HALAMAN JUDUL
TUGAS AKHIR – MO.091336
ANALISA PENGARUH BENTUK OSCILLATING PART PADA
KONVERSI
ENERGI
PEMODELAN NUMERIK
YUSTISIA FIRDAUS NRP. 4306 100 034
Dosen Pembimbing Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D Ir. Arief Suroso, M.Sc
JURUSAN TEKNIK KELAUTAN Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
2010
i
VORTEKS
DENGAN
FINAL PROJECT – MO.091336
ANALYSIS
OF
EFFECT
OSCILLATING
PART
TRANSFORMATION IN VORTEX CONVERSION ENERGY USING NUMERICAL MODEL
YUSTISIA FIRDAUS NRP. 4306 100 034
Supervisors Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D Ir. Arief Suroso, M.Sc
DEPARTMENT OF OCEAN ENGINEERING Faculty of Marine Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya
2010
ii
ANALISA PENGARUH BENTUK OSCILLATING PART PADA KONVERSI ENERGI VORTEKS DENGAN PEMODELAN NUMERIK LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik pada Progran Studi S-1 Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh: YUSTISIA FIRDAUS NRP. 4306 100 034
Disetujui oleh pembimbing tugas akhir 1. Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D…………………………….(Pembimbing1)
2. Ir. Arief Suroso, M.Sc..............................................................(Pembimbing II)
SURABAYA, 2 AGUSTUS 2010
iii
ANALISA PENGARUH BENTUK OSCILLATING PART PADA KONVERSI ENERGI VORTEKS DENGAN PEMODELAN NUMERIK Nama Mahasiswa
: Yustisia Firdaus
NRP
: 4306 100 034
Jurusan
: Teknik Kelautan – FTK ITS
Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D. Ir. Arief Suroso, M.Sc. ABSTRAK
ABSTRAK Konversi energi vorteks merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan bisa dimanfaatkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfir. Para ahli berusaha untuk menekan dan mengurangi getaran yang terjadi pada sistem-sistem rekayasa. Tetapi kini sebaliknya, energi yang timbul akibat adanya getaran tersebut justru diambil dan dimanfaatkan untuk diubah menjadi energi listrik. Tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh perubahan bentuk oscillating part pada konversi energi vorteks agar amplitudo VIV (Vortex Induced Vibration) yang dihasilkan bisa maksimum. Selain itu, juga untuk menganalisa perbandingan antara perubahan bentuk oscillating part dengan VIVACE (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energy) (Bernitsas dkk, 2004). Dimensi silinder yang dianalisa, berukuran panjang 914.4 mm, dan diameter 127 mm. Kecepatan arus yang digunakan pada tiap model adalah 0.4; 0.5; dan 0.7 m/s. Nilai amplitudo yang dihasilkan pada peneltian ini sebesar 17350 mm pada kecepatan aliran 0,4-0,7 m/s. Nilai amplitudo yang paling besar dihasilkan adalah pada model VIII dengan ratio d1/d2 = 1,25 panjang 914 mm. Tetapi nilai amplitudo yang dihasilkan oleh pemodelan elips adalah lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang dihasilkan oleh silinder sebesar 32-375 mm pada kecapatan aliran 0,4-0,7 m/s. Kata kunci : konversi energi vorteks, oscillating part, pemodelan numerik.
iv
ANALYSIS OF EFFECT OSCILLATING PART TRANSFORMATION IN VORTEX CONVERSION ENERGY USING NUMERICAL MODEL Name of Student
: Yustisia Firdaus
REG
: 4306 100 034
Department
: Teknik Kelautan – FTK ITS
Supervisors
: Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D. Ir. Arief Suroso, M.Sc. ABSTRAK
ABSTRACT Vortex energy conversion represents one the new environmental friendly power source that can be exploited as an effort to lessen glasshouse gas emission from the atmosphere. Nowadays, expertise and scientist tries to produce more vibration, so that the effect of existence of the vibration can exactly be taken, exploited and altered into an electric power. This final project purpose is to knowing the transformation effect of Oscillating Part in order to maximizing the VIV’s (Vortex Induced Vibration) amplitude in vortex conversion energy. Furthermore, this final project also analyzing the comparison among the transformation of oscillating part with VIVACE (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energy) (Bernitsas et all, 2004). The dimension of Cylinder that was analyzed in this project has length 914.4 mm, and diameter 127 mm. The current speed that was used in every model was 0.4; 0.5; and 0.7 m/s. The amplitude value in this project was equal to 17-350 mm at speed of stream 0,4 - 0,7 m/s. The biggest amplitude value which was produced by “VIII” model with d1/d2 ratio = 1,25 and length 914 mm. In the other hand amplitude value that produced by ellipse model was smaller comparing with the amplitude that was produced by cylinder model which is equal to 32-375 mm at speed of stream 0,4 - 0,7 m/s. Key word : vortex conversion energy, oscillating part, numerical model.
v
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat hidayah dan karunia-Nya. Sholawat serta salam kepada junjungan umat manusia Rasulullah Muhammad SAW, serta ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan segenap kemampuan yang penulis miliki. Tugas Akhir ini berjudul “Analisa Pengaruh Bentuk Oscillating Part Pada Konversi Energi Vorteks Dengan Pemodelan Numerik” disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi kesarjanaan (S1) di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Penulis sangat mengharapkan agar karya tulis ini dapat memberikan ilmu pengetahuan dalam lingkup rekayasa kelautan serta dapat dikembangkan kedalam penelitian yang lebih intensif dan ekstensif. Penulis menyadari bahwa dalam pengerjaan dan penulisan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pihak lain untuk perbaikan dalam pengembangan karya tulis ini dimasa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb . Surabaya, 2 Agustus 2010
Yustisia Firdaus
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam pengerjaan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari bantuan serta dorongan moral maupun material yang diberikan dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan hidup yang begitu berarti dengan segala kesempatan dan petunjuk yang terus menerus. Tidak lupa, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada ayah, ibu, adik-adik penulis atas semua doa, kasih sayang, perhatian, dukungan moril dan materiil, kepercayaan, kesabaran, dan cinta yang telah diberikan selama ini. Semoga hasil ini tidak mengecewakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D. dan Bapak Ir. Arief Suroso, M.Sc. atas bimbingan dan penularan ilmu-ilmunya, dan kesabaran dalam pengerjaan tugas akhir ini. Kepada Bapak Dr. Suntoyo, S.T, M.Sc. selaku dosen wali penulis, terima kasih atas segala arahan dan bimbingannya selama kuliah. Kepada Bapak-Bapak dosen Jurusan Teknik Kelautan, terima kasih atas semua bimbingan dan ilmu yang diberikan. Kepada seluruh staf tata usaha Jurusan Teknik Kelautan, semoga bimbingan dan arahan yang Bapak Ibu berikan dicatat sebagai amal ibadah oleh Allah SWT. Tugas akhir ini juga tidak akan selesai tanpa dukungan dari sahabat dan teman-teman penulis. Terima kasih d’admiral, sisterhood, power rangers yang telah menjadi keluarga dan sahabat selama berjuang di Kampus Kelautan. Keluarga lab. Flumetank, lab. Hidrodinamika, lab. Dinstruk, lab. Opres, d’Yato Hum’s, d’admiral’s scuba diver crew yang selalu setia menemani dan menghibur kala kejenuhan datang. Kakak senior 2005-tak terhingga, adik-adik 2007-2009 Teknik Kelautan. Dan teman-teman penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Surabaya, 2 Agustus 2010 Yustisia Firdaus vii
DAFTAR ISI
Hal Lembar Pengesahan ......................................................................................... i Abstrak ............................................................................................................ ii Abstrack .......................................................................................................... iii Kata Pengantar................................................................................................. iv Ucapan Terima Kasih ...................................................................................... v Daftar Isi.......................................................................................................... vi Dafar Gambar .................................................................................................. ix Daftar Grafik ................................................................................................... x Daftar Tabel ..................................................................................................... xiii Bab 1 Pendahuluan .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 3 1.3 Tujuan ............................................................................................. 3 1.4 Manfaat ........................................................................................... 3 1.5 Batasan Masalah .............................................................................. 4 1.6 Sistematika Penulisan ...................................................................... 5 Bab 2 Tinjauan Pustaka dan Dasar Teori .......................................................... 7 2.1 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 7 2.1.1 Konversi Energi Laut .............................................................. 7 2.1.2 VIVACE (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energy) ... 8 2.2 Dasar Teori ...................................................................................... 10 2.2.1 Pemodelan............................................................................... 10 2.2.2 VIV (Vortex Induced Vibration) .............................................. 15 2.2.3 Respon Dinamis ...................................................................... 21 2.2.4 Kinerja Konversi Energi Vorteks............................................. 26 Bab 3 Metodologi Penelitian ............................................................................ 29 3.1 Diagram Alir Penelitian ................................................................... 29
viii
3.2 Pemodelan Oscillating Part Bentuk Silinder dan Elips Menggunakan Software ANSYS CFD 11.0 ............................................................. 32 Bab 4 Analisa Data dan Pembahasan ............................................................... 35 4.1 Ruang Lingkup ................................................................................ 35 4.2 Validasi Pengujian Laboratorium dengan Pemodelan Ulang............. 36 4.3 Analisa Model I (d1/d2: 1,5; p: 950 mm) ........................................... 42 4.4 Analisa Model II (d1/d2: 0,67; p: 950 mm)........................................ 45 4.5 Analisa Model III (d1/d2: 1,25; p: 950 mm) ...................................... 49 4.6 Analisa Model IV (d1/d2: 1,25; p: 900 mm) ...................................... 53 4.7 Analisa Model V (d1/d2: 1,5; p: 900 mm) ......................................... 56 4.8 Analisa Model VI (d1/d2: 0,67; p: 900 mm) ...................................... 60 4.9 Analisa Model VII (d1/d2: 2,67; p: 950 mm) ..................................... 64 4.10 Analisa Model VIII (d1/d2: 1,25; p: 914 mm).................................. 66 4.11 Analisa Model IX (d1/d2: 2,67; p: 900 mm) .................................... 67 4.12 Analisa Model X (d1/d2: 0,38; p: 950 mm) ..................................... 68 4.13 Analisa Model XI (d1/d2: 1,25; p: 935 mm) .................................... 70 4.14 Analisa Model XII (d1/d2: 0,38; p: 900 mm) ................................... 71 4.15 Analisa Model XIII (d1/d2: 1; p: 950 mm) ...................................... 72 4.16 Analisa Model XIV (d1/d2: 1,25; p: 925 mm) ................................. 74 4.17 Analisa Model XV (d1/d2: 1; p: 900 mm) ....................................... 75 4.18 Analisa Hasil Untuk Semua Model................................................. 76 4.19 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Ratio (d1/d2) dan Panjang 950 mm ...................................................................... 78 4.20 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Panjang dan Ratio (d1/d2): 1,25 ........................................................................... 80 4.21 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Ratio (d1/d2) dan Panjang 900 mm ...................................................................... 82 4.22 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Ratio (d1/d2) dengan Panjang 950 mm dan 900 mm............................................. 84 Bab 5 Kesimpulan dan Saran ........................................................................... 87 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 87
ix
5.2 Saran................................................................................................ 87 Daftar Pustaka ................................................................................................. 89
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema sederhana dari VIVACE dengan sistem koordinat ............. 9 Gambar 2.2 Bentuk vorteks yang terjadi pada aliran air dengan Re yang berbeda ..................................................................................................... 16 Gambar 2.3 Hubungan antara Strouhal Number dengan Reynold Number pada silinder bulat ................................................................................. 19 Gambar 2.4 Daerah aliran ................................................................................ 20 Gambar 2.5 Gaya lift dan drag pada silinder .................................................... 21 Gambar 2.6 Rangka model dengan metode massa terpusat (lump parameter method) ......................................................................................... 22 Gambar 2.7 Model acuan free body diagram .................................................... 22 Gambar 2.8 Sistem generator rotasi.................................................................. 28 Gambar 3.1 Diagram alir pengerjaan tugas akhir .............................................. 30 Gambar 3.2 Diagram alir pemodelan oscillating part bentuk silinder dan elips menggunakan ANSYS CFD 11.0 .................................................. 32 Gambar 3.3a Pemodelan geometri elips posisi horisontal ................................. 33 Gambar 3.3b Pemodelan geometri elips posisi vertikal..................................... 34
xi
DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Amplitudo yang dihasilkan pada model silinder dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s .................................................................................. 39 Grafik 4.2 Amplitudo yang dihasilkan pada model silinder dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s .................................................................................. 39 Grafik 4.3 Amplitudo yang dihasilkan pada model silinder dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s .................................................................................. 40 Grafik 4.4 Perbandingan nilai amplitudo yang dihasilkan dari pemodelan dengan uji laboratorium yang dilakukan oleh Bernitsas pada model silinder ....................................................................................................... 41 Grafik 4.5 Amplitudo yang dihasilkan pada model I dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s............................................................................................ 44 Grafik 4.6 Amplitudo yang dihasilkan pada model I dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s............................................................................................ 44 Grafik 4.7 Amplitudo yang dihasilkan pada model I dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s............................................................................................ 45 Grafik 4.8 Amplitudo yang dihasilkan pada model II dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s .................................................................................. 47 Grafik 4.9 Amplitudo yang dihasilkan pada model II dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s .................................................................................. 48 Grafik 4.10 Amplitudo yang dihasilkan pada model II dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s .................................................................................. 49 Grafik 4.11 Amplitudo yang dihasilkan pada model III dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s .................................................................................. 51 Grafik 4.12 Amplitudo yang dihasilkan pada model III dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s .................................................................................. 52 Grafik 4.13 Amplitudo yang dihasilkan pada model III dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s .................................................................................. 52 Grafik 4.14 Amplitudo yang dihasilkan pada model IV dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s .................................................................................. 54 xii
