Jurnal Geoaplika (2008) Volume 3, Nomor 3, hal. 133 – 141 Sri Hartati Soenarmo Imam A. Sadisun Endri Saptohartono
Kajian Awal Pengaruh Intensitas Curah Hujan Terhadap Pendugaan Potensi Tanah Longsor Berbasis Spasial di Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Diterima : 10 Juni 2008 Disetujui : 1 Agustus 2008 © Geoaplika 2008
Sari – Bencana tanah longsor di Abstract – Landslide disasters in
Sri Hartati Soenarmo * Sains Atmosfer, FITB – ITB Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail:
[email protected] Imam A. Sadisun KK Geologi Terapan FITB – ITB Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail:
[email protected] Endri Saptohartono Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail:
[email protected]
* Alamat korespondensi
Indonesia umumnya terjadi pada musim penghujan. Hujan memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan penurunan kuat geser tanah. Kajian gabungan model infiltrasi Green-Ampt dan model stabilitas lereng telah digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh intensitas curah hujan terhadap stabilitas lereng secara spasio-temporal di Kabupaten Bandung. Kajian model infiltrasi Green-Ampt digunakan untuk mengetahui besarnya air hujan yang masuk ke dalam tanah. Kajian stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan model matematik 2-dimensi, lereng tak hingga, dengan pendekatan kesetimbangan batas dan bidang gelincir. Lebih lanjut, kajian gabungan model infiltrasi dan model stabilitas lereng telah digunakan untuk estimasi waktu ketidakstabilan lereng setelah hujan turun.
Indonesia usually occur during the rainy season. Rainfall triggers the landslides by giving additional loading and reducing shear strength of soils. A combined assessment of the Green-Ampt infiltration model and infinite slope stability model are adopted in this study to analyze the influence of the rainfall intensity to the spatio-temporal slope stability at Bandung Regency. The Green-Ampt infiltration model is applied to measure the amount of rain water infiltration into the soil. Meanwhile, the slope stability analysis using 2dimensional mathematics model, infinite slope, with limit equilibrium and slip plane approaches are carried out. This combined assessment is also used to estimate the time duration of when the slope will become unstable after the rainfall. This study is run for three different soil textures, which are sand, clay, and mud. The investigation results are the spatio-temporal maps of landslide susceptibilities at Bandung Regency on 15, 30, 45 minutes, and 1 hour after the rainfall for those different soil textures.
Dalam penelitian ini telah dilakukan kajian terhadap tiga tekstur tanah yang berbeda, yaitu tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat. Hasil yang diperoleh merupakan peta kerawanan dugaan stabilitas lereng secara spasio-temporal di Kabupaten Bandung pada saat 15 menit, 30 Keywords: infiltration model, menit, 45 menit, dan 1 jam setelah landslide, rainfall intensity, slope hujan turun untuk berbagai tekstur stability tanah yang berbeda. Kata kunci:, model infiltrasi, tanah longsor, intensitas curah hujan, stabilitas lereng
13 3
untuk mengestimasi stabilitas lereng, menentukan daerah rawan tanah longsor, dan selanjutnya Indonesia yang beriklim marin-monsun tropis mengestimasi waktu terjadinya tanah longsor. diketahui memiliki karakteristik curah hujan rata-rata tinggi (Ramage, 1968; Nakamura dkk., 1994; Dalam penelitian ini, peta geologi, peta tekstur tanah, Soenarmo, 2007). Curah hujan merupakan salah satu peta rupa bumi dan citra satelit Landsat 7-ETM faktor pemicu terjadinya tanah longsor (Kawamoto (yang diambil pada tanggal 12 Mei 2001) digunakan dkk., 2000; Iverson, 2000; Lan dkk., 2003). untuk melihat profil permukaan Kabupaten Bandung Tingginya intensitas curah hujan dapat menambah yang dianggap berpotensi tanah longsor. Data beban pada lereng sebagai akibat peningkatan intensitas curah hujan PT. Indonesia Power Unit kandungan air dalam tanah, yang pada