KANDUNGAN PIGMEN KAROTEN MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIOKSIDAN PADA KONDISI KULTUR YANG BERBEDA
YUANITA ARYANDANI C34052975
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 1
RINGKASAN YUANITA ARYANDANI. C34052975. Kandungan Pigmen Karoten Mikroalga Chaetoceros gracilis yang Berpotensi sebagai Antioksidan pada Kondisi Kultur yang Berbeda. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan PIPIH SUPTIJAH. Mikroalga Chaetoceros gracilis memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dalam industri pangan maupun farmasi, sebab mikroalga C. gracilis memiliki komposisi nutrisi dan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Salah satu komponen mikroalga Chaetoceros gracilis yang berpotensi sebagai antioksidan adalah pigmen karoten. Tujuan dari penelitian ini yaitu menentukan kurva pertumbuhan dan mendapatkan biomassa maupun pigmen karoten serta menguji aktifitas antioksidan dari biomassa dan pigmen karoten C. gracilis pada kondisi kultivasi yang berbeda. C. gracilis dikultivasi dengan lama pencahayaan 12 jam dan 24 jam untuk mendapatkan kurva pertumbuhan. Kultivasi C. gracilis kembali dilakukan untuk mendapatkkan biomassa dengan perlakuan pencahayaan 12 jam dan 24 jam serta pemanenan pada fase log dan stasioner. Biomassa yang diperoleh kemudian diekstrak untuk mendapatkan pigmen karoten. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan pada pigmen karoten maupun biomassa C. gracilis. Hasil analisis pigmen karoten yang diekstrak dari biomassa 12 jam log, 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner menunjukkan bahwa total karoten tertinggi terdapat pada biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log yaitu 0,31%. Total karoten sampel 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner secara berturut-turut yaitu 0,23%; 0,27%; 0,2%. Analisis antioksidan dari masing-masing perlakuan juga menunjukkan bahwa karoten 12 jam log memiliki daya penghambatan paling tinggi terhadap terjadinya oksidasi asam linoleat. Tingginya daya penghambatan ini terkait dengan tingginya total karoten yang dihasilkan. Perlakuan pencahayaan 12 jam yang diberikan memicu pembentukan pigmen karoten seperti peridinin dan fukosantin disintesis pada kondisi intensitas cahaya rendah. Besarnya daya hambat sampel karoten 12 jam log, 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner secara berturut-turut yaitu 53,41%; 51,14%; 52,27%; 48,86%. Pengujian aktivitas antioksidan pada biomassa dengan perlakuan 12 jam log, 12 jam stasioner, 24 jam log, dan 24 jam stasioner menunjukkan bahwa biomassa dengan perlakuan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log memiliki aktivitas penghambatan oksidasi asam linoleat yang paling tinggi. Hal ini terkait dengan sintesis PUFA yang banyak dilakukan pada fase log dan pada saat kondisi intensitas cahaya rendah. Besarnya daya hambat biomassa 12 jam log, 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner secara berturut-turut adalah 74,55%; 69,09%; 72,73% dan 68,64%.
2
KANDUNGAN PIGMEN KAROTEN MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIOKSIDAN PADA KONDISI KULTUR YANG BERBEDA
YUANITA ARYANDANI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 3
Judul Skripsi
: KANDUNGAN PIGMEN KAROTEN MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIOKSIDAN PADA KONDISI KULTUR YANG BERBEDA
Nama Mahasiswa
: Yuanita Aryandani
Nomor Pokok
: C34052975
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Ir. Iriani Setyaningsih, MS)
(Dra. Pipih Suptijah, MBA)
NIP. 1960 0925 1986 2 001
NIP. 1953 1020 1985 032001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.)
NIP. 1958 0511 1985 031 001
Tanggal Lulus:
4
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kandungan pigmen karoten mikroalga Chaetoceros gracilis yang berpotensi sebagai antioksidan pada kondisi kultur yang berbeda adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Maret 2010
Yuanita Aryandani C34052975
vii
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul "Kandungan Pigmen Karoten Mikroalga Chaetoceros gracilis yang Berpotensi sebagai Antioksidan pada Kondisi Kultur yang Berbeda". Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini terutama kepada : 1. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, nasihat dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol. selaku dosen penguji, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 3. Ayah dan Ibu tercinta atas segala doa, dukungan, dan semangat yang tiada putusnya kepada penulis. 4. Kakak-kakakku Aqwin Polosoro, Okti Aryani Hapsari, Randy Arya Sanjaya dan keponakanku yang lucu Ahmad Fathi Azzam atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 5. Seluruh keluarga besar THP, terutama teman-teman Laboratorium Bioteknologi 2 (Sena, Evi, Riska, Tika), Anggi, Sari atas dukungan, nasihat dan kebersamaannya selama di THP. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis
mengharapkan
kritik
dan
saran
yang
bersifat
membangun dari pembaca sebagai perbaikan bagi skripsi ini. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Maret 2010
Yuanita Aryandani
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang 13 Juni 1987 dari Ayah bernama Arif Djatmiko dan Ibu bernama Puji Handayani. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formal di TK Negeri Rembang dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN Kutoharjo 3 Rembang dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 2 Rembang dan lulus pada tahun 2002. Sekolah menengah atas penulis tempuh di SMAN 1 Rembang dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai, Institut Pertanian. Selama kuliah penulis aktif
mengikuti organisasi Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM C) Kabinet Jangkar Samudera sebagai pengurus di Departemen
Pengembangan
Sumber
Daya
Manusia
(PSDM)
periode
2006-2007. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Biokimia Hasil Perairan periode 2008-2009, asisten mata kuliah Teknologi Hasil Perairan periode 2008-2009, dan asisten mata kuliah Mikrobiologi Hasil Perairan Hasil Perairan periode 2009-2010. Penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul "Kandungan Pigmen Karoten Mikroalga Chaetoceros gracilis yang Berpotensi sebagai Antioksidan pada Kondisi Kultur yang Berbeda". Skripsi ini dibawah bimbingan Ibu Iriani Setyaningsih, MS dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA.
ix
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... 1 PENDAHULUAN ..........................................................................
x 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1
1.2 Tujuan .........................................................................................
2
2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Chaetoceros sp....................................
3
2.2 Pertumbuhan Mikroalga ...............................................................
4
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga .....
5
2.4 Ekstraksi ....................................................................................
6
2.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .............................................
8
2.6 Senyawa Antioksidan .................................................................
9
2.7 Karotenoid ................................................................................
10
3 METODE............................................................................................
12
3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................
12
3.2 Bahan dan Alat .........................................................................
12
3.3 Tahapan Penelitian ....................................................................
13
3.3.1 Kultivasi C. gracilis untuk mendapatkan kuva pertumbuhan ................................................................... 13 3.3.2 Kultivasi C. gracilis untuk mendapatkan biomassa............................................................................. 13 3.3.3 Ekstraksi pigmen karoten................................................... 15 3.4 Prosedur Analisis .......................................................................
15
3.4.1 Penghitungan jumlah sel..................................................... 15 3.4.2 Analisis karotenoid total..................................................... 16 3.4.3 Pengujian aktivitas antioksidan pigmen karoten dan biomassa Chaetoceros gracilis....................................... 17 4
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 20 4.1 Kultur Chaetoceros gracilis .......................................................
20
4.2 Kurva Pertumbuhan Chaetoceros gracilis ..................................
21
4.3 Ekstrak Pigmen Karoten Chaetoceros gracilis ............................
24
x
4.3.1 Identifikasi kemurnian ekstrak karoten dengan KLT ........ 4.3.2 Aktivitas antioksidan pigmen karoten ...............................
26 27
4.4 Aktivitas Antioksidan Biomassa Chaetoceros gracilis................
30
5 KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................
34
5.1 Kesimpulan................................................................................
34
5.2 Saran ..........................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
35
LAMPIRAN ......................................................................................... 38
vii
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1 Total karoten mikroalga Chaetoceros gracilis ................................... 25 2 Nilai Rf sampel hasil pengujian KLT ............................................... 27 3 Analisis regresi linier terhadap nilai absorbansi pigmen karoten Chaetoceros gracilis .......................................................................
28
4 Analisis regresi linier terhadap nilai absorbansi biomassa Chaetoceros gracilis.........................................................................
31
viii
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1 Mikroalga Chaetoceros gracilis .....................................................
3
2 Karakteristik pertumbuhan sel alga.................................................
4
3 Skema proses kultur Chaetoceros gracilis .....................................
14
4 Penampang hemasitometer ...........................................................
16
5
Skema pengujian aktivitas antioksidan dari biomassa dan pigmen karoten mikroalga Chaetoceros gracilis ....................
18
6 Perbedaan warna kultur Chaetoceros gracilis pada masing-masing perlakuan ...................................................................................... 21 7 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis lama pencahayaan 12 jam perhari ...............................................................................
22
8 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis lama pencahayaan 24 jam perhari ................................................................................
24
9 Nilai absorbansi pigmen karoten Chaetoceros gracilis..................
28
10 Daya penghambatan pigmen karoten Chaetoceros gracilis .......... 29 11 Nilai absorbansi biomassa Chaetoceros gracilis ........................... 31 12 Daya penghambatan biomassa Chaetoceros gracilis ...............................
ix
32
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1 Komposisi medium Guillard .........................................................
39
2 Komposisi medium NPSi ...............................................................
40
3 Pembuatan larutan pada analisis antioksidan dengan metode FTC.. 41 4 Perbandingan harga media Guillard dan NPSi .............................
42
5 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis 24 jam ...................................
44
6 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis 12 jam ..................................
45
7 Contoh perhitungan total karoten dan daya hambat karoten terhadap oksidasi asam linoleat .................................................................... 46 8 Hasil pengujian KLT dari karoten ........................................................
48
9 Nilai absorbansi dan persen penghambatan karoten Chaetoceros gracilis .........................................................................................
49
2
10 Nilai R dari analisis regresi linier nilai absorbansi kontrol dan sampel pigmen karoten Chaetoceros gracilis ........................
51
11 Nilai absorbansi dan persen penghambatan biomassa Chaetoceros gracilis ......................................................................................... 52 12 Nilai R2 dari analisis regresi linier nilai absorbansi kontrol dan sampel biomassa Chaetoceros gracilis .................................. 54 13 Contoh perhitungan daya hambat sampel terhadap oksidasi asam linoleat .................................................................................
x
55
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan salah satu hasil perairan yang memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, baik dalam industri pangan maupun farmasi. Kelimpahan mikroalga yang cukup tinggi di alam dan kemudahan kultivasinya menjadi faktor pendukung bagi mikroalga dalam industri pangan maupun farmasi. Selain itu, mikroalga juga diketahui memiliki berbagai komposisi kimia lengkap yang bermanfaat bagi tubuh. Salah satu mikroalga yang dapat dikembangkan adalah Chaetoceros. Saat ini pemanfaatan mikroalga Chaetoceros baru diaplikasikan sebagai pakan alami bagi larva udang (Borowitzka 1988). Pemanfaatan lain secara komersial dari jenis mikroalga ini belum banyak dikembangkan oleh masyarakat meskipun telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa komoditas ini memiliki kandungan nutrisi dan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Kandungan nutrisi (karbohidrat, lemak, protein) dan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi, menjadikan produk ini sebagai alternatif bahan baku yang dapat digunakan dalam industri pangan maupun farmasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa mikroalga coklat (Isochrysis galbana dan Chaetoceros calcitrans) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan jenis mikroalga hijau (Chlorella vulgaris dan Scenedesmus quandricauda) (Natrah et al. 2007). Hal ini diduga terkait dengan pigmen yang terkandung dalam masing-masing mikroalga tersebut. Pigmen merupakan zat warna yang terkandung dalam tubuh organisme maupun mikroorganisme, termasuk mikroalga. Pigmen yang terkandung dalam mikroalga sangat bervariasi dan sangat tergantung dari jenis mikroalga itu sendiri, sebagai contoh mikrolaga hijau (Chloropyceae) mengandung klorofil sebagai pigmen dominannya. Demikian halnya
dengan mikroalga coklat yang
mengandung pigmen dominan berupa karoten. Banyak studi menunjukkan bahwa pigmen yang terkandung dalam suatu organisme, sebagai contoh klorofil maupun karoten beserta turunannya berperan sebagai antioksidan. Hal ini didukung oleh penelitian Cho et al. (2000) diacu dalam Prangdimurti (2005), yang menyatakan bahwa tingkat kematian sel yang diinduksi oleh radikal hidroksil menurun oleh adanya klorofilin yang merupakan turunan klorofil.
