KAPASITAS INFILTRASI DAN DINAMIKA KADAR AIR TANAH PADA BERBAGAI TINGKAT STRATA TAJUK TANAMAN
SITI MAESYAROH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kapasitas Infiltrasi dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Tingkat Strata Tajuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Siti Maesyaroh A14110057
ABSTRAK SITI MAESYAROH. Kapasitas Infiltrasi dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Tingkat Strata Tajuk Tanaman. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan ENNI DWI WAHJUNIE. Penggunaan lahan yang sama seperti kebun campuran memiliki karakteristik tajuk yang bervariasi sehingga efektivitas intersepsi hujan juga berbeda-beda, yang akan mempengaruhi karakteristik tanah di bawahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kapasitas infiltrasi dan kemantapan agregat tanah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman serta melihat dinamika kadar air tanah beberapa jam setelah hujan. Karakteristik tajuk yang diamati adalah kontrol (tanpa tajuk), sistem 1 strata, sistem 2 strata, dan sistem 3 strata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan organik yang tinggi akan meningkatkan kemantapan agregat tanah sehingga kapasitas infiltrasi tanah meningkat dan ketersediaan air dalam tanah tinggi. Hasil tertinggi dan terendah terdapat pada sistem tiga strata dan sistem satu strata. Namun, kadar air tanah di permukaan lebih tinggi pada sistem dua strata disebabkan serasah yang tebal sehingga evaporasi yang terjadi rendah. Kata kunci: kadar air tanah, kapasitas infiltrasi, tingkatan strata
ABSTRACT SITI MAESYAROH. Infiltration Capacity and Water Content of Soil Dynamic in Various of Plant Canopy Strata Level. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and ENNI DWI WAHJUNIE. The same landuse may have different canopy characteristic that may cause different effectivity in intercepting rainfall and leading to different soil characteristic. The purposes of this research are to analyze soil infiltration capacity and the stability of soil structure in different plant canopy characteristic also to see water content of soil dynamic some hours after rainfall. Plant canopy characteristic that observed are control (without canopy), one-strata system, twostrata system, and three-strata system. The results of this research show that great organic matter will increase agregat stability of soil, soil infiltration capacity, soil capability watercontent. Soil agregat, soil infiltration capacity than to be higher multistorey system. Nevertheless, water content of soil in surface is higher in twostrata system than in oder strata system due to its thick litter that lead to low evaporation. Keywords: watercontent of soil, infiltration capacity, the level of strata
KAPASITAS INFILTRASI DAN DINAMIKA KADAR AIR TANAH PADA BERBAGAI TINGKAT STRATA TAJUK TANAMAN
SITI MAESYAROH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
Judul Skripsi : Kapasitas Infiltrasi dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Tingkat Strata Tajuk Tanaman Nama : Siti Maesyaroh NIM : A14100057
Disetujui oleh
Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi Pembimbing II
askoro MSc Pembimbing I
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
18 SEP 2015
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Kapasitas Infiltrasi dan Dinamika Kadar Air Tanah pada Berbagai Tingkat Strata Tajuk Tanaman”. Skripsi ini merupakan syarat akhir dalam meraih gelar Sarjana Pertanian, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku dosen pembimbing Skripsi I sekaligus pembimbing akademik sejak penulis memasuki Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang senantiasa memberikan ilmu, arahan dan motivasi selama penulis melaksanakan penelitian sampai penyelesaian penulisan skripsi. 2. Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi selaku pembimbing kedua atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis sampai dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. 3. Dr Ir Yayat Hidayat, MSi selaku penguji atas saran-saran yang telah diberikan. 4. Pak ipul dan staf Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium. 5. Beasiswa BIDIKMISI yang telah membantu penulis mulai berada di Institut Pertanian Bogor sampai proses penyelesaian penelitian ini. 6. Keluarga tercinta terutama kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan program studi ini. 7. Muhammad Hasbi, teman-teman soiler 48, dan juga teman terbaik penulis (sri, bunga, nurul dan tiwi) atas bantuan, dukungan, doa dan kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, September 2015
Siti Maesyaroh
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Alat dan Bahan
2
Pelaksanaan Penelitian
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
4
Bahan Organik
6
Kemantapan Agregat Tanah
7
Kapasitas Infiltrasi tanah
8
Permeabilitas
11
Dinamika Kadar Air Tanah
12
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
15
RIWAYAT HIDUP
19
DAFTAR TABEL 1 Parameter pengamatan dan metode analisis 2 Bahan organik tanah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman 3 Ratio bobot sesudah ayakan basah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman 4. Permeabilitas pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman
3 6 7 11
DAFTAR GAMBAR 1 Karakteristik tajuk pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata 2 Kapasitas infiltrasi pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata 3 Kapasitas infiltrasi pada kondisi jenuh di berbagai strata tajuk tanaman 4 Kondisi perakaran pada sistem tiga strata 5 Kadar air tanah berbagai strata tajuk tanaman pada kedalaman (a) 0‒10 cm; (b) 10‒20 cm
