HUBUNGAN JUMLAH GIGI SUSU DENGAN POLA MAKAN ANAK USIA 9-24 BULAN
JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana Strata-1 Kedokteran Umum
APRILIA TRI NOORHARSANTI 22010110110052
PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2014
HUBUNGAN JUMLAH GIGI SUSU DENGAN POLA MAKAN ANAK USIA 9-24 BULAN
Aprilia Tri Noorharsanti*, Maria Mexitalia**
ABSTRAK Latar Belakang Erupsi gigi pada manusia modern lebih lambat dibandingkan jaman dahulu. Adanya perubahan pola makan menyebabkan arkus mandibula dan maxilla mengecil, yang menjadi salah satu penyebab keterlambatan erupsi. Akibatnya, orang tua terlambat memberikan MP-ASI dan menyebabkan kesulitan makan pada anak. Tujuan Mengetahui hubungan antara jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Sampel berjumlah 43 anak berusia 9-24 bulan yang dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan sampel dilakukan di Puskesmas Srondol Kecamatan Banyumanik pada bulan April sampai Mei 2014. Data didapatkan melalui pengisian kuesioner oleh ibu subjek dan penghitungan jumlah gigi susu pada subjek. Data yang terkumpul diuji dengan uji kai kuadrat apabila memenuhi syarat, dan uji Fisher apabila tidak memenuhi syarat. Hasil Pada anak usia 9-24 bulan, 48,9% anak mempunyai jumlah gigi susu terlambat dan 53,2% diantaranya mendapatkan pola makan tidak sesuai usia. Dalam penelitian ini didapatkan hubungan antara jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 9-24 bulan (p=0,028) Kesimpulan Jumlah gigi susu berhubungan dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Kata Kunci gigi susu, pola makan
* Mahasiswa program pendidikan S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang ** Staf Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP dr. Karidi Semarang
THE ASSOCIATION OF THE NUMBER OF DECIDUOUS TEETH WITH CHILDREN FEEDING PATTERN AGED 9-24 MONTHS
Aprilia Tri Noorharsanti*, Maria Mexitalia**
ABSTRACT Background Teeth eruption on modern human was lower than former human. The changing of feeding pattern caused mandible and maxilla arch become smaller, which was become one of the causes of eruption delay. The result, parents were offer delayed of giving complementary feeding which caused feeding problem on children. Aim To find out the relation between the number of deciduous teeth with children feeding pattern aged 9-24 months. Methods This research was an observational research with cross sectional design. 43 children aged 9-24 months were chosen by consecutive sampling method. The research was done at Puskesmas Srondol on April to Mei 2014. The data was collected through filling out the questionnaire by the subject’s mother and counting the number of subject’s deciduous teeth. The data collected was tested by Chi Square test if it was qualified, and Fischer test if it was unqualified. Result On children aged 9-24 months, 48.9% of the children had delay of deciduous teeth number and 53.2% among them offered inappropriate feeding pattern with their age. There was a relation between the number of deciduous teeth with children feeding pattern aged 9-24 months (p=0.028) Conclusion The number of deciduous teeth related with children feeding pattern aged 9-24 months. Keywords deciduous teeth, feeding pattern
* Undergraduate student of Faculty of Medicine Diponegoro University Semarang ** Department of Pediatric Faculty of Medicine Diponegoro University/ dr. Kariadi Hospital Semarang
PENDAHULUAN Erupsi gigi susu pada anak mulai berlangsung pada usia enam bulan. Umumnya, erupsi gigi susu diawali oleh gigi susu insisivus sentral mandibula. 1, 2 Namun, pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahoney, didapatkan adanya periode
pertumbuhan
gigi
yang
memanjang
pada
manusia
modern.3