2
Aktifitas senyawa aktif termasuk antioksidan yang dimiliki oleh mikroalga berkaitan dengan komposisi kimia, seperti halnya PUFA (Brown 1996). Komposisi kimia yang dihasilkan oleh mikroalga dipengaruhi oleh faktor intrinsik yaitu metabolisme tubuh mikroalga maupun faktor ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan hidup mikroalga, salah satunya adalah cahaya. Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas mikroalga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kultur mikroalga yang dipaparkan pada intensitas cahaya yang berbeda berpengaruh terhadap kandungan biokimia dari mikroalga tersebut. Kandungan PUFA lebih banyak dihasilkan oleh kultur mikroalga yang di paparkan pada intensitas cahaya rendah (Richmond 2004). Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian mengenai kandungan pigmen karoten pada mikroalga Chaetoceros gracilis yang berpotensi sebagai antioksidan pada kondisi kultur yang berbeda. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis pada lama pencahayaan yang berbeda. 2. Mendapatkan biomassa dan pigmen karoten dari Chaetoceros gracilis pada lama pencahayaan dan umur panen yang berbeda. 3. Menguji aktifitas antioksidan biomasssa dan pigmen karoten Chaetoceros gracilis.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Chaetoceros sp. Genus Chaetoceos memiliki lebih dari 160 spesies dan merupakan genus terbesar dari kelas Bacillariophyceae yang hidup di perairan panas. Mikroalga ini terkenal dengan sebutan golden brown algae karena kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga membuat mikroalga ini berwarna kuning keemasan. Keunikan lain dari Chaetoceros adalah setae yang digunakan untuk membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee 2008). Klasifikasi Chaetoceros gracilis (Bold & Wynne 1985) adalah sebagai berikut: Phylum
: Chrysophyta
Kelas
: Bacillariophyceae
Ordo
: Centrales
Subordo
: Biddulpphiineae
Famili
: Chaetoceraceae
Genus
: Chaetoceros
Spesies
: Chaetoceros gracilis
Gambar 1 Chaetoceros gracilis Anonim (2009)
4
Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Dinding sel fitoplankton ini terbentuk dari silika. Karotenoid dan diatomin merupakan pigmen yang dominan. Pada kultur, fitoplankton ini berwarna kuning keemasan hingga coklat. 2.2 Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga pada kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Perkembangan sel dalam kultur mikroalga terdiri atas lima fase yaitu fase lag (adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase penurunan laju pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian (Fogg 1975). Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur disajikan pada Gambar 2.
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5.
Fase lag (adaptasi) Fase eksponensial (logaritmik) Fase deklinasi Fase stasioner Fase Kematian
Gambar 2 Karakteristik pertumbuhan sel alga (Fogg 1975) Fase lag merupakan fase pertama dalam pertumbuhan mikroalga. Pada fase ini populasi yang baru ditransfer mengalami penurunan tingkat metabolisme karena fase inokulum yang tidak merata dan terjadi proses adaptasi terhadap media kultur. Fase kedua adalah fase eksponensial di mana percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan (Fogg 1975).
5
Fase deklinasi merupakan fase yang terjadi setelah fase logaritmik berakhir. Fase ini ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan. Hal ini terjadi karena nutrisi yang ada pada media pertumbuhan mikroalga semakin berkurang, dalam hal ini nitrogen dan fosfat. Selain itu, terjadi pula penurunan konsentrasi CO2 serta kenaikan pH media (Richmond 1986 diacu dalam Diharmi 2001). Fase stasioner merupakan akhir dari produksi biomassa. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai suatu grafik pertumbuhan yang konstan. Pada fase ini konsentrasi maksimum biomassa tercapai sedangkan konsentrasi parameter lain menjadi menurun atau meningkat. Fase kematian merupakan fase akhir yang ditandai
dengan
penurunan
produksi
biomassa
karena
kematian
sel
(Vonshak 1985 diacu dalam Diharmi 2001). 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik merupakan faktor yang berkaitan dengan metabolisme tubuh mikroalga, dalam hal ini adalah Chaetoceros sp., sedangkan faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan di mana Chaetoceros sp. tersebut tumbuh. Pada umumnya faktor ekstrinsik, dalam hal ini lingkungan merupakan suatu parameter yang lebih berpengaruh dalam pertumbuhan mikroalga bila dibandingkan dengan faktor instrinsik. Beberapa faktor lingkungan yang seringkali menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan Chaetoceros sp. yaitu unsur hara, suhu, salinitas dan cahaya (Nontji 1993). Sumber lain menyebutkan bahwa faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan mikroalga meliputi unsur hara, cahaya, suhu, salinitas dan pH (Muller-Feuga 2003 diacu dalam Støttrup & McEvoy 2003). Pada umumnya, unsur hara makro seperti C (karbon), P (fosfor), N (nitrogen) seringkali menjadi faktor pembatas pada pertumbuhan mikroalga. Perbandingan unsur hara yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan mikroalga yang optimal serta mempengaruhi komposisi kimia biomassa yang dihasilkan mikroalga tersebut (Mueller-Feuga et al. 2000 diacu dalam Støttrup & McEvoy 2003). Unsur hara mikro seperti Fe (ferrum), Mn (mangan), Mo (molibdenum), Co (cobalt), dan Zn (zing) berperan penting dalam mendukung pertumbuhan
6
mikroalga. Trace element berupa Fe merupakan unsur yang berperan penting dalam proses fotosintesis, respirasi, fikssasi nitrogen dan sintesis DNA (Richmond 2004). Ferredoxin merupakan komponen rantai transpor electron yang mengandung Fe yang sangat diperlukan dalam proses fotosintesis (McKay et al. 1999 diacu dalam Richmond 2004). Suhu
merupakan
faktor
penting
dalam
pertumbuhan
mikroalga.
Masing-masing mikroalga memiliki toleransi suhu yang berbeda dalam pertumbuhannya. Chaetoceros sp. mampu tumbuh pada kisaran suhu antara 10-20 °C (Isnansetyo & Kurniastuty 1995). Sebagian besar mikroalga bersifat euryhaline yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan mentoleransi kadar garam tinggi. Namun demikian, salinitas optimum tetap diperlukan mikroalga dalam menunjang pertumbuhannya. Salinitas optimum bagi pertumbuhan Chaetoceros sp. sekitar 28,5 – 30,5 o/oo (Mueller-Feuga et al. 2000 diacu dalam Støttrup & McEvoy 2003). Cahaya memegang peranan penting dalam kultivasi mikroalga. Aspek intensitas, distribusi dan spektrum cahaya akan sangat mempengaruhi proses fotosintesis pada mikroalga yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi biomassa
dan
kandungan
biokimia
sel.
Kandungan
fukosantin diatom
Thalassiosira pseudonana pada intensitas pencahayaan 50 µmol quanta m-2.s-1 sebesar 144.7 µg.L-1 dan kandungan pigmen tersebut turun menjadi 93 µg.L-1 pada intensitas pencahayaan 300 µmol quanta m-2.s-1 (Espinoza 2007). 2.4 Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Proses ekstraksi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ekstrak murni atau ekstrak yang hanya terdiri dari satu komponen tunggal (Achmadi 1992). Metode ekstraksi berdasarkan jenis pelarutnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueous phase dan organic phase. Cara aqueous phase dilakukan dengan menggunakan air sedangkan cara organic phase dilakukan dengan pelarut organik. Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan pemisahan bahan yang diekstrak. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat
7
memilih pelarut antara lain (Achmadi 1992): 1) Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan non polar akan melarutkan senyawa non polar. 2) Pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik 3) Air cenderung melarutkan senyawa organik dan garam dari asam maupun basa organik. 4) Asam-asam organik yang larut dalam pelarut oorganik dapat diekstraksi menggunakan basa (NaOH, NaCO3 dan NaHCO3). Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH). Derajat polaritas tergantung pada tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektriknya maka semakin polar pelarut tersebut. Bahan-bahan jenis tertentu memerlukan metode ekstraksi bertingkat. Ekstraksi bertingkat dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar (heksan) lalu dengan pelarut yang kepolarannya menengah (etil asetat atau dietil eter), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Ekstrak awal (crude extract) yang diperoleh secara berturut-turut mengandung senyawa nonpolar, kepolaran menengah dan polar (Nur & Adijuwana 1989 diacu dalam Ayuningrat 2009). Pelarut non polar merupakan salah satu pelarut yang dikenal efektif terhadap alkaloid dalam bentuk basa dan terpenoid dari bahan. Pelarut non polar juga dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, minyak yang mudah menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon dan glikosida. Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, glikosida (Harborne 1987). Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan pemisahan. Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan dengan pelarutnya. Bahan ditimbang untuk mengetahui berat awal bahan sehingga dapat ditentukan rendemen yang dihasilkan. Bahan yang telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang sesuai. Proses perendaman yng dilakukan disebut maserasi. Tahap selanjutnya adalah tahap pemisahan yang terdiri dari
8
penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung senyawa bioaktif. Pemisahan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan evaporasi sehingga pelarut menguap dan diperoleh senyawa hasil ekstraksi. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995 diacu dalam Ayuningrat 2009). 2.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisah campuran yang melibatkan dua peubah yaitu fase gerak dan fase diam. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai penjerap, seperti silika gel, alumina maupun selulosa. Fase gerak merupakan komponen yang bergerak dalam fase diam karena ada gaya kapiler (Stahl et al. 1985). Fase gerak berupa campuran pelarut yang digunakan untuk menggerakan sampel naik ke permukaan (Gritter et al. 1991). Pemilihan pelarut sebagai fase gerak secara tepat perlu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pelarut untuk menggerakan sampel hingga ke permukaan. Penggunaan lebih dari satu jenis pelarut sebagai pengembang perlu memperhatikan perbandingan masing-masing pelarut (Gritter et al. 1991). Sampel yang akan dipisahkan, ditotolkan pada pelat KLT kemudian pelat tersebut diletakan dalam suatu bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Pengembangan adalah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan (Stahl et al. 1985). Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf. Angka Rf berada pada range 0,00 dan 1,00. Perhitungan nilai Rf (Stahl et al. 1985) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf = Jarak garis depan dari titik awal
9
2.6 Senyawa Antioksidan Senyawa antioksidan adalah suatu senyawa yang mampu menghambat terjadinya kerusakan sel akibat oksigen reaktif yakni singlet oxygen, superoxide, peroxyl radicals, hydroxyl radicals and peroxynitrite. Keberadaan antioksidan dalam tubuh yang tidak seimbang dengan paparan oksigen reaktif dari lingkungan akan menghasilkan suatu kondisi oxidative stress yang dapat memicu terjadinya kerusakan sel (Buhler & Miranda 2000). Struktur inti antioksidan pada umumnya sama yaitu mengandung cincin benzene tidak jenuh disertai gugusan hidroksil atau gugusan amino. Penggolongan antioksidan berdasarkan strukturnya (Ketaren 2005) adalah: 1. Golongan fenol Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna dan banyak digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan phenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintesis serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak. 2. Golongan amin Antioksidan yang mengandung gugus amino atau diamino yang terikat cincin benzena biasanya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi atau bereaksi dengan ion logam dan umumnya stabil terhadap panas serta ekstraksi dengan kaustik. Antioksidan yang termasuk golongan amin banyak digunakan dalam industri nonpangan, terutama pada industri karet. 3. Golongan amin-fenol Golongan antioksidan ini biasanya mengandung fenolat dan amino yang merupakan
gugus fungsional penyebab aktivitas
antioksidan. Golongan
persenyawaan aminophenol ini banyak digunakan dalam industri petroleum untuk mencegah terbentuknya gum dalam gasoline. Adanya gugus hidroksil (-OH) dan amino (-NH2) yang terikat pada cincin aromatis memegang peranan penting dalam aktivitas antioksidan. Potensi antioksidan tersebut diperbesar oleh adanya substitusi gugus lain yang terikat pada cincin aromatis.
