KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANOKALSIUM HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2013 Vanessa N J Lekahena NIM F251090041
RINGKASAN VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, DIDAH NUR FARIDAH dan ROSMAWATY PERANGINANGIN. Pemanfaatan tulang ikan sebagai sumber mineral seperti kalsium dan fosfor merupakan upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tulang itu sendiri. Kalsium dan fosfor adalah senyawa penting yang berperan penting dalam proses metabolisme serta manfaat bagi kesehatan. Kalsium umumnya tersedia dalam ukuran mikro (µm) yang dalam sistem metabolisme tubuh penyerapannya hanya mencapai 50% dari total kalsium yang dikonsumsi sehingga alternatif terbaik untuk meningkatkan penyerapannya yaitu dengan memperkecil ukuran dalam nano (nm) menjadi nano kalsium dan salah satu cara untuk memperkecil ukuran dengan menggunakan milling. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan utama yaitu 1) persiapan bahan baku; 2) ekstraksi nanokalsium dari tulang ikan dan 3) karakterisasi sifat fisikokimia sampel nanokalsium. Proses persiapan bahan baku dilakukan dalam beberapa tahapan proses seperti pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi untuk melunakkan dan merubah struktur tulang sehingga memudahkan proses milling. Proses ekstraksi dilakukan dengan 4 metode ekstraksi, yaitu akuades (sampel A), NaOH (sampel B), NaOH dilanjutkan dengan HCl (sampel C) dan HCl (sampel D), yang dilanjutkan dengan proses milling menjadi nanokalsium sebelum dikarakterisasi, dengan menggunakan bahan baku (sampel BB) sebagai kontrol. Karakteristik fisikokimia yang dilakukan meliputi: rendemen, derajat putih, ukuran partikel, proksimat, kalsium dan fosfor, serta gugus fungsi, morfologi permukaan dan struktur kristal sampel. Hasil analisis fisikokimia sampel menunjukkan bahwa sampel dengan sifat fisikokimia yang terbaik adalah sampel C, karena memiliki ukuran partikel kecil (145.50 nm) dan derajat putih (93.72%) atau memenuhi standar derajat putih kalsium komersil, dan rendah akan kadar air, protein dan lemak, tetapi tinggi kadar abu, kalsium dan fosfor dengan rasio Ca/P = 1.87. Hasil yang diperoleh adalah sifat kalsium yang mendekati sifat hidroksiapatit, sehingga jika diaplikasikan dalam bahan pangan memiliki sifat kelarutan dan bioavailabilitas yang baik. Analisis gugus fungsi menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) mengindikasi adanya gugus fosfat (PO43-) sampel dalam bentuk vibrasi simetris strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching, dan vibrasi asimetris bending, sedangkan pita absorpsi apatit karbonat (CO32-) dalam bentuk tipe AKA (Apatit Karbonat A) dan AKB (Apatit Karbonat B).
Analisis menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan adanya perubahan morfologi pada sampel hasil ekstraksi sebagai akibat dari proses ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi dengan larutan asam mengakibatkan morfologi sampel menjadi lebih berporos dan tajam, sedangkan ekstraksi menggunakan larutan basa mengakibatkan permukaan sampel menjadi lebih datar, dan ekstraksi menggunakan air tidak mempengaruhi morfologi permukaan bubuk tulang ikan nila. Hasil analisis menggunakan EDS (Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy) menunjukkan terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C), oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca). Jenis pelarut mempengaruhi persen massa unsur sampel. Ekstraksi dengan larutan asam mengakibatkan meningkatnya persen massa fosfor dan menurunkan persen massa karbon dan kalsium. Analisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan fasa kristal dalam sampel dalam bentuk apatit karbonat baik tipe A maupun B dan hidroksiapatit dengan rumus kimia [Ca5(PO4)3(OH)]. Sampel berada dalam fasa kristalin dan amorf yang ditunjukkan dengan derajat kristalinitas 71.4-78.4% dan ukuran kristal yang terbentuk pada sudut 2 ≤ 25.92 berkisar antara 156.44430.69 nm.
SUMMARY VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA. Characterization of Physicochemical Properties of Nanocalcium Extracted from Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone. Under direction of RIZAL SYARIEF, DIDAH NUR FARIDAH and ROSMAWATY PERANGINANGIN. The utilization of fish bone as minerals source such as calcium and phosphorus is an effort to increase the economic value of waste fish bones. Calcium and phosphorus are essential compounds which play an important role in metabolic processes as well as health benefits. Generally, calcium is available in micro size, which is absorbed in the metabolic system at 50% of total calcium intake then the best alternative to improve absorption is reducing the size in nano (nm) so become nanocalcium, by milling process. The research aimed to perform the extraction of nanocalcium from tilapia (Oreochromis niloticus) bones by using different types of solvents, followed by milling process and study the characterization of physicochemical changes. The research was conducted in three main phases: 1) raw material preparation, 2) the extraction of nanocalcium from fish bones and 3) characterization of physicochemical nanocalcium sample. There are some process stages to prepare raw material: washing, boiling, drying and size reduction, then performed extraction to soften and change the bone structure to be milled easily. The extractions were done as follow: water (sample A), NaOH (sample B), NaOH followed by HCl (sample C) and HCl (sample D) which is followed by milling process to become nanocalsium before characterized, using raw materials (sample BB) as a control. Physicochemical characteristics that observed are include yield, whiteness degree, particle size, proximate, calcium and phosphorus, functional groups, morphology surface and crystal structure of the sample. Physicochemical analyzed that sample C is the sample with best character because has smaller particle size (145.50 nm) and the whiteness degree (93.72%) close to commercial standards of whiteness calcium as well as low of moisture, protein and fat content while ash, calcium and phosphorus content are high with ratio of Ca/P = 1.87. Calcium obtained is close to the hydroxyapatite characteristic so aplicate it in food has good properties mainly related to its solubility and bioavailability. Absorption peaks of sample revealed by FTIR (Fourier Transform Infrared) identified that phosphate (PO43-) group indicated as the symmetric bending, symmetric stretching, asymmetric stretching, and asymmetric bending vibrations. Absorption band of carbonate (CO32-) group indicated the apatite carbonate type A and B. Morphological analysis using SEM (Scanning Electron Microscopy) showed that surface of sample is change as result of the extraction process and the type of used solvent. Extraction using acid solution made sample becomes more porous and sharper, while extraction using alkaline solution made sample surface
flatter, while extraction using water did not change the surface morphology of tilapia bone powder. The result of EDS (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy) analysis showed that sample consist of 4 main elements such as carbon (C), oxygen (O), phosphorus (P) and calcium (Ca). The type of solvent affects the mass percent of there elements. Extraction using acid solution was increased mass percent of phosphorus and decreased mass percent of carbon and calcium. XRD (X-Ray Diffraction) analysis showed crystalline phase in the sample form carbonate apatite either type A or B and hydroxyapatite [Ca5(PO4)3(OH)]. Samples performed crystalline and amorphous phase that indicated by the degree of crystallinity about 71.4-78.4% and the size of the formed crystals at 2 ≤ 25.92 its range between 156.44-430.69 nm. Keyword: extraction, nanocalcium, physicochemical characterization
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANOKALSIUM HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Sc
Judul Nama NIM
: Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Vanessa Natalie Jane Lekahena : F251090041 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr Ir Didah Nur Faridah, M.Si Anggota
Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS Anggota Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 12 April 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan, kasih dan karunia-Nya, termasuk kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S-2 di PS Ilmu Pangan dengan tesis berjudul “Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)”. Satu artikel terkait dengan penelitian ini yang telah dikirim untuk publikasi ke Jurnal Teknologi dan Ilmu Pangan dengan judul “Karakterisasi Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Menggunakan Metode Basa dan Asam” Awal masa perkuliahan, penelitian hingga tahap penyelesaian studi dilewati atas bimbingan, bantuan, perhatian dan dukungan yang telah diberikan maka patutlah penulis mengucapkan terima kasih dan perhargaan kepada yang terhormat: 1. Ketua komisis pembimbing: Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. 2. Anggota komisi pembimbing: Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si dan Prof. (R) Dr. Ir. Rosmawaty Peranginangin, MS. 3. Ketua PS Ilmu Pangan: Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional – Beasiswa BPPS. 5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, atas kesempatan dan rekomendasi yang diberikan untuk melanjutkan studi, serta bantuan biaya studi. 6. Pimpinan dan staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, khususnya kepada Ir. Murniyati, M.Si yang memberikan kesempatan untuk ikut dalam proyek penelitian pemanfaatan limbah hasil perikanan. 7. Teman-teman kuliah di PS Ilmu Pangan khususnya IPN 2009. 8. Papa Atjab (alm) dan mama Cici (alm) yang tak sempat melihat dan merasakan kebahagian ini. Ketiga adik terkasih, Maggyo Giovedy Lekahena, Aretha Viona Passal/Lekahena dan Mirella Patricia Tamaela/Lekahena, beserta dengan keluarga, yang telah memberikan bantuan moril maupun material. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna tetapi penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat terutama dalam memahami proses ekstraksi dan karakterisasi nanokalsium. Bogor, April 2013 Vanessa N J Lekahena
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis 2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Nila Tulang Ikan Kalsium Ekstraksi Kalsium Teknologi Nano Keunggulan dan Manfaat Teknologi Nano 3. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Analisis Data 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan Nila Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku dan Nanokalsium Rendemen Derajat Putih Ukuran Partikel Analisis Proksimat Analisis Kalsium dan Fosfor Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR Analisis Morfologi Menggunakan SEM/EDS Karakterisasi Kristal Menggunakan XRD 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi xii xiii 1 3 3 3 5 7 7 13 15 15 17 17 17 25 27 27 29 29 30 31 32 34 35 37 39 43 43 45 51
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Komposisi proksimat dan total kalori 5 jenis ikan nila Komposisi mineral dan total kalori 5 jenis ikan nila Komposisi proksimat, energi dan mineral tepung tulang ikan nila Pangan sumber kalsium dan bioavaibilitasnya Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur Kode sampel Data limbah dan perubahannya selama proses persiapan bahan baku Hasil analisis fisik sampel Komposisi proksimat nanokalsium tulang ikan nila, kalsium tulang ikan cod dan salmon Kadar kalsium dan fosfor sampel Peta absorpsi FTIR sampel Hasil analisis unsur sampel menggunakan EDS Puncak-puncak profil XRD sampe Derajat kristalinitas dan ukuran kristal sampel
6 6 7 8 10 21 27 30 32 34 36 39 40 41
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Diagram alir tahapan penelitian Diagram alir persiapan bahan baku Diagram alir ekstraksi dan karakterisasi nano kalsium Spektrum FTIR sampel Mikrograf SEM sampel Difraktogram XRD sampel
18 19 20 37 38 42
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Data limbah dan perubahannya Ikan nila (Oreochromis niloticus) Kondisi limbah tulang ikan nila Proses perebusan limbah tulang ikan nila Kondisi bahan baku tulang ikan nila Metode ekstraksi kalsium Hasil pengukuran partikel bahan baku Hasil pengukuran partikel sampel A Hasil pengukuran partikel sampel B Hasil pengukuran partikel sampel C Hasil pengukuran partikel sampel D Hasil analisis proksimat dan mineral sampel Hasil uji one-way ANOVA derajat putih sampel Hasil uji one-way ANOVA kadar air sampel Hasil uji one-way ANOVA kadar abu sampel Hasil uji one-way ANOVA kadar protein sampel Hasil uji one-way ANOVA kadar lemak sampel Hasil uji one-way ANOVA kalsium Hasil uji one-way ANOVA fosfor Spektrum FTIR bahan baku Spektrum FTIR sampel A Spektrum FTIR sampel B Spektrum FTIR sampel C Spektrum FTIR sampel D Mikrograf SEM bahan baku Analisis EDS bahan baku Mikrograf SEM sampel A Analisis EDS sampel A Mikrograf SEM sampel B Analisis EDS sampel B Mikrograf SEM sampel C Analisis EDS sampel C Mikrograf SEM sampel D Analisis EDS sampel D Profil difraktogram bahan baku Profil difraktogram sampel A Profil difraktogram sampel B Profil difraktogram sampel C Profil difraktogram sampel D
51 51 51 52 52 53 53 54 54 55 55 56 56 56 56 56 57 57 57 57 58 58 59 59 60 60 61 61 62 62 63 63 64 64 65 65 66 66 67
PENDAHULUAN Latar Belakang Penanganan limbah industri pengolahan hasil ikan merupakan salah satu permasalahan dalam industri pengolahan perikanan. Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Produksi tahunan ikan nila dunia adalah sekitar 1 500 000 ton atau senilai 1.8 miliar dolar US, hampir sama dengan total nilai produksi tahunan ikan salmon dan trout (Hemung 2013). Pengolahan ikan nila dalam bentuk fillet ikan yang dilakukan oleh P.T. Aqua Farm di Semarang, Jawa Tengah, menghasilkan limbah tulang ikan sebanyak 4500 kg per hari (10% dari total produksi harian sebesar 45 ton)1 dan belum dapat diolah serta dimanfaatkan untuk menjadi produk yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan tulang ikan nila sebagai sumber mineral terutama kalsium dan fosfor merupakan upaya peningkatan nilai ekonomis limbah tulang ikan, karena selama ini pemanfaatan tulang ikan tersebut masih terbatas pada pembuatan tepung tulang untuk pakan ternak atau dibuang sehingga menimbulkan masalah lingkungan, padahal tulang ikan nila memiliki kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor yang bermanfaat. Fraksi limbah padatan tulang ikan berkisar 10-15% dari berat ikan secara keseluruhan tidak termasuk kulit, dan merupakan sumber protein yang potensial, asam lemak tak jenuh esensial, vitamin, antioksidan, asam amino dan mineral (6070%) dalam bentuk garam anorganik terutama kalsium fosfat, kreatin fosfat dan hidroksiapatit (Kim dan Mendis 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011). Kalsium merupakan mineral yang paling banyak dalam tubuh yaitu > 99% dari tubuh manusia atau sekitar 1000-1200 g mengandung kalsium yang terkonsentrasi pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril. Selain berperan penting dalam kekakuan dan kekuatan tulang, kalsium juga berperan penting dalam sebagian besar proses metabolisme, termasuk proses pembekuan darah, adhesi sel, kontraksi otot, sistem hormon, pelepasan neurotransmitter dan metabolisme glikogen, serta proliferasi dan diferensiasi sel (WHO 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011). Beberapa kajian mengenai pemanfaatan tulang ikan dan potensi aplikasinya sebagai sumber kalsium alami telah dilakukan, diantaranya kalsium dalam tulang ikan cakalang dapat diekstrasi dengan teknik deproteinasi (Murtiningrum 1997); limbah tulang ikan patin sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia 2004); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit (Kaya et al. 2007); limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein (Trilaksani et al. 2006); tepung tulang ikan kakap merah dalam susu kedelai (Dongoran et al. 2008), dari hasil kajian-kajian tersebut diketahui bahwa limbah tulang ikan 1
Komunikasi pribadi dengan Kepala Unit Produksi PT Aqua Farm, Semarang bulan Juli 2012
2
berpotensi sebagai sumber kalsium alami yang dapat difortifikasi pada produk pangan untuk mencukupi asupan kalsium harian. Produk pangan yang difortifikasikan dengan kalsium tulang akan menghasilkan produk yang kaya kalsium, untuk itu kalsium pada tulang harus diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna melalui perubahan struktur matriks tulang dengan proses pelunakan yang dapat dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi dengan air panas dan larutan asam panas (Kim dan Mendis 2006). Penggunaan larutan asam (HCl, asam asetat, asam sitrat) dalam ekstraksi nanokalsium (Suptijah et al. 2010b) dan ekstraksi menggunakan NaOH 3% dalam pembuatan tepung tulang ayam sebagai sumber kalsium (Sittikulwitit et al. 2004). Penentuan efesiensi dan efektifitas keberhasilan fortifikasi kalsium dalam bahan pangan terhadap proses penyerapannya maka dilakukan analisis bioavailabilitas kalsium baik secara in vitro dan in vivo. Analisis bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium dalam tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi metabolisme (Trilaksani et al. 2006). Bioavailabilitas merupakan pertimbangan penting untuk mengembangkan strategi guna mencegah defisiensi kalsium melalui peningkatan ketersedian kalsium dalam bahan pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, bentuk kalsium yang digunakan untuk fortifikasi dan suplemen, serta metode yang digunakan untuk menjelaskan dan menilai bioavailabilitas kalsium, merupakan gambaran fortifikasi dan alternatif pemanfaatan kalsium untuk pemenuhan kebutuhannya (FairweatherTait dan Teucher 2002). Pengujian bioavailabilitas kalsium tulang ikan yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain, kalsium tulang ikan salmon 21.9%, cod 22.5% dan dibandingkan dengan suplemen kalsium (CaCO3) 27.4% sebagai kontrol (Malde et al. 2010), sedangkan bioavaibilitas kalsium hasil ektraksi dari tulang ikan lele, salmon dan kakap yang difortifikasi pada roti tawar putih menggunakan metode in vitro adalah 34.5-35.7% (Luu dan Nguyen 2009). Kalsium dalam bentuk tepung tulang ikan tuna memiliki penyerapan sebesar 0.86% atau 337.46 mg/100 g tepung tulang ikan (Trilaksani et al. 2006), sedangkan bioavailabilitas kalsium tulang ikan nila yaitu 9.38% atau 116.56 mgL-1, dikatakan pula bahwa penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan kalsium kontrol tetapi dapat meningkatkan aktifitas transglutaminase (tTGase) dalam proses metabolisme (Hemung 2013). Mineral kalsium umumnya tersedia dalam bentuk mikro, yang diduga dalam proses metabolisme tubuh terserap hanya mencapai 50% dari total kalsium yang dikonsumsi (Guyton 1987), sehingga alternatif terbaik untuk meningkatkan penyerapan kalsium secara maksimal adalah dengan membentuk nanokalsium (Suptijah et al. 2012). Nanokalsium merupakan mineral predigestif yang sangat efiesien dalam memasuki sel tubuh karena ukuran yang super kecil menyebabkan mudah memasuki reseptor sehingga dapat terabsorpsi secara cepat dan sempurna ke dalam tubuh (Park et al. 2007). Bioavailabilitas nanokalsium yang diuji pada tikus yang diberi pakan nanokalsium memiliki buangan kalsium yang rendah pada feses dan urin dibandingkan tikus yg diberi pakan mikrokalsium (Gao et al. 2007), selain itu
3
Park et al. (2007) menjelaskan bahwa penggunaan nanokalsium sebagai suplemen dalam susu yang diujikan pada tikus, lebih efektif dalam meningkatkan metabolisme kalsium dan massa tulang tikus tersebut, hal ini membuktikan bahwa ukuran partikel kalsium mempengaruhi tingkat penyerapannya, seperti yang dijelaskan oleh Chen et al. (2010) bahwa ukuran partikel merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam ilmu formulasi ketika berhubungan dengan formulasi sistem disperse pangan. Sintesis nanomaterial dapat dilakukan secara top down dan bottom up. Top down merupakan pembuatan struktur nano dengan memperkecil ukuran material, sedangkan bottom-up adalah dengan cara merangkai atom atau molekul dan menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk membentuk nano struktur (Greiner 2009). Metode top down adalah penggerusan dengan alat milling, sedangkan teknologi bottom up yaitu menggunakan teknik sol-gel, presipitasi kimia, dan aglomerasi fasa gas (Dutta dan Hofmann 2005) dan penelitian ini menggunakan metode top down melalui proses penepungan. Pemanfaatan teknologi nano untuk menghasilkan nanokalsium yang dilakukan oleh Suptijah et al. (2010a) dengan mengisolasi dan karakterisasi mineral crustacea sebagai sumber potensial nanokalsium dengan perlakuan lama waktu perendaman, tahapan ekstraksi dengan berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu ekstraksi menjelaskan bahwa kondisi perendaman selama 1 hari, menggunakan konsentrasi HCl 1.0 N dan waktu ekstraksi 60 menit merupakan tahapan proses yang paling efisien dalam pembuatan nanokalsium dengan rendemen 61.7%. Nanokalsium dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk dan fortifikasi pangan sebagai bentuk pangan fungsional yang bermanfaat untuk kesehatan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.
