada gambar 3.
Sumber: WWEA, 2011
Gambar 2.Kapasitas Total Instalasi PLTB Di Dunia
Sumber: WWEA, 2011
Gambar 3Perkembangan Instalasi PLTB Di Dunia
267
Selanjutnya untuk menunjukkan faktor-fakor pendorong laju perkembangan instalasi PLTB seperti diuraikan diatas, maka akan ditunjukkan rencana aksi dari tiga pelaku pemanfaatan PLTB seperti disampaikan Internationale Energy Agency (IEA,2009) sebagai berikut. 5.1.
Pelaku Industri
Pelaku industri angin merupakan kelompok komunitas lembaga penelitian universitas, pusat penelitian pemerintah dan swasta; produsen komponen dan turbin angin; perusahaan konstruksi dan kincir angin dan infrastruktur. Peran dari pelaku industri angin terutama dalam: (1) pemetaan sumber daya angin dan publikasinya untuk kebutuhan komersial PLTB serta pengembangan model prakiraan operasi PLTB; (2) pengembangan teknologi PLTB agar kompetitif dan efisien; (3) pengembangan pabrik dalam skala ekonomi terkait rantai pasokan sumber daya di daerah; (4) menghindari dampak negatif lingkungan dan sosial melalui pemanfaatan teknologi PLTB. Sebagai contoh beberapa perusahaan di Canada telah berhasil mengembangkan teknologi dan membangun konstruksi dan instalasi PLTB, perusahaan ini diantaranya adalah Western Wind Energy Corp.;Canadian Hydro Developers; Boralex Inc.; Innergex Renewable Energy Inc. Perusahaan perusahaan ini melakukan pengembangan dalam waktu yang relative pendek 9 sampai dengan 24 bulan. (IEA, 2009)
5.2.
Pelaku Pemerintah
Pelaku pemerintah merupakan kelompok pemerintah internasional, nasional, dan pemerintah daerah. Dalam hal ini perannya dalam pemanfaatan PLTB adalah mendorong penyebaran teknologi dan investasi sektor swasta agar meluasnya pemanfaatan PLTB sebagai alternatif pembangkit energi listrik. Peran ini meliputi: (1) dukungan pembiayaan; (2) pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan; (3) mengembangkan mekanisme insentif; (4) penyediaan insentif untuk percepatan pembangunan transmisi; (5) Mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan PLTB dan sistem transmisinya; (6) menghilangkan hambatan birokrasi pada proyek PLTB; (7) peningkatan kolaborasi internasional, baik pada kegiatan penelitian maupun pertukaran teknologi. Peran pemerintah cukup signifikan dalam pemanfaatan PLTB. Pemerintah Canada memfasilitasi pengembangan PLTB dan membangun kerangka peraturan dan harga untuk emisi gas rumah kaca, sehingga menumbuhkan daya saing PLTB. Pada perkembangannya mayoritas penduduk mendukung PLTB dan juga didukung oleh CanWEA yaitu organisasi yang mendorong interaksi ketiga pelaku pemanfaatan PLTB, termasuk juga konsultasi publik. CanWEA didirikan tahun 1984 mewakili komunitas energi angin, organisasi dan individu yang secara langsung terlibat dalam pengembangan dan penerapan teknologi energi angin, produk dan jasa (Gwec, 2010). 5.3.
Pelaku Sistem Daya
Pelaku sistem daya merupakan kelompok komunitas perusahaan transmisi, operator sistem daya dan pengelola listrik swasta yang dapat ditunjuk pemerintah dalam pengaturan listrik. Peran kelompok ini terutama untuk mendukung pengembangan sistem transmisi melalui kekuatan pasar dan infrastruktur yang efektif untuk mengurangi variasi nilai listrik. Dalam keadaan tertentu pengembang energy listrik dapat menerima tawaran aset PLTB 268
dengan kompensasi pendapatan dari operasional setara dengan nilai sekarang dari aliran kas yang menghasilkan aset. Beberapa operator system daya di Canada diantaranya adalah: Canadian Hydro Developers Inc. 45 X 1,5 MW; Suncor Energy 17 X 660 kW; Benvest Capital 1X 3,8 MW; Plutonic Power Corp. 96 X 1,5 MW; dan sebagainya.(Platts UDI World Electric Power Plants Data Base, 2011). Operator sistem daya ini mampu mengelola beberapa instalasi PLTB dalam satu lokasi pembangkit daya seperti ditunjukkan diatas.
6. KESIMPULAN Dari uraian diatas dapat ditunjukkan bahwa peran para pelaku pemanfaatan PLTB di Indonesia untuk mendorong terbangunnya industri PLTB masih sangat rendah. Secara khusus komunitas yang berkumpul sebagai pelaku industri sampai saat ini belum mampu membangun industri yang spesifik mendukung keberadaan teknologi PLTB. Lain halnya dengan negara lain yang sudah lebih maju, sebagai contoh Kanada, yang sudah memiliki perusahaan manufaktur PLTB dan komponennya. Pada sisi yang lain peran pelaku sistem daya di Indonesia sangat kecil, hal ini sangat terkait pada investasi jaringan yang relatif cukup besar dan tingkat pengembalian yang belum pasti. Saat ini investasi jaringan listrik didominasi oleh PLN yang masih perlu terus dikembangkan dan pengembangannya sangat terkait pada tingkat ekonomi daerah tersebut. Sementara peran pemerintah daerah yang diharapkan mampu memberikan dorongan bagi terwujudnya pemanfaatan PLTB melalui mekanisme insentif dan kebijakan masih relatif kecil karena keterbatasan sumberdaya di daerahnya. Selanjutnya pengamatan terhadap dukungan kelembagaan para pelaku, dapat ditunjukkan bahwa di Indonesia belum terbangun asosiasi yang dibangun sebagai wadah untuk komunikasi antar pelaku. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat keberhasilan pemanfaatan PLTB tidak semata tergantung pada faktor ekonomi/bisnis akan tetapi juga mancakup faktor sosial masyarakat dan lingkungan. Lebih rinci peran dan interaksi para pelaku PLTB serta permasalahannya di Indonesia disimpulkan di bawah ini. Pelaku industri Pemetaan sumber daya angin dan publikasinya masih terbatas dilaksanakan oleh lembaga litbang pemerintah. Sementara pengembangan teknologi yang dilakukan oleh lembaga litbang tidak didukung oleh industri PLTB yang sampai saat ini masih belum terbangun dengan baik. Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan pabrik dalam skala ekonomi belum menarik investor terkait rantai pasokannya. Pada sisi yang lain uji coba pemanfaatan teknologi yang digagas lembaga litbang belum sepenuhnya mampu menarik minat masyarakat di daerah untuk turut berpartisipasi dalam pengoperasiannya karena keterbatasan ekonomi, infrastruktur dan kemampuan SDM. Interaksi dengan pemerintah belum terbangun dengan baik terkait pada dukungan kelembagaan, ketersediaan infrastruktur dan insentif. Sementara interaksi dengan pelaku sistem daya, baik dengan koperasi ataupun dengan PLN belum terbangun karena instalasi PLTB yang dibangun sifatnya lebih kepada “proyek penelitian” atau proyek pemerintah dan belum mampu bersaing dengan pembangkit energi lainnya. Pelaku Pemerintah Peran pemerintah dalam penyebaran teknologi sampai saat ini masih terbatas dilakukan oleh lembaga litbangnya, baik melalui pendanaan penelitian maupun uji coba penerapannya dilapangan. Hal ini tentunya belum cukup karena keberlanjutan pengoperasian PLTB yang sudah dibangun perlu dukungan pembiayaan yang harus dikelola dengan baik terkait pemeliharaan dan harga jual listriknya. Dalam hal ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah diharapkan mampu memberikan solusi, baik melalui kebijakan penetapan tarif jual listrik atau memfasilitasi untuk koordinasi keterlibatan 269
masyarakat dan mendorong investasi atau dukungan pendanaan insentif percepatan pembangunan transmisinya. Pelaku Sistem Daya Dukungan pengembangan sistem transmisi dari pelaku sistem daya di Indonesia untuk pemanfatan PLTB relatif kecil mengingat aspek ekonominya belum menguntungkan. Hal ini pada prinsipnya merupakan tantangan yang perlu diselesaikan, mengingat sumberdaya angin tersedia secara Cuma-Cuma (gratis), sementara kebutuhan listrik di Indonesia masih cukup besar. Alangkah baiknya Jika sumberdaya ini dapat dimanfaatkan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Indonesia dapat mencontoh negara lain dalam penyelesaian berbagai masalah yang timbul yaitu didiskusikan dalam satu wadah kelembagaan bersama diantara para pelaku agar diperoleh solusi yang menguntungkan semua pihak. Setiap pembangunan PLTB diharapkan memberikan dampak positif terhadap pembangunan, utamanya terkait dengan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar. REFERENSI Arena Maju Bersama PT (2011), PLTD Rental Nusa Penida. (www.arenamajubersama.com /index. php/nusapenida, diakses September 2011) IEA/OECD (2009), Research Capital Innovation and Execution, Matt Gowing, CFA (http://www.westernwindenergy.com/i/pdf/ppt/Clean-Energy-is-Here-to-Stay.pdf, diakses Oktober 2010) Masyarakat Energi Angin Indonesia (MEAI) (2010), Program Klaster Energi Angin. Sarasehan energi baru terbarukan (www.energiterbarukan.net, diakses Desember 2010) Pemda Garut (2009), Garut Potensial PLTB. (http://www.garutkab.go.id/pub/news/detail/3107-garut-potensial-pltb.html, diakses Juni 2010) Sitinjak, Sakti. Analisa Ekonomi Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Angin. LAPAN (www.perpustakaan.lapan.go.id/jurnal/index.php/jurnal_ansis/.../44. diakses Juni 2011) Sugiyono (2006), Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung. WWEA
(2009), World Wind Energy Report (http://www.wwec2010.com. Diakses Juni 2011)
2009.
Istambul,
Turkey.
WWEA (2011), Half-year Report 2011. (http://www.wwinddea.org, diakses September 2011)
270
PRESENTASI POSTER
271
KAJIAN POTENSI DAN TEKNO EKONOMI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO (PLTMH) DI WILAYAH SULAWESI Ridwan Arief Subekti1, Henny Sudibyo2
[email protected],
[email protected] Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI ABSTRACT Power plant scattered is needed to meet growing electricity demand because the spread of electrical energy is not evenly distributed in Sulawesi Region. The development ofrenewable energy tomeetelectricity needsin Sulawesi regionis veryopen to bothas the objectof businessgroupsorprivate.In its bearing with this phenomenon, we have performed a study of the potential and economic techno that is expected to be a guide for development of Micro Hydro Power Plant in the Sulawesi Region. Methodologies used were collection and analysis of secondary and primary data. From theresults of study, it isfoundthatthe Sulawesi Regionhas a verylargeMicro Hydro Power Plant potential witha total potentialof154.23MWoralmost 30% of the totalpotential ofMicro Hydro Power PlantinIndonesia and more than 30% or about47.73MWis stillcompletelyuntapped. It takesstrategic stepsfor the development ofMicroHydroPower PlantinSulawesiregion. Keywords: electric power, development, micro hydro potential, economic techno, SulawesiRegion 1. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 km2. Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam propinsi yaitu propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Gorontalo. Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar dengan luas wilayah daratan 68.033 km2 dan luas laut mencapai 189.480 km2. Pesatnya pembangunan di wilayah Sulawesi seiring dengan otonomi daerah dan demokratisasi akan meningkatkan kebutuhan energi listrik. Penyebaran energi listrik yang tidak merata di berbagai propinsi di Sulawesi menyebabkan dibutuhkannya pembangkit listrik tersebar untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat dengan cepat. Untuk itu pengembangan energi terbarukan untuk mencukupi kebutuhan listrik sangat terbuka baik sebagai obyek usaha kelompok masyarakat atau usaha swasta. Salah satu potensi energi terbarukan yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang potensinya banyak tersebar di wilayah Sulawesi. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di wilayah Sulawesi ditujukan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi kawasan Sulawesi terutama di pedesaan, mendorong peningkatan kegiatan ekonomi kawasan Sulawesi melalui pemanfatan penyediaan listrik bersumber dari PLTMH, mengurangi konsumsi bahan bakar minyak, memanfaatkan sumber energi yang 272
ramah lingkungan sehingga tercapai penurunan emisi karbon yang signifikan serta untuk pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan industri kecil ditengah-tengah masyarakat wilayah Sulawesi. Dari latar belakang tersebut, kiranya diperlukan suatu kajian pengembangan potensi dan tekno ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), khususnya di wilayah Sulawesi, yang diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mempercepat pengembangan PLTMH di wilayah Sulawesi. 1.2
Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk memaparkan tentang potensi Pembangkit Listrik Tenaga MikroHidro di wilayah Sulawesi dan memberikan pedoman analisistekno ekonomi dalam pengembangannya. Dalam makalah ini akan dijabarkan tentang pengetahuan umum turbin air, metode survey potensi air, besarnya potensi PLTMH di wilayah Sulawesi, kajian ekonomi biaya pembangunan PLTMH dan strategi dalam pengembangan PLTMH di Sulawesi. 2.
METODOLOGI Secara garis besar, metodologi yang dilakukan dalam penyusunan kajian ini meliputi:
a. Pengumpulan data sekunder Data-data diperoleh dari beberapa literatur seperti buku, prosiding, jurnal dan internet. Selain itu, data sekunder juga didapat dari bahan materi workshop“Pelatihan Analisa Kelayakan Proyek Pembangkit Tenaga Listrik Mini Hidro” yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2010 oleh Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI). b. Pengumpulan data primer Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan diskusi dengan stakeholder yang terdiri dari beberapa unsur dinas pemerintahan kabupaten di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan seperti Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup dan BAPPEDA. Wawancara dan diskusi diadakan pada saat workshop mikrohidro dengan tema “Pemanfaatan PLTMH sebagai Pintu Masuk Pengembangan Pedesaan”yang diadakan pada tahun 2009. Workshop ini juga diikuti oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi seperti Universitas Hasanuddin di Makasar. Hasil diskusi dan workshop ini kemudian disarikan untuk menyusun strategi dan langkah-langkah pengembangan PLTMH di wilayah Sulawesi. c. Analisis data Dari data sekunder dan data primer di atas, selanjutnya dilakukan analisis guna tersusunnya suatu pedoman bagi para perencana ketenagalistrikan di wilayah Sulawesi dengan memanfaatkan potensi air sebagai pembangkit listrik atau lebih dikenal dengan nama Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). 3.
PENGETAHUAN UMUM TENTANG TURBIN AIR Prinsip kerja turbin air dapat diklasifikasikan dalam dua kategori utama, yaitu:
a. Turbin Impuls(Turbin Aksi); turbin yang dibuat sedemikian rupa sehingga rotorbekerja karena aliran air atau turbin yang sudu–sudunya mendapatkan tekanan yang sama.
273
b. Turbin Reaksi; turbin yang dibuat sedemikian rupa sehingga rotor bekerja karena aliran air dengan tinggi terjun danperbedaan tekanan. Turbin reaksi bisa disebut juga dengan turbin yang sudu–sudunya tidak mendapatkan tekanan yang sama. Berdasarkan headdan debit yang ada, pemilihan jenis turbin dapat dilakukan seperti yang terdapat pada Tabel 1 dan Gambar 1 di bawah ini. Tabel 1. Pengelompokan Turbin Air Berdasarkan Head Head
Turbine Runner Impuls
High
Medium
Pelton Turgo Multi-jet Pelton
Crossflow Turgo Multi-jet Pelton Francis Pump-as-Turbine
Reaction
Low Crossflow Propeller Kaplan
Sumber: Harvey, A. (1993)
Gambar 1. Berbagai Macam Turbin dengan Perbandingan Debit dan Head-nya Sumber: http://www.3helixpower.com/hydropower/types-of-turbines/ 4.
SURVEY POTENSI AIR
Potensi PLTMH biasanya banyak dijumpai pada lokasi dekat aliran sungai yang mempunyai headatau tinggi jatuh air yang cukup dan debit yang relatif stabil. Lokasi ini sangat sesuai karena debit yang handal dan kontinyu akan menjamin ketersediaan suplai air dan keluaran daya yang dihasilkan. Selain debit dan head, aksesibilitas ke lokasi juga merupakan salah satu yang harus diperhitungkan dalam menentukan potensial tidaknya suatu lokasi untuk pembangunan PLTMH. Pemilihan lokasi PLTMH memerlukan data dan informasi yang akurat baik mengenai kondisi teknis maupun non teknis suatu lokasi, karena sebuah PLTMH akan bekerja dengan baik jika daerah tersebut memiliki tinggi jatuh air besar 274
dan aliran yang stabil.Beberapa hal yang harus mendapat perhatian dalam pemilihan potensi untuk pembangunan PLTMH adalah: a. Adanya tinggi jatuhan air (head) b. Sumber air yang selalu mengalir sepanjang tahun c. Bendung atau kolam penampung air d. Saluran air yang merupakan alat pembawa air dari ketinggian sehingga dapat digunakan untuk menentukan debit dan kecepatan air. Pada kegiatan survey potensi PLTMH, masyarakat lokal perlu diikutsertakan baik melalui asosiasi mikrohidro, Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM, konsultan ataupunkelompok akademik. Keterlibatan masyarakat lokal dalam survey potensi PLTMH sangat diperlukan dalam pengembangan PLTMH berbasis masyarakat karena masyarakat sudah diikutkan dalam tahap awal proses pembangunan PLTMH. Contoh peran serta masyarakat dalam studi potensi PLTMH adalahmasyarakat dapat membantu dalam mencari lokasi yang potensial dan dapat membantu dalam pengukuran data potensi PLTMH. Tanpa peran serta masyarakat maka studi potensi PLTMH tidak dapat berjalan dengan lancar. Secara garis besar survey potensi air dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Penentuan lokasi Salah satu cara untuk mengetahui lokasi yang potensial untuk dikembangkannya PLTMH yaitu dengan survey lapangan. Setelah didapat lokasi yang memiliki potensi, dilakukan penandaan lokasi menggunakan global positioning system (GPS). Untuk merekam jalur saluran pembawa dari bendungan ke bak penampungan dan jalur pipa penstock dari bak penampungan ke rumah turbin, kita dapat memanfaatkan fitur tracks yang terdapat pada GPS. b. Pengukuran tinggi jatuh air Pengukuran head atau tinggi jatuh air dapat dilakukan dengan bantuan altimeter. Secara umum pengukuran menggunakan altimeter adalah pengukuran yang terbaik terutama untuk pengukuran kondisi tertentu misalnya untuk pengukuran head yang tinggi. Pengukuran beda ketinggian juga dapat dilakukan dengan metode pengukuran manual yaitu menggunakan meteran ataupun dengan selang water pass. c. Pengukuran debit air Pengukuran debit air dilakukan menggunakan alat current meters. Current meters adalah sebuah batang dengan baling-baling yang dapat bergerak bebas berputar dan dihubungkan dengan layar monitor menggunakan kabel untuk membaca kecepatan aliran air. d. Perhitungan potensi daya terbangkitkan. Data hasil survey potensi air diolah untuk mengetahui besarnya daya yang dapat dibangkitkan dengan menggunakan persamaan: P = ρ . g . Q . Heff
(1)
di mana Padalahdaya terbangkitkan (Watt), ρadalah massa jenis air (1000 kg/m3), gadalahgravitasi (9,81 m2/s), Q adalah debit (m3/s) dan Heffadalah tinggi efektif (m). 5.
POTENSI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO DI WILAYAH SULAWESI
Dalam kaitannya dengan kebutuhan energi listrik, PLTMH sangat perlu untuk dikembangkan di daerah-daerah yang belum teraliri listrik PLN namun memiliki potensi air. 275
Sebagai contoh di Makasar terdapat 11 kecamatan dengan 99 desa dan 19 desa diantaranya tidak tersentuh PLN dengan jumlah kepala keluarga 7796.Beberapa lokasi sebenarnya sudah terdapat PLTMH seperti di Luwu Timur dengan 11 PLTMH-nya. Namun demikian jumlah tersebut masih dirasakan kurang untuk mencukupi kebutuhan listrik didaerah tersebut. Berikut ini adalah data yang dikeluarkan oleh DJLPE-Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dipublikasikan tahun 2006 (sekarang bernama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) mengenai potensi PLTMH di Indonesia(Tabel 2). Tabel 2. Potensi PLTMH di Indonesia NO
DAERAH
1 2 3
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sumatera Selatan Riau Bengkulu Jambi Lampung Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara
POTENSI NO DAERAH (MW) 17,86 14 Sulawesi Selatan 53,73 15 Sulawesi Tengah 44,86 16 Sulawesi Tenggara 13,47 17 Gorontalo 0,5 18 Bali 21,46 19 NTB 2,69 20 NTT 26,27 21 Maluku 5,74 22 Papua 17,15 23 Jawa Barat 2,84 24 Jawa Tengah 2,42 25 DI Yogyakarta 47,85 26 Jawa Timur TOTAL
POTENSI (MW) 31,10 36,37 21,10 17,81 1,80 51,67 65,21 16,74 9,76 1,89 5,72 0,10 18,49 534,59
Sumber: DJLPE-Departemen ESDM. Potensi PLTMH di Indonesia. 2006 Dari tabel potensi PLTMH di atas dapat dilihat bahwa wilayah Sulawesi memiliki potensi PLTMH yang sangat besar dengan total potensi sebesar 154,23 MW atau hampir 30% dari total potensi PLTMH di Indonesia. Daerah Sulawesi yang mempunyai topografi bergunung dan banyak mempunyai sungai merupakan potensi sumber energi yang sangat besar untuk pembangkit listrik tenaga mini-mikro yang bila direncanakan secara matang dapat mengatasi masalah krisis energi. Namun demikian krisis sumber daya energi ini belum dipecahkan secara integral menggunakan potensi sumber energi air di daerah yang masih cukup besar. Masih banyak desa-desa yang jauh dari perkotaan masih belum mendapatkan pasokan listrik secara memadai. Di beberapa daerah di Sulawesi saat ini sudah dan sedang dibangun PLTMH guna memenuhi kebutuhan listrik daerah terpencil. Salah satunya seperti yang sedang dikerjakan oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian proyek pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Sulawesi Barat. PLTMH tersebut berjumlah satu unit di Kabupaten Mamasa dan tiga unit di Kabupaten Mamuju.Dengan potensi PLTMH di wilayah Sulawesi yang sangat besar, yaitu hampir 30% dari potensi PLTMH di Indonesia, hal ini merupakan modal terbesar guna mengatasi masalah krisis energi yang sedang kita hadapi. Selain itu, PLTMH merupakan Pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar yang akan dikembangkan dengan total daya sampai tahun 2019 sebesar 1062 MW (Susilo, 2010). Hal tersebut seperti yang terdapat pada Tabel 3. Saat ini PLTMH sangat gencar dikembangkan. Pada tahun 2010 ini saja di seluruh Indonesia terdapat 17 lokasi PLTMH yang sedang dikembangkan dengan daya terpasang 276
mencapai 53.560 kW baik yang dimiliki oleh PLN maupun pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP). Untuk wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, PLTMH yang telah ada sekitar 9,93 MW dengan perincian 9,11 MW dimiliki oleh PLN dan 0,82 MW dimiliki oleh pihak swasta. Sedangkan untuk wilayah Sulawesi Utara dan Tengah, PLMH yang dimiliki oleh PLN berdaya 3,64 MW sedangkan pihak swasta berdaya 6,75 MW. Untuk lebih jelasnya,progresspengembangan PLTMH berdaya dibawah atau sama dengan 10 MW dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 3. Rencana Pengembangan Energi Terbarukan TAHUN No PEMBANGKIT
Stn 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
1
PLTMH
MW
53
30
71
175
97
116
120
125
135
140
2
PLT Surya
MW
2
5
5
10
15
30
30
30
30
30
3
PLT Bayu
MW
0
5
5
8
8
8
10
10
10
10
4
PLT Biomass
MW
4
10
10
10
10
25
25
25
25
40
5
PLT Kalautan
MW
0
0
0,2
0,3
0,5
1
1,5
2
2
2,5
6
PLT Bio-Fuel
MW
0
0.5
2
2
2
3
5
5
10
10
7
PLT GasBatubara
MW
12
15
15
15
15
25
25
25
30
30
TOTAL
MW
71
66
108
220
148
208
217
222
242
263
Sumber: Susilo, H. Overview tentang PLTM, Tantangan dan Peluang. 2010
277
ProgressPengembangan PLTMH ≤ 10 MW
Tabel 1.
KAPASITAS TERPASANG (KW)
JUMLAH LOKASI No
KOMULATIF (KW)
COD PLN
IPP
TOTAL
PLN
IPP
TOTAL
PLN
IPP
TOTAL
GROWTH
SHARE IPP
1
s.d Thn 2009
116
14
130
65.696
9.178
74.874
65.696
9.178
74.874
12%
2
Tahun 2010
10
7
17
16.600
36.960
53.560
82.296
46.138
128.434
71,5%
29%
3
Tahun 2011
2
5
7
3.000
27.100
30.100
85.296
73.238
158.534
23,4%
17%
4
Tahun 2012
3
26
29
1.610
69.442
71.052
86.906
142.680
229.586
44,8%
30%
5
Tahun 2013
0
49
49
-
175.028
175.028
86.906
317.708
404.614
76,2%
43%
6
Tahun 2014
12
63
75
24.126
73.072
97.198
111.032
390.780
501.812
24,0%
15%
Sumber: Susilo, H. Overview tentang PLTM, Tantangan dan Peluang. 2010
278
Gambar 2. Peta Rencana Pembangunan PLTMH Sumber: Susilo, H. Overview tentang PLTM, Tantangan dan Peluang (2010) Selanjutnya potensi PLTMH yang sedang dalam tahap pembangunan dan yang sudah berjalan di wilayah Sulawesi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 4. Potensi dan Pembangunan PLTMH di Wilayah Sulawesi Sulawesi Utara dan Tengah
Sulawesi Selatan dan Tenggara
Potensi Daya
84,22 MW
52,2 MW
Eksisting PLN
3,64 MW
9,11 MW
Eksisting IPP
6,75 MW
0,82 MW
Proses PLN
6,4 MW
13,8 MW
Proses IPP
39,4 MW
26,58 MW
Sumber: Susilo, H. Overview tentang PLTM, Tantangan dan Peluang (2010) 6.
KAJIAN EKONOMI BIAYA PEMBANGUNAN PLTMH
Sebelum membangun PLTMH, perlu diperhatikan analisis biaya tahapan-tahapan pembangunan PLTMH yang meliputi analisis harga satuan dan analisis finansial. Selanjutnya, kedua analisis tersebut seperti yang dikutip dari Media of Indonesian Reneweble Energy Society (2007) akan dijabarkan lebih detai seperti yang terdapat di bawah ini.
279
6.1
Analisis Harga Satuan
Perhitungan analisis harga satuan merupakan tahapan paling terdepan dari estimasi biaya pembangunan PLTMH. Parameter perhitungan dan analisis harga satuan pekerjaan pada perencanaan PLTMH di Sulawesi diantaranya yaitu perhitungan lokasi sumber material pada jarak terdekat dengan lokasi pekerjaan konstruksi. Secara umum komponen harga satuan yang diperhitungkan meliputi komponen tenaga, komponen bahan dan material yang akan digunakan mengacu pada analisis satuan pekerjaan yang berlaku, dan komponen peralatan sebagaimana yang berlaku secara umum dalam pekerjaan sipil.Komponen biaya pembangunan PLTMH yaitu: a. Engineering Komponen engineering meliputi kegiatan detail desain, supervisi pembangunan dan penyiapan dokumen teknis akhir pembangunan PLTMH. b. Peralatan elektrikal-mekanik Peralatan elektrikal-mekanik meliputi pengadaan sarana dan peralatan seperti: Turbin dan perlengkapannya yang terdiri dari unit turbin, sistem transmisi mekanik, base frame, biaya instalasi dan trial run Generator dan base frame Panel kontrol (switch gear)dan kontrol beban/ballast load Instalasi peralatan elektrikal, sistem pengkabelan dan biaya lain-lain. c. Pekerjaan sipil Pekerjaan sipil pada pembangunan PLTMH meliputi bangunan penyadap, saluran pembawa, bak pengendap, bak penenang, pipa pesat, bangunan pelimpas, rumah pembangkit, pondasi turbin (under ground), saluran pembuang dan biaya lain-lain yaitu sekitar 5%. d. Jaringan transmisi, distribusi, dan instalasi rumah Terdiri dari tiang listrik, pengadaan kabel, instalasi rumah dan biaya lain-lain yang juga sekitar 5%. e. Komponen lain-lain Meliputi alokasi untuk penggunaan alat bantu khusus apabila harus diperlukan seperti alat berat, alat angkut khusus, training operator dan pengelola. f. Pajak Komponen pajak dihitung terhadap total pekerjaan meliputi pekerjaan-pekerjaan seperti yang diuraikan di atas. g. Biaya pengembangan (project development) Biaya pengembangan dapat dikatakan sebagai indirect cost. Komponen ini diperhitungkan sebagai akibat proses penyiapan dan perencanaan pembangunan PLTMH yang tidak mudah dan memerlukan kegiatan pendukung. Besaran alokasi biaya pengembangan diestimasi berdasarkan persentase. Contohnya adalah kegiatan administrasi proyek, manajemen proyek ditingkat owner (pemilik pekerjaan), biaya legal, penyiapan dan pelaksanaan tender, ganti rugi atas pembebasan tanah apabila ada, monitoring dan evaluasi proyek di tingkat owner. Sebagai acuan, estimasi biaya pengembangan dikelompokkan menjadi: Manajemen proyek (10%) dari total biaya fisik dan pajak 280
Tender, kontrak, dan legal (5%) dari total biaya fisik dan pajak Biaya untuk ganti rugi.
