JURNAL ILMIAH P2M STKIP SILIWANGI BANDUNG Pelindung dan Penanggungjawab Heris Hendriana Euis Eti Rohaeti T. Effendy Suryana Dewan Redaksi Ade Sadikin Akhyadi Dinno Mulyono Wahyu Hidayat Asep Samsudin E.T. Ruseffendi Jozua Sabandar Mohammad Surya Wikanengsih M. Kosim Sirodjuddin Dasep Suprijadi Ansori M. Afrilianto M. Ramdan Witarsa Roni Mugara Ika Mustika Trisnendri
Jurnal Ilmiah P2M STKIP Siliwangi Bertujuan untuk menerbitkan hasil kajian teori pembelajaran, hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang pendidikan. Ketua Wakil Ketua Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli Editor Ahli
Desain dan Layout Dida Firmansyah Indra Permana
Adapun naskah yang dimuat pada jurnal ini meliputi kajian teori bidang pendidikan proses belajar mengajar, serta hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang pendidikan formal, nonformal maupun informal. Yang menjadi sasaran Jurnal Ilmiah P2M STKIP Siliwangi : 1. Para pendidik baik dalam bidang pendidikan formal, nonformal dan informal. 2. Pengamat dan peneliti dalam bidang pendidikan. 3. Pembuat keputusan dalam bidang pendidikan. 4. Para mahasiswa yang berminat mempublikasikan karya ilmiahnya dalam bidang pendidikan.
Administrasi/ Sirkulasi Via Nugraha Komala Tina Rosyana Hendra Husnussalam Anita Anggraini Harga Langganan (Termasuk ongkos kirim) per eksemplar : Lembaga Perorangan
Pulau Jawa Rp. 75.000,Rp. 60.000,-
Diterbitkan oleh : Unit Pelaksana Teknis – Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STKIP Siliwangi Bandung Terbit dalam versi Cetak dan Online Alamat Redaksi UPT P2M STKIP Siliwangi Bandung Gedung D, Kav. D-5 Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi Tlp. (022) 665 8680, Fax (022) 6629735 Website : hhtp://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/p2m Email :
[email protected]
Luar Pulau Jawa Rp. 90.000,Rp. 75.000,-
JURNAL P2M STKIP SILIWANGI ISSN 2355-9004 Volume 3, Nomor 2, November 2016
DAFTAR ISI MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM PEMBUATAN MEDIA PEMBELAJARAN MELALUI KEGIATAN WORKSHOP Muslihudin
50-57
THE ANALYSIS OF DISCRIMINATING POWER OF ENGLISH SUMMATIVE TEST Acep Haryudin, Iman Santoso
58-66
PENDEKATAN KONSTRUKSIVISME DENGAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF GUNA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN KONEKSI MATEMATIS SERTA SELF EFFICACY MAHASISWA CALON GURU DI KOTA CIMAHI Eva Dwi Minarti, Puji Nurfauziah
67-82
USING THINK-PAIR-SHARE (TPS) TO IMPROVE STUDENT’S WRITING CREATIVITY Mundriyah, Aseptiana Parmawati
83-90
DEVELOPING MATERIAL DEVELOPMENT GUIDELINE OFLISTENING FOR GENERAL COMMUNICATION Ningtyas Orilina, Lilis Suryani
91-95
STUDENTS’S PERCEPTION TOWARD THE IMPLEMENTATION OF DIGITAL STORY TELLING IN TEACHING WRITING Yanuarti Apsari, Intan Satriani
96-101
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN VAN HIELE MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI SISWA SMP Siti Chotimah, Hamidah
UNTUK
102-106
PENGIDENTIFIKASIAN KEMAMPUAN PERSONAL MAHASISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PELATIHAN KESADARAN (AWARENES TRAINING) Mekar Ismayani, Yeni Rostikawati, Alfa Mitri Suhara
107-116
PENGANTAR DEWAN REDAKSI Dengan senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, Jurnal Ilmiah P2M STKIP Siliwangi dapat hadir ke hadapan pembaca. Untuk itu, Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para penulis yang telah menuliskan artikelnya untuk dimuat pada volume 3 ini.
Dalam Jurnal Ilmiah P2M STKIP Silwiangi Volume 3 Nomor 2 tahun 2016 ini disajikan enam artikel yang terdiri dari hasil kajian penelitian Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Matematika, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Pengembangan Profesi Keguruan. Mudah-mudahan artikel yang dimuat dalam jurnal ini menajdi masukan dan inspirasi bagi para peneliti dalam bidang pendidikan sejenis ataupun bagi para peneliti lain. Disamping itu, mudahmudahan artikel yang dimuat dapat memberikan sumbangan pada pengembangan pembelajaran di Indonesia.
Akhir kata Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan jurnal ini.
Bandung, 23 November 2016
Dewan Penyunting
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM PEMBUATAN MEDIA PEMBELAJARAN MELALUI KEGIATAN WORKSHOP (Penelitian Tindakan Pada Guru TK di Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat Semester 1 Tahun Pelajaran 2015-2016)
Muslihuddin
[email protected] Widiaiswara LPMP Jawa Barat ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa rendahnya kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran yang dapat memberi pengaruh terhadap kualitas sekolah. Oleh karena itu seorang widyaswara perlu mengembangkan sebuah kegiatan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran. Salah satu kegiatan yang dicobakan melalui penelitian ini adalah workshop pembuatan media pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengukur kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran setelah diterapkan workshop. (2) Untuk mengetahui gambaran kemampuan guru dalam pembuatan dan menggunakan media pembelajaran sebelum dan setelah diterapkan workshop. (3) Meningkatkan kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran melalui penerapan workshop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan diterapkannya workshop pembuatan media, kemampuan guru dalam membuat dan menggunakan media pembelajaran dapat ditingkatkan. Berdasarkan penelitian bahwa kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran nilai rata-ratanya meningkat, peningkatan kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran setelah diterapkan workshop bahan ajar pada siklus I mempunyai nilai rata-rata 70 dengan perbandingan 0% berada pada kategori baik, 70% berada pada kategori cukup dan 30% berada pada kategori kurang. Pada siklus II, rata-rata kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran meningkat menjadi 86,67, dengan perbandingan 100% berada pada kategori baik dan tidak ada yang berada pada pada kategori cukup dan kategori kurang. Dari uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa workshop pembuatan media dapat meningkatkan kemampuan guru dalam membuat dan menggunakan media pembelajaran, karena itu peneliti menyarankan agar workshop pengembangan media disosialisasikan dan digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran. Kata-kata kunci : workshop pembuatan media, dan kemampuan guru, media pembelajaran TK.
ABSTRACT This study is motivated by the fact that teachers‘ inability in making instructional media gives effect to the school quality. Therefore, a Widyaswara instructor needs to develop an activity in order to improve teachers‘ ability in making instructional media. One of activities that is tested in this study is workshop of making instructional media. This study aims at (1) measuring teachers‘ ability in making and using instructional media after attending the workshop. (2) Knowing the description of teachers‘ ability in making and using instructional media before and after attending the workshop. (3) Improving teachers‘ ability in making instructional media through workshop activity. The results of the study show that through the implementation of workshop, teachers‘ ability in making and using instructional media is automatically improved. Based on the results, it is can be said that teachers who are able to use instructional media have better mean score. At the cycle 1, the improvement of teachers‘ ability in making instructional media after attending the workshop reached the mean score of 70 by the comparison of 100% is in the category of high, 70% is on the category of medium, and 30% is on the category of low. At the cycle II, teachers‘ ability in using instructional media reached the mean score of 86, 67 by the comparison of 100% is on the category of high and there are no medium or low categories. Based on the explanation above, it can be concluded that the workshop of how to make appropriate instructional media can improve teachers‘ ability in making and using instructional media; therefore, the researcher suggests that the workshop of how to develop instructional media should be socialized and used as an alternative in improving teachers‘ ability in using instructional media. Keywords: workshop of making media, teachers’ ability, instructional media for kindergarten school
50
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
secara baik dalam pelaksanaan diklat peningkatan mutu bagi pendidik PAUD. Fakta di lapangan, khususnya di kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat, ditemukan masih rendahya kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD dan masyarakat masih memandang remeh pembelajaran yang diberikan di PAUD (sekedar bernyanyi & bermain-main saja), serta proses pembelajaran yang belum sepenuhnya memenuhi standar dan cenderung berorientasi pada pengajaran baca-tulis-hitung (calistung) sehingga menyebabkan rendahnya penghargaan yang diberikan pada pendidik AUD. Dua masalah pokok inilah yang menyebabkan layanan PAUD sulit menyebar lebih luas sedangkan layanan PAUD yang sudah ada susah untuk meningkatkan mutu layanan karena kesulitan untuk mendapatkan calon pendidik-pendidik yang profesional. Sehubungan dengan hal tesebut, Pendidik PAUD dituntut dapat memenuhi kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
A. PENDAHULUAN Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Mulyasa (2007: 3) menjelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu wahana yang berperan untuk meningkatkan kualitas SDM, sehingga kualitas pendidikan harus selalu ditingkatkan. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan.
Oleh karena itu penyelenggaraan workshop dalam rangka memberikan keterampilan dan kemampuan guru dalam membuat media pembelajaran diharapkan dapat memberikan stimulus, untuk meningkatakan kualitas layanan pendidikan anak usia dini. Sehingga jika kualitas pembelajaran meningkat, maka kepercayaan dari orang tua untuk pendidikan anak usia dini akan meningkat pula.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat (3) PP RI No 19 Tahun 2005, dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaianhasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajara nuntuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif danefisien. Disisi lain, keberhasilan pelaksanaan proses pendidikan di tingkat satuan pendidikan merupakan hal yang berhubungan erat dengan guru sebagai pihak yang secara langsung melaksanakan proses pendidikan di sekolah. Arti penting peran guru terhadap kualitas output pendidikan ini tersirat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Pasal 4 dinyatakan, bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran, yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa guru memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, sehingga diarahkan menjadi tenaga profesional bertumpu pada tujuan meningkatnya kualitas output pendidikan. kualitas pendidik di jenjang anak usia dini, harus senantiasa dioptimalkan pelayannnya yang berorientasi pada peningkatan kualitas. Pendidikan Anak Usia Dini sebagai jenjang pendidikan yang sangat penting dalam mempersiapkan anak untuk mengikuti pendidikan dasar. Oleh karena itu, pendidiknya perlu disiapkan
Berdasarkan rumusan masalah kemudian tujuan penelitian ini pun disusun yakni: (1) Mendapatkan deskripsi nyata mengenai kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran dengan dilaksanakannya workshop; (2) Untuk mengetahui proses peningkatan kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran sebelum dan sesudah diterapkan workshop; (3) Untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan guru dalam pembuatan media pembelajaran dengan dilaksanakannya workshop. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan pembelajaran, adapun manfaat lainnya adalah sebagai berikut: (1) Bagi anak, mampu meningkatkan hasil belajar anak dan proses belajar mengajar menjadi lebih bermakna; (2) Bagi Guru, meningkatkan kemampuan guru dalam proses pembelajaran sehingga lebih profesional; (3) Bagi Sekolah, memberikan konstribusi dalam mengembangkan kualitas pembelajarandan meningkatkan kemajuan sekolah.
51
P2M STKIP Siliwangi B.
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
atau training jika diartikan dalam bahasa indonesia artinya pelatihan. Dengan definisi seperti itu sudah sangat jelas bahwa kita benar-benar akan praktek. Workshop atau training bersifat “learning by doing” dipandu oleh pelatih dan peserta benarbenar prakek apa yang diajarkan. Kegiatan workshop atau lokakarya merupakan kegiatan yang sudah sering dilakukan oleh berbagai kalangan, dan meliputi berbagai bidang. Kegiatan workshop memang bermanfaat, sehingga banyak pihak yang menyelenggarakan kegiatan tersebut.
KAJIAN TEORI DAN METODE
1. Kajian Teori Jika ditinjau dari asal katanya, workshop merupakan frasa kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu work (yang memiliki arti kerja ataupun pekerjaan) dan shop (yang memiliki arti toko ataupun tempat menjual sesuatu). Jadi jika diartikan dari frasa kata nya, workshop dapat diartikan sebagai tempat berkumpulnya para pelaku aktivitas (berkaitan dengan bidang dunia kerja) tertentu yang mana dalam tempat ini, para pelaku melakukan interaksi saling menjual gagasan yang ditujukan untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu.
Tujuan workshop adalah untuk memperoleh informasi melalui pengalaman langsung dan saling menyampaikan informasi. Selain itu workshop juga bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan para target atau sasaran. Objeknya seorang atau sekelompok orang. Sasarannya untuk memberikan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan kepada target sesuai kebutuhan masing-masing. Prosesnya mempelajari dan mempraktekkan apa yang menjadi topik sesuai dengan prosedur sehingga menjadi kebiasaan. Hasilnya bisa segera terlihat karena memang langsung praktek. Sehingga ada perubahan yang memungkinkan tercipta setelah mengikuti acara training tersebut.
Bila diartikan secara lengkap, maka workshop merupakan sebuah kegiatan yang sengaja diadakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang berasal dari latar belakang serumpun untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu dengan jalan berdiskusi ataupun saling memberikan pendapat antar satu anggota dengan anggota lainnya Lokakarya atau dalam bahasa Inggris disebut workshop dari Wikipedia bahasa Indonesia ensiklopedia bebas adalah suatu acara dimana beberapa orang berkumpul untuk memecahkan masalah tertentu dan mencari solusinya. Sebuah lokakarya atau workshop adalah pertemuan ilmiah yang kecil.
Dalam prakteknya workshop mempunyai ciri dan prosedur yang dapat ditinjau dari beberapa aspek. Ciri dan Prosedur workshop tersebut hanya digunakan sebagai suatu cara untuk memudahkan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan workshop.
Sekelompok orang yang memiliki perhatian yang sama berkumpul bersama dibawah kepemimpinan beberapa orang ahli untuk menggali satu atau beberapa aspek khusus suatu topik. Sub-sub kelompok dibentuk untuk tujuan mendengarkan ceramah-ceramah, melihat demonstrasidemonstrasi, mendiskusikan berbagai aspek topik, mempelajari, menggerakan, mempraktekan, dan mengevaluasinya. Sebuah woorkshop biasanya terdiri dari Pimpinan workshop, anggota, dan Narasumber.
Beberapa ciri-ciri workshop antara lain: a. Masalah yang dibahas bersifat “life centered” dan muncul dari peserta sendiri b. Cara yang digunakan adalah metode pemecahan masalah ―musyawarah dan penyelidikan‖ c. Mennggunakan resource materials yang memberi bantuan yang besar sekali dalam mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Adapun Prosedur pelakanaan workshop meliputi beberapa hal, antara lain: a. Merumuskan tujuan workshop (output yang akan dicapai) b. Merumuskan pokok-pokok masalah yang akan dibahas secara terperinci c. Menentukan prosedur pemecahan masalah.
Dalam dunia pendidikan workshop adalah suatu device dalam in-service education, cara belajar sesuatu (a way learning) dengan menggunakan sharing of ideas, prosedure give and take ― suatu sistem kerja yang sesuai dengan jiwa gotong royong‖. Beberapa literatur menyebutkan bahwa workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam satu kegiatan terintegrasi. Workshop
Dalam menggolongkan dan mempelajari berbagai disiplin ilmu masih banyak yang belum mengetahui jenis-jenisnya, bertitik tolak dari 52
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
masalah tersebut maka perlu dikemukakan mengenai jenis-jenis workshop berdasarkan berbagai aspek dan kebutuhan. Berikut ini jenisjenis workshop berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan yang ditentukan oleh lembaga/ organisasi yang melaksanakan dan sifat kerjanya.
8) Keikutsertaan dalam forum ilmiah 9) Pengalaman Organisasi di bidang pendidikan dan sosial 10) Penghargaan yang Relevan dengan Bidang Pendidikan Jenis workshop ditinjau dari aspek waktu pelaksanaannya dapat digolongkan menjadi 2, yaitu: 1) Workshop Beruntun Yang dimaksud dengan workshop beruntun adalah worksop yang dilakukan dalam dekade tertentu secara terus menerus atau tidak terputus. Kebanyakan worksho ini 3 hari berturut-turut.
Pengelompokkan workshop yang didasarkan pada aspek ini disesuaikan/tergantung pada lembaga atau organisasi yang menyelenggarakan. Misalnya workshop tentang implementasi internal kontrol pada perusahaan. Konsep pengendalian intern mutakhir menawarkan alternatif cara pandang dan mekanisme sistem pengendalian yang tidak hanya adafttif dan akomodatif, akan tetapi juga memberikan stimulasi bagi berkembangnya inisiatif dan kreativitas pegawai dan manajemen perusahaan. Dengan konsep pengendalian intern yang mutakhir ini auditor internal diharapkan dapat lebih meningkakan peran konsultatif dan katalis sebagai pelayanan terhadap kepentingan perusahaan.
2) Workshop berkala Yang dimaksud dengsn workshop berkala ialah: workshop yang dilakukan dalam waktu yang memiliki jangka waktu tertentu. Misalnya workshop ini dilakukan dalam jangka waktu mingguan atau bulanan.
Tujuan mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan dapat: 1) Memahami konsep pengendalian intern yang sesuai dengan kebutuhan manajemen dan pegawai untuk mengembang inisiatif dan kreativitas dalam bekerja 2) Mengembangkan dan mengimplementasikan konsep pengendalian intern yang sesuai dengan budaya kerja yang berdasarkan empowermant process.
Jenis workshop ditinjau dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2, yaitu: 1) Worksop yang bersifat mengikat Workshop yang diadakan oleh suatu organisasi atau orang-orang tertentu yang membicarakan masalah-masalah program kerja yang sudah dilaksanakan dan menentukan langkah-langkah lanjutan yang hasilnya mengikat peserta workshop. Misalnya workshop tentang Standarisasi ISO atau GMP disuatu perusaaan. 2) Worksop yang bersifat tidak mengikat Workshop yang diadakan oleh orang-orang tertentu yang membicarakan masalah-masalah faktual yang muncul di masyarakat utuk memperoleh pemecahannya dan hasilnya tidak mengikat peserta workshop. Misalnya workshop tentang penurunan emisi gas CO2 pada perumahan dan pemukiman perkotaan sebagai antisipasi pemanasan global.
Adapun materi yang diberikan adalah: Internal Control Overview. Control Environtment and Assessment Control Risk Identification Risk Measurement Control Aktivities Contoh lain adalah workshop pendidikan. Ruang lingkup yang dibahas dalam workshop ini adalah seputar problematika pendidikan. Misalnya workshop sertifikasi guru dalam jabatan. Dalam workshshop ini akan dibahas komponen-komponen dalam sertifikasi yang meliputi: 1) Kualifikasi Akademik 2) Penndidikan dan pelatihan 3) Pengalaman Mengajar 4) Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran 5) Penilaian dari atasan dan pengawas 6) Prestasi Akademik 7) Karya Pengembangan Profesi
Media pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempunyai peranan penting dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Pemanfaatan media seharusnya merupakan bagian yang harus mendapat perhatian guru/fasilitator dalam setiap kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu guru/ fasilitator perlu mempelajari bagaimana menetapkan media pembelajaran agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Pada kenyataannya media pembelajaran masih sering terabaikan dengan berbagai alasan, antara 53
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan mengajar, sulit mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap guru/ fasilitator telah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan mengenai media pembelajaran.
dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar mengajar. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang dapat disediakan oleh sekolah, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru sekurang-kurangnya dapat menggunakan alat yang murah dan bersahaja tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan.
Kata media merupakan bentuk jamak dari ‗Medium‘, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Secara khusus, kata tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa informasi dari satu sumber kepada penerima. Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa materi ajar dari pengajar kepada peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan keterampilan membuat media pengajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang media pengajaran, yang meliputi (Hamalik, 1994 : 6) : Media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; Fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan; Seluk-beluk proses belajar; Hubungan antara metode mengajar dan media pendidikan; Nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran; Pemilihan dan penggunaan media pendidikan; Berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan; Media pendidikan dalam setiap mata pelajaran; Usaha inovasi dalam media pendidikan.
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (Sadiman, 2002: 6). Latuheru (1988:14), menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna.Berdasarkan definisi tersebut, media pembelajaran memiliki manfaat yang besar dalam memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran. Media pembelajaran yang digunakan harus dapat menarik perhatian siswa pada kegiatan belajar mengajar dan lebih merangsang kegiatan belajar siswa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya. Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ‗tengah‘, ‗perantara‘ atau ‗pengantar‘. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut Media Pembelajaran. Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang sangat penting adalah metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media
Satu hal yang perlu diingat bahwa peranan media tidak akan terlihat apabila penggunaannya tidak sejalan dengan isi dan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Secanggih apa pun media tersebut, tidak dapat dikatakan menunjang pembelajaran apabila keberadaannya menyimpang dari isi dan tujuan pembelajarannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan 54
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.
Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruhpengaruh psikologis terhadap siswa.Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. Tetapi secara lebh khusus ada beberapa manfaat media yang lebih rinci Kemp dan Dayton (1985) misalnya, mengidentifikasi beberapa manfaat media dalam pembelajaran yaitu : Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif Efisiensi dalam waktu dan tenaga Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja Media dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar Merubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif.
belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu. Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya misalnya melalui karya wisata. Kunjungan-kunjungan ke museum atau kebun binatang.
Media Pembelajaran banyak sekali jenis dan macamnya. Mulai yang paling kecil sederhana dan murah hingga media yang canggih dan mahal harganya. Ada media yang dapat dibuat oleh guru sendiri, ada media yang diproduksi pabrik. Ada media yang sudah tersedia di lingkungan yang langsung dapat kita manfaatkan, ada pula media yang secara khusus sengaja dirancang untuk keperluan pembelajaran. Meskipun media banyak ragamnya, namun kenyataannya tidak banyak jenis media yang biasa digunakan oleh guru di sekolah. Beberapa media yang paling akrab dan hampir semua sekolah memanfaatkan adalah media cetak (buku). selain itu banyak juga sekolah yang telah memanfaatkan jenis media lain gambar, model, dan Overhead Projector (OHP) dan obyekobyek nyata. Sedangkan media lain seperti kaset audio, video, VCD, slide (film bingkai), program pembelajaran komputer masih jarang digunakan meskipun sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar guru. 2. Metode Penelitian Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif analitik melalui tindakan, yaitu studi yang di gunakan untuk mengumpulkan data, mendeskritifkan, mengolah, menganalisa, dan menyimpulkan data sehingga memperoleh gambaran yang sistematis. Penelitian ini dilaksanakan di PAUD yang ada di lingkungan Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat semester ganjil tahun pelajaran 2015-2016. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2015. Materi pembahasan yang dikaji dalam penelitian tindakan ini yaitu pembuatan media pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 2 pertemuan pelaksanaan workshop.
Selain beberapa manfaat media seperti yang dikemukakan oleh Kemp dan Dayton tersebut, tentu saja kita masih dapat menemukan banyak manfaat-manfaat praktis yang lain. Manfaat praktis media pembelajaran di dalam proses belajar mengajar sebagai berikut : Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar. Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk
Penelitian ini dibagi dalam 2 siklus yang disesuaikan dengan alokasi waktu dan topik yang dipilih. Masing-masing siklus terdiri dari 4 langkah 55
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
(Kemmis dan MC Taggart,1988) sebagaik berikut; a) perencanaan, yaitu merumuskan masalah, menentukan tujuan, dan metode-metode penelitian serta membuat rencana tindakan, (b) tindakan yang dilakukan sebagai upaya perubahan yang dilakukan, (c) observasi, dilakukan secara sistematis untuk mengamati sistem yang dapak tidakan terhadap proses belajar mengajar, dan (d) refleksi, yaitu mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau dampak tindakan yang dilakukan.
Pelaksanaan workshop pembuatan media akademik ini dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran karena dengan adanya workshop pembuatan media ini guru menjadi termotivasi untuk menggunakan berbagai media pembelajaran yang dapat menunjang keberhasilan anak dalam belajar. Peningkatan pemanfaatan media pembelajaran yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilaksanakannya workshop pembuatan media juga disebabkan karena dengan workshop pembuatan media, para guru memahami arti penting sebuah media dalam pembelajaran. Hal tersebut membuat guru memilih dan menggunakan media pembelajaran dengan lebih baik lagi.
Inrtumen yang digunakan dalam penelitian ini lembar observasi, lembar penilaian praktek digunakan untuk mengetahui kemampuan guru dalam pembuatan dan penggunanaan media. Setelah data terkumpul dan diperiksa, bila memenuhi persaratan maka data tersebut ditabulasikan dalam tabel yang siap untuk pengolahan, setelah dicek kebenarannya, kemudian di hitung persentasenya. C. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
D. KESIMPULAN 1. Workshop pembuatan media dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran. 2. Proses peningkatan kemampuan guru ditandai dengan meningkatnya motivasi mereka untuk melakukan perbaikan dalam pembelajaran. Hal ini sangat terlihat dalam pelaksanaan kegiatan workshop dimana guru lebih antusias dalam memahami materi workshop dan juga saat simulasi dan praktek pembuatan media pembelajaran. 3. Besarnya peningkatan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran setelah diterapkan workshop pembuatan media pada siklus I mempunyai nilai rata-rata 70 dengan perbandingan 0% berada pada kategori baik, 70% berada pada kategori cukup dan 30% berada pada kategori kurang. Pada siklus II, rata-rata kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran meningkat menjadi 86,67, dengan perbandingan 100% berada pada kategori baik dan tidak ada yang berada pada pada kategori cukup dan kategori kurang
DAN
Dari hasil penelitian dengan melaksanakan workshop pembuatan media, kemudian penulis menganalisis apakah pelaksanaan workshop pembuatan media tersebut dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran di Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Berikut ini adalah data yang diperoleh dari hasil siklus pertama dan siklus ke dua. Berdasarkan hasil penelitian selama dua siklus yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran di Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat, terlihat pada pelaksanaan siklus pertama dan ke dua telah menunjukkan bahwa dengan diterapkannya workshop pembuatan media kunjungn kelas, guru telah menggunakan media pembelajaran yang lebih menarik perhatian anak. Selain itu ketika menggunakan media, guru telah banyak melibatkan anak dalam pembelajaran. Kemudian peneliti melakukan workshop pembuatan media terhadap guru. Pada akhir kegiatan, peneliti mengevaluasi kegiatan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah ada peningkatan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran di Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata nilai workshop pembuatan media siklus 1 dan siklus ke 2 yang tersaji pada grafik 4.6 berikut.
