FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME DALAM MASYARAKAT MUSLIM KONTEMPORER Samsinas (Dosen Jurusan Dakwah STAIN Datokarama Palu)
Abstract: Fundamentalism and radicalism have possibility to create terror action. Both concepts have an ideology background out of mainstream ideology. Fundamentalism has a shape of a religiously-based political movement more than of an ethical and humanism. It carries religion symbols to realize political, social, and interest. It also tries to create a new world order based on deity expression instead of a secular word order. While radicalism always be face to face with teh western culture. It considers modernity does not accomodate the interests of radical groups. Radicalism is difficult to accept the global hegemony that organized internations relations. ٍ يًكٍ نألصٕنيّت ٔانزاديكب نيّت أٌ حبذعب انحز كت اإلرْب بيّت ٔك ّم ي:ملحص ْذيٍ انًفٕٓ ييٍ يًهك خهفيّت انفكز انخي حخخهف عٍ انفكز انزئسي حخحقق األصٕ نيت في حز كبث انسيبست انًسخُذ ة إنى انخعبنيى انذيُيّت أكثز يٍ اإلسخُبد إنى انقيى األخالقيّت ٔاإلَسب َيّت حجهب ْذِ األصٕنيت انزيٕس انذيُيّت نهحصٕل ِعهى انًصب نح انسيب سيّت ٔاإلجخًبعيّت ٔاإلقخصب ديّت ٔكذ نك ححٕل ْذ األصٕ ايّت أٌ حبذع َظبو انعبنى انجذيذ انًسخُذ إنى انقيى اإلنٓيّت بذال يٍ َظبو ً انعهًبحي أو انزاديكب نيّت فكب َج ٔنى حشل حقببم انحضبرة انغز بيّت ٔجٓب انعب نى ّ نٕج ٍّ ٔقذ اعخبزث انزاديكبنيت أٌ انحذاثت نى حكٍ حالئى يصبنح ْذِ انفئت ْٔي حصب أٌ حقبم سيطزة انعٕنًت انخي حُظّى انعالقبٌ بيٍ األيى Kata Kunci: fundamentalisme, radikalisme, masyarakat muslim kontemporer
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
Pendahuluan Dalam kehidupan sosial masyarakat, sering terjadi perubahanperubahan. Akibatnya terjadi perbedaan pendapat dalam hal menerima dan menolak berbagai perubahan. Wujud penolakan itu berupa pertentangan dan perlawanan. Pertentangan dan perlawanan ini sering muncul dan berkembang begitu cepat sehingga perlawanan yang tadinya bersifat tersembunyi kemudian menjadi perlawanan bersifat terbuka yang lazim disebut sebagai “Gerakan Sosial”(social movement). Tokoh yang pertama kali menggunakan istilah “Social Movement” adalah Erick Hobsbawn dalam bukunya Primitive Rebels (Peter Burke, 1996: 88-90). Istilah ini kemudian muncul dalam studi sosiologi di Amerika Serikat pada era 1950-an. Gerakan Sosial, dapat dibedakan dalam dua jenis. Pertama, gerakan sosial yang memulai proses perubahan. Kedua, gerakan sosial yang lahir sebagai reaksi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Gerakan sosial yang paling lazim adalah gerakan sosial yang bertipe “reaktif” dan “melawan”, terutama gerakan rakyat yang menuntut terjadinya perubahan ekonomi, sosial politik dan (termasuk kepercayaan/agama) yang mengancam norma yang berlaku dan mereka yakini kebenarannya. Akhir-akhir ini, di Indonesia (juga dibeberapa negara muslim) muncul gerakan sosial yang merupakan perlawanan dan reaksi terhadap perubahan sosial yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol agama secara ekstrim. Studi mengenai social movement, tidak terlepas dari mengkaji bagaimana berbagai protes sosial itu menyeruak kepermukaan dan juga meneropong secara khusus struktur sosial dan politiknya. Namun, suatu kajian social movement kurang memperhatikan nilai-nilai kultur dimana protes tersebut diekspresikan. Pada dasarnya, kajian “gerakan sosial” berkaitan dengan karya Sosiolog Jerman, Max Weber. Weber mendasarkan pada struktur dan tindakan satu kelompok yang diderivasi dari komitmentnya pada satu sistem keyakinan tertentu, mengenai tujuan, standar prilaku, dan legitimasi. Selanjutnya, sistem Weberian menantang kemapanan sistim politik yang di gerakan oleh 144
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
pribadi-pribadi kharismatik yang kuasa membangun satu kelompok dengan bersandar pada ide-ide tertentu. Menurut Edmund Burke, ada kajian khusus mengenai Islamic Movements, yang menekankan pada konsep dan retorika Islam yang digunakan oleh gerakan-gerakan kebangkitan Islam dalam setting politik dan ekonomi yang beragam diseluruh dunia Muslim (Edmunt Burke, 1988: 19). Maraknya terorisme akhir-akhir ini merupakan fenomena yang sngat kompleks. Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara terorisme dan aksi-aksi teror tidak dapat dirumuskan dengan mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan ideologi tertentu termasuk ideologi agama, sosial ekonomi maupun politik. Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya tetapi hanya sebagai bagian dari taktik intimidasi ataupun propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan dan reaksi politik yang luas dalam suatu masyarakat atau pemerintahan. Bagaimana tinjauan terhadap fundamentalisme dan Radikalisme? Bagaimana implikasi fundamentalisme dan radikalisme, suatu studi kritis dalam masyarakat muslim kontemporer? Fundamentalisme Belakangan ini, nalar kesadaran kita dibenturkan dengan berbagai label Islam yang diikutkan dengan nama seperti “fundamentalis “, ”militan”, “radikal”, “teroris”, “modernis”, “liberalis”, dan “sekuralis”, dan lain-lain. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam” telah menyedot perhatian, jauh sebelum Perang Dingin (The Cold Warm) berakhir. Para sarjana telah mencermati terjadinya gelombang munculnya politisasi agama sebagai fenomena global yang baru. Mereka mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama 145
