5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah
Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikelpartikel padat tersebut (Das, 1988). Selain itu dalam arti lain tanah merupakan akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan (Craig,1991).
Tanah juga merupakan kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air (Verhoef,1994). Sedangkan Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran. (Hendarsin, 2000)
Tanah juga didefinisikan sebagai akumulasi partikel mineral yang tidak mempunyai atau lemah ikatan partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan
6
dari batuan. Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang kosong yang disebut pori-pori yang berisi air dan udara. Ikatan yang lemah antara partikelpartikel tanah disebabkan oleh pengaruh karbonat atau oksida yang tersenyawa diantara partikel-partikel tersebut, atau dapat juga disebabkan oleh adanya material organik bila hasil dari pelapukan tersebut di atas tetap berada pada tempat semula maka bagian ini disebut tanah sisa (residu soil). Hasil pelapukan terangkut ke tempat lain dan mengendap di beberapa tempat yang berlainan disebut
tanah bawaan (transportation soil). Media
pengangkutan tanah berupa gravitasi, angin, air dan gletsyer. Pada saat akan berpindah tempat, ukuran dan bentuk partikel-partikel dapat berubah dan terbagi dalam beberapa rentang ukuran. Tanah menurut Bowles (1989) adalah campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut : 1. Berangkal (boulders), merupakan potongan batu yang besar, biasanya lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran antara 150 mm sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles). 2. Kerikil (gravel), partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm. 3. Pasir (sand), partikel batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm, berkisar dari kasar (3-5 mm) sampai halus (kurang dari 1 mm). 4. Lanau (silt), partikel batuan berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm. Lanau dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam deposit yang disedimentasikan ke dalam danau atau di dekat garis pantai pada muara sungai.
7
5. Lempung (clay), partikel mineral berukuran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang kohesif. 6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm. Istilah tanah dalam bidang mekanika tanah dapat digunakan mencakup semua bahan seperti lempung, pasir, kerikil dan batu-batu besar. Metode yang dipakai dalam teknik sipil untuk membedakan dan menyatakan berbagai tanah, sebenarnya sangat berbeda dibandingkan dengan metode yang dipakai dalam bidang geologi atau ilmu tanah. Sistem klasifikasi yang digunakan dalam mekanika tanah dimaksudkan untuk memberikan keterangan mengenai sifat-sifat teknis dari bahan-bahan itu dengan cara yang sama, seperti halnya pernyatan-pernyataan
secara
geologis
dimaksudkan
untuk
memberi
keterangan mengenai asal geologis dari tanah.
B. Klasifikasi Tanah
Maksud klasifikasi tanah secara umum adalah pengelompokkan berbagai jenis tanah ke dalam kelompok yang sesuai dengan sifat teknik dan karakteristiknya. Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem yang mengatur jenis-jenis tanah yang berbeda-beda, tetapi mempunyai sifat-sifat yang serupa kedalam kelompok - kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Dengan adanya sistem klasifikasi ini akan menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang rinci. Klasifikasi
8
ini pada umumnya di dasarkan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Namun semuanya tidak memberikan penjelasan yang tegas tentang kemungkinan pemakaiannya.
Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a. Klasifikasi berdasarkan tekstur dan ukuran Sistem klasifikasi ini di dasarkan pada keadaan permukaan tanah yang bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana di dasarkan pada distribusi ukuran tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gevel), pasir (sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993).
b. Klasifikasi berdasarkan pemakaian Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batasbatas Atterberg.
Klasifikasi tanah diperlukan antara lain untuk hal-hal sebagai berikut : a. Perkiraan hasil eksplorasi tanah (perkiraan log bor tanah, peta tanah, dan lain-lain). b. Perkiraan standar kemiringan lereng penggalian tanah dan tebing. c. Perkiraan pemilihan bahan (penentuan tanah yang harus disingkirkan, pemilihan tanah dasar, bahan tanah timbunan, dan lain-lain). d. Perkiraan persentasi muai dan susut.
9
e. Pemilihan jenis konstruksi dan peralatan untuk konstruksi (pemilihan cara penggalian dan rancangan penggalian). f. Perkiraan kemampuan alat untuk konstruksi. g. Rencana pekerjaan/pembuatan lereng dan tembok penahan tanah (perhitungan tekanan tanah dan pemilihan jenis konstruksi).