10
Bahan pangan yang banyak mengandung senyawa antioksidan yaitu sayuran dan buah-buahan. Sumber alternatif pangan lain yang dapat dijadikan antioksidan adalah mikroalga. Beberapa jenis mikroalga, misal Chlorella vulgaris, Chaetoceros
calcitrans,
Scenedesmus
quadricauda
menunjukkan
reaksi
penghambatan yang sangat tinggi terhadap radikal bebas linoleic acid peroxidation ketika diuji aktivitas antioksidannya dengan metode ferric thiocyanate (FTC) dan thiobarbituric acid (TBA). Namun, penghambatan terhadap adanya radikal bebas yang dilakukan dengan metode DPPH menunjukkan hasil yang kurang signifikan bila dibandingkan dengan kemampuan larutan pembanding, dalam hal ini vitamin E (Natrah et al. 2007). 2.7 Karotenoid Karotenoid merupakan pigmen alami yang disintesis oleh tanaman maupun mikroorganisme yakni mikroalga dan cyanobacteria. Karotenoid dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu karotenoid hidrokarbon yang dikenal sebagai karoten (beta karoten dan likopen) dan karotenoid teroksigenasi yang dikenal sebagai xantofil (Godwin diacu dalam Paiva et al. 1999). Banyak studi menunjukkan bahwa karotenoid bermanfaat sebagai provitamin A maupun antioksidan. Manfaat karotenoid sebagai provitamin A berkaitan dengan kemampuannya mengubah beta karoten menjadi dua molekul vitamin A (retinol). Pada manusia, konversi beta karoten dan vitamin A terjadi di usus kecil (Becker 1994). Aktivitas antioksidan dari karotenoid didasarkan pada kemampuan karoten dalam menangkal singlet oxygen maupun kemampuannya dalam menangkap radikal peroksil. Namun demikian, pigmen ini diketahui lebih efektif mencegah terjadinya
peroksida
lipid
melalui
aktivitas menangkal
dibandingkan dengan aktivitas menangkap radikal peroksil
singlet oxygen (Stahl et al.1996
diacu dalam Paiva et al. 1999). Kemampuan karotenoid dalam menangkal singlet oxygen sangat bergantung pada jumlah ikatan rangkap molekul yang terkonjugasi. Likopen merupakan pigmen yang sangat efisien dalam menangkal singlet oxygen karena memiliki ikatan rangkap terkonjugasi lebih banyak dibandingkan ikatan rangkap yang tak terkonjugasi, yaitu 11 ikatan rangkap terkonjugasi dan 2 ikatan rangkap tak terkonjugasi (Krinsky 1998 diacu dalam Paiva et al. 1999).
11
Interaksi karoten dengan radikal bebas dapat melalui tiga cara yaitu transfer elektron, abstraksi hidrogen dan penambahan spesies radikal. Ilustrasi masing-masing interaksi tersebut (Britton 1995 diacu dalam Young et al. 2001) sebagai berikut: ROO. + CAR
ROO- + CAR.+
[1]
ROO. + CAR
ROOH + CAR.
[2]
ROO. + CAR
(ROO – CAR).
[3]
Banyak studi menyatakan bahwa kemampuan beta karoten sebagai antioksidan
kurang
efektif
bila
dibandingkan
dengan
alfa
tokoferol
(Woodall et al. 1997 diacu dalam Paiva et al. 1999). Efektifitas karoten sebagai antioksidan akan meningkat jika berinteraksi dengan sumber antioksidan lain, seperti vitamin C dan vitamin E. Hal ini pernah dibuktikan oleh Bohm dengan menginteraksikan karotenoid dengan vitamin E dan vitamin C secara in vitro. Respon yang diperoleh dari interaksi ini adalah efek sinergis antara ketiga bahan tersebut,
terutama
ketika
dilakukan
penambahan
vitamin
C
(Bohm et al. 1998 diacu dalam Young & Gordon 2001). Mekanisme interaksi antara beta karoten, vitamin C dan vitamin E juga pernah dikemukakan oleh Truscott yang menyebutkan bahwa molekul karoten memperbaiki radikal vitamin E. Reaksi tersebut menghasilkan radikal karotenoid yang kemudian diperbaiki oleh vitamin C. Secara umum mekanisme interaksi karoten dengan vitamin C dan vitamin E dapat dilihat pada persamaan di bawah (Truscott 1996 diacu dalam Young & Gordon 2001): CAR + TOH.+
TOH + CAR.+
CAR.+ + ASCH2
CAR + ASCH. + H+
.+
CAR + ASCH
-
[1] .-
+
CAR + ASCH + H
[2] [3]
12
3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2009. Penelitian ini bertempat di laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2 dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Kimia Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan atau sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kultur Chaetoceros gracilis. Kultur mikroalga tersebut diperoleh dari koleksi mikroalga Laboratorium Marikultur Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ancol, Jakarta Utara yang dikultur kembali menggunakan air laut dan media Guillard yang komposisinya dapat dilihat pada Lampiran 1. Kultivasi dengan media guillard kembali dilakukan dengan tujuan memudahkan mikroalga untuk beradaptasi. Kultivasi selanjutnya menggunakan media NPSi. Bahan yang digunakan dalam kultur mikroalga dengan media NPSi meliputi akuades steril yang digunakan dalam pembuatan media NPSi, air laut dan media NPSi yang komposisinya dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 2. Bahan lain yang digunakan adalah asam linoleat, akuades, potassium hidroksida (KOH), KH2PO4, ammonium tiosianat, etanol, FeCl2 dan asam klorida (HCl) untuk uji aktivitas antioksidan; metanol, dimetil sulfoxide (DMSO), KOH jenuh dan dietil eter untuk ekstraksi pigmen karoten. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peralatan yang digunakan erlenmeyer berukuran 500 ml, 1000 ml, 2000 ml; wadah kultur berkapasitas 6 L dan 19 L; akuarium berkapasitas 40 L; selang; aerator; lampu neon; pipet; hemasitometer; tabung reaksi; mikroskop cahaya; autoklaf; mesin filter dengan tipe filter mekanik dan rotavapor vaccum (Yamato RE 50); water bath; sentrifuse; freezer; spektrofotometer UV Vis Milton Roy Company; tabung cuvet; tabung reaksi; inkubator, freeze dryer; Thin Layer Chromatography.
13
3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu kultivasi Chaetoceros gracilis untuk mendapatkan kurva pertumbuhan, kultivasi C. gracilis untuk mendapatkan biomassa dan ekstraksi pigmen karoten mikroalga C. gracilis. 3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis untuk mendapatkan kurva pertumbuhan Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam toples berkapasitas 2500 ml yang diisi air laut sebanyak 2000 ml. Media yang digunakan dalam kultivasi ini adalah NPSi. Kultivasi dilakukan pada suhu 25 ºC, diberi aerasi dan penyinaran menggunakan lampu TL 20 Watt yang diberi 2 perlakuan yang berbeda yaitu: A. Lama pencahayaan 12 jam perhari B. Lama pencahayaan 24 jam perhari Pertumbuhan C. gracilis diamati dengan cara mengambil sampel setiap hari, kemudian dihitung jumlah selnya secara langsung. Nilai yang diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam nilai logaritmik selanjutnya dibuat kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan yang diperoleh digunakan sebagai acuan untuk menentukan fase pemanenan mikroalga C. gracilis. 3.3.2 Kultivasi C. gracilis untuk mendapatkan biomassa Kultivasi dilakukan dalam toples berkapasitas 2500 ml yang diisi air laut sebanyak 2000 ml. Media yang digunakan dalam
kultivasi ini adalah NPSi.
Kultivasi dilakukan pada suhu 25 ºC, diberi aerasi dan penyinaran menggunakan lampu 20 Watt yang diberi 4 perlakuan sebagai berikut: A. Kultur pertama yaitu kultivasi dengan lama pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log B. Kultur kedua yaitu kultivasi dengan lama pencahayaan 12 jam perhari dan pemanenan pada fase stasioner C. Kultur ketiga yaitu kultivasi dengan lama pencahayaan 24 jam perhari dan pemanenan pada fase log D. Kultur keempat yaitu kultivasi dengan lama pencahayaan 24 jam perhari dan pemanenan pada fase stasioner
14
Masing-masing perlakuan tersebut dikultur kembali dalam skala yang lebih besar. Kultivasi dalam skala yang lebih besar dilakukan dengan wadah kultur berkapasitas 6 L yang diisi air laut sebanyak 4 L. Kultur ini merupakan stok yang akan diperbesar kembali dalam akuarium berkapasitas 40 L yang diisi air laut sebanyak 35 L. Skema proses kultur Chaetoceros gracilis dapat dilihat pada Gambar 3. Stok Chaetoceros gracilis
Kultivasi 30 ml inokulum dengan media Guillard dalam 300 ml air laut
Scale up dalam 500 ml air laut dengan media NPSi dengan lama penyinaran 12 jam
Scale up dalam 500 ml air laut dengan media NPSi dengan lama penyinaran 24 jam
Scale up dalam 4 L air laut dengan media NPSi
Scale up dalam 35 L air laut dengan media NPSi
Pemanenan
Gambar 3 Skema proses kultur Chaetoceros gracilis Pemanenan dilakukan pada fase logaritmik dan fase stasioner. Proses pemanenan dilakukan dengan mengambil biomassa C. gracilis dalam tempat kultur menggunakan filter keramik. Biomassa yang dihasilkan kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer.