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
sebagai tandingan dari modernisme dan sekularisme (Bassam Tibbi, 2000: 3). Meskipun kosa kata fundamentalisme berasal dari konteks sosial religius dunia Barat,namun fundamentalisme sesungguhnya merupakan fenomena global yang dapat di jumpai dalam semua tradisi agama-agama besar di dunia (Tibbi: 23). Pengertian Fundamentalisme Istilah “fundamentalisme”, sesunggguhnya, merupakan sesuatu yang sangat elusif (sulit dipahami). Fundamentalisme Islam, sesungguhnya bukanlah istilah yang genuine dan lahir dari muasal kosa kata masyarakat muslim. Istilah fundamentalisme, pada awalnya, dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat sendiri. Fundamentalisme, karenanya, adalah reaksi terhadap modernisme. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigit dan literalis (The Oxford English Dictionary, “Fundamentalisme”, 1988). Karena itu, kalangan muslim tertentu berkeberatan dengan penggunaan istilah “fundamentalisme”, dengan alasan bahwa konteks historis istilah ini berawal dari “fundamentalisme” Kristen. Atas dasar inilah maka sebagian mereka menggunakan istilah ushuliyyun untuk menyebut “orang-orang fundamentalis”, yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Hadis. Dalam kaitan ini pula digunakan istilah al-ushuliyyah al-Islamiyyah (fundamentalis Islam) yang mengandung pengertian; kembali kepada fundamen-fundamen keimanan ; penegakkan-penegakkan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah (syar’iyyah al-hukm). Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan Islam, ketimbang aspek keagamaannya (Azyumardi Azra, 1996: 146
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
109).Akibatnya, tidak ada pandangan yang tunggal mengenai definisi fundamentalis Islam. Sementara itu, Bassam Tibbi mendefinisikan fundamentalisme bukan sebagai kepercayaan spiritual, tetapi sebagai idiologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuantujuan sosio-politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurut defenisi ini, ideologi ini bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ia menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama terhadap pandangan-pandangan sekular yang menolak hubungan antara agama dan politik. Jadi sesuai wataknya fundamentalisme bersifat absolutis, dan karena kita bergerak ke abad yang akan datang, fundamentalisme itu tampak sedang menempatkan jejaknya pada politik dunia (Tibbi: 35). Dari berbagai definisi di atas, berkesimpulan bahwa fundamentalisme Islam lebih tampil sebagai gerakan-gerakan politik berbasis agama dari pada mengedepankan etika dan humanisme agama, mengusung simbol-simbol dan komponen-komponen agama untuk mewujudkan kepentingan politik dan sosio-ekonomi, serta mencoba menciptakan tatanan dunia baru berdasar ekspresi tatanan Tuhan untuk menggantikan tatanan dunia sekular yang ditandai oleh sikap yang melawan atau berjuang (fight). Di antaranya melawan kembali (fight back) kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup mereka berjuang untuk (fight for) menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Kaum fundamentalis berjuang dengan (fight with) kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru untuk itu mereka juga berjuang melawan (fight against) musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang di pandang menyimpang. Kaum fundamentalis juga dicirikan oleh perjuangan atas nama (fight under) Tuhan atau ide-ide lain (Martin Marty dan Scott Appleby, 1998: xix). 147
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
Menurut Semuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Jumlah Muslim bergerak secara simultan kepada Islam sebagai satu sumber identitas, arti, stabilitas, legitimasi, perkembangan, kekuasaan dan harapan. Harapan yang dilambangkan dalam slogan „Islam is The Solution‟. Selanjutnya, faktor-faktor ketidakpuasan politik, ketidakmerataan pembangunan, alienasi psikologis, urbanisasi yang tajam, krisis moral, seksualitas di masyarakat modern merupakan background lahirnya fundamentalisme Islam (Martin dan Scott, 207213). Ketidakpuasan politik merupakan faktor yang utama bagi kemunculan fundamentalisme Islam. Tidak diragukan bahwa Pemimpin gerakan-gerakan Islam menjadikan Islam sebagai satu gerakan politik. Di Mesir dan Afrika Utara, pemerintah dengan sengaja mempromosikan kelompok-kelompok Islam sebagai tandingan atas pengaruh Marxisme di kalangan pelajar dan mahasiswa. Adalah tipikal dari para pengamat luar untuk menolak fundamentalisme Muslim dimotivasi secara relijius. Menurut mereka fundamentalisme Islam lebih dimotivasi dari aras politik (Martin dan Scott, h. 207). Secara umum, tujuan politik fundamentalisme Islam adalah Islamisasi masyarakat dengan merebut kekuasaan baik melalui kudeta atau proses-proses demokrasi, untuk menempatkan fundamentalisis sebagai penyelenggara negara menurut tatanan Tuhan. Pada prinsipnya, Fundamentalisme Islam adalah suatu jenis pemberontakan kaum muda yang terpenjara di antara tradisi dan budaya yang berorientasi material dari lingkungan perkotaan modern. Kontradiksi antara nilai-nilai yang dipelajari dari masa lalu dan realitas kekinian membuat kaum muda berada dalam suatu kontradiksi yang membingungkan dan di tengah keragaman pilihan-pilihan moral yang membentuk sensi kecemasan, kesepian dan kehilangan orientasi. Dalam sosiologi Durkhemian, fenomena ini sering disebut sebagai Anomie. Anomie secara sederhana adalah ketidakpastian nilai dalam suatu kondisi sosial yang tidak stabil. Selain dari masalah yang 148
