HUKUM IJTIHAD DALAM PROSES LEGISLASI HUKUM ISLAM

ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014, ISSN: 2356-0150

HUKUM IJTIHAD DALAM PROSES LEGISLASI HUKUM ISLAM Khoirul Hadi Pasca Sarjana UIN Jogjakarta. Email: [email protected]

Keywords ijtihad, obligatory, ushul fiqh, Islamic law

Abstract This study is based on library research and departs from the understanding of the ijtihad meaning, and importance of reviewing whether the legal process of ijtihad has a strong legal basis, or only reasonable attempts to trick the text, or ijtihad is mandatory. Since if there is no ijtihad then the text is only inanimate object that can not be useful to himself or otherwise. This study uses the science of ushul fiqh to dissect whether it is true that, methodologically, ijtihad is required. Based on this research it is known that ijtihad is absolutely required in Islamic law. But, that is only for those who are really capable and mastering all requirements needed. Instinbath al-hukm in modern era must be executed continously and simultaneously so it can result very sulotive and useful legal products for society in general. Abstrak Penelitian berbasis library research ini berangkat dari pemahaman pentingnya memaknai dan mengkaji ulang apakah secara hukum proses ijtihad mempunyai sandaran hukum yang kuat, ataukah hanya upaya akal untuk mengelabui teks, ataukah memang ijtihad itu wajib, karena jika tidak ada ijtihad maka teks adalah hanya benda mati yang tidak bisa berguna bagi dirinya sendiri atau sebaliknya. Kajian ini menggunakan ilmu ushul fikh untuk membedah apakah benar secara metodologi ijtihad itu diperlukan. Dari penelitian ini diketahui bahwa dalam hukum Islam ijtihad sangat diharuskan, akan tetapi bagi kalangan yang benar-benar mampu dan menguasai ijtihad dengan segala persyaratannya. Istibath al-hukm dalam era modern ini harus dilakukan dengan kontiunitas dan berkesinambungan, sehingga dihasilkan produk hukum yang mumpuni dan berguna bagi masyarakat secara umum.

181

182 I Khoirul Hadi, Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam Pendahuluan Agama Islam sejak awal turunnya telah menjanjikan kesejahteraan bagi para pemeluknya dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Bahkan, lebih jauh lagi Islam berperan sebagai rahmatan li a~ 'alamin, rahmat bagi seru sekalian alam. Jaminan kesejahteraan tersebut tentu saja memberikan konsekuensi besar pada Islam sendiri, yaitu Islam harus mempunyai ajaran yang komprehensif, mampu mencakup semua sendi kehidupan para pemeluknya di kehidupan dunia fana ini di samping yang utama ajaran yang membimbing relasi manusia dengan dunia transenden yang sarat dengan nuansa eskatologis, 'ubudiyyah. Dalam sisi cakupan objek, syari'at agama Islam bersifat syumul, artinya syari'at Islam berlaku bagi semua golongan manusia dan akan terus relevan sampai akhir mas a. Firman Allah : U"'WI foi ~-' IJ!..D-' IJ:4! U"'till oiS'~l o.!b.L..j Lo_, 0~~

"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS. Saba'

[34]: 28)." Fiqh (hukum Islam) adalah salah satu perangkat syari'at Islam yang berada pada wilayah amalan praktis, di samping akidah yang menyangkut urusan ketuhanan dan akhlak yang berurusan dengan etika. Karenanya, eksistensi fiqh bergantung pada eksistensi umat Islam sendiri (Al-Maliki, 1990: 32). Sehubungan dengan itu, kita mendapati fiqh membicarakan empat aspek pokok kehidupan man usia, 'ubudiyyah, yaitu mengurus langsung hubungan transendental manusia dengan penciptanya, sedangkan tiga yang lain mengurus aspek kehidupan yang lain, yakni kehidupan materiil dan sosial yang bersifat duniawi, yaitu muamalah (hubungan profesional dan perdata), munakahah (pernikahan) dan jinayah (pidana) (Mahfudz,

