HASIL PENELITIAN
HUBUNGAN PERNIKAHAN DINI DENGAN PERCERAIAN (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA BENGKULU )
Oleh
BETY, S.Ag, MA
Editor
Dolla Sobari, M. Ag
FAKULTAS ADAB DAN BUDAYA ISLAM IAIN RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN 2013
1
KATA PENGANTAR
PujISyukurkehadirat
Allah
SWT.AtasberkatrahmatdanhidayahNya
,Penulisdapatmenyelesaikanpenelitianinisesuaidenganrencana. SholawatsertasalamterpanjatkepadaNabi
Muhammad
S.AW.
contohterbaikbagiummatManusia. Penulismenyadadaribahwapenelitian
yang
berjudulHubunganpeenikahandinidenganPerceraian (studikasusPengadilan Agama Bengkulu) masihbelumsempurna , olehkarenanyamasihperlu saran dankritik demi perbaikanpenelitianini. Penulisucapkanterimakasih
yang
takterhinggakepadasemuapihak
yang
telahberkontribusiatasselesainyapenelitianinidiantaranyaadalahketuapengadilan Agama Bengkulu BapakSudirmanCikAni SH, dekanFakultasAdab IAIN Raden Fatah Palembang
Bapak
Prof
,
DR.
SuyuthiPulungan
,MA.
mudah-
mudahanamalbaikmerekamendapatkanbalasan yang setimpaldari Allah Swt. Akhirnyamengharapkanpenelitianinidapatbermanfaatbagisemuakalangan .aminyarabbalAlamin.
Palembang, Agustus 2013 Peneliti
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................................... i Kata Pengantar .................................................................................................................... iv Daftar Isi ............................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 7 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................................... 7 E. Metode Penelitian ............................................................................................... 7 F. Kajian Pustaka .................................................................................................... 8 G. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 9
BAB II PERNIKAHAN DINI DAN PERMASALAHANNYA A. Pernikahan Dini dan Kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ............................................................................................................................ 10 B. Definisi Pernikahan Dini .................................................................................... 12 C. Batas Usia Minimal Pernikahan Dini ................................................................. 14 D. Pernikahan Dini dalam Tinjauan Fiqh ................................................................ 16 E. Dampak Negatif dan Positif Pernikahan Dini .................................................... 18 F. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi ...................................................... 25
BAB III PERNIKAHAN DINI DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERCERAIAN A. Perceraian ........................................................................................................... 27 1. Definisi Perceraian ....................................................................................... 27 2. Dasar Hukum Perceraian .............................................................................. 28 3. Sebab-sebab dan Macam-macam Perceraian ............................................... 32 3
4. Hikmah Perceraian ....................................................................................... 33 B. Pandangan Islam dan Peraturan perundang-undangan terhadap perceraian ...... 34 1. Pandangan Islam terhadap Perceraian .......................................................... 34 2. Pandangan Perundang-undangan Terhadap Perceraian ................................ 36 3. Macam-macam Perceraian (Putusnya Perkawinan) Menurut Undang-undang Perkawinan ................................................................................................... 36 C. Pernikahan Dini dan Perceraian ......................................................................... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ................................................................ 42 1. Dasar Hukum Pengadilan Agama ................................................................ 42 2. Wilayah Hukum Pengadilan Agama ............................................................ 42 3. Data Wilayah Hukum Pengadilan Agama .................................................... 42 4. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Bengkulu ................................... 43 5. Sarana dan Prasarana .................................................................................... 46 6. Struktur Organisasi ....................................................................................... 46 B. Analisa terhadap Putusan Pengadilan Agama Bengkulu terhadap Perceraian yang disebabkan Pernikahan Dini .............................................................................. 49
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................................... 67 B. Saran ................................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 69
4
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berpasang-pasang pria dan wanita yang secara kodrati mempunyai peran sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial. Dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial manusia yang satu tidak bisa terlepas dari manusia yang lain dalam arti manusia selalu membutuhkan manusia yang lain atau lazim disebut dengan sosialisasi. Kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial melahirkan rasa keterkaitan dan dorongan-dorongan untuk saling berhubungan satu sama lain, dicinta dan mencintai, kemudia untuk bersama-sam memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk menikmati kepuasannya, keterikatan ini terjalin dalam suatu bentuk keluarga yang diikat dengan tali perkawinan. Islam sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menuju kebahagiaan hakiki, baik kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi (akherat), memberikan berbagai petunjuk dan aturan dalam mencapai kebahagiaan hidup. Dalam Alquran disebutkan bahwa, dalam pernikahan ada kebahagiaan (sakinah). Dari perkawinan ini diharapkan akan dapat terbentuk keluarga yang terdiri dari suami- istri dalam rangka mendapatkan keturunan, ketentraman dan kedamaian.1 Dengan demikian inti dari suatu perkawinan sebetulnya ialah membangun keluarga yang bahagia, harmonis dan tentram. Landasannya ialah saling mencintai dan saling kasih mengasihi. Dalam keluarga hendaknya saling asih, asah dan asuh dan saling menerima. Didalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam surah Ar- Rum ayat 21 :
ِ وِمن آَيتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَنْ ُف اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل و َز أ م ك س ُ ْ ًَ ْ َ ْ َ ْ ْ َ َ ِب ي ن ُكم موَّد ًة ور ْْحةً إِ َّن ِِف َذل )12( آلَي ٍت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّكُرو َن ك َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ Artinya :
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung, Mizan, 1996), hal 92.
5
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. ( Alquran Surat Ar-Rum : 21)2 Namun dalam membina keluarga terkadang pasangan suami istri belum mempunyai pondasi yang kuat, sehingga terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Salah satu penyebabnya adalah perkawinan di usia yang muda atau pernikahan dini. Pernikahan dini yang terjadi pada akhir-akhir ini karena biasanya mengarah kepada kemaksiatan dan perzinahan yang korbannya kebanyakan adalah kaum muda. Pro dan kontrapun bermunculan terhadap pernikahan dini, ada yang mendukung dan ada juga yang menolaknya. Ada dua istilah menurut Muh. Fauzil Adhim3 yang sering dipakai ketika berbicara tentang pernikahan yang berlangsung pada rentang usia 20-25 tahun yakni “Early marriage” pernikahan dini dan “age marriage” pernikahan usia muda. Dalam undang-undang perkawinan Indonesia tidak ditemui istilah pernikahan dini, akan tetapi ada pembatasan usia pernikahan yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 dalam pasal 6 ayat 2 “Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Pasal 7 ayat 1 :” Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun”, ayar 2 : “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. 4 Dari aturan ini dapat dilihat bahwa wanita yang kawin dalam usia 16 tahun sah secara hukum dengan syarat memperoleh izin dari orang tuanya. Apabila seorang gadis kawin ketika berumur 16 tahun dia baru sempat belajar sampai sekolah lanjutan tingkat pertama kebanyakan putus sekolah, padahal pendidikan untuk wanita sama pentingnya terhadap pria, pendidikan anak-anak sangat bergantung kepada kesempurnaan pendidikan sang ibu.
2
Alquran dan terjemahan, Departemen Agama RI Muhammad Fauzhil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta : Gema Insani, 2002) hal. 123. 4 Departemen Agama RI, Himpunan Perundang-undangan Perkawinan, hal 14-15. 3
6
Menurut Muhammad Yusuf Hanafiah, pada pidato pengukuhan pada 19 september 1978 seperti yang dikutip oleh T. Jafizham5 dari sudut ginelogi , wanita kawin pada usia muda atau usia belasan tahun sebenarnya menimbulkan beberapa kerugian, diantaranya : 1. Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami pubertas yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa, malahan ada diantara mereka yang baru pertama kali mendapat haid atau manarehe. Walaupun usia dapat haid rata-rata 12,5 tahun tapi variasinya berbeda, yaitu antara 10-16 tahun. Pada masa pubertas gadis remaja sedang mengalami perubaahan-perubahan pada fisik dan jiwanya, menuju pada seorang dewasa yang bertanggung jawab, percaya pada diri sendiri, bebas dan ingin berdiri sendiri. Proses ini memerlukan waktu beberapa tahun hingga cukup dewasa, sehingga pada usia 16 tahun seseorang wanita sebenarnya belum siap fisik dan mentalnya untuk menjadi ibu rumah tangga. 2. Kawin pada usia muda (16 tahun) wanita tersebut paling tinggi baru memperoleh pendidikan selama 9 tahun (paling tinggi tamat SLTP) dan sebagian besar putus sekolah setelah berumah tangga. Pendidikan pada wanita mempengaruhi berbagai hal diantaranya pendidikan anak-anak dan keberhasilan program KB serta kependudukan. 3. Kawin pada usia muda berarti memberi peluang kepada wanita belasan tahun untuk menjadi hamil dengan resiko tinggi (high risk pregnancy) pada kehamilan belasan tahun (teen age pregnancy) komplikasi-komplikasi pada ibu dan anak seperti anemia, preaelamasi, eelam,I, abortus, partus pracmaturus, kematian prenatal, pendarahan dan tindakan operasi obstetric lebih sering dibandingkan dengan golongan 20 tahun keatas. Hal ini telah diselidiki oleh para ahli berbagai negara yang dilaporkan dalam population report No. 10, 1976. 4. Kawin usia muda berarti memperpanjang reproduksi, manarche masa kini lebih cepat dari 50 tahun yang lampau. Sedangkan monopouse lambat karena faktor kesehatan umumnya. Dengan menunda perkawinan berarti memperpanjang masa antara dua generasi dan memperpendek masa reproduksi. Dengan menunda perkawinan dan hidup berkeluarha kecil, maka akan jelas pengaruhnya terhadap lajunya pertumbuhan penduduk.
5
T. Jafizham, Peranan Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Undang-Undang Pekawinan dalam buku “Kenan-kenangan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta, Depag, 1985) hal. 165.
7
5. Kawin pada usia muda merupakan faktor prediposisi untuk KLR (kanker leher rahim). Undang-undang No. 1/ 1976, Pasal 7 ayat 1 dan 2 ini, menurut M. Yusug Hanafiah, seperti yang dikutip oleh T. Jafizham, sebernarnya dari sudut Ginekologi dan kependudukan Bab II Pasal 7 ayat 1 dan 2 perlu ditinjau kembali dan dipertimbangkan untuk ditambah umur wanita yang diizinkan kawin sekurang-kurangnya 2 tahun dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Peninjauan kembali terhadap Bab II Pasal 7 ayat 1 dan 2 juga disampaikan Khofifah Indar Farawansyah dalam tulisannya yang berjudul ResikoMenikah di Usia Dini. Khofifah mencermati bahwa wanita pada usia 16 tahun masih bersekolah di SMP atau SMU. Siswa SMP atau SMU yang menikah ketika masih sekolah sebagian besar tidak meneruskan sekolahnya. Apalagi yang kemudian hamil. Ada aturan yang tak tertulis bahwa siswi yang menikah ataupun yang hamil tidak diperkenankan melanjutkan sekolah di tempat asal. Alasannya dapat merusak suasana belajar di sekolah atau memberikan contoh buruk bagi siswi-siswi lain. Akibatnyam menurut Khofifah, banyak perempuan yang menikah di usia muda, kemudian putus sekolah. Lalu karena pendidikan mereka yang rendah, kesempatan bekerja pun terbatas. Dampaknya akan terasa juga pada kehidupan keluarga. Bila sang suami imannya paspasan, istri yang berpendidikan rendah cenderung memiliki posisi yang lemah dihadapan suami. Istri hanya akan menjadi bulan-bulanan suami. Selanjutnya bagi si anak pendidikan intelektualnya akan turut terpengaruh apabila pendidikan ibu rendah.6 Khofifah juga menambahkan bahwa ibu yang menikah di usia muda menyumbang saham besar yang tingginya kematian ibu dan bayi di Indonesia, angka kematian di Indonesia saat ini 85 per 1000 kelahiran. Dilihat dari batas umur bolehnya seseorang menikah menurut UU (19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita) tidak bertentangan dengan term penikahan dini yang ditawarkan oleh Muhammad Faizhul Adhim, tetapi akan bertentangan jika pernikahan dini dimaksudkan adalah pernikahan yang dilangsungkan di usia yang belum mencapai usia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Ada hal yang menarik dimana sebagian literature mengklaim pernikahan di usia muda atau young marriage sebagai penyebab perceraian, studi akan gagal, sering terjadi pertengkaran dan ekonomi sulit.
6
Ummi, Edisi 11/XII/2001, Resiko Menikah di Usia Muda, Konsultasi Hukum, hal 38.
8
Klaim ini sangat menarik untuk diteliti lebih jauh karena jika fakta ini benar maka hal ini sangat penting untukn mendapatkan perhatian dan bangsa Indonesia perlu membenahi kembali Undang-undang perkawinan yang rentan terhadap suatu perceraian, hal ini sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan penderitaan panjang baik terhadap suami atau istri terlebih-lebih terhadap anak keturunan. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga broken home (orang tua bercerai) seringkali menjadi anak yang nakal, frustasi dan terlibat dalam obat-obatan terlarang, dan tidak memiliki kepercayaan diri. Padahal anak-anak adalah aset negara sebagai tunas bangsa yang diharapkan menjadi generasi yang lebih baik, bertanggung jawab dan lebih mampu mengisi dan membina kemerdekaan bangsa. Sejalan dengan tujuan perkawinan dalam ajaran Islam yaitu untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman, kuat ilmu dan amal sehingga mereka dapat membangun hari depannya lebih baik bagi dirinya, masyarakat serta bangsa dan negaranya. Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh perceraian dalam rumah tangga maka seharusnya pernikahan diharapkan menjadi pernikahan yang bahagia dan kekal sesuai dengan tujuan pernikahan dalam UUP (UU No. 1 tahun 1971) dimana disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dari batasan perkawinan tersebut jelaslah bahwa keinginan bangsa dan negara RI yang dituangkan dalam UU perkawinan menghendaki agar setiap perkawinan dapat membentuk keluarga yang sakinah baik lahir maupun batin. Demikian pula bahwa setiap perkawinan diharapkan dapat membentuk keluarga yang kekal artinya tidak mengalami perceraian. 7 Dalam suatu perkawinan, secara umum semua pihak berkehendak (baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan) terjadinya perkawinan yang langgeng hingga akhir hayat tanpa adanya perpisahan (perceraian). Namun kenyataannya sering terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan mengakibatkan terjadinya perceraian. Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, perceraian tidak dapat begitu saja selesai dengan perkataan cerai atau talak, tetapi perceraian harus melalui proses keadilam, sesuai dengan pasal 65 undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 115 Kompilasi Hukum Islam.
7
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Proyek Peningkatan kehidupan Keluarga Sakinah, 2001, hal. 1
9
Karena masalah perceraian berkaitan erat dengan putusan pengadilan penulis ingin melihat kebenaran fakta (klaim tentang pernikahan dini penyebab perceraian) melalui salah satu lembaga yang sah dan kompeten dalam menyelesaikan perceraian di Indonesia, yaitu melalui Pengadilan Agama Bengkulu. Penelitian ini penting menurut penulis untuk mendapatkan informasi yang bersumber dari penemuan-penemuan ilmiah melalui metode empirik, karena umat Islam dihadapkan pada dilema antara melaksanakan penikahan dini tapi dibayangi dengan perceraian dan terputusnya ikatan pernikahan yang membawa derita berkepanjangan bagi banyak pihak, atau menunda menikah akan tetapi dibayangi oleh rangsanganrangsangan seksual, baik melaluo film, majalah, televisi, internet maupun pergaulan bebas, dalam kondisi seperti ini mampukah mereka menahan keinginan seksual semakin menggebu, ataukah mereka mesti terjerumus dalam jurang perzinahan dengan dalil menunda pernikahan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan permasalahan penelitian (research problem) dapat diurai sebagai berikut : Pertama, bangsa Indonesia khususnya umat Islam dihadpkan pada dilema antara melaksanakan pernikahan dini tapi dibayangi dengan perceraian atau menunda pernikahan namun dihadapkan kepada rangsanganrangsangan seksual yang luar biasa sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam jurang perzinahan. Kedua, selama ini perceraian yang terjadi khususnya di Pengadilan Agama Bengkulu banyaknya kasus perceraian disebablkan oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga diantaranya menikah di usia dini, akan tetapi tentang perceraian yang disebabkan oleh pernikahan dini khususnya di Pengadilan Agama Bengkulu sampai saat ini belum banyak dikaji oleh para peneliti. Dengan demikian penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana tingkat perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Bengkulu?
2.
Apakah faktor pernikahan dini dapat menjadi penyebab utama perceraian?
3.
Bagaimana kasus perceraian yang disebabkan oleh pernikahan dini, khususnya di Pengadilan Agama Bengkulu?
4.
Apa solusi yang dapat ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan pernikahan dini?
10
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Khusus a. Untuk mengetahui tingkat perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Bengkulu. b. Untuk membuktikan bahwa pernikahan dini menjadi penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Bengkulu. c. Untuk mengetahui faktor penyebab perceraian pada pernikahan dini. d. Untuk mencari solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan penikahan dini. 2. Umum Untuk mendapatkan proposisi teoritis dan paradigma menyangkut pernikahan dini dan hubungannya dengan perceraian.
D. Kegunaan Penelitian 1.
Kajian ini diharapkan untuk memenuhi referensi dalam masalah perkawinan dan keluarga
2.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan suatu kebijakan dalam masalah perkawinan.
3.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan program penyuluhan dan pembinaan masyarakat terutama masalah perkawinan dan keluarga.
E. Metode Penelitian Adapun metode penelitian dalam penelitian ini adalah : 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif menyangkut tentang jumlah kasus perceraian yang diakibatkan pernikahan dini yang masuk dalam Pengadilan Agama Bengkulu dari tahun 2003 – 2006. Data kulitatif yang menyangkut jumlah dan karakteristik pelaku perceraian yang disebabkan pernikahan dini. Data kuantitatif tersebut akan diperoleh jumlah putusan hakim Pengadilan Agama Bengkuku, khususnya putusan perceraian akibat pernikahan dini. Sedangkan data kualitatif ditujukan pada dokumentasi yang ada di Pengadilan Agama Bengkulu serta analisis isi putusan Pengadilan Agama Bengkulu yang menyangkut perceraian khususnya yang diakibatkan pernikahan dini. 11
2. Sumber Data Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama Bengkulu khususnya yang menyangkut dokumen putusan hakim tentang perceraian akibat pernikahan dini. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku yang menunjang dan berkaitan dengan pernikahan dini dan perceraian. 3.
Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Teknik ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap masalah yang akan diteliti. b. Dokumentasi Teknik ini dilakukan dengan mengamati dan mengkaji dokumen yang berkenaan dengan putusan-putusan hakim tentang Pernikahan dini dan Perceraian. Sedangkan data keilmuan yang diperlukan adalah kajian literatur dari bahan bacaan Alquran, hadist, buku-buku maupun dari kitab perundang-undangan. Sedangkan dari segi keilmuan menggunakan pendekatan ilmu hukum yang bersifat normatif terutama menyangkut perceraian yang disebabkan pernikahan dini.
4. Analisi Data Dalam proses analisis data ini penulis menggunakan analisis isi (content analisis) terutama putusan-putusan halim Pengadilan Agama Bengkulu yang menyangkut putusan perceraian akibat pernikahan dini, sedangkan data kuantitatif hanya dilakukan analisis pada data tabel yang telah ditampilkan.
F. Kajian Pustaka Penelitian tentang pernikahan dini dan perceraian penulis telah membaca beberapa literatur diantaranya : 1. Harian Suara Merdeka yang terbit 16 Mei 2002 topik tentang Pernikahan Dini Penyebab Perceraian. Yang isinya bahwa maraknya perceraian yang terjadi akibat usia yang muda. Dalam topik ini dijelaskan bahwa maraknya pernikahan dini yang terjadi adalah perceraian. 2. Penelitian tentang pernikahan dini pernah dilakukan oleh salah seorang mahasiswa STAIN Bengkulu tentang Dampak Negatif Perkawinan Usia Muda terhadap Terwujudnya Rumah Tangga Sakinah (studi kasus kec. Perwakilan kedurang 12
Bengkulu Selatan). Diantara dampak negatif dari pernikahan dini tersebut adalah perceraian. 3. Penulis pernah membaca di Internet Rabu, 14 Agustus 2002 tentang pernikahan dini. Beberapa kasus yang ada di Pengadilan Agama Palembang umumnya dilatarbelakangi oleh pernikahan dini, sebagaimana yang diutarakan oleh wakil ketua pengadilan agama Palembang Abdul Madjid, SH. 4. Sebuah penelitian juga dilakukan oleh Hotmida Nasution tentang pernikahan dini dan perceraian, bahwa perceraian yang marak terjadi pernikahan dini bukanlah penyebab utana melainkan ketidakharmonisan. Dari berbagai literatur maupun penelitian yang pernah terbaca, maka peneliti terinspirasi untuk mengetahui apakah benar beberapa kasus perceraian yang ada di Pengadilan Agama Bengkulu penyebabnya adalah Pernikahan Dini.
G. Sistematika Penulisan Penulisan dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab : Bab Pertama membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalh, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Bab Kedua, akan dibahas tentang pernikahan dini dan kaitannya dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974, defenisi pernikahan dini, batasan usia minimal dalam pernikahan, pernikahan dini menurut tinjauan fiqh, dampak positif dan negatif pernikahan dini, pernikahan dini dalam perspektif psikologi. Bab Ketiga, yang membahas tentang pernikahan dini dan hubungannya dengan perceraian. Dalam bab ini akan dikaji tentang defenisi perceraian, dasar hukum perceraian, sebab- sebab dan macam-macam perceraian, hikmah perceraian, pandangan islam dan peraturan perundang-undangan terhadap perceraian, hubungan perceraian dengan pernikahan dini. Bab Keempat, akan dikaji tentang hasil penelitian dan pembahasan yang mencangkup gambaran umum wilayah penelitian, analisa terhadap putusan Pengadilan Agama Bengkulu terhadap perceraian yang disebabkan pernikahan dini dengan memberikan solusi. Bab Kelima, penutup yang mencangkup kesimpulan dan saran
13
BAB II PERNIKAHAN DINI DAN PERMASALAHANNYA
A. Pernikahan Dini dan Kaitannya dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Kalau kita amati tentang pernikahan dini sebenarnya ada kaitannya dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintahan nomor 9 tahun 1975, pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 tahun 1983 tentang usia perkawinan dalam rangka mendukung program kependudukan dan keluarga berencana.8 Dengan demikian di Negara kita sudah ada acuan dalam pelaksanaan perkawinan. Dalam undang-undang ini disebutkan prinsip-prinsip atau asas-asas tentang perkawinan. Adapun asal dan prinsip-prinsip perkawinan adalah : 1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal. 2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, serta dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Undang-undang ini menyangkut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan persyaratan tertentu dan diputusakan oleh pengadilan. 4. Calon suami itu telah matang jiwa raganya untuk dapat melaksanakan perkawinan, agar dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk menikah laki-laki 19 tahun dan wanita 16 tahun. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
8
Departemen Agama RI, Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Jakarta 2004.
14
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian itu harus ada alasan tertentu, serta harus dilakukan di depan pengadilan. 6. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan. Selain dari ketentuan Undang-undang RI no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ada lagi instruksi Menteri Dalam Negeri No. 27 tahun 1983 tentang Usia Perkawinan. Dalam rangka mendukung program kependudukan dan keluarga berencan, Mendagri menginstruksikan kepada Gubernur, Walikota, Bupati untuk : Pertama, melakukan langkah-langkah dan usaha yang mendukung pelaksanaan program kependudukan dan keluarga kecil yang bahagia sejahtera di lingkungan masyarakat yang berpedoman pada pedoman pengesahan perkawinan yang diterbitkan Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kedua, mendukung usaha-usaha berbagai instansi, baik pemerintahan, swasta maupun lembaga masyarakat melakukan usaha-usaha untuk menghindari perkawinan di bawah umur atau pernikahan dini. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan usia muda dalam instruksi ini adalah yang melakukan pada usia 20 tahun bagi wanita di bawah 25 tahun bagi laki-laki. Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilaksanakan pada usia di bawah 19 tahun bagi pria. Adapun syarat-syarat perkawinan pada pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 : 1. Perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua calon mempelai 2.
Melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua. Pada kenyataannya pernikahan di bawah umur kerap terjadi, diantara
penyebabnya adalah pengaruh pergaualan bebas antara pria dan wanita yang masih remaja yang mengakibakan terjadinya pernikahan dini dan menganggap pernikahan merupakan jalan keluar terbaik. Ada penyebab lain yakni orang tua yang merasa tidak mampu lagi membiayai anak mereka dan ingin melepaskan tanggung jawab dengan menikahkan anaknya. Akibat dari semua itu maka tidak jarang perkawinan tersebut tidak mencapai tujuan yang dikehendaki dan akan mengakibatkan terjadi perceraian.
15
B. Definisi Pernikahan Dini Pernikahan dini merupakan salah satu istilah yang dibentuk dari dua kata, yaitu kata ‘pernikahan’ dan kata ‘dini’. Kata pernikahan dalam Bahasa Indonesia adalah kata benda (nomina) yang merupakan kata serapan dari Bahasa Arab yaitu nakaha, yankihu, nikahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah (pernikahan) atau perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)9. Kata ‘dini’ adalah kata sifat yang artinya awal sekali, pagi sekali, sebelum waktunya10. Mengenai definisi atau konsep pernikahan dini setelah penulis teliti dari beberapa literatur yang ada dan beberapa pendapat ahli ternyata konsepnya berbedabeda. Beberapa konsep pernikahan dini yang penulis kemukakan sebagai berikut : Menurut Sri Rahayu Hadiutomo, “Usia muda atau remaja secar global dimulai sejak umur 12 tahun dan berakhir sekitar usia 21 tahun”.11 Muhammad Fauzhil Addhim memaknai pernikahan dini yakni pernikahan yang dilakukan dimasa perkuliahan atau pernikahan remaja.12 Jika term ini (nikah saat kuliah) yang dipakai, maka pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berumur 23 tahun ke bawah, yakni dengan melihat konteks sosial yang pada umumnya umur laki-laki atau wanita yang masih menempuh masa kuliah adalah 20 tahun di tingkat pertama, 21 tahun di tingkat II, 22 tahun di tingkat III, dan 23 ditingkat IV. Jika pernikahan dini dimaknai dengan pernikahan dalam usia remaja maka yang termasuk pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pasangan yang berusia 11 sampai 24 tahun dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik) 2. Umumnya masyarakat Indonesia yang berumur 11 tahun sudah dianggap baligh baik menurut adat maupun menurut agama sehingga masyarakat tidak meperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa. 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 614. 10 Tim Prima, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Gita Media Press, tt), hal. 206. 11 Sri Rahayu Hadiutomo, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagiannya, (Yogjakarta : Gajah Mada Press, 1989) hal. 219. 12 Muhammad Fauzhil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002) cet ke2, hal. 4-9.
16
3. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimum untuk memberi kesempatan mereka mengembangkan jiwa setelah sebelumnya masih bergantung dengan orang tua.13 Term pernikahan dini juga dapat dilihat dalam kitab-kitab fiqh baru dengan istilah Az-Zawaj Al-Mubakkir.14 Kitab-kitab fiqh klasik atau yang biasa dikenal dengan istilah kitab kuning menyebutkn perkawinan muda/kawin belia dengan istilah nikah AshShaghir dan Ash-Shaqirah dan kebalikannya dengan Al-Kabir dan Al-Kabira. Karena telah mengandung (hamil), jika tidak terjadi indikasi-indikasi teesebut, maka baligh atau balighah ditentukan berdasarkan usia. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan untuk perempuan 17 tahun. Sementara Abu Yusuf Muhammad bin Hasan bin As-Syafi’i berpendapat bahwa usia 15 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.15 Dengann demikian berdasarkan keterangan di atas menurut term of fiqh pernikahan dini adalah perkawinan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka pernikahan dini/belia adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqh dan di bawah 17/18 tahun Abu Hanifah. Undang-undang No. 1 tahun 1974 sebagai Undang-undang perkawinan nasional juga mengatur tentang batasan usia nikah yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Batasan usia nikah ini dapat dilihat dalam pasal 7 ayat 1 undang-undang no. 7 tahun 1974 yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun. Dari pasal ini dapat dipahami bahwa pernikahan yang dilakukan di bawah umur melanggar undang-undang perkawinan. Konsekuensinya perkawinan tersebut tidak tercata di PPN, perkawinan yang tidak dicatatkan di PPN adalah perkawinan di bawah tangan dan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum menurut undang-undang. Artinya, menurut hukum negara perkawinan tersebut dianggap tidak ada. Terkecuali sebelum perkawinan dilaksanakan telah terlebih dahulu mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama bagi Agama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Islam.\
13
Abu Al-Ghafari, Gelombang Seks Kejahatan Remaja Modern, (Bandung : Mujahid Press, 2002), cet k -2, hal. 23. 14 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta : LKIS, 2002), cet ke-2, hal. 67. 15 Al-Khatib As-syarbini, Muqhni Al-Muhtaj, (Beirut : Dar ihya At-Turusi Al-Arabi, tt ), jus II, hal. 166.
17
Dari penjelasan-penjelasn di atas dapat dipahami bahwa batasan usia pernikahan dini sangat variatif. Ada yang berpendapat bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan dibawah 15 tahun, sebagian berpendapat di bawah 17 / 18 tahun dan yang lain berpendapat di bawah 20-an tahun dan sebagian lagi dibawah 24 tahun. Namun jika dikaitkan dengan undang-undang perkawinan maka yang termasuk pernikahan dini pernikahan di bawah umur yaitu pernikahan yang dilakukan pasangan 19 tahun, 19 tahun bagi suami dan di bawah 16 tahun bagi istri.
C. Batasan Usia Minimal dalam Pernikahan Dalam Alquran maupun Al-hadis tidak terdapat keturunan yang secara eksplisit menetapkan batasan usia pernikahan. Para ahli fiqh juga tidak membahas usia nikah. Hanya saja para ulama mazhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Para laki-lai baligh ditandai dengan ihtilam, yakni keluarnya sperma ketika mimpi maupun dalam keadaan sadar. Sedangkan pada perempuan juga bisa ditandai dengan mengandung. Jika tidak terdapat indikasi-indikasi tersebut maka baligh atau balighah dapat ditentukan berdasarkan usia. Imam Malik menetapkan usia 17 tahun bagi laki-laki untuk diketegorikan baligh. Namun demikian, pernikahan bagi yang masih dibawah 17 tahun dianggap sah kalu menurut wali dapat mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan. Demikian menurut Maliki. Sementara Syafi’i dan Hambali menentukan umur 15 tahun.16 Dalam fiqh Hanafi juga ada batasan umur perniakahn tidak secara konkrit menyebut umur. Hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah berakal dan baligh, sebagaimana juga keduanya juga menjadi syarat umum bagi operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu, baligh hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan pernikahan. Dalam hal ini mazhab Hanafi menetapkan usia baligh 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Batasan ini merupakam batasan maksimal, sedangkan batasan minimalnya adalah laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun. Dengan alasan bahwa pada umur itu ada laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan ada perempuan yang sudah haid. 16
Muhammad Zawad Muqniya, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Afif Muhammad (jakarta : Basri Press, 1994), hal 22-23.
18
Di negara-negara muslim (negara yang mayoritas warganya beragama Islam) batasan usia minimal dalam pernikahan juga diatur misalnya : Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jiak pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun”. Ketentuan batas usia ini seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami istri harus matang jiwa dan raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. Untuk itu antara calon suami maupun istri harus dicegah pernikahan di bawah umur (pernikahan dini). Disamping itu menurut penjelasan umum UU Perkawinan. Nomor 4 huruf d, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batasan umur yang rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu maka Undang-undang ini menentukan batas umur baik pria maupun wanita. Ketentuan pasal 7 ayat 1 di atas tidak bersifat kaku, artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Undang-undang tetap memberi jalan keluar pasal 7 ayat 2 menegaskan “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita”. Dalam hal Undang-undang perkawinan tidak konsisten. Disatu sisi pasal 6 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua, disisi lain pasal 7 ayat 1 menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun. Bedanya jika kurang dari 21 tahun yang diperlukan izin orang tua dan jika kurang 19 tahun perlu dispensasi pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat 2, Kompilasi Hukum Islam. Adapun prosedur untuk mendapatkan dispensasi dimaksud dapat dilihat dalam peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 13, yang diatur sebagai berikut : 1. Apabila sesorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama.
19
2. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka tersebut pada ayat 1, diajukan oelh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya. 3. Pengadilan agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-ha yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. 4. Salianan penetapan itu dibuat dan diberikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan melangsungkan pernikahan.
D. Pernikahan Dini dalam Tinjauan Fiqh Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernikahan dini dalam kitabkitab fiqh baru diistilahkan dengan Az-Zawaz Al-Mubakkir dan dalam kitab-kitab klasik atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning disebut dengan perkawinan muda atau belia dengan istilah nikah Ash- Shaqir Ash-Shaqirah. Shaqir Shaqirah, secara literal berarti kecil. Yang dimaksud disini adalah laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Karenanya, perkawinan usia muda artinya perkawinan laki-laki atau perempuan yang belum baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka perkawinan belia adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqh dan di bawah 17/18 tahun menurut Abu Hanifah.17 Mayoritas ulama fiqh Ibnu Munzir bahkan menganggap sebagai Ijma’ (konsensus) ulama fiqh mengesahkan perkawinan muda/belia atau dalam istilah populer perkawinan di bawah umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, kriteria baligh dan berakal bukan merupakan persyaratan bagi keabsahan. Beberapa argumen yang dikemukakan adalah sebagai berikut18 1. Alquran surat At-Talaq ayat 4 :
ِ َوالالئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح يض ِم ْن نِ َسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَْب تُ ْم فَعِدَّتُ ُه َّن ثَالثَةُ أَ ْش ُه ٍر َوالالئِي )4( ض َن ج ْ ََلْ ََِي
17
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta : LKIS, 2002) hal. 67-68. 18 Ibid, hal. 69
20
Artinya : Bagi mereka yang telah putus haidnya (monopouse), iddahnya adalah 3 bulan, demikian juga bagi mereka yang belum haid.”19
Ayat ini berbicara masalah iddah (masa menunggu) bagi perempuan-perempuan yang sudah monopouse dan bagi perempuan-perempuan belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini ada tiga bulan. Secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa dilaksanakan pada perempuan yang berusia belia, kerena iddah hanya dilakukan kepada orang-orang yang sudah kawin cerai. 2. Alquran surat An-Nur ayat 32 :
ِ األَي َمى ِمْن ُك ْم َ َوأَنْك ُحوا Artinya : “Hendaklah kamu kawinkan orang-orang yang meranda diantaramu”20
Kata Al-Ayyama meliputi perempuan dewasa dan perempuan belia. Ayat ini secara eksplisit memperkenalkan atau bahkan menganjurkan kepada wali untuk mengawini mereka.
3. Perkawinan Nabi SAW dengan Siti Aisyah yang masih belia Aisyah r.a mengatakan :21
))تزوجين التيب و اان ابته ت و ب ى ى و اان ابنة تس (روا الباار Artinya : Nabi mengawinkan pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usia 9 tahun (H. R. Buchori)
Nabi juga mengawinkan anak peremouan pamannya (Hamzah) dengan lakilaki Abu Salamah, keduanya ketika itu masih berusia muda. Diantara para sahabat Nabi ada yang mengawinkan putra putrinya atau keponakannya yang bernama Umi Kalsum dengan Umar bin Khattab. Umi Kalsum ketika itu masih muda. Urwah bin Zubair juga mengawinkan anak perempuan saudaranya dengan anak laki-laki saudaranya yang lain, kedua keponakannya itu sama-sam masih di bawah umur. Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: -) hal. 946. Ibid, hal. 549 21 Hadis bersumber dari Aisyah dalam shahih Buchari Kitab Nikah nomor urut dan bab 38-39. 19 20
21
Namun lain halnya dengan Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al- Asham dan Usman Al- Batti, mereka berbeda dengan padangan masyoritas ulama di atas. Mereka berpendapat bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur tidak sah dinikahkan. Mereka hanya boleh dinikahkan setelah baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit. Alasan yang mereka gunakan adalah ayat Alquran surat An-Nisa ayat 6 :
ِواب تَ لُوا الْي تَامى ح ََّّت إِ َذا ب لَغُوا الن اح فَِإ ْن آنَ ْستُ ْم ِمْن ُه ْم ُر ْش ًدا فَ ْادفَعُوا إِلَْي ِه ْم ك َ َ ٰ َ ٰ َ َ َْ َ ۖ أ َْم َوا ََلُْم Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”22
Menurut mereka, jiaka anak-anak belia tersebut boleh dinikahkan sebelum baliq maka apa jadinya arti ayat ini. Selain itu mereka sebenarnya belum membutuhkan nikah. Ibnu Syubrumah mengatakan: “Ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil, kecuali apabila telah baligh dan mengizinkannya”. Melihat pendapat Jumhur Ulama Fiqh, Ibnu Syubrumah dkk, jika dikaitkan dengan teori pemikiran Hukum Islam dikenal dengan produk ijtihad, memiliki status fatwa yang keberadaannya tidaklah mengikat dan memaksa semua orang. Ia bisa mengikat dan memaksa jika telah menjadi pendapat yang disepakati oleh semua Mujtahid yang dalam istilah ushul fiqh dinamakan ijma , atau setidaknya tidak diketahui ada ulama yang berpendapat lain yang berbeda, maka berarti masih terbuka peluang untuk memilih.
E. Dampak Negatif dan Positif Penikahan Dini Dalam pernikahan dini masih terdapat pro dan kontra dalam masyarakat. Sebagian masyrakat memandang pernikahan dini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Mereka berpendapat bahwa pernikahan dini akan berakibat dan berdampak negatif anatara lain : 22
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: -) hal. 115.
22
a. Mengakibatkan tingginya pertumbuhan penduduk disebabkan karena panjangnya masa kelahiran (reproduksi bagi wanita) b. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempersulit usaha peningkatan pemerataan kesejahteraan rakyat, lapangan kerja, pendidikan dan pelayanan kesehatan dan perumahan, c. Perkawinan usia dini mengakibatkan keburukan bagi kesehatan ibu dan anak, karena faktor gizi ibu kurang terpenuhi. Berdasarkan survei kesehatn rumah tangga yang dilakukan tahun 1955, 55% ibu hamil mengalami kekurangan gizi23. d. Resiko kesakitan dan kematian ibu dan anak, pada ibu yang melahirkan masih muda, dalam hal ini WHO memperkirakan, resiko kematian akibat kehamilan pada remaja putri berusia 15-19 tahun dua kali lebih tinggi dibandingkan perempuan masa 20-24 tahun. Bahkan pada remaja putri usia 10-14 tahun, lima kali lebih tinggi dibanding pada usia 20 tahun. Kompilasi kehamilan adalah penyebab utama kematian remaja putri 15-19 tahun. Kompilasi kehamilan dan persalinan yang kemungkinan besar akan dihadapi remaja antara lain pre eksplamsia, yaitu naiknya tekanan darah yang melampaui batas nprmal dan diikuti kejang-kejang. Resiko persalinan besar kepala anak tidak dapat diakomodasi oleh rongga panggul yang belum berkembang sempurna. Persalinan dengan robekan vagina menembus hingga ke kandung kemih atau ke dubur, kompilasi kerusakan otak janin, komplikasi kerusakan otak janin dan terberat adalah kematian ibu dan anak.24 e. Anak-anak yang dilahirkan dari remaja putri lebih rentan untuk lahir premature memiliki berat badan lahir rendah, mengalami gangguan pertumbuhan ataupun kecacatan. Kematian bayi dan ibu juga sangat tinggi pada usia dibawah 20 tahun. f. Pernikahan dini sering berbuntut perceraian. Selain dampak negatif lainnya yang sering dimuat di media-media barat, yang menurut Abu Al-Ghifari,25 hal ini dilakukan oleh musuh-musuh islam untuk menakuti orang-orang Islam, supaya menunda pernikahan dini dan beranggapan penikahan dini berakibat sebagai berikut : 1. Studi Gagal
23
Hotnidah Nasution, Tesis, diambil data dari internet : Kemiskinan Dorong Penikahan Dini. Tahun
2002. 24
Memahami Psikologi Reproduksi Remaja, Suara pembaharuan, 18 Agustustus 2002. Abu Al-Ghifari, Pernikahan Dini Dillema Generasi Ekstravangansa, (Bandung : Mujahid Press, 2002) hal. 53.
25
23
Konsep ini banyak dianut masyarakat terutama orang tua, mereka melarang anaknya yang sedang kuliah karena takut studinya gagal. Persepsi pernikahan dini akan menggagalkan studi, menurut Al-Ghifari tidaklah benar, banyak yang sukses studi bahkan mampu mencapai nilai terbaik justru mereka berumah tangga, seperti juga diungkapkan oleh Muhammad Fauzhil Adhim, “Gejolak syahwat yang semula meledak-ledak akan berubah menjadi stabil ketika menikah dini”, implikasinya jiwa akan tenang, emosi akan berubah menjadi lebih positif, sehingga ia dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya secara lebih optimal, tanpa menemui hambatan-hambatan psikis yang berarti.26 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pernikahan dini tidak dapat dituding sebagai penyebab kegagalan dalam studi, sebaliknya banyak yang gagal studi justru pada mereka yang belum menikah, memang benar, menikah sambil kuliah merepotkan, adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, namun hidup dalam suasana penuh tantangan akan melahirkan ketahanan mental yang kuat. 2. Cepat Bercerai Menurut Dr. F. Shaffiro seperti yang dikutip Abu Al-ghifari di Amerika terdapat 80.000 perceraian setiap tahunnya, salah satu penyebabnya adalah pernikahan dini27. Menanggapi hal tersebut Abu Al-Ghifari verpendapat bahwa sampel di Amerika belum dapat dijadikan sampel untuk umat Islam di Indonesia. 3. Banyak Pertengkaran Dalam pernikahan dini dimungkinkan akan terjadi pertengkaran antara suami istri sering terjadi, hal ini disebabkan oleh emosi yang belum stabil, menurut Abu Al-Ghifari pendapat ini ada benarnya akan tetapi menurutnya tidak 100% benar, karena menurutnya kedewasaan seseorang tidak dapat diukur dengan usia saja. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Dr. Luvia Iskandar Dharmawan, M. Sc, seorang koselor wanita, menurutnya pada dasarnya umur tidak menentukan tingkat kematangan sesorang. Banyak faktor sesorang mencapai tingkat dewasa secara mental, yakni keluarga, pergaulan, IQ dan pendidikan. Semakin dewasa seseorang semakin mampu mengimbangi emosionalitasnya dengan rasio. Mereka yang sering bertengkar cenderung masih kekanak-kanakan, belum mampu mengekang emosi. Berdasarkan teori berpikir di atas, dapat dipahami bahwa pertengkaran dalam rumah tangga tidak dapat diasumsikan bahwa penyebabnya 26 27
Muhammad Fauzhil Adhim, hal 75 Abu Al-ghifari, hal. 55
24
karena pernikahan dini. Pertengkaran merupakan hal yang biasa dalam sebuah rumah tangga asal tidak berlebihan bukankah realitias sosial juga banyak menunjukkan bahwa pasangan suami istri yang berumur di atas tiga puluhan pun tidak luput dari pertengkaran. 4. Ekonomi Sulit Abu Al-Ghifari berpendapat bahwa pernikahan dini tidak selalu identik dengan ekonomi sulit. Bahkan menurutnya orang yang cepat berumah tangga, akan cepat pula mendapat rezeki. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 32 :
ِ َّ وأَنْ ِكحوا ْاألََيمى ِمْن ُكم و ِ ِ ِ ِ ِ ِاِل ِ ٰ ََ َ الص ُ َ َ ْ َني م ْن عبَاد ُك ْم َوإ َمائ ُك ْم ۚ إ ْن يَ ُكونُوا فُ َقَراء ِ ِ َّ ضلِ ِه ۚ و ِ اَّلل ِ ِيُ ْغن )۲۳( يم ف ن م م ه َّ َ ْ ْ ُ ٌ اَّللُ َوات ٌ َعل َ ُ Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Dengan demikian menurut Islam diantara kunci rejeki ini ada dalam rumah tangga karenannya mempercepat berumah tangga akan mendapat rezeki, sebaliknya mereka yang memperlambat akan semakin terpuruk, Adapun manfaat/ nilai (dampak) positif yang dapat diperoleh dari pernikahan dini, dengan catatan manfaat/ nilai positif ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang bersungguh-sungguh ikhlas menikah untuk ibadah. Diantara manfaat tersebut adalah : 1. Menghindarkan pelakunya dari penyimpangan seksual. Dengan menikah akan dapat menundukkan pandangan mata, hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi :
فاليتزوج فإنه أغض للبصر Dengan demikian seseorang yang telah menikah akan terhindar dari gejolak syahwat, mudah memelihara kehormatan, tidak terjatuh ke dalam kubangan dosa yang keji, sebab penyimpangan seksual akan menyebabkan berbagai kerusakan, baik individula maupun sosial. Penyimpangan tersebut adalah zina, homo seksual, lesbian, onani dan masturbasi. Dan menikah merupakan sarana penting untuk memendamkan gejolak dan menemukan pelampiasan yang halal. 25
2. Sehat Fisik maupun Psikis Berbagai survei menunjukkan, mereka yang telah menikah lebih kebal dari penyakit
dibanding
yang
belum
menikah.
Bahkan
mereka
yang
telah
melangsungkan pernikahan jika sakit akan cepat lebih sembuh dibanding yang masih bujangan. Ross dan kawan-kawan serta Hu dan Goldman sebagaimana dikutip M. Fauzhil Adhim menemukan bahwa orang-orang yang menikah cenderung lebih panjang usianya. Mereka juga sangat jarang menemukan kondisi kesehatan yang kronis dibanding orang-orang yang tidak menikah. Papalia dan Old juga melaporkan bahwa jika orang yang sudah menikah menjalani rawat inap di rumah sakit umumnya lebih cepat keluar.28 Senada dengan Ross dan kawan-kawan serta Hu dan Goldman Yance Cicoul seorang ahli ilmu jiwa dan suaminya Ronald Ghalizher, seorang ahli virus, bersama kawan-kawannya dari spesialis ilmu jiwa di Universitas Ohio sebagaimana dikutip Abu Al- Ghifari mengadakan penelitian secara global pada fase pertama dari penelitian itu, diambil contogh 38 wanita yang bersuami, yang boleh dikatakan hidup bahagia atau harmonis, dan ada 38 wanita lainnya yang telah janda atau belum bersuami, tapi boleh dikatakan hidup tidak bahagia dan tidak ada saling pengertian. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa perempuan yang menikah dan menganggap dirinya bahagia, memiliki kekebalan terhadap penyakit yang lebih besar dari pada selainnya. Meskipun ia bekerja dan menghabiskan banyak waktunya untuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan lainnya, bahkan dikatakan tidak sempat untuk mengurus dirinya dan beristirahat. Dr. Yance mengatakan, bahwa seseorang mungkin tidak berhasil mendorong seorang wanita untuk menikah. Akan tetapi lebih mungkin memahamkannya dengan sejelasnya, bahwa menjaga kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga akan lebih bermanfaat untuk kesehatan dirinya. Bahkan Dr. Hafbert seorang direktur rumah sakit di New York berkata bahwa beberapa jumlah pasien yang masuk ke rumah sakit ini perbandingannya adalah empat lajang dan satu pasangan yang telah menikah.
28
M. Fauzhil Adhim, hal. 58-59.
26
Dari sisi mental atau rohani, orang yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW bahwa nikah itu akan memelihara pandangan dan farj.
3. Mempercepat memiliki keturunan Salah satu tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan. Dengan melakukan pernikahan dini dimungkinkan untuk mempercepat mendapatkan keturunan. Bagi seorang istri, dalam rentang waktu 20-35 tahun akan memiliki waktu usia 29-35 tahun akan mewakili waktu subur yang lebih panjang dibandingkan wanita yang menikah di atas usia 30 tahun, dengan masa subur yang lebih panjang diharapkan akan mendapatkan keturunan yang banyak, karena rasulullah mencintai mereka yang banyak keturunan, sesuai dengan sabdanya 29.
تزوجوا دود الولود فإىن مكاثر بكم األمم “Nikahilah pasangan yang subur keturunannya dengan penuh kasih sayang , karena sesungguhnya aku berharap paling banyak pengikut”. 4. Lebih banyak nilai ibadah Dengan menikah dini akan lebih cepat mendapatkan nilai-nilai ibadah dibandingkan dengan menundanya. Karena dalam Islam sebuah rumah tangga memiliki lahan amal yang banyak. Bagi suami menghidupi anak istri, memberikan nafkah bathin misalnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Begitu juga istri dalam menyediakan makanan bagi suami, menyambut kedatangannya, mendidik anak-anak mendapatkan pahala yang berlimpah. 5. Lebih cepat dewasa Menikah dini akan mempercepat seseorang mencapai kedewasaan. Hal ini didasarkan realitas sosial yang menggambarkan bahwa dalam kehidupan sebuah rumah tangga terdapat banyak halangan dan rintangan. Halangan dan rintangan tersebut akan dihadapi bersama dan akan lebih cepat mendewasakan seseorang. 6. Bermanfaat untuk pendidikan anak Suami istri yang menikah diusia muda akan lebih sehat, lebih kuat dan lebih subur ketika mereka memasuki umur 40 tahun, dimana saat itu pendidikan anak sangat membutuhkan. Lebih dari itu perbedaan tipis antara umur kedua orang tua dengan Hadist ini bersumber dari معقل ابن يسيرtercantum dalam Sunan Abu Daud Kitab Nikah : 3, Sunan An-Nasai Kitab Nikah nomor urut bab I
29
27
anak-anaknya dan mudah bagi orang tua untuk mengetahui tabiat dan perilaku anak-anaknya, yang mana hal ini merupakan unsur penting di antara unsur-unsur pendidikan. Dalam riwayat muslim, Rasullullah SAW pernah menasehati orang-orang yang belum menikah. Sabdanya :
َي معشر الشباب من اتتطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر و .احصن للفرج من َل يستط فعليه ابلصوم فإنه له وجاء “Apabila diantara kamu telah mencapai ba’ah (mampu menikah), maka menikahlah karena itu akan lebih menjaga mata dan siapa yang belum mampu, maka sebelum shaum merupakan benteng (dari perbuatan zina)”. Oleh karena itu, para ahli fiqh mendudukan hukum pernikahan pada empat hukum (1) wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu secara fisik, psikis dan material, seksual yang tinggi sehingga zinah. (2) Sunnah (Taathawu’) menikah bagi orang yang sudah punya calon suami maupun istri dan sudah mampu secara fisik namun masih bisa menahan diri dari zina, (3) Makruh/tidak dianjurkan menikah bagi orang yang sudah punya calon suami maupun istri, namun belum mampu secara material. Karenanya ia harus mencari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina misalnya dengan shaum dan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, (4) Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemaslahatan.30 Kedudukan hukum yang beragam ini mengisyaratkan bahwa hukum pernikahan itu sangat kondisional. Oleh karena itu sebelum terjadi pernikahan harus dipertimbangkan kondisi yang dihadapi dan berfikir secara matang. Dengan jalan seperti ini insyaAllah bahtera rumah tangga bisa dijalani dengan persiapan yang matang, suatu aksioma dengan persiapan matang akan lebih baik dibanding tanpa persiapan.
30
Bina sarana Informatika Oppicial website-Pernikahan Dini 21/11/2006
28
F. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi Kalau kita tinjau dari sisi psikologis, dengan adanya pernikahan dini akan menghambat studi atau rentan komplik yang berujung perceraian, karena kekuransiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa, karena mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi. Kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzhil Adhim dalam bukunya Indahnya Pernikahan Dini, juga oleh Clark- Stewart & Koch lewat bukunya Children Development Through, bahwa pernikahan diusia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik. Bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternati untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali. Kedua buku itu juga banyak bukti empiris bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu menurut bukti-bukti psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak. Bahkan menurut Abraham Maslow, pendiri psikologu humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya menurut Maslow dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhankebutuhan psikologis manusia yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan. Bagaiman hasil penelitian di salah satu kota Yogyakarta bahwa angka perceraian meningkat seignifikan karena pernikahan dini? Ternyata setelah diteliti, pernikahan ini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Adapun urgensi pernikahan terhadap terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bisa dibantah, ngeri rasanya kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim sudah tidak
29
perawan lagi. Pergaulan bebas atau free seks sama sekali bukan nama asing di telinga kaum remaja saat ini.31 Akhirnya kata Fauhil Adhim, kehancuran akan berlangsung pelan-pelan, maka jalan keluarnya adalah nikah. Setelah dikaji dari perspektif psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, akan tetapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek.
31
Sidogiri Com http:www.com, 21/11/2006 Pernikahan dini bukan sekedar alternatif.