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
ditimbulkan oleh urbanisaasi ke daerah industry di Inggris yang menjadi inspirasi pada John Wesley dengan gerakan methodistnya. Abrahamian menuturkan, “dalam Iran kontemporer, tekanan yang sama membantu membentuk fenomena Khomeini dan revolusi Islam”(Martin dan Scott: 210). Secara umum, kebangkitan fundamentalisme Islam di Timur Tengah (middle east), menurut Tibbi dan Castel, adalah karena interelasi antara eksklusi di dunia Muslim yang mempersepsikan diri mereka sebagai satu entitas kolektif terhadap proses globalisasi, nasionalisme dan negara-negara sebagai prinsip-prinsip sebagai organisasi yang global. Dan memang ledakan gerakan-gerakan Islam tampaknya berkaitan dengan keterpecahan masyarakat-masyarakat tradisional (termasuk melemahnya kekuasaan ulama tradisional) dan kegagalan negara-bangsa, yang diciptakan oleh gerakan-gerakan nasionalis, untuk menyempurnakan modernisasi, membangun ekonomi dan mendistribusikan keuntungan kemajuan ekonomi pada mayoritas masyarakat. Maka, identitas Islam direkontrusikan sebagai oposan terhadap kapitalisme, sosialisme dan nasionalisme (Martin dan Scott: 213). (dan sistem ide-ide) dibalik itu, yaitu sekularisme, westernisme dan materialisme. Karena itu, pernyataan Ira M. Lapidus bahwa kaum fundamentalisme tidak sedang memperjuangkan tatanan sosial yang pernah ada dalam sejarah Islam, namun mengupayakan suatu rekonstruksi identitas dalam bidang sosial dan politik baru yang diderivasi dari ajaran-ajaran agama, mungkin lebih rasional, dan logis (Manuel Castells, 1997: 13). Ciri-ciri Fundamentalisme Islam Faji‟ur- Rahman mengungkapkan bahwa ciri fundamentalisme, yaitu “elan vitale” (semangat yang melahirkannya): semangat anti Barat. Kaum fundmentalis, menurut Rahman, menyukai dan mementingkan slogan-slogan yang bercorak distinktif, namun, hakikatnya mereka adalah kelompok “anti intelektual”. Pemikiran fundamentalis, tambah Rahman, tidaklah berakar kepada Alquran dan budaya intelektual tradisional Islam. Semangat anti Barat yang 149
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
diperlihatkan oleh kaum fundamentalis juga terlihat pada sikapnya yang mengutuk modernisme karena corak adaptasi dan akulturasi aliran itu dengan budaya intelektual Barat (Tarmizi Taher, 1998: 3132). Ciri lain fundamentalisme, dikemukakan Fouad Ajami, yaitu kecenderungannya untuk “menafikkan pluralisme”. Bagi kaum fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua jenis masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai al-nidham al Islami (tatanan sosial yang Islam) dan al-nidham al-Jahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haqq (benar) dan bersifat ilahiyah (ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala). Konsekwensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya (Yusril: 19). Sementara itu, Bruce Luwrence memasukkan ekspresi sosiologi fundamentalisme ke dalam suatu “tuntutan kolektif”, yaitu tuntunan agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan (Yusril:19). Ciri fundamentalisme sebagai aliran yang lebih mengutamakan “slogan-slogan revolusioner” daripada pengungkapan gagasan secara terperinci, diutarakan oleh Hrair Dekmejian. “Jihad” dan “menegakkan hukum Allah” adalah slogan yang utama bagi kaum fundamentalisme. Selanjutnya, menurut Dekmeijan, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha memikirkan segisegi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya (Yusril: 18). Leonard Binder, menambahkan bahwa ciri fundamentalisme Islam adalah pandangannya yang khas mengenai ijtihad. Bagi mereka, 150
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
ijtihad dimungkinkan hanya dalam kerangka ketika syari‟ah tidak memberikan perincian yang dalam. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, ataupun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang persoalan-persoalan itu. Ijtihad hanya dilakukan oleh para mujtahid yang memenuhi kualifikasi ijtihad (Akbar S. Ahmed, 1993: 171). Dalam hubungan ini, Maududi menegaskan, “the purpose and object of ijtihad is not to replace the Divine law by man-made law. Its real object is to understand the supreme law” (Yusril: 18). Ada beberapa prinsip menurut Marty dalam mengidentifikasi gejala “fundamentalisme Islam” antara lain: Pertama prinsip fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan terhadap setiap pemahaman dalam nilai-nilai Barat atau diluar ideologi mereka yang mengancam eksistensi agama meski harus bersifat radikal dan menggunakan kekerasan. Dan satu-satunya acuan hanyalan Alqur‟an dan hadis jika diperlukan. Kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya dan nalar tidak mampu meninterpretasikan teks Alqur‟an karena akan berpengaruh pada penafsiran yang saling bertentangan. Ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Dan dapat menyebabkan perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama. Keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya kalau perlu secara kekerasan dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologi; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal” bagi kaum fundamentalis Islam 151