akhirnya Bisnis Pembangkit Saguling 1998, Stasiun Plengan, memicu terjadinya longsoran (Pierson, 1980; Huang Stasiun Cileunca, dan Stasiun Cipanunjang, digunakan untuk estimasi intensitas curah hujan di dan Lin, 2002). Kabupaten Bandung. Kemudian, data curah hujan Penentuan daerah kerawanan tanah longsor harian dari Pusat Penelitian dan Pengambangan Air, dikarakterisasi melalui penentukan lokasi, ukuran Bandung, tahun 2001 digunakan untuk pendugaan dan waktu terjadinya tanah longsor (Iverson dan infiltrasi curah hujan. Major, 1986; Iverson, 2000). Di samping itu, penelitian mengenai pengaruh curah hujan terhadap Pengolahan Data stabilitas lereng telah menjadi topik penelitian cukup intensif di dunia (Yin dkk., 2002; Guzzetti dkk., Pengolahan data dilakukan dengan mengkonversi 2005). Beberapa pendekatan secara empiris telah data rupa bumi DEM (Digital Elevation Model) dan digunakan dalam menentukan kerawanan bencana kelerengan. Untuk keperluan pengolahan spasial tanah longsor akibat pengaruh intensitas dan durasi diperlukan data digital tata guna lahan yang curah hujan (Caine, 1980). Meskipun demikian, diperoleh dari pemrosesan citra satelit dengan masih ditemukan kesulitan dalam mengukur besaran metode Maximum Likehood Enhanced. Dalam infiltrasi curah hujan yang mampu mempengaruhi penelitian ini digunakan citra komposit band 542. stabilitas lereng (Pradel dan Raad, 1993; Gasmo dkk., 2000). Oleh sebab itu, penelitian tentang pengaruh curah hujan dalam memicu terjadinya Estimasi durasi dan intensitas curah hujan dilakukan tanah longsor dengan penekanan pada kajian berdasarkan data curah hujan harian menggunakan persamaan yang diperoleh dari hasil pengamatan stabilitas lereng perlu dilakukan. curah hujan terbesar dunia, WMO (World Meteorological Organisation) (Chow dkk, 1988) Dari sisi metodologi, kajian stabilitas lereng dengan (Persamaan 1 dan 2). menggunakan model matematik 2-dimensi, lereng tak hingga, telah banyak digunakan (Xie dkk., 2001; R Cho dan Lee, 2002; Zhou dkk., 2003) dan telah .................. (1) t 0,475 442 divalidasi untuk tanah longsor dangkal. Namun, R pendekatan tersebut masih belum mampu menjawab .................. (2) I kebutuhan kerawanan tanah longsor secara spasiot temporal. Untuk alasan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh intensitas curah hujan terhadap stabilitas lereng secara spasio- dengan I = intensitas hujan(mm/jam), R = curah temporal dengan menggabungkan kajian hidrologi hujan (mm), dan t = durasi hujan(jam). dan kajian stabilitas lereng, dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Bandung. Karena Persamaan 1 diperoleh dari hasil pengamatan yang berlaku secara global, perlu dilakukan modifikasi untuk memperoleh nilai durasi dan Metode intensitas curah hujan yang sesuai dengan Inventarisasi faktor penyebab dan faktor pemicu karakteristik daerah penelitian. tanah longsor penting untuk dilakukan. Faktor penyebab tanah longsor antara lain meliputi tekstur Laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah diperoleh tanah, geomorfologi (Sadisun dkk., 2006) dan dengan menggunakan model infiltrasi Green-Ampt kondisi lereng atau tutupan lahan (Sidle, 1992; (Lumb, 1962; Pradel dan Raad, 1993; Cho dan Lee, 2002; Xie dkk., 2004) dan berdasarkan Persamaan Montgomery dan Dietrich, 1994; Wu dan Sidle, 1995). Selain itu, salah satu faktor pemicu yang Darcy dengan syarat batas kandungan air dan penting karena pengaruhnya terhadap laju infiltrasi masukan air dianggap konstan, menggunakan dan infiltrasi kumulatif yaitu intensitas curah hujan Persamaan 3 dan 4. yang tinggi. Kedua faktor tersebut dapat digunakan
Pendahuluan
134
dFF f K s 1f i d T FF
............. (3)
Hasil dan Pembahasan
FF
F ......... (4) Z Kt w i s i f ln 1 i f
dengan f = laju Infiltrasi (mm/jam), FF = kedalaman infiltrasi total (m), t = waktu (jam), Ks = konduktivitas hidrolik jenuh tanah (mm/jam), ψf = parameter penyerapan batas pembasahan tanah Green-Ampt (mm), = beda air tanah (mm3/mm3), i
dan Zw = kedalaman bidang pembasahan (m).
