JSI 5 (2) (2016)
Journal Sastra Indonesia http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi POLITISASI AGAMA SEBAGAI ALAT LEGITIMASI KEKUASAAN LAKI-LAKI TERHADAP PEREMPUAN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL-KHALIEQY: TELAAH HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI
Amar Alfikar Mukh Doyin dan Suseno Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima Januari 2016 Disetujui Februari 2016 Dipublikasikan September 2016
Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy menggambarkan bagaimana kelompok misoginis menggunakan agama (Islam) untuk menyebarkan dan membenarkan tindakan-tindakan yang bias gender. Di sisi lain, agama Islam juga dijadikan alat perlawanan untuk mengkonter gagasan ketidakadilan gender, sehingga perempuan yang awalnya tertindas kemudian memiliki hak yang sama untuk memilih kehidupan yang baik bagi dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali bentuk-bentuk dari politisasi, konter politisasi agama serta berbagai dampak dari politisasi dan konter politisasi agama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra dengan metode kualitatif. Adapun teori yang dipakai adalah teori hegemoni Antonio Gramsci. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa agama dipolitisasi untuk melakukan tindakan dikstriminatif terhadap perempuan, dan diperlukan upaya konter hegemoni untuk mengembalikan agama sebagai ruang yang menghargai hak-hak perempuan.
Keywords: hegemony, gender, religion
Abstract Perempuan Berkalung Sorban, a novel written by Abidah el-Khalieqy describes how misogynist group using religion (Islam) to spread and justify gender bias actions. On the other hand, Islam is also used as an instrument of resistance to counter the notion of injustice gender, so women who previously oppressed then have equal rights to choose better life for them. This study aims to deeply dig the forms of politicization, counter-politicization toward Islam and various impacts of politicization and counter-politicization toward Islam in Perempuan Berkalung Sorban. The method of analyses used in this research is a qualitative method approach to the sociology of literature. As for the thoery used is hegemony of Antonio Gramsci. The results suggest that religion is politicized to perform discriminative acts toward women, and it is necessarily to perform counter-hegemony to reinstate religion as a place where women rights are highly appreciated. © 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2252-7133
Alamat korespondensi: Gedung B1 Lantai 1, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 Email:
[email protected]
2 Amar Alfikar/Jurusan Sastra Indonesia 5 (2) (2016)
PENDAHULUAN Agama, sebagai kesatuan ide dan sumber nilai bagi manusia, sering menjadi ‘kambing hitam’ bagi adanya tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Fakih (2008:128) mempertanyakan, apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri, ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran keagamaan yang dipengaruhi oleh kultur patriarkat? Melalui novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS), Abidah menyuguhkan kepada kita, jawaban atas pertanyaan tersebut. Meski begitu, Abidah tidak serta merta meletakkan subjektivitas dirinya sendiri, Abidah menyuguhkan jawaban itu melalui rentetan cerita dan dialog yang dibangun dalam novelnya. Dalam novel PBS, digambarkan bahwa dari balik tembok pesantren yang kental dengan pendidikan keagamaannya, perempuan disandera hak-haknya, baik hak dalam perspektif publik seperti dibatasi hak berbicara dan memimpin di ruang umum, maupun dalam perspektif domestik yang berwujud dibatasinya hak-hak reproduksi perempuan. Pembatasan-pembatasan hak-hak perempuan tersebut ‘diajarkan’ dan dilegitimasikan dalam ruang pendidikan pesantren, melalui referensi-referensi kitab kuning yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Melalui tokoh bernama