Grafik 4.15 Amplitudo yang dihasilkan pada model IV dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s .................................................................................. 55 Grafik 4.16 Amplitudo yang dihasilkan pada model IV dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s .................................................................................. 56 Grafik 4.17 Amplitudo yang dihasilkan pada model V dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. ................................................................................. 58 Grafik 4.18 Amplitudo yang dihasilkan pada model V dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. ................................................................................. 59 Grafik 4.19 Amplitudo yang dihasilkan pada model V dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s. ................................................................................. 60 Grafik 4.20 Amplitudo yang dihasilkan pada model VI dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s .................................................................................. 62 Grafik 4.21 Amplitudo yang dihasilkan pada model VI dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s .................................................................................. 63 Grafik 4.22 Amplitudo yang dihasilkan pada model VI dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s .................................................................................. 64 Grafik 4.23 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 mm ....... 79 Grafik 4.24 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 mm ........................ 80 Grafik 4.25 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan panjang oscillating part dengan ratio d1/d2: 1,25 ............ 81 Grafik 4.26 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan panjang oscillating part dengan ratio d1/d2: 1,25 ............................. 81 Grafik 4.27 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 900 mm ....... 82 Grafik 4.28 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 900 mm ........................ 83 Grafik 4.29 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 dan 900 mm ....................................................................................................... 84
xiii
Grafik 4.30 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 dan 900 mm ........... 85
xiv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Spesifikasi Model VIVACE ............................................................. 10 Tabel 4.1 Spesifikasi Sistem dan Fluida Untuk Analisa .................................... 35 Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model Silinder .......... 38 Tabel 4.3 Perbandingan Nilai Amplitudo Yang Dihasilkan Dari Pemodelan Dengan Uji Laboratorium Yang Dilakukan Oleh Bernitsas Pada Model Silinder ........................................................................................... 41 Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model I ..................... 43 Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model II .................... 46 Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model III................... 50 Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model IV .................. 53 Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model V.................... 57 Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model VI .................. 61 Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model VII ............... 65 Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model VIII .............. 66 Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model IX ................ 67 Tabel 4.13 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model X .................. 69 Tabel 4.14 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XI ................ 70 Tabel 4.15 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XII ............... 71 Tabel 4.16 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XIII .............. 73 Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XIV .............. 74 Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XV ............... 75 Tabel 4.19 Nilai Amplitudo Tertinggi dan Terendah pada Semua Model untuk Kecepatan 0,4; 0,5 dan 0,7 m/s
77
xv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi belakangan ini semakin bertambah. Di Indonesia, menurut data dari Departemen ESDM, kebutuhan total energi untuk masyarakat dari energi listrik sebesar 10% dan yg terbesar adalah kebutuhan energi BBM sebesar 60%. Terlihat bahwa kebutuhan energi listrik hanya 1/6 dari kebutuhan energi BBM, tetapi pada kenyataannya, sesuai dengan data dari PLN (untuk Jawa dan Bali) pembangkit listrik yang menggunakan BBM (diesel) adalalah 25%. Padahal, untuk saat ini ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni: (i) menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui
(bila
tanpa
temuan
sumur
minyak
yang
baru),
(ii)
kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, (iii) polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat bahan bakar fosil (Rijalullah, 2009). Oleh karena itu, perlu diberikan solusi yang lebih baik dan kongkrit untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca ke atmosfir. Salah satunya adalah mulai beralih pada sumber energi lain yang ramah lingkungan. Pada saat ini banyak sekali energi terbarukan yg mulai diterapkan di lingkungan masyarakat. Terutama energi terbarukan yang dapat diperbaharui seperti angin, geothermal, matahari dan lautan yang diterapkan menjadi energi listrik. Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan dengan sebagian alamnya berupa lautan, banyak sekali sumber energi yang dapat diperbaharui. Energi dari lautan tersedia dalam bentuk energi thermal (panas), energi kinetik (gelombang dan arus), dan sebagian berupa energi kimiawi dan biologi laut. Pemanfaatan energi arus ini bukan hal yang baru lagi, karena alat konversi energi arus sudah dikembangkan di Amerika dan Kanada sejak tahun 1930-an (Bernitsas and Raghavan, 2006) dan setelah itu banyak diaplikasikan di Eropa. Arus laut dan sungai yang mempunyai kecepatan rendah sangat banyak terdapat di berbagai belahan dunia. Meski hanya mempunyai kecepatan di bawah 6 km/jam 1
atau sekitar 2 m/detik, energi yang tersimpan di dalamnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif. Sementara itu, turbin konvensional yang ada saat ini membutuhkan rata-rata 3-4 m/detik. Pada setiap obyek yang berada pada arus fluida, akan timbul pusaran/turbulensi yang berada pada obyek tersebut, missal riser, pipeline. Getaran-getaran yang terjadi pada pusaran arus tersebut seringkali menyebabkan kerusakan pada anjungan minyak, dermaga dan bangunan-bangunan pantai lainnya. Selama lebih dari 25 tahun, para ahli berusaha untuk menekan dan mengurangi getaran yang terjadi, tetapi kini sebaliknya. Energi yang timbul akibat adanya getaran tersebut justru diambil dan dimanfaatkan (Bernitsas and Raghavan, 2006). Michael Bernitsas, Raghavan, Ben-Simon, dan Garcia dari Dept. of Naval Architecture and Marine Engineering, University of Michigan pada tahun 2004 telah membuat alat konversi energi yang memanfaatkan energi arus dengan mengubah getaran (vibration) yang ada dalam aliran menjadi energi listrik. Alat tersebut diberi nama VIVACE (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energy) menerapkan prinsip hidrokinetik yang ada pada VIV (Vortex Induced Vibration) yaitu suatu getaran akibat adanya pusaran dalam suatu fluida, seperti air atau udara. Bentuk VIVACE diinspirasi dari bentuk ikan. Karena ikan mempunyai teknologi untuk memanfaatkan pusaran menjadi energi tambahan untuk berenang dengan cepat. Bentuk tubuhnya yang streamline, didesain khusus untuk mengatasi masalah pusaran air yang terjadi. Prototype yang dimiliki University of Michigan memang tidak menyerupai bentuk ikan. Alat tersebut memiliki komponen utama berupa silinder yang bergerak karena vibrasi/getaran/pusaran dan perbedaan energi kinetik pada arus laut yang kemudian dihubungkan pada pegas (spring) dan dihubungkan pada generator. Seiring dengan kemajuan teknologi, bentuk alat konversi energi akibat vorteks akan terus berkembang, dan akan mengadopsi semua teknologi yang dimiliki oleh ikan. Dengan demikian, konverter dari berbagai ukuran dapat dikembangkan dengan mengumpulkan modulus dari berbagai ukuran dan properti dalam berbagai konfigurasi. 2
Belum pernah ditemui pada penelitian-penelitian sebelumnya mengenai analisa perubahan bentuk oscillating part selain silinder. Karena bentuk silinder dinilai paling efektif untuk menghasilkan vortex shedding (pelepasan vorteks). Hal itu dibuktikan dengan banyaknya studi yang membahas keterkaitan antara silinder dengan vorteks, dan masih sedikit studi yang membahas keterkaitan antara bentuk selain silinder dengan vorteks. Penelitian ini berupa pemodelan modifikasi bentuk oscillating part pada alat konversi energi vorteks dengan menggunakan CFD (Computation Fluid Dynamics) yaitu ANSYS 11.0 untuk mendapatkan dimensi dari bentuk oscillating part yang nantinya akan dibandingkan dengan model yang sudah ada sebelumnya.
1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang dibahas dalam tugas akhir ini adalah: 1. Bagaimanakah pembuatan model simulasi oscillating part bentuk silinder yang digunakan untuk validasi pemodelan? 2. Bagaimanakah pengaruh bentuk oscillating part pada nilai amplitudo yang dihasilkan?
1.3 Tujuan Adapun tujuan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Membuat model simulasi oscillating part bentuk silinder yang digunakan untuk validasi pemodelan. 2. Untuk mengetahui pengaruh bentuk oscillating part pada nilai amplitudo yang dihasilkan .
1.4 Manfaat Dari hasil analisa peneltian ini, diharapkan dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam perencanaan dan desain (Planning and Designing) alat konversi energi vorteks sehingga dapat diaplikasikan secara efisien dan maksimal.
3
1.5 Batasan Masalah 1. Kecepatan arus yang digunakan pada tiap model adalah 0,4; 0,5; 0,7 m/s 2. Dimensi awal silinder yang digunakan: a. Panjang: 914,4 mm b. Diameter: 127 mm 3. Variasi dimensi elips yang digunakan adalah: a. Dimensi elips dengan perbedaan ratio (d1/d2); panjang 950 mm: i) Model I = d1: 120 mm, d2: 80 mm, d1/d2: 1,5. ii) Model II = d1: 80 mm, d2: 120 mm, d1/d2: 0,67. iii) Model VII = d1: 160 mm, d2: 60 mm, d1/d2: 2,67. iv) Model X = d1: 60 mm, d2: 160 mm, d1/d2: 0,38. v) Model XIII = d1: 100 mm, d2: 100 mm, d1/d2: 1. b. Dimensi elips dengan perbedaan panjang; d1: 100 mm; d2: 80 mm; ratio (d1/d2): 1,25. i) Model III = panjang 950 mm. ii) Model IV = panjang 900 mm. iii) Model VIII = panjang 914 mm. iv) Model XI = panjang 935 mm. v) Model XIV = panjang 925 mm. c. Dimensi elips dengan perbedaan ratio (d1/d2); panjang 900 mm: i) Model V = d1/d2: 1,5. ii) Model VI = d1/d2: 0,67. iii) Model IX = d1/d2: 2,67. iv) Model XII = d1/d2: 0,38. v) Model XV = d1/d2: 1. 4. Kedalaman perairan konstan. 5. Sudut datang arus tegak lurus model. 6. Tidak memperhatikan stabilitas bangunan. 7. Tidak membuat simulator benda kerja. 8. Dasar perairan rata dan kedap.
4
9. Tidak membahas permesinan bantu yang digunakan untuk menyalurkan energi listrik. 10. Pemodelan dilakukan hanya pada bagian oscillating part. 11. Fluida bergerak, sedangkan benda diam pada pemodelan.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian yang akan dilakukan, perumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tugas akhir ini, manfaat yang diperoleh, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan laporan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI Penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pemanfaatan energi vorteks, dibahas pada bab ini dengan sub bab tinjauan pustaka. Sedangkan teori-teori, rumus-rumus dan kode-kode yang berkaitan dan mendukung penelitian ini, dibahas dalam sub bab dasar teori. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menerangkan tentang metodologi penelitian yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir ini. Penjelasan mengenai langkah-langkah pengerjaan penelitian, dan dicantumkan juga diagram alir pengerjaan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Seluruh hasil analisa penelitian hasil dari pemodelan, akan dibahas pada bab ini. Pengolahan data hasil output dari pemodelan dan nilai amplitudo yang dihasilkan tiap model akan dibahas juga, sehingga menghasilkan kesimpulan yang menjadi tujuan dari penelitian ini. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menerangkan tentang kesimpulan dari hasil analisa penelitian, serta berisi saran yang diperlukan untuk penelitian lebih lanjut.
5
Halaman ini sengaja dikosongkan
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konversi Energi Laut California Energy Commission/CEC dan Departemen Energi Amerika Serikat/DOE (2000) telah menetapkan persyaratan umum untuk peralatan konversi energi laut harus memenuhi pertimbangan yang sesuai dengan lisensi untuk bisa beroperasi di USA. Persyaratan tersebut meliputi, antara lain: memiliki densitas energi tinggi, tidak menggangu sistem pelayaran, tidak menggangu bangunan laut/pantai lainnya, tidak menggangu kehidupan laut dan ramah lingkungan, pemeliharaan mudah, kekuatan, biaya selama operasi, memiliki minimum umur bangunan antara 10-20 tahun. Tantangan untuk pemenuhan seluruh persyaratan tersebut telah menjadi fokus lebih dari 40 tahun di seluruh dunia usaha, khususnya di Eropa, Jepang, dan Amerika (Pontes and Falcao, 2001). Terdapat lima sumber energi laut yang dapat dimanfaatkan, yaitu gelombang, arus, pasang surut, thermal, dan salinitas. Berikut ini adalah contoh konversi energi laut yang tidak memenuhi sebagian kriteria dari CEC/DOE: 1. Konversi berdasarkan osilasi permukaan, seperti water column, buoy, atau flap (Sarpkaya, T., 2004), memiliki output energi hanya dalam waktu yang sangat singkat dari gelombang frekuensi resonansi dekat. Pada lokasi tertentu, kemungkinan kecil adanya gelombang acak mempengaruhi terjadinya kinerja yang optimal. Selain itu, terkadang gelombang ekstrim juga menjadi beban pada struktur. 2. Konversi angin atau energi pasang surut (turbin, kincir) hanya dapat mengubah energi secara proporsional pada efisiensi 15-30% (2004) dan hanya berlaku untuk arus lebih dari 2 m/s (~ 4 knot), jika kurang dari 2 m/s, tidak berfungsi efisien (Commissions of the European Conference., 1996 dalam Bernitsas and Raghavan, 2006). 7
3. Konversi energi pasang surut, memerlukan daerah yang luas seperti bendungan air.
Instalasinya memerlukan waktu antara 5-7 tahun dan
memerlukan biaya awal yang tidak murah. (Commissions of the European Conference, 1996 dalam Bernitsas and Raghavan, 2006). 4. Sebagian besar alat konversi beroperasi di daerah dekat pantai, sehingga mengganggu aktifitas yang ada dipantai tersebut. 5. Kincir, turbin, atau bendungan pasang surut terkadang mengganggu kehidupan biota laut.