Dengan melihat hasil berdasarkan kajian teoritis dan temuan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menyarankan sebagai berikut : 1) Variasi kegiatan diperlukan oleh kepala sekolah untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran. Salah satunya mencoba menerapkan workshop pembuatan media. 2) Perlu diadakannya sosialisasi workshop pembuatan media agar para kepala sekolah dan guru bisa memahami dan dapat menerapkan secara baik di lapangan. 56
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
DAFTAR PUSTAKA Azhar
Arsyad. 2000. Media Pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada Akib, Zainal (2009). Pengembangan Profesi Guru dan Pengawas Sekolah dengan Penelitian Tindakan Kelas/Sekolah. Bandung: Yrama Widia Hamalik, Oemar. 1999. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyasa, Endang. (2009). Penelitian Tindakan Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Rustaman, Nuryani Y. Strategi Belajar Mengajar. Diktat Mata Kuliah. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan. Sumiati, dkk. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung : CV Wahana Prima. Sundayana, Rustina. 2013. Media Pembelajaran Matematika (untuk guru, calon guru, orangtua, dan para pecinta matematika). Bandung : ALFABETA Suwantikno, Tikky. (2007). Supervisi Guru. Tidak Diterbitkan. Ismail. Andang. (2006). Education Games Menjadi Cerdas dan Ceria dengan Permainan Edukatif. Yogyakarta: Pilar Media. Jamaris, M (2004). Assesmen Pendidikan Anak Usia Dini, Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Anak Usia Dini di Jakarta. Kwartolo. Yuli. (2005). Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Sumber intrapersonal ways of knowing (Adapted by Leslie Wesman from the work of Howard Gardner, Thomas Armstrong. Linda Campbell, and David Lazear. Lwin, M. at.all. (2008). Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan. Alih bahasa: Christiane Sujana. Jakarta: Indeks. M. Husna. (2009) Permainan Tradisional Indonesia Untuk Ketangkasan, dan Keakraban Sesuai untuk Edukasi, Training, dan Outbond. Yogyakarta: ANDI. Musfiroh, Tadkiroatun. (2011). Pengembangan Kecerdasan Majemuk. Jakarta: Universitas Terbuka.
57
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
THE ANALYIS OF DISCRIMINATING POWER OF ENGLISH SUMMATIVE TEST 1)
Acep Haryudin,
2)
Iman Santoso
1)
[email protected] 2)
[email protected] 1,2)
STKIP SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis daya pembeda dari tes sumatif bahasa Inggris kelas dua SMP N 2 Padalarang. Melalui penelitian ini, diharapkan guru maupun para pembuat tes mendapatkan pengetahuan, gagasan dan pemahaman cara membuat test yang baik dan benar terutama pada bagian kualitas daya pembeda tes summatif bahasa Inggris, sehingga guru atau para pembuat tes dapat menyuguhkan soal yang sesuai dengan standar dan membantu siswa- siswa yang mendapatkan nilai rendah. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian analisis deskriptif karena penelitian ini menggambarkan kondisi objektif daya pembeda tes summative bahasa Inggris pada semester genap siswa kelas dua SMP N 2 Padalarang dengan menganalisis kemampuan butir – butir soal tes summative bahasa Inggris untuk membedakan kemampuan para siswa antara satu sama yang lainnya. Penelitian ini juga termasuk penelitian kuantitatif, karena peneliti menggunakan beberapa data penghitungan yang dianalisa dengan statistik. Hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa tes sumatif bahasa Inggris yang diujikan pada siswa kelas kedua SMP N 2 Padalarang memiliki daya pembeda yang baik, karena 35 item dengan kategori 0.25 sampai 0.75 atau 70% dari item tes telah memenuhi kriteria dengan daya diskriminasi positif. Keywords: Analisis, Daya Pembeda dan Tes Sumatif Bahasa Inggris ABSTRACT Evaluation gives information about how successful the efforts of education have been. It helps teachers to get the information about the progress of students‘ achievement of the material they have learned in order to make decision. The purpose of this research is to analyze the discriminating power of English Summative test at second grade of SMP N 2 Padalarang . Through this research, it is hoped that the teachers or test makers can get clear description about the quality of discriminating power of English summative, so they are able to help the poor students. This study is categorized as descriptive analysis; because it is intended to describe the objective condition about the discriminating power of students‘ English summative test at exact semester of second grade of SMP N 2 Padalarang by analyzing the quality of English summative test items in discriminating students‘ achievement. This research is considered as quantitative research, because the researcher used some numerical data which is analyzed statistically. The finding of this study is that the English summative test which is tested at second grade of SMP N 2 Padalarang has good discriminating power, because 35 items ranging from 0.25 until 0.75 (70%) of the test items have fulfilled the criteria of a positive discriminating power. Key words: Analysis, Discriminating Power, English Summative test
interpreting information to determine the extent to which pupils are achieving instructional. Evaluation gives information about how successful the efforts of education have been. It helps teachers to get the information about the progress of students‘ achievement of the material they have learned in order to make decision. Evaluation is defined as the systematic gathering of information for the purpose of making decision (Lyle F. Bahman, 1990:20).
A. INTRODUCTION There are three domain or components in education prosedures to know the quality of teaching learning prosess, they are study introductionary, study of prosess and study of evaluation or assessment. The indicators that education is has been successed we can know in out put or product of students abilities and capabilities. To know the out put we neew an instruments to measure its product is evaluation and assessment. Evaluation may be defined as the systematic process of collecting, analyzing, and
A test in plain words is ―A method of measuring person‘ ability or knowledge in a given domain‖ 58
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
(H. Douglass, 2001:384) Tests are used for pedagogical purposes, either as a mean of motivating students to study or as a mean of reviewing the material taught. Students usually tend to study harder when they are going to have an examination rather than when they are not and they will emphasize in studying the material that expect to be tested.
b. How is the procedure to make English Summative test? c. How is the English Teacher measure English Summative test well? d. How is the test maker decide a good discriminating power in summative test? 2. Research Question Is the English Summative Test in Junior High School Class two has an good Discriminating Power ?
Item analysis provides a quick, simple technique for appraising the effectiveness of individual test items (Norman E. Gronlund, 1981: 262) Item analysis procedures provide information for evaluating the functional effectiveness of each item and for detecting weaknesses that should be corrected. This information is useful when reviewing the test with students and it is indispensable when building a file of high quality items. There are three characteristics which are usually determined for a test item: first, item difficulty; it indicates how difficult each item was for the group. Second, discriminatory power; it tells how well the item performs in separating the better students from the poorer students. Third, item distracter; for multiple choice items, it indicates how effective each alternative was for the item. So it can be concluded that item analysis provide us the data whether the test item is too difficult or too easy, whether it can discriminate the students or not, and whether all the alternatives functioned as intended. The reason why the Researchers chooses the discriminating power is because she thinks that the discriminating power deals more with the students than the other two choices-the level on difficulty and the effectiveness of the distracter.
3. Research Objective The objective of this research is to measure the quality of English summative test and to know whether the English summative test items have a good discriminating power or not. 4. Limitation of the Problems To make this research is easy to be understood, the Researchers limited this research, are: a. The only English Summative test that have been analysed for Junior High school. b. This research only analyze the Discriminationg Power English Summative Test. 5. Benefits This research is expected can give benefits in theoritical or practical, such as: a. Theoretical Benefit To develope the knowledge about how to mkae a good English Summative test with a right and good. b. Practical Benefits 1. To give knowledge to English Summative test makers in order that focused on best quality of English summative test 2. To enrich the literature about the characteristic and procedure in making English Summative Test
Based on the explanation above, the Researchers tries to limit the problem of item analysis that it will discuss, so he just focuses on the discriminating power of the test item. The test item that will be analyzed by the Researchers is a final test of Exact semester which is tested on the second grade of SMP N 2 Padalarang. So, the Researchers tries to analyze and interpret concerning “The Analyis of Discriminating Power of English Summative Test”. And this research will be conducted at second grade of SMPN 2 Padalarang.
B. LITERATURE REVIEW 1. The Definition of Test Test is an important part in Enducation field, this is being done to know the students‘ knowledge improvement. As Brown (2004: 3) state that ―tests as methods of measuring a person‘s ability, knowledge, or performance in a given domain. Most common forms of tests include fill–in–the blanks, sentence completion, open answers, and multiple choices‖. So, if we want to know the students‘ quality we have to give them test.
1. Identification of Problems Based on the background above, the Researchers identify some problems, such as: a. Is there an English language Expert team to make test item for Junior High School ? 59
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
2. Types of Test Test can be categorized according to the types of information they provide. This categorization will prove useful both in deciding whether an existing test is suitable for a particular purpose and in writing appropriate new tests where these are necessary (Arthur Hughes, 2003:5). Test can be classified based on its purpose and based on its test maker.
3. The Characteristic of a Good Test The most essential characteristic of the good test can be classified into three main aspect, they are, validity, reliability, and practicality (Norman E Gronlund, 51). 2. Item Analysis To know the quality some testing or summative test, we have to analyze it in deep analysisi. Item Analysisi is the process to analyze the items wheter its has on the right procedure in form of test or not and selection of appropriate language items is not enough by itself to ensure a good test. Each question needs to function properly; otherwise, it can weaken the exam. Fortunately, there are some rather simple statistical ways of checking individuals‟ item. This is done by studying the students‟ responses to each item. When formalized this procedure is called ―item analysis ( Harold S. Madsen, 1983:180). An item analysis tells us basically three things: how difficult each item is, whether or not the question discriminate or tells the difference between high and low students, and which distracters are working as they should. An analysis like this is used with any important examfor example, review tests and tests given at the end of a school term or course.
a. Test Based on purposes 1) Diagnostic Test The diagnostic tests seek to identify those are in which a student needs further helps. 2) Achievement Test Achievement tests measure what a person has learnt during a course of instruction. It is given at the end of the course. There are two kinds of achievement test, final achievement test and progress achievement test (Desmon Allison, 1999:80). 3) Proficiency test Proficiency test are designed to measure people‟s ability in a language regardless of any training they may have had in that language. Rather, it is based on a specification of what candidates have to be able to do in the language in order to be considered proficient (Arthur Hughes, 1990:11.).
1. The Definition of Item Analysis According to Nitko in his book he stated that, ―Item analysis refers to the process of collecting, summarizing, and using information about individual test items, especially information about pupil‟s responses to items (Anthony J. Nitko, 1983:284).
4) Aptitude Test Aptitude tests are often used in selecting individuals for jobs, for admission to training program, for scholarship, and for many other purposes. Sometimes aptitude tests are used for classifying individuals, as when students are assigned to different ability-grouped sections of the same course (Howard B. Lyman, Allyn & Bacon, 1998:22).
Item analysis usually provides two kinds of information on items: item facility, which helps us decide if test items are at the right level for the target group, and item discrimination, which allows us to see if individual items are providing information on candidates‟ abilities consistent with that provided by the other items on the test. Here the Researchers concluded that item analysis is the process of collecting information about pupil‟s responses to the items, to see the quality of test items. More specific, item analysis information can tell us if an item was too easy or too hard, how well it discriminated between high and low scores on the test and whether all of the alternatives function as intended. Item analysis data also aids in detecting specific technical flaws and thus further provides information for improving the test items.
b. Based on the Test Maker 1) Standardized Test Standardized tests are constructed by test specialists working with curriculum experts and teachers. 2) Teacher-Made Test Standardized tests, in contrast, are used to compare students‟ performance in different classes or schools (Gilbert Sax, Belmont: Wadsworth, 1980:16-18). Teacher made test are constructed by teachers for use within their own classroom. Their effectiveness depends on the skill of the teacher and his or her knowledge of test construction. 60
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Negative value on D= Very poor (Anas Sudijono, 2006: 389).
2. Discriminating Power Item discriminatory power of a test is its ability to separate good students from poor students. These students groups are defined by their scores on the test as whole. The difference between the percentage of the top scoring 27% and bottom scoring 27% of students get the item right in its discrimination index ( H.J.X. Fernandes, 1984: 27). As well as knowing how difficult an item is, it is important to know how it discriminates, that is how well it distinguishes between students at different levels of ability.
C. RESEARCH METHODOLOGY 1. Research Method This research is categorized as descriptive analysis; because it is intended to describe the objective condition about the discriminating power of students‘ summative test a Exact semester of second grade of SMPN 2 Padalarang. Besides, this study is called analysis, because it analyze how well the items of English summative test can discriminate between the students who have achieved well and those who have achieved poorly. This study is considered as quantitative research, because the Researchers used some numerical data which is analyzed statistically.
The discrimination index can range from -1 to +1. Items with positive values of the discrimination index are desired because those are the items that are contributing to the usefulness of the total score. When the discrimination index is near zero, it indicates that the item is contributing nothing to the discriminating power of the overall test (William Wiersma, 1990:245). When a larger proportion of students in the lower group got the item right more than those in the upper group, it discriminates negatively. And since more students in the upper group than in the lower group got the item right, it is discriminating positively (Gilbert Sax, 1999:191).
2. Research Setting The research was conducted at SMPN 2 Padalarang This is located at Jl. G. A. Manulang, West Bandung. The Researchers did the research in Maret 2016. The Researchers took the English summative test papers and the students‘ answer sheets of second grade period of 2015-2016 to be analyzed. 3. Technique of Sample Taking The Researchers took the sample from second year students of SMPN 2 Padalarang. The total number of second year students is 238 students; those are divided into 6 classes. The Researchers took 25% of the total number of the second year students as a sample. That is 25% x 238 = 60 students. The Researchers used an ordinal sampling to get the students‘ answer sheet. The Researchers divides the students into three groups; they are upper, middle, and lower group. Then the Researchers takes upper and lower group only to be analyzed.
Item discriminating power can be obtained by subtracting the number of students in the lower group who got the item right (U) from the number of students in the upper group who got the tem right (L) and dividing by the total number of students in one group included in the item analysis (N). It summarized in formula form, as below: DI = U - L N Where: DI = the index of discriminating power U = the number of pupils in the upper group who answered the item correctly L = the number of pupils in the lower group who answered the item correctly N = number of pupils in each of the groups (Charles D. Hopkins & Richard L. Antes, 1990:279).
4. Technique of Data Collecting To collect data connecting with the topic of discussion, the Researchers came to the school to get the permit from the headmaster to take students‘ answer sheet and the test question paper of English summative test of second year students of SMPN 2 Padalarang to be analyzed.
The classifications of the index of discriminating power (D) are: DI = 0.70 – 1.00 = Excellent 0.40 – 0.70 = Good 0.20 – 0.40 = Satisfactory ≤ 0.20 = Poor 61
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
5. Research Instrument a. Students‘ answer sheet The students answer sheet is papers in which the students give their answer that correspond to the English summative test. The English summative test that the Researchers used is the final exact semester for the second year students of SMPN 2 Padalarang academic year 2015-2016, prepared by the teacher english team especially by the school that is has been implemented 13 curriculum (kurtilas).
book “Classroom Measurement and Evaluation” demonstrated that the selection of criterion groups based upon the upper 27 % and lower 27 % of the papers provide the greatest confidence that the upper group is superior in the trait measured by the test as compared to the lower group. The middle 46 percent of the papers is not used when 27 % in the upper and 27 % in the lower groups are employed in item analysis (Charles D. Hopkins, Richard L. Antes, 1990:275).
b. Interview to the stakeholders such as teachers and the members of MGMP
Based on that statement, the Researcherss classified the students into three groups; upper, middle and lower group. The Researchers took only 27% of the lower group and 27% of the upper group for this analysis. And the rest students that belong to the middle group will not take part to this analysis. The next table is the students‘ scores and group position in English summative test.
6. Technique of Data Analysis In this research, the researcehr used quantitative method to analyze the discriminating power of English summative test items of second year of SMPN 2 Padalarang by using a statistic formula, namely, the Discriminating Power Index: DI = U - L N Where: DI= the index of discriminating power U= the number of pupils in the upper group who an swered the item correctly L= the number of pupils in the lower group who an swered the item correctly N= number of pupils in each of the groups (Charles D. Hopkins & Richard L. Antes, 1990: 279)
Table 4.1 The Students’ Scores and Group Position of English Summative Test In the Exact Semester SCORES NO UPPER NO MIDDLE NO LOWER 1 82 17 64 45 52 2 80 18 62 46 50 3 78 19 62 47 50 4 76 20 60 48 50 5 76 21 60 49 48 6 74 22 60 50 46 7 74 23 60 51 46 8 74 24 60 52 44 9 74 25 58 53 44 10 72 26 58 54 42 11 72 27 58 55 40 12 72 28 58 56 38 13 72 29 58 57 34 14 64 30 58 58 34 15 64 31 58 59 34 16 64 32 56 60 32 33 56 34 56 35 56 36 56 37 54 38 54 39 54 40 54 41 54 42 54 43 52 44 52
The classifications of the index of discriminating power (D) are: DI =
0.70 – 1.00 0.40 – 0.70 0.20 – 0.40 ≤ 0.20
= Excellent = Good = Satisfactory = Poor
Negative value on D = Very poor ((Anas Sudijono, 2006: 389). D. RESEARCH FINDINGS 1. Description of Data The Researcherss usese the English summative test in the exact semester of second grade of SMP N 2 Padalarang as the data. This English summative test was held on Wednesday, July 13rd 2015, that must be finished in 120 minutes. The total numbers of test items are 50 questions, which all of them are multiple choice items. The total numbers of students that took part in this analysis are 60 students. Kelley in the 62
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016 Total correct answer Item DI = U-L U- L Upper Lower number N Group Group
We can see at Table 4.1, it shows that students who are taking the test are classified into 3 groups: upper group, middle group and lower group. The Researchers took 27% or 16 students from upper and lower group to be analyzed. The highest score in upper group is gained by one student in score 82. The lowest score in upper group is gained by three students in the same score 64. Meanwhile the highest score in lower group is gained by one student in the same score 52. So, the lowest score in lower group is gained by one student in score 32. Before the Researchers analyzes the data, the Researchers have calculated the data into statistic calculation. The Researchers used Discrimination Index formula to find the discriminating power criteria of English summative test. The table is as follows: Table 4.2 The Discriminating Power Index of the Upper and Lower Group Total correct answer Item DI = U-L U- L Upper Lower number N Group Group
1 2 3 4 5 6 7 8
0 16 16 12 15 13 11 12
0 7 16 11 5 6 2 6
0 9 0 1 10 7 9 6
0 0.56 0 0.06 0.62 0.43 0.56 0.37
9 10
12 15
11 9
1 6
0.06 0.37
11
13
7
6
0.37
12 13
1 14
1 10
0 4
0 0.25
14 15 16 17 18 19
11 15 11 14 10 10
10 4 2 1 9 6
1 11 9 13 1 4
0.06 0.68 0.56 0.81 0.06 0.25
20 21
10 5
9 0
1 5
0.06 0.31
22 23
3 16
0 13
3 3
0.18 0.18
Remark*
Poor Good Poor Poor Good Good Good Satisfactor y Poor Satisfactor y Satisfactor y Poor Satisfactor y Poor Good Good Excellent Poor Satisfactor y Poor Satisfactor y Poor Poor
24 25 26 27 28
7 14 7 9 14
12 7 10 7 8
-5 7 -3 2 6
29
12
7
5
30 31
13 8
4 4
9 4
32 33 34 35 36 37
1 12 13 14 16 11
2 9 6 2 8 6
-1 3 7 12 8 5
38
11
7
4
39 40 41 42 43 44
10 16 12 16 15 7
2 8 2 16 7 2
8 8 10 0 8 5
45 46 47
15 13 12
12 4 7
3 9 5
48 49
15 14
7 9
8 5
50
11
7
4
Remark*
-0.31 Very poor 0.43 Good -0.18 Very poor 0.13 Poor 0.37 Satisfactor y 0.31 Satisfactor y 0.56 Good 0.25 Satisfactor y -0.06 Very Poor 0.18 Poor 0.43 Good 0.75 Excellent 0.50 Good 0.31 Satisfactor y 0.25 Satisfactor y 0.50 Good 0.50 Good 0.62 Good 0 Poor 0.50 Good 0.31 Satisfactor y 0.18 Poor 0.56 Good 0.31 Satisfactor y 0.50 Good 0.31 Satisfactor y 0.25 Satisfactor y
* (Anas Sudijono, 2006:389). Based on the data above, the percentage of discriminating power of English summative test is: Table 4.3 The percentage of Discriminating Power
63
No
Discrimina- Total ting power item
1
Excellent
2
Good
2
%
Item number
4% 17, 35
16 32% 2, 5, 6, 7, 15, 16, 25,30, 34, 36, 39, 40, 41, 43, 46, 48
P2M STKIP Siliwangi No
Discrimina- Total ting power item
%
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
be in decimal then the Researchers categorized each item according to this formula: The classifications of the index of discriminating power (D) are:
Item number
3 Satisfactor 15 30% 8, 10, 11, 13, 19, 21,28, y 29, 31, 37, 38, 44, 47, 49, 50 4 Poor 14 28% 1, 3, 4, 9, 12, 14, 18,20, 22, 23, 27, 33, 42, 45 5 Very Poor
3
DI=
6% 24, 26, 32
The table above showed that: there are 2 test items (4%) are categorized into excellent test item, which is showed by the test items number 17 and 35. It is categorized as excellent test item because its discriminating index is in range between 0.70 – 1.00. There are 16 test items (32%) are categorized into good items, that range from 0.40 – 0.69, they are test items number 2, 5, 6, 7, 15, 16, 25, 30, 34, 36, 39, 40, 41, 43, 46, and 48. There are 15 test items (30%) are categorized as satisfactory test items for their discriminating index are in range 0.20 – 0.39, they are test items number 8, 10, 11, 13, 19, 21, 28, 29, 31, 37, 38, 44, 47, 49, and 50.
0.70 – 1.00 = Excellent 0.40 – 0.70 = Good 0.20 – 0.40 = Satisfactory ≤ 0.20 = Poor Negative value on D = Very poor
Based on the data of item analysis result in discriminating power above, the Researchers can conclude that from 50 items: 1. There are 33 test items (66%) are categorized into good test items which is range from 0.25 – 0.81. 2. There are 14 test items (28%) are categorized into poor test items because their discriminating index are range in 0.00 – 0.18. 3. There are 3 test items (6%) are categorized as very poor item as their discriminating index are range in negative values that -0.06 – -0.31 3. Data Interpretation For whole items, the Researchers can interpret that the discriminating power of English summative test prepared by School which has been Applied Kurtilas tested at the second grade of SMP N 2 Padalarang belongs to good discriminating power, because there are 33 test items or 66% from 50 test items is ranging from 0.25 – 0.81.
Meanwhile, 14 test items (28%) are categorized into poor test items because their discriminating index are range in 0.00 – 0.19, they are test items number1, 3, 4, 9, 12, 14, 18, 20, 22, 23, 27, 33, 42, and 45. At last, there are 3 test items (6%) are categorized as very poor item as their discriminating index are range in negative values.
Based on the table 4.2 on the previous page, the Researchers concluded the achievement of upper group students in their English test. From 50 multiple choice items, none of the students got the perfect score. The following description tells about the responses of each item: 1. There is no student who answered the item no 1 correctly. 2. There is 1 student who answered the item no 12 and 32 correctly. 3. There are 3 students who answered the item no 22 correctly. 4. There are 4 students who answered the item no 25 correctly. 5. There are 5 students who answered the item no 21 correctly. 6. There are 7 students who answered the item no 24, 26, and 44 correctly. 7. There are 8 students who answered the item no 31 correctly. 8. There are 9 students who answered the item no 27 correctly.
2. Data Analysis In analyzing the discriminating power of the data, the Researchers listed the students‘ responses of each number of the test firstly (see appendix). Then the next step is to make a format of item analysis. This format and the result of this format labeled table 4.2. The last step is to count discriminating power of all items using this formula: DI = U - L N Where: DI = the index of discriminating power U = the number of pupils in the lower group who answered the item correctly L = the number of pupils in the lower group who answered the item correctly N = number of pupils in each of the groups The result of this last step can be seen also in the table 4.2 In this table, result of each item will 64
P2M STKIP Siliwangi 9. There are 10 students who answered the no 18, 19, 20, and 39 correctly. 10. There are 11 students who answered the no 7, 14, 16, 37, 38, and 50 correctly. 11. There are 12 students who answered the no 4, 8, 9, 29, 33, 41, and 47 correctly. 12. There are 13 students who answered the no 6, 11, 30, 34, and 46 correctly. 13. There are 14 students who answered the no 13, 17, 28, 35, and 49 correctly. 14. There are 15 students who answered the no 5, 10, 15, 43, 45, and 48 correctly. 15. There are 16 students who answered the no 2, 3, 23, 36, 40, and 42 correctly.
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
item
1.
item 2. item item 3. item item 4. item
Teachers, the teachers should give good techniques when they prepare to make summative test items. Test makers should make and give test items which have satisfactory, good and excellent criteria in order can be used by the teachers for the future evaluation Test makers should revise the test items which have poor criteria and discard those which have very poor criteria, so that they can be used for the next evaluation. The best test is always indicated the difficult one, but the best test item is the test based on the material that the students have been learnt before.
E. CONCLUSION AND SUGGESTION BIBLIOGRAPHY 1. Conclusion Anderson, J. Charles, et.al. Language Test Construction & Evaluation, Melbourne: Cambridge University Press, 1995. Bahman, Lyle F. Statistical Analysis for Language Assessment, Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Brown, H. Douglas. Teaching by Principles, An Interactive Approach to Language Pedagogy, White Plains: Addison Wesley, Longman, 2001. Brown, H. Dougles. (2004) language Assessment Principles and Classroom Practices. Longman: San Francisco State University. Brown, J. (2005) Testing in Language Programs. Englewood Cliffs: Prentice Hall Regents. Brown, James Dean, Testing in Language Programs, New Jersey: Prentice Hall Regent, 1996. Brown, J.D. and Hudson, T. (1998). The alternatives in language assessment. TESOL Quarterly 32, 653–75. Gay, L.R. Educational Evaluation and Measurement, New York: Macmillan, Inc.,1985. Gronlund, Norman E. Measurement and Evaluation in Teaching, New York: Macmillan Publishing Co., Inc, 1981. Hughes, Arthur. Testing for Language Teachers, Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Lado, Robert. Language Testing, London: Longman Group Limited, 1983. Madsen, Harold S. Techniques in Testing, New York: Oxford University Press, 1983. Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Finally the Researchers can conclude based on the analysis and the interpretation in the previous chapter, its can be categorized into five different range of discrimination power indexes. First, they are two test items (4%) that is categorized into excellent test items. Then, there are 16 test items (32%) that are categorized into good test items. Besides that, 15 test items (30%) are categorized into satisfactory test items. Fourth, there are 14 test items (28%) are categorized as poor test items. Lastly, 3 test items (6%) are categorized into very poor test items. And there are 33 test items (66%) of English summative test regarded as a good discriminating power that range from 0.25 – 0.81 and it can be used for the next test. Meanwhile, 14 test items (28%) are needed to be revised for their poor value in differentiating the ability of the upper from the lower group that range from 0.00 – 0.18. And 3 test items (6%) have to be eliminated, because those items have negative discrimination index that range from 0.06 - -0.31. From the explanation above, the Researchers concludes that the English summative test which is tested at second grade of SMPN 2 Padalarang has good discriminating power, because 33 items (66%) of the test items have fulfilled the criteria of a positive discriminating power which range from 0.25 – 0.81. 2. Suggestion The Researchers aware that this research is not perfect yet but the Researchers wants to gives some suggestions to all stakeholders, such as:
65
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Wiersma, William. Educational Measurement and Testing, Boston: Allyn & Bacon, 1990.
