Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Vol. 1, No. 10, Oktober 2017, hlm. 1130-1141
e-ISSN: 2548-964X http://j-ptiik.ub.ac.id
Implementasi Metode Fuzzy – AHP Menggunakan Optimasi Particle Swarm Optimization (PSO) untuk Rekomendasi Pemilihan Tanaman Pomologi Maulana Putra Pambudi1, Imam Cholissodin2, Candra Dewi3 Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Tanaman pomologi (buah - buahan) adalah salah satu komoditas yang paling banyak diminati oleh penduduk Indonesia. Tetapi tingkat produksi buah di Indonesia jumlahnya masih tidak sebanding dengan tingkat konsumsi buah. Kurangnya produksi buah di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kegagalan produksi akibat kesalahan pemilihan tanaman. Hal – hal seperti ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan para petani terhadap tingkat kecocokan lahan untuk tanaman yang akan mereka tanam. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu program yang dapat digunakan untuk membantu petani untuk menentukan tingkat kecocokan lahan dengan tanaman buah. Metode FAHP – PSO merupakan salah satu metode untuk menyelesaikan masalah yang memiliki banyak kriteria. Metode ini merupakan metode yang menggabungkan 2 metode yang ada sebelumnya yaitu Fuzzy-AHP dan Particle Swarm Optimization. Metode Particle Swarm Optimization akan bekerja untuk mengoptimasi nilai bobot kriteria yang seharusnya dihasilkan oleh metode FAHP. Dari hasil pengujian didapatkan koefisien Spearman untuk hasil perangkingan dari 3 lahan dan 10 tanaman sebesar 0.8598, dan didapatkan koefisien Spearman untuk klasifikasi tingkat kesesuaian lahan sebesar 0.9659. Kata kunci: tanaman pomologi, petani, kecocokan lahan, Fuzzy-AHP, Particle Swarm Optimization, bobot kriteria, koefisien spearman
Abstract Pomology (fruit) is one of the most popular commodities in Indonesia. But, in indonesia fruit production rate is not bigger than fruit consumption rate. Lack of fruit production in Indonesia can be caused by various factor. One of the factor is production failure that caused by wrong fruit choice. That factor can happen because lack of farmer knowledge about compatibility between land and fruit. Therefore it takes a program that can used to help farmer check if their land is compatible with one kind of fruit or not. FAHP-PSO is a one of the method that can solve a problem with many determining factor inside it. This method is a combination of 2 previous method. That 2 previous method is FuzzyAHP and Particle Swarm Optimization (PSO). Particle Swarm Optimization method will be working to optimize criteria weight ratio that should be generated from AHP. From the test result, Spearman coefficient for comparing rank result in 3 land and 10 fruit is 0.8598. beside that from the classification result we can obtained Spearman coefficient is 0.9659. Keywords: pomology, farmer, land suitability, Fuzzy-AHP, Particle Swarm Optimization, wight of criteria, Spearman coeficcient
37,770,165 jiwa, ini adalah jumlah pekerjaan dengan tenaga kerja paling banyak (BPS, 2016). Di Indonesia salah satu komoditas yang paling banyak diminati oleh penduduk adalah komoditas tanaman pomologi atau yang biasa dikenal dengan buah – buahan. Tetapi perbandingan tingkat produksi dan konsumsi buah di Indonesia tidak berbanding lurus. Tingkat produksi buah di Indonesia jumlahnya masih tidak sebanding dengan tingkat
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia, hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama tanahnya yang sebagian besar merupakan tanah yang bersifat subur untuk ditanami tanaman. Menurut data dari Badan Pusat Statistik jumlah penduduk yang bekerja dalam bidang pertanian sejumlah Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya
1130
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
konsumsi buah. Kurangnya produksi buah di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kegagalan produksi akibat kesalahan pemilihan lahan untuk proses penanaman tanaman tersebut. Hal – hal seperti ini slah satunya dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan para petani terhadap tingkat kecocokan lahan untuk tanaman yang akan mereka tanam. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu program yang dapat membantu petani untuk menentukan tingkat kecocokan lahan dengan tanaman buah. Karena di dalam menentukan tingkat kecocokan tanah terdapat banyak parameter yang dapat mempengaruhi kecocokan lahan, maka dibutuhkan program yang dapat menyelesaikan permasalahan diatas. Salah satu model yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan banyak faktor atau atribut yang terdapat di dalamnya adalah MADM (Multiple Atribute Decision Making). MADM merupakan metode yang digunakan untuk memilih alternatif solusi terbaik dari beberapa solusi yang ada, pemilihan solusi terbaik ini dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria – kriteria yang ada dan bobot untuk setiap kriteria (Kusumadewi, 2006). Salah satu penelitian yang membahas tentang metode penyelesaian masalah MADM adalah penelitian yang dilakukan oleh Javanberg, et. al. (2012) yang melakukan perbandingan algoritma Fuzzy-AHP dengan optimasi PSO (Particle Swarm Optimization) dengan berbagai metode optimasi lainya. Di dalam penelitian ini ketika dibandingkan dengan metode – metode dalam pengembangan Fuzzy – AHP seperti linear Fuzzy Preference Programming (linear FPP) dan nonlinear Fuzzy Preference Programming (nonlinear FPP), metode Fuzzy-AHP dengan optimalisasi menggunakan Particle Swarm Optimization memiliki tingkat konsistensi yang paling baik yaitu sebesar 0.705 (Javenbarg et. al., 2012). Berdasarkan penelitian tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan metode Fuzzy-AHP dengan optimalisasi menggunakan Particle Swarm Optimization sebagai solusi dari permasalahan penentuan tingkat kecocokan lahan untuk tanaman pomologi. Pada dasarnya metode ini menggabungkan 2 metode yang ada sebelumnya yaitu metode Fuzzy-AHP dan Particle Swarm Optimization. AHP sendiri merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah MADM. Metode AHP juga memiliki berbagai Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