Manfaat Penelitian 1. 2.
3.
Sumber informasi pemanfaatan limbah hasil produksi perikanan khususnya limbah tulang ikan nila sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis. Kandungan kalsium tulang ikan nila dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium alami untuk memenuhi kebutuhan asupan kalsium harian karena memiliki potensi sumber daya yang besar dan bioavailabilitas yang baik. Kalsium tulang ikan dalam bentuk nanokalsium mampu meningkatkan penyerapan kalsium sehingga pemanfaatannya sebagai fortifikan pada bahan pangan lebih efektif dan efisien.
4
Hipotesis Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan nanokalsium yang berbeda karakteristik fisikokimia dibandingkan dengan kalsium pada tulang ikan yang belum diekstraksi.
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila adalah jenis ikan ekonomis penting dalam ekologi daerah tropis dan sub tropis termasuk Mesir. Ikan ini berasal dari Sungai Nil dan danaudanau sekitarnya dan merupakan spesies yang paling populer dari ikan bertulang di Afrika. Hal ini disebabkan ikan ini memiliki beberapa sifat yang menguntungkan yaitu mampu bertoleransi terhadap kualitas air yang buruk, berbagai macam makanan, plastisitas dalam pertumbuhan, daging ikan yang tebal dan rasa yang enak dan mampu untuk mengubah sampah organik dan domestik menjadi protein kualitas tinggi. Sifat yang menguntungkan lainnya yaitu waktu pemijahan yang panjang dan biologi reproduksi dengan waktu generasi pendek (Kariman et al. 2008). Saat ini ikan nila telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik (Priatman 2000). Bibit ikan didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan. Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Crdo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus. Ciri-ciri nila adalah bentuk badan pipih kesamping memanjang; mempunyai garis vertikal sepanjang tubuh 9-11 buah; garis-garis pada sirip ekor berwana merah sejumlah 6-12 buah; pada sirip pungung terdapat garis-garis miring; dan mata tampak menonjol dan besar, tepi mata berwarna putih. Nila merupakan ikan sungai atau danau yang cocok dipelihara di perairan tawar yang tenang, kolam dapat berkembang pesat pada perairan payau misalnya tambak. Produksi perikanan budidaya ikan nila meningkat sebesar 23.96% per tahun dimana produksi pada tahun 2004 sebesar 7116 ton menjadi 220 900 ton pada tahun 2008. Pada tingkat dunia Indonesia berada pada peringkat empat negara produsen nila terbesar setelah Cina, Mesir dan Filipina (DKP 2009). Secara umum ikan dan kandungan nutrisinya memiliki peran penting dalam ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, tetapi sedikit yang diketahui tentang nutrisi ikan yang dapat dikonsumsi baik segar atau diawetkan. Pengetahuan yang lebih baik dari nutrisi ikan, yang berhubungan erat dengan
6
spesies ikan dan memberikan kontribusi untuk pemahaman variabilitas dalam kualitas daging dari spesies yang berbeda (Elagba et al. 2010). Komponen zat gizi ikan air tawar berbeda antara spesies, jenis kelamin, ukuran, musim pemijahan, dan sebaran geografis (Zenebe et al. 1998). Selain itu, proses pasca panen dan pengolahan akan mempengaruhi umur simpan ikan (Clement dan Lovelli 1994). Pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan komposisi proksimat dan komposisi mineral 5 species ikan nila. Tabel 1
Komposisi Proksimat (g/100g berat kering) dan total kalori dari 5 jenis ikan nila yang komersil (Elagba et al. 2010)
Parameter
L. niloticus
B. Bayad
O. niloticus
S. schall
T. lineatus
Total lipid (TL) 6.8 13.2 5.3 17.3 1.8 Total protein (TP) 77.9 77 78.4 59.8 79.1 Moisture (M) 75 76 76 73 80 TL:M * 9.1 13.6 6.6 23.7 2.3 TL:TP ** 8.8 13.4 6.4 28.8 2.3 Total kalori (Kj/100g) 396.9 424.8 382.6 413.7 356.5 * Persentasi konsentrasi TL terhadap M ** Rasio konsentrasi TL terhadap konsentrasi protein (100 g, bk)
Kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis. Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu dan salinitas air juga mempengaruhi kandungan mineral (Martinez et al. 1998). Umumnya hampir sama berbagai spesies ikan dibandingkan dengan makro nutrien yang mempunyai variabilitas yang lebih besar (Tee et al. 1989). Tabel 2 Komposisi mineral (ppm, µg/g berat kering) dan rasio (%) dari 5 jenis ikan nila komersil (Elagba et al. 2010) Mineral
L. niloticus
B. Bayad
O. niloticus
S. schall
T. lineatus
Potassium Phosphorous Selenium Calcium Sodium Magnesium Zinc Iron Copper Total mineral
11550 (40) 7270 (25) 4565 (16) 2305 (8) 2395 (8) 705 (2) 62 26 0.9 28870
12100 (41) 7730 (26) 3610 (12) 2920 (10) 2360 (8) 748 (3) 51 17 1.0 29537
9545 (37) 9350 (36) 3610 (14) 1075 (4) 1800 (7) 687 (3) 46 26 1.0 26161
10175 (36) 7370 (26) 4328 (15) 3113 (11) 2805 (10) 696 (2) 53 60 1.4 28641
9990 (33) 7885 (26) 3925 (13 5880 (19) 2035(6.6) 751 (2) 88 48 1.3 30664.3
Kandungan kalsium (Ca) ikan adalah sekitar 20-35 mg, fosfor (P) sekitar 190 mg dan zat besi (Fe) 1.0 mg. Sementara konsentrasi natrium (Na) untuk hampir semua jenis ikan adalah 20-50 mg dan kalium (K) 250-300 mg (Tee et al. 1989).
7
Tulang Ikan Tulang umumnya terdiri dari air, materi anorganik dan anorganik, masingmasing diperkirakan 15, 55 dan 30% (Aiko 1991). Total dari susunan tubuh ikan 10% adalah limbah tulang ikan yang memiliki kadar kalsium yang tinggi sekitar 14% dalam bentuk kalsium fosfat (Subasinghe 1996). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Abu dari tulang ikan terdiri dari kalsium sebanyak 34-36% dalam bentuk kalsium fosfat (Hamada et al. 1995). Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik. Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0.1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1.6:0.7 (Lovell 1989). Tabel 3 Komposisi proksimat (g/100 g), energi (Kcal/100 g) dan mineral (mg/100 g) tepung tulang ikan nila (Petenuci et al 2008) Komposisi Proksimata
Tepung tulang ikan
Kadar Air
Proteinb
Lemak
Kadar Abu
Energi
14.2
40.8
25.3
18.3
1636/391
Mineral Zat Kalsium Fosfor Besi (Ca) (P) (Fe) 2715.9
1.3
1132.7
a nilai rata-rata dan SD dengan 3 kali ulangan; b kandungan nitrogen (N x 6.25)
Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium dan flour (Winarno 2008).
Kalsium Kalsium merupakan makro elemen yang banyak terdapat pada kerangka dan gigi (99%), sisanya (1%) pada syaraf, otot dan darah. Sebagai komponen struktural, kalsium dan fosfor pada tubuh memiliki peranan dalam pembentukan dan perkembangan tulang dan gigi dan sebagai komponen metabolik, proses biokimia dan fisiologis termasuk fungsi normal otot, pembekuan darah, transfer ion anorganik melintasi membran, sekresi hormon, pelepasan enzim pada sistem selular, transduksi signal, dan fungsi reproduksi (Gaman dan Sherrington 1990; Sittikulwitit et al. 2004). Kalsium pada struktur tulang berupa kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril
8
(Phiraphinyo et al. 2006). Ion kalsium pada permukaan tulang dapat berinteraksi dengan ion pada cairan tubuh sehingga berperan sebagai proses pertukaan ion. Sifat penting ini berhubungan peranan tulang sebagai sumber pertukaran kalsium untuk membantu mempertahankan konsentrasi konstan kalsium dalam darah (Gurr 1999). Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca2+), dan (3) Kalsium kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Pangan Sumber Kalsium Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan yang dikonsumsi dengan tulang, termasuk ikan kering serta tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacangkacangan seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002; (Guthrie 1975). Bahan pangan yang mengadung kalsium seperti pada Tabel 3. Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Tulang ikan tinggi kandungan kalsium atau sekitar 2% (20 g/kg berat kering) dari berat total ikan (Malde et al. 2010). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982). Tabel 4 Pangan sumber kalsium dan bioavailabilitasnya Pangan Susu (1 gelas yogurt atau 150 g keju) Kacang-kacangan Brokoli Kol Bayam Tahu
Ukuran sajian (g) 240
Kadar kalsium (mg) 300
Fraksi terabsorpsi
Sajian = 1 gelas susu
32.1
Kemampuan terabsorpsi / mg sajian 96.3
177 71 85 90 126
50 35 79 122 258
15.6 61.3 52.7 5.1 31.0
7.8 21.5 41.6 6.2 80
12.3 4.5 2.3 15.5 1.2
1.0
Sumber : Weaver dan Heany (1999)
Defisiensi Kalsium Asupan kalsium harian umumnya diduga lebih rendah dibandingkan dengan yang direkomendasikan ketika asupan susu dan produk susu rendah. Hampir sebagian negara industri maju pemenuhan kebutuhan kalsium sebesar 50-80% berasal dari produk susu, sisanya 25% berasal tanaman. Kandungan kalsium dari
9
sumber pangan lainnya umumnya relatif kecil. Efisiensi penyerapan kalsium meningkat jika diet yang dilakukan rendah kalsium. Penyerapan kalsium secara homeostatik bersamaan dengan penyerapan vitamin D. Inhibitor penyerapan kalsium dalam diet adalah oksalat dan asam fitat (WHO 2006). Kemampuan penyerapan kalsium pada manusia akan menurun seiring bertambahnya usia karena itu sangatlah penting memiliki asupan kalsium yang cukup pada proses penuaan. Kebutuhan kalsium pada setiap individu dan kelompok tertentu bervariasi, kurangnya asupan kalsium diakibatkan karena pola makan dan kebiasan mengkonsumsi makanan tertentu (Gerstner 2003). Kurangnya asupan kalsium dari makanan merupakan salah satu faktor dalam penyebab penyakit tertentu (Sittikulwitit et al. 2004). Konsumsi kalsium yang rendah bisa menyebabkan defisiensi dan bila berlanjut dapat mengakibatkan rickets, tetany, osteomalacia (tulang rapuh), dan osteoporosis yaitu kegagalan pertumbuhan tulang (Mervyn 1989). Osteoporosis telah menjadi penyakit degeneratif penting di dunia terutama di Asia. Patah tulang akibat osteoporosis dapat terjadi pada salah satu tulang akan tetapi umumnya akan terjadi pada pinggul, tulang belakang tulang belakang, dan pergelangan tangan (NIH 2001). Patah tulang pinggul merupakan masalah kesehatan utama pada masyarakat di Asia bahkan diperkirakan pada abad berikutnya, 50% dari kasus patah tulang pinggul di dunia akan terjadi di Asia (Sittikulwitit et al. 2004). Peluang terjadi patah tulang pinggul pada usia 50 tahun dengan persentasi 14% pada wanita dan 5-6% pada pria. Masalah patah tulang menjadi masalah bagi wanita pada usia diakhir 70an hingga 80an. 80% wanita akan mengalami masalah patah tulang dan pengapuran pada usia diatas 75 tahun (NIH 2001). Rekomendasi Asupan Kalsium Referensi diet asupan kalsium seperti terlihat pada Tabel 3. ditentukan dengan mempertimbangkan penelitian terbaru dalam pencegahan osteoporosis. Rekomendasi ini ditetapkan pada tingkat yang dipercaya dapat memberikan manfaat maksimal untuk optimalisasi kepadatan tulang. Meskipun penting untuk mengkonsumsi kalsium yang cukup untuk memenuhi rekomendasi yang ditetapkan akan tetapi konsumsi kalsium yang berlebihan dapat membahayakan organ tubuh. Asupan kalsium yang direkomendasikan pada table tersebut merupakan toleransi konsumsi maksimum. Tujuan rekomendasi tersebut bukan untuk asupan, melainkan merupakan jumlah yang terbaik untuk menjaga kesehatan tulang (Digitale et al. 2008). Asupan kalsium selama pertumbuhan sangat penting untuk pencapaian massa tulang yang dapat mengurangi risiko osteoporosis. Selain itu, asupan kalsium yang cukup telah dikaitkan dengan mengurangi risiko hipertensi dan kanker usus besar (Sittikulwitit et al. 2004). Meningkatkan komsumsi kalsium dapat menurunkan kolesterol dan kolesterol LDL pada tikus jantan (Malekzadeh et al. 2007). Upaya mencegah kekurangan kalsium yaitu dengan meningkatkan asupan kalsium harian dengan pola makan yang berimbang dengan mengkonsumsi makanan yang kaya akan kalsium seperti susu, produk susu dan beberapa jenis
10
sayuran (brokoli, kol dan polong-polongan), tahu yang di proses dengan kalsium sulfat, ikan serta merubah pola konsumsi yang rendah kalsium. Alternatif lainnya yaitu menggunakan suplemen kalsium atau dengan mengkonsumsi produk pangan yang difortifikasi dengan kalsium sebagai suatu nilai tambah. Untuk pemenuhan sumber kalsium dan ketersediannya dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu bentuk garam anorganik (kalsium karbonat dan kalsium fosfat) dan bentuk garam organik seperti kalsium sitrat, kalsium laktat dan kalsium glukonat (Gerstner 2003; Digitale et al. 2008). Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari karena dapat mengakibatkan hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2002). Rekomendasi asupan kalsium harian berdasarkan kelompok umur seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur Kel. Umur, Ibu Hamil dan Rekomendasi Asupan Toleransi Tingkat Ibu Menyusui Kalsium / hari Maksimum Asupan / hari (mg) (mg) Bayi 0-6 bln 210 Tidak ditetapkan 7-12 bln 270 Tidak ditetapkan Anak 1-3 thn 500 2 500 4-8 thn 800 2 500 Remaja 9-13 thn 1 300 2 500 14-18 thn 1 300 2 500 Dewasa 19-30 thn 1 000 2 500 31-50 thn 1 000 2 500 51-70 thn 1 200 2 500 >70 thn 1 200 2 500 Ibu Hamil ≤ 18 thn 1 300 2 500 19-50 thn 1 000 2 500 Ibu ≤ 18 thn 1 300 2 500 Menyusui 19-50 thn 1 000 2 500 Sumber : Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1997.
