ISLAM DAN BUDAYA LOKAL (NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM UNGKAPAN MAKASSAR DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM)
Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor (Dr.) dalam Bidang Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan dan Keguruan pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Oleh; MUH. ILHAM NIM : 80100307075
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2014
i
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Muh. Ilham
Nim
: 80100307075
Tempat/Tgl. Lahir
: Lembang, Gowa/14 Juni 1962
Prodi/Konsentrasi
: Dirasah Islamiyah/Pendidikan dan Keguruan
Program
: Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Alamat
: Jln. Bayangkara, Poros Malino No. 13 Sungguminasa
Judul
: ISLAM DAN BUDAYA LOKAL (Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Makassar dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam) Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa disertasi
ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka disertasi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, 26 Pebruari 2004 Penyusun,
Muh. Ilham NIM: 80100307075
ii
PENGESAHAN DISERTASI Disertasi dengan Judul, “Islam dan Budaya Lokal (Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Makassar dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam)” yang disususn oleh Muh. Ilham, NIM. 8010030707, telah diuji dan dipertahankan dalam Sidang Ujian Promosi Doktor yang diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 26 Pebruari 2014 M, bertepatan dengan 26 Rabiul Akhir 1435 H, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Pendidikan dan Keguruan pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. PROMOTOR: 1. Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A.
(.....…….……………)
KOPROMOTOR: 1. Prof. Dr. H. Nasir A. Baki, M.A.
(.....…….……………)
2. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT., MS.
(.....…….……………)
PENGUJI: 1. Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A.
(.....…….……………)
2. Prof. Dr. H. Bahaking Rama, M.S.
(.....…….……………)
3. Dr. H. Salehuddin, M.Ag.
(.....…….……………)
4. Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A.
(.....…….……………)
5. Prof. Dr. H. Nasir A. Baki, M.A.
(.....…….……………)
6. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT., MS.
(.....…….……………)
7. Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, M.A.
(.....…….……………)
8. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum.
(…..…………………) Makassar, 26 Pebruari 2014 Diketahui oleh: Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar,
Prof.Dr.H.Moh. Natsir Mahmud,M.A. NIP. 19540816 198303 1 004
iii
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Al-hamdulillah, puji syukur atas rahmat dan pertolongan Allah swt dengan motivasi suci penulis dapat menyelesaikan studi, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Salawat dan salam kepada baginda rasulullah Muhammad saw, karena atas perjuangannya sehingga sejarah mencatat keberhasilannya melebihi tokoh-tokoh lainnya dalam membentuk masyarakat madani (sivil society) seperti diakui sarjana Barat Mickael Hart. Di dalam masyarakat madani terdiri atas insan-insan yang beriman , berilmu, bertaqwa, memiliki prestasi serta berperadaban. Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini terselesaikan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga afdhal kiranya, jika penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada mereka yang telah memotivasi, membimbing, membantu, menyumbangkan pikiran dan material, selama penulis mengikuti Program Pascasarjana di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar terutama kepada: 1. Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing H.T., M.S. Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A. Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Dr. H.M. Natsir Siola, M.Ag., yang dengan berbagai kebijakannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Doktor. 2. Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A, Tim Kerja PPs UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Nasir Baki, M.A., Prof. Dr. H. Moh.Qasim Mathar, M.A., Dr. H.Norman Said, M.A., Dr.H.Susdiyanto, M.Si.,Dr..H. Kamaluddin Abu Nawas, M.Ag, Dr. H. Mahmuddin, M,Ag., Dr. Misykat Malik Ibrahim, M. Si.,dan Dr. Muhammad Sabri AR, M.Ag., yang membina lembaga ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Doktor. 3. Promotor, Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A., Prof. Dr. H. Nasir A. Baki, M.A., dan Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT.M.S. yang tidak jenuh mengoreksi, menuntun dan mengarahkan penulis, any where and any time dalam upaya penyempurnaan disertasi ini sebagai karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, baik metodologis maupun substansinya. 4. Penguji, Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A., Prof. Dr. H. Bahaking Rama, MS., dan Dr. H. Salehuddin, M.Ag, Prof. Dr. H. Moh. Qasim Mathar,
iv
M.A., dan penguji eksternal Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum. yang telah memberikan koreksi, masukan, saran dan perbaikan dalam penyempurnaan disertasi ini. 5. Seluruh dosen dan pegawai/security serta petugas Perpustakaan Pascasarjana UIN Alauddin yang telah memberikan pencerahan dan wawasan selama perkuliahan, teristimewa kepada Prof. Dr. H.M. Shaleh A. Putuhena (almarhum) dan Prof. Dr. H. Abu Hamid (almarhum), keduanya, sejak awal banyak memberikan motivasi dan kontribusi pemikiran dalam penyusunan disertasi ini, teriring doa semoga ditempatkan dalam syorga-Nya. 6. Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, M.A dan Prof. Dr. Phil. Kamaruddin, Amin, M.A. atas bantuannya melalui Proyek Islamic Development Bank (IDB) dengan program capacity building UIN Alauddin. Kepada Prof. Dr. H.M. Sattu Alang, M.A.,Kepala Pusat Pengabdian pada Masyarakat UIN Alauddin yang telah memberi rekomendasi dan motivasi melanjutkan studi sampai selesai. 7. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Dr. Hj. Muliaty Amin, M.Ag., wakil Dekan I, II, III masing-masing: Dr. Muhammad Hidayat, M.Ag., Drs. Muh. Anwar, M.Hum. dan Dr. H. Usman Jasad, M.Pd., sebagai kolega dan atasan, kepadanya diucapkan terima kasih dengan tulus. 8. Dr. H. Muhammad Zain M.A. (Kemenag. R.I) yang memberi kesempatan mengikuti Short Course Akademik Writing di Universitas Leiden Belanda dan Univertsitas Leipzik Jerman serta Dr. Toraf Hanstein dan keluarga yang membimbing penulis selama kegiatan berlangsung. 9. Orang tua yang berjasa, mengasuh, membesarkan dan menyekolahkan anaknya. Kepada ibunda St. Khadijah dan St. Hawiyah terima kasih atas segala pengorbanannya, serta ayahanda M..Syahrir Baso Daeng Nompo (almarhum), semoga arwahnya mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. 10. Last but not least, kepada keluarga, isteri tercinta Ir. Hj. Rosmiaty, S P.d dan mertua, Hj. Sitti dan H. Yunus serta Ananda, Nisrina Munifa Ilham atas apresiasi, dedikasi dan motivasi yang diberikan untuk menyelesaikan disertasi ini. 11. Akhirnya, kepada teman-teman, Drs. H. Syamsul Bahri, M.Si., Dr. Hj. Nurlaelah Abbas, Lc. M.A., serta Hamza PS sekeluarga yang turut memberikan partisipasinya, baik moril maupun material. Kepada Allah swt, dipanjatkan doa semoga semua bantuan itu mendapatkan pahala di sisi-Nya, dan kiranya karya ini bermanfaat bagi Nusa, Bangsa dan Agama. Makassar, 26 Pebruari 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ............................................
ii
PERSETUJUAN DISERTASI................................................................
iii
KATA PENGANTAR ............................................................................
iv
DAFTAR ISI..........................................................................................
vi
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN.................................................
viii
ABSTRAK.............................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................ A. Latar Belakang Masalah.................................................. B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ............................. C. Rumusan Masalah........................................................... D. Kajian Pustaka ................................................................ F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................
1-37 1 17 26 27 36
BAB II
TINJAUAN TEORETIS ....................................................... A. Tinjauan Teoretis tentang Pendidikan ............................. 1. Pengertian dan beberapa Pendekatan dalam Pendidikan.................................................................. 2. Pendidikan Islam dan Urgensinya ............................... B. Tinjauan Teoretis tentang Budaya Lokal ......................... 1. Definisi dan Hakikat Budaya Lokal............................. 2. Hakikat Kebudayaan ................................................... C. Relevansi Pendidikan Islam dengan Kebudayaan Lokal .. E. Kerangka Konseptual ......................................................
38-133 40
BAB III
40 73 84 84 90 95 100
METODOLOGI PENELITIAN. ........................................... 133-143 A. Jenis dan Lokasi Penelitian ............................................. 133 B. Pendekatan Penelitian .................................................... 135 C. Sumber Data .................................................................. 137 D. Metode Pengumpulan Data ............................................. 138 E. Instrumen Penelitian ....................................................... 138 F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................ 139 F. Pengujian Keabsahan Data Penelitian ............................. 141
vi
BAB IV
BAB V
ANALISIS ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DAN KEARIFAN LOKAL DALAM UNGKAPAN MAKASSAR RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM ........... 144-286 A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................. 1. Sejarah dan Asal Usul Gowa........................................ 2. Perkembangan Kerajaan Gowa Pra Islam ..................... 3. Kerajaan Gowa Setelah Masuknya Islam .....................
144 144 148 156
B. Pola Integrasi antara Ajaran Islam dengan Budaya Lokal di Kabupaten Gowa ....................................................... 1. Integrasi Subtansial..................................................... 2. Integrasi Kultural ........................................................
162 163 187
C. Bentuk-bentuk Kearifan Lokal yang Terdapat dalam Ungkapan Sastra Makassar di Kabupaten Gowa.............. 1. Sinrilik ........................................................................ 2. Kelong ........................................................................ 3. Pakkio Bunting ........................................................... 4. Rupama ...................................................................... 5. Aru./Anngaru .............................................................. 6. Paddoangang.............................................................. 7. Paruntukkana.............................................................. 8. Pappasang ..................................................................
218 223 227 229 237 239 242 244 245
D. Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam ........................................ 1. Nilai Sirik ........................................................................... 2. Nilai Kalambusan ............................................................... 3. Nilai Abbulo Sibatang ......................................................... 4. Nilai Kareso Tamattappu .................................................... 5. Nilai Kepemimpinan ........................................................... 6. Nilai Moral Keagamaan ......................................................
248 249 251 259 261 263 266
PENUTUP ........................................................................... 287-292 A. Kesimpulan..................................................................... 287 B. Implikasi Penelitian ........................................................ 291
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 293-299 LAMPIRAN-LAMPIRAN......................................................................
300
RIWAYAT HIDUP PENULIS ...............................................................
-
vii
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN A. Transliterasi 1. Konsonan
= اa
= زd
=ضḍ
=ىk
= ةb
= شż
=طṭ
ٍ = l
= دt
= ضr
=ظẓ
ّ = m
= سś
= ظz
„=ع
ٕ = n
= طj
=غs
= ؽgh
= وw
= ػḥ
= ؾsy
= فp
= هـh
= خkh
=صṣ
= مq
ٌ=y
Hamzah ( )ءyang terletak di awal kata mengikuti vokalnya, tanpa diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau akhir maka ditulis dengan tanda (‛). tā’ al-Marbūţah ( )حditransliterasi dengan “t”, tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia ditransliterasi dengan “h”, misalnya; al-risālat almudarrisah; al-marhalat al-akhīrah. 2. Vokal dan maddah a. Vokal (a, i, u) Bunyi Pendek fathah a kasrah i ḍammah
u
b. Maddah (aw, ay) : Bunyi Tulis او aw ٌا ay
Panjang ā ī
Contoh qawl bayn
ū
Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw), misalnya bayn (ُٖ)ث, qawl (ٍ)هى, ‘Usayd bin Ubaydah ( ) أؼُس ثنٖ اثُنسحdan lainlain. Selanjutnya syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda, dan kata sandang al- (alif lām ma’rifah) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak di awal kalimat, misalnya, al-Bukhāriy berpendapat dan menurut al-Bukhāriy.
viii
3. Tā’ marbūṭah ()ح Transliterasi tā’ marbūṭah ( )حada dua, yaitu tā’ marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, maka tā’ marbūṭah ()ح ditransliterasi dengan t, tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia ditransliterasi dengan huruf h, misalnya al-Risālat al-Mudarrisah ( اُطؼنبُخ
)أُسضؼنخ. Kata atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah istilah Arab yang belum menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia. 4. Syaddah (Tasydīd) Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
ّ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan dengan sebuah tanda tasydīd ( ّ perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:
ضث٘ب
: rabbanā
ٗ غ ُْ٘ ب: najjainā ا ُْ ح ن: al-ḥaqq ّْٗ ُؼ
: nu’ima
ػ ُس و: ‘aduwwun Jika huruf ٌ ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf ّ __) maka ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi ī, contoh: kasrah ( ٌ ٍِِ „( ػAlī) bukan „Aliyy atau „Aly. ٍِ„( ػ ط ثArabī) bukan „Arabiyy atau Arabiy. 1. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ٍا (alīf lām ma’rifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh: ( اُشٔػalsyamsu) bukan asy-syamsu. ( اُعُعُخal-zalzalah) bukan az-zalzalah. ( اُلِؽنلخalfalsafah) dan ( اُجالزal-bilādu).
x
2. Hamzah Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (ʼ) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contoh, ٕ( رأٓطوta’murūna), ( اُ٘ىعal-nau’), ( شٍءsyai’un), أٓنطد (umirtu). 3. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, misalnya kata alQur‟an (dari al-Qur’ān), Alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila katakata tersebut menjai bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Al-Sunnah qabl altadwīn. 4. Lafẓ al-Jalālah ()هللا Lafẓ al-Jalālah ( )هللاyang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukkan sebagai muḍāf ilayh (frasa nomina), ditransliterasi tanpa huruf hamzah, misalnya dīnullah, billāh, Rasūlullah, ‘Abdullah dan lainlain. Adapun tā’ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz alJalālah, ditransliterasi dengan huruf t, misalnya hum fiy raḥmatillah. 5. Huruf Kapital Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf capital
xi
(Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh, Wa mā Muḥammadun illā rasūl, Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan, Syahru Ramāḍān al-lażī unzila fih al-Qur’ān. Abū Naṣr al-Ṭūsi, al-Munqiż min al-Ḍalāl. B. Singkatan swt.
= subḥānahu wa ta‘ālā
saw.,
= ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
a.s
= ‘alaihi al-salām
H
= Hijrah
M
= Masehi
SM
= Sebelum Masehi
l.
= Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)
w.
= Wafat tahun
QS.../...: 4 = QS. Al-Baqarah/2: 4 atau QS. Āli „Imrān/3: 4. HR
= Hadis Riwayat
t.tp.,
= Tanpa tempat penerbit
t.p.,
= Tanpa penerbit
Cet.
= Cetakan
h.
= Halaman
xii
ABSTRAK Nama Peneliti NIM Judul Disertasi
: MUH. ILHAM : 80100307075 : ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Makassar dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses dan bentuk-bentuk integrasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal, sehingga diketahui proses integrasi budaya lokal tersebut, baik secara substantif secara asimilasi maupun integrasi struktural dan kultural. Menjelaskan bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Makassar. Menemukan relevansi antara kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam dalam rangka merumuskan upaya-upaya pelestarian dan penguatan budaya lokal melalui pendidikan karakter. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilaksanakan di Kabupaten Gowa dengan pendekatan historis, antropologis, sosiologis dan teologis. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selain itu penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan (library research) melalui data primer dan data sekunder. Sumber primer diperoleh dari lontara bilang serta dokumen lain yang otentik, sedangkan sumber sekunder dari buku, artikel, surat kabar, jurnal, tesis dan disertasi. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deduktif, induktif dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Islam dengan kebudayaan lokal suku Makassar berlangsung secara substansial, struktural dan kultural. Integrasi substansial terjadi antara pangadakkang (adak, rapang, warik dan bicara) dengan sarak. Sedangkan integrasi kultural melalui pranata politik, bahasa, ekonomi dan sosial budaya dengan simbol-simbol dan ungkapan-ungkapan sastera Makassar. Ungkapa-ungkapan sastera Makassar ditemukan dalam bentuk pasang, kelong, paruntukkana, aru, sinrilik, paddoangang dan pakkio bunting yang sering disampaikan mengiringi setiap upacara siklus hidup masyarakat suku Makassar seperti pada acara kelahiran, sunatan, perkawinan dan acara kematian. Ungkapanungkapan tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan seperti: nilai kejujuran, nilai kehormatan, nilai persatuan, nilai etos kerja, nilai kepemimpinan, nilai moral keagamaan yang memiliki relevansi dengan Pendidikan Islam. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan agar bahasa dan ungkapanungkapan Makassar dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal pada semua jenjang pendidikan di sekolah demi memelihara kelestariannya dari kepunahan sebagai aset budaya bangsa. Kemudian diinternalisasikan melalui pendidikan informal dalam lingkungan rumah tangga serta di sosialisasikan dalam masyarakat melalui senibudaya sebagai bagian dari pendidikan non formal.
xiii
ص ِد يرُ ُ ا َلت َّ ْ :هحودُإلـهام اإلؼْ 70700008085 : ضهْ اُزؽغَُ :التربيةُوالتعلين رطًُـع ٓىضىع اُجحش :اإلسالمُهعُالثقافيةُ الوحليةُ(حكوةُالوحليةُعندُالكالمُ ُ ُ ُُ الواكاسريُووصيلتهُهعُتريبةُاإلسالهية) هص ٙاُسضاؼخ رهسف.حىٍ ًُـق ٌَٖٔ ُؼُِٔخ االٗـسٓبط كٍ اُضوبكخ أُحُِخ ُإلؼالّ كٍ ؿـىوًُ ،ق أشٌبٍ اُزؼجُط األزثٍ ٖٓ اُحٌٔخ أُحُِخ كٍ ٓبًبؼطٌ وًُ ،ق أهُٔخ هُْ اُزطثُخ اإلؼالُٓخ كٍ اُزؼجُط األزثٍ ٓبًبؼطٌ ًغعء ٖٓ اُحٌٔخ أُحُِخ ثُٖ اُوجبئَ ٓبًبؼبض.؟ هسكذ هص ٙاُسضاؼخ إًُ وصق وٗٔصعخ زٓظ اإلؼالّ كٍ صوبكخ أُحُِخ وشطػ أشٌبٍ اُزؼجُط األصُِخ اُىاضزح كٍ ٓبًبؼبض واُؼضىض ػًِ صِخ ثُٖ اُحٌٔخ أُحُِخ اُىاضزح كٍ ٓبًبؼبض هبئال ٓغ اُزطثُخ اإلؼالُٓخ. هصا اُجحش هى ٓ٘هظ اُجحش اٌُُلٍ ُِزبضَد ٖٓ ذالٍ أضثغ ٓطاحَ ،اٌُشق ػٖ ٓغطَبد األٓىض ،وٓصسض اُ٘وس ،ورلؽُط وػطض(اُزأضَد) و ػِْ اإلٗؽبٕ وػِْ االعزٔبع .عٔغ اُجُبٗبد ثبؼزرساّ زضاؼخ األزة (ٌٓزجخ اُجحىس) ٖٓ ذالٍ اُجُبٗبد األوُُخ واُجُبٗبد اُزٍ رْ اُحصىٍ ػُِهب ٖٓ االثزسائٍ ُىٗزطا كزىضَىُىوٗؾ ضٌ رىؿىَب) ُىٗزطا ثُالٗؾ و الرىو ( lontara bilangLو ؿُطهب ٖٓ اُىصبئن صحُحخ ،كٍ حُٖ إٔ ٓصبزض صبٗىَخ ٖٓ اٌُزت وأُوبالد واُصحق وأُغالد واُطؼبئَ اُغبٓؼُخ و أططوحخ.. وأظهطد اُ٘زبئظ إٔ اُصطاع ثُٖ اإلؼالّ واُضوبكبد اُوجُِخ أُحُِخ كٍ ٓبًبؼطؿـىو، َؽزٔط ًضُطا وصوبكُب .اُزٌبَٓ ثُٖ ًجُط َحسس ك٘ــساً٘ؾ( pangadakkang /أزاى ،ضاك٘ؾ، واضى ،واُحسَشٓ )adak, rapang, warik, bicara /غ ؼطى ( ٖٓ ،) sarakرؼبُُْ اإلؼالّ .كٍ حُٖ اُضوبكُخ ٖٓ ذالٍ أُؤؼؽبد اُؽُبؼُخ اُزٌبَٓ واُِـخ واُطٓىظ االعزٔبػُخ واالهزصبزَخ واُضوبكُخ وأشٌبٍ اُزؼجُط األزثٍ ٖٓ ٓبًبؼطٌ .اُؼضىض ٓبًبؼطٌ اُزؼجُط األزثٍ كٍ شٌَ كبؼ٘ؾًُِ ،ىٗظ ،كطوٗزٌبٗب ،آضو ،ؼ٘طُي ،كسوواٗـ٘ؾ و كٌُُىا ( pasang, kelong, ) paruntukkana, aru, sinrilik, paddoangan, dan pakkioاُزٍ ؿبُجب ٓب رٌىٕ زوضح اُحُبح ٓطاؼْ ٓطاكوخ ًَ ٓبًبؼبض أُغزٔغ اُوجٍِ كٍ أحساس أُُالز واُرزبٕ واُعواط وأُىد. َحزىٌ رؼجُطاد اُوُْ اُزطثىَخ ٓضَ :هُٔخ اُصسم ،وهُٔخ اُشطف ،وهُٔخ اُىحسح وهُٔخ أذالهُبد اُؼَٔ واُوُْ اُوُبزح واُوُْ األذالهُخ اُسَ ُ٘خ اُزٍ ُهب صِخ ثبُزطثُخ اإلؼالٍٓ.
xiv
ٖٓ هصا اُجحش ٖٓ أُزىهغ إٔ اُِـخ واُزؼجُطاد أُىاضُغ أُسضعخ ٓبًبؼبض أُحزىي أُحٍِ كٍ عُٔغ ٓطاحَ اُزؼُِْ كٍ أُساضغ ٖٓ أعَ اُحلبظ ػًِ اؼزٔطاضَخ االٗوطاض ًأصىٍ األٓخ اُضوبكُخ .صْ ٖٓ ذالٍ أُ٘ضىَخ اُزؼُِْ ؿُط اُطؼٍٔ كٍ اُجُئخ أُ٘عُُخ واعزٔبػُب كٍ أُغزٔغ ٖٓ ذالٍ اُزطثُخ ؿُط اُ٘ظبٍٓ.
ABSTARCT : MUH. ILHAM : 80100307075
xv
Researcher Reg. Number
Title
: ISLAMIC INTEGRATION WITH LOCAL CULTURE (THE VELUES OF LOCAL AUTHORITY IN THE EXPRESSION OF MAKASSAR AND THE RELEVANCE WITH ISLAMIC EDUCATION)
This observation has a purpose to describe the process and the model of the Integration of Islamic education to local culture and explains the types of local authority in the expression of Makassar along with finds the relevance between the local authorities in the expression of Makassar with Islamic Education. Type of this observation is qualitative that has done in Gowa regency with history, anthropology sociology and theology approach. Data collection was gotten through interview, observation and documentation. This research uses library research by primer and secondary data. Primer data is gotten from lontara bilang and other authentic documents, whereas secondary data is from books, articles, news papers, journals, thesis and dissertations. The result of this observation shows that Islamic wrestling with local culture of the ethnic of Makassar in Gowa Regency, going on in substantial and cultural. Substantial integration takes place between panngadakkang (adak, rapang, warik dan bicara) with sarak, as Islamic education. Whereas the cultural integration is by politic institution, language, economic and social culture with symbols and literature expressions of Makassar. The literature expressions of Makassar is found in pasang, kelong, paruntukkana, aru, sinrilik, paddoangan and pakkio bunting which is always conveyed keep every ritual of living cycle of ethnic of Makassar in every birth, circumcision, wedding and death ritual. Those expressions contain education values like: honesty, honorary, unity, working ethos, leadership, religious moral which have relevance with Islamic Education. From the result of this observation is expected in order to language and the expressions of Makassar entered subject of local content in each education level in school to keep the conservation from extinct as nation culture asset. Then internalized through informal education in household and socialized in society through formal education.
xvi
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pakar pendidikan sepakat bahwa, salah satu jalan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia adalah melalui jalur pendidikan, karena pendidikan pada hakekatnya adalah proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju ke arah yang lebih baik sesuai
dengan potensi kemanusiaannya.
Pendidikan sebagai proses humanisasi membantu manusia menjadi utuh, bermoral, bersosial, berwatak memiliki kepribadian, berpengetahuan, dan beruhani.1 Oleh karena itu pendidikan sebagai investasi masa depan bertujuan untuk menghasilkan manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Paradigma pembangunan pendidikan di Indonesia kini telah memasuki babak baru, terutama dengan diimplementasikannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dinyatakan secara tegas bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.2 Manusia seutuhnya seperti yang
1
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, “Standardisasi Pendidikan Agama dan Keagamaan” dalam Edukasi Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Nomor 1 2007, Volume 5 (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2007), h. 2. 2
Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikana Nasional (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penilaian Hasil Belajar Tahap Akhir Nasional, 2003), h. 5.
1
2
diisyaratkan dalam rumusan tujuan pendidikan Nasional tersebut adalah terbentuknya kepribadian
yang memiliki wawasan pengetahuan yang
dapat
mengikuti akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki keterampilan dalam dimensi luas serta memiliki sikap mental yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, akhlak mulia, nilai-nilai budaya, memiliki wawasan keagamaan serta wawasan kebangsaan yang luas. Untuk membangun pendidikan yang efektif, dan berkarakter seperti yang diamanatkan di atas, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, yaitu: United Nations Educational, Scientific, Cultural Organisation (UNESCO) menekankan pentingnya menempatkan martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi yakni nilai yang tidak terbatas dan dapat mendorong manusia untuk
memiliki nilai-nilai dasar yang berkisar di
sekelilingnya. Nilai dasar itu, meliputi nilai kesehatan, nilai kasih sayang, nilai tanggung jawab sosial, nilai efisiensi ekonomi, nilai solidaritas global dan nilai nasionalisme.3 Zakiah Daradjat memberikan formulasi tentang manusia seutuhnya adalah manusia yang paripurna atau insan kamil, yaitu manusia yang memiliki kesempurnaan jasmani dan rohani dengan pola takwa, memiliki keseimbangan antara aspek spiritual-emosional dan aspek intelektual.4 Dalam pandangan Azhar Arsyad, insan kamil adalah manusia yang memiliki inner capasity dengan indikatornya adalah berfungsinya tiga potensi dalam anggota tubuh manusia yaitu head (otak atau akal) heart (hati atau rasa) dan hand (tangan) yang bermakna bahwa manusia
3
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidkan Nilai (Bandung: Al-Fabeta, 2004), h.
4
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 29.
91.
3
harus memiliki
keterampilan atau etos kerja (reso) dalam bahasa Makassar.5
Insan kamil seperti yang dikonsepsikan ini sejalan dengan program Rektor UIN Alauddin Makassar. Qadir Gassing dalam upayanya membangun karakter mahasiswa untuk menuju
kampus
peradaban melalui
pencerahan iman,
pencerdasan dan prestasi (3P). Sebagai implementasi dari konsep itu maka dibentuk Lembaga Carakter Building Training (CBT) yang mengusung tiga program utama yaitu Pembinaan Karakter bagi mahasiswa baru, Program Intensifikasi Bahasa Asing (PIBA) dan Baca Tulis Quran (BTQ).6 Konsep tentang manusia seutuhnya yang ingin dicapai oleh pendidikan itu didukung pula dengan empat pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yaitu: learning to know, learning to do, learnig to be and learning to live together.7 Dalam konsep Al-Quran dikenal istilah ūlu al-albāb, yang berarti orang-orang yang memiliki akal, potensi rohaniah yang dapat memahami kebenaran, baik yang fisik maupun metafisik. Ūlu al-albāb secara terminologis, adalah orang-orang yang memiliki ciri-ciri pokok antara lain beriman, berpengetahuan tinggi, berakhlak mulia, tekun beribadah, berjiwa sosial dan bertakwa.8 Konsep ini terkait dengan falsafah hidup suku Bugis Makassar yang 5
Azhar Arsyad, Biografi Singkat (Makassar: UIN Alauddin Press, 2000), h. 21.
Qadir Gassing, “Mewujudkan Kampus Peradaban melalui Pencerdasan, Pencerahan, dan Prestasi”. Laporan Rektor yang disampaikan pada Diesnatalis ke 46 Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar di Samata-Gowa tanggal 11-11-2011. 6
7 8
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidkan Nilai, h. 31.
Takwa (taqwa) adalah nilai atau akumulasi dari nilai-nilai Islam. Pakar Tafsir Abū Hayyan al-Andalūsi, menyebut takwa sebagai kumpulan ketaatan (majami’ al-thaah) yang membentuk kualitas pribadi orang yang beriman dan melindunginya dari siksa dan bencana. Sebagai akumulasi dari nilai-nilai agama (Islam), takwa, seperti dikemukakan pakar tafsir al-Razi, terkadang menunjuk pada iman (QS. al-Fath/48: 26), tauhid (QS. al-Hujurat/49:3), kepatuhan atau taat (QS. al-Baqarah/2:52, taubat (QS. al-A’rāf/7:96, dan sikap menjauhkan diri dari dosa-dosa
4
dikenal istilah Sulapa Appa’ (empat persegi belah ketupat) sebagai simbol tau (manusia) yang mengandung makna bahwa, di bagian atas manusia ada kepala untuk berfikir, di sebelah kiri dan kanan ada tangan untuk bekerja (akkareso) dan pada bagian bawah yaitu kaki sebagai penopang untuk berdiri tegak serta di tengah-tengah ada hati untuk merasa dan berzikir. 9 Kesempurnaan hidup sebagai manusia (tau), apabila dapat difungsikan keempat potensi tersebut, sebaliknya jika potensi itu tidak difungsikan dengan baik, maka hanya sebagai bentuk rupa tau (Makassar) artinya hanya sebagai bayangan manusia belaka. Sangat disayangkan karena kenyataan yang sering dijumpai dewasa ini adalah keadaan kepribadian yang kurang berkembang dan rapuh, kesusilaan yang rendah, keimanan serta ketakwaan yang dangkal dimiliki sebagian peserta didik, padahal secara obyektif-empiris, kelemahan pendidikan itu memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap aspek sosial budaya dalam praktek kehidupan masyarakat dewasa ini. Hal ini terlihat sejak pergantian pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan turunnya presiden Soeharto dari kekuasaannya, sekaligus mengantarkan masyarakat Indonesia memasuki tatanan baru yang dikenal sebagai era reformasi. Dengan pergantian kepemimpinan dan perubahan itu, secara tidak langsung kebudayaan Indonesia mengalami disintegrasi dan degradasi yang pada gilirannya berpengaruh pada krisis moneter, ekonomi dan politik sejak tahun 1997
dan maksiat (QS. al-Baqarah/2:189). Lihat Ilyas Ismail, Pilar-pilar Taqwa, Doktrin, Pemikiran, Hikmah dan Pencerahan Spiritual (Jakarta: Garamedia, 2009, h. 10. Lihat pula M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 98. 9
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 2005), h. 9.
5
yang berimpilikasi pula pada krisis multidimensi yang mengakibatkan krisis sosio-kultural di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis sosial budaya yang meluas itu tampak dalam berbagai modus dan beragam bentuk dalam masyarakat seperti disintegrasi sosial politik yang bersumber dari euphoria kebebasan, bahkan kebablasan yang disebabkan karena hilangnya kesabaran sosial dan pengendalian diri dalam menghadapi realitas hidup yang semakin sulit dan kompleks, sehingga mudah melakukan tindakan anarkhis, merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral dan kesantunan sosial terutama terhadap orang tua, guru dan dosen serta lingkungan. Pada saat yang sama pula nilai-nilai gotong royong, musyawarah dan toleransi mulai ditinggalkan oleh generasi muda dewasa ini. Fenomena ini diperparah dengan semakin meluasnya penyebaran narkoba, minuman keras, tawuran, pengemis dan pengamen di jalan raya serta penyakit sosial lainnya, sebagai dampak pengangguran yang dapat memicu konflik horisontal dan vertikal serta kekerasan yang bernuansa politis, etnis dan agama seperti yang pernah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Disintegrasi dan krisis sosial budaya di kalangan masyarakat itu diperparah lagi dengan semakin meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat, sebagai dampak globalisasi yang tak terelakkan. Berbagai ekspresi sosial budaya yang tidak
memiliki basis dalam agama dan budaya masyarakat
Indonesia yang ditandai dengan munculnya gaya hidup baru yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat yang telah memiliki nilai-nilai budaya sebagai kepribadian bangsa dan telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini tampak dari semakin merebaknya budaya “McDonald-isasi”,
6
meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme (serba boleh) kekerasan dan
hedonisme
(kesenangan);
mewabahnya“valentine ‘s
day”
dikalangan remaja, munculnya tarian lokal dengan istilah candoleng-doleng.10. Gejala ini tidak lain dari “cultural imperialisme” baru (meminjam istilah Edwar Said), yang menggeser dan menggantikan budaya nasional dan budaya lokal yang ada dalam
masyarakat Indonesia
sebagai identitas bangsa. Identitas tersebut
mutlak diperlukan bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik dalam mempertahankan keutuhan
bangsa dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Azyumardi Azra menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang hidup dengan kelenturan budayanya untuk mengadaptasikan unsur-unsur luar yang dianggap baik dan dapat memperkaya nilai-nilai lokal yang dimiliki. Ketidakmampuan beradaptasi dengan budaya luar menempatkan bangsa tersebut dalam kisaran kekerdilan dan kekeringan identitas dan jati diri. Sebaliknya terlalu terobsesi dengan budaya luar dan mencampakkan tradisi dan nilai-nilai budaya lokal, berpeluang menjadikan bangsa tersebut kehilangan identitas dan jati dirinya. 11 Jadi sejatinya adalah melestarikan apa yang baik dan mengadopsi halhal yang lebih baik adalah sikap yang bijak dan moderat di era globalisasi sekarang ini, yang relevan pula dengan ungkapan Alvin Toffler, seorang futurolog (peramal masa depan) sebagaimana yang dikutip Rohmat Mulyana menyatakan
10
Candoleng-doleng merupakan istilah bahasa Bugis/ungkapan dari sebuah tarian erotis yang dilakukan oleh biduanita dengan menampakkan payudara dan alat vitalnya. Mirip dengan tarian setengah telanjamg di negara Barat. Lihat H. Abd Hafid, “Candoleng-doleng Perspektif Undang-undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008” (Tesis, tidak diterbitkan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2009), h. 14. 11
A. Ubaedillah. Pendidikan Kewargaan (Edisi III, Jakarta: Kencana, 2008), h. 22.
7
“Think globally and act locally”.12 (berpikir global dan bertindak lokal). Ungkapan yang cukup populer itu menggambarkan adanya dua aspek penting yang
perlu
diberdayakan
secara
terpadu
dan
berkesinambungan
dalam
pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan. Di satu sisi, pendidikan harus memiliki wawasan pemikiran yang jauh ke depan untuk menjawab tantangan global, namun di sisi lain ada upaya memelihara dan melestarikan perilaku etik pribumi (kearifan budaya lokal) sesuai dengan keanekaragaman dan keunikan daerah masing-masing yang dimiliki. Pemikiran Toffler tersebut, dapat ditafsirkan sebagai sebuah tanggung jawab pendidikan
dalam memberdayakan manusia
Indonesia yang ramah dengan budaya lokalnya sendiri agar mampu menjadi tamu terhormat di negeri orang, sekaligus menjadi tuan di negeri sendiri. Bangsa Indonesia dapat menjadi
bangsa maju dengan memanfaatkan
kearifan lokal yang berkembang di tiap suku dan bahasa. Tradisi yang baik dan hidup dalam suatu komunitas memiliki makna yang perlu diformulasi dan dilestarikan kembali sesuai dengan kondisi kehidupan masa kini. Demikian pendapat Muchlas Samani, mantan Direktur Kelembagaan Ditjen Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional dalam suatu pertemuan bersama Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) untuk menggagas kajian tradisi lisan di perguruan tinggi pada acara pertemuan mahasiswa penerima beasiswa S2 dan S3 bagi dosen yang akan memperdalam kajian tradisi lisan di Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Udayana dan Universitas Gajah Mada.13
12
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidkan Nilai, h. 76.
13
Muhlas Samani, “Maju dengan Kearifan Lokal,” Kompas, 14 April 2011.
8
Kebudayaan Indonesia yang berakar pada prinsip kebersamaan dan gotong royong, diikat dengan bingkai spiritual moralitas, sejatinya menjadi filter dan penangkal bagi berkembangnya budaya anarkisme, materialisme, sekularisme, dan radikalisme serta terorisme yang mengancam keutuhan Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) sebagai dampak buruk globalisasi seperti yang disebutkan terdahulu. Dengan dasar pemikiran itulah, sehingga ke depan menjadi agenda yang mendesak untuk mengaktualisasikan dan melestarikan kembali nilainilai budaya lokal dalam bentuk tradisi lisan dalam ungkapan Bugis-Makassar yang mengandung nilai-nilai pendidikan seperti yang terdapat dalam paseng,14 (Bugis) pasang (Makassar) kelong,15 dan paruntukkana,16 yang bersumber dari lontara berupa Pangngaderreng,17 (Bugis), Pangngadakkang (Makassar) sebagai pandangan hidup dan modal sosial masyarakat Bugis-Makassar yang menjadi
14
Paseng (Bugis) Pasang (Makassar) adalah kumpulan petuah atau amanat keluarga atau orang-orang bijaksana yang diamanatkan secara turun temurun melalui ungkapan-ungkapan secara lisan kemudian diabadikan dalam lontara dan disosialisasikan melalui nyanyian, pantun, peribahasa dan cerita rakyat. Dalam folklor (subdisiplin ilmu antropologi), pasang dapat digolongkan sebagai tradisi lisan dalam bentuk ungkapan tradisional. Lihat Mattulada, Latoa, Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1975), h. 17. Bandingkan dengan Suwardi Endarswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h. 58-59. 15
Kelong (Makassar) adalah nyanyian sebagai salah satu jenis kesusasteraan Makassar yang cukup poluler. 16
Paruntukkana adalah salah satu jenis sastera Makassar yang dapat disamakan dengan peri bahasa, pepatah, ungkapan idiom dalam sastera Indonesia. 17
Pangngaderreng (Bugis) Pangngadakkang (Makassar) adalah wujud kebudayaan ideal orang Bugis-Makassar yang mencakup pengertian sistem norma atau aturan-aturan adat dan tata tertib, mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan berupa peralatan-peralatan materil dan nonmateril. Pangngaderreng terdiri atas lima unsur yang saling kuat menguatkan yaitu ade, bicara, rapang, wari dan sarak. Selanjutnya lihat Mattulada, Latoa, Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h. 339-341.
9
acuan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat Sulawesi-Selatan pada masa lampau. Nilai-nilai yang terdapat dalam unsur pangngaderreng dengan merujuk pada lontarak dikalangan Bugis-Makassar, menurut Andi Rasdiyanah semuanya hampir serupa, baik jiwa dan semangatnya, maupun bentuk ungkapannya yang terintegrasi dalam Syariat Islam.18 Hal ini dapat dijumpai pada lontarak Latoa Bone, Rapanna Gowa, Pappasengna Wajo, Ungkapannya La–Waniaga Arung Bila di Soppeng dan lain-lain, yang mudah diketahui karena agama di satu sisi merupakan sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan oleh penganutnya dalam tindakan-tindakan keagamaan di masyarakat dalam upaya memberi respons dari apa yang dirasakan dan diyakini sebagai suatu yang sakral dan suci. Pada sisi yang lain agama juga mengandung ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya sehingga ajaran agama tersebut merupakan suatu elemen yang membentuk sistem nilai budaya. Agama juga dipahami sebagai sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya dan bahkan manusia dengan lingkungannya dalam bentuk pranata-pranata dan lembaga serta simbolsimbol keagamaan. Sedangkan budaya atau kebudayaan dimaknai sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri atas serangkaian aturan-aturan, resep, rencana dan petunjuk melalui simbol-simbol yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah
18
Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng dengan Sistem Syariat Islam dalam Lontarak Bugis Makassar” (Makalah yang disajikan pada Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan dengan tema “Empat Abad Islam Melembaga di Sulawsei-Selatan” dilaksanakan oleh Pusat Kajian Timur Tengan, Divisi Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian Unhas kerjasama Pemerintah Kota Makassar , 5-7 September 2007), h. 11.
10
lakunya itu.19 Jika demikian kebudayaan bukanlah sesuatu yang lahir secara alamiah, melainkan disusun oleh manusia sebagai hasil karya manusia dalam bentuk ide, konsep, tingkah laku dan pranata sosial serta benda artefak.20 Adat dan tradisi merupakan khasanah yang terus eksis dan hidup dalam masyarakat secara turun temurun yang keberadaannya akan selalu dijaga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi juga mengandung makna adanya kesinambungan antara kejadian masa lalu dan kondisi sekarang untuk perencanaan kegiatan yang akan datang. Dalam memahami tradisi, disyaratkan adanya gerak yang dinamis. Dengan demikian, tradisi tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang diwariskan, tetapi sebagai sesuatu yang dibentuk. Jadi tradisi merupakan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan yang mengacu pada masa lampau melalui proses pendidikan. Dalam tradisi ada dua hal penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan merujuk pada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk pada pembentukan dan penanaman tradisi kepada orang lain melalui proses pendidikan. Islam sebagai agama universal dan sebagai raḥmatan lil’ālamin (rahmat bagi seluruh alam), ajarannya bersifat menyeluruh dan terpadu, ia mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik dalam urusan duniawi yang meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, lingkungan dan budaya, maupun yang menyangkut pahala, dosa 19
Ismail Yahya, Adat-Adat Jawa Dalam Bulan-Bulan Islam, Adakah Pertentangan? (Jakarta: Tiga Serangkai Putra Mandiri. 2009), h. 2. 20
h. 1.
Koetjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1994),
11
dan kehidupan ukhrawi. Ajaran yang dibawanya seyogianya sesuai dengan perkembangan zaman, dan berlaku sepanjang masa menurut tuntutan situasi dan kondisi melampaui ruang dan waktu yang dalam istilah lain disebut, al-Islām ṣāliḥ li kulli zamān wa makān.21 Dengan demikian eksistensi ajaran Islam diharapkan mampu mengakomodasi dan memberi corak terhadap tradisi, adatistiadat dan kearifan lokal yang sudah mengakar dalam masyarakat. Kearifan lokal memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan pakaian lokal atau sebaliknya, budaya lokal muncul dengan pakaian Islam dalam kehidupan masyarakat. Lalu wajar jika muncul apa yang disebut dengan tradisi lokal yang bercorak Islam yang kemudian tumbuh mewarnai dan berlaku sebagai corak kehidupan keagamaan masyarakat dalam lokus dan fokus pada budaya setempat seperti apa yang tampak dalam upacara siklus hidup (kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian) yang mengiringi perjalanan hidup masyarakat suku Makassar. Sebagai contoh dari itu, Azyumardi Azra menuturkan dan menjelaskan di depan parlemen Eropa tentang karakter Islam Indonesia bahwa, “ kalau ada istri hamil tujuh bulan, dirayakan dan dibacakan surah Yasin atau surah Yusuf dengan harapan kalau lahir bayi itu lelaki ganteng seperti nabi Yusuf atau kalau perempuan cantik seperti Siti Zulaiha. Itu merupakan bagian dari tradisi lokal yang diadopsi oleh Islam Indonesia kemudian hal itu menjadi sesuatu yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia dan dekat dengan konteks kultur Indonesia.22
21
Muh. Room, Implementasi Nilai-Nilai Tasawuf dalam Pendidikan Islam: Solusi Mengantisipasi Krisis Spiritual di Era Globalisasi (Makassar: Yapma, 2006), h. 3. 22
Azyumardi Azra, “Acara Dengar Pendapat antara Para Tokoh Agama Indonesia dengan anggota Parlemen Eropa di Brussel, Belgia” Kompas tanggal 4 Juni 2011.
12
Kenyataan seperti itu pulalah yang dapat disaksikan dalam perjumpaan Islam dengan kebudayan lokal Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Dalam catatan sejarah, tatkala agama Islam diterima sebagai agama kerajaan kembar Gowa-Tallo di Sulawesi-Selatan (1607 M), Ulama berhasil menanamkan nilainilai ajaran Islam kepada masyarakat yang tertuang dalam sistem pangngaderreng secara akomodatif. Menurut Mattulada dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sulawesi-Selatan ada lima unsur pangngaderreng atau pangngadakkang. Menurut sejarahnya, pada mulanya hanya terdiri dari empat macam saja, yaitu ade, bicara, rapang dan wari sebagai unsur-unsur yang memperbaiki negara (kerajaan) dan barulah ketika Islam datang, maka sara’ (syariat Islam) dimasukkan menjadi bagian dari unsur-unsur Pangngaderreng/Pangngadakkang. Dalam Lontara Latoa disebutkan: Makkadatopi to–riolo eppa’mi uangenna padecengie tana, iami nagenna ‘ limampuangeng, narapi’ mani assaleng na ripattama’ tona sara’e seddi adee’ maduanna rapangnge, matellunna wari’e, maeppa’na bicarae, malimanna sara’e.23 Artinya : Berkata pula orang-orang dahulu, hanya empat macam saja yang memperbaiki negara, barulah dicukupkan ketika Islam diterima, yaitu pertama ade’, kedua rapang, ketiga wari, keempat bicara dan kelima sara’ (syariat Islam). Masyarakat Bugis-Makassar menyebut pranata Islam yang menggenapkan pangngadakkang itu, sehingga tersusunlah sendi-sendi kehidupan masyarakat Bugis Makassar atas adek; bicara, wari, rapang dan sarak. Menutut Abu Hamid masuknya sarak sebagai bagian dari pangngadakkang sesungguhnya memiliki arti
23
Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 339.
13
penting yang memberi warna yang khas dan tegas terhadap pangngadakkang secara keseluruhan, sehingga bagi masyarakat Bugis Makassar, Islam identik dengan kebudayaannya dengan segala aspek-aspeknya. Dengan kata lain ketaatan masyarakat Bugis Makassar terhadap sarak (syariat Islam) sama dengan ketaatan terhadap aspek pangngadakkang lainnya, sehingga tampak keterpaduan yang erat antara syariat Islam dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat Bugis Makassar secara komprehensip.24 Sebagai perbandingan dalam kehidupan masyarakat di Minangkabau Sumatera Barat dikenal ungkapan: adat bersendi sara, sara bersendi Kitabullah. Pola budaya pra Islam tersebut dijadikan sebagai media komunikasi agar lebih mudah mengganti dan mengisi pranata sosial yang baru (budaya Islam) tanpa menggoyahkan prananata sosial yang telah ada. Ini merupakan bentuk transformasi kebudayaan yang berlangsung secara damai antara tradisi lama dengan syariat Islam yang datang. Dan apabila terjadi pertentangan antara adat dengan syariat, maka raja mengambil keputusan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga dalam perkembangan selanjutnya terjadi konfigurasi antara tradisi dengan Islam yang meresap dalam bentuk pengetahuan, gagasan dan kepercayaan masyarakat yang tampak pada pola tingkah laku, ungkapan-ungkapan serta relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Di Sulawesi Selatan, setiap kerajaan memiliki cendikiawan atau orang pandai. Sosok manusia yang pintar ini biasanya diangkat sebagai pemangku kerajaan atau penasihat dalam sebuah kerajaan. Dalam catatan sejarah sejumlah
24
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), h. 138.
14
daerah di Sulawesi Selatan memiliki orang seperti itu, misalnya: Arung Bila di Soppeng, Puang ri Manggalatung di Wajo, Nene’ Mallomo di Sidrap, Maccae di Luwu, Kajao Laliddong di Bone serta Boto Lempangan dan Karaeng Pattingalloang di Gowa.25 Setiap cendekiawan ini memiliki petuah-petuah atau pesan-pesan (pasang/paseng) yang diamanatkan kepada rakyatnya dalam menjalankan kepemimpinannya. Penjelajahan yang telah dilakukan terhadap pasang/paseng mengungkapkan beberapa nilai sebagai kebudayaan Bugis-Makassar. Nilai-nilai itu diciptakan karena dimuliakan oleh leluhur mereka sebagai peletak dasar masyarakat dan kebudayaan Makassar. Kemudian dialihkan turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Dalam usaha mewariskannya mereka menasihatkan atau memesankan pesan-pesan dalam bentuk ungkapan-ungkapan. Nasihat dan petuah itu termaktub di dalam lontara yang disebut pappangajara dan paseng. Selain dua jenis tersebut terdapat juga sumber nilai yang utama yang disebut uluada. Melihat isinya uluada ini termasuk paseng atau pasang.26 Salah satu pesan-pesan moral (pasang) yang disampaikan Karaeng Pattingalloang tentang pentingnya kejujuran dan larangan berbuat curang atau korupsi
bagi
seorang pemimpin yang disampaikan dalam ungkapan sebagai
berikut: Ada lima sebab sehingga sebuah negeri itu rusak (lima pammanjenganna matena butta lompoa).
h. 66.
25
A. Wanua Tangke, Soppeng Beradab (Makassar: Refleksi, 1994), h. 3.
26
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Yokyakarta: Ombak, 2011),
15
1. Uru-uruna, punna tea nipakainga karaeng maggauka (kalau raja yang memerintah tidak mau menerima nasehat). 2. Makaruanna, punna tena tumangngasseng Ilalang pa,rasangang lompoa (kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negeri). 3. Makatallunna, punna mangalle sogok gallarrang mabbicaraya (kalau pejabat dan para hakim makan sogok/suap dan korupsi). 4. Makaappana, punna majai panggaukang kodi ilalang pa’rasangang (kalau terlalu banyak kejadian buruk dan kerusakan moral dalam suatu negara). 5. Makalimanna, punna tena nakamaseang atanna karaeng maggauka (kalau raja tidak lagi menyayangi dan melindungi rakyatnya). 27 Selanjutnya dalam untaian syair kelong (nyanyian) Makassar dikatakan: Punna mentengko sambayang Pakabajiki tajawiknu Salasa kontu Punna rua mukarannu Sambayang alle lipa Amalanu pare baju Iyami antu Nibokong tekle rianja.28 Artinya: Kalau mendirikan salat Perbaiki bacaanmu Kamu kan rugi Jika pikiran bercabang Sembahyang jadikan sarung Amalan jadikan baju Karena itulah Bekal dihari kemudian (akhirat).
27
Hamid Abdullah, Manusia Bugis Makassar (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), h. 88. Lihat pula Zainuddin Tika dan Ridwan Syam, Karaeng Pattingalloang Raja Tallo (Makassar: Refleksi, 2007), h. 44. 28
Sirajuddin Bantang, Sastera Makassar (Makassar: Refleksi, 2008), h. 12.
16
Pesan-pesan moral yang terkandung dalam kelong (nyayian) tersebut diwariskan oleh para cendekiawan dan raja terdahulu dan menjadi relevan untuk diangkat dan dilestarikan kembali ditengah krisis moral yang melanda bangsa Indonesia serta merebaknya budaya global untuk kemudian dijadikan sebagai warisan budaya untuk generasi sekarang dan akan datang. Ungkapan tersebut terekam dalam tradisi lisan berupa pasang, kelong dan paruntukkana yang sarat dengan nilai-nilai kejuangan (heroistis), kejujuran, kepemimpinan, etos kerja dan nilai-nilai pendidikan lainnya yang dapat menjadi media dalam membentuk karakter bangsa serta diwariskan dan dilestarikan melalui jalur pendidikan baik dalam pendidikan rumah tangga atau keluarga, jalur pendidikan di sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Menurut Aris Muthohar, salah satu penyebab terjadinya kemorosotan moral bangsa dewasa ini adalah karena belum berfungsinya secara maksimal ketiga lembaga pendidikan tersebut sebagai sarana pembinaan tatakrama, budi pekerti dan pembinaan karakter peserta didik. 29 Karena itu peserta didik harus senantiasa mendapatkan pendidikan akhlak dan pengembangan karakter yang bernilai kearifan lokal yang banyak ditemukan dalam ungkapan Makassar. Pendidikan akhlak dan nilai kearifan lokal merupakan sesuatu yang penting untuk dikaji dan diteliti lanjut. Dengan penelitian itu, akan bermuara pada temuan baru yang terkonsep dalam Islam dan budaya lokal. Dengan penelitian itu pula, akan ditemukan sintesis, asimilasi dan akuturasi yang hasil perkawinan antara agama dan budaya lokal yang berlangsung dengan cara persuasif, dan
29
Sam M. Chan, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 20.
17
dipersepsikan adanya ide-ide original ajaran asli dari agama atau budaya tersebut, atau di sisi lain boleh jadi ditemukan adanya akulturasi timbal balik antara agama Islam dan budaya lokal, karena diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Usul Fikih bahwa, al-ādah muḥakkamat,30 yang artinya adat itu dihukumkan, atau lebih jelasnya adat adalah syariah yang dihukumkan, artinya adat dan kebiasaan pada suatu masyarakat adalah sumber hukum dalam Islam selama adat tersebut tidak bertentangan akidah. Alasan lain pentingnya penelitian yang dimaksud, karena sampai sekarang belum pernah ada penelitian yang fokus pada persoalan relevansi Islam dan budaya lokal, khususnya penelitian yang menelusuri kaitan agama dan budaya lokal yang mengedepankan nilai-nilai pendidikan dalam ungkapan Makassar. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah pokok yang hendak dikaji lebih lanjut, adalah bagaimana eksistensi Islam dan budaya lokal sebagai aktualisasi kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Makassar serta relevansinya dengan Pendidikan Islam?. Agar penelitian ini menjadi terarah dan sistematis, maka masalah pokok yang telah ditetapkan, dikembangkan lebih lanjut dengan rincian sub masalah pokok sebagai berikut: 1. Bagaimana pola integrasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal? 2. Bagaimana bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Sastera Makassar?
Lihat kaidah tersebut dalam Abd. al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh (Kuwait: al-Dār al-Kuwaytiyah, 1986), h. 90. 30
18
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam? C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus Untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap fokus penelitian, serta menghindari kesalahpahaman (mis undertanding) terhadap inti penelitian berdasar kan permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka yang perlu dikemukakan deskripsi focus penelitian ini. 1. Fokus Penelitian Disertasi ini memiliki tema sentral sekaligus menjadi fokus penelitian, yakni Islam dan budaya lokal. Selanjutnya sub judul sebagai bagian dari fokus judul adalah kearifan lokal dalam ungkapan Makassar dan relevansinya dengan pendidikan Islam. Islam dalam disertasi ini adalah agama samawi yang diturunkan Allah swt bagi umat manusia. Agama ini sering pula disebut dengan istilah dīnullāh31 yang berarti agama milik Allah, dinulhaq32 yang berarti agama benar adanya dan dînulqayyim33 yang berarti agama tepat dan tegak. Islam juga merupakan fitrah Allah34 atau asal kejadiannya sesuatu, karena alam semesta dijadikan dan diatur oleh Allah, maka Allah menyatakan bahwa segala yang ada di langit dan di bumi semuanya aslama. Keterangan ini menunjukkan pengertian bahwa Allah
31
Lihat Q.S. Ali Imrān/3: 83
32
Lihat Q.S. al-Shaf/61: 9
33
Lihat Q.S. al-Taubah/9: 36.
34
Lihat Q.S. al-Rūm/30: 39.
19
menjadikan dan mengatur segala ciptaan-Nya dengan agama-Nya yaitu Agama Islam. Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, pemaknaan Islam pada awalnya disifatkan kepada Nabi Ibrahim as, kemudian nabi-nabi sesudahnya, sehingga pengertian Islam itu mencakup semua agama yang dibawa oleh nabi-nabi dan rasul-rasul utusan Allah, sebab membawa satu semangat yang sama yaitu semangat monoteisme.35 Dengan demikian, Islam dalam pandangan penulis adalah agama yang dibawa oleh nabi dan rasul Allah swt, Muhammad saw sebagaikhātam al-anbiyā’ wa al-mursalīn, agama tauhid yang menjadi anutan oleh dominan masyarakat, khususnya masyarakat Makassar yang sampai saat ini ajaran agama tersebut bersinergi budaya lokal, yang dapat dilihat antara lain dalam ungkapan bahasa Makassar yang mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Selanjutnya istilah budaya menurut Koentjaraningrat menjelaskan kata tersebut berasal dari bahasa Sansakerta yaitu budhayah yang merupakan bentuk plural (jamak) dari budhi yang berarti budi atau akal, sehingga kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. 36 Dengan definisi ini dapat dipahami bahwa adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Antropolog Sir Edward B. Taylor dari Inggris sebagaimana dikemukakan oleh Hans J. Daeng, mendefenisikan budaya sebagai the complex whole of ideas
35
Lihat Muhammad Rasyid Ridhā, Tafsīr al-Manār, juz II (Cet.II; t.d.), h. 257.
36
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1976), h. 137.
20
and things produced by men in their historical experience (keseluruhan ide dan barang yang dihasilkan oleh manusia dalam pengalaman sejarahnya. Selanjutnya Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah 'as pattern of thinking and doing that runs through activities of people and distinguished them from all other peoples (pola pikir dan tindakan orang yang tercermin melalui aktifitasnya dan yang membedakannya dari orang lain. 37 Definisi budaya yang disebutkan ini, menggambarkan suatu jalinan dan cakupan kebudayaan yang sangat luas dan kompleks sebagaimana yang telah disinggung berarti adat istiadat, tabiat asli, atau kebiasaan suatu masyarakat.38 Budaya juga bisa berarti manifestasi kebiasaan berfikir,39 sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat.40 Dengan demikian budaya menurut penulis, adalah adat istiadat atau sesuatu yang telah menjadi tabiat dan watak masyarakat yang dapat dilihat dari kebiasaan sistem berpikirnya, gagasaannya, dan tindakannya. Selanjutnya istilah kearifan lokal (local genius) adalah istilah yang sudah lama, namun istilah kearifan lokal dalam dekade belakangan ini sangat banyak didengungkan dan didiskusikan, baik dikalangan akademisi maupun dikalangan birokrasi. Istilah ini menjadi lebih populer kembali bersamaan dengan penerapan otonomi daerah di era reformasi yang ingin mengangkat kembali prinsip-prinsip 37
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologi (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 48 38
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indomesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 168. 39
Sidi Gazalba, Pengantar Kebuadayaan Sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1998), h.
40
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Budaya (Jakarta: Aksara Baru, 2003), h.
142 182.
21
hidup, nasehat, tatanan sosial dan norma-norma sosial budaya serta prilaku sosial yang ada dan berlaku di setiap daerah masing-masing di Indonesia.41 Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius). Kearifan local adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan (survive) dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas itu berada. 42 Dengan kata lain kearifan lokal tidak terlepas dari kearifan budaya setempat yaitu sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal dan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, karena manusia memiliki peran ganda, disatu sisi sebagai subyek yang memengaruhi lingkungannya dan pada sisi yang lain sebagai obyek yang dipengaruhi oleh lingkungan. Kearifan yang berarti kebijakan (Wisdom) dalam bahasa Inggeris juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat meliputi agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, 41
Mochtar Pabottingi, “Mengangkat Latoa: Tentang Identitas, Rasionalitas dan Otosentrisitas” (Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional 400 tahun Makassar, Makassar 30 Juni 2007), h. 3. 42
R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Badui dalam Mitigasi Bencana (Jakarta: Wedatama, 1910), h. 1.
22
memperbaiki dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitarnya.43 R. Cecep dalam artikelnya dengan judul “Melestarikan Kearifan Masyarakat Tradisional “(Indigenous Knowledge) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap komunitas masyarakat memiliki kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat tradisional sekalipun terdapat suatu
proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan (being smart and
knowledgeable). Dalam hal ini termasuk cara membuat makanan untuk memperbaiki ketahanan pangan, cara membuat peralatan tradisional yang diperlukan untuk mengolah sumberdaya alam demi menjamin tersedianya bahan makanan, cara membuat tanaman menjadi obat dsbnya. Dalam proses tersebut dalam penemuan yang sangat berharga dan
bermakna mengolah alam, agar
lingkungan tetap lestari. Kearifan berisi berbagai macam pengetahuan lokal yang digunakan oleh kelompok manusia menyelenggarakan Clifford Greetz
penghidupannya, bahkan
menggunakan istilah local knowledge (pengetahuan lokal).
Kearifan adalah kebijakan yang sudah terpola dalam tradisi, sedang pengetahuan bersifat operasional digunakan dalam lapangan kehidupan. Pengetahuan adalah bagian dari kearifan, keduanya melekat pada struktur isi kebudayaan, dalam arti bahwa pada tujuh unsur kebudayaan itu terlibat pengetahuan dan kearifan. Tempat pengetahuan dan kearifan itu dalam struktur yang dapat diamati pada folklore
43
2.
R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Badui dalam Mitigasi Bencana, h.
23
word
(tradisi
lisan),
view,
pesan-pesan/ungkapan-ungkapan
dan
pemali
(pantangan) serta tampak pada kepercayaan, pengetahuan, fakta-fakta sosial dalam pangngadereng/pangngadakkang dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassar dalam penelitian ini, diadopsi dari lontara yang memuat berbagai nasehat, prinsip, aturan/norma dan pedoman hidup
dalam
bermasyarakat
yang
mengandung
nilai-nilai
pendidikan,
kepemimpinan, kejujuran dan etos kerja. Kearifan lokal terdapat pada pappasang to riolo (wasiat orang dahulu) yang dapat dijadikan sarana untuk betingkah laku dalam kehidupan. Di dalamnya banyak terkandung falsafah hidup untuk dipatuhi agar manusia terhindar dari kebodohan, keserakahan, kemiskinan, dan keburukan lainnya yang bersinergi dan relevan dengan tujuan pendidikan Islam. Kearifan lokal yang akan dikaji
dalam disertasi ini berfokus pada ungkapan-ungkapan
sastera Makassar dalam bentuk pasang, kelong dan paruntukkana. Ungkapan adalah kata atau kumpulan kata yang digunakan oleh pembicara atau penulis untuk menyatakan suatu hal, maksud, kejadian secara tidak langsung. Dengan kata lain kata atau gabungan kata itu tidak digunakan menurut makna aslinya (makna leksikal atau makna gramatikal), melainkan menurut makna lain, yang sedikit banyaknya masih mempunyai hubungan atau asosiasi dengan makna aslinya itu. Sedangkan ungkapan Makassar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sejumlah ungkapan dalam bentuk sastera Makassar seperti pasang, kelong dan paruntukkana yang terekam dalam lontara dari ucapan raja dan orang tua terdahulu yang mengandung nilai-nilai kepemimpinan, kejujuran, etos kerja dan pendidikan lainnya.
