JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
1
Implementasi Metode Alignment Citra Berbasis Boundary Fourier Descriptor Leska Tariyani, Darlis Herumurti, Rully Soelaiman Jurusan Teknik Informatika, Fakultas FTIF Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS-Sukolilo, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak— Image alignment merupakan sebuah teknik yang fundamental pada berbagai aplikasi machine vision dan pengolahan citra, termasuk image retrieval, pengenalan objek, estimasi posisi, inspeksi industri, penelusuruan target, dan lain sebagainya. Makalah ini menyajikan implementasi metode alignment citra berbasis Boundary Fourier Descriptor (FDBIA). Algoritma ini memanfaatkan teknik untuk mendeteksi komponen dan kontur menggunakan algoritma pelacakan Run Length Encoding (RLE) dan tabel Blobs untuk mendapatkan informasi piksel di daerah-daerah yang diminati. Nilai dan informasi fase Deskriptor Fourier digunakan untuk membentuk kesesuaian antara target objek terdeteksi dalam citra referensi dan citra yang diinspeksi, sehingga parameter untuk menyelaraskan kedua gambar dapat diperkirakan. Deskriptor Fourier yang didapat dari boundary komponen digunakan untuk mencocokkan objek target. Pada tahap terakhir, parameter transformasi untuk menyelaraskan citra inspeksi dengan citra referensi didapatkan berdasarkan teknik baru phase-shift. Hasil uji coba menunjukkan bahwa implementasi metode ini memiliki akurasi cukup besar. Hal ini terlihat pada rooted mean square (RMS) Error rata-rata sebesar 3.8627555695˚ untuk pendeteksian rotasi citra, dan RMS Error rata-rata sebesar 4.3954495 piksel untuk pendeteksian translasi citra. Metode ini dapat dikembangkan terutama pada pendeteksian komponen yang lebih maksimal untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Kata Kunci— alignment citra, Deskriptor Fourier, penelusuran kontur, Run Length Encoding (RLE), Tabel Blob, teknik phaseshifted. I. PENDAHULUAN
I
mage
alignment
merupakan
sebuah
teknik
yang
fundamental pada berbagai aplikasi machine vision dan pengolahan citra, termasuk image retrieval, pengenalan objek, estimasi posisi, inspeksi industri, penelusuruan target, dan lain sebagainya. Sebagai aplikasi pendeteksi kesalahan pada lingkungan industri yang pada umumnya berada dalam kondisi terkontrol (seperti pada proses pencocokan jarak antara lensa dan obyek yang diperiksa), pada umumnya image alignment ditampilkan dengan batasan kasus transformasi 2-dimensi, dalam konteks ini di antaranya adalah rotasi yang sama dengan kompensasi penskalaan yang terbatas. Makalah ini menyajikan Fourier Descriptor Based Image Alignment Algorithm (FDBIA) [1]. Sebuah algoritma untuk mendeteksi komponen dan penelusuran kontur menggunakan informasi jarak dan fase dari Deskriptor Fourier untuk menghubungkan antara objek sasaran yang terdeteksi dalam
referensi dan gambar yang diperiksa, sehingga parameter untuk menyelaraskan dua gambar dapat sesuai diperkirakan. Untuk meningkatkan efisiensi komputasi, deteksi komponen dan kontur menggunakan algoritma pelacakan Run Length Encoding (RLE) dan tabel Blobs untuk mendapatkan informasi piksel di daerah-daerah yang diminati. Deskriptor Fourier didapatkan dari batas terluar komponen citra yang digunakan untuk mencocokkan target objek. Selanjutnya, parameter transformasi untuk menyelaraskan gambar yang diperiksa dengan gambar referensi ditaksir berdasarkan teknik baru phase-shift. II. DASAR TEORI A. Image Alignment Teknik image alignment secara umum dibagi menjadi dua kategori utama, metode berbasis area (atau berbasis intensitas) dan metode berbasis fitur (atau berbagis geometri) [2]. Metode berbasis area disebut juga dengan metode template matching dan begitu terkenal di dekade lampau dikarenakan konsep dasarnya. Pertama, template kecil yang dijadikan sebagai referensi dicocokkan pada citra latar dengan menggesernya di tiap piksel dan normalized cross correlation (NCC) dihitung antara template dan citra latar. Kemudian nilai maksimum atau puncak–puncak pada nilai korelasi yang telah dihitung mengindikasikan kecocokan antara template dan sub-citra dalam