30
BAB III PERNIKAHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERCERAIAN
A. Perceraian 1. Definisi Perceraian Di dalam Alquran, ditemukan banyak kalimat yang semakna dengan perceraian atau talak, diantaranya thalaq, firaq atau tasrih. Kata thalaq dinataranya terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 227, 232, 237 dan At-Tahrim ayat 5. Kata “faraqa” terdapat dalam surat At-Thalaq ayat 2 dan An-Nisa’ ayat 130 dan kata “saraha” terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 229, 231 dan Al-Ahzabayat 28 dan 49.32 Secara etimologi, kata talak berasal dari kata “ “ طلق – يطلق – طالقاyang berarti melepaskan tali, meninggalkan atau bercerai (perempuan) dari suaminya33. Namun dalam bahasa Arab kata طلقdapat diartikan pula “menguraikan ikatan”, baik secara nyata seperti ikatan kuda dan ikatan tawanan, maupun secara maknawi seperti ikatan nikah antara suami dan istri.34 Ada tiga definisi thalaq yang dikemukakan ulama fiqh. Definisi pertama dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Menurut mereka, talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang dengan lafal khusus. Ungkapan “secara langsung” dalam definisi tersebut talak yang hukumannya langsung berlaku ketika lafal talak selesai diucapkan, tanpa terkait dengan syarat atau masa yang akan datang. Misalnya, dalam talak ba’in kubra (talak yang dijatuhkan suami untuk ketiga kalinya) hukum dan segala akibatnya berlaku secara langsung, seperti suami tidak berhak rujuk dengan istrinya sebelum istri tersebut menikah dengan laki-laki lain dan kemudian bercerai kembali atau suami wanita itu meninggal. Yang dimaksud dengan “untuk masa yang akan datang” adalah hukum talak itu belum berlaku seluruhnya, tetapi tertunda oleh sesuatu hal lain, misalnya talak raj’i (talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah dicampuri). Dari segi lafal talak, hubungan suami istr telah terhenti, tetapi banyak hukum lain yang tertunda berlakunya hingga masa iddah wanita itu habis. 32
Ahmad Kusairi, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo, 1995) cet ke-1, hal. 226-227. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidayakarya Agung, 1990) hal. 239. 34 Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh A’la Mazahibi Ar Ba’ah, Beirut : Dar Al-Ihya Al-Turas Al-Araby, 1979) Juz IV, hal 278. 33
31
Definisi kedua dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi’i. Menurut mereka, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa hukum talak itu berlaku secara langsung, baik dalam talak raj’i maupun talak ba’in. Definisi ketiga dikemukakan oleh ulama mazhab Maliki. Menurut mereka talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. 35 Sedangkan menurut Abdurrhman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘ala AlMadzahib Al-Arba’ah, memberikan definisi talak yaitu “menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata”.36 Wahbah Az-Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, manulis, talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafadz talak atau yang seperti dengannya, atau menghilangkan ikatan pernikahan disaat ini maupun akan datang dengan lafadz tertentu.37 Abu Zakariyah dalam kitabnya Fath Al-Wahab mengatakan, talak adalah melepaskan ikatan nikah dengan menggunakan lafadz talak.38 Sedangkan di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) istilah talak diartikan sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang di maksud dalam pasal 129, 130 dan 131.39 Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya dan ini tidak terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.
2. Dasar dan Hukum Perceraian Di dalam Alquran banyak ayat yang berbicara tentang masalah talak. Menurut ulama fiqh, ayat-ayat talak termasuk ayat yang terperinci dalam Alquran. Diantara 35
Insiklopedia Hukum Islam, hal 1776-1777 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al’ Arba’ah, hal 278. 37 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, cet ke-3, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1989) hal 356. 38 Abu Zakariyah, Fathul Wahab, ( Jakarta : Tinta Mas, 1982) Juz 2, hal 72. 39 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam 36
32
ayat-ayat yang menjadi dasar hukum bolehnya menjatuhkan talak terdapat dalam suarat Al-Baqarah ayat 229 :
ٍ ِ ٌ الطََّال ُق مَّرََت ِن ؤ فَِإمس ٍ وف أَو تَس ِريح ِبِِحس ۖان َ َ ْ ٌ ْ ْ اك ِبَْعُر َْ Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” Dalam Islam, perceraian pada prinsipnya dilarang. Hal ini dapat kita lihat pada hadis Rasullullah SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, sebagai berikut :
قال رتول هللا صلى هللا عليه وتلم: عن ابن عمر رضي هللا عنهما قال .ابغض اِلالل إىل هللا الطالق Artinya : ”Dari Ibnu Umar, berkata Rasullullah SAW bersabda : “Sesuatu (perbuatan) halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah Talak (perceraian )”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim)
Karena itu isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. Talak merupakan alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapt lagi dipertahankan keutuhannya.40 Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, hukum asal talak adalah makruh.41 Dalam ilmu ushul fiqh, makruh adalah perintah syar’i kepada mukallaf ahar tidak melakukan suatu perbuatan dengan larangan yang jelas lantaran sighatnya menunjukkan hal tersebut. Artinya, hal yang makruh bila dikerjakan, pelakunya tidak mendapatkan siksa, namun kadang-kadang tercela.42 Berdasarkan hadis di atas, Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya “Al-fiqh a’la Mazahibib Al Arba’ah” menyatakan : “Asal talak adalah benci (karaha), maka tiap talak hukum aslinya adalah makruh, karena itu tidak boleh menceraikan istrinya Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’Asy, Sunan Abu Daud, Mausu’ah Al- Hadis Al-Syarif (Mesir : Global Islamic Software Company, 2000) hadis no. 1863 lihat juga, Jalal Suyuthi, AL-Jami’ Al-Shaghir (Bandung : Al-Ma’arif, tt ) Juz 1 hal 5. 41 Abdurrahman Al-Jaziri, hal 312. 42 Abduk Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, ter. M. Tolcha Mansoer, et.al, (Bandung : Risalah, 1985) Juz 1, hal. 175-176. 40
33
tanpa ada sebab, sabda Rasullullah SAW : “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”. Tidak (halal) dalam pandangan syara adalah terpuji (mahmudah), yakni disukai mubah dan makruh. Dan “talak” mufradnya termasuk makruh yang dibenci bahkan paling dibenci”.43 Menurut ulam Malikiyah, hukum asal talak adalah khilaf al-aula dan bukan makruh akan tetapi mendekati makruh. Dan hukumnya haram, bila takut terjerumus pada perbuatan zina atau perbuatan asusila lainnya setelah talak. Golongan Hanafiah, mempunyai dua pandangan dalam menghukumi talak. Pertama, hukum asal talak adalah boleh (jaiz) pandangan ini lemah. Kedua, hukum asal talak adalah haram atau terlarang, pandangan ini banyak mendapat dukungan dari Muhaqiq. Tentu yang digunakan dalam hal ini adalah yang mengindikasikan alkaraha al-tahrim (kebencian yang terlarang ). Pendapat yang paling sahih menurut golongan Hanafiah, talak hukumnya terlarang (haram), kecuali kerena ada alasan yang dibenarkan, Alasan rasional golongan ini sejalan dengan Syuyuthi Thalib, Sh., pakar Hukum Islam Indonesia yang menyatakan : “Asal hukum talak itu haram. Kemudian karena illatnya maka hukum talak itu menjadi halal, atau mubah (boleh). Alquran berulang kali menyebut kata-kata talak yang dengan pembatasan-pembatasn. Dengan demikian ternyata menurut Alquran yang boleh melakukan talak kalau terdapat sebab yang menghalalkan.44 Suyuthi Thalib juga menguatkan pendapat yang disabdakan oleh Rasullullah SAW. Maksud hadis itu ialah, meski talak itu suatu ketentuan yang illah illahnya menjadi boleh menurut hukum Islam, talak sangat tidak disenangi oleh Allah dan rasul-Nya. Karena itu, talak merupakan taraf akhir dalam menyelesaikan ketidakserasian dalam rumah tangga muslim.45 Menurut golongan Hanabilah, hukum talak amat kondisional, sesuai dengan situasi dan keadaan suami istri. Dalam arti, talak bisa dihukumi wajib, haram, mubah atau sunnah.
46
Hal ini disebabkan karena penggunaan wewenang talak tergantung
keadaan dan masalah yang dihadapi suami istri. Dengan kata lain situasi dan kondisi
43
Abdurrahman AlJaziri, hal 296. Syuyuthi Thalib, Hukum Kekeluargaan di Insonesia, Berlaku bagi Umat Islam (Jakarta : UI Press, 1986) cet ke-5, hal 100. 45 Syuyuthi Thalib, hal 312. 46 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hal 12 44
34
rumah tangga seseorang bermacam-macam, maka hukum talakpun akan beragam pula. 47 1. Talak Wajib, ialah yang dilakukan oleh dua orang hakam atau hakim akibat syiqaq suami istri yang tidak dapat didamaikan. Talak dalam hal ini merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian konflik, termasuk juga talak yang dilakukan oleh suami kepada istri karena ila’ (sumpah tidak akan menggauli istri selamanya). 2. Talak Haram, yaitu talak yang dijatuhkan tanpa adanya sebab dan alasan. Karena talak ini akan merugikan kedua bela pihak, antara suami dan istri, menghilangkan kemaslahatan dan nikmat Allah, demikian menurut penganut mazhab Hanafi. Alasan talak ini diharamkan, menurut Sayyid Sabiq, adalah berdasarkan Sabda rasullullah SAW yang berbunyi48
قال رتول هللا صلى هللا عليه: عن ابن عباتى رضي هللا عنه قال )وتلم ال ضروروا وال ضرار (روا ابو دود Artinya : “Dari Ibnu Abbas ra, berkata : Rasullullah SAW bersabda : Tidak (boleh) berbuat yang membahayakan dan tidak (boleh) membalas dengan bahaya. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).49 Hadis di atas merupakan haramnya (ad-darar). Bagi ulama Hanafiyah talak tanpa sebab dan alasan tidak memiliki alasan tidak memiliki kemaslahatan, bahlan bisa meniimbulkan ad-darar, membahayakan kedua belah pihak, suami dan istri. 3. Talak Mubah, yaitu talak yang terjadi karena adanya suatu sebab, istri tidak dapat menjaga diri di kala suami tidak ada, istri yang membahayakan suami atau akhlaknya tidak baik. 4. Talak Sunah, yaitu talak terhadap istri yang menyia-nyiakan kewajiban terhadap Allah SWT, seperti istri tidak taat agama, tidak shalat dan sering meninggalkan ibadah, meski dudah diperingatkan berkali-kali, tidak memberikan keamanan di tempat tidurnya akibat perbuatan amoral yang dapat menjerumuskan suami.
47
Ibid, hal 13 Ibid, hal. 13. 49 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, (Surabaya : Syirkah Nur Amaliyah, II) cet ke-2 , hal 196. 48
35
5. Talak Makruh, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istri yang shalehah dan berbudi mulia.50 Jadi hukum talak bergantung situasi dan kondisi orang yang bersangkutan, sebagaimana pendapat yang diperinci golongan Hanbali di atas.
3. Sebab-sebab Perceraian Dalam sebuah rumah tangga sulit digambarkan tidak terjadinya percekcokan. Akan tetapi percekcokan itu sendiri beragam bentuknya; ada yang ibarat seni dan irama dalam kehidupan rumah tangga yang tidak mengurangi keharmonisan dan ada pula yang menjerumuskan kepada kemelut yang berkepanjangan yang dapat terjadi putusnya perkawinan. Diantara sebab-sebab perceraian adalah krisis ekonomi, kesenjangan pikiran dan mental, mengungkap aib rumah tangga, dorongan keluarga kedua belah pihak, perbedaan status sosial dan ketidakharmonisan rumah tangga. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 didapatkan ketentuan yang mengatur tentang alasan-alasan perceraian, yaitu yang termuat dalam pasal 39 ayat 2 dan pasal 19 PP No. 1975 yang mengatakan : 1. Salah satu pihak yang berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pemahaman bahwa orang islam boleh menceraikan istrinya dengan sewenangwenang, hanyalah memutar balikkan ketentuan-ketentuan hukum islam tentang talak atau perceraian. Meski Alquran menunjukkan bermacam-macam sebab yang memungkinkan perceraian itu dilakukan, tetapi Alquran tidak memberikan rincian 50
Peunoh Daly, Hukum perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negera-negara Islam, (Malaysia : Thinker Library SDN, BHD, 1994) hal. 253-254.
36
sampai yang sekecil-kecilnya. Hall ini adalah wajar, karena Islam adalah sebagai agama Universak yang dipertunjukkan bagi sekalian manusia, baik yang masih rendah peradabannnya, maupun yang sudah tinggi. Asas perceraian yang diuraikan Alquran, besar kecilnya mencangkup segala macam sebab, yakni keputusan suami istri untuk memutuskan ikatan perkawinan, karena mereka tidak sanggup lagi untuk hidup suami istri. Sebenarnya, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian suci untuk hidup bersama sebagai suami istri dan jika masing-masing pihak tidak setuju lagi untuk hidup bersama, perceraian merupakan satu jalan yang tidak dapt dihindarkan, ini bukan berarti bahwa setiap pertengkaran antara suami istri akan mengakibatkan perceraian, kecuali jika ada masalah kesanggupan untuk hidup bersama sebagai suami istri sajalah yang menyebabkan ditempuhnya perceraian. Tidak ada kesanggupan untuk hidup bersama itu menurut Alquran disebut Syiqaq (berasal dari kata syaqa artinya pecah menjadi dua). Syiqaq barulah memberi hak kepada masing-masing pihak untuk mengadakan perceraian, setelah ditempuh segala macam usaha untuk mendamaikan perselisihan suami istri.51
4. Hikmah Perceraian Ulama fiqh menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan suami istri yang kekal, yang disebut Allah sebagai mitsaqan galizan (perjanjian yang kuat). Sejokjanya perjanjian yang kuat ini dipelihara dan mendapatkan tempat yang layak dihati kedua suami istri. Akan tetapi dalam perjalanan rumah tangga, cinta kasih tak selamanya bersemayam di hati sanubari masing-masing. Banyak faktor pribadi dan sosial yang ikut berperan dalam kehidupan sebauah rumah tangga. Sebagai manusia biasa, perselisihan pendapat antar suami istri sulit untuk dihindari. Sekalipun telah dilakukan upaya-upaya yang maksimal untuk memperbaiki hubungan diantar mereka, namun yang terjadi justru adalah makin timbulnya kebencian dan permusuhan sehingga mengakibatkan makin sulitnya kehidupan, bisa juga sebab lain, misalnya karena pengkhianatan salah seorang dari mereka yang tidak bersungguh-sungguh dalam memelihara kesucian rumah tangga ataupun disebabkan kekurangan fisik maupun prilaku, seperti tidak pandai bergaul, dan berperangai buruk. Keadaan demikian munculnya keinginan ingin memiliki pasangan lain sebagai penggantinya, atau sebab lain suami maupun istri yang tidak berhasil 51
Maulana Muhammad Ali,Islamologi, Terjemahan. (Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah 1984, hal 119-
4550.
37
melahirkan keturunan, sementara jika mereka bercerai masih memungkinkan masing-masing memiliki keturunan dengan pasangan lain. Mengingat bahwa upaya untuk mengabaikan semua penyebab keretakan rumah tangga suami maupun istri maka jalan keluar yang terbaik agar tidak timbul dampak yang lebih mudharat lagi dan tidak ada harapan lagi untuk disatukan. Dengan demikian hikmah perceraian dalam Islam adalah sebagai solusi (jalan keluar) ketika sebuah keluarga yang tidak dapat mengatasi problema rumah tangga dan apabila dipertahankan akan mengakibatkan penderitaan baik bagi si istri, suami maupun anak-anak. Dengan demikian prinsip perceraian dalam Islam adalah sesuatu yang halal namun dibenci Allah SWR. Dalam arti bahwa Allah tidak memperbolehkan talak kecuali dalam keadaan darurat yang mana tak mungkin ada jalan keluar lain untuk menyelesaikan problem tersebut. Hal ini seseuai dengan sabda Rasullullah SAW yang telah disebutkan sebelumnya.
B. Pandangan Islam dan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Perceraian 1. Pandangan Islam terhadap Perceraian Islam telah memberikan tuntunan yang lengkap tentang bagaimana memilih pasangan hidup ini, Islam telah menandaskan, bahwa jika seseorang mampu untuk memilih pasangan hidup dengan baik, niscaya ia akan mendapatkan kebahagiaan, kasih sayang dan saling cinta dan mencintai diantara suami istri. Islam dalam hal ini menganjurkan kepada pemeluknya agar memilih pasangan hidup dengan menitik berarkan pada pilihan agama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah SAW :
ملاَلا وِلسبها وجلماَلا ولدينها فاظفر بذات الدين تري: تنكح املرأة ألرب .يداك Artinya : “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka titik beratkanlah pilihanmu pada agamanya, niscaya kamu akan bahagia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketaatan ketentuan atau pertimbangan dalam memilih pasangan ini disebabkan pentingnya orang melewati proses yang meyakinkan agar memperoleh hasil yang 38
sesuai dengan harapannya, yakni terciptanya keluarga yang sakinah. Kualifikasi harta, nasab, kecantikan dan keberagaman itu merupakan persoalan objektif dan rasional, dan karenanya bersifat accountable (tanggung jawab) dan dapat diprediksikan. Ini berbeda dengan soal cinta yang sepernuhnya soal perasaan dan sering dipandang sebagai soal emosional, tak terukur. Orang menyebut kualifikasi cinta ini misalnya dengan istilah yang terkesan miring, seprti cinta buta, modal dengkul atau dalam pernyataan sindiran :”apa selanjutnya kita dapat makan dengan cinta?” Saat ini, banyak orang tenggelam dengan cinta terhadap orang yang diinginkan untuk dikawininya, kemudian mereka dikuasai oleh syahwatnya, sehingga terpikat oleh kecantikan paras wajah, harta atau kedudukannya, dengan tanpa memperhatikan sama selalu tentang dibalik semua itu, yaitu menyangkut agama dan akhlak.52 Ikatan yang dilakukan dengan jalan akad nikah seperti yang telah diatur dalam Islam adalah suatu ikatan, atau suatu janji yang kuat, seperti yang telah disebutkan dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 21 :
ٍ ض ُك ْم إِ َ ٰىل بَ ْع َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِميثَاقًا َغلِيظًا ُ ض ٰى بَ ْع َ ْف ََتْ ُخ ُذونَهُ َوقَ ْد أَف َ َوَكْي َ ض َوأ Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” Untuk lebih memperkuat ikatan itu, Rasullullah SAW memperingatkan : “Pekerjaaan halal yang sangat dimarahi oleh Allah ialah talak”.53 Seorang suami yang melakukan talak kepada istrinya berarti ia telah melakukan suatu pekerjaan yang sangat dibenci, meskipun pekerjaan itu boleh dilakukan. Sebaliknya seseorang istri yang meminta talak pada suaminya, sanagt dikecam oleh Islam.54 Dari dalil Alquran dan hadis di atas dapat dipahami bahwa islam sangat benci, bahkan mengecam keras talak, baik talak itu kemauan suami maupun kemauan istri. Islam mengizinkan talak apabila sudah tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus dalam rumah tangga, lagi pula sudah
Ra’ad Kamil Al-Hayali, Trik Mengatasi Konflik Suami Istri, (terj. Mohal. Suri Sudhari A), ( TK. Dunia Ilmu, 1999) hal 7. 53 Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa Al-Haram fi Islam, (Mesir : Maktabah Wahbah, 1975) hal 196. 54 Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah VIII, (Kuwait : dar Al-Bayan, 1968) hal. 7-8. 52
39
dipertimbangkan bahwa talak adalah jalan yang terbaik bagi mereka daripada hidup terus menerus dalam konflik rumah tangga. Oleh karena itu, diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menalak istri kecuali karena terpaksa. Demikian pendapat sebagian para pengikut Hambali dan Hanafi. A. Mukti Ali mengumpamakan adanya talak seperti persediaan pintu darurat pesawat terbang dan orang tidak akan mempergunakannya kecuali dalam keadaan darurat.55 2.
Pandangan Perundang-undangan terhadap Perceraian Pengertian perceraian atau putusnya perkawinan menurut undang-undang no. 1 tahun 1974 adalah :berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri, disebabkan oleh beberapa hal yang dilakukan dihadapan Pengadilan Agama.56 Pengertian ini tercantum dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 39 ayat 1 yang berbunyi ”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”57 Demikian juga, kompilasi hukum islam memberikan pernyataan yang hampir sama dengan Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, dijelaskan pada KHI bab XVI Pasal 115, yang berbunyi : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belaj pihak.”58 Prof. Subekti, SH, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata memberikan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.59
3. Macam-macam Perceraian (Putusnya Perkawinan) Menurut Undang-undang Perkawinan Putusnya perkawinan, menurut Undang-undang perkawinan ada 3 macam seperti yang tercantum dalam Pasal 38 undang-undang perkawinan. Perkawinan
55
Op.cit, Hukum......... hal. 250. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan tambahan Undangundang Pokok Agraria dan Perkawinan, (Jakarta : Pradya Paramita, 2001) cet ke-31, hal. 549. 57 H. Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal 337. 58 Abdurrahman, Op.Cit. Hal. 141 59 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet ke-31, (Jakarta : Intermasa, 1989) hal 42. 56
40
dapat putus karena : a) Kematian, b). Perceraian, dan c). Atas keputusan kepada tiga golongan, yaitu :60 a. Kematian Putusnya perkawinan karen kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan oleh salah satu pihak dari pasangan suami istri meninggal dunia. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian tersebut terjadi di hadapan dan di tempat kediaman bersam, sehingga tidak ada masalah yang perlu diperbincangkan lagi.61 Dengan meninggalnya salah seorang dari pasangan suami dan istri maka dengan sendirinya putuslah ikatan perkawinan. Pihak yang masih hidup boleh menikah lagi bila mana persyaratan yang telah ditentukan oleh ketentuan berlaku dipenuhi sebagaimana mestinya.62 b. Perceraian Perceraian adalah penghapusan hubungan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.63 Menurut pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakterisktik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan proses perceraian kehendak istri.64 Perceraian atas istri disebut cerai (talak) gugat. Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan suami terhadap istrinya sehingga perkawinan mereka menjadi putus.65 Dalam bahasa fiqh, cerai jenis ini disebut “talak:. Istilah cerai telah terdapat pula dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 14 yang merupakan penegasan dari Pasal 39 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Cerai talak ini hanya khusus bagi mereka yang beragama Islam, seperti dirumuskan oleh pasal 14 PP No. 14 tahun 1975 sebagai berikut : 60
Suyuthi Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet ke-5, (Jakarta : UI Press, 1986), hal 119 Salim, HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002) hal. 76 62 M. Yahya Harahap, Hukum... hal. 133 63 Salim HS, hal. 77 64 H.A Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2000) Cet ke-3 hal 206. 65 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam, 1997) hal. 65 61
41
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan mencerai istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud mencerai istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan diadakan sidang untuk keperluan itu.66 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal 117, bahwa : Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131.67 Dari ketentuan di atas, dalam hubungan dan pelaksanaannya, jelas bahwa pengajuan keinginan cerai itu harus dilaksanakan dengan cara lisan atau tertulis (surat) ke Pengadilan Agama dengan maksud agar persoalan yang diadukan lebih jelas. Perlu juga ditegaskan disini, bahwa keinginan tersebut berasal dari pihak suami, dan yang diajukan tersebut bukan Surat Permohonan melainkan Surat Pemberitahu yang memberitahukan bahwa ia akan menceraikan istrinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan agar mengadakan sidang untuk menyelesaikan perceraian itu, agar perceraian itu mempunyai kekuatan hukum.68 Berbeda dengan cerai talak, cerai gugat dibedakan menjadi 5 (lima) macam, yaitu (1) Talak Raj’i, yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah; (2) Talak Bain Sugra, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk, akan tetapi boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah; (3) Talak Bain Kubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, talak ini dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain, kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya; (4) Talak Bid’i, yaitu talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu dalam keadaan suci tersebut. Sedangkan gugatan perceraian adalah : perceraian yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, yaitu gugatan yang dikeluarkan
66
Muhammad Amin Suma, MA, SH, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, hal 375. Abdurrahman, Op. Cit, hal 141 68 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978) cet ke-5, hal 37. 67
42
oleh pihak istri ke pengadilan.69 Sedangkan mengenai putusnya hubungan perkawinan dengan alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan tuntutan perceraian.70 c. Atas Keputusan Pengadilan Putusnya perkawinan karena putusnya pengadilan adalah berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.71 Sebenarnya secara teoritis hampit tidak ada perbedaan antara peceraian dengan putusan pengadilan. Sebab perceraian itu sendiripun harus berdasarkan putusan pengadilan. Letak perbedaannya adalah : - Alasan yang dipergunakan untuk mencapai putusan pengadilan tersebut. - Perceraian merupakan proses yang memperlihatkan adanya perselisihan antar suami dan istri. Alasan-alasan yang dipergunakan dalam putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan tidak terinci dan tertentu seperti alasan-alasan perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan PP No. 9 Tahun 1975. Beberapa alasan yang dipergunakan antara lain :72
(a) alasan karena tidak sanggup memberi
nafkah, dan (b) alasan karena istri atau suami hilang tidak tahu kemana perginya. Alasan yang benar-benar murni merupakan perceraian yang berasal dari putusan pengadilan adalah alasan pada poin kedua (b)
C. Pernikahan Dini dan Perceraian Seperti telah diungkapkan di atas bahwa perkawinan merupakan suatu akad yang kuat atau mitsaqon ghalizan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, keutuhan dan kelanggengan rumah tangga merupakan suatu tujuan yang digariskan oleh Allah melalui agama Islam, untuk itu setelah terjadi akad nikah, suami istri diikat oleh ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kehidupan suami istri. Agama pada dasarnya menganjurkan kepada semua manusia untuk segera menikah apanila telah mampu melaksanakannya, tanpa memberi batas usia. Tidak ada suatu dalilpun yang tegas baik Alquran ataupun hadis, memberikan batasan terhadap soal usia dalam melangsungkan perkawinan. Hukum Islam hanya memberikan batasan-
69
Salim HS, Pengantar...hal 77 Suyuthi Thalib, Hukum... 119. 71 Salim HS, Pengantar...hal 77. 72 M. Yahya Harahap, Hukum... hal 179. 70
43
batasan yang sifatnya global yang tertumpu pada segi kemampuan memberikan nafkah keluarha dan pengendalian emosi. Islam memang menganjurkan kita untuk melaksanakan
perkawinan mencari
pasangan hidup dan memperbanyak keturunan. Beberapa usia perkawinan yang ideal itu, tidaklah mudah melainkan harus dijawab dengan mempertimbangkan beberapa segi. Seseorang yang bisa dikatakan sudah berumur belum tentu dapat dikatakan ideal dan mampu untuk melaksanakan pernikahan. Memasuki perkawinan dan membina rumah tangga tidaklah mudah apalagi dalam memikul dan mengemban tugas rumah tangga. Perkawinan yang sukses menuntut adanya kedewasaan dan kematangan, baik dari segi fisik, mental maupun emosional. Dan untuk memperoleh kedewasaan dan kematangan itu membutuhkan waktu. Bagaimana anak-anak muda yang masih mentah mentalnya, maupun fisiknya sulit diharapkan untuk mencapai suatu perkawinan yang sukses, karena secara psikologis mental spiritualnya belum stabil. Anak-anak muda biasanya masih memiliki sifat mudah tersinggung, mau menang sendiri dan selalu tidak puas. Sementara memikul tugas kerumahtanggaan memerlukan tenggang rasa, kesabaran dan kedewasaan. Akan tetapi kenyataan menunjukkan, di Indonesia khususnya, begitu banyak pasangan usia muda yang menjalani pernikahan usia muda. Lebih-lebih mereka yang tinggal di kota maupun desa. Banyak fakta terjadinya pernikahan dini seperti tradisi ataupun adat istiadat, faktor ekonomi, alasan susila, norma, faktor pendidikan, dijodohkan, dll. Meskipun usia bukan merupakan jaminan terhadap langgeng atau tidaknya suatu perkawinan, tetapi usia seseorang akan menjadi ukuran apakah ia sudah cukup dewasa dalam bersikap dan berbuat. Seseorang ibu muda yang belum mencukupi umur perkawinan, dalam keluarga dan rumah tangga akan terasa menderita dan berkeluh kesah dalam melaksanakan tugasnya. Jika pertengkaran sering dijadikan alasan dalam perceraian, baik kerena kesulitan ekonomi, perbedaan pemahaman dan lain-lain, namun sesungguhnya pertengkaran merupakan suatu yang biasa dalam rumah tangga dan pertengkaran juga sering terjadi pada pasangan usia dewasa. Dalam pasangan pernikahan muda, dimungkinkan pertengkaran sering terjadi disebabkan oleh emosi yang belum stabil. Mereka yang sering bertengkar cenderung masih kekanak-kanakan, belum mampu mengekang emosi, semakin dewasa seseorang semakin mampu mengimbangi emosionalnya dengan rasio.
44
Oleh karena itu, perkawinan di usia muda lebih cenderung kepada hubungan kekeluaragaan yang kurang akrab, akan cenderung mengarah kepada perceraian. Lain halnya orang dewasa, ketika ia berumah tangga dipandang akan dapat mengendalikan emosi dan kemarahan yang sewaktu-waktu akan muncul dalam keluarga. Ini dimungkinkan karena kualitas akal dan mentalnya sudah relatif stabil sehingga dapat mengontrol diri sendiri maupun dengan pasangan dan lingkungan sekitar. Kedewasaan dalam bidang fisik, biologis, sosial, ekonomi, emosi dan tanggung jawab serta keyakinan agama merupakan modal yang sangat besar dalam upaya meraih kebahagiaan.73 Pelaksanaan pernikahan dini dalam agama diperbolehkan, akan tetapi belumlah sempurna karena pada dasarnya dalam perkawinan seorang calon suami maupun istri harus memiliki kesiapan lahir dan bathin agar terciptanya maksud dan tujuan perkawinan yang dikehendaki agama maupun Undang-undang. Tanpa adanya persiapan lahir dan bathin dikhawatirkan setelah menikah, pasangan tersebut belum mampu menghadapi persoalan-persoalan yang baru, yang belum mereka temui sebelum mereka berkeluarga dan akan mengakibatkan terjadinya perselisihan dan berujung kepada perceraian. Dengan demikian dipahami bahwa meskipun usia bukan syarat sahnya suatu perkawinan, ulama fiqh berbeda dalam menentukan batas-batas umur dalam pernikahan, UU perkawinan menetapkan 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, tetapi faktor usia menjadi salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menyikapi suatu perkawinan, karena perkawinan merupakan awal dari kehidupan yang amat menentukan nasib mereka dibelakang hari bahagia ataukah sebaliknya.
73
Hasan Basri, Keluarga Sakinah, (Yogyakarta : Pustaka Palapa, 1999) hal. 6
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Bengkulu Pengadilan Agama Bengkulu dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah No. 45 Tahun 1957 (L.N No. 99 Tahun 1957) tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di daerah luar Jawa dan penetapan menteri Agama RI No. 58 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamag Syar’iyah di Sumatera. Wilayah hukum pengadilan agama Bengkulu pada waktu pembentukan adalah Kotamadya Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupateb Arga Makmur. Keadaan wilayah hukum pengadilan Agama Bengkulu sedemikian berlangsung sampai terbentuknya Pengadilan Agama pada wilayah-wilayah tersebut.
2. Wilayah Hukum Peradilan Agama Kelas 1 A Bengkulu Lokasi dan batas wilayah hukum pengadilan Agama kelas 1 A Bengkulu berada di ibukota provinsi Bengkulu yang terletak pada antar 102 14 – 102 22 Bujur Timur dan antara 3 45 – 3 59 Lintang Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut : -
Sebelah utara dengan kabupaten Bengkulu Utara
-
Sebelah selatan dengan kabupaten Seluma
-
Sebelah timur dengan kabupaten Bengkulu Utara
-
Sebelah barat dengan Samudra Indonesia.
3. Data Wilayah Hukum Pengadilan Agama Kelas 1 A Bengkulu Wilayah hukum pengadilan agama kelas 1 A Bengkulu meliputi 4 (empat) kecamatan dan 57 Kelurahan sekota Bengkulu, dengan rincian sebagai berikut : a. Kecamatan Gading Cempaka terdiri dari 23 kelurahan berpenduduk 104.634 jiwa, 70.242 laki-laki dan 70.392 perempuan. b. Kecamatan Teluk Segara terdiri dari 23 kelurahan berpenduduk 45.605 jiwa, 22.523 laki-laki dan 23.082 perempuan. c. Kecamatan Muara Bangka Hulu terdiri dari 6 kelurahan berpenduduk 26.641 jiwa, 13.456 laki-laki dan 13.185 perempuan
46
d. Kecamatan Selebar, terdiri dari 5 kelurahan berpenduduk 50.949 jiwa, 25.110 laki-laki dan 25.839 perempuan.
4. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Bengkulu Pengadilan
Agama
Bengkulu
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tigngkat pertama antar orangorang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah atau wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, hal ini sesuai dengan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989. Bidang perkawinan yang menjadi wewenang dan kekuasaan Pengadilan Agama adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan74 yaitu : a. Izin beristri lebih dari seorang b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus perbedaan pendapat. c. Dispensasi perkawinan d. Pencegahan perkawinan e. Penolakan perkawinan f. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri g. Perceraian karena talak h. Gugatan perceraian i. Penyelesaian harta bersama j. Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya k. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupanoleh suami kepada berkas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri l. Putusan tentang sah atau tidaknya sesorang anak m. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua. n. Penunjukkan kekuasaan wali o. Penunjukkan orang lain sebagai wali olah pengadilan Agama dalam hal kekuasaan seseorang wali dicabut
74
Roihan A, Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
Hal. 29.
47
p. Menunjukkan seoramg wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya q. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas anak yang ada dibawah kekuasaannya r. Penetapan asal usul anak s. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur t. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Pengadilan Agama Bengkulu sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut : a. Undangan-undangan dasar 1945 pasal 24 b. Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman c. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan d. Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung e. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama f. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan g. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan perceraian bagi pegawai Negeri sipil, Juncto PP Nomor 1945 tahun 1990 h. Peraturan/ instruksi/ edaran Mahkamah Agung i. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 72 tahun 1984 tentang perubahan keputusan Menteri Agama Nomor 195 tahun 1968 tentang penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syarr’iyah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara dan Sumatra j. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 1989. Tentang petunju Pelaksanaan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Junco KMA. 001/SK/ 1994 k. Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam l. Peraturan lain yang berhubungan dengan tat kerja Pengadilan Agama.
48
Dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan kepada pengadilan Agama Bengkulu, para hakim memakai hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam undang-undang No. 7 tahun 1989. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut : a. Reglement op de Bugerlijke recchtsvording (B.Rv) b. Inlands reglement (IR) c. Rechsreglement voor de Buitenggewesten (R. Bg) d. Bugerlijke wetbook Koophandel (Wvk) e. Peraturan perundang-undangan. 1. Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa Hukum Acara Perdata dalam praktek peradilan di Indonesia 2. Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI yang memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berpekara di Mahkamah Agung RI 3. Undang-undang No. 8 tahun 2004 tentang peradilan hukum dalam undangundang ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan peradilan umum tersebut. 4. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang perkawinan tersebut. 5. Inpres No. 1 1991 tentang instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum, yang terdiri tiga buku perkawinan, kewarisan dan wakaf 6. Surat edaran Mahkamah Agung RI 7. Doktrin atau Ilmu pengetahuan Jadi, Pengadilan Agama Bengkulu berpedoman pada peraturan perundangundang di atas dalam menyelesaikan semua perkara yang ada. Sedangkan hukum materil yang dipakai Hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama Bengkulu berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam, UU No.1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.
49
5. Sarana dan Prasarana Pengadilan Agama Bengkulu Sebagai layaknya sebuah lembaga negara, pengadilan agama Bengkulu juga memiliki sarana dan prasarana yang tentunya diselenggarakan oleh pemerintah. Sarana dan prasarana yang penulis lihat langsung di lokasi, terlihat cukup memadai untuk menunjang proses kegiatan pengadilan Agama Bengkulu.
6. Struktur Organisasi Berdasarkan undang-undang No. 7 tahun 1989 dan surat keputusan ketua Mahkamah Agung RI No. 004/1990, serta surat keputusan Menteri Agama RI No. 303/1990 ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Bengkulu sebagai berikut : a. Ketua (dinatu oleh wakil ketua) b. Dewan Hakim c. Penitera atau sekretaris (dibantu oleh wakil) yang membawahi sub-sub sebagai berikut : 1. Sub Kepaniteraan Permohonan 2. Sub Kepaniteraan Gugatan
50
BAGAN SUSUNAN PENGADILAN AGAMA KELAS I A BENGKULU KETUA Drs. Sudirman Cik Ani, SH WAKIL KETUA Drs. Edi Noerfuady, HM, SH. HAKIM 1. Drs. Nadhifah 2. Drs. Husniadi 3. Drs. Muslah Kartini, M. Zen 4. Drs. Asri Damsy, SH 5. Drs. Salim Muslim 6. Dra. Fauza M 7. Dra. Nadimah
PANMUD PERMOHONAN Jisman, SH
PANITERA/ SEKRETARIS Drs. Darmadi WAKIL PANITERA Asmara Dewi, SH
PANMUD GUGATAN Nirmawati, SH
PANMUD HUKUM Drs. Risani
WAKIL SEKRETARIS Meutia Kamila, S. Ag, Sh
KASUBBAG KEPEG Nurlaili, SH
KASUBBAG KEUANGAN Sisli Rudi, SH
PANITERA PENGGANTI 1. Tuti Baherab, BA 8. Hj. Anggraini, W. Sh 2. Drs. Bujang Ayin 9. Sri Andaini, SH 3. Drs. M. Halim Kadir 10. Rohmatun, S. Ag 4. Burududdin,SH 11. Herdo Gunawan, SH 5. Drs. Sarjono 12. Nil Khari, S. Ag 6. As’ad Jaes, SH 13. Rosmawati, SH 7. Hendri Donal, SH 14. Fauzia, SH 15. Drs. Salmidar JURU SITA - Maruddin, MM - Nurmaini, SH
---------------------------- Garis Koordinasi _________________ Garis Tanggung Jawab
51
JURU SITA PENGGANTI - Buchori Zubir - Talidi, S. Ag
KASUBBAG BAG UMUM Alfi Zuhri, S. Ag
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu tugas Pengadilan Agama Bengkulu menerima, memeriksa dan memutus perkara perceraian. Dari hasil data penelitian penulis, angka/ jumlah perceraian yang diterima dan diputus/ diselesaikan oleh Hakim Pengadilan Agama Bengkulu ditinjau dari faktor-faktor penyebab perceraian dari tahun 2003 sampai tahun 2006 ada 784 kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Bengkulu. Adapun faktor-faktor penyebab perceraian dimaksud adalah kerena poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak bertanggung jawab, kawin dibawah umur, penganiayaan, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : Alasan Perceraian
2003
2004
2005
Poligami Krisis Akhlak 1 1 Cemburu Kawin Paksa 12 20 Ekonomi 2 3 Tidak Bertanggung 43 29 Jawab Kawin dibawah umur 1 1 Penganiayaan 1 5 Dihukum 6 Cacat Biologis 1 Politis 1 7 1 6 Tidak Harmonis 122 142 JUMLAH 184 214 Sumber : Pengadilan Agama Kelas IA Bengkulu
Jumlah
17 35
2006 s/d Nop 2 1 18 38
4 13 139 217
2 1 1 7 99 169
8 6 7 2 1 27 502 784
9
Ket
2 11 1 32 40 145
Dari alasan-alasan diatas, sepintas dilihat bahwa alasan kawin dibawah umur atau pernikahan dini bukanlah alasan yang signifikan untuk melakukan percerian dibanding dengan alasan-alasan lainnya, seperti ketidakharmonisan dalam membina rumah tangga yang disebabkan beberapa faktor diantaranya faktor ekonomi, ketidak harmonisan, yang menduduki jumlah tertinggi yakni 502 perkara disusul dengan alasan tidak bertanggung jawab 145 perkara. Dan kita dapat melihat dari tabel jumlah penyebab percerian kawin di bawah umur hanya 8 perkara, artinya perkawinan dini atau dibawah umur yang selalu identik dengan perceraian tidak sepenuhnya benar, meskipun tidak dipungkiri bahwa perkawinan diusia muda sebagai selah satu penyebab perceraian.
52
B. Analisa terhadap Putusan Pengadilan Agama Bengkulu Terhadap Perceraian yang Disebabkan Pernikahan Dini. Dalam penelitian ini, penulis akan mengangkat 5 kasus bentuk perceraian ang jika ditinjau dari usia ketika mereka melangsungkan pernikahan diketegorikan dalam kategori menikah dini dengan pertimbangan, bahwa kronologis dan motif dari peristiwa perceraian tersebut pada umumnya sama dan untuk lebih fokus dan efektif berikut uraiannya : 1. Putusan No. 051/Pdt.g/o6/PA.Bn Kasus Posisi Lisa bin Ali (nama samaran) umur 20 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat Jl. Setia Bengkulu, selanjutnya disebut sebagai penggugat, menggugat suaminya Zuli bin Topan (nama samaran) umur 25 tahun, pekerjaan buruh, alamat Jl. Panorama Bengkulu. Dalam surat permohonan Penggugat 16 April 2006, yang menerangkan bahwa Penggugat dan terbugat adalah suami istri dan telah menikah di KU Kec. Selebar Kota pada tanggal 12 Maret tahun 2000 dengan akta nikah 376/21/III/2000 dengan mas kawin 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Pada awal pernikahan mereka rukun dan damai sebagaimana layaknya suami istri ± 1 tahun, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya sering terjadi percekcokan karena tergugat selalu emosional dalam membina rumah tangga. Penggugat dan tergugat sudah pisah tempat tinggal sejak Februari 2006, dan sejak satu bulan tergugat pergi dari rumah, tidak ada perbaikan bahkan penggugat sudah berusaha untuk memperbaiki rumah tangga mereka tapi tidak juga ada hasil. Atas kejadian itu maka penggugat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama Bengkulu untuk dapat menggugat cerai suaminya. Pada persidangan pertama hakim menasehati penggugat untuk bersabar dan menunggu tergugat kembali ke rumah dan tidak bercerai, akan tetapi penggugat tetap bertahan dan tetap ingin melanjutkannya dengan alasan karena suami penggugat malas dan sering memukul. Majelis hakim mengundang tergugat untuk datang ke persidangan, akan tetapi terguga idak hadir. Dan tanpa memberikan perwakilan untuk menghadiri persidangan. Majelis menimbang bahwa faktor-faktor diatas telah terbukti dan beralasan melanggar hukum, sehingga terpenuhi, alasan perceraian sebagaimana diatur pasal 53
19 (F) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 (F) Kompilasi Hukum Islam, lagi pula tegugat telah dipanggil untuk datang ke persidangan tidak hadir, dan tergugat tidak membela hak dan kepentingannya, terpenuhi ketentuan pasal 149 RBG, untuk itu gugatan penggugat harus dipenugi dan dikabulkan dengan Verstek.... Maka Pengadilan Agama memberikan putusan sebagai berikut : 1. Menyatakan bahwa tergugat telah dipanggil dengan patut untuk datang menghadap di Persidangan Tidak Hadir 2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan Verstek 3. Memerintahkan panitera Pengadilan Agama untuk mengirim salinan putusan Pengadilan Agama ke PPN KUA Kec. Selebar untuk mencatat perceraian tersebut serta disampaikan kepada tergugat. 4. Menghukum pemgugat membiayai perkara Rp. 331.000,- (tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah ) Selanjutnya tergugat akan haknya bahwa ia dapat mengajukan perlawanan atas putusan tersebut dengan tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dalam Undangundang. Terhitung sejak diumumkan di papan pengumuman Pengadilan Agama Bengkulu. Demikian putusan ini dijatuhkan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Bengkulu pada hari Rabu, 20 September 2006.
2.Putusan No. 035/ Pdt.g/ 2005/PA Bn KASUS POSISI Rani bin Yono (nama samaran) 20 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga beralamat di Jl. Hibrida Bengkulu, selanjutnya disebut penggugat, menggugat suaminya Irwan bin Amir (nama samaran) 24 tahun, pekerjaan swasta, alamat Jl. Bukit Barisan Bengkulu. Mengajukan surat gugatan tanggal 24 Januari 2005. Penggugat dan tergugat adalah suami istri dan sah yang menikah 13 Januari 2003 di PPN KUA Kec. Gading Cempaka dengan akta nikah 13/13/I/2003 dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan telah mempunyai satu orang anak. Pada awalnya pernikahan mereka aman, dan tentram, dan ± satu tahun terjadi perselisihan dan ketidakcocokan dan mereka sudah berpisah selama 7 bulan. Adapun penyebab perselisihan mereka karena tergugat senang main perempuan lain dan sering gonta ganti pacar dan juga sering memukuli penggugat. Sebenarnya penggugat telah berupaya untuk memperbaiki hubungan mereka dengan cara 54
musyawarah, akan tetapi tidak berhasil. Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Bengkulu untuk bercerai dengan suami penggugat. Pada persidangan pertama tanggal 7 februari 2005 Majelis Hakim meminta kepada penggugat untuk berdamai dan memperbaiki hubungan antara penggugat dan tergugat, akan tetapi penggugat tetap pada pendiriannya dan meminta kepada majelis untuk melanjutkan persidangan. Karena tergugat tidak hadir pada persidangan maka persidangan ditunda, untuk dilanjutkan pada persidangan berikutnya. Pada persidangan berikutnya tergugat diharapkan hadir di persidangan, akan tetapi tidak hadir. Dengan berbagai pertimbangan dan mengabulkan gugatan penggugatan dengan Verstek. Maka keputusan Majelis Hakim Pengadilan Agama sebagai berikut : 1. Menceraikan penggugat dengan tergugat 2. Meminta panitera untuk menyampaikan salinan keputusan kepada PPN KUA Selebar untuk disampaikan kepada tergugat 3. Menghukum Penggugat membayar biaya Rp. 222.500,- (Dua ratus dua puluh dua ribu lima ratus rupiah) Demikianlah putusan hakim Pengadilan Agama Bengkulu tanggal 24 februari 2005.
3. Putusan No. 153/Pdt.g/2005/PA. Bn KASUS POSISI Adi bin Ali (nama samaran), 23 tahun, pekerjaan mahasiswa, bertempat tinggal di Bumi Ayu Bengkulu, selanjutnya disebut Pemohon, memeohon kepada Pengadilan Agama Bengkulu untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap Citera bin Rohim (nama samaran) 22 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga beralamat di jalan S. Parman Bengkulu, selanjutnya disebut Termohon. Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah, menikah di PPN KUA Gading Cempaka tanggal 8 Januari 2003 dengan akta nikah No.20/20/I/2003 belum dikaruniai anak. Sejak menikah sampai surat ini dimasukkan rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak pernah rukun selayaknya suami istri, bahkan belum pernah melakukan hubungan suami istri, meskipun sebelum menikah antara kedua belah pihak sering melakukannya. Penyebab perselisihan dan pertengkaran adalah antara Pemohon dan Termohon tidak saling mencintai satu sama lain dan pernikahan yang terjadi antara keduanya
55
karena terpaksa. Oleh karena itu, sejak menikah sampai sekarang pemohon dan termohon telah berpisah rumah dan tinggal di rumah orang tua masing-masing. Atas peristiwa tersebut, maka pemohon dan termohon merasa rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karena itu Pemohon memohon kepada pengadilan Agama Bengkulu supaya dapat memutuskan hal-hal berikut : 1. Mengabulkan pemohonan Pemohon seluruhnya. 2. Menetapkan untuk memberi izin kepada Pemohon untuk mengikrarkan talak terhadap Termohon. 3. Mendapatkan biaya perkara sesuai dengan peraturan dan memutuskan seadiladilnya.
Atas permohonan Pemohon diatas, termohon membenarkan dan menyetujui segala permohonan Pemohon, untuk itu setelah melalui proses persidangan dengan menghadirkan segala bukti-bukti tertulis, maka pengadilan Agama Bengkulu memutuskan hal-hal sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menetapkan dan memberi izin kepada pemohon (Adi) untuk mengikrarkan talak terhadap Termohon (Citera) di persidangan setelah keputusan ini mempunyai kekuatan hukum 3. Membebankan kepda Pemohon untuk membayar biaya perkara Rp. 340.000,(Tiga ratus empat puluh ribu rupiah) Keputusan ini dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Bengkulu kamis 5 oktober 2005.
4. Putusan No. 148/ Pt/g/ 2006/ PA/Bn. KASUS POSISI Titi Dian bin Kuat (nama samaran) 20 tahun, Islam pekerjaan ibu rumah tangga, alamat Jl. Suarabaya Permai Rt. 11 Bengkulu. Disebut sebagai Penggugat menggugat suaminya Erwin bin Iskandar (nama samaran) 22 tahun, pekerjaan buruh bangunan, alamat Pulau Beringin Blok C Pondok Kelapa Bengkulu disebut sebagai tergugat. Mereka menikah tanggal 4 Mei 2002 dengan mas kawin Rp. 5000 di PPN KUA Kec. Pekik Nyaring Kab. Bengkulu Utara, dengan kutipan akta nikah No.KK/07.21/pw/01/1/III/2006 tanggal 11 Agustus 2006. 56
Setelah menikah antara Penggugat dan tergugat hidup membina rumah tangga sebagai suami istri dan mereka rukun, akan tetapi satu bulan berjalan mulai terjadi perselisihan karena : 1. Tergugat cemburu jika penggugat keluar rumah 2. Tergugat pemarah dan mau menang sendiri 3. Tergugat melarang Penggugat berkunjung ke rumah orang tuanya 4. Kalu terjadi pertengkaran sering memukul Puncaknya terjadi pertengkaran tahun 2004, radio tergugat rusak karena hujan lebat, maka Tergugat marah dan langsung memukuli tergugat sampai Penggugat lari dan menginap di rumah ketua RT, karena penggugat tidak tahan lagi dengan kelakuan tergugat, maka ia lari ke rumah bibi yang ada di Bengkulu lebih kurang 2 tahun dan tergugat tidak pernah menjemput ataupun memberi nafkah lahir dan batin. Perlakuan Tergugat melanggar Shiqat ta’lik talak angka 2,3,4. Dan penggugat dalam keadaan miskin. Atas perlakuan Tergugat, Pengugat tidak ridho dan ingin bercerai dan membina rumah tangga tidak mungkin dipertahankan lagi. Pada awal persidangan majelis hakim memberikan nasehat kepada Penggugat untuk menunggu kehadiran tergugat dan menasehati untuk kembali dan bermusyawarah secara baik, akan tetapi pengugat tetap pada pendiriannya untuk bercerai. Di persidangan tergugat tidak hadir maka dihadirkan beberapa saksi. Dengan berbagai pertimbangan maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Bengkulu memutuskan : 1. Tergugat telah dipanggil dengan patut untuk datang menghadap tapi tidak hadir. 2. Mengabulkan gugatan dengan Verstek 3. Menceraikan Penggugat dengan tergugat di depan Pengadilan Agama Bengkulu dengan talak satu Kul’i dengan Iwad 10.000 4. Memerintahkan kepada panitera untuk menyampaikan kepada PPN KUA Kec. Teluk Segara Kota Bengkulu dan PPN Kec. Pondok Kelapa untuk mencatat perceraian tersebut. Dan disampaikan kepada Tergugat. Demikianlah putusan Majelis hakim Pengadilan Agama Bengkulu kamis 5 Oktober 2006.
57
5. Putusan No.176/Pdt.g/2005/PA.Bn KASUS POSISI Jon bin Anton (nama samaran) 27 tahun, pekerjaan sopir, alamat Jl. Semangka Bengkulu, selanjutnya disebut pemohon, memohon kepada Pengadilan Agama Bengkulu untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap termohon (istri) Iti binti Ahmad (nama samaran) 27 tahun, ibu rumah tangga beralamat Jl. Gading cempaka Bengkulu. Dalam surat permohonan pemohon dan termohon adalah suami istri sah yang menikah di PPN KUA Gading cempaka 20 agustus 1997 dengan akta nikah 265/20/VII/1997 dan telah mempunyai tidak orang anak. Pada awal pernikahan sampai tahun 2000 kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon masih rukun sebagaimana layaknya suami istri, meskipun terkadang muncul perselisihan akan tetapi, akhir tahun 2004 sampai permohonan ini dimasukkan, sering terjadi perselisihan yang akan terus menerus membawa akibat burut bagi kelangsungan berumah tangga. Penyebab perselisihan mereka dikarnakan termohon telah meninggalkan rumah karena termohon bersenang-senang dengan laki-laki lain dan tidak bertanggung jawab kepada keluarga, termohon tidak menaati pemohon dan tidak mau mengasuh anak. Atas kejadian ini, pemohon sudah berupaya mengatasinya dengan cara bermusyawarah. Akan tetapi tidak berhasil, untuk itulah pemohon mengajukan surat permohonan kepada Pengadilan Agama Bengkulu untuk diberi izin kepada Pemohon menceraikan termohon. Pemohon berada di depan sidang Pengadilan Agama Bengkulu tanpa dihadiri termohon, setelah sidang berikutnya termohon dipanggil untuk datang pada persidangan, akan tetapi termohon tidak menghadirinya. Dengan mengajukan saksisaksi yang memberikan keterangan dibawah sumpah. Dan setelah melalui tahapantahapan dan proses pemeriksaan, maka Pengdilan Agama Bengkulu memberikan putusan Verstek... Adapun keputusan Majelis Hakim sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan pemohon 2. Menetapkan dan memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talak terhadao termohon setelah putusan ini mempunyai ketetapan hukum.
58
3. Memerintahkan kepada panitera untuk menyampaikan salinan putusan kepada PPN KUA Kec. Gading cempaka untuk dicatat dan memberitahukan kepada termohon. 4. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara Rp. 46.000,(empat puluh enam ribu rupiah) Demikianlah putusan ini dijatuhkan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Bengkulu pada hari Rabu, 31 Agustus 2005.
Setelah mencermati beberapa kasus posisi diatas, subtansi alasan perceraian suami istri, maka ada dua bentuk, dimana kedua bentuk ini mempunyai hubungan erat. Pertama, percekcokan yang terjadi secara terus menerus dikenal dengan syiqaq, kedua Nusuz. Dalam hukum Islam syiqaq menurut Ali As-Shabuni dalam tafsirnya, “Rawa Al-Bayan tafsir Ayat Ahkam min Alquran”. Menyebutkan Syiqaq berarti perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga pasangan suami istri dan tidak dapat diselesaikan oleh pasangan suami istri tersebut secara damai. Jika terjadi perselisihan atau percekcokan dalam sebuah rumah tangga hingga sampai kebatas dimana suami istri tidak dapat menyelesaikannya, maka dalam fiqh kedua belah pihak harus mengutus hakam seorang hakam darin pihak istri dan dari pihak suami. Seperti firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 35.
اق بَْينِ ِه َما فَابْ َعثُوا َح َك ًما ِم ْن أ َْهلِ ِه َو َح َك ًما ِم ْن أ َْهلِ َها َ َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِش َق )53( اَّللَ َكا َن َعلِ ًيما َخبِ ًريا َّ اَّللُ بَْي نَ ُه َما إِ َّن َّ الحا يُ َوفِ ِق ْ ِإِ ْن يُِر َيدا إ ً ص Artinya : “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Kata hakam yang terdapat dalam ayat tersebut diatas berarti wakil dari masingmasing pihak suami istri yang dipercayakan untuk mempertemukan dan menyelesaikan benag kusut. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya “Nizam Al Qodla fi As Syar’iah AlIslamiyah”, mengatakan tajkim adalah pengangkatan atau penunjukkan secara suka rela
59
oleh dua orang yang bersengketa akan seseorang yang mereka percayai untuk menyelesaikan sengketan diantara mereka. Pengangkatan ini pada prinsipnya untuk menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai. Untuk itu, perwujudan perdamaian itu sangat tergantung pada kebijakan pihak hakam dan kemampuan hakam dalam menyentuh hati masing-masing yang bersengketa, sehingga keduanya tetap berada dalam i’tikad baiknya sebagi dua orang suami istri yang sudah mempunyai tanggung jawab yang banyak. Dan pihak lain yang bersengketa diperlukan kesadaran dan kelembutan hati mereka untuk menuju kepada perdamaian. Kedua, adalah bentuk nusyuz, kata nusyuz berarti perilaku yang tidak wajar yang menggambarkan kebencian dari salah satu pihak suami istri terhadap tentang nusyuz dari pihak istri, firman Allah dalam surah An-Nias ayat 34 :
ِ الالِت ََتافُو َن نُشوزه َّن فَعِظُوه َّن واهجروه َّن ِِف الْمض ِ ۖوه َّن ب ر اض و اج ِ ْ َ ِ ج َو َ َ ُُ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ )54(
اَّللَ َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًريا َّ فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب غُوا َعلَْي ِه َّن َتبِيال إِ َّن
Artinya : “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (beri pelajaran). Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ayat di atas menjelaskan bagaimana langkah yang harus diambil oleh seorang suami terhadap istrinya yang sedang dalam keadaan nusyuz, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi dalam ayat tersebut, pertama pesan yang menegaskan bahwa jika wanita-wanita tadinya nusyuz kemudian menjadi taat, maka sang suami harus mengerti dan tidak boleh mencari-cari jalan untuk memojokkan apalagi menceraikan mereka. Kedua, untuk sampai kepada
perceraian, harus melalui tahap.-tahp. Artinya suami tidak
dibenarkan menceraikan istrinya sebelum melalui langkah-langkah yang ditegaskan dalam Alquran. Tetapi setelah langkah-langkah itu dilalui dan istri tetap saja dengan nusyuznya maka suami berhak melakukan cerai. Bentuk nusyuz lain yang terdapat dalam Alquran adalah nusyuz datangnya dari pihak laki-laki. Firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 128 :
60
ِوإِ ِن امرأَةٌ خافَ ِمن ب عل ِ ِ َ صلِ َحا ي ن أ ا م ه ي ل ع اح ن ج ال ف ا اض ر ع إ َو أ ا وز ش ن ا ه َ ْ َ ُ َ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َ َْ َ ُ ج
ص ْل ًحا ُ بَْي نَ ُه َما
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa dari keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarbenarnya, dan perdamaian itu adalah baik”.
Dari dua bentuk perselisihan diatas, terdapat perbedaan, kalau nusyuz ketidaksetiaan itu datang dari satu pihak dari istri atau suami sedangkan pihak yang lain masih menunjukkan kesetiannya. Sedangkan syiqaq adalah cekcok yang disebabkan oleh kedua belah pihak sudah tidak ada yang mengalah. Namun demikian antar nusyuz dan syiqaq memiliki hubungan erat. Hubungan keduanya adalah hubungan kuasalitas dimana nusyuz disatu kali bisa menjadi salah satu sebab terjadinya syiqaq, ini dapat dilihat dalam Alquran suarh An-Nisa ayat 34 yang berbicara tentang nusyuz dan ayat 35 yang berbicara tentang syiqaq. Dimana apabila masalah nusyuz tidak dapat diselesaikan dengan diberi pelajaran maka puncaknya terjadi syiqaq. Ada dua kriteria yang menjadikan perselisihan dalam sebuah rumah tangga disebut sebagai perkara syiqaq : 1. Ketidaksesuian itu terdapat pada kedua belah pihak. Artinya, masing-masing pihak telah memperlihatkan tingkah laku yang tidak kompromi lagi. Kaitannya dengan penelitian ini, perkara yang sangat representatif untuk diangkat adalah posisi kasus pemohon Adi dengan termohon Citera, nikah pada tanggal 8 januari 2003 dan mengajukan surat permohonan talak pada tanggal 1 oktober 2005. Dalam putusan dijelaskan bahwa pernikahan yang dilangsungkan kedua belah pihak tidak didasari oleh persetujuan atau dengan kata lain perkawinan dilangsungkan dengan paksa tidak saling mencintai. Kondisi ini dapat dipastikan adanya ketidaksesuian diantara kedua belah pihak dalam membangun rumah tangga. Hal ini dibuktikan, dalam berita acara persidangan, sejak menikah antar pemohon dan termohon tidak pernah rukun dalam rumah tangga sebagimana layaknya suami istri. Bahkan sejak tanggal 8 januari 2003, satu hari setelah menikah, sampa surat permohonan ini dimasukkan, antara pemohon dan termohon belum pernah melakukan hubungan suami istri (qabla ad-dukhul).
61
Kejadian ini juga diakui oleh keterangan para saksi yang dihadirkan oleh kedua belah pihak yang saling berkesesuain dengan keterangan pemohon dan termohon. Dengan demikian mempertahankan rumah tangga antara pemohon dan termohon akan dikhawatirkan menimbulkan hal-hal yang negatif bagi kedua belah pihak dan apa yang diinginkan dalam perkawinan tidak akan terwujud. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya ketidaksesuaian diantara kedua belah pihak, jauh sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak harus saling kenal dan saling menyetujui. Rasullullah SAW pernah membatalkan suatu perkawinan, karena wanita yang dikawinkan tidak diminta persetujuannya terlebih dahulu oleh walinya. Meskipun wali sendiri memiliki kepentingan terhadap suatu perkawinan, akan tetapi orangorang yang akan kawin lebih besar haknya dibandingkan dengan hak walinya. Sabda Rasullullah SAW :
األمن, أن رتول هللا صلى هللا عليه وتلم,عن ابن عباس رضي هللا عنه احق بنفسها من وليها والبكر َتمر بنفسها واذهنا صماهتا Artinya : “Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; orang yang tidak mempunyai jodoh itu lebih berhak atas perkawinannya dari pada walinya. Dan gadis itu dimintakan izinnya adalah diamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun demikian, persetujuan yang diinginkan dalam perkawinan dimaksud, semestinya persetujuan yang murni, betul-betul tercetus dari pada calon, bukan purapura atau hasil suatu paksaan, dengan harapan untuk menjaga kelanggengan rumah tangga yang akan dibangun.
2. Percekcokan itu tidak dapat diselesaikan oleh kedua suami istri secara berdamai, dimana masing-masing suami istri menunjukkan sikap kebencian, tidak simpatik, tidak mau mengalah sehingga terjadilah cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan percekcokan disini dipicu oleh pihak suami. Pihak suami telah mengakibatkan kedua belah pihak berlainan arah dan mengakibatkan syiqaq dalam rumah tangga mereka. Dalam penelitian ini, kasus posisi yang sesuai dengan bentuk ini adalah kasus Rani binti Yono dengan Irwan bin Amir dalam cerai gugat. Dalam 62
berita acara persidangan ditegaskan bahwa pemicu percekcokan dalam rumah tangga mereka adalah bahwa tergugat sering gonta ganti wanita dan tergugat tidak jujur terhadap penggugat. Dalam hukum fiqh, sesuai dengan petunjuk ayat 35 Surat An-Nisa, setiap perkara syiqaq yang terjadi dalam sebuah rumah tangga sebelumnya harus diselesaikan dengan perantara hakam yakni untuk wakil dari masing-masing pihak suami istri yang dipercayakan untuk mempertemukan dan menyelesaikan masalah rumah tangga mereka dengan jalan damai. Dalam kasus ini, langkah di atas telah ditempuh akan tetapi para hakam tidak berhasil mendamaikan mereka. Untuk itu, jalan yang tepat untuk ditempuh adalah pengadilan, sebab dari hukum fiqh syiqaq merupakan salah satu alasan bolehnya melakukan perceraian. Untuk menyelesaikan perkara ini Pengadilan Agama Kota Bengkulu mengatakan, menimbang bahwa : 1. Telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara para penggugat dan para tergugat yang tidak bisa didamaikan lagi sebagaimana yang diinginkan dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintahan No. 9 Tahun 1975. 2. Rumah tangga para penggugat dan tergugat tidak sesuai lagi dengan tujuan perkawinan yang termaktub dalam pasal 1 UU No.1 tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam 3. Mempertahankan rumah tangga penggugat dengan tergugat dikhawatirkan akan menimbulkan mudharat yang lebih besar dan penderitaan yang berkepanjangan. Untuk itu, maka Pengadilan Agama Bengkulu membenarkan adanya perceraian dalam keluarga mereka. Kasus lain yang dipicu oleh pihak suami adalah posisi kasus Lisa binyi Ali dengan Zuli bin Topan. Dalam kasus ini dijelaskan bahwa pertengkaran yang mengakibatkan buruknya kehidupan berkeluarga mereja adalah karena suami kurang bertanggung jawab terhadap keluarga dan suka emosional. Langkah perdamaian dengan mengutus hakam dari pihak telah ditempuh akan tetapi gagal, untuk itu dengan mempertimbangkan kondisi rymah tangga yang semakin ruyam, oleh Majelis Hakim dijatuhkan talak satu bain sughra. Dalam hal kasus di atas tergugat tidak menghadiri persidangan dan akibatnya keputusan Majelis Hakim Verstek. Agaknya hal ini yang dilihat oleh Majelis Hakim untuk bersegera memberi izin kepada Penggugat dan tergugat untuk bercerai. Persoalan lain sebagai penyebab perceraian pada pasangan muda ini adalah nusyuz, dimana ketidakcocokan itu muncul dari pihak istri. Dalam Laquran (Surat 63
An-Nisa ayat 34) disebutkan bahwa jika seorang istri nusyuz, maka suami sebelum sampai kepada keinginan untuk bercerai harus melalui beberapa tahapan. Artinya sang suami tidak dibenarkan untuk bermaksud menceraikan istrinya yang nusyuz sebelum melalui langkah-langkah yang telah ditegaskan dalam Alquran. Langkahlangkah yang dimaksudkan adalah menasehatinya, memisahkan mereka dari tempat tidur dan memukul (memberi pelajaran). Setelah langkah-langkah ini ditempuh dan si istri tetap juga dalam nusyuznya, seperti berbuat zina, meninggalkan rumah tanpa seizin suami dan lain-lain, maka suami dalam hal ini berhak untuk mengajukan permohonan talak. Sehubungan dengan itu, maka posisi kasus yang dianggap nusyuz adalah kasus Jon bin Anton dengan Ita bin Ahmad. Pemicu perselisihan ini bermula dari pihak si istri, yang menurut pemohon berselingkuh dengan laki-laki lain, juga meninggalkan rumah tanpa seizin suami. Alasan ini dalam hukum Islam merupakan keharusan bagi seorang suami untuk mengajukan cerai talak, sebab jika tidak itu artinya membiarkan istri melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama yang pada gilirannya akan jatuh pada perbuatan zina. Dalam berita acara persidangan dijelaskan keadaan ini sesungguhnya dipicu oleh kondisi ekonomi, dimana sang suami tidak memiliki pekerjaan tetap dan suami tidak dapat memenuhi kebutuhan sang istri baik materi maupun immateri. Namun demikian
termohon tidak mengingkari bahwa termohon telah meninggalkan
kediaman bersama dengan seorang laki-laki lain dan tidak melakukan tanggung jawab sebagaimana mestinya seorang istri. Untuk itu, majelis hakim melihat bahwa mempertahankan rumah tangga lebih banyak mudharatnya daripada mengakhirinya. Disamping termohon sendiri juga mengakui kebenaran gugatan itu dan setuju untuk mengakhiri rumah tangga mereka. Untuk itu majelis hakim pengadilan agama Bengkulu memberi izin kepada para penggugat untuk mengikrarkan talak setelah putusan mempunyai kekuatan hukum. Pertengkaran dan perselisihan yang dijadikan alasa dari perceraian di atas, apakah dipicu oleh pihak suami atau istri, sebenarnya tidak hanya dialami oleh pasangan muda, tetapi juga pasangan usia dewasa (sesuai dengn ketentuan undangundang). Hanya saja pertengkaran dan perselisihan yang serig terjadi dikalangan pasangan muda, pada umumnya disebabkan oleh emosi yang belum stabil. Secara psikis mereka belum mampu menghadapi berbagai persoala yag menuntut kedewasaan. 64
Kedewasaa meskipun tidak ada kaitannya dengan usia tetapi dapat dipastika bahwa kedewasaan membutuhka waktu yang panjang. Dalam hal ini, faktor umur agaknya memperngaruhi munculnya pertengkaran dan perselisihan. Meskipun pada umumnya kawin dalam usia 20 tahun. Usia ini masih rawan dengan emosional, sebab secara psikologis mental spiritualnya belum stabil. Adanya anjuran untuk bersegera melangsungkan perkawinan bukan berarti tidak memperhatikan banyak hal seperti kematangan mental, fisik dan emosional. Kata-kata ”al-ba’at” dalam hadis “ya ma’tsura as-sabbab” menekankan pada kemampua fisik dan psikis dalam arti yang luas. Dia tidak hanya mampu dalam hal biologis, tetapi juga mentalitas da ekonomis dan ini hanya dapat diperoleh melalui proses waktu. Selanjutnya peneliti melihat, dari data-data yang ditemukan, umumnya usia perkawia pasangan kawin muda atau dini berkisar antara 3 (tiga) tahun sampai 14 (empat belas) tahun, masa perkawinan yang sangat singkat. Dilihat dari masa perkawinan ini, dapat dipastikan bahwa apa yang diinginkan dalam sebuah perkawinan tidak dapat terwujud. Padahal dengan perkawinan diharapkan cinta kasih sesama manusia tetap harus berlangsung terus, sehingga ketentraman keluarga memberi pengaruh positif terhadap ketentraman dalam hidup bermasyarakat.
C. Solusi Perkawinan sangat penting bagi manusia karena dengan perkawinan manusia tidak akan terjerumus pada jurang kehinaan dan kenistaan dalam mengendalikan hawa nafsu birahinya. Islam telah memberikan solusi agar tidak terjerumus dan tidak selalu dalam kenistaan dalam mengendalikan hawa nafsu yaitu dengan menikah. Imam AlGhazali mengataka ada lima manfaat yang bisa diperoleh dalam perkawinan yaitu : pengendalian nafsu syahwat, keturunan, mempunyai banyak teman hidup, membina rumah tangga dan perjuangan melawan kelemahan dalam menghadapi hidup dalam masyarakat. Keinginan orang dalam melangsungkan perkawinan berbeda-beda. Ada yang menginginkan cepat kawin dan ada pula yang menangguhkan sampai batas-batas tertentu, sesuai dengan pendidikan dan cita-cita orang tersebut dalam kehidupannya. Bahkan pada akhir-akhir ini banyak kalangan yang lebih memilih hidup membujang daripada menikah, karena menikah menurut mereka akan mengekang kebebasan dan terbebani dengan tetek bengek keluarga. Namun ironisnya banyak dari mereka (memilih 65
tidak menikah) menyalurkan kepuasan seksualnya melalui jalan yang tidak benar yakni melakukan zina. Bagi golongan yang memilih menikah di usia dini karena takut terjerumus pada perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat terpuji daripada memilih tidak menikah namun melampiaskan kebutuhan biologisnya dengan jalan yang dilarang oleh agama. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa perkawinan dalam usia muda memang disamping menimbulkan dampak negatif tetapi juga menimbulkan dampak positif75, seperti menghindari pelakunya dari penyimpangan seks. Dengan menikah seseorang akan terhindar dari gejolak nafsu syahwat, atau kata lain dengan menikah seseorang akan mampu menyelesaikan persoalan amoral yang terjadi di dalam masyarakat, seperti kebebasan seks, pengkanuran keturunan dan lain-lain. Abu Zahlan mengatakan, orang tua pada umumnya mengawinkan anaknya karena takut anaknya berbuat zina. Jika orang tua menyaksikan perilaku anak-anaknya yang sudah terlalu akrab dengan lawan jenisnya dan orang tua berasumsi bahwa perbuatan anaknya dianggap melanggar norma agama, maka banyak orang tua tersebut mengambil solusi dengan mengawinkannya76. Rasulullah pernah bersabda, “Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah
memberi
nama
yang baik, mendidik akhlaknya,
mengajarkannya menulis, berenang dan keterampilan dan tidak memberikannya rezeki kecuali yang baik dan menikahkannya apabila sudah layak” (HR. Al-Hakim)77. Sebagai orang tua yang beragama Islam yang masih menghormati adat istiadat ketimuran dan masih menjunjung tinggi nilai kesopanan, tentunya tidak mempunyai maksud membiarkan anak-anaknya melakukan tindakan yang menjurus kearah perzinahan, sebab perzinahan itu sendiri merupakan dosa besar. Sarlito mengatakan bahwa pernikahan remaja merupakan pilihan terbaik untuk menciptakan pergaulan yang baik dan sehat.78 Oleh karena itu bagi orang tua yang tidak peduli dengan kondisi moral anaknya dengan mengedepankan banyak hal, seperti masa depan anak, pendidikan yang belum selesai dan lain-lain, adalah tindakan yang sangat keliru, karena secara tidak langsung orang tua ikut berpartipasi menghancurkan moral anaknya. Untuk itu bagi mereka yang sudah menginginkan untuk melangsungkan perkawinan maka bersegeralah “fal yatazawwaj”. Karena dengan kawin dapat 75
Penjelasan dampak negatif dan dampak positif dalam perkawinan di usia muda dapat dilihat dalam Bab II Pernikahan dini dan permasalahannya pada sub bab Dampak Perkawinan dini. 76 Abu Zahlan, Kawin Usia Muda Antara Cara Islam dan Keluarga Berencana, (Bandung : Lth) hal. 12 77 As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Mu’tamarul Hadis, Al-Ma’arif, Jawa barat. 78 Mohammad Fauzhil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002) hal 1
66
menyelamatkan masyarakat daru ancaman dekadensi moral, dengan kawin mampu menimbulkan ketenangan jiwa dan spiritual dan dengan kawin dapat memelihara keturunan. Rasullullah dalam kesempatan lain juga mengatakan, “ada tiga hal yang tidak boleh diakhir-akhirkan, sholat jika telah datang waktunya, jenazah jika telah siap dan yang lajang jika telah ada pasangannya”79. Pesan ini mengandung makna yang sangat dalam, khususnya dalam pernikahan, nikah sesuatu yang tidak boleh ditundatunda, termasuk bagi mereka yang masih dalam usia muda atau yang belum memenuhi ketentuan yang ada dalam perundang-undangan. Bagi laki-laki dan perempuan yang masih di bawah umur dan ingin melangsungkan pernikahan hendaknya mendapat perhatian dan dukungan moral baik dari pihak orang tua maupun pejabat pembuat undang-undang. Orang tua misalnya, seandainya kondisi anak belum mampu membiayai hidupnya sendiri karena anak lakilaki belum bekerja, selayaknya membantu mereka, jika mungkin menunjukkan mereka pekerjaan yang layak, jangan menjadikan “ketiadaan pekerjaan” sebagai alasan untuk menunda perkawinan. Demikian juga Perundang-undangan jika seandainya perkawinan itu tidak dapat ditunda sampai mencapai usia minimal untuk menikah, maka oleh pengadilan harus segera memberi dispensasi perkawinan, sebagaimana dasar hukum untuk dapat melegitimasi perkawinan, di daerah mana perkawinan itu dilaksanakan, tanpa harus mengundur-undur waktu, lebih-lebih jika pasangannya sudah terlebih dahulu hamil. Meskipun demikian, supaya pernikahan itu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh agama dan juga perundang-undangan, maka bagi mereka yang belum mencukupi usia untuk melangsungkan pernikahan, diharapkan bagi orang tua dan juga pembuat kebijakan untuk berperan aktif, seperti : 1. Memberikan Pendidikan dan Keterampilan Pendidikan dan keterampilan merupakan aspek yang sangat penting sebagai bekal kemampuan yang harus dimiliki sebagai penopang dan sumber memperoleh nafkah bagi seseorang yang melangsungkan perkawinan. Bagi seorang pemuda ilmu dan keterampilan sangat diperlukan karena ia akan menempati posisi sebagai kepala rumah tangga yang akan bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan istri dan anak-anaknya. Demikian juga wanita, sekalipun bukan sebagai kepala rumah tangga, tetapi ia sangat berpengaruh dalam pembentukan rumah tangga bahkan ia
79
67
berperan dalam mewarnai kepribadian anak-anaknya. Seorang ibu yang baik dan berilmu akan mampu mengarahkan anak-anknya menjadi anak yang berpribadi luhur dan berakhlak mulia.
2.
Menanamkan Makna Perkawinan Perkawinan bukan sekedar alat untuk melegitimasi sahnya hubungan suami istri atau sarana untuk menyalurkan hawa nafsu seksual, tetapi dalam perkawinan melahirkan banyak konsekuensinya. Dari perkawinan diharapkan melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita orang tua, seperti firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 72,
ِاَّلل جعل لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزواجا وجعل لَ ُكم ِمن أ َْزو ِاج ُكم بن ني َ َ ْ َ ْ ْ َ ََ َ ً َ ْ ْ ْ َ َ َ َُّ َو َِّ اط ِل ي ؤِمنُو َن وبِنِعم ِة ِ وح َف َد ًة ورزقَ ُكم ِمن الطَّيِب ِ ات أَفَبِالْب اَّلل ُه ْم ْ ْ ُ َ َ َ ْ ََ َ ََ َ َ )21( يَ ْك ُفُرو َن Artinya : “Allah menciptakan bagi dirimu untukmu jodoh-jodoh dan menciptakan dari jodohmu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki yang baik.
Keturunan diharapkan oleh orang tua untuk melanjutkan cita-cita yang tidak dapat dicapai selama hidupnya. Dan salah satu cita-cita yang paling tinggi baginya adalah mempunyai anak-anak dan keluarga yang saleh. Anak-anak saleh yang melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya, lebih-lebih mempunyai ilmu yang bermanfaat merupakan amal bagu orang tuanya. Hal ini tentu dapat diperoleh apabila dilakukan oleh orang tua yang masih terikat dalam perkawinan. Sebaliknya pendidikan anak yang kurang sempurna. Bila anak dibesarkan dalam keadaan ayah dan ibunya telah bercerai dalam perkawinan juga diharapkan mampu menimbulkan rasa cinta antara suami istri, rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga besar, yang pada gilirannya pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 ;
68
ِ ِ ِِ وِمن اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها ً آَيته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو َ ْ َ ِوجعل ب ي ن ُكم موَّد ًة ور ْْحةً إِ َّن ِِف َذل )12( آلَي ٍت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّكُرو َن ك َ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ َ َ َ Artinya :” Dan di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah bahwa Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Untuk menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga, suami istri diikat oleh ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan tanggung jawab mengurus kehidupan istrinya. Suami wajib memberi nafkah istrinya, anak-anaknya dan keluarganya serta berkewajiban menyediakan keperluan lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga. Disamping suami, maka istri sebagai ibu rumah tangga mempunyai kewajiban tertentu pula, seperti mengasuh, mendidik dan lain-lain. Antara keduanya saling butuh membutuhkan, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187 :
ِج ه َّن لِباس لَ ُكم وأَنْتم ل )282( اس ََلُ َّن ب َ ٌ ُْ َ ْ ٌ َ ُ Artinya : “.......mereka (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka........”
Tujuan di atas akan tercapai apabila suami dan istri hidup rukun dan damai dalam rumah tangga, adanya saling pengertian, saling memahami dan menerima kelemahan dan kekurang diantara mea keduanya, serta mengetahui cara mengatasi masalah, baik masalah besar ataupun masalah kecil yang menimpa rumah tangganya, berkenaan dengan ini, A.A Human Abdurrahman.
80
mengemukakan cara mengatasi masalah yang timbul dalam
sebuah rumah tangga, pertama, hendaknya suami istri memiliki persepsi yang sama bahwa setiap masalah dapat diselesaikan, kedua, suami istri harus selalu bersikap wajar terhadap masalah yang menimpa rumah tangganya, ketiga, semua masalah harus diselesaikan 80
A. Human Abdurraman, Merajut Kehidupan Pasca Pernikahan, (Jakarta : Wahyu Press, 2003) hal
66.
69
dengan tolak ukur yang sama, yakni Alquran dan Sunnah, keempat, membudayakan sikap berbaik sangka dan khusudzan dalam rumah tangga, kelima, hendaknya kedua pasangan mencoba mengingat-ingat kebaikan-kebaikan pasangannya, jika ia melihat kekurangan pasangannya, dan terakhir, menanamkan kedisiplinan keluarga dengan cara memperteguh ketaatan dan sikap saling mempercayai. Dalam perkawinan khususnya pernikahan dini, haruslah memperhatikan beberapa faktor yang harus ditempuh dan disiapkan sebelum memasuki jenjang perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus disiapkan pasangan yang akan melakukan pernikahan, adalah : Pertama, kemampuan seksualitas, apabila seseorang belum matang organ seksualitasnya maka bukanlah ideal jika melaksanakan perkawinan karena telur dalam rahim mereka belum siap dibuahi oleh seorang laki-laki, namun demikian bukan berarti mereka sudah siap untuk menikah sebab selain faktor seksualitas masih banyak pertimbangan lain. Kedua, kemampuan mengatur rumah tangga. Perkawinan tidak hanya suatu alat untuk memenuhi kebutuhan seks saja, melainkan banyak hal yang harus dikerjakan, jika seseorang yang ingin menikah akan tetapi belum siap untuk mengaturnya. Ketiga, kemampuan ekonomi, faktor ekonomi juga tidak kalah pentingnya jika ingin melaksanakan pernikahan. Faktor ini akan berpengaruh besar terhadap perceraian jika suami maupun istri tidak mempunyai kemampuan tersebut. Keempat, kemampuan pendidikan, tingkat pendidikan seseorang akan membedakan dalam membina sebuah perkawinan, rumah tangga yang dikendalikan oleh suami istri yang berpendidikan tinggi akan berbeda dengan mereka yang berpendidikan rendah. Disamping itu, satu hal yang perlu dipahamkan pada mereka yang ingin melangsungkan perkawinan dalam usia muda adalah kedudukan mereka dalam bermasyarakat. Dalam lingkungan masyarakat, seseorang yang sudah berstatus suami istri mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berbeda dengan orang yang masih berstatus bujangan. Pemahaman ini dimaksudkan agar tercipta suasana dimana dalam suatu rumah tangga yang dibina diakui keberadaannya oleh masyarakat sekitar sebagai bagian dari anggota masyarakat sehingga keluarga yang dibentuk tidak merasa terlempar dari pergaulan yang bersifat umum.
70
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian dan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa batasan usia dalam pernikahan dini sanagatlah variatif, ada yang berpendapat bahwa penikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan dibawah usia 15 tahun, sebagian lagi berpendapat 17/18 tahun, dibawah usia 20 tahun, dibawah 24 tahun, namun jika dikaitkan dengan undang-undang perkawinan maka yang termasuk pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pasangan yang berusia dibawah usia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Ada beberapa penyebab perceraian yang ada pada pengadilan Agama Bengkulu diantaranya poligami, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, faktor ekonomi, tidak bertanggung jawab, kawin dibawah umur, penganiayaan, dihukum, politis, gangguan pihak ketiga, tidak harmonis. Untuk melihat fakta, maka penulis mengumpulkan beberapa putusan-putusan Hakim mengenai perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama Bengkulu dari tahun 2003 sampai 2006 mengalami naik turun, pada tahun 2003 perceraian terjadi 185 kasus, tahun 2004 terjadi 216 kasus, tahun 2005 terjadi 214 kasus dan 2006 terjadi 169 kasus. Untuk melihat apakah pernikahan dini pemicu utama perceraian. Setelah diteliti ternyata alasan menikah muda atau pernikahan dini bukanlah alasan yang signifikan untuk melakukan perceraian dibanding dengan alasan-alasan lain seperti tidak harmonis menduduki tingkat tertinggi yakni 502 kasus, disusul dengan tidak bertanggung jawab 145 kasus. Artinya pernikahan dini yang selalu identik dengan perceraian tidak sepenuhnya benar, meskipun tidak dipungkiri bahwa perkawinan usia dini dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya perceraian. Setelah mencermati beberapa kasus diatas, substansi dari alasan perceraian pasangan suami istri yang berusia muda intinya ada dua bentuk yang mempunyai kaitan yang erat. Pertama sering terjadinya percekcokan secara terus menerus yang istilah hukum disebut syiqaq dan yang kedua dalam bentuk nusyuz. Pernikahan dini tidaknya dilarang, hanya saja pasangan yang ingin menikah diusia dini hendaknya memenuhi syarat-syarat agar tidak terjadinya perceraian, syarat tersebut adalah : a. Kemampuan seksual 71
b. Kemampuan rumah tangga c. Kemampuan ekonomi d. Kemampuan pendidikan Dari data yang ada pada umumnya usia pernikahan pasangan kawin muda berkisar antara 2 sampai 9 tahun, masa perkawinan yang cukup singkat. Sedangkan perceraian adalah hal yang tidak diinginkan bagi pasangan suami istri.
B. Saran Bagi laki-laki dan perempuan yang masih dibawah umur dan ingin melangsungkan pernikahan karena takut akan perzinahan dan pergaulan bebas, hendaknya mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tua. Jika ingin menikahkan anak pada usia muda hendaknya perlu meperhatikan bidang pekerjaan yang akan dilakukan bagi laki-laki, karena nantinya ia merupakan tulang punggung keluarga. Untuk tidak terjadinya pernikahan dini yang tidak diharapkan hendaknya orang tua juga memberikan pendidikan dan keterampilam menanamkan makna perkawinan kepada anak-anak mereka. Pernikahan dini ini mungkin diterapkan ditengah masyarakat kita asalkan semua konsekuaensi dan berkomitmen demi memajukan Islam, selain itu harus ada kerjasama dengan para pakar, dan cendikia dan darmawan setiap ada persoalan yang muncul teruama masalah pernikahan.
72
DAFTAR PUSTAKA
A. Abdurrahman, Merajut Kehidupan Pasca Pernikahan, Jakarta : Wahyu Press, 2003. Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, Bandung : Mujahid Press, cet ke-2, 2002. -------------------, Pernikahan Dini, Dilema Generasi ekstravaganza, Bandung : Mujahid Press, Cet ke-2, 2003. Adhim Mohammad Fauzhil, Indahnya Pernikahan Dini, Jakarta : Gema Insani Press, cet ke-2, 2002 Alquran dan Terjemahan, Jakarta : Departemen Agama RI, 1987. Abdurrahman, H. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992. Abu Hasan Al-Kusyairi Al-Naisabury, Muslim bin Al-Hajjaj, Shaheh Bukhari, Beirut : Darul Ihya’ Atturaz Al-Araby, Juz II. Aminuddin, Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999 Arto, Mukti, H.A, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Jakarta : Rajawali Press, 1996. As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, Juz 2, Beirut : Dar Al-Tsaqafiyah Al-Islamiyah 1968) As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VIII, Beirut : Dar Al-Bayan 1968. Al-Khatib As-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Beirut At-Turusi Al-Arabi, tt, Juz II Amir Suma, Muhammad, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan lainnya di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2004 Az-Zuhaily, Kawin Usia Muda antara Citra Islam dan Keluarga Berencana, Bandung : tt. Basri, Hasan, Keluarga Sakinah, Yogyakarta : Pustaka Palapa, 1999 ----------, Remaja Berkualitas, Problematika Remaja dan Solusinya, Yogyakarta : Gajah Mada Press. 1989 Budiman, Arief, Kuliah menjelang Pernikahan, Jakarta : Studia Press, 2003 Bina Sarana Informatika Oppicial, website, Pernikahan Dini, 21 Nopember 2006 Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam, Malaysia : Thinker Library SDN, BHD, 1994 Departemen Agama RI, Himpunan Perundang-undangan Perkawinan Faizal bin Abdul Aziz, Nailul Athar Terjemahan, Jilid 5, Semarang, Bina Ilmu, 1993 73
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-undang No. 7 tahun 1989, Jakarta : Pustaka Kartini 1997 Harahap, Yahya, M. Hukum Perkawinan Nasional, cet ke-1, Medan : CV. Zzahir Trading Co. Medan, 1975 Haditomo, Siti Rahayu, Psikologi Perkembangan Nasional dan Bagian-bagiannya, Yogyakarta : Gajah Mada Press, 1989 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Depag RI Inseklopedia Hukum Islam,........... Ibnu Hajar, Al-Asgulani, Bulugul Maram, Surabaya : Syirkah Amaliyah, cet ke-2 Jafizham T., Peranan Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Undang-Undang Pekawinan dalam buku “Kenan-kenangan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Depag, 1985 Jaziri, Al, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Al Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, Beirut : Dar Ihya al-turas al-aravy, 1979 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta :Balai Pustaka, 1990 Khallaf, Wahab Abdul, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Terj. Mochal, Tolchah Mansoer, et. Al. Jus I, Bandung : Risalah, 1985 Kusairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, cet ke-1, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 Mahdiah, Permasalah Hukum Perkawinan dan Kewarisan, cet ke-1, Jakarta :Pustaka Panjimas, 1994 Muhdor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), cet ke-2, Bandung : Al-Bayan, 1995 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, LKIS :Yogyakarta, 2005 Muhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet ke-1, Jakarta :Bulan Bintang, 1974 Mahali, Ahmad Mudjab, Wahai Pemuda Menikahlah, Yogyakarta : Menara Kudus, 2002 Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta : Al-Hikmah, 1995 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhammad, Buku kedua, Jakarta :Basrie Press, 1994 Muhammad, Maulana Ali, Islamologi, terj. Jakarta : Darul Qutbil Islamiyah, 1994 Muhammad Husein, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan gender, Yogyakarta, LKIS, cet ke-2, 2002 Nasution Hotmida, Pernikahan Dini, Tesis, 2002 74
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Departemen Agama, Jakarta : PT. Raja Grafinfo Persada, 1998 Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indoenseia dan Malaysia, Bandung : Rosdakarya, 1991 Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta : Pradya Paramita, 2001 Sastro Atmudjo, Arso dan Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1981 Subekti, Astrodidibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradya Paramita, 2001 Sadiq, SE, HAL. Sholahuddin Chaery, Kamus Istilah Agama, Jakarta : CV. Cientarama. Syuyuthi, AL-Jalal Al Din, Al-Jami Al Shaghir, Juz I, Bandung : Al Ma’arif, tt Sidogiri.com, http.www.com 21/11/2006 Suara Pembaharuan, edisi 18 Agustus 2002 Thalib, Suyuti, Hukum Kekeluargaan di Indonesia; Berlaku bagi Umat Islam, cet ke-5, Jakarta : UI Press, 1986 Ummi, Resiko Menikah di Usia Muda, Konsultasi Hukum, Edisi 11/XII/2001 Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab : Raja Grafindo Watcik, Saleh K. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia, 1978 Zahlan, Abu, Kawin Usia Muda Citra Islam dan Keluarga Berencana, Bandung : tt.
75