66
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
PENDEKATAN KONSTURKTIVISME DENGAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF GUNA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN KONEKSI MATEMATIS SERTA SELF EFFICACY MAHASISWA CALON GURU DI KOTA CIMAHI 1)
Eva Dwi Minarti, 2) Puji Nurfauziah
1)
[email protected], 2)
[email protected] 1,2)
STKIP SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah apakah peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran biasa, serta untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi dan koneksi matematis dengan self efficacy mahasiswa calon guru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran antara kualitatif dan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa calon guru di Kota Cimahi dan sampelnya adalah mahasiswa calon guru tingkat dua di STKIP Siliwangi Cimahi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk tes uraian koneksi dan komunikasi matematis, serta angket self-efficacy. Berdasarkan analisis data didapatkan kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran biasa, serta tidak terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru dengan self-efficacy mahasiswa calon guru. Kata Kunci : Pendekatan Konstruktivisme, Model Pembelajaran Generatif, Komunikasi Matematis, Koneksi Matematis, Self Efficacy . ABSTRACT Research Objectives is to review to examine whether the improved ability of Communication and Connection mathematically students Prospective teachers which studied using a constructivist approach with Learning Model generative better than to's student studying with ordinary learning, as well as for a review to know whether the relationship between the ability of Communication and Connection mathematical with Prospective student teacher self-efficacy. The method used is a method Singer Research hearts between mixture of qualitative and quantitative. Population Research was all students Prospective teachers in Cimahi And the sample is a student teacher candidates prayer rate in STKIP Siliwangi Cimahi. The instruments used Singer Research hearts shaped test mathematical description of connection and communication, as well as self-efficacy questionnaire. Based on analysis of data obtained conclusion that increase the ability of Communication and Connection mathematically students Prospective teachers Yang studied using a constructivist approach with Learning Model generative better than to's student studying with Learning plain, and there are currently no relation between ability Communications and Connections mathematically students Prospective teachers with Prospective student teachers themselves -efficacy. Keywords : Constructivism approach, Generative Learning Model, Mathematical Communication, Connection Mathematically, Self Efficacy
eksakta yang lebih banyak memerlukan pemahaman dari pada hapalan. Siswa harus mampu menguasai konsep-konsep pokok bahasan yang terkait, sehingga siswa dapat memahami suatu pokok bahasan dalam matematika untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Matematika dari bentuknya yang paling sederhana sampai dengan bentuknya yang kompleks memberikan sumbangan dalam pengembangan
A. PENDAHULUAN Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, matematika memposisikan dirinya sebagai ilmu yang sangat berkontribusi terhadap peradaban manusia. Matematika adalah salah satu bagian yang penting dalam bidang ilmu pengetahuan. Dilihat dari sudut pengklasifikasian bidang ilmu pengetahuannya, matematika merupakan ilmu 67
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
ilmu pengetahuan lainnya dan kehidupan seharihari, serta mengarahkan pada pemahaman konsep matematika yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan masalah ilmu pengetahuan lainnya serta memberikan kemampuan penalaran matematis siswa merupakan salah satu visi pembelajaran matematika (Sumarmo, 2005).
permasalahan maupun konsep matematika maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Pelajaran matematika memuat beberapa kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai siswa dan tentunya pula mahasiswa calon guru, salah satunya adalah kemampuan dalam melakukan koneksi matematis. Kemampuan koneksi matematis penting karena akan membantu penguasaan pemahaman konsep yang bermakna dan membantu untuk menyelesaikan masalah melalui keterkaitan antara konsep matematika dan antara konsep matematika dengan konsep dalam disiplin lain. Menurut Sumarmo (2012), kemampuan koneksi matematis ini akan membantu siswa dalam menyusun model matematika yang juga menggambarkan keterkaitan antar konsep danatau data suatu masalah atau situasi yang diberikan.
Salah satu dari tujuan pendidikan nasional yaitu mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan kompetitif dalam menghadapi era kemajuan pendidikan yang makin pesat. Guna tujuan pendidikan nasional tercapai, para penyelenggara pendidikan hendaknya memperhatikan prinsipprinsip penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 4 bab 3 mengenai prinsip penyelenggara pendidikan, yang salah satunya yaitu pengembangan dan peningkatkan potensi siswa, penyelenggara pendidikan di sekolah hendaknya berpegang pada prinsip bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, serta pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu tentunya para calon guru yakni mahasiswa calon guru hendaknya dapat mempelajari prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Koneksi matematis mengacu kepada pemahaman yang mengharuskan siswa dapat mernperlihatkan hubungan antara topik matematika. Sedangkan hubungan eksternal matematika meliputi hubungan antara matematika dengan bidang studi lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran matematika kemampuan menghubungkan suatu materi yang satu dengan materi yang lain atau dengan kehidupan sehari-hari berperan penting dalam proses pembelajaran dalam hal ini pembelajaran matematika. Melalui kemampuan koneksi matematis, kemampuan berfikir siswa terhadap matematika diharapkan dapat menjadi semakin luas. Selain itu, koneksi matematis dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa seperti mengingat kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya. Tanpa menerapkan konsep dengan pengalaman siswa, maka ia akan susah mengingat suatu materi yang disampaikan dan mengingat terlalu banyak konsep yang terpisah padahal matematika kaya akan prinsip-prinsip. Hal tersebut pun diungkapkan oleh Bruner (Russefendi, 2006) mengemukakan, ―Dalam matematika setiap konsep itu berkaitan dengan konsep lain. Begitu pula antara yang lainnnya misalnya antara dalil dengan dalil, antara teori dan teori, antara topik denan topik, antara cabang matematika. Oleh karena itu, agar siswa berhasil belajar matematika, siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan itu‖. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kemampuan komunikasi dan koneksi matematis penting dimiliki siswa. Akan tetapi selain kemampuan matematis tersebut mahasiswa calon
Sebagai calon guru dan juga calon pendidik dalam hal ini pelajaran matematika, hendaknya mahasiswa memiliki kemampuan untuk menyampaikan sesuatu yang diketahuinya memalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang terjadi di lingkungan dalam hal ini kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialiskan berisi mengenai materi-materi matematika yang dipelajari siswa, dapat berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu maslah. Kemampuan di atas termasuk ke dalam kemampuan komunikasi matematis. Melalui kemampuan komunikasi yang baik maka suatu masalah akan lebih cepat bisa direpresentasikan dengan benar dan hal ini akan mendukung untuk penyelesaian masalah sebab kemampuan komunikasi matematis menunjang kemampuankemampuan matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan masalah. Hulukati (2005) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah, artinya jika siswa tidak dapat berkomunikasi dengan baik memaknai 68
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
guru hendak lah perlu juga memiliki perasaan yakin, persepsi, kepercayaan terhadap kemampuan mengatasi, mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan pada suatu situasi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu mengatasi situasi tersebut atau dikenal juga dengan istilah self efficacy. Menurut Bandura (1995), self efficacy merupakan kepercayaan seseorang mengenai kemampuan dalam mengatur serta memutuskan suatu tindakan tertentu yang dibutuhkan untuk memperoleh suatu hasil.
infomasi komplek ke situasi lain, apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam pembelajaran dan peserta didik menjadi pusat kegiatan. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
Mahasiswa calon guru hendaklah dapat mengukur kemampuan dirinya, mampu mengusai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas, memiliki tekad untuk melakukan usaha yang keras, walaupun menemui hambatan. Tetapi kemampuan tersebut tentulah melalui proses, dan proses self efficacy tersebut meliputi proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi, dan proses seleksi. Kata lain yang lebih singkat mengenai Self efficacy berkaitan dengan kepercayaan akan kemampuan diri, keyakinan diri, atau Sandtrock (Rahmawati, 2012) mengatakan dengan kata lainnya ―Aku bisa‖. Keyakinan akan diri tersebut akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan – tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dalam menyelesaikan permasalahan.
Selain pendekatan konstruktivisme, peneliti tertarik untuk menggabungkannya dengan model pembelajara generatif guna meningkatkan kemampuan komunikasi dan koneksi mahasiswa, sebab model pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran berbasis konstruktivisme, yang lebih menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Langkah-langkah yang terdapat dalam model pembelajaran generatif memungkian siswa untuk belajar lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya, melalui lima tahapan, yaitu orientasi, pengungkapan ide, tantangan dan restrukturisasi, penerapan dan pengevaluasian. Tahapan-tahapan dalam pembelajaran generatif ini menuntut siswa dalam hal ini mahasiswa untuk aktif dalam membentuk pengetahuannya. Melalui pembelajaran generatif diharapkan dapat terciptanya suatu iklim belajar, mahasiswa mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide, pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah sehingga belajar matematika lebih efektif dan bermakna. Melaui model pembelajaran generatif dapat membatu guru (Hulukati, 2005), karena guru dapat: (1)memahami cara berfikir siswa; (2)membantu memodifikasi jawaban siswa; (3)mengetahui dari mana dan bagaimana siswa dapat menemukan jawaban tersebut.
Self efficacy sangat mengutamakan penguasaan diri di dalam aspek kemampuan kognitif agar menghasilkan performa yang baik sehingga dapat mencapai tujuan dengan baik. Tetapi dari berbagai hasil penelitian dikemukakan bahwa self efficacy tidak akan muncul dengan sendirinya, (Setiadi, 2010) ia dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya yang saling berkaitan seperti latihan, sumber mengajar, dan dukungan serta self efficacy guru berkorelasi dengan peranan guru didalam keberhasilan dan kegagan siswa di dalam kemampuan akademik, self efficacy guru berkorelasi dengan keyakinan penguasaan kelas serta di dalam memberikan penilaian.
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas terlihat bahwa kemampuan koneksi, kemampuan komunikasi, dan self efficacy memiliki kaitan di dalam kegiatan pembelajaran mahasiswa. Sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji apakah terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi dan koneksi matematis siswa terhadap self efficacy-nya dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui model pembelajaran generatif. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk membahas mengenai, ―Pendekatan
Pendekatan kostruktivisme merupakan suatu pendekatan yang bersifat membangun pengetahuan peserta didik dengan mengaitkan ilmu yang sudah ada pada peserta didik dengan ilmu yang baru dalam pembelajaran yang aktif untuk menemukan pengetahuan mereka sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Nurhadi (2003:33), pendekatan konstruktivisme merupakan suatu pendekatan dimana peserta didik harus mampu menemukan dan mentransformasikan suatu 69
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Konstruktivisme dengan Model Pembelajaran Generatif Guna Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Matematis serta Self Efficacy Mahasiswa Calon Guru Di Kota Cimahi‖. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1) Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model generatif lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa? 2) Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model generatif lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa? 3) Apakah terdapat hubungan yang positif antara kemampuan komunikasi matematis dengan self efficacy mahasiswa calon guru? 4) Apakah terdapat hubungan yang positif antara kemampuan koneksi matematis dengan self efficacy mahasiswa calon guru?
Indikator komunikasi matematis yang sering digunakan di dalam dunia pendidikan adalah Indikator komunikasi matematika dalam Sumarmo (2010: 4) adalah sebagai berikut. (1)Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (2)Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; (3)Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa/simbol matematika; (4)Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5)Membaca presentasi matematika evaluasi dan menyusun pertanyaan yang relevan; (6)Menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.
B. LANDASAN TEORI
2. Kemampuan Koneksi Matematis Koneksi berasal dari kata connection yang berarti hubungan atau kaitan. Sedangkan koneksi matematis adalah dua kata yang berbeda yaitu mathematical connection, yang kemudian dipopulerkan oleh NCTM yang selanjutnya dijadikan standar kurikulum. Terdapat dua tipe khusus koneksi matematis menurut NCTM (1989: 146), yaitu modeling connections dan mathematical connections. Modeling connections merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau disiplin ilmuyang lain dengan representasi matematisnya, sedangkan mathematical connections adalah hubungan antara dua representasi yang ekuivalen, dan antara proses penyelesaian dari masing-masing representasi.
Adapun kemampuan komunikasi yang diukur dalam penelitian ini adalah Kemampuan Komunikasi matematis adalah mampu: (1) mempresentasikan atau melukiskan benda nyata, gambar dan diagram dalam bentuk ide dan atau simbol matematika, (2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan menggunakan benda nyata, gambar, grafik dan ekspresi aljabar.
1. Kemampuan Komunikasi Matematis Komunikasi berasal dari bahasa Inggris yaitu communicate yang berarti menceritakan, menyampaikan. Di dalam dunia pendidikan matematika, komunikasi matematika menurut Ontario Ministry of Education (dalam Son, 2015) mengatakan bahwa proses mengekspresikan ideide dan pemahaman matematika secara lisan, visual, dan tertulis, menggunakan angka, simbol, gambar, grafik, diagram, dan kata-kata. Komunikasi adalah proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain yang dapat dilakukan dengan berbagai media atau perantara ataupun bisa secara langsung tanpa adanya perantara atau media dengan kondisi antara pemberi dan penerima memahami media atau perantara yang digunakan (Son, 2015). Dalam kegiatan belajar matematika, Viseu dan Oliveria (Son, 2015: 4) mengemukakan bahwa komunikasi dapat merangsang siswa di dalam berbagi ide, pikiran, dugaan dan solusi matemmatika. Belajar matematika saat ini tidak hanya mengutamakan pada jawaban yang benar saja, tetapi bagaimana proses di dalam menemukan jawaban tersebut, bagaimana cara dalam mengkomunikasikan ide di dalam penyelesaian masalah.
Bruney dan Keney (dalam Fauzi, 2011, 44) mengatakan bahwa kaidah koneksi setiap konsep, prinsip, dan keterampilan dalam matematika dikoneksikan dengan konsep, prinsip, dan keterampilan lainnya. Sumarmo (2010: 6) mengemukakan bahwa koneksi matematis disusun dalam indikator-indikator, yaitu: (1) Mencari hubungan berbagai representasi konsepdan prosedur; (2) Memahami hubungan atar topik matematika; (3) Menggunakan matematikadalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari; Memahami representasi ekivalen konsep atau prosedur yang sama; (4) Mencari koneksi satu 70
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekivalen; (5) Menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antara topik matematika dengan topik lain.
Self-efficacy bukanlah merupakan suatu keyakinan yang umum tentang diri sendiri, tetapi merupakan sebuah keyakinan khusus yang mengarah pada suatu tujuan tertentu. Self –efficacy menunjuk pada keyakinan akan kemampuannya untuk meggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan situasi (Handayani, 2011: 25). Dari beberapa pandangan mengenai selfefficacy, dapat dikatakan bahwa self-efficacy sebenarnya mengarah pada ―kepercayaaan dan kemampuan diri‖ untuk mengkoordinir, melaksanakan, dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ketika seseorang memiliki self-efficacy yang baik,ia akan dapat meminimalisir dari berbagai bentuk kesalahan karena ia akan memikirkan dan merencanakan apa saja yang akan dilakukannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu penunjang keberhasilan ialah dengan memiliki self-efficacy yang baik.
Kemampuan koneksi matematis akan berkorelasi dengan kemampuan-kemampuan lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Secara tidak langsung mahasiswa harus sudah memliki kemampuan koneksi yang baik. Dewi (2013) kemampuan koneksi matematis diperlukan mahasiswa karena matematika merupakan satu kesatuan, di mana konsep yang satu berhubungan dengan konsep yang lain. Atau dengan perkataan lain untuk mempelajari suatu konsep tertentu dalam matematika diperlukan prasarat dari konsepkonsep yang lain. Oleh karena itu agar mahasiswa calon guru harus lebih banyak melakukan latihanlatihan agar dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis. Konsep matematika harus kuat didalam diri mahasiswa calon guru, karena kelak ia akan menyampaina pengetahuan tersebut kepada peserta didik. Dewi (2013), apabila mahasiswa mampu mengkaitkan ide-ide matematika maka pemahaman matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena mereka mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan konteks selain matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari.
Bandura (Setiadi, 2010: 30) mengungkapkan beberapa hal yang sangat penting yang berkontribusi terhadap self-efficacy antara lain: (1) Mastery Experience, (2) Vicarious experience, (3) Verbal persuasion and other related social influences, (4) Physiological and affective states. Mastery Experience merupakan pengalaman otentik yang di dapatkan oleh individu sendiri, diamana ia akan merefleksi hal-hal yang membuat ia gagal ataupun berhasil. Bandura (Setiadi, 2010) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman otentik yaitu: (1) prasangka terhadap kemampuan diri, (2) cara menerima dan menghadapi kesulitan, (3) usaha untuk mendapatkan kemampuan, (4) pengaruh dari orang lain, (5) cara di dalam bertindak, (6) waktu dimana ketika menghadapi kegagalan dan kesuksesan, (7) cara individu di dalam mengatur pengalaman diri nya termasuk didalam proses kemampuan kognitif. Vicarious experience merupakan bagaimana cara seseorang belajar dari diri sendiri ataupun orang lain. Untuk mendapatkan pengalaman ini, seseorang akan menjidakan orang lain sebagai model untuk dirinya sendiri yang kemudian akan dicontoh dan di ikuti (Setiadi, 2010). Verbal persuasion and other related social influences merupakan feedback yang diberikan oleh orang lain atas apa yang telah kita lakukan baik itu positif ataupun negative (Setiadi, 2010). Physiological and affective states merupakan aspek psikologi atau emosi. Bandura (Setiadi, 2010) mengatakan bahwa psikologi berkaitan erat dengan tingkah laku, bagaimana ia
Kemampuan koneksi yang diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan di dalam : (1) engaitkan konsep–konsep matematika baik antar konsep matematika itu sendiri (dalam matematika), (2)mengaitkan konsep matematika dengan bidang lainnya (luar matematika), yang meliputi: koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan (3)koneksi dengan kehidupan seharihari. 3. Self – Efficacy Self-efficacy merupakan keyakinan akan kemampuan diri di dalam mengorganisir pikirannya sehingga menghasilkan hasil yang baik. Menurut Bandura (1995), Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan yang ada di dalam diri mengenai kemampuan mereka di dalam menunjukkan dan melakukan kegiatan. Karakteristik self-efficacy yang khas menurut Eisenberger, Conti-D'Antonio, Bertrando (Setiadi, 2010) yaitu : (1) mengetahui kemampuan diri, (2) pengendalian kemampuan dan pengetahuan, (3) disiplin diri, (4) mengutamakan penampilan, (5) memprediksi usaha dan motivasi, (6) hasil dari refleksi, dan (7) menghasilkan prestasi. 71
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
bertingkah baik atau buruk akan sesuai dengan tingkat emosinya.
mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
4. Pendekatan Konstruktivisme Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61). Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
5. Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Model pembelajaran generatif adalah salah satu model pembelajaran yang berlandaskan pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa. Model pembelajaran generatif dikembangkan pada tahun 1985 oleh Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005). Wittrock (1992) menyatakan bahwa model pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran tentang bagaimana seorang siswa membangun pengetahuan dalam pikirannya, seperti membangun ide tentang suatu fenomena atau membangun arti suatu istilah dan juga membangun strategi untuk sampai pada suatu penjelasan tentang pertanyaan bagaimana dan mengapa. Wittrock (Grabowski, 2001:720) mengonsepkan model pembelajaran generatif berdasarkan model neural dari fungsi otak dan telaah kognitif pada proses pengetahuan. Hal ini ditegaskan Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) bahwa intisari dari pembelajaran generatif adalah otak tidak menerima informasi dengan pasif, melainkan justru dengan aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut dan kemudian membuat kesimpulan. Otak bukanlah
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa 72
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
suatu 'blank slate' yang dengan pasif belajar dan mencatat semua informasi yang diberikan.
Setelah fase eksplorasi, fase selajutnya menurut Tytler (Fitriandini, 2009) adalah fase pemusatan (focus), pada fase ini guru melakukan pemusatan yang terarah pada konsep yang akan dipelajari oleh siswa. Kemudian siswa melakukan kegiatan untuk mengenal materi-materi yang digunakan untuk mengajukan pertanyaan (masalah atau soal). Pada saat itu siswa diharapkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan topik yang dipelajari, selanjutnya respon siswa diinterpretasikan dan diklarifikasi. Selain itu juga siswa dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep yang dipelajari, melakukan refleksi dan mengklarifikasi konsepnya apa benar atau tidak. Selanjutnya para siswa mengkomunikasikan pada temannya melalui diskusi kelas atau diskusi kelompok.
Penerapan model pembelajaran generatif merupakan suatu cara yang baik untuk mengetahui pola pikir siswa serta bagaimana siswa memahami dan memecahkan masalah dengan baik. Secara ringkasnya model pembelajaran generatif adalah suatu model pembelajaran berdasarkan kepada penyelidikan tentang bagaimana manusia belajar. Sejalan dengan itu Jonasse (Marrison, 2011) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran generatif, ―are those that require learners consciously and deliberately to relate new information to existing knowledge‖. Dengan demikian melalui model pembelajaran generatif, pengetahuan yang dimiliki oleh siswa adalah hasil daripada aktivitas yang dilakukan oleh pelajar tersebut dan bukan pengajaran yang diterima secara pasif.
Tahap Tantangan dan Restrukturisasi, pada tahap ini guru memunculkan cognitive conflict dengan cara menyiapkan kondisi dimana siswa diminta membandingkan pendapatnya dengan pendapat temannya, serta bisa mengupayakan mengungkapkan kebenaran/keunggulan pendapatnya. Kemudian guru mengusulkan peragaan atau demonstrasi untuk menguji kebenaran pendapat mereka (Osborne dan Wittrock dalam Hulukati, 2005).
Tahap orientasi, merupakan tahap memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang akan diajarkan dengan mengaitkan manfaat materi tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diberikan kesempatan untuk membangun kesan mengenai konsep yang sedang dipelajari dengan menghubungkannya dengan pengalaman seharihari (Osborne dan Wittrock dalam Hulukati, 2005). Tujuannya agar dalam proses pembelajaran siswa dapat membayangkan sesuatu serta dapat memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah pada pokok bahasan yang sedang dihadapi, dengan demikian siswa termotivasi mempelajari pokok bahasan yang akan dipelajari.
Diharapkan selama proses ini muncul konflik antara apa yang dimiliki siswa dengan apa yang dilihat dan diperagakan oleh guru. Grobowski (2001) mengemukakan, ―External stimuli arouse attention through the ascending reticular activating system. Without active, dynamic, and selective attending of an environmental stimulus, it follows that meaning generation cannot occur regarding that environmental stimulus.‖ Setelah tahap tantangan tersebut diharapkan siswa bisa memperoleh pemahaman baru yang lebih benar mengenai konsep yang bersangkutan. Supaya siswa mempunyai keinginan untuk mengubah struktur pemahaman mereka, siswa diberikan masalah-masalah yang menantang untuk membangkitkan keberaniannya dalam mengajukan pandapatnya dan berargumentasi tentang pokok bahasan yang sedang dipelajari.
Dalam tahap pengungkapan ide, Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) menjelaskan bahwa pada tahap ini guru dapat mengetahui ide atau konsep awal yang dimiliki siswa mengenai materi yang akan diajarkan. Siswa diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide mereka mengenai konsep yang dipelajari. Guru berperan sebagai motivator dengan cara mengajukan pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan siswa (Socratic questioning) sehingga akan terungkap ide atau gagasan yang ada dalam benak siswa. Pertanyaan yang bersifat menggali dapat membantu siswa menghargai kekurangajegan cara berpikir mereka dan mengkontruksi kembali gagasan mereka dengan cara yang lebih koheren atau bertalian secara logis. Grabowski (2001:723) mengatakan, ―Teaching and design strategies that deal with attribution should result in enduring interest, persistence, and motivation‖.
Tahap selanjutnya dalam pembelajaran generatif menurut Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) adalah tahap penerapan, pada tahap ini siswa menerapkan konsep awal yang mereka miliki ditambah konsep baru yang mereka peroleh pada permasalahan matematika dalam bentuk latihanlatihan soal. Siswa diberikan kesempatan untuk memecahkan masalah yang lebih kompleks, 73
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
menguji ide alternatif yang mereka bangun untuk menyelesaikan persoalan yang bervariasi. Kegiatan siswa dalam fase terakhir ini antara lain adalah memecahkan soal-soal praktis berdasarkan konsepkonsep yang benar, menyajikan solusi dari suatu masalah kepada teman sejawatnya, berdiskusi dan beradu argumentasi tentang konsep-konsep yang benar, dan secara kritis mengevaluasi penggunaan konsep-konsep itu adalah situasi yang berbeda. Pada fase ini siswa mengevaluasi dan membandingkan antara pengetahuan tentang konsep-konsep sebelumnya dengan konsep yang telah dikontruksi, dan mengadakan refleksi terhadap prosedur yang ditempuh. Selanjutnya guru mengadakan review terhadap perubahanperubahan ide-ide siswa sebagai hasil restrukturisasi terhadap gagasan atau ide awalnya.
baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa. 2) Peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model generatif lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa. 3) Terdapat hubungan yang positif antara kemampuan komunikasi matematis dengan self efficacy mahasiswa calon guru. 4) Terdapat hubungan yang positif antara kemampuan koneksi matematis dengan self efficacy mahasiswa calon guru. C. METODE DAN DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen karena adanya keterbatasan hal mengkontrol factor-faktor yang kemungkinan dapat mengintervensi situasi pembelajaran yang dilakukan. Disain eksperimen yang digunakan adalah disain kelompok kontrol non-ekuivalen sebagai berikut:
Tahap terakhir menurut Osborne dan Wittrock (Hulukati, 2005) adalah tahap melihat kembali. Siswa diberi kesempatan untuk mengevaluasi kelemahan dari konsep yang dimilikinya, kemudian memilih cara/konsep yang paling efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Siswa juga diharapkan dapat mengingat kembali konsep yang sudah dipelajari secara keseluruhan. Kondisi ini memberikan peluang kepada siswa untuk mengungkap tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakannya. Apakah yang dikerjakannya itu sudah sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Dalam belajar generatif siswa sendirilah yang aktif membangun pengetahuannya, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran. Model pembelajaran generatif berbasis pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa.
