ESKATOLOGI : SUATU PERBANDINGAN ANTARA AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD
Oleh : Ahmad Suja’i NIM : 1983314739
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT Jakarta 2005 M / 1426 H
KATA PENGANTAR Bismillâhirrahmânirrahîm
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Hanya kalimat ini yang dapat penulis ucapkan sebagai refleksi syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini. Hanya kepada-Nya segala kelebihan terpulangkan dan atas rahmat, kasih sayang-Nya dan juga karena tuntuna serta bimbingan-Nya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan judul “ESKATOLOGI; SUATU PERBANDINGAN ANTARA AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD” Shalawat dan salam penulis panjatkan untuk nabi muhamad SAW, sebagai insan kamil yang membawa dan menyampaikan risalah suci Ilahi yang penuh dengan nilai-nilai pembebasan untuk segenap alam. Begitu juga kepada keluarga , sahabat dan penerus ajarannya hingga hari kiamat nanti. Skripsi ini penulis susun, salah satu fungsinya adalah memenuhi dan menyempurnakan prasyarat meraih gelar sarjana (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat fakultas ushuludin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah. Dengan penuh kesadaran penulis melihat bahwa penyelesaian skripsi ini tidak hasil dari jerih payah penulis semata, tetapi juga atas bantuan da motivasi –baik moril dan terlebih materil– dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patut kiranya penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Syamsuri, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Masri Mansoer, M.A.,
selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, M.A., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Syamsuri, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah rela meluangkan waktunya guna membimbing, memberikan saran dan kritik serta motivasi kepada penulis selama proses penulisan ini dan juga pada seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang ikhlas memberikan ilmu selama penulis dalam proses belajar. Terima kasih dan penghargaan serta doa yang tak henti-hentinya kepada Ayahanda
H. Muhammad Amsari. HD dan Ibunda Hj. Siti Subani yang telah
membesarkan dan memberikan cinta dan kasih sayang sejak tangisan pertama hingga saat ini – lebih dari segala-galanya, tanpa sedikitpun mengharapkan imbalan. Juga kepada kakanda Nahrowi & Istri, Syaifullah SE, Ahmad Syarif, dan adinda Fahmi Afrizal yang selalu ceria bersama merekalah tangis serta tawa selalu menyertai serta keluarga besar H. M. Daan, terutama Pamanda M. Syamsul Yaqin MA dan bibinda
Hj. Siti Juriah yang telah bersedia menyediakan pikiran dan waktu untuk selalu bersedia menjadi tempat konsultasi skripsi penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman AF diantaranya, Agus Wiyanto, Yunus, H. Fahmi, Rohmawan, Khatib, terutama Muhammad ‘Om Acin’ Yasin (kapan kawin …?). Ikhwan IKRAMI (Ikatan Remaja Masjid Ibadurrahman) : Hendi ‘Bondil’, Saipul ‘Mr. Troubleshooting’, Asep ‘Cobe Brian’, Toto S. Hut, Agus ‘Naryo’. Barudak FORMAS (Forum Rembuk Masyarakat Sawangan): Yanto ‘Tepoz’, Abbas, Damsik, B-Doel ‘Hacker Egleg’. TTYK (Tetuyukan) Team. Tiga adik kelasku yang manis : Maftuhin,Ucok, Fadli ‘Syarkum’ dan lainnya yang satu persatu tak dapat penulis sebutkan atas partisipasinya dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis memanjatkan do’a kepada Allah SWT Yang Rahman dan Rahim, agar usaha dan bantuan individu serta instansi tersebut di atas diterima sebagai suatu amal shaleh serta dibalas-Nya dengan balasan yang lebih baik. Penulis menyerahkan skripsi ini kepada segenap pembaca untuk memahami dan menilainya. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan walaupun penulis telah mengerahkan usaha dengan maksimal.
Jakarta, 26 Agustus 2005
Penulis
Bismillâhirrahmânirrahîm
PEDOMAN TRANSLITERASI ا
…
خ
kh
ش
sy
غ
g
ن
n
ب
b
د
d
ص
s
ف
f
و
w
ت
t
ذ
z
ض
d
ق
q
ه
h
ث
s
ر
r
ط
t
ك
k
ء
’
ج
j
ز
z
ظ
z
ل
l
ى
y
ح
h
س
s
ع
‘
م
m
â
= a panjang
î
= i panjang
û
= u panjang
Merujuk pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI, tertanggal 22 Januari 1988 No. 158/1987 dan 0543b/U/1987
DAFTAR ISI Halaman
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ………………………………………....
i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI …….…………………………………………
v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….
vi
BAB I
: PENDAHULUAN
……………………………………………..
1 1
A. Latar Belakang Masalah …..………………………………..
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………………...
6
D. Metode Penelitian …………………………………………..
6
E. Sistematika Pembahasan ……………………………………
8
BAB II
: SEKITAR ESKATOLOGI
……….…………………………..
8 10
A. Pengertian Eskatologi ………………………………………
BAB III
B. Sejarah Munculnya Eskatologi dalam Filsafat Islam ………
19
: ESKATOLOGI MENURUT AL-GHAZALI DAN
19
IBN
19
RUSYD
21
………………………………………………………...
24
A. Al-Ghazali ………………………………………………….
31
1. Riwayat Hidup al-Ghazali ………………………………
31
2. Karya-karya al-Ghazali …………………………………
36
3. Eskatologi menurut al-Ghazali ………………………….
44
B. Ibn Rusyd …………………………………………………... 1. Riwayat Hidup Ibn Rusyd ……………………………… 2. Karya-karya Ibn Rusyd ………………………………… 3. Eskatologi menurut Ibn Rusyd ……………………….....
BAB IV
: ANALISA PERBANDINGAN
………………………………. A. Landasan Titik-Tolak Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rusyd..
47 47 56
B. Metodologi Berpikir al-Ghazali dan Ibn Rusyd …………… C. Pengaruh Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rusyd tentang
66
Eskatologi terhadap Perkembangan Paham Keagamaan …...
BAB V
: PENUTUP
………………………………………………….….
72 72
A. Kesimpulan …………………………………………………
73
B. Saran-saran …………………………………………………
74
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Eskatologi ialah suatu ilmu yang menjelaskan tentang gambaran hari akhirat. Ilmu ini menjelaskan akhir segala sesuatu, seperti kematian, kebangkitan dan penghitungan amal. Dengan kata lain eskatologi adalah ilmu yang menerangkan tentang keakhiratan. Menurut Eliade, “…eskatologi termasuk bagian dari agama dan filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan dan pengetahuan tentang akhir zaman, seperti kematian, alam kubur (barzakh), kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari kebangkitan, pengadilan pada hari itu dan sebagainya”.1 Eskatologi dalam ajaran Islam merupakan salah satu rukun iman yang harus diimani oleh semua muslim. Sebagai contoh, jika seorang muslim tidak mengimani adanya kehidupan setelah kematian, maka orang tersebut boleh dicap sebagai kafir. Seperti jenis ilmu pengetahuan lain yang berkembang dalam dunia pemikiran dan keilmuan Islam. Permasalahan eskatologi pun tak lepas dari perdebatan dan kontroversi. Pada abad pertengahan misalnya, ketika terjadi kontroversi pemikiran antara para filosof (falâsifah) dan para teolog (mutakallimûn), al-Gazâlî muncul, lalu 1
Mircae Eliade (ed). “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan Publishing Company, 1987). h. 152-153
1
meruntuhkan konsepsi-konsepsi eskatologi yang bertentangan pada saat itu, terutama konsepsi para filosof. Serangan al-Gazâlî terhadap isu-isu eskatologi ini pada dasarnya tidaklah merambah pada semua konsep eskatologi Islam secara menyeluruh. Serangannya hanya bergerak dalam kosep kebangkitan kembali (resurrection). Serangan ini merupakan serangkaian dari dua puluh persoalan yang ditujukan para filosof (falâsifah), terutama sekali diperuntukan bagi konsepsi Ibn Sînâ (980-1037). Filosof Ibn Sînâ, yang sebetulnya sangat berjasa membangun watak filosofis dalam eskatologi Islam ini, memperkenalkan suatu gagasan bahwa jiwa bersifat abadi sedangkan raga bersifat sementara. Implikasinya, yang dibangkitkan pada hari kebangkitan adalah jiwa, sementara badan hancur dengan sendirinya. Konsepsi inilah sebenarnya yang ditolak al-Gazâlî, dengan mengatakan bahwa konsepsi filosof tersebut adalah keliru, karena mana mungkin manusia yang dahulunya memiliki raga tetapi setelah dibangkitkan raganya tersebut musnah dan menghilang; konsepsi filosof tersebut menegasikan kekuatan Tuhan, karena bukankah Tuhan itu Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk untuk hanya sekedar menampilkan kembali raga-raga yang lama atau pun yang baru ?2 Serangan yang melambangkan inkoherensi para filosof Muslim tersebut, oleh al-Gazâlî diletakan sebagai salah satu tiga konsepsi sesat yang dapat menjerumuskan
2
Sibawaihi, Eskatologi al-Gazâlî dan Fazlur Rahman: Studi komparatif Epistemologis KlasikKontemporer, (Yogyakarta:Islamika,2004). Cet. ke-1, h. 13
seseorang ke dalam kekafiran. Hal ini merupakan salah satu pendapatnya yang cukup terkenal dalam Tahâfut al-Falâsifah tentang kafirnya para filosof dalam tiga hal: 1.
Alam kekal dalam arti tidak bermula.
2. Tuhan tak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam. 3. Pembangkitan jasmani tidak ada.3 Pengkafiran (takfîr) filosof tersebut di atas mendapat reaksi yang sangat keras dari filosof muslim sesudahnya, terutama Ibn Rusyd yang kemudian menulis buku khusus yakni Tahâfut al-Tahâfut. Buku ini merupakan ”serangan balasan” terhadap tuduhan al-Gazâlî. Dalam buku ini Ibn Rusyd membela filosof atas tuduhan al-Gazâlî dalam masalah-masalah filsafat.4 Tentang permasalahan kebangkitan kembali (resurrection) yang merupakan fokus dari penelitian ini, Ibn Rusyd berpandangan bahwa al-Gazâlî sebagai orang yang tidak konsisten dalam pengertian bahwa pendapat al-Gazâlî bertentangan dengan pendapatnya yang lain. Ibn Rusyd menunjukan di dalam Tahâfut alFalâsifah, al-Gazâlî menganut pandangan tentang kebangkitan jasmani dan rohani sekaligus. Tapi pendapat al-Gazâlî dalam buku yang lain, ketika ia telah mencapai puncak pengalaman sufistiknya, al-Gazâlî berpendapat bahwa kebangkitan hanya akan terjadi dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani.5 Dalam hal ini ia berpandangan sama dengan filosof, karena baik filosof mau pun sufi mengalami 3
Lihat al-Gazâlî , Tahâfut al-Falâsifah, Sulayman Dunya (ed), (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t.). Cet. ke-8, h.307 4 Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama. (Jakarta: GMP, 2004), Cet. Ke-1, h.29 5 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) Cet ke-9, h.52
puncak kebahagiaan pada rohani dan telah melepaskan diri dari kungkungan kebendaan. Ini berarti bahwa al-Gazâlî sendiri menolak pendapatnya yang pertama. Karena itu, tuduhan dan pengkafiran al-Gazâlî terhadap filosof juga gugur dengan sendirinya. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana sebenarnya posisi al-Gazâlî dalam menggugurkan para filosof dan bagaimana juga posisi Ibn Rusyd dalam menjawab tuduhan al-Gazâlî. Bentuk perdebatan dengan masing-masing argumen inilah yang cukup menarik untuk dikaji dan didalami, karena tak dapat dipungkiri kedua tokoh Islam ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk pola pemikiran umat Islam hingga sekarang. Di samping itu, kedua pemikir tersebut cukup representatif untuk diangkat sebagai pemikir yang mewakili pemikiran teologi dan filsafat
khususnya tentang permasalahan eskatologi. Karena dari sekian banyak filosof Islam, keduanya sangat intens
berkomunikasi dan berdebat tentang persoalan eskatologi dibandingkan teolog dan filosof Islam lainnya. al-Gazâlî , dengan pendekatan teologi yang condong pada aliran Asy‘ariah, memberikan pola yang jelas dan tegas tentang bagaimana berpikir lewat pola tersebut. Sementara Ibn Rusyd, yang cenderung pada pendekatan filsafat beraliran Aristotelian juga mengungkapkan dengan pola dan ciri khas Aristoteles. Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas, maka penting dan akan menarik untuk membahasnya, membandingkannya dan sekaligus menganalisanya lebih lanjut sebagai sebuah wacana pemikiran filsafat Islam. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk membahasnya dalam bentuk sebuah skripsi dengan judul “ ESKATOLOGI: Suatu Perbandingan antara al-Gazâlî dan Ibn Rusyd”.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Sebagai sebuah wacana, eskatologi mempunyai banyak sekali permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas, namun agar penelitian ini lebih terarah sehingga dapat sampai pada tujuan yang diinginkan maka penulis membatasi permasalahan eskatologi hanya pada masalah kebangkitan (al-ma’âd/resurrection). Berdasarkan pada latar belakang dan batasan masalah seperti tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut: 1.
Bagaimana pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi (hidup sesudah mati)
2.
Apa landasan serta metodologi al-Gazâlî dan Ibn Rusyd dalam memandang eskatologi dan apa perbedaan serta persamaan di antara keduanya.
3.
Apa pengaruh pandangan al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi terhadap perkembangan faham keagamaan dalam Islam.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini selain sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat juga agar penulis mengetahui lebih mendalam tentang eskatologi khususnya permasalahan kebangkitan kembali (resurrection) menurut al-Gazâlî dan Ibn Rusyd berikut landasan titik tolak pemikiran, metodologi berpikir, dan pengaruh pemikiran keduanya terhadap perkembangan paham keagamaan. Metodelogi Penelitian Ada tiga hal yang perlu dilakukan dalam metodologi penelitian ini, yaitu pengumpulan bahan atau data, analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dan presentasi hasil penelitian. Penelitian ini sepenuhnya bersifat penelitian kepustakaan (library research). Dalam tulisan ini, penulis akan melacak pendapat-pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd terutama yang berkaitan dengan masalah eskatologi baik dari sumber primer maupun sekunder. Di samping itu, penulis juga akan mencari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pengertian eskatologi dan pemikiran eskatologi dalam filsafat Islam. Dalam menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode penelitian komparasi. Karena dalam skripsi ini penulis akan membandingkan dua pemikiran yakni al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi khususnya permasalahan kebangkitan kembali (resurrection).6 Sedangkan untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi.Tesis dan Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan IAIN Jakarta Press yang diterbitkan oleh Logos, 2000.
Sistematika Pembahasan Secara sistematis, skripsi ini disusun menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut: bab satu, merupakan pendahuluan, di dalamnya akan dibahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Dalam bab ini akan diungkapkan signifikansi pembahasan tentang eskatologi khususnya tentang kebangkitan terutama dalam pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd. Bab dua, membahas tentang pengertian eskatologi dan pemikiran eskatologi dalam filsafat Islam. Dalam bab ini akan diuraikan pengertian tentang eskatologi dan bagaimana pemikiran eskatologi dalam filsafat Islam.
6
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1997), h. 117
Bab tiga, membahas eskatologi dalam pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd, dalam bab ini juga akan dibahas tentang riwayat hidup al-Gazâlî dan Ibn Rusyd, serta karya-karya mereka. Bab empat, merupakan analisa perbandingan antara pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang masalah eskatologi, dalam bab ini akan dibahas landasan pemikiran, metodologi berpikir, perbedaan dan persamaan serta pengaruh pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi terhadap perkembangan paham keagamaan. Bab lima, merupakan penutup yang memberikan kesimpulan dan saran-saran penulis.
BAB II
SEKITAR ESKATOLOGI
A.
Pengertian Eskatologi
Secara etimologis, eskatologi berasal dari bahasa Yunani eschaton artinya “yang terakhir”. “yang selanjutnya”, “yang paling jauh” dan logos “pengetahuan”. Secara umum eskatologi merupakan keyakinan yang berkaitan dengan kejadiankejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-lain.7 Menurut Lorens Bagus, eskatologi merupakan “…doktrin Yahudi akhir dan Kristen awal mengenai hal-hal yang terakhir seperti kematian, kebangkitan kembali, keabadian, akhir zaman, pengadilan, keadaan masa mendatang…”.8 Lebih jauh lagi dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa “…eskatologi adalah doktrin atau teori (logos) tentang “ yang terakhir “. “Yang terakhir” bisa mempunyai dua arti, Pertama, ia dpat diartikan akhir kehidupan setiap manusia. Kedua, ia dapat pula berarti akhir dari dunia.9 Berdasarkan pengertian dan pendapat tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa eskatologi merupakan suatu pengetahuan yang berkaitan dengan hal-hal yang ‘terakhir’ dan ia merupakan bagian dari agama dan filsafat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan dan sebagainya. Menurut klasifikasi pengetahuan, eskatologi merupakan cabang dari teologi sistematis yang berkaitan dengan doktrin tentang hal-hal akhir (ta eschata).10 Kosakata Yunani untuk eskatologi sebenarnya baru diperkenalkan, tetapi dalam pemakaian modern hal tersebut sebagian besar menggantikan padanan latinnya De Novissimis.11 Asal dokrin ini hampir sama tuanya dengan ras manusia, bukti arkeologis berupa kebiasaan pada zaman batu telah menandai adanya suatu konsep keabadian yang bersifat elementer. Bahkan di tahap awal perkembangan agama, spekulasi tentang hal-hal yang akan datang adalah tidak secara keseluruhan dibatasi pada nasib individu.12 Kehancuran secara alami seperti banjir,
8
kebakaran besar, angin puyuh, gempa bumi, dan letusan gunung merapi sudah selalu mengusulkan kemungkinan dari akhir
7
Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Harper & Row Publishers,1981). h. 80 8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, ( Jakarta: Gramedia,1996), h. 216 9
Paul Edward (ed.), “Eschatology”. Encyclopedia of Philosophy, (New York : Macmillan Publishing Co. Jac & The Free Press), Vol.3, h.48
10
P.J. Toner, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.ewtn.com/ library/HOMELIBR/05528B.TXT 11
Ibid 12
G. M. Burge, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.mb soft.com/ believe/text/eschatol.htm
dunia. Bentuk pemikiran-pemikiran eskatologi yang lebih tinggi adalah produk dari suatu pertumbuhan sosial yang kompleks dan pertumbuhan pengetahuan yang ditinggalkan dari ilmu pengetahuan alami. Oleh karena itu, perkembangan spekulasi eskatologi, biasanya mencerminkan pertumbuhan intelektual dan persepsi moral manusia, perluasan pengalaman sosial, dan pengetahuan alam yang berkembang. Bagaimanapun, bentuk akhir doktrin. Eskatologi akan sangat beragam, menurut karakteristik dari suatu lingkungan dan orang-orang yang tinggal didalamnya.
B.
Eskatologi dalam Filsafat Islam
Hampir semua agama -termasuk Islam- mengajukan konsep tentang awal segala sesuatu; Tuhan, dunia, dan manusia. Demikian juga halnya dengan akhir segala sesuatu. Namun demikian seperti dijelaskan di atas, bahwa harus dibuat perbedaan yang jelas antara eskatologi individu dan eskatologi umum. Eskatologi individu berkaitan dengan akhir dari manusia secara pribadi, yakni akhir dari jiwa setelah kematian. Sedang eskatologi umum berkenaan dengan transformasi yang lebih umum atau akhir dunia ini. Eskatologi adalah faham yang bercorak kefilsafatan yang berusaha menjangkau kehidupan jangka panjang, dengan cara hidup meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi, dan menekan dorongan darah dan daging tubuhnya, dengan mengutamakan kehidupan akhirat, serta mengikuti secara total bimbingan spiritualitas. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi sesungguhnya menjadi upaya pemikiran transendental untuk menyingkap kehidupan sesudah mati. Persoalan eskatologi tidak hanya ‘meresahkan’ manusia zaman dahulu, tetapi manusia modern yang sangat mengagungkan akal pun kerap dibuat ‘resah’ untuk mengetahui, mencari dan menggapai kehidupan sesudah kematian, bahkan di dunia Barat yang sekuler. Namun demikian kemunculan eskatologi dalam filsafat Islam bukanlah suatu kelanjutan dari pemikiran eskatologi dari fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan dalam al-Qur’an dan Hadits banyak sekali keterangan-keterangan yang berkaitan dengan permasalahan eskatologi, yang menjadi kelanjutan adalah metode pembahasannya. Dalam filsafat Islam, eskatologi tentang kehidupan sesudah mati menjadi salah satu wacana penting sebagai upaya penyingkapan refleksi metafisik atas dilema ketuhanan.13 Dimensi eskatologis ini dilihat melalui pancaran nalar yang tetap melandaskan diri pada ajaran-ajaran al-Qur’an. Meski pun demikian, menurut Majid Fakhry “…tantangan yang dihadapi berkenaan dengan tafsir terhadap problema ini tidak kecil, terutama rata-rata datang dari kalangan ortodoksi dan lebih khusus lagi yang diwakili oleh alGazâlî.14 Agama-agama wahyu telah mengembangkan suatu penyesuaian antara isi kitab suci dengan keinginan masyarakat di hampir semua kehidupan keagamaan. Hal ini nampak sekali terlihat dalam perkembangan eskatologi Islam, yakni selalu dalam proses
13
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta : LESFI,2002), Cet.ke-3, h. 239 14 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York : Columbia University,1970), h. 135
perkembangan dan penyesuaian. Dengan kata lain, dualisme radikal terhadap kitab suci dalam agama monoteistik jarang sekali terjadi dalam bentuknya yang murni. Hal tersebut biasanya menjadi semu karena proses interaksi dengan gagasan dan praktek yang popular. Dibandingkan dengan agama-agama monoteistik lainnya, Islam merupakan agama yang paling kaya dengan latar belakang dan paling luas dalam pergaulan kebudayaan. Gambaran umum mengenai eskatologi Islam adalah “…kenikmatan surga dan azab neraka. Surga dan neraka ini sering dinyatakan al-Qur’an sebagai imbalan dan hukuman secara global, termasuk keridhaan dan kemurkaan Allah”15 Namun, ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai akhirat adalah gambaran tentang kiamat ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialami sebelumnya dari perbuatan baik dan buruknya. Pada saat ini manusia dihadapkan kepada apa yang telah dilakukannya, kemudian ia akan menerima ganjaran karena perbuatannya. Lebih lanjut, Rahman menyebutkan bahwa pada umumnya manusia sangat tertarik pada kepentingan-kepentingan yang bersifat langsung (pragmatis terutama kepentingan-kepentingan untuk dirinya sendiri yang dangkal dan bersifat materi, sehingga ia tidak menghiraukan akhir kehidupan ini. Akibatnya manusia sering sekali melanggar norma-norma dan hukum moral. Al-Qur’an
memang sarat dengan nilai-nilai eskatologis. Kalau ditelusuri dengan cermat, maka “…sekitar sepertiga dari
keseluruhan isi al-Qur’an memuat ajaran tentang eskatologi”.16 Setiap pembicaraan tentang amal manusia senantiasa ditutup dengan balasannya di hari kiamat nanti. Perkataan surga dan neraka, pahala dan dosa, kesenangan dan siksaan selalu diulangulang di hampir semua surat. Hal ini menunjukan bahwa persoalan eskatologis dalam Islam merupakan hal yang sangat penting. Kehilangan inilai eskatologis tidak hanya dapat menjauhkan seseorang dari agama tetapi juga dapat menjerumuskannya kepada kekufuran dan kezaliman. Karena pentingnya persoalan eskatologi ini, al-Qur’an di banyak tempat menyebutkan pesan-pesan tentang akhir segala sesuatu. Surat-surat Makkiyah terutama Juz ‘Ammâ umumnya mengandung pesan-pesan ini. Hal ini dimaksudkan agar manusia sebelum mengamalkan ajaran agama, ia terlebih dahulu mempunyai motivasi untuk melakukannya karean setiap apa yang dilakukan itu akan diberikan balasan. Kemudian, keyakinan kepada hari akhir menjadi bagian yang paling esensial dalam beragama. Bahkan dalam al-Qur’an senantiasa digandengkan “beriman kepada Allah dan hari kiamat”. Penggandengan ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi suatu ketetapan yang dirumuskan oleh Allah sendiri. Ini menunjukan betapa eratnya kaitan antara beriman kepada Allah dan meyakini dengan sesungguhnya hari akhir itu pasti terjadi. Dengan demikan manusia akan sangat hati-hati dalam melakukan sesuatu, karena apa yang dikerjakannya pasti Allah melihatnya dan dengan sendirinya ia menyadari bahwa kalau Allah sudah melihat, maka perbuatannya itu akan diberikan balasan. Balasan itu pun sangat tergantung pada kualitas amal, yang baik diberi pahala kesenagan surgawi. Sedang amal yang jelek akan diberi azab hukuman neraka.
15
Darwis Hude, et al., Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-1, h. 162 10 Ibid. , h. 165
Yang menarik dari keterangan al-Qur’an tentang eskatologi menurut Amsal Bakhtiar adalah “…kerincian penjelasannya. Dibandingkan dengan persoalan ibadah individual seperti shalat dan zakat, keterangan tentang hari akhirat jauh lebih terperinci.17” Hal ini mungkin karena pengetahuan manusia tentang alam metafisika sangat terbatas. Terlebih, ijtihad dalam lapangan ini membutuhkan keahlian khusus, dan kalu salah berijtihad akan berakibat fatal karena hal ini berkaitan dengan akidah. Kenyataan ini menggambarkan sekaligus mempertegas bahwa persoalan eskatologi adalah bagian yang rumit dan tidak terpisahkan dari Islam dan kehidupan manusia. Manusia pada dasarnya memiliki naluri takut mati karena telah mengetahui apa yang ada dan bagaimana setelah mati. Karena itu, agama menjelaskan persoalan yang sangat misterius ini, sehingga orang yang beragama menjadi lebih tenang dibandingkan dengan orang tidak beragama. Dalam eskatologi islam, permasalahan yang menjadi pembahasan para pemikir Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang pernah timbul pada pemikiran eskatologi sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Ada pun permasalahan-permasalahan dalam eskatologi Islam antara lain : kematian, alam kubur, hari kiamat dan kebangkitan kembali, berkumpul di mahsyar, penghitungan dan pertimbangan amal, pembalasan dan hukuman. Berikut penulis akan menjelaskan beberapa hal tersebut secara singkat : 1.
Kematian
Realitas kematian adalah kepastian, yang tidak dapat ditolak, setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, dan dalam konsep filsafat Islam kematian
adalah
awal
kehidupan,
kematian di dunia menjadi
awal kehidupan di
18
akhirat. Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri. Ada dua konsep tentang kematian yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran eskatologi, yaitu konsep pertama yang berpandangan bahwa kematian adalah “netral” (neutral death) yaitu tidak ada siksaan maupun kenikmatan setelah kematian, pandangan ini berkembang di Persia kuno. Sedangkan konsep kedua menyatakan bahwa kematian adalah bermoral (moral death), yang akan dinilai menurut standar kriteria tertentu apakah mendapat siksa atau mendapat nikmat, pandangan ini muncul di Mesir dan kemudian berkembang di Yunani.19 2.
Alam Kubur
17
Amsal Bakhtiar, “Eskatologi dalam Perdebatan antara al-Gazali dan Ibn Rusyd” dalam Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta, Vol. XVIII, No. 4, tahun 2001, h. 317 18
Musa Asy’arie,op.cit. , h. 243
19
Lihat Alan E. Bernstein, The Formation of Hell: Death and Retribution in The Anicient and Early Christian Worlds, (Ithaca : Cornell Universty Press, 1993), h.3-4
Alam kubur bukanlah semata-mata kuburan tetapi alam yang dimasuki oleh setiap orang yang telah mengakhiri kehidupan di dunia. Jadi kuburan tidak berarti wujud lubang di dalam tanah, tetapi lebih dari itu kuburan adalah alam yang dimasuki oleh orang yang telah meninggal kapan saja dan dimana saja. Secara lebih spesifik alam kubur dinamakan juga alam barzakh. Barzakh artinya batasan yang mendindingi dunia dan akhirat. Orang yang telah mati berarti ia berada di ruang tunggu menuju akhirat.
3.
Hari Kiamat dan Kebangkitan
Dalam wacana keagamaan, hari kiamat adalah hari kebangkitan dari kehancuran, yaitu dibangkitkannya manusia setelah terjadinya kehancuran total. Setelah kehancuran total tersebut, akan ditegakkan suatu pengadilan yang dijamin oleh Tuhan, karenanya manusia dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan itu.20 Disamping menggunakan istilah hari kiamat ( al-yawm al-âkhîr), Al-Qur’an juga menggunakan istilah-istilah atau namanama lain, yang masing- masing mengacu kepada peristiwa, keadaan atau situasi yang akan dialami oleh umat manusia dalam proses menuju kehidupan yang abadi. Nama-nama lain yang senada dengan hari kiamat adalah:
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t.
As-Sâ’ah artinya waktu atau masa Al-Âkhirah artinya hari akhirat Al-Âzifah artinya peristiwa dahsyat At-Tâmmah artinya malapetaka hebat As-Sâkhah artinya tiupan sangkakala kedua Al-Gâsyiyah artinya kejadian yang menyelebungi Al-Wâqi’ah artinya peristiwa menggemparkan Yawm al-Fasl artinya hari keputusan Yawm at-Tanâd artinya hari panggil memanggil Yawm al-Hasrah artinya hari penyesalan Yawm al-Khurûj hari eksodus Yawm al-Khulûd artinya hari keabadian Yawm at-Tagâbun artinya hari ditampakan segala kesalahan Yawm al-Jam’i artinya hari berkumpul Yawm at-Talâq artinya hari pertemuan Yawm al-Fath artinya hari kemenangan Yawm ad-Dîn artinya hari agama Yawm al-Hisâb artinya hari perhitungan Yawm al-Ba’s artinya hari berbangkit Yawm al-Qiyâmah artinya hari kiamat.21
Ada pun mengenai kebangkitan kembali, filsafat Islam menawarkan pendekatan nafs, untuk dapat memahaminya. Seperti yang dikenalkan Ibn Sînâ untuk membuktikan adanya nafs, yaitu dengan adanya alam mimpi atau pengandaian orang bisa terbang. Teori Ibn Sînâ ini bias dikembangkan lebih lanjut untuk memahami adanya kebangkitan kembali dengan melihat aspek 20
Seperti telah dijelaskan bahwa pengertian eskatologi mencakup dua makna yakni eskatologi individu dan eskatologi umum. Kematian merupakan salah satu contoh dari eskatologi individu sedang hari kiamat dan kebangkitan adalah bentuk dari eskatologi umum atau universal. 21 Darwis Hude, et al., op.cit., h.177
transendentalnya nafs. Transendensi nafs menjadikan kebangkitan itu pasti adanya dan dapat terjadi pada tahapan manusia sebagai nafs, karena nafs itu sendiri yang berbuat dan yang akan mempertanggung jawabkan amalnya di hadapan Tuhan. Kepastian adanya kebangkitan pada hakekatnya merupakan tuntutan hokum moral, untuk menuntaskan perbuatan jelek manusia yang tak terselesaikan dalam pengadilan di dunia, yang dalam banyak hal sering kali dimanipulasi, direkayasa dan tidak mencerminkan adanya keadilan yang benar-benar adil, sehingga adanya hari kebangkitan dan pengadilan Tuhan yang dijamin Tuhan sendiri akan keadilannya, pada hakekatnya merupakan rahmat dan anugrah Tuhan kepada manusia, terutama yang merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di dunia. Dalam persoalan kebangkitan, menurut Ahmad Syams ad-Din, pandangan manusia terbagi menjadi lima kelompok yakni: 1.
2. 3. 4. 5.
Sebagian kecil kaum teolog mengatakan bahwa kebangkitan hanya jasmani saja. Sebagian besar kaum filosof ketuhanan mengatakan bahwa kebangkitan hanya jiwa saja. Hampir semua kaum muslimin, termasuk al-Gazâlî mengatakan bahwa kebangkitan adalah jiwa dan jasad sekaligus. Para filosof mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan di akhirat baik jasmani mau pun jiwa. Galenus berpendapat bahwa kita tidak bias menentukan mana yang benar dari pendapat di atas. Karenanya dia menganjurkan untuk bersikap pasif dan tidak membahas persoalan ini panjang lebar.22
Eskatologi dalam filsafat Islam telah menjadi bahasan yang sangat menarik pada awal perkembangan keilmuan dalam dunia Islam. Namun demikian respons pemikir Islam modern terhadap masalah eskatologi Islam tidak begitu intens seperti halnya pendahulu mereka. Pemikir Islam modern tidak membahas permasalahan eskatologi karena menurut mereka hal tersebut terlalu sulit untuk dirasionalisasikan.23 Sehingga pembahasan mereka tentang permasalahan eskatologi pada umumnya hanya merupakan pengembangan, penekanan dan pembaharuan terhadap pemikiran sebelumnya
22
Ahmad Syams ad-Din, al-Gazâlî: Hayâtuhu, Âsâruhu, Falsafatuhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1990), h. 93 23
Mircae Eliade (ed), “Eschatology: Islamic Eschatology”, The Encyclopedia of Religion (New York : Macmillan Publishing Company, 1987), h. 155
BAB III ESKATOLOGI MENURUT AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD Al-Gazâlî Riwayat Hidup al-Gazâlî Abu Hamid al-Gazâlî dilahirkan pada pertengahan abad kelima Hijriyah, yaitu tahun 450 H di desa Tus kota Khurasan, sekitar masa pengangkatan Sultan Alp Arsalan ke atas singgasana Saljuk.24 Di Tus, al-Gazâlî belajar sejumlah ilmu pengetahuan. Setelah itu ia, ia pergi ke Jurjan, lalu ke Naysabur, pada saat Imam alHaramayn al-Juwayni menjabat sebagai kepala Madrasah Nizamiyyah. Di bawah asuhan al-Juwayni, al-Gazâlî belajar ilmu fikih, ushul, mantiq, dan kalam, sampai alJuwayni wafat pada 478 H/1085 M. Pada tahun 478, al-Gazâlî meninggalkan Naysabur menuju Mu’askar. Ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad pada 484 H. Di sini al-Gazâlî mencapai puncak prestasi keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka.25 Di Madrasah Nizamiyyah, al-Gazâlî menjabat sebagai guru besar selama empat tahun. Kemudian ia meninggalkan Baghdad guna meninggalkan kehidupan
24
Abdul Qayyum, Surat-surat al-Gazâlî , terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1991), Cet.
ke-4, h. 1 25
Lihat Sulayman Dunya, “Al-Gazâlî :Biografi dan Pemikirannya” dalam al-Gazâlî , Kehancuran Filsafat (Tahâfut al-Falâsifah), terj. Achmad Maimun, (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet. ke-1, h. xxix
19
umum. Keadaan yang demikian ini berlangsung selama sepuluh tahun. Selama masa itu al-Gazâlî antara lain pergi ke Damaskus, al-Quds, Makkah, dan Madinah. Setelah kehidupan menyendiri, al-Gazâlî, atas permintaan Sultan, kembali mengajar di Madrasah Nizamiyyah Naysabur. Namun hal itu tidak bertahan lama. Akhirnya ia kembali ke tempat kelahirannya, Tus, dengan membuat madrasah di samping rumahnya.26 Al-Gazâlî meninggal pada tahun 505 H/1111 M dalam usia hanya 53 tahun, namun secara moral dan intelektual menempatkan perubahan dalam sejarah di Dunia Islam. Al-Gazâlî adalah orang yang menyaksikan kemunduran tajam Dinasti Saljuk, menyusul pembunuhan atas Maliksyah pada 485 H/1092 M.27 Al-Gazâlî juga adalah tokoh yang kehidupannya begitu lekat dengan berbagai gerakan religius dan politik yang saling bertentangan pada masanya. Bahkan ketika al-Gazâlî masih bersama dengan kekuasaan, tidak ada satupun keputusan politik-pemerintahan yang tidak melalui dirinya. Al-Gazâlî mendapat banyak kehormatan dari para penguasa Saljuk. Penguasa yang cukup berjasa meningkatkan karir al-Gazâlî adalah Nizam al-Mulk. Dialah yang meminta al-Gazâlî untuk mengajar di Universitas Nizamiyyah.28 Masuknya al-Gazâlî ke dalam kekuasaan diawali lebih karena karir inetelektualnya, bukan melalui
26
Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Gazâlî sang Sufi sang Filosof, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1987), Cet. ke-1, h. 9 27 Pengantar Penerbit dalam Abu Hamid al-Gazâlî , Peringatan bagi Penguasa, terj. Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, (Jakarta: Hikmah, 2000), h. v 28 Ibid., h. vi
patronase kekuasaan-politik yang cenderung memanfaatkan kesempatan dan menafikan pertimbangan kemampuan keilmuan. 2. Karya-karya al-Gazâlî Al-Gazâlî adalah seorang ahli fikir Islam. Ia menulis puluhan buku yang meliputi berbagai disiplin ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqh), tasawuf, tafsir dan akhlak, kemudian autobiografi.29 Sebagian besar buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan lainnya dalam bahasa Persia.30 Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa al-Faqih Muhammad Ibn al-Hasan alHusayni al-Wasity dalam kitabnya, at-Tabaqât al-Âliyah fi Manâqib asy-Syâfi’iyyah, ada 98 judul kitab karya al-Gazâlî.31 Sedangkan as-Subky dalam kitabnya, at-Tabaqât asy-Syâfi’iyyah, ada 58 karyanya.32 Tasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya, Miftâh as-Sa’âdah wa Misbâh as-Siyâdah, jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab.33 Dr. Badawi Tabanah, di dalam pengantar (muqaddimah) Ihyâ ‘Ûlûm ad-Dîn, mencantumkan 47 karya al-Gazâlî. Menurutnya jumlah tersebut sebagian terdiri dari risalah (makalah) kecil dan belum berbentuk buku.34 Karya-karya itu adalah: 1.
Ihyâ ‘Ûlûm ad-Dîn, berisi tentang berbagai kajian seperti fiqh, tasawuf dan lainlain. 29
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), Cet. ke-6, h. 136 Ibid 31 Yusuf al-Qardawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Gazâlî , terj. Achmad Satori Ismail, (Surabaya:Risalah Gusti, 1997) h. 189 32 Ibid 33 Ibid 34 Al-Gazâlî , Ihyâ ‘Ûlûm Ad-Dîn, dalam “muqaddimah”, (Mesir : Dâr Ihyâ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t. ), Jilid 1, h. 23 30
2.
Tahâfut al-Falâsifah, berisi studi tentang filsafat yang diringkas dalam 20 persoalan filsafat.
3.
Al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd, kurang lebih seratus halaman berisi tentang teologi (ilmu kalam).
4.
Al-Munqiz min ad-Dalâl, mengkaji salah satu tujuan dan rahasia ilmu.
5.
Jawâhîr al-Qur`ân, membahas tentang rahasia ayat-ayat al-Qur’an
6.
Mizân al-`Amal, merupakan falsafah agama yang menjelaskan tujuan serta maksud lmu pengetahuan agama.
7.
Al-Maqsâd al-Asnâ fî Ma’ânî Asmâ Allâh al-Husnâ, menjelaskan tentang makna asmâ al-husnâ.
8.
Faysal at-Tafriqah bayna al-Islâm wa az-Zandaqah, menjelaskan kerusakan orang yang cepat mengkafirkan setiap mazhab yang berbeda dengan mazhabnya
9.
Al-Qistâs al-Mustaqîm, menjelaskan tentang cara menghilangkan pertentangan di antara mekhluk, kriteria ilmu, dan tidak perlunya imam yang ma’sum.
10. Al-Mustazhiri 11. Hujjah al-Haq 12. Mufassal al-Khilâf fî Usûl ad-Dîn, ketiga kitab ini (10, 11 dan 12) mengungkap golongan Batiniyyah serta kelemahan-kelemahan mazhab tersebut 13. Kîmiyâ
as-Sa’âdah,
penyingkapannya 14. Al-Basît, 15. Al-Wasît,
uraian
singkat
tentang
yang
samar (syibh) dan
16. Al-Wajîz, 17. Khulasah al-Mukhtasar, beberapa kitab di atas (14, 15, 16 dan 17) membahas masalah-masalah fiqhiyyah. 18. Yâqût at-Ta`wil fî Tafsîr at-Tanzîl, terdiri dari 40 jilid berupa kitab tafsir 19. Al-Mustasfa, 20. Al-Mankhûl, keduanya (no. 19 dan 20:pen) adalah kitab ushul fiqh 21. Al-Muntaqâl fî ‘Ilm al-Jadal, buku ini menjelaskan tentang ilmu berdebat 22. Mi’yar al-‘Ilm, buku ini berisi tentang ilmu mantiq 23. Al-Maqâsid al-Falâsifah, 24. Al-Madnûn bihâ ‘alâ Gayr Ahlihâ, 25. Misykah al-Anwâr, berisi tentang tafsir sufistik terhadap ayat 35 Surat an-Nûr. 26. Mihak an-Nazar, 27. Kitâb Asrâr ‘Ilm ad-Dîn, berisi tentang hikmah-hikmah dan rahasia ilmu agama. 28. Minhâj al-‘Âbidîn, 29. Ad-Durar al-Fâkhirah fî Kasyf al-‘Ulûm al-Âkhirah, 30. Al-Anîs fî al-Wahdah, 31. Al-Qurbân Ilâ Allâh ‘Azza wa Jall, 32. Akhlak al-Abrâr wa an-Najâh min al-Asrâr, beberapa buku di atas (no. 28 sampai dengan no. 32) berisi berbagai ajaran tasawuf. 33. Bidâyah al-Hidâyah, buku ini membicarakan masalah fiqh bercorak sufistik. 34. Al-Arba’în fî Usûl ad-Dîn, buku berbicara tentang akidah.
35. Al-Zarî’ah Ilâ Makârim as-Syarî’ah, buku ini menjelaskan berbagai cara mencapai hakikat kemuliaan syari’at Islam. 36. Al-Mabâdi’ wa al-Gâyât, buku ini berisi tentang dasar-dasar dan tujuan syari’at. 37. Talbîs Iblîs, buku ini berisikan tentang berbagai perbedaan pendapat di dalam masalah fiqh. 38. Nasîhah al-Mulûk, buku ini berisi tentang nasihat untuk para raja (penguasa) 39. Syifâ` al-Alîl, buku ini mengungkap terapi terhadap berbagai penyakit ruhani. 40. Iljâm al-Awâm ‘an Ilm al-Kalâm, buku ini membicarakan persoalan-persoalan akidah 41. Al-Intisâr, 42. Al-‘Ulûm al-Laduniyyah, buku-buku ini berisi tentang ilmu-ilmu laduni 43. Ar-Risâlah al-Qudsiyyah, 44. Isbât an-Nazr, 45. Al-Ma’khaz 46. Al-Qawl al-Jamîl fî ar-Rad ‘alâ Man Gayyara al-Injil, buku ini berisi kritik terhadap berbagai penyimpangan di dalam Injil. 47. Al-Amâlî35
3. Eskatologi Menurut al-Gazâlî Dalam hierarki doktrin eskatologi Islam, dipahami bahwa kebangkitan kembali terjadi jika kehancuran kosmos pada saat kiamat telah selesai.36 Doktrin
35
Ibid Dalam konteks pemikiran eskatologinya, al-Gazâlî secara khusus menulis buku yang berjudul Tahâfut al-Falasifah, yang salah satu bagian dari kitab tersebut menunjukkan kelemahan dan 36
kebangkitan kembali, adalah sebuah doktrin yang sangat sulit diterima oleh orangorang Makkah Jahiliyah yang berpandangan ‘Sekuler’. Bahkan di era modernitas ini, sebagian kalangan yang terutama tunduk dengan keangkuhan daya kognitifnya, masih tetap menolak eksistensinya. Misalnya, Marx, Freud, dan Sartre, adalah di antara tokoh-tokoh kognitif yang termasuk dalam kategori ini. Ide ini pada dasarnya selalu menarik untuk dikupas sebab merupakan bahasan yang senantiasa menimbulkan kontroversi. Demikian juga khususnya di lingkungan Muslim, jika pada masa Nabi SAW isu debatnya masih berkutat di sekitar pertanyaan ontologis masyarakat Makkah Jahiliyah tentang, “mungkinkah manusia yang sudah mati akan bisa dibangkitkan kembali”, maka pada abad pertengahan, bahkan hingga hari ini, isu yang seakan-akan sudah diterima jawabannya secara aksiomatik itu mendapatkan pembahasan lebih lanjut di tangan para filosof. Persoalan yang sebetulnya menghiasi polemik abad pertengahan ini adalah, “apakah kebangkitan kembali terjadi pada jiwa saja ataukah juga melibatkan raga? Dengan kata lain apakah manusia akan dibangkitkan hanya dalam bentuknya yang spiritual (jiwa) ataukah dalam bentuknya yang utuh, perpaduan antara jiwa dan raga?”.37 Sebelum al-Gazâlî, para filosof Muslim (falâsifah) meyakini bahwa hanya jiwa (nafs) saja yang akan dibangkitkan. Raga dalam hal ini tidak lebih dari sekadar menjadi sarana keduniaan yang tidak akan dikembalikan lagi pada jiwa manakala kekacauan pemikiran para filosof, antara lain tentang pernyataan al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang mempercayai bahwa kehidupan di akhirat hanya bersifat jiwa/rohani saja. 37
Sibawihi, Eskatologi al-Gazâlî dan Fazlur rahman: Studi Komparatif Epistemologis Klasik-Kontemporer, (Yogyakarta: Islamika, 2004), Cet. ke. 1, h. 106-107
jiwa dibangkitkan. Pandangan ini secara historis keislaman, berakar pada prakarsa yang diajukan oleh Ibn Sina.38 Filosof ini menjelaskan pandangannya dengan mengilustrasikan bahwa bila jiwa dan raga berada di ruang hampa sedang mata pemiliknya ditutup dan organ-organ raganya terpisah, maka pemiliknya tersebut akan menyadari keberadaan jiwanya sekalipun ia tidak memiliki gagasan tentang raganya. ‘Ada’ yang dimaksud terbebas dari ruang. Penetapannya adalah bahwa ia ‘ada’ bukan lewat indra atau raganya melainkan lewat jiwanya. Oleh karena itu, jiwanya pulalah semata yang dipastikan akan kebangkitannya.39 Di kalangan para filosof, tentu saja ilustrasi semacam ini dapat dengan mudah diterima, sebab ia mengikuti pola pemikiran diskursif. Namun, setelah al-Gazâlî muncul, pandangan Ibn Sina tersebut dipandangnya sebagai keliru dan sesat, lantaran dalam kesan al-Gazâlî, pandangan tersebut menafikan kekuasaan Tuhan. Tuhan, menurut al-Gazâlî, adalah Maha Kuasa, sehingga pertanyaan apakah dia akan membangkitkan manusia dalam bentuknya yang spiritual (jiwa) ataukah jasmani (raga), bukanlah suatu persoalan bagi Tuhan. Tiada sesuatu pun yang mampu mencegah kehendak Tuhan. Tuhan mungkin saja menghadirkan manusia dalam bentuknya yang utuh, dan karena masalah ini bersifat kemungkinan (mumkin), maka bukanlah wewenang manusia untuk melangkahi semua yang serba mungkin dilakukan Tuhan. Berdasarkan al-Qur’an surat as-Sajdah/32: 17, al-Gazâlî meyakini bahwa ada hal-hal tertentu, yang berkaitan dengan janji Tuhan, di mana jiwa tidak 38
Lihat karya Ibn Sina, al-Isyârât wa at-Tanbihât, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1960), h. 119-120. Sibawaihi, op. cit., h. 107
39
mampu mengetahuinya, dan apa yang dijanjikan itu tentulah akan diketahui oleh sesuatu yang paling sempurna. kesempurnaan itu dimungkinkan dengan berpadunya antara jiwa dan raga, dan karenanya perpaduan itu menjadi wajib untuk dibenarkan. Al-Gazâlî tidak hanya berhenti pada argumen ini, sebab ia memperluas argumennya dengan analogi bahwa yang lebih patut diherankan sebetulnya bukanlah bagaimana jiwa akan dikumpulkan kembali bersama raganya, melainkan adalah proses pertama kali melekatnya jiwa ke dalam raga. Raga manusia itu pun menurut al-Gazâlî sifatnya melalui tahapan:40 Kesiapan raga berlangsung secara evolutif, melalui tahapan. Misalnya dari benih sel nutfah yang tersimpan kuat di rahim ibu berkembang dalam tahapantahapan sampai benih tersebut menjadi embrio yang kemudian menjadi makhluk yang sempurna. Bila prosesnya tidak evolutif, maka argumennya akan tertolak. Tidaklah diketahui bahwa tikus yang lahir dari keturunannya setelah terlebih dahulu bertemunya sel kelamin jantan dan betinanya, lalu hamil, kemudian muncul anak tikus. Melalui ilustrasi ini, selain al-Gazâlî ingin menjustifikasi bahwa betapa jiwa dan raga saling bergantung dan terkait, di mana kesempurnaan keterkaitannya berlangsung secara evolutif, ia juga ingin menegaskan bahwa raga yang dibangkitkan pada kali yang kedua nanti adalah berasal dari ‘bagian-bagian’ yang dahulunya
40
Konsepsi ini ditulis berdasarkan apa yang ditulis Sibawaih, Ibid., h. 108-110
menyatu dengan raga, sekali pun kemudian bagian-bagian tersebut berantakan tersebar di mana-mana dan telah hilang rupa dan bentuknya. Penolakan al-Gazâlî terhadap penolakan filosof di atas ternyata juga diperluas dengan penolakannya terhadap pemahaman para teolog atau mutakalim kendati para teolog tersebut juga menganut konsep kebangkitan raga. Para teolog berpendapat bahwa manusia adalah raga, dan bahwa kehidupan hanyalah suatu aksiden (‘arad); bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri dan yang disebut pengatur raga tidak ada; dan bahwa kematian berarti ketidak berlangsungnya kehidupan, atau terhalangnya Pencipta dari penciptaan kehidupan. Karenanya, menurut para mutakalim ini, kebangkitan kembali dapat diartikan sebagai: (a) Perbaikan kembali oleh Allah terhadap raga yang telah lenyap; (b) Pengembalian eksistensi tubuh; dan (c) Perbaikan kembali kehidupan yang telah lenyap. Atau dapat dikatakan bahwa materi raga tetap sebagai tanah, dan bahwa kebangkitan kembali (al-ma’âd) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun ke dalam manusia, di mana kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya. Menurut al-Gazâlî argumen seperti ini sudah kelihatan jelas akan kesalahannya. Al-Gazâlî menjelaskan: ketika kehidupan serta raga telah tiada, penciptaan kembalinya akan merupakan suatu penciptaan yang sama. Tetapi tidak identik dengan apa yang telah ada sebelumnya. Namun, kata ‘kembali’ mengiplikasikan pengandaian kebakaan suatu hal, serta membarunya hal yang lain. Misalnya perkataan bahwa ada seseorang yang kembali kaya. Dia kembali kepada
sesuatu yang secara jenerik sama dengan apa yang sebenarnya telah dia miliki tetapi berbeda kuantitasnya.41 Jadi, kendati para teolog sama dengan al-Gazâlî dalam penerimaan konsep kebangkitan raga, mereka berhenti pada titik di mana raga yang dibangkitkan adalah raga baru, karena raga lama telah lenyap. Sementara al-Gazâlî tetap meyakini bahwa raga lama itulah yang akan dibangkitkan dan diperbarui kembali. Al-Gazâlî memang tampak emosional dalam menanggapi persoalan di seputar konsep kebangkitan kembali ini, dan khususnya terhadap para filosof yang menafikan kebangkitan raga, ia menggolongkan mereka sebagai kafir. Pemikiran para filosof yang dianggapnya bertentang denagn syara’ ini, secara lebih luas lagi merambah dalam wilayahwilayah: pertama, penolakan akan kebangkitan raga, kedua, penolakan kepada kesenangan fisik di surga; dan ketiga, penolakan kepada eksistensi surga dan neraka. Ketiga wilayah konsepsi inilah sebetulnya yang terangkum dalam kritisisme alGazâlî, khususnya ditujukan kepada para filosof, dalam kaitan dengan pembahasan tentang kebangkitan kembali.42 Kendati sebagian kalangan Muslim dewasa ini menilai sikap takfir (pengkafiran) al-Gazâlî tersebut terlalu berlebihan atau melampaui batas, pendapat alGhzali tetaplah diterima dan dilestarikan, dan al-Gazâlî sendiri tetaplah merupakan Hujjah al-Islâm, yang konsepsi-konsepsinya dijadikan standar. Itulah sebabnya,
41
Mengenai argumen al-Gazâlî , lihat al-Gazâlî , al-Tahâfut al-Falâsifah, Sulayman Dunya (ed), (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), Cet. ke-8, h. 287 42 Sibawaihi, op. cit., h. 110
menyadari sikap al-Gazâlî yang berlebih-lebihan dalam hal ini, dan lebih luas dalam seluruh konsepsinya, hampir seabad setelah kematiannya, seorang filosof kritikus dari Andalusia, Ibn Rusyd (1126-1198), mencoba menkonstruksi ulang tesis ini, dan lebih luas lagi tesis-tesis yang dikembangkan al-Gazâlî dalam Tahâfut al-Falâsifah. Konsepsi Ibn Rusyd yang dalam hal ini mengakumulasikan ide-ide kritiknya lewat Tahâfut at-Tahâfut, mengatakan bahwa ide kebangkitan raga ala Gazalian tersebut hanya cocok ditujukan untuk kalangan masyarakat awam. Sebab, jika berbagai fenomena ukhrawi termasuk penggambaran surga dan neraka umumnya digambarkan secara fisik dalam al-Qur’an, hal itu semata-mata bertujuan untuk mempermudah daya tangkap intelek kaum awam. Kenyataannya, menurut Ibn Rusyd, Nabi saja menggambarkan akhirat dengan ungkapan yang lebih bersifat spiritual: “Surga tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia”., demikian juga, Ibn Abbas pernah mengatakan : “Di akhirat, tidak ada yang seperti di dunia, kecuali hanya nama-nama”. Namun Demikian, meski pun pendapat Ibn Rusyd ini sudah diracik secara rasional-argumentatif, pendapat tersebut kurang mendapatkan tempat di masyarakat. Pada gilirannya, tenggelam dengan kebesaran al-Gazâlî sendiri. Sesungguhnya, fakta inilah secara historis, kendati bukan satu-satunya, yang menyebabkan berurat-akarnya pandangan di lingkungan kesarjanaan Barat bahwa filsafat Islam telah mati atas serangan al-Gazâlî, sekalipun sebenarnya kajian-kajian yang lebih mutakhir membuktikan bahwa beberapa nama besar (filosof) dari daratan
Persia yang menghidupkan salah satu karakter filsafat Islam, dapat menampik klaim Barat ini.43
B. Ibn Rusyd 1. Riwayat Hidup Ibn Rusyd Ibn Rusyd44 yang nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Rusyd lahir di kota Cordova, pada tahun 1126 M/520 H.45 Ia berasal dari keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kakek dan bapaknya, sebagaimana Ibn Rusyd sendiri pernah menjadi hakim dan qâdî al-qudât di Cordova.46 Ibn Rusyd juga seorang faqih besar yang menganut mazhab Maliki, salah satu mazhab yang mendominasi Maghrib dan Andalusia. Selain kedudukannya tadi, ia juga sangat aktif dalam kegiatan politik dan sosial47 Pendidikan awalnya dimulai dari belajar al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Selanjutnya ia belajar ilmu-ilmu dasar keislaman seperti fiqh, ushul fiqh, hadis, ilmu kalam, bahasa Arab dan sastra. Dalam bidang fiqh, ia mempelajari dan menguasai kitab al Muwatta’ karya Imam Malik (94-179 H / 716-795 M), pendiri 43
Ibid., h. 111, Tentang sekilas Ibn Rusyd baca TJ. De Boer, The History of Philosophy in Islam, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Edward R. Jone, (New York; Dover Publication, Inc., 1967). h. 187 dan seterusnya. Termasuk Majid Fakhry, dalam A History of Islamic Philosophy, (New York & London: Columbia University Press, 1970), h. 302 dan seterusnya. Tentang Riwayat hidup Ibn Rusyd yang lebih lengkap baca karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rusyd, (Mesir: Dâr al Ma'ârif, t.t. ). 45 Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ bayna al-Hikmah wa as-Syarî’ah min al-Ittisâl, Muhammad Imarah (ed), (Mesir:Dâr al-Ma’ârif, t.t. ), h. 5 46 Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd dan Averroisme : sebuah pemberontakan terhadap agama, (jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), Cet. ke.1, h. 21-22 47 Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl, loc. cit. 44
Mazhab Maliki, dari ayahnya. Seperti diketahui bahwa mazhab Maliki adalah mazhab mayoritas yang diamalkan muslim Spanyol. Ibn Rusyd sendiri adalah pengikut mazhab tersebut.48 Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga berguru kepada Abu Muhammad ibn Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh al-ikhtilâf) dan kepada Ibn Basykuwal di bidang hadis. Namun Ibn Rusyd kelihatannya lebih interes pada bidang yang pertama. Ini dapat dilihat dari indikasi bahwa ia akhirnya menjadi pengarang kitab Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, sebuah kitab fiqh yang lebih menitik beratkan pada pembahasan perbandingan mazhab.49 Dalam bidang kedokteran dan filsafat, ia belajar pada Abu Ja’far Harun alTardjalli (berasal dari Trujillo). Ia juga belajar pada Abu Marwan al-Djurrayyul. Selain itu, gurunya yang juga berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zuhr (Avenzoar, 1091-1162 M). Ibn Sina (980-1037 M) juga memberi andil tidak langsung kepada Ibn Rusyd dalam bidang kedokteran. Ia mempelajari kitab al-Qânûn fî alTibb, sebuah kitab ensiklopedi tentang kedokteran karangan Ibn Sina.50 Pada tahun 548 H / 1153 M, Ibn Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy), Maroko atas permintaan Ibn Tufail (w. 581 H / 1158 M), pengarang kitab roman filsafat terkenal Hayy Ibn Yaqzan yang ketika itu menjadi dokter pribadi Khalifah Abu Ya’kub Yusuf (558-580 H / 1163-1184 M) dari Dinasti Muwahhidun. Ibn Tufail
48
Muhammad Iqbal, loc. cit. Ibid. 50 Ibid. 49
memperkenalkannya kepada khalifah. Dengan pertemuan pertama antara Khalifah dan Ibn Rusyd, setelah menanyakan asal usul dan latar belakang Ibn Rusyd, khalifah menanyakan kepadanya tentang berbagai persoalan filsafat, termasuk pandangan kaum filosof sekitar masalah keqadiman alam. Ibn Rusyd menyangka bahwa pertanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karena persoalan ini sangat krusial dan sensitif ketika itu. Apalagi sejak al-Gazâlî (1059-1111 M) mengutuk kaum filosof dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, filsafat seakan-akan menjadi “barang haram” bagi umat Islam. Sebagai tindakan hati-hati, Ibn Rusyd menjawab bahwa dirinya tidak tertarik pada filsafat.51 Ternyata dugaan Ibn Rusyd meleset. Khalifah yang pencinta ilmu ini malahan berdiskusi dengan Ibn Tufail tentang masalah-masalah diatas. Seperti air mengalir, Khalifah Ibn Ya’kub dengan fasih dan lancar menjelaskna persoalan tersebut dan mengutip pendapat-pendapat para filosof seperti Plato dan Aristoteles. Kedua mereka, Khlaifah dan Ibn Tufail, sama-sama terlibat dalam diskusi yang “berat” tersebut. Terlihat bahwa khalifah yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini sangat menguasai persoalan filsafat, pendapat-pendapat para mutakallimn (teolog), Plato dan Aristoteles. Ibn Rusyd kagum pada pengetahuan Khalifah yang dalam tentang filsafat. Karenanya, ia pun akhirnya berani menyatakan pendapatnya sendiri. Ketika akan pulang, khalifah memberi hadiah kepada Ibn Rusyd.52
51 52
Ibid, h. 23 Ibid.
Pertemuan pertama ini ternyata membawa berkah bagi Ibn Rusyd. Khalifah yang gandrung akan filsafat ini ingin mengakses karya-karya Aristoteles, tapi sulit memahami dan mencernanya secara langsung dari bahasa Yunani. Khalifah juga mengeluh karena buruknya terjemahan yang ada selam ini. Karena itu, Ibn Tufail meminta kepada Ibn Rusyd agar berkenan menterjemahkan dan menafsirkan karyakarya Aristoteles tersebut. Maka Ibn Rusyd pun bekerja memikul tugas tersebut. Selain itu, pertemuan ini juga mengantarkan Ibn Rusyd untuk menjadi Qâdi (hakim agama) di Seville. Setelah dua tahun mengabdi, Ibn Rusyd diangkat menjadi hakim agung di Cordova, jabatan yang juga pernah dipegang ayah dan kakeknya. Pada tahun 1182 ia kembali ke istana Muwahhidun di Marakesh menjadi dokter pribadi khalifah menggantikan Ibn Tufail yang sudah tua.53 Pada 1184 khalifah Abu Ya’kub meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Abu Yusuf ibn Ya’kub al-Mansur yang memerintah pada 578-595 H / 11841199 M. pada awal pemerintahannya, Khalifah Abu Yusuf al-Mansur juga menghormati Ibn Rusyd, sebagaimana perlakuan ayahnya, Abu Ya’kub. Namun, pada 1195 mulai terjadi kasak kusuk di kalangan tokoh agama. Mereka mulai menyerang filsafat dan para filosof. Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibn Rusyd. Ia harus berhadapan dengan para pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan punya kepentingan serta ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara, mereka pun memfitnah Ibn Rusyd. Akhirnya Ibn Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari segala jabatannya.
53
Ibid. h. 24
Pada tahun 1195 ia diasingkan ke Lucena, sebuah perkampungan Yahudi yang terletak sekitar 50 km disebelah selatan Cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar. Semua kegiatan berpikir bebas dilarang dan berfilsafat dianggap membahayakan akidah Islam. Bahkan Ibn Rusyd sendiri dituduh kafir, sesat dan menyesatkan orang lain. Selain Ibn Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh fuqaha’ dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di Afrika), Abu Ja’far az-Zahabi, Abu Rabi’ al-Khafif dan Nafiz Abu al-‘Abbas. 54 Harun Nasution memberikan alasan yang senada tentang persoalan di atas, seperti dalam kutipan berikut ini: Sebagai filosof, pengaruhnya di kalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha……….Keadaan berbalik dan Ibn Rusyd dengan mudah dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha. Ia dituduh membawa falsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan disingkirkan ke suatu tempat bernama Lucena di daerah Cordova. Dengan timbulnya pengaruh kaum ulama dan fuqaha ini, kaum filosof mulai tidak disenangi lagi dan buku-buku mereka dibakar.55 Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikiran kreatif Ibn Rusyd, suatu sikap yang sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al-Mansur merehabilitasi Ibn Rusyd dan memanggilnya kembali ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak lama setelah itu,
54
Ibid , h. 25 Harun Nasution, Fasafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9, h. 47 55
pada 19 Safar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rusyd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya, Cordova.56 2. Karya-karya Ibn Rusyd Sebagai seorang penulis produktif, Ibn Rusyd banyak menghasilkan karyakarya dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti kedokteran, astronomi, sastra, fiqh, ilmu kalam dan tentu saja filsafat. Perhatiannya pada dunia ilmu pengetahuan sungguh luar biasa, sehingga Ibn al-Albar, seperti dikutip al-Ahwani, menyimpulkan bahwa di bumi Spanyol belum pernah ada seorang ilmuwan yang utama dan sempurna seperti Ibn Rusyd. Lebih dari 10.000 lembar kertas telah dihabiskannya untuk menulis karya-karyanya, sehingga tidak berlebihan kiranya ada ungkapan bahwa Ibn Rusyd tidak pernah lepas dari kegiatan membaca dan menulis, kecuali hanya pada malam perkawinannya dan malam ketika ayahnya wafat. Menurut Ernest Renan (1823-1892), 57 karya Ibn Rusyd mencapai 78 judul, dengan rincian 39 judul tentang filsafat, lima tentang ilmu kalam, delapan tentang fiqh, empat tantang ilmu falaq, matematik dan astronomi, dua tentang Nahwu dan sastra serta dua puluh judul tentang kedokteran. Namun sayang, karya-karya tersebut banyak yang raib dan tidak sampai ketangan kita. Hal ini terjadi terutama ketika Ibn Rusyd mengalami fitnah dan pengasingan. Dalam masa itu, banyak sekali karya-
56
Muhammad Iqbal, loc. cit. Ernest Renan, Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, (Kairo: Darul Ihya al-Kitab al-Arabiyah, 1957),
57
h. 80-83
karyanya, terutama dalam bidang filsafat, yang dibakar atas perintah khalifah. Hanya buku-buku kedokteran, astronomi, matematik yang selamat dari pembakaran. Masih beruntung bahwa yang musnah dibakar hanyalah karya-karya asli Ibn Rusyd yang berbahasa arab. Tidak lama setelah pembakaran tersebut, muncul karya-karya Ibn Rusyd dalam bahasa Latin dan Ibrani Yahudi.58 Penyelamatan terhadap karya-karya Ibn Rusyd ini diperkirakan dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa dari universitas-universitas Seville, Cordova, Granada dan universitas-universitas lainnya di Spanyol yang berasal dari berbagai daerah di Eropa. Mereka menaruh hormat dan simpati pada usaha-usaha dan pemikiran Ibn Rusyd. Karenanya, buku-buku Ibn Rusyd di bawa ke Universitas Toledo di Spanyol dan Palermo di Sicilia yang ketika itu menjadi pusat penerjemahan karya-karya intelektual muslim. Disinilah karya-karya Ibn Rusyd dialih bahasakan ke dalam bahasa latin. Sebagian besar karya-karya yang bisa diselamatkan tersebut masih berupa makhthuth (manuskrip) dan tersimpan di berbagai perpustakaan seperti perpustakaan Escoreal di Spanyol, di Kairo, di Venesia (Itali) dan Munich (Jerman). Selain itu, dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi politik, kehidupan Ibn Rusyd tidak terpaut jauh dengan waktu jatuhnya pemerintahan Islam di Spanyol. Sejak abad ke-11 hingga 1492 satu persatu kota-kota Islam jatuh ketangan orang kristen Spanyol. Pada 1058 kota Toledo jatuh ketangan kristen. Lalu disusul Sarragosa tahun 1118. Dinasti Muwahhidun yang memerintah Spanyol selama Ibn
58
Muhammad Iqbal, op. cit. , h. 26
Rusyd masih hidup jatuh pada 1235. kemudian pada periode 1238-1260, kota-kota Cordova, Valencia, Murcia dan Seville jatuh pula hingga terakhir Granada 1492. Dalam penaklukan kembali ini, Cardinal Ximenez memerintahkan pembakaran bukubuku Islam. Tercatat 80.000 jilid buku, termasuk karangan Ibn Rusyd, musnah dibakar di Granada. Ini juga menyebabkan sulitnya beberapa karya-karya Ibn Rusyd di temukan. Karya-karya Ibn Rusyd akhirnya menjadi korban balas dendam pihak kristen Spanyol. Penyusunan secara kronologis karya-karya Ibn Rusyd pertama kali dilakukan oleh M. Alonso dalam karyanya La Cronologia en Las Obras des Averoes pada 1943. karya-karya Ibn Rusyd ini pun bisa antara yang asli berasal dari pemikirannya sendiri dan yang merupakan komentar atas karya-karya lain, terutama karya-karya Aristoteles. Karya dalam bentuk yang kedua ini juga dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu yang berupa komentar panjang (great commentaries, tafsirat), komentar menengah atau sedang (middle commentaries, jawâmi’) dan komentar yang ringkas (compendium, talkhishat). Banyak komentar Ibn Rusyd yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada awal-awal abad ke-13 M.59 R. Arnaldez mencatat bahwa periode hingga tahun 1178 dari kehidupannya, Ibn Rusyd mulai menulis karya komentar atas karya-karya Aristoteles dan filosof lainnya. Barulah setelah itu hingga 1180 ia menulis karyanya yang orisinal. Sementara Dominique Urvoy membagi kronologi riwayat kepenulisan Ibn Rusyd
59
Ibid., h. 27-28
kepada tiga periode. Pertama, periode awal hingga tahun 1176. dalam fase ini, Ibn Rusyd menulis komentar-komentar pendek dan menengah dari karya-karya filosof Aristoteles. Lalu pada fase kedua, sekitar masa 1177 –1190 Ibn Rusyd sudah mulai menulis karya-karya orisinalnya. Pada fase inilah lahir dari tangannya kitab-kitab filsafatnya seperti Fashl al-Maqâl, Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut alTahâfut . Pada fase ini, karya-karya Ibn Rusyd mengambil bentuk-bentuk doktrinal yang radikal. Terakhir pada fase ketiga, Ibn Rusyd menjadi dokter istana, ia menulis komentar-komentar panjang karya-karya Aristoteles. Dalam komentar panjang ini, Ibn Rusyd sesekali berbeda pendapat dari Aristoteles dan ia mengemukakan pendapatnya sendiri sebagai perbandingan atas pendapatnya Aristoteles. Karya-karya Ibn Rusyd yang masih dapat dilacak diantaranya adalah sebagai berikut:60 1.
Karya Asli Karya-karya asli pemikiran Ibn Rusyd meliputi berbagai bidang seperti filsafat, kedokteran, fiqh/ ushul fiqh, psikologi. Diantaranya adalah: 1.
Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan dari buku Kerancuan [maksudnya buku alGazâlî yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah]). Buku ini merupakan magnum opus dan puncak kematangan pemikiran filsafat Ibn Rusyd. Isi buku ini merupakan “serangan balasan” Ibn Rusyd atas serangan al-Gazâlî terhadap para filosof sebagaimana dalm bukunya Tahâfut al-Falâsifah . Dalam buku 60
Kalsifikasi karya Ibn Rusyd mengikuti klasifikasi yang dibuat Muhammad Iqbal, ibid., h.
29-32
ini Ibn Rusyd membela filosof atas tuduhan al-Gazâlî dalam masalahmasalah filsafat. Buku ini ditulis sekitar tahun 1180 dan sudah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan bahasa Ibrani 1328. pada tahun 1955, S. Van den Berg menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. 2.
Fasl al-Maqâl fî mâ Bayn al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittisâl (Penjelasan mengenai Hubungan antara Filsafat dan Agama). Dalam buku ini Ibn Rusyd mencoba menjelaskan hubungan yang erat antara akal dan wahyu. Ibn Rusyd menegaskan bahwa akal adalah teman seiring yang tidak saling bertentangan dengan wahyu. Buku ini juga diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani dan Latin.
3.
Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî ‘Aqâ’id al-Millah (Menyingkap Metodemetode Demonstratif
yang Berhubungan dengan Keyakinan Pemeluk
Agama). Buku ini ditulis Ibn Rusyd di Seville pada 1179 (575 H). 4.
Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al Muqtasid (Tingkat awal bagi seorang Mujtahid dan tingkat Akhir bagi Kaum Awam). Ini adalah bukunya dibidang fiqh Islam dan merupakan satu-satunya karyanya dalam bidang ini yang masih ada. Dalam buku ini, Ibn Rusyd membahas permasalahan fiqh dengan
metode
perbandingan
(muqaranah).
Dalam
buku
ini
ia
mengungkapkan berbagai pandangan ulama dalam satu masalah fiqh, kemudian baru memaparkan pandangan nya sendiri sebagai seorang penganut mazhab Maliki.
5.
Mukhtasar al-Mustasfâ fi Usûl al-Gazâlî (Ringkasan atas kitab al Mustasfa al-Gazâlî). Buku ini masih tersimpan di perpustakaan Escoreal, Spanyol.
6.
Risalah al-Kharâj (tentang Perpajakan). Buku ini juga tersimpan di perpustakaan Escoreal, Spanyol.
7.
Kitab al-Kulliyât fî at-Tibb ( Ensiklopedi Kedokteran). Buku ini ditulis sebelum tahun 1162 M (558 H). dalam buku ini, Ibn Rusyd menguraikan berbagai permasalahan kedokteran. Buku ini juga telah diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa latin pada 1255 dan dicetak dalam tujuh jilid dengan judul De Colliget. Jilid 2,4 dan 7 dihimpun oleh Jean Bruyerin Champier dengan judul Collectanea de Remedica.
8.
Dhâmînah li Mas’alah al-Ilm al-Qadîm. Buku ini merupakan apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqâl.
9.
Maqallah Ittishâl al-Qalb al-Insân.Masih berupa manuskrip dan tersimpan di perpustakaan Escoreal, Spanyol.
10. Al-Da’âwi. Buku ini berbicara tentang hukum acara di pengadilan. Seperti diketahui, Ibn Rusyd adalah juga seorang hakim dan bahkan menjabat sebagai qâdhî al-Qudhât. Dalam kaitan dengan tugasnya tersebut, Ibn Rusyd menulis tentang tatacara berperkara di pengadilan, khususnya masalah penggugat dan tergugat. 11. Makasib al-Mulk wa al-Murhin al-Muharramah. Buku ini berbicara tentang perusahaan-perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang. Aslinya masih dijumpai di perpustakaan Escoreal, Spanyol, angka 1127.
12. Durûs fi al-fiqh. Sesuai dengan namanya, buku ini membahas beberapa masalah dalam fiqh. Teks asli bahasa arab buku ini masih dapat dijumpai aslinya di perpustakaan Escoreal, Spanyol. 2.
Karya Ulasan Ibn Rusyd tidak hanya mengulas karya-karya pemikiran Aristoteles, tetapi juga filosof-filosof Yunani lainnya, seperti Galen dan Porphiry. Sebagian karya tersebut masih bersifat manuskrip yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Eropa. Diantara karya-karya ulasannya yang masih bisa di lacak adalah: 1.
Urjâzah fi al-Thibb (Ulasan Ibn Rusyd atas syair-syair Ibn Sina dalam bidang kedokteran). Buku ini diterjemahkan kebahasa latin pada 1280.
2.
Kitab al-Hayawân, 1169 M (565 H). Komentar atas karya Aristoteles de anima.
3.
Syarah al Samâ’ wa al-‘alam, 1170 M (566 H). Komentar atas karya Aristoteles berjudul De Caleo et Mundo.
4.
Al-Kawn wa al-Fasad, Komentar atas karya Aristoteles berjudul De Generatione et Corruptione.
5.
Talkhîsh al-Samâ’ wa al-Thâbi’î, 1170 M (566 H). komentar ringkas atas karya Aristoteles berjudul Phisyca.
6.
Talkhish mâ ba’d al-Thâbî’ah, 1174 M (570 H). Komentar pendek atas karya Aristoteles berjudul Metaphisica.
7.
Syarh Kitâb Burhân, 1170 M (566 H). Komentar atas karya Aristoteles berjudul Demonstration.
8.
Talkhîsh Kitâb al-Syi’r, 1174 M (570 H). Komnetar pendek atas Poetica Aristoteles.
9.
Talkhîsh Kitâb al-Akhlâq li Aristhû, 1176 M (572 H). Komentar singkat atas karya Aristoteles berjudul Ethica Ni Comachea.
10. Talkhîsh Madkhal Furfuriyus. Merupakan pengantar logika karya Porphiry. Manuskrip ini terdapat di perpustakaan Leiden nomor 2073. 11. Talkhîsh Kitâb al-Himmiyat, Karya Galen, diselesaikan pada 1193 M/ 589H. 12. Talkhîsh Kitâb al-Ma’qûlât (atau Categorie), manuskrip ini terdapat di perpustakaan Leiden, Belanda dan Flerence, Itali. 13. Jawami’Siyâsah Aflatûn. Merupakan komentar terhadap buku Plato yang berjudul Politea. Menurut Carra de Vaux, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Samuel ben Ye Huda dan diterjemahkan kedalam bahsa latin pada tahun 1539. aslinya terdapat di perpustakaan Escoreal, Spanyol. Karya-karya no.2 hingga 5 diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Michael Scot pada masa antara tahun 1217 dan 1230. sementara karya no. 8 dan 9 diterjemahkan oleh Hermann dari Jerman antara tahun 1240 hingga 1256. demikian antara lain karya-karya Ibn Rusyd yang dapat di lacak. Sehubungan dengan komnetar-komentarnya terhadap karya-karya filosof Yunani khusunya Aristoteles, dikatakan orang bahwa ia sendiri tidak menguasai bahasa Yunani. Untuk itu, ia
menggunakan terjemahan yang telah dilakuakn oelh penerjemah-penerjemah Yahudi seperti Hunain ibn Ishaq (809-873 M), Ishaq Ibn Hunain wafat 911 M dan Yahya ibn ‘Adi (w. 974 M) serta Abu Bisyr Matta (w. 940 M). mereka menguasai bahasa Yunani dan melakukan terjemahan atas karya-karya filosof Yunani pada masa Khalifah Bani Abbas, terutama masa al-Ma’mun Ibn Rusyd menyeleksi terjemahanterjemahan mereka dan melakukan komentar terhadap karya-karya Aristoteles.61
3. Eskatologi Menurut Ibn Rusyd Dalam kitab Tahâfut al-Tahâfut , al-Gazâlî menolak pendapat para filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, al-Gazâlî mengkafirkan Ibn Sina karena menganut paham itu. Alasan al-Gazâlî, karena banyak sekali ayat-ayat dalam al-Qur’an yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani nanti dalam surga, atau kesengsaraan jasmani dalam neraka. Menurut al-Gazâlî, ayat-ayat mengenai hal ini tidak dapat ditakwilkan.62 Menurut Ibn Rusyd sendiri, iman pada adanya kebangkitan akhirat adalah ajaran pokok agama. Karena itu, barang siapa yang mengingkari kebangkitan berarti dia kafir. Prinsip ini sebenarnya tidak saja diajarkan dalam risalah Nabi Muhammad, tetapi juga pada nabi-nabi Bani Israil, seperti Nabi Musa dan Isa. Selain itu, para nabi
61
Muhammad Iqbal ibid. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 181
62
tersebut malah mempercayai kebangkitan jasad di akhirat. Bagi Ibn Rusyd, mengimani hari akhirat sama seperti mengimani eksistensi Tuhan. Dengan beriman kepada akhirat ini umat beragama semakin terdorong untuk berbuat baik dan terbaik. Singkat kata, kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa filosof tidak meyakini adalnyakebangkitan adalah pendapat yang keliru.63 Berbeda dengan al-Gazâlî, Ibn Rusyd menyakini bahwa kebangkitan di akhirat nanti tidak bersifat jasadiyah, tetapi ruhaniah. Dengan kata lain, kebangkitan itu tidak mengikutsertakan tubuh sebagaimana yang selama ini dipahami oleh alGazâlî dan sebagian besar kaum Muslim. Ibn Rusyd beralasan, kebangkitan ruhani atau jiwa lebih sesuai dengan nalar-kritis dqan lebih dapat diterima oleh akal karena memang alam akhirat itu sendiri bersifat ghaib, bukan materi. Sedangkan keteranganketerangan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang memberikan gambaran tentang adanya kebangkitan tubuh/jasmani bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mereka yang awam. Misalnya ayat yang mengatakan, “Surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa bagaikan sungai yangmengalir di bawahnya” (QS. ar-Ra’d/13: 35) dan Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Tirmidzi, “Gambaran tentang surga bagaikan sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan terlintas dalam pikiran manusia”. Bagi Ibn Rusyd ayat di atas menunjukkan wujud surga diuraikan dengan cara perumpamaan atau simbol, yang menunjukkan pada kesenangan yang
63
Amsal Bakhtiar, “Eskatologi dalam Perdebatan antara al-Gazâlî dan Ibn Ruysd” dalam Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta, Vol. XVIII, No. 4, tahun 2001, h. 326-327
lebih tinggi daripada kesenangan yang tergambar dalam ayat tersebut. Tegasnya, ayat di atas sangat perlu untuk kalangan awam, tetapi bagi filosof perumpamaan itu memiliki makna yang lebih tinggi dan hakiki. Menurut al-Gazâlî, gambaran al-Qur’an dan Hadits tentang kehidupan di akhirat di atas, bukanlah mengacu kehidupan ruhani saja, tetapi bersifat jasmaniruhani sekaligus. Jasad-jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa yang pernah hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat ruhani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat ruhani-jasmani. Bagi al-Gazâlî, kehidupan di surga dan neraka yang bersifat ruhani-jasmani itu, dan ayat-ayat dan hadits tersebut harus dipahami secara harfiah dan tidak boleh ditakwilkan atau dipahami secara majazi atau metaforis. Dari sini kita bisa memahamai bahwa kekhasan pemikiran Ibn Rusyd adalah keyakinannya
terhadap
dasar-dasar
kebenaran
rasional,
dan
ajakan
untuk
menyesuaikannya dengan filsafat, serta mengartikulasikannya sebagai panduan untuk berpikir. Ibn Rusyd dan juga para filosof mencari pengetahuan mengenai semua yang maujud dengan akal mereka, bukan bersandar pada perkataan orang yang mengajak mengikuti mereka tanpa burhân (pembuktian kebenaran), atau yang mungkin juga bertentangan dengan hal-hal yang empirik.64
64
Kamil Muhammad Uwaidah. Ibn Rusyd: Filosof Muslim dari Andalusia, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, (Jakarta: Riora Cipta, 2001), h. 58-59
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN A. Landasan Titik-Tolak Pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd Pada bab III sudah dibicarakan tentang perbedaan pendapat antara al-Gazâlî dan Ibn Rusyd ihwal kebangkitan kembali. Menurut al-Gazâlî kehidupan di surga dan neraka yang bersifat ruhani-jasmani bukanlah sesuatu yang mustahil karena memang al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkannya demikian. Infomasi al-Qur’an dan Hadits tersebut harus dipahami apa adanya, yakni secara harfi/hakiki. Bagi al-Gazâlî tidak dibenarkan melakukan takwil terhadap informasi yang beritakan nash tersebut dan memahaminya secara majazi atau metaforis. Menurut al-Gazâlî, pemahaman kehidupan di surga dan neraka secara ruhani saja adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman yang demikian, menurutnya, adalah pemahaman yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi, oleh karena itu al-Gazâlî mengkufurkan model berikir seperti ini, yakni pemikiran para filosof.65 Namun para filosof, dalam hal ini kritikan yang disampaikan Ibn Rusyd, tidak merasa mudah memahami secara harfi atau hakiki gambaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tentang kehidupan di alam kubur atau akhirat itu. Pemahaman secara harfi atau hakiki, bagi 65
Dalam hal ini al-Gazâlî memandang filosof berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Yang akan menerima balasan baik atau buruk atas perbuatan manusia selama di dunia adalah rohaninya, tidak jasmaninya. Lihat al-Gazâlî, Tahâfut al-Falâsifah , Sulayman Dunya (ed). (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t. t. ), Cet. ke-8, h. 296
47
Ibn Rusyd adalah mustahil. Karenanya ayat dan hadits mengenai gambaran kehidupan di akhirat harus dipahami secara majazi atau metaforis. Bagi Ibn Rusyd, ilustrasi Tuhan tentang alam kubur atau akhirat secara jasmani atau materi merupakan upaya materialisasi terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan itu adalah upaya yang layak dan bijaksana untuk memberikan pengajaran secara umum kepada kaum awam. Maksud pengajaran umum itu memang ditujukan untuk orang banyak, bukan untuk orang-orang tertentu seperti para filosof yang berpikiran tinggi, yang mampu mempelajari filsafat. Oleh karena itu, seorang filosof harus memilih pendapat yang lebih utama jika semua pendapat itu benar. Ia harus berpendirian bahwa pendapat yang utama bisa dibatalkan oleh pendapat lain yang lebih utama.66 Sepanjang sejarah, berpikir filosofis merupakan sesuatu yang selalu terdapat pada ahli-ahli wahyu, yaitu nabi-nabi. Oleh karena itu, kata-kata yang paling tepat adalah bahwa “setiap nabi adalah filosof, tetapi tidak setiap filosof adalah nabi.”67 Dengan kata lain, pemikiran filosof adalah pemikiran yang diwarisi dari para nabi. Setiap nabi dipastikan berpikir secara filosofis dan kerap-kali mencari pendapat yang utama. Maksudnya, bila ada orang yang menganggap kerancuan berpikir para filosof bukankah dengan begitu ia tengah mengatakan kerancuan berpikir para nabi?
66
Lihat Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, Sulayman Dunya (ed). (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), Cet. Ke-4, Jilid ke-2, h. 867 67 Ibid. , h. 868
Ada dua argumen yang dikemukakan oleh para filosof untuk memperkuat pendapat mereka bahwa kesenangan ruhani lebih tinggi dari kesenangan fisik, yaitu: Pertama, keadaan malaikat lebih mulia dari binatang buas dan babi. Malaikat tidak memiliki kesenangan jasmani, seperti hubungan seksual dan makan. Malaikat hanya mempunyai kesenangan yang bersifat ruhaniah. Dan dari segi tingkat wujud, malaikat lebih dekat kepada Allah sebagai sumber emanasi. Dengan demikian jelas malaikat memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Jadi, seorang filosof adalah manusia yang hidupnya lebih dekat dengan cara hidup para malaikat karena berpikir rasional dan mengharapkan kesenangan ruhaniah. Kedua, Manusia kerap-kali mengutamakan kesenangan rasional di atas kesenangan fisik. Misalnya, seseorang yang akan mengalahkan musuh, bersedia meninggalkan kemewahan rumah dan kelezatan makanan. Atau untuk suatu popularitas, manusia mau mengorbankan jiwanya agar disebut sebagai seorang pahlawan. Dengan demikian, kecenderungan dasar manusia itu adalah kesenangan pada sesuatu yang bersifat ruhaniah, dan karena itu manusia berusaha terus untuk mendekati Allah swt agar bisa menjadi manusia ruhaniah yang sempurna. Bahkan balasan yang akan diterima oleh manusia pun nanti di akhirat bukan dalam bentuk materi. Dalam suatu Hadits Qudsi, Nabi SAW bersabda: Allah menyatakan kepada Nabi. “Aku telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terdetik dalam hati manusia” (HR. Bukhari dan Tirmidzi). Bahkan Allah mempertegas lagi dalam QS.
as-Sajdah/32: 17: “Jiwa tidak mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari yang menyedapkan mata sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.68 Sejatinya, al-Gazâlî dengan para filosof ihwal kesenangan rohani lebih tinggi dari kesenangan fisik. Begitu juga dengan imortalitas jiwa ketika berpisah dengan tubuh. Al-Gazâlî tidak sepakat ketika para filosof menggunakan otoritas akal yang begitu kuat, sehingga akal saja yang dijadikan sumber pengetahuan tentang akhirat. Mestinya, kata al-Gazâlî, syara’ harus dijadikan sumber pengetahuan tentang akhirat. Karena secara tegas, syara’ mengatakan bahwa ada kebangkitan jasmani di akhirat, begitu juga ada rasa panas di neraka dan nikmat di surga. AlGazâlî mempertanyakan, apa yang membuat para filosof tidak mau mengakui adanya kebangkitan jasmani dan rohani sekaligus, padahal semua itu tidak mustahil? Mengenai firman Allah: “Jiwa tidak mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka”, menurut al-Gazâlî, maksudnya jiwa tidak mengetahui semua hal-hal itu. Begitu juga Hadits Qudsi: “Aku persiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terdetik dalam hati manusia”.69 Dari perbincangan di atas, sejatinya baik al-Gazâlî maupun Ibn Rusyd melandaskan titik-tolak pemikirannya terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hanya saja, teks al-Qur’an tentang adanya kebangkitan jasmani dipahami apa adanya oleh al-Gazâlî tanpa berusaha untuk memaknainya secara lebih 68 69
Al-Gazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit. , h. 283 Ibid, h. 287-289
rasional atau yang bisa diterima akal. Maksudnya al-Gazâlî tidak mau menggunakan takwil terhadap ayat-ayat tersebut. Model pemahaman ini akhirnya membuat perbedaan antara pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd. Bagi Ibn Rusyd, ayat mengenai: “Jiwa tidak mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari yang menyedapkan mata sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” dianggap sebagai suatu premis yang menunjukkan bahwa kenikmatan yang tertinggi ada pada jiwa, bukan pada mata. Sebaliknya al-Gazâlî memahami bahwa jiwa tidak mengetahui semua kenikmatan itu. Al-Gazâlî juga membantah pendapat filosof yang mengatakan bahwa teks alQur’an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang diungkapkan sesuai dengan keterbatasan kemampuan manusia awam, seperti ayat-ayat tasybih yang digunakan untuk mendekatkan arti kepada mereka. Bagi al-Gazâlî, menyamakan antara pernyataan kebangkitan jasmani dengan ayat-ayat tasybih lainnya adalah suatu kekacauan karena keduanya berbeda dalam dua hal. Pertama, ada sebagian katakata yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang mengandung tasybih, yang memungkinkan untuk ditakwil asal tidak melanggar gramatika bahasa Arab. Tetapi, ungkapan surga dan neraka serta detil-detilnya menerangkan suatu batas yang tidak memungkinkan dilakukan takwil. Kedua, argumen-argumen rasional telah membuktikan kemustahilan hal-hal, seperti ruang dan aktifitas fisik bagi Tuhan. Maka, dalam hal ini, kebutuhan pada takwil dengan argumenargumen rasional adalah wajib. Namun, hal-hal yang berkaitan dengan akhirat,
seperti yang dijanjikan Tuhan, tidak mustahil bagi-Nya dan bukan menjadi lapangan takwil.70 Karena itu, dalam hal surga dan neraka, al-Gazâlî tidak mau melakukan takwil karena tidak memenuhi syarat-syarat untuk itu. Dalam penafsiran al-Qur’an, takwil memang dibolehkan dengan syarat bahwa ayat-ayat secara zahir memberi kesan pertentangan dengan dengan kaidah pokok agama, bertentangan dengan kaidah pokok bahasa Arab, dan bertentangan dengan akal sehat. Para filosof sendiri melihat bahwa kemungkinan adanya takwil dalam ayat surga dan neraka hanya mengacu pada syarat yang ketiga, yakni yang berkaitan dengan akal sehat. Bagi filosof, alam akhirat adalah alam rohani, sehingga akal sehat akan mengatakan bahwa kebangkitan juga merupakan kebangkitan rohani. Karena itu, surga dan neraka dapat ditakwilkan dalam bentuk yang lebih pas dengan prinsip rasio. Menurut al-Gazâlî, pentakwilan seperti ini tidak dapat dilakukan karena tidak bertentangan dengan pokok kaidah. Bagi Ibn Rusyd, takwil adalah makna yang dimunculkan dari pengertian suatu kata yang keluar dari konotasinya yang hakiki kepada konotasi metaforis, dilakukan dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat metafor. Misalnya, menyebutkan sesuatu dengan sebutan tertentu lainnya karena adanya faktor kemiripan, atau menjadi sebab atau akibatnya, atau menjadi bandingannya, atau faktor-faktor lain yang diuraikan secara rinci dalam
70
Ibid. , h. 291-293
pembahasan berbagai ungkapan metaforik. Menurut Ibn Rusyd, bila ahli fikih saja banyak mempraktikkan cara-cara takwil dalam hukum-hukum syari’at, maka sebenarnya jauh lebih patut bagi para filosof untuk melakukan takwil. Karena seorang ahli fikih hanyalah memiliki qiyâs zannî (sifatnya hanya perkiraan), sedangkan seorang filosof memiliki qiyâs yaqînî yang bersifat yakin dan pasti.71 Secara lebih tegas Ibn Rusyd berargumen, filosof memastikan seyakin-yakinnya bahwa capaian apa pun yang dihasilkan oleh metode burhan (demonstratif) tapi bertentangan dengan makna lahir teks syari’at, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan, menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada. Tidak seseorang pun yang dapat meragukan atau mempertentangkan hal ini. Dan keyakinan akan kebenarannya kian bertambah apabila seseorang menekuni dan menguji pernyataan ini, lalu menjadikannya sebagai sarana pencapaian untuk mengintegrasikan hal-hal yang rasional dan wahyu.72 Sejatinya, bukan hanya para filosof dan Ibn Rusyd yang sulit memahami kehidupan alam kubur atau akhirat secara rohani dan jasmani, melainkan juga bagi mereka yang bukan filosof. Bagaimana bisa dipahami nikmat atau azab kubur secara rohani-jasmani bagi mereka yang mati dengan jasad habis dimakan oleh binatang atau sudah menjadi abu karena terbakar atau dibakar? Bagaimana bisa
71
Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ Bayn al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittisâl, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.t.) h. 32 72 Ibid., h. 33
dipahami jasad yang diletakkan di liang lahat itu dapat merasakan nikmat atau azab, seperti azab malaikat berupa pukulan besi pada bagian kupingnya, atau merasakan jepitan kalajengking atau gigitan ular besar yang datang pada jasad yang datang di lahat? Bagaimana bisa dipahami bahwa kuburan orang baik-baik dilapangkan sampai tujuh puluh hasta dan dibentangkan hamparan sampai ke surga, atau kuburan orang jahat disempitkan sedemikian hebat sehingga remuk tulang-tulang jasad yang berbaring di lahat itu? Bagaimana bisa dipahami bahwa semua manusia dibangkitkan di Alam Mahsyar dengan badan telanjang? Bagaimana bisa dipahami bahwa mereka yang berada di surga itu bisa berdialog dengan mereka yang sedang tersiksa di neraka yang menyala-nyala? Karena mudah dipahami secara rohani-jasmani, maka muncul pemahaman di kalangan sufi, bahwa alam kubur atau akhirat itu adalah alam rohani semata. Jasad-jasad yang ada pada alam kubur atau akhirat itu juga bersifat rohani, bukan bersifat materi. Bahkan al-Gazâlî sendiri setelah menjadi sufi, menegaskan dalam karya tulisnya Mukhtasar Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, bahwa nikmat dan azab kubur itu bersifat rohani saja. Jadia sebenarnya takwil yang dilakukan kalangan filosof Muslim dan sufi sehingga gambaran alam kubur atau akhirat yang bersifat jasmani dari al-Qur’an dan Hadits Nabi dipahami secara majazi saja, yakni dipahami bersifat rohani saja, tidak boleh sama sekali dinilai sebagai sikap kufur kepada ajaran al-Qur’an dan Hadits Nabi, dan mereka tidak dapat dikafirkan.
Bagi Ibn Rusyd, seorang ulama yang melakukan kesalahan dalam permaslahan ini harus dimaafkan, sedangkan yang benar jelas patut disyukuri dan mendapat pahala, selama I asendir mengakui adanya hari kebangkitan itu dan melakukan interpretasi hanya berkenaan dengan sifat hari kebangkitan itu dan tidak pada eksistensi keberadaannya. Juga selama pentakwilan yang dilakukannya tidak membawanya kepada penafian kepada keberadaan hari kebangkitan itu sendiri. Sikap mengingkari keberadaan hari kebangkitan adalah suatu kekafiran, karena masalah ini termasuk prinsip-prinsip syari’at, yang penerimaan kebenarannya dapat dilakukan melalui metode pembuktian yang mampu dilakukan setiap orang, baik orang merah maupun orang hitam.73 Orang yang bukan ahli ilmu harus memahaminya sesuai dengan makna lahiriahnya saja, dan untuk dirinya takwil adalah suatu kekafiran, karena bisa menjerumuskan. Karena itu, bagi Ibn Rusyd, orang yang memang kapsitasnya mengimani maknamakna lahiriah, akan menemui kakafiran apabila melakukan pentakwilan, karena pentakwilan ini akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran yang sesungguhnya. Ahli takwil yang membeberkan takwilnya kepada orang lain (yang bukan ahli takwil), berarti telah mendorong kepada kekafiran, sedangkan seseorang yang mendorong kepada kekafiran itu sendiri berarti ia seorang kafir.74 Karena itulah takwil-takwil harus diletakkan dalam kitab-kitab burhan saja, sebab dengan diletakkanya takwil-takwil itu dalam kitab-kitab burhan, hanya ahli 73
Ibn Rusyd, Ibid., h. 51 Ibid.
74
burhanlah yang mampu menjangkaunya. Tetapi bila takwil-takwil itu diletakkan tidak pada kitab-kitab burhan dan diuraikan dengan metode puitik, retorik, dialektik, seperti yang dilakukan oleh al-Gazâlî, maka hal itujelaskan akan menimbulkan ancaman terhadap syari’at maupun filsafat, sekalipun ia sematamata bermaksud baik. Sebab sekalipun denganc ara seperti itu al-Gazâlî bertujuan memperbanyak jumlah ahli ilmu, maka yang terjadi justru bukan ahli ilmu yang menjadi bertambah, melainkan orang-orang yang merusaklah yang kian banyak. Buktinya, kian banyak orang-orang yang mencela filsafat, mencela syari’at, namun ada pulakelompok yang mencoba mensintesakan keduanya, yakni Al-Gazâlî. Al-Gazâlî, menurut Ibn Rusyd,75 tidak pernah dalam kitabnya mengikat diri dengan suatu Mazhab tertentu. Ia akan menajdi pengikut Asy’ari bila berada dalam Mazhab Asy’ari, menjadi sufi bila bersama kaum sufi, dan akan menjadi seorang filosof bila bersama dengan filosof. Ibn Rusyd menggambarkan sikap al-Gazâlî ini seperti sebuah syair: Suatu hari aku menjadi orang Yaman Apabila aku bertemu dengan orang Yaman Namun aku akan menjadi orang Adnan Bila aku bertemu dengan orang Ma’addi.
75
Ibid, h. 52-53
B. Metodologi Berpikir al-Gazâlî dan Ibn Rusyd Di antara unsur kultural yang paling berpengaruh pada masa al-Gazâlî ialah filsafat, baik filsafat Yunani, maupun filsafat India dan Persia. Filsafat Yunani banyak diserap oleh para teolog, filsafat India didaptasi oleh kaum sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah. Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam memperopagandakan pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baik yang menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajarai filsafat lebih dahulu.76 Ada tiga klaim filosof yang menjadi perhatian utama kritisisme al-Gazâlî, sebab ketiga klaim ini menyangkut sendi-sendi keimanan. Ketiga klaim ini yang menurutnya telah merusak doktrin Islam ini wajib dianggap sesat dan selanjutnya penganutnya dipandang kafir. Ketiga klaim ini adalah bahwa : (1) Allah hanya mengetahui hal-hal besar dan tidak terhadap hal-hal kecil; (2) alam semesta adalah kekal tanpa permulaan; (3) kebangkitan kembali hanya terjadi pada jiwa, bukan raga. Dengan demikian, salah satu di antara ketiga konsepsi ini merupakan konsepsi dalam eskatologi, yakni bagian ketiga. Serangan al-Gazâlî terhadap para filosof dalam masalah eskatologi ini tidak hanya tertuju pada konsepsi kebangkitan kembali. Tetapi secara luas juga merambah pada konsepsi mereka yang menolak kesenangan fisik di surga atau kesengsaraan fisik di neraka. Al-Gazâlî bahkan tidak hanya 76
Zurkani Yahya, Teologi al-Gazâlî: Pendekatan Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 69
menyerang para filosof, karena dalam doktrin kebangkitan kembali, al-Gazâlî juga mengkritik para teolog, yakni teolog yang terlalu mengedepankan peranan akal. Sehingga, secara sepintas dapat dikatakan bahwa pemikiran Yunani yang menjadi basis pemikiran para filosof (temasuk para teolog) tersebut tidak diakui, bahkan disangkal secara mentah-mentah oleh al-Gazâlî.77 Di antara pendapat para filosof yang ditolak al-Gazâlî adalah (1) berpendapat bahwa alam itu azali dan abadi, (2) menafikan sifat-sifat Tuhan, (3) berpendapat bahwa al-Awwal (Tuhan) itu bukanlah jenis dan bukan pula deferensia, (4) Tuhan adalah wujud yang simpel tanpa esensi, (5) Tuhan tidak mengetahui partikular, (6) langit adalah hewan yang bergerak dengan iradah (kehendak), (7) jiwa-jiwa langit mengetahui partikular, (8) mengingkari kebangkitan tubuh-tubuh manusia, untuk merasakan kesenangan jasmaniah di surga dan kepedihan jasmani di neraka.78 Namun demikian, penolakan al-Gazâlî ini tampaknya hanya berada pada tataran ide, dan bukan pada tataran pendekatan ataupun metode. Al-Gazâlî tetap memakai jalur-jalur filosofis, sekalipun ide dari filosof itu sendiri tidak diterimanya. Jika semua ide serangannya diperhatikan, baik yang ditujukan kepada para filososf maupun para teolog, tampak bahwa al-Gazâlî sendiri sebetulnya sedang mengikuti pola fikir filsafat Yunani. Salah satu figur Yunani utama yang berpengaruh dalam formulasi al-Gazâlî adalah Aristoteles (384-322 SM). Sikap respek yang ditunjukkan oleh al-Gazâlî terhadap logika dalam banyak karyanya pada dasarnya sudah cukup 77
Sibawaihi, Eskatologi al-Gazâlî dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, (Yogyakarta: Islamika, 2004), Cet. ke-1, h. 212 78 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 108
mengindikasikan bahwa sedikit banyak ia terpengaruh dengan model penalaran Aristotelian. Misalnya dalam al-Qistâs, al-Gazâlî mengukuhkan logika yang digalinya dari al-Qur’an sebagai satu-satunya kriteria yang dianggapnya valid dalam menimbang benar salahnya setiap hasil pemikiran, baik dalam ilmu agama maupun non agama. Di sini al-Gazâlî juga menjelaskan beberapa bentuk logika yang dipergunakan sementara orang yang bisa membawa kesesatan, sehingga disebutnya dengan “mizân alSyaitân” (logika setan). Dengan demikian, al-Gazâlî sudah memilah-milah bentukbentuk logika yang dianggapnya benar dan terpercaya dari bentuk-bentuk logika yang salah dan menyesatkan.
79
Yang dianggap al-Gazâlî logika setan itu ialah beberapa
bentuk logika yang dipergunakan sementara ahli kalam, karena ada kekeliruan dalam penerapannya, bukan dari esensi dari logika itu sendiri, Penilaian
al-Gazâlî
terhadap
logika
Aristoteles
yang
dianggap
menggambarkan sifatnya yang final termuat dalam al-Munqiz. Di sini al-Gazâlî mendudukan status logika di mata agama. Menurut al-Gazâlî, logika tidak ada hubungannya dengan doktrin agama untuk mengafirmasi atau menolaknya. Karena logika hanya merupakan alat yang membimbing berpikir yang antara lain mencakup: bagaimana cara berargumentasi dan membuat silogisme, apa saja syarat-syarat
79
Mengenai pendapat al-Gazâlî ini lihat al-Gazâlî, Meretas Jalan Kebenaran, terj. Masyhur Abadi dan Ahmad Frank, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2003}, Cet. ke-1, h. 149
membuat premis-premis dalam argumentasi dan cara menyusunnya, syarat-syarat definisi dan cara membuatnya. 80 Aristoteles juga memiliki metode penyimpulan data atau sistem dan argumen berpikir yang terkenal dengan “deduksi” dan “induksi”. Pembuktian deduksi bertolak dari kebenaran umum yang tidak diragukan lagi dan berdasarkan kebenaran umum itu, akan disimpulkan kebenaran yang lain. Dengan ungkapan lain, deduksi adalah penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal atau contoh khusus dari kebenaran itu. Misalnya: Semua mahasiswa diwajibkan membuat makalah; Arif adalah seorang mahasiswa; maka Arif diwajibkan membuat makalah. Bagi Aristoteles metode deduksi merupakan cara sempurna dalam menghasilkan pengetahuan. Oleh sebab itu, hampir seluruh pembahasan logikanya diarahkan pada pembuktian deduksi. Metode ini pada gilirannya dielaborasi dalam bentuk silogisme. Namun di sini perlu ditegaskan bahwa deduksi atau dalam bentuk silogisme dalam epistimologi Islam agak berbeda dari deduksi Aristoteles. Sebab, dalam epistimologi Islam, teks diakui sebagai sumber pengetahuan yang paling valid, kemudian dilakukan analisis istidlâl dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang kemudian memunculkan kesimpulankesimpulan. Inilah sistem berpikir yang dalam istilah al-Jabiri disebut sebagai epistimologi bayânî. Adapun pembuktian induksi, yang disebut Aristoteles dengan istilah epagoge ini, adalah suatu metode penyimpulan yang bertitik tolak dari kasuskasus khusus, kemudian menghasilkan pengetahuan yang umum. Metode ini tidak 80
Al-Gazâlî, Kegelisahan al-Gazâlî: Sebuah Otobiografi Intelektual {al-Munqiz min adDalal dan Kimiya as-Sa’adah), terj. Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Cet. ke-1, h. 25
banyak mendapatkan perhatian dari Aristoteles, mungkin karena kebenarannya bersifat kemungkinan atau nisbi.81 Dari keterangan tentang pola pikir Aristoteles ini, tampaknya al-Gazâlî menggunakan prinsip logika kontradiksi dan metode berpikir deduksi. Pada yang pertama, al-Gazâlî kelihatan mempertentangkan segala sesuatu secara dikotomis. Misalnya, ketika ia mengklaim kebenaran pengutukannya terhadap para filosof yang memahami Kebangkitan kembali dengan ide-ide filosofis mereka. Al-Gazâlî menolak mereka, bahkan serta merta mengkafirkan mereka. Dalam hal ini, ia menyimpulkan bahwa yang dibangkitkan adalah jiwa dan raga, maka pendapat yang selain itu salah. Kesalahan pemahaman ini menurut al-Gazâlî bahkan dibarengi dengan penegasan akan kekuasaan Tuhan, yang tentu saja berakibat pada kekufuran.82 Selain pola pikir Aristotelian yang telah mempengaruhi al-Gazâlî, pengaruh filosof Yunani lainnya yang tampak menonjol dalam eskatologinya adalah Platonian. Plato sebagai pencetus aliran platonisme ini, mengajukan gagasan dualisme, yaitu Dunia Idea (tidak nyata) dan Dunia Non Idea (nyata). Sesungguhnya, yang merupakan hakikat wujud sebenarnya adalah idea, dan bukannya non Idea yang dapat ditangkap secara indrawi. Idea adalah tujuan atau akhir dari segala dari wujud indrawi. Pandangan ini sebetulnya dianut oleh hampir seluruh filosof Yunani, termasuk diantaranya Aristoteles sendiri, meski pada akhirnya ia membantah klaim sang guru (Plato) tersebut yang sangat terkenal dengan gagasan kesempurnaan Dunia
81
Sibawaihi, op. cit. , h. 214 Ibid.
82
Idea-nya. Konsep dualisme ala platonian ini berbeda dari “dualisme” yang dianut oleh Stoa yang tidak mengakui adanya dunia Idea. Dunia idea dalam pandangan Stoa tidaklah ada, sebab yang ada hanyalah realitas yang dapat dilihat berupa materi. Al-Gazâlî juga mengibaratkan raga sebagai kendaraan, dan jiwa sebagai pengemudinya. Ini menegaskan bahwa raga adalah alat bagi jiwa. Raga tidak mempunyai tujuan, sebab tujuannya akan diketahui setelah adanya jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya. Namun ia juga tidak menegaskan pengaruh raga terhadap jiwa. Ia menyebutkan ketertarikan jiwa untuk berhubungan dengan raga. Tentu saja hal ini menggiring pada suatu asumsi bahwa al-Gazâlî berlaku adil dalam menempatkan posisi antara keduanya, dimana tanpa raga jiwa juga tidak berarti apa-apa. Dengan demikian, dari pembagian-pembagian ini, tampak jelas kemiripan ide dualisme al-Gazâlî dengan ide dualisme Plotinus (Platonian). Jadi, al-Gazâlî tampaknya tidak bisa lari dari filsafat Yunani, khususnya dari Plato dan Aristoteles. Ini sejalan dengan pendapat Ibn ‘Arabi (w. 638) yang dikutip Ibn Taymiyah (w. 728) bahwa: “Abu Hamid telah masuk ketengah-tengah para filosof kemudian ia berusaha untuk keluar, tetapi tidak berhasil”. Pengamatan yang cermat dari Marmura pun dalam kaitan ini dapat dibenarkan, yakni bahwa meskipun al-Gazâlî berusaha menolak ide kebangkitan kembali Ibn Sina, bahkan mengklaimnya sebagai kekufuran, tetapi pada dasarnya pada tulisan-tulisannya yang lain, al-Gazâlî kurang menunjukkan ketidaksukaannya pada ide ini, dan bahwa secara umum psikologi Ibn Sina cukup banyak mempengaruhinya. Dengan kata lain, jalur-jalur
yang ditempuh al-Gazâlî dalam menolak konsepsi-konsepsi para filosof adalah berdasarkan perangkat-perangkat filososf itu sendiri.83 Secara lebih rinci, bila dibuat pemetaan mengenai metode pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd adalah sebagai berikut: Pertama, walaupun pemikiran al-Gazâlî banyak dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles, tetapi ketika membahas mengenai masalah kebangkitan kembali ia memposisikan diri sebagai ahli kalam. Jadi, metode berpikir yang digunakan al-Gazâlî adalah metode dialektis atau al-manhaj al-jadâlî. Metode debat ini bertujuan untuk mempertahankan kebenaran pendapat sendiri dan mematahkan pendapat lawan, baik secara rasional maupun tektual. Metode ini pada umumnya dipergunakan oleh para ahli kalam, termasuk al-Gazâlî ketika membicarakan masalah kebangkitan kembali. Sebagai sebuah metode, kalam dipahami sebagai teologi defensif (bersifat pembelaan atau pertahanan diri), atau seni polemik yang secara eksplisit menganggap objektif pembelaan terhadap doktrin Islam dari para pencela, apakah ia berasal dari kaum agnostik ataupun teolog dari agama lain. Metodologi kalam adalah dialektis, yang berlawanan dengan pendekatan deduktif dari para logikawan klasik. Dialektika kalam dalam mendekati isu-isu epistimologi tidak hanya didasarkan atas seperangkat hubungan logis yang unik (interpretasi distingtif atas hubungan kausal), tetapi juga dunia wacana yang unik (terminologi khusus atas item-item atau objek-objek yang tidak ditemukan dalam disiplin lain. Penyamaan kalam dengan logika harus dipahami dalam pengertian ini. Pendekatan dialektika merupakan pergeseran secara perlahan 83
Sibawaihi, ibid., h. 220
dari teks ke nalar. Namun teks masih ditempatkan pada posisi fundamental, sehingga produk atau argumen pendekatan ini terkesan bersifat penjelasan (explanatory), bukan eksplorasi (exploratory). Itulah sebabnya kalangan pemikir modern merasa perlu untuk merekonstruksi kembali posisi metode ini dalam banyak hal semisal epistimologi, persepsi, free will, dan sebagainya. Metode (pendekatan keilmuan) kalam lebih menekankan dimensi lahiriahtekstual, eksoterik, konkret, dan final. Al-Gazâlî sendiri sebetulnya tidak mengakui keunggulan metode ini, sebab kalam tidak dapat diandalkan lebih banyak, tidak dapat menyembuhkan penyakit batin yang dideritanya, dan tentu saja tidak pula dapat memuaskan dahaga intelektualnya. Kendati pada satu sisi al-Gazâlî membenarkan bahwa kalam bersumber dari dan berlandaskan pada al-Qur’an, pada sisi lain ia menganggap metodologi kalam terdiri dari kepercayaan (iman) dan rasionisasi yang dicemari oleh silogisme palsu. Kalam telah terpengaruh oleh filsafat. Dengan bentuknya yang seperti ini, maka dalam pandangan al-Gazâlî kalam hanya bisa dipergunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh umat; tetapi tidak bisa untuk menanamkan akidah yang benar kepada orang yang belum menganutnya, lebih-lebih untuk menuntun orang agar mau menghayatinya. 84 Munculnya jargon “kafir” (kafir-mengkafirkan) dalam suatu pembahasannya adalah sebuah indikator kuat untuk mengatakan bahwa formulasi al-Gazâlî berada dalam posisi metode kalam, yang dalam hal ini lebih bersifat dialektis. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan fakta bahwa formulasinya sendiri pada gilirannya dianggap 84
Ibid. , h. 228
sebagai yang terbaik dan yang paling benar diantara formulasi-formulasi lainnya. Bahkan, untuk mendukung argumentasinya, al-Gazâlî kerap mengatakan bahwa ia memakai argumen rasional, indrawi, dan intuitif yang jika di perhatikan, telah memasuki seluruh wilayah pembahasan dalam epistimologi Islam. Jika ternyata pandangannya masih sukar dicerna oleh kaum awam, al-Gazâlî akan mengatakan bahwa batapapun ini sulit diterima, tetapi sebenarnya ada yang lebih sulit lagi ketimbang itu. Untuk membuktikan kebenaran Al Qur’an dalam meyakini ide kebangkitan kembali, misalnya, ia mengatakan: “Anda tidak usah heran dengan adanya kehidupan setelah mati, yang merupakan siklus kehidupan. Sebab, yang lebih patut diherankan tetapi akhirnya diterima adalah bayi yang semula adalah makhluk tidak berdaya, lalu setelah dewasa menjadi raja yang menguasai dunia dan memanfaatkannya sesuka hatinya”.85 Kedua, kekhasan metodologi pemikiran Ibn Rusyd, sudah kita pahami, yakni metode rasional atau al-manhaj al-‘aqlî. Yaitu metode yang mengganggap rasio sebagai alat yang dominan, sehingga teks-teks wahyu harus diterima secara rasional dan keyakinan orang terhadap kebenaran materi akidah harus didasarkan atas pengetahuan rasional. Untuk itu semua hasil pemikiran rasional umat manusia bisa dipergunakan bila bermanfaat untuk mmeperkuat kebenaran danm menambah keyakinan.86
85 86
Ibid. , h. 230 Zurkani Yahya, op. cit., h. 52-53
Jadi, bila al-Gazâlî dengan metode kalamnya lebih menekankan aspek lahiriah dan eksateris, maka Ibn Rusyd dengan metode filosofisnya, lebih menekankan dimensi esoteris, batiniah, transendental, dan abstrak. Metode filosofis setidaknya ditandai dengan tiga ciri: pertama, pembahasannya terarah pada perumusan ide-ide dasar terhadap obyek yang dikaji. Kedua, pengenalan dan pendalaman persoalanpersoalan fundamentalnya dapat membentuk pola-pola pikir yang kritis. Ketiga, dari hasil pembahasannya diharapkan dapat membentuk mentalitas, cara berpikir, dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual, toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan lain, serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.
C. Pengaruh Pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang Eskatologi terhadap Perkembangan Paham Keagamaan Al-Gazâlî merupakan pemikir yang terlibat dalam tiga bidang pemikiran Islam, baik filsafat, kalam, dan tasawuf. Karena itu wajar bila al-Gazâlî menjadi tokoh yang paling banyak menarik perhatian para pengkaji ilmiah baik dulu maupun sekarang, baik dari kalangan Islam sendiri maupun para orientalis. Pengaruh alGazâlî dalam soal teologi, begitu nyaring disuarakan oleh para pembesar ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Selain mereka menganggap bahwa pemikiran teologis al-Gazâlî patut diperhitungkan dan dapat digunakan untuk melakukan pembaruan, pemikiran teologi al-Gazâlî dianggap yang paling relevan bagi umat Islam saat ini. Karena saat ini orang kian terdorong ke arah materialisasi kehidupan,
termasuk kehidupan akhirat kelak. Karena itu kalau dalam paham kebangkitan kembali al-Gazâlî menyatakan bahwa jiwa dan raga akan merasakan surga dan neraka, maka konsepsi seperti ini berpengaruh positif bagi masyarakat untuk memperbaiki perbuatannya, anatara lain dengan banyak berbuat baik dan meninggalkan perbuatan jahat. Semua itu dilakukan karena mereka takut kepada api neraka dan berharap bisa mendapatkan kesenangan jiwa-raga di surga. Karenanya, wajar bila Ibn Khaldun (w. 808/1406), seorang sejarawan dan sosiolog besar, menganggap al-Gazâlî sebagai pelopor “metode mutakhir” dalam Asy’arisme. Menurut Ibn Khaldun,87 sebelum al-Gazâlî dalam Asy’arisme berlaku “metode klasik” yang dipelopori oleh al-Baqillani dan al-Juwaini. Dalam metode klasik metode Asy’ari bercampur baur dengan pemikiran Yunani di bidang fisika dan metafisika. Tetapi dalam metode mutakhir yang dikembangkan oleh al-Gazâlî, logika Aristoteles mulai digunakan sebagai alat dalam teologi, baik untuk berargumentasi, maupun utuk menyaring pemikiran-pemikiran para filosof yang bertentangan dengan akidah Islam yang benar. Penulis lain, misalnya Duncan B. Mcdonald, mengatakan bahwa al-Gazâlî menjadikan tasawuf sebagai salah satu dasar teologinya. Sama seperti Fazlur Rahman yang menganggap al-Gazâlî sebagai tokoh yang berhasil membuat sintesa antara teologi dengan tasawuf. Hal senada dikemukakan oleh Sayid Amer Ali, yang memandang al-Gazâlî telah mampu memberikan idealisme kepada Asy’arisme yang
87
Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Darul Fikr, tth), h. 465-466
bersifat formalistik. Lagi-lagi dari sini semakin dipahami bahwa al-Gazâlî begitu memeiliki pengaruh yang kuat dalam paham keagamaan umat Islam. Dalam lapangan teologi, begitu banyak mereka yang berMazhab Syafi’i mengikuti teologi al-Gazâlî. Dalam bidang tasawuf, para pengikut Sunni semuanya mengikuti konsepsi tasawuf Sunni yang telah dibersihkan dari keterpengaruhan dengan filsafat.88 Lalu di antara orientalis yang menulis tentang al-Gazâlî lantaran pengaruh alGazâlî yang begitu besar di Dunia Islam adalah Carra de Voux. Ia menulis sebuah karya tentang teologi al-Gazâlî secara komprehensif, yang judulnya al-Gazâlî . Carra menilai metode al-Gazâlî dalam menghantam filsafat sebagai metode yang jitu. Carra juga menetapkan bahwa Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn sebagai karya terbesar al-Gazâlî yang memiliki pengaruh yang begitu besar bgai masyarakat Muslim. Pengaruh besar alGazâlî tersebut, di antaranya, karena al-Gazâlî lebih banyak mengarahkan katakatanya kepada hati atau al-qulub daripada tertuju pada rasio atau al-‘aql; pemikiran al-Gazâlî lebih banyak terarah kepada orang awam ketimbang kepada intelektua; alGazâlî juga mendahulukan argumen tekstual dari argumen rasional al-Gazâlî.89 Selain itu, bukti-bukti pengaruh pemikiran keagamaan al-Gazâlî muncul pula di Timur Tengah melalui sebuah karya Zaki Mubarak yang berjudul al-Akhlaq ‘ind al-Gazâlî yang terbit tahun 1924.
Menurut Zaki, al-Gazâlî lebih banyak
menggunakan wahyu daripada akal, karena dia menetapkan baik atau buruk akhlak berdasarkan wahyu. Lalu Ali Sami al-Nasyar dalam karyanya Manâhij al-Bahs ‘ind
88 89
Zurkani Yahya, op. cit. h. 8 Ibid.
Mufakkir al-Islâm (1924) memandang al-Gazâlî sebagai orang pertama yang mencampuradukkan logika dengan agama, karena dialah yang pertama yang menggunakan logika Aristoteles dalam pembahasan teologi. Pun Sulayman Dunya dalam al-Haqîqat fî Nadzar al-Gazâlî, menyebut al-Gazâlî dalam merumuskan kebenaran secara nisbi, karena disesuaikan dengan konsumennya.90 Semua karya yang telah disinggung yang berkenaan dengan al-Gazâlî merupakan bukti bahwa al-Gazâlî memiliki pengaruh yang besar dalam Dunia Islam. Bahkan kebesaran al-Gazâlî sempat menarik minat para orientalis untuk mengkaji karya dan pemikiran al-Gazâlî dalam berbagai disiplin ilmu yang bertebaran dalam karya-karya al-Gazâlî. Dengan begitu luasnya pengetahuan dan karya-karya alGazâlî, maka sangat wajar kalau al-Gazâlî dianggap tidak konsisten mengenai satu persoalan dalam satu karyanya dengan persoalan yang sama di bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Selanjutnya, pemikiran Ibn Rusyd, seperti diketahui, masuk ke Barat melalui gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ia bahkan lebih berpengaruh bagi orangorang Kristen Barat daripada Muslim Asia dan Afrika. Kalau di Timur (masyarakat muslim) Ibn Rusyd dikenal sebagai pembela filsafat dan filosof, maka di kalangan orang Eropa, Ibn Rusyd dikenal sebagai “komentator Aristoteles” yang membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Melalui terjemahan karya-karya bahasa Arabnya ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, para sarjana Barat Abad 90
Lihat Zaki Mubarak, al-Akhlaq ‘ind al-Gazâlî, (Kairo: Darul Katib al-Arabi, 11t), h. 107; Ali Sami’ al-Nasyar, Manahij al-Bahts ‘ind Mufakkir al-Islam, (Mesir: Darul Fikr al-Arabi, 1947), h. 73; Sulayman Dunya, al-Haqiqat fi Nadzar al-Gazâlî, (Mesir: Darul Maarif, 1971), h. 5
Pertengahan banyak dipengaruhi pandangan-pandangan filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rusyd.91 Lalu, pengkajian yang sangat bergairah terhadap ilmu-ilmu dan filsafat yang dihasilkan Dunia Islam berlangsung di Palermo, Sisilia, dan di napoli, Italia, karena dukungan dan perlindungan kuat dari Kaisar Ferederik II (1212-1250 M). Karya tulis Ibn Rusyd mendapat penghargaan penting dan paling tinggi di kedua tempat tersebut. Kaisar Frederik II memberi fasilitas yang banyak kepada Michael Scot untuk menyalin dan menerjemahkan karya-karya Ibn Rusyd, sedangkan Hermanus Allemanus tercatat sebagai penerjemah karya Ibn Rusyd. Dari tangan kedua orang inilah kemudian mengalir aliran Averoisme atau Ibn Rusydiyah, aliran atau kelompok yang menisbatkan paham atau gerakan kepada nama Ibn Rusyd. Penghargaan kelompok Averois kepada Ibn Rusyd sangat tinggi. Komentarkomentar atau pemahaman Ibn Rusyd
atas karya-karya Aristoteles merupakan
pandangan yang paling tepat/benar bila dibandingkan dengan komentar-komentar yang dihasilkan oleh penulis-penulis sebelumnya, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Latin. Pengkajian mereka terhadap karya-karya dalam bidang ilmu pengetahuan berkembang menjadi semangat ilmiah, yang pada abad-abad berikutnya membuahkan kemajuan yang pesat dan menjadi awal bagi munculnya pengetahuan ilmiah modern. Pengkajian mereka dalam bidang filsafat menghasilkan pandanganpandangan yang sebenarnya tidak pantas lagi mereka nisbahkan kepada Ibn Rusyd,
91
Mengenai uraian seperti lihat Philip K. Hitti, Hitory of Arabs, (London: Macmillan press, 1970), h. 583
tetapi mereka masih menisbahkannya kepada Ibn Rusyd, seperti pandangan bahwa akallah satu-satunya sumber kebenaran, sedangkan agama-agama hanya membawa kepalsuan, dan pandangan tidak ada imortalitas (keabadian) jiwa secara personal. Bagi filosof Kristen, seperti Thomas Aquinas, pengaruh pandangan Ibn Rusyd khususnya, dan para filosof Muslim pada umumnya sebenarnya tidak kecil. Mereka yang membela agama dalam melawan Averoisme juga merasa perlu membaca karyakarya Ibn Rusyd dan para filosof Muslim lainnya karena dalam karya-karya para filosof Muslim itu dapat dijumpai pandangan-pandangan yang sejalan ajaran-ajaran agama dan sekaligus dapat digunakan untuk menandingi atau melawan pikiranpikiran kaum Averoisme dan kaum sekuler lainnya di Eropa/Barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ibn Rusyd bukanlah penyebab terjadinya sekularisme Peradaban Barat maupun Dunia Islam. Bahwa di Barat terdapat pemisahan yang frontal antara agama dan ilmu atau agama dan kehidupan sosial politk dalam masyarakat bukan lantaran pengaruh filsafat Ibn Rusyd. Dari pandangan masyarakat Barat ini, kaum Muslim bisa menarik sebuah pelajaran berharga bahwa penafsiran agama tidak dapat didominasi secara mutlak oleh kelompok tertentu saja. Ketika suatu kelompok
mengklaim bahwa hanya
penafsirannya yang paling benar, ini berarti bahwa agama telah diperkosa dan memaksakan keseragaman bagi yang lainnya.
BAB V PENUTUP
Pada bagian terakhir dari pembahasan skripsi ini, akan dikemukakan beberapa kesimpulan atas apa yang telah dibahas dalam bab-bab terdahulu. Kesimpulan ini dimaksudkan untuk merumuskan kembali terhadap apa yang telah disampaikan, dalam bentuk tulisan yang tegas dan singkat.
Kesimpulan Dalam menjelaskan doktrin kebangkitan kembali, al-Ghazâlî memahami manusia terdiri dari dua subtsansi yang terpisah, yaitu jiwa dan raga. Pemahaman ini merupakan imbas
dari tradisi yang berkembang pada masanya yang
sebelumnya diakui juga oleh para filosof Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina. Perbedaannya adalah bahwa kaum filosof Muslim, termasuk Ibn Rusyd, menganggap kebangkitan kembali hanya terjadi pada jiwa, maka al-Ghazâlî menganggap bahwa kebangkitan terjadi pada keduanya, yaitu jiwa dan raga. Dalam persoalan ayat-ayat kebangkitan, Ibn Rusyd secara tegas menolak tuduhan al-Ghazâlî tentang pandangan filosof, yang dianggap mengingkari persoalan kebangkitan jasad. Bagi Ibn Rusyd, persoalan kebangkitan, baik jiwa maupun raga, adalah yang paling dekat pemahamannya bagi kalangan filosof. Pemahaman filosof ini tidak mengurangi arti keutamaan akhirat karena telah memberikan makna takwil tentang keadaan hari akhirat. Hanya saja, kata Ibn 72
Rusyd, hasil takwil para filosof tidak boleh dibeberkan kepada orang awam. Ibn Rusyd menuduh al-Ghazâlî telah melakukan kekeliruan yang fatal karena membeberkan hasil takwil filosof kepada masyarakat umum, sehingga menimbulkan pergolakan dan perpecahan di kalangan awam.
Saran-saran Dalam mengkaji persoalan eskatologi, khususnya tentang kebangkitan hari akhirat, hendaknya tidak menggunakan sumber, metodologi, dan pendekatan yang hanya satu. Karena agak sulit untuk mengatakan bahwa, misalnya, alGhazâlî hanya menggunakan metode teologis (kalam) dalam membahas masalah hari kebangkitan. Pun tidak bisa dikatakan bahwa Ibn Rusyd hanya menggunakan metode filosofis (rasional) dalam membedah masalah hari kebangkitan. Karena itu hendaknya bagi para pengkaji selanjutnya tidak membatasi diri pada metode, sumber, dan pendekatan tunggal yang dianut oleh seorang filosof, tetapi campuran. Karena memang, baik al-Ghazâlî maupun Ibn Rusyd melakukan metode dan sumber yang hampir sama, hanya tekanannya saja yang berbeda. Dalam prakatik keberagamaan hendaknya selalu diseimbangkan antara pemikiran yang memberi porsi filosofis dengan yang berbasis teologis. Karena keduanya bukan bersifat hitam putih, tetapi justru saling memberi dan mengisi.
DAFTAR PUSTAKA
Angeles, Peter A., Dictionary of Philosophy, New York : Harper & Row Publishers,1981 Aqqad Abbas Mahmud, al-, Ibn Rusyd, Mesir: Dâr al Ma'ârif, t.t. Asy’arie Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta : LESFI, 2002, Cet. ke-3 Bagus Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia,1996 Bakhtiar, Amsal, “Eskatologi dalam Perdebatan antara al-Gazali dan Ibn Rusyd” dalam Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta, Vol.XVIII, No. 4, 2001 Bernstein Alan E., The Formation of Hell : Death and Retribution in The Anicient and Early Christian Worlds, Ithaca : Cornell Universty Press, 1993
Boer, TJ. De, The History of Philosophy in Islam, New York : Dover Publication, Inc. , 1967 Burge G. M., Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.mb soft.com/believe/text/eschatol.htm Dahlan Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003 Daudy Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986 Din Ahmad Syams, ad-, al-Gazali : Hayâtuhu, Âsâruhu, Falsafatuhu, Beirut : Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, 1990 Dunya, Sulayman, al-Haqiqat fi Nadzar al-Gazali, Mesir: Darul Maarif, 1971
Edward Paul (ed), “Eschatology” . Encyclopedia of Philosophy, (New York : Macmillan Publishing Co. Jac & The Free Press), Vol.3 Eliade (ed) Mircae. “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, New York : Macmillan Publishing Company, 1987 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York : Columbia University,1970 Gazali, Al-, Ihyâ ‘Ûlûm Ad-Dîn, dalam “muqaddimah”, Mesir : Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t. ), Jilid 1 Gazali, Al-, Kegelisahan al-Gazali: Sebuah Otobiografi Intelektual {al-Munqiz min ad-Dalal dan Kimiya as-Sa’adah), terj. Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Cet. ke-1, Gazali, al-,
Kehancuran Filsafat (Tahâfut al-Falâsifah), terj. Achmad Maimun,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet. ke-1 Gazali, al-, Meretas Jalan Kebenaran, terj. Masyhur Abadi dan Ahmad Frank, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2003}, Cet. Ke-1 Gazali, Abu Hamid al-, Peringatan bagi Penguasa, terj. Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, (Jakarta: Hikmah, 2000) Gazali al-, Tahâfut al-Falâsifah , Sulayman Dunya (ed). (Mesir: Darul Maarif, tth), Cet. Ke-8, Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), Cet. ke-6 Hitti Philip K., History of Arabs, (London: Macmillan press, 1970)
Hude Darwis, et al., Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-1 Iqbal Muhammad, Ibn Rusyd dan Averroisme : Sebuah Pemberontakan terhadap Agama. (Jakarta : GMP, 2004), Cet. Ke-1 Khaldun Ibn, Muqaddimah, (Beirut: Darul Fikr, tth), Mubarak Zaki, al-Akhlaq ‘ind al-Gazali, (Kairo: Darul Katib al-Arabi, 11t) Nasution Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1995) Cet ke-9 Nasyar, Ali Sami’, al, Manahij al-Bahts ‘ind Mufakkir al-Islam, (Mesir: Darul Fikr al-Arabi, 1947), Qardawi, Yusuf al-, Pro-Kontra Pemikiran al-Gazali, terj. Achmad Satori Ismail, (Surabaya:Risalah Gusti, 1997) Qayyum, Abdul, Surat-surat al-Gazali, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1991), Cet. ke-4 Renan Ernest, Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, (Kairo: Darul Ihya al-Kitab al-Arabiyah, 1957) Rusyd Ibn, Fasl al-Maqâl fî mâ Bayn al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittisâl, (Kairo: Dar al-MA’arif, t.t.) Rusyd Ibn, Tahâfut al-Tahâfut, Sulayman Dunya (ed). (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.), Cet. Ke-4, Jilid ke-2 Sibawaihi, Eskatologi al-Gazali dan Fazlur Rahman; Studi komparatif Epistemologis Klasik-Kontemporer, (Yogyakarta:Islamika,2004). Cet. ke-1,
Sina, Ibn, al-Isyârât wa at-Tanbihât, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1960) Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1997) Toner P.J., Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.ewtn.com/library/HOMELIBR/05528B.TXT Uwaidah Kamil Muhammad, Ibn Rusyd: Filosof Muslim dari Andalusia, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, (Jakarta: Riora Cipta, 2001) Yahya Zurkani, Teologi Al-Gazali: Pendekatan Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) Zaqzuq, Mahmud Hamdi, al-Gazali sang Sufi sang Filosof, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1987), Cet. ke-1, h. 9