citra latar. Dalam rangka membuat metode image matching agar tidak terpengaruh oleh rotasi, sebuah transformasi ring-projection ditawarkan untuk mengubah sebuah citra level keabuan 2dimensi menjadi representasi citra invarian pada rotasi dalam ruang 1-D ring-projection space [3]. Tsai dan Chiang [4] menggunakan ring-projection lebih lanjut untuk menampilkan kembali pola target pada penyusunan gelombang sub-citra, dengan menggunakan piksel yang memiliki koefisien gelombang tinggi pada level resolusi rendah untuk menghitung NCC antara dua pola yang dibandingkan. Sebagai tambahan, Choi dan Kim [5] menyajikan dua langkah metode image alignment yang pertama menemukan kandidat dengan membandingkan jumlah vektor dari ring-projection, dan kemudian mencocokkan kandidat tersebut berdasarkan pada momen invariant rotasi. Di antara metode berbasis fitur, Huttenlocher et al. [6-7] mengaplikasikan langsung Hausdorff distance dalam rangka mengembangkan beberapa algoritma yang efisien untuk image alignment. Kown et al. [8] menawarkan sebuah hierarki Hausdorff distance untuk membandingkan peta tepi pada struktur multilevel pyramid. Sebagai tambahan, Chen et al. [9]
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 menggunakan Hausdorff distance untuk image alignment pada system inspeksi PCB. Di samping itu, deskriptor lokal biasa digunakan pada sejumlah aplikasi nyata seperti pengenalan pola. Lowe [10] menawarkan scale invariant fitur transform (SIFT), dikombinasikan detektor area yang invarian pada penskalaan dan deskriptor berdasarkan distribusi gradien pada area terdeteksi. SIFT fokus di fitur lokal pada titik perhatian khusus dan invarian pada penskalaan serta rotasi. Perbandingan beberapa metode image alignment dapat dilihat pada Tabel 1. yang menunjukan secara keseluruhan pendekatan dan kekurangan pada setiap kategori pada metode image alignment. Kategori berbasis area mengadopsi image templates sebagai fitur pencocok dan menggunakan cross correlation atau ring-projection untuk meregristasikan citra, namun kesemuanya bisa mengakibatkan waktu komputasi yang mahal bagi sebuah aplikasi karena melibatkan transformasi citra yang kompleks. Di sisi lain kategori berbasis fitur menawarkan edge maps, titik yang diminati, bentuk kontur dan deskriptor invarian sebagai fitur pencocok. Pendekatan yang digunakan adalah Hausdorff distance, feature correspondence, dan estimasi transformasi. Kekurangan dari kategori berbasis fitur ini adalah kesalahan pencocokan dikarenakan ekstraksi fitur yang tidak akurat. Tabel 1. Perbandingan beberapa metode image alignment.
Deskripsi bentuk berbasis kontur sangat tepat diaplikasikan pada aplikasi yang bentuk konturnya telah tersedia dengan menggunakan teknik contour tracing [11]. Berbagai deskriptor berbasis kontur telah diusulkan. Momen invariants yang telah dikembangkan [12], yang dihitung hanya dengan menggunakan bentuk boundary, dapat mengurangi komputasi yang diperlukan pada momen invariants tradisional. Zhang dan Lu [13] mengevaluasi dan membandingkan dua deskriptor bentuk yang penting dan menjanjikan, yakni Fourier Descriptor (FD) dan Curvature Scale Space Descriptor (CSSD). Keefektifan dan efisiensi dari FD ditemui lebih tinggi daripada CSSD untuk image retrieval. FD merupakan deskriptor bentuk yang sangat baik dan terdapat berbagai bentuk modifikasi dari metode FD [14-16]. Bagaimanapun juga deskriptor di atas didesain untuk pencocokan rotationinvariant dan tidak diupayakan untuk mengestimasi sudut rotasi di antara dua bentuk yang terhubung pada citra yang berlainan untuk menampilkan image alignment seperti permintaan pada aplikasi inspeksi industri. B. Algoritma Fourier Descriptor Based Image Alignment (FDBIA) Algoritma FDBIA ditawarkan untuk bisa diterapkan pada berbagai aplikasi machine vision dan pengolahan citra, termasuk image retrieval, pengenalan objek, estimasi posisi,