24
Pasang/pappasang dalam bahasa Makassar dan paseng/pappaseng dalam bahasa Bugis, yang maknanya sama dengan kata nasihat atau wasiat dalam bahasa Indonesia. Pappasang sinonim dengan kata “Pangngajarak“ yang bermakna pembelajaran. Namun kata pappasang terasa lebih halus sehingga lebih banyak digunakan masyarakat Makassar. Pappasang atau pangngajarak adalah sesuatu yang dinasihatkan karena dianggap terpuji, mulia, baik dan mengandung unsur pendidikan. Dikalangan komunitas budaya
Mandar dikenal dengan istilah
kalindaqdag, sementara di masyarakat Bugis dikenal istilah paupau rikadong. Kelong adalah salah satu bentuk seni sastra Makassar yang digolongkan dalam satu genre puisi Makassar. Bentuknya hampir sama dengan pantun dalam sastra Indonesia.
Kelong sebagai bagian dari kebudayaan dan warisan sosial
budaya, digunakan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran untuk mewariskan nilai-nilai dan norma sosial dari orang tua kepada anak dan cucunya. Di dalam kelong tidak hanya terkandung pamali-pamali atau pantangan-pantangan, melainkan juga pendidikan keagamaan yang berisi perintah dan larangan dalam mengarungi kehidupan, baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Paruntukkana adalah salah satu jenis kesusasteraan lama masyarakat Makassar. Jenis kesusastraan ini dapat disamakan dengan peri bahasa, pepatah, perumpamaan, ungkapan atau idiom dan pameo dalam sastra Indonesia. Ia digunakan dalam berkomunikasi intraetnik untuk menghias percakapan, penguat maksud, pemberi maksud , penyampai nilai-nilai, yang mengandung pengajaran, pendidikan dan pedoman hidup. Dari pengertian ini tampak jelas bahwa Paruntukkana berkedudukan sangat tinggi sebagai pedoman hidup. Suku Makassar adalah salah satu suku selain Tator, Bugis, dan Mandar yang mendiami
25
hampir seluruh bagian Selatan Sulawesi Selatan meliputi kabupaten Pangkep, Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng, Bulukumba Sinjai dan Selayar yang hidup dan saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya. Pengertian pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di muka bumi dalam pengabdiannya kepada Allah. Dengan demikian gambaran manusia yang diharapkan melalui proses pendidikan adalah seorang muslim yang beriman kapada Allah, bertaqwa, berakhlak mulia, beramal kebaikan (amal saleh) menguasai ilmu (untuk dunia dan akhirat) serta menguasai keterampilan dan keahlian untuk memikul amanah dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya sesuai kemampuan masing-masing. Pendidikan karakter sendiri merupakan pendidikan untuk mengasah budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive) perasaan (feeling) dan tindakan (action). Thomas Lickona, pakar psikologi perkembangan dan guru besar di State University di New York mengemukakan, bahwa tanpa ketiga aspek tersebut pendidikan karakter tidak akan berjalan secara optimal. Kecerdasan intelektual (intellectual Quotient) atau IQ merupakan istilah yang cukup familiar dalam dunia pendidikan yang sering dijadikan patokan cerdas atau tidaknya seseorang dan dijadikan syarat untuk memasuki dunia sekolah atau pekerjaan. Tetapi itu tidak cukup menjamin kesuksesan hidup seseorang.,sehingga kecerdasan emosional pun harus diperhatikan. Kecerdasan Emosional (Emosional Intelligence) atau EI adalah kemapuan seseorang mengendalikan emosinya saat
26
menghadapi situasi, baik situasi itu menyenangkan maupun menyakitkan atau tidak menyenangkan.44 Dengan pemahaman dan penghayatan sastera Makassar dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai pendidikan sebagai bagian dari bentuk
kearifan lokal
dengan
memadukan
diharapakan peserta didik akan terbentuk karakternya antara
kecerdasan
intelektualnya
dan
kecerdasan
emosianalnya yang dilandasi dengan kecerdasan spiritual melalui pengamalan ajaran Islam. 2. Deskripsi Fokus Berdasarkan batasan definisi operasional pada focus penelitian ini, maka lebih terinci deskripsi fokusnya dapat dilihat dalam matriks berikut: Matriks Deksripsi Fokus Penelitian No.
Fokus Penelitian
1
Pola integrasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal
3.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Sastera Makassar.
4
Relevansi antara kearifan lokal dalam ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam?
44
Uraian Deskripsi Fokus - Integrasi yang bersifat asimilasi - Integrasi kultural - Sinrilik. - Kelong. - Pakkio bunting. - Rupama - Aru/anngaru - Paddoangang - Paruntukanna - Pasang/pappasang - Sirik - Kalambusang - Abbulo sibatang - Kareso tamattappu
Ary Ginanjar Agustian, Emotional, Spiritual, Quotient, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (Jakarta: Arga Publising, 2009), h. 17.
27
- Kepemimpinan - Moral Keagamaan D. Kajian Pustaka Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap beberapa literatur kepustakaan, terutama karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan Islam dan budaya lokal dalam kaitannya dengan kearifan lokal dalam ungkapan Makassar yang relevan dengan pendidikan Islam demikian, belum ditemukan satu pun tulisan berupa buku, atau karya ilmiah lainnya yang sama persis dengan penelitian dalam disertasi penulis ini. Walaupun demikian, dalam penelusuran penulis lebih lanjut, ditemukan sebagian literatur kepustakaan bahkan ada juga penelitian berupa disertasi yang ternyata sangat mendukung penelitian penulis sebagai sumber inspirasi. Andi Rasdiyanah dalam disertasinya yang berjudul, Integrasi Sistem Pangngaddareng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa, menguraikan secara komprehensif tentang sistem pangngaddareng yang dalam bahasa Makassar pangngaddakang lengkap dengan unsur-unsurnya seperti adék, konsep rapang, konsep bicara, konsep warik, dan konsep sarak.45 Konsep-konsep yang diuraikan Andi Rasdiyanah tersebut, dijadikan bahasan khusus dan termasuk sumber penting dalam penelitian disertasi penulis ini, khususnya kajian Andi Rasdiyanah yang dalam disertasi tersebut menjelaskan bahwa, kata adék dalam bahasa Bugis, dan adák dalam bahasa Makassar berasal dari Bahasa Arab. Kata ini (adék dan adák) telah lama dikenal di 45
Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng dengan Sistem Syari’at sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa” (Disertasi, PPS IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995), h.. 137-176
28
Sulawesi Selatan dan tertulis dalam Lontarak Latoa. Kata tersebut dalam bahasa Arab sinonim dengan ‘urfun menjadi ma’rūfun yang berarti prilaku atau tindakan yang bersifat kebajikan yang bersesuaian budaya lokal setempat. Selanjutnya Rusli Malli menulis disertasi dengan judul, Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Sarak sebagai Unsur Pangngadakkang bagi Masyarakat Makassar di Kabupaten Gowa. Disertasi ini meneliti tiga persoalan pokok. Pertama, pemahaman masyarakat suku Makassar tentang nilai-nilai pendidikan Islam dalam sarak sebagai unsur pangngadakkang, yang kedua relevansi
nilai-nilai
pendidikan
Islam
dengan
sarak
sebagai
unsur
pangngadakkang bagi masyarakat suku Makassar di Kabupaten Gowa. Ketiga, penerapan
nilai-nilai
pendidikan
Islam
dalam
sarak
sebagai
unsur
pangngadakkang bagi masyarakat suku Makassar di Kabupaten Gowa. Rusli Malli kemudian merumuskan kesimpulan sebagai berikut: Pertama,
pemahaman
masyarakat
Makassar
tentang
nilai-nilai
pendidikan Islam terhadap sarak sebagai unsur pangngadakkang di kalangan suku Makassar dikonsepsikan dalam aturan-aturan etika, adat istiadat dan tradisi yang sejalan dengan ajaran Islam, himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, merupakan tradisi masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat berdasarkan Islam. Kedua, relevansi nilai-nilai pendidikan Islam dengan sarak sebagai unsur pangngadakkang di kalangan suku Makassar, mencakup nilai spiritual, nilai intelektual, nilai moral, nilai sosial, dan nilai ritual yang terimplementasi melalui
29
pendidikan secara informal di lingkungan keluarga, secara formal di lingkungan sekolah, dan secara nonformal di lingkungan masyarakat Makassar. Ketiga, implementasi nilai-nilai sarak sebagai unsur pangngadakkang bagi suku makassar dapat dilihat pada segi penguatan akidah dan semakin meningkatnya keimanan masyarakat karena ajaran ketuhanan yang terkandung dalam pappasang sebagai sumber inspirasi sejalan konsep sarak.46 Hasil penelitian Rusli Malli tersebut dalam pandangan penulis, berimplikasi pada pentingnya nilai-nilai pendidikan Islam dalam sarak sebagai unsur pangngadakkang di kalangan suku Makassar, namun tidak menekankan Islam dan budaya lokal dalam kaitannya implementasi pendidikan Islam untuk tetap dilestarikan sebab selain menjadi simbol identitas masyarakat yang telah diwariskan oleh kejayaan masa silam, juga sejalan dengan konsep ajaran Islam. Dengan demikian, penulis di sini berusaha untuk menawarkan gagasan tentang urgennya pelestarian budaya lokal dan diupayakan dengan cara tetap menjadikan pendidikan Islam sebagai alat dan acuan implementasi. Selanjutnya M. Dahlan M dalam disertasinya berjudul, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Historis terhadap Adat
Perkawinan Bugis Sinjai,
yang
pembahasannya fokus pada masalah pokok tentang eksistensi Islam dalam kaitannya dengan budaya lokal adat perkawinan masyarakat Bugis Sinjai. Dengan persoalan pokok tersebut penulisnya mengembangkan pada tiga masalah penelitian. Pertama, proses islamisasi di Sinjai yang melahirkan asimilasi budaya
46
Rusli Malli, “ Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Sarak sebagai Unsur Pangngadakkang bagi Masyarakat Makassar di Kabupaten Gowa.” (Disertasi, Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2011), h. 223.
30
lokal. Kedua, konsep perkawinan budaya Islam dalam budaya lokal Bugis di Sinjai. Ketiga, asimilasi budaya Islam dan budaya lokal dalam adat perkawinan Bugis di Sinjai. M. Dahlan M, kemudian merumuskan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, proses islamisasi di Sinjai yang melahirkan asimilasi budaya bermula sejak diterimanya Islam sebagai agama pada abad ke-17. Budaya Islam yang telah merambah wilayah Sinjai saat itu, berasimilasi dengan budaya lokal berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat setempat yang relevan dengan tata nilai pangngaderreng masyarakat. Kedua, prosesi perkawinan dalam budaya lokal masyarakat Bugis Sinjai secara berturut dimulai dari acara mammanu’manu’, madduta, mappettuada, mappacci, tudangbotting, dan marola. Ketiga, asimilasi budaya lokal dalam perkawinan bugis terhadap ajaran Islam di Sinjai, disebut sebagai asimilasi kultural spiritual karena ditemukannya perpaduan antara budaya lokal dengan budaya yang berkembang sekarang, di dalamnya mengandung nilai-nilai agama yang sakral.47 Dalam pandangan penulis bahwa kesimpulan penelitian disertasi M. Dahlam M tersebut mengarah pada urgennya pemahaman budaya lokal masyarakat Bugis Sinjai, terutama yang berkenaan dengan konsep perkawinan dengan berbagai prosesinya. Sementara penulis selain menekankan Islam dan budaya lokal juga fokus pada relevansinya dengan pendidikan Islam.
47
M. Dahlan M, “ Islam dan Budaya Lokal: Kajian Historis terhadap Adat Perkawinan Bugis Sinjai” (Disertasi, Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2013), h. 286.
31
Selain yang telah disebutkan, sejumlah peneliti terdahulu, baik dari dalam maupun luar negeri
telah mengadakan pengkajian yang berhubungan
dengan kebudayaan dan sejarah masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan kemudian berintegrasi dengan kebudayaan lokal. J. Noorduyn misalnya adalah seorang sarjana sastera berkebangsaan Belanda yang memahami isi lontara BugisMakassar, menulis sejarah Islam Makassar dengan Judul: De Islamisering Van Makassar (Islamisasi Makassar). Tahun 1972 diterbitkan oleh Bhratara Jakarta diterjemahkan oleh S. Gunawan dengan kata pengantar Andi Zainal Abidin Farid. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Islam masuk di Indonesia dibawa oleh pedagang dari India dan Irak kemudian orang Melayu dan Jawa. Selanjutnya pada abad XVI saudagar-saudagar Malayu sudah merapat dan menetap di Makassar dan pantai lainnya di Sulawesi Barat Daya. B.F. Matthes, juga seorang peneliti berkebangsaan Belanda, paling berjasa dalam mengangkat kesusasteraan Makassar. Dalam penelitiannya berjudul: “Makassaresche Chrestomathie”. Dia menulis, kemudian menceritakan kembali beberapa cerita rakyata Makassar yang berbentuk prosa liris, seperti sinrilik I Maddik Daeng Rimakka, I Datu Museng dan Jayalangkarak. Pada bagian lain juga menulis kelong (nyanyian berbentuk pantun), paruntukkana (ungkapan/peri bahasa dan pasang atau paseng. Buku ini masih berbahasa Makassar dan diterbitkan di Belanda. Selain itu ada pula penelitian yang pernah dilakukan oleh Nappu (1986) dengan judul Kelong dalam Sastera Makassar dan penelitian yang dilakukan oleh Hakim dengan judul Pasang dan Paruntukkanan dalam Sastera Makassar. Kedua penelitian yang disebut terakhir ini pada dasarnya ingin
32
menyempurnakan kelemahan yang dimiliki buku Matthes tersebut dengan mengangkat kembali dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ahmad M. Sewang membahas proses islamisasi di Kerajaan Gowa yang dimulai dari pintu atas (raja) kemudian dianut oleh rakyatnya. Metode ini menggambarkan kepiawaian Ulama penyebar Islam awal dalam menyiarkan Islam sehingga tercipta hubungan harmonis antara raja dan Ulama (Umara dan Ulama). Dalam menjalankan dakwanya, ulama tidak melarang secara keras praktek-praktek budaya yang dilakuakan masyarakat tetapi mengisi dengan nilai-nilai Islam seperti tampak pada upacara siklus hidup (kelahiran, sunatan, perkawinana dan kematian). Demikian pula dalam aspek-aspek kehidupan sosial yang lainnya seperti politik pemerintahan, pendidikan dan ekonomi. Demikian membahas
pula
Mattulada,
orang
pertama
memperkenalkan
dan
antropologi Bugis-Makassar yang berkaitan budaya lokal melalui
disertasinya dengan judul Latoa, Suatu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Kini telah diterbitkan menjadi buku yang membahas konsep penyelenggaraan negara yang mengacu pada dua nilai dominan yaitu kebenaran (kontu tojeng) dan keadilan (adele). Selain itu dibahas pula tentang unsur-unsur panngadereng yang terdiri atas adak, warik, rapang, bicara yang bertintegrasi dengan sarak. Pada tahun 1996 bersama Abu Hamid meneliti tentang peranan Ulama dan lembaga pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Pembahasannya diawali dengan kehadiran Islam pada awal abad XVI lalu memasuki pada pase perkembangan abad XVII dengan penekanan pada usaha pemantapan dan penghayatan secara kultural dari ajaran Islam.
33
Abu Hamid juga meneliti tentang Sistem Pendidikan dan Madrasah di Sulawesi Selatan. Dalam hasil penelitiannya menguaraikan secara historis Panngadereng (Bugis) Pangngadakkang (Makakssar) dan Bate salapang yang merupakan lembaga dan pranata sosial yang dibentuk kerajaan Gowa untuk menampung tradisi lama dengan keyakinan religius yang baru yaitu Islam. Dalam tahap selanjutnya proses adaptasi ini membawa konsekuensi dalam ketentuan hukum dalam sistem strata dan pelapisan sosial, yaitu kedudukan ulama (to panrita) sebagai guru dan pendidik menjadi hal yang penting. Hamid Abdullah pada tahun 1985 menulis disertasi tentang Bugis Makassar, Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar, penerbit Idayu Jakarta. Disertasi ini memberikan pembahasan secara jelas tentang konsep dan tingkah laku masyarakat Bugis. Dalam tahun yang sama
A. Rahman Rahim dalam
disertasinya “Nilai-Nilai
Utama Kebudayaan Bugis, membahas tentang warisan kebudayaan Bugis, Konsep Tomanurung dalam lima kerajaan, Luwu, Gowa, Bone, Soppeng, serta Wajo. Juga dibahas tentang sumber Nilai berupa amanat dan nasihat serta perjanjian antar kerajaan. Inti pembahasan dalam buku ini adalah nilai-nilai utama kebudayaan Bugis-Makassar yaitu kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan,dan usaha (reso) serta nilai sirik (malu). Sugira Wahid, 2007, dengan judul Manusia Makassar, yang berawal dari disertasi. Dalam buku ini membahas perjalanan adat manusia Makassar secara detail, mulai dari pengertia kata Makassar sebagai grup etnis, Makassar sebagai ibukota Kerajaan, Makassar dalam legenda, perkembangan huruf lontara
34
Makassar. Nilai-nilai budaya etnis Makassar serta kriteria untuk perbaikan pemerintahan terdiri atas tujuh syarat yaitu: Kejujuran, kata benar, keteguhan, perhatian, murah hati, ketulusan, berani serta ketenangan. Juga dijelaskan makna nilai dalam kebudayaan Makassar sebagai berikut: Makna nilai tau (orang) dalam budaya Makassar. Makna nilai siri (harga diri), makna nilai pacce (iba) makna nilai pangngalik (perasaan hormat) ,makna nilai pangngadakkang (adat istiadat). Penulis lain di luar Sulawesi adalah Simuh menulis tentang Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, diterbitkan oleh Teraju Bandung, membahas bagaimana Islam berbaur dan bergaul dengan budaya Jawa. Pada bab pertama buku ini membahas tentang Islam dan budaya Jawa dengan mengutip pendapat St. Takdir Alisyahbana tentang enam nilai budaya yaitu nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai ilmiah, nilai, agama, nilai seni dan nilai solidaritas. Dijelaskan pula tentang pola penyebaran Islam di Jawa yang disebarkan dalam lingkungan kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsurunsur Hinduisme dan pola budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang Animisme dan Dinamisme. Dijelaskan pula proses perjalanan islamisasi di Jawa, dimana Islam sulit diterima di lingkungan budaya istana. Dikisahkan dalam cerita Babad Tanah Jawa, Raja Majapahit menolak agama baru itu sehingga dengan demikian Islam sulit menembus masuk dalam lingkungan istana. Karena itu para penganjur agama Islam kemudian memilih masyarakat pedesaan, khususnya di daerah-daerah pesisir pulau Jawa sebagai basis penyebaran Islam melalui pesantren dengan sistem halakah seperti yang berlaku di Basrah dan Bagdad.
35
Nur Syam, Islam Pesisir di pantai Utara pulau Jawa, diterbitkan oleh Pelangi Aksara Yokyakarta. Buku ini membahas tentang ritual dalam Islam Lokal. Dengan kajian etnografi, penulisnya membahas bagaimana masyarakat pesisir di pulau Jawa melakukan berbagai upacara-upacara seperti upacara lingkaran hidup, tolak bala dan upacara hari-hari baik dengan mengacu pada medan budaya yaitu makam, sumur dan masjid. Dari tulisan dan hasil penelitian tersebut menjadi inspirasi bagi penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan disertasi ini. Dalam pada itu, sepengetahuan penulis memang belum ada tulisan yang khusus mengangkat dan menjadikan pembahasan tentang nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Bugis-Makassar seperti dalam pasang, kelong dan paruntukkana dan relevansinya dengan nilai- nilai pendidikan. Namun sangat disadari bahwa sejumlah penelitian tersebut sangat membantu penulis, sebagai bahan rujukan dan perbandingan. Dengan demikian menurut hemat penulis disinilah perbedaan tulisan ini dengan penelitian sebelumnya, sehingga menjadi signifikan untuk dibahas dan diteliti kembali sebagai upaya penyelamatan kebudayaan lokal dari kepunahan sebagai aset budaya dan sejarah yang mendukung kebudayaan Nasional di tengah terpaan dan persaingan budaya asing (global). Sementara itu, disadari pula bahwa pesan-pesan moral yang terkandung dalam ungkapan tersebut diwariskan oleh para cendekiawan dan raja terdahulu dan menjadi relevan untuk diangkat dan dilestarikan kembali ditengah krisis moral yang melanda bangsa Indonesia serta merebaknya budaya global untuk kemudian dijadikan sebagai warisan budaya untuk generasi sekarang dan akan datang.
36
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara kearifan lokal Bugis-Makassar dengan pendidikan Islam serta upaya pelestariannya melalui pendidikan sebagai upaya membangun
karakter bangsa melalui pendidikan.
Secara khusus penelitin ini bertujuan untuk: a. Mendeskripsikan proses dan bentuk-bentuk integrasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal, sehingga diketahui proses integrasi budaya lokal tersebut baik secara asimilasi maupun integrasi kultural. b. Menjelaskan bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Makassar, sehingga dipahami makna dan konsep ungkapan Makassar seperti yang
termaktub
dalam
sinrilik,
kelong,
rupama,
aru,
paddoangan,
paruntukana, pasang, dan pakkio bunting. c. Menemukan relevansi antara kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam dalam rangka merumuskan upaya-upaya pelestarian dan penguatan budaya lokal melalui pendidikan karakter yang dipahami dari pasang, kelong dan paruntukkana.
2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat dilihat dari dua aspek yaitu: a. Kegunaan Ilmiah atau akademik, diharapkan dapat menambah informasi kesejarahan dan kebudayaan terutama sejarah masuknya Islam di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan , kemudian berintegrasi dengan budaya lokal tanpa
37
saling meminggirkan antara satu dengan yang lainnya bahkan mampu hidup berdampingan antara adat dan sara’ yang dilembagakan (parewa sarak dan pampawa adak). Dengan demikian dapat menjadi bahan perbandingan dan rujukan bagi dai’, pendidik serta peneliti masa kini dalam rangka pengembangan dakwah dan pendidikan di Kabupaten Gowa secara khusus dan di Sulawesi Selatan pada umumnya. b. Kegunaan Praktis, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengambil kebijakan bagi umara dan ulama serta organisasi keagamaan dan lembaga pendidikan dalam
merumuskan upaya-upaya pelestarian nilai budaya lokal melalui
pendidikan di Kabupaten Gowa secara khusus dan di Sulawesi Selatan secara keseluruhan.
38
BAB II TINJAUAN TEORETIS Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan yang erat, ibarat dua sisi mata uang yang memiliki keterkaitan antara satu sisi dengan sisi lainnya.Pakar pendidikan seperti Theodore Brameld melihat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat dan kebudayaan. Menurut dia hubungan antara pendidikan dan kebudayaan dapat dilihat dalam arti bahwa, keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama
yaitu
nilai-nilai.1 Begitu pula dalam rumusan-
rumusan mengenai kebudayaan seperti Tylor telah menjalin ketiga pengertian yaitu manusia, masyarakat dan budaya, sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan.2 Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan pendidikan pun hanya dapat terlaksana dalam dan melalui suatu masyarakat. Apabila kebudayaan mempunyai tiga unsur penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan (order), kebudayaan sebagai suatu proses, dan kebudayaan mempunyai visi dan membawa misi tertentu (goals), maka pendidikan dalam rumusan tersebut sesungguhnya adalah proses pembudayaan. Dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat. Demikian pula sebaliknya tidak ada suatu kebudayaan dalam pengertian sebagai suatu proses tanpa pendidikan dan proses kebudayaan dan
1
Theodore Brameld, Cultural Foundations of Education (New York: Harper &Brothers, 1957), h. 74. 2
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 7.
38
39
pendidikan tersebut hanya dapat terjadi dalam hubungan antara manusia dalam masyarakat tertentu. Hanya saja dalam kenyataannya, pemerintah belum menemukan strategi yang tepat untuk mensinergikan antara kebudayaan dan pendidikan. Pengertian kebudayaan terkadang dimaknai sempit, seperti dikatakan Utomo Dananjaya 3 bahwa kebudayaan selama ini hanya diartikan sebagai kesenian yang berorientasi pada produk materil dan komersil. 4 Strategi kebudayaan itu yang kita tidak punya. Selama ini semua hanya sporadis, seperti mengirim budaya ke luar negeri dengan seni tradisional. Hal yang sama dikemukakan oleh Arief Rahman Hakim (Ketua Harian Komite Nasional untuk UNESCO), kebudayaan bukan hanya semata-mata kesenian, melainkan juga gaya hidup, nilai-nilai, norma, agama, keyakinan dan kepercayaan, bahasa serta komunikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa pemerintah selama ini keliru, karena menjadikan kebudayaan sebagai tunggangan pariwisata yang bermuara pada produk komersial yaitu suatu konsep yang hanya pada pencapaian masyarakat sejahtera yang hanya menjadikan masyarakat materialistis. Dalam strategi kebudayaan,
Utomo Dananjaya
menawarkan
agar
pemerintah mengelola
kebudayaan terutama nilai-nilai budaya yang membentuk watak dan karakter masyarakat yang berke-indosia-an dengan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal setiap suku yang belum diekplorasi dan digali. Dia
3
Utomo Dananjaya adalah Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 4
2011.
Utomo dananjaya, Pemerintah tak punya Strategi Kebudayaan. Kompas , 19 Oktober
40
mencontohkan Jepang yang memiliki etos kerja keras serta kedisiplinan yang tinggi dan itulah yang disebut kebudayaan. Masyarakat Indonesia juga memiliki nilai luhur dan ciri kebudayaan yang kuat seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat, saling menghargai dan selainnya. Mudah-mudahan dengan pengubahan nomenklatur yang dilakukan presiden Susilo Bambang Yudoyono tanggan 19 Oktober 2011 Kementrian Pendidikan dan
dari
Kementrian Pendidikan Nasional menjadi
Kebudayaan, dapat menjadi angin segar dalam
pembinaan kebudayaan di Indonesia pada masa datang. A. Tinjauan Teoretis tentang Pendidikan 1. Pengertian dan beberapa Pendekatan dalam Pendidikan Secara etimologis kata pendidikan berasal dari kata didik yang mengandung arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan dan mendidik.5 Dari pengertian ini, pendidikan terkandung tiga unsur yaitu: pendidikan itu sendiri, belajar dan latihan. Secara sepintas tiga istilah tersebut tampaknya sama, namun memiliki perbedan yang siknifikan yang terletak pada proses dan tujuan masing-masing. Dalam hal ini, mendidik berasal dari kata didik artinya memelihara dan memberi latihan. Pengertian ini lebih ditekankan pada seluruh aspek kepribadian, seperti nilai-nilai agama, sosial, budaya, iptek dll. Moeliono dalam Abbas Syafaat mengartikan mendidik sama dengan memelihara
5
Muliono dalam Abbas Syafaat, Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensialnya (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 92.
41
dan memberi latihan (ajaran, pimpinan).6 Dalam bahasa Arab istilah pendidikan sering diterjemahkan dengan “al-tarbiyah ta’dib, ta’lim’ tadris, dan tadzkirah yang secara keseluruhan menghimpun kegiatan
yang terdapat dalam proses
pendidikan yaitu membina, memelihara, mengajarkan,mensucikan jiwa dan mengingatkan manusia terhadap hal-hal yang baik.7 Jadi pengertian pendidikan secara etimologis sangat luas. Proses pendidikan dapat meliputi kepribadian manusia, intelektual dan ketrampilannya. Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup (Education as a necessity of life), memiliki fungsi sosial (education as a social fungsion), sebagai bimbingan (education as direction), sebagai sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan (education as growth), serta membentuk disiplin hidup (preparation unfolding and formal discipline).8 Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap peserta didik oleh orang dewasa agar ia menjadi manusia dewasa. Menurut Sudirman (1984; 40); pendidikan berarti usaha yang dijalankan seseorang atau sekolompok orang untuk memengaruhi seseorang atau sekolompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam aspek mental.
6
Muliono dalam Abbas Syafaat, Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensialnya h.
93. 7
Abuddin Nata, Manajmen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2003), h. 9. 8
Abdurrahman, Ilmu Pendidikan: Sebuah Pengantar Dengan Pendekatan Islami (Jakarta: Al- Qushwa, 1988), h. 14.
42
Sedangkan menurut tokoh pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mengemukakan, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran atau intelek dalam tubuh anak)9. Dalam pikiran Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagianbagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak selaras dengan dunianya. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara mengingatkan,bahwa pendidikan itu untuk memerdekakan manusia, dalam arti bahwa untuk menjadikan manusia memiliki sikap kemandirian, agar tidak tergantung pada orang lain, baik lahir maupun batin. Kemerdekaan yang dimaksud Ki Hajar Dewantara terdiri atas tiga macam yaitu: a) berdiri sendiri, b) tidak bergantung pada orang lain dan c) dapat mengatur dirinya sendiri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan dalam arti khusus dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang berpusat dalam lingkungan rumah tangga sebagai tanggunjawab keluarga. Dalam pengertian khusus ini, pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal antara ayah, ibu dan anak dimana terjadi proses pemanusiaan anak.
9
35.
Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa (Yokyakarta: 1964), h.
43
Dalam ajaran Islam, pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figure sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggunjawab untuk membantu
memanusiakan, membudayakan, dan
menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya untuk menjaga keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sedangkan pendidikan dalam arti luas dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Terkait dengan pemahaman ini Nelson B. Henry dalam bukunya Introduction to Philosophy of Education mengemukakan: “But to see as a process of growth and development taking place as the result of the interaction of an individual with his environment, both physical and social, beginning at birth and lasting as long as life itself a process in lohich the social heritage as part of the social environment becomes a tool to be used toward the development of the best and most intelligent person possible, men and women who will promote human welfare, that is to see the educative process as philosophers and educational reformers conceived it”. 10 Melalui kutipan di atas menggambarkan bahwa pendidikan
merupakan
suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. Warisan sosial merupakan bagian dari warisan masyarakat, menjadi alat bagi manusia untuk pengembangan bagi dirinya yang terbaik dan inteligen, untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan
10
Nelson, B. Henry, Philosophies of Education (Chikago: University of Chikago Press, 1955), h. 72.
44
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar
peserta didik secara sadar mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.11 Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya kearah kesempurnaan. Jadi secara umum pendidikan dapat dipandang sebagai upaya merubah manusia dari suatu kondisi lainnya yang lebih baik dalam berbagai aspek sepanjang hayatnya Secara umum tujuan mendidik adalah untuk mencapai kepribadian yang terpadu (terintegrasi), yang sering disebut sebagai kepribadian yang dewasa dan sehat, karena itu umumnya para ahli pendidikan merumuskan tujuan pendidikan untuk mencapai kedewasaan. Pengertian pendidikan relevan dengan pengajaran, yang berasal dari kata dasar ajar artinya petunjuk yang diberikan kepada orang lain supaya diketahui atau dituruti. Dalam bahasa arab mengajar sering disebut ta’lim. Hal ini mengandung pengertian bahwa, mengajar lebih ditekankan pada ilmu yang lebih bermanfaat bagi perkembangan kemampuan berfikirnya atau intelektualnya. Dengan demikian mengajar lebih sempit cakupannya dari pada mendidik dan pendidikan lebih luas cakupannya daripada pengajaran. Proses pengajaran dapat diterapkan pada manusia untuk mengembangkan intelektualnya.
11
Yossy Suparyo, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU No. 20 Tahun 2003 Besrta Penjelasannya (Yokyakarta: Media Abadi, 2005), h. 6.
45
Tujuan pengajaran dirumuskan oleh Sadullah
dalam Abbas Asyafaat
adalah untuk menggarap kehidupan intelek anak agar anak sebagai orang dewasa kelak memiliki kemampuan berfikir seperti yang diharapkan orang dewasa secara ideal, di antaranya mampu berfikir abstrak, logis, objektif, kritis, sistematis, analitis, sintetis, integrative dan inovatif. Pendidikan dan pengajaran seperti yang disebutkan berkaitan pula dengan pelatihan yang berasal dari kata latihan berasal dari kata dasar latih yang dapat diartikan sebagai usaha untuk memperoleh ketrampilan. Dalam bahasa Arab sering diistilakan dengan tadrib. Moeliono,dalam Abbas Syafaat mengartikannya sebagai belajar membiasakan diri agar mampu melakukan sesuatu atau berbuat agar menjadi terbiasa.12 Sebagai contoh seorang guru melatih menulis indah (kaligrafi) kepada muridnya. Perbuatan melatih juga dapat diterapkan pada hewan seperti pada anjing, gajah dan lumba-lumba. Tujuan pelatihan diarahkan untuk memperoleh ketrampilan tentang sesuatu.
Karakteristik ketrampilan
umumnya
merupakan
perbuatan
yang
berlangsung secara mekanistik (kadang-kadang tanpa dipikir lagi). Hal ini penting untuk mempermudah beberapa urusan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat pula membantu proses belajar. Hasil dari pencapaian tujuan pengajaran dan pelatihan amat mendukung tujuan pendidikan yaitu terbangunnya, kepribadian seseorang secara utuh (kaffah). Uraian yang telah dikemukakan bermuara pada pemahaman bahwa pendidikan memiliki hakikat. Membahas tentang hakekat pendidikan dapat
12
Abbas Syafaat, Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensialnya, h. 94.
46
dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologis atau metafisik. Dalam pendekatan epistemologi yang menjadi masalah adalah akar atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai obyek yang akan menjadi dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan. Di dalam usaha tersebut dikaji mengenai
peranan
pendidikan
dan
kemungkinan-kemungkinan
dan
arah
pendidikan itu pada masa datang. Dari sudut pandang ini pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang inheren dalam konsep manusia. Artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan, tanpa proses pendidikan manusia tidak bisa berkembang menjadi lebih baik. Pandangan lain memandang proses pendidikan berkenaan dengan obyek dari proses tersebut ialah peserta didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta didik merupakan obyek dari ilmu pendidikan.13 Selanjutnya ada pula yang melihat hakikat pendidikan di dalam adanya pola struktur hubungan antara subyek dan obyek, yaitu antara pendidik dan peserta didik. Pendekatan epistemologis mengenai hakikat pendidikan tentunya memiliki berbagai
kelemahan,
namun
titik
beratnya
adalah
bagaimana
proses
berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Pendekatan
ontologis
atau
metafisik
menekankan
kepada
hakikat
keberadaan, yaitu keberadaan pendidikan, sementara keberadaan pendidikan tidak
13
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 8.
47
terlepas dari keberadaan manusia itu sendiri. Dengan demikian keberadaan pendidikan tidak terlepas dari hakikat keberadaan manusia. Apakah manusia itu dan apakah makna
keberadaan manusia itu. Pertanyaan-pertanyaan metafisik
tersebut juga merupakan pertanyaan yang esensial dalam proses pendidikan. Kedua jenis pendekatan mengenai hakikat pendidikan, baik epistemologi maupun ontologi atau metafisik, kedua-duanya mempunyai kebenaran masingmasing. Ilmu pendidikan sebagai ilmu tentunya mempunyai obyek, metodologi serta analisis mengenai proses pendidikan itu. Namun yang pasti bahwa baik subyek maupun obyek pendidikan adalah anak manusia sehingga tidak terlepas dari pertanyaan mengenai hakikat manusia. Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai teori mengenai apakah sesungguhnya hakikat pendidikan. Secara umum pendekatan mengenai hakikat pendidikan dapat ditelusuri melalui beberapa pendekatan pendidikan. Pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integrative, merupakan bagian penting dari hakikat pendidikan. Dengan mengetahui pendekatan tersebut dipahami konsep pendidikan secara teoretis. Berkaitan dengan itu, maka terlebih dahulu diuraikan pendekatan redaksionisme yang terdiri atas beberapa pendekatan sebagai berikut: a. Pendekatan Pedagogis. Pandangan pedagogis beranggapan bahwa setiap anak memiliki potensi untuk dididik menjadi manusia dewasa. Pandangan ini sangat menghormati dan mengagungkan potensi dan hakikat anak. Para pakar pendidikan maupun pendidik
48
profesional hampir sepakat untuk menganut teori paedagogis ini. Pandangan paedagogis, memang mempunyai segi-segi yang positif yang sangat menghormati perkembangan anak, namun juga mempunyai berbagai kelemahan karena anak seakan-akan
diisolasikan
dari
kehidupan
bersama
dalam
masyarakat.14
Pedagogisme melahirkan child centered education (pendidikan berpusat pada anak) yang cenderung melupakan bahwa anak hidup di dalam suatu masyarakat tertentu dan mempunyai cita-cita hidup bersama yang tentunya dalam masyarakat pula itu sendiri. b. Pandangan Filosofis. Pendekatan filosofis mengenai pendidikan bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak. Anak manusia mempunyai hakikatnya sendiri dan berbeda dengan hakikatnya orang dewasa. Anak bukanlah orang dewasa yang bentuknya kecil. Anak mempunyai nilai-nilainya sendiri yang akan berkembang menuju kepada nilai-nilai dan potensi seperti orang dewasa. Pandangan filosofis ini melahirkan suatu ilmu pendidikan yang melihat hakikat anak sebagai titik tolak proses pendidikan. Pandangan filosofis yang mengakui nilai-nilai anak yang khas juga mengakui akan perkembangan etik serta relegi anak sebagai suatu yang khas dan harus dihormati di dalam proses pendidikan. Pandangam ini tumbuh secara subur di Eropa dan dianggap sebagai pandangan kontinental yang melihat bahwa proses pendidikan akan berakhir ketika anak manusia itu menjadi dewasa. Pandangan ini sudah mulai ditinggalkan
14
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 9.
49
oleh kerena ternyata manusia tidak pernah berhenti untuk
memperoleh
pendidikan. Selain itu manusia akan terus menerus berkembang selama dia hidup. Dengan demikian pandangan bahwa pendidikan berakhir ketika manusia dewasa, sudah tidak relevan lagi di dalam dunia informasi dan komunikasi dewasa ini, karena pendidikan berlangsung seumur hidup (life long education) sebagai mana hadis Nabi Muhammad Saw, yakni أ طﻠﺒﻮا اﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﻠﺤﺪ إﻟﻰ اﻟﻤﮭﺪىyang artinya Tuntutlah ilmu mulai dari taman kanak-kanak sampai ke taman makam pahlawan. c. Pendekatan Relegius. Pendekatan relegius atau religionisme dianut oleh pemikir-pemikir yang melihat hakikat manusia sebagai mahluk yang relegius. Pandangan ini memandang hakikat pendidikan untuk membawa peserta didik menjadi manusia yang relegius, karena
sebagai mahluk ciptaan Tuhan peserta didik itu harus
dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan hartakatnya sebagai manusia. Pendekatan relegius mengenai hakikat pendidikan menekankan kepada pendidik untuk mempersiapkan peserta didik bagi kehidupannya di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu pendidikan agama menjadi yang utama dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang mempunyai citra relegius ini dikenal dalam semua kebudayaan manusia, baik di Barat maupun di Timur. Pendidikan hendaknya berfungsi bukan hanya untuk kehidupan akhirat tetapi juga untuk meningkatkan mutu kehidupan duniawi yang aman, nyaman, adil dan sejahtera. Dengan demikian pendekatan relegius terhadap pendidikan abad 21 ini akan semakin relevan oleh karena kemajuan ilmu pengetahuan belum dapat dijadikan jaminan untuk lahirnya kehidupan etis manusia untuk hidup bersama tanpa adanya
50
pendekatan agama sekarang ini. Apalagi disadari bahwa abad ke- 21 adalah era globalisasi yang dalam pikiran M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya: Masa ini ditandai oleh krisis yang mendalam di berbagai aspek kehidupan, bahkan manusia merasakan apa yang disebut the agony modernization, yaitu azab sengsara karena modernisasi. 15 Gejala ini gampamg disaksikan karena menjadi tontonan, baik di media cetak mau pun media elektronik setiap hari dengan semakin meningkatnya angka kriminalitas khususunya di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya seperti kekerasan, pemerkosaan, judi, penyalahgunaan obat terlarang, tawuran antar remaja, penyerangan terhadap aliran lain, bunuh diri, dan berbagai penyakit sosial lainnya. d. Pendekatan Psikologis. Pendekatan psikologis atau psikologisme dalam pendidikan sangat kuat terutama pada tahap permulaan lahirnya ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu pada permulaan abad 20. Teori-terori belajar anak serta teori-teori lainnya mengenai perkembangan anak telah memasuki dunia pendidikan secara meluas. Psikologisme cenderung mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses belajar mengajar dan perencanaan pendidikan. Pandangan tersebut secara tidak langsung mempersempit pandangan para pendidik seakan-akan ilmu pendidikan terbatas kepada ilmu mengajar saja, karena proses mengajar merupkan suatu tugas yang sesuai dengan manusia itu sendiri, sehingga profesi sebagai pendidik kurang mendapat apresiasi dibanding dengan profesi lainnya. Namun demikian proses 15
M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya dalam Muh. Room, Implementasi Nilai-Nilai Tasawuf dalam Pendidikan Islam (Solusi Mengantisipasi Krisis Spiritual di Era Globalisasi) (Makassar: Berkah Utami, 2006), h. 16.
51
pendidikan dalam masyarakat modern tidak hanya sebatas pada proses belajar mengajar saja, tetapi sejalan dengan proses pranata pendidikan sebagai pranata sosial, maka pendidikan perlu dikaji secara ilmiah dan ditangani secara profesional. Masalah pembiayaan penddikan, manajmen pendidikan, supervise pendidikan tidak dapat dilaksanakan secara amatiran saja tetapi harus dikuasai secara profesional dan proforsional. Dengan demikian, harus diakui bahwa proses belajar-mengajar merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses pendidikan, namun pendidikan bukanlah semata-mata melaksanakan proses belajar mengajar yang tercantum dalam kurikulum saja, akan tetapi proses pendidikan jauh melampaui dari apa yang tertuang dalam kurikulum, yaitu bagaimana mewujudkan suatu masyarakat yang juga ingin diwujudkan oleh generasi penerusnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum). e. Pendekatan Negativisme. Pendekatan Negativisme dalam uraian ini diambil dari pendapat filosof Bertrand Russel dalam bukunya yang terkenal Education and Social Order. Ada tiga teori menurut dia yang sifatnya negatif. Pertama, teori yang menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah menjaga pertumbuhan anak. Dalam pertumbuhan anak perlu disingkirkan hal-hal yang dapat merusak atau yang sifatnya negative terhadap pertumbuhan itu. Dengan demikian pandangan negativism ini melihat bahwa segala sesuatu seakan-akan telah tersedia di dalam diri anak yang akan tumbuh dengan baik apabila tidak
52
dipengaruhi oleh hal-hal yang dapat merugikan pertumbuhan tersebut.16 Pandangan ini mengibaratkan tugas seorang pendidik ibarat seorang penjaga kebun, yang menghindarkan tanaman tersebut dari gangguan hama dan serangan serangga. Teori ini tentunya banyak memiliki kelemahan. Pertama-tama anak manusia tidak dapat tumbuh dengan sendirinya, dikaruniai berupa kemampuan berfikir, merasa, keinginan dan lain-lain yang tidak dapat bertumbuh dan berkembang
dengan
sendirinya
tanpa
bantuan
orang
lain
dan
bahkan
lingkungannya termasuk peranan pendidik dan masyarakat sekitarnya. Jadi tugas pendidik tidak terbatas hanya menyingkirkan hal-hal yang negative tetapi bersama sama dengan peserta didik untuk mengarahkan dan mengembangkan kemampuan yang ada di dalam diri peserta didik. Kelemahan lain dari pandangan ini adalah terlalu menyederhanakan proses pendidikan dan terlalu optimis terhadap potensi yang dimiliki peserta didik. Kedua,
yang
memandang
bahwa
pendidikan
sebagai
usaha
mengembangkan kepribadian peserta didik atau dengan kata lain membudayakan individu. Pandangan dianggap sebagai pandangan yang negative karena di dalam mengembangkan kepribadian anak implisit dengan melindungi anak dari hal-hal yang negative yang dapat menghalangi perkembangan kepribadiannya. Pandangan ini menginginkan agar anak kelak menjadi manusia yang memiliki sikap moral, maka hal-hal yang dapat mengganggu kepribadian yang bermoral tersebut harus dihindari. Dalam pandangan ini tidak terlihat betapa pendidikan seharusnya
16
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 23.
53
memberikan kepercayaan kepada kemampuan peserta didik agar semakin lama semakin bertanggung jawab dan menentukan arah perkembangan kepribadiannya itu. Pandangan ini pula secara instristik melihat bahwa kepribadian akan berkembang kearah yang lebih baik dengan sendirinya. Dengan demikian menurut pandangan ini pendidikan sesungguhnya bertugas untuk memagari perkembangan kepribadian peserta didik dari hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat. Pandangan ini tentunya kurang realistis sebab tidak mungkin peserta didik diisolasikan dari interaksi dan hiruk pikuk kehidupan masyarakat nyata. Pendidikan merupakan interaksi yang terus menerus anatara individu dengan pendidik serta lingkungan masyarakat luas. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilki individu serta pengaruh positif dan negative secara keseluruhannya berinteraksi dalam proses pendidikan atau proses pengembangan peserta didik. Oleh karena itu proses pendidikan tidak dapat disederhanakan dengan mengisolasi peserta didik dari pengaruh negatif masyarakat. Bahkan justru di dalam belajar dan mengatasi serta memecahkan masalah dan pengaruh yang negative dari masyarakat maka kepribadian peserta didik itu akan berkembang kearah yang lebih baik. Ketiga, pandangan negative yang melihat proses pendidikan adalah melatih peserta didik menjadi warga Negara yang berguna. Pandangan ini juga berarti menghindarkan peserta didik dari hal-hal yang dapat mengakibatkan menjadi warga Negara yang tidak berguna bagi masyarakaatnya. Pandangan ini juga sangat tidak realistis oleh karena individu dalam kehidupan kesehariannya akan banyak bersentuhan dengan
hal yang negative maupun positif. Peserta didik perlu
54
mengenal dan diperkenalkan bukan hanya kepada hal-hal yang positif tetapi juga hal yang negatif dengan harapan agar dapat menemukan cara dan formulasi yang tepat untuk mengatasi hal-hal yang negative itu. Dalam masyarakat modern dengan perkembangan teknologi yang canggih, orang mulai memprediksi adanya tingkat kejahatan dengan modus operandi yang canggih dan beragam bentuk termasuk kriminalitas cyber sesuai dengan kemajuan teknologi komunikasi. Disinilah dituntut pendidikan moral menjadi prioritas pendidikan. Dengan demikian dapat ditarik benang merah,bahwa pandangan pandangan negative tersebut memang dapat membawa proses pendidikan kepada suatu proses yang defensive atau protektif, tetapi tidak akan membawa peserta didik kepada pengambilan keputusan untuk berdiri sendiri dan bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadiannya. Hidup penuh dengan tantangan dan tuntutan untuk bertanggung jawab. Proses pendidikan pada dasarnya bukanlah suatu proses yang protektif tetapi lebih kepada yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk belajar berdiri sendiri dan mengambil keputusan sendiri secara moral dan bertanggung jawab. f. Pandangan Sosialisme. Pandangan sosialisme mengenai hakikat pendidikan terdapat versi yang bermacam-macam. Pada prinsipnya pandangan ini meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat. Titik tekan dari pada pandangan ini adalah
diprioritaskan kepada masyarakat dan bukan kepada
individu, Dari sisi ini jelas perbedaan dengan pandangan paedagogis. Dari berbagai pandangan sosialisme ini dapat dijelaskan sebagai beikut:
55
Pertama, Peserta didik adalah anggota masyarakat, dengan asumsi bahwa peserta didik harus dipersiapkan menjadi anggota masyarakat yang baik. Hal ini adalah suatu yang logis, namun demikian dalam sejarah perkembangan manusia terlihat tidak semuanya selalu bersifat etis, karena banyak tuntutan masyarakat didominasi oleh tuntutan dan kepentingan seseorang atau golongan atau suatu ideologi yang pada hakikatnya menindas suatu kebebasan individu. 17 Masyarakat komunis misalnya atau masyarakat totaliter lainnya jelas melecehkan martabat manusia. Proses pendidikan di dalam masyarakat tersebut tentunya tidak jauh beda dari proses indoktrinasi untuk mempersiapkan robot-robot sebagai anggota dari masyarakat tersebut, sehingga kata hati, moral akan menjadi pertimbangan kedua karena segalanya akan diarahkan dan dipersiapkan untuk mempertahankan status quo terhadap struktur masyarakat yang berlaku. Pandangan lain dari aliran ini adalah developmentalisme. Suatu pandangan bahwa segala sesuatu diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan. Pandangan ini cukup terkenal di Negara-negara berkembang pada umumnya dan Indonesia pada khususnya dimasa Orde Baru di bawah pimpinan presiden Soeharto. Hal ini disebabkan atas suatu keinginan untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan dalam segala bidang. Orang berlomba untuk mencapai target tersebut dengan harapan kelak dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk mencapai target tersebut maka pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dipacu
17
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 25.
56
dan dipercepat, namun tidak jarang pula nilai-nilai kemanusiaan disubordinasikan untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Pangalaman Indonesia pada masa orde baru tampak jelas dalam pandangan developmentalisme yang mengarahkan kepada pencapaian target-target tertentu seperti pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, program pemberantasa buta huruf, target pembelajaran sembilan tahun.Developmentalisme sangat mementingkan pertumbuhan ekonomi dan cenderung mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi yang pada gilirannya kurang memberikan perhatian kepada pengembangan sumber daya manusia dalam arti yang luas. Hal ini berbeda dengan konsep pendidikan yang di kembangkan di negeri jiran Malaysia yang sejak awal memfokuskan pada pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, sehingga banyak orang-orang pintar yang tidak diberdayakan di Indonesia karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru waktu itu, akhirnya diambil oleh Malaysia, seperti Hasan Langgulung. Namun sekarang berbanding terbalik karena banyak tenaga kerja Indonesia yang minim ketrampilan dan ilmu menjadi pekerja kasar dan serabutan di Malaysia. Di sisi lain lagi orang Indonesia banyak menimba ilmu pada tingkat master (S2) dan tingkat doctor (S3) di Malaysia. Salah seorang pakar pemikir pendidikan terkenal adalah Paulo Preire yang mengumandangkan konsep konsiensisialisme yang dikenal dengan pendidikan pembebasan yang melihat proses pendidikan di dalam struktur masyarakat tertentu di Amerika Latin. Masyarakat Amerika Latin pada mulanya adalah masyarakat yang feodalistik, baik oleh tuan-tuan tanah maupun oleh Gereja. Dengan keadaan
57
ini bukan hanya terjadi jurang pemisah antara kaya dan miskin tetapi ternyata melahirkan juga gerakan-gerakan absolute yang menuntut pembebasan atas hakhaknya. Dengan demikian tujuan pendidikan yang hendak dicapai adalah bagaimana membangitkan kesadaran manusia untuk mencapai harkat dan martabatnya dengan kebebasan tanpa penindasan dari oknum penguasa. Konsepnya adalah pendidikan sebagai proses pembebasan. Konsep yang dikembangkan oleh Freire adalah konsep pendidikan yang sarat dengan muatan politik terutama di negara-negara Amerika Latin. Paulo Freire di dalam pendidikan pembebasan melihat fungsi atau hakikat pendidikan sebagai pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Menurut dia sekolah sudah dijadikan sebagai kekuatan social-politik untuk memelihara dan menjaga status quo
bukan membebaskan manusia dari tirani kekuasaan. Dalam istilah
Freire “kapitalisme yang licik” sehingga sekolah harus berfungsi menjadi pembangkit kesadaran bahwa manusia adalah bebas. Pandangan tersebut tentunya sah-sah saja sepanjang dilakukan dengan baik dan bermoral
sebagai upaya
membangkitkan kesadaran peserta didik sebagai bentuk tanggung jawab warga Negara yang baik dalam membentuk dan membangun masyarakat dan negaranya melalui perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. Uraian yang telah di atas member pemahaman bahwa sesungguhnya pendidikan memiliki pendekatan holistk-integratif. Hakikat pendidikan holistik maka beraawal dan pandangan terhadap peserta didik sebagai anak manusia, tidak hidup secara terisolasi melainkan hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat tertentu, yang memiliki budaya, yang mempunyai visi terhadap
58
kehidupan masa depannya bahkan pasca kehidupan sekalipun. Oleh karena itu rumusan tentang hakekat pendidikan secara holistk integrative adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global. Berangkat dari rumusan operasional hakikat pendidikan tersebut di atas yang mempunyai komponen-komponen pula yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Bahwa proses pendidikan itu merupakan suatu proses tanpa henti dan berkesinambungan (Life Long education). Proses ini meniscayakan adanya potensi-potensi dasar dan kemampuan keinginan-keinginan,
dorongan
yang
yang dimiliki peserta didik berupa dapat
dikembangkan
secara
berkesinambungan. Kemampuan-kemampuan tersebut harus dikembangkan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup atau dihidupkan dalam masyarakat dan lingkungannya. Lingkungan tersebut berupa lingkungan manusia, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan ekologinya. Hal ini mengandung arti bahwa proses pendidikan tidak berhenti setelah menjadi dewasa, melainkan aka terus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama manusia serta dengan lingkungan alamnya. b. Proses
pendidikan
berarti
menumbuhkembangkan
eksistensi
manusia.
Eksistensi manusia tidak pernah selesai dan tidak berakhir sepanjang hayat manusia. Eksistensinya jauh menjangkau, baik terhadap lingkungannya maupun dalam sesama
manusia dalam planet bumi ini. Dengan demikian
59
tanggung jawab manusia yang ditumbuh-kembangkan melalui proses pendidikan bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga dimensi nasional bahkan global. c. Manusia sebagai mahluk yang bermasyarakat. Proses pendidikan adalah tidak terjadi dalam ruang hampa tetapi sekurang-kurangnya terdapat unsur-unsur ibu, orang tua, pendidik formal. Lembaga pendidikan adalah pranata sosial masyarakat yang ditugaskan untuk melaksanakan proses pendidikan secara sistematis. Oleh karena itu pula lembaga-lembaga pendidikan tidak telepas dari kontrol masyarakat dimana lembaga pendidikan itu berada. Selanjutnya dalam pengertian ini proses pendidikan bukan menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat atau hidup dalam suatu masyarakat, tetapi proses pendidikan tersebut adalah masyarakat itu sendiri. Dengan alasan itu pula John Dewey mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidak berada di luar proses pendidikan itu tetapi di dalam pendidikan sendiri karena sekolah adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Proses pendidikan mengandalkan nilainilai dalam masyarakat, maka dengan sendirinya proses pendidikan adalah penghayatan dan perwujudan nilai-nilai tersebut. Sehingga dalam masyarakat dewasa ini dilanda berbagai krisis, maka pendidikan dianggap sebagai benteng dari kehidupan kembali (survival) suatu bangsa dan kemanusiaan. Hal ini hanya terjadi apabila pendidikan diletakkan di dalam tempatnya yang sebenarnya yaitu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang pada dasarnya adalah kehidupan manusia yang bermoral.
60
d. Proses Pendidikan dalam masyarakat yang membudaya. Inti kehidupan bermasyarakat
adalah
nilai-nilai.
Nilai-nilai
tersebut
perlu
dihayati,
dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan seluruh anggota masyarakatnya. Keseluruhan proses tersebut adalah kebudayaan. Dengan demikian tidak mungkin hidup suatu masyarakat tanpa budaya. Masyarakat bukan hanya memiliki budaya tetapi sekaligus membudaya, artinya selain nilai-nilai yang dilestarikan juga akan muncul nilai-nilai baru. Cepat atau lambat
suatu
kebudayaan akan terus bergerak dan maju. Selama masyarakat itu hidup, selama itu pula budayanya akan berkembang.Sebagai konsekuensinya maka pendidikan pun harus berkembang. Dengan demikian antara pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Para ahli antropologi mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan pengikat dalam suatu tata kehidupan bersama. Tata nilai inilah yang mengarahkan kehidupan bersama tersebut berorientasi ke masa
lalu dan ke masa depan. Tata
kehidupan tersebut mempunyai pola dan berorientasi di dalam suatu keteraturan dan disiplin para anggotanya. Tanpa keteraturan dan disiplin maka suatu kesatuan hidup akan bubar dengan sendirinya dan berarti pula matinya suatu kebudayaan. e. Proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang. Dengan dimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek historisitas, kekinian dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti bahwa suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang menyejarah, berarti pula bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpuk dan
61
berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Aspek kekinian berarti bahwa suatu budaya bukanlah merupakan suatu yang tertutup dari dunia luar apalagi di dalam kehidupan modern dewasa ini di mana manusia hidup di alam tanpa batas, sehingga aspek kekinian dari budaya manusia telah mengglobal (mendunia). Selain itu, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta perdagangan bebas telah membuka cakrawala baru di dalam kehidupan bersama sehingga manusia mempunyai masa depan bersama. Dengan kemajuan dalam berbagai aspek itu akan melahirkan kebudayaan global yang lambat
tapi
pasti
akan
memengaruhi
kebudayaan-kebudayaan
lokal.
Demikianlah sehingga dimensi ruang dan waktu di dalam proses kebudayaan merupakan konsikuensi logis dari eksisitensi manusia yang tak dapat dipisahkan dalam rangka proses pendewasaan yang terkait dalam kehidupan masyarakat yang berorientasi kemasa depan yang lebih baik. Dari uraian di atas tergambar pendekatan hakikat pendidikan yang holistik-integratif yang menjadi salah satu pandangan dalam pengembangan manusia seutuhnya. Pengembangan manusia seutuhnya melihat manusia sebagai peserta didik yang dikaruniai Tuhan sebagai mahluk yang memiliki potensipotensi.18. Potensi-potensi tersebut hanya dapat dikembangkan di dalam dan oleh masyarakat sebagai anggotanya sekaligus mewujudkan nilai-nilai kehidupan sebagai nilai kemanusiaan ciptaan Ilahi. Dengan demikian proses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
18
kebudayaan kerena proses pendidikan adalah proses
Mengenai potensi (inteligensi) manusia yang beragam dapat dilihat dalam Howard Gardner. Multiple-Inteligences, h. 14.
62
pembudayaan dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti
menjauhkan dari humanisasi sebagai
perwujudan nilai moral di dalam kehidupan manusia. Dalam pengalaman banyak Negara, pendidikan ditempatkan sebagai salah satu kunci penting dalam menentukan keberhasilan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Tanpa sistem penidikan berkuaitas, pembangunan sumber daya manusia akan kedodoran.Secara normative bangsa Indonesia juga menekankan pentingnya pendidikan dengan mengalokasikan dana yang cukup tinggi, namun tetap menjadi pertanyaan macam pendidikan mana yang perlu dikembangkan agar mampu menciptakan manusia yang berkualitas yang mampu menciptakan budaya unggul. Banyak orang berpendapat bahwa budaya unggul mulai berkembang, namun tidak sedikit pula yang menilai sistem pendidikan Indonesia kurang mampu menciptakan budaya unggul. Penilain terakhir ini tampaknya sebagai reaksi sekaligus gugatan terhadap kenyataan sehari-hari yang tampak pada media tentang perbuatan negative remaja seperti pergaulan bebas, geng motor yang sarat kekerasan, tawuran antar pelajar, masyarakat yang begitu gampang terpengaruh, kurang disiplin, tidak mau antri, lebih-lebih kalau melihat perilaku elite di panggung politik. Kiprah politisi lebih menghadirkan kegaduhan ketimbang sugesti untuk membangun budaya unggul yang menekankan kerja keras, jujur, disiplin,
rasa
tanggung jawab, rasa
bersalah, saling menghormati
dan
menghargai.19 Dengan alasan itulah, pemerintah dewasa ini melalui Kementrian
19
Pendidikan dan Budaya Unggul. Dalam Tajuk Rencana , Kompas, 15 Desember 2011.
63
Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyusun cetak biru strategi kebudayaan. Isinya serangkaian kebijakan stratrgi membangun serta mengembangkan ketahanan budaya nasional, karakter dan jati diri bangsa. Di Indonesia banyak berdiri pusat kebudayaan asing seperti Britis Council, Goethe Institut, Pusat Kebudayaan Perancis, Pusat Kebudayaan India. Namun kekuatan budaya nasional yang merupakan budaya lokal jarang diperkenalkan ke luar negeri.20 Wilayah pertama yang perlu direformasi adalah visi atau kerangka konseptual terhadap pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan bermula dari prinsip Tauhid (keutuhan dan keterpusatan kepada Tuhan). Hal inilah yang menjadi dasar pijakan dalam pandangan terhadap pendidikan. Prinsip tauhid mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman
terhadap dunia dan seluruh aspek pendidikan. Tauhid
mengajarkan untuk menghimpun pandangan yang holistik, terpadu dan komprehensip terhadap pendidikan. Prinsip tauhid menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep tauhid harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk di dalamnya adalah:
a.
apa yang diajarkan (isi),b.
bagaimana kita mengorganisir dan apa yang harus diajarkan (struktur), c. bagaimana kita mengajarkannya (proses). Akhirnya, tauhid haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi, dan praktik
20
pendidikan kita. Oleh karena itu,
Hal itu disampaikan wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti ketika membuka Komprensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) II di Bandung tanggal 19-122011. Kompas, 20 Desember 2011.
64
konsep tarbiyah merancang sebuah pendekatan pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur, dan proses dan terpadu dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum (baik bagaimana dan apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan pelayanan. Konsep ini menegaskan bahwa aspek-aspek integrative secara signifikan akan meningkatkan kekuatan, relevansi, dan keefektifan pengalaman belajar dan mengajar. Konsep tarbiyah ini mengadvokasikan pendekakatan holistk dalam pendidikan sebagaimana tabel berikut: Tabel Pendidikan Holistik Aspek holistik
Contoh
Tujuan
Pembelajaran seumur hidup bersifat komprehensif, menjadikan anak didik sebagai hairah umah. Pemahaman anak secara utuh, pikiran, tubuh, jiwa, Pandangan terhadap anak multi intelegensi, dan juga gaya belajar. Gagasan yang powerfull dan pertanyaanpertanyaan brillian terhadap dunia secara utuh Apa yang harus diajarkan (multikultural) Bagaimana Kurikulum terpadu, pembelajaran integrated mengorganisir Bagaimana Sesuai dengan kemampuan anak didik, pengajaran mengajarkannya yang bervariasi, pemanfaatan lingkungan Adapun prinsip tauhid (holistik, terpadu, terpusat pada tuhan) adalah prinsip dasar dari pendekatan tarbiyah,
selain itu terdapat sejumlah prinsip
lainnya yang mendukung terbentuknya kerangka teoritis dari pendekatan tersebut. Beberapa prinsip ini berasal dari adanya perenungan terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan alam.
