Puri Rodriganda JILID II Diterbitkan pertama kali oleh Pradnya Paramita (1981). Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit. E-BOOK OLEH
PAGUYUBAN KARL MAY INDONESIA http://www.indokarlmay.com The site for fellow pacifists
BAB I STERNAU, DOCTOR MEDICUS
DISALIN OLEH DEBORA CHANG UNTUK
PAGUYUBAN KARL MAY INDONESIA http://www.indokarlmay.com The site for fellow pacifists
BAB I STERNAU, DOCTOR MEDICUS Semenjak terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam buku yang lampau, setengah tahun telah berlalu. Dari arah pegunungan Pirenea bagian selatan, datanglah seorang penunggang kuda menuju ke arah kota lama Spanyol yang kenamaan itu, Kota Manresa (di propinsi Barcelona). Ia mengendarai kuda yang luar biasa kuatnya. Itu perlu juga, karena penunggangnya pun bertubuh besar serta kuat pula. Dan sesuai dengan pengalaman kita, bahwa orang-orang yang bertubuh kuat seperti dia itu mempunyai jiwa yang lembut, yang suka damai, maka wajah orang yang terbuka dan menimbulkan kepercayaan ini tidaklah membayangkan kesan, bahwa ia dapat menyalahgunakan kekuatan tubuhnya itu. Rambut yang pirang dan raut mukanya menunjukkan bahwa ia bukanlah orang dari daerah selatan. Usianya baru kira-kira tiga puluh tahun, tetapi sikap yang menunjukkan ketenangan, banyak pengalaman, dan kepercayaan kepada diri sendiri membuat dia kelihatan lebih tua. Bajunya berpotongan Perancis terbuat dari cita yang halus dan di belakang pelana diikatkan sebuah tas yang berisi barang-barang yang dianggap sangat penting oleh penunggang kuda itu, sehingga setiap kali ia meraba untuk memastikan barang itu masih ada padanya. Sesampainya di Manresa, hari sudah siang. Ia menempuh lorong-lorong sempit dan tiba di plaza. Di situ perhatiannya tertarik kepada sebuah rumah tinggi yang baru didirikan. Di atas pintu tertulis dengan huruf-huruf keemasan, “Hotel Rodriganda”. Ia
tampak tergesa-gesa sekali dan tidak hendak tinggal di Manresa. Namun ketika dibacanya tulisan tadi, ia menghentikan kudanya di hadapan pintu gerbang hotel dan turun dari atas kudanya. Ketika ia berdiri, kita baru dapat mengaguminya dengan sungguh-sungguh. Meskipun mula-mula tubuhnya tampak besar sekali, namun kesan ini kini berkurang, melebur secara harmonis dengan sifat-sifat tubuh yang lain yang mendatangkan rasa kagum dan segan kepada orang yang melihatnya. Beberapa orang pelayan menyambut dengan segala hormat. Ia menyerahkan kudanya, lalu masuk ke dalam ruangan yang diuntukkan bagi tamu-tamu terkemuka. Hanya ada seorang di dalam ruangan itu, yang langsung menyambutnya dengan hormat. “Buenas tardes—selamat sore!” salam orang asing itu. “Buenas tardes!” jawab orang itu. “Saya pemilik hotel ini. Anda hendak bermalam?” “Tidak. Saya hanya akan memesan makanan kecil dan minum anggur!” Pemilik hotel segera meneruskan pesanan itu kepada orangorangnya, lalu bertanya, “Jadi Anda tidak hendak bermalam di Manresa.” “Saya ingin melanjutkan perjalanan ke Rodriganda. Berapa jauh dari sini?” “Sejam perjalanan dari sini, Senor. Tadi kelihatan Anda ingin melampaui hotel kami begitu saja.” “Memang,” jawab orang asing itu. “Nama hotel Anda membuat saya mengubah rencana saya. Apa sebab Anda menamakan rumah Anda ‘Rodriganda’?” “Karena saya pernah menjadi abdi Pangeran selama bertahuntahun dan berkat kebaikannya saya dapat mendirikan hotel ini.” “Jadi Anda mengenal baik keadaan Pangeran?”