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan adalah:
1. Sistem klasifikasi AASHTO.
Sistem klasifikasi ini mengklasifikasikan tanah ke dalam delapan kelompok, A1-A8. Tanah yang masuk dalam golongan A-1 , A-2, dan A3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan
(Sukirman,
1992).
Percobaan
yang
dibutuhkan
untuk
mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan batas plastis.
10
Tabel 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASHTO Klasifikasi umum Klasifikasi kelompok Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
A-1 A-1-a
Maks 50 Maks 30 Maks 15
Tanah berbutir (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200 A-2 A-3 A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7
Maks 50 Maks 25
Min 51 Maks 10
Maks 35
Maks 35
Maks 35
Maks 35
Maks 6
NP
Maks 40 Maks 10
Min 41 Maks 10
Maks 40 Min 11
Min 41 Min 41
Tipe material yang paling dominan
Batu pecah, kerikil dan pasir
Pasir halus
Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung
Penilaian sebagai bahan tanah dasar
Baik sekali sampai baik Tanah berbutir (Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi umum Klasifikasi kelompok
A-4
A-5
A-6
A-7
Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
Min 36
Min 36
Min 36
Min 36
Maks 40 Maks 10
Maks 41 Maks 10
Maks 40 Maks 11
Min 41 Min 11
Tipe material yang paling dominan
Tanah berlanau
Penilaian sebagai bahan tanah dasar
Biasa sampai jelek
Tanah Berlempung
2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/ USCS).
Sistem ini diusulkan oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya. Menurut sistem ini tanah dikelompokkan da lam tiga kelompok yang masing-masing diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis (Hendarsin, 2000), yaitu :
11
a. Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos ayakan No.200 < 50 %. Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini : 1) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada saringan No. 4 2) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara ukuran saringan No. 4 dan No. 200
b. Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No. 200 > 50 %. Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C) dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada grafik plastisitas.
c. Tanah organis Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat sebagai bahan bangunan yang diinginkan.
Tanah khusus dari kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini adalah partikel-partikel daun, rumput, dahan atau bahan-bahan yang regas lainnya.
12
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Bowles, 1991) Jenis Tanah
Simbol
Sub Kelompok
Simbol
Kerikil
G
Pasir
S
Gradasi Baik Gradasi Buruk Berlanau Berlempung
W P M C
Lanau Lempung Organik Gambut
M C O Pt
WL<50% WL>50%
L H
Sumber : Bowles, 1989.
Dimana : W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik), P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk), L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50), H = High Plasticity (plastisitas tinggi, LL> 50).
13
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Unified
Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi Sumber : Hary Christady, 1996.
GP
Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
GM
Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau
GC
Kerikil berlempung, campuran kerikil-pasir-lempung
SW
Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
SM
Pasir berlanau, campuran pasirlanau
SC
Pasir berlempung, campuran pasir-lempung
ML
Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung
CL
Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean clays)
OL
Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah
MH
Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis
CH
Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays)
OH
Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi
PT
Peat (gambut), muck, dan tanahtanah lain dengan kandungan organik tinggi
Kriteria Klasifikasi Cu = D60 > 4 D10
Klasifikasi berdasarkan prosentase butiran halus ; Kurang dari 5% lolos saringan no.200: GM, GP, SW, SP. Lebih dari 12% lolos saringan no.200 : GM, GC, SM, SC. 5% - 12% lolos saringan No.200 : Batasan klasifikasi yang mempunyai simbol dobel
GW
Nama Umum Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Cc =
(D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7 Cu = D60 > 6 D10 Cc =
Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol
(D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Batas-batas Atterberg di atas garis A atau PI > 7
Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol
Diagram Plastisitas: Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol. 60 Batas Plastis (%)
Pasir dengan butiran halus
Pasir bersih (hanya pasir)
Kerikil dengan Butiran halus
Kerikil bersih (hanya kerikil)
Simbol
Lanau dan lempung batas cair ≥ 50% Lanau dan lempung batas cair ≤ 50%
Kerikil 50%≥ fraksi kasar tertahan saringan No. 4 Pasir≥ 50% fraksi kasar lolos saringan No. 4
Tanah berbutir halus 50% atau lebih lolos ayakan No. 200
Tanah berbutir kasar≥ 50% butiran tertahan saringan No. 200
Divisi Utama
50
CH
40
CL
30
Garis A CL-ML
20 4
ML
0
10
20
30
ML atau OH
40 50
60
70
80
Batas Cair (%) Garis A : PI = 0.73 (LL-20)
Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488
14
C. Tanah Organik
1. Proses Terjadinya Tanah Organik
Tanah organik terbentuk karena pengaruh iklim dan curah hujan tinggi yang sebenarnya cukup merata sepanjang tahun dengan topografi tidak rata, sehingga memungkinkan terbentuknya depresi-depresi. Sebagai akibat tipe iklim serupa itu, tidak terjadi perbedaan menyolok pada musim hujan dan kemarau. Vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik sehingga menghalangi insolasi dan kelembaban yang tinggi dapat dipertahankan di lingkungan tersebut. Pada daerah cekungan dengan genangan air terjadi akumulasi bahan organik. Hal ini disebabkan suasana anaerob menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses humifikasi akan terjadi lebih nyata dari proses mineralisasi. Penguraian bahan organik hanya dilakukan oleh bakteri anaerob, cendawan dan ganggang. Kecepatan dekomposisi ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bakteri anaerob, sifat vegetasi, iklim, topografi dan sifat kimia airnya.
2. Sifat Tanah Organik
Sifat dan ciri tanah organik dapat ditentukan dengan berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Adapun sifat dan ciri tersebut antara lain: a. Warna Umumnya tanah organik berwarna coklat tua dan kehitaman , meskipun bahan asalnya berwarna kelabu, coklat atau kemerah-
15
merahan, tetapi setelah mengalami dekomposisi muncul senyawasenyawa humik berwarna gelap. Pada umumnya, perubahan yang dialami bahan organik kelihatannya sama yang dialami oleh sisa organik tanah mineral, walaupun pada tanah organik aerasi terbatas. b. Berat isi Dalam keadaan kering tanah organik sangat kering, berat isi tanah organik bila dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, yaitu 0,2 - 0,3 merupakan nilai umum bagi tanah organik yang telah mengalami dekomposisi lanjut. Suatu lapisan tanah mineral yang telah diolah berat isinya berkisar 1,25 - 1,45. c. Kapasitas menahan air Tanah Organik mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi. Mineral kering dapat menahan air 1/5 – 2,5 dari bobotnya, sedangkan tanah organik dapat 2 – 4 kali dari bobot keringnya. Gambut lumut yang belum terkomposisi sedikit leih banyak dalam menahan air, sekitar 12 atau 15 bahkan 20 kali dari bobotnya sendiri. d. Struktur Ciri tanah organik yang lain adalah strukturnya yang mudah dihancurkan apabila dalam keadaan kering. Bahan organik yang telah terdekomposisi sebagian bersifat koloidal dan mempunyai kohesi dan plastisitasnya rendah. Suatu tanah berbahan organik yang baik adalah poroeus atau mudah dilewati air, terbuka dan mudah diolah. Ciri-ciri ini sangat diinginkan oleh pertanian tetapi tidak baik untuk bahan konstruksi sipil.
16
Sebagai akibat dari kemampuan yang besar untuk menahan air, maka apabila terjadi perbaikan drainase dimana dengan adanya pengurangan kadar air akan terjadi pemadatan struktur tanah organik, hal ini akan menurunkan muka tanah dan kalau ada tumbuhan akarnya akan muncul di atas permukaan tanah. e. Reaksi masam Pada tanah organik, dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah, sehingga akan meningkatkan keasaman tanah organik. Dengan demikian tanah organik akan cenderung lebih masam dari tanah mineral pada kejenuhan basah yang sama. f. Sifat koloidal Sifat ini mempunyai kapasitas tukar kationnya lebih besar, serta sifat ini lebih jelas diperlihatkan oleh tanah organik daripada tanah mineral. Luas permukaan dua hingga empat kali daripada tanah mineral. g. Sifat penyangga Pada tanah organik lebih banyak diperlukan belerang atau kapur yang digunakan untuk perubahan pH pada tingkat nilai yang sama dengan tanah mineral. Hal ini disebabkan karena sifat penyangga tanah ditentukan oleh besar kapasitas tukar kation, dengan demikian tanah organik umumnya memperlihatkan gaya resistensi yang nyata terhadap perubahan pH bila diandingkan dengan tanah mineral.
