HAKIKAT AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH Konotasi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) artinya adalah orang-orang yang meyakini (mengimani), mempraktekkan (mengamalkan) dan memperjuangkan (mendakwahkan) sunnah Nabi saw dan sunnah para shahabatnya. Karena sunnah sendiri dapat berarti thariqah mahmudah mustaqimah (tuntunan terpuji dan lurus), maka seseorang dapat disebut ‘Ahlus Sunnah’ ketika ia meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan tuntunan yang terpuji dan lurus, seperti tercantum dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur. Sedangkan menurut al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat-nya; Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Ahlul Haq, yaitu orang-orang yang meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan haq yang dicapai atau dihasilkan melalui berbagai hujjah dan burhan dari Allah SWT. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Iawan dari Ahlul Ahwa’ (pengikut hawa nafsu), yaitu mereka (ahlul kiblat/orang Islam) yang keyakinanya berbeda dengan keyakinan Ahlus Sunnah, seperti kelompok Jabariyyah, Qadariyyah, Rawaafidl (syi’ah ekstrem), Khawaarij, Mu’tahilah dan Musyabbihah, dimana setiap kelompok daripadanya terpecah menjadi 12 kelompok, maka jumlahnya menjadi 72 kelompok. Perkataan al-Jurjani ini sesuai dengan situasi serta kondisi saat itu. Sedangkan untuk situasi serta kondisi kekinian Ahlul Ahwa’ wal Bida’ (pengikut hawa nafsu dan bid’ah) di samping kelompok yang telah disebut di atas, juga adalah orang Islam (ahlul qiblat) yang keyakinan, amaliyah dan perjuangannya mengikuti dan atau cenderung terhadap ideologi komunisme (termasuk sosialisme) dan ideologi kapitalisme, berikut seperangkat ide, pemikiran, sistem dan hukum yang memancar dari keduanya, seperti sekularisme, liberalisme, libertinisme (faham yang dianut orang libertin yaitu orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial, agama, dan moral), pluralisme, sinkretisme, demokrasi, HAM dialog antar agama, doa bersama lintas agama dll. Karena problem, penyimpangan serta tantangan dari dan terhadap Islam dan kaum muslim itu mengalami perubahan dan perkembangan dari masa ke masa, maka ASWAJA itu dinamis, tidak stagnan (jumud), sesuai problem, penyimpangan serta tantangan yang ada pada masanya. Sedangkan metode yang dipakai oleh ASWAJA pada masa Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W.333 H) dan tokoh ASWAJA yang lain, baik sebelum atau sesudahnya, untuk menjawab problem, penyimpangan dan tantangan pada masa itu, tidak akan bisa menjawab problem, penyimpangan dan tantangan dari dua ideologi di atas. Oleh karena itu doktrin yang diyakini, dipraktekkan, diemban dan didakwahkan oleh Qadhi Taqiyyuddin An-Nabhani serta para syabab Hizbut Tahrir, adalah doktrin ASWAJA pada masa ini, juga sebagai pelengkap serta penyempurna serta kritik terhadap doktrin yang telah ada, karena yang namanya manusia itu tidak ada yang sempurna, kecuali baginda Nabi Muhammad saw. Fakta serta realita Salafush Shalih dan Para Imam Mujtahid juga saling mengkritik, melengkapi dan menyempurnakan, tidak saling menyesatkan. Kesimpulan di atas adalah konklusi dari hadits-hadits berikut: Dari Abdullah Ibn ‘Amer Ibn al-’Aash; Rasulullah saw bersabda: “Umat Yahudi telah terpecah menjadi 71 kelompok, umat Nasrani telah terpecah menjadi 72 kelompok, dan umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok dimana semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok”. Shahabat bertanya; “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau saw bersabda; “Orang yang berpegang teguh (meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan) dengan sunnah (doktrin, tuntunan atau metode)ku dan (sunnah) para shahabatku”. (HR. atTurmudzi dalam kitab Iman dalam bab terpecahbelahnya umat ini, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya, isnadnya shahih) 1
Dalam riwayat at-Thabrani, Nabi saw bersabda; “Yahudi telah terpecah menjadi 71 kelompok. Nasharo telah terpecah menjadi 72 kelompok. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok, darinya hanya ada satu kelompok yang selamat, sedang yang lain semuanya rusak”. Shahabat bertanya: “Siapakah kelompok yang selamat itu, wahai Rasulullah?”. Beliau saw bersabda: “Ahlus Sunah Wal Jama’ah”. Mereka bertanya; “Siapakah Ahlus Sunah Wal Jama’ah itu?” Beliau saw bersabda; “Orang yang berpegang teguh (meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan) dengan sunnah (doktrin, tuntunan atau metode)ku pada hari ini dan (sunnah) para shahabatku”. Muhammad bin Abdul Karim bin Abu Bakar Ahmad asy-Syahristani dalam al-Mihal wa an-Nihal menulis: “Nabi saw mengabarkan bahwa umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, satu di antaranya adalah golongan yang selamat, sedang yang lainnya golongan yang celaka”. Ditanyakan: “Siapakah golongan yang selamat itu?”. Beliau bersabda: “Golongan yang selamat adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah”. Ditanyakan: “Apa Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu?” Beliau bersabda: “Apa yang saat ini aku dan para shahabatku berada di atasnya’.” Dan Ibnu Mas’ud ra berkata kepada ‘Amir bin Mainun: “Al-Jama’ah adalah apa saja yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu sendirian yang melakukan”. Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya tentang pengertian al-Jama’ah, maka beliau berkata: “Demi Allah, Al-Jama’ah adalah golongan pengikut kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit”. Imam Abu Syamah berkata: “Al-Jama’ah (Ahlussunnah Wal-Jama’ah) adalah berpegang pada kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang padanya jumlahnya sedikit, sementara mereka yang menentang jumlahnya banyak”. Muhammad Shodiq Hasan Khan al-Qanuji dalam Qathfu al-Tsamar fi Bayani ‘Aqidati Ahli al-Atsar berkata: “Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah adalah mereka yang berpegang pada Islam yang murni yang tidak tercampuri oleh apapun”. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui mengenai siapa sebenarnya orang yang layak disebut sebagai ASWAJA, yaitu orang atau siapa saja yang meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan (berpegang teguh dengan) sunnah Nabi saw serta sunnah para shahabatnya, dan apa sebenarnya sesuatu yang dapat menentukan bahwa seseorang itu termasuk ASWAJA, yaitu keyakinan, praktek dan perjuangannya terhadap sunnah Nabi saw dan sunnah para shahabatnya, hanya ini, tidak ada yang lain, titik. Jadi Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah adalah karakter atau sifat bagi siapa saja orang yang meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan (berpegang teguh dengan) sunnah Nabi saw dan sunnah para shahabatnya, bukan nama kelompok atau organisasi tertentu. ASWAJA bukan nama sebuah partai, organisasi, jama’ah atau nama lembaga-lembaga sosial yang lain. Kalaupun personil muslim yang telah berhasil mencapai garis finish dari target perintah berpegang teguh dan mengamalkan sunnah Nabi saw dan para shahabatnya itu berjumlah banyak, maka mereka itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya mereka tidak berkumpul dalam satu waktu dan satu tempat. Dan tidak dibatasi oleh partai, organisasi atau jama’ah, artinya mereka tidak berkumpul dalam satu partai, satu organisasi dan satu jama’ah. Mereka itu berada di setiap zaman dan di tempat manapun. Mereka bisa merata memenuhi zaman dan berdomisili di setiap tempat diantara negeri-negeri kaum muslim. Bahkan bisa saja mereka berserakan di setiap partai, organisasi dan jama’ah yang berasaskan Islam dan beraktifitas untuk menegakkan syariat Islam, karena yang menyatukan mereka hanyalah tuntunan Nabi saw dan para shahabatnya, bukan zaman dan tempat. 2
An-Nawawi menegaskan bahwa boleh jadi kelompok ini berserakan diantara berbagai ragam kaum Mukmin; ada yang pemberani dan pasukan perang; ada yang ahli fikih, hadis, zuhud, dan orang-orang yang memerintahkan kemakrufan serta mencegah kemunkaran; ada juga ahli kebaikan yang lain. Tidak mesti, mereka terkumpul di satu tempat. Sebaliknya, boleh jadi mereka berserakan di berbagai belahan bumi. (Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Abu al-Ala, Tuhfah al-Ahwadzi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., VI/360). Sedangkan ketika ada kelompok atau organisasi yang mengklaim atau diklaim dengan nama atau sebutan ASWAJA, maka itu sah-sah saja, seperti ketika di dalam AI-Qur’an ada kalimah Al-Mu’minun lalu kita menamakan kelompok atau jam’iyyah kita dengan kalimah itu, dan di hadits seperti di atas ada kalimah ASWAJA Ialu kita menamakan kelompok atau organisasi kita dengan kalimah itu, dan seterusnya. Pembatasan ASWAJA hanya milik empat kelompok (Muhadditsuun, Shufiyah, Asy’ariyyah dan Mâturidiyyah) adalah sangat tidak tepat, karena ada banyak kelompok yang justru menjadi pilar-pilar ASWAJA, mereka malah tereduksi, bahkan tertuduh sebagai kelompok sesat ahli neraka hanya karena dianggap bukan ASWAJA. Mereka adalah mufassiruun (ulama tafsir) dan fuqaha (ulama fiqih), dan mereka adalah ulama waratsatul anbiya. Dalam kitab Fathul Mu'in disebutkan bahwa “Yang termasuk ULAMA hanya 3 kelompok: Mufassir, yaitu orang yang mengerti makna setiap ayat serta tujuannya; Muhaddits, yaitu orang yang mengerti kondisi perawi hadits, kuat dan lemahnya, dan mengerti kondisi hadits yang diriwayatkannya, sahih dan tidaknya; Faqiih, yaitu orang yang mengerti hukum-hukum syara' dan seterusnya. Dan tidak termasuk ulama adalah pakar nahwu, shorof, lughot, dan mutakallim (ahli kalam)…”. Dalam hal aqidah kelompok Asy’ariyyah dan Mâturidiyyah tidak 100% ASWAJA karena telah memasukkan pembahasan falsafat Yunani atau ilmu kalam yang tidak pernah ada pada masa Nabi saw dan shahabatnya, maka secara otomatis sebagian doktrin keduanya telah keluar dari sunnah (tuntunan) Nabi saw dan para shahabatnya. Al-Iji (w. 756 H) maupun Ibn Hazm (w. 456 H), sepakat menyebut Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), sebagai Jabariyyah Mutawasithah/Jabariyah Moderat (Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwa’ wa anNihal, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1999, II/86 dan 142). Dalam hal ini Imam Malik rh berkata: “Ahlul Bid’ah adalah orang-orang yang membicarakan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu-Nya dan qudrat-Nya, mereka tidak diam dari perkara dimana para shahabat dan tabi’in sama diam darinya”. Beliau rh juga berkata: “Semoga Allah melaknat ‘Amer Ibn ‘Ubaid (ulama mu’tazilah), karena sesungguhnya dia telah mencetuskan bid’ah-bid’ah ilmu kalam ini. Andai saja pembahasan kalam adalah ilmu, niscaya para shahabat dan tabi’in membicarakannya, sebagaimana mereka membicarakan hukum-hukum syariat. Akan tetapi pembahasan kalam adalah bathil yang menunjukkan kepada yang bathil”. (Al-Amru bil Ittiba’, karya Imam Suyuthi, hal 18) DR. Muhammad Rawas Qaľahji’ dalam Mu’jam Lughatul Fuqaha’ menegaskan: “Ahlus Sunnah adalah mereka yang dalam berakidah terikat dengan al-Qur’an dan Sunnah, bukan pendapatpendapat para filosof. Mereka itu adalah generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in) dan generasi sesudahnya (khalaf)”.
3
Tentang Jama’ah Yang dikehendaki dengan Jama’ah adalah jama’ah shahabat (kaum muslim) yang dipimpin oleh seorang Khalifah (Imam A’zham/Amirul Mu’minin) dalam naungan Daulah Khilafah atau orang-orang yang menjaga kesatuan jama’ah (Khilafah) kaum Muslim. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang tidak taat (kepada Khalifah/Amir), maka pada hari Kiamat ia bertemu Allah dalam kondisi tidak memiliki hujjah. Dan barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak memikul bai’at di pundaknya, maka ia mati jahiliyah”. Dalam riwayat Iain: “Dan barangsiapa mati dalam kondisi meninggalkan jama’ah (kaum muslim yang dipimpin Khalifah), maka sesungguhnya ia mati jahiliyah (membawa dosa besar)”. (HR. Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar ra.) Dari Auf bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Kaum Yahudi terpecah belah menjadi 71 golongan, 1 golongan di surga, sedang yang 70 di neraka. Kaum Nashrani pun demikian, mereka terpecah belah menjadi 72 golongan, 1 golongan di surga, sedang yang 71 golongan di neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya umatku akan terpecah belah menjadi 73, satu golongan di surga, sedang yang 72 golongan di neraka. Rasulullah saw ditanya: Siapa mereka yang di surga itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits Hudzaifah Bin Yaman ra yang panjang Nabi saw bersabda: “Berpegang teguhlah kamu dengan jama’ah kaum muslim dan Imamnya!”. (HR. Bukhari) Dan Abu Dzar ra telah meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan Jama’ah meskipun hanya sejengkal, maka ia telah melepaskan ikatan (tali) Islam dari pundaknya”. Dan Uwais Al-Qarani dalam wasiatnya kepada Harom Bin Hayan, beliau berkata: “Berhati-hatilah, jangan meninggalkan jama’ah, karena dapat meninggalkan agamamu, sedang kamu tidak merasa, maka pada hari kiamat kamu akan masuk neraka”. Dan bahwa yang dimaksud dengan Jama’ah adalah Jama’ah Shahabat atau kaum muslim yang dipimpin oleh khalifah, ini diambil dari hadits berikut: “Aku wasiatkan kepada kalian taqwa kepada Allah azza wajalla, mendengar dan taat (kepada Khalifah/’Amir), meskipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya, karena sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih diberi hidup, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh (meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan) dengan sunnahku dan sunnah para Khalifah yang lurus/benar dan mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham, dan jauhilah segala perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat adalah di neraka”. (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah) Dan Nabi saw bersabda: “Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, dimana kalian tidak akan pernah tersesat, selagi kalian berpegang teguh dengan keduanya; (yaitu) kitabullah dan sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah) “Barangsiapa yang membuat-buat -dalam urusan agama kami ini- sesuatu yang tidak berasal daripadanya, maka sesuatu itu tertolak”. (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra.) Abu Daud mengeluarkan dari Hudzaifah ra, beliau berkata: “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh shahabat, maka kalian jangan melakukannya”. 4
Imam Baihaqi mengeluarkan dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata: “Perkara yang paling dibenci oleh Allah swt adalah bid’ah”. Dari Al-Hasan dari Rasulullah saw, sesungguhnya beliau bersabda: “Amal sedikit dengan mengikuti sunnah itu lebih baik dari pada amal banyak dengan mengikuti bid’ah, setiap bid’ah itu sesat dan setiap sesat itu di neraka”. Dari sejumlah hadits di atas (dan hadits-hadits terkait yang tidak dituturkan) dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikehendaki dengan “Jama’ah” dalam term ASWAJA adalah Jama’ah Shahabat atau jamaah kaum muslim yang dipimpin oleh seorang Khalifah, bukan jama’ah sebagai organisasi atau partai politik (kecuali organisasi atau partai politik lslam yang berasaskan Islam dan berjuang untuk menegakkan Daulah Khilafah ketika Daulah ini tidak ada, dan metode yang ditempuhnya tidak menyimpang dari metode Rasulullah saw dalam menegakkan Daulah lslamiyah di Madinah), karena sejumlah hadits terkait Jama’ah tersebut adalah hadits-hadits politik, yakni membicarakan urusan politik, yaitu perihal membaiat dan taat kepada Khalifah, dan larangan keluar dan memberontak terhadap Khalifah. Konotasi ASWAJA adalah orang (siapa saja) yang meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan sunnah Nabi saw dan sunnah para sahabatnya, ini juga ditunjukkan oleh sejumlah hadits yang membicarakan nama-nama Iain dari ASWAJA yang diantaranya sebagai berikut:
Thaifah Zhahirah (Kelompok Pembela Hak, Bukan Pembela HAM) Mengenai mereka Nabi saw bersabda: “Tidak henti-hentinya kelompok dari umatku membela hak sampai datang hari Kiamat”. (HR. Hakim. Imam Suyuthi berkata: “Hadits ini sahih”) “Tidak henti-hentinya kelompok dari umatku membela hak sampai datang kepada mereka perkara Allah (Kiamat) sedang mereka dalam kondisi membela hak”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Thaifah Qawwamah (Kelompok Penegak Hak, Bukan Penegak HAM) Mengenai mereka Nabi saw bersabda: “Tidak henti-hentinya kelompok dari umatku menegakkan agama Allah, tidak membahayakan pada mereka, orang-orang yang menyalahinya”. (HR. Ibnu Majah telah disahihkan oleh Imam Suyuthi)
Al-Ghuraba’ (Kelompok Yang Terasingkan, Bukan yang Mayoritas) Mengenai mereka Nabi saw bersabda: “Islam mulai datang dalam kondisi asing dan akan kembali asing, maka berbahagialah kelompok yang terasingkan”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra) Dari Abdullah Ibn Mas’ud ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Islam telah memulai dalam kondisi asing dan akan kembali asing sebagaimana semula, maka berbahagialah kelompok yang terasingkan”. Dikatakan: “Siapakah kelompok yang terasingkan itu?”. Beliau bersabda: “Para pendatang dari berbagai kabilah”. (HR. Darimi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Bazar, Abu Ya’la dan Ahmad, sedang lafadznya milik Ahmad ra.) Dari ‘Amer Bin ‘Auf Bin Zaid Bin Malhah ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya agama Islam telah memulai dengan kondisi asing dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah kelompok yang terasingkan, yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan setelah (wafat)ku terhadap 5
sunnahku yang telah dirusak oleh manusia”. Dalam riwayat Thabrani dalam kitab Kabirnya: para shahabat bertanya: “Wahai Rasulallah, siapakah kelompok yang terasingkan itu?”, Beliau saw bersabda: “Orangorang yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak”. Dalam kitabnya Ausath dan Shagiir memakai redaksi: “Orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia telah rusak”. Dari Abdullah Ibn ‘Amer ra berkata: “Pada suatu hari aku berada di sisi Rasulullah saw sedang matahari telah terbit lalu beliau bersabda: “... berbahagialah kelompok yang terasingkan, berbahagialah kelompok yang terasingkan”. Dikatakan: “Siapakah mereka wahai Rasulallah?”, Beliau bersabda: ‘Orang-orang shalih yang minoritas di tengahtengah orang-orang buruk yang mayoritas, yang membangkang terhadap mereka itu lebih banyak daripada yang menurut kepada mereka”. (HR. Ahmad dan Thabrani) Terkait karakter ‘Al-Ghuroba’, Nabi saw bersabda: “Diantara mereka tidak ada ikatan rahim (kerabat) dimana mereka saling menyambungnya karena Allah, tidak ada pula harta dunia dimana mereka saling memberikannya, mereka saling mencintai dengan rauhillahi SWT”. (HR. Thabrani) Rauhillahi SWT maksudnya dengan syariat Allah SWT, yakni sesuatu yang menjadi ikatan di antara mereka hanyalah ideologi Islam, tidak ada ikatan lain baik ikatan nasab atau kerabat, dan tidak pula ada ikatan kepentingan atau manfaat duniawi. Nabi saw juga bersabda: “Mereka adalah gabungan dari para pendatang dari berbagai kabilah, mereka bergabung atas dasar dzikrullah (syariat Allah) ta’ala, lalu mereka mengambil perkataan yang baik-baik, sebagaimana pemakan buah mengambil yang baik-baiknya”. (HR. Thabrani dari ‘Amer Ibn Abasah ra.) ljtimaa’ ‘alaa dzikrillahi (bergabung atas dasar dzikrullah) itu tidak sama dengan ljtimaa’ lidzikrillahi (bergabung untuk berdzikir kepada Allah). Konotasi pertama adalah bahwa dzikrullah (syariat Allah) itu menjadi ikatan diantara mereka, baik mereka duduk-duduk bersama atau berpisah. Sedangkan yang kedua, yaitu bergabung untuk berdzikir kepada Allah itu bisa selesai dengan selesainya berdzikir. Nabi saw juga bersabda: “Mereka saling mencintai karena Allah, mereka itu gabungan dari berbagai kabilah dan dari berbagai negeri (transnasional), mereka bergabung atas dasar dzikrullah (syariat Allah) ta’ala”. (HR. Thabrani dari Abi Darda’ ra.) Hadits-hadits yang membicarakan tiga kelompok diatas sebagai nama Iain dari ASWAJA, semuanya membicarakan bahwa mereka disamping meyakini dan mempraktekkan sunnah Nabi saw dan sunnah para shahabatnya, mereka juga memperjuangkannya. Oleh karena itu mereka juga dinamai Ahlul Haq, karena pembelaannya terhadap yang hak, yakni sunnah Nabi saw dan para shahabatnya. Firqah Najiyah (Kelompok Yang Selamat) ASWAJA adalah mereka yang pada hari kiamat, ketika melintasi Jembatan Yang Lurus (as-shirath al-mustaqim) mereka selamat (najiyah), yakni tidak tergelincir dan terjatuh ke dalam neraka Jahanam. Bukan yang tergelincir dan terjatuh ke dalam neraka lalu diselamatkan (manjiyah/munajjah). Sedangkan mereka yang pada hari kiamat ketika melewati “Jembatan Yang Lurus” tidak tergelincir dan tidak pula terjatuh ke dalam neraka itu bertingkat-tingkat sesuai kadar iman dan amalnya ketika hidup di dunia. 6
Rasulullah saw bersabda: “Manusia semuanya datang (ke Jembatan yang terbentang di atas neraka Jahannam) kemudian mereka keluar dari padanya sesuai amal perbuatan mereka”. (HR. Tirmidzi dan Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud) Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Semua manusia sampai ke Jembatan. Mereka berdiri di sekitar neraka. Kemudian mereka keluar dari Jembatan dengan amal perbuatannya. Maka diantara mereka ada yang melintas seperti petir, ada yang melintas seperti angin, ada yang melintas seperti burung, ada yang melintas seperti kuda yang cepat, dan ada yang melintas seperti laki-laki berlari. Sehingga akhir mereka yang melintas adalah laki-laki yang cahayanya berada di tempat kedua ibu jari kakinya. Ia melintas dengan cahaya itu meniti Jembatan. Sedangkan Jembatan itu sangat licin dan menggelincirkan. Di atasnya terdapat duri seperti duri pohon kelampis. Di dua tepinya ada banyak malaikat yang membawa besi-besi dari api yang bengkok dan runcing ujungnya untuk mengaiti manusia”. (HR. Ibnu Abi Hatim) Dan dalam kitab ‘Daqaiqul Ahbar’ Kyai Wahab berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW berdoa: “Wahai Tuhan, Wahai Tuhan, selamatkanlah umatku, selamatkanlah umatku…”. Lalu segenap mahluk (manusia dan jin) menaiki Jembatan sampai-sampai sebagian mereka menaiki sebagian yang lain. Sedangkan Jembatan itu bergoyang laksana perahu layar di lautan diterpa angin yang bertiup. Lalu golongan pertama dapat melintas seperti petir menyambar, golongan kedua seperti angin bertiup, golongan ketiga seperti burung yang terbang cepat, golongan keempat seperti kuda yang larinya kencang, golongan kelima seperti laki-laki yang berlari cepat, golongan keenam seperti hewan ternak berjalan, dan golongan ketujuh berjalan kira-kira sehari semalam. Sebagian ulama berkata: “Kira-kira dua bulan”. Dan sebagian yang Iain berkata: “Kira-kira setahun, dua tahun, atau tiga tahun”. Sehingga masanya orang yang terakhir melintasi Jembatan adalah kira-kira dua puluh lima ribu tahun, dari tahun-tahun dunia”. Sedangkan mereka yang tergelincir dan terjatuh ke dalam neraka Jahanam kemudian diselamatkan (dikeluarkan), maka mereka itu tidak termasuk ASWAJA, karena seperti pada hadits di atas bahwa ASWAJA adalah kelompok yang selamat (firqah najiyah), bukan kelompok yang diselamatkan (manjuwwah/munajjah) setelah tercebur ke dalam neraka. Allah SWT berfirman: “Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut”. (QS. Maryam [19]: 71-72) Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata: “Firman Allah SWT (Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa), yakni ketika semua mahluk telah melintas diatas neraka dan telah terjatuh kedalamnya orang-orang yang terjatuh, yakni semua orang kafir dan yang maksiat, maka Allah ta’ala menyelamatkan orang-orang yang beriman dan bertakwa dari neraka, sesuai amal perbuatannya. Jadi melintasnya mereka di atas Jembatan dan kecepatannya itu sesuai kadar amalnya ketika di dunia.” Jadi ASWAJA adalah orang yang selamat, yakni tidak tergelincir dan terjatuh ke neraka Jahannam, ketika melintasi Jembatan yang terbentang diatas neraka Jahannam, dimana awalnya adalah padang mahsyar dan akhirnya adalah halaman surga. Bukan Jalan Yahudi dan Nasrani Hakikat ASWAJA itu tidak dapat diketahui, karena merupakan perkara ghaib yang akan terjadi setelah kiamat kelak. Akan tetapi indikasinya dapat diketahui, yaitu orang/siapa saja yang ketika hidup di dunia berada di atas 7
Jalan Yang Lurus (al-Shirath al-Mustaqim), yaitu jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah (shirathal ladziina an’amta ‘alaihim), bukan jalannya orang Yahudi yang mendapat murka Allah (ghairil maghdluubi), dan bukan jalannya orang Nasrani yang tersesat (waladldlaaliin). Dan disamakan dengan jalannya orang Yahudi dan orang Nasrani adalah jalannya orang musyrik, munafiq dan ahli bid’ah. Jalannya orang Yahudi dan orang Nasrani itu tercermin dalam ideologİ kapitalisme dan ideologi komunisme dengan seperangkat ide dan sistem yang memancar dari keduanya, seperti liberalisme, libertinisme, demokrasi, HAM, pluralisme, sinkretisme, dialog antar agama, doa bersama lintas agama, sosialisme dan nasionalisme. Maka, bukan tergolong ASWAJA, orang/siapa, saja yang meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan kedua ideologi di atas, meskipun ia mengklaim paling ASWAJA. Sedang jalan yang Iurus itu tercermin dalam ideologi Islam dengan seperangkat ide dan sistem yang memancar daripadanya, dimana semuanya adalah Islami, seperti sistem pemerintahan Islam (Khilafah), sistem ekonomi Islam, sistem pergaulan Islam, dan seterusnya. Bukan Penolak Syariat Dan tidak termasuk ASWAJA, orang/siapa saja yang menolak diterapkannya syariat Islam secara sempurna (total) melalui penegakkan Daulah Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslim di dunia, karena hukum-hukum Islam yang terkait dengan jinayat, hudud dll tidak dapat diterapkan tanpa Khilafah dan Khalifah yang sah secara syar’iy. Padahal
menerapkan
hukum-hukum
tersebut
adalah
wajib/fardlu
atas
kaum
muslim,
dimana
kewajiban/kefardluannya termasuk mujma’ ‘alaihi (disepakati oleh semua ulama ASWAJA). Ini bisa dilihat dan dimuthala’ah pada semua kitab fiqih dari semua madzhab, kecuali fiqih sampah kaum liberal yang tidak memiliki nilai sedikitpun. Juga tidak termasuk ASWAJA, orang/siapa saja yang merekayasa, berdusta, memfitnah dan memprovokasi terhadap para pengemban dakwah menuju tegaknya Daulah Khilafah dan Khalifah untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna, karena Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayatayat Allah, dan mereka itulah orang-orang yang pendusta”. (QS. an-Nahl [16]:105) Allah SWT juga berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS al-Ahzab [33]:58) “Sesungguhnya orang-orang yang telah memitnah orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar”. (QS. al-Buruj [85]:10) Jadi mereka itu tidak termasuk ASWAJA, karena amalnya adalah amal ahli neraka, kecuali kalau mereka bertaubat dengan taubat nashuha, sebelum ajalnya datang. Syariat Islam As-Sunnah adalah tuntunan Nabi saw (qaulan, fi’lan, wa taqriran). Sementara al-Jama’ah adalah Jama’ah Shahabat Nabi saw, yakni sunnah para shahabat sebagai jamaah, bukan seorang shahabat. Sunnah shahabat sebagai jama’ah berarti ijma’ shahabat, atau setidaknya sunnah mayoritas shahabat. Sunnah Nabi saw dan para shahabatnya adalah syariat Islam yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi saw, dimana syariat 8
ini mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya. Allah swt. dalam Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 48 menyebut syariat dengan memakai kata Syir'ah. Allah berfirman: "Kami jadikan bagi tiap-tiap umat di antara kalian satu syari'at dan satu jalan..." Dan firman-Nya: "Kemudian Kami jadikan engkau di atas syari'at dari suatu perkara, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak berilmu". (QS. al-Jatsiyah [45]:18) Syariat dapat berarti hukum-hukum (al-ahkam) yang telah ditetapkan dan dijelaskan oleh Allah SWT sebagai sarana beribadah kepada-Nya. Syariat dalam ungkapan orang Arab berarti tempat/sumber air minum lalu dipakai untuk konotasi (makna) Thariqah Ilahiyyah (tuntunan ketuhanan), seperti telah dijelaskan oleh ashShawi dalam hasyiyahnya atas Tafsir Jalalain. Dan al-Jurjani dalam kitab Ta'rifatnya menjelaskan bahwa term syariat, dien, milah, dan madzhab adalah satu makna, hanya saja berbeda cara penggunaannya.
Dari sudut syariat itu ditaati, maka dinamakan dien.
Dari sudut sebagai kumpulan hukum Allah, maka dinamakan milah.
Dari sudut dijadikan rujukan, maka dinamakan madzhab.
Ada lagi pendapat yang membedakan antara dien, milah dan madzhab.
Dinamakan dien ketika dinisbatkan kepada Allah.
Dinamakan milah ketika dinisbatkan kepada Rasul.
Dinamakan madzhab ketika dinisbatkan kepada Mujtahid.
Akan tetapi kesemuanya adalah satu, yaitu syariat, yakni hukum-hukum ibadah yang telah ditetapkan dan dijelaskan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya atau di dalam sunnah Rasul-Nya saw baik berupa hukum-hukum praktis (amaliyyah) atau hukum-hukum keyakinan (i’tiqadiyyah), seperti hukum-hukum yang berhubungan dengan lapangan fikih dan aqidah. Maka semuanya dinamakan syariat Islam, dien Islam, milah Islam, dan madzhab Islam. Untuk lebih jelasnya, Qadli Taqiyyuddien An-Nabhani, cucu Syaikh Yusuf An-Nabhani pengarang kitab Karamatul Auliya, Mujtahid abad ke 19, pendiri partai politik Islam ideologis (Hizbut Tahrir) dalam berbagai literaturnya menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad saw untuk mengatur: 1. 2. 3.
Interaksi manusia dengan Tuhannya, seperti masalah aqidah dan ibadah. Interaksi manusia dengan dirinya sendiri, seperti masalah akhlak, pakaian dan makanan. Interaksi manusia dengan sesama manusianya, seperti masalah muamalah dan uqubat (sanksi hukuman).
Jadi, syariat Islam itu sudah mencakup semua lapangan ibadah, baik amaliyyah atau i’tiqadiyyah, baik thariqah, hakekat atau makrifat, dan baik ibadah zhahir maupun bathin, dimana jin dan manusia tidak diciptakan oleh Allah kecuali supaya beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku...” (QS. adz-Dzaariyat [51]:56) Syariat Islam adalah solusi atas berbagai problem kemanusiaan dan mampu mengatasi krisis multi dimensi. Tidak ada celah maupun sudut dalam kehidupan dunia ini, baik kehidupan privat, keluarga, masyarakat 9
maupun negara, baik kehidupan antara sesama muslim maupun dengan non muslim, bahkan dalam kehidupan flora dan fauna sekalipun, semuanya tidak terlepas dari perhatian dan aturan hukum-hukum syariat. Semenjak manusia terjaga dari tidurnya sampai tertidur kembali semua interaksinya tidak ada yang terlepas dari aturan syariat Islam. Persoalannya terletak kepada manusianya mau apa tidak diatur dan terikat oleh/dengan syariat. Kalau ia benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka tidak akan keberatan diatur dan terikat oleh/dengan syariat, bahkan ia gelisah dan gundah merasa bersalah dan berdosa, ketika ada celah dan sudut dari kehidupannya meskipun hanya satu hembusan dan tarikan nafas dari rongganya yang terlepas dari ibadah yang telah diatur oleh syariat. Apalagi ketika ia membaca atau mendengar sabda dari Yang Maha Agung dan Maha Perkasa yang telah menciptakannya dari tidak ada (‘adam) menjadi ada (wujud), yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam (agama) Islam secara total dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syetan itu musuh kalian yang nyata”. (QS. al-Baqarah [2]:208) Ia meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwasanya hanya dengan ber-lslam kaffahlah ia dapat selamat dari musuhnya yang nyata, dan walau hanya setarikan dan hembusan nafas saja ia keluar dari syariat Islam, ia telah terjerat oleh perangkap syetan musuhnya. Ia tidak mau memberi kesempatan sedikitpun kepada syetan untuk tersenyum girang. Yang ia inginkan hanyalah membuat syetan susah, sengsara, sedih dan merana, bahkan menangis kehabisan air mata dan suara. Matilah kamu dengan kemarahanmu, ini adalah ucapannya kepada syetan musuhnya, baik syetan dari manusia atau dari jenis jin. Apalagi ketika ia membaca atau mendengar firman Allah berikut: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian bagi kalian, telah Aku sempurnakan nikmat-Ku terhadap kalian, dan Aku ridlo Islam menjadi agama kalian”. (QS. al-Maidah [5]:30) Dan firman-Nya: “Dan barangsiapa mencari agama (peraturan/sistem) selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima agama itu dari padanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (QS al-‘Imron [3]:75) Maka seketika itu juga keimananya kepada Allah dan Hari Akhir, juga kepada al-Qur’an mendorongnya untuk meninggalkan semua yang tidak berasal dari syariat Islam dan mencukupkan diri hanya dengan syariat Islam. la tidak melirik atau berpaling sedikitpun kepada adat istiadat yang sedang berjalan di tengah-tengah kerumunan manusia sejak ratusan tahun yang lalu. Telinganya telah kebal terhadap caci-maki dan teguran yang dialamatkan kepadanya dengan nada tingggi sehingga tidak dapat masuk ke dalam lubuk hatinya. Sikapnya adalah masa bodoh, terserah Allah, dan siap menerima apa saja, yang penting ia telah berjalan dan beraktifitas sesuai prosedur syariat Islam, bahkan nyawanya menjadi taruhannya. Baginya hanya ada satu pilihan, yaitu hidup mulia (dengan syariat Islam) atau mati syahid (bersimpah darah mendapat ridlo Allah). Renungan dan Penutup Syaikh Abul Mawahib Abdul Wahab bin Ahmad bin Aly al-Anshariy asy-Syafi’iy al-Mishriy al-Ma’ruf bisySya’raniy, ulama abad 10 H, dalam kitabnya al-Mizan al-Kubro dalam Bab Shifatush Shalat, beliau berkata; “Maka dapat diketahui dari semua yang telah kami tuturkan bahwa setiap orang dari para pembesar Auliya’ ar-Rahman (para wali Allah) yang telah diberi kemampuan oleh Allah swt untuk mengeluarkan semua hukumhukum Al-Qur’an dari Al-Fatihah, maka fardhu ‘ain atasnya membaca Fatihah pada setiap raka’at, sedangkan orang yang tidak bisa, maka tidak fardhu ‘ain. Sedangkan hadits yang datang terkait membaca Fatihah secara khusus adalah ditakwil dengan bermakna sempurna (kamal) menurut pemilik pendapat ini, sebagaimana 10
dalam hadits-hadits yang serupa seperti sabda Nabi saw; “Tidak ada shalat (yang sempurna) bagi tetangga masjid kecuali di masjid”, seperti hadits; “Tidak ada shalat (yang sempurna) kecuali dengan membaca Fatihah”, sama persis dengan hadits diatas. Sungguh saya telah mendengar sayyid ‘Aly Khawash rh berkata: “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan terhadap orang-orang besar agar melihat semua makna lahir AlQur’an pada setiap raka’at lalu mereka dapat melihat semuanya dari membaca Fatihah. Oleh karena itu mereka terus membaca Fatihah…”. Dari penuturan Syaikh Sya’rani rh dapat ditarik pemahaman bahwa para Waliyullah itu tidak membutuhkan banyak dalil untuk mengetahui segala sesuatu dan amal perbuatan yang halal dan yang haram, atau yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Mereka cukup menjadikan surat Fatihah sebagai dalil untuk semuanya, karena mereka dapat memahami semua hukum Syariat (makna lahir Al-Quran) dari membaca alFatihah. Ini tidak berlebihan dan tidak pula mengada-ada, karena siapa saja bisa membuktikannya, bahkan bisa mempraktekkannya secara langsung dan mudah bagi orang yang berakal. Untuk menentukan status hukum segaIa sesuatu dan amal perbuatan, cukup dengan memakai dalil ayat ke 6 dan 7 dari surat Fatihah, yaitu: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Jalan yang lurus (shirath mustaqim) adalah agama Islam, yaitu jalannya para nabi, para shiddiq, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Sedangkan jalan yang tidak lurus (sebagai kebalikan dari jalan yang lurus) adalah agama orang Yahudi yang dimurkai (maghdhuubi ‘alaihim) dan agama, orang Kristen yang sesat (dhaaliin). Dan bisa saja yang dimaksud dengan maghdhuubi ‘alaihim adalah orang-orang kafir (termasuk didalamnya adalah orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum musyrik). Sedangkan yang dimaksud dengan dhaaliin adalah orangorang munafiq (lihat Syaikh Nawawi Banten, Tafsir Muraahu Labiid). Dua ayat tersebut dapat dijadikan dalil untuk menentukan mana yang termasuk doktrin ASWAJA dan mana yang termasuk doktrin AFIRWAQA (Ahlu Fir'aun (manusia yang mengaku sebagai tuhan atau manusia yang menandingi Tuhan (ahlu demokrasi) wa Qarun (para kapitalis)) yang sejatinya adalah Ahlul ahwa’ walbida’ (pengikut hawa nafsu dan bid’ah). Mana yang termasuk doktrin politik ASWAJA mana yang termasuk doktrin politik AFIRWAQA, karena cara penentuannya sangat mudah bagi orang yang berakal, yaitu hanya dengan membedakan mana yang datang dari kaum Yahudi, Nasrani dan musyrikin, dan mana yang datang dari Nabi Muhammad saw, shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in bi ihsanin, dan para ulama mujtahid. Apalagi ketika dikokohkan dengan sejumlah hadits yang melarang meniru-niru dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan musyrikin. Maka dua ayat dari surat Fatihah itu sudah cukup untuk menjadi dalil bagi seluruh bagian makalah ini, dari awal sampai akhir, bagi suatu kaum yang ke-ASWAJA-annya tidak diragukan. Wallahu a'lam bishawab.
Referensi: Abdurrahman, Hafidz. 2007. Siapakah Ahlus Sunnah?. https://hizbut-tahrir.or.id/2007/04/01/siapakahahlus-sunnah. (Diakses 6 Januari 2017 pukul 13.00 WIB). Abdurrahman, Hafidz. 2013. Siapakah ‘Aswaja’?. http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/siapakah-aswaja/. (Diakses 6 Januari 2017 pukul 14.00 WIB). Wafa, Romli Abu. 2012. Rekonstruksi Doktrin Pemikiran dan Politik ASWAJA. Bogor: Al Azhar Freshzone.
11