2.1.2 VIVACE (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energy) VIVACE Konverter yang dipatenkan adalah terdiri dari sebuah benda bergerak, yang kaku dan elastik atau fleksibel, yang ditempatkan pada aliran fluida. Benda tersebut mengalami VIV (Vortex Induced Vibration) dan melalui system transmisi, akan menyalurkan energi mekanik menuju generator untuk selanjutnya dikonversi menjadi listrik atau langsung menuju alat mekanik atau hidraulik yang digunakan dalam bentuk energi. Prinsip-prinsip yang mendasari VIVACE adalah Vortex Induced Vibration (VIV) yang berasal dari silinder kaku yang dipasang pada pegas linier, resonansi nonlinier, korelasi panjang, dan generator elektrik. VIVACE merupakan salah satu alat konversi energi laut yang memenuhi kriteria dari CEC/DOE, yaitu memiliki densitas energi yang tinggi; tidak menggangu sistem pelayaran, karena pada VIVACE energi kinetik yang berasal dari arus tersebut menjalar ke seluruh benda, tidak hanya pada permukaan air saja. Oleh karena itu, VIVACE terendam dalam air laut sepanjang waktu, kecuali untuk pemeliharaan, sehingga memenuhi persyaratan tersebut; tidak mengganggu bangunan laut/pantai lainnya. VIVACE tenggelam dibawah permukaan laut dan pada kedalaman yang tepat, sehingga tidak mengganggu pada permukaan. Selain itu, VIVACE hanya memanfaatkan arus laut secara murni dan bebas polusi; tidak menggangu kehidupan laut; pemeliharaan yang mudah. Karena operasi bangunan lepas pantai adalah mahal, maka biaya pemeliharaan rendah adalah wajib. VIVACE hanya memiliki silinder polos yang diletakkan pada lingkungan laut. 8
Semua komponen dari Power Take-Off hidrolika seperti system transmisi dan elektronik,
akan
pemeliharaan
disimpan
rendah,
pada
minimal
struts terhadap
dukungan; kerusakan,
kekuatan
mencakup
kemampuan
untuk
menghadapi beban lingkungan yang ekstrim, kemampuan untuk merubah energi dengan efisiensi tinggi. Arus stabil dan dapat diprediksi; Biaya selama instalasi 100 MW relatif tinggi, tetapi perkiraan biaya listrik kompetitif karena konsistensi ketersediaan sumber energy, dan perawatan yang minimum; umur desain untuk VIVACE adalah minimal 20 tahun. Gambar 2.1 adalah merupakan skema sederhana dari VIVACE yang terdiri dari komponen-komponen seperti: silinder kaku dengan diameter D dan panjang L, 2 pegas linier sebagai pendukung dengan kekakuan K, system redaman csystem, satu atau lebih generator, generator redaman cgen, transmisi redaman ctra dan energy redaman charn. Silinder terletak pada sumbu Z dan tegak lurus terhadap kecepatan aliran (U), yang terletak pada arah X. Silinder berosilasi pada arah Y, yang tegak lurus terhadap sumbu Z dan kecepatan aliran pada arah X.
x
Gambar 2.1 Skema sederhana dari VIVACE dengan sistem koordinat. (Bernitsas and Raghavan, 2006) 9
Tabel 2.1 Spesifikasi Model VIVACE VIVACE Model Particulars Diameter (mm)
127
Length (mm)
914,4
K of each spring (N/m)
518
Mass of the system (kg)
16,8
Mass ratio (m*)
1,45
Fn.water (Hz)
0,96
Velocity of current (m/s)
0,4-1,0 0,44-1,34 × 105
Reynolds number Generator resistance (Ohm)
7
Sumber : Bernitsas and Raghavan, 2006
2.2 DASAR TEORI 2.2.1 Pemodelan Dalam pengerjaan pemodelan pada tugas akhir ini, software yang digunakan antara lain adalah: 1. Drawing Software Pada Drawing Software ini menggunakan AutoCad 2009 untuk menggambar model dari objek yg akan dianalisa. Model yg dibuat berupa gambar 3 dimensi dengan menggunakan koordinat bidang X, Y, dan Z yg memiliki surface, dan bentuk filenya harus disesuaikan, sehingga dapat dieksport pada CFD ANSYS 11.0 untuk selanjutnya dianalisa. 2. CFD Software ANSYS 11.0 CFD Software digunakan sebagai alat bantu simulasi dari konfigurasi bentuk oscillating part yang akan dianalisa. Selanjutnya dilakukan modifikasi bentuk, dimensi dan konfigurasi model. Dari simulasi ini, diperoleh data yang kemudian dianalisa lebih lanjut sehingga hasil akhirnya dapat diperoleh 10
konfigurasi bentuk aliran yang mengenai oscillating part dan pola pressure yang terjadi. Data yang dihasilkan tersebut berupa nilai Re, kecepatan aliran, tekanan dan gaya yang mengenai oscillating part. Hasil dari program CFD ini digunakan untuk input pada analisa perhitungan respon total dan amplitudo selanjutnya. Pada dasarnya semua jenis CFD menggunakan persamaan dasar (governing equation) dinamika fluida yaitu persamaan kontinuitas, momentum dan energi. Persamaan ini merupakan pernyataan matematis untuk tiga prinsip dasar fisika: a) Hukum Kekekalan Massa (The Conservation of Mass) b) Hukum Kedua Newton (Newton’s Second Law of Motion) c) Hukum kekekalan Energi Untuk mendapatkan persamaan dasar gerak fluida, filosofi berikut selalu diikuti: a) Memilih prinsip fisika dasar dari hukum–hukum fisika (Hukum Kekekalan Massa, Hukum Kedua Newton, Hukum Kekekalan Energi). b) Menerapkan prinsip-prinsip fisika di dalam model aliran. Dari penerapan, diuraikan persamaan matematis yang meliputi prinsip-prinsip fisika dasar. Computational Fluid Dynamics merupakan ilmu sains dalam penentuan penyelesaian numerik dinamika fluida. Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah pendekatan ketiga dalam studi dan pengembangan bidang dinamika fluida selain pendekatan teori dan eksperimen murni. Adapun beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan CFD antara lain: a) Meminimumkan waktu dan biaya dalam mendesain suatu produk, bila proses desain tersebut dilakukan dengan uji eksperimen dengan akurasi tinggi. b) Memiliki kemampuan sistem studi yang dapat mengendalikan percobaan yang sulit atau tidak mungkin dilakukan melalui eksperimen.
11
c) Memiliki kemampuan untuk studi dibawah kondisi berbahaya pada saat atau sesudah melewati titik kritis (termasuk studi keselamatan dan skenario kecelakaan). d) Keakuratannya akan selalu dikontrol dalam proses desain. Aplikasi dari CFD untuk penyelesaian masalah aliran pada struktur telah mengalami kemajuan cukup pesat pada akhir-akhir ini. Bahkan pada saat ini teknik CFD merupakan bagian dari proses desain dalam diagram spiral perancangan. Dengan CFD memungkinkan untuk memprediksi fenomena aliran fluida yang jauh lebih kompleks dengan berbagai tingkat akurasi. Dalam desain kerjanya, problem yang ada perlu dideskripsikan kedalam software CFD dengan menggambarkan model yang akan dianalisa, sifat-sifat fluida yang ada disekitar model dan juga penentuan kondisi batasnya. Selanjutnya dalam solver, problem yang ada akan dihitung dengan pendekatan persamaan Navier Strokes. Dari hasil perhitungan kemudian didapatkan hasil output dari running program CFD. Computational Fluid Dynamics (CFD) merupakan analisa sistem yang mencakup aliran fluida, perpindahan panas, dan fenomena yang terkait, seperti reaksi kimia dengan menggunakan simulasi berbasis komputer (numeric). Teknik ini sangat berguna dan dapat diaplikasikan pada bidang industri dan non-industri. Code CFD terstruktur atas logaritma numerik, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan problem pada suatu aliran fluida. Code Computational Fluid Dynamics disini terdiri atas tiga element utama yakni : a) Pre Processor (CFX Pre) Pada tahap awal pemrograman ini terdiri dari input masalah aliran untuk CFD melalui interface, kemudian mengubahnya menjadi bentuk yang sesuai dengan format yang dikehendaki oleh bagian solver. Pada tahap ini perlu dilakukan input permasalahan sesuai dengan aturan pada software, meliputi: i. Membentuk geometri benda dan daerah sekeliling benda sebagai domain komputasi. ii. Membentuk Grid Generation atau membagi domain yang telah ditentukan menjadi bagian yang lebih kecil (sub-domain). 12
iii. Penentuan fenomena fisika dan kimia dari model. iv. Penentuan sifat-sifat fluida, seperti pendefinisian harga densitas, viskositas, temperatur fluida dan lain-lain. v. Penentuan kondisi batas model geometri, lokasi pembuatan kondisi batas harus ditentukan baik pada daerah disekeliling benda maupun pada aliran yang diperhitungkan. vi. Penentuan besar kecilnya atau kekasaran grid (mesh). Analisa masalah aliran yang berupa kecepatan, tekanan atau temperatur didefinisikan sebagai suatu daerah yang berupa simpul-simpul tiap cell. Jumlah cell dalam grid (mesh) menentukan akurasi penyelesaian CFD. Pada umumnya semakin banyak cell semakin akurat penyelesaianya. Daerah yang memiliki perubahan bentuk yang sangat tajam, biasanya proses meshing dilakukan dengan sangat halus, sedang untuk daerah yang lain dilakukan agak kasar. b) Solver Manager (CFX Solver) Solver dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu finite difference, finite element dan finite volume. Secara umum metode numerik solver tersebut terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut : i. Perkiraan variabel yang tidak diketahui dengan menggunakan fungsi sederhana. ii. Diskretisasi dengan substitusi perkiraan-perkiraan tersebut dengan persamaan-persamaan aliran yang berlaku dan berbagai manipulasi matematik. iii. Penyelesaian dari persamaan aljabar. Boundary Condition Inlet adalah input aliran fluida pada kondisi normal tanpa adanya fenomena yang terjadi. Massa dan Momentum Momentum yang terjadi pada aliran fluida yang dipengaruhi oleh massa dan kecepaan dengan vector kecepatan U, V, dan W atau searah dengan sumbu x, y, dan z. Arah yang diambil dalam perlakuan terhadap boundary adalah
13
arah normal terhadap domain. Komponen kecepatan aliran (Cartisien Velocity Vector) adalah dengan resultan. Tekanan Total Tekanan total, Ptot, untuk fluida didefinisikan sebagai: Ptot
= P stat
(2.1)
Tetapi untuk input saat pre processor, nilai tekanan yang dimasukkan untuk inlet adalah 0, dikarenakan aliran fluida yang terjadi diasumsikan dianggap tidak memiliki debit. Kecepatan Laju Aliran Massa Batas laju aliran massa, ditentukan sepanjang arah komponen, dimana influx massa dihitung menggunakan rumus: ρU
= m/∫ dA
(2.2)
s
Boundary Condition Outlet, pada bagian outlet ini beberapa parameter yang digunakan mengacu pada beberapa hal berikut ini, untuk memudahkan analisa. Kecepatan Outlet Pada kecepatan outlet yang terjadi, mengacu pada tiga sumbu seperti pada kecepatan inlet, namun pada kondisi outlet terdapat kondisi tambahan pada aliran dari inlet yang mengalami perubahan terhadap ketiga sumbu tadi setelah mengenai benda. Tekanan Outlet Fluida Tekanan outlet fluida yang terjadi, tentunya mengalami perubahan jika dibandingkan dengan tekanan inlet fluida. P
tot
= P stat + 1/2 ρU2
(2.3)
c) Post Processor (CFX Post) Pada step ini akan ditampilkan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada tahap sebelumya. Hasil perhitungan dapat dilihat berupa data numerik dan data visualisasi aliran fluida pada model. Data numerik yang diambil adalah data nilai variabel sifat fluida, data sifat fluida yang dapat di ambil adalah sebagai berikut: 14
Pressure Pressure Gradient Total Pressure Turbulence Kinetic Energy Velocity Sedangkan untuk data numerik yang dapat di tampilkan oleh post processor adalah quantitative calculation untuk mengetahui nilai force yang terjadi. Dan data visualisasi model yang bisa ditampilkan oleh post processor adalah sebagai berikut: Gambar geometri model Gambar surface sifat fluida Animasi aliran fluida Tampilan vector kecepatan Arah aliran fluida
2.2.2 VIV (Vortex Induced Vibrations) Vortex induced vibrations (VIV) terjadi karena adanya resonansi pada struktur. Resonansi ini terjadi karena frekuensi alami struktur sama atau hampir sama dengan frekuensi vortex shedding. Vortex adalah suatu aliran dimana partikel fluida tersebut berotasi pada aliran rotasinya terhadap titik pusatnya. Pelepasan vorteksnya adalah vortex shedding. Gambar 2.2 menunjukan bentukbentuk vortex yang terjadi pada aliran air.