17
3. Identifikasi Organik
Terdapat dua sistem penggolongan utama yang dilakukan, yakni sistem penanggulangan AASHTO (metode AASHTO M 145 atau penandaan ASTM D-3282) dan sistem penggolongan tanah bersatu (penandaan ASTM D-2487). Dalam metode AASHTO, tidak tercantum untuk gambut dan tanah yang organik, sehingga ASTM D-2487 harus digunakan sebagai langkah pertama pada pengidentifikasian gambut.
Tabel 4. Penggolongan tanah berdasarkan kandungan organik KANDUNGAN ORGANIK
KELOMPOK TANAH
> 75 %
GAMBUT
25 % - 75 %
TANAH ORGANIK TANAH DENGAN KANDUNGAN
< 25 % ORGANIK RENDAH (SUMBER : PEDOMAN KONSTRUKSI JALAN DI ATAS TANAH GAMBUT DAN ORGANIK, 1996)
D. Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu merupakan limbah hasil pembakaran ampas tebu. Ampas tebu merupakan suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya pada industri pemurnian gula sehingga hasil samping sejumlah limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu (baggasse).
Pada proses penggilingan tebu, terdapat lima kali proses penggilingan dari batang tebu sampai dihasilkan ampas tebu. Pada penggilingan pertama dan
18
kedua dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan. Kemudian pada proses penggilingan ketiga, keempat dan kelima dihasilkan nira dengan volume yang tidak sama. Setelah proses penggilingan awal, yaitu penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah. Untuk mendapatkan nira yang optimal, pada penggilingan ampas hasil gilingan kedua harus ditambahkan susu kapur 3Be yang berfungsi sebagai senyawa yang mampu menyerap nira dari serat ampas tebu sehingga pada penggilingan ketiga nira masih dapat diserap meskipun volumenya lebih sedikit dari hasil gilingan kedua. Pada penggilingan seterusnya hingga penggilingan kelima ditambahkan susu kapur 3Be dengan volume yang berbeda-beda tergantung sedikit banyaknya nira yang masih dapat dihasilkan.
Penggilingan I
Penggilingan III
Penggilingan II
Ampas Gilingan I
Ampas Gilingan II
Penggilingan V
Penggilingan IV
Ampas Gilingan III
Ampas Gilingan IV
Ampas Gilingan V
Tebu
Susu Kapur Susu Kapur Susu Kapur 3Be 3Be 3Be
Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu
Tiap berproduksi, pabrik gula selalu menghasilkan limbah yang terdiri dari limbah padat, cair dan gas. Limbah padat, yaitu ampas tebu (bagasse), abu
19
boiler dan blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang berasal dari perasan batang tebu ini banyak mengandung serat dan gabus. Pembuangan ampas tebu dapat membawa masalah sebab ampas bersifat meruah sehingga menyimpannya perlu area yang luas. Ampas mudah terbakar sebab didalamnya banyak mengandung air, gula, serat, dan mikroba sehingga bila tertumpuk akan termentasi dan melepaskan panas. Untuk mengatasi kelebihan ampas tebu adalah dengan membakarnya untuk mengurangi jumlah ampas tebu. Pembakaran ampas tebu inilah yang menghasilkan abu ampas tebu.
Abu ampas tebu (baggase ash) merupakan hasil perubahan kimiawi dari pembakaran ampas tebu murni yang terdiri dari garam-garam anorganik.
Hasil pengujian yang dilakukakan di laboratorium Instrumen Jurusan Kimia fakultas MIPA Unila,diantaranya adalah silika (SiO2) yang terkandung di dalam abu ampas tebu mencapai 44,87% dan alumunia (Al2 O3) sebesar 21,94%.
E. Stabilisasi Tanah
Stabilisasi tanah adalah suatu proses untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dengan menambahkan sesuatu pada tanah tersebut, agar dapat menaikkan kekuatan tanah dan mempertahankan kekuatan geser. Stabilisasi berhubungan dengan pencampuran atau penambahan campuran bahan tertentu. Tujuan stabilisasi tanah adalah untuk mendapatkan kondisi tanah yang memenuhi spesifikasi yang disyaratkan, serta untuk mengikat dan menyatukan agregat
20
material yang ada sehingga membentuk struktur jalan atau pondasi jalan yang padat. Menurut Ingels dan Metcalf (1972), sifat-sifat tanah yang diperbaiki dengan stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan/daya dukung, permeabilitas, dan kekekalan atau keawetan. Menurut Bowless (1989), dalam bukunya Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis (Mekanika Tanah) stabilisasi tanah dalam realisasinya tediri dari salah satu atau gabungan pekerjaan-pekerjaan berikut: 1. Mekanis, yaitu pemadatan dengan berbagai jenis pemadatan mekanis, seperti mesin gilas, benda berat yang dijatuhkan (pounder), pemanasan, peledakan dengan alat peledak, tekanan statis, pembekuan, dan lain-lain. 2. Bahan pencampur (addtive) adalah penambahan bahan lain pada tanah. Bahan additive yang digunakan dapat berupa bahan kimiawi, seperti semen, abu batubara, aspal, sodium, kalsium klorida, atau limbah parbrik kertas dan lain-lain sedangkan bahan nonkimia yang biasa digunakan antara lain gamping atau kerikil. Metode ini sangat bergantung pada lama waktu pemeraman, hal ini disebabkan karena proses perbaikan sifat-sifat tanah terjadi proses kimia yang memerlukan waktu untuk zat kimia yang ada didalam additive tersebut untuk bereaksi.
F. California Bearing Ratio (CBR)
Metode perencanaan perkerasan jalan yang umum digunakan yaitu dengan cara-cara empiris, yang biasa dikenal adalah cara CBR (California Bearing Ratio).
Metode
ini dikembangkan oleh California State Highway
21
Departement sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade). Istilah CBR menunjukkan suatu perbandingan (ratio) antara beban yang diperlukan untuk menekan piston logam (luas penampang 3 sqinch) ke dalam tanah untuk mencapai penurunan (penetrasi) tertentu dengan beban yang diperlukan pada penekanan piston terhadap material batu pecah di California pada penetrasi yang sama (Canonica, 1991). Menurut AASHTO T-193-74 dan ASTM D-1883-73, California Bearing Ratio adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu beban terhadap beban standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama. Nilai CBR akan digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. Harga CBR itu sendiri adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban. Untuk menentukan tebal lapis perkerasan dari nilai CBR digunakan grafik-grafik yang dikembangkan untuk berbagai muatan roda kendaraan dengan intensitas lalu lintas. Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan contoh tanah, CBR dapat dibagi atas : 1. CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR). CBR lapangan memiliki kegunaan sebagai berikut: a. Untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi tanah pada saat itu. Umumnya digunakan untuk perencanaan tebal lapis perkerasan yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi.
