1
FORMULASI PASTA MI BERPROTEIN DAN BERSERAT TINGGI BERBASISKAN TEPUNG DARI UBI KAYU DAN SURIMI IKAN GABUS (Channa striata)
FARAH AISYAH SUKMAWATI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus (Channa striata)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016
Farah Aisyah Sukmawati NIM C34110008
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
5
ABSTRAK FARAH AISYAH SUKMAWATI. Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus (Channa striata). Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan JOKO SANTOSO. Tepung surimi ikan gabus mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan pengayaan protein untuk produk berbasis karbohidrat yang populer saat ini, yaitu mi. Penambahan rumput laut dan tepung porang (glukomanan) pada mi dapat membentuk tekstur serta meningkatkan kandungan gizi mi. Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan produk olahan berbahan baku pangan lokal yang cepat saji, bergizi dan mengandung serat menggunakan tepung mocaf sebagai bahan baku serta pengayaan protein dengan tepung surimi ikan gabus. Hasil analisis sensori menunjukkan bahwa formula mi dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 9% menghasilkan mi dengan penerimaan terpilih. Mi kering formula terpilih memiliki karakteristik yang meliputi kadar air 8,01%, kadar abu 4,21%, kadar protein 5,76%, kadar lemak 0,96%, kadar karbohidrat 89,06%, serat pangan 8,38% (dari serat total), aktivitas air 0,52, cooking time 8,10 menit, cooking loss 32,04%, warna kecerahan 94,48, kekerasan 1493,20 gf, kelengketan -307,70 gf, dan kekenyalan 71,79 gf. Informasi nilai gizi dengan takaran saji 100 gram adalah total energi 356,84 kkal, %AKG karbohidrat 27,31%, %AKG protein 8,83%, %AKG lemak 1,41%, dan %AKG serat pangan 33,52%. Kata kunci: ikan gabus, mi kering, serat pangan, tepung surimi, tepung porang
ABSTRACT FARAH AISYAH SUKMAWATI. Formulation of Noodles Pasta High Fiber and Protein Based on Flour from Cassava and Snakehead Fish (Channa striata) Surimi. Supervised by WINI TRILAKSANI and JOKO SANTOSO. Surimi powder of snakehead fish contains high protein, therefore it is potential as a material for protein enrichment in carbohydrate based products that are popular nowadays, namely udon noodles. The addition of seaweed and porang flour (glucomannan) had an effect on texture noodles and also increase the nutrient of noodles. The aim of this study was to create processed fast-food product that formulated from local ingredients, nutritious and contained of fiber using mocaf as raw material and surimi powder of snakehead fish as enrichment protein material. The result of sensory analysis showed that the formula with the addition of 9% surimi powder of snakehead fish produced noodles with the best acceptance. Udon dried noodles with the best formula had characteristics as follow: 8.01% moisture content, 4.21% ash content, 5.76% protein content, 0.96% fat content, 89.06% carbohydrate content, 8.38% dietary fiber (from total fiber), water activity 0.52, cooking time 8.10 minutes, 32.04% cooking loss, brightness color 94.48, hardness 1493.20 gf, stickiness -307.70 gf, and springiness 71.79 gf. Nutrition value information with serving size of 100 g contained calories 356.84 kcal, 27.31% daily value of carbohydrate, 8.38% daily value of protein, 1.41% daily value of fat, and 33.52% daily value of dietary fibre. Keywords: dietary fiber, dried noodles, porang flour, snakehead fish, surimi powder
7
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
9
FORMULASI PASTA MI BERPROTEIN DAN BERSERAT TINGGI BERBASISKAN TEPUNG DARI UBI KAYU DAN SURIMI IKAN GABUS (Channa striata)
FARAH AISYAH SUKMAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
11
Judul Skripsi
Nama NIM Program Studi
: Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus (Channa striata) : Farah Aisyah Sukmawati : C34110008 : Teknologi Hasil Perairan
Disetujui oleh
Dr Ir Wini Trilaksani MSc Pembimbing I
Prof Dr Ir Joko Santoso MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Joko Santoso MSi Ketua Departemen
Tangggal Lulus :
13
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus (Channa striata)” dengan baik. Skripsi disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1 Dr Ir Wini Trilaksani, MSc dan Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku dosen pembimbing sekaligus Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah memberikan banyak arahan, masukan dan motivasi selama penyelesaian tugas akhir. 2 Ir Heru Sumaryanto, MSi selaku dosen penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis. 3 Dr Kustiariyah Tarman, SPi, MSi selaku wakil komisi pendidikan, atas segala masukan dan arahannya. 4 Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan. 5 Bambang Riyanto, SPi, MSi dan Wahyu Ramadhan, SPi, MSi yang senantiasa membantu dalam penyusunan skripsi. 6 Keluarga penulis terutama bapak (Arif Dibyo Pranowo, SE), mama (Anita Yustisia) dan adik (Fahmi Muhammad Cokrosudibyo) yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi. 7 Nur Maghfiroh ATD, Rika Lestari, M Reza Fahlepi, M Wahyu Jati, Lina Yustikaningsih, Azah Fajriah, Ajeng Novvita Sary, Elly Susanti, Santiara Putri P dan Pipih Mahmudah yang senantiasa membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 8 Sila Kartika Sari dan Uli Fitri Handayani, yang selalu memberi inspirasi dan motivasi kepada penulis. 9 Mba Dini, Mas Zaky, Mba Retno, Pak Junaedi selaku laboran yang senantiasa membantu kegiatan penelitian. 10 Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2016
Farah Aisyah Sukmawati
15
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. PENDAHULUAN ........................................................................................ Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... METODE PENELITIAN .............................................................................. Waktu dan Tempat .................................................................................. Bahan dan Alat ........................................................................................ Tahap Penelitian ...................................................................................... Prosedur Analisis .................................................................................... Rancangan Percobaan dan Analisis Data ................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Karakteristik Tepung Surimi Ikan Gabus ................................................. Karakteristik Bubur Rumput Laut (K. alvarezii) ...................................... Karakteristik Tepung Porang .................................................................... Karakteristik Sensori Mi Kering ............................................................... Penentuan Formula Mi Kering Surimi Gabus Terpilih ............................. Karakteristik Fisiko-kimia Formula Mi Kering Surimi Ikan Gabus Terpilih, Kontrol dan Komersial ................................ Sumbangan Gizi Mi Kering Surimi Gabus Terpilih terhadap Angka Kecukupan Gizi ............................................................................ KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... Kesimpulan ............................................................................................. Saran ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN ................................................................................................. RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
i ii ii 1 1 3 4 4 5 6 6 6 6 12 17 19 19 22 23 24 29 30 37 37 37 38 38 47 65
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Formula mi kering ............................................................................... Hasil proksimat ikan gabus .................................................................. Karakteristik fisiko-kimia tepung surimi ikan gabus............................. Karakteristik komposisi kimia bubur rumput laut ................................. Karakteristik komposisi kimia tepung porang....................................... Hasil analisis dengan metode Bayes ..................................................... Karakteristik fisik mi kering formula terpilih, formula kontrol dan komersial .......................................................................... Karakteristik kimia mi kering formula terpilih, formula kontrol dan komersial ..........................................................................
10 19 20 22 23 29 30 34
9
Informasi gizi mi kering formula terpilih, formula kontrol dan mi kering komersial ...........................................................
37
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Diagram alir penelitian......................................................................... Diagram alir pembuatan tepung surimi ikan gabus ............................... Diagram alir pembuatan bubur rumput laut .......................................... Diagram alir pembuatan mi kering dan analisis .................................... Struktur kimia glukomanan .................................................................. Karakteristik sensori mi kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan gabus ....................................................................
7 8 9 11 25 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Lembar penilaian uji sensori mi kering dan basah ................................ Hasil uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn parameter sensori Mi kering surimi gabus ........................................................................ Penilaian indeks kinerja (metode Bayes) terhadap parameter sensori mi kering ............................................................................................. Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam dan uji lanjut Duncan karakteristik fisik mi kering .................................................... Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam dan uji lanjut Duncan karakteristik kimia mi kering .................................................. Perhitungan persentase sumbangan gizi mi kering ................................
49 50 51 53 58 64
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan menjadi krusial bagi setiap individu. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia, kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat. Menurut data BPS (2015) jumlah penduduk di Indonesia tahun 2014 sebanyak 252,1 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Sumber pangan akan menjadi permasalahan yang serius karena sangat berkaitan dengan ketersediaan bahan baku pangan itu sendiri. Masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi beras sebagai sumber karbohidrat. Ariani (2010) menyatakan bahwa pemerintah dengan berbagai program terus berupaya untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi upaya pencapaian produksi pangan kedepan tampaknya akan menemui kendala akibat adanya perubahan iklim dan budaya pola makan masyarakat di Indonesia. Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara terintegrasi. Pemenuhan kebutuhan protein masyarakat Indonesia masih tertumpu pada protein nabati (Ariani 2010). Mengacu data SUSENAS tahun 2013 kontribusi protein hewani dalam pemenuhan kebutuhan total konsumsi protein baru mencapai 31,7%, sedangkan protein nabati kontribusinya mencapai 68,3%. Sumbangan protein ikan terhadap konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia mencapai 57% (KKP 2013a). Hasil perikanan memiliki potensi yang baik untuk pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani. Ikan memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya, salah satunya adalah kandungan protein tinggi yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan fortifikasi pada berbagai produk makanan. Protein ikan dapat difortifikasikan dalam bentuk daging lumat atau tepung ikan mutu pangan dan protein hidrolisat (Irianto dan Soesilo 2007). Protein ikan dalam bentuk daging lumat biasa disebut surimi. Rawdkuen et al. (2009) menyatakan bahwa surimi merupakan daging lumat yang merupakan protein hasil dari pemisahan tulang secara mekanis, dan penghilangan komponen lemak, darah, enzim, serta protein sarkoplasma dengan perlakuan pencucian air dingin dan ditambahkan bahan antidenaturasi pada proses pembekuan (cryoprotectant) sebagai penstabil. Pengolahan surimi lebih lanjut ke dalam bentuk tepung menjadi salah satu kajian yang penting dalam beberapa tahun ini. Pembuatan tepung surimi merupakan inovasi pengembangan bentuk protein yang mudah untuk diaplikasikan ke dalam produk pangan yang memiliki kadar protein rendah. Santana et al. (2012) mengemukakan bahwa surimi dalam bentuk tepung memiliki beberapa kelebihan daripada surimi dalam bentuk beku, yaitu biaya distribusi pada skala industri yang lebih murah dan penyimpanan yang lebih mudah. Salah satu ikan yang memiliki potensi untuk dijadikan produk tepung surimi adalah ikan gabus. Surimi yang berkualitas baik adalah yang berwarna putih (colorless), tidak berbau (odorless) dan mengandung protein miofibril yang tinggi karena akan
2
berpengaruh pada kekuatan gelnya (Park dan Lin 2005). Ikan gabus (Channa striata) merupakan ikan air tawar yang mengandung protein dan rendemen daging yang cukup tinggi. Penelitian Tan dan Azhar (2014) menunjukkan bahwa rendemen fillet ikan gabus sebesar 35,73% dan kadar protein dari tepung fillet ikan gabus sebesar 87-94% (bk). Ikan gabus memiliki kadar protein yang tinggi dan kadar lemak yang rendah. Kadar protein dan lemak ikan gabus berturut-turut adalah 17,61% dan 1,34% (Prawira 2008). Ikan yang mengandung protein tinggi dan lemak yang rendah sangat cocok untuk diolah menjadi surimi, karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel pada surimi yang dihasilkan (Guenneugues dan Morissey 2005). Volume produksi ikan gabus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 angka produksi mencapai 36.205 ton dan tahun 2014 mencapai 39.030 ton (Ditjen Perikanan Tangkap 2015). Eksplorasi pemanfaatan ikan gabus saat ini lebih cenderung pada bidang kesehatan, karena kandungan protein albuminnya yang dapat membantu recovery pada luka. Kandungan albumin pada ikan gabus, toman dan betutu segar berturut-turut adalah 1,15 g/100 mL; 1,36 g/100 mL dan 1,05 g/100 mL (Zakiah 2016). Sementara itu, pemanfaatan ikan gabus dalam bidang pangan sebatas olahan ekstrak albumin, makanan khas daerah ataupun ikan gabus asin yang dikeringkan. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai jual ikan gabus dan memanfaatkannya menjadi bahan pangan kaya protein, maka ikan gabus diolah dalam bentuk tepung surimi yang selanjutnya dapat difortifikasikan ke dalam produk pangan. Asupan makanan sehari-hari tidak cukup hanya mengandung komponen gizi seimbang saja, seperti vitamin, lemak, protein, karbohidrat, mineral dan air. Keberadaan serat makanan dalam menu makanan sangat dianjurkan untuk hidup sehat. Serat makanan adalah kelompok zat tidak mengandung gizi, namun memiliki fungsi sebagai unsur yang membantu dan menjaga keseimbangan kesehatan dalam tubuh (Lubis 2009). Kecukupan asupan serat kini dianjurkan mencapai 25-38 g/hari bagi orang dewasa (IOM 2005). Pergeseran pola makan masyarakat Indonesia dari pola makanan berserat tinggi ke pola makanan berserat rendah dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Hal tersebut dapat dicegah dengan mengkonsumsi serat pangan (Muchtadi 2001). Rumput laut merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung serat pangan dan dikenal sebagai hidrokoloid. Jumlah produksi rumput laut pada tahun 2013 sebesar 3,4 juta ton. Salah satu jenis rumput laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomis penting adalah Kappaphycus alvarezii (KKP 2013b). Menurut Santoso et al. (2006) rumput laut jenis K. alvarezii mengandung serat pangan yang cukup tinggi, yaitu 11,6 g/100g. Rumput laut ini juga mengandung karaginan yang berfungsi sebagai pembentuk tekstur dan pengenyal. Oleh karena itu, penggunaan rumput laut segar diharapkan dapat memberi tekstur kenyal serta menambah kandungan gizi pada produk pangan yang dihasilkan. Bahan pangan lain yang juga dapat berfungsi sebagai texturizer dan mengandung serat pangan selain rumput laut adalah umbi porang. Umbi porang sangat jarang dikonsumsi langsung karena mengandung kristal kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal, sehingga diproses untuk menghilangkan kalsium oksalat dan hasil akhirnya dalam bentuk tepung porang yang kaya glukomanan. Glukomanan merupakan soluble dietary fiber, sehingga tepung porang dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan (Lasmini 2002). Chua et al. (2010)
3
melaporkan bahwa glukomanan umumnya dimanfaatkan sebagai pembentuk tekstur dan gel pada bidang pangan, minuman dan farmasi. Xiong et al. (2009) juga mengemukakan bahwa glukomanan merupakan bahan pengisi yang efektif untuk meningkatkan pembentukan gel protein miofibril. Tepung porang dan rumput laut serta tepung surimi ikan gabus sangat potensial digunakan sebagai bahan pengayaan gizi serat pangan dan protein untuk produk berbasis karbohidrat yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia maupun Asia, yaitu mi. Gan et al. (2009) menyatakan bahwa angka konsumsi tepung terigu untuk pembuatan mi di negara-negara Asia mencapai 30-45%. Asosiasi mi instan dunia menyatakan bahwa Indonesia termasuk kedalam negara yang mengkonsumsi mi instan terbanyak kedua setelah China. Angka permintaan mi instan di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 13.200 ton, sedangkan China 40.430 ton (WINA 2015). Disamping itu Indonesia masih mengimpor terigu setiap tahunnya. Pada tahun 2013 tercatat impor terigu mencapai angka 5,08 juta ton (Kemenperin 2013). Bahan baku lokal alternatif yang dapat digunakan untuk pembuatan mi adalah ubi kayu (singkong). Tepung Modified Cassava Flour (Mocaf) adalah tepung yang terbuat dari singkong yang mengalami proses fermentasi terlebih dahulu dengan menggunakan mikroba bakteri asam laktat (BAL) dan tepung ini memiliki sifat fisik yang paling mendekati tepung terigu (Salim 2011). Penggantian tepung terigu dengan tepung mocaf pada pembuatan mi akan berpengaruh terhadap kadar protein produk tersebut, karena menurut Sunarsi et al. (2011) tepung mocaf tidak mengandung gluten, seperti halnya tepung terigu. Tepung mocaf memiliki kadar protein rendah yaitu 1,2% jika dibandingkan dengan tepung terigu yang mencapai 8-13%. Menurut Fu (2008) regular salted noodles terbuat dari tepung terigu dan air yang mengandung 2-8% garam dari bobot tepung terigu itu sendiri. Mi putih bergaram umumnya diproduksi dalam bentuk mi basah dan mi kering. Perbedaan mi tersebut dengan mi lainnya adalah ukuran lebar untaiannya sebesar 3,0 mm. Beberapa penelitian mengenai mi putih bergaram diantaranya Wang et al. (2004) mengenai pengaruh kandungan protein dan komposisinya pada kualitas mi putih yang dihasilkan; Park dan Baik (2009) mengenai penambahan gluten pada mi putih bergaram; dan penelitian Heo et al. (2012) mengenai pengaruh kadar amilosa pada waktu pemasakan dan tekstur mi putih bergaram. Belum adanya penelitian mengenai pembuatan white salted noodles di Indonesia, mendorong dilakukannya penelitian pembuatan mi tersebut dengan menggunakan bahan baku lokal yang dapat menggantikan tepung terigu sehingga masyarakat tidak bergantung pada produk impor. Penambahan tepung surimi ikan gabus, rumput laut dan tepung porang pada pembuatan produk mi kering diharapkan dapat menambah kandungan protein dan serat pada produk serta untuk memperbaiki tekstur sehingga diperoleh mi yang kenyal dan bergizi tinggi.