65
Al-Qur’an memerintahkan untuk memerhatikan dengan teliti (misalnya menyelidiki,
mengamati
dengan
cerdas,
menguraikan,
menemukan
dan
merenungi) ayat-ayat Tuhan di alam ini dalam rangka mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang jati diri sebagai manusia. Dengan berdialog dengan alam bisa memahami adanya hukum alam yang tak terelakkan yakni tentang pertumbuhan dan perkembangan. Siang dan malam, langit dan bumi serta bulan dan matahari dan kejadian kosmik lainnya,
kesemua ini berkembang sesuai
dengan pola terpadu. Memahami pola pertumbuhan dan perkembangan kosmik ini sangatlah penting bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pengajaran dan pendidikan. Dengan kekuatan dan kabijaksanaannya yang brillian, Allah telah menciptakan makhluk dengan cara gradual dan proses perkembangan yang lebih dari satu babak. Hal ini menunjukkan adanya waktu panjang, komitmen dan konsistensi. Proses ini tidak hanya terjadi pada makhluk hidup tetapi juga pada makhluk lainnya bahkan hal ini juga terjadi pada sejarah dan beberapa proses alam. Ini adalah merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri dan diganggu gugat. Untuk meraih kesuksesan para pendidik haruslah memahami hukum pertumbuhan dan perkembangan ini karena hal ini juga terjadi pada anak didik secara langsung. Selain itu mereka harus menggabungkan hukum ini secara filosofis pedagogis dan praksisnya. Jika tidak demikian secara alami mereka akan menentang arus hukum alam dan akan bertentangan dengan perkembangan arus anak didik. Dengan cara memerhatikan faktor-faktor tersebut, para pendidik akan
66
sangat mengerti keinginan peserta didik dan sekaligus akan menemukan metode dan cara mendidiknya. Fenomena alam semesta ini haruslah dapat dipahami sebagai tanda-tanda (ayat) kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan dan harus dikaitkan dengan dunia pendidikan. Pohon misalnya merupakan metafora yang sempurna dalam proses perkembangan yang dikenal dengan tarbiyah. Dalam Al-Qur’an digunakan metafort pohon untuk menjelaskan superioritas kebaikan atas kejahatan. Dalam QS. Ibrahim/14: 24, dinyatakan:
Terjemahnya: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.21 Adapun pohon dan proses pertumbuhannya merupakan tanda atau titik renungan yang sangat menakjubkan bagi mereka yang membesarkan anak. Para orang tua maupun pendidik harus merenunginya secara mendalam untuk menemukan hubungan yang bervariasi sehubungan dengan cara mengasuh dan membesarkan anak secara tepat. Penggunaan metafort pohon ini sebagai cara untuk menjelaskan sifat tarbiyah dan tahapan-tahapan pertumbuhan anak. Beberapa prinsip tarbiyah tentang pendidikan berasal dari metafor pohon. Adapun pendekatan konsep tarbiyah juga secara umum sangat berkaitan dengan prinsip-prinsip ini. Dewasa ini pandangan-pandangan penting telah dicetuskan
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 2002), h. 21
67
tentang bagaimana seorang anak didik bisa belajar dengan baik. Khususnya pandangan modern yang mengkaji tentang otak dan pendekatan yang diperbaharui kearah psikologi holistik dan pembelajaran terpadu. Di bawah ini adalah deskripsi tentang prinsip-prinsip kunci yang membentuk dasar-dasar model pendidikan tarbiyah. Ketika beberapa prinsip itu berasal dari wawasan atau pandangan modern dalam rangka meraih pembelajaran yang efektif, tetapi pada saat yang bersamaan kita juga bisa mencatat bahwa banyak juga dari prinsip tersebut yang ada korelasinya dengan pemikiran Islam klasik. Pandangan-pandangan tersebut penulis gabungkan dalam konsep ini karena mempertimbangkan implikasi penting yang ditimbulkan dalam perencanaan pendidikan dan pengembangan kurikulum yaitu: a. Fitrah. Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, seperti halnya biji pohon. Biji itu sudah terisi bahan dasar yang penting untuk pertumbuhannya. Fitrah ini akan terbuka dan berkembang secara alami ketika berada pada lingkungan yang tepat. b. Unik. Setiap anak memiliki sifat yang unik. Hal ini berdasarkan adanya genetik yang unik. Bakat yang dimiliki setiap anak. Tiap anak mempunyai talenta, temperamen dan kemampuan serta potensi yang berbeda-beda. Hal ini merupakan bagian dari fitrah anak sekaligus membuat mereka unik. Pendidikan harus memelihara dan menghargai setiap keunikan yang dimiliki peserta didik (dengan mengingat bahwa anak bukanlah obyek yang bisa didik secara seragam dan sama).
68
c. Holistik. Pendidikan berawal dan bermula dari prinsip tauhid (keutuhan dan keterpusatan pada tuhan). Hal inilah yang menjadi dasar dan pijakan terhadap pendidikan. Prinsip tauhid mencakup konsep filosofi maupun metodologis yang terstruktur dan koheren dan pemahaman aspek hidupnya. Tauhid mengajarkan kita
tentang dunia dan seluruh
untuk menghimpun pandangan
yang holistik, terpadu dan konprehensif terhadap pendidikan. d. Integratif. Pembelajaran efektif haruslah terpadu; mendidik anak secara spiritual, moral, intelektual, fisik emosi dan social. Intergrasi haruslah mencakup topik, integrasi waktu, tempat dan budaya, integrasi dalam kurikulum, integrasi antara pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai dan aplikasinya dalam aksi. Aspek-aspek integrasi ini lebih mempunyai potensi yang kuat untuk mencapai pembelajaran efektif. Selain itu pembelajaran juga harus memadukan antara pikiran dan fisik. Semua pembelajaran tergantung pada penilaian fisiologis badan anak didik, gizi, hormon, lingkaran perhatian dan waktu adalah bagian terpadu dalam pembelajaran. e. Bertahap.Tahapan-tahapan perkembangan anak sangat berpariasi. Anak-anak berkembang melalui tahapan-tahapan sesuai genetik dan lingkungan. Oleh karena itu pola pendidikan anak harus mengacu pada makna tarbiyah yang berarti mengembangkan dari tahapan satu ke tahapan berikutnya sampai meraih potensi optimalnya. f. Mempertimbangkan Emosi. Emosi menyebabkan adanya perhatian, motivasi, makna,
dan
memori.
Pengalaman-pengalaman
emosional
membuat
pembelajaran menjadi sangat penting. Untuk alasan inilah (sebagaimana yang
69
juga disarankan al-Quran), kekaguman, keingintahuan,dan penemuan adalah titik awal proses pembelajaran. Sebaliknya perasaan stres dan ancaman menghalangi pembalajaran normal dan keefektifannya. g. Pola dan Pencarian Makna. Kita mengetahui makna dari pola atau contoh, sementara arti/makna berasal dari memahami pola yang lebih besar. Dalam pencarian makna otak kita mencari pola, denga asosiasi dan koneksi antara data baru dengan pengetahuan sebelumnya. Al-Quran meminta kita untuk menemukan pola yang sering muncul di alam dan sejarah manusia, atau yang dikenal dengan sunnatullah. h. Problem Solving. Pemikiran tingkat tinggi ini mencakup pengolahan informasi dan gagasan dengan melakukan sintesa, generalisasi, penjelasan atau explanasi, hipotesis, atau bahkan menyimpulkan yang pada akhirnya bisa menelurkan makna dan pemahaman baru. Selain itu nalar bisa mengambil pelajaran dari lingkungan sekitar sebagai bahan pertimbangan. Manusia telah hidup berabad-abad lamanya dan menghadapi berbagai tantangan sekaligus mampu memecahkan masalahnya. i. Pengetahuan Mendalam. Pemahaman dan kebijaksanaan adalah tujuan pengetahuan dan pendidikan yang sebenarnya. Pengetahuan yang mendalam termasuk memahami topik sentral secara menyeluruh untuk menyelidiki adanya koneksi dan hubungan yang menghasilkan pemahaman yang tepat j. Pengayaan. Siswa harus ditantang untuk berpikir keras terhadap apa yang mereka sedang pelajari, untuk berpartisipasi secara aktif diskusi kelompok, untuk berkarya secara produktif dalam kegiatan pembelajaran secara
70
kooperatif dan juga untuk membahas isu-isu controversial. Aktivitas dan pengalaman tersebut sangat membantu ketercapaian keterampilan yang diperlukan untuk mencetak warga yang kompeten dalam mempresentasikan dan
mempertahankan
kepercayaan
dan
prinsipnya
secara
efektif.
Pembelajaran yang menantang, dan otentik akan menstimulasi adanya keingintahuan kreativitas, dan pemikiran tingkat tinggi/problem solving. k. Hand-on/Aktif. Setiap siswa harus dibuat tangan mereka kreatif dalam rangka memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Hal ini bisa dilakukan dengan pengalaman pembelajaran yang aktif. Pembelajaran dan pengajaran yang efektif harus menekankan pada aktivitas yang melibatkan gerakan tubuh dan otak sehingga peserta didik dapat berinteraksi dengan apa yang sedang mereka pelajari dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara bermakna. l. Realistik dan relevan. Peserta didik harus merasa bahwa isi pelajaran yang sedang mereka pelajari memang pelajaran berharga, karena hal itu berguna dan relevan dengan kehidupan mereka secara langsung. Peserta didik harus diperlihatkan tentang manfaat dan potensi yang akan muncul dari penempatan pengetahuan
yang
mereka
peroleh
dalam
kehidupannya
sehari-hari.
Hubungan dengan dunia secara rill termasuk membuat koneksi antara pengetahuan yang mereka peroleh lewat partisipasi antara pelajar dengan komunitas dunia yang ada diluar sekolah berorientasi pada nilai. Dengan menfokuskan pada nilai dan menekankan pada dimensi etika dalam setiap topik, maka pendidikan akan menjadi roda yang kokoh untuk pengembangan
71
moral dan karakter. Para pendidik perlu menyadari bahwa setiap aspek pengalaman mengajar membawa nilai pada setiap anak didik dan memberikan kesempatan mereka untuk belajar nilai dari pengalaman belajar tersebut. m. Berorientasi sosial. Bahasa merupakan kunci dasar komunikasi manusia kebanyakan pembelajaran terjadi dengan adanya perbincangan dan interaksi dengan yang lainnya, khususnya dalam komunitas belajar. Perbincangan substantive meliputi dialog, perbincangan dengan teman dan para ahli tentang topic tertentu dalam rangka memahami suatu konsep penglaman kooperatif lewat kelompok akan sangat bermanfaat bagi pemahaman peserta didik terhadap sesuatu yang baru dan aplikasinya. Secara esensial nabi besar Muhammad SAW menggunakan pikiran social, perbincangan subtantif dan pembelajaran kooperatif dalam memformulasikan komunikasi belajar pada permulaan Islam. n. Off. Pembelajaran dengan model pembelajaran yang rill bukanlah dipaksakan akan tetapi diorkestrakan hal ini menekankan pentingnya asosiasi role modeling/model peran pengawasan Selanjutnya yang perlu direformasi adalah isi kurikulum, atau apa yang diajarkan. Secara umum, tujuan pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan. Namun demikian, tujuan sejati dari pendidikan itu sendiri bukan hanya sekadar memberi informasi, melainkan untuk pengembangan manusia seutuhnya melalui pendidikan karakter. Di dunia Barat sendiri saat ini juga disadari betapa pentingnya pendidikan karakter, misalnya di Amerika, para pendidik, politisi dan orang tua sekarang mulai sadar bahwa pendidikan karakter sangat urgen dan
72
dibutuhkan sebagai komponen kunci dalam kurikulum sekolah, karena tanpa itu masyarakat tidak mempunyai jaminan untuk merasakan keamanan dan kedamaian seiring dengan banyaknya kemajuan teknologi yang diciptakan dan dimiliki. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat muslim diabad ke 21 ini. Pertanyaan serupa yang selalu muncul adalah apa peran pendidikan bagi peradaban bangsa? Apakah tujuan pendidikan hanya sekadar transpormasi? Para perancang pendidikan harus bisa menjawab pertanyaan fundamental tersebut. Melihat pengalaman kita selama bertahun-tahun yang lalu, bahwa pendidikan tanpa karakter akan mencetak orang-orang yang melakukan eksploitasi, baik pada manusia maupun lingkungannya. Rasulullah Muhammad saw mengingatkan hal ini dengan sabdanya;
ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯿﮫِ َو َﺳﻠ ﱠ َﻢ ﯾَﻘُﻮ ُل َوإِنﱠ ﻓِﻲ اﻟْ َﺠ َﺴ ِﺪ ﺻﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ِﷲ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱡ ْﻌﻤَﺎ ِن ْﺑ ِﻦ ﺑَ ِﺸﯿ ٍﺮ ﻗَﺎ َل َﺳ ِﻤﻌْﺖُ َرﺳُﻮ َل ﱠ ُﻲ ا ْﻟﻘَﻠْﺐ َ ﺻﻠَ َﺢ ا ْﻟ َﺠ َﺴ ُﺪ ُﻛ ﻠﱡﮫ ُ َو إِذَا ﻓَ َﺴ ﺪَتْ ﻓَ َﺴ َﺪ اﻟْ َﺠ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﱡﮫ ُ أ ََﻻ َو ِھ َ ْﺻﻠَ َﺤ ﺖ َ ﻣُﻀْ َﻐﺔ ً إِذَا 22
()رواه ﻣﺴﻠﻢ
Artinya: Dari al-Nu’mān bin Basyir berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah. Jika ia baik maka baik pula tubuh itu, tetapi jika ia rusak maka rusak pulalah tubuh itu. Itulah hati. (H. R. Muslim) Oleh karena itu krisis yang dialami oleh masyarakat saat ini adalah hasil dari gagalnya mendidik hati nurani sehingga implikasi pendidikan kurang berhasil secara optimal. Tidak berhasilnya pendidikan tersebut karena kerusakan moralitas, diumpamakan sebagai segumpal darah yang rusak seperti yang disebutkan hadis di atas, atau dalam riwayat lain adalahnya hati menusia rusak. 22
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, juz II (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), h. 1101
73
2. Pendidikan Islam dan Urgensinya Pendidikan Islam sering diidentikkan dengan term al-tarbiyah, alta’līm, dan al-ta’dīb yang secara etimologis kesemuanya bisa berarti bimbingan dan pengarahan. Namun demikian, para pakar pendidikan mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam hal penggunaan ketiga kata tersebut.23 Kata al-tarbiyah dalam Lisān al-Arab, berakar dari tiga kata, yakni; raba-yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh; rabiya-yarba yang berarti menjadi besar, dan rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki.24 Arti pertama, menunjukkan bahwa hakikat pendidikan adalah proses per-tumbuhan peserta didik. Arti kedua, pendidikan mengandung misi untuk membesarkan jiwa dan memperluas
wawasan
seseorang,
dan
arti
ketiga,
pendidikan
adalah
memelihara, dan atau menjaga peserta didik. Mengenai kata al-ta’līm menurut Abd. al-Fattah, adalah lebih universal dibanding dengan al-tarbiyah dengan alasan bahwa al-ta’līm berhbunungan dengan pemberian bekal pengetahuan. Pengetahuan ini dalam Islam dinilai sesuatu yang memiliki kedudukan yang sangat tinggi. 25 Berbeda dengan ini, justeru al-Attās menyatakan bahwa al-tarbiyah terlalu luas pengertiannya, tidak hanya tertuju pada pendidikan manusia, tetapi juga mencakup pendidikan
23
Sepanjang pengetahuan penulis, kata tarbiyah digunakan oleh Abd. al-Rahmān alNahlawi; kata ta’līm digunakan Abd. al-Fattah Jalāl; sedangkan kata ta’dīb digunakan Naquib al-Attās. Jamāl al-Dīn Ibn Manzūr, Lisān al-‘Arab, jilid I (Mesir: Dār al-Mishriyyah, t.th), h. 384 dan 389. Luwis Ma’lūf, al-Munjid fī al-Lugah wa A’lām (Cet. XXVII; Bairūt: Dār alMasyriq, 1997), h. 243. 24
Lihat Abd. al-Fattāh Jalāl, Min Usūl al-Tarbawiy fī al-Islām (kairo: Markas alDuwali li al-Tal’līm, 1988), h. 17. 25
74
untuk hewan. Sehingga dia lebih memilih penggunaan kata al-ta’dīb karena kata ini menurutnya, terbatas pada manusia.26 Terlepas dari pandangan para pakar pendidikan yang telah disebutkan, dan untuk menemukan konsep pendidikan Islam yang sebenarnya dapat ditelusuri beberapa ayat Alquran yang menggunakan kata al-tarbiyah, dan alta’līm tadi. Sementara kata ta’dīb berdasarkan penelusuran penulis, walaupun tidak ditemukan dalam Alquran namun banyak hadis yang menggunakan kata tersebut. Kata tarbiyah yang akar katanya adalah rabb dan segala derivasinya terulang sebanyak 872 kali di dalam Alquran, 27 dan digunakan untuk menjelaskan arti yang bermacam-macam. Salah satunya, digunakan dalam konteks sifat Tuhan, yaitu rabb al-‘ālamīn yang diartikan pemelihara alam.28 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allāhu Rabb (Tuhan Pemelihara) mempunyai banyak sekali aspek yang dapat menyentuh makhluk. Pengertian Rubūbiyyah (pemeliharaan) mencakup pemberian rezeki, peng-ampunan dan kasih sayang, juga amarah, ancaman, siksaan dan sebagainya. Ini tidak jauh berbeda dengan kita yang seringkali mengancam, bahkan memukul anak kita, dalam rangka mendidik mereka. Walaupun anak yang dipukul itu merasa diperlakukan tidak wajar, kelak setelah dewasa ia akan sadar bahwa pukulan
26
Lihat Muhammad Naquib al-Attās, Aims and Objective of Islamic Education (jeddah: King Abd. al-Azīz, 199), h. 52. Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān alKarīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992), h. 285-299. 27
28
Lihat QS. al-Fātihah/1: 2; QS. al-Baqarah/2: 131; QS. al-Maidah/5: 28; QS. alAn’ām/6: 45, 71, 162 dan 164; QS. al-A’rāf/7: 154, dan seterunya.
75
tersebut merupakan sesuatu yang baik baginya. 29 Jadi, apapun bentuk perlakuan Tuhan kepada makhluk-Nya sama sekali tidak terlepas dari sifat kepemeliharaan dan kependidikannya, walau perlakuan itu dinilai oleh sebagian manusia sesuatu yang negatif. Ini berarti bahwa jika al-tarbiyah digunakan dalam konteks pendidikan, maka seorang peserta didik harus menerima segala ajaran dan perlakuan yang diberikannya dari orang yang mendidiknya secara ikhlas. Dengan demikian, penulis menegaskan bahwa kata tarbiyah lebih cocok digunakan dalam mengkonotasikan pendidikan Islam oleh karena di dalam kata tersebut
mencakup
al-tarbiyah
al-khalqiyah,
yaitu
pembinaan
dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang juga menekankan aspek akhlak (moralitas), dan sekaligus mencakup al-tabiyah al-tahzibiyah, yaitu pembinaan jiwa untuk kesempurnaan ilmu pengetahuan. Hal ini nantinya, akan menyebabkan potensi manusia yang didik dapat tumbuh dengan produktif dan kreatif tanpa menghilangkan nilai-nilai dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam Alquran maupun hadis. Dari sini, maka istilah pendidikan Islam yang tepat adalah al-Tarbiyah al-Islamiyah, dan batasannya lebih lanjut secara terminologis telah banyak dikemukakan oleh pakar pendidikan, misalnya ; 1. Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah upaya mempersiapkan anak dari segi jasmani, akal, dan rohani sehingga ia menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat untuk dirinya maupun umatnya. 30 29
M. Quraish Shihab, Tafsir Alquran al-Karim; Tafsir Ayat-ayat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (Cet. I; Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), h. 20. 30
Sayyid Sābiq, Islāmuna (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Arabi, t.th), h. 237.
76
2. Yusuf al-Qardawi menyatakan pendidikan Islam adalah sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaniyah, akhlak dan keterampilannya, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. 31 3. Muhammad Athiyah al-Abrāsy secara singkat menyatakan, pendidikan Islam adalah mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.32 4. Hasan Langgulung menyatakan, pendidikan Islam adalah sebagai proses penyiapan
generasi
muda
untuk
menjadi
peranan,
memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. 33 5. Mappanganro menyatakan, pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan secara sadar dengan membimbing, mengasuh anak atau peserta didik agar dapat menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.34 Berkenaan dengan berbagai definisi yang telah dikemukakan, maka pendidikan Islam merupakan proses pembentukan individu berdasarkan ajaranajaran Islam. Melalui proses pendidikan itu, individu dibentuk agar dapat
31
Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah terjemahan Bustani A. Gani dan Zainal Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39. Muhammad Athiyah al-Abrāsy, Rūh al-Tarbiyah wa al-Ta’līm (t.t.: Isā al-Bābī alHalab, t.th), h. 48. 32
33
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: alMa’arif, 1980), h. 94. 34
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Cet.I; Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996), h. 10.
77
mencapai derajat yang tinggi dan sempurnah (insan kamil), agar mampu melaksanakan fungsinya sebagai ‘Abdullāh dan tugasnya sebagai khalīfatullāh dengan sebaik mungkin. Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sangat ideal, karena menyelaraskan antara pertumbuhan fisik dan mental, jasmani dan rohani, pengembangan individu dan masyarakat, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari batasan pengertian tentang pendidikan Islam itu
sendiri,
melahirkan berbagai interpretasi yang termuat di dalamnya. Yakni, adanya unsur-unsur edukatif yang sekaligus sebagai konsep bahwa pendidikan itu merupakan suatu usaha, usaha itu dilakukan secara sadar, usaha itu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab kepada masa depan anak, usaha itu mempunyai dasar dan tujuan tertentu, usaha itu perlu dilaksanakan secara teratur dan sistimatis, usaha itu memerlukan alat-alat yang digunakan. Secara kongkrit, Abdurrahman al-Nahlawi merumuskan bahwa dari pengertian pendidikan Islam tersebut, sekurang-kurangnya mengandung empat urgensi dasar, yakni : 1. Pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki target, tujuan dan sasaran. 2. Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah swt.. Dialah Pencipta fitrah, Pemberi bakat, Pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan dan interaksi
fitrah
sebagaimana
Dia
pun
mensyariatkan
aturan
guna
mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. 3. Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang, peningkatan kegiatan, demikian pula pengajaran senantiasa selaras dengan tuntutan
78
keadaan zaman yang membawa anak didik dari suatu perkembangan ke perkembangan yang lebih baik. 4. Peran
seorang
pendidik
harus
sesuai
dengan
tujuan
Allah
swt.
menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Allah.35 Dengan demikian, kajian atas konsep pendidikan Islam membawa kita pada konsep syariat agama (Islam), karena agamalah yang harus menjadi dasar pendidikan Islam. Agama Islam yang dasar acuannya adalah Alquran dan Hadis,
menekankan
bagaimana
urgennnya
pendidikan
Islam
diimpelementasikan dalam kehidupan. Demikian urgennya pendidikan Islam, maka bukan secara kebetulan bila ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. adalah berkaitan tentang urgensi pendidikan, yakni perintah membaca sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. al-Alaq (96): 1-5 yang telah dikutip sebelumnya. Firman Allah swt. ini, mengandung pesan tentang dasar pendidikan. Dalam hal ini, Nabi saw. yang ummi melalui ayat tersebut, ia diperintahkan untuk belajar membaca. Yang dibaca itu objeknya bermacammacam, ada ayat-ayat yang tertulis (ayah Alquraniyah), dan ada pula pula ayatayat yang tidak tertulis (ayah al-kawniyah). Dengan ayat ini, sekaligus menjadi motivasi agar pendidikan senantiasa digenjot untuk pencapaian mutu.
35
Abdurrahman al-Nahlawy, Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asâlibuha, diterjemahkan oleh Herry Noor Ali dengan judul Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: IKAPI, 1992), h. 21.
79
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki mutu pendidikan: a. Kedalaman spiritual (tauhid) Tauhid adalah titik awal dan pondasi kurikulum tarbiyah. Hal ini memfokuskan pada aspek-aspek spiritual terhadap pengembangan peserta didik dengan adanya spiritual tersebut, negarawan dan orang-orang besar dunia lahir. Adapun tujuan komponen kurikulum ini adalah kesadaran akan tuhan. Manusia secara terus menerus sadar akan adanya tuhan dalam setiap pikiran, perasaan dan tindakan mereka. Tujuannya adalah untuk memelihara pemahaman peserta didik akan keesaan tuhan untuk mengembangkan komitmen dan kedisiplinan dalam kehidupan spiritual manusia. b. Keluhuran Moral (akhlakul karimah) Akhlakul karimah merupakan komponen kurikulum tarbiyah yang memfokuskan pada pengembangan aspek afektif dari peserta didik. Nabi besar Muhammad SAW menegaskan bahwa keimanan itu menjadi berarti apabila diterapkan dalam bentuk tindakan. Akhirnya inilah cara kita bagaimana untuk memperlakukan orang lain (mu’amalat) berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang benar menurut agama (din). Adapun tujuan komponen kurikulum ini adalah karakter yang mulia. Al-Qur’an menegaskan pula bahwa setelah kesadaran akan Tuhan sudah mantap, maka yang perlu dikembangkan adalah karakter dalam rangka pengembangan manusia seutuhnya. Fokus bagian kurikulum ini adalah mengembangkan pemahaman yang solid tentang apa karakter yang baik itu dan membantu anak didik untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari
80
mereka dengan cara mengadopsi gaya moral agama. Hal ini termasuk pengetahuan moral dan logika nurani, dan tindakan atau karakter bermoral. Komponen-komponen ini membahas isu-isu klarifikasi nilai, penetapan tujuan dan pembuatan keputusan (decision making), dan juga mencakup konsep-konsep seperti tradisi moral, etika, nurani, pengawasan diri, empati, kebebasan berkehendak, dan isu-isu penting lainnya. c. Kematangan Intelektual (al-hikmah) Hikmah
adalah
komponen
ketiga
dari
kurikulum
tarbiyah.
Ini
memfokuskan pengembangan pada aspek-aspek intelektual anak didik. Dalam pandangan Islam, pengetahuan sangatlah erat hubungannya dengan karakter, dan secara ideal keduanya adalah inklusif satu sama lain. Dengan kata lain, pengetahuan membantu kita memahami persyaratan dan keuntungan apa saja untuk memiliki karakter yang mulia, sedangkan karakter yang mulia akan memudahkan
kita
memperoleh
pemberian
pengetahuan
suci
(‘ilm)
dan
kebijaksanaan (hikmah). Pengetahuan yang bermanfaat adalah tujuan komponen pengetahuan ini. Pengetahuan yang berguna adalah pengetahuan yang menggiring manusia lebih dekat dengan Tuhan, dan bisa digunakan dalam tindakan positif untuk kepentingan manusia dan alam dunia. Pengetahuan isi terpadu dari berbagai disiplin pengetahuan seperti metematika, bahasa Inggris, seni, budaya dan sebagainya. Di samping itu latihan dalam berpikir kritis dan problem solving (pemecahan masalah) adalah elemen penting lainnya dari segmen kurikulum ini. Lebih dari itu elemen-elemen tersebut memberikan peserta didik dasar pengetahuan dan keterampilan-keterampilan
81
intelektual/berpikir yang sangat dibutuhkan untuk sukses secara akademis dalam rangka menghadapi berbagai tantangan-tantangan yang akan mereka hadapi dimasa-masa mendatang. d. Hidup Sehat (aljism al-salim) Aljism al-salim adalah komponen keempat dari kurikulum tarbiyah yang memfokuskan pada pengembangan aspek-aspek fisik dari anak-anak didik. Dalam ungkapan disebutkan kesehatan adalah bukan segalanya tapi bila kesehatan terganggu, maka segalanya akan gagal dan berantakan. Ungkapan ini mengandung makna bahwa, seluruh aspek pengembangan dan kesuksesan manusia sangat terkait dengan kesehatan. Pengembangan spiritual, moral dan intelektual tidak lepas dari tubuh atau badan yang sehat. Hal ini merepleksikan adanya keterpaduan dalam sifat pengembangan manusia. Adapun tujuan komponen ini adalah hidup sehat. Hal ini menekankan bahwa kesehatan adalah bagian penting dari upaya pengembangan manusia seutuhnya dan bahwa tubuh kita adalah sistem yang dirancang secara sempurna dan merupakan salah satu mukjizat Tuhan kepada makhluknya. Lebih dari itu, hal ini juga menekankan adanya tanggungjawab bagi kita sebagai individu untuk menjaga kesehatan tubuh sebagai amanah yang diberikan Tuhan. Kecakapan, kesehatan dan keseimbangan (tawazun) adalah kunci utama dari komponen utama kurikulum ini. Selain itu, hal ini juga mengeksplorasi siswa akan adanya pandangan-pandangan Islam terhadap topik-topik ini, seperti halnya kebersihan pribadi, kelebihan makan, makanan kotor, merokok, obat-obat terlarang, konsumerisme, dan topik-topik penting lainnya. Akhirnya, rekreasi, kreativitas,
82
kesenangan adalah elemen-elemen penting lainnya akan adanya gaya hidup yang seimbang dan dalam rangka tercapainya pengembangan manusia seutuhnya. e. Hubungan Sosial (Al-Ihsan) Ihsan
adalah
komponen
kelima
dari
kurikulum
tarbiyah,
yang
memfokuskan pada pengembangan aspek-aspek emosi dan interpersonal peserta didik. Hubungan manusia merupakan fokus semua agama dan filsafat. Setiap penganut agama mempunyai prinsip “perlakukan yang lain dengan baik seperti keinginanmu diperlakukan oleh orang lain jug dengan baik”. Hal ini adalah kunci inti dari hubungan manusia. Ini merupakan prinsip yang mengajarkan kita untuk berprilaku standar dan paling baik ketika berhubungan dengan manusia lainnya. Adapun tujuan dari komponen ini adalah hubungan manusia yang baik. Bagaimanapun juga, hubungan manusia yang baik tidak secara langsung terjadi. Namun, hubungan yang baik itu adalah hasil dari kesadaran spiritual, moral dan nurani, pengetahuan akan hubungan yang baik antar sesama. Bagian kurikulum ini menyoroti perkembangan keterampilan-keterampilan komunikasi dan kemampuan untuk hidup dan bekerja secara kooperatif sebagai bagian dari sebuah kelompok. Juga, hal ini
memfokuskan akan berbagai isu-isu identitas, rasa kepemilikan
terhadap keluarga, komunitas, dan masyarakat umum. f. Kepekaan Sosial (amal saleh) Kepekaan sosial adalah komponen keenam dari kurikulum tarbiyah, yang memfokuskan pada gaya hidup dan budaya sebagai bagian perkembangan manusia. ‘Bagaimana kita hidup, apa gaya hidup kita’ adalah refleksi yang jelas siapa kita sebenarnya, dan apa yang sebenarnya kita yakini, baik dalam hubungan
83
secara pribadi maupun social. Usaha untuk menyatukan kehidupan kita dengan kepercayaan dan nilai-nilai yang kita anut adalah tujuan penting pendidikan. Adapun tujuan pendidikan dari bagian kurikulum ini adalah iman dalam tindakan (faith in action). Tujuannya adalah untuk menuntun dan membantu peserta didik menterjemahkan nilai-nilai mereka ke jalan hidup (way of life) sehari-hari. Hal ini juga membantu peserta didik memahami isu-isu kemanusiaan yang sering terjadi dan bagaimana generasi sebelumnya menyelesaikan masalah tersebut. Ini juga memberikan anak didik pemahaman bahwa Islam itu sendiri adalah jalan hidup yang komprehensip dan memiliki peran atau kontribusi yang sangat besar dalam menyelesaikan berbagai permasalah dan tantangan hidup yang dihadapi manusia hari-hari ini maupun masa yang akan datang. Komponen kurikulum ini meliputi budaya, tradisi, gaya hidup, integritas, perubahan, masa lampau, dan juga masa depan. g.
Pelayanan Publik (amanah) Amanah adalah komponen kurikulum yang ketujuh sekaligus terakhir dari
konsep tarbiyah. Hal ini memfokuskan pada pengembangan aspek-aspek sosial anak didik, merefresentasikan puncak pembelajaran anak didik diseluruh wilayah pendidikan karakter, hal ini merupakan aplikasi nilai-nilai yang pernah diajarkan. Karena anak dan orang dewasa berkembang secara spiritual sekaligus moral, mereka percaya bahwa melayani publik atau masyarakat lainnya adalah sama saja dengan melayani Tuhan.
84
B. Tinjauan Teoretis tentang Budaya Lokal 1. Definisi dan Hakikat Budaya Lokal Adalah A. L.Kroeber dan C. Klucholn dalam makalahnya yang masyhur “Culture: a Critical Review of Concept and Definitions” yang diterbitkan pada tahun 1952 menganalisa
dan
mengklasifikasi
179
definisi
kebudayaan.
Selanjutnya Bakker dalam bukunya Filsafat Kebudayaan (1984) juga mencari jawaban terhadap hakikat kebudayaan. Sebelum itu dua pakar kebudayaan yaitu Beals dan Hoyer dalam bukunya An Introduction to Antrpopology (1959) juga kembali mempertanyakan apa sesungguhnya kebudayaan itu. Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan dapat dilihat pada definisi yang dikemukakan oleh Ernest Cassirer mengenai manusia
sebagai animal simbolikun, bahwa hanya
manusia yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat
dilihat
dalam kelanjutan
dalam kebudayaan manusia.
Pendapat ini diperkuat oleh antropolog bernama Leslie White yang mengatakan bahwa kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol, karena semua tingkah laku menusia terdiri atas dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Namun ada pendapat yang lebih mendekati dengan pendidikan yang dikemukakan oleh Beals dan Hoyer yang mengatakan bahwa kebudayaan diturunkan kepada generasi penerus lewat proses belajar melalui dengan melihat, meniru tingkah laku orang lain. Dalam kaitan ini sangat menarik rumusan yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan proses dinamis yaitu penciptaan penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani. Di sini melibatkan peranan akal budi
85
manusia di dalam menciptakan, menertibkan dan mengelola nilai-nilai insani tersebut. Dengan demikian bila disimpulkan dari berbagai pendapat tersebut maka inti dari setiap kebudayaan adalah manusia dalam arti bahwa kebudayaan adalah khas insani karena hanya manusia yang dapat berbudaya dan membudaya. Dalam perumusan mengenai hakikat kebudayaan para pakar antropologi berusaha menerangkan adanya jenis-jenis kebudayaan. Pada mulanya pakar tersebut dikenal dengan pakar etnologi, beranggapan bahwa kebudayaan manusia berkembang dari bentuk primitive kepada bentuk yang modern. Pendapat evolusionisme ini telah lama ditinggalkan dan pada umumnya antropologi budaya mengenal relativisme budaya. Hal ini brarti bahwa perbedaan dalam berbagai pendapat tentang kebudayaan adalah kompleksitasnya dan bukan tinggi rendahnya kebudayaan, tetapi tergantung pada lokalitasnya, dan inilah yang disebut dengan budaya lokal, yang memiliki enam dimensi, yaitu: a. Dimensi Pengetahuan Lokal. Pengetahuan lokal jenis ini terkait dengan perubahan dan siklus iklim, kemarau dan penghujan, jenis-jenis flora dan fauna, dan kondisi geografi, demografi dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubahan sosial yang bervariasi menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal mereka dalam menguasai alam. b. Dimensi Nilai Lokal. Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai-nilai ini
86
biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Nilai-nilai ini memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya. c. Dimensi Keterampilan Lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hidup (surviva). Keterampilan lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya masing-masing atau disebut dengan ekonomi subsistensi. d. Dimensi Sumber Daya Lokal. Sumber daya lokal pada umumnya adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat
akan
menggunakan
sumber
daya
lokal
sesuai
dengan
kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besaran atau dikomersialkan. Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukannya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan pemukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif. e. Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal. Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing-masing masyarakat punya mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
87
Ada juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang. f. Dimensi
Solidaritas
Kelompok
Lokal.
Suatu
masyarakat
umumnya
dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing angota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan fungsinya masing-masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja bakti serta gotong royong. 36 Dalam pada itu, maka Budaya yang tinggi mencitrakan masyarakat yang maju, budaya yang rendah mencitrakan masyarakat yang masih terbelakang. Budaya ditinjau dari berbagai aspeknya, terdiri atas tiga unsur penting, yakni ideide/gagasan, aktifitas, dan hasil karya. 37 a. Ide/gagasan, Ide atau gagasan yaitu pikiran-pikiran yang muncul dari individu atau masyarakat atau bangsa. Dalam masyarakat Batak misalnya, ide/gagasan dapat dilihat dari pantun ('umpasa/umpama') yang sering dikutip dalam acara-acara adat, misalnya pantun orang Batak yang berbunyi, 'tubuan lak-lak tubuan singkoru, tubuan anak ma hamu dahot boru.' (Artinya, kiranya kamu melahirkan anak pria dan anak wanita). Contoh lain adalah konsep Dalihan Natolu - somba marhula36
I R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Badui dalam Mitigasi Bencana (Jakarta: Wedatama, 2000), h. 6. 37
Disadur dari Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 199-203. Ralph Linton, The Cultural Background Personality, diterjemahkan oleh Fuad Hasan, Latar belakang Kebudayaan dari pada Kepribadian (Jakarta: Jaya Sakti, 1962), h.29.
88
hula, elek marboru, manat mardongan tubu'- konsep yang mengatur kehidupan sosial orang Batak. b. Tindakan Unsur yang kedua adalah tindakan atau aktifitas, yaitu bagaimana seseorang, satu masyarakat atau bangsa berpikir, bekerja, berbicara, dan melakukan aktifitas-aktifitas lain, misalnya gambaran tentang konsep kerja masyarakat Barat, khususnya masyarakat Eropah Barat pada abad ke-17 sampai dengan abad ke 19. Sampai sekarang, konsep kerja yang dituturkan oleh Weber masih ditemukan di Barat. Orang Barat bekerja dengan rajin dan mempunyai tanggungjawab terhadap pekerjaannya. Ada Professional Responsibility. Mereka menekuni pekerjaannya. Mereka bekerja secara rasional dan sistematis. Bukan hanya dalam pekerjaan, bahkan rasionalitas dan sistematis ini dapat ditemukan dalam seni berkomunikasi. Orang-orang Barat berusaha bicara seefektif mungkin; langsung 'to the point'; tidak banyak basa-basi; susunan kata-katanya teratur dan penggunaan kata tidak berlebihan. c. Produk Unsur yang ketiga adalah hasil karya, yaitu produk yang dihasilkan dari satu individu, masyarakat atau bangsa. Produk-produk Barat misalnya bermutu tinggi. Harga jam merek Rolex (Pre-Owned RolexWomen's Presidential Watch) bisa berkisar puluhan juta rupiah. Harga mobil Mercedes-Benz atau BMW bisa ratusan juta rupiah. Barat mampu membuat pesawat ulang alik. Bill Gates menemukan Microsoft. Barat menemukan Internet, yang mampu mengakses informasi dengan mudah dan menghubungkan manusia dari ujung bumi yang satu
89
ke ujung bumi yang lain. Masih ada facebook yang dapat menghubungkan siapa saja di dunia ini dalam konteks sosial. Dari ketiga unsur itu, maka budaya lokal dapat didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang juga menjadi ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal, tapi tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas,38 misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal, namun dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas
fisik suatu kebudayaan.
Hal
itu
dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan iklim yang berbedabeda, misalnya wilayah pesisir pantai Jawa yang beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju. Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap kemajemukan budaya lokal di Indonesia. Budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Timor, Bali, Sasak, Papua, Maluku, dan Bugis-Makassar memiliki adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh
38
Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 57.
90
dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Keadaan geografis yang terisolir menyebabkan penduduk setiap pulau mengembangkan pola hidup dan adat istiadat yang berbeda-beda, serta bahasa daerah yang berbeda pula. Namun demikian, semua bahasa daerah dan dialek itu sesungguhnya berasal dari sumber yang sama, yaitu bahasa dan budaya Melayu Austronesia. 39 Di antara suku bangsa Indonesia yang banyak jumlahnya itu berdasarkan analisis
penulis, memiliki
dasar persamaan meliputi asas-asas yang sama dalam bentuk persekutuan masyarakat, seperti bentuk rumah dan adat perkawinan, asas-asas persamaan dalam hukum adat, persamaan kehidupan sosial yang berdasarkan asas kekeluargaan, dan asas-asas yang sama atas hak milik tanah. Semua asas tersebut dalam pendangan penulis, merupakan sintesis, asimilasi dan akuturasi yang hasil perkawinan antara agama dan budaya yang berlangsung dengan cara persuasif dengan saling menjaga ajaran asli dari agama atau budaya tersebut. Agama-agama yang datang ke wilayah tertentu pada awalnya tidak diterima oleh masyarakat lokal begitu saja. Hal ini disebabkan perbedaan cara pandang yang berbeda pula terhadap segala sesuatu yang terjadi di masyarakat lokal itu sendiri. Akan tetapi dengan adanya akulturasi budaya lokal dengan agama terjadilah adaptasi. 2. Hakikat Kebudayaan Analisis mengenai hakikat kebudayaan yang dapat digunakan sebagai titiktolak untuk mengerti hakikat pendidikan, dapat merujuk kepada rumusan yang
39
Kuntjaraningrat, h. 200.. Ralph Linton, The Cultural Background Personality, diterjemahkan oleh Fuad Hasan, Latar belakang Kebudayaan dari pada Kepribadian (Jakarta: Jaya Sakti, 1962), h.29.
91
dikemukakan pelopor antropologi modern, Edward B. Tylor dalam bukunya Primitive Culture yang terbit tahun 1871 mengenai budaya sebagai berikut: Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari definisi tersebut kemudian H.A.R Tilaar merumuskan kerangka keterkaitan antara proses pendidikan dan proses kebudayaan sebagai berikut: a. Hakikat kebudayaan merupakan suatu keseluhan yang kompleks dan merupakan satu kesatuan yang mempunyai pola-pola tertentu, unik dan sangat spesifik. b. Hakikat kebudayaan merupakan suatu hasil kreasi dan prestasi manusia dalam bentuk immaterial berupa ilmu pengetahuan, seni, kepercayaan dsb. c. Hakikat kebudayaan juga dapat pula berupa fisik dalam bentuk artefak seperti hasil cipta, seni dan terbentuknya relasi dan kelompok-kelompok keluarga. d. Hakikat kebudayaan dapat pula berbentuk kelakuan-kelakuan yang terarah seperti hukum, adat-istiadat yang berkesinambungan. e. Hakikat kebudayaan merupakan suatu realitas yang obyektif, yang dapat dilihat. f. Hakikat kebudayaan diperoleh dari lingkungan. g. Hakikat kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang soliter atau terasing tetapi yang hidup dalam suatu masyarakat. 40
40
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 60.
92
Dapat dijelaskan bahwa inplikasi rumusan Taylor tentang hakikat kebudayaan adalah adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Adanya proses pemanusiaan manusia dan di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan. Adanya keteraturan dalam masyarakat mengandung makna bahwa, individu bukan hanya sebagai alat atau obyek dalam kehidupan bersama masyarakat, tetapi lebih dari itu individu memiliki tanggung jawab dalam mengikuti ketentuan dalam masyarakat. Adanya kehidupan yang teratur merupakan dasar kehidupan demokrasi. Demokrasi bukan berarti anarkis, tetapi kebebasan setiap individu untuk berpendapat, bersepakat dan berbeda pendapat. Proses demokrasi adalah proses yang mengakui hak dan tanggung jawab setiap manusia. Itulah demokrasi sebagai ciri dari masyarakat madani. Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan, ini mengandung makna bahwa di dalam kehidupan berbudaya terjadi dialektika atau perubahan, perkembangan dan motivasi. Kebudayaan memberikan petunjuk atau pengarah dari proses humanisasi dan nilai-nilai yang diakui bersama dalam masyarakat. Proses Pendidikan dengan sendirinya adalah proses yang normative. Proses Pendidikan sebagai proses kebudayaan haruslah dilihat peserta didik sebagai sosok yang utuh, bukan sebagai suatu entiti yang terpecah-pecah melainkan harus dilihat sebagai individu yang menyeluruh atau sebagai manusia seutuhnya. Dalam pada itu konsep Ki Hajar Dewantara tentang hakikat kebudayaan Nasional dikenal dengan teori Trikon. Menurut Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pembangunan Pendidikan Nasional, kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat).
93
Dari rumusan tersebut kemudian H.A.R. Tilar mejelaskan tentang arti dan maknanya bahwa: Kebudayaan itu selalu bersifat nasional atau kebangsaan yang mecerminkan kepribadian bangsa sebagai sifat kemerdekaan, kebangsaan secara kultural. Bahwa tiap-tiap kebudayaan menunjukkan keindahan dan tingginya adat kemanusiaan pada hidup masing-masing bangsa yang memilikinya. Tiap-tiap kebudayaan sebagai buah kemenangan manusia terhadap kekuatan alam dan zaman selalu memudahkan dalam kehidupan manusia serta memberi alat-alat baru untuk meneruskan kemajuan hidup dan memepertinggi derajat dan tarap kehidupan. Dalam mengembangkan kebudayaan Ki Hajar Dewantara menjelaskan sebagai berikut: a. Pemeliharaan kebudayaan haruslah berorientasi kepada kemajuan dan menyesuaikan dengan kebudayaan dengan pergantian alam dan zaman. b. Adanya isolasi, sehingga kebudayaan akan mengalami kemunduran dan matinya hubungan kebudayaan dengan kodrat dan masyarakat. c. Pembauran kebudayaan mengharuskan adanya hubungan dengan kebudayaan lain yang dapat mengembangkan atau mempercayai kebudayaan sendiri. d. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri (kontinuitas), menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai kepribadian di dalam lingkungan kebudayaan pribumi (konsentrisitas). Konsep kebudayaan inilah yang kemudian dikenal dengan teori Trikon. Dalam hal pembinaan kebudayaan Nasional Indonesia Ki Hajar Dewantara mengemukakan sebagai berikut:
94
a. Adanya kesatuan alam dan zaman, kesatuan sejarah masa lampau dan kekinian, maka kesatuan kebudayaan Indonesia hanyalah merupaka soal waktu dalam perwujudannya. b. Sebagai bahan untuk membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia diperlukan sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan yang terdapat di seluruh daerah di Indonesia untuk dijadikan sebagai modal isinya. c. Dari luar lingkungan kebangsaan perlu diambil bahan-bahan yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan kita sendiri. d. Di dalam memasukkan bahan-bahan, baik kebudayaan daerah (lokal) ke kebudayaan asing perlu selalu diingat syarat-syarat Trikon dari perkembangan kebudayaan. e. Dalam rangka kemerdekaan bangsa, maka tidak cukup hanya denga kemerdekaan politik, tetapi juga kesanggupan dan kemampuan dalam perwujudan kemerdekaan kebudayaan bangsa, yaitu kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya di atas dasar adab kemanusiaan yang luas, luhur dan dalam. Rumusan hakekat kebudayaan terhadap proses pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat dilihat pada asas-asas Taman Siswa yang didirikannya dikenal dengan Pancadharma yaitu: kodrat alam, kemerdekaan, kebangsaan, kebudayaan dan kemanusiaan41. Asas kodrat alam mengandung makna bahwa hakikat manusia adalah bahagian dari alam semesta. Hukum dari alam semesta
41
Ki. Hadjar Dewantara, Asas-asas dan dasar-dasat Taman Siswa (Yokyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1964), h. 40.
95
sebagai kodrat alam adalah kebahagiaan apabila dengan mesra ia menyatukan diri dengan kodrat alam mengandung hukum kemajuan. Asas kemerdekaan mengandung arti kehidupan yang sarat dengan ketertiban dan kedamaian. Dengan demikian kemerdekaan berarti swadisiplin yaitu mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana perimbangan dan keselarasan dengan masyarakatnya. Asas kebudayaan mengandung makna pentingnya menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya nasional. Sedangkan asas kebangsaan berarti seseorang harus merasa satu dengan bangsanya sendiri. Dan asas kemanusiaan berarti tidak boleh ada rasa permusuhan antara bangsa-bangsa lain, tetapi melalui keluhuran akal budi dan menimbulkan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia. C. Relevansi Pendidikan Islam dengan Kebudayaan Lokal Adanya relevansi timbal balik antara pendidikan Islam dan kebudayaan lokal diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Usul Fikih bahwa, al-ādah muḥakkamat (adat itu dihukumkan) atau lebih lengkapnya adat adalah syariah yang dihukumkan, artinya adat dan kebiasaan pada suatu masyarakat adalah sumber hukum dalam Islam. 42 Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Inilah makna kehadiran
42
h. 90.
Lihat Abd. al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh (Kuwait: al-Dār al-Kuwaytiyah, 1986),
96
Islam di suatu tempat atau negeri. Dalam kaitan itu, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya tajdīd (pembaruan) pada masyarakat menuju ke arah yang lebih baik, tetapi pada saat yang sama Islam tidak mesti distruptif yakni bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dan bisa dipertahankan dalam ajaran universal Islam.43 Namun tidak berarti bahwa Islam dan budaya, serta hasil budaya dari agama masa lampau dapat disamakan. Para pakar antropologi pendidikan memandang dan sepakat adanya keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat dan kebudayaan. Keterkaitan antara kebudayaan dan pendidikan sangat erat, dapat dibayangkan betapa suatu kebudayaan tanpa adanya proses pendidikan, yang berarti kemungkinan kebudayaan tersebut lambat laun akan menjadi punah. Sebaliknya pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan alienasi dari peserta didik dan seterusnya kemungkinan akan matinya kebudayaan itu sendiri. Tentang hubungan antara pendidikan dan kebudayaan akan tampak pada uraian berikut: 1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan Peranan pendidikan di dalam kebudayaan dapat dilihat dengan nyata dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan. Para pakar antropologi menunjuk kepada peranan individu sebagai papan catur kebudayaan. Dalam hal ini pakar kebudayaan Kroeber dan Kluckhohn mengemukakan pengertian sebab akibat sirkuler yang berarti bahwa antara 43
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2002), h. 551.
97
kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan.44 Dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya transmisi kebudayaan saja secara pasif, tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif dan inovatif. Pranata sosial berupa sekolah harus mengembangkan siswanya untuk berkreasi dan berinovatif, bukan menjadi penjara bagi peserta didik. Ruth Benedict menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah laku yang bisa dipelajari. Dengan pemikiran dapat dimengerti bahwa tingkah laku manusia tidak sama dengan tingkah laku hewan yang bersifat menoton akan tetapi tingkah laku manusia harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi. Dari sinilah tampak benang merah hubungan antara pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia sebagai mahluk yang dapat dididik. Di sinilah peranan pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia. Para pakar
yang menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam
kebudayaan, mulanya muncul dari kaum behaviorist dan psychoanalist. Ahli psikologi behaviorisme melihat kelakuan manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan sekitarnya. Disinilah peranan pendidikan dalam pembentukan kelakuan dan kepribadian manusia. Para psikolog aliran psikoanalis menganggap kelakuan manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar maupun yang
44
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 50.
98
tidak sadar. Kedua dorongan ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di mana pribadi itu hidup. Adalah John Gillin, yang menyatukan pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut: a. Kebudayaan memberikan yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar. b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu. c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”(pujian dan hukuman) terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk kelakuan yang sesuai dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut begitu pula sebaliknya memberi hukuman terhadap kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu. d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar. Melalui penjelasan diatas tampak jelas peranan kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian dengan sendirinya juga akan tampak jelas. 2. Transmisi Kebudayaan Salah satu proses yang luas dikenal mengenai kebudayaan adalah transmisi kebudayaan dalam pengertian bahwa kebudayaan ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak pakar pendidikan yang merumuskan proses pendidikan tidak lain dari proses transmisi kebudayaan.
99
Menurut Fortes transmisi kebudayaan terdiri atas tiga unsur utama yaitu: a. Unsurunsur yang ditransmisi. b. Proses transmisi dan c. cara transmisi. Unsur-unsur kebudayaan yang ditransmisi adalah nilai-nilai budaya, adat istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya yang ada dalam masyarakat. Selanjutnya berbagai kebiasaan sosial yang digunakan dalam interaksi atau pergaulan para anggota di dalam masyarakat tersebut. Sedangkan proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi dan sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari lingkungan sekitar. Imitasi tentunya pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga, selanjutnya berkembang dalam masyarakat lokal. Proses identifikasi juga belangsung sepanjang hayat sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri, karena seorang bayi, seorang pemuda atau orang dewasa tentunya berbeda-beda dalam mengidentifikasi unsurunsur budaya tersebut. Selanjutnya sosialisasi dilakukan terhadap nilai-nilai budaya tersebut dengan mewujudkan dalam kehidupan secara kongkrik dalam lingkungan yang semakin lama semakin meluas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan pengakuan lingkungan sekitarnya, dalam arti bahwa kelakuankelakuan yang dimiliki tersebut adalah yang sesuai atau seimbang dengan nilainilai yang ada di dalam lingkungannya. Ketiga proses transmisi tersebut di atas ditransmisikan dengan dua cara yaitu melalui peran serta, terlibat langsung
dan malalui
bimbingan. Cara
transmisi dengan peran serta antara lain dengan melalui perbandingan. Cara lain dengan ikut serta dalam kegiatan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat.
100
Sedangkan dengan cara bimbingan dapat berupa instruksi, persuasi, ransangan dan hukuman.45
Dalam pelaksanaan bimbingan tersebut melalui institusi-institusi
tradisional seperti inisiasi, upacara-upacara ulang tahun, sekolah agama dan sekolah formal. Demikianlah proses transmisi kebudayaan sebagai proses pendidikan yang dikemukakan oleh Fortes. Proses tersebut terjadi di dalam masyarakat sederhana yang tetutup dari pengaruh dari luar. Dalam masyarakat yang terbuka dewasa ini dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang sangat maju, proses transmisi kebudayaan dalam masyarakat modern tentunya akan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Dengan tantangan yang berat itu dibutuhkan
peran pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian yang kreatif dalam menyaring nilai-nilai yang datang dari luar sebagai dampak pengaruh globalisasi. Dalam hal ini dibutuhkan keberadaan kebudayaan dunia yang meminta proses pendidikan yang lain yaitu kepribadian yang kokoh dan tangguh yang tetap berakar pada kebudayaan lokal. D. Kerangka Konseptual Secara
konseptual
perspektif
antropologi
politik
L.
Stoddard
menggambarkan kemenangan Islam dalam panggung sejarah dunia secara umum. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai seorang Arab merupakan reinkarnasi jiwa seluruh bangsanya. Dia membawa ajaran tauhid, bersih dari segala khurafat dan bid’ah. Digairahkannya hati bangsa Arab terhadap agama,
45
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 55
101
mereka lupakan dendam lama yang telah banyak menelan korban jiwa dan energi diantara suku-suku mereka sendiri. Diantara mereka terpatri dalam persatuan yang kokoh dan menyala oleh spirit kepercayaan yang baru mereka anut. Berbondong bondonglah mereka keluar dari gurun-gurun tandus, untuk menaklukkan seluruh bumi Allah, Tuhan Yang Maha Esa. 46 Dalam uraian selanjutnya digambarkan bahwa Islam berkembang bagaikan topan yang berhembus dari padang pasir, menerjang dinding-dinding jazirah Arabia menemui berbagai daerah dan bangsa yang jiwanya sedang kosong, yakni Bizantium dan Persia yang secara sekilas tampak megah dan kuat. Padahal mereka ibarat kulit kayu yang kering yang terlepas daya dahannya, karena cara mereka beragama adalah tiruan belaka. Dijelaskan bahwa di Persia agama Zoroaster berubah menjadi agama Majusi yang batil, pusat penipuan para pendeta yang berlagak gagah memperalat agama untuk bertindak kejam. Di Romawi Timur agama Nasrani diberi baju palsu (pada konsili Nitzea tahun 325 M), dan dicampuradukkan dengan filsafat Yunani yang dekadency sehingga telah mencerminkan suatu karikatur yang tidak baik dari ajaran-ajaran Kristus. Tambahan lagi, Bizantiun dan Persia saat itu diperintah oleh raja-raja yang kejam bertangan besi, yang menindas rakyatnya dan membunuh rasa kasih sayang dan kesetiaan terhadap bangsa dan negaranya, kemudian keduanya akhirnya menjadi lemah. Kelemahan ini diperparah lagi oleh pertarungan yang terus menerus di antara keduanya sampai mereka menjadi
46
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), h. 81.
102
lumpuh.47 Begitulah situasi dunia di saat Islam mulai bangkit sehingga tidak disangsikan lagi di mana tentara Romawi yang dulu berdisiplin dan terkenal kuat serta ribuan pasukan baju besi Persia yang kolot itu hancur berantakan menghadapi gempuran pasukan Islam yang sedang bergairah ini. Dan anehnya kekalahan mereka oleh pasukan Islam diterima dengan jaminan rasa aman dan damai. Dalam waktu singkat, umat yang kalah itu, rombongan demi rombongan masuk agama baru (Islam) dengan kesadaran mereka sendiri. Orang
Arab
Muslim
mengetahui
bagaimana
mengonsolidasikan
pemerintahan dan mengalihkannya ke tangan mereka karena ia bukan lagi bangsa yang haus darah dan perampok, tetapi bangsa yang sudah dianugrahi moralitas akhlak yang tinggi, cinta pada ilmu pengetahuan dan pemaaf. Dengan sendirinya terjadilah satu kesatuan di antara mereka yakni asimilasi budaya Arab dan Ajam. Asimilasi itu bernama Sarasin atau Arabesque, hasil kecerdasan Yunani, Romawi dan Persia dengan ketinggian kecerdasan Arab yang berlandaskan kecerdasan spirit Islam. Selanjutnya Snouck Hurgronye telah mengakui Islam sebagai pemegang soko guru peradaban pada Zaman Pertengahan Eropa sebagaimana pernyataannya sebagai beriku: “Kekuasaan Dunia Islam pada abad ke-8, yang meliputi daerah-daerah, mulai dari Marokko dan Spanyol di Barat sampai ke perbatasan China di Timur telah menaklukkan sebagian besar kekuasaan-kekuasaan dunia lama, dan kemungkinan terus berkembang luas. Ini merupakan bahaya yang menetap bagi Selatan dan Timur Eropa. Dan dipastikan pada permulaan
47
h. 85.
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik,
103
Zaman Pertengahan Eropa Islam mewakili soko guru peradaban. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada masa itu merupakan keharusan dunia Islam untuk memenuhi panggilan zamannya untuk memimpin dan mencapai tujuan kemanusiaan, melebihi bangsa-bangsa kulit putih sekarang ini yang secara kebetulan sedang menjalankan tugas yang suci pula. 48 Selanjutnya
dalam
konteks
Islam
di
Indonesia
dalam
buku
Understanding Islam in Indonesia: Politic and Diversity 2010, oleh Robert Pringle mengatakan, pasca serangan teroris, 11 September 2001, di New York, Amerika Serikat, perhatian mulai di arahkan ke Indonesia menyangkut model keberislamannya. Paling tidak Indonesia dianggap dapat menjadi representasi baru dunia Muslim di luar Timur Tengah. Selain itu keberislaman Indonesia dinilai pula menampilkan wajah unik yang berbeda, lebih moderat dan toleran. 49 Namun demikian, persepsi popular terkait Islam Indonesia, masih menunjukkan pola yang bertolak belakang. Sebagian melihat Islam Indonesia sebagai agama yang dipenuhi perilaku mistik dan cenderung jinak. Sementara yang lain melihat dengan persepsi islamofobia, merujuk aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh sejumlah kelompok radikal Islam. Uraian selanjutnya dalam buku ini berusaha menengahi perbedaan pandangan tersebut dengan menunjukkan karakter khas dari model keberislaman yang berkembang di Indonesia. Fokusnya untuk menganalisis seberapa jauh kultur dan etnisitas yang membentuk watak keberislaman masyarakat, berpengaruh pada perilaku politik dan budaya Islam yang berkembang di Indonesia. Atas dasar
48
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik,
49
M. Hafidz Ghozali, ” Wajah Politik Islam di Indonesia”, Kompas , 28 Juli 2011.
h. 83.