Mengkonsumsi makanan yang telah diolah atau kebiasaan megunyah makanan yang lunak dapat arkus mandibula dan maxilla menjadi lebih kecil. 4 Berkurangnya panjang arkus ini dapat menyebabkan terjadinya erupsi gigi yang terlambat.5 Erupsi gigi susu anak yang terlambat akan berpengaruh pada jenis MP-ASI yang diterima oleh anak tersebut. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Carruth dkk. bahwa pengenalan makanan pendamping harus konsisten dengan gigi yang telah erupsi dan kemampuan anak untuk mengunyah.6 Padahal, usia 6-9 bulan merupakan periode kritis dalam perkembangan ketrampilan makan sehingga apabila pada periode ini bayi tidak dilatih untuk makan yang semakin padat dan kasar, maka di usia selanjutnya bayi hanya dapat makan yang cair atau lembut saja dan tidak mampu menerima makanan keluarga sehingga timbul masalah makan. Pemberian MP-ASI yang terlambat (sesudah usia 7 bulan) dapat mengakibatkan hal-hal yang merugikan seperti gagal tumbuh, defisiensi zat besi, serta gangguan tumbuh kembang. 7 Saat anak berumur 6-8 bulan, bentuk MP-ASI yang dapat diterima oleh anak adalah makanan lumat seperti bubur susu, bubur tim yang dilumat, sayuran, daging, dan buah yang dilumatkan, makanan yang dilumatkan, biskuit, dan lainlain. Untuk anak berumur 9-11 bulan, bentuk MP-ASI yang diberikan lebih padat dari sebelumnya yaitu makanan lembik atau dicincang seperti bubur nasi, nasi tim, dan nasi lembek yang mudah ditelan anak dan makanan selingan yang dapat dipegang anak yang diberikan diantara waktu makan lengkap. Bagi anak umur 1-2 tahun, bentuk MP-ASI untuk mereka adalah makanan keluarga yang dicincang atau dihaluskan jika diperlukan.8-10 Sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun, lanjutkan beri makan makanan orang dewasa dengan porsi yang lebih banyak dari sebelumnya.8
Perlu diketahui bahwa pola makan pada anak yang tidak sesuai dengan usia dapat menyebabkan kesulitan makan. Sebagian besar anak usia 6-24 bulan didiagnosis sebagai kesulitan makan inappropriate feeding practice yaitu praktik pemberian makan pada anak yang tidak sesuai dengan umur ataupun tahapan perkembangan.11-13 Pada jurnal yang ditulis oleh Darwati dkk., dari 120 anak usia 6-24 bulan yang memenuhi kriteria inklusi di 6 Posyandu Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura, didapatkan 99 anak (83,2%) yang terdiagnosis sebagai kesulitan makan inappropriate feeding practice.12 Inappropriate feeding behaviours merupakan faktor penentu penting pada malnutrisi anak. 9 Sebesar 2/3 kematian balita sering dikaitakkan dengan kesulitan makan inappropriate feeding behaviours yang terjadi selama tahun pertama kehidupan balita tersebut. 14 Kejadian malnutrisi meningkat tajam pada usia 6 sampai 18 bulan di sebagian besar negara, dan kekurangan gizi yang diperoleh pada usia ini sulit untuk dikompensasi dikemudian hari dimasa kanak-kanak.9 Gangguan pemenuhan kebutuhan gizi pada anak usia enam bulan sampai tiga tahun merupakan bagian dari gangguan gizi anak pada golden period. Pada periode ini, anak harus mendapat perhatian yang serius baik dalam segi nutrisi yang memadai dan juga intervensi stimulasi dini.15 Penelitian mengenai hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan pada anak usia usia 9-24 bulan di Indonesia belum pernah dilakukan. Padahal, akibat yang ditimbulkan oleh ketidaksesuaian pola makan anak dengan usianya sangat besar. Diharapkan dengan mengetahui hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan pada anak usia usia 9-24 bulan dapat mengantisipasi masalah ketidaksesuaian pola makan anak dengan usianya.
METODE Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Srondol Kecamatan Banyumanik, Semarang. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan penelitian studi cross-sectional. Subyek penelitian ini adalah 43 anak usia 9-24 bulan.