15
(a) Bentuk vortex pada tahap steady untuk Re = 100 (b) Bentuk vortex pada tahap steady untuk Re = 1 x 105 (c) Bentuk vortex pada tahap steady untuk Re = 1 x 106
Gambar 2.2 Bentuk vorteks yang terjadi pada aliran air dengan Re yang berbeda. (Ching Chen, 2004)
Berdasarkan Gambar 2.2, dapat diketahui bahwa bentuk aliran vortex yang terjadi adalah tidak sama untuk setiap harga Reynolds number. Semakin tinggi harga Reynolds number maka aliran vorteks yang terjadi semakin sedikit dan semakin tidak teratur. Terjadi tidaknya VIV pada aliran di sekitar struktur dapat diketahui dari harga parameternya. Berdasarkan harga parameter tersebut maka dapat diketahui terjadi tidaknya VIV, seberapa besar VIV yang terjadi dan keteraturan aliran vortex. Parameter VIV tersebut adalah sebagai berikut (Techet 2005): 1. Strouhal number Bilangan Strouhal adalah dimensional number yang menjelaskan tetang aliran yang berosilasi. Parameter ini dinamai oleh seorang Fisikawan Ceko pada 1878 dengan ekseperimennya yaitu kabel yang mengalami vortex shedding (bergetar) akibat pusaran angin (Frank M. White, 1999 dalam Chamelia,
16
2009). Bilangan Strouhal merupakan bagian integral dari dasar-dasar mekanika fluida. Bilangan Strouhal mewakili sebuah ukuran perbandingan gaya inersia karena getaran aliran atau percepatan lokal ke gaya inersia akibat perubahan kecepatan dari satu titik ke titik yang lain yang masih dalam medan aliran. Persamaan Strouhal diberikan: St =
fs d U
(2.3)
dengan:
f s = frekuensi vortex shedding (Hz) S t = strouhal number ≅ 0.2 untuk silinder bulat U = kecepatan partikel (m/s) D = diameter struktur (m) 2. Reynolds number Dalam mekanika fluida, bilangan Reynolds adalah rasio/perbandingan antara gaya inersia terhadap gaya viskositas yang mengkuantifikasikan hubungan kedua gaya tersebut dengan suatu kondisi aliran tertentu. Bilangan ini digunakan untuk mengidentikasikan jenis aliran yang berbeda, misal laminer dan turbulen. Nama bilangan Reynolds diambil dari Osborne Reynolds (18421912). Bilangan Reynolds memiliki dampak signifikan pada amplitudo Viv. Bilangan Reynold merupakan salah satu bilangan tak berdimensi yang digunakan untuk menentukan dynamic similitude. Persamaan Reynolds-nya adalah: R e=
UD
υ
(2.4)
dengan: Re = Reynolds number Re < 105 ( batas aliran laminar) U = kecepatan partikel (m/s) 17
D = diameter struktur (m) υ = viskositas kinematis air (m2/s) 3. Frekuensi vortex shedding Jika aliran melewati struktur silinder, maka aliran yang terbentuk setelah melewati silinder tersebut tidak stabil, sehingga menyebabkan silinder berosilasi. Ketika aliran melewati struktur, maka akan terjadi flow separation dan terbentuk vorteks di belakang pipa. Vorteks tersebut akan menyebabkan perubahan tekanan hidrodinamis pada pipa. Frekuensi vorteks bergantung pada kecepatan aliran dan diameter silinder. Jika frekuensi vorteks mendekati sama dengan frekuensi freespan silinder, maka akan terjadi resonansi. Hal ini dapat menimbulkan kegagalan akibat kelelahan pada silinder. Kegagalan pada struktur silnder dapat dicegah dengan menjauhkan nilai frekuensi vortex shedding dengan frekuensi alami silinder, sehingga osilasi yang terjadi dapat diminimalkan (Benfika, 2007 dalam Vladvamphire, 2009). Persamaan frekuensi vortex shedding: fs =
S tU D
(2.5)
dengan: fs = frekuensi vortex shedding (Hz) S t = strouhal number ≅ 0.2 untuk silinder bulat U = kecepatan partikel (m/s) D = diameter struktur (m) Hubungan antara Strouhal number dengan Reynolds number pada silinder bulat dijelaskan pada Gambar 2.3. Dari Gambar 2.3, dapat diketahui bahwa harga St ≅ 0.21 pada saat Re antara 40 sampai 200. Harga tersebut berubah seiring dengan perubahan harga Reynolds number. Harga Strouhal number silinder yang permukaannya kasar dengan silinder yang permukaanya halus untuk harga Reynolds number kurang 105 tidak terlalu jauh perbedaannya. Pada saat 105
Reynolds number mendekati 107 selisih harga Strouhal number lebih kecil sama seperti pada saat harga Reynolds number kurang 105.
Gambar 2.3 Hubungan antara Strouhal number dengan Reynolds number pada silinder bulat (Chakrabarti, 2002).
Bentuk-bentuk aliran fluida berbeda-beda untuk setiap range harga Reynolds number yang berbeda. Hal ini dapat digunakan untuk mengetahui kondisi aliran di daerah tersebut seperti dijelaskan oleh Gambar 2.4. Berdasarkan Gambar 2.4, dapat diketahui fenomena terbentuknya vortex di belakang silinder yaitu: Untuk harga Re < 5, aliran yang melewati silinder bulat belum mengalami pemisahan artinya pada harga tersebut sama sekali belum terbentuk vortex di belakang silinder. Semakin besarnya harga Re maka sifat aliran yang melewati silinder bulat akan semakin tidak teratur sehingga pada harga 5-15
19
stagnation point. Pada rentang harga tersebut akan tampak bahwa akan muncul bentuk aliran turbulen. Pada harga Re yaitu 3.105 < Re < 3.5.106 laminer boundary condition membentuk atau memisahkan pada awalnya yaitu kira-kira 90°-100° (sedikit ke depan daripada translation point ke/menjadi aliran turbulen). Keadaan transisi dari laminer menjadi turbulent akan menciptakan aliran semakin tidak teratur sehingga pada daerah ini akan terbentuk bubble. Untuk harga Re yaitu Re > 3.5.106, vortex shedding kembali menjadi reguler. Translantion/separation point menjadi berada pada posisi sedikit di depan setengah silinder. Pada keadaan ini daerah di belakang silinder secara tetap terbentuk turbulence separation hingga mencapai harga 107.
Re < 5 ( daerah dari aliran yang tak terpisahkan) 5-15 < Re < 40 (sepasang vorteks dalam aliran gelombang) 40 < Re <90 dan 90
3.5.106 (pembentukan kembali aliran vorteks turbulen)
Gambar 2.4 Daerah aliran (Lienhard 1966 dalam Techet 2005).
Vortex shedding dapat menimbulkan gaya drag (geser) dan gaya lift (angkat) pada silinder bulat. Gaya lift mempunyai arah tegak lurus terhadap silinder sedangkan gaya drag sejajar dengan silinder. Karena pergantian vortex wake (Karman street) maka osilasi gaya lift terjadi pada frekuensi vortex shedding dan gaya drag terjadi pada dua kali frekuensi vortex shedding. 20
Gambar 2.5 Gaya lift dan drag pada silinder (Techet 2005).
2.2.3 Respon Dinamis Pada dasarnya struktur yang bergetar akan mengalami 2 (dua) macam getaran, yaitu yang pertama adalah getaran alami dan yang berikutnya adalah getaran paksa, getaran alami adalah getaran dimana sebuah struktur atau benda mengalami getaran tanpa ada gaya luar yang mempengaruhinya, sedangkan getaran paksa mengalami getaran akibat adanya gaya paksa yang mengenai sistem, sehingga respon total dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut (Craig, 1981 dalam Chamelia, 2009) u = uc + up
(2.6)
dengan : u
= respon total
uc
= respon alami
up
= respon paksa. Sistem yang ada dianggap memiki massa dalam satu kesatuan terpusat
serta gerakan yang digunakan sebagai satu derajat kebebasan maka metode yang digunakan adalah Lump Parameter Model. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penyelesaiannya adalah sebagai berikut.
21
P (t)
P (t)
Gambar 2.6 Rangka model dengan metode massa terpusat (lump (lump parameter method)) (Chamelia, 2009). Langkah awal adalah penyederhanaan sistem sesuai gambar 2.6 diatas dalam memudahkan analisa. Sumbu Y pada gambar merupakan acuan dimana getaran osilasi terjadi, dimana perhitungan respon amplitudonya terhitung mulai sistem bekerja tanpa ada gaya ssampai ampai terjadi displacement. Setelah itu menggambarkan sistem diats menjadi sistem yang lebih sederhana dengan menggambarkan dalam free body diagram (FBD) beserta gaya-gaya gaya gaya yang bekerja pada stuktur tersebut, berikut adalah gambaran FBD dari sistem tersebut (Chamelia, 2009).
x X Y Gambar 2.7 Model acuan free body diagram (Chamelia, 2009) 22
Dari Gambar 2.7 diatas dapat digunakan Hukum Newton dalam perhitungan sederhananya dimana jumlah gaya total sama dengan jumlah gaya yang terjadi pada sistem tersebut, atau dapat dijelaskan dengan persamaan dibawah ini: ΣFy = m. Ü
(2.7)
atau P(t) – fs - fd = m. ü
(2.8)
atau m.ü + c.ů + k.u = P (t)
(2.9)
dengan: P(t)
= generalized force
Fs
= gaya pegas (k . u)
Fd
= gaya redaman (c . ů)
m
= massa
u
= displacement
ů
= kecepatan
ü
= percepatan Persamaan diatas merupakan respon alami yang dialam struktur, dalam
memperoleh solusi persamaan diatas adalah dengan asumsi bahwa gaya luar bernilai nol atau P(t) = 0, karena persamaan diatas merupakan getaran bebas namun teredam akibat adanya viskositas air laut. Apabila persamaan diubah dalam persamaan homogen adalah: m.ü + c.ů + k.u = 0
(2.10)
dalam memudahkan menentukan nilai dari displacement maka menggunakan pemiisalan, yaitu dengan asumsi u = e st
(2.11)
persamaan 2.11 kemudian disubstitusikan dalam persamaan diferensial diperoleh (m.s2+cs+k)est = 0 akan memenuhi untuk semua nilai t, apabila
2
0
(2.142
persamaan karakteristik diatas memilki dua akar yaitu, 2
1,2 2
(2.13) 23
Jadi, solusi umum yang diberikan oleh persamaan dengan asumsi diatas adalah
1 2
(2.14)
dengan A1 dan A2 adalah konstanta yang harus dihitung pada kondisi awal, persamaan 2.13 disubstitusikan pada persamaan 2.14 menghasilkan: / 1
! "
/
2
! "
/
#
(2.16)
Karena sistem ini termasuk didalam sistem kurang teredam atau underdamped maka nilai (c/2m)2 kurang dari k/m, atau dapat dituliskan dalam persamaan yang lebih sering digunakan.
Uc =
(2.17)
dengan: t
= waktu (detik)
ωn
= frekuensi angular tak teredam (rad/s)
A1
= kostanta riil
A2
= kostanta riil
ωd
= frekuensi angular teredam (rad/s)
Gerakan paksa atau gaya eksitasi yang ditimbulkan oleh kondisi benda di suatu tempat terhadap fungsi watu dituliskan dengan persamaan sebagai berikut. Up =
(2.18)
dengan: U
= steady state respons
Ω
= frekuensi eksitasi (rad/s)
α
= sudut fase (rad) Steady State respon didapatkan dari persamaan 2.19 dibawah ini:
(2.19) dengan: Uo
= Amplitudo awal
r
= rasio frekuensi 24
Sedangkan frekuensi angular tak teredam (undamped) didapat dari Persamaan 2.20
(2.20) atau, (2.21) Rasio frekuensi didapat dari Persamaan (2.22) Dalam analisa CFD yang dilakukan akan memperoleh beberapa hasil yang dibituhkan dalam analisa dinamis diantaranya adalah gaya yang disimbolkan Po sebagai gaya awal yang diterima oleh sistem sederhana yang didukung oleh pegas K, sehingga persamaan yang didapatkan adalah:
(2.23) sedangkan frekuensi angular teredam didapat dari Persamaan, (2.24) Untuk nilai tangensial sudut fase didapatkan dari perbandingan konstanta redaman dan rasio frekuensi yang sangat dipengaruhi nilainya oleh frekensi eksitasi sebagai fungsi r, maka dari itu pengaruh kecepatan arus dan dimensi benda akan mempengaruhi besarnya sudut fase yang terbentuk.
(2.25) Frekuensi eksitasi yang timbul diakibatkan oleh frekuensi vorteks shedding yang terbentuk akibat adanya kecepatan partikel yang mengalami pertambahan kecepatan akibat bertumbukan dengan struktur yang ada, nilai kecepatan eksitasi yang ada diperoleh dari hasil perhitungan lewat CFD. Sedangkan angka strouhal didapat dari perhitungan reynold number yang kemudian dapat dilihat pada Gambar 2.3.
25
&
Ω Sh '
(2.26)
dengan: Ω
= frekuensi eksitasi atau frekuensi yang diakibatkan vorteks shedding yang terjadi (rad/s)
Sh
= angka Strouhal didapat gari Gambar 2.3
V
= kecepatan eksitasi (m/s)
D
= diameter silinder (m) Sehingga persamaan 2.17 dan 2.18 disubstitusikan dalam persamaan 2.6
lalu didapatkan persamaan respon dinamis osilasi dari silinder sebagai berikut: (2.27) dengan: u
= total respons (m)
U
= steady state respons (m)
Ω
= frekuensi eksitasi (rad/s)
t
= waktu (detik)
α
= sudut fase (rad)
ωd
= frekuensi angular teredam (rad/s)
A1
= kostanta riil
ωn
= frekuensi angular tak teredam (rad/s)
A2
= kostanta riil
2.2.4 Kinerja Konversi Energi Vorteks Terdapat beberapa prinsip kerja yang mendasari sebuah Konverter Energi Vorteks tersebut, antara lain adalah: Vortex Induced Vobration (VIV) yang secara alami menyebabkan oscillating part berosilasi secara tegak lurus terhadap arah aliran. Nonlinear dari getaran yang ditimbulkan karena VIV. Hal tersebut sebagian untuk membatasi osilasi dari amplitudo dan sinkronisasi aliran vortex shedding.
26
Korelasi perbandingan panjang dan ukuran oscillating part, karena tiap perbandingan memiliki karakteristik pembentukan vortex shedding yang akan menghasilkan lift force (daya angkat). Oleh sebab itu perlu adanya rekomendasi yang tepat untuk menjaga nilai lift force akibat adanya gerakan osilasi. Energi ekstraktor (energy luar) yang dibutuhkan, dengan keseimbangan mampu meredam efek mekanis osilasi dan mampu menghasilkan energy yang besar. Dalam bentuknya yang paling sederhana, sebuah Konverter Energi Vorteks, terdiri dari silinder bundar yang kaku yang dipasang pada pegas elastis dan tersambung ke Power Take-Off (PTO) sistem melalui mekanisme transmisi. Silinder memiliki satu atau dua derajat kebebasan. Respons utama silinder adalah bergerak transversal/tegak lurus terhadap aliran. Rasio massa didefinisikan sebagai massa berosilasi total silinder di Viv, termasuk dengan semua pelengkap berosilasi dan 1/3 dari massa pegas, dibagi dengan massa fluida yang dipindahkan md:
(
)*+
(2.28)
,
dengan:
.
- 01 2 3
(2.29)
/
mosc : massa yang berosilasi total pada VIV md : massa silinder Operasi oscillating part adalah dengan memaksimalkan Viv. Output daya tergantung pada amplitudo osilasi dan redaman. Puncak respon amplitudo bervariasi sebagai fungsi dari m *, ζ. ζ adalah rasio redaman. m * ζ adalah parameter yang mengontrol amplitudo maksimum osilasi.
27
Gambar 2.8 Sistem generator rotasi (Bernitsas and Raghavan, 2006).
28
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Berikut adalah diagram alir pengerjaan penelitian sesuai dengan permasalahan sebelumnya: Mulai 1. Studi literatur 2. Pengumpulan data oscillating part Pemodelan oscillating part bentuk silinder menggunakan software ANSYS CFD 11.0 ya Eror tidak ya
Output: Tekanan, Gaya, Frekuensi Vorteks Shedding dan Kecepatan aliran setelah mengenai oscillating part
Validasi respon dinamis total (amplitudo) untuk model silinder Eror tidak Pemodelan oscillating part bentuk elips Menggunakan software ANSYS CFD 11.0 ya Eror tidak 29 A
A A
Perhitungan respon dinamis total (amplitudo) Untuk model elips Analisa dan pembahasan Kesimpulan dan saran Selesai Gambar 3.1 Diagram alir pengerjaan tugas akhir Untuk mencari pemecahan masalah yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, maka metodologi penelitian yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. Studi literatur, yaitu melakukan pencarian informasi yang dibutuhkan untuk melakukan studi tentang konversi energi vorteks. Serta melakukan pencarian informasi pada penelitian-penelitian terbaru yang telah dilakukan oleh orang lain. 2. Melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan oscillating part, meliputi dimensi, kedalaman perairan, kecepatan aliran/arus dan spesifikasi sistem yang digunakan untuk melakukan penelitian ini. 3. Melakukan pembuatan model oscillating part bentuk silinder dengan menggunakan bantuan software ANSYS CFD 11.0. Penjelasan selengkapnya mengenai langkah-langkah pembuatan model hingga nilai output yang dihasilkan, dapat dilihat pada sub bab 3.2. Pemodelan menggunakan ANSYS dimaksudkan untuk menghasilkan output berupa nilai gaya dan kecepatan
30
aliran setelah mengenai oscillating part yang selanjutnya digunakan sebagai input untuk menghitung nilai dari respon total dinamis (amplitudo). 4. Modeling oscillating part model silinder digunakan sebagai model acuan sesuai dengan tinjauan pustaka yang digunakan untuk memudahkan dalam analisa selanjutnya. Nilai dari amplitudo untuk model silinder harus sesuai dengan acuan yang digunakan. Jika eror yang didapat terlalu besar, maka diperlukan pengulangan pemodelan hingga mendapatkan nilai eror yang kecil. 5. Setelah validasi dilakukan, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah memodelkan oscillating part bentuk elips dengan menggunakan bantuan software ANSYS CFD 11.0. Penjelasan selengkapnya mengenai langkahlangkah pembuatan model hingga nilai output yang dihasilkan, dapat dilihat pada sub bab 3.2. Pemodelan menggunakan ANSYS dimaksudkan untuk menghasilkan output berupa nilai gaya dan kecepatan aliran setelah mengenai oscillating part yang selanjutnya digunakan sebagai input untuk menghitung nilai dari respon total dinamis (amplitudo). 6. Nilai output yang didapat dari hasil pemodelan oscillating part bentuk elips pada ANSYS, selanjutnya dipergunakan sebagai input dalam menghitung nilai respon total dinamis (amplitudo). 7. Analisa dan pembahasan dilakukan untuk mengetahui perbandingan respon total dinamis antara model silinder dengan model elips. Respon dinamis yang paling tinggi dengan kondisi sistem yang sama, adalah dimensi yang baik digunakan untuk pembangkit listrik tenaga vorteks. 8. Setelah analisa dan pembahasan dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan dari permasalahan dan tujuan sebelumnya, oscillating part dengan dimensi berapakah yang paling efektif untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga vorteks.
31
3.2 Pemodelan Oscillating Part Bentuk Silinder dan Elips Menggunakan Software ANSYS CFD 11.0 Berikut adalah diagram prosedur pemodelan oscillating part bentuk silinder dan elips secara lebih spesifik:
Pemodelan geometri oscillating part dengan AutoCad 3D Input Properties oscillating part Import model dari AutoCad ke ICEM CFD untuk pembuatan kondisi batas Meshing Ya Error tidak Input model pada Ansys-Pre Input Properties Fluida Running model pada Ansys-Solver Ya Error tidak Running model pada Ansys-Post Analisa Vortex Shedding Gambar 3.2 Diagram alir pemodelan oscillating part bentuk silinder dan elips menggunakan ANSYS CFD 11.0. 32
Keterangan dari prosedur pengolahan data: 1. Pembuatan variasi model oscillating part pada Auto Cad 2009 dengan variasi: a. Dimensi elips dengan perbedaan ratio (d1/d2); panjang 950 mm: i) Model I = d1: 120 mm, d2: 80 mm, d1/d2: 1,5. ii) Model II = d1: 80 mm, d2: 120 mm, d1/d2: 0,67. iii) Model VII = d1: 160 mm, d2: 60 mm, d1/d2: 2,67. iv) Model X = d1: 60 mm, d2: 160 mm, d1/d2: 0,38. v) Model XIII = d1: 100 mm, d2: 100 mm, d1/d2: 1. b. Dimensi elips dengan perbedaan panjang; d1: 100 mm; d2: 80 mm; ratio (d1/d2) 1,25. i) Model III = panjang 950 mm. ii) Model IV = panjang 900 mm. iii) Model VIII = panjang 914 mm. iv) Model XI = panjang 935 mm. v) Model XIV = panjang 925 mm. c. Dimensi elips dengan perbedaan ratio (d1/d2); panjang 900 mm: i) Model V = d1/d2: 1,5. ii) Model VI = d1/d2: 0,67. iii) Model IX = d1/d2: 2,67. iv) Model XII = d1/d2: 0,38. v) Model XV = d1/d2: 1. 2. Pemodelan geometri oscillating part dengan AutoCad 3D 2009. d1
d2
Gambar 3.3a Pemodelan geometri elips posisi horisontal.
33
d2 d1
Gambar 3.3b Pemodelan geometri elips posisi vertikal. 3. Import model dari AutoCad ke ANSYS ICEM CFD untuk pembuatan kondisi batas pada tiap-tiap model. 4. Meshing model setelah pembuatan domain fluida. Semakin kecil ukuran meshing, maka hasil yang akan didapat juga akan semakin detail (tergantung kapasitas PC yang dipakai). Jika terjadi error, maka harus memperbesar meshing. 5. Pemodelan oscillating part pada CFX-Pre. Pada pemodelan ini, untuk memasukkan properties dari fluida (jenis fluida, kecepatan arus). Setelah properties dari fluida dimasukkan, running pada CFX-Solver. 6. Running pada CFX-Solver. Dilakukan untuk mengetahui karakteristik fluida (arus laut) yang mengenai oscillating part. Karakteristik tersebut dapat berupa Reynold Number, kecepatan, tekanan dan kecepatan. 7. Running pada CFX-Post. Pada tahap ini, pola aliran (arus laut) yang mengenai oscillating part dapat diketahui secara jelas. Selain itu, distribusi tekanan akibat interaksi fluida dengan oscillating part juga dapat diketahui. 8. Analisa vortex shedding. Pola aliran pelepasan vorteks (vortex shedding) dari model-model yang telah dihasilkan, memiliki amplitudo yang berbeda. Perbedaan amplitudo tersebut yang selanjutnya akan dianalisa. 34
BAB 4 ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Ruang Lingkup Pada Bab IV ini dilakukan analisa yang didapatkan dari perhitungan dengan bantuan CFD (Computational Fluid Dynamics) maupun perhitungan manual untuk memperoleh respon dinamis ataupun amplitudo dari silinder dan elips. Aliran fluida yang digunakan dalam pengerjaan CFD adalah aliran yang melewati luar silinder, sehingga menimbulkan getaran, dan selanjutnya dihitung secara manual. Pada tabel dibawah ini ditunjukkan data-data spesifikasi sistem dan fluida pada model yang digunakan dalam analisa selanjutnya.
Tabel 4.1 Spesifikasi Sistem dan Fluida Untuk Analisa diameter awal silinder (mm)
127
panjang awal silinder (mm)
914,4
konstanta pegas (N/m)
518
massa sistem (kg)
16,8
massa ratio (m*)
1,45
damping tanpa terhubung dengan gear
0,05939
damping terhubung dengan gear
0,08869
damping terhubung dengan gear dan generator
0,268
kecepatan arus (m/s)
0,4-0,7 0,44-1,34 x 105
Reynolds number massa jenis air laut (kg/m3)
1025
Young’s Modulus (Pa)
7,0 e10
massa jenis oscillating part (alumunium) (kg/m3) Sumber : Bernitsas and Raghavan, 2006
35
2710
Untuk nilai ketebalan silinder tidak diketahui pada acuan, hanya massa silinder saja, oleh karena itu nilai ketebalan silinder perlu diketahui untuk menentukan massa elips pada model I-VI. Perhitungan tebal silinder yang digunakan, adalah: Volume selimut silinder
= massa silinder/massa jenis alumunium = 16,8/2710 = 0,0062 m3
Volume silinder
= π. r2. p = 3,14 x (0,0635)2 x 0,9144 = 0,0116 m3
Volume rongga silinder
= volume silinder-volume selimut silinder = 0,0116-0,0062 = 0,0054 m3
Setelah didapatkan nilai dari volume rongga silinder, maka dapat diketahui nilai dari tebal silinder dengan persamaan: Volume rongga silinder
= π. (r-2t). (p-2t)
0,0054
= 3,14 x (0,0635-2t) x (0,9144-2t)
Maka, nilai t ≈ 0,002 m
4.2 Validasi Pengujian Laboratorium dengan Pemodelan Ulang Sebelum melakukan pemodelan oscillating part menjadi silinder, terlebih dahulu dilakukan validasi dengan acuan pustaka penelitian sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesalahan yang terjadi saat pemodelan, untuk memperkecil kesalahan saat melakukan pemodelan selanjutnya, untuk memastikan bahwa data masukan dan batasan/asumsi yang digunakan dalam model yang akan dikaji sesuai dengan acuan pustaka sebelumnya. Pada Tabel 4.2 ditampilkan parameter-parameter yang digunakan untuk menghitung respon total dinamis (amplitudo) dengan menggunakan Persamaan 2.27. Selain itu, juga digunakan hasil output dari pemodelan CFD, yaitu berupa nilai gaya dan kecepatan aliran setelah mengenai benda. Amplitudo steady state respon (amplitudo awal):
36
(2.23) Uo
= 42,7/518 = 0,08 m
Frekuensi angular untuk benda: ωn
=
ωn
= (518/(16,8+11,58))^0,5
(2.21)
= 4,27 rad/s. Frekuensi eksitasi karena perubahan kecepatan aliran setelah mengenai benda: &
Ω Sh '
(2.26)
Ω = 0,19.(0,74/0,127) = 1,11 rad/s Rasio antara kedua frekuensi: (2.22) r
= 1,11/4,27 = 0,26
Steady state respon:
(2.19) U
= 0,08/(((1-(0,26)2)2+(2.0,05939.0,26)2)0,5 = 0,008 m
Nilai frekuensi natural benda: fn
=
(4.1)
atau fn
=
4
.
x ωn
(4.2)
= 0,16 x 4,27 = 0,68 rad/s 37
Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan diatas, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.2 dibawah ini. Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model Silinder. Uraian
satuan
Amplitudo Steady state respon (Uo) perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α damped circular natural freq (ωd) Amplitudo eksitasi (U) A1 A2 frekuensi natural frekuensi eksitasi
m
rad rad/s m m m rad/s rad/s
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 0,08 0,1 0,18 0,26 0,34 0,53 0,25 0,25 0,25 0,03 0,05 0,08 4,26 4,26 4,26 0,008 0,01 0,025 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,68 0,68 0,68 1,11 1,45 2,25
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model silinder dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,008 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,01 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,025 m. Jadi dapat dilihat, untuk ukuran dimensi silinder yang sama, semakin cepat nilai kecepatan aliran awal, maka nilai amplitudo eksitasinya akan semakin tinggi pula. Setelah mendapatkan nilai parameter-parameter tersebut, selanjutnya melakukan perhitungan respon total dinamis (amplitudo) yang terjadi pada silinder tersebut dengan menggunakan persamaan: (2.27) Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s, dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2 dibawah ini.
38
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
-0.15 -0.25
Respo n Silinde r Terha dap Fungsi waktu
-0.35
waktu (detik)
Grafik 4.1 Amplitudo yang dihasilkan pada model silinder dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.1, besarnya amplitudo yang terjadi pada model silinder dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke-2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan percobaan fisik oleh Bernitsas, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0025 m. Atau memiliki selisih 0,0004 m. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.2 dibawah ini.
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
-0.15 -0.25
Respo n silinde r terhad ap fungsi waktu
-0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.2 Amplitudo yang dihasilkan pada model silinder dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. 39
Pada Grafik 4.2, besarnya amplitudo yang terjadi pada model silinder dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke-2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,014 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan percobaan fisik oleh Bernitsas, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,012 m. Atau memiliki selisih 0,002 m. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.3 dibawah ini.
0.35 0.25
Amplitudo (m)
0.15 0.05 -0.05 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
-0.15
Respon silinder terhadap fungsi waktu
-0.25 -0.35 Waktu (s)
Grafik 4.3 Amplitudo yang dihasilkan pada model silinder dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s. Pada Grafik 4.3, besarnya amplitudo yang terjadi pada model silinder dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke-8 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,196 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan percobaan fisik oleh Bernitsas, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,191 m. Atau memiliki selisih 0,005 m. 40
Dari ketiga gambar diatas, selanjutnya digunakan untuk validasi antara percobaan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Bernitsas dengan pemodelan dan perhitungan matematis yang telah dilakukan. Untuk perbandingannya dapat dilihat pada Grafik 4.4 dibawah ini.
0.2 0.18
amplitudo (mm)
0.16 0.14 0.12
pemodelan
0.1 0.08
percobaan sebelumnya
0.06 0.04 0.02 0 0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
kecepatan arus (m/s)
Grafik 4.4 Perbandingan nilai amplitudo yang dihasilkan dari pemodelan dengan uji laboratorium yang dilakukan oleh Bernitsas pada model silinder. Tabel 4.3 Perbandingan Nilai Amplitudo Yang Dihasilkan Dari Pemodelan Dengan Uji Laboratorium Yang Dilakukan Oleh Bernitsas Pada Model Silinder. kecepatan arus (m/s) 0.4 0.5 0.7
Amplitudo hasil pemodelan (m) 0,0029 0,014 0,196
Amplitudo hasil uji laboratorium oleh Bernitsas (m) 0,0025 0,012 0,191
validasi (%) 1,6 1,67 2,62
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari Grafik 4.4 dan Tabel 4.3, dapat dilihat amplitudo yang terbentuk adalah berbanding lurus dengan kecepatan fluida. Artinya, semakin cepat aliran yang terjadi, maka amplitudo yang dihasilkan juga akan semakin besar. Dari hasil validasi, didapatkan nilai kesalahan terbesar memiliki nilai 16,7 % pada model 41
silinder dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. Dikarenakan nilai kesalahan yang tidak terlalu besar, maka penelitian untuk bentuk yang berbeda dapat dilakukan, dengan variasi kecepatan awal aliran 0,4; 0,5; dan 0,7 m/s.
4.3 Analisa Model I (d1/d2: 1,5; p: 950 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model I ini oscillating part bukan lagi berbentuk silinder, tetapi elips dengan diameter 1 (d1) adalah 120 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 950 mm. Karena nilai dari volume elips, massa elips dan massa tambah elips tidak diketahui pada acuan, maka perlu dihitung terlebih dahulu volume, massa dan massa tambah elips yang nantinya digunakan pada model I-VI. Perhitungan yang digunakan, adalah: Volume elips = π . r1 . r2 . p = 3,14 x 0,06 x 0,04 x 0,95 = 0,0072 m3 Volume rongga elips = π . (r1-2t) . (r2-2t) . (p-2t) = 3,14 x 0,04 x 0,02 x 0.91 = 0,0023 m3 Volume selimut elips = volume elips – volume rongga elips = 0,0072-0,0023 = 0,0049 m3 Massa elips
= massa jenis alumunium x volume selimut elips = 2710 x 0,0049 = 13,28 kg
Massa tambah elips
.
= massa jenis air laut . / . d1 . d2 . p
= 1025 x (3,14/4) x 0,12 x 0,08 x 0,95 = 7,34 kg.
42
Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.4 dibawah ini. Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model I. Uraian Massa Massa tambah Amplitudo Steady state respon (Uo) perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α damped circular natural freq (ωd) Amplitudo eksitasi (U) A1 A2 frekuensi natural frekuensi eksitasi
satuan kg kg m
rad rad/s m m m rad/s rad/s
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 13,21 13,21 13,21 7,34 7,34 7,34 0,18 0,21 0,22 0,2 0,26 0,39 0,3 0,3 0,3 0,065 0,069 0.076 5,01 5,01 5,01 0,19 0,22 0,26 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,79 0,79 0,79 1,02 1,29 1,97
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model I dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,19 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,22 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,26 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model I, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, ditunjukkan dengan berupa grafik. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.5 dibawah ini, hubungan antara respons total (amplitudo) yang terjadi dalam fungsi waktu. Grafik tersebut menunjukkan nilai respon total sistem elips setiap waktu. Sehingga dari grafik tersebut dapat digunakan untuk mengetahui besar amplitudo yang terjadi pada jangka waktu tertentu.
43
0.35
Amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respon Elips Terhada p Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
Waktu (s)
Grafik 4.5 Amplitudo yang dihasilkan pada model I dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.5, besarnya amplitudo yang terjadi pada model I dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,261 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,2581 m. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s pada model I, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.6 dibawah ini.
0.35
Amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05
-0.05
0
10
20
30
40
50
60
70
-0.15
80
90 100 110 120 130
Respon Elips Terhad ap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
Waktu (s)
Grafik 4.6 Amplitudo yang dihasilkan pada model I dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. 44
Pada Grafik 4.6, besarnya amplitudo yang terjadi pada model I dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,26 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,014 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,246 m. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s pada model I, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.7 dibawah ini. 0.35 0.25
Amplitudo (m)
0.15 0.05 -0.05
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
-0.15 -0.25 -0.35
Respo n elips terhad ap Fungsi Waktu
waktu (s)
Grafik 4.7 Amplitudo yang dihasilkan pada model I dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s. Pada Grafik 4.7, besarnya amplitudo yang terjadi pada model I dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke7 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,29 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,196 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,094 m.
4.4 Analisa Model II (d1/d2: 0,67; p: 950 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. 45
Berbeda dari model sebelumnya, pada model II ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 80 mm, diameter 2 (d2) adalah 120 mm dengan panjang 950 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.5 dibawah ini. Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model II. Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 13,21 13,21 13,21 7,34 7,34 7,34 0,04 0,11 0,14 0,18 0,35 0,53 0,29 0,29 0,29 0,09 0,11 0,17 5,01 5,01 5,01 0,039 0,123 0,199 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,79 0,79 0,79 0,91 1,75 2,67
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model II dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,039 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,123 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,199 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model III, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, ditunjukkan dengan berupa grafik. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.8 dibawah ini, hubungan antara respons total (amplitudo) yang terjadi dalam fungsi waktu. Grafik tersebut menunjukkan nilai respon total sistem elips setiap waktu. Sehingga dari grafik tersebut dapat 46
digunakan untuk mengetahui besar amplitudo yang terjadi pada jangka waktu tertentu.
0.35 0.25
amplitudo (m/s)
0.15 0.05 -0.05
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.8 Amplitudo yang dihasilkan pada model II dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.8, besarnya amplitudo yang terjadi pada model II dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,054 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,051 m. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,261 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo sebesar 0,207 m. Hal ini disebabkan adanya perubahan nilai d1 dan d2. Nilai d1 pada model II lebih kecil jika dibanding dengan nilai d1 pada model I, begitu pula untuk nilai d2. Pada model II ini, nilai d1
47
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respon Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.9 Amplitudo yang dihasilkan pada model II dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. Pada Grafik 4.9, besarnya amplitudo yang terjadi pada model II dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,169 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,014 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,155 m. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,26 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo sebesar 0,091 m. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s pada model II, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.10 dibawah ini.
48
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
-0.15
90 100 110 120 130
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.10 Amplitudo yang dihasilkan pada model II dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s. Pada Grafik 4.10, besarnya amplitudo yang terjadi pada model II dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,277 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,196 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,081 m. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,29 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo sebesar 0,013 m.
4.5 Analisa Model III (d1/d2: 1,25; p: 950 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model III ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 950 mm. 49
Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.6 dibawah ini. Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model III. Kecepatan Arus satuan
0,4 m/s
0,5 m/s
0,7 m/s
Massa
kg
11,52
11,52
11,52
Massa tambah
kg
6,12
6,12
6,12
Amplitudo Steady state respon (Uo)
m
0,12
0,15
0,19
perbandingan frekuensi ( r )
0,16
0,42
1,08
perkalian frekuensi natural (ζωn)
0,32
0,32
0,32
rad
0,09
0,13
0,17
rad/s
5,41
5,41
5,41
Amplitudo eksitasi (U)
m
0,125
0,175
0,94
A1
m
-0,1007
-0,1599
-0,1898
A2
m
-0,0058
-0,0091
-0,011
frekuensi natural
rad/s
0,86
0,86
0,86
frekuensi eksitasi
rad/s
0,87
2,25
5,84
Uraian
α damped circular natural freq (ωd)
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model III dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,125 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,175 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,194 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model III, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, ditunjukkan dengan berupa grafik. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.11 dibawah ini, hubungan antara respons total (amplitudo) yang terjadi dalam fungsi waktu. Grafik tersebut menunjukkan nilai respon total sistem elips setiap waktu. Sehingga dari grafik tersebut dapat 50
digunakan untuk mengetahui besar amplitudo yang terjadi pada jangka waktu tertentu.
amplitudo (m)
0.35 0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
Respon Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.15 -0.25 -0.35
waktu (s)
Grafik 4.11 Amplitudo yang dihasilkan pada model III dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.11, besarnya amplitudo yang terjadi pada model II dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,132 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo sebesar 0,129 m. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,261 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo sebesar 0,129 m. Hal ini disebabkan adanya perubahan nilai d1. Nilai d1 pada model III lebih kecil jika dibanding dengan nilai d1 pada model I, hal ini menyebabkan perubahan pada nilai amplitudo yg mengalami penurunan pula. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s pada model III, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.12 dibawah ini.
51
0.35
Amplitudo (m)
0.25 0.15 Respon Elips Terhada p Fungsi Waktu
0.05
-0.05
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15 -0.25 -0.35
Waktu (s)
Grafik 4.12 Amplitudo yang dihasilkan pada model III dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. Pada Grafik 4.12, besarnya amplitudo yang terjadi pada model III dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke4 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,191 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,26 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo sebesar 0,069 m. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s pada model III, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.13 dibawah ini.
0.35 0.25
Amplitudo (m)
0.15 0.05
-0.05
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
Respon Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.15 -0.25 -0.35
Waktu (s)
Grafik 4.13 Amplitudo yang dihasilkan pada model III dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s. 52
Pada Grafik 4.13, besarnya amplitudo yang terjadi pada model III dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke11 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,29 m.
4.6 Analisa Model IV (d1/d2: 1,25; p: 900 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model IV ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 900 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.7 dibawah ini. Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model IV.
Uraian satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 9,46 9,46 9,46 5,79 5,79 5,79 0,08 0,13 0,14 0,37 0,43 0,54 0,35 0,35 0,35 0,06 0,07 0,08 5,81 5,81 5,81 0,091 0,159 0,21 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,93 0,93 0,93 2,14 2,51 3,14
Sumber: Hasil Perhitungan Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model IV dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. 53
Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,091 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,59 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,21 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model IV, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, ditunjukkan dengan berupa grafik. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.14 dibawah ini, hubungan antara respons total (amplitudo) yang terjadi dalam fungsi waktu. Grafik tersebut menunjukkan nilai respon total sistem elips setiap waktu. Sehingga dari grafik tersebut dapat digunakan untuk mengetahui besar amplitudo yang terjadi pada jangka waktu tertentu.
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
-0.15
80
90 100 110 120 130
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.14 Amplitudo yang dihasilkan pada model IV dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.14, besarnya amplitudo yang terjadi pada model IV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke9 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,092 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika 54
dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,261 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo . Hal ini disebabkan adanya perubahan nilai d1 dan d2. Nilai d1 pada model IV lebih kecil jika dibanding dengan nilai d1 pada model I, begitu pula untuk nilai d2. Panjang elips juga berpengaruh terhadap besarnya nilai amplitudo tersebut. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s pada model IV, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.15 dibawah ini.
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
-0.15
80
90 100 110 120 130
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.15 Amplitudo yang dihasilkan pada model IV dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. Pada Grafik 4.15, besarnya amplitudo yang terjadi pada model IV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke9 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,161 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,014 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I
55
sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,26 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s pada model IV, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.16 dibawah ini.
0.35 0.25
amplitudo (m)
0.15 0.05
-0.05
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.16 Amplitudo yang dihasilkan pada model IV dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s. Pada Grafik 4.16, besarnya amplitudo yang terjadi pada model IV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke96 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,205 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,196 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,29 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo.
4.7 Analisa Model V (d1/d2: 1,5; p: 900 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. 56
Berbeda dari model sebelumnya, pada model V ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 120 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 900 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.8 dibawah ini.
Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model V.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 12,53 12,53 12,53 6,95 6,95 6,95 0,09 0,11 0,14 0,29 0,47 0,54 0,31 0,31 0,31 0,06 0,07 0,08 5,15 5,15 5,15 0,086 0,136 0,193 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,82 0,82 0,82 1,48 2,41 2,79
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model V dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,086 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,136 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,193 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model V, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, ditunjukkan dengan berupa grafik. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.17 dibawah ini, hubungan antara respons total (amplitudo) yang terjadi dalam fungsi waktu. Grafik tersebut menunjukkan nilai respon total sistem elips setiap waktu. Sehingga dari grafik tersebut dapat 57
digunakan untuk mengetahui besar amplitudo yang terjadi pada jangka waktu tertentu.
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.17 Amplitudo yang dihasilkan pada model V dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.17, besarnya amplitudo yang terjadi pada model V dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,109 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,261 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s pada model V, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.18 dibawah ini.
58
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.18 Amplitudo yang dihasilkan pada model V dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. Pada Grafik 4.18, besarnya amplitudo yang terjadi pada model V dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,175 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,014 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,26 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s pada model V, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.19 dibawah ini.
59
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.19 Amplitudo yang dihasilkan pada model V dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s.
Pada Grafik 4.19, besarnya amplitudo yang terjadi pada model V dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,249 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,196 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,29 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo.
4.8 Analisa Model VI (d1/d2: 0,67; p: 900 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model VI ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 80 mm, diameter 2 (d2) adalah 120 mm dengan panjang 900 mm.
60
Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.9 dibawah ini.
Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model VI.
Uraian satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 12,53 12,53 12,53 6,95 6,95 6,95 0,13 0,14 0,15 0,29 0,37 0,53 0,31 0,31 0,31 0,06 0,07 0,08 5,15 5,15 5,15 0,143 0,16 0,206 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,82 0,82 0,82 1,5 1,89 2,75
Sumber: Hasil Perhitungan.
Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model VI dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,143 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,16 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,206 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model VI, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, ditunjukkan dengan berupa grafik. Seperti yang ditunjukkan pada Grafik 4.20 dibawah ini, hubungan antara respons total (amplitudo) yang terjadi dalam fungsi waktu. Grafik tersebut menunjukkan nilai respon total sistem elips setiap waktu. Sehingga dari grafik tersebut dapat digunakan untuk mengetahui besar amplitudo yang terjadi pada jangka waktu tertentu. 61
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.20 Amplitudo yang dihasilkan pada model VI dengan kecepatan awal aliran 0,4 m/s. Pada Grafik 4.20, besarnya amplitudo yang terjadi pada model VI dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,183 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,0029 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,4 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,261 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo. Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s pada model VI, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.21 dibawah ini.
62
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.21 Amplitudo yang dihasilkan pada model VI dengan kecepatan awal aliran 0,5 m/s. Pada Grafik 4.21, besarnya amplitudo yang terjadi pada model VI dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,207 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,014 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,5 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,26 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo Besarnya amplitudo terhadap waktu tertentu dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s pada model VI, dapat ditunjukkan pada Grafik 4.22 dibawah ini.
63
0.35
amplitudo (m)
0.25 0.15 0.05 -0.05 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
-0.15
Respons Elips Terhadap Fungsi Waktu
-0.25 -0.35
waktu (sekon)
Grafik 4.22 Amplitudo yang dihasilkan pada model VI dengan kecepatan awal aliran 0,7 m/s.
Pada Grafik 4.22, besarnya amplitudo yang terjadi pada model VI dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik. Displasemen terbesar yang terjadi pada gambar diatas adalah pada detik ke2 dengan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,267 m. Jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan pemodelan silinder sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,196 m. Atau memiliki kenaikan nilai amplitudo. Tetapi jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang diperoleh pada perhitungan model I sebelumnya, pada kecepatan awal arus sama 0,7 m/s didapatkan nilai amplitudo maksimum sebesar 0,29 m. Atau memiliki penurunan nilai amplitudo.
4.9 Analisa Model VII (d1/d2: 2,67; p: 950 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model VII ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 160 mm, diameter 2 (d2) adalah 60 mm dengan panjang 950 mm.
64
Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.10 dibawah ini.
Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model VII.
Uraian satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s Amplitudo maksimum mm
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 13,21 13,21 13,21 7,34 7,34 7,34 0,13 0,16 0,18 0,17 0,43 0,41 0,29 0,29 0,29 0,03 0,07 0,08 5,01 5,01 5,01 0,134 0,2 0,213 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,79 0,79 0,79 0,86 2,17 2,08 184 210 249
Sumber: Hasil Perhitungan Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model VII dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,134 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,2 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,213 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model VII, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.10 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model VII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,184 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model VII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,210 m. Sedangkan untuk besarnya 65
amplitudo yang terjadi pada model VII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,249 m. 4.10 Analisa Model VIII (d1/d2: 1,25; p: 914 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model VIII ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 914 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.11 dibawah ini.
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model VIII.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s Amplitudo maksimum mm
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 11,09 11,09 11,09 5,89 5,89 5,89 0,14 0,16 0,21 0,28 0,45 0,63 0,33 0,33 0,33 0,06 0,07 0,09 5,51 5,51 5,51 0,149 0,195 0,35 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,88 0,88 0,88 1,52 2,49 3,48 176 299 350
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model VIII dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,149 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,195 m, dan untuk kecepatan 66
awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,35 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model VIII, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.11 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model VIII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,176 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model VIII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,299 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model VIII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,350 m.
4.11 Analisa Model IX (d1/d2: 2,67; p: 900 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model IX ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 160 mm, diameter 2 (d2) adalah 60 mm dengan panjang 900 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.12 dibawah ini. Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model IX.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m 67
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 12,53 12,53 12,53 6,95 6,95 6,95 0,11 0,16 0,2 0,17 0,26 0,46 0,31 0,31 0,31 0,06 0,07 0,08 5,15 5,51 5,51 0,116 0,176 0,26 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011
frekuensi natural frekuensi eksitasi Amplitudo maksimum
rad/s rad/s mm
0,82 0,86 148
0,82 1,33 243
0,82 2,38 279
Sumber: Hasil Perhitungan.
Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model IX dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,116 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,176 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,26 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model IX, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.12 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model IX dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,148 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model IX dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,243 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model IX dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,279 m.
4.12 Analisa Model X (d1/d2: 0,38; p: 950 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model X ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 60 mm, diameter 2 (d2) adalah 160 mm dengan panjang 950 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.13 dibawah ini.
68
Tabel 4.13 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model X.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s Amplitudo maksimum mm
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 13,21 13,21 13,21 7,34 7,34 7,34 0,02 0,11 0,15 0,03 0,06 0,28 0,29 0,29 0,29 0,06 0,07 0,08 5,01 5,01 5,01 0,019 0,112 0,176 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,79 0,79 0,79 0,17 0,29 1,4 26 154 229
Sumber: Hasil Perhitungan.
Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model X dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,019 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,112 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,176 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model X, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.13 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model X dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,026 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model X dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,154 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model X dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,229 m.
69
4.13 Analisa Model XI (d1/d2: 1,25; p: 935 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model XI ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 935 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.14 dibawah ini. Tabel 4.14 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XI.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s Amplitudo maksimum mm
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 11,34 11,34 11,34 6,02 6,02 6,02 0,12 0,17 0,15 0,19 0,28 0,55 0,32 0,32 0,32 0,06 0,07 0,08 5,45 5,45 5,45 0,124 0,181 0,214 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,87 0,87 0,87 1,04 1,54 2,99 127 186 220
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model XI dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,124 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,181 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,214 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total 70
pada setiap kecepatan arus untuk Model XI, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.14 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model XI dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,127 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model XI dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,186 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model XI dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,220 m.
4.14 Analisa Model XII (d1/d2: 0,38; p: 900 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model XII ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 60 mm, diameter 2 (d2) adalah 160 mm dengan panjang 900 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.15 dibawah ini.
Tabel 4.15 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XII.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m 71
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 12,53 12,53 12,53 6,95 6,95 6,95 0,03 0,13 0,14 0,05 0,34 0,39 0,31 0,31 0,31 0,06 0,07 0,08 5,15 5,15 5,15 0,03 0,15 0,168 -0,1007 -0,1599 -0,1898
A2 frekuensi natural frekuensi eksitasi Amplitudo maksimum
m rad/s rad/s mm
-0,0058 0,82 0,24 37
-0,0091 0,82 1,77 193
-0,011 0,82 2,02 216
Sumber: Hasil Perhitungan.
Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model XII dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,03 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,15 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,168 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model XII, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.15 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model XII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,037 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model XII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,193 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model XII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,216 m.
4.15 Analisa Model XIII (d1/d2: 1; p: 950 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model XIII ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 100 mm dengan panjang 950 mm. Atau bisa dikatakan bahwa untuk Model XIII ini oscillating part berbentuk silinder. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.16 dibawah ini. 72
Tabel 4.16 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XIII.
Uraian satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s Amplitudo maksimum mm
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 13,21 13,21 13,21 7,34 7,34 7,34 0,13 0,15 0,15 0,13 0,51 0,75 0,29 0,29 0,29 0,06 0,07 0,08 5,01 5,01 5,01 0,14 0,2 0,35 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,79 0,79 0,79 0,67 2,56 3,78 188 281 348
Sumber: Hasil Perhitungan.
Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model XIII dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,14 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,2 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,35 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model XIII, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.16 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model XIII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,188 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model XIII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,281 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model XIII dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,348 m. 73
4.16 Analisa Model XIV (d1/d2: 1,25; p: 925 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model XIV ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 80 mm dengan panjang 925 mm. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.17 dibawah ini.
Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XIV.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m frekuensi natural rad/s frekuensi eksitasi rad/s Amplitudo maksimum mm
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 11,22 11,22 11,22 5,95 5,95 5,95 0,05 0,14 0,16 0,19 0,28 0,54 0,33 0,33 0,33 0,06 0,07 0,08 5,48 5,48 5,48 0,12 0,18 0,21 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011 0,87 0,87 0,87 1,26 2,23 5,3 124 181 214
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model XIV dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,12 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,18 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,21 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada 74
setiap kecepatan arus untuk Model XIV, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.17 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model XIV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,124 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model XIV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,181 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model XIV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,214 m.
4.17 Analisa Model XV (d1/d2: 1; p: 900 mm) Mengacu pada spesifikasi system oscillating part bentuk silinder yang digunakan pada Tabel 4.1, maka massa elips dengan tebal 0,02 m dapat diketahui. Berbeda dari model sebelumnya, pada model XV ini memiliki dimensi dengan diameter 1 (d1) adalah 100 mm, diameter 2 (d2) adalah 100 mm dengan panjang 900 mm. Atau bisa dikatakan bahwa untuk Model XV ini oscillating part berbentuk silinder. Sesuai dengan perhitungan manual dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, didapatkan nilai parameter-parameternya untuk tiap kecepatan. Dan di tabulasikan pada Tabel 4.18 dibawah ini. Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Parameter Amplitudo Pada Model XV.
Uraian
satuan Massa kg Massa tambah kg Amplitudo Steady state respon (Uo) m perbandingan frekuensi ( r ) perkalian frekuensi natural (ζωn) α rad damped circular natural freq (ωd) rad/s Amplitudo eksitasi (U) m A1 m A2 m 75
Kecepatan Arus 0,4 m/s 0,5 m/s 0,7 m/s 12,53 12,53 12,53 6,95 6,95 6,95 0,04 0,07 0,14 0,13 0,49 0,73 0,31 0,31 0,31 0,06 0,07 0,08 5,15 5,15 5,15 0,14 0,19 0,33 -0,1007 -0,1599 -0,1898 -0,0058 -0,0091 -0,011
frekuensi natural frekuensi eksitasi Amplitudo maksimum
rad/s rad/s mm
0,82 0,17 175
0,82 0,97 258
0,82 1,29 332
Sumber: Hasil Perhitungan.
Dari tabel diatas, dapat diketahui untuk model XV dengan variasi tiga kecepatan yang berbeda, memiliki nilai amplitudo eksitasi yang berbeda pula. Untuk kecepatan awal aliran 0,4 m/s memiliki nilai amplitudo eksitasi sebesar 0,14 m, kecepatan awal aliran 0,5 m/s sebesar 0,19 m, dan untuk kecepatan awal aliran 0,7 m/s, sebesar 0,33 m. Sedangkan hasil perhitungan respon total pada setiap kecepatan arus untuk Model XV, sesuai dengan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga ditunjukkan pada Tabel 4.18 di atas. Besarnya amplitudo (displasemen terbesar) yang terjadi pada model XV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,4 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik adalah sebesar 0,175 m. Besarnya amplitudo yang terjadi pada model XV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,5 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,258 m. Sedangkan untuk besarnya amplitudo yang terjadi pada model XV dengan kecepatan awal aliran adalah 0,7 m/s pada rentang waktu 1 detik sampai pada 120 detik, sebesar 0,332 m.
4.18 Analisa Hasil Untuk Semua Model Setelah perhitungan dilakukan pada semua model, maka nilai amplitudo yang terjadi merupakan aspek penting dalam menentukan perancangan yang berkaitan dengan generator. Berikut adalah nilai rekapitulasi amplitudo tertinggi dan terendah yang terjadi pada tiap-tiap model yang telah dibuat pemodelan dan perhitungannya.
76
Tabel 4.19 Nilai Amplitudo Tertinggi dan Terendah pada Semua Model untuk Kecepatan 0,4; 0,5 dan 0,7 m/s. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Pemodelan
Kecepatan (m/s) 0,4 Model I (d1/d2 = 1,5; p = 950 0,5 mm) 0,7 0,4 Model II (d1/d2 = 0,67; p = 0,5 950 mm) 0,7 0,4 Model III (d1/d2 = 1,25; p = 0,5 950 mm) 0,7 0,4 Model IV (d1/d2 = 1,25; p = 0,5 900 mm) 0,7 0,4 Model V (d1/d2 = 1,5; p = 900 0,5 mm) 0,7 0,4 Model VI (d1/d2 = 0,67; p = 0,5 900 mm) 0,7 0,4 Model VII (d1/d2 = 2,67; p = 0,5 950 mm) 0,7 0,4 Model VIII (d1/d2 = 1,25; p = 0,5 914 mm) 0,7 0,4 Model IX (d1/d2 = 2,67; p = 0,5 900 mm) 0,7 0,4 Model X (d1/d2 = 0,38; p = 0,5 950 mm) 0,7 0,4 Model XI (d1/d2 = 1,25; p = 0,5 935 mm) 0,7 77
Amplitudo Amplitudo Tertinggi Terendah (mm) (mm) 141 261 152 260 183 295 30 54 94 170 150 277 76 132 79 191 92 296 88 92 102 161 141 205 79 110 102 175 178 249 122 183 143 207 180 267 98 184 126 201 135 249 37 176 62 299 70 350 102 148 108 243 126 279 17 26 104 154 158 229 119 127 174 186 201 220
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Moel XII (d1/d2 = 0,38; p = 900 mm) Model XIII (d1/d2 = 1; p = 950 mm) Model XIV (d1/d2 = 1,25; p = 925 mm) Model XV (d1/d2 = 1; p = 900 mm)
0,4 0,5 0,7 0,4 0,5 0,7 0,4 0,5 0,7 0,4 0,5 0,7
27 140 164 121 189 305 102 150 186 127 175 306
37 193 216 188 281 348 124 181 214 175 258 332
Sumber: Hasil Perhitungan. Dari perhitungan respon total untuk amplitudo tiap model yang tersaji pada tabel 4.19, diperoleh nilai maksimum dan minimum amplitudo yang terjadi pada tiap model elips maupun silinder. Untuk perbandingan pada tiap-tiap model akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
4.19 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Ratio (d1/d2) dan Panjang 950 mm Untuk model I, II, VII, X, dan XIII memiliki ukuran panjang yang sama, tetapi untuk model I memiliki ratio (d1/d2) adalah 1,5; sedangkan untuk model II memiliki ratio (d1/d2) adalah 0,67; untuk model VII memiliki ratio (d1/d2) adalah 2,67; untuk model X memiliki ratio (d1/d2) adalah 0,38; sedangkan untuk model XIII memiliki ratio (d1/d2) adalah 1. Dari nilai amplitudo yang didapat pada tabel sebelumnya,
dapat
digambarkan
pada
perbandingannya.
78
grafik
dibawah
ini
sebagai
400 350
amplitudo (mm)
300 kecepatan aliran 0,4 m/s
250 200
kecepatan aliran 0,5 m/s
150
kecepatan aliran 0,7 m/s
100 50 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ratio d1/d2
Grafik 4.23 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 mm. Pada grafik, dapat diketahui perbandingan nilai amplitudo yang dihasilkan antara model I, II, VII, X, dan XIII. Model XIII yang memiliki nilai ratio 1 menghasilkan nilai amplitudo yang paling maksimum untuk kecepatan aliran 0,5 dan 0,7 m/s. Sedangkan untuk kecepatan aliran 0,4 m/s, nilai amplitudo maksimum dihasilkan oleh model I dengan ratio 1,5. Bentuk geometri pada model I dan VII adalah elips dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk model II dan X adalah elips dengan posisi horisontal. Model XIII berbentuk silinder. Untuk nilai ratio = 1 menunjukkan bahwa oscillating part berbentuk silinder. Nilai amplitudo yang dimiliki oleh silinder dengan nilai volume sama dengan volume elips, lebih besar jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang dimiliki elips.
79
350 300
amplitudo (mm)
250 200
kecepatan aliran 0,4 m/s
150
kecepatan aliran 0,5 m/s
100
kecepatan aliran 0,7 m/s
50 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ratio d1/d2
Grafik 4.24 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 mm. Pada grafik, dapat diketahui perbandingan nilai amplitudo minimum yang dihasilkan antara model I, II, VII, X, dan XIII. Model XIII yang memiliki nilai ratio 1 menghasilkan nilai amplitudo yang paling maksimum untuk kecepatan aliran 0,5 dan 0,7 m/s. Sedangkan untuk kecepatan aliran 0,4 m/s, nilai amplitudo maksimum dihasilkan oleh model I dengan ratio 1,5. Model XIII memiliki nilai amplitudo maksimum dan memiliki nilai amplitudo minimum yang paling besar. Hal tersebut membuktikan bahwa model tersebut adalah paling efektif diantara model dengan perbedaan ratio (d1/d2) dan panjang 950 mm.
4.20 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Panjang dan Ratio (d1/d2): 1,25 Untuk model III, IV, VIII, XI, dan XIV memiliki ratio (d1/d2) sama yaitu 1,25; tetapi memiliki panjang yang berbeda, untuk model III, dengan panjang elips adalah 950 mm, sedangkan untuk model IV dengan panjang 900 mm, model VIII dengan panjang 914 mm, model XI panjang 935 mm, dan untuk model XIV memiliki panjang 925 mm. Dari nilai amplitudo yang didapat pada tabel
80
sebelumnya,
dapat
digambarkan
pada
grafik
dibawah
ini
sebagai
perbandingannya.
400
amplitudo (mm)
350 300 kecepatan aliran 0,4 m/s kecepatan aliran 0,5 m/s kecepatan aliran 0,7 m/s
250 200 150 100 50 0 880
900
920
940
960
panjang (mm)
Grafik 4.25 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan panjang oscillating part dengan ratio d1/d2: 1,25. Pada grafik, dapat diketahui perbandingan nilai amplitudo yang dihasilkan antara model III, IV, VIII, XI, dan XIV. Model VIII yang memiliki panjang elips 914 mm menghasilkan nilai amplitudo yang paling maksimum.
250
amplitudo (mm)
200 150
kecepatan aliran 0,4 m/s
100
kecepatan aliran 0,5 m/s
50
kecepatan aliran 0,7 m/s
0 880
900
920
940
960
panjang (mm)
Grafik 4.26 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan panjang oscillating part dengan ratio d1/d2: 1,25. 81
Pada grafik, dapat diketahui perbandingan nilai amplitudo minimum yang dihasilkan. Untuk nilai amplitudo minimum yang dihasilkan, Model XI memiliki nilai amplitudo minimum yang terbesar. Sedangkan untuk model VIII dengan panjang 914 mm yang memiliki nilai amplitudo maksimum, justru memiliki nilai amplitudo minimum yang paling rendah.
4.21 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Ratio (d1/d2) dan Panjang 900 mm Untuk model V, VI, IX, XII, dan XV memiliki ukuran panjang yang sama, tetapi untuk model V memiliki ratio (d1/d2) adalah 1,5; sedangkan untuk model VI memiliki ratio (d1/d2) adalah 0,67; untuk model IX memiliki ratio (d1/d2) adalah 2,67; model XII memiliki ratio (d1/d2) adalah 0,38; sedangkan untuk model XV memiliki ratio (d1/d2) adalah 1. Dari nilai amplitudo yang didapat pada tabel sebelumnya,
dapat
digambarkan
pada
grafik
dibawah
ini
sebagai
perbandingannya. Yang mebedakan antara model I, II, VII, X, dan XIII dengan model V, VI, IX, XII, dan XV adalah terletak pada panjang silinder, pada model I, II, VII, X, dan XIII panjang silinder adalah 950 mm, sedangkan untuk model V, VI, IX, XII, dan XV panjang silinder adalah 900 mm. Perbedaan panjang juga mempengaruhi besarnya nilai amplitudo yang dihasilkan. Hal ini dapat dibuktikan pada grafik berikut:
350 300
amplitudo (mm)
250
kecepatan aliran 0,4 m/s
200
kecepatan aliran 0,5 m/s
150 100
kecepatan aliran 0,7 m/s
50 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ratio d1/d2
Grafik 4.27 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 900 mm. 82
Pada grafik, dapat diketahui perbandingan nilai amplitudo yang dihasilkan antara model V, VI, IX, XII, dan XV. Model XV yang memiliki nilai ratio 1 menghasilkan nilai amplitudo yang paling maksimum untuk kecepatan aliran 0,5 dan 0,7 m/s. Sedangkan untuk kecepatan aliran 0,4 m/s, nilai amplitudo maksimum dihasilkan oleh model VI dengan ratio 0,67. Bentuk geometri pada model V dan IX adalah elips dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk model VI dan XII adalah elips dengan posisi horisontal. Model XV berbentuk silinder. Untuk nilai ratio = 1 menunjukkan bahwa oscillating part berbentuk silinder. Nilai amplitudo yang dimiliki oleh silinder dengan nilai volume sama dengan volume elips, lebih besar jika dibandingkan dengan nilai amplitudo yang dimiliki elips.
350
amplitudo (mm)
300 250 kecepatan aliran 0,4 m/s
200
kecepatan aliran 0,5 m/s
150 100
kecepatan aliran 0,7 m/s
50 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ratio d1/d2
Grafik 4.28 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 900 mm. Pada grafik, dapat diketahui perbandingan nilai amplitudo minimum yang dihasilkan antara model V, VI, IX, XII, dan XV. Model XV yang memiliki nilai ratio 1 menghasilkan nilai amplitudo yang paling maksimum untuk kecepatan aliran 0,5 dan 0,7 m/s. Sedangkan untuk kecepatan aliran 0,4 m/s, nilai amplitudo maksimum dihasilkan oleh model VI dengan ratio 0,67.
83
Model XV memiliki nilai amplitudo maksimum dan memiliki nilai amplitudo minimum yang paling besar. Hal tersebut membuktikan bahwa model tersebut adalah paling efektif diantara model dengan perbedaan ratio (d1/d2) dan panjang 900 mm.
4.22 Analisa Perbandingan Dimensi Elips dengan Perbedaan Ratio (d1/d2) dengan Panjang 950 mm dan 900 mm 350 300
v: 0,4 m/s ; p: 950 mm
amplitudo (mm)
250
v: 0,5 m/s ; p: 950 mm
200
v: 0,7 m/s ; p: 950 mm
150
v: 0,4 m/s ; p: 900 mm
100
v: 0,5 m/s ; p: 900 mm
50
v: 0,7 m/s ; p: 900 mm
0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ratio d1/d2
Grafik 4.29 Perbandingan nilai amplitudo maksimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 dan 900 mm. Pada grafik menunjukkan nilai amplitudo maksimum terbesar dihasilkan oleh Model XIII dengan panjang 950 mm; kecepatan aliran 0,7 m/s. Pada model tersebut memiliki nilai ratio 1, yaitu oscillating part berbentuk silinder. Jadi model efektif yang dapat menghasilkan nilai amplitudo maksimum yang besar adalah oscillating part bentuk silinder.
84
350
amplitudo (mm)
300 250
v: 0,4 m/s ; p: 950 mm
200
v: 0,5 m/s ; p: 950 mm v: 0,7 m/s ; p: 950 mm
150
v: 0,4 m/s ; p: 900 mm 100 v: 0,5 m/s ; p: 900 mm 50
v: 0,7 m/s ; p: 900 mm
0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ratio d1/d2
Grafik 4.30 Perbandingan nilai amplitudo minimum yang terjadi antara perbedaan ratio d1/d2 dengan panjang oscillating part 950 dan 900 mm. Sedangkan untuk nilai amplitudo minimum, dapat dilihat pada grafik diatas. Nilai amplitudo minimum terbesar dihasilkan oleh Model XV dengan panjang 900 mm; kecepatan aliran 0,7 m/s. Pada model tersebut memiliki nilai ratio 1, yaitu oscillating part berbentuk silinder. Jadi model efektif yang dapat menghasilkan nilai amplitudo maksimum yang besar adalah oscillating part bentuk silinder.
85
Halaman ini sengaja dikosongkan
86
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Setelah dilakukan perhitungan, simulasi dan analisa data, maka untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah sebelumnya, didapatkan kesimpulan bahwa: 1. Untuk pembuatan model simulasi oscillating part bentuk silinder yang digunakan sebagai validasi, unsur-unsur yang mepengaruhinya antara lain jarak kondisi batas antara aliran dengan benda simulasi, selain itu massa pada silinder/elips yang digunakan juga mempengaruhi amplitudo yang terjadi pada oscillatig part, semakin besar massanya maka gaya pegas akan semakin bereaksi memberi batas amplitudo yang lebih kecil. 2. Pada penelitian ini, didapatkan nilai dari amplitudo yang dihasilkan sebesar 17-350 mm pada kecepatan aliran 0,4-0,7 m/s. Nilai amplitudo yang paling besar dihasilkan oleh hasil pemodelan VIII, sedangkan untuk nilai amplitudo yang paling kecil adalah hasil pemodelan X. Jika dibandingkan dengan bentuk silinder yang sudah ada sebelumnya, nilai dari amplutudo yang dihasilkan bentuk elips adalah lebih kecil. Nilai amplitudo yang dihasilkan oleh silinder sebesar 32-375 mm pada kecepatan aliran 0,4-1,0 m/s.
5.2 Saran Beberapa hal yang dapat disarankan pada akhir dari penelitian ini adalah: 1. Dilakukan percobaan/uji laboratorium dengan dimensi yang telah didapat pada penelitian ini. 2. Mempertimbangkan tentang kekasaran permukaan pada silinder/elips. 3. Mempertimbangkan adanya permesinan bantu yang digunakan untuk menyalurkan energy listrik. 4. Dilakukan pemodelan dan uji fisik dengan benda bergerak akibat aliran fluida.
87
Halaman ini sengaja dikosongkan
88
DAFTAR PUSTAKA Bernitsas, M. M. and Raghavan, K., 2006, “VIVACE (Vortex Induced Vibration Aquatic Clean Energy): A New Concept In Generation Of Clean And Renewable Energy From Fluid Flow”. Journal of OMAE, ASME Transactions, Germany, 4-9 June. Bernitsas, M. M. and Raghavan, K., 2008, “The VIVACE Converter: Model Test At High Damping and Reynolds Number Around 105”. Journal of Offshore Mechanics and Arctic Engineering, Hamburg, Germany. Chakrabarti, S.K, 2002, The Theory and Practice of Hydrodynamics and Vibration, Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Chamelia Dirta, M., 2009, Analisis Vibrasi Subsea Pipeline Akibat Aliran Internal dan Eksternal di Sisi Nubi Field Total E&P Indonesie, Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Chen, C., R.S. Mercier, dan J.P. Pontaza, 2004, CFD Simulation of Riser VIV, Deepwater Riser VIV project. Commission of the European Com., DGXII, 1996, Wave Energy Project Result: The Exploitation of Tidal Marine Currents, Report EUR 16683EN. DOE (U.S. Department of Energy), 2000, www.energy.gov/ , Washington DC, accessed at Februari 7th 2010 3:59 pm. http://books.google.co.id/books accessed at June 15th 2010 4:15pm. http://en.wikipedia.org/wiki/Strouhal_number accessed at Februari 12th
2010
8:46am. http://vladvamphire.wordpress.com/tag/span/ accessed at Februari 12th 2010 10:40am. http://www.engineeringtoolbox.com/strouhal-number-d_582.html
accessed
at
Februari 12th 2010 8:49 am. Keulegan, G. H., Carpenter, L. H. 1958, "Forces On Cylinders And Plates In An Oscillating Fluid", Journal of Research of the National Bureau of Standards 60 (5): 423–440.
89
Pontes, M. T., and Falcao, A., 2001, “Ocean Energies: Resources and Utilization”, Proceedings of 18th WEC Congress, Buenos Aires, October, 2001. Rijalullah, Fathan., 2009, Analisa Pengaruh Sudut Terhadap Gaya yang Bekerja Pada Bilah Turbin Sumbu Vertikal Untuk Konversi Energi Arus, Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Sarpkaya, T., 2004, “A Critical Review of the Intrinsic Nature of Vortex Induced Vibrations,” Journal of Fluids and Structures, Vol. 19(4), pp 389-447. Techet,
A.H,
2005,
Vortex
Induced
Vibrations, th
http://www.glasssteelandstone.com, accessed at Februari 7 2010 4:00pm. Vladimir,
2009,
Analisa Vibrasi Sistem
Pipa
Penyalur
Gas-Liquid
(Multiphase) Untuk Meningkatkan Produktivitas Gas Total E&P Indonesie, Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
90
BIODATA PENULIS Yustisia Firdaus dilahirkan di Bojonegoro, 15 Juli 1988. Penulis tinggal di Kota Lamongan. Penulis menjalani pendidikan mulai SD kelas 1-4 di Kota Bojonegoro, dilanjutkan SD kelas 5-6 sampai SMA di Kota Lamongan. Lulus dari SMA pada tahun 2006 penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru lewat jalur PMDK Reguler dan diterima di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Selama kuliah penulis aktif di organisasi kemahasiswaan intra kampus. Penulis juga aktif di berbagai kegiatan sebagai panitia maupun peserta. Berbagai pelatihan dan seminar pernah diikutinya dalam rangka untuk pengembangan dirinya. Penulis pernah menjabat sebagai Staf Divisi Humas di Himpunan Jurusan Teknik Kelautan periode tahun 20072008 dan Sekertaris Kabinet di Himpunan Jurusan Teknik Kelautan periode tahun 20082009. Pada masa kuliah di ITS penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah metodologi penelitian. Saat ini penulis tengah menekuni salah satu bidang keahlian di Jurusan teknik Kelautan, yaitu bidang Lingkungan dan Energi Laut.
91