15
3.3.3 Ekstraksi pigmen karoten (Cyanotech 2002 diacu dalam Alagappan et al. 2004) Sebanyak 30 mg sampel ditimbang dalam tabung sentrifugasi, kemudian ditambahkan 3 g pasir gelas dan 2,5 ml Dimetil Sulfoxide (DMSO) dan dihomogenasi menggunakan vortex selama 30 detik. Tabung selanjutnya diinkubasi dalam waterbath pada suhu 50 ºC selama 30 menit dan setiap 10 menit dihomogenasi selama 30 detik. Sebanyak 50 ml metanol ditambahkan ke dalam tabung, dihomogenasi selama 30 detik dan disentrifugasi 4200 rpm selama 3 menit. Supernatan yang dihasilkan berupa larutan berwarna hijau. Supernatan ini kemudian dipipet ke dalam labu takar 25 ml. Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga supernatan yang dihasilkan sudah tidak berwarna lagi. Penambahan metanol dilakukan hingga volume ekstrak menjadi 25 ml. Labu takar ditutup dan dibalik-balik hingga homogen. 3.4 Prosedur Analisis 3.4.1 Penghitungan jumlah sel Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung menurut Hadioetomo (1993) sebagai berikut: a) Permukaan hitung hemasitometer dan kaca penutup dibersihkan dari sisa-sisa minyak. b) Tutup kaca hemasitometer diletakkan pada permukaan hemasitometer. Suspensi biakan C. gracilis hasil pengambilan contoh dikocok, kemudian diambil dengan mikropipet sebanyak 20 µl. Suspensi tersebut diteteskan pada tempat menaruh sampel yang terdapat pada hemasitometer hingga suspensi C.gracilis menyebar pada ruang hitung. c) Hemasitometer diletakkan di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat dalam 80 kotak kecil yang terletak dalam kotak bagian tengah yang berukuran 0,2 mm2 (5 x 16 x 0,0025 mm2) dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 40 x 10. Perhitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Penampang hemasitometer dapat dilihat pada Gambar 4.
16
Gambar 4 Penampang hemasitometer Keterangan:
Kotak yang dihitung jumlah selnya d) Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel sebagai berikut:
(ΣN1 + ΣN2) N=
x 2
1 mm3
1 x 1 mm x 0,2 mm x 0,1mm
10-3 ml
Keterangan: N
= kepadatan sel (sel/ml)
∑N1
= jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1)
∑N2
= jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2)
3.4.2 Analisis karotenoid total (Cyanotech 2002 diacu dalam Alagappan et al. 2004) Sebanyak 2 ml ekstrak dalam metanol dipipet dari labu takar 25 ml dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi 15 ml. Selanjutnya ditambahkan 4 ml dietil eter dan 5 ml KOH jenuh dalam air. Larutan tersebut kemudian dihomogenasi secara perlahan hingga bercampur dan ditempatkan pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu larutan dihomogenasi perlahan selama 10 menit dan ditambahkan air demineral (akuabides) sebanyak 5 ml. Homogenasi dilakukan kembali dengan cepat hingga larutan tercampur. Larutan selanjutnya disentrifugasi pada suhu ruang dengan kecepatan 4200 rpm selama 3 menit.
17
Lapisan eter mengandung pigmen kuning dan lapisan air berwarna biru kehijauan. Absorbansi maximum dari ekstrak eter dan blanko dibaca pada λ 450-453 nm.
Absorbansi max (450-453) % karotenoid =
vol eter x 25 ml x
249,2 x berat kering sampel (mg)
x100% 2
3.4.3 Pengujian aktivitas antioksidan dari pigmen karoten dan biomassa mikroalga C. gracilis (Kikuzaki & Nakatani1993) Karoten yang telah diekstrak kemudian dievaporasi dan dikeringkan kembali dengan freeze dryer. Karoten yang telah kering diuji aktivitas antioksidannya dengan metode ferri tiosianat (FTC). Sebanyak 4 mg karoten ditimbang (bila yang diuji biomassa, sampel karoten diganti biomassa mikroalga C. gracilis dan dilarutkan dalam 2 ml buffer fosfat 0,1 M pH 7,0 kemudian ditambahkan 1 ml aquades dan 2 ml asam linoleat 50 mM dalam etanol 99,5%. Campuran reaksi tersebut diinkubasi selama 10 hari pada suhu 37 °C. Campuran reaksi diambil setiap hari sebanyak
50 µl dan ditambahkan 6 ml etanol 75%, 50 µl amonium
tiosianat 30 % dan 50 µl FeCl2 20 mM dalam HCl 3,5%. Hasil campuran tersebut diukur nilai absorbansinya pada λ 500 nm. Data yang diperoleh selanjutnya dihitung daya penghambatannya (%) terhadap oksidasi asam linoleat dengan cara menghitung selisih antara absorbansi sampel dengan absorbansi linoleat kemudian dibagi dengan nilai absorbansi asam linoleat, dikalikan 100%.
% penghambatan=
OD kontrol – OD sampel OD kontrol
x 100%
18
Skema pengujian aktivitas antioksidan dari biomassa dan pigmen karoten mikroalga Chaetoceros gracilis dapat dilihat pada Gambar 5.
Biomassa Chaetoceros gracilis
Ekstraksi
Pigmen karoten
Pengujian aktivitas antioksidan
Penimbangan 4 mg sampel
Pelarutan sampel dalam 2ml buffer fosfat 0,1 M pH 7,0
Penambahan 1 ml aquades dan 2 ml asam linoleat 50 mM dalam etanol 99,5%
Inkubasi campuran reaksi selama 10 hari pada suhu 37 °C
19
Pengambilan hasil campuran reaksi dilakukan setiap hari sebanyak 50 µl dan penambahan 6 ml etanol, 50 µl amonium tiosianat 30% dan 50 µl FeCl2 20 mM dalam HCl 3,5%
Pengukuran nilai absorbansi sampel pada λ 500 nm
Gambar 5 Skema pengujian aktivitas antioksidan dari biomassa dan pigmen karoten mikroalga Chaetoceros gracilis
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultur Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari koleksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dengan media Guillard dan NPSi (nitrogen, fosfor dan silikat). Medium Guillard digunakan untuk membuat suatu kondisi yang sama dengan media awal pertumbuhan mikroalga tersebut. Hal ini diharapkan dapat membantu Chaetoceros gracilis untuk melakukan proses adaptasi terhadap lingkungan baru secara cepat. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard untuk selanjutnya digunakan sebagai stok yang akan dikultivasi kembali dengan media NPSi. Media NPSi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa komponen makro yang mampu menggantikan media Guillard dengan harga yang lebih murah dan mudah diperoleh sehingga mudah untuk diaplikasikan (Perbandingan harga media Guillard dan NPSi dapat dilihat pada Lampiran 4). Sumber fosfor (NaH2PO4), nitrogen (NaNO3) dan silikat (NaSiO3) dalam media Guillard diganti Triple Super Phosphate (TSP), urea (CO(NH2)2) dan sodium metasilika (Si(OH)2) dalam media NPSi. Nitrogen, fosfor dan silikat merupakan komponen penting yang berperan dalam pertumbuhan Chaetoceros gracilis. Nitrogen dan fosfor merupakan komponen penting dalam sintesis asam nukleat dan sumber energi transpor (ADP, AMP dan ATP) sedangkan silikat merupakan bahan untuk membentuk dinding sel atau cangkang (Isnansetyo & Kurniastuty 1995; Richmond 2004). Kultur Chaetoceros gracilis berwarna kuning kecoklatan. Warna ini terkait dengan keberadaan karoten sebagai pigmen dominan pada mikroalga Chaetoceros gracilis (Becker 1994). Warna kultur akan semakin pekat seiring dengan lamanya waktu kultivasi. Kepekatan warna kultur mengindikasikan bahwa terjadi pertambahan sel pada kultur tersebut. Fenomena ini juga terjadi pada kultur yang dilakukan selama penelitian, di mana kultur pada hari ke-7 lebih pekat dibandingkan kultur pada hari ke-3. Faktor lain yang diduga mempengaruhi perubahan warna kultur yaitu perbedaan lama pencahayaan. Pada Gambar 6 terlihat bahwa kultur dengan lama
21
pencahayaan 12 jam perhari lebih pekat dibandingkan kultur dengan lama pencahayaan 24 jam perhari. Kepekatan warna kultur pada lama pencahayaan 12 jam perhari diduga terkait dengan pembentukan karoten yang terjadi selama penurunan intensitas cahaya. Karoten yang disintesis pada saat intensitas cahaya rendah yaitu fukosantin dan peridinin. Hal ini sesuai dengan penelitian Espinoza (2007) yang menyatakan bahwa kandungan fukosantin diatom Thalassiosira pseudonana pada intensitas pencahayaan 50 µmol quanta m-2.s-1 sebesar 144.7 µg.L-1 dan kandungan pigmen tersebut turun menjadi 93 µg.L-1 pada intensitas pencahayaan 300 µmol quanta m-2.s-1. Perbedaan warna kultur pada masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: a) kultur 24 jam hari ke-3, b) kultur 24 jam hari ke-7, c) kultur 12 jam hari ke-3, d) kultur 12 jam hari ke-7
Gambar 6 Perbedaan warna kultur Chaetoceros gracilis pada masing-masing perlakuan 4.2 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa sel dan disertai ukurannya oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru (Becker 1994). Penentuan pola pertumbuhan pada Chaetoceros gracilis dilakukan dengan cara sampling untuk menghitung jumlah sel mikroalga tersebut setiap hari menggunakan hemasitometer yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Nilai kepadatan sel yang diperoleh berasal dari perhitungan matematis yang kemudian diturunkan dengan pendekatan logaritmik (log) dan diplotkan ke dalam grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan C. gracilis dengan lama pencahayaan 12 jam perhari dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan kurva pertumbuhan C. gracilis dapat dilihat pada Gambar 8.
22
Log Jumlah Sel (sel/ml)
6,1 6
(c)
(d)
5,9
(b)
(a)
5,8 5,7 5,6 1
5
9
13
17
21
25
Umur Kultur (Hari) keterangan: a: fase lag, b: fase log, c: fase stasioner, d: fase kematian
Gambar 7 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan lama pencahayaan 12 jam perhari Fase pertumbuhan pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari meliputi fase lag, fase log, fase deklinasi, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4. Fase lag yang terjadi cukup lama diduga terkait dengan umur inokulum Chaetoceros gracilis yang digunakan dalam kultur. Becker (1994) menyatakan bahwa sel yang diambil dari fase lag akhir, fase log dan fase stasioner awal akan menghasilkan waktu lag yang lebih pendek bila dibandingkan dengan sel yang diambil dari fase stasioner akhir. Pada fase lag aktivitas fisiologi sel sangat tinggi, dimana sel sangat sensitif terhadap temperatur atau perubahan lingkungan lain daripada sel pada fase yang lebih dewasa. Fase pertumbuhan selanjutnya adalah fase logaritmik (log). Fase log pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-9. Fase ini ditandai dengan meningkatnya laju pertumbuhan. Peningkatan laju pertumbuhan didukung oleh ketersediaan nutrien dan lingkungan yang baik sehingga pertumbuhannya optimal. Peningkatan kepadatan populasi pada fase log terjadi karena peningkatan aktivitas fotosintesis (Fogg 1975). Fase deklinasi pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari terjadi pada hari ke-10 sampai hari ke-11. Fase deklinasi merupakan fase yang terjadi setelah fase akhir logaritmik. Fase ini ditandai dengan menurunnya laju
23
pertumbuhan. Penurunan laju pertumbuhan ini diduga disebabkan oleh populasi sel yang terus bertambah tanpa diikuti penambahan nutrien ke dalam kultur. Richmond (2004) menyatakan bahwa faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya penurunan laju pertumbuhan selain, ketersediaan nutrien adalah penurunan konsentrasi CO2, O2 dan terjadinya proses autoinhibition yaitu proses menghasilkan suatu senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan oleh sel itu sendiri. Fase stasioner merupakan fase akhir dari produksi biomassa. Fase stasioner pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari terjadi pada hari ke-12 sampai hari ke-23. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai suatu grafik pertumbuhan yang konstan (Vonshak 1985 diacu dalam Diharmi 2001). Pada penelitian ini, pertambahan jumlah sel pada fase stasioner masih terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa pembelahan sel masih terjadi selama fase stasioner. Meskipun pada fase stasioner keberadaan nutrien semaikin berkurang, pembelahan sel masih dapat berlangsung. Schlegel dan Schmidt (1994) menyatakan bahwa sel memiliki cadangan energi sehingga masih dapat menggunakan
komponen
tersebut
untuk
melakukan
pertumbuhan
dan
mempertahankannya walaupun kecepatannya sangat rendah. Fase kematian merupakan fase akhir yang ditandai dengan penurunan produksi biomassa karena kematian sel (Vonshak 1985 diacu dalam Diharmi 2001). Fase kematian pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari terjadi pada hari ke-24 sampai hari ke-26. Kematian sel disebabkan oleh nutrien dalam medium telah habis sedangkan sel yang masih hidup tidak mampu untuk tumbuh dan hanya dapat bertahan hidup (Fogg 1975). Fase pertumbuhan yang terjadi pada kultur dengan lama pencahayaan 24 jam perhari meliputi fase logaritmik, fase deklinasi, fase stasioner dan fase kematian tanpa diawali dengan fase lag. Hal ini diduga karena media dan kondisi lingkungan pada kultur yang baru hampir sama dengan media dan kondisi lingkungan kultur sebelumnya sehingga Chaetoceros gracilis tidak perlu melakukan adaptasi untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan Fardiaz (1989) yang menyatakan bahwa lamanya fase lag tergantung dari media dan lingkungan pertumbuhan serta umur dan jumlah inokulum.