Annisa, dialogdialog yang dibangun dalam novel karya Abidah el Khalieqy tersebut diciptakan dengan argumentatif. Secara garis besar, Annisa mempertanyakan mengapa pesantren yang diasuh oleh ayahnya mengajarkan kitab-kitab dan pengetahuan keislaman yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan, sementara sesungguhnya banyak sumber pengetahuan keislaman yang tidak bias gender, yang justru berbicara tentang kesetaraan hak-hak manusia di mata Tuhan tanpa memandang identitas diri, baik itu gender, suku, dan lain-lain. Dalam novel PBS juga didapati adanya usaha meng-counter hegemoni dengan menjadikan agama pula sebagai sarananya. Melalui tokoh Annisa dan Khudhori, agama kemudian menjadi ruang untuk mengeksplorasi gagasan kemanusiaan dan inti ajaran Islam yang berpihak pada keadilan terhadap perempuan, agama yang semula merupakan ruang untuk menggencarkan diskriminasi, dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk melawan segala bentuk diskriminasi. Dengan demikian, agama diperebutkan untuk mengesahkan gagasan masing-masing kelompok. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Gramsci sebagai war of position atau perang posisi. Den-
gan mengkaji novel PBS melalui teori hegemoni Antonio Gramsci, kita dapat melihat bagaimana war of position ini berlangsung dalam konteks keagamaan. Bagaimana agama menjadi sarana mengesahkan diskriminasi terhadap perempuan, sekaligus bagaimana agama dimanfaatkan oleh kalangan feminis untuk melakukan counter hegemoni terhadap diskriminasi yang terus digencarkan kepada perempuan. LANDASAN TEORETIS Sebelum memahami bagaimana bentuk politisasi agama sebagai alat legitimasi kekuasaan, perlu dipahami terlebih dahulu apa definisi dari politisasi agama dan legitimasi kekuasaan. Dalam penelitian ini, politik dimaksudkan dalam lingkup cara bertindak, yakni dalam konteks praktik keagamaan yang berbentuk pengungkapan nilai-nilai dalam sumber dan sejarah agama yang menuntun penganutnya untuk bertindak dan berperilaku tertentu. Politisasi agama ialah sebuah praktik atau tindakan yang dilakukan terhadap agama, baik berupa sumber dan sejarah agama, demi kepentingan politis tertentu. Agama yang sejatinya mengajarkan nilai-nilai universal yang tidak memandang rendah suatu gender tertentu kemudian dipolitisasi agar terkesan bahwa agama menjustifikasi bentuk ketidaksetaraan gender. Adapun legitimasi kekuasaan merupakan usaha untuk membenarkan kekuasaan, sehingga kekuasaan suatu kelas atas kelas tertentu yang sejatinya tidak ada, kemudian diadakan dan dibenarkan sehingga kelas yang dikuasai tidak memiliki daya untuk menolaknya karena menganggap kekuasaan tersebut adalah kebenaran. Setelah memaknai definisi dari politisasi dan legitimasi, maka kalimat politisasi agama sebagai alat legitimasi kekuasaan bisa diartikan sebagai sebuah bentuk perlakuan terhadap agama, baik berupa pengungkapan makna nilai-nilai maupun fakta sejarah agama, yang dilakukan untuk kepentingan pembenaran terhadap kekuasaan kelas tertentu atas kelas lainnya, dalam hal ini adalah kekuasaan laki-laki atas perempuan. Hegemoni Hegemoni Gramsci berangkat dari kritiknya terhadap pandangan marxisme yang menganggap bahwa persoalan kehidupan sosial masyarakat yang mengalami benturan antar-kelas disebabkan oleh permasalahan ekonomi antara borjuis dan proletar. Bagi marxis, ketika masalah ekonomi tersebut selesai, maka persoalan sosial pun selesai. Gramsci mengkritik pandangan ter-
Amar Alfikar/ Jurnal Sastra Indonesia 5 (2) (2016) 3