O O 1994)
X X
O O … (Ruseffendi,
Keterangan: O = Pretes = Postes kemampuan komunikasi dan koneksi matematis X = Pendekatan kontruktivisme dengan model pembelajaran Generatif Penelitian ini akan dilaksanakan di salah satu STKIP di kota cimahi. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret hingga bulan Agustus tahun 2016. Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa calon guru di Kota Cimahi. Dari seluruh mahasiswa tersebut dipilih secara acak untuk dijadikan sampel dari penelitian ini.
Grabowski (2001) mengatakan bahwa model pembelajaran generatif bukan model pembelajaran penemuan (discovery learning) tetapi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centric learning) dengan siswa secara aktif membangun makna dari pembelajaran. Wittrock (1992) mengemukakan, ―This functional model of generative learning leads to the design of effective instructional procedures that often produce sizable gains in comprehension and understanding.‖ Jadi model pembelajaran generatif diharapkan dapat menarik perhatian siswa untuk secara aktif meningkatkan pemahamannya terhadap materi pembelajaran. Hipotesis Penelitian 1) Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model generatif lebih
Instrumen dari penelitian ini adalah seperangkat soal tes kemampuan komunikasi matematis, kemampuan koneksi matematis, dan angket selfefficacy. Instrument di dalam hal ini adalah untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis, koneksi matematis, dan self-efficacy. Sebelum instrumen tersebut dijadikan instrumen penelitian, instrumen tersebut terlebih dahulu diukur face validity, content validity, dan construct validity oleh ahli (expert) yaitu dosen senior dan sesama rekan peneliti dan dosen muda. Instrumen terdiri dari tiga soal kemampuan komunikasi dan tiga soal kemampuan koneksi matematis, serta 15 butir pernyataan di dalam angket self-efficacy. Berikut 74
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
hasil analisis uji coba kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru.
Pengolahan data tes kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru berdasarkan pada skor pretes, postes, dan N-gain. Sedangkan untuk angket self-efficacy mahasiswa calon guru berdasarkan pada Berdasarkan data yang diperoleh, yaitu data pretes, postes, dan Ngain kemampuan komunikasi serta koneksi matematis mahasiswa calon guru serta data angket akhir self-efficacy mahasiswa calon guru.
Tabel 1 Rekapitulasi Uji Coba Instrumen Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Matematis N o. So al 1 2 3 4 5 6
Valid itas
0,55 0,61 0,42 0,65 0,49 0,62
Reliabi litas
0,60
Daya Pemb eda
Indeks Kesuk aran
Kesimp ulan
0,29 0,25 0,39 0,39 0,36 0,29
0,85 0,86 0,72 0,87 0,80 0,75
Dipakai Dipakai Dipakai Dipakai Dipakai Dipakai
Tabel 2 Deskriptif Statistik Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Matematis VariaKelas Kelas Kontrol bel Eksperimen Pret Pos N- Pret Pos Nes tes ga es tes ga in in N 27 27 27 25 25 25 xm 5 12 1, 7 11 0, Kemam 00 91 aks puan xmi 0 8 0, 0 6 0, Komuni 50 50 n kasi 2,4 9,7 0, 2,4 8,9 0, ̅ Matema 8 4 77 0 2 69 tis S 1,6 1,2 0, 2,2 1,6 0, 3 6 17 2 3 15 N 27 27 27 25 25 25 xm 8 12 1, 8 12 1, 00 00 Kemam aks puan xmi 2 6 0, 2 7 0, Koneksi n 33 38 Matema 5,6 9,6 0, 5,6 9,4 0, ̅ tis 3 7 65 4 8 60 S 2,0 1,4 0, 1,4 1,1 0, 2 4 17 4 9 15 N 27 xm 65, 20 aks xmi 37, Self20 n efficacy 48, ̅ 88 S 6,3 0 SMI Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Mmatematis : 12 SMI Self-efficacy : 70,8
Berdasarkan Tabel 1 yaitu rekapitulasi uji coba instrumen kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru dari 6 soal ratarata memiliki validitas sedang, memiliki reliabilitas yang tinggi, daya pembeda cukup dan indeks kesukaran yang rata – rata mudah. Berdasarkan hasil rekapitulasi tersebut, maka dari ke-6 soal tersebut diambil seluruh soal untuk dijadikan soal pretes dan postes kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru. D. ANALISIS DAN PEMBEHASAN a. Analisis Data Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif. Analisis data yang dilakukan yaitu dengan menganalisis data pretes kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru untuk menelaah kemampuan awal komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru sebelum mendapatkan pembelajaran. Kemudian data N-gain untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru. Untuk mengetahui hubungan antara kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru dengan self-efficacy mahasiswa calon guru yaitu dengan menganalisis data angket akhir self-efficacy dan data postes kemapuan komunikasi dan koneksi mahasiswa calon guru. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan progran Microsoft Office Excel 2010 dan SPSS 16. Berikut ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasannya.
1. Analisis Peningkatan Kemampuan Komunukasi Matematis Untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif dilakukan 75
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
beberapa tahapan uji statistik pada data pretes dan N-gain kemampuan komunikasi matematis. Untuk mengetahui signifikansi kesamaan dua rerata skor pretes kemampuan komunikasi mahasiswa calon guru maka dilakukan uji kesamaan dua rerata, yaitu dengan tahapan uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rerata.
Data N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Karena data kedua kelas berdistribusi normal, maka analisis selanjutnya dilanjutkan dengan uji homogenitas. Tabel 6 Hasil Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis
Tabel 3 Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis
Data berdistribusi normal dan homogen, maka selanjutnya adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif maka dilakukan uji perbedaan dua rerata.
Berdasarkan Tabel 3 didapatkan nilai sig. sebesar 0,035 dan 0,010 pada skoor pretes kelas eksperimen dan kontrol. Karena sig < 0,05 untuk kelas eksperimen dan kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelas tidak berdistribusi normal. Karena kedua kelas tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji non parametrik Mann Whitney.
Tabel 7 Hasil Uji Perbedaan Dua Rerata N-gain Kemampuan Komunikasi Matematis
Tabel 4 Hasil Uji Mann Whitney Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis
Berdasarkan data diatas pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai sig. 0,869. Karena analisis data menggunakan SPSS, maka nilai sig./2 (Uyanto, 2006 ) sehingga 0,869/2 = 0,43, artinya nilai sig. > 0,05 dapat diartikan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif lebih baik daripada peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang belajar dengan cara biasa.
Kedua kelas memiliki kemampuan awal sama maka untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yaitu dengan menganalisis data N-gain dengan langkahlangkah yang dilakukan sama dengan langkahlangkah diatas. Tabel 5 Hasil Uji Normalitas N-gain kemampuan Komunikasi Matematis
2. Analisis Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif dilakukan beberapa tahapan uji statistik pada data pretes dan N-gain kemampuan koneksi matematis. Untuk mengetahui signifikansi kesamaan dua rerata skor pretes kemampuan koneksi mahasiswa calon guru maka dilakukan uji kesamaan dua rerata, yaitu dengan tahapan uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rerata.
76
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif lebih baik daripada peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang belajar dengan cara biasa.
Tabel 8 Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Koneksi Matematis
Uji normalitas kemampuan koneksi matematis tidak berdistribusi normal. Sehingga untuk analisis data selanjutnya dilanjutkan dengan uji non parametrik Mann Whitney.
3. Analisis Hubungan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Self-efficacy Untuk menganalisis hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru yaitu harus dianalisis uji normalitas terlebih dahulu pada data postes kemampuan komunikasi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru. Jika kedua data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji korelasi Pearson, dan jika terdapat salah satu data atau kedua data tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji korelasi Spearman.
Tabel 9 Hasil Uji Mann Whitney Pretes Kemampuan Koneksi Matematis
Tabel 12 Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Komunikasi Matematis dan Self-efficacy
Kemampuan awal kedua kelas sama. Karena kemampuan awal koneksi matematis mahasiswa calon guru sama, maka untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yaitu dengan menganalisis data N-gain kemampuan koneksi matematis dengan langkah-langkah yang dilakukan sama dengan langkah-langkah diatas.
Berdasarkan Tabel 12 pada hasil uji normalitas kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru, terdapat nilai sig. < 0,05 yaitu pada sig. postes komunikasi yaitu 0,009. Sehingga data tidak berdistribusi normal. Maka untuk menganalisis hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru menggunakan uji korelasi Spearman. Tabel 13 Hasil Analisis Uji Korelasi Spearman
Tabel 10 Hasil Uji Normalitas N-gain Kemampuan Koneksi Matematis
N-gain tidak berdistribusi normal. Maka untuk uji statistik selanjutnya dilanjutkan dengan uji non parametrik Mann Whitney. Tabel 11 Hasil Mann Whitney N-Gain Kemampuan Koneksi Matematis
Berdasarkan Tabel 13 pada hasil analisis uji korelasi Spearman didapatkan nilai korelasi yaitu 0,011 yang berarti bahwa kekuatan hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru bernilai positif terdapat pada kulaifikasi sangat rendah (Sugiono, 77
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
2007). Dari nilai sig. korelasi dapat terlihat nilai 0,958, nilai sig tersebut > 0,05 yang berarti bahwa Ho diterima artinya tidak terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif.
0,895, nilai sig tersebut > 0,05 yang berarti bahwa H0 diterima, hal tersebut berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif.
4. Analisis Hubungan Kemampuan Koneksi Matematis dan Self-efficacy
b. Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan Analis data dan kajian teori yang telah dilakukan pada bab sebelumnya dapat dilihat bahwa kemampuan komunikasi dan koneksi matematis siswa baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak terdapat perbedaan pada sebelum pembelajaran. Pada kelas eksperimen siswa diberikan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstrutivisme dengan model pembelajaran generatif yang di dalamnya memuat kerjasama juga mengusung lima tahap pola generatif yaitu tahap orientasi, tahap pengungkapan ide, tahap tantangan dan restruktursi, tahap penerapan, tahap review atau melihat kembali. Sedangkan kelas kontrol diberikan pembelajaran biasa yang dalam hal ini menggunakan pembelajaran konvensional. Namun berdasarkan hasil analisis data posstes dan n-gain didapatkan bahwa kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang menggunkan pembelajaran dengan pendekatan konstrktivisme dengan model pembelajaran generatif lebih baik dari pada pembelajaran biasa, begitupun dengan peningkatan kemempuan koneksi dan komunikasinyanya.
Untuk menganalisis hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru yaitu harus dianalisis uji normalitas terlebih dahulu pada data postes kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru. Jika kedua data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji korelasi Pearson, dan jika terdapat salah satu data atau kedua data tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji korelasi Spearman. Tabel 14 Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Koneksi Matematis dan Self-efficacy
Berdasarkan Tabel 14 pada hasil uji normalitas kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru, dapat terlihat bahwa nilai sig. > 0,05 yaitu 0,063 dan 0,673. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Maka untuk menganalisis hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru menggunakan uji korelasi Pearson.
Ciri pendekatan kontruktivisme, seperti yang telah diungkapkan di bab sebelumnya adalah mengajukan pertanyaan, menemukan, komunitas belajar, menggunakan model, dan melaksanakan refleksi dan dikaitkan dengan lima tahapan yang berada pada model pembelajaran generatif. Tahaptahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya. Dan pada model pembelajaran generatif, Wittrock (1992) menyatakan bahwa model pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran tentang bagaimana seorang siswa membangun pengetahuan dalam pikirannya, seperti
Tabel 15 Hasil Analisis Uji Korelasi Pearson
Berdasarkan Tabel 15 pada hasil analisis uji korelasi Pearson didapatkan nilai korelasi yaitu 0,27 yang berarti bahwa kekuatan hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru rendah (Sugiono, 2007). Dari nilai sig. korelasi dapat terlihat nilai 78
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
membangun ide tentang suatu fenomena atau membangun arti suatu istilah dan juga membangun strategi untuk sampai pada suatu penjelasan tentang pertanyaan bagaimana dan mengapa. Wittrock (Grabowski, 2001:720) mengonsepkan model pembelajaran generatif berdasarkan model neural dari fungsi otak dan telaah kognitif pada proses pengetahuan. Sehingga begitu pendekatan konstruktivisme dan model pembelajaran generatif ini disatukan maka tampak bahwa dapat meningkatkan kemampuan komunikasi juga koneksi matematis calon guru, hal tersebut dibuktikan dengan analisis data dan uji hipotesis yang dilakukan di BAB IV ini, yaitu tampak bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi calon guru yang pembelajarannya menggunkan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa.
ada dalam benak siswa. Pertanyaan yang bersifat menggali dapat membantu mahasiswa menghargai kekurangan cara berpikir mereka dan mengkontruksi kembali gagasan mereka dengan cara yang lebih koheren atau bertalian secara logis.
Gambar 2 Tahap Tantangan dan Restrukturisasi Tahap Tantangan dan Restrukturisasi, pada tahap ini dosen memunculkan cognitive conflict dengan cara menyiapkan kondisi dimana mahasiswa diminta membandingkan pendapatnya dengan pendapat temannya, serta bisa mengupayakan mengungkapkan kebenaran/ keunggulan pendapatnya. Kemudian guru mengusulkan peragaan atau demonstrasi untuk menguji kebenaran pendapat mereka. Diharapkan selama proses ini muncul konflik antara apa yang dimiliki mahasiswa dengan apa yang dilihat dan diperagakan oleh dosen. Grobowski (2001) mengemukakan, ―External stimuli arouse attention through the ascending reticular activating system. Without active, dynamic, and selective attending of an environmental stimulus, it follows that meaning generation cannot occur regarding that environmental stimulus.‖ Setelah tahap tantangan tersebut diharapkan mahasiswa bisa memperoleh pemahaman baru yang lebih benar mengenai konsep yang bersangkutan. Supaya siswa mempunyai keinginan untuk mengubah struktur pemahaman mereka, siswa diberikan masalahmasalah yang menantang untuk membangkitkan keberaniannya dalam mengajukan pandapatnya dan berargumentasi tentang pokok bahasan yang sedang dipelajari.
Gambar 1 Orientasi dan Pengungkapan Ide Tahap orientasi, merupakan tahap memotivasi mahasiswa untuk mempelajari materi yang akan diajarkan dengan mengaitkan manfaat materi tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa di dalam kelompoknya, diberikan kesempatan untuk membangun kesan mengenai konsep yang sedang dipelajari dengan menghubungkannya dengan pengalaman seharihari. Tujuannya agar dalam proses pembelajaran siswa dapat membayangkan sesuatu serta dapat memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah pada pokok bahasan yang sedang dihadapi, dengan demikian siswa termotivasi mempelajari pokok bahasan yang akan dipelajari. Dan dalam tahap pengungkapan ide, pada tahap ini narasumber dapat mengetahui ide atau konsep awal yang dimiliki mahasiswa mengenai materi geometri yang diajarkan. Mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide mereka mengenai konsep yang dipelajari. Narasumber dalam hal ini dosen berperan sebagai motivator dengan cara mengajukan pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan mahasiswa (Socratic questioning) sehingga akan terungkap ide atau gagasan yang
Gambar 3 Tahap Penerapan Tahap selanjutnya dalam pembelajaran generatif adalah tahap penerapan, pada tahap ini mahasiswa 79
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
menerapkan konsep awal yang mereka miliki ditambah konsep baru yang mereka peroleh pada permasalahan geometri dalam bentuk latihanlatihan soal. Mahasiswa diberikan kesempatan untuk memecahkan masalah yang lebih kompleks, menguji ide alternatif yang mereka bangun untuk menyelesaikan persoalan yang bervariasi. Kegiatan mahasiswa dalam fase terakhir ini antara lain adalah memecahkan soal-soal praktis berdasarkan konsep-konsep yang benar, menyajikan solusi dari suatu masalah kepada teman sejawatnya, berdiskusi dan beradu argumentasi tentang konsepkonsep yang benar, dan secara kritis mengevaluasi penggunaan konsep-konsep itu adalah situasi yang berbeda. Pada fase ini mahasiswa mengevaluasi dan membandingkan antara pengetahuan tentang konsep-konsep sebelumnya dengan konsep yang telah dikontruksi, dan mengadakan refleksi terhadap prosedur yang ditempuh. Selanjutnya dosen mengadakan review terhadap perubahanperubahan ide-ide mahasiswa sebagai hasil restrukturisasi terhadap gagasan atau ide awalnya.
kovensinal dan dosen menjadi pusat aktivitas pembelajaran. Mahasiswa mencatat dan memperhatikan apa yang dikemukan oleh dosen.
Gambar 5 Pembelajaran di Kelas Kontrol Penelitian ini dilanjutkan dengan bagaimana pengaruh self eficacy terhadap kemampuan koneksi dan komunikasi matematis mahasiswa, self-efficacy sebenarnya mengarah pada ―kepercayaaan dan kemampuan diri‖ untuk mengkoordinir, melaksanakan, dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Ketika seseorang memiliki self-efficacy yang baik,ia akan dapat meminimalisir dari berbagai bentuk kesalahan karena ia akan memikirkan dan merencanakan apa saja yang akan dilakukannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu penunjang keberhasilan ialah dengan memiliki self-efficacy yang baik. Setelah dilakukan analisi korelasi antara kemampuan komunikasi dengan self-efficacy peneliti tidak mendapatkan hubungan yang positif itu. Hasil analisis uji korelasi Spearman didapatkan nilai korelasi yaitu 0,011 yang berarti bahwa kekuatan hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru bernilai positif terdapat pada kulaifikasi sangat rendah (Sugiono, 2007). Dari nilai sig. korelasi dapat terlihat nilai 0,958, nilai sig tersebut > 0,05 yang berarti bahwa Ho diterima artinya tidak terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan selfefficacy mahasiswa calon guru belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif. Dan begitupula pada kemampuan koneksi mahasiswa, nilai korelasi yaitu 0,27 yang berarti bahwa kekuatan hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru rendah (Sugiono, 2007). Dari nilai sig. korelasi dapat terlihat nilai 0,895, nilai sig tersebut > 0,05 yang berarti bahwa H0 diterima, hal tersebut berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif.
Gambar 4 Tahap Melihat Kembali Tahap terakhir adalah tahap melihat kembali. Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengevaluasi kelemahan dari konsep yang dimilikinya, kemudian memilih cara/ konsep yang paling efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Mahasiswa juga diharapkan dapat mengingat kembali konsep yang sudah dipelajari secara keseluruhan. Kondisi ini memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengungkap tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakannya. Apakah yang dikerjakannya itu sudah sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Dalam belajar generatif mahasiswa sendirilah yang aktif membangun pengetahuannya, sedangkan dosen berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran. Model pembelajaran generatif berbasis pada pandangan konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran mahasiswa itu sendiri. Sedangkan pembelajaran yang dilakukan pada kelas kontrol , pembelajaran dilakukan dengan 80
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
memperkecil kesalahan dan mendapatkan generalisasi yang lebih akurat.
PENUTUP a. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dikemukakan pada Bab IV, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berkut : 1) Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model generatif lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa. 2) Peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa calon guru yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model generatif lebih baik dari pada yang menggunakan pembelajaran biasa. 3) Kekuatan hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru rendah. Berdasarkan nilai sig. korelasi terlihat tidak terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif. 4) Kekuatan hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru rendah. Berdasarkan nilai sig. korelasi terlihat tidak terdapat hubungan antara kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy mahasiswa calon guru belajar menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif.
DAFTAR PUSTAKA Bandura, A. (1995). Self Efficacy : In Changing Societies. United Kingdom: Cambridge University. Depdiknas. (2006). Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Dewi, N.R. (2013). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Mahasiswa Melalui Brain-Based Learning Berbantuan Web. Prosiding SNMPM Universitas 11 Maret. [Online]. Vol 1 (13) 284 – 374. Tersedia: https://scholar.google.co.id/. [28 januari 2016]. Fauzi, A.M, KMS. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemadirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada SPS UPI: Tidak diterbitkan. Fitriandini,V.(2009). Pengaruh Model pembelajaran Generatif terhadap Hasil Belajar Matematik Siswa SMA.Bandung: Skripsi FKIP UNPAS Bandung : Tidak diterbitkan. Grabowski, B.L. (2001). Generative Learning Contributions to The Design of Instruction and Learning. Pennsylvania: Penn State University. Hanbury, L. 1996. Constructivism: So What? In J. Wakefield and L. Velardi (Eds.). Celeberating Mathematics Learning (pp.3 8). Melbourne: The Mathematical Assciation of Victoria. Hudoyo, H. 1998. Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan. Hulukati,E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Bandung: Disertasi PPs UPI. Tidak diterbitkan. Marrison,G. (2011). The Implications Of Generative Learning Strategies For Integrating Cognitive Load And Selfregulation Theory Into Educational Innovations. Old Dominion University. [online]:
b. Saran Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran berhubungan dengan penelitian ini, antara lain: 1) Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Konstruktivisme dengan model pembelajaran generatif baik dilakukan dikalangan mahasiswa, tetapi harus diperhatikan penggunaan waktu dan pembuatan instrumen yang cukup banyak. 2) Penelitian ini hanya terbatas pada geometri. Diharapkan pada peneliti lainnya untuk mengembangkan pada materi-materi pelajaran lainnya. 3) Sampel penelitian yang diambil hanya dua kelas sehingga hasil penelitian ini belum tentu sesuai dengan sekolah atau daerah lain yang memiliki karakteristik dan psikologi mahasiswa yang berbeda. Diharapkan kepada peneliti lainnya agar bisa menggunakan sampel yang lebih besar, dengan tujuan 81
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
http://www.icsei.net/icsei2011/Full%20Pape rs/0108_B.pdf NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.Reston, VA : NCTM. Nurhadi. 2004. Pembelajaran kontekstual dan Penerapan dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Poedjiadi, A. (1999). Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih. Rachmawati, E.Y. (2012). Hubungan Antara Selfefficacy dengan Kematangan Karir pada Mahasiswa Tingkat Awal dan Tingkat Akhir di Universitas Surabaya. Calyptra:Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. [Online]. Tersedia:http://journal.ubaya.ac.id/index.p hp/jimus/article/view/30. [28 Januari 2016]. Ruseffendi, E.T.(1994). Dasar-dasar Penelitian dan Pendidikan Bidang Non Eksakta Lainnya. Cetakan Pertama.Semarang. IKIP Semarang Press. .(2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Setiadi, R. (2010). SELF-EFFICACY In Indonesian Literacy Teaching Context: A Theoretical and Empirical Perspective. Bandung: Rizqi Press. Son, AL. (2015). Pentingnya Kemampuan Komunikasi Matematika Bagi Mahasiswa Calon Guru Matematika. Jurnal Wiraloda. [Online]. Vol. 7 (15) 4-5. Tersedia: https://www.google.com/search?q=indikat or+kemampuan+komunikasi+mahasiswa& ie=utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefoxa&channel=fflb. [ 28 januari 2016]. Sugiono. (2007). Metode penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumarmo,U. (2005). "Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Tahun 2002 Sekolah Menengah". Makalah disajikan pada seminar Pendidikan Matematika di FPMIPA Universitas Negeri Gorontalo tanggal 7 Agustus 2005. Sumarmo, U. (2010). Berfikir dan Disposisi: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Ajar Matakuliah Proses Berpikir Matematik Program S2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 2012. Bandung: diterbitkan. Tytler, R. (1996). Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science. Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA. Uyanto, S.S. (2006). Pedoman Analisis Data dengan SPSS Edisi ke-2. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wheatley, G. H. (1991). Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning. Journal of Research in Science Teaching. New York: John Wiley & Sons, Inc. 35 (1). Wittrock, M.C.(1992). Generative Learning Processes of The Brain. Los Angeles: University of California. Educational Psychologist.
82
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
USING THINK-PAIR-SHARE (TPS) TO IMPROVE STUDENTS’ WRITING CREATIVITY (A Classroom Action Research in the Second Semester Students of STKIP Siliwangi Bandung) 1)
Mundriyah, 2)Aseptiana Parmawati 2)
[email protected]
1, 2)
STKIP SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan pada siswa semester kedua di STKIP Siliwangi. Kampus ini terletak di jl.Terusan Jenderal Sudirman no.3, Baros Cimahi Tengah, Jawa Barat. Keterampilan menulis penting, itu tidak mendapatkan cukup perhatian dan alokasi waktu yang tepat dalam proses belajar mengajar. Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam pengajaran menulis adalah TPS. Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan teori belajar yang dapat diterapkan tanpa mengubah peran dosen, tetapi dapat mengoptimalkan kreativitas siswa. target yang spesifik untuk dicapai dalam penelitian ini adalah untuk membuktikan metode TPS untuk meningkatkan kreativitas menulis siswa. Output yang dibutuhkan dari penelitian ini sebagai publikasi ilmiah di jurnal lokal yang memiliki ISSN. Para peneliti mengidentifikasi beberapa masalah, seperti: 1) Apakah mengajar menulis menggunakan TPS meningkatkan kreativitas menulis siswa ?, 2) Bagaimana proses belajar mengajar situasi ketika TPS dilaksanakan di kelas menulis? Desain penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dari hasil pre-test, kami menemukan bahwa hasil menulis siswa berada di bawah rata-rata dan masih jauh dari apa yang diharapkan. Temuan ini didukung oleh hasil skor menulis siswa. Skor rata-rata dari pre test adalah 56,09. Setelah pelaksanaan kegiatan TPS di setiap siklus, skor menulis siswa mendapatkan yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil rata skor siswa Siklus 1 adalah 65,80 dan siklus 2 adalah 80,25. Dapat disimpulkan bahwa TPS dapat meningkatkan kreativitas menulis siswa dan TPS dapat meningkatkan menulis kelas ke dalam situasi yang lebih baik. Kata Kunci : TPS, Kreativitas, CAR
ABSTRACT The research was conducted in the second semester students at STKIP Siliwangi. The campus is located at Jl.Terusan Jenderal Sudirman no.3, Baros Cimahi Tengah, West Java. Writing skill is important, it does not get enough attention and proper time allocation in the teaching and learning process. One technique that can be used in teaching writing is TPS. Long term goal of this research is to produce learning theory that can applied without changing the lecturer‘s role, but can optimize the student‘s creativity. Specific target to be achieved in this research is to prove TPS method to improve the student‘s writing creativity. Output required of this research as a scientific publication in local journal that have ISSN. The researchers identify some problems, such as: 1) Does teaching writing using TPS improve the students‘ writing creativity?, 2) How is the teaching and learning situation when TPS implemented in the writing class? The design of this research is Classroom Action Research (CAR). From the result of pre-test, we found that the result of students‘ writing was under average and still far from what was expected. The finding was supported by the result of students‘ writing scores. The average score of pre test was 56.09. After the implementation of TPS activities in every cycle, the students‘ writing score were getting better. It can be seen from the result of students‘ average score Cycle 1 was 65,80 and Cycle 2 was 80,25. It can be concluded that TPS can improve students‘ writing creativity and TPS can improve writing classroom into a better situation. Keywords: TPS, Creativity, CAR
83
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
or design is influenced by the desired outcomes for instruction, the subject area, and the social skill of students (Joyce, 2005: 1). Concerning with writing, think-pair-share (TPS) is a ―multi-mode‖ technique developed to encourage students‘ participation in the classroom (Lyman, 2005: 4). This technique allows students to engage in individual and smallgroup thinking before they asked to answer questions in front of the whole class.