104
itulah kurang tepat jika memahami keberislaman Indonesia dengan sudut pandang keagamaan Timur Tengah. Namun pada sisi lain tidak juga sepenuhnya bisa mengabaikan jaringan transnasional dan gerakan Islam global dan lokal sebagai elemen kunci dalam membangun peradaban masyarakat Indonesia kuhususnya dalam aspek politik dan sosial budaya. Indonesia dapat dianggap selangkah lebih maju dari pada Timur Tengah. Faktor etnisitas sangat lemah dalam membentuk watak keberislaman dan politik masyarakat Indonesia relative terhapus dengan adanya prinsip Nasionalisme. Apa yang mewarnai proses konstitusi pada masa kemerdekaan (1946-1966) tidak ditentukan oleh karakter kesukuan, melainkan ideologi Islam, Nasionalisme dan Komunisme mempunyai kesempatan yang sama dalam mendefinisikan dasar kenegaraan Indonesia modern. Selain itu
sejak awal kedatangan Islam di
Indonesia, keberagamaan masyarakat lebih ditentukan seberapa jauh mereka mendefinisikan dan memahami teks Islam, bukan entitas. Dari pola ini kemudian muncul dua pola pemahaman keagamaan, yaitu tradisionalis di satu sisi yang lebih berpengaruh sufisme dan reformis di sisi lain yang lebih banyak menekankan nilai doktrinal dalam Al-Quran. Pola pemahaman keberagamaan di atas terwadahi dalam dua organisasi Islam terbesar di tanah air. Pertama tampak pada keberagamaan Nahdlatul Ulama (NU), yang lebih bersifat tradisional-konvensional, sementara pola kedua tampak pada pola keberagamaan yang diperankan oleh Muhammadiyah dengan penekanannya pada ide pembaharuan dan otensitas ajaran Islam. Dari kedua organisasi inilah tulang punggung masyarakat sipil (sivil socity) yang esensial
105
bagi demokrasi mulai tumbuh yang mengilhami para tokoh Islam yang mempunyai cita-cita pengembangan ajaran Islam dalam Negara berdasarkan ideologi Pancasila yang memiliki sejarah tersendiri. Tercatat dalam sejarah bahwa mulai abad ke 13-abad sampai ke-17 Islam masuk dan menjadi kekuatan penting di Nusantara. Islam bahkan menjadi ikon dan simbol era baru ketika melembaga dalam bentuk kerajaan dan berhadapan dan berbaur serta memiliki keterkaitan dengan kekuasaan yang sebelumnya bercorak Hindu.50 Sejak itu, Islam menjadi hegemoni baru di kepulauan Nusantara pasca kejayaan Hindu.51 Dari fenomena sosial itu, ada kecenderungan bahwa di pusatpusat kekuasaan Hindu yang kuat dan meninggalkan akomodasi sosio-kultural dan politik yang kuat pula, Islam lahir dalam bentuknya yang sinkretis seperti yang berkembang di Jawa Tengah, Yokyakarta dan Jawa Timur bagian pedalaman yang mendapat pengaruh kuat dari kekuasaan Mataram dan Majapahit. Proses tersebut berlangsung melalui akulturasi atau adaptasi kultural yang bersifat harmonis. Dalam seminar tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan di Aceh pada tahun 1953 Ruslan Abdulgani 52 mengutif tulisan dan pendapat Gusteve E. Von Grunebaum seorang orientalis berkebangsaan Amerika mengemukakan bahwa transformasi politik, sosial dan kebudayaan yang
50
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis Nusantara, 2010), h. 71. 51
Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Muhammadiyah Periode Awal (Surabaya: LPAM), h. 1-2. 52
Melacak
(Jakarta: Kompas Media Pandangan
Taufiq Abdullah, Islam di Indonesia (Jakarta:Tintamas, 1974), h.2.
Keagamaan
106
digerakkan Islam sebagai sebuah agama, telah mengintrodusir tiga aspek nilai baru yaitu : Aspek akidah, aspek syariat dan aspek akhlak (pola prilaku). Akidah
berasal
dari
kata
“aqada-ya’qidu-aqdan”
yang
berarti
mengikatkan atau mempercayai/meyakini. Jadi akidah berarti ikatan, kepercayaan atau keyakinan.53 Dengan demikian, akidah di sini bisa diartikan sebagai ikatan antara manusia dengan Tuhan. Secara fitri manusia terikat ke luar dirinya. Ia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup menyendiri, ia harus berkomunikasi dengan luar dirinya. Dalam Islam akidah adalah iman atau kepercayaan yang menjadi sumber asasinya dari al-Qur’an. Iman adalah konsepsi teoritis yang dituntut pertama dan utama untuk dipercayai tanpa keraguan yang dititipkan secara positif sebagai konsensus kaum muslimin yang tidak pernah berubah, sejak penyiaran Islam pertama di masa Rasulullah hingga kini dan akan datang. Dengan demikian Islam mengajarkan kehidupan akhirat yang berkesinambungan dengan dunia sekarang ini. Aspek akhlak (pola prilaku). Kata akhlak berasal dari kata khalaqa dengan akar kata khulukan yang berarti perangai, adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat . Dengan demikian secara kebahasaan akhlah bisa baik dan bisa buruk, tergantung kepada tata nilai yang dijadikan landasan atau tolak ukurnya. Di Indonesia kata akhlak selalu berkonotasi positif. Orang yang baik sering kali disebut orang yang berakhlak, sementara orang yang tidak berbuat baik sering kali disebut orang yang tidak berakhlak.
53
Andi Rasdiyanah, Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia (Makassar: IAIN Alauddin, 1982), h.2-3.
107
Pada satu sisi Islam mengajarkan kehidupan pribadi, namun pada sisi yang lain Islam mengajarkan juga tentang tata cara hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam sejarah tercatat bahwa pada zaman jahiliah orang Arab hanya berfikir sebatas antar suku-suku saja, tatapi tatkala Islam datang telah membuka cakrawala baru yang lebih luas yaitu kehidupan yang penuh solidaritas sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. Integrasi ketiga nilai baru itu dapat dilihat secara empirik pada bentuk-bentuk perubahan sosial dan kultural yang sangat mendasar yaitu: a. Umat Islam memiliki cakrawala kemanusiaan yang luas dan lebih mendalam antara sesama manusia. b. Wawasan intelektual umat baru itu bertambah luas yang didukung oleh daya kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kian
meningkat. c. Terciptanya suatu iklim institusi yang baru dan belum pernah dikenal sebelumnya dan secara moral dapat dipertanggung jawabkan dan berjalan secara efektif. d. Terciptanya suatu pola gaya hidup baru yang sarat dengan cita-cita kemanusiaan serta merealisasikannya dalam kehidupan dunia dan akhirat 54 Menurut Taufiq Abdullah bukanlah suatu yang paradoks, jika Islam sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin, menampakkan dirinya dalam keragaman kultural dari kondisi
54
Andi Rasdiyanah, Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia, h. 4.
108
masyarakat pemeluknya. 55 Oleh karena itu ketegangan antara doktrin yang abadi dengan manifestasi dalam kehidupan pribadi dan sosial merupakan faktor utama dari dinamika Islam, sehingga dari sudut inilah ajaran moral Islam tentang fitrah manusia yang mempunyai sifat dinamis dapat disempurnakan secara historis dan dapat dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Simuh dalam bukunya Islam dan Pergumulan Budaya Jawa mengungkapkan hasil penelitiannya tentang interaksi Islam dan berbagai budaya lokal di Jawa, dimana terdapat kemungkinan Islam mewarnai, mengubah, mengolah dan memperbaharui budaya lokal, tetapi pada saat yang sama mungkin pula Islam yang justru diwarnai oleh berbagai budaya lokal. Masalahnya, apakah para pendukung Islam yang aktif, atau malah sebaliknya para pendukung budaya lokal yang telah memahami ajaran Islam menurut kaca mata warisan lokal mereka. Melalui hal ini timbul proses lokalisasi (jawanisasi) terhadap unsur-unsur Islam yang kelak dalam sastra budaya Jawa melahirkan Islam kejawen. Sebaliknya, jika para ulama pendukung Islam yang aktif mengislamkan masyarakat Jawa misalnya, tentu yang muncul adalah budaya pesantren. Selanjutnya Simuh menjelaskan tentang interaksi Islam dengan bahasa Melayu dan budaya lokal lainnya di Nusantara sebagai berikut: Kesaksian batu nisan hanya bercerita tentang adanya Sultan yang beragama Islam pada abad ke-13. Hal yang amat membanggakan justru interaksi Islam dengan sastera Melayu yang mampu melahirkan sastera Melayu Islam yang menjadi mercusuar pemikiran intelektual dalam perkembangan sastera Malayu menuju sastera Islam, di mana Islam dan Melayu kemudian menjadi 55
Taufik Abdullah, Islam di Indonesia (Jakarta:Tintamas, 2004), h. 3.
109
dwitunggal yang tak dapat dipisahkan lagi. Walaupun integrasi Islam dengan sastera melayu berkembang secara mulus, namun ada juga tantangan berat dari tradisi sosial dan hukum adat lokal yang telah mengakar dalam sejak masa prasejarah. Di Sumatera Barat, Aceh dan di Sulawesi upacara-upacara adat masih tetap dipertahankan. Seperti upacara-upacara perkawinan misalnya. Di Sumatera Barat adat itu beroleh legitimasi melalui ungkapan “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. 56 Terkait dengan itu pula Rahman Mas’ud dalam mengutip pendapat Spenger mengatakan, agama Islam adalah moralitas kemajuan kebudayaan masyarakat dalam pembentukan moral dan nilai-nilai luhur yang dapat membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam, sehingga ayat yang pertama turun dimulai dengan perintah membaca karena membaca merupakan kunci ilmu pengetahuan yang selanjutnya Nabi Muhammad saw menganjurkan umatnya menuntut ilmu meskipun ke negeri Cina dengan harapan manusia dapat memahami Islam secara universal dan tidak menjadi radikalisme dan terorisme yang berpikiran sempit dan picik. Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan karakter dan sifat keberislaman di negara lain, terutama di Timur Tengah. Islam masuk ke Indonesia melalui jalur ekonomi (perdagangan) dan budaya. Dengan
kepiawaian
saudagar
muslim
berniaga
dan
kemampuannya
mengadaptasikan unsur-unsur universalitas Islam ke dalam kultur setempat, Islam dengan cepat diterima diberbagai suku di Indonesia. Atas kenyataan itulah, Dawam Raharjo sebagaimana yang dikutip Nurhayati Rahman, membagi zona kebudayaan Islam di dunia berdasarkan ciri56
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), h. 65-66.
110
ciri utama yang dimilikinya, sekaligus membedakannya dengan yang lain, tetapi unsur-unsur universalitas agama Islam akan menjadi perekat dari perbedaan tersebut. Itulah yang dikenal dengan zona Islam Melayu, Arab, Afrika, Eropa dan Indonesia.57 Menurutnya hanya dengan kebudayaan yang bersumberkan agama yang mampu menyelamatkan manusia dari kerusakan dan kehancuran. Pernyataan tersebut relevan pula dengan pendapat Nur Syam yang, mengatakan bahwa Islam dapat menjadi
kuat apabila Islam menjadi basis
kebudayaan, sebab ketika Islam menjadi basis politik (kekuasaan), maka akan terjadi proses dialektika jatuh bangun. Sebagaimana negara-negara di Timur Tengah yang mengklaim diri sebagai negara Islam, ketika negara tersebut terlibat dengan problema politik kekuasaan, maka kecaman dan tuduhan terhadap negara Islam tak terelakkan. Contoh lain adalah jatuh bangunnya kerajaan-kerajan Islam di Nusantara pada masa lampau yang diakibatkan oleh keinginan untuk saling berkuasa. Sebaliknya, jika Islam menjadi basis kebudayaan, pada hakikatnya menjadikan Islam sebagai pattern for behavior (acuan dalam bertingkah laku), sekaligus menjadikan Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat.58 Dengan demikian Islam yang berbasis kebudayaan adalah Islam yang tidak menafikan kebudayaan masyarakat dengan Islam sebagai
57
Nurhayati Rahman, “Syariat Islam dan Sistem Pangngaderreng (Makalah yang disajikan pada seminar International dan Festival Kebudayaan (Empat Abad Islam Melembaga di Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan kerjasama Pusat Kajian Timur Tengah dengan Devisi Ilmuilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian Unhas dengan Pemerintah Kota Makassar, Makassar, 2008), h. 6. 58
Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (Yokyakarta: Pelangi Aksara, 2007),.h. 80.
111
ajaran suci, sehingga relasi Islam dengan kebudayaan adalah sesuatu yang saling melengkapi. Islam yang demikian adalah Islam yang produktif, dinamis dan prospektif dalam jangka panjang yang saling menerima dan memberi dalam bingkai Islam sebagai basis budaya Islam yang ramah, santun dan mampu berdialog dengan budaya masyarakat. Kata kunci Islam sebagai rahmatan lil’alamin, sesungguhnya adalah menempatkan Islam sebagai bangunan yang menyangga sekaligus menjawab tantangan kehidupan manyarakat yang membutuhkan kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan yang menyejarah dalam kehidupan masyarakat dan menyelamatkan semuanya bukan hanya menyekamatkan sebagian masyarakat saja. Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bernilai ilmiah yaitu akidah dan syariah karena itu sekaligus bersifat transenden (ibadah), tetapi dari sudut sosiologis Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial yaitu sistem akhlak dan muamalah yang memengaruhi kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin tetapi juga mengejawantahkan diri dalam institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi, dinamika ruang dan waktu. Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan sejak awal kedatangannya terjadi integrasi dengan adat istiadat yang dikenal dengan Pangngadakkang59 (Makassar) dan Pangaderreng (Bugis). Menurut Andi
59
Pangngadakkang (Makassar), Pangngaderreng (Bugis) adalah wujud kebudayaan ideal orang Bugis-Makassar yang mencakup pengertian sistem norma atau aturan-aturan adat dan tata tertib, mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan berupa peralatan-peralatan materil dan non materil.
112
Rasdiyanah inetgrasi itu terjadi dalam dua bentuk yaitu integrasi substansial dan integrasi struktural.60 Integrasi tersebut secara khusus akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini. Perbedaan metode penyebaran Islam di Jawa dan di Sulawesi Selatan telah dijelaskan oleh Ahmad M. Sewang dalam disertasinya bahwa di Jawa, Islam disebarkan secara
bottom up (dari bawah ke atas, melalui wali lewat
pesantren, akhirnya sampai ke pejabat kraton), sementara di Sulawesi Selatan disebarkan secara top down, yaitu melalui pintu istana-dari raja yang memproklamirkan Islam kepada rakyat kemudian dianut oleh rakyatnya. 61 Metode penyebaran Islam di Jawa menurut Simuh dihadapkan kepada dua lingkungan budaya kejawen yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang Animisme dan Dinamisme. Dari perjalanan sejarah proses islamisasi di Jawa, tampaknya Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa Istana, bahkan dalam cerita Babad Tanah Jawa dijelaskan bahwa Raja Majapahit menolak agama baru itu. 62 Karena itu para Wali penyebar agama Islam kemudian lebih menekankan kegiatan dakwanya di lingkungan masyarakat pedesaan, khususnya di daerah-daerah pesisir pulau Jawa.
Pangngaderreng terdiri atas lima unsur yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya yaitu adek, bicara, rapang, wari dan sarak. Selengkapnya lihat Mattulada, h. 339-341. 60
Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng (adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontara Latoa (Disertasi Doktor, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yokyakarta,1995), h. 14. 61
Ahmad M, Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Yokyakarta: Obor, 2005), h. 30.
62
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, h. 67.
113
Dengan metode yang berbeda ini tentunya menghasilkan corak keberislaman yang berbeda pula. Pola pertama menghasilkan ajaran kejawen yang bersifat sinkretisme, sedangkan pola kedua mengakibatkan corak keberislaman bersifat formalistik. Pada corak keislaman formalistik, Islam digunakan sekedar label atau identitas belaka tanpa pelaksanaan syariat atau di Sulawesi Selatan dikenal kelompok Islam Sossorang,63 sedangkan norma-norma hidup
masih
didasarkan pada budaya lama. Pada masa lampau atribut Islam secara formal digunakan seperti Islam sebagai agama resmi kerajaan, raja bergelar Sultan, sedangkan pemeluknya meskipun mereka tidak melaksanakan kewajiban salat, tetapi mereka tidak mau disebut bukan Islam bahkan mereka mau mati kalau Islam diganggu. Sebagai lawan dari Islam Sossorang adalah kelompok Islam Pagama,64 di Jawa dikenal istilah Islam santri yaitu pengamut Islam yang taat menjalankan ajaran Islam dan meninggalkan larangannya, sebagai lawannya adalah Islam abangan. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia merupakan ilustrasi yang jelas kecenderungan tersebut di atas. Kontak-kontak pertama antara jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia menunjukkan adanya akomodasi kultural yang 63
Kelompok Islam Sossorang adalah istilah yang diberikan kepada komunitas Islam yang tidak menjalankan ajaran Islam khususnya shalat lima waktu atau orang Makassar yang menerima Islam dari segi pengakuan tanpa memahami dan mempraktekkan ajaran Islam menurut syariat Islam. Mereka sangat awam tentang ajaran Islam dan sangat panatik terhadap ajaran nenek moyangnya (Animisme dan Dinamisme) serta sangat patuh terhadap tokoh lokal yang disebut Anrongguru. Lihat Abu Hamid. op.cit. h. 51. Bandingkan dengan Nurman Said dalam Masyarakat Muslim Makakssar: Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Pagama dengan Muslim Sossorang (Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. 2009). h. 90. 64
Islam Pagama adalah kebalikan dari Islam Sossorang yaitu penganut Islam yang taat menjalankan ajaran Islam serta menjauhi segala larangannya. Di Jawa dikenal dengan Islam santri.
114
ditemukan, di samping bermula dari pembenturan dalam kontak dunia dagang, sejarah juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam bisa terjadi dalam kontak dunia Intelektual, atau ketika kepercayaan pada yang lama mulai menurun, diganti dengan ajaran baru yaitu agama Islam. Situasi yang pertama dapat dilihat dengan situasi pengislaman kota-kota pelabuhan seperti Malaka dan Banten. Pada bagian kedua dengan pengislaman daerah-daerah pinggiran kebudayaan Kraton. pada saat yang lain seperti yang di alami oleh kerajaan Bugis Makassar ketika Islam datang secara adaptasi dengan kepercayaan masyarakat pra Islam. Saat perbenturan kebudayaan sedang terjadi di Sulawesi Selatan, para muballig dalam zaman awal proses islamisasi tidak memaksakan ajaran dan kaidah suatu hukum dalam totalitas
komunitas,
melainkan secara akomodatif-adaptatif. Senada dengan pernyataan di atas, Radhi Al-Hafidh dalam kasus masyarakat Bugis mengatakan bahwa agama, kepercayaan dan adat telah berbaur dalam satu kesatuan dari nilai-nilai masyarakat Bugis yang tetap ada dan mapan, namun karena pergeseran masa, perubahan lingkungan dan kontak dengan dunia luar memperlihatkan adanya proses perubahan yang makin cepat, intens dan beragam.65 Melalui islamisasi, masyarakat Bugis Makassar banyak mengubah corak kebudayaannya, melengkapi pranata sosialnya, mendinamisir lingkungan hidup, membuka isolasi dan ketergantungan dengan dunia luar.
65
Radhi Al-Hafid. Cerita Prosa Rakyat, Studi tentang Peranannya dalam Agama dan Perubahan Sosial pada Masyarakat Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam Andi Rasdiyanah. Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia (ed) (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1982), h. 32.
115
Menurut Abu Hamid penyebaran agama Islam di Sulawesi-Selatan tidak terlepas dari peranan dan kehadiran tiga ulama (datok tallua) dari Minangkabau, Sumatera Barat yang memiliki bidang keahlian dan metode penyebaran Islam yang berbeda. Abdul Makmur Khatib Tunggal dengan gelar Datuk Ri Bandang mengembangkan Islam di Makassar dan sekitarnya yang dikenal masyarakatnya sebagai pemain judi, sabung ayam, minum khamar (ballo sarru) dalam bahasa Makassar, zina dan melakukan riba. Untuk mendekati masyarakat sepeti itu Dato Ri Bandang menggunakan metode pendekatan hukum syariat. Sedangkan di daerah Bugis (Luwu) yang panatik terhadap kepercayaan lama (Dewata Seuwae) yang diyakini sebagai Tuhan yang Maha Esa ditangani oleh Khatib Sulaiman dengan gelar Datuk Ri Patimang. Ia menjalankan dakwah dengan pendekatan akidah (Ilmu Kalam) yang menekankan ajaran ketauhidan sebagai realisasi dari dua kalimat syahadat. Khatib bungsu dengan gelar Datuk Ri Tiro mengunjungi daerah Bulukumba dan mengembangkan ajaran Islam dengan pendekatan mistik (Tasawuf) untuk mengajak masyarakatnya memeluk agama Islam yang terkenal dengan ilmu kebatinannya atau sihir (black magic) atau doti (Makassar).66 Ahmad
M.
Sewang
dalam
mengutip
pendapat
W.F.
Werthein
mengatakan, salah satu alasan sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan cepat di wilayah Nusantara karena Islam memberikan ruang untuk menghargai setiap individu
66
dan persamaan status tanpa ada diskriminasi. Selain itu menurutnya
Abu Hamid, Selayang Pandang Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan Orang BugisMakassar di Sulawesi Selatan dalam Bugis –Makassar dalam Peta Islamisasi di Indonesia (Ujungpandang: LP3M IAIN Alauddin, 1982), h. 75.
116
Islam disebarkan melalui pendekatan mistik dengan menyesuaikan Islam dengan budaya dan kepercayaan lokal. Metode penyebaran Islam melalui mistik mampu memperkenalkan Islam dengan kemasan yang atraktif dan menyejukkan dengan menampilkan wajah Islam yang ramah,lentur dan akomdatif terhadap kepercayaan dan budaya lokal yang sampai sekarang dapat dilihat dalam upacara siklus hidup seperti acara kelahiran aqikah, pesta perkawinan dan acara kematian. Pendapat di atas didukung oleh V. I Braginsky, 67 yang menjelaskakan dalam pendahuluan sebuah tulisannya tentang Tasawuf dan Sastera Melayu, Kajian dan Teks sebagai berikut: Sejak akhir abad ke 14 terutama sekali abad ke 16-17 tasawuf selalu memainkan peranan sangat penting dalam sejarah, agama dan budaya di kawasan Melayu-Indonesia. Bentuk Sufi ternyata bentuk yang paling sesuai dengan mentalitas rakyat di dunia kepulauan itu, bagi tersebarnya Islam dikalangan mereka. Semangat toleransi yang menjadi kelaziman dalam tasawuf mazhab Ibnu al-Arabi yang agung itu, serta kecakapan dan kefasihan mubaligh-mubaligh sufi yang tahu jalan-jalan menuju hati, baik para intelektual dan aristokrat yang terpelajar maupun rakyat jelata, sangat mempermudah bagi masuknya agama Islam ke dalam semua strata masyarakat. Dalam pada itu, toleransi Sufi tidak mesti difahami sebagai semacam penyelewengan dari ajaran dan dogma-dogma Islam yang hakiki, tetapi lebih sebagai kerelaan para mubaligh Sufi di dalam khotbah-khotbah mereka untuk memperhitungkan tradisi-tradisi, ide-ide dan simbol-simbol yang lazim bagi pendengar, agar supaya berangsur-angsur mentransformasikan pandangan hidup mereka ke dalam semangat Islam. Dengan kata lain mereka berkhotbah dalam “bahasa” agama dan budaya yang
67
V.I. Braginsky, lahir tahun 1945 di Moskwa, anak dari Prof. Losif S. Braginsky, ahli sastera Parsi Klasik. Alumni dari lembaga Bahasa-bahasa Timur Universitas Moskwa tahun 1969. Selanjutnya menjadi ahli bahasa dan sastera Indonesia pada Institut Kajian Timur (Institut Vostokovedinija) Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet. Tahun 1988 sebagai Kepala Bagian Penelitian Budaya Antardisiplin. Tahun1990-1992 Vladimir I. Braginsky menjadi guru besar sastera Melayu pada Universitas Negeri Lomonosov di Moskwa. (Kata pengantar dari Hein Steinhauer, Universitas Leiden dalam buku “Tasawuf dan Sastera Melayu. Kajian dan Teks -teks.)
117
bisa dipahami dan diterima oleh para pendengar, karena seakan-akan merupakan “ bahasa” lama dan baru sekaligus; sambil lambat laun mereka mengganti konotasi-konotasi lama dari kata-kata bahasa itu dengan konotasi yang baru, yaitu Islam. Upaya-upaya khotbah yang efisien semacam itu, dan yang lahir di dunia Islam sesudah zaman Perang Salib dan terutama sekali sesudah tarikat-tarikat Sufi yang kuat dan bercabang banyak dibentuk, menjadikan dunia Melayu-Indonesia sebagai sebuah contoh tentang kawasan yang pada umumnya menerima Islam dengan secara damai saja, yaitu hampir tanpa peperangan agama.68 Pendapat ini dipertegas Erwin berdasarkan hasil penelitiannya tentang Aliran Kebatinan (Analisis Historis dan Kultur). 69 Dijelaskan bahwa Agama Islam yang masuk ke Nusantara dengan cara damai dan bercorak tasawuf, tidaklah banyak membawa perubahan-perubahan yang signifikan, bahkan justru yang terjadi adalah usaha untuk mengkompromikan dan menyatukan antara ajaran Islam yang datang dengan ajaran-ajaran yang telah lebih dulu ada di Indonesia termasuk budaya lokal yang lebih dulu ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu dalam cerita kesaktian Wali Songo sebagai penyebar Islam di Jawa menjadi sangat terkemuka dan terkesan lebih mendewa-dewakan dengan segala kesaktiannya ketimbang menganggap mereka sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Sejarah hidup mereka diselimuti oleh dongeng dan khayal. Hal tersebut dipengaruhi oleh mitologi Jawa yang berinduk kepada epos India, Ramayana dan Mahabrata, yang memandang hidup ini dilihat laksana peperangan antara kuasa kekacauan dan kuasa keteraturan. Keteraturan adalah kondisi yang harus ditegakkan, berarti keharmonisan dengan tujuan kosmos, dan 68
V.I. Braginsky, Tasawuf Dan Sastera Melayu, Kajian dan Teks-Teks. Jakarta: Seri Publikasi Bersama antara Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan Universitas Leiden, 1993. h. xi 69
Erwin, Aliran Kebatinan (Analisis Historis dan Kultur) dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban “Hadharah”. Padang: Institut Agama Islam Negeri Padang (PPs IAIN) Volume IV September 2004), h. 59.
118
dalam arti lebih dalam itulah kemanunggalan, kasatuan dari segala-galanya, pencipta dengan alam gaib dan alam nyata. Dalam pribadi seorang pemimpin mempunyai kekuasaan yang adikodrati, yang sangat erat hubungannya dengan dunia azali. Bukti yang paling dekat tentang hal ini dapat dilihat pada nama dua raja yang masih dapat ditemukan di Jawa yaitu: Paku Buwono di Solo dan Paku Alam di Yokyakarta, keduanya berari poros bumi. 70 Dalam konteks penyebaran Islam di Sulawesi-Selatan penerimaan sarak (syariat Islam) ke dalam pangngadakkang menjadi sarana utama bagi proses sosialisasi dan enkulturasi ajaran Islam ke dalam kebudayaan Bugis-Makassar. Proses tersebut berlangsung secara intensif, sehingga di masyarakat terjadi pengidentifikasian dengan Islam, yang berarti bahwa masyarakat Bugis-Makassar itu identik dengan Islam. Dengan demikian suatu hal yang aneh dan janggal apabila orang Bugis-Makassar itu dikatakan bukan Islam karena dianggap menyalahi pangngadakkang sebagai alat legitimasi keislaman seseorang. Abu Hamid dalam hasil penelitiannya memberikan ilustrasi tentang hubungan Islam dengan adat dalam masyarakat suku Bugis Makassar sebagai berikut: Seorang Bugis ataupun seorang Makassar takut pada dua hal, yaitu takut dinikahkan kalau bukan secara islami dan takut dikuburkan kalau bukan dengan upacara islami pula. Dari pengaruh dan alasan ini sehingga orang Bugis Makassar tidak mau disebut bukan orang Islam. Apabila mereka dipanggil bukan orang Islam, sama halnya melanggar martabat dirinya dan konsekuensinya adalah nyawa. Sederajat dengan itu, jika seorang Bugis Makassar dibilangi tidak memeliki siri juga dirasakan sebagai suatu penghinaan. Siri amat luas pengertiannya, pada berbagai situasi dapat 70
h. 23.
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1983).
119
diartikan sebagai “martabat diri” dan di lain situasi diartikan “malu”. Sebutan bukan Islam kepada seseorang adalah identifikasi sara dan sebutan tidak ada siri adalah identifikasi adat. Apabila dua hal ini disebutkan kepada seseorang itu pastilah merupakan suatu penghinaan yang berat. 71 Pangngadakkang berasal dari kata adak atau adat yang oleh Matthes diterjemahkan dengan gewoonten (kebiasaan-kebiasaan). Adat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, merupakan tradisi dalam masyarakat. Dalam
Lontarak diungkapkan bahwa
“Iyya nanigesaraki
adak biasana
buttaya,tammattikami balloka, tanaiktongangngami jukuka, sala tongi aseya. 72 Artinya: Jika adat kebiasaan dirusak, maka tuak berhenti menetes, ikan menghilang dan padi pun gagal panen. Melanggar adat berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan saja hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, melainkan juga segenap anggota masyarakat turut pula merasakan akibatnya. Oleh karena itu orang Makassar yang berhasrat akan melakukan sesuatu segala rencana terpulang pada adat. Adatlah yang merupakan penentu patut tidaknya sesuatu yang akan dilakukan itu. Dalam suatu ungkapan Makassar dikatakan “Punna Pangngadakkang, taena erokku,taena kulleku” Artinya: Jika sudah menyangkut ketentuan yang diadatkan, tidak berlaku kemauan dan kemampuanku. Selanjutnya dalam ungkapan lain dikatakan :“Paempoi gauknu siagang ampe-ampenu ri adaka siagang ri saraka.”73 Artinya: Dudukkanlah
71
Abu Hamid, “Islam dan Kebudayaan Bugis-Makassar (Suatu Tinjauan Umum tentang Konfigurasi Kebudayaan” (Makalah yang disajikan pada seminar regional dilakasanakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Alauddin Makassar. Makassar 11 Maret 2000), h. 2. 72 73
Sugira Wahid, Manusia Makassar (Makassar: Refleksi, 2007), h. 66-67.
Iman Budi Santosa, Budi Pekerti Bangsa: Untaian Kata-kata Mutiara dan Peribahasa Pembangun Jiwa Patriotisme (Arti Bumi Intaran, 2008), h. 80.
120
segala perbuatan dan akhlakmu pada adat dan agama Ini bermakna bahwa semua keputusan yang telah diputuskan sesuai dengan proses adat masyarakat dan kehendak agama Islam. Menurut adat orang Bugis-Makassar, setiap perbuatan dan akhlak harus serasi dan sejalan dengan ketentuan adat serta ajaran agama Islam. Betapa eratnya hubungan antara adat dan sarak (Islam), sampai sekarang sering terdengar berbagai ungkapan dari empat etnis utama di Sulawesi Selatan dan Barat (Bugis, Makassar, Tator dan Mandar). Malah acap kali terdengar berbagai penolakan dari etnis-etnis tersebut, bila ada salah satu elemen budaya yang tidak sesuai dengan tata cara dan peralatan mereka. Ini berarti adat-istiadat mereka tetap dianggap sebagai suatu yang memiliki nilai yang tinggi. Dalam ungkapan Makassar misalnya diungkapkan: Toai adaka na saraka, artinya lebih duluan adat istiadat kemudian sarak (ajaran Islam), Lammoteremi adaka ri kabiasanna, berarti akan kembalilah kebiasaan-kebiasaan adat pada aturannya tersendiri. Dalam ungkapan Bugis Wajo dikatakan : Maradekai to WajoE ada’ nami napopuang artinya orang Wajo merdeka hanya adatnyalah dipertuankan. Hal yang sama juga terdapat dalam Lontara dan keseharian budaya orang Mandar yang mereka sebut : Adak idi Iami dipopuang (kami hanya patuh pada adat kami sendiri). Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan telah mampu merekonstruksi berbagai nilai-nilai budaya yang sudah aus dan diselaraskan dengan elemen-elemen Islam. Dalam tulisan Rahman Rahim, mengajukan beberapa konsep dan bentuk perubahan yang dibawa Islam sebagai hasil integrasi terhadap kebudayaan lokal
121
Bugis-Makassar yaitu: perubahan yang bersifat meniadakan, perubahan yang bersifat menambah, perubahan yang bersifat menunjang dan perubahan yang bersifat menggabung.74 Perubahan-perubahan ini dipahami berlakunya pada konfigurasi kebudayaan, yakni pada ciri-ciri, benda-benda kebudayaan. Kebudayaan menurut Simuh adalah
sebagai proses atau hasil krida,
cipta, rasa dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Alam ini di samping memberikan fasilitas yang indah juga menghadirkan tantangan yang harus dihadapi dan diatasi. Manusia tidak puas dengan apa yang terdapat dalam alam ini berupa benda. Manusia memiliki wawasan dan tujuan hidup tertentu sesuai dengan kesadaran dan citacitanya. Menurut para ahli antropologi, tiap kebudayaan pada umumnya mempunyai paling sedikit 3 (tiga) wujud, yaitu : a. Wujud kebudayaan sebagai suatu himpunan gagasan atau ide-ide. b. Wujud kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang berpola. c. Wujud kebudayaan sebagai sekumpulan benda dan artifacts. Wujud pertama adalah wujud yang paling abstrak karena dalam bentuk gagasan, konsep atau ide yang tersimpan di kepala. Kebudayaan dalam wujud ini disebut cultural sistem atau sistem budaya dan juga disebut covert culture . Kebudayaan
dalam wujud yang ke dua disebut social sistem atau sistem sosial,
sedang dalam wujud yang ke tiga adalah kebudayaan fisik atau fhysical culture . Wujud ke dua dan ke tiga disebut juga overt culture.
74
h. 155.
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Yokyakarta: Ombak, 2011),
122
Sistem nilai budaya merupakan bagian dari sistem budaya, yaitu aspek dari sistem gagasan. Dalam kaitan itu sistem nilai budaya adalah sejumlah pandangan mengenai soal-soal yang paling berharga dan bernilai dalam hidup. Karena itu disebut sistem nilai. Sebagai inti dari suatu sistem kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat istiadatnya, sistem normanya, aturan etikanya. aturan moralnya, aturan sopan santunnya, pandangan hidup dan ideologi pribadi. Adapun soal- soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia secara universal dalam setiap kehidupan manusia sedikitnya ada lima hal menurut Kluckhohn sebagai berikut : a. Makna hidup manusia dengan orientasi nilai budaya apakah baik atau buruk. b. Makna pekerjaan dan amal perbuatan manusia dengan orientasi nilai budayanya, hidup, karya dan kedudukan/kehormatan; c. Persepsi manusia mengenai waktu. Dengan orientasi nilai budayanya, pada masa lalu,sekarang dan akan datang. d. Soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya yang berorientasi pada nilai budayanya apakah tunduk, selaras atau menguasai alam. e. Soal hubungan manusia dengan sesama manusia, apakah kolektif, vertikal atau individual. Kelima masalah yang bernilai dala hidup tersebut itulah yang menjadi isi dari sistem nilai budaya dalam setiap kebudayaan di dunia. Persepsi dan konsepsi mengenai kelima masalah tersebut bisa berbeda-beda dalam berbagai kebudayaan dalam masyarakat pendukungnya. Menurut Jujun S. Suriasumantri, dalam Hans J.
123
Daeng mengatakan, modernisasi adalah proses perubahan masyarakat tradisional (convensional) menuju suatu masyarakat yang lebih maju dengan mengacu pada nilai-nilai
modernitas
yang
bersifat
universal. 75
Selanjutnya
dijelaskan,
modernisasi sebagai upaya pembaharuan dalam kehidupan suatu bangsa biasanya tumbuh sebagai akibat dari dua penyebab utama. Pertama, perubahan tentang hidup dan kehidupan sebagai akibat peningkatan kecerdasan. Kedua, keterkaitan dan ketergantungan umat manusia secara universal, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Dengan demikian modernsasi pada hakekatnya adalah serangkaian perubahan nilai-nilai dasar yang berupa nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politik, nilai estetika dan nilai agama. Menurut Han’s J. Daeng untuk mengubah orientasi sistem nilai budaya yang sudah dipelajari warga suatu masyarakat sejak dini melalui proses sosialisasi dan enkulturasi memang sangat sulit. Meskipun pada umumnya dikatakan bahwa pendidikan dapat membantu mengubah orientasi nilai budaya, namun dibutuhkan cara-cara yang menopang pendidikan yang diberikan seperti: pemberian contoh yang benar, mengadakan sistem perangsangan yang sesuai, persuasi dan kampanye serta pembinaan dan pengasuhan terhadap generasi baru yang dilakukan secara dini dalam lingkungan keluarga, sekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Dalam pada itu, para pakar antropologi, baik dalam maupun dari luar negeri telah banyak mengemukakan pendapatnya tentang teori-teori kebudayaan. 75
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologi (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 48.
124
Menurut Ralph Linton, kebudayaan secara teoretis merupakan konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsur pembinanya dimiliki bersama dan dilanjutkan oleh anggota masyarakat ertentu. 76 Edward Buernerd Taylor, menyatakan kebudayaan ditinjau dari teorenya, adalah kompleksitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kesanggupan-kesanggupan lain serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota
masyarakat. 77
Koentjaraningrat
sebagai
antropolog
mengemukakan bahwa kebudayaan secara teoretis berasal dari bahasa Sansakerta yaitu budhayah yang merupakan bentuk plural (jamak) dari budhi yang berarti budi atau akal. Sehingga kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. 78 Berdasarkan teori-teori kebudayaan tersebut menggambarkan suatu jalinan dan cakupan kebudayaan yang sangat luas dan kompleks. Dari teori yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat dan Linton yaitu sebagai sebuah konfigurasi tingkah laku dan hasil tingkah laku dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan akal dan budi. Sedangkan teori yang dikemukakan Buernerd meskipun dikemukakan sebagai suatu yang kompleks, namun tampak terlihat cakupancakupan yang amat jelas berupa pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
76
Ralph Linton, The Cultural Background Personality, diterjemahkan oleh Fuad Hasan, Latar belakang Kebudayaan dari pada Kepribadian (Jakarta: Jaya Sakti, 1962), h. 29. 77
E. B. Taylor, disadur dari Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam (Yokyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 37. 78
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1976), h. 137.
125
adat istiadat dan sebagainya sehingga dengan definisi ini dapat diidetifikasi berbagai hal yang menjadi cakupannya. Sarjana lain yaitu C. Kluckhohn, menguraikan ulasan-ulasan para sarjana mengenai unsur pokok kebudayaan, kemudian menyimpulkan pendapat para sarjana itu sehingga menunjukkan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai culture universal yaitu: a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat poduksi, transportasi dan sebagainya). b. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya). c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan). d. Bahasa (lisan maupun tertulis). e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya). f. Sistem pengetahuan. g. Relegi (sistem kepercayaan). 79 Sebagai ilustrasi dari wujud kebudayaan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
79
Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 57.
126
Gambaran di atas secara jelas diketahui empat wujud kebudayaan dengan empat lingkaran konsentris. Lingakaran yang pertama atau paling luar melambangkan kebudayaan sebagai artefak berupa benda-benda fisik berupa bangunan seperti Candi, Masjid, Gereja, Kraton, Benteng. Lingkaran berikutnya melambangkan kebudayaan sebagai sistem sosial, tingkah laku sosial sebagai tindakan yang berpola. Sedangkan lingkatran ketiga melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan, konsep atau ide. Selanjutnya lingkaran yang paling dalam yang berwarna hitam melambangkan sebagai ideologis yang disebut sebagai nilainilai budaya. Apabila teori di atas dikonkritkan secara khusus dalam wujud kebudayaan Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, dapat diidentifikasi berdasarkan pelapisan budaya seperti itu pula. Lingkaran pertama dalam wujud kebudayaan berupa benda-benda dan bangunan fisik dapat dijumpai pada rumah adat Balla
127
Lompoa, Benteng Somba Opu, Mesjid tertua Katangka yang dibangun tahun 1603, naskah lontara. Lingkaran kedua yang menggambarkan wujud sistem sosial dan tingkah laku berupa Sipakatau (saling menghargai) Sipakalabbiri (saling menghormati) Abbulo Sibatang (kerja sama) dan gotong royong. Lingkaran ketiga sebagai wujud kebudayaan dalam bentuk
gagasan yang terangkum dalam
pangadarreng atau pangngadakkang yang meliputi ade’ bicara, rapang dan wari serta sara. Sedangkan pada lingkaran terakhir sebagai nilai budaya yang menjadi ideologis berupa konsep siri, pacce dan pasang atau paseng. Dalam kaitannya dengan ini, ada dua pelajaran penting yang harus diadopsi untuk mnegaskan eksistensi kebudayaan, yaitu menciptakan pemerintahan yang bersih dan pendidikan yang bagus (clean governance and good education).80 Menurut dia sebuah Negara yang memiliki pemerintahan yang demokratis, bersih dari korupsi serta memiliki sistem pengelolaan pendidikan yang berdimensi budaya diyakini tampil dalam persaingan dunia global. Negara Indonesia yang memiliki kekayaan dengan keragaman hayati, flora, fauna, budaya dan bahkan tradisi serta agama akan menjadi sumber kekayaan dan kebanggan bangsa, tetapi sebaliknya bisa menjadi sumber sengketa dan malapetaka jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu pendidikan secara kultural bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dan bangsanya melalui transmisi yang dimilikinya terutama dalam bentuk pengetahuan dan nilainilai (transfer of knowledge and transfer of values). Konsep pendidikan Islam
80
Komaruddin Hidayat, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana, 2005), h. 1.
128
pada hakekatnya berupaya menjadikan manusia mencapai keseimbangan kepribadiannya secara menyeluruh dan dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu dan pelatihan kearah aspek kejiwaan, akal pikiran dan tingkah laku. Dalam konteks ini pendidikan Islam berupaya mengembangkan tiga ranah yaitu, ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berupaya mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu dan dalam perkembangan selanjutnya diharapkan dapat memberdayakan akal pikiran, sehingga dapat menfungsikan akalnya menjadi cerdas, lalu disebutlah kecerdasan intelektual (inteligensia). Ranah afektif yang berhubungan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap dan pribadi seseorang agar
terbentuk sikap
simpati, empati, mencintai, menyayangi, sabar, jujur tekun, dan seterusnya. Sikap ini dapat digolongkan
kepada kecerdasan emosional. Ranah psikomotorik
berkenaan dengan action, perbuatan, prilaku atau keterampilan (skill).81 Apabila disingkronkan antara ketiga ranah tersebut yang menjadi tujuan pendidikan, maka dapat disimpulkan bahwa, peserta didik diharapkan memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian selanjutnya memiliki sikap yang baik dan selanjutnya dapat mengimplementasikan dalam bentuk prilaku nyata sesuai dengan apa yang diketahui dan apa yang disikapinya. Hal ini penting ditegaskan karena fenomena besar yang muncul dalam masyarakat dewasa ini adalah semakin melonggarnya ikatan norma, baik norma sosial maupun budaya dan agama yang tampak pada kurangnya apresiasi terhadap janji, waktu, ketertiban, kebersihan dan kejujuran, gotong royong, musyawarah dan toleransi serta kepedulian terhadap
81
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kencana, 2004), h.22.
129
lingkungan. Sehubungan dengan itu M. Zainuddin dalam bukunya Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab merekomendasikan peberapa poin penting sebagai prinsip penddikan Islam yaitu: a. Pendidikan Islam merupakan bagian sistem kehidupan Islam, sebagai proses internalisasi dan sosialissi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah informasi, pengetahuan, sikap, prilaku dan budaya. b. Pendidikan Islam merupakan sesuatu yang integrated, artinya mempunyai kaitan yang membentuk suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lainnya. c. Pendidikan Islam merupakan life long process (proses yang berlangsung sepanjang hidup). d. Pendidikan Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik. e. Pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesanpesan moral pada peserta didik. 82 Sejalan dengan itu, al-Abrasyi dalam Rahman Getteng mengemukakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk akhak mulia (akhlakul karimah) sebagai persiapan kehidupan dunia dan akhirat, sehingga tujuan Pendidikan Islam menurut dia adalah sebagai berikut:
82
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 7.
130
a.
Persiapan mencari rezki dan pemeliharaan manfaat yang
dikenal dengan
tujuan vokasional professional. Dalam istilah Unesco dikenal dengan istilah learning to do (belajar agar memiliki keterampilan untuk bekerja) b.
Untuk menumbuhkan semangat ilmiah dan memuaskan keingintahuan (curiosity) yang memungkinkan mengkaji ilmu-ilmu tersebut.83 Apabila dicermati dari pendapat di atas pada akhirnya akan bermuara pada
empat pilar pendidikan yang direkomendasikan Unesco yaitu: learning to know (belajar untuk mengetahuai sesuatu), learning to do (belajar untuk mendapatkan pekerjaan), learning to be (belajar agar dapat memiliki sikap yang mulia) dan lerning to life together (belajar untuk hidup dan bekerja sama dengan orang lain dengan penuh toleransi dan rasa kekeluargaan). Malik Fajar mantan Mentri Agama dan SMentri Pendidikan Nasional, mengemukakan gagasannya
tentang peranan pendidikan dalam menyikapi
konflik yang kerap terjadi dewasa ini. Pertama; pendidikan mengambil strategi konservasi. Dikatakan bahwa, secara visioner dan kreatif pendidikan perlu diarahkan untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan aset-aset agama dan budaya berupa pengetahuan, nilai-nilai dan kebiasaan yang baik dan menyejarah. Nilai-nilai pendidikan humanistis yang dikokohkan dengan agama dipercaya mampu merangkai visi kebudayaan, dan peradaban manusia yang bermartabat tinggi dan mulia. Kedua; pendidikan mengambil strategi restorasi. Secara visioner dan kreatif pendidikan diarahkan untuk memperbaiki, memugar dan memulihkan
83
Abd, Rahman Getteng, Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Tinjauan Historis dari Traditional Hingga Modern (YokYakarata: Graha Guru, 2005), h. 54.
131
kembali aset-aset agama dan budaya yang telah mengalami pencemaran, pembusukan dan perusakan. 84 Menurut dia jika tidak direstorasi, dan direvitalisasi maka aset-aset agama dan budaya, dikhawatirkan berfungsi terbalik yaitu merendahkan martabat manusia ke derajat paling rendah dan bahkan lebih rendah dari binatang. Dengan demikian restorasi pendidikan agama dan revitalisasi pendidikan karifan lokal serta impelementasi pendidikan Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang dasar 1945 , kesadaran Bhinneka Tunggal Ika serta menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai empat
pilar
bangsa melalui jalur pendidikan informal, formal dan nonformal merupakan agenda yang mendesak dan memegang peranan penting dalam memperbaiki dan membangun karakter bangsa pada masa kini dan akan datang. Patut disadari bahwa pola-pola kehidupan dan kepribadian masyarakat Bugis-Makassar dalam sejarahnya sarat dan amat kental dengan kesadaran budaya. Elemen budaya yang terkandung dalam wujud kehidupan tersebut berupa nilai-nilai, norma-norma dan sejumlah kaidah kehidupan yang tersimpul dalam aspek ideal dari kebudayaan yang disebut pangadakkang/pangaderreng.. Aspek
ideal
dari
kehidupan
itu
menemukan
arti
penting
dan
kesempurnannya ketika gelombang islamisasi datang melalui para ulama dari Minangkabau yang ditandai dengan diterimanya sara’ (syariat Islam) ke dalam panggaderreng (Bugis), panggadakkang (Makassar) sebagai bagian dari kaidah
84
161.
A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), h. 160-
132
pokok masyarakat, sehingga pranata-pranata kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis Makassar memperoleh pengisian dengan warna yang lebih tegas. Wujud kehidupan tersebut telah berakar menjangkau masa lampau yang panjang dan menjadi tugas generasi berikutnya untuk menjaga kesinambungan hidup dari wujud kebudayaan dengan kehidupannya. Oleh karena itu penelusuran dan kajian terhadap warisan budaya masa lampau, seperti yang hendak ditelaah dalam penelitian ini, memiliki signifikansi terhadap usaha pelestarian budaya yang semakin hari menghampiri kepunahan. Penelitian ditujukan pada salah satu nilai budaya Bugis-Makassar dalam bentuk ungkapan atau tradisi lisan berupa pasang, kelong dan paruntukkana, sebagai salah satu kaidah atau norma yang mengandung ajaran moral dan pendidikan dalam kehidupan yang diperpegangi sebagai bagian dari panngadakkang/ panngaderreng. Dalam uraian
dan pembahasan selanjutnya akan dilihat dan
dianalisis bentuk- bentuk ungkapan dalam sastera Makassar serta sejauhmana relevansinya dengan pendidikan Islam sebagai refleksi dan implementasi dari sarak (syariat Islam) itu sendiri. Alur pemikiran dalam disertasi ini lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan kerangka pikir sebagai berikut:
133
Bagan Kerangka Pikir
BUDAYA LOKAL MAKASSAR
ISLAMISASI BUDAYA MAKASSAR
AJARAN ISLAM
PERUBAHAN (INTEGRASI
NILAI NILAI (KEARIFAN LOKAL
Pasang,Kelong Paruntu kana Lambusu Akkareso
Akidah Syariah/ Muamalah Akhlak EKONOMI POLITIK (STRUKTUR KERAJAAN) SOSIAL BUDAYA
PENDIDIKAN ISLAM
134
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yang di lakukan di Kabupaten Gowa. Masyarakat Gowa adalah etnis Makassar yang memiliki budaya lokal dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Selain itu penelitian ini dalam kerangka teoretis tetap menggunakan kajian pustaka (library research). Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah jenis deskriptif kualitatif yakni suatu metode penelitian yang memaparkan atau mendeskripsikan serta memberi gambaran tentang situasi dan peristiwa secara faktual dan sistimatis mengenai faktor-faktor, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang dimiliki untuk melakukan akumulasi sehingga dapat memunculkan penemuan baru1. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan mengeksplorasi serta menguatkan prediksi terhadap suatu gejala berdasarkan data yang diperoleh di lapangan.2 Berdasarkan asumsi di atas, maka penelitian ini berusaha menjelaskan suatu fenomena sejarah yang berkaitan dengan keadaan kerajaan Gowa sebelum dan setelah datangnya Islam di wilayah ini, kemudian berintegrasi dengan budaya
1
Lihat Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Cet. VIII; Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 6. 2
Lihat Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Cet. IV; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 14.
134
135
lokal yang lebih dahulu dianut oleh masyarakat Gowa. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk keraifan lokal yang terdapat dalam ungkapan makassar serta relevansinya dengan pendidikan Islam. B. Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan
pendekatan holistic- multidisipliner yaitu sosiologis, antropologis, dan historis serta teologis. Pendekatan sosiologi, terutama sosiologi agama digunakan untuk melihat sebab-sebab terjadinya integrasi dan konversi agama di Kabupaten Gowa. Menurut Imam Suprayogo, sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentukbentuk yang terjadi antara mereka. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan teori yang telah ada serta mencari hubungan antara nilai-nilai budaya lokal dengan Islam yang terdapat pada pasang, kelong dan paruntukkana yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Sedangkan metode antropologi digunakan untuk menggambarkan keadaan kerajaan Gowa sebelum dan setelah berintegrasi dengan ajaran Islam. Dengan demikian pendekatan yang digunakan dalam kajian ini lebih bersifat multidisipliner. Menurut sosiologi, dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelembagaan agama memengaruhi, dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Sosiologi agama mempelajari aspek sosial dari penganut agama. Obyek penelitian agama dan keagamaan menurut Keith A. Robert sebagaimana yang disebutkan Suprayogo memfokuskan pada tiga aspek.
136
Pertama, kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan yang meliputi pembentukannya, kegiatan dan kelangsungan hidupnya, serta pemeliharaannya dan pembubarannya. Kedua, perilaku individu dalam kelompok tersebut (proses sosial yang memengaruhi status keagamaan dan prilaku ritual). Ketiga, konflik antar kelompok.3 Dengan pendekatan ini penulis dapat mengamati masyarakat dalam pelaksaan upacara-upacara daur hidup masyarakat mulai dari upacara menyambut kelahiran sampai kematian yang terintegrasi dengan ajaran Islam. Pendekatan historis yaitu mengkaji berbagai peristiwa masa lampau, kemudian membandingkan dengan masa kini untuk menentukan prediksi pada masa datang dengan menggunakan ilmu sejarah melalui empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penyajian atau historiografi. Dalam penelitian ini, digunakan metode heuristik sebagai upaya menghimpun jejak-jejak dan peristiwa masa lampau terutama proses Islamisasi kemudian terjadi integrasi dan asimilasi dengan budaya lokal di Kabupaten Gowa. Selanjutnya dilakukan studi kritik dengan memilah-milah bagian data yang otentik dan tidak otentik dengan fokus pada bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan Makassar dan relevansinya dengan pendidikan Islam. Kemudian pada tahap berikutnya menginterpretasikan yakni menetapkan makna dan saling hubungan antara Islam dan kearifan lokal di Kabupaten Gowa. Pada tahap terakhir historiografi, yaitu mendeskrepsikan kemudian memaparkan hasil penelitian berdasarkan data yang ditemukan baik di lapangan
3
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 61.
137
maupun melalui hasil kajian pustaka. Dalam hal ini merumuskan kesimpulan tentang frofil kerajaan Gowa sebelum dan setelah masuknya Iskam dan proses integrasi Islam dengan budaya lokal, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam suku Makassar serta nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam ungkapan Makassar seperti pada pasang, kelong dan paruntukkana. Pendekatan teologis, dengan meneliti perilaku keberagamaan massyarakat dan tata nilai serta sikap hidup dalam bentuk budaya yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya. Dengan pendekatan teologis, diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih akurat tentang kaitan budaya lokal dengan Islam, khususnya nilai-nilai Pendidikan Islam karena didukung oleh dalil- dalil agama sebagai pendukung validnya sebuah data. C. Sumber Data Data yang diharapkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari instansi-instansi terkait berupa buku-buku, laporan hasil penelitian, tesis dan disertasi serta naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan wilayah Sulawesi Selatan. Selain itu data primer diperoleh dari tokoh adat dan budaya masyarakat Islam Gowa di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui observasi dan pengamatan di lapangan. Dalam penelitian ini pula peneliti memperoleh data dari sejumlah informan yang mengetahui tentang sejarah budaya Gowa seperti H. Abd Rauf Dg. Nompo yang akrap dipanggil Karaeng Parigi. Selanjutnya H. Paturungi Parawansa, dan Hasan Hasyim, beliau di samping budayawan juga sebagai tokoh pendidik. Dalam memperoleh data lainnya peneliti juga menyaksikan langsung kegiatan kesenian
138
budaya tradisional yang ditampilkan, baik dalam acara sunatan, perkawinan dan pada acara kematian, maupun dalam acara pagelaran budaya di televisi. D. Metode Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk mendapatkan data di lapangan dilakukan dengan observasi pada tempat-tempat yang bersejarah seperti Benteng Somba Opu, masjid tua di Katangka. Selain itu dengan mencatat hal-hal penting dari tokoh masyarakat sebagai pelaku sejarah dan budayawan untuk mengetahui hal-hal yang menyangkut peneitian penulis. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengkaji naskah dan buku yang ada di Perpustakaan Wilayah berupa arsip, buku-buku sejarah dan budaya, laporan hasil penelitian, makalah, skripsi, tesis dan disertasi. E. Instrumen Penelitian Intsrumen penelitian merupakan prosedur teknis yang praktis digunakan dalam mengumpulkan data di lapangan dengan cara mengumpulkan informasi melalui catatan, rekaman, blangko penelitian, dan pedoman pertanyaan.4 Melalui catatan, yakni penulis membuat kartu catatan yang berisi kartu ikhtisar, kartu kutipan dengan berpedoman pada satu ketentuan khusus yang penulis gunakan sendiri. Dalam hal-hal tertentu, penulisan menggunakan metode katalog 5 dan
4
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Cet. III; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 212. Lihat pula Winarto Suracmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h. 257-258. 5
Katalog adalah carik kartu, daftar, atau buku yang memuat nama benda atau informasi tertentu yang ingin disampaikan, disusun secara berurutan, teratur dan alfabetis. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 453
139
indeks.6 Selanjutnya melalui rekaman, instrumen tersebut digunakan untuk menyimpan data penelitian. Dalam hal ini penulis menyediakan tape-recorder, yang selanjutnya dibuatkan belangko penelitian berisi kategorisasi data misalnya data yang terkait dengan budaya lokal masyarakat Gowa dibuatkan blangko khusus, data untuk prosesi adat perkawinan memiliki blangko khusus, demikian pula keadaan lokasi penelitian, jumlah responden/informan dan data hasil wawancara dengan mereka, semuanya dibuatkan blangko untuk kemudian dibundel. F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Mengolah data yang terkumpul dengan mencatat kembali secara rinci data yang dipandang memiliki keterkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya dilaksanakan seleksi data yaitu menghilangkan data yang dipandang tidak berhubungan atau tidak relevan dengan masalah dan tujuan penelitian ini. Tahap selanjutnya, seluruh data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif, dalam arti penarikan pernyataan pernyataan dilakukan dengan menghubungkan antara makna dari berbagai keterangan yang relevan satu sama lain. Setelah itu ditarik makna yang paling tinggi tingkatannya. Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama penelitian berlangsung dan setelah selesai dilapangan. Namun menurut Sugiyono, analisis lebih difokuskan selama proses di lapangan, bersamaan dengan pengumpulan data, yang terdiri atas tiga aktivitas, yaitu data 6
Indeks adalah daftar kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku cetakan (biasanya pada bagian akhir) tersusun menurut abjad yang memberikan informasi mengenai halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan.
140
reduction, data display dan conslusion drawing/verification.7 Ketiga rangkaian aktivitas teknik analisis data tersebut penulis terapkan sebagai berikut: 1. Data Reduction (Reduksi Data) Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dalam penelitian yang penulis lakukan data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena semakin lama penulis di lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah penulis untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. 2. Data Display (Penyajian Data) Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dengan mendisplay data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan rencana selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut karena metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, maka display data yang dilakukan lebih banyak dituangkan ke dalam uraian secara singkat.
7
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan, h. 336.
141
3. Conclusion Drawing/Verification Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. G. Pengujian Keabsahan Data Penelitian Menurut Sugiyono metode pengujian keabsahan data penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, analisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, dan member check.8 Metode tersebut penulis terapkan dalam penelitian ini sebagai berkut: 1. Memperpanjang pengamatan Perpanjangan pengamatan penulis lakukan guna memperoleh data yang sahih (valid) dari sumber data dengan cara meningkatkan intensitas pertemuan dengan nara sumber yang dijadikan informan, dan melakukan penelitian dalam kondisi yang wajar dan waktu yang tepat. Dalam hal ini, penulis mengadakan kunjungan ke lokasi penelitian secara rutin untuk menemukan data yang lebih akurat, dan mengadakan pertemuan kepada masyarakat setempat.
8
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 269.
142
2. Peningkatan ketekunan dalam penelitian Terkadang seorang peneliti dalam melakukan penelitian dilanda penyakit malas, maka untuk mengantisipasi hal tersebut penulis meningkatkan ketekunan dengan membulatkan niat dan menjaga semangat dengan meningkatkan intimitas hubungan dengan motivator. Hal ini penulis lakukan agar dapat melakukan penelitian dengan lebih cermat dan berkesinambungan. 3. Triangulasi data Pemeriksaan keabsahan data sangat diperlukan dalam pendekatan kualitatif demi kesahihan dan keandalan serta tingkat kepercayaan data yang terkumpul. Validitas dan reliabilitas data perlu diuji melalui teknik pemeriksaan keabsahan data atau tekatik menguji dan memastikan temuan. Penelitian ini menggunakan teknik menguji dan memastikan temuan melalui memeriksa kerepresentatifan yakni aspek pemilihan informan yang mewakili masalah yang diteliti, memeriksa pengaruh peneliti, member bobot pada bukti, membuat perbandingan atau pertentangan, memeriksa makna segala sesuatu di luar, menggunakan kasus ekstrem, menyingkirkan hubungan palsu, membuat replica temuan, mencari penjelasan tandingan, member bukti yang negatif serta teknik terakhir adalah mendapatkan umpan balik informan. Triangulasi dilakukan meliputi empat hal pokok yakni triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi teori dan triangulasi metodologi. Melalui teknik pemeriksaan ini diyakini fakta, data dan informasi yang ada dapat dipertanggungjawabkan dan memenui persyaratan kesahihan dan keandalan data yang ditemukan.
143
4. Analisis kasus negatif Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda bahkan bertentangan. Hal ini menjadi penting, karena dalam meneliti Islam dan budaya lokal ditemukan probematikan negatif bilamana fokus pada segi observasi pengamalannya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, hasil wawancara dengan informan yang kelihatannya positif, dan berbagai data positif yang disampaikan, lebih lanjut diklarifikasi kebenarannya, apakah benar-benar positif atau sebaliknnya, yakni negatif. 5. Menggunakan referensi yang cukup Yang dimaksud menggunakan referensi yang cukup disini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Oleh karena itu supaya validitas penelitian ini dapat dipercaya maka penulis mengumpulkan semua bukti penelitian yang ada. Semua berkas hasil wawancara dan dokumen diarsipkan dalam bundel khusus. 6. Member check Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data, tujuan member check ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan pemberi data. Dalam penelitian ini penulis melakukan member check kepada semua sumber data terutama kepada tokoh masyarakat setempat. Untuk validitas data, maka member check ini bukan hanya dibatasi pada tokoh masyarakat tetapi juga pemerintah dan yang lebih penting lagi adalah tokoh adat.
144
BAB IV ANALISIS ISLAM DAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM UNGKAPAN MAKASSAR DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah dan Asal Usul Gowa Sampai pada abad X eksistensi Kerajaan Gowa masih kabur dan belum ada sumber-sumber yang dapat memberikan harapan akan terungkapnya asal usul kerajaan Gowa. Informasi mengenai kerajaan Gowa pra Islam yang dapat diungkapkan melalui sumber-sumber tertulis baru ditemukan sekitar abad ke-14, melalui sebuah buku dari peradaban Jawa yang disebutkan Gaja Mada (1364) ditemukan perkataan Makassar. Dalam buku Nagara-kertagama tersebut disebutkan: Soto Muar, dsb Muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk tentang Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusanusa Makasar Butun Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) selaya Selaya Sumba.1 Kata Makassar yang dimaksud Prapanca, bukanlah sebuah nama suku, melainkan sebuah nama negeri, yakni negeri Makassar, sebagaimana hal negeri Bantayang (Bantaeng) Luwuk (Luwu), Butun (Buton), Banggawai (Banggai), Solot (Solor), Selaya (Selayar) dan lainnya. Menurut
beberapa
kajian
berdasarkan
pemberitaan
bangsa
asing
menyangkut wilayah Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa jauh sebelum Makassar, telah muncul kerajaan Siang, yakni kerajaan tua di Sulawesi-Selatan 1
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700) (Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1990), h. 8.