Perumusan Masalah Terdapat berbagai macam jenis mi yang populer di Asia, salah satunya adalah white salted noodles. Perilaku konsumsi masyarakat ibu kota Jakarta menyebabkan mi tersebut digemari oleh masyarakat kalangan menengah keatas karena besarnya pengaruh globalisasi yang terjadi. Berbagai macam variasi
4
produk mi berbasis terigu telah mendominasi di pasaran Indonesia. Secara tidak langsung hal ini berdampak langsung pada ketergantungan impor terhadap bahan baku terigu. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi konsumsi mi terigu adalah dengan membuat mi yang berbahan baku produk lokal, yaitu ubi kayu (singkong). Belum adanya pembuatan mi white salted noodles dengan menggunakan bahan baku selain terigu, maka hal ini mendorong dilakukannya pembuatan mi tersebut dengan bahan baku lokal yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor akan tepung terigu. Mi berbahan baku tepung dari ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, namun rendah kandungan gizi lainnya. Hasil perikanan memiliki potensi yang besar untuk pemenuhan gizi masyarakat. Ikan dapat menjadi solusi untuk pemenuhan kebutuhan protein di Indonesia dengan mengolah ikan menjadi tepung surimi. Tepung surimi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengayaan protein pada produk makanan yang rendah akan protein. Rumput laut mengandung serat pangan yang cukup tinggi dan juga dapat berfungsi sebagai texturizer. Bahan pangan lain yang mengandung serat pangan tinggi dan memiliki fungsi yang sama adalah tepung porang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan gizi pada mi yaitu dengan melakukan fortifikasi tepung surimi kering, rumput laut dan tepung porang pada formulasi mi kering, sehingga dihasilkan mi kering yang kaya akan kandungan protein dan serat.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat mi kering berbahan baku singkong dengan pengayaan protein yang berasal dari tepung surimi ikan gabus serta pengayaan serat yang berasal dari rumput laut dan tepung porang. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan formula terpilih mi kering berbahan baku singkong yang diperkaya dengan tepung surimi ikan gabus berdasarkan karakteristik sensori. 2. Menentukan pengaruh penambahan tepung surimi ikan gabus terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. 3. Menentukan karakteristik fisiko kimia mi kering formula terpilih dan formula kontrol serta membandingkannya dengan mi kering komersial. 4. Menentukan persentase sumbangan zat gizi terhadap angka kecukupan gizi (AKG) produk mi kering yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu dapat menghasilkan produk baru mi kering yang pembuatannya menggunakan hasil perikanan yaitu rumput laut dan ikan gabus. Ikan gabus yang diolah menjadi tepung surimi dapat meningkatkan nilai tambah ikan gabus dan kandungan gizi protein pada mi kering. Penambahan rumput laut dan tepung porang juga dapat menambah kandungan serat dan memberi tekstur kenyal pada mi. Penggunaan bahan baku singkong pada pembuatan mi kering dapat meningkatkan konsumsi pangan lokal,
5
sehingga mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan inovasi baru untuk mengadopsi produk pangan dari luar Indonesia dan memodifikasi pembuatannya dengan menggunakan bahan baku lokal.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yaitu pembuatan tepung surimi ikan gabus dan karakterisasi tepung surimi ikan gabus yang meliputi analisis kadar air; kadar protein; kadar lemak; derajat putih; daya serap air; daya serap minyak; densitas dan kekuatan gel. Penelitian ini juga mencakup pembuatan bubur rumput laut dan karakterisasi bubur rumput laut, serta karakterisasi tepung porang. Penelitian utama yang dilakukan adalah penentuan formula terpilih mi kering berdasarkan analisis sensori (kenampakan, warna, aroma, rasa, kekerasan dan kekenyalan), pengujian karakteristik mi kering yang meliputi analisis proksimat; analisis serat pangan; uji aktivitas air (aw), cooking time, cooking loss dan analisis profil tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan), serta perhitungan persentase sumbangan zat gizi terhadap angka kecukupan gizi (AKG).
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga September 2015. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan di luar IPB, yaitu Laboratorium Diversifikasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium R & D Pasta dan Sereal SEAFAST Center, Laboratorium Terpadu, Laboratorium Analisis Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Analisis Terpadu Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Balai Besar Industri Agro, serta Laboratorium Pengujian Balai Besar Pascapanen Pertanian.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi empat, yaitu bahan untuk pembuatan tepung surimi ikan gabus; bubur rumput laut; mi kering; dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung surimi ikan gabus adalah ikan gabus (jenis Channa striata yang diangkut dalam keadaan hidup dari kolam budidaya di daerah Jakarta Utara), air, es batu, trehalosa 6% dan NaHCO3 0,75%. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan bubur
6
rumput laut adalah rumput laut kering (jenis Kappaphycus alvarezii yang diperoleh dari Pontang, Serang, Banten), air dan CaO 5%. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mi kering adalah mocaf merk Mocaf, tepung porang (80 mesh) yang diperoleh dari Pabrik Penepungan Porang Perum Perhutani Unit II, Pare, Jawa Timur, tepung tapioka (kadar lemak total 3,9 g/100 g; karbohidrat total 22 g/100 g; protein 2 g/100 g) yang diproduksi oleh PT Budi Starch and Sweetener, Lampung, tepung maizena (kadar lemak 0,1 g/100 g; karbohidrat total 91 g/100 g; serat pangan 0,9 g/100 g dan protein 0,3 g/100 g) merk Maizenaku, garam, air abu 1%, dan bubur rumput laut. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis meliputi akuades, minyak nabati, serbuk BaSO4, pelarut heksana, kjeltab merk Merck, H3BO3 2%, indikator Brom Cresol Green-Methyl Red, HCl 0,01 N, NaOH 30%, H2SO4 pekat, aquades, larutan tarmamyl, enzim protease, enzim amiloglukosidase, NaOH 0,275 N, HCl 0,325 N, buffer fosfat pH 6.0, etanol 95%, etil alkohol 78%, etil alkohol 95% dan aseton. Alat yang digunakan meliputi gelas ukur, meat grinder (National MK G20NR, Indonesia), stopwatch, cabinet dryer, blender (Philips, Belanda), termometer, batang pengaduk, baskom, kain belacu, ayakan ukuran 60 mesh, sudip, timbangan analitik (Sartorius TE64, Jerman), sendok, panci, spatula, kompor, loyang aluminium, ekstruder pencetak mi (model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China), cawan porselen, kompor listrik (Maspion, Indonesia), oven (Yamato tipe DV 41, Jepang), desikator, soxhlet, labu lemak, labu kjeldahl, whiteness meter (Kett Electricity Laboratory tipe C-100-3, Jepang), tabung sentrifugasi, penangas air, sentrifugator (Beckman J2-21, Amerika; 3000rpm; 30 menit), dan texture analyzer (TA-XT2i, Inggris). Ekstruder pasta yang digunakan memiliki spesifikasi: diameter barrel 3,2 cm, diameter ulir 3,1 cm, kedalaman flight 0,9 cm, lubang die berjumlah 12 buah dengan diameter masing-masing lubang adalah 3,0 mm. Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri atas enam tahap, tahap pertama yaitu pembuatan tepung surimi ikan gabus. Tahap kedua, pembuatan bubur rumput laut. Tahap ketiga, formulasi mi kering. Tahap keempat, pembuatan dua formula mi kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan gabus. Tahap kelima, penentuan formula terpilih mi kering yang difortifikasi tepung surimi ikan gabus dengan metode Bayes. Tahap keenam, membandingkan mi kering formula terpilih dengan mi kering komersial. Mi dengan formula terpilih kemudian dihitung persentase sumbangan gizinya terhadap AKG. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pembuatan tepung surimi ikan gabus Pembuatan tepung surimi ikan gabus mengacu pada metode penelitian Ramadhan et al. (2014) yang dimodifikasi pada tahap pengeringan (Gambar 2). Tahap pembuatan tepung surimi diawali dengan preparasi ikan gabus dalam bentuk fillet, kemudian direndam pada larutan NaHCO3 dengan konsentrasi 0,75% selama 30 menit yang bertujuan untuk mengurangi kadar lemak. Fillet ikan gabus kemudian digiling dengan menggunakan meat grinder. Daging ikan yang sudah digiling kemudian dicuci dengan air dingin (suhu 10 °C) sebanyak satu kali.
7
Tahap berikutnya yaitu pemberian dryoprotectant berupa trehalosa 6% yang mengacu pada perlakuan yang diberikan pada pembuatan tepung surimi oleh Huda et al. (2012), kemudian dilakukan pengeringan yang mengacu pada penelitian Susanti (2015) dengan menggunakan cabinet dryer pada suhu 40 oC selama 4 jam. Tahap terakhir dilakukan penghancuran surimi kering dengan menggunakan blender dan diayak pada ayakan 60 mesh sehingga diperoleh tepung surimi. Tepung surimi kemudian dianalisis kadar airnya (BSN 2006 b), kadar lemak (BSN 2006c) dan kadar protein (BSN 2006d), derajat putih (ICC 2009), daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak (Beuchat 1977), densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992), dan kekuatan gelnya (Park dan Lin 2005). Ikan gabus
Karakterisasi: Rendemen, proksimat, derajat putih, daya serap air dan minyak, densitas kamba, dan kekuatan gel
Rumput laut
Pembuatan tepung surimi
Pembuatan bubur rumput laut
Tepung surimi ikan gabus
Bubur rumput laut
Karakterisasi: Proksimat dan serat pangan
Tepung porang
Karakterisasi: Proksimat, serat pangan, glukomanan
Formulasi mi basah
Fortifikasi mi dengan tepung surimi ikan gabus
Pengeringan mi
Mi kering
Karakterisasi: Sensori
Penentuan formulasi terbaik dengan metode Bayes
Mi kering terbaik
Karakterisasi: kimia, fisik dan AKG
Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
8
*Ikan gabus (Channa striata)
Pemfilletan Perendaman dalam larutan NaHCO3 0,75% selama 30 menit Pembilasan dengan air Pelumatan dengan meat grinder Pencucian dengan air 10 oC (1:3) sebanyak 1 kali Penambahan dryoprotectant trehalosa 6% *Pengeringan dengan cabinet dryer pada suhu 40 oC, selama 4 jam *Penghancuran dengan blender
*Pengayakan dengan ayakan ukuran 60 mesh Tepung surimi ikan gabus
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung surimi ikan gabus (*modifikasi Ramadhan et al. 2014) Pembuatan bubur rumput laut Pembuatan bubur rumput laut mengacu pada metode penelitian Hudaya (2008) yang dimodifikasi pada tahap perendaman rumput laut kering dalam air tawar (Gambar 3). Tahap pembuatan bubur rumput laut diawali dengan penimbangan rumput laut kering kemudian dilakukan pencucian dan perendaman air tawar selama 5 hari. Tahap selanjutnya adalah pembilasan berulang dan perendaman dalam larutan CaO 5% selama 5 jam, kemudian dilakukan pembilasan dan penirisan. Tahap terakhir dilakukan penggilingan dengan blender hingga menjadi bubur rumput laut. Larutan CaO 5% berfungsi untuk meningkatkan rendemen yang dihasilkan dan kekuatan gel dari rumput laut (Firdaus et al. 2015). Bubur rumput laut kemudian dianalisis proksimat (BSN 2006a,b,c,d) dan total serat pangan (AOAC 2005). Formulasi mi kering Pembuatan mi kering dibagi menjadi dua tahap, yaitu formulasi adonan sebagai penelitian pendahuluan dan pembuatan mi kering yang mengacu pada metode penelitian Sary (2015) yang dimodifikasi. Formulasi adonan dimulai dengan melakukan trial and error untuk proporsi yang sesuai antara tepung mocaf, maizena dan tapioka. Hasil formulasi tersebut menunjukkan bahwa
9
persentase yang sesuai untuk adonan mi kering adalah mocaf 35%, maizena 6% dan tapioka 16%. Menurut metode Sary (2015) adonan tersebut kemudian dibuat menjadi binder yang disiapkan dengan cara mendidihkan pati singkong (10% dari masing-masing total pati singkong, yaitu tapioka dan mocaf) dan garam 2% ke dalam air (1:7 w/v). Binder dicampur dengan tepung surimi ikan gabus, bubur rumput laut, gel porang dan 90% pati singkong yang masih tersisa. Tepung porang yang akan ditambahkan ke dalam adonan, harus dibuat dalam bentuk gel porang terlebih dahulu. Mengacu pada metode Faridah dan Widjanarko (2014) gel porang dibuat dari tepung porang 6% yang dicampur dengan air (1:2). Konsentrasi bubur rumput laut yang ditambahkan ke dalam adonan adalah 6% berdasarkan pada acuan asupan serat yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa, yakni 25-38 g/hari (IOM 2005). Pada saat pencampuran adonan, ditambahkan air abu 1% yang mengacu pada Hou (2001) secara perlahan sambil dicampur hingga diperoleh adonan yang kalis. Adonan kemudian dicetak menggunakan ekstruder pencetak mi (ekstruder pasta) dan dikeringkan selama 1 jam pada suhu 40 oC menggunakan cabinet dryer. Formula mi kering hasil penelitian pendahuluan dan diagram alir pembuatan mi berturut-turut disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 4. Rumput laut (Kappaphycus alvarezii) kering
Penimbangan
*Perendaman dalam air selama 5 hari
Pembilasan berulang dengan air tawar
Perendaman dalam larutan CaO 5% ± 5 jam
Pembilasan dengan air mengalir
Penirisan
Penggilingan dengan blender
Bubur rumput laut
Gambar 3 Diagram alir pembuatan bubur rumput laut (*modifikasi Hudaya 2008)
10
Tabel 1 Formula mi kering Komposisi bahan Tepung mocaf Tepung tapioka Tepung porang Maizena Garam Rumput laut Air abu 1% Jumlah *Tepung surimi
Jumlah (%) 35,33 16,00 6,67 6,67 2,00 6,67 13,33 100,00 6% dan 9%
Sumbangan (g) 53 24 10 10 3 10 20 130 10 dan 15
Fortifikasi tepung surimi ikan gabus terhadap mi kering Fortifikasi tepung surimi ikan gabus terhadap mi kering dilakukan dengan dua taraf perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung surimi ikan gabus dengan konsentrasi 6% dan 9% (dari total berat tepung). Konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang digunakan dalam penelitian ini diacu berdasarkan teori umum mengenai anjuran kisaran energi gizi makro bagi penduduk Indonesia dalam estimasi kecukupan gizi, yaitu 10-20% energi protein, 25-35% energi lemak, dan 40-60% energi karbohidrat (Tejasari 2005), sedangkan anjuran kisaran energi gizi makro bagi penduduk Amerika Serikat umumnya 10-35% energi protein, 20-35% energi lemak, dan 45-65% energi karbohidrat (IOM 2005). Penentuan formula terpilih mi kering dan perhitungan kandungan gizi Formula yang terpilih ditentukan berdasarkan karakteristik terpilih dari kedua formula mi kering yang difortifikasi tepung surimi ikan gabus dengan uji indeks kinerja (metode Bayes). Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terpilih dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal (Marimin 2004). Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus yang menghasilkan produk yang paling disukai. Formula mi kering terpilih didasarkan pada kesukaan konsumen terhadap karakteristik sensori dengan pembobotan (kenampakan, warna, aroma, rasa, kekerasan dan kekenyalan). Formula yang terpilih tersebut kemudian dihitung persentase sumbangan angka kecukupan gizinya. Nilai energi makanan dapat ditetapkan menggunakan faktor atwater melalui perhitungan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi makanan tersebut. Faktor atwater merupakan angka konversi karbohidrat, lemak, dan protein tiap gramnya dalam menghasilkan energi. Faktor atwater untuk karbohidrat adalah 4 kkal/g, lemak 9 kkal/g, dan protein 4 kkal/g. Nilai energi dapat diperoleh dari jumlah kali antara faktor atwater dengan gram gizi pada bahan pangan (Almatsier 2006).