sebut dengan berpendapat bahwa persoalan sosial dan praktik hegemoni tidak hanya melibatkan kelompok-kelompok sosial yang dibagi atas kelas ekonomi semata, namun juga melibatkan berbagai lembaga masyarakat. Menurut Mansour Fakih, dalam kata pengantar Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Simon, 2004), Gramsci membuka jalan selebar-lebarnya tentang gerakan civil society dari gerakan yang tadinya hanya terfokus pada gerakan buruh, kemudian berkembang sehingga terkait pula dengan teori Negara dan Civil Society yang secara kuat dianut oleh gerakan sosial (new social movement). Kekerasan dan Konsensus Hegemoni bukan saja hubungan dominasi dengan menggunakan kekerasan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004: 19). Maka, menurut Gramsci, untuk menggugah kesadaran kelas bawah atas penindasan yang mereka terima, bukanlah dengan perlawanan fisik, akan tetapi melalui sistem yang semula menjadi alat untuk menindas mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Pramono (2012: 79) bahwa Gramsci mengusulkan kembali refleksi transendental sebagai jalan keluar. Sehingga konsensus yang semula disepakati sebagai jalan penindasan pada akhirnya dikembalikan menjadi konsensus akan kesetaraan hak-hak manusia. Konsensus bisa diciptakan melalui tradisi, sosial, dan agama. Dalam konteks isu perempuan, kita dapat melihat bagaimana agama seringkali menjadi konsensus akan rendahnya martabat perempuan di hadapan Tuhan. Bagi pandangan ini, fitrah perempuan memang diciptakan secara tidak sempurna dibandingkan laki-laki. Konsensus semacam itu digencarkan oleh agamawan dengan klaim kebenaran tunggalnya. Dan konsensus itu justru mendapat persetujuan oleh perempuan sendiri sebagai sebuah kelas yang didiskriminasi. Hegemoni sebagai Sebuah Konsep Kepemimpinan Gramsci menganggap bahwa hegemoni mencakup peran kelas penindas beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh. Hegemoni tidak tercipta dengan sendirinya tanpa sebuah konsep besar di belakangnya. Hegemoni dijalankan dengan persetujuan dari kelaskelas bawah yang dikuasai. Untuk merebut hegemoni tersebut, dibu-
tuhkan pula sebuah konsep kepemimpinan yang mampu mengakomodir gagasan kelas bawah untuk kemudian diterapkan ketika kelas bawah berhasil memimpin. Hegemoni tidak hanya dominasi kelas atas terhadap kelas bawah, tetapi juga merupakan konsep penggugah kesadaran kaum yang ditindas akan pentingnya mengubah dan memperjuangkan ketidaksetaraan manusia menjadi sebuah keadaan yang lebih setara, adil dan mapan. Revolusi Pasif Revolusi pasif merupakan respon yang dilakukan oleh kaum penindas/borjuis ketika kekuasaannya terancam, sehingga perlu dilakukan proses pengorganisasian kembali secara menyeluruh dalam rangka membangun kembali hegemoninya (Simon, 2004: 25). Ketika kesadaran kelas bawah mulai tergugah akan pentingnya perlawanan terhadap kelas atas, akan muncul aksi perlawanan dari kelas bawah terhadap kelas atas melalui politik dan ideologi yang semula dijadikan kelas atas dalam menciptakan konsensus kekuasaan. Dalam kondisi ini, kelas atas akan terus berusaha memperkuat pertahanannya. Dengan begitu, hegemoni merupakan bentuk kekuasaan yang tidak pernah memuaskan, sebab hegemoni akan terus meminta dan berusaha agar kekuasaan yang telah dimilikinya bisa terus dilanggengkan, maka dilakukanlah berbagai cara. Pada tataran ini, bagi Gramsci hal yang sangat penting dan perlu dilakukan oleh kalangan kelas bawah, meminjam istilah Simon (2004: 26), adalah revolusi anti-pasif (anti-passive revolution) di mana kelas bawah terus menerus memperkuat perjuangan yang bersifat demokratis-kerakyatan. Pemikiran Awam Menurut Gramsci, semua manusia pada dasarnya adalah makhluk filosof, namun cara manusia mempersepsikan dunia selalu berbedabeda karena rekaman-rekaman kehidupan mereka berasal dari sumber-sumber dan masa lalu yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itulah, ada masyarakat yang tidak menyadari bahwa ia sedang dalam keadaan ditindas, ia mendukung keadaan tersebut namun sesungguhnya ia ditindas oleh keadaan tersebut. Inilah yang disebut sebagai pemikiran awam (common sense) yang berhasil dimanfaatkan oleh kalangan penindas untuk menggencarkan kekuasaan mereka dan memberi pemahaman kepada kaum yang ditindas bahwa penindasan merupakan sebuah fitrah, sebuah takdir Tuhan yang tidak dapat dilawan.
