HUKUM ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
FADHRUL RAHMAN NIM: 106043101292
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
HUKUM ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
Fadhrul Rahman NIM: 106043101292
Pembimbing
Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A NIP: 195811101988031001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “HUKUM ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Jakarta, 22 Maret 2011 Mengesahkan, Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
(.....................................)
NIP. 196511191998031002 Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si
(.....................................)
NIP. 197412132003121002 Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A
(.....................................)
NIP. 195811101988031001 Penguji I
: Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., M.A
(.....................................)
NIP. 195008171989021001 Penguji II
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
ii
(.....................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta:
22 Maret 2011 M 17 Rabiul Akhir 1432 H
Fadhrul Rahman NIM: 106043101292
iii
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Salawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw yang telah menebarkan cahaya islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam. Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. M. Taufiki, M.A dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan program studi iv
Perbandingan Mazhab dan Hukum yang
dengan penuh kesabaran
membimbing penulis selama menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A., selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini dan terimakasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati serta nasehatnasehat berharga yang bapak berikan semoga bapak selalu dilindungi Allah SWT. 4. Ayahanda tercinta (Zulkifli Rani) dan Ibunda tersayang (Surati) yang selalu menjadi penyejuk hati, penenang jiwa, penyemangat hidup, yang tak pernah kenal lelah untuk terus berkorban bagi putera-puterinya. Senyummu adalah penyemangat penulis dalam menjalani kehidupan ini. 5. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen. 6. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 7. Kepada sahabat-sahabat penulis, Nuruz Zaman, Siti Rihanah dan teman-teman Perbandingan Mazhab Fikih angkatan 2006 yang telah memberikan bantuan berupa dorongan moral kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini dan
v
memberikan kesan tersendiri bagi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai kebaikan di sisi Allah swt dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Jakarta:
22 Maret
2011
M
17 Rabiul Akhir 1432 H
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
BAB I :
BAB II :
BAB III :
PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang......................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitiann ............................................
9
D. Review Studi Terdahulu........................................................
10
E. Metode Penelitian .................................................................
12
F. Sistematika Penulisan ...........................................................
14
TINJAUAN UMUM TENTANG UANG MENURUT HUKUM ISLAM .....................................................................
17
A. Pengertian dan Konsep Uang dalam Islam ...........................
17
B. Sejarah Uang Dalam Pemerintahan Islam..............................
24
C. Jenis-Jenis Uang ..................................................................
26
D. Uang Kertas Dalam Pandangan Fikih ...................................
30
PENGERTIAN DAN TATA CARA ZAKAT FITRAH..........
35
A. Pengertian dan Latar Belakang di Syariatkannya Zakat Fitrah .........................................................................
35
B. Tata Cara Pelaksanaan Zakat Fitrah .....................................
39
C. Jenis dan Kadar Makanan Pokok yang Dikeluarkan Untuk Zakat Fitrah ................................................................
45
D. Hukum Mengganti Makanan Pokok Untuk Zakat Fitrah Dengan Benda Lainnya ...............................................
vii
49
BAB IV :
HUKUM MEMBAYAR ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS .......................................................................
53
A. Pendapat dan Alasan Ulama Mempebolehkan Zakat Fitrah Menggunakan Uang ....................................................
54
B. Pendapat dan Alasan Ulama Melarang Zakat Fitrah Menggunakan Uang ....................................................
56
C. Analisis Hukum Membayar Zakat Fitrah Menggunakan Uang ..................................................................................
58
PENUTUP .................................................................................
67
A. Kesimpulan...........................................................................
67
B. Saran ....................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
69
BAB V :
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah munculnya uang seperti yang ada pada masa sekarang ini melalui tahap dan waktu yang sangatlah panjang. Pada jaman dahulu, jual beli dilakukan dengan sistem barter. Barter adalah pertukaran barang dengan barang, jasa dengan barang, atau barang dengan jasa secara langsung tanpa menggunakan uang sebagai perantara dalam proses pertukaran ini. 1 Karena kebutuhan setiap orang semakin banyak dan beragam, maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak mungkin lagi ditempuh dengan cara barter. Kemudian manusia terdorong untuk mencari cara pertukaran yang lebih mudah. Saat itulah manusia mulai menggunakan uang barang dalam melakukan pertukaran. Contoh uang barang yaitu: garam, senjata, dan kulit hewan. Namun, uang barang tersebut mempunyai kelemahan yakni diantaranya tidak tahan lama.2 Manusia mulai mencari lagi benda yang dapat digunakan sebagai alat tukar-menukar. Benda yang dianggap cocok adalah logam. Pada masa lalu, logam yang digunakan sebagai uang adalah emas atau perak. Perkembangan ekonomi yang semakin pesat mendorong kegiatan transaksi menjadi semakin sering dan bahkan semakin kompleks. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi manusia untuk membawa uang logam dalam
1
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h.
23. 2
Sejarah Uang, artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2010 dari http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_7._UANG_DAN_LEMBAGA_KEUANGAN
1
2
jumlah besar. Untuk mengatasinya, pemilik emas dan perak cukup melakukan transaksi dengan menunjukkan bukti penyimpanan emas dan perak yang berupa surat bukti penyimpanan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menerima titipan emas dan perak.3 Uang kertas yang ditopang emas juga mengalami banyak masalah, terutama masalah penipuan. Bentuk akhir dari uang itu sendiri terjadi pada tahun 1941, saat Perang Dunia I. Saat itu diumumkan bahwa uang-uang kertas tidak bisa ditukarkan dengan emas dan bank-bank penerbit melepaskan keterikatan antara penerbitan uang dan jumlah emas. Saat itulah uang yang ada masa sekarang lahir.4 Hampir semua negara di dunia mengeluarkan uang kertas. Di Indonesia, sekarang beredar uang kertas dan uang logam (bukan emas dan perak) yang dikeluarkan Bank Indonesia. Kedua jenis uang tersebut memenuhi syarat-syarat seperti: dapat diterima oleh masyarakat umum, mudah disimpan dan nilainya tetap, mudah dibawa ke mana-mana, mudah dibagi tanpa mengurangi nilai, dan ada jaminan (oleh pemerintah).5 Uang adalah standar ukuran harga, yakni sebagai media pengukur nilai harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas lainnya.6
3
Sejarah Uang, artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2010 dari http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_7._UANG_DAN_LEMBAGA_KEUANGAN 4 Hasan, Mata Uang Islami, h. 81-82. 5 Sejarah Uang, artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2010 dari http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_7._UANG_DAN_LEMBAGA_KEUANGAN 6 Hasan, Mata Uang Islami, h. 12.
3
Menurut Ismail Hasyim, “uang adalah sesuatu yang diterima secara luas dalam peredaran, digunakan sebagai media pertukaran, sebagai standar ukuran nilai harga, dan media penyimpan nilai, juga digunakan sebagai alat pembayaran untuk kewajiban bayar yang ditunda”.7 Saat ini uang yang banyak digunakan adalah uang kertas. Uang kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).8 Uang merupakan alat tukar yang sah yang merupakan salah satu jenis harta. Harta adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupan didunia. Akan tetapi, dalam mencari harta manusia seringkali melewati batasan-batasan norma yang berlaku. Dan juga dalam penggunaan harta, manusia sering kali melanggar ketentuan-ketentuan agama, yang seharusnya harta berfungsi sebagai sarana kehidupan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah justru semakin menjauhkan dirinya dari Allah. 9 Al-Siba’i berpendapat bahwa, Islam tidak membenarkan adanya kemiskinan10, dengan mengacu pada sabda Nabi SAW: ( )رَوَاهُ اَﺑُﻮْ ﻧَﻌِﯿْﻢ. ﻛَﺎدَ اﻟْﻔَﻘْﺮُ اَنْ ﯾَﻜُﻮْنَ ﻛُﻔْﺮًا: َ ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱢﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢ: ٍﻋَﻦْ اَﻧَﺲ
7
Ibid., h. 11. Jenis-jenis Uang, artikel ini diakses pada tanggal 1 Desember 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang 9 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 21. 10 Monzer Kahf, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 23. 8
4
Artinya:
“Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan pengingkaran terhadap Islam (kufur)”.11
orang
kepada
Harta juga merupakan sarana yang diperlukan untuk mempersiapkan bekal bagi kehidupan akhirat. Al-Qur’an menyerukan agar orang beriman menggunakan sebagian hartanya di jalan Allah. Tanpa harta, seorang beriman tidak dapat menyempurnakan ajaran dan perintah agamanya. 12 Salah satu penerapan harta dijalan Allah salah adalah dengan membayar zakat. Zakat adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-qur’an dan Sunnah nabi. Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang sejajar dengan shalat. Hal ini menunjukan betapa pentingnya zakat sebagai salah satu rukun Islam.13 Dalam zakat bukan hanya ada dimensi ta’abbudi saja, tetapi juga ada dimensi ibadah ijtima’iyyah yakni, kewajiban-kewajiban yang bersifat sosial, yang dilakukan terhadap masyarakat. Ibadah ini bukanlah hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya, tetapi manusia dengan manusia. Melalui amalnya terhadap sesama manusialah, maka manusia dapat melaksanakan ibadah sosial ini. Karena dalam prakteknya zakat adalah pengoperan hak milik untuk orang fakir dan mereka yang menerima zakat, yang wajib atas orangorang yang kaya.14
11
Jalaludin al-Suyuti, Jami al-Shagir, (Jawa Tengah: Menara Kudus, 911H), h. 85. Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 10. 13 Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly, Ekonomi Zakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 1. 14 Sjeichul Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Zakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 37-39. 12
5
Menurut garis besarnya, zakat dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: pertama, zakat harta (zakat mal): Misalnya, zakat emas, perak, binatang ternak, hasil tumbuh-tumbuhan baik berupa buah-buahan maupun biji-bijian, dan harta perniagaan. Kedua adalah Zakat Fitrah yaitu zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim dibulan Ramadhan menjelang shalat Idul Fitri. 15 Penulis membatasi pembahasan ini tentang zakat fitrah saja. Zakat fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin di bulan Ramadhan sampai menjelang salat Idul Fitri. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Umar: ِ ﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛــَﺎةَ اﻟْﻔــــِﻄْﺮ: َﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﻗَﺎل ِﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺮٍ اَوْ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﯿْﺮٍ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻌَﺒْﺪُ وَ اﻟْﺤُﺮﱢ وَ اﻟﱠﺬَﻛَﺮِ وَ اﻷُﻧْﺜَﻰ وَ اﻟْﺼَﻐِﯿْﺮِ وَ اﻟْﻜــَﺒِﯿْﺮ (ُ )رَوَاهُ اﻟْﺒُﺨَـــــــــــــــــﺎرِي.ِﻣِﻦَ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿْﻦَ وَ اَﻣَﺮَ ﺑِﮭَﺎ اَنْ ﺗُﺆَدﱠى ﻗَﺒْﻞَ ﺧُﺮُوْجِ اﻟﻨﱠﺎسِ إِﻟَﻰ اﻟْﺼﱠﻠَﺎة Artinya: “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada setiap muslim, masing-masing satu sho' kurma atau satu sho' gandum (makanan pokok), baik orang yang merdekamaupun hamba sahaya,laki-laki ataupun perempuan, kecil maupun besar. Dan Rasulullah SAW memerintahkan pembayaran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menghadiri salat hari raya”.(HR. Bukhari). 16 Pada masa sekarang, berbagai hal telah banyak berubah mengikuti kondisi, kebutuhan serta kemaslahatan, terutama dalam masalah hukum. Zakat fitrah merupakan salah satu hukum yang sampai sekarang masih di tilik lebih dalam hal pelaksanaanya di zaman sekarang ini yang telah berkembang pesat dibanding pada zaman Nabi SAW. 15
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 1, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.
223-224. 16
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 161, hadits no. 1359.
6
Salah satu permasalahannya adalah uang kertas dianggap dapat mengganti makanan pokok yang dikeluarkan untuk zakat fitrah. Zakat fitrah yang mayoritas para ulama mewajibkan menggunakan makanan pokok yang ada pada suatu Negara dengan kadar yang telah ditentukan dalam hadits Nabi SAW, kini mulai tergeser dengan menggunakan sesuatu yang dianggap sepadan dengannya yakni uang kertas. Jumhur ulama yakni Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali mewajibkan zakat fitrah itu menggunakan makanan pokok yang ada pada suatu Negara. Sedangkan madzhab Hanafi dan al-Tsauri membolehkan mengganti makanan pokok tersebut dengan uang atau harga (qimah).17 Kedua pendapat yang berbeda tersebut kini juga berkembang dan telah diterapkan di Indonesia. Pada masa lalu (masa Imam madzhab yang Empat), di Negara-negara Islam, yang apabila mengganti zakat fitrah dengan uang, maka uang tersebut adalah dinar dan dirham yang sangatlah jelas berbeda dengan uang kertas yang berkembang dimasa sekarang ini. Dinar (emas) dan dirham (perak) mempunyai nilai tersendiri, yakni sebagai alat tukar dan komoditas, yang keduanya nilainya sama. Sedangkan uang kertas hanyalah sebuah kertas dengan gambar tertentu dengan nilai nominal ditentukan secara arbitrer oleh Negara lewat keputusan politik.18 Hal ini jelas berbeda bila uang kertas disamakan dengan dinar dan dirham, karena dinar dan dirham itu akan selalu stabil dalam suatu nilai. Sedangkan uang
17
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqh Praktis, (Bandung: Mizan, 1999), h. 318-319. Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Delokomotif, 2010), h. 103. 18
7
kertas mengandung banyak permasalahan didalamnya, salah satunya adalah inflasi, bahkan ada juga yang menyatakan bahwa uang kertas adalah riba. Dahulu dengan uang seribu rupiah pada tahun 1995 kita dapat membeli empat butir telur ayam, namun sepuluh tahun kemudian (2005) dengan jumlah uang yang sama, kita hanya mendapatkan 2 butir telur kualitas yang sama. Artinya, daya beli uang kertas (rupiah) telah mengalami penyusutan dari tahun ketahun. Kondisi seperti ini lebih umum dikenal dengan istilah inflasi.19 Apabila kita perhatikan ulasan singkat diatas tentang dinar dan dirham dengan uang kertas yang ada sekarang, akan menimbulkan suatu tanda tanya besar mengenai, apakah diperbolehkan mengganti zakat fitrah dengan uang kertas pada zaman sekarang? Hal ini memerlukan jawaban yang kongkrit dan jelas. Pandangan masyarakat yang berkembang tentang zakat fitrah di Indonesia adalah membolehkan mengganti makanan pokok untuk zakat fitrah dengan uang kertas. Ulama yang memperbolehkan mengganti makanan pokok dengan uang, berpendapat sesuai dengan pendapat kalangan Madzhab Hanafi dengan alasan kemashlahatan dan qiyas. Apakah uang kertas itu dianggap sepadan dengan makanan pokok yang wajib dikeluarkan untuk zakat fitrah? Benarkah qiyas terhadap pendapat Mazhab Hanafi dan al-Tsauri yang digunakan oleh golongan yang berpendapat bahwa uang kertas itu sepadan dengan makanan pokok? Inilah fenomena yang 19
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 162-163.
8
terjadi dikalangan umat Islam di Indonesia, yang menjadi masalah sosial yang sangat rumit dan kompleks sehingga membutuhkan solusi yang tepat dalam hal penyelesaiannya. Untuk menggali lebih lanjut hal ini, penulis merasa tertarik untuk mengangkat dan mengulasnya dalam skripsi ini dengan judul “HUKUM ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka agar mendapatkan suatu batasan yang tepat sekaligus mencegah pembahasan yang meluas yang tidak ada kaitannya dengan masalah pokok, maka penulis akan membatasi permasalahan pada pembayaran zakat fitrah menggunakan uang kertas. Adapun perumusan masalahnya: Apakah diperbolehkan mengganti makanan pokok untuk zakat fitrah dengan uang kertas. Untuk memudahkan menjawab pertanyaan pokok diatas, maka penulis memperinci pertanyaan tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah uang hingga menjadi uang kertas pada masa sekarang dan pandangan ulama tentang uang kertas? 2. Bagaimana tata cara pelaksanaan zakat fitrah yang absah menurut para Imam Madzhab yang empat? 3. Apa alasan yang menyebabkan diperbolehkannya dan dilarangnya mengganti makanan pokok dengan uang kertas untuk zakat fitrah? 4. Apa hukum zakat fitrah yang diganti dengan uang kertas?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy). b. Untuk mengetahui sejarah uang hingga menjadi uang kertas pada masa sekarang. c. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan zakat fitrah
yang absah
menurut para Imam Mazhab yang empat. d. Untuk mengetahui alasan yang menyebabkan diperbolehkannya mengganti makanan pokok dengan uang kertas untuk zakat fitrah. e. Untuk mengetahui alasan yang menyebabkan dilarangnya mengganti makanan pokok dengan uang kertas untuk zakat fitrah. f. Untuk mengetahui hukum zakat fitrah yang diganti dengan uang kertas. 2. Manfaat Penelitian a. Secara Akademis 1) Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur pada perpustakaan mengenai hukum zakat fitrah menggunakan uang. 2) Memberikan kontribusi bagi pengembangan penelitian melalui pendekatan ilmu fiqh sebagai referensi ilmiah utama pada jurusan perbandingan madzhab fiqh.
10
b. Secara Praktis 1) Menggali dalil dan hukum yang lebih tegas mengenai keabsahan mengganti makanan pokok dengan uang kertas untuk zakat fitrah. 2) Menambah wawasan dan wacana bagi penulis dalam khasanah pengetahuan fiqh khususnya dalam zakat fitrah dan uang. 3) Memberikan kontribusi dan menambah wawasan bagi para teorisi, praktisi, akademisi dan mahasiswa pada umumnya serta masyarakat luas, khususnya bagi umat Islam di Indonesia agar mengetahui hukum mengganti makanan pokok untuk zakat fitrah dengan uang kertas. D. Review Studi Terdahulu Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, ada satu penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang dituliskan oleh penulis, namun tentunya ada sudut perbedaan dalam hal pembahasan maupun obyek kajian dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Zaim Saidi20 yang membahas tentang perbankan syariah yang jauh dari hukum Islam dan hukum uang kertas yang ada pada saat ini yang mengandung berbagai macam masalah termasuk salah satunya adalah riba. Ada kesamaan penelitian yang penulis lakukan yakni permasalahan yang terkandung dalam uang kertas, yang membedakan adalah, 20
Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Delokomotif, 2010).
11
penulis membahas mengenai permasalahan uang kertas serta implikasinya terhadap pembayaran zakat fitrah. Penelitian yang dilakukan oleh Ahamed Kameel Mydin Meera21 yang membahas tentang hakikat uang kertas dan bagaimana cara kerjanya, serta mengkritisi sistem moneter fiat berbasis bunga dan juga menunjukan dampakdampak apa saja yang dihasilkannya. Ada kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Ahmed Kameel dengan penulis yakni, mengenai hakikat uang kertas dan bagaimana cara kerjanya, yang membedakan adalah setelah mengetahui hakikat uang kertas itu sendiri, kemudian mengimplikasinya dalam pembayaran zakat fitrah. Penelitian
yang
dilakukan oleh Tuti Chusnawati
22
,
dalam
penelitiannya penulis membatasi pada pengetahuan dan pelaksanaan zakat fitrah tersebut yang terfokus pada komunitas tukang becak di daerah Kompleks Barata Kelurahan Karang Tengah Ciledug – Tanggerang, serta aplikasi dan implikasi zakat fitrah tersebut dalam kehidupan sosial keagamaan komunitas tukang becak di Komplek Barata Kelurahan Karang Tengah Ciledug – Tanggerang. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai hukum zakat fitrah mengunakan uang kertas.
21
Ahameed Kameel Mydin Meera, Perampok Bangsa-bangsa, (Jakarta: Mizan,
2010). 22
Tuti Chusnawati (103032227738) program study Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin, dengan judul skripsi “Zakat Fitrah Dalam Pandangan Komunitas Tukang Becak (Study Kasus Kompleks Barata Kelurahan Karang Tengah Ciledug – Tanggerang)”.
12
Penelitian yang dilakukan oleh Nurlaila 23 . Dalam penelitiannya penulis membatasi permasalahan pada masalah krisis ekonomi asia dalam pandangan Islam, bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor financial yang berjalan sendiri tanpa terkait dengan sector riil (kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi). Dan prospek aplikasi penerapan mata uang emas pada bank syariah. Untuk penelitian yang ditulis oleh Nurlaila, ada beberapa kesamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yakni permasalahan inflasi sebagai salah satu kekurangan uang kertas yang akan dijadikan tolak ukur untuk diperbolehkannya membayar zakat fitrah menggunakan uang kertas atau tidak. Dan permasalahan uang emas sebagai pengganti uang kertas. Dengan demikian sangat jelas terlihat beda antara penelitian yang penulis susun dengan penelitian-penelitian tersebut di atas. E. Metode Penelitian Dalam membahas masalah-masalah dalam penyusunan skripsi ini, diperlukan suatu penelitian tidak lain untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas dan akurat. Ada beberapa metode yang penulis gunakan antara lain: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (penelitian kepustakaan) dengan pendekatan normatif. Penelitian kepustakaan merupakan 23
Nurlaila (102046125344) program study Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum, dengan judul skripsi “Mata Uang Emas dalam Perspektif Islam dan Prospek Aplikasinya pada Perbankan Syariah”.
13
suatu cara menghimpun data-data dan fakta melalui literatur-literatur atau buku-buku bacaan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti dan dibahas dalam skripsi. Pendekatan normatif berusaha untuk mengkaji fenomena yang muncul dari segi normatif hukum. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis mengunakan sumber data sebagai berikut: a) Primer, adapun data primer berasal dari studi kepustakaan, seperti: Kitab-Kitab Fiqh, seperti: kitab Bidayah al-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, kitab Zakat karangan Yusuf Qaradhawi. Kitab-kitab Hadis, seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibn Majah dan Sunan Abu Daud.
Dan Perundang-undangan serta Putusan MUI
Mengenai Zakat Fitrah dan Tata Cara Pelaksanaannya. b) Sekunder, sumber data sekunder yaitu didapat dari buku-buku, artikel, dan dokumen yang berkaitan dengan tema dalam skripsi ini. c) Tersier, sumber data tersier adalah sumber data yang diharapkan mendukung dalam penulisan seperti: Kamus-kamus, koran, majalah dan lain-lain. 3. Instrumen Pengolahan Data Tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam studi ini adalah studi pustaka (literatur pustaka), seperti buku-buku utama, website di internet, makalah dan literatur lain yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis angkat.
14
4. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah deskritif analisis, yakni memaparkan terlebih dahulu data-data mengenai teori-teori tentang zakat fitrah, serta pendapat ulama mengenai pelaksanaan zakat fitrah menggunakan uang kertas yang kemudian dianalisis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat dipahami serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah terhadap permasalahan yang penulis ambil. 5. Tekhnik Menarik Kesimpulan Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan yang dilakukan secara komparatif, yaitu menarik kesimpulan dari teori-teori tentang zakat fitrah dan tata cara pelaksanaanya serta hukum membayar zakat fitrah menggunakan uang kertas. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun buku acuan yang digunakan adalah Buku Pedoman Penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Selanjutnya agar pembaca mudah memahami skripsi ini dan untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dangan sistematika sebagai berikut.
15
Bab pertama, Penulisan ini dimulai dengan prosedur standar ilmiah yaitu yakni meliputi latar belakang masalah, ruang lingkup masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan, yang kemudian dalam bab ini penulis beri judul pendahuluan. Bab kedua, untuk memberikan gambaran yang memadai kepada pembaca agar lebih mudah memahami skripsi ini, maka terlebih dahulu penulis memberikan pengertian-pengertian mengenai isi dari apa yang akan ditulis yaitu menjelaskan tentang pengertian uang, sejarah, jenis-jenis dan uang yang berlaku saat ini. Penulis memaparkan secara runtut sesuai sejarah, yang kemudian dalam bab ini penulis memberi judul tinjauan umum tentang uang. Bab ketiga, untuk memberikan gambaran tentang pengertian dan hukum zakat fitrah, tata cara pengeluarannya, kadarnya, pendapat para ulama mengenai zakat fitrah. Penulis menjelaskan secara jelas dan runtut mengenai zakat fitrah, yakni dari masa Nabi hingga masa sekarang, yang kemudian dalam bab ini penulis memberi judul pengertian dan hukum zakat fitrah. Bab keempat, untuk memberikan pemaparan tentang objek dan hasil penelitian kepada pembaca, maka penulis memberikan pemaparan mengenai uang kertas, alasan yang memperbolehkan dan melarang menggunakan uang kertas sebagai zakat fitrah, pandangan ulama dan hukum membayar zakat fitrah menggunakan uang kertas. Dalam bab ini penulis memberi judul hukum zakat fitrah menggunakan uang kertas.
16
Bab kelima, untuk menyimpulkan permasalahan-permasalahan yang ada pada penulisan ini dan dapat dipahami dan dimengerti mengenai poin-poin permasalahan yang penting penting dalm skripsi ini, maka penulis memberikan kesimpulan dan untuk memperbaiki penulisan pada skripsi ini maka penulis membuka saran, yang kemudian dalam bab ini penulis memberi judul penutup dengan disertai kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UANG MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Konsep Uang dalam Islam 1. Pengertian Uang Dalam Islam Uang adalah kebutuhan masyarakat yang paling utama. Dengan uang kita dapat melakukan berbagai macam hal, seperti membeli berbagai macam kebutuhan dalam hidup. Oleh karena itu, uang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan uang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ekonomi masyarakat, karena setiap usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan alat yang dinamakan uang.1 Uang memiliki sejarah yang cukup panjang sebagai alat tukar, baik ketika uang itu berbentuk emas dan perak maupun saat ini, uang berbentuk kertas. Untuk mengetahui uang itu sendiri sebagai alat tukar, harus diketahui terlebih dahulu pengertian uang. Dan Ismail Hasyim berkata: “Uang adalah sesuatu yang diterima secara luas dalam peredaran, digunakan sebagai media pertukaran, sebagai standar ukuran nilai harga, dan media penyimpan nilai, juga digunakan sebagai alat pembayaran untuk kewajiban bayar yang ditunda”.2 Dalam bahasa Arab, uang diistilahkan dengan kata “nuqud” berarti membedakan. Oleh karena itu, uang dapat diartikan sebagai pembeda. 3 Namun
1
Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 3-4. Ismail Muhammad Hasyim, Mudzakarrat fi al-Nuqud wa al-Bunuk, (Dar alNahdhah al-Arabiyah, Beirut,TT), h. 14. 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990) cet. Ke-8 h. 464. 2
17
18
terkadang uang dalam bahasa Arab menggunakan istilah seperti: dinar, dirham, atawiyya, himyarite, nash, nawai dan sha’ira.4 Menurut para Fuqaha uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga dan media transaksi pertukaran. Sedang berdasarkan pada ungkapan al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sebagai berikut: ‘Uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan’. 5 Untuk lebih jelas akan dibahas dalam pembahasan dibawah ini yakni dalam konsep uang menurut tokoh ekonomi Islam. 2. Konsep Uang Menurut Tokoh Ekonomi Islam Pada zaman Nabi Saw. Di kenal dua jenis uang yaitu uang yang berupa komoditi logam. Dua jenis uang logam yang digunakan adalah emas (dinar) dan perak (dirham). Logam tembaga juga digunakan secara terbatas dan tidak sepenuhnya dihukumi sebagai uang, disebut fals atau jamaknya fulus, 6 yang digunakan sebagai alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.7 Para Fuqaha dalam karya-karya mereka menggunakan kata dirham, dinar, dan fulus. Untuk menunjukan dirham dan dinar mereka gunakan
4
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (Jakarta: International for Islamic Though, 2001), h. 16. 5 Hasan, Mata Uang Islami, h. 9-10. 6 M. Iqbal, Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar dan Dirham, (Jakarta: Dinar Club & Spritual Learning Centre, 2009), h. 82. 7 Hasan, Mata Uang Islami, h. 2.
19
naqdain (mutsanna) dan “harga”, kata naqd (mufrad) untuk salah satu dari keduanya, dan kata nuqud (plural) atas gabungan keduanya. 8 Abu Ubaid berkata: “Menurutku, dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya”.9 Disini mengisyaratkan bahwa dirham dan dinar adalah standar ukuran yang dibayarkan sebagai pertukaran komoditas dan jasa. Keduanya adalah unit hitungan yang memiliki kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada perbandingan dengan komoditas atau jasa, karena segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga bagi keduanya.10 Berikut adalah pandangan para pakar ekonomi Islam mengenai konsep uang: a.