22
b. Untuk mengontrol kepadatan yang diperoleh sehingga sesuai dengan yang diinginkan. Pemeriksaan ini tidak umum digunakan. Metode pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston pada kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gardan truk. 2. CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR). CBR lapangan rendaman ini berguna untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan pada keadaan tanah jenuh air, dan tanah mengalami pengembangan (swelling) maksimum. Pemeriksaan ini dilaksanakan pada musim kemarau dan kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air. Dan digunakan pada badan jalan yang sering terendam air pada musim hujan. Pemeriksaan CBR lapangan rendaman dilakukan dengan mengambil contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold yang berisi contoh tanah yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama 4 hari sambil diukur pengembangannya (swelling). Setelah pengembangan tidak terjadi lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR. 3. CBR laboratorium (laboratory CBR). CBR laboratorium dapat disebut juga CBR rencana titik. Tanah dasar yang diperiksa merupakan jalan baru yang berasal dari tanah asli, tanah timbunan atau tanah galian yang dipadatkan sampai mencapai 95% kepadatan maksimum. Dengan demikian daya dukung tanah dasar
23
merupakan kemampuan lapisan tanah yang memikul beban setelah tanah itu dipadatkan. Oleh karena itu, nilai CBR laboratorium adalah nilai CBR yang diperoleh dari contoh tanah yang dibuat dan mewakili keadaan tanah tersebut setelah dipadatkan. Pemeriksaan CBR laboratorium dilaksanakan dengan dua macam metode yaitu CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR) dan CBR laboratorium tanpa rendaman (unsoaked design CBR) (Sukirman, 1992). Hal yang membedakan pada dua macam metode tersebut adalah contoh tanah atau benda uji sebelum dilakukan pemeriksaan CBR. Untuk uji CBR metode rendaman adalah untuk mengasumsikan keadaan hujan atau saat kondisi terjelek di lapangan yang memberikan pengaruh
penambahan
air
akan
pada tanah yang telah
berkurang airnya, sehingga akan mengakibatkan pengembangan (swelling) dan penurunan kuat dukung tanah. Untuk metode CBR rendaman, contoh tanah di dalam cetakan direndam dalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah dan permukaan air selama perendaman harus tetap kemudian benda uji yang direndam telah siap untuk diperiksa. Dan untuk metode CBR tanpa rendaman, contoh tanah dapat langsung diperiksa tanpa dilakukan perendaman (ASTM D-1883-87). Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston dengan luas 3 sqinch dengan kecepatan gerak vertikal ke bawah 0,05 inch/menit, proving ring digunakan untuk mengukur beban yang dibutuhkan
24
pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur (dial). Penentuan nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan pondasi jalan adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan rumus sebagai berikut:
Nilai CBR pada penetrsai 0,1” =
Nilai CBR pada penetrsai 0,2” =
A x 100% 3000 B x 100% 4500
Dimana : A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1” B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2” Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil perhitungan kedua nilai CBR. Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi bahan standar. Tabel 5. Beban penetrasi bahan standar Penetrasi (inch)
Beban Standar (lbs)
Beban Standar (lbs/inch)
0,1
3000
1000
0,2
4500
1500
0,3
5700
1900
0,4
6900
2300
0,5
7800
6000
25
G. Batas-batas Konsistensi
Batas-batas konsistensi atau disebut juga batas-batas Atterberg (yang diambil dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) adalah batas kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah. Kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda pada setiap kondisi. Kadar air tersebut bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung, bila kandungan air berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang pula yang mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikelpartikel. Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, berdasarkan kadar air yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4) keadaan dasar, yaitu : padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic), dan cair (liquid), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
Kadar Air Bertambah Makin
Kering
Padat
Semi Padat
Basah
Plastis
Cair
Cakupan Plasticity Index (PI) PI LL - PL
Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas Plastis (Plastic Limit)
Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah
Batas Cair (Liquid Limit)
26
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain: 1.
Batas cair (Liquid Limit). Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.
2.
Batas plastis (Plastic Limit). Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3 mm mulai retak-ratak ketika digulung.
3.
Batas susut (Shrinkage Limit). Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah mengalami perubahan volume.
4.
Indeks plastisitas (Plasticity Index). Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat plastis.
5.
Berat spesifik (Specific Gravity). Berat jenis tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperature tº C.
27
H. Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara mekanis. Kepadatan tanah tergantung pada nilai kadar air, jika kadar air tanah sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya, bila kadar air banyak maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan yang dilakukan pada saat kadar air lebih tinggi daripada kadar air optimumnya akan memberikan pengaruh terhadap sifat tanah. Manfaat dari pemadatan tanah adalah memperbaiki beberapa sifat teknik tanah, antara lain: 1. Memperbaiki kuat geser tanah yaitu menaikkan nilai θ dan C (memperkuat tanah). 2. Mengurangi kompresibilitas yaitu mengurangi penurunan oleh beban. 3. Mengurangi permeabilitas yaitu mengurangi nilai k. 4. Mengurangi sifat kembang susut tanah (lempung). Pemadatan tanah dapat dilakukan di lapangan maupun di laboratorium. Di lapangan biasanya tanah akan digilas dengan mesin penggilas yang didalamnya terdapat alat penggetar, getaran tersebut akan menggetarkan tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan di laboratorium menggunakan pengujian standar yang disebut dengan uji proctor, dengan cara suatu palu dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah mold. Dengan dilakukannya pengujian pemadatan tanah ini, maka akan
28
terdapat hubungan antara kadar air dengan berat volume. Berdasarkan tenaga pemadatan yang diberikan, pengujian proctor dibedakan menjadi 2 macam: 1. Proktor Standar. 2. Proktor Modifikasi. Rincian mengenai persamaan ataupun perbedaan dari kedua proctor tersebut, diperlihatkan dalam Tabel 6. Tabel 6. Elemen-elemen uji pemadatan di laboratorium (Das, 1988) Proctor Standar (ASTM D-698)
Proctor Modifikasi (ASTM D-1557)
Berat palu
24,5 N (5,5 lb)
44,5 N (10 lb)
Tinggi jatuh palu
305 mm (12 in)
457 mm (18 in)
Jumlah lapisan
3
5
Jumlah tumbukan/lapisan
25
25 1/30 ft3
Volume cetakan Tanah Energi pemadatan
I.
saringan (-) No. 4 595 kJ/m3
2698 kJ/m3
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian laboratorium yang menjadi bahan pertimbangan dan acuan penelitian ini dikarenakan adanya kesamaan metode dan sampel tanah yang digunakan, akan tetapi untuk bahan aditif dan variasi campuran serta waktu pemeraman yang berbeda, antara lain :
29
1. Stabilisasi pada tanah lempung lunak menggunakan Abu Ampas Tebu Penelitian yang dilakukan oleh Zulya Safitri pada tahun 2012 adalah mengenai “Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash) Sebagai Bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak” mengatakan bahwa penggunaan bahan campuran Abu Ampas Tebu sebagai bahan stabilisasi pada tanah lempung lunak Rawa Sragi dengan perlakuan pemeraman selama 7 hari serta rendaman selama 4 hari mampu meningkatkan kekuatan daya dukungnya.
Tabel 7. Hasil pengujian CBR tiap kadar campuran (Zulya Safitri, 2012) CBR
CBR
(Tanpa Rendaman)
(Rendaman)
5%
9,2%
5,4%
10%
10,7%
6,7%
15%
12,6%
8%
Kadar abu ampas tebu
2. Stabilisasi tanah Organik dengan semen dan sekam padi Penelitian stabilisasi tanah dengan semen dan sekam padi oleh Andri Frandustie pada tahun 2010 dengan judul “Pemanfaatan Sekam Padi Pada Stabilisasi Tanah Organik Dengan Menggunakan Semen”. Hasil pengujian nilai CBR sampel tanah asli dengan penambahan campuran sekam padi + semen masing-masing 6 %, 9 % dan 12 % dengan prosentase perbandingan sekam padi : semen untuk masing-masing sampel yaitu 1: 2 dapat dilihat pada Tabel 8.
30
Tabel 8. Hasil uji CBR campuran sekam padi + semen (Andri Frandustie, 2010) Nilai CBR
Kadar Semen (%)
Kadar Sekam Padi (%)
4
2
4,4
6
3
5,5
8
4
6,4
Tanpa Rendaman (%)
Prosentase Peningkatan (%)
0,9
Rendaman (%)
2,75
Prosentase Peningkatan (%)
0,85
3,6 0,9
4,7
Prosentase Penurunan Nilai CBR
1,65 1,9
1,0
1,7
Dari Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa penambahan kadar semen dan sekam padi berpengaruh terhadap kekuatan campuran tersebut, hal ini dapat dilihat dari nilai CBR yang dihasilkan. Semakin besar kadar semen dan sekam padi yang ditambahkan dalam setiap campuran, maka nilai CBR tanah campuran tersebut juga semakin meningkat. Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa nilai dari CBR rendaman lebih kecil dibandingkan dengan nilai CBR tanpa rendaman. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari perendaman yang mampu menurunkan nilai CBR, mulamula air hanya mengisi rongga pori, tetapi lama kelamaan ukuran butiran tanah menjadi maksimum pada saat jenuh air.