Instrumen penelitian ini menggunakan form pemeriksaan jumlah gigi susu dan kuesioner hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Pola makan anak dinilai berdasarkan jenis makanan yang diterima oleh anak dan dicocokkan dengan usianya apakah sesuai atau tidak sesuai. Jumlah gigi susu anak dinilai berdasarkan banyaknya gigi susu yang erupsi dan dicocokkan dengan usianya, apakah sesuai usia atau terlambat. Alur penelitian ini adalah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia mengikuti penelitian diberikan informed consent terlebih dahulu, kemudian dilakukan pengisian kuesioner serta penghitungan jumlah gigi susu. Selanjutnya, kuesioner dikumpulkan kemudian dianalisis datanya. Analisis data dilakukan dengan analisis analitik. Pada analisis analitik, data yang termasuk dalam skala kategorikal seperti jumlah gigi susu, pola makan, pengetahuan ibu, dan pendidikan ibu dinyatakan dalam distribusi frekuensi dan persen. Sedangkan data dengan skala rasio seperti usia dalam rerata, median, dan simpang baku. Data yang memenuhi syarat diuji dengan menggunakan uji kai kuadarat (uji x2) dan data yang tidak memenuhi syarat, diuji dengan menggunakan uji Fisher.
HASIL Karakteristik Subjek Subjek yang didapatkan berjumlah 47 anak, yang terdiri dari 20 (42,6%) laki-laki dan 27 (57,4%) perempuan, dengan kelompok usia 12-17 bulan mempunyai jumlah paling banyak yaitu berjumlah 18 anak (38,3%) dan rerata usianya 13 bulan.
Tabel 1. Data Usia Subjek Usia 9-11 12-17 18-24
Frekuensi 14 18 15
% 29,8 38,3 31,9
Jumlah
47
100
Sebanyak 24 anak (51,1%) memiliki jumlah gigi susu sesuai usia, dan 23 anak (48,9%) memiliki jumlah gigi susu yang terlambat. Untuk pola makannya, 25 anak (53,2%) menerima pola makan yang tidak sesuai, sedangkan 22 anak (46,9%) lainnya menerima pola makan yang sesuai.
Tabel 2. Data Jumlah Gigi Susu Anak Usia 9-24 Bulan Jumlah Gigi Susu seusai usia terlambat Jumlah
Frekuensi 24 23 47
% 51,1 48,9 100
Tabel 3. Data Pola Makan Anak Usia 9-24 Bulan Pola Makan sesuai tidak sesuai Jumlah
Frekuensi 22 25 47
% 46,8 53,2 100
Jumlah subjek yang memiliki ibu dengan pendidikan terakhir SD berjumlah 4 (8,5%), SMP berjumlah 10 (21,3%), SMA berjumlah 29 (61,7%), dan D3 berjumlah 4 (8,5%). Sedangkan jumlah subjek yang memiliki ibu dengan pengetahuan baik berjumlah 7 (14,9%), cukup berjumlah 38 (80,9%), dan kurang berjumlah 2 (4,3%).
Hubungan Jumlah Gigi Susu dengan Pola Makan Anak Didapatkan nilai signifikasi p=0,028 (p<0,05) yang artinya terdapat hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Namun, apabila dikelompokkan berdasarkan usianya, maka untuk usia 9-11 bulan didapatkan nilai signifikasi p=0,100 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 9-11 bulan. Adapun untuk usia 12-17 bulan didapatkan nilai signifikasi p=0,172 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 12-17 bulan. Sedangkan untuk usia 18-24 bulan didapatkan nilai signifikasi p=0,476
(p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 18-24 bulan.
Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Ibu dengan Pola Makan Anak Usia 9-24 Bulan Melalui uji kai kuadrat yang dilakukan untuk pendidikan ibu dengan pola makan anak, didapatkan nilai signifikansi p=0,775 (p>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pola makan anak. Begitu juga dengan pengetahuan ibu, dimana didapatkan nilai signifikans p=0,228 (p>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan pola makan anak.