A. Introduction We all know the importance of English as an International Language and majority used by people all over the world. English is also used in many activities either orally or in written form. There are many fields which can be seen dealing with the role of English, such as: technology, health, tourism, correspondence, etc. In Indonesia, English is taught from Elementary School up to University Level.
TPS is developed to encourage students‘ participation in the classroom activities (Lyman, 2005: 1). It means that by using TPS, a lecturer is able to encourage a high degree pupil response and able to help students keep on task. This activity also builds positive interpendence among pair members because of the shared writing surface. Each student should give written contribution for his or her pair of group. It can be assumed that there is a positive correlation among the group members to help each other for gaining the objective of their group. As stated previously, writing skill can be developed through class writing, group writing, individual writing, and community writing. It can be develop to the students‘ social character building when they work together in a team.
Writing is one of English skills besides listening, speaking, and reading. Blanchard and Root (1998: 1) state that learning to write in a new language is not always easy. It is challenging but is also fun. If the students are learning to speak and read in a new language, the students will be ready to begin writing too. The students will feel that writing in English is easy when they find comfort environment, such as a classroom. Eventhough witing skill is important, it does not get enough attention and proper time allocation in the teaching and learning process. Byrne in Matthews (1993: 3) mentions that most lecturers consider that class time should be almost entirely devoted for developing oral skill except for few exceptions, such as activities closely linked to some forms of oral work. Therefore, writing activity is given to the students as an out-of-class activity which is done in the students own pace and mostly without clear and specific instruction from the lecturer. Lack of lecturers‘ monitor on the process of the students‘ writing activity causes a lot of problems in the students writing skill.
B. Literature Review 1. The Nature of Writing Writing is one of the four skills which have to be mastered in learning language. But in fact, the students still cannot transfer their idea when they are asked to write in English. Students‘ skill in writing can increase if they are given opportunities to learn before the lecturer gives an assignment. Zamel in Nunan (1991: 88) states that writing skill can develop rapidly when students‘ concerns and interests are acknowledged, when they are given numerous opportunities to write.
The lecturers always faced some problems related to technique of teaching learning process and also media and material. One technique that can be used in teaching writing is cooperative learning. According to Dornyei (1997: 482), in cooperative learning (CL) students settle small groups in order to achieve common learning goals via cooperation. This statement is supported by Joyce (2005: 1) who states that in cooperative learning students group together to accomplish significant cooperative task. Shortly, cooperative learning is a learning activity in which students work together to accomplish the objective of learning.
Classroom has important role for the students to practice their writing in English because the society, in this case is their classmates, have ability in the same range. Blanchard and Root (1998: 1) state that learning to write in a new language is not always easy. It is challenging but is also fun. If the students are learning to speak and read in a new language, the students will be ready to begin writing too. The students will feel that writing in English is easy when they find comfort environment, such as a classroom. A writer should master the aspects of writing. Dealing with the aspects of writing, Hughes (1996: 91) mentions five aspects of writing; they are (1) grammar, (2)
A variety of cooperative learning models has been developed, such as jigsaw, think-pair-share (TPS), learning together, numbered heads together, students‘ team achievement division and group investigation. The selection of a particular model 84
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
vocabulary, (3) mechanics, (4) fluency and (5) form.
self-assessment, peer-assessment, conference, and assessment on sample folio.
2. Teaching Writing Angelo (1980: 1) says that writing would still be valuable in education because writing can help one think critically, to clarify thoughts, and the deeper perception. Another opinion is from Byrne (1995: 5); writing is often needed for formal and informal test, to get through college with good grades. Many tests are essay to test, and even in other subjects than English, composition researches are required.
c. Types of Scoring Thornburry (2005: 127) proposes two main ways of scoring in written test, holistic scoring and analytic scoring. Holistic scoring uses a variety of criteria to produce a single score. Analytic scoring focuses on the principal function of the text and therefore offers some feedback potential, but no wash back for any of the written production that enhance the ultimate accomplishment of the purpose. In holistic score, writing is viewed as an integrated whole (O‘Malley, in Waluyo, 1996: 142). Brown (2001: 78) also states that each point on a holistic scale is given a systematic sets of descriptors, and the reader-evaluator matches an overall impression with the descriptor to arrive at a score. Descriptors usually follow a prescribed pattern. The content of the holistic scoring involved four dimension as stated by O‘Malley (1996: 142) namely: 1) Organization : focuses on central idea with appropriate elaboration and conclusion. 2) Fluency/structure: appropriate verb tense used with variety of grammatical and syntactic structures. 3) Word choice: uses varied and precise diction appropriate for purposes. 4) Mechanics: absence of errors in spelling, capitalization, and punctuation. The rater selects a score on a 1 – 6 holistic scale that best describes the writing sample.
According to Byrne (1995: 4) there are three factors which influence writing process, they are: (1) psychology problem, a lecturer is expected to be able to write his/her own without the possibility of interaction or feedback, and itself makes the act of writing difficulties; (2) linguistics problem, a lecturer must keep the communication through his/her own efforts and to ensure, both through his/her choice of sentences structure and by the way his/her sentences are linked together and sequenced, that the text he/ she writes or produces can be interpreted on its own; (3) cognitive problem, a lecturer has to master the written form of the language and to learn certain structures which are important for effective communication in writing. A lecturer learns how to organize his/her ideas and thought in such a way that they can be understood by the reader who is not present, and perhaps by the reader who is not known to us. To overcome those problems mentioned above, the English lecturers need to be aware that writing should be taught in various ways and manners so that the students are interested in studying. The lecturer should also phase the writing tasks from the simplest stage to the more complex one, so that the students are not frustrated with writing.
4. TPS For teaching writing, Suhartono (2007: 50) suggests the steps as follows: 1. Pair the students up and provide them with interesting topics of a specific genre to write on. 2. Give them two or three minutes of ―silent period‖ to think deeply about the outline and the generic structure of the genre. 3. Ask the students to share their thought with their partners to draw or unify ideas. 4. Group the students of four or six and ask each group to share the ideas within the group to draw a new concept. 5. Ask each group to formulate the new ideas based on the ideas of each pair. 6. Let each group to share the ideas with the rest of the class, give correction or criticize. 7. Write the new text.
3. Writing Assessment a. The Definition of Assessment One of the purposes of doing classroom assessment is to help the students take ownership of their learning, seeing, and planning ways to foster their own literacy growth. When the students think about and reflect on their learning, they become more active participants in the teaching and learning process. b. Kinds of Writing Assessment There are five kinds of assessment activities to assess both linguistic and non-linguistic aspects in EFL writing class as authentic procedure: monitoring students‘ progress in writing process,
Based on the steps in using TPS model of cooperative learning above, it can be seen that TPS 85
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
is truly simple. Lecturer can easily use TPS for teaching writing. TPS offers some benefits and it can build positive interdependence with their partner because in doing TPS, the students are able to learn from each other.
data in this research can be seen in the following table: Table 1 Technique of Collecting Data TechniTarget Purpose Data que ObservaStudents To watch Field note tion and record Lecturer‘s Teaching action diary and Learning activity Lecturer InterStudents To know Interview view the Collaborator Participants Interview feeling In face-toface Interaction QuestStudents To get Questionionnaire response in naire non-facescoring to-face Interaction Test Students To get Writing information scores About the current and previous mark, judgment and situation
Think-Pair-Share (TPS) is one of the models in cooperative learning. Its implementation in the classroom begins with the chance for the students to think, followed by sharing the ideas in pairs and small group discussion, and sharing the ideas with the whole class. It is assumed as a good method in teaching writing since it gives students chance to dig their own ideas on what to write, share ideas with peer students, develop ideas, learn to criticize and accept criticisms, and promote effective team work. 5. Creativity Thrower in Hanson and Eller (1999: 358) defines that creativity is a critical part of the learning environment with both lecturers and students. Research on creativity in the learning environments has shown that given students of equal intelligence, the more creative student will demonstrate higher levels of achievement. As a lecturer, creativity is behavior that can be facilitated and encouraged in the classroom. According to Rockler (1998: 6), creativity theory derives from two separate sources: the study of intelligence and the development of psychoanalysis. The relationship between intelligence theory and education can predict the potential school process of children. C. Research Methodology The research was conducted in the second semester students at STKIP Siliwangi. The campus is located at jl.Terusan Jenderal Sudirman no.3, Baros Cimahi Tengah, West Java .The campus insists the lecturers of content subjects to teach writing in their lessons. This aims at improving students‘ knowledge in content while fostering comprehension in content writing creativity using English, especially in subject of writing class.
There are two types of data in the research. First is quantitative data that is in the form of writing score which is gained from the result of pre-test or posttest in this research. The score will be analyzed with comparing the mean of each test to find out the improvement of students‘ achievement in writing. Another type of data is in the form of qualitative data. The data will be analyzed by using the constant comparative method as suggested by Strauss and Glasser in Lincoln and Guba (1985: 339). The process includes the following steps: 1. Observe the students during the writing process, starting from pre-writing activities by using observation sheet. The observation sheet contains some indicators that show the students‘ activities.
There are three steps in this research: preparation, implementation, analysis of the data, and research report. This research used Collaborative Classroom Action Research. This research composed for two or more cycles then it observed and evaluated to identify all facts including the success and the failure of the action. It means that the action should be stopped or continued and revised to the next cycle based on the selected criteria of success. The techniques of collecting 86
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
2. Analyze the result of the interview to find out the information about the implementation of TPS in teaching writing 3. Analyze the result of the questionnaire to know the students personal impression about the use of TPS in teaching writing 4. Analyze the students‘ writing progress based on the result of analytic scoring rubric.
ISSUES
After conducting pre-test, the researchers then conducted interview with the students. The purpose of the interview was exploring the students‘ perception about writing. The interview had more concerns on their difficulties in writing text and how they solved their problems. The researchers also interviewed them about their responses toward the teaching and learning process activities they joined. The answers helped us plan the treatment to solve the problem. The result of the interview can be seen in Table 3 and 4.
After analyzing the scores of the written text, we use statistical technique to find the mean score. The formula to find the mean as stated by Ngadiso (2007: 5-7) is follows:
M
X
M
X
= Mean score = Total score
N
= Total students
N
No. 1. 2. 3.
If the mean score increases, the students‘ writing creativity is considered improving. D. Research Findings The pre-test was conducted on April 19, 2016 by the researchers. It covered 40 students of the second semester. Based on preliminary observation, the researcher found the factual problem that the students‘ writing creativity was low. In order to get authentic evidence, the researchers conducted a pre-test. It aimed to gain the score of the students‘ creativity in writing before treatment of the action. (The results of pretest were presented in table 2).
4. 5.
Classroom situation
Table 3 Result of First Interview Students response Questions Yes No Do you like English? 97,5% 2,5% Is English important? 100% 0% Are you able to write 60% 40% English? 67,5% 32,5% Do you like writing? 67,5% 32,5% Is writing difficult?
Table 4 Result of Second Interview 1. How interesting did you find your work in the group? a. very interesting (77,5%) b. not interesting (22,5%) 2. Did you understand exactly what the group was supposed to do? a. I knew exactly what to do (90%) b. I didn‘t understand (10%)
Table 2 Result of Pre-test ISSUES Students‘ creativity in writing
INDICATORS 3. Limited writing practice.
INDICATORS 1. Low achievement in writing 2. Difficulty to express ideas using appropriate vocabulary and grammatical form. 3. Does not know writing elements. 4. Using mother tongue in writing class. 1. Not alive atmosphere. 2. Low participation of students.
3. How many times approximately did you have the chance to talk during group work today? a. a lot (77,5%) b. none (22,5%) 4. If you talked less than you wanted to, what were the main reasons? a. I felt afraid to give my opinion (72,5%) b. somebody kept interrupting me (27,5% ) 5. Did you help each other with the task? a. never (12,5 %) b. always ( 87,5%)
87
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
The last point of the interview was about participation in writing activity. Some of the students thirty two point five percent claimed that they did not like the writing activity. On the contrary only sixty seven point five of the students stated that they liked writing activity. The implementation of the research can be seen in Table 5.
Reflection
Final reflection
Table 5 Overall Implementation of the Research Problem Solution Students
Students had low writing ability Teaching writing through TPS Second semester at STKIP SILIWANGI BANDUNG
(+) Improve writing ability, effective group work, more alive class (-) Lack of self-confidence in writing, mother tongue use, need more challenge Writing ability raised, fluency in writing was achieved, mother tongue pattern use decreased CS : alive, SS writing ability increased, bigger chances for writing. L : more innovative, explored students‘ potentials
1. Findings The students‘ creativity in writing descriptive text improved TPS. It can be concluded that TPS is one of good ways to improve students‘ writing ability since it can help them to organize the words into descriptive text, give a bit fun, make them more relaxed and help them to generate the needed words to construct a descriptive text.
Cycle 1 : Describing Things Planning Giving a task in each meeting (pre-task, task, and language focus), Using picture and real object Action A1 :Describe and Draw; A2 :Guess my hidden object, A3 : How is your living room?, A4 : Post test Observation SS : active, interest, is achieved, L : worksheet, too many tasks, lack of modeling, grammar discussion, and monitoring, CS : alive, enjoyable, but crowded Reflection (+) Raise SS ability through various activities; success in group work (-) Lack of monitoring, modeling, grammar and vocabulary building, too many tasks Cycle 2 : Describing event Planning Using A1 for vocabulary building; A2 for main tasks, A3 for language focus. Using picture Action A1 : Pre-task; A2 Task: Tell me the differences!; A3: Language focus; A4 : Post test Observation SS : improving students‘ ability especially in learning writing and self-confidence, L : guiding the students conduct activities CS : more alive, enjoyment in doing the tasks was increased
The improvement of the students‘ ability can also be seen from the results of the students‘ pre-test and post-test which were done in every cycle. The average score of the pre-test was 56,09, the average score of the Cycle 1 was 65,80, the average score of the Cycle2 was 80,25. All the data showed that the improvement of writing achievement from cycle to cycle was significant. Table 6 Post-test average score of cycle II from the first corrector No Explanations 1. The highest score 2 The lowest score 3 The average score
Scores 86 72 79
Table 7 Post-test average scores of writing elements of Cycle II first corrector No 1 2 3 4 5 88
Writing element Organization Content Grammar Diction Mechanics Average score
Average score 75,00 78,00 78,00 83,00 80,00 78,80
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
students understand what everything related to make a good writing, make them interest in teaching and learning English by creating an interesting atmosphere in the classroom, and giving a bit fun.
Table 8 Post-test average score of cycle II from the second corrector No Explanations 1. The highest score 2 The lowest score 3 The average score
Scores 88 75 81,5
After the implementation of TPS activities in every cycle, the students‘ writing score were getting better. It can be seen from the result of students‘ average score Cycle 1 was 65,80 and Cycle 2 was 80,25. It also influenced the students‘ interest during the lesson, the reducing of the rule of their mother tongue in their writing.
Table 9 Post-test average scores of writing elements of Cycle II second corrector No 1 2 3 4 5
Writing element Organization Content Grammar Diction Mechanics Average score
Average score 79,00 78,00 82,00 78,00 79,00 79,20
2. Improvement in Classroom situation Before conducting the research, the teachinglearning process was not alive as the teacher used to apply the conventional technique. The students show low participation on writing class as they were seldom taught to make a better writing by using various technique because the teacher monotonous in teaching writing. The condition after the implementation of the research was showing improvement. The atmosphere of the class more was more live as there are many interesting activities. The student gave attention to the lessons they were very active to conduct the activities and dominated the activities. No more lecturers‘ domination. The lecturer started to recognize the students‘ problem and potential in writing.
Table 10 Post-test average score of Cycle II from the two correctors No Explanation 1 The highest score 2 The lowest score 3 Average score
Scores 87 73,5 80,25
In more detail, the summary of the research findings is described in the following section:
Another finding in this research is dealing with the lecturer. Lecturer takes many kinds of roles during the teaching and learning process: a leader, manager, counselor, director, friend, facilitator, motivator, creator or parent. If the lecturer is more creative and innovative to carry out the teaching and learning process so the students will be more interested in joining the lesson.
1. Improving in students‘ writing creativity From the result of pre-test, I found that the result of students‘ writing was under average and still far from what was expected. The finding was supported by the result of students‘ writing scores. The average score was 56.09. The score of the students indicated that the students faced many problems in writing. They have many problems in making a piece of English writing, because their writing mastery was low. This condition can be seen during the writing process, they could not express their idea, how to start writing, and the students always lost their ideas and stuck so they could not continue their writing, they lack of vocabulary so their ideas were constructed incoherently and the students‘ writing mostly influenced by their mother tongue.
2. Discussion The research which is applying action research to use TPS activities in improving students‘ writing ability brought satisfying result both in term of the improvement of students‘ writing ability and classroom situation. The findings then can be theorized in two major points as follows: 1) TPS activity can improve students‘ writing ability; and 2) TPS activity can improve classroom situation. E. Conclusion
Due to the fact, it is necessarily needed to make an attempt to improve students writing creativity by applying a teaching technique that makes the
Having conducted the research in using TPS to improve students‘ writing ability it can be drawn some conclusions as follows: 89
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
1. TPS can improve students‘ writing creativity. The improvement of students‘ writing creativity can be identified from the improvement of writing achievement. It shows that there is a comparison between the students‘ writing creativity during the intervention and the performance criteria of success. The improvement was also observed from several aspects of the composition they produced. First, the students were able to define the topic they choose into concrete ideas. Secondly, they could generate suitable supporting sentences to the topic sentences they wrote. Third, they could write acceptable introductory paragraph by providing general statement. Fourth, the students could write concluding paragraphs that reviewed the main points of the ideas. Finally, they could tolerably maintain the unity and the coherence in their essay. 2. TPS can improve writing classroom into a better situation. They were motivated in joining writing class. Their motivation is reflected in their efforts in providing sources – the information materials – to support their writing.
Hanson, Kenneth and Eller, Ben F. 1999. Educational Psychology for Effective Teaching. London: Wadsworth Publishing Company. Hughes, A. 1996. Testing for Language Teachers. Cambridge: Cambridge University Press. Joyce, B. 2005. A Guide to Cooperative Learning. Available at http://P9CDS.P9. K12.md.us/elc/learning.html. Retrieved on July 28th, 2012. Lyman, F. 2008. Appendix. Description of Exemplary Techniques and Methods. Think-Pair-Share. Available at: http//www.users.edu.html. Retrieved on July 28th, 2012. Ngadiso. 2009. Statistic Materi Matakuliah Pascasarjana UNS Surakarta. Nunan, David (ed). 2003. Practical English Language Teaching. Singapore: Mc.Graw Hill Companies. Rockler, Michael J. 1998. Innovative Teaching Strategies. Arizona: Gorsuch Scarisbrick Publisher Thornbury, Scott. 2005. How to Teach Speaking. Harlow: Longman Group Ltd. Trianto. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Rineka Cipta.
References Angelo, Frank J. 1980. Process of Thought in Composition. Winthrop: Winthrop Publisher Inc. Blanchard, Kareen and Root, Christine. 1998. Get Ready to Write: A Beginning Writing Text. London: Longman Group. Brown, H Douglas. 2004. Language Assessment: Principles and Classroom Practices. New York: Addison Wesley Longan, Inc. Byrne, Donn. 1993. Teaching Writing ability. New York: Longman Group Ltd Carr and Kemmis. 1993. Classroom Action Research. (http://www.madison.k12.wi.us/sod/car.car homepage.html). Accessed on March 4th 2010. Dorney, Zoltan. 1997. Motivational Stategies in the Language Classroom. Cambridge: Cambride University Press. Farbairn, G. and Winch, C. 1996. Reading, Writing and Reasoning. Buckingham: Open University Press. Fowler, Mary Elizabeth. 1965. Teaching Language Composition and Literature. New York: Mc. Graw Hill Inc. Glaser, BG. & Strauss, AL. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. New York: Aldine De Gruyter. 90
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
DEVELOPING MATERIAL DEVELOPMENT GUIDELINE OF LISTENING FOR GENERAL COMMUNICATION 1)
Ningtyas Orilina Argawati, 2) Lilis Suryani
1)
[email protected], 2)
[email protected]
1,2
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS STKIP SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK
Mendengarkan merupakan keterampilan penting yang harus dipelajari oleh siswa, Termasuk siswa dalam program pendidikan bahasa Inggris dari STKIP Siliwangi Bandung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Sebagai media, buku saja mengambil peran penting untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa selama mendengarkan. Studi ini mengkaji cocok jenis which atau kriteria harus menjadi yang terbaik untuk mendukung mendengarkan belajar siswa. Selain itu, penelitian ini bermaksud untuk fokus pada pengembangan materi pengembangan pedoman untuk mendengarkan which komunikasi umum cocok untuk mahasiswa di STKIP Siliwangi Bandung. Penelitian ini dilakukan oleh Pendidikan R & D (Borg dan Gall, 1983). metode semacam ini meliputi empat langkah utama; mereka adalah pengantar (kondisi yang ada dan analisis kebutuhan), pengembangan produk, pengujian, dan penyebaran. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada lima aspek dalam mendengarkan which diperlukan untuk dilampirkan dalam mendengarkan materi komunikasi umum; mereka mengakui suara khas, memahami makna, menanggapi fungsi komunikasi, situasi, peserta, dan tujuan, inferensia arti harfiah dan tersirat, informasi baru, informasi yang diberikan, ide-ide utama dan mendukung ide-ide, dan yang terakhir adalah menebak kata-kata, perangkat kohesif, dan kelas kata gramatikal. Kata Kunci : mendengarkan, pengembangan materi, R & D pendidikan
ABSTRACT Listening is an essential skill that should be learnt by the students, including students in English education program of STKIP Siliwangi Bandung. Many factors can influence the successful of the students‘ learning. As a media, course book takes an essential role for facilitating the students‘ activities during learning listening. This study investigates the suitable kinds or criteria which should be best for supporting the students‘ learning listening. Beside, this study intends to focus on developing material development guideline for listening for general communication which suitable for the students in STKIP Siliwangi Bandung. The research is undertaken by Education R & D (Borg and Gall, 1983). This kind of method covers four major steps; they are introduction (existing condition and needs analysis), product development, testing, and dissemination. the result of the research revealed that there are five aspects in listening which are needed to be attached in listening for general communication materials; they are recognizing the distinctive sounds, understanding the meaning, responding the communication function, situations, participants, and goals, inferencing literal and implied meaning, new information, given information, main ideas and supporting ideas, and the last is guessing the words, cohesive devices, and grammatical word classes. Key words: listening, material development, educational R & D
themselves. In other words, the exposure of listening skill to the students can give good effect to their understanding.
A. INTRODUCTION Listening is one of the receptive skills that should be learnt by the students including the students of English Education Program of STKIP Siliwangi Bandung. According to Brown (2008), listening as a major component in language learning. This process involves understanding a speaker‘s accent or pronunciation, the speaker‘s grammar and vocabulary, and comprehension of meaning. It is supported by Harmer (2007), he said that the more the students listen, the better they get, not only understanding the speech, but also the speaking
Related to the importance of listening, the students are expected to have good ability in listening skill. In English education program of STKIP Siliwangi Bandung, there are three kinds of listening skills that are learnt by the students, they are listening for general communication, listening in professional context, and listening for academic purposes. In this research, the researchers focus on listening for general communication. This subject is one of 91
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Underwood (1993:1 ) says that ―listening is the activity of paying attention to and trying to get meaning from something we hear. To listen successfully to spoken language we need to be able to work out what speaker mean when they use particular words in particular ways on particular occasions, and not simply to understand the words.‖
compulsory subjects for first semester of English education program at STKIP Siliwangi Bandung. Based on the observation that was done by the researchers, the students have three problems in learning listening for general communication, they are: the materials do not suitable with the students‘ need, different level ability of listening, and the course book that was used for native speakers. This is confirmed by Cahyono and Widiati (2009), the success of listening instruction is determined by a number of factors, one of which is the types of materials. Besides, listening is often far too difficult for lower level of the students and it is inappropriate use with them (Harmer, 2007). In other words, the materials or the course book is an important thing to support the students in learning listening.
Listening involves not only the micro skill level such as recognizing stress patterns, reduced forms of words, word classes, etc, but also the macro skill level such as recognizing communicative functions of speech, inferences, new information, etc). In addition, Kirsch (2008) said that listening activities should be based on meaningful, appropriate, and authentic texts that assist learning and remembering and match the grade and the level of the students. In other word, listening is an essential skill for developing language and it should be meaningful and appropriate for the students‘ need.
Since the researchers notice at the many significances of the course book, they would like to find out what kinds of listening materials which is suitable for the students of English Department, and to develop materials for course book in which they can encounter the students‘ need in learning listening for general communication at STKIP Siliwangi Bandung in order to improve and facilitate the students in learning listening better.
From the definitions above, the researchers come to the conclusion that listening is an activity of processing and decoding sounds from the smallest meaningful units into the complex one in order to be able to interact with the speaker to construct meaning from something we hear. Material development is basically dealing with selection, adaptation, and creation of teaching materials (Nunan, 1991). In practice, it focused on evaluation, adaptation of published materials and creation (development of teaching materials by teacher in line with the existing syllabus). Besides, Mishan (2012) said that material development informs practice and provides a ‗place‘ for application of language teaching theory. This is confirmed by Tomlinson (2012), he stated that materials development refers to all the processes made use of by practitioners who produce and/or use materials for language learning, including materials evaluation, their adaptation, design, production, exploitation and research.
B. LITERATURE REVIEW Listening is defined vary by some experts. Rubin (1994: 210) believes that listening is a process of decoding the sounds, from the smallest meaningful units (phonemes) to complete texts. The phonemic units are decoded and connected together to construct words, words are connected together to construct phrases, phrases are connected together to construct utterances, and utterances are connected together to construct complete, meaningful text. That is to say, meaning is arrived at as the last step in the process. A chain of incoming sounds trigger schemata hierarchically organized in a listener‗s mind— the phonological knowledge, the morphological knowledge, lexical and syntactical knowledge (syntactical knowledge aids to analyze the sentence structure). Thus, the listener makes use of ―his knowledge of words, syntax, and grammar to work on form in the bottom-up processing.
Related to the statements above, materials development is a process to develop the materials that are used by the teacher in the classroom. The process is started by selecting the materials, adapting, implementing, and evaluating the materials based on need analysis of the students.
Another definition is also served by Barney (1984) who explains that listening is a highly-complex solving activities in which listeners interact with a speaker to construct meaning, within the context of their experiences and knowledge. Moreover,
C. RESEARCH METHOD This research is conducted to develop listening module to be used in teaching listening to the 92
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
second year pupils of STKIP Siliwangi Bandung. To obtain the purpose, the writers use R&D (Research and Development) as the method of the research. The R&D method used in this research is Educational R&D. The definition of Educational R&D itself has been delivered by Gall, Gall, and Borg (2003: 569) as an industry-based development model in which the findings of the research are used to design new products and procedures, which then are systematically fieldtested, evaluated, and refined until they meet specified criteria of effectiveness, quality, or similar standard.
condition makes the students have low motivation in learning. It is different from Tomlinson (2010) and Mishan (2012) said that materials need to engage the learners affectively, such as interesting, motivating, challenging and relevant. Therefore, the researchers focus on materials for improving the students‘ motivation in order to engage the students affectively. The second is different level ability of the students. The students come from different background of English exposure, there are several students who are good in listening, but there are also so many students who are very weak in listening. It is because the students did not get placement test at the beginning, so the listening ability is various from lower level to higher level. It can be challenging for the lectures to teach them in the classroom. In other words, the materials should appropriate with the students‘ ability. It is supported by Kirsch‘ theory (2008) said that listening activities should match the grade and the level of the students.
Those procedures have been simply concluded by Nurkamto (2012) which consist of four steps; they are introduction, product development, testing, and dissemination. D. RESEARCH RESULT The result of the research is divided into four steps based on the steps of research and development method, they are; introduction (existing condition and need), product development, testing, and dissemination. Below is detail data of each step of R & D:
The third is the students respond toward materials given. During the lesson, they showed their flustered face when the recording is being played. They said that they understand nothing from the audio. This problem due to two conditions: the speakers are native and the loud speakers are not working properly
a) Introduction consists of observation and document analysis. Observation was conducted to know the existing condition of listening class and to get the highlight of real problems that encounter teaching and learning process in the classroom. The result of the observation can be categorized into the students‘ need in learning. The observation was conducted in two meetings. Data from observation were analyzed to get the main points from the observation. It is supported by document analysis that was done by researchers. Existing document was a book of listening for general communication. The researchers analyzed the book based on the aspects and elements of listening (Barney, 1984; Brown, 2004; Rubin, 1994; and Underwood, 1993). Based on the observation and document analysis, the researchers categorized the observation data into five problems in learning listening faced by the students and lecturer, they are: The first is module of listening subject. The module used in this semester is a book which contains raw materials pointed for native speaker, while our students in STKIP Siliwangi Bandung are language learners whose level is still in basicintermediate. It means there is a gap between the materials and the level of the students‘ ability. The
The fourth is facility. It has deal with one of the problem faced by the students: the loud speakers are not working properly. The language laboratory has been provided by 50 booths to meet the students‘ need of audio during their lesson of listening. Each booth is completed by a headset which can be used by the students. Unfortunately, all of the booth were broken and could not be used since several times ago. The students have no choice unless doing the listening through the loud speakers. The loud speakers are also without trouble on its use. Sometimes the students have to wait if the loud speakers are not working properly and need resetting. The fifth is classroom condition. The listening lesson is always conducted in language laboratory unless there are some conditions which make the lecturer moves the class into another room. There are 50 seats in booth. Each student needs to take one seat behind the booth. This condition raises problem. When they sit on the booth, they have lack interaction with other friends and with the lecturer. It does not matter if the material is only 93
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
about listening, but when it comes to the task when they have to interact with their friends, they meet problem. They can only interact with student next to them, behind them, and in front of them. In fact, the material sometimes contains some tasks which have the students into group and do a practice.
lesson since they like the subject. However, many students feel that listening is difficult in most of the way to recognize the distinctive sounds and to understand the meaning of the words, (2) The students think that listening is important in the way of helping them to grasp the sounds and define the meaning of the words they have heard, (3) The students really want to master how to differentiate the sounds well so that they can determine which word it is and then understand the meaning of the words they have heard, (4) They think that by mastering the ability to recognize the distinctive sound and understand the meaning, they will be able to respond the communicative function, situation, participant, and goals. In addition, they can also understand the inference of literal and implied meaning, new and given information, and main and supporting ideas. Moreover, hopefully, the students are able to do guessing the context, the words, cohesive devices and the grammatical word classes, (5) The guideline made and developed by the researcher is intended to give additional information for the lecturers of listening in building and constructing the material for teaching listening. The guideline is constructed based on the adjustment between the aspects of speaking proposed by some experts and the micro and macro skill of listening proposed by Brown (2004:121).
b) Product Development The material will be developed based on the aspects gained from constructing of several experts, and these aspects are also gained from the observation and interview to the students. Those aspects are recognizing the distinctive sounds, understanding the meaning, responding the communicative function, inferencing literal and implied meaning, and guessing the words, cohesive devices, and grammatical word classes. c) Testing The product of development of this research is a guideline of listening for general communication for the first semester. This guideline was given in June 31 2016 to three lecturers who teach listening for general communication. The three lecturers consists of one man and to women lecturers. They always teach listening for general communication for first semester. The lecturers are asked to read and give suggestions to the guideline of the research based on their experience when they were teaching listening in their class.
Based on the research which has been accomplished, the researchers would like to propose some suggestion as follows: (1) This is very difficult to meet the students need if the module used is containing materials which are actually pointed for the native speaker of English. The teacher and the students feel that the material is not suitable and it does not provide them with the skill they need. By that reason, the lecturer in every class needs to compromise with the students and other lecturers dealing with the suitable material they should give to the students, (2) The team leader of the lecturers of listening need to confirm and synchronize between the material and the basic comprehension of the students about listening, (3) The students need to be active to discuss the materials they received from their teacher in order to always make improvement in every material given.
d) Dissemination The fourth step of research and development is dissemination. Dissemination is a process to spread the product. The product is a guideline of materials development for listening for general communication. This guideline is spread to the lecturers who teach listening for general communication and the coordinator of listening for general communication. Besides, this product is spread to English education study program. The guideline of materials development of listening for general communication is hoped to be a reference for the lecturers and English study program to be implemented in teaching and learning listening process in the next year. E. CONCLUSION AND DISCUSSION From the research conducted, it can be concluded that: (1) through interview, it shows that the students are having desire to join the listening 94
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
REFERENCES Brown, H. D. 2004. Language Assessment Principles and Classroom Practices. NY: Pearson Education, Inc. Cahyono, B.Y. and Widiati, U. 2009. The Teaching of EFL Listening in the Indonesian context: TEFLIN Journal, Volume 20, Number 2, August 2009 Brown, H. D. 2004. Language Assessment Principles and Classroom Practices. NY: Pearson Education, Inc. Byrnes,
H. 1984. The Role of Listening Comprehension: A Theoretical Base. Foreign Language Annals, 17(3), 17-29. Rubin, J. 1994. A Review of Second Langugae Listening Comprehension Research. The Modern Language Journal, 78(2), 199-221 Underwood, M. 1989. Teaching Listening. London: Longman.
95
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
STUDENTS’ PERCEPTION TOWARD THE IMPLEMENTATION OF DIGITAL STORYTELLING IN TEACHING WRITING 1)
Yanuarti Apsari, 2)Intan Satriani
1)
[email protected], 2)
[email protected] 1,2)
STKIP SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK
Makalah ini melaporkan penelitian persepsi siswa tentang pelaksanaan bercerita digital dalam pengajaran menulis untuk siswa semester II STKIP Siliwangi Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat dan tantangan dari menggunakan cerita digital. Penelitian ini muncul karena era digitalisasi menjawab. Dimana, siswa harus diakomodasi oleh teknologi dalam proses belajar mengajar. Penelitian ini dilakukan di STKIP Siliwangi Bandung. Subjek penelitian ini menulis untuk siswa komunikasi umum. Data diperoleh dari wawancara siswa. Temuan mengungkapkan bahwa ada beberapa manfaat. Mereka adalah pengembangan kemampuan siswa menulis, peningkatan siswa membaca pemahaman, pengembangan siswa keterampilan kerjasama, peningkatan siswa partisipasi di kelas, suasana menyenangkan belajar dan meningkatnya minat menulis siswa. Tantangan itu ada hubungannya dengan kemampuan siswa. Berdasarkan temuan tersebut, disarankan untuk memperoleh data dalam penelitian dan memodifikasi praktek mengajar baru. Kata Kunci : Persepsi siswa; Mendongeng digital; Pengajaran Menulis
ABSTRACT This paper reports a research of students‘ perception on the implementation of digital storytelling in teaching writing to second semester students of STKIP Siliwangi Bandung. The research aims to find out the benefits and challenges of using digital storytelling. This research comes up due to answering digitalization era. Wherein, students should be accommodated by technology in teaching learning process. The research was conducted at STKIP Siliwangi Bandung. The subject of this research was writing for general communication students. The data were obtained from students‘ interview. The findings revealed that there are some benefits. They are the development of students‘ writing ability, the improvement of students‘ reading comprehension, the development of students‘ cooperation skill, the increasing of students‘ participation in the class, fun learning‘s atmosphere and the increasing of students‘ writing interest. The challenges had something to do with students‘ proficiency. Based on those findings, it is suggested to obtain deep data of the research and to modify new teaching practice. Keywords: Students’ Perception; Digital Storytelling; Teaching Writing
(Suherdi, 2012, p.72). In accommodating technology based learning for students, Frazel (2010, p. 9) and Yuksel et al (n.d) suggest digital storytelling as a process that blends media or digital devices to enrich the written or spoken word and to support the educational process. Digital storytelling is a modern expression of storytelling which presents digital technology and instructional resources to tell the story with many topics (Digital Storytelling Association, 2002; Ohler, 2008; Frazel, 2010, p.8). Moreover, when teacher utilizes digital storytelling as a teaching technique, students can dig their unique creativity and expression, reach a wider audience, develop skill in internet content, do research, and write for different audiences and topics (Sharp, 2009, p. 231; Frazel, 2010, p.7).
1. Introduction Nowadays students can easily acquire and share the information or their stories to others through technology (computer, software, websites, internet, blog, podcast, you tube, facebook, and wikis) (Mishan, 2005; Dudeney & Hockly, 2007; Frazel, 2010, p.11). Technology can give learners exposure to practice all four language skills, make them to be significantly active in teaching learning process. It also creates students to be independent learners since they experience the activities in joyful and interesting way by themselves (Wright, 2001; Dudeney & Hockly, 2007; Suherdi, 2012). Those are needed by the teachers to accommodate technology in teaching and learning process 96
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
However, this study which focuses on finding out students‘ perception on the implementation of digital storytelling in teaching writing. This study also observes students‘ reaction towards the transdisciplinary research between English teaching and ICT. Rising up transdisciplinary research of digital storytelling in teaching writing seems to be crucial in showing the different way of teaching writing to students which blend more than one media in teaching activities. Hence, this study finds out the benefits and shortcomings of the use of digital storytelling in teaching writing.
Digital storytelling is also known as the modern expression of the ancient art of storytelling which is utilized to share knowledge, wisdom, and values through the computer and other supported media (Center for Digital Storytelling, 2005; DeNatale, 2008, p.2). McCulloch (cited in Frazel, 2010, p. 15) mentions digital storytelling as an embedded innovative practice among educationalists in all sectors in Australia. Teachers in primary, secondary, community, and tertiary institutions have accepted this powerful media (Chase, 2010; Frazel, 2010, p. 15) for a wide range of purposes in teaching and learning, especially in improving students‘ writing skill (Krismiyati, 2013, p. 4).
2. Review of Literature 2.1. Overview Digital Storytelling
Digital storytelling in an educational setting allows students and educators to enhance their information gathering and problem solving skills (Robin, 2009 in Yuksel, n.d), facilitate students‘ ability to work collaboratively in team (McDrury&Alterio, 2003; Frazel, 2010, p. 9), allow them to construct their own meaning through personally meaningful writing (Robin, 2008, p. 223), and allow users to create a social community around the stories (Frazel, 2010, p. 9).
Storytelling is defined as an ancient art or natural method which uses the story images drawn on cave walls and brings human communication and social interaction about one self, others, or the world (McDrury & Alterio, 2003; Frazel, 2010, p.1). In using storytelling, educators can encourage learners to tell stories from their complex ideas, concepts, or information which they had experienced and linked it to the world and own stories (McDrury&Alterio, 2003, p. 34; Chung, 2006). Through stories, learners are able to share about themselves, families, friends and colleagues, communities, environments, cultures, and place in history (Wright, 2008). The stories can be real or fictitious. Those depend on what kind of text which will be taught by teachers.
2.2. The Importance of Digital Storytelling related to Writing Teachers should consider the positive and negative sides of the media for both teachers and students, when applying a teaching media in the classroom. In integrating technology and storytelling through digital storytelling, there are five benefits for both teachers and students. Firstly, digital storytelling provides students with opportunities to apply emerging technologies as part of their learning (Porter, 2008, p.7) and develop a range of digital communication styles in a knowledge society (Frazel, 2010, pp.2-3).
Nowadays, with the rapid development of technology, Joe Lambert and the late Dana Atchley helped the Center of Digital Storytelling to create the digital storytelling movement as a new version of storytelling (Center for Digital Storytelling, 2005; Robin, 2008, p.222). Digital storytelling is defined as a new educational tool (Lunce, n.d, p. 77) which integrates between computer technology and multimedia elements with storytelling or teaching and learning (Frazel, 2010, p.1; Xu, et al., 2011, p.181).
Secondly, digital storytelling gives spaces for the students to be active learners in the process of teaching and learning through reflecting, representing, and communicating what they know (Cennamo, et al., 2010, p.91; Frazel, 2010, p.11). Thirdly, digital storytelling creates fun and excitement learning‘s atmosphere where students are involved to create a short movie that presents a compelling personal perspective (Cennamo, et al., 2010, p.91; Frazel, 2010, p.11).
The innovation of digital storytelling is seen from tools needed for that process such as computers, scanners, digital cameras, high quality digital audio capture devices, and multimedia narratives (Meadows, 2003; Robin, 2008, p.222). Robin adds that those devices have become increasingly more affordable and accessible (2008, p.222). Through computer generated text and multimedia content, digital storytelling brings new life from the ancient craft of written or oral storytelling (Frazel, 2010, p.1) to the students.
The Fourth benefit of digital storytelling, it is an effective media for both visual and auditory learners to demonstrate to them the complexity of project management and the importance of 97
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
audience (Frazel, 2010, p.11). Finally, digital storytelling can develop students‘ skills in analyzing internet content (Sharp, 2009, p. 231; Frazel, 2010, p.11), doing research in different topics (Sharp, 2009, p. 231), and writing content collaboratively for different audiences (Sharp, 2009, p. 231; Frazel, 2010, pp.2-3).
After practicing to write digital storytelling regularly I can express my idea easily and develop my ideas in writing easier. (S5) (Interview, translated version) The above excerpt showed that when teacher utilizes digital storytelling as a teaching technique, students can dig their unique creativity and expression, reach a wider audience, develop skill in internet content, do research, and write for different audiences and topics (Sharp, 2009, p. 231; Frazel, 2010, p.7). This means that linking writing to reading text can be an effective method of generating ideas and aiding writing process (Baker and Boonkit, 2004).
3. Methodology In investigating such research, this method has objective based on a research question. This research was conducted to describe and explore students‘ perspective in implementing the technique. The data of this study were obtained from students‘ interview. Semi structured interview was used to collect in-depth responses from the respondents and to set clear limits of questions in avoiding wider students‘ responses (Patton, 1990 in O‘Donoghue and Punch, 2003, p.21; Heigham and Croker, 2009, p.187).
Related to the development of students‘ writing ability, student one perceived that after learning narrative using storytelling, she was able to make a good story, as can be seen in the excerpt below. Through creating digital storytelling I learned more about grammatical rules. My understanding in grammar also developed. Then, I got a lot of vocabularies from the activity. (S1) (Interview, translated version)
4. Finding and Discussion With regard to the second research question, this subchapter presents the benefits that appeared in the implementation of digital storytelling in teaching writing for the second semester students of university level. However, this research also found some challenges in the implementation of teaching program. The benefits and challenges that were found in this research will be depicted in the following sections. 4.3.1
The findings above also showed that digital storytelling can improve students‘ writing skill (Krismiyati, 2013, p.4). 4.3.1.2 Students Improved Their Reading Comprehension Besides the development in writing ability, students also got an improvement in reading. The result of interview about reading development can be seen in the following excerpt.
Benefits of the Implementation of Digital Storytelling in Teaching Writing
This study found six benefits from the implementation of digital storytelling in teaching writing. The benefits attained the development of students‘ writing ability, the improvement of students‘ reading comprehension, the development of students‘ cooperation skill, the increasing of students‘ participation in the class, fun learning‘s atmosphere and the increasing of students‘ writing interest. The aforementioned benefits are described below. 4.3.1.1 Students Developed Their Writing Ability Based on the data of students‘ interview, it was found that students developed their writing ability. The development of writing ability in this research can be seen in the following except:
Through writing digital storytelling made us understand the text better because before writing we need to read the text for many times. We can understand the story. (S2) (Interview, translated version)
From the above interview, the students perceived that they liked reading using digital storytelling because they could easily comprehend the material of the story. This finding showed that writing activities can be useful for improving reading comprehension (Stotsky, 1983) by allowing ESL readers to articulate their understanding of and connection to a text (Petrosky, 1982). 98
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
4.3.1.3 Students Improved Their Skill of Cooperation
4.3.1.5 Digital Storytelling Learning’s Atmosphere
In creating digital storytelling, the students need to complete the task in a team. They got the result of learning through the cooperation with other students that all students in the groups benefit from the interactive experience (Kessler, 1992), as can be seen in the excerpt below.
All respondents said that they enjoyed writing digital story telling. It is relevant with the statement of Cennamo, et al. (2010, p.91) and Frazel (2010, p.11) that digital storytelling creates fun and excitement learning‘s atmosphere where students are involved to create a short movie that presents a compelling personal perspective. It is supported by interview result of student three below.
In creating digital storytelling, we worked in a group. So, we need to work together and share our ideas with our friends and discuss about what we are going to write. Sometimes, we got difficulty when we had different ideas in completing the task. (S2) (Interview, translated version)
Fun
It is a new experience for us to create digital storytelling. I am happy to write it because we can write the story by using computer. In writing class, the teacher always asked us to write in a paper.
The above excerpt showed that digital storytelling can facilitate students‘ ability to work collaboratively in team (McDrury & Alterio, 2003; Frazel 2010, p.9). This means that in learning community, students can enhance broader skills of cooperation (Harmer, 2001). Thus, through digital storytelling students can improve both academic and social skills. 4.3.1.4 Digital Storytelling Increased Amount of Students’ Participation
Created
(S3) (Interview, translated version) This finding showed that digital storytelling provided students with opportunities to apply emerging technologies as part of their learning (Porter, 2008, p.7). This made students to be independent learner since they experience the activities in joyful and interesting way by themselves (Wright, 2001; Dudeney & Hockly, 2007; Suherdi 2012). Thus, it is suggested for the teachers to accommodate technology in teaching and learning process (Suherdi, 2012, p.72).
the
The implementation of digital storytelling is in accordance with the characteristic of cooperative learning in which focuses on learner centered. The students are actively involved in the teaching and learning process. It is supported by interview result of student five below.
4.3.1.6 Students were Motivated to Write After creating digital storytelling, the students were motivated to write better, as stated by student four below.
Digital storytelling makes students to be significantly active in teaching and learning process because everyone in a group has a role. It is started by deciding the topic story, finding the design, editing until uploading the video in facebook. I enjoyed doing every stages. Because it is the new experience for us, every group tried to create the good result. (S5) (Interview, translated version)
Before participating in writing digital storytelling I was confused to start writing. I thought that writing activity is boring because the teacher always asks us to write in a piece of paper. But, after I knew digital storytelling I was interested to write by using various media. (S4) (Interview, translated version) The findings above showed that digital storytelling as one way to increase students‘ engagement to respond writing activity, especially for students who did not respond the traditional academic writing assignments (DeNatale, 2008, p.2). Therefore, this technique has been found to be an effective means of arousing interest in writing.
The findings above showed that digital storytelling gave space for students to be the active learners in the process of teaching and learning through reflecting, representing and communicating what they know (Cennamo, et al,. 2010, p.91; Frazel 2010, p.11).
99
P2M STKIP Siliwangi 4.3.2
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
itself, for example lack of vocabulary, choices of words, and word forms.
Challenge of the Implementation of Digital Storytelling in Teaching Writing
The challenge was obtained in this research mainly deals with the students‘ English proficiency. All students admitted that the lack of language proficiency such as vocabularies, grammar, and pronunciation was their obstacle in implementing the teaching program. This problem found out that students still lack of vocabularies. Consequently, it made students hard in expressing their opinions, as stated by student two below.
5. Conclusion and Recommendation Based on data of students‘ interview, the gained data indicated that although there were some restrictions, the incorporation of digital storytelling to the teaching program had assisted students to develop their writing skill. This research revealed that the teaching program spawned six benefits from the implementation of digital storytelling in teaching writing. The benefits attained the development of students‘ writing ability, the improvement of students‘ reading comprehension, the development of students‘ cooperation skill, the increasing of students‘ participation in the class, fun learning‘s atmosphere and the increasing of students‘ writing interest. Nevertheless, the attainment of those benefits might be constrained by some challenges found in this teaching program. The challenges had something to do with students‘ proficiency.
I had difficulty in setting the appropriate grammar. I don‘t know what I had written grammatically correct or not. (S2) (Interview, translated version) The above excerpt in line with Cohen (1994, pp. 328-329 in Saehu, 2008, p. 26), who stated that many writers do not have good control on structure. This might be caused by their lack of reading various kinds of text. As stated by Harmer (2007, p.99) that students need to read lots of references since reading texts provide good models for English writing concerning construction of phrases, sentences, paragraph, and whole texts.
As aforementioned statement, it can be concluded that the result of the research confirmed possibility of the teaching program which incorporates digital storytelling in supporting university level students to have good awareness in expressing their ideas. Furthermore, the use of media can facilitate and help students to develop their writing ability, which is highly required in facing globalization era especially Z generation.
In addition, the students also had the problem with finding the appropriate words. It is supported by interview result of student five below. The most difficult stage in creating digital storytelling for me is when we have to compose the story. Because I realize that my vocabulary mastery is very limited. So, I did many mistakes when I translated the story into English related to the choice of word. Fortunately, the teacher always helps us to correct it. (S5) (Interview, translated version)
REFERENCES Cennamo, K. S., Ross, J. D. & Ertmer, P. A. (2010). Technology integration for meaningful classroom use: A standardsbased approach. CA: Wadsworth. Center for Digital Storytelling. (2005). Center for digital storytelling website. [Online]. Available at: http://www. storycenter.org/history.html. Retrieved on May 17, 2014. Chase, J. E. (2010). Digital storytelling for success. CA: Professional Media Group. Chung, S. K. (2006). Digital storytelling in integrated arts education. The International Journal of Arts Education, 4 (1), pp. 3350. DeNatale, M.G. (2008). Digital storytelling: Tips and resources. Boston: Simmons College. Digital Storytelling Association. (2002). The center for digital storytelling. [Online]
The data of interview above showed that by having many stocks of words, the students could express their ideas and write some kinds of topic easily. Since there was a high correlation between those who read a lot and those who improved their vocabulary acquisition when they read. Thus, the students need to read a lot to increase their vocabulary mastery. The findings above are relevant with Cohen (1994, pp. 328-329 in Saehu, 2008, p.26) that the difficulty in writing can be caused by students‘ weaknesses to master the components of writing 100
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Available at: http://www.dsaweb.org. Accessed on May, 17, 2014. Dudeney, G. & Hockly, N. (2007). How to teach English with technology. Essex: Pearson Education Limited. Frazel, M. (2010). Digital storytelling guide for educators. Washington, DC: International Society for Technology in Education (ISTE). Heigham, J. & Croker, A. R. (2009). Qualitative research in applied linguistics. New York: Palgrave Macmillan. Krismiyati. (2013). Bringing technology into the classroom through digital storytelling. Asia Pacific Collaborative Education Journal, 9 (2), pp. 1-10. Lunce, C. (n.d.). Digital storytelling as an educational tool. Indiana Libraries, 30 (1), pp. 77-80. McDrury, J. & Alterio, M. (2003). Learning through storytelling in higher education: using reflection and experience to improve learning. London: Kogan Page Limited. Meadows, D. (2003). Digital storytelling: Research based practice in new media. Visual Communication,2 (2), pp. 189-193. Mishan, F. (2005). Designing authenticity into language learning materials. [Online] Available in: http://sv.libarts.psu.ac.th/. Retrieved on May 17, 2014. O‘Donoghue, A. T.& Punch, F. K. (2003). Qualitative educational research in action: Doing and reflecting. London: Routledge Falmer. Ohler, J. (2008). Digital storytelling in the classroom. California: Corwin Press. Porter, B. (2008). Digital storytelling. [Online]. Available in: http://www.DigitTales.us. Retrieved on May 10, 2014. Robin, B. R. (2008). Digital storytelling: A powerful technology tool for the 21st century classroom. Theory into Practice, 47, pp. 220-228. Sharp, V. F. (2009). Computer education for teachers: Integrating technology into classroom teaching (6th Ed.). NJ: John Wiley & Sons, Inc. Suherdi, D. (2012). Towards 21st century english teacher education: An Indonesian perspective. Bandung: CELTICS Press. Wright, A. (2001). Art and crafts with children: Resource books for teachers. Oxford: Oxford University Press. Wright, A. (2008). Storytelling with children. Oxford: Oxford University Press.
Xu, Y., Park, H. & Baek, Y. (2011). A new approach toward digital storytelling: An activity focused on writing self-efficacy in a virtual learning environment. Educational Technology and Society, 14 (4), pp. 181–191. Yuksel, P., Robin, R.B. & McNeil, S. (n.d.). Educational uses of digital storytelling around the world. [Online] Available at: digitalstorytelling.coe.uh.edu/…/SITE.
101
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN VAN HIELE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI SISWA SMP 1)
Siti Chotimah, 2)Hamidah
1)
[email protected], 1,2)
2)
[email protected]
STKIP SILIWANGI BANDUNG ABSTRAK
Latarbelakang penelitian ini yaitu menerapkan keterampilan dalam geometri yang mampu mendukung pamahaman siswa terhadap ilmu lain dalam matematika seperti ilmu menghitung, mengukur, dan lainlain. Namun kenyataannya, geometri merupakan salah satu pokok bahasan yang kebanyakan tidak diminati siswa. Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang diperlukan dalam memahami geometri. Terdapat lima fase berpikir dalam model Van Hiele yang memberi pengaruh positif terhadap kemampuan koneksi matematis siswa. Penelitian ini merupakan eksperimen dengan disain pretest-postest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas VII di Tirtayasa, sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VII dari salah satu SMP di Tirtayasa yang ditetapkan secara purposive dan dipilih dua kelas VII secara acak dari kelas VII yang ada. Data hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik t, uji koefisien kontingensi dan uji dengan statistik chi kuadrat. Berdasarkan analisis data kuantitatif, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang memperoleh model pembelajaran Van Hiele lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa. Kata Kunci: komunikasi matematis dan pembelajaran Van Hiele
ABSTRACT Background of this research is to apply skills in geometry that can support students‘ understanding of other disciplines in mathematics such as arithmatic, measuring, and others. But reality, geometry is one subject that most students are not interested. Mathematical communication skills is one of the capabilities required to understand the geometry. There are five phases of the model of Van Hiele think that gave a positive influence on students‘ mathematical connection capabilities. This research is an experimental design with pretest-posttest control group design. The population in this study are all secondary school students in grade seventh Tirtayasa, while the sample is a seventh grade student from one of the first secondary school in Tirtayasa set purposively and have two grade 7 at radom from the existing seven class. Data were analyzed using t statistical test, test and test kontingansi coefficient with chi square statistic. Based on the analysis of quantitative data, we concluded that the mathematical ability that communication skills of high school students first to acquire Van Hiele learning model is better that the usual learning gain. Keywords: communication and learning mathematical Van Hiele.
menjawab dengan benar salah satu soal pemecahan masalah geometri mengenai konsep keliling persegi, persegi panjang dan jajargenjang.
1. PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu pelajaran yang erat kaitannya dengan kehidupan nyata. Tidak sedikit hal maupun masalah yang ada disekeliling kita memerlukan ilmu matematika. Geometri merupakan salah satu cabang ilmu matematika yang paling mudah dikaitkan dengan kehidupan nyata. Dengan demikian seharusnya cabang ilmu ini relatif mudah disampaikan oleh guru dan dipahami oleh siswa. Namun kenyataannya, geometri merupakan salah satu pokok bahasan yang kebanyakan tidak minati oleh siswa. Wardhani & Rumiati (Safrina, 2014) menjelaskan bahwa hanya 20% siswa Indonesia dapat
Dalam NCTM 1999 dan KTSP 2006 (Sumarmo, 2012) disebutkan bahwa komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik yang esensial, antara lain dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram, atau ekspresi matematik untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sifat menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Sumarmo (2012) 102
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
mengemukakan, pengembangan kemampuan komunikasi matematik sesuai dengan hakekat matematika sebagai bahasa simbol yang efisien, padat makna, memiliki sifat keteraturan yang indah dan kemampuan analisis kuantitatif, bersifat universal, dan dapat dipahami oleh setiap orang kapan dan dimana saja, dan membantu menghasilkan model matematika yang diperlukan dalam pemecahan masalah berbagai cabang ilmu pengetahuan dan masalah kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memiliki kemampuan komunikasi mampu menggambarkan konsep matematis dalam sebuah permasalahan matematis dengan cara membangun sebuah model matematika. Sumarmo (2012) menyebutkan bahwa salah satu indikator kemampuan komunikasi adalah menyusun konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi.
Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang memperoleh model pembelajaran Van Hiele lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa? Penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara peranan model pembelajaran Van Hiele untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa SMP. Berikut ini disajikan definisi operasional variabel yang terlibat dalam penelitian ini. a. Kemampuan komunikasi adalah kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kalimat yang bermakna, logis dan sistematis. Adapun indikatornya yaitu: 1) menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram, ke dalam ide matematika; 2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, grafik, dan aljabar; 3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; 4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; 5) menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; b. Model pembelajaran Van Hiele adalah model pembelajaran yang dalam prosesnya terdiri dari lima fase pengenalan, analisis, pengurutan ,berpikir deduksi, dan akurasi.
Namun demikian, pada kenyataan di lapangan banyak dijumpai gaya mengajar guru yang belum maksimal sehingga hasil belajar siswa belum efisien. Hasil penelitian Suryadi (2004) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang prosedural. Usiskin (1982) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memberi pengaruh besar terhadap kemampuan matematika siswa adalah kualitas dari pembelajaran matematika. Untuk itu perlu satu pembelajaran yang berkualitas yang mampu memberi pengaruh besar terhadap kemampuan matematik khususnya kemampuan komunikasi matematis siswa. Salah satu pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran Van Hiele.
2. ISI a. Kemampuan Komunikasi Matematis Komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik esensial. Lebih lanjut Schoen, Bean, dan Ziebarth (Saragih, 2007) mengatakan, komunikasi matematik adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik memecahkan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambargambar geometri. Aktivitas ini dapat muncul dengan pembelajaran yang diterapkan pada Van Hiele misalnya pada fase deduksi yaitu pada fase ini mengajak siswa menarik kesimpulan dari halhal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus atau membuat generalisasi. Untuk itu model pembelajaran Van Hiele diasumsikan mampu mengembangkan kemampuan komunikasi
Terdapat lima fase berpikir dalam model pembelajaran Van Hiele yaitu fase pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi. Burger (1986) menyebutkan pembelajaran geometri Van Hiele mampu mengajak siswa untuk mengeksplor kemampuannya dalam melihat beberapa karakteristik yang berkaitan dengan matematika khususnya geometri serta mengajak siswa untuk berpartisipasi aktif secara rutin selama proses pembelajaran. Fase-fase dalam model pembelajaran Van Hiele mampu memberi kontribusi terhadap kemampuan komunikasi. Sejalan dengan latar belakang tersebut, penelitian ini mengambil judul ―Pengaruh Model Pembelajaran Van Hiele untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP‖.
103
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
serta kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
anak dengan memperhatikan tingkat kesukaran dimulai dari yang paling mudah samai ke tingkat yang lebih kompleks. Dengan fase-fase tersebut, guru dapat mengetahui perkembangan kognitif anak misalnya guru dapat mengetahui mengapa ada beberapa siswa belum memahami bahwa kubus merupakan balok atau guru dapat mengetahui mengapa masih ada siswa yang beranggapan bahwa persegi panjang bukan persegi.
Selanjutnya, Polya (1973) menyebutkan bahwa peran guru tidak hanya memberikan informasi saja tetapi juga menempatkan diri sesuai kondisi siswa, dan memahami apa yang terjadi dalam benak siswa yang kemudian memfasilitasi siswa belajar menemukan pengetahuannya dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran selain memberikan informasi juga harus mampu menarik minat siswa untuk terlibat selama proses pembelajaran berlangsung.
3. METODE Studi ini dirancang dalam bentuk eksperimen dengan disain pretest posttest control group design yang bertujuan menelaah peranan pembelajaran Van Hiele terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP. Sampel ditetapkan secara acak yaitu yang menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes kemampuan komunikasi matematis siswa masing-masing disusun mengacu pada pedoman penyususunan tes yang baik. Data dianalisis dengan menggunakan uji statistik t.
b. Model Pembelajaran Van Hiele Menurut teori Van Hiele (1999) dalam mengajarkan geometri terdapat lima fase berpikir yang berurutan yang harus dilakukan yaitu fase pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi. Buhari (2011) menambahkan bahwa dengan lima fase berpikir tersebut dapat mengajak siswa untuk berpikir ke tingkat yang lebih tinggi atau dikenal dengan high order thinking.
Dengan demikian desain penelitiannya adalah sebagai berikut (Ruseffendi, 2005):
Erdogan (2009), fase pengenalan merupakan fase menyampaikan informasi yaitu siswa dikenalkan dengan domain yang akan mereka pelajari yang kemudian mengenal contoh dan bukan contoh dari domain tersebut. Fase analisis atau guided orientation yaitu siswa diajak untuk menyelesaikan baik berdiksusi atau individu soal-soal yang harus memiliki hubungan antar konsep. Fase pengurutan atau explicitation merupakan fase mengiring siswa untuk menuliskan relasi atau hubungan antar konsep pada fase analisis ke dalam bentuk gambar atau dengan kata-kata sendiri sesuai dengan topik yang sedang dibahas. Pada fase ini siswa menggunakan ide-ide mereka dalam mengungkap sifat-sifat dari topik yang sedang dibahas. Fase deduksi atau orientation merupakan fase yang mengajak siswa menyelesaikan soa-soal yang lebih kompleks dalam mengungkap dan mengidentifikasikan sifat-sifat dari topik yang dibahas. Terakhir adalah fase akurasi atau integration yaitu fase yang mengajak siswa untuk membuat ringkasan intisari materi yang mereka pelajari pada pertemuan dari fase pertama.
A : A :
O O
X
O O
Keterangan: A : pemilihan sampel secara acak kelas O : tes awal = tes akhir (tes kemampuan koneksi matematis) X : perlakuan dengan model pembelajaran Van Hiele
Langkah-Langkah Penelitian Untuk melihat langkah-langkah penelitian disajikan pada Tabel 1. sebagai berikut : Tabel 1. Langkah-Langkah Penelitian
Implementasi pembelajaran geometri dengan teori belajar Van Hiele. Kegiatan belajar geometri dengan van hiele bermaksud untuk melatih kemampuan siswa berdasarkan tahapannya yaitu dimulai dari tahap visualisasi ke tahap analitik. Hal ini dikarenakan fase-fase pembelajaran geometri van hiele menyesuaikan dengan tahapan berpikir 104
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Data hasil tes (baik postes maupun retensinya) kedua kelompok diolah dengan menggunakan bantuan SPSS 19 dengan langkah sebagai berikut: a. Menghitung rata-rata dan simpangan baku. b. Menguji normalitas data sampel. c. Uji Perbedaan Rata-Rata.
tidak jauh berbeda. Selanjutnya dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa skor rata-rata postes kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen sebesar 12,54 dan kelas kontrol sebesar 9,77, dari kedua data tersebut diperoleh selisih sebesar 2,77. Selisih persentasi rata-rata postes kemampuan koneksi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu 17,3% dari rata-rata skor idealnya. Nilai ini menunjukan bahwa nilai kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol dengan selisih data dari kedua kelas tersebut cukup besar. Dapat diduga bahwa kedua kelas memiliki kemampuan komunikasi matematis yang berbeda, dan secara umum kemampuan komunikasi kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol.
4. HASIL PENELITIAN Pengolahan data tes kemampuan komunikasi matematis didasarkan pada skor pretes dan skor postes. Dari skor-skor tersebut, nilai rata-rata ( x ) dan simpangan baku (s) untuk masing-masing kelas dapat diketahui. Berikut ini tabel yang memuat nilai-nilai deskripsi hasil penelitian untuk masing-masing kelas. Tabel 2. Deskripsi Data Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Berdasarkan analisis dari data mentah tabel 2, dapat disimpulkan bahwa secara umum kedua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki kemampuan awal komunikasi matematis yang tidak jauh berbeda. Setelah pembelajaran berlangsung, secara umum diketahui kemampuan komunikasi matematis untuk kelas eksperimen mangalami peningkatan yang lebih baik daripada kelas kontrol. Namun demikian, data tersebut belum dapat dipastikan signifikan atau tidaknya, maka dari itu selanjutnya dilakukan uji statistik. Hasil uji statistik untuk data pretes menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan hasil uji statistik data postes dapat dilihat pada gambar berikut:
Skor Maksimal Ideal : Kemampuan Komunikasi Matematis = 16 *) Diperoleh dari pembagian antara skor rata-rata dengan skor maksimal ideal dikalikan 100 Berdasarkan deskripsi data mentah pada tabel di atas, diperoleh standar deviasi untuk pretes kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen adalah 1,18 sedangkan kelas kontrol 1,2, artinya pada kelas kontrol kemampuan awal komunikasi matematisnya lebih menyebar dari pada kelas eksperimen. Selanjutnya, standar deviasi untuk postes kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen adalah 1,48 sedangkan kelas kontrol 2,07, artinya pada kelas kontrol kemampuan komunikasi matematisnya lebih menyebar dari pada kelas eksperimen.
Mann-Whitney Test and CI: Eksperimen; Kontrol
Point estimate for ETA1-ETA2 is 7,000 95,1 Percent CI for ETA1-ETA2 is (6,000;7,999)
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa skor ratarata pretes kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen sebesar 3,31 dan kelas kontrol sebesar 2,83, dari kedua data tersebut diperoleh selisih sebesar 0,48. Selisih persentasi rata-rata pretes kemampuan komunikasi kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu 3% dari rata-rata skor idealnya. Nilai ini menunjukan bahwa nilai kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol dengan selisih data dari kedua kelas tersebut tidak terlalu besar. Dapat diduga bahwa kedua kelas memiliki kemampuan awal komunikasi matematis yang
W = 1941,0
Gambar 1 Hasil Uji Signifikansi Perbedaan Ratarata Nilai Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Dari output pada gambar 1 diketahui nilai Asymp.Sig sebesar 0,000. Karena nilai Asymp.Sig 0,000 < 0,05 maka sesuai dengan dasar pengambilan keputusan dalam uji MannWhitney 105
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang memperoleh model pembelajaran Van Hiele lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.
Tersedia:www.didi_suryadi.staf.upi.edu . html [ 16 Maret 2012] Usiskin, Z.(1982). Van Hiele Levels and Achievement in Secondary School Geometry. (Final report of the Cognitive Development and Achievement in Secondary School Geometry Project.) Chicago: University of Chicago. (ERIC Document Reproduction Service No. ED220288) Van Hiele, P.M. (1999). Developing Geometric Thinking Through Activities That Begin With Play. Teaching Children Mathematics. (pp 310-316). Reston VA: National Council of Teachers of Mathematics
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan serta temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang memperoleh model pembelajaran Van Hiele lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa. DAFTAR PUSTAKA Buhari, B. (2011). Teori Level Van Hiele dalam Pembelajaran Geometri. Tersedia pada http://bustangbuhari.wordpress.com. Diakses tanggal 28 Juni 2012. Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M.. (1986). Characterizing the van Hiele Levels of Development in Geometry. Journal for Research in Mathematics Education. 17(I):31-48 Erdogan, et al. (2009). The Effect of the Van Hiele Model Based Instruction on the Creative Thinking Levels of 6th Grade Primary School Students. Educational Science: Theory & Practice. 9 (1). 181-194 Polya, G. (1973). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princenton University Press Ruseffendi, H.E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian dan Bidang Non-Eksakta lainnya. Bandung: Tarsito Safrina, K. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele. (Online). (file:///C:/Documents%20and%20Settings/ Mr.%20Sutia/My%20Documents/Downlo ads/1333-2528-1-SM%20(1).pdf , diakses 3 Oktober 2014) Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Realistik. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung: Tidak diterbitkan Suryadi, D. (2004). Landasan Teoritik Pembelajaran Berpikir Matematika. 106
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
PENGIDENTIFIKASIAN KEMAMPUAN INTERPERSONAL MAHASISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PELATIHAN KESADARAN (AWARENES TRAINING) 1)
Mekar Ismayani, 2)Yeni Rostikawati, 3)Alfa Mitri Suhara 1)
[email protected] 1, 2, 3)
STKIP SILIWANGI BANDUNG
ABSTRAK Dalam penelitian ini, peneliti khusus menyoroti kemampuan afektif yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan menumbuhkan kemampuan interpersonal seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Alasan kuat peneliti memilih aspek afektif, berangkat dari sebuah permasalahan yang teridentifikasi dari lapangan, bahwa kemampuan interpersonal mahasiswa masih sangat rendah, khususnya di kalangan mahasiswa STKIP Siliwangi yang menjadi objek penelitian. Salah satu faktor yang menjadi acuan adalah dalam hal tanggung jawab terhadap tugas-tugas perkuliahan yang tidak pernah lepas dari masalah plagiarisme. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mendeskripsikan tanggung jawab mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen; 2) Mendeskripsikan pemahaman diri mahasiswa terhadap tugas yang diberikan dosen; 3) Mendeskripsikan kesadaran perilaku diri sendiri (mahasiswa) dan kesadaran terhadap orang lain ketika melakukan interaksi sosial. Berdasar pada paparan permasalahan tersebut, maka peneliti mengangkat sebuah model pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training). Uno (2012, hlm. 20) menjelaskan bahwa model ini dikembangkan oleh Milliam Schutz. Penekanan dalam model ini adalah pelatihan interpersonal sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi (pemahaman diri individu). Tujuan model ini adalah untuk meningkatkan pemahaman diri dan kesadaran akan perilaku diri sendiri dan orang lain sehingga dapat membantu siswa mengembangkan perkembangan pribadi dan sosialnya. Penelitian ini merupakan penelitian yang akan terus dikembangkan ke depannya hingga menghasilkan sebuah produk yaitu berupa instrumen evaluasi proses. Penekanan evaluasi proses ini ada pada aspek afektif sehingga menjadi instrumen evaluasi berbasis karakter. Dalam penelitian ini, objek yang diamati adalah orang yaitu sampel mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP Siliwangi Bandung pada semua angkatan. Pengamatan dilakukan saat berlangsung proses pembelajaran di kelas serta hasil jawaban angket yang diisi oleh mahasiswa. Butir-butir soal angket yang diberikan pada mahasiswa merujuk pada indikator kemampuan interpersonal berdasarkan teori yang ada dalam model pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training). Data hasil angket diperkuat dengan hasil pengamatan selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen dengan tetap beracuan pada indikator yang sama dengan angket. Pengujian keabsahan data dilakukan dengan meningkatkan ketekunan, triangulasi, menggunakan bahan referensi, dan mengadakan member check. Oleh karena itu, jika dilihat dari proses pengamatan dalam menggumpulkan data, metode penelitian ini menggunakan kualitatif. Kata Kunci: kemampuan interpersonal, pelatihan kesadaran (awareness training)
ABSTRACT In this study, researchers specifically highlight affective abilities that must be mastered by the learner to cultivate interpersonal skills, as already described previously. A strong reason the researchers chose the affective aspects, departing from an identified problems of the field, that the interpersonal skills the students are still very low, especially among students STKIP Siliwangi which is the object of research. One factor is that the reference in terms of responsibility for the tasks of lectures that never escape from the problem of plagiarism. Therefore, the purpose of this study was to: 1) Describe the responsibility of the student in completing the tasks assigned by the lecturers; 2) Describe the student's self-understanding of the tasks assigned faculty; 3) Describe the behavior of self-awareness (students) and awareness of others when social interaction. Based on the exposure to these problems, the researchers raised a learning model Awareness Training (Awareness Training). Uno (2012, p. 20) explains that this model developed by Milliam Schutz. The emphasis in this model is the interpersonal training as a means of increasing personal awareness (understanding the individual). The purpose of this model is to increase self-understanding and awareness of one's own behavior and other people that can help students develop personal and social development. This research is to be further developed in the future to produce a product in the form of process evaluation instruments. The emphasis there is on the evaluation of this process so that it becomes an instrument of affective aspects of character-based evaluation. In this study, the observed object is a
107
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
person that is samples of students of Indonesian Language and Literature Education in STKIP Siliwangi Bandung on all forces. Observations were made during a learning process in the classroom as well as the results of the answers to a questionnaire completed by the students. Those items questionnaire given to students interpersonal skills refer to the indicators based on the theory that exist in the model lesson Awareness Training (Awareness Training). Data from the questionnaire were confirmed by observations during the learning process conducted by lecturers with fixed refers to the same indicators as the questionnaire. Testing the validity of the data is done by increasing diligence, triangulation, using reference materials, and conduct check. Therefore, when seen from the observation process used data, using qualitative research methods. Keywords: interpersonal skills, training awareness (awareness training)
menjadi acuan adalah dalam hal tanggung jawab terhadap tugas-tugas perkuliahan yang tidak pernah lepas dari masalah plagiarisme. Fakta tersebut didapatkan dari hasil penelitian terdahulu yang sudah dilakukan oleh Sahmini & Rostikawati (2015) yang berjudul Pengembangan Evaluasi Keterampilan Menulis Karya Ilmiah dengan Pendekatan Sistem. Selain itu, Fluerentin dalam jurnalnya menyebutkan bahwa di lapangan dijumpai beberapa fenomena yang mengindikasikan bahwa generasi penerus atau anak didik tidak berkarakter. Pengalaman belajar di sekolah yang jelas didesign untuk pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik kurang ―menyentuh‖ diri anak didik. Fluerentin mengaitkan hal tersebut dengan pembelajaran sikap dan lebih spesifik lagi dimulai dari hal yang sederhana tetapi sulit dilakukan, yaitu memiliki kesadaran (awareness) yang baik. Ia pun menjelaskan bahwa pembelajaran sikap yang dimaksud adalah pengalaman belajar yang berkenaan dengan bidang sikap, yang mencakup latihan kesadaran diri (self awareness), pemahaman multikultural, dan penguasaan kecakapan hidup (life skills). Pembelajaran sikap sarat dengan kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku pada diri dan lingkungan (Fluerentin, 2012). dalam artikel jurnal lain seperti yang ditulis oleh Marlina (2014), ditemukan masalah mengenai tingkat keberhasilan belajar siswa yang rendah sehingga Marlina mencoba mengujicobakan model Pelatihan Kesadaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model tersebut efektif menanamkan kesadaran belajar pada siswa sehingga hasil belajarnya meningkat.
1. PENDAHULUAN Proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang di dalamnya terjadi interaksi antara pengajar dan peserta didik. Interaksi tersebut merupakan cara untuk menyampaikan materi ajar dari pengajar kepada peserta didik. Oleh karena itu, menurut Uno (2012, hlm. 2) bahwa dalam proses pembelajaran perlu adanya strategi yang efektif untuk memudahkan peserta didik menerima dan memahami materi pembelajaran. Pada akhirnya, tujuan pembelajaran dapat dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Sudah dipaparkan di atas, bahwa dalam proses pembelajaran akan terjadi ―interaksi‖ antara peserta didik dengan pengajar maupun antara peserta didik dengan peserta didik. Dalam proses interaksi tersebut, kemampuan interpersonal peserta didik maupun pengajar memiliki peranan penting. Jika beracuan pada teori Gardner mengenai 8 keterampilan yang dimiliki oleh manusia, maka salah satunya yaitu keterampilan interpersonal. Kemampuan interpersonal menurut Gardner (dalam Santrock, 2009, hlm. 158) merupakan kemampuan untuk memahami dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain. Keterampilan berinteraksi ini erat kaitannya dengan kemampuan afektif seseorang. Dalam sebuah pembelajaran, Bloom menegaskan bahwa ada tiga aspek pembelajaran yang harus menjadi perhatian pengajar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam penelitian ini, peneliti khusus menyoroti kemampuan afektif yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan menumbuhkan kemampuan interpersonal seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Alasan kuat peneliti memilih aspek afektif, berangkat dari sebuah permasalahan yang teridentifikasi dari lapangan, bahwa kemampuan interpersonal mahasiswa masih sangat rendah, khususnya di kalangan mahasiswa STKIP Siliwangi yang menjadi objek penelitian. Salah satu faktor yang
Berdasarkan pada paparan permasalahan tersebut, maka peneliti mengangkat sebuah model pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training). Uno (2012, hlm. 20) menjelaskan bahwa model ini dikembangkan oleh Milliam Schutz. Penekanan dalam model ini adalah pelatihan interpersonal sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi (pemahaman diri individu). 108
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Tujuan model ini adalah untuk meningkatkan pemahaman diri dan kesadaran akan perilaku diri sendiri dan orang lain sehingga dapat membantu siswa mengembangkan perkembangan pribadi dan sosialnya. Teori ini menjelaskan metode untuk meningkatkan kesadaran hubungan antarmanusia yang didasarkan atas keterbukaan, kejujuran, kesadaran diri, tanggung jawab, perhatian terhadap diri sendiri atau orang lain, dan orientasi pada kondisi saat ini. Model pembelajaran ini terdiri atas dua tahapan. Pertama adalah penyampaian dan penyelesaian tugas. Pada tahapan ini guru memberikan pengarahan tentang tugas yang akan diberikan dan bagaimana melaksanakannya. Tahapan kedua adalah diskusi atau analisis atau analisis tahap pertama.
Teori humanistik ini dicetuskan oleh tiga orang tokoh, diantaranya yaitu Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers. Berikut sedikit dibahas mengenai pandangan ketiga tokoh tersebut agar lebih mendalami prinsip-prinsip psikologi humanistik dan bagaimana menerapkannya dalam proses belajar. Tokoh humanistik adalah Abraham Maslow (dalam Djiwandono, 2009, 182 - 183), R. Rogers, C. Buhler dan Arthur Comb. Menurut teori ini, guru harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif, agar peserta didik merasa bebas dalam belajar mengembangkan diri baik emosional maupun intelektual. Teori humanistik timbul sebagai cara untuk memanusiakan manusia. Pada teori humanistik ini, pendidik seharusnya berperan sebagai pendorong bukan menahan sensivitas peserta didik terhadap perasaanya. Implikasi teori ini dalam pendidikan adalah sebagai berikut. 1) Bertingkah laku dan belajar adalah hasil pengamatan. 2) Tingkah laku yang ada dapat dilaksanakan sekarang (learning to do). 3) Semua individu memiliki dorongan dasar terhadap aktualisasi diri. 4) Sebagian besar tingkah laku individu adalah hasil dari konsepsinya sendiri. 5) Mengajar adalah bukan hal penting, tapi belajar bagi peserta didik adalah sangat penting. 6) Mengajar adalah membantu individu untuk mengembangkan suatu hubungan yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap.
Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini yaitu: 1) Mendeskripsikan tanggung jawab mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen; 2) Mendeskripsikan pemahaman diri mahasiswa terhadap tugas yang diberikan dosen; dan 3) Mendeskripsikan kesadaran perilaku diri sendiri (mahasiswa) dan kesadaran terhadap orang lain ketika melakukan interaksi sosial. 2. LANDASAN TEORI A. Teori Humanistik Teori belajar humanistik ini menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses pelajar-mengajar. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Teori humanistik ini memiliki pengaruh pada ilmu pendidikan dan penerapannya. Dalam Djiwandono (2009, hlm. 181) dijelaskan bahwa ahli-ahli teori humanistik menunjukkan: 1) tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dan 2) individu bukanlah satusatunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh ahli teori tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self-actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia.
Dalam Djiwandono (2009, hlm. 348) dipaparkan bahwa Implikasi teori humanistik terhadap pengajaran adalah hubungan antara deficiency needs dan growth needs. Di sekolah, deficiency needs yang paling penting adalah kebutuhan siswa untuk dicintai dan dihargai. Jika siswa merasa tidak dicintai dan dihargai, dan dianggap tidak mampu, mereka tidak mempunyai motivasi kuat untuk mencapai growth needs. Selain itu, teori Maslow juga menawarkan implikasi-implikasi tertentu untuk mencapai kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Seorang siswa yang sukses dalam menguasai pengetahuan tertentu atau dapat menciptakan objek yang indah mungkin akan bertambah motivasinya dan bahkan berusaha mencapai tujuan yang lebih tinggi (Atkinson & Raynor dalam Djiwandono, 2009, hlm. 349). Oleh karena itu, teori humanis ini bertujuan membentuk seorang individu paripurna sehingga dapat mencapai kebutuhan-kebutuhannya sebagai seorang individu dan makhluk sosial. 109
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Ada beberapa model pembelajaran yang termasuk pendekatan ini, diantaranya adalah pengajaran tidak langsung, pelatihan kesadaran, sinektik, sistem konseptual, dan pertemuan kelas. Dalam pembahasan ini hanya tiga model yang akan diperkenalkan, yaitu (1) model pembelajaran pengajaran tidak langsung (non-directivet eaching), (2) model pembelajaran pelatihan kesadaran (awareness training), dan (3) model pembelajaran pertemuan kelas (classroom meeting).
2. Aplikasi Permainan sederhana dapat dilakukan untuk keperluan ini. Model ini juga dapat dilakukan sebagai selingan yang tidak memakan waktu terlalu banyak. Dalam pelaksanaan diskusi, keterbukaan dan kejujuran menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ini dapat meningkatkan perkembangan emosi (Uno, 2012, hlm. 21).
B. Model Pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training) Model pembelajaran pelatihan kesadaran merupakan suatu model pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran manusia. Model ini dikembangkan oleh Milliam Schutz. Ia menekankan pentingnya pelatihan interpersonal sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi (pemahaman diri individu). Ia percaya bahwa ada empat tipe perkembangan yang dibutuhkan untuk merealisasikan potensi individu secara utuh, yaitu (1) fungsi tubuh, (2) fungsi personal, termasuk didalamnya akuisisi pengetahuan dan pengalaman, kemamapuan berfikir logis, kreatif dan integrasi intelektual, (3) perkembangan interpersonal, (4) hubungan institusi-institusi sosial, organisasi sosial, dan budaya masyarakat. Oleh karena itulah, Schutz ingin mengembangkan model pembelajaran untuk memenuhi salah satu dari keempat tipe perkembangan tersebut, yaitu perkembangan interpersonal. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman diri dan kesadaran akan perilaku orang lain sehingga dapat membantu siswa mengembangkan perkembangan pribadi dan sosialnya (Uno, 2012, hlm. 21).
Kemampuan interpersonal merupakan salah satu kemampuan atau intelegensi yang dimiliki oleh setiap individu manusia. Howard Gardner menemukan adanya delapan macam intelegensi, diantaranya yaitu, intelegensi linguistik, intelegensi logis matematis, intelegensi visual spasial, intelegensi kinestetis, intelegensi musikal, intelegensi naturalis, intelegensi interpersonal, dan intelegensi intrapersonal (Sugiarto, 2011, hlm. 23).
C. Kemampuan Interpersonal
Dalam Santrock (2009, hlm. 158) dijelaskan bahwa keterampilan interpersonal merupakan kemampuan untuk memahami diri secara efektif berinteraksi dengan orang lain (guru yang berhasil, ahli kesehatan mental). Sedangkan dalam Sugiarto (2011, hlm. 26) dijelaskan bahwa intelegensi interpersonal adalah kemampuan bersosialisasi yang berkembang sejak masa kanak-kanak dan dapat berubah seiring bertambahnya usia. Adapun untuk melihat seseorang memiliki keterampilan interpersonal lebih dominan, dapat dilihat dari ciriciri kelompok berikut: 1. Menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau dalam kelompok. 2. Menyenangi permainan yang melibatkan banyak peserta. 3. Pandai berkomunikasi bahkan memanipulasi. 4. Jika mempunyai masalah, mereka senang membicarakannya dengan orang lain. 5. Sering dimintai pendapat karena mereka umumnya mudah bersimpati. (Sugiarto, 2011, hlm. 26)
1. Prosedur Pembelajaran Kunci utama prosedur pembelajaran model ini didasarkan atas teori humanistik. Teori ini menjelaskan metode untuk meningkatkan kesadaran hubungan antar manusia yang didasarkan atasketerbukaan, kejujuran, kesadaran diri tanggung jawab, perhatian terhadap diri sendiri atau orng lain, dan orientasi pada kondisi saat ini. Model pembelajaran ini terdiri atas dua tahapan. Pertama adalah penyampaian dan penyelesaian tugas. Pada tahapan ini guru memberikan pengarahan tentang tugas yang akan diberikan dan bagaimana melaksanakannya. Tahapan kedua adalah diskusi atau ananlisis tahap pertama. Jadi, intinya siswa diminta melakukan sesuatu, setelah itu mendiskusikannya (refleksi bersama) atas apa yang telah terjadi.
Jika mengacu pada teori Gardner, kemampuan interpersonal disebut juga dengan intelegensi interpersonal. Intelegensi sama dengan kemampuan atau keterampilan berdasar pada pengertian yang diungkapkan oleh Santrock (2009, hlm. 151) bahwa intelegensi adalah keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman kehidupan sehari-hari.
110
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Kemampuan interpersonal berhubungan erat dengan nilai rasa hormat dan tanggung jawab. Kedua nilai tersebut salah diperlukan untuk pengembangan kemampuan interpersonal. Seperti yang diungkapkan Thomas (2013, hlm. 69) bahwa nilai-nilai rasa hormat dan tanggung jawab merupakan dua sikap moral yang paling utama. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan untuk: 1) Pengembangan jiwa yang sehat. 2) Kepedulian akan hubungan interpersonal. 3) Sebuah masyarakat yang humanis dan demokratis. 4) Dunia yang adil dan damai.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. Peran peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2014, hlm. 1). Artinya, penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution dalam Sugiyono, 2014, hlm. 180).
Rasa hormat menunjukkan penghargaan kita terhadap harga diri orang lain ataupun hal lain selain diri kita.Sedangkan tanggung jawab menekankan pada kewajiban positif untuk saling melindungi satu sama lain (Thomas, hlm. 71-72). Oleh karena itu, kemampuan interpersonal atau pun nilai-nilai sikap yang dapat menumbuhkan kemampuan interpersonal harus dilatih sehingga memunculkan kesadaran pada masing-masing individu.
Dalam penelitian ini, objek yang diamati adalah orang yaitu sampel mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP Siliwangi Bandung pada semua angkatan. Pengamatan dilakukan saat berlangsung proses pembelajaran di kelas serta hasil jawaban angket yang diisi oleh mahasiswa. Butir-butir soal angket yang diberikan pada mahasiswa merujuk pada indikator kemampuan interpersonal berdasarkan teori yang ada dalam model pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training). Data hasil angket diperkuat dengan hasil pengamatan selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen dengan tetap beracuan pada indikator yang sama dengan angket. Oleh karena itu, jika dilihat dari proses pengamatan dalam menggumpulkan data, metode penelitian ini menggunakan kualitatif karena dikembalikan pada hakekatnya menurut Nasution.
Hughes & Hughes (2012, hlm. 105) berpendapat bahwa Pengulangan merupakan dasar dari semua pembentukan kebiasaan. Kita bertindak dengan cara yang sama berulang kali sampai perilaku semacam ini menjadi mudah dan tak dapat dilakukan dengan sedikit atau bahkan tanpa sadar. Selain itu, Hughes & Hughes (2012, hlm. 109) pun menyatakan bahwa kemampuan untuk membentuk kebiasaan adalah syarat yang sangat perlu bagi perkembangan perilaku. Makhluk-makhluk yang berperilaku klise dan tetap sejak lahir tidak membentuk kebiasaan baru; mereka tidak menunjukkan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Artinya, jika kebiasaan sejak lahir tidak pernah dilatih untuk berubah dan berkembang, maka diaakan memiliki hambatan untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan. Oleh karena itu, pelatihan kesadaran ternyata sangat diperlukan. Salah satunya adalah untuk menumbuhkan kemampuan interpersonal.
Data yang diteliti diperoleh dari hasil angket yang diisi dan proses pengamatan terhadap sampel mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP Siliwangi Bandung pada semua angkatan. Sumber data tersebut sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Adapun sumber data untuk mengetahui kemampuan interpersonal mahasiswa adalah mahasiswa angkatan 2013 yang diambil satu kelas A3. Sedangkan teknik pengumpulan datanya adalah dengan penyebaran angket dan pengamatan langsung di kelas saat proses pembelajaran.
3. METODE PENELITIAN Instrumen penelitian yang utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dan angket. Namun, ke depannya jika fokus permasalahan sudah semakin jelas, maka akan dikembangkang instrumen lainnya. Instrumen yang dikembangkan diharapkan dapat memperdalam kajian penelitian dan menghasilkan sebuah inovasi pembelajaran.
Metode kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan interpersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia di STKIP Siliwangi menggunakan model pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training). Penggunaan metode ini pun berlandaskan pada rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. 111
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Teknik analisis data dilakukan setelah pengumpulan data berupa hasil angket. Miles & Huberman (dalam Sugiyono, 2014, hlm. 91) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
No. 4 5
B. Deskripsi Mahasiswa
Pengujian keabsahan data hingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan penelitian adalah dengan cara: a. Meningkatkan ketekunan b. Triangulasi c. Menggunakan bahan referensi d. Mengadakan member check
Kemampuan interpersonal Mahasiswa merupakan objek kajian dalam penelitian ini. Perilaku diri sendiri (mahasiswa) dan kesadaran terhadap orang lain ketika melakukan interaksi sosial adalah kemampuan interpersonal yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai bekal melakukan proses pembelajaran. Sebagaimana teori Gardner, kemampuan interpersonal disebut juga dengan intelegensi interpersonal. Intelegensi sama dengan kemampuan atau keterampilan berdasar pada pengertian yang diungkapkan oleh Santrock (2009, hlm. 151) bahwa intelegensi adalah keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman kehidupan sehari-hari.
Kemampuan interpersonal mahasiswa berdasarkan kriteria identifikasi kemampuan interpersonal belum memiliki kemampuan interpersonal secara dominan. Hal ini terlihat dari hasil sebaran angket yang diberikan, sebagai berikut. 1. Kriteria identifikasi pada aspek pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau kelompok, kegiatan yang melibatkan banyak peserta, dan cara berkomunikasi kepada orang lain dengan pertanyaan a) Gaya belajar yang Anda pergunakan selama ini: visual, audio, dan kinestetik memperoleh persentase sebesar visual 15,5%, 24,2%, dan 60,6%. b) Apakah Anda suka mengerjakan tugas/latihan yang berikan oleh guru/dosen secara individu tanpa meminta bantuan teman atau orang sekitar Anda? memperoleh jawaban Ya sebesar 63,6% sedangkan Tidak sebesar 36,6%. c) Apakah Anda suka mengerjakan tugas/latihan yang berikan oleh guru/dosen secara bersama-sama (kerja kelompok, diskusi) dengan meminta bantuan teman atau orang sekitar Anda? memperoleh jawaban Ya sebesar 45,4% dan Tidak 54,5%.
Tabel 4.1 Kriteria Identifikasi
2 3
Interpersonal
1. Deskripsi Kemampuan Interpersonal Mahasiswa Sebelum Mengikuti Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training) dalam Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran
Sebagai objek kajian, kemampuan interpersonal mahasiswa yang diidentifikasi dan dideskripsikan adalah angket yang telah diberikan kepada mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung, khususnya angkatan 2013 kelas A3. Adapun yang menjadi kriteria untuk mengidentifikasi kemampuan interpersonal mahasiswa sebagai objek penelitian adalah berikut :
1
Kemampuan
Kemampuan awal Interpersonal mahasiswa semester 6 Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia diketahui dari hasil angket pertama yang disebarkan. Data tersebut dianalisis berdasarkan aspek pengidentifikasian kemampuan interpersonal mahasiswa yang terdiri atas enam aspek. Selanjutnya data dideskripsikan berdasarkan aspek kemampuan interpersonal mahasiswa. Data yang dikutip dalam analisis berupa kalimat pertanyaan yang sesuai dengan kriteria pada tiap aspek. Hasil angket yang telah diisi mahasiswa dikelompokkan ke dalam empat kategori yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang berdasarkan ciri-ciri kemampuan interpersonal yang dimiliki oleh seseorang.
4. PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Literatur
No.
Pengidentifikasian Kemampuan Interpersonal Cara mengatasi masalah pribadi dan kelompok Keberanian berbicara di tempat umum/khalayak ramai
Pengidentifikasian Kemampuan Interpersonal Pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau kelompok Kegiatan yang melibatkan banyak peserta. Cara berkomunikasi kepada orang lain 112
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
2. Kriteria identifikasi pada aspek cara mengatasi masalah pribadi dan kelompok dengan pertanyaan d) Apakah Anda selalu mengerjakan dan mengumpulkan tugas tepat waktu? memperoleh jawaban Ya sebesar 60,6% dan Tidak 39,3%. e) Apakah Anda sering mencontek saat mengerjakan tugas/ujian? memperoleh jawaban Ya sebesar (75,5% dan Tidak 24,2%. f) Apakah Anda pernah mencontek saat mengerjakan tugas/ujian? memperoleh jawaban Ya sebesar 87,8% dan Tidak 12,1%. g) Apakah Anda tidak pernah mencontek saat mengerjakan tugas/ujian? memperoleh jawaban Ya sebesar 54,5% dan Tidak 45,4%. h) Apakah Anda selalu berdoa setiap melakukan sesuatu? memperoleh jawaban Ya sebesar 60,6% dan Tidak 39,3%. 3. Kriteria identifikasi pada aspek keberanian berbicara di tempat umum/khalayak ramai dengan pertanyaan i) Apakah Anda senang berdiskusi mengenai suatu hal misalnya, materi pelajaran, tugas, aktivitas, dsb.? memperoleh jawaban Ya sebesar 27,2% dan Tidak 72,7%. j) Apakah Anda sering dimintai pendapat oleh teman, guru/dosen, dan orang tua? memperoleh jawaban Ya sebesar 72,7% dan Tidak 27,2%. k) Apakah Anda senang tampil di depan umum (menjadi narator, moderator, pembicara, menyampaikan pendapat)? memperoleh jawaban Ya sebesar 45,4% dan Tidak 54,5%.
berikan oleh guru/dosen secara bersama-sama (kerja kelompok, diskusi) dengan meminta bantuan teman atau orang sekitar Anda? memperoleh jawaban Ya sebesar 87,8% dan Tidak 12,1%. 2. Kriteria identifikasi pada aspek cara mengatasi masalah pribadi dan kelompok dengan pertanyaan d) Apakah Anda selalu mengerjakan dan mengumpulkan tugas tepat waktu? memperoleh jawaban Ya sebesar 87,8% dan Tidak 12,1%. e) Apakah Anda sering mencontek saat mengerjakan tugas/ujian? memperoleh jawaban Ya sebesar (90,9% dan Tidak 9,09%. g) Apakah Anda pernah mencontek saat mengerjakan tugas/ujian? memperoleh jawaban Ya sebesar 72,7% dan Tidak 27,7%. f) Apakah Anda tidak pernah mencontek saat mengerjakan tugas/ujian? memperoleh jawaban Ya sebesar 36,3% dan Tidak 63,6%. h) Apakah Anda selalu berdoa setiap melakukan sesuatu? memperoleh jawaban Ya sebesar 60,6% dan Tidak 39,3%. 3. Kriteria identifikasi pada aspek keberanian berbicara di tempat umum/khalayak ramai dengan pertanyaan i) Apakah Anda senang berdiskusi mengenai suatu hal misalnya, materi pelajaran, tugas, aktivitas, dsb.? memperoleh jawaban Ya sebesar 87,8% dan Tidak 12,2%. j) Apakah Anda sering dimintai pendapat oleh teman, guru/dosen, dan orang tua? memperoleh jawaban Ya sebesar 84,8% dan Tidak 15,1%. k) Apakah Anda senang tampil di depan umum (menjadi narator, moderator, pembicara, menyampaikan pendapat)? memperoleh jawaban Ya sebesar 57,5% dan Tidak 42,4%.
2. Deskripsi Kemampuan Interpersonal Mahasiswa Sesudah Mengikuti Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training) dalam Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Kemampuan interpersonal mahasiswa berdasarkan kriteria identifikasi kemampuan interpersonal mahasiswa sudah memiliki kemampuan interpersonal cukup dominan. Hal ini terlihat dari hasil sebaran angket yang diberikan, sebagai berikut. 1. Kriteria identifikasi pada aspek pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau kelompok, kegiatan yang melibatkan banyak peserta, dan cara berkomunikasi kepada orang lain dengan pertanyaan a) Gaya belajar yang Anda pergunakan selama ini: visual, audio, dan kinestetik memperoleh persentase sebesar visual 15,5%, 24,2%, dan 60,6%. b) Apakah Anda suka mengerjakan tugas/latihan yang berikan oleh guru/dosen secara individu tanpa meminta bantuan teman atau orang sekitar Anda? memperoleh jawaban Ya sebesar 54,5% sedangkan Tidak sebesar 45,4%. c) Apakah Anda suka mengerjakan tugas/latihan yang
C. Analisis Data Hasil Pelatihan Model Pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training) dalam Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Analisis hasil sebaran angket dapat diperoleh dari hasil perhitungan nilai sebaran angket sebelum mengikuti pelatihan dan sesudah mengikuti pelatihan. Perolehan hasil sebaran sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan tersebut dilakuakan dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu penyebaran angket yang dilakukan di awal sebelum pelatihan dilakukan. Tahap kedua, yaitu penyebaran angket yang dilakukan di akhir. Sampel yang digunakan yaitu mahasiswa angkatan 2013 kelas A3 STKIP Siliwangi Bandung.
113
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
mahasiswa mengalami peningkatan walaupun peningkatan yang terjadi sangat sedikit tetapi tetap dalam kategori cukup. Artinya siswa sudah memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah pribadi dan kelompok dengan memerhatikan lingkungan sosialnya.
1. Analisis Data Sebelum dan Sesudah Model Pembelajaran Pelatihan Kesadaran (Awarenes Training) dalam Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Berdasarkan sebaran angket yang diperoleh di atas, maka hal pertama yang dilakukan peneliti untuk melihat perbedaan hasil sebaran dan perkembangan kemampuan belajar siswa, harus dilakukan perhitungan selisih sesudah dan sebelum pelatihan kesadaran (Arwarnes Training) dalam mata kuliah inovasi pembelajaran. Perbedaan dan perkembangan kemampuan interpersonal mahasiswa diketahui melalui pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam angket yang kemudian pertanyaan tersebut dikelompokan berdasarkan kriteria identifikasi kemampuan interpersonal mahasiswa.
c.
Kriteria identifikasi pada aspek keberanian berbicara di tempat umum/khalayak ramai. Selisih Jawaban Ya Selisih mean = My – Mx = 76-48 = 28 Selisih Jawaban Tidak Selisih mean = My – Mx = 23-51 = -28
Berdasarkan perhitungan selisih dari jawaban sebaran angket terlihat ke-mampuan interpersonal mahasiswa mengalami peningkatan dalam kategori cukup. Artinya mahasiswa memiliki kemampuan dan keberanian untuk berbicara di depan umum.
Dilihat dari hasil perhitungan sebaran angket sebelum dan sesudah melakukan pelatihan kemampuan interpersonal mahasiswa dalam mata kuliah inovasi pembelajaran diketahui selisih ratarata antara sebaran sebelum dan sesudah sebagai berikut. a. Kriteria identifikasi pada aspek pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau kelompok, kegiatan yang melibatkan banyak peserta, dan cara berkomunikasi kepada orang lain. Selisih Jawaban Ya Selisih mean = My – Mx = 113-112 =1 Selisih Jawaban Tidak Selisih mean = My – Mx = 19-39 = -20 Berdasarkan perhitungan selisih dari jawaban sebaran angket terlihat kemampuan interpersonal mahasiswa mengalami peningkatan dalam kategori cukup. Artinya mahasiswa sudah dapat berkerjasama, berhubungan, dan berkomunikasi dengan baik dengan orang lain.
D. Pembahasan Hasil Penelitian Model pembelajaran pelatihan kesadaran merupakan suatu model pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran manusia. Pelatihan kesadaran (Awarenes Training) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan dan mengasah kemampuan interpersonal seseorang. Setiap individu manusia memiliki kemampuan interpersonal. Kemampuan interpersonal individu manusia satu dan lainnya berbeda-beda ada yang tidak dominan, dominan, dan sangat dominan. Santrock (2009, hlm. 158) mengungkap-kan bahwa keterampilan interpersonal merupakan kemampuan untuk memahami diri secara efektif berinteraksi dengan orang lain (guru yang berhasil, ahli kesehatan mental). Adapun untuk melihat seseorang memiliki keterampilan interpersonal lebih dominan menurut Sugiarto (2011, hlm. 26) dapat dilihat dari ciri-ciri kelompok berikut. 1. Menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau dalam kelompok. 2. Menyenangi permainan yang melibatkan banyak peserta. 3. Pandai berkomunikasi bahkan memanipulasi. 4. Jika mempunyai masalah, mereka senang membicarakannya dengan orang lain. 5. Sering dimintai pendapat karena mereka umumnya mudah bersimpati.
b.
Kriteria identifikasi pada aspek cara mengatasi masalah pribadi dan kelompok Selisih Jawaban Ya Selisih mean = My – Mx = 113-112 =1 Selisih Jawaban Tidak Selisih mean = My – Mx = 52-53 = -1 Berdasarkan perhitungan selisih dari jawaban sebaran angket terlihat kemampuan interpersonal 114
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Berdasarkan kelima ciri tersebut dan melihat hasil sebaran angket yang telah dilakukan maka dapat diketahui mahasiswa memiliki kemampuan interpersonal yang cukup. Seperti diketahui bahwa kemampuan interpersonal disebut juga dengan intelegensi yaitu keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Artinya kemampuan interpersonal mahasiswa dapat terus meningkat melalui pelatihan secara berkesinambungan.
dimiliki oleh mahasiswa. Diketahui berdasarkan kriteria (aspek) identifikasi kemampuan interpersonal mahasiswa: a) kriteria identifikasi pada aspek pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau kelompok, kegiatan yang melibatkan banyak peserta, dan cara berkomunikasi kepada orang lain. berada dalam kategori cukup. Artinya siswa sudah dapat berkerjasama, berhubungan, dan berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Hal ini berdasarkan perhitungan sebelum dan sesudah pelatihan kesadaran diri (Awarnes Training) yaitu selisih Ya sebesar 1 dan selisih Tidak sebesar 20. b) kriteria identifikasi pada aspek cara mengatasi masalah pribadi dan kelompok Selisih Jawaban Ya 1 dan selisih Jawaban Tidak -1. Artinya terlihat kemampuan interpersonal mahasiswa mengalami peningkatan walaupun peningakatan yang terjadi sangat sedikit tetapi tetap dalam kategori cukup. c) kriteria identifikasi pada aspek keberanian berbicara di tempat umum/khalayak ramai. Selisih Jawaban Ya 28 sedangkan Selisih Jawaban Tidak 28. Kemampuan interpersonal mahasiswa mengalami peningkatan dalam kategori cukup. Artinya mahasiswa memiliki kemampuan dan keberanian untuk berbicara di depan umum.
5. SIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya menunjukan bahwa secara umum dapat disimpulkan evaluasi pembelajaran melalui penulisan jurnal reflektif berbasis penilaian diri dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan kualitas pembelajaran mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung. Jurnal reflektif merupakan hasil catatan dan analisis yang harus memiliki siklus reflektif sebagai bahan pertimbangan atau pengambilan keputusan (tindak lanjut) untuk perbaikan kegiatan pembelajaran selanjutnya. Secara khusus beberapa hal yang dapat disimpulkan sesuai dengan rumusan penelitian sebagai berikut. 1. Berdasarkan hasil sebaran angket yang dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan kesadaran diri (Awarenes Training) kemampuan interpersonal yang dimiliki oleh mahasiswa mulai ada. Tanggung jawab mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan kemampuan interpersonalnya dengan baik dengan memanfaatkan aspek menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain atau dalam kelompok. 2. Kemampuan interpersonal mahasiswa dalam memahami diri sendiri terhadap tugas yang diberikan dosen sudah mulai nampak hal ini terlihat dari interaksi sosial mahasiswa ketika menyelesaikan tugas yang diberikan sudah dapat memilih mana yang harus diselesaikan secara individu, bersama-sama, dan harus meminta tolong kepada teman (lingkungan sekitar) atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA Djiwandono, Sri Esti W. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Fluerentin, E. (2012). Latihan Kesadaran Diri (Self Awareness) dan Kaitannya dengan Pembunuhan Karakter. e-jurnal. Diunduh pada 30 Januari 2016. Hughes, A.G. & E.H. Hughes. (2012). Learning & teaching pengantar psikologi pembelajaran modern. Penerjemah SPA teamwork. Yogyakarta. Bandung: NUANSA. Lickona, T. (2013). Educating for character: mendidik untuk membentuk karakter bagaimana sekolah dapat mengajarkan sikap hormat dan tanggung jawab penerjemah: juma abdu wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.
Kesadaran perilaku diri sendiri (mahasiswa) dan kesadaran terhadap orang lain ketika melakukan interaksi sosial dapat dilatih tentunya dengan pelatihan yang tepat. Kemampuan interpersonal mahasiswa STKIP Siliwangi Angkatan 2013 kelas A3 mengalami perubahan (peningkatan) hal ini terlihat dari hasil sebaran angket yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan dalam angket untuk mengidentifikasi kemampuan interpersonal yang
Marlina, N., dkk. (2014). Meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan melalui model pembelajaran pelatihan kesadaran (awareness training) di kelas VII Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Atinggola. E-jurnal. 3 (2). Diunduh pada 30 Januari 2016.
115
P2M STKIP Siliwangi
Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 2, November 2016
Nana, S. S. (2011). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: PT rosdakarya offset. Sugiarto, I. (2011). Mengoptimalkan daya kerja otak dengan berpikir holistik & kreatif. Jakarta: Gramedia. Sugiyono. (2014). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta. Santrock, John W. (2009). Psikologi pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika. Sahmini, M. & Yeni R. (2015). Pengembangan alat evaluasi menulis karya ilmiah dengan pendekatan proses. Cimahi: STKIP Siliwangi. Uno, Hamzah B. (2012). Model pembelajaran: menciptakan proses belajar mengajar yang kreatif dan efektif. Jakarta: Bumi Aksara
116