5 9 10 10 12
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Kerapatan tajuk pada berbagai strata tajuk tanaman Bobot serasah dan tutupan serasah berbagai strata tajuk tanaman Kadar C-organik dan bahan organik pada berbagai strata tajuk tanaman Tinggi tajuk pada berbagai strata tajuk tanaman Kemantapan agregat tanah pada berbagai strata tajuk tanaman Kapasitas infiltrasi tanah pada berbagai strata tajuk tanaman Dinamika kadar air tanah pada berbagai strata tajuk tanaman Profil tanah kedalaman 0-40 cm pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata 9 Alat densiometer 10 Sketsa pengambilan contoh tanah pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata
15 15 15 16 16 16 17 17 18 18
PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan faktor penting dalam kehidupan. Pada siklus hidrologi, air hujan yang jatuh di daratan dapat langsung ke permukaan tanah atau terinsepsi baik vegetasi maupun benda lainnya. Air hujan yang sampai ke permukaan tanah akan mengalami proses infiltrasi (air masuk ke dalam tanah) atau air mengalir sebagai aliran permukaan. Proses infiltrasi atau aliran permukaan diantaranya dipengaruhi oleh erosivitas hujan. Erosivitas hujan yang tinggi merupakan penyebab penghancuran pada agregat tanah (Arsyad 2010). Air hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah tanpa vegetasi yang menutupi tanah maka pukulan butir hujan dapat menghancurkan struktur tanah sehingga infiltrasi rendah dan aliran permukaan meningkat. Sebaliknya, jika air hujan jatuh ke vegetasi maka butiran hujan akan diintersepsi oleh tajuk tanaman. Namun, butiran air hujan yang tertahan ditajuk akan saling berkumpul membentuk butiran hujan yang lebih besar, sehingga dapat menghancurkan struktur tanah (Arsyad 2010). Hal ini akan menentukan besarnya kerusakan tanah di bawah tajuk akibat tetesan tajuk atau lolosan tajuk. Karakteristik tajuk tanaman dapat mempengaruhi mekanisme intersepsi. Karakteristik tajuk pada penggunaan lahan yang sama seperti lahan kebun campuran dapat berbeda-beda, sehingga karakteristik tanah di bawahnya juga akan berbeda. Karakteristik tajuk yang mempengaruhi erosivitas hujan adalah dipengaruhi oleh kerapatan dan tinggi tajuk. Semakin rapat tajuk dan semakin rendah tinggi tajuk maka erosivitas hujan semakin rendah. Dalam hal ini, kerapatan dan tinggi tajuk dipengaruhi oleh tingkatan tajuk. Budiastuti (2013), menyatakan bahwa semakin banyak tingkatan tajuk maka kecepatan butir air hujan yang terhambat semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa sistem tajuk bertingkat (multistrata) mampu mengintersepsi energi butir hujan lebih besar dibandingkan sistem strata lainnya (monostrata). Perbedaan karakteristik tanah di bawah tajuk juga dipengaruhi oleh sumbangan bahan organik dan sistem perakaran. Semakin banyak tingkatan tajuk (multistrata) maka sumbangan bahan organik yang dihasilkan semakin banyak, sehingga sifat fisik tanah di bawah tajuk juga semakin baik. Selain itu, multistrata juga mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dan dalam, sehingga kontinyuitas pori-pori makro lebih terjamin. Hal ini membuat kapasitas infiltrasi pada multistrata menjadi tinggi. Selain itu, pada multistrata dengan kerapatan tajuk yang tinggi menghambat radiasi matahari langsung ke permukaan tanah, sehingga mengurangi evaporasi dibandingkan dengan sistem strata lainnya (monostrata). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan untuk mengetahui kapasitas infiltrasi dan dinamika kadar air tanah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman di penggunaan lahan yang sama, yaitu kebun campuran.
2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kapasitas infiltrasi pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman dan dinamika kadar air tanah beberapa jam setelah hujan.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Mei 2015 dan bertempat di Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Analisis sifat fisik tanah dilakukan di Laboratorium Konservasi tanah dan air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah garpu tanah, bor tanah diameter 2 cm, aluminium foil, oven, densiometer, bambu, meteran, double ring infiltrometer, penggaris, ember, gayung, balok kayu, stopwatch, ayakan agregat kering, ayakan agregat basah, buret, erlenmeyer, gelas sedimentasi, pipet volumetrik, gelas piala, alat pengaduk batang gelas, hidrometer ASTM 152 H, tabung sedimentasi, alat penyumbat, termometer, serta bak air. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah utuh, contoh tanah agregat utuh, contoh tanah terganggu, air, cat, serta bahan-bahan kimia sebagai ekstraksi dilaboratorium seperti Kalium dikromat, ferroin dan FeSO 4 . 7 H 2 O untuk penetapan C-organik serta Natrium pirofosfat untuk penetapan tekstur. Pelaksanaan Penelitian Rancangan Penelitian Penelitian mengenai berbagai tingkat strata tajuk tanaman dilakukan pada penggunaan lahan yang sama, yaitu kebun campuran. Pada lahan kebun campuran terdapat strata tajuk tanaman yang berbeda. Oleh karena itu, dipilih 4 strata tajuk tanaman yaitu 1 strata (tinggi tajuk berkisar antara 1.2–2.0 m), 2 strata (tinggi tajuk pertama berkisar antara 4.9–5.8 m dan kedua 2.4–3.4 m), 3 strata (tinggi tajuk pertama >6.0 m, kedua 5.3–5.7 m dan ketiga 1.8–3.2 m) serta kontrol (tanpa tajuk tanaman) sebagai perlakuan. Masing-masing strata tersebut kemudian dipilih 3 lokasi sebagai ulangan sehingga bertotal 12 lokasi pengamatan. Jarak antar ulangan berkisar 1–2 m. Lokasi penelitian berada pada koordinat 06o38’07.35” LS dan 106o38’01.39” BT. Kemiringan lokasi penelitian adalah 0–3%, dengan jenis tanah latosol.