Beberapa studi menunjukkan adanya persentasi yang signifikan terhadap kegagalan akan asupan sehingga dibuatlah rekomendasi sehubungan dengan ukuran asupan kalsium untuk melawan kekurangan kalsium dan mengurangi resiko terjadinya osteoporosis. Untuk hal itu maka US National Institute of Health (NIH) akhirnya meningkatkan jumlah optimal asupan harian kalsium dan menentukan nilai yang spesifik untuk setiap kelompok usia dalam populasi. Contohnya asupan kalsium harian untuk usia dewasa (25-65 tahun) yaitu 1000 mg/hari dan 1500 mg/hari untuk usia diatas 65 tahun. Sementara rekomendasi
11
asupan harian kalsium oleh Scientific Committee on Food adalah 800 mg/hari (Gerstner 2003). Bioavailabilitas Kalsium Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal organisme serta proses-proses fisiknya (Fox 1988). Bioavailabilitas kalsium dari produk nabati dipengaruhi adanya oksalat dan fitat. Asam oksalat ditemukan dalam jumlah tinggi dalam makanan nabati seperti bayam, coklat atau kakao dan dalam jumlah yang lebih rendah dalam kacang kering, ubi jalar, teh, gandum, kangkung dan kedelai produk (Heaney dan Weaver 1990). Persentase penyerapan kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup, penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium berkisar 30% (Allen dan Wood 1994). Bioavailabilitas adalah kunci penentuan dalam suksesnya fortifikasi. Prioritas bioavailabilitas bukan terhadap identifikasi bentuk kalsium pada perubahan organoleptik produk pangan, tetapi kemampuan penyerapan dan proses homeostatik normal. Pemilihan produk pangan adalah hal yang sama pentingnya untuk keberlangsungan fortifikasi selama dalam kondisi diet yang menguntungkan. Umumnya, kalsium yang digunakan untuk fortifikasi atau suplemen memiliki penyerapan yang baik selama tidak terdapat inhibitor dan strategi nutrisi adalah untuk target utama dalam meningkatkan asupan total kalsium dibandingkan dengan masalah bioavailabilitas (Fairweather-Tait dan Teucher 2002). Agar nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorbsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah: Zat Organik Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2008), sehingga mengendap di dalam rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Vitamin D Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (Almatsier 2002).
12
Serat Pangan Serat pangan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida intraseluler seperti gum dan musilage (Spiller 2001). Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium. Serat pangan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat, mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) menyatakan bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika dibandingkan dengan jenisnya. Serat tidak larut air menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium (Blaney et al. 1996). Protein Protein bersama-sama dengan lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium (Allen dan Wood 1994). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Greger 1999). Namun, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 2001). pH Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium. Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada lambung, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral (Allen dan Wood 1994).
13
Fosfor Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi. Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Proses absorpsi, fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Proses absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu rakhitis (Sediaoetama 2006). Jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal (Allen dan Wood 1994). Sementara Almatsier (2002) menyatakan bahwa bukti terhadap anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.
Ekstraksi Kalsium Limbah tulang ikan hasil dari proses pengolahan ikan memiliki potensi yang untuk digunakan sebagai sumber kalsium mengingat akan kuantitas dari kalsium yang dihasilkan akan tetapi tulang terlalu keras dan tajam untuk dikonsumsi langsung sehingga perlu adanya upaya untuk menghasilkan kalsium dari tulang ikan sebagai bahan fortifikasi dalam bahan pangan, maka kalsium pada tulang ikan harus diubah bentuknya menjadi bentuk yang dapat dicerna dengan cara pelunakan struktur tulang. Beberapa metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya yaitu ekstraksi menggunakan NaOH dengan pemanasan pada suhu dan tekanan tinggi untuk menghilangkan protein, jaringan pengikat dan lemak (Techochatchawal 2009), atau ekstraksi menggunakan air panas dan larutan asam panas (Kim dan Mendis 2006), atau ekstraksi menggunakan metode pemasakan superheated untuk mengurangi hilangnya komponen yang dapat larutdari jaringan tulang dan menghasilkan recovery yang baik dalam waktu singkat (Sittikulwitit et al. 2004), sedangkan untuk ekstraksi kalsium dari tulang ikan salmon dan cod oleh Malde et al. (2010) menggunakan enzim protease dengan pemanasan pada suhu tinggi. Proses ekstraksi kalsium dari tulang ikan kakap merah menggunakan metode perebusan dengan akuades pada suhu 100 C, selama 4 jam dapat
14
menurunkan kadar protein dalam tulang hal ini ditunjukkan pada ekstraksi pertama kadar protein tulang ikan 26.20% dan pada ekstraksi keempat menjadi 18.16%, rendemen tepung tulang ikan sebesar 38.7% (Dongoran et al. 2007). Penggunaan larutan basa juga merupakan salah satu cara yang umumnya digunakan untuk ekstraksi kalsium seperti pada penelitian Peranginangin dan Nurhayati (2011) menggunakan teknik ekstraksi yaitu perlakuan perendaman sampel pada larutan NaOH 0.5 N, 50 C hingga terbentuk ossein, dengan penggantian larutan NaOH selang waktu 6 jam hingga tulang menjadi lunak dan kemudian dinetralisasi menggunakan akuades hingga pH netral. Sampel tulang dihaluskan, kemudian dikeringkan pada suhu 50 C hingga kering, selanjutnya proses pengayakan sehingga diperoleh rendemen kalsium 26.60%, dengan kadar kalsium 8.01% dan fosfat 22.21%. Penggunaan NaOH 3% sebagai pengekstrak juga dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ayam, yang kemudian dinetralkan dan dikeringkan pada 100 C dan dihaluskan (Sittikulwitit et al. 2004), sementara Murtiningrum (1997) menggunakan NaOH untuk deproteinasi dalam proses ekstraksi kalsium dari tulang ikan cakalang. Dimana dijelaskan bahwa peningkatan konsentrasi larutan pengekstrak dan lamanya proses ekstraksi cenderung menurunkan rendemen, kondisi ekstraksi terbaik yaitu dengan menggunakan NaOH 1.5 N dengan waktu 20 Jam menghasilkan rendemen 24.27%. Penelitian tentang “Alternatives in Shrimp Biowaste Processing” yang dilakukan oleh Steven et al. (1998), dimana cangkang udang digunakan untuk pembuatan chitin dan chitosan. Tahap pertama dilakukan proses deproteinasi yaitu cangkang udang dihidrolisis dengan NaOH 4% pada suhu yang tinggi (70120 C) sehingga protein pada cangkang udang terlepas, penambahan natrium borohidrida (NaBH4) untuk menghindari terjadinya oksidasi produk. Hasil dari proses ini menghasilkan hidrolisat protein yang dapat dimanfaatkan sebagai bubuk protein yang dapat digunakan dalam pembuatan kue dan suplemen protein selanjutnya fraksi padat diberi perlakukan dengan HCl 4% tujuannya untuk mengubah kalsium karbonat yang tidak larut menjadi kalsium klorida larut dalam bentuk filtrat yang jika dinetralisasi dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium. Ekstraksi kalsium tulang ikan madidihang (Thunnus albacares) menggunakan larutan asam asetat dan HCl seperti yang dilakukan oleh Thalib (2009), menghasilkan kalsium 14.94-16.35%, sedangkan ekstraksi nanokalsium yang dilakukan oleh Suptijah et al. (2010b) menggunakan beberapa jenis larutan asam (HCl, asam asetat dan asam sitrat) sebagai larutan pengekstrak menunjukkan ekstraksi terbaik dihasilkan oleh proses ekstraksi menggunakan HCl 1.0 N dengan recovery mencapai 61% atau 24.4 g dari 1 kg berat bersih sampel cangkang udang, sementara asam asetat dan asam sitrat menghasilkan presentasi recovery yang lebih rendah yaitu 35% dan 41%. Ekstraksi nanokalsium dari cangkang kijing lokal dengan metode presipitasi yaitu cangkang kijing dalam bentuk tepung, diekstraksi menggunakan HCl pada suhu 90 C dengan lama ekstraksi (1; 1.5; dan 2 jam). Hasil ekstraksi selanjutnya di saring sehingga diperoleh filtrat kemudian ditambahkan NaOH 3.0 N untuk proses presipitasi untuk pembentukan endapan. Endapan yang diperoleh dinetralisasi menggunakan akuades hingga mencapai pH netral dan dikeringkan menjadi bubuk kalsium. Hasil ekstraksi menggunakan metode ini menunjukkan
15
bahwa waktu ekstraksi 1.5 jam merupakan perlakuan yang optimal dengan rendemen 8.53% (Khoirunisa 2011).
Teknologi Nano Teknologi nano didefinisikan sebagai studi tentang fenomena dan manipulasi sistem fisik yang menghasilkan informasi yang signifikan dan pada skala spasial yang dikenal sebagai nano (10-9 m = 1 nm), dan panjangnya tidak melebihi 100 nm (Weiss et al. 2006). Materi nano adalah subtansi kimia atau materi yang dihasilkan atau dipakai pada ukuran yang sangat kecil, yang dikenal dengan skala nano, diperkirakan antara 1-100 nm (Cefic 2012). Teknologi nano terfokus pada rancangan, karakterisasi dan bentuk struktur biologis dan nonbiologis lebih kecil dari pada 100 nm. Struktur partikel pada skala ini telah terbukti memiliki sifat fungsional. (Weiss et al. 2006; Uskokovic 2007). National Nanotechnology Initiative (2006) mengemukan bahwa teknologi nano berdasarkan pemahaman adalah materi yang berada pada dimensi sekitar 1 sampai 100 nanometer merupakan fenomena unik yang memungkinkan dalam aplikasi baru. Penerapannya dapat meliputi mesin dan teknologi, teknologi nano termasuk didalamnya pendugaan, pengukuran dan pemodelan. Batasan antara makroskopik, mikroskopik, dan nanoskopik secara fisik tidak terlihat jelas serta bergantung pada efek yang menjadi perhatian. Namun, memperkecil ukuran partikel dari materi di bawah batas tertentu akan menghasilkan materi yang baru yang berubah dari materi awalnya sehubungan dengan: memberi pengaruh pada kristal partikel sehingga mendekati karakteristik fisik yang sesuai sifatnya; peningkatan luas permukaan deteksi dan dampaknya tergantung sifat, dan terbentuknya sifat bahan baru yang mencirikan batas ukuran partikel (Uskokovic 2007).
Keunggulan dan Manfaat Teknologi Nano Pemanfaatan potensi teknologi nano telah diakui oleh banyak industri dan produk komersial seperti pada bidang mikroelektronik, kedirgantaraan, dan industri farmasi akan tetapi aplikasi nanoteknologi dalam industri pangan masih sangat terbatas. Namun, peningkatan dan penemuan dalam teknologi nano mulai berdampak pada industri pangan dan industri-industri terkait, ini mempengaruhi aspek-aspek penting keamanan pangan untuk sintesis molekul produk pangan baru dan ingredient (Weiss et al. 2006). Penggunaan teknologi nano dalam berbagai aspek pada ilmu pangan diharapkan akan menguntungkan baik bagi industri pangan maupun konsumen (Kuzma dan VerHage 2006). Perkembangan penelitian teknologi nano terfokus pada pengembangan aplikasi dalam ilmu biologi dan keteknikan. Strategi untuk menerapkan teknologi nano untuk industri pangan sangat berbeda dari aplikasi teknologi nano secara tradisional. Pengolahan pangan adalah industri memproduksi multi-teknologi yang melibatkan berbagai macam bahan baku,
16
keragaman keamanan hayati persyaratan, dan proses teknologi yang teratur. Empat bidang utama dalam produksi pangan yang menguntungkan dalam pengembangan teknologi nano yaitu: pengembangan pangan fungsional, pengolahan mikro dan nano, pengembangan produk, dan metode serta rancangan instrumen untuk meningkatkan keamanan pangan dan keamanan biologi (Weiss et al. 2006). Penggunaan nanoteknologi untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Penggunaan teknologi nano untuk kemasan pangan dirancangkan untuk meningkatkan keamanan pangan dan membantu mengurangi limbah pangan. Dalam bidang keamanan pangan nano sensor sedang dikembangkan untuk dapat mendeteksi keberadaan mikroba pembusuk dan berpotensi membedakan mikroba patogen dan mikroba non-patogen (Brody 2010).
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di Laboratorium Pengolahan, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Instrumen pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BPK), Jakarta. Laboratorium Analisis Bahan, Depertemen Fisika FMIPA, IPB dan PT BIN Batan, Serpong.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tulang ikan nila yang di dapat dari Aqua Farm, Semarang. NaOH 1N, HCl 1N, dan bahan-bahan kimia untuk analisa proksimat. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan nanokalsium adalah berupa panci perebusan, laboratory mill, autoclave, seperangkat alat ekstraksi, alat gelas, vakum filtrasi, filter, tanur, oven, hot plate, timbangan, seperangkat unit analisis proksimat. Instrument untuk analisis yang digunakan: whitness meter, Particle Size Analyser (PSA), Atomic Absorption Spectrometry (AAS), Spectrometry UVVis dan Scanning Electron Microscopy (SEM/EDS), Fourier Transform Infrared (FTIR) dan X-ray Diffraction (XRD).