4 Amar Alfikar/Jurusan Sastra Indonesia 5 (2) (2016)
Watak Kekuasaan Gramsci menyatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah hubungan (Simon, 2004: 31). Artinya, sebuah kelas akan bergabung dengan kelompok sosial di bawahnya untuk melanggengkan kekuasaan mereka, sehingga kesan yang ditimbulkan adalah ideologi penindasan yang dibawanya seolah-olah merupakan ideologi yang bersahabat dengan kelas di bawahnya. Watak kekuasaan menyusup ke dalam lapisan sosial di bawahnya, membaur demi mendapat tempat di lapisan tersebut, kondisi demikian berhubungan erat dengan pemikiran awam, pemikiran awam akan mudah disusupi oleh watak kekuasaan yang memang mencari tempat di dalam pemikiran awam untuk melanggengkan kekuasaannya. Untuk melakukan perebutan kekuasaan tersebut, watak kekuasaan harus diubah menjadi sebuah wadah untuk mengakomodir segala kepentingan sosial tanpa adanya jurang kelas di dalamnya. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Teori yang digunakan adalah teori hegemoni Antonio Gramsci. Teori hegemoni tersebut dipakai sebagai pisau untuk membedah bagaimana agama dipolitisasi untuk mengesahkan kekuasaan lakilaki terhadap perempuan dan bagaimana konter yang dilakukan sebagai upaya untuk melawan politisasi agama tersebut yang terdapat di dalam masyarakat pesantren sebagai representasi sosial dalam novel PBS. Sasaran penelitian ini adalah sruktur cerita yang terungkap dalam kata, kalimat, dialog, dan wacana yang mengerucut pada tindakan politisasi agama serta usaha dan tindakan perlawanan terhadap politisasi agama tersebut yang kemudian menggambarkan pula dampak dari politisasi agama dan konter politisasi agama dalam novel PBS. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah teknik studi dokumentasi, yakni dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumentasi yang berkaitan dengan objek penelitian, dokumentasi yang digunakan adalah dokumen primer dan dokumen sekunder, dokumen primer merupakan dokumen yang ditulis langsung atau merupakan objek penelitian, sedangkan dokumen sekunder yaitu dokumen yang merupakan tulisan yang tidak ditulis langsung maupun bukan merupakan objek penelitian, melainkan tulisan-tulisan lain yang berhubungan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Praktik Politisasi Agama sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan Novel PBS merekam banyak praktik politisasi agama yang ada di balik tembok salah satu pesantren tradisional yang kemudian menjadi ruang di mana diskriminasi terhadap perempuan merupakan hal yang dibenarkan. Praktik politisasi agama tersebut mewujud dalam beberapa hal, yakni (1) pembenaran stereotip terhadap perempuan melalui agama, (2) ditutupnya ruang kritis terhadap gagasan ketidakadilan gender malalui patronasi kiai dalam pesantren, dan (3) pengajaran kitab-kitab klasik yang bias gender. Stereotip dalam novel PBS muncul dengan menyebut perempuan sebagai pihak yang tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi, cukup dengan mengaji. Seperti cuplikan berikut. “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kitab kuning.” (PBS, hlm. 90) Stereotip lain yang muncul dalam PBS adalah stereotip yang dilontarkan ayah Anisa yang kerap menunjukkan perbedaan dalam memperlakukan Anisa dan kedua kakak Anisa yang laki-laki. Selain setereotip yang muncul di ruang keluarga dan pesantren, novel PBS juga menghadirkan stereotip yang muncul dalam ruang sekolah formal Selain ruang pendidikan formal, ruang pendidikan keagamaan atau pesantren juga menjadi tempat di mana stereotip terhadap perempuan disebarkan. Dalam novel PBS, stereotip kerap muncul seperti dalam cuplikan berikut. Terbukti bahwa akal laki-laki melebihi perempuan, kata ustadz Ali yang menjadi badalnya bapak. Kemudian laki-laki banyak menjadi ulama dan imam besar maupun kecil, dan suka menulis, tulisan laki-laki lebih ilmiah daripada tulisan perempuan. Laki-laki juga banyak menjadi pemimpin besar dan hebat seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Ghazali. (PBS, hlm. 71) Dalam novel PBS, pondok pesantren yang dinaungi oleh Kiai Hanan, ayah Anisa adalah pondok pesantren tradisional di mana sistem pendidikan yang diberlakukan adalah sistem wetonan, materi pelajaran disampaikan secara monolog oleh guru ngaji. Model pengajaran yang demikian yang sejatinya ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada santri, tidak jarang disalahartikan sebagai sebuah proses untuk
Amar Alfikar/ Jurnal Sastra Indonesia 5 (2) (2016) 5
menutup ruang dialog antara guru dan murid. Seperti pada cuplikan berikut. Kiai Ali menikmati betul status dan posisinya sebagai seorang kiai sepuh yang dihormati dan ditaati perintahnya, dilaksanakan ajaran dan petuahnya secara membabi buta. Sami’na wa ato’na. Tak ada seorang sama sekali yang berani membantah atau mengkritik pendapatnya. Apalagi menyudutkan dan menolak alasan-alasan kadaluwarsa yang disampaikannya. (PBS, hlm. 86) Pada cuplikan lain, ibu Anisa justru secara terang-terangan mengatakan agar Anisa tidak mengajukan pertanyaan kritis kepada kiai Ali. Seperti pada cuplikan berikut. Jangan membikin ulah macam-macam di saat mengaji. Hormati Pak Kiai, dan jaga sopan santun. Tidak boleh bertanya yang aneh-aneh pada Kiai Ali. (hlm 93) Larangan ibu Anisa tersebut ditujukan ketika Anisa pertama kali menstruasi, menurut ibu Anisa, ketika perempuan sudah menginjak masa baligh yang ditandai dengan menstruasi, maka praktis perempuan dituntut untuk menjaga tingkah lakunya. Bagi ibu Anisa, kedewasaan perempuan ditunjukkan dengan cara tidak mendebat apa yang telah ditimpakan kepadanya. Abdurrahman Mas’ud (dalam Ma’arif, 2008: 75) mengungkapkan bahwa isi pengajaran kitab kuning yang diajarkan di pesantren sejatinya merupakan kitab-kitab yang menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Dan bukan hanya memberi akses pada santri tentang rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tetapi juga menunjukkan peran masa depan yang konkret, yakni cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan dan Tuhan. Dalam praktiknya, beberapa kitab klasik yang diajarkan dalam pesantren justru memuat mitos-mitos mengenai rendahnya derajat perempuan di hadapan Islam. Dalam novel PBS, banyak diungkapkan secara gamblang mengenai isi dari kitab-kitab tersebut yang bias gender dan mendiskreditkan perempuan baik dalam ranah domestik maupun publik. Abidah sebagai penulis PBS bahkan menyediakan dua lembar utuh mengenai materi bias gender tersebut sebagai bentuk penekanan betapa rendahnya derajat perempuan yang kemudian disahkan sebagai sebuah takdir Tuhan. Konter terhadap Politisasi Agama
Kontra hegemoni dalam novel PBS dipraktikkan dalam bentuk mengembalikan agama kepada makna yang sesungguhnya, yakni agama dalam hal ini Islam sebagai ruang pembebasan terhadap perempuan. Agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berpijak pada kesetaraan derajat manusia di mata Tuhan tanpa memandang jenis kelamin, kelas sosial, dan lain sebagainya. Dalam PBS, bentuk kontra hegemoni atau konter politisasi berupa (1) pengungkapan sejarah perempuan-perempuan hebat dalam Islam, (2) tindakan pembebasan perempuan dari batas domestik, (3) penggugahan kesadaran tentang hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, (4) memberikan hak kepada perempuan untuk menentukan masa depannya sendiri, dan (5) menggali realitas islam sebagai agama ramah terhadap perempuan. Dampak dari Praktik Politisasi Agama Dampak dari adanya praktik politisasi agama sebagai alat legitimasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, yakni berupa perlakuan terhadap perempuan baik di ranah domestik, ranah individu, maupun rahan publik, baik yang menimpa Anisa maupun tokoh perempuan lainnya. Yaitu: (1) diskriminasi terhadap anak perempuan, (2) masa depan perempuan yang terbelenggu, (3) pernikahan yang dipaksakan, dan (4) hak dan kewajiban istri yang tidak proporsional. Dampak dari Konter Politisasi Agama Tindakan-tindakan konter terhadap politisasi agama memiliki berbagai dampak yang berwujud tindakan dan respon para tokoh dalam novel PBS. Beberapa dampak tersebut di antaranya adalah (1) Munculnya Semangat Pendidikan, (2) Musyawarah sebagai kunci pernikahan, (3) pembebasan perempuan melalui diskusi, dan (4) perempuan mendapatkan haknya untuk merdeka. Konter terhadap politisasi agama tidak hanya berwujud respon dan perubahan positif, namun berwujud pula respon negatif seperti yang ditunjukkan kiai Ali yang menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap dalil misoginis merupakan bentuk pemikiran kafir. Berbagai dampak konter politisasi agama yang beragam itu telah dibahas oleh Gramsci yang menjelaskan secara rinci mengenai berbagai bentuk respon dan dampak dari gerakan perlawanan terhadap hegemoni atau biasa disebut dengan counter-hegemony. Bagi Gramsci, perlawanan yang dilakukan kelas bawah terhadap kelas atas tidak selalu berujung pada keberhasilan kelas bawah secara langsung, ada fase-fase
6 Amar Alfikar/Jurusan Sastra Indonesia 5 (2) (2016)
di mana kalangan intelektual menghadapi apa yang disebut dengan krisis organik, revolusi pasif, hingga pertahanan kekuasaan. Dalam novel PBS, semua fase itu juga dialami beberapa tokoh seperti Anisa yang bermetamorfosis dari gadis kecil yang hanya mampu diam ketika menghadapi lingkungannya yang misoginis meskipun batinnya melawan, hingga akhirnya tumbuh besar dengan mimpi-mimpinya tentang masa depan, lalu pasa suatu waktu terpaksa harus menikah dengan Samsudin yang memperlakukannya dengan buruk, dan akhirnya Anisa mampu melawan dan bebas dari Samsudin serta lingkungan yang semula mengekangnya dari kemerdekaan dan keadilan hidup yang sesungguhnya. PENUTUP Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy dengan menggunakan kajian hegemoni Antoni Gramsci, dapat diambil simpulan sebagai berikut: Pertama, hegemoni merupakan gerakan persuasif yang dilakukan kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan. Proses hegemoni tersebut dilakukan dengan berbagai media. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, hegemoni digunakan untuk membatasi hak-hak perempuan di ranah publik dan domestik, hegemoni tersebut digerakkan melalui politisasi agama di dalam tradisi kepesantrenan. Bentuk politisasi agama tersebut yakni (1) pembenaran stereotip terhadap perempuan melalui agama, (2) ditutupnya ruang kritis terhadap gagasan ketidadilan gender melalui patronasi kiai dalam pesantren, dan (3) pengajaran kitab-kitab klasik yang bias gender. Kedua, kesadaran civil society tentang keadilan dan kemerdekaan manusia menjadikan hegemoni melahirkan arus baru berupa konter hegemoni, konter hegemoni diinisiasi oleh kelompok intelektual untuk mendidik masyarakat tertindas yang kemudian diajak untuk berjuang bersama dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penguasa. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, gerakan konter hegemoni dilakukan melalui penolakan terhadap politisasi agama, bentuk penolakan tersebut berwujud dalam berbagai tindakan, yakni (1) meneladani perempuan-perempuan hebat dalam sejarah islam, (2) membebaskan perempuan dari batas domestik, (3) menggugah kesadaran tentang hak-hak reproduksi perempuan dalam islam, (4) memberikan
hak kepada perempuan untuk menentukan masa depannya sendiri, dan (5) menggali realitas islam sebagai agama ramah terhadap perempuan. Ketiga, setiap tindakan dan proses pertentangan kelas, baik hegemoni maupun konter hegemoni, memiliki dampaknya masing-masing. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, hegemoni yang dilakukan melalui politisasi agama memiliki berbagai dampak, yakni (1) diskriminasi terhadap anak perempuan, (2) masa depan perempuan yang terbelenggu, (3) pernikahan yang dipaksakan, dan (4) hak dan kewajiban istri yang tidak proporsional. Sementara konter terhadap politisasi agama memiliki dampak yang beragam yang secara garis besar dapat dikategorikan dalam hal positif dan negatif. Hal positif berwujud dalam (1) munculnya semangat pendidikan, (2) adanya musyawarah yang terbangun dalam pernikahan, (3) perempuan yang terbebaskan melalui diskusi, dan (4) kemerdekaan perempuan dalam mendapatkan hak-haknya. Sedangkan hal negatif yakni berupa tuduhan kafir yang ditujukan kepada kalangan intelektual yang melakukan kritik terhadap penafsiran agama bias gender. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam perjuangan melawan hegemoni. Saran Berdasarkan simpulan tersebut, saran yang dapat dikemukakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti sastra yang melakukan kajian terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban dengan pendekatan dan teori yang sama, terlebih dengan pendekatan dan teori yang berbeda sehingga dapat semakin memperkaya kajian kesusastraan Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah mengenai pandangan Islam yang lebih progresif dan humanis sehingga kesusastraan tidak sekadar sebagai medium estetika semata, namun juga penyampai pesan yang universal dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. DAFTAR PUSTAKA Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Jalasutra: Yogyakarta. Bates, Thomas R. 1975. Gramsci and the Theory of Hegemony. Journal of the History of Ideas. Vol 36 no 2: 351-366. Bell, Catherine. 1992. Ritual Theory, Ritual Practice. Oxford University Press: New York. Brown, Trent. 2009. Gramsci dan Hegemoni. International Journal of Socialist Renewal. http://
Amar Alfikar/ Jurnal Sastra Indonesia 5 (2) (2016) 7 links.org.au/node/1351 (diakses pada tanggal 1 September 2013). Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta. El Khaleqy, Abidah. 2008. Perempuan Berkalung Sorban (Edisi Revisi). Arti Bumi Intaran: Yogyakarta. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Medi Pressindo: Yogyakarta. Espostio, John L. 2010. Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat. Mizan: Bandung. Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. _____. 2012. Metode Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta _____. 