3 Pangambilan Contoh Tanah Pengambilan contoh tanah terdiri atas contoh tanah utuh, tanah agregat utuh dan tanah terganggu dengan kedalaman 0‒20 cm. Pengambilan contoh tanah pada masing-masing strata dilakukan di bawah pengaruh tajuk tanaman. Kemudian contoh tanah dianalisis di laboratorium. Sifat tanah yang dianalisis meliputi permeabilitas, tekstur dan C-organik tanah. Sifat tanah tersebut dianalisis dengan contoh tanah dan metode yang telah disebutkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Parameter pengamatan dan metode analisis. Parameter sifat fisik tanah Tekstur C-organik Permeabilitas
Contoh Tanah Terganggu Terganggu Utuh
Metode analisis Hidrometer Walkley & Black Permeameter lab
Pengukuran Kerapatan dan Tinggi Tajuk Pengukuran kerapatan tajuk menggunakan alat densiometer, yang memiliki 25 buah persegi. Densiometer bekerja dengan memanfaatkan pantulan sinar matahari, sehingga terbentuk bayangan tajuk dari vegetasi. Skala pengukuran 1 persegi bernilai 4, sehingga memiliki skor antara 0–100. Kemudian hasil dinyatakan dalam persen (%). Pengukuran tinggi tajuk menggunakan bambu dengan panjang 6 m. Bambu tersebut diberi warna tiap 50 cm. Pengukuran tinggi tajuk dimulai dari permukaan tanah sampai tajuk bagian bawah tanaman. Kemudian diklasifikasikan kedalam Moss dan Green dalam Arsyad 2010. Pengukuran Kemantapan Agregat Pengukuran kemantapan agregat tanah adalah menggunakan metode ayakan kering dan ayakan basah dengan ayakan tunggal. Contoh tanah agregat utuh dikering udarakan selama 3‒4 hari, ditumbuk dan diayak kering sampai lolos saringan 2.83 mm. Tanah yang tertahan disaringan 2 mm kemudian ditimbang 100 g dan diayak dengan ayakan basah selama 5 menit. Tanah yang tersisa pada ayakan basah dioven selama 24 jam. Kemudian bobot tanah awal sebesar 100 g dikonversi dengan kadar air untuk mendapatkan bobot kering mutlak sebelum. Kemudian hasil pengukuran dihitung dengan menggunakan ratio antara berat tanah kering mutlak (BKM) sesudah ayakan basah dengan berat tanah kering mutlak (BKM) sebelum ayakan basah, sehingga hasil pengukuran dinyatakan dalam persen (%). Hasil bobot kering mutlak sesudah ayakan basah dengan bobot kering mutlak sebelum ayakan basah menunjukkan persentase tinggi maka agregat tanah tersebut lebih stabil, dibandingkan dengan persentase yang lebih rendah. Pengukuran Tutupan dan Bobot Serasah Pengukuran tutupan serasah menggunakan kotak berukuran 1x1 m, yang terbuat dari kayu dan tali sebagai grid. Total nilai grid adalah 100 yang dinyatakan
4 dalam persen (%). Alat tersebut diletakkan diatas permukaan tanah atau serasah. Kemudian serasah dalam kotak ditimbang untuk penetapan bobot serasah (g/m2). Pengukuran Kapasitas Infiltrasi Pengukuran kapasitas infiltrasi menggunakan metode double ring infiltrometer. Ring infiltrometer diletakkan pada tempat yang ditentukan, yaitu berada di bawah tajuk. Kedua ring tersebut dimasukkan ke dalam tanah ± 5 cm. Kemudian air dimasukkan ke dalam ring secara bersamaan dan diukur laju penurunannya. Pengukuran dilakukan hingga mencapai laju penurunan yang konstan. Pengukuran Dinamika Kadar Air Tanah Pengukuran dinamika kadar air tanah dilakukan dengan melihat variasi kejadian hujan selama tiga hari berturut-turut, yang dimulai setelah hari terjadi hujan. Contoh tanah diambil pada tiap ulangan strata tajuk tanaman. Kedalaman tanah yang diambil adalah tiap 10 cm, hingga mencapai kedalaman 40 cm (0–10 cm; 10–20 cm; 20–30 cm; 30–40 cm). Pengambilan contoh tanah dilakukan pada pagi hari pukul 07.00‒09.00 WIB dan sore hari pukul 15.00‒17.00 WIB. Contoh tanah diambil menggunakan bor tanah berdiameter 2 cm dan dibungkus dengan aluminium foil. Kemudian penetapan kadar air tanah dilakukan di laboratorium dengan metode gravimetrik. Analisis Data Data hasil pengukuran di lapang diolah dengan bantuan software Microsoft Office Excell. Kemudian data dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kontrol (tanpa tajuk tanaman) Kontrol merupakan lahan terbuka tanpa tajuk tanaman, tetapi ditumbuhi dengan rumput-rumputan. Rumput tersebut bersifat tidak permanen, karena sering dilakukan pembersihan. Besarnya tutupan tanah pada ketiga ulangan kontrol tersebut berbeda-beda. Kontrol ulangan satu dan dua memiliki tutupan tanah yang lebih sedikit dibandingkan dengan ulangan ketiga. Pada kontrol ulangan ketiga memiliki rumput yang tinggi, sedangkan pada ulangan satu dan dua memiliki rumput yang tumbuh menjalar di permukaan tanah. Dapat dilihat dalam Gambar 1. Sistem Satu Strata Sistem satu strata memiliki kerapatan tajuk yang rendah, yaitu 60.67% dengan tinggi tajuk berkisar antara 1.2‒2 m dari permukaan tanah. Menurut
5 Arsyad (2010), menyatakan bahwa tinggi tajuk tersebut masuk dalam kategori lapisan 3, yaitu tetesan tajuk mencapai erosivitas yang tinggi dan menimbulkan kerusakan pada tanah. Penutupan tanah di bawah tajuk lebih sedikit, yaitu sebesar 30% dan bobot serasah sebanyak 54.46 g/m2. Ketika terjadi hujan, maka pukulan butir hujan akan menghancurkan agregat tanah karena kerapatan tajuk dan penutupan tanah yang rendah. Kerapatan tajuk yang rendah disebabkan adanya pembersihan lahan, seperti pemangkasan tajuk dan pembabatan rumput di bawah tajuk. Dapat dilihat dalam Gambar 1.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1 Karakteristik tajuk pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata Sistem Dua Strata Sistem dua strata terdiri dari dua jenis tanaman, dengan kerapatan tajuk sebesar 82.00%. Tanaman tersebut adalah kakao (tajuk strata 1) dan Gliricida sp. atau gamal (tajuk strata 2). Tinggi tajuk kakao berkisar antara 2.4–3.4 m sedangkan gamal berkisar antara 4.9–5.7 m. Sistem dua strata memiliki tutupan tanah yaitu rumput dan serasah yang menumpuk di permukaan tanah. Bobot serasah dua strata adalah 389.05 g/m2 dan tutupan serasah sebesar 98.33%. Oleh karena itu, strata ini sangat berperan dalam melindungi permukaan tanah dari pukulan butir hujan. Dapat dilihat dalam Gambar 1. Sistem Tiga Strata Sistem tiga strata memiliki kerapatan tajuk sebesar 84.33%. Terdapat tiga kombinasi jenis tanaman yang berbeda pada ketiga ulangan. Ulangan pertama, terdapat dua tanaman gamal dan kakao. Ulangan kedua, terdapat dua tanaman kopi dan gamal. Ulangan ketiga, terdapat tanaman jeruk, gamal dan karet. Tinggi