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan penelitian yaitu : (1) Persiapan bahan baku; (2) Ekstraksi nanokalsium tulang ikan dan (3) Karakterisasi sifat fisikokimia bahan baku dan nanokalsium seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Penelitian I : Persiapan Bahan Baku Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan bahan baku dalam bentuk bubuk kasar tulang ikan nila yang siap diekstraksi. Tahap ini dilakukan dalam beberapa tahapan proses seperti pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran seperti yang disajikan pada Gambar 2. Tahapan awal proses yaitu limbah tulang ikan nila dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran, darah dan lendir, kemudian dibuang kepala ikan sehingga tersisa limbah tulang ikan dengan sisa yang masih melekat, selanjutnya tulang ikan direbus menggunakan air mendidih (100 C; 30 menit) kemudian didinginkan dan dilakukan pemisahan sisa daging yang menempel pada tulang ikan dengan cara dicuci menggunakan air mengalir dan disikat sehingga menghasilkan tulang ikan nila bersih. Tulang ikan nila yang bersih selanjutnya
18
dikeringkan menggunakan pengeringan matahari (kadar air < 8%) dan pengecilan ukuran tulang ikan menjadi bubuk kasar tulang ikan nila (0.2-0.5 cm) yang siap untuk diekstraksi. Limbah Tulang Ikan Nila
Persiapan Bahan Baku
Tahap I
Bubuk Kasar Tulang Nila
Ekstraksi Akuades
Ekstraksi NaOH
Hidrolisis NaOH
Ekstraksi HCl
Ekstraksi HCl
Tahap II
Nano Kalsium Karakterisasi Sifat Fisikokimia: Rendemen, Derajat putih, PSA Proksimat Analisis Ca & P SEM/EDS, FTIR, XRD
Tahap III
Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
Penelitian II: Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode ekstraksi terhadap karakteristik nanokalsium yang dihasilkan. Proses ekstraksi yang dilakukan menggunakan 4 metode ekstraksi (Gambar 3) dengan kode sampel (Tabel 6) yaitu: (1) akuades (Dongoran et al. 2007); (2) NaOH (Murtiningrum 1997); (3) NaOH dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan HCl (Suptijah et al. 2010b); dan (4) HCl (Thalib 2009). Ekstraksi dengan akuades (Modifikasi Dongoran et al. 2007) Proses yang dilakukan adalah sampel tulang ikan nila, direbus menggunakan akuades pada suhu 100 C sebanyak 3 kali dengan waktu pada setiap perebusan adalah 60 menit, kemudian sampel difiltrasi dan didinginkan pada suhu ruang selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam (kadar air < 8%).
19
Ekstraksi dengan NaOH (Modifikasi Murtiningrum 1997) Sampel tulang ikan nila diekstraksi dengan larutan NaOH 1 N (sampel:pelarut adalah 1:3) pada suhu 100 C selama 60 menit, proses ekstraksi ini dilakukan sebanyak 3 kali. Proses netralisasi dilakukan pada sampel menggunakan akuades dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 60 menit sehingga pH sampel menjadi netral. Setelah mencapai pH netral, sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam (kadar air < 8%). Ekstraksi dengan NaOH dilanjutkan ekstraksi dengan HCl (Modifikasi Suptijah et al. 2010b) Ekstraksi sampel menggunakan NaOH 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit, difiltrasi dan dinetralkan dengan proses pencucian berulang menggunakan akuades hingga netral (pH = 7), selanjutnya dihidrolisis menggunakan HCl 1 N selama 24 jam pada suhu ruang dengan perbandingan sampel dan pelarut (1:3). Setelah proses perendaman 24 jam menggunakan HCl selanjutnya dilakukan proses ekstraksi pada suhu 100 C selama 60 menit. Sampel setelah diekstraksi selanjutnya didinginkan kemudian difiltrasi untuk memisahkan residu dan filtrat. Residu hasil pemisahan selanjutnya akan diekstraksi lagi dengan HCl 1 N (3 kali ekstraksi), didinginkan dan difiltrasi, kemudian residu hasil filtrasi dinetralkan hingga mencapai pH netral kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C (kadar air < 8%). Limbah ikan nila Pencucian & pemisahan kepala Limbah tulang ikan nila Perebusan 100 C, 60 mnt Pelepasan sisa daging yang melekat pada tulang nila Pencucian Pengeringan Pengecilan ukuran tulang Bubuk tulang ikan nila (0.2-0.5 cm) Bahan baku
Gambar 2 Diagram alir persiapan bahan baku
20
Ekstraksi dengan HCl (Modifikasi Thalib 2009) Sampel tulang ikan nila dihidrolisis menggunakan HCl 1 N (sampel:pelarut adalah 1:3) selama 24 jam dan kemudian diekstraksi pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan selanjutnya difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu. Residu kemudian diekstraksi (3 kali ekstraksi) menggunakan HCl 1 N pada suhu dan waktu yang sama, kemudian didinginkan, difiltrasi dan dinetralisasi menggunakan akuades hingga mencapai pH netral. Sampel yang telah dinetralkan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C (kadar air < 8%). Semua sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan 4 metode ekstraksi yang dilakukan, selanjutnya dikeringkan kemudian dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill dan diayak menggunakan saringan 100 mesh, selanjutnya untuk mempertahankan mutu sampel dilakukan proses sterilisasi pada suhu 121C selama 15 menit. Bahan Baku
Akuades 100C, 60 mnt (3 kali perebusan)
Ekstraksi NaOH 1 N 100 C, (3 kali perebusan)
Pendinginan, filtrasi & netralisasi
Pendinginan, filtrasi & netralisasi
Pengeringan 50C KA < 8%
Pengeringan 50C KA < 8%
Penepungan & diayak
Penepungan & diayak
Sterilisasi
Sterilisasi
Ekstraksi NaOH 1 N, 100 C
Perendaman HCl 1 N, 24 jam
Pendinginan, filtrasi & netralisasi
Ekstrasi HCl 1.0 N, 100C, 60 mnt (3 kali perebusan)
Perendaman HCl 1 N, 24 jam Ekstrasi HCl 1.0 N, 100C, 60 mnt Pendinginan, filtrasi & netralisasi Pengeringan 50C KA < 8%
Pendinginan, filtrasi & netralisasi Pengeringan 50C KA < 8% Penepungan & diayak Sterilisasi
Penepungan & diayak Sterilisasi
Nano Kalsium Karakterisasi fisikokimia: Rendemen Analisis Ca & P Proksimat FTIR Derajat putih PSA, XRD & SEM
Gambar 3 Diagram alir ekstraksi dan karakterisasi nanokalsium
21
Tabel 6 Kode sampel Kode Sampel BB A B C D
Keterangan Bubuk kasar tulang ikan nila (bahan baku) Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan akuades Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan NaOH Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan NaOH + HCl Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan HCl
Penelitian III: Karakterisasi Bahan Baku dan Nanokalsium Karakterisasi sifat fisikokimia sampel dilakukan meliputi: rendemen, derajat putih (whiteness meter), ukuran partikel (PSA), analisis proksimat, analisis kalsium (AAS), analisis fosfor (spektrofotometer UV-Vis), karakterisasi morfologi (SEM), gugus fungsi penyusun (FTIR) dan struktur kristal (XRD). Prosedur Analisis 1. Rendemen Rendeman diperoleh dari perbandingan berat kering tepung tulang/serbuk kalsium (A) yang dihasilkan dengan berat tulang ikan kotor (masih terdapat sisa daging dan lemak) (B), dengan perhitungan: Rendemen % =
A x 100% B
2. Analisis derajat putih Derajat putih sampel dianalisis menggunakan whiteness meter (Kett Electric Laboratory, C-100-3). Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan dan hasil pengukuran menyatakan intensitas warna 1 sampai 100. 3. Ukuran partikel (Rawie 2011) Ukuran partikel dilakukan menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) merek Vasco-PSA, reflactometer Arago DL 135, Cordouan. Sampel diukur menggunakan metode LALLS (Low Angle Laser Light Scattering) dapat digunakan untuk ukuran partikel 0.1-3000 m. Sumber sinar laser pada intensitas gas He-Ne ( =0.63 m). Sebanyak 2 mg sampel dilarutkan menggunakan akuades, pelarut organik atau nonorganik untuk membentuk larutan suspensi kemudian dilakukan pengukuran.
22
4. Analisis proksimat a.
Kadar Air (AOAC 925.09 2005) Cawan aluminium dengan tutupnya dikeringkan dalam oven pada suhu 98-100 selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang ketika mencapai suhu ruang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 98-100oC selama 6 jam, kondisi vakum pada tekanan ≤ 25 mm Hg (3.3 kPa). Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C), dengan perhitungan: Kadar Air % bb =
B-(C-A) x 100 % B
b. Kadar Abu (AOAC 941.12 2005) Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C), dengan perhitungan: Kadar % bb =
c.
C-A x 100 % B
Kadar Protein Metode Mikro Abu Kjeldahl (AOAC 920.87 2005) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan 7 g K2SO4, kjeltab 0,005 g jenis HgO dan 15 ml H2SO4 pekat dan 10 ml H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan 10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4 % yang mengandung indikator bromcherosol green 0.1 % dan methyl red 0,1 % dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi hingga tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0.2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut:
23
% N=
mL HCl – mL blanko x N HCl x 14.007 x 100 % mg contoh
% Protein = % N x faktor konversi* *) FK
d.
= 6.25
Kadar Lemak (AOAC 960.39 2005) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 2 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak. Kadar Lemak % =
C-A x 100% B
5. Analisis Kalsium (AOAC 968.08 2005) Pembuatan larutan kalsium standar. Terhadap larutan stok Ca 1000 ppm, dibuat deret standar 2, 4, 8 ppm dengan memipet 0,2; 0,4; 0,8 larutan stok Ca 1000 ppm, masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Lalu ditambahkan larutan Cl3La.7H2O (lantan) sebanyak 1 ml ke dalam masing-masing labu takar dan ditambahkan akuades sampai volume tepat 100 ml. Penetapan sampel. Pengabuan basah (wet digestion) menggunakan HNO3 65%, HClO4 60% dan HCl 37%. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml dan diberi HNO3 5 ml, kemudian didiamkan selama 1 jam. Sampel selanjutnya dipanaskan selama 4 jam di atas hot plate, dan didinginkan. Setelah itu ditambahkan H2SO4 (pa = pro analisis) sebanyak 0.4 ml dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Sampel diangkat dari hot plate dan diberi larutan HClO4:HNO3 (2:1) sebanyak 3 ml, kemudian dipanaskan selama 15 menit hingga sampel menjadi bening. Sampel ditambahkan dengan 2 ml akuades dan 0.6 ml HCl (pa), setelah bening dipanaskan hingga larut dan didinginkan. Sampel diencerkan sampai volume tertentu (aliquot 100 ml), kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Aliqout diambil sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades 4 ml serta lantan 0.05 ml selanjutnya divortex, disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit dan filtrat dibaca dengan nyala atomisasi AAS pada panjang gelombang ( ) 422.7 nm. Hasil absorbansinya dibandingkan dengan standar Ca yang telah diketahui. Perhitungannya :
24
( ml aliqout/1000) x FP x (ppm sampel – ppm blanko) x 100% mg sampel Ket : FP = faktor pengenceran Ca(mg/100) = % Ca x 1000 Ca =
6. Kadar fosfor (AOAC 948.09 2005) Preparasi larutan. Sebanyak 10 g amonium molibdat diencerkan dengan 60 ml akuades dalam labu takar, kemudian ditambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap dan diencerkan dalam akuades hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan ammonium molibdat (NH4)6MnO24.4H2O) 10% (Larutan A). Sesaat sebelum dianalisis, larutan A diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 60 ml akuades dan 5 gram FeSO4.7H2O dalam labu takar dan diencerkan hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan B. Pembuatan larutan standar. Sebanyak 4,394 g KH2PO4 dilarutkan dalam akuades sampai 1000 ml agar didapatkan konsentrasi P sebesar 1000 ppm. Sebanyak 10 ml larutan tersebut kemudian diencerkan dengan penambahan akuades 400 ml sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 25 ppm. Kemudian dibuat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4 dan 5 ppm masing-masing sebanyak 5 ml dengan mengambil larutan standar 25 ppm berturut-turut sebanyak 0.4; 0.6; 0.8 dan 1.0 ml. Masing-masing volume tersebut ditambahkan 2 ml larutan B dan akuades hingga 5 ml, kemudian dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang () 660 nm. Penetapan sampel. Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan B, lalu dipipet ke dalam kuvet sebanyak 3 ml dan dibaca pada = 660 nm. Nilai absorbansi larutan standar 2, 3, 4 dan 5 ppm diukur dan diregresikan sehingga didapat persamaan y = a + bx. Kemudian nilai absorbansi sampel (y) dimasukkan untuk mendapatkan nilai konsentrasi sampel (x) Perhitungan kadar fosfor menggunakan rumus: Fosfor dalam sampel P2O5 % =
C x 2.5 W
Ket: C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva standar W = berat sampel yang digunakan
7. Karakterisasi gugus fungsi menggunakan FTIR (Huang et al. 2011) Analisis sampel menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) dapat mengidentifikasi gugus fungsi dalam sampel, sebanyak 2 mg sampel bubuk kalsium dicampurkan dengan 200 mg KBr, dihomogenisasi, lalu dibentuk pelet menggunakan pompa hidrolik sehingga membentuk kepingan tipis. Pengukuran spektrum sampel menggunakan FTIR (Spectrum one-FT-IR Spectrometer C69526, Perkins Eimer Precisely, dihubungkan dengan PC yang dilengkapi perangkat lunak OPUS) pada area IR (4000-400 cm-1), spektrum dihasilkan dengan kecepatan 32 detik dan resolusi 4 cm-1. Tampilan data spektrum yang terdapat titik serapan kemudian diubah ke dalam format DPT
25
(data point table) untuk keperluan pengolahan data. Selain data spektrum asli, dihasilkan pula data dengan perlakuan pendahuluan berupa garis dasar koreksi, normalisasi (nilai serapan diatur sehingga serapan tertinggi bernilai satu dan serapan terendah bernilai nol). 8. Karakterisasi morfologi menggunakan SEM/EDS (Cornor et al. 2003) Analisis sampel menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mengetahui morfologi sampel, sebanyak 2 mg sampel diletakkan pada plat alumunium dan didistribusikan pada permukaan plat tersebut kemudian dilapisi dengan emas-palladium (60:40) setebal 48 nm, selanjutnya sampel diamati menggunakan SEM (JEOL, JSM-35C) pada tegangan 22 kV. EDS (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy) merupakan satu perangkat dengan SEM. Karakterisasi menggunakan EDS adalah suatu teknik yang dapat diterapkan dalam penentuan komposisi unsur permukaan. Teknik ini memanfaatkan sinar-Xyang dipancarkan oleh unsur-unsur pada permukaan tampak sampel akibat dibombardir oleh elektron. 9. Karakterisasi menggunakan XRD (Huang et al. 2011) Analisis sampel menggunakan XRD (X-ray Diffraction) dilakukan untuk mengetahui fasa yang terdapat dalam sampel, menentukan ukuran kristal dan kristalinitas. Sampel dikarakterisasi menggunakan alat XRD (Emma GBC) yaitu 200 mg sampel dicetak langsung pada alumunium ukuran 2 x 2.5 cm dengan bantuan perekat, kemudian dihamburkan dengan Cu dengan panjang gelombang () 1.5406 Å pada kisaran 2 pada suhu 10 sampai 80 dan ukuran langkah 0.1.