1131
keunggulan yaitu dapat dibuat hirarki untuk kriteria – kriteria yang ada dan proses pembobotanya lebih detail daripada metode – metode lainnya. Tetapi metode AHP memiliki kelemahan yaitu tingkat subjektifitas (kemampuan pakar yang berbeda – beda dalam membandingkan kriteria) dan kekonsistenan pembuat bobot untuk kriteria sangat berpengaruh disini, oleh karena itulah dibutuhkan metode untuk memperbaiki kekurangan AHP tersebut.Kemudian untuk mengatasi kelemahan yang masih ada pada metode Fuzzy-AHP yang salah satunya cenderung menghilangkan pengaruh suatu kriteria yang dianggap kurang penting, digunakanlah metode optimalisasi Particle Swarm Optimization, hal ini membantu memperbaiki tingkat konsistensi bobot, hal ini dilakukan karena bobot merupakan faktor terpenting dalam proses AHP karena bobot sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses AHP. 2. TANAMAN POMOLOGI Secara pengertian dasar, pomologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tanaman buah – buahan. Tanaman buah (pomologi) merupakan tanaman yang dapat menghasilkan buah yang dapat dimakan atau dikonsumsi dalam kondisi segar, baik dimakan sebagai buah itu sendiri maupun sebagai hasil olahan dari buah tersebut dan buah juga memiliki karakteristik yang tidak tahan lama (Syukri, 2008). Gambar tanaman buah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Pomologi
3. KLASIFIKASI KESESUIAN LAHAN Klasifikasi kesesuaian lahan adalah proses pengklasifikasian tingkat kecocokan tanaman terhadap suatu lahan. Dalam proses pengklasifikasian kesesuaian lahan terdapat beberapa cara seperti dengan perkalian parameter, penjumlahan parameter, atau menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan antara kriteria kelas kesesuaian lahan untuk setiap parameternya, kemudian mencocokkannya dengan data tanah, kemudian
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
dari kelas kesesuaian lahan yang didapat dari tiap parameter diambil kelas terkecilnya untuk dijadikan kesimpulan (Rachmawati, 2015). Menurut Food Agricultural Organization (FAO) struktur klasifikasi tingkat kesesuaian lahan pada tingkat kelas dapat dibagi menjadi 4 kelas yaitu: a. Kelas S1 (Sangat Sesuai) b. Kelas S2 (Cukup Sesuai) c. Kelas S3 (Sesuai Marginal) d. Kelas N (Tidak Sesuai) 4. ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) dibuat untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam proses pengambilan keputusan dengan atribut yang banyak. Metode ini memberikan bobot berdasarkan perbandingan antara tiap kriteria dengan menggunakan skala Saaty. AHP dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1970-an sebagai salah satu metode dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada banyak atribut pada sistem hirarki (Sholeh, 2013). Di dalam proses perhitungan AHP, untuk menentukan tingkat kepentingan antar kriteria dibutuhkan proses pembuatan matriks skala perbandingan untuk setiap pasangan kriteria. Untuk mengisi nilai matriks tersebut maka dibutuhkan nilai skala perbandingan kriteria berpasangan seperti yang ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Skala Perbandingan Berpasangan Nilai Skala Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6 dan 8
Inverse (Kebalikan)
1132
2. Membuat matrik perbandingan berpasangan antara tiap kriteria. 3. Melakukan normalisasi terhadap matriks perbandingan. 4. Menghitung nilai eigen vector (untuk dijadikan bobot kriteria). 5. Menghitung eigen value (lamda maksimum). 6. Menentukan nilai konsistensi (Consistency Ratio (CR)). Setelah mendapatkan nilai CR maka langkah selanjutnya adalah menentukan apakah matriks perbandingan kriteria yang dihitung nilai CR-nya sudah cukup konsisten atau tidak. Jika nilai CR lebih besar dari 0.1 (10 %) maka matriks perbandingan kriteria ini harus diperbaiki agar nilai CR kurang dari 0.1. Dan jika nilai CR sudah kurang dari 0.1 maka matriks perbandingan kriteria ini sudah memenuhi standar untuk dilanjutkan ke proses perhitungan peringkat oleh AHP. 7. Perhitungan bobot untuk sub kriteria (langkah 2 - 6). Proses ini dilakukan jika hirarki yang dibuat dari hasil analisis masalah mempunyai lebih dari 1 tingkatan kriteria. 8. Perhitungan nilai bobot alternatif. 9. Pembuatan peringkat hasil perhitungan nilai bobot alternatif. 5. PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (PSO)
Keterangan Skala Kedua elemen mempunyai tingkat kepentingan yang sama Suatu elemen sedikit lebih penting daripada elemen lainya Suatu elemen lebih penting daripada elemen lainya Suatu elemen sangat lebih penting daripada elemen lainya Suatu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainya Nilai diantara 2 nilai skala kepentingan yang berdekatan. Jika suatu elemen a mendapatkan skala perbandingan dengan elemen b sebesar c. maka nilai pebandingan elemen b terhadap elemen a menjadi 1/c.