6 tajuk pertama (tajuk strata 1) adalah >6.0 m, tajuk kedua (tajuk strata 2) berkisar antara 4.8‒5.7 m dan tajuk ketiga (tajuk strata 3) berkisar antara 1.8–3.2 m. Bobot dan tutupan serasah pada sistem tiga strata adalah sebesar 152.23 g/m2 dan 46.33%. Dapat dilihat dalam Gambar 1. Bahan Organik Kadar bahan organik di bawah tajuk tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa tajuk). Hal ini karena tanaman berkontribusi dalam memberikan serasah. Serasah tersebut akan terdekomposisi dan menambah sumbangan bahan organik. Bahan organik berperan dalam pembentukan struktur tanah (Hillel 1997; Lal dan Shukla 2004; Kay dan Angers 2000). Berikut adalah kadar bahan organik berbagai tingkat strata tajuk tanaman. Tabel 2 Bahan organik tanah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman Tingkat Strata Tajuk BO (%) Kontrol (tanpa tajuk) 3.82 Sistem 1 Strata 4.19 Sistem 2 Strata 4.15 Sistem 3 Strata 4.70 Tabel 2 menunjukkan bahwa bahan organik tertinggi terdapat pada sistem tiga strata sebesar 4.70%. Hal ini disebabkan kerapatan tajuk sistem tiga strata yang tertinggi. Semakin banyak tingkatan tajuk maka bahan organik semakin tinggi. Hal ini disebabkan sumbangan bahan organik menjadi lebih tinggi dibandingkan pada monostrata. Namun, bobot serasah yang terdapat di permukaan tanah sistem tiga strata lebih rendah dibandingkan dengan sistem dua strata (Lampiran 2). Serasah pada sistem tiga strata mudah terdekomposisi sehingga keberadaannya di permukaan tanah tidak bertahan lama (Noordwijk 2004). Sebaliknya pada sistem dua strata terdapat serasah yang menumpuk di permukaan tanah disebabkan oleh serasah yang sukar terdekomposisi. Oleh karena itu, bahan organik sistem dua strata lebih rendah dari sistem tiga strata dan sistem satu strata. Kadar bahan organik tanah sistem satu strata lebih tinggi dibandingkan dengan sistem dua strata, yaitu 4.19%. Hal ini disebabkan serasah kopi lebih mudah melapuk dibandingkan dengan serasah kakao. Lukito (2010), menyatakan bahwa daging daun kakao berbentuk tipis tetapi kuat seperti perkamen. Selain itu, kerapatan yang tinggi pada sistem dua strata membuat kelembaban tanah meningkat sehingga laju dekomposisi serasah menurun (Hanafiah 2007; Sutanto 2005). Kadar bahan organik sistem dua strata, yaitu 4.15%. Serasah yang sukar melapuk kurang efektif dalam meningkatkan bahan organik tanah, tetapi sangat berperan dalam melindungi permukaan tanah. Kemudian kadar bahan organik terendah terdapat pada kontrol (tanpa tajuk), yaitu 3.82%. Hal ini karena kontrol merupakan lahan terbuka (tanpa tajuk) yang tidak memiliki sumbangan serasah dari tanaman, dan bahan organik hanya berasal dari rumput-rumputan.
7 Kemantapan Agregat Tanah Kemantapan agregat tanah merupakan kemampuan agregat tanah untuk bertahan terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan atau gangguan dari luar. Dalam hal ini pengaruh kerusakan yang terjadi berasal dari pukulan butir hujan. Menurut Lal dan Shukla (2004) dan Kurnia (2006) terdapat berbagai metode yang digunakan untuk mengukur kemantapan agregat tanah. Metode yang sering digunakan adalah dengan teknik ayakan kering dan basah. Namun, penelitian ini menggunakan ratio antara bobot kering mutlak sesudah ayakan basah dengan bobot kering mutlak sebelum ayakan basah dinyatakan dalam persen. Angka ratio tersebut mencerminkan tingkat kestabilan agregat tanah. Semakin tinggi angka ratio maka agregat tanah semakin stabil. Berikut merupakan persentase bobot agregat tanah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman. Tabel 3 Ratio bobot sesudah ayakan basah pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman Tingkat Strata Tajuk Ratio BKM sesudah (%) Kontrol (tanpa tajuk) 68.54 Sistem 1 Strata 44.64 Sistem 2 Strata 71.88 Sistem 3 Strata 72.42 Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase bobot agregat tertinggi berada pada sistem tiga strata, yaitu sebesar 72.42%. Artinya, kemantapan agregat tanah sistem tiga strata lebih stabil (mantap) dibandingkan dengan kontrol (tanpa tajuk) dan dua sistem strata lainnya. Hal ini disebabkan sistem tiga strata memiliki kadar bahan organik tertinggi. Bahan organik sangat berperan dalam pembentukan struktur tanah (Kay dan Angers 2000; Lal dan Sukhla 2004; Hillel 1997). Selain bahan organik, sistem tiga strata juga memiliki kerapatan tajuk yang lebih tinggi (Lampiran 1). Sistem tajuk tersebut mampu mengintersepsi butiran air hujan melalui tajuk yang bertingkat-tingkat, sehingga saat mencapai permukaan tanah energi pukulan butir hujan menjadi rendah. Tinggi tajuk pertama (strata 1) pada sistem tiga strata adalah lebih dari 6 m, kemudian butiran hujan masih terinsepsi kembali oleh tajuk kedua (strata 2) dan tajuk ketiga (strata 3), sehingga tinggi tajuk dari permukaan tanah hanya berkisar antara 1.8‒3.2 m. Arsyad (2010), menyatakan bahwa ketinggian tajuk tersebut masuk ke dalam lapisan 3, yang artinya pukulan butir hujan mampu merusak struktur tanah. Selain itu, adanya tumbuhan bawah dan serasah, juga dapat menghambat pukulan butir hujan. Arsyad (2010) menyatakan bahwa energi kinetik hujan merupakan penyebab dalam penghancuran agregat-agregat tanah. Agregat tanah yang mantap tidak akan mudah hancur oleh pukulan butir hujan (Hardjowigeno 2007). Sistem tiga strata juga memiliki tumbuh-tumbuhan dengan tipe pohon yang mempunyai perakaran dalam sehingga memberi kontribusi terhadap perbaikan struktur tanah (Suharto 2006). Sistem dua strata memiliki kemantapan agregat tanah yang tinggi sebesar 71.88%. Hal ini disebabkan oleh bahan organik yang tinggi. Selain itu, kerapatan tajuk sistem dua strata juga tinggi, yaitu 82.00%. Tinggi tajuk pertama (strata 1) pada sistem dua strata berkisar antara 4.9–5.7 m tetapi energi pukulan butir hujan