“Baik sekali.” “Saya seorang dokter dan maksud saya pergi ke Pangeran. Maka saya ingin mendengar sesuatu tentangnya. Siapa-siapakah yang dapat saya jumpai di Puri Rodriganda?” Pemilik hotel tampak suka sekali berbicara pada sore hari yang sepi itu. Maka ia menjawab, “Saya suka sekali memenuhi keinginan Anda. Saya dengar dari ucapan kata-kata Spanyol yang Anda gunakan, bahwa Anda adalah orang asing. Apakah Anda diundang Pangeran yang sedang sakit itu untuk mengobatinya?” Orang asing itu menggoyang-goyangkan kepala sedikit, karena agak ragu-ragu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Kemudian ia berkata, “Memang benar perkiraan Anda. Saya ini orang Jerman dan namaku Sternau. Sudah lama saya menjabat sebagai pembantu pertama profesor Letourbier di Paris. Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk secepatnya berkunjung ke Rodriganda.” “Sayang. Mungkin Anda tidak sempat menjumpai Pangeran dalam keadaan hidup. Sejak beberapa waktu beliau menderita penyakit mata yang tidak tersembuhkan menurut dokter. Lagipula akhir-akhir ini beliau menderita penyakit kencing batu, yang sangat banyak mendatangkan rasa nyeri dan sangat berbahaya itu. Hanya pembedahan dapat menyelamatkan nyawanya. Beliau rela menjalani pembedahan ini, lalu datanglah dua ahli bedah termasyhur untuk membedahnya. Namun keinginan beliau itu ditentang oleh putri tunggal beliau, yaitu Condesa Roseta. Para dokter tidak dapat menunggu dan kemarin saya dengar, bahwa pembedahan akan dilakukan hari ini juga.” “Wah! Kalau begitu saya terlambat!” seru orang asing itu lalu bangkit. “Saya harus berangkat sekarang juga. Masih ada ke-
mungkinan saya belum terlambat.” “Saya pun berpendapat demikian. Tak ada dokter yang bersedia melakukan pembedahan seperti itu pada waktu magrib. Lagipula mereka masih belum berani melakukan pembedahan itu, karena pekerjaan itu selalu ditentang oleh Condesa, meskipun para dokter dan terutama putra Pangeran tidak akan menundanunda.” “Jadi Pangeran Manuel de Rodriganda Sevilla mempunyai seorang putra?” “Benar. Seorang putra tunggal bernama Pangeran Alfonso, yang lama pernah tinggal pada pamannya, seorang tuan tanah di Meksiko. Ia dipanggil pulang oleh ayahnya ketika penyakit mata ayahnya ternyata tidak tersembuhkan.” “Kenalkah Anda pada Mindrello?” “Tentu saja. Setiap orang mengenalnya. Mindrello seorang yang miskin tetapi jujur. Ia disangka kadang-kadang melakukan pekerjaan menyelundup. Karena itu juga ia diberi nama Mindrello penyelundup. Namun ia dapat dipercaya. Hatinya lebih baik daripada banyak di antara mereka yang memandang rendah kepadanya.” “Terima kasih, Senor. Setelah mendengar segala keterangan Anda, saya tidak boleh tinggal lebih lama lagi di sini. Selamat sore!” “Selamat sore, Senor! Saya harap Anda tidak akan datang terlambat.” Sternau membayar dan menyuruh menyediakan kudanya, lalu pergi mengendarai kuda itu. Hari sudah menjelang malam, sehingga sukar baginya untuk sampai di Rodriganda sebelum gelap. Sambil mengendarai kuda dikeluarkannya dari dalam saku sepucuk surat, dan dibukanya.