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
seperti pada kaum salaf yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna (Maududi: 416). Fundamentalisme Dalam Konteks Sejarah Islam Dalam perspektif kesejarahan, pemahaman fundamentalisme dibangun oleh kaum Hambalisme (Mazhab hambali). Hanbalisme adalah salah satu dari empat mazhab sunni yang terkenal di dunia Islam. Pada mulanya, Hanbalisme sebagai pondasi melawan teologi rasional (kalam), karenanya, hanbalisme dapat dipandang sebagai fundamentalisme Islam skriptual. Selain itu, fundamentalisme hambali juga merupakan reaksi terhadap ancaman yang datang dari Shi‟isme. Dalam melawan Shi’isme, hanbalisme membela prinsip sunnisme, yaitu sunnah (tradisi) dan jama‟ah (komunitas), sedangkan dalam melawan teologi rasional Mu‟tazilah, hanbalisme membela bahwa Alqur‟an adalah kata Tuhan yang abadi (uncreated) dan menegaskan penerimaan proposisi-proposisi skriptural tanpa adanya kesangsian. Sementara itu, dalam melawan tiga ancaman; pengaruh kaum Salibis Kristen, Mongol dan Shi‟isme, Ibn Taimiyah (wafat 1328) merupakan aktor utama dibalik produksi gagasan-gagasan fundamentalisme Hanbali masa pertengahan (Martin dan Scott: 179). Tradisi Hambali inilah yang melahirkan gerakan fundamentalis Wahabi di Arabia dan segera menjadi dominan di daerah-daerah tersebut. Gerakan fundamentalis Islam pra-modern pertama muncul di bawah pimpinan Muhammad ibn „Abd al-Wahab. Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaharuan Ibn Taimiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan “ulama reformis di Haramayn, Ibn „Abd Wahhab menggoyang pendulum reformasi Islam ke titik ekstrem: fundamentalisme Islam radikal. Fundamentalisme Wahabi tidak hanya menekankan purifikasi tauhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan Mekkah dan Madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monumen historis yang mereka pandang sebagai praktekpraktek menyimpang (Martin dan Scott: 180). 152
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
Gerakan Wahabi, akhirnya menjadi inspirasi bagi gerakan– gerakan fundamentalis di sebagian besar dunia Islam. Di negeria utara, Syaikh Utsman dan Fodio (1754-1817) melancarkan aksi jihad memerangi penguasa muslim dan pendukung-pendukungnya yang dianggap korup dan praktek-praktek Islam yang bercampur baur dengan tradisi budaya lokal; di Afrika Barat, Fundamentalis Islam dipimpin oleh Al-Hajj „Umar Tal (1974-165); di Indonesia kemiripan dengan Wahabbi ditandai dengan pembaharuan moderat yang dilnacarkan oleh Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Ranceh, dll; termasuk Neo-Hambali “Wahhabisme” di India tahun 1818 dan tahun-tahun berikutnya; di Sudan dan Somalia, gerakan jihad dipimpin oleh Sayyid Muhammad „Abd Allah Hasan (1864-1920) (Azyumardi, 1996: 112). Sejak abad ke-11, dibandingkan dengan fundamentalisme skriptural maka sufisme adalah kekuatan utama dalam gerakangerakan massa yang instrumental dalam penyebaran Islam secara sosial dan gegorafis. Meskipun, sufisme dipandang sebagai rival dari fundamentalisme skriptural, ada yang mempertimbangkan bahwa gerakan ‟neo-sufi‟ juga adalah satu bentuk fundamentalis. Hasan alBanna, juga dipengaruhi oleh model sufisme dalam mengembangkan gerakan The Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) di Mesir. Radikalisme Pengertian Radikalisme Kata radikal berasal dari kata radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal berarti berfikir sampai keakar-akarnya sampai pada hakekatnya, namun berfikir secara radikal akhirnya berfikir anti kemapanan. Apa saja yang berarti kemapanan itu, tentu saja kemapanan pertama dan utama adalah agama. Kebenaran agama mulai dikacaukan sampai kepada dasarnya, yaitu ketuhananm, aqidah atau theology kitab Alqur‟an adalah kitab yang paling siap menantang pikiran-pikiran radikal itu. Radikal berawal dari pemikiran yang tidak mau mengakui kebenaran pemikiran kelompok lain, menurutnya yang benar hanya 153
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