24
Log Jumlah Sel (sel/ml)
6,6 6,4 6,2
(c)
(b)
6 5,8
(a)
5,6 5,4 5,2 1
5
9
13
17
21
25
Umur Kultur (Hari) keterangan: a: fase log, b: fase stasioner, c: fase kematian
Gambar 8 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan lama pencahayaan 24 jam perhari (Setyaningsih et al. 2009) Fase pertumbuhan selanjutnya adalah fase logaritmik (log). Fase log pada kultur dengan lama pencahayaan 24 jam perhari mulai terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke-7. Fase deklinasi merupakan fase penurunan laju pertumbuhan. Fase deklinasi yang terjadi pada kultur dengan pencahayaa 24 jam dicapai pada hari ke-8 sampai hari ke-10 Fase stasioner merupakan akhir dari produksi biomassa. Kultur dengan lama pencahayaan 24 jam perhari mengalami fase stasioner pada hari ke-11 sampai hari ke-25 dan fase pertumbuhan terakhir adalah fase kematian yang terjadi pada hari ke-26 sampai hari ke-28. 4.3 Ekstrak pigmen karoten Chaetoceros gracilis Ekstraksi pigmen mikroalga Chaetoceros gracilis dilakukan dengan pelarut metanol. Penggunaan pelarut ini bertujuan untuk melarutkan semua pigmen yang terkandung dalam mikroalga tersebut. Ekstrak metanol kemudian dipartisi dengan dietil eter untuk mendapatkan pigmen karoten. Ekstrak pigmen karoten Chaetoceros gracilis yang diperoleh kemudian dihitung total karotennya (contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 7). Hasil perhitungan total karoten ditunjukkan pada Tabel 1.
25
Tabel 1 Total karoten mikroalga Chaetoceros gracilis Sampel
Total karoten (%)
Kultur dengan lama pencahayaan 12 jam, panen fase log
0,31%
Kultur dengan lama pencahayaan 12 jam, panen fase stasioner
0,23%
Kultur dengan lama pencahayaan 24 jam, panen fase log
0,27%
Kultur dengan lama pencahayaan 24 jam, panen fase stasioner
0,2%
Perlakuan pencahayaan maupun fase pemanenan yang diberikan pada kultur mikroalga Chaetoceros gracilis berpengaruh terhadap total karoten yang dihasilkan. Pada lama pencahayaan 12 jam perhari, total karoten yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah karoten pada sampel dengan lama pencahayaan 24 jam perhari demikian pula yang terjadi pada perlakuan pemanenan, pigmen yang diekstrak dari biomassa yang dipanen pada fase stasioner memiliki total karoten lebih rendah bila dibandingkan dengan total karoten yang dipanen pada fase log. Perbedaan kandungan karoten pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari dengan 24 jam perhari diduga terkait dengan penurunan intensitas cahaya yang terjadi pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari. Penurunan intensitas cahaya tersebut terjadi ketika kultur mengalami darkness condition pada 12 jam berikutnya setelah pencahayaan. Penurunan intensitas cahaya yang diakibatkan oleh lama pencahayaan 12 jam inilah yang diduga memicu pembentukan karoten seperti fukosantin dan peridinin. Hal ini sesuai dengan penelitian Espinoza (2007) yang menyatakan bahwa kandungan fukosantin diatom Thalassiosira pseudonana pada intensitas pencahayaan 50 µmol quanta.m-2.s-1 sebesar 144.7 µg.L-1 dan kandungan pigmen tersebut turun menjadi 93 µg.L-1 pada intensitas pencahayaan 300 µmol quanta.m-2.s-1. Latasa (1995) juga menyatakan bahwa kultur mikroalga Thalassiosira weissflogii dengan intensitas cahaya rendah menghasilkan pigmen fukosantin dan peridinin lebih tinggi dibandingkan kultur dengan intensitas cahaya tinggi tanpa menyebutkan besarnya kandungan dari masing-masing pigmen tersebut. Perlakuan pencahayaan yang berbeda sangat berpengaruh terhadap produksi pigmen pada mikroalga. Beberapa pigmen seperti karoten primer banyak
26
dihasilkan pada saat intensitas cahaya yang dipaparkan terhadap kultur mikroalga rendah. Pola berbeda ditunjukkan pada saat kultur mikroalga dipaparkan terhadap cahaya dengan intensitas yang tinggi. Pigmen karoten yang banyak dihasilkan adalah karoten sekunder seperti diatosantin dan diadinosantin. Karoten sekunder yang dihasilkan oleh mikroalga mengindikasikan bahwa mikroalga berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan akibat paparan cahaya dengan intensitas tinggi sehingga memerlukan suatu mekanisme pertahanan diri atau dikenal dengan istilah photoprotective. Sistem pertahanan diri ini berfungsi untuk melindungi kerusakan alat-alat fotosintesis (Richmond 2004). Produksi karoten pada mikroalga sebagai respon Chaetoceros gracilis terhadap perlakuan pencahayaan yang berbeda sangat bergantung pada intensitas cahaya yang diberikan. Pada penelitian ini diduga pigmen karoten yang banyak dihasilkan adalah karoten primer. Karoten ini merupakan komponen penting dalam proses fotosintesis. Total karoten yang dihasilkan pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari mengindikasikan bahwa kondisi pencahayaan ini memberikan efek yang lebih baik untuk sintesis karoten primer, misal fukosantin dibandingkan dengan lama pencahayaan 24 jam perhari. Perbedaan total karoten juga terjadi pada perlakuan pemanenan. Pemanenan pada fase log menghasilkan total karoten yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemanenan pada fase stasioner. Kondisi ini diduga terkait penurunan nutrien yang terjadi pada fase stasioner sehingga mempengaruhi proses karotenogenesis. Del et al. (2000) diacu dalam Eonseon et al. (2003) menyatakan bahwa kandungan karoten primer lutein pada mikroalga Muriellopsis sp. 4.3.1 Identifikasi kemurnian ekstrak karoten dengan KLT Pengujian kemurnian karoten dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) menunjukkan hanya ada satu spot yang berwarna kuning (dapat dilihat pada Lampiran 8). Nilai Rf yang dihasilkan dari hasil perhitungan nilai Rf dilakukan dengan cara membagi jarak titik pusat bercak dari titik awal dengan jarak garis depan dari titik awal. Hasil pengujian kemurnian pigmen karoten pada masing-masing perlakuan berada pada kisaran 9,8-1,0. Hal ini telah sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa nilai Rf dari karoten berkisar antara 0,8-1,0 (Merdekawati et al. 2009). Nilai Rf yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.
27
Tabel 2 Nilai Rf sampel hasil pengujian dengan KLT Sampel
Nilai Rf
Kultur dengan lama pencahayaan 12 jam, panen fase log
9,8
Kultur dengan lama pencahayaan 12 jam, panen fase stasioner
1,0
Kultur dengan lama pencahayaan 24 jam, panen fase log
9,8
Kultur dengan lama pencahayaan 24 jam, panen fase stasioner
1,0
4.3.2 Aktivitas antioksidan pigmen karoten Pengujian aktivitas antioksidan pada pigmen karoten dilakukan dengan metode FTC (ferri tiosianat). Prinsip pengujian aktivitas antioksidan dengan metode FTC adalah pengukuran nilai absorbansi kompleks warna merah ferri tiosianat. Kompleks warna ini terbentuk akibat adanya radikal peroksida yang mengoksidasi ion ferro (Fe2+) menjadi ion ferri (Fe3+) kemudian ion ferri yang terbentuk akan berikatan dengan ion tiosianat membentuk kompleks ferri tiosianat yang berwarna merah (Budijanto et al. 2000). Asam linoleat berperan sebagai sumber radikal pada pengujian aktivitas antioksidan dengan metode ferri tiosianat (FTC). Radikal merupakan senyawa oksidator yang akan mengoksidasi ion ferro (Fe2+) menjadi ion ferri (Fe3+). Kation besi yang mengalami kenaikan bilangan oksidasi akan bereaksi spesifik dengan ion tiosianat akan membentuk kompleks berwarna merah berupa [Fe(SCN)6]3(Rohman & Sugeng 2005). Hasil pengujian menunjukkan bahwa BHT memiliki nilai absorbansi yang paling rendah kemudian secara berturut-turut diikuti oleh karoten 1, karoten 3, kaaroten 2 dan karoten 4 (data nilai absorbansi karoten dapat dilihat pada Lampiran 9 sedangkan R2 dapat dilihat pada Lampiran 10). Rendahnya nilai absorbansi BHT menegaskan bahwa BHT mampu menghambat oksidasi asam linoleat lebih besar dibanding senyawa antioksidan lainnya. Besarnya nilai absorbansi sampel pigmen karoten dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 9 sedangkan persamaan regresi linier terhadap nilai absorbansi pigmen karoten dapat dilihat pada Tabel 2.
28
Gambar 9 Nilai absorbansi kontrol dan sampel Keterangan:
... ...
Asam linoleat BHT ... ... karoten 1: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log ...x... karoten 2: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner ...x... karoten 3: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log ... ... karoten 4: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner ... ....