Gambar 3. Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Sumber: http://www.inovasi.lipi.go.id/new/index.php/energi-dan-sumber-daya/runner-turbinpembangkit-listrik-mikro-hidro-pltmh.html 6.2
Analisis Finansial
Sebelum melaksanakan pembangunan PLTMH,perlu dilakukanperhitungan kelayakan secara ekonomis. Aspek kelayakan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: a. Pay back periods atau pengembalian investasi maksimum b. NPV (Net Present Value) investasi lebih dari 0 c. IRR (Internal Rate of Return) lebih besar daridiscount rate d. Profitability indekslebih dari 1 Adapun parameter atau asumsi yang digunakan pada perhitungan cashflow ditetapkan sebagai berikut: a. Kenaikan biaya operasional and maintenance (O&M) setiap tahun sebesar 4% b. Suku bunga pinjaman komersial 17%-18% c. Suku bunga deposito 10% d. Tingkat resiko penggunaan equity 5% e. Penyesuaian tarif jual listrik ke PLN setiap tahun 2,5 % f.
Skema investasi 100% equityatauequity loan (60%:40%)
g. Depresiasi 10 tahun h. Grace periode pengembalian pinjaman 2 tahun i. Jangka waktu pengembalian pinjaman 10 tahun Berdasarkan hasil analisis kelayakan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor tarif menjadi kunci menarik tidaknya investasi pada pembangunan PLTMH. Investasi pembangunan PLTMH akan menarik untuk kapasitas pembangkitan skala minihidro. Pada skala minihidro ini biaya pembangunan per kW daya terpasang cukup kecil yaitu di bawah Rp 10 juta per KW. Energi listrik yang dijual cukup besar, pendapatan penjualan energi listrik lebih besar, sehingga tingkat pengembalian investasi lebih baik. 281
7.
STRATEGI DAN PENGEMBANGAN PLTMH DI KEPULAUAN SULAWESI
Pada kegiatan workshopPLTMH yang dilaksanakan di Makasar tahun 2009, peserta workshopyang berasal dari berbagai instansisangat antusias karena daerah ini sebagian besar diselimuti oleh air sehingga potensi PLTMH sangatlah bagus. Pada kegiatan ini banyak sekali muncul pertanyaan tentang penempatan, pelaksanaan dan keuntungan yang didapat dari PLTMH. Mereka sangat menginginkan adanya pelatihan pembuatan turbin, pengoperasian dan pengelolaan PLTMH serta perawatannya. Salah satu harapan dari kegiatan ini yaitu adanya regulasi pusat dan daerah yang mendukung mikrohidro masuk di daerah Sulawesi serta perlu adanya peraturan daerah yang mengatur mikro hidro. Analisis kelayakan tekno ekonomi merupakan hal yang penting dalam proses perencanaan pembangunan PLTMH. Dengan analisis tersebut kita dapat mengetahui apakah suatu proyek pembangunan PLTMH layak untuk dibangun. Untuk mendukung suksesnya pembangunan PLTMH yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup, maka diperlukan strategi pengembangan PLTMH di wilayah Sulawesi tersebut. Potensi PLTMH di wilayah Sulawesi tersebar di berbagai kabupaten. Karena potensi PLTMH tersebut tersebar, maka tingkat kesulitan distribusi lebih kecil dibanding dengan pembangkit yang terpusat. PLTMH dapat dimanfaatkan untuk daerah-daerah terpencil di wilayah Sulawesi yang sama sekali belum mendapat pasokan listrik. Dengan mengembangkan PLTMH di Kepulauan Sulawesi, pemerataan kesempatan untuk mendapatkan “kue” pembangunan dan informasi lebih cepat tercapai. Untuk mewujudkan pembangunan PLTMH di wilayah Sulawesi, diperlukan langkahlangkah strategi dan pengembangan PLTMH, diantaranya yaitu: 1. Mengembangkan skema investasi dan pendanaan dalam pengembangan PLTMH di antaranya yaitu mendorong investasi swasta, pemanfaatan semaksimal mugkin pendanaan bersumber dari dalam dan luar negeri. 2. Meningkatkan sarana penyediaan hasil studi potensi PLTMH yang akurat terpercaya serta penyediaan bahan baku pembangkit sistem PLTMH seperti: a. Dibuatnya buku acuan studi potensi PLTMH secara akurat dan benar di kawasan Sulawesi kemudian disebarkan di tiap kabupaten yang membutuhkan. b. Melakukan pemetaan PLTMH di wilayah Sulawesi meliputi kondisi dan potensi pada semua lokasi (sungai, danau, saluran irigasi, jaringan PDAM, pasang surut, dan sebagainya). c. Dibuat database potensi PLTMHonline di kawasan Sulawesi sehingga dapat dimanfaatkan oleh stakeholder. d. Penyediaan insentif bagi pengusaha di bidang PLTMH oleh bank maupun pemerintah daerah. 3. Menetapkan tata niaga pengembangan PLTMH di kawasan Sulawesi yang diantaranya: a. Penetapan standar dan syarat mutu PLTMH. b. Penetapan sistem dan prosedur yang sederhana untuk pembangunan PLTMH. c. Penetapan tata niaga yang sederhana untuk distribusi listrik hasil sistem PLTMH. d. Memberikan kemudahan dan akses bagi penjualan produk listrik PLTMH. 4. Meningkatkan partisipasi pemerintah pengembangan PLTMH dengan cara:
daerah
dan
masyarakat
Sulawesi
dalam
a. Memfasilitasi pemgembangan PLTMH dalam rencana pembangunan daerah. 282
b. Penyediaan dana PLTMH bersumber dari APBD. c. Partisipasi masyarakat untuk membangun dan memanfaatkan serta merawat bangunan PLTMH. d. Pendidikan teknologi PLTMH ke masyarakat dan sekolah-sekolah kejuruan. e. Pengembangan jaringan kerja (networking) bidang PLTMH. f. Peningkatan peran koperasi desa untuk mengelola manajemen, hasil, dan pemeliharaan sistem PLTMH. g. Mengkoordinasikan lembaga–lembaga terkait (BAPPEDA, Dinas ESDM, PLN Daerah) untuk perencanaan, pengembangan dan pemanfaatan listrik hasil PLTMH. h. Penetapan Peraturan Daerah (PERDA) tentang mikrohidro yang kondusif. i. Pengembangan industri kecil untuk memanfaatkan produk listrik PLTMH. 5. Pengembangan PLTMH melalui peran lembaga pendidikan seperti di universitas, politeknik, sekolah menengah kejuruan di Sulawesi yang terintegerasi melalui wadah network. 6. Pengembangan sumber daya manusia yang mempunyai skill untuk melaksanakan pembangunan PLTMH dari studi kelayakan, perancangan sistem, hingga implementasi maupun maintenance serta program pemberdayaan masyarakat penunjang beroperasinya PLTMH di tiap propinsi dan kabupaten yang mempunyai potensi PLTMH. 8. 8.1
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari kajian pengembangan potensi dan tekno ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di wilayah Sulawesi, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Wilayah Sulawesi sangat potensial untuk pengembangkan energi baru terbarukan khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Mini-Mikro Hidro (PLTMH). 2. Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah memiliki potensi PLTMH sebesar 84,22 MW sedangkan yang telah dibangun maupun yang masih pada tahap proses pembangunan sebesar 56,19 MW sehingga masih terdapat potensi 28,03 MW yang belum dimanfaatkan. 3. Untuk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang memiliki potensi PLTMH 52,2 MW, saat ini telah terbangun PLTMH berdaya 9,93 MW dan yang masih dalam proses pembangunan sebesar 40,38 MW. 4. Sebelum pembangunan PLTMH, diperlukan studi analisis kelayakan PLTMH agar pembangunan PLTMH dapat memberikan keuntungan yang nyata bagi peningkatan taraf hidup di Sulawesi. 5. Perlu strategi untuk mengembangkan PLTMH di kepulauan Sulawesi agar pemanfaatan potensi PLTMH ini dapat segera memberikan kontribusi untuk pembangunan di Sulawesi. 8.2
Saran
Dengan adanya kajian pengembangan potensi dan tekno ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di wilayah Sulawesi, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pihak yang berkepentingan seperti pemerintah daerah untuk mempercepat 283
pengembangan PLTMH di wilayah Sulawesi guna memenuhi kebutuhan energi listrik di daerah tersebut. REFERENSI Arismunandar, A. dan S. Kuwahara. (1974), Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik – Jilid I Pembangkitan denganTenaga Air.Pradnya Paramita, Jakarta: 168pp. Dietzel, F. dan Sriyono, D. (1990), Turbin Pompa dan Kompresor. Erlangga, Jakarta: 418pp DESDM. (2006),Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP-PEN) 2005–2025, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, Jakarta. Harvey,A. Brown, A. Hettiarachi, P. and Inversin, A. (1993),Microhydro Design Manual - A Guide to Small Scale Water Power Schemes.ITGD Publishing,Southampton Row, London,UK: 374pp Kusdiana, D. dkk. (2008), Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen Pembangkit Listrik Tenaga Mikro hidro (PLTMH). Imidap (Integrated Microhydro Development and Application Program, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Subekti, R. A. (2010), Survey Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Journal of Mechatronics, Electrical Power, and Vehicular Technology, Vol. 01, No. 1, 2010, pp. 5-12, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung. Susilo, H. (2010), Overview tentang PLTM, Tantangan dan Peluang. Bahan Presentasi pada Workshop Pelatihan Analisa Kelayakan Proyek Pembangkit Tenaga Listrik Mini Hidro, Jakarta,4 Agustus 2010. Warsito, S. Abdul Syukur dan Agus Adhi Nugroho.(2005), Studi Awal Perencanaan Sistem Mekanikal dan kelistrikan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro.Seminar Teknik Ketenagalistrikan, Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. 3Helix Power. (2011), Types of Turbines. http://www.3helixpower.com/hydropower/types-ofturbines/, diakses tanggal 14 Juni 2011. _________. (2007), Microhydro Power Construction Plan Cost,6th Edition Desember 2007.Media of Indonesian Reneweble Energy Society, Jakarta. _________. (2010), Sulawesi. http://id.wikipedia.org/wiki/sulawesi, diakses tanggal 2 Mei 2010. _________. (2010), Runner Turbin Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMH). http://www.inovasi.lipi.go.id/new/index.php/energi-dan-sumber-daya/runner-turbinpembangkit-listrik-mikro-hidro-pltmh.html, diakses tanggal 8 September 2011
284
PENGARUH EC DAN pH NUTRISI PADA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium cepaL.) HIDROPONIK DALAM RANGKA MEMPEROLEH BIBIT BERMUTU SESUAI KEBUTUHAN PETANI DAN MENDUKUNG PRODUK UNGGULAN DAERAH Eni Sumarni, Asna Mustofa, dan Ardiansyah
[email protected] Fakultas Pertanian Universitas Soedirman ABSTRACT The aims of this study are: 1) to find out the appropriate onion variety eligible for hydroponics cultivation; and 2) to obtain suitable value of pH and EC for hydroponic practice for red onion bulbs. Results indicate that: 1) the appropriate nutrient solution for red onion is 2 mS/cm for early stage (since transplanting until 30 days after transplanting), and 4 mS/cm for subsequent period (after early stage to harvesting); and 2) pH of the nutrient suitable for red onion variety of Bima, i.e Bima Curut and Kuning Tablet are 6.0 and 6.5, respectively. Onion variety of Bima gave highest yields compared to Bima Curut and Kuning Tablet. According to nutrient adequacy score of N, the appearance of red onion plant seems to have enough nutrients. Keyword: variety, red onion, pH, EC 1. PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang terus diupayakan peningkatan produksinya setiap tahun. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia perkapita pertahun mencapai 4,56 kg atau 0,38 kg perkapita perbulan. Oleh karena itu, permintaan bawang merah akan terus meningkat (dengan perkiraan 5 persen per tahun) sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan (acar/pickles, bumbu, bawang goreng, dan bahan baku campuran obat-obatan) serta pengembangan pasar ekspor. Salah satu masalah pengembangan bawang merah adalah keterbatasan benih serta kemampuan teknologi perbanyakan benih. Rendahnya produktivitas bawang merah, khususnya di daerah sentra produksi, disebabkan oleh menurunnya tingkat kesuburan lahan dan kualitas benih yang rendah. Sampai saat ini, petani pada umumnya menggunakan umbi bibit yang berukuran 3-5 gram untuk produksi bawang merah, namun hal tersebut telah patah dormansinya. Hasil penelitian yang telah dilakukan Tim Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto di sentra produksi bawang merah Brebes diketahui bahwa penggunaan bibit yang baik dan efisien adalah ukuran 2 gram. Selain itu, umbi yang besar lebih rentan terhadap penyakit (Sunarto et al. 2004; Sarsih, 2004; Virindita, 2005). Usaha memperoleh produk yang berkualitas, sehat, bebas pestisida, seragam, dan kontinyu telah banyak dilakukan, yaitu melalui penanaman secara hidroponik di dalam 285
(rumah tanaman)(Tchamitchian et.al., 2005; Perret et.al., 2005; Tawegoum et.al., 2006; Gunadi et al., 2006). Sistem hidroponik telah digunakan untuk produksi stroberi, cabai, mentimun, tomat, melon, semangka, asparagus dan radish(Reed, 1996; Whipker et al, 2000;Nelson, 2003; Hogan et al., 2006; Keutgen dan Pawelzik, 2007; Sumarni et al., 2005). Budidaya tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan cara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat dikontrol, tanaman dapat berproduksi dengan hasil dan kualitas yang tinggi, pemberian air irigasi dan larutan nutrisi lebih efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa tergantung musim, dapat diterapkan pada lahan sempit, dan mengurangi penggunaan pestisida (Samsu, 1990). Nilai EC menunjukkan tingkat kecukupan nutrisi dalam media yang diserap oleh akar tanaman (Mortvedth et al, 1994; Reed; 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi EC adalah kandungan nutrisi (nitrogen, kalium, kalsium, magnesium dan sulfat), kandungan air, metode irigasi, jenis media, dan jenis tanaman (Cavins et al, 2000). Nilai EC tergantung pada jenis dan tingkat pertumbuhan tanaman (Moekasan, 2003; Muro et al, 1997). Nilai EC yang dianjurkan untuk tanaman bawang merah menurut SME (Saturated Media Extract) adalah 1,5 sampai 3,0 mS/cm, sedangkan menurut PTSE (PourThru Substrate Extraction) 2,0 sampai 3,5 mS/cm. Nilai EC larutan nutrisi sangat penting untuk diketahui karena berhubungan dengan pengaturan nutrisi esensial bagi tanaman. Nilai pH untuk tanaman bawang merah berkisar 6,0 sampai 7,0 (Cooper, 1979). Hidroponik merupakan budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah sebagai media tanamnya. Media tanam yang digunakan bersifat porous, seperti pasir, arang sekam, batu apung, kerikil, rockwool, perlit dan zeolit. Media tanam arang sekam memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan media tanam perlit.Media tanam arang sekam menghasilkan bobot buah paprika lebih tinggi dibanding dengan medium perlit (Gunadi et al., 2004). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui varietas bawang merah yang sesuai dibudidayakan secara hidroponik dan 2) memperoleh pH dan EC larutan nutrisi yang sesuai untuk produksi umbi bawang merah hidroponik. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto, dengan ketinggian tempat 115 mdpl. Rancangan yang digunakan adalah petak-petak terbagi dengan rancangan dasar rancangan acak kelompok serta tiga kali ulangan. Petak utama adalah EC, anak petak adalah pH, anak-anak petak adalah varietas bawang merah. Faktor yang dicoba adalah :
1. Varietas Bawang Merah (V): V1 (Bima), V2 (Bima Curut), dan V3 (Kuning Tablet). 2. Tingkat kemasaman media/pH (P) : P1 (pH 5,5), P2 (pH 6,0), dan P3 (pH 6,5) 3. Electric conductivity/EC (E) : E1 (1,5 mS/cm pada umur 1-30 dan 3 mS/cm umur 31panen) dan E2 (2 mS/cm pada umur 1-30 dan 4 mS/cm umur 31-panen). Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk, jumlah umbi, ukuran umbi, dan bobot umbi. Selain itu, dilakukan skor kecukupan hara nitrogen (N). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji keragamannya (Tabel 1) menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memberikan pengaruh pada tinggi dan jumlah daun tanaman bawang merah, tetapi varietas bawang merah yang dicoba menunjukkan adanya perbedaan jumlah daun. Hal ini 286
menunjukkan adanya potensi hasil yang berbeda, mengingat daun merupakan pusat kegiatan fotosintesis yang mempengaruhi hasil tanaman (Salisbury dan Ross, 1991). Varietas Bima, Bima Curut dan Kuning Tablet yang dicobakan menunjukkan jumlah anakan yang berbeda, tetapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan EC dan pH nutrisi maupun interaksi antara ketiga faktor perlakuan (Tabel 1). Pembentukan bobot basah tajuk dipengaruhi oleh pH, varietas, interaksi pH dan varietas (pH x varietas), dan interaksi ketiganya (EC x pH x V). Hal Ini menunjukkan bahwa pembentukan biomassa bawang merah tergantung pada EC, pH, dan varietas bawang merah. EC adalah kepekatan garam mineral dari nutrisi yang dapat diserap oleh akar tanaman (Mortvedth et al, 1994; Reed; 1996) dan pH merupakan derajat kemasaman larutan nutrisi yang menggambarkan sebaran hara yang tersedia (Nelson, 2003). Selain itu varietas yang dicoba berpengaruh terhadap pembentukan biomassa bawang merah. Tabel 1. Hasil Uji Keragaman untuk Tiap Perlakuan yang Dicoba pada Karakter Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Bobot Basah Tajuk, Jumlah Umbi, Ukuran Umbi, dan Bobot Umbi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Karakter Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Jumlah anakan Bobot basah tajuk (g) Jumlah umbi Ukuran umbi Bobot umbi (g)
EC tn tn tn tn tn tn n
pH tn tn tn n tn tn tn
ECxpH tn tn tn tn tn tn tn
Perlakuan V ECxV tn tn n tn n tn n tn n tn n n n tn
pHxV tn tn tn N tn N N
ECxpHxV tn tn tn n tn n n
Keterangan : EC=elektrik konduktiviti pH=derajat kemasaman V = varietas tn = tidak nyata pada taraf Ftab 5 % n= nyata pada taraf Ftab 5 % Sumber: Hasil uji penulis Karakter jumlah umbi hanya dipengaruhi oleh varietas yang dicoba. Hal ini menunjukkan bahwa setiap varietas bawang merah mempunyai kemampuan membentuk jumlah umbi yang berbeda-beda (Tabel 1). Adapun ukuran dan bobot umbi bawang merah dipengaruhi oleh varietas, EC dan pH larutan nutrisi. Pengelolaan tingkat garam terlarut di daerah perakaran adalah perbedaan EC keluar dan EC masuk tidak boleh lebih dari 1. Apabila perbedaan EC masuk dan keluar lebih dari 1, maka dilakukan pencucian media tanam dengan menggunakan larutan nutrisi EC yang lebih rendah misalnya EC 1 atau 1,2 (Alberta, 2004). Dilihat dari tinggi tanaman, diperoleh bahwa varietas Bima menghasilkan tinggi tanaman tertinggi diikuti Kuning Tablet dan Bima Curut (Gambar 1). Jumlah daun varietas Kuning Tablet tertinggi diperoleh dari varietas Bima dan Bima Curut (Gambar 2). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan penampilan dari tiap varietas bawang merah.
287
Tinggi tanaman cm
50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 Bima
Bima Curut
Kuning Tablet
Varietas
Gambar 1. Penampilan Tinggi Tanaman dari Varietas Bawang Merah yang Dicoba Sumber: Hasil uji penulis
Jumlah daun
43 40 37 34 31 28 25 Bima
Bima Curut
Kuning Tablet
Varietas
Gambar 2. Penampilan Jumlah Daun dari Varietas Bawang Merah yang Dicoba Sumber: Hasil uji penulis Varietas bawang merah Bima menunjukkan jumlah anakan lebih banyak dibandingkan varietas Kuning Tablet dan Bima Curut (Gambar 3). Hal Ini menunjukkan adanya perbedaan pontensi pembentukan umbi dari masing-masing varietas bawang merah. Semakin banyak jumlah anakan akan semakin banyak pula umbi yang terbentuk.
288
Jumlah anakan
5
4
3
2 Bima
Bima Curut
Kuning Tablet
Varietas
Gambar 3. Penampilan Jumlah Anakan dari Varietas Bawang Merah yang Dicoba Sumber: Hasil uji penulis pH adalah kadar keasaman dan garam alkali dalam air dan terukur dalam skala 0 sampai 14. Semakin rendah nilai pH menandakan makin asam suatu larutan dan semakin tinggi nilai pH, semakin basa atau alkali suatu larutan. Nilai pH normal suatu larutan adalah 7 tetapi pH optimal untuk suatu larutan agar nutrisi dapat tersedia bagi tanaman adalah 5,5 sampai 6,5 (Gunadi et al., 2006). Dari interaksi antara varietas, pH, dan EC pada karakter bobot basah tajuk kombinasi yang terbaik adalah varietas Kuning Tablet pada pH 6,0 dan EC 1,5&3 mS/cm (V3P2E1). Kombinasi hasil bobot basah tajuk yang terrendah adalah varietas Bima Curut, pH 6,5 dan EC 2&4 mS/cm (V2P3E2) (Gambar 4). Gambar 5 menunjukkan bahwa varietas Kuning Tablet mempunyai kemampuan membentuk umbi terbanyak, kemudian diikuti oleh Bima dan Bima Curut. 50 4 3 .2
Bobot basah tajuk (g)
45 40
3 7.1
35
3 1.2 2 8 .16 7
30 25
2 6 .6 6 7
2 6 .53 3 2 3 .9
2 2 .7
15
2 1.6 3 3
2 1.13 3
20
17.7 14 .56 7
14 .1
13 .4
13 .3 5
13 .3
12 .1
10 .7
10 5 0 V1P 1E 1
V2P 1E 1
V3P 1E 1
V1P 2E 1
V2P 2E 1
V3P 2E 1
V1P 3E 1
V2P 3E 1
V3P 3E 1
V1P 1E 2
V2P 1E 2
V3P 1E 2
V1P 2E 2
V2P 2E 2
V3P 2E 2
V1P 3E 2
V2P 3E 2
V3P 3E 2
Kombinasi perlakuan
Gambar 4. Penampilan Bobot Basah Tajuk dari Berbagai Kombinasi Perlakuan yang Dicoba Sumber: Hasil uji penulis
289
Jumlah umbi per rumpun
5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 Bima
Bima Curut
Kuning Tablet
Varietas
Gambar 5. Penampilan Jumlah Umbi dari Varietas Bawang Merah yang Dicoba Sumber: Hasil uji penulis
3.5 2 .9 6
Ukuran umbi (cm)
3 2.5 1.9 9 3
2
1.8 4 3
1.9 8 7
1.8 2 1.6 9
1.8 6 7
1.78 3
1.4 53
1.5
2 .10 7
2 .0 8 1.8 8
2 .0 0 3
1.8 73
1.9 73
1.9 2 7
1.4 6 3
1.3 0 7
1 0.5 0 V1P 1E 1
V2P 1E 1
V3P 1E 1
V1P 2E 1
V2P 2E 1
V3P 2E 1
V1P 3E 1
V2P 3E 1
V3P 3E 1
V1P 1E 2
V2P 1E 2
V3P 1E 2
V1P 2E 2
V2P 2E 2
V3P 2E 2
V1P 3E 2
V2P 3E 2
V3P 3E 2
Kombinasi perlakuan
Gambar 6. Penampilan Ukuran Umbi Bawang Merah dari Berbagai Kombinasi Perlakuan yang Dicoba Sumber: Hasil uji penulis Kombinasi yang terbaik untuk ukuran umbi bawang merah adalah varietas Bima Curut, pH 6,5 dan EC 1,5&3 mS/cm (V2P3E1) dan ukuran umbinya adalah varietas Kuning Tablet, pH 5,5 dan EC 1,5&3 mS/cm (V3P1E1) (Gambar 6). Ini berarti bahwa ukuran umbi untuk tiap varietas membutuhkan pH dan EC yang berbeda-beda. Ukuran umbi yang paling besar untuk varietas Bima diperoleh pada pH 6,0 dengan EC 2&4 mS/cm, pada varietas Bima Curut pH 6,5 dengan EC 1,5&3 mS/cm. Varietas Kuning Tablet ukuran umbi terbesar diperoleh pada pH 6, dengan EC 2&4 mS/cm. Ukuran umbi yang diperoleh pada percobaan ini tergolong kecil (Stallen dan Hilman, 1991; Suwardi et al., 1985). Adanya interaksi antara ketiga faktor yang dicoba (varietas, pH, dan EC) pada karakter bobot umbi menunjukkan bahwa tiap varietas bawang merah membutuhkan pH dan EC yang tertentu. Varietas bawang merah Bima menghasilkan umbi yang tertinggi pada pH 6,0 dengan EC 2&4 mS/cm, untuk varietas Bima Curut dan Kuning Tablet pHnya 6,5 dengan 290
EC 2&4 mS/cm (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa bawang merah membutuhkan unsur hara yang cukup banyak dengan nilai EC 2&4 mS/cm dan pH 6 sampai 6,5. Sesuai dengan PTSE (PourThru Substrate Extraction) bawang merah membutuhkan EC 2,0 sampai 3,5 mS/cm (Nelson, 1996; Whipker et al, 2000). Nilai pH bawang merah yang baik sekitar 6,5 (Cooper, 1979). Tabel 2. Penampilan Interaksi antara Varietas, pH dan EC Media Kultur Hara pada Karakter Bobot Umbi Bawang Merah (g) No
pH/Varietas
pH 5,5 1. Bima 2. Bima Curut 3. Kuning Tablet II. pH 6,0 1. Bima 2. Bima Curut 3. Kuning Tablet III. pH 6,5 1. Bima 2. Bima Curut 3. Kuning Tablet
Elektrik konduktiviti (EC) (mS/cm) 1,5&3 2&4
I.
2,23 a x 3,20 a x 3,83 a x
5,48 a 5,28 a 4,98 a
Y Y Y
3,92 a x 5,04 b x 4,03 b x
7,03 b 5,35 a 5,17 a
y x x
5,41 b x 5,46 b x 3,04 a x
5,41 a 6,85 b 5,29 a
x x y
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf (a,b) yang sama untuk pH yang sama tidak berbeda pada taraf UJGD 5 % Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf (x,y) tidak berbeda pada taraf uji BNT 5 %. Sumber: Hasil uji penulis Nilai skor kecukupan hara N pada bawang merah untuk pH dan EC yang dicoba menunjukkan kecukupan hara karena nilainya berkisar antara 4 sampai 5 (Tabel 3). Menurut Ismunadji et al. (1985), skor kecukupan hara N antara 4 sampai 5 tergolong cukup.
