Game Internet dan Adiksi, Kontrol dirikah solusinya? Neila Ramdhani
Malam bunda.. mau curhat nii.. sedang galau berat, kesel, bete banget suamiku kecanduan game online... sampe aku kurang di perhatiin.. lagi sakit juga cuek otaknya trus ke game.. gamee melulu yg diperhatiin.. istrinya gak.. aku bingung bund harus gimana.. udah gitu ngerokoknya kuat banget bunda.. jadi stress ngliatnya.. Sumber: ibuhamil.com (16 April 2015)
Pengantar Bermain game apalagi game internet memang mengasikkan. Ragam aktivitas diperoleh ketika berada di lingkungan virtual umumnya memberi pengalaman petualang, kompetisi, hadiah merupakan penarik dari sebuah game. Dalam game internet, pemain bahkan dapat membangun relasi dengan rekan dari berbagai antero dunia. Lebih dari itu, kompetisi yang dilakukan di dalam bermain game internet menawarkan hadiah yang menggiurkan, baik berupa uang, kenaikan level, maupun pengakuan dari rekan sesama pemain game internet. Berbagai pengalaman yang umumnya bersifat emosional diperoleh seorang pemain game internet ketika berinteraksi dengan rekan bermainnya. Mereka saling mendukung sekaligus berkompetisi, mereka saling terbuka walau mereka juga mempunyai kewenangan untuk memilih informasi mana yang akan dibagikan kepada siapa. ‘Dunia ada di ujung jemari’ begitulah fakta yang dialami seorang pengguna internet khususnya pemain game. Selama bermain, mereka seakan mempunyai keleluasaan dalam mengonstruksi karakter rekan-rekan yang bermain dengannya sesuai dengan yang mereka inginkan. Pada saat ini karakter itu masuk ke dalam kehidupan intrapsikis mereka sehingga mereka mengonstruk rekan bermainnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dalam keadaan seperti ini, para pemain game internet memperoleh rasa nyaman karena mereka terbebas dari kewajiban sosial, termasuk berinteraksi dengan istri yang sedang sakit, dan mereka terbebas dari penilaian sosial yang selama ini mereka rasakan. Ketika para pemain berada di dalam lingkungan permainannya, mereka melakukan apa yang sebetulnya tidak mereka setujui seperti misalnya mengabaikan istri yang sedang sakit. Pada saat berada dalam lingkungan permainannya, mereka seakan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri sehingga melakukan hanya yang mereka inginkan saat itu yaitu bermain game internet.
Gambar 7. Curahan hati seorang anak usia 6 tahun Sumber: Facebook.com (4 Desember 2015)
Gambar 7 memuat curahan hati seorang anak berusia 6 tahun yang menyaksikan ayahnya berang ketika diingatkan oleh ibunya karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain game Castle of Clan, yang banyak dikenal dengan COC (baca=se-o-se). Sosial media banyak memberitakan betapa COC ini membius para lelaki pemain game internet sehingga tega menghindar dari tanggung jawab terhadap keluarganya. Tulisan ini tidak akan membahas tentang ragam game internet namun lebih ke proses psikologis yang dialami oleh seorang pemain game internet sehingga mengalami adiksi. Di bagian akhir dari tulisan ini akan diajukan beberapa usulan yang mugkin perlu ditanamkan kepada para generasi muda agar dapat lebih mampu melakukan control terhadap pilihan mereka sendiri.
Internet, akhir atau awal dari suatu permasalahan? Teknologi diciptakan untuk memecahkan permasalahan hidup manusia. Dari hari ke hari, permasalahan manusia semakin kompleks sementara para penemu dan pencipta terus bekerja mencari, menemukan, dan mencari. Satu permasalahan terpecahkan sementara permasalahan baru bermunculan. ‘Bak jamur di musim hujan, mati satu tumbuh seribu’. Akankah semua permasalahan dapat terselesaikan? Ternyata pemecahan atas satu permasalahan dapat menjadi pemicu permasalahan baru. Jika dahulu, manusia harus bertemu muka baru dapat berkomunikasi, sekarang telepon apalagi Internet telah menjadi solusi. Teknologi internet telah mampu mengatasi permasalahan yang selama ini terkendala waktu, jarak, dan tempat. Jika dahulu seorang karyawan harus memeriksa berlembar-lembar laporan keuangan sekarang laporan itu dapat disimpan hanya dengan benda sebesar ujung kuku yang bernama flashdisk. Jika dahulu anak, remaja, bahkan orang tua membutuhkan medan atau lapangan bermain yang luas, sekarang dengan semakin sempitnya lahan arena permainan itu telah berubah menjadi satu kotak bernama monitor, inilah generasi digital (Tapscott, 2008; Palfrey & Gasser, 2008). Generasi digital menggunakan internet untuk hamper semua aktivitasnya. Ini juga yang membuat Don Tapscott 2008 mengatakan bahwa for many kids, using the new technology is as natural as breathing (halaman 18), mereka hidup dan bernafas dengan teknologi. Internet memberikan energy bagi kehidupan mereka yang seakan menentukan apakah kehidupan manusia dapat atau tidak dapat berjalan dengan baik. Seorang atasan sempat berseloroh pada saat menyaksikan staf nya yang masih muda gelisah berada di kantor karena handphone (HP) nya tertinggal di rumah. ‘Kau tetap dapat bekerja pada saat lupa tak bawa dompet tetapi pikiran tidak bisa fokus jika HP tertinggal di rumah’. Begitu kuatnya pengaruh internet di dalam kehidupan manusia. Tidak hanya bagi kehidupan formal kedinasan tetapi juga sudah merambah ke dalam kehidupan sehari-hari, bagi orang dewasa, remaja, maupun anak-anak. Jika pada awalnya, orang dewasa menggunakan TIK untuk bekerja, bersosialisasi, hingga berbelanja. Remaja dan anak-anakpun menggunakan TIK untuk keperluan yang relatif sama. Tak pelak pola hidup di kantor, sekolah, dan di rumahpun berubah. Selain mengubah cara manusia menjalani hidup, internet juga mengubah perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Beberapa contoh, komunikasi antara suami istri yang dilakukan dengan telepon genggam dengan menggunakan pesan singkat sms, whatssapp, maupun email. Saling menanyakan kabar setelah menempuh perjalanan ke tempat tugas sampai kepada diskusi penting yang membutuhkan pengambilan keputusan. Seorang anak yang tinggal terpisah dengan orang tuanya sudah lebih mudah berkomunikasi melalui pesan ini. Orang tua dapat dengan mudah mengirimkan uang biaya hidup bagi putraputrinya yang hidup terpisah karena sekolah di kota lain. Belanja dan menonton hiburan dapat dilakukan dengan Internet. Bahkan akhir-akhir ini, dengan diluncurkannya aplikasi yang dapat memenuhi kebutuhan transportasi dengan GOjeg,
pesan antar makanan dengan Go-Food, dan layanan lain yang membuat hidup terasa lebih mudah. Di dalam situasi pendidikan, guru dapat dengan mudah mencari informasi untuk memperkaya bahan ajar karena dapat melakukannya melalui Internet. Jutaan buku elektronik, artikel, dan bahkan tayangan Power Point tersedia dan dapat diunduh dengan mudah. Guru juga dapat mengunggah bahan ajar yang ditugaskannya kepada siswa. Komunikasi terkait kegiatan pendidikan dapat dilakukan guru melalui internet, memberi pengumuman tentang rencana kegiatan belajar, diskusi tentang ide-ide cemerlang untuk karya ilmiah remaja, bahkan pada level perguruan tinggi diskusi tentang rencana pengembangan karir mahasiswa. (Maha)siswa sudah tidak perlu harus pergi ke perpustakaan untuk meminjam atau membaca buku, majalah, atau surat kabar sebagai bahan mengerjakan tugas-tugas sekolah karena buku elektronik memungkinkan setiap orang membaca dari mana saja ia berada. Di bidang pekerjaan, komunikasi antar karyawan terkait koordinasi berbagai aktivitas menjadi lebih mudah dan singkat. Pendelegasian tugas dapat dilakukan tanpa harus menunggu jam kerja rutin. Di kalangan akademisi, internet dimanfaatkan untuk tidak hanya mengunduh materi tetapi juga berkolaborasi dalam hal riset bahkan penulisan buku bersama. Berbagai fasilitas ini tentu akan sangat memudahkan, apalagi pada saat teknologi Internet menjadi semakin stabil dan mencakup area yang lebih luas yang didukung oleh perangkat canggih, kecil, ringan, dan mudah digunakan. Survei yang dilakukan oleh Kemenkominfo pada 2014 melaporkan bahwa lebih dari 30 juta anak di Indonesia menggunakan Internet. Survey tersebut lebih lanjut melaporkan bahwa anak menggunakan Internet untuk mencari informasi berkaitan tugas sekolah, chat berkomunikasi dengan teman-temannya, dan aktivitas hiburan. Di sini, internet telah membawa manusia ke akhir dari permasalahan terkait tingginya beban kerja, jarak, waktu, dan lokasi geografis. Manfaat dalam bentuk percepatan pertambahan pengetahuan, hubungan sosial yang dapat dijalin lintas benua merupakan salah satu keunggulan kompetitif dari Internet. Apakah Internet betul-betul menguntungkan? ‘Bak pisau bermata dua’, jika tidak digunakan secara konstruktif maka Internet dapat mengubah manfaat menjadi bumerang. Di akhir pekan, sering kali dijumpai sebuah keluarga menghabiskan waktu dengan makan bersama di sebuah restoran. ‘Mumpung akhir pekan’, begitulah mereka mengatakan. Apa yang terjadi tidaklah sesuai dengan tujuan mereka untuk menghabiskan waktu dengan kebersamaan karena masing-masing secara tidak sadar segera mengeluarkan gadget masing-masing setelah menyelesaikan pemesanan makanan. Masing-masing anggota keluarga itu berada di satu meja namun pada saat yang sma mereka mulai hanyut dengan kehidupannya masing-masing. Sebuah pameo yang sangat popular beberapa tahun belakangan ‘Internet mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat’. Internet telah menyelesaikan permasalahan yang timbul sebagai akibat dua orang atau lebih terpisah oleh membuat jarak ratusan bahkan ribuan kilometer. Internet mengakhiri permasalahan seseorang yang berjauhan
namun merupakan awal dari masalah baru yaitu menjauhkan yang sedang berdekatan. Apa yang terjadi jika pasangan suami istri yang hidup serumah lebih senang memanfaatkan teknologi untuk berkomunikasi? Apa akibatnya jika suami lebih senang menghabiskan waktu dengan game internet daripada bercengkerama dengan anak istrinya? Apa yang terjadi tatkala seorang siswa setiap hari melarikan diri dari sekolah dan menghabiskan jam belajarnya di Game Center? Game Internet, hiburan yang memabukkan Tahun 80-an merupakan titik awal dikenalnya game computer. Permainan yang dikemas dengan grafis sederhana berupa objek yang dapat bergeser dari satu titik ke titik lain membuat pemainnya asik tanpa terasa sudah menghabiskan waktu lebih dari yang direncanakan. Di era Internet, aplikasi permainanpun dikembangkan menjadi game internet sehingga memungkinkan pemainnya terhubung dengan pemain yang lain di tempat yang berbeda (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004). Game internet adalah permainan yang memungkinkan penggunanya untuk mencari teman bermain sekaligus pesaing dalam permainan Stand Alone Games atau SAGs. Jenis permainan lain adalah yang memungkinkan computer yang digunakan oleh para pemain saling terhubung satu sama lain sehingga memungkinkan mereka bermain bersama-sama sebagai sebuah tim yang disebut dengan Local Area Network Games atau LANs. Saat ini, game internet yang paling terkenal adalah permainan yang memungkinkan para pemain mengeksplorasi, lebih detail, atau lingkungan yang berkembang melalui suatu game server yang disebut dengan Massively Multiplayer Online Role-Playing Games or MMORPGs. Popularitas MMORPGs memuncak dengan peningkatan jumlah sebesar 500% bagi keanggotaan online seperti dalam World of Warcraft dan Everquest pada periode 2004 hingga 2007 (Cole & Griffiths, 2007). Peningkatan popularitas dari game terjadi karena sifatnya yang anonymus tanpa menghalangi pemain untuk berinteraksi langsung. Para pemain MMORPGs tergabung di dalam sebuah komunitas sehingga dapat membawa hubungan virtual dalam sebuah komunitas online yang terorganisir yang memiliki daya tarik yang tinggi terutama bagi pencari stimulasi sosial (Taylor, 2003). Mereka membangun organisasi virtual berdasarkan saling percaya, tujuan, ketertarikan, atau berbagai faktor lainnya (Yee, 2007). Dalam lingkungan vitual yang anonim, individu terbebas dari kekhawatairan dinilai oleh individu yang lain. Fitur yang membedakan individu satu dengan yang lainnya seperti fisik yang menarik, kelas sosial ekonomi, tingkat pendidikan, level sosial, atau faktor personal lainnya menjadi tidak berarti dalam game internet (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004). Karakteristik lain dari permainan game internet ini adalah kebebasan pemain untuk menciptakan karakter mereka sendiri dari awal dan mengkustomisasi karakter tersebut berdasarkan keinginan mereka. ‘You can always get what you want’, itulah yang dikemukakan oleh Clark dan Scott (2009) dalam salah satu chapter bukunya. Kalimat itu digunakan Clark dan Scott untuk menggambarkan kewenangan pemain game internet untuk membangun karakter yang diinginkan. Pada saat bermain game
internet, pemain seakan masuk ke dalam lingkungan yang ada dalam pikiran mereka sendiri. Pikiran mereka seakan menyatu (merged) dengan rekan bermain yang dapat saja berada di seberang benua. Suasana emosi yang dialami ayah yang adiksi terhadap COC yang dipaparkan di awal tulisan ini dapat dijadikan gambaran betapa pemain game internet sudah melebur di dalam permainan. Ia berada di dalam sebuah kerajaan, membangun citacitanya dengan upayanya sendiri. Suasana semakin menegangkan ketika ia harus perang melawan kerajaan lain. Permainan akan semakin menggairahkan apabila mereka bermain dalam tim, bekerjasama melawan musuh kemudian berhasil memenangkan peperangan. Hadiah berupa coins, diamons, dan elixir, yang dapat digunakan untuk belanja bahan-bahan bangunan bagi kerajaan yang mereka bangun sesuai dengan mereka harapkan. Kebebasan seperti ini membuat pemain game internet merasa mendapatkan hak atas hidup mereka yang sepenuhnya. Mereka terlepas dari kehidupan sosial yang dipersepsi menuntut untuk melakukan sesuatu yang tidak semuanya mereka sukai. Mereka berada di lingkungan sama dengan sensasi ‘we are equal’ dan ‘minimizing authority’ memberikan rasa nyaman karena tidak ada orang yang lebih berkuasa dan tidak ada orang yang menuntut perhatian darinya. Mereka dapat menentukan karakter apa yang mereka inginkan bagi diri mereka sendiri maupun karakter teman bermainnya, ‘it’s all is in my head’ sehingga pada saat bermain, tanpa disadari mereka mengonstruksi karakter teman mainnya sesuai dengan yang mereka harapkan. Secara tidak disadari mereka memasukkan karakter teman bermain ini ke kehidupan intrapsikis (solipsistic introjection) mereka sehingga mereka merasakan kenyamanan. Internet yang permisif, mengijinkan penggunanya bersembunyi dengan identitas palsu atau bahkan tanpa identitas sama sekali bahkan pemain juga dapat meninggalkan permainan setiap saat bila mereka merasa tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004). Lingkungan seperti ini memberikan rasa nyaman bagi individu sehingga mereka menginginkan untuk terus bermain walaupun kenyamanan ini hanya ada di dalam game internet. Perasaan senang seperti ini dapat membuat pemain game internet enggan beranjak keluar dari lingkungan game, merasa terobsesi dengan permainan game internet, bahkan menjadi lepas kontrol dan mengabaikan kewajiban lainnya. Disamping anonimitas dan berbagai proses yang memberikan kenyamanan tersebut, lingkungan permainan game internet penuh tantangan dan kompetisi dipadu dengan agresivitas dan stimulus hadiah. Suasana personal individu seperti ini memicu sistem limbik pada hypothalamus yang berfungsi mengatur bagaimana individu merespon suatu stimulus. Dalam keadaan ini, individu dapat mengalami penurunan rentang konsentrasi atau terganggu perhatiannya (attention deficit simptom). Apabila terjadi dalam waktu lama maka dapat memicu respon cortex adrenal yang memberikan efek menyenangkan (memabukkan) (Garland et al. 2014).
Game internet dan adiksi Adiksi atau kecanduan didefinisikan sebagai keterlibatan seseorang ke dalam perilaku yang dapat memberikan rasa senang dan nyaman sekaligus juga perasaan tidak senang dan menyesal (Clark & Scott, 2009). Pada awalnya, adiksi dikaitkan dengan penggunaan yang berlebihan dari obat-obatan dan alcohol (substance abuse). Dengan berkembangnya kehidupan manusia, muncul permasalahan baru terkait dengan perilaku tertentu yang berlebihan, misalnya judi, pornografi, dan internet. Adiksi sangat terkait dengan budaya dan perkembangan tata kehidupan manusia. Dalam buku yang berjudul Game Addiction’, McMurran (2005) menceritakan bahwa adiksi dapat ditinjau dari dua model, yaitu model moral (morale model) dan model penyakit (desease model). Model moral mengacu kepada diterima atau tidak diterimanya suatu perilaku tertentu, misalnya minuman beralkohol di negara berbudaya barat lazim disajikan untuk diminum bersama tetapi di negara lain misalnya di Indonesia minuman beralkohol bahkan dilarang dipasarkan secara bebas. Model penyakit (desease model) atau dapat juga disebut model medis, mulai digunakan pada abad ke-19 Masehi. Model ini mengaitkan perilaku dengan sebab dan akibatnya kepada fisik. Apabila suatu perilaku dilakukan tanpa ada sebab fisik maka penyebabnya adalah factor mental. Penggunaan berlebihan atas obat-obatan dan alkohol adalah salah satu contoh perilaku yang pada awalnya dipandang sebagai perilaku atau kebiasaan buruk dan tidak pantas. Dengan efek yang ditimbulkannya berupa ketagihan maka perilaku ini mulai dipandang dengan menggunakan model medis. Di beberapa tempat dan kadar tertentu, obat-obatan dan alkohol diterima oleh masyarakat tetapi bila dikonsumsi dalam jangka panjang berdampak ketagihan pada tubuh dengan aktifnya bagian otak pusat sirkuit hadiah (reward circuit centre) sehingga perlu digunakan model medis. Bila ditelusuri penyebabnya, seorang menggunakan secara berlebihan obat-obatan atau alkohol mungkin tidak dapat ditemukan penyebab fisik. Oleh karena itu, adiksi dipandang sebagai perilaku yang bersumber dari hal-hal yang bersifat psikologis. Adiksi dalam bermain game internet menjadikan pemain game internet dan game nya sendiri seakan melebur bersama sedemikian rupa sehingga pemain game sedikit demi sedikit mengalami perubahan proses pikir, tata nilai, perilaku. Ibarat senyawa yang saling pengaruh antara game dan pemainnya sehingga suasana emosi pemain game yang sedang tidak baik atau tidak senang dapat berubah menjadi baik dan senang bila ia terlibat dalam permainan game internet. Sebagaimana adiksi terhadap minumaan dan obat-obatan, untuk mendapatkan kondisi yang menyenangkan ini, pemain game harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit yang seringkali tidak sebanding dengan kenikmatan yang diperoleh. Seorang yang mengalami adiksi, sebetulnya mengetahui dengan sadar hal ini dan berbagai dampak dari perilakunya. Mereka sudah berulangkali berusaha menghentikan perilaku ini tetapi gagal (McMurran, 2005). Disamping adiksi terhadap substance berupa aobat-obatan, alcohol, dan rokok, adiksi dapat pula berupa perilaku, misalnya judi. Dengan berkembangnya teknologi internet, terutama pengguna game online memperlihatkan perilaku yang serupa
dengan pengguna obat-obatan yang berlebihan. Kegelisahan berbagai pihak terhadap meningkatnya jumlah para pengguna yang menggunakan internet secara berlebihan sebetulnya sudah dirasakan semenjak Kimberly Young pada tahun 1998 menulis sebuah artikel yang berjudul ‘Internet Addiction: the emergence of e new clinical disorder’ di dalam CyberPsychology Behavior, 1, 237-244. Artikel ini memuat riset Kimberly Young yang menggunakan pedoman diagnosis DSM-IV bagi Penjudi Patologis untuk menguji tanda dan simtom klinis pada pengguna Internet yang berlebihan. Semenjak itu, riset-riset yang berkaitan dengan adiksi internet bermunculkan dan sangat menarik perhatian sehingga di dalam salah satu chapternya, DSM-V mengusulkan untuk menambahkan Game Online Disorder sebagai salah satu gangguan yang perlu menjadi perhatian. Sama halnya dengan penggunaan obat dan alcohol, tidak ada masalah dengan penggunaan game internet. Perilakunya akan menjadi masalah bila berlebihan dan tak terkendali karena dapat mengganggu produktivitas sebagai manusia. Mengenai kecanduan ini, DSM-V mencantumkan tujuh kriteria diagnosis, yaitu: 1. Preokupasi dengan game Internet. Di sini, pemain game terus menerus memikirkan tentang permainan yang sudah ia lakukan atau mengantisipasi permainan yang akan ia lakukan. Dalam hal ini, seseorang dikatakan candu terhadap game internet bila ia menghabiskan waktu kesehariannya dengan pemikiran tentang bermain game. 2. Adanya simtom menarik diri pada saat ia dijauhkan atau berjauhan dengan game Internet. Simtom yang terlihat adalah mudah tersinggung, cemasan, bahkan kesedihan. 3. Toleransi diri terhadap waktu dalam bermain game yang terus menerus menurun. Hal ini berjalan berlawanan arah dengan keinginan untuk menggunakan waktu yang semakin lama makin lama untuk bermain game Internet. 4. Kegagalan dalam berusaha untuk mengurangi keterlibatan dirinya dalam bermain game Internet 5. Kehilangan minat terhadap hobby maupun hiburan yang selama ini disukai karena terlalu memfokuskan aktivitas kepada permainan game internet 6. Secara berkelanjutan menggunakan game internet secara berlebihan meskipun menghadapi masalah dalam pengetahuan tentang problem psikososial 7. Mengelak untuk menjawab dengan jujur bahkan menipu keluarga, terapis, dan orang lain tentang jumlah waktu yang ia habiskan untuk bermain game Internet 8. Menggunakan game Internet sebagai tempat atau aktivitas pelarian. Hal ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang merasa ingin ‘lari’ dari permasalahan kehidupannya yang dipersepsinya membuat tak berdaya, merasa bersalah, bahkan merasa cemas. 9. Hal-hal yang berkaitan dengan kinerja baik di sekolah, rumah tangga, maupun pekerjaan. Disamping kinerja, hubungan dengan suami atau istri dan anak-anak di dalam rumah tangga menjadi terganggu. Relasi pertemanan di dalam kehidupan sosial, sekolah, maupun pekerjaan sudah tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam
menegakkan diagnosis, seorang pecandu harus memperlihatkan minimum tiga dari tujuh kriteria. Mengapa game internet dimasukkan ke dalam DSM-V? Beberapa peristiwa yang terjadi di awal tahun 2000-an ketika dunia digemparkan oleh berita yang memuat peristiwa nekad ketika seorang anak berkebangsaan Vietnam berusia 11 tahun mencekik wanita berusia 81 tahun sampai meninggal kemudian menguburkannya di halaman depan rumah demi mendapatkan uang yang jika dikonversikan ke rupiah sekitar 50-60 ribu saja. Ketika ditanya polisi, ia menjawab uang yang diperolehnya ia belanjakan untuk permainan video game. Berita serupa juga dikabarkan di Indonesia, misalnya di tahun 2011, ketika Wiratno (2013) menuliskan bahwa tiga orang anak dibawah umur ditangkap Polisi karena mencuri hand phone (HP) di sebuah counter di kawasan Karangasem Laweyan Solo. Mereka mencuri HP lantaran tidak mempunyai uang untuk biaya main game online. Pada tahun 2013, peristiwa serupa terjadi di Gresik, Jawa Timur yang melibatkan lima pemuda berusia 13-19 tahun. Mereka diringkus oleh petugas Satreskrim Polsek Manyar karena diduga mencuri tiga unit mesin diesel. Perbuatan kriminal ini dilakukan karena membutuhkan uang untuk memenuhi hobinya bermain game online (Ismanto, 2013). Lebih mencengangkan lagi bila kita simak ulang curahan hati seorang anak berusia 6 tahun yang dipaparkan di awal tulisan ini. Tidak ada alasan untuk mengabaikan bunyi sirene yang terdengar semakin kencang. Sesungguhnya, Internet sendiri tidak bersifat adiktif (Young, 2009) namun aplikasi yang ada dalam internet apabila digunakan tanpa disertai kemampuan mengontrol diri, baik dalam hal waktu maupun berbagai konsekuensinya, justru yang memiliki potensi untuk menyebabkan adiksi. Aplikasi yang melibatkan interaksi yang tinggi seperti online chatting, dating, atau game online merupakan contoh yang dapat menyebabkan penggunanya mengalami kesulitan dalam memutuskan tentang berbagai hal yang terkait dengan stimulus yang diterimanya di dalam kegiatan di Internet. Contoh peristiwa pada tahun 2010 dimana Komisi Perlindungan Anak mengemukakan setidaknya ada 100 laporan anak berbuat nekat melarikan diri dari rumah hingga bunuh diri setelah ‘hanyut’ dengan kegiatan yang dilakukan di internet. Fenomena bermain game online mulai terlihat semenjak tahun 2001 (Anjungroso, 2014). Sejak saat itu jumlah pemain game online terus meningkat sebesar 5%-10% setiap tahunnya hingga tahun 2014, tercatat ada sekitar lebih dari 25 juta orang Indonesia bermain game online . Dari 25 juta orang ini, tidak sedikit yang kemudian menjadi kecanduan terhadap game online. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jap, Triatri, Jaya, dan Suteja (2013), 10.5 persen atau sebanyak 150 orang dari total 1.477 sampel siswa SMP dan SMA yang aktif bermain game online di empat kota di Indonesia (Manado, Medan, Pontianak, dan Yogyakarta) dinyatakan mengalami adiksi game online. Data yang perlu perhatian dari pihak-pihak terkait. Kecanduan bermain game online tidak hanya berdampak pada aktivitas bermain itu sendiri tapi juga meningkatkan jumlah kejahatan yang dilakukan demi bermain game online. Sudah sering kita dengar kasus anak atau remaja mencuri,
melukai orang lain supaya mendapatkan uang untuk bermain game online. Selain pencurian, pemain biasanya menjadi agresif ketika kalah bermain game atau mendapat hinaan dalam bentuk verbal oleh lawan main. Pemain mengalami kesulitan untuk membedakan dan memilih tindakan yang benar atau salah. Levy (2013) menyebut kondisi ini dengan kehilangan control (loss of control), bahkan beberapa tahun sebelumnya Heyman (2009) menyebutnya dengan gangguan dalam menentukan pilihan (disorder of choice). Pengambilan keputusan merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kemampuan mengontrol diri atas dorongan impulsif atau untuk bertindak agresif. Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku-perilaku yang timbul dari penyalahgunaan internet biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan menunda impuls sehingga individu mengalami hambatan dalam mengambil keputusan yang tepat. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa aspek dalam diri individu, dan salah satunya adalah kemampuan kontrol diri. Bahkan aktivitas penggunaan internet yang berlebihan itupun merupakan kegagalan dalam mengontrol diri.
Kontrol diri dan adiksi game internet Kata kontrol diri ini diterjemahkan dari self-control (Matsumoto, 2009)). Ada berbagai definisi kontrol diri yang dikemukakan oleh para ahli, salah satu yang mudah dipahami adalah yang dikemukakan di dalam tulisan Muraven dan Baumeister (2000) dan Muraven, Shmueli, dan Burkley (2006), kontrol diri ‘the overriding or inhibiting of automatic, habitual, or innate behaviors, urges, emotions, or desires that would otherwise interfere with goal directed behavior” (halaman 524). Definisi ini menekankan bahwa kontrol diri adalah upaya mengesampingkan atau menghambat reaksi otomatis, kebiasaan, atau perilaku yang dibawa sejak kecil, desakan-desakan, emosi, atau hasrat yang dapat mengganggu pencapaian tujuan utama. Kontrol diri ini dilakukan secara sungguh-sungguh termasuk dengan cara mengubah pikiran, perasaan, maupun tindakan-tindakan demi pencapaian tujuan besar dan jangka panjang. Untuk memberikan penjelasan yang lebih mudah dimengerti tentang kontrol diri ini penulis menggunakan cerita tentang sebuah riset yang dilakukan oleh Casey, Somerville, Gotlib, Ayduk, Franklin, Askren, … Shoda (2011) terhadap 60 anak berusia empat tahun. Anak-anak ini ditempatkan dalam satu ruangan yang di dalamnya ada sebuah meja dengan marshmallow di atasnya. Dapat dibayangkan sebuah marshmallow (lihat gambar 8) di hadapan seorang anak berusia 4 tahun tentu sangat menggiurkan. Mereka tidak dilarang untuk makan marshmallow tetapi apabila mereka dapat menahan diri tidak makan dengan menunggu selama 20 menit maka peneliti akan memberikan satu buah marshmallow tambahan. Dalam penelitian ini, beberapa anak mencicipi marshmallow sedangkan beberapa anak yang lain berhasil menahan diri, menunda, dan mengesampingkan keinginannya untuk makan marshmallow.
Sepuluh tahun kemudian, tim peneliti menghubungi orang tua dari anak-anak yang pada 10 tahun lalu mampu menunggu untuk mendapatkan dua marshmallow untuk menanyakan perkembangan putra mereka. Diperoleh informasi bahwa anakanak yang berhasil menahan diri tersebut menunjukkan fungsi kognitif dan sosial serta penyesuaian diri yang lebih baik.
Gambar 8. Marshmallow, manis dan lembut Apakah keberhasilan seorang anak usia 4 tahun menunda menikmati kesenangan (delay of gratification) terhadap marshmallow yang mengundang air liur mempengaruhi kemampuan dalam mengelola diri pada saat mereka dewasa. Temuan signifikan diperoleh ketika peneliti mendapatkan data bahwa ketika anak-anak yang menunda makan marshmallow itu berusia 27-32 tahun, mereka mempunyai mempunyai berat badan mereka ideal, harga diri positif, mampu menerapkan strategi koping yang baik, dan mampu mencapai tujuan yanga mereka tetapkan dengan lebih efektif. Keberhasilan anak-anak yang berusia 4 tahun berada di dalam sebuah ruangan sendirian dengan marshmallow di meja menahan diri untuk tidak makan bukan dilakukan tanpa usaha keras. Mischel (2004) menyebut hal ini dengan willpower.
Mereka saat itu memilih untuk mendapatkan dua buah marshmallow, sebagai konsekuensinya mereka harus menahan diri dan mengubah respon dari makan satu buah marshmallow saat itu (tujuan jangka pendek) menjadi mendapatkan tambahan marshmallow (tujuan jangka panjang). Mereka secara sungguh-sungguh berusaha menahan diri karena mengharapkan akan mendapatkan satu marshmallow tambahan jika berhasil menahan diri. Upaya yang dikeluarkan pada saat seseorang mengubah fikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai tujuan jangka panjang ini disebut dengan kontrol diri (Muraven dan Baumeister, 2000). Bila definisi kontrol diri ini dikaitkan dengan pemain game internet, maka individu yang memiliki kontrol diri baik akan tetap konsisten menjaga niat bermain game hanya sebagai bermain atau hiburan sehingga tidak berkelanjutan sampai akhirnya lepas kontrol. Dengan demikian sangat tepat bila tulisan ini mengupas tentang keterkaitan antara kontrol diri dengan adiksi bermain game internet. Anak-anak yang mempunyai kontrol diri, menunda untuk dapat menikmati sesuatu yang menyenangkan (delay gratification) adalah anak-anak yang mampu mengendalikan diri dari berbagai godaan yang menghambat mereka dalam mencapai tujuan jangka panjang. Game internet adalah sebuah permainan yang dapat memberi kesenangan kepada penggunanya. Sesuai dengan prinsip-prinsip kesenangan (pleasure principles) rasa senang adalah kebutuhan dasar manusia. Dalam batas tertentu rasa senang ini perlu dipenuhi untuk memberikan perasaan rilek sehingga dapat lebih produktif, namun, jika tidak dikontrol dan waktu yang digunakan untuk bersenang-senang ini berlebihan maka dapat menjadi kontraproduktif dan membuat individu terlena. Apakah kontrol diri berperan dalam menentukan seorang pemain game internet untuk menjadi atau tidak menjadi adiksi? Berbagai tulisan mencantumkan bahwa adiksi dikonotasikan dengan kehilangan control (loss of control). DSM-IV, DSM-TR, maupun DSM-V mencantumkan adiksi ini sebagai kegagalan dalam usaha mengontrol dan gangguan dalam mengontrol impuls. Game internet umumnya berisi tantangan dan kompetisi yang dapat memstimulasi sistem limbik dalam otak sehingga individu yang sedang bermain merasa senang, tertantang, sigap, dan dapat bertahan bermain dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, dalam porsi tertentu game komputer ini sesungguhnya bermanfaat meningkatkan hubungan antara perkembangan motorik dengan perilaku kognitif pada anak-anak pra-sekolah (Li & Atkins, 2004), mengasah kemampuan laparoscopic simulator (Enochsson, Isaksson, Tour, Scmidt-Dalton (2004). Apa yang terjadi bila individu tidak mampu mengaktifkan kontrol diri sehingga bermain game internet ini terlalu lama? Konsep utama dari kontrol diri adalah proses menetapkan pilihan atau mengubah respon pada saat berhadapan dengan perilaku yang cenderung kurang sesuai. Kemampuan kontrol diri seseorang dapat dinilai dari seberapa mampu ia menetapkan pilihan, mengubah dan beradaptasi sehingga di waktu berikutnya mampu menjadi lebih baik dan lebih optimal dalam menyesuaikan diri dengan dunianya
(Rothbaum, Weisz, & Snyder, 1982). Dalam memahami perilaku adiksi game internet ini, penulis menggunakan pendekatan neurobehavior dan cyberpsychology. Perspektif neurobehavioral mencantumkan dua model dalam pengambilan keputusan (Bickel, Qisenberry, Moody, & Wilson, 2015), yaitu pengambilan keputusan yang impulsif dan pengambilan keputusan eksekutif. Perilaku bermain game internet yang tidak terkendali atau adiksi dapat terjadi karena individu dikuasai pengambilan keputusan impulsif yang melibatkan sistem limbik dan paralimbik. Bagian otak ini mengandung banyak dopamin dan mempunyai sifat yang peka jika terjadi penurunan tingkat dopamin. Sebagai dampaknya, individu memunculkan reaksi spontan agar dapat memenuhi keinginan dengan cara yang cepat, untuk memperoleh sumber dopamine maka individu memilih aktivitas yang saat itu menyenangkan bagi dirinya. Sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan ini, terjadi pola permintaan pemenuhan kepuasan yang impulsive memberi kesenangan (reward circuitry). Gambar 9 memperlihatkan kepada pembaca beberapa aktivitas yang melibatkan pusat hadiah yang menyenangkan (Reward Center) termasuk diantaranya aktivitas bermain alcohol cocaine, heroine, dan menonton video porno (Wilson, 2014). Penulis menduga, aktivitas bermain game internet juga direspon oleh otak manusia yang berpusat pada tempat yang sama.
Gambar 9. Reward Circuit Center (Educate Empower Kids, 23 Agustus 2015)
Berbeda halnya dengan sistem pengambilan keputusan eksekutif terjadi dengan melibatkan kerja dari prefrontal dan parietal cortex (lihat Gambar 9). Sebagaimana sifatnya, prefrontal cortex disusun oleh dendrite yang jumlahnya 16 kali lebih banyak daripada dendrit di bagian otak yang lain. Oleh karena itu, prefrontal cortex mengandung lebih banyak informasi yang dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan (Kalat, 2015). Kedua bagian ini bertugas untuk memberikan penilaian kepada peristiwa yang akan datang dan mengatur perilaku manusia selama ia membuat keputusan jangka panjang. Gambar 9 juga memperlihatkan aktivitas seksual yang dilakukan manusia dewasa di dalam kehidupan sehari-hari merupakan respon dari bagian otak yang lain yaitu melalui PFC terlebih dahulu karena melibatkan pertimbangan rasional. Dalam perspektif cyberpsychology, permainan game internet membawa individu untuk berada di alam siber (cyberspace) yang bebas dari tuntutan sosial. Game internet memberikan kesenangan karena dalam keadaan anonim, pemain dapat secara langsung berinteraksi dengan pemain lain mereka bebas melepaskan identitas dirinya (disinhibition effect). Konsep dissociative anonymity (Suler, 2004) memberi kesempatan kepada semua pengguna internet untuk mengatur informasi atau identitas apa saja yang ia akan berikan kepada orang yang ia jumpai di internet. Dengan demikian individu dapat dengan bebas berinteraksi dengan orang yang ia jumpai online tanpa khawatir diketahui tentang segala label yang melekat pada dirinya. Bahkan, jika pengguna internet menginginkan maka pemain game internet dapat tampil tanpa identitas sama sekali. Pengalaman lain yang terjadi di dalam game internet adalah dissociative imagination (Suler, 2004). Sebagaimana dengan dissociative anonymity, di sini para pengguna internet, termasuk di dalamnya pemain game internet dapat betul-betul masuk ke dalam kehidupan online dan mereka melebur (Suler menuliskan mind have merged) dengan rekan-rekan online mereka. Selama aktivitas ini berlangsung, pemain game online mulai mengintroyeksikan karakter rekan bermainnya ke dalam kehidupan intrapsikis mereka. Karakter ini tidak sepenuhnya nyata karena mereka memadukannya dengan harapan dan keinginan mereka tentang rekan tersebut. Proses ini disebut Suller dalam tulisannya dengan solipsistic introjection. Interaksi di dalam permainan game internet terasa sangat menyenangkan sehingga kasus yang dituliskan di bagian awal tulisan ini dimana seorang suami mengabaikan keluarganya yang tentu saja sarat dengan tanggung jawab personal maupun sosial, merasakan kehidupan di lingkungan nyaman. Semua karakter yang dijumpai di game internet adalah karakter yang ia konstruksi sesuai dengan yang ia harapkan. Sesama pemain saling berkomunikasi di dalam lingkuangan virtual, mengirim dan menerima pesan dari dan untuk karakter-karakter yang dimainkan oleh mitra bermainnya. Pesan tersebut ditanggapi pemain sesuai dengan konstruksi yang ada di dalam pikiran mereka. Suller menuliskan ‘it’s all in my head’. Dalam keadaan ini terjadi sebuah proses yang menyenangkan karena pemain game internet masuk dan
merasa berada di dalam sebuah lingkungan yang nyaman, lingkungan yang sesuai dengan yang dikonstruksi oleh mereka. Bila dipadu dengan perspektif neurobehavior yang sudah dikemukakan sebelumnya, kondisi yang nyaman yang diperoleh pada saat individu bermain game internet akan menstimulasi sistem limbik pada hypothalamus. Apabila dilakukan dalam waktu lama dan terus menerus, rasa senang, nayaman, dan terbebas dari tuntutan dan penilaian sosial dapat memicu respon cortex adrenal yang memberikan efek menyenangkan (reward circuitry) dan inilah yang menyebabkan adiksi (Garland et al. 2014). Dengan system kerja perspektif neurobehavior dan cyberpsychology ini, beberapa peneliti telah membuktikan adanya hubungan negative antara bermain game internet dengan self kontrol (Kim, Namkoong, Ku, & Kim, 2008; Mehroof & Griffiths, 2010; Teng, Li, & Liu, 2014). Sebaliknya Gottfredson dan Hirschi (1990) meneliti tentang karakter, cara berpikir, dan berperilaku dari orang dengan kontrol diri rendah yang cenderung menghindari aktivitas yang membutuhkan pemikiran dan ketekunan. Mereka lebih sering melakukan hal yang berisiko dan memberikan kesenangan sesaat, termasuk bermain game internet, daripada aktivitas yang perlu pemikiran serius. Mereka seringkali gagal untuk memahami kemanfaatan jangka panjang dari suatu institusi sosial, tidak ramah, kurang peka, mudah marah, berorientasi pada diri sendiri, dan kurang simpatik.
Penutup, usulan bagi penelitian dan praktek psikologi Lingkungan virtual yang menyenangkan, bebas tanpa ancaman, berada di tengah-tengah sesama pemain game yang menerima setiap individu apa adanya menimbulkan rasa nyaman bagi individu. Dinamika tentang pola hubungan bermain game internet yang dibahas melalui perpaduan antara system kerja otak manusia dalam perspektif Neuropsychology dan reaksi psikologik yang menggunakan perspektif Cyberpsychology, memberikan pemahaman akan pentingnya fungsi eksekutif yang ada di dalam prefrontal cortex. Fungsi limbic yang menggiring individu menjadi impulsif perlu dilatih dan dikendalikan agar tidak terlalu dominan. Latihan menunda gratifikasi yang banyak dilakukan oleh para terapis adalah model ‘IF – THEN Plan’ (Gawrilow, Gollwitzer, & Oettingen, 2011) dapat dilakukan untuk melatih anak meningkatkan kemampuan menunda gratifikasi. Dengan berlatih membuat perencanaan dan ‘bila situasi X maka saya akan melakukan Y’ memperlihatkan adanya peningkatan kontrol diri pada anak-anak (Gollwitzer & Sheeran, 2006). Model latihan lain dapat dilakukan dalam bentuk permainan anak misalnya bermain puzzle yang terdiri 500 keping atau lebih. Permainan ini dilakukan bersama-sama anak lain, atau dapat juga dilakukan dengan ayah dan ibunya. Cara bermain puzzle ini diatur sedemikian rupa agar anak dapat mengelola emosi (Goleman (1998)) dan menunda keinginan, misalnya kepingan acak dibagikan kepada anak yang ikut bermain, kemudian setiap anak hanya boleh menyusun 10 keping.
Metode lain yang dapat dilatihkan oleh orang tua dan guru yaitu mengajak anak menanam umbi-umbian di musim kemarau sehingga mereka dapat berlatih sabar memberi air dan menjaga agar tanaman tetap dapat bertahan hidup. Beberapa teknik lain yang dapat digunakan untuk belajar menunda dan menahan perlu diuji untuk mendapatkan alternatif intervensi yang diberikan kepada individu. Terapi perilaku kognitif, misalnya self talk, mindfulness merupakan contoh yang dapat dilatihkan kepada individu yang mengalami kesulitan dalam mengontrol dirinya. Keterlibatan penulis dan tim peneliti dari Magister Profesi Psikologi dalam mengembangkan terapi dan pelatihan Mindfulnes dan terapi berbasis kekuatan diri (Strength Based Therapy) untuk siswa SMP selama ini telah memberikan sinyal kuat bahwa menunda respon, menunda gratifikasi, tunggu-nafas-diam, merupakan salah satu contoh penelitian yang akan memberikan jawaban untuk berbagai pertanyaan yang penulis kemukakan di judul tulisan ini. Beberapa agenda masih perlu dilakukan di masa yang akan datang untuk menjawab pertanyaan apa yang sebetulnya perlu dilakukan untuk melahirkan generasi handal hingga bangsa ini terbebas dari berbagai adiksi yang meracuni penerus bangsa. Daftar Pustaka Bickel, W. K., Qisenberry, A. J., Moody, L., & Wilson, A. G. (2015). Therapeutik opportinities for self-control repair in addiction and related disorders: Change and the limits of change in trans-disease processes. Clinical Psycholgical Science, 140-153. http://dx.doi.org/10.1177/2167702614541260 Casey, B. J., Somerville, L. H., Gotlib, I. H., Ayduk, O., Franklin, N. T., Askren, M. K., Jonides, J., Berman, M. G., Wilson, N. L., Teslovich, T., Glover, G., Zayas, V., Mischel, W., & Shoda, Y. (2011). Behavioral and neural correlates of delay of gratification 40 years later. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108 (36), 14998–15003. USA. Clark, N. & Scott. P.S. (2009). Game Addiction, The Experience and The Effects. Jefferson, North Carolina: McFarland & Company, Inc. Cole, H., & Griffiths, M.D. (2007). Social interactions in massively multiplayer online role-playing gamers. CyberPsychology and Behavior, 10, 575-583. Denson, T.F., DeWall, C.N. & Finkle, E.J. (2012). Self-Control and Aggression. Current Directions in Psychological Science, 21(1) 20–25. http://dx.doi.org/10.1177/0963721411429451 Educate Empower Kids. (2015). Addictive Behavior and the Brain’s Reward Circuit, diunduh dari http://educateempowerkids.org/addiction-and-the-reward-circuit/ Enochsson, L., Isaksson, B., Kjellin, A., Tour, R., Wredmark, T., Tsai-Fellander, L. (2004). Visio-Spatial Testing and Computer Experience Influence the Performance of Virtual Endoscopy.Center of Advanced Medical Simulation, CFSS, Stockholm, Sweden Facebook.com (4 Desember 2015). https://www.facebook.com/241721232575693/photos/a.248907461857070.59607.24 1721232575693/919590191455457/?type=3&theater
Fardianto, (2013). Diunduh dari: http://edisicetak.joglosemar.co/berita/game-onlinemerambah-anak-sd-141346.html Garland, E. L., Froeliger, B., & Howard, M. O. (2014). Effects of MindfulnessOriented Recovery Enhancement on reward responsiveness and opioid cuereactivity. Psychopharmacology, 231(16), 3229-3238. http://dx.doi.org/10. 1007/ s00213-014-3504-7 Gawrilow, C., Gollwitzer, P. M., & Oettingen, G. (2011). If-then plans benefit delay of gratification performance in children with and without ADHD. Cognitive Therapy and Research, 35(5), 442-455. http://dx.doi.org/ 10.1007/s10608010-9309-z Goleman, D. (1988). The meditative mind. New York: Putnam. Gottfredson, M. R., & Hirschi, T. (1990). A general theory of crime. Stanford, CA: Stanford University Press. Griffiths, M.D., Davies, N.O., & Chappell, D. (2004). Online computer gaming: A comparison of adolescent and adult gamers. Journal of Adolescence, 27(1), 87-96. http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2003.10.007 Heyman, G.M. (2009). Addiction, A Disorder of Choice. Cambridge, M.A.: Harvard University Press Ibuhamil.com (14 April 2015). http://ibuhamil.com/ngobrol-apa-saja/88085-suamikecanduan-game-online.html diakses pada 19 Desember 2015 Kim, E. J., Namkoong, K., Ku, T., & Kim, S. J. (2008). The relationship between online game addiction and aggression, self-control and narcissistic personality traits. European Psychiatry, 23(3), 212218.http://dx.doi.org/10.1016/j.eurpsy.2007.10.010 Levy, N. (2013). Addiction and sel-control: perspectives from philosophy, psychology, and neuroscience. In N. Levy, Addiction and Self-Control: Perspectives From Philosophy, Psychology, and Neuroscience (pp. 1-15). New York: Oxford University Press. Li, X. & Atkins. M.S. (2004). Early childhood computer experience and cognitive and motor development. Pediatrics, 113(6), 1715-22. http://dx.doi.org/10.1542/peds.113.6.1715 Mehroof, M., & Griffiths, M. D. (2010). Online gaming addiction: the role of sensation seeking, self-control, neuroticism, aggression, state anxiety, and trait anxiety. Cyberpsychology, behavior, and social networking, 13(3), 313-316. http://dx.doi.org/10.1089/cyber.2009.0229 Mischel, W., et al. (1989). Delay of gratification in children. Science, 244(4907), 933–938. Muraven, M., & Baumeister, R. F. (2000). Self-regulation and depletion of limited resources: Does self-control resemble a muscle?. Psychological bulletin, 126(2), 247. http://dx.doi.org/10.1037/0033-2909.126.2.247 Muraven, M., Shmueli, D., & Burkley, E. (2006). Conserving self-control strength. Journal of personality and social psychology, 91(3), 524. http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.91.3.524 MacMurran, M. (2005). The psychology of Addiction. London: Taylor & Francis.
Matsumoto, D. (2009). The Cambridge dictionary of psychology. Cambridge University Press Wiratno, A. (2013) Kecanduan Game Online Empat Anak Ingusan Nekad Nyolong. (http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kecanduan-game-online-empat-anakingusan-nekat-nyolong-61202.html) Ismanto, A. (2013). Kecanduan Game Online, Empat ABG Nekat Curi Mesin Diesel. Diunduh dari: http://news.okezone.com/read/2013/10/23/521/885705/kecanduan-gameonline-empat-abg-nekat-curi-mesin-diesel Rothbaum, F., Weisz, J. R., & Snyder, S. S. (1982). Changing the world and changing the self: A two-process model of perceived control. Journal of personality and social psychology, 42(1), 5. http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.42.1.5 Suler, J.R. (2004). The online disinhibition effect. CyberPsychology and Behavior, 7(3), 321-326. http://dx.doi.org/10.1089/1094931041291295 Tangney, J. P., Baumeister, r. F., & Boone, A. L. (2004). High self-control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of Personality, 72(2). 271-324. http://dx.doi.org/10.1111/j.00223506.2004.00263.x Tarullo, Obradovic, dan Gunnar (2009). Self- Control and the Developing Brain. Zero to Three. Diunduh pada 19 December 2015from http://web.stanford.edu/group/sparklab/pdf/Tarullo,%20Obradovic,%20Gunna r%20(2009,%200-3)%20SelfControl%20and%20the%20Developing%20Brain.pdf Tapscott, D. (2008). Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing Your World Taylor, T.L. (2003). Multiple pleasures: Women and online gaming. Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies 9, 21-46. Teng, Z., Li, Y., & Liu, Y. (2014). Online Gaming, Internet Addiction, and Aggression in Chinese Male Students: The Mediating Role of Low SelfControl. International Journal of Psychological Studies, 6(2), 89-97. http://dx.doi.org/10.5539/ijps.v6n2p89 Yee, N. (2007). The psychology of massively multi-user online role-playing games: Motivations, emotional investment, relationships and problematic usage. In R. Schroder, & A.S. Axelsson (Eds.)., Avatars at work and play: Collaboration and interactions in shared virtual environments. London: Springer-Verlag. Young, K. (1998) Internet Addiction: the emergence of e new vclinical disorder. CyberPsychology Behavior, 1(3), 237-244. http://dx.doi.org/10.1089/cpb.1998.1