PEMBAHASAN Sebanyak 47 anak usia 9-24 bulan yang didapatkan pada penelitian ini, 24 anak (51,1%) memiliki jumlah gigi susu sesuai usia dan 23 anak (48,9%) memiliki jumlah gigi susu terlambat. Jika dikelompokkan menurut usianya, didapatkan hasil dimana usia 9-11 bulan memiliki jumlah gigi susu sesuai usia paling banyak (57,1%), usia 12-17 bulan memiliki jumlah gigi susu terlambat paling banyak (83,3%), dan usia 18-24 bulan memiliki jumlah gigi susu sesuai usia paling banyak (86,7%). Penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Mesir menunjukkan data bahwa kemunculan gigi susu paling awal terlihat pada gigi insisivus sentral mandibula pada usia 8 bulan. 16 Padahal, gigi susu insisivus sentral mandibula seharusnya sudah erupsi saat bayi berusia 5-7 bulan.1 Ada beberapa penyebab mengapa jumlah gigi susu anak dapat terlambat, seperti hipodonsia (kekurangan jumlah gigi) dan erupsi gigi susu yang terlambat. 17 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gizi anak berperan penting dalam munculnya gigi susu.18,19-24 Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Soliman dkk. secara langsung menunjukkan adanya pengaruh status gizi anak terhadap jumlah gigi susu.25 Tingkat keparahan penyakit saat neonatus dan prematuritas juga dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi susu.21,22 Namun, keterlambatan erupsi pada prematuritas bukan diakibatkan keterlambatan pertumbuhan gigi susu tetapi
karena usia kelahiran bayi yang sebelum waktunya. 22 Dalam sebuah jurnal disebutkan bahwa mengunyah dapat mempercepat proses erupsi gigi. 26
Tabel 4. Data Jumlah Gigi Susu per Kelompok Usia Usia 9-11 12-17 18-24
Sesuai 8 3 13
Pola Makan % terlambat 57,1 6 16,7 15 86,7 2
% 42,9 83,3 13,3
Secara keseluruhan, pola makan terbanyak adalah pola makan yang tidak sesuai dengan usianya (53,2%). Peninjauan lebih mendalam dari 91 anak usia 624 bulan yang memiliki kesulitan makan inappropriate feeding practice menunjukkan bahwa 60% anak yang menderita kesulitan makan inappropriate feeding practice diberikan makanan yang tidak sesuai dengan usianya. 11 Penelitian di Burkina Faso, Afrika, yang juga merupakan negara berkembang, menyebutkan bahwa 108 bayi terlambat menerima MP-ASI, dan 97% dari bayi berusia 6 bulan belum menerima MP-ASI.27 Dan sebanyak 79% dari 647 responden usia 0-23 bulan di India, mendapatkan pola makan yang tidak sesuai dengan usianya.28 Apabila dipisahkan menurut kelompok usianya, didapatkan hasil bahwa pola makan terbanyak yang diterima oleh anak usia 9-11 bulan dan 12-17 bulan adalah pola makan yang tidak sesuai dengan usianya. Sedangkan untuk kelompok usia 18-24 bulan, pola makan terbanyak yang diterima adalah pola makan yang sesuai dengan usianya. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian di Tanzania dan di Indonesia dimana kelompok usia terbanyak yang menerima pola makan sesuai dengan usianya adalah kelompok usia 18-23 bulan, dan yang paling sedikit adalah kelompok usia 6-11 bulan.29,30
Tabel 5. Data Pola Makan Anak per Kelompok Usia Usia 9-11 12-17 18-24
Sesuai 6 5 11
Pola Makan % terlambat 42,9 8 27,8 13 73,3 4
% 57,1 72,2 26,7
Anak yang diberikan makanan yang tidak sesuai dengan usianya akan mengkonsumi makanan tersebut dalam jumlah sedikit atau bahkan membutuhkan waktu yang lama untuk menghabiskannya.31 Perlu diketahui bahwa praktik pemberian makan pada anak yang tidak sesuai dengan usia merupakan faktor penentu penting pada malnutrisi anak. Padahal, kekurangan gizi pada usia 6-18 bulan akan sulit dikompensasi dikemudian hari pada masa kanak-kanak.9 Pendidikan terakhir ibu paling banyak adalah SMA (61,7%) dan paling sedikit adalah SD (8,5%) dan D3 (8,5%). Hasil ini sesuai dengan hasil beberapa penelitan yang juga dilakukan di Semarang, dimana pendidikan ibu paling banyak adalah SMA.13,
32, 33
Adapun pengetahuan ibu paling banyak adalah cukup
