BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang
ikan dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan terkait dengan faktor luar dan dalam tubuh ikan. Selain lingkungan perairan, salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah makanan. Unsur makanan yang terkait adalah protein. Protein selain berperan dalam proses pertumbuhan sekaligus sumber
energi
utama.
Protein
juga
berperan
sebagai
pembentukan
jaringan/pemeliharaan tubuh dan pengganti jaringan yang rusak serta membantu proses metabolisme (Halver 1989). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 6 minggu memperlihatkan peningkatan bobot ikan (Gambar 2).
5.00 4.50 4.00 Bobot (g)
3.50
A (31%)
3.00
B (34%)
2.50 2.00
C (37%)
1.50
D (40%)
1.00
E (43%)
0.50 0.00 0
1
2
3
4
5
6
Periode (Minggu ke-)
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih
25
26
Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan berat rata – rata ikan tagih setiap minggu dengan tingkat protein yang berbeda – beda. Perbedaan laju pertumbuhan antar perlakuan dapat diketahui dengan melakukan analisis ragam. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hasil perlakuan dengan tingkat protein pakan yang berbeda tidak memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap laju pertumbuhan benih ikan tagih (Lampiran 9). Pada minggu pertama peningkatan pertumbuhan ikan tagih relatif sama terjadi pada perlakuan A, B, C dan D dengan nilai rata – rata pertumbuhan 0,05 ; 0,05 ; 0,07 dan 0,07. Sedangkan pada perlakuan E (43%) terjadi penurunan nilai rata – rata pertumbuhan dengan nilai rata – rata sebesar 0,03. Hal ini diduga pada minggu pertama ikan masih beradaptasi dengan lingkungan dan pakan yang diberikan. Pada minggu ke- 3 dan seterusnya pertumbuhan ikan tagih yang diberi tingkat protein yang berbeda sudah mulai terlihat peningkatan pertumbuhan yang cukup nyata dengan nilai masing – masing perlakuan 0,33; 0,74; 0,62; 0,58; 0,69. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemeliharaan, benih ikan tagih semakin baik dalam adaptasi lingkungan dan menerima pakan yang diberikan. Pertumbuhan yang terjadi di setiap minggu menunjukkan bahwa pakan yang diberikan sudah mampu diserap dan dicerna ikan untuk dijadikan sebagai kegiatan untuk tumbuh. Ikan tagih merupakan ikan omnivora yang cenderung karnivora. Ikan yang dijadikan percobaan berasal dari pembudidaya sukabumi, ikan ini dipelihara di kolam tanah tanpa diberi pakan buatan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa ikan tagih yang dipelihara di kolam tanah pakan utamanya berupa ikan - ikan kecil, cacing sutra ataupun larva serangga. Pakan alami ikan di alam merupakan sumber protein hewani, sementara di kondisi habitat buatan ikan pada penelitian diberikan makanan berupa pellet yang merupakan campuran protein hewani dan protein nabati. Hal ini memerlukan adaptasi yang lebih lama terhadap pakan buatan yang mengandung protein nabati. Hasil pemeliharaan ini hampir sama dengan penelitian (Zamhar 2007), menyatakan pertumbuhan benih lele dumbo yang dipelihara dalam KJA dengan tingkat protein yang berbeda pada pemeliharaan
27
hari pertama sampai hari ke- 24 pertumbuhan ikan lele dumbo tiap periode (7 hari) relatif sama namun memasuki hari ke- 32, pertumbuhan ikan lele dumbo semakin meningkat.