11
Mocaf 10% dan tepung tapioka 10% + garam 2%
Pencampuran ke dalam air dengan perbandingan (tepung:air = 1:7 w/v)
Pemanasan dan pengadukan hingga terbentuk gel berwarna transparan (suhu 80 oC; 2 menit) *Mocaf 90%, tepung tapioka 90%, tepung maizena, gel porang 6% dan bubur rumput laut 6%
*Tepung surimi ikan gabus 6% dan 9%
Binder berbentuk gel
*Penambahan air abu 1%
Pengadonan hingga kalis
Pembentukan untaian mi dengan ekstruder pencetak (ukuran diameter mi 2,5 mm dan lebar 3,0 mm)
Mi basah
Pengeringan dengan cabinet dryer suhu 40 oC, selama 1 jam
Mi kering surimi ikan gabus
Pengujian sensori
Penentuan formula terpilih dengan metode Bayes
Formula mi kering terpilih
Pembandingan mi formula terpilih, kontrol dan komersial
Analisis: Proksimat; serat pangan; analisis profil tekstur; cooking time; cooking loss; dan aktivitas air (aw)
Gambar 4 Diagram alir pembuatan mi kering dan analisis (*modifikasi Sary 2015)
12
Prosedur Analisis Rendemen Penentuan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat tepung yang dihasilkan dengan berat bahan baku. Rendemen dihitung dengan rumus : Rendemen (%) =
berat ak ir yan diperole berat awal ba an baku
) )
x 100%
Daya serap air (Beuchat 1977) Penentuan daya serap air dilakukan dengan memasukkan 1 g sampel ke dalam tabung sentrifugasi kemudian ditambahkan 10 mL akuades. Sampel diaduk dengan spatula dan didiamkan selama 30 menit. Larutan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, supernatan ditimbang dengan timbangan analitik. Daya serap air dihitung dengan rumus : Daya serap air (%) =
a-b c
x 100%
Keterangan : a = (Berat awal)+(air terserap) b = (Berat akhir)+(air tidak terserap) c = Berat sampel (g) Daya serap minyak (Beuchat 1977) Penentuan daya serap minyak dilakukan dengan memasukkan 1 g sampel dan 10 mL minyak nabati ke dalam tabung sentrifugasi. Sampel kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, supernatan ditimbang dengan timbangan analitik. Daya serap minyak dihitung dengan rumus : Daya serap air (%) =
a-b c
x 100%
Keterangan : a = (Berat awal)+(minyak terserap) b = (Berat akhir)+(minyak terserap) c = Berat sampel (g) Derajat putih (ICC 2009) Analisis warna dilakukan dengan Whiteness Meter. Sampel sebanyak 3 g ditempatkan dalam suatu wadah. Suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel di atas tester. Selanjutnya, wadah yang berisi sampel beserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Derajat putih dihitung dengan rumus: Derajat putih (%) =
erajat puti
x
13
Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Densitas kamba menunjukkan kepadatan partikel yang menempati ruang pada volume tertentu. Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan pengukuran 10 g sampel dengan menggunakan gelas ukur 50 ml. Densitas kamba dinyatakan dalam gram per ml. Densitas kamba dihitung dengan menggunakan rumus: Densitas kamba (g/ml) =
berat sampel
)
volume sampel mL)
Kekuatan gel surimi (Park dan Lin 2005) Kekuatan gel surimi dianalisis dengan alat texture analyzer. Sampel tepung surimi dibuat dalam bentuk surimi basah dengan cara rehidrasi. Surimi basah kemudian dibuat menjadi kamaboko dengan cara surimi dibuat adonan dengan penambahan garam dan dicetak pada selongsong dan dipanaskan pada suhu 40 oC dan 90 oC masing-masing selama 20 menit. Selanjutnya kamaboko didinginkan pada suhu ruang. Sampel kamaboko dengan panjang 2,5 cm diletakkan di bawah probe berdiameter ½ inchi dengan kecepatan pengukuran 1,1 mm/detik, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kekuatan gel surimi dinyatakan dalam g/cm2 yaitu kekuatan gel (tinggi kurva) (g force) perluas permukaan kontak area probenya (cm2). Tekanan dilakukan sebanyak satu kali. Hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai kekuatan gel (breaking force) ditunjukkan oleh puncak (peak) pertama dimana terjadi penurunan. Tiap analisis kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan sampel pengujian sebanyak dua ulangan. Kadar abu (BSN 2006a) Tahap awal analisis kadar abu yaitu cawan pengabuan terlebih dulu dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C sampai pengabuan sempurna, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Perhitungan persentase kadar abu basis basah dapat dihitung dengan rumus : Kadar abu (%) =
obot setela tanur - obot cawan obot sampel
x 100%
Kadar air (BSN 2006b) Analisis kadar air diawali dengan pengeringan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g contoh dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C selama 6 jam. Selanjutnya, cawan tersebut diletakkan pada desikator ± 30 menit dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Persentase kadar air basis basah dapat dihitung dengan rumus :
14
Kadar air (%) =
obot cawan
sampel) - obot setela oven
x
obot sampel
c
Kadar lemak (BSN 2006 ) Sebanyak 5 g sampel ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dapat dihitung dengan rumus berikut: Kadar lemak (%) =
obot labu den an lemak - Labu koson obot sampel
x 100%
Kadar protein (BSN 2006d) Analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Tahap destruksi diawali dengan penimbangan sampel sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Setengah butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 mL H2SO4. Labu Kjeldahl yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 400 oC. Proses destruksi dilakukan kurang lebih satu jam sampai larutan menjadi hijau bening. Larutan sampel yang sudah didestruksi ditambahkan akuades sampai 100 mL, kemudian diambil sebanyak 10 mL dan dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 10 mL. Cairan dalam tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 250 mL berisi 10 mL larutan asam borat yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai larutan asam borat yang berwarna merah menjadi warna biru. Larutan asam borat yang berwarna biru tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah (warna asam borat semula). Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan nitrogen dalam bahan dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Nitrogen (%) =
mL
l
– mL
blanko) x N
l
x
m bobot sampel
x
Kadar Protein (%) = % Nitrogen x faktor koreksi (6,25) Kadar karbohidrat (by difference) Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air (%) + kadar abu (%) + kadar lemak (%) + kadar protein (%))
15
Analisis serat pangan metode enzimatik (AOAC 985.29.2005) Sampel ditimbang sebanyak 1 g dalam gelas piala 400 mL. Sebanyak 50 mL buffer fosfat pH 6,0 dimasukkan ke dalam gelas piala. Kemudian ditambahkan pula 0,1 mL larutan termamyl. Gelas piala lalu ditutup dengan menggunakan kertas aluminium foil (alufo) dan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit, digoyangkan secara perlahan dalam interval waktu 5 menit. Selanjutnya larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5 dengan penambahan 10 mL NaOH 0,275 N. Sebanyak 5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara dilengketkan pada ujung spatula. Sampel kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 oC. Lalu sampel didinginkan dan ditambahkan 10 mL HCl 0,325 M. Enzim amiloglukosidase ditambahkan dan sampel diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 oC. Sebanyak 280 mL etanol 95% yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60 oC ditambahkan ke dalam sampel. Sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit agar terbentuk endapan. Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible. Residu dicuci tiga kali dengan 20 mL etil alkohol 78%, dua kali dengan 10 mL etil alkohol 95%, dan dua kali dengan 10 mL aseton secara berturut-turut. Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven biasa pada suhu 105 oC. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525 oC. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Persentase total serat pangan dapat diperoleh dari perhitungan rumus berikut: Serat pangan (%) =
obot residu
-
)obot sampel
x 100%
Kadar serat kasar (BSN 1992) Sebanyak 0,3 g sampel dihilangkan lemaknya dengan cara ekstraksi soxhlet atau dengan cara mengaduk dan mengendaptuangkannya dalam pelarut organik. Sampel lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 50 mL H2SO4 0,3 N dan dididihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Selanjutnya, sebanyak 25 mL NaOH 1,5 N ditambahkan ke dalam larutan dan dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas, larutan tersebut disaring dengan menggunakan corong Bunchner yang berisi kertas saring tak berabu yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring selanjutnya dicuci berturut-turut dengan larutan H2SO4 0,3 N, air panas 50 mL dan aseton 20 mL. Kertas saring beserta isinya lalu dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada suhu 105 oC lalu didinginkan dan ditimbang sampai bobotnya tetap. Perhitungan rumusnya adalah sebagai berikut: Serat kasar (%) =
i- o s
x 100%
Keterangan : Wo = Berat kertas saring Wi = Berat kertas saring + residu setelah dikeringkan Ws = Berat contoh
16
Kadar glukomanan (Widjanarko dan Megawati 2015) Sampel sebanyak 0,2 g dan garam aluminium sulfat (0,10 kali massa sampel) dilarutkan dalam air hangat suhu 75 oC dengan perbandingan 1:10 (b/v) sambil diaduk selama 35 menit. Selanjutnya, endapan sampel dipisahkan menggunakan sentrifugator 2000 rpm selama 30 menit dan diambil supernatannya. Supernatan kemudian ditambahkan isopropil alkohol dengan perbandingan 1:1 (v/v) sambil diaduk hingga terbentuk gumpalan. Lalu, gumpalan disaring dengan kertas saring dan dikeringkan pada suhu 60 oC selama 24 jam lalu ditimbang. Perhitungan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Kadar glukomanan (%) =
erat kerin residu erat sampel awal
x 100%
Profil tekstur menggunakan texture analyzer TA-XT2i (Subarna et al. 2012) Analisis tekstur menggunakan alat Texture Analyzer TA-XT2i. Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Jarak antar probe adalah 20 mm. Pengaturan TA-XT2i yang digunakan adalah sebagai berikut: speed 1,0 mm/s, distance 50%, trigger Auto 5 g, mode Texture Profile Analysis (TPA). Sehelai sampel mi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gf). Kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi dengan satuan gram second (gs). Waktu tanak (Cooking Time) (Collado et al. 2001) Air sebanyak 200 mL dipanaskan sampai mendidih, kemudian 5 g mi yang telah dipotong sepanjang 2-3 cm, dimasukkan ke dalam air mendidih tersebut. Setiap 30 detik, helaian mi diletakkan diantara dua gelas arloji kemudian ditekan. Waktu tanak optimum diperoleh pada saat seluruh bagian mi menyerap air dengan sempurna atau pada saat tidak terbentuk titik putih ketika mi ditekan dengan gelas arloji. Waktu dicatat mulai dari perebusan mi sampai matang. Cooking loss (Collado et al. 2001) Penentuan cooking loss dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 mL air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100 oC sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: Cooking loss (%) =
berat sebelum direbus-berat sesuda direbus berat sebelum direbus
x 100%
Analisis aktivitas air (aw) (Fontana 2007) Pengukuran aktivitas air menggunakan alat aw meter, dengan spesifikasi alat adalah aw meter Novasina ms1. Pengukuran nilai aw dilakukan dengan cara memasukkan sampel yang akan diukur ke dalam cawan yang tersedia pada a w
17
meter tersebut. Sampel mi kering dihaluskan terlebih dahulu, kemudian sebanyak 2 g diletakkan ke dalam cawan tersebut. Cawan dimasukkan ke dalam wadah pengukur, lalu ditutup dan dikunci. Alat aw meter dioperasikan sampai menunjukkan tanda selesai, selanjutnya nilai a w akan terbaca. Pengujian karakteristik sensori (BSN 2006) Pengujian karakteristik sensori mi kering dalam penelitian ini menggunakan metode uji skor. Uji skor (scoring test) merupakan metode uji dengan menggunakan lembar penilaian untuk penentuan tingkat mutu produk berdasarkan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah hingga 9 (sembilan) sebagai nilai tertinggi. Uji skor yang dilakukan meliputi uji hedonik (kesukaan) dan uji karakteristik fisik mi kering oleh 40 panelis dengan kategori panelis semi terlatih. Data yang diperoleh dianalisis untuk penentuan nilai mutunya dengan mencari hasil rataan dari setiap panelis pada selang kepercayaan 95% dengan uji Kruskal Wallis. Penilaian yang dilakukan meliputi kenampakan, warna, rasa, aroma, kekerasan, dan kekenyalan. Lembar penilaian uji sensori mi kering surimi ikan gabus dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Uji indeks kinerja (Marimin 2004) Penentuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus terpilih dari hasil uji organoleptik secara hedonik menggunakan uji indeks kinerja (metode Bayes). Metode ini merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Pengambilan keputusan yang optimal akan tercapai bila mempertimbangkan berbagai kriteria. Pemberian perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus yang menghasilkan produk paling disukai. Pemilihan mi kering yang paling disukai dilakukan dengan uji indeks kinerja didasarkan pada total nilai yang paling tinggi dari setiap perlakuan. Parameter yang diberi bobot yaitu karakteristik sensori (kenampakan, aroma, warna, rasa, kekerasan dan kekenyalan). Nilai kepentingan masing-masing parameter sensori yang digunakan terdiri dari 6 nilai numerik, dimana 1 mewakili sangat tidak penting, 2 mewakili tidak penting, 3 mewakili kurang penting, 4 mewakili biasa, 5 mewakili penting, dan 6 mewakili sangat penting. Nilai kepentingan tersebut dapat diperoleh dari hasil kuisioner panelis atau dari ahli. Bobot dari masing-masing parameter didapat dari hasil manipulasi matriks perbandingan nilai kepentingan antar parameter, kemudian matriks tersebut dikuadratkan. Hasil penjumlahan setiap baris matriks dibagi dengan total penjumlahan baris matriks tersebut hingga diperoleh nilai eigen. Nilai eigen dari proses manipulasi matriks merupakan nilai bobot dalam metode Bayes. Pengolahan data uji organoleptik Data hasil uji sensori mi kering dengan perlakuan fortifikasi tepung surimi ikan gabus diolah menggunakan uji statistik nonparametrik, yaitu uji Kruskal