Estimasi durasi dan intensitas curah hujan di
Kabupaten Bandung, menggunakan modifikasi Persamaan 1 dari data ukur pada tiga stasiun meteorologi tahun 1998, yaitu stasiun Plengan, stasiun Cileunca dan stasiun Cipanunjang. Modifikasi dilakukan secara semi-empiris dengan pengkelasan curah hujan harian (R) untuk menghaluskan hasil estimasi durasi hujan dari data pengamatan, diperoleh Persamaan 6 sampai 12 sebagai berikut:
Dalam menentukan stabilitas lereng telah digunakan pendekatan model matematika 2-dimensi, lereng tak hingga (Crosta 1998; Cho dan Lee, 2002),
.0 475
R 10
R < 10 mm : t........... (6) 0 475 .
R ........... (7) 17 04 . 75 R 20 ≤ R < 30 mm: t ........... (8) 21
10 ≤ R < 20 mm: t
sebagaimana terlihat dalam Persamaan 5. Stabilitas lereng dinyatakan dengan faktor keamanan (factor of safety) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang melawan terjadinya longsoran dan gaya yang melongsorkan (Keller, 2000).
'
FS
tan
cos
c sat zw
u w
z sin cos
0 4. 75
30 ≤ R < 40 mm: t
'
dengan c’ = kohesi efektif jenuh tanah (kN/m2), γsat = berat jenis tanah jenuh (kN/m3), uw = tekanan pori air tanah (kN/m2), α = kemiringan lereng, dan φ’ = sudut geser dalam efektif. Parameter tekstur tanah yang digunakan dalam model seperti terlihat pada Tabel 1 yaitu contoh tabel properti hidrolik dan geomekanik untuk tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat (Rawls dkk., 1983; Ogden dan Saghafian, 1997).
...........
(9)
0.475
........... (5)
sat w
R 24
R 26
40 ≤ R < 50 mm: t
........... (10)
04 . 75
50 ≤ R < 60 mm:
R ........... t 36
(11)
0.475
R 60 mm: t
R 51
........... (12)
Hasil estimasi durasi curah hujan terhadap curah hujan harian stasiun Plengan diperoleh korelasi sebesar 0,72 (Gambar 1 (a)), kemudian dilakukan estimasi intensitas curah hujan dengan menggunakan Persamaan 2, diperoleh korelasi sebesar 0,68 Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah (Gambar 1 (b)). menimbulkan tambahan pembebanan pada lereng. Selain itu, dengan terbentuknya bidang batas antara Laju infiltrasi merupakan fungsi dari kondisi tanah daerah resapan dan daerah di bawahnya, berpotensi (kelembaban tanah, tekanan pori, dan konduktivitas menjadi bidang gelinciran tanah longsor. Pada hidrolik tanah), dan besarnya intensitas curah hujan penelitian ini, untuk mempermudah perhitungan (Espinoza, 1999). Laju infiltrasi tiap tekstur tanah digunakan asumsi bahwa keadaan pada bidang ditunjukkan pada Gambar 2 (a). Kapasitas infiltrasi pembasahan/gelinciran dianggap jenuh dan hanya merupakan kemampuan maksimum tanah dapat properti tanah permukaan yang berpengaruh menyerap air hujan, yang merupakan fungsi dari terhadap stabilitas lereng (Lumb, 1975; Crosta kandungan kelembaban inisial dan intensitas hujan. 1998). Penelitian ini merupakan simulasi dengan Apabila intensitas berada di bawah kapasitas beberapa skenario pengaruh curah hujan terhadap infiltrasi minimum (Ks, konduktivitas hidrolik jenuh) stabilitas lereng berdasarkan variasi durasi curah atau belum terjadi kejenuhan permukaan, maka hujan 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam, infiltrasi akan terus berlangsung tanpa terjadi dengan variasi intensitas curah hujan 10.4 mm/jam genangan (ponding). Setelah tercapai kejenuhan (minimum), 20 mm/jam, 40 mm/jam, 80 mm/jam, permukaan, maka genangan akan segera terbentuk dan 100 mm/jam (maksimum), dengan tekstur tanah sehingga laju infiltrasi akan berkurang hingga pasir, tanah lempung dan tanah liat serta pada mencapai kapasitas infiltrasi tanah (Cho dan Lee kemiringan lereng 20%, 30%, dan 40 %, dengan 2002). Gambar 2 (b) menunjukkan lengkung pengaruh tutupan lahan diabaikan. infiltrasi kumulatif tiap tekstur tanah. Pada saat terjadi genangan permukaan, maka laju infiltrasi kumulatif akan berkurang hingga mencapai nilai minimumnya.