Ibnu Taymiah Konsep uang menurut Ibnu Taymiah. Pembahasan tentang uang
adalah hal yang paling bermakna karena ia beredar dalam perekonomian. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, jika tekanannya terlalu tinggi atau terlalu rendah akan membahyakan tubuh. Begitu pula dengan uang jika, terlalu banyak atau terlalu sedikit akan mengakibatkan inflasi atau deflasi. Beliau hidup pada masa kerajaan Mamluk, yang mana saat itu beredar tiga jenis mata uang yaitu, mata uang dinar, dirham dan fullus. Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirham berfluktuasi kadang-kadang
malah
menghilang, sedangkan yang beredar luas adalah fullus. Fenomena inilah yang
8
Hasan, Mata Uang Islami, h. 3. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Al-Amwal, Tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar al-Fikr, Beirut, 1988, h. 512. 10 Hasan, Mata Uang Islami, h. 5. 9
20
dirumuskan oleh Ibnu Taymiah bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik. Pernyataan Ibnu Taymiah inipun diikuti dalam ekonomi konvensional “bad money driven outs good money”.11 Ibnu Taymiah menjelaskan bahwa uang berfungsi sebagai media pertukaran (medium of exchange), pengukur nilai (unit of value) dan bersifat mengalir (flow concept). Uang digunakan untuk membiayai transaksi riil saja, sehingga segala sesuatu yang menghambat dan mengalihkan tujuan dan fungsi uang dilarang. Mengenai kewajiban mencetak uang hanya dengan nilai riil-nya saja (full bodied money) ini berarti bahwa pemerintah wajib menjaga nilai uang tersebut. Ibnu
Taymiah
mengutip
sabda
Rasullulah
SAW
yang
memperingatkan agar setiap muslim jangan merusak nilai mata uang tanpa alasan kuat. Negara harus sedapat mungkin menghindari anggaran keuangan defisit dan ekspansi mata uang yang tak terbatas, sebab akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata uang bersangkutan. Bahan untuk membuat mata uang tidaklah harus terbuat dari logam mulia (emas dan perak). Tetapi nilai nominal mata uang harus sesuai dengan nilai intrinstik dalam mata uang tersebut.12
11
M. Nur Rianto al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010),
h.56-57. 12
Abdul Adhim Islahi, Economic Concept of Ibn Taimiyah (Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah), Anshari Thayyib (penerjemah), (Surabaya: PT. Bina ilmu, 1997), cet ke-1, h. 180.
21
b. Imam al-Ghazali Menurut Imam Al-Gazali uang adalah unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai komoditas dan jasa, juga sebagai penengah yang membantu proses pertukaran komoditas dan jasa. Beliau juga mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan karena dibuat dari jenis harta yang bertahan lama, karena kebutuhan yang berkelanjutan sehingga betul-betul bersifat cair dan bisa digunakan pada waktu yang dikehendaki. 13 Menurut al-Ghazali, uang hanya berfungsi sebagai satuan nilai dan sebagai alat tukar. Uang berfungsi sebagai satuan nilai, bahwa “Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehinnga harta itu bisa diukur dengan keduannya. Allah Ta’ala menjadikan dinar dan dirham sebagai dua hakim dan penengah diantara harta benda yang lain”. Jadi Allah Ta’ala menjadikan dinar dan dirham untuk berpindah dari satu tangan ke tangan lain, maka jadilah dinar dan dirham sebagai dua hakim diantara harta benda dengan adil. 14 Mengenai penciptaan uang, al-Ghazali memperbolehkan mencetak uang yang tidak mengandung unsur emas dan perak (fiat standard), atau uang dari bahan campuran asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat pembayaran yang resmi.15 c. Al-Maqrizi Konsep uang menurut Al-Maqrizi, berbeda dengan Ibnu Taymiah dan al-Ghazali, al-Maqrizi menyatakan bahwa mata uang harus terbuat dari emas 13
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Dar al-Khair, 1993), jilid IV, h. 347. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid VII, h. 429. 15 Adiwarman Karin, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, hal11. 14
22 dan perak16, selain dari itu tidak layak disebut dengan mata uang. Dalam hal pencetkan al-Marqizi sangat menekankan pada kualitas pencetakan mata uang seperti halnya Ibnu Taymiah. Nilai nominal adalah sama dengan nilai yang terkandung dalam mata uang tersebut. Fungsi uang menurut al-Maqrizi adalah sebagai alat tukar dan sebagai satuan nilai. Menurutnya, dinar dan dirham sangat sesuai dengan syariat Islam. Uang selain itu (fiat standard) 17 , cenderung rentan terhadap inflasi
yang
disebabkan oleh excessive seignore (pencetakan uang untuk menarik keuntungan). Jika suatu negara yang menggunakan standard emas mengalami defisit neraca pembayaran, maka cara termudah untuk menutupi defisit tersebut adalah dengan mencetak uang baru dari bahan selain emas dan perak, karena biaya pencetakannya lebih murah dibanding dengan mencetak uang baru dari bahan emas dan perak, biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi, karenanya negara lebih memilih untuk mencetak uang baru dari bahan selain emas dan perak. pencetakan uang baru ini akan menambah jumlah penawaran uang (Agregate Supply) dan peredaran uang dimasyarakat, dengan demikian inflasi mata uang tidak dapat didihindari. Gejalah inilah yang diuraikan oleh alMaqrizi sebagai awal mula kekacauan di sektor moneter, karena itu ia melarang pemerintah untuk melakukan pencetakan uang semacam ini.
16
Muh. Nejatullah Siddiqi, Recent Works on History of Economics Thought in Islam. Dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (terj) Reading in Islamic economic Thought, (Kuala Lumpur: Longmang Malaysia, 1992), h. 158. 17 Fiat standard adalah standard moneter yang berbasiskan kepercayaaan masyarakat terhadap sesuatu yang dijadikan sebagai pembayaran yang sah, contoh: uang kertas.
23
d. Ibnu Khaldun Konsep uang menurut Ibnu Khaldun, uang tidak harus mengandung emas dan perak. Yang lebih penting dilakukan adalah menjadikan emas dan perak sebagai standard nilai uang, sementara pemerintah menetapkan nilainya secara konsisten.18 e. Ibnu Qayyim Menurut Ibnu Qayyim, bahwa: “Dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Nilai harga adalah ukuran yang dikenal untuk mengukur harta maka wajib bersifat spesifik dan akurat, tidak meninggi (naik) dan tidak menurun. Karena kalau unit nilai harga bisa naik dan turun seperti komoditas sendiri, tentunya kita tidak lagi mempunyai unit ukuran yang bisa dikukuhkan untuk mengkur nilai komoditas. Bahkan semuanya adalah barang komoditas.19 Demikianlah menjadi jelas bahwa para fuqaha memberikan definisi uang dari penjelasan dengan melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fungsi: a. Sebagai standar ukuran untuk menentukan nilai harga komoditi dan jasa. b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa. c. Sebagai alat simpanan. Dan sekarang bisa dikemukakan konsep uang dalam Islam, setelah memperhatikan konsep para fuqaha diatas. Uang adalah apa yang menjadi kesepakatan dan digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran dan media simpanan. 18
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus Ahmadie Thoha, 2000), h.
19
Hasan, Mata Uang Islami, h. 8.
53.
24
B. Sejarah Uang Dalam Pemerintahan Islam 1. Uang Pada Masa Kenabian Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahilliyah tidak memiliki mata uang terendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byzantium dan dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang Himyar, dan Yaman. Penduduk Makkah tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dengan ukuran timbangan. Mereka tidak menerima dalam jumlah bilangan. Hal ini disebabkan beragamnya bentuk dirham dan ukurannya, serta munculnya penipuan pada mata uang mereka, misalnya yang tertera melebihi dari nilai sebenarnya. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Makkah ketika melakukan interaksi ekonomi, dengan menggunakan dirham dalam jumlah bilangan ukuran timbangan. 20 2. Uang Pada Masa Khulafauurasyiddin Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah, beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar, bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan dari masa Nabi SAW. Begitu juga ketika Umar bin Khattab di bai’at sebagai khalifah, karena beliau sibuk melakukan penyebaran Islam keberbagai Negara, beliau menetapkan persoalan uang sebagaimana yang sudah berlaku.21
20
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT: RajaGrafindo Persada, 2007),
21
Ibid., h.49
h.49
25
3. Uang Pada Masa Dinasti Muawiyah Pencetakan uang pada masa dinasti Muawiyyah, masih meneruskan model Sasanid dengan menambahkan beberapa kalimat tauhid, seperti pada masa Khulafaurrasyiddin. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, pada tahun 78 H, beliau membuat mata uang Islam yang memilki model tersendiri. Dengan adanya pencetakan mata uang Islam, mampu merealisasikan stabilitas politik dan ekonomi, mengurangi pemalsuan dan manipulasi terhadap mata uang.22 4. Uang Pada Masa Dinasti Abbasiyah dan Sesudahnya Pada masa ini, pencetakan dinar masih melanjutkan cara dinasti Muawiyyah. Pada masa ini ada dua fase, dalam pencetakan uang, yaitu: Fase pertama, terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham, kemudian dinar. Fase kedua: ketika pemerintahan melemah dan para pembantu dari orang-orang Turki ikut campur tangan dalam urusan negara. Pembiayaan semakin besar, orang-orang mulai dibuai kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi kebutuhan. Pada masa pemerintahan Mamalik, pencetakan uang tembaga (fulus), menjadi mata uang utama, sedangkan pencetakan dirham dihentikan karena beberapa sebab: a. Penjualan perak kenegara-negara Eropa b. Impor tembaga dari negara-negara Eropa semakin bertambah, akibat dari peningkatan produksi pertambangan di sebagian besar wilayah Eropa.
22
Mujahidin, Ekonomi Islam, h.50.
26 c. Meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan bejana. 23 C. Jenis-jenis Uang Dalam masyarakat akan terlihat berbagai macam jenis uang yang beredar sejak dahulu hingga sekarang. Dari perkembangan-perkembangan penggunaan uang pada masa lalu dan pada masa sekarang, kita akan melihat beberapa macam atau jenis uang yang beredar di masyarakat. Jenis-jenis uang dibagi menjadi empat, yaitu uang komoditas (commodity money), Uang logam (metallic money), uang kertas dan uang giral (deposit money/ bank money).24 Berikut adalah penjelasannya. 1. Uang Komoditas (Commodity Money) Uang komoditas merupakan alat tukar yang memiliki nilai komoditas apabila tidak digunakan sebagai uang. 25 Uang komoditas juga sering disebut dengan uang barang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga hal, agar suatu barang bisa menjadi uang, diantaranya: a. Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas untuk menjaga nilai pertukaran komoditas tersebut. b. Daya tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama sebagai penyimpan nilai. c. Nilai tinggi, yaitu barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi. 26 Bangsa Arab Jahiliyah menggunakan unta dan kambing sebagai uang komoditas (barang). Di Yunani, kerbau sangat berperan penting dalam proses 23
Mujahidin, Ekonomi Islam, h.50 Hasan, Mata Uang Islami, h. 63. 25 Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 5. 26 Huda, Ekonomi Makro Islam, h. 76. 24
27
jual beli, sedangkan penduduk Tibet menggunakan teh-teh ikat, penduduk Virgina menggunakan tembakau-tembakau ikat, bangsa Indian menggunakan gula dan wol dan penduduk Ethiopia menggunakan garam. 27 Kelebihan uang komoditas yaitu, memiliki kekuatan nilai tukar dari bendanya sebagai barang komoditas. Gandum misalnya, memiliki nilai pada barangnya. Permintaan awalnya adalah untuk tujuan konsumsi. Ketika fungsinya berubah menjadi uang komoditas, bentuk permintaan lain pun muncul, yaitu permintaan sebagai uang. Dari sana didapatkan kekuatan nilai tukarnya dibanding barang-barang dan jasa yang lain. Namun kemudian uang komoditas atau uang barang ini dianggap mempunyai kelemahan. Diantaranya, uang barang tidak memiliki pecahan, sulit untuk disimpan dan dibawa,28 tidak sama setiap unitnya dan kemungkinan rusak.29 2. Uang Logam Logam dipilih sebagai alat tukar karena memenuhi syarat-syarat sebagai uang, yaitu memiliki nilai tinggi, langka, dapat diterima secara umum sebagai alat tukar dan walaupun di pecah menjadi bagian-bagian kecil, nilainya tetap utuh dan juga tidak susut dan rusak.30 Pada uang logam ada dua sistem, yaitu sistem satu logam (gold standard, istilah kemudian), dan sistem dua jenis logam (bimetallic). Apabila suatu Negara mengadopsi satu logam dan memberinya kekuatan penyelesaian
27
Hasan, Mata Uang Islami, h. 64. Huda, Ekonomi Makro Islam, h. 76. 29 Hasan, Mata Uang Islami, h. 67. 30 Huda, Ekonomi Makro Islam, h. 76. 28
28
tanpa batas, sistem yang digunakan dinamakan sistem satu logam, apakah logam itu emas atau perak dan tidak berpengaruh dengan adanya mata uang bantu. Sedang sistem dua jenis logam adalah bahwa Negara mengadopsi dua logam emas dan perak dan menjadikan keduanya sebagai uang utama dan memberikan keduanya kekuatan penyelesaian tanpa batas. Artinya bahwa orang yang berutang, sudah melunasi utangnya kepada pihak kreditor, apabila dia membayar utangnya dengan salah satu mata uang tersebut.31 Dari segi nilai, uang logam ini termasuk yang bernilai penuh atau full bodied money, yaitu uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya, atau uang yang nilainya sebagai suatu barang untuk tujuan yang bersifat moneter, sama besarnya dengan nilai sebagai barang biasa atau non moneter.32 3. Uang Kertas Uang kertas yang ada pada masa sekarang adalah kertas dengan gambar tertentu dengan nilai nominal ditentukan secara arbitrer oleh Negara lewat keputusan politik.33 Uang kertas muncul pertama kali tahun 910 M di Cina. Pada awalnya mereka menggunakan uang kertas atas dasar penopang logam emas dan perak 100%. Sekitar abad 10 M, pemerintahan Cina menerbitkan uang kertas yang
31
Hasan, Mata Uang Islami, h. 69. Sinungan, Uang dan Bank, h. 14. 33 Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Delokomotif, 2010), h. 103. 32
29
tidak ditopang total, dan pada tanggal abad 12, Cina sudah mengenal uang kertas yang tidak bisa ditukarkan dengan emas dan perak.34 Uang kertas yang ada sekarang dikenal sebagai fiat money yaitu alat tukar dari kertas dan tidak didukung oleh komoditas apapun.35 Dan uang kertas sekarang juga dikenal sebagai token money, yaitu uang yang tidak bernilai penuh atau uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari pada nominalnya. 36 Uang kertas yang beredar saat ini yang dikeluarkan oleh pemerintah atau Bank Sentral, digunakan sebagai alat tukar yang sah dalam suatu Negara dan akan diterima oleh masyarakat yang mengakui pemerintah tersebut serta beredar di kalangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan. Umumnya masyarakat percaya pada mata uang ini, sekalipun bendanya dibuat dari kertas yang sama sekali nilainya sangat jauh di bawah nilai daripada emas. Karena atas dasar kepercayaan itulah, maka disebut juga dengan uang kepercayaan. 37 4. Uang Giral (Bank Money/ Deposit Money) Dalam kemajuan perkembangan ekonomi, uang kertas dirasakan mempunyai kelemahan dalam menyelesaikan transaksi perdagangan dalam jumlah besar, di mana sejumlah uang kertas harus dibawa-bawa sehingga menimbulkan resiko tertentu dan tidak praktis. Timbulah gagasan dari masyarakat dan sejalan juga perkembangan dari perbangkan yaitu untuk menggunakan uang giral untuk menyelesaikan transaksi perdagangan.38
34
Hasan, Mata Uang Islami, h. 76. Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 6. 36 Sinungan, Uang dan Bank, h. 14. 37 Ibid., h. 16. 38 Ibid., h. 17. 35
30
Uang giral biasa disebut juga dengan uang bank, yakni uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya.39 Dinamakan uang bank karena memandang tempat penukaran atau bank dimana individu-individu menyimpan uang kertas.40 Para Ekonom Islam tidak pernah menganggap uang bank sebagai sesuatu yang dapat dikatakan uang, karena dia sebenarnya hanyalah merupakan alat perintah tertulis untuk melakukan pemindahan uang.41 D. Uang Kertas Dalam Pandangan Islam Uang yang berlaku sekarang adalah uang kertas dan uang logam. Untuk uang logam yang berlaku sekarang berbeda dengan uang logam dahulu yang terbuat dari emas dan perak. Untuk uang logam yang terbuat dari emas dan perak, saat ini masih ada tetapi terbatas, dan hanya berlaku pada beberapa negara saja. Pada dasarnya uang yang digunakan dalam Islam adalah uang yang tidak mengandung riba dalam penciptaannya. Bentuknya dapat full bodied money atau fiat money dengan 100% standar emas. Prinsip keduanya sama, yaitu membatasi penciptaan uang sehingga stabilitas nilai uang terjaga. Namun, full bodied money mempunyai keunggulan karena ia memiliki fungsi uang yang sebenarnya, yaitu penyimpan nilai. Sebab, sampai saat ini belum ada pemerintah yang berhasil menjaga stabilitas nilai uang dengan sistem fiat money.42
39
Huda, Ekonomi Makro Islam, h. 77. Hasan, Mata Uang Islami, h. 84. 41 Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.7. 42 Ibid., h.7. 40
31
Pada zaman sekarang, yang disebut sebagai ‘uang’ sesungguhnya adalah berbeda dengan uang yang ada pada masa Imam Madzhab yang Empat. Dalam sejarah manusia dikenal ada tiga jenis uang. Pertama, adalah uang komoditi yaitu khususnya uang yang berupa komoditi riil berupa emas dan perak yang memiliki nilai intristik sebesar nilai uang yang dimaksud. Kedua, adalah uang yang berupa janji (promisory money) yang di backed-up dengan emas, perak atau komoditi riil lainnya. Ketiga, adalah uang fiat yang tidak memiliki nilai intristik dan juga tidak di backed-up dengan apapun. Uang fiat adalah uang yang diciptakan dari awang-awang (dari sesuatu yang tidak berharga seperti kertas), satu-satunya alasan mengapa orang bisa menerimanya adalah karena kepercayaan terhadap siapa yang mengeluarkan uang fiat tersebut. 43 Posisi uang kertas atau fiat tersebut memang masih sering diperdebatkan keberadaanya dalam Ilmu Fikih. Setidaknya ada lima pendekatan pemikiran yang ada dikalangan ulama sekarang dalam menafsirkan posisi uang kertas ini, berikut adalah pemikiran-pemikiran tersebut. Pendapat pertama, memperlakukan uang kertas sebagai surat hutang atau bond yang dikeluarkan sebagai bukti penerimaan deposit emas atau perak oleh pihak yang mengeluarkan bond tersebut (dalam hal ini bank sentral atau pihak lain yang memiliki wewenang mengeluarkan uang kertas). Pendapat kedua, memperlakukan uang kertas sebagai suftaja, dalam penafsiran ini uang kertas dianggap sebagai pengganti nilai (athman) atas emas
43
Iqbal, Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham, h.89.
32
dan perak. Sebagai pengganti emas dan perak maka uang ketas dianggap memiliki karakteristik yang sama dengan emas dan perak. Pendapat ketiga, memperlakukan uang kertas sebagi fulus yang memang keberadaanya diakui di awal-awal perkembangan Islam. Namun secara historis fulus ini hanya digunakan secara terbatas dimana kepercayaan pelaku ekonomi terjaga, dan juga hanya digunakan untuk transaksi yang nilainya kecil. Pendapat keempat, menganggap uang sebagi barang seperti juga barang-barang lainnya. Dalam pengertian uang sebagi barang maka nilainya mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Yang menjadi masalah adalah dengan mudahnya uang kertas dicetak dengan biaya yang murah, maka penawaran atau supply atas uang bisa dipermainkan relatif tanpa batas oleh pihak yang mempunyai wewenang mengeluarkan uang kertas. Pendapat kelima, menganggap uang sebagai salah satu alat tukar (thaman) diantara thaman-thaman lainnya seperti emas, perak dan fulus. Pendapat ini dianut ulama-ulama Arab Saudi. Masalah yang menonjol dari pendapat ini adalah nilai uang kertas sekarang yang tidak bisa dianggap sama dengan emas dan perak. Nilai uang kertas akan cenderung turun.44 Meskipun masing-masing penafsiran tersebut diatas mempunyai kekurangannya sendiri-sendiri, boleh dibilang seluruh pemikiran ulama kontemporer tentang uang kertas memberikan kesimpulan yang hampir sama
44
Iqbal, Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham, h.91-94.
33
yaitu bahwa uang kertas atau uang fiat adalah halal dan belum ditemukan pendapat yang mengharamkannya. Sekali lagi oleh karena manfaat kepraktisannya atau alasan lain kita dapat secara halal menggunakan uang kertas pada zaman modern ini. Meskipun
perlu diperhatikan
bahwa penggunaannya tidak boleh
menimbulkan ketidakadilan dan tidak boleh menimbulkan
transaksi yang
mengandung gharar maupun riba. 45 Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Departemen Riset Islamic Development Bank yang menafsirkan penggunaan uang kertas sebagai suftaja atau pengganti fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar saja.46 Jadi kesimpulannya, bahwa mata uang dapat dibuat dari benda apa saja, sampai-sampai kulit unta, kata Umar bin Khattab. Ketika benda tersebut telah ditetapkan sebagai mata uang yang sah, maka barang tersebut telah berubah fungsinya dari barang biasa menjadi alat tukar dengan segala fungsi turunannya. Jumhur ulama sepakat bahwa illat dalam emas dan perak yang diharamkan pertukarannya kecuali serupa dengan serupa, sama dengan sama oleh Rasulullah SAW, adalah karena “tsumuniyyah” yaitu barang-barang tersebut menjadi alat tukar, penyimpan nilai dimana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya Oleh karena itu, ketika uang kertas telah menjadi alat pembayaran yang sah, sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Al45 46
Iqbal, Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham, h.96. Ibid., h. 96-97.
34
qur’an diturunkan ditengah menjadi alat pembayaran yang sah. Karena itu riba berlaku pada uang kertas. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat daripadanya. Dan zakat pun sah dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitupula ia dapat digunakan sebagai alat untuk membayar mahar.47
47
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 252.
BAB III PENGERTIAN DAN TATA CARA ZAKAT FITRAH
A. Pengertian dan Latar Belakang di Syariatkanya Zakat Fitrah Zakat menurut syara’ adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta. madzhab Maliki mendefinisikannya dengan, “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai haul (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian”. 1 Sedangkan menurut madzhab Hanbali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu mustahiq.2 Berdasarkan QS. Al-Baqarah: 110, menjelaskan: ©!$# ¨bÎ) 3 «!$# y‰YÏã çnr߉ÅgrB 9Žö•yz ô`iBÏ /ä3Å¡àÿRL{ (#qãBd‰ Ï s)è? $tBur 4 no4qŸ2¨“9$# (#qè?#uäur no4qn=¢Á9$# (#qßJŠÏ%r&ur
ÇÊÊÉÈ ×Ž•ÅÜÁt/ šcqè=yJ÷ès? $yJÎ/
Artinya: “Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS: Al-Baqarah: 110) Jika dirumuskan, zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu dan
1
Wahbah al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 83. 2 al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 84.
35
36
syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat tertentu itu adalah nisab, haul dan kadar-nya.3 Menurut garis besarnya, zakat dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: Pertama, zakat harta (zakat al-maal): Misalnya, zakat emas, perak, binatang ternak, hasil tumbuh-tumbuhan baik berupa buah-buahan maupun biji-bijian, dan harta perniagaan. Kedua, zakat jiwa (zakat al-nafs): yang biasa dikenal dengan zakat fitrah, yaitu zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim pada bulan Ramadhan menjelang shalat Idul Fitri.4 Penulis membatasi pembahasan ini mengenai zakat fitrah saja. Zakat secara bahasa berarti al-namaa’ (tumbuh), al-ziyadah (bertambah), al-sholah (perbaikkan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya. Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut. Ada pula ulama yang menyebut zakat ini dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. Al-Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini digunakan oleh para pakar fiqh. Sedangkan menurut istilah, zakat fitrah berarti zakat yang
3
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 39. 4 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 1, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 223-224.
37
diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.5 Zakat fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin dibulan Ramadhan sampai menjelang salat Idul Fitri. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Umar: ِ ﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛَـــــﺎةَ اﻟْﻔِـــﻄْﺮ: َﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﻗَﺎل ِﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺮٍ اَوْ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﯿْﺮٍ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻌَﺒْﺪُ وَ اﻟْﺤُﺮﱢ وَ اﻟﱠﺬَﻛَﺮِ وَ اﻷُﻧْﺜَﻰ وَ اﻟْﺼَﻐِﯿْﺮِ وَ اﻟْﻜَﺒــــِﯿْﺮ 6
(ُ )رَوَاهُ اﻟْﺒُﺨَــــــــــــــــﺎرِي.ِﻣِﻦَ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿْﻦَ وَ اَﻣَﺮَ ﺑِﮭَﺎ اَنْ ﺗُﺆَدﱠى ﻗَﺒْﻞَ ﺧُﺮُوْجِ اﻟﻨﱠﺎسِ إِﻟَﻰ اﻟْﺼﱠﻠَﺎة
Artinya: “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada setiap muslim, masing-masing satu sho' kurma atau satu sho' gandum (makanan pokok), baik orang yang merdekamaupun hamba sahaya,laki-laki ataupun perempuan, kecil maupun besar. Dan Rasulullah SAW memerintahkan pembayaran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menghadiri salat hari raya”.(HR. Bukhari). Menurut Mohammad Daud Ali, zakat fitrah adalah pengeluaran wajib yang dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. karena telah selesai menunaikan ibadah puasa. 7 Zakat fitrah bagi umat Islam bukan hanya sebuah rutinitas yang berdimensi sosial yang mengiringi ibadah puasa di bulan Ramadhan, akan tetapi lebih dari itu, zakat fitrah merupakan kewajiban yang diperuntukkan bagi terwujudnya kesempurnaan ibadah puasa yang dilakukan.
5
Ainul Wafa, Panduan Lengkap Zakat Fitrah, diakses pada tanggal 21 Desember 2010 dari http://jurnalmuslim.com/dakwah/panduan-lengkap-zakat-fitrah.html/ 6 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 75-76, hadits no. 1359. 7 Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h. 49.
38
Zakat fitrah ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, dua hari sebelum berakhir puasa Ramadhan, pada tahun itu Nabi Muhammad SAW berpidato di Masjid menerangkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah sebelum pergi ketempat sembahyang melaksanakan shalat Idul Fitri. Ukuran zakat perjiwa yang dikeluarkan adalah satu sho’ (gantang = 3,5 liter) makanan pokok seperti kurma, gandum, atau beras dan sebagainya atau berupa uang seharga makanan pokok tersebut.8 Zakat tidak diwajibkan atas para nabi. Hal ini disepakati para ulama, karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang yang berdosa, sedangkan para nabi terbebas dari hal demikian. Lagi pula, mereka mengemban titipan-titipan Allah, disamping itu mereka tidak memiliki harta, dan tidak diwarisi.9 Kelebihan ajaran zakat dibanding aspek-aspek lain dari rukun Islam yang lain
adalah bahwa zakat memiliki dimensi sosial yang kental. Oleh
karena itu, zakat dalam mata rantai peningkatan kesejahteraan umat Islam tak mungkin diremehkan. Dalam kitab-kitab fiqh, masalah zakat sering ditempatkan pada bagian kedua dari rub al-ibadah. Dengan demikian, ajaran zakat akan mudah diketahui posisinya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman sesorang (ma’lum min al-din bi al-darurah).10 1. Hikmah Disyariatkannya Zakat Fitrah Adapun hikmah zakat fitrah itu adalah sebagai berikut:
8
Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 1, h. 242-245. al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 89. 10 Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Moderinitas, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 4. 9
39
Pertama, zakat menjaga dan memelihara harta dari perbuatan orangorang jahat yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial. Kedua, zakat fitrah merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan. Setiap orang yang mapan bertanggung jawab untuk mencukupi kehidupan orang-orang fakir.11 Ketiga, zakat fitrah itu berfungsi mengembalikan manusia kepada fitrahnya, artinya mensucikan diri mereka dari kotoran-kotoran yang disebabkan oleh pergaulan dan sebagainya sehingga manusia jauh dari fitrahnya.12 Ibnu Abbas Berkata: ًﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻲ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛَﺎةَ اﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻃُﮭْﺮَةً ﻟِﻠﺼَّﺎﺋِﻢِ ﻣِﻦَ اﻟﻠَّﻐْﻮِ وَاﻟﺮَّﻓَﺚِ وَﻃُﻌْﻤَﺔ 13
(ٍ )رَوَاهُ اَﺑُﻮْ دَاوُد.ِﻟِﻠْﻤَﺴَﺎﻛِﯿْﻦ
Artinya:“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang puasa dari kesia-siaan perbuatan dan dari kata-kata kotor, serta sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud). Keempat, zakat fitrah diwajibkan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat harta yang telah dititipkan kepada seseorang
B. Tata Cara Pelaksanaan Zakat Fitrah 1. Syarat Wajib Zakat Fitrah Kewajiban yang dibebankan oleh zakat fitrah dan zakat yang lain
berbeda. Menurut Wahbah al-Zuhaily, seseorang baru diwajibkan
mengeluarkan zakat atas hartanya apabila; 1) merdeka, 2) Islam, 3) baligh dan berakal, 4) harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati, 5) harta 11
al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 87. Ibid., h. 88. 13 Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, ‘Aun al-Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud, Bab Zakat Fitrah, Juz 5, (al-Maktabah Al-Salafiyah, 1979), h. 3, hadis no. 1594. 12
40
tersebut merupakan harta miliknya secara penuh, 6) sudah mencapai satu nisab, dan 7) mencapai satu haul (untuk barang-barang tertentu).14 Berbeda dengan hal itu, kewajiban zakat fitrah tidak didasarkan atas berapa banyak harta yang dimiliki, akan tetapi pada: orang Islam, menjumpai terbenam matahari pada akhir bulan Ramadhan, yakni sudah memasuki tanggal satu Syawal dan, memiliki satu sho’ bahan makan pokok yang lebih dari kebutuhan diri dan tanggungannya untuk sehari semalam pada malam hari raya.15 2. Kelompok Penerima Zakat Fitrah Kelompok penerima zakat (mustahiq al-zakat) ada delapan: orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf, yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).16 Hal ini di atur dalam QS: At- Taubah: 60. É>$s%•Ìh 9$# †Îûur öNåkæ5qè=è% Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur $pköŽn=tæ tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Ïä!#t•s)àÿù=Ï9 àM»s%y‰¢Á9$# $yJ¯RÎ) *
ÇÏÉÈ ÒO‹Å6ym íOŠÎ=tæ ª!$#ur 3 «!$# šÆiBÏ ZpŸÒƒÌ•sù ( È@‹Î6¡¡9$# Èûøó$#ur «!$# È@‹Î6y™ †Îûur tûüÏBÌ•»tóø9$#ur
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS: At-Taubah: 60)
14 15
al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 98-106. Syaikh as-Sayyid Sabiq, Panduan Zakat, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h.
205. 16
al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 280.
41
Orang-orang fakir (al-fuqara’) menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali, adalah orang yang tidak memilik harta benda dan tidak memiliki pekerjaan; atau dia memiliki sesuatu dan juga bekerja tetapi hasilnya tidak melebihi daripada setengah kebutuhannya sehari-hari; atau orang-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya.17 Orang-orang miskin (al-masaakin) ialah orang yang memiliki pekerjaan atau mampu bekerja, tetapi penghasilannya hanya mampu memenuhi lebih dari sebagian hajat kebutuhannya, tidak mencukupi seluruh hajat hidupnya (maksudnya kebutuhan sehari-harinya). Seperti orang
yang
memerlukan sepuluh tetapi dia hanya mendapatkan delapan sehingga belum dianggap laik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggalnya. 18 Panitia zakat (al-‘amil) adalah orang-orang yang bekerja memungut zakat, memilah-milah,
meneliti orang
yang
membutuhkan, kemudian
membagi-bagikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Panitia ini disyaratkan harus memiliki sifat kejujuran dan menguasai hukum zakat.19 Mua’llaf adalah orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. Riqab, menurut jumhur ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya untuk dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk
17
al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 280. Ibid., h. 281. 19 Muhammad Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 151. 18
42
membayar tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian. 20 Gharimin, yaitu orang yang memiliki utang, baik hutang untuk dirinya sendiri maupun bukan, yakni untuk kepentingan orang banyak yang berada dibawah tanggung jawabnya, untuk menebus denda pembunuhan atau menghilangkan barang orang lain, dia boleh diberi zakat. Jika utang itu dilakukan untuk kepentingannya sendiri, maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat kecuali dia adalah seorang yang dianggap fakir.21 Orang yang berjuang di jalan Allah (fi sabilillah) yang termasuk dalam kelompok ini adalah para pejuang dijalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka, karena mereka lakukan hanyalah berperang.22 Ibnu Sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan adalah orangorang yang berpergian (musafir) untuk melaksanakan suatu hal yang baik (tha’ah) tidak termasuk maksiat. Dia diperkirakan tidak akan mencapai maksud dan tujuannya, jika tidak dibantu. Sesuatu yang termasuk perbuatan tha’ah adalah ibadah haji, berperang di jalan Allah dan ziarah yang dianjurkan. Yang tidak berhak menerima zakat adalah, (1) keturunan Nabi Muhammad saw, (2). Orang kaya, (3). Keluarga muzakki, (4). Orang yang sibuk beribadah sunnah untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi melupakan kewajibannya mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga, (5) orang yang tidak mengakui adanya Tuhan dan menolak adanya Tuhan (mulhid atau atheis).23
20
al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 285. Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial, h. 157. 22 al-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, h. 287-288. 23 Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h. 49. 21
43
3. Waktu pembayaran zakat fitrah Rasulullah dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelaskan: َﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎسٍ ﻗَﺎلَ ﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛَﺎةَ اﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻃُﮭْﺮَةَ ﻟِﻠﺼﱠﺎﺋِﻢِ ﻣِﻦ َاﻟﱠﻠﻐْﻮِ وَ اﻟﺮﱠﻓَﺚِ وَ ﻃُﻌْﻤَﺔَ ﻟِﻠْﻤَﺴَﺎﻛِﯿْﻦِ ﻣَﻦْ اَدﱠاھَﺎ ﻗَﺒْﻞَ اﻟﺼﱠﻠَﺎةِ ﻓَﮭِﻲَ زَﻛَﺎةٌ ﻣَﻘْﺒُﻮْﻟَﺔٌ وَ ﻣَﻦْ اَدﱠاھَﺎ ﺑَﻌْﺪ 24
(ٍ )رَوَاهُ اَﺑُﻮْ دَاوُد.ِاﻟﺼﱠﻼَةِ ﻓَﮭِﻲَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻣِﻦَ اﻟﺼﱠﺪَﻗَﺎت
Artinya: “Rasulullah SAW. sudah mewajibkan zakat fitrah (yang fungsinya) untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan atau ucapanucapan keji dan kotor yang dilakukannya sewaktu mereka berpuasa dan untuk menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat Idul Fitri, maka ia diterima sebagai zakat dan barang siapa yang menunaikannya sesudah shalat Idul Fitri, maka pemberiannya itu diterima sebagai shadaqoh saja”. (HR. Abu Daud)
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu wajib. Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Tsuri dan imam Malik dalam salah satu riwayatnya: “zakat fitrah wajib dengan sebab terbenamnya matahari pada hari akhir di bulan Ramadhan, karena zakat fitrah itu diwajibkan untuk mensucikan orang yang berpuasa, sedangkan puasa itu berakhir dengan sebab terbenamnya matahari, yang karenanya wajib zakat fitrah itu”.25 Sedangkan Abu Hanifah dan ashabnya, Imam Laits, Abu Tsaur dan Imam Malik dalam salah satu riwayatnya, berpendapat bahwa zakat fitrah itu wajib dengan sebab terbitnya fajar hari raya. Karena zakat fitrah itu ibadah
24
Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, ‘Aun al-Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud, h. 3, hadis no. 1594. 25 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987), h. 958.
44
yang berhubungan dengan hari raya. Tidak boleh kewajibannya mendahului hari raya, seperti kurban pada hari raya Idul Adha. 26 Para ulama juga berbeda pendapat dalam waktu diperbolehkannya zakat fitrah. Menurut Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa boleh membayar zakat fitrah maksimal dua hari sebelum hari raya.27 Hal ini berdasarkan dari perkataan Nafi’ yakni: “Ibnu Umar dahulu menunaikan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya”.28 Sedangkan menurut Abu Hanifah, boleh mempercepat sejak dari permulaan tahun, karena ia adalah zakat, sehingga menyerupai zakat harta. Dan menurut Imam Syafi’i, boleh dari permulaan bulan Ramadhan, karena sebab dari zakat fitrah itu adalah berpuasa. Jadi, Para ulama fiqh sepakat bahwa zakat fitrah diwajibkan pada akhir bulan Ramadhan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Menurut Sayyid Sabiq dari sekian pendapat Imam Madzhab yang insya allah benar adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad, yakni boleh membayarnya ketika satu atau dua hari sebelum hari raya, karena sesuai dengan perbuatan Ibnu Umar dan tujuan zakat fitrah adalah memberi kecukupan kepada orang-orang fakir di hari raya, sehingga mereka turut bergembira dan tidak perlu meminta-minta. Jika zakat fitrah dibayarkan di awal bulan Ramadhan, dikhawatirkan tujuan ini tidak tercapai, karena sudah
26
Ibid., h. 958. Sabiq, Panduan Zakat, h. 210. 28 Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, ‘Aun al-Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud, h. 3, hadis no. 1594. 27
45
habis sebelum datangnya hari raya, hal ini terjadi jika zakat fitrah dibagikan secara individu.29 Dan menurut Yusuf Qardhawi, pendapat Imam Malik dan Imam Hambali adalah pendapat yang lebih hati-hati. Ia menambahkan bahwa bolehboleh saja pemerintah memungut zakat ini dari masyarakat pada pertengahan bulan Ramadhan jika hal itu dimaksudkan untuk antisipasi tidak meratanya distribusi zakat fitrah kepada para mustahiq karena minimnya waktu yang ada.30 Para ulama sepakat bahwa kewajiban zakat fitrah tidak gugur meskipun sudah lewat waktunya. Ia tetap merupakan hutang yang menjadi tanggungan orang yang bersangkutan sehingga dia membayarnya, meskipun diakhir umurnya.31 C. Jenis dan Kadar Makanan Pokok yang Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah 1. Jenis Makanan Pokok yang Dikeluarkan Untuk Zakat Fitrah Dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Rasulullah menetapkan bahwa zakat fitrah dibayarkan pada bulan Ramadhan dan besarnya adalah satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum untuk setiap muslim baik orang merdeka maupun hamba sahaya, laki-laki ataupun perempuan, muda ataupun tua. Hal ini juga berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri: َ ﻛُﻨﱠﺎ ﻧُﺨْﺮِجُ زَﻛَﺎةَ اﻟْﻔِﻄْﺮِ اِذَا ﻛَﺎنَ ﻓِﯿْﻨَﺎ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ و: َﻋَﻦْ اَﺑِﻲْ ﺳَﻌِﯿْﺪٍ اﻟْﺨُﺪْرِيُ ﻗَﺎل ْ ﻓَﻠَﻢ.ٍﺳَﻠﱠﻢَ ﺻَﺎﻋَﺎ ﻣِﻦْ ﻃَﻌَﺎمٍ ﺻَﺎﻋَﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺮٍ ﺻَﺎﻋَﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﯿْﺮٍ ﺻَﺎﻋَﺎ ﻣِﻦْ اَﻗِﻂٍ ﺻَﺎﻋَﺎ ﻣِﻦْ زَﺑِﯿْﺐ
29
Sabiq, Panduan Zakat, h. 210. Qardhawi, Hukum Zakat, h. 962. 31 Sabiq, Panduan Zakat, h. 210.
30
46 ْ ﻓَﻜَﺎنَ ﻓِﯿْﻤَﺎ ﻛَﻠﱠﻢَ ﺑِﮫِ اﻟﻨﱠﺎسُ اَنْ ﻗَﺎلَ ﻟَﺎ اَرَى ﻣُﺪﱠﯾْﻦِ ﻣِﻦ.َﻧَﺰَلْ ﻛَﺬَاﻟِ ﺰَ ﺣَﺘﱠﻰ ﻗَﺪِمَ ﻋَﻠَﯿِﻨَﺎ ﻣُﻌَﺎوِﯾَﺔُ اﻟْﻤَﺪِﯾْﻨَﺔ ﻗَﺎلَ اَﺑُﻮ ﺳَﻌِﯿْﺪٍ ﻟَﺎ اَزَالُ اُﺧْﺮِﺟَﮫُ ﻛَﻤَﺎ.َ ﻓَﺎَ ﺧَﺬَ اﻟﻨﱠﺎسُ ﺑِﺬَاﻟِﻚ.ﺳَﻤَﺮَاءِ اﻟﺸﱠﺎمِ اِﻟﱠﺎ اَنْ ﯾَﻌْﺪِلَ ﺻَﺎﻋَﺎ ﻣِﻦْ ھَﺬَا ْ )رَوَاهُ اﻟْﺒُﺨَﺎرِيُ وَ اَﺑُﻮ.ُﻛُﻨْﺖُ اُﺧْﺮِﺟُﮫُ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﮭْﺪِ رَﺳُﻮْلِ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ اَﺑَﺪَا ﻣَﺎ ﻋِﺸْﺖ 32
(ٍدَاوُد
Artinya: Abu Said al-Khudri berkata: “ketika Rasulullah masih bersama kami, kami mengeluarkan zakat fitrah atas setiap anak kecil, dewasa, orang merdeka, dan hamba sahaya, sebanyak satu sho’ makanan, satu sho’ keju, satu sho’ gandum, satu sho’ kurma dan satu sho’ kismis. Kami tetap melakukan hal itu sampai datanglah Muawiyah untuk melakukan haji dan umroh. Lalu ia berkata di atas mimbar. Diantara yang ia ucapkan di hadapan orang-orang adalah, ‘aku memandang dua mudd samra’ (gandum) Syam setara dengan satu sho’ kurma’. Maka orang-orang pun mengambil perkataannya tersebut. Abu Said melanjutkan “tetapi aku tetap mengeluarkan zakat seperti yang aku lakukan sebelumnya, selama aku hidup”. (HR. Imam Bukhari dan Abu Daud) Menurut Sayyid Sabiq, yang wajib dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sho’ gandum, kurma, anggur, keju, beras, jagung atau makanan pokok lainnya.33 Jadi untuk jenis atau barang yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah berupa bahan makanan pokok untuk daerahnya sendiri. Apabila ada beberapa makan pokok yang digunakan pada suatu tempat, maka dipilih yang paling mayoritas digunakan. Untuk makanan pokok yang disebutkan dalam hadist Nabi SAW diantaranya adalah keju, gandum, kurma dan kismis. Untuk di Indonesia, makanan pokok untuk pembayaran zakat fitrah adalah beras.
32
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 76-77, hadits no. 1361. Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, ‘Aun al-Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud, Bab Zakat Fitrah, Juz 5, (al-Maktabah Al-Salafiyah, 1979), h. 5, hadis no. 1601. 33 Sabiq, Panduan Zakat, h. 206.
47
2. Kadar Makanan Pokok yang Dikeluarkan Untuk Zakat Fitrah Sebagaimana hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Rasulullah menetapkan zakat fitrah dibayarkan pada bulan Ramadhan dan besarnya adalah satu sho’ untuk setiap makanan pokok yang digunakan. Sho’ menurut arti bahasa arab adalah nama ukuran sukatan atau takaran. Karenanya ukuran zakat fitrah itu ialah ukuran takaran dan bukan ukuran timbangan. Satu sho’ ini sama dengan kira-kira 4 mud (kira-kira 3,1/3 liter).34 Dalam hal mengartikan kata sho’ ini ada beberapa pendapat yang berbeda, antara lain; menurut madzhab Hanafi satu sho’ adalah 3.800 gram atau 3,8 kilogram, menurut madzhab Maliki satu sho’ atau empat mud adalah 27 ons atau 2,7 kilogram,35 menurut madzhab Syafi’i adalah adalah 2.751 gram atau 2,75 kilogram,36 menurut madzhab Hanbali satu sho’ sama dengan 2.751 gram atau 2,75 kilogram.37 Menurut Imam Rofi’i, satu sho’ ialah lima sepertiga kati Iraq, dan timbangannya ada enam ratusan sembilan puluh tiga dirham lebih sepertiga, karena menurut beliau kati Baghdad itu ada seratus tiga puluh dirham. Tetapi menurut Imam Nawawi satu kati itu adalah seratus dua puluh delapan dirham lebih empat sepertujuh dirham. Jadi menurut Imam Nawawi, satu sho’ itu
34
Moh. Rawi Latief dan A. Shomad Robith, Tuntunan Zakat Praktis, (Surabaya: Indah, 1997), h.132. 35 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 910. 36 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 911. 37 Muflichun, Hukum Zakat Fitrah Menggunakan Uang, diakses pada tanggal 21 Desember 2010 dari http://blog.beswandjarum.com/muflichun/2009/09/14/zakat-fitrh-fithrahkudus-stain-beswan-opini/comment-page-1/
48 adalah enam ratus delapan puluh lima dirham lebih lima sepertujuh dirham. 38 Dan menurut al-Nawawi dalam kitab al-Syarqawi, menyatakan bahwa 1 sho’ sama dengan 2176 gram (2,176).39 Menurut Sayyid Sabiq, satu sho’ adalah empat mudd. Sedangkan empat mudd adalah setangkup kedua telapak tangan orang yang sedang, atau sama dengan sepertiga qadah atau dua qadah. Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan harga (uang). Beliau juga berkata, “jika seorang muzakki mengeluarkan zakat dengan gandum, maka mengeluarkan setengah sho’ itu sudah mencukupi”.40 Sebagian ulama berpendapat, untuk segala sesuatu yang wajib dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sho’, kecuali burr (gandum), cukup hanya setengah sho’. Ini adalah pendapat Sufyan, Ibnu Mubarak, dan penduduk Kufah.41 Ulama Indonesia juga banyak berbeda pendapat tentang satu sho' seperti Kyai Maksum-Kwaron Jombang menyatakan satu sho’ sama dengan 3,145 liter, atau sekitar 2751 gram. Sedangkan pada umumnya di Indonesia, berat satu sho’ dibakukan menjadi 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan satu sho’ adalah 2,75 kg, dengan satu sho’ sama dengan di bawah 2,176 kg.42
38
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husain [Anas Tohir Syamsuddin] Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid 1, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), h. 395. 39 Nishob Zakat Fitrahnya Imam Syafi’i 2,75 Kg, diakses pada tanggal 21 Desember 2010 dari http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5214497 40 Sabiq, Panduan Zakat, h. 206. 41 Sabiq, Panduan Zakat, h. 208. 42 Nishob Zakat Fitrahnya Imam Syafi’i 2,75 Kg, diakses pada tanggal 21 Desember 2010 dari http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5214497
49
Menurut Muhammadiyah Ja’far, sebagai standar umum, ukuran zakat fitrah bagi setiap orang adalah satu sho’ (gantang) = 3,5 liter, atau 2,5 Kg.43 Menurut Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husain, dalam masalah sho’ ini, yang dianggap adalah takaran. Kalau para ulama menghitungnya dengan timbangan, maka hal itu untuk memperjelas.44 Jadi, dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah dengan 2,5 Kg sesuai keterangan diatas hukumnya sah, karena ada pendapat yang mengatakan satu sho' = 2,176 Kg dan jika ingin mengeluarkan sebesar 2,751 Kg hukumnya afdhal. Dan permasalahan sho’, yang dimaksud adalah sho’ dalam hal takaran, sedangkan para ulama hanya memperjelas saja dalam hal timbangan. D. Hukum Mengganti Makanan Pokok untuk Zakat Fitrah dengan Makanan lainnya Dalam beberapa hadist, Nabi SAW telah menetapkan makanan tertentu untuk zakat fitrah, yaitu kurma kering, sya’ir, kurma basah dan susu kering yang tidak dibuang buihnya. Sebagian riwayat menetapkan tentang gandum, dan sebagian lagi biji-bijian. Apakah jenis makanan ini bersifat ta’abbudi dan yang dimaksudkan adalah bendanya itu sendiri, sehingga setiap muslim tidak boleh berpindah dari makanan yang telah ditetapkan kejenis makanan lain atau makanan pokok lainnya. Golongan Maliki dan Syafi’i berpendapat, bahwa jenis makanan itu bukan bersifat ta’abbudi dan tidak dimaksudkan bendanya itu sendiri, sehingga
43
Muhammadiyah Ja’far, Tuntunan Ibadat Zakat Puasa dan Haji, (tt: Kalam Mulia,
tth), h. 65. 44
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husain [Anas Tohir Syamsuddin] Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid 1, h. 395.
50
wajib bagi seorang muslim mengeluarkan dari makanan pokok negerinya. Menurut satu pendapat, dari makanan pokok orang itu. Apakah yang dipandang itu makanan pokok pada sebagian besar waktunya, atau sebagian besar waktu bulan Ramadhan atau pada waktu mengeluarkan, atau pada waktu diwajibkannya.45 Golongan Maliki
mengemukakan
berbagai
kemungkinan dari
kemungkinan tersebut. Sebagian menganggap pada waktu mengeluarkan dan sebagian lagi menetapkan makanan pokok yang dipergunakan pada sebagian besar bulan Ramadhan. Menurut golongan Syai’i, sebagaimana dikemukanan dalam al-Wasith bahwa yang dipandang itu adalah makanan pokok penduduk pada waktu wajib zakat fitrah, bukan sepanjang tahun. Ia berkata dalam alWajiz: “Yaitu makanan pokok penduduk pada waktu hari Raya Idul Fitri”. 46 Golongan Maliki mensyaratkan, bahwa makanan pokok itu harus yang termasuk sembilan jenis, sebagaimana ditetapkan mereka, yaitu: sya’ir, kurma basah, kurma kering, gandum, biji-bijian, salt, padi, susu kering dan keju. Apabila sembilan jenis itu atau sebagiannya ada pada waktu pelaksanaan zakat fitrah, maka boleh dipilih salah satunya untuk dikeluarkan. Apabila salah satunya dianggap paling pokok, maka harus itulah yang dikeluarkan. Apabila seluruh atau sebagiannya terdapat, sedangkan yang dijadikan makanan pokok itu yang lain, maka boleh dipilih apa yang dikeluarkan. Menurut sebagian ulama maksudnya adalah “apabila yang dijadikan makakan pokok itu bukan dari jenis yang sembilan itu, maka keluarkanlah apa yang menjadi makanan 45 46
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 950-951. Qardhawi, Hukum Zakat, h. 951.
51
pokoknya, walaupun terdapat makanan pokok yang sembilan itu atau sebagainya”.47 Yang dimaksud dengan makanan pokok menurut madzhab Maliki adalah makanan yang dimakan di waktu pagi dan petang, baik pada masa subur maupun pada masa sulit, bukan yang dimakan pada masa sulit saja. Menurut golongan Syafi’i: biji-bijian dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya sepersepuluh, yang pada waktu biasanya merupakan makanan pokok, bukan hanya pada waktu darurat, maka boleh untuk mengeluarkan zakat fitrah dengan itu. Menurut qaul qadim, bahwa tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dari kacang kedelai dan kacang adas. Pendapat yang masyhur adalah pendapat yang pertama. 48 Apabila kita mewajibkan makanan pokok suatu daerah, sedangkan orang-orang makanan pokoknya beraneka ragam, tidak ada yang menonjol, maka orang boleh mengeluarkan apa saja, tetapi yang lebih utama, ia mengeluarkan yang terbaik. Menurut zahirnya madzhab Imam Ahmad, bahwa orang itu tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dari jenis yang telah ditetapkan dalam hadits, walaupun yang menjadi penggantinya berupa makanan pokok di suatu daerah. Sedangkan menurut Ibnu Hazm, tidak boleh mengeluarkan sesuatu untuk zakat fitrah, selain dari kurma dan sya’ir, tidak boleh kurma basah, tepung terigu dan yang lainnya.
47 48
Ibid., h. 951. Qardhawi, Hukum Zakat, h. 952.
52
Menurut Yusuf Qardhawi, Nabi SAW membatasi pada makananmakanan tertentu saja, karena makanan tersebut pada waktu itu merupakan makanan pokok di lingkungan Arab. Andaikan orang-orang makanan pokoknya beras seperti di Jepang dan Indonesia misalnya, tentu itu yang diwajibkan, demikian pula jagung seperti dipesisir Mesir. Karenanya yang paling baik adalah, seseorang mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokoknya.49 Jadi kesimpulannya, bentuk zakat fitrah adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang mayoritas sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah yang membatasi macam zakat fitrah hanya pada dalil (yang hanya tercantum dalam nash). Dan pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas, yang tidak dibatasi hanya pada dalil. 50 Dan zakat fitrah itu wajib dilakukan dengan makanan pokok di suatu daerah, untuk makanan lainnya selain makan pokok, itu tidak boleh karena bertentangan dengan hadits Nabi SAW.
49
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 953. Ainul Wafa, Panduan Lengkap Zakat Fitrah, diakses pada tanggal 21 Desember 2010 dari http://jurnalmuslim.com/dakwah/panduan-lengkap-zakat-fitrah.html/ 50
BAB IV HUKUM MEMBAYAR ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS
Di Indonesia telah menjadi kesepakatan umat Islam, bahwa besarnya satuan zakat fitrah bila berwujud beras, ialah dua setengah kilogram dan dapat diganti dengan uang. Besar satuan zakat fitrah dua setengah kilogram beras itu disamakan dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum.
1
Hal ini
berdasarkan hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar RA: ِ ﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛَــــﺎةَ اﻟْﻔِــــﻄْﺮ: َﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﻗَﺎل ِﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺮٍ اَوْ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﯿْﺮٍ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻌَﺒْﺪُ وَ اﻟْﺤُﺮﱢ وَ اﻟﱠﺬَﻛَﺮِ وَ اﻷُﻧْﺜَﻰ وَ اﻟْﺼَﻐِﯿْﺮِ وَ اﻟْﻜَﺒِــــﯿْﺮ 2
(ُ )رَوَاهُ اﻟْﺒُـــــــــــــــﺨَﺎرِي.ِﻣِﻦَ اﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿْﻦَ وَ اَﻣَﺮَ ﺑِﮭَﺎ اَنْ ﺗُﺆَدﱠى ﻗَﺒْﻞَ ﺧُﺮُوْجِ اﻟﻨﱠﺎسِ إِﻟَﻰ اﻟْﺼﱠﻠَﺎة
Artinya: “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada setiap muslim, masing-masing satu sho' kurma atau satu sho' gandum (makanan pokok), baik orang yang merdeka maupun hamba sahaya,laki-laki ataupun perempuan, kecil maupun besar. Dan Rasulullah SAW memerintahkan pembayaran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menghadiri salat hari raya”.(HR. Bukhari). Dalam hal mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (harga), para ulama berlainan pendapat. Berikut adalah pendapat dan alasan para ulama yang memperbolehkan dan melarang zakat fitrah menggunakan uang.
1
Syechul Hadi Permono, Sumber Sumber Penggalian Zakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 156-160. 2 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 161, hadits no. 1359.
53
54
A. Pendapat dan Alasan Menggunakan Uang Para
ulama
Ulama
yang
Memperbolehkan
memperbolehkan
Zakat
membayar
zakat
Fitrah
fitrah
menggunakan uang diantaranya adalah: Abu Hanifah, al-Tsauri, Umar bin Abdul Aziz dan Imam Hasan Basri. 3 Menurut Abu Hanifah, untuk zakat fitrah, tidak harus jenis-jenis yang ditegaskan dalam hadits. Akan tetapi boleh memberikan zakat fitrah dengan menilai harga jenis-jenis itu. Boleh menyampaikannya dengan dirham, atau dinar atau mata uang lain, atau harta benda yang lain yang dikehendaki. 4 Berikut
adalah alasan-alasan
yang
melatarbelakangi pendapat
golongan yang memperbolehkan zakat fitrah menggunakan uang, diantaranya adalah: Pertama, tujuan dari zakat pada hakikatnya adalah membuat kecukupan,
memelihara
kemashlahatan
fakir
miskin
dan
memenuhi
kebutuhannya. Zakat fitrah juga merupakan hak fakir miskin untuk memenuhi hajat kebutuhan mereka. 5Apabila kebutuhan serta maslahatnya dalam bentuk uang, maka mengeluarkan uang lebih utama. Seperti, melimpahnya zakat bagi si miskin, yang menyebabkan si miskin terpaksa menjualnya, sedang uang dapat dimanfaatkan untuk prioritas kebutuhannya seperti, membeli makanan dan pakaian yang dikehendaki baginya dan bagi anak-anaknya. 6
3
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987), h. 955. Permono, Sumber Sumber Penggalian Zakat, h. 158. 5 Muhammadiyah Ja’far, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji, (T.tp., Kalam, T.th), h 66. 6 Thaha Abdullah Al Afifi, Hak Fakir Miskin, (Indonesia: Dar El Fikr, 1987), h. 113. 4
55
Kedua, berdasarkan hadits Mu’az bin Jabal. Tawus berkata: Mu’az berkata kepada penduduk Yaman: ‘Berikanlah kepadaku barang-barang yaitu baju gamis, atau pakaian-pakaian lain, sebagai ganti dari zakat sya’ir dan jagung, hal mana lebih mudah bagimu dan lebih baik bagi para sahabat Nabi SAW di Madinah. Mu’az sebagai petugas yang diperintahkan oleh Nabi SAW yang segala apa yang ia lakukan adalah sepengetahuan Nabi SAW, oleh karena Nabi SAW tidak melarangnya, hal itu menunjukan bahwa tindakan Mu’az yang demikian itu dibolehkan oleh syara’ dan Nabi SAW mengakuinya.7 Ketiga, Abu Hanifah membolehkannya, karena beranggapan adanya dua dimensi dalam zakat fitrah: ubuddiyah dan sosial. Sehingga harus dipertimbangkan juga, manakah yang lebih bermanfaat bagi para mustahiq: memberi mereka makanan atau uang? Seperti itu pula pendapat Hasan AlBashri, Umar bin Abdul Aziz dan al-Tsaury, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Al Mundzir.8 Keempat, berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya: Abu Ishaq berkata: “aku mendapatkan orang-orang membayarkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan beberapa dirham seharga makanannya”. Dan riwayat Ibnu Abu Syaibah dari ‘Aun, ia berkata: “aku mendengar surat dari Umar Bin Abdul Aziz yang dibacakan pada ‘Abdi, Gubernur Bashrah, bahwa zakat masing-masing setengah dirham”.9
7
Permono, Sumber Sumber Penggalian Zakat, h. 156-160 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqh Praktis, (Bandung: Mizan, 1999), h. 318-321. 9 Didin Hafidhuddin, Panduan zakat bersama Dr. KH. Didin Hafidhuddin, (Jakarta: Republika, 2002), h. 120-121. 8
56
Kelima, menurut Yusuf Qardhawi, zakat menggunakan uang lebih praktis dilaksanakan dewasa ini lebih-lebih bagi masyarakat modern yang dimana-mana orang tidaklah bermuamalah kecuali dengan uang, maka uang jelas lebih bermanfaat bagi simiskin. Dan apabila dahulu makanan lebih mudah didapat, maka dewasa ini uanglah yang lebih mudah dan dipandang lebih bermanfaat.10 Karena harga beras setiap tahun berubah, maka pelaksanaan Harian BAZIS pada setiap permulaan bulan Ramadhan mengumumkan harga standar satuan zakat fitrah yang berlaku untuk wilayahnya, dan hanya berlaku pada tahun itu. Untuk mempermudah dan pengumpulan dan penyaluran zakat, BAZIS berpendirian sahnya mengeluarkan zakat dengan qimah (harga), termasuk juga zakat fitrah. Karena menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta, zakat itu dikelola secara produktif, maka dalam hal ini, akan lebih mudah pengumpulannya apabila zakat fitrah itu dikeluarkan tidak berupa makanan pokok (beras) akan tetapi dirupakan harganya.11 B. Pendapat dan Alasan Ulama Melarang Zakat Fitrah Menggunakan Uang Jumhur Ulama melarang zakat fitrah menggunakan uang. Para ulama yang melarang zakat fitrah menggunakan uang, diantaranya adalah: Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, al-Kasani, Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husain, Muhammad al-Shaleh al-‘Utsaimin dan alJaziry.
10
Yusuf Qardhawi, Risalah Zakat Fitrah, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1991), h.
11
Permono, Sumber Sumber Penggalian Zakat, h. 156-160
56-57.
57
Berikut
adalah alasan-alasan
yang
melatarbelakangi pendapat
golongan yang melarang zakat fitrah menggunakan uang, diantaranya adalah: Pertama, menurut Ulama Syafi’iyah: tidak dibolehkan berzakat fitrah dengan uang, karena yang diwajibkan menurut hadits adalah bahan makanan yang mengenyangkan.12 Kedua, Ibnu Hazm telah menolak alasan dengan hadits Thawus, yang berpendapat bahwa hadits itu tidak bisa dijadikan Hujjah, karena hadis tersebut mengandung berbagai masalah, salah satunya adalah hadits tersebut adalah mursal.13 Ketiga, dalam zakat fitrah lebih ditekankan kepada dimensi ubuddiyah (yakni sebagai suatu bentuk ibadah mahdhah, sama seperti shalat, puasa dan haji) yang wajib dilaksanakan dengan cara sesuai sepenuhnya dengan petunjuk agama; tidak boleh diganti dengan cara lainnya. Oleh karena itu, zakat fitrah tidak boleh dikeluarkan dalam bentuk uang, sebagai pengganti makanan pokok, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi SAW mengenai hal itu. 14 Keempat, Imam Ahmad bertanya kepada Imam ‘Atha tentang mengeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah. Ia menjawab: “Aku kuatir tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan sunnah Rasul”. Dinyatakan kepadanya: “Bukankah orang-orang berkata bahwa Umar bin Abdul Aziz telah mengambil harga zakat?” ‘Atha berkata: “mereka meninggalkan ucapan Rasulullah dan mengambil pendapat seorang?15
12
Ja’far, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji, h. 66. Muhalla, jilid 6, hal. 312. 14 al-Habsyi, Fiqh Praktis, h. 318-321. 15 Qardhawi, Hukum Zakat, h. 955. 13
58
Ibnu Umar Berkata: ِ ﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛَـــﺎةَ اﻟْﻔِـــــﻄْﺮ: َﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﻗَﺎل 16
(ُ )رَوَاهُ اﻟْﺒُﺨَـــــــــــــﺎرِي....ٍﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺮٍ اَوْ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﯿْﺮ
Artinya: “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah satu sho’ kurma atau satu sho’ syair .......” (HR. Bukhari) Keempat, menurut pendapat al-Kasani, apabila memperbolehkan zakat fitrah dengan harga, berarti merubah hukum nash. Hal demikian tidak diperbolehkan. Kelima, al-Jaziry berpendapat bahwa, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan menunaikan zakat fitrah dengan uang, sebab Nabi saw tidak pernah menyebutkan dinar atau dirham. Padahal dua mata uang tersebut juga berlaku pada saat itu. Hanya saja, apabila merasa kesulitan mengeluarkannya dengan makanan, maka secara darurat diperkenankan dengan mata uang (emas dan perak) sebagai ganti dari makanan, sehingga kewajiban tetap terlaksana. 17 C. Analisis Hukum Membayar Zakat Fitrah Menggunakan Uang Dalam pentarjihan kedua pendapat yang berbeda ini mengenai zakat fitrah menggunakan uang kertas, menurut penulis bahwa yang jelas kuat itu pendapat golongan Hanafi dalam masalah ini. Mereka bersandar pada khabarkhabar dan atsar-atsar, sebagaimana halnya pendapat mereka yang diperkuat dengan pemikiran dan pandangan. Pada hakikatnya, bahwa menonjolkan segi ibadah dalam zakat dan mengqiyaskannya dengan shalat dalam memberikan qayid dengan nash yang bisa diambil, tidak sejalan dengan watak zakat itu sendiri, zakat itu merupakan 16 17
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 161, hadits no. 1359. Al-Jaziry, Cara Mudah Menunaikan Zakat, hal 85.
59
kewajiban yang bersifat harta dan ibadah yang mempunyai banyak perbedaan. Para ulama yang melarang zakat fitrah dengan uang, mewajibkan zakat pada harta anak-anak dan harta orang gila, padahal shalat tidak wajib bagi mereka. Pendapat ulama yang melarang ini bertolak belakang dengan pernyataan mereka yang menyatakan bahwa zakat itu sama dengan ibadah shalat, karena yang dijadikan alasan untuk menolak pendapat madzhab Hanafi yang menggugurkan kewajiban zakat dari orang yang bukan mukallaf, berdasarkan qiyas terhadap shalat.18 Kenyataannya, bahwa pendapat Madzhab Hanafi lebih sesuai dizaman kita sekarang ini, lebih mudah bagi manusia dan lebih mudah menghitungnya, dan terutama jika dalam hal ini terdapat kantor atau yayasan yang mengurus pengumpulan dan pembagian zakat, karena mengambil jenis benda itu akan menyebabkan bertambahnya biaya pengurusan untuk memindahkan bendabenda zakat dari daerahnya kekantor tersebut. Pendapat yang memperbolehkan ini juga dianut oleh Imam Bukhari, sebagai mana Imam Nawawi berkata: “Pendapat itulah yang zahir dari pendapat Madzhab Bukhari dalam Hadits Shahihnya. 19 Berkata Ibnu Rusyd: “Dalam masalah ini Imam Bukhari telah sependapat dengan madzhab Hanafi, dalam keadaaan ia sendiri banyak berbeda pendapat dengan mereka (dalam masalah lain), akan tetapi dalil telah membimbingnya sehingga sependapat dengan mereka. 20 Alasan Imam Bukhari sependapat dengan golongan yang memperbolehkan adalah pada atsar Mu’az yang diriwayatkan oleh Thawus, 18
Qhardawi, Hukum Zakat, h. 794. Al-Majmu, Jilid 5, hal. 429. 20 Fath al-Ba’ri, jilid 3, hal. 200. 19
60
dimana Mu’az meminta dari penduduk Yaman, pakaian untuk menggantikan kedudukan sedekah biji-bijian dan sya’ir, karena hal itu lebih mudah bagi mereka dan lebih bermanfaat bagi sahabat-sahabat Nabi di Madinah. Hal ini juga diperkuat dengan hadits-hadits lain, seperti surat Abu Bakar tentang sedekah binatang ternak, yang berbunyi: “Barangsiapa sedekahnya telah mencapai bintu makhad, sedangkan ia tidak memilikinya dan hanya memiliki bintu labun, maka hal itu diterima daripadanya, tetapi petugas memberikan kepadanya dua puluh dirham atau dua ekor domba.” Ia mengambil ternak pada umur tertentu sebagai pengganti pada umur lain, disertai pemberian perbedaan harga, beberapa dirham atau beberapa ekor domba. 21 Ini semua menunjukan bahwa mengambil benda itu bukanlah diperintahkan pada zatnya, akan tetapi untuk memudahkan bagi si pemilik harta. Adapun Ibnu Hazm telah menolak alasan dengan hadits Thawus, yang berpendapat bahwa hadits itu tidak bisa dijadikan Hujjah, karena berbagai alasan, sebagai berikut: Pertama, hadis itu adalah hadis mursal, karena Thawus tidak pernah bertemu dengan Mu’az. Ia tidak dilahirkan, kecuali setelah meninggalnya Mu’az. Kedua, andaikan khabar itu shahih, maka tetap tidak bisa dijdikan alasan, karena bukan berasal dari Rasulullah SAW. Tidak ada alasan kecuali dengan apa yang datang dari Rasul.
21
Qhardawi, Hukum Zakat, h. 794-795.
61
Ketiga, tidaklah ia menyatakan hal itu dalam urusan zakat, akan tetapi mungkin –kalau shahih- ia berkat pada orang yang wajib membayar upeti, sehingga ia mengambil biji-bijian, sya’ir dan harga menggantikan posisi upeti. Keempat, dalil yang menunjukan batalnya khabar ini, adalah ucapan Muaz dalam khabar itu sendiri: “lebih baik bagi penduduk Madinah.” Maha Suci Allah, kalau Mu’az menyatakan hal ini, karena ia menjadikan apa yang tidak diwajibkan Allah, lebih baik dari apa yang diwajibkan-Nya. 22 Yang jelas bahwa alasan-alasan tersebut di atas adalah lemah. Thawus, walaupun tidak bertemu dengan Mu’az, akan tetapi mengetahui perintahnya dan mendalami sejarah hidupnya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i. Thawus adalah Imam penduduk Yaman pada masa Thabi’in; ia mengetahui keadaan Mu’az dan khabar-khabarnya, karena masanya pun masih dekat. Pekerjaan Mu’az di Yaman serta mengambilnya haga dalam zakat, menunjukan bahwa hal itu tidak bertentangna dengan sunah Nabi SAW; dimana ia menjadikan ijtihadnya pada tingkatan yang ketiga setelah Qur’an dan Sunnah. Lagi pula, tidak ada seorang pun dari sahabat yang mengingkarinya, menunjukan kesepakatan mereka akan hukum ini. Adapun kemungkinan khabar ini adalah dalam masalah upeti, adalah lemah bahkan batal. Sebagaimana dikemukakan Ahmad Syahir dalam ulasannya dalam Mahalli karena khabar itu adalah riwayat Yahya bin Adam: “Menduduki posisi sedekah”. Adapun alasan Ibnu Hazm yang keempat, adalah penyimpangan dan pengarahan dari dia sendiri, karena makna “lebih dari bermanfaat bagi kamu
22
Muhalla, jilid 6, hal. 312.
62
sekalian“, karena kebutuhan mereka terhadap pakaian jauh lebih besar daripada biji-bijian dan syai’ir. 23 Ini adalah masalah faktual yang tidak ada perbedaan didalamnya. Adapun ucapannya: “Tidak diwajibkan oleh Allah”, maka itulah ucapan yang diperselisihkan, karenannya tidak bisa berhujjah dengan pengakuan yang semacam itu. Mengambil harga, karenannya termasuk salah satu yang disyariatkan oleh Allah. Ibnu
Taymiah
mengemukakan
satu
pendapat
yang
sifatnya
pertengahan dari kedua pendapat yang bertentangan tadi, ia berkata: “yang paling zahir dalam hal ini, bahwa mengeluarkan harga tanpa ada kemashlahatan yang jelas, adalah dilarang.” Karenanya Rasul SAW telah menetapkan ukuran tambahannya dua ekor domba atau dua puluh dirham, dan tidak pindah pada harganya. Sebab jika ia memperbolehkan mengganti harganya secara mutlak, tentu pemilik akan berpaling kepada jenis yang buruk. Terkadang timbul kemadharatan dalam menetukan harta itu, padahal zakat didasarkan pada persamaan, dan ini hanya ada pada ukuran dan jenis harta itu. Adapun mengeluarkan harga, karena adanya kebutuhan, kemashlahatan, atau adanya keadilan, maka hal itu tidaklah mengapa; seperti seorang menjual buah yang ada pada kebunnya atau tanamannya dengan beberapa dirham; maka dalam hal ini cukup baginya mengeluarkan sepuluh dirham, dan tak usah dibebankan untuk membeli buah atau gandum yang lain, karena hal ini akan sama nilainya bagi orang fakir.
23
Qhardawi, Hukum Zakat, h. 795-796.
63
Imam Ahmad telah menetapkan boleh dalam masalah itu. Dan seperti halnya wajib bagi dia, seekor domba pada lima ekor unta, akan tetapi tidak ada orang yang mau menjual domba, maka baginya cukup mengeluarkan seharga domba itu, ia tak usah dibebankan untuk pergi kekota lain agar membeli domba tersebut. Dan sama juga halnya jika para mustahik zakat, meminta diberi harganya, karena akan lebih bermanfaat bagi mereka, maka hendaknya mereka diberi, atau menurut petugas hal itu akan lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir, sebagaimana dikutip dari Mu’az bin Jabal, bahwa ia berkata pada penduduk Yaman: “datangkanlah oleh kamu sekalian kepadaku dengan baju karung atau kain, karena hal itu lebih mudah bagi kamu dan lebih baik bagi kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah.” 24 Pendapat ini lebih relevan untuk masa sekarang, karena kebutuhan dan kemaslahatan dizaman kita. Diperbolehkan mengambil harga, selama hal itu tidak memadharatkan orang-orang fakir atau pemilik harta. Untuk poin kedua pentarjihan adalah pembayaran zakat fitrah menggunakan uang (harga) sebagai pengganti makanan pokok telah lama berkembang dan di praktekan di Indonesia dengan alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin, karena hakikat dari zakat fitrah itu adalah membuat kecukupan orang-orang fakir.25 Nabi saw bersabda:
24 25
Ibnu Tayniah, Majmu’ Fatawa, jilid 25, hal 82-3, cet. Saudiah. Ja’far, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji, h. 66.
64 وَ ﻗَﺪْ رَوَاهُ اَﺑُﻮْ ﻣِﻌْﺸَﺮْ ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊْ ﻋَﻦِ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺑِﻠَﻆِ "ﻛَﺎنَ ﯾَﺆْﻣُﺮُوْﻧَﺎ اَنْ ﻧُﺨْﺮِﺟَﮭَﺎ ﻗَﺒْﻞَ اَنْ ﻧُﺼَﻠﱢﻲ ﻓَﺎِذَا 26
(ٍ )اَﺧْﺮَﺟَـــــﮫُ ﺳَﻌِــــــــﯿْﺪ ﺑْﻦُ ﻣَﻨْﺼـــــــــُﻮْر.ِ اَﻏْﻨُﻮْھُﻢْ ﻋَﻦِ اﻟﻄﱠﻠَﺐ: َﻧْﺼَﺮَفَ ﻓَﺴَﻤَﮫُ ﺑَﯿْﻨَﮭُﻢْ وَ ﻗَﺎل
Artinya: “Beliau (Nabi SAW) memerintahkan kam mengeluarkan zakat fitrah sebelum kami shalat. Ketika selesai (shalat), beliau membagikannya diantara mereka dan bersabda, “cukupkanlah mereka daripada meminta-minta”. (HR. Said ibn Manshur). Bentuk kemaslahatan tersebut adalah dengan mengganti makanan pokok untuk zakat fitrah dengan uang kertas. Karena dengan uang tersebut para fakir miskin dapat membeli kebutuhan sesuai dengan keperluannya. Sedangkan menurut golongan yang menolaknya, zakat fitrah itu berdimensi ubuddiyah, yang sama dengan shalat. Jadi, harus dikerjakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 27 Dalam hal zakat fitrah telah ditentukan, bahwa zakat fitrah yang dikeluarkan itu harus berupa kurma, gandum, syair, keju, makanan pokok dan lain sebagainya yang telah ditentukan dalam hadist Nabi SAW. ِ ﻓَﺮَضَ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَ ﺳَﻠﱠﻢَ زَﻛَـــﺎةَ اﻟْﻔِـــــﻄْﺮ: َﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻤَﺎ ﻗَﺎل 28
(ُ )رَوَاهُ اﻟْﺒُﺨَـــــــــــــﺎرِي....ٍﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤَﺮٍ اَوْ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﯿْﺮ
Artinya: “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah satu sho’ kurma atau satu sho’ syair .......” (HR. Bukhari) Menurut penulis, pendapat Abu Hanifah yang ma’qulul ma’na (dapat diterima oleh akal fikiran) dan dapat diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman dan dapat menjawab tuntutan kemaslahatan umat, kapan dan dimana,
26
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barii, Juz 3, h. 375 al-Habsyi, Fiqh Praktis, h. 318-321. 28 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 161, hadits no. 1359.
27
65
khususnya di zaman sekarang; mengingat kebutuhan pokok keluarga-keluarga kini, tidak hanya terbatas pada makanan. 29 Zakat fitrah menggunakan uang kertas itu bukanlah suatu kewajiban, melainkan alternatif yang dipilih dalam kondisi untuk kemaslahatan, yakni apabila uang yang lebih dibutuhkan dibanding makanan pokok dan apabila dalam mengeluarkan zakat fitrah menggunakan makanan pokok itu mengalami kesulitan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh: 30
ِاﻟْﻤَﺸَﻘﱠﺔُ ﺗَﺠْﻠِﺐُ اﻟﺘﱠﯿْﺴِﯿْﺮ
Artinya: “Kesulitan membawa kemudahan”. Jadi, menurut penulis dapat disimpulkan beberapa hal mengenai hukum zakat fitrah dengan uang kertas, yakni sebagai berikut: Pertama, membayar zakat fitrah menggunakan uang kertas bukanlah suatu kewajiban dalam membayar zakat fitrah, melainkan diperbolehkan untuk alasan kemaslahatan, yakni apabila yang lebih dibutuhkan adalah uang dibandingkan dengan makanan pokok dan apabila dalam melaksanakan zakat fitrah menggunakan makanan pokok mengalami kesulitan. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh: 31
ِاﻟْﻤَﺸَﻘﱠﺔُ ﺗَﺠْﻠِﺐُ اﻟﺘﱠﯿْﺴِﯿْﺮ
Artinya: “Kesulitan membawa kemudahan”.
29
al-Habsyi, Fiqh Praktis, h. 318-321. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, al-Qawaid al-Fiqhiyah, (TT: Pustaka al-Furqon, 2009) h. 61. 31 Ahmad Sabiq, al-Qawaid al-Fiqhiyah, h. 61. 30
66
Kedua,
untuk
mempermudah
mengetahui
kemashlatan
yang
dibutuhkan oleh orang-orang fakir, maka panitia-panitia yang mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat fitrah, berkewajiban memantau kepentingan para fakir miskin dilingkungan mereka masing-masing, sehingga dapat dicapai kepastian dan keseimbangan antara makanan dan uang yang sangat mereka perlukan.32
32
al-Habsyi, Fiqh Praktis, h. 318-321.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan permasalahan mengenai “Pembayaran Zakat Fitrah Menggunakan Uang Kertas”, maka dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: Uang kertas yang ada sekarang ini penggunaannya ditafsirkan sebagai suftaja atau pengganti fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar saja. Hukum membayar zakat fitrah menggunakan uang kertas bukanlah suatu kewajiban dalam membayar zakat fitrah, melainkan diperbolehkan untuk alasan kemaslahatan, yakni apabila yang lebih dibutuhkan adalah uang dibandingkan dengan makanan pokok dan apabila dalam melaksanakan zakat fitrah menggunakan makanan pokok mengalami kesulitan. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh: ِﺴﯿْﺮ ِ ْاﻟْ َﻤﺸَ ﱠﻘﺔُ َﺗﺠِْﻠﺐُ اﻟ ﱠﺘﯿ
Artinya: “Kesulitan membawa kemudahan”. Kedua, apabila zakat fitrah dalam pelaksanaannya dilakukan secara kolektif, maka panitia-panitia yang mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat fitrah berkewajiban memantau kepentingan para fakir miskin dilingkungan mereka
67
68
masing-masing, sehingga dapat dicapai kepastian dan keseimbangan antara makanan dan uang yang sangat mereka perlukan.
B. Saran-saran Berkaitan dengan topik permasalahan, maka penulis memberikan saransaran
yang berkaitan dengan permasalahan pada bab-bab terdahulu, yakni
hendaknya Kementrian Agama, menyebarluaskan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan zakat fitrah, khususnya zakat fitrah menggunakan uang kertas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, al-Imam Taqiyuddin (Alih Bahasa Anas Tohir Syamsuddin), Terjemah Kifayatul Akhyar. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997. Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, ‘Aun al-Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud. Juz 5, al-Maktabah Al-Salafiyah, 1979. al-Afifi, Thaha Abdullah, Hak Fakir Miskin. Indonesia: Dar El Fikr, 1987. al-Arif, M. Nur Rianto, Teori Makroekonomi Islam, Bandung: Alfabeta, 2010. al-Asqalany, Ibnu Hajar. Fath al-Barii. Juz 3, Bab Zakat Fitrah Sebelum Shalat Id, alMaktabah al-Salafiah. Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, 1988. Amin, A. Riawan, Menata Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: UIN Press, 2009. Ash Shawi, Shalah dan Al Mushlih, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq, 2008. Bagir Al-Habsyi, Muhammad, Fiqh Praktis. Bandung: Mizan, 1999. al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Juz 3, Kairo: 1985 Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh Jilid 1. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995. Fakhruddin, Fiqh Dan Manajemen Zakat Di Indonesia. Malang: UIN Malang Press, 2008. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid IV dan VII, Dar al-Khair, 1993. 69
70
Hafidhuddin, Didin, Panduan Zakat Bersama
Dr. KH. Didin Hafidhuddin.
Jakarta: Republika, 2002. Hasan, Ahmad, Mata Uang Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Hasym, Ismail Muhammad, Mudzakarrat fi al-Nuqud wa al-Bunuk, Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, Beirut, TT. http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_7._UANG_DAN_LEMBAGA_KEUANGAN , diakses pada 1 Desember 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang, diakses pada 1 Desember 2010. http://syadiashare.com/pengertian-uang-dan-jenis-jenis-uang.html, diakses pada
1
Desember 2010. http://jurnalmuslim.com/dakwah/panduan-lengkap-zakat-fitrah.html/, diakses pada 21 Desember 2010. http://blog.beswandjarum.com/muflichun/2009/09/14/zakat-fitrh-fithrah-kudus-stainbeswan-opini/comment-page-1/, diakses pada 21 Desember 2010. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5214497, diakses pada 21 Desember 2010. Huda, Nurul dkk. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: Kencana, 2008. Iqbal, M. Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar dan Dirham. Jakarta: Dinar Club & Spritual Learning Centre, 2009. Ishlahi, Abdul Adhim, Economic Concept of Ibn Taimiyah (Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah), Anshari Thayyib (penerjemah), Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
71
Ja’far, Muhammadiyah, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji. tt: Kalam Mulia, tth. al-Jaziry, Cara Mudah menunaikan Zakat. H. I. Press, 1996. Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Kahf, Monzer Kahf. Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus Ahmadie Thoha, 2000. Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: International for Islamic Though, 2001. Latief, Moh. Rawi dan Robith, A. Shomad, Tuntunan Zakat Praktis. Surabaya: Indah, 1997. Lathif, AH. Azharudin. Fiqh Muamalah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Mahmud Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid. Ekonomi Zakat. Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Persada, 2006. Mas’adi, Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: PT: RajaGrafindo Persada, 2007. Mydin Meera, Ahameed. Perampok Bangsa-bangsa. Jakarta: Mizan, 2010. Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006. Permono, Sjechul Hadi. Sumber-Sumber Penggalian Zakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Purwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006. Qardhawi, Yusuf, Risalah Zakat Fitrah. Surabaya: Pustaka Progresif, 1991.
72
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987. al-Qasim bin Salam, Abu Ubaid, Al-Amwal, Tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar al-Fikr, Beirut, 1988. Sabiq, Sayyid. Panduan Zakat. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005. Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Ahmad. al-Qawaid al-Fiqhiyah. T.tp: Pustaka alFurqon, 2009. Saidi, Zaim, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Dekolomotif, 2010. Siddiqi, Muh. Nejatullah, Recent Works on History of Economics Thought in Islam. Dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (terj) Reading in Islamic economic Thought, Kuala Lumpur: Longmang Malaysia, 1992. Sinungan, Muchdarsyah. Uang dan Bank. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana, 2009. Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Moderinitas. Malang: UIN-Malang Press, 2007. al-Suyuti, Jalaluddin. Jami al-Shagir. Jawa Tengah: Menara Kudus, 911H. Rusyd, Ibnu, (Alih Bahasa M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah),
Terjemah
Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV. Asy Syifa’, 1990. Taymiah, Ibnu, Majmu’ Fatawa, jilid 25, Saudiah: TT. al-‘Utsaimin, Muhammad al-Shaleh (alih bahasa Prof DR. KH. Masdar Helmy) , 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa al-‘Utsaimin. Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
73
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990. Zahrah, Muhammad. Zakat Dalam Perspektif Sosial. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, tt. al-Zuhaily, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005.