Jurnal Tugas Akhir
Studi Pengaruh Dimensi Oscillating Part Pada Pembangkit Listrik Tenaga Vorteks Dengan Pendekatan Uji Fisik 1
Luqman Huda(1), Mukhtasor (2), Arief Suroso(3) Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan
Abstrak Pembangkit listrik tenaga vorteks merupakan teknologi yang baru daripada konversi energi lainnya, cara kerjanya bertolak belakang dengan vibrasi yang biasanya dihindari pada perancangan struktur. Pada sistem ini, vibrasi ditingkatkan untuk menghasilkan amplitudo yang tinggi. Komponen yang penting pada konversi tenaga listrik ini adalah oscillating part. Pada penelitian ini digunakan model oscillating part bentuk silinder dengan variasi perbandingan diameter dan panjang. Semua model bekerja pada aliran fluida 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s. Dengan menggunakan pemodelan fisik, semua sistem dan oscillating part dimodelkan secara nyata untuk kemudian diujikan pada Laboratorium Hidrodinamika Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Pemodelan dengan rasio 1:1. Setelah pungujian, maka didapatkan amplitudo terbesar untuk model silinder tunggal pada Model 3 (D/L = 12/87) dengan amplitudo rata-rata (Arms) maksimum 0,98 pada kecepatan 0,16 m/s. Nilai amplitude tersebut akan berguna dalam desain generator linier. Kata-kata kunci : Oscillating part, Amplitudo, Vortex Induced Vibration, Pemodelan Fisik.
1. PENDAHULUAN Era energi terbarukan telah tiba (Sims, 2004). Sebuah konsep inovatif untuk memanfaatkan air menjadi tenaga listrik telah ditemukan oleh Michael Bernitsas, dkk dari Dept. of Naval Architecture and Marine Engineering, University of Michigan (Bernitsas and Raghavan 2004).Konsep tersebut dinamakan Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energi (VIVACE). Sruktur paling sederhana dari pembangkit listrik energi vortex ini terdiri dari satu rigid silinder yang ditopang oleh elastis support semisal pegas. Silinder, yang selanjutnya akan disebut oscillating part, dihubungkan dengan power take-off system dan di tempatkan pada aliran steady (Bernitsas dkk, 2006). Gaya lift yang ditimbulkan oleh VIV membuat silinder mengalami vibrasi cross-flow sehingga menghasilkan energi kinetik yang oleh generator akan diubah menjadi energi listrik. Permasalahan akan semakin kompleks untuk mencari energi maksimal yang dihasilkan pada beberapa oscillating part dengan susunan tertentu. Aspek rasio (L/D) oscillating part adalah parameter penting dalam desain untuk pengoperasian VIVACE, disebabkan karena efek dari vortex sheeding dan VIV itu sendiri (Raghavan, 2007). Penelitian lebih lanjut telah dilakukan oleh Szepessy dan Bearman (1992) yang mempelajari efek aspek rasio terhadap koefisien angkat dari silinder stasioner. Mereka menemukan bahwa gaya angkat akibat vortex shedding pada silinder stasioner
semakin menunjukkan angka maksimum untuk aspek rasio yang mengalami peningkatan pada korelasi panjang. Aspek rasio untuk gaya angkat maksimum meningkatkan gerakan osilasi silinder dan juga dapat meningkatkan amplitudo dari osilasi.. Berdasarkan uji coba pemodelan fisik dari oscillating part telah dilakukan oleh Bernistas dkk (2006), dimensi dari oscillating part terbaik yang ditemukan, yaitu diameter D = 125.7 mm, panjang L = 914.4 mm, dengan aspek rasio 7.274. Penelitian ini berupa pemodelan fisik dari oscillating part dengan dimensi yang berbeda-beda pada alat konversi energi vorteks yang nantinya akan dibandingkan dengan model oscillating part VIVACE yang telah dibuat. Setelah itu model akan dilakukan pengujian di laboratorium. Hasil pengujian tersebut, yang berupa perbandingan