144
145
yang
berada
di
Kabupaten
Pangkajene
dan
Kepulauan,
telah
mengalami
perkembangan pesat dalam kegiatan perdagangan, bahkan dinyatakan bahwa kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam pengaruh kekuasaannya. 2 Hal itu diperkuat oleh Sarita Pawilloi dengan mengutip pendapat C.Salombe: “Orang Toraja dengan Ritusnya” mengemukakan bahwa: sumber-sumber pra sejarah Sulawesi Selatan memberi kesan kuat bahwa jauh sebelum raja Batara Guru muncul di Ussu (sungai Ussu yang berdampingan dengan sungai Cerekang3) telah ada kelompok-kelompok sosial menetap di sana. Juga dikenal Gua Leang-Leang di Maros, Sumpang Bita di wilayah Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Bahkan masyarakat Tallu Lembanna (Mangkendek, Makale dan Sangala) telah lebih lama lagi, sudah ada sejak 6000 tahun Sebelum Masehi. Mereka datang secara bergolombang dari Dongson, Annam dan Tongkin, Cina yang termasuk proto Melayu.4 Menjelang terbentuknya kerajaan Gowa, komunitas Makassar terdiri dari sembilan kerajaan kecil yang disebut kasuwiyang salapanga (sembilan negeri yang memerintah) yaitu: (1). Tombolo, (2). Lakiung, (3). Saumata, (4). ParangParang, (5). Data, (6). Agang ja’ne, (7). Bisei, (8). Kalling, dan (9). Sero.5 Di 2
Lihat Ali Fadillah, Macacar pada Abad XIV-XVI: Pemikiran, Rekonstruksi dan Prospeksi Arkeologi (Makassar: Balai Arkeologi, 1999), h.21. 3
Kerajaan Ussu dan Cerekang terdapat di Luwu Sulawesi-Selatan.
4
Sarita Pawilloi, “Rapu dan Sirik: Perekat bagi Masyarakat di Sulawesi Selatan” (Makalah yang disajikan di IAIN Alauddin, Makassar 5 Juli 2003), h. 2. Bandingkan dengan Bambang Sulistyo, Konflik Antar Kerajaan dan Dampaknya di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang,1993), h. 23. 5
Abd.Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Makassar: Yayasan Kebudayaan SulawesiSelatan, 1975), h. 8.
146
antara kerajaan-kerajaan kecil tersebut, sering terjadi perselisihan yang bisa menjadi perang terbuka. Perang dapat diperkecil dengan mengangkat dari kalangan mereka seorang pejabat yang disebut paccallaya,6 yang berfungsi sebagai
ketua dewan di antara kesembilan kerajaan kecil yang menjadi
anggotanya. Di samping itu, ia merupakan arbistrator dalam mendamaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara gallarang (penguasa) kerajaankerajaan kecil itu. Namun, setiap kerajaan kecil tersebut tetap mempertahankan kedaulatan dan otonominya dalam mengatur pemerintahan sendiri dalam daerahnya. Paccallaya sebagai ketua dewan tidak memiliki kewenangan dan kekuatan memaksa dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul, sehingga ia tidak bisa menyelesaikan perselisihan secara tuntas, yang kemudian menyebabkan kerajaankerajaan kecil tersebut tidak pernah merasa tenang, bahkan sering timbul perselisihan yang mengarah kepada ketidakstabilan. Keadaan seperti ini berlangsung terus sampai datangnya tumanurung7 yang mempersatukan semua kerajaan kecil itu dalam satu kerajaan yang dinamakan Butta Gowa, tanah atau kerajaan Gowa. Nama Gowa sendiri hingga saat ini belum diketahui pasti asal usulnya, mengingat belum ada sebuah lontara yang menerangkannya. Hanya saja ada
6
Paccallaya adalah ketua dewan di antara kesembilan kerajaan kecil sebelum Kerajaan Gowa resmi terbentuk yang berfungsi sebagai juru damai bila terjadi silang sengketa di antara mereka. 7
Tomanurung (Bugis) Tumanurung atau Taumanurung (Makassar) adalah orang yang turun dari langit atau kayangan untuk menciptakan perdamaian di bumi. Dalam silsilah Raja Gowa tercatat bahwa raja pertama Kerajaan Gowa adalah Tumanurung.
147
beberapa pendapat dari ahli sejarah, seperti Ahmad Makkarausu Amansya Daeng Ngilau, mengemukakan bahwa nama Gowa mungkin sekali berasal dari kata gowari (bahasa Makassar) yang berarti kamar atau bilik.8 Kemudian Mattulada (1990) menerangkan makna kata Gowari itu berarti penghimpunan ke dalam suatu tempat atau ruangan. Biasanya penghimpunan kaum pemburuan, yang dalam bahasa Makassar diistilahkan a’gowari yang artinya adalah penghimpunan sejumlah (pemimpin) atau kaum secara bersamasama, menyatukan diri dalam suatu persekutuan teroterial. Dari sinilah kemudian lahir prinsip yang mendasari adanya sebutan Gowa seperti yang dikenal sekarang. Menurut Andi Ijo Karaeng Lalolang, nama Gowa sebenarnya berasal dari perkataan Gua yang berarti Liang dan disekitar tempat itulah ditemukan hadirnya tumanurung ri Gowa (raja Gowa pertama) di Takabbassia (Tamalate). Dari sinilah nama Gowa muncul menjadi sebutan. Pendapat lain mengatakan bahwa, lahirnya penyebutan Gowa sebagai nama kerajaan, mungkin juga tidak terlepas dari sejarah pengangkatan tumanurunga menjadi raja Gowa pertama. Diriwayatkan bahwa pada masa sebelum hadir Tumanurunga di Butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan-kerajan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (bondgenoot) atau pemerintahan gabungan (federasi) di bawah pengawasan paccallaya (ketua dewan hakim pemisah).
8
Abd. Razak Daeng Patunru, op. cit; h. 16.
148
2. Perkembangan Kerajaan Gowa Pra Islam Dalam silsilah Kerajaan Gowa, tumanurung adalah raja pertama dalam kerajaan Gowa. Ia dinobatkan sebagai raja berdasarkan kesepakatan antara tumanurunga di satu pihak dan paccallaya bersama dengan kasiwiyang salapang di pihak lain. Kasuwiyang salapang sebagai raja-raja negeri bersepakat untuk menyerahkan kekuasaan pada tumanurunga sebagai raja. Sebaliknya, kasuwiang salapang akan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan, seperti masalah perang dan damai. Pelantikan tumanurunga sebagai raja yang diperkirakan terjadi pada abad XIV. 9 Ditemukan sumber lain menyatakan bahwa tumanurunga dalam realitas kehidupan orang Bugis Makassar dianggap sangat unik sifatnnya, karena proses kehadirannya merombak tatanan yang sudah ada dan tokoh tersebut dipandang sebagai figur sentral dalam kekuasaan dan kehidupan sosial budaya Bugis-Makassar. Diangkatnya Tumanurunga sebagai raja Gowa yang pertama, maka pemerintahan Gowa mengalami pula perubahan, berikut kedudukan dan wewenang paccallaya serta kesembilan orang gallarang itu. Federsi Gowa yang terdiri dari sembilan negeri yang telah disebutkan di atas menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja perempuan yang menjadi penguasa tunggal di seluruh wilayah Gowa. Kesembilan orang penguasa atau gallarang tadi hanya menjadi kusuwiyang salapang artinya menjadi sembilan orang pengabdi. Kemudian lembaga yang disebut kasuwiyang salapang ini
9
h. 45.
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Cet. II; Yayasan Obor Indonesia, 2005),
149
berubah menjadi hadat sembilan, yakni hadat Kerajaan Gowa yang disebut “bate salapang” artinya sembilan orang pembawa bendera atau sembilan orang pembawa panji-panji. Menjelang pertengahan abad XIV, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayah kerajaan Gowa kepada dua orang putranya yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Setelah Tunatangka Lopi meninggal dunia, maka Batara Gowa tampil melanjutkan kekuasaan di Gowa, sekaligus menjabat sebagai Raja Gowa ke VII. Wilayah kekuasaan Batara Gowa meliputi: Paccellekang, Pattallassang, Bontomanai Ilau, Bontomanai Iraya, Tombolo dan Mangasa. Sedangkan adiknya, Karaeng Loe ri Sero, membangun kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayahnya meliputi: Saumata, Pannampu, Moncong Loe dan Parang Loe. Dalam sejarah disebutkan bahwa selama beberapa kurun waktu kedua kerajaan tersebut terlibat dalam konflik yang bermuara pada peperangan, sampai akhirnya kemenangan di pihak Gowa. Babakan baru kerajaan Gowa mulai tampak pada masa pemerintahan raja Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna (1510-1546).10 Dimasa pemerintahan Tumapa’risi Kallonna inilah Gowa berhasil memperluas wilayahnya dengan menaklukkan beberapa daerah di sekitarnya seperti Garassi, Kantingan, Bulukumba, Selayar, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Panaikang, Camba, Marusu (Maros), Polongbangkeng (Takalar).11 Setelah sukses dalam perluasan wilayah Gowa,
10
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, h. 47.
11
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, h. 43.
150
selanjutnya membuat benteng di sekeliling kerajaan Gowa, untuk menjaga dan melindungi pusat kerajaan dari serangan musuh dari luar. Pada tahun 1525 dibangun benteng Somba Opu. Kemudian direnovasi oleh anaknya raja Gowa X Tunipalangga Ulaweng, menjadi tembok bata yang kokoh. Pada masa kerajaan Gowa X, I Mario Gau Daeng Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (15121546), kedua kerajaan kembar Gowa Tallo kembali menjadikan satu kerajaan yang diikat oleh satu ikrar kesepakatan yang dalam ungkapan Makassar berbunyi “rua karaeng na se’re ata” yang artinya; dua raja tetapi satu hamba atau rakyat. Kesepakatan ini diikat oleh suatu janji perdamaian yang disepakati dua kerajaan ini yang berbunyi: Ia iannamo tau appassiewa Gowa-Tallo iamo nacalla ri dewata (barang siapa yang mengadu domba antara Gowa dan Tallo, dia akan di kutuk dewata).12 Semenjak perjanjian itu menjadi kesepakatan antara kerajaan Gowa dengan Tallo, maka siapa saja yang menjabat raja Tallo, otomatis menjabat sebagai mangkubumi kerajaan Gowa. Para sejarawan selanjutnya menamakan kedua kerajaan Gowa dan Tallo dengan kerajaan kembar Makassar. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kerajaan Gowa lebih terkenal ketimbang kerajaan Tallo, sehingga beberapa buku yang membahas kerajaan Makassar disamakannya dengan kerajaan Gowa.13 Berbagai kesuksesan telah dicapai pada masa pemerintahan Karaeng Tunipallangga, baik dalam aspek perluasan wilayah kerajaan maupun dalam
12
Abd.Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, h. 13.
13
Ahmad M. Sewang., Islamisasi Kerajaan Gowa, h. 46.
151
pembangunan pisik dan peradaban. Dalam perluasan wilayah misalnya, beliau dengan gemilang mengalahkan Bajeng, Lengkese, Lamuru, Cenrana, Salomekko, Bulo-Bulo, Lamatti, Bulukumba, Kajang, Panyikkokang, Gantarang, Bira, Selayar sebagai wilayah bagian Selatan Sulawesi. Sementara pada wilayah bagian Utara yang ditaklukkan seperti Wajo, Sawitto, Soppeng, Mandar, dan Luwu, bahkan Kaili dan Toli –Toli di Sulawesi Tengah. Sementara dalam
bidang pembangunan fisik
dan peradaban,
dia
membangun Benteng Ujung Pandang pada tahun 1545. Bangunan monumental ini oleh orang Belanda mengubah namanya menjadi Benteng Fort Rotterdam. Sekarang benteng ini kembali lagi kepada nama aslinya yaitu
“Benteng
Ujungpandang”. Pada masa kejayaan Tunipallangga, banyak pedagang yang berasal dari kepulauan Nusantara yang bermukim di Makassar, baik yang berasal dari luar Nusantara seperti Pahang, Patani, Johor, dan Campa maupun dari pulau Sumatera dan Jawa. Dalam Lontara Patturioloanga ri tugowaya14 disebutkan bahwa, seorang Jawa bernama Nakhoda Bonang datang kepada Karaeng Tunipalangga meminta izin untuk bertempat tinggal di kerajaan Gowa. Dalam dialog itu ada empat permohonan yang diajukan Nakhoda Bonang kepada raja. Pertama agar pekarangan kami tidak dimasuki begitu saja, kedua agar rumah kami tidak dimasuki dengan sewenang-wenang, dan ketiga agar kami jangan dikenakan peraturan nigajang, dan keempat supaya kami jangan dikenakan hukuman bila ada
14
Lontara Patturioloanga ri Tugowaya adalah salah satu jenis Lontara Gowa yang membahas tentang sejarah Kerajaan Gowa masa lampau.
152
kesalahan. Sepeninggal Tunipalangga, maka estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Tunibatta (orang yang ditetak) yang mewarisi tahta kerajaan Gowa sebagai raja Gowa XI (1565). Nama lengkapnya adalah I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tunibatta. Kalau raja bebelumnya menduduki tahta kerajaan Gowa puluhan tahun, maka karaeng Data alias Tunibatta sangat singkat, hanya 40 hari saja. Dia menemui ajalnya ketika memimpin suatu ekspansi untuk menyerang Bone, namun Raja Bone VII, Latenrirawe Bongkange sudah mengantisipasi agresi Gowa itu dengan mempersiapkan pasukan yang andal. Dalam suatu pertempuran dia tewas dengan sangat mengerikan karena badannya tertetak sehingga baginda digelar tunibatta, artinya orang yang ditetak. Karaeng Tunibatta meninggalkan keturunan empat orang anak hasil perkawinan dengan I Daeng Mangkasa, anak dari Karaeng Jamarrang. Salah seorang anaknya bernama I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bonto Langkasa. Pada masa pemerintahan Karaeng Bonto Langkasa (Raja Gowa XII) ekspansi pengaruh Gowa semakin ditingkatkan dengan menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan di luar Sulawesi, seperti Kerajaan Mataram, Banjarmasin, Maluku, Ternate dan Timur secara regional dan secara global sampai ke mancanegara seperti Johor, Pahang di Malaysia dan Patani di Thailand dan India.15 Dengan demikian pengaruh kekuasaan Gowa waktu itu menjangkau sampai ke Asia Tenggara.
15
Syahrul Yasin Limpo,Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa (Makassar: Intisari, 1995), h. 27.
153
Pada masa pemerintahan Karaeng Bontolangkasa ini dengan gelar Tunijallo (orang yang diamuk) terjadi suatu perjanjian damai antara Gowa dengan Bone dalam hal tapal batas yang menghasilkan tiga poin kesepekatan yaitu: a. Kerajaan Gowa menuntut pengembalian wilayah-wilayah yang pernah ditaklukkan kerajaan Gowa pada masa raja Gowa ke 9 Tumaparisi Kallonna. Daerah kawasan aliran sungai Walanae di sebelah Barat sampai ke daerah Ulaweng di sebelah Utara. b. Sungai Tangka (perbatasan antara Bone dan Sinjai) menjadi perbatasan kedua kerajaan antara Gowa dan Bone. Kawasan sebelah Selatan milik Gowa dan sebelah Utara milik Bone. c. Negeri Cenrana, menjadi daerah kerajaan Bone, karena negeri itu telah dibebaskan oleh raja Bone V, La Tenrisukki dari raja Luwu yang bernama raja Dewa, yang menguasai negeri itu. 16 Perjanjian perbatasan itu diharapkan dapat menjadi perekat antara kedua belah pihak yang sering terjadi konflik politik. Perjanjian itu dikenal dengan Ulukanaya ri Caleppa (kesepakatan di Caleppa)17. Kebijakan politik ini merupakan langkah pertama yang ditempuh Karaeng Tunijallo sebelum pelantikannya sebagai raja Gowa XII yang dilaksanakan di gedung Benteng Kale Gowa, tepatnya di Bukit Tamalate. Perjanjian itu dianggap penting oleh raja Gowa sebagai upaya menjalin persahabatan antara kedua belah pihak sekaligus sebagai antisipasi terhadap
16
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, h. 45.
17
Caleppa adalah salah satu tempat yang terletak di Kabupaten Bone.
154
ancaman aliansi Bone dengan kerajaan lain yang ada di tanah Bugis. Bahaya laten ini sangat dipahami oleh Karaeng Tunijallo, berkat pengalamannya ketika menetap di lingkungan istana Bone selama beberapa tahun. Namun, suasana damai menyusul bulan madu kedua kerajaan ini (BoneGowa) tidak berlangsung lama, malah situasi ini dijadikan dan dimanfaatkan sebagai momentum yang tepat untuk masing-masing menanamkan pengaruh dan simpatinya kepada negeri-negeri tetangganya di daerah Bugis. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1582, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng menyatukan kekuatan dengan membentuk aliansi yang disebut
Tellumpoccoe18 untuk
menghadapi ancaman agresi Gowa yang diikat suatu perjanjian yang disepakati dan ditandatangani bersama yang disebut perjanjian Lamumpatue ri Timurung. Tunijallo memandang aliansi Tellumpoccoe sebagai ancaman langsung terhadap supremasi Gowa yang telah tertanam sejak lama. Hal ini lebih diperburuk lagi karena Wajo dan Soppeng, yang masih berada dalam pengaruh Gowa, ikut sebagai tulang punggung aliansi itu. Kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai kerajaan-kerajaan bawahan yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Gowa. Menurut pandangan Gowa, aliansi baru yang dibuat oleh kerajaan Bone bagai memukul gendang perang terhadap Gowa. Dengan demikian,
18
Tellumpoccoe adalah aliansi tiga kerajaan basar Bugis yang membentuk persekutuan untuk melawan kerajaan Gowa (Makassar), terdiri atas Bone, Soppeng dan Wajo yang lebih dikenal dengan BOSOWA. Kini istilah itu dijadikan sebagai nama perusahaan besar yang dipimpin H. Aksa Mahmud dengan sejumlah unit usaha seperti pabrik Semen Bosowa di Maros, Taksi, PLTU dan Jembatan Tol. Memilikii tower dengan 14 lantai sekaligus sebagai tempat Celebes TV di pancarkan di Makassar.
155
perang tidak terhindari lagi, dendam kesumat yang berhasil diredam dengan perjanjian perdamaian yang baru saja disepakati, berkobar kembali. Pada tahun 1583, raja Gowa melancarkan serangan terhadap kerajaan Wajo. Tetapi serangan ini dapat dipukul mundur oleh pasukan Tellumpoccoe. Tujuh tahun kemudian, yakni tahun 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi, Gowa tidak mampu mengalahkan Tellumpoccoe. Tunijallo sendiri tewas diamuk oleh seorang pengikutnya, I Lolo Tamakkana. Banyak kisah sukses yang menyertai masa pemerintahan Tunijallo seperti di bidang kesenian, pertukangan dan jasanya dalam memberikan kesempatan pada pedagang muslim untuk mendirikan Masjid di Mangallekana dengan harapan agar orang muslim itu dapat merasa aman dan nyaman untuk melaksanakan ajaran Islam.Bahkan mereka menyeruh dan memperkenankan untuk melaksanakan rukun Islam yang ke lima, naik haji ke Mekkah. Sepeninggal Tunijallo, tanpuk kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya I Tepu Karaeng Para’bung Karaeng ri Bontolangkasa dengan gelar Tunipasulu sebagai raja ke XXXI ( 1590-1593). Pada waktu naik tahta Karaeng Tunipasulu baru berumur 15 tahun. Dengan usianya yang masih sangat muda belum matang untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, banyak perbuatan yang buruk dilakukan, pemecatan terhadap pejabat kerajaan membuat dirinya tidak bertahan lama, akhirnya kemudian dipecat dari jabatannya sehingga digelar tunipasulu, maksudnya orang yang dikeluarkan atau dipecat. Dalam Lontara disebutkan : Anne Karaeng Tunipasulu’ kamanna taena salanna taua ti,ringnibunoji. ma’lampami Jawaya, malaringasengmi ana’ karaenga, ... namajaimo
156
pole gau’na nikana makodi, nakana tuanggappayai takiasseng naji, tasitabaji nikana-kana.19 Artinya: (Raja Tunipasulu ini, biarpun orang tidak bersalah serta merta mereka dibunuh saja. Berangkatlah orang-orang Jawa dan larilah anak-anak raja, dan banyak lagi perbuatannya yang dianggap buruk, demikian kata orang yang hidup semasa dengan dia, hanya kita tidak mengetahui namanya, tidak baik untuk diceritakan. Sebagai dampak dari sikap yang tidak terpuji itu, karaeng Tunipasulu dipecat dari jabatannya setelah berkuasa selama dua tahun lamanya. Setelah dipecat beliau meninggalkan kerajaan Gowa dan pergi ke daerah Luwu, lalu hijrah ke Buton. Akhirnya beliau meninggal dunia pada tanggal 5 Juli 1617 Masehi di Buton. 3. Kerajaan Gowa Setelah Masuknya Islam Seiring dengan perkembangan waktu, keterbukaan Gowa dengan dunia luar mengalami babakan baru dengan datangnya agama Islam sekaligus membuka lembaran sejarah baru dalam kehidupan keagamaan. Momentum itu ditandai dengan masuknya Islam raja Gowa XIV, I Manngarangi Daeng Manrabia pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H atau 20 September 1605 Masehi. Berbagai sumber Lontara menyebutkan, bahwa sebelumnya itu juga Raja Tallo, mangkubumi kerajaan Gowa I Mallingkai Daeng Manyonri Karaeng Katangka lebih dulu masuk Islam. Kehadiran ajaran Islam di Kerajaan Gowa membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan raja dan masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat
19
h. 29.
B.F. Matthes, Makassaarche Chrestomathie (Amsterdam: C.A Spink dan Zoon, 1983),
157
dari gelar yang diberikan terhadap raja setelah memeluk Islam. Raja Gowa XIV, I Manngarangi Daeng Manrabia misalnya, mendapat Gelar “Sultan Alauddin”. Sedangkan I Mallingkai Daeng Manyonri mendapat gelar Islam “Sultan Abdullah Awwalul Islam“.
I Mangngarangi Daeng Manrabia tampil menggantikan
kakaknya Karaeng Tunipasulu dengan usia yang relatif muda yaitu tujuh tahun. Itulah sebabnya sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan beliau senantiasa didampingi oleh pamannya I Mallingkai Daeng Manyonri sebagai raja Tallo yang sering disebut Karaeng Matoaya. Pada waktu Karaeng Matoaya menjadi pabbicara butta atau mangkubumi kerajaan Gowa dan Sultan Alauddin memerintah sebagai raja Gowa XIV banyak mengukir
sukses
dalam
mengembalikan wibawa
menjalankan
roda
pemerintahan,
termasuk
kerajaan yang hampir pudar pada masa karaeng
Tunipasulu. Beliau mengalahkan negeri-negeri Bulukumba, Sidenreng, Soppeng, Wajo dan Bone. Kemudian Gowa mengalahkan pula Bima, Sumbawa, Dompu serta mengadakan persahabatan dengan Raja Aceh dan Mataram. Sultan Alauddin terkenal sebagai figur raja yang berbudi baik, baginda sangat dicintai oleh rakyatnya. Setelah 33 tahun menganut Islam dan selama 26 tahun lamanya
mengendalikan pemerintahan kerajaan Gowa, Sultan Alauddin
Wafat pada tanggal 12 Syafar tahun 1049 Hijriah atau 15 Juni 1639 Masehi, bertepatan pada masa pemerintahan raja Gowa XV Manuntungi Daeng Matola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid (1639-1653). Setelah menerima Islam, kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan
158
kawasan Timur Nusantara dan bertambah maju dan disegani di dunia Internasional. Kemasyhuran Sultan Malikussaid sampai ke Eropah dan Asia terutama karena pada masa pemerintahannya didukung oleh kepiawaian dan jasajasa Karaeng Pattingalloang sebagai mangkubuminya, baik dari segi sosok kecendekiawannya, maupun keterampilannya dalam berdiplomasi. Tidak heran ketika itu Gowa mampu pula menjalin hubungan Internasional dengan India, mufhti besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan dalam wilayah Nusantara. Sejak Ibu Kota Somba Opu
menjadi Bandar Niaga Internasional yang
dirintis oleh Karaeng Tumapa’risi Kallonna pada abad XV, sebenarnya bangsa Eropa yang gemar rempah-rempah sudah menjalin hubungan dengan Gowa seperti Inggeris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab dan Melayu. Untuk kepentingan dagang mereka telah mendirikan kantor-kantor perwakilan di Somba Opu. Dari tahun ke tahun hubungan kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan, dan barulah terganggu setelah kehadiran orang–orang Belanda yang ingin monopoli perdagangan dan menjajah sambil menyebarkan agama Nasrani. Kehadiran bangsa Eropa di Indonesia membawa misi yang dikenal dengan istilah tiga G yaitu, Gold (emas atau perdagangan) Glory (kemenangan atau penjajahan), dan Gospel (menyebarkan Injil). Kira-kira tahun 1600
Belanda mulai berusaha
mengadakan hubungan
dengan Gowa, dan baru berhasil tahun 1601. Selanjutnya tahun 1607 Laksamana Belanda Cornelis Mutulie baru saja merebut Malaka dari Portugis, mengirim utusannya Abraham Matys untuk mempererat hubungan dagang, sekaligus
159
mengajak Raja Gowa
bekerja sama menaklukkan Belanda dengan perjanjian
bahwa Belanda yang nanti akan monopoli rempah–rempah ini, tetapi ajakan ini ditolak oleh Gowa. Akibatnya hubungan kedua belah pihak berkembang menjadi permusuhan, terutama karena Belanda dengan berbagai cara bermaksud memancing perselisihan terbuka. Raja dan kerajaan Gowa menentang dengan tegas hak monopoli dagang yang hendak ditetapkan Belanda (VOC) terutama di Indonesia Bagian Timur. Raja berprinsip bahwa, Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan untuk kepentingan manusia, tidak seorang pun yang bisa melarang seseorang untuk memanfaatkannya, jika Berlanda melarang akan hal itu, maka itu berarti bahwa seolah-olah Belanda mengambil nasi dari mulut orang lain.20 Sementara itu kerajaan Gowa mengambil langkah-langkah untuk menghadapi kemungkinan terjadi perang hebat dengan Belanda, dengan memperkokoh pengaruh dan kekuasaan ke luar Sulawesi, sekaligus mengembangkan agama Islam. Pada tahun 1616 Bima ditaklukkan melalui panglima perang Gowa Lokmo Mandale, tahun1618 Sumbawa diduduki Karaeng Maroangin. Tahun 1626 Buton, Muna dan pulau-pulau Sula ditaklukkan pula. Di-sisi lain pertahanan diperkuat dengan menyempurnakan benteng-benteng dan kubu pertahanan seperti Benteng Somba Opu, Benteng Anak Gowa, Benteng Ujung Tanah, Benteng Panakkukang, dan Benteng Galesong.21 20
Sagimun, MD, Sultan Hasanuddin Sebagai Pahlawan Nasional (Jakarta: Tintamas, 2005), h. 11. 21
Hasir Sonda, “Benteng-Benteng Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan: Tinjauan Bentuk dan Fungsinya (Kajian Arkeologi Sejarah)” (Tesis tidak diterbitkan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia,Jakarta,1999), h. 70.
160
Akhirnya pertempuran pun tidak dapat dihindari pada tahun 1627 sampai 1630 di perairan Maluku. Gowa dan Maluku bekerja sama menghadapi Belanda. Tahun 1632 Antony Coeng salah seorang anggota Raad Van Indie (Dewan Hindia) di Batavia datang ke Gowa mengadakan perjanjian damai, namun menemui jalan buntu. Tahun 1634 Gowa menduduki pesisir bagian utara seperti Manado, Gorontalo dan Tomini. Setelah Sultan Malikussaid wafat, maka beliau digantikan oleh puteranya I Mallombassi Daeng Mattawang Kareang Bonto Mangape Sultan Hasanuddin. Pada awal pengangkatannya terjadi prokontra terhadap pengangkatannya karena dianggap dia bukan putera mahkota. Akan tetapi Mangkubumi Karaeng Pattingaloang dan bangsawan lainnya sepakat bahwa dialah sabagai figur yang tepat, baik dilihat dari sisi kecakapan maupun karena kepiawaiannya dalam pemerintahan. Pada awalnya, Belanda menyambut positif kehadiran Sultan Hasanuddin dengan harapan ketegangan Gowa dengan Belanda dapat dicairkan. Akan tetapi tidak demikian halnya, bahkan ketegangan antara Gowa dengan Belanda semakin meruncing disebabkan sikapnya yang amat tegas, tidak mau tunduk pada tekanan Belanda. Pada tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara kedua belah pihak di perairan Maluku. Bulan April 1655 armada Gowa menyerang Buton dan berhasil serta menewaskan semua tentara Belanda. Di dalam sejarah tercatat, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin adalah hari-hari perang yang sangat melelahkan dan tercatat beberapa episode perang antara kerajaan Gowa di satu pihak melawan VOC dan sekutunya
161
Arung Palakka di pihak lain yang dapat dijelaskan bahwa pada tahun 1655 yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin yang berakhir dengan kemenangan Kerajaan Gowa. Kedua, lima tahun kemudian, tahun 1660 Gowa menanggung kekalahan akibat kesalahan strategi dengan jatuhnya Benteng Panakkukang ke tangan VOC pada tanggal 12 Juni 1660. Perjanjian diadakan di Batavia yang melibatkan Karaeng Popo dari pihak kerajaan Gowa dan Y. Maestschuyker dari pihak VOC.22 Sebagai kerajan yang ekspansif, pemegang hak monopoli rempahrempah di Maluku, sahabat Portugis dan tempat bernaung pedagang Melayu, Kerajaan Gowa terlibat konflik dengan Belanda yang akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh VOC bersama sekutunya, Arung Palakka. Demikianlah sejarah Gowa masa lampau telah mengalami pasang surut dalam perkembangannya, sejak pemerintahan Raja I Tumanurung sekitar abad ke XIII sampai mencapai puncak ke emasannya pada masa Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid dan Sultan Hasanuddin di paru ke dua abad XVII, kemudian mengalami transisi setelah bertahun-tahun berikutnya masih terus berjuang menghadapi
kolonial
Belanda.
Dalam
perkembangan
selanjutnya
sistem
pemerintahannya pun mengalami transisi pada masa Andi Idjo Karaeng Lalolang, Raja Gowa XXXVI, setelah menjadi bagian dari Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah dari bentuk kerajaan menjadi daerah tingkat II otonomi.
Sehingga dengan perubahan tersebut, maka Andi Idjo pun tercatat
dalam sejarah sebagai raja Gowa yang terakhir sekaligus sebagai bupati Gowa pertama.
22
Hasir Sonda, “Benteng-Benteng Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan…” h. 72.
162
B. Pola Integrasi antara Ajaran Islam dengan Budaya Lokal di Kabupaten Gowa Dari sudut pandang antropologis, analisis suatu proses akulturasi, dimulai dengan menentukan secermat mungkin wujud suatu kebudayaan yang datang memengaruhi suatu kebudayaan tertentu, dan isi dari pengaruh budaya tersebut. Selanjutnya perhatian diarahkan pada penelitian sifat dan keadaan masyarakat yang dipengaruhi, motif penyebaran dan karakteristik lingkungan alam masyarakat penerima.23 Berdasar dari pandangan tersebut dalam konteks sejarah Islam di Indonesia dapat dikatakan bahwa islamisasi yang berlangsung pada dasarnya berada dalam kerangka
proses akulturasi. Islam disebarkan
ke
Nusantara dengan kaidah-kaidah normatif di samping aspek seni budaya. Sementara itu, masyarakat dan budaya di mana Islam itu disosialisasikan adalah sebuah alam empiris. Dalam hal ini masyarakat sebagai mahluk berakal, manusia pada dasarnya beragama, dan dengan akalnya pula mereka paling mengetahui dunianya sendiri. Karena itu, dalam setiap akulturasi budaya, manusia membentuk, memanfaatkan, mengubah hal-hal yang paling sesuai dengan kebutuhannya termasuk integrasi Islam dan budaya lokal di kalangan masyarakat Gowa. 1. Integrasi Substansial Dalam
perspektif
ilmu
sosial
integrasi
diartikan
sebagai
derajat
ketergantungan fungsionalnya pada unsur-unsur suatu sistem kebudayaan dan sistem sosial. Istilah kebudayaan yang mencakup masalah cara hidup, tingkah laku
23
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998),h. 243.
163
dan hasil tingkah laku manusia. Dalam pembahasan ini akan diarahkan pada satu sisi kebudayaan yang menyangkut bidang-bidang tertentu dalam keagamaan, khususnya Islam yang dianut oleh masyarakat Gowa. Berdasarkan pandangan di atas, Andi Rasdiyanah mengidentifikasi adanya dua bentuk integrasi yang disebut dengan integrasi antara syariat Islam dengan unsur-unsur yang terdapat dalam panngaderreng/panngadakkang. Syariat Islam yang membawa ajaran yang begitu luas yang terdapat dalam akidah, syariat dan akhlak, berfungsi dan berkontribusi sebagai napas keagamaan dan nilai-nilai Islam terhadap panngadakkang. Integrasi dalam bentuk ini disebut integrasi substansial. Sementara integrasi kedua adalah integrasi struktural dimana syariat atau sarak berkolaborasi dalam
bentuk wujud formal dalam suatu lembaga adat sebagai
bagian dari panngadakkang (ada, bicara rapang dan wari).24 Intergrasi substansial merupakan perpaduan antara hal-hal yang bersifat prinsip yang saling menguatkan antara ajaran Islam dengan kebudayaan Makassar berupa panngadakkang yang akan menjadi pedoman hidup sekaligus sebagai pandangn hidup (way of life) dalam segala aspek kehidupan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara. Bentuk integrasi substansial ini terbagi pula ke dalam dua model integrasi yaitu integrasi yang bersifat asimilasi dan pola adaptasi.
24
Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng (Adat) dengan system syariat Islam dalam Lontarak Bugis-Makassar” (Makalah yang disajikan pada Seminar Internasiona dan Festival Kebudayaan (Empat Abad Islam Melembaga di Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Timur Tengah-Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan Penelitian UNHAS dengan Pemerintah kota Makassar, Makassar, 5-8 September 2007), h. 8.
164
a. Integrasi yang Bersifat Asimilasi 1) Integrasi dalam aspek akidah Sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan, masyarakat telah lebih dulu mengenal Tuhan yang mereka sebut Dewata Seuwae (Bugis), Tu Kammaya (Makassar) Ture Arana (Kajang). Dengan demikian tatkala Islam datang membawa konsep ketauhidan (mengEsakan Tuhan), mereka tidak sulit lagi menerimanya karena ada kesamaan dengan konsep ketuhanan yang mereka telah anut jauh sebelumnya. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab diterimanya Islam dengan mudah oleh masyarakat Makassar. Menurut sumber dari berbagai Lontarak disebutkan, peranan Tuhan dalam kehidupan manusia lebih jelas dan terjabarkan karena telah mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Dalam lontarak latoa misalnya, meskipun kata Dewata digunakan bersama-sama dengan kata Allah Taala, tetapi nama Allah Taala lebih banyak digunakan dibandingkan dengan nama Dewata. Menurut Andi Rasdiyanah nama Allah Taala disebut lebih 40 kali, sedangakan nama dewata digunakan 12 kali saja. Berbeda dalam lontarak sukkuna wajo, nama Dewata Seuwae disebut dua puluh sembilan kali tanpa pernah menyebut Allah Taala.25 Berdasarkan
hasil
penelusuran
yang
dilakukan
Andi
Rasdiyanah
menemukan bahwa butir-butir alinea dalam latoa dapat diamati lebih jelas dan lebih terperinci dari pada yang terdapat dalam lontarak sukkuna Wajo. Penyebutan nama dewata di samping Allah Taala menunjukkan suatu bentuk pembauran
25
Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng (Adat) dengan system syariat Islam dalam Lontarak Bugis-Makassar”, h. 9.
165
(integrasi ajaran-ajaran dalam panngaderreng dengan Syariat Islam). Dari banyaknya penggunaan kata Allah Taala menunjukkan bahwa penyalin Latoa telah memeluk agama Islam. Dalam uraian berikut akan ditampilkan beberapa pasang dalam berbagai sumber yang ada kaitannya dengan aspek akidah, syariah/muamalah dan akhlak. Dalam konteks pangngadakkang, pasang yang berkaitan dengan aqidah, misalnya bertaqarrub kepada Allah. Nilai pasang seperti ini banyak ditemukan dalam lontara Makassar seperti yang ditulis Sugira Wahid antara lain sebagai berikut: 1) Manynyeremaki ri la, sukkuruk ri maniakna, naku mamuji ri dallekang makbatarana, artinya aku telah berserah pada-Nya, dan mensukuri kehadiran-Nya, aku memuji di depan kebesaran-Nya. 2) Mamuji
ri
Karaeng
ku,
mappibuang
ri
Batara,
kunnodokpuli
manyakereang ri maniakna, artinya kepada Tuhan-ku aku memuji, berserah pada tuhan dan meyakini, percaya kehadiran-Nya. 3) Batara ki kanro-kanro, sungguminasa kitayang, kammai apa masagena tallasakta, artinya kepada tuhan aku memohon dan menunggu doa makbul, mudah-mudahan makmurlah hidup. Ungkapan tersebut pada dasarnya bertujuan mendidik manusia agar memperkuat akidah, mendidik manusia agar senantiasa bertaqarrub kepada Allah denga cara meyakini kebenaran-Nya sebagai tuhan yang satu, Esa dan tidak mensyarikatkannya
166
Apabila diamati dan dianalisa kandungan makna dalam paseng tersebut, mengandung ajakan untuk meyakini agama Islam yang diturunkan Allah swt melalui perantaraan Nabi Muhammad saw. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa /4 : 136.
Terjemahnya : Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. 26
Ayat tersebut di atas dan nasehat yang terkandung dalam paseng di atas adalah larangan untuk mencari atau meninggalkan agama Islam untuk kemudian mencari agama lain karena akan meninggalkan penyesalan baik dikemudian hari (di dunia) terlebih-lebih lagi di hari kemudian nanti (akhirat). Paseng ini terintegrasi dalam
Al-quran sebagai sumber ajaran Islam
sebagaimana firman Allah dalam Q.S Ali Imran/3:19.
26
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 2002), h. 145.
167
Terjemahnya: Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada diantara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.27 Pada ayat lain Allah berfirman dalam Q.S Ali-Imran/3: 65. Terjemahnya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padaNya, dan dia di akhirat termasuk orangorang yang merugi.28 Kedua pesan di atas sebagai bentuk integrasi Islam dengan budaya lokal dalam akidah yang terdapat dalam paseng. Tentunya banyak lagi ungkapanungkapan yang lain dalam bentuk paseng, kelong dan ungkapan lainnya yang menyeru kepada keimanan yang telah berintegrasi dengan ajaran Islam yang mempermudah proses transformasi kepercayaan masyarakat Bugis Makassar ke dalam ajaran Islam.
27
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 40.
28
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 148.
168
Selain persoalan akidah seperti yang telah disebutkan, ditemukan pula adanya integrasi budaya lokal dengan aspek ibadah, akhlak, seperti ungkapan berikut: Apa nuparek bokong, bokong mange ri anja, tena maraeng sambayang lima waktu, Assambayangko nu tambung, pakajai amalaknu, naniak todong bokong-bokong allo riboko.29 Artinya: Apa yang engkau kerjakan untuk memperbanyak bekal ke akhirat, tidak lain kecuali salat lima waktu. Salatlah dan berserah dirilah, perbanyak amalmu agar ada juga bekal untuk akhiratmu. Kemudian yang berkenaan dengan akhlak dapat dicermati uraian lontarak pappasang yang telah mendapat pengaruh Islam seperti berikut: Punna erokko nipangngaliki, pangngaliki rong taua.30 Artinya: Jika engkau mau dihormati orang lain, maka hormatilah orang terlebih dahulu. Pasang tersebut menekankan pada aspek pentingnya rasa hormat (pangngalik), sabbarak (sabar, dan gau bajik (kebaikan) lainnya sebagai lawsan dari gauk kodi (perbuatan tercela). Implementasi dari pasang tersebut, dimulai dari dasar keimanan kepada Allah swt. Pendidikan keimanan tersebut pada masa lampau diadakan di Istana Kerajaan Gowa dengan naskah lontara sebagai rujukannya yang barang tentu kaya akan nilai-nilai falsafah hidup tentang pendidikan keimanan, sebagaimana yang disebutkan dalam lontara pappasang Tumalabbirina butta Gowa disebutkan sebagai berikut: Mallaki ri Allah Ta’ala, punna boyako pangngassengang warakko rolong, punna tena iwarak timborokko, punna tena timborok, anraikko, punna tena iraya kalaukko na punna tena ri appaka sulapa ammoterekko ri batanna kalennu manassa nia antu anjoreng pangngassengang napadongko allah Taalah Artinya: Bertakwalah kepada Allah, jika engkau mencari ilmu pengetahuan, pergilah ke sebelah utara dahulu. Jika tidak ada di Utara ke Selatanlah, kalau tidak ada di Selatan ke Timurlah, jika tidak ada di Timur ke Baratlah, andaikata tidak
29
K.A. Syarif D. Basang Manyambeang, Struktur Bahasa Makassar (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas, 2000), h. 52. 30 K. A. Syarif D. Basang Manyambeang, Struktur Bahasa Makassar, h. 87.
169
menemukan pada empat penjuru angin tadi maka kembalilah pada dirimu sebab ada ilmu pengetahuan dalam diri pribadi yang diletakkan Allah Taala. Nilai keimanan dalam pasang tersebut terdapat pada permulaan kalimat bertakwalah yang berarti pentingnya nilai-nilai keimanan dengan iman seseorang dapat mencapai ketakwaan, dalam upaya menguatkan keimanan diperlukan keikhlasan, dan keikhlasan itu sendiri berasal dari niat dalam hati.
Jika hati itu dibentuk atas dasar keimanan kepada Allah niscaya hati itu akan menghasilkan niat yang baik dan ikhlas yang jauh dari sifat takabbur dan sombong. Jika hati demikian maka akan melahirkan amal perbuatan yan terpuji pula. Dalam Hadits Rasulullah Saw menjelaskan tentang pentingnya niat sebagai perwujudan hati sebagai berikut:
ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠ ﱠ َﻢ ﺻ ﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ِﷲ ﷲ ُ َﻋﻨْ ﮫُ َﻋﻠَﻰ اﻟْ ِﻤ ْﻨﺒَ ِﺮ ﻗَﺎ َل َﺳ ِﻤﻌْﺖُ َرﺳُﻮ َل ﱠ ﻲ ﱠ َ ﺿ ِ ُﻋ َﻤ َﺮ ﺑْﻦَ ا ْﻟ َﺨﻄ ﱠﺎبِ َر ْﺼ ﯿﺒ ُﮭَﺎ أَو ِ ُ ت َو إِﻧﱠﻤَﺎ ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ ا ْﻣﺮِئٍ ﻣَﺎ ﻧَ َﻮى ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ھِﺠْ َﺮﺗُﮫ ُ إِﻟَﻰ ُد ْﻧﯿَﺎ ﯾ ِ ﯾَﻘُﻮ ُل إِﻧﱠﻤَﺎ ْاﻷ َ ْﻋ ﻤَﺎ ُل ﺑِﺎﻟﻨﱢﯿ ﱠﺎ إِﻟَﻰ ا ْﻣ َﺮأَةٍ ﯾَ ْﻨﻜِ ُﺤ ﮭَﺎ ﻓَﮭِﺠْ َﺮﺗُﮫ ُ إِﻟَﻰ ﻣَﺎ ھَﺎ َﺟ َﺮ إِﻟَ ْﯿﮫِ )ﺻﺤﯿﺢ اﻟﺒﺨﺎري ﻛﺘﺎب ﺑﺪء اﻟﻮﺣﻲ Artinya; Umar bin Khattab Ra.berkata: aku mendengar Rasulullah bersabda sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada apa yang diniatkan.Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia maka ia akan memperolehnya (dari apa yang diniatkan) atau hijrahnya karena wanita maka ia akan mengawininya. Maka hijrahnya itu tergantung kepada apa yang ia hijrah (niatnya). 31
Ada beberapa keutamaan akhlak dalam kandungan paseng di atas, yaitu mensyukuri nikmat Allah Swt, menjaga hati dari kelalaian untuk berbuat maksiat 31
Abū ‘Abdullah bin al-Mughīrah al-Bardizbat al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, juz I (Bairut: Dār al-Fikr, 1992), h. 271.
170
kepada-Nya, gembira dengan penuh keihlasan dalam melaksanakan salat kepadaNya. Dengan kondisi hati yang demikian akan menciptakan hati manusia menjadi tentram, bahagia lahir dan bathin. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah swt, Q.S. Arrad/13: 27, Terjemahnya: Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah Swt. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah Swt hati menjadi tentram.32 Sedangkan dalam aspek muamalah dalam lontarak disebutkan pappasenna Nabitta Sallalahu Alaihi Wasallama (pesan Nabi saw). Narekko temullei tulungngi padammu tau nasaba’ waramparang, temmasali risesemu tulungngi nasaba’ cabberu iyarega ampe madeceng. Artinya: Kalau engkau tidak dapat menolong sesamamu dengan harta, maka tidak ada halangan bagimu untuk menolong mereka dengan senyuman atau prilakumu yang baik.33 Muamalah merupakan aspek terpenting dari ajaran Islam yang menekankan pada hubungan horisontal dengan sesama manusia atau manusia dengan mahluk lainnya. Dalam ajaran Islam muamalah mendapat porsi yang khusus dalam hadis maupun al-Quran. Sebuah hadis menjelaskan:
ك َ ﺻ َﺪ ﻗَﺔ ٌ َو أَ ْﻣ ُﺮ َ ﻚ َ َﻚ ﻟ َ ﻚ ﻓِﻲ َوﺟْ ﮫِ أَ ِﺧ ﯿ َ ﷲ ُ َﻋﻠَﯿْﮫِ َو َﺳ ﻠ ﱠ َﻢ ﺗَﺒَ ﱡﺴ ُﻤ ﺻﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ِﷲ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ َذ ﱟر ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل ﱠ ٌﺻ َﺪ ﻗَﺔ َ ﻚ ﻋَﻦْ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َ ُﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮوفِ َوﻧَ ْﮭﯿ Artinya: Dari Abi Zarra Rasulullah saw, bersabda: senyummu kepada orang lain adalah sebuah sedekah, dan menganjurkan untuk melakukan yang makruf 32
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 373.
33
A. M. Ali, Suatu Mutiara yang Terpendam (tp. 1989), h. 11-14.
171
serta meninggalkan kemungkaran merupakan sedekah. (HR. Turmuzi dari Abu Zar).34 Bahkan Allah dalam al-Quran secara ekplisit mengingatkan manusia melalui firman-Nya:
س ِ ﷲ ِ َو َﺣ ْﺒ ٍﻞ ﻣِﻦَ اﻟﻨ ﱠﺎ ﺿ ِﺮﺑَﺖْ َﻋ ﻠَ ْﯿ ِﮭ ُﻢ اﻟ ﱢﺬﻟﱠﺔ ُ أَﯾْﻦَ ﻣَﺎ ﺛُﻘِﻔُﻮا إ ﱠِﻻ ﺑِ َﺤﺒْ ٍﻞ ﻣِﻦَ ﱠ ُ Terjemahnya: Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah swt. dan tali silaturrahim dengan manusia.35
Dalam ungkapan lain Karaeng Pattingalloang berpesan, kalau seseorang yang telah menduduki suatu jabatan sebagai pemimpin, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan : Sitaua tumapparenta punna ilalangna apparenta nanaballaki tallua rupanna panggaukang maka langngerang kamunapekang. iami antu, uruuruna; nirannuangi talalaku-laku, makaruanna, ajjanji tanaparuppai, maka talluna nitanrak lambusu najekkong,36
Artinya: Seorang pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya, terdapat tiga hal yang membawa kemunafikan, yakni : pertama, diberi amanat tapi hianat, kedua, berjanji tapi ingkar dan ketiga, dianggap jujur tapi curang.
34
Al-Imam al-Hafidz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surat al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi ( juz III., Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 228. 229. 35
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 94.
36
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo (Makassar: Refleksi, 2007), h. 63.
172
Selanjutnya dikatakan: Tallu tongi rupanna panggaukang rise’rea tumapparenta Angngerang kapangrakang. Ada tiga perbuatan seorang pemimpin yang akan membawa kerusakan, yakni : Punna addanggang mo Tumapparentaya. Artinya, pemimpin mulai berdagang, yaitu setiap aktifitas yang dilakukan sudah ada perhitungan untung rugi, maka itu sudah meniggalkan rasa pengabdian dan rasa tanggung jawab kepada rakyatnya selaku pemimpin. Punna annarimamo passogo’ Tumapparentaya, Artinya, jika pemimpin menerima sogok dalam setiap melakukan kebijakan. Punna Teamo annarima pappasaile Tumapparentaya. Artinya, pemimpin tidak mau lagi menerima nasehat, maka tunggulah kerusakannya negeri dan keterpurukan kehidupan masyarakat. 37 Menurut Karaeng Pattingalloang, apabila seorang pemimpin yang berkuasa, maka ada beberapa hal yang menjadi pantangan baginya untuk dilaksanakan, yakni:“ Nutea lalo ammintingi apa-apa battulalang ri pasaraka, aule Anu nuballiji sallang nakanamo taua anu nupala – pala. Artinya jangan sekali-kali menenteng barang apa pun dari dalam pasar, jangan sampai barang itu kamu beli tapi sangkaan orang kamu minta-minta.38 Pasang ini ditujukan kepada pemimpin untuk menghindari menenteng sesuatu dalam pasar untuk menjaga wibawa seorang pimpinan dan fitnah dari orang lain. Banyak
juga
pemimpin
setelah
menduduki
jabatan,
maka
yang
diperhatikan hanyalah semata-mata menjalankan tugas pemerintahan. Sedangkan waktu untuk berkumpul dengan rakyatnya atau warga disekitarnya
serta
keluarganya tidak diperhatikan. Karaeng Pattingalloang menasihatkan kepada
37
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, h. 65.
38
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, h. 66.
173
pemimpin yang baik untuk membagi waktunya kepada empat bahagian. Dalam lontara disebutkan pesan-pesan bagi seorang pemimpin tentang pembagian waktunya: Punna anjariko tumapparenta, bage appaki wattunnu. Sitawang wattunnu pa’matu-matui sipammempoang tumapparenta lahereka. Sitawang wattunnu pa’matu-matui sipammempoang tupanrita batenga. Sitawang wattunnu pa’matu-matui sibuntulu tau jaiya. Sitawang pole wattunnu pa’matu-matui poro nikusiangngi ribone balla’nu. Artinya: Kalau menjadi seorang pemimpin, bagi empat waktumu. Sebagian waktumu digunakan untuk duduk bersama dengan cendekiawan untuk membicarakan bagaimana negeri dan masyarakat ini dibangun di atas dasar ilmu pengetahuan. Sebagian waktunya digunakan untuk bertemu dan duduk bersama dengan tokoh agama dan pemangku adat untuk membicarakan bagaimana negeri dan masyarakat ini dibangun di atas dasar moral, agama, dan budaya. Sebagian waktumu gunakan untuk mendengarkan informasi dan keluhan rakyat untuk diusahan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebagian waktumu lagi digunakan untuk duduk bersama dengan keluarga, isteri dan, anak-anak, jangan sampai karena kesibukan mengurus Negara dan masyarakat sehingga alpa dalam mengurus rumah tangga, keluarga, dan, anak-anak.39 Bila diamati pesan-pesan di atas, tampak adanya kesesuaian dengan ajaran Islam khususnya pentingnya ilmu pengetahuan, kejujuran dan etos kerja, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
وﻣﻦ أراد،َﻋﻦ اﻹﻣﺎم ﻋﻠﻲ أﻧﮫ ﻗﺎل ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل "ﻣﻦ أراد اﻟﺪﻧﯿﺎ ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ( )رواه ﻣﺴﻠﻢ40 " وﻣﻦ أرادھﻤﺎ ﻣﻌﺎ ً ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ،اﻵﺧﺮة ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan dunia maka hendaklah menuntut ilmu pengetahuan. Dan barangsiapa yang menghendaki 39 40
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, h. 68.
Abū Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, juz II (Bandung: Maktaba Dahlan, t.th), h. 671.
174
kebahagiaan di akhirat nanti, maka kuncinya adalah ilmu pengetahuan. Dan barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat), maka syaratnya adalah ilmu pengetahuan. Selanjutnya Karaeng Pattingalloang menekankan pentingnya pemimpin untuk selalu dekat dengah rakyatnya. Dalam lontara disebutkan: Siri’na tumabbuyata niyaki ri pammarentaya, pa’rupanna gauka niyaki ri tumabbuttaya, parentai taua ri ero’na numaccarammeng ri kalennu. 41 Artinya: Harga diri dan kehormatan rakyat terletak di tangan pemimpin sedangkan keberhasilan pemimpin dapat terwujud hanya dengan peran serta dan ketelibatan serta dukungan masyarakatnya. Pimpinlah rakyat dengan penuh kearifan sesuai dengan aspirasinya dan bercerminlah pada dirimu, karena cermin tidak pernah bohong. Pasang/paseng yang terdapat dalam lontarak banyak mengandung perhatian terhadap pembinaan keluarga dan rumah tangga, karena tegaknya suatu masyarakat dan Negara berawal dan sangat ditentukan oleh pembinaan keluarga. Kehidupan keluarga yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi keluarga inti yang terdiri dari anak, ayah dan ibu serta nenek serta keluarga dalam arti luas atau family yang disebut assiajingengnge (Bugis) atau pammanakang (Makassar). Dalam lontara Latoa misalnya mengatakan : Ada empat macam yang memperbaiki hubungan kekeluargaan. Pertama kasih sayang dalam berkeluarga. Kedua saling memaafkan secara kekal. Ketiga, tidak segan memberi pengorbanan pada yang sewajarnya. Keempat, saling memperingati untuk berbuat kebajikan dan kesabaran. Dalam hadits banyak anjuran untuk memperbaiki keluarga antara lain: Dari Anas r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
41
Abū Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, h. 71.
175
ﷲ ُ رِزْ ﻗَﮫ ُ َو أَنْ ﯾَ ُﻤ ﱠﺪ ﷲ ُ َﻋﻠَﯿْﮫِ َو َﺳﻠ ﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل ﻣَﻦْ َﺳ ﱠﺮه ُ أَنْ ﯾ ُ َﻌﻈﱢ َﻢ ﱠ ﺻ ﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ﻲ ﻚ أَنﱠ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ ٍ ِﻋَﻦْ أَﻧَﺲِ ْﺑ ِﻦ ﻣَﺎﻟ ()رواه أﺣﻤﺪ
42
ُ ﺼﻞْ َر ِﺣ َﻤﮫ ُ َوﺑِﺮﱡ ا ْﻟ َﻮ اﻟِ َﺪ ْﯾ ِﻦ َوأَھْ ﻠَﮫ ِ َﻓِﻲ أَ َﺟ ﻠِﮫِ ﻓَ ْﻠﯿ
Artinya: Dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw bersabda: Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya oleh Allah dan ditunda umur (ajalnya) maka hendaklah ia memperbaiki hubungannya sesama umat manusia, terutama kepada orangtuanya dan familinya. Hadis tersebut memberikan anjuran akan pentingnya menjalin hubungan baik dengan keluarga/sanak famili, karena perbuatan itu akan membawa berkah dan manfaat yang besar. Menjalin hubungan harmonis dengan keluarga akan mendatangkan
dua
keuntungan
yaitu
melapangkan
rezki
dan
dapat
memperpanjang usia harapan hidup. c. Integrasi dalam Aspek Syariah/Siyasah Menurut Bissam Tibi dalam Rasdiyanah, secara harfiyah siyasah berarti politik, tetapi dalam pengertian luas, berarti adminisrtasi atau tata cara pengaturan pemerintahan muslim di bawah control Syariat Islam. Jadi fiqhi siyasah adalah bagian syariat Islam yang membicarakan tentang tatacara atau yang berkaitan dengan soal-soal kenegaraan.43 Pasang yang berhubungan dengan syariah dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Pappasenna Opu Pawelaie Sukkara’na (Pesan Opu Pawalaie Sukkara’na.
42
Abū ‘Abd. Allāh Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II (Bairūt: Maktab al-Islāmi, 1978), h. 874. 43
Andi Rasdiyanah, “Integrasi Sistem Pangngaderreng (Adat) dengan system syariat Islam dalam Lontarak Bugis-Makassar”, h. 61.
176
Iko sininna ana’ eppoku, aja’ lalo engka melori waramparanna lino. Anu riwelai muatu. Naiya lino wanua lenynye’ sibawa lise’na. Mamadaina lino rionroi pogau’ pakkasiwiyang ri Allah Taala muniniri pappesangkana. Mualitutuiwi ade’ mappura onroe, apa ade’e na sara’e. Akkalitutuo bara’ namaseiko Allah Taala silaong surona, muraddekiwi pammase tenrigangkae, pappenyameng mannennungengenge. 44 Artinya: Engkau semua anak cucuku, jangan sekali-kali ada yang menyukai/menggemari hartabendanya dunia, karena kesemuanya itu akan ditinggalkan. Adapun dunia akan lenyap bersama isinya. Cukuplah dunia ini dijadikan tempat untuk melaksanakan perintah dan menghindari larangan Allah Taala. Peliharalah adat istiadat yang ditetapkan, sebab tidak terpisah antara adat dan syariat agama. Berhati-hatilah, semoga Allah Taala bersama Rasul-Nya menetapkan belas kasihnya yang tak terhingga kepadamu. Wanita, tahta dan harta adalah perhiasan dunia yang menjadi kebanggan dan dambaan manusia. Dunia dengan segala isinya tiada yang abadi dan akan ditinggalkan dan hancur buat selama-lamanya. Oleh karena itu dunia hendaknya tidak dijadikan sebagai tujuan akhir tetapi hendaknya dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi. Pesan atau nilai pendidikan yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah mengingatkan manusia untuk rajin mengerjakan amal kebajikan dan meninggalkan perbuatan tercela demi keselamatan baik di dunia, maupun di akhirat. Allah berfirman dalam Q.S. al-Hadid/57:20.
44
A. M. Ali, Suatu Mutiara yang Terpendam, h. 76.
177
Terjemahnya: Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Hal itu seperti hujan yang tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaanNya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. 45 b. Pappasenna Pekkie ri Bojo (Pesan Fakih di Bojo) …..Riwettu tuwona, makkedai: iyanae gau mappasalama’ ri linoe lettu riakhera’ eppai…., Masewwanna, pogau’e passuroang. Madduana, ninirie, pappesangka, Matelluna madeceng atie’ maeppana, mateppe’e riallataala. Nigi-nigi tau missengngi patappuangengngewe iyana ritu ri passalama’ riwanuwa duwae.46 Artinya: …… Pesan Faqih di Bojo, semasa hidupnya; beliau berkata: inilah perbuatan yang dapat menyelamatkan di dunia hingga di akhirat yakni empat hal: pertama, mengerjakan perintah, kedua, menjauhi larangan, ketiga, senantiasa berbaik sangka, keempat, beriman kepada Allah swt. Barang siapa melaksanakan keempat hal tersebut di atas maka ia akan diselamatkan di dua tempat (di dunia dan di akhirat). Isi kandungan paseng di atas dapat dipastikan bahwa paseng tersebut berasal dari seorang ahli fiqih, yang mengajak untuk mengerjakan perintah serta
45
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 431.
46
Arsuatman, “Paseng Sebagai Media Dakwah, h. 72.
178
menjauhi larangan Allah sebagai wujud taqwa. Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam Q.S. ath-Thalaq/65:2-3
. Terjemahnya: Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah swt, niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberi rizki yang tiada disangka-sangkanya. 47 Menurut Abu Hamid Agama sebagai suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh kelompok masyarakat tertentu, adalah suatu masalah sosial, akan tetapi sistem kepercayaan ini senantiasa diikuti oleh upacara-upacara sebagai perwujudan dari kepercayaan, maka hal itu akan tecakup dalam pembahasan kebudayaan. Upacara keagamaan ditandai dengan simbol-simbol kepercayaan, agar upacara itu bermakna sebagaimana makna yang dikandung oleh sistem kepercayaan itu sendiri. Simbol-simbol itu merupakan akumulasi makna, sedangkan interpretasi terhadap simbol-simbol tersebut adalah interpretasi kebudayaan. Berdasarkan pandangan di atas, maka panngaderren/panngadakkang dan sarak membentuk struktur dan sistem kebudayaan secara bulat dan padu, yang dalam pembahasan selanjutnya akan mengidentifikasi dua bentuk integrasi yaitu integrasi syariat Islam dengan unsur panngaderreng/panngadakkang. Syariat
47
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 445.
179
Islam dalam bentuk ini menurut maknanya memiliki makna yang luas meliputi akidah, syariah dan ahlak yang berfungsi memberi roh keagamaan dan nuansa keagamaan dan nilai-nilai Islam terhadap panngaderreng/panngadakkang. Integrasi dalam bentuk ini disebut integrasi subtansial. Sedangkan bentuk integrasi kedua adalah integrasi stuktural, dimana syariat atau sarak dalam arti legal formal yang dilembagakan sebagai salah satu bagian dari panngaderreng/ panngadakkang. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa akulturasi (acculturation) atau biasa juga disebut dengan culture contact adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsurunsur dari suatu kebudayaan asing yang sedemikian rupa sehingga unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.48 Lebih jauh dijelaskan bahwa proses akulturasi tersebut sudah ada sejak dahulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia, tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat yang khusus baru timbul ketika kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai menyebar kesemua daerah lain di muka bumi, dan mulai memengaruhi masyarakat suku-suku bangsa di Afrika , Asia, Oceania, Amerika utara, dan Amerika Latin.
48
Saifuddin Bahrun, Cina Peranakan Makassar, Pembauran Melalui Perkawinan Antarbudaya. (Makassar:Yayasan Baruga Nusantara, 2003), h. 50.