Meskipun sudah berkali-kali dibaca masih ingin juga ia membacanya sekali lagi. Surat itu ditulis oleh seorang wanita, demikianlah bunyinya, “Rodriganda, 16. 5. 1848. Kepada Tuan dr. Sternau, Paris, 24 rue Vaugiraid. Kawan yang baik! Kita sebenarnya telah berpisah lama. Akan tetapi beberapa peristiwa telah terjadi, yang menyebabkan kehadiran Anda di sini sangat diperlukan. Anda harus menyelamatkan jiwa Pangeran Rodriganda! Datanglah secepat mungkin, dan bawalah serta alat-alat kedokteran Anda! Hubungilah Mindrello, penyelundup itu dan tanyakan tentang saya! Sekali lagi permohonan saya, supaya Anda lekas datang. Kawan Anda, Roseta.” Setelah dibacanya surat itu, lalu dilipat lagi dan disimpan ke dalam sakunya. Kini jalannya melalui hutan pohon eik, namun tidak dilihatnya pohon-pohon yang tumbuh di tepi jalan itu. Pikirannya melayang-layang ke Kota Paris, ketika ia pertama kali bertemu dengan gadis penulis surat itu. Kejadian itu berlangsung di Jardin des Plantes (Kebun Raya), ketika ia tiba-tiba melihatnya di balik serumpun tumbuh-tumbuhan sedang duduk termenung di atas sebuah bangku. Terpesona oleh kecantikan gadis yang luar biasa itu, maka ia tertegun sejenak. Gadis itu berdiri dan kini kecantikannya bertambah lagi. Belum pernah dilihatnya seorang gadis yang begitu cantik, begitu sempurna, yang dianggap sebagai tidak mungkin. Ia, sebagai seorang dokter berpengalaman, merasa nadinya berhenti berdenyut dan jantungnya memeras darahnya ke pelipis dan pipi. Saat itu merupakan saat bersejarah baginya—dan bagi gadis itu
juga. Mereka saling mencintai, meskipun cinta itu menemui jalan buntu. Dokter itu hanya boleh bertemu dengan kekasihnya di dalam taman itu saja. Gadis itu menurut pengakuannya, seorang dayang Condesa (= putri) Roseta de Rodriganda Sevilla, bersama ayahnya yang buta tinggal di Paris dan dayang condesa telah mengangkat sumpah, tidak akan menikah selama hidupnya. Apakah alasannya berbuat demikian, tidak dikatakannya juga. Dokter itu sangat berbahagia mengetahui, bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan, namun ia merasa sedih mengingat keputusan yang diambil kekasihnya mengubah pendiriannya. Ia memohon dan membujuk. Gadis itu menangis, tetapi bertahan pada pendiriannya semula. Kemudian gadis itu pergi dan dokter harus berjanji, tidak akan menanyakan tentang dia. Semenjak itu tiada henti-hentinya ia memerangi kesedihan hatinya. Kemudian ia menerima surat ini. Ia membaca dan badannya gemetar. Tanpa merundingkan dengan seseorang lagi, ia mengemasi alat-alat yang diperlukan, lalu berangkatlah ia, memenuhi permintaan kekasihnya. Ia melarikan kuda sekencang-kencangnya, sehingga pada saat matahari terbenam ia sudah tiba di desa Rodriganda. Desa itu tampak lebih baik dan lebih ramah daripada desadesa Spanyol pada umumnya. Jalan-jalannya lebar serta bersih. Rumah-rumahnya dengan kaca jendela yang seolah-olah mengajak para tamu singgah sebenar. Itu merupakan suatu tanda, bahwa Pangeran Manuel de Rodriganda y Sevilla bukan hanya pandai memerintah, tetapi juga senantiasa berusaha menambah kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya. Sternau menanyakan kepada seseorang yang dijumpainya, di mana rumah Mindrello. Orang itu menunjuk rumah yang terle-
tak di ujung desa. Di hadapan rumah itu Sternau menghentikan kuda dan turun, lalu masuk ke dalam rumah. Penghuni rumah sekeluarga sedang makan malam. “Apakah di sini rumah Mindrello?” tanya Sternau kepada seseorang. “Benar, Senor, itu saya sendiri!” jawab orang itu, sambil bangkit dari kursi. Orang itu bertubuh tegap dan kuat. Pada roman mukanya dapat dilihat, bahwa ia seorang yang jujur dan dapat dipercaya. “Kenalkah Anda pada dayang Condesa Rodriganda?” “Siapakah namanya?” tanya orang Spanyol itu dengan wajah tegang. “Roseta.” “Astaghfirullah, kalau begitu Anda Senor Sternau dari Paris.” “Benarlah demikian.” Maka mereka sekeluarga bangkit dari kursi masing-masing dan berjabat tangan dengan Sternau dengan muka berseri-seri. Anak-anak yang kecil pun turut berdiri dan memberanikan diri mengulurkan tangan kepada tamunya. “Kami semua bergembira pada kedatangan Anda!” seru Mindrello. “Anda datang tepat pada waktunya. Condesa, maksud saya Nona Roseta dayang itu, sedang resah hatinya. Segera akan saya beritakan kepadanya.” “Apakah Pangeran hari ini juga sudah mengalami pembedahan?” “Belum. Condesa mohon dan berdoa, supaya jangan dikerjakan hari ini. Tetapi besok pekerjaan itu pasti tidak dapat ditunda lagi. Condesa yakin, bahwa Anda akan datang, Senor.” “Kalau begitu Condesa mengetahui juga tentang surat yang ditulis oleh dayangnya itu.”
“Hm, ya, benar Condesa pasti mengetahui,” jawab orang Spanyol itu agak kemalu-maluan. “Tetapi untuk hari ini sudah kami sediakan kamar untuk Anda di loteng, kamar yang ada bunga-bungaan di muka jendelanya. Akan saya antarkan Anda ke situ dengan makanan malamnya, sebelum nona itu datang.” “Dan kuda saya?” “Dapat ditempatkan di rumah tetangga saya. Kuda akan diberi makan juga di situ. Maukah Anda mengikuti saya, Senor?” Mindrello mengantar Sternau naik tangga kecil ke sebuah kamar yang rapi bersih di loteng, langit-langitnya begitu rendah, sehingga dokter itu hampir menyentuh dengan kepalanya. Kemudian makanan diantar ke situ. Dalam pada itu Sternau dapat menikmati pemandangan puri melalui jendela kamar. Puri itu dibangun pada zaman ketika bangsa Arab memerintah di situ. Bentuknya seperti bujur sangkar luas, dihiasi dengan kubah-kubah yang sangat indah. Meskipun dinding-dindingnya tampak kukuh dan tegap, namun keseluruhannya dengan segala menara-menaranya yang cantik mungil menunjukkan kehalusan dalam cara membangun. Bangunan agung ini nampak cemerlang dikitari oleh hutan pohon eik yang gelap. Barangsiapa memandang pada saat matahari sedang terbenam dengan sisa-sisa warna merah di ufuk barat yang memesona, akan menyangka dirinya di alam dongeng. Tak lama kemudian senja berganti dengan malam. Puri dan desa diliputi oleh bayangan hitam. Sternau menyalakan lampu dan memeriksa alat-alat kedokteran yang diantarkan oleh Mindrello ke kamarnya di atas loteng sebelum ia membawa kuda ke rumah tetangganya. Kemudian Sternau mendengar pintu kamarnya diketuk orang.
“Masuklah!” serunya. Pintu kamar dibuka dan tiba-tiba berdirilah di hadapannya gadis yang memegang peran dalam mimpi-mimpinya. “Roseta...” Sepatah kata itulah yang hanya dapat diutarakannya. Suara gadis itu gemetar, ketika ia bertanya, “Carlos, masih ingatkah Anda pada saya?” “Masih ingat?” kembali Sternau bertanya. “Mintalah apa pun dari saya, asal jangan minta harus melupakan Anda.” “Namun perlu juga itu. Tetapi hari ini kita masih boleh bertemu, maka kini saya datang untuk mengucapkan terima kasih pada kedatangan Anda. Mari saya ceritakan, apa sebab saya sangat menginginkan kedatangan Anda!” “Surat Anda tidak begitu jelas. Mungkinkah maksud Anda, bahwa Pangeran dalam bahaya? Di Manresa saya mendengar bahwa beliau harus menjalani pembedahan.” “Memanglah demikian, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang membuat saya merasa khawatir. Tentang hal itu hanya dapat saya terangkan secara lisan, karena saya menaruh kepercayaan kepada Anda. Hati saya mengatakan, bahwa selain penyakitnya masih ada bahaya lain yang mengancam Pangeran. Akan tetapi sekarang saya tidak takut lagi, karena Anda sudah di sini.” Wajah Sternau berseri-seri mendengar pujian itu. Ia mengulurkan kedua belah tangan lalu berkata, “Anda menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada saya. Itu tanda Anda masih mencintai saya.” Gadis itu menyambut uluran tangan Sternau dan menjawab, “Benar, Carlos, saya masih mencintai Anda. Cinta saya masih sama dengan ketika saya harus berpisah dengan Anda dan saya selamanya akan mencintai Anda. Sampai saat ini sikap
saya menjadi teka-teki bagi Anda, tetapi besok akan dapat Anda pecahkan teka-teki itu dan sekaligus akan mengerti, mengapa saya harus bersikap demikian.” “Mengapa baru besok? Mengapa tidak sekarang saja?” “Karena saya tidak sanggup mengutarakannya dengan katakata apa yang akan Anda dengar besok. Dan sekarang Carlos, janganlah kita mulai menyalahkan nasib kita, melainkan hendaklah kita mencari kebahagiaan dalam kasih kita yang suci, yang menjadi penghubung di antara kita satu sama lain, meskipun kita terpaksa dipisahkan oleh keadaan! Marilah kita perbincangkan tanpa luapan emosi tentang maksud saya mengundang Anda ke mari.” Sternau memaksa dirinya tetap bersikap tenang dan menyilakan kekasihnya duduk. “Akan saya terangkan maksud saya memohon kedatangan Anda ke mari,” demikian dimulainya. “Anda mengetahui, bahwa Pangeran menderita penyakit mata yang gawat. Di samping itu beliau menderita suatu penyakit tambahan, yaitu penyakit kencing batu yang sangat mendatangkan rasa nyeri. Dan para dokter yang diminta pertolongannya berpendapat, bahwa hanya pembedahan dapat menolong. Pangeran telah menyatakan diri rela menjalani pembedahan. Condesa sangat mengasihi ayahnya yang malang itu. Ia pun merupakan tangan kanan serta mata ayahnya, yang sudah tidak dapat melihat. Maka Condesa berdoa siang dan malam, mohon kepada Tuhan perlindungan bagi ayahnya, karena ia selalu diliputi rasa takut, kalau-kalau suatu bencana akan menimpa diri ayahnya yang malang itu. Para dokter yang merawat Pangeran adalah orang-orang berhati dingin yang tidak dapat dipercaya. Cortejo, notarisnya dan Senora Clarissa, yang selalu hadir dekat Pangeran, tampak seperti
10
hantu-hantu yang mengerikan, yang haus darah Pangeran, dan selanjutnya Alfonso, putra Pangeran itu—o, betapa sedih hati Condesa!” Roseta menutup mukanya dengan tangan dan menangis. Sternau menarik tangan gadis itu dari matanya lalu membujuk, “Janganlah menangis, Senorita! Curahkah isi hati Anda kepada saya, dengan demikian hati Anda akan merasa lega.” “Baik,” jawab gadis itu sambil menahan tangis dan menghapus air matanya. “Condesa masih kecil sekali ketika berpisah dengan saudaranya Alfonso. Delapan belas tahun kemudian saudaranya akan kembali lagi. Condesa gembira sekali mendengar berita itu. Ketika saudaranya tiba, Condesa menyambut dengan hangat. Ia hendak menghampiri dan memeluk saudaranya. Namun ia hanya dapat menindakkan kaki selangkah saja. Ia tidak dapat menyentuh orang di hadapannya itu, apalagi memeluknya. Apa sebab ia berbuat demikian tidak diketahuinya sendiri; seolaholah ada suara dalam hati yang menasihatinya supaya berhatihati. Pandangan matanya kejam dan suaranya tanpa kasih. Dan ketika setiap hari diamati tingkah laku saudaranya itu, dilihatnya bahwa ia hanya menaruh perhatian kepada ayahnya untuk mengetahui bilamanakah ia akan meninggal. Maka Condesa putus ada dan akhirnya ia menulis—maksud saya, ia menyuruh saya menulis surat kepada Anda.” “Apa yang ada dalam kuasa saya akan saya kerjakan,” kata Sternau. “Pembedahan itu akan dilaksanakan besok?” “Benar. Para dokter tidak bersedia menunda lagi. Saya dengar juga, bahwa pembedahan akan dilaksanakan pukul sebelas.” “Apakah saya dibolehkan melihat dan berbicara dengan Pangeran sebelum waktu itu?” “Tentu, asal Anda harus menghadap Condesa lebih dahulu.
11
Pergilah menghadap Condesa pukul sembilan!—Sudah pernahkah Anda melakukan pembedahan dalam kasus kencing batu itu?” Sternau tersenyum. “Kerap kali sudah, Senorita. Malah dapat saya katakan tanpa menyombongkan diri, bahwa saya ahli dalam perkara itu.” “Apakah pembedahan demikian berbahaya?” “Tergantung! Untuk memastikannya, maka pasien harus diperiksa lebih dahulu! Biar kita bersabar dahulu hingga pemeriksaan selesai dilakukan.” “Benar, kita harus menunggu! Saya menaruh kepercayaan penuh pada Anda. Hanya Andalah yang dapat menyelamatkan, bila masih belum terlambat.” Gadis itu bangkit. “Anda mau pergi, Senorita?” “Ya, karena kehadiran saya diperlukan di sana. Jadi Anda akan datang pukul sembilan?” “Tentu saya datang. Bolehkah saya menemani Anda berjalan, Senorita?” “Hari sudah gelap. Kita tidak akan dilihat orang. Maka Anda boleh menemani saya sampai ke puri!” Mereka meninggalkan rumah Mindrello dan berjalan bergandengan tangan. Setelah mereka sampai di pintu pagar taman, Sternau mengangkat tangan kekasihnya dan menciumnya. “Selamat malam, Carlos,” kata Roseta dengan ramah. “Beristirahatlah untuk melepaskan lelah.” “Selamat malam, Senorita!” Sternau hendak pergi, tetapi gadis itu mendekati dan berbisik kepadanya, “Carlos-ku, maafkan saya dan janganlah bersedih hati!”
12
Kemudian gadis itu pergi dan masuk ke dalam taman.
13