18
Wallis dengan software Statistical Process for Social Science (SPSS) versi 15.0. Hasil uji Kruskal Wallis yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Dunn. Perhitungan dengan rumus (Walpole 1995) sebagai berikut: Menghitung faktor koreksi (FK) FK = Menghitung H yang merupakan kriteria uji (n- ) H=( ) n n
Men itun ’ = FK
’ yan merupakan nilai X2 hitung ,
= (t-1)t(t+1)
Keterangan: n = Banyaknya data t = Jumlah data yang sama H = Kriteria yang akan diuji ’ = X2 hitung ni = Jumlah pengamatan pada setiap perlakuan Ri = Jumlah ranking pada setiap perlakuan Z = Peubah acak k = Perlakuan Jika analisis ragam beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison (uji Dunn) (Walpole 1995). Rumus yang digunakan adalah: | ̅ i ̅ j|
{
k k )} √k N
)
Keterangan: ̅ = Rata-rata ranking setiap perlakuan ke-i ̅ = Rata-rata ranking setiap perlakuan ke-j n = Banyaknya data z = Perlakuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus α = Selang kepercayaan Analisis karakteristik mi kering Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor penambahan tepung surimi ikan gabus dengan dua taraf dan tiga kali ulangan untuk analisis sifat fisik dan kimia mi kering. Model matematika rancangan acak lengkap menurut Walpole dan Myers (1995) adalah sebagai berikut: Yij = µ + Ai + ϵij Keterangan: Yij = Respon percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus taraf ke-i, ulangan ke-j µ = Nilai rata-rata Ai = Pengaruh perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus taraf ke-i ϵij = Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus taraf ke-i dan ulangan ke-j
19
Hipotesis yang diuji pada pembuatan mi kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan gabus adalah: H0 = Penambahan tepung surimi ikan gabus tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap karakteristik mi kering yang dihasilkan H1 = Penambahan tepung surimi ikan gabus memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap karakteristik mi kering yang dihasilkan Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada program SPSS 15.0 untuk menyatakan perbedaan nyata. Jika dari hasil analisis ragam berbeda nyata (p<0,05), maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan’s. Rumus uji Duncan’s adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993): Rp = q
p dbs α √
K r
Keterangan: Rp = Nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan p = Perlakuan dbs = Derajat bebas KTS = Jumlah kuadrat tengah r = Jumlah ulangan Uji normalitas dan kehomogenan data dilakukan sebelum data dimasukkan ke dalam perhitungan statistik. Uji normalitas menggunakan uji KolmogorovSmirnov, apabila hasil uji menunjukkan nilai signifikan > 0,05 maka data dikatakan menyebar normal, sehingga dapat digunakan dalam statistika parametrik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tepung Surimi Ikan Gabus Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung surimi adalah ikan gabus. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kadar yang terkandung dalam ikan gabus. Hasil proksimat ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil proksimat ikan gabus Komposisi Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat (by difference)
Ikan gabus (% bb) 80,91±0,48 0,83±0,22 16,75±0,09 1,04±0,03
Ikan gabus (% bk) 4,31±1,04 87,74±1,73 5,45±0,29
0,48±0,20
2,50±0,97
Tepung surimi ikan gabus yang digunakan sebagai bahan fortifikasi pada mi kering diperoleh dari modifikasi Ramadhan et al. (2014). Metode yang digunakan adalah dengan satu kali pencucian dan menggunakan dryoprotectant berupa
20
trehalosa 6%. Karakteristik fisiko-kimia tepung surimi ikan gabus yang digunakan dalam pembuatan mi kering dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik fisiko-kimia tepung surimi ikan gabus Parameter
Tepung surimi ikan gabus
Karakteristik fisik: Rendemen (%) 22,18 Daya serap air (%) 1,35±0,55 Daya serap minyak (%) 1,59±0,61 Derajat putih (%) 48,07±1,13 Densitas kamba (g/mL) 0,76±0,04 Kekuatan gel (gf) 531,3±27,25 Karakteristik kimia: Kadar air (%) 9,94±0,28 Kadar lemak (% bk) 1,66±0,97 Kadar protein (% bk) 65,07±0,47 *Ramadhan et al. (2014), **Tan dan Azhar (2014)
Tepung surimi ikan lele
Tepung fillet ikan gabus
6,41* 60,47* 4,06±0,08* 624,97±5,27*
63,98±0,40** -
1,76±0,16* 41,4±2,00*
6,86±0,64** 8,54±0,28** 87,93±0,19**
Rendemen merupakan persentase antara berat tepung surimi per total fillet ikan. Rendemen yang diperoleh pada tepung surimi ikan gabus sebesar 22,18%. Proses pengeringan dengan cabinet dryer dapat menghilangkan air hingga 65% dari bobot surimi basah. Rendemen tepung surimi ikan lele yang diperoleh dari penelitian Ramadhan et al. (2014) adalah sebesar 6,41% dengan proses pengeringan freeze dryer (pengeringan beku). Proses pengeringan ini dapat menghilangkan air hingga 80% dari bobot surimi basah. Metode pengeringan yang digunakan akan berpengaruh pada persentase rendemen tepung surimi yang dihasilkan. Santana et al. (2012) mengemukakan bahwa metode pengeringan beku dapat menghilangkan air pada sampel hingga kandungan airnya mencapai 1-5%, karena prinsip proses pengeringan beku terletak pada suhu yang sangat rendah hingga mencapai -70 oC dan atmosfir vakum yang terdapat pada alat, sedangkan pada pengeringan cabinet dryer dapat menghasilkan sampel kering yang mengandung air sebesar 10%. Daya serap air merupakan kemampuan untuk menyerap kembali kandungan air dalam bahan pangan (Zhou et al. 2006). Daya serap air tepung surimi ikan gabus adalah 1,35%. Daya serap tepung surimi memiliki nilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan KPI nila penelitian Susanti (2015) yang memiliki nilai daya serap air 0,68%. Hal ini diduga karena perbedaan jenis bahan baku dan besarnya kandungan protein yang terdapat dalam tepung surimi. Santoso et al. (2008) mengemukakan bahwa kandungan protein yang lebih tinggi menyebabkan tingginya interaksi antara air dengan protein, sehingga protein menghalangi proses penguapan air pada saat proses pengeringan. Menurut Santoso et al. (2009) daya serap minyak adalah suatu sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan pangan terhadap minyak. Tepung surimi ikan gabus memiliki daya serap minyak 1,59%. Hasil analisis daya serap minyak tepung surimi ikan gabus memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan KPI nila penelitian Susanti (2015) sebesar 0,49%. Hal ini diduga bahwa jumlah kandungan protein dan asam amino yang terdapat pada ikan gabus dan ikan nila berbeda. Banyaknya gugus asam amino yang bersifat nonpolar dapat mempengaruhi sifat daya serap minyak pada protein, karena dapat membentuk ikatan hidrofobik dengan minyak (Winarno 2008).
21
Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang mempengaruhi daya terima konsumen. Tepung surimi ikan gabus memiliki persentase nilai derajat putih sebesar 48,07%. Nilai derajat putih tersebut cenderung rendah jika dibandingkan tepung surimi ikan lele hasil penelitian Ramadhan et al. (2014) dan tepung fillet ikan gabus hasil penelitian Tan dan Azhar (2014) yaitu 55,77% dan 63,98%. Rendahnya nilai tersebut diduga karena warna tepung yang dihasilkan cenderung berwarna kekuningan. Warna tepung yang kekuningan disebabkan oleh metode pengeringan yang digunakan. Densitas kamba merupakan tingkat kepadatan di dalam ruang (volume) pada berat tertentu. Suatu bahan dikatakan kamba apabila memiliki nilai densitas kamba yang kecil (Rieuwpassa 2005). Tepung surimi ikan gabus memiliki nilai densitas kamba 0,76 g/mL, lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai densitas kamba tepung surimi ikan lele pada penelitian Ramadhan et al. (2014) yaitu sebesar 4,06 g/mL. Tepung surimi ikan gabus memiliki nilai densitas kamba yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan KPI nila hasil penelitian Susanti (2015) yaitu 0,45 g/mL. Foegeding dan Davis (2011) mengemukakan bahwa gel sebagai sebuah bagian makroskopis dari elastisitas yang terbentuk karena adanya ikatan antar molekul yang kontinyu. Sifat gelasi sangat berpengaruh pada tekstur pangan. Pembentukan gel dan kekuatan gel merupakan dua faktor yang digunakan untuk menentukan sifat gelasi pada tepung surimi. Tepung surimi ikan gabus memiliki nilai kekuatan gel sebesar 531,3 gf. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tepung surimi ikan lele hasil penelitian Ramadhan et al. (2014) yaitu sebesar 624,97 gf. Hal ini diduga karena perbedaan metode proses pengeringan yang digunakan. Deng et al. (2015) menyatakan bahwa proses pengeringan yang terlalu panas menyebabkan perubahan kimia, terutama pada struktur protein. Perubahan modifikasi struktur protein ini akan berpengaruh pada struktur miosin. Proses pengeringan freeze drying dapat menyebabkan sedikit terjadi denaturasi protein pada surimi. Tepung surimi ikan gabus memiliki kadar air, kadar lemak dan kadar protein berturut-turut 9,94%; 1,66% (bk) dan 65,07% (bk). Nilai kadar lemak tersebut hampir sama dengan tepung surimi ikan lele hasil penelitian Ramadhan et al. (2014) yaitu sebesar 1,76% (bk), sedangkan nilai kadar proteinnya 41,4% (bk). Kadar protein tersebut berbeda karena kandungan protein dari bahan baku ikan yang digunakan berbeda jumlahnya. Proses pengeringan surimi juga dapat mempengaruhi kadar protein tepung surimi yang dihasilkan.
Karakteristik Bubur Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Rumput laut kering yang diolah menjadi bubur rumput laut dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi kering diperoleh dari pengepul rumput laut yang berada di wilayah Serang, Banten. Pembuatan bubur rumput laut mengacu pada metode penelitian Hudaya (2008) yang dimodifikasi pada tahap perendaman. Analisis yang dilakukan terhadap bubur rumput laut meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference), dan kadar serat pangan. Karakteristik komposisi kimia bubur rumput laut dapat dilihat pada Tabel 4.
22
Tabel 4 Karakteristik komposisi kimia bubur rumput laut Komposisi Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat (by difference) Serat pangan *Santoso et al. (2006)
Bubur rumput laut (% bb) 96,51±0,03 0,82±0,01 1,00±0,00 0,05±0,00
Bubur rumput laut (% bk) 23,57±0,42 28,63±0,25 1,43±0,01
K.alvarezii segar (% bb) 83,3* 3,4* 0,7* 0,2*
1,63±0,04
46,56±0,79
12,4*
5,18±0,74
-
11,6*
Kadar air bubur rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini memiliki persentase (bb) 96,51%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan K. alvarezii segar hasil penelitian Santoso et al. (2006) sebesar 83,3%. Hal ini diduga karena lamanya perendaman dalam air tawar selama 5 hari yang dilakukan dalam pembuatan bubur rumput laut, maka air yang terkandung dalam sampel juga semakin tinggi. Hasil analisis kadar abu pada bubur rumput laut memiliki persentase 0,82% (bb) dan 23,57 (bk). Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar abu pada K. alvarezii segar hasil penelitian Santoso et al. (2006) sebesar 3,4%. Perbedaan nilai tersebut diduga karena sifat mineral yang larut dalam air menyebabkan banyaknya mineral yang hilang selama proses perendaman air tawar dan pencucian berulang, sehingga kadar abu yang terdapat pada bubur rumput laut rendah. Kadar protein pada bubur rumput laut memiliki persentase 1,00% (bb) dan 28,63% (bk), sedangkan pada K. alvarezii segar hasil penelitian Santoso et al. (2006) hanya sebesar 0,7%. Kumar dan Kaladharan (2007) melaporkan bahwa kandungan protein pada rumput laut K. alvarezii adalah 5,21% dengan kandungan asam amino yang tinggi berupa asam glutamat, asam aspartat dan arginin. Kadar lemak dalam basis basah dan basis kering pada bubur rumput laut memiliki persentase 0,05% dan 1,43%, sedangkan pada K. alvarezii segar hasil penelitian Santoso et al. (2004) sebesar 0,2%. Kadar lemak rumput laut sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan tubuh. McDermid dan Stuercke (2003) menyatakan bahwa kandungan lemak pada rumput laut umumnya kurang dari 4%. Darcy-Vrillon (1993) juga menyatakan bahwa meskipun kandungan lemaknya rendah, rumput laut mengandung asam lemak omega-3 dan omega-6 yang tinggi dibandingkan dengan tanaman darat lainnya. Kedua asam lemak tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan kardiovaskular pada manusia. Hasil analisis kadar karbohidrat pada bubur rumput laut memiliki persentase 1,61% (bb) dan 46,56% (bk), sedangkan pada K. alvarezii segar penelitian Santoso et al. (2006) sebesar 12,4%. Selain kadar air, kadar karbohidrat juga merupakan kandungan yang paling banyak terkandung pada rumput laut. Kandungan gizi utama rumput laut adalah mineral. Kandungan karbohidrat termasuk didalamnya serat pangan paling tinggi dibandingkan kandungan kimia lainnya. Kadar serat pangan pada bubur rumput laut sebesar 5,18% (bb). Nilai tersebut berbeda dengan kadar serat pangan pada K. alvarezii segar hasil penelitian Santoso et al. (2006) sebesar 11,6%. Perbedaan ini disebabkan karena perlakuan pada saat pengolahan berbeda. Selama pengolahan bubur rumput laut terdapat proses perendaman dalam air tawar selama 5 hari, sehingga diduga
23
banyak serat yang hilang selama proses perendaman dan pencucian berulang tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kadar serat pangan pada bubur rumput laut yang dihasilkan. Umumnya polisakarida mudah larut dalam air. Polisakarida menjadi lebih larut dalam air jika terdapat ketidakteraturan pada rantai molekul poliakarida dalam mengikat intermolekul. Adanya grup hidroksil pada polisakarida juga menyebabkan hidrogen mengikat satu atau lebih molekul air (BeMiller dan Huber 2008).