Tahapan - tahapan yang ada dalam metode AHP yaitu (Sholeh, 2014) : 1. Menganalisa permasalahan yang ada kedalam bentuk hirarki, dan menentukan kriteria – kriteria yang terkait dengan permasalahan. Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Particle Swarm Optimization (PSO) diperkenalkan pertama kali oleh Kneedy dan Elbehart pada tahun 1995. Metode ini merupakan model social learning yang terinspirasi oleh prilaku kelompok buruk yang bergerak secara berkelompok yang akhirnya dikembangkan menjadi algoritma untuk optimasi yang bergantung pada perulangan (iterasi) yang ada. Metode ini memiliki popularitas dalam menyelesaikan masalah masalah optimasi yang sulit (Cholissodin, 2017). PSO dapat memberikan solusi terhadap permasalahan optimasi di dalam partikel yang bergerak pada gbest-nya. Setiap partikel yang ada di dalam PSO menghitung kecepatan (v) dan meng-update posisinya di setiap iterasi yang dilakukan. Parameter Pi,d merepresentasikan posisi terbaik sebelumnya yang ditemukan pada partikel ke-i. kemudian parameter Pg,d
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
menunjukkan posisi terbaik dari partikel pada saat ini dan parameter t menunjukkan jumlah iterasi. Untuk menghitung kecepatan pada dimensi ke - d dan partikel ke-I dapat dihitung dengan Persamaan 1: 𝑣𝑖,𝑑 (𝑡) = 𝑊 ∗ 𝑣𝑖,𝑑 (𝑡 − 1) + 𝑐1 ∗ 𝑟𝑛𝑑( ) ∗ (𝑝𝑖,𝑑 − 𝑥𝑖,𝑑 (𝑡 − 1)) + 𝑐2 ∗ 𝑟𝑛𝑑( ) ∗ (𝑝𝑔,𝑑 − 𝑥𝑖,𝑑 (𝑡 − 1))
(1)
Dalam Persamaan 1 rnd() merupakan fungsi yang men-generate bilangan acak dalam range [0,1], sedangkan 𝑐1 dan 𝑐2 adalah personal dan social learning faktor, dan 𝑤 merupakan bobot inersia. Kemudian posisi baru partikel dapat dihitung menggunakan Persamaan 2: 𝑥𝑖,𝑑 (𝑡 + 1) = 𝑥𝑖,𝑑 (𝑡) + 𝑣𝑖,𝑑 (𝑡 + 1)
(2)
Setelah mendapatkan posisi baru untuk semua partikel maka selanjutnya dihitung nilai fitness untuk partikel tersebut. Kemudian setelah selesai lakukan update pada parameter Pi,d dengan membandingkan nilai fitness posisi baru dengan yang ada pada parameter Pi,d. Setelaah itu lakukan pembaharuan pada parameter Pg,d dengan memilih nilai paramterer Pi,d terbaik pada iterasi yang sama. 6. FUZZY AHP – PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (FAHP – PSO) Fuzzy AHP - Particle Swarm Optimization (FAHP - PSO) merupakan algoritma yang menggabungkan antara metode Fuzzy–AHP dengan PSO. Algoritma ini dikembangkan untuk memperbaiki tingkat konsistensi yang ada dalam Fuzzy–AHP. Metode ini menghasilkan bobot yang pasti dari matriks perbandingan kriteria yang menggunakan skala TFN yang konsisten maupun yang tidak konsisten. Metode ini juga menghilangkan beberapa proses di dalam Fuzzy – AHP seperti mencari matriks sintetis fuzzy hingga mencari bobot. Algoritma ini nantinya mengganti proses di dalam Fuzzy–AHP dengan proses optimasi utntuk meminimalisasi fungsi optimal yang langsung mendapatkan bobot dari hasil optimasi tersebut (Javanberg, 2012). Fungsi optimal yang akan di optimasi oleh PSO dalam algortitma FAHP - PSO ditunjukkan dalam Persamaan 3: min 𝐽 (𝑤1 , 𝑤2 , … , 𝑤𝑛 ) =
𝑤 min ∑𝑛𝑖=1 ∑𝑛𝑗=1 [(𝑢𝑖𝑗 )2 𝑤 𝑖 ] 𝑗
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
1133
(3)
Dimana: wi = Bobot kriteria atau sub-kriteria ke - i wn = Bobot kriteria atau sub-kriteria ke - i n = Jumlah kriteria uij = Fungsi keanggotaan bobot kriteria i dan j Berikut ini merupakan cara kerja metode FAHP – PSO menurut Javanberg : 1. Membuat struktur hirarki masalah dan menentukan perbandingan matriks berpasangan dengan skala Saaty. 2. Menentukan nilai konsistensi CR untuk memastikan bahwa matriks perbandingan yang dibuat sudah konsisten (Langkah 3 – 6 AHP). 3. Mengkonversi perbandingan matriks berpasangan dari skala Saaty menjadi skala TFN (Triangular Fuzzy Number). Pada metode AHP matriks perbandingan berpasangan skala yang digunakan adalah skala nilai 1-9 dan lawannya 1/1 – 1/9, dalam fuzzy – AHP nilai ini harus di transformasikan menjadi bentuk TFN dengan cara melihat tabel perbandingan pada Tabel 2. Tabel 2. Skala TFN Skala AHP
Skala TFN
Invers Skala TFN
1
(1,1,1) atau (1,1,3)
(1,1,1) atau (1/3,1,1)
3
(1,3,5)
(1/5,1/3,1)
5
(3,5,7)
(1/7,1/5,1/3)
7
(5,7,9)
(1/9,1/7,1/5)
9
(7,9,9)
(1/9,1/9,1/7)
2
(1,2,4)
(1/4,1/2,1)
4
(2,4,6)
(1/6,1/4,1/2)
Skala AHP
Skala TFN
Invers Skala TFN
6
(4,6,8)
(1/8,1/6,1/4)
8
(6,8,9)
(1/9,1/8,1/6)
4. Melakukan inisialisasi partikel PSO. Proses ini hampir sama seperti proses inisialisasi partikel pada proses PSO.
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
Panjang partikel untuk PSO pada algoritma ini sesuai dengan jumlah kriteria pada level hirarki PSO. Sedangkan untuk posisi partikel untuk kasus ini semuanya harus berjumlah 1. Hal ini dikarenakan bobot untuk setiap level kriteria atau sub – kriteria dalam AHP berjumlah 1. 5. Menghitung Fitness tiap partikel. Untuk menghitung fitness sebuah partikel maka harus terlebih dahulu menghitung cost untuk tiap partikel. Cost untuk sebuah partikel dapat dihitung menggunakan Persamaan 4: 𝑐𝑜𝑠𝑡 (𝑤1 , 𝑤2 , … , 𝑤𝑛 ) =
𝑤 ∑𝑛𝑖=1 ∑𝑛𝑗=1 [𝑢𝑖𝑗 2 ( 𝑖 )](4) 𝑤𝑗
Sedangkan Persamaan 5 digunakan untuk menghitung nilai 𝑢𝑖𝑗 adalah : 𝑤 𝑚𝑖𝑗 −( 𝑖 ) 𝑤𝑗
𝑚𝑖𝑗 − 𝑙𝑖𝑗
𝑢𝑖𝑗 (𝑤𝑖 , 𝑤𝑗 ) =
𝑤 ,0< 𝑖 ≤ 𝑚𝑖𝑗 𝑤𝑗
𝑤 ( 𝑖 )− 𝑚𝑖𝑗
𝑤 , 𝑖 ≥𝑚𝑖𝑗
𝑤𝑗
Setelah mendapatkan nilai cost, maka untuk menghitung nilai fitness dapat menggunakan Persamaan 6: 1 𝑐𝑜𝑠𝑡
(6)
6. Lanjutkan perhitungan diatas dengan menggunakan PSO seperti yang dijabarkan pada bagian 5. 7. Perhitungan bobot untuk sub kriteria (langkah 1-6 pada proses FAHP-PSO) jika ada. 8. Perhitungan nilai bobot alternatif. 9. Pembuatan peringkat hasil perhitungan nilai bobot alternatif. 7. KORELASI SPEARMAN Menurut Zar (2005) korelasi Rangking Spearman adalah salah satu jenis korelasi yang dapat mengukur tingkat kedekatan pada 2 himpunan yang berisi rangking (urutan). Perhitungan untuk mendapatkan nilai korelasi Spearman dapat dihitung dengan menggunakan rumus pada Persamaan 7. 𝜌=1−
Persamaan 7 diatas hanya dapat digunakan untuk menghitung koefisien korelasi Spearman dengan jumlah sampel data kurang dari 30. Dari hasil koefisien diatas dapat dilakukan interpretasi nilai koefisien tersebut apakah termasuk kategori korelasi yang kuat atau tidak. Tabel interpretasi nilai korelasi dapat dilihat pada Tabel 3: Tabel 3. Interpretasi Koefisien Korelasi Koefisien Korelasi
Deskripsi
0.00 – 0.199
Sangat Rendah
0.20 – 0.399
Rendah
0.40 – 0.599
Sedang
0.60 – 0.799
Kuat
0.80 – 1.000
Sangat Kuat
8. DATA PENELITIAN
0
𝑓𝑖𝑡𝑛𝑒𝑠𝑠 =
𝑑𝑖 = Selisih rangking data ke-i dari kedua himpunan 𝑛 = Jumlah sampel data
𝑤𝑗
𝑢𝑖𝑗 − 𝑚𝑖𝑗
{
(5)
1134
6 ∑ 𝑑𝑖 2 𝑛 (𝑛2 −1)
Dimana: 𝜌 = Koefisien korelasi Spearman Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
(7)
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang kualitas lahan yang cocok ataupun tidak cocok dengan tanaman buah yang ada di penelitian ini, data ini penulis peroleh dari membaca literatur dari web Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, data tentang kualitas lahan dari berbagai sampel lahan yang diperoleh dari penelitian sebelumnya, dan data pembobotan untuk setiap kriteria lahan. Data ini di dapatkan dari hasil wawancara dengan pakar. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman buah - buahan (pomologi) yang berjumlah 10 jenis yaitu : Apel, Blewah, Durian, Jeruk, Klengkeng, Mangga, Melon, Nanas, Pepaya, Sawo. 9. PERANCANGAN Tahapan perancangan yang akan dibahas pada bagian ini adalah bagian perhitungan manual dari metode PSO – FAHP. Perhitungan manual yang dilakukan dalam bagian ini menggunakan data lahan sebanyak 1 lahan, data tanaman sebanyak 5 tanaman. Selain itu klasifikasi tingkat kecocokan lahan terhadap setiap tanaman dibagi menjadi 4 kategori yaitu S1 (Sangat Sesuai), S2 (Cukup Sesuai), S3 (Sesuai Marginal), dan N (Tidak Sesuai). Data matriks perbandingan kriteria pada
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
sub-kriteria lahan dapat dilihat pada Tabel 4: Tabel 4. Matriks Perbandingan Kriteria Kriteria Curah Hujan (C1) Suhu Rata – Rata (C2) Kelembapan (C3)
Curah Hujan
Suhu Rata – Rata
Kelembapa n
1
2
7
1/2
1
7
1/7
1/7
1
Sebelum merubah bentuk matriks perbandingan antar kriteria pada sub – kriteria iklim menjadi bentuk TFN maka terlebih dahulu dilakukan proses pengecekan nilai Consistency Ratio (CR) apakah sudah memenuhi standar sebesar 0.01 atau belum. Untuk menghitung nilai CR, langkah pertama yang dilakukan adalah mencari nilai bobot dengan cara pada metode AHP. Dari proses perhitungan CR didapatkan nilai CR untuk perbandingan kriteria pada Tabel 6 sebesar 0.0465. Karena nilai CR yang didapatkan kurang dari 0.1 maka matriks perbandingan kriteria utuk sub kriteria iklim sudah dapat dinyatakan konsisten dan dapat melanjutkan ke proses perhitungan selanjutnya. Setelah itu matriks perbandingan kriteria harus dikonversikan menjadi bentuk TFN, proses pengkonversian ini dilakukan berdasarkan cara konversi yang ada pada Tabel 4. Hasil konversi matriks perbandingan kriteria dapat dilihat pada Tabel 5:
2
0.210368
0.622251
0.167381
1
3
0.774076
0.041121
0.184802
1
Setelah mendapatkan posisi awal partikel maka langkah selanjutnya adalah menghitung cost dan fitness untuk setiap partikel. Untuk menghitung nilai cost maka terlebih dahulu 2 harus membuat matriks 𝑢𝑖𝑗 dengan menggunakan Persamaan 5. Hasil perhitungan 2 matriks 𝑢𝑖𝑗 pada partikel no 1 dapat dilihat pada Tabel 7: 2 Tabel 7. Matriks 𝑢𝑖𝑗 pada Partikel 1
C2
1
2
3
1
0
3.087646
69.49015
2
52.36271
0
2046.856
3
10.0446
17.44625
0
Tabel 8. Hasil Inisialisasi Beserta Nilai Fitness Partikel No
Fitness w1
w2
w3
1
0.193785
0.798028
0.008186
0.045469
2
0.210368
0.622251
0.167381
0.577211
3
0.774076
0.041121
0.184802
0.016982
C3
Criteri a
L
m
u
l
m
u
l
m
u
C1
1
1
1
1
2
4
5
7
9
C2
0.2
0.5
1
1
1
1
5
7
9
C3
0.1 1
0.1 4
0.2 0
0.1 1
0.1 4
0.2 0
1
1
1
Setelah mendapatkan matriks TFN maka dilakukan peerhitungan bobot dengan menggunakan algortima PSO. Dalam proses perhitungan manual ini digunakan popSize sejumlah 3, dan panjang partikel PSO sebanyak jumlah kriteria dalam sub kriteria ini yaitu sejumlah 3. Selain itu jumlah semua posisi dalam satu partikel PSO harus berjumlah 1. Dengan berdasarkan batasan di atas maka proses inisialisasi partikel PSO dapat diasusmsikan seperti pada Tabel 6: Tabel 6. Hasil Inisialisasi Partikel Partikel No 1
i/j
Kemudian dengan menggunakan persamaan 4 dan 6 secara berturut – turut maka didapatkan nilai cost sebesar 2199.287 dan nilai fitness sebesar 0.0454. Nilai fitness untuk setiap partikel dapat dilihat pada Tabel 8:
Tabel 5. Matriks TFN Sub-Kriteria Iklim C1
1135
total w w1
w2
w3
0.193785
0.798028
0.008186
1
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Langkah berikutnya adalah melakukan inisialisasi untuk setiap variabel yang ada dalam PSO dan melakukan proses update. Nilai PBest yang dihasilkan pada iterasi ke-2 dapat dilihat pada Tabel 9: Tabel 9. Nilai PBest Iterasi 2 Partikel No
Fitness w1
w2
w3
1
0.19876
0.74530
0.05594
1.457
2
0.20771
0.65038
0.14191
0.765
3
0.51212
0.33657
0.15132
2.210
Setelah itu nilai GBest didapatkan dari partikel dengan nilai fitness terbaik. Setelah itu hal yang sama akan dilakukan terhadap level sub-kriteria iklim dan level kriteria. Hasil bobot sub-kriteria yang didapatkan oleh PSO pada semua level sub-kriteria dapat dilihat pada Tabel 10:
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
Tabel 10. Bobot Sub-Kriteria Terhadap Kriteria Level
bobot terhadap kriteria
Iklim
Sub – kriteria
1136
Tabel 13. Contoh Aturan Konversi Data Lahan Curah Hujan
Hasil Konversi
w1
0.51212
2200 – 2500
4
w2
0.33657
1800 - 2200 / 2500 – 3000
3
w3
0.15132
1600 - 1800 / 3000 – 3200
2
w1
0.34479
<1600 / >= 3200
0
w2
0.21496
w3
0.29876
w4
0.06865
w5
0.07284
Setelah mendapatkan bobot pada level subkriteria, maka akan dihitung bobot terhadap goal. Untuk menghitung bobot terhadap goal langkah yang dilakukan adalah mengalikan bobot pada setiap sub-kriteria dengan bobot kriterianya (iklim/tanah). Hasil perhitungan bobot terhadap goal dan bobot level kriteria dapat dilihat pada Tabel 11:
Proses konversi diatas dilakukan berdasarkan data kriteria kesesuaian lahan pada web BALITBANGTAN [2]. Bila suatu data lahan termasuk kategori “S1” dalam data kriteria kesesuaian lahan tanaman tertentu maka data lahan ini dikonversikan menjadi angka 4, menjadi angka 3 bila data lahan termasuk kategori “S2”, menjadi angka 2 bila data lahan termasuk kategori “S3” dan menjadi angka 0 apabila data lahan termasuk kategori “N”. Setelah dilakukan pengkonversian data lahan menjadi data kesesuaian lahan untuk 5 tanaman, maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 14:
Tabel 11. Bobot Sub-Kriteria Terhadap Goal
Tabel 14. Hasil Konversi Data Lahan
Tanah
bobot kriteria
Level
Iklim
0.7740
Sub kriteria Tanah
0.2259
bobot terhadap goal
Lahan 1
C 3
C 4
C 5
C 6
C 7
C 8
0.39642
Pohon Apel
2
3
3
3
4
4
3
3
c2
0.26053
Pohon Durian
2
4
3
3
4
4
3
3
c3
0.11713
Pohon Mangga
4
4
3
3
4
4
3
3
c4
0.07789
Pohon Melon
2
4
4
3
4
4
3
3
c5
0.04856
Pohon Klengkeng
4
3
3
3
4
4
3
3
c6
0.06749
c7
0.01551
c8
0.01645
Tabel 12. Bobot Sub-Kriteria Terhadap Goal temp
C 2
c1
Setelah mendapatkan bobot sub-kriteria terhadap goal maka langkah selanjutnya adalah mencari urutan tanaman terbaik. Sebelum melakukan pencarian urutan tanaman terbaik maka diperlukan data lahan seperti pada Tabel 12:
curah
C 1
kelembapan
c - organik
Setelah proses konversi selesai maka dapat dilakukan proses perangkingan dengan cara mengalikan matriks data kriteria kesesuaian lahan untuk 5 tanaman dengan matriks bobot terhadap goal. Setelah dilakukan perkalian hasilnya dapat dilihat pada Tabel 15: Tabel 15. Hasil Perangkingan Tanaman Nama Pohon
Hasil
Pohon Apel
2.719664
Pohon Durian
2.980195
Pohon Mangga
3.773034
1700
27
36
1
Pohon Melon
3.097328
ph H20
Drainase
Salinitas
Alkalinitas
Pohon Klengkeng
3.512504
6
baik
6
20
Setelah mendapatkan data lahan, maka langkah selnjutnya adalah mengkonversi data lahan tersebut menjadi tingkat kecocokan lahan terhadap setiap tanaman. Contoh proses konversi data curah hujan ke dalam kecocokan lahan untuk tanaman apel pada Tabel 13: Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Setelah proses perangkingan tanaman maka dapat disimpulkan bahwa tanaman mangga lebih cocok untuk ditanam pada lahan tersebut. Setelah itu untuk mengetahui tingkat kecocokan tanaman terhadap lahan dapat dilakukan konversi ke dalam tingkat kecocokan yaitu: S1, S2, S3 dan N. Nantinya hasil angka
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
perangkingan tanaman dikonversi ke dalam tingkat kecocokan dengan batasan seperti di dalam Tabel 16 :
10.1. Pengujian Pengaruh Jumlah Iterasi PSO Hasil Pengujian Jumlah Iterasi
Batas Atas
S1
3.25
4
S2
2.5
3.25
S3
1.75
2.5
N
1
1.75
Batasan - batasan diatas diperoleh dari hasil konsultasi dengan pakar pada bidang tanaman. Setelah dilakukan konversi hasil AHP ke dalam tingkat kecocokan maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 17: Tabel 17. Hasil Klasifikasi Kesesuaian Lahan Nama Pohon
Hasil
Kategori
Pohon Apel
2.583436
S2
Pohon Durian
2.750219
S2
Pohon Mangga
3.686795
S1
Pohon Melon
2.889224
S2
Pohon Klengkeng
3.520012
S1
10. PENGUJIAN DAN ANALISIS Dalam tahap penelitian ini penulis melakukan pengujian terhadap program yang sudah dibuat. Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Pengujian terhadap jumlah iterasi PSO 2. Pengujian terhadap jumlah partikel PSO 3. Pengujian terhadap nilai C1 dan C2 pada update kecepatan pada PSO 4. Pengujian terhadap nilai bobot inersia (W) pada update kecepatan pada PSO 5. Pengujian Akurasi dan Korelasi Berikut adalah nilai dari setiap parameter yang digunakan ketika parameter tersebut belum dilakukan pengujian terhadap nilai parameternya : 1. Jumlah iterasi = 5 iterasi 2. Jumlah partikel = 10 partikel 3. Nilai C1 = 1 dan C2 = 1 4. Nilai W = 0.5
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Nilai Fitness
Tabel 16. Aturan Konversi Hasil AHP Batas Bawah
1137
70 65 60 55 50 45 40 4 24 44 64 84 104 124 144 164 184 Rata - Rata Fitness Jumlah Iterasi Nilai Fitness Max
Gambar 2. Grafik Hasil Pengujian Jumlah Iterasi
Dari Gambar 2 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa jumlah iterasi dengan nilai fitness terbesar adalah percobaan dengan jumlah iterasi 124, 144, 164 dan 184. Percobaan dengan jumlah iterasi ini menghasilkan rata – rata fitness dalam 10 percobaan sebesar 63.3629914322187. Dari hasil ini dapat terlihat bahwa semakin besar jumlah iterasi maka kemungkinan semakin baik nilai fitness-nya akan lebih tinggi. Ini dapat terlihat dari hasil pengujian dengan iterasi 4 sampai dengan terakhir polanya kebanyakan selalu meningkat. Dari Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa jika jumlah iterasi semakin besar maka partikel – partikel lebih banyak menjelajah tempat – tempat pada ruang solusi yang diperlukan. Tetapi jika jumlah iterasi yang dimasukkan terlalu besar, hal ini berakibat pada lamanya waktu komputasi program. Jika waktu komputasi terlalu lama maka berakibat pada menurunya performa dari program itu sendiri, dan kemungkinan besar program juga tidak
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
P EN GUJ I AN KO N VER GEN SI
80
FITNESS
1138
P-1
70
P-2
60
P-3
50
P-4 P-5
40
P-6
30
P-7
20
P-8 P-9
10
P - 10
0 1
2
4
8
12
16
20
26
32
38
44
64
84
104
124
144
JUMLAH ITERASI
Gambar 3. Grafik Detail Hasil Pengujian Iterasi Iterasi best) menjadi lebih dominan, hal ini banyak diminati pengguna. Selain ituKonvergensi jika jumlah Jumlah(local
iterasi terlalu sedikit maka kemungkinan nilai fitness dari partikel terbaik dari PSO masih relatif lebih rendah hal ini dikarenakan karena hasil PSO sangat dipengaruhi oleh proses inisialisasi partikel, hal ini dapat dilihat pada jumlah iterasi 4 yang memiliki rata – rata fitness paling rendah. 10.2. Pengujian Pengaruh Nilai C1 dan C2 dalam PSO Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa kombinasi nilai C1 dan C2 yang paling baik adalah nilai C1 sebesar 0.5 dan nilai C2 sebesar 0.5. Dengan kombinasi ini rata – rata hasil fitness yang didapatkan dari 5 kali percobaan dengan kombinasi nilai yang sama adalah 68.10089328. Selain itu dari hasil pengujian dan hasil kajian pustaka dapat disimpulkan bahwa jika nilai C1 jauh lebih besar daripada nilai C2, maka nanti dalam penentuan kecepatan nilai PBest
menyebabkan partikel dengan fitness rendah hanya berputar – putar di dalam local best (tidak bergerak menuju global best). Jika hal tersebut terjadi maka partikel dengan nilai fitness yang rendah membutuhkan lebih banyak perulangan untuk dapat meningkatkan nilai fitness-nya secara signifikan. Selain itu jika nilai C2 jauh lebih besar daripada nilai C1 maka dikhawatirkan nilai GBest (global best) sangat berpengaruh terhadap penentuan nilai kecepatan dari suatu partikel. Jika hal ini terjadi maka partikel dengan nilai fitness rendah terlalu cepat dalam berpindah posisi, ini memungkinkan kondisi dimana partikel tersebut melewati bagian dari ruang solusi yang memiliki fitness paling baik. Hal tersebut memiliki kemungkinan lebih besar terjadi jika nilai GBest yang ada masih belum terlalu baik (Juneja, 2016). 10.3. Pengujian Pengaruh Nilai W dalam PSO
Hasil Pengujian Nilai C1 dan C2
Hasil Pengujian Pengaruh Nilai W
80 60
Nilai Fitness
Nilai Fitness
80
40
20
60 40 20
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
No Pengujian Gambar 4. Grafik Hasil Pengujian Nilai C1 dan C2 Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
0 0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
Nilai W
0,7
0,8
Gambar 5. Grafik Hasil Pengujian Nilai W
0,9
1
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa hasil pengujian nilai W yang memiliki nilai fitness terbesar adalah percobaan dengan nilai W sebesar 0.8. Percobaan dengan nilai W tersebut menghasilkan rata – rata fitness dalam 5 kali percobaan sebesar 68.1729021. Dari hasil ini dapat terlihat bahwa jika nilai W yang digunakan terlalu kecil maka pada saat update kecepatan peran dari nilai kecepatan dalam iterasi sebelumnya tidak terlalu berpengaruh, hal ini akan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya konvergensi dini. Selain itu kondisi ini juga dapat menyebabkan perpindahan posisi yang dilakukan oleh partikel bergerak terlalu lambat. Hal ini ini menyebabkan partikel yang memiliki nilai fitness yang berbeda jauh dengan fitness terbaik dari seluruh partikel membutuhkan iterasi yang lebih banyak untuk dapat mendekat ke posisi partikel terbaik tersebut (Clerc, 2011). Selain itu hasil pengujian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Clerc (2011) yang menyatakan bahwa nilai W sebaiknya tidak terlalu kecil dan tidak melebihi angka 1. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa nilai W terbaik untuk PSO berada pada kisaran 0.7 – 0.8, pernyataan tersebut sesuai dengan hasil pengujian yang menyatakan bahwa nilai W terbaik adalah 0.8. 10.4. Pengujian Pengaruh Jumlah Partikel dalam PSO Hasil Pengujian Jumlah Partikel 80 70
60
1139
menghasilkan rata – rata fitness dalam 5 percobaan sebesar 68.17290121. Dari hasil pengujian ini dapat terlihat bahwa semakin besar jumlah partikel semakin baik nilai fitness-nya. Dari hasil ini dapat terlihat bahwa semakin besar jumlah partikel maka kemungkinan semakin baik nilai fitness-nya akan lebih tinggi. Ini dapat terlihat dari hasil pengujian dengan jumlah partikel 1 sampai dengan terakhir polanya rata rata selalu meningkat, meskipun tidak semuanya meningkat dikarenakan nilai awal PSO adalah random sehingga hasil pengujian akan sedikit berbeda antara satu dengan yang lainya. Pola yang meningkat ini dikarenakan jika jumlah partikel semakin banyak maka posisi – posisi dalam ruang solusi yang dijelajahi menjadi lebih banyak. Tetapi jika jumlah partikel yang dimasukkan terlalu besar, hal ini berakibat pada lamanya waktu komputasi program. Jika waktu komputasi terlalu lama maka berakibat pada menurunya performa dari program itu sendiri, dan kemungkinan besar program juga tidak banyak diminati pengguna. 10.5. Pengujian Hasil Perangkingan AHP dan Hasil Klasifikasi Kesesuaian Lahan Pengujian hasil perangkingan dilakukan dengan cara menguji kemampuan perangkingan program dengan 3 macam lahan dengan 10 macam tanaman. Nantinya program akan membandingkan hasil perangkingan yang dilakukan oleh program dan yang dilakukan oleh pakar. Hasil perangkingan menurut pakar dapat dilihat pada Tabel 18, sedangkan hasil perangkingan menurut program dapat dilihat pada Tabel 19:
Nilai Fitness
Tabel 18. Hasil Perangkingan Menurut Pakar
50
Hasil Rangking Pakar
40
No Tanaman
30 1
20 10 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
Jumlah Partikel Gambar 6. Grafik Hasil Pengujian Jumlah Partikel
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa jumlah partikel dengan nilai fitness terbesar adalah percobaan dengan jumlah partikel 13 dan jumlah prcobaan dengan jumlah iterasi melebihi 13. Percobaan dengan jumlah iterasi tersebut Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
1
9
10
2
6
4
3
3
10
8
9
4
4
1
7
5
2
2
4
6
5
7
8
7
7
3
2
8
9
10
6
9
8
5
1
10
3
6
5
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
1140
Tabel 19. Hasil Perangkingan Menurut Program
Hasil Rangking Program No Tanaman
Hasil Rangking Program No Tanaman
Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
9
S2
S2
S1
1
2
8
10
10
S1
S1
S2
2
6
5
2
3
7
9
9
4
1
1
4
5
3
3
5
6
8
6
7
7
5
4
3
8
10
10
8
9
9
2
1
10
4
7
6
Kemudian untuk menentukan seberapa baik hasil perangkingan yang dilakukan oleh sistem jika dibandingkan dengan pakar maka akan dihitung dengan menggunakan metode koefisien korelasi Spearman. Metode ini akan menghitung kualitas perangkingan dengan cara menghitung kuadrat selisih antara hasil rangking pakar dengan hasil rangking program kemudian membaginya dengan jumlah kemungkinan selisih rangking antara kedua hasil. Dari metode ini didapatkan nilai koefisien korelasi Spearman dari hasil perangkingan program sebesar 0.8598. Nilai korelasi tersebut dapat diartikan bahwa hasil perangkingan menurut program masuk dalam kategori sangat kuat (sangat sesuai dengan hasil perangkingan dari pakar). Setelah mendapatkan kelas kesesuaian lahan. Nantinya program akan membandingkan hasil klasifikasi kesesuuaian lahan yang dilakukan oleh program dan yang dilakukan oleh pakar. Hasil klasifikasi menurut pakar dapat dilihat pada Tabel 20, sedangkan hasil klasifikasi menurut program dapat dilihat pada Tabel 21: Tabel 20. Hasil Klasifikasi Menurut Pakar Hasil Klasifikasi Pakar No Tanaman Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
1
S2
S2
S3
2
S2
S2
S1
3
S1
S3
S3
4
S1
S1
S1
5
S1
S1
S2
6
S2
S1
S2
7
S2
S2
S1
8
S2
S2
S3
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Tabel 21. Hasil Klasifikasi Menurut Program Hasil Klasifikasi Program No Tanaman Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
1
S1
S2
S3
2
S2
S2
S1
3
S1
S3
S3
4
S1
S1
S2
5
S1
S1
S2
6
S2
S1
S2
7
S1
S2
S1
8
S2
S2
S2
9
S2
S2
S1
10
S1
S1
S2
Selanjutnya untuk menghitung tingkat akurasi dari hasil klasifikasi program maka dilakukan konversi untuk merubah hasil klasifikasi S1 menjadi angka 4, S2 menjadi angka 3, S3 menjadi angka 1 dan N menjadi angka 1. Setelah dilakukan konversi maka dapat dihitung nilai korelasi Spearmanya. Dari perhitungan tersebut didapatkan nilai korelasi Spearman untuk klasifikasi sebesar 0.9659. Nilai korelasi tersebut dapat diartikan bahwa hasil perangkingan menurut program masuk dalam kategori sangat kuat (sangat sesuai dengan hasil perangkingan dari pakar). 11. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pengujian dan pembahasan diatas maka dapat disimpukan bahwa algoritma PSO – FAHP dapat diterapkan pada kasus pemilihan tanaman terbaik dan pengklasifikasian kelas kesesuaian lahan. Selain itu pada penelitian telah dilakukan ini dapat diambil kesimpulan bahwa nilai dari parameter PSO yang terbaik adalah parameter PSO dengan jumlah iterasi sebanyak 124, jumlah partikel sebanyak 13, nilai C1 sebesar 0.5, nilai C2 sebesar 0.5 dan nilai konstanta W sebesar 0.8. Selain itu pada penelitian ini metode FuzzyAHP PSO memiliki tingkat korelasi Spearman untuk hasil perangkingan sebesar 0.8598 dan untuk hasil klasifikasi sebesar 0.9659. Angka ini didapatkan dari menghitung tingkat kedekatan hasil perangkingan atau klasifikasi yang
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
dilakukan oleh pakar dan hasil perangkingan atau klasifikasi yang dilakukan oleh sistem dengan menggunakan metode korelasi Spearman. Bedasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat saran – saran yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya dengan topik ataupun algoritma yang sama seperti : 1. Pada penelitian berikutnya nilai threshold yang digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan, nilainya dapat berubah – ubah untuk mendapatkan akurasi yang lebih baik. 2. Pada penelitian selanjutnya perlu menggunakan konsep dimana nilai konstanta pada PSO berubah secara otomatis sesuai jumlah iterasi. 3. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya diberi batasan konvergen agar perulangan pada proses PSO dapat berhenti secara otomatis ketika nilainya sudah konvergen atau dapat melakukan random injection agar mampu mencari nilai fitness yang lebih baik lagi. 4. Pada penelitian berikutnya perlu ditambahkan kriteria yang berasal dari faktor sosial, sehingga nantinya program dapat menampung lebih banyak aspek yang dapat mempengaruhi keputusan pemilihan tanaman. 12. DAFTAR PUSTAKA Abdel Rahman, M.A.E., Natarajan, A., Hegede, R., 2016. Assesment of land suitability and capability by intregating remote sensing and GIS for agriculture in chamarajanagar district, Karnataka, India. ELSEVIER. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman, < http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/tamp _komoditas.php> [Diakses 1 November 2016]. Badan Pusat Statistik. 2016 . Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 1998 – 2016.
[Diakses 29 November 2016]. Badan Pusat Statistik (BPS), 2015. Statistik Indonesia Statistical Yearbook of Indonesia 2015. Jakarta : Badan Pusat Statisik. Cholissodin, I., 2017, Buku Ajar Particle Swarm Optimization. Fakultas Ilmu Komputer. Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
1141
Universitas Brawijya. Malang Clerc, M., 2011. Particle Swarm Optimization. ISTE. New York : United States Of America. Javanbarg, M.B., Schawthorn, C., Kiyono, J., Shahbodaghkhan, B., 2013. Fuzzy AHP – based multicriteria decision aking system using particle swarm optimization. ELSEVIER. Juneja, M., Nagar, S.K., 2016. Particle swarm optimization algorithm and its parameters: A review. 2016 International Conference on Control Computing, Communication and Materials (ICCCCM). Rachmawati., Rekomendasi Kecocokan tanaman Holtikutura Berdasarkan Komposisi Struktur Tanah Pada Kota Batu Menggunakan Metode SAW. S1. Universitas Brawijaya. Prakash., 2003. Land Suitability analysis for Agricultural Crops: A Fuzy Multiciteria Decision Making Approach. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Nethetlands. Sholeh, R., Agus, F., hatta, H.R., 2014. Analytical Hierarchy Process for Land Suitability Analysis. 2014 1st International Conference on Information Technology, Computer and Electrical Engineering (ICITACEE). Syukri, Asil B., 2008. Agroteknologi Tanaman Buah-buahan. Medan : USU press. Ritung, S., Wahyunto., A, Fahmuddin., H, Hapid, 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan. Balai Penelitian Tanah dan Word Agroforesty Centre. Varthanan, P.A., Murugab, N., Kumar, G.M., 2013. An AHP based heuristic DPSO algorithm for generating multi criteria production – distribution plan. ELSEVIER. Wang, H.S., Che, Z.H., Wu, Chienwen., 2010. Using analytic hierarchy process and particle swarm optimization algorithm for evaluating product plans. ELSEVIER. Zar, C.H., 2005. Spearman Rank Corelation. New Jersey : WILEY.