4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perairan Ekosistem S. polycystum di Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu merupakan daerah yang terletak di lepas pantai Jakarta
dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang. Kepulauan Seribu terdiri atas 110 pulau dan 11 diantaranya dihuni penduduk. Kawasan ini memiliki tofografi datar hingga landai dengan ketinggian sekitar 0-2 meter dan luas daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1-1,5 meter. Dengan demikian, morfologi Kepulauan Seribu merupakan dataran rendah pantai dengan perairan laut ditumbuhi karang. Sebagai salah satu ekosistem laut di perairan Utara Jakarta, wilayah ini didominasi oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun dan daratan pulau-pulau karang yang menjadi habitat penting berbagai jenis biota perairan laut (Noor 2003). Kondisi perairan ekosistem S. polycystum di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kondisi perairan ekosistem S. polycystum di Kepulauan Seribu Rumput laut Sargassum umumnya merupakan tanaman perairan yang berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi bagian sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum dimanfaatkan secara baik. Sargassum merupakan alga cokelat yang tersebar luas di Indonesia dan tumbuh di perairan yang terlindung maupun yang berombak besar pada habitat batu. Pada umumnya Sargassum tumbuh di daerah terumbu karang (coral reef) seperti di Kepulauan
30
Seribu, terutama di daerah rataan pasir (sand flat). Daerah ini kering pada saat surut rendah, mempunyai dasar berpasir dan terdapat pula pada karang hidup atau mati. Pada batu-batu ini tumbuh dan melekat rumput laut cokelat (Atmadja dan Soelistijo 1998). 4.2
Rendemen Ekstrak S. polycystum Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) di antara dua
pelarut yang tidak saling bercampur (Nur dan Adijuwana 1989). Proses ekstraksi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif (Harborne 1987). Metode ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu maserasi tunggal menggunakan pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu metanol (polar), etil asetat (semipolar), dan n-heksana (nonpolar). Tujuan dari penggunaan ketiga pelarut tersebut adalah untuk mengetahui rendemen dan mendapatkan senyawa aktif dari S. polycystum berdasarkan tingkat kepolarannya. rendemen ekstrak kasar S. polycystum disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Rendemen ekstrak kasar S. polycystum Diagram batang pelarut metanol (a) yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap etil asetat dan n-heksana (b) dalam menghasilkan rendemen
Pada proses maserasi, ekstrak kasar masing-masing pelarut dari hasil evaporasi menghasilkan karakteristik yang berbeda-beda. Ekstrak dari ketiga jenis pelarut ini berbentuk pasta dengan aroma yang khas. Pada karakteristik warna
31
menunjukkan warna yang relatif sama pada tiap pelarut yaitu hijau kecokelatan. Rendemen yang dihasilkan pada ekstraksi dengan tiga pelarut menunjukkan nilai yang berbeda. Rendemen ekstrak adalah perbandingan jumlah ektrak dan hasilnya dinyatakan dalam persen. Data nilai rendemen ekstrak kasar S. polycystum pada Gambar 6 menunjukkan bahwa jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rendemen. Rendemen ekstrak tertinggi terdapat pada ekstrak metanol sebesar 17,93%, diikuti dengan etil asetat sebesar 1%, dan terakhir n-heksana sebesar 0,57%. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen senyawa aktif yang bersifat polar banyak terdapat dalam jaringan S. polycystum karena banyaknya ekstrak dari pelarut metanol yang dihasilkan. Sebaliknya, komponen senyawa aktif yang bersifat semipolar dan nonpolar terdapat dalam jumlah kecil dalam jaringan S. polycystum karena sedikitnya ekstrak yang dihasilkan dari pelarut etil asetat dan n-heksana. Berdasarkan data tersebut, dapat diidentifikasi bahwa S. polycystum mengandung senyawa-senyawa aktif yang relatif larut dalam pelarut polar. Wijayanto (2010) melaporkan bahwa penggunaan pelarut metanol lebih efektif
dalam
ekstraksi
alga
merah
Kappaphycus
alvarezii
dan
Euchema denticullatum dibandingkan dengan etanol yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah. Hal ini dapat mempertegas adanya sifat kelarutan senyawa-senyawa aktif pada rumput laut yang relatif larut pada pelarut yang bersifat polar. Ekstrak dengan pelarut etil asetat dan n-heksana menghasilkan rendemen yang lebih kecil dibandingkan dengan metanol. Hal ini dapat dikarenakan adanya senyawa flavonoid yang merupakan salah satu metabolit sekunder terbanyak di alam yang umumnya terikat pada glukosa. Proses glikosilasi ini menyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan relatif
larut dalam pelarut polar
(Markham 1988).
4.3
Kandungan Komponen Fitokimia S. polycystum Pengujian komponen bioaktif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan uji fitokimia. Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu
32
mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau manfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tanin. Kandungan senyawa fitokimia dalam ekstrak S. polycystum dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak S. polycystum Uji Fitokimia
Metanol
Pelarut Etil Asetat
n-Heksana
Standar (warna)
Alkoloid a. Meyer b. Wagner c. Dragendorff
-
-
-
Endapan putih kekuningan Endapan cokelat Endapan merah/jingga
Steroid
+
+
+
Perubahan merah menjadi biru/hijau
Flavonoid
+
+
+
Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau
Fenol hidrokuinon
+
+
+
Warna hijau/hijau biru
Saponin
-
-
-
Terbentuk busa
Tanin
-
-
-
Perubahan warna dari hijau menjadi biru hingga hitam
Keterangan: +
= tidak terdeteksi = terdeteksi
Secara umum komponen fitokimia yang terdapat dalam ekstrak S. polycystum adalah senyawa steroid, flavonoid dan fenol hidrokuinon. Ekstrak ketiga pelarut menghasilkan nilai kandungan yang berbeda pada setiap uji. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi memberikan pengaruh yang sama, namun yang membedakan adalah intensitas kandungan senyawa fitokimia yang dihasilkan pada masing-masing ektrak. Secara kualitatif, senyawa fitokimia S. polycystum memiliki intensitas yang kuat pada ekstrak dengan pelarut etil asetat. Hal ini mengidentifikasikan bahwa senyawa fitokimia dalam S. polycystum cenderung larut dalam larutan semipolar.
33
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dll). Tetapi kemudian makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Sterol umumnya terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida sederhana. Terdapat dalam tumbuhan rendah, tapi kadang-kadang terdapat juga dalam tumbuhan tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga cokelat (Harborne 1987). Hasil uji steroid dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Hasil uji steroid ekstrak kasar (a) metanol, (b) n-heksana dan (c) etil asetat Uji steroid pada S. polycystum yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa komponen steroid terdeteksi pada semua jenis pelarut ekstrak kasar S. polycystum dengan intensitas yang cukup kuat. Prekursor dari pembentukan steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar, sehingga n-heksana dan etil asetat dapat mengekstrak senyawa tersebut. Steroid juga terekstrak pada pelarut metanol yang merupakan pelarut polar yang juga mampu mengekstrak komponen lainnya yang bersifat nonpolar dan semipolar. Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menyatakan bahwa senyawa streroid dan ester ditemukan pada ekstrak Sargassum ringgoldianum. Smit (2004) menyatakan komponen seperti sterol dan fenol dapat menjadi bahan antibiotik. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan
34
mula-mula
didasarkan
pada
telaah
sifat
kelarutan
dan
reaksi
warna
(Harborne 1987). Ektrak S. polycystum pada semua pelarut mengandung senyawa flavonoid dengan intensitas yang berbeda. Tabel 2 menunjukkan ekstrak kasar dari metanol dan n-heksana memiliki kandungan flavonoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan etil asetat. Hasil pengujian ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah dan kuning pada lapisan amil alkohol yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Hasil uji flavonoid ekstrak kasar (a) metanol, (b) n-heksana dan (c) etil asetat Intensitas flavonoid pada pelarut metanol menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang ada pada ekstrak S. polycystum memiliki kandungan flavonoid yang bersifat polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berikatan dengan gula sebagai glikosida, sehingga flavonoid yang bersifat polar dapat larut pada pelarut polar. Flavonoid yang larut pada etil asetat dan n-heksana diduga merupakan aglikon flavonoid yang bersifat kurang polar, sehingga dapat larut dalam kedua pelarut tersebut (Harborne 1987). Kandungan flavonoid jenis ini relatif kecil dalam S. polycystum karena jumlah terlarutnya yang kecil. Hasil uji Prajitno (2006) menunjukkan bahwa rumput laut Halimeda opuntia mengandung senyawa flavonoid yang terdiri dari quercitrin, epigallocathecin, cathecol, hesperidia, miricetin dan morin. Epigallocathecin merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon (kuinon yang kromofor terdiri atas dua gugus karbonil yang
35
berkonjugasi
dengan
antrakuinon dan
dua
kuinon
ikatan
rangkap
isoprenoid.
Tiga
karbon-karbon), kelompok
naftokuinon,
pertama
biasanya
terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna (Harborne 1987). Hasil uji senyawa fenol hidrokuinon pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Hasil uji fenol hidrokuinon ekstrak kasar (a) metanol,(b) n-heksana dan(c) etil asetat Ekstrak S. polycystum pada masing-masing pelarut mengandung senyawa kuinon dengan intensitas yang lebih kuat pada ekstrak etil asetat dan metanol. Hal ini dapat dikarenakan senyawa kuinon yang terdapat dalam S. polycystum terbentuk dari berbagai jenis kuinon, dimana jenis kuinon yang larut dalam pelarut semipolar relatif lebih banyak dibanding pelarut lain. Kelompok benzokuinon dan naftokuinon dapat larut dengan pelarut semipolar atau non polar, sedangkan kuinon yang larut dalam metanol merupakan kelompok antrakuinon yang banyak hidrosilnya sangat polar sehingga larut dalam larutan polar (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin sedikit larut dalam air (polar), tetapi umumnya kuinon mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari tumbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Oleh karena itu keberadaan kuinon ditunjukkan dengan warna hijau. Untuk memastikan apakah suatu pigmen termasuk kuinon atau bukan, reaksi warna sederhana masih tetap berguna, warna yang terlihat beragam, mulai dari jingga dan merah sampai ungu dan biru, bahkan beberapa kasus terbentuk warna hijau (Harborne 1987). Menurut Lincoln et al. (1991) dalam Smit (2004), banyak ditemukan
respon
kimia
berupa
aktivitas
antioksidan
dari
makroalga.
36
Beberapa zat yang penting pada reaksi ini adalah komponen halogen seperti alkali dan alkena, alkohol, aldehida, hidrokuinon, dan keton. Alkaloid merupakan senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid terbagi menjadi tiga bagian, yaitu elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid dan reaksi yang terjadi untuk pengikatan khas elemen-elemen pada alkaloid (Sirait 2007). Uji fitokimia pada alkaloid ekstrak S. polycystum pada semua pelarut tidak terdeteksi. Suradikusumah (1989) menyatakan bahwa reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi Mannich, yaitu suatu aldehida berkondensasi dengan suatu amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam iminum diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa suatu fenol. Tidak terdeteksinya alkaloid mengidentifikasikan bahwa tidak adanya kandungan amina dalam ekstrak S. polycystum. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan (Harborne 1987). Glikosida saponin terdapat pada tanaman tinggi dan dapat membentuk larutan koloidal dalam air. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan disebabkan molekul saponin terdiri dari hidrofob dan hidrofil. Bagian hidrofob adalah aglikon, bagian hidrofil adalah glikon. Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), sebagian kecil ada yang bereaksi basa (Sirait 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan senyawa saponin pada ketiga ekstrak S. polycystum bernilai negatif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa komponen saponin tidak terkandung dalam S. polycystum. Hal ini berbeda dengan penelitian Sahayaraj dan Kalidas (2011) yang mengidentifikasi adanya senyawa steroid, saponin dan komponen fenol pada ekstrak Padina pavonica dengan pelarut benzena dan kloroform. Tanin adalah senyawa polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dengan protein. Senyawa ini terdapat pada berbagai jenis tanaman yang digunakan baik untuk bahan pangan maupun pakan ternak (Harborne 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak S. polycystum tidak mengandung senyawa tanin. Cox et al. (2010) menyatakan kandungan tanin
37
pada tumbuhan terestrial berbeda dengan yang berasal dari laut. Florotanin merupakan komponen tanin yang hanya dapat ditemukan dari alga laut. Penelitian Tamat et al. (2007) pada uji fitokimia ekstrak metanol Ulva reticulata menunjukkan tidak adanya intensitas senyawa aktif alkaloid, saponin dan tanin. 4.4
Kandungan Total Fenol S. polycystum Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Semua senyawa fenol berupa senyawa aromatik sehingga semuanya menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum UV. Selain itu, secara khas senyawa fenol menunjukkan geseran batokrom pada spektrumnya bila ditambahkan basa. Karena itu, cara spektrometri sangat penting, terutama untuk identifikasi dan analisis kuantitatif senyawa fenol (Harborne 1987). Beberapa ribu senyawa fenol di alam telah diketahui strukturnya. Flavonoid merupakan golongan terbesar, tetapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah besar. Beberapa bahan polimer penting dalam tumbuhan adalah lignin, melanin dan tanin yang merupakan golongan polifenol. Grup yang paling penting dari senyawa fenolik adalah senyawa flavonoid. Flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan (Harborne 1987). Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik terbukti sebagai sumber antioksidan yang efektif, penahan radikal bebas, dan pengkelat ion-ion logam. Aktivitas antioksidan senyawa fenolik berhubungan dengan senyawa fenol (Meskin et al. 2002). Aktivitas antioksidan senyawa fenol dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu adanya agen pengkelat, pH di lingkungan sekitar, kelarutan, ketersediaan senyawa fenol dalam suatu bahan, dan stabilitas senyawa fenol (Tang 1991). Penelitian ini menggunakan metode Follin-Ciocalteu untuk mengukur total fenol yang terdapat dalam ekstrak S. polycystum. Dalam metode ini, terjadi reaksi yang melibatkan oksidasi gugus fenolik (ROH) dengan campuran asam fosfotungstat dan asam molibdat dalam reagen, menjadi bentuk quinoid (R ═O). Reduksi reagen Follin-Ciocalteu ini menghasilkan warna biru sesuai dengan kadar fenol total yang bereaksi. Asam galat digunakan sebagai standar
38
pengukuran dikarenakan asam galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat dihampir semua tanaman. Kandungan fenol asam organik ini bersifat murni dan stabil (Kusumaningati 2009). Data total fenol ekstrak S. polycystum dalam berbagai pelarut disajikan pada Gambar 10. Total Fenol (mg GAE/100 gsampel)
40
35,37
35 30 25 18,00
20 15 10
3,08
5 0 metanol
etil asetat
n-heksana
Pelarut Gambar 10 Total fenol ekstrak S. polycystum dalam berbagai pelarut Gambar di atas menunjukkan bahwa pelarut yang berbeda menghasilkan nilai total fenol yang berbeda. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol menghasilkan total kandungan fenol tertinggi yaitu sebesar 35,37 mg GAE/100 g sampel yang diikuti dengan pelarut etil asetat yaitu sebesar 18,00 mg GAE/100 g sampel. Ekstrak dengan pelarut n-heksana menghasilkan total kandungan fenol terendah yaitu sebesar 3,08 mg GAE/100 g sampel. Pelarut metanol dan etil asetat menghasilkan total fenol yang relatif tinggi dibandingkan dengan pelarut n-heksana. Hal ini diduga karena adanya kandungan flavonoid yang terikat pada glukosa yang dapat larut pada pelarut polar. Pengujian total fenol sangat tergantung pada struktur kimianya. Senyawa fenol yang mempunyai gugus fungsi hidroksil yang banyak atau dalam kondisi bebas akan menghasilkan kadar total fenol yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak kasar metanol memiliki gugus fungsi hidroksil yang relatif tinggi dibandingkan dengan kedua pelarut
lainnya.
Hosokawa (2006) dalam
Gupta et al. (2011) menyatakan bahwa, serangkaian senyawa fenol seperti katesin, flavonoid dan flavonoid glikosida telah diidentifikasi dari ekstrak metanol
39
alga merah dan cokelat dan ditemukan memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba. 4.5
Aktivitas Antioksidan S. polycystum dengan Metode DPPH Zheng et al. (2001) menyatakan saat ini terjadi peningkatan minat yang
besar terhadap penemuan antioksidan alami untuk digunakan dalam makanan ataupun material pengobatan untuk mengganti antioksidan sintetik, yang mungkin dapat bersifat karsinogenik. Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Pada umumnya terdapat dua kategori dasar dari antioksidan yaitu natural dan sintetik. Antioksidan alami banyak terdapat pada berbagai macam jenis tumbuhan baik dalam buah-buahan maupun tumbuhan. Senyawa-senyawa fenolat yang terkandung dalam tumbuhan memiliki aktivitas antioksidan karena senyawa ini dapat menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat mengkelat logam besi yang mengkatalis peroksida lemak (Harborne 1987). Andayani et al. (2008) menyatakan biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksil yang tersubtitusi pada posisi ortho dan terhadap gugus ─OH dan ─OR. Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada ekstrak S. polycystum tiga pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda dilakukan dengan metode uji DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Pada metode ini larutan DPPH yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilycrilhydrazine yang bersifat non-radikal. Menurut Dehpour et al. (2009) dalam Ebrahimzadeh et al. (2010), metode DPPH dapat menstabilkan warna radikal bebas nitrogen dari warna violet menjadi kuning pada proses reduksi dengan proses hidrogen atau donasi elektron. Pembanding yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan ini adalah vitamin C. Berdasarkan Molyneux (2004), asam asorbat (vitamin C) merupakan standar yang biasa digunakan dalam setiap pengujian antioksidan. Nilai aktivitas antioksidan dari metode DPPH diinterpretasikan dengan parameter
40
IC 50 (Inhibition Concentration 50) yang berarti konsentrasi larutan sampel yang menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Nilai IC 50 yang semakin kecil menunjukkan aktivitas antioksidan pada bahan uji semakin besar. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC 50 kurang dari 50 ppm, kuat untuk IC 50 antara 50-100 ppm, sedang jika IC 50 bernilai 100-150 ppm dan lemah jika IC 50 bernilai 150-200 ppm. Nilai IC 50 yang diperoleh dari larutan vitamin C dan ekstrak S. polycystum pada tiga jenis pelarut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai IC 50 larutan vitamin C dan ekstrak S. polycystum Sampel
C 50 (ppm)
Metanol
109,43
n-Heksana
1174,98
Etil asetat
129,40
Vitamin C
1,30
Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ketiga ekstrak S. polycystum dan standar vitamin C memiliki aktivitas yang berbeda. Pembanding vitamin C memiliki nilai IC 50 terendah yaitu 1,30 ppm. Nilai ini menunjukkan aktivitas antioksidan sangat kuat dimana IC 50 vitamin C <50 ppm. Nilai ini lebih rendah dibanding ekstrak S. polycystum dari metanol, n-heksana, dan etil asetat. Hal ini dikarenakan ketiga ekstrak tersebut masih dalam bentuk ekstrak kasar yang belum dimurnikan sehingga diduga masih terdapat senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Grafik nilai rata-rata IC 50 antioksidan ekstrak S. polycystum disajikan pada Gambar 11.
41
1400 1174,98
1200 IC50 (ppm)
1000 800 600 400 200
109,43
129,40
Metanol
Etil Asetat
0 n-Heksana
Pelarut
Gambar 11 Nilai rata-rata IC 50 antioksidan ekstrak S. polycystum Perbandingan aktivitas antioksidan pada jenis ekstrak menunjukkan nilai yang relatif berbeda. Gambar di atas menunjukkan bahwa perbedaan pelarut memberikan pengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Ekstrak S. polycystum dengan metanol dan etil asetat memiliki nilai aktivitas antioksidan yang masuk dalam kategori sedang sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap ekstrak n-heksana yang memiliki aktivitas antioksidan lebih besar dari 500 ppm. Tingginya nilai aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol dan etil asetat berkorelasi positif terhadap kandungan total fenol. Total fenol pada ekstrak metanol dan etil asetat S. polycystum memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan ekstrak n-heksana. Hasil penelitian Molyneux (2004) menyatakan jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Aktivitas antioksidan vitamin C dan masing-masing ekstrak S. polycystum ditunjukkan oleh nilai inhibisinya pada beberapa konsentrasi yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Nilai inhibisi pada beberapa konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai vitamin C dan ekstrak S. polycystum yang digunakan, maka semakin besar nilai persentase inhibisi sehingga semakin besar penghambatan terhadap radikal bebas yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan, maka akan semakin tinggi pula nilai persentase penghambatan aktivitas radikal bebas (persen inhibisi). Hal ini berkorelasi dengan total fenol
42
yang terkandung dalam ekstrak S. polycystum. Nilai inhibisi dan aktivitas antioksidan ekstrak metanol dan etil asetat relatif tinggi dibandingkan dengan ekstrak n-heksana pada berbagai konsentrasi. Menurut penelitian Koleva et al. (2001), sebanyak 93% senyawa polifenol merupakan senyawa flavonoid. Komponen ini mampu menghambat reaksi oksidasi dan menangkap radikal bebas. Hal ini dikarenakan adanya gugus hidroksil pada struktur kimianya. 4.6
Aktivitas Antimikroba S. polycystum Penelitian aktivitas antimikroba dari ekstrak rumput laut telah dilakukan
sejak tahun 1917. Berdasarkan Bansemir et al. (2001) dalam Wei et al. (2011), komponen biologi ekstrak dari beberapa spesies rumput laut dari jenis Phaeophyceae, Rhodophyceae dan Chlorophyceae memiliki potensi dalam aktivitas
pengobatan
seperti
antibakteri,
antiviral,
antitumor,
antifungi,
antiprotozoa dan kontrol nyamuk dan larva. Hasil uji aktivitas dan diameter zona hambat antimikroba ekstrak S. polycystum dengan pelarut etil asetat dapat dilihat pada Gambar 12.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 12 Zona hambat yang terbentuk dari uji aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum dengan pelarut etil asetat (a) S. aureus, (b) E. coli, (c) B. subtilis, (d) C. maltosa
43
Uji aktivitas antimikroba dari ekstrak S. polycystum diujikan pada bakteri dan khamir. Bakteri yang digunakan adalah bakteri Gram-positif yaitu S. aureus dan B. subtilis dan bakteri Gram-negatif yaitu E. coli sedangkan khamir yang digunakan adalah C. maltosa. Uji ini dilakukan dengan metode difusi agar karena dengan metode ini difusi ekstrak pada agar dalam cawan petri akan lebih baik. Aktivitas antimikroba ditentukan dengan mengukur diameter hambatannya, yaitu daerah bening yang terbentuk di sekitar sumur. Antimikroba dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap mikroba apabila nilai konsentrasi penghambatan
mikroba
penghambatannya
yang
besar.
terendah,
Chknikvishvili
tetapi
dan
mempunyai
Ramazanov
diameter
(2000)
dalam
Wei et al. (2011) menyatakan komponen fenol memiliki peranan besar dalam aktivitas antibakteri dan antifungi dan kandungannya berlimpah pada rumput laut cokelat
jika
dibandingkan
dengan
rumput
laut
merah
dan
hijau.
Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri S. aureus disajikan pada Gambar 13.
Zona Hambat (mm)
60
53,87
50
43,25
40
Metanol
32
n- Heksana
30
E. Asetat
20 10
9,37 2
6
7,5 5,25 2
5,5 1 1
0 0 0
0 2
1
0.5
Kontrol +
Kontrol -
Konsentrasi (mg/mL) Gambar 13 Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri S. aureus Gambar di atas menunjukkan aktivitas antimikroba pada bakteri S. aureus. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam uji ini teridentifikasi pada konsentrasi 2 mg/mL (9,37 mm) dan 1 mg/mL (7,5 mm) pada metanol, konsentrasi 1 mg/mL (6 mm) pada etil asetat. Ekstrak
dengan pelarut n-heksana tidak memiliki
aktivitas antimikroba atau sangat lemah di setiap konsentrasi karena memiliki zona hambat <6 mm.
44
Aktivitas antimikroba ekstrak dengan metanol diduga karena adanya golongan senyawa dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Menurut Cowan (1999), aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh senyawa metabolit sekunder tumbuhan sangat penting karena dapat berfungsi sebagai penangkap radikal bebas dan memiliki peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga dan herbivora. Aktivitas ini dimiliki karena kemampuannya membentuk kompleks dengan protein yang larut dan protein ekstraseluler, dan dapat membentuk kompleks dinding sel bakteri sehingga dapat berfungsi sebagai antibakteri. Kaewsritong et al. (2007) dalam Kantachumpoo dan Chirapart (2010) melaporkan adanya kandungan terpenoid, flavonoid dan alkoloid pada ekstrak Padina australis, S. polycystum dan Turbinaria conoides dimana pada ekstrak dengan pelarut metanol dan etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri B. subtilis, E.coli, Pseudomonas aeruginosa, dan S. aureus. Hasil penelitian Vijayabaskar dan Shiyamala (2011) menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari Turbinaria ornata dan Sargassum wightii memiliki aktivitas antimikroba yang kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri B. subtilis disajikan pada Gambar 14. 35
Zona Hambat (mm)
31,5 30
30,5 30 Metanol
25
n- Heksana
20
E. Asetat
15
12.37 9.87 10 9,25 5
10,5 7,25 5,25
5,75 2.87
5 0 0 0
0 2
1
0.5
Kontrol +
Kontrol -
Konsentrasi (mg/mL) Gambar 14 Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri B. subtilis Gambar di atas menunjukkan nilai zona hambat yang terbentuk pada uji aktivitas antimikroba pada bakteri B. subtilis. Zona hambat terbesar terdapat pada ekstrak etil asetat disetiap konsentrasi diikuti oleh ekstrak n-heksana dan metanol
45
yang memiliki zona hambat terkecil disetiap konsentrasi. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam uji ini teridentifikasi pada konsentrasi 2 mg/mL (12,37 mm) dan 1 mg/mL (10,5 mm) pada etil asetat, konsentrasi 2 mg/mL (9,87 mm) dan 1 mg/mL (7,25 mm) pada n-heksana, serta konsentrasi 2 mg/mL (9,25 mm) pada metanol. Ekstrak S. polycystum mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri E. coli yang ditandai dengan adanya zona hambat. Hal ini menunjukkan bahwa komponen aktif dari ekstrak S. polycystum dapat menghambat pertumbuhan E. coli. Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri E. coli disajikan
Zona hambat (mm)
pada Gambar 15. 45 40 35 30 25 17,12 20 15 12,12 10 6,2 5 0 2
39
Metanol n- Heksana
28,25
E. Asetat
21,5 13,75 9,62 7 2,12 1
3 1,62 0.5
0 0 0 Kontrol +
Kontrol -
Konsentrasi (mg/mL) Gambar 15 Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri E. coli. Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat zona hambat terbesar terdapat pada ekstrak etil asetat disetiap konsentrasi diikuti oleh ekstrak metanol dan n-heksana yang memiliki zona hambat terkecil disetiap konsentrasi. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam uji ini teridentifikasi pada konsentrasi 2 mg/mL (17,12 mm), 1 mg/mL (13,75 mm) dan 0,5 mg/mL (9,62 mm) pada etil asetat, konsentrasi 2 mg/mL (12,12 mm) dan 1 mg/mL (7 mm) pada metanol, serta konsentrasi 2 mg/mL (6,2 mm) pada n-heksana. Perbedaan aktivitas antimikroba dapat disebabkan oleh sifat kerentanan dari masing-masing bakteri. Bakteri memiliki kerentanan terhadap sarana fisik dan bahan kimia yang berbeda. Resistensi mikroorganisme terhadap beberapa jenis antibiotik dapat disebabkan oleh sifat yang dimiliki oleh mikroorganisme itu sendiri (Pelczar dan Chan 1986). Beberapa hal yang dapat menyebabkan
46
mikroorganisme dapat rentan terhadap antibiotik adalah struktur sel yang kurang lengkap, dinding sel yang impermeabel, dan jenis antibiotik (Brock dan Madigan 2003). Besar ketahanan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif terhadap senyawa antibakteri relatif berbeda. Bakteri Gram-positif cenderung bersifat sensitif terhadap terhadap antimikroba yang bersifat non polar, sedangkan bakteri Gramnegatif cenderung bersifat sensitif terhadap antimikroba yang bersifat polar. Perbedaan kesensitifan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif berhubungan dengan struktur dalam dinding selnya, seperti jumlah peptidoglikan (adanya reseptor, pori-pori, dan lipid), sifat ikatan silang, dan aktivitas enzim autolitik. Komponen tersebut merupakan faktor yang menentukan penetrasi, pengikatan, dan aktivitas senyawa antimikroba (Jawetz et al. 1992). Sifat sensitifitas bakteri Gram-positif terhadap antibakteri nonpolar disebabkan komponen dasar penyusun dinding sel bakteri Gram-positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino D-alanin yang bersifat hidrofobik. Senyawa antibakteri yang bersifat non polar dapat bereaksi dengan fosfolipid dari membran sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis sel (Jawetz et al. 1992). Bakteri Gram-negatif mempunyai sisi hidrofilik, yaitu karboksil, asam amino, dan hidroksil sehingga bakteri Gram-negatif sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat polar (Madigan et al. 2004). Bakteri ini memiliki lapisan tambahan pada dinding selnya berupa membran luar yang tersusun dari lipopolisakarida (LPS), porin matriks, dan lipoprotein. Adanya selaput khusus berupa molekul protein (porin) pada bakteri Gram-negatif dapat memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah. Molekul-molekul yang bersifat hidrofilik seperti alkaloid dan flavonoid lebih mudah melewati LPS dibandingkan dengan yang hidrofobik (Jawetz et al. 1992). Aktivitas antimikroba terhadap khamir C. maltosa ditunjukkan dengan zona bening yang terbentuk di sekitar sumur yang berisi ekstrak dan kontrol. Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada khamir C. maltosa disajikan pada Gambar 16.
47
Zona Hambat (mm)
35
32,35
30
Metanol
26,62
n- Heksana
25 21,25
E. Asetat
20 14,75
15 11,75 10 5
9,37 6,12
8 7,25
6,37 4,5 4,87 0 0 0
0 2
1
0.5
Kontrol +
Kontrol -
Konsentrasi (mg/mL) Gambar 16 Aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum pada bakteri C. maltosa Gambar di atas dapat diinterpretasikan bahwa aktivitas antimikroba yang dihasilkan pada setiap ekstrak berbeda. Ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antimikroba pada konsentrasi 2 mg/mL (14,75 mm) dan 1 mg/mL (8 mm), ekstrak metanol pada konsentrasi 2
mg/mL (11,75 mm), 1 mg/mL (9,37 mm) dan
0,5 mg/mL (6,37 mm). Ekstrak n-heksana menghasilkan aktivitas antimikroba tetapi dengan nilai zona hambat yang relatif kecil pada konsentrasi 2 mg/mL (6,12 mm) dan 1 mg/mL (7,25 mm). Senyawa bioaktif tanaman yang bersifat antimikroba umumnya adalah minyak atsiri, senyawa aldehida dan senyawa fenol (Sirait 2007). Ekstrak dengan pelarut etil asetat dan metanol memiliki aktivitas antimikroba yang relatif tinggi. Hal ini diduga berasal dari senyawa fenol yang terkandung dalam ekstrak S. polycystum. Nilai total fenol yang tinggi pada kedua pelarut tersebut berkorelasi dengan aktivitas antimikroba pada C. maltosa. Pada bakteri B. subtilis, E. coli, dan khamir C. maltosa aktivitas antimikroba relatif tinggi pada ekstrak dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan senyawa semi polar yang memiliki dua sifat kelarutan yaitu hidrofilik dan lipofilik (Harborne 1987). Senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri terjadi keseimbangan hidrofilik dan lipofilik (HLB: Hydrophilic Lipophilic Balance) (Kanazawa et al. 1995).
48
Data nilai zona hambat yang dihasilkan eksrak S. polycystum berdasarkan konsentrasi dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada konsentrasi ekstrak sebesar 2 mg/mL
dapat membentuk zona hambat antara 2 mm (n-heksana) sampai
17,12 mm (etil asetat), konsentrasi 1 mg/mL
memiliki zona hambat 2 mm
(n-heksana) sampai 13,25 mm (etil asetat), dan konsentrasi 0,5 mg/mL zona hambatnya sebesar 1 mm (n-heksana dan etil asetat) sampai 9,62 mm (etil asetat). Dari data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak pelarut yang digunakan, maka akan semakin tinggi daya hambat mikroba. Menurut Vijayabaskar dan Shiyamala (2011) ekstrak sel dan beberapa unsur aktif pada alga mengandung aktivitas antibakteri in vitro terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Komponen fenolik dapat mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Hal ini dapat memberikan efek inhibisi pada pertumbuhan mikroba berdasarkan kondisi dan konsentrasi. Pelarut semi polar seperti etil asetat mampu mengestrak senyawa fenol dan terpenoid/steroid (Harborne 1987). Senyawa yang berperan sebagai antimikroba dalam etil asetat diduga berasal dari senyawa fenol dan steroid tersebut. Adapun senyawa fenol terdiri dari aneka ragam senyawa yang terdiri dari fenol, asam fenolat, fenilpropanoid, pigmen flavonoid, antosianin, flavonol dan flavon, flavonoid minor, xanton, stilbena, tanin serta pigmen kuinon (Harborne 1987). Liu et al. (2002) dalam Cox et al. (2010) menjelaskan bahwa kandungan fitokimia dalam buah dan tanaman dapat mendukung mekanisme kerja dari oksidative agents, simulasi sistem imun, regulasi ekspresi gen dalam proliferasi dan apoptosis sel, metabolisme sel dan antibakteri serta efek antiviral. Berdasarkan hasil zona hambat yang diperoleh dari semua uji aktivitas antimikroba dapat dilihat nilai zona hambat pada ekstrak pelarut etil asetat relatif tinggi dibandingkan dengan ekstrak dua pelarut yang lain. Konsentrasi hambatan minimum dari ekstrak S. polycystum pelarut etil asetat untuk semua uji sebesar 2 mg/mL dengan diameter hambat sebesar 6 mm pada uji bakteri S. aureus. Sedangkan konsentrasi hambatan minimum dari ekstrak metanol adalah sebesar 1 mg/mL dengan diameter hambat sebesar 7 mm pada uji bakteri E. coli. Uji aktivitas antimikroba pada semua bakteri dan khamir menunjukkan nilai zona hambat yang relatif kecil pada ekstrak n-heksana. Rendahnya nilai
49
kandungan total fenol dan antioksidan pada ekstrak n-heksana berkorelasi dengan rendahnya
aktivitas
antimikroba
yang
dihasilkan.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi aktivitas antimikroba adalah pH lingkungan, komposisi media, stabilitas senyawa antimikroba, besarnya inokulum, lamanya inkubasi dan aktivitas metabolik mikroorganisme (Jawetz et al. 1992). Kloramfenikol merupakan antimikroba komersial sebagai kontrol positif yang dapat menghambat seluruh bakteri uji dengan diameter zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak S. polycystum. Hal ini dikarenakan kloramfenikol merupakan zat antimikroba murni sedangkan ekstrak S. polycystum masih berupa ekstrak kasar yang mengandung bahan organik selain antimikroba. Kloramfenikol merupakan antimikroba yang sangat stabil dan berdifusi dengan baik dalam media agar. Kloramfenikol bekerja melalui penghambatan sintesis protein sehingga menghambat translasi dan transkripsi material genetik. Mekanisme penghambatan kloramfenikol dengan cara mengganggu pelekatan asam amino pada rantai peptida yang baru pada submit 505 ribosom, dengan mengganggu daya kerja peptidil transferase. Akibatnya proses perbanyakan sel terganggu (Jawetz et al. 1992). Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut dari masing-masing ekstrak. Pada ekstrak metanol, pelarut yang digunakan adalah pelarut metanol begitupun dengan etil asetat dan n-heksana. Pelarut yang digunakan tidak menghasilkan zona hambat pada semua uji aktivitas antimikroba. Tidak adanya zona hambat tersebut membuktikan bahwa zona hambat yang terbentuk tidak dipengaruhi oleh jenis pelarut melainkan karena aktivitas senyawa aktif yang ada pada ekstrak S. polycystum sebagai antimikroba.