amplitudo dan frekuensi, akan dijadikan dasar penulisan tugas akhir ini 2. DASAR TEORI 2.1. Vortex Induced Vibration Vortex adalah suatu aliran dimana fluida tersebut partikelnya berotasi pada aliran rotasinya terhadap titik pusatnya. Pelepasan vortexnya disebut dengan vortex shedding, yang mempunyai kecepatan transversal dan tangensialnya konstan dan bervariasi terhadap radiusnya (Indiyono, 1994). Akibat adanya vortex shedding ini, pipa yang dilalui aliran fluida terkena distribusi tekanan lokal akibat adanya tekanan tersebut, maka pipa akan bergetar atau berosilasi dengan frekuensi tertentu. Osilasi ini akan
1
Jurnal Tugas Akhir
menyebabkan kelelahan dan dapat mengakibatkan kegagalan. Terjadinya VIV sendiri memilki bentuk yang berbeda untuk beberapa parameter, salah satu parameter yang berperan dalam membentuk perilaku dari VIV adalah Reynold Number. Fenomena ini dapat digambarkan pada Gambar 1, pada gambar tersebut bentuk aliran vortex yang terjadi adalah tidak sama untuk setiap harga Reynolds number. Semakin tinggi harga Reynolds number maka aliran vortex yang terjadi semakin sedikit dan semakin tidak teratur
terhubungkan dengan bearing yang berguna menjaga kehalusan gerakan Oscillating part terhadap gear belt. Karena gear belt terhubung dengan ujung gear yang berbentuk lingkaran. Generator yang mendapatkan gerakan rotasi dari gear langsung dihubungkan dengan rotor, sehingga mampu menghasilkan listrik. Percobaan fisik mengenangi VIVACE telah dilakukan oleh (Bernitsas dkk, 2006). Pengujian ini dilakukan pada Marine Hydrodynamics Laboratory of the University of Michigan. Pada percobaan ini didapatkan pada arus sebesar 0,84 m/s, energi listrik yang berhasil dihasilkan oleh VIVACE adalah sebesar 51W/m3. Ini berarti listrik yang dihasilkan lebih tinggi 3-10 kali dari alat konversi energi arus dan 2-5 kali lebih tinggi dari alat konversi energi lainnya. Pada penelitian ini, tercatat energi listrik yang paling maksimal dihasilkan sebesar 86W/m3.
Gambar 1. Vorteks yang terjadi pada silinder dipengaruhi oleh bilangan Reynold number : (a) Bentuk vorteks pada Re = 100 (b) Bentuk vorteks pada Re = 1 x 105 (c) Bentuk vorteks pada Re = 1 x 106 (d) Bentuk vorteks pada Re = 1 x 10
7
(C. Chen dkk. 2004)
2.2. VIVACE Converter (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energi) Untuk seluruh alat konversi energi, terdapat enam kriteria yang harus dipenuhi. Yaitu dapat menangkap energy desity yang cukup besar, terdiri dari kompenen yang simpel, membutuhkan perawatan yang seminimal mungkin, harus cocok dengan kondisi lingkungan, dana yang dikeluarkan harus lebih rendah dari target, umur operasi alat konversi harus berkisar diantara sepuluh hingga dua puluh tahun (Bernitsas dkk, 2006). Percobaan fisik yang telah dilakukan menunjukan VIVACE dapat memenuhi enam kriteria tersebut. Dimulai dari terjadinya VIV pada Oscillating part mengakibatkan timbulnya gaya angkat sehingga silinder mulai bergerak tegak lurus terhadap arah datang arus. Gerakan osilasi tersebut
Gambar 2. VIVACE dengan Oscillating Part tunggal (Raghavan, 2006). Sruktur paling sederhana dari pembangkit listrik energi vortex ini terdiri dari satu rigid silinder yang ditopang oleh elastis support semisal pegas. Dapat dilihat pada gambar 2. 2.3. Reynold Number Menurut Chakrabarti, (2002) Reynold number sendiri merupakan besaran yang tidak memilki dimensi, besaran tersebut merupakan perbandingan antara inertia force dan viscous force, kemudian untuk nilai inertia force dapat dipecah lagi menurut parameternya yaitu diameter untuk bentuk silinder dan kecepatan partikel .