291
Tabel 3. Penampilan Skor Kecukupan Hara N dari Varietas Bawang Merah yang Dicoba pada 3 Taraf pH dan 2 Taraf EC Media Kultur Hara No I. 1. 2. 3. II. 1. 2. 3. III. 1. 2. 3.
pH/Varietas pH 5,5 Bima Bima Curut Kuning Tablet pH 6,0 Bima Bima Curut Kuning Tablet pH 6,5 Bima Bima Curut Kuning Tablet
Elektrik konduktiviti (EC) (mS/cm) 1,5&3 2&4 5,33 4,33 4,67
4,67 4,67 4,67
4,67 4,33 5,00
4,67 4,00 4,67
4,67 4,33 4,67
4,67 4.67 5,00
Sumber: Hasil uji penulis 4. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai EC larutan nutrisi yang sesuai untuk tanaman bawang merah adalah 2 mS/cm mulai tanam sampai 30 mst dan 4 mS/cm setelah 30 mst sampai panen. 2. Nilai pH media yang sesuai untuk varietas bawang merah Bima adalah 6,0 dan 6,5 untuk Bima Curut serta Kuning Tablet. 3. Varietas bawang merah Bima memberikan hasil yang tertinggi dibanding Bima Curut dan Kuning Tablet. 4. Penampilan tanaman bawang merah tergolong cukup hara berdasarkan skor kecukupan hara N. Saran yang direkomendasikan adalah: 1. Perlu dilakukan penelitian penggunakan variasi media tanam dan varietas bawang merah yang lain. 2. Perlu dilakukan optimasi terhadap hasil yang diperoleh melalui informasi input perlakuan dengan hasil yang diperoleh untuk mendapatkan nutrisi dan media yang optimal terhadap hasil dan kualitas umbi. 3. Perlu dilakukan uji viabilitas terhadap umbi yang dihasilkan dalam rangka menghasilkan bibit bawang merah bermutu. REFERENSI Alberta (2004), Guide to commercial greenhouse sweet bell pepper production in Alberta. http://www1.agric.gov.ab.ca/ Cavins, T. J., B. E. Whipker, and W. C. Fonteno (2000), Monitoring and managing pH and EC using the pourThru extraction method. Horticulture Information Leaflet 590. North Carolina State University. Departemen of Horticultural Science. 292
Cooper, A. J. (1979), The ABC of NFT. London: Grower Books. Gunadi, N., T. K. Moekasan, L. Prabaningrum, H. D. Putter, dan A. Everaarts (2006), Budidaya tanaman paprika (Capsicum annuum var.grossum) di dalam rumah plastik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Bogor. Hogan, J. D., E. E. Murray, and M. A. Harrison (2006), Ethylene production as an indicator of stress conditions in hydroponically-grown strawberries. Scientia Horticulturae Journal. 110 : 311 – 318. Ismunadji, Mn., I. Zulkarnaini, S. Partohardjono, dan F. Yazawa (1985), Diagnosis status hara nitrogen kedelai dan padi berdasarkan warna daun. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor, Bogor. 10 hal. Keutgen, A. J. And E. Pawelzik (2007), Quality and nutritional value of strawberry Fruit Under Long Term Salt Stress. Food Chemistry Journal. Moekasan, T.K. (2003), Budidaya tanaman sayuran dengan sistem semi hidroponik. Makalah yang disampaikan pada acara Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian yang diselenggarakan oleh BPTP Jakarta pada tanggal 23 Desember 2003, di BPTP Jakarta. Muro, J., Dıas, V., Goni, J.L. and Lamsfus, C. (1997), Comparison of hydropony culture and culture in a peat/sand mixture and the influence of nutrient solution and plant density on seed potato yields. Potato Res. 40 (4), 431–438. Mortvedt, J.J., and C. Sine, eds. (1994), Fertilizer dictionary. In : Farm chemicals handbook. Willoughby, OH: Meister Publishing. Nelson, P.V. (1996), Macronutrient fertilizer programs, pp. 141 – 170. In: D.W. Reed. Water, media, and nutrient for greenhouse crops. Batavia, IL : Ball Publ. Nelson, P. V. (2003), Greenhouse Operation & management. Departement of Horticultural Science North Carolina State University. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Perret, J.S., A.M. Al-Ismaili; S.S. Sablani (2005), Development of a humidificationdehumidification system in a quonset greenhouse for sustainable crop production in arid regions. Journal of Biosystem Engineering. Vol.3. Page: 349 – 359. Reed, D. W., ed. (1996), Water, media and nutrition for greenhouse crops. Batavia, IL: Ball Publishing. Salisbury, F.B. and C.W. Ross (1991), Plant physiology. Wadsworth Publishing Co. California. Samsu, S (1990), Hidroponik. Pamulang Integrated Farming. Jakarta. Sarsih, M (2004), Ketahanan beberapa varietas bawang merah terhadap penyakit trotol. Skripsi. Fakultas Pertanian. Unsoed. Purwokerto. Sumarni, E., A. Margiwiyatno, dan Ardiansyah (2005), Studi modifikasi atmosfer akar dan media tanam pada bawang merah dalam rangka memperoleh bibit bermutu dengan hidroponik substrat. Laporan Penelitian Program Hibah Kompetisi A2. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Sunarto, Totok, A.D.H., Lukas, S., Suwarto, Noor F. (2004), Laporan penelitian peningkatan bawang merah (Allium cepa L.) Brebes tahap II. Fakultas Pertanian Unsoed. Purwokerto. 293
Stallen, M.P.K. and Y. Hilman (1991), Effect of Plant density and bulb size on yield and quality of shallot. Bul. Penel. Hort. (EK 1): 117-125. Suwandi, A. Hidayat dan R. Rosliani (1995), Kultur agregat dalam system hidroponik tanaman tomat. Bul.Penel.Hort. XXVII(3):28-37. Tawegoum, R., R. Teixeira, and G. Chasseriaux (2006), Simulation of humidity control and greenhouse temperature tracking in a growth chamber using A passive air conditioning unit. Cotrol Engineering Journal. Vol.14. Page:853-861. Tchamitchian, M., R. Martin C., J. Lagier, B. Jeannequin, and S. Mercier (2005), SERRISTE: A Daily set point determination software for glasshouse tomato production. Agriculture Journal. Vol. 20. Page 25-47. Virindita, S. (2005), Tanggap ukuran umbi beberapa varietas bawang merah terhadap pertumbuhan dan hasil. Skripsi. Fakultas Pertanian. Unsoed. Purwokerto. Whipker, B. E., W. C. Fonteno, T. J. Cavins, and D. A. Bailey (2000), PourThru nutritional monitoring manual. N. C. Commercial Flower Grower’s Assoc. 3906 Wake Forest Rd., Siute 102, Raleigh, NC 27609. Avaliable at Website: floricultureinfo.com
294
MODEL PEMBELAJARAN LIFELONG LEARNING IBU RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN INTERNET Yumantoko
[email protected] Litbang Kementerian Kehutanan Republik Indonesia ABSTRACT The world is currently enjoying the advanced information and communication technologies (ICT). The continuing innovation activities has made ICT users easier to use internet, especially in finding information and in helping someone to have a better understanding of knowledge. However, internet usage can be dangerous to some people who have low knowledge in ICT, housewives for instance. Because there is unlimited knowledge database can be found through internet, it will be very useful for the housewives to broaden their knowledge. Basically, housewives also need a lot of information to support their activities. Keyword: internet, housewives, learning, information, knowledge 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dengan mengadopsi teknologi dari luar yaitu internet, kini Indonesia dengan pasti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari teknologi tersebut. Kenaikan pengguna internet setiap tahunnya yang besar menggambarkan bahwa di Indonesia telah terjadi suatu perubahan pola hidup dalam hal bekomunikasi dan mendapatkan informasi. Dari yang semula pemilih informasi pasif menjadi pemilih informasi aktif23. Fungsi internet yang menghadirkan informasi diibaratkan sebagai sebuah perpustakaan yang besar dimana bukunya terpajang tak berujung, melewati segenap negara didunia. Begitu besarnya ruang internet dalam menampung informasi dan pengetahuan tak salah jika internetdigunakan sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Karena sifatnya bisa diakses dari mana saja maka internet juga bisa dianggap sebagai sekolah yang hidup, ada karena dipanggil dan akan memberikan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan. Maka tepat apabila internet digunakan oleh ibu rumah tangga yang ingin memiliki pengetahuan maupun kemampuan yang dibutuhkan dalam menunjang aktivitasnya. Mulai mencari rujukan informasi dari pemecahan masalah rumah tangga sampai pada masalah di tempat kerja atau masalah sehari-hari dengan lingkungan dimana ia berada. Ibu rumah tangga saat in sedang menghadapi semacam dilema, di mana pada jaman yang moderen ini mereka masih menghadapi masalah klasik seperti harus bertarung 23
Pemilih informasi pasif maksudnya adalah orang yang ingin mendapatkan informasi tidak memiliki banyak pilihan untuk dirinya. Misalnya jika seseorang membaca suatu surat kabar maka topiknya terlebih dulu ditentukan oleh pihak redaksi. Sedangkan pemilih informasi aktif maksudnya adalah seseorang bebas mencari informasi yang diinginkan sesuai dengan kehendaknya misalnya informasi yang ada di internet.
295
dengan kaum laki-laki untuk memperjuangkan emansipasi. Padahal, mereka juga harus berjuang untuk tidak ketinggalan dengan teknologi yang semakin maju. Jika ibu rumah tangga ini bisa menguasai teknologi informasi maka mereka sudah bergabung dengan komunitas global untuk saling sharing, dengan menjadi anggota komunitas jaringan sosial seperti facebook, mengutarakan pendapat misalnya dengan memiliki blog, mendapatkan informasi dengan membuka portal berita, ataupun memberikan kegiatan lain yang tidak biasa dilakukan pada dunia kesehariannya. 2. METODOLOGI 2.1. Kerangka Konseptual Pada awalnya Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita bisa melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan akhirnya semua standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol)24. Dan sekarang ini perkembangannya begitu sangat pesat sekali dimana alat yang dahulu hanya menggunkan komputer namun sekarang internet bisa diakses secara mobile menggunkan handphone. Internet yang dahulu mahal sekarang seperti jamur dimusim hujan dan siapa saja baik diperkotaan maupun dipedesaan bisa untuk mengaksesnya. Konsep Paulo Freire tentang pendidikan adalah, negara dari konsep-konsep yang terjebak dalam formalitas institusi dan cenderung menjauhkan diri dari refleksi kritis keseharian. Freire mengembangkan konsep ini agar sebuah pendidikan tidak terjebak dalam formalitas yang dijalankan dengan konsep yang statis, bahwa sebuah pendidikan itu adalah kewajiban dari lembaga tertentu apakah itu sekolah pemerintah atau sekolah formal yang lain. Padahal pendidikan memiliki arti yang luas yaitu sesuatu yang mencerahkan pikiran manusia. Mengetahui yang tidak diketahui sebelumnya untuk bekal dalam bertindak di waktu kelanjutannya. Manusia bebas memilih metode untuk memilih cara mana yang digunakan untuk mendapat pendidikannya. Salah satu produk dari kehidupan modern adalah teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet yang sekarang ini sedang berinovasi kearah perubahan yang lebih masal. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembagaUnited Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mencanangkan suatu pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), maksudnya adalah kita dalam mencari ilmu tidak terikat oleh batasan usia maupun waktu, jika memang ada waktu untuk mendapatkan ilmu sesegera mungkin harus diambil. Lifelong learning yaitu menyangkut pembelajaran untuk semua usia termasuk formal, non-formal dan informal25.
2.
http//www.wikipedia/Sejarah%20Internet%20%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm#column-on.Diakses
pada
tanggal 21 Februari 2009 25
http://uil.unesco.org/home/programme-areas/lifelong-learning/news-target/lifelonglearning/9bf043146eaa0985e05daa9e12135f5b/)
296
2.2. Metode Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menganalisis Model Pembelajaran Lifelong Learning Ibu Rumah Tangga Menggunakan Internet. 3. PEMBAHASAN 3.1. Kondisi Ibu Rumah Tangga Secara Umum IbuRumah tangga merupakan golongan yang tidak begitu menonojol dalam masyarakat. Jika kita mendengar kata ”ibu rumah tangga” maka asosiasi pertama yang mucul setelah mendengar kata tersebut yaitu bekerja di dapur, mengurus anak, orang yang suka membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Stereotip yang khusus tersebut sudah terbentuk dalam masyarakat sejak lama. Masyarakat pun seakan terus menjaga stereotip tersebut karena budaya patrilineal yang berada dalam masyarakat cukup kental. Golongan wanita, terutama ibu rumah tangga, merupakan kaum yang selama ini banyak dianggap sebagai golongan yang lemah peranannya dalam masyarakat. Apabila mereka diberdayakan dalam penguasan teknologi informasi maka akan sangat mungkin sekali untuk terjadi transformasi yang sangat luar biasa dalam bidang ekonomi, sosial dan politik yang akhirnya akan membawa kedalam suatu masyarakat yang maju baik fisik maupun nonfisik. Hal ini bisa diawali dari ibu rumah tangga karena mereka adalah golongan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan keluarga dimana keputusan keluarga ikut dipegang oleh mereka. Selain itu, ibu rumah tangga adalah sebagai pendidik bagi putraputrinya bahkan akan sangat mungkin sekali jika pendidikan dalam rumah tangga baik, maka putra-putri mereka akan menjadi seorang pemimpin bangsa yang memiliki kualiatas yang baik. 3.2. Internet dan Pendidikan Pendidikan memiliki keterkaitan dengan pemberdayaan, dengan pendidikan akan mengarahkan peserta didik agar mampu meningkatkan kemampuan dan akan semakin berdaya. Pemberdayaan yaitu sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106)26. Internet memiliki database pengetahuan yang sangat luas untuk mengenal selukbeluk kehidupan dunia ini. Ia berisi informasi yang setiap hari terus bertambah. Hanya dengan menggunakan mesin pencari seseorang mampu menemukan informasi yang jumlahnya banyak. Sehingga, apabila kita memperoleh informasi maka pengetahuan kita juga akan bertambah. Dengan bertambahnya pengetahuan maka akan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Inilah pemberdayaan lewat teknologi informasi karena di dalam teknologi informasi terdapat berbagai macam informasi yang memberikan khasanah pengetahuan. Informasi yang begitu banyak di dunia maya dan jika didapatkan akan mengubah hidup orang yang mendapatkannya. Wawasan akan bertambah, seseorang mampu mengatasi suatu permasalahan dan mampu menganalisa dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda. Motivasi seseorang merupakan modal yang besar untuk menerima 26
http://www.makindo_32_files/filelist.html
297
suatu pengetahuan apakah bisa diterima atau tidak. Jika kondisinya sama seperti apa yang sedang dipelajari akan mempercepat proses pemahaman terhadap sesuatu. Seseorang tidak akan dapat mengenal kondiisi orang lain dengan baik, yang bisa mengenal kondisi seseorang adalah masing-masing individu yang bersangkutan. Jika sedang menghadapi suatu hal maka seseorang bisa mencari informasi lewat internet. Seseorang akan langsung menemukan hal-hal yang sedang dialaminya untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya melalui internet. Pengetahuan memiliki karakteristik ”akumulatif” yang dapat mengalami penyusutan dan keusangan. Pada saat suatu organisasi mampu untuk menyerap dan menggunakan pengetahuan maka ia akan mampu untuk berkembang. Poin dari ini adalah nilai penting untuk menambah pengetahuan. Sehingga akumulasi dari pengetahuan tersebut akan memberikan kemudahan pada aktivitas yang kita jalani27. Seperti yang terlihat pada diagram dibawah ini.
Gambar 1. Difusi Pengetahuan oleh Teknologi Komunikasi dan Informasi28 Teknologi informasi yang berkembang pesat telah memberikan peluang bagi kita untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik. Hal ini seharusnya diperjuangkan oleh 27
Meng Chun Liu and Shin-Horng. Information Technology in Asia. Singapore. Institute of South East Asian Studies.2002. Hal 271. Edited by Chia Sow Yue and Janus Jerome Lim 28
.
Ibid
298
para kaum wanita yang saat ini peranannya dalam masyarakat masih sangat terbatas. Kedudukan struktural, baik dalam organisasi swasta maupun organisasi pemerintah jarang ditemui peran para perempuan yang menonjol. Untuk mengetahui secara lebih jelas makna informasi sebagai unsur pembentuk kekuatan maka perlu dipahami proses pembentukannya. Manusia mengambil sesuatu keputusan atas dasar informasi yang dimilikinya. Informasi tersebut berasal dari data, sedangkan data bersumber pada fakta29. Jika memiliki informasi maka akan semakin dekat dengan kesejahteraan. Karena informasi memungkinkan orang untuk bertindak lebih tepat dan lebih cepat pada pilihan yang baik. Apabila seseorang tidak memiliki informasi yang baik, keputusannya yang diambil tidak mewakili untuk masalahnya. Kemiskinan yang sering ada dikarenakan masyarakat tidak berdaya dalam memperoleh informasi, seperti dijelaskan pada tabel berikuti ini. Kesenjangan Akses Informasi
Kesenjangan Pengetahuan
Kesenjangan Kesempatan
Kesenjangan Sosial
Kesenjangan Spasial
Kesenjangan Kemampuan
Kesenjangn Aset
Gambar 2. Dampak Kesenjangan Informasi30 Dengan keterbatasan informasi menyebabkan seseorang tidak berdaya, terutama dalam bidang sosial dan ekonomi. Kesenjangan sosial ini akan berlangsung terus sebagai suatu siklus selama informasi tidak didapatkan oleh seseorang. Untuk memutus siklus tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari pengetahuan yang cukup karena dengan pengetahuan tersebut seseorang akan mampu untuk bertindak lebih tepat dengan apa yang akan diputuskannya. 3.3. Internet Sebagai Pembuka Kesadaran Seseorang Peran ibu rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh dipandang sebelah mata. Seperti juga wanita yang memilih untuk menjadi wanita karir yang bekerja pada sebuah kantor yang membutuhkan skil tertentu terhadap apa yang dikerjakannya, ibu rumah tangga juga tidak kalah hebat peranannya dalam rumah tangga. Diibaratkan sebuah perusahaan, ibu rumah tangga harus siap untuk menjadi seorang pimpinan yang kemampuan untuk mengatur rumah tangga mulai dari perencanaan terhadap anggaran sampai pada mengatur suami maupun anak. Ibu rumah tangga juga harus siap untuk menjadi seorang pekerja yang siap untuk melaksanakan perintah suami, mampu untuk 29
30
Sumarjan Selo Masyarakat dan Manusia Dalam Pembangunan, Jakarta. Penebar Swadaya. 1993, hal 117
. Tim Partnerships For E-Prosperity For The Poor (Pe-Pp) Mendayagunakan Telecenter,Jakarta, Bapenas-UNDP 2007
Pemberdayaan
Masyarakat Dengan
299
mengerjakan semua tugas rumah tangga dengan baik. Ia juga harus siap untuk menjadi seorang karyawan yang memiliki kemampuan untuk menggunakan sarana kantor dalam hal ini yaitu rumah untuk kepentingan keluarga, misalnya menggunakan barang barang elektronik seperti televisi, radio, setrika, mesin cuci dan lain sebagainya. Ia juga membutuhkan keahlian lain yaitu sebagai koki yang dituntut untuk memasak makanan yang berkualitas dengan pola kesehatan yang baik untuk keluarga. Pada saat anak-anak sedang sakit, ibu rumah tangga dituntut untuk menjadi seorang dokter yang mengerti mengenai berbagai macam penyakit bagi keluarga dan mampu untuk mencarikan solusi bagi penyakitnya tersebut. Hal paling penting adalah ia harus dapat bertindak sebagai guru yang mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai ilmu pengetahuan. Bukan hanya pada lembaga formal anak harus mendapatkan pendidikan, tetapi peranan yang paling penting adalah seorang ibu rumah tangga yang mengerti mengenai karakteristik putra–putrinya, sehingga pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya mampu memberikan bukan hanya mengenai ilmu pengetahuan, seperti yang diajarkan pada sekolah formal, tetapi lebih dari itu yaitu pendidikan menyangkut nilai-nilai agama, kekeluargaan, kemanusiaan, kasih sayang dan nilai-nilai universal lainnya. Sehingga, untuk mengurusi itu semua tidak mungkin hanya dilakukan oleh ibu rumah tangga yang tidak memiliki kemampuan dalam pengetahuan. Pekerjaan ibu rumah tangga yang begitu berat harus memiliki kemampuan yang baik, apakah saat ia menjadi seorang pimpinan, pekerja, koki, maupun sebagai guru, ibu rumah tangga harus tampil sebaik mungkin dalam menjalankan tugas tersebut. Oleh karena itu, pekerjaan ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Kebanyakan orang mengira bahwa ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang rendah dan tidak membutuhkan suatu keahlian yang khusus untuk menjalankannya. Tetapi sebenarnya pekerjaan ini juga membutuhkan suatu kriteria dengan pendidikan yang baik agar dalam menjadi ibu rumah tangga segala macam pekerjaan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Karena pekerjaan ibu rumah tangga adalah lebih besar tanggung jawabnya dari pada wanita karir yang bekerja di luar rumah tangga. Jika wanita yang berfokus dengan karir setiap hari bekerja di luar rumah, segala macam urusan rumah tangga diserahkan kepada orang lain misalnya pembantu, sehingga ada keluarga yang mempekerjakan seorang pembantu mulai dari membenahi urusan rumah sampai pada pengasuhan anak, sehingga sampai ada istilah ”anak pembantu” karena setiap hari yang mengasuh anak adalah pembantu. Wanita yang fokus dengan karier tentu tidak dapat melihat perkembangan baik fisik maupun psikis dari si anak, sehingga hubungan secara emosional antara seorang wanita karier dengan anaknya renggang jika dibandingkan dengan seorang ibu rumah tangga yang benar-benar fokus pada keluarga. Hal ini ditambah dengan kemampuan intelektualnya yang baik, bisa digambarkan bahwa ia akan begitu mudah untuk mengurus keluarganya. Sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah sebuah keluarga yang utuh dan bahagia. Sehingga peranan pengetahuan sangat penting sekali, dalam hal ini internet memberikan bimbingan mengenai hal yang dibutuhkan oleh ibu rumah tangga untuk berkreasi guna memberikan pelayanan terbaik untuk keluarga. 4. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peranan internet untuk ibu rumah tangga sangat penting sekali. Internet mampu digunakan untuk mencari informasi penting untuk menunjang peranan dan fungsi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga merupakan suatu golongan dalam masyarakat yang selama ini diremehkan. Karena itu, sudah saatnya kini ibu rumah tangga menjadi pendorong untuk kemajuan keluarga. Hal ini bisa dilakukan jika ibu rumah tangga memiliki pengetahuan yang 300
baik. Cara terbaik untuk mendapakan informasi yaitu dengan mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, termasuk oleh semua usia. Belajar adalah sebuah proses untuk menuju kualitas hidup yang lebih baik. Belajar membutuhkan banyak informasi yang lengkap. Belajar pun bisa dilakukan dengan menggunakan media internet. REFERENSI Chia Sow Yue and Janus Jerome Lim (2002), Information Technology in Asia. Singapore. Institute of South East Asian Studies. http://www.makindo_32_files/filelist.html. Diakses pada februari 2009 http//www.wikipedia/Sejarah%20Internet%20%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20e nsiklopedia%20bebas.htm#column-on.Diakses pada tanggal 21 Februari 2009. http://uil.unesco.org/home/programme-areas/lifelong-learning/news-target/lifelonglearning/9bf043146eaa0985e05daa9e12135f5b/). Diakses pada 29 Juni 2011 Sumarjan Selo (1993), Masyarakat dan Manusia Dalam Pembangunan, Jakarta. Penebar Swadaya. Tim Partnerships For E-Prosperity For The Poor (Pe-Pp) (2007), Pemberdayaan Masyarakat Dengan Mendayagunakan Telecenter, Jakarta, Bapenas-UNDP
301
PERANAN KEBIJAKAN LEMBAGA LITBANG DAERAH DALAM PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI KABUPATEN PATI Jatmiko Wahyudi
[email protected] Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati ABSTRACT Nowdays, the highly of fossil fuel consumption tends to make negative impact especially about price increasing and environmental hazard. In future, application of renewable energy will be expected increase and it will give more contribution to energy supply in Indonesia. Based on regulation in Indonesia, local government including local research and development institution in province and regency has great authority applied technology. The objectives of the study were: (1) to know application of renewable energy resources in Pati regency; (2) to know the role of local research and development institution policy for application of renewable energy resources in Pati regency. This study uses descriptive– qualitative approach. Data of the study consist of primary and secondary ones. The primary data were obtained from field-observation and interview. While secondary data were collected from legal documents of related institutions. This study has 2 main findings: (1) application renewable energy resources have been done in Pati regency; (2) the policy of local research and development institution gave strong impact to renewable energy resources application in Pati regency. Keywords:renewable energy, policy, pati regency 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, energi menjadi permasalahan krusial yang dihadapi pemerintah Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk turut mendorong pertumbuhan di sektor transportasi dan industri yang berkontribusi paling besar terhadap konsumsi energi nasional. Dengan asumsi pertumbuhan populasi rata-rata 1,1 % maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan berjumlah sekitar 273 juta. Di sisi lain, penggunaan energi nasional masih sangat boros, hal ini dapat dilihat dari elastisitas energi Indonesia yang mencapai 1,84 jauh lebih tinggi dari Jepang yang hanya 0,1 dan Amerika Serikat yang hanya 0,26 (Prastowo, 2007). Pemerintah sendiri mentargetkan pada 2025 elastisitas energi Indonesia hanya sebesar 1 (satu). Penggunaan energi di Indonesia masih didominasi dari sumber energi fosil, setidaknya sampai tahun 2003 minyak bumi berkontribusi sebesar 54,4%, gas bumi 26,5%, batubara 14,1% sedangkan yang berasal dari sumber energi lain termasuk biofuel hanya sekitar 0,2% (Menko Perekonomian, 2006). Ketergantungan Indonesia terhadap sektor energi minyak dan gas (migas) berdampak buruk bagi perekonomian negara disebabkan oleh besarnya subsidi energi yang ditanggung pemerintah. Penggunaan energi fosil juga 302
diyakini berdampak buruk bagi lingkungan. Emisi gas rumah kaca sebagai hasil pembakaran energi fosil merupakan penyebab utama pemanasan global (global warming) Berdasarkan peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, ditargetkan pada tahun 2025 peranan minyak bumi dalam bauran energi primer nasional menjadi kurang dari 20%. Sementara itu, kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) diharapkan sebesar lebih dari 5%. Definisi energi terbarukan menurut perpres tersebut adalah sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Contoh dari energi terbarukan antara lain panas bumi, tenaga air, tenaga surya, angin, gelombang laut dan biomassa. Target 5% sesungguhnya masih kecil sebab saat ini secara global 11% suplai energi primer dunia berasal dari biomassa (Dobermann, 2007). Sementara China pada tahun 2020 mentargetkan suplai energi terbarukan sebesar 20% (Vertes et. all, 2010). Di Indonesia pengelolaan masalah energi nasional diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi. Setidaknya ada tiga hal penting yang terkandung pada undang-undang tersebut: (1) pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan energi; (2) arah kebijakan yang lebih mengutamakan pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan; (3) kontribusi bidang penelitian dan pengembangan (litbang) dalam masalah energi. Seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia, peranan pemerintah daerah terhadap permasalahan energi cukup besar. Pada pasal 26 UU Nomor 30 Tahun 2007 dinyatakan dengan jelas bahwa pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah Kabupaten di bidang energi antara lain: (1) pembinaan dan pengawasan pengusahaan di Kabupaten; (2) penetapan kebijakan pengelolaan di Kabupaten. Menurut Dunn (2010), analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia yaitu perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi. Penerapan otonomi daerah memberikan implikasi yang besar terhadap pembangunan di daerah termasuk juga pelaksanaan kegiatan litbang. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Kebijakan ini dipertegas dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang antara lain bidang litbang. Terbitnya PP tersebut semakin memberikan kewenangan yang jelas kepada semua pihak khususnya pemerintah daerah untuk memajukan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelaksanaan kegiatan litbang lebih detail diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk: (a) mengembangkan instrumen kebijakan; (b) menganggarkan dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (c) mensponsori Hak Kekayaan Intelektual (HKI); (d) memberikan penghargaan bagi penemu (inventor); (e) membangun sarana dan prasarana; (f) mendorong alih teknologi dan (g) membentuk Dewan Riset Daerah (DRD). Isi dari UU Nomor 18 Tahun 2002 selaras dengan isi UU Nomor 30 Tahun 2007 khususnya pasal 29 yang menyatakan pemerintah daerah wajib memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan tentang penyediaan dan pemanfaatan energi terutama diarahkan pada pengembangan energi baru dan energi terbarukan (EBT). Keberadaan lembaga litbang daerah sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah daerah semakin dirasakan penting terbukti dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang kemudian dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 061/2724/SJ Perihal Balitbangda dalam Organisasi Pemerintah Daerah, yang intinya mendukung keberadaan dan pembentukan lembaga litbang daerah di tingkat 303
