I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani,
selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong dikelola oleh peternak di pedesaan dengan skala yang relatif kecil (1-5 ekor). Pemeliharaan sapi potong dipilih karena cenderung berintegrasi dengan hasil pertanian dan sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga. Salah satu wilayah di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Subang Kecamatan Cipunagara Desa Sidajaya sebagian besar masyarakat disana memelihara ternak sapi potong karena memiliki nilai strategis bagi peternak untuk mendapatkan keuntungan dari harga jual yang cukup tinggi. Di kawasan ini program bantuan dari pemerintah mengenai penyediaan bibit unggul telah aktif dilakukan salah satunya jenis sapi Peranakan Ongole yang telah banyak dipelihara oleh masyarakat di Desa Sidajaya. Peternak di daerah ini mulai aktif melakukan pengembangan usahanya terutama di bidang pembibitan dengan tergabung dalam suatu kelompok.
Pembibitan dilakukan demi
keberlangsungan usahanya agar dapat menambah jumlah populasi dari kelahiran induknya. Kemampuan penyediaan atau produksi bibit sapi potong dalam negeri masih perlu ditingkatkan baik segi kualitas maupun kuantitas.
Pembibitan
merupakan kegiatan budi daya untuk menghasilkan bibit ternak baik untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan (Ditjennak, 2014).
2
Permasalahan yang terjadi pada peternak rakyat yaitu keterbatasan sumber daya peternak dalam mengelola usaha peternakan untuk menghasilkan produktivitas ternak yang baik karena cara beternak yang masih dilakukan secara tradisional dan berdampak kepada rendahnya pendapatan yang hanya dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Rendahnya pendapatan mengakibatkan peternak kesulitan dalam mengembangkan usahanya, sedangkan permintaan akan konsumsi daging semakin meningkat. Peternak dituntut untuk mulai melakukan perbaikanperbaikan secara teknis maupun non teknis untuk menghasilkan produktivitas ternak yang lebih baik. Optimalisasi produktivitas dan pendapatan peternak dapat dipelajari dalam hal perbaikan manajemen usaha, hal ini dapat dilakukan dimulai dengan menerapkan standar pemeliharaan yang terpadu dan terarah seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bagi pelaku usaha pembibitan diharapkan mampu menghasilkan keturunan dengan kualifikasi bibit yang sesuai dengan standar. Sehingga diperlukan pendekatan kepada kelompok peternak agar dapat menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip-prinsip pembibitan sapi potong yang baik. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014) telah mengeluarkan pedoman Good Breeding Practice bagi pembibit dalam Peraturan Menteri
Pertanian
No.
101/Permentan/OT.140/7/2014,
tentang
Pedoman
Pembibitan Sapi Potong yang Baik, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik. Ruang lingkup dalam pedoman pembibitan sapi potong yang baik ini membahas enam aspek utama yakni, sarana dan prasarana, cara pembibitan, kesehatan hewan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, sumber daya manusia serta pembinaan dan pengawasan. Hal
3
ini perlu mendapatkan perhatian terkait penerapannya terutama pada peternakan sapi potong rakyat berbasis kelompok peternak. Penerapan
GBP
merupakan
suatu
tindakan
untuk
meningkatkan
produktivitas sapi potong yang dihasilkan serta kaitannya dengan pendapatan peternak yang didapat dari sapi potong yang dijual atas biaya pakan yang dikeluarkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian perlu dilakukan untuk
mengetahui kondisi usaha pembibitan sapi ptotong rakyat beserta capaian produktivitasnya yang berbasis kelompok. Sehingga, peneliti tertarik untuk membahas penerapan aspek Good Breeding Practice terhadap produktivitas ternak pada peternakan sapi potong rakyat.
1.2.
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang terdapat beberapa rumusan
masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana tingkat penerapan aspek Good Breeding Practice di kelompok Jambu Raharja, Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.
2.
Bagaimana produktivitas ternak berdasarkan penerapan aspek Good Breeding Practice di kelompok Jambu Raharja, Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.
3.
Seberapa besar pendapatan peternak berdasarkan Income Over Feed Cost dari usaha pembibitan sapi potong rakyat di kelompok Jambu Raharja, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.
4
1.3.
Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui tingkat penerapan aspek Good Breeding Practice di kelompok Jambu Raharja peternakan sapi potong rakyat, Kecamatan Cipunagara, Subang.
2.
Mengetahui produktivitas ternak berdasarkan penerapan aspek Good Breeding Practice di kelompok Jambu Raharja, Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara, Subang.
3.
Mengetahui pendapatan peternak berdasarkan IOFC dari usaha pembibitan sapi potong rakyat di kelompok Jambu Raharja, Kecamatan Cipunagara, Subang.
1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah mengenai usaha pembibitan sapi potong rakyat yang sesuai dengan prinsip pembibitan sapi potong yang baik agar dapat menghasilkan ternak layak bibit sesuai persyaratan mutu untuk peternak, kelompok ternak pembibitan sapi potong serta Dinas Peternakan setempat dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya bagi mahasiswa mengenai penerapan pembibitan sapi potong yang baik di peternakan rakyat.