Tabel 3 Analisis regresi linier terhadap nilai absorbansi kontrol dan sampel Senyawa Asam linoleat BHT Karoten 1 Karoten 2 Karoten 3 Karoten 4
Persamaan Y= 0,096x + 0,4 Y= 0,02x + 0,294 Y= 0,023x + 0,343 Y= 0,024x + 0,353 Y= 0,024x + 0,34 Y= 0,027x + 0,36
Slope (α=0,01)* >0 >0 >0 >0 >0 >0
Keterangan: karoten 1: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log karoten 2: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner karoten 3: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log karoten 4: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner
Nilai slope lebih besar 0 atau α= 0,01 menunjukkan bahwa sampel memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Nilai slope sampel (merah muda) memiliki nilai absorbansi lebih kecil dibandingkan kontrol berupa asam linoleat (merah). Hal ini menunjukkan bahwa sampel mampu menghambat terjadinya oksidasi asam linoleat (Rohman & Sugeng 2005). Karoten 4 mempunyai nilai slope paling tinggi yaitu 0,027 kemudian diikuti karoten 2 dan 3 dengan nilai slope sebesar 0,024; karoten 1 sebesar 0,023
29
dan dilanjutkan dengan nilai slope pada BHT sebesar 0,02. Nilai slope yang lebih tinggi menunjukkan bahwa antioksidan dinilai kurang mampu menghambat terjadinya oksidasi asam linoleat. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menentukan besarnya persen penghambatan
senyawa
antioksidan
terhadap
kontrol
persatuan
waktu
menggunakan persamaan regresi. Besarnya persen penghambatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Daya Penghambatan sampel menggunakan metode FTC Keterangan:
... ...
BHT karoten 1: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log ... ... karoten 2: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner ...x... karoten 3: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log ...x... karoten 4: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner ... ....
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa BHT memiliki daya hambat paling tinggi terhadap terjadinya oksidasi linoleat, yaitu sebesar 59,54% kemudian diikuti secara berturut-turut karoten 1, karoten 3, karoten 2 dan terakhir karoten 4 memiliki daya hambat sebesar 53,41%; 52,27%; 51,14%; 48,86%. Contoh perhitungan persen penghambatan pigmen karoten dapat dilihat pada Lampiran 7. Butil hidroksi toluen (BHT) merupakan antioksidan sintetis yang memiliki aktivitas antioksidan yang sangat ekstrim dalam minyak yang mempunyai jumlah ikatan tidak jenuh yang tinggi. Namun, penggunaan antioksidan sintetis dalam industri pangan sebaiknya harus lebih hati-hati karena banyak diantara antioksidan sintesis tersebut menyebabkan keracunan pada dosis tertentu
30
(Ketaren 2005). Oleh karena itu, penggunaan antioksidan alami dalam bahan pangan lebih dianjurkan untuk mencegah terjadinya oksidasi lipid, seperti karoten, tokoferol maupun asam sitrat. Perbedaan persen penghambatan pigmen karoten terhadap oksidasi asam linoleat pada masing-masing perlakuan baik pada karoten 1, karoten 2, karoten 3 dan karoten 4 memiliki korelasi dengan total karoten yang dihasilkan. Karoten 1 memiliki persen penghambatan oksidasi asam linoleat paling tinggi karena total karoten yang dihasilkan juga tinggi (0,31%) kemudian diikuti karoten 3 (0,27%), karoten 2 (0,23%) dan karoten 4 (0,2%). Karoten merupakan pigmen yang memiliki aktivitas antioksidan di samping pigmen klorofil. Aktivitas antioksidan dari karotenoid didasarkan pada kemampuan karoten dalam menangkal singlet oxygen maupun kemampuannya dalam menangkap radikal peroksil. Namun demikian, pigmen ini diketahui lebih efektif mencegah terjadinya peroksida lipid melalui aktivitas menangkal singlet oxygen
dibandingkan
dengan
aktivitas
menangkap
radikal
peroksil
(Stahl et al.1996 diacu dalam Paiva et al. 1999). Persen penghambatan karoten terhadap oksidasi asam linoleat berada pada kisaran 48-50%. Besarnya persen penghambatan ini terkait dengan sifat karoten sebagai antioksidan, di mana keefektifan karoten semakin meningkat ketika dikombinasikan dengan antioksidan lain seperti tokoferol maupun vitamin C. Hal ini pernah dibuktikan oleh Bohm dengan menginteraksikan karotenoid dengan vitamin E dan vitamin C secara in vitro. Respon yang diperoleh dari interaksi ini adalah efek sinergis antara ketiga bahan tersebut, terutama ketika dilakukan penambahan vitamin C (Bohm et al. 1998 diacu dalam Young & Gordon 2001). 4.4 Aktivitas antioksidan biomassa Chaetoceros gracilis Hasil pengujian menunjukkan bahwa biomassa 1 memiliki nilai absorbansi yang paling rendah dibandingkan dengan biomassa 2, biomassa 3 dan biomassa 4 (data mengenai nilai absorbansi sampel dapat dilihat pada Lampiran 11 sedangkan R2 dapat dilihat pada Lampiran 12). Rendahnya nilai absorbansi ini menegaskan bahwa biomassa 1 memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghambat terjadinya oksidasi asam linoleat dibandingkan biomassa yang lain. Besarnya nilai absorbansi kontrol dan sampel biomassa Chaetoceros gracilis dapat dilihat pada
31
Gambar 11 sedangkan persamaan regresi linier terhadap nilai absorbansi dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 11 Nilai absorbansi kontrol dan sampel Keterangan:
... ...
Asam linoleat BHT ... ... biomassa 1: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log ...x... biomassa 2: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner ...x... biomassa 3: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log ... ... biomassa 4: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner ... ....
Tabel 4 Analisis regresi linier terhadap nilai absorbansi kontrol dan sampel Senyawa
Persamaan
Slope (α=0,01)*
Asam linoleat
Y= 0,131x + 0,189
>0
BHT
Y= 0,01x + 0,117
>0
Biomassa 1
Y= 0,022x + 0,119
>0
Biomassa 2
Y= 0,025x +0,165
>0
Biomassa 3
Y= 0,023x + 0,123
>0
Biomassa 4
Y= 0,029x + 0,147
>0
Keterangan: biomassa 1: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log biomassa 2: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner biomassa 3: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log biomassa 4: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner
Nilai slope lebih besar 0 atau α= 0,01 menunjukkan bahwa sampel memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Nilai slope sampel (merah muda) memiliki nilai absorbansi lebih kecil dibandingkan kontrol berupa asam linoleat
32
(merah). Hal ini menunjukkan bahwa sampel mampu menghambat terjadinya oksidasi asam linoleat (Rohman & Sugeng 2005). Asam linoleat memiliki nilai slope paling tinggi yaitu 0,131 kemudian diikuti biomassa 4, biomassa 2, biomassa 3, biomassa 1 dan BHT masing-masing sebesar 0,029; 0,025; 0,023; 0,022 dan 0,01. Nilai slope yang tinggi menunjukkan bahwa antioksidan tersebut kurang mampu menghambat terjadinya oksidasi asam linoleat. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menentukan besarnya persen penghambatan senyawa antioksidan terhadap kontrol (asam linoleat) persatuan waktu dapat dilakukan analisis menggunakan persamaan regresi. Besarnya persen penghambatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Daya penghambatan sampel menggunakan metode FTC Keterangan:
... ...
BHT biomassa 1: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log ... ... biomassa 2: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner ...x... biomassa 3: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log ...x... biomassa 4: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner ... ....
Butil hidroksi toluen (BHT) memiliki daya hambat paling tinggi yaitu 82,73% kemudian diikuti oleh biomassa 1, biomassa 3, biomassa 2 dan biomassa 4 secara berturut-turut sebesar 74,55%; 72,73%; 69,09% dan 68,64%. Contoh perhitungan daya penghambatan masing-masing sampel dapat dilihat pada Lampiran 13.
33
Perbedaan daya penghambatan pada masing-masing sampel diduga terkait dengan kandungan pigmen karoten dan PUFA yang diketahui juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan. PUFA merupakan komposisi kimia yang juga dimiliki oleh mikroalga Chaetoceros gracilis. Kandungan PUFA paling dominan pada Chaetoceros sp. adalah EPA (20:5n-3) (Mueller-Feuga et al. 2000 diacu dalam Støttrup & McEvoy 2003). Asam lemak EPA merupakan salah satu jenis PUFA yang memiliki aktivitas antioksidan (Richard et al. 2008). EPA dan DHA merupakan asam lemak seri omega 3 (Sukarsa 2004). Penelitian mengenai kemampuan PUFA sebagai antioksidan telah dilakukan oleh Richard et al. (2008) yang menunjukkan bahwa suplementasi terhadap human aortic endothelial cells (HAECs) dengan PUFA dari seri omega 3 menghasilkan formasi ROS (Reactive Oxygen Species) lebih rendah dibandingkan sel yang disuplementasi dengan saturated fatty acid, monounsaturated fatty acid dan polyunsaturated (PUFA) dari seri omega 6. Biomassa dengan perlakuan pencahayaan 12 jam memiliki daya hambat yang lebih besar bandingkan dengan biomassa 24 jam. Tingginya daya hambat ini terkait dengan jumlah PUFA yang lebih banyak dihasilkan pada perlakuan lama pencahayaan 12 jam perhari dibandingkan dengan perlakuan lama pencahayaan 24 jam perhari. Hal ini sesuai dengan penelitian Brown (1996) yang menyatakan bahwa kultur diatom Thalassiosira pseudonana yang dikultivasi dengan lama pencahayaan 12 jam perhari memiliki jumlah PUFA yang lebih besar (74,2%) dibandingkan kultur yang dikultivasi dengan lama pencahayaan 24 jam (52,6%). Produksi PUFA, selain dipengaruhi oleh faktor cahaya juga dipengaruhi oleh fase pemanenan yang dilakukan. Biomassa yang dipanen pada fase log memiliki daya penghambatan oksidasi asam linoleat yang lebih besar bila dibandingkan dengan biomassa pada fase stasioner. Tingginya daya hambat ini terkait dengan jumlah PUFA yang lebih banyak dihasilkan pada saat fase log dibandingkan fase stasioner. Hal ini sesuai dengan penelitian Brown (1996) yang menyatakan bahwa PUFA yang dihasilkan pada kultur diatom Thalassiosira pseudonana yang dipanen pada fase log sebesar 52,6% sedangkan pada kultur yang dipanen pada fase stasioner sebesar 35,4%.
34
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Fase pertumbuhan mikroalga Chaetoceros gracilis dengan perlakuan lama pencahayaan 12 jam perhari diawali dengan fase lag (hari ke-1 sampai hari ke-4) kemudian diikuti fase log yang terjadi pada (hari ke-5 sampai hari ke- 9), fase deklinasi yang terjadi terjadi pada hari ke-10 sampai hari ke-11. Fase stasioner terjadi pada (hari ke-12 sampai hari ke-23) dan fase kematian terjadi pada (hari ke-24 sampai 26). Biomassa yang diberi perlakuan lama pencahayaan 12 jam perhari dan pemanenan pada fase log memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan biomassa dengan lama pencahayaan 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner. Persen penghambatan yang dihasilkan secara berturut-turut yaitu 74,55%; 69,09%; 72,73% dan 68,64%. Total karoten yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan lama 12 jam log, 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner secara berturut-turut yaitu 0,31%; 0,23%; 0,27% dan 0,2%. Persen penghambatan sampel terhadap terjadinya oksidasi asam linoleat pada masing-masing perlakuan 12 jam log, 12 jam stasioner, 24 jam log dan 24 jam stasioner berturut-turut yaitu 53,41%; 51,14%; 52,27% dan 48,86%. 5.2 Saran Beberapa hal yang dapat disarankan setelah penelitian ini dilakukan yaitu: 1. Perlu dilakukan optimasi kultur untuk meningkatkan jumlah karoten yang dihasilkan. 2. Perlu dilakukan identifikasi jenis karoten yang dihasilkan. 3. Perlu dilakukan pengujian komponen bioaktif lain dari mikroalga Chaetoceros gracilis yang berpotensi sebagai antioksidan.