13 5
Stasiun Plengan R = 0,72
Stasiun Plengan R = 0.68
5.0
50.0
Data
4.5
45.0
Data
4.0
40.0
Hitung
3.5
35.0
3.0
30.0
2.5
25.0
2.0
20.0
Hitung
15.0
1.5
10.0
1.0
5.0
0.5
0.0
0.0 52
12
32
37
60
4 50 4 CH (mm)
20
16
14
52
30
12
32
37
60
4
50
4
20
16
14
Ch (mm)
.Gambar 1. Hasil estimasi durasi (a) dan intensitas curah hujan (b) stasiun Plengan.
Laju Infiltrasi (mm/jam) i = 100 mm/jam ; d= 1 jam
120.0
Infiltrasi Kumulatif (mm) i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam
120.0
100.0
100.0
80.0
80.0
60.0
60.0
40.0
40.0
T. Pasir T. Lempung
T. Pasir 20.0
T. Liat
T. Lempung
20.0
T. Liat 0.0
0.0
Waktu (jam)
Waktu (jam)
Gambar 2. Lengkungan estimasi laju infiltrasi (a) dan infiltrasi kumulatif (b), masing-masing untuk tekstur tanah pasir, tanah lempung dan tanah liat.
Tabel 1. Properti hidrolik dan geomekanik tekstur tanah pasir, tanah lempung, tanah liat (Rawls dkk, 1983; Ogden dan Saghafian, 1997; Xie dkk, 2004) Porositas Efektif ( )
Wilting Point Water Centent ( )
Pasir
0.471
Pasir Lempungan Lempung Pasiran
Tekstur Tanah
f
w
Ks (mm/jam)
0.033
0.384
235.6
96.2
0.401
0.055
0.346
59.8
119.6
0.412
0.095
0.317
21.8
215.3
e
136
i
e
w
(mm)
Lempung
0.434
0.117
0.317
13.2
175.0
Lempung Liatan
0.390
0.197
0.193
2.0
408.9
Liat Pasiran
0.321
0.239
0.082
1.2
466.5
Liat Lempungan
0.423
0.250
0.173
1.0
577.7
Liat
0.385
0.272
0.113
0.6
622.5
30
Tabel 2. Kedalaman bidang pembasahan Zw tiap tekstur tanah berbagai kemiringan lereng Kedalaman Bidang Pembasahan (m) Kemiringan Lereng (derajat)
Tekstur Tanah
10
20
30
40
Pasir Lempung Liat
4,9 10,2 79,1
0,8 2,8 26,4
0,5 1,8 17,3
0,4 1,4 14,4
Tabel 3. Estimasi waktu kritis lereng menjadi tidak stabil (dalam jam). Tekstur
Tanah Pasir
Tanah Lempung
Tanah Intensitas (mm/jam)
10
10,4
1,929
0,669
0,441
0,369
1,517
0,525
20
1,005
0,349
0,229
0,193
0,789
0,273
50
0,405
0,141
0,093
0,077
0,317
80
0,253
0,089
0,061
0,049
100
0,161
0,057
0,037
0,023
300.0
Kemiringan Lereng 0
20
0
30
0
Tanah Liat
Kemiringan Lereng 40
0
40
10
200
300
400
0,345
0,289
1,173
0,405
0,269
0,225
0,181
0,153
0,649
0,213
0,141
0,117
0,109
0,073
0,061
0,445
0,125
0,057
0,049
0,253
0,069
0,045
0,041
0,421
0,129
0,085
0,061
0,217
0,057
0,029
0,025
0,413
0,133
0,093
0,081
20
0
30
0
Kemiringan Lereng 0
10
0
0
Factor of Safety T. Lempung i max = 1000 mm/jam ; d = 1 jam
Zw (m) i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam 5.0
10 drjt
4.5
20 drjt
250.0 4.0
30 drjt
3.5
200.0
40 drjt
3.0
150.0
2.5
T. Pasir 100.0
2.0
T. Lempung
1.5
T. Liat
1.0
50.0
0.5 0.0
0.0
Waktu (jam)
Waktu (jam)
Gambar 3. Lengkungan estimasi kedalaman bidang pembasahan (a) dan stabilitas lereng berdasarkan faktor keamanan/FS (b) untuk berbagai kemiringan lereng.