Analisis Data Analisis statistik pada penelitian dilakukan untuk data hasil analisis fisikokimia (derajat putih, proksimat, kalsium dan fosfor) menggunakan rancangan ANOVA one-way (RAL) dengan tiga kali ulangan pada tiap perlakuan dan jika hasil uji menunjukkan perbedaan yang nyata maka dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan p< 0.05 (Steel and Torrie 1980), dengan menggunakan softwear SAS 9.1.3. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yij = µ + i +
ij
Keterangan: Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i (analisis fisikokimia) dan ulangan ke-j µ = Nilai rataan umum = Pengaruh perlakuan ke-i (jenis pengekstrak) i ij = Galat pengamatan atau percobaan pada perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j
26
Hipotesis: Ho : Jenis pelarut pada proses ekstraksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik fisikokimia sampel. H1 : Jenis pelarut pada proses ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik fisikokimia sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku Limbah sisa produksi fillet ikan nila sebanyak 120 kg diperoleh dari PT. Aqua Farm Nusantara, Semarang dengan kondisi limbah terdiri dari kepala, tulang, sisa daging yang menempel, lendir dan darah (Lampiran 3), selanjutnya limbah ikan nila dicuci dan dibuang kepala sehingga tersisa limbah tulang ikan nila seberat 58.2 kg yang akan digunakan sebagai bahan baku dan berat awal limbah tulang ikan pada penelitian ini. Tahapan awal persiapan bahan baku yaitu limbah tulang nila direbus pada suhu 100 C selama 30 menit yang bertujuan untuk menghilangkan lemak dan memudahkan proses pemisahan sisa daging yang menempel pada tulang selanjutnya didinginkan sebelum dilakukan proses pemisahan daging dan tulang. Setelah pemisahan daging dari tulang dan pencucian dihasilkan tulang ikan nila bersih seberat 8.7 kg atau 14.95% selanjutnya tulang ikan nila dikeringkankan menggunakan pengeringan matahari (kadar air ≤ 8%) dan menghasilkan tulang ikan nila kering seberat 5.5 kg atau 9.45% kemudian dilakukan proses pengecilan ukuran tulang menggunakan hammer mill sehingga menghasilkan bubuk tulang kasar (0.2-0.5 cm) dengan berat 4.3 kg atau 7.39% yang merupakan bahan baku (sampel BB) yang akan digunakan dalam tahapan ekstraksi nanokalsium tulang ikan. Proses pengecilan ukuran bertujuan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Tabel 7 Data limbah dan perubahannya selama proses persiapan bahan baku Kondisi Sebelum Perebusan Setelah Perebusan *
Data Limbah Limbah tulang ikan nila Limbah kepala ikan nila Tulang ikan nila bersih Tulang ikan nila kering Bubuk kasar tulang ikan nila
% Rendemen * 48.50% 49.50% 14.95% 9.45% 7.39%
Dibandingkan dengan berat awal limbah ikan limbah (120 kg)
Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan Proses ekstraksi nanokalsium dilakukan untuk pemanfaatan kalsium secara efisien, sehingga bahan baku (tulang ikan nila) menjadi lunak sebelum proses milling. Tulang ikan nila menjadi lunak seiring dengan meningkatnya lama waktu pemasakan atau perebusan menggunakan akuades, larutan asam dan basa. Proses ekstraksi kalsium dari tulang ikan nila pada penelitian ini dilakukan menggunakan 4 metode ektraksi (Gambar 3), dan pada setiap metode ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
28
1. Ekstraksi dengan akuades Ekstraksi sampel A yaitu ekstraksi menggunakan akuades yang dipanaskan yang merupakan modifikasi metode Dongoran et al. (2007), dengan bagian yang dimodifikasi yaitu tanpa proses penghilangan lemak (degreasing) menggunakan heksana, perbandingan sampel dan akuades serta banyaknya proses ekstraksi. Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali dengan perbandingan sampel dan akuades yaitu 1:3. Proses ekstraksi yang dilakukan adalah bahan baku direbus menggunakan akuades pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu, selanjutnya residu diekstraksi lagi dengan akuades (3 kali perebusan). Residu hasil ekstraksi kemudian didinginkan dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam hingga mencapai kadar air < 8% selanjutnya sampel dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill dan diayak pada saringan 100 mesh, dan untuk mempertahankan mutu sampel maka dilakukan proses sterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit. Proses pelunakan tulang yang dilakukan menggunakan air dengan proses pemanasan dapat dijelaskan dengan adanya sejumlah kecil protein yang terlarut dalam air, menunjukkan adanya perubahan tekstur tulang (Malde et al. 2010). Proses pelunakan dilakukan untuk mempermudah pada proses milling untuk menghasilkan tepung dengan ukuran yang lebih kecil sehingga jika digunakan sebagai sumber kalsium dalam bahan pangan akan meningkatkan penyerapan dan asupan kalsium yang dikonsumsi. 2. Ekstraksi dengan NaOH Ekstraksi sampel B, merupakan proses ekstraksi menggunakan NaOH, ekstraksi ini merupakan modifikasi metode Murtiningrum (1997). Modifikasi yang dilakukan mencakup: suhu pemanasan dan proses ekstraksi dan perbandingan larutan NaOH dan sampel. Pada penelitian ini menggunakan NaOH 1 N, pada suhu 100 C selama 60 menit, ekstraksi sebanyak 3 kali dan perbandingan larutan pengekstrak dan sampel 3:1. Penggunaan NaOH (basa) sebagai larutan pengekstrak memiliki sifat yang lebih menguntungkan dibandingkan HCl (asam), karena kelarutan pada daerah alkalin lebih tinggi dari pada kelarutan pada daerah asam, hal ini disebabkan karena jumlah gugus bermuatan negatif lebih banyak daripada gugus yang bermuatan positif, dengan demikian protein dan NaOH membentuk ester makin sempurna sehingga protein yang dapat dihilangkan makin besar (Cheftel et al. 1985). 3. Ekstraksi dengan NaOH dilanjutkan ekstraksi dengan HCl Sampel C adalah sampel yang merupakan hasil ekstraksi yang dilakukan menggunakan modifikasi metode Suptijah (2010b), meliputi: perbandingan sampel dan pelarut dan tanpa proses kalsinasi menggunakan furnish dan yang digunakan adalah residu padatan tulang kemudian digiling menggunakan metode top down (milling) untuk menjadi bubuk nanokalsium.
29
Proses ekstraksi awal adalah bahan baku diekstraksi menggunakan NaOH 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan residu dan filtrat, selanjutnya residu hasil pemisahan kemudian dinetralkan dengan menggunakan pencucian berulang hingga mencapai pH netral dan setelah netral residu tersebut kemudian dihidrolisis menggunakan HCl 1 N (perendaman) selama 24 jam, kemudian dipanaskan pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk memisahkan residu dan filtrat. Residu diekstraksi lagi menggunakan HCl 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit (3 kali perebusan), didinginkan, difiltrasi dan dinetralkan hingga mencapai pH netral. Sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam hingga mencapai kadar air < 8% sebelum dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill, diayak menggunakan saringan 100 mesh dan disterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit yang bertujuan untuk mempertahankan mutu sampel. 4. Ekstraksi dengan HCl Ekstraksi sampel D adalah proses ekstraksi menggunakan HCl yang merupakan modifikasi metode Thalib (2009), meliputi konsentrasi HCl dan lama waktu perebusan. Proses awal ekstraksi yaitu bahan baku diekstraksi menggunakan HCl 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit, kemudian didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu, selanjutnya dilakukan lagi ekstraksi terhadap residu (3 kali perebusan). Residu hasil ekstraksi (setelah 3 kali ekstraksi) selanjutnya dinetralisasikan menggunakan akuades sehingga mencapai pH netral, kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam (kadar air ≤ 8%) selanjutnya sampel digilling menggunakan disc mill untuk dijadikan tepung kalsium, kemudian diayak menggunakan saringan 100 mesh. Proses sterilisasi sampel dilakukan pada suhu 121 C selama 15 menit guna mempertahankan mutu sampel. Ekstraksi menggunakan asam pada proses pembuatan kolagen dan gelatin dari tulang ikan atau disebut sebagai proses demineralisasi. Proses deminaralisasi tulang dilakukan dengan menggunakan HCl encer dengan tujuan melarutkan kalsium dalam bentuk hidroksiapatit dari matriks tulang sehingga membentuk ossein (bagian tulang yang lunak). Proses demineralisasi tulang dilakukan untuk mengubah mineral dalam tulang khususnya kalsium yang tidak larut air berubah bentuk menjadi larut air yaitu mono-kalsium fosfat dan kalsium klorida.
Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku dan Nanokalsium Rendemen Rendemen merupakan parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan dan semakin besar rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis dan nilai efektifitas produk tersebut. Perhitungan rendemen berdasarkan persentase perbandingan antara berat akhir sampel dengan berat awal sampel sebelum proses.
30
Hasil pengukuran rendemen pada penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 8, terlihat rendemen sampel BB (7.39%), sedangkan sampel A, B, C dan D (6.80%; 5.91%; 3.49% dan 4.41%). Rendemen hasil ekstraksi yang tertinggi adalah sampel A, nanokalsium hasil ekstraksi menggunakan akuades dan terendah adalah sampel C, nanokalsium yang diekstraksi menggunakan NaOH dan HCl. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan air dan proses pemanasan hanya mampu menurunkan sejumlah kecil senyawa organik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut asam dan basa. Tabel 8 Hasil analisis fisik sampel (% bk) Sampel
Rendemen (%)
Derajat Putih (%)
ukuran Partikel (nm)
BB A B C D
7.39 6.80 5.91 3.49 4.41
71.43e 74.03d 88.37b 93.72a 82.80c
655.69 255.00 235.93 145.50 242.35
Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl)
Derajat Putih Derajat putih sampel seperti ditampilkan pada Tabel 8, terlihat bahwa derajat putih sampel BB (71.43%), A (74.03%), B (88.37%), C (92.17%) dan D (82.80%). Analisis sidik ragam derajat putih semua sampel menunjukkan bahwa berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 13) dan hal ini menunjukkan bahwa derajat putih sampel dipengaruhi oleh perlakuan ekstraksi. Jenis pelarut dan proses ekstraksi member pengaruh yang nyata pada derajat putih bubuk nanokalsium yang dihasilkan. Perlakuan menggunakan NaOH dan pemanasan mengakibatkan perubahan warna tepung tulang ikan nila menjadi lebih putih (Techochatchawal et al. 2009). Ekstraksi nanokalsium menggunakan NaOH dan HCl, memiliki (sampel C) derajat putih tertinggi yaitu 93.72% yang mendekati dengan derajat putih bubuk CaCO3 komersil yaitu 92%. Derajat putih nanokalsium yang dihasilkan 71.4392.17% dengan rerata 81.76%, hasil ini relatif lebih kecil dibandingkan derajat putih nanokalsium dari cangkang udang vannamei pada penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 81.73-93.39% dengan rata-rata 87.56%, dan lebih tinggi dibandingkan derajat putih tepung tulang ikan tuna pada penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 59.3-74.8%. Bubuk kalsium berwarna putih biasanya lebih disukai untuk fortifikasi pada produk pangan dibandingkan dengan bubuk yang gelap warnanya, tepung tulang ikan biasanya digunakan sebagai bahan tambahan pada susu skim (Hemung 2013). Derajat putih nanokalsium dipengaruhi oleh komponen mineral penyusunnya, komponen utama penyusun nanokalsium adalah kalsium yang memiliki warna putih, oleh sebab itu derajat putih nanokalsium juga tinggi (Estrela dan Holland 2003). Derajat putih pada produk serbuk berhubungan dengan salah satu sifat yang sangat bermanfaat dalam komersialiasi produk dan semakin tinggi nilai pengotor maka nilai derajat putihnya akan mengalami proses
31
penurunan (Togari 1979). Selama proses penyimpanan dapat terjadi perubahan warna pada bubuk kalsium, diakibatkan adanya kandungan asam amino yang mengakibatkan reaksi browning nonezimatis, namun dengan penyimpanan pada kondisi vakum dan suhu rendah dapat mencegah terjadinya reaksi tersebut. Ukuran Partikel Proses pengukuran partikel dilakukan pada sampel dalam bentuk larutan, sehingga sampel dilarutkan menggunakan akuades dan dipanaskan untuk membentuk larutan suspensi kemudian diukur menggunakan PSA (Particle Size Analyzer). Rata-rata ukuran partikel nanokalsium hasil ekstraksi merupakan nilai metode komulan ukuran terdispersi berdasarkan intensitasnya diketahui bahwa sampel A B, C, dan D adalah sebagai berikut 255.00 nm; 145.50 nm; 208.19 nm dan 242.35 nm, sedangkan untuk sampel BB ukuran rata-rata partikel adalah 655.69 nm (Lampiran 7-11). Ukuran partikel pada penelitian ini hampir sama dengan ukuran nano partikel methazolamide CaP (kalsium fosfat) yaitu 256.4 nm (Chen et al. 2010) dan ukuran sampel penelitian ini dapat digolongkan ke dalam nanopartikel seperti yang dijelaskan oleh Mohanraj dan Chen (2006) nanopartikel adalah partikel yang berukuran 10-1000 nm. Ukuran partikel sampel C 145.50 nm, merupakan sampel dengan ukuran partikel terkecil dibandingkan sampel lainnya, hal ini diduga akibat kombinasi ekstraksi perlakuan yang digunakan yaitu ekstraksi dengan NaOH dan HCl sehingga menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan ukuran partikel pada perlakuan lainnya. Proses ekstraksi menggunakan NaOH, mampu menghidrolisis senyawa organik yang terdapat dalam tulang ikan, sehingga memurnikan tulang ikan dari senyawa pengotor, sementara ekstraksi dengan HCl selain untuk proses demineralisasi juga merupakan proses degreasing yang dapat menghilangkan lemak. Ukuran partikel sampel B lebih kecil dibandingkan sampel D ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan NaOH menghasilkan ukuran partikel sampel yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran partikel sampel hasil ekstraksi menggunakan HCl. Ukuran partikel sampel sampel A memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya, ini menunjukkan bahwa ekstraksi dengan akuades tidak dapat melunakan tulang dibandingkan pelarut asam maupun basa, sehingga pada proses penepungan atau milling tidak dapat menghasilkan bubuk kalsium dengan ukuran yang lebih kecil. Proses pelunakan tulang menggunakan air pada suhu tinggi (perebusan) mampu mengubah tekstur tulang karena adanya sejumlah senyawa organik yang larut air seperti lemak dan protein (Kim dan Mendis 2009). Hasil analisis rendemen, derajat putih dan ukuran partikel (Tabel 8), menunjukkan bahwa metode ekstraksi yang menghasilkan kalsium dengan karakteristik terbaik adalah ekstraksi menggunakan NaOH dan dilanjutkan dengan HCl (sampel C), hal ini ditunjukkan dengan derajat putih yang tinggi dan ukuran pertikel yang kecil, sedangkan memiliki rendemen terkecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Ekstraksi menggunakan NaOH (sampel B), merupakan sampel yang memiliki karakteristik kalsium yang baik, hal ini ditunjukkan dengan derajat putih yang tinggi (88.37%), ukuran partikel yang kecil (235.93) dan memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan sampel C (5.91%).
32
Analisis Proksimat 1. Kadar Air Kadar air sampel BB (8.76%), A (6.51%), B (4.67), C (2.33) dan D (4.29%) seperti yang disajikan pada Tabel 9. Sampel A (nanokalsium ekstraksi menggunakan akuades) memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan sampel nanokalsium lainnya dan yang terendah pada sampel C (nanokalsium ekstraksi menggunakan NaOH dan HCl). Kadar air sampel BB, A, B, C dan D yang dihasilkan dengan perlakuan proses ekstraksi secara statistik berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 14). Tabel 9
Komposisi proksimat nanokalsium tulang ikan nila dibandingkan dengan kalsium tulang ikan cod dan salmon serta Tilapia Bone Powder (g/100 g, %bk)
Sampel BB A B C D TBP (Tilapia Bone Powder)* Tulang ikan salmon (protease)** Tulang ikan cod (protease)** Tulang ikan salmon (rebus)** Tulang ikan cod (rebus)**
Air 8.76a 6.51b 4.67c 2.33c 4.29d 2.46 -
Abu 69.37e 72.53d 95.93a 92.74b 85.40c 75.83 55.5 67.8 43 65.7
Protein 26.06a 24.12a 0.38c 0.61c 7.03b 14.81 36 26.6 35.7 32.4
Lemak 2.85a 2.53b 0.94d 0.87d 1.78c 5.82 3.0 <0.2 17.8 7.9
Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) * Hemung (2013), ** Malde et al. (2010)
Nilai kadar air pada penelitian ini hampir sama bila dibandingkan dengan hasil penelitian Murtiningrum (1997) yaitu 4.54-7.20% sedangkan lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Nurimala et al. (2006) yaitu 12.57% dan lebih tinggi dibandingkan kadar air tepung tulang ikan kakap pada penelitian Dongaran et al. (2007) yaitu 2.20% serta tepung tulang ikan nila (TBP, Tilapia Bone Powder) pada penelitian Hemung (2013) yaitu 2.46%. Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh jenis tulang ikan, metode pembuatan termasuk metode pengeringan yang dilakukan. 2.