35
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Gambar Chaetoceros gracilis. http://www.nodc.noaa.gov/. [26 Februari 2010]. Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Alagappan M, Vijula K, Archana S. 2004. Utilization of spirulina algae as a source of cartenoid pigment for blue gouramis (Trichogaster trichopterus). J of Aquariculture and Aquatic Sciences 10: 1- 32 Ayuningrat E. 2009. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing Taiwan (Anodonta woodianalea) sebagai antioksidan. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Melbourne: Cambridge University Press. 279 hlm. Bold HC, Wyne MJ. 1985. Introduction to The Algae, Structure and Reproduction. Prentice Hall Inc. Englewood. New Jersey. 720 hlm. Borowitzka MA. 1988. Vitamin and fine chemical from microalgae. Di dalam: MA Borowitzka and LJ Borowitzka (Eds.). Microalgae Biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press. 477 hlm. Brown MR, Graeme AD, Suzzane JN, Kelly AM. 1996. Effect of harvest stage and light on the biochemical composition of diatom Thalassiosira pseudonana. J Phycology 32: 64-79 Budijanto S, Lilis N, Andries S. 2000. Studi stabilitas minyak kapang Mucor inaequisporus M05 II/4 kaya asam gamma linoleat selama penyimpanan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 11(2): 49-54 Buhler DR, Miranda C. 2000. Antioxidant activities of flavonoid. http:// lpi.oregonstate.edu [20 Februari 2009]. Diharmi A. 2001. Pengaruh pencahayaan terhadap kandungan pigmen bioaktif mikroalga Spirulina platensis strain lokal. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor. Eonseon J, Juergen EWP, Hong KL, Sang MH, Man Chang. 2003. Xanhophylls in microalgae: From biosynthesis to biotechnological mass production and application. J Microbial Biotechnol 13: 165-174 Espinoza EV, Filiberto NC, Robert MN, Charles CT, Eduardo SA. 2007. Growth and accessory pigments to chlorophyll a ratios of Thalassiosira pseudonana (Bacillariophyceae) cultured under different irradiances. J Hidrobiologica 17 (3): 249-255 Fogg GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London: The University of Wisconsin Press. 126 hlm. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Gritter RJ, Bobbitt JM, Schwarting AE. 1985. Pengantar Kromatografi. Kosasih P, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Introduction to Chromatography. Hal 107-157 Gross J. 1991. Pigments in Vegetables: Chlorophylls and Carotenoids. New York: Van Nostrand Reinhold. Hadioetomo RS. 1993. Mikroalga Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium . Jakarta: UI Press.
36
Harborne JB. 1987. Metode Kimia. Kosasih P, Iwang S, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. 348 hlm. Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton; Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 116 hlm. Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Press. 327 hlm. Kikuzaki H, Nakatani B. 1993. Antioxidant effect of some ginger constituent. J Food Science 58: 1407-1410 Larastri R. 2006. Studi biomassa diatom perifitik pada substrat biocrete dengan konsentrasi P yang berbeda. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Latasa M. 1995. Pigment of Heterocapsa sp. And Thalassiosira weissflogii in batch cultures under different irradiances. J Scientia Marina 59 (1): 25-37 Lee RE. 2008. Phycology. New York: Cambridge University Press. 645 hlm. Merdekawati W, Susanto AB, Limantara L. 2009. Kandungan dan aktivitas antioksidan klorofil a dan β karoten Sargassum sp. Jurnal Kelautan Nasional 2: 144-155 Minotti G, Steven DA. 1987. Chemistry and Physics of Lipid. Ireland: Elseiver Scientific Publisher. Hal 191-208 Mueller-Feuga A, Jeanne M, Raymond K. 2003. The Microalgae of Aquaculture. Di dalam: Støttrup JG, Lesley AM. Editor. Live Feed in Marine Aquaculture. Oxford: Blackwell Science Ltd. Hal 209-243 Natrah FMI, Yusof FM, Shariff M, Abas F & Mariana NS. 2007. Screening of Malaysian indigenous microalgae for antioxidant properties and nutritional value. J Applied Phycology 19: 711-718 Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Edisi ke-2. Jakarta: Djambatan. 238 hlm. Paiva, Robert, Sergio AR. 1999. β-carotene and other carotenoids as antioxidants. J Nutrition 18:426-433 Prangdimurti E, Muchtadi D, Astawan M, Zakaria FR. 2006. Peningkatan khasiat biologis klorofil ekatrak daun suji untuk digunakan sebagai pangan fungsional pencegah penyakit degeneratif. [Laporan Penelitian]. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Richard D, Kaouthar K, Ullah B, Pedro B and Francesco V. 2008. Polyunsaturated fatty acids as antioxidants. J Pharmacological 57: 451-455 Richmond A. 2004. Handbook of Microalgae Culture: Biotechnology and Applied Phycology. 545 hlm. Rohman A, Sugeng R. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemu-ning (Murraya paniculata (L) Jack) secara invitro. Majalah Farmasi Indonesia 16 (3): 136-140 Schlegel, Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Tedja Baskara, penerjemah. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Setyaningsih et al. 2009. Pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi dan produksi antibakteri. J Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Teknologi Kelautan.
37
Stahl E. 1973. Analisis Obat secara kromatografi dan mikroskopi. Kosasih P, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Drug Analysis by Chromatography and Microscopy. Sukarsa DR. 2004. Studi asam lemak omega-3 ikan laut pada mencit sebagai model hewan percobaan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 7(1): 68-79 Sutomo. 2005. Kultur tiga jenis mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp. dan Chaetoceros gracilis) dan pengaruh kepadatan awal terhadap pertumbuhan Chaetoceros gracilis di Laboratorium Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 37: 43-58 Young AJ, Lowe GM. 2001. Antioxidant and prooxidant properties of carotenoids. Archives of Biochemistry and Biophysics 385: 20-27
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Komposisi Medium Guillard Keterangan Jenis Larutan 1 NaNO3 NH2PO4.H2O Aquades
Jumlah 8,415 gr 1 gr 100 ml
Larutan 2
Na2SiO3. H2O Aquades
1,2 gr 100 ml
Larutan 3
FeCl2.6H2O Aquades
0,145 gr 100 ml
Larutan 4
Na-EDTA Aquades
1 gr 100 ml
Larutan 5
B1 (Thiamin) Biotin B12 Aquades
Larutan 6 Trace metal A
Trace metal B
Trace metal C Trace metal D Sutomo (2005)
CuSO4.5H2O ZnSO4.7H2O Aquades NaMoO4.2H2O (NH4)6.Mo7O24.4H2O Aquades CoCl2.6H2O Aquades MnCl2.4H2O Aquades
20µl 1,0 ml (dari 0,01 gr/100 ml) 1,0 ml (dari 0,01 gr/100 ml 100 ml 1,95 gr 4,4 gr 100 ml 1,26 gr 6,43 gr 100 ml 2 gr 100 ml 3,6 gr 100 ml
40
Lampiran 2. Komposisi Medium NPSi Bahan Kandungan TSP (Triple Super Phospat) P2O5 32%
Jumlah 3,125 gr/1L
Urea (Co(NH2)2)
Nitrogen 46 %
21,7 gr/1L
Sodium metasilika
Si(OH)2 34%
2,941 gr/ 1L
B1 0,1% Biotin B12 2% Aquades
0,1%
Trace metal A
CuSO4.5H2O ZnSO4.7H2O Aquades NaMoO4.2H2O (NH4)6.Mo7O24.4H2O Aquades CoCl2.6H2O Aquades MnCl2.4H2O Aquades
Trace metal B
Trace metal C Trace metal D
Larastri (2006)
2%
20µl 1,0 ml (dari 0,01 gr/100 ml) 1,0 ml (dari 0,01 gr/100 ml) 100 ml
1,95 gr 4,4 gr 100 ml 1,26 gr 6,43 gr 100 ml 2 gr 100 ml 3,6 gr 100 ml
41
Lampiran 3. Pembuatan larutan yang digunakan untuk analisis antioksidan dengan metode Feri Tiosianat (FTC) a. Buffer Fosfat pH 7,0 8,16 gr KH2PO4 dalam 60 ml air destilasi, KOH kemudian ditambahkan hingga pH meter menunjukkan pH 7,0 b. Pembuatan asam linoleat 50 mM dalam 15 ml etanol 99,5% M = massa/Mr.V 50 x 10-3 = massa/280 x 15 x 10-3 massa = 0.05 x 280 x 0.015 massa = 0.21 gram c. Pembuatan etanol 75% M1.V1 = M2.V2 100% . a = 75% . 500 ml a = (75%.500)/100% a = 375 ml ettanol absolut kemudian ditambahkan aquades hingga 500 ml d. Pembuatan ammonium tiosianat 30% sebanyak 5 ml 5 ml/a = 100ml/30 gram a = (30 x 5)/100 a = 1,5 gram e. Pembuatan FeCl2 20 mM dalam HCl 3,5% - Pembuatan larutan HCl 3,5% sebanyak 5 ml M1.V1 = M2.V2 37% . a = 3,5% x 5 ml a = (3,5 x 5)/37 a = 0,5 ml HCl 37% kemudian ditambahkan aquades hingga 5 ml - Pembuatan FeCl2 20 mM M = massa/Mr.V 20 x 10-3 = massa/127 x 5 x 10-3 massa = 0,02 x 127 x 0,005 massa = 0,0127 gr
42
Lampiran 4. Perbandingan harga media Guillard dan NPSi Daftar Harga Media Guillard : 1. NaNO3 = Rp. 528.000/500 g 2. Na2SiO3.H2O = Rp. 880.000/ kg 3. FeCl3.H2O = Rp. 630.000/250 g 4. Na-EDTA = Rp. 674.000/100 g 5. NaHPO4.H2O = Rp. 415.800/kg
Daftar Harga NPSi : 1. TSP = Rp. 1625/ kg 2. Silikat = Rp. 9.000/ kg 3. Urea = Rp. 1.800/ kg
Vitamin Vitamin B1 = Rp. 1.600/ml Vitamin B12 = Rp. 286.000/g
Rp. 0,029/ L kultur
Trace elements CuSO4.5H2O = Rp. 50.000/ kg ZnSO4.7H2O = Rp. 20.000/ kg NaMoO4.2H2O = Rp. 95.000/100 g (NH4).Mo7O24.4H2O = Rp. 2.420.000/ kg MnCl2.4H2O = Rp. 1.387.925/ 500 g CoCl2.6H2O = Rp. 2.983.750/ 250 g
Rp. 0,0009/ L kultur Rp. 0,0009/ L kultur Rp. 0,0119/ L kultur Rp. 0,1556/ L kultur Rp. 0,0999/ L kultur Rp. 0,2387/ L kultur
Total harga media Guillard: Rp. 175.453/ 1.000 L kultur
Total harga media NPSi: Rp. 765,034/ 1.000 L kultur
Contoh perhitungan harga media NPSi
TSP =
0,3125 g 1 x1 ml x x 1.625 = Rp.0,005078 100 ml 1000 g
Silikat =
Urea =
0,2941 g 1 x 4 ml x x 9.000 = Rp.0,105876 100 ml 1000 g
2,17 g 1 x 3 ml x x 1.800 = Rp.0,11718 100 ml 1000 g
