II. TINJAUAN PUSTAKA Savuran Daun Hiiau
Sayuran merupakan salah satu jenis pangan yang berasal dari tanaman, meliputi berbagai bagian dapat dimakan seperti daun, akar, batang, umbi, bunga, dan tangkai daun (Tabel 1). Pada sebagian besar masyarakat Indonesia, kebutuhan akan zat gizi, terutama vitamin dan mineral, umumnya dipenuhi dari konsumsi sayuran. Lebih dari itu, sayuran dianggap sebagai jenis pangan yang baik untuk diet karena mengandung sedlkit lemak dan protein, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh konsumen yang sedang melakukan diet rendah energi (Sediaoetama, 1989). Tabel 1. Penggolongan Sayuran Menurut Bagian Tanaman (Muchtadi, 1992) Penggolongan Sayuran umbiumbian : Akar Umbi akar (tube0 Umbi bunga (bulb) Sayuran buah : Polong-polongan Biji-bijian Buah Buah berbiji banyak Buah dari tanaman merambat Sayuran daun (sayuran hijau)
Sayuran batang (muda) Sayuran bunga Sayuran tangkai daun Sayuran kecambah
Contoh Sayuran
*
Ubi jalar, wortel Kentang, bit Bawang merah, bawang putih Buncis, kapri, kacang merah, kacang panjang Jagung muda (baby corn) Sukun, nangka muda, keluwih Tomat, cabe, terong Gambas, labu, paria, ketimun, kecipir Kubis, bayam, kangkung, sawi, selada, petsai, daun singkong Asparagus, rebung Kembang kol Seledri, sereh Tauge (kacang hijau, kedelai)
Masyarakat biasanya mengkonsumsi sayuran dalam bentuk segar karena mengandung zat gizi dan atau metabolit sekunder lebih baik daripada sayuran yang tidak segar. Meskipun demikian, bukan berarti sayuran yang tidak =gar tidak mengandung zat gizi dan atau metabolit sekunder yang dibutuhkan tubuh.
Namun, setiap sayuran
mempunyai komposisi kimia berbeda; praktis tidak ada dua sayuran yang persis sama,
sekalipun berasal dari sebuah tanaman yang sama. Perbedaan komposisi kimia sayuran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti perbedaan varietas, keadaan iklim tempat tumbuh, cara pemeliharaan tanaman, cara pemanenan, tingkat kematangan pada waktu dipanen, dan kondisi penyimpanan setelah dipanen (Muchtadi, 1992). Di samping dibedakan berdasarkan bagian yang dapat dimakan, sayuran dapat pula digolongkan berdasarkan wamanya, yaitu hijau tua, hijau muda, dan yang hampir tidak berwama. Akan tetapi, sayuran yang berwama hijau relati lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan yang tidak betwama. Wama hijau pada sayuran disebabkan oleh pigmen yang disebut klorofil, terdiri dari klorofil a dan b, yang tersimpan dalam kloroplas. Sayur-sayuran daun yang berwama hijau tua, lebih banyak mengandung klorofil a, sebaliknya yang berwama hijau muda lebih banyak mengandung klorofil b. Di dalam kloroplas juga terdapat pigmen lain, yaitu karoten. Semakin tinggi kandungan klorofil sayuran, semakin hijau wama daun, dan semakin tinggi pula kandungan karotennya (Anonymous, 2003a). Komposisi Kimia Savuran
Sebagian besar jaringan sayuran disusun oleh air yang dapat mencapai 70-90% berat bahan segar, bahkan ada yang lebih besar dari 90°h, seperti pada tomat, seledri, waluh, dan ketimun. Pada tanaman (sayuran) yang masih hidup, banyaknya air di dalam jaringan tergantung pada banyaknya air yang diabsorpsi melalui akar, serta jumlah air yang menguap melalui proses transpirasi (Tranggono & Sutardi, 1990). Zat padat yang terdapat dalam sayuran terutama terdiri atas karbohidrat. Kandungan karbohidrat tersebut sangat bervariasi, mulal dari 0.2% berat bahan segar pada bawang merah, hingga lebih dari 27% pada keluwih. Pada umumnya sekitar 6070% bahan kering sayuran merupakan karbohidrat, yang terdiri dari gula sederhana, pati, dan serat pangan (Tranggono & Sutardi, 1990).
Kandungan protein dalam jaringan tanaman relatif sedikit, yaitu kurang dari 1% berat bahan segar, tetapi mempunyai peranan penting sebagai unsur struktural membran sel dan sebagai biokatalisator. Beberapa jenis sayuran daun mengandung protein yang relatii tinggi, seperti pada daun singkong dan daun pepaya, yaitu sekitar 5.7-5.9%. Namun, secara umum peranan sayuran sebagai sumber protein diet relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan serealia dan bahan pangan hewani. Sayuran bukan merupakan sumber lipid utama dalam diet karena kandungan lipidnya relatii rendah, yaitu berkisar antara 0.1-1% berat bahan segar. Beberapa sayuran mengandung lipid dalam kadar relatii tinggi, khususnya pada kacang-kacangan. Lipid dalam sayuran terutama disusun oleh asam lemak tjdak jenuh serta beberapa sayuran mengandung asam lemak essensial dan asam lemak omega-3. Asam lemak ini berperan penting dalam proses pertumbuhan sel otak. Pigmen merupakan senyawa yang memberikan warna pada bahan makanan, terrnasuk pada sayuran. Pigmen utama yang terdapat dalam jaringan sayuran adalah klorofil, karotenoid, dan flavonoid yang terdiri dari antosianin, antoksantin dan tanin. Jenis dan jumlah pigmen dalam jaringan tanarnan tergantung pada spesies, varietas, derajat kematangan, tempat tumbuh, dan lain-lain.
Sebagian besar pigmen ini mengalami
perubahan selama penyimpanan dan pengolahan. Manfaat Savuran
Sayuran merupakan sumber zat gizi dan metabolit sekunder yang penting bagi .
kesehatan tubuh. Sebagai sumber zat gizi, sayuran berperan dalam rnengatur pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian set-set pada tubuh manusia. Belakangan diketahui peranan zat-zat metabolit sekunder pada sayuran menjadi semakin penting dalam pencegahan dan pengobatan berbagai macam penyakit.
Beberapa jenis sayuran mampu menurunkan kadar kolesterol dan kadar gula, mencegah penyebaran sel kanker, membantu menyembuhkan luka lambung, sebagai antibiotik, mengurangi serangan rematik, mencegah karies gigi, mencegah diare, membantu menyembuhkan saki kepala, kanker perut, esofagus, kanker paw-paw, infeksi oral cavity dan faring, endometrium, serta pankreas (Steinmetz & Potter, 1996). Sayuran juga mengandung serat pangan yang tinggi untuk mencegah sembelit, diabetes melitus, dan tekanan darah tinggi (Anonymous, 2003a). Para ilmuwan telah menemukan bahwa diet yang kaya akan sayuran berdaun hijau sangat erat kaitannya dengan penurunan jumlah penderita kanker kolon secara nyata. Penelitian Rhodes et al. (Anonymous, 2003b) di Liverpool memperlihatkan bahwa konsumsi sayuran seperti brokoli, kol, selada, dan kembang kol setiap hari dapat menurunkan resiko terkena kanker kolon sebanyak 46%. Mengkonsumsi sayuran hijau resiko n menderita penyakit kardiovaskuler, seperti secara teratur juga dapat m e n ~ ~ n k a stroke, jantung koroner, hipertensi. Berbagai studi epidemiologis telah menunjukkan pula adanya kaitan antara peningkatan konsumsi sayuran dengan menurunnya resiko terkena penyakit kanker parupaw dan epitelial lainnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan antioksidan dan antikanker yang banyak terdapat dalam sayuran. Di antara senyawa antioksidan dan antikanker yang terdapat dalam sayuran disamping klorofil, adalah ditioltion, isotiosianat, indol-3karbinol, senyawa allium, isoflavon, inhibitor protease, saponin, ftosterol, inositol heksafosfat, vitamin C, D-limonen, lutein, asam folat, likopen, selenium, vitamin E, flavonoid, dan pigmen karotenoid (Steinmetz & Potter, 1096). Karotenoid, seperti 13karoten, likopen, reaxantin, dan lutein, diketahui mempunyai aktivitalr antioksidan mialui kemampuan menangkap (scavenge) radikal bebas dan singlet oksigen al., 1996; Sies & Stahl, 1995; Gutteridge & Halliwell, 1994).
(loz)(Oshima et
Diet yang kaya akan sayuran kuning dan hijau memiliki aktivitas antikanker, terutama kanker paru-paw dan senriks, serta penyakit jantung, karena adanya korelasi antara kandungan karotenoid tubuh (refleksi dari diet kaya sayuran) dengan rendahnya insiden penyakit-penyakit tersebut. Namun, ha1 ini mungkin tidak hanya karena karotenoid saja, tetapi juga karena kombinasi dengan bahan lain yang ada dalam sayuran (Gutteridge & Halliwell, 1994).
Klorofil
Klorofil merupakan salah satu pigmen utama yang terdapat dalam jaringan sayuran di samping pigmen lainnya, seperti karotenoid dan flavonoid. Klorofil dapat memberikan wama pada bahan pangan, termasuk sayuran. Jenis dan kandungan klorofil dalam jaringan tanaman tergantung pada spesies, varietas, derajat kematangan, tempat tumbuh, dan lain-lain. Sebagian besar pigmen ini mengalami pe~bahanselama penyimpanan dan pengolahan. Klorofil merupakan pigmen tanaman yang paling penting dan berpartisipasi dalam fotosintesis serta transformasi cahaya matahari menjadi energi kimia.
Pada semua
tanaman hijau, sebagian besar klorofil berada dalam dua bentuk, yaitu klorofil a dan b dengan perbandingan 3 : 1 (Robinson, 1991). Klorofil a bersifat kurang polar dan betwama biru-hijau, sedangkan klorofil b lebih polar dan berwama kuning-hijau (Gross, 1991). Klorofil dapat ditemukan pada daun dan permukaan batang, yaitu di dalam lapisan spongi di bawah kutikula. Karena itu, sayuran lebih banyak mengandung pigmen ini dibandingkan dengan buah-buahan yang telah matang. Klorofil a adalah suatu struktur tetrapirol melalui ikatan Mg, dengan substitusi metil pada posisi 1, 3, 5 dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4, propionat yang diesterifikasi dengan fitil alkohol (fitol) pada posisi 7, keto pada posisi 9 dan karbometoksi pada posisi 10. Formula empiris dari klorofil a adalah CssHnOsN4Mg. Klorofil b memiliki
struktur yang sama dengan klorofil a, kecuali pada posisi 3 terdapat gugus formil, bukan gugus metil. Rumus empiris dari klorofil b adalah C55H7006N4Mg (Gambar 1) (Sofro, Lestariana & Haryadi, 1992). . Klorofil a dan b yang kadamya pada daun hijau dapat mencapai 0.1 % berat bahan segar terdapat dalam kloroplas dan umumnya akan menurun pada permulaan pematangan tanaman (Tranggono & Sutardi, 1990).
Kloroplas kering
mengandung
sekitar 10% klorofil dan 60% protein (Hutchings, 1994).
komP a, R klmil b, R
--
CH3
CHO
Gambar 1. Rumus Bangun Klorofil a dan b (Robinson, 1991) Sayuran yang bewama hijau banyak mengandung klorofil.
Beberapa jenis
sayuran dan kandungan klorofilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Klomfil terdapat dalam bentuk terikat secara kompleks dengan molekul protein. Jika sayuran yang mengandung klorofil direbus, maka protein dari senyawa kompleks tersebut akan mengalami denaturasi, sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil yang bebas ini sangat tidak stabil, dan ion magnesium (~g*') yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah digantjkan oleh ion hidrogen (H').
Akibatnya wama sayuran yang semula hijau berubah menjadi
kecoklatan karena terbentuknya feofitin (Muchtadi, 1992).
15
Tabel 2. Kandungan Klorofil Beberapa Jenis Sayuran (Gross, 1991) Sayuran
Asparagus Kacang panjang Brokoli
Brussels sprout Kembang kol Wortel Seledri Chinese cabbage Chinese chive Chinese mustard Coolards Cress Ketimun Bawang putih Kale Kidney bean Kohlrabi Selada Malabar spinach Mung beans Mustard Okra Bawang merah Parsley Pea Bayam Turnip
Bagian
Batang Batang atas Buah Bongkol Batang Pucuk Daun Bongkol Bongkol Daun Daun Tangkai Daun Daun Tangkai bunga Daun Daun Daun Buah Umbi Daun Daun Daun Batang Daun Tunas Daun Buah Daun Biji Daun Daun
Kandungan Klorofil (CcQlgBerat Bahan Segar) Total b a 180-300 74.0 139.0 47.5 90.0 20-80 70.5 35.0 170.0 650 9.0 47.0 25.3 75.3 122 504 255 1143 7.0 29.0 960 589 178 59.0 250.0 28.0 210.0 1009 216 2610 730 25.9 56.4 90.0 28.0 1370 464 118.0 35.0 90.0 20.0 334.0 62.0 24.0 83.0 195 672 10.0 620 146 75-85 424.0 86.0 1577 551 2185 106.0 12.0 1380 440 887.0 192.0
,
Umumnya wama dari sayuran digunakan sebagai indeks kesegaran, karena setelah dipanen klotofil yang asalnya dominan akan terdegradasi. Namun, ha1 ini tidak berlaku untuk semua jenis sayuran, misalnya pada wortel, tomat dan kentang, wama hijau
tidak menunjukkan kesegaran, malahan pada kentang wama hijau tersebut merupakan indikasi adanya zat racun (Muchtadi, 1992). Masalah utama yang timbul dalam pengolahan dan penyimpanan bahan makanan yang mengandung klorofil, seperti sayuran, adalah tidak stabilnya klorofil akibat perubahan suasana penyimpanan, misalnya suhu, pH, aktivitas air (aw) dan cahaya. Menurut Gross (1991), klorofil memiliki sifat kimia yang sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia. Oleh karena itu, untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan berarti pada klorofil sayuran, sehingga wama sayuran tetap menarik, maka berbagai faktor tersebut hams diperhatikan. Degradasi molekul klorofil menjadi tu~nannyaterjadi melalui salah satu proses, yaitu feofitinisasi atau demetalasi (pelepasan ion Mg2'), pelepasan gugus fitol, oksidasi, dan alomerisasi (oksidasi cincin V) (Funikawa et at., 2000). Beberapa dari perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan jenis-jenis senyawa yang terbentuk disajikan pada Tabel 3.
- Fitol
Klorofil
Feofitin
Klorofilida
Feoforbida
- CHzCHs Pirofeofitin
>
- Fitol -
I
- CH2CH3
Pirofeoforbida
Gambar 2. Perubahan Klorofil Menjadi Beberapa Senyawa Tu~nannya Ion Mg2' dad klorofil akan semakin banyak lepas dengan proses pemanasan serta pengaruh keasaman.
Peristiwa ini tejadi karena protein yang mengadakan ikatan
kompleks dengan molekul klorofil mengalami denaturasi, sehingga sumbangan ikatan yang berasal dari ligan protein dalam mempertahankan ion Mg2' menjadi berkurang.
Di dalam asam lemah ion ~ g * 'pada inti porfirin dari senyawa klorofil akan disubstitusi oleh ion H' yang akan menyebabkan berubahnya wama hijau menjadi coklat, yaitu wama feofitin. Di samping itu, pengaruh pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein sehingga memudahkan tejadinya reaksi terhadap gugusan fitol, yang bila bereaksi dengan asam akan mengakibatkan terlepasnya fiol dari molekul klorofil (Hutchings, 1994). Muchtadi (1992) menyatakan bahwa jika sayuran hijau seperti bayam, kangkung, atau sayuran lainnya dipanaskan dalam wadah tertutup, maka wamanya akan berubah menjadi coklat. Hal ini disebabkan karena pada awal pemanasan akan dikeluarkan asam-asam volatil dari sayuran. Bila wadahnya tertutup, maka asam yang dihasilkan tersebut tidak dapat keluar dan bereaksi dengan klorofil, sehingga terjadi perubahan klorofil menjadi feofiiin. Tabel 3. Jenis-jenis Senyawa Turunan Klorofil (Robinson, 1991)
Jenis Turunan Klorin Rodin Forbin Forbida Feoforbida Fitin Feofitin Filin Klorofilin Klorofilida
Keterangan Dihidroporfirin Dihidroporfirin dengan karbonil berdampingan dengan cincin pirol Dihidroporfirin dengan cincin karboksilik tambahan Ester dari forbin Ester metil dari forbin Ester f&ildari forbin Ester metil dan fitil dari forbin Turunan magnesium dari salah satu senyawa di atas Turunan magnesium dari fitin Turunan magnesium dari feoforbida
Klorofil dalam jaringan tanaman dilindungi dari getah tanaman yang asam melalui pembentukan ikatan dengan protein, tetapi ikatan ini dengan mudah dapat dipecah selama pengolahan dan penyimpanan (Hutchings, 1994).
Klorofil dapat dihidrolisis
dengan melarutkannya dalam alkali atau dengan menggunakan enzim klorofilase yang biasa ditemukan dalam jaringan tanaman hijau. Hasil hidrolisis adalah turunan asam
bebas klorofilida dan fitol (Gross, 1991). Perubahan wama karena proses pemanasan
*,#1 / %'imdm
dari hijau terang manjadi coklat (olive-brown) terjadi karena konversi klorofil menjadi
feofitin di bawah pengaruh asam selama pengolahan dengan panas. Hasil konversi tersebut disajikan pada Gambar 3.
Klorofil atau Feoporfinat Mg II
WdaW tidak diketahui R~ibid~is
FeoforbidaoMg I1 atau klorofilid
Feoforb'i (KloroTil larut air bebas Cu)
Feof~tin
Senyawa tidak befwama densan BM
Dklehidrorodddorin (klorin (a pwpwln dan Idmldn
I
Dekahksideoks~topom rin dan AMiaparfirin
I Pencemeen lambung
4 Senvawa tidak Ni atau V=O Geo- atau p e t r w r i n dmi minyak den coal
bemama dengan BM
rendah
NadidehiQorodoklainat
Cu I1 (Wladillarut air)
Gambar 3. Jalur Perubahan Klorofil yang Umum dan Tidak Umum di Alam (Hendry. 1996)
Penghilangan gugus fitol dari klorofil akan menghasilkan molekul klorofilida yang bersifat polar dan larut dalam air.
Hal ini terjadi akibat proses enzimatis dari enzim
klorofilase. Klorofilida memiliki wama yang sama dengan klorofil, tetapi stabilitasnya lebih rendah. Proses oksidasi dan alomerisasi sering terjadi pada saat penyimpanan yang mengakibatkan hilangnya wama hijau. Peristiwa ini umumnya dibantu oleh enzimsnzim seperti katalase, peroksidase, lipoksigenase dan klorofil oksidase, tetapi mekanismenya masih belum banyak diketahui. Sayuran yang mengandung klorofil dapat berubah wamanya setelah dibekukan dan disimpan beberapa lama, tergantung pada lama waktu dan suhu blanching yang dilakukan sebelum pembekuan. Klorofil dapat pula terdegradasi oleh oksigen dan sinar matahari. Kerusakan terjadi pada cincin porfirin, sehingga sifat spektral klorofil yang dimiliki semula menjadi hilang. Aktivitas enzim lipoksigenase terhadap suatu senyawa bukan klorofil dapat menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas ini selanjutnya dapat memecah klorofil. lradiasi dengan sinar gamma yang dilanjutkan dengan penyimpanan dapat mengubah klorofil melijadi feofiin (Sofro, Lestariana & Haryadi, 1992). Hutchings (1994) menyatakan bahwa perlakuan panas dapat mengakibatkan perubahan pada molekul klorofil. Pengukuran laju konversi klorofil menjadi feofitin pada sayuran daun dalam sistem elektrolit bufer memperlihatkan bahwa konversi terjadi di atas suhu ambang batas 50-60°C. Secara umum diketahui bahwa klorofil b lebih tahan panas dibanding klorofil a. Kerusakan seluruh klorofil dapat terjadi jika pemanasan dilakukan pada 180°C selama 60 menit (Liu & Chen, 1998).
Funasi Klorofil dalam Transfer Elektron
Secara kimia klorofil merupakan makrosiklus klorin dengan simetri lipat empat dari porfirin. Magnesium dengan bilangan koordinasi 4 pada struktur klorofil berada dalam bentuk tidak jenuh terkoordinasi (coordinately unsaturated). Sedikitnya satu posisi aksial (axial position) dikoordinasi dengan ligan donor elektron. Klorofil mempunyai beberapa perbedaan spesifik dengan porfirin nonfotosintestik (Wong, 1989), yaitu : 1. Klorofil utama (klorofil a dan b) mempunyai cincin pirol tereduksi. Bentuk porfirin dengan mduksi pada perifer dari satu cincin pirol adalah dihidroporfin (atau klorin). 2. Klorofil mengandung cincin alisiklik dengan gugus ketokarbonil pada C-9 dan
gugus karbometoksi pada C-10. Ciri struktural ini menjadi dasar untuk klasifikasi senyawa sebagai klorofil.
Bentuk porfin dengan cincin siklopentanon disebut
piroporfin, dan bentuk klorinnya adalah piroklorin. 3. Baik klorofil a maupun b memiliki alkohol rantai panjang yang teresterifikasi dengan
asam propionat pada rantai samping C-7. Ion ~ g * 'dalam inti klorofil berperan penting dalam menangkap energi cahaya. Magnesium merupakan suatu kation divalen 'close shell' yang dapat mengalami perubahan distribusi elektron dan eksitasi sangat kuat @oweflu1excited state). Klorofil a adalah donor elektron yang baik pada keadaan potensi negatif besar. Klorofil a yang tereksitasi pada pusat reaksi mNupakan substansi pengoksidasi (oksidator) sangat kuat yang dapat menerima elektron (secara tidak langsung) dari air. Struktur cincin yang berukuran besar dan ekstensif, dengan 10 ikatan rangkap, memungkinkan elektron didelokalisasi pada orbiial penangkapan energi foton.
~rpada
"kepala" molekul, sehingga meningkatkan daerah
Hal ini memberikan berbagai tingkat reaksi mdoks yang
penting untuk menangkap dan mentransfer energi secara efisien untuk menghasilkan s p e k t ~ mpenyerapan kompleks. Pada Worofil b gugus forrnil (-CHO) menggantikan
gugus metil (-CH3) pada cincin II, yang meningkatkan penyerapan rnaksimal wama biru dan menurunkan penyerapan maksimal wama merah serta mengubah kelarutan. Penggantian gugus ini menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem ~t(Lawlor, 1987). Klorofil dapat menyerap sekitar 45 foton per detik. Penyerapan maksimal cahaya oleh klorofil berhubungan dengan perbdaan level energi di dalam molekul. Level energi tertinggi adalah singlet kedua yang tereksitasi pada 430 nm. Elektron tereksitasi kembali dalam waktu 10'12 detik dari keadaan eksitasi kedua menuju pertama, dimana elektron tereksitasi oleh cahaya merah (Lawlor, 1987). Elektron dari molekul klorofil yang tereksitasi dapat kembali ke tingkat dasar (ground state) melalui sejumlah cam. Klorofil dapat mentransfer elektron tereksitasi ke
molekul akseptor, seperti pada peristiwa fotosintesis.
Klorofil dapat juga melepaskan
sebagian energi yang diperoleh sebagai panas dan memancarkan foton kemball ke angkasa. Fenomena ini disebut fluoresensi. Ekstrak klorofil a menyerap spektrum pada daerah biru dan merah tetapi memancarkan energi pada daerah merah; intensitas maksimum fluoresensi teQadipada 668 nm, sedangkan penyerapan spektium terjadi pada 663 nm (Hall & Rao, 1989). Kompleks Mg-porfirin di dalam molekul klorofil bersifat tidak stabil secara biologis karena pada keadaan elektronnya tereksitasi, metallopotfirin ini meiupakan agen pereduksi yang kuat, sehingga mudah dioksidasi.
Klorofil yang tereksitasi (Klo')
mengalami rangkaian penyusunan kembali elektron yang lebih jauh dapat menambah eksitasi elektron atau molekul menjadi lebih tidak stabil. Jika kekurangan elektron tidak diseimbangkan dengan cepat, sebagaimana dalam fotosintesis, spesies klorofil akan berkombinasi dengan oksigen. Produk yang dihasilkan adalah senyawa tidak bewama. Sejumlah intermediet pecahan oksidatii klorofil telah dideteksi oleh beberapa peneliti. Tempat utama peristiwa oksidatif tersebut adalah cincin siklopentanon (Hendry, 1996).
Kompleks Zn-Turunan Klorofil
Kompleks seng atau Zn-turunan klorofil merupakan salah satu bentuk khelat antara ion zn2' dengan molekul porfirin. Porfirin dapat membentuk kompleks stabil 1 : 1 dengan berbagai ion logam seperti tembaga (Cu), besi (Fe), nikel (Ni) dan kobal (Co). Menurut Cheng, Ueno dan lmamura (1982), stabilitas kompleks logam divalen dengan porfirin berbeda-beda, tergantung pada karakteristik kimia logam tersebut.
Dugaan tingkat
stabilitas kompleks logam dengan porfirin secara berumtan adalah : Pt > Pd > Ni > Co > Cu>Fe>Zn>Mn>Mg>Cd>Sn>Hg>Pb>Ba.
Kompleks cincin porfirin klorofil dengan Zn dan Cu membentuk suatu ikatan kuat yang lebih tahan terhadap asam dan panas dibandingkan dengan klorofil asal (porfirin berikatan dengan Mg). Beberapa penelitian menggunakan sayuran telah menunjukkan ha1 tersebut (Canjura et a/., 1999). LaBorde dan von Elbe (1994a) menyatakan bahwa ion logam bereaksi hanya dengan turunan klorofil dan tidak dengan klorofil alami. Feofitin a, pirofeofitin a, dan feoforbida a dapat bereaksi dengan Zn. Namun, bentuk b dari turunan klorofil ini dilaporkan kurang reaktif dibandingkan dengan bentuk a (von Elbe et a/., 1086; LaBorde & von Elbe, 1990). Tonucci dan von Elbe (1992) telah mempelajari kinetika reaksi pembentukan kompleks Zn dengan klorofil
yang diekstraksi dari bayam.
Hasil penelitiannya
memperlihatkan bahwa penurunan konsentrasi turunan klorofil a selama reaksi berlangsung proporsional dengan peningkatan konsentrasi kompleks Zn-turunan klorofil yang terbentuk. Reaksi dilangsungkan pada suhu 20, 25, 30 dan 35°C. Hanya kompleks Zn yang tejadi selama reaksi, sedangkan reaksi samping (side reactions) tidak terjadi. Pirofeoforbida a mempunyai laju reaksi dengan ion zn2+paling cepat dibandingkan dengan turunan klorofil lainnya. Waktu paruh reaksi (tin) tersebut yang dilangsungkan pada suhu 20°C adalah 54
* 1 menit. Turunan klorofil lain dengan waktu paruh reaksinya
adalah feoforbida a (90 i 1 menit), metil feoforbida a (166 & 1 menit), etil feoforbida a (171 &
1 menit), pirofeofitin a (174
* 1 menit) dan feofitin a (305 & 7 menit).
Kecenderungan
yang sama juga terlihat pada reaksi turunan klorofil a dengan ion 2n2* pada suhu 25, 30 dan 35OC. Laju masuknya Zn pada cincin tetrapirol menurun dengan semakin panjangnya rantai alkil terestetifikasi pada propionat C-7. Hal ini menunjukkan bahwa steric hindmnce mempunyai pengaruh terhadap laju reaksi ion zn2' dengan turunan klorofil a.
Gugus
karbometoksi pada karbon C-10 di dalam cincin isosiklik berpengaruh terhadap laju reaksi ion zn2' dengan turunan klorofil. Pirofeoforbida a dan pirofeofitin a, yang tidak mempunyai gugus karbometoksi pada C-10, bereaksi sekitar 1.8 kali lebih cepat dengan ion zn2' dibandingkan dengan feoforbida a dan feofitin a pada suhu ruang.
Steric hindknce
merupakan satu kemungkinan untuk menjelaskan perbedaan laju tersebut. Di samping itu, distribusi muatan di dalam sistem aromatik dipengaruhi oleh gugus karbometoksi yang menarik elektron lebih kuat.
Pada keadaan tidak ada gugus karbometoksi, inti pirol
menjadi sedikit bermuatan negatif, sehingga meningkatkan laju reaksi dengan ion zn2' yang bermuatan positif (Tonucci & von Elbe, 1992). LaBorde dan von Elbe (1994b) telah meneliti pula pengaruh beberapa solut terhadap pembentukan kompleks Zn-turunan klorofil (Zn-feofiiin a dan Zn-pirofeofitin a) pada puree kacang polong.
Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa penambahan
kation monovalen (Na', K' dan Li') tidak berpengaruh terhadap pembentukan kompleks ', dan ~ a ~ pada ') Zn-turunan klorofil. Namun, penambahan kation divalen ( ~ g ~ ca2' konsentrasi 0.1 M menurunkan pembentukan kompleks tersebut. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya penurunan pH media setelah ditambahkan kation divalen. Penambahan garam NaCl dan gula pada konsentrasi 0.1 M juga tidak berpenga~hterhadap pembentukan kompleks.
Sementara itu, penambahan asam organik sebagai asidulan atau agen
24 pengkhelat memberikan pengaruh berlawanan terhadap pembentukan kompleks dan perkembanganwama sayuran selama pengolahan. Manfaat Klorofil dan Senvawa Turunannva Manfaat sebaaai Pewarna
Telah lama diketahui bahwa pigmen yang terdapat dalam bahan pangan dapat dimanfaatkan sebagai pewama alami pada pembuatan produk-produk pangan. Pewama alami ini dinilai lebih aman untuk dikonsumsi, meskipun harganya relatii mahal. Ada tiga jenis pigmen yang sering diinanfaatkan sebagai pewama, yaitu karotenoid, flavonoid dan klorofil. Dari ketiga pigmen tersebut klorofil merupakan jenis pigmen yang paling banyak terdapat dalam tanaman serta terdistribusi pada hampir semua tanaman. Oleh karena itu, pemanfaatan klorofil sebagai pewarna makanan dipertimbangkan sebagai ha1 yang logis dilakukan sehingga upaya pengembangannya pun menjadi sesuatu yang penting. Namun, telah diketahui bahwa klorofil merupakan jenis pigmen yang mudah mengalami kerusakan atau degradasi oleh beberapa faktor, terutama oleh larutan asam, panas, cahaya, dan oksigen (Tonucci & von Elbe, 1992). Degradasi yang cepat dari klorofil sayuran hijau terutama terjadi selama proses pengolahan menggunakan panas untuk membentuk senyawa turunan klorofil yang berwarna coklat zaitun (olive-brown), yaitu feofitin dan pirofeofitin. Berbagai upaya untuk mempertahankan wama hijau dari klorofil sayuran telah banyak dilakukan, walaupun masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Namun, salah satu cara tersebut, yaitu dengan membentuk kompleks turunan klorofil dengan mineral tertentu (metallo-kompleks) selama proses pengolahsn dan penyimpanan sayuran, telah dilaporkan dapat mempertahankan wama hijau sayuran dengan baik.
Dua jenis mineral yang sering
digunakan adalah Cu dan Zn (La Borde & von Elbe, 1994a).
Kompleks Zn-turunan klorofil memberikan warna sama dengan klorofil asal, tetapi warna yang dihasilkan lebih stabil.
Pada kenyataannya, garam Zn dengan sengaja
ditambahkan ke dalam larutan blanching pada proses pengalengan sayuran komersial untuk mempertahankan dan meningkatkan wama sayuran hijau yang dikalengkan, seperti kacang polong, buncis dan bayam. Proses tersebut, di Amerika Serikat dikenal sebagai Veri-Green, menghasilkan sayuran kaleng dengan wama yang lebih cerah dibandingkan dengan sayuran yang dikalengkan secara konvensional.
Hal ini terjadi karena
terbentuknya kompleks Zn dengan feofitin a dan pirofeofdin a (von Elbe eta/., 1986). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan metallokompleks turunan klorofil yang telah diidentifikasi. Turunan klorofil a membentuk metallokompleks lebih cepat dibandingkan dengan klorofil b (Jones et a/., 1977).
Feofitin membentuk
metallokompleks lebih lanibat dibandingkan dengan pirofeofitin dan feoforbida karena adanya grup konstituen pengganggu (Tonucci & von Elbe, 1992). Pembentukan kompleks Zn meningkat dengan meningkatnya pH dan konsentrasi ion 2n2' serta konsentrasi pigmen (La Borde & von Elbe, 1990). Kondisi pH yang tinggi dapat menahan klorofil setelah pemanasan dan menurunkan jumlah turunan klorofil yang tersedia untuk membentuk kompleks dengan Zn (La Borde & von Elbe, 1994a). Peningkatan yang sama juga terjadi jika reaksi pembentukan Zn-feofitin dilakukan pada suhu 121-125°C dan pembentukan Zn-pirofeofitin pada suhu antara 130-145°C (Canjura eta/., 1999). Manfaat baai Kesehatan Pada awalnya klorofil dan beberapa senyawa turunannya dianggap sebagai prooksidan, yaitu suatu zat yang dapat memicu terjadinya oksidasi untuk menghasilkan radikal bebas. Menurut Endo et a/. (1985a), klorofil diduga bersifat prooksidati pada minyak sayur, sehingga mempercepat kerusakan minyak. Dalam ha1 ini, klorofil bertindak sebagai fotosensitizer dengan mempercepat oksidasi minyak ketika terkena cahaya.
Maaf, halaman ini pada sumber aslinya memang tidak ada Sorry, this page is not available in the original source
sayuran mempunyai kontribusi dalam menjaga stabilitas oksidatif ketika ditempatkan di dalam gelap.
Klorofil dan feofitin menghambat kerusakan oksidatif dari asam metil
linoleat, tetapi aktivitas antioksidan pada suhu 50°C lebih rendah daripada suhu 30°C. Klorofil dan feofitin secara umum mempunyai aktivitas antioksidan sangat kuat pada asam lemak tidak jenuh. Secara in vitm aktivitas antioksidan klorofil telah diukur dengan menentukan kemampuan turunan klorofil dalam menangkap radikal bebas 1,ldifenil-2-pikrilhidrazil (DPPH)
dan
2,2'-azinobis-(3-etilbenzotiazolin-6-sutfonat)
(ABTS').
Hasilnya
memperlihatkan bahwa turunan klorofil yang efektii menjadi penangkal radikal adalah klorofil a dibandingkan dengan klorofil b. Turunan bebas logam, seperti klorin, feofitin, dan pirofeofitin memperlihatkan kapasitas antiradikal yang lebih rendah dibandingkan dengan turunan logam, seperti Mg-klorofil, Zn-feofitin dan Zn-pirofeofitin (Zn-turunan klorofil), Cufeofitin a, dan Cu-klorofilin (Ferruzi et a/., 2002). Aktivitas antioksidan klorofilin, suatu analog klorofil larut air, terhadap reactive oxygen species (ROS) telah diteliti dengan spektroskop electron spin resonance (ESR) oleh Kumar et a/. (2001), khususnya dalam menangkap radikal stabil 1,ldifenil-Zpikrilhidrazil (DPPH). Klorofilin menghambat pembentukan 5,5dimetil-1-pirolin-N-oksida yang berikatan dengan radikal hidroksil (DMPO-'OH). Pada konsentrasi 1 mM, klorofilin menyebabkan penghambatan yang lebih besar dari 90%.
Klorofilin juga dapat
menghambat pembentukan hidrogen peroksida. Klorofilin memiliki potensi antoksidan dengan cara menangkap berbagai ROS penting. Di samping sebagai antioksidan, klorofil dan turunannya juga bertindak sebagai zat antikanker (Breinholt et a/., 1995; Hasegawa et a/., 1995; Keller et a/., 1996; Tasetti et a/., 1997; Waladkhani & Clemens, 1998; Reddy et a/., 1999). Penelitian Breinholt et a/. (1999) serta Hayashi, Schimerlik dan Bailey (1999) menggunakan ikan air tawar menunjukkan
28
bahwa klorofilin dapat menghambat kerusakan DNA dan hepatokarsinogenesis serta tumorigenesis jika diberikan pada dosis hingga 4000 ppm dalam diet yang mengandung. aflatoksin 61. Breinholt et a/. (1995) menjelaskan bahwa klorofilin membentuk kompleks non kovalen yang kuat dei~ganaflatoksin B1, sehingga dapat menurunkan penyerapan senyawa karsinogen tersebut.
Benitez dan Wens (1996) juga menyatakan bahwa
mekanisme klorofilin dalam mencegah tejadinya kanker adalah melalui pembentukan kompleks klorofilin dengan karsinogen atau prokarsinogen, mencegah pengikatan DNA oleh karsinogen serta mempercepat degradasi karsinogen. Menurut Egner et a/. (2001), klorofilin merupakan inhibitor efektif dari hepatokarsinogenesis yang disebabkan oleh aflatoksin dengan cara menghambat ketersediaan biologis (bioavailabilitas) karsinogen. Sodium-copper-chlomphyllin, suatu kompleks antara tembaga (Cu)-turunan klorofil
yang larut air dan telah dipasarkan secara komersial dilaporkan mempunyai potensi antimutagenik dan antioksidan. Secara in vitm dan in vivo diperlihatkan bahwa turunan klorofil terrnasuk klorofil a, feofitin a, dan feoforbida a, merupakan agen kemopreventif yang potensial. Demikian juga dengan feofitin, pirofeofitin dan feoforbida yang biasa pada sayuran hijau yang dikalengkan telah memperlihatkan potensi efek antimutagenik dan tumorisidal secara in vitm (Chemomorsky, Segelman & Poretz, 1999). Hasil penelitian lainnya memperlihatkan efek antimutagenik dari klorofil a dan klorofilin (Okai et a/., 1996; Tang & Edenharder, 1997), serta dari feofitin a dan b (Yoshikawa et a/., 1996). Ferruui et a/. (2002) menyatakan bahwa klorofil a, klorofil b, feofitin a, feofitin b, Zn-feofdin a dan Cu-feofitin a dapat rnenekan mutagenisitas yang diinduksi oleh benzo(a)piren pada Sa/monella thypimurium. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan senyawa-senyawa tersebut dalam menurunkan bioavailabilitas mutagen melalui pembentukan kompleks porfirin-mutagen. Penelitian Yoshikawa et a/. (1996) menggunakan ekstrak buah terong (Solanurn rnelongena) memperlihatkan aktivitas
antimutagenik dari feofitin a dan b dan feoforbida serta klorofilida terhadap Salmonella yang diinduksi dengan 3-amino-1-metil-5H-pirido[4,3-blind01 (Trp-P-2). Efek perlindungan terhadap mutagenesis ini kemungkinan berkaitan dengan sifat antikarsinogenesis. Potensi lain dari klorofil adalah sebagai zat antiinflamasi (Okai & Okai, 1997) serta antigenotoksik (Nagishi, Rai & Hayatsu, 1997; Harltig & Bailey, 1998; Bez et al., 2001). Studi yang dilakukan Chernomorsky et a/. (1999) memperlihatkan beberapa turunan klorofil mempunyai efek antimutagenik terhadap 3-metilkolantren (3-MC). Dalam ha1 ini, inti porfirin dari klorofil membentuk kompleks secara langsung dengan mutagen. Kemungkinan
mekanisme
lain
adalah
dengan
menginaktivasi
enzim
yang
mentransformasi 3-MC. Ambilan dan penghambatan terhadap perbanyakan sel mieloma ditemukan lebih besar pada feoforbida dibandingkan dengan feofitin. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa turunan klorofil memainkan peranan penting dalam mencegah kanker. Menunrt lkeme dan Skousen (2000), klorofil menangkap dan membentuk kompleks dengan mutagen, sehingga dapat memperkecil kemungkinan mutagen ini menyerang gen atau menrsak gen. Klorofil juga menjadi perantara degradasi metabolit toksik dengan cara membantu pemecahan hasil samping toksik (toxic byproducts). Klorofilin telah dilaporkan memiliki aktivitas antiklastogenik pada tikus percobaan (Sarkar et a/., 1995; Sarkar, Sharrna & Talukder, 1996).
Penelitian pada hewan
memperlihatkan bahwa klorofil dapat mencegah pemscahan kromosom dan mengurangi kerusakan DNA, sehingga gen tetap tejaga dengan baik. Hal ini memberikan keuntungan adanya dukungan klorofil terhadap mekanisme perbaikan dari hewan yang mengalami lesi karena substansi toksik (Ikeme & Skousen, 2000).
Manfaat Zn baai Tubuh
Seng atau Zn merupakan salah satu mikromineral yang penting bagi kesehatan manusia. Di dalam tubuh orang dewasa terdapat 2-3 g Zn dengan kebutuhan sehari-hari sekitar 15 mg. Umumnya Zn di dalam tubuh terdapat pada semua jaringan dan cairan tubuh, di dalam rangka dan jaringan lain (kulit dan rambut), serta beberapa organ (terutama prostat) (Latham, 1997). Konsentrasi Zn pada massa tubuh tanpa lemak adalah sekitar 30 M g . Konsentrasi tertinggi ditemukan pada chomid mata (274 pg Znlg) dan dalam cairan prostatik (300-500 pglml) (WHO, 1996). Di dalam tubuh manusia atau hewan, Zn terlibat dalam fungsi berbagai enzim pada proses metabolisme. Sekitar 200 enzim yang berhubungan dengan metabolisme, seperti karbohidrat dan energi, degradasilsintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transpor C02, dan reaksi-reaksi lain memerlukan mineral Zn. Beberapa enzim yang membutuhkan Zn sebagai kofaktor adalah karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase, karboksipeptidase, glutarrlat dehidrogenase, laktat dehidrogenase, Cu,Znsuperoksida dismutase, dan alkalin fosfatase. Mineral Zn merupakan komponen penting dari enzim prolimerase DNA dan RNA, sehingga ikut mengambil bagian dalam reaksi enzimatik penting yang terlibat dalam replikasi dan transkripsi informasi genetik (Lehninger, 1988).
Hormon timulin, testosteron, prolaktin, dan somatomedin juga
memerlukan Zn dalam menjalankan fungsinya. Di samping berperan penting dalam proses metabolisme, Zn juga diperlukan dalam pemeliharaan kulit, pankreas dan organ-organ reproduksi pria. Di dalam pankreas, keberadaan Zn dikaitkan dengan banyaknya sekresi enzim protease yang dibutuhkan untuk pencemaan (Linder, 1992). Mineral Zn diperlukan pula dalam sistem imun, penyembuhan luka, dan membantu memelihara pengecapan terhadap rasa dan bau. Selain itu, Zn juga penting dalam mendukung pertumbuhan normal dan perkembangan selama kehamilan, masa anak-anak
dan remaja. Sistem imun dipengaruhi secara berlawanan oleh defisiensi Zn meskipun pada tingkat moderat. Defisiensi berat Zn menekan fungsi sistem imun. Mineral Zn dibutuhkan untuk perkembangan dan aktivasi limfosit TI suatu jenis sel darah putih yang dapat membantu melawan infeksi. Ketika suplemen Zn diberikan kepada individu dengan kadar Zn rendah, jumlah sel limfosit T yang bersirkulasi dalam darah meningkat clan kemampuan limfosit untuk melawan infeksi meningkat pula. Suplementasi Zn seringkali meningkatkan penyembuhan luka pada kulit, tetapi tidak meningkatkan laju penyembuhan ketika kadar Zn normal (Anonymous, 1992). Seng adalah mikromineral yang paling kurang beracun di antara mikromineral lain. Tidak ada p e n g a ~ h negatif yang pernah ditemukan setelah seseorang berminggu-minggu mengkonsumsi lebih dari 10 kali anjuran kecukupan gizi. Namun, konsumsi tablet Z ~ S O ~ atau suplemen Zn lain dapat menyebabkan rasa tidak enak bila dikonsumsi tidak bersamaan dengan waktu makan. Defisiensi Zn dapat terjadi oleh karena kurangnya konsumsi atau dayaguna yang rendah, penyerapan yang kurang baik atau tingkat pengeluaran dari tubuh yang meningkat (Linder, 1992). Tanda-tanda dari defisiensi Zn antara lain terhambatnya pertumbuhan, rambut mudah rontok, diare, terhambatnya kematangan seksual dan impotensi, lesi pada mata dan kulit, dan kehilangan rasa. Hal lain yang juga terjadi adalah kehilangan berat badan, terhambatnya penyembuhan luka, ketidaknormalan pengecapan, dan kelemahan mental. Defisiensi Zn dapat meningkatkan proses kerusakan pada sel endotel karena bemubungan dengan stres oksidatif. Perubahan ketersediaan Zn plasma dapat mempengaruhi status Zn endotel. Dalam ha1 ini, defisiensi Zn dapat menjadi faktor resiko terjadinya penyakit jantung (Beattie & Kwun, 2004). Karena banyak dari gejala ini bersifat umum dan dikaitkan dengan kondisi kesehatan lain, kekurangan gejali-gejala kadang-kadang tidak dipertimbangkan sebagai kekurangan Zn (Anonymous, 1992; WHO, 1996).
32
Defisiensi Zn dapat pula menyebabkan penyakit yang sangat jarang terjadi, yaitu acmdematitis entemphatica. Beberapa pasien yang terkena lesi kulit memberikan respon positif terhadap perlakuan Zn. Defisiensi Zn telah dilaporkan sebagai penyebab sekunder dari keadaan kurang energi protein (KEP), kondisi malabsorpsi, sirosis hati pada alkoholisme, gangguan ginjal dan gangguan metabolik (Latham, 1997). Ada beberapa potensi Zn dalam penyembuhan luka bakar, satu di antaranya adalah bahan yang mengandung Zn mempunyai aktivitas antimikroba. Di samping itu, Zn juga mampu meningkatkan konsentrasi sejumlah sitokin, seperti dapat menstimulir sel mononuklear darah tepi untuk memproduksi interleukin (IL)-1, IL-2, IL6, interferony, dan tumor necrosis factor (TNF).
Semua sitokin proinflammatori ini berkontribusi dalam
autolitik penyembuhan luka bakar. Mineral Zn dapat bertindak sebagai kofaktor bagi enzim metalloproteinase yang mungkin berperan penting dalam remodelling jaringan yang teqadi setelah luka bakar (Keefer, locono & Erlich, 1996). Toksisitas Zn terlihat pada bentuk-bentuk akut-dan kronis. Konsumsi 150-450 mg Zn per hari dikaitkan dengan status Cu yang rendah, mengubah fungsi Fe, menurunkan fungsi imun, dan menurunkan kadar HDL (Anonymous, 1992). Patogenesis Aterosklerosis Hubungan Lipoprotein dengan Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan keadaarl umum penebalan dan pengerasan arteri yang bersifat kompleks. lstilah aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani, yaitu athem yang berarti bubur dan sclerosis yang berarti pengerasan. Keadaan aterosklerosis dicirikan oleh tejadinya pembentukan lesi ateroma yang berisi timbunan substansi lemak, kolesterol, produk-produk sisa selular, kalsium dan fibrin pada bagian dalam dinding arteri (American Heart Association, 1998).
Faktor utama dari patogenesis ateroskleosis adalah terjadinya deposisi kolesterol pada dinding arteri. Kolesterol adalah suatu bahan yang bersifat lunak (soft) dan seperti lilin (waxy) yang ditemukan dalam lipid pada aliran darah dan sel tubuh (American Heart Association, 2001). Pada proses aterogenesis, beberapa molekul yang diperlukan dalam proses transpor dan deposisi kolesterol juga ikut terlibat (Knopp, 1999). Molekul-molekul tersebut adalah lipoprotein, yaitu senyawa kompleks yang terbentuk dari lipid dan protein spesifik yang disebut apoprotein. Lipoprotein merupakan senyawa yang berperan dalam proses transpor lipid dari serum menuju jaringan, terutama dalam bentuk trigliserida dan kolesterol yang diperoleh dari diet atau disintesis de novo. Berdasarkan densitasnya lipoprotein dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu kilomikron (densitas < 0.94 glml), lipoprotein berdensitas sangat rendah (Very Low Density LipopmteinNLDL, densitas 0.94-1.006 glml), lipoprotein berdensitas sedang (Intermediate Density LipoproteinllDL, densitas 1.006-1.019 glml), lipopr~tein berdensitas rendah (Low Density LipopmteinlLDL, densitas 1.019-1.063 glml), dan lipoprotein berdensitas tinggi (High Density LipoproteinlHDL, densitas 1.063-1.21 glml). Setiap partikel disusun oleh inti lipid yang bersifat hidrofobik dan dikelilingi oleh lapisan lipid polar, yaitu fosfolipid, kolesterol dan apoprotein. Terdapat 10 jenis apoprotein, yaitu A-I, A-ll, A-Ill, B-48, B-100, C-I, C-ll, C-Ill, Dl dan E (Striyer, 1995). Komposisi lipoprotein dapat dilihat pada Tabel 4 (Widman, 1985). Tabel 4. Komposisi Lipoprotein Menurut Densitas (Widman, 1985) Jenis
Kilomikron VLDL LDL HDL
Trigliserida 85-95 60-70 5-10 Sangat sedikit
Kornposisi (%) Kolesterol Fosfolipid 3-5 5-10 10-15 10-15 45 20-30 20 30
Protein 1-2 10 15-25 50
*
Lipoprotein berdensitas sangat rendah (VLDL) merupakan bentuk awal dari lipoprotein yang bersirkulasi. Lipoprotein ini disintesis di dalam hati yang selanjutnya masuk ke dalam aliran darah. Fungsi utamanya adalah membawa lipid dari hati menuju jaringan perifer.
Komponen utama VLDL adalah trigliserida, tetapi juga ditemukan
apolipoprotein B-100 (apo B-100) dan apo-E yang dikatabolis oleh enzim lipoprotein lipase dalam jaringan periferal. Setelah mencapai kapiler dari jaringan adipose atau otot, lipoprotein ini akan meninggalkan ester kolesterol dengan dua unit apolipoprotein. Akibatnya ukuran VLDL akan menyusut dan densitasnya menjadi meningkat, sehingga berubah menjadi IDL dan kemudian menjadi LDL. Lipoprotein berdensitas rendah (LDL) merupakan lipoprotein pembawa kolesterol utama dalam plasma normal.
Lipoprotein ini disusun oleh inti benrpa 1500 molekul
kolesterol yang dibungkus oleh lapisan fosfolipid dan molekul kolesterol tidak teresterifikasi.
Bagian hidrofilik dari molekul ditempatkan di sebelah luar, sehingga
memungkinkan LDL larut dalam darah atau cairan ekstraseluler. Protein berukuran besar yang disebut apolipoprotein B-100 juga ditempatkan pada lapisan hidrofilik ini. Apolipoprotein B-100 mengenal dan mengikat reseptor LDL yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan metabolisme kolesterol (Brcwn & Goldstein, 1984). Reseptor LDL merupakan glikoprotein berrnuatan negatif yang terdapat dalam suatu legokan pada membran plasma yang disebut "clathrin coated pits". Pits ini membawa LDL masuk ke dalam sel melalui proses yang disebut endositosis. Selanjutnya LDL akan didaur ulang, sedangkan lipcrproteinnya didegradasi oleh enzim lisosomal, sehingga tejadi pemisahan unsur kolesterol, asam amino, asam lemak dan fosfolipid yang dapat dimanfaatkan lagi oleh sel (Brown & Goldstein, 1986). Telah diperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi LDL dalam darah, semakin besar resiko terkena aterosklerosis. Hal ini dikaitkan dengan struktur, daerah (domain)
35 pengikatan dan jalur molekuler dalam produksi LDL termodifikasi. Reseptor spesifik untuk LDL yang berperan penting dalam pengaturan metabolisme kolesterol, mengambil dan mendegradasi LDL untuk diubah menjadi kolesterol, sehingga secara efeMif dapat menurunkan kadar LDL serum. Namun, respons ini tergantung pada jumlah reseptor LDL dan kebutuhan terhadap kolesterol. Tejadinya penurunanjumlah reseptor dan penurunan laju penghilangan IDL dalam sirkulasi darah mengakibatkan konsentrasi LDL plasma meningkat, sehingga akan mempercepat proses aterosklerosis. Lipoprotein berdensitas tinggi (HDL) merupakan pembawa sekitar 113 hinggga M dari kolesterol darah. Para ahli menyatakan bahwa HDL cenderung membawa kolesterol dari arteri kembali ke hati dan HDL membuang kelebihan kolesterol dari plak aterosklerosis sehingga dapat memperlambat perkembangan aterosklerosis (Jialal & Devaraj, 1996). Partikel HDL disintesis di dalam hati dan dikeluarkan ke dalam sirkulasi darah dan usus. Bentuknya pipih jika baru keluar dari hati dan mengandung kolesterol, fosfolipid serta sejumlah apolipoprotein, yaitu apo A-I, apo A-Ill E dan C. Jika terjadi akumulasi kolesterol, maka bentuknya berubah menjadi bulat yang pada fase awal disebut HDL3 karena ukurannya yang kecil. Ukuran HDL akan bettambah besar pada tahap selanjutnya dan disebut HDL2 (Tumbelaka, 2000). Dalam kaitannya dengan aterosklerosis, partikel HDL dapat mencegah oksidasi ringan dari LDL (Minimally Modified LDLIMM-LDL) dan kejadian-kejadian lanjut yang mengakibatkan pelekatan monosit, migrasi dan diferensiasi. Kemampuan HDL untuk melindungi LDL terhadap oksidasi pada sel-sel dinding arteri diduga karena keja beberapa enzim terkait dengan HDL. Enzim Platelet Activating Factor Acetylhydmlase berkaitan dengan HDL dalam melindungi LDL dari oksidasi oleh logam secara in vitro. Enzim lain yang juga diduga terlibat adalah paraoksonase (Navab et a/., 1995).
Keiadian Aterosklerosis
Banyak ahli percaya bahwa awal aterosklerosis terjadi sebagai akibat disfungsi sel endotel, yaitu lapisan sel epitel yang melapisi rongga jantung dan pembuluh darah serta limfe dan rongga serosa tubuh (Kaniawati, 2003). Dalam keadaan sehat, sel endotel sebenamya berperan dalam memproduksi substansi mediator yang dapat mengatur hemodinamika vaskular secara fisiologis.
Salah satu substansi yang dihasilkan oleh sel
endotel sehat untuk meningkatkan relaksasi adalah nitric oxide (NO).
Nitric oxide
mencegah tejadinya aterosklerosis dengan menghambat pembentukan platelet, menurunkan produksi radikal bebas, mengatur lipid membran dan oksidasi lipoprotein (Rubbo et a/.,2000). Namun, pada keadaan hiperkolesterolemia, oksidasi lipoprotein oleh radikal bebas dapat mengakibatkan disfungsi endotel dan selanjutnya menimbulkan aterosklerosis. Kejadian aterosklerosis merupakan suatu proses fisika, biologi dan kimiawi yang rumit, baik urutan kejadian maupun interaksi selulernya. Aterosklerosis tejadi melalui tiga tahapan penting yang sulit dipisahkan (Oemar, Yang & Luscher, 1995; Wijaya, 1995). Ketiga tahapan tersebut adalah : 1. Tahap permulaan (inisiasi), yang meliputi akumulasi lipid dan infiltrasi partikel lipoprotein ke dalam intima, oksidasi partikel lipoprotein tersebut, aktivasi sel-sel endotel, adesi dan infiltrasi monosit, serta migrasi sel-sel otot polos dari media ke dalam intima. 2. Tahap progresi, yang biasanya terjadi selama puluhan tahun, meliputi deposisi lemak secara berkesinambungan ke dalam intima, pembentukan sel-sel busa oleh makrofag, proses oksidasi lipoprotein lebih lanjut, peradangan dan proliferasi sel-sel otot polos maupun produk-produknya (matriks ekstraseluler) dalam intima.
3. Tahap akhir, yang meliputi komplikasi kalsifikasi, rusaknya lesi, dan trombosis yang
dapat menimbulkan manifestasi klinik berupa penyakit jantung koroner dan stroke. Berdasarkan tahapan kejadian di atas telah dikembangkan beberapa teori yang menjelaskan terjadinya aterosklerosis. Beberapa teori tersebut yang telah diringkaskan oleh Tumbelaka (2000) antara lain : a. Hipotesis respon terhadap cidera, dimana aterosklerosis disebabkan oleh faktor mekanis seperti aliran darah yang deras dan bertekanan tinggi, faktor kimiawi akibat kekurangan oksigen, faktor imunologis dan adanya infeksi virus. Akibat dari faktorfaktor tersebut adalah terjadinya pengelupasan pada lapisan sel endotel, sehingga fungsi sel endotel menjadi berkurang atau hilang. b. Hipotesis lipid, dimana hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia menrpakan penyebab utama aterosklerosis. Teori infiltrasi lipid tergantung pada pemasukan LDL ke dalam lapisan intima dalam jumlah melebihi kapasitas jaringan untuk mendegradasinya, sebagai akibat terjadinya penimbunan lemak. c. Hipotesis gabungan, yaitu kerusakan pada lapisan endotel mengakibatkan munculnya efek sitotoksik dari lipid peroksida akibat reaksi oksidasi pada lipid yang dilanjutkan dengan infiltrasi lipid yang berlebihan. Berbagai kejadian seluler dan molekuler dalam proses terjadinya aterosklerosis dapat dilihat pada Gambar 4. Proses aterogenesis dimulai dengan masuknya LDL ke dalam subendotel (intima) yang selanjutnya LDL mengalami modifikasi (teroksidasi). Partikel LDL yang telah teroksidasi akan menstimulasi ekspresi beberapa gen sel endotel untuk mensekresikan beberapa molekul, yaitu molekul adesi ICAM (Intracellular Adhesion Molecul),
VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule), MCP-1 (Monocyte Chemotactic
Protein), MCSF (Macrophage Colony Stimulating Factors), Tissue Factors, dan PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1). Molekul-molekul tersebut menyebabkan terjadinya
rrdesi momit path e -
a b a s i serh d
i
diilarti dengan kemoEaispis ke &lam subendotel, a n terjadi
i mkmfag.
A
Gambar 4. w i n Sekrkr dan Molekuler dalam Proapes Abrosklemk (Berliner et a!., 7995)
Partjkel LDL yang semuh masih Bero)csideEsi wcam minimal (Minima& Modilkation LDLJMMDL) akan krubah mnjadi LDL yang b m b i i s i penuh ( O x i d M LDUOx-LgL)
obh sehA d k h g a m , sepwti makmhg yang be-1
dari moms& dan sel dot polos
yang kmQmsi dari d m . Motekul US1yang temksiil pen& m b m i peningkabn
mu-n
q p t i f , penhghtm Mi,pning-
peroksida lipid, kehilangm khsterol
temMfk&, m m m h s iapdipoproQein B tian pmunmw k a n d u v asam lemak tidak jenuh jam& (PUFA) (Jhhal, m r a j & Kaul, 2001). W&ul U X t8mWksi ditmgkap
a k h mmpkw rscamqpr dari nwkmfao d m menpbabbm brjadhya alaunuW esbr
39
kolesterol dan tedmtuknya s e h l busa (barn d s ) . Hal ini merangsang ekspresi gen sejumlah sitokin dan h k b r perkrmbuhan yang menyehbkn bjadinya proliferasi sel otot
,
polos. Di samping itu, adanya efek Ox-LDL terhadap koaguki dan fibrinolisls, seperti
Tissue Fa-,
PAC1, Tumor N m W s Factor*
WF-cl),Platefet-Dew GIlowth Factor
(PDGF), dm p t g h a r n m n kern ErnWWiiim-DeM mlaxhg Factors (EDRF) alcan
---4 .'
*;
+-- ,
+ mempevrah k j a d i n ateddemis (Wabet al., 1895; Staprans et al., 1996; Wijaya,
-:. - 1997). Produk-k
oksidasi LDL, s q d o
~
~krsifat l shbksik; , aitoblcsisihs ini
meminlcan peranan pnting dalam d i s i sel end-l perkembangan aterosklemis (Jib1&
dan m e n i ~ m n
u, t M ; Herttuala et dm, 2000).
Perkembangan ateraritd;rds p d a manusia.dam dijelaskan melalui bebetapa
bhapan M k u t , sebqpimana disajikan pada Gambar 5.
Sel
Gs~it Lesi b m a k - . hhmmfid .--ma
A
FJ- -1-
--
Gambar 5. Tahapan w i n Afsroskkmis pada Man&
~ k d ~ t e d
-m
(Wary ef al., 1995)
Tahap pembentukan garit lemak (Hennig & Chow, 1988) Pada tahap ini lipid akan terakumulasi baik di ekstraseluler (pelekatan lipoprotein plasma pada matriks jaringan konektif), maupun pada makrofag. Monosit melekat pada endotelium arteri yang teraktivasi, dan terjadi pula penetrasi monosit pada dinding arteri. Pada tahap selanjutnya monosit melepaskan chemical cytokines (chemokines) dan sitokin inflamasi, modulasi ekspresi reseptor scavenger, akumulasi lipid dan pembentukan sel busa (foam cells). Tahap perkembangan lesi (Hennig & Chow, 1988) Pada tahap ini terjadi migrasi sel otot polos dari lapisan media ke dalam intima yang telah terluka.
Sel otot polos mengalami proliferasi di dalam intima (intimal
hypeplasia). Kejadian lanjutan adalah sekresi sejumlah besar komponen jaringan konektif oleh sel otot polos intima, akumulasi lipid pada intima, dan reaksi inflamasi kronik (limfosiffmakrofag masuk dengan neovaskularisasi pada dasar plak). Kematian sel makrofag dan sel otot polos akan terjadi, sehingga mengakibatkan pembentukan inti nekrotik dan akumulasi kolesterol ekstraseluler.
3. Tahap pecahnya (rupture) plak akut dan patogenesis sindroma koroner akut (Hennig & Chow, 1988) Lesi aterosklerotik yang telah lanjut dapat menimbulkan gejala iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Plak yang pecah, dikaitkan dengan infark miokardiak spesifik, terjadi pada plak yang sudah parah, yaitu plak dengan fibrous cap tipis, banyak sel inflamasi, sedikit sel otot polos, dan sejumlah besar cadangan lipid. Makrofag yang terdapat pada plak tersebut mengeluarkan enzim metalloproteinase matriks yang memperlemah plak berserabut. Pecahan plak akan membuka lipid plak dan faktor jaringan untuk komponen darah, menginisisasi tahapan koagulasi, pelekatan platelet dan trombosis pembuluh darah.
Slndroma Aterosklerosis pada Hati dan Ginlal
Pada kejadian aterosklerosis, pengamatan terhadap kelainan histopatologis hati dan ginjal penting dilakukan, karena kedua organ ini sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada aterokslerosis tersebut. Pengamatan yang sering dilakukan terhadap hati adalah perlemakan hati (fatty liver), sedangkan pada ginjal diamati kelainan glomec~lus dan kandungan albumin urin.
7. Perlemekan Hati Perlemakan hati atau penimbunan lemak di dalam hati adalah suatu keadaan menumpuknya butiran lemak di dalam sitoplasma sel epitel hati. Menurut Lu (1995), perlemakan hati merupakan hati yang mengandung berat lemak lebih dari 5%. Biasanya ditemukan butiran lemak yang besar dalam sitoplasma, tetapi dapat pula b e ~ p a campuran antara butiran besar dan kecil.
Butiran yang sangat kecil menunjukkan
perlukaan yang baru saja terjadi (Jones & Hunt, 1983). Akumulasi lipid di dalam sel dapat terjadi pada beberapa keadaan yang mengganggu transpor atau metabolisme lemak, atau dalam keadaan khusus pada waktu sintesis protein atau fosfolipid (Jones & Hunt, 1983; Brounstein, 1987).
Beberapa
gangguan tersebut adalah : a. Pelepasan asam lemak bebas berlebihan dari jaringan adipose yang mengakibatkan peningkatan permintaan jumlah asam lemak bebas oleh hati. Karena hati tidak dapat menggunakan semua asam lemak bebas, maka hati menyimpannya sebagai lemak netral. b. Penurunan utilisasi atau oksidasi asam lemak karena gangguan pada kofaktor, seperti kamitin.
c. Defisiensi faktor lipotropik, seperti metionin dan kolin, sehingga terjadi penurunan sintesis fosfolipid. Hal ini mengakibatkan tidak dapat dilakukan esterifikasi diglisorida menjadi trigliserida. d. Karena keracunan etanol, sehingga asam lemak tidak dapat diesterifikasi menjadi trigliserida. e. Gangguan sintesis protein, sehingga menurunkan jumlah lipoprotein yang diperlukan untuk metabolisme lemak. f.
Keadaan hipertrigliseridemia, karena pada kondisi ini pembentukan dan pelepasan trigliserida oleh hati menjadi meningkat.
2. Pengendapan Protein pada Ginjal akibat Mikroalbuminuria Mikroalbuminuria merupakan keadaan laju ekskresi protein (albumin) lebih tinggi dari 20 pglmenit, tetapi kurang dari 200 pglmenit (Deckert et a/., 1992). Mikroalbuminuria telah digunakan sebagai petanda (marker) umum bagi ginjal terhadap kerusakan endotel vaskular
dan
aterokslerosis awal
(early atherosclerosis).
memperlihatkan bahwa mikroalbuminuria berhubungan
Banyak penelitian
dengan kejadian diabetes,
resistensi insulin, central adiposity, dan hipertensi (Liese, 2001). Kejadian mikroalbuminuria menggambarkan rendahnya kandungan heparan sulfat proteoglikan di dalam dinding pembuluh darah. Heparan sulfat merupakan komponen utama dari membran dasar glomerolus (glomerular basement membrane) dan berperan penting dalam organisasi dan fungsi molekuler membran dasar. Keberadaan heparan sulfat penting untuk menjaga permeabilitas selektif dari membran tersebut. Heparan sulfat telah diisolasi pula pada aorta dan ginjal. Di dalam ginjal, heparan sulfat paling banyak ditemukan pada membran dasar glomerolus dan sedikit pada membran dasar tubuli (Heintz et al., 1995). Pada keadaan heparan s u k t yang rendah,
permeabilitas glomerolus menjadi rendah, sehingga albumin tidak dapat diserap kembali dengan baik. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan hubungan antara mikroalbuminuria dengan aterosklerosis dan diabetes mellitus. Yudkin, Forrest dan Jackson (1988) telah meneliti hubungan antara laju ekskresi albumin urin dengan penyakit vaskular pada 187 subjek berusia > 40 tahun dari 1084 kasus diabetes dan non diabetes. Sebanyak 23% subjek penderita diabetes mempunyai laju ekskresi albumin (Albumin Excretion Rate/AER) lebih dari 20 pglmenit, sedangkan 9.4% subjek non diabetes mengalami hat yang sama. Penyakit jantung koroner ditemukan pada 54 dari 164 (32.9%) subjek dengan AER 5 20 pglmenit dan 14 dari 19 (74%) memiliki AER > 20 pglrnenit. Penyaki vaskular periferal (peripheral vascular disease) ditemukan pada 16 dari 165 (9.7%)subjek dengan AER s 20
pglmenit dan 8 dari 18 (44%) dengan AER > 20 pglrnenit. Penelitian lain oleh Mattock et al. (1988) memberikan kesimpulan penting bahwa laju ekskresi albumin secara nyata berkaitan dengan morbiditas karena penyakit jantung koroner.
Kejadian mikroalbuminuria, yang mengindikasikan gangguan pada ginjal,
mempengaruhi perkembangan penyakit arteri koroner (Yeo et a/., 2002).
Berkaitan
dengan resiko terkena penyakit jantung, Jensen et al. (2000) menyatakan bahwa keadaan mikroalbuminuria memberikan resiko 4 kali terkena penyakit jantung iskemik pada subjek yang mengalami hipertensi atau berada pada ambang hipertensi. Faktor Resiko Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktor, sehingga semua faktor resiko perlu dipertimbangkan dalam upaya pencegahan, baik primer maupun sekunder.
Beberapa faktor resiko ada yang dapat dimodifikasi, seperti dislipidemia,
hipertensi, merokok, obesitas, dan diabetes mellitus, tetapi ada pula yang tidak bisa
dimodifikasi, seperti jenis kelamin laki-laki, umur, dan riwayat kehidupan (genetik). Dari berbagai faktor resiko tersebut, kadar kolesterol HDL yang tinggi dianggap sebagai faktor resiko positif, dan yang lain merupakan faktor resiko negatif (Tabel 4) (Suyono, 1995). Tabel 5. Faktor Resiko Positif dan Negatif Aterosklerosis (Suyono, 1995) Faktor Resiko Positif Umur Lakl-laki > 45 tahun Umur Perempuan > 55 tahun Riwayat keluarga PJK Merokok Hipertensi Diabetes Mellitus Obesitas Kolesterol HDL < 35 mgldl Kolesterol LDL > 130 mgldl Kolesterol total > 200 mgldl Trigliserida > 200 mgldl
Faktor Resiko Negatif (Pelindung) Kolesterol HDL > 60 mgldl
1. Dislipidemia Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL.
Pada proses aterosklerosis keadaan tersebut
mempunyai peran penting dan sangat erat kaitannya satu dengan yang lain (Suyono, 1995). Tingginya kadar kolesterol dalam plasma dapat menyebabkan lesi pada endotel sehingga memungkinkan terjadinya plak aterosklerosis. Kolesterol HDL merupakan fraksi yang dianggap sebagai kolesterol baik. Hal ini didasarkan pada efek perlindungan dari HDL terhadap aterosklerosis melalui pengangkutan deposit kolesterol pada dinding arteri jaringan tepi menuju hati. Beberapa mekanisme perlindungan tersebut menurut Badimon et a/. (1992) antara lain: 1) Berfungsi sebagai antioksidan, dengan menghambat produksi peroksida lipid, mencegah oksidasi LDI, dan pembentukan sel busa serta sitotoksik LDL pada sel
endotel; 2) Molekul HDL rneningkatkan produksi prostasiklin dan mengurangi agregasi platelet; 3) Apoprotein A-1, protein terbesar dalam HDL, menstabilkan prostasiklin serum dan meningkatkan fibrinolisis; 4) Kadar HDL yang tinggi akan menurunkan pengambilan LDL oleh sel endotel melalui inhibitor kompetitif pada reseptor LDL; 5) Molekul HDL mencegah agregasi LDL, sehingga menurunkan influks kolesterol dan pembentukan sel busa; dan 6) Molekul HDL menghambat aktivitas platelet secara in vitro.
2. Homosistein Homosistein merupakan asam amino sulfhidril yang dibentuk selama metabolisme metionin.
Homosistein dapat dioksidasi menjadi disulfida melalui
otooksidasi homosistein dalam plasma yang menyebabkan terbentuknya senyawa
ROS, sehingga dapat menyebabkan kerusakan endotel dan memicu terbentuknya LDL teroksidasi. Peningkatan kadar homosistein pada matriks subendotel mengakibatkan terjadinya aktivasi platelet.
Homosistein menginduksi proliferasi sel otot polos,
sehingga dapat mengakibatkan timbulnya plak aterosklerosis. Homosistein seringkali menjadi penyebab awal lesi pada dinding pembuluh darah yang memungkinkan LDL dan fibrinogen terakumulasi dan pada akhirnya menghambat aliran darah. Senyawa ini juga berkontribusi dalam mengoksidasi LDL dan akumulasi plak arteri serta kemudian menghambat aliran darah. Homosistein merusak set secara langsung melalui peningkatan stres oksidatif. Homosistein juga dapat menyebabkan gumpalan darah arteri abnormal (trombosis) yang menghambat -
arteri secara sempurna.
Peningkatan kadar homosistein dalam darah telah
diperlihatkan meningkatkan kejadian aterosklerosis dan trombosis, bahkan jika kadar kolesterol dan trigliserida meningkat tidak secara nyata. ltulah sebabnya mengapa uji homosistein darah sangat direkomendasikan (Anonymous, 2003~).
Homosistein juga meningkatkan pengikatan lipoprotein (a) pada fibrin. Lipoprotein (a) merupakan partikel LDL dengan apoprotein yang diikat oleh ikatan disulfida. Muatan apoprotein (a) mempunyai struktur yang hampir sama dengan plasminogen. Homosistein berfungsi sebagai promotor dalam pengikatan lipoprotein (a) dengan plasmin-fibrin termodifikasi.
Keadaan ini dapat menyebabkan
aterosklerosis. 3. Merokok
Merokok dapat meningkatkan resiko terkena aterosklerosis karena dapat meningkatkan konsentrasi C02 dalam darah sehingga dapat menimbulkan agregasi trombosit. Asap rokok mengandung radikal bebas yang dapat mengoksidasi LDL di dalam tubuh. Nikotin pada rokok mempunyai efek vasokonstriktor terhadap pembuluh darah, sedangkan COs dapat menyebabkan hipoksemia dan kerusakan dinding sel (Nakagima, 1991). Rokok juga dapat meningkatkan kadar LDL dan menurunkan kadar HDL darah (Grundy, 1990). 4. Hipertensi Munro dan Cotran (1983) menyatakan bahwa hipertensi dapat menyebabkan kerusakan endotel karena beberapa faktor hemodinamika dan perubahan fungsi metabolik sel endotel.
Kerusakan endotel merupakan faMor penentu dalam
pembentukan plak aterosklerosis. Pada aterosklerosis, atau bahkan pada situasi terdapatnya faktor-faktor resiko untuk aterosklerosis (seperti hiperkolesterolemia) tanpa kelainan anatomis yang membuktikan adanya lesi aterosklerotik, diketahui telah timbul disfungsi endotel. Dengan demikian disfungsi endotel dapat dianggap sebagai tahap awal pada proses terjadinya aterosklerosis.
Maaf, halaman ini pada sumber aslinya memang tidak ada Sorry, this page is not available in the original source
radikal bebas oksigen karena tingginya oksidasi asam lemak pada kelompok IDDM dibandingkan dengan NIDDM. Pada keadaan diabetes terjadi peningkatan jumlah radikal bebas lipid. Upava Pencegahan dan Pengobatan Aterosklerosis
Sebagai keadaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, maka pencegahan dan pengobatan aterosklerosis memerlukan pendekatan yang bersifat multifaktor pula. Karena kadar kolesterol tubuh yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya aterosklerosis, banyak penelitian yang berkaitan dengan aterosklerosis dilakukan untuk melihat pengaruh suatu bahan dalam menurunkan kadar kolesterol atau mencegah oksidasi kolesterol di dalam tubuh. Namun, mengurangi asupan kolesterol dari makanan agar tidak melebihi batas normal serta menghindari berbagai faktor resiko negatif lainnya merupakan upaya penting yang dianjurkan banyak peneliti. Berbagai jenis terapi yang biasa digunakan dalam mencegah aterosklerosis menurut Kaniawati (2003) adalah menggunakan antioksidan, estrogen, L-arginin, olah raga, menghentikan merokok, mengontrol diabetes mellitus, konsumsi rendah lemak, konsumsi asam folat, menghambat xantin oksidase, meningkatkan kuantitas enzim superoksida dismutase (SOD), dan mengkonsumsi obat penurun lipid darah. Beberapa terapi tersebut dijelaskan berikut ini.
7. Hubungan Antioksidan dengan Aterosklerosis Penurunan kadar lipid darah dan penggunaan terapi antioksidan adalah dua pende,katan utama yang dilakukan untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh guna menurunkan kejadian penyakit kardiovaskular (Elinder, 1995). Penggunaan antioksidan banyak dilakukan untuk mengatasi serangan radikal bebas. Radikal bebas adalah spesies kimia (atom atau molekul) yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan, sehingga keadaannya menjadi tidak stabil.
Senyawa radikal yang paling berbahaya
adalah oksigen dengan elektron yang tidak berpasangan, hidroperoksida dan anion superoksida (Oliver, 1995). Sistem antioksidan tubuh berfungsi dalam melindungi sel-sel atau jaringan dari pengaruh negatif radikal bebas (Duthie et a/., 1989). Antioksidan bertindak mencegah pembentukan radikal bebas, atau menangkap radikal bebas yang sudah ada, menetralisimya dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Radikal bebas dapat mengganggu sel manusia, tetapi ha1 ini dapat dikontrol oleh mekanisme protektif antioksidan, yang meliputi pertahanan enzimatik primer, seperti enzim superoksida dismutase (SOD), dan glutation peroksidase, yang tergantung secara fungsional pada mineral Mn, Cu, Zn dan Se, serta bahan-bahan penstabil seperti vitamin
E (a-tokoferol), vitamin C, pkaroten, dan vitamin A.
Pada saat tubuh tidak dapat
mencegah pengaruh negatif dari radikal bebas atau radikal bebas terdapat dalam jumlah berlebih, maka radikal tersebut dapat menyerang DNA, mengganggu fungsi enzim, dan menyebabkan peroksidasi lipid PUFA pada membran sel (Oliver, 1995). Secara
umum
kerja
beberapa antioksidan dalam
mencegah terjadinya
aterosklerosis adalah sebagai berikut : a. Vitamin E Vitamin E (a-tokoferol) merupakan antioksidan larut lipid utama yang terdapat di dalam membran seluler, dinama vitamin ini mereduksi radikal bebas lipidik lebih cepat daripada oksigen (Nabet, 1996). Suplementasi vitamin E dapat menurunkan adesi monosit pada sel endotel (Ozer et a/., 1993), menurunkan pelepasan ROS, mencegah oksldasi lipid, menurunkan sekresi interleukin-IP, dan menunrnkan sintesis protein kinase C (Devaraj et a/. 1996). Vitamin E juga dapat melindungi LDL dari modifikasi oksidatif serta menghambat stimulasi pembentukan ester kolesterol pada makrofag (Suzukawa et a/., 1994). Vitamin E bereaksi dengan radikal bebas lipidik membran
membentuk vitamin E radikal sedikit reaktif yang memutus propagasi dari reaksi rantai radikal (Gambar 6). Vitamin E radikal mengalami regenerasi dengan adanya glutation koenzim Q10 atau vitamin C. Pemberian vitamin E dapat menghambat oksidasi LDL dan proliferasi sel otot polos, pelekatan dan agregasi platelet, ekspresi dan fungsi molekul adesi (adhesion molecules), meningkatkan sintesis leukotrien, dan meningkatkan pelepasan prostasiklin melalui regulasi enzim fosfolipase A2 (Anonymous, 2003~). b. Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat memiliki peran ganda dalam oksidasi lipid, yaitu ~ + ~ e " sebagai prooksidan dan antioksidan. Kemampuannya mereduksi ~ e menjadi pada enzim hidroksilase dapat menggambarkan peranannya dalam sintesis kolagen dan berbagai gejala scurvy. Namun, kemampuan yang sama ini dapat mengkatalisis reaksi reduksi Hz02 untuk memproduksi radikal hidroksil melalui reaksi Fenton. H202 (Hidrogen peroksida)
7-T
Asam semidehidroaskorbat
HO- + 'HO (radikal hidroksil)
Asam askorbat
Gambar 6. Pembentukan Radikal Hidroksil melalui Reaksi Fenton (Brody, 1994) Aktivitas antioksidan vitamin C disebabkan oleh kemampuannya dalam menangkap Oz'. , 'HO dan '0'. Antioksidan ini dapat memutus reaksi radikal yang dihasilkan melalui lipidoperoksidasi.
Pada konsentrasi rendah, asam askorbat
bereaksi secara langsung dalam fase cair dengan radikal peroksil LOO', lalu berubah menjadi askorbil yang sedikit reamif (Nabet, 1996).
Asam askorbat terdapat dalam cairan ekstraseluler, tetapi tidak dapat masuk ke dalam sel. Hidrogen paroksida (H202) masuk ke sel melalui membran sehingga dapat merusak sell khususnya jika dihasilkan radikal hidroksil. Dengan memotong Hz02 dan bereaksi dengannya sebelum masuk ke sell vitamin C dapat menyelamatkan sel dari serangan radikal bebas (Florence & Setrigh, 1994). Asam askorbat dapat meregenerasi vitamin E. Berbagai studi menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E dapat menurunkan kepekaan LDL untuk teroksidasi secara ex vivo. Walaupun vitamin C merupakan antioksidan hidrofilik, studi in vitm menunjukkan aktivitas sinergistik vitamin C dengan vitamin E dalam melindungi LDL dari oksidasi oleh radikal bebas. Hal tersebut diduga karena vitamin C melindungi kadar vitamin E selama stres oksidatif dengan mengkonversi vitamin E (a-tokoferol) radikal bentuk teroksidasi menjadi bentuk tereduksi, sehingga aktivitas antioksidan vitamin E kembali lagi seperti sernuia. Jadi, adanya vitamin C dalam plasma (atau cairan ekstraseluler) dapat meningkatkan atau memelihara kandungan antioksidan larut lipid dalam LDL jika keduanya (vitamin E dan C) diberikan secara bersamaan (Reaven et a/. 1993). Defisiensi vitamin C telah dikaitkan dengan meningkatnya kejadian aterosklerosis pada marmut dan asupannya berhubungan terbalik aterosklerosis pada b u ~ n gpuyuh, kelinci dan tikus (Duell, 1996).
dengan
Pengerasan
pembuluh arteri, penyebab utama serangan jantung dan kematian karena penyakit jantung, hampir dapat disembuhkan pada pasien yang mengkonsumsi suplemen antioksidan p-karoten, vitamn C dan vitamin E (Setright, 1993).
c. Karotenoid
Karotenoid, seperti p-karoten, likopen, zeaxantin, dan lutein, diketahui mempunyai aktivitas antioksidan melalui kemampuan menangkap radikal bebas dan singlet oksigen ('04 (Oshima et a/., 1996; Sies & Stahl, 1995; Gutteridge & Halliwell, 1994). Aktivitas antioksidan dari karotenoid dalam larutan organik dikaitkan dengan
konsentrasi oksigen, struktur kimia karotenoid dan adanya antioksidan lain (Krinshy, 1993).
Kemampuan antioksidan dari karotenoid temyata dapat menurunkan
ketusakan DNA, transformasi yang membahayakan, dan parameter lain dari kerusakan sel secara in vitro (Tonucci et a/., 1995). Dari berbagai jenis pigmen karotenoid yang terdapat dalam tanaman, 13-karoten adalah jenis yang paling banyak ditemukan.
Penelitian Allard et a/. (1994)
memperlihatkan bahwa suplementasi t3-karoten dapat menurunkan kadar lipid peroksidasi pada perokok karena R-karoten mempunyai kemampuan untuk menangkap singlet oksigen serta bereaksi secara langsung dengan radikal peroksil, termasuk lipid peroksidasi. Beberapa cara penghambatan proses oksidasi oleh
p-
karoten antara lain meredam singlet oksigen, bereaksi secara langsung dengan radikal peroksil, atau secara langsung menghambat oksidasi LDL. Molekul Pkaroten juga dapat meningkatkan total aktivitas antioksidan serta berinteraksi dengan antioksidan lain. Beberapa karotenoid, termasuk P-karoten, dapat meregenerasi vitamin E radikal, yang pada akhimya dapat mencegah perkembangan aterosklerosis. Konsumsi makanan yang diperkaya dengan 13-karoten dapat menurunkan resiko terkena penyakit aterosklerosis (Parks et a/., 1995; Russell, 1995; van Vliet et a/., 1995; Kohlmeier & Hasting, 1995) dan jantung koroner (Setright, 1993; Florence & Setright, 1994). Para ahli riset dari Royal Brisbane Hospital di Australia menemukan bahwa pasien yang diberi 20 mg t3-karoten setiap hari selama 12 bulan
memperlihatkan profil lemak darah yang semakin membaik dengan meningkatnya HDL, sehingga dapat mengurangi kadar kolesterol darah (Setright, 1993). Penelitian lain telah dilakukan pula oleh Sun et al. (1997) yang menggunakan kelinci percobaan untuk melihat aktivitas antioksidan 13-karoten. Pemberian 13-karoten (25 mglberat badan, dua kali seminggu) dilakukan secara injeksi intravena. Pemberian 13-karoten ternyata dapat menurunkan konsentrasi LDL, kolesterol total plasma, luas lesi aterosklerotik toraks, dan ketebalan intima, tetapi tidak mempenga~hioksidasi LDL jika dibandingkan dengan kontrol. d. Flavonoid Studi epidemiologis memperlihatkan bahwa konsumsi flavonoid berhubungan secara berlawanan dengan kematian akibat penyakit jantung koroner dan kejadian serangan jantung. Hal ini berkaitan dengan aktivitas antioksidan dari flavonoid. lgile et a/. (1994) telah meneliti aktivitas antioksidan dari senyawa flavonoid yang diisolasi dari daun Vemonia amygdalina, yaitu suatu tanaman yang banyak tumbuh di Afrika Barat, khususnya di Nigeria. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa daun V. amygdalina mengandung beberapa flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Jenis-jenis flavonoid yang dianalisis adalah saponin tipe stigmastane, seperti vemonioside Ai, 61, B2, B3, A4 dan C. Campuran saponin ini, terutama All telah memperlihatkan efek pada berat badan dan berat hati, pengeluaran urin dan feses, dan konsentrasi kolesterol plasma dan hati tikus. lgile et al. (1994) juga menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari tiga senyawa flavon yang teridentiikasi (luteolin-7GlcA, luteolin-7-Glc, dan luteolin) dapat menghambat proses penuaan. Aktivitas antioksidan dari senyawa flavonoid yang diekstraksi dari biji kacang panjang (P. vulgaris) telah diteliti oleh Tsuda et al. (1994a dan 1994b). Dinyatakan
bahwa pigmen antosianin dapat berperan sebagai antioksidan setelah dikonsumsi dan dapat mencegah peroksidasi lipid membran sel yang diinduksi oleh radikal bebas. Senyawa flavonoid tertentu yang memiliki struktur mirip dengan vitamin E mempunyai aktivitas antioksidan pada sistem lipid, yaitu melalui reaksi dengan anion dan radikal peroksil lipid, serta membentuk kornpleks dengan besi, superoksida (0;) sehingga mencegah pembentukan ROS.
Flavonoid juga memelihara vitamin C ,
khususnya dengan adanya ion logam, yang secara normal mengoksidasi vitamin C (asam askorbat). Sebagai contoh, quersetin, morin, mirisetin, kaemferol, asam tanat, asam ellagat memiliki aktivitas antioksidan yang dimaksud (Duthie & Brown, 1994). Studi dengan kultur sel memperlihatkan bahwa flavonoid melindungi sel dari modifikasi oksidatif LDL oleh makrofag, serta berperan sebagai komponen antiaterosklerosis dalam makanan. Quersetin dan rutin dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung koroner melalui penurunan konsentrasi trigliserida setum dan penghambatan agregasi platelet. Flavonoid lainnya telah dilaporkan memiliki efek terhadap aterosklerosis, hiperlipidemia, dan infark miokardiak (Duthie & Brown, 1994). Senyawa flavonoid larut air (Salvianolic acid 6) yang diekstrak dari akar tanaman Salvia miltionhiza ditemukan dapat menangkap radikal 1,ldifenil-2pikrilhidrazil dan mencegah oskidasi LDL lebih efektif daripada probucol, suatu obat penurun kadar kolesterol. Dengan menggunakan 12 ekor kelinci New Zealand White, Yih-Jer et al. (1998) msmperlihatkan bahwa flavonoid ini dapat menurunkan kejadian aterosklerosis tidak hanya karena efek penurunan kadar kolesterol, tetapi juga karena potensi antioksidan untuk mencegah kerusakan endotel dan menghambat oksidasi LDL pada hewan hiperkolesterolemik. Konsumsi anggur merah telah dikaitkan dengan suatu konsep di Perancis yang disebut The French Pamdox. Masyarakat Perancis biasa mengkonsumsi makanan
55
tinggi asam lemak jenuh, tetapi kejadian penyakit jantung koroner termasuk rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya efek protektif vaskular dari flavonoid terhadap oksidasi LDL (Miller, 2004). Menurut Durak (1999) dan Pizarro dan Lissi (2003), di dalam anggur merah terdapat senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai penangkap radikal bebas, sehingga dapat melindungi sel dari reaksi peroksidasi lipid. Senyawa flavonoid yang terdapat dalam teh hijau dapat memberikan periindungan terhadap oksidasi oleh radikal bebas, sehingga menurunkan kejadian penyakit jantung koroner. Penelitian prospektif Geleijnse et a/. (1999) pada laki-laki dan wanita berusia 2 55 tahun memperlihatkan adanya hubungan terbalik antara konsumsi teh dengan aterosklerosis berat pada aorta.
Hal yang sama juga
diperlihatkan oleh Serafini (1998), Keli et a/. (1996) dan Sasazuki et a/. (2000) bahwa teh hijau memberikan perlindungan terhadap serangan jantung koroner, stroke dan aterosklerosis.
e. Ubiquinol10 (CoQ 10 Hz) Ubiquinol 10 adalah substansi seperti vitamin yang larut dalam lemak. Substansi ini banyak ditemukan pada kacang kedele dan produk olahannya, seperti tempe. Di samping terlibat pada beberapa tahapan penting daiam proses pmduksi energi, substansi ini juga mempunyai fungsi sebagai antioksidan (Anonymous, 2003~). Molekul LDL mengandung ubiquinol 10 dalam jumlah sedikit. Ubiquinol 10 adalah bentuk tereduksi dari koenzim Q10 dan merupakan antioksidan pertama yang terpakai saat LDL terpapar oksidan. Antioksidan ini berperan pula sebagai komponen sistem transpor elektron dan dapat melindungi vitamin E dari serangan radikal bebas derrgan cara mereduksi radikal vitamin E (Duell, 1996). Suplementasi ubiquinol 10 dapat meningkatkan konsentrasinya pada LDL sehingga daya tahan LDL terhadap oksidasi menjadi meningkat (Nabet, 1996).
Pada awal tahun 1999 peneliti di Melbourne, Australia, telah memberikan ubiquinol 10 kepada pasien yang mengalami operasi jantung.
Hasilnya
memperlihatkan bahwa para penderita seolah-olah memiliki jantung yang lebih muda daripada umumya. Hal ini diduga karena ada 2 fungsi dari ubiquinol 10 ini bagi jantung, yaitu sebagai antioksidan serta peranannya dalam mengkonversi oksigen dan makanan menjadi energi yang akan memperkuat kerja jantung (Anonymous, 2003~). Hubungan Asanr Lemak Omega3 dengan Aterosklerosis
Bahan makanan yang berasal dari laut, seperti minyak ikan, kaya akan kandungan asam lemak omega-3. Menurut Supari (1996), pemberian asam lemak ini dapat menurunkan kadar kolesterol darah, sehingga dapat mencegah terjadinya aterosklerosis. Banyak
penelitian
memperlihatkan
bahwa
orang-orang
yang
biasa
mengkonsumsi ikan laut, seperti di Greenland dan Jepang, memiliki tingkat mortalitas karena penyakit jantung koroner lebih rendah dibandingkan dengan penduduk dunia lainnya. Efek perlindungan ini diduga karena terjadinya perubahan profil lipid darah. Konsumsi asam lemak tidak jenuh majemuk, terrnasuk asam lemak omega-3, ternyata dapat menurunkan kadar trigliserida dan LDL, sedangkan kadar HDL, terutama HDL2, mengalami peningkatan, Asam lemak ini juga dapat mengurangi adesi dan migrasi monosit, menurunkan kadar interleukin-1, TNF-a, fator aktivasi platelet, PDGF, radikal bebas dan Fibroblast Growth Factors oleh endotel.
Sementara itu, produksi
Endothelial Derived Relaxing Factor meningkat karena asam lemak ini, sedangkan pada pembuluh darah yang aterosklerosis biasanya rendah (Baraas & Jufri, 1997). Para ahli memperlihatkan bahwa asam linoleat, salah satu jenis asam lemak omega-3, mampu menurunkan kejadian aterosklerosis, stroke dan serangan jantung.
Untuk mencegah serangan jantung diperlukan konsumsi asam linoleat sekitar 3-4 g per hari (Anonymous, 2003~). Hubungan Serat Pangan dengan Aterosklerosis Konsumsi pangan yang kaya akan serat pangan seperti sayuran temyata dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung koroner.
Hal ini dimungkinkan oleh
kemampuan serat parigan dalam menurunkan kadar kolesterol, yaitu dengan pengikatan kuat terhadap asam empedu, karena serat pangan mempunyai daya hisap yang sangat kuat terhadap asam empedu (Piliang & Djojosoebagio, 1991). Akibatnya asam empedu bersama dengan serat dikeluarkan oleh tubuh melalui feses. Asam empedu berperan dalam proses metabolisme lemak karena dapat menurunkan tegangan perrnukaan lemak. Bahan utama penyusun asam empedu adalah kolesterol. Semakin banyak konsumsi serat, semakin banyak pula asam empedu yang dikeluarkan melalui feses. Akibatnya kadar kolesterol darah menjadi turun. Serat pangan lamt air yang telah mengalami fermentasi oleh mikroba akan menghasilkan beberapa asam lemak rantai pendek, seperti asam asetat, propionat, suksinat, butirat, format, dan laktat. Asam lemak rantai pendek ini diserap oleh usus besar dan dibawa ke hati. Asam propionat dapat menghambat akvitas enzim kunci dalam sintesis kolesterol, yaitu enzim HMG-Koa reduktase, sehingga sintesis kolesterol menjadi terhambat. Serat pangan dapat memperlambat laju pencemaan dan penyerapan lemak, serta mengubah keadaan lipid darah.
Serat juga dapat
menurunkan kadar trigliserida dan lipoprotein kaya trigliserida dalam darah, sehingga lebih lanjut dapat mencegah penyunibatan pembuluh darah dan jantung koroner (Schneemann & Davis, 1994).
4. Hubungen Vitamin 5 dengan Aterosklerosis
Telah diketahui bahwa kandungan homosistein plasma darah yang tinggi dan kadar asam folat serta vitamin Be yang rendah dikaitkan dengan meningkatnya penyempitan arteri karotid. Defisiensi vitamin Be,vitamin Bt2 dan asam folat seringkali ditemukan pada penderita dengan kadar homosistein tinggi, atgu penderita yang mempunyai resiko aterosklerosis tinggi.
Suplementasi vitamin-vitamin ini dapat
menurunkan kadar homosistein secara nyata. Vitamin B2 diduga mempunyai aktivitas antioksidan secara langsung karena berperan sebagai kofaktor dalam reaksi oksido-reduksi. Menurut Combs (1992), vitamin Bz dalam bentuk flavoprotein memperlihatkan kemampuan yang besar dalam menerima dan mentransfer satu atau dua elektron dengan suatu potensi yang besar. Dengan adanya hidroperoksida lipidik, secara in vitro vitamin B2 diubah menjadi bentuk teroksidasi (Nabet, 1996). Vitamin niasin telah digunakan dalam dosis tinggi (14.5 glhari) untuk menormalkan kadar lipid penderita hiperlipidemia. Niasin dapat meningkatkan kadar HDL, menurunkan kadar LDL, kolesterol total dan trigliserida, tetapi juga menurunkan kadar fibrinogen dan merangsang fibrinolisis.
Niasin memberikan efek protektif
terhadap serangan jantung hingga lebih dari 60% (Anonymous, 2003~). 5. Hubungan Jahe dengan Aterosklerosis
Ekstrak jahe mengandung berbagai senyawa yang bermanfaat dalam mencegah aterosklerosis, seperti gingerol, shogaol, zingeron dan karvakrol. Terdapat sekitar 21 komponen pada jahe yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada vitamin E (Anonymous, 2004b).
Ekstrak jahe telah diketahui dapat
menghambat sintesis tromboksan A2, yaitu suatu senyawa yang memulai pembentukan bekuan darah secara tidak normal. Di samping itu, ekstrak jaheejuga
dapat meningkatkan kadar prostasiklin yang dapat menghambat agregasi platelet. Oleh karena itu, jahe dapat menghambat agregasi platelet tidak normal melalui dua mekanisme kerja berbeda, bahkan penghambatan ini lebih efektif dibandingkan dengan bawang merah atau bawang putih (Anonymous, 2003~). Senyawa timol, karvakrol, 6gingerol dan hidroksitirosol yang terdapat dalam ekstrak jahe dapat menurunkan peroksidasi fosfolipid liposom dengan adanya ~ e * dan asam askorbat, tetapi zingeron hanya mempunyai pengawh penghambatan yang lemah pada sistem ini. Senyawa-senlawa ini adalah penangkap peroksil radikal yang baik (good scavengers) yang dihasilkan melalui radiolisis (Aeschbach et a/., 1994). Senyawa 6-shogaol yang menyebabkan rasa pedas pada jahe mencegah pelepasan prostaglandin I2 (PG12) dari aorta tikus ketika dilakukan uji penghambatan agregasi platelet. Hasil ini memperlihatkan bahwa 6-shogaol memiliki aksi penghambatan pada siklooksigenase baik pada platelet maupun aorta (Suekawa et a/., 1986).
Hasil penelitian Septiana (2001) memperlihatkan bahwa fenolik jahe dapat digunakan untuk mencegah dan menghambat oksidasi lemak atau minyak. Antioksidan ini menangkap radikal bebas yang dihasilkan selama tahap propagasi lemak atau minyak dengan cara mendonasikan radikal hidrogen, sehingga radikal lemak tidak aktii melaksanakan tahap propagasi yang akan merusak lemak. Aktivitas antioksidan jahe pada LDL tergantung jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan suplementasi.
Suplementasi ekstrak diklorometan jahe dapat menghambat
akumulasi ester kolesterol pada LDL yang dlinkubasi bersama makrofag sebesar 66.03%. Sementara itu, suplementasi ekstrak air jahe dapat menghambat sebesar
69.07%.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ekstrak jahe mempunyai indeks penghambatan radikal bebas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan antioksidan komersial, seperti BHA dan BHT. Ekstrak jahe juga ditemukan dapat menghambat peroksidasi lipid pada mikrosom hati tikus dan menangkap anion superoksida (Anonymous, 2004b). Pemberian jahe pada tikus percobaan secara nyata dapat menuninkan peroksidasi lipid dengan menjaga aktivitas enzim antioksidan, seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase. Kandungan glutation darah secara nyata meningkat pada tikus yang mengkonsumsi jahe.
Ahmed et a/. (2000)
menyatakan bahwa jahe mempunyai aktivitas antioksidan yang sama efektii dengan vitamin C. 6. Hubungan Bawang Putih dengan Aterosklerosis
Bawang putih telah diketahui memainkan peran penting sebagai bahan makanan dan obat karena dapat mencegah berbagai penyakit, terutama ketika terdapat radikal bebas oksigen, seperti kardiovaskular, kanker, serta infeksi hati dan mikroba. Hal ini antara lain disebabkan oleh kemampuannya dalam menangkap radikal bebas oksigen, meskipun aktivitas antioksidannya belum diketahui dengan baik (Banerjee et a/., 2003). Prasad et a/. (1995) telah memperlihatkan bahwa allicin (salah satu bahan aktif pada bawang putih) temyata dapat menuninkan pembentukan radikal hidroksil dari 2,3- dan asam 2,5dihidroksibenzoat (DHBA). Pemberian 1.8 glml allicin dapat menghambat
pembentukan 2,3-OHBA
pembentukan 2,5-DHBA
sebesar 43.2%.
sebesar
32.36%
dan
menghambat
Pemberian sebanyak 36.0 glml
meningkatkan penghambatan keduanya menjadi sekitar 94.0% dan 90.0%. Allicin menangkap radikal peroksil dan tidak menangkap produk ikatan radikal peroksil yang
terbentuk. Dengan demikian allicin dapat mencegah tejadinya peroksidasi lipid secara
in vitm. Ekstrak bawang putih segar mengandung fhokimia antioksidan yang dapat mencegah kerusakan karena proses oksidasi, seperti allicin dan selenium.
Sifat
antioksidan dari senyawa ini adalah dengan menangkap ROS, meningkatkan enzim antioksidan seluler superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase, serta meningkatkan glutation di dalam sel. Bawang putih menghambat peroksidasi lipid, menurunkan kerusakan iskemiWreperfusi dan menghambat modifikasi oksidati LDL, sehingga melindungi sel endotel dari kerusakan oleh molekul teroksidasi, yang pada akhimya dapat menyebabkan aterosklerosis (Borek, 2001). Hageman et a/. (1998) telah rneneliti pengaruh suplementasi bawang putih (100 mglhari), campuran antioksidan yang terdiri dari a-tocopherol (72 mg=50 IUlhari), Pkaroten (7.5 mg=2500 IU), asam askorbat (150 mg) dan selenium (200 mcglhari) serta kombinasi bawang putih dengan antioksidan setiap hari selama 20 minggu terhadap kerusakan DNA dan kapasitas antioksidan pada 101 laki-laki sehat berusia 50-65 tahun. Hasil penelitiannya memperiihatkan bahwa suplementasi bawang putih dan campuran antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif DNA. Bawang putih dapat menurunkan kehilangan viabilitas sel endotel arteri pulmonari yang diinduksi dengan hidrogen peroksida (H202) (Yamasaki & Lau, 1997). lmai et a1 (1994) sebelumnya telah momperlihatkan pula bahwa ekstrak bawang putih dapat menghambat pembentukan substansi reaktif asam tiobarbiturat (TBARS) pada fraksi mikrosomal hati yang diinisiasi dengan t-butil hidroperoksida. Berbagai senyawa organosulfur, seperti S-allilsistein dan S-allilmerkaptosistein memperlihatkan aktivitas penangkap radikal pada penentuan semiluminesens dan 1,ldifenil-2-pikrilhidrazil (DPPH).
7. Hubungan Estrogen dengan Aterosklerosis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa estrogen, suatu hormon yang ditemukan pada wanita muda sebelum mnopouse, dapat memberikan perlindungan terhadap perkembangar) penyaki jantung koroner.
Hipotesis yang dikembangkan
adalah adanya aksi secara langsung dari estrogen pada dinding arteri.
Terapi
pengganti estrogen (estrogen replacement therapy) banyak dilakukan pada wanita menopause
untuk
meningkatkan
ketahanan
tubuhnya
terhadap
pengakit
aterosklerosis. Meskipun penelitian pada hewan memperlihatkan adanya keuntungan yang diperoleh dari terapi estrogen, penggunaan terapi ini untuk pencegahan penyakit jantung koroner pada manusia masih menjadi kontroversi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa akibat negatif pada wanita yang telah mengalamai menopause ketika diberikan terapi ini (Hodgin & Maeda, 2002). Pemberian etinilestradiol dan 17adihidroequilin, suatu estrogen larut air dari Premarin,
pada
kelinci
ovariektomi yang
mengkonsumsi
kolesterol tinggi
rnernperlihatkan terjadinya penurunan kejadian aterosklerosis. Sulistiyani dan Clair (1997) selanjutnya mempelajari pengaruh 17wstradiol terhadap pembentukan sel busa pada makrofag, dan menemukan bahwa 17fbestradiol mampu menurunkan ambilan dan metabolism LDL
oleh makrofag, sehingga tejadi pula penurunan
akumulasi kolesterol dan esterifikasi kolesterol. Hal ini menjadi salah satu dugaan mekanisme perlindungan estrogen terhadap perkembangan aterosklerosis. Penelitian Herrington et al. (2000) yang memberikan 0.625 mg estrogen terkonyugasi
dan 0.625
mg estrogen terkonyugasi ditambah 0.25
mg
medroksiprogesteron asetat pada 309 wanita dengan penyakit jantung koroner memperlihatkan tejadinya penurunan nyata pada kadar LDL, dan meningkatkan kadar HDL.
Namun, terapi hormon ini tiiak berpengaruh terhadap perkembangan
aterosklerosis koroner.
Oleh karena itu, disimpulkan bahwa wanita tidak hams
menggunakan terapi horrnon untuk menghambat perkembangan aterosklerosis. 8. Hubungan Obat-obatan dengan Aterosklerosis
Penunrnan kadar kolesterol darah dapat pula dilakukan dengan mengkonsumsi obat-obatan, yang terbagi menjadi 5 kelas, yaitu 1) kolestiramin dan kolestipol, 2) asam nikotinat, 3) klofibrat dan gemfibrozil, 4) probukol, dan 5) mevinolin. Mekanisme keja dari obat-obatan ini antara lain adalah dengan mengikat asam empedu, menurunkan kadar VLDL dan LDL, menghalangi sintesis kolesterol dengan cara merintangi enzim asetil-KoA karboksilase, rnenghalangi transpor kolesterol dalam usus, dan menghambat kerja enzim HMG-Koa reduktase, yaitu enzim kunci biosintesis kolesterol (Usman, 2000). Terdapat pula obat-obatan yang digunakan secara langsung untuk mengobati penyakit jantung koroner (Anonymous, 2003~). Beberapa obat dan cara kerjanya dijelaskan di bawah ini. a. Beta-Blocking Drugs. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pengaruh sistem syaraf simpatik pada jantung, mernperlambat laju jantung, menurunkan tekanan darah dan mengurangi kebutuhan oksigen jantung. Beberapa contoh obat-obatan adalah atenolol, metoprolol, nadolol dan propranolol. b. Calcium-Channel-Blocking Dmgs.
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi
jumlah kalsium yang masuk ke dalam set otot pad8 dinding arteri koroner, menurunkan beban kej a jantung, dan menunrnkan laju jantung. Contoh obat yang sering digunakan adalah diltiazem, nifedipin, verapamil dan zanidip.
c. Centrally Acting Drugs. Obat ini menurunkan laju jantung dan menu~nkan jumlah darah yang dipompakan melalui penurunan aktivitas sistem syaraf simpatik. Contoh obat yang termasuk kelompok ini adalah guanfasin dan terazosin. d. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors.
Obat ini menghambat
pembentukan angiotensin, suatu substansi yang dibutuhkan untuk pengemtan pembuluh darah.
Obat ini juga dapat rnenurunkan kemampuan tubuh dalam
menahan garam dan air, sehingga banyak digunakan sebagai obat penurun tekanan darah. Beberapa jenis obat ini adalah captoril, enalapril, dan lisinopril. e. Cardiac glycoside/anti-srrhythmic drugs. Obat ini, seperti digoxin, mengontrol laju jantung yang tidak normal. f.
Diuretics. Obat ini tnenu~nkantekanan darah melalui penurunan kadar garam dan volume air tubuh, seperti thiazide, hydrochlorothiazide dan suplemen potassium.
g. Nitroglycerin and nitmtes. Obat ini digunakan untuk mencegah dan mengobati serangan nyeri jantung dengan cara memperbesar arteri koroner, sehingga meningkatkan aliran darah ke otot jantung. Contoh obat ini adalah nitroglycerin.
h. Anti-anginal drugs. kejadian angina.
Obat ini, seperti dinitrate, bekerja dengan cara menekan