Kadar Abu Kadar Abu suatu produk pangan menunjukkan residu bahan organik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan terdestruksi. Analisis kadar abu bertujuan untuk mengetahui berapa besar kandungan mineral yang terdapat dalam nano kalsium tulang ikan nila (Fennema 1996). Tulang mengandung selsel hidup dan matriks intraseluler dalam bentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari kalsium fosfat sebanyak 80% dan sisanya adalah kalsium
33
karbonat dan magnesium fosfat (Frandson 1992). Kadar abu suatu bahan adalah jumlah atau kadar mineral dalam suatu bahan makanan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan meliputi dua macam garam, yaitu garam organik, contohnya: garam asam asetat, dan garam anorganik, seperti garam klorida atau NaCl (Winarno 2000). Hasil analisis kadar abu seperti pada Tabel 9, menujukkan bahwa kadar abu sampel BB adalah 69.36%, sedangkan untuk sampel nanokalsium terlihat kadar abu tertinggi adalah sampel B (95.93%) dan terendah sampel A (72.53%), sedangkan sampel C (92.74%) dan D (85.39%). Kadar abu pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung tulang ikan nila (TBP) yaitu sebesar 75.83% (Hemung 2013) kecuali jika dibandingkan dengan sampel BB dan A, hal yang sama ditunjukkan juga pada tepung tulang ikan cod dan salmon yang diekstraksi menggunakan enzim protease dan air memiliki kadar abu yang rendah yaitu 43-67.8%. Analisis statistik kadar abu sampel BB dan sampel nanokalsium dengan beberapa perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 15) dan hal ini menunjukkan bahwa jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi memberi pengaruh terhadap kadar abu sampel. 3. Kadar Protein Kadar protein pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan dan ditunjukkan oleh nilai ratarata kadar protein semua sampel. Kadar protein sampel BB (26.06), sedangkan kadar protein nanokalsium pada sampel A yaitu 24.12% yang merupakan nanokalsium dengan kadar protein tertinggi dan terendah pada sampel B yaitu 0.38%, sedangkan sampel C (0.61%) dan D (7.03%). Secara statistik kadar protein sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 16). Kadar protein sampel dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan sebagai pengekstrak. Ekstraksi nanokalsium menggunakan akuades (sampel A) mampu menurunkan kadar protein bahan baku dari 26.06% menjadi 24.12%. Sampel B memiliki kadar protein terendah dan tidak berbeda dengan sampel C. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan NaOH pada suhu 100 C dapat mereduksi protein tulang ikan hingga mencapai (98.53%), sementara ekstraksi menggunakan NaOH yang dilanjutkan dengan HCl adalah (97.67%) dan lebih efektif dibandingkan kemampuan mereduksi protein menggunakan HCl (73.04%). Protein akan terhidrolisis apabila dicampurkan dengan asam, alkali kuat, enzim proteolitik dengan bantuan proses pemanasan. Protein terhidrolisis melalui proses pemecahan protein secara bertahap menjadi molekul-molekul peptide yang sederhana dan asam-asam amino (Kirk dan Othmer 1964). 4. Kadar Lemak Kadar lemak tulang ikan berkisar antara 1-27% (Johns 1977), sedangkan kadar lemak sampel BB (2.85%), sementara sampel A (2.53%) merupakan sampel dengan kadar lemak tertinggi diantara sampel nanokalsium lainnya dan
34
terendah pada sampel C (0.86%) sedangkan untuk sampel B (0.94%) dan sampel D (1.78%). Analisis statistik menunjukkan kadar lemak sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 17). Kadar lemak sampel pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada tepung tulang ikan cod (perebusan) dan ikan salmon (protease dan perebusan) yaitu 3%-17.8% serta lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung tulang ikan cod (protease) yaitu <0.2% (Malde et al. 2010) dan tepung tulang ikan nila (TBP) yaitu 5.82% (Hemung 2013) seperti terlihat pada Tabel 9. Perbedaan kadar lemak pada ikan berbeda tergantung pada spesies, lokasi geografis, makanan yang dimakan dan musim (Piggot dan Tucker 1990). Kadar lemak yang rendah diduga akibat proses perebusan berulang untuk melakukan penghilangan lemak dan minyak. Menurut Zaitsev et al. (1969), perebusan dapat menyebabkan lemak mengalami hidrolisis atau autooksidasi sebagian serta ada yang berinteraksi dengan protein. Kadar lemak produk yang rendah mempunyai daya awet yang lebih lama karena resiko terjadinya resiko ketengikan produk akibat oksidasi lemak lebih rendah. Hasil analisis proksimat semua sampel pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Malde et al. (2010), menunjukkan bahwa ekstraksi kalsium dapat dilakukan selain menggunakan pelarut asam dan basa dapat juga dilakukan dengan menggunakan enzim protease, sementara ekstraksi dengan metode perebusan menggunakan air panas dilakukan pada kedua penelitian ini. Proses ekstraksi dengan berbagai metode yang dilakukan tujuannya untuk menghasilkan kalsium dari tulang ikan yang memiliki bioavailabilitas yang baik jika digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk olahan. Analisis Kalsium dan Fosfor Kadar kalsium dan fosfor semua sampel seperti ditunjukkan pada Tabel 10, kadar kalsium sampel BB (18.70%), A (18.72%), B (20.67%), C (22.56%) dan D (21.47%) dan hasil analisis statistik kadar kalsium berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 18). Tabel 10 Kadar kalsium dan fosfor sampel (g/100 g, % bk) Sampel
Kalsium (Ca)
Fosfor (P)
Rasio Ca/P
BB A B C D
18.70d 18.72d 20.66c 22.56a 21.47b
8.91d 8.86d 10.09c 12.05a 11.77b
2.10 2.11 2.05 1.87 1.82
Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl)
Kadar kalsium tertinggi terdapat pada sampel C yaitu 24.27 % dan terendah pada pada sampel A yaitu 18.72% dan kadar kalsiumnya tidak berbeda dengan kalsium sampel BB. Kadar kalsium pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan kadar kalsium hasil penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 84.67%-85.68% dan penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 23.72%-39.24% (%bb). Menurut Malde
35
et al. (2010) perlakuan menggunakan larutan asam dan enzim yang dipanaskan pada proses maserasi kalsium dari tulang ikan meningkatkan ketersediaan kalsium dalam sampel. Hasil analisis fosfor pada penelitian ini (Tabel 10), menunjukkan bahwa sampel BB (8.91%), A (8.86), B (10.09%), C (12.05%) dan D (11.77%) dan secara statistik berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 19). Kadar fosfor pada penelitian Trilaksani et al. (2006) memiliki nilai rata-rata 11.34%-14.25% (%bb) pada tepung tulang ikan tuna dengan berbagai variasi waktu autokafling dan frekuensi perebusan lebih tinggi dari kadar fosfor pada penelitian ini, sementara tidak berbeda dengan hasil penelitian Luu dan Nguyen (2009) pada tepung tulang ikan lele (10.5%), kakap (12.8%) dan salmon (11.0%). Rasio perbandingan Ca/P (Tabel 10) nanokalsium ekstraksi menggunakan akuades (A) dan NaOH (B) adalah 2.05, sedangkan pada sampel C dan D rasionya ≤ 1.87, dan hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya pada tulang hewan dan tulang ikan (Sittikulwitit et al. 2006, Luu dan Nguyem 2009, Malde et al. 2010). Beberapa kajian mengatakan bahwa fosfat dibutuhkan untuk transport kalsium dalam sistem metabolisme (Kim dan Mendis 2006), selanjutnya dikatakan bahwa dengan rasio Ca/P (2:1) pada tulang ikan merupakan rasio optimum untuk transpor kalsium atau puncak massa tulang yang optimum. Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR Analisis menggunakan FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terbentuk pada sampel tulang ikan nila sebelum diekstraksi dan setelah mengalami perlakuan ekstraksi, dengan spektra dan peta pita absorpsi (Gambar 5; Tabel 11). Gugus fungsi yang terindikasi pada nanokalsium diantaranya gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan gugus hidroksil (OH). Apatit karbonat adalah komponen anorganik dalam tulang dan gigi, berdasarkan lokasinya subtitusi CO32terdiri dari 2 tipe yaitu apatit karbonat tipe A (AKA) terbentuk jika ion karbonat menggantikan posisi OH- dan apatit karbonat tipe B (AKB) jika karbonat menggantikan posisi ion PO43- (Mathai dan Takagi 2001). Spektra pita absorpsi fosfat (PO43-) 1 (vibrasi simetris strectching) dan fosfat 2 (vibrasi simetris bending) tidak tampak pada sampel BB dan A, sementara pada sampel B, C dan D fosfat 1 secara berturut terdapat pada bilangan gelombang 961, 903, 960 dan 959 cm-1, sedangkan pita absorpsi fosfat 2 di daerah 469, 471, dan 474 cm-1. Absorpsi fosfat 3 (vibrasi asimetris strectching) pada semua sampel tampak di daerah 1035 cm-1 untuk sampel BB, A dan B, sementara sampel C pada bilangan gelombang 1027 cm-1 dan D di daerah 1031 cm-1. Kehadiran pita absorpsi fosfat 3 menunjukkan bahwa kalsium fosfat pada tulang ikan nila hadir dalam bentuk campuran fasa amorfus dan fasa kristalin atau derajat kristalinitas kalsium fosfat, hal sama juga terbentuk pada tulang tikus dimana pada pita absorpsi 1036 cm-1 mengindikasi adanya campuran fasa amorfus dan fasa kristalin (Dahlan et al. 2006). Pita absorpsi fosfat 4 (vibrasi asimetris bending) sebagai bentuk belah pita absorpsi yang ditunjukkan pada bilangan gelombang disekitar 563 dan 603 cm-1 pada semua spektra sampel yang menunjukkan kehadiran kristal hidroksiapatit
36
(HAp). Derajat belah pita absorpsi fosfat 4 selain mengindikasi adanya kehadiran kristal apatit tapi juga menunjukkan kandungan fasa kristal dalam sampel (Dahlan et al. 2006). Tabel 11 Peta absorpsi FTIR sampel BB
Gugus fungsi -1
cm 1 PO4
3-
2 PO433 PO434 PO4
3-
AKB
OH permukaan OH Kristal
A %T
-1
cm
-
%T -
C
-1
-1
cm
%T
cm
961
25.4 43.15 0.00
903 960 471 1027
-
D %T
-1
cm
%T
30.58 13.77 32.06 0.00
959
33.9
474 1031
50.29 6.67
-
1035
12.63
1034
37.56
469 10.35
563 603
25.08 28.66
563 602 1545
47.8 50.78 61.36
564 603 1547
2.94 4.72 41.73
563 603 1555
1.00 2.44 37.12
562 603 1563
18.75 24.5 50.48
38.06 37.9 47.09 40.79 36.55 59.83
1453 1413 871 1656 3429
59.40 60.21 62.37 58.22 57.58
1455 1416 873 1634 3435
19.06 19.35 41.10 42.06 13.97
1455 1416 873 1635 3435
21.98 22.40 28.21 32.34 10.78
1456 1415 873 1647 3430
46.66 47.30 46.64 43.79 38.24
AKA (CO32-) (CO32-)
Sampel B
1455 1417 872 1648 3430 3698
Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) Sumber: Huang et al. (2011), Dahlan et al. (2006),
Pita absorpsi spektra FTIR sampel untuk apatit karbonat (CO32-) tipe A (AKA) tidak tampak pada sampel BB, sedangkan untuk sampel A, B, C dan D secara berturut-turut terlihat pada bilangan gelombang 1545, 1547, 1555 dan 1563 cm-1. Apatit karbonat tipe B (AKB) sampel BB terlihat pada intensitas pita absorpsi 872, 1417 dan 1455 cm-1, sedangkan pita absorpsi sampel A di daerah 871, 1413 dan 1453 cm-1, sampel B pada 873, 1416 dan 1455 cm-1, dan sampel C pita absorpsi di daerah 873, 1416 dan 1455, sementara pita absorpsi sampel D pada 873, 1415 dan 1456 cm-1. Secara biologi, apatit karbonat tipe B lebih mendominasi dalam struktur apatit tulang dibandingkan tipe A (Mathai dan Takagi 2001) dan hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana karbonat tipe B lebih mendonimasi dalam sampel. Gugus hidroksil (OH-) semua sampel ditunjukkan dengan pita absorpsi lebar di daerah sekitar 1634-1656 dan 3429-3435 cm-1 sementara pada sampel bahan baku tampak pita absorpsi kecil pada bilangan gelombang 3698 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya gugus hidroksil kristal atau air kristal. Pita absorpsi spektra FTIR pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian Huang et al. (2011) melaporkan tentang karakteristik spektra bubuk FHAP (fish hidroxyapatite) menunjukkan gugus fosfat (PO43-) terdapat di daerah 563, 957 dan 1030 cm-1, sedangkan gugus apatit karbonat (CO32-) terindikasi pada 876 dan 1412-1547 cm-1. Hasil analisis FTIR untuk HAp (hidroxyapatite) isolasi dari tulang ikan tuna terlihat sejumlah pita pada spektra yang terbentuk pada
37
daerah 601, 631, 873, 962, 1027, 1088, 1413, 1454 cm-1 dan pita yang lebar pada daerah antara 3300-3600 cm-1, yang menunjukkan karakteristik puncak-puncak spektra HAp (Venkatesan dan Kim 2010). Pita absorpsi gugus fosfat (PO43-) pada spektra FTIR terdapat dalam bentuk vibrasi simetris strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching, dan vibrasi asimetris bending. Bentuk pita absorpsi fosfat 3 dan 4 adalah pita asimetris yang mengindikasikan bahwa senyawa sampel tidak seluruhnya dalam bentuk amorf. Pita absopsi apatit karbonat (CO32-) terindikasi dalam tipe AKA yang terbentuk pada sampel A, B, C dan D serta tidak terbentuk pada sampel BB, sementara tipe AKB terbentuk pada semua sampel yang ditunjukkan oleh 3 bilangan gelombang di sekitar 873, 1415 dan 1455 cm-1.
Gambar 4 Spektrum FTIR sampel
Berdasarkan persen transmitan (Tabel 11) menunjukkan makin rendah persen transmitan pada gugus fosfat (PO43-) dan apatit karbonat (CO32-) sampel semakin tinggi kristalitinasnya, hal ini terlihat pada sampel B dan C yang memiliki persen transmitan gugus fosfat lebih rendah memiliki derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. Analisis Morfologi Menggunakan SEM/EDS Scanning electron microscopy (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas electron untuk menggambarkan profil permukaan benda dan prinsip kerjanya adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi, sehingga permukaan benda yang dikenai berkas akan memantul kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke segala arah (Mikrajuddin dan Khairurrijal 2008).
38
BB 1
BB 2
AA1
A2
B1
B2
C1
C2
D1
D2
Gambar 5 Mikrograf SEM sampel
Analisis morfologi permukaan semua sampel menggunakan SEM dengan pembesaran 2500x dan 5000x seperti terlihat pada Gambar 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel BB memiliki permukaan yang kasar, tidak beraturan
39
dan sedikit berpori, sementara sampel A terlihat lebih datar, tidak beraturan dan cenderung padat, sedangkan tampak permukaan sampel B terlihat lebih padat, tidak beraturan dan berbentuk bongkahan dengan butiran sampel yang cenderung mengembang dan tampak hidroskopis (hal ini juga ditunjang dengan hasil FTIR, terlihat pita absorpsi OH permukaan dengan intensitas persen transmitan yang kecil). Permukaan sampel C tampak tidak beraturan dengan banyak serpihan kecil butiran sampel, tajam dan lebih berpori dibandingkan dengan sampel lainnya, sementara sampel D terlihat serpihan sampel yang lebih halus dan membulat, serta sedikit berpori. Tabel 12 Hasil analisis unsur sampel menggunakan EDS
Unsur
CK OK Na K PK Cl K Ca K
BB % % Massa Atom 13.55 24.41 33.98 45.98 8.02 5.6 44.45 24.01
A % Massa 13.86 45.88 0.35 8.02 44.45
% Atom 22.56 56.06 0.3 5.6 24.01
Sampel B % % Massa Atom 14.69 23.95 43.55 53.31 1.5 1.28 12.4 7.84 27.72 13.54
C % Massa 8.22 39.2 0.68 16.07 0.42 35.4
D % Atom 14.95 53.52 0.65 11.33 0.26 19.29
% Massa 8.44 36.39 0.53 15.07 1.37 38.2
Analisis EDS adalah suatu teknik yang diterapkan dalam penentuan komposisi unsur pada permukaan suatu sampel. Teknik ini menggunakan sinar-X yang dipancarkan oleh unsur-unsur pada permukaan sebagai respon terhadap bombardir elektron (Zunbul 2005). Hasil analisis menggunakan EDS menunjukkan terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C), oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca) dengan persen massa dan persen atom seperti pada Tabel 12. Hasil analisis unsur menggunakan EDS menunjukkan bahwa persen massa kalsium menurun sedangkan persen massa fosfor yang meningkat pada sampel hasil ekstraksi menggunakan asam ataupun basa. Sampel BB dan A memiliki kesamaan pada persen massa kalsium, fosfor dan karbon sedangkan untuk oksigen mengalami peningkatan pada sampel A dan tampak persen massa natrium dengan jumlah yang sangat kecil. Sampel B, menunjukkan persen massa kalsium mengalami penurunan menjadi 27.72% sementara terjadi peningkatan pada fosfor dan sejumlah kecil karbon, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan struktur senyawa dalam sampel. Sampel C dan D terlihat terjadi penurunan persen massa karbon dan kalsium sementara fosfor dan oksigen meningkat. Analisis Kristal Menggunakan XRD Profil hasil analisis XRD (X-ray Diffraction) disesuaikan dengan data JCPDS (Joint Comitte on Powder Diffraction Standart) dan karakterisasi dilakukan untuk mengetahui fasa yang terbentuk pada sampel, derajat kristalinitas sampel dan ukuran kristal sampel.