2007: xxvii). Sebagaimana masyarakat yang selalu berubah-ubah keadaannya yang meliputi sektor budaya, politik, ekonomi dan lainnya,

maka fiqh mau tidak mau juga dituntut untuk dapat memberikan ketetapan-ketetapan hukum dari fakta-fakta yang ada disetiap ruang dan waktu mengiringi perubahan dan heterogenitas masyarakat itu. Padahal AlQur'an sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama (Ali, 2004: 39) telah usai turunnya, begitu pula dengan sumber primer kedua yaitu hadis juga telah usai. Mengenai hal ini Sayyid Muhammad 'Alawi al-Maliki menuturkan, "Ayat Al-Qur'an yang menjadi ushul a~hkam tidak lebih dari 500 ayat dan bilangan hadis yang menjadi ushul a~hkam juga terbatas 500 hadis" (Al-Maliki, 1990: 38). Hal itu dijelaskan oleh kebanyakan pakar ushul fiqh dan hadis. Ijtihad adalah salah satu hal yang menjadi jalan dalam memahami ayat-ayat hukum untuk menjadikan norma hukum baru (fiqh) Dalam hal ini, ada sisi lain dari hukum Islam, yang secara intens melakukan kajian terhadap teks-teks primer, sehingga dari proses kajian itu muncul produk-produk hukum yang tidak tertulis secara eksplisit dalam teks-teks tersebut, itulah yang oleh para ulama didefinisikan sebagai ushul fiqh. Al-Ghazali menjelaskan bahwa salah satu aspek ushul fiqh adalah ijtihad, di samping membicarakan dalildalil hukum, tata cara membuahkan hukum dan hukum itu sendiri (Al-Ghazali, t.th: 2), yang kesemuanya adalah perincian tata cara istinbath al-ahkam. Di sinilah letak urgensitas ijtihad yang merupakan manifestasi dari istinbath al-ahkam itu sendiri dalam hukum Islam. Tidak heran jika dalam fiqh, ijtihad merupakan sebuah bahasan yang tidak hentihentinya dan menjadi kajian para ulamajaman klasik hingga sekarang, misalnya Imam alGhazali dalam a~Mustashfa, demikian juga dengan a1-Syaukani dalam Irsyad a~Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer seperti Abdul Wahab Khallaf, Yusuf Qardhawi dan Wahbah Zuhaili. Bahkan hampir di setiap buku-buku ushul fiqh selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Karena begitu pentingnya bah ini sehingga sejak ulama klasik sampai modern selalu membahas tentang ijtihad. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad adalah salah satu pengawal universalitas dan komprehensifitas Islam itu

ISTI'DAL;Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. I No. 2,Juli~Desember 2014, ISSN: 2356~0150

Khoirul Hadi, Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam I 183 sendiri sehingga Islam tidak canggung dalam merespon perkembangan jaman dan selalu aplikatif untuk diterapkan di berbagai wilayah di belahan dunia. Dari sinilah Jalaluddin alSayuthi sebagaimana yang dikutip Wahbah Zuhaili (Sirry, 1996: 172) mendorong untuk mempertahankan eksistensi ijtihad, bahkan menegaskan bahwa ijtihad adalah kewajiban sepanjang masa dan pengingkaran terhadapnya hanyalah kemunduran intelektual. Ijtihad adalah ruang untuk memberikan kontribusi hukum baru, tapi bukan berarti mematikan hukum lama, tetapi hanya melakukan penyegaran ulang terhadap hasilhasil hukum yang sudah tidak relevan pada masanya. Sebagai legitimasi, ada beberapa ayat yang mengakui otoritas ijtihad, artinya hasilhasil ijtihad yang disandarkan kepada nas-nas al-Qur'an adalah hukum Islam itu sendiri, yaitu:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang orang yang tidak (bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat(Q.S. al-Nisa': [4]: 105)." Dan hadis riwayat al-Darimi:

"Dari Mu'adz diterangkan bahwa: "Nabi saw bersabda kepadanya ketika mengutusnya ke Yaman: "bagaimana menurut kamu jika datang kepadamu (suatu perkara yang memerlukan) putusan, bagaimana kamu memutus-

kannya?" Muadz menjawab: "saya akan memutuskan dengan apa yang ada dalam Kitab Allah". Kemudian beliau bersabda; "kalau tidak ada dalam Kitab Allah?", Lalu Mu'adz menjawab: "saya akan memutuskan dengan sunnah Nabi saw". Rasulullah saw bertanya lagi: "jika tidak ada pada sunnah Rasulullah?" Lalu Mu'adz menjawab: "saya akan melakukan ijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan saya tinggalkan". Mu'adz berkata: Rasulullah saw kemudian menepuk dadanya lalu bersabda: "segala puji bagi Allah swt yang telah menunjukkan kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang disukai Rasulullah" (Al-Darimi, t.th:191). Namun tampaknya hukum ijtihad kurang dapat dimengerti dengan baik oleh orang-orang Islam sendiri, sehingga ada yang sebagian dengan lantang menyuarakan kebebasan berijtihad bagi semua orang. Inilah hal yang melatarbelakangi penulisan tulisan ini, penulis bermaksud untuk dapat memaparkan secara proporsional tentang konsep ijtihad beserta hukum, implementasi dan implikasinya masing-masing dari konsep tersebut. Ijtihad dalam Pandangan Hukum Islam Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa ijtihad adalah sebuah aktifitas penggalian hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid dan taklid adalah sebuah kegiatan mengekor terhadap suatu pendapat imam, maka aktifitas dari kedua subjek dengan spesifikasi wilayah kerja yang berbeda tersebut haruslah mempunyai kejelasan status hukum darisyara'. Sebelum lebih jauh menjelaskan hukum ijtihad, terlebih dahulu perlu dibatasi bahwa penjelasan terhadap hukum ijtihad di sini adalah ketika ijtihad dipandang sebagai sebuah aktifitas yang sah, artinya mempunyai legalitas hukum. Pembahasan tentang hukum ijtihad telah mengemuka sejak lama. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status hukumnya. Adapun klasifikasi hukumnya adalah sebagai berikut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum ijtihad bagi setiap individu muslim

ISTI'DAL;Jumal Studi Hukum Islam, Vol. I No.

2,Juli~Desember 2014,

ISSN: 2356~0150

Hudi, Relasi Matahari, Bumi dan Bulan dalam Ilmu Falak | 145

ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, ISSN: 2356-0150

Khoirul Hadi, Huk:um Ijtihad dalam Proses Legislasi Huk:um Islam mempelajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk dapat menjadi mujtahid dan mufti. AlRafi'i menambahkan, termasuk fardlu kifayah adalah mempelajari ilmu-ilmu untuk menegakkan hujjah-hujjah Allah serta mengurai problematika keagamaan. Bahkan perj alan an realisasi mencari ilmu, kefardluannya mengalahkan mengalahkan haji, meskipun sama-sama tidak memerlukan persetujuan dari orang tua. Seperti yang dikatakan oleh Mujalli, Imam Haramain dan muridnya, al-Ghazali (Al-Sayuthi, 1983: 71-7 5). Al-Mawardi, seperti yang dikutip alSayuthi (1983: 68) menyatakan bahwa kosongnya posisi mujtahid berarti menyianyiakan (ta'thil) terhadap syari'at dan hilangnya ilmu. Penyia-nyiaan terhadap syari'at ini dapat dipahami sebagai konsekuensi dari penundaan menerangkan status hukum kasus-kasus aktual. Secara runtut al-Sayuthi juga menjelaskan bahwa problematika kehidupan akan selalu terus berkembang dan itu adalah sebuah keniscayaan, sedangkan nushush yang berisikan status hukum telah usai masa turunnya. Logikanya, apakah mungkin sesuatu yang terbatas (al-nushush al-mutanahiyah) dapat menjawab semua hal-hal yang tidak terbatas (alwaqai' ghairu mutanahiyah)? Dari sini dapat dimengerti alasan perlunya memperhatikan eksistensi ijtihad, yaitu untuk mengimbangi perkembanganjaman(Al-Sayuthi, t.th(b): 1). Ulama Hanabilah dan Malikiyah berpendapat bahwa aktifitas ijtihad yang dilakukan mujtahid (mustaqil) adalah sebuah keniscayaan yang harus dan pasti ada dalam setiap masa (Abu Zahrah, t.th: 379), mereka menggunakan pijakan dalil hadis Nabi: ~4 ~ &JI J,L ~~lli ~~ &o a..ulb Jly 'J

.!.UJS' ~_j cti!l yo t

"Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang dalam keadaan jelas berada pada kebenaran sampai suatu saat datang hari kiamat dan mereka masih seperti itu (HR. Muslim) (Muslim, t.th, III: 1523). Dalam pandangan mereka, ketiadaan ijtihad akan mengakibatkan kepada kesepakatan orang-orang Islam dalam

I 185

tindakan kebatilan, hal itu adalah tidak mungkin, karena umat akan terjaga dari konsensus dalam kesalahan (Al-Sayuthi, 1983: 97). Ibn Daqiqil 'Id berkomentar bahwa menurutnya pendapat inilah yang benar, tetapi sampai pada suatu masa dimana kaidah-kaidah agama telah hilang, itulah jaman yang mendekati hari kiamat. Al-Qadli Husain, guru al-Baghawi juga mengatakan hal yang hampir sama dengan kalangan Malikiyyah dan Hanabilah. Menurutnya, di setiap masa, dunia tidak akan pernah kosong dari seseorang yang menyuarakan hujjah Allah. Apabila tidak ada yang menyuarakannya maka hal itu adalah sebuah kesalahan, dikarenakan jika para mujtahid tidak ada maka tidak akan tegak kewajiban-kewajiban agama, jika kewajibankeawajiban tersebut telah gugur (bathal) maka hal itu adalah bencana besar bagi manusia. Al-Sayuthi (1983: 149) menganggap bahwa kelangkaan mujtahid pada masamasanya bukan dikarenakan ketidak mampuan merengkuh sarana ijtihad, melainkan karena diakibatkan berpalingnya manusia dari konsentrasi penuh dalam menempuh jalan para mujtahid. Sayyid 'Alawi bin Ahmad al-Segaf(t.th: 73) menuturkan bahwa keberadaan mujtahid muthlaq yang mampu untuk melakukan aktifitas ijtihad dengan tinjauan mencari ilmuseperti yang telah dijelaskan di atas bahwa mencari ilmu terbagi menjadi dua kategori, fardlu 'ain dan fardlu kifayah, hukumnya adalah fardlu kifayah. Namun, hukum fardlu kifayah tersebut adalah ketika dihadapkan dengan kondisi suatu masyarakat yang memang mampu dan siap untuk melakukannya. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu untuk melakukan hal itu dikarenakan diantaranya- karena sangat bodohnya (balid), maka ia tidak terkena khithab (tuntutan) fardlu. Lebih lanjut, al-Segaf menuturkan bahwa kondisi manusia di saat sekarang semuanya adalah sangat bodoh jika di hadapkan dengan kualifikasi mujtahid. Sehingga jika mereka sekarang melakukan tindakan penyia-nyiaan (ta'thil) terhadap hukum fardlu -karena tidak mampu untuk melakukannya- maka mereka tidaklah berdosa, karena memang tidak terkena khitab untuk melakukannya. Dia

ISTI'DAL;Jumal Stucli Hukum Islam, Vol. I No. 2,Juli-Desember 2014, ISSN: 2356~0150

186 I Khoirul Hadi, Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam mengklaim pernyataan semacam ini telah diungkapkan oleh banyak ulama. Ahmad bin Hajar al-Haitami (t.th, VI: 318) melontarkan hal yang sama dengan alSegaf, ia mengatakan bahwa orang yang terkena khithab fardlu adalah orang-orang yang secara kualitas mampu untuk mengakumulasikan persyaratan ijtihad yang sangat ketat. Sedangkan jika kita amati secara teliti tentang keadaan orang-orang yang hidup pada masa-masa akhir ini, maka tidak ditemukan seorang pun dari mereka yang mampu untuk mengakumulasikan persyaratan-persyaratan ijtihad. Di antara persyaratan yang diperlukan itu adalah tingkat kecerdasan yang tinggi (dzaka') sehingga dapat menghantarkan kepada tingkatan mujtahid dan melakukan pencarian kembali terhadap ilmu-ilmu yang telah mulai hilang, sedangkan jika kita melihat perjalanan para ashab (yang notabene sebagai ulama di setiap masanya) yang telah menghabiskan umur mereka dan mengerahkan segala daya kemampuan mereka demi merengkuh kedudukan itu pun mereka belum mampu untuk mencapainya. Maka dapat kita ketahui bahwa mereka tidaklah bisa dikatakan mempunyai tingkat kejeniusan yang mampu untuk menghantarkan kepada kedudukan mujtahid. Maka ketiadaan mujtahid pada kurun pasca al-Syafi'i hingga sekarang adalah bukan karena berpalingnya para ulama dari hal ini, melainkan disebabkan ketidak mampuan untuk mendapatkan sarana yang dapat dijadikan berijtihad (sehingga mereka tidak berdosa karena ta'thil}. Al-Ramli juga mengatakan bahwa manusia seakan telah bersepakat bahwa pada saat ini (masa al-Ramli) mujtahid muthlaq telah tiada. Ibn Abi al-Damm setelah menerangkan persyaratan untuk menjadi seorang mujtahid juga mengatakan bahwa "syarat-syarat ini (mujtahid) sangat sulit ditemukan keberadaannya pada diri seorang ulama, bahkan sekarang tidak ditemukan keberadaan seorang mujtahid muthlaq pun di seluruh penjuru negara, bahkan mujtahid madzhab." Menurutnya hal ini adalah sudah merupakan ketentuan Allah agar para manusia mengetahui kondisi jaman yang telah rusak dan sudah dekatnya hari kiamat (Al-Munawi,

t.th, I: 9). Bahkan, sebagian ulama memberikan pernyataan yang mengisyaratkan pada tertutupnya pintu ijtihad, pada muktamar pertama Nahdlatul Ulama tahun 1926 di Surabaya, disepakati bahwa pada masa sekarang wajib hukumnya bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah terkodifikasikan. Sebagai referensi yang digunakan para peserta muktamar ketika itu diantaranya adalah:

~ uW! .Us:-L... 1.~! .d!1 .)u-o1_,6dl ~ ~~ uiS'

.U J~ ."i) ~~_,~ JA -u~ ~ ~.4.t ~I ,)~ Jl ~ rJ .:..O.l l.o ~.4t ~I d:k ~

-4-k_, J~l J t_,9_,JI &o \j_,> ,J_,~I ~_,411 ~ (~l~l..,...h.tll ~~I uiJ:.o) -~~I..,...WI ~

"Jika tuanku Yang mulia 'Ali al Khawwas rh. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: "anda harus mengikuti suatu madzhab selama anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan". Dan pada hal inilah (bermadzhab) orangorang harus melakukan pada sekarang

.. "

llll.

Hadrat

a~Syaikh

Muhammad Hasyim Asy'ari (t.th (a): 30) setelah menjelaskan keharaman taklid bagi mujtahid, beliau kemudian menukil perkataan Ibnu Shalah tentang ketiadaan seorang mujtahid muthlaq sejak 600 tahun (pada zaman Ibn Shalah). Ini mengindiksikan ketidakmungkinan lagi aktivitas ijtihad di masa sekarang. Beliau juga menyatakan bahwa banyak dari kalangan ulama yang menjelaskan ketiadaan mujtahid pada masa sekarang adalah bukan merupakan dosa bagi manusia. Kemudian dalam kitab yang lain beliau menjelaskan bahwa kebanyakan ulama ahl haqq adalah ahl a~ madzahib a~arba'ah, beliau mencontohkan alBukhari adalah seorang Syafi'iyyah, ia berguru kepada al-Humaidi, al-Za'farani dan alKarabisi. Ibn Huzaimah dan al-Nasa'i juga seorang Syafi'iyyah, Abi al-Qasim al-Junaid

ISTI'DAL;Jumal Studi Hukum Islam, Vol. I No. 2,Juli~Desember 2014, ISSN: 2356~0150

Khoirul Hadi, Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam I 187 adalah Tsauriyyah, Abu Bakr al-Syibliy adalah Malikiyah, Abul Harits al-Muhasibi adalah Syafi'iyyah, al-Jariri adalah Hanafiyyah, Abdul Qadir al-]ilaniy adalah Hanabilah, Abul Hasan 'Ali al-Syadzili adalah Malikiyyah. Bergantung terhadap Madzhab bisa lebih memudahkan untuk memahami hakikat agama, memudahkan pengertian dan dapat mendorong seseorang untuk lebih bisa mentahqiq masalahmasalah syari'at, dan dengan alasan inilah mengapa para ulama pendahulu (aslaf) dan masyayikh kita dulu bermadzhab (Asy'ari, t.th (b) 15). Al-Sayuthi sendiri seperti yang dikisahkan Ibn Hajar ketika secara terangterangan memproklamasikan diri sebagai mujtahid muthlaq dan mendapat reaksi dari para ulama seangkatannya dengan meminta tarjih dari permasalahan-permasalahan yang dimutlakkan oleh ashab Syafi'i menjadi dua wajah (yang hal pentarjihan adalah pekerjaan mujtahid fatwa, jauh dibawah kapasitas mujtahid muthlaq), beliau hanya i'tidzar (berapologi\excuse) tidak sempat untuk nadhar (memberikan analisa) terhadap pertanyaanpertanyaan tersebut. Dan tatkala beliau diminta untuk munadharah dengan para ulama yang menyangsikan pengakuannya sebagai mujtahid muthlaq, beliau menolaknya dengan mengatakan "saya tidak mau munadharah kecuali dengan orang yang selevel denganku (mujtahid muthlaq), dan di masa ini tidak ada seorang pun yang menduduki peringkat mujtahid muthlaq kecuali aku" (Al-Munawi, t.th: 9). Menanggapi pernyataan al-Sayuthi di atas, Syihabuddin al-Ramli memberikan komentar: "Perhatikan dan angan-anganlah betapa sulitnya menduduki peringkat mujtahid fatwa, maka kamu akan melihat dengan jelas bahwa orang yang mengaku sebagai mujtahid fatwa terlebih mujtahid muthlaq (di masa ini) adalah orang yang sedang dalam kebingungan dan ketidakberesan akalnya". Selanjutnya beliau mengatakan: "] ika dalam kalangan para imam terdahulu pernah terjadi perselisihan dalam menetapkan al-Ghazali dan alHaramain sebagai ashab al-wujuh, dan

pengakuan al-Rauyani bahwa ia belum sampai pada peringkat ashab al-wujuh padahal ia telah menghafal seluruh nushush al-Syafi'i, maka bagaimana mungkin orang yang tidak hafal mayoritas nushush al-Syafi'i mengaku menduduki peringkat mujtahid yang lebih tinggi dari itu, yaitu mujtahid muthlaq? Mahasuci Engkau Allah, ini adalah sebuah kebohongan yang besar (Al-Munawi t.th: 9t Secara garis oesar, oalam konteks ijtihad hanya ada dua golongan, yaitu mujtahid, bagi yang mempunyai kemampuan istinbath dan nadhar (analisa) terhadap dalil-dalil; dan muqallid bagi yang belum bisa mencapai kapasitas tersebut (Al-Buthi, t.th (b): 83). Perkataan al-Syafi'i ~ _,..; ~..lJ-1 r::-"' 1~1 dan perkataan para imam lain yang sepintas menunjukkan larangan taklid yang diucapkan sendiri oleh para imam mujtahid, dalam pandangan al-Buthi memang benar bahwa para imam madzhab berpesan kepada para muridnya untuk berpegang pada hadis sahih jika hadis tersebut tidak sesuai dengan ijtihadnya, hanya saja untuk meninggalkan pendapat imam madzhab dan berpindah pada hadis tersebut ada beberapa syarat yang harus diketahui dan diperhatikan. lni disebabkan karena tidak semua hadis yang dianggap bertentangan dengan pendapat imamnya itu, memiliki arti seperti yang ia (orang) pahami. Al-Buthi menukil pendapat al-Nawawi dalam a~Majmu Syarh a~Muhadzdzab ebagai r i ktt : "Apa yang diucapkan al-Syafi'i tersebut bukan berarti ketika seseorang melihat hadis sahih, lalu seseorang boleh menyatakan bahwa hadis itu adalah madzhab al-Syafi'i dan boleh diamalkan menurut lahirnya (hadis), karena hal itu (ucapan al-Syafi'i) hanya ditujukan terhadap orang yang sudah mencapai derajat mujtahid fi a~madzhab. Adapun syaratnya adalah ia harus mempunyai sangkaan kuat bahwa al-Syafi'i belum pernah menemukan hadis tersebut atau tidak mengetahui kalau hadis itu sahih. Untuk mengetahui hal ini ia harus menelaah semua kitab al-Syafi'i dan kitab ashabnya. Sudah barang tentu syarat ini sangat sulit dan jarang bisa dipenuhi, ini I

re

ISTI'DAL;Jumal Studi Hukum Islam, Vol. I No. 2,Juli~Desember 2014, ISSN: 2356~0150

188 | Khoirul Hadi, Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam dikarenakan al-Syafi'i sendiri sering tidak mengamalkan suatu hadis yang telah dilihat dan diketahuinya dan menurut pendapatnya hadis tersebut cacat dalam riwayat atau maknanya telah dinasakh, ditakhsis, ditakwil atau sebab yang lainnya.” Alasan mujtahid meninggalkan suatu hadis adalah adanya pertimbangan ijtihad yang banyak. Menurut Ibn Taimiyyah, ada sepuluh hal yang menyebabkan seorang mujtahid meninggalkan hadis, di samping satu sebab lagi yaitu kemungkinan adanya alasan kuat bagi imam yang tidak kita ketahui karena luasnya jangkauan ilmu (Al-Buthi, t.th (b): 105). Adapun perkataan semacam “janganlah bertaklid kepadaku” dan sebagai-nya yang muncul dari para imam mujtahid, dalam pandangan Abu al-Fadl, perkataan tersebut ditujukan terhadap orang-orang yang kapasitas keilmunya mendekati kapasitas keilmuan imam madzhab, seperti al-Muzani dan lainnya, bukan ditujukan kepada orang-orang seperti kita, para petani, nelayan dan para pedagang dipasar (Al-Senori, t.th: 80). Dihadapkan dengan konsep ijtihadiyyah, manusia diklasifikasikan menjadi enam golongan, yaitu; mujtahid muthlaq, mujtahid mutaqayyad bi madzhab, faqih bi madzhabihi, mutafaqqih, 'amiy multazim madzhab dan 'amiy la madzhaba lahu. Mujtahid Muthlaq bagi orang yang telah mampu untuk mendapatkan status mujtahid muthlaq, ia wajib untuk beramal dengan landasan ijtihadnya sendiri, ia tidak diperbolehkan untuk taklid terhadap seorang mujtahid lain. Adapun mujtahid mutaqayyad bi madzhab adalah kelompok orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan ijtihad independen (istiqlal) dari konsep dan kaidah dasar yang disusun orang seorang mujtahid muthlaq mustaqil, sehingga ia hanya mampu berijtihad dengan tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah yang disusun oleh imamnya. Meskipun demikian, ia telah mampu menguasai konsep besaran madzhab secara mendalam serta menguasai ushulnya dan mampu untuk mengembangkannya, maka dari itu ia mampu untuk memproduksi hukum baru (takhrij) dari konsep-konsep dan kaidahkaidah dasar madzhab tersebut. Bahkan, lebih jauh lagi mereka mampu untuk mentarjih

(menilai validitas dan akurasi) pendapatpendapat imamnya. Karena kemampuannya yang hampir mendekati kapasitas seorang mujtahid muthlaq ini, dalam beramal mereka dapat menggunakan pendapatnya sendiri yang didasarkan pada pemilahan dalil yang lebih bagus dan qiyas, ia juga dapat menggunakan dan memutuskan perkara dengan suatu pendapat yang menurutnya mempunyai nilai akurasi yang lebih tinggi (rajih), meskipun dalam pandangan imamnya, pendapatnya tersebut bersetatus marjûh (inferior). Tentu saja dengan landasan dalil baru menurut perspektifnya. Kesimpulan Dalam hukum Islam ijtihad sangat diharuskan, akan tetapi bagi kalangan yang benar-benar mampu dan menguasai ijtihad dengan segala persyaratannya. Hal ini bukan dalam konteks menutup pintu ijtihad akan tetapi berusaha untuk menempatkan kapasitas keilmuan yang benar dalam tempatnya. Istibath al-hukm dalam era modern ini harus d i l a k u k a n d e n g a n ko n t i u n i t a s d a n berkesinambungan, sehingga dihasilkan produk hukum yang mempuni dan berguna bagi masyarakat secara umum. Ijtihad memang di bagi menjadi dua macam; pertama, ijtihad individual, yaitu melakukan ijtihad dengan kemampuan diri sendiri tanpa dibantu lembaga atau sebuah komunitas, sedangkan ijtihad yang kedua, adalah ijtihad yang bersifat kolektif. Ijtihad ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang mempunyai keahlian di bidangnya, misalanya ada ulama, ada ahli medis (ulama medis), dan ada ahli-ahli yang lain. Sehingga kebenarannya bisa mencapai kebenaran yang mendekatai universal, karena didalamnya ada banyak pihak yang ikut menyelesaikan masalah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad Daud, 2004, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Asy'ari, Muhammad Hasyim, t.th., al-Tibyan fî

ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, ISSN: 2356-0150

Khoirul Hadi, Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam | 189 al-Nahyi 'an Muqatha'ah al-Ar? âm wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Jombang: Maktabah alTurats al-Islamiy. __________, t.th, Risalah Ahl al-Sunnah wa alJamâ'ah, Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy. Bisri, Cik Hasan, 2003, Model Penelitian Fiqh , Jakarta: Prenada Media. Al-Buthi, Muhammad Sa'id Ramadhan, 2001, Bahaya Bebas Madzhab dalam Keagungan Syari'at Islam Bandung: Pustaka Setia. _________, t.th, al-Laa Madzhabiyyah Akhtar Bid'ah Tuhaddidu al- Syari'ah al-Islamiyyah. Departemen Agama RI, t.th, al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta, CV. Karya Insan Indonesia. FKI LIM, 2004, Gerbang Pesantren: Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, Kediri: LIM PRESS Lirboyo. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, t.th, al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Turats al-'Aarabi, CD-ROM: Maktabah al-Syamilah 2.11, digital. Hadi, Sutrisno, 1990, Metodologi Reseach, Yogyakarta: Andi Offset. Al-Maliki, Muhammad 'Alawi, 1990, al-Risalah al-Islamiyyah: Kamaluha wa Khuluduha wa 'Alamiyyatuha, Jeddah: Wizarah alA'lam. Mahfudz, Sahal, 2007, Nuansa Fiqh Sosial , Yogyakarta: L'KiS. __________, t.th, Bayân al-Mulamma' 'Ala Alfadzi al-Luma', Kajen: Mathali' al-Huda. Al-Munawi, t,th, Faidl al-Qadir Syarh al Jami' al-

Shaghir, CD Maktabah al-Syamilah 2.11, digital, vol. 1. Muslim, Abu al-Husein, t.th, Shahih Muslim, CD al-Maktabah al-Syamilah 2.11, digital. Nashir, Haedar, 2003, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta: PSAP Muhammadiyah. Partanto, A. Pius, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola. Al-Sayuthi, t.th, Taqrir al Istinad fi Tafsir al Ijtihad, tp. __________, 1983, al-Radd 'ala Man Akhlad ila al-Ardl wa Jahila Anna al-Ijtihâda fi Kulli 'Ashr Fardl, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah. Al-Segaf, Alawi bin Ahmad, t.th, Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah, Singapura: alHaramain. Al-Senori, Abul Fadl, t.th, al-Kawakib alLama'ah, tp. Sirry, Mun'im A, 1996, Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Sinar Ilmu. Zubair, Maimoen, t.th, Mawqifuna Hawla al Shaum wa al-Ifthar 'am 1427 H. Rembang: PPMUS.

ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, ISSN: 2356-0150