1.5.
Kerangka Pemikiran Permasalahan dalam bidang peternakan di Indonesia adalah masih
rendahnya produktivitas, mutu genetik ternak dan keterampilan peternak dalam mengelola usahanya terutama di daerah pedesaan yang masih bersifat tradisional.
5
Pengelolaan yang baik dan terarah diperlukan untuk menunjang produktivitas ternak yang optimal dan sebaiknya mengacu pada tiga hal penting yaitu, breeding, feeding dan manajemen. Diperlukan suatu petunjuk teknis usaha pembibitan sapi potong seperti yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 101/ Permentan/OT.140/7/2014 yaitu, Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good Breeding Practice) yang telah disesuaikan baik untuk usaha skala besar maupun skala kecil atau skala rumah tangga (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014). Pedoman ini membahas enam aspek utama yaitu sarana dan prasarana, cara pembibitan, kesehatan hewan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, sumber daya manusia serta pembinaan dan pengawasan. Penggunaan lahan untuk peternakan sapi potong harus disesuaikan dengan topografi dan geografi wilayah, sumber pakan, sumber air, pembuangan limbah, pembangunan kandang yang memenuhi syarat serta kemudahan akses transportasi sesuai dengan aspek sarana dan prasarana. Kesesuaian ternak dengan wilayah dapat menunjang produktivitas ternak dalam melakukan cara pembibitan meliputi sistem reproduksi, sistem perkawinan, manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan. Evaluasi aspek reproduksi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi. Parameter yang sering digunakan untuk mengetahui efisiensi reproduksi diantaranya umur kawin pertama, umur kawin pertama setelah beranak, masa bunting, service per conception (S/C) dan selang beranak (calving interval) yang merupakan dasar utama dalam peternakan untuk menentukan tingkat prestasi produksi. Berkaitan dengan aspek ini, ketercapaian penerapan aspek GBP yang baik di tunjukkan dengan poduktivitas biologik ternak yang baik. Teknik perkawinan perlu diperhatikan
untuk meningkatkan produktivitas
6
biologik ternak. Pada kawin alam rasio ideal jantan dan betina adalah 1:15-20, sementara pada Inseminasi Buatan sebaiknya menggunakan semen bekusesuai SNI atau semn cair dari pejantan unggul (Ditjennak, 2014). Perkawinan baru dapat dilakukan bila ternak telah mencapai usia pubertas yaitu, saat tercapainya kematangan kelamin atau kematangan seksual.
Usia
pubertas ini bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 818 bulan. Umur pubertas sangat dipengaruhi oleh musim, suhu, makanan, dan genetik, oleh karena itu perkawinan awal sebaiknya dilakukan pada umur 18-24 bulan. Keberhasilan perkawinan baik secara alami maupun buatan dipengaruhi dengan ketepatan waktu saat ternak akan dikawinkan serta mengetahui tanda berahi (estrus) pada ternak potong betina. Rata-rata siklus berahi pada sapi adalah 21 hari yang berlangsung selama 12-18 jam. Waktu yang tepat untuk dikawinkan ialah pada awal berahi atau 12-20 jam setelah awal berahi Pembuahan atau fertilisasi merupakan awal dari periode kebuntingan.
Periode kebuntingan
dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai anak lahir.
Periode
kebuntingan yang normal berkisar antara 240-330 hari atau rata-rata 283 hari tergantung bangsa dan lingkungan (Santosa, 2006). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval (CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6. Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979).
Peternak perlu mempunyai pemahaman dan keterampilan
7
mengenai manajemen pencatatan dalam pengelolaan dan penanganan ternak dalam usaha peternakan. Sistem pemeliharaan pembibitan sapi potong dapat dilakukan dengan sistem pastura (penggembalaan), sistem semi intensif dan sistem intensif. Pemeliharaan pada pedet, sapi dara dan sapi dewasa akan berbeda bentuk perlakuannya. Pada pemeliharaan pedet yang baru lahir sebaiknya dilakukan penanganan khusus hingga umur 7 hari, dilakukan pemasangan identitas dan penimbangan bobot lahir. Bobot lahir sapi PO dengan kisaran dibawah dan diatas rata-rata secara berturut-turut yaitu 20,47 kg dan 24,85 kg, selanjutnya dilakukan proses penyapihan. Penyapihan secara alamiah oleh induk dilakukan pada umur 6-7 bulan adapun umur standar penyapihan yaitu 205 hari. Bobot sapih sapi PO dibawah dan diatas rata-rata berkisar 80,90 kg dan 88,50 kg (Wijono, 2006). Pada sapi dara perlu diperhatikan fase kawin pertama, pencatatan tanggal perkawinan, pemeriksaan kebuntingann dan kesehatan secara rutin.
Dalam menilai
produktvitas ternak selain pengukuran bobot badan, pengukuran ukuran tubuh lain perlu dilakukan diantaranya lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak untuk mengetahui perkembangan ternak. Kebutuhan pakan dan minum akan berbeda berdasarkan jenis umur, jenis kelamin, bangsa, kondisi lingkungan, tipe ransum serta pada ternak bunting dan pasca melahirkan. Pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ternak berpengaruh terhadap produktivitas ternak dan kesehatan ternak. Pemberian hijauan dapat diberikan sekitar 10% dari bobot badan dan sebaiknya telah dicacah dengan ukuran cacahan 5-10 cm.
Pemberian akan lebih baik bila dicampur dengan
konsentrat sebagai sumber energi dengan pemberian 3-5%
kebutuhan ternak
dalam ransum. Penambahan protein yang tidak melebihi 5% kebutuhan ternak
8
(Santosa, 2006). Berorientasi pada pola integrasi dengan tanaman pangan ataupun perkebunan, pengembangan usaha sapi potong perlu bersinergis dengan pengembangan industri pakan yang memanfaatkan sumber bahan baku lokal berdasarkan ketersediaan di lokasi tersebut (Rusnan, dkk, 2015). Ternak potong yang dipelihara harus terjamin kesehatannya untuk menghasilkan produksi yang maksimal. Kesehatan hewan perlu dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Pencegahan dan pengendalian penyakit sepenuhnya menjadi tanggung jawab peternak. Mengidentifikasi ternak sakit dapat diamati melalui tanda atau gejala klinis yang terlihat berdasarkan perubahan tingkah laku, anatomi dan klinis untuk menduga ternak yang sakit.
Dalam hal ini, penerapan biosekuriti perlu di
tingkatkan untuk mengurangi penyebaran bibit penyakit.
Tidak hanya aspek
kesehatan, aspek kesejahteraan perlu diperhatikan berdasarkan prinsip kebebasan hewan pada saat penangkapan, penanganan, penempatan, pengandangan, pemeliharaan dan perawatan untuk tidak menyakiti, melukai atau mengakibatkan ternak stres serta terjamin kenyamanan dan keselamatan bagi ternak. Pengembangan usaha ternak sapi potong perlu diarahkan pada pola manajemen sosial ekonomi yang mutualisme untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan pembibitan sapi potong yang terarah dan berintegrasi dapat memberikan dampak positif pada sosial budaya dan ekonomi, salah satunya dalam hal pemanfaatan limbah ternak dan pertanian yang dapat saling berkontribusi dengan baik. Keberhasilan usaha ternak diukur berdasarkan kemampuan memberikan kontribusi pendapatan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup peternak sehari-hari secara berkelanjutan (Hoddi, dkk, 2011).
9
Besarnya kontribusi pendapatan peternak tergantung pada besar dan tujuan usaha.
Pada usaha yang bersifat sambilan kontribusinya sebesar 30%, yang
bersifat cabang usaha 30-70 % dan yang bersifat usaha pokok atau industri sebesar 70-100% (Santosa, 2006). Faktor yang mempengaruhi nilai pendapatan peternak sangat responsif dengan biaya pakan dan harga penjualan ternak. Penggunaan biaya pakan yang besar akan mengurangi nilai pendapatan, dalam hal ini untuk menghitung pendapatan peternak di analisis menggunakan metode Income Over Feed Cost (IOFC) sebagai suatu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang diperoleh dari hasil penjualan produksi dikurangi biaya pakan dalam suatu periode tertentu (Prawirokusumo, 1990). Mengacu kepada pedoman pembibitan tersebut anggota kelompok Jambu Raharja perlu dilakukan evaluasi terhadap penerapan Good Breeding Practice tersebut untuk mengetahui sejauh mana peternak mencoba melakukan perbaikan dan pengembangan terhadap pola pembibitan untuk menghasilkan produktivitas yang baik serta keuntungan ekonomis untuk menambah pendapatan peternak. Berikut merupakan ilustrasi alur kerangka pemikiran yang disajikan dalam ilustrasi 1.
10
Kelompok ternak
Evaluasi penerapan aspek Good Breeding Practice
Sarana prasarana Cara pembibitan Kesehatan hewan Pelestarian lingkungan Sumber daya manusia Pembinaan &
Ketercapaian penerapan aspek GBP
Produktivitas ternak
Aspek Reproduksi Induk 1. Umur kawin pertama 2. Periode bunting 3. Kawin pertama setelah beranak 4. Service per conception (S/C)
Tingkat pendapatan peternak (IOFC)
Aspek Produksi Induk 1. Pendugaan bobot sapi betina dewasa 2. Ukuran tubuh sapi betina dewasa (Lingkar dada, Panjang badan & Tinggi pundak)
Ilustrasi 1. Penerapan aspek Good Breeding Practice terhadap produktivitas ternak dan peningkatan pendapatan peternak.
1.6.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 25 April sampai dengan 14 Mei
2016 di kelompok peternak sapi potong Jambu Raharja Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.