% Atom 15.69 50.78 0.51 10.87 0.86 21.28
40
Senyawa yang terbentuk dalam sampel adalah kalsium fosfat dengan rumus kimia Ca4P2O9, dalam bentuk kristalin dan amorf. Fasa kristalin yang terbentuk dan mendominasi sampel BB dan A adalah fasa apatit karbonat atau [Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2], sedangkan fasa kristalin pada sampel B, C dan D selain apatit karbonat, terbentuk juga hidroksiapatit [Ca5(PO4)3(OH)]. Kehadiran fasa amorf pada tulang menunjukkan bahwa pembentukan kristal stabil apatit didahului oleh pembentukan kristal non apatit. Tabel 13 Puncak-puncak profil XRD sampel Fasa
BB 2 ()
A 2 ()
B 2 ()
C 2 ()
D 2 ()
AKA
-
25.88 29.02 51.52
25.9 53.18 -
46.66 49.5 53.28
33.9 39.68 53.28
AKB
25.92 31.84 40.1 46.82 49.47
31.9 39.66 46.68 49.44 -
28.6 46.74 -
25.9 28.92 -
25.96 28.6 46.4 49.36 -
HAP
-
-
31.86 40.1 49.64
31.66 34.64 39.66
30.2 31.6 -
Apatit karbonat pada sampel BB merupakan bentuk apatit karbonat tipe B (AKB) atau [Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2] yang terbentuk pada sudut 25.92, 31.84, 40.1, 46.82 dan 49.47, sementara untuk sampel A terlihat pada sudut 2 = 31.9; 39.66, 46.68 dan 49.44. Pada sampel B terbentuk pada sudut 2 = 28.6 dan 46.74, sedangkan AKB pada sampel C terbentuk di sudut 2 = 25.9 dan 31.66, dan sampel D terbentuk pada sudut 2 = 25.96, 28.6, 46.4 dan 49.36. Apatit karbonat tipe A (AKA) atau [Ca10(PO4)6CO3] tidak terlihat pada sampel BB, sedangkan pada sampel A terlihat pada sudut 2 = 25.88, 29.02 dan 51.52, sementara untuk sampel B terbentuk pada sudut 2 = 25.9 dan 53.18, sampel C untuk AKA terbentuk pada sudut 2 = 46.66, 49.5, dan 53,28 sampel D terlihat pada sudut 2 = 33.9, 39.68 dan 53.28. Fasa kristalin pada sampel B, C dan D selain apatit karbonat juga terbentuk fasa HAp (hidroksiapatit). Fasa HAp sampel B terbentuk pada sudut 2 = 31.86, 40.1 dan 49.64, sedangkan sampel C pada sudut 2 = 31.66; 34.64 dan 39.66, pada sampel D terbentuk pada sudut 2 = 30.2 dan 31.6. Derajat kristalinitas yaitu besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan area kristal dengan total luasan area amorf dan area kristal. Hasil pengukuran derajat kristalinitas sampel (Tabel 14), menunjukkan sampel B lebih kristalin dibanding sampel lainnya, sementara secara alami tulang ikan nila memiliki derajat kristalinitas yang lebih rendah (sampel BB)
41
dibandingkan dengan sampel hasil ekstraksi menggunakan asam dan basa, hal ini diduga berhubungan dengan hilangnya sejumlah senyawa organik selama proses ekstraksi. Derajat kristalinitas sampel secara berturut-turut adalah sampel BB (71.4%), A (71.9%), B (78.4%), C (77.9%) dan D (73.5%). Proses isolasi hidroksiapatit (HAp) dari tulang ikan tuna menggunakan suhu tinggi mengakibatkan hilangnya senyawa organik sehingga meningkatkan kemurnian, stabilitas dan kristalinitas HAp yang terbentuk (Venkatesan dan Kim 2010). Ukuran kristal, seperti terlihat pada Tabel 14 merupakan hasil perhitungan menggunakan persamaan Scherrer yaitu: =
( ) Dari rumus tersebut diketahui bahwa k adalah konstanta yang nilainya bervariasi, untuk tulang nilainya adalah 0.9 (Bigi et al. 1992), adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan yaitu 1.540958(Å), merupakan panjang gelombang Cu sebagai sumber sinar-X, adalah sudut Bragg, B adalah FWHM (full with half maximum) yang dipilih. Harga FWHM berbanding terbalik dengan ukuran kristal, makin kecil harga FWHM maka ukuran kristal yang dihasilkan semakin besar. Tabel 14 Derajat kristalinitas dan ukuran kristal sampel Sampel
Kristalinitas (%)
2 ()
FWHM ()
()
BB A B C D
71.4 71.9 78.4 77.9 73.5
25.92 25.88 25.9 25.9 25.96
0.504 0.678 0.332 0.914 0.894
0.252 0.339 0.166 0.457 0.447
(rad) 0.00440 0.00591 0.00290 0.00797 0.00780
D (002) (nm) 283.68 210.95 430.69 156.44 159.87
Ukuran kristal pada sudut 2 = 25.8-25.96, menunjukkan sampel B memiliki ukuran kristal lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya, sedangkan ukuran kristal terkecil terbentuk pada sampel C. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan asam akan menghasilkan ukuran kristal lebih kecil dibandingkan penggunaan larutan basa. Secara keseluruhan puncak maksimum intensitas fasa (Gambar 6) pada semua sampel secara berturut-turut terbentuk pada sudut 2 = 31.84 (BB), 31.9 (A), 31.86 (B); 31.66 (C) dan 31.6 (D), disimpulkan bahwa metode ekstraksi yang digunakan tidak mempengaruhi sudut dengan intensitas maksimum kalsium pada sampel, akan tetapi jenis pelarut untuk ekstraksi mempengaruhi perubahan fasa yang terbentuk pada puncak tertinggi. Pada sampel BB dan A, puncak tertinggi merupakan apatit karbonat tipe B [Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2], sedangkan pada sampel B, C dan D merupakan fasa kalsium hidroksiapatit [Ca5(PO4)3(OH)]. Deklinasi spektrum pada 2 sudut 20 hingga 25 menunjukkan adanya fasa amorfus sedangkan puncak pada 2 sudut 30 hingga 35 menunjukkan bahwa kristal mineral kedua nano kalsium memiliki partikel berukuran kecil dalam skala nano. Hasil yang sama ditunjukkan pada difraksi sinar-X tulang tikus (Dahlan et al. 2006).
42
Gambar 6 Difraktogram XRD sampel
Hasil analisis FTIR menunjukkan gugus fungsi terbentuk pada sampel adalah gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan hidroksil (OH-) dalam fasa amorf dan kristalin, yang ditandai dengan 4 fosfat dalam bentuk pita belah pada bilangan gelombang 563 dan 603 cm-1. Hasil ini didukung oleh data analisis menggunakan XRD yang menunjukkan adanya fasa amorf dan kristalin pada semua sampel, yang didominasi oleh fasa apatit karbonat pada sampel BB dan A, sedangkan sampel B, C dan D selain apatit karbonat, terbentuk juga hidroksiapatit [Ca5(PO4)3(OH)]. Analisis morfologi menggunakan SEM terlihat bahwa sampel yang diekstraksi menggunakan NaOH (sampel B) memiliki permukaan yang tidak beraturan, datar dan berbentuk bongkahan serta terlihat hidroskopis, sedang sampel yang diekstraksi menggunakan HCl (sampel D) permukaan sampel terlihat lebih berpori. Analisis menggunakan EDS menunjukkan bahwa persen massa kalsium dan karbon mengalami penurunan ketika diekstraksi menggunakan larutan asam maupun basa (sampel B, C dan D), sedangkan persen massa fosfor meningkat. Hasil ini didukung oleh analisis XRD, yang menunjukkan bahwa pada sampel BB dan A lebih didominasi oleh fasa apatit karbonat karena persen massa unsur karbon dan oksigen yang tinggi, sementara pada sampel B, C dan D selain terbentuk fasa apatit karbonat terbentuk pula hidroksiapatit sebagai akibat meningkatnya persen massa fosfor.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Ekstraksi nanokalsium menggunakan metode milling dari limbah tulang ikan nila dapat dilakukan dalam 3 tahap utama yaitu persiapan bahan baku (pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran); ekstraksi kalsium dari tulang ikan nila (bahan baku); tahapan selanjutnya adalah karakterisasi sifat fisikokimia. Jenis pengekstrak yang digunakan dalam proses ekstraksi nanokalsium dari tulang ikan nila berpengaruh terhadap karakteristik fisikokimia nanokalsium, hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis fisik (rendemen, derajat putih dan ukuran partikel), proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), dan kadar mineral (kalsium dan fosfor). Spektra FTIR (Fourier Transform Infrared) semua sampel menunjukkan adanya gugus fosfat (PO43-) dalam bentuk amorf dan kristalin, gugus karbonat dalam bentuk apatit karbonat (CO32-) tipe A (AKA) dan B (AKB) dengan intensitas yang berbeda sehingga dikatakan bahwa jenis larutan yang digunakan untuk ekstraksi mempengaruhi intensitas gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan hidroksil (OH-) dalam sampel. Analisis morfologi sampel menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan bahwa secara alami permukaan tulang ikan tampak kasar, tidak beraturan dan sedikit berpori (sampel BB), sedangkan proses ekstraksi menggunakan akuades panas (sampel A) mengakibatkan perubahan morfologi permukaan sampel yang terlihat lebih datar dan cenderung padat. Ekstraksi sampel menggunakan NaOH (sampel B) mengakibatkan permukaan sampel membentuk bongkahan dan hidroskopis, sementara ekstraksi menggunakan NaOH dilanjutkan dengan HCl (sampel C), mengakibatkan permukaan sampel menjadi tidak beraturan dengan banyak serpihan kecil, tajam dengan banyak pori, dan ekstraksi dengan asam (sampel D) menghasilkan permukaan yang lebih halus dan berpori. Analisis menggunakan EDS (Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy) memperlihatkan bahwa terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C), oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca). Metode dan jenis pelarut yang digunakan pada saat ekstraksi mempengaruhi persen massa unsur dalam sampel. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan bahwa fasa fosfat dan karbonat pada semua sampel merupakan campuran amorf dan kistalin. Ekstraksi nanokalsium menggunakan NaOH meningkatkan derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan ekstraksi menggunakan HCl.
SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang bioavailabilitas nanokalsium hasil ekstraksi dari tulang ikan nila dan aplikasi dalam produk pangan sebagai
44
bahan tambangan pangan guna pemenuhan kebutuhan mineral terutama kalsium dan fosfor. Pengecilan ukuran tulang ikan dalam bentuk tepung diperlukan pada tahap awal sebelum proses ekstraksi sehingga dapat memperbaiki karakteristik fisikokimia nanokalsium yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Allen LH, Wood JR. 1994. Calsium and Phosporus. dalam Modern Nutrition in Health and Disease ed. 8(1). Shils EM, Olsen JA, Shilke M (eds). Lea & Febringer. USA. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT Gramedia. AOAC [Association of Official Analytical Chemist]. 2005. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC. Bigi A, Foresti E, Gregorini R, Ripamonti A. 1992. The role of magnesium on the structure of biological apatites. Calc Tiss Int 50:439-44. Blaney S, Zee JA, Mongeau R, Marin J. 1996. Combined effect of various tiped of dietary fiber and protein on in vitro calsium availability. J Agric Food Chem 44:3587-3590. Broadus AE. 1996. Mineral balance and homeostasis. In: Favus, M.J. (Ed.), Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism, 3rd ed. dalam Sittikulwitit et al. 2004. In vitro bioavailability of calcium from chicken bone extract powder and its fortified products. J. Food Comp Anal 17: 321-329. Cefic 2012. Question an aswer on nanomaterial and nanotechnologies. European Chemical Industy Council-Cefic aisbl. Brussel, Belgium. Cheftel JC, Cug JL, Lorient D. 1985. Amino acids, peptides and proteins dalam Fenema OR (eds) . Food Chemistry: Second edition, revised and expanded, Marcel Dekker Inc, New York. Chen R, Yong Q, Li R, Zhang Q, Liu D, Wang M, Xu Q. 2010. Methezolamide calcium phosphate nanoparticles in a ocular delivery system. Yakugazu Zasshi 130(3):419-424. The Pharmeceutical society of Japan. Connor DJ, Sexton BA, Smart R. 2003. Surface Analysis Methods in Materials Science, (Springer-Verlag, Germany). Dahlan K, Sari YW, Yiniarti E, Soejoko DS. 2006. Karekterisasi gugus fosfat dan karbonat dalam tulang tikus dengan Fourier Transform Infra-Red (FT-IR) spectroscopy. Indonesian J Material Sci 10:221-224. Digitale E, Hathaway C, Zidenberg-Cherr S, Heneman K. 2008. Some Facts About Calcium and Osteoporosis. Dept. of Nutrition, University of California: USA Dongoran N, Kustiyah L, Marliyati SA. 2007. Pembuatan susu kedelai berkalsium tinggi dengan penambahan tepung tulang ikan kakap merah (Lutjanus Sanguineus). Media Gizi dan Keluarga 31(1):71-79.
46
Dutta J, Hofmann H. 2005. Nanomaterials. Ebook:37-39. Elagba MHA, Al-Maqbaly R, Mansour HM. 2010. Proximate composition, amino acid and mineral contents of five commercial Nile fishes in Sudan African. J. Food Sci 4: 650-654. Fairweather-Tait SJ, Teucher B. 2002 Iron and Calcium Bioavailability of Fortified Foods and Dietary Supplements. Nutr Rev 60:360-367. Fennema OR. 1996. Food Chemistry: Third eddition revised and expanded. Marcel Dekker Inc. New York. Flynn A, Cashman K. 1999. Calcium. In: Hurrell RF ed. The mineral fortification of foods. Leatherhead, Surrey, Leatherhead Publishing, 18-53. Gaman PM, Sherrington KB. 1990. The Science of Food: An Introduction of Food Science, Nutrition and Microbiology. 3rd ed. Oxford: Pergamon Press. Gerstner G. 2003. How to Fortify Beverages with Calcium. Ingredient, Food Marketing and technology 16-19. Greger JL. 1999. Nondigestable carbohydrates and mineral bioavailability. Am J Clin. Nutr 0022-3166:1434S-1456S. Greiner R. 2009. Current and projected of nanotechnology in the food sector. J Brazilian Soc of Food and Nutr 34(1):243-260. Groff JL, Gropper SS. 2001. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Belmont: Wadsworth/Thomson Learning. Guthrie HA. 1975. Introductory Nutrition. Saint Louis: Mosby Company. Halver, JE. 1989. Fish Nutrition. Academic Pr. New York. Hamada M, Nagai T, Kai N, Tanoue Y, Mae H, Hashimoto M, Miyoshi K, Kumagai H, Saeki K. 1995. Inorganic constituents of bone of fish. Fisheries Sci 61(3):517-520. Harland FB, Oberleas D. 2001. Effect of dietary fiber and phytat in the homeostatis and bioavailability of mineral. dalam: Spiller AG, editors. Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library of Congress. Hemung BO. 2013. Properties of tilapia bone powder and its calcium bioavailability based on transglutaminase assay. Int J. Biosci, Biochem and Bioinfo 3(4):306-309. doi:10.7763/IJBBB.2013.V3.219. Hristozov D, Ertel J. 2009. Nanotechnology and sustainability: Benefit and risk of nanotechnology for environmental sustainability. BTU Cottbus-Eigenverlag. Forum der Forschung 22:161-168. Huang YC, Hsiao PC, Chai HJ. 2011. Hydroxyapatite extracted from fish scale: Effects on MG63 osteoblast-like cells. Ceramics Int 37:1825-1831. Iodarine A, Khan MJ, Weber CW. 1996. In vitro binding capasity of wheat bran, rice bran and oat fiber for Ca, Mg, Cu and Zn alone and in different combination. J Agric Food Chem 44:2067-2072.
