53 VI. ELIMINASI TeMV PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK PADA TANAMAN NILAM DENGAN KULTUR MERISTEM APIKAL DAN PERLAKUAN AIR PANAS*) (Elimination of TeMVCausing Mosaic Diseases in Patchouli Plants Using Apical Meristem Culture and Hot Water Treatment) Abstrak Minyak nilam merupakan salah satu bahan baku parfum multifungsi yang bernilai tinggi. Budidaya dan pengembangan tanaman nilam terkendala oleh infeksi Potyvirus (TeMV) yang menyebabkan penyakit mosaik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bibit nilam bebas virus dengan metode kultur meristem apikal dan perlakuan perendaman air panas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal (berukuran 0.5–1 mm) menghasilkan 33.3–90.9% tanaman bebas virus. Namun, perendaman setek batang nilam didalam air panas bersuhu 50–60⁰C selama10–30 menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi tiga varietas nilam yang diuji. Berdasarkan daya tumbuh setek batang, nilam varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap perlakuan air panas dibandingkan Sidikalang, tetapi toleransinya semakin menurun seiring semakin lama waktu perendaman. Berdasarkan hasil penelitian ini, teknik kultur meristem apikal berpotensi untuk menghasilkan tanaman nilam bebas virus. Kata kunci: Nilam, Potyvirus, kultur meristem apikal, perlakuan air panas. Abstract Patchouli oil is one of high value multifunction perfume‟s raw materials. One important constraint during patchouli plant cultivation is infection of Potyvirus (TeMV) causing serious mosaic disease. This study was conducted to develop a technique for producing virus-free plants using apical meristem tissue culture and hot water treatment. The results showed that patchouli plants propagated from apical meristem (0.5 to 1.0 mm in size) culture were 33.3 to 90.9% virus-free. However, hot water treatment of stem cutting at 50-60⁰C for 1030 minutes were not able to eliminate TeMV from three patchouli varieties tested. Based on plant growth performance, Lhokseumawe and Tapak Tuan varieties were more tolerant to hot water treatment than Sidikalang, but its growing ability was decrease along with the increasing subimmersion time. Based on this research result, apical meristem culture technique had a good potential to produce virusfree patchouli plants. Key words: Patchouli, Potyvirus, apical meristem culture, hot water treatment.
*) Telah dipublikasikan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 18 Nomor 1, 2012. ISSN: 0853-8212.
54 Pendahuluan Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) telah dilaporkan dapat terinfeksi oleh beberapa jenis virus yaitu Patchouli mosaic virus (PaMV), Tobacco necrosis virus (TNV), Patchouli mild mosaic virus (PaMMV), Patchouli mottle virus (PaMoV), Patchouli virus X (PatVX) dan Peanut stripe virus (PStV) (Natsuaki et al. 1994, Meissner Filho et al. 2002, Hartono 2008, Singh et al. 2009). Di India, kejadian penyakit pada tanaman nilam mencapai 76% (Sastry dan Vasanthakumar 1981). Tiga varietas nilam yaitu Sidikalang, Lhokseumawe, dan Tapak Tuan dilaporkan juga telah terinfeksi oleh Potyvirus yang menginduksi gejala mosaik yaitu TeMV (Noveriza et al. 2012a). Potyvirus adalah kelompok virus yang secara alami dapat ditularkan dan disebarkan oleh kutudaun (Irwin 1999). Namun demikian, cara penyebaran utama yang terjadi di lapangan adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi. Hal ini menyebabkan tingginya kejadian penyakit mosaik pada tanaman nilam di daerahdaerah sentra produksi nilam di Indonesia (Hartono dan Subandiyah 2006, Noveriza et al. 2012a). Oleh sebab itu, penggunaan bibit yang sehat menjadi sangat penting dalam pengendalian virus pada tanaman nilam. Bila menggunakan bahan tanaman yang bebas dari infeksi virus sebagai sumber bibit, maka tanaman yang dibudidayakan diharapkan dapat berproduksi sesuai potensi genetiknya. Untuk mendapatkan tanaman bibit bebas virus maka perlu dilakukan usaha eliminasi virus dari tanaman terinfeksi. Pada berbagai jenis tanaman dilaporkan telah berhasil dilakukan eliminasi virus melalui beberapa metode, di antaranya kultur meristem (Golino et al. 1998), terapi pemanasan (Leonhardt et al. 1998), dan penggunaan antiviral sintetik (Budiarto et al. 2008). Pada metode kultur meristem dipilih bagian jaringan yang belum terinvasi patogen, yaitu bagian apikal dan ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap yang sehat dalam media buatan. Teknik tersebut sudah berhasil diterapkan pada tanaman kentang untuk mengeliminasi virus (Quak 1972). Selain untuk mengeliminasi virus, metode tersebut juga dipakai dalam perbanyakan tanaman secara cepat (Goodwin et al. 1980). Meristem apikal yang masih bebas patogen umumnya berukuran sangat kecil untuk beberapa jenis tanaman sehingga teknik kultur meristem merupakan teknik yang relatif sulit dilakukan (Brown et al.1988). Upaya mengatasi hal tersebut dilakukan oleh Gunaeni dan Karjadi (2008) dengan menggabungkan teknik kultur meristem apikal dan penambahan bahan antivirus yaitu ribavirin (5 mg/liter) dan berhasil mengeliminasi Potato leaf roll virus (PLRV), Potato virus X (PVX), Potato virus Y (PVY) dan Potato virus S (PVS) dari tanaman kentang terinfeksi. Teknik eliminasi virus lain yang relatif lebih mudah dan murah dilakukan dibandingkan dengan teknik kultur meristem apikal adalah dengan perlakuan pemanasan. Metode pemanasan untuk tujuan eliminasi virus dapat diterapkan berdasarkan fakta bahwa multiplikasi virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu yang tinggi. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa laju multiplikasi virus mengalami penurunan pada kisaran suhu 35⁰-43⁰C (Converse dan Tanne 1984). Namun demikian, toleransi jaringan tanaman terhadap suhu tinggi akan menjadi faktor pembatas dalam aplikasi metode ini. Persentase tanaman hidup pasca terapi umumnya semakin kecil seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Namun,
55 optimalisasi waktu, suhu atau perendaman, bisa membuat perlakuan air panas berguna untuk menghilangkan virus terutama untuk tanaman tahunan atau tanaman dengan perbanyakan vegetatif seperti tebu dan krisan (Damayanti et al. 2010). Hasil pengujian pendahuluan menggunakan tanaman nilam varietas Sidikalang menunjukkan bahwa setek batang nilam masih dapat tumbuh setelah direndam dalam suhu diatas 50⁰C tetapi tidak untuk setek pucuk (data tidak ditampilkan). Penelitian dilakukan untuk mendapat bibit nilam bebas virus dengan metode kultur meristem apikal dan perendaman air panas. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan mulai Januari sampai Desember 2010 di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Bogor. Penelitian terdiri atas dua kegiatan yaitu : (1) Eliminasi TeMV pada setek nilam dengan kultur meristem apikal, dan (2) Eliminasi TeMV pada setek batang nilam dengan perendaman air panas. Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Kultur Meristem Apikal Eksplan yang digunakan adalah pucuk tanaman nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe, dan Tapak Tuan yang terinfeksi TeMV berdasarkan adanya gejala mosaik pada daun nilam. Potongan pucuk meristem apikal nilam berukuran 3-5 mm dibersihkan berturut-turut dengan air mengalir (30 menit), air sabun (10 menit), larutan fungisida (30 menit), dan beberapa kali dengan akuades. Sterilisasi permukaan dilakukan dengan merendam pucuk apikal tersebut berturut-turut dalam larutan 70% etanol selama 3 menit, 0.2% HgCl selama 1 menit, 1% sodium hipoklorida selama 1 menit, dan dibilas dengan akuades steril. Kultur Meristem Apikal Secara In Vitro Meristem apikal dikulturkan berdasarkan metode Sugimura et al. (1995). Isolasi meristem dilakukan secara aseptik di bawah mikroskop untuk memotong eksplan dengan ukuran 0.5-1 mm. Regenerasi plantlet dari meristem apikal secara in vitro dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama inisiasi pucuk dengan menginkubasi eksplan pada media MS yang ditambahkan 0.5 mg/l 6benzylaminopurine (BAP) selama 4 minggu (Hadipoentyanti et al. 2007). Tahapan proliferasi pucuk dilakukan dengan memindahkan kultur pada media MS yang ditambahkan 0.5 mg/l BAP, kemudian diinkubasi pada suhu 28ºC selama 810 minggu di bawah cahaya (1 000-1 500 lux) secara terus-menerus. Bahan yang digunakan dalam perlakuan adalah 3 varietas nilam (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) dan 2 tipe eksplan (meristem apikal dan batang terminal). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 6 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Parameter yang diamati adalah persentase pertumbuhan tunas, waktu inisiasi tunas, tinggi tunas, warna tunas dan persentase tanaman yang terinfeksi Potyvirus. Untuk pertumbuhan akar, kultur dipindahkan pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh dan diinkubasi selama 3 minggu di bawah cahaya (1 000-1 500 lux) terus-menerus. Plantlet yang dihasilkan diaklimatisasi dalam pot yang berisi campuran sekam dan kompos [1:1
56 (v/v)] yang sudah disterilkan dan diinkubasi pada ruangan dengan kelembaban tinggi selama 3 minggu, kemudian dipindahkan ke polibeg selama 2 bulan. Tanaman nilam hasil kultur jaringan dikonfirmasi bebas Potyvirus dengan uji serologi enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Verifikasi Infeksi TeMV pada Tanaman Nilam Hasil Kultur Jaringan Deteksi TeMV pada sampel daun dari tanaman nilam hasil kultur jaringan dilakukan dengan Indirect-ELISA menggunakan antiserum Potyvirus mengikuti metode DSMZ (Clark dan Adams 1977). Pertama-tama disiapkan cairan ekstrak tanaman sakit dengan menggerus daun nilam (0.2 g) dalam 1 ml bufer coating yang mengandung 0.05 M DIECA. Sebanyak 100 µl cairan ekstrak diisikan pada lubang plat mikrotiter dan diinkubasi pada suhu 4°C selama semalam. Setelah dicuci dengan PBS-T (bufer fosfat ditambah Tween-20) sebanyak 5 kali, lubang plat selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan 2% skim milk dalam PBS-T dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Selanjutnya lubang plat mikrotiter diisi 100 µl antiserum Potyvirus (DSMZ), dengan pengenceran 1/1 000 dalam bufer konjugat dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 2-4 jam. Setelah dicuci dengan PBS-T, lubang plat diisi dengan 100 µl konjugat RaM-AP, yang diencerkan 1/1 000 dalam bufer konjugat, dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37⁰C. Setelah dicuci dengan PBS-T, lubang plat diisi dengan substrat pnitrophenyl fosfat dan diinkubasi selama 30-60 menit pada suhu ruang. Selanjutnya hasil ELISA diukur nilai absorbansinya menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 405 nm. Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Perlakuan Perendaman Air Panas Bahan tanaman adalah tanaman nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe, dan Tapak Tuan) yang terinfeksi TeMV (diverifikasi dengan ELISA) yang diambil dari Kebun Cimanggu-Bogor. Sebagai bahan pengujian digunakan setek batang nilam berukuran ± 10 cm ( 1 buku) dan diameter batang ± 0.4 cm. Perlakuan air panas diuji dengan merendam setek nilam di dalam air panaspada 3 tingkat suhu (50ºC, 55ºC dan 60ºC) dan 3 tingkat waktu perendaman (10, 20, dan 30 menit). Sebagai pembanding adalah setek batang tanaman sakit tanpa perlakuan air panas. Setelah perlakuan, setek ditanam di dalam polibeg yang berisi campuran media tanah dan pupuk kandang [2:1 (v/v)]. Tanaman nilam dipelihara selama 8 minggu, dan pengamatan dilakukan setiap minggu terhadap pertumbuhan tinggi setek dan daun yang bergejala mosaik. Keberadaan TeMV dalam tanaman yang tidak bergejala mosaik dikonfirmasi dengan uji serologi menggunakan teknik Indirect ELISA seperti diuraikan sebelumnya.
57 Hasil dan Pembahasan Hasil Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Kultur Jaringan Meristem Apikal Kultur jaringan meristem apikal tanaman nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan berhasil dilakukan pada media MS yang ditambah BAP 0.5 mg/l. Dengan media ini, dalam waktu 21 hari, dapat terinduksi sekitar 40 tunas berwarna hijau. Keberhasilan pertumbuhan tunas kultur meristem apikal yang tertinggi terjadi pada varietas Tapak Tuan (90%), diikuti berturut-turut oleh varietas Sidikalang (71.43%) dan varietas Lhokseumawe (69.23%). Demikian pula, periode inisiasi tunas tercepat terjadi pada varietas Tapak Tuan (14 hari), diikuti berturut-turut oleh varietas Lhokseumawe (17 hari) dan Sidikalang (21 hari). Berdasarkan pengukuran tinggi tunas, terjadi perbedaan yang nyata antara varietas Tapak Tuan dengan kedua varietas lainnya (Tabel 6.1). Hasil yang berbeda diperoleh bila jenis eksplan yang digunakan berasal dari batang terminal (bukan meristem apikal). Pertumbuhan tunas hanya terjadi pada varietas Sidikalang sedangkan kedua varietas lainnya tidak tumbuh sama sekali (Tabel 6.1). Secara visual terlihat bahwa awalnya jaringan eksplan menjadi berwarna coklat, kemudian lama kelamaan membusuk dan akhirnya mati. Hal ini mengindikasikan bahwa kultur jaringan yang berasal dari batang terminal varietas Sidikalang lebih mudah tumbuh jika dibandingkan dengan kedua varietas lainnya, oleh karena itu perlu pengembangan teknik kultur jaringan menggunakan eksplan batang terminal agar dapat diterapkan untuk berbagai varietas tanaman nilam. Tabel 6.1 Kondisi pertumbuhan kultur jaringan nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe, dan Tapak Tuan) asal meristem apikal dan batang terminal pada media MS yang ditambah BAP 0,5 mg/l.
Meristem Apikal
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan
71.43 (10/14)* 69.23 (9/13) 90.00 (18/20)
Periode Inisiasi Tunas (hari) 21 17 14
Batang Terminal
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan
15.38 (2/13) 0.00 (0/10) 0.00 (0/10)
21 0 0
Jenis Eksplan
Varietas
Persentase Pertumbuhan Tunas
Tinggi Tunas (cm)
Warna Tunas
0.52 c** 0.91 c 1.81 b
Hijau Hijau Hijau
2.90 a 0 d 0 d
Hijau
*) Rasio antara jumlah eksplan bertunas dan jumlah eksplan yang ditumbuhkan. **) Angka yang dikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata DNMRT 5%.
pada
Secara visual, pertumbuhan tunas dari eksplan meristem apikal pada varietas Tapak Tuan terlihat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan kedua varietas lainnya (Gambar 6.1).
58
Gambar 6.1 Pertumbuhan tunas meristem apikal dan batang terminal nilam (9 minggu setelah transplan) pada media MS yang ditambah BAP 0.5 mg/l: A. varietas Sidikalang, B. varietas Lhokseumawe, C. varietas Tapak Tuan. Sebagai pembanding adalah varietas Sidikalang yang berasal dari eksplan batang terminal (D). Tanaman nilam hasil kultur jaringan dari eksplan meristem apikal yang berukuran 0.5-1 mm, masih terinfeksi TeMV berkisar antara 9.0% sampai 66.7% (Tabel 6.2). Tabel 6.2 Persentase tanaman nilam hasil kultur jaringan meristem apikal yang bebas TeMV berdasarkan uji ELISA. Jenis Eksplan Meristem Apikal
Batang Terminal (Kontrol)
Varietas
Persentase tanaman yang bereaksi negatif
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan Sidikalang
66.7 (8/12)* 90.9 (10/11) 33.3 (9/27) 0.0 (0/7)
*) Rasio antara jumlah sampel yang negatif dan jumlah sampel tanaman yang diuji.
Plantlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal (bukan meristem apikal) menunjukkan gejala mosaik dan berdasarkan hasil ELISA terbukti bahwa tanaman tersebut 100% terinfeksi TeMV. Hasil tersebut membuktikan bahwa infeksi TeMV pada tanaman nilam bersifat sistemik. Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Perlakuan Air Panas Pengujian pendahuluan menggunakan setek batang dan pucuk varietas Sidikalang yang diberi perlakuan air panas menunjukkan bahwa setek batang tersebut masih dapat tumbuh setelah direndam pada suhu diatas 50⁰C tetapi setek pucuk tidak dapat tumbuh (data tidak dipublikasikan). Pada penelitian ini digunakan setek batang nilam yang memperlihatkan gejala mosaik yang
59 disebabkan oleh TeMV. Setelah perlakuan air panas pada tiga tingkat suhu dan tiga tingkat waktu perendaman disimpulkan bahwa setek batang nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang terinfeksi oleh TeMV dapat bertahan hidup setelah direndam dalam air panas pada suhu 50⁰C, namun tidak mampu bertahan pada suhu yang lebih tinggi. Varietas Sidikalang tidak dapat tumbuh jika waktu perendaman di atas 10 menit, sedangkan kedua varietas lainnya masih dapat tumbuh setelah dilakukan perendaman pada suhu 50⁰C selama 20 menit dan 30 menit. Daya tumbuh setek nilam semakin menurun seiring semakin lamanya waktu perendaman (Gambar 6.2). Hal ini menunjukkan perbedaan tingkat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi. Dari ketiga varietas nilam yang diuji, Sidikalang mempunyai tingkat toleransi yang lebih rendah. Varietas Sidikalang Daya tumbuh setek (%) 100
Tinggi Setek (cm)
90.9
24.75 24.75
K
A1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
00
00
00
00
00
B1
B2
B3
C1
C2
C3
00
00
00
00
00
00
B1
B2
B3
C1
C2
C3
Varietas Lhokseumawe 78.9 63.6 30 11.8 7.5 K
A1
6.6 A2
10 5.8 0 0 A3
Varietas Tapak Tuan 100
19
K
14.3 16.5 A1
42.9 8.5 A2
12.5 14.2 A3
Perlakuan air panas Gambar 6.2 Daya tumbuh dan tinggi setek batang nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan setelah perlakuan perendaman air panas pada tiga tingkat suhu (A= 50⁰C, B= 55⁰C, C= 60⁰C) dan tiga tingkat waktu perendaman (1= 10 menit, 2= 20 menit, 3= 30 menit). Sebagai pembanding adalah setek batang nilam tanpa perlakuan air panas (K).Pengukuran dilakukan 2 bulan setelah perlakuan air panas.
60 Perlakuan perendaman setek batang nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang terinfeksi oleh TeMV pada suhu 50⁰C selama 10 menit belum mampu mengeliminasi virus, tetapi dapat mempertahankan daya tumbuh (viabilitas) setek nilam 63.6-90.9% dan memperlambat munculnya gejala. Hal tersebut ditunjukkan dengan munculnya gejala mosaik pada daun dari setek batang nilam sampai tanaman berumur 2 bulan setelah persemaian, tetapi munculnya gejala mosaik lebih lama dibandingkan setek batang pada tanpa perlakuam air panas. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan air panas mampu memperlambat munculnya gejala mosaik pada tanaman nilam. Jadi mungkin titik inaktivasi TeMV nilam lebih tinggi dari suhu 50⁰C. Pembahasan Hadipoentyanti et al. (2008) melaporkan bahwa media MS dengan penambahan BAP 0.5 mg/l merupakan media terbaik untuk induksi tunas nilam. BAP merupakan zat pengatur tumbuh sitokinin yang berpengaruh pada proses proliferasi tunas, pemecah dormansi, dapat meningkatkan pembelahan sel, tetapi menghambat terbentuknya akar (Tjandra 2000). Secara visual, pertumbuhan tunas dari eksplan meristem apikal pada varietas Tapak Tuan terlihat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan kedua varietas lainnya (Gambar 6.1). Nuryani et al. (2003) dan Nuryani (2005) melaporkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas tanaman nilam varietas Tapak Tuan di lapangan lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas Lhokseumawe dan Sidikalang. Selain itu, ketiga varietas tersebut mempunyai keunggulan yang berbeda-beda yaitu varietas Tapak Tuan unggul dalam hal produksi dan kadar patchouli alkohol, varietas Lhokseumawe mengandung kadar minyak tinggi, dan varietas Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda. Tanaman nilam hasil kultur jaringan dari eksplan meristem apikal yang berukuran 0.5-1 mm, masih terinfeksi TeMV berkisar antara 9.0% sampai 66.7%. Hal ini menunjukkan bahwa teknik ini masih perlu ditingkatkan, antara lain dengan memperkecil ukuran eksplan meristem apikal untuk mendapatkan tanaman nilam hasil kultur meristem apikal yang 100% bebas virus. Visessuwan et al. (1988) menyatakan bahwa dengan ukuran meristem apikal tebu 0.2–0.5 mm diperoleh 88% tanaman bebas virus. Langhans et al. (1977) menyarankan bahwa ukuran eksplan meristem apikal 0.3–0.5 mm merupakan paling optimal dalam menghasilkan eskplan bebas virus pada tanaman krisan. Sugimura et al. (1995) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan nilam bebas PaMMV adalah dengan ukuran meristem apikal yang optimum yaitu 0.5–1 mm, sedangkan menurut Singh et al. (2009), jaringan meristem berukuran 0.2–0.5 mm yang paling baik untuk menghasilkan tanaman nilam bebas PStV. Walaupun begitu, teknik ini sudah dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman nilam yang bebas virus dengan memanfaatkan tanaman nilam dari hasil kultur meristem apikal (terbukti bebas virus) sebagai tanaman induk atau sebagai tanaman sumber benih dan kemudian dapat diperbanyak. Tanaman nilam bebas virus yang sudah diperbanyak harusnya disimpan pada rumah kawat kedap serangga, karena berdasarkan hasil penelitian Noveriza et al. (2012b) bahwa Aphis gossypii terbukti efisien menularkan TeMV pada tanaman nilam secara non-persisten.
61 Virus menyebar di dalam tanaman dari sel ke sel melalui plasmodesmata (jarak pendek) dan melalui jaringan pembuluh floem (jarak panjang). Pada tanaman yang rentan, virus akan sangat cepat menyebar dari jaringan yang terinfeksi ke seluruh bagian tanaman melalui floem. Penggunaan metode kultur meristem apikal sangat potensial sebagai upaya untuk eliminasi virus yang menginfeksi secara sitemik karena proliferasi sel-sel meristem apikal lebih cepat dibandingkan penyebaran virus. Selain itu, pada sel-sel meristem apikal belum ada plasmodesmata (Nurhajati Matjjik, komunikasi pribadi). Menurut Barahima (2003) regenerasi tunas meristem apikal menghasilkan plantlet bebas virus dapat terjadi karena proliferasi sel-sel meristem tunas apikal lebih cepat dibandingkan dengan penyebaran partikel virus, sehingga setiap saat terdapat sel-sel yang belum terinvasi virus. Plantlet yang dihasilkan dari sel-sel yang tidak terinvasi virus menghasilkan planlet bebas virus. Sastry dan Vasanthakumar (1981) menyatakan bahwa setek berakar (rooted cutting) nilam (P. patchouli Pellet) kultivar Malaysia masih dapat bertahan hidup pada perlakuan air panas dengan suhu berkisar antara 40⁰-45⁰C, serta pada perlakuan udara panas 50⁰C. Menurut Lozoya-Saldana dan MerlinLara (1984), derajat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi merupakan faktor pembatas dalam aplikasi metode perlakuan air panas. Meskipun demikian, perlakuan air panas sudah lama digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Perlakuan air panas (HWT) efektif menghilangkan patogen dari umbi, dan penyakit sereh dari tebu (Minket al.1998). Menurut Copes dan Blythe (2009), perendaman setek batang azalea (Rhododendron) pada air panas suhu 50⁰C selama 21 menit efektif untuk mengeliminasi Rhizoctonia AG P (anastomosis group P). Selain itu, perlakuan air panas pada suhu 50⁰C selama 30 menit efektif mengeliminasi cendawan patogen dan endofit pada jaringan setek anggur (Crous et al. 2001). Setelah buah anggur dicuci dengan larutan klorin dan direndam dalam air panas suhu 45⁰C selama 8 menit dapat mempertahankan kualitas anggur selama 4 minggu (Kou et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian Sutrawati (2009), perlakuan perendaman air panas pada suhu 58⁰C selama 40 menit dapat menginaktifkan Pineapple mealybug wiltassociated virus yang menginfeksi tanaman nanas dan daya tumbuh setek daun serta batang nanas masih dapat tetap dipertahankan (60%). Hal ini sesuai dengan penelitian Damayanti et al. (2010), titik inaktivasi suhu untuk Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah antara 55ºC sampai 60ºC, dan lebih tinggi dari titik suhu kematian tanaman tebu. Semua perlakuan panas tidak sepenuhnya menghilangkan SCSMV, namun HWT pada suhu 53ºC selama 10 menit secara drastis mengurangi keparahan penyakit dan tetap menjaga viabilitas tanaman 100%. Menurut Balamuralikrishnan et al. (2003), panas juga bisa menyebabkan inaktivasi virus pada awal fase yang mengakibatkan penurunan titer Sugarcane mosaic virus (SCMV). Mungkin hal ini yang bisa menjelaskan kenapa HWT dapat memperlambat munculnya gejala mosaik pada nilam. Untuk melakukan teknik kultur jaringan meristem apikal tanaman nilam dengan ukuran yang lebih kecil dari 0.5 mm cukup sulit, oleh sebab itu pada penelitian selanjutnya mungkin dapat disarankan untuk menggabungkan teknik kultur jaringan dan perlakuan air panas pada suhu yang toleran untuk jaringan nilam. Bahan eksplan yang digunakan adalah batang terminal (bukan meristem apikal) dari tanaman sakit yang sudah disterilisasi dan diberi perlakuan
62 perendaman air panas dahulu pada 50⁰C selama 10 menit sebelum ditumbuhkan pada media MS yang telah ditambah BAP 0.5 mg/l. Menurut Balamuralikrishnan et al. (2003) bahwa HWT pada suhu 55ºC dengan lama waktu perendaman antara 20 sampai 30 menit mungkin perlakuan yang terbaik untuk mendapatkan sumber kultur meristem dengan keparahan terendah. El-Nasr et al. (1989) melaporkan bahwa SCMV bisa dihilangkan (dieliminasi) dengan HWT pada suhu 55ºC dan 57ºC yang kemudian diikuti dengan melakukan kultur meristem, sehingga seri HWT adalah efektif dalam eliminasi virus (Benda et al., 1989). Jadi penurunan awal dari titer virus dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus dengan kultur meristem. Selain itu, HWT juga telah lama digunakan untuk mendapatkan tanaman hasil propagasi yang bebas patogen. Dengan menggunakan kombinasi antara teknik kultur jaringan dan kemoterafi dengan HWT efektif mengeliminasi hampir semua patogen (Mink et al. 1998). Kim et al. (2003) melaporkan bahwa HWT pada 75⁰C selama 72 jam dan pada 85⁰C selama 24 jam mampu mengnonaktifkan Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV) pada biji mentimun. Begitu juga dengan bawang putih yang ditumbuhkan pada suhu 36⁰C selama 30 dan 40 hari menghasilkan 51% dan 50% plantlet yang bebas Garlic yellow streak virus (GYSV), dan hampir semua plantlet tanaman bebas virus jika waktu pemanasan ditingkatkan menjadi 60 hari (Conci dan Nome, 1991). Simpulan Kultur jaringan meristem apikal berhasil digunakan untuk mengeliminasi TeMV pada tanaman nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan).Tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal berukuran 0.5–1 mm menghasilkan 33.3–90.9% tanaman bebas virus. Perendaman setek batang nilam didalam air panas pada suhu 50–60⁰C dan lama waktu perendaman 10–30 menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi ketiga varietas nilam yang diuji, tetapi dapat memperlambat munculnya gejala. Hasil ini mengindikasikan bahwa teknik kultur meristem apikal berpotensi untuk menghasilkan setek nilam yang bebas virus. Daftar Pustaka Balamuralikhrishnan M, Doraisamy S, Ganapathy T, Viswanathan R. 2003. Impact of serial thermotherapy on Sugarcane mosaic virus titre and regeneration in sugarcane. Arch Phytopathol.and Plant Protect. 36:173178. Barahima WP. 2003. Eliminasi Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV) pada empat kultivar Ubijalar unggul local asal Papua melalui teknik kultur meristem. Bul. Agron. 31(3):81-88. Benda GTA, Mock RG, Gillaspie AG. 1989. Control of sugarcane mosaic by serial heat treatment II. The pattern of cure at high temperature. Sugar Cane 2:6-10
63 Brown CR, Kwiatkowski S, MartinMV, Thomas PE. 1988. Eradication of PVS from Potato Clones Through Excisions of Meristems from In Vitro, Heat Treated Shoot Tips. Am. Potato J. 65:633-638. Budiarto K, Sulyo Y, Rahardjo IB, Pramanik S. 2008. Pengaruh Durasi Pemanasan terhadap Keberadaan Chrysanthemum Virus-B pada Tiga Varietas Hrisan Terinfeksi. J. Hort. 18(2):185-192. Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzymelinked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal of General Virology 34:475-483. Conci V, Nome SF. 1991.Virus free garlic (Allium sativum L) plants obtained by thermotherapy and meristem tip culture. J. Phytopathology 132:186-192. Converse RH, Tanne E. 1984. Heat Therapy and Stolon Apex Culture to Eliminate Mild Yellow-edge Virus from Hood Strawberry. Phytopathol. 74:1315-1316. Copes WE, Blythe EK. 2009. Chemical and hot water treatments to control Rhizoctonia AG P infesting stem cuttings of azalea. Hort. Science 44(5):1370-1376. Crous PW, Swart L, Coertze S. 2001. The effect of hot water treatment on fungi occurring in apparently healthy grapevine cuttings. Phytopathol. Mediterr. 40(S):464-466. Damayanti TA, Putra LK, Giyanto. 2010. Hot water treatment of cutting cane infected with Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV). J. ISSAAS 16(2):17-25. El-Nasr AMA, Fahmy FG, Fushdi MA. 1989. Elimination of sugarcane mosaic disease by tissue culture and hot water treatment. Asian J. Agric. Sci. 20:277-292. Golino DA, Sim ST, Grzegorezyk W, Rowhani A. 1998. Optimizing tissue culture protocols used for virus elimination in grapevines. American Journal of Ecology and Viticulture 49(4):451-452. Goodwin PB, Kim YC, Adisarwanto T. 1980. Propagation of shoot tip culture and shoot multiplication. Potato Res. 23:45-49. Gunaeni N, Karjadi AK. 2008. Kultur meristem dan antiviral ribavirin pada tanaman kentang. J. Agrivigor 7(2):105-112. Hadipoentyanti E, Amalia, Nursalam. 2007. Effect of growth regulator 2,4 D and BAP to in vitro Callus and Shoots induce on Patchouli (Pogostemon cablin Benth) var. Sidikalang. Proceeding International Seminar on Essential Oil 2007. ISMECRI. Jakarta. hlm 78-86. Hadipoentyanti E, Amalia, Sirait N, Hartati SY, Suhesti S. 2008. Perakitan Varietas Tahan Nilam terhadap Penyakit Layu Bakteri.Prosiding Konferensi Minyak Atsiri. Surabaya. hlm 17-29. Hartono S, Subandiyah S. 2006. Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli mottle virus pada tanaman nilam. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 12(2):74-82. HartonoS. 2008. Karakterisasi virus mottle pada tanaman nilam di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Bogor-4 Nopember 2008. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Tidak dipublikasi.
64 Irwin ME.1999. Implication of movement in developing and deploying integrated pest management strategies. Agricultural and Forest Meteorology 97:235-248 Kim SM, Nam SH, Lee JM, Yim KO, Kim KH. 2003. Destruction of Cucumber green mottle mosaic virus by heat treatment and rapid detection of virus inactivation by RT-PCR. Molecules and cells 16:338-342. Kou L, Luo Y, Ding W, Liu X, Conway W. 2009. Hot water treatment in combination with rachis removal and modified atmosphere packaging maintains quality of table grapes. HortScience 44(7):1947-1952. Langhans RW, Horst RK, Earle ED. 1977. Diseases-free plants via tissue culture propogation. HortScince. 12:149-150. Leonhardt W, Wawrosch Ch, AuerA, Kopp B. 1998. Monitoring of virus diseases in Austrian grapevine varieties and virus elimination using in vitro thermotherapy. Plant Cell Tissue and Organ Culture 52:71-74. Lozoya-Saldana H, Merlin-Lara O. 1984. Thermotherapy and Tissue Culture for Elimination of Potato Virus X (PVX) in Mexican Potato Cultivars Resistant to Late Blight. Am. Potato J. 61:735-739. Meissner Filho PE, Resende R de O, Lima MI, Kitajima EW. 2002. Patchouli virus X, a new potexvirus from Pogostemon cablin. Ann. Appl. Biol. 141:267-274. Mink GI, Wample R, Howell WE. 1998. Heat treatment of perennial plants to eliminate phytoplasmas, viruses, and viroids while maintaining plant survival. In Plant Virus disease control, edited by Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H. 1998. St.Paul (US): American Phytopatology Society Press Natsuaki KT, Tomaru K, Ushiku S, Ichikawa Y, Sugimura Y, Natsuaki T, Okuda S, Teranaka M. 1994. Characteristic of two viruses isolated from patchouli in Japan. Plant Dis. 78:1094-1097. Noveriza R, Suastika G, Hidayat SH, Kartosuwondo U. 2012a. Identification of a Potyvirus associated with mosaic disease on patchouli plants in Indonesia. J. ISSAAS 18(1):131-146. Noveriza R, Suastika G, Hidayat SH, Kartosuwondo U. 2012b. Penularan Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam melalui vektor Aphis gossypii. Jurnal Fitopatologi Indonesia 8(3):65-72. Nuryani Y, Hobir, Syukur C. 2003. Status pemuliaan tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.). Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat XV(2):57-67. Nuryani Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 11 (1):1-3. Quak F. 1972. The treatment and substances inhibity, virus multiplication in meristem culture to obtain virus free plant. Ad. Hort. Sci. :141-144. Sastry KS, Vasanthakumar T. 1981. Yellow mosaic of patchouli (Pogostemon patchouli) in India. Current Science 50(17):767-768. Singh MK, Chandel V, Hallan V, Ram R, Zaid AA. 2009. Occurrence of Peanut stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants by meristem tip culture. Journal of Plant Diseases and Protection 116(1):2–6,
65 Sugimura Y, Padayhag BF, Ceniza MS, Kamata N, Eguchi S, Natsuaki T, Okuda S. 1995. Essential oil production increased by using virus free patchouli plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology 44:510-515. Sutrawati M. 2009. Eliminasi PMWaV (Pineapple mealybug wilt-associated virus) dari jaringan tanaman nanas melalui perlakuan air panas dan ribavirin. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tjandra A. 2000. Pengaruh konsentrasi BAP dan Calsium pathothenate terhadap Calla lily (Zantedeschia rehmanii) secara in vitro dan presentase tumbuh planlet di lapangan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Visessuwan R, Korpraditskul W, Attathom S, Klinkong S. 1988. Production of Virus-Free Sugarcane by Tissue Culture. Kasetsart J. (Nat. Sci. Suppl.) 22:30-60.