2 inspeksi industri, penelusuruan target, dan lain sebagainya. Metode contour tracing digunakan untuk mengidentifikasikan boundary yang kemudian dideskripsikan secara berurutan pada FD. Pada umumnya aplikasi machine vision dan pengolahan citra memiliki variasi penskalaan yang kecil sekali serta area sasaran pencocokan mirip sehingga bisa digunakan sebagai media untuk mencocokkan kandidat objek yang paling memungkinkan. Titik berat dan informasi tahapan pada FD digunakan untuk meningkatkan kecocokan antara target objek yang terdeteksi pada citra referensi dan citra yang diinspeksi, sehingga parameter pencocokan antara kedua citra bisa diestimasikan. Algoritma FDBIA terdiri dari tiga fase: (1) tahap pelatihan, (2) tahap pencocokan, dan (3) tahap penyelarasan. Dalam tahap pelatihan, input citra referensi R dan region of interest (ROI) yang mengandung jejak pemeriksaan dalam R ditetapkan secara otomatis menggunakan teknik penelusuran kontur yang mengidentifikasi sepanjang batas objek. Kemudian, merupakan batas piksel yang didapatkan, di mana p adalah jumlah Deskriptor Fourier. FD ini dimasukan pada tahap pencocokan dan tahap penyelarasan, secara berurutan. Untuk tahap pencocokan, citra S yang diperiksa adalah input dan semua komponen yang terhubung dalam S dideteksi. Namun, hanya kandidat komponen dengan ukuran yang sama dengan yang ada pada jejak pemeriksaan menjadi konsentrasi dalam melakukan penelusuran kontur untuk menyimpan perhitungan. Anggap menjadi informasi batas kontur komponen kandidat k, yang sesuai bisa diperhitungkan. Kita mengaplikasikan pencocokan jarak minimum untuk mengidentifikasi komponen target berdasar teknik pembatasan untuk mempercepat perhitungan. Terakhir, pada tahap penyelarasan, estimasi translasi dilakukan dengan menggunakan vektor antara pusat yang terdeteksi pada komponen target R dan S. Estimasi orientasi dipenuhi dengan menggunakan teknik baru phase-shifted dengan referensi FD. III. METODOLOGI A. Pendeteksian Komponen Terhubung Pada algoritma FDBIA, untuk pendeteksian komponen terhubung digunakan tabel RLE dan Blob. Tabel RLE merupakan tabel untuk menyimpan informasi citra dengan atribut xs (x start), xe (x end), yn (current y), dan next (nilai index run yang terhubung). Sedangkan tabel Blob juga menyimpan informasi citra dengan atribut parent (parent Blob), size (jumlah run yang terdapat pada tiap Blob), first (index run yang menjadi run pertama dalam Blob), dan last (index run yang menjadi run terakhir dalam Blob). Algoritma: 1. Scan tiap piksel pada binary image di koordinat (x,y) dan melihat nilai tiap pikselnya, apakah nilainya 1 (putih) atau 0 (hitam). Scanning dilakukan dari pojok kiri atas pada tiap baris y image. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 1. 2. Apabila bertemu dengan nilai 0 akan disimpan sebagai xs (x start) dari run r(xs, xe, yn), kemudian apabila nilai
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 piksel setelahnya masih 0, proses scan akan diteruskan hingga bertemu dengan nilai 1 kembali. Sehingga piksel ke-(n-1) dicatat sebagai xe (x end). Sedangkan nilai baris ke-n dicatat sebagai nilai yn. Tiap run akan diberi index secara berurutan. 3. Nilai next adalah nilai index run yang terhubung dengan current run (run yang sedang di scan). Nilai next pada yn sementara dicatat sebagai null, kemudian pada y(n+1) nilai next akan diupdate. 4. Run r(xa, xb, yn) yang memenuhi kriteria xa ≥ xs - 1, xb ≤ xs + 1, dan yn = y – 1 terhubung dengan current run r(xs, xe, yn). 5. Setiap bertemu current run yang belum terhubung dengan run lain, maka akan terbentuk Blob baru dengan parent
3 C. Transformasi Deskriptor Fourier Transformasi deskriptor Fourier diperoleh dengan menerapkan transformasi Fourier untuk bentuk signature. Himpunan koefisien normalisasi transformasi Fourier disebut Fourier Descriptor (FD) dari bentuk. Bentuk signature adalah fungsi 1-D mewakili batas 2-D, dan selalu mendeskripsikan bentuk dengan unik. Berbagai bentuk signature telah dimanfaatkan untuk mendapatkan FD. Koordinat kompleks, kurva fungsi, fungsi sudut kumulatif, dan jarak centroid adalah bentuk signature yang umum digunakan. Di antaranya, jarak titik berat telah secara empiris terbukti paling efektif [18]. Asumsikan bahwa koordinat piksel sepanjang bentuk batas kontur adalah (x(n), y(n)), n=0,1,2,….,N-1, dimana N menunjukkan jumlah titik batas.
(a) (b) Gambar 2. (a) Citra biner (b) Kontur dari citra biner [1] Gambar 1. Proses pengisian table RLE dan Blobs pada citra sederhana [1]
null dan current run tersebut akan dicatat sebagai first dan last dari Blob baru dan ukurannya masih satu. Apabila current run tersebut terhubung dengan run x pada yn = y+1, maka run x menjadi anggota Blob dari run yang terhubung dengannya. 6. Apabila pada yn = y +1 terdapat run x yang tidak terhubung dengan Blob yang sudah ada, maka run x tersebut merupakan parent dari Blob yang baru. 7. Ketika sebuah run memiliki lebih dari 1 run yang terhubung dengannya, maka dia berperan sebagai penghubung dari Blob – Blob yang terhubung dengannya. Cara menghubungkannya adalah : y last dari Blob i dihubungkan dengan y first dari Blob (i+1) . B. Teknik Penelusuran Kontur Tujuan dari teknik penelusuran kontur [11] adalah untuk mencari informasi lokasi dari kontur terluar pada komponen terhubung. Dengan informasi lokasi keseluruhan piksel pada setiap komponen yang tersimpan dalam table RLE dan Blob, kita bisa mendapatkan kontur terluar citra. Algoritma penelusuran kita dimulai dari blob 0 pada table Blob, kemudian menelusuri run pertama berdasarkan blob 0 pada table RLE. Menggunakan informasi ketetanggaan dari run-run yang berurutan pada table RLE, kita bisa mendapatkan informasi lokasi dari piksel boundary. Blob selanjutnya akan diperlakukan dengan proses yang sama. Pada akhirnya kita akan mendapatkan informasi boundary yang dibutuhkan. Sebagai contoh, informasi kontur komponen yang terhubung dalam Gambar 2(a) ditunjukkan pada Gambar 2(b) Kontur boundary merupakan signature bentuk region of interest (ROI) dan citra yang diinspeksi kemudian kami akan menggunakan Deskriptor Fourier untuk mentransformasi signature ini.
Fungsi jarak centroid didefinisikan oleh jarak Euclidean antara titik batas dan centroid (xc, yc) dari bentuk, yaitu: [ ] [ ] (1) dimana, ∑
,
∑
(2)
Jarak centroid signature r(n) invarian untuk translasi. Meskipun demikian, rotasi bentuk akan menyebabkan pergeseran pada keseluruhan set r(n), dan penskalaan bentuk akan meningkatkan atau menurunkan nilai r (n) secara linier. Untuk jarak centroid signature r(n), pada Transformasi Fourier diskrit diberikan oleh. ∑ u N-1 (3) Perhitungan ini menghasilkan satu set koefisien Fourier (au), yang merupakan representasi dari bentuk signature r(n). Karena bentuknya yang dihasilkan mengalami rotasi, translasi dan penskalaan dari bentuk serupa, representasi bentuk berdasarkan FD harus invarian terhadap kondisi ini. Bentuk umum dari koefisien Fourier pada bentuk yang dihasilkan dengan translasi, rotasi dan penskalaan didapatkan dari: (4) Di mana dan s adalah faktor rotasi dan penskalaan, secara berurutan, dan dasar phase-shift τ didapatkan dari: (5) Sekarang, kita pertimbangkan ekspresi berikut, [
]
[
] (6)
di mana adalah komponen DC; bu dan adalah normalisasi koefisien Fourier dari bentuk yang diinspeksi dan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
4
bentuk asli, secara berurutan. Dari Persamaan (6), hanya ada fase pergeseran antara bu dan , dan besarnya | bu | dan adalah sama. Dengan kata lain, | bu | invarian terhadap translasi, rotasi dan penskalaan. Oleh karena itu, besarnya set normalisasi koefisien Fourier yang sesuai untuk bentuk apapun, , dapat digunakan sebagai deskripsi bentuk, dinotasikan sebagai { , 0
∑
∑
∑
(7)
Kemudian parameter translasi ̅ didapatkan dari, ̅ (8) Di sisi lain, informasi tahap FD diadopsi untuk memperkirakan sudut rotasi dari bentuk. Seperti disebutkan di atas, normalisasi koefisien Fourier dari bentuk yang diinspeksi, bu, dan bentuk asli, , ada hanya sebagai phase[ ] karena rotasi pada bentuk yang diinspeksi. shifted Titik awal dalam jarak centroid signature r(n) pada bentuk akan berubah karena rotasi citra. Kemudian, kita dapat memperoleh informasi fase dari koefisien Fourier r(n). Selanjutnya, sudut rotasi diperkirakan dari perbedaan [ ] antara bu dan . Phase-shifted diperoleh antara bu dan pada frekuensi u, misalnya, phase-shifted adalah 30° pada saat informasi fase τ tersebut ditetapkan dengan nilai 5° dan u frekuensi diatur dengan nilai 6. Gambar 3. menunjukkan bahwa koordinat bentuk boundary sama dengan (x(n), y(n)) ketika koordinat awal titik (x(0), y(0)) adalah , dimana n adalah jumlah pergeseran di titik awal. Ketika tahap informasi τ diketahui pada frekuensi u, maka jumlah pergeseran n dapat diturunkan dari persamaan berikut: (9) Sudut rotasi θd dari bentuk dalam domain spasial diperoleh dari informasi phase-shifted dengan menggunakan metode estimasi least-squares dan interpolasi linier.
Gambar 3. Rotasi pada sebuah citra [1]
Berikut ini, kami mengasumsikan bentuk koordinat ) boundary ( , dan koordinat ( ) boundary dari bentuk yang dirotasi , k dan N menunjukkan indeks dan jumlah titik boundary. Kemudian transformasi antara bentuk asli dan yang telah dirotasi dihitung dengan, [
[
]
[
][
] (10)
]
dimana R adalah matrix rotasi dengan sudut θ, oleh karenanya, P’’ adalah himpunan koordinat boundary yang dirotasi dari P. Untuk itu, kita bisa mendefinisikan fungsi error E sebagai berikut, ∑ ∑ (11) Nilai optimal θ bisa didapat dengan menemukan nilai minimum dari E berdasarkan kriteria estimasi least-square. Hal ini mengimplikasikan bahwa , perhitungannya bisa diperlihatkan dengan, ∑
[ [
[
∑ ∑
Apabila ∑ ∑ perhitungan di atas dapat ditulis sebagai,
]
] ]
(12)
, dan
(13)
Sudut θ dihitung dengan, (14) Pada perhitungan (3.8), nilai dari pergeseran n dihitung namun nilainya secara umum bukanlah integer. Oleh
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
5
karenanya, kami menggunakan interpolasi linier untuk mentransfer nilai non-integer ini menjadi nilai terdekat dengan nilai integer. Apabila dan merupakan nilai yang terletak di bawah dan di atas n, secara berurutan. Kita asumsikan θ1 dan θ2 didapatkan dari perhitungan (13) di mana nilai koordinat pergeseran sama dengan dan . Nilai real θd diestimasikan dengan, (15) dimana Tr merupakan perbedaan antara n dan .
Tabel 2. Ujicoba dengan citra IC_Teridian.jpg
IV. UJI COBA DAN EVALUASI Data yang digunakan untuk mendapatkan hasil uji coba adalah citra berukuran maksimal 256 × 256 piksel. Ada 4 buah citra digital yang diujicobakan yakni IC_Teridian.jpg, IC_LevelOne.jpg, 602px_KL_Motorolla_68EC000_PLCC .jpg, dan KMN416C1004AT-6.jpg. Citra – citra tersebut berasal dari pencarian di internet yang telah mengalami preprocessing berupa pengubahan ukuran dan kontras sehingga sesuai untuk menjadi input program implementasi algoritma FDBIA. Data tersebut sebelum diproses, akan dilakukan konversi menjadi citra biner. Hal ini dikarenakan program hanya dapat menerima masukan untuk proses berupa citra biner. Terdapat dua skenario, pertama adalah melakukan rotasi pada crop citra inspeksi S dengan sudut antara 0˚ - 20˚. Pada skenario ini dapat kita lihat tingkat keberhasilan dan ratarata waktu eksekusi yang dibutuhkan algoritma FDBIA. Tingkat keberhasilan menggunakan rooted mean square error (RMS Error) sebagai berikut. √
∑
(16)
Kedua adalah melakukan translasi pada crop citra inspeksi S dengan rentang nilai translasi 0 – 20 piksel. Pada skenario kedua ini dapat kita lihat tingkat keberhasilan menggunakan RMS error, kemudian rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk eksekusi juga bisa kita lihat. Kedua percobaan tersebut akan dijelaskan dalam beberapa subbab berikut ini. A. Hasil uji coba dengan melakukan rotasi pada crop citra inspeksi S Pada skenario pertama ini akan dilakukan uji coba untuk mengetahui hasil dari penyelarasan citra dengan melakukan rotasi pada crop citra inspeksi S. Tabel 2. menunjukkan gambar salah satu citra yaitu IC_Teridian beserta ROI dan citra inspeksinya, dilanjutkan Gambar 4. yang menunjukkan grafik hasil dari uji coba rotasi pada citra ini. Dari uji coba ini tampak bahwa hasil penyelarasan citra dalam domain rotasi menggunakan algoritma FDBIA memiliki RMS Error pada 4 citra input secara berurutan sebesar: 1.760552408˚, 3.021040941˚, 8.222859489˚, dan 2.44656944˚. Untuk menilai tingkat keberhasilan dari uji coba ini, maka kita ambil rata-rata RMS Error, yakni 3.8627555695˚. Dari hasil ini kita bisa melihat nilai RMS Error yang mendekati nol, yang menunjukkan akurasi tinggi. Sedangkan kecepatan eksekusi rata-rata secara berurutan sebesar: 13.2427 detik, 12.3141 detik, 12.2369 detik,dan 12.2482 detik sehingga nilai eksekusi rata-rata keseluruhannya adalah 12.5105 detik. Hal ini menunjukkan bahwa akurasi dan efisiensi hasil penyelarasan sangat dipengaruhi kontras serta ukuran dari elemen citra input.
Gambar 4. Grafik hasil percobaan rotasi pada citra IC_Teridian.jpg
B. Hasil uji coba dengan melakukan translasi pada crop citra inspeksi S Pada skenario kedua ini akan dilakukan uji coba untuk mengetahui hasil dari penyelarasan citra dengan melakukan translasi pada citra inspeksi S. Tabel 3. menunjukkan gambar salah satu citra yaitu IC_LevelOne beserta ROI dan citra inspeksinya, dilanjutkan Gambar 5. yang menunjukkan grafik hasil dari uji coba rotasi pada citra ini. Dalam uji coba ini tampak bahwa hasil penyelarasan 4 citra dalam domain translasi menggunakan algoritma FDBIA memiliki RMS Error secara berurutan sebesar: 0.113022 piksel, 2.002027 piksel, 5.180039 piksel, dan 10.28671 piksel sehingga RMS Error rata-ratanya adalah sebesar 4.3954495 piksel. Dari nilai RMS Error rata-rata ini kita bisa melihat nilai RMS Error yang mendekati nol, yang menunjukkan akurasi cukup tinggi. Sedangkan kecepatan eksekusi rata-rata secara berurutan sebesar: 12.3212 detik, 12.2611 detik, 12.2573 detik,dan 12.3158 detik sehingga kecepatan eksekusi rata-ratanya adalah 12.2885 detik. Hal ini menunjukkan bahwa akurasi dan efisiensi hasil penyelarasan sangat dipengaruhi posisi dan kontras dari elemen pada citra input. Tabel 3. Ujicoba dengan citra IC_LevelOne.jpg
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
6 [6] [7]
[8] [9] [10] Gambar 5. Grafik hasil percobaan rotasi pada citra IC_LevelOne.jpg
V. KESIMPULAN Dengan melihat hasil uji coba yang dilakukan pada 4 citra IC yakni IC_Teridian.jpg, IC_LevelOne.jpg, 602px_KL_Motorolla_68EC000_PLCC.jpg, dan KMN416C1004AT-6.jpg terlihat bahwa implementasi alignment citra menggunakan algoritma Fourier Descriptor Based Image Alignment (FDBIA) serta pendeteksian komponen menggunakan tabel RLE dan Blobs dengan melakukan crop pada citra inspeksi memiliki akurasi cukup besar. Hal ini dapat kita lihat pada hasil RMS Error rata-rata sebesar 3.8627555695˚ untuk pendeteksian rotasi citra, dan RMS Error rata-rata sebesar 4.3954495 piksel untuk pendeteksian translasi citra. Selain itu Algoritma FDBIA berhasil menginspeksi citra dengan efisien dan tidak memakan waktu lama, ini terbukti dari waktu eksekusi rata-rata sebesar 12.5105 detik untuk pendeteksian rotasi citra dan waktu ratarata eksekusi program 12.2885 detik untuk pendeteksian translasi citra. Tingkat keberhasilan pendeteksian ini sangat dipengaruhi oleh kualitas citra input. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka dianjurkan untuk menyeleksi citra yang memiliki kontras yang jelas dan ukuran cukup besar di masing-masing komponen/karakternya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3] [4] [5]
Chen. Chin-Sheng, Yeh. Chun-Whei, & Yin. Peng-Yen, 2008. A novel Fourier Descriptor based image alignment algorithm for automatic optical inspection. Journal of Visual Communication and Image Representation. Vol.20, Issue 3, April (2009), pages 178-189. B. Zitova, J. Flusser, Image registration methods: a survey, Image Vision Computing 21 (2003) 977–1000. Y.Y. Tang, H.D. Cheng, C.Y. Suen, Transformation-Ring-Projection Algorithm and Its VLSI implementation, International Journal of Pattern Recognition and Artificial Intelligence 5 (1–2) (1991) 25–56. D.M. Tsai, C.H. Chiang, Rotation invariant pattern matching using wavelet decomposition, Pattern Recognition Letters 23 (2002) 191–201. M.S. Choi,W.Y. Kim, A novel two stage template matching method for rotation and illumination invariance, Pattern Recognition 35 (2002) 119– 129.
[11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18]
D.P. Huttenlocher, G.A. Klanderman, W.J. Rucklidge, Comparing images using the Hausdorff distance ,IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence 15 (9) (1993) 850–863. D.P. Huttenlocher, R.H. Lilien, C.F. Olson, View-based recognition using an eigen space approximation to the Hausdorff measure, IEEE Transactionson Pattern Analysis and Machine Intelligence 21 (9) (1999) 951–955. O.K. Kwon, D.G. Sim, R.H. Park, Robust Hausdorff distance matching algorithms using pyramidal structures, Pattern Recognition 34 (10) (2001) 2005–2013. C.J. Chen, S.H. Lai, S.W. Liu, T. Ku, S.Y.C. Yeh, Optical PCB inspection system based on Hausdorff distance, Machine Vision Applications in Industrial Inspection 5679 (2005) 53–61. D.G. Lowe, Distinctive image features from scale-invariant keypoints, International Journal of Computer Vision 2 (60) (2004) 91–110. T.D. Haig, Y. Attikiouzel, M.D. Alder, Borderfollowing: new definition gives Improved borders, IEE Proceedings on Communications Speech and Vision 139 (1992) 206–211. C.C. Chen, Improved moment invariants for shape discrimination, Pattern Recognition 26 (5) (1993) 683–686. D. Zhang, G. Lu, A comparative study of curvature scale space and Fourier Descriptors, Journal of Visual Communication and Image Representation 14 (1) (2003) 41–60. D. Zhang, G. Lu, Shape-based image retrieval using generic Fourier Descriptor, Signal Processing: Image Communication 17 (2002) 825– 848. I. Kunttu, L. Lepisto, J. Rauhamaa, Fourier-based object description in defect Image retrieval, Machine Vision and Applications 17 (2006) 211– 218. I. Kunttu, L. Lepisto, Shape-based retrieval of industrial surface defects using Angular radius Fourier Descriptor, IET Image Process 1 (2) (2007) 231–236. R.C. Gonzales, R.E. Woods, Digital Image Processing. New Jersey: Prentice-Hall (2002). D. Zhang, G. Lu, Evaluation of MPEG-7 shape descriptors against other shape descriptors, Multimedia Systems 9 (2003) 15–30.