47
Johns P. 1977. The structure and components of collagen containing tissues. in Ward, The Science and Technology of Gelation, AG Cours A. (Eds), London: Academic Press, 31-72. Johnson A, Patterson MS. 1984. Encyclopedia of Food Technol 2. The AVI. Publishing Co. Inc. Connecticut. Kariman A, Shalloof SH, Salama HMM. 2008. Biology in Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1757) Inhabited Abu-zabal Lake, Egypt. Global Vet 2(6):351359. Karmas E. 1982. Meat, Poultry and Seafood Technology, Noyes Data Corpation. Park Ridge, New Jersey, USA. Kaup SM, Greger JL, Lee K. 1991. Nutritional evaluation with animal model of cottage cheese fortified with calcium and guar gum. J. Food Sci. 56(3): 692695. Kaya AOW, Santoso J, Salamah E. 2008. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit. J. Ichtyos 1(7):9-14. Khoerunnisa 2011. Isolasi dan Karakterisasi Nano Kalsium dari Cangkang Kijing Lokal (Pilisbryoconcha exilis) dengan Metode Presipitasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kim SK, Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing by products – A review. Food Res Intl. 39:383-393. Lanier TC, Hart K, Martin RE. 1991. A manual of standard methods for measuring and specifying the properties of surimi. Washington, DC: National Fisheries Institute. Linder MC. 1982. Nutritional biochemistry and metabolism. Penerjemah : Parakkasi A. Jakarta: UI Press. Lovell T. 1989. Nutrition and Feeding on Fish. New York: AVI Book Publishing by Van Nostrand Reinhold. Lutwak L. 1982. Dietary calcium: Source, interaction with other nutrients and relationship to dental, bone and kidney disease dalam Beittz DC, Nansen RC (eds). Animal Products in Human Nutrition. New York: Academic Press. Luu PH, Nguyen MH. 2009. Recovery and utilization of calcium from fish bones byproducts as a rich calcium source. Tap Chi Khoa Hoc Va Cong Nghe 47:91-103. Malekzadeh JM, Keshavarz A, Siassi F, Kadkhodaei M, Eshraghian MR, DorostiMotlagh AR. 2007. Effect of Dietary Calcium on Concentration of Lipid, Glucose and Insulin in Male Sprague-Dawely Rats. ARYA Atherosclerosis J 3(1).
48
Martinez I, Santaella M, Ros G, Periago MJ. 1998. Content and in Vitro availibility of Fe, Zn and P in homogenized fish-base weaning food after bone addition. Food Chem. 63: 299-305. Maryani, Surti T, Ibrahim R. 2010. Aplikasi gelatin tulang ikan nila merah (Oreochromis niloticus) terhadap mutu permen jelly. Jurnal Saintek Perikanan 6(1): 62-70. Mathai M, Takagi S. 2001. Structures of biological minerals in dental research. J Res Nat Standard and Tech. 106:1035-1044. Maynard LA, Loosli JK. 1956. Animal Nutrition. 4th(ed). New York: Mc Graw Hill Book Company. Mikrajuddin A, Khairurrijal. 2008. Review: Karakterisasi nanomaterial. J. Nano Saintek (HRMI, Himpunan Riset Material Indonesia) Vol 2(1):1-12. Mohanraj VJ, Chen Y. 2006. Nanoparticels-A Review. Trop J Pharm Res 5(1):561-573. Muchtadi TR, Sugiyono. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Mulia. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai altnernatif sumber kalsium dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Murtiningrum 1997. Ekstraksi kalsium dari tulang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) dengan teknik deproteinasi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nagai T, Izumi M, Ishii M. 2004. Fish scale collagen. Preparation and partial characterization. J. Food Sci and Tech. 39:239-244 dalam Kim SK, Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing by products-A review. Food Res Int 39:383-393. Nagai T, Suzuki N. 1999. Isolation of Collagen from Fish Waste Material-Skin, Bone and Fins. Food Chem 68:277-281. Nagai T, Suzuki N. 2000. Isolation of collagen from fish waste material-skin, bone and fins. Food Chem 68: 277-281 dalam Kim SK, Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing by products – A review. Food Res Int 39:383-393. [NNI] National Nanotechnology Initiative. 2006. What it is and how it’s works. [Internet] [diunduh 2012 Juli 06]. Tersedia pada: http://www.nano.gov/nanotech-101/what Park HS, Jeon BJ, Ahn J, Kwak HS. 2007. Effect of nanocalcium supplemented milk on calcium metabolisme in ovariectomized rats. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20 (8):1266-1271. Petenuci ME, Stevanato FB, Visentainer JEL, Matsushita M, Garcia EE, de Souza NL. 2008. Fatty acid concentration, proximate composition, and mineral
49
composition in fishbone of nile tilapia. Archivos Latinoamericanos de Nutricion 58(1):87-90. Peranginangin R, Nurhayati. 2011. Penelitian fortifikasi kalsium yang diekstraksi dari tulang ikan tuna dalam produk camilan ikan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-III. Piliang WG, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi 2. Bogor: IPB Press. Prihatman K. 2000. Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan-BAPPENAS. http:// www.ristek.go.id Ramírez-Moreno E, Díez Marqués C, Sánchez-Mata MC, Goñi I. 2011. In vitro calcium bioaccessibility in raw and cooked cladodes of prickly pear cactus (Opuntia ficus-indica L. Miller). LWT-Food Sci and Tech 44:1611-1615. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Siegrist M, Cousin ME, Kastenholz H, Wiek A. 2007. Public acceptance of nanotechnology foods and food packaging: The influence of affect and trust. Appetite 49: 459-466. Sittikulwitit S, Sirichakwal PP, Puwastien P, Chavasit V, Sungpuag P. 2004. In vitro bioavailability of calcium from chicken bone extract powder and its fortified products. J. Food Comp and Anal 17:321-329. doi:10.1016/j.jfca.2004.03.023 Spiller AG. 2001. Definition of Dietary Fiber. Di Dalam: Spiller AG, (ed) Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. USA: Library of Congress. Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1997. Dietary reference intakes for calcium, phosphorus, magnesium, vitamin D, and fluoride. Washington, DC: National Academy Press. Subasinghe S. 1996. Inovative and value-added tuna product and markets. Infofish Int. 1/96. January/February. Suptijah P, Losung F, Nugraha R. 2010. Isolasi dan karakterisasi mineral crustacean sebagai sumber potensial nanokalsium. Prosiding: Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010. Sekolah Tinggi Perikanan. 357-360. Suptijah P, Hardjito L, Haluan J, Suhartono MG. 2010. Recovery dan manfaat nanokalsium hewan perairan (dari cangkang udang). Logika 2(7):061-064. Suptijah P, Jacoeb AM, Deviyanti N. 2012. Karakterisasi dan bioavailabilitas nanokalsium cangkang udang vanname (Litopenaeus vannamei). J. Akuatika 3(1):63-73.
50
Techochatchawal K, Therdthai N, Khotavivattana S. 2009. Development of calcium supplement from the bone of Nile Tilapia (Tilapia nilotica). As J Food Ag-Ind 2(04):539-546. Tee ES, Mizura S, Kuladevan S, Young R, Khor SI, Chin SK. 1989. Nutrient Compostion of Malaysian Fresh Water Fishes. Proc Nutr Soc Mal. 4:63-73. Thalib. 2009. Pemanfaatan tepung tulang ikan madidihang (Thunnus albacares) sebagai sumber kalsium dan fosfor untuk meningkatkan nilai gizi macron kenari [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Trilaksani W, Salamah E, Nabil M. 2006. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp.) sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 9(2):34-45. Urbano MG, Goni I. 2002. Bioavailability of nutrition in rats fed on edible seaweeds, nori (Porphyra tenera) and wakame (Undaria pinnatifida) as a source of dietary fiber. Food Chem. 76:281-286. Uskokovic V. 2007. Nanotechnologies: What we do not know. Tech in society 29:43-16. Weiss JP, Takhistov P, McClements DJ. 2006. Functional Materials in Food Nanotechnology. Institute of Food Technologists. J. Food Sci. 71(9): R107R116. [WHO] World Health Organization 2006. Guidelines on food fortification with micronutrients. edited by Lindsay Allen et al. WHO Library Cataloguingin-Publication Data. Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Vignesh R, Srinivasa M. 2012. Nutritional quality of processed head and bone flours of tilapia (Oreochromis mossambicus, Peters 1852) from Parangipetai estuary, South East Coast of India. As Pac J Trop Biomed. S368-S372. Venkatesan J, Kim SK. 2010. Effect of temperature on isolation and characterization of hydroxyapatite from tuna (Thunnus obesus) bone. Materials 3:4761-4772. doi:10.3390/ma3104761 Zunbul B. 2005 AAS, XRPD, SEM/EDS, and FTIR studies of the effect of calcite and megnesite on the uptake of Pb2+ and Zn2+ ions by natural kaolinite and clinoptilolite [Thesis] the Graduate School of Engineering and Sciences of İzmir Institute of Technology.
LAMPIRAN
51
Lampiran 1 Data limbah tulang dan perubahannya Kondisi Sebelum Perebusan Setelah Perebusan
Data Limbah Limbah tulang Limbah tulang tanpa kepala Kepala ikan Tulang bersih Tulang ikan yang telah dikeringkan Bubuk kasar tulang ikan nila (0.5-2 cm)
Lampiran 2 Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Lampiran 3 Kondisi limbah tulang ikan nila
Berat 120 kg 58.2 kg 59.4 kg 8.7 kg 5.5 kg 4.3 kg
52
Lampiran 4 Tahap perebusan limbah tulang ikan nila
Lampiran 5 Kondisi bahan baku tulang ikan nila
Ket:
a) tulang nila segar; b) tulang nila kering; c) bubuk kasar tulang nila; dan d) tepung tulang nila
53
Lampiran 6 Metode ekstraksi kalsium
Ket: a) Ekstraksi dengan air; b) Ekstraksi dengan NaOH; c1&c2 Ekstraksi dengan NaOH dilanjutkan dengan ekstraksi HCl dan d) Ekstraksi dengan HCl
Lampiran 7 Hasil pengukuran partikel bahan baku
54
Lampiran 8 Hasil pengukuran partikel sampel A
Lampiran 9 Hasil pengukuran partikel sampel B
55
Lampiran 10 Hasil pengukuran partikel sampel C
Lampiran 11 Hasil pengukuran partikel sampel D
56
Lampiran 12. Analisis proksimat dan mineral (g/100 g, %bk) sampel No.
Sampel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
BB 1 BB 2 BB 3 A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3
Air 8.8587 8.4657 8.9426 6.5818 6.5239 6.4253 4.7305 4.6532 4.6302 2.5196 2.1483 2.3298 4.2151 4.8067 3.8538
Abu
Protein
69.3714 69.3948 69.3358 72.6807 72.3144 72.601 96.0199 96.0097 95.7679 92.6034 92.4392 93.1877 85.3448 85.7591 85.0923
26.2011 25.7062 26.2801 24.0959 24.0168 24.2427 0.2414 0.4185 0.4886 0.6914 0.5912 0.5411 6.8904 6.9753 7.2130
Lemak 2.7642 2.8409 2.9361 2.4266 2.3984 2.7651 0.9657 1.0299 0.8121 0.8504 0.8636 0.881 1.6774 2.0643 1.5927
KH
Ca
1.6633 18.5426 2.058 18.7907 1.448 18.7793 0.7967 18.4118 1.2704 19.0958 0.3912 18.6482 2.7729 20.6257 2.5418 20.3468 2.9313 21.0234 5.8548 22.9277 6.106 21.972 5.3902 22.78075 6.0872 21.4543 5.2013 21.4826 6.102 21.4777
Lampiran 13 Hasil uji one-way ANOVA derajat putih sampel Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Perlakuan 4 1061.4773 265.3693 589.71 Galat 10 4.5000 0.4500 Total 14 1065.9773
Pr>F <0.0001
Lampiran 14 Hasil uji one-way ANOVA kadar air sampel Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 70.5832 0.8391 71.4223
KT F Hit 17.6458 210.29 0.0839
Pr>F <0.0001
Lampiran 15 Hasil uji one-way ANOVA kadar abu sampel Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 1689.5367 0.6538 1690.1905
KT F Hit 422.3842 6460.70 0.0654
Pr>F <0.0001
Lampiran 16 Hasil uji one-way ANOVA kadar protein sampel Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 1900.5383 0.3147 1900.8530
KT F Hit 475.1346 15099.6 0.0315
Pr>F <0.0001
P 8.8873 8.9584 8.8955 8.6172 8.8258 9.1371 9.5518 10.0685 10.6428 12.2076 11.1904 12.7469 12.2671 11.6605 11.3889
57
Lampiran 17 Hasil uji one-way ANOVA kadar lemak sampel Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 9.7684 0.2515 10.0199
KT 2.4421 0.0252
F Hit 97.09
Pr>F <0.0001
F Hit 83.03
Pr>F <0.0001
F Hit 28.95
Pr>F <0.0001
Lampiran 18 Hasil uji one-way ANOVA kalsium sampel Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 34.7394 1.0459 35.7854
KT 8.6849 0.1046
Lampiran 19 Hasil uji one-way ANOVA fosfor sampel Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 27.7474 2.3959 30.1432
KT 6.9368 0.2396
Lampiran 20 Spektrum FTIR bahan baku 74,7 70 65 60 55 3698,29;59,83
50
2854,38;55,47
45
2925,32;49,47
40
872,28;47,09
%T
1648,13;40,79
35
3430,48;36,55 1455,99;38,06
30
1417,17;37,90
25 603,01;28,66 563,71;25,08
20 15 1035,68;12,63
10 5,0 4000,0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
600
450,0
58
Lampiran 21 Spektrum FTIR sampel A
Lampiran 22 Spektrum FTIR sampel B
59
Lampiran 23 Spektrum FTIR sampel C
Lampiran 24 Spektrum FTIR sampel D
60
Lampiran 25 Mikrograf SEM bahan baku
Lampiran 26 Analisis EDS bahan baku
61
Lampiran 27 Mikrograf SEM sampel A
Lampiran 28 Analisis EDS sampel A
62
Lampiran 29 Mikrograf SEM sampel B
Lampiran 30 Analisis EDS sampel B
63
Lampiran 31 Mikrograf SEM sampel C
Lampiran 32 Analisis EDS sampel C
64
Lampiran 33 Mikrograf SEM sampel D
Lampiran 34 Analisis EDS sampel D
65
Lampiran 35 Profil difraktogram bahan baku
Lampiran 36 Profil difraktogram sampel A
66
Lampiran 37 Profil difraktogram sampel B
Lampiran 38 Profil difraktogram sampel C
67
Lampiran 39 Profil difraktogram sampel D
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 14 Januari 1973, sebagai anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga bapak Joazab B L Lekahena dan ibu Neltje L Abel. Tahun 1992 memasuki jenjang pendidikan S1 di Fakultas Perikanan, Jurusan Teknologi Hasil Perikanan (THP), Universitas Pattimura dan diselesaikan tahun 1997. Pada tahun 2009, penulis diterima di PS Ilmu Pangan (IPN) pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) melalui Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia selama 2 tahun pertama dan selanjutnya dengan biaya sendiri. Sejak tahun 2005, Penulis diterima sebagai staf pengajar (dosen PNS) pada Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) Wilayah XII (Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat) dipekerjakan (dpk) pada Universitas Al-Amin, Sorong di PS Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan tahun 2007 dipindah tugaskan pada Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate di PS Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian.