HARMONI AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN IBN RUSYD Samsul Huda Abstract This paper intends to reveal Ibn Rushd’s thought about the relationship between religion and philosophy as it became a polemic and controversy, especially in the Islamic society. With a philosophical approach and rational method Ibn Rushd built arguments to assert that religion and philosophy are not contradictory, but instead have a synergistic relationship for human life ( the perfect harmony between religion and philosophy ). It is even accordance with Quran, as a source of Islamic teachings, that actually ordered the activity of philosophizing. If there is a potential difference based on text, there must be ta’wil against him. Ibn Rushd concluded that religion should be understood based on the level of understanding of the human mind that is khottobiyyah , jadaliyyah and burhaniyyah . Keyword : religion, philosophy , ta'weel , harmony, khottobiyyah , jadaliyyah and burhaniyyah
A. Latar Belakang Masalah Ibn Rusyd,1 adalah seorang filosof Muslim yang mempunyai posisi terhormat dalam sejarah filsafat. Di Dunia Barat ia dikenal sebagai komentator paling otoritatif bagi filsafat Aristoteles,2 sehingga ulasannya menjadi rujukan standar bagi filosof yang akan mengkaji filsafat Aristoteles sampai abad ke-16 M. Sedangkan di Timur (khususnya di kalangan Islam) ia dikenal sebagai filosof yang dengan gigih membela filsafat dari serangan filosof muslim lainnya alGhazālī. Dua posisi Ibn Rusyd, baik di Timur maupun di Barat, diperkuat dengan kapasitasnya sebagai ahli fikih ternama dan pernah menjabat sebagai pemangku 1
Nama lengkapnya adalah Abū al-Walīd Muh ammad Ibn Ah mad Ibn Muh ammad Ibn Ah mad Ibn Rusyd, seorang filosof Muslim yang lahir di Cordova, Ibu kota Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 520 H/ 1126 M. dan wafat tanggal 9 Safar 595 H. atau tanggal 11 Desember 1198 M. di kota Marakusy, ibu kota Maroko wilayah barat Afrika Utara. Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaimān Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 9; Raīs Syāril H alwī, Mawsū‘ah A‘lām al-Falsafah al-‘Arab wa al-Ajānib, jil. I, (Beirūt: Dār al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1992), 22-28. Ia memiliki beberapa nama sebutan lain seperti: Averroes, Ibn Rosidin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben Resched, Aben Rassed, Aben Rust, Avenrusd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Liveroys, Averroyth, Averroysta, Mumbucius, Muhuntius, Mautius, Mamus, Abulgail, Aboolit, Alulidus, Ablult, Aboloys dan seterusnya, yang sesuai dengan bahasa dan aksentuasi suku bangsa yang menyebutnya. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam Terbesar di Barat), (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), 26. 2 Istilah komentator (commentator) atau pengulas Aristoteles adalah gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321 M) bagi Ibn Rusyd dalam bukunya Divina Commedia. Di lain pihak, disebutkan bahwa gelar tersebut diberikan oleh Thomas Aquinas. Barnes & Nobel, New American Encyclopedia, jil. II, (New York: Grolier, 1991), 370.
1
2
hukum syari‘at (Qād ī). Penguasaannya terhadap hukum-hukum fikih telah memudahkannya untuk menjembatani pemahaman kaum Muslimin terhadap filsafat dan agama. Inilah yang kemudian memudahkan Ibn Rusyd membangun masterpiece pemikirannya dalam mempertemukan argumentasi-argumentasi filsafat dan doktrin-doktrin agama, wahyu dan akal (the perfect harmony between religion and philosophy), yang terhimpun dalam tiga magnum opus, yaitu Tahāfut al-Tahāfut, yang disusunnya sekitar tahun 1180 M, Fa sl al-Maqāl fī mā bayna al- Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Itti sāl, Al-Kasyf ‘an Manāhij al-’Adillah (1179/1180). Ketiga buku di atas, merupakan corpus penting dalam membedah pemikiran Ibn Rusyd, terutama dalam masalah hubungan antara filsafat dan agama. Dalam sejarah Islam pada masa klasik, telah terjadi lingkaran perdebatan panjang antara para filosof dan ulama kalām konservatif. Akar perdebatan yang secara epistemologis merupakan perbedaan sudut pandang pemikiran. Pada satu sisi, para filosof mendasari setiap argumen pemikiran berdasarkan akal, sementara pada sisi yang lain, para ulama kalam konservatif bertolak dari dasar wahyu. Ketika terjadi perbedaan kesimpulan terhadap masalah yang sama, masing-masing pihak membenarkan argumen pemikirannya dan berselisih paham dengan kelompok lainnya. Pada situasi historis seperti inilah dimulai usaha - terutama dari kelompok filosof Muslim - untuk mencari jalan penyelesaiannya, dimotivasi oleh kecintaan mereka terhadap kajian filsafat. Beberapa konsep pemikiran dalam berbagai varian kemudian muncul sebagai usaha mempertemukan kebenaran filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran, dan bahwa antara filsafat dan agama masingmasing saling berhubungan.3 Ibn
Rusyd
bukanlah
filosof
pertama
yang
mendalami
masalah
“pendamaian” antara filsafat dan agama. Sebelumnya, al-Kindī4 juga telah
3
Muh ammad ‘At īf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah al-‘Aqliyyah fī Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1967), 268. 4 Abū Yūsuf Ya`qūb Ibn Ish āq al-Kindī, lahir di Kuffah 184 H/801 M dan wafat tahun 250 H/ 865 M. Dalam filsafat ia lebih condong kepada pemikiran Aristoteles. Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, 277-283.
3
berusaha mencari titik temu persesuaian antara filsafat dan agama dalam rangka membela pengkajian filsafat Yunani, untuk menghadapi pendapat ulama kalam konservatif yang menentang rasionalitas dan menganggap filsafat adalah bid‘ah. Al-Kindī berada pada posisi tengah antara kalām dan filsafat, dan mengatakan bahwa kesatuan kebenaran antara filsafat dan agama adalah masalah yang sudah selesai. Filsafat dan syari‘at atau akal dan wahyu memiliki tujuan dan sasaran yang sama. Namun secara tegas al-Kindī mengatakan, apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka wahyu tetap didahulukan dari akal.5 Dalam terminologi alKindī, keunggulan wahyu merupakan salah satu fenomena kebijaksanaan Allah, dan posisi “unik” tersebut ditempati para Nabi di antara manusia sebagai pembawa risalah Tuhan yang mengatasi daya penalaran manusia.6 Hal yang berbeda antara al-Fārābī7 dan Ibn Sīnā8 ialah bahwa keduanya beranggapan bahwa apabila terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka akal memiliki posisi yang lebih tinggi untuk diambil sebagai kesimpulan kebenaran. Kendati terdapat perbedaan kesimpulan mengenai hubungan dan pertentangan antara akal dan wahyu, di antara para filosof tersebut terdapat kesamaan tentang keharusan adanya takwil apabila terjadi ketidak sesuaian antara keduanya. Di belahan dunia Barat Islam muncul Ibn fenomenalnya
Tufayl
9
melalui tulisan
Hay Ibn Yaq zān, secara konsisten ia tetap mencari solusi bagi
keterhubungan filsafat dan agama. Secara sungguh-sungguh dalam
Hay Ibn
Yaq zān, Ibn Tufayl berusaha membuktikan bahwa rasionalitas filsafat tidaklah
5
M.A.H. Abū Ridah (ed.), Risālat al-Kindī al-Falsafīyyah, jil. I, (Kairo: Dār al-Fikr al‘Arabī, 1950), 371-372. 6 Abū Ridah, Risālah, 372. 7 Abū Na sr al-Fārābī Lahir 870 M dan wafat 339 H/950 M. Filosof Muslim yang diberi gelar al-mu‘allim al-thānī, yang mencoba menggabungkan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, 126. 8 Abū ‘Alī al- Husayn Ibn Abdillah Ibn Sīnā, lahir 370 H/980 M dan wafat di Hamzan Iran 428 H/1037 M. diberi gelar syaykh al-raīs. Halwi, Mawsū‘ah, jil. I, 29. 9 Abū Bakr Muh ammad Ibn ‘Abd Mālik Ibn T ufayl al-Qaysī. Lahir di Qadis 393 H/1100 M dan wafat di Marakusy 580 H/1185 M. Membuat karya fenomenal di bidang filsafat Hay Ibn Yaq zān. Novel filsafat ini penuh dengan pengembaraan rasionalitas tentang proses penciptaan alam semesta. H alwi, Mawsū‘ah, 33.
4
bertentangan dengan wahyu dan syari‘at.10 Namun, novel filsafat ini tidak memberi pengaruh yang besar bagi pengembalian supremasi filsafat, karena bahasa dan metode pemaparannya tidak mampu dipahami oleh semua kalangan. Usaha yang telah dilakukan oleh beberapa pemikir-filosof Muslim dalam menjembatani filsafat dan agama tidak berhasil menghilangkan perselisihan antara filosof dan mutakallimūn, bahkan selanjutnya selama beberapa dekade, terjadi perang dialektika yang begitu tajam antara kelompok filosof dan kelompok ulama kalām, yang dipungkasi oleh kemunculan al-Ghazālī11 dengan Tahāfut alFalāsifah-nya yang mengkritisi para filosof sebagai telah menyimpang dari ajaran agama. Pada situasi historis ini, Ibn Rusyd membangun argumentasi filsafat yang teratur dan penuh rasa hormat kepada al-Ghazālī melalui bukunya Tahāfut alTahāfut,12 dan dengan bukunya Fa sl al-Maqāl fi ma bayna al- Hikmah wa alSyarī‘ah min al-itti sāl, Rusyd berupaya mencari titik temu persesuaian antara argumen akal dan argumen syari‘at (wahyu) tentang berbagai hal dalam kerangka yang harmonis, dan dalam bahasa yang mengakomodir pemahaman setiap lapisan tingkatan ummat Islam. Ibn Rusyd membuat metode teologis-filosofis untuk menjembatani antara filsafat dan agama sebagai suatu harmoni kesetaraan dan kesejajaran. Usaha Ibn Rusyd ini adalah warisan yang berharga bagi dunia Islam dalam menyatukan intelektualitas dan spiritualitas, walau tidak mendapat respon yang cukup luas dalam dunia Islam. Bahkan, Averroesme13 telah secara keliru 10
‘At īf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah, 268-269. Abū Hāmid Mu hammad bin Mu hammad bin bin A hmad al-Ghazālī lahir di kota Thus daerah Khurasan 450 H/1059 M dan wafat 504 H/1111 M. Ia seorang Muslim yang kompleks dengan berbagai karya fenomenal dan berpengaruh dalam sejarah dunia Islam. Di antara karyanya yang berpengaruh adalah Tahāfut al-Falāsifah (Filsafat dan Kalam), Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Tasawwuf). Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, 94-105. 12 Ibn Rusyd dalam buku Tahāfut al-Tahāfut, selalu menyebut ra diya Allah ‘anhu atau ra himahu Allah setelah menyebut nama al-Ghazālī setiap memulai kritik terhadap argumenargumen al-Ghazālī, dengan tanpa mengurangi hasratnya untuk menyalahkan al-Ghazālī dalam buku Tahāfut al-Falāsifah. Mu hammad Lu tfī Jam‘ah, Tārīkh Falāsifat al-Islam fī al-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), 200-201 13 Averroesme adalah sebuah paham atau aliran pemikiran di Eropa abad pertengahan yang dinisbahkan kepada Ibn Rusyd. Namun pemikirannya justru mendistorsi pemikiran Ibn Rusyd yang utuh, karena hanya mengambil sebahagian pemikiran saja, terutama tentang konsep otonomi akal yang menjadi embrio free thinking (kebebasan berpikir). Aliran ini pada masanya 11
5
memahami pemikirannya dengan mendistorsi aspek harmonis antara agama dan filsafat. Dunia filsafat Barat mengambil penggalan karyanya berupa otonomi akal, keharusan berfilsafat, keniscayaan hukum sebab-akibat, sebagai bangunan epistemologis spiritualitasnya,
ilmu
pengetahuan
sehingga
dunia
mereka, Barat
namun
mencapai
meninggalkan kemajuan
di
aspek bidang
intelektualitas berupa sains dan teknologi, akan tetapi miskin spiritualitas. Sebaliknya dalam dunia Islam pemikiran monumental Ibn Rusyd secara keseluruhan tenggelam dalam arus spiritualitas yang diterjemahkan secara berlebihan, dan pada akhirnya memunculkan stagnasi intelektual dalam dunia Islam. Dalam tulisan ini penulis selanjutnya mencoba menganalisis variabel konstruksi the body of knowledge Ibn Rusyd dan relealibitas argumentasiargumentasi filosofisnya secara holistic.14 yang secara sinergis membentuk pemikiran tentang harmonisasi antara filsafat dan agama.
B. Pandangan Ibn Rusyd terhadap Agama dan Filsafat Ibn Rusyd melandaskan pemikirannya pada sebuah logika bahwa mendamaikan dan mengharmonisasikan filsafat dan agama adalah mungkin, apabila dapat dibuktikan kemustahilan adanya pertentangan orisinil dan fundamental antara filsafat dan agama, dan bahwa syari‘at apabila ditakwilkan secara benar akan sesuai dengan filsafat yang dipahami secara benar pula, karena tujuan utama syari‘at agama adalah mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar pula.15
sangat ditentang oleh kaum Gereja karena menggunakan teori “kebenaran ganda” yang memungkinkan perbenturan antara akal dan wahyu tanpa ada solusi antara keduanya seperti yang dilakukan oleh Ibn Rusyd. Salah satu tokoh Averroesme adalah Siger Brabant (1235-1282). W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, cet. II, terj. Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramedia, 1997), 102-103. 14 Holistik merupakan kata sifat dari holistika. Dalam penelitian kefilsafatan, holistika sebagai bagian metodologi penelitian adalah untuk memahami konsepsi-konsepsi filosofis tokoh, yang diteliti dengan betul-betul. Seorang tokoh dilihat dalam kerangka keseluruhan visinya mengenai manusia, dunia dan Tuhan. Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 64. 15 Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl fī mā bayna al- Hikmah wa al-Syarī‘ah al-Itti sāl, ed. M. ‘Imārah, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972), 54.
6
Ibn
Rusyd
memulai
pemikirannya
dengan
tesis
bahwa
agama
mengharuskan belajar filsafat. Postulat-postulat yang terdapat dalam preskripsipreskripsi Qur’āni, yang tersurat pada banyak ayat dalam al-Qur’ān, di antaranya merekomendasikan keharusan na zar (meneliti/analisa) terhadap semua wujud dengan penalaran rasio, dan kemudian mengambil pelajaran (i‘tibār). I‘tibār menurutnya adalah menggali dan mengeluarkan sesuatu yang majhūl dari sesuatu yang ma‘lūm, dan inilah qiyās atau jalan kepada qiyās (analogi), maka wajib bagi manusia Muslim menjadikan proses penalaran terhadap wujud-wujud yang ada melalui analogi rasional.16 Pada tingkat kesempurnaan analogi rasional, oleh Ibn Rusyd dikatakan sebagai demonstrasi (burhān).17 Ada dua hal yang membantu Ibn Rusyd untuk mencari harmonisasi antara filsafat dan agama: Pertama, pembedaan al-Qur’ān terhadap ayat-ayatnya yang telah diakui oleh para ahli tafsir (mufassirūn) sejak zaman al- Tabārī (w. 923) menjadi ayat-ayat mutasyābihāt dan ayat-ayat mu hkamāt; Kedua, tidak adanya otoritas pengajaran dalam Islam Sunni yang mempunyai hak untuk menentukan doktrin iman. Hal pertama menunjukkan adanya pengakuan bahwa sebahagian ayat-ayat al-Qur’ān yang diwahyukan tidak mungkin dipahami secara literal, sementara hal kedua mengindikasikan perlunya suatu otoritas yang dapat menjadi sandaran dalam penyelesaian perselisihan mengenai doktrin agama. Dalam kitab Fa sl al-Maqāl yang secara kronologis lebih dahulu dari kitab al-Kasyf -yang merinci metode-metode pembuktian relatif pada dogmadogma agama- milik Ibn Rusyd, ia mengatakan bahwa wahyu mempunyai sisi yang jelas dan juga mempunyai sisi yang masih membutuhkan penafsiran yang diperuntukkan pada setiap orang.18 Sementara tingkat kemampuan masing-masing orang dalam mencerna wahyu berbeda berdasarkan tingkatan intelektualnya, maka 16
Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 23. Burhān dalam pengertian umum adalah setiap aktivitas rasional untuk menentukan kebenaran suatu premis. Sedangkan dalam istilah mantiq (bersifat logis), burhān adalah pendalaman atau kritik terhadap suatu proposisi, yakni, usaha rasional untuk menentukan validitas premis dalam proses konklusi, dengan terikat kepada premis-premis sebelumnya atau premis terdahulu yang sudah diakui kebnarannya. ‘Ābid al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, cet. III, (Beirūt: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), 383. 18 Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 128. 17
7
untuk mengatasi divergensi ummat, ia merumuskan formulasi kesetaraan dan keselarasan filsafat dan agama dengan memunculkan tiga metode untuk memahami agama sebagai pembenaran (ta sdīq), yang sesuai dengan tingkat kemampuan intelektualitas manusia. Ketiga metode tersebut adalah metode demonstratif
(burhāniyyah),
dialektik
(jadaliyyah)
dan
retorik
(khat t ābiyyah).19 Sedangkan dalam pembentukan konsep (ta sawwur) untuk memahami agama atau syari‘at Ibn Rusyd merumuskan dua metode yaitu melalui obyek itu sendiri dan obyek lain yang semisal.20 Ketiga metode ta sdīq di atas, digunakan dalam memahami al-Qur’ān dengan dasar asumsi bahwa al-Qur’ān yang diperuntukkan kepada seluruh umat manusia dalam tiga tingkatan intelektualitas
harus
menggunakan
(burhāniyyah, jadaliyyah, khat t
tiga
metode
yang
telah
disebutkan
ābiyyah). Setiap lapisan mencapai tingkatan
pembenaran (ta sdīq) yang khusus bagi mereka, dan dianjurkan demi kebahagiaan anggota-anggota masing-masing lapisan tersebut.21 Hal yang demikian, menurut Ibn Rusyd adalah pertanda kebijaksanaan Allah yang berbicara kepada manusia melalui tingkat kemampuannya. Produk takwil pada tingkat yang lebih tinggi tidak boleh disebarkan dalam lapisan masyarakat yang tingkat kemampuan pemahamannya lebih rendah,22 karena bisa menimbulkan fitnah dan menanam bibit perselisihan ummat. Sebagai contoh, Ibn Rusyd menyatakan berulangkali bahwa orang-orang awam cukup memahami ayat-ayat al-Qur’ān menurut makna lahirnya. Ibn Rusyd mencoba mengharmonisasi semua pemahaman pada lapisanlapisan masyarakat Muslim bahwa sesungguhnya agama tidaklah menentang adanya filsafat, karena masing-masing dalam aktualitasnya saling mengisi dan secara fungsional berada dalam satu ikatan sinergis yang bersifat kontributif. Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada hal yang krusial dalam perbedaan agama dan filsafat, hal itu terjadi justru karena kekeliruan dalam
19
Ibn Rusyd, Fa Ibn Rusyd, Fa 21 Ibn Rusyd, Fa 22 Ibn Rusyd, Fa 20
sl al-Maqāl, 55-59. sl al-Maqāl, 59. sl al-Maqāl, 60-61. sl al-Maqāl, 61.
8
memahami agama dan filsafat itu sendiri, yang menimbulkan penilaian yang tidak tepat terhadap keduanya.
C. Harmonisasi Antara Filsafat Dan Agama Dalam Islam Sejarah perdebatan tentang hubungan antara iman (naql) dan rasionalitas (‘aql) yang telah mewarnai filsafat Islam dan kalām, telah menjadi objek kajian penting dalam rangka menganalisis dan menelusuri partikel-partikel dari rancangbangun pemikiran dalam Islam. Karena proses dan hasil perdebatan tersebut, telah melahirkan konsep-konsep pemikiran yang didasarkan pada unsur rasionalitas dan wahyu (ayat al-Qur’ān) atau sinergi antara keduanya, yang dianggap oleh beberapa peneliti sebagai puncak kejayaan pemikiran Islam klasik, karena telah mewariskan banyak manuskrip dan tulisan yang menjadi referensi bagi perkembangan pemikiran pada masa sesudahnya. Dalam Islam, al-Qur’ān merupakan bentuk pewahyuan terakhir sebagai diinginkan oleh Allah. Al-Qur’ān merupakan batang tubuh (sumber) dari kebenaran, lantas bagaimana jika isi al-Qur’ān berbeda dari pemikiran filosof? Sebagian besar teolog dan ahli fikih menolak argumen filsafat. Hal itu, seperti telah beberapa kali disebutkan, berakibat terjadi banyak penolakan terhadap filsafat di kalangan umat Islam. Padahal yang dilakukan oleh para filosof adalah: Kita mempercayai Tuhan alam semesta yang mengatasi alam yang tampak nyata. Untuk itulah dilahirkan argumen-argumen sebagai usaha harmonisasi antara filsafat dan kepercayaan Islam. Jika al-Qur’ān dalam pengertian literal, bertentangan dengan pemikiran filsafat yang rasional, maka al-Qur’ān harus diinterpretasikan secara alegoris. Perdebatan tentang pola hubungan filsafat dan agama tidak hanya terjadi dalam agama Islam. Thomas Aquinas misalnya, mengkritisi beberapa teolog Kristen skolastik sebagai pengikut aliran Ibn Rusyd. Mereka dikenal sebagai pengikut Rusyd Latin yang dinamakan averroesme. Karakteristik pemikiran mereka dilatar-belakangi oleh doktrin “kebenaran
ganda.” Doktrin ini
mempercayai adanya dua kebenaran yang masing-masing berasal dari pemikiran para filosof yang dihasilkan melalui penalaran demonstratif - tentu saja dengan
9
metode deduksi - dan kebenaran yang berasal dari wahyu. Dua kebenaran ini berbeda, namun tidak akan terjadi pertentangan. Ajaran semacam ini ditentang oleh Aquinas, karena dalam pemikirannya, kebenaran itu haruslah satu. Jika tidak ada kesatuan kebenaran, maka prinsip dasar logika sebagai aturan yang tidak mempunyai kontradiksi, menjadi tidak berarti apa-apa. Di antara prinsip dasar tersebut: Sebuah proposisi tidak bisa menjadi benar atau keliru sekaligus. Contohnya, jika benar bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan (dasar pemikiran teologi yang umum dalam Yahudi, Kristen, Islam), maka argumen tentang eternalitas alam (pikiran Aristoteles) niscaya keliru. Jadi menurut Aquinas, doktrin tentang kebenaran ganda adalah doktrin yang mempunyai dasar logika yang absurd.23 Mengapa demikian, karena bagaimanapun juga, apakah Aquinas sendiri yang memberi label bagi doktrin averroesme sebagai “kebenaran ganda,” atau realitas kemudiannya. Sebahagian besar pemikir atau teolog Kristen mensinyalir bahwa pemikiran Ibn Rusyd sebagai doktrin kebenaran ganda, sebagai usaha mempertemukan iman dan akal, yang mengajarkan bahwa pada akhirnya iman dan nalar tidak akan bertentangan. Pemikiran ini sebenarnya tidaklah menjadi alasan untuk dikatakan adanya dua kebenaran. Karena senyatanya, hanya ada satu kebenaran di balik dua kebenaran tersebut. Maka jika ada pertentangan harus dijernihkan, dan tugas filosoflah untuk memperlihatkan bagaimana sesungguhnya kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu menjadi sinergi yang harmonis.24 Dalam masyarakat Islam sendiri sejak awal, setelah filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan beredar secara bergelombang dalam masyarakat Islam,25 muncul reaksi kontra produktif terhadap filsafat yang dianggap sebagai ancaman bagi akidah Islam. Tantangan kuat datang dari kelompok konservatif, khususnya dari kelompok ulama fikih yang sampai 23
Gary E. Kessler, Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999), 431. 24 Kessler, Philosophy of Religion, 431. 25 Penerjemahan secara besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mūn (813-833) dari Dinasti ‘Abbāsiyyah bersamaan dengan didirikannya bayt al-h ikmah. Penerjemah yang masyhur pada saat itu adalah seorang Arab Kristen yang ahli bahasa Yunani, Hunain bin Ishāq (809-873). W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1979), 54.
10
berkesimpulan bahwa filsafat, terutama dalam persoalan metafisika yang menyentuh hakikat akidah yang diajarkan agama bisa membawa kesesatan.26 Maka, terjadilah pro dan kontra dalam masyarakat Islam tentang keabsahan dan kegunaan filsafat dalam konstalasi pemikiran agama. Sebenarnya, sebagaimana telah diulas terdahulu, usaha untuk membangun argumen titik temu antara filsafat dan agama di dunia Timur Islam, telah dimulai sejak al-Kindī, sedangkan di bagian Barat Islam, khususnya Andalus, baru ada setelahnya. Namun di Andalus para filosof memulai usaha harmonisasi ini secara lebih serius dari apa yang di lakukan di Timur Islam. Kendati di Timur telah lebih dahulu aktif dalam usaha harmonisasi antara filsafat dan agama, namun tidak seorang pun di antara mereka yang secara khusus menulis argumen kesetaraan dan harmonisasi antara filsafat dan agama, baik berupa risalah maupun buku. Berbeda dengan di Andalusia, para filosof Muslim mengkhususkan karya mereka dalam membangun argumen harmonitas filsafat dan agama, di antaranya ada yang berbentuk diktat, novel dan juga buku. Pada masa terjadi penolakan terhadap filsafat di bagian Timur Islam, terdapat toleransi yang cukup besar dalam berpikir. Kendati ada penolakan terhadap filsafat, namun kehidupan dan aktivitas filsafat dan para filosof tidak diusik. Sedangkan di bagian Barat, kondisi masyarakat masih berpola pikir ta‘ās ub, pola pikir yang picik dan cenderung primordial. Di samping itu, di Timur tidak ada represi politik dari penguasa yang menentang filsafat, karena sebagaimana diketahui, khususnya pada zaman ‘Abbāsiyyah, para Penguasa juga memahami filsafat. Sedangkan di Barat Islam, doktrin keagamaan yang sempit masih menguasai pola pikir kaum Muslim yang cenderung fundamental dan ekslusif. Di bagian Timur Islam, situasi yang kondusif tidak terlalu memaksa para pencinta filsafat untuk mengkhususkan bahasan pada usaha harmonisasi secara khusus, berbeda dengan yang terjadi di Barat Islam yang hidup di bawah kekuasaan al-Murabit ūn dan al-Muwah h idūn yang masih berpikir sempit dan menentang kebebasan berpikir. 26
‘Abd al-Maqs ūd ‘abd al-Ghanī Abdul Maqs ūd, Al-Tauīīq bayna al-Dīn wa alFalsafah; ‘Inda Falāsifah al-Islām fī al-Andalus, (Kairo: Maktabah al-Zuharā’, 1993), 5.
11
Pola pikir yang sempit ini sampai pada titik nadir yang memaksa para Penguasa mengikuti mereka untuk mendapatkan dukungan, dan terpaksa meninggalkan para filosof yang sebelumnya dekat dengan Penguasa, seperti yang dialami oleh Ibn Bajjah dan Ibn Rusyd.27 Dalam situasi inilah para filosof terpaksa berupaya membangun pemikiran yang mempertemukan antara Islam dan filsafat, yang bertujuan untuk menyelamatkan posisi mereka sekaligus menerangkan kepada masyarakat bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama. Sebahagian filosof ada yang membangun argumen berbentuk novel filsafat seperti yang dihasilkan Ibn
Tufayl (w. 581 H), dengan novel filosofisnya
Hai
Ibn Yaq zān,28 ia secara konsisten mencari solusi bagi keterhubungan filsafat dan agama. Dengan sungguh-sungguh Ibn
Tufayl berusaha membuktikan bahwa
rasionalitas filsafat tidaklah bertentangan dengan spritualitas wahyu. Novel filsafat ini tidak memberi pengaruh yang besar karena bahasa dan metode pemaparannya tidak mampu dipahami oleh semua kalangan. Kendatipun demikian,
Hay Ibn Yaq zān memberi dua metode untuk sampai kepada
pengetahuan: (1) metode rasional dan (2) metode kasyf. Dalam novelnya tersebut, kedua metode ini dikombinasikan oleh Ibn T ufayl dan dipraktikkan secara bersamaan: mengumpulkan materialitas pengetahuan dengan panca indera, menyimpulkannya, membuat kategorisasi universal dan partikular berdasarkan akal, dan kemudian mencari esensi dan penjiwaan terhadap pengetahuan dengan metode kasyf. 29 Sedangkan Ibn Masarrah, dalam membangun argumen titik temu filsafat dan agama, menyimpulkan bahwa wahyu dan akal adalah dua jalan atau dua metode dalam mencapai pengetahuan yang hakiki (Tuhan). Kedua metode ini dibedakan dalam tata kerja: (1) Wahyu dimulai dari Allah yang turun sampai ke alam, sedangkan (2) akal sebaliknya bermula dari bawah untuk sampai ke derajat 27
‘Abd al-Maq sūd, Al-Taufīq, 8. Hay Ibn Yaq zān telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-17; mengisahkan seorang manusia bisa mencapai pengetahuan terhadap Allah walau dilahirkan sendirian di satu pulau terpencil yang tidak dihuni oleh suatu masyarakat. Kisah ini bermula dari penerapan rasionalitas dan berakhir dengan pandangan tentang olah jiwa melalui kasyf. ‘Abbās ‘Aqqād, Ibn Rusyd, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, tt), 15. 29 Muhammad ‘A tīf al-‘Irāqī, Qi s sah al-Nizā‘ bayna al-Dīn wa al-Falsafah, (Kairo: Maktabah Mis r, tt.), 268-269. 28
12
hakikat pengetahuan yang tertinggi. Di sinilah pertemuan keduanya dalam menangkap hakikat tertinggi yang mesti diketahui oleh manusia: metode wahyu yang transform ke bawah dan akal yang secara vertikal menuju ke atas. Ibn Masarrah mengatakan: “setiap sesuatu yang diciptakan merupakan objek pemikiran. Allah telah membebaskan manusia untuk berpikir memperhatikan langit dan bumi seperti dimaksudkan oleh wahyu yang dibawa kenabian; bahwa alam yang teratur dan berpasang-pasangan ini tidak diciptakan secara sia-sia.” Ibn Masarrah kemudian sampai pada kesimpulan premisnya terhadap orang-orang yang berpikir: “Mereka mendapat gambaran berdasarkan pencermatan terhadap suatu objek pengetahuan dan memutuskan apakah pengetahuan itu valid sesuai dengan
proses
ta‘bīr,
kemudian
diperkuat
secara
demonstratif
untuk
mendatangkan keyakinan, maka hatipun semakin kuat terhadap hakikat keimanan.”30 Jadi, filsafat dan agama jika dilihat dari tujuannya, tetap tidak bertentangan. Usaha paling besar untuk mengharmonisasi filsafat dan agama dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Ibn Rusyd, yang secara khusus menulis satu buku berjudul Fa sl al-Maqāl fī mā bayna al-Syarī‘ah wa al- Hikmah min alItti sāl. Buku ini secara kuat merefleksikan kekuatan argumen mengenai pertautan antara syara‘ dan akal, sebagai pertautan antara filsafat atau hikmah dengan syari‘at yang kemudian diteruskannya secara terperinci dalam kitabnya AlKasyf ‘an Manāhij al-Adillah fī ‘Aqā’id al-Millah. Tulisan khusus ini kemudian, tidak hanya digunakan pencinta filsafat di Andalus, tetapi juga di Timur Islam, sehingga boleh dikatakan tidak satupun filosof Muslim melakukan pembelaan filosofis sekuat apa yang telah dilakukan Ibn Rusyd.
D. Posisi Filsafat Menurut Syari‘at Sebelum sampai kepada analisis mengenai argumen-argumen Ibn Rusyd tentang pembuktian eksistensi Tuhan melalui piranti rasio, maka terlebih dahulu akan dipaparkan pandangan umum Ibn Rusyd tentang posisi filsafat menurut syari‘at dalam pola hubungan antara filsafat dan Agama, sebagaimana dikatakan 30
‘At īf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah, 12-13.
13
Madjid Fakhrī, merupakan isu penting filsafat Islam sejak masa al-Kindī, yang telah menghasut para teolog untuk menyerang para filosof dan telah menciptakan bayangan hitam di atas seluruh upaya pemilsafatan di negara-negara Muslim.31 Salah satu aspek argumentatif yang menjadi starting point argumen tentang harmonisasi antara agama dan filsafat, bahwa Ibn Rusyd mempercayai apa yang disebut sebagai kesatuan seluruh kebenaran, yang merupakan jalan paling valid di mana para filosof bisa menjustifikasi aktivitas filsafat mereka dan meredakan amarah para teolog, dan memuaskan kehendak pemikiran pada koherensi internal seorang filosof Muslim.32 Proses tindak lanjut postulat tersebut, bahwa kebenaran filosofis yang dihasilkan melalui penyelidikan rasional, pada dasarnya sama dengan kebenaran agama yang didasarkan oleh wahyu.33 Dalam hal ini, Ibn Rusyd mulai dengan menyimpulkan dan menganalisis tujuan utama dari syari‘at. Menurutnya, tujuan syari‘at adalah mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar pula. Ilmu yang benar adalah pengetahuan tentang pengenalan kepada Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi, pengenalan terhadap segala yang “ada” berdasarkan realitasnya. Terutama wujud mulya di antara segala wujud itu, dan pengenalan kepada pahala dan siksa ukhrawi. Adapun amal yang benar menurut Ibn Rusyd, adalah melakukan perbuatanperbuatan yang dapat membawa kepada kebahagiaan dan menjauhi semua aktivitas yang mempunyai konsekuensi penderitaan. Sedangkan pengetahuan tentang semua perbuatan ini disebut sebagai pengetahuan praktis (al-‘ilm al‘amalī).34 Perbuatan-perbuatan ini dapat dibagi ke dalam dua bagian: Pertama, perbuatan-perbuatan fisik yang sifatnya lahiriah. Ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku inilah yang dinamakan ilmu fikih (yurisprudensi); Kedua, perbuatanperbuatan yang sifatnya psikis-spritual, seperti rasa syukur, sabar dan aktivitas
31
Madjīd Fakhrī, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983), 276-277. 32 Madjīd Fakhrī, A History, 177. 33 M. E. Marmura (ed.), Islamic Theology and Philosophy, (Albany: State University of New York Press, 1984), 192. 34 Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl fīmā bayna al- Hikmah wa al-Syarī`ah min al-Itti sāl, ed. M. Imārah, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972), 54.
14
tindak moral lainnya yang dianjurkan atau dilarang oleh syari‘at. Pengetahuan mengenai perbuatan-perbuatan ini dinamakan zuhd (asketisme) dan ilmu-ilmu akhirat. Ke arah ilmu pengetahuan jenis inilah Abu
Hāmid al-Ghazālī
memfokuskan diri dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.35 Jika tujuan utama syari‘at adalah mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar pula, maka oleh para ulama kalām dan filosof, pembelajaran tentang syari‘at terdiri dari dua bagian: (1) yang berkenaan dengan pembentukan konsep (ta sawwur) dan (2) yang berkenaan dengan pembuktian kebenaran konsep tersebut (ta sdīq). Dalam pembentukan konsep, metode-metode dibangun melalui dua cara: Pertama, melaui objek itu sendiri, atau kedua, melalui objek lain yang semisal. Sedangkan metode yang bisa dipergunakan manusia untuk melakukan pembuktian ada tiga macam: (1) metode burhāniyyah (demonstrasi) (2) metode jadaliyyah (dialektik) dan (3) metode khat t ābiyyah (retorika).36 Tetapi harus disadari, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk menyerap argumen-argumen burhānī. Terhadap argumen-argumen jadalī saja sudah ada batasan –artinya tidak semua orang mampu memahaminya- apalagi argumen-argumen demonstrasi atau burhāniyyah. Bagi orang yang berbakat sekalipun, terasa sulit dan memerlukan waktu panjang untuk menguasainya. Oleh karena hal-hal di atas, dan mengingat syari‘at sendiri mempunyai tujuan untuk mengajar semua orang tanpa istithnā’, maka sudah seharusnya syari‘at mencakup semua metode pembuktian kebenaran (ta sdīq) maupun metode pembuktian konsep (ta sawwur). Metode-metode pembuktian kebenaran tersebut ada yang secara umum dikonsumsikan bagi kelompok besar manusia (orang awam) -sebagai sarana untuk menerima kebenaran- yaitu metode retorik (kha t dialektik (jadaliyyah).
tābiyyah), dan metode
Dalam hal ini, metode retorik lebih umum jika
dibandingkan dengan metode dialektik. Ada pula metode pembuktian kebenaran
35 36
Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 55. Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 55.
15
yang secara spesifik dikonsumsikan bagi sekelompok kecil manusia, yaitu metode demontrasi (burhāniyyah). Karena tujuan utama syari‘at memberikan porsi perhatian terbesar kepada kelompok luas atau kelompok mayoritas umat - walau tidak dengan melupakan perhatian khusus kepada orang-orang tertentu - maka sebahagian besar metode yang paling sering diungkapkan dalam syari‘at adalah metode-metode yang secara umum menjadi milik atau diperuntukkan kepada kelompok mayoritas manusia dalam pembentukan konsep dan pembuktian kebenaran mereka sendiri.37 Dalam konteks syari‘at, metode-metode ini terbagi menjadi empat kategori: Pertama, metode yang sekalipun bersifat umum, namun sekaligus bersifat khusus juga dalam pembentukan konsep dan pembuktian kebenarannya, yakni, metode yang bersifat yaqīnī (dipastikan kebenarannya) dalam pembentukan konsep maupun pembuktian kebenarannya, meskipun dalam bentuk retorik atau dealiktik. Inilah jenis sillogisme (al-maqāyis) yang mencapai tingkat kepastian, sekalipun premis-premis yang diketengahkannya bersifat masyhūr (benar karena dukungan pendapat umum) atau ma zmūm (benar karena dugaan atau opini umum). Konklusi-konklusinya diambil dari dirinya sendiri secara langsung, bukan dari perumpamaan-perumpamaannya. Argumen-argumen syari‘at semacam ini tidak membutuhkan takwil lagi. Kedua, metode-metode yang premis-premisnya, sekalipun bersifat masyhūr atau ma zmūm, namun kebenarannya mencapai tingkat pasti (yaqīnī). Metode ini konklusinya diambil dari perumpamaan-perumpamaan bagi objekobjek yang menjadi tujuannya. Konklusi-konklusi ini terbuka untuk ditafsirkan. Ketiga, metode yang konklusinya berupa objek-objek yang hendak disimpulkan itu sendiri, sedangkan premis-premisnya bersifat masyhūr atau ma zmūm, tanpa membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqīnī, kategori ini konklusinya tidak membutuhkan takwil, sekalipun seringkali takwil terjadi pada premis-premisnya.
37
26.
Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaiman Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968),
16
Keempat,
metode
yang
premis-premisnya
bersifat
masyhūr
atau
ma zmūm, tanpa membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqīnī, dan konklusi-konklusinya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi objek-objek yang dituju. Bagi orang- tertentu, metode ini harus ditakwilkan. Sedangkan bagi kebanyakan orang, harus diartikan menurut makna lahiriahnya saja.38 Secara global, semua kategori di atas mempunyai indikator kemungkinan untuk penakwilan, namun penafsiran atau takwil tidak mungkin dilakukan kecuali dengan metode demonstrasi (burhāniyyah). Dalam hal ini menurut Ibn Rusyd, menjadi kewajiban orang-orang tertentu (al-khawwās ) untuk memberikan takwil terhadapnya, sedangkan bagi kebanyakan orang (jumhūr) berkewajiban untuk memahaminya sesuai dengan makna lahiriahnya belaka, baik dalam pembentukan konsep (ta sawwur) maupun pembuktian kebenaran (ta sdīq), karena memang kapasitas-kapabilitas mereka belum mencapai tingkat demonstratif. Mereka yang mendalami syari‘at kadang-kadang terdorong untuk melakukan takwil karena keunggulan salah satu metode umum atas metode metode lainnya dalam kebenaran. Hal ini terjadi apabila pembuktian melalui takwil lebih memuaskan dari pemahaman secara lahiriah. Berbagai contoh takwil semacam ini bisa saja menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan penalaran retorik apabila telah mencapai tingkat kemampuan dialektik. Dalam kategori inilah dapat dimasukkan takwil-takwil yang dilakukan kaum Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah, namun dalam banyak hal, argumen-argumen Mu‘tazilah lebih tepat dijadikan pegangan. Adapun orang-orang kebanyakan (jumhūr), yang memang kapasitas kemampuan mereka tidak melebihi argumen retorik, hanya berkewajiban memahami makna lahiriahnya. Mereka ini sama sekali tidak boleh mengenal takwil apapun, karena kemampuan mereka tidak akan sampai kepada pemahaman di atasnya, dan bisa berimplikasi negatif bagi heterogenitas pemahaman yang ada, karena ketika orang awam menemukan argumen-argumen yang lebih tinggi dan tidak mampu menyelaminya, akan menimbulkan fitnah dan praduga terhadap argumen itu sendiri. Maka Ibn Rusyd menyesalkan apa yang dilakukan oleh al38
Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 56-57.
17
Ghazālī dan para teolog yang menyebarkan hasil pemikiran dan penalaran mereka untuk konsumsi umum.39 Jika dianalisis, terdapat keanehan, karena pada dasarnya, al-Ghazālī memahami keragaman tingkat intelektualitas umat, bahkan dalam kitab Al-Qis tās al-Mustaqīm al-Ghazālī secara jelas membedakan tingkatan pemahaman
keagamaan
sebagai
‘Awwām,
Khawwās ,
Khawwās
al-
khawwās .40 Hal ini sekaligus menjadi indikator kelemahan metodologis alGhazālī dalam pembelajaran syari‘at dan pemikiran keagamaan. Ia mengetahui devergensi ummat Islam secara teoritis, namun pada tahap praksis metodologis menolak klasifikasi teoritis yang ia bangun sendiri. Secara normatif, syara‘ telah mengisyaratkan kemestian penelitian dengan akal terhadap keseluruhan mawjūdāt dengan membuat i‘tibār, dan i‘tibār itu pada tingkat dasar tidak lebih dari mengambil kesimpulan dari sesuatu yang majhūl dari suatu yang telah diketahui dan mengekspresikannya sebagai qiyās. Maka dengan qiyās kita bisa menjadikan penelitian kita terhadap mawjūdāt secara rasional, artinya, penelitian yang dianjurkan oleh syara‘ adalah untuk menyempurnakan rangkaian penelitian dengan rangkaian qiyās yang disebut sebagai proses burhān. 41
Secara konklusif, syara‘ telah secara jelas mewajibkan untuk mengetahui Allah dan segala ciptaannya dengan proses burhān, maka, merupakan hal urgen bagi siapapun yang ingin mengetahui Allah dan keseluruhan ciptaannya secara burhān, harus terlebih dahulu untuk mengetahui jenis-jenis burhān dan syaratsyaratnya, yang akan membedakan antara qiyās burhānī, qiyās jadalī dan qiyās kha t t ābī serta qiyās sofistik. Apa yang bisa disebut qiyās dan apa yang tidak. Hal ini tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui terlebih dahulu berbagai unsur dari susunan qiyās, yakni: premis-premis dan berbagai macamnya. Seperti ahli fikih misalnya, dapat menyimpulkan –berdasarkan perintah agama untuk tafaqquh atau mendalami pengetahuan dalam hukum Islam- adanya kewajiban mengetahui sillogisme fikih (al-maqāyis al-fiqhiyyah) dalam berbagai 39
Ibn Rusyd, Tahāfut 28. Ibn Rusyd, Tahāfut, 29. 41 Ma hmūd ‘Alī S abīh (Ed.), Falsafah Ibn Rusyd; Fa sl al-Maqāl wa al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillah, cet. II, (Kairo: al-Ma tba‘ah al-Ma hmūdiyyah al-Tijāriyyah, 1935), 10. 40
18
bentuknya, mana yang benar-benar qiyās dan mana yang bukan. Demikian pula bagi seseorang yang ingin mengenal Tuhan, harus menyimpulkan –perintah untuk meneliti segala yang wujud- adanya kewajiban mengetahui analogi rasional dan berbagai bentuknya. Jika seorang ahli fikih bisa melakukan takwil, seberapa besar ahli burhān memiliki kapabilitas takwil?42 Ibn Rusyd menegaskan, seorang filosof lebih berhak untuk membuat analogi, karena apabila seorang ahli fikih menyimpulkan dari ayat al-Qur’ān “maka berpikirlah hai orang-orang yang berakal budi” sebagai adanya kewajiban mengetahui qiyās fikih, maka para filosofpun seharusnya lebih berhak untuk mengambil kesimpulan adanya kewajiban mengetahui analogi rasional dalam rangka mengetahui Allah. Proses penalaran rasional semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai bid‘ah, hanya karena tidak ditemui pada generasi Muslim pertama. Al-Qur’ān sendiri memotivasi pengkajian terhadap sesuatu secara rasional (Q.59:2; 7:184). Maka oleh Ibn Rusyd disimpulkan bahwa “kebenaran tidak dapat menentang kebenaran,” dan oleh karena itu, adalah sah untuk “menyatukan apa yang telah diterima oleh akal (ma‘qūl) dan hal hal yang ditunjukkan oleh wahyu (manqūl).”43 Untuk melengkapi ini, Ibn Rusyd mengambil perbedaan yang digambarkan oleh ahli mistik antara makna jelas dan makna batin dengan penafsiran alegoris (takwil) sebagai suatu akibat yang wajar. Sunguhpun, penafsiran itu sendiri masih dalam kerangka rasionalitas, dan secara sederhana bertujuan menghindarkan ketidak-salihan dan bid‘ah yang lahir dari faham anthropomorphisme. Proses penakwilan itu sendiri (1) hanya mungkin jika katakata dari teks tersebut jika diletakkan dalam pengertian literalnya, tidak mempunyai makna yang jelas. Kemudian, beberapa dogma yang dikemukakan ini tidak menampilkan masalah linguistik, dengan demikian jauh di luar komentar literalnya; (2) harus mengikuti dengan tepat aturan-aturan normal bahasa Arab mengenai metafora, dan (3) penerapannya bergantung baik pada tingkatan intelektualitas dari orang-orang yang terlibat maupun pada tipe metafora yang dipersoalkan. Jika ide yang diungkapkan dengan citra yang sulit dipahami, maka 42 43
‘Abbās al-‘Aqqād, Ibn Rusyd, 61. Ibn Rusyd, Fa sl, 33.
19
penafsiran hanya diperkenankan kepada pribadi-pribadi yang terdidik. Jika hal itu mudah untuk dipahami, setiap orang wajib mempelajarinya.
F. Metode Takwil Sebagai Jalan Harmonisasi Ayat-ayat yang mengandung tasybīh (anthropomorphism) yang banyak terdapat dalam al-Qur’ān, memang telah sejak awal menimbulkan problem mengenai kesatuan kebenaran antara filsafat dan agama. Seperti isyarat-isyarat alQur’ān tentang “persemayaman Tuhan di atas singgasana” (Q.7:54; 20:5) dan dapatnya Tuhan dilihat pada hari kiamat (Q.75:23), untuk menyebut dua contoh penting dari ayat-ayat yang mengandung tasybīh ini, telah mendorong para mutakallimūn yang cenderung menggunakan metode-metode rasional sejak zaman Wa sīl bin At t a’ (w. 748) untuk melakukan penakwilan terhadap ayat-ayat ini dengan tetap mempertahankan immaterialitas Tuhan tanpa mengorbankan kandungan intelektualnya secara umum. Atas dasar itu para ulama kalām dari golongan Mu‘tazilah dan penerus-penerusnya menakwilkan persemayaman (istiwā’) sebagai simbol dari kemenyendirian (transendensi) Tuhan dalam memiliki kekuasaan, dan “melihat wajah Tuhan” (beatific vision) sebagai perlambangan kasyf Sufi, demikian selanjutnya. Sedangkan ahli-ahli hadīth dan tafsir dari golongan literalis, seperti Imam Malik (w.790) dan Imam A hmad (w. 855), tidak merasa terganggu oleh adanya ayat-ayat yang mengandung tasybīh (anthropomorphism), dengan keimanan yang bersifat mutlak terhadap kesucian nas -nas
al-Qur’ān mereka puas menerima kebenaran ayat-ayat tanpa reserve.44
Sikap kaum literalis ini tidak memuaskan bagi kalangan ulama-ulama kalām yang menggunakan metode rasional, dan filosof. Ibn Rusyd yang juga tidak diragukan keimanannya yakin betul terhadap kesatuan kebenaran sebagai proposisi aksiomatis. Proposisi aksiomatis ini tidak hanya mengandung keharusan penakwilan,45 tetapi juga mengandung kesetaraan filsafat dan syari‘at atau akal 44
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Khairus Salim, (Jakarta: LKIS, 1993), 34-35. 45 Makna takwil adalah makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz (kata) yang keluar dari konotasinya yang hakiki (real/substansial) kepada makna majaz (metafora/essensial) dengan suatu cara yang tidak melanggar tata bahasa Arab dalam membuat metafora. Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 33.
20
dan wahyu sebagai sumber primer kebenaran orisinil. Di antara persyaratan takwil adalah, bahwa al-Qur’ān yang diperuntukkan kepada seluruh umat manusia dalam tiga tingkatan intelektualitas harus menggunakan tiga metode yang telah disebutkan (burhāniyyah-jadaliyyah-khat t ābiyyah), setiap lapisan mencapai tingkatan pembenaran (ta sdīq) yang khusus bagi mereka dan dituntut demi kebahagiaan anggota-anggota masing-masing lapisan tersebut. Hal ini menurut Ibn Rusyd adalah pertanda kebijaksanaan Allah yang berbicara kepada manusia melalui tingkat kemampuannya.46 Takwil pada tingkat yang lebih tinggi tidak boleh
disebarkan
dalam
lapisan
masyarakat
yang
tingkat
kemampuan
pemahamannya rendah, sebab bisa menimbulkan fitnah dan menanam bibit perselisihan ummat. Ibn Rusyd menyatakan berulangkali bahwa orang-orang awam cukup memahami ayat-ayat al-Qur’ān menurut makna lahirnya Ibn Rusyd melihat bahwa takwil menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan bagi para ilmuan rasional, jauh lebih mendesak dibandingkan para ahli hukum sendiri. Sebab menurutnya, para ilmuan rasional lebih memiliki kapasitas dan lebih refresentatif untuk melakukan takwil, di samping faktor-faktor yang mengharuskan mereka untuk menempuhnya, yang tidak dapat dibandingkan dengan faktor yang mendorong para ahli hukum dalam konteks ini. Ibn Rusyd menyatakan bahwa metode takwil adalah satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan segala bentuk konflik yang muncul dalam pemahaman agama. Pertentangan antara makna-makna lahiriah (tekstual) pada sebagian nas
agama dengan realitas objektif yang dicapai melalui proses
penalaran para ilmuan rasional dan mereka yang aktif dalam berfilsafat. Maka, ia memastikan betapa refresentatifnya metode penalaran atau takwil ini dipraktikkan pada setiap kasus yang memperlihatkan fenomena pertentangan dengan konklusikonklusi burhān. Pengertian
takwil
yang
didefinisikan
oleh
Ibn
Rusyd
adalah
“mengeluarkan makna konotatif suatu lafa z dari konotasi rielnya kepada konotasi metaforiknya tanpa melanggar tradisi orang Arab dalam membuat
46
Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 9.
21
metafora.”47 Hal ini dilakukan, misalnya dengan menyebutkan sesuatu yang lain yang menyerupainya, atau menjadi sebab atau akibatnya, atau menjadi komperasinya. Adapun ‘illah yang mengharuskan pemakaian takwil atau penalaran bagi ilmuan rasional jauh lebih banyak dari alasan yang mendorong para ahli fikih untuk melakukannya. Hal ini selaras dengan perbedaan antara jenis qiyās (analogi) yang ada pada masing-masing pihak. Kalau memang diperbolehkan seorang ahli fikih untuk mempergunakan qiyās
zannī dalam
melakukan takwil, maka langkah lebih refresentatif bagi seorang pemilik metode burhān untuk mempergunakannya, karena ia memiliki qiyās yaqīnī. Ibn Rusyd memastikan bahwa konklusi apapun yang dihasilkan oleh metode burhān (demonstrasi) apabila bertentangan dengan makna lahir teks syari‘at, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima penakwilan menurut tradisi penakwilan bahasa Arab yang ada. Dan keyakinan akan kebenarannya semakin bertambah apabila seorang menekuni dan menguji pernyataan
ini,
lalu
menjadikannya
sebagai
sarana
pencapaian
untuk
mengintegrasikan hal-hal yang rasional dan wahyu. Rusyd juga menyatakan, makna lahir apapun juga yang terdapat di dalam teks syari‘at secara lahiriah bertentangan dengan suatu makna yang disimpulkan oleh metode burhān, kemudian makna lahir syari‘at itu diteliti dan ditela‘ah semua bagian dan partikelnya, maka pada teks-teks syari‘at itu sendiri akan didapatkan kesimpulankesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses penakwilan semacam ini, atau minimal tidak ada penolakan terhadap takwil. Karena kenyataan inilah maka kaum Muslimin berijmak atau bersepakat tanpa kecuali, bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami makna lafa z syari‘at kepada makna lahiriah seluruhnya atau mencerabut semua lafa z dari makna tekstualnya. Mereka juga berselisih mengenai mana antara lafa z-lafa z itu yang menerima takwil dan mana yang tidak. Yang menyebabkan syari‘at itu sendiri mengandung makna lahir (eksoteris) dan makna batin (esoteris), disebabkan adanya keaneka-ragaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerima 47
Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 32.
22
atau membuktikan kebenaran. Dan mengapa syari‘at sendiri membawa maknamakna tekstual yang kelihatannya saling bertentangan?, oleh Ibn Rusyd, hal itu adalah untuk menarik perhatian kaum intelektual yang mendalam ilmunya (alrāsikhūn fi al-‘ilm) agar melakukan penakwilan yang menggabungkan maknamakna tekstual yang tampaknya bertentangan tersebut. Makna inilah yang diisyaratkan
oleh
Allah
sebagai:
“Ialah
yang
menurunkan
kepadamu
(Mu hammad) sebuah kitab suci, di dalamnya ada ayat-ayat mu hkamāt, dan yang lainnya mutasyābihāt”48 Jika seseorang mengatakan bahwa sesungguhnya dalam syari‘at sendiri terdapat hal-hal yang oleh umat Islam telah disepakati untuk diartikan secara tekstual, ada yang membutuhkan takwil, dan ada juga yang masih diperselisihkan antara makna takwil dan makna tekstual. Lalu bolehkah metode burhān diterapkan untuk menakwilkan hal-hal yang telah disepakati untuk diartikan secara tekstual? atau mengartikan secara tekstual hal-hal yang telah mereka sepakati untuk ditakwilkan? Ibn Rusyd menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan: “Kalau memang ijmak tersebut terjadi melalui proses yang pasti dan meyakinkan, maka cara-cara di atas tidak boleh dilakukan. Tetapi kalau memang ijmak terjadi melalui proses yang tidak pasti dan meyakinkan, maka boleh saja cara-cara di atas dilakukan.”49 Sejarah sendiri mengungkapkan bahwa banyak ulama generasi pertama yang berpendapat bahwa syari‘at memang mengandung makna eksoteris dan makna esoteris. Dan bagi mereka yang berkemampuan kurang memadai dalam memahami makna-makna itu, tidak diharuskan mempelajarinya. Dalam hal ini, contohnya adalah berita yang diriwayatkan oleh Bukhāri dari sahabat ‘Alī bin Abi T ālib, bahwa Allah berkata: “Berbicaralah kepada manusia berdasarkan kapasitas pengetahuan mereka. Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasulnya didustakan orang?” Demikian pula riwayat lain yang disampaikan oleh sekelompok orang-orang salaf.50
48
Al-Qur’ān; ‘Ali ‘Imrān: 7. Ibn Rusyd, Fa sl al-maqāl, 34. 50 Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 35. 49
23
Karena itu, bagaimana mungkin dapat dibayangkan adanya ijmak mengenai satu permasalahan teoritik yang benar-benar sampai ke masa yang jauh sesudahnya. Padahal tidak ada dalam sejarah, di mana para ulamanya, tidak seorang pun berpendapat bahwa dalam syari‘at itu sendiri sebenarnya tidak perlu diketahui maknanya secara esensial. Sebaliknya berbeda dengan yang terjadi di bidang amaliah (praktis-aplikatif). Semua orang berpendapat tentang perlunya suatu kesepahaman umum untuk menyebarluaskannya kepada semua kalangan secara sama. Untuk meyakinkan telah terjadinya ijmak dalam hal ini, sudah cukup apabila beredar luas, dan tidak ada informasi yang menyatakan terjadi perselisihan dalam masalah tersebut. Cara seperti ini adalah memadai bagi terjadinya ijmak dalam hal-hal yang bersifat amaliah, tapi tidak demikian terhadap hal-hal yang bersifat teoritik. Kompetensi
Ibn
Rusyd
dalam
membicarakan
takwil
beserta
partikularisasinya berkaitan dengan upayanya untuk menerapkan kaedah dan metode ini terhadap isu sentral yang menjadi ajang konflik antara para filosof dan mutakallimūn. Jadi ketika menyinggung bahwa kaum Asy‘arī dan Mu‘tazilī melakukan takwil sebagian teks syari‘at, juga ketika ia menukilkan al-Ghazālī yang dalam kitabnya Fai sal al-Tafriqah bayna al-Islām wa al-Zindīqiyyah berbicara mengenai lima tingkatan wujud: dhātī (esensi) h
issī (inderawi)
khayyālī (imaginatif), ‘aqlī (rasional) dan syabahī (metaforik), dengan semua ini seolah-olah Ibn Rusyd ingin mengatakan bahwa yang urgen bukanlah sah atau tidaknya melakukakan takwil ataukah bersifat wajib, juga bukan pada jumlah tingkatan wujud yang menyebabkan kafir tidaknya seseorang, yang misalnya menerima kebenaran berita-berita ukhrawi menurut satu tingkatan tertentu. Proses penakwilan menurut Ibn Rusyd adalah memunculkan pengertian suatu lafa z dari konotasi rielnya untuk mendapatkan konotasi metaforiknya. Proses penakwilan juga dalam koridor tradisi gramatika dan kultur filologi masyarakat Arab dalam membuat ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforik. Misalnya, menyebutkan sesuatu dengan sebutan tertentu lainnya karena adanya faktor kemiripan atau menjadi sebab atau akibatnya, atau sesuatu tersebut menjadi
24
bandingannya, atau faktor-faktor lain yang diuraikan secara rinci dalam pembahasan dan berbagai ungkapan metaforik.51 Jika dilihat dari terminologi di atas, akan timbul suatu kesimpulan: Apabila ahli fikih banyak mempraktikkan cara takwil seperti ini dalam hukumhukum syari‘at, dan mutakallimūn melakukan takwil dalam merasionalisasikan eksistensi Allah, maka sebenarnya jauh lebih patut bagi ahli ilmu burhān untuk menempuh cara-cara takwil semacam itu. Logikanya, seorang ahli fikih dan ahli kalam hanya memiliki qiyās z annī (sifatnya perkiraan belaka), sedangkan seorang filosof yang ‘ārif memiliki qiyās yaqīnī.
E. Pososi Strategis Agama dan Filsafat Setelah membangun konsep harmonisasi antara filsafat dan agama, dengan membuat argumen-argumen yang bisa membenarkan filsafat dari kacamata sudut syari‘at, yang melahirkan konklusi bahwa agama Islam tidak menentang filsafat, bahkan secara metaforik justru mengharuskan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat filosofis dan argumentatif. Berdasarkan konklusi tersebut, maka argumenargumen filosofis berdasarkan objek-objek bahasannyapun tidak ditentang oleh agama Islam. Untuk seterusnya akan dipaparkan pemikiran filosofis Ibn Rusyd tentang persoalan fundamental dalam filsafat yang juga menjadi fokus utama dalam agama dan pemikiran keagamaan, yaitu: Tuhan. Ibn Rusyd tidak hanya menunjukkan bahwa filsafat dan agama itu selaras, tetapi ia juga, seperti yang dikatakan Oliver Leaman: “Mencoba menetapkan posisi yang jauh lebih kuat, bahwa agama membutuhkan filsafat.”52 Jika fungsi filsafat tidak lain merupakan penyelidikan terhadap mawjūdāt yang mengarah pada
pembuktian
eksistensi
sang
Pencipta
(al- Sāni‘),
maka
syari‘at
menganjurkan penyelidikan seperti itu.”53 Dengan kata lain, “jika studi teleologis tentang dunia semesta adalah filsafat, dan jika syari‘at memerintahkan studi
51
Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 32. Oliver Leaman, An Introduction to Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 170. 53 Ibn Rusyd, Fa sl al-Maqāl, 2. 52
25
seperti itu, maka syari‘at membutuhkan filsafat.”54 Premis-premis di atas bahkan secara substansial mengandung pesan etis yang jauh kedepan, bahwa agama juga tidak bertentangan dengan sains, sebagaimana kemudian hari John Hedley Brooke menyimpulkan bahwa agama dan sains tidak akan bertentangan.55 Dengan kepercayaan yang konsisten bahwa filsafat tidak pernah akan bertentangan dengan agama, bahkan agama membutuhkan filsafat, Ibn Rusyd lalu membangun argumen rasional untuk membuktikan adanya Tuhan, dengan menggunakan apa yang ia sebut sebagai metode rasional yang sesuai dengan alQur’ān. Sebagaimana terlihat, Ibn T ufayl di sejumlah tahap-tahap awal pemikirannya, membuat kebingungan pembacanya dengan
Hay Ibn Yaq zān
dengan mencangkok sebuah pandangan baru yang sama sekali asing –yaitu pandangan illuminisme sebagai kombinasi rasionalisme. Sementara, Ibn Rusyd mengambil pandangan rasionalisme dan menolak segala bentuk pengakuan untuk mentransendenkannya, memandang analisis atas pemikiran itu sebagai puncak tertingginya. Kendati sedikit banyak dipengaruhi oleh Ibn Tumart yang mengajukan pembuktian tentang Tuhan secara tradisional dan sederhana: “Pernyataan tentang betapa pentingnya keberadaan Sang Pencipta.”56 Dalam analisisnya tentang gagasan penciptaan, Ibn Rusyd seperti halnya Ibn Tumart, memulai dari pengalaman tetapi menyaringnya sedemikian rupa analisis-analisis yang berada di seputar lingkaran gagasan-gagasan itu sendiri: a) Pengalaman tentang keberadaan makhluk-makhluk hidup yang memberikan kesaksian adanya eksistensi Tuhan dan membenarkan pentingnya makhluk; b) kesimpulan dari eksistensi sesuatu yang diciptakan menunjukkan adanya Sang Pencipta. Dari konklusi di atas, Ibn Rusyd, seperti dikatakan oleh Dominique Urvoy, seakan-akan
ingin
memperkenalkan
suatu
perspektif
“ilmiah”
dalam
merasionalisasi eksistensi Tuhan, yakni, agar ada pengetahuan yang pasti tentang
54
Leaman, An-Introduction, 170. John Hedley Brooke, Science and Religion; Some Historical Perspectives, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 18-19. 56 Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 120. 55
26
eksistensi Tuhan dan substansi dari segala sesuatu. Pada masalah ini, Ibn Rusyd berbeda dari apa yang telah dicapai oleh Descartes maupun Spinoza yang memakai pendekatan rasional spekulatif. Ia mengelaborasi pernyataan tentang keyakinannya pada tingkat rasional dengan membedakan dua macam pengetahuan dari dua pembuktian yang sama (melalui Tuhan dan “ide” tentang penciptaan).57
G. SIMPULAN Kebenaran pada dasarnya dapat dipertemukan secara metodologisepistemologis, karena pada hakikatnya kebenaran adalah satu. Jika ada pemahaman tentang wahyu agama yang berbeda dengan pandangan yang dihasilkan oleh akal, maka pemahaman terhadap wahyu tersebut dapat disesuaikan dengan pandangan yang dihasilkan oleh akal budi. Secara sepintas terlihat Ibn Rusyd, kendati ingin menselaraskan antara agama dan filsafat, ia tidak terlepas dari pretensi dan kompetensinya sebagai pembela eksistensi filsafat yang pada waktu dan spektrum yang bersamaan berada dalam tekanan kelompok yang anti filsafat, yang menguasai sebahagian besar “kebenaran” dan “pembenaran” agama. Indikator ini semakin jelas ketika Ibn Rusyd membuat klasifikasi yang bersifat gradatif bagi kebenaran-kebenaran yang ada tentang agama. Ibn Rusyd membuat tiga gradasi pembenaran dalam kebenaran agama sekaligus membedakan tingkatan pemahaman keagamaan. ia meletakkan kebenaran filsafat yang menggunakan logika pembuktian deduktif yang ia sebut sebagai metode burhāni (tingkatan burhāniyyah) sebagai tingkatan pembenaran tertinggi dalam agama di atas tingkatan-tingkatan lainnya seperti kha t tābiyyah dan jadaliyyah. Jika dilihat dari dimensi yang berbeda, analisis terhadap pemikiranpemikiran Ibn Rusyd tentang kesatuan kebenaran yang diwujudkannya dalam penyatuan kebenaran, dengan membuat klasifikasi pembenaran berdasarkan tingkatan kapasitas pemahaman keagamaan kaum Muslimīn, secara substansial akan menemukan titik simpul. Karena pada dasarnya, pemahaman seseorang
57
Lihat Urvoy, Perjalanan Intelektual, 120.
27
terhadap agama pada tingkatan tertentu tidak akan terlepas dari fungsi akalnya terhadap sumber wahyu. Tanpa akal seseorang tidak akan dapat menerima kebenaran agama, kendatipun dalam tingkatan “rasional” yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kebenaran rasio dan agama tidak akan pernah bertentangan, yang bisa bertentangan adalah pemahaman manusia terhadap isi kandungan yang di bawa oleh wahyu. Hal demikian mengindikasikan, bahwa pada dasarnya yang berbeda adalah proses dan hasil rasionalisasi tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuat tolak ukur yang bisa mengatasi masingmasing pembenaran tersebut yang disepakati sebagai ukuran tertinggi dalam proses rasionalisasi. Pada sisi lain, secara ontologis, masing-masing kebenaran tersebut bersumber dari kebenaran yang satu, yaitu Allah. Tidak bisa dibenarkan jika ada kebenaran yang saling bertentangan secara substansial, karena sebenarnya masing-masing memiliki sumber yang sama. Yang menjadi masalah adalah, bahwa kebenaran yang berasal dari sumber yang satu tersebut ditangkap oleh banyak sumber dan piranti yang berbeda secara kualitatif dan kuantitatif. Maka, hasilnyapun
punya
kemungkinan
untuk
berbeda.
Untuk
menyelesaikan
kemungkinan perbedaan tersebut dibuat suatu tolak ukur yang paling tinggi yaitu takwil burhān. Artinya, Ibn Rusyd pada akhirnya tetap menjadikan metode burhān yang menggunakan aspek-aspek ‘aqlī menjadi ukuran tertinggi pembenaran.
DAFTAR PUSTAKA Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaimān Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968). 9; Raīs Syāril H alwī, Mawsū‘ah A‘lām al-Falsafah al-‘Arab wa al-Ajānib, jil. I, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992). Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam Terbesar di Barat), (Jakarta: Bulan Bintang, 1965). Barnes & Nobel, New American Encyclopedia, jil. II, (New York: Grolier, 1991). Muhammad ‘Atīf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah al-‘Aqliyyah fī Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1967). Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, 277-283. M.A.H. Abū Ridah (ed.), Risālat al-Kindī al-Falsafīyyah, jil. I, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1950.
28
Muhammad Lutfī Jam‘ah, Tārīkh Falāsifat al-Islam fī al-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt). Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl fī mā bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah al-Ittisāl, ed. M. ‘Imārah, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972). ‘Ābid al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, cet. III, (Beirūt: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993). Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000). W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, cet. II, terj. Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramedia, 1997). Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994). Gary E. Kessler, Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999). W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1979). ‘Abd al-Maqsūd ‘abd al-Ghanī Abdul Maqsūd, Al-Tauīīq bayna al-Dīn wa alFalsafah; ‘Inda Falāsifah al-Islām fī al-Andalus, (Kairo: Maktabah alZuharā’, 1993). ‘Abbās ‘Aqqād, Ibn Rusyd, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, tt). Muhammad ‘A tīf al-‘Irāqī, Qi s sah al-Nizā‘ bayna al-Dīn wa al-Falsafah, (Kairo: Maktabah Mis r, tt.). Madjīd Fakhrī, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983). M. E. Marmura (ed.), Islamic Theology and Philosophy, (Albany: State University of New York Press, 1984). Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl fīmā bayna al- Hikmah wa al-Syarī`ah min al-Ittisāl, ed. M. Imārah, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972). Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaiman Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968). Mahmūd ‘Alī Sabīh (Ed.), Falsafah Ibn Rusyd; Fasl al-Maqāl wa al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillah, cet. II, (Kairo: al-Matba‘ah al-Mahmūdiyyah alTijāriyyah, 1935). Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Khairus Salim, (Jakarta: LKIS, 1993). Oliver Leaman, An Introduction to Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985). John Hedley Brooke, Science and Religion; Some Historical Perspectives, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991). Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000).