I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan
selama
orde
baru
yang
telah
dilaksanakan
oleh
pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena ditunjang oleh sistem pemerintahan yang desentralisasi. Ketika otonomi daerah diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia, konsekuensi otonomi daerah dirasakan pula sampai pada tingkat desa di setiap kabupaten/kota. Program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat, propinsi, sampai kabupaten/kota, mulai diarahkan pada program yang bernuansa bottom-up. Dalam konsep pengembangan masyarakat, program pembangunan yang diharapkan adalah program yang datang dari masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi, keinginan, kebutuhan, dan partispasi masyarakat. Hal tersebut diharapkan muncul dari masyarakat dengan tujuan agar tercapai kondisi keberlanjutan (sustainable) atas suatu program pembangunan. Kondisi program pembangunan yang berkelanjutan dapat tercipta jika masyarakat memang membutuhkan program tersebut dan mengakar di masyarakat. Artinya program merupakan cerminan dari kebutuhan dan kondisi masyarakat yang sebenarnya. Seiring
dengan
kebijakan
otonomi
daerah,
pemerintah
mulai
mencanangkan pendekatan pembangunan yang lebih demokratis, dalam artian pembangunan dilakukan dengan pendekatan untuk memulihkan kedaulatan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih mengedepankan pada swadaya masyarakat sedangkan pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator atau pendukung. Bagi masyarakat desa, perubahan paradigma pembangunan tersebut tidak langsung membawa perubahan pada masyarakat lokal di pedesaan, karenanya kesulitan mengartikulasikan otonomi daerah sebagai gerakan pembangunan mandiri.
Kondisi tersebut didukung
oleh
kurangnya pemahaman aparat pelaksana pemerintahan terhadap unsur asli pembangunan yang berbasis kompetensi lokal. Padahal jika ditelaah lebih jauh, pada masyarakat lokal pedesaan telah tersedianya sumber daya lokal, yang dapat dijadikan modal sosial dalam menciptakan iklim pembangunan yang berbasis unsur lokal. Tak dapat dipungkiri bahwa konsep pengembangan masyarakat di desa sangat menuntut kecerdasan dari masyarakat itu sendiri. Namun melihat latar belakang bangsa Indonesia yang selama orde baru pembangunan banyak didominasi oleh pemerintah (bukan cerminan partisipasi masyarakat), prosesnya
1
akan sulit dan memakan waktu yang lama. Oleh karena itu peranan pemerintah dalam pengembangan masyarakat tidak dapat dilepaskan. Menurut pendapat Sunyoto (2004) terdapat 3 hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu (1) bentuk kontribusi riil dari daerah yang diharapkan oleh pemerintah pusat dalam proses pembangunan dasar; (2) aspirasi masyarakat daerah sendiri, terutama yang terrefleksi pada prioritas program-program pembangunan daerah; (3) keterkaitan antar daerah dalam tata perekonomian dan politik (sehingga sinergi antar daerah). Peranan pemerintah baik pusat maupun daerah paling dominan dalam konteks pengembangan masyarakat adalah dalam perencanaan, pembuatan, dan pelaksanaan kebijakan sosial. Penetapan dasar hukum atas suatu kebijakan sosial menjadi wewenang pemerintah pada setiap tingkatan. Pada proses pembuatan kebijakan sosial, kondisi mental psikologis masyarakat harus diperhatikan sebagai objek kebijakan sosial tersebut. Namun dalam era otonomi daerah, sinergi antara komponen dalam pemerintahan dan masyarakat menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan pengembangan masyarakat lokal. Otonomi daerah artinya bertambah kewenangan yang dimiliki oleh setiap daerah
di
tingkat
kabupaten/kota.
Kondisi
otonomi
terjadi
pula
pada
pemerintahan di tingkat desa, seperti yang terjadi di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta. Program pembangunan yang dilaksanakan pada tingkat Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan. Evaluasi terhadap program pembangunan yang telah dilaksanakan di Desa Sawah Kulon dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai keberhasilan dan kegagalan yang terjadi. Perbaikan terhadap program dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya lokal dan kekuatan sosial yang ada pada masyarakat Desa Sawah kulon. Hasil evaluasi dapat dijadikan dasar bagi penyusunan program lanjutan atau program sejenis di tempat lain yang berbeda (multiplikasi) sebagai keberlanjutan pengembangan masyarakat. Pemetaan sosial yang telah dilakukan di Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan menunjukkan adanya kelompok pengrajin anyaman dari daun pandan yang pernah mendapat program pengembangan masyarakat dari Pemerintah Daerah Purwakarta. Dari 12 kelompok pengrajin anyaman, hanya 5 kelompok yang pernah medapat dukungan bantuan program dari pemerintah daerah. Aktivitas usaha ekonomi lokal pengrajin anyaman ini telah ditekuni
2
kelompok masyarakat tertentu di Desa Sawah Kulon sebagai usaha turun temurun dari tahun 1970-an. Kemudian mereka mengembangkan jenis anyaman tidak hanya memproduksi tikar, tetapi mereka bisa memproduksi jenis lainnya, seperti topi, dompet, tas tangan, sandal, sajadah, dan pernak-pernik lainnya untuk ”souvenir”. Di Desa Sawah Kulon kelompok usaha pengrajin anyaman terdapat 12 kelompok yang tersebar di 5 dusun. Masing-masing kelompok beranggotakan 715 orang laki-laki dan perempuan sebagai pengrajin, tetapi dominan perempuan. Bagi perempuan pekerjaan menganyam dilakukan oleh ibu rumah tangga di sela pekerjaan rumah tangga dengan curahan waktu lebih banyak. Sedangkan bagi laki-laki pekerjaan tersebut dilakukan malam hari setelah pulang berburuh tani sebagai nafkah tambahan.
Kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan
strategi pola nafkah ganda dalam rumah tangga, dimana rumah tangga memiliki mata pencaharian alternatif. Namun pada kenyataannya mata pencaharian dari pengrajin
belum
memiliki
pengaruh
yang
significant
terhadap
kondisi
perekonomian mara pengrajin. Kelompok pengrajin anyaman ini terbentuk secara alamiah karena hubungan kekerabatan (pertalian saudara). Usaha yang dirintis oleh salah satu anggota keluarga kemudian mengajak kerabat lain untuk membantu dan akhirnya menjadi sebuah kelompok. Terdapat 12 kelompok pengrajin tikar. Kelompok tumbuh cukup banyak, mengingat potensi sumber daya alam berupa lahan di Desa Sawah Kulon yang cocok untuk ditanami pohon pandan. Alasan lain tumbuhnya kelompok penganyam karena informasi yang diperoleh setiap pertemuan mingguan pada tingkat desa (minggon desa) bahwa usaha anyaman dapat membawa keuntungan jika dikelola secara sungguh-sungguh.
1. 2. Masalah Kajian Kondisi usaha anyaman saat ini jika dilihat dari omzet sangat tidak stabil sehingga jenis produksi yang dihasilkan juga tidak stabil. Permasalahan omzet yang tidak stabil dipengaruhi oleh permintaan, keterampilan, dan bahan baku yang terbatas. Dengan kata lain kuantitas permintaan, kualitas keterampilan tenaga kerja, dan kontinuitas bahan baku, sangat berpengaruh terhadap produksi kerajinan anyaman ini. Produk anyaman yang hampir selalu diproduksi adalah tikar dan topi karena pangsa pasarnya telah ada. Untuk produksi anyaman jenis lainnya dibuat jika ada pesanan untuk pameran, souvenir, tahlilan
3
(khusus untuk sajadah). Keterbatasan produksi ini juga dikarenakan keterampilan tersebut belum dimiliki oleh semua anggota kelompok. Kendala bahan baku juga menjadi hambatan dalam memproduksi anyaman karena mengandalkan pohon pandan menghasilkan daun yang bagus. Jangkauan produk anyaman Desa Sawah Kulon terbatas di Kabupaten Purwakarta. Pemasaran yang dilakukan oleh kelompok pengrajin dilakukan secara sederhana dengan cara dipasarkan sendiri dengan berkeliling, atau dititipkan pemilik kios di pasar. Kondisi tersebut merupakan kendala sehingga belum dapat mengangkat kondisi ekonomi para pengrajin dimana nilai ekonomi yang dihasilkan dari pekerjaan sebagai pengrajin belum dapat meningkatkan kesejahteraan pengrajin. Kondisi masyarakat kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon masih berada pada kondisi miskin (Pra KS dan KS I) yang semuanya ada 142 KK. Di dalam masyarakat pedesaan sendiri dapat ditemukan dua macam keadaan menurut Sunyoto (2004), yaitu : Pada masyarakat pedesaan dapat ditemukan dua macam keadaan, yaitu : 1) Terdapat kemiskinan sekaligus kesenjangan, dan 2) Tidak terdapat kemiskinan tetapi kesenjangan masih ada. Namun pada kenyataan kehidupan di Desa Sawah Kulon khsususnya kelompok pengrajin anyaman, keadaan tersebut masih ditambah dengan : masih adanya kemiskinan tetapi karena adanya kekuatan sosial (gotong royong, saling tolong menolong) kesenjangan dapat dieliminer sekecil mungkin. Kondisi kemiskinan pada pengrajin anyaman ini salah satunya disebabkan oleh potensi yang dimiliki pengrajin belum digali. Peran pemerintah dan LSM sebagai fasilitator belum menjangkau kelompok ini secara maksimal. Pengrajin anyaman dapat dipandang sebagai kelompok usaha ekonomi porduktif yang potensial untuk dikembangkan. Daya dukung yang terdapat di Desa Sawah Kulon sendiri dapat menjadi pendorong untuk berkembangnya usaha anyaman ini. Lahan pertanian seluas 82 hektar yang terdapat di Desa Sawah Kulon, 12 hektar diantaranya digunakan untuk menanam bahan baku pohon pandan untuk menghidupi 142 KK dari 1001 KK. Tetapi pada kenyataan di lapangan, 99 KK pengrajin anyaman termasuk dalam kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial yaitu keluarga miskin, wanita rawan sosial ekonomi, dan keluarga berumah tak layak huni. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai pengrajin anyaman ternyata sangat kecil kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan pengrajin dalam hal pemenuhan kebutuhan standar hidup .
4
Melihat kenyataan kondisi pengrajin anyaman di lapangan, penulis tertarik untuk mengkaji strategi pengembangan masyarakat dengan fokus pada pengrajin anyaman dengan memberdayakan potensi sumber daya lokal. Pertanyaannya adalah bagaimana kelembagaan produksi dan pemasaran ini dapat menguatkan tingkat perekonomian pengrajin anyaman. Kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan serta strategi dan teknik apa yang diterapkan di dalam proses community development. Berdasarkan Potensi Desa Sawah Kulon (2004)
terdapat 12 kelompok
pengrajin anyaman yang tersebar di 5 Dusun yang dilakukan oleh 142 KK yang termasuk dalam Pra KS dan KS 1. Dalam kenyataannya usaha anyaman adalah usaha
yang
menghasilkan
pendapatan
yang
mendukung
kelangsungan
kehidupan keluarga selain sebagai buruh tani (bagi laki-laki sebagai KK) dan pekerjaan utama bagi perempuan (selain ibu rumah tangga). Dengan demikian dalam rangka pengembangan masyarakat, kajian ini akan difokuskan untuk menggali lebih jauh informasi tentang : 1.
Bagaimana karakteristik kelompok pengrajin anyaman dan jenis produksi yang dihasilkan di Desa Sawah Kulon.
2.
Bagaimana
kelembagaan produksi kerajinan anyaman dari mulai tenaga
kerja, bahan baku, teknik keterampilan, dan permodalan, yang selama ini telah dilakukan. 3.
Bagaimana distribusi pemasaran
hasil produksi anyaman dari mulai
pengrajin di rumah tangga, kelompok, hingga ke konsumen. 4. Bagaimana merumuskan rencana
produksi
dan distribusi pemasaran
anyaman yang dilakukan bersama-sama dengan pengrajin. 1.3. Tujuan Kajian Secara umum kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik kelompok pengrajin anyaman dan jenis produksi yang dihasilkan di Desa Sawah Kulon. 2. Mengidentifikasi kelembagaan produksi kerajinan anyaman
mulai dari
tenaga kerja, bahan baku, teknik keterampilan, dan permodalan. 3. Mengidentifikasi
distribusi pemasaran hasil produksi anyaman mulai dari
tingkat pengrajin dalam rumah tangga, kelompok, hingga ke konsumen. 4. Merumuskan strategi produksi dan distribusi pemasaran kerajinan anyaman.
5
1.4. Kegunaan Kajian Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi : 1. Memberikan gambaran baik bagi penulis maupun pemerintah daerah dalam memberdayakan kelompok pengrajin anyaman sebagai bagian dari proses pengembangan masyarakat desa. 2. Menjadi masukan bagi penentu kebijakan pembangunan lokal agar lebih memperhatikan potensi lokal sebagai kekuatan lokal yang dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pengambangan masyarakat lokal. 3. Memberikan
pemikiran
bagi
terwujudnya
pengembangan
ekonomi
masyarakat lokal yang berkelanjutan.
6