Karakteristik Tepung Porang Umbi porang (Amorphophallus onchophyllus) merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang dapat tumbuh baik di Indonesia dan umumnya tumbuh secara liar, namun saat ini sudah mulai banyak dibudidaya. Keunikan dari umbi porang dibandingkan dengan jenis umbi lainnya adalah kandungan glukomanannya. Kandungan glukomanan pada umbi porang tergantung pada spesies dan varietasnya (Mulyono 2010). Karakterisasi tepung porang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai komposisi kimia yang terdapat di dalam bahan. Analisis yang dilakukan terhadap tepung porang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference), kadar serat kasar dan kadar glukomanan. Karakteristik komposisi kimia tepung porang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik komposisi kimia tepung porang Komposisi Tepung porang Kadar air (%) 13,40±0,06 Kadar abu (% bk) 4,79±0,09 Kadar protein (% bk) 2,78±0,09 Kadar lemak (% bk) 1,89±0,12 Kadar karbohidrat 94,43±0,71 (by difference) (% bk) Serat kasar (% bk) 4,64±0,42 Kadar glukomanan (% bk) 17,54±0,48 *Lasmini (2002), **Siswanti (2008)
Pembanding 5,96* 1,83* 3,10* 4,21*
8,35** 5,18** 5,41** 9,60**
84,90*
79,81**
7,01*
3,73** -
Kadar air tepung porang yang digunakan pada penelitian ini masih cukup tinggi, yaitu 13,40% (bb). Nilai kadar air ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tepung porang hasil penelitian Lasmini (2002) yaitu 5,96% (bb). Hal ini diduga karena metode pengeringan yang digunakan berbeda. Tepung porang hasil penelitian Lasmini (2002) dikeringkan dengan cara pengovenan pada suhu 80 °C selama 10 jam, sedangkan tepung porang yang digunakan dalam penelitian ini dikeringkan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari sampai kering. Persentase kadar abu tepung porang pada penelitian ini adalah 4,79% (bk). Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan kadar abu hasil penelitian Siswanti (2008) 5,18% (bk). Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis (Lasmini 2002). Kadar protein tepung porang pada penelitian ini relatif kecil, yaitu 2,78% (bk), sedangkan hasil penelitian Lasmini (2002) dan Siswanti (2008) diperoleh tepung porang dengan kadar protein masing-masing sebesar 3,10% (bk) dan 5,41% (bk). Perbedaan kadar protein tersebut dapat disebabkan oleh faktor bahan
24
baku diantaranya umur, kondisi pertumbuhan dan tempat tumbuh umbi. Persentase kadar lemak tepung porang pada penelitian ini adalah 1,89% (bk). Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Lasmini (2002) dan Siswanti (2008) mencapai 4,21% (bk) dan 9,60% (bk). Kadar lemak yang cukup tinggi dalam pati dan tepung dapat mengganggu proses gelatinisasi, karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula pati (Winarno 2008). Salah satu komponen penyusun umbi porang yang mempunyai fungsi dan peran penting adalah bagian karbohidrat yang terdiri dari pati, glukomanan, serat kasar dan gula bebas (Mulyono 2010). Tepung porang yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar karbohidrat 94,43% (bk). Kadar karbohidrat tersebut memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan tepung porang penelitian Lasmini (2002) yang memiliki nilai kadar karbohidrat sebesar 84,90% (bk). Hasil analisis kadar serat kasar tepung porang memiliki nilai 4,64% (bk). Kadar serat kasar tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Siswanti (2008) yang memiliki nilai kadar serat kasar sebesar 3,73% (bk). Kadar serat pati dipengaruhi oleh umur panen umbi segarnya. Jika kadar pati pada umbi telah mencapai optimum, maka selanjutnya pati pada umbi akan terus turun secara perlahan dan mulai terjadi perubahan pati menjadi serat (Richana dan Suharti 2004). Hasil analisis kadar glukomanan pada tepung porang memiliki nilai 17,54% (bk). Nilai kadar glukomanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Lasmini (2002) yang memiliki kadar glukomanan 7,01%. Perbedaan nilai kadar glukomanan diduga karena perbedaan spesies dan umur panen umbi tersebut. Kadar glukomanan umbi porang bergantung pada spesiesnya. Kadar glukomanan umbi porang yang tumbuh di Indonesia berkisar antara 14-35% (Winarno 2008). Struktur kimia glukomanan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur kimia glukomanan Glukomanan merupakan polisakarida non-ionik yang tersusun oleh satuan D-mannosa dan D-glukosa dengan perbandingan 1:6:1. Glukomanan mempunyai bentuk ikatan β-1-4-glikosida dan mempunyai gugus asetil pada posisi C-6. Gugus asetil tersebut mempengaruhi kelarutan glukomanan dalam air (Katsuraya et al. 2003). Pengaruh glukomanan yang dapat menyerap air tersebut dapat membuat adonan pada produk mi yang dihasilkan menjadi lebih elastis dan mudah untuk dicetak.
25
Karakteristik Sensori Mi Kering Karakteristik yang dinilai pada pengujian sensori meliputi kenampakan, warna, aroma, rasa, kekerasan dan kekenyalan. Lembar penilaian sensori mi kering dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis karakteristik sensori dapat dilihat pada Gambar 5. Jarak yang lebar antar perlakuan pada setiap parameter menunjukkan pengaruh perlakuan yang diberikan berbeda nyata terhadap parameter, sebaliknya jarak yang rapat menunjukkan faktor perlakuan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap parameter (Gambar 6). Kenampakan 6,33b 5,95a 5,23a Kekenyalan b 6,33c 6,15 5,00a
6,10a Warna a 6,03a 6,23
6,10a 5,63a Rasa 6,28a
5,03a5,00 6,00b Aroma
a
4,63a 5,08a 5,63a
Kekerasan Keterangan: Notasi huruf superscript (a, b, c) yang berbeda pada diagram menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Gambar 6 Karakteristik sensori mi kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan gabus. ( ) A0 (Kontrol), ( ) A1 (6% Tepung surimi ikan gabus), ( ) A2 (9% Tepung surimi ikan gabus) Kenampakan Kenampakan merupakan parameter utama yang mempengaruhi daya terima konsumen terhadap produk. Penilaian panelis terhadap kenampakan mi kering yang telah difortifikasi tepung surimi ikan gabus berkisar 5,95 (netral) sampai 6,33 (agak suka). Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula dengan tepung surimi ikan gabus 9% dan skor organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung surimi 6% (Gambar 5). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa kenampakan mi kering dipengaruhi secara nyata oleh penambahan tepung surimi ikan gabus (p<0,05). Uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa kenampakan mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus 9%, sedangkan perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% tidak berbeda nyata dengan mi kering kontrol (Lampiran 2). Mi kering yang telah difortifikasi tepung surimi gabus memiliki kenampakan yang menarik dengan warna putih dan bentuk yang rapih dan seragam. Kenampakan mi cenderung seragam bentuk dan ukurannya, karena pencetakan mi dilakukan dengan menggunakan ekstruder pencetak mi, sedangkan warna putih pada mi kering disebabkan oleh derajat putih
26
tepung dari ubi kayu dan tepung surimi ikan gabus yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Peningkatan penambahan tepung surimi ikan gabus menyebabkan adonan semakin mudah dicetak, maka kenampakan yang dihasilkan pun semakin baik. Penambahan tepung surimi ikan gabus dapat mengurangi kelengketan pada adonan sehingga mempermudah proses pencetakan mi. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara protein dan air selama proses pencetakan mi. Komponen protein pada tepung surimi dapat menghambat penyerapan air pada pati singkong. Xin-Zhong et al. (2007) menyatakan bahwa penyerapan air semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kandungan protein yang terdapat pada adonan mi. Kandungan protein tersebut akan mempengaruhi tekstur mi yang dihasilkan dengan cara kompetisi antara pati dan protein dalam proses penyerapan air. Warna Warna merupakan parameter sensori yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Nilai penerimaan panelis terhadap warna mi kering yang telah difortifikasi tepung surimi ikan gabus berkisar 6,03 sampai 6,23 (agak suka). Nilai organoleptik tertinggi terdapat pada formula dengan tepung surimi ikan gabus 9% yaitu 6,23 dan nilai organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung surimi ikan gabus 6% yang bernilai 6,03 (Gambar 5). Penilaian panelis menunjukkan bahwa penambahan tepung surimi ikan gabus tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap warna mi kering (p>0,05). Warna mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, warna mi kering tidak dipengaruhi secara nyata oleh penambahan tepung surimi ikan gabus (p>0,05) (Lampiran 2). Mi kering yang telah difortifikasi tepung surimi ikan gabus memiliki warna putih. Semakin tinggi konsentrasi tepung surimi yang ditambahkan pada mi maka warna yang dihasilkan tidak berbeda dengan mi formula kontrol. Hal ini disebabkan oleh warna tepung dari ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku. Tepung mocaf memiliki persentase kadar abu yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu. Kandungan abu pada tepung mocaf mencapai 0,4%, sedangkan pada tepung terigu sebesar 1,3%. Kadar abu dapat mempengaruhi warna produk, oleh karena itu tepung mocaf memiliki warna yang lebih putih daripada tepung terigu (Salim 2011). Wang et al. (2004) menyatakan bahwa kecerahan warna dari mi sangat dipengaruhi oleh penyerapan air dan bahan baku tepung dengan kandungan protein yang tinggi memiliki absorbsi optimum yang rendah. Tepung terigu yang biasa digunakan untuk membuat mi putih bergaram adalah tepung yang mengandung protein sebesar 8-10% dan dengan kadar abu 0,36-0,40%. Warna spesifikasi mi putih bergaram adalah putih creamy tanpa adanya diskolorasi selama penyimpanan. Tepung terigu memiliki kandungan protein yang lebih tinggi daripada tepung mocaf dan tapioka, oleh karena itu warna dari mi kering yang dihasilkan lebih putih daripada mi kering yang biasanya berada di pasaran. Aroma Nilai penerimaan panelis terhadap aroma mi kering tepung surimi ikan gabus berkisar 5,00 (netral) sampai 6,00 (agak suka) sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Nilai organoleptik tertinggi terdapat pada formula kontrol yaitu 6,00
27
dan nilai organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung surimi 9% yang bernilai 5,00. Penilaian panelis menunjukkan bahwa penambahan tepung surimi ikan gabus memberikan pengaruh secara nyata terhadap aroma mi kering yang dihasilkan (p<0,05). Aroma mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% dan 9% berbeda nyata dengan formula kontrol, sedangkan perlakuan tepung surimi ikan gabus 6% tidak berbeda nyata dengan perlakuan tepung surimi 9%. Hasil analisis Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn aroma mi kering dapat dilihat pada Lampiran 2. Mi kering yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki aroma yang agak amis, sehingga kurang disukai oleh panelis. Aroma amis tersebut berasal dari tepung surimi ikan gabus, karena pada pembuatan tepung surimi dilakukan pencucian hanya satu kali sehingga masih terdapat bau amis ikan. Menurut Santoso et al. (2008) dengan adanya aroma ikan, substitusi konsentrat protein ikan pada produk yang tidak berbasis ikan akan menimbulkan kesan adanya rasa dan aroma asing pada konsumen. Aroma lain yang muncul pada mi kering adalah aroma dari tepung porang yang digunakan sebagai bahan baku. Lafarge et al. (2014) mengemukakan bahwa pencampuran glukomanan (0,2%) dan pati singkong (5%) dalam suatu adonan akan membuat komponen pati dalam glukomanan menyerap air lebih banyak daripada pati singkong, karena glukomanan mempunyai kapasitas menyerap air hingga lebih dari 100%. Hal ini menyebabkan menurunnya komponen aroma amilosa yang terdapat pada pati singkong, oleh karena itu aroma tepung mocaf dan tapioka lebih sedikit muncul daripada tepung porang pada mi kering yang dihasilkan. Kekerasan Kekerasan mi adalah gaya yang diperlukan untuk menggigit mi sampai putus. Semakin tinggi kekerasan mi berarti semakin besar gaya yang diperlukan (Subarna et al. 2012). Skor organoleptik kekerasan mi kering berkisar 4,63 (agak tidak suka) sampai 5,63 (netral). Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula kontrol dan skor organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung surimi ikan gabus 6% (Gambar 5). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa kekerasan mi kering tidak dipengaruhi secara nyata oleh penambahan tepung surimi ikan gabus (p>0,05) (Lampiran 2). Kekerasan mi kering fortifikasi tepung surimi diduga dipengaruhi oleh proses gelatinisasi. Subarna et al. (2012) menyatakan bahwa peningkatan suhu ekstruder dapat meningkatkan kekerasan mi, karena semakin tinggi suhu ekstruder, tingkat gelatinisasi adonan semakin meningkat. Semakin tinggi tingkat gelatinisasi maka kekerasan mi akan meningkat. Penggunaan metode pengeringan mi dengan cabinet dryer pada suhu 40 oC selama 1 jam juga diduga mempengaruhi kekerasan pada produk mi kering yang dihasilkan. Menurut Fu (2008) kualitas mi kering yang dihasilkan sangat berpengaruh terhadap proses pengeringan yang digunakan. Metode pengeringan yang kurang tepat dapat membuat struktur mi rusak, menyebabkan elongasi yang berlebihan dan mudah patahnya untaian mi. Pada pembuatan mi kering fortifikasi tepung surimi menggunakan metode pengeringan yang sama sehingga kekerasan mi yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Gambar 5).