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Semua aturan di atas merupakan penjabaran dari amanat amandemen IV UUD 1945 khususnya Pasal 31 ayat 5 yang mewajibkan pemerintah memajukan Ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah gambaran pengembangan dan pemanfaatan EBT di Kabupaten Pati? 2. Bagaimanakah peran lembaga litbang daerah dalam mendukung pengembangan dan pemanfaatan EBT di Kabupaten Pati? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran pengembangan dan pemanfaatan EBT di Kabupaten Pati. 2. Untuk mengetahui sejauhmana peranan lembaga litbang daerah di Kabupaten Pati dalam mendorong pemanfaatan EBT. 2. METODE PENELITIAN Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nasir, 2003). Data penelitian meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung ke lapangan dan wawancara pada narasumber dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data sekunder diperoleh melalui sumber pustaka dan data dari instansi terkait. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mendeskripsikan temuan di lapangan dan kemudian dianalisa. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis dokumen (documentary analysis). Dari dokumen dan sumber pustaka yang tersedia dilakukan kajian untuk mengungkapkan informasi-informasi yang bermanfaat dalam penelitian. Derajat kepercayaan keabsahan data dilakukan melalui pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari (Molleong, 2000). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Gambaran Umum Kabupaten Pati Secara geografis Kabupaten Pati terletak di Propinsi Jawa Tengah bagian timur, berada pada posisi 1100,50’ – 1110,15’ bujur timur dan 60,25’ – 70,00’ lintang selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan laut Jawa, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Jepara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Blora serta sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi dan Blora. Wilayah Kabupaten Pati terdiri dari wilayah dataran tinggi, pegunungan, dataran rendah dan memiliki garis pantai sepanjang 60 km. Oleh sebab itu, Kabupaten Pati memiliki potensi yang besar bagi tumbuhnya berbagai sumber daya hayati baik tumbuh-tumbuhan, hewan dan perikanan. Luas wilayah Kabupaten Pati sebesar 150.368 Ha yang terdiri dari 58.448 Ha lahan sawah dan 91.920 Ha lahan bukan sawah. Secara administratif terbagi dalam 21 Kecamatan, 401 desa dan 5 kelurahan. Berdasarkan luas wilayah, Kabupaten Pati 304
merupakan kabupaten terluas nomor lima di Propinsi Jawa Tengah. Secara demografi, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Pati sebesar 1.265.225 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 625.183 jiwa dan penduduk perempuan 640.042 jiwa. Penduduk pada usia produktif sebesar 856.500 jiwa dan jumlah penduduk usia tidak produktif 408.724 jiwa. (BPS Kab. Pati, 2010). Berdasarkan data-data demografi dapat dilihat potensi sumber daya manusia yang dimiliki oleh Kabupaten Pati cukup besar dalam upaya untuk menggerakkan pembangunan dan ekonomi masyarakat. 3.2. Energi Baru dan Terbarukan di Kabupaten Pati Pemanfaatan EBT sudah banyak dilakukan di Kabupaten Pati. Berdasarkan bahan bakunya, EBT di Kabupaten Pati sebagian besar berbahan baku biomassa seperti biogas dan bioethanol. Biomassa dapat diartikan sebagai semua bahan organik yang berasal dari tumbuhan dan hewan serta dapat diolah menjadi energi. Hal ini dapat dimaklumi karena di wilayah Kabupaten Pati potensi hasil pertanian dan peternakan cukup besar sehingga bahan baku mudah diperoleh dan tercukupi jumlahnya. Data pemanfaatan EBT di Kabupaten Pati disajikan pada tabel 2. Sementara berdasarkan sumber pendanaan untuk pengadaan instalasi, mayoritas berasal dari anggaran pemerintah utamanya pemerintah daerah. Pendanaan yang berasal dari swadaya masyarakat masih kurang disebabkan biaya pembuatan instalasi yang masih mahal. Sebagai contoh, pada tahun 2009, pembuatan instalasi bioethanol oleh Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati dengan kapasitas 300-600 liter/hari membutuhkan biaya sekitar 10 – 15 juta tiap instalasinya. Biaya pembuatan instalasi biogas jauh lebih mahal daripada biaya pembuatan instalasi bioethanol. Tingginya biaya pengadaan dan masih lemahnya pengetahuan dalam hal pengelolaan instalasi terutama analisa keuangan menyebabkan masyarakat masih enggan untuk berswadaya. Tabel 1.Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan di Kabupaten Pati No Jenis 1 2 3 4 5 Biogas 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Bioethanol
Bahan Baku Kotoran Sapi Perah Kotoran Sapi Perah Kotoran Sapi Perah Limbah Tahu Kotoran Sapi Potong Kotoran Sapi Potong Limbah Tahu Limbah Tahu Tinja Manusia (WC umum) Kotoran Sapi Potong Molase/singkong Molase/singkong Molase/singkong Molase/singkong Molase/singkong
Lokasi Kec. Margorejo Kec. Margorejo Kec. Margorejo Kec. Margorejo Kec. Tlogowungu Kec. Gembong Kec. Gembong Kec. Tayu Kec. Margoyoso
Pendanaan APBN APBD Propinsi APBD Propinsi APBD Kabupaten APBN APBD Kabupaten APBD Kabupaten APBD Kabupaten APBD Kabupaten
Kec. Gabus Kec. Trangkil (5 lokasi) Kec. Margoyoso Kec. Margorejo Kec. Pucakwangi Kec. Wedarjaksa
APBD Kabupaten APBD Kabupaten APBD Kabupaten APBD Kabupaten APBD Kabupaten APBD Kabupaten
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa jenis EBT paling banyak dimanfaatkan adalah biogas. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain peran pemerintah dalam hal 305
pendanaan dan tercukupinya persediaan bahan baku. Instansi yang banyak berkontribusi dalam pengadaan instalasi biogas adalah Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Dinas Pertanian dan Peternakan (Dispertanak). Biogas yang ditangani BLH berbahan baku limbah tahu dan tinja, hal ini sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam hal pengelolaan lingkungan. Sedangkan biogas yang ditangani oleh Dispertanak berbahan baku kotoran sapi. Berdasarkan sumber anggaran, pengadaan biogas dari BLH bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Pati. Sedangkan pengadaan biogas dari Dispertanak, sumber pendanaan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan APBD Propinsi Jawa Tengah. Pemanfaatan biogas utamanya adalah untuk memasak skala rumah tangga maupun untuk industri tahu. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat pengguna biogas, pemanfaatan biogas untuk mengatasi dampak limbah dan penghasil energi cukup prospektif. Sebagai contoh, instalasi biogas yang dikelola kelompok ternak Sidodadi di Desa Sukoharjo Kecamatan Margorejo yang berbahan baku kotoran sapi perah. Gas bio dimanfaatkan untuk memasak sebagai pengganti gas elpiji dan mampu mencukupi kebutuhan 6 rumah. Dari hasil observasi langsung diketahui bahwa kualitas api yang dihasilkan oleh gas bio sangat stabil dan tidak kalah dengan gas elpiji. Untuk biaya perawatan instalasi setiap rumah hanya dibebani iuran sebesar Rp. 20.000 per bulan. Di desa Sukoharjo yang merupakan sentra sapi perah di Kabupaten Pati terdapat 3 buah instalasi biogas berbahan baku kotoran sapi perah. Di masa mendatang desa ini layak untuk diproyeksikan menjadi Desa Mandiri Energi (DME) sebab di Desa Sukoharjo masih banyak kelompok ternak yang belum mendapat fasilitas pengadaan instalasi biogas padahal potensi bahan baku biogas sangat mencukupi. DME adalah desa yang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan 60% atau lebih energi untuk keperluan sehari-hari (Kartika, 2010). Kendala terbesar untuk merealisasikan DME adalah masih tergantungnya pendanaan dari anggaran pemerintah. Pemanfaatan EBT lain yang banyak ditemui di Pati adalah bioethanol. Peran pemerintah daerah juga cukup menonjol karena anggaran pengadaan instalasi bioethanol berasal dari APBD Kabupaten Pati. Saat ini terdapat 9 usaha kecil dan menegah (UKM) untuk produksi bioethanol dengan kapasitas produksi 300--600 liter bioethanol per hari. Potensi produksi bioethanol di Kabupaten Pati sangat besar sebab dekat dengan sumber bahan baku bioethanol. Bahan baku yang digunakan dalam produksi bioethanol di Kabupaten Pati utamanya adalah molase (tetes) yang merupakan hasil samping industri gula. Di Pati terdapat 2 pabrik gula (PG) yaitu PG Trangkil dan PG Pakis Baru. Adanya kebijakan pemerintah daerah bagi industri untuk bekerjasama dan ikut memelihara keberadaan UKM di sekitar industri membuat UKM pembuatan bioethanol lebih mudah dalam mendapatkan bahan baku. Bahan baku lain yang digunakan yaitu singkong, komoditas ini cukup melimpah di Pati. Pada tahun 2009 produksi singkong di Kabupaten Pati mencapai lebih dari 300 ribu ton dan menempati peringkat kedua di Propinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Wonogiri. (www.bpsjateng.go.id). Keberadaan singkong sebagai bahan baku hanya digunakan bila suplai molase mengalami kekurangan. Singkong tidak digunakan sebagai bahan baku utama disebabkan adanya kebijakan untuk menggunakan komoditas tanaman pangan sebagai sebagai sumber bahan pangan bagi manusia. Penggunaan singkong sebagai bahan baku bioethanol dapat memicu kenaikan harga singkong yang dapat memunculkan masalah yang lebih krusial yaitu masalah pangan. Berdasarkan wawancara mendalam dengan para pengusaha bioethanol diperoleh informasi bahwa permintaan produk bioethanol masih sangat besar. Para pengusaha menjual bioethanol kadar 70% dengan harga Rp. 6.000–-7.000 per liter. Sedangkan untuk kadar 90% dengan harga Rp. 10.000–-12.000 per liter. Sebagian besar bioethanol dijual untuk kebutuhan farmasi dan industri rokok, permintaan bioethanol untuk energi masih 306
sangat rendah. Untuk kebutuhan energi, bioethanol dapat digunakan sebagai campuran bensin untuk bahan bakar kendaraan bermotor dan untuk kompor bioethanol. Dari wawancara yang dilakukan diketahui bahwa keengganan masyarakat menggunakan kompor bioethanol disebabkan masyarakat belum terbiasa untuk menggunakan kompor bioethanol sebab cara menggunakan kompor tersebut agak berbeda dibandingkan kompor minyak tanah dan kompor gas. Namun faktor utama kurangnya minat masyarakat menggunakan kompor bioethanol adalah adanya gas elpiji yang relatif murah dan mudah pengoperasiannya. Bioethanol juga dapat digunakan sebagai campuran bensin untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Menurut standard ASTM D4806 yang banyak dipakai di Amerika Serikat, Australia, Kanada dan China, Gasohol E-10 dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor (Vertes et all, 2010). Gasohol E-10 adalah bahan bakar dengan komposisi 90% bensin dan 10% etanol. Penelitian yang dilakukan oleh B2TP BPPT menunjukkan Gasohol E-20 dapat digunakan langsung pada mesin tanpa menimbulkan masalah teknis dan ramah lingkungan. Etanol yang digunakan untuk gasohol harus memiliki kemurnian >99%, etanol dengan kemurnian rendah akan menyebabkan masalah pada mesin sebab kandungan air yang tinggi akan menyebabkan susah bercampur dengan bensin. Faktor utama masyarakat enggan untuk menggunakan gasohol adalah harga bensin yang masih murah. Kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan penggunaan bioethanol sebagai energi alternatif tidak berkembang. 3.3. Lembaga Litbang Daerah Menimbang pentingnya keberadaan lembaga litbang daerah dan adanya pijakan landasan hukum yang kuat maka pada tahun 2000 kantor penelitian dan pengembangan Kabupaten Pati berdiri. Semenjak berdirinya kantor litbang telah banyak menjalankan kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam Inpres tersebut presiden menginstruksikan kepada Bupati untuk: (1) melaksanakan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di daerahnya sesuai kewenangannya; (2) melaksanakan sosialisasi pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di daerahnya. Pelaksanaan amanat UU Nomor 30 tahun 2007 dan Inpres Nomor 1 tahun 2006 oleh pemerintah Kabupaten Pati dalam hal ini Kantor Litbang dengan menjalankan beberapa kebijakan. Dalam hal pemanfaatan EBT, litbang Kabupaten Pati berfokus pada penggunaan sumber daya alam setempat. Program Kantor Litbang Kabupaten Pati dalam pemanfaatan EBT secara garis besar yaitu: (1) bidang teknologi dan penerapan ilmu pengetahuan (TEKRAP); (2) sosialisasi dan diseminasi; (3) penelitian dan (4) pembinaan. Keluaran dari bidang TEKRAP berupa pengadaan barang atau peralatan hasil penerapan teknologi. Kegiatan sosialisasi dilakukan bekerjasama dengan Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) Kabupaten Pati, sedangkan diseminasi dilaksanakan terkait dengan hasil kajian dan temuan litbang di bidang EBT. Kegiatan pembinaan diarahkan kepada UKM yang mengelola teknologi pemanfaatan EBT. Setiap 2 tahun Kantor Litbang menyelenggarakan perlombaan Pati award yang bermanfaat untuk menumbuhkan minat meneliti (research) dan menciptakan penemuan-penemuan baru (inventor) dengan sasaran masyarakat Kabupaten Pati. Beberapa program Kantor Litbang Kabupaten Pati yang terkait dengan pemanfaatan EBT disajikan pada tabel 2.
307
Tabel 2.Beberapa Program Pemanfaatan EBT Kantor Litbang Kabupaten Pati No Bidang 1 2 3 TEKRAP 4 5 6 7 PENELITIAN 8 9 10
Pati award
Kegiatan Pengadakan instalasi pembuatan biodisel Pengadaan instalasi bioethanol Pengadaan kompor biomassa Pengadaan instalasi dan kompor Bioethanol Sosialisasi penggunaan kompor bioethanol Kajian pemanfaatan bioethanol sebagai sumber energi alternatif Kajian potensi pengembangan gasifikasi biomassa di Kabupaten Pati Penelitian pembuatan bioethanol dari kulit pisang Penelitian pemanfaatan limbah biogas untuk pembuatan pupuk organik Pembuatan alat pencetak ampas tapioka untuk bahan bakar alternatif
Tahun 2003 2005 2006 2009 2010 2010 2010 2010 2011 2008
Peranan Kantor Litbang dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan cukup besar. Sebagai contoh, semua instalasi bioethanol yang berada di Kabupaten Pati merupakan bantuan pengadaan dari Kantor Litbang. Dalam pengelolaan usaha produksi bioethanol, Kantor Litbang juga berperan besar dengan menempatkan UKM tersebut sebagai binaan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pelaku usaha adanya kebijakan ini turut memudahkan UKM dalam menjalankan usahanya seperti mendapatkan bahan baku, mendapat bimbingan teknis dan perlindungan hukum. Menurut UU No 11 tahun 2005 tentang cukai, produk etil alkohol atau ethanol termasuk dalam kategori barang kena cukai. Ethanol juga termasuk barang yang peredarannya diawasi karena termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3). Adanya koordinasi yang baik antara Kantor Litbang dengan instansi terkait seperti Kepolisian, Bea cukai, kantor perijinan dan pelayanan terpadu, dinas perindustrian dan perdagangan dan instansi lainnya memudahkan para pelaku usaha untuk menjalankan produksi bioethanol. Kebijakan pembebasan cukai dari instansi terkait menjadikan harga jual bioethanol tidak melambung dan dapat diterima di pasaran. Di masa mendatang peranan kantor litbang masih perlu ditingkatkan. Dari observasi lapangan ternyata ditemui kenyataan terdapat beberapa instalasi bioethanol hasil pengadaan tahun 2005 yang tidak beroperasi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam analisis kebijakan, prosedur rekomendasi, pemantauan dan evaluasi tidak dijalankan dengan baik. Rekomendasi dalam pemilihan UKM penerima instalasi yang tidak tepat, pemantauan terhadap kinerja UKM yang tidak dijalankan sehingga dampaknya prosedur evaluasi tidak dapat dilaksanakan. Peranan kantor litbang di masa mendatang juga dapat diarahkan pada pemantauan dan pemanfaatan potensi sumber energi baru dan terbarukan yang lain seperti gasifikasi biomassa dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Berdasarkan hasil kajian pada tahun 2010, wilayah Kecamatan Sukolilo merupakan daerah yang cocok untuk penerapan gasifikasi biomassa berbahan baku tongkol jagung. 4. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan sudah banyak dilakukan di wilayah Kabupaten Pati. Jenis sumber energi baru dan terbarukan yang dimanfaatkan 308
menggunakan bahan baku biomassa yaitu biogas dan bioethanol. Potensi pengembangan sumber energi baru dan terbarukan masih sangat besar bahkan di masa mendatang dimungkinkan pembentukan desa mandiri energi (DME) yang berlokasi di desa Sukoharjo Kecamatan Margorejo. 2. Peranan Kantor Litbang Kabupaten Pati sebagai lembaga litbang daerah sangat besar dan strategis dalam pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan. Peranan dan kontribusi tersebut antara lain berupa alokasi anggaran, pembinaan, penelitian dan penghargaan terhadap kegiatan pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan. Di masa mendatang peranan ini masih perlu ditingkatkan sebagai bentuk pelaksanaan amanat undang-undang. REFERENSI Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah (2010), Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2009. www.jateng.bps.go.id, diakses tanggal 21 Maret 2011 Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati (2010), Pati Dalam Angka 2010. Pati. Dobermann, A (2007), Integrated Food – Biofuel Systems. University of Nebraska. Lincoln Dunn, W.N. (2000), Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain Kartika, R.S. (2010), Optimalisasi Pengembangan Desa Mandiri Enegi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Binapraja. Vol II:4. 327-337 Menko Perekonomian (2006), Program aksi Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. Naskah Pidato Departemen Keuangan 22 Agustus 2006. Jakarta Molleong, L. (2000), Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung Nasir, M. (2003), Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Prastowo, B. (2007), Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan Pengguna Energi Terbarukan. Jurnal Perspektif. Vol 6:2. 85 – 93 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 061/2724/SJ Perihal Balitbangda dalam Organisasi Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Cukai Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 309
Vertes, A.A. Qureshi, N. Blaschek, H.P. Yukawa, H. (2010), Biomass to Biofuels: Strategies for Global Industries. John Wiley and Sons Ltd. West Sussex UK
310
OPTIMISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TEKNOLOGI NASIONAL UNTUK MASA DEPAN BANGSA Djajusman Hadi
[email protected] Universitas Negeri Malang ABSTRAK Dalam era kemajuan teknologi yang berkembang cepat dan persaingan di tingkat internasional semakin ketat, kebijakan teknologi nasional semakin menduduki peran penting untuk mendukung bahkan menuntun arah pembangunan nasional. Optimisasi kebijakan teknologi di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) diharapkan dapat segera diimplementasikan oleh pemerintah. Hal tersebut sebagai upaya untuk mendorong terjadinya alih pengetahuan dan alih keterampilan dalam perusahaanperusahaan asing melalui proses difusi teknologi yang terintegrasi dengan visi dan misi litbang secara sinergis guna meningkatkan proses inovasi teknologi di dalam negeri. Komitmen bersama sangat diperlukan untuk melahirkan kebijakan teknologi yang komprehensif guna kemajuan iptek bangsa di masa depan. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era persaingan global yang semakin tajam, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) oleh suatu bangsa adalah faktor penting agar mampu bersaing sekaligus bertahan hidup. Bahkan, penguasaan iptek menjadi faktor strategik sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Pertambahan nilai produk dan keragaman produk-produk di pasar akibat sentuhan teknologi diyakini pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Namun, berbeda dengan kebijakan yang sudah umum dikenal di masyarakat, seperti kebijakan pendidikan, kebijakan pertahanan, kebijakan ekonomi, dan sebagainya, kebijakan teknologi tidak langsung dikenali bentuknya, kecuali dalam bentuk pengembangan lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) pemerintah. Sesuatu yang tidak dikenal akan sulit pula untuk menerima dukungan publik. Akibatnya, sekalipun kebijakan tersebut diperlukan, pelaksanaannya akan mengalami kesulitan. Pemakaian istilah kebijakan teknologi sebenarnya relatif baru dibandingkan dengan misalnya istilah kebijakan pendidikan. Sekalipun demikian, campur tangan pemerintah di bidang teknologi didorong oleh dasar pertimbangan yang sama, yaitu ketidaksempurnaan mekanisme pasar dalam mendorong tujuan-tujuan sosial ekonomi. Yang berbeda adalah faktor-faktor yang menyebabkan tidak sempurnanya mekanisme pasar tersebut. Pasar juga tidak bisa diharapkan untuk mendorong pengembangan teknologi secara optimal karena berbagai macam faktor. Salah satu diantaranya adalah berkembangnya imitasi/peniruan. Inovasi baru yang mudah ditiru dengan biaya pengembangan yang lebih murah dan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan si pencipta hasil inovasi akan mengurangi atau mematikan motivasi untuk berinovasi. Salah satu resep kebijakan 311
yang biasa dipakai untuk mengatasi problem ini adalah dengan menerapkan sistem perlindungan Hak Paten. Si peniru atau plagiator/imitator dari barang yang dipatenkan harus membayar imbalan uang secara berkala bagi penemu hasil inovasi tersebut, sehingga si penemu bahkan bisa terangsang untuk melakukan inovasi-inovasi lain. Beberapa negara industri baru di kawaan Asia, sukses memiliki pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam dua dasawarsa terakhir, tak lain karena memiliki kebijakan dan perencanaan teknologi yang komprehensif dan integratif. Sebaliknya, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi dalam bidang keteknikan sangat diperlukan untuk menopang terwujudnya penguasaan teknologi. Ironisnya, masyarakat Indonesia kurang memiliki minat yang tinggi terhadap profesi keteknikan. Melimpahnya tenaga kerja Indonesia di tingkat internasional justru mengandalkan keterampilan pekerjaan rumah tangga yang berseberangan dengan penguasaan teknologi. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya minat lulusan SMA yang memasuki perguruan tinggi dengan mengambil bidang iptek hanya sekitar 17 persen dari total lulusan S1 di Indonesia sementara di negara lain di kawasan Asia mencapai sekitar 30 persen (Taufik, 2007). Sebagai negara berkembang yang masih mengandalkan teknologi dari luar negeri, ada banyak kendala lain yang harus dihadapi dalam pengembangan dan penerapan teknologi. Kendala-kendala tersebut mencakup kurangnya sumber daya manusia di berbagai bidang teknologi, kesulitan mencari sumber penyedia teknologi di luar negeri, iklim usaha yang masih belum mendukung kegiatan inovasi teknologi dan lain-lain. Untuk itu pemerintah perlu campur tangan untuk mengkoreksi “kegagalan” pasar ini melalui berbagai cara seperti membangun lembaga untuk melakukan uji produk, perlindungan hak kekayaan intelektual, keringanan pajak penghasilan bagi industri yang melakukan penelitian, dan lain sebagainya. Dalam era dimana kemajuan teknologi semakin berkembang cepat dan persaingan di tingkat internasional semakin ketat, kebijakan teknologi semakin menduduki peran penting untuk mendukung bahkan menuntun arah pembangunan nasional. Sebagai contoh adalah kebijakan yang mewajibkan kapal-kapal tua untuk tidak dioperasikan lagi dengan maksud memberikan peluang bagi industri galangan kapal dalam negeri yang belum memadai terjadi penurunan porsi perusahaan nasional dalam pengangkutan laut untuk dalam dan luar negeri. 1.2. Isu Strategis Kegiatan penelitian di daerah jika diidentifikasi lebih detil, seluruh paket penelitian mencakup empat tema utama: (1) berkenaan tema ekonomi pembangunan, terfokus pada kajian teknologi-ekonomi, pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, pertambangan, industry perdagangan dan koperasi, serta jasa pariwisata, (2) seputar masalah sosial budaya, mencakup kajian pendidikan, kebudayaan dan kemasyarakatan dan (3) tentang kewilayahan seperti permukiman, infrastruktur, perhubungan dan masalah lingkungan, serta (4) berkenaan dengan kajian politik, hukum dan pemerintahan, mencakup tata pemerintahan, desentralisasi dan otonomi daerah, pendapatan daerah, pelaksanaan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Seluruh kegiatan penelitian tersebut memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa kajian ekonomi pembangunan dan teknologi dan perekayasaan Iptek menempati urutan terbanyak (52%), kemudian kajian sosial budaya (24%). Sedangkan kajian bidang pemerintahan sebesar 13% dan sisanya adalah kajian kewilayahan hanya 11%. Dilihat dari ragam penelitian tematik itu, kondisi litbang daerah menunjukkan diversitas riset pada bidang-bidang pembangunan sektoral dan lintas sektoral. Demikian pula peran peneliti, berbekal disiplin masing-masing dan berasal dari pelbagai institusi, telah memberi warna pada kegiatan litbang daerah. Sekurang-kurangnya ada 16 instansi pemerintah yang 312
menyelenggarakan kegiatan penelitian itu, di mana Dinas, Badan dan Biro sebagai fasilitator yang sangat dominan. Lembaga penelitian universitas: UGM, UI, IIP, Untirta, IAIN dan lainnya telah mewarnai kegiatan penelitian di wilayah Provinsi Banten. Belum lagi kegiatan beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat yang telah menjadikan Banten sebagai lokus penelitian. Fenomena di atas mengindikasikan aktivitas penelitian telah memiliki core-business tersendiri dalam konteks pembangunan daerah. Sejumlah tema penelitian telah menyentuh persoalan kebijakan, strategi, dan implementasi pembangunan. Gejala ini menunjukkan kepedulian besar SDM peneliti dan akademisi pada permasalahan dan pembangunan daerah. Dengan demikian, potensi litbang daerah cukup menjanjikan sebagai salah satu komponen dari struktur pendukung kebijakan pembangunan. Namun hasil evalusi terhadap penyelenggaraan penelitian di daerah masih terkendala oleh beberapa permasalahan, yaitu:
Berkenaan dengan existing condition, sebagian besar tema penelitian belum didasarkan pada permasalahan strategis dan potensial. Sebagiannya bahkan masih bersifat reaktifspontan.
Terkait dengan pengembangan hasil penelitian, hanya sebagian kecil diaplikasikan bagi penyusunan kebijakan. Salah satu penyebabnya adalah hasil-hasil penelitian baik teoritis maupun aplikatif belum tersosialisasikan dan didesimenasikan secara luas melalui manajemen penelitian dan pengembangan yang sistemik.
Berkenaan dengan struktur kelembagaan dan jaringan litbang Iptek daerah; sampai saat ini belum suatu sistem yang dapat mengintegrasikan keseluruhan proses riset dan pengembangan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah itu sendiri maupun oleh masyaakat dan kalangan dunia usaha. Sementara itu, peran Dewan Riset Daerah (DRD) yang baru saja terbentuk, masih belum menghasilkan suatu rumusan kebijakan pengembangan hasil penelitian bidang Iptek bagi sektor-sektor pembangunan yang menjadi prioritas daerah.
1.3. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan yang penulis angkat dalam kajian ini adalah lemahnya kebijakan rambu-rambu teknologi nasional. Artinya, kurang optimalnya koordinasi dan sinergi antar instansi dimana kebijakan teknologi bukan milik domain dari satu kelembagaan saja ataupun milik lembaga litbang saja, tapi terkait pula dengan kebijakan-kebijakan di instansi lain, seperti departemen teknis. Merancang suatu kebijakan teknologi tanpa dukungan atau keterlibatan departemen teknis, praktis kebijakan tersebut tidak akan dapat berfungsi. Permasalahan lain adalah pada kelangsungan suatu kebijakan dan/atau program teknologi. Tidak seperti banyak kebijakan di bidang lain, pada umumnya kebijakan teknologi nasional bersifat jangka panjang, mungkin hasilnya baru dapat terlihat dalam lima atau sepuluh tahun bahkan mungkin lebih. Untuk itu, semestinya konsistensi kebijakan teknologi yang tidak tergantung pada siklus pemerintahan sangat diperlukan. 1.4. Tujuan Tujuan penulisan pada makalah ini adalah untuk memberikan opsi pemikiran terkait kebijakan teknologi dalam menggalang hubungan kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan, masyarakat ilmiah dan masyarakat lain agar secara harmonis dapat memadukan proses-proses pertambahan nilai yang ada di kegiatan usaha, kegiatan litbang dan kegiatan pendidikan, serta mempertajam perkembangan faktor-faktor yang diperlukan untuk mengkonsolidasikan pendayagunaan dan pengembangan sumber daya yang dimiliki secara optimal, sehingga pencapaian tujuan pembangunan iptek yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan secara sistematis dan efektif. 313
2. KERANGKA PEMIKIRAN Menyadari bahwa teknologi merupakan faktor strategik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemampuan bersaing di era global maka kebijakan teknologi nasional mestinya perlu mendapat tempat dalam mempengaruhi dan memberi arah rencana pembangunan bagi bangsa Indonesia di masa depan. Optimisasi kebijakan ini merupakan obsi pokok-pokok pemikiran dalam kerangka dimensi sebagai berikut : Pertama: Mempertemukan sasaran pengembangan sumberdaya manusia (sektor pendidikan) dengan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh berbagai sektor pembangunan. Mengembangkan pusat-pusat keunggulan teknologi maju dan meningkatkan peran dan pengharagaan bagi peneliti sebagai "technology gatekeepers". Kedua: Memilih teknologi yang cocok guna eksploitasi sumberdaya alam seperti tanah, air, hutan, gas, bahan tambang, dan lainnya, termasuk mempertimbangkan dampak teknologi yang dipakai terhadap lingkungan, estimasi kemungkinan daur ulang secara alamiah, penentuan dampak atas pembangunan wilayah, nilai investasi dan penyerapan tenaga kerja. Ketiga, Mencari aspek keunggulan komparatif maupun kompetitif bagi bidang usahausaha tertentu, ditinjau dari sisi besaran kandungan teknologi yang melekat pada barang dan jasa yang diperdagangkan (ekspor dan impor), agar diperoleh neraca perdagangan yang positif. Keempat, Mengintegrasikan kebijakan sektor-sektor yang terkait. Menyatukan visi serta komitmen berbagai disiplin dan keahlian dari perpektif bahwa teknologi dan penguasaan teknologi merupakan sumberdaya yang sangat penting. 3. ANALISIS KEBIJAKAN 3.1. Peranan Iptek Dalam Meningkatkan SDM Memperhatikan permasalahan tersebut, maka dalam memacu perkembangan teknologi, Indonesia perlu belajar dari Korea Selatan, antara lain mempelajari kebijaksanaan, koordinasi dan promosi iptek, pembentukan Korea Institute of Science and Technology, information clearing house, pembentukan quality control and instrument calibration service centre sebagai cikal bakal Korea Standard Research Institute, pembentukan Korea Advanced Institute of Corporation, Korea Development Investment Corporation, Korea Technology Finance Corporation, perkembangan yang pesat kegiatan litbang oleh industri, dan dukungan peraturan perundang-undangan. Seperti yang kita ketahui, teknologi kini telah merembes dalam kehidupan kebanyakan manusia bahkan dari kalangan atas hingga menengah ke bawah sekalipun. Dimana upaya tersebut merupakan cara atau jalan di dalam mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat martabat manusia. Atas dasar kreatifitas akalnya, manusia mengembangkan iptek dalam rangka mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dimana dalam pengembangan iptek harus didasarkan terhadap moral dan kemanusiaan yang adil dan beradab, agar masyarakat mengecam iptek secara merata. Begitu juga diharapkan Sumber Daya Manusia (SDM) bisa lebih baik lagi, apalagi banyak kemudahan yang kita dapatkan. Namun, berbanding terbalik dengan realita yang ada karena semakin canggih perkembangan teknologi, telah membuat masyarakat menjadi malas yang disebabkan oleh 314
kemudahan-kemudahan yang ada tersebut. Ambil saja salah satu contoh perkembangan iptek di bidang telekomunikasi dimana zaman dahulu handphone itu sangat langka karena harganya yang mahal berbeda dengan sekarang harga handphone sudah sangat murah dan menjangkau lapisan menengah ke bawah. Disatu sisi telah terjadi perkembangan yang sangat baik sekali di aspek telekomunikasi, namun pelaksanaan pembangunan iptek masih belum merata. Masih banyak masyarakat kurang mampu yang putus harapannya untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi tersebut. Hal itu dikarenakan tingginya biaya pendidikan yang harus mereka tanggung. Maka dari itu, pemerintah perlu menyikapi dan menanggapi masalah-masalah tersebut dalam suatu kebijakan, agar peranan iptek dapat bertujuan untuk meningkatkan SDM yang ada. Peradaban bangsa dan masyarakat dunia di masa depan sudah dipahami dan disadari akan berhadapan dengan situasi serba kompleks dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, sebut saja antara lain: cloning, cosmology, cryonics, cyberneties, exobiology, genetic, engineering dan nanotechnology.Cabang-cabang iptek itu telah memunculkan berbagai perkembangan yang sangat cepat dengan implikasi yang menguntungkan bagi manusia atau sebaliknya. Untuk mendayagunakan iptek diperlukan nilai-nilai luhur agar dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan 4 (empat) nilai luhur pembangunan Iptek Nasional, yaitu: 1. Accountable, penerapan Iptek harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral, lingkungan, finansial, bahkan dampak politis 2. Visionary, pembangunan Iptek memberikan solusi strategis dan jangka panjang, tetapi taktis dimasa kini, tidak bersifat sektoral dan tidak hanya memberi implikasi terbatas. 3. Innovative, asal katanya adalah “innovere” yang artinya temuan baru yang bermanfaat. Nilai luhur pembangunan Iptek artinya adalah berorientasi pada segala sesuatu yang baru, dan memberikan apresiasi tinggi terhadap upaya untuk memproduksi inovasi baru dalam upaya inovatif untuk meningkatkan produktifitas. 4. Excellence, keseluruhan tahapan pembangunan Iptek mulai dari fase inisiasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, implikasi pada bangsa harus baik, yang terbaik atau berusaha menuju yang terbaik. Pesatnya kemajuan Iptek memerlukan penguasaan, pemanfaatan, dan kemajuan Iptek untuk memperkuat posisi daya saing Indonesia dalam kehidupan global. Sebaliknya, dampak perkembangan iptek di Indonesia, disamping bermanfaat untuk kemajuan hidup juga memberikan dampak negatif. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan iptek untuk menekan dampaknya seminimal mungkin, antara lain : 1. Menjaga keserasian dan keseimbangan dengan lingkungan setempat. 2. Teknologi yang akan diterapkan hendaknya betul-betul dapat mencegah timbulnya permasalahan di tempat itu. 3. Memanfaatkan seoptimal mungkin segala sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Selain menekan dampak seminimal mungkin, maka dampak lainnya meliputi : a. Penyediaan Pangan Perkembangan iptek dalam bidang pangan dimungkinkan karena adanya pendidikan, penelitian dan pengembangan di bidang pertanian terutama dalam peningkatan produktivitas melalui penerapan varitas unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pola tanaman dan pengairan. Namun di sisi lain 315
perkembangan tersebut berdampak fatal, misalkan saja penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama ternyata dapat menyebabkan penyakit dalam tubuh manusia. b. Penyediaan Sandang Pada awalnya bahan sandang dihasilkan dari serat alam seperti kapas, sutra, wol dan lain-lain; Perkembangan teknologi matrial polimer menghasilkan berbagai serat sintetis sebagai bahan sandang seperti rayon, polyester, nilon, dakron, tetoron dan sebagainya; Kulit sintetik juga dapat dibuat dari polimer termoplastik sebagai bahan sepatu, tas dan lain-lain; Teknologi pewarnaan juga berkembang seperti penggunaan zat azo dan sebagainya. c. Penyediaan Papan
Teknologi papan berkaitan dengan penyediaan lahan dan bidang perencanaan seperti city planning, kota satelit, kawasan pemukiman dan sebagainya yang berkaitan dengan perkembangan penduduk;
Awalnya bahan pokok untuk papan adalah kayu selanjutnya dikembangkan teknologi material untuk mengatasi kekurangan kayu;
Untuk mengatasi kekurangan akan lahan dikembangkan teknologi gedung bertingkat, pembentukan pulau-pulau baru, bahkan tidak menutup kemungkinan pemukiman ruang angkasa.
d. Peningkatan Kesehatan
Perkembangan Imu Kedokteran seperti : ilmu badah dan lain-lain;
Penemuan alat-alat kedokteran seperti : stetoskup, USG, dan lain-lain;
Penemuan obat-obatan seperti anti biotik, vaksin dan lain-lain;
Penemuan radio aktif untuk mendeteksi penyakit secara tepat seperti tumor dan lainlain;
Penelitian tentang kuman-kuman penyakit dan lain-lain.
e. Penyediaan Energi
Kebutuhan akan energi;
Sumber-sumber energi;
Sumber energi konvensional tak dapat diperbaharui;
Sumber energi pengganti yang tak habis pakai;
Konversi energi dari satu bentuk kebentuk yang lain.
3.2. Perlindungan Terhadap Teknologi Masyarakat Dewasa ini banyak kalangan ramai membicarakan masalah teknologi tradisional sebagai aset bangsa dan bagaimana upaya perlindungannya, padahal aset bangsa ini dapat diberdayakan potensinya secara ekonomis. Latar belakang pemikiran ini muncul ketika gelagat orang-orang asing yang datang ke negeri ini dengan berbagai bendera berupaya 316
melakukan praktik pengadopsian terhadap teknologi tradisional, dan ironisnya produk lokal patennya dimiliki negara lain. Teknologi tradisional, dalam istilah asing lebih popular dikenal sebagai “indigenous knowledge”, diidentifikasikan sebagai teknologi yang menggunakan cara-cara atau metode yang sederhana, serta tidak dihasilkan melalui pola penelitian ilmiah yang mengacu pada teori-teori moderen. Teknologi ini tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman dalam kurun waktu yang panjang, sehingga lebih merupakan kebiasaan dalam kelas masyarakat tertentu. Sering dicontohkan ke dalam kategori indigenous knowledge ini seperti teknologi proses fermentasi tempe, teknologi pembatikan,teknologi pengolahan rotan, pengetahuan tentang pengobatan tradisional, dan pengetahuan tentang bercocok tanam. Oleh karena teknologi masyarakat tersebut sudah larut dalam kebiasaan hidup masyarakatnya, maka seringkali sulit munculnya pemikiran baru dalam masyarakat itu untuk melakukan perubahan-perubahan yang mengarah pada pembaharuan dan hal ini bukanlah merupakan proses yang sederhana. 1. Aspek Perlindungan Pada masyarakat moderen, seperti halnya di Amerika Serikat, tumbuh dan berkembang pemahaman tentang pentingnya aspek pengamanan terhadap informasi di bidang Iptek. Di negeri adidaya ini sudah merupakan rahasia umum bahwa informasi Iptek tidak seluruhnya diungkap ke luar. Setidak-tidaknya 20 persen tetap dirahasiakan sebagai upaya strategis mempertahankan dominasi dalam penguasaan Iptek. Kemampuan suatu negara dalam bidang Iptek akan menentukan bagaimana negara tersebut dapat berperan aktif dalam perkembangan dunia. Hanya negara yang Ipteknya telah maju saat ini bisa mengambil peran dalam pergaulan internasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, strategi, pertahanan keamanan maupun budaya (Parangtopo, 1998). Dalam konteks ini, maka kepentingan kita sebagai negara berkembang terhadap upaya perlindungan informasi yang berkaitan dengan indigenous knowledge adalah rasional. Hanya persoalannya adalah sejauhmana keinginan masyarakat atas dasar pemahaman dan kesadaran terhadap pentingnya melindungi teknologi atau pengetahuan tradisional dari upaya pencurian oleh bangsa asing atau oleh orang Indonesia sendiri yang dimanfaatkan bagi kepentingan negara asing. Pada era pembangunan Iptek dewasa ini, perhatian terhadap teknologi masyarakat didukung kuat dengan program sosialisasi. Ini sangat penting mengingat upaya pengembangan teknologi masyarakat akan selalu bersentuhan dengan aspek minat masyarakat terhadap perubahan itu sendiri. Melalui kegiatan sosialisasi minat itu diharapkan mampu terwujud dengan membangun persepsi di kalangan masyrakat tentang arti pentingnya pengembangan teknologi masyarakat dan upaya perlindungannya. Paling tidak nantinya dapat dijadikan perisai guna menangkal pencurian oleh bangsa asing di era globalisasi. Pada kelas masyarakat tertentu seringkali banyak ditemukan suatu kemampuan teknologi tradisional yang dapat memberikan kontribusi terhadap suatu kemitraan riset yang dilakukan dengan pihak asing, tetapi seringkali tidak disadari bahwa teknologi tradisional tersebut sebagai aset nasional, dalam sekejap dapat beralih ke negara lain melalui kemitraan tersebut. Hal ini seringkali kurang dipahami oleh kalangan pelaku kemitraan yang mewakili Indonesia (kelembagaan riset nasional/Perguruan Tinggi), bahwa kegiatan riset yang dilakukan oleh pihak asing berdasarkan kemitraan yang sedemikian rupa, sering mengarah pada eksploitasi teknologi masyarakat yang telah ada dan dikuasai sejak lama oleh masyarakat tradisional tertentu di Indonesia. Oleh mitra asing kemudian dibawa secara taktis, lalu dikembangkan di negaranya dan didaftarkan sebagai penemuan baru yang dilindungi dalam sistem paten. 317
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kegiatan pemindahan informasi mengenai teknologi tradisional dari masyarakat kepada orang asing, antara lain: (1) Kelemahan posisi lembaga-lembaga riset/Perguruan tinggi dalam kemitraan di bidang penelitian dengan lembaga luar negeri, khususnya mengenai klaim atas hasil-hasil penelitian, (2) Sifat keterbukaan masyarakat yang kurang taktis, (3) Sikap bangga ditiru, (4) kelemahan lembaga-lembaga riset dalam pengawasan/pemantauan terhadap kegiatan penelitian oleh orang asing di Indonesia. 2. Upaya Yang Perlu Ditempuh Upaya-upaya yang perlu ditempuh dalam rangka memberikan perlindungan terhadap pengetahuan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomis, adalah melalui hal-hal sebagai berikut: (1) Penyebarluasan informasi mengenai teknologi masyarakat secara terbuka dan teratur, (2) Dilakukan pengembangan sebagai langkah inovatif hingga ditemukan unsur-unsur kebaharuan yang berpotensi paten, (3) Pengawasan yang ketat namun fair terhadap kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia. Sebenarnya telah ada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 100 Tahun 1993 tentang Ijin Penelitian Bagi Orang Asing, dan hingga sekarang Keppres tersebut masih tetap berlaku. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mengupayakan agar setiap kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia selalu dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga penelitian yang bertanggungjawab terhadap hal tersebut, sehingga dapat secara langsung memantau kepentingan nasional atas hasil-hasil penelitian yang dilakukan orang asing. Rendahnya permohonan pendaftaran paten di Indonesia ini dapat disebabkan oleh paling tidak dua hal, yakni bangsa Indonesia memang bukan bangsa inovator atau informasi tentang paten sangat minim. Dari dua kemungkinan tersebut, rasanya sangat tidak mungkin bangsa Indonesia tidak kreatif dan inovatif. Hanya saja mereka tidak mempatenkan penemuannya tersebut, dan sekarang kita tinggal gigit jari menyesal karena tempe sebagai temuan anak negeri ternyata telah dimiliki patennya oleh Jepang. Dengan demikian, kemungkinan kedualah yang menjadi penyebab minimnya permohonan pendaftaran paten di Indonesia. Hal ini disebabkan minimnya informasi bagi masyarakat, termasuk para inovator, tentang temuan apa saja yang sudah dipatenkan dan bagaimana cara mempatenkan temuannya. Bayangkan, karena minimya informasi, seorang inovator berani melakukan penelitian atas suatu alat tertentu dengan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Apa yang terjadi? Karena si peneliti tidak melakukan searching terlebih dahulu, ternyata alat tersebut sudah dipatenkan di negara lain, maka praktik semacam ini sebagai trial and error yang “mubadzir” karena percobaan penelitian yang “ngawur”. Ada anggapan bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bertentangan dengan perlindungan usaha nasional terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Walaupun anggapan ini tidak seluruhnya salah, namun dari pemikiran positif bahwa penerapan HKI diharapkan akan membantu UKM untuk mengamankan hasil-hasil inovasi dan penemuannya walaupun sifatnya hanya “paten sederhana”. Pengalaman menunjukkan banyak sekali hasil-hasil UKM dari negeri kita dipatenkan oleh negara lain seperti Batik oleh Jepang, belum lagi Wayang Kulit, Tari Bali, dan lain-lain. Padahal yang tertera dalam UU No.12 Tahun 1997 tentang perubahan UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, menunjukkan bahwa tanpa didaftarkanpun hak cipta merupakan hak intelektual dari pembuat. Sosialisasi mengenai kegunaan paten, prosedur pendaftaran, informasi paten yang telah ada diharapkan akan banyak membantu peneliti dan perekayasa agar dapat menciptakan penemuan-penemuan baru tanpa mengulang penemuan yang telah ada atau soft copy. Kita ketahui bersama bahwa untuk mencapai suatu hasil penemuan 318
dibutuhkan biaya yang cukup besar. Dengan mengetahui penemuan yang telah ada, maka kita tidak perlu lagi mengulang penelitian yang telah ada patennya. Sebagai ide, kita bisa melihat kondisi dunia yang lagi krisis bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, maka kreativitas dapat kita gali melalui temuan energi terbarukan guna mengganti energi minyak bumi (Hadi, 2009). Kita ketahui bersama bahwa pendaftaran HKI berada di bawah wewenang Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, namun sosialisasi mengenai prosedur dan persyaratan HKI berada pada lembaga maupun Depatemen Teknis Pemerintah. Kenyataannya lembaga yang melakukan sosialisasi HKI belum berjalan optimal, terutama hal ini berkaitan dengan peranan Perguruan Tinggi. Pembangunan Pusat Informasi Paten diperlukan untuk memberikan informasi yang aktual terhadap paten yang telah ada serta prosedur pendaftaran paten baru. Sosialisasi pentingnya HKI khususnya paten akan sangat berguna bila lebih dini diperkenalkan pada jenjang pendidikan lebih rendah seperti: SMA dan Perguruan Tinggi. Dalam hal ini, peranan Sentra HKI di Perguruan Tinggi harus ada dan pro aktif eksistensinya. Sedangkan LIPI dan BPPT dapat dijadikan suatu lembaga Pusat Informasi Paten agar dapat mempercepat pemasyarakatan paten di Indonesia. 3.3. Kedudukan Kebijakan Teknologi dan Masa Depan Bangsa Untuk menjelaskan kedudukan kebijakan teknologi di Indonesia dan bagaimana arah ke masa depan, hal ini tampaknya perlu kilas balik beberapa dekade ke belakang. Mengalirnya investasi asing pada dekade 70-an menimbulkan bengkaknya pinjaman luar negeri, meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi yang juga meningkatkan biayabiaya bagi pengadaan paket-paket teknologi dan besarnya pembiayaan atas bantuan teknis, biaya konsultan dan tenaga ahli asing, biaya paten dan royalti, sehingga dicatat sebagai defisit dalam neraca transaksi jasa di Bank Indonesia. Kilas balik perkiraan kasar pada awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I, sekitar 15 persen dari anggaran pembangunan digunakan untuk pengadaan teknologi. Selain itu, di lingkungan internasional paradigma dorongan Iptek masih kuat dianut, dimana paradigma tersebut meyakini bahwa penciptaan barang dan jasa merupakan hasil rangkaian kegiatan linier yang berawal dari penelitian pengembangan, desain, rekayasa dan produksi. Dengan dasar di atas, kebijakan Iptek sampai awal dekade 80-an sebagai tahap permulaan adalah perluasan dan penumbuhan kelembagaan Iptek serta peningkatan kapasitas dan tingkat kelulusan lembaga pendidikan tinggi, dengan isu utama sentralisasi sumber daya (pooling resources) untuk mencapai critical mass dan kebijakan Iptek masih merupakan turunan dari kebijakan ekonomi. Bila kita petakan lebih lanjut, maka perkembangan kebijakan berikutnya adalah tahap konsilidasi kelembagaan dan kegiatan dengan isu penting adalah linkages atau keterkaitan antara lembaga Iptek dengan industri, demikian kebijakan ekonomi masih sebagai prime mover. Oleh karena itu, mulai pertengahan dekade 80-an kebijakan teknologi berkembang tidak terbatas pada penumbuhan sisi supply tetapi juga menumbuhkan sisi demand. Kebijakan teknologi menjadi terkait erat dengan kebijakan industri dimana industri berbasis teknologi didukung perkembangannya. Tahap selanjutnya adalah kebijakan teknologi harus mampu menjadi prime mover perekonomian dimana teknologi sebagai sumber daya saing dan menjadi aset penting dalam perekonomian (knowledge based economy). Terkait difusi teknologi, dalam era ekonomi terbuka sekarang ini, kebijakan teknologi harus mengarah pada alih pengetahuan dan alih keterampilan dalam perusahaanperusahaan asing, artinya bukan hanya mendatangkan produk-produk luar negeri saja tetapi juga meningkatkan peluang masuknya investasi asing untuk pengembangan sistem 319
produksi di Indonesia. Perkembangan yang demikian sangat perlu dicermati mengingat adanya peluang hasil produksi Indonesia untuk ekspor sebagai akibat jaringan yang dibawa oleh investor asing tersebut. Tetapi, investor asing ini juga membawa potensi teknologi baru atau teknologi yang terkini dalam proses produksi. Oleh karena itu, dari perspektif kebijakan teknologi, tantangan utamanya adalah bagaimana mendorong terjadinya alih pengetahuan dan alih keterampilan dalam perusahaan-perusahaan asing tersebut melalui proses difusi teknologi yang tepat sekaligus meningkatkan proses inovasi di dalam negeri. 4. KESIMPULAN Dengan memperhatikan perkembangan dan kemajuan jaman dengan sendirinya pemanfaatan dan penguasaan iptek mutlak diperlukan untuk mencapai kesejahteraan bangsa. Visi dan misi iptek dirumuskan sebagai panduan untuk mengoptimalkan setiap sumber daya iptek yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diberlakukan sejak 29 Juli 2002, merupakan penjabaran dari visi dan misi iptek sebagaimana termaksud dalam UUD 1945 Amandemen pasal 31 ayat 5, agar dapat dilaksanakan oleh pemerintah beserta seluruh rakyat dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perkembangan iptek di berbagai bidang semestinya dapat meningkatkan kualitas SDM di tengah munculnya dampak negatif dari adanya perkembangan iptek, sehingga diperlukan pemikiran yang serius dan mantap dalam menghadapi permasalahan dalam penemuan-penemuan baru tersebut. Adanya pergeseran-pergeseran paradigma dalam area kebijakan teknologi menegaskan bahwa kebijakan yang diambil selalu harus dilihat dalam konteks saat kebijakan tersebut diputuskan. Peran pemerintah sebagai penentu kebijakan makin penting. Perumusan kebijakan pemerintah dalam era partisipasi dan desentralisasi ini makin mempersyaratkan dukungan ilmiah melalui kajian-kajian kebijakan secara sistematis. Beranjak dari sini, perlu diserasikan langkah bersama menuju penguasaan teknologi dan menjadikannya sebagai tujuan pembangunan sekaligus sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan. Saatnya kini untuk lebih menyadari, bahwa kebijakan teknologi yang terkait dengan berbagai sektor dalam program pembangunan, sangat diperlukan guna menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang lebih baik. Dalam rangka mengembangkan teknologi nasional, para ahli berbagai bidang di Indonesia saatnya bersatu padu. Mulai melepaskan arogansi keilmuan masing-masing atau menghentikan antipati berdasarkan sudut pandang sempit, apalagi dari sudut perbedaan ideologis dan politis terhadap pengambil keputusan dalam program pengembangan potensi sumberdaya teknologi dalam negeri. Komitmen bersama sangat diperlukan untuk melahirkan kebijakan teknologi yang komprehensif dan integratif. REFERENSI Djajusman Hadi (2009),Quo Vadis Hak Kekayaan Intelektual. Surabaya : Harian Surya. Pokok-pokok pengarahan Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT/Kepala BPIS pada Rakornas Ristek XII tanggal 22 Mei 1994. Ginandjar Kartasasmita (1993),Pemanfaatan, Pengembangan, dan Penguasaan Iptek: Beberapa Pokok Pikiran Untuk Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan Konsep Kemitraan Iptek. Jakarta, 13 desember 1993. Komarudin (1994),Pokok-Pokok Pemikiran Sistem Iptek Nasional, Sebuah Catatan Dari Rakornas Ristek XII. Jakarta : BPPT. 320
Muhammad Ridwan (1994), Ulasan Terhadap Makalah Sistem Iptek Nasional. Rakornas Ristek XII. Jakarta : BPPT. Ramelan R. (2004),Pengembangan Industri Energi Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta : KNI-WEC. Taufik Ahmad (2007),Penguasaan dan Kebijakan Teknologi. Jakarta : Jurnal Nasional
321
INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI DALAM BUDIDAYA TANAMAN PADI RAMAH LINGKUNGAN MELALUI BIOBAKTERISIDA BERBASIS Bacillus sp. B1 Heru Adi Djatmiko dan Achmad Iqbal
[email protected];
[email protected] Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRACT Bacterial leaf blight is one of the dangerous disease of rice. Loss caused by the disease in Indonesia reaches 70-80%, whereas in India is 6% -60% and Japan reach 20% -50%, thus causing great losses in the economy. The research objective tostudy the source ofliquidnutritionformula, study survivalBacillusspp. B1derivedfromriceleavesinliquidformula, andgetbiopestidida-based
liquidformulaBacillusspp. B1 the bestto managebacterialleaf blightinrice in the field. The resultsshowedthat thesource ofnutritioncontainingpotatoextractmoisture content, ash content, fat content, protein, carbohydraterespectively94.35%, 0.84%, 0.19%, 0.54%, 4.08%; extractpotatosugar92.17%, 0.97%, 0.23%, 0.15%, 6.39%; coconutwater97.025%, 0.23%, 0.082%, 0.071%, 2.597%. Bacillusspp. B1derivedfromriceleavesonpotatoextractliquidformulasugar+ 0.25% yeastextract+1% CMChadthe survivaluntil 6weekswith apopulation of370.71013cfu/ml. Biopestidida-based liquidformulaBacillusspp. B1the bestin suppressingbacterialleaf blight, enhancegrowth, and yieldin ricein the fieldisH treatmentwith the composition ofpotato extractsugar+0.25% yeastextract+1% CMC. 1. PENDAHULUAN Padi merupakan komoditas yang sangat penting karena menjadi bahan makanan pokok penduduk Indonesia (Abdullah, 2002). Pentingnya tanaman padi sebagai bahan makanan pokok tersebut menuntut adanya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap beras sebagai hasil dari tanaman padi (Husodo, 2004). Beras diperkirakan menyumbangkan 60%-80% kalori dan 45%-55% protein dalam konsumsi gizi penduduk (Abdullah, 2002). Menurut Papanek (2005), nilai gizi yang diperlukan oleh setiap orang dewasa adalah 1821 kalori yang apabila disetarakan dengan beras, maka setiap hari diperlukan beras sebanyak 0,88 kg. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan produksi padi. Produksi padi tahun 2006 diperkirakan sebesar 54,66 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Kenaikan produksi padi tahun 2006 didasarkan pada kenaikan luas panen sekitar 16 juta hektar (0,13%) dan juga peningkatan produktivitas sebesar 0,37 kw/ha (0,81%). Peningkatan luas panen terutama terjadi di luar Jawa sebanyak 14 ribu ha (0,23%), sementara di Jawa hanya bertambah sekitar 2 ribu ha (0,03%) (BPS, 2006). BPS (2008) merilis angka ramalan produksi padi 2008 sebanyak 59,8 juta ton atau naik 4,8% dibanding angka tetap 2007 yang mencapai 57,2 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 2,7 juta ton GKG. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen 322
sebesar 237 ribu ha atau 1,96 lebih luas dari panen 2007 (12,15 juta ha) serta kenaikan produktivitas padi sebesar 1,3 kw/ha atau 2,76% lebih tinggi dari produktivitas 2007. Menurut Gaybita (2010), produksi padi tahun 2008 yaitu 4,89 ton/ha. Peningkatan produksi padi menemui banyak kendala di antaranya adanya penyakit hawar daun bakteri (Tjubarjat et al., 1999; Suparyono et al., 2004; Kadir, 1999; Yashitola et al., 1997; Srinivasan dan Gnanamanickam, 2005), logam berat yaitu Na, Cd, Cr, Cu, Co, dan Zn (Anonim, 2005). Salah satu penyakit utama padi sawah di Indonesia dan negara Asia adalah hawar daun bakteri atau kresek yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae Ishiyama Dye (Kadir, 1999; Mundt et al., 1999; IRRI, 2003, Suparyono et al., 2004; Vikal et al., 2007; dan Onasanya et al., 2009). Kehilangan yang diakibatkan oleh penyakit tersebut di Indonesia mencapai 70-80% (Kadir, 1999), di India mencapai 74%-81%( Srinivasan dan Gnanamanickam, 2005), Jepang mencapai 20%-50% (IRRI, 2003), dan Nigeria mencapai 50-90% (Sere et al., 2005), sehingga menyebabkan kerugian yang besar secara ekonomi (Yasin et al., 2005). Berbagai upaya pengendalian penyakit hawar daun bakteri telah dilakukan di antaranya dengan antibiotik oxytetracycline, streptomycin, dan chloramphenicol (Khan et al., 2005); peramalan (Liu et al., 2006); sanitasi (IRRI, 2003); dan kombinasi antagonis Pantoea agglomerans, Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus subtilis AS (Babu dan Thind, 2005), dan varietas tahan (Djatmiko dan Fatichin, 2007). Pengendalian tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan karena X. oryzae pv. oryzae mempunyai inang yang banyak yaitu Leersia sayanuka, L. oryzoides, L. japonica, Leptochola chinensis, L. filiformis, L. panicea, Cyperus rotundus, C. difformis, Oryza rifopogon, dan O. australiensis (IRRI, 2003). Selain inang yang banyak, X. oryzae pv. oryzae mempunyai tingkat keragaman patotipe tinggi yang disebabkan oleh lingkungan, varietas yang digunakan, dan tingkat mutabilitas gen yang tinggi (Keller et al., 2000). X. oryzae pv. oryzae membentuk patotipepatotipe baru di lapang sejalan dengan perkembangan penggunaan varietas padi. Perbedaan virulensi antara X. oryzae pv. oryzae dari berbagai daerah merupakan manifestasi kedinamisan interaksi antara inang dan patogen yang dapat dibedakan menjadi varietas diferensial dan kelompok patotipe patogen. Seiring dengan meluasnya penanaman padi varietas IR 64 yang rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri menyebabkan kelompok patotipe baru yang menjadi dominan di suatu wilayah, sehingga ditahun 1999 telah berkembang menjadi 12 kelompok patotipe dengan tingkat virulensi yang berbeda (Kadir, 1999). Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa di daerah pertanaman padi (Banjarnegara, Purbalingga, dan Purwokerto) terserang berat oleh X. oryzae pv. oryzae hingga mencapai 45% dan sampai saat ini patotipe dan genotipenya belum diketahui (Djatmiko dan Fatichin, 2007). Hasil penelitian Djatmiko dan Prakoso (2008) menunjukkan bahwa adanya perbedaan keragaman genetik X. oryzae pv. oryzae yang berasal dari berbagai ketinggian tempat. Selanjutnya menurut Djatmiko et al. (2009), bahwa dari 18 isolat yang diuji di daerah Barlingmascakeb ditemukan patotipe I, II, dan X yang mempunyai keragaman genetik berdasarkan PCR-RAPD, sehingga mempengaruhi struktur populasi patogen (Gupta et al., 2001). Berdasarkan pemikiran di atas, maka diperlukan penelitian tentang kajian biopestisida Bacillus spp. dalam pengelolaan penyakit hawar daun bakteri, peningkatan pertumbuhan dan hasil pada tanaman padi. Penggunaan biopestisida tersebut sebagai salah satu alternatif menggantikan pengendalian secara kimia yang mempunyai dampak negatif terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan, harganya mahal, dan bersifat akumulatif dalam tanaman (Nagorska et al., 2007). Penggunaan biopestisida Bacillus spp. sangat menguntungkan karena ramah lingkungan dan mendukung ketahanan pangan karena pertumbuhannya cepat, mudah diperoleh, dan agresif mengkoloni akar dan daun (Vasudevan et al., 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa biopestisida formula cair yang berbasis Bacillus spp. digunakan untuk menekan penyakit hawar daun bakteri melalui perlakuan biji sebelum tanam, pencelupan akar pada waktu pemindahan tanaman, dan 323
penyemprotan daun padi dapat menurunkan sampai lebih dari 59% (Vasudevan et al., 2002). Isolat yang akan digunakan dalam peneltian ini adalah isolat Bacillus spp. B1 yang diperoleh dari penelitian sebelumnya yang berasal dari daun padi (Djatmiko dan Suharti, 2010). Tujuan penelitian ini ada tiga, antara lain: 1. Mengkaji sumber nutrisi formula cair. 2.Mengkaji daya tahan isolat Bacillus spp. B1 yang berasal dari daun padi pada formula cair. 3. Mendapatkan biopestidida formula cair berbasis Bacillus spp. B1 yang paling baik dalam mengelola penyakit hawar daun bakteri, meningkatkan pertumbuhan dan hasil pada tanaman padi di lapangan. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan di Laboratorium Perlindungan Tanaman dan lapangan di wilayah Kabupaten Banyumas yang merupakan daerah endemi penyakit hawar daun bakteri. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman padi varietas Situbagendit, medium PSA(Peptone Sucrose Agar), medium YPGA, CMC 1%, buffer fosfat + 0,1% pepton, Yeast extract, air steril, air kelapa, ekstrak kentang, ekstrak kentang gula. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan petri, tabung reaksi, spatula drigalski, jarum Ose, tabung reaksi, erlenmeyer, jarum suntik, gunting, vorteks, kertas aluminium foil, kapas, label, kantong plastik, lampu bunsen, kamera, autoklaf, oven, inkubator, mikropipet, drigen, penangas air berpenggoyang, Laminar Air Flow (LAF), timbangan elektrik, Tissu, Hand Sprayer, kamera digital, sentrifus, alat tulis, Kotak sampel, dan korek api. Penelitian ini terdiri dari beberapa sub penelitian yang akan dilakukan selama 6 bulan. Pada tahap pertama, determinasi sumber nutrisi formula cair; tahap kedua, daya tahan Bacillus spp. B1dalam formula cair; tahap ketiga, penyalutan formula cair pada benih padi; tahap keempat, uji biopestisida Bacillus spp. B1 cair pada tanaman padi di lapangan. Penelitian tahap pertama sampai kelima mengikuti alur sebagai berikut: 1. Determinasi sumber nutrisi formula cair Masing-masing bahan formula (air steril, air kelapa, ekstrak kentang, dan ekstrak kentang gula) dianalisis kandungan nutrisinya. 2. Daya tahan Bacillus sp. B1 dalam formula cair Daya tahan Bacillus sp. B1 dilakukan dengan cara bahan pembawa ditambahkan aditif dan CMC 1%, dimasukkan dalam erlenmeyer, kemudian disterilkan dalam autoclave. Bahan pembawa, aditif, dan CMC 1% tersusun sebagai berikut: Fo : Air steril F1 : Air kelapa F2 : Ekstrak kentang F3 : Ekstrak kentang gula F4 : Air steril + 0,25% yeast extract + Carboxy-Methyl-Cellulose (CMC) 1% F5 : Air kelapa + 0,25% yeast extract+ CMC 1% 324
F6 : Ekstrak kentang + 0,25% yeast extract+ CMC 1% F7 : Ekstrak kentang gula + 0,25% yeast extract+ CMC 1% Populasi Bacillus spp. B1 diamati selama 6 minggu. 3. Penyalutan formula cair pada benih padi Penyulutan pada benih padi dilakukan dengan cara formula cair yang sudah ditambahkan Bacillus spp. B1 disalutkan pada benih padi. Uji viabilitas benih yang sudah disalut dengan formula dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.
Benih yang sudah disalut dengan formula ditempatkan pada cawan petri yang sudah diberi kertas saring basah, dengan jumlah ulangan 4 masing-masing 100 benih padi.
b.
Pengamatan viabilitas dengan cara mengamati daya kecambah padi yang dilakukan selama 10 hari.
c.
Benih mempunyai viabilitas baik bila daya kecambahnya lebih atau sama dengan 95%.
Uji viabilitas Bacillus spp. B1 dilakukan dengan cara menghitung populasi agens tersebut pada interval waktu tertentu. Benih yang tersalut dengan formula disimpan dalam suhu kamar. Dinamika populasi Bacillus spp. B1 diamati dengan interval waktu 1 minggu. Sepuluh butir benih padi yang telah diselimuti dengan berat tertentu dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml 0,1 M buffer fosfat pH 7 + 0,1% pepton. Tabung reaksi kemudian digojok selama 5 menit, suspensi bagian atas diambil 1 ml dan dilakukan seri pengenceran. Tiap pengenceran diambil 0,1 ml dan ditumbuhkan pada medium YPGA dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan pada suhu kamar selama 48 jam. Populasi Bacillus spp. B1dihitung dalam satuan cfu/bbko (bobot benih kering oven). 4. Uji biopestisida Bacillus sp. B1 formula cair pada tanaman padi di lapanga Uji biopestisida Bacillus spp. B1 formula cair pada tanaman padi di lapang dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan diulang sebanyak 10 kali. Perlakuan yang dicoba yaitu: A : Air steril B : Air kelapa C : Ekstrak kentang D : Ekstrak kentang gula E : Air steril + 0,25% yeast extract + Carboxy-Methyl-Cellulose (CMC) 1% F : Air kelapa + 0,25% yeast extract+ CMC 1% G : Ekstrak kentang + 0,25% yeast extract+ CMC 1% H : Ekstrak kentang gula + 0,25% yeast extract+ CMC 1% K : Kontrol Luas petak percobaan 4 x 4 m2 dan jarak tanaman 25 x 40 cm2. Tempat penanaman padi dilakukan di daerah endemik penyakit hawar daun bakteri. Pelaksanaan percobaan yaitu: a. Penyalutan benih padi IR 64 sesuai dengan perlakuan dengan Biopestisida Bacillus spp. B1 formula cair. 325
b. Benih padi tersebut disemai di tempat pesemaian c. Setelah berumur 20 hari pesemaian dipindah ke lapang dengan jarak tanam 25 x 40cm2. d. Inokulasi isolat X. oryzae pv. oryzae secara alami dan lokasinya di daerah endemi penyakit hawar daun bakteri. e. Tiga hari kemudian, biopestisida Bacillus spp. B1 formula cair disemprotkan pada permukaan daun sesuai dengan perlakuan. f. Komponen penyakit hawar daun bakteri dan pertumbuhan diamati setiap minggu, sedangkan hasil tanaman pada akhir pengamatan. Variabel yang diamati yaitu: a. Populasi Bacilllus sp. B1 b. Analisis sumber nutrisi formula cair c. Viabilitas benih padi d. Intensitas penyakit Intensitas penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh X. oryzae pv. oryzae di lapangan menggunakan rumus sebagai berikut: ∑ (n x v) IP = ---------------- x 100% NxZ Keterangan: IP : intensitas penyakit n
: jumlah tanaman dari tiap kategor serangan
v
: kategori serangan
N : jumlah tanaman yang diamati Z
: nilai kategori tertinggi (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2007)
Menurut Tjubarjat et al. (1999), kategori serangan X. oryzae pv. oryzae yang digunakan yaitu: 0 : tidak ada serangan 1 : skala kerusakan 1 – 5% 3 : skala kerusakan 6 – 12% 5 : skala kerusakan 13 – 25% 7 : skala kerusakan 26 – 50% 9 : skala kerusakan 51 – 100% e.
Komponen pertumbuhan dan hasil tanaman Pengamatan komponen pertumbuhan tanaman yaitu tinggi tanaman, panjang malai, dan jumlah anakan produktif, sedangkan komponen hasil tanaman yaitu jumlah malai, bobot 1000 biji, jumlah bulir per malai, bobot biji per petak efektif. 326
Data dianalis secara deskriptif, kecuali pada pengujian biopestisida Bacillus spp. B1 formula cair di lapangan dianalisis dengan uji F, apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan DMRT taraf kesalahan 5%. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Daya Tahan Bacillus spp. B1 sebagai Agens Pengendali Hayati Daya tahan Bacillus spp. B1 sebagai agens pengendali hayati penyakit hawar daun bakteri ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Daya tahan Bacillus spp. B1 pada formula cair selama 6 minggu Gambar 1 menunjukkan bahwa populasi Bacillus spp. B1 pada formula cair menunjukan peningkatan dari 2 minggu sampai 6 minggu, kecuali perlakuan F0 ada penurunan pada minggu ke 2 sampai minggu ke 4. Hal ini menunjukkan adanya dinamika populasi Bacillus spp. B1 dalam formula cair. Peningkatan populasi terbaik terjadi pada perlakuan F7 (populasi Bacillus spp. B1 dalam formula cair ekstrak kentang gula + 0,25% yeast ekstrak + CMC 1% yaitu dari minggu ke 2, 4, dan 6 sebesar 154,7 1013cfu/ml, 213,3 1013cfu/ml, dan 370,7 1013cfu/ml). Kemampuan bertahan Bacillus spp. B1 dalam formula cair selama 6 minggu sangat baik karena agens tersebut mempunyai struktur istirahat berupa endospora (Goto, 1992). Struktur tahan tersebut sangat baik digunakan apabila menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Goto, 1992). Selain itu, salah satu komposisi formula cair yaitu ekstrak kentang gula mengandung karbohidrat cukup besar dibandingkan dengan ekstrak kentang dan air kelapa yaitu 6,39% (Tabel 1). Karbohidrat bagi organisme dapat digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya
327
Tabel 1. Kandungan Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Lemak, Protein, dan Karbohidrat dalam Ekstrak Kentang,Ekstrak Kentang Gula, dan Air Kelapa Parameter Kadar air
Kadar abu
Kadar lemak
Protein
Karbohidrat
Formula Ekstrak kentang Ekstrak kentang gula Air kelapa Ekstrak kentang Ekstrak kentang gula Air kelapa Ekstrak kentang Ekstrak kentang gula Air kelapa Ekstrak kentang Ekstrak kentang gula Air kelapa Ekstrak kentang Ekstrak kentang gula Air kelapa
Hasil (%) 94,35 92,17 97,02 0,84 0,97 0,23 0,19 0,23 0,082 0,54 0,15 0,071 4,08 6,39 2,597
Perkecambahan tanaman padi baik pada K (air steril) dan diikuti formula F0, F4, F5, dan F1. Namun demikian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata perkecambahan padi tinggi yaitu lebih dari 89%. Sebaliknya kalau dilihat populasi Bacillus spp. B1 awal dan akhir lebih tinggi pada perlakuan F7 (populasi Bacillus spp. B1 dalam formula cair ekstrak kentang gula + 0,25% yeast ekstrak + CMC 1%) yaitu sebesar 297 x 10 4 dan 200 x 10 4cfu/bkk (Tabel 3). Tabel 2. Perkecambahan padi pada hari ke 10 setelah direndam dengan suspensi Bacillus spp. B1 selama 1 hari Perlakuan K F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
Perkecambahan padi 97,8 a 96,5 ab 94,3 ab 96,0 c 90,0 c 96,3 ab 94,3 ab 93,8 b 93,3 bc
Hal ini menunjukkan ekstrak kentang gula dan yeast ekstrak adalah sumber nutrisi yang sangat baik bagi bagi pertumbuhan Bacillus spp. B1.
328
Tabel 3. Populasi awal dan akhir Bacillus spp. B1 pada perkecambahan padi Populasi Bacillus spp. B1 x. 1014cfu/bkk Populasi awal Populasi akhir 243 74 209 108 105 68 135 100 122 162 216 78 209 192 297 200
Perlakuan F0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
3.2. Pengaruh Formula Cair terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri, Pertumbuhan, dan Hasil Padi Formula cair berbasis Bacillus spp. B1 yang diaplikasikan di lapangan mempunyai pengaruh bervariasi terhadap penekanan penyakit hawar daun bakteri, pertumbuhan, dan hasil pada tanaman padi (Tabel 4). Tabel 4. Komponen penyakit, pertumbuhan dan hasil pada tanaman padi Panjang malai (cm)
Jumlah malai
Prlk
IP (%)
A B C D
22,00 c 20,00 d 16,33 f 19,33 d
22,07 21,97 22,77 22,10
6,47 6,40 6,10 6,00
E F G H K
18,00 e 15,00 g 26,67 b 13,00 h 50,00 a
22,17 22,37 22,37 22,73 21,50
6,4 6,30 6,50 7,00 5,87
Jumlah bulir per malai
Jumlah anakan produktif
Bobot 1000 biji (g)
Bobot biji per petak efektif (g)
13,00 ab 13,87 a 11,53 bc 12,27 abc 14,10 a 12,93 ab 10,93 c 13,40 ab 11,53 bc
13,67 12,07 11,47 14,27
13,01 28,95 31,53 29,19
760,00 653,00 837,00 828,67
11,40 11,80 12,20 13,00 11,07
31,52 30,65 28,10 31,85 27,86
618,00 857,67 772,00 931,33 703,67
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa peran formula cair berbasis Bacillus spp. B1 mempunyai pengaruh nyata terhadap penekanan penyakit hawar daun bakteri. Perlakuan yang paling baik dalam menekan penyakit hawar daun bakteri yaitu H/F7 sebesar 13%. Rendahnya intensitas penyakit pada formula F7 didukung dengan panjang malai (22,73 cm), jumlah malai (7), jumlah bulir per malai (13,4), bobot 100 biji (31,85 g), dan bobot biji per petak efektif (931,33g). Pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang sudah diperlakukan dengan formula cair Bacillus sp. B1 menunjukkan peningkatan pertumbuhan dan hasil jika dibandingkan dengan kontrol. Tabel 4 menunjukkan bahwa panjang malai, jumlah malai, bobot 1000 biji, dan bobot biji per petak efektif pada perlakuan H lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan berkorelasi dengan hasil padi. Jumlah malai per rumpun merupakan salah satu komponen hasil yang memiliki kontribusi terhadap hasil gabah (Kim dan Rutger, 1988).
329
Lebih lanjut menurut Khairullah et al. (2001), bahwa terdapat kecenderungan peningkatan hasil gabah pada malai yang lebih panjang. Bobot 1000 biji pada perlakuan H lebih besar dibandingkan perlakuan yang lain yaitu sebesar 31,85 g. Hasil tersebut juga didikuti dengan bobot biji per petak efektif yaitu sebesar 931,33 g. Menurut Chang et al.(1973), bahwa bobot 1000 biji mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap hasil gabah. Menurut Muliadi et al. (2010), bahwa selain bobot 1000 biji, karakter morfologi juga digunakan sebagai kriteria yang digunakan dalam peningkatan hasil. Menurut Yoshida (1981) bahwa tipe tanaman padi yang berdaun tegak dan berwarna hijau memungkinkan penetrasi cahaya matahari yang lebih tinggi ke dalam kanopi tanaman, sehingga proses fotosintesis lebih tinggi untuk menghasilkan bahan kering. Lebih lanjut Panda dan Khush (1995) menyatakan bahwa daun yang kasar mempunyai bulu yang akan menghalangi serangga mencapai permukaan daun untuk menusukkan stiletnya untuk makan atau menyebarkan penyakit. Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa perlakuan H (Ekstrak kentang gula + 0,25% yeast extract+ CMC 1%) adalah perlakuan yang paling baik dalam menekan penyakit hawar daun bakteri, meningkatan pertumbuahan dan hasil pada tanaman padi. 4. KESIMPULAN 1.
Sumber nutrisi ekstrak kentang mengandung kadar air, kadar abu, kadar lemak, protein, karbohidrat masing-masing 94,35%, 0,84%, 0,19%, 0,54%, 4,08%; ekstrak kentang gula 92,17%, 0,97%, 0,23%, 0,15%, 6,39%; air kelapa 97,025%, 0,23%, 0,082%, 0,071%, 2,597%.
2.
Bacillus spp. B1 yang berasal dari daun padi pada formula cair ekstrak kentang gula + 0,25% yeast ekstrak + CMC 1% mempunyai daya tahan sampai 6 minggu dengan populasi 370,7 1013cfu/ml.
3.
Biopestidida formula cair berbasis Bacillus spp. B1 yang paling baik dalam menekan penyakit hawar daun bakteri, meningkatkan pertumbuhan, dan hasil pada tanaman padi di lapangan adalah perlakuan H dengan komposisi ekstrak kentang gula + 0,25% yeast ekstrak + CMC 1%.
REFERENSI Abdullah, B. (2002), Inovasi teknologi padi tipe baru, pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu dan integrasi padi dan ternak. Seminar Temu Lapang Balitpa, Subang 26 September 2002. Anonim (2005),Persawahan di Rancaekek Tercemar Limbah Beracun.www.pikiranrakyat.com Babu, A.G. and B.S. Thind (2005),Potential use of combinations of Pantoea agglomerans, Pseudomonas fluorescens, and Bacillus subtilis AS biocontrol agents for the control of bacterial blight of rice. http://www.agridept.gov.lk/other_sub_pages.php?id=8. BPS(2006),Production of Paddy Maize and Soybeans. (On line) http://www.bps.go.id/releases/ Production of Paddy Maize and Soybeans/Bahasa Indonesia/index.html. Diakses tanggal 29 Desember 2006. Chang, T.T., C.C. Li, O. Tagumpay(1973),Genetic correlation, heterosis, inbreeding depression and transgressive segregation of agronomic traits in a diallel cross of rice cultivars. Bot. Bull. Acad. Sin (Taipeh) 14: 83-93. 330
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan(2007),Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman pangan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. hal 95. Djatmiko, H.A. dan Fatichin (2007),Ketahanan 20 varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri. Fakultas Pertanian. hal 28. Djatmiko, H.A, dan W.R. Suharti (2010), Pengendalian Xanthomonas oryzae pv. oryzae Menggunakan Bakteri Antagonis Bacillus spp dan Corynebacterium sp. Secara In Vitro p. 363-369. In:Prosiding Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian 2010. Djatmiko, H.A. dan B. Prakoso(2008),Keragaman patotipe dan genotpe Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada tanaman padi dari berbagai ketinggian tampat. Fakultas Pertanian. hal 35. Djatmiko, H.A., B. Prakoso, dan N. Prihatiningsih (2009),Keragaman Patotipe dan Genotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae Pada Tanaman Padi di Berbagai Ketinggian Tempat Berdasarkan Pola RAPD. Peneltian Fundamental, Purwokerto. hal 44 Gaybita, H.M.N. (2010), Swasembada Beras dan Mutu Beras Nasional dalam Perdagangan Global. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Balai Besar Penelitian Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Goto, M. (1992),Fundamentals of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, Tokyo. Gupta, V.S., M.D. Rajebhosale, M. Sodhi, S. Singh, S.S. Gnanamanickam, H.S. Dhaliwal, and P.K. Ranjekar(2001), Assessment of Genetic Variability and Strain Identification of Xanthomonas oryzae pv. oryzae Using RAPD-PCR and IS1112-based PCR. Current Science 80: 1043-1049. IRRI
(2003),Bacterial leaf blight.(On line) http://www.knowledgebank.irri.org/ riceDoctor_MX/Fact_Sheets/Diseases/Bacterial_Leaf_Blight.htm. Diakses tanggal 2 Januari 2007.
Kadir, T.S. (1999), Variasi patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwokerto, 16-18 September. Keller, B., C. Feuillet, and M. Messmer(2000), Basic Concepts and Application in Resistance Breeding. Pp: 101-160. In, A.J. Slusarenko, R.S.S. Fraser, L.C. van Loon (eds.), Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher. London. Khairullah, I., S. Subowo, dan S. Sulaiman(2001),Daya hasil dan penampilan fenotipik dan galur-galur harapan padi lahan pasang surut di Kalimantan Selatan. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Tanaman Indonesia. Peran Pemuliaan dalam Memakmurkan Bangsa. PERIPI Komda DIY dan Faultas Pertanian UGM. p. 169-174. Kim, C.H. and J.N. Rutger(1988), Heterosis in Rice. In: Hybrid Rice. IRRI. p. 39-54. Liu, D.N., P.C. Ronald, and A.J. Bogdanove (2006),Xanthomonas oryzae pathovars: model pathogens of a model crop. Molecular Plant Pathology 7: 303-324. Muliadi, A., Burhanuddin, dan Hasanuddin(2010), Observasi Daya Hasil Sejumlah Galur Harapan Padi Tahan Penyakit Tungro p. 123-131. In:Prosiding Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian 2010.