180
Dalam konteks Sulawesi-Selatan, Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Bugis Makassar pada abad XVII, setelah sukses menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat secara
akomodatif ke dalam sistem
panggadakkang. Menurut Andi Rasdiyanah para penutur lontarak tidak menangkap ajaran Islam secara harfiah, melainkan secara maknawi dari para ulama penyiar Islam, sehingga dalam naskah panngaderreng tidak terdapat nashnash Al-Qur’an dan Hadits serta pendapat ulama secara eksplisit, tetapi nila-nilai Islam telah diserap dan diintegrasikan dengan ajaran-ajaran adat dalam panngaderreng/panngadakkang.49 Hal ini tampak dalam hubungan-hubungan sosial,
dalam
ungkapan-ungkapan
dalam
pasang/paseng,
kelong,
dan
paruntukkana yang tampak mengiringi upacara siklus hidup seperti kelahiran, perkawinan dan acara kematian. Keyakinan
masyarakat
dengan
kepercayaan
pada
animisme
dan
dinamisme kemudian beralih kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh dari itu Islam turut pula mewarnai dalam sistem birokrasi politik seperti yang akan diuraikan berikut. Setelah agama Islam diterima secara resmi dan dijadikan sebagai agama kerajaan yang melembaga dalam masyarakat tahun 1607, secara pelan tapi pasti Islam mewarnai kehidupan kelembagaan masyarakat yang disebut panngadakkang (Makassar) atau panngaderreng (Bugis). Lembaga baru yang disebut sarak dimasukkan berdampingan dengan adak.
49
Saifuddin Bahrun, Cina Peranakan Makassar,.. h. 51.
181
Dengan demikian, lembaga yang dalam kehidupan kekuasaan tradisional pra Islam dikenal dengan istilah adak dan setelah masuknya agama Islam, maka bersendikan pula sarak. Hal ini tampak pada pelaksanaan kekuasaan pemerintahan kerajaan didampingi pula oleh pejabat keagamaan yang disebut parewa sarak. Parewa sarak (pegawai sarak) mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Mereka mengatur soal-soal ibadah, pelaksanaan hukum Islam dalam perkawinan, perceraian, kematian, pembagian harta, pengurusan jenazah, pemeliharaan tempat-tempat ibadah, pembacaan doa-doa dan menggiatkan pengajian Al-Qur’an.50 Adak sebagai bagian dari panngadakkang selain rapang, wari, dan bicara bermakna perangkat kekuasaan dalam struktur pemerintahan kerajaan Gowa yang terdiri atas: sombaya, pabbicara butta, tumailalang, tukajannangang, paccallaya serta bate salapang. Semuanya mempunyai pola seremoni tertentu, baik dalam kedudukan pribadi-pribadi, maupun dalam kehadiran bersama dengan perangkat adak lainnya Di dalam lontarak disebutkan: Makkadatopi toriolo, appa’mi uangenna padecengie tana, iami nagenna limampuangeng, narapi’ mani assellengeng, naripattama tona sara’e, seddi adee’ maduanna rapange, matelluna warie’ maeppa’na bicarae, malimanna sara’e. Artinya:
50
Nurhayati Rahman, La Galigo: Menuju Pertarungan Globalisasi (Disampaikan pada upacara Penerimaan Guru Besar dalam bidang Filologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Kamis, 20 Desember 2012 di Makassar).
182
Berkata pula orang-orang dahulu, empat macam saja yang memperbaiki negara, barulah dicukupkan lima ketika Islam diterima, yaitu pertama ade‘ kedua rapang, ketiga wari’ ke empat bicara dan kelima sarak.51 Kelima sendi panngadakkang tersebut merupakan suatu kesatuan wujud kebudayaan yang masing-masing mempunyai fungsi dan peranan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sarak mengembangkan fungsi sosial di samping agama, sarak berusaha membentuk tatanan sosial sesuai petunjuk agama, mereka yang kuat tidak boleh berbuat sewenang-wenang kepada yang lemah. Kedudukan sarak sebagai salah satu sendi dari panngadakkang berdiri tegak berdampingan dengan adak. Posisinya berbeda dengan ketiga sendi lainnya (rapang, wari dan bicara) yang eksistensinya erat sekali kaitannya dengan adak, bahkan terkadang dapat dikatakan termasuk bahagian dari padanya. Karena itu pejabat kerajaan yang dikenal oleh masyarakat hanyalah pemangku adak atau pampawa adek (Bugis) dan parewa sarak (Makassar). Sombaya (raja) sebagai pemimpin adak sedangkan Daeng ta kaliya (kadi) adalah penghulu sarak. Keduanya hidup berdampingan, saling menghormati dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan antara sarak dan adak yang demikian erat disebutkan dalam lontara disebutkan sebagai berikut: Sarak mengagungkan adak, adak memuliakan sarak. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Jika adak terbentur dalam pengambilan suatu keputusan, merujuk pada sarak dan bila sarak terbentur dalam pengambilan suatu keputusan, merujuk pada adak. Keduanya tidak boleh
51
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah , h. 69.
183
mengalami jalan buntu dan tidak boleh juga saling membatalkan keputusan.52 Berkaitan dengan kedudukan yang tinggi tersebut, maka pada pase-pase awal perkembangan agama Islam di Sulawesi selatan, termasuk Gowa, seseorang yang akan diangkat sebagai kadhi, harus dari keturunan bangsawan, sekurangkurangnya orang yang memiliki keturunan yang baik (tu bajik) dalam bahasa Makassar atau to deceng dalam bahasa Bugis di samping, memiliki pengetahuan agama yang mamadai untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya . Hubungan antara sarak dengan adak dapat terpelihara dengan baik, disebabkan antara lain karena metode penyebaran agama Islam di tengah-tengah masayarakat berlangsung secara akomodatif dan persuasif, dengan tidak banyak merubah nilai-niai dan kaedah-kaedah masyarakat dan kebudayaan yang telah ada dan melembaga dalam masyarakat. Sejak dikembangkan agama Islam, hal-hal yang menyangkut adat istiadat seperti pemujaan kepada saukang dan pantasa dan kebiasaan lain yang berasal dari pra Islam yang pada hakekatnya bertentangan dengan sarak tidaklah merupakan larangan keras yang harus diberantas oleh ulama secara drastis.53 Melalui perantara sarak berlangsunglah proses penerimaan Islam yang secara pelan tapi pasti, memberi corak yang jelas kepada panngadakkang secara keseluruhan. Adat istiadat yang kontras dengan keinginan sarak sedikit demi
52 53
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah , h.72.
Abu Hamid, Selayang Pandang Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan Orang BugisMakassar di Sulawesi Selatan dalam Bugis-Makassar Dalam Peta Islamisasi di Indonesia (Ujung Pandang : LP3M IAIN Alauddin, 1982), h. 75.
184
sedikit ditinggalkan lalu diganti dengan bentuk lain yang bernuansa
islami
sehingga tidak terjadi kekosongan, seperti ditampilkannya sikiri juma’ (zikir pada malam Jumat) sebagai acara tetap digelar di istana raja pada setiap malam Jum’at yang sekaligus sebagai sarana pertemuan antara pejabat sarak (parewa sarak) dengan pejabat adat (parewa adak)54. Demikian pula dengan minuman khamar (ballo), Sultan Alauddin mencari minuman alternative dari ramuan tradisional yang kemudian dikenal dengan minuman sarabba yang berasal dari kata sariba artinya minuman dalam bahasa Arab. Pejabat tertinggi dalam lembaga sarak disebut daeng ta kaliya (kadhi) yang berkedudukan di pusat pemerintahan kerajaan. Lembaga ini didirikan setelah Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan pada tahun 1607. Selain mengurus masalah keagamaan sebagai tugas utama daeng ta kaliya juga bertugas sebagai penanggungjawab dalam pengambilan sumpah dengan Al-Qur’an yang dilakukan oleh sombaya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sultan Abdullah Awwalul-Islam, Sombaya ri Tallo. Dalam lontara Tallo disebutkan iaminne karaeng uru ampareki Koranga (raja inilah yang pertama kali bersumpah dengan Al-Qur’an).55 Selain itu daeng ta kaliya juga bertugas melayani masyarakat dengan urusan yang erat kaitannya dengan masalah keagamaan seperti dalam hal penyembelihan binatang. Sebelum Islam jabatan daeng ta kaliya ditangani oleh
54 55
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, h. 70.
Abd. Rahim dan Borahima, Pewarisan Nilai-nilai agama pada Masyarakat Bugis (Studi Kasus di Desa Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone) (Ujung Pandang: PLPIIS, 1981), h.16.
185
daeng ta alakaya sebagai pembantu raja yang mengurusi masalah keagamaan. Daeng ta alakaya adalah seorang laki-laki banci yang memiliki penampilan mirip dengan perempuan dalam berpakaian maupun dalam gerakan tubuhnya. 56 Dalam tradisi teologi klasik Bugis Makassar mempercayai bahwa dalam sosok pribadi daeng ta alakaya terjelma percampuran antara unsur laki-laki dengan unsur perempuan, sebagai simbol bahwa dalam diri pribadi daeng ta alakaya terdapat unsur kekuatan langit dan bumi yang dapat memberi pengaruh kekuatan terhadap benda-benda kerajaan atau kalompoang melalui mantra yang diucapkan daeng ta alakaya sehingga raja atau sombaya dapat memiliki kekuatan yang luar biasa, sakti dan disegani. Dalam menjalankan tugasnya daeng ta alakaya memakai pakaian adat khas Makassar yaitu baju bodo dengan warna yang bervariasai, tergantung dengan jenis upacara dan kegiatan yang mereka ikuti. Warna puti sebagai simbol kesucian dipakai ketika mengikuti upacara pelantikan seorang putra raja dan acara keagamaan. Warna hitam sebagai simbol kesederhanaan dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Sementara dalam upacara perkawinan, pesta panen dan menyambut tamu serta pesta merayakan kemenangan dalam perang, maka mereka menggunakan warna merah. Sedangkan dalam acara duka atau kematian mereka menggunakan pakaian warna coklat atau biru tua.
56
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, h. 180.
186
Status dan kedudukan daeng ta alakaya dalam lingkungan istana kerajaan sangat penting karena berfungsi sebagai mediator antara dunia gaib dengan dunia realitas. Selain itu mereka berfungsi untuk memimpin upacara-upacara yang bernafaskan keagamaan. Mereka memiliki hubungan emosional dengan raja yang begitu kental sehingga tidak jarang dimanfaatkan untuk memengaruhi raja dalam pengambilan keputusan atas sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh sombaya. Dalam majelis hadat lompo ia duduk sejajar dengan sombaya dan dikelilingi oleh benda-benda pusaka kerajaan yang disebut kalompoang atau arajang. Upacara membersihkan alat kerajaan di Gowa dengan istilah accera kalompoang (mencuci alat-alat kerajaan ) sampai sekarang masih dilakukan oleh pemerintah kabupaten Gowa dalam sebuah upacara resmi setiap tanggan 17 November setiap tahun yang dirangkaikan dengan peringatan hari jadi Gowa yang dilaksanakan di istana balla lompoa Sungguminasa. Setelah agama Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan, maka tugas keagamaan bergeser dan diambil alih oleh daeng ta kaliya, yang otomatis tugas daeng ta alakaya semakin sempit sebatas pada wilayah protokoler istana saja. Dalam menjalankan tugas sehari-hari tugas daeng ta kaliya, secara struktural dibantu oleh beberapa orang dengan jabatan dan tugas masing-masing seperti daeng imang ditingkat gallarrang atau desa/kelurahan sekarang. Guruwa/puang guru pada tingkat kampung, Katte (khatib pada setiap masjid), amele sebagai petugas zakat dan bidala yang bertugas sebagai muazin pada setiap waktu salat dan hari Jumat.
187
Mereka mendapat upah sebagai imbalan melalui sumber yang bervariasi menurut jabatan masing-masing. Ada yang memperoleh dari sumber langsung dari kerajaan dan ada hasil pungutan lain dari masyarakat. Daeng ta kaliya mendapat imbalan resmi dari kerajaan, sedangkan aparat di bawahnya seperti imang, katte, guruwa, bidala, amele dan doja, mereka memperoleh penghasilan dari zakat dan sedekah dari masyarakat. Selain itu mereka juga mendapat penghasilan dari uang nikah
(doi
pappanikka)
dan
upah
dari
menyembahyangi
mayat
(doi
panyambayangi tau mate dan pappasoro), seperangkat harta dari yang meninggal berupa, tikar, kasur, uang serta upah sembelihan hewan, berupa daging yang disebut (tawa pakkere), biasanya daging di bagian leher hewan yang disembelih. 2. Integrasi Kultural a. Intergrasi Islam Dalam aspek Ekonomi Kehadiran Islam di Nusantara Semenjak pertengahan abad XVI Sampai XVII, bukan saja telah meluas merambah ke seluruh kepulauan Indonesia, tetapi secara sosial ekonomi, bahkan telah muncul menjadi agen perubahan sejarah dunia yang penting. Meskipun belum sepenuhnya mencapai ke pedalaman mereka telah banyak membangun apa yang disebut Kuntowijiyo sebagai diaspora perdagangan
diaspora-
terutama dipesisir pantai.57 Dengan dukungan kelas
saudagar itulah proses islamisasi berlangsung secara besar-besaran ketika itu. Apa yang patut dicatat dari perkembangan ini adalah bahwa islamisasi menyebabkan terintegrasikannya kelas menengah saudagar Muslim dengan pusatpusat perdagangan Internasional, sehingga memberikan basis material bagi
57
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1994),h. 58.
188
munculnya pelembagaan politik yang baru. Lahirnya negara maritim Demak pada awal abad
XlV sebagai kerajaan Islam yang pertama di Jawa dan Makassar
(Gowa- Tallo ) di Sulawasi Selatan abad XVI membuktikan hal itu. Pada saat itulah Islam muncul sebagai elemen integratif yang mampu mengakumulasikan kekuatan ekonomi, politik dan agama dalam wadah Negara.58 Dari sudut ekonomi dan politik, letak kerajaan Gowa sangat srategis, diapit oleh dua buah sungai,yaitu sungai Tallo di sebelah Utara dan sungai Jeneberang di sebelah Selatan. Sementara di sebelah Timur terbentang gugusan gunung Bawakaraeng yang subur dan luas untuk perkebunan serta pertambangan. pertanian dan Sedangkan di sebelah Barat dengan lautan serta pulau-pulau yang tersebar laksana benteng-benteng pertahanan yang menantang di depan pantai Makassar. Selain faktor geografis, faktor politik juga menjadi pendorong kerajaan Makassar menjadi pusat perdagangan di kawasan Timur Indonesia yang ditandai dengan jatuhnya Malaka di tangan Portugis tahun 1511. Ketika Malaka diduduki Portugis banyak pedagang Muslim dari Malaka hijrah ke Makassar menandai awal penyebaran Islam di bagian Timur Nusantara, menyusul diterimanya
Islam
sebagai agama resmi kerajaan.
58
Muhlis Paeni, ”Somba Opu Pusat Niaga Nusantara Abad XVII, Sebuah studi Tentang Kota Panatai Nusantara “ (Makalah yang disajikan pada Seminar Nasioanal 400 tahun Makassar dengan tema “ Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar”. Sahid Jaya Hotel & Convention 30 Juni 2007),h. 6.
189
Untuk menarik perhatian pedagang Muslim untuk menetap di Makassar, raja Gowa XII Tunijallo membangun masjid di Mangallekana pada tahun 1559, namun kira-kira delapan puluh tahun kemudian agama Islam baru mendapat pengaruh yang luas di Sulawesi Selatan dengan masuknya Islam raja Gowa dan Tallo.59 Kehadiran pedagang Muslim di Gowa membawa suasana baru bagi masyarakat dalam aspek sosial ekonomi. Kehidupan ekonomi masyarakat sebelum datangnya Islam berpusat pada bidang agraris (pertanian) tetapi seiring dengan kedatangan Islam yang dibawa oleh para pedagang muslim yang mengambil pusat kegiatan di pelabuhan atau bandar niaga, otomatis kegiatan ekonomi masyarakat sebagian beralih ke bidang maritim berupa perdagangan dan pelayaran. Jejak-jejak kehadiran komunitas Muslim yang berpusat di pantai masih dapat ditemukan sekarang di sekitar pelabuhan Paotere kota Makassar. Di sana dijumpai komunitas muslim yang bermukim dengan nama kampung Arab. Pelras mengakui bahwa setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan Bugis Makassar, perubahan secara drastis, di samping perubahan kepercayaan dan adat istiadat setempat, Islam telah memberi motif bagi perluasan dagang. Dengan dukungan komunitas Melayu dan Portugis di Makassar. Kehadiran pedagang Melayu di Makassar pada masa lampau meninggalkan jejak dengan adanya kampung Melayu di Makassar yang kini diabadikan dengan Kecamatan Melayu. Pada bagian lain
59
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, h. 101.
190
Raja Gowa telah mengembangkan ekspansi ekonominya dengan daerah-daerah lain di seluruh Nusantara, maupun dengan negara-negara Eropa. Sagimun MD menjelaskan bahwa raja Gowa menentang dengan tegas praktek monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC, terutama di Indonesia Bagian Timur. Kerajaan Gowa berpendirian bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan untuk dimanfaatkan masyarakat umum. 60 Demikianlah sikap dan pendirian raja Gowa terhadap Belanda yang ingin menopoli perdagangan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan keyakinan seperti itu raja Gowa menentang keras usaha menopoli yang dilancarkan VOC. Sebaliknya VOC berusaha dengan segala kemampuan untuk menghancurkan kerajaan Gowa. Selanjutnya Sulistiyo menjelaskan bahwa kehadiran agama Islam turut memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat karena raja Gowa melarang bunga uang dalam pinjaman, selanjutnya solisdaritas Islam dan nilai-nilai kemanusiaan di kembangkan dan lebih diutamakan dari pada nilai-nilai kepercayaan tradisional. Untuk melengkapi uraian tentang integrasi Islam dalam kegiatan ekonomi di kerajan Gowa, dijelaskan bahwa pada pertengahan abad ke 17 di Sulawesi Selatan telah dibuat mata uang dari emas dan timah yang disebut dinara, bentuknya
60
besar,
sedang
yang
bentuk
kecil
namanya
kufa,
semuanya
Edward L. Poelinggomang, “Sejarah Kota Makassar Sebagai Kota Niaga dan Kota Maritim” (Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional 400 tahun Makassar dengan tema Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar. Sahid Jaya Hotel 30 Juni 2007), h. 5.
191
menggunakan tulisan Arab. Selanjutnya dibuat mata uang dengan nama benggolo diperkirakan di buat oleh karaeng Pole pada masa Sultan Hasanuddin.b. Integrasi Islam dalam Kehidupan Sosial Budaya. Islam sebagai agama universal dapat berlaku disetiap tempat dan masa. Kehadiran Islam diharapakan dapat melindungi dan memberi warna terhadap budaya lokal, sepanjang budaya tersebut tidak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan demikian suatu keniscayaan apabila dalam proses islamisasi terjadi adaptasi yang dinamis dan akomodatif, saling menerima dan mengisi antara Islam dengan budaya lokal. Sehingga wajar kalau muncul istilah tradisi lokal yang bercorak Islam atau sebaliknya yang lalu kemudian tumbuh mewarnai dan berlaku sebagai corak kehidupan keagamaan di masyarakat. Watak Islam seperti itu banyak diakui pengamat barat atau orientalis. Di antaranya Thomas Arnold dengan buku klasiknya The Preaching Of Islam (1950), menjelaskan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara berlangsung secara damai dengan memanfaatkan budaya lokal. Integrasi Islam dalam kehidupan sosial kultural tampak dalam pelaksanaan upacara daur hidup (life cycle) dalam suatu komunitas. Seperti halnya dalam masyarakat Gowa, upacara daur hidup dilakukan menandai suatu fase perjalanan kehidupan sesorang yang tampak pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Upacara Kelahiran
192
Kehadiran generasi baru dalam keluarga merupakan kebanggaan tersendiri yang selalu dinantikan, sebagai bentuk kegembiraan dan sekaligus memanjatkan doa. Momentum itu tidak dibiarkan berlalu begitu saja tanpa diisi dengan upacara ritual yang diyakini memiliki makna dan harapan tersendiri dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Demikian pula pada masyarakat Gowa dalam menyambut kelahiran dilakanakan beberapa upacara. (a) Upacara Menanti Kelahiran. Memasuki bulan kedelapan atau kesembilan dari kehamilan adalah saat yang dinantikan bagi calon ayah/ibu dengan penuh harapan agar selamat. Dalam penantian ini calon ayah tentu saja dilarang atau mengurangi untuk bepergian jauh, khawatir kalau kelahiran bayinya tidak disaksikan. Ada kebiasaan apabila calon ibu mengalami kesulitan bersalin maka dukun
atau sandro (Makassar)
membuatkan air yang diberi mantera sebagai berikut: Bismillah Irahing areng toje’ pammana kannu anu Assulu’ mako Muhammad Pantarangi pammanakkang maloawangnu A,I,U, Amin. Kumpayakum.61 Artinya: Bismillah Irahing sebenarnya rahimmu anu (disebut nama ibunya) Keluarlah Muhammad! Diluar tempatmu yang lapang A,I,U, Amin. Jadilah maka jadilah.
178
Muhammad Yunus Hafid et all, Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat Makassar di Sulawesi Selatan (Makassar: Pendidikan Nasional Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan,2000), h. 40.
193
Air yang telah dibacakan mantera itu, diminumkan sekaligus kepada calon ibu dengan harapan persalinannya bisa lancar. Selain itu dukun atau sanro juga biasa menggunakan ramuan dari kambu loka buku (Makassar).62 Sering juga digunakan obat ramuan lain yaitu bekas pembungkus anak kucing yang lahir diwaktu hari jumat, ketika khatib sementara membaca khutbah di masjid. Caranya adalah meminumkan air bekas rendaman pembungkus anak kucing yang melahirkan itu, dengan harapan calon ibu melahirkan dengan lancar sama ketika kucing melahirkan tanpa ribut-ribut. Setelah bayi lahir dengan selamat dilanjutkan dengan upacara annatta’ pocci’ (memotong tali pusat). Upacara annatta’ pocci’ (memotong placenta) dilaksanakan dengan memisahkan antara si bayi dengan saudara kembarnya yaitu tahoni (placenta). Pelaksanaan annatta pocci dilakukan oleh sandro dengan ekstra hati-hati karena apabila tidak sempurna pelaksanaannya, ada keyakinan dikalangan suku Makassar, bahwa dukun (sandro) akan dikejar-kejar oleh si tembuni dan di akhirat akan dipertanggungjawabkan kesalahan itu. Di sisi lain dengan kesalahan ini akan berdampak buruk terhadap bayi yang biasa disebut si’ na (sedih) yang beujung pada keadaan bayi yang sering sakit-sakitan karena semangatnya terbawa oleh saudara kembarnya itu. Untuk mendukung proses pelaksanaan upacara ini ada beberapa bahan dan alat yang harus dipersiapkan yaitu:
62
Kambu loka batu (Makassar) yaitu inti anak pohon pisang batu yang habis ditebas satu kali berwarna putih kekuning-kuningan.
194
(a) Bakkong (tempurung kelapa yang dibuat khusus). (b) Sahil (sembilu dari bambu sebagai alat pemotong) (c) Dulang yang dialas dengan daun pisang. (d) Benang untuk mengikat tali pusat. (e) Karimpe (kain bekas yang sudah dicuci bersih untuk pakaian bayi) (f) Emas (g) Keris pusaka (h)Satu pasang pakaian dari calon ibu untuk persalinan, sebagai lambang bahwa ibu bayi sudah memasuki alam orang tua. (i) Air hangat yang telah dicampur dengan jeruk untuk dipakai mandi setelah melahirkan bersama bayi. (k) Air hangat untuk dioleskan pada tali pusat sebagai obat penahan darah. (l) Bungkeng (ujung pelepah daun pinang yang sudah kering) untuk alas tidur bayi yang diyakini dapat mengusir roh jahat yang mengganggu keselamatan bayi. Apabila upacara annatta’ pocci’ sudah selesai, bayi dimandikan dengan air hangat dicampur bersama dengan daun jeruk muda. Setelah itu bayi dipakaikan baju yang telah disiapkan untuk selanjutnya diserahkan kepada ayahnya atau kerabatnya untuk diperdengarkan suara adzan di sebelah kanan dan qamat disebelah kiri apabila bayi laki-laki, sedangkan apabila bayi perempuan hanya qamat saja pada kedua telinganya. Kegiatan ini dimaksudkan agar suara yang pertama-tama didengar adalah ucapan memuji kebesaran dan keesaan Allah
195
dengan harapan anak kelak menjadi anak yang patuh dan saleh serta berbakti kepada kedua orang tuanya. Ada pun plasenta bayi biasanya disimpan ditempat ketinggian, di atas pohon atau di atas rakkeang/para (Makassar), dengan harapan semoga rizkinya kelak terus menanjak bagi laki-laki dan bila perempuan agar kelak bersuamikan pejabat atau memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ada juga yang membawanya ke laut dengan harapan semoga si anak kelak memiliki ilmu pengetahuan seluas dengan lautan. Dan tidak sedikit pula yang menanam dalam tanah dengan keyakinan bahwa manusia berasal dari tanah. Demikian kegiatan ritual yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam. (b) Upacara Attompolo (Aqiqah). Di kalangan suku Makasar, khususnya masyarakat Gowa yang berada di pedesaan, memiliki suatu budaya khas setiap menyambut kelahiran yang disebut dalam bahasa setempat dengan attompolo dan setelah terintegrasi dengan ajaran Islam disebut aqiqah atau acara pemberian nama. Acara Attompolo dilaksanakan pada hari ke 7, 14 dan ke 21 dari kelahiran bayi.Suatu acara upacara keselamatan terhadap bayi dengan seperangkat sesajen, menggunakan ramuan dari sirih, akar dan daun kayu yang dicampur menjadi satu lalu ditempekan pada ubun ubunnya dengan harapan agar bayi kelak menjadi orang berguna dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan upacara ini menggunakan bahan-bahan sebagai berikut:
196
(a). Ekor ikan lamuru, dimaksudkan agar si anak kelak memiliki rasa
segan
dan rasa malu pada orang lain, serta mempunyai sikap kepedulian sosial terhadap lingkungan sekitarnya. (b) Singkolo (alat untuk merapatkan papan perahu), dimaksudkan agar kelak mempunyai sopan santun dan tatakrama dalam bertutur kata. (c) Bahan untuk makan sirih: leko (daun sirih), pa’leo (kapur), gambere (gambir) dan rappo (pinang). Dengan melengkapi bahan ini dimaksudkan agar kehidupan dan rezki si anak kelak menjadi baik dan meningkat sebagaimana lengkapnya bahan makan sirih tersebut. (d) Kayu Tanning (kayu manis), dengan harapan anak disenangi setiap orang yang melihatnya. (e) Kayu bambang (kayu panas), sebagai simbol agar si anak kelak memiliki kemauan yang membaja serta tekad yang membara. (f) Kerak nasi, dimaksudkan agar supaya kesukaan orang pada anak
melengket
secara langgeng terus menerus. (g) Gula merah, dimaksudkan agar anak kelak menemukan kehidupan yang sejahtera, tentram dan harmonis. (h) Sarung tidak berjahid sebanyak tujuh lembar, dimaksudkan agar kelak si anak senantiasa murah rezeki dan gampang jodoh. (i) Dupa dari kemenyan, untuk menghilangkan bau yang tidak sedap yang akan mengganggu jalannya upacara.
197
(j) Unti Bulerang (Pisang Ambon), dimaksudkan agar si anak panjang usianya dan baik amalnya. (k) Nasi ketan empat macam, warna putih, merah, kuning dan hitam. Warna ini mengandung filosofi sulapa appa (persegi empat) sebagai symbol asal kejadian manusia dari empat unsur yaitu
warna putih simbol bahwa
manusia berasal dari air, warna merah simbol api, warna kuning simbol angin dan warna hitam sebagai simbol, bahwa manusia berasal dari tanah. (l) Ja’jakang Manis, (kelapa 1 biji, padi satu ikat, unti te’ne (pisang manis) yang sudah dipotong ujungnya, beras empat liter, dilambangkan sebagai bekal kehidupan anak kelak. (m) Kelapa muda satu biji yang sudah dipotong bagian atas untuk tempat rambut bayi setelah digunting, dengan harapan kelak anak menjadi manusia yang berguna sebagaimana kelapa yang seluruh bagiannya berguna untuk kehidupan manusia. Sebagai rangkaian dari upacara itu, dilaksanakan pula acara aqikah yang ditandai dengan pemotongan kambing, masing-masing 2 (dua) ekor untuk bayi laki-laki dan satu ekor untuk bayi perempuan, sebagaimana yang dianjurkan nabi Muhammad Saw. Dalam upacara aqiqah dilaksanakan pengguntingan rambut sekaligus pemberian nama yang tetap. Dalam tradisi pemberian nama bagi suku Makassar terdiri atas beberapa tingkatan sesuai dengan umur dan statusnya dalam
198
masyarakat. Ada nama kecil (areng kalassukanna) atau areng dondo-dondo, ada areng kale, ada areng paddaengang. Areng dondo-dondo diberikan sejak lahir sampai aqiqah dan selalu dikaitkan dengan suasana waktu dan suasana kelahirannya. Misalnya diberi nama I Bundu karena lahir dalam suasana perang. Biasa juga diberi nama yang singkat agar gampang diingat dan disebut seperti I Acce atau Cacce/Bacce kalau perempuan dan kalau laki-laki I Aco atau I Caco. Setelah Islam masuk, maka pemberian nama selalu dikaitkan dengan nama-nama bulan Hijriah, kalender penaggalan Islam seperti kalau lahir bulan Safar diberi nama I Sappara atau Sampara. Kalau lahir bulan Jumadil Awal atau Jumadil Akhir diberi nama I Jumadang kalau laki-laki dan I Jumati kalau perempuan. Terkadang juga mengambil nama hari seperti I Sanneng kalau lahir malam atau hari Senin dan I Kammisi atau I Kamisa kalau lahir pada hari Kamis. Ada juga dikalangan masyarakat beranggapan bahwa nama itu diberikan sebagai doa keselamatan terhadap anak itu, misalnya kalau kakaknya yang lahir sebelumnya selalu meninggal dalam keadaan bayi, maka bayi yang lahir selanjutnya diberi nama I Tuwo artinya hidup atau I Baraia (baraiapa) artinya mudah-mudahan dia hidup atau I Mantang kalau perempuan dan
I Sangkala
(Makassar) dan I Sakka (Bugis) artinya semoga nyangkut, kalau dia laki-laki dengan harapan agar anak itu panjang usianya. Atau I Rampe, agar anak selalu diingat dan di kenang orang lain.
199
Dalam Acara Aqiqah, diberikan nama yang sesuai dengan Islam seperti Abdul Rahman, Abdul Qadir, Muhammad Yunus, kalau laki-laki dan kalau perempuan seperti Sitti Aisyah, Sitti Fatimah, Sitti Khadijah. Karena bahasa Makassar tidak mengenal huruf mati, maka nama-nama yang berakhiran huruf mati sering janggal kedengaran bila diucapkan seperti Ibrahim sering diucapkan Irahing atau I Borahima, atau I Bora, Ismail sering diucapkan I Sammaila kalau laki-laki sementara kalau perempuan seperti Sainab dipanggil I Sainabong/ Sainabo, Nurlia dipanggil Nurung atau I Nuru/ I Noro. Nama inilah yang dipakai dalam akte kelahiran dan Ijazah. Selanjutnya nama paddaengang diberikan ketika menikah seperti Abd. Rahman Dg Gassing (kuat) atau St, Aisyah Dg Baji (baik). Pada upacara ini diundang sanak keluarga, kerabat, dan para tetangga untuk ikut bersama memanjatkan do’a dan merayakan sesuai dengan keyakinan dalam agama Islam yang dipimpin oleh pemangku agama
(parewa sarak). Dalam upacara
pemotongan rambut biasanya dilakukan oleh salah seorang parewa sarak, tergantung tinggi rendahnya status sosial orang tua sang bayi dalam masyarakat. Apabila berasal dari kerurunan anak arung (raja), maka upacara pemotongan rambut dilaksanakan langsung oleh daeng ta kaliya yang berkedudukan di pusat kerajaan.63 Pelaksanaan upacara aqiqah, meskipun berasal dari ajaran Islam, tetapi dalam pelaksanaannya ditemukan upacara–upacara pra Islam. Sebagai contoh,
63
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, h. 67.
200
gunting yang digunakan untuk memotong rambut terlebih dahulu dicelupkan kedalam air kelapa. Kelapa diyakini
sebagai simbol pohon yang kokoh dan
serbaguna dengan harapan si bayi kelak menjadi manusia yang kuat dan dapat berguna dalam masyarakat seperti halnya dengan pohon kelapa. Ajaran Islam menganjurkan pemotongan kambing dilaksanakan dipagi hari untuk setiap bayi yang lahir. Ajaran ini relavan dengan kepercayaan masyarakat Gowa sebelumnya. Menurut kepercayaan masyarakat Gowa pra Islam, setiap warga masyarakat harus memotong hewan pada masa hidupnya sebagai kendaraan kelak setelah meninggal dunia. Menurut kepercayaan masyarakat Gowa pelaksanaan pemotongan hewan dapat dilaksanakan kapan saja, pada saat kelahiran, perkawinan, bahkan dapat dilakukan setelah seorang meninggal dunia. Meskipun dalam pemotongan hewan berbeda waktunya, tetapi yang jelas peristiwa itu menjadi simbol keberislaman sesorang, sekaligus sebagai wadah kesinambungan tradisi secara turun temurun. (c). Upacara Perkawinan. Secara kodrati manusia sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan
makhluk
yang paling mulia yang terdiri dari dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk yang berlainan jenis, secara biologis saling tertarik untuk mengadakan hubungan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan biologisnya, di samping sebagai sarana untuk melanjutkan keturunannya. Selain itu perkawinan merupakan fase penting dalam kehidupan manusia, sebagai tanda peralihan suatu kehidupan dari masa remaja ke masa dewasa. Perkawinan bagi masyarakat Gowa
201
dianggap sebagai suatu yang sakral dan abadi yang harus dilaksanakan melalui upacara-upacara tertentu yang kadangkala menggunakan biaya tidak sedikit. Ada ungkapan Makassar yang menyindir orang yang belum melaksanakan perkawinan “Tenapa na ganna se’rea tau punna tenapa na situtu ulunna salangganna.” maksudnya seseorang belum menjadi manusia sempurna apabila kepalanya belum berhubungan dengan bahunya. Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa seseorang baru bisa dikatakan sepurna sebagai manusia, yang dalam bahasa Makassar disebut “tau” bila ia sudah menikah. Orang tua yang akan menikahkan anaknya baik laki-laki maupun perempuan akan mengatakan: “La nipajari taumi atau la nipattutumi ulunna na salangganna.64 Artinya: akan dijadikan manusialah dia, dihubungkanlah kepalanya dan selangkanya. Dalam ungkapan lain dikatakan pula bila orang tua telah menikahkan anaknya: nisungkeammi bongonna ianu. Artinya: Selubungnya telah dibukakan oleh anaknya. Menurut anggapan masyarakat Gowa, orang tua yang punya anak, baik laki-laki maupun perempuan seolah-olah sesuatu yang dijaga kehormatannya dan sangat dikhawatirkan. Oleh sebab itu, orang tua yang akan menikahka anaknya berusaha melaksanaka semeriah mungkin dengan menghadirkan keluarga, sebagai tanda kegembiraan dan rasa syukur. Terhadap orang yang memiliki anak yang banyak dalam ungkapan Makassar sering disebutkan dalam ungkapan: kalumannyang makontu kajaimi
64
Baso Marannu dan Ahmad Saraillah, Pappasanna Tau Toata, Makna Naskah Lisan Sebagai Media Pendidikan pada Etnis Makassar (Hasil penelitian, belum diterbitkan), h. 103.
202
anaknu. Artinya engkau sudah kaya karena anakmu sudah banyak. Dalam kepercayaan suku Makassar anak itu dianggap sebagai pembawa rezki, namun kondisi sekarang sudah banyak berubah, banyak anak kadang-kadang membawa risiko apabila pendidikan dan kesehatannya tidak diperhatikan. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan lebih banyak dibebankan kepada kemampuan laki-laki, karena seorang suami diharuskan banyak memiliki pengetahuan tentang hidup berumah tangga terutama pemenuhan terhadap kebutuhan isterinya lahir dan bathin.Dalam ungkapan Makassar dikatakan: Iapa nakulle abunting taua punna nakullemo nainroi pallua pintuju siallo sipattang. Artinya: nanti orang bisa berumah tangga kalau mampu mengelilingi dapur tujuh kali sehari semalam. Ungkapan ini mengandung makna bahwa tanggung jawab sebagai suami atau isteri itu tidak gampang, sehingga jangan mencoba berkeluarga kalau
belum memiliki kemampuan, baik kemampuan pinansial maupun
kemampuan dalam hal pendidikan dan ketrampilan sebagai bekal dalam mengarungi bahtera rumah tangga kelak. Pertimbangan
lain
sebelum
mencari
jodoh
adalah
masalah
“kasiratangngang” atau kepatutan/kesepadanan dan sederajat dalam hubungan sosial. Perkawinan dianggap ideal apabila dilaksanakan atas dasar pertimbangan kasiratangngang yaitu perkawinan dalam lingkungan kerabat dalam garis horizontal sebagai berikut: a.
Perkawinan antara sepupu satu kali (sampo sikali). Hubungan ini disebut sialleang baji’na (perjodohan yang paling ideal).
203
b.
Perkawianan antara sepupu dua kali (sampo pinruang). Hubungan ini disebut nipassikaluki.
c.
Perkawinan antara sepupu tiga kali (sampo pintallung), dan hubungan ini disebut hubungan nipakambani bellaya (yang jauh didekatkan, dirapatkan). Bentuk perkawinan dalam suku Makassar ada dua yaitu: perkawinan
melalui peminangan. Yaitu bentuk kesepakatan antara kedua calon pengantin yang disebut “abayuang” (bertunangan) atas restu orang tua dan keluarga kedua belah pihak. Ini salah satu bentuk perkawinan secara damai yang diterima secara adat untuk menjamin terciptanya suasana
harmonis
baik dalam keluarga maupun
masyarakat. Bentuk lain dalam perkawianan adalah anynyala (kawin lari). Anynyala artinya berbuat salah karena tidak mengikuti aturan adat atau prosesi perkawinan menurut adat. Anynyala diwujudkan perkawinan dengan
kawin lari, sehingga
pihak keluarga perempuan menanggung malu (sirik), menyebabkan keluarga perempuan (to masirik) harus menegakkan malu (ampaentengi sirik) dengan membunuh laki-laki yang membawa lari gadis tersebut. Kecuali apabila laki-laki itu telah berada dalam rumah atau dalam pekarangan, maka tidak boleh diganggu karena sudah masuk dalam lingkungan adat, maka tugas imam menikahkan sambil menunggu proses selanjutnya yaitu proses yang disebut appabaji (mendamaikan keluarga kedua belah pihak). Menurut Farid yang dikutip oleh Saleh (1998:109), bahwa kalau melihat suatu upacara perkawinan adat Gowa, seperti banyak biaya yang digunakan, yang
204
cenderung kepada pemborosan, akan tetapi harus diingat bahwa suatu perkawinan bagi masyarakat Bugis Makassar pada umumnya sifatnya abadi dan sulit untuk melakukan perceraian karena pada hakikatnya bukanlah individu yang kawin melainkan perkawinan antara dua keluarga besar yaitu keluaraga mempelai lakilaki dan keluaraga pihak mempelai perempuan. Relevan dengan itu dipahami bahwa pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, tetapi merupakan urusan keluarga dan kerabat. Hal ini menandakan bahwa peran orang tua dan keluarga serta kerabat sangat dominan dalam mencarikan jodoh dan melaksanakan perkawinan putera putrinya. Itulah sebabnya, orang tua dalam mencarikan jodoh anaknya tampak lebih selektif dengan penuh pertimbangan, sebab dengan terjalinnya suatu perkawinan antara individu, maka secara otomatis terjalin pula pertautan dua keluarga besar menjadi satu. Kedua hubungan keluarga yang telah diikat dengan hubungan perkawinan ini disebut ajjulu siri, maksudnya bersatu dalam mendukung kehormatan keluarga.Ajjulu siri merupaka sikap ideal yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dalam kehidupan berumah tangga pada masyarakat Gowa. Selanjutnya apabila suatu perkawinan telah berlangsung dan kehidupan berumah tangga sudah berjalan dengan baik pula, maka ajjulu siri dan ajjulu pacce itu meningkat menjadi sipassiriki dan sipaccei. Maksudnya saling menjaga harkat dan harga diri serta menjaga solidaritas bersama dalam rumpun keluarga. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan perkawinan masyarakat Gowa, diantaranya diawali dengan accini rorong
kemudian
205
a’jangang-jangang, selanjutnya secara berturut-turut dilakukan kegiatan mange Assuro dan Appanassa. Tahapan berikutnya adalah doe balanja atau biaya pesta perkawinan dan sunrang. Yaitu pemberian mahar dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan. Adapun tahapan-tahapan perkawinana yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Acara Peminangan. Acara peminangan merupakan proses awal dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Acara peminangan dimulai dengan accini porong, yakni melihat atau mencari jalan sebagai penyelidik. 65Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui secara rahasia tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan lamaran kepada gadis yang dipilihnya. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk mendapatkan berbagai informasi sekitar silsilah atau garis keturunan dan keadaan keseharian gadis dalam keluarganya. Setelah mendapatkan informasi yang sesuai dengan harapan, maka dilanjutkan dengan ajjangang-jangang (menerbangkan burung). Ajjangangjangang (Makassar), Mammanuk-manuk dan mappesek-pesek (Bugis), dalam adat Mandar disebut Messisi, dimaksudkan untuk mengutus seorang yang dipercaya sebagai utusan dari pihak laki-laki untuk menyampaikan maksudnya kepada pihak keluarga perempuan. Peminangan yang telah dilakukan beberapa kali dan hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan kepada pihak keluarga laki-laki untuk dibicarakan lebih lanjut pada tahapan berikutnya.
65
Solihin, Royong, Musik vocal Komunikasi Gaib Etnis Makassar (Makassar: Masagena Press, 2004), h.42.
206
b. Appanassa (memutuskan). Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan antara keluarga laki-laki dan perempuan, termasuk berapa jumlah uang naik, jumlah mahar dan kapan pelaksanaan nikah dilaksanakan. Pemberian mas kawin atau sunrang dalam bahasa Makassar merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. alNisa/4 :4. Terjemahnya: Berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan,sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika ia menye-rahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan ) yang sedap lagi baik akibatnya.66 Adapun besarnya sunrang (mahar) tergantung status sosial laki-laki yang akan memberikan dan perempuan yang akan menerimanya, yaitu: untuk golongan bangsawan tinggi, 88 real,untuk golongan bangsawan menengah, 44 real, untuk golongan bangsawan bate salapanga, 28 real, untuk golongan to-maradeka, 20 real,dan untuk golongan ata 10 real. Untuk golongan yang terakhir ini tidak ada lagi. Seperti halnya dengan upacara kelahiran, upacara perkawinan juga banyak mendapat pengaruh dari Islam dan tetap dijalankan secara bersama-sama.Upacara appassili, yaitu calon pengantin dimandikan dengan air daun sirih, daun siri kaya,
66
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 457.
207
daun tebu, daun pisang dan lain-lain yang diiringi dengan pembacaan mantramantra untuk memanjatkan do’a kepada yang maha kuasa, agar dijauhkan dari segala musibah yang dapat menimpa calon pengantin. Setelah itu, pakaian mandi diserakan kapada daengta alakaya sebagai ucapan terima kasih atas jasanya mengusir roh jahat. Sedangkan dalam waktu-waktu yang lain juga dilaksanakan upacara mappacci (Bugis) akkorongtigi (Makassar) dan pembacaan barzanji serta khataman Al-Qur’an yang dipimpin oleh daeng imang. Pembacaan Al-Qur’an yang dihadiri oleh kedua pengantin merupakan pertanda bahwa calon pengantin telah menamatkan bacaan Al-Qur’an. Acara malam akkorongtigi dalam bahasa Indonesia disebut malam pacar, pelaksanaannya hampir sama dengan suku Bugis dengan mappacci atau mappaccing, sedang di Mandar disebut mallattigi. Nama ini diambil dari nama tumbuhan “paccing” sebagai simbol kesucian, yang daunnya digiling atau ditumbuk halus untuk memerahi kuku. Orang Makassar meyakini bahwa daun pacar memiliki nilai magis dan digunakan sebagai lambang kesucian dan kemuliaan. Acara akkorongtigi dilaksanakan satu malam sebelum akad nikah dilangsungkan yang dimaksudkan sebagai malam mensucikan diri sebelum ke pelaminan. Akkorongtigi bagi suku Makassar diadakan pada upacara sunatan dan upacara perkawinan. Makna acara akkorongtigi pada sunatan atau pengislaman adalah karena anak yang disunat akan memasuki masa transisi dari masa kanakkanak menuju masa remaja atau dewasa, semoga tetap lestari dan langgeng
208
hidupnya. Sedangkan pada upacara perkawinan merupakan transisi dari jejaka yang penuh kebebasan ke masa berumah tangga yang penuh tanggungjawab dengan harapan mereka bahagia dan sejahtera menjalani bahtera hidup rumah tangga yang penuh lika liku dan perjuangan. Dalam pelaksanaan upacara akkorongtigi diundang para tokoh agama dan pemangku adat. Diutamakan yang sudah melaksanakan
ibadah haji dan telah
sukses dalam membina rumah tangga.Prosesi akkorongtigi dilakukan dengan mengolesi bagian-bagian tangan calon pengantin secara bergantian sambil membaca doa, dan pengharapan. Diolesi pada jari telunjuk dengan harapan agar diikuti perintah atau suruhannya. Diolesi pada jari tengah dimaksudkan semoga tindakan dan pengambilan keputusannya arif bijaksana. Pada ibu jari dengan harapan semoga bersifat keibuan bagi perempuan dan bersifat kebapakan bagi laki-kaki. Pada jari kelingking dengan harapan semoga tidak sombong dan selalu bersama dengan masyarakat biasa atau kecil. Dan yang paling banyak dilakukan pada telapak tangan dengan harapan kedua mempelai kelak mendapatkan rezki yang banyak dan halal.67 c. Acara Pernikahan. Proses pernikahan dimulai dengan acara naik kalenna, saat pengantin lelaki berikut perlengkapannya dikenal dengan leko lompo diarak ke rumah mempelai perempuan. Sunrang (mahar) yang sudah disepakati dimasukkan dalam sebuah
67
Disadur dari M. Mappaselleng Daeng Maggau, Makna Upacara Akkorongtigi bagi Suku Makassar (Kumpulan catatan Harian. Belum diterbitkan), h. 78.
209
kampu, semacam wadah dari besi yang dibungkus dengan kain putih digendong orang tua yang berpakaian adat. Isi kampu disebut loro sunrang. Menjelang sampai ke rumah mempelai perempuan, arak-arakan disambut oleh orang yang berpakaian adat yang diiringi dengan gendang tunrung pakanjarak.Setelah sampai di depan tangga, keluarlah seorang perempuan setengah baya yang berpakaian adat baju bodo lalu memanggil pengantin dengan ungkapan syair pakkio bunting (panggilan pengantin) sambil menghamburkan beras. Syair ungkapan pakkio bunting dijelaskan pada halaman lain dalam tulisan ini. Proses selanjutnya adalah akad nikah yang dilakukan oleh imam dan disaksikan oleh orang tua atau wali mempelai perempuan. Sesudah itu dilakukan “appabattu nikka bunting bura’nea” (menyampaikan nikah oleh pengantin pria). Ketika proses appabattu nika berlangsung di pintu kamar pengantin perempuan yang dijaga oleh orang tertentu, baru diloloskan setelah memberi sejumlah uang tebusan yang disebut “panyungke pakkebbu” (pembuka pintu). Jika laki-laki berasal dari luar kampung maka ia harus membayar tebusan yang lebih tinggi yang disebut pallawa pa’rasangang. d. Nilekka Nilekka artinya mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai pria. Acara ini merupakan acara penting dalam prosesi perkawinan suku Makassar. Karena pentingnya acara ini sering muncul ungkapan dari orang tua yang ditujukan kepada gadis-gadis yang selesai makan tetapi tidak segera beranjak dari
210
tempat duduknya. Sering disindir dengan ungkapan “mentengko linta, tena sallang nilekkako,68 artinya: “lekas berdiri nanti kau tidak nilekka kalau engkau kawin”. Nilekka dilakukan biasanya sehari sesudah pesta perkawinan di rumah mempelai perempuan berakhir dengan mengundang kembali keluarga terdekat untuk mengantar pengantin pria, sementara pengantin perempuan siap dirumah bersama keluarganya. Pada acara ini terjadi tukar menukar pemberian berupa sarung antara pihak laki-laki dan pengantin perempuan. Acara ini disebut “makkasiwiang” yang biasanya dilakukan dalam kamar pengantin laki-laki dan perempuan dan di dampingi indo botting,(Bugis) anrong Bunting (Makassar) beserta kedua mertua laki-laki serta saudara-saudara dari mempelai pria. Demikianlah sekilas upacara prosesi perkawinan adat Makassar yang memiliki kemiripan dengan etnis lain di Sulawesi Selatan, yang sarat dengan ritual adat dan keagamaan. Namun seiring dengan perkembangan pendidikan masyarakat dan pertimbangan efisiensi waktu dan ekonomi, dewasa ini
acara itu tidak lagi
sepenuhnya dilakukan kecuali yang bersifat wajib dan penting saja. e. Upacara Kematian. Kematian merupakan suatu peristiwa yang pasti dialami oleh setiap manusia, sebagai proses pergantian dari alam nyata ke alam gaib yang menyimpan banyak misteri. Itulah sebabnya pelaksanaannya banyak dilakukan upacara
68
h. 78.
M. Mappaselleng Daeng Maggau, Makna Upacara Akkorongtigi bagi Suku Makassar,
211
mengiringi kematian itu dengan harapan agar mendapat keselamatan, baik bagi si mayit dalam kuburnya maupun sanak keluaraga yang ditinggalkan. Pelaksanaan upacara kematian dalam masyarakat tradisional Gowa adalah ritus yang paling banyak mendapat
pengaruh dari Islam. Hal itu disebabkan
karena ajaran Islam dianggap oleh masyarakat paling lengkap untuk menjawab segala persoalan misterius setelah kematian, namun demikian tidak berarti bahwa adat istiadat
praIslam ditinggalkan, melainkan antara adat-istiadat dan syarak
(ajaran Islam) dipadukan secara bersama-sama (Sewang 1997 ). Demikian pula dalam pelaksanaan upacara kematian dalam masyarakat Gowa, adat dan agama berjalan bersama-sama. Hal ini diikat oleh ungkapan Makassar yang mengatakan, toai adaka napangngassenganga artinya adat tradisi lebih tua dibanding Ilmu pengetahuan atau agama. Dalam arti kata bahwa adat lebih duluan hadir di tengah-tengah masyarakat, kemudian menyusul Islam. Dalam upacara kematian adat Makassar, adat dan agama masing-masing mengambil peranan dalam tahapan penyelenggaraan upacara sebagai berikut : 1) Appau-pau (memberitahukan kepada semua keluarga),baik keluarga dekat maupun keluarga jauh. 2) Ni je’ne salai (dimandikan untuk sementara). Pelaksanaan jene sala ini hanya dilakukan pada mayat tertentu, misalnya mayat yang sakit bertahun-tahun sehingga mengeluarkan bau tidak sedap atau akibat kecelakaan parah yang meninggalkan darah. Proses ajje’ne salai ini dilakukan oleh pegawai sarak (imam
212
kampung) atau anrong guru mayat ketika masih hidup dibantu oleh sanak familnya. 3) Ni unjuruki (diterlentangkan di atas kasur atau tikar lalu ditutup dengan kain panjang atau sarung). Ini dilakukan setelah mayat ni jene salai kemudian ditaruh dupa di dekat kepala agar dapat mengusir bau mayat yang dapat mengganggu pelayat. 4) Nisambayang parallui (disembahyangi sementara oleh anrong guru) sebelum dimandikan. 5) A’je’ne
(memandikan
mayat)
biasanya
dilaksanakan
oleh
anrong
gurunna/pegawai sara’ yang ditunjuk untuk memandikan mayat atau orang luar yang disepakati oleh para keluarganya. 6) Mengkafani mayat 7) Nisambayangngi (disalatkan) 8) Menguburkan Sesudah penguburan, dilanjutkan dengan kegiatan: a). Appangngaji (membaca ayat suci al-Qur’an di rumah keluarga duka, b). Assuro mmaca (membaca hidangan yang disediakan oleh keluarga duka, dan c). Appanaung pangnganreang/ katinroang, artinya menurunkan peralatan dan tempat tidur. Kegiatan yang disebutkan di atas, adalah suatu kebiasaan masyarakat Gowa sebelum mayat dikebumikan, para keluarga dan handai taulan mereka berkumpul sebagai tanda solidaritas untuk ikut berjaga malam. Untuk menghindari rasa kantuk mereka main kartu dan terkadang berkembang menjadi
213
arena perjudian. Hal ini dilakukan karena menurut kepercayaan masyarakat Gowa Pra Islam, seorang yang meninggal dunia, mayatnya harus dijaga dengan harapan agar rohnya tidak gentayangan mengganggu keluarganya yang masih hidup. Setelah ajaran Islam datang dan berkembang, maka tradisi jaga malam itu tetap dipertahankan, lalu diisi dengan membaca Al-Qur’an. Pengajian dilanjutkan dengan hari-hari tertentu setelah kematian seperti hari ke tujuh , hari ke empat belas, hari ke empat puluh dan hari yang ke seratus. Hari-hari tersebut diyakini sebagai hari kembalinya roh dari kubur untuk datang menjenguk keluaraganya. Pada hari-hari tersebut biasanya dirangkaikan dengan pemotongan hewan berupa ayam, kambing atau sapi yang akan digunakan dalam rangka assurommaca yang dipimpin oleh Imam atau Guru. Selain yang disebutkan di atas, masih ada keparcayaan lain yang berkembang dalam masyarakat Gowa pra Islam adalah penguburan sebahagian harta benda yang berharga bersama dengan si mayat, dengan maksud dan tujuan agar roh jahat tidak datang mengganggu keluarga yang masih hidup. Setelah Islam datang kebiasaan ini masih tetap berlangsung, tetapi harta benda itu tidak lagi dikuburkan, melainkan disedekahkan kepada orang yang bertugas
dalam
mengurusi mayat seperti kepada : a. Pa’ jekne, yaitu orang yang bertugas memandikan mayat b.
Pallangiri, yaitu orang yang bertugas menghias orang mati.
c.
Pannyossoro, yaitu orang yang bertugas membersihkan kotoran yang melekat pada mayat.
214
d.
Paccuci, yaitu orang yang bertugas membersihkan najis pada mayat yang terdapat pada bagian-bagian tertentu. Ini biasanya dilakukan oleh keluarga terdekat dari mayat.
e.
Pammaca talakking, yaitu orang yang bertugas membacakan talkin di atas kuburan waktu selesai pemakaman.
f.
Pammarallui, yakni orang yang melaksanakan sembahyang sebelum mayat disembahyangkan secara berjamaah.
g. Orang-orang yang mengaji pada hari ke tujuh, ke empat puluh dan hari ke seratus. C. Bentuk-bentuk Kearifan Lokal yang Terdapat dalam Ungkapan Sastra Makassar di Kabupaten Gowa Negara Indonesia sebagai negara kepulauan didiami oleh berbagai macam suku bangsa yang memiliki adat istiadat, kultur, bahasa dan sastera yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bila diteliti secara seksama tema utama setiap budaya di Indonesia adalah kearifan-kearifan lokal, suatu prinsip kognitif yang dipercaya dan diterima penganutnya sebagai sesuatu yang benar dan valid. Kearifan-kearifan ini menjadi serangkaian instruksi bagi masyarakat dalam kegiatan kesehariannya, termasuk melakukan tugas kantor untuk menghindari perilaku korupsi, hidup disiplin aturan di jalan raya untuk tidak menyerobot pada lampu merah, parkir pada tempat yang disediakan untuk menghindari kesemrautan dan kemacetan dan budaya antri di halte bus atau di loket antri pembayaran listrik.
215
Karena itu setiap orang Indonesia mesti menguasai dan mempraktekkan kearifan lokal budayanya dalam bertingkah laku dan bekerja. Stanislaus Tandarupa mengatakan kearifan lokal yang sangat terkenal adalah budaya alus bagi masyarakat Jawa. Clifford Geertz mengatakan bahwa pola etiket, termasuk bahasa dianggap sebagai kapital emosional yang sangat mempertimbangkan kebahagiaan orang lain. Seseorang melindungi orang lain dengan formalitas tingkah laku lahir yang melindungi stabilitas kehidupan dalam batin (Clifford Geertz, 1970). Selanjutnya Errington mengatakan budaya ini menuntut
penganutnya
melakukan tindakan apa saja
yang baik
dan
memperhalusnya (mbesut), baik tingkah laku bahasa maupun nonbahasa (Joseph Errington 1988. Di Sumatera juga kaya dengan kearifan lokal. Misalnya masyarakat Gayo dikenal sejumlah maksim otoritatif sebagai pesan adat (kata edet) yang diturunkan nenek moyang (John R. Bowe, 1991). Maksim-maksim ini mengandung kebenaran-kebenaran budaya yang direvitalisasi
ke dalam berbagai konteks
perkawinan, politik dan kehidupan keluarga. Seperti diungkapkan dalam bahasa sastera, maksim menuntun tingkah laku yang berbudaya. Misalnya maksim 2 dalam tulisan Bowen berbunyi: Murif i kandung adet, Mate ikandung bumi. Artinya: Hidup dikelilingi adat Kematian dikelilingi tanah.
216
Maksudnya: Sebagaimana tanah mengelilingi tubuh yang sudah mati, adat membangun kepribadian seseorang dengan mengatur tingkah laku bersih dan menghindarkan diri dari berbagai godaan. Dalam tradisi Batak Toba dikenal pula ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai pendidikan seperti dalam ungkapan “Ndang boi manjalo ssip, artinya tidak boleh menerima suap. Ada ungkapan lain “jolo di dilat bibir asa ni dok hata atau jilat dulu sebelum berbicara.Makna ungkapan di atas adalah berhati-hatilah kalau berbicara. Ungkapan lain adalah sukkun mula hata topot mula uhum. Artinya,jika ada persoalan tanyakan dulu kejadian sebenarnya, jangan cepat mengambil keputusan dan kesimpulan.69. Hal yang sama ditemukan dalam kebudayaan Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Membaca pappasang atau pesan leluhur yang ditulis dalam aksara lontra ditemukan banyak keaifan lokal. Orang tua yang hendak melepas anaknya pergi merantau atau menjalani bahtera kehidupan baru dalam perkawinan,berpesan agar anaknya berpegang pada dua prinsip yaitu kejujuran dan kebersihan.Sebagaimana ungkapan Bugis berikut: Dua kuala sappo. Unganna panasae,lempu,belona kanukue, pacci.70 Artinya: Dua yang kuambil sebagai pagar. Tunas nangka yang disebut lempu, hiasan pewarna kuku yang disebut paccing. Kata lempu dalah metafor untuk hidup lurus dan jujur sedangkan paccing adalah metafor untuk hidup bersih. 71 Kejujuran dan kenbersihan adalah pagar
69
Manguji Nababan, Penjaga Tradisi Batak Kompas, Kamis 25 Agustus 2011. h. 16.
70
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, h. 261.
217
yang harus dibangun masyarakat Bugis-Makassar yang mengelilingi dirinya di manapun ia bekerja. Dengan modal ini pulalah orang Bugis-Makassar jika merantau dapat diidentifakasi dengan dua ciri yaitu selalu ingin tampil menjadi pemimpin dan senang membangun Masjid. 72 Di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah bekas kerajaan Gowa memiliki bahasa tersendiri yang dianut oleh masyarakatnya yaitu bahasa Makassar. 73 Sejak dahulu sampai sekarang bahasa Makassar digunakan sebagai bahasa perniagaan, pertanian, penyebaran agama Islam, komunikasi sehari-hari, mulai dari kota hingga ke polosok pedesaan. Bahasa Makassar mempunyai aksara yang dikenal sebagai aksara lontara. Aksara lontara diperkenalkan oleh seorang pemikir yang menjabat
sebagai
syahbandar
kerajaan
Gowa
merangkap
Tumailalang
(mangkubumi),Daeng Pamatte pada masa pemerintahan rajaGowa IX Daeng Matanre Daeng Manguntungi Tumapa’risi Kallonna (1512-1546).74 Selain itu bahasa Makassar juga digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam mengungkapkan bahasa-bahasa kiasan atau syair-syair, karena sejak dahulu kala orang Makasar telah mengenal bahasa berirama atau sastera. Karya sastera adalah cermin dalam budaya masyarakat. Hanoc Luhukay sebagaimana yang dikutip Sirajuddin Bantang mengatakan sebagai berikut: 71
Stanislaus Sandarupa, Kearifan Lokal Anti korupsi, Kompas, Sabtu, 14 Mei 2011 h. 6.
72
Penjelasan ini disampaikan Mattulada dalam suatu seminar Budaya di Makassar.
73
Bahasa Makassar terdiri atas lima dialek yaitu dialek Lakiung, dialek Turatea dialek Bantaeng, dialek Selayar dan dialek Konjo.
218
“... karya-karya sastera Indonesia maupun sastera daerah adalah bahagian dari aspek budaya yang paling sempurna yang mencerminkan dan menjelmakan kehidupan dan penghidupan manusia serta 75 masyarakatnya...” Kebudayaan Indonesia terbentuk dari puncak-puncak budaya lokal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Makassar
seperti budaya
pangngali, budaya sipakalabbiri, budaya sipakatau, budaya sipiada, budaya sipakalompo dan seterusnya. Ungkapan budaya seperti di atas tercermin dalam kehidupan bangsa Indonesia yang akan menjadi manusia seutuhnya seperti yang terdapat dalam ungkapan Makassar: “... ammanyu siparampe, tallang sipaumba, tinro sipabangung, takkaluppa sipakainga, abbulo sibatang accera sitongka-tongka.”76 Artinya: Jika hanyut saling berpegangan, jika tenggelam saling memunculkan, jika keliru saling mengingatkan, seia sekata dan tolong menolong. Menurut Sirajuddin Bantang, budayawan Gowa, sastera lisan Makassar terdiri atas beberapa macam yaitu: Sinrilik, kelong, rupama, aru, paddoangang, paruntukkana dan pasang serta pakkio bunting yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sinrilik Sinrilik merupakan satu bentuk kesenian tutur atau sastera lisan di kalangan suku Makassar yang tetap bertahan sejak masa lampau sampai sekarang. Sinrilik
75
Sirajuddin Bantang,, h. 17.