28
Rasa Rasa merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu bahan pangan atau makanan. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008). Nilai organoleptik rasa mi berkisar 5,63 (netral) sampai 6,28 (agak suka). Nilai organoleptik tertinggi terdapat pada formula dengan tepung surimi 9% dan nilai organoleptik terendah terdapat pada formula kontrol dengan nilai 5,63 (Gambar 5). Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, rasa mi tidak dipengaruhi secara nyata oleh penambahan tepung surimi ikan gabus (p>0,05) (Lampiran 2). Mi yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki cita rasa yang khas, karena adanya garam dan tepung surimi. Fu (2008) menyatakan bahwa penambahan garam dalam pembuatan mi putih bergaram berperan dalam membentuk cita rasa mi, karena garam berinteraksi langsung dengan protein dari tepung yang terdapat dalam adonan. Jumlah garam yang ditambahkan biasanya 1-3% dari bobot tepung yang digunakan. Tepung surimi tidak memiliki rasa, sehingga tidak mempengaruhi rasa secara keseluruhan dari mi. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung surimi memberikan pengaruh yang netral terhadap produk mi. Kekenyalan Atribut tekstur lain yang diukur adalah kekenyalan. Kekenyalan merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap mi. Kekenyalan mi kering dapat dilihat setelah mi dimasak. Skor organoleptik kekenyalan mi berkisar 5,00 (netral) sampai 6,33 (agak suka). Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula penambahan tepung surimi ikan gabus 9% yaitu 6,33 dan skor organoleptik terendah terdapat pada formula penambahan tepung surimi 6% yaitu 5,00 (Gambar 5). Penilaian panelis menunjukkan bahwa penambahan tepung surimi ikan gabus memberikan pengaruh secara nyata terhadap kekenyalan mi (p<0,05). Kekenyalan mi dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% berbeda nyata dengan semua perlakuan. Hasil analisis Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn kekenyalan mi dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada penelitian ini, tepung mocaf dan tapioka sebagai bahan utama pembuatan mi kering tidak mengandung protein gliadin dan glutenin sebagai pembentuk gluten yang dapat membentuk sifat elastis pada adonan. Proses gelatinisasi pati selama pengadonan diduga dapat mempengaruhi kekenyalan mi yang dihasilkan. Menurut Muhandri dan Subarna (2009) proses gelatinisasi pati mi non terigu menyebabkan adonan dapat membentuk massa yang elastis, sehingga semakin tinggi derajat gelatinisasi semakin tinggi kekenyalan mi tersebut. Penambahan tepung porang juga dapat meningkatkan kekenyalan pada mi. Liu et al. (2013) melaporkan bahwa interaksi antara glukomanan dan protein miofibril dapat membentuk struktur viskoelastis tiga dimensi pada suhu dan waktu pemanasan yang optimum. Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi dapat mempengaruhi kekenyalan mi yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan oleh penilaian panelis dimana semakin tinggi konsentrasi tepung surimi yang ditambahkan, maka panelis semakin menyukai parameter kekenyalan tersebut.
29
Penentuan Formula Mi Kering Surimi Ikan Gabus Terpilih Formula mi kering surimi ikan gabus tepilih ditentukan menggunakan uji indeks kinerja (metode Bayes) yang didasarkan pada hasil uji sensori. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Pengambilan keputusan yang optimal akan tercapai bila mempertimbangkan berbagai kriteria (Marimin 2004). Sebelum dilakukan uji indeks kinerja, dilakukan perankingan terhadap keenam parameter sensori yang diamati berdasarkan nilai kepentingan menurut pendapat ahli dan hasil survei. Kemudian dilakukan pembobotan dan perankingan sehingga diperoleh formula terpilih. Hasil analisis dengan metode Bayes dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis dengan metode Bayes Parameter
A0 2 2 3 3 1 2 1,45 3
Formula A1 1 1 2 1 2 1 1,79 2
A2 3 3 1 2 3 3 2,76 1
Nilai Bobot
Kenampakan 0,0158 Warna 0,0037 Aroma 0,1134 Kekerasan 0,0149 Rasa 0,6740 Kekenyalan 0,1781 Total nilai Ranking Keterangan: A0 = Kontrol, A1 = 6% Tepung surimi ikan gabus, A2 = 9% Tepung surimi ikan gabus
Berdasarkan hasil analisis dengan metode Bayes (Lampiran 3), diperoleh satu formula mi kering terpilih yaitu formula A2 (9% tepung surimi ikan gabus). Mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 9% memiliki total nilai tertinggi sehingga mi dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 9% dinyatakan sebagai formula terbaik dan dianalisis lebih lanjut yang meliputi analisis fisiko kimia produk dan perhitungan persentase sumbangan gizi terhadap angka kecukupan gizi.
Karakteristik Fisiko-kimia Mi Kering Surimi Ikan Gabus Terpilih, Kontrol dan Mi Kering Komersial Karakterisasi fisiko-kimia produk bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan tepung surimi ikan gabus terhadap kandungan gizi mi kering yang dihasilkan. Analisis mi kering yang dilakukan meliputi analisis fisik dan analisis kimia. Data hasil analisis karakteristik fisiko-kimia mi kering sebelumnya diuji kenormalan dengan menggunakan uji KolmogorovSmirnov (Lampiran 4) untuk mengetahui galat data yang digunakan menyebar normal, sehingga dapat digunakan dalam statistika parametrik. Karakteristik fisik mi kering Analisis karakteristik fisik mi kering yang dilakukan meliputi cooking time, cooking loss, warna, dan analisis profil tekstur (kekerasan, kelengketan, dan
30
kekenyalan). Produk mi kering komersial yan di unakan adala “Dried white salted noodles – Maruei Nippon No Komugi Udon” yan diimpor ole P . Aneka Jaya Indonesia. Hasil analisis karakteristik fisik mi kering formula terpilih, formula kontrol dan komersial dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik fisik mi kering formula terpilih, formula kontrol dan komersial Perlakuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus Dried white salted noodles komersial 9% 0% (Kontrol) Cooking time (menit) 8,10±0,03a 12,43±0,03b 8,05±0,04a b b Cooking loss (%) 32,04±9,30 23,03±7,23 7,27±1,54a a b Warna (L*) 94,48±0,90 96,48±0,13 100,71±0,13c a a Kekerasan (gf) 1493,20±137,72 1627,80±55,48 1797,43±98,66b c b Kelengketan (gf) -307,70±20,59 -244,37±44,31 -48,09±5,94a a b Kekenyalan (gf) 71,79±0,69 76,95±0,99 93,73±2,44c Keterangan: Notasi huruf superscript (a,b,c) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p<0,05). Parameter
Cooking time adalah waktu optimum yang diperlukan untuk mengetahui kualitas pemasakan sampai tidak adanya bagian berwarna putih di bagian tengah ketika ditekan di atas permukaan kaca slide (Khoiri 2013). Cooking time mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 8,10 menit, 12,43 menit dan 8,05 menit. Berdasarkan hasil analisis ragam, cooking time mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cooking time mi kering surimi gabus 9% tidak berbeda nyata dengan mi kering komersial, sedangkan mi cooking time mi kering kontrol berbeda dengan semua perlakuan (Lampiran 4). Cooking time mi kering komersial yang berbahan baku terigu lebih cepat dibandingkan mi kering yang berbahan baku tepung dari singkong karena mocaf dan tapioka mengandung kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu. Heo et al. (2012) menyatakan bahwa kadar amilosa pada tepung sangat mempengaruhi gelatinisasi pati pada saat pemasakan mi. Semakin tinggi kadar amilosa, maka semakin lama waktu optimum pemasakan mi. Waktu pemasakan cenderung lebih cepat seiring dengan meningkatnya konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang ditambahkan pada adonan mi. Mi kontrol memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan mi fortifikasi tepung surimi ikan gabus, sehingga cooking time mi kontrol lebih lama. Barokah dan Abtokhi (2013) juga mengemukakan bahwa molekul amilosa dan amilopektin pada pati secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen yang lemah. Adanya penambahan protein berupa tepung surimi ikan gabus pada adonan membuat ikatan antar molekul pati akan terganggu sehingga penetrasi air yang masuk menjadi lebih mudah. Hal ini akan menyebabkan cooking time semakin singkat, karena semakin cepat penetrasi air yang masuk. Menurut Faridah dan Widjanarko (2014) cooking loss atau yang biasa disebut kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) adalah banyaknya padatan yang terkandung dalam mi yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan. Mi yang baik diharapkan mempunyai nilai KPAP yang rendah. Cooking loss mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 32,04%, 23,03% dan 7,27%. Berdasarkan hasil analisis ragam, cooking loss mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil
31
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cooking loss mi kering surimi gabus 9% tidak berbeda nyata dengan mi kering kontrol, sedangkan cooking loss mi kering komersial berbeda nyata dengan semua perlakuan (Lampiran 4). Mi kering komersial memiliki nilai cooking loss yang lebih rendah dibandingkan mi kering formula terpilih karena tepung terigu yang digunakan sebagai bahan baku pada mi kering komersial memiliki protein gliadin dan glutenin yang dapat membentuk gluten. Adanya gluten pada tepung terigu akan menghambat keluarnya isi granula pati sehingga cooking loss mi menjadi rendah. Park dan Baik (2009) mengemukakan bahwa dengan adanya gluten dapat meningkatkan pembentukan jaringan protein selama proses pengadonan dan pencetakan mi, sehingga dapat menurunkan cooking loss pada saat mi direbus. Cooking loss disebabkan oleh pecahnya granula pati yang membengkak dan kemudian molekul pati linier rantai pendek akan keluar dari granula dan masuk ke dalam rebusan yang menyebabkan air menjadi keruh (BeMiller dan Huber 2008). Mi kering yang terbuat dari tepung mocaf dan tapioka dengan penambahan tepung surimi ikan gabus memiliki nilai cooking loss yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang ditambahkan pada adonan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan tepung surimi ikan gabus pada adonan mi kering menyebabkan daya ikat komponen semakin lemah, sehingga komponen yang larut saat perebusan semakin banyak. Warna akan menjadi pertimbangan bagi konsumen sebelum mengkonsumsi suatu produk makanan. Warna kecerahan pada mi kering surimi ikan gabus 9%, kontrol, dan komersial masing-masing adalah 94,48, 96,48, dan 100,71. Berdasarkan hasil analisis ragam, warna mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa warna mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan semua perlakuan (Lampiran 4). Mi kering komersial memiliki warna yang lebih cerah keputihan dibandingkan mi kering formula terpilih. Hal ini disebabkan oleh bahan baku yang digunakan dalam pembuatan mi. Bahan baku yang digunakan adalah tepung terigu dengan spesifikasi kadar abu 0,35-0,40%. Kadar abu pada tepung menjadi salah satu spesifikasi yang penting dalam pembuatan mi komersial karena dapat mempengaruhi warna mi secara umum (Hou 2001). Adanya penambahan tepung surimi ikan gabus yang cenderung berwarna kuning dan tepung porang yang berwarna coklat, sehingga mempengaruhi nilai kecerahan dari mi kering formula terpilih yang dihasilkan. Wang et al. (2004) menyatakan bahwa warna pada mi sangat dipengaruhi oleh bahan baku tepung yang digunakan, diantaranya warna intrinsik tepung, kadar abu, tingkat ekstraksi, ukuran partikel, kadar protein dan aktivitas enzim. Penambahan tepung surimi yang cenderung berwarna kuning akan bercampur dengan tepung lainnya dan mempengaruhi warna adonan mi kering yang dihasilkan, sehingga nilai kecerahan warna mi fortifikasi tepung surimi ikan gabus memiliki nilai lebih rendah dibandingkan mi kering kontrol. Semakin banyak konsentrasi protein yang ditambahkan ke dalam adonan, maka akan berkurang nilai kecerahan pada produk mi kering yang dihasilkan. Kecerahan pada mi kering dipengaruhi oleh proses pengeringan yang dilakukan. Adanya proses pemanasan akan menyebabkan reaksi Maillard yang terjadi karena interaksi pati dengan protein atau gugus asam amino sehingga dapat menurunkan
32
kecerahan pada mi kering. Reaksi Maillard dapat menyebabkan perubahan sensori pada mi karena terbentuknya senyawa melanoidin yang memberikan warna coklat (Damodaran 2008). Kekerasan adalah sifat produk pangan yang menunjukkan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Sifat derajat mudah patah dari suatu benda dapat dinyatakan sebagai nilai kekerasan (hardness) (Andarwulan et al. 2011). Kekerasan mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 1493,20 gf, 1627,80 gf dan 1797,43 gf. Berdasarkan hasil analisis ragam, kekerasan mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekerasan mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering komersial, sedangkan kekerasan mi kering surimi gabus 9% tidak berbeda nyata dengan mi kering kontrol (Lampiran 4). Nilai kekerasan mi kering kontrol lebih tinggi dibandingkan mi kering dengan penambahan tepung surimi 9%. Perbedaan nilai tersebut diduga karena kandungan glukomanan pada tepung porang yang dapat menyerap air lebih banyak, sehingga mi porang yang dihasilkan lebih bervolume. Adanya penambahan tepung surimi diduga dapat mempengaruhi nilai kekerasan pada mi kering yang dihasilkan. Zhou et al. (2013) menyatakan bahwa sifat fisikokimia pada glukomanan dapat menghidrasi lebih cepat dan menyerap air lebih banyak sehingga viskositasnya meningkat. Glukomanan berbeda dengan hidrokoloid lainnya yang dapat berinteraksi secara elektrostatis dengan grup fungsional pada protein atau pati, melainkan sebagai polisakarida netral yang dapat menggantikan jaringan gluten dalam memberikan kekompakan pada tekstur mi. Glukomanan dapat menghambat hidrasi antara pati dan protein, sehingga terjadi persaingan dalam penyerapan air oleh glukomanan, pati dan protein pada saat pengadonan. Hal tersebut yang menyebabkan nilai kekerasan pada mi kering dengan penambahan tepung surimi memiliki nilai yang lebih rendah daripada kontrol. Nilai kekerasan pada mi komersial lebih tinggi dibandingkan mi kering formula terpilih karena adanya gluten yang terdapat dalam tepung terigu pada mi kering komersial. Park dan Baik (2009) mengemukakan bahwa kekerasan mi dipengaruhi oleh kuantitas protein pada tepung yang digunakan, termasuk tipe protein intrinsik yang terdapat dalam tepung. Kekerasan mi dapat dipengaruhi oleh retrogradasi pati. Retrogradasi pati adalah proses terbentuknya ikatan-ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada molekul-molekul amilosa dan amilopektin sehingga membentuk tekstur yang keras (Kusnandar 2010). Kelengketan merupakan daya rekat yang ditunjukkan dengan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik bagian pangan dan memisahkannya dari lempeng kompresi (Subarna et al. 2012). Nilai kelengketan mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah -307,70 gf, -244,37 gf, dan -48,09 gf. Berdasarkan hasil analisis ragam, kelengketan mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelengketan mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 4). Nilai kelengketan mi kering fortifikasi tepung surimi ikan gabus 9% lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelengketan mi kering kontrol. Penambahan konsentrasi tepung surimi ikan gabus berbanding lurus dengan kelengketan mi yang dihasilkan. Hal tersebut terjadi karena penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering yang
33