8 diintersepsi kembali oleh tajuk kedua (strata 2), sehingga tinggi tajuk dari permukaan tanah hanya berkisar antara 2.4–3.4 m. Menurut Arsyad (2010), tinggi tajuk tersebut masuk ke dalam lapisan 4, yang berarti tetesan tajuk menyebabkan kerusakan tanah dan meningkatkan erosi. Hal ini menunjukkan energi pukulan butir hujan yang jatuh lebih tinggi dari lapisan 3, sehingga dapat merusak struktur tanah lebih besar dari sistem tiga strata. Namun, tebalnya serasah di permukaan tanah membuat tutupan serasah pada sistem dua strata mencapai 98.33%, sehingga hampir seluruh permukaan tanah tertutupi serasah. Hal ini membuat kerusakan tanah di permukaan menjadi rendah. Selain itu, kelembaban tanah yang tinggi menyebabkan populasi fungi meningkat. Fungi mempunyai hifa yang membuat agregasi tanah meningkat. Harris dalam Islami dan Utomo (1995), menyatakan bahwa derajat efektivitas dalam melakukan agregasi salah satunya adalah jamur. Sistem satu strata memiliki kemantapan agregat tanah yang sangat rendah (tidak stabil), yaitu 44.64%. Meskipun sistem satu strata memiliki bahan organik tinggi, tetapi kerapatan tajuk dan tutupan tanah yang rendah menyebabkan erosivitas hujan tinggi. Air hujan yang terinsepsi pada sistem satu strata lebih rendah dibandingkan dengan sistem dua dan tiga strata. Tinggi tajuk sistem satu strata berkisar antara 1.2–2 m dari permukaan tanah. Tinggi tajuk tersebut masuk ke dalam lapisan 3 seperti sistem dua strata (Arsyad 2010). Oleh karena itu, energi pukulan butir hujan dapat menghancurkan struktur tanah. Namun, permukaan tanah di bawah tajuk sistem satu strata lebih terbuka sehingga pukulan butir hujan dapat menghancurkan sruktur tanah. Menurut Wiersum dalam Young (1997), kanopi pohon tanpa penutupan serasah dibawahnya dapat meningkatkan erosi dan menurunkan efektivitas dari kanopi, dimana penutupan serasah dapat menurunkan erosi sampai 95% dibandingkan dengan permukaan tanah yang kosong. Hal ini menyebabkan kemantapan agregat tanah sistem satu strata lebih rendah dari kontrol (tanpa tajuk). Kemantapan agregat tanah pada kontrol (tanpa tajuk) lebih stabil dibandingkan sistem satu strata, yaitu 68.54%. Meskipun kadar bahan organik pada kontrol (tanpa tajuk) lebih rendah, tetapi terdapat vegetasi (rumput) yang menutupi permukaan tanah. Ketika hujan turun, pukulan butir hujan dapat dihambat oleh vegetasi (rumput) dan tidak langsung menghancurkan struktur tanah. Akar-akar serabut pada rumput mengikat butir-butir primer tanah, sedangkan sekresi dan bagian tanaman yang terombak memberikan senyawasenyawa kimia yang berfungsi sebagai pemantap agregat tanah (Arsyad 2010). Kapasitas Infiltrasi Tanah Infiltrasi merupakan proses masuknya air dari permukaan tanah (Sosrodarsono 2003). Banyaknya air persatuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah disebut sebagai laju infiltrasi. Pada saat tanah masih kering, laju infiltrasi cenderung tinggi kemudian setelah tanah jenuh air laju infiltrasi menurun dan menjadi konstan. Laju infiltrasi konstan atau laju infiltrasi maksimum disebut sebagai kapasitas infiltrasi (Arsyad 2010; Sosrodarsono 2003). Kapasitas infiltrasi pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman berbanding lurus dengan kemantapan agregat tanah (Tabel 3). Semakin stabil (mantap) struktur tanah maka kapasitas infiltrasi semakin tinggi (Hardjowigeno 2007).
9
35
K1
30
K2
25
K3
20 15 10 5 0 0.00
0.20
0.40
0.60
Kapasitas Infiltrasi (cm jam-1)
Kapasitas Infiltrasi (cm jam-1)
Hasil pengukuran kapasitas infiltrasi masing-masing ulangan pada berbagai sistem strata disajikan pada Gambar 2, sedangkan rata-rata kapasitas infiltrasi berbagai sistem strata pada Gambar 3.
0.80
35 S1U1 30 25
S1U2
20
S1U3
15 10 5 0 0.00
0.20
0.40
(a)
(b) S2U1 S2U2
120
S2U3
100 80 60 40 20 1.00
Waktu (Jam)
(c)
1.50
2.00
S3U1
350
Kapasitas Infiltrasi (cm jam-1)
Kapasitas Infiltrasi (cm jam-1)
160 140
0.50
0.80
Waktu (Jam)
Waktu (Jam)
0 0.00
0.60
S3U2
300
S3U3 250 200 150 100 50 0 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
Waktu (Jam)
(d)
Gambar 2 Kapasitas infiltrasi pada (a) kontrol; (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata Gambar 2 menunjukkan bahwa kapasitas infiltrasi tanah pada tiap sistem strata berbeda-beda. Selain itu, pada strata yang sama juga mempunyai kapasitas infiltrasi tanah yang berbeda, meskipun tiap ulangan hanya berjarak 1‒2 m, kecuali pada sistem tiga strata. Perbedaan ini menunjukkan bahwa sifat geometri tanah sangat bervariasi. Menurut Hillel (1997), tanah mempunyai sifat bawaan seperti partikel primer dan sekunder serta ruang pori tanah yang tidak homogen dari satu tempat ke tempat lainnya. Kapasitas infiltrasi tanah pada kondisi jenuh (Gambar 3) menunjukkan bawah tajuk bertingkat (multistrata) lebih tinggi dibandingkan dengan sistem strata lainnya. Semakin besar tingkat variasi tanaman akan menciptakan tingkat stratifikasi tajuk yang semakin tinggi. Sistem tiga strata memiliki kapasitas infiltrasi tertinggi dibandingkan dengan sistem strata lainnya, yaitu berkisar antara 36‒120 cm jam-1. Hal ini disebabkan pada sistem tiga strata memiliki kerapatan tajuk tertinggi, sehingga bahan organik dan kemantapan agregat tanah tinggi (stabil). Kemantapan agregat yang tinggi (stabil) tidak akan mudah hancur
10 menjadi partikel-partikel halus, yang dapat menghambat infiltrasi tanah (Hardjowigeno 2007; Sosrodarsono 2003).
Kapasitas Infiltrasi (cm jam-1)
200 150 100 50 0 Kontrol 1 Strata 2 Strata 3 Strata
Gambar 3 Kapasitas infiltrasi pada kondisi jenuh di berbagai strata tajuk tanaman Sistem tiga strata juga memiliki sistem perakaran yang banyak dan dalam, terutama pada ulangan ketiga dengan jenis tanaman jeruk, gamal, dan karet. Kartasapoetra dalam Ramlan (2009), menyatakan bahwa perakaran tanaman berperan dalam memperbesar kapasitas infiltrasi tanah, juga tunjangannya dalam meningkatkan aktivitas biota yang akan memperbaiki porositas dan stabilitas agregat tanah. Perakaran sistem tiga strata dapat dilihat melalui profil tanah kedalaman 0‒40 cm (Gambar 4). Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapat banyak perakaran yang berukuran sedang-besar dan terbentuk pori-pori makro akibat perakaran tanaman yang sudah membusuk. Tanaman jeruk merupakan tanaman dengan perakaran dalam yang mudah membusuk, sehingga terbentuk kontinyuitas pori-pori makro. Hal ini membuat pergerakan air dalam tanah lebih lancar dan menyebabkan kapasitas infiltrasi tanah sistem tiga strata sangat tinggi.
Gambar 4 Kondisi perakaran sistem tiga strata Sistem dua strata memiliki kapasitas infiltrasi tanah, sebesar 5‒20 cm jam-1. Hal ini disebabkan oleh kerapatan tajuk dan kemantapan agregat tanah sistem dua strata tinggi (lebih stabil) dibandingkan dengan sistem satu strata. Kemantapan agregat tanah yang stabil membuat agregat tidak mudah hancur saat infiltrasi terjadi. Kemudian adanya serasah yang tebal di permukaan tanah membuat aliran permukaan terhambat sehingga memberi kesempatan untuk air masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Selain itu, serasah tersebut juga merupakan energi untuk
11 organisme tanah dalam melakukan aktivitasnya (Islami dan Utomo 1995). Organisme tanah membuat lubang-lubang yang diciptakan secara bersinambung serta adanya sistem perakaran dari tanaman gamal dan kakao, yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Kapasitas infiltrasi tanah sistem satu strata dan kontrol tidak jauh berbeda, yaitu 2‒12 cm jam-1 dan 4‒14 cm jam-1. Hal ini disebabkan oleh kemantapan agregat sistem satu strata lebih rendah (kurang stabil), sehingga menyebabkan pori-pori tersumbat. Sosrodarsono (2003), menyatakan bahwa penyumbatan oleh bahan-bahan halus juga ikut mempengaruhi besarnya kapasitas infiltrasi. Selain itu, pada lahan kontrol (tanpa tajuk) terdapat akar-akar serabut yang berperan dalam membentuk pori-pori sehingga memudahkan air masuk ke dalam tanah. Oleh karena itu, kapasitas infiltrasi sistem satu strata lebih rendah dari kontrol (tanpa tajuk).
Permeabilitas Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah dalam meneruskan air pada kondisi jenuh. Menurut Indarto (2010) dan Sosrodarsono (2003), permeabilitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah. Namun, dalam hal ini pengukuran permeabilitas menggunakan metode permeameter lab. Pengukuran permeabilitas di laboratorium adalah menggunakan ring sampler. Pengambilan contoh tanah pada kedalaman 0‒20 cm diambil pada daerah yang umumnya bebas dari akar. Hal ini tidak mewakili pergerakan air yang terjadi di lapangan yang dapat mempengaruhi proses infiltrasi. Oleh karena itu, pengaruh dari sistem perakaran yang terdapat di lokasi pengamatan tidak diperhitungkan, sehingga membuat nilai permeabilitas menjadi berbeda dan cenderung lebih kecil dari kapasitas infiltrasi. Berikut adalah nilai permeabilitas tanah masing-masing strata tajuk tanaman. Tabel 4 Permeabilitas pada berbagai tingkat strata tajuk tanaman Ulangan
Kontrol (tanpa tajuk)
Sistem satu strata
Sistem dua strata
Sistem tiga strata
-1
cm jam 1
0.04
0.91
0.44
0.13
2
0.53
0.11
0.67
0.94
3
1.15
0.00
0.09
0.67
Nilai
0.04-1.15
0-0.91
0.09-0.67
0.13-0.94
Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi strata tajuk maka nilai permeabilitas tanah juga semakin tinggi. Permeabilitas sistem tiga strata (multistrata) lebih tinggi dibandingkan dengan sistem strata lainnya, yaitu 0.13‒0.94 cm jam-1 termasuk kelas lambat-agak lambat. Sebaliknya permeabilitas sistem strata lainnya adalah masuk dalam kelas lambat-agak lambat. Artinya, kemampuan tanah dalam meneruskan air dalam kondisi jenuh pada sistem tiga strata lebih baik dari kontrol (tanpa tajuk) dan sistem strata tajuk lainnya. Permeabilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan porositas (Sutanto 2005). Namun, dalam hal ini tekstur tiap strata adalah sama yaitu klei, sedangkan
12 struktur tanah pada masing-masing strata terbaik berturut-turut adalah sistem tiga strata, sistem dua strata, kontrol (tanpa tajuk), dan sistem satu strata, sehingga dengan nilai permeabilitas. Semakin stabil atau mantap agregat maka semakin mampu dalam mempertahankan ruang pori, yang akan mempengaruhi permeabilitas tanah. Dinamika Kadar Air Tanah
Kadar Air (%)
Air tanah merupakan komponen penting dalam siklus hidrologi. Kadar air dalam tanah dapat bertambah tergantung pada suplai air. Dalam hal ini adalah berasal dari presipitasi. Jika tidak terjadi hujan maka kadar air tanah rendah. Selain itu, kadar air tanah juga dapat bekurang (hilang) disebabkan oleh perkolasi, evaporasi dan transpirasi (Arsyad 2010; Sutanto 2005). Kemudian besarnya kehilangan air dalam tanah tersebut tergantung oleh kelembaban tanah dan kerapatan tanaman (Rachman 2013). Kerapatan tajuk yang tinggi evaporasi yang terjadi rendah akibat terhalang oleh tajuk tanaman, sedangkan kerapatan tajuk yang rendah menyebabkan evaporasi tinggi akibat radiasi matahari secara langsung. Kadar air tanah lapang yang diukur adalah setelah terjadi hujan, selama 3 hari atau 62 jam. Dinamika kadar air tanah disajikan dalam Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin lama waktu setelah hujan maka kadar air tanah semakin menurun. Gambar 5a menunjukkan bahwa kadar air tanah pada kedalaman 0–10 cm dan Gambar 5b menunjukkan bahwa kadar air tanah pada kedalaman 10–20 cm. Kontrol 1 Strata 2 Strata 3 Strata
65 60 55 50 45 40 35 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Waktu (Jam)
Kadar Air (%)
(a) Kontrol 1 Strata 2 Strata 3 Strata
65 60 55 50 45 40 35 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Waktu (Jam)
(b) Gambar 5 Kadar air tanah berbagai strata tajuk tanaman pada kedalaman (a) 0‒10 cm; (b) 10‒20 cm
13 Secara umum, grafik 5a menunjukkan penurunan kadar air tanah yang lebih tajam dibandingkan dengan grafik 5b. Kehilangan air di lapisan atas (0‒10 cm) diantaranya dipengaruhi oleh evaporasi dan perkolasi. Kadar air tanah tertinggi selama 62 jam setelah hujan adalah pada sistem dua strata, sedangkan terendah pada sistem satu strata (Lampiran 7). Tingginya kadar air tanah pada sistem dua strata disebabkan oleh kerapatan tajuk yang tinggi dan serasah yang tebal sehingga evaporasi terhambat. Pada sistem satu strata memiliki kerapatan tajuk dan tutupan tanah yang rendah, sehingga radiasi matahari menjadi tinggi dan evaporasi meningkat (Sosrodarsono 2003; Suhardi 2012). Kadar air tanah sistem satu strata lebih rendah dibandingkan dengan lahan kontrol (tanpa tajuk). Hal ini dikarenakan lahan kontrol (tanpa tajuk) memiliki tutupan tanah berupa rumputrumputan, sehingga evaporasi lebih rendah. Grafik 5b menunjukkan bahwa kadar air tanah pada sistem dua strata mengalami penurunan yang lebih tajam dari lapisan atas (0‒10 cm) dibandingkan dengan sistem strata lainnya, yaitu menurun dari kadar air 60% menjadi 54%. Namun, kadar air tanah sistem dua strata mengalami kenaikan pada 38 jam setelah hujan. Hal ini disebabkan oleh proses perkolasi sehingga terjadi distribusi air dari lapisan 0‒10 cm. Menurut Suhardi (2012), kanopi dan serasah dapat mengurangi evaporasi yang disebabkan oleh energi matahari, selain itu serasah di permukaan tanah dapat menahan sejumlah air hujan sampai beberapa hari dan perlahan dialirkan ke dalam tanah. Lahan kontrol (tanpa tajuk) pada Gambar 5b juga mengalami peningkatan kadar air tanah pada 38 jam setelah hujan, yang disebabkan oleh tetesan embun. Akar-akar halus pada lahan kontrol (tanpa tajuk) membentuk ruang-ruang pori yang memudahkan air untuk masuk (Kartasapoetra 2010). Namun, sistem satu strata dan sistem tiga strata tidak mengalami peningkatan diakibatkan oleh tetesan embun yang tertahan di tajuk. Kadar air pada sistem satu strata baik di kedalaman 0‒10 cm maupun 10‒20 cm juga mengalami penurunan yang tajam, yang disebabkan oleh evaporasi yang tinggi (Gambar 5). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kapasitas infiltrasi tertinggi berturut-turut adalah tanah di bawah tajuk sistem tiga strata (multistrata), sistem dua strata, kontrol (tanpa tajuk), dan sistem satu strata. Kadar air tertinggi selama 62 jam setelah hujan adalah tanah di bawah tajuk sistem dua strata dengan jumlah serasah terbanyak. Kadar air tanah menurun dengan semakin lamanya waktu setelah hujan (tidak terjadi hujan). Saran Sistem tajuk bertingkat (multistrata) sebaiknya dipertahankan karena memiliki sifat tanah seperti bahan organik, kemantapan agregat, kapasitas infiltrasi dan kandungan air dalam tanah yang tinggi.
14
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air Ed 2. Bogor (ID): IPB Pr. Budiastuti dan Mth Sri. 2013. Sistem Agroforestri Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Guna Pencapaian Keamanan Pangan. Ekosains. 5(1). Hanafiah K. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hillel D. 1997. Pengantar Fisika Tanah. Susanto RH, Purnomo RH, Penerjemah. Mitra Gama Widya. Penerjemah dari: Introduction to Soil Physics. Indarto. 2010. Hidrologi : Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta (ID): Bumi aksara. Islami T dan Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air, dan Tanaman. Malang (ID): IKIP Semarang Pr. Kartasapoetra AG. 2010. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Kay and Angeres. 2000. Soil Science. Malcolm C and Sumner, Editor. New York (US): CLC Pr. Kurnia U, A Fahmuddin, A Abdurachman, dan Dariah Ai. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Lal R and Shukla MK. 2004. Principle of Soil Physics. New York (US): Marcel Dekker, Inc. Lukito AM, Mulyono, Y Tetty, Iswanto H, dan Riawan N. 2010. Buku Pintar Budi Daya Kakao. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka. Moss AJ and Green TW. 1987. Erosive Effects of Large Water Drops (Gravity Drops) that Fall From Plant. J Soil Res. 25:9‒20. Noordwijk MV, Agus F, Suprayogo D, Hairiah K, Pasya G, Verbist B, dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Agrivita. 26 (1). Rachman LM, Enni DW, Kamir RB, Wahyu P, dan Kukuh M. 2013. Fisika Tanah Dasar. Bogor (ID): IPB Pr. Ramlan. 2009. Tingkat Reduksi Erosi dan Aliran Permukaan terhadap Tanaman Kakao (Theobroma Cocoa L) Dewasa di DAS NOPU. J Agroland. 16(3): 213‒223. Suhardi, Munir A, Faridah SN, dan Tulliza IS. 2012. Dinamika Kadar Air Tanah dibawah Tegakan Kakao pada Berbagai Kondisi. Di dalam: Yusuf H, Dimas FAR, Shinta RD, Yusron S, Ubaidillah, Danial F, editor. Prosiding Seminar Nasional PERTETA; Malang, Jawa Timur. Malang (ID): Universitas Brawijaya. Hlm 381-386. Suharto E. 2006. Kapasitas Simpanan Air Tanah pada Sistem Lahan LPP Tahura Raja Lelo Bengkulu. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 8(1). Sutanto R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Sosrodarsono S. 2003. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita. Young A. 1997. Agroforestry for Soil Management Second Edition. Cambridge (US): CAB International.
15 LAMPIRAN Lampiran 1 Kerapatan tajuk berbagai strata tajuk tanaman Ulangan
Kontrol (tanpa tajuk) Sistem 1 Strata Sistem 2 Strata Sistem 3 Strata
1 2 3 Rata-rata
-
...%... 70 59
85 80
82 83
-
53
81
88
-
60.67
82.00
84.33
Lampiran 2 Serasah berbagai strata tajuk tanaman Tingkat Strata Tajuk Ulangan
Kontrol (tanpa tajuk)
Sistem 1 Strata
Sistem 2 Strata
Sistem 3 Strata
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bobot serasah (g/m2) 30.48 76.98 55.91 252.01 255.97 659.16 242.76 111.71 102.23
Rataan
-
54.46
389.05
152.23
Tutupan Serasah (%) 43.00 26.00 21.00 95.00 100.00 100.00 67.00 11.00 61.00
Rataan
-
30.00
98.33
46.33
Lampiran 3 C-organik dan bahan organik berbagai strata tajuk tanaman Tingkat Strata Tajuk Ulangan 1 Kontrol (tanpa tajuk) 2 3 1 Sistem 1 Strata 2 3 1 Sistem 2 Strata 2 3 1 Sistem 3 Strata 2 3
C-Organik (%) 2.29 2.42 1.93 2.64 1.91 2.74 2.08 2.46 2.69 2.37 2.94 2.87
Rataan Bahan Organik (%) 3.96 4.17 2.21 3.33 4.55 2.43 3.29 4.73 3.59 2.41 4.24 4.63 4.08 2.73 5.08 4.95
Rataan 3.82 4.19
4.15
4.70
16 Lampiran 4 Tinggi tajuk tanaman berbagai strata tajuk tanaman Tinggi Tajuk Tanaman Ke- (m) Tingkat Strata Tajuk Ulangan 1 2 3 1 Kontrol (tanpa tajuk) 2 3 1 2.0 Sistem 1 Strata 2 2.0 3 1.2 1 5.1 2.0 Sistem 2 Strata 2 5.7 2.0 3 4.9 1.2 1 >6.0 5.3 1.8 Sistem 3 Strata 2 >6.0 5.7 3.2 3 >6.0 4.8 2.0 Lampiran 5 Kemantapan agregat tanah berbagai strata tajuk tanaman Tingkat Strata Ulangan Tajuk Kontrol (tanpa tajuk) Sistem 1 Strata Sistem 2 Strata Sistem 3 Strata
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bobot sebelum (g) 84.77 82.45 82.89 86.81 87.64 85.32 83.61 83.61 79.04 86.25 81.39 81.44
Rata-rata bobot sebelum (g) 83.37
86.59
82.09
83.03
Bobot sesudah (g)
Rata-rata Bobot sesudah (g)
Ratio (%)
57.14
68.54
35.80
41.34
59.00
71.88
60.13
72.42
53.44 65.45 52.54 54.68 38.10 23.19 68.54 36.07 72.40 62.75 44.17 73.46
Lampiran 6 Kapasitas Infiltrasi berbagai strata tajuk tanaman Kontrol (tanpa Sistem 1 Sistem 2 tajuk) Strata Strata Ulangan -1 (cm jam ) 1 2 7 20 2 12 4 19 3 12 14 5 Rata-rata 9 8 15
Sistem 3 Strata 36 54 120 70
17 Lampiran 7 Dinamika kadar air tanah berbagai strata tajuk kedalaman 0‒40 cm Tingkat Strata Tajuk Kedalaman (cm) 15 Jam 22 Jam 39 Jam 46 Jam 0‒10 49.61 48.16 49.49 47.75 10‒20 48.08 47.49 48.76 46.80 Kontrol (tanpa tajuk) 20‒30 47.46 47.18 46.48 46.21 30‒40 48.91 48.15 47.03 49.53 0‒10 48.82 46.95 43.15 43.23 10‒20 46.56 46.58 42.90 40.57 Sistem 1 Strata 20‒30 44.89 50.45 43.98 44.02 30‒40 45.44 46.71 44.35 46.59 0‒10 59.79 56.03 54.45 52.03 10‒20 53.68 50.87 53.65 49.66 Sistem 2 Strata 20‒30 52.94 52.27 51.59 50.20 30‒40 52.65 53.01 52.32 50.67 0‒10 51.85 51.69 50.96 46.95 10‒20 50.71 50.04 49.29 48.26 Sistem 3 Strata 20‒30 52.94 50.17 48.38 47.22 30‒40 49.81 50.43 49.51 47.14
(a)
(b)
(c)
(d)
Lampiran 8 Profil tanah kedalaman 0-40 cm pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata
18
Lampiran 9 Alat densiometer
(a)
(b)
(c)
(d)
Lampiran 10 Sketsa pengambilan contoh tanah pada (a) kontrol (tanpa tajuk); (b) sistem satu strata; (c) sistem dua strata; (d) sistem tiga strata
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 10 September 1993 dari Bapak Ahmad Jurjani dan Siti Maemunah. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 72 Jakarta Utara dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, mulai dari Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis ikut aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan oleh Kampus IPB seperti Turun Desa, I-Share, IGTF (Ipb Goes To Field), dan seminar Ilmu Tanah Nasional. Kemudian ikut bergabung dalam kegiatan kepanitiaan seperti FAS (Festival Anak Sholeh dan IFA (Islamic Festival Agriculture). Tahun ajaran 2012/2013 penulis bergabung dalam ROHIS (Rohani Islam) departemen yang dinamakan KUARSIT dan FKRD di Fakultas. Tahun ajaran 2013/2014 penulis masuk ke unit Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) dan Tahun 2015 menjadi asisten praktikum Pengantar Fisika Tanah.