mereka saja. Sebaliknya pemikiran radikal lainnya mengatakan bahwa kebenaran agama hanya untuk orang-orang kuno dan ketinggalan zaman. Karena itulah, hipotesis yang saya ajukan adalah menuju Ummatun Wasatho sebagaimana perintah Allah dalam surah alBaqarah ayat 143, alatnya pikiran bukan senjata. Pilihan kaum muslimin adalah keseimbangan hidup material dan spiritual, wahyu dan akal. Dengan demikian, radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Secara politik umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Kelompok Islam radikal menganggap kepentingan ekonomi umat Islam tidak dilindungi, bahkan diabaikan dan dipinggirkan oleh kekuatan kapitalis. Sementara itu, dalam konteks sosial budaya, umat Islam semakin kehilangan orientasi dengan makin kuatnya serbuan budaya Barat. Ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya cukup kuat menyatukan kelompok-kelompok muslim kemudian tercerai berai akibat jebolnya pertahanan budaya yang dimiliki umat Islam. Dalam suasana seperti itulah Islam radikal mencoba melakukan perlawaman. Perlawanan itu, menurut Martin dan R. Scott (1993), muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Untuk itu mreka juga melawan musuh – musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir mereka juga mengaku bahwa perjuangan mereka atas nama Tuhan atau ide-ide lain. Peristiwa revolusi Iran pada 1979 yang berhasil menampilkan kalangan mullah ke atas panggung kekuasaan memberi dampak bagi muncul dan berkembangnya radikalisme sekaligus mewarnai dunia politik Islam kontemporer. Maraknya gerakan radikalisme dalam masyarakat muslim secara langsung memperteguh citra lama tentang Islam bahwa pada 154
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran. Kesan ini sulit dibantah, karena gelombang radikalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan kekisruhan politik sejak pertengahan abad 20. Meski demikian kelompok-kelompok radikal ini tidak memiliki hubungan antara satu dengan lainnya karena memiliki pola perjuangan dan tuntutan yang berbeda. Misalnya kaum separatis Mindanao, misalnya, tidak memiliki hubungan dengan FIS. Begitu pula gerakan radikal yang diprakarsai oleh duet Hasan TurabbiJenderal Umar Hasan al „Bashir di Sudan juga tidak ada hubungannya dengan revolusi Iran atau Mujahidin Afganistan. Masing-masing gerakan memiliki agenda dan konteks tuntutan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, radikal dalam sejarah Islam memiliki agenda yang berbeda-beda. Secara ideal mereka memang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agama secara menyeluruh, tetapi metode dan pemahaman atas teks suci serta imperatif-imperatif yang dikandungnya saling berbeda. Memasuki fase abad ke-19, suasana dunia berubah dan menurut suatu respons yang lebih luas. Pada masa ini Barat telah muncul sebagai kekuatan dunia yang telah mendominasikan keberadaan muslim. Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani dan Rasyid Ridha adalah manifestasi dan realitas slim yang merasa supremasi tersebut. Agenda pembaharuan Islam pun berkembang dari persoalan internal menuju eksternal. Meskipun sama-sama menghendaki kebangkitan Islam, kalangan radikalis cenderung bersikap reaksioner dan idealistik. Peneguhan Islam dilakukan melalui penolakan terhadap non-Islam (Barat), dan realitas historis kejayaan Islam dipakai sebagai ideologi alternatif bagi masyarakat. Kasus-kasus negara berpenduduk mayoritas muslim menunjukkan bahwa idiom-idiom agama sering dipakai sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakpuasan sosial, ekonomi dan politik. Hal ini wajar, karena Islam telah menyediakan simbol-simbol tersebut masih terasa efektif sampai masa modern kini. Dengan demikian, untuk mengakkan Islam tampaknya tidak hanya dimotivasi oleh imperatif teologis, tetapi juga didorong oleh perjuangan mendapatkan 155
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
kembali identitas kultural secara historis. Mungkin karena sebab ini masyarakat muslim yang tidak menjadi bagian dari kejayaan Islam, seperti Indonesia, tidak begitu terobsesi untuk meraih kembali masa keemasan Islam tersebut, dan lebih bersikap terbuka bagi akomodasi kultural dengan masyarakat dunia lain, termasuk Barat. Pemikiran Radikal Menyusupi Pikiran Umat Islam Ummat Islam yang hidup dalam kemiskinan dan kebodohan serta ketidakadilan adalah lahan subur bagi lahirnya pemikiran radikal. Dalam bahasa mudahnya mengapa perlu berpikir susah seperti para ulama membaca kitab-kitab; kata hitam-putih, teman-lawan, kitamereka menjadi kata-kata penting dalam Islam. Misalnya istilah jihad, syari’ah, beragama yang kaffah istilah-istilah lainnya dipahami dari pengertian yang tidak komprehensif. Konflik-konflik di Timur Tengah adalah tempat asal penyusupan pikiran radikal bagi umat Islam, karena ulah elite politik di sana yang kurang menunjukan perilaku yang islami. Begitu kehidupan di Barat, ketidaksiapan para elite politik di sana untuk berkompetesi dalam menghadapi kenyataan hidup di Barat telah melahirkan penderitaan demi penderitaan sehingga mengentalkan perasaan permusuhan dengan lingkungan. Kebebasan berpikir di Barat telah digunakan secara baik untuk membina pemikiran radikal dalam kelompok itu sehingga terjadilah peristiwa 11 September 2001, suatu peristiwa yang mengejutkan dunia, dan termasuk dunia Islam. Serupa dengan peristiwa itu adalah deretan panjang ledakan bom di Maroko, Ryadh, Bali, Jakarta dan lainnya menyadarkan umat Islam, khususnya ulama dan intelektualnya bahwa kini pemikiran radikalisme telah bermetamorfosis menjadi bentuk perbuatan. Gerakan pemikiran menentang radikalisme kini mulai disuarakan. Pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, Syaikh al-Akbar Mohammad Sayid Thanthawy, Raja Fahd, PM Mahathir Muhammad dan lainnya. Kata Syaikh al-Azhar, radikalisme tidak ada hubungannya dengan agama dan dakwah, radikalisme ini adalah 156
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
gerakan politik yang mencoreng dan mencederai Islam. Begitupun terjadi di pula di kawasan Asia Tenggara, sebagai less Arabized, adalah kawasan di mana umat Islam yang hidup dengan kemajemukan agama, politik dan ekonomi, merasa terpanggil untuk menentang radikalisme. Pertemuan-pertemuan diadakan dari skala kecil sampai besar, dari perguruan tinggi sampai kepada tabligh-tabligh akbar diselenggarakan untuk menyuarakan Islam sebagai rahmatan li alalamin. Islam bukan laknat li al-alamin. Karena tingkah gerakan radikalisme itu maka kini Islam sebagai terdakwa dimana-mana baik di Timur maupun di Barat. Namun, patut disyukuri, alhamdulillah, bahwa kampus dan para intelektual Barat tidak semuanya berpikiran demikian. Bahkan, atas nama kemanusiaan mereka berusaha agar dapat membebaskan atau meminimalkan syak-wasangka tersebut. Sekarang inilah saat yang baik bagi kita semua untuk sama-sama membangun citra Islam yang baik dan damai. Dalam kasus Indonesia, pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukan hal baru dalam sejarah. Menurut Muhammad Imdadun (2003), semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Dalam konteks keagamaan, pengetahuan, dan politik, transmisi ini dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam. Negara-negara yang memiliki kota-kota suci dan pusat ilmu pengetahuan selalu dikunjungi orang Indonesia, baik untuk berhaji, ziarah, maupun belajar. Dari aktivitas ini kemudian muncul berbagai bentuk jaringan, baik jaringan keulamaan, jaringan gerakan dakwah, maupun jaringan gerakan politik. Konteks politik di Indonesia juga menjadi alasan lain kemunculan Islam radikal. Ada kesamaan antara gerakan Islam radikal di Indonesia dan Timur Tengah, gerakan Islam radikal di Timur Tengah bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori (Agus Muhammad, 2002: 5). Pertama, gerakan itu terjadi di negara-negara yang pemerintahannya otoriter seperti di Irak dan Suriyah. Al-Mujahidin di 157
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
Irak menentang kediktatoran Saddam Husein, demikian halnya alikhwan di Suriyah yang menentang rezim Hafidh al-Asad. Kedua, hal yang sama terjadi di wilayah yang dijajah dan diduduki kekuatan asing, seperti di Pelestina. Fundamentalisme di Palestina yang bahkan termanifestasi dalam bentuk yang ekstrem melalui jalan kekerasan merupakan reaksi terhadap kekerasan politik yang dilakukan Israel. Ketiga, gerakan radikal lahir di negara yang kebijakan pemerintahannya dipandang terlampau memihak ke Barat seperti Mesir dan Iran pra-revolusi. Munculnya Ikhwanul Muslimin di Mesir tidak bisa terlepas dari sentimen massa menentang kebijakan pemerintah yang dinilai pro-Barat dan cenderung memarjinalkan peran kaum agamawan.
Implikasi Kritis Fundamentalisme dan Radikalisme Terhadap Masyarakat Muslim Kontemporer. Merujuk pada eksistensi konsep fundamentalisme dan radikalisme dalam masyarakat Muslim kontemporer kaitannya dengan studi Sosiologi Masyarakat Muslim, maka dapat diklasifikasikan atas 2 (dua), yakni; pertama, paham fundamentalisme berpegang pada gerakan-gerakan politik berbasis agama daripada mengedepankan etika dan humanisme agama, mengusung simbolsimbol dan komponen agama untuk mewujudkan kepentingankepentingan politik dan sosial ekonomi serta mencoba menciptakan tatanan dunia baru berdasar ekspresi tatanan Tuhan untuk menggantikan tatanan dunia sekuler. Kedua, paham radikalisme menunjukkan bahwa kemunculan mereka senantiasa berhadapan dengan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban modern belum mampu mengakomodasi kepentingan radikalisme. Di sisi lain kalangan radikal juga kesulitan untuk menerima kecenderungan dan hegemoni global yang mengatur hubungan antar bangsa. Bila perbedaan ini tidak dijembatani, kekerasan dan ketidakpuasan akan terus merebak. Padahal dimasa kini dan akan datang, pluralisme dan 158
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
interdependensi antar bangsa dan masyarakat merupakan prinsip sosial yang tidak bisa ditolak. Radikalisme adalah sebuah ideologi, maka harus dihadapi secara tenang dengan ide keagamaan untuk menuntun mereka kepada ummatan wasatha. Dewasa ini, di beberapa negara-negara muslim, gerakangerakan fundamentalis Islam telah mentransformasikan gerakangerakan mereka menjadi partai-partai politik dengan maksud menguasai kursi pemerintahan dan pada akhirnya dapat diimplementasikan hukum Islam (syari’ah). Menurut J. Hoffman, gerakan-gerakan fundamentalis menganut sejumlah perbedaanperbedaan metodologi dalam memperjuangkan masyarakat Islam yang sebenarnya (a truly Islamic society): Jamaati a-Islamic, misalnya, yang didirikan oleh Abu A‟la al-Maududi di India Pakistan tahun 1941, bertujuan menciptakan tatanan masyarakat Islam dengan cara melakukan re-edukasi atas elit-elitnya dengan nilai-nilai Islam; the Muslim brotherhood, yang didirikan oleh Hasan Al Banna tahun 1928 M, bertujuan melakukan pembelajaran atas masyarakat muslim dan menawarkan jasa-jasa sosial yang mengesankan untuk mencapai maksud mereka, kelompok-kelompok “jihad” di Mesir dan di sebagian besar dunia Arab meyakini bahwa masyarakat Arab, pada prinsipnya, menganut Islam oriented, dan juga mengusahakan secara sungguh-sungguh penggantian pemimpin-pemimpin sekuler dengan pemimpin-pemimpin fundamentalis dalam mengimplementasikan Islam dari atas (from the top); kelompok tafkir wa’l hijrah di Mesir, yang dipimpin oleh Sukri Mustafa tahun 1970-an mempercayai bahwa masyarakat Mesir berada dalam satu tahapan baru jahiliyah (seperti “jaman kebodohan” pada masa Nabi Muhammad SAW) dan mereka mengikuti pola-pola kehidupan Muhammad dengan menarik diri dari pergaulan dengan kaum kafir dengan membangun suatu masyarakat muslim yang pada akhirnya mampu mengalahkan kaum kafir (Martin dan Scott: 199). Gerakan The Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin) di Mesir, menurut Hamid Enayat, merupakan perintis dari gerakan 159
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
fundamentalisme Islam, yang kemudian diikuti oleh gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di seluruh dunia Muslim, secara khusus Mesir, Syiria, Iran, Pakistan, Indonesia dan Malaysia dengan bentuk-bentuk yang tidak homogen. Ideologi, tabiat dan gaya dari aktifitas gerakangerakan tersebut, di setiap negara, secara umum ditentukan oleh strategi dan prasarat perjuangan nasional, baik itu kemerdekaan, demokrasi atau mendapatkan kembali identitas budaya nasional yang hilang (Hamid Enayat, 1982: 83). Frank Stoakes juga mengatakan bahwa politik fundamentalisme Islam telah menjelma di Turki dan kelompok-kelompok politik di Iran, akan tetapi pengekspresian politik Islam yang paling dramatis diwakili oleh The Muslim Brotherhood yang didirikan tahun 1928 M di Mesir. Tujuan dari The Muslim Brotherhood adalah untuk memapankan suatu negara muslim teokratik (Islamic Stated) dengan satu nada sosialis, yang diklaim, memungkinkan pelaksanaan yang utuh atas doktrin-doktrin Islam. Akan tetapi, organisasi dan teknik-teknik politiknya banyak mengadopsi partai-partai otoritarian di Eropa, dan dalam mencapai tujuannya mereka memperkenankan melalui cara-cara pembunuhan dan revolusi militer (Frank Stoakes : 24). Di Indonesia, sejak awal kelahiran Orde Baru, sikap terhadap umat Islam mengikuti pola kebijakan yang diterapkan Belanda yaitu bersikap toleran dan bersahabat terhadap Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan. Tapi, sikap ini segera berubah menjadi keras dan tegas ketia Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik yang menentang kehendak penguasa. Itulah sebabnya, Orde Baru dengan cerdik mengantisipasinya melalui tiga cara (Hamid Enayat : 8). Pertama, menumpas habis segala bentuk kelompok Islam sebagai kekuatan politik yang menentang penguasa, baik dengan cara represif (diciduk, diadili, dipenjarakan) maupun dengan cara hegemoni melalui stigmatisasi “ekstrim kanan” yang dianggap akan menggantikan Pancasila dengan ideologi lain (baca: Islam). Kedua, membersihkan institusi politik partai dari unsur-unsur agama. Maka, 160
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
muncullah kebijakan asas tunggal pada awal tahun 1980-an sebagai bagian dari upaya mengebiri partai Islam dari basis konstituennya. Ketiga, merangkul kelompok-kelompok Islam moderat yang dapat memberikan dukungan terhadap kekuasaan serta tidak membahayakan struktur kekuasaan sebagaimana terlihat dari sikap penguasa Orde Baru terhadap ICMI pada awal dekade 1990-an. Mereka ini bahkan juga diberi akses kekuasaan yang lebih besar dari sebelumnya. Dalam perkembangannya, Orde Baru memperluas jangkauannya dengan merangkul kelompok Islam garis keras. Kelompok inilah yang oleh Robert W. Hefner (2000) diistilahkan sebagai “Islam Rezimis”. Padahal, sebelumnya mereka termasuk kelompok yang berusaha ditumpas habis termasuk juga dengan memberi cap bagi mereka sebagai “ekstrem kanan” yang harus senantiasa diwaspadai. Sampai disini, momok ekstrem kanan yang dulu begitu diwaspadai oleh Orde Baru seolah menjadi “macan ompong”. Maka, istilah “ekstrem kanan” seolah-olah hilang dari kamus politik Indonesia. Namun, Orde Baru melupakan satu hal yaitu Islam radikal sebetulnya sudah mengalami “metamorfosa”, meski rezim ini telah berhasil “menjinakkan” umat Islam. Kelompok Islam radikal memang berhasil “ditumpas” rezim Orde Baru pada tahun 1980-an. Namun, dalam waktu hampir bersamaan generasi di bawahnya diam-diam membangun jaringan di kampus-kampus umum. Tumbangnya rezim Orde Baru membuka pintu bagi mereka untuk memulai gerakan secara lebih leluasa. Kalau sebelumnya mereka bergerak di bawah tanah, setelah era reformasi mereka lebih berani tampil dipermukaan secara terang-terangan. Ini memang menjadi bagian dari eforia kebebasan yang melanda bangsa ini meski sebahagian kalangan mengkhawatirkan kehadiran mereka justru menimbulkan terjadinya disintegrasi bangsa dan munculnya kekerasan baik dalam bentuk wacana maupun fisik bahkan terhadap sesama muslim. 161
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
Penutup Fundamentalisme Islam sebagai suatu „gerakan sosial’, tidak sebagai „gerakan Islam‟. Secara umum, fundamentalisme Islam sebagai suatu gerakan sosial yang berupaya memapankan (to established) sistem kepercayaan „umat Islam‟ yang murni (the pristime Islam) ditengah hingar bingar hegemoni dan dominasi budaya Barat. Selain itu, mereka mengakui bahwa nilai-nilai Islam itu hanya dapat terpelihara dengan membangun suatu bentuk negara teokrasi atau negara agama sebagai tandingan atas negara-bangsa (demoktratis). Tambahan pula, para fundamentalis sedang, menggiatkan politisasi agama (Islam politik). Untuk memperjuangkan dan membela tujuan-tujuan sosio-ekonomi dan politik mereka. Radikalisme yang muncul di kawasan Asia Tenggara diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi, kebodohan, dan kemiskinan. Peradaban modern yang saat ini diterapkan oleh masyarakat di seluruh dunia belum mampu mengakomodasi kepentingan kalangan radikalis. Sementara itu, kalangan radikalis sendiri tanpaknya kesulitan untuk menerima kecenderungan global yang mengatur hubungan antar bangsa. Bila perbedaan ini tidak dapat dijembatani, kekerasan dan ketidakpuasan akan terus merebak. Sebagai kesimpulan singkat, dapat ditegaskan bahwa fundamentalisme Islam eksis di tengah suatu kondisi ketidakadilan dunia global, kemiskinan, penindasan dalam suatu tatanan dunia yang bersifat tidak menyertakan (eksklusionary), ketidakpuasanketidakpuasan politik, ekonomi, urbanisasi, krisis moral dan seksualitas di dunia modern, menjadi faktor-faktor yang signifikan bagi kelahiran gerakan-gerakan fundamentalisme dan radikalisme Islam di seluruh dunia Muslim. Selanjutnya, yang patut digarisbawahi bahwa gambaran utama dari kebangkitan gerakan Islam (Islamic movement) adalah gagasan mengenai “political Islam”, berupa (a). Ameriaka Serikat (AS) tidak ingin terlihat tidak bersabat bagi negara-negara Islam. Ini dikhawatirkan akan memperparah sikap mereka terhadap Amerika. 162
Jurnal Al-Mishbah,Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2010: 143-164
Para pejabat Amerika, menurut Gerges, tak mau mengulangi kesalahan yang dibuat saat menghadapi revolusi Islam di Iran, (b). AS ragu-ragu secara terbuka mendukung kelompok Islam manapun kecuali jika menguntungkan bagi kepentingan regionalnya atau kepentingan sekutunya. Pejabat-pejabat AS mengidap kecurigaan besar pada tujuan kebijakan luar negeri para aktivis Islam berikut agenda mereka. (c). Di dalam lingkaran para pembuatkebijakan luar negeri AS, terdapat sebentuk ketidakyakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara negara Islam dan demokrasi. Pandangan AS sudah dijejali dengan masukan-masukan implisit mengenai perilaku politik Islam, melihat Islam revolusioner itu anti demokratis dan otoriter. Jadi, bukannya memberikan panduan kebijakan yang konkrit, pernyataan-pernyataan resmi AS membentuk bahasa yang mendua dan bisa memunculkan beragam interpretasi. Daftar Pustaka Ahmed, Akbar S., Post Modernisme and Islam: Predisement and Promise, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Postmodernisme: Bahaya Dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1996. Buechler, Steven M. and F. Cylke Kurt JR. (ed.), Social Movement, California: Mayvield Publishing Company, 1997. Burke, Edmund, Islam, Politic, and Social Movement, London: California, Press 1988. Burke, Peter, History and Social Theory, New York: Corner University Press, 1996. Castells, Manuel, The Information Age Manuel Castells, the Information Age: Economy, Society and Culture, Vol 11, The Power Of Identity, USA: Blacwell Publisher, 1997, Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Tought, Austin: University Of Texas, 1982. Huntington, Samuel P., The Clas of Civilizations and the Remaking of Word orde, New York: SIMON & SCHUSTER, 1996. 163
Samsinas, Fundamentalisme dan Radikalisme....
Mahendra, Yusril Ihza, Modemisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam Jakarta: Paramadina, 1999. Marty, Martin E. Dan R. Scott Appleby (ed.), Fundamentalisme Comprehended, Chicago: The University of Chicago Press, 1995. Martin Marty dan Scott Appleby, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM, 1998. Maududi, Ant Antology Of Contemporary Middle Eastern History, Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt. Muhammad, Agus, Islam, Radikalisme dan Politik Global, Bentara, 2002. Redaksi, “Globalisasi dan Mesir Voice, Aspirasi dan Muslim Voice, 24 Desember 2003. Shepard, William E., An Antology of Contemporary Middle Eastern History, Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt. Stoakes, Frank, “Ant Antology of Contemporary Midle Eastern History”, Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt. Tibbi, Bassam, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik Dan Kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
164