dihasilkan menyebabkan ikatan hidrogen antar amilosa terganggu sehingga mi menjadi lengket. Nilai kelengketan yang tinggi menunjukkan bahwa ikatan hidrogen antar amilosa tidak terbentuk secara sempurna. Subarna et al. (2012) mengemukakan bahwa apabila ikatan hidrogen antar amilosa terbentuk secara sempurna maka amilosa yang terdapat pada permukaan mi tidak akan mudah lepas ketika mi dimasak, sehingga kelengketan mi akan berkurang. Nilai kelengketan pada mi kering formula terpilih lebih tinggi dibandingkan mi kering komersial karena penggunaan bahan baku berupa tepung porang pada pembuatan mi kering formula terpilih. Glukomanan pada tepung porang dapat menyerap air hingga 200%. Larutan glukomanan dalam air mempunyai sifat merekat (Winarno 2008). Kelengketan mi juga berbanding lurus dengan cooking loss, yaitu semakin besar nilai KPAP, maka mi tersebut akan semakin lengket. Marti et al. (2010) menyatakan bahwa kelengketan mi disebabkan oleh adanya fraksi amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati dan membentuk ikatan hidrogen antar amilosa. Ketika proses perebusan mi, amilosa akan terlarut ke dalam air rebusan, sehingga kadar amilosanya akan berkurang. Hal tersebut menyebabkan mi menjadi lengket. Kekenyalan adalah kemampuan mi untuk kembali ke bentuk semula setelah mendapat gaya tekan (Subarna et al. 2012). Mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial memiliki nilai kekenyalan masing-masing sebesar 71,79 gf, 76,95 gf dan 93,73 gf. Berdasarkan hasil analisis ragam, kekenyalan mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekenyalan mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 4). Nilai kekenyalan pada mi kering komersial lebih tinggi dibandingkan mi kering formula terpilih karena adanya protein gluten dalam tepung terigu yang digunakan sebagai bahan baku mi udon kering komersial. Xin-Zhong et al. (2007) menyatakan bahwa selama pemasakan mi terigu, protein gluten menyerap air dan menguatkan jaringan gluten, sehingga membuat mi lebih elastis dan kenyal. Jaringan gluten tersebut akan menghalangi air yang masuk ke dalam mi dan mencegah keluarnya pati dari dalam mi. Kekenyalan pada mi kering berasal dari bahan baku yang digunakan, yaitu tepung mocaf, tapioka dan tepung porang. Tepung mocaf, tapioka dan maizena yang dipanaskan akan mengalami gelatinisasi yang akan berkontribusi membentuk kekenyalan dari mi akibat adanya interaksi antara amilosa dengan hidrokoloid yang meningkatkan viskositas dari pati karena air diikat oleh hidrokoloid tersebut. Adanya kandungan glukomanan pada tepung porang yang digunakan dalam pembuatan mi juga mempengaruhi kekenyalan mi kering yang dihasilkan. Zhou et al. (2013) melaporkan bahwa penambahan glukomanan dapat meningkatkan kekuatan gel pada adonan, karena adanya perubahan tekanan osmosis yang muncul dari molekul glukomanan yang sangat hidrofilik. Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering formula terpilih menyebabkan mi tersebut memiliki nilai kekenyalan yang lebih rendah dibandingkan mi kering kontrol. Adanya protein miofibril pada tepung surimi menyebabkan adonan akan semakin elastis, karena protein miofibril berperan dalam pembentukan gel pada surimi. Akan tetapi, menurut Sun dan Holley (2011) pembentukan gel optimum oleh protein miofibril dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah suhu pemanasan. Suhu pemanasan optimum untuk
34
pembentukan gel pada miosin adalah 60 °C sampai 70 °C pada pH 6. Suhu pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 °C, sehingga gel yang terbentuk dari protein tersebut belum optimal. Hal ini diduga dapat mempengaruhi nilai kekenyalan pada mi kering surimi formula terpilih, sehingga mi tersebut memiliki nilai yang lebih rendah daripada mi kering kontrol. Karakteristik kimia mi kering terpilih, kontrol dan komersial Analisis karakteristik kimia pada penelitian ini adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference), analisis serat pangan, dan aktivitas air (a w). Analisis proksimat bertujuan untuk mengetahui komposisi yang terkandung dalam suatu bahan. Analisis pengujian dilakukan terhadap mi kering formula terpilih (penambahan tepung surimi 9%), formula kontrol dan komersial. Hasil analisis karakteristik kimia mi kering formula terpilih dan formula kontrol dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik kimia mi udon kering formula terpilih, formula kontrol dan komersial Parameter
Perlakuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus 9% 0% (Kontrol)
Dried white salted noodles komersial 10,84±0,15c 3,78±0,01b 7,03±0,14c 0,70±0,04a
Kadar air (%) 8,01±0,02a 8,52±0,02b c Kadar abu (% bk) 4,21±0,03 3,61±0,02a b Kadar protein (% bk) 5,76±0,13 1,22±0,13a c Kadar lemak (% bk) 0,96±0,03 0,86±0,06b Kadar karbohidrat 89,06±0,08b 94,31±0,12c 81,54±0,27a (by difference) (% bk) Serat pangan (%) 8,38±0,10a 9,48±0,19a 10,8±0,95a a c Aktivitas air (aw) 0,52±0,00 0,54±0,00 0,53±0,00b Keterangan: Notasi huruf superscript (a, b, c) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Setiap bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda (Winarno 2008). Kadar air mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 8,01%, 8,52% dan 10,84%. Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar air mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Fortifikasi tepung surimi ikan gabus cenderung menurunkan kadar air mi kering yang dihasilkan, sehingga dapat meningkatkan daya tahan produk. Penurunan kadar air pada mi kering fortifikasi surimi gabus juga disebabkan oleh adanya interaksi antara pati dan protein. Damodaran (2008) menyatakan bahwa adanya interaksi antara pati dan protein menyebabkan air tidak dapat diikat lagi secara sempurna karena protein yang seharusnya mengikat air digunakan untuk mengikat pati. Nilai kadar air pada mi kering komersial lebih tinggi dibandingkan mi kering formula terpilih karena metode pengeringan yang digunakan berbeda. Mi kering pada penelitian ini menggunakan metode pengeringan oven selama 1 jam dengan suhu 40 ºC, sedangkan menurut Fu (2008) mi kering komersial dikeringkan dengan cara pengeringan udara di dalam ruangan khusus yang suhu dan kelembabannya sudah diatur. Proses pengeringan terbagi ke dalam tiga tahap,
35
yaitu pengeringan awal (15-25 ºC), pre-drying (30-40 ºC), dan pengeringan terakhir (40-5 ˚ ). Mineral (abu) merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Kadar abu mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial adalah 4,21%, 3,61%, 3,78%. Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar abu mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar abu mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Hal ini diduga karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Kadar abu pada mi kering memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh abu yang terkandung dalam tepung surimi tersebut. Kadar abu yang terkandung pada tepung surimi ikan gabus yang dihasilkan adalah 1,74% (bk). Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar, zat pembangun dan zat pengatur tubuh (Winarno 2008). Kadar protein mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 5,76%, 1,22%, dan 7,03%. Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar protein mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar abu mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Kadar protein mi kering dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi. Tingginya kadar protein pada mi kering formula terpilih berasal dari bahan baku yang digunakan. Adanya penambahan tepung surimi ikan gabus juga mempengaruhi kadar protein pada mi kering yang dihasilkan. Tepung surimi ikan gabus yang digunakan memiliki kadar protein sebesar 65,07%. Mi kering komersial memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan mi kering formula terpilih karena dalam pembuatan mi kering komersial menggunakan tepung terigu. Lemak adalah senyawa ester non-polar yang tidak larut dalam air (Kusnandar 2010). Kadar lemak mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 0,96%, 0,86% dan 0,70%. Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar lemak mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mikering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar lemak mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Kandungan lemak pada mi kering dipengaruhi oleh formulasi bahan baku dalam pembuatan mi. Tepung surimi ikan gabus memiliki kadar lemak sebesar 1,66%. Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering yang difortifikasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan mi kering kontrol. Mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan mi kering kontrol. Kadar karbohidrat ditentukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, abu, protein dan lemak, sehingga diketahui perkiraan jumlah karbohidrat secara keseluruhan. Kadar karbohidrat mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 89,06%, 94,31% dan 81,54%. Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar karbohidrat mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
36
bahwa kadar karbohidrat mi udon kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Kadar karbohidrat pada tepung mocaf relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu, sehingga mi kering formula terpilih dan kontrol memiliki kadar karbohidrat lebih tinggi dibandingkan mi kering komersial yang berbahan baku terigu. Kadar karbohidrat tepung mocaf yang digunakan dalam pembuatan mi adalah sebesar 87,02%. Tingginya kandungan karbohidrat pada mi kering kontrol disebabkan oleh penggunaan bahan baku yang 100% menggunakan pati singkong. Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering akan menurunkan kadar karbohidrat produk yang dihasilkan dan meningkatkan kadar lemak dan protein secara proporsional. Serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan (Muchtadi 2001). Kadar serat pangan mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 8,38%, 9,48% dan 10,8%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar serat pangan mi kering fortifikasi surimi gabus 9% dengan mi kering kontrol dan komersial (p>0,05). Mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus mengandung serat pangan yang lebih tinggi dibandingkan mi kering kontrol. Semakin tinggi konsentrasi tepung surimi yang ditambahkan, maka kadar serat pangan pada mi kering semakin berkurang. Hal ini diduga karena tepung surimi ikan gabus tidak mengandung serat pangan, sehingga tidak mempengaruhi kadar serat pangan pada mi kering yang difortifikasi tepung surimi ikan gabus. Adanya reaksi antara protein dari tepung surimi, serat dan air juga mempengaruhi rendahnya kadar serat pangan tersebut. Sánchez-González et al. (2009) menyatakan bahwa serat dapat berperan sebagai agen dehidrasi yang aktif karena sifatnya yang hidrofilik dan dapat menyebabkan perubahan pada interaksi hidrofobik dari protein. Senyawa protein tersebut dapat mengganggu aktivitas serat dalam berinteraksi dengan air. Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan a w. Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno 2008). Nilai aw mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 0,52, 0,54 dan 0,53. Berdasarkan hasil analisis ragam, nilai aw mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai aw mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Kisaran nilai aw tersebut sudah sesuai dengan ketetapan nilai aw mi kering, yaitu 0,57 (Schmidt dan Fontana 2007). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kestabilan nilai aw pada suatu bahan pangan, yaitu pengaruh kapiler pada bahan dan interaksi antara permukaan bahan dengan air. Produk pangan kering yang memiliki kisaran nilai aw 0,2-0,3 memiliki umur simpan yang paling maksimum, nilai aw 0,35-0,45 memiliki kandungan kelembaban yang kritis dimana dapat menyebabkan perubahan fisik pada produk, nilai aw 0,4-0,5 memiliki daya tahan kerenyahan produk yang cukup kritis (Labuza dan Altunakar 2007).
37
Sumbangan Gizi Mi Kering Surimi Gabus Terpilih terhadap Angka Kecukupan Gizi Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah kecukupan rata-rata gizi bagi hampir semua orang sehat menurut golongan umur, gender, ukuran tubuh, aktivitas fisik, dan kondisi fisiologis untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Almatsier 2006). Informasi nilai gizi pada suatu produk makanan sangat penting sebagai informasi dan pengetahuan bagi konsumen mengenai besarnya kecukupan gizi yang dapat disumbangkan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Takaran saji yang ditetapkan untuk mi kering surimi gabus adalah 100 g. Penentuan takaran saji tersebut mengacu pada takaran saji mi kering komersial yang terdapat di pasaran. Informasi gizi mi kering formula terpilih, formula kontrol dan mi kering komersial dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Informasi gizi mi kering formula terpilih, formula kontrol dan mi kering komersial Perlakuan konsentrasi tepung surimi gabus Dried white salted noodles komersial 9% 0% (kontrol) Total energi (kkal) 356,84 356,62 344,94 Karbohidrat (%AKG) 27,31 28,76 26,16 Protein (%AKG) 8,83 1,87 10,45 Lemak (%AKG) 1,41 1,25 1,06 Serat pangan (%AKG) 33,52 37,92 43,20 Keterangan: Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi per hari 2000 kkal. Parameter
Mi kering surimi gabus 9% menyumbangkan total energi sebanyak 356,84 kkal, sedangkan total energi mi kering kontrol dan mi kering komersial masingmasing sebesar 356,62 kkal dan 344,94 kkal. Mi kering surimi gabus 9% memiliki sumbangan total energi tertinggi dibandingkan mi kering kontrol dan mi kering komersial. Perbedaan total energi ini disebabkan oleh tingginya kandungan protein pada mi kering surimi gabus sehingga berdampak pada peningkatan total energi secara tidak langsung. Mi kering surimi gabus memiliki nilai %AKG serat pangan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya rumput laut dan glukomanan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mi. Mi kering komersial memiliki nilai %AKG serat pangan yang tinggi karena bahan baku yang digunakan dalam pembuatan mi berupa terigu dengan protein sedang mengandung serat pangan 11,42% (Hager 2013). Konsumsi satu takaran saji mi kering surimi gabus tersebut sudah mencukupi kebutuhan serat pangan dan satu per tujuh kebutuhan protein konsumsi manusia dewasa (Tejasari 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Formulasi mi kering terpilih yang diperoleh berdasarkan hasil analisis sensori dan uji indeks kerja dengan metode Bayes adalah formula A2, yaitu mi kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan gabus 9%. Penambahan tepung
38
surimi ikan gabus mempengaruhi mi kering yang dihasilkan. Mi kering surimi gabus terpilih memiliki karakteristik yang meliputi, cooking time 8,10 menit, cooking loss 32,04%, warna 94,48, kekerasan 1493,20 gf, kelengketan -307,70 gf, kekenyalan 71,79 gf, kadar air 8,01%, kadar abu 4,21%, kadar protein 5,76%, kadar lemak 0,96%, kadar karbohidrat 89,06%, serat pangan 8,38% dan aktivitas air 0,52. Mi udon kering formula terpilih menyumbangkan energi total sebesar 356,84 kkal, karbohidrat 27,31%, protein 8,83%, lemak 1,41% dan serat pangan 33,52% terhadap angka kecukupan gizi manusia dewasa.
Saran Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu perlu dilakukan formulasi lebih lanjut pada pembuatan mi, sehingga dapat diketahui proporsi sesuai dari tepung dari singkong dan pati lainnya yang efektif dan terpilih agar sesuai dengan prasyarat mi kering produk komersial. Perlu juga dilakukannya optimasi suhu pada setiap tahapan proses dan metode pada pembuatan mi, sehingga mi kering yang dihasilkan tidak mudah patah.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 133-296. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta (ID): PT Dian Rakyat. Hlm. 296-297. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Virginia (US): Published by The Association of Analytical Chemist, Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hlm. 62-68. Ariani M. 2010. Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat mendukung pencapaian diversifikasi pangan. Gizi Indonesia. 33(1): 20-28. Barokah Q, Abtokhi A. 2013. Analisis kadar glukosa pada biomassa bonggol pisang melalui paparan melalui paparan radiasi matahari, gelombang mikro, dan hidrolisis asam. Jurnal Neutrino. 5(2): 123-132. BeMiller JN, Hubber KC. 2008. Carbohydrates: Fennema’s Food Chemistry. Fourth Ed. Damodaran S, Parkin KL, Fennema OR, editor. Florida (US): CRC Press. Hlm. 108-125. Beuchat LR. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated peanut flour protein. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 25: 258261.