1 dengan U = kecepatan partikel (m/s) D = diameter struktur (m) v = viskositas kinematis air (m2/s)
2
Jurnal Tugas Akhir
2.4. Pemodelan Fisik Analisis dimensional merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengurangi jumlah kerumitan peubah eksperimental yang mempengaruhi gejala fisik tertentu, dengan menggunakan teknik peringkasan (White. M Frank, 1986). Penyelesaian masalah dengan pemodelan fisik dapat dilakukan jika masalah yang dihadapi oleh prototype dapat dibuat dengan skala kecil serta dengan kesebangunan yang memadai. Tujuan dari pemodelan fisik yaitu : 1. Untuk memprediksi kemungkinankemungkinan yang akan terjadi setelah bangunan dibuat. 2. Untuk mendapatkan suatu tingkat keyakinan yang tinggi atas keberhasilan suatu perencanaan bangunan. 3. Untuk mengetahui dan memprediksi penampilan bangunan serta pengaruhnya terhadap lingkungan. Dalam pemodelan terdapat kegiatan yang saling berkaitan :
tiga
jenis
1. Modelling (proses pembuatan model) Modelling merupakan proses peniruan masalah yang ada pada prototipe dengan skala yang lebih kecil dan dilakukan dengan cara yang benar. Untuk melakukan pemodelan, kita diharuskan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup berkaitan dengan penentuan fenomenafenomena yang terdapat dalam permasalahan. Dengan demikian, model yang dihasilkan akan menjadi model yang bermanfaat, dan hasil yang didapat dari penelitian model dapat diterapkan menjadi prototipe yang baik. 2. Solving (proses pemecahan masalah) Merupakan pemecahan masalah yang ada di dalam model, dan pembuat model dituntut memiliki kemampuan dan teknik pemecahan masalah. Karena pada dasarnya model tidak dapat otomatis menyelesaikan masalah, tapi pembuatnya dapat menyelesaikan masalah.
yang sama pada saat membawa masalah pada model. Untuk menjamin kesesuaian dari hasil pemodelan yang dibuat maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut : 1. Kalibrasi, yaitu pengaturan model untuk menyesuaikan data-data yang ada di rancangan prototipe dengan yang ada di model uji. 2. Verifikasi, merupakan pembuktian bahwa model sudah sesuai dengan prototipe tanpa perlu diubah atau diatur lagi. 2.5. Hukum Perbandingan Pada pemodelan fisik, parameter yang dipakai model sebangun atau mirip dengan prototipe. Hubungan ini dikorelasi dengan skala dengan setiap parameter mempunyai skala tersendiri dan tidak bisa disamakan. Skala merupakan rasio antara nilai parameter yang ada pada prototipe dan yang ada pada model. Syarat kesamaan suatu model fisik harus memenuhi ketiga syarat berikut : 1. Kesamaan Geometris Kesamaan ini berkenaan dengan dimensi panjang, atau titik-titiknya homolog, artinya mempunyai letak nisbi skala linear yang sama. Untuk geometrik sempurna, dimana kesebangunan antar model dengan prototipe yang memiliki panjang horizontal atau memanjang dengan skala vertikal atau tinggi harus sama. Harga perbandingan ini selalu bernilai konstan. Secara matematis dapat ditulis : 2
2. Kesamaan Kinematik Mensyaratkan model dan prototipe mempunyai nisbah skala panjang dan nisbah skala waktu yang sama. Hasilnya ialah nisbah skala kecepatannya akan sama keduanya, kesamaan kinetik berupa kecepatan dan aliran. Secara matematis ditulis: 3
3. Interpretation (interpretasi) Merupakan usaha untuk memindahkan masalah yang dikerjakan di model untuk keperluan pemecahan masalah yang berlaku di prototipe. Proses interpretasi ini dilakukan dengan cara
3. Kesamaan Dinamis Jika percobaan model yang dilakukan untuk mendapatkan informasi besarnya gaya yang bekerja pada model yang ditinjau sebangun dalam geometrik dan kinematik, maka harus
3
Jurnal Tugas Akhir
ada kesamaan dinamis untuk gaya-gaya yang bekerja pada model dan prototipe
Gambar 3. Aplikasi Lapangan Tampak Depan dari Sistem Penegar Pembangkit Listrik Energi Vorteks
3. METODOLOGI 3.1. Identifikasi parameter Data-data yang digunakan pada penelitian ini berupa: Model Diameter Panjang (cm) (cm) 12 134 1 12 115 2 12 87 3 12 60 4 10 50 5
aspek rasio (L/D) 11 9.546 7.274 5 5
Parameter lingkungan: b. Suhu fluida = 150 C c. kecepatan arus : 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; 0,48 m/s d. Massa jenis fluida = 1000 kg/m3 e. Reynold number = 1,9 – 7,02 x 104 f. Konstanta pegas = 20 N/m g. Kedalaman arus = 2,83 D 3.2.
Sistem Pemodelan Pembangkit Listrik Energi Vorteks Agar pembangkit listrik energi vorteks dapat bekerja dengan baik, diperlukan sistim penunjang untuk memperoleh hasil yang maksimal. Sistem pendukung tersebut meliputi sistem penegar dan sistem gerakan osilasi dari oscillating part. Sistem penegar merupakan jalur dari lintasan gerakan osilasi dari oscillating part. Sistem penegar ini memegang peranan yang sangat penting, karena berfungsi menjaga gerakan osilasi tetap berada pada jalurnya sekaligus tetap memegang oscillating part. Berikut ini gambaran rencana bentuk dari sistem penegar pembangkit listrik energi vorteks
Gambar 4. Aplikasi Lapangan Tampak Samping dari Sistem Penegar Pembangkit Listrik Energi Vorteks
4. ANALISA HASIL 4.1. Analisa Dimensional Pemodelan Pembangkit Listrik Energi Vorteks 4.1.1. Penentuan Viskositas Kinematik Air Pada Towing Tank Laboratorium Hidrodinamika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, tempat dilaksanakannya penelitian ini, suhu rata-rata pada kolam pengujian berkisar pada 25o C. Oleh karena itu, viskositas kinematik pada kolam tersebut dapat dicari dengan menggunakan pendekatan dari grafik dan tabel berikut ini :
Gambar 5. Grafik Viskositas Kinematik dari Air pada Tekanan Atmosfer (Munson dkk, 2002).
4
Jurnal Tugas Akhir
Jadi, didapatkan viskositas kinematik dari Towing Tank Laboratorium Hidrodinamika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya berada pada angka 9,00 x 10-7. 4.1.2. Penentuan Reynolds Number Menurut Chakrabarti, (2002) Reynolds number sendiri merupakan besaran yang tidak memilki dimensi, besaran tersebut merupakan perbandingan antara inertia force dan viscous force, kemudian untuk nilai inertia force dapat dipecah lagi menurut parameternya yaitu diameter untuk bentuk silinder dan kecepatan partikel .
Gambar 7. Hasil Rekaman Strip Chart untuk model 3 Oscillating Part (L/D : 7,274) pada Kecepatan 0,24 m/s
4 dengan U = kecepatan partikel (m/s) D = diameter struktur (m) v = viskositas kinematis air (m2/s) = 9,00 x 10-7 pada suhu 25o C. Berdasarkan fungsi di atas, maka didapatkan jarak angka Reynolds Number berkisar pada angka 1,95 x 104 – 7,02 x 104. 4.2. Kalibrasi Model Sebelum melakukan pengujian model, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi model. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dengan pasti kesamaan antara respon amplitudo yang dihasilkan pada saat diujikan dengan hasil yang terekam pada strip chart. Hal ini sangat penting untuk dilakukan pada saat akan melakukan percobaan, karena hasil yang terekam pada strip chart tersebut yang akan dijadikan data hasil percobaan ini. Sehingga diperlukan kesesuaian antara hasil yang terekam dengan respon yang dihasilkan oleh oscillating part pada saat dilakukan pengujian. Proses kalibrasi yang telah dilakukan tersebut nantinya akan menjadi patokan untuk mengukur seberapa jauh simpangan amplitudo respon yang terjadi sebenarnya dari hasil strip chart yang terekam.
Gambar 8. Grafik Hasil Pengujian model 3, aspek rasio 7,274 (D/L : 12/87 cm) pada Kecepatan 0,24 m/s Pada Gambar 7, merupakan hasil yang terekam pada strip chart untuk pengujian pada Model 3 dengan kecepatan 0,24 m/s. Berdasarkan Gambar 6, didapatkan hasil dari kalibrasi berupa untuk respon pergerakan oscillating part sejauh 5 cm maka akan terbaca 19 kotak di lembar strip chart. Setelah itu baru dapat ditentukan berapa nilainilai yang terdapat dalam Gambar 7 menurut hasil dari kalibrasi tersebut. Gambar 8 merupakan grafik hasil pengujian dengan kecepatan arus 0,24 m/s setelah ditentukan nilai respon berdasarkan hasil kalibrasi. Dari Gambar 4.15 diatas, diketahui oscillating part mulai bergerak setelah detik pertama. Pengujian dilakukan selama 7 detik, dan didapatkan amplitudo maksimum sebesar 116 mm pada detik ke 6, dan amplitudo minimum sebesar -83,5 mm pada detik ke 4. 4.3. Analisa Hasil Pengujian Model 4.3.1. Analisa Pada Model I Model I menggunakan pipa dengan aspek rasio (L/D) sebesar 11, dengan ukuran pipa diameter 12 cm dan panjang 134 cm. Pada model I ini diujikan pada 5 kecepatan, yakni: 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s.
Gambar 6. Hasil Kalibrasi Yang dipakai Untuk Pengukuran Respon yang Terjadi
5
Jurnal Tugas Akhir
Berdasarkan gambar 10 diatas, dapat dilihat terjadi amplitudo yang berbeda-beda pada setiap kecepatan arus yang telah diujikan di laboratorium. Pada model 2 ini, Arms/D maksimal terjadi ketika model 2 tersebut diujikan pada kecepatan 0,24 m/s dengan nilai Arms/D mencapai 0,45. Berdasarkan grafik ini, dapat diambil kesimpulan pada Model 2 (L/D : 9,546), amplitudo mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kecepatan. Meskipun terjadi kenaikan nilai Arms/D pada kecepatan 0,24 m/s menjadi sebesar 0,45, setelah itu amplitudo mengalami penurunan kembali yakni pada kecepatan 0.32 m/s dimana Arms/D yang terjadi sebesar 0,36. Gambar 9. Grafik Arms/D yang Terjadi pada Model 1 di Setiap Kecepatan Arus Berdasarkan gambar 9 diatas, dapat dilihat terjadi amplitudo yang berbeda-beda pada setiap kecepatan arus yang diujikan di laboratorium. Pada model 1 ini, Arms/D maksimal terjadi ketika model 1 tersebut diujikan pada kecepatan 0,16 m/s dengan nilai Arms/D mencapai 0,81. Berdasarkan grafik ini, dapat diambil kesimpulan pada Model 1 (L/D : 11), amplitudo mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kecepatan. Meskipun terjadi kenaikan nilai Arms/D pada kecepatan 0,32 m/s menjadi 0,41, setelah itu amplitudo mengalami penurunan kembali yakni pada kecepatan 0.48 m/s dimana Arms/D yang terjadi sebesar 0,11.
4.3.3. Analisa Pada Model 3 Model 3 menggunakan pipa dengan aspek rasio (L/D) sebesar 7,274, dengan ukuran pipa diameter 12 cm dan panjang 87 cm. Model 3 ini diujikan pada 5 kecepatan, yakni: 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s dengan rentang kecepatan 0,08 m/s.
4.3.2. Analisa Pada Model 2 Model 2 menggunakan pipa dengan aspek rasio (L/D) sebesar 9,546, dengan ukuran pipa diameter 12 cm dan panjang 115 cm. Pada model 2 ini diujikan pada 5 kecepatan, yakni: 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s dengan rentang kecepatan 0,08 m/s. Gambar 11. Grafik Arms/D yang Terjadi pada Model 3 di Setiap Kecepatan Arus
Gambar 10. Grafik Arms/D yang Terjadi pada Model 2 di Setiap Kecepatan Arus
Berdasarkan Gambar 11 diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa amplitudo respon mengalami penurunan seiring dengan penambahan kecepatan arus. Amplitudo yang terjadi pada kecepatan rendah sangat tinggi nilainya, hal ini dapat dilihat pada nilai Arms/D pada kecepatan 0,16 m/s yang mencapai nilai 0,98. Namun nilai tersebut menurun seiring dengan bertambahnya kecepatan arus, yakni pada kecepatan 0,32 m/s, nilai Arms/D turun hingga 0,681. Penurunan terus terjadi hingga kecepatan 0,48 m/s dengan nilai Arms/D mencapai 0,17.
6
Jurnal Tugas Akhir
4.3.4. Analisa Pada Model 4 Model 4 menggunakan pipa dengan aspek rasio (L/D) sebesar 5, dengan ukuran pipa diameter 12 cm dan panjang 60 cm. Model 4 ini diujikan pada 5 kecepatan, yakni: 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s dengan rentang kecepatan 0,08 m/s.
Gambar 13. Grafik Arms/D yang Terjadi pada Model 5 di Setiap Kecepatan Arus
Gambar 12. Grafik Arms/D yang Terjadi pada Model 4 di Setiap Kecepatan Arus
Pada Gambar 4.19 diatas, terlihat terjadi kenaikan nilai Arms/D sebelum akhirnya nilai Arms/D tersebut turun seiring bertambahnya kecepatan arus. Kenaikan nilai Arms/D terjadi pada kecepatan 0,24 m/s dengan nilai Arms/D mencapai nilai maksimum pada 0,49. Nilai Arms/D kemudian turun seiring pertambahan kecepatan arus hingga mencapai titik minimum pada kecepatan 0,48 m/s dengan nilai Arms/D sebesar 0,18.
4.3.5. Analisa Pada Model 5 Model 5 menggunakan pipa dengan aspek rasio (L/D) sebesar 5, nilai aspek rasio Model 5 ini sama dengan Model 4, namun dengan perbedaan pada diameter dan panjang oscillating part yang dipakai. Model 5 berukuran diameter 10 cm dan panjang 50 cm. Model 5 ini diujikan pada 5 kecepatan, yakni: 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s dengan rentang kecepatan 0,08 m/s.
Respon yang terjadi pada Model 5 berdasarkan Gambar 13 diatas, nilai Arms/D yang didapat cukup kecil, namun terjadi nilai yang fluktuatif pada setiap kecepatan. Hal ini dapat dilihat pada kecepatan 0,24 m/s, nilai Arms/D naik menjadi maksimum hingga 0,1. Setelah itu pada kecepatan 0,32 m/s nilai Arms/D yang terjadi turun hingga minimum sebesar 0,032. Namun terjadi kenaikan kembali pada kecepatan 0,4 m/s dengan nilai Arms/D sebesar 0,05. 4.3.6. Analisa Hasil untuk Semua Model Setelah dilakukan analisis pada semua model, maka nilai amplitudo yang terjadi merupakan aspek penting dalam menentukan perancangan generator, terutama apabila memakai generator linier. Berikut adalah nilai amplitudo tertinggi dan terendah yang terjadi pada tiap-tiap model yang telah diuji di Laboratorium Hidrodinamika Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Tabel 2. Nilai Amplitudo Tertinggi dan Terendah (cm) pada Semua Model untuk Kecepatan 0,16; 0,24; 0,32; 0,40; dan 0,48 m/s.
Agar dapat membandingkan hasil perhitungan tabel 4.2 diatas maka hasil dari perhitungan tersebut disajikan dalam gambar dibawah ini.
7
Jurnal Tugas Akhir
2. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, maka oscillating part Model 3, dengan aspek rasio 7,274 berukuran Diameter 12 cm dan Panjang 87 cm adalah oscillating part yang terbaik dari beberapa model lainnya yang diujikan. Oscillating part Model 3 ini menghasilkan Amplitudo rata-rata per Diameter (Arms) dengan nilai tertinggi yaitu 0,98.
Gambar 14. Grafik Perbandingan Arms/D untuk Semua Model Dari hasil pengujian pada Tabel 4.2, akan didapat besaran amplitudo dengan fungsi waktu. Selanjutnya dapat diketahui amplitudo rata-rata (Arms) yang terjadi di setiap oscillating part. Untuk lebih mudah, selanjutnya harga Arms akan dibagi dengan diameter oscillating part, sehingga didapatkan amplitudo rasio yang merupakan besaran tidak berdimensi. Berdasarkan Gambar 4.21 di atas, terlihat perbedaan respon antara masing-masing model dengan aspek rasio L/D yang berbeda. Namun, dari Gambar 4.21 diatas, dapat disimpulkan bahwa Model 3 dengan aspek rasio 7,274 dan ukuran Diameter : 12 cm serta Panjang 87 cm, memiliki hasil amplitudo yang terbaik dengan nilai Arms/D mencapai 0,98 dibandingkan dengan beberapa model yang sama. Model 3 mencapai hasil amplitudo yang maksimal pada saat diuji dengan kecepatan 0,12 m/s 5. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan respon amplitudo yang dihasilkan oleh masing-masing model dengan aspek rasio yang berbeda. Selain itu trenline amplitudo yang dihasilkan cenderung menurun jika terjadi kenaikan kecepatan arus. Amplitudo yang dihasilkan pada kecepatan yang rendah lebih tinggi dibandingkan amplitudo yang dihasilkan pada kecepatan tinggi. Amplitudo tertinggi dihasilkan oleh Model 3, dengan aspek rasio 7,274 berukuran Diameter 12 cm dan Panjang 87 cm pada saat kecepatan arus 0,16 m/s, yaitu Arms/D senilai 0,98.
5.2. Saran Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya yaitu: 1. Dengan menggunakan konfigurasi yang sama, variasikan dengan menggunakan kecepatan yang lebih rendah. Sehingga didapat parameterparameter yang lebih lengkap untuk dapat mencari konfigurasi mana yang dapat menghasilkan kinerja lebih baik. 2. Penelitian dilanjutkan hingga system power take off. Nantinya akan didapatkan jumlah tenaga listrik yang akan dihasilkan oleh masing-masing silinder 3. Melakukan percobaan fisik dengan model lain yang telah diperbaharui, sehingga nantinya didapatkan hasil yang lebih baik . DAFTAR PUSTAKA Bernitsas, M. M., Ben-Simon, Y., Raghavan, K., and Garcia, E. M. H., (2006a), "The VIVACE Converter: Model Tests at High Damping and Reynolds Number around 105," Proceedings of the International Conference on Offshore Mechanics and Arctic Engineering - OMAE. Bernitsas, M. M., Raghavan, K., Ben-Simon, Y., and Garcia, E. M. H., (2006b), "VIVACE (Vortex Induced Vibrations Aquatic Clean Energy): A New Concept in Generation of Clean and Renewable Energy from Fluid Flow," Proceedings of the International Conference on Offshore Mechanics and Arctic Engineering OMAE. Bernitsas, M. M., and Raghavan, K., (2005), "Fluid Motion Energy Converter," USPTO, 11/272,504.
8
Jurnal Tugas Akhir
Blevins, R. D. (1990). “Flow-Induced Vibration (Second ed.)”. New York: Van Nostrand Reinhold.
Vortex Hydro Energy. http://www.vortexhydroenergy.com/. Accessed th
at August 7 2010.
Bondalapati, J., Crimmins, K., Nguyen, Q., Wolf, K., Zuo, Z., (2008), “Final Report Design of a Power Take Off System for the VIVACE Generator.” Chakrabarti, S.K, (2002), The Theory and Practice of Hydrodynamics and Vibration, Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Chen, C., R.S. Mercier, dan J.P. Pontaza, (2004), CFD Simulation of Riser VIV. Deepwater Riser VIV project Engineeringtoolbox. www.engineeringtoolbox.com/strouhalth
number-d_582.html. Accessed at August 7 2010. Kim, T. J., Bolar, N., Maroulis, D. E. (2007), “Optimal Design of an Ocean Energy VIVACE Converter”, Final Report Draft, The University of Michigan Laksono, B. P. (2010), “Analisis Perubahan Dimensi pada Oscillating Part untuk Pembangkit Listrik Tenaga Vorteks”, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Munson, B., Young, D., dan Okiishi, T., (2002), “Mekanika Fluida Jilid 2”, Penerbit Erlangga, Jakarta Raghavan, K., (2007), “ Energy Extraction from a Steady Flow Using Vortex Induced Vibration,” A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy (Naval Architecture and Marine Engineering) in The University of Michigan. Szepessy, S., and Bearman, P. W., (1992), "Aspect Ratio and End Plate Effects on Vortex Shedding from a Circular Cylinder," Journal of Fluid Mechanics, 234, 191-217 Techet, A.H, 2005, Vortex Induced Vibrations, diakses dari http://www.glassteelandstone.com, pada tanggal 20 Agustus 2010.
9