Kemampuan simulasi model infiltrasi Green-Ampt yang sederhana dan stabil (Qi, 2006) telah digunakan dalam penelitian ini untuk menunjukan profil laju infiltrasi tiap tekstur tanah. Dalam model GreenAmpt, profil kandungan air tanah ditunjukkan dengan tipe piston (bidang batas pembasahan, Zw). Suction head pada bidang batas pembasahan dianggap konstan, di atas bidang batas pembasahan Ks dianggap konstan, kondisi ini tanah dianggap jenuh dari permukaan hingga bidang batas
pembasahan. Gambar 3 (a) merupakan lengkungan kedalaman bidang pembasahan (Zw) terhadap waktu dari tiga tektur tanah, pada intensitas curah hujan maksimum (100 mm/jam) dan durasi 1 jam. Dalam model stabilitas infinite slope, kedalamaan Zw diasumsikan sebagai kedalaman bidang gelinciran (Fredlund dkk., 1978). Pengaruh kemiringan lereng akan mengurangi infiltrasi sehingga kedalaman Zw semakin dangkal (Crosta,
13 7
1998). Kedalaman Zw tiap tekstur tanah dan berbagai kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 3 (b) adalah lengkungan faktor keamanan (FS) tanah lempung terhadap waktu pada berbagai kemiringan lereng, 1 jam setelah hujan turun. Lengkungan faktor keamanan digunakan untuk menentukan stabilitas lereng pada berbagai intensitas curah hujan, jenis tekstur tanah dan berbagai kemiringan lahan (Iverson, 1991). Lereng dikatakan kritis jika FS = 1. Tiap tekstur tanah memberikan reaksi yang berbeda-beda dalam kecepatan untuk mencapai kondisi kritis. Nilai faktor keamanan terus berkurang terhadap waktu akibat penambahan air ke dalam tanah. Lereng dalam kondisi kritis dapat dikatakan sebagai kondisi rawan (saat lereng menjadi tidak stabil) terjadinya tanah longsor, sehingga estimasi waktu lereng kritis menjadi penting. Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi waktu kritis lereng (dalam jam), pada intensitas 10.4 mm/jam, 20 mm/jam, 50 mm/jam, 80 mm/jam, dan 100 mm/jam, pada kemiringan lereng 10%, 20%, 30%, dan 40%, serta dengan tekstur tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat. Semakin tinggi kemiringan lereng, semakin cepat waktu kondisi kritis tercapai. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi kemiringan lereng akan meningkatkan tegangan geser tanah yang merupakan fungsi dari kemiringan lereng dan berat lereng. Pengaruh besarnya curah hujan belum tentu mempercepat terjadinya kerawanan, hal tersebut dikarenakan adanya proses genangan, sehingga kandungan air akan berbeda-beda pada tiap tanah tergantung pada besarnya infiltrasi.
untuk menduga perkembangan stabilitas lereng atau daerah kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bandung, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam setelah hujan turun, dengan klasifikasi faktor keamanan FS <1 (longsor), FS = 1 - 1,5 (rawan/kritis), dan FS = 1,5 - 2,0 (stabil). Gambar 5 menunjukkan distribusi spasial waktu kritis terjadinya tanah longsor di Kabupaten Bandung pada berbagai tutupan lahan, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam setelah hujan turun. Terlihat bahwa daerah yang sangat rawan tanah longsor terhadap bencana tanah longsor tersebar di bagian tepi daerah studi, yaitu bagian utara, sekitar Lembang dan Maribaya, sebagian Pacet, Cicalengka, dan Ciwidey. Sementara itu, daerah yang berpotensi tanah longsor adalah pada deretan Gunung Malabar sekitar Pangalengan dan Gambung. Berdasarkan data kejadian tanah longsor dari Pusat Vulkanologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Soedradjat, 2006), terlihat bahwa simulasi dalam penelitian ini telah mampu memberikan pendugaan daerah rawan tanah longsor di Kabupaten Bandung dengan cukup baik. Kesimpulan Dari seluruh hasil model, perhitungan dan simulasi skenario kajian awal pengaruh intensitas curah hujan terhadap kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bandung dapat disimpulkan bahwa : 1.
Kehandalan model infiltrasi Green-Ampt dalam menduga kedalaman Zw, dan merupakan bidang gelincir model stabilitas lereng tak hingga, telah mampu digunakan untuk menduga waktu kritis terjadinya tanah longsor. Aplikasi lanjutan dari 2. gabungan kajian hidrologi dan geoteknik ini adalah untuk menghasilkan peta dugaan spasio-temporal kerawanan tanah longsor. Hasil ekstrapolasi untuk memperoleh peta spasio-temporal kerawanan tanah longsor ditampilkan pada Gambar 4, digunakan
138
Gabungan model stabilitas infinite slope 2dimensi dan model infiltrasi serta analisis spasial menghasilkan peta dugaan spasiotemporal tentang stabilitas lereng pada berbagai kemiringan lereng berdasarkan nilai keamanan FS. Hasil kajian merupakan peta kerawanan dugaan stabilitas spasio-temporal di Kabupaten Bandung 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam setelah hujan turun, pada berbagai tekstur tanah. Selanjutnya hasil kajian dapat dikembangkan menjadi sistem peringatan dini bencana tanah longsor.
Gambar 4. Stabilitas lereng 15 menit (a), 30 menit (b), 45 menit (c), dan 1 jam setelah hujan.
Gambar 5. Distribusi waktu kritis pada saat lereng tidak stabil.
13 9
Daftar Pustaka Caine, N., 1980. The rainfall Intensity–duration control of shallow landslides and debris flows. Geografiska Annaler, 62A (1-2): 2327. Cho, S. E. dan Lee, S. R., 2002. Evaluation of surficial stability for homogeneous slopes considering rainfall characteristics. J. Geotech Geoenv., ASCE, 128 (9): 756 - 763. Chow, V. T., Maidment, D. R. dan Mays, L.W., 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill. Crosta, G., 1998. Regionalization of rainfall thresholds: an aid to landslide hazard evaluation. Environ. Geol., 35(2–3): 131– 145. Espinoza, R. D., 1999. Infiltration, The Hand book of Ground-water Engineering. Chemical Rubber Corp., Boca Raton, Fla. Fredlund, D. G., Morgenstern, N. R., dan Widger, R. A., 1978. The shear strength of unsaturated soils. Can. Geotech. J., 15: 313–321. Gasmo, J. M., Rahardjo, H., dan Leong, E. C., 2000. Infiltration effects on stability of a residual soil slope. Comput. Geotech., 26(2), 145– 165. Guzzetti, F., Peruccacci, S. dan Rossi, M., 2005. Definitions of Critical Threshold for Different Scenatios. RISK AWARE Action 1.16, IRPI CNR, Perugia, Italy.