39
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia 2015. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891.1992 Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. ________________________________. 2006. SNI 2346:2006 Petunjuk Pengujian dan atau Sensori pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. _______________________________. 2006a. SNI 01-2354.1-2006 Cara Uji Kimia – Bagian 1: Penentuan Kadar Abu pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. ________________________________. 2006b. SNI 01-2354.2-2006 Cara Uji Kimia – Bagian 2: Penentuan Kadar Air pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. ________________________________. 2006c. SNI 01-2354.3-2006 Cara Uji Kimia – Bagian 3: Penentuan Kadar Lemak Total pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. ________________________________. 2006d. SNI 01-2354.4-2006 Cara Uji Kimia – Bagian 4: Penentuan Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. Chua M, Baldwin TC, Hocking TJ, Chan K. 2010. Traditional uses and potential health benefits of Amorphophallus konjac. Journal of Ethnopharmacology 128: 268-278. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-type noodles from heat-moisture-treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66(1): 604-609. Damodaran S. 2008. Amino acids, peptides, and proteins: Fennema’s Food Chemistry. Fourth Ed. Damodaran S, Parkin KL, Fennema OR, editor Florida (US): CRC Press. Hlm. 242. Darcy-Vrillon B. 1993. Nutritional aspects of the developing use of marine macroalgae for the human food industry. International Journal of Food Science and Nutrition. 44: 23-35 Deng Y, Luo Y, Wang Y, Zhao Y. 2015. Effect of different drying methods on the myosin structure, amino acid composition, protein digestibility and volatile profile of squid fillets. Food Chemistry. 17(1): 168-176. [Ditjen Perikanan Tangkap] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2015. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Menurut Provinsi, 2014. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Fish protein concentrate. http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5917E/x5917e01.htm [13 November 2015].
40
Faridah A, Widjanarko B. 2014. Penambahan tepung porang pada pembuatan mi dengan substitusi tepung mocaf. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 25(1): 98-105. Firdaus M, Prihanto AA, Nurdiani R. 2015. Increasing the quality of dry seaweeds by drum washing machine. Journal of Innovation and Applied Technology 1(2): 118-123. Foegeding EA, Davis JP. 2011. Food protein functionality: A comprehensive approach. Food Hydrocolloid. 25: 1853-1864. Fontana AJ. 2007. Measurement of water activity, moisture sorption isotherms and moisture content of foods: Water Activity in Foods Fundamentals and Applications. Barbosa-Cánovas GV, Fontana AJ, Schmidt SJ, Labuza TP, editor. Iowa (US): Blackwell Publishing Professional. Hlm. 155-156. Fu BX. 2008. Asian noodles: history, classification, raw materials, and processing. Food Research International 41: 888-902. Gan CY, Ong WH, Wong LM, Easa AM. 2009. Effects of ribose, microbial transglutaminase and soy protein isolate on physical properties and in vitro starch digestibility of yellow noodles. Food Science and Technology. 42: 174-179. Guenneugues P, Morissey MT. 2005. Surimi resources: Surimi and Surimi Seafood Second Edition. Park JW, editor. Florida (US): CRC Press. Hlm. 46. Hager AS. 2013. Cereal products for specific dietary requirements. Evaluation and improvement of technological and nutritional properties of gluten free raw materials and end products [doctoral thesis]. Cork (IE): School of Food and Nutritional Sciences, University College of Cork. Heo H, Baik BK, Kang CS, Choo BK, Park CS. 2012. Influence of amylose content on cooking time and textural properties of white salted noodles. Food Science Biotechnology. 21(2): 345-353. Hou G. 2001. Oriental Noodles. Portland (US): Academic Press. Hlm. 143-189. Huda N, Santana P, Abdulla R, Yang TA. 2012. Effect of different dryoprotectant on functional properties of thredfin bream surimi powder. Journal of Fish Aquatic Science. 7: 215-223. Hudaya RN. 2008. Pengaruh penambahan tepung rumput laut (Kappaphycus alvareziii) untuk peningkatan kadar iodium dan serat pangan pada tahu sumedang [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [ICC] International Association for Cereal Science and Technology. 2009. The ICC Handbook of Cereals, Flour, Dough and Product Testing. Pennsylvania (US): DEStech Publications Inc. Hlm. 455-456. [IOM] Institute of Medicine. 2005. Dietary reference intakes: macronutrients. http://iom.nationalacademies.org/~/media/Files/ActivityFiles/Nutrition/DRI s/DRI_Macronutrients.pdf [13 Januari 2016]
41
Irianto HE, Soesilo I. 2007. Dukungan teknologi penyediaan produk perikanan. Depatemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan [Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia 2007, Bogor] Katsuraya K, Okuyama K, Hatanaka K, Oshima R, Sato T, Matsuzaki K. 2003. Constitution of konjac glucomannan: chemical analysis and 13C NMR spectroscopy. Carbohydrate Polymers. 53(2): 183-189. Khoiri A. 2013. Sifat tekstural dan cooking quality mi bebas gluten dari tepung sukun. Seminar Nasional: Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. Hlm 835-843. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013a. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) usulkan hari ikan nasional untuk mendukung upaya peningkatan gizi masyarakat. http://www.wpi.kkp.go.id/ [29 Oktober 2015]. ______________________________________. 2013b. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hlm. 18-19. [Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2013. Impor tepung terigu turun 34,92%. [terhubung berkala] www.kemenperin.go.id/artikel/3199/ImporTepung-Terigu-Turun-34,92 (Diakses pada 17 Januari 2015). Kumar V, Kaladharan P. 2007. Amino acids in the seaweeds as an alternate source of protein for animal feed. Journal of The Marine Biological Association of India. 49(1): 35-40. Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan: Komponen Makro. Jakarta (ID): PT Dian Rakyat. Labuza TP, Altunakar JB. Water activity prediction and moisture sorption isotherms: Water Activity in Foods Fundamentals and Applications. Iowa (US): Blackwell Publishing Professional. Hlm. 109. Lafarge C, Cayot N, Hory C, Goncalves L, Chassemont C, Le Bail P. 2014. Effect of konjac glucomannan addition on aroma release in gels containing potato starch. Food Research International. 64: 412-419. Lasmini AY. 2002. Pemanfaatan tepung iles-iles kuning (Amorphophallus onchophyllus) sebagai sumber serat pada pembuatan cookies berserat tinggi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Liu J, Wang X, Ding Y. 2011. Optimization of adding konjac glucomannan to improve gel properties of low-quality surimi. Carbohydrate Polymers 92: 484-489. Lubis Z. 2009. Hidup Sehat dengan Makanan Kaya Serat. Bogor (ID): IPB Press. Hlm. 5-9. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Grasindo. Hlm. 16-21.
42
Marti A, Seetharaman K, Pagani MA. 2010. Rice based pasta: A comparison between conventional pasta-making and extrussion-cooking. Journal Cereal Science. 52: 404-409. McDermid KJ, Stuercke B. 2003. Nutritional composition of edible Hawaiian seaweeds. Journal of Applied Phycology. 15: 513-524. Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XII(1): 61-71. Muhandri T, Subarna. 2009. Pengaruh kadar air, NaCl, dan jumlah passing terhadap karakteristik reologi mi jagung. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 20(1): 71-77. Mulyono E. 2010. Peningkatan mutu tepung iles-iles (A. onchophyllus) (foodgrade: glukomanan 80%) sebagai bahan pengelastis mi (4% = meningkatkan elasitisitas mi 50%) dan pengental (1% = 16.000 cps) melalui teknologi pencucian bertingkat dan enzimatis pada kapasitas produksi 250 kg umbi/hari. [laporan akhir penelitian]. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Park JW, Lin TMJ. 2005. Surimi: manufacturing and evaluation: Surimi and Surimi Seafood Second Edition. Park JW, editor. Florida (US): CRC Press. Hlm. 388-390. Park SJ, Baik BK. 2009. Quantitative and qualitative role of added gluten on white salted noodles. Cereal Chemistry. 86(6): 646-652. Ramadhan W, Santoso J, Trilaksani W. 2014. Pengaruh defatting, frekuensi pencucian dan jenis dryoprotectant terhadap mutu tepung surimi ikan lele kering beku. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 25(1): 47-56. Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamson S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemical and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an acidalkaline process. Food Chemistry. 112: 112-119. Richana N, Sumarti TC. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal Pascapanen. 1 (1): 29-37. Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi anak balita [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salim E. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk Alternatif Pengganti Terigu. Yogyakarta (ID): Lily Publisher. Hlm. 5-14. Sánchez-González I, Rodríguez-Casado A, Careche M, Carmona P. 2009. Raman analysis of surimi gelation by addition of wheat dietary fibre. Food Chemistry. 112: 162-168. Santana P, Huda N, Yang TA. 2012. Technology for production surimi powder and potential of applications. International Food Research Journal. 19(4): 1313-1323.
43
Santoso J, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2004. Mineral fatty acid and dietary fiber compositions in several Indonesian seaweeds. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11: 45-51. Santoso J, Gunji S, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2006. Mineral contents of Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking. Food Science and Technology Research. 12(1): 59-66. Santoso J, Lestari OA, Anugrahati NA. 2006. Peningkatan kandungan serat makanan dan iodium pada mi kering melalui substitusi tepung terigu dengan tepung rumput laut. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 4(2): 131-145. Santoso J, Hendra E, Siregar TM. 2008. Pengaruh lama dan pengulangan ekstraksi terhadap karakteristik fisiko-kimia konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 6(2): 67-85. ______________________________. 2009. Pengaruh substitusi susu skim dengan konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) terhadap karakteristik fisiko-kimia makanan bayi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 7(1): 88-107. Sary AN. 2015. Pangan fungsional mi ikan berbasis konsentrat protein ikan nila (Oreochromis niloticus), Spirulina platensis dan sumber karbohidrat lokal [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Schmidt SJ, Fontana AJ. 2007. Water activity values of select food ingredients and products: Water Activity in Foods Fundamentals and Applications. Barbosa-Cánovas GV, Fontana AJ, Schmidt SJ, Labuza TP, editor. Iowa (US): Blackwell Publishing Professional. Hlm. 411. Siswanti. 2008. Karakterisasi edible film komposit dari glukomanan umbi iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) dan maizena [skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Principles and Procedures of Statistics Index. Sumantri B, Penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 107-406. Subarna, Muhandri T, Nurtama B, Firlieyanti AS. 2012. Quality impovement of dried corn noodle through the optimization of processing conditions and addition of monoglyceride. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23(2): 146-152. Sun XD, Holley RA. 2011. Factors influencing gel formation by myofibrillar proteins in muscle foods. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, Institute of Food Technologists Vol. 10: 33-51. Sunarsi S, Sugeng M, Wahyuni S, Ratnaningsih W. 2011. Memanfaatkan singkong menjadi tepung mocaf untuk pemberdayaan masyarakat Sumberejo. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat tahun 2011. Hlm 306-310.
44
Susanti E. 2015. Formulasi fish flakes kaya protein dan fitonutrien berbasis konsentrat protein ikan, Spirulina, dan sumber karbohidrat lokal [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tan BH, Azhar ME. 2014. Physicochemical properties and composition of snakehead fish (Channa striatus) whole fillet powder prepared with prefilleting treatments. International Food Research Journal. 21(3): 12551260. Tejasari. 2005. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta (ID): Penerbit Graha Ilmu. Hlm. 577. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Diterjemahkan oleh Sumantri B. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Walpole RE, Myers RH. 1995. Ilmu Peluang dan Statistik untuk Insinyur dan Ilmuwan. Diterjemahkan oleh RK Sembiring. Bandung (ID): Penerbit ITB. Hlm. 524-526. Wang C, Kovacs MIP, Fowler DB, Holley R. 2004. Effects of protein content and composition on white noodle making quality: color. Cereal Chemistry. 81(6): 777-784. Widjanarko SB, Megawati J. 2015. Analisis metode kolorimetri dan gravimetri pengukuran kadar glukomanan pada konjak (A. konjac). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(4): 1584-1588. [WINA] World Instant Noodles Association. 2015. Global demand for instant noodles. http://instantnoodles.org/en/noodles/market.html (Diakses pada 7 Juni 2016). Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor (ID): PT Embrio Biotekindo. Hlm. 3-127. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hlm. 14-17. Xin-Zhong H, Yi-Min W, Chun W, Kovacs MIP. 2007. Quantitative assessment of protein fractions of Chinese wheat flours and their contribution to white salted noodle quality. Food Research International. 40: 1-6. Xiong G, Cheng W, Ye L, Du X, Zhou M, Lin R. 2009. Effects of konjac glucomannan on physiochemical properties of myofibrillar protein and surimi gels from grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food Chemistry. 116: 413-418. Zakiah AFN. 2016. Analisis DNA mitokondria dan profil protein beberapa ikan air tawar indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of trehalosa and sodium lactate on tilapia (Sarotheredon nilotica) surimi during frozen storage. Food Chemistry. 96: 96-103.
45
Zhou Y, Cao H, Hou M, Nirasawa S, Tatsumi E, Foster TJ, Cheng Y. 2013. Effect of konjac glucomannan on physical and sensory properties of noodles made from low-protein wheat flour. Food Research International. 51: 879-885.
46
47
LAMPIRAN
48
49
Lampiran 1 Lembar penilaian uji sensori mi kering dan basah Nama Panelis Tanggal Pengujian Jenis Produk
: ............................................. : ............................................. : Mi dengan penambahan surimi ikan gabus
Parameter
A0
Kode A1
A2
A0
Kode A1
A2
Kenampakan Warna Aroma Kekerasan Parameter Rasa Kekenyalan
Kriteria: 1 = Amat sangat tidak suka 2 = Sangat tidak suka 3 = Tidak suka 4 = Agak tidak suka 5 = Netral 6 = Agak suka 7 = Suka 8 = Sangat suka 9 = Amat sangat suka
50
Lampiran 2 Hasil uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn parameter sensori mi kering surimi gabus a. Hasil uji Kruskal Wallis X2 hitung Db Signifikan
Kenampakan 7,321 2 ,026
Warna ,533 2 ,766
Aroma 6,746 2 ,034
Rasa 5,711 2 ,058
Kekerasan 4,251 2 ,119
Kekenyalan 11,846 2 ,003
Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
b. Hasil uji lanjut Dunn parameter kenampakan mi. Nilai kritis = 18,6208 Perlakuan
N
0% Tepung surimi ikan gabus 6% Tepung surimi ikan gabus 9% Tepung surimi ikan gabus
40 40 40
α=
5
a a a
b
b
c. Hasil uji lanjut Dunn parameter aroma mi. Nilai kritis = 18,6208 Perