Jokowi Berhadapan Dengan Debt Collectors. --------Analisis sdr Masdar Hilmi (Kompas 25 Februari) bagus. Analisis tersebut berpotensi membantu kita mengerti posisi dan langkah serta gerak politik Jokowi yang berbeda dengan harapan banyak orang sebelum mantan Wali Kota Solo itu menjadi Presiden kita. Tapi bagi mereka yang mempelajari politik dan dinamika pengelolaan kekuasaan dalam sejarah politik Indonesia, kejadian yang menimpa Jokowi ini sebenarnya tidak perlu mengejutkan. Kita tentu semua masih ingat bagaimana Jokowi menampik kemungkinan menjadi presiden pada bulan-bulan pertama masa jabatannya sebagai Gubernur Jakarta. Aneh, di tengah-tengah banyak yang amat berhasrat menjadi Presiden, seorang yang amat populer terus-menerus menghindar dicalonkan sebagai Presiden.Nah, sekarang bisa ditebak mengapa Jokowi dulu menolak harapan dan dukungan orang banyak tersebut. Sebagai orang yang cerdas, Jokowi yang berpengalaman sebagai wali kota dan gubernur, tahu akan sulit baginya memerintah jika dia tidak menguasai partai di DPR.Dia memang populer, tapi popularitas dalam sistim politik Indonesia tidak bisa diterjemahkan menjadi kekuatan di parlemen dalam sebuah negara yang "menganut" sistim hibrid, gabungan parlementer dan presidensial. Sebagai "kader" PDIP Jokowi akhirnya didorong menerima posisi capres dari PDIP yang calonnya (Ibu Megawati) "tidak laku lagi untuk dijual." Konon Mega tadinya masih berhasrat maju, tapi seandainya dia maju, survey pendapat umum menunjukkan dengan mudah capres Gerindra, Prabowo Subianto akan mengalahkannya. Atas desakan banyak tokoh senior PDIP, Megawati akhirnya menerima kenyataan dan merestui pencalonan Jokowi. Beberapa partai lain (Kini tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat, KIH) juga mengikuti jejak Megawati, karena mereka juga tidak punya capres yang meyakinkan untuk "dijual." Singkat cerita, secara bersama mereka berbaris berjajar di belakang Jokowi sebagai calon yang mereka unggulkan bersama. Jokowi yang populer mendapat lebih banyak suara dari pemilih di luar partai-partai yang mencalonkannya. Jokowi menang dan dengan pesta rakyat (Pertama kali dalam sejarah Indonesia) dia masuk Istana.Sedihnya, para pendukung (relawan dan lainnya) tidak punya kekuatan apa-apa di DPR, sehingga untuk menjalankan tugasnya memerintah, Jokowi terpaksa harus tergantung pada kekuatan - kekuatan politik di parlemen dari partai-partai yang mencalonkannya menjadi Presiden. Para pendukung dari luar partai, 1
boleh sibuk mengarak poster dukungan Kepada Jokowi di luar pagar gedung DPR. Kalau kita melihat kasus Jokowi dari titik tinjau ekonomi bisnis, maka pencalonan mantan Gubernur DKI menjadi Presiden itu -- di sadari atau tidak oleh Jokowi dan partai-partai pendukungnya -- sebenarnya adalah sebuah transaksi bisnis. Yang diperjual belikan adalah kekuasaan. Dalam hal ini posisi Jokowi adalah posisi orang berhutang (Debitor) sementara partai yang mencalonkannya (terutama PDIP dan Nasdem) berada dalam posisi pemberi hutang (kreditor). Nah, dalam proses transaksi tersebut, ketika para partai pendukung mempunyai agenda politik yang memerlukan dukungan sang Presiden (misalnya dalam kasus Budi Gunawan, Kasus Jaksa Agung Prastyo, serta sejumlah menteri dari partai-partai) maka posisi Jokowi yang lemah terpaksa berhadapan dengan Debt Collectors. Karena kenyataan demikian, kalau tidak ada terobosan politik dari Jokowi dalam waktu dekat, maka bisa dipastikan sang Presiden tidak akan pernah memenuhi janjinya dalam kampanye dulu. Ini berarti popularitasnya akan terus merosot. Sekarang saja sudah mulai terdengar keluhan kekecewaan kepada performance politik Jokowi. Ada yang berkesimpulan kwalitas sang Presiden hanya pantas untuk duduk sebagai wali kota dan paling banter sebagai Gubernur. Keluhan semacam ini melihat Jokowi sebagai tidak becus dan karena itu menjadi penyebab kekisruhan politik hampir dua bulan terakhir ini. Pada hal sebenarnya yang terjadi adalah sistim politik kita yang tidak akan pernah memungkinkan seorang Presiden populer, seperti seleberiti macam apapun, mengelola negeri ini jika dia tidak menguasai partai di Parlemen. Inilah penjelasan mengapa dulu Presiden Soeharto membangun Golkar dari Sekber Golkar, mengapa Jusuf Kalla "merebut" Golkar pada munas Bali. Ini mungkin juga menjelaskan mengapa Presiden Sukarno-- tidak menguasai partai dalam DPR-- melakukan politics balance of power dengan memanfaatkan PKI sebagai pengimbang TNI/ABRI di masa Demokrasi Terpimpin dulu. Bung Salim.
Jebakan Politik Patrimonialisme Rabu, 25 Februari 2015 | 15:02 WIB KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT 2
Presiden Joko Widodo (tengah) menyampaikan penjelasan terkait keputusan tentang calon Kepala Polri serta pimpinan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (18/2), di Istana Merdeka, Jakarta. Presiden mengajukan nama baru calon Kapolri ke DPR, yaitu Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, dan menunjuk tiga nama baru pelaksana tugas pimpinan KPK. Oleh: Masdar Hilmy JAKARTA, KOMPAS - Ketaktegasan Presiden Joko Widodo mengambil keputusan tentang siapa yang bakal mengisi jabatan Kepala Polri beberapa waktu lalu sempat mengirimkan sinyalemen bahaya politik patrimonialisme yang mengintainya setiap saat. Hal ini sekaligus menjadi anomali bagi karakter politik Jokowi yang selama ini dikenal cekatan, lugas, dan tegas dalam mengambil tindakan dan kebijakan politik. Ada kesan Jokowi tidak otonom lagi, tersandera tarikan kepentingan yang dikendalikan oleh figur patron yang cukup berpengaruh terhadapnya. Awalnya adalah kasus pencalonan Budi Gunawan (BG) yang benar-benar membuat Jokowi "mati gaya". Dalam kasus ini, Jokowi terkesan sedang tak mewakili dirinya sendiri karena dia telah memberikan terlalu banyak ruang bagi pihak lain untuk "bermain" di wilayah yang semestinya menjadi hak prerogatifnya. Selain itu, kasus ini terbukti memberi efek domino yang cukup dahsyat dalam bentuk "benturan" KPK-Polri. Silang sengkarut perseteruan keduanya niscaya tidak akan terjadi seandainya Jokowi mampu mengatasi jebakan politik patrimonialisme dengan baik. Politik "sungkanisme" Jika kebanyakan kasus politik patrimonialisme distimulasi oleh perebutan sumber daya (Tod Jones, 2013:5), pada kasus Jokowi lebih didorong oleh politik "sungkanisme" antara sang klien dan sang patron. Politik sungkanisme lebih banyak mengerangkai kesadaran eksistensial Jokowi sebagai orang Jawa. Politik patrimonialisme semacam ini membuat klien dalam posisi tidak otonom, tidak mandiri, dan terjebak pada pusaran kepentingan yang dapat menenggelamkan independensi sang klien dalam bertindak. Dalam politik patrimonialisme, sang klien dengan sadar mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, tersubordinasi oleh kedigdayaan sang patron yang karismatik. Akibatnya, pola relasi patron-klien berjalan tak berimbang. Bandul pendulum lebih banyak bergerak ke arah sang patron ketimbang sang klien. Pola relasi di antara keduanya bersifat menekan ke arah sang klien, bukan sebaliknya. Pola relasi semacam ini hanya ada 3
dalam tradisi birokrasi tradisional ketimbang birokrasi modern yang mengandaikan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan transparan-akuntabel (Crouch, 1978; Mackie & MacIntyre, 1994). Dalam konteks lembaga keagamaan atau organisasi non-negara, melembaganya pola relasi patrimonialistik mungkin tidak menimbulkan banyak persoalan. Namun, jika politik patrimonialisme bekerja dan bertransmutasi ke lembaga publik, yang terancam bukan eksistensi sang patron atau klien secara pribadi, melainkan kepentingan seluruh bangsa. Hal ini karena distribusi kepentingan publik dapat tersendat akibat pembelokan kepentingan oleh sang patron ke pihak-pihak tertentu yang dikehendaki. Pada awalnya, pengaspirasian kepentingan tertentu oleh sang patron kepada klien mungkin tak dimaksudkan bentuk intervensi. Bisa saja aspirasi tersebut dimaksudkan second opinion yang tidak memiliki dampak koersif. Namun, akibat pola relasi yang tak berimbang tersebut, sang patron tidak memiliki kapasitas intrinsik untuk mengatasi tekanan psikologis dengan mengatakan "tidak" kepada sang patron. Akibatnya, sang klien mendadak kehilangan kemerdekaannya menjadi diri sendiri. Jika aspirasi dimaksud tak terpenuhi, yang muncul adalah perasaan tak nyaman yang begitu menyiksa dan menghantui sang klien. Pola relasi patron-klien bekerja di atas sejumlah basis legitimasi; bisa keagamaan, nilai-nilai tradisi, ataupun basis material. Sebagai bangsa timur yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, Jokowi jelas akan sangat menghormati orang atau pihak-pihak yang telah berjasa mengantarkannya pada posisi sekarang ini. Sudah barang tentu dia tidak mau dikatakan orang yang tak tahu diuntung, mudah melupakan jasa orang lain, tidak mau berbalas budi, dan semacamnya. Berbuat baik kepada orang-orang yang telah berjasa kepada kita adalah sebentuk penghormatan yang diafirmasi oleh nilai-nilai budaya ketimuran. Akibatnya, jadilah Jokowi berada pada posisi yang dilematis, terbelenggu oleh kepentingan di luar dirinya. Seperti yang pernah saya tulis (Kompas, 27/3/2013), sejarah politik bangsa ini seakan tak bisa lepas dari belenggu patrimonialisme. Asumsi yang sama juga dicatat oleh sejumlah ilmuwan (Howard Crouch, 1979; Benedict Anderson, 2006) yang menegaskan, sistem politik Indonesia—di bawah rezim Sukarno dan Soeharto—sangat diwarnai politik patrimonialisme yang berakar kuat dari tradisi kerajaan-kerajaan Jawa sebelumnya. Struktur sosial-politik di negeri ini diprediksi akan tetap berada di bawah bayang-bayang politik (neo)patrimonialisme dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Melepaskan belenggu
4
Tumbangnya rezim Orde Baru dan datangnya era Reformasi semestinya menjadi penanda berakhirnya budaya politik patrimonialisme. Namun, mengikis budaya politik patrimonialisme tidak semudah membalik telapak tangan karena tiga hal. Pertama, struktur sosial-politik belum terdefinisikan secara baik sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi. Kedua, politik patrimonialisme berakar kuat pada budaya kolektif sebagai penyangga budaya ketimuran. Ketiga, struktur sosial-politik patrimonialistik menjadi alat efektif pendistribusian sumber daya (resources channeling) yang memungkinkan terciptanya kondisi ketergantungan. Guna mengakhiri tradisi politik patrimonialisme dan melepaskan diri dari kerangkeng tarikan kepentingan, tidak ada pilihan bagi Jokowi kecuali melakukan hal-hal berikut. Pertama, membuang politik sungkanisme jauh-jauh dari kamus kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, tidak terpenuhinya aspirasi orang-orang yang telah "membesarkan" Jokowi tidak berarti dia melakukan pelanggaran etika dan fatsun politik yang santun. Penolakan Jokowi terhadap aspirasi tertentu bisa dibungkus melalui komunikasi dan argumentasi yang arif dan elegan dalam kerangka tradisi ketimuran. Kedua, memisahkan antara otoritas nonformal dan formal yang melekat dalam dirinya selaku presiden. Jika otoritas formal menyangkut posisinya sebagai pejabat publik yang berimplikasi pada tata kelola kelembagaan negara dan kepentingan publik, otoritas nonformal menyangkut kehidupan dirinya secara privat dan tidak berdampak secara publik. Memang bukan perkara mudah memisahkan keduanya. Dalam banyak kasus, inilah tantangan terberat bagi para pemimpin bangsa ini sebelumnya. Ketiga, menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai panduan untuk mengambil tindakan dan kebijakan publik. Jika hal ini dilakukan secara baik, niscaya Jokowi tidak perlu mencari legitimasi politik dari sejumlah tokoh "lawan" politik untuk dimintai pendapatanya. Tidak perlu pula dia membentuk Tim 9—di samping Wantimpres—untuk sekadar mengambil sebuah keputusan "kecil" dalam kasus pencalonan BG. Pelibatan banyak pihak oleh Jokowi di balik pencalonan BG sungguh telah membuang banyak waktu berharga, selain menguras energi bangsa secara percuma. Masdar Hilmy Dosen dan Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
5