140
Huang, L. J. dan Lin, X. S., 2002. Study on landslide related to rainfall. Journal of Xiangtan Normal University (in Chinese, Natural Science Edition), 24(4): 55 62. Iverson, R. M., 1991. Sensitivity of stability analyses to groundwater data. In: Bell DH (ed) Proceedings of VIth International Symposium on Landslides, Christchurch, New Zealand, Balkema, Amsterdam, hal. 451– 457. Iverson, R. M., 2000. Landslide triggering by rain infiltration. Water Resources Research, 36(7): 1897–1910. Iverson, R. M. dan Major, J. J., 1986. Groundwater seepage vectors and the potential for hillslope failure and debris flow mobilization. Water Resources Research, 22(11): 1543–1548. Kawamoto, K., Oda, M., dan Suzuki, K., 2000. Hydro-geological study of landslides caused by heavy rainfall on August 1998 in Fukushima, Japan. Journal of Natural Disaster Science, 22(1): 13–23. Keller,
E. A., 2000. Environmental Geology. 8th Edition, Prentice Hall.
Lan, H. X., Zhou, C. H., Lee, C. F., Wang, S., dan Wu, F. Q., 2003. Rainfallinduced landside stability analysis in response to transient pore pressure. Science
in China Series, Technological Sciences, 46: 52-68. Lumb,
P., 1962. Effects of rainstorms on slope stability. In: Proceedings of the Symposium on Hong Kong Soils. GCO Publ., Hong Kong, hal. 73–87.
Lumb, P., 1975. Slope failures in Hong-Kong. Q. J. Eng Geol., 8: 31–65. Montgomery, D. R. dan Dietrich, W. E., 1994. A physically based model for the topographic control on shallow landsliding. Water Resour. Res., 30: 1153– 1171. Nakamura, K., Noerdjito, W. A., dan Hasyim, A., 1994. Regional difference and seasonality of rainfall in Java, with special reference to Bogor. Tropics, 4(1): 93–103. Ogden, F. L. dan Saghafian, B., 1997. Green and Ampt infiltration with distribution. J Irrigation and Drainage Engineering, ASCE, 123(5): 386–393. Pierson, T. C., 1980. Piezometric response to rainstorms in forested hillslope drainage depressions. Journal of Hydrology (New Zealand), 19: 1– 10. Pradel, D. dan Raad, G., 1993. Effect of permeability on surficial stability of homogeneous slopes. J. Geotech. Eng., 119(2): 315–332. Qi, Z., 2006. Comparison of Finite Difference Method, Philip’s Method and GreenAmpt Model in
Infiltration Simulation. Department of Agricultural Engineering. Ramage, C. S., 1968. Role of a tropical “maritime continent” in the atmospheric circulation. Mon. Wea. Rev., 96: 365−370. Rawls, W. J., Brakensiek, D. L. dan Miller, N., 1983. Green–Ampt infiltration parameters from soils data. J. Hydraul. Eng., 109(1): 62–70. Sadisun, I. A., Kartiko, R. D. dan Adianto, A. Y., 2006. Landslide frequency analysis in a mountainous area of Weninggalih, West Java, Indonesia; a technical note. Proc. The 35th IAGI Annual Convention and Exhibition, Pekanbaru, Riau, 6 pp. Sidle, R. C., 1992. A theoretical model of the effects of timber harvesting on slope stability. Water
Resour. Res., 28: 1897– 1910. Soedradjat, G. M., 2006. Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Soenarmo, S. H., 2007. The ecohydrogeometeorolog ical analysis for Bandung Basin based on the rainfall characteristics and satellite image processing. Proc. Groundwater Management and Water Resourses Conference, MHI - Bali. Wu, W. dan Sidle, R. C., 1995. A distributed slope stability model for steep forested basins. Water Resour. Res., 31: 2097– 2110. Xie, M., Zhou, G., dan Esaki, T., 2001. Landslide hazard assessment using Monte Carlo simulation based on GIS. In: The 10th International
Conference of IACMAG, Arizona, pp. 169–173. Xie, M., Esaki, T., dan Cai, M., 2004. A time-space based approach for mapping rainfallinduced shallow landslide hazard. Environmental Geology, 46: 840–850. Yin, Q. L., Wang, Y., dan Tang, Z. H., 2002. Mechanism and dynamic simulation of landslide by precipitation. Geological Science and Technology Information (in Chinese), 21(1): 75– 78. Zhou, G., Esaki, T., Mitani, Y., Xie, M., dan Mori, J., 2003. Spatial probabilistic modeling of slope failure using an integrated GIS Monte Carlo simulation approach. Int. J. Eng. Geol., 68: 373–386.
14 1
Jurnal Geoaplika (2008) Volume 3, Nomor 3, hal. 133 – 141
142