331
Mundt, C.C., H.U. Ahmed, M.R. Finckhn, L.P. Nieva, and R.F. Alfonso (1999), Primary disease gradients of bacterial blight of rice. Phytopathology 89: 64-67. Nagorska, K., M. Bikowski, and M. Obuchowski (2007), Multicellular Behavior and Production of a Wide Variety of Toxic Substances Support Usage of Bacillus subtilis as Powerful Biocontrol Agent. Acta Biochimia Polonica 54: 495-508. Onasanya, A., M.M. Ekperigin, F.E. Nwilene, Y. Sere, and R.O. Onasanya(2009),Current Research in Bacteriology 2: 22-35. Panda, N. Dan G.S. Khush(1995),Host and plant resistance to insect. CAB International in association with International Rice Research Institute. Papanek, C.C. (2005),Budidaya Tanaman Padi. (On-line). http://distan.gorotanloprov. go.id/agronomi/komiditi_tanaman_pangan/budidaya%20padi.pdf. Diakses tanggal 10 Oktober 2008. Sere, Y., A. Onasanya, V. Verdier, K. Akator, L.S. Ouedraogo, Z. Segda, M.M. Mbare, A.Y. Sido, and A. Basso(2005), Rice Bacterial Leaf Blight in West Africa: Preliminary Studies on Disease in Farmer Fields and Screening Released Varieties for Resistance to the Bacteria. Asian J. Plant Sci4: 577-579. Srinivasan, B. and S.S. Gnanamanickam(2005), Identification of a new source of resistance in wild rice, Oryza rufipogon to bacterial blight of rice caused by Indian strain of Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Current science 88: 1229-1231. Suparyono, Sudir, and Suprihanto (2004), Pathotype profile of Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates from the rice Ecosystem in java. Indonesian Journal of Agriculture Science 5: 63-69. Tjubarjat, T., T.S. Kadir, dan E. Sumadi(1999), Skrining varietas terhadap hawar daun bakteri. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwokerto, 16-18 September. Vasudevan, P. Kavitha, S. Priyadarisini, V.B. Babujee, and S.S.Gnanamanickam(2002), Biological Control of Rice Disease. Pp. 11-32 In: S.S. Gnanamanickam (ed.) Biological Control of Crop Disease. Marcel Dekker Inc. New York, 468p. Vikal, Y., A. Das, B. Patra, R.K. Goel, J.S. Sidhu, and K. Singh(2007), Identification of New Source of Bacterial Blight (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Resistance in Wild Oryza Spesies and O. glaberrima. Plnat Genetic Resourses: Characterization and Utilization 5: 108-112. Yashitola, J., D. Krishnaveni, A.P.K. Reddy, and R.V. Sonti (1997), Genetic diversity within the population of Xanthomonas oryzae pv. oryzae in India. Phytopathology 87: 760765. Yasin, S.I., T.U.Z., Khan, M. Ayub, J.A. Shah, and M. Anwar(2005), Economic evaluation of bacterial leaf blight (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) disease of rice. Mycopath 3: 65-67. Yoshida, S. (1981),Fundamental of Rice Crop Science. IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines
332
INOVASI TEKNOLOGI PENGERASAN PERMUKAAN UNTUK PENINGKATAN KUALITAS RODA GIGI PRODUK IKM Jamari 1, R. ismail1, M. Tauviqirrahman1, Sugiyanto1 dan D.J. Schipper2
[email protected] 1) 2)
Laboratorium Perancangan Teknik dan Tribologi
Laboratory for Surface Technology and Tribology,Faculty of Engineering Technology University of Twente, The Netherlands ABSTRAK
Adanya dorongan yang kuat untuk mengembangkan mobil dan motor nasional di Indonesia menuntut standar kualitas yang tinggi untuk produk komponen otomotif yang akan dibuat. IKM menjadi salah satu pilar unit produksi dalam skema pengembangan mobil dan motor nasional. Salah satu komponen otomotif yang memerlukan perhatian adalah roda gigi. Paper ini membahas kualitas roda gigi produk IKM dan membandingkannya dengan roda gigi produk industri otomotif nasional dan roda gigi produk China. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa IKM telah mampu meniru bentuk suatu roda gigi tetapi memiliki kelemahan dalam teknologi pengerasan permukaan. Hal ini berimbas pada kualitas atau kemampuan roda gigi dalam menerima beban operasional. Roda gigi produk IKM mengalami kegagalan ketika diuji reliabilitas pada engine test selama 3600 menit tanpa henti, sementara roda gigi produk lainnya tidak mengalami kegagalan. Usulan perbaikan yang dilakukan melalui perancangan teknologi pengerasan permukaan roda gigi menggunakan metode local heat treatment sedang dikembangkan. Penggunaan pemanas impor yang membutuhkan daya lebih dari 15 kWatt dapat menjadi beban IKM dalam konsumsi listriknya. Inovasi teknologi telah dilakukan untuk merancang teknologi pengerasan permukaan menggunakan prinsip pemanasan induksi dengan konsumsi daya sekitar 3-5 kWatt. Teknologi ini diharapkan mampu memperbaiki kualitas permukaan roda gigi produk IKM dan mampu bersaing di level nasional. Kata Kunci: roda gigi, IKM, pengerasan permukaan, local heat treatment, reliabilitas 1. PENDAHULUAN Sehubungan dengan semakin kencangnya isu pembuatan mobil dan motor nasional produk dalam negeri maka perhatian kepada IKM (industri kecil dan menengah) pembuat komponen otomotif semakin besar. Sebagaimana China mengembangkan industrialisasi negaranya berbasis IKM, Indonesia juga memiliki keinginan untuk memacu IKM agar mampu berkembang dan mampu men-supply kebutuhan komponen motor dan mobil nasional. Sebagai langkah nyata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Tengah secara berkala menyelenggarakan pertemuan yang mempertemukan akademisi, IKM komponen otomotif dan industri otomotif berskala nasional untuk membicarakan potensi produk buatan IKM dalam pasar otomotif di level nasional (Disperindag Jateng, 2011). Beberapa produk buatan IKM di beberapa kelompok industri di Jawa Tengah dievaluasi kelayakannya dan diuji kualitasnya. 333
Dalam uji kelayakan dan kualitas, akademisi (perguruan tinggi) menjadi ujung tombak sebelum produk dipasarkan secara luas. Jurusan Teknik Mesin UNDIP berperan aktif dalam observasi, pengujian dan pengembangan produk IKM melalui beberapa kegiatan yang telah dilakukan (Jamari, dkk., 2009; Ismail, dkk., 2009a; Ismail dkk., 2011). Dalam kegiatan ini telah terlihat peran jejaring yang terbentuk antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng-IKM-Industri berskala nasional-PerguruanTinggi. Sebagai wakil dari pemerintah, Disperindag berkewajiban mendorong perkembangan iklim usaha. IKM sebagai sasaran dan objek pengembangan teknologi terus dipacu untuk meningkatkan kulitas produk. Industri berskala nasional diminta sebagai mentor bagi IKM. Perguruan tinggi berperan sebagai penguji dan peneliti untuk membantu IKM mengukur produk yang dihasilkan serta membantu melaksanakan transfer technology and knowledge. Berkaitan dengan adanya kerja sama penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Perancangan Teknik dan Tribologi Jurusan Teknik Mesin UNDIP dengan Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente, Belanda dalam bidang ilmu tribologi maka penelitian komponen otomotif difokuskan pada roda gigi. Untuk mengetahui kualitas roda gigi produk IKM, maka dilakukanlah pengamatan terhadap produksi roda gigi pada beberapa IKM yang ada di sentra industri logam di Jawa Tengah. Paper ini secara khusus mengevaluasi produk roda gigi produksi IKM di Pati (Juwana). Hasil dari roda gigi yang dibuat oleh IKM ini kemudian diuji dan dibandingkan dengan roda gigi produk industri otomotif berskala nasional dan produk China. Pengujian yang dilakukan meliputi analisa bentuk dan geometri, uji struktur mikro, uji kekerasan mikro, dan uji reliabilitas. Sebuah inovasi teknologi pengerasan permukaan berbasis local heat treatment menggunakan sistem pemanasan induksi dikembangkan untuk mengatasi rendahnya kualitas permukaan roda gigi produk IKM. Penggunaan alat pemanas produk impor dirasa tidak efektif bagi IKM karena membutuhkan konsumsi daya di atas 15 kWatt. IKM membutuhkan konsumsi daya yang berkisar 3 – 5 kWatt. Inovasi teknologi ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan IKM produk roda gigi untuk skala regional dan nasional. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Bahan Roda gigi produk IKM dibuat oleh IKM logam di Juwana, Pati yang membuat roda gigi untuk mesin-mesin industri kayu, roda gigi peralatan pertanian, gear box dan dan roda gigi transmisi sepeda motor (Ismail, dkk., 2009a). Penenelitian dilakukan dengan membandingkan roda gigi transmisi sepeda motor antara 3 pasang produk roda gigi, yaitu roda gigi produk industri berskala nasional (Kode N), roda gigi produk China (Kode C) dan roda gigi produk IKM (Kode I). Sepasang roda gigi yang diuji terdiri dari main transmission gear dan counter transmission gear sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. Roda Gigi Transmisi Sepeda Motor Produk IKM yang Terdiri dari Main Gear (a) dan Counter Gear (b)Diagram Alir dan Rancangan Penelitian 334
Gambar 2 menunjukkan diagram alir penelitian yang meliputi pengujian tiga jenis produk roda gigi, analisa dan perbandingan kualitas, serta melakukan proses inovasi teknologi untuk memperbaiki kualitas roda gigi produk IKM. Ketiga pasang roda gigi (N, C dan I) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengalami 4 macam pengujian, yaitu: analisa bentuk dan geometri, pengujian struktur mikro, pengujian kekerasan mikro dan pengujian reliabilitas. Hasil pengujian dari ketiga pasang roda gigi ini kemudian dianalisa dan dibandingkan. Pengujian geometri dan bentuk serta uji reliabilitas dilakukan di Laboratorium Perancangan Teknik dan Tribologi, Jurusan Teknik Mesin UNDIP. Pengujian struktur mikro ini dilakukan di Laboratory for Surface Technology and Tribology, University of Twente, Belanda. Pengujian kekerasan mikro dilakukan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Roda gigi yang telah mengalami pengujian reliabilitas difoto menggunakan scanning electron microscope (SEM) untuk mengamati deformasi plastis dan kegagalan yang terjadi. Selain menguji ketiga jenis roda gigi, paper ini juga mendiskusikan mengenai inovasi teknologi pengerasan permukaan roda gigi menggunakan metode local heat treatment berbasis pemanas induksi. Inovasi ini dapat digunakan sebagai solusi teknologi tepat guna untuk menjawab permasalahan yang dialami IKM sehingga kualitas permukaan roda gigi yang dihasilkan dapat meningkat. Outputnya adalah IKM mampu men-supply komponen roda gigi pada industri mobil dan motor nasional.
Analisa Bentuk dan Geometri Roda Gigi N Uji Struktur Mikro Roda Gigi C
Analisa dan Perbandingan Hasil Pengujian Ketiga Roda Gigi
Pengujian Uji Kekerasan Mikro
Inovasi Teknologi Pengerasan Permukaan untuk Perbaikan Kualitas Roda gigi Produk IKM
Uji Coba Alat Local Heat Treatment Berbasis Pemanas Induksi untuk Pengerasan Permukaan Roda Gigi IKM
Roda Gigi I
Uji Reliability
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian 3. HASIL PENGUJIAN 3.1. Bentuk dan Geometri Analisa pertama yang dilakukan adalah analisa bentuk dan geometri roda gigi. Secara bentuk, geometri dan dimensi roda gigi I telah menyamai roda gigi N dan C. Meski demikian, tampilan permukaan sisi samping (permukaan yang paralel dengan lubang poros) roda gigi I tidak halus. Hal ini diperkirakan akibat perbedaan proses pembuatan. Roda gigi I dimanufaktur melalui proses permesinan dari material awal yang berbentuk silinder sedangkan roda gigi N dan C dibuat melalui proses pengecoran sehingga menghasilkan permukaan yang lebih halus. Meskipun tampilan ini tidak berkontribusi pada fungsi roda gigi tetapi kekurangan dari segi tampilan ini harus diperbaiki oleh IKM agar produknya tidak dipandang sebagai produk yang murahan akibat tampilan yang sedikit kasar. Dari sisi 335
ukuran, dimensi dan geometri roda gigi, IKM telah mampu membuat roda gigi dengan ketelitian yang memenuhi persyaratan. 3.2. Uji Struktur Mikro Pengujian dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro. Gambar 3 (a-c) menunjukkan hasil struktur mikro roda gigi N, C dan I. Dari hasil pengujian struktur mikro ini diketahui bahwa roda gigi I memiliki struktur mikro yang berbeda dengan roda gigi N dan C. Roda gigi I memiliki struktur mikro yang identik dengan besi cor nodular sedangkan roda gigi N dan C memiliki struktur mikro bainit. Struktur mikro carbon steel dijadikan panduan dalam mengidentifikasi struktur roda gigi ini (Gandy, 2007). Perbedaan struktur mikro menunjukkan bahwa material roda gigi I dibuat menggunakan teknologi pengecoran yang berbeda. Meski demikian hasil uji komposisi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa roda gigi I telah mampu menghasilkan komposisi unsur yang sama dengan roda gigi N (Jamari, dkk., 2011)
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Perbandingan Struktur Mikro Roda Gigi yang Diambil pada Bagian Tengah Roda Gigi Keterangan: (a) roda gigi N, (b) roda gigi C, dan (c) roda gigi I Sumber: Jamari, dkk. (2011)
336
Arah pengujian
(a)
(b)
Gambar 4. Lokasi Pengambilan Titik Uji Kekerasan Mikro (a) dan Perbandingan Nilai Kekerasan Mikro pada 3 Produk Roda Gigi (Jamari, dkk. 2009) 3.3. Uji Kekerasan Mikro Selanjutnya ketiga jenis roda gigi diuji kekerasan mikro mulai dari tepi kepala gigi hingga akar gigi. Metode pengujian nilai kekerasan mikro terlihat pada Gambar 4(a) sedangkan hasil pengujian nilai kekerasan terlihat pada Gambar 4(b). Nilai kekerasan pada roda gigi N terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan roda gigi produk I dan C khususnya di bagian permukaan. Kondisi yang ideal bagi roda gigi adalah memiliki nilai kekerasan yang tinggi di bagian permukaan dan cenderung turun seiring pada fungsi kedalaman. Hal ini dimaksudkan agar roda gigi mampu menahan beban kontak dan keausan di bagian permukaan tetapi cukup ulet menahan beban puntir di bagian dalam (Rakhit, 2000). Roda gigi produk I dan C memiliki nilai kekerasan yang cukup rendah di bagian permukaan yang diperkirakan memiliki efek yang kurang baik dalam menerima beban kontak dan menahan keausan saat roda gigi digunakan. 3.4. Uji Reliabilitas Pengujian yang terakhir dilakukan adalah uji reliabilitas yang dilakukan dengan cara memasang roda gigi pada engine test. Engine test ini merupakan mesin sepeda motor 4 tak yang dipasang statis pada sebuah dudukan dan dikopling dengan sistem pengereman untuk memberikan beban kepada engine. Sepasang roda gigi transmisi yang merupakan gigi transmisi kedua ini dipasang didalam engine test, diberikan pelumas setara SAE 40, dan dilakukan proses pengujuian. Dalam proses pengujian, engine test dinyalakan tanpa henti dengan diberi beban terpasang selama 30, 60 dan 3600 menit. Setiap variable beban yang terpasang, roda gigi diganti dengan yang baru begitu juga dengan pelumasnya. Pengamatan menggunakan SEM dilakukan pada ketiga roda gigi. Hasilnya didapati bahwa roda gigi I mengalami kegagalan berupa deformasi plastis pada kepala gigi setelah diuji selama 3600 menit tanpa henti sedangkan roda gigi N dan C tidak mengalami deformasi plastis yang berarti. Gambar 5 (a-b) menunjukkan perbandingan hasil foto SEM roda gigi I dan N setelah mengalami pengujian reliabilitas selama 3600 menit tanpa henti.
337
(a)
(b)
Gambar 5. Perbandingan antara Profil Kepala Gigi pada Roda Gigi Pasca Reliability TestSelama 3600 Menit Tanpa Henti Keterangan: (a) roda gigi produk I dan (b) roda gigi produk N Sumber: Jamari, dkk. (2009) Adanya kegagalan berupa deformasi plastis yang terjadi roda gigi produk I mengakibatkan perubahan bentuk pada kepala gigi yang mengakibatkan ketidaksempurnaan kontak antara roda gigi dan pasangannya. Hal ini dapat memicu naiknya temperatur kontak pada permukaan roda gigi, getaran yang berlebih, suara yang berisik serta keausan pada permukaan roda gigi yang tinggi (Maitra, 1989). Apabila pengujian ini dilanjutkan dengan memperpanjang waktu pengujian maka dapat mengakibatkan berlebihnya material aus atau yang ekstrim dapat mengakibatkan perpatahan pada kepala roda gigi. Hal ini menjadikan roda gigi I dipandang memiliki kualitas yang kurang baik di bagian permukaan. 3.5. Analisa Hasil Eksperimen Adanya deformasi plastis yang terjadi pada roda gigi I dalam pengujian reliabilitas sedangkan pada roda gigi produk C dan N tidak ditemukan adanya deformasi plastis perlu ditindak lanjuti dengan analisa dan observasi lapangan. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa faktor utama pada kegagalan tersebut disebabkan oleh rendahnya kekerasan permukaan roda gigi sebagaimana terlihat pada perbandingan nilai kekerasan permukaan di Gambar 4(b). Rakhit (2000) menjelaskan bahwa dalam teknologi pembuatan roda gigi, setelah proses manufaktur selesai, roda gigi kemudian di laku panas (heat treatment) untuk meningkatkan nilai kekerasan pada bagian permukaan dengan mempertahankan keuletan pada bagian dalam roda gigi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti di lapangan, pelaku IKM mengeraskan permukaan dengan cara memanaskan roda gigi menggunakan dapur peleburan (furnace chamber) sampai roda gigi berubah berwarna merah di permukaannya dan mencelupkannya ke media pendingin sebagai langkah pendinginan cepat (quenching) (Ismail, dkk., 2009a). Selanjutnya roda gigi di temper dengan cara memasukkan roda gigi ke dapur peleburuan selama beberapa waktu untuk menurunkan nilai kekekerasannya. Tidak ada standar yang baku mengenai temperatur roda gigi saat dipanaskan, keseragaman pemanasan pada seluruh permukaan roda gigi, waktu pemanasan, dan media pendingin. Semua hanya berdasar ”feeling” dari operator heat treatment. Dari hasil pengamatan lapangan dan program pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan, disimpulkan bahwa rendahnya sumber daya manusia yang berlatar belakang teknik mesin atau teknik produksi serta terbatasnya transfer teknologi dari perguruan tinggi ke IKM sangat berperan 338
pada rendahnya kualitas produk yang dibuat oleh UKM di Juwana. IKM kurang memahami teknologi tribologi dan perlakuan panas. (Ismail, dkk., 2009a). Peningkatan sifat kekerasan dan kekuatan untuk menahan beban pada permukaan roda gigi dapat dilakukan melalui proses pengerasan permukaan menggunakan metode: through hardening, carburizing-hardening, nitriding,carbonitriding, dan induction hardening (Rakhit, 2000). Semua metode ini dilakukan pada alat pemanasan permukaan yang khusus, menggunakan standard operating procedure (SOP) yang jelas, dan seluruh prosesnya dikontrol dengan baik. Dengan demikian parameter pengerasan permukaan seperti temperatur roda gigi saat dipanaskan, keseragaman pemanasan, dan waktu pemanasan harus memiliki standar yang baku. Hal inilah yang kurang disadari oleh IKM. Dalam pembuatan roda gigi, IKM telah memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam proses manufaktur tetapi kurang memahami teknologi pengerasan yang baik. 3.6. Inovasi Iptek sebagai Upaya Perbaikan Produk Roda Gigi IKM 3.6.1. Alat perlakuan panas lokal Sebagai solusi dari rendahnya teknologi pengerasan roda gigi IKM maka inovasi teknologi pengerasan yang sesuai untuk IKM didiskusikan dalam paper ini. Teknologi pengerasan permukaan dirancang berbasis local heat treatment menggunakan sistem pemanasan induksi untuk mengatasi rendahnya kualitas permukaan roda gigi produk IKM. Dari beberapa metode pengerasan permukaan yang telah disebutkan di atas, induction hardening merupakan contoh perlakuan panas lokal dimana proses pemanasanmenggunakan prinsip kumparan yang dialiri arus bolak-balik yang diletakkan disekitar bahan konduktif (Rudnev, dkk., 2003).Kumparan dan material konduktif akan menghasilkan medan magnet bolak-balik yang menghasilkan arus eddy. Arus eddyyang mengalir di sekitar material konduktif menghasilkan panas pada material konduktif tersebut. Prinsip ini digunakan dalam pemanasan roda gigi dengan mengganti material konduktif tersebut dengan roda gigi. Gambar 6(a) menunjukkan prinsip kerja dari arus eddy dan Gambar 6(b) menunjukkan skema alat pemanas induksi yang akan dirancang. Pemanasan induksi memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) kerapatan energinya tinggi, (b) pemanas induksi dapat berukuran kecil tetapi mampu melepaskan panas tinggi dalam waktu yang relatif singkat (c) pemanasan dapat dikendalikan pada suatu kedalaman tertentu sehingga tidak semua bagian terkena proses pemanasan (Rudnev, dkk., 2003). Kelebihan yang dimiliki oleh pemanasan induksi untuk pemanasan roda gigi adalah: (a) suhu dapat diatur secara tepat, (b) Tidak menghasilkan gas-gas sisa pembakaran, (c) Daerah roda gigi yang dipanaskan dapat ditentukan secara akurat, (d) mampu menghasilkan panas yang seragam pada setiap permukaan roda gigi yang dipanaskan. Teknologi pemanas induksi ini sebenarnya merupakan teknologi yang telah mapan dalam industri roda gigi di Amerika, Eropa dan Jepang (Rudnev, dkk., 2003). Meski demikian, IKM masih belum memahami pentingnya teknologi ini.
339
(a)
(b)
Gambar 6.(a) Arus Eddy pada Permukaan Material Konduktif dan (b) Skema Rancangan Alat Pemanas Roda Gigi Penggunakan metode pemanasan induksi dalam pengerasan permukaan akan menghasilkan suatu lapisan tipis yang keras pada permukaan. Lapisan keras inilah yang menahan beban kontak dan mengurangi keausan saat roda gigi digunakan. Simulasi menggunakan metode elemen hingga untuk memodelkan kontribusi dari lapisan keras pada suatu permukaan dalam menerima beban telah dilakukan (Ismail, dkk., 2009b). Hasilnya menunjukkan bahwa adanya lapisan tipis dan keras pada permukaan mampu menahan tegangan kontak dan menurunkan distribusi tegangan kontak pada daerah substrat di bawahnya (Ismail, dkk., 2009b). Lapisan keras dengan ketebalan berkisar 1-4 mm pada daerah permukaan terbukti mampu menurunkan tegangan kontak hingga lebih dari 60 % pada daerah substrat. Berdasarkan survey kebutuhan mesin pemanas induksi untuk IKM sebagai teknologi tepat guna, disimpulkan bahwa mesin pemanas induksi untuk IKM diharapkan memiliki beberapa kriteria, yaitu memiliki konsumsi energi listrik yang rendah, mudah digunakan, mudah perawatan dan memiliki harga yang terjangkau. Alat pemanas induksi buatan luar negeri memiliki konsumsi daya lebih dari 15 kW yang dirasa terlalu tinggi untuk skala IKM. IKM membutuhkan alat pemanas induksi dengan konsumsi daya yang berkisar 3-5 kW. Untuk itu, dilakukan penelitian untuk membuat suatu alat pemanas induksi untuk pengerasan roda gigi yang mampu memenuhi kriteria tersebut di atas. 3.6.2. Rancang-Bangun Alat Perlakuan Panas Skema rangkaian pemanas induksi yang dirancang terlihat pada Gambar 7 dimana terdapat beberapa bagian yang utama, yaitu rangkaian elektronika daya, rangkaian kontrol, kumparan dan alat pendingin. Power supplysebagai pemasok arus AC pada alat pemanas induksi ini terdiri dari rangkaian penyearah gelombang penuh 1 fasa untuk menyearahkan sumber tegangan AC dari jala-jala dan rangkaian inverter resonan seri setengah jembatan frekuensi tinggi. Rangkaian kontrol terdiri atas: (a) penyearah dengan center tap, (b) rangkaian kontrol untuk pemicuan MOSFETdan sebagai pengatur frekuensi,dan (c) rangkaian driver dan isolator pulsa digunakan untuk pemicuan MOSFET serta memisahkan antara rangkaian kontrol dengan rangkaian daya. Sedangkan rangkaian daya terdiri atas: (a) penyearah tak terkontrol gelombang penuh, (b) rangkaian daya inverter resonan seri setengah jembatan frekuensi tinggi yang terdiri dari 2 buah MOSFET, (c) trafo penurun tegangan frekuensi tinggi dan (d) rangkaian resonan sendiri terdiri dari kapasitor, induktor, serta resistor yang ada pada beban. Komponen kontrol yang dipilih adalah Metal-Oxide 340
Semiconductor Field-Effect Transistor(MOSFET) karena memiliki harga yang terjangkau dan memerlukan catu daya yang rendah.
SUPLAI ARUS AC SATU FASA
PENYEARAH JEMBATAN PENUH
INVERTER FREKUENSI TINGGI
PENYEARAH MENGGUNAKAN TRAFO CT
MICROCONTROLLER
DRIVER DAN ISOLATOR PULSA
KUMPARAN
BENDA KERJA (RODA GIGI)
PROSES PEMANASAN INDUKSI
Gambar 7. Blok Diagramnya Proses Pemanasan Induksi Hal penting yang perlu dipertimbangkan pada saat pembuatan kumparan pemanas adalah kapasitas arus yang akan digunakan, yang akan menentukan besarnya diameter kawat yang akan digunakan. Karena tahanan benda yang akan dipanaskan tidak diketahui, maka dipilih diameter kawat yang besar agar mampu dilewati arus besar. Pada alat pemanas induksi ini kawat pemanas yang dipilih adalah pipa tembaga dengan diameter 5 mm. Gambar 8 menunjukkan proses pemanasan roda gigi IKM menggunakan alat pemanas induksi yang telah dirancang. Pada gambar tersebut terlihat beberapa unit utama dari mesin pemanas induksi, yaitu: alat pemanas, kumparan tembaga, dan pendingin. Alat ini mampu memanaskan roda gigi hingga mencapai temperatur 800 ºC dalam waktu 5-7 menit.
Gambar 8. Uji Coba Alat Pemanas Induksi yang Dirancang Dua spesimen diuji menggunakan alat pemanas induksi yang telah dirancang, yaitu material baja ST 60 bentuk silinder pipih dengan tebal 7 mm dan diameter 62,5 mm serta roda gigi produk IKM. Pada uji coba yang pertama (ST-60), temperatur maksimal yang dapat dicapai adalah 728 °C pada waktu 470 detik. MOSFET mengalami kegagalan setelah tercapainya temperatur tersebut. 341
Pemanasan dilanjutkan dengan memperbaiki rangkaian MOSFET di mana penurunan arus dibagi menjadi 3 trafo step down dan menggunakan 6 buah MOSFET yang diparalel. Rangkaian ini mampu berfungsi lebih baik sehingga memiliki kenaikan temperatur yang lebih cepat dan mampu mencapai temperatur 690°C setelah 240 detik. Pembagian kinerja trafo dan MOSFET pada rangkaian kedua dipandang memiliki daya tahan yang lebih baik dalam waktu dan proses pemanasan.
Gambar 9. Kenaikan Temperatur Spesimen Saat Dipanaskan Kenaikan daya yang cepat pada percobaan kedua menjadikan temperatur pemanasan spesimen roda gigi UKM meningkat tajam dari temperatur awal sebesar 34 oC sampai temperatur 6900C dengan waktu yang dibutuhkan selama 240 detik. Frekuensi kerja yang tinggi akan memberikan pemanasan lokal yang terkonsentrasi pada permukaan (kulit) roda gigi sehingga bagian dalam roda gigi tidak mendapatkan panas yang terlalu tinggi. Hal ini diharapkan dapat menjadikan permukaan roda gigi menjadi keras tetapi bagian dalam roda gigi memiliki sifat ulet. Permukaan roda gigi yang keras diharapkan dapat menahan beban kontak dan keausan saat roda gigi bekerja sedangkan bagian dalam roda gigi diharapkan mampu menahan beban puntir yang besar. Teknologi tepat guna berupa mesin pemanas induksi ini masih memerlukan pengembangan lebih lanjut untuk dapat diaplikasikan kepada IKM. Temperatur maksimal juga perlu ditingkatkan hingga mencapai temperatur austenisasi. Selain itu, penelitian lanjutan dengan meningkatkan frekuensi kerja dari 30 kHz menjadi 50 – 80 kHz menjadi fenomena yang menarik. Meski demikian, mesin pemanas induksi untuk skala lab ini memiliki indikasi mampu digunakan untuk menjawab kebutuhan IKM. Alat ini memiliki kebutuhan energi listrik yang tidak terlalu besar, mudah digunakan, mudah perawatan dan memiliki harga yang terjangkau. Energi listrik yang berkisar 2-3 kWatt masih dapat dijangkau oleh IKM. Selain itu alat ini memiliki kemudahan dalam pengoperasian dan perawatan. Hingga saat ini perbaikan alat masih terus dilakukan agar temparatur pemanasan mampu mencapai 925 0C. Penggunaan rangkaian parallel dengan jumlah MOSFET 12 buah dirancang untuk meningkatkan kapasitas arus dan mempercepat proses pemanasan. Beberapa pengujian pemanasan menggunakan alat ini sedang dilakukan dan akan dipublikasikan dalam beberapa bulan mendatang. Inovasi ini dapat menjadi solusi bagi IKM dalam pengembangan teknologi pembuatan roda gigi sehingga mampu menghasilkan kualitas permukaan roda gigi yang lebih baik dan lolos uji reliabilitas. Dengan demikian, inovasi teknologi ini diharapkan mampu memperbaiki kualitas permukaan roda gigi produk IKM sehingga dapat bersaing di level nasional. 342
4. KESIMPULAN Penelitan ini menyajikan perbandingan pengujian roda gigi produk IKM, produk industri otomotif berskala nasional dan produk China. Dari hasil pengujian bentuk dan geometri, roda gigi IKM mampu memenuhi persyaratan dan memiliki perbandingan yang baik dengan roda gigi produk China dan roda gigi produk industri otomotif berskala nasional. Aspek struktur mikro memang terlihat berbeda tetapi hasil uji komposisi menunjukkan bahwa hal ini tidak menjadi masalah yang berarti. Aspek pengerasan permukaan menjadi isu yang penting karena hasil pengujian membuktikan bahwa roda gigi produk IKM mengalami deformasi plastis dan gagal menahan beban kontak pada permukaan sebagai akibat dari kurangnya pemanfaatan teknologi pengerasan permukaan. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya kekerasan permukaan roda gigi IKM. Pengembangan inovasi tekologi tepat guna telah diusulkan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan cara memanfaatkan alat pengeras permukaan berbasis local heat treatement bagi UKM. Alat pengerasan permukaan ini berupa mesin pemanas induksi untuk proses pengerasan roda gigi yang dirancang menggunakan sistem rangkaian berbasis Metal-Oxide Semiconductor Field-Effect Transistor (MOSFET). Permukaan roda gigi yang keras diharapkan dapat menahan beban kontak dan keausan saat roda gigi bekerja sedangkan bagian dalam roda gigi yang tetap ulet diharapkan mampu menahan beban puntir yang besar. Meskipun masih memerlukan langkah pengembangan dan penelitian lanjutan, inovasi mesin pemanas induksi berbasis perlakuan panas skala lokal ini terindikasi mampu digunakan untuk menjawab kebutuhan industri yang menuntut adanya mesin pemanas yang memiliki kebutuhan energi listrik yang tidak terlalu besar, mudah digunakan, mudah perawatan dan memiliki harga yang terjangkau. REFERENSI Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prop. Jateng (2011),Peran BPTIKM Dalam Pengembangan Klaster Industri Komponen Otomotif Jawa Tengah. Workshop Pengembangan Klaster Industri Komponen Otomotif Jawa Tengah, Semarang, Indonesia (Tidak diterbitkan). Gandy, D. (2007),Carbon Steel Handbook. Electric Power Research Institute, Inc., California, USA. Ismail, R., dkk.(2009a),Penyuluhan Peningkatan Daya Saing Produk Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Sentra Industri Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Laporan Pengabdian kepada Masyarakat, Jurusan Teknik Mesin UNDIP (Tidak diterbitkan). Ismail, R., Tauviqirrahman, M., Jamari dan Schipper, D.J. (2009b), Finite element analysis of sliding contact of a hard cylinder on a layered elastic-plastic solid, The Technology World 2: 258-263. Jamari, R.Ismail, dan M. Tauviqirrahman (2009),Peningkatan Kualitas Dan Daya Saing Roda Gigi Produk UKM Untuk Menembus Pasar Industri Otomotif Nasional. Laporan Akhir Tahun Hibah Kompetitif Penelitian Untuk Publikasi Internasional DIKTI, 2009 (Tidak diterbitkan). Jamari, J., Ismail, R., Tauviqirrahman, M., dan Schipper, D.J. (2011), Running-in failure analysis of transmission gear, Engineering Failure Analysis, submitted. Maitra, G. M. (1989),Handbook of Gear Design. McGraw-Hill Publishing Company, New Delhi, India. 343
Rakhit, A.K. (2000),Heat Treatment of Gears: A Practical Guide for Engineers. ASM International, Ohio,USA. Rudnev, V., Loveless, D. dan Cook, R. (2003),Handbook of Induction Heating. Marcel Decker, Inc, New York, USA
344
Pidato Penutup Sekretaris Utama LIPI Bismillaahirrohmaanirohiim Ibu dan Bapak Pemakalah, Peserta, dan Undangan yang kami hormati. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat sore dan salam sejahtera. Kami mengucapkan terima kasih kepada para Bapak dan Ibu sekalian atas partisipasinya dalam acara yang penting ini. Seminar Pengembangan Iptek Nasional dengan tema: Peran Jejaring Dalam Meningkatkan Inovasi dan Daya Saing Bisnis yang digagas oleh PAPPIPTEK-LIPI sudah selesai dilaksanakan. Beberapa hal yang berkaitan dengan tema seminar ini terutama yang menjadi kata kunci adalah peran jejaring. Dengan adanya jejaring, inovasi nasional akan berfungsi. Tanpa jejaring semua unsur, aktor dan stakeholders, inovasi yang terjadi tidak lebih dari agregat dan terjadi tanpa koordinasi, atau bahkan dapat dikatakan tanpa arah karena berjalan sendiri-sendiri. Isu jejaring ini revelan dengan situasi iptek Indonesia, yang saat ini sedang digerakkan dengan keterpaduan lintas bidang, lintas sektoral dan lintas disiplin dan merupakan jalan terobosan yang digagas oleh Komite Inovasi Nasional (KIN) khususnya untuk mencapai dan mewujudkan gagasan yang tertuang dalam MP3EI. Untuk mewujudkan Perkembangan atau kemajuan iptek, inovasi dan difusi dalam masyarakat diperlukan dukungan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Interaksi yang saling mendukung antara banyak pihak sangat diperlukan. LIPI sebagai lembaga yang memiliki fungsi tanggung jawab terhadap masyarakat LIPI turut berperan dalam menstimulasi terciptanya hubungan antara Akademisi, Pengusaha dan Pemerintah agar dapat terbangun dan terbina sehingga menghasilkan sinergi yang dapat mendukung Sistem Inovasi Nasional. Semoga seminar di tahun yang akan datang dapat terselenggara sesuai dengan harapan kita semua, terutama jejaring/komunikasi antar peserta dan pelaku inovasi iptek dapat lebih bersinergi. Dengan mengucap Alhamdulillahirobbil’alamin, Seminar Pengembangan Iptek Nasional tahun 2011 ini secara resmi saya tutup. Wabillahitaufik Wal hidayah. Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 10 Oktober 2011 Sekretaris Utama LIPI
Dr. Ir Djusman Sajuti
345
LAMPIRAN
346
347
BAHAN PRESENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) DAN IMPLEMENTASINYA Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Kadir M.Sc.EE Ketua Komite Inovasi Nasional
348
349
350
351
352
353
354
355
356
357
358
359
360
361
362
363
DAFTAR MAKALAH YANG DIUNDANG KE WARTA KEBIJAKAN IPTEK DAN MANAJEMEN LITBAG No
Pemakalah
1
Rizka Rahmaida
2
Lutfah Ariana
3
Purnama Alamsyah, Iin Surminah
4
Purnama Alamsyah, Wati Herawati
Judul Makalah Penerapan paradigma Inovasi Terbuka : Studi Kasus PT Farmaka The Influence Stock on the Growth of Productivity in Indonesian Manufacturing Industries Ilustrasi Pengunaan Soft System Methodologi Dalam Memahami Kemitraan Antara Lembaga Litbang Pemerintah Dengan Industri Kajian Pola Pembiayaan Biogas Dalam Mendukung Pembangunan Desa Mandiri Energi : Stdi Kasus Desa Haurgombong, Sumedang
364
SUSUNAN ACARA Waktu 08.30-09.30
Registrasi + Kopi
09.30-09.35
Pembukaan oleh MC
09.35-09.45
Laporan Penyelenggaraan Seminar Dr. Ir. Husein Avicenna Akil (Kepala Pappiptek - LIPI)
09.45-10.00
Pembukaan Seminar Nasional Prof. Dr. Lukman Hakin, M.Sc (Kepala LIPI)
10.00-10.30
Keynote Address Drs. Suharna Surapranata, MT (Menteri Riset dan Teknologi RI)
10.30-12.00
Persidangan Utama Moderator : Dr. Ninok Leksono -Wartawan Senior Harian Kompas, Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Masterplan Percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Implementasinya Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Kadir M.Sc.EE-Ketua Komite Inovasi Nasional Mengungkap Fakta R&D Indonesia Dra. Nani Grace Berliana, M.Hum - Peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – LIPI Dinamika Dana Riset Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jangka Panjang Prof. Dr. Erman Aminullah, M.Sc - Peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Iptek - LIPI
12.00-12.30
Diskusi
12.30-13.15
Ishoma
13.15-15.45
Sidang Paralel
15.50-16.05
Penutupan Seminat Nasional Dr. Ir. Djusman Sajuti - Sekertaris Utama LIPI
16.05-selesai
Ramah Tamah
Notulensi Ruang Seminar Utama : Chichi Sintia Laksani, Dini Oktaviyanti Teknisi Power Point : Wendo Suantoro
365
Ruang Bidang
: R.01(Ruang Seminar Utama) : Kebijakan Iptek Manajemen Litbang dan Teknologi Moderator : Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. Notulen : Karlina Sari, Setiowiji Handoyo, Rini Wijayanti Teknisi Power Point : M. Ikshan Yuniarka
Waktu Pelaksana No 1 2 3
Penyaji Prof. Dr. Ir. Engkos Koswara Natakusumah, M.Sc. Iwan Setiawan dan Krisna Rubowo Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc.agr
4
Galuh Syahbana Indraprahasta dan Anugerah Yuka Asmara
5
Dr. Ir. Adolf B. Heatubun, M.Si
6
Lutfah Ariana
Judul Makalah Arah Riset Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia Peranan Puslit Biologi Dalam Pengembangan Produksi Jamur Pangan di Indonesia Fasilitasi Proven Technology dan Akses Pembiayaan untuk Penguatan Bisnis : Experiences and Lessons Learnt Pada UMKM Bidang Peternakan Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Perkeretaapian Indonesia Sebagai Moda Transportasi Darat Masal Analisis Kapasitas Teknologi, Investasi dan Tenaga Kerja Serta Alternatif Kebijakan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pasar Ekspor The Influence Stock on the Growth of Productivity in Indonesian Manufacturing Industries Waktu Pelaksana
No 1
2
3
4
5
: 13.15-14.30
: 14.35-15.45
Penyaji Johnny W Situmorang
Judul Makalah Estimasi Fungsi Usaha Koperasi Dengan Model Power Function Multiple Regression Terhadap Koperasi Berprestasi Tahun 2009 Nahiyah Jaidi Faraz Evaluasi Program Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Batik di Dusun Mendiro, Gulurejo, Lendah, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta Purnama Alamsyah, Iin Ilustrasi Pengunaan Soft System Methodologi Surminah Dalam Memahami Kemitraan Antara Lembaga Litbang Pemerintah Dengan Industri Purnama Alamsyah, Wati Kajian Pola Pembiayaan Biogas Dalam Herawati Mendukung Pembangunan Desa Mandiri Energi : Stdi Kasus Desa Haurgombong, Sumedang Hartiningsih, Ikbal Maulana, Sigit Pengaruh Tata Kelola Pada Kemampuan Difusi Setiawan, Kusbiantono Inovasi di Lembaga Litbang Pemerintah dan Swasta
366
Ruang Bidang Moderator Notulen Teknisi Power Point
: R.02(Ruang Seminar Lantai 5. Widya Graha) : Sistem dan Manajemen Inovasi : Dr. Trina Fizzanty : Irene Muflikh Nadhiroh, Anugerah Yuka Asmara, Galuh Syahbana : Jatmiko Waktu Pelaksana
No 1
Penyaji Henny Sudibyo dan Ridwan Arief Subekti
2
Dr. Puji Wahono
3
Rizka Rahmaida
4
Kudang B. Seminar
Judul Makalah Analisis Ekonomi, Lingkungan dan Sosial Kemasyarakatan Pada Pengembangan Turbin Propeler Head Rendah Sistem dan Manajemen Inovasi Organisasi Berbasis Pengetahuan (Knowledge): Inovasi Usaha Batik di Jawa Timur Menghadapi Persaingan Nasional dan Global Penerapan paradigma Inovasi Terbuka : Studi Kasus PT Farmaka Model Platform Teknologi Informasi untuk EForum Riset Waktu Pelaksana
No 1 2
Penyaji Prof. Dr. Ir. Engkos Koswara Natakusumah, M.Sc. Syamsudin Hasan, Andi Suarda, Muh. Irwan
3
Andi Hasad, Nur Husna Nasution dan Kudang Boro Seminar
4
Irene Muflikh Nadhiroh
5
Sigit Setiawan dan Hartiningsih
: 13.15-14.30
: 14.35-15.45
Judul Makalah Sistem Inovasi Nasional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Memotret Jaringan Agribisnis dan Agroindustri yang Selaras dan Sepadan dengan Segmen Pasar Jepang Membangun Blog Sebagai Media Konsultasi Online Dalam Perspektif Manajemen Pengetahuan : Kasus Bioteknologi Pertanian dan Komoditas Cabai Karakteristik Perusahaan Inovatif Pada Perusahaan Industri Manufaktur Indonesia Pengaruh Modal Sosial dalam Membangun Kemandirian Desa Mandiri Energi
367
Ruang Bidang Moderator Notulen
: R.03 (Ruang Sisco, Lantai 1. Widya Graha) : Pengukuran Perkembangan Iptek Difusi dan Adopsi Teknologi : Dra. Wati Hermawati, MBA : Kusnandar, Purnama Alamsyah Waktu Pelaksana
No 1 2
Penyaji Suharwaji Sentana Ishak Juarsah dan D. Subardja
3
Mahra Arari Heryanto, Sp., MT.(1) Dr. Ir. Muhammad Tasrif, M.Eng (2)
Judul Makalah Liku-liku Difusi Teknologi Pada UMKM Peningkatan Kualitas Lahan Pasca Penambangan Timah Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah di Propinsi Bangka Belitung Rekayasa Sosial Adopsi Teknologi Pasca Panen Padi untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Padi dengan Pendekatan Dinamika Sistem (System Dynamics) Waktu Pelaksana
No 1 2
Penyaji Wati Hermawati dan Ishelina Rosaira Saut H. Siahaan
: 13.15-14.30
: 14.35-15.45
Judul Makalah Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Usaha Listrik Berbasis Mikrohirdo di Indonesia Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu untuk Ketersediaan Energi Listrik di Masyarakat
368
Sesi Presentasi Poster No 1
Penyaji Ridwan arief Subekti, Henny Sudibyo
2
Eni Sumarni, Asna Mustofa dan Ardiansyah
3
Yumantoko
4
Jatmiko Wahyudi
5
Djajusman Hadi
6
Heru Adi Djatmiko dan Achmad Iqbal
7
Jamari (1),. R. Ismail (1),. M. Tauviqirrahman (1), Sugiyanto(1) dan D.J. Schipper(2)
Judul Makalah Pengembangan Potensi dan Kajian Tekno Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hodro (PLTMH) di Wilayah Sulawesi Variasi Media Tanam, EC dan pH Nutrisi pada Tanaman Bawang Merah (allium cepa L) Hidroponik dalam Rangka Memperoleh Bibit Bermutu Sesuai Kebutuhan Petani dan Mendukung Produk Unggulan Model Pembelajaran Lifelong Learning Ibu Rumah Tangga Menggunakan Internet Peranan Kebijakan Lembaga Litbang Daerah Dalam Pemanfaatan Energi baru dan Terbarukan di Kabupaten Pati Optimisasi Implementasi Kebijakan Teknologi Nasional untuk Masa Depan Bangsa Inovasi Teknologi Pengelolaan Penyakit Hawar Daun Bakteri Dalam Budidaysa Tanaman Padi Ramah Lingkungan Melalui Biobakterisada Berbasis Bacillus sp Inovasi Teknologi Pengerasan Permukaan untuk Peningkatan Kualitas Roda gigi Produk IKM
369
DAFTAR PEMAKALAH No
Nama Pemakalah Adolf B. Heatubun, Dr. Ir., 1 M.Si
Institusi
e-mail
[email protected]
Akhmad Sodiq, Dr. Ir., 2 M.Sc.agr
Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman
[email protected]
Andi Hasad, Nur Husna 3 Nasution dan Kudang Boro Seminar
IPB
[email protected],
[email protected]
4 Djajusman Hadi
Pengajar di PKBI (Program Keahlian Bisnis dan Industri), Universitas Negeri Malang (UM)
[email protected]
Engkos Koswara 5 Natakusumah, Prof. Dr. Ir., Msc. Engkos Koswara 6 Natakusumah, Prof. Dr. Ir., Msc. Eni Sumarni, Asna Mustofa, 7 dan Ardiansyah Galuh Syahbana 8 Indraprahasta dan Anugerah Yuka Asmara Hartiningsih, Ikbal Maulana, 9 Sigit Setiawan, dan Kusbiantono 10
Henny Sudibyo dan Ridwan Arief Subekti
11
Heru Adi Djatmiko dan Achmad Iqbal
12 Irene Muflikh Nadhiroh
13
Ishak Juarsah (1) dan D. Subardja (2)
14
Iwan Saskiawan (1) dan Krisna Rubowo (2)
[email protected]
[email protected] Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Unsoed
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected],
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected],
[email protected]
Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Pappiptek-LIPI (1) Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir.H. Juanda 98, Bogor, (2) Balai Besar sumberdaya lahan Pertanian, Bogor (1)Pusat Penelitian Biologi – LIPI, (2) Asosiasi
[email protected],
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
370
No
Nama Pemakalah
Jamari (1), R. ismail (1), M. Tauviqirrahman (1), 15 Sugiyanto (1) dan D.J. Schipper (2)
16 Jatmiko Wahyudi
17 Johnny W. Situmorang
18 Kudang B. Seminar 19 Lutfah Ariana
Mahra Arari Heryanto, SP., 20 MT. (1), Dr. Ir. Muhammad Tasrif, M.Eng (2)
21 Nahiyah Jaidi Faraz
22 Puji Wahono, Dr. Purnama Alamsyah dan Wati Hermawati Purnama Alamsyah dan Iin 24 Surminah 23
Institusi Pembudidaya Jamur (1) Laboratorium Perancangan Teknik dan Tribologi Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, (2) Laboratory for Surface Technology and Tribology Faculty of Engineering Technology University of Twente, The Netherlands Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati Peneliti Kementerian KUKM, Jakarta; Faculty Member of ABFII Perbanas, Jakarta IPB Pappiptek-LIPI (2) Peneliti Puslitbang Inovasi dan Kelembagaan, LPPM Universitas Padjadjaran, (2) Dosen Magister Studi Pembangunan, SAPPK Institut Teknologi Bandung PUSAT STUDI WANITA, UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Staf Pengajar FISIP - Universitas Jember
e-mail
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected] [email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected] 371
No
Nama Pemakalah
25
Ridwan Arief Subekti(1), Henny Sudibyo(2)
26 Rizka Rahmaida 27 Saut H. Siahaan Sigit Setiawan dan 28 Hartiningsih
29 Suharwaji Sentana
30
Syamsuddin Hasan, Andi Suarda, dan Muh. Irwan
31
Wati Hermawati dan Ishelina Rosaira
32 Yumantoko
Institusi Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik - LIPI Pappiptek-LIPI
[email protected],
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected]
UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
e-mail
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Pappiptek-LIPI
[email protected]
LITBANG Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
[email protected]
372
SUSUNAN PANITIA Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Ketua Pelaksana Wakil Ketua Sekretaris Bendahara
: : : :
Drs. Budi Triyono, M.Si. Dra. Nani Grace Berliana, M.Hum. Vetti Rina Prasetyas, SH. 1. Ummi Aslamah, A.Md. 2. Renti Rosyalin Budiman, A.Md.
Seksi Makalah dan Persidangan Koordinator : Prakoso Bhairawa Putera, S.IP. Anggota : 1. Rizka Rahmaida, S.Si. 2. Purnama Alamsyah, SE. 3. Setiowiji Handoyo, SE. 4. Irene Muflikh Nadhiroh, S.Si. 5. Kusnandar,STP., MT. 6. Dini Oktaviyanti, S.IP., M.Si. 7. Galuh Syahbana Indraprahasta, M.Si. 8. Anugerah Yuka Asmara, S.AP. 9. Karlina Sari, SE., MA. Tim Seleksi Makalah/Paper Koordinator : Prof. Dr. Erman Aminullah, M.Sc. Anggota : 1. Ir. Dudi Hidayat, M.Sc. 2. Dra. Wati Hermawati, MBA. 3. Dr. Trina Fizzanty 4. Ir. Mohamad Arifin, MM. Proceeding Laporan Akhir Koordinator : Dr. Trina Fizzanty Anggota : 1. Dra. Wati Hermawati, MBA. 2. Lutfah Ariana, STP., MPP 3. Karlina Sari, SE., MA 4. Setiowiji Handoyo, SE 5. Kusnandar, STP., MT Seksi Kesekretariatan Koordinator : Opan Supandi, S. Kom., MTI. Anggota : 1. Zarnita, A.Md. 2. Adzans Sofiawan, S.Sos. 3. Kesuma Putri, S.Sos. 4. Eny Nor Widayati, SE. Seksi Konsumsi dan Akomodasi Koordinator : Endang Mardiningsih, A.Md. Anggota : Veronica Gunarti Seksi Keamanan Koordinator
: Sumardi 373
Seksi Dokumentasi dan Perlengkapan Koordinator : Hadi Kardoyo, SE., M.Econ.ST. Anggota : 1. Wiyono, SE. 2. Wendo Suantoro, S.Kom. 3. Abdul Malik 4. M. Ikhsan Yuniarka, A.Md. Pengembangan Web Pappiptek/Forum Tahunan/Seminar Pengembangan Iptek Nasional Penanggung Jawab : Rini Wijayanti, M.Kom. Redaktur
: 1. Prakoso Bhairawa Putera, S.IP. 2. Rizka Rahmaida, S.Si. 3. Vetti Rina Prasetyas, SH.
Editor
: Opan Supandi, S.Kom., MTI.
Web Admin
: 1. Tri Handayani, S.Kom. 2. Warkim, S.Kom. 3. Jatmiko, S.Kom.
Web Development : 1. Purnama Alamsyah, SE. 2. Indri Juwita Asmara, S.Kom. e-mail website
:
[email protected] : nstdforum.pappiptek.lipi.go.id
374
DAFTAR PESERTA NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
NAMA A. Malik Abdul Syukur Adolf B. Heatubun Adzaus S. Agus Fanar Syukri Agus Santosa Agwina Dieta Ahmad Dading Akhmad A. Akhmad Sodiq Amir Asyiin H. Anas Andi Hasad Andi Suarda Andi Suarda Angga Wijaya HF Anggoro Tri M. Anita Ekajanti Anugerah Yuka A. Ardiansyah Ari Wardayani Aris Mutayo Aryaning A.K. Ating Sutisna Awang Dewan P. Azis T. B. Setiawan Bambang Bambang Setiadi Bambang Tri H. Benny Ranti Bodie Set Budhi Cahyono Budhi Riyanto Budi Artono Budi Triyono Bukky S. Chusnul Tri Judianto D. Subardja Danil
INSTANSI Pappiptek LIPI Pusda KRT Univ Pattimura Ambon LIPI P2 SMTP LIPI Pappiptek LIPI LIPI Press Kemenristek BPK Fak Peternakan Unsoed Pappiptek LIPI BUP LIPI IPB Fak. Sainstik UIN Alauddin Makassar UIN Alauddin Makassar P2 Biotek LIPI P2G LIPI Kalbe Farma Pappiptek LIPI Unsoed Unsoed BKN UMN Kemenbudpar BSN Pappiptek LIPI Kalbe ADC BSN Litbang Kehutanan Kadin BKPI LIPI LPP Unissula Semarang LAPAN Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI PPD LAPAN BBSDIP Kementan Kemenristek 375
NO. 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
NAMA Dedy Yaniharto Dewanto P. Dewi Hamsari Dewi Harfina S. Diah Arum Maharani Dian Prihadyanti Diaz D. Santika Dina Nurul F. Dini Oktaviyanti Djumhawan RP Djusman Sajuti Doddy Dody Irawan Doyo WHD Dudi Hidayat Dudy Ma'mun Duhdin Z. Edi S. Edy R.N. Effi Ismawati M. Eko Sulistiyo Endang M. Endang P. Engkos Koswara Eni Sumarni Eny Nor Widayati Eriska Sani Erman Aminullah Erna Mardiana Evandri Evy Trisulo F. Dewi K. Fadjri Alihar Faisal Yusna Fajar Suprayoga Faridh Muhsin Fatah Felicia Furqon Galuh S. Indraprahasta Grace Margaretha Hadi Kardoyo Hadi Sundana
INSTANSI BPPT BPPT IT Pertamina PPK LIPI Kominfo Pappiptek LIPI BOK LIPI KIN Pappiptek LIPI P2 Biotek LIPI Sestama LIPI B2PTTG BPPT BKN Pappiptek LIPI BPPT PSDR LIPI BUP LIPI Kemenristek PT. Green Planet Indonesia LSN Pappiptek LIPI Kemenristek Kemenristek Unsoed Pappiptek LIPI Kemenristek Asdep Sarpres Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI P2I LAN Pappiptek LIPI PPK LIPI Pertamina Kemenristek As PB LIPI UNESCO Jakarta FATETA IPB Pappiptek LIPI Kemenbudpar Pappiptek LIPI Kemenristek 376
NO. 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126
NAMA Harmastini Hartiningsih Harun Arsyad Hendry Henny Sudibyo Hermain Husein A. Akil Idha Sitiwaningrum Iin Surminah Ikbal Maulana Ikhsan Imam Basori, ST., MT. Imam Bustomi Indra Bachtiar Ira N. Djarot Iroh Siti Zahrah Ishak Juarsah Ishelina R. Iskandar Zulkarnain Iwan Saskiawan Izu A. Fijridiyanto Jajang Hasyim Jarot Jatmiko Jatmiko Wahyudi Johnny W. Situmorang Joko R. Witono Kaharuddin Karlina Sari Kesuma Putri Kudang Boro Seminar Kusbiantono Kusnandar Leo Aldianto Lina Rustanti Liselin Livia Rossila Tanjung Lukman Hakim Lutfah A. M. Arifin M. Zulhamdani Mahra Arari H. Mamad
INSTANSI P2 Biotek LIPI Pappiptek LIPI BKU Litbang Kota Binjai P2 Telimek LIPI Litbang PAP Pappiptek LIPI Unsoed Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI UNDIP KBNMN Kalbe Farma Kemenristek Pusbindiklat LIPI BBSDL Pappiptek LIPI Hortichan Centre P2 Biologi LIPI PKT KRB LIPI Kemenristek Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Litbang Pati Kem KUKM KR Bogor LIPI PPD Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI IPB Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI SBM ITB Balitbangkes Biotek LIPI P2 Limnologi LIPI Kepala LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI LPPM Unpad LIPI 377
NO. 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169
NAMA Maria W. Marian T. Marlin Felicia Marsito Maryano Meiskiyah Melinda Sinaga Menristek Miftahuddin Mohamad Syahrial Monika Aditia Putri Muh. Irwan Muhammad Yunus Z. Mulyadi Fitri Mustaid Siregar Nada Marsudi Nahiyah J.F. Nani Grace Nazir Harjanto Ninok Leksono Nunung Nurhayati Nur Husna Nasution Nur Laili Nurhamsah Nuriyanah Nurul Aini Nurul Kusmana Nuryati Octaviyani Opan S. Pontas Prakoso B. Putera Pratiwi D.C. Puji Wahono Purnama A. Purwadi Putut B. R. Melliawati Radot Manalu Rakito Rany S. Ratu Ema Reni Yanita
INSTANSI Lemsaneg Litbang Hutan UNESCO Jakarta Kemenristek BUP LIPI BUP LIPI BUP LIPI IPB LSN RI Kemenristek Asdep Sarpres Fak. Peternakan Unhas BUP LIPI Kemenristek PKT KRB LIPI Kemenristek PPW-UNY Pappiptek LIPI Budi Luhur Kompas/UMN Unsoed IPB Pappiptek LIPI Kemenristek Biotek LIPI Balitbangkes Pappiptek LIPI Biotek LIPI PMB LIPI Pappiptek LIPI Inspektorat Pappiptek LIPI Kemenperin Fisip Univ Jember Pappiptek LIPI Humas BKPI Pappiptek LIPI P2 Biotek LIPI Pappiptek LIPI Litbang Hutan PPD Kemenperin 378
NO. 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212
NAMA Renti Rosyalien Rezky Murwanto Ridwan Arief Rin M. Rini Wijayanti Rizka Rahmaida Rumella Simarmata Sabartua Tampubolon Sanny Sunaryo Saut H. Siahaan Sayim Setiowiji Handoyo Sigit S. Sik Sunaedi Silana Indah Sulistia Siti Meiningsih Sobari Sri Mulatsih Sri Suharti Sri Sunarti P. Suharwaji Sukma P. D. Sulistio Sumardi Sunaryo Suparjiyanto Suparlan Suparno Sutopo Sutripriarso Syahrul Aminullah Syamsuddin Hasad Syamsul Wahyu Syarip H. Sylvia F.R.L Teguh Rahardjo Tety Andriati Tiari Pratiwi H. Tiwit Widowati Tri Agus M. Tri Handayani Trina Fizzanty Triyono
INSTANSI Pappiptek LIPI BKKBN Pusat Telimek LIPI Dit. KII Kemenperin Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI LIPI Kemenristek Kemendag Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI P2 SMTP LIPI BUP LIPI Kominfo BKPI LIPI Pappiptek LIPI Litbang Hutan PPK LIPI BPPPK UM Kemenperin BUP LIPI Pappiptek LIPI BUP LIPI BKN PPD Humas BKPI BUP LIPI HMPN KRT Fak. Peternakan Unhas BUP LIPI Kemenristek P2 Biotek LIPI Kemenristek BUP LIPI Kominfo Biotek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI PDII 379
NO. 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233
NAMA Tumiran Ummi Aslamah V. Gunarti Vetti Rina P. Warkim Warsito Wati Hermawati Wawan R. Wendo S. Wibowo Widiyanto Wira Fitrya Wiyono Wuryadi Yanto S. Yunita Ismail Zainul Arifin Zarnita Zuhal Zulhamdani Zulhamry, SE.
INSTANSI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Pappiptek LIPI Staf Khusus Pappiptek LIPI BPPT PPKDT Pappiptek LIPI BATAN Unissula Semarang Kemenristek Pappiptek LIPI BUP LIPI LPA Pres. Univ. P2O LIPI Pappiptek LIPI KIN/Univ. Al Azhar Pappiptek LIPI Litbang Kota Binjai
380