43
Contoh perhitungan harga media Guillard
NaNO3
=
Na2SiO3.H2O =
8,451 g 1 x x 528.000 = Rp.89,24356 100 ml 500 g
1,2 g 1 x x 880.000 = Rp.10,56 100 ml 1000 g
FeCl3.H2O
0,145 g 1 = 100 ml x 250 g x 630.000 = Rp.3,554
Na-EDTA
=
1g 1 x x 674.000 = Rp.67,4 100 ml 100 g
1g 1 NaHPO4.H2O = 100 ml x 1000 g x 415.800 = Rp.4,158
44
Lampiran 5. Kepadatan sel Chaetoceros gracilis pada kultur dengan lama pencahayaan 24 jam perhari
Hari 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
N 210000 420000 1100000 1600000 1600000 1900000 2200000 2400000 2300000 2300000 2200000 2200000 2300000 2200000 2200000 2200000 2200000 2300000 2400000 2400000 2300000 2300000 2300000 2300000 2000000 1400000 1000000 820000
Log Jumlah Sel (sel/ml) 5,322219295 5,62324929 6,041392685 6,204119983 6,204119983 6,278753601 6,342422681 6,380211242 6,361727836 6,361727836 6,342422681 6,342422681 6,361727836 6,342422681 6,342422681 6,342422681 6,342422681 6,361727836 6,380211242 6,380211242 6,361727836 6,361727836 6,361727836 6,361727836 6,301029996 6,146128036 6 5,913813852
45
Lampiran 6. Kepadatan sel Chaetoceros gracilis pada kultur dengan lama pencahayaan 12 jam perhari Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
N 500000 550000 450000 525000 575000 650000 800000 975000 1000000 1025000 1025000 1025000 1050000 1075000 1100000 1075000 1100000 1100000 1125000 1100000 1075000 1050000 1075000 1000000 950000 750000
Log Jumlah Sel (sel/ml) 5,698970004 5,740362689 5,653212514 5,720159303 5,759667845 5,812913357 5,903089987 5,989004616 6 6,010723865 6,010723865 6,010723865 6,021189299 6,031408464 6,041392685 6,031408464 6,041392685 6,041392685 6,051152522 6,041392685 6,031408464 6,021189299 6,031408464 6 5,977723605 5,875061263
46
Lampiran 7. Contoh perhitungan total karoten dan daya penghambatan karoten
a. Total karoten - Total karoten 12 jam log: Absorbansi max (450-453)
vol eter
% karotenoid =
x 25 ml x
x100%
249,2 x berat kering sampel (mg) 0,625 =
2
3 x 25 x
x 100%
249,2 x 30
2
= 0,31%
- Total karoten 12 jam stasioner: Absorbansi max (450-453) % karotenoid =
vol eter x 25 ml x
x100%
249,2 x berat kering sampel (mg) 0,47 =
2
3 x 25 x
249,2 x 30
x 100% 2
= 0,23%
- Total karoten 24 jam log: Absorbansi max (450-453) % karotenoid =
vol eter x 25 ml x
249,2 x berat kering sampel (mg) 0,55 =
3 x 25 x
249,2 x 30 = 0,27 %
x 100% 2
x 100% 2
47
- Total karoten 24 jam stasioner: Absorbansi max (450-453)
vol eter
% karotenoid =
x 25 ml x 249,2 x berat kering sampel (mg) 0,41
=
x100% 2
3 x 25 x
x 100%
249,2 x 30
2
= 0,2% Keterangan: 249,2 = koefisien ekstensi karoten murni
b. Daya penghambatan karoten OD kontrol – OD sampel % daya hambat biomassa 12 jam log =
x 100 % OD kontrol 1,1 – 0,5125
=
x 100%
1,1
= 53,41%
48
Lampiran 8. Hasil pengujian KLT dari karoten Rf =1,0
Rf =1,0
Rf =9,8 Rf =9,8
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: karoten 1: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log karoten 2: karoten dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner karoten 3: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log karoten 4: karoten dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner
49
Lampiran 9. Nilai absorbansi dan persen penghambatan karoten Chaetoceros gracilis
Hari ke- Sampel 1 Asam Linoleat 24 Jam log 24 Jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
1 0.44 0.36
Rata-rata 2 (%) Inhibisi (%) 0.47 0.455 0.31 0.335 26.37362637
0.36 0.32
0.34 0.34
0.35 0.33
23.07692308 27.47252747
0.32 0.28
0.36 0.31
0.34 0.295
25.27472527 35.16483516
2 Asam Linoleat 24 Jam log 24 Jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
0.62 0.39
0.6 0.45
0.61 0.42
31.14754098
0.43 0.4
0.46 0.44
0.445 0.42
27.04918033 31.14754098
0.4 0.35
0.46 0.35
0.43 0.35
29.50819672 42.62295082
3 Asam Linoleat 24 Jam log 24 Jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
0.7 0.41
0.75 0.44
0.725 0.425
41.37931034
0.45 0.4
0.48 0.46
0.465 0.43
35.86206897 40.68965517
0.43 0.35
0.48 0.39
0.455 0.37
37.24137931 48.96551724
4 Asam Linoleat 24 Jam log 24 Jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
0.8 0.43
0.8 0.46
0.8 0.445
44.375
0.47 0.41
0.49 0.46
0.48 0.435
40 45.625
0.44 0.37
0.47 0.39
0.455 0.38
43.125 52.5
50
5 Asam Linoleat 24 Jam log 24 Jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
0.8 0.43
0.85 0.48
0.825 0.455
44.84848485
0.46 0.43
0.5 0.48
0.48 0.455
41.81818182 44.84848485
0.44 0.37
0.49 0.4
0.465 0.385
43.63636364 53.33333333
6 Asam Linoleat 24 Jam log 24 jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
0.95 0.47
1.1 0.48
1.025 0.475
53.65853659
0.5 0.47
0.55 0.47
0.525 0.47
48.7804878 54.14634146
0.48 0.39
0.49 0.44
0.485 0.415
52.68292683 59.51219512
7 Asam Linoleat 24 Jam log 24 Jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
1.1 0.525
1.2 0.55
1.15 0.5375
53.26086957
0.52 0.5
0.64 0.55
0.58 0.525
49.56521739 54.34782609
0.525 0.43
0.575 0.49
0.55 0.46
52.17391304 60
8 Asam linoleat 24 jam log 24 jam stasioner 12 jam log 12 jam stasioner BHT
1 0.525
1.2 0.525
1.1 0.525
52.27272727
0.5 0.525
0.625 0.5
0.5625 0.5125
48.86363636 53.40909091
0.525 0.44
0.55 0.45
0.5375 0.445
51.13636364 59.54545455
51
Lampiran 10. Nilai R2 dari analisis regresi linier nilai absorbansi kontrol dan sampel pigmen karoten Chaetoceros gracilis
Keterangan:
... ...
Asam linoleat BHT (Butil Hidroksi Toluen) ... ... karoten 1: karoten dengan lama pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log ...x... karoten 2: karoten dengan lama pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner ...x... karoten 3: karoten dengan lama pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log ... ... karoten 4: karoten dengan lama pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner ... ....
Persamaan dan nilai R2: 1. y asam linoleat R2 2. y BHT 2
R
2. y karoten 1 2
R
3. y karoten 2 R2 4. y karoten 3 R2 5. y karoten 4 2
R
: 0,096x + 0,4 : 0,952 : 0,02x + 0,294 : 0,917 : 0,023x + 0,343 : 0,869 : 0,024x + 0,353 : 0,862 : 0,024x + 0,34 : 0,896 : 0,027x + 0,36 : 0,885
52
Lampiran 11. Nilai absorbansi dan persen penghambatan biomassa Chaetoceros gracilis Hari ke- Sampel 1 Asam Linoleat 12 Jam log 12 jam stasioner 24 Jam log 24 Jam stasioner BHT
1 0.25 0.11 0.12 0.12 0.11 0.09
2 Rata2 % inhibisi 0.25 0.25 0.13 0.12 0.18 0.15 0.17 0.145 0.15 0.13 0.09 0.09
2 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam stasioner 24 Log 24 Jam stasioner BHT
0.46 0.17 0.24 0.18 0.22 0.15
0.45 0.17 0.22 0.17 0.23 0.18
0.455 0.17 0.23 0.175 0.225 0.165
62.63736264 49.45054945 61.53846154 50.54945055 63.73626374
3 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam Stasioner 24 Jam Log 24 Jam Stasioner BHT
0.47 0.21 0.24 0.18 0.24 0.17
0.75 0.19 0.29 0.18 0.26 0.15
0.61 0.2 0.265 0.18 0.25 0.16
67.21311475 56.55737705 70.49180328 59.01639344 73.7704918
4 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam Stasioner 24 Jam Log 24 Jam Stasioner BHT
0.7 0.2 0.24 0.2 0.25 0.17
0.75 0.25 0.3 0.25 0.29 0.17
0.725 0.225 0.27 0.225 0.27 0.17
68.96551724 62.75862069 68.96551724 62.75862069 76.55172414
5 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam Stasioner 24 Jam Log 24 Jam Stasioner BHT
0.8 0.21 0.3 0.25 0.295 0.15
0.9 0.23 0.32 0.23 0.355 0.19
0.85 0.22 0.31 0.24 0.325 0.17
74.11764706 63.52941176 71.76470588 61.76470588 80
52 40 42 48 64
53
6 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam Stasioner 24 Jam Log 24 Jam Stasioner BHT
1.3 0.25 0.35 0.26 0.32 0.12
0.9 0.29 0.35 0.28 0.4 0.24
1.1 0.27 0.35 0.27 0.36 0.18
75.45454545 68.18181818 75.45454545 67.27272727 83.63636364
7 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam Stasioner 24 Jam Log 24 Jam Stasioner BHT
1.1 0.28 0.19 0.31 0.17 0.17
1.2 0.29 0.15 0.28 0.18 0.21
1.15 0.285 0.17 0.295 0.175 0.19
75.2173913 85.2173913 74.34782609 84.7826087 83.47826087
8 Asam Linoleat 12 Jam Log 12 Jam Stasioner 24 Jam Log 24 Jam Stasioner BHT
1 0.25 0.33 0.3 0.34 0.17
1.2 0.31 0.35 0.3 0.35 0.21
1.1 0.28 0.34 0.3 0.345 0.19
74.54545455 69.09090909 72.72727273 68.63636364 82.72727273
54
Lampiran 12. Nilai R2 dari analisis regresi linier nilai absorbansi kontrol dan sampel biomassa Chaetoceros gracilis
Keterangan:
... ...
Asam linoleat BHT ... ... biomassa 1: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase log ...x... biomassa 2: biomassa dengan pencahayaan 12 jam dan pemanenan pada fase stasioner ...x... biomassa 3: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase log ... ... biomassa 4: biomassa dengan pencahayaan 24 jam dan pemanenan pada fase stasioner ... ....
Persamaan dan nilai R2: 1. y asam linoleat 2
R
2. y BHT R2 2. y biomassa 1 R2 3. y biomassa 2 2
R
4. y biomassa 3 R2 5. y biomassa 4 R2
: 0.131x +0.189 : 0,944 : 0.01x + 0.117 : 0,65 : 0.022x + 0.119 : 0,924 : 0.025x + 0.165 : 0,861 : 0.023x + 0.123 : 0,979 : 0.029x + 0.147 : 0,854
55
Lampiran 13. Contoh perhitungan daya hambat sampel terhadap oksidasi asam linoleat OD kontrol – OD sampel % daya hambat biomassa 12 jam log =
x 100 % OD kontrol 1,1 – 0.28 =
x 100% 1,1
=
74,55 %
OD kontrol – OD sampel % daya hambat biomassa 24 jam log =
x 100 % OD kontrol 1,1 – 0,3 =
x 100 % 1,1
= 72,73 % OD kontrol – OD sampel % daya hambat BHT =
x 100 % OD kontrol 1,1 – 0.19 =
x 100 % 1,1
=
82,73 %