1993. Kebudayaan & Agama. Terjemahan Fransisco Budi Hardiman. Kanisius: Yogyakarta. Ghazali, M. Bahri. 2002. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Prasasti: Jakarta. Haerudin, Mamang Muhammad. 2012. Jihad untuk Perempuan: Dekontsruksi Wacana Bias Gender. http://catatanmamang.blogspot. com/2012/01/jihad-untuk-perempuan.html (diakses pada tanggal 8 September 2014). Haryatmoko. 2004. Etika Politik dan Kekuasaan. Kompas: Jakarta. Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Hanindita Graha Widia: Yogyakarta. Jatmiko, Heru Wahyu. 2008. Negara dan Masyarakat Sipil: Perspektif Hegel, Marx Dan Gramsci. (diakses pada tanggal 10 Agustus 2013) Jurnal Perempuan. 2011. Hak-hak asasi perempuan: Sebuah Panduan Konvensi-konvensi Utama PBB tentang Hak Asasi Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan. Kurniawan, Heru. 2008. Relasi Formatif Hegemoni Gramsci dalam Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Kusumawati, Meliana Ade. 2011. Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan Bali: Kajian Hegemoni dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Liftschitz, Mikhail., Leonardo Salamini. 2004. Praksis Seni: Marx & Gramsci. Alinea: Yogyakarta. Ma’arif, Syamsul. 2008. Pesantren vs Kapitalisme Sekolah. Need’s Press: Semarang. Mernissi, Fatima. 2008. Perempuan-perempuan Harem. Terjemahan Ahmad Baiquni. Mizan Pustaka: Bandung. Muhammad, Husein. 2011. Ijtihad Kyai Husein: Upa-
ya Membangun Keadilan Gender. Rahima: Jakarta. Muzakka, Ahmad. 2010. Perjuangan Perempuan Melawan Hegemoni Patriarki dalam Novel Perempuan Berkalung Surban karya Abidah elKhlieqy. Skripsi. Universitas Diponegoro. Prabaningrum, Dyah. 2012. Peran Intelektual Organik dalam Perlawanan Hegemoni pada Novel Kali Code Pesan-pesan Api Karya Mustofa W. Hasyim: Kajian Hegemoni Antonio Gramsci. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Pramono, Made. 2003. Melacak Basis Epistemologi Antonio Gramsci. Dalam Listiyono Santoso dkk. Epistemologi Kiri. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta. Qurtubi, Sumanto. 2009. Jihad Melawan Ekstremis Agama, Membangkitkan Islam Progresif. Borobudur Indonesia Publishing: Semarang. Qardhawi, Yusuf. 2002. Fatwa-fatwa Kontemporer. Gema Insani Press: Jakarta. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. ____________________. 2007. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Republika. 2011. Hindun binti Utbah, Pejuang Perang Yarmuk. http://www.republika.co.id/berita/ dunia-islam/khazanah/11/07/12/lo66f7wanitawanita-teladan-hindun-binti-utbahpejuang-perang-yarmuk (diakses pada tanggal 1 September 2014) Relawati, Rahayu. 2011. Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender. Muara Indah: Bandung. Riley, Dylan J. 2011. Hegemony, Democracy, and Passive Revolution in Gramsci’s Prison Notebooks. California Italian Studies. Simon, Roger. 2004. Gagasan gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Siswantoto. 2010. Metode Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. LkiS: Yogyakarta. Yanuardi, Dian. 2008. Jalan Hegemoni: Meraba Arah Bagi Gerakan Sosial. (diakses pada tanggal 15 Agustus 2013) Yati, Lili Suherma. 2009. Membaca Ideologi dalam Cerita Sri Sumarah: Sebuah Analisis Hegemoni Gramsci. Jurnal Ilmiah Praktisi Pendidikan. Univesitas Baturaja. Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Jender. Penerbit Buku Kompas: Jakarta Wikipedia. 2014. One Thousand and One Nights. http://en.wikipedia.org/wiki/One_Thousand_and_One_Nights. (diakses pada tanggal 1 September 2014)