(80,9%). Pada ibu dengan pendidikan lebih tinggi, mereka mengakui bahwa tidak sepenuhnya mengerti bagaimana cara memberikan makan yang sesuai dengan usia anak. Alasan mereka adalah karena mereka bekerja, sehingga jarang mengikuti penyuluhan. Penelitian ini menunjukan hasil yang mendukung hipotesis yaitu terdapat hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian terdahulu dimana pengenalan makanan pendamping yang dilakukan oleh orang tua, sesuai dengan gigi yang telah erupsi dan kemampuan anak untuk mengunyah.6 Namun apabila subjek dibagi menjadi tiap kelompok usianya, maka akan didapatkan hasil bahwa baik kelompok usia 911 bulan, 12-17 bulan, dan 18-24 bulan tidak terdapat hubungan jumlah gigi susu dengan pola makan anak. Mengacu dari hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya dapat dikatakan bahwa apabila jumlah gigi susu kurang dari normal, maka pengenalan makanan pendamping ASI akan terlambat juga. Pemberian MP-ASI yang terlambat (sesudah usia 7 bulan) dapat mengakibatkan hal-hal yang merugikan seperti gagal tumbuh, defisiensi zat besi, serta gangguan tumbuh kembang. Disebutkan pula bahwa apabila pada usia periode kritis dalam perkembengan keterampilan makan (usia 6-9 bulan) bayi tidak dilatih untuk makan yang semakin padat dan kasar, maka di usia selanjutnya bayi hanya dapat makan yang cair atau lembut saja dan tidak mampu menerima makanan keluarga sehingga timbul masalah makan. 7
Dalam penelitian lain didapatkan hasil bahwa waktu pengenalan MP-ASI pada tahun pertama kehidupan anak akan mempengaruhi kebiasaan makan anak tersebut pada tahun kedua kehidupannya.34 Pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan baik antara pendidikan maupun pengetahuan ibu dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Wright dkk., dimana pengetahuan ibu dalam hal metode pemberian makan tidak berhubungan dengan pola makan yang didapat oleh anak.35 Penelitian lain yang dilakukan oleh Cribb dkk. juga mendukung hasil penelitian ini, dimana pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan pola makan anak.36 Peningkatan pengetahuan ibu pada pola makan anak diketahui hanya berefek minimal pada pertumbuhan fisik anak. 37 Namun, penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 lalu menunjukkan hasil bahwa intervensi pengetahuan dapat meningkatkan praktik pemberian MP-ASI, gizi dan pertumbuhan anak. Adapun intervensi yang dimaksud adalah intervensi yang peka terhadap budaya sekitar, dapat diakses dan terintergrasi dengan sumber daya lokal.38 Dalam penelitian lain didapatkan bahwa yang mempengaruhi pola makan anak tidak hanya pendidikan ibu, tetapi juga usia ibu, paritas, dan daerah tempat tinggal responden.39
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa setengah dari anak usia 9-24 bulan memiliki jumlah gigi susu sesuai dengan usia, setengah dari anak usia 9-24 bulan mendapatkan pola makan tidak sesuai dengan usia, dan jumlah gigi susu berhubungan dengan pola makan anak usia 9-24 bulan. Terdapat beberapa saran yang diberikan terkait dengan hasil analisis penelitian yang didapatkan. Pertama, perlunya penatalaksanaan masalah pola makan anak oleh semua petugas kesehatan, khususnya dalam hal ini adalah kesesuaian jenis makanan yang diterima oleh anak dengan usianya. Hal ini tidak saja membantu mencegah terjadinya kesulitan makan pada anak, tetapi juga dapat mencegah risiko gangguan makan anak dikemudian hari, serta kekurangan gizi
pada periode emas pertumbuhan anak. Kedua, hendaknya penelitian selanjutnya juga menilai ekonomi, sosial-budaya, dan ketrampilan makan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kesesuaian pola makan anak. Ketiga, hendaknya penelitian selanjutnya juga memvalidasi kuesioner terlebih dahulu, serta tetap melakukan pendekatan kepada anak agar dapat menghitung jumlah gigi dengan akurat tanpa melanggar etika penelitian.