Tabel 5. Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Tagih Perlakuan
Tingkat Protein
Rata – rata Laju pertumbuhan
A
31%
1,10
B
34%
1,35
C
37%
1,19
D
40%
1,34
E
43%
1,32
Tabel 5 memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan harian individu ikan tagih lebih baik diperoleh oleh perlakuan B (1,35%), diikuti perlakuan D (1,34%), perlakuan E (1,32%), perlakuan C (1,19%), sedangkan nilai rendah diperoleh oleh perlakuan A (1,10%). Laju pertumbuhan harian berfungsi untuk menghitung persentase pertumbuhan berat ikan per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan tingkat penggunaan protein dari 31% hingga 43% tidak mempengaruhi laju pertumbuhan harian walaupun tingkat protein pada pakan meningkat. Menurut Li dan Lovell (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan Chanel catfish yang dipelihara dalam kolam tanah dan diberi pakan dengan protein tinggi menurunkan laju pertumbuhan dikarenakan sisa senyawa nitrogen. Sedangkan menurut Utojo (1995), ikan kakap putih yang diberi pakan dengan kadar protein 40% mempunyai laju pertumbuhan bobot harian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein 50% hal ini disebabkan respon tingkat protein pakan sudah melewati batas optimal dalam memacu pertumbuhan bobot. Selain itu, pernyataan ini sesuai dengan (Ali 2001), semakin tinggi protein pakan tidak selamanya akan meningkatkan pertumbuhan ikan. Kebutuhan protein dalam suatu pakan menentukan laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan. Apabila dalam suatu pakan protein berlebih maka ikan
28
akan membutuhkan energi (Spesifik Dynamic Action) yang lebih dalam mensintesis protein yang dikenal dengan deaminasi seperti menutup dan membuka operculum, berenang dan mempertahankan posisi tubuh dari arus. Sebaliknya apabila protein kurang maka hanya cukup digunakan untuk pertahanan jaringan tubuh sehingga protein untuk pertumbuhan akan berkurang. Menurut Chuapoehuk (1987) dalam (Sanjayani 2010), kadar protein optimal dalam pakan sangat penting sebab jika protein terlalu rendah akan mengakibatkan pertumbuhan rendah. . Hal ini dapat diasumsikan bahwa tingkat protein 34% dalam pakan buatan merupakan tingkat protein yang optimal untuk pertumbuhan ikan tagih. Dapat diamati dari hasil laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan yang lebih baik (Lampiran 9 dan 12). Hasil penelitian ini sejalan dengan Subarnia et al (2003) bahwa kebutuhan protein pakan ikan untuk jenis ikan patin (Pangasius sp) dan kelompok Catfish lainnya dalam pakan yang mengandung protein 35,4% dengan rasio energi protein pakan 8,43 kkal/g dapat menghasilkan pertumbuhan optimum bagi benih ikan jambal siam (Pangasius hypothalamus). Tingginya laju pertumbuhan harian individu ikan tagih pada perlakuan B diduga bahwa protein sebesar 34% memenuhi kebutuhan protein optimal ikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas kandungan protein pakan. Cepat tidaknya pertumbuhan ikan, ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh sebagai zat pembangun untuk tumbuh. Menurut Subandiono (2010) protein mempunyai peran dalam nutrisi ikan salah satunya menyediakan energi. Ikan pada umumnya lebih dapat memanfaatkan protein sebagai penyedia energi dibandingkan dengan energi yang dihasilkan oleh karbohidrat ataupun lemak. Pemanfaatan protein untuk membentuk jaringan biasanya dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan, kandungan energi dalam pakan juga dipengaruhi oleh kadar asam amino yang paling rendah ketersediannya (New 1987). Pada perlakuan B keseimbangan energi protein pakan lebih optimal dibandingkan dengan perlakuan lainya dimana perbandingan rasio energi protein 8 kkal/gram (Lampiran 5). Perbandingan rasio energi protein yang optimal dapat memberikan
29
laju pertumbuhan yang optimal bagi pertumbuhan ikan. Hal ini menunjukkan dalam pakan B (34%) protein dapat dimanfaatkan untuk membangun atau memperbaiki sel – sel tubuh yang rusak. Laju pertumbuhan akan tinggi apabila energi yang digunakan untuk metabolisme lebih kecil dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk pertumbuhan (Zamhar 2007). Menurut (NRC 1982) berpendapat bahwa rasio energi dan protein sebesar 8-9 kkal/g protein memberikan pertumbuhan maksimal pada benih Chanel catfish. Menurut (Sanjayani 2010), pakan dengan kandungan protein 30% dengan rasio energi 15 kkal/gram menghasilkan pertumbuhan yang optimal
dibandingkan dengan
kandungan protein 35% dengan rasio energi 12 kkal/gram pada ikan sengaringan (Mystus nigriceps). Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa kebutuhan ikan akan protein sangat tergantung dengan rasio energi protein, pemberian pakan dengan tingkat protein lebih tinggi belum tentu akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik apabila rasio energi dalam pakan berkurang. Menurut Bayu (2008), kadar protein pakan dapat diturunkan apabila rasio energi-protein yang terkandung dalam pakan ditingkatkan. Penyebab lain dari tingginya laju pertumbuhan harian pada tingkat protein pakan B (34%), diduga mempunyai kandungan serat kasar optimal yaitu 5,50 % dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Karbohidrat dalam bentuk serat kasar diperlukan dalam tubuh sebagai energi non protein dalam pakan. Menurut Hardi (1991), perbandingan antara karbohidrat dan protein dalam pakan sangat mempengaruhi pemanfaatan protein untuk pembentukan jaringan. Hal ini dapat diartikan apabila kandungan karbohidrat dalam pakan sangat sedikit, maka protein akan digunakan sebagai sumber energi utama dalam kegiatan metabolisme standart (bernafas, berenang dan aktifitas lainnya) sehingga kebutuhan protein ikan untuk pertumbuhan akan berkurang, sebaliknya apabila dalam ransum pakan kebutuhan energi non protein (Karbohidrat) optimum, maka pemanfaatan protein akan lebih efisien dan hanya akan sedikit yang digunakan sebagai sumber energi untuk kegiata maintenance sehingga protein akan digunakan sepenuhnya untuk kegiatan pertumbuhan. Menurut Pramono et al. (2007) menyatakan bahwa karbohidrat dalam pakan yang tepat dapat mengurangi penggunaan protein
30
sebagai sumber energi yang dikenal sebagai protein sparing effect. Sedangkan menurut Santoso (2011), karbohidrat dalam bentuk serat kasar tidak mudah dicerna oleh ikan, namun serat kasar dalam pakan diperlukan untuk meningkatkan kegiatan peristaltik usus. Ikan tagih yang diberi perlakuan pakan C memperlihatkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi lingkungan hidupnya dalam minggu ke 2 dan minggu ke -3, dimana pH air pemeliharaan berturut – turut adalah 8. pH merupakan salah satu parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kondisi ikan. pH yang melebihi toleransi ikan dalam suatu budidaya dapat mempunyai akibat buruk bagi kehidupan ikan yang dipelihara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak pH tinggi (Basa) maupun asam salah satunya menyebabkan proses metabolisme ikan tergangu, pertumbuhan menurun dan mengakibatkan stress (Anonim 2011). Menurut Boyd (1990) derajat keasamaan ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5- 8,5. Namun pada kenyataanya ikan akan tumbuh dengan baik dengan kandungan pH yang netral yaitu 7. Penurunan laju harian perlakuan C diduga ikan mengalami stress pada pH 8 selama 2 minggu dengan dicirikan dengan laju pertumbuhan harian yang lebih rendah dari laju pertumbuhan perlakuan B, D, dan E dengan nilai selisih 0,39, 0,40 dan 0,53 sedangkan pada perlakuan C dengan nilai O,31. Menurut Cahyono (2001) ikan yang stress akan memberikan efek dari hormone-hormone tingkat sel termasuk mobilisasi dan relaksasi dan relokasi energi, peningkatan denyut jantung, pengambilan oksigen dan transfer zat –zat makanan. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa stress akan menghambat kekebalan, reproduksi, pertumbuhan dan kemampuan ikan dalam menyerap pakan yang diberikan berkurang.
4.2
Efisiensi Pakan Efisiensi pakan dipengaruhi oleh kandungan protein pakan. Efisiensi
pakan merupakan perbandingan antara bobot tubuh yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan. Semakin besar nilai efisiensi
31
pakan semakin baik ikan memanfaatkan pakan yang diberikan. Hasil analisis ragam menunjukkan tingkat protein pakan yang berbeda tidak memberikan efisiensi pakan yang berbeda (Lampiran 12). Pada percobaan ini perlakuan tingkat protein pakan B (34%) memperlihatkan efisiensi pakan lebih baik pada (Gambar 3). Nilai efisiensi pakan yang lebih baik (15,07%) pada ikan yang diberi pakan dengan tingkat protein pakan 34% menunjukkan bahwa ikan tagih dapat memanfaatkan pakannya dengan efisien.
16.00
Efisiensi Pakan (%)
14.00
15.07 12.85
11.79
13.30
13.18
12.00 10.00 A = 31% B = 34% C = 37% D = 40% E = 43%
8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 A
B C Protein (%)
D
E
Gambar 3. Grafik Rata- rata Nilai Efisiensi Pakan ikan Tagih Gambar 3 menunjukan bahwa peningkatan tingkat protein tidak selalu akan meningkatkan efisiensi pakan, efisiensi pakan meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat protein pakan, namun menurun pada pakan dengan tingkat protein 37%. Rendahnya energi non protein pada tingkat protein yang lebih tinggi memungkinkan katabolisme protein menjadi semakin besar karena katabolisme protein membutuhkan energi yang lebih besar (30%) dalam proses penyerapanya dibandingkan karbohidrat yang hanya 5% (Buwono 2000). Penggunaan protein sebagai energi yang semakin besar menjadikan protein untuk pertambahan bobot berkurang yang akhirnya menurunkan efisiensi pemberian pakan.
32
Tabel 6. Rata-rata Efisiensi Pakan Benih Ikan Tagih Perlakuan
Tingkat Protein
Rata – rata Efisiensi pakan
A
31%
12,85
B
34%
15,07
C
37%
11,79
D
40%
13,30
E
43%
13,18
Dilihat dari tabel
6 data efisiensi pakan uji, maka dari perhitungan
didapatkan bahwa efisiensi pakan berkisar antara 11,79 – 15,07. Nilai efisiensi pakan rendah dicapai oleh perlakuan C (11,79), kemudian diikuti oleh perlakuan A (12,85), E (13,18), D (13,30), sedangkan nilai efisiensi pakan yang lebih tinggi diperoleh perlakuan B (15,07). Efisiensi pakan dihitung guna menilai kualitas pakan, semakin tinggi nilai efisiensi pakan membuktikan pakan semakin baik (Kordi 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B (34%) memberikan efisiensi pakan yang relatif lebih tinggi, hal tersebut memperlihatkan bahwa pakan dengan kandungan protein 34% lebih baik digunakan untuk pertumbuhan benih ikan tagih jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Efisiensi pakan perlakuan B menunjukkan seberapa besar pakan mampu diserap oleh tubuh untuk menjadi daging sehingga semakin tinggi efisiensi pakan yang diberikan semakin murahnya biaya produksi yang dikeluarkan. Tingginya efisiensi pakan pada perlakuan tingkat protein pakan B (34%) diduga adanya keseimbangan protein dan karbohidrat serta energi. Karbohidrat dalam bentuk kasar selain sebagai sumber energi non protein, serat kasar juga dibutuhkan dalam memnbantu proses pencernaan makanan. Apabila kandungan karbohidrat sebagai sumber energi non protein digunakan untuk kegiatan maintenance maka protein hanya sedikit yang dikatabolisme menjadi energi sehingga kebutuhan protein akan digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan sehingga akan mempengaruhi efisiensi pakan.
33
Efisiensi pakan dalam penelitian cukup rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian (Zamhar 2007), dimana efisiensi pakan yang diperoleh berkisar antara (58,67 – 87,92). Perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan komposisi masing-masing sumber bahan pakan dalam pakan ikan. Namun menurut mudjiman (1999) menyatakan bahwa nilai efisiensi pakan ikan berkisar antara 12,5% - 67% tergantung jenis makanannya. Menurut Sukosa (2002) efisiensi penggunaan makanan oleh ikan menunjukkan nilai presentase makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Jumlah dan kualitas makanan yang diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan.
4.3.
Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu parameter eksternal yang penting dalam
budidaya ikan. Secara langsung maupun tidak langsung kualitas air berpengaruh dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan selain pakan. Selama penelitian, kualitas air dipertahankan dengan cara pergantian air dalam wadah pemeliharaan + 50% setiap minggunya, hal ini diperuntukan agar kualitas air tetap pada kondisi yang optimal. Parameter kualitas air yang diamati diantaranya adalah suhu, pH, Do terlarut dan Amonia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama 6 minggu kualitas air pemeliharaan masih menunjukan dalam toleransi yang optimal bagi pertumbuhan benih ikan tagih. Sehingga data yang diperoleh selama penelitian memenuhi persyaratan bagi ikan tagih (Tabel 7). Kadar Oksigen terlarut (DO) selama penelitian adalah 5,8 – 6,0 mg/L. Menurut Khairuman dan Amri (2010) pada pemeliharaan ikan baung kandungan oksigen terlarut optimal tidak boleh kurang dari 4 mg/l. Dengan demikian kandungan oksigen 5,8-6,0 mg/l masih memenuhi syarat untuk pemeliharaan ikan baung. Kelarutan oksigen merupakan factor lingkungan yang penting bagi laju pertumbuhan ikan dan efisiensi pakan, jika kandungan oksigen rendah maka akan mudah terserang penyakit dan dapat mengakibatkan pertumbuhannya terhambat (Kordi 2002).
34
Derajat keasaman atau pH air selama penelitian cukup netral berkisar antara 7,48 – 7,58. Menurut Khairuman dan Amri (2010) bahwa toleransi pH air yang ideal untuk pemeliharaan ikan tagih adalah pH 6,5 – 8.0. Dengan demikian pH dengan kisaran 7,48 – 7,58 masih memenuhi persyaratan untuk pemeliharaan ikan baung . Suatu perairan yang ber pH rendah dapat mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun, konsumsi oksigen menurun, penurunan selera makan sehingga ikan menjadi lemah serta lebih mudah terinfeksi penyakit dan biasanya diikuti dengan tingginya tingkat kematian ikan (Akbar dan Sudaryanto 2001). Suhu air selama penelitian relative stabil berkisar yaitu antara 28 – 300C . Menurut Khairuman dan Amri (2010) kisaran suhu optimum ikan tagih antara 25 – 320C. Dengan demikian suhu dengan kisaran antara 28 – 30 0C sudah memenuhi syarat untuk pemeliharaan ikan tagih. Suhu perairan mempunyai peranan sangat penting dalam pengaturan aktivitas, respon terhadap permberian pakan pertumbuhan, (Tucker and Hargreaves 2004) Kandungan amoniak media pemeliharaan pada penelitian ini berkisar antara 0.06 – 0.1 mg/l. Menurut Khairuman dan amri (2010) kandungan amoniak tidak boleh lebih dari 0,1 mg/l. Dengan demikian kandungan amoniak antara 0.06 – 0.1 mg/l masih memenuhi syarat untuk pemeliharaan ikan tagih.
Tabel 7. Parameter Kualitas air Parameter Kualitas Air
Perlakuan (ml/kg)
DO (mg/L)
pH
Suhu (0C)
Amonia (mg/l)
A (31%)
6.0
7.48
28
0,06
B (34%)
6.0
7.53
29
0,06
C 37%)
6.1
7.58
29
0,06
D (40%)
6.0
7.50
30
0.07
E (44%)
5.8
7.53
29
0,1
Optimal *
>4
6,50 – 8,0
25-32
< 0,1 – 0,3
Keterangan : A, B, C, D, E = Tingkat Protein Pakan * Khairuman dan Amri (2010) Ikan tagih