76
Sirajuddin Bantang,, h. 18.
219
adalah suatu cerita yang tersusun rapi dan puitis dengan bahasa yang berirama yang biasanya dilagukan oleh penuturnya yang disebut pasinrilik. Dilagukan dengan menggunakan instrumen gesek yang disebut kesok-kesok atau kerek-kerek gallang (rebab).Lantunan irama lagu dipadukan dengan rangkaian cerita yang tersusun rapi dan menarik. Seorang pasinrilik mampu mengungkapkan cerita sepanjang malam dengan penuh imajinasi yang membuat pendengar dan penonton terpukau karena tingkah yang dilakonkan pasinrilik itu. Dalam melagukan sinrilik ada tiga unsur yang harus bersinergi yaitu dalang atau pasinrilik, alur cerita yang menarik dan alat musik berjalan
secara
harmonis,
mengiringi
lagu
sinrilik
yang digunakan
sehingga
mampu
menghanyutkan dan memecahkan suasana menghibur pendengarnya. Keberhasilan penyajian seni sinrilik di dukung oleh ketiga usur tersebut. Selain itu ada unsur lain yang turut mendukung penampilan seorang pasinrlik yaitu unsur musik (kobbi). Penuturan yang baik diiringi dengan lagu yang menarik serta mimik yang dibawakan oleh dalang atau penutur (pasinrilik) akan mempesona penonton. Akan lebih menarik lagi jika alat musik atau kesok-kesok yang dimainkan oleh pasinrili mengalun dalam irama yang sesuai dengan cerita dan lagu yang dinyanyikan. Pasinrili yang terkenal diera tahun tujuhpuluhan sampai sembilanpuluhan adalah M. Mappaselleng Daeng Maggaoe. Dalam membawakan sinrili sering tampil di TVRI dan RRI Makassar bersama dengan Jamaluddin Latif yang dikordinir oleh Taman Budaya Makassar. Sejumlah sinrili yang pernah dibawakan adalah, Sinrili I Manakku Caddi-caddi, Sinrilina
Hari Pahlawan, Sinrili Bosi
220
Timurung, Sinrilina I Minasa Daeng Sunggu (Bombonna Gowa).77 Mappaselleng Daeng Maggaoe dikenal bukan hanya sebagai seorang pasinrili tetapi dia meninggalkan keturunan
penyanyi kondang,Dian Ekawati sebagai penyanyi
tembang Makassar yang terkenal di Sulawesi-Selatan. a) Jenis-jenis Sinrilik. Dalam
sejarah
perjalanan
dan
perkembangannya,
sinrilik
banyak
menceritakan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia dan merupakan salah satu media penghubung informasi antara pemerintah dan masyarakat. Jenis- jenis sinrilik dapat dibedakan atas: (1) Sinrilik tentang kisah percintaan.Seperti sinrilik I Baso I Mallarangang bergelar Datu Museng dan I Jamila Daeng Makanang dengan I Baso Anakkodaya. (2) Sinrilik tentang kepahlawanan dan perjuangan. Misalnya sinrilik Kappala Tallung Batua yang mengisahkan tentang dahsyatnya perang Makassar. (3) Sinrilik tentang Agama. Misalnya sinrilik Syekh Yusuf al- Mahasin Hidayatullah al-Tajul Khalwati al-Makassari Tuanta Salamaka. b) Judul Naskah Sinrilik. Ada beberapa judul naskah sinrilik yaitu: 1. Kappala Tallung Batua 2. I Tolo Daeng Magassing 3. I Baso Mallarangan Datu Museng
77
Disadur dari Kumpulan Sinrilik M, Mappaselleng Daeng Maggaoe. Diselenggarakan oleh Taman Budaya Ujungpandang dengan kordinator Jamaluddin Latiief tanpa tahun.
221
4. I Maddi Daeng ri Makka, 5. I Jamila Daeng Makanang 6. Bulaengna Parangiya 7. Bosi Timurung 8. I Nojeng Maninggau 9. Anak Kunjung Barani 10.Bapak Toa ri Ke’rokang Selain yang disebutkan di atas ada pula naskah sinrilik yang ditulis oleh Sirajuddin Bantang yang diangkat dari sejarah perjuangan kerajaan Gowa masa lampau sebagai ungkapan yang berisi kepahlawanan maupun yang mengandung nilai relegius dan asmara. Naskah yang dimaksud antara lain: 1.
Tubaranina Butta Gowa, Karaeng Bonto Mangape
2.
Syeh Yusuf al- Mahasin Sufi dan Pejuang dari Gowa
3.
I Maddukkelleng Daeng Silasa
4.
I Fatimah Daeng Takontu
5.
I Maninrori Kare Tojeng Karaeng Galesong
6.
Armina Daeng Kebo
Naskah tersebut telah disaksikan beberapa kali oleh masyarakat melalui tayangan TVRI, RRI dan radio swasta.78 Sinrilik Syekh Yusuf al-Mahasin al-Taj al-Khalwati yang berisi 1500 halaman berlatar sejarah, ceritanya berbingkai dan dibumbui dengan berbagai kelong dan petuah-petuah orang tua yang ada dalam lontara. Isi dari Sinrilik Syeh Yusuf itu menceritakan tentang pesan Sultan Malikussaid Raja Gowa XV terhadap
78
Sirajuddin Bantang, h. 8-10.
222
Syeh Yusuf ketika akan meninggalkan Gowa menuju tanah suci Mekah untuk menuntut ilmu sebagai berikut: Wahai adikku Yusuf, gudang Ilmu Allah Ta’ala, kamu ibarat lautan, lautan tak bertepi. Kamu ibarat langit, langit tak berujung, pelita yang selalu memberi penerangan bagi siapa saja. kalau kamu diperjalanan, saya harap kamu mampu mendapatkan apa yang kamu inginkan karena di wajahmu tergambar bahwa kamu akan menjadi orang besar, akan menjadi orang yang selalu dikenang sepanjang masa, kamu akan menjadi seorang pangngulunna tau panritaya (guru besar), kamu akan menjadi seorang sufi besar.79 Selanjutnya
Sinrilik
I
Tolok
Daeng
Magassing
menyampaikan
perlawanannya terhadap Belanda sebagai berikut: “…nakke teak naparenta mata kebok ri jumpandang, naparibendi kamuru lompo, nalariang jarang ulu, tea nakke najaja to tanisunna, to tanikesok, to tanipalesang kasipallina 80 Artinya: …Saya tak sudi diperintah oleh si mata putih di Jumpandang, di jadikan dokar si hidung besar yang dikendalikan oleh si kuda putih. Saya tak rela dijajah oleh orang yang tak bersunat, yang tak berhitam dan orang yang tak berkerat kulupnya. Dan hidung putih. Maksud ungkapan sinrilik di atas sebagai bentuk penolakan
terhadap
penjajah Belanda yang digambarkan sebagai dokar berhidung besar dan hidung putih serta tidak dihitan atau tidak disunat. 2. Kelong Setiap suku di Indonesia masing-masing memiliki adat-istiadat dan kultur yang berbeda satu sama lain. Meskipun demikian, mereka tatap terikat dalam
79 80
Sirajuddin Bantang, h. 9.
M. Nafsar Palallo, Bandit Sosial di Makassar, Jejak Perlawanan I Tolok Dg. Magassing (Yokyakarta: Ombak, 2008), h. 78.
223
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.Suku Minangkabau dan Sunda misalnya gemar berpantun dengan syair-syair yang indah. Orang Jawa gemar bertembang dengan lirik lagu nan indah. Pantun dan tembang itu digunakan dalam berbagai acara adat misalnya pertemuan adat, pelantikan ninik–mamak, ritual peminangan, pesta perkawinan dan lain-lain.Tak terkecuali di Sulawesi selatan khususnya suku Makassar yang gemar pula bersilat lidah dengan tembang (kelong) terutama kelong sisila-sila atau berbalas pantun. Kelong bagi etnis Makassar pada masa lampau digunakan pada acara-acara seperti persidangan, peminangan, keagamaan, pertanian dan kelautan.81 Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk kelong yaitu kelong persidangan, peminangan, kelong keagamaan dan pakkio bunting dsb. a. Kelong persidangan Kelong persidangan misalnya : Sangnging karaeng mammempo Sangnging daeng ma,jajareng Tabe karaeng Lamakkelongngi ataya Ikatte ri turateya Adaka kipammempoi Karampuanta Kipare’ tope kalimbu.82 Artinya : Para Bangsawan bersila Para daeng duduk rapi Maaf tuanku Hamba akan bernyanyi 81
Sirajuddin Bantang, h. 35.
82
Sirajuddin Bantang, h. 40.
224
Kami orang yang beradat Adatlah dijunjung tinggi Ramah tamahan Jadikan kain selimut
b. Kelong Peminangan Bagi etnis
Makassar sudah menjadi adat atau kebiasaan dalam suatu
peminangan, pihak laki-laki yang melakukan peminangan terhadap pihak perempuan. Untuk Prosesi lamaran itu diperlukan seorang yang arif dan bijaksana, pandai bersilat kata, tahu adat sopan santun, disegani dan pandai membalas kelong dari pihak perempuan.Untuk hal ini biasanya dipilih dari kalangan orang tua.Pada prosesi lamaran itu terjadi silat kata dengan bertembang (kelong), jadi pihak lakilaki mempunyai pangngali yang tinggi. Salah satu contoh kelong peminangan sebagai berikut : Niaka anne mammempo Angngerangi kasi asiku Saba nia’na Hajjakku lakupabattu Kamase-mase kuerang Taddongko rimangko kebo Nipaempo Kalabbirang.83 Artinya: Kamilah datang menghadap Membawa kemiskinanku Adanya hajat Inginlah kusampaikan Sederhana kami bawa Kutaroh di mangkuk putih Kami berharap Didudukkan pada adat 83
Sirajuddin Bantang, h. 41.
225
c.
Kelong Keagamaan Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai masyarakat yang relegius.
Kalau Aceh sering disebut sebagai serambi mekah karena di Aceh pertama kali masuknya Islam di Indonesia, maka Makassar patut mendapat sebutan sebagai serambi Medinah karena di tempat inilah pertama kali Islam hadir di Sulawesi Selatan. Kenyataan ini diperkuat dengan ungkapan makkasaraki nabbia ri butta Mangkasara, Artinya Nabi Muhammad menampakkan diri di Makassar. Ungkapan ini mengandung makna bahwa agama Islam pertama hadir di Makassar. Ketekunan beribadah suku Makassar sering diungkapkan dalam bentuk kelong antara lain sebagai berikut: Apami nupare’ bokong Bokong mange ri anjaya Tena maraeng Sambayang lima wattua.84 Artinya : Apa yang kamu jadikan bekal Tuk melanngkah ke akhirat Tiada lain Salat yang lima waktu d. Kelong pertanian (pamarri )dan kelautan. Ikatte tu pamarria Gunturu kiantalai Bosi Sarroa Kitayang kipanna-panna Artinya: Bagi kami kaum tani
84
Sirajuddin Bantang, h. 43.
226
Guru yang dinanti-nanti Hujan lebatnya Kita tunggu tuk bertani.85
Jenis kelong yang paling digemari oleh suku Makassar adalah kelong sisila-sila (saling berbalas pantun) yang diiringi dengan musik kacaping. Jenis kelong ini biasanya dimainkan oleh pemain kacaping atau kelompok sisila-sila. Kelompok ini minimal terdiri dari dua orang perempuan sebagai vokalis dan dua orang pemain kecapi merangkap vokalis. Namun, biasa juga hanya pemain kecapi yang saling berbalas pantun. Kelong sisila-sila biasanya dimainkan semalam suntuk, semakin larut malam semakin menarik penggemarnya. Lagu-lagu yang dibawakan semakin mengalun pula sejalan dengan alunan musik kecaping dan syair yang dibawakan. Kelong sisila-sila biasanya berupa kelong jenaka, kelong bayuang atau pasitanringang (cinta atau pacaran), kelong nasihat, kelong agama, kelong botoboto (tebak-tebakan) dan kelong paruntukkana. Kelong sisila-sila biasanya sarat dengan muatan moral, etika dan estetika yang tinggi. Berikut contoh kelong yang bernuansa agama. Nganro-nganroki toba’ Rigentengang tallasatta Mateki sallang Naki sassala kalenta. Artinya: Cepat-cepatlah bertobat Selama engkau masih hidup
85
Sirajuddin Bantang, h. 73
227
Kelak kan mati Sesal nanti tak berguna Apparri parriki toba Ninggaukang passuroang Nani tuntungi Tallasa tenang mateya Artinya: Segeralah bertobat Lakukan pula perintah Allah Lalu mencari Hidup yang tak pernah mati.86 Sejalan dengan perkembangan zaman, penetrasi budaya asing yang semakin gencar dan kemajuan teknologi yang semakin tinggi berdampak pada bergesernya budaya lokal disebabkan karena beralihnya perhatian dan minat masyarakat terhadap seni atau alat musik modern. Itulah sebabnya, pertunjukan kelong sisila-sila semakin menurun tergeser oleh menjamurnya alat musik modern (elektone) pada setiap hajatan masyarakat etnis Makassar, baik pada acara perkawinan maupun acara sunatan. 3. Pakkio Bunting (Pemanggil Pengantin). Adapun syair pakkio bunting (pemanggil pengantin) yaitu: a. Ia dende’, Ia dende’ nia’ tojengminjo mae bunting salloa kutayang salloa kuminasai. (ya... dende... ya dende, sungguh telah datang pengantin yang sudah lama kutunggu dan lama kuharapkan). b. Nampako ri ujung borikku ri cappa’ pa’rasangangku na’ rappaiko cini’, kutimbarrangiko pangngai. (engkau masih diujung negeriku di batas kampong halamnku telah kuiringi engkau pandangan, kupersembahkan padamu kasih sayang). 86
Sirajuddin Bantang, h. 7.
228
c.
Nampako kuasseng nia’ na kuitungko labattu, kunrangi berasa’ ri mangko’ kebo’,,kunnatta memang rappo bau’ ri palakku, kunnanro memang kalomping ri talang bulaeng, kutongko intang, kubelo beloi jamarro, in tang macora massingarri dallekannu, bulaeng ti’no assuloi paccini’nu. (baru kutahu engkau akan datang dan kuramalkan engkau akan tiba. Telah kusiapkan beras di mangkuk putih, kubelah pinang harum pada telapakku, telah kutaruh sirih di dulang emas, kututup intan dan kuhiasi dengan zamrud, intan gemerlapan menghiasi wajahmu, emas murni menerangi pandanganmu).
d.
Lakukapeangko anne sumanga’nu mabellaya, la kukapeangko pole, ia kukapeangko pole tubunu lainpa salaya. (baik kujadikan engkau ini kembang tak akan layu-layu kembang, tidak jemu (mata) memandang. Akan kulambaikan semangatmu yang jauh akan kulambaikan engkau tubuhmu yang pergi tak menentu).
e.
Baji’ kualle konne bunga-bunga tamalate late, bunga tamalate cinikannif. (baik kujadikan engku mi kembang tak akan layu-layu kembang, tidak jemu memandang).
f.
Kutannangkonne tope ta’lakka’ ri aya’, lakka tope tama’lakka’rikau. (Kupasangkan engkau sarung yang tidak akan lepas dan pinggang, lepas sarung tak akan melapaskanmu).
g.
Sangkontu sangkammako bulang sampulo angngappa’ nasusung pole, nitinriang wan-wan, wan-wan kupasang pole mannuntunga bangngi nisailenu kau ta malla’junu nicini ma mole-mole. (sama dan sepertilah engkua, bulan empat belas han disusun bintang malam, bintangb intang yang kupesan bintang malam yang sepanjang bila engkau dipandang engkau tak membosankan dipandang berulang-ulang).
h. Kukio’ daeng jako kukanro’ anak karaeng natuli nai’mako mae ri balla’na matoannu, ri tuka’na ipara’nu, matoang tuna, ipara’ kamase-mase. (padamu kupanggil daeng, kusembah bagai anak raja, dan teruslah naik kemari di rumah mertuamu, di tangga iparmu, mertua yang rendah hati, dan ipar yang hina ini). i. Mangngonjo tommako anne tukaka tallu anronna, patampula baringanna. Manjappu tongko pole cocorang nitabba-tabba natuli manai’ mannyorong pakkebbu, nigiring-giring, mangngonjo’ tongko dasere’ nijaling kawa’, nia’ lanro bassi kalling mattete tongko pallangga nibatang rappo, mannossottongko tau-tau. (Injaklah engkau tangga ini yang berinduk tiga, empat puluh anak tangganya, memegang pulalah engkau susuran tangga
229
ber1aras1aras terus naik, mendorong pintu yang berlonceng, dan menginjak pula lantai dijalin kawat tempat (dengan) besi meniti pula engkau penyangga dan batang pinang menyusup pula engkau ambang yang bergambar). j.
Nutu limo kalau’ rawangnganna timbawonu, ammempo ri benteng polonnu, a’lappara’ tappere’ bo’dong, anjo’jo’ kairi kanang. (Dan teruslah engkau ke Barat di bawah kain tendamu. Duduk di tiang terpotongmu beralas tikar bundar, menunjuk ke kiri dan ke kanan.
k.
Naremba-rembako pole anak raja patampulo nawarimanako pole tulolo beru mabbakkaka. (Diiringi pula engkau anak dara empat pula dilayani pula engkau gadis yang baru tumbuh.)
l.
Benteng polong kanasako, kanako benteng pakkai’, topenu pasikaiki bajunnu. (Tiang (yang) patah berkatalah, berkatalah tiang kiatkan kait sarung, kait bersama bajumu).
m.
Nai’ menaung tunibarang baranginnu, assulu’ antama ata majai. (naik turun orang yang engkau ben harta benda, keluar masuk hambamu yang sangat banyak.
n.
Nuinajjarang nurnattedong, nu;najjangan rassi lerang, nakutiimbangipole palampang ase berunu. (engkau mempunyai kuda dan kerbau yang banyak, mempunyai ayam penuh ditiap tenggeran, akan kutumbangkan juga lumbung padi barumu.
o.
Tamanraiko ri Ambong nukuasa, takalaukko ri Jawa nukalumanynyang tama’botoroko numammate. (tidaklah engkau ke Ambon kecuali berkuasa, tidaklah engkau ke Jawa kecuali kaya raya, dan tidak pula engkau berjudi hingga akhir hayatmu).
p.
Assare-sareinaki sallang ri matoang kasi-kasi appiturunmako pole ri ipara’ kamase-mase. (engkau selalu memberi kelak pada mertua yang miskin engkkau akan menghadiahi pula ipar yang hina dma).
q.
Nai’ tuannu, assala’ dasere’ dalle’nu. (Naik derajatmu, rezekimu muncul dan sela-sela lantai).
r.
Kuminasaijakonjo sunggu, kutinjakiko mate’ne, nusunggu tojeng, numate’ne tojeng todong. Kudoakan engkau bahagia, kubernazar untukmu sejahtera dan benar-benar engkau bahagia dan sejahtera.
230
s.
Labbu banning ri Jawa, mallabbuang urnuru’nu, luara’ tamparang, luarangngan nazva-nazvanu. (panjang benang di Jawa lebih panjang umurmu, luas lautan, lebih luas pikiranmu).
t.
Lebba’ gentung tiinbawonu, lebba tantang pakkebbu’nu tinbao nikidak ida, pakkalli niuru’ tallu. (Telah tergantung kain tendamu, telah terikat kain pagarmu kain tenda yang berkilau-kilauan, kain pagar yang bercorak tiga). Lebba’ basami bara’nu, lebba’ gusu’ langiri’nu, tattanangi pole capparu pa’minynyakannu. (telah basah bedakmu, telah teremas air keramasmu telah tersedia pula botol tempat minyakmu).
u.
v.
Natulirno antama ri bili’kamma liku, kamma kallangngang rapa’, mannoso’ badang, mannimba ‘bangkeng pa ciko. (dan teruslah engkau masuk di bilik yang bagaikan gua bagaikan gelap gulita, menusuk tubuh membuka pinggiran kain.
w.
Nukana-kanami sallang saraka ri pamminangngang, tapau-tapaumi pole bunga-bunga ri katinorannu. (engkau akan katakana kelak sarak di tempat tidur telah semerbak mewangi).
y.
Nusipoke-poke genre, nusitabba’ rappo toa, nusipattoa toai nusipa’loa-loai, nusipa’camlno-canunoi, sitanro takkang, sibuccu pandengkang-dengkang. (engkau akan katakana kelak, dan saling membelah pinang tua dan engkau sama-sama sampai tua dan samas ama ompong, saling memberi tongkat saling menyerahkan gobek).
z.
Linopi anging pakkeke inappasisa’la’(nanti pada angin teduh tembilan yang memisahkan). Selain itu, ditemukan yang sastera lain seperti:
a.
Nummaman’-maiia’ sarre, numabborong unti jawa, namaccu ta’ ase bakka’. (dan engkau akan beranak pinak bagaikan serai, engkau berhimpun bagaikan pisang batu, dan bertunas bagai bekembangnya padi).
b.
Pinruang tuju pintallung tassalanngi. (dua kali tujuh tiga kali terpisah).
c.
Mangngassengrni mae, auroug guru ningainu, gallarang nipangngalikinnu, kapala nipaemponu. (dan naiklah engkau semua ke man, anrong guru yang dicintai gelarang yang disegani, kepala yang didudikanmu).
d.
Battu ngasengmi mae, bijannu pammanakannu, bella-bella, bani-bani, caddi-caddi, loinpo-lompo, ana’-ana’, tau-toa. (dan naiklah semua ke man
231
sanak keluargamu, yang jauh-jauh, dekat-dekat, kecil-kecil dan besar-besar, anak-anak dan orang tua). e.
f.
Nipanai’mo ri pangka-pangka bulaeng, nipaelnpo ri tappere’ paramadani. Baji’ nangai na’bi, napuji alla ta’ala. (dinaikkan engkau pada tangga-tangga emas, didudukkan engkau pada tikar permadani, baik dipuji Nabi dan dipuji Allah Ta’ ala). Sipoko’ bu’ne tennanna je’ne’ matannu, sipoko’ camba pammatti’na iloro ‘nu. Kupatannangngako auggoroki gantironu kupa ‘lamungangko pole lemo tanning ri dolangang nakacinnai Somba napammattinkang iloro’ Bate Salapang. (sepohon bunne jatuhnya air matamu, sepohon asam titik seleramu, kupasang kan anggur dicucuranmu, kutanamkan untukmu lagi jeruk manis dan seberang yang diinginkan Somba yang menitikkan air liur Bate Salapang.
g.
Bunting nilakkakko paleng tunipalele ballakkang nierang ri bori maraeng pa’rasangang nampa iluonjo bori nainpa flu labbakki inattoa’ risampa’ anjagang tuammaloa. (pengantin dilekka engkau gerangan, orang yang dipindahkan dan rumahnya, diantar ke negeri lain negeri baru kau injak.
h.
Nakana pole kelonna daeng bunting bura’nea, nanipa a’larnpa ri ballaku nakujoli pakkebbu’ku nakugulung tapperekku, kupattantuanna kalengku lammantang puli. (begini lagu pengantin lelaki, baru berangkat dan rumahku telah kukunci pintu rumahku telah kugulung tikarku karena kuyakinkan diriku akan menetap.
i.
Nakana pole kelonna daeng bunting bainea. Takkunjunga saliololo kurunrung balu baine tammainonea. Tope taero’na ammakku. (berkata pula pengantin perempuan, tak kunjung saya lama muda keguguran saya tidak akan mengisi sarung yang bukan kemauan ibuku).
j.
Nakana pole kelonna daeng bunting bura’nea. Kadde kucini’ batara, kudupai allo-allo najo’jokangku lebanga ri pa’maikku. (berkata pengantin laki-laki, andaikan dapat kulihat batara, akan kudupa (sembah) setiap han karena ditunjukkan padaku).
k.
Nakana pole kelonna daeng bunting bainea. Kadde nania’ erokku teak sayu’risabbea. Tea salasa ri baju moncong buloa. (berkatalah lagu pengantin perempuan, andainya ada kemauan saya, tak ingin menderita karena sutra, saya tak ingin keceewa karena baju hijau.
l.
Nakana pole kelonna bunting bura’nea, nampakoinacu’lalebong. Nakurompong romping memang, lompoko naik tumbai parompongku.
232
(berkata pula pengantin laki-laki, baru engkau bertunas (bagaikan) rebung, saya telah pagan besar engkau, kuperkuat pagarku. m.
n.
o.
Nakana kelonna daeng bunting bainea, apa kucini’ ri nakke, nakke le’leng, nakke kodi, nakke caddi simboleng. (berkata lagi pengantin perempuan, apa yang tuan pandang padaku saya hitam, saya tidak cantik, dan sanggulku kecil). Nakan kelonna daeng bunting buraknea. Manna le’leng, manna kodi, manna caddi siinbolennu, titti matangku kalabbusuang pangngaiku.(berkata lagi pengantin laki-laki biar hitam, biar jelek, biar kecil sanggulmu, tumpuan akhir mataku tertuju padamu. Nakana tossing kelonna bunting bainea. Sikatutuiki tope, nisassa mole-mole taneamo anne parekanna maloloa, naikngaseminaki mae. (berkata pula lagu pengantin perempuan, berkasih sayang bagaikan sarung, dicuci berulang-ulang tidak ada lagi jalan kembali menjadi muda kami persilahkan anda naik ke rumah). (Rahmah, 1984). Kemudian naiklah pengantin laki-laki dengan pengiringnya dan duduk
pada tempat yang tersedia. Maka upacara akad nikah pun berlangsung, dan sesudah itu “appabattumi nikka bunting bura’nea” (menyampaikan nikah oleh pengantin pria). Dipintu masuk kamar dihalangi oleh orang-orang tertentu, baru diloloskan setelah memberi uang berupa tebusan yang disebut “pannyungke pakkebbu’ (pembuka pintu). Apabila laki-laki berasal dan luar kampong maka ia membayar tebusan yang disebut pallawa pa ‘rasangang. (Rachmah, 1984). 4. Rupama Rupama atau dongeng adalah salah satu bentuk teater tutur yang selalu dilantunkan oleh ibu atau nenek ketika menjelang tidur. Rupama mempunyai bahasa tutur yang baik, sarat dengan petuah-petuah yang mengandung pendidikan dengan tujuan dan harapan agar anak yang mendengar dan menyimak rupama itu mampu meniru sifat yang baik dan meninggalkan sifat yang buruk dan tercela.
233
Rupama terkadang pula disisipi dengan lakon-lakon yang lucu dengan lagu yang menarik pula dari penuturnya (parupama) agar anak yang menyimak menjadi terbawa dengan isi rupama. Larangan melakukan sesuatu sifat yang buruk biasanya dikiaskan dengan bahasa pamali atau pantangan yang dalam bahasa Makassar disebut kasipalli. Menurut Hasan Hasyim tradisi kasipalli sejak nenek moyang, diyakini masyarakat, bahwa bila melanggar aturan kasipalli, maka yang bersangkutan bisa terkena imbas dari perbuatannya. Imbasnya itu berupa penyakit, misalnya sakit perut, gatal-gatal, cacat, sulit ketemu jodoh dan sebagainya. 87 Kasipalli berarti suatu pantangan bagi seseorang untuk tidak melakukan sesuatu. Bilamana hal ini dilanggar maka yang bersangkutan akan terkena dampaknya. Misalnya ada ungkapan orang tua dulu yang mengatakan kasipalli taua anneba riassunga (pantangan orang untuk menetak di lesung tempat menumbuk padi), karena bisa berakibat yang bersangkutan dimakan buaya bila kelak turun ke Sungai. Kasipalli tau rungkaya siagang tau loloa angnganre ri pattongko uringa (pantangan bagi seorang gadis atau pemuda untuk makan dengan menggunakan tutup panci) karena jodoh mereka bukan gadis atau pemuda melainkan janda atau duda. Kasipalli taua ammempoi pallungang (kasipalli seseorang untuk menduduki bantal) karena yang bersangkutan bisa kena bisul. Dan masih banyak lagi jenis kasipalli lainnya.
87
Hasan Hasyim, Kasipalli, Tradisi Kepercayaan Nenek Moyang (Makassar: Refleksi, 2008), h. 21.
234
Kasipalli pada hakekatnya merupakan suatu bentuk sistem pendidikan tradisional suku Makassar untuk melarang secara halus seorang anak agar menghindari melakukan perbuatan yang tidak baik dan tidak pantas agar kelak menjadi orang yang baik, berguna dan memiliki tekad dan disiplin yang tinggi dalam masyarakat. Pada masa lampau ketika rupama masih sering dilakonkan ada beberapa isi rupama yang populer di masyarakat seperti: Kura-kura dan monyet, kancil dan buaya, kancil dan kura-kura dan I Mere dan I Nojeng. Namun pada saat sekarang rupama tidak lagi populer dikalangan suku Makassar, kecuali sebagian kecil masyarakat yang berdomisili di pedesaan masih mempertahankannya. Hal itu disebabkan adanya pergeseran terutama perkembangan media elektronik seperti televisi yang semakin dinamis dan imajinatif menayangkan acara khusus anakanak sehingga semakin tertarik menonton tayangan tersebut. 5. Aru/Anngaru Aru atau Anngaru berarti sumpah setia, yaitu suatu ungkapan kata yang puitis dan mengandung nilai sastera yang diucapkan dalam bahasa Makassar. Kalimat sumpah setia penuh keberanian ini diucapkan dengan lantang oleh salah seorang tubarani (lasykar) atau wakil salah seorang gallarrang di hadapan raja. Susunan kalimatnya ringkas, namun mengandung makna loyalitas masyarakat terhadap raja yang diwakili oleh tubaraninya (pembawa aru itu). Orang yang terpilih menyampaikan aru pada umumnya mempunyai vokal yang lantang dengan wajah yang seram dan berani menantang wajah sang raja. Terpilih membawakan aru merupakan suatu kehormatan berhadapan dengan
235
raja dan pembesar lainnya
dan mendapat tempat terhormat di tengah-tengah
masyarakat. Orang yang membawakan aru ketika tampil di hadapan sang raja mampu menampakkan
wajah loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Dengan badan yang
tegap sambil membawa keris yang diayungkan di hadapan raja, pembawa aru menyampaikan arunya dengan mempermainkan badiknya sesuai dengan isi aru yang dibawakannya. Pembacaan aru biasanya dilaksanakan pada upacara adat yang berhubungan dengan upacara kerajaan, penjemputan tamu pembesar, saat akan berangkat perang dan sebagai bentuk pernyataan kesetiaan tubarani (pemberani) kepada rajanya. Dewasa ini aru dibacakan ketika menjemput tim penilai lomba Desa. Bait ungkapan aru sebagai berikut: Sombangku. Kipammopporang mama jai dudu karaeng Ridallekang labbiritta Riempoang matinggita Berangja ku nipatebba Pangkulu ku nisoeyang Ikau anging karaeng Naikambe lekok kayu Iriko anging Namarunang lekok kayu Ikau jeknek, karaeng Naikambe batang mammanyu Assolongko Jekne Namammanyu batang kayu Ikau jarung, karaeng Naikambe bannang panjai Antakleko jarung
236
Namminawang bannang panjai Makkana mamaki mae Naikambe manggaukang Manya’bu mamaki mae Naikambe Appajari Punna Sallang takammaya Aruku Ridallekanta Cakkalawara arengku Naki sare dawa eja Pauangi anak riboko Pasangi anak tanjari Tumakkanaya Natena nappakrupai Sikammajinne aruku ridallekanta Dasi na dasi natarima panganroku Nalanri Allah Taala... Amin Artinya: Duhai Baginda Maafkan beribu maaf Di hadapan kebesaran baginda Di sisi kerajaan baginda Di tahta kedudukan nan tinggi Kami ibarat parang diayunkan Kami ibarat kapak yang ditancapkan Sang raja ibarat angin Maka kamilah daun Bertiuplah wahai angin Berguguranlah daun kayu Sang raja ibarat air Kamilah batang nan hanyut Mengalirlah wahai air Akan hanyutlah batang kayu Sang raja ibarat jarum Niscaya ikut benang jahit Masuklah wahai jarum Niscaya ikut benang jahit Bertitahlah wahai sang raja Kamilah yang melaksanakan Memerintahlah wahai sang raja Kamilah yang menjalankan
237
Anadaikata kelak di kemudian hari Sumpah ini kami tidak buktikan Tandailah nama kami Berilah tanda palang dengan tinta merah Pesankan kepada generasi pendatang Pesankan kepada anak cucu kami Bahwa kami hanya dapat berkata Tapi tidak mampu membuktikannya Terimalah ini sumpah setia kami Terimalah ini di hadapanmu Semoga diterima oleh Yang Maha Kuasa... Amin. 88 Kandungan aru di atas menggambarkan sikap loyalitas dan kesetiaan rakyat Gowa terhadap pimpinannya, sehingga rela melakukan apa saja yang baik demi kepentingan orang banyak atas perintah pimpinannya. 6. Paddoangang Secara etimologi paddoangang berarti ungkapan yang berisi doa atau harapan dalam mantra-mantra. Dalam tradisi etnis Makassar dikenal kepercayaan terhadap kekuatan magis atau ilmu hitam (black magic) dan ilmu putih. Magis putih untuk kebaikan, berguna untuk mengobati segala macam penyakit. Sedang magis hitam untuk mencelakai orang. Orang yang tekena penyakit melalui magik hitam maka harus disembuhkan melalui mantra-mantra atau paddoangan yang dibacakan oleh seorang dukun. Selain itu paddoangang juga di butuhkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai resep kecantikan dan penolak bala (songka bala). Berikut ungkapan paddoangang yang dibaca untuk melancarkan persalinan dan meredam rasa sakit ketika ibu melahirkan. Bismillahirrahmanirrahim 88
Sirajuddin Bantang, h. 70.
238
Ikau anne minynyakna khasabandi Nakuparekko pallaccukiri kalassukanna ana’na...(disebut nama). Nataena nappisa’ringi pakrisi I anu... (sebut nama) Singkamma mami minynyaka anne Laccuna ri balantang dasere Barakka Laa ilaha illallah Barakka Muhammadarrasulullah.89 Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah ini minyak khasabandi Akan kubuat pelumas untuk mempercepat anaknya si...(disebut namanya). Semoga tidak merasakan sakit si .... (sebut namanya) Mudah-mudahan seperti licinnya minyak ini Lahir keluar ke dunia Berkat Allah Berkat Muhammad Rasul Allah Selanjutnya paddoangang kecantikan yang dibaca ketika mandi Bismillahirrahmanirrahim Naku je’ne je’ne sai Je’ne sikedde keddekku Namaccaya ri rupangku Singara ri bukkulengku Sikuntu mahalloka Maccini mangngai ngaseng mae ri nakke Barakka laa ilaaha illallaah Muhammadarrasulullah. 90 Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Akan ku mandi air ini Air yang amat terbatas Akan bersinar di wajahku Terang bercahaya di kulitku Segala mahluk Terkesan dan memuji pada diriku Berkat Allah 89
Sirajuddin Bantang, h. 75.
90
Sirajuddin Bantang, h. 77.
239
Berkat Muhammad Rasul Allah Sedangkan paddoangang untuk keselamatan bayi dari gangguan setan dan mahluk halus sebagai berikut: Bismillahirrahmanirrahim Kau setan kau longgak Pali palili kalennu Lamummalio yukkung Yukkung baja’ taua Baja bassia Panggala-gala buttaya Hu, Kumpayakun Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kau setan longga’ Singkirkan dirimu Akan lewat yukkung Baja manusia Baja besi Penguat tanah Hu’ Maka jadilah dia.91 6. Paruntukkana Paruntukkana berarti ungkapan atau kata-kata kiasan. Paruntukkana termasuk salah satu jenis kesusasteraan produk lama sastera Makassar dan masih hidup dan digunakan hingga kini di tengah-tengah masyarakat yang berlatar belakang budaya dan bahasa Makassar. Jenis kesusasteraan ini dapat disamakan dengan peribahasa, pepatah, perumpamaan, ungkapan atau idiom dan pemeo dalam sastera Indonesia. Paruntukkana digunakan dalam berkomunikasi intraetnik
91
Sirajuddin Bantang, h. 7.
240
untuk menghias percakapan, penguat maksud, pemberi nasihat, penyampai nilainilai, sebagai pengajaran dan pedoman hidup. Paruntukkana umumnya digunakan untuk menggambarkan kehalusan budi pemakainya. Dengan kata lain bahwa orang-orang yang mempunyai budi pekerti yang halus dapat menggunakan katakata kiasan dengan baik. Dari penjelasan tersebut
dapat diketahui bahwa
ungkapan paruntukkana kedudukannya sangat tinggi yaitu sebagai pedoman hidup dalam bertutur kata. Paruntukkana sebagai salah satu produk sastera daerah Makassar yang posisinya sama dengan sastera daerah lainnya di Nusantara, memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri yaitu: a.
Sastera daerah mengandung nilai-nilai budaya bangsa.
b.
Nilai-nilai budaya nenek moyang terkandung di dalam sastera Nusantara,
c.
Di dalam sastera daerah terkandung kebhinnekatunggalikaan sebagai budaya bangsa,
d.
Akar budaya bangsa tersimpan dalam sastera Nusantara. 92 Selain itu sebagai karya sastera, paruntukkana juga memiliki nilai-nilai lain
yang sangat bermanfat dalam kehidupan yaitu: a. b.
Nilai hedonik (hedonik value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca. Nilai artistik (artistik value) yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan.
92
Edwar Djamaris, Memahami Nilai Budaya dala m Sastera Nusantara: Nilai Budaya dalam Sastera (Kaba) Minangkabau (Kaba si Umbik Mudo (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990), h. 123.
241
c.
d.
Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyaakat, peradaban dan kebudayaan. Nilai moral, etis, agama (ethical, moral, relegius value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.93 7. Pappasang (pesan) Pappasang adalah kata bahasa Makassar yang maknanya sama dengan
kata nasihat atau wasiat dalam bahasa Indonesia. Pappasang sinonim dengan kata “pangngajarak” yang bermakna “pelajaran”. Namun dari kedua bentuk kata ini nuansa makna Pappasang
terasa lebih halus sehingga lebih dominan digunakan
masyarakat Makassar dari pada kata pangngajarak itu sendiri. Pappasang atau Pangngajarak adalah sesuatu yang dinasihatkan karena dianggap terpuji, mulia, baik, benar dan semacamnya. Dalam
konteks
budaya
Makassar
pappasang
sangat
dimuliakan
masyarakat pendukungnya, sehingga tidak boleh dianggap hanya sebagai ungkapan manis tanpa makna belaka. Ia harus dipertaruhkan dan dipertahankan karena isinya menyangkut keharusan dan pantangan. Itulah sebabnya orang yang selalu memegang teguh pappasang dan mengaplikasikan dalam kehidupannya akan selalu disegani dan terpandang dalam masyarakat. Sebaliknya seseorang yang tidak mengindahkan akan menanggung sanksi sosial yang amat berat karena
93
Lembar Komunikasi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor: 1/XI/1996), h. 51.
242
nama baiknya akan tercemar dan kedudukan sosialnya akan menjadi rendah sehingga sangat sulit untuk mengembalikan pada bentuk yang semula.94 Sebagai salah satu produk budaya yang sangat dimuliakan oleh masyarakat Makassar, papasang mampu untuk mengetuk hati dan pikiran yang mengarahkan supaya manusia menggunakan akal sehatnya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat patuh, teguh memegang pasang dan senantiasa bersemangat untuk menjalani hidup dan kehidupan sehingga dapat menerjemahkannya kedalam usaha atau amal perbuatan. Makna yang terkandung dalam papasang adalah petunjuk tentang apa yang mesti dan apa yang harus dan apa yang boleh dilakukan serta apa yang dilarang untuk dikerjakan. Apabila dicermati lebih mendalam makna pappasang mengandung ajaran moral tentang tata cara berkehidupan dan membentuk suatu yang ideal tentang bagaimana sesorang menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkugan, sesama manusia dan dengan Tuhan. Salah satu papasang dari
I Mangngadacinna Daeng Sitaba karaeng
Pattingalloang tentang pendidikan moral, kejujuran yang harus dimilii oleh penegak hukum yaitu: Limai passala kapanrakanna se’reya kalompowang: Punna tenamo naero nipakainga karaeng maggauka Nganre ngasengmi soso’ pabicarayya Punna majai gau’ lompo ri lalang pa’rasanganga Punna tenamo tumangngasseng ri lalang pa’rasanganga
94
Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Unhas, 1985), h. 75.
243
Punna tenamo nakamaseangi atanna karaeng maggauka. Artinya: Lima hal yang menyebabkan kehancuran suatu kekuasaan: Bilamana raja yang memerintah tidak mau dinasehati Bilamana para pejabat kerajaan sudah sama makan sogok Jikalau terlampau banyak kejadian besar dalam negeri Jikalau tidak ada lagi cerdik pandai dalam negeri Jika raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya. Ungkapan pasang yang lain adalah : Iyapa nakulle nialle parewa se’rea tau niyappi naballaki annanga passala: Angngassengpi ri gau-gau adaka Baji’ pangngampei ri tau jaiya Sabbarappi ri gau’ antabaiai Mallappi ri karaeng se’reya Mangngassengpi ri sesena rapanga Manggassengpi ri tujuanna bicaraya Artinya: Seseorang baru dapat diangkat menjadi pemimpin bilamana memiliki enam syarat sebagai berikut: Mengenal seluk beluk ketentuan adat Berprilaku terpuji terhadap yang dipimpinnya Tabah menghadapi musibah Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Mendalami undang-undang ketatanegaraan Mengetahui seluk beluk pelaksanaan hukum 95 D. Relevansi antara kearifan lokal dalam ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam. Kearifan lokal dalam ungkapan Makassar terutama yang termuat dalam pasang atau pappasang mengandung nilai-nilai dan ajaran moral yang berguna dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Ditinjau dari segi isi atau maknanya, ajaran moral dalam pappasang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
95
Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 75.
244
ajaran moral yang bersifat umum dan ajaran moral yang bersifat khusus. Ajaran moral yang bersifat umum adalah ajaran moral yang ditujukan kepada semua lapisan masyarakat. Pendidikan moral ini sering disampaikan dari orang tua kepada anaknya atau yang lebih muda, guru kepada muridnya, pemimpin kepada yang dipimpin, dan ulama (to panrita) kepada pemimpin. Ajaran moral yang bersifat umum yang terkandung dalam pappasang antara lain ajaran budi pekerti seperti nilai sirik yang identik dengan menjaga kehormatan, kalambusang (kejujuran), kecendekian, kepemimpinan, kewaspadaan, kehormatan, persatuan dan etos kerja yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Nilai Sirik Kehormatan dalam bahasa Indonesia sama artinya kata sirik dalam bahasa Makassar. Di samping itu, siri dapat pula berarti malu dan harga diri. Masalah kehormatan adalah masalah yang sangat prinsipil bagi setiap orang. Karena itu ia perlu dijaga dengan sebaik-baiknya. Terjadinya bentrokan dan pertikaian di masyarakat adalah karena terabaikannya masalah kehormatan itu. Sehubungan dengan itulah, dinasihatkan kepada setiap individu agar selalu menjaga masalah kehormatan itu. Seperti yang dinyatakan dalam pasang berikut ini. Jarreki laloi siriknu siagang tappaknu nasalama Linonu siagang akheraknu. Punna nulakkamo siriknu siagang Tappaknu,panrakmi antu Linonu siagang Akheraknu.96 Artinya:
96
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo, h. 3.
245
Tegakkanlah kehormatanmu dan kuatkan pula imanmu, agar hidupmu bahagia di dunia dan di Akhirat. Akan tetapi jika keduanya ditanggalkan akan hancurlah dunia dan akhiratmu. Menurut Pappasang di atas selain sirik dan kehormatan yang harus dijaga juga masalah iman. Seseorang yang menjaga kehormatannya
kemudian
melandasinya dengan keimanan (tappak), maka ia selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat, sebab mampu menjalankan fungsinya masing-masing. Sirik akan menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan sesamanya agar tetap berjalan dengan baik, sementara iman akan menjaga dan memelihara hubungan manusia dengan Tuhannya. Masalah sirik atau kehormatan dan iman adalah laksana dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dalam berkehidupan. Keduanya merupakan dasar penilaian tentang layak atau tidaknya seseorang disebut tau (manusia yang sebenarnya), seperti yang dinyatakan dalam Pappasang berikut ini. Ia iannamo tau allakkaki sirika siagang mallaka maknassa tanjari taumi antu.97 Artinya: Barang siapa yang meninggalkan sirik dan takwa kepada Tuhan, pada hakikatnya orang yang demikian bukan manusia lagi. Dalam konsep budaya Makassar dikenal istilah tau dan rupa tau. Secara harpiah kedua istilah itu sama saja, keduanya mengacu kepada mahluk yang bernama manusia. Namun jika dicermati secara mendalam kedua istilah ini dengan mengaitkan falsafah hidup orang Makassar, akan tampak perbedaan yang
97
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo, h. 85.
246
sangat mendasar. Istilah tau dalam budaya Makassar menggambarkan manusia yang paripurna, yaitu manusia yang benar-benar menegakkan kehormatan dan ketaqwaannya kepada Allah. Dengan demikian manusia yang seperti itu adalah manusia yang dapat membentuk dirinya menjadi manusia yang berwatak dan berkepribadian, berahlak mulia dan tahu menempatkan dirinya pada posisi yang semestinya (empoi ri gau siratannaya). Di samping itu manusia seperti ini pandai menempatkan orang lain pada tempat yang sebenarnya (napaempoi paranna tau ri gauk siratannaya). Sebaliknya
orang yang
tidak
mengindahkan
kehormatan
dan
ketakwaannya kepada Tuhan bukan lagi manusia yang sebenarnya “tau” tetapi ia hanyalah rupa tauji, yaitu mahluk yang hanya menyerupai manusia. Pappasang lain yang menjelaskan pentingnya masalah sirik dan taqwa itu dimiliki dan ditegakkan setiap insan dijelaskan sebagai berikut: Kalliki kalennu ikau ngaseng, e sikamma tumabbuttaya siagang mallak ri karaeng sekrea, siri ri batang kalea siagang sirika riparangta tau. 98 Artinya: Wahai sekalian manusia pagarilah dirimu dengan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan malu (sirik) terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia. Pappasang di atas menganjurkan manusia agar bertaqwa kepada Allah. Takwa dalam pengertian yang deserhana adalah melaksanakan seluruh perinah Allah dan meninggalkan segala laranganNya. Manusia yang mulia di sisi Allah adalah manusia yang paling bertaqwa. Sedangkan manusia yang selalu
98
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo, h. 61.
247
menjaga sirik atau kehormatan dirinya adalah manusia yang paling baik dan terhormat dalam masyarakat. 2. Nilai Kalambusang Kata kejujuran atau jujur dalam bahasa Indonesia sama maknanya dengan kata kalambusang dalam bahasa Makassar. Kata ini berasal dari asal kata lambusuk yang berarti lurus sebagai lawan dari kata jekkong (bengkok). Dalam berbagai versi ungkapan ini juga dapat bermakna ikhlas, benar dan adil sebagai lawan dari kata culas, curang, dusta, khianat, seleweng, tipu dan semacamnya. Menurut pappasang, kejujuran adalah suatu sifat yang harus ditegakkan oleh setiap individu. Ia harus dijadikan landasan pokok dan modal utama dalam kehidupan.
Mengabaikan
kejujuran
berarti
menciptakan
keresahan
dan
kegelisahan yang dapat bermuara pada penderitaan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pappasang menghimbau agar setiap individu menjadikan kejujuran sebagai modal hidup agar ketentraman dan kebahagiaan dapat tercapai. Hal ini diungkapkan dalam pappasang sebagai berikut: Ballaki nikanaya lambusuk Nasabak lambusuka kamma tongintu doek akkullei Nipake ri mange-mangeanna. Artinya: Milikilah kejujuran Sebab kejujuran itu Ibarat mata uang yang bisa berlaku di mana-mana. Ungkapan pasang di atas menjelaskan betapa pentingnya kejujuran itu dimiliki oleh setiap individu karena kejujuran diumpamakan sebagai mata uang
248
yang dapat berlaku dimana saja dan kapan saja serta bisa ditukar bila diperlukan. Artinya kejujuran itu dapat menjadi modal yang tiada habisnya dan dapat mendatangkan ketenangan pribadi dan kesejahteraan kolektif dalam masyarakat. Kemudian kepada siapa mamusia harus berbuat jujur dan bagaimana implementasinya?. Pappasang menjelaskan berikutnya: Issengi keknang, maknassa antu nikanaya lambusuk tallui rupanna. Uruuruna, malambusuk ri Allah Taala. Iami nikana lambusuk ri Allah Taala tangkaluppaiai; Makaruana, malambusuka ri paranna tau tangkaerikai sarena paranna tau; Makatalluna, malambusuka ri batang kalenna, Iami nikana malambusuk ri batang kalenna, angkatutui bawana ri kana balleballea.99 Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya kejujuran itu ada tiga macam. Pertama jujur kepada Allah, artinya tidak melalaikan printahNya; Kedua jujur kepada sesama manusia, artinya tidak mengharapkan imbalan dari seseorang; Ketiga; jujur kepada diri sendiri, artinya, menjaga dan mengawasi mulut dari perkataan dusta. Pappasang di atas menekankan pentingnya kejujuran terhadap tiga dimensi yaitu kejujuran kepada Tuhan dengan menjalankan perintah Allah serta menjauhi segala larangannya, kejujuran kepada sesama manusia dengan menjaga hubungan baik dan kejujuran kepada diri sendiri untuk menjaga mulut dari dusta dan kebohongan. Hal ini sejalan dengan fitrah manusia yaitu sebagai mahluk bertuhan disatu sisi dan sebagai mahluk sosial dan mahluk Individu pada sisi yan lain.
99
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Penegmbangan Bahasa, Depatremen Pendidikan dan Kebudayaan,1992), h.34.
249
Sebagai mahluk berketuhanan manusia selalu merindukan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga segala urusan diserahkan kepadanya, artinya manusia hanya merencanakan, mengusahakan tetapi Tuhanlah yang menentukannya. Manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan bantuan dari orang lain. Dalam pappasang yang lain ditegaskan: Punna mallakko ri karaengnu pakrupai passuroanna, nanuliliang pappisangkana. Ia iannamo tau anggaukang passuroang nalliliang pappisangka iamintu tanra tau salamak, tanra tau nikamaseang ri karaeng mappakjaria.100 Artinya: Kalau kamu takut (takwa kepada Allah), tunaikanlah perintah-Nya dan hindarilah larangan-Nya. Orang yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, itulah ciri orang yang selamat dan sejahtera serta dicintai oleh Tuhan Sang pencipta. Senada dengan itu papasang mengatakan: Anngaukangko passuroang siagang alliliangko pappisangka linonu siagang akheraknu. Artinya: Laksanakanlah perintah dan hindarilah larangan agar tentram hidupmu di dunia dan di akhirat. Selain kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia harus dibuktikan dengan jalan menghormati batas-batas hak orang lain serta menjauhi sikap dan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Selanjutnya implementasi kejujuran itu, pappasang menegaskan sebagai berikut:
100
Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 35.
250
Lambusukko ikau numakgauk tau toa. Teako anngalei apa-apa na teai apaapannu. Teako ngoai ri barang-barang na teai barang-barannu, kaantu lambusuka na tamangoa ri barang iamintu allakbui umuruk.101 Artinya: Jujurlah dan bertindaklah seperti orang tua (bijaksana dan penuh pertimbangan). Janganlah mengambil sesuatu yang bukan hakmu. Jangan serakah terhadap harta benda yang bukan warisanmu, sebab kejujuran dan sikap menahan diri dari sesuatu yang bukan hakmu, itulah yang akan memanjangkan umur. Makna pappasang di atas memberikan isyarat kepada manusia agar bersikap jujur, bijaksana dalam setiap langkah. Manusia tidak boleh merampas hak orang lain baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk jabatan atau wewenang dan tanggunjawab. Setiap individu mampu mengendalikan diri terutama dalam hal memperoleh materi. Sebab apabila terjadi keserakahan dalam diri seseorang akan dapat memutuskan silaturrahmi, padahal menyambung tali silaturrahmi
dapat menambah rezki dan memperpanjang umur. Sebagaimana
Hadits Nabi sebagai berikut: Salah satu pembuktian kejujuran lainnya dijelaskan dalam pappasang berikut: Lima tongi antu sabbinna lambusuka. Apaji nanuballaki lalo anne limaya passalak nasalama linonu siagang aheraknu. Makasekrena, punna salako akui kasalannu; Makaruanna, punna nakodiko taua bajiki; Makatallunna, punna napammanjengiko taua, teako passayang rannui Makaappakna punna akjanjiko, rupai janjinnu; Makalimana, punna nabajikiko taua sikali, balasaki pissampulo.102
101 102
Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 37.
Nasaruddin, Ajaran Moral dalam Pappasang Makassar (Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa Makassar, tahun 1986), h. 90.
251
Ungkapan di atas sejalan dengan papasang dalam bahasa Bugis yang mengatakan: Sabbinna lempue limai: narekko salai naengaui salanna, narekko nionroi sala naddampengangngi tau ripasalanna, narekko risanrekiwi de napabelleang, narekko riparennuangi de’napacekoang, narekko majjanciwi narupaiwi jancinna. Artinya: Bukti dari kejujuran ada lima: kalau bersalah ia mengakui kesalahannya, kalau ditempati bersalah ia memaafkan orang yang bersalah, kalau disandari ia tidak mengecewakan, kalau dipercaya ia tidak menipu dan kalau berjanji ia tidak ingkar. Pasang di atas sejalan pula dengan Hadis Rasulullah Muhammad saw:
ﷲ ُ َﻋﻠَﯿْﮫِ َو َﺳ ﻠ ﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل آﯾَﺔ ُ ا ْﻟ ُﻤﻨَﺎﻓِﻖِ ﺛ ََﻼ ثٌ إِذَا َﺣﺪﱠثَ َﻛ ﺬَبَ َو إِذَا ﺻ ﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ھ ُ َﺮ ْﯾ َﺮةَ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ 103 ََو َﻋ َﺪ أَﺧْ ﻠَﻒَ َو إِذَا اؤْ ﺗ ُﻤِﻦَ َﺧﺎن Artinya: Dari Abi Hurairah dari Nabi saw bersabda: Tanda-tanda orang munafiq ada ada tiga, apabila berkata ia bohong, bila berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia khianat (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah). Selanjutnya pada hadis lain disebutkan:
ق ﯾَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ َ ﺼ ْﺪ ﺼ ْﺪقِ ﻓَﺈ ِنﱠ اﻟ ﱢ ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﯿﮫِ َو َﺳ ﻠ ﱠ َﻢ َﻋﻠَﯿْ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ﱢ ﺻ ﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ِﷲ ﷲ ِ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل ﱠ ﻋَﻦْ َﻋﺒْ ِﺪ ﱠ ِﷲ ق َﺣﺘ ﱠﻰ ﯾُ ْﻜﺘَﺐَ ِﻋﻨْ َﺪ ﱠ َ ﺼ ْﺪ ق َوﯾَﺘَ َﺤ ﱠﺮى اﻟ ﱢ ُ ا ْﻟﺒِ ﱢﺮ َو إِنﱠ ا ْﻟﺒِ ﱠﺮ ﯾَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ ا ْﻟ َﺠﻨﱠﺔِ َوﻣَﺎ ﯾَ َﺰ ا ُل اﻟ ﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﯾَﺼْ ُﺪ ﺻ ﺪﱢﯾﻘًﺎ َو إِﯾ ﱠﺎ ُﻛ ْﻢ َواﻟْ َﻜ ﺬِبَ ﻓَﺈ ِنﱠ اﻟْ َﻜﺬِبَ ﯾَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ ا ْﻟﻔُ ُﺠﻮ ِر َوإِنﱠ اﻟْﻔ ُ ُﺠﻮ َر ﯾَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ اﻟﻨ ﱠﺎ ِر َو ﻣَﺎ ﯾَ َﺰ ا ُل ِ 104 ﷲ ِ َﻛﺬﱠاﺑًﺎ اﻟ ﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﯾَ ْﻜﺬِبُ َوﯾَﺘَ َﺤ ﺮﱠى ا ْﻟ َﻜ ﺬِبَ َﺣﺘ ﱠﻰ ﯾ ُ ْﻜﺘَﺐَ ِﻋﻨْ َﺪ ﱠ Artinya: Rasululah saw bersabda:.... dan hendaklah kamu sekalian berlaku jujur, karena kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu menyebabkan orang masuk surga. Dan sesungguhnya orang yang jujur dan senantiasa berprilaku jujur sehingga ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur (H.R. Muslim dari Abdullah).
174.
103
Abū Abdullah bin al-Mughīrah al-Bardizbat al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, h. 341.
104
Abū Abdullah bin al-Mughīrah al-Bardizbat al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, juz IV, h.
252
Di samping lidah harus dijaga, tindakan atau perbuatan pun harus diwaspadai pula sebab keduanya dapat mengundang dampak negatif yang sama. Jika ucapan dan tindakan seseorang tercela, bukan hanya akan dikucilkan oleh masyarakat, tetapi lebih berat dari pada itu karena balasannya akan buruk pula. Pappasang lain yang identik dengan pappasang di atas adalah sebagai berikut. Tutuko ri Kana-kana siagang ri Paggaukang. Napunna takammai panraki Linonu panrak tongi akheranu.105 Artinya: Berhati-hati dalam bertutur kata dan berbuat. Jika tidak demikian, hancurlah kehidupan dunia dan kehidupan akhiratmu. Pappasang menekankan pentingnya kehati-hatian di dalam bertutur kata dan berbuat. Keduanya harus dilaksanakan karena ia merupakan dasar penilaian dalam menentukan baik buruknya seseorang di di dalam masyarakat. Jika sekiranya
seluruh
anggota
masyarakat
telah
mampu
mengendalikannya,
keharmonisan dalam pergaulan masyarakat akan tercipta. Sebaliknya, jika keduanya tidak diindahkan, keresahan dan permusuhan akan tumbuh dengan suburnya. Bahkan dampaknya pun sangat fatal, bukan hanya dapat dirasakan didalam kehidupan sekarang, tetapi juga akan dirasakan di dalam kehidupan yang akan datang.
105
Nasaruddin, Ajaran Moral dalam Pappasang Makassar, h. 33.
253
Dapat dipahami bahwa konsep kejujuran mengandung makna yang konsisten terhadap sarak, diaplikasikan dalam kehidupan seperti pappasang yang disampaikan Karaeng Matinroa ri Kananna sebagai berikut: Lambusukko ikau numa’gau tau toa. Teako angngallei apa-apa, nateai apa-apannu, teako angngoai ri barang-barang nateai sossorannu. Ka antu allabbuia umuru ambicarai turibokoanna, anjari parea, anjari tongi anu nikaddo-ka’dona siagang tau jaina. Nuabbicara malambusu, nani pattaena siriatia, nutea kodikerai, namabaji pappatujunu. Tea tongko a’balle-ballei, tea tongko angngaluppai ulukana. Napunna nia’ karaeng manggau mangngasseng nama lambusu’ bicaranna na tantang rigau, natama’ balleballea, nakarimangngi ta’balana, natammariya pammopporo’ ri tau manynyala, na nangai pammariya, iamintu karaeng katambang pulana kalompoanna.106 Artinya: Jujurlah kamu dan berperilaku orang tua. Jangan mengambil apapun yang bukan milikmu, jangan rakus dengan barang-barang yang bukan warisanmu. Kejujuran yang disertai tidak rakus dengan barang-barang, memanjangkan umur, menentukan masa depan, panen berhasil, ikan melimpah bagi rakyat. Berbicara jujurlah dan buang kedengkian, hilangkan iri hati dan bekerjalah dengan baik. Jika ada raja yang cakap dan jujur serta bekerja keras dan tidak berbohong, selalu memaafkan orang yang bersalah, dan menyenangi. Sehubungan dengan itu, pappasang berikut memberikan jalan keluar. Allesai timang-timang Nupanaik ripalaknu Kanang ri katte Mabajikmo ri nakke.107 Artinya : Cobalah pikirkan Dan renungkan baik-baik 106
Zainuddin Tika, Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo, h. 26. Ungkapan tentang kejujuran tersebut terdapat pula dalam buku Matthes, Makassache Chrestomathie. (Amsterdam: Gedrukt ED, 1992), h. 247. 107
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo, h. 78.
254
Layak pada anda Akan baik pula pada saya Pappasang mengisyaratkan, sebelum bertutur dan melakukan sesuatu haruslah mempertimbangkan masak-masak. Seperti kata pepatah, “berjalan selangkah menghadap surut, berkata sepatah dipikirkan“. Pappasang lain yang menjelaskan pentingnya menghindari ucapan yang tidak bermanfaat dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab adalah sebagai berikut : Teako piti kana-kanai.108 Artinya: Jangan sembarang mengucapkan. Teako appanggaukang gauk tasilolongang. Artinya: Jangan bertindak tidak karuan. Jika pappasang di atas dicermati atau dikaji secara mendalam, dapat dikatakan bahwa ucapan dan tindakan yang tidak bertanggung jawab itu lahir sebagai akibat ketidak hati-hatian. Orang yang berperilaku seperti itu bukan hanya merugikan dirinya sendiri, melainkan juga dapat merugikan orang lain. Dan jika ditelusuri faktor penyebabnya sehingga orang tidak berhati-hati dalam bertutur paling tidak ditemukan dua faktor penyebabnya. Faktor pertama adalah adat istiadat dan yang kedua adalah Agama.
108
Zainuddin Tika, Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo, h. 79.
255
Di kalangan masyarakat Makassar, orang yang tidak tahu sopan santun di dalam
bertutur kata dan bertindak, terutama kepada orang yang seharusnya
dihormati, disebut tau tena adakna artinya orang yang tidak punya adat dan orang yang seperti ini dianggap orang yang tidak baik. 3. Nilai Abbulo Sibatang Pendidikan moral lainnya yang terdapat dalam pappasang Makassar adalah persatuan dan gotong royong. Dalam ungkapan Makassar ajaran seperti ini sering diistilahkan dengan kata-kata abbulo sibatang, accera sitongka-tongka, abbayao sibatu, se,re kana se’re gau ri jului. Dalam ungkapan berikut menjelaskan: Assamaturuk kana laloko ri sekrea jama-jamang nasaba taenamo antu assauruki nikanaya gauk assamaturuk.109 Artinya: Bersatupadulah menghadapi suatu pekerjaan, karena tak ada yang dapat mengalahkan persatuan itu. Ungkapan di atas menganjurkan kepada setiap individu untuk mengutamakan gotong royong, kerja sama dalam setiap pekerjaan atau persoalan. Dengan kerja sama yang baik ditunjang dengan menejerial yang maksimal, semua pekerjaan yang berat akan menjadi ringan dan yang sulit akan menjadi mudah. Pappasang lain yang menggambarkan pentingnya persatuan diungkapkan sebagai berikut: Kana se’re turuki gauk se’re pinawang, empomakontu ri sunggua. 110 Artinya:
109
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar (Ujung Pandang: Balai Bahasa, 1985),
110
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 46.
h. 45.
256
Sepakat
dalam
ucapan,
seiring
dalam
tindakan,
akan
membawa
kebahagiaan. Pappasang di atas bermakna bahwa satunya kata dengan tindakan, dalam menangani suatu pekerjaan atau persoalan akan membuahkan kesuksesan dan kebahagiaan. Selanjutnya diungkapakan: Abbulo sibatangki antu nasero tamattappuk nampa la niak sannang lanipusakai.111 Artinya: Hanya dengan persatuan/gotong royong, disertai kerja keras, kebahagiaan dan kesejahteraan akan dicapai. Salah satu persoalan penting yang membutuhkan persatuan adalah mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan, baik fisik dan mental serta membela negara dari ancaman disintegrasi bangsa. Sebagaimana diungkapkan dalam pasang berikut: Bajik maki assama turuk Nani kalliki boritta Ianna niak Empota Manngurangi.112 Artinya: Kita harus bersatu Membela negara Semoga Menjadi Kenangan bagi generasi berikutnya.
111
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 47.
112
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 48.
257
Pasang di atas mengandung makna bahwa setiap warga negara memiliki tanggung jawab yang sama dalam membela negara dari setiap ancaman, baik dari dalam maupun dari luar. Kokoh dan kuatnya sebuah negara targantung persatuan yang dibangun oleh warganegara, sebaliknya jika persatuan diabaikan maka, hancurlah sebuah negara. Negara yang kuat dan kokoh menjadi dambaan dan warisan bagi generasi mendatang. 4. Nilai Kareso Tamattappu Kerja keras sama artinya dengan kata kareso tamattappu dalam bahasa Makassar.
Kareso berarti kerja dan tamattappu berarti keras. Kerja keras
merupakan sikap hidup yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam mengerjakan sesuatu. Jika etos kerja dimiliki, maka peluang untuk mencapai kesuksesan hidup akan terbuka. Seperti ungkapan beriku: Akbulo sibatangki Na mareso tamattappuk Na nampa niak Sannang ia nipusakai.113 Artinya: Hanya dengan persatuan Disertai kerja keras Barulah kebahagiaan tercapai. Pappasang di atas menganjurkan agar tangan selalu
digerakkan, kaki
dilangkahkan. Artinya setiap individu tidak boleh memiliki sikap hidup pemalas, tetapi harus giat berusaha untuk mendapatkan rezki yang halal. Terhadap manusia pemalas orang Makassar menyindir dengan ungkapan: ero anganre na tea kareso
113
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 50.
258
(mau makan tidak mau bekerja), atau attongak-tongak (minta-minta). Prinsip seperti itu adalah sikap batin yang harus diubah dan di atasi menjadi sikap akkareso atau bekerja. Dalam ajaran Islam bekerja lebih ditekankan lagi kepada umatnya bahwa bekerja tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi lebih dari itu bekerja sebagai ibadah. Kebiasaa minta-minta atau malas sangat dilarang oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
ْﷲ ُ َﻋ ﻠَﯿْ ِﮫ َو َﺳ ﻠ ﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل ا ْﻟﯿَ ُﺪ ا ْﻟ ُﻌﻠْﯿَﺎ َﺧ ْﯿ ٌﺮ ﻣِﻦ ﺻ ﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ﻲ ﷲ ُ َﻋ ْﻨﮫ ُ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢ ﺿ َﻲ ﱠ ِ ﻋَﻦْ َﺣ ﻜِﯿ ِﻢ ْﺑ ِﻦ ِﺣ َﺰا ٍم َر ْﷲ ُ َوﻣَﻦ ﺼ َﺪ ﻗَﺔِ ﻋَﻦْ ظَﮭْ ِﺮ ِﻏﻨًﻰ َو َﻣ ﻦْ ﯾَ ْﺴﺘَ ْﻌﻔِﻒْ ﯾُ ِﻌﻔﱠﮫ ُ ﱠ ا ْﻟﯿَ ِﺪ اﻟ ﱡﺴﻔْ ﻠَﻰ َواﺑْ َﺪ ْأ ﺑِﻤَﻦْ ﺗَﻌُﻮ ُل َو َﺧﯿْ ُﺮ اﻟ ﱠ ( )رواه اﻟﺒﺨﺎري114ُ ﷲ ﯾَ ْﺴﺘَ ْﻐ ِﻦ ﯾُ ْﻐﻨِﮫِ ﱠ Artinya: Dari Hakim bin Hizam ra., dari Nabi saw bersabda: memberi lebih baik dari pada meminta dan senantiasa memberikan sedekah akan membawa kekayaan, barang siapa yang selalu berusaha menahan diri (pelit) disempitkan oleh Allah dan siapa yang selalu berusaha kaya akan dikayakan oleh Allah. (HR. Riwayat al-Bukhāri) Bekerja sambil bedoa dan bertawakkal kepada Allah adalah sikap positif yang dibudayakan seperti ungkapan pasang berikut: Resopa siagang tambung ri karaeng na letei pangngamaseang. Atau Tinulupaki akkareso nakigappa minasata. Artinya: Bekerja kerasa dan bedoa baru mengharap rida dari Allah. Dalam ungkapan Bugis dikatakan: Resopa temmangingi natinulu naletei pammase dewata. Artinya: Hanya dengan semangat kerja keras yang tinggi disertai niat yang ikhlas kepada Tuhan, usaha kita dapat berhasil. 114
Abū Abdullāh bin al-Mughīrah al-Bardizbat, Shahih al-Bukhari, juz II, h. 624.
259
Selanjutnya nilai-nilai pendidikan moral dalam ungkapan makassar yang bersifat khusus, sepertu ajaran moral yang bersifat khusus dalam Pappasang Makassar juga beragam. Ajaran moral itu meliputi masalah kepemimpinan, keagamaan, kerukunan berumah tangga, dan beberapa fatwa untuk kaum remaja. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut ini. 5. Nilai Kepemimpinan Pemimpin adalah lambang kebesaran dan kehormatan. Kepadanyalah rakyat banyak menggantungkan segala harapan dan mendambakan perlindungan dan pengayoman. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus berperilaku
dan
bertindak yang terpuji agar rakyatnya merasa tenteram didalam hidupnya . Untuk mencapai ketenteraman itu, pappasang menggambarkan beberapa tindakan dan perilaku yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin seperti berikut: Tallui passalak namanjari lamung-lamunga:Makaserrena, Punna malambusu Karaenga Siagang Tumabbicaraya ; makaruanna, makkasipalli karaenga siagang tumabbicaraya; makatalluna punna assekre ati tumapparasanganga. 115 Artinya : Ada tiga hal yang menyebabkan tanaman (pertanian) berhasil dengan baik. Pertama, apabila penguasa (raja) dan penegak hukumnya bertindak jujur dan adil , kedua. Jika penguasa (raja) dan penegak hukumnya berpantang melakukan tindakan tercela; ketiga, apabila rakyat bersatu pandang dalam memecahkan suatu masalah.
115
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 70.
260
Menurut Pappasang di atas,untuk mencapai ketenteraman rakyat banyak pemimpin dan penegak hukumnya harus bersikap jujur dan adil , menghindari perbuatan tercela, dan bersatu dengan rakyat dalam memecahkan suatu masalah. Dalam menjalankan kepemimpinannya, pemimpin dan penegak hukum menjelankan kewajibannya secara jujur dan adil serta menghomati hak-hak warga negara tanpa pilih kasih siapapun orangnya kalau bersalah harus di kena sangsi hukum sesuai undang-undang yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari pemimpin dan penegak hukum bertindak dan berprilaku
terpuji agar menjadi suri teladan bagi masyarakatnya. Selanjutnya
didalam menangani masalah pemimpin tidak boleh menangani masalah tidak boleh memutuskan secara sepihak, tetapi keputusan final melalui musyawarah mufakat. Pappasang lain yang senada adalah: Bicaranna karaenga siagang turiallenga kananna. Nakana Karaenga, apa pammateinna namalompo buttaya. 116 Nakana tunialleanga kananna. Ruai pammateinna iamintu. Makasekrena, punna malambusuki karaengan namangamaseang; makaruanna, punna makrurung gaukmo tumakpakrasanganga. 117 Artinya: Percakapan karaenga dan Tuniallenga Kananna. Karaengan berkata.Apatanda-tanda sebuah negara yang makmur penduduknya. Tuniallenga Kannna menjawab, ada dua tandanya. Yaitu: pertama, apabila raja (penguasa sudah berlaku jujur; kedua apabila keinginan rakyat sudah sejalan dengan keinginan penguasa.
61.
116
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 60.
117
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
261
Kriteria seorang pemimpim ideal digambarkan pasang berikut: Lima parakara naballaki karaeng makgauka namajannang ri kakaraenganna. Makasekrena, lambususki ri karaeng sekrea, lambusuki ri paranna karaeng, malambusuki ri bali parasanganna, malambusuki ri tau jaina, malambusuki mange ri kalenna siagang ri bone ballakna,malambusuki mange ri sikamma nacinika mata, nalangngereka toli. Makaruanna apa-apa mamo ero nagaukangng iareka ero nakanang, nacinippi dallekanna, nakira-kira bokona, appatangarappi ri pabbicaranna, nasaba sibajik-bajikna gauka iamintu gauk nipassamaturukia. Makatallunna, Malompo panngamaseangi siagang lompo pannulungi ri tau-tau jaina. Maka appkna , jarreki ri janji na malukmu ri kana-kana, siagang mabajik panggaukang ri sesena adaka siagang saraka. Makalimanna , baranipi ri gauk kontu tojenga. 118 Artinya: Seorang raja atau penguasa harus memiliki sifat-sifat berikut, apabila ia ingin tetap dalam jabatannya. Pertama, jujur kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur kepada sesama raja, jujur kepada negeri tetangganya, jujur kepada rakyatnya, jujur kepada dirinya sendiri dan seluruh keluarganya, bahkan harus jujur kepada segala sesuatu yang baik yang dapat dilihat maupun yang didengar. Kedua apa saja yang ia lakukan ataupun yang ia ucapkan, ia selalu memikirkan akibatnya dan setelah mendapat restu dari pemangku adatnya, karena sebaik-baik perbuatan ialah yang disepakati bersama. Ketiga sangat pengasih dan penolong kepada seluruh rakyatnya. Keempat memegang teguh janji atau ikrar yang telah disepakati, berkatakata dengan lembut dan berprilaku terpuji menurut ketentuan adat. Kelima, berani bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran. 6. Nilai Moral Keagamaan. Dalam pappasang Makassar sangat menonjol ajaran Islam. Hal ini dimaklumi karena masyarakat Makassar identik dengan Islam, bahkan sikap keberagamaannya sering menunjukkan sikap fanatis. Ungkapan-ungkapan dalam
118
46.
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
262
bahasa makassar yang terdapat dalam pappasang punya relevansi dengan ajaran Islam seperti: Pijappu
(makrifat), sambayang (salat), mallak (takwa), tappak
(iman), tobak (tobat), amalak (amal), sareat (syariat), dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya perhatikan pappasang berikut: Boyai ri taenana Assengi ri maniak-Na Tenai antu Namaknassaja niak-Na Bayang-bayang ri jeknek Tontonganna ri carammeng Lio-liona Tallasak tena matea Kuasseng ri maniak-Na Kuboyai ri taena-Na Naisani Kukutaknammi kalengku Kukusissimmi nyawaku Battu ri apai Assalak kajariannu Assenganna karaengnu Pijappuimi kalennu Kereimae Pakrimpunganna nyawanu Kalengku tonji kugappa Battu ri iaji antu Kajarianna nyawanu Ri ia tonji Lammaliang tallasaknu Punna kamma panngassennu Pijappuknu ri kalennu Anteikamma Ujukna pakkusiaannu Kusombai ri maniakna Mallakak ri taklengukna Nakujarreki Risipak kasekreanna Lonnu menteng ri tajalli Pakabajik tarakteknu Salasakontu
263
Lonna rua mungkaraknu Annganro-nganroku tobak Rigentengan tamatenu Mateko sallang Nanusassala kalennu Sumbayang-bayang dosanu Tumajarrek imanna Ri naassenna Nasomba kasekreanna Assambayangko nuttambung Pakajai amalaknu Nanujarreki Kananna anrong gurunnu.119 Artinya: Carialah dia dalam gaib Yakinlah Dia ada (memang) tak tampak Tetapi pasti adaNya Terbayang dalam air Tercermin lewat kaca Bidikannya Hidup tak mati Kuyakin adaNya Kucari Dia dalam gaib Tetapi Yang kudapati diriku sendiri Kutanyai diriku Kuselidiki jiwaku Dari mana gerangan Asal kejadianmu Untuk mengenal Tuhanmu Kenalilah dirimu Dari mana gerangan Asal kejadianmu Untuk mengenal Tuhanmu Kenalilah dirimu Dimanakah gerangan Simpul kehidupan
119
50.
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
264
Dari sana jua Sumber kejadianmu Dan kepadanya juga Kamu akan kembali Bila demikian makrifatmu Pengenalan atas dirimu Bagaimana (pula) Wujud pengabdianmu Kusembah Dia karena memang ada Kutakut pada- Nya karena gaib Kuyakin Akan sifat keesaaNya Dalam bertajalli Hendaklah engkau khusuk Ibadahmu akan sia-sia Jika berpaling dari Dia Cepatlah bertobat Sebelum ajal tiba Nanti mati Kamu menyesali diri Dosa terbayang-bayang Bagi yang teguh iman Karena tahu Menyembah zat yang Esa Sembahyang dan tawakkallah Perbanyak amalanmu Pegang teguh (pula) Ajaran gurumu. Jika dicermati ungkapan bait demi bait di atas, di dalamnya ditemukan ada lima masalah ajaran Islam, yaitu pengenalan kepada Allah, pembersihan jiwa dari dosa, perjalanan hidup manusia, pentingnya salat dan khusyu’. Lebih jelasnya, dapat diuraikan masalah-masalah itu sebagai berikut:
265
a. Pengenalan kepada Allah Mengenal eksistensi Tuhan adalah suatu tindakan yang sangat penting bagi insan yang beragama, karena akan membawa manusia ketingkat keyakinan yang mutlak dalam mengesakan-Nya. Pada bait pertama, ketiga, kelima dan ketujuh, misalnya diperoleh kesan bahwa manusia harus mengenal eksistensi Tuhan karena Tuhan itu ada dan pasti adaNya. Mengenal eksistensi Tuhan tidak semudah dengan mengenal eksistensi sesuatu yang berwujud. Hal ini disebabkan karena Tuhan bukanlah benda padat, bukan benda cair, dan bukan pula benda gas. Oleh sebab itu pula, dapat dipastikan bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat dengan mata, tidak dapat didengar dengan telinga, dan tidak dapat dirasa dengan lidah atau kulit sehingga tak seorang pun yang dapat mengetahui wujudnya meskipun menggunakan alat bantu yang mutakhir. Meskipun demikian, eksistensi Tuhan dapat dikenal dengan bermakrifat (pijappu) kepada-Nya, yaitu dengan cara mengamati makhluk dengan gejalagejala alam serta mengenali eksistensi manusia itu sendiri dengan bertanya kepada diri sendiri, dari mana, hendak kemana, dan apa tugas dan fungsi didunia ini, seperti yang tersirat dalam pappasang bait kelima di atas : Assenganna Karaengnnu, pijappuimi kalengnu kereimae Pakrimpunganna nyawanu (untuk mengenal Tuhanmu, kenalilah dirimu dimana gerangan simpul kehidupanmu). Jika manusia sudah meyakini benar-benar keberadaan-Nya,manusia diharuskan bermunajab dan tajalli kepda-Nya. Hal itu diungkapkan pada bait ketujuh dan kesembilan.
266
Punna kammapangngassengnu,pijappuk rikalengnu,antekamma, ujukna pakkusiannu.120 Artinya: Kalau makrifatmu kepada Allah dan pengenalanmu terhadap dirimu sendiri sudah sempurna, bagaimana wujud ibadahmu. Dalam Ungkapan berikutnya dikatakan: Lonnu menteng ritajalli, pakabaji taratteknu, salasakontu, lonna rua mungkaraknu.121 Artinya: Bila kamu sedang bertajali, hendaklah engkau khusuk, ibadahmu akan siasia jika berpaling dari dia. b. Pembersihan jiwa Kebutuhan manusia sangat banyak, manusia membutuhkan perlindungan, pangkat dan kedudukan, kemuliaan dan penghormatan, harta benda dan kekayaan, kesenangan, kebahagiaan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia sering melakukannya di luar batas-batas kemanusiaan sehingga menimbulkan noda dan dosa. Di samping itu ada juga manusia yang mencoba serta menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak
senonoh untuk memenuhi kebutuhannya tersebut ,
tetapi karena lupa atau hilap maka, ia pun terjerumus ke dalam lembah noda dan dosa tersebut. Agar manusia tidak terus-menerus melakukan kejahatan dan dosa selama hidupnya, manusia diberi kesempatan untuk membersihkan jiwanya dengan jalan
120
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
121
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
28. 30.
267
bertobat, yaitu menyadari segala kejahatan dan dosa yang pernah dilakukan, kemudian menyesali diri terhadap perbuatan yang dilakukan itu dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Manusia lahir dalam keadaan bersih dan suci dari kejahatan dan dosa. Oleh karena itu, pada saat manusia menghadap kepada Allah manusia harus bersih pula dari kejahatan dan dosa. Manusia yang kembali menghadap kehadirat Allah dengan keadaan berlumuran noda dan dosa, tidak akan diterima disisi-Nya. Karena itulah dinasehatkan kepada manusia agar sebelum meninggalkan dunia ini diharuskan untuk membersihkan diri dari polusi kejahatan dan dosa. Manusia yang tidak menyempatkan diri bertobat kepada-Nya, maka kelak diakhirat akan menyesali dirinya. Ajaran tentang pembersihan jiwa ini terkandung pada bait ke sepuluh dan ke sebelas pappasang di atas yang bunyinya sebagai berikut. Angnganro-nganroko tobak, ri gentengang tamatenu, mateko sallang nanusassalak kalennu.122 Artinya: Cepat-cepatlah bertobat sebelum ajal tiba, nanti kalau mati kamu menyesali diri.
c. Perjalanan Hidup Manusia Ajaran keagamaan yang mengetengahkan tentang perjalanan hidup manusia terdapat pada bait keenam Pappasang di atas. Bunyi Pappasang itu adalah :
122
56.
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
268
Battu ri iaji antu, kajarianna nyawanu, ri ia tonji, lammaliang tallasaknu.123 Artinya: Dari dia juga asal kejadianmu, dan kepada-Nya juga akan kembali. Pappasang
di atas menggambarkan bahwa pada hakikatnya manusia
berasal dari Allah dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Pernyataan ini mengandung makna bahwa proses perjalanan hidup manusia belumlah berakhir di alam dunia ini, akan tetapi masih ada alam lain yang disinggahi sebelum sampai di alam akhirat. Proses perjalanan manusia
mengalami beberapa alam.
Alam yang
ditempuh itu sebagai berikut. 1) Alam arwah atau alam nyawa, suatu alam tempat berkumpulnya roh (pakrimpunganna nyawaya). 2) Alam arham atau alam kandungan, suatu tempat pem dari setetes air mani sampai akhirnya
rosesan manusia
menjadi bayi.
3) Alamulfana atau alam dunia, suatu tempat yang sangat menentukan kehidupan manusia pada alam-alam tersisa. Sukses tidaknya, bahagia dan tidaknya, selamat dan tidaknya seseorang tergantung penilaian Allah terhadap amal seseorang di dalam alam ini. 4) Alam barzah atau alam kubur, suatu tempat persinggahan (transit) sebelum manusia melanjutkan perjalanan ke alam yang terakhir. Demikian isi dan nilainilai relegius yang dikandung dalam setiap pappasang. Selain pasanng, maka kelong juga salah satu ungkapan kesusasteraan Makasar yang cukup populer dikalangan masyarakat yang berlatar belakang bahasa dan budaya Makassar. Hal ini disebabkan karena sebelum masyarakat
123
57.
Zainuddin Hakim, Pappasang dan Paruntuk Kana dalam Sastra Klasik Makassar, h.
269
Makassar mengenal pendidikan formal seperti sekarang ini, selain folklor kelong sebagai bagian dari kebudayaan dan warisan sosial, mereka digunakan sebagai alat pendidikan dan pengajaran untuk mewariskan sejumlah nilai-nilai dan normanorma sosial.124 Sampai sekarang kelong pun masih digunaka sebagai media pendidikan budi pekerti oleh orang tua kepada anak-anaknya. Di dalam kelong tidak hanya terkandung
pemali-pemali,
atau
pantangan-pantangan,
melainkan
juga
mengandung pendidikan keagamaan yang berisi perintah dan larangan dalam mengarungi kehidupan baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Dalam kedudukannya sebagai sastera daerah sekaligus sebagai produk budaya yang sarat dengan pendidikan budi pekerti seperti yang disebutkan di atas, kelong perlu dikaji dan diangkat kembali ke permukaan agar kelong sebagai sarana pendidikan budi pekerti tidak hanya sebagai nyanyian belaka tanpa makna dan menjadi milik sekolompok masyarakat tertentu saja pada masa lampau, tetapi dapat diwariskan untuk generasi sekarang dan akan datang. Adapun nilai-nilai pendidikan keagamaan yang terkandung dalam kelong antara lain masalah manusia dan kepercayaan, hakikat dan sifat Tuhan, berbakti kepada Tuhan dan sesama manusia serta ahlak mulia yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
124
Nasruddin, Nilai Religi dalam Kelong Makassar, h. 16.
270
a. Kelong yang berhubungan dengan tekad dan etos kerja. Manna kere-kere mae Punna a’jala na sare Manna tamparang Bombang pakkuburang tonji.125 :Artinya: Walaupun di mana Jika ajal dan takdir Walaupun laut Ombak pun jadi tempat pekuburan. Adapun makna pendidikan yang terkandung dalam kelong di atas adalah, seseorang tidak perlu merasa takut dan cemas dengan ombak dan gelombang besar ketika berlayar di tengah samudra, karena kapan dan dimanapun jika kematian akan datang, maka ia tidak mengenal waktu dan tempat, apakah di darat dan di laut. Semuanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Pesan ini juga mengandung makna bahwa dalam kehidupan ini banyak rintangan dan halangan yang akan menghadang, namun dengan tekad dan semangat yang membaja semuanya dapat dilalui dan di atasi. Dalam kelong lain diungkapkan: Anjo rate kalukua Manna tinggi layang-layang Kuambi tonji Punna sirik latappela. Artinya: Buah kelapa di sana Maski tingginya laksana layang-layang 125
Chaeruddin, Kitab Kelong Makassar (Sungguminasa: Gora Pustaka, 2006), h. 9.
271
Akan kupanjat jua Bila harga diri akan tercemar. Kelong ini menggambarkan tekad dan etos kerja manusia Bugis Makassar akan dipertaruhkan bila harga diri dan kehormatannya akan terganggu. Falsafah hidup ini seharusnya dibawa kepada hal-hal yang positip terutama dalam kemajuan dan pengembangan pendidikan dan peningkatan etos kerja serta keagungan budi pekerti. b. Kelong yang berhubungan dengan pentingnya Ilmu Manna majai tedongnu Mattambung barang-barangnu Susajakontu Punna tena sikolanu.126 Artinya: Walau banyak kerbaumu Bertumpuk hartamu Engkau tetap susah Jika tak ada sekolahmu Dalam kelong tersebut mengandung makna yang dalam, menganjur-kan agar manusia
mengutamakan ilmu/pendidikan agar tidak mengalami kesulita
dalam hidupnya. Karena hidup tanpa ilmu meskipun bergelimang dengan harta tidak akan meyelesaikan persoalan hidup. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw menegaskan pentingnya menuntut ilmu sebagaimana sabdanya, yakni:
َﷲ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻣَﻦْ َﺳﻠَﻚَ طَﺮِﯾﻘًﺎ ﯾَ ْﺒﺘَﻐِﻲ ﻓِﯿ ِﮫ ِﻋ ْﻠﻤًﺎ َﺳﻠَﻚ ﷲِ ﺻَ ﻠﱠﻰ ﱠ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ھُ َﺮﯾْﺮَ ةَ ﻗَﺎلَ ﻗَﺎلَ رَ ﺳُﻮ ُل ﱠ ُﺐ ا ْﻟ ِﻌﻠْﻢِ وَ إِنﱠ ا ْﻟ َﻌﺎﻟِ َﻢ ﻟَﯿَ ْﺴﺘَ ْﻐﻔِ ُﺮ ﻟَﮫ ِ ِﻀ ُﻊ أَﺟْ ﻨِﺤَ ﺘَﮭَﺎ ِرﺿَﺎ ًء ﻟِﻄَﺎﻟ َ َﷲُ ﺑِ ِﮫ طَﺮِﯾﻘًﺎ إِﻟَﻰ اﻟْﺠَ ﻨﱠ ِﺔ وَ إِنﱠ ا ْﻟﻤ ََﻼﺋِ َﻜﺔَ ﻟَﺘ ﱠ 126
Chaeruddin, Kitab Kelong Makassar, h.10.
272
ض ﺣَ ﺘﱠﻰ اﻟْﺤِ ﯿﺘَﺎنُ ﻓِﻲ ا ْﻟﻤَﺎ ِء وَ ﻓَﻀْ ُﻞ ا ْﻟﻌَﺎﻟِﻢِ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻌَﺎﺑِ ِﺪ َﻛﻔَﻀْ ِﻞ ِ ْت وَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ْاﻷَر ِ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺴﻤَﻮَ ا ﺐ إِنﱠ ا ْﻟ ُﻌﻠَﻤَﺎ َء وَ رَ ﺛَﺔُ ْاﻷَ ْﻧﺒِﯿَﺎ ِء إِنﱠ ْاﻷَ ْﻧﺒِﯿَﺎ َء ﻟَ ْﻢ ﯾُﻮَ ﱢرﺛُﻮا دِﯾﻨَﺎرًا و ََﻻ دِرْ ھَﻤًﺎ ِ ا ْﻟﻘَ َﻤ ِﺮ َﻋﻠَﻰ ﺳَﺎﺋِ ِﺮ ا ْﻟﻜَﻮَ ا ِﻛ ( )رواه ﻣﺴﻠﻢ127دِرْ ھَﻤًﺎ وَ ﱠرﺛُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ﻓَﻤَﻦْ أَﺧَ َﺬهُ أَﺧَ َﺬ ﺑِﺤَ ﻆﱟ Artinya: Dari Abū Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: Siapa yang melalui suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga; dan para Malaikat selalu melatakkan sayapnya menaungi para pelajar karena senang dengan perbuatan mereka; dan seorang alim dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air. Kelebihan seorang alim atas orang ibadat bagiakan kelebihan sinar bulan atas lain-lain bintang. Sesungguhnya ulama sebagai waris dari nabi-nabi. Sesungguhnya Nabi tidak mewariskan uang dinar atau dirham, hanya mereka mewariskan ilmu agama, maka siapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil bahagian yang besar. Hadis di atas mengisyaratkan betapa pentingnya menuntut ilmu, karena yang bersangkutan akan dimudahkan segala urusannya, terutama akan dimudahkan jalannya untuk mendapatkan balasan pahala bagi mereka yang menuntut ilmu adalah syurga, dan di dunia akan diangkat derajatnya sebagaimana dalam QS. al-Mujādalah/58: 11 ditegaskan oleh Allah dengan berfirman :
ﷲ ُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَ ْﻌ َﻤﻠُﻮنَ َﺧﺒِﯿ ٌﺮ ت َو ﱠ ٍ ﷲ ُ اﻟ ﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َواﻟ ﱠﺬِﯾﻦَ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ َد َر َﺟ ﺎ ﯾَﺮْ ﻓَﻊِ ﱠ Terjemahnya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 128
127
Abū Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, h. 329.
273
c. Kelong tentang pentingnya penyaksian kepada Allah dan RasulNya. Assengi ri sahadaknu Sekre tumappakjarinu Nabi Muhammad Suro malakbirik-Na.129 Artinya: Ketahuilah pada sahadatmu Satu yang menjadikanmu Nabi Muhammad Rasulnya yang terpercaya. Kelong di atas mengandung anjuran untuk memahami makna syahadatain yaitu penyaksian bahwa tiada Tuhan yang disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Penyaksian kepada Allah dalam arti mempercayai eksistensinya bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah atau dipuja selain Allah karena Dialah yang menciptkan manusia alam dan segala isinya. Bahkan dia pulalah yang memelihara dan menjaga dan mendidiknya. Pernyataan di atas relevan pula dengan firman Allah dalam Q.S. alIhlas/112:1-4. Terjemahannya: Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan dia”.130
128
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 992.
129
Muhammad Sikki, Puisi-puisi Makassar (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995), h.34. 130
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 486..
274
Selanjutnya penyaksian kepada nabi Muhammad saw berarti mempercayai bahwa beliau adalah nabi dan rasul yang terakhir pembawa risalah keislaman yang menuntun manusia menuju kejalan keselamatan dunia dan akhirat. Dalam untaian kelong selanjutnya mempertegas tentang kekuasaan Tuhan sebagai berikut: Napakjari sikammaya Ri sesena tulinoa Nakjari bukti Ri kuasa makkullena. Karaeng Mappakjaria Nisomba tojeng-tojeng Tena rapanna Tena sappak juluna.131 Artinya: Dia yang menjadikan segalanya Yang ada di dunia Agar menjadi bukti Pada kekuasaan-Nya Tuhan pencipta Disembah dengan sesungguhnya Tidak ada menyamai-Nya Tidak ada duanya. Menyekutukan Tuhan tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan termasuk sebagai dosa besar. Hal ini dijelaskan dalam kelong berikut: Punna eroki masunggu Tantangi appakruaya Iamintu Dosa kaminang lompoa.132 Artinya:
131
Nappu, h. 51.
132
Muhammad Sikki, h. 77.
275
Jika engkau ingin mulia Hindarkanlah musyrik Itulah dia Dosa yang paling besar. Jika keyakinan sudah mantap terhadap eksistensi Tuhan dan kepercayaan kepada Muhammad sebagai nabi dan rasulNya yang terpercaya, manusia hanya dituntut untuk mengabdi hanya kepada Allah semata. Implementasinya adalah memperbanyak perbuatan baik yang telah diperintahkan
dan
menjauhi
segala
bentuk
laranganNya
seperti
yang
diamanatkan dalam kelong beriku: Gauk bajik nigaukang Parallu nipakajai Rinuassenna Karaeng siagang nabbinu.133 Artinya: Pekerjaan baik dilakukan Perlu diperbanyak Setelah mengetahui Tuhan dengan nabimu. Selain makna syahadat, ajaran pokok yang lainnya yang wajib diyakini bagi pemeluk Islam adalah pengakuan kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kelong yang menjelaskan itu sebagai berikut: Tappakko sibajiknaya Kittakna Allah Taala Tena nappau Makbicara balle-balle.134 Artinya: Percaya sesungguh-sungguhnya 133
Aburaerah Arief, “Kelong Makassar merupakan salah satu pencerminan Pribadi Masyarakat Makassar” (Skrips Sarjana, FKIP IKIP Ujung Pandang, 1982), h. 71. 134
Djirong Basang, Taman Sastera Makassar (Ujung Pandang: CV Alam, 1986), h. 30.
276
Kitab Allah Taala Tidak menyampaikan Ucapan dusta. Kelong ini mempertegas bahwa wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, hendaklah diyakini dengan sebenar-benarnya, karena isinya tidaklah memuat ajaran yang menyesatkan, bahkan menjadi pedoman dan tuntunan dalam menempuh kehidupan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya jika ada orang yang meragukan akan kebenaran kitab suci AlQur’an sebagai pedoman hidup, masyarakat Makassar menyimbolkan perangainya dengan prilaku syaitan atau iblis. Sebagaimana dinyatakan dalam kelong sebagai berikut: Punna niak tutatappa Kittakna Allah Taala Billisik antu Ammenteng kale-kalenna.135 Dalam kelong yang lain juga menegaskan bahwa pemeluk agama Islam dituntut membuktikan kepercayaannya dalam bentuk perbuatan nyata yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Salah satu kewajiban yang wajib ditunaikan ialah perintah salat dan dan berbuat baik kepada orang lain serta bertawakkal. Adapun kelong yang menjelaskan hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Assambayangko nuttambung Pakajai amalaknu Nanujarreki
135
Muhammad Sikki, Puisi-puisi Makassar, h. 81.
277
Kananna anrong gurunnu.136 Artinya: Salat dan tawakkallah Perbanyak amalanmu pegang teguhlah ajaran agamamu. Selanjutnya dikatakan: Angngentengngko sambayang Pakajai sidakkanu Iamintu Suroang malakbirik-Na.137 Artinya: Dirikanlah salat Perbanyaklah sedekah Itulah menjadi perintah yang mulia Selanjutnya, selain pasang dan kelong, maka paruntukkana termasuk salah satu jenis kesusasteraan produk lama masyarakat Makassar. Jenis kesusasteraan ini dapat disamakan dengan peribahasa, pepatah, perumpamaan, ungkapan atau idiom dan pemeo dalam sastera Indonesia, yaitu kalimat atau penggalan kalimat yang telah membentuk makna dan fungsi dalam masyarakat pemakainya. Ia digunakan dalam berkomunikasi intraetnik untuk menghias percakapan, penguat maksud, pemberi nasihat, penyampai nilai-nilai, sebagai pengajaran dan pedoman hidup.138 Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa paruntukkana berkedudukan sangat tinggi karena mengandung nilai-nilai sebagai pedoman hidup. Adapun makna sebuah paruntukana dapat diketahui dengan menggunakan tiga komponen makna yaitu: 136
Muhammad Sikki, Puisi-puisi Makassar, h. 82.
137
Muhammad Sikki, Puisi-puisi Makassar, h.83.
138
Abdul Razak Zaidan, Kamus Istilah Sastera (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 31.
278
1) a.Makna lugas, atinya makna langsung dari kata atau
kalimat itu sendiri.
2) b.Makna konotasi langsung, artinya makna dari paruntukkana tersebut. 3) Makna konotasi tak langsung atau makna maksud, artinya ada makna lain dari makna konotasi langsung. 139 Kalau demikian, ketiga komponen itu pula yang digunakan dalam mengungkapkan paruntukkana dalam kajian berikutnya. Tutulaloko ri kana, ingakko ri panggaukang kodi gauknu, kodi todong balasakna.140 Artinya: Hati-hati dalam berkata, ingatlah akan perbuatanmu, buruk perbuatanmu, buruk pula balasannya. Adapun maksud yang dikandung dalam paruntukkana di atas adalah jika dalam berinteraksi dengan sesama manusia hendaknya selalu menjaga lidah dan tingkah laku. Karena jika tidak hati-hati dan mendapat celaka akibatnya akan dikucilkan dari masyarakat dan mendapat balasan buruk di akhirat kelak. Ungkapan di atas relevan pula dengan ajaran Islam yang mengajarkan untuk selalu menjaga lidah dan tangan untuk tidak menggangu orang lain, sebagaimana terkandung dalam hadis Nabi sebagai berikut:
ﷲ ُ َﻋ ﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳ ﻠ ﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻢ ﺻﻠ ﱠﻰ ﱠ َ ﻲ ﷲ ُ َﻋ ْﻨﮭُﻤَﺎ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢ ﻲ ﱠ َ ﺿ ِ ﷲ ِ ْﺑ ِﻦ َﻋ ْﻤﺮٍو َر ﻋَﻦْ َﻋﺒْ ِﺪ ﱠ ()رواه اﻟﺒﺨﺎري
141
ِﻣَﻦْ َﺳ ﻠِ َﻢ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ﻠِﻤُﻮنَ ﻣِﻦْ ﻟِﺴَﺎﻧِﮫِ َوﯾَ ِﺪه
139
Muhammad Sikki, Puisi Makassar (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995), h. 61. 140
Muhammad Sikki, Nilai-nilai Budaya dalam Sastera Daerah Sulawesi Selatan (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991), h. 76. 141
341.
Abū Abdullāh bin al-Mughīrah al-bardizbat al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, juz I, h.
279
Artinya: Dari ‘Abdullah bin Umar ra, dari Nabi saw bersabda: Orang Muslim adalah orang selamat dari gangguan tangan dan lidahnya. Salah satu kewajiban seorang muslim terhadap yang lainnya adalah mengucapkan salam ketika berjumpa. Ucapan salam itu merupakan bentuk jaminan keamanan terhadap orang lain atau dari orang yang mengucapkan salam itu. Naselangi Lino.142 Artinya: Menyelami dunia. Ungkapan ini mengingatkan untuk tidak hanya mencari kesenangan dunia semata. Dunia boleh dicari sebatas kemampuan yang dimiliki , tapi akhirat sebagai tempat abadi jangan dilupakan. Karena dunia sebagai sarana mencari amal sebanyak-banyaknya sebagai bekal di akhirat kelak. Dalam Hadis Nabi disebutkan: Tuntutlah duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan tuntut pula akhiratmu seolah-olah engkau akan meninggal besok (Hadis). Karena pentingnya menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Qasas/16:77 sebagai berikut: Terjemahnya:
142
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar (Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa,1998), h. 60.
280
Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baikalah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. 143 Selanjutnya ada paruntukkana: Annangarak boko gauk.144 Artinya: Melihat akhir perbuatan. Maksudnya setiap manusia yang hendak melakukan pekerjaan maka terleih dahulu mempertimbnagkan baik buruknya agar tidak menimbulkan kekecewaan kelak baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Kuntui pak na palu palu Artinya: Bagaikan pahat dan pal.145 Ungkapan ini mengandung makna bahwa meskipun berbeda pandangan dan cara berpikir, kita harus bersatu dalam memecahkan masalah. Adanya musyawarah dalam suatu masalah, tidak hanya menjalin silaturrahim yang harmonis melainkan keputusan yang diambil itu akan memuaskan semua pihak untuk kepentingan bersama. Kabbiliki kalennu Artinya: Cubitlah dirimu.146
143
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 235.
144
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 23.
145
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 24.
146
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 25.
281
Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang senang mengganggu orang lain. Maksudnya sebelum melakukan suatu hal kepada orang lain, hendaklah hal tersebut diukur dulu pada diri sendiri. Jika hal tersebut tidak membawa keuntungan pada orang lain apalagi hanya akan membawa kejelekan maka hal itu harus ditinggalkan. Dengan sikap kehati-hatian seperti ini akan menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Kana-kana maki adak,giok-giok, appangampe rikalenna. 147 Artinya: Berbicara sesuai dengan ketentuan adat agar orang lain
mengetahu
tentangdirimu. Maksudnya: Dalam berbuat dan bertingkah laku hendalah kita berusaha menyesuaikan dengan ketentuan adat istadat yang berlaku. Karena cara bertutur yang sopan mencerminkan kepribadian sesorang. Di samping itu bertingkah laku sesuai degan ketentuan adat dapat mencegah orang lain untuk bertindak dan berprilaku semena-mena terhadap sesama manusia. Napalaki jeknek paraknyuk pannulungku.148 Artinya: Dijadikan pencuci muka pertolonganku. Maksudnya: Setiap orang hendalnya selalu menghargai pemberian
atau
perteolongan orang lain sekecil apapun, dengan harapan agar orang yang memberi pertolongan itu merasa senang karena disyukuri pemeberiannya.
147
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 85.
148
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 85.
282
Sipassirik sipaccei.149 Artinya: Saling mendukung harga diri dan rasa malu. Maksudnya: Dalam hidup bermasyarakat setiap manusia hendaknya saling menjaga dan memupuk harga diri dan rasa malu. Jika tidak demikian akan timbul pertikaian dan pertengkaran. Anngalle pitangarak.150 Artinya: Mengambil petunjuk. Maksudnya: Setiap melakukan suatu tindakan hendaklah kita meneladani keberhasilan yang telah dicapai oranglain. Teako bella, lada maricaya cinik. Artinya: Tak usah lihat yang jauh-jauh lada merica saja lihat. Maksudnya: Janganlah meremehkan dan memandangenteng sesorang yang kelihatnnya kecil sebab setiap orang punya nyali untuk mempertahankan harga dirinya. Taniassengai lantanna jeneka punna tani sandakka. 151 Artinya: Dalamnya air tak dapat diketahui jika tidak diukur. Maksudnya: Dalam memastikan sesuatu hendaklah disertai dengan pembuktian agar tidak merugikan orang lain. Dalam ajaran Islam dilarang memfitnah karena memfitnah lebih berat dari pembunuhan. Toddok Puli.152
149
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 85
150
I Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 86.
151
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 86.
152
Mustamin Basran, Sastera Lisan Puisi Makassar, h. 101.
283
Artinya: Tusukan tetap Adapun makna yang terkandung dalam ungkapan di atas adalah setiap orang hendaknya selalu memegang teguh adat atau ketentuan yang sudah disepekati atau dibuat bersama. Dalam ungkapan bugis dikatakan, : Iya’ padecengi assiajingnge’ yanaritu: Sianra-rasangnge-nasiammase-mase’e Sipakario-rio; Tessicarinnaiangnge’ ri-sitinaja’e Sipakainge’ ri-gau patuju’e; Siaddampengeng pulana’e Artinya: Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan (silaturrahmi) yaitu: Sependeritaan dan saling mengasihi; Gembira menggembirakan; Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar; Ingat-mengingatkan dalam hal-hal yang benar, dan lalu memaafkan.153 Untuk saling menggembirakan dan sanantiasa berwasiat kepada kebenaran Makna dari ungkapan tersebut mengandung ajakan bahwa, setiap manusia agar menjaga silaturrahim, seia-sekata dan sehidup sependeritaan, saling memberi dan saling memaafkan antara satu dengan yang lainnya adalah suatu adat kebiasaan yang harus dilestarikan dan dipertahankan.
153
Hasnawi Haris, “Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal: Ikhtiar Kolektif Menjadikan Peserta Didik Lebih Bermartabat dan Berintegrasi serta Berkarakter Unggul”(Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis UNY ke 46 “Mem bangun Pendidikan dalam Prespektif Karakter dan Kebangsaan”. Yokyarkarta 12 Mei 2010), h. 7.
284
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Integrasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Gowa terjadi dalam dua bentuk, yaitu integrasi substansial dan integrasi kultural. Integrasi substansial adalah perpaduan antara ajaran Islam yang mutlak seperti akidah, syariah dan akhlak dengan kebudayaan Bugis/Makassar dalam Panggadakkang (adak, rapang, bicara dan warik) sebagai pedoman hidup dalam pribadi, keluarga, masyarakat serta dalam berbangsa dan bernegara. Integrasi substansial berlangsung melalui dua jalur yaitu dengan mengambil
pola asimilasi dan pola adaptasi. Integrasi dalam pola asimilasi
tampak pada masalah akidah, aspek akhlak dan muamalah dan dalam aspek syariah.Sedangkan integrasi kultural tampak pada aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan terintegrasinya unsur sarak kedalam panngadakkang, maka sistem kepemimpinan dalam
masyarakat turut mengalami perubahan pula dengan
diterimanya ulama sebagai pemimpin masyarakat yang disebut parewa sarak atau kadhi, di samping raja dan bangsawan penguasa kerajaan (Sombaya). Sebagai penghargaan bagi ulama, mereka diberi jabatan dalam birokrasi kerajaan yang disebut parewa sarak (aparat pelaksana sariat Islam) yang ada pada setiap tingkatan pemerintahan seperti katte (khatib) doja, bidala dan jannang masigi. Selain itu setelah raja Gowa memeluk Islam secara otomatis mendapat gelar Sultan. Raja Gowa XIV I Mangngarangi Daeng Manrabia Karaeng Lakiung,
286
285
setelah masuk Islam mendapat gelar Sultan Alauddin. Sebelum Islam datang di Gowa aktifitas ekonomi masyarakat berada pada sektor agraris, namun seiring dengan datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang Muslim, aktifitas perekonomian
masyarakat
beralih
berpusat di pelabuhan atau bandar
niaga.Selain itu raja mulai mengembangkan nilai-nilai ekonomi Islam. Raja Gowa melarang menopoli ekonomi dan perdagangan, raja Gowa melarang bunga bank serta mata uang dinar mulai diperadakan. Dalam aspek sosial budaya, integrasi Islam dengan budaya lokal tampak pada upacara inisiasi daur hidup mulai dari acara menyambut kelahiran, aqiqah, perkawinan dan upacara kematian. Dalam setiap upacara itu selalu diiringi dengan ungkapan-ungkapan doa dan mantra yang diawali dengan asma Allah, Bismillahir-rahmanirrahim dan diakhiri dengan amin dan kata kunfayakun sebagai simbol dan legitimasi keislaman. 2. Bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam ungkapan sastera Makassar yang digunakan sebagai bahasa perniagaan, pertanian, hiburan, dan penyebaran agama Islam serta sebagai bahasa sehari-hari mulai dari kota sampai ke polosok pedesaan. Bahasa Makassar memiliki aksara lontara yang kaya dengan sastera dan ungkapan-ungkapan dalam bentuk pasang, kelong, paruntukkana, sinrilik, paddoangan, pakkiobunting, rupama, dan aru atau anngaru. a. Pasang (Makassar) atau Paseng (Bugis) adalah “Pesan” yang maknanya sama dengan kata nasihat atau wasiat yang sinonim dengan kata pangngajarak yang bermakna pelajaran. Pesan yang harus dipegang teguh sebagai amanah, bahkan ia merupakan wasiat yang harus dipatuhi dan senantiasa diindahkan kapan dan dimanapun berada. Pasang dalam realitas suku Makassar adalah
286
sebagai “peringatan atau pesan yang harus dipatuhi” agar yang menerima wasiat itu
menjalankan sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab. Pada kenyataannya pasang terdiri atas dua jenis, yaitu pasang yang berasal dari leluhur secara turun temurun yang disebut paseng to matoa (Bugis), pappasang turiolota (Makassar) dan pasang yang berasal dari representase anang (kaum) yang dipelihara dan berusaha diikuti secara turun temurun sebagai parujung (alat pembangkit solidaritas kaum), yaitu paseng parujung anang. Paseng to matoa bersifat normative untuk memelihara kehidupan yang serasi dalam masyarakat,sesuai yang digariskan dalam unsurunsur panngadakkang. Sedangkan paseng parujung anang bersifat anjuran untuk memelihara kebanggan kaum dan untuk mempertahankan suatu sikap moral yang dimuliakan. b. Kelong (Makassar), Elong (Bugis) adalah karya sastera dalam bentuk puisi dimana struktur serta pemakaiannya dapat disamakan dengan pantun dalam bahasa Indonesia. Apabila ditinjau dari makna dan isinya ada perbedaan antara kelong dan pantun. Kelong merupakan satu kesatuan yang utuh, mulai dari baris pertama sampai baris keempat, sedangkan pantun mempunyai acuan pada dua baris pertama dan dua pada baris terakhir merupakan isi. Kelong juga sebagai tembang lagu nyanyian sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. c. Paruntukkana adalah salah satu jenis kesusasteraan lama suku Makassar yang berarti ungkapan atau kata kiasan. Jenis kesusasteraan ini dapat disamakan dengan peri bahasa, pepatah, perumpamaan atau idiom dan pemeo dalam sastera Indonesia yang digunakan dalam berkomunikasi intraetnik untuk menghias percakapan, penguat maksud, pemberi nasihat, penyampai nilai-nilai
287
sebagai pengajaran dan pedoman hidup untuk menggambarkan kehalusan budi pemakainya dalam bertutur kata. d. Sinrilik adalah salah satu bentuk kesenian lisan suku Makasar berupa rangkaian cerita heroik yang tersusun rapi dan puitis sehingga menarik karena dilagukan dengan iringan instrumen gesek yang disebut rebab atau
kesok-kesok atau
kerek-kerek gallang (Makakssar). Dalam melagukan sinrilik, ada tiga unsur yang harus bersinergi yaitu dalang atau pasinrilik, alur cerita yang menarik, dan alat musik yang digunakan berjalan secara harmonis, mengiringi lagu sinrilik sehingga mampu menghanyutkan dan memecahkan suasana dalam menghibur pendengarnya. Jenis sinrilik adalah tentang percintaan antara I Baso Mallarangang yang lebih dikenal dengan Datu Museng
dan I Jamila Dg.
Makanang dengan I Baso Anakkodaya. Sinrilik tentang kepahlawanan seperti Kappala Tallung Batua yang mengisahkan tentang dahsyatnya perang Makassar. Ada juga sinrilik yang mengisahkan tokoh agama seperti sinrilikna Syeh Yusuf al-Mahasin Hidayatullah al-Tajul Khalwati al-Makassari Tuanta Salamaka. e. Doangang atau Paddoangang (Makassar) adalah salah satu jenis puisi lama dalam sastera Makassar yang hampir sama maknanya dengan mantra dalam sastera Indonesia. Kata Doangang atau Paddoangang mengandung makna permohonan, permintaan, doa atau harapan. Paddoangang dibutuhkan bagi orang yang terkena penyakit karena ilmu hitam atau doti (Makassar), black magic (Inggeris), santet (Jawa) yang dibacakan seorang dukun atau sanro (Makassar). Selain itu paddoangang juga dipakai dalam kehidupan sehari-hari
288
sebagai penolak bala atau songka bala (Makassar) dan sebagai resep kecantikan dan kegagahan. f. Pakkiobunting
(Menyapa
pengantin
lelaki).
Ungkapan-ungkapan
yang
disampaikan oleh pihak perempuan sebagai sambutan hangat rombongan pengantin lelaki di depan pintu sebelum masuk ke dalam rumah. Biasanya diiringi dengan menabur beras sebagai simbol kesejahteraan. 4. Relevansi antara kearifan lokal dalam ungkapan Makassar dengan Pendidikan Islam yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan Makassar (Pasang, Kelong dan Paruntukkana) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga aspek pokok agama Islam, yaitu aspek akidah, syariah dan muamalah. Aspek akidah terlihat pada anjuran untuk mengimani Allah swt, yang dalam bahasa lontara disebut Dewata Sewwae (Bugis) Karaeng Lompoa (Makassar). Aspek syariat sangat mengutamakan seruan dan ajakan untuk melaksanakan perintah Allah serta meninggalkan laranganNya (amar ma’ruf nahi mungkar). Sedangkan pada aspek muamalat dan akhlak menekankan keutamaan-keutamaan sikap dan perilaku terhadap sesama
manusia, berupa kejujuran, keadilan, kesabaran, kesalehan,
kepemimpinan dan kedermawanan serta nilai persatuan, gotong royong dan etos kerja. B. Implikasi Penelitian Berdasarkan uraian rumusan kesimpulan di atas, maka sebagai implikasi penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Makna penting dari hasil penelitian ini adalah
adanya nilai-nilai
Pendidikan Islam yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastera Makassar
289
(pasang, kelong dan paruntukkana), Oleh kerena itu, dalam usaha pengembangan karakter peserta didik dan masyarakat Makassar, pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gowa bertenggungjawab penuh terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa dan kebudayaan Makassar dengan memasukkan kedalam kurikulum lokal sebagai mata pelajaran wajib pada semua jenjang pendidikan formal. Selain itu pentingnya internalisasi dalam pendidikan rumah tangga dan implementasi dalam kehidupan masyarakat. 2. Salah satu sebab lunturnya nilai-nilai budaya dalam masyarakat adalah adanya perbedaan cara pandang dan persepsi yang keliru setiap genersi dalam memahami kebudayaan dengan ajaran Islam. Kebudayaan sesungguhnya bukan sebagai syariat tetapi bisa menjadi syiar dalam pengembangan pendidikan dan dakwah Islam, sehingga menjadi tanggungjawab bersama khususnya para dai dan pendidik untuk menjelaskan kepada masyarakat agar dapat melestarikan dan mengaktualisasikan kembali serta dipertahankan oleh setiap generasi yang berganti. 3. Kendala teknis dalam memahami makna ungkapan-ungkapan Makassar sebagai salah satu nilai budaya adalah tingginya nilai sastera yang dikandungnya sehingga sulit difahami oleh generasi sekarang, maka perlu adanya upaya penerjemahan kedalam bahasa Indonesia. Selain itu karena kurangnya minat generasi sekarang untuk mempelajari bahasa lontara Makassar dan budaya lokal ditengah maraknya budaya global, sehingga perlu upaya peningkatan minat bagi generasi muda untuk menggali kembali bahasa Makassar dan budaya lokal sebagai aset bangsa yang tak ternilai, sekaligus upaya mengimbangi budaya global.
290
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’ān al-Karīm Abdullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar, Jakarta: Inti Idaya Press, 1985. Abdullah, Tufiq. (ed). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1983. Abdullah. Sejarah dan Masyarakat, Lintas Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987. Abdurrahman, Ilmu Pendidikan Sebuah Pengantar Dengan Pendekatan Islami. Jakarta: Al-Quswa, 1988. Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Cet. 1; jokjakarta: 2007. Amir, Andi Rasdiyanah (ed). Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia. Makassar: IAIN Alauddin, 1982. Alisjahbana, S. Takdir, Antropologi Baru: Nilai-Nilai Sebagai Integrasi dalam Pribadi, Masyarakat dan Kebudayaan. Jakrta: Universitas Nasional, 1986. Arnold, Thomas, W. . Sejarah Da’wah Islam. Diterjemahkan oleh A. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya, 1981 Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara dan Kepualuan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1995. Ahmad, Muhammad. Hubungan Gowa dengan Aceh, “dalam Andi Rasdiyanah Amir * ed. Bugis-Makassar dalam peta Islamisasi Indonesia. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1982. Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Hogos, 1989. Arsuatman. “Paseng” sebagai Media Dakwah (Studi Kasus di Kabupaten Bone), tesis, PPs UMI Makassar: 2000 Amin Enci’. Syair Perang Mengkasar. Editor, C. Skinner. Ininnawa, Makassar: 2008.
291
Andaya, Leonard Y. The Heritage of Arung Palakka, Haquw: Martinus Nijhof, 1981. Anderson, Benerdict R. Religion and Social Ethos In. Indonesia. Melbourne: Monash University Center of Southeast Asian Studies, 1977. Arief, Aburaerah. Kelong Makassar Merupakan Salah Satu Pencerminan Kepribadian Makassar. Makassar: (Skripsi) IKIP Ujung Pandang. 1982.. Baloch, N.A. The Advent of Islam In Indonesia. Islamabad: National Institute of Historical and Cultural Research, 1980. Bella, R.N. (Press.1065.ed). Relegion and Progress In Modern Asia. New York: The Free Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. Diterjemahkan oleh Safroedin Bahar. Jakarta: PT. Temprint. 1982 Basang, Djirong. Taman Sastera Makassar. Ujung Pandang: CV. Alam, 1986. Basran, Mustamin. et al. Sastera Lisan Puisi Makassar. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa 1990. Bosra, Mustari. Tuang Guru, Anrong Guru dan Daeng Guru: Gerakan Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942.Cet. 1; Makassar: La Galigo Press. 2008. Chan, Sam. M, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Depertemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 1989. Departemen Agama RI. Agama Dalam Dimensi Budaya Lokal: Beberapa Studi Kasus di Daerah: Laporan Akhir. Jakarta: Badan Penelitian Keagamaan, 1985/1986. Djamas, Nurhayati. “Varian Keagamaan Orang Bugis Makassar”. Dalam Muhlis dan Kathryn Robinson (ed) Agama dan Realitas Sosial. Ujungpandang: Lephas, 1985. Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.Jakarta: Kencana, 2004. Djojosuroto, Kinayati. Mozaik Sastera Indonesia, Dimensi Sastera dari Pelbagai Perspektif. Bandung: Nuansa. 2005.
292
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Cet. 2; Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 2006. Fadillah, Moh. Ali. Makassar pada Abad XIV-XVI: Pemikiran, Rekonstruksi dan Prospeksi Arkeologi. Makassar: Balai Arkeologi, 1999. --------Warisan Budaya Bugis di Pesisir Selatan Denpasar Depdikbud, Pusat Penelitian Arkeologi Nasioanal, 1999.
Bali. Jakarta:
Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Geertz, Clifford. The Relegion of Java. Diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dengan judul: Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. Gunawan, H. Ary. Sosiologi Pendidikan (Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan). Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Tika, Zainuddin. Karaeng Pattingalloang: Raja Tallo. Makassar: Refleksi, 2007. Hamid, Pananrangi, et al., eds. Pembinaan Budaya Dalam Lingkungan Keluarga Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan, 1993 Hamid, Abu. Selayang Pandang Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan Orang Bugis Makassar. Dalam Andi Rasdiyanah Amir (ed). Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia. Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1982. -------.Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, dalam Taufiq Abdullah (ed). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982. -------Syekh Yusuf. Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. Cet. 2; Jakarta: Yayasan Obor, 2005. Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Cet.1; Yokyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2008
293
Getteng, Abd. Rahman. Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Tinjauan Historis dari Tradisional hingga Modern. Cet, 1; Yokyakarta: Graha Guru, 2005. Gassing, A. Qadir. Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis dan Disertasi (Ed). Cet, 1; Makassar: Alauddin Press, 2008. Hakim, Zainuddin. Pappasang dan Paruntukkana dalam sastra Klasik Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. --------Kelong dan Fungsinya dalam Masyarakat. (Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa, 1990). Hasyim Hasan, Kasipalli, Tradis Kepercayaan Nenek Moyang. Makassar: Refleksi, 2008. Hidayat, Komaruddin dkk. Pendidikan Kewargaan (civic Education). Cet. 3; Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996 Limpo, Syahrul Yasin. Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa. Ujung Pandang: Intisari, 1995. Machmud, Andi Hasan. Silasa: Suatu Penggalian di Sudut Kecil Khasanah Perbendaharaan Filsafat Bugis-Makassar dalam Ungkapan. Ujung Pandang: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Propinsi Sulawesi Selatan. 1976. Mahfud, choirul. Pendidikan Multikultural. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Manyambeang, K.A. Syarif D. Basang. Struktur Bahasa Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas, 1978. Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah. Cet.I; Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996 Matthes, B.F. Makassarsche Chrestomathie. Amsterdam: Het Nederlandsche Bijbelgnoot. 1960.
294
--------Beberapa Ethika dalam Sastra Makassar. Jakakrta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1985. Mattulada. Islam di Sulawesi Selatan dalam Agama dan Perubahan Sosial. Taufiq Abdullah (ed). Jakarta: Rajawali Press, 1983. ------- Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1991 -------.Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Cet. 2; Makassar: Hasanuddin University Press, 1995. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat (Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2007. Muhtamar, Shaf. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel. Makassar: Pustaka Refleksi, 2007. Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004. Murodi. Melacak Asal-Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Marannu, Baso dkk. Pappasanna Tau Towata, Makna Naskah Lisan sebagai Media Pendidikan pada Etnis Makassar. Hasil Penelitian.Belum diterbitkan. Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesi. Jakarta: Kencana, 2003. Nappu, Sahabuddin, Kelong dalam sastra Makassar. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. ---------Sangkarupa Kelong Mangkasarak (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997). Nur Syam. Madzhab-Madzhab Antropologi.Yokyakarta: LKiS, 2007. Rama, Bahaking. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Kajian Dasar. Cet, 1; Makassar: Alauddin University Press, 2011.
295
Rasyid, Darwas. Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional. Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujungpandang, 1995. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Cet, 5; Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 1995. Room, H. Muh. Implementasi Nilai-Nilai Tasawuf dalam Pendidikan Islam: Solusi Mengantisipasi Krisis Spiritual di Era Globalisasi.Cet. 1; Makassar: Yapma, 2006 Rusman,
Seri Manajmen Sekolah Bermutu, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Cet; 2 Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Santosa, Imam Budi. Budi Pekerti Bangsa: Untaian Kata-kata Mutiara dan Peribahasa Pembangun Jiwa Patriotisme. Cet. 1; Jakarta: Bumi Intaran, 2008. Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa.Jakarta: Teraju: 2003. Suprayogo, Imam dkk. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Cet. 1; Bandung: Remaja Rosydakarya, 2001. Cet. 1; Jakarta: Teraju, 2003. Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta: Kompas, 2010 Sikki, Muhammad et al. Nilai-nilai Budaya dalam Sastera Daerah SulawesiSelatan, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1991). --------Puisi-puisi Makassar, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995). Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2007. Tato, Syahriar. Arsitektur Tradisional Sulawesi-Selatan,Pusaka Warisan Budaya Indonesia. Makassar: La Macca/ElShadday, 2009. Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia (Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakartya, 1999.
296
Lektur Keagamaan. Tradisi Lisan sebagai Media Pendidikan di Sulawesi-Selatan. Penelitian Tahap I. Bidang Lektur Keagamaan. Makassar: Balai Penelitian dan Penegembangan Agama Makassar Tahun 2010. Wahid, Sugira. Manusia Makassar. Makassar: Refleksi, 2007. Yahya Ismail. Adat-Adat Jawa Dalam Bulan-Bulan Islam, Adakah Pertentangan? Jakarta: Tiga Serangkai Putra Mandiri, 2009. Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu: Albab.Cet. 1; Malang: UIN Malang, 2008.
Menyiapkan
Generasi
Ulul