UCAPAN TERIMAKASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kepala Puskesmas, Kepala TU Puskesmas Srondol, dan dokter gigi Puskesmas Srondol, para subjek dan orang tua subjek, serta teman-teman yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini dan memberi masukan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1. 15 ed. Behrman Richard E, Robert MK, Ann MA, editor. Jakarta: EGC; 1999. 53,61 p.
2.
American Dental Association. Tooth Eruption The Primary Teeth 136: 1619 (2005).
3.
Mahoney P. Intraspecific Variation in M1 Enamel Development in Modern Humans: Implications for Human Evolution: 145 (2008).
4.
Liebermana DE, Gail EK, Franklin WY, Maureen D and Clairec MS. Effects of Food Processing on Masticatory Strain and Craniofacial Growth In A Retrognathic Face 46: 671 (2004).
5.
Suri L, Eleni G, Heleni V. Delayed Tooth Eruption: Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment A Literature Review 126: 436 (2004).
6.
Carruth BR, Paula JZ, Anne G, Kris H. Developmental Milestones and SelfFeeding Behaviors in Infants and Toddlers 104: 56 (2004).
7.
Sjarif DR, Endang DL, Maria M, Sri SN. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2011, p.120-3,5-6.
8.
Kementrian Kesehatan RI. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan dan JICA (Japan International Cooperation Agency), 2011.
9.
World Health Organization. Complementary Feeding. Geneva: World Health Organization, 2001.
10.
FAO European Union Food Facility Project. Complementary Feeding for Children Aged 6-23 Months A Recipe Book for Mother and Caregivers. Phnom Penh (Cambodia): FAO, 2011.
11.
Antolis PV. Proporsi dan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan yang Mengalami Kesulitan Makan di Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tandang dan Sendangguwo). Media Medika Muda. 2012:8.
12.
Darwati, Maria M, Soemedi H, Fitri H, SA Nugraheni. Pengaruh Intervensi Konseling Feeding Rules dan Stimulasi Terhadap Status Gizi dan Perkembangan Anak di Posyandu Kabupaten Jayapura. 2012: 5,6,9.
13.
Kadarhadi E. Pengaruh Konseling dengan "Feeding Rules" Terhadap Status Gizi anak dengan Kesulitan Makan. Fakultas Kedokteran. Semarang: Universitas Diponegoro, 2012.
14.
World Health Organization. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Geneva: World Health Organization, 2003, p. 5,9,10,2.
15.
Dadiyanto WD, M Heru M, Anindita S. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011, p.66.
16.
Soliman N L, MA El Zainy, RM Hassan, RM Aly. Timing of Deciduous Teeth Emergence in Egyptian Children 17: 877-8 (2011).
17.
Schuurs A, WR Moorer, B Prahl Andersen, SK Thoden VV, JB Visser. Patologi Gigi-geligi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, p.516,121-2.
18.
Oziegbe EO, Comfort AAS, Temitope AE, Foluso JO, Morenike OF. Breastfeeding pattern and eruption of primary teeth in Nigerian children 20: (2010).
19.
Sahin Figen, Aysu Duyan Camurdan, M Orhun Camurdan, Aysegül Olmez, Fatih Oznurhan, Ufuk Beyazova. Factors Affecting The Timing of Teething in Healthy Turkish Infants: A Prospective Cohort Study 18: 262-6 (2008).
20.
Sajjadian Negar, H Shajari, Ramin Jahadi, Michael G Barakat, Ali Sajjadian. Relationship Between Birth Weight and Time of First Deciduous Tooth Eruption in 143 Consecutively Born Infants 51: 236 (2010).
21.
Viscardi Rose M, Elaine Romberg, Ronald G. Abrams. Delayed Primary Tooth Eruption in Premature Infants: Relationship to Neonatal Factors 16: 23-8 (1994).
22.
Khalifa Afrin M, Reyad Atef El Gendy, Mohamed Mahmoud Abd El Mohsen, Ahmad Alsayed Hammour, Rasha Sabry Abd El Lateef Aly. Relationship Between Gestational Age, Birth Weight and Deciduous Tooth Eruption: 5 (2014).
23.
Bastos Joao L, Marco Aure´lio Peres, Karen Glazer Peres, Aluı´sio JD Barros. Infant Growth, Development and Tooth Emergence Patterns: A Longitudinal Study From Birth to 6 Years of Age 52: 606 (2007).
24.
Zadzinska E. The Interrelation Between The Number of Deciduous Teeth and The Morphological Maturity of A Child 60: 199-207 (2002).
25.
Soliman Nadia L, Medhat A ElZainy, Rania Mossad Hassan, Riham Mohamed Aly. Relationship of Deciduous Teeth Emergence with Physical Growth 22: 239 (2010).
26.
. Babycare: Teething troubles: 24 (2004).
27.
Sawadogo S P, Martin Pre´ vel Yves, Mouquet-Rivier Claire, Bambara Alain, Traore´ S. Alfred, Tre`che Serge, Delpeuch Francis. Late Introduction and Poor Diversity Were The Main Weaknesses of Complementary Foods in A Cohort Study in Rural Burkina Faso 26: 748 (2010).
28.
Sinhababu Apurba, Dipta K. Mukhopadhyay, Tanmay K. Panja, Asit B. Saren, Nirmal K. Mandal, Akhil B. Biswas. Infant and Young Child Feeding Practices in Bankura District, West Bengal, India 28: 297 (2010).
29.
Ng Charmaine S, Michael J Dibley, Kingsley E Agho. Complementary Feeding Indicators and Determinants of Poor Feeding Practices in Indonesia: A Secondary Analysis of 2007 Demographic and Health Survey Data 15: 832 (2011).
30.
Victor R. Infant and Young Child Feeding Practices Among Children Aged 0-23 Months in Tanzania. Nutrition and Dietetics. United Kingdom: University Library, 2012.
31.
Pan American Health Organization World Health Organization. Guiding Principles for Complementary Feeding of The Breastfed Child. Washington DC (USA): Division of Health Promotion and Protection Food and Nutrition Program, 2003.
32.
Harinda L. Proporsi dan Status Gizi Pada Anak Prasekolah dengan Kesulitan Makan di Semarang. Fakultas Kedokteran. Semarang: Universitas Diponegoro, 2012.
33.
Febri AK. Pengaruh Penyuluhan Tentang Demam Reumatik Akut dan Penyakit Jantung Reumatik Anak Terhadap Peningkatan Pengetahuan
Orang Tua (Studi di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang). Fakultas Kedokteran. Semarang: Universitas Diponegoro, 2012. 34.
Abraham Elizheeba C, Jon Godwin, Andrea Sherriff, Julie Armstrong. Infant Feeding in Relation to Eating Patterns in The Second Year of Life And Weight Status in The Fourth Year 15: 1713 (2012).
35.
Wright Charlotte M, Kathryn N Parkinson, Deborah Shipton, Rebort F Drewett. How Do Toddler Eating Problems Relate to Their Eating Behavior, Food Preferences, and Growth? 120: 1072 (2007).
36.
Cribb V L, JM Warren, PM Emmett. Contribution of Inappropriate Complementary Foods to The Salt Intake of 8 Month Old Infants 66: 106 (2012).
37.
Bhandari Nita, Sarmila Mazumder, Rajiv Bahl, Jose Martines, Robert E Black, Maharaj K Bhan. An Educational Intervention to Promote Appropriate Complementary Feeding Practices and Physical Gowth in Infants and Young Children in Rural Haryana, India 134: 2342-8 (2004).
38.
Shi Ling, Jingxu Zhang. Recent Evidence of the Effectiveness of Educational Interventions for Improving Complementary Feeding Practices in Developing Countries 57: 91-8 (2011).
39.
Betoko A, MA Charles, R Hankard, A Forhan, M Bonet, M J Saurel Cubizolles, B Heude, B de Lauzon Guillain. Infant Feeding Patterns Over The First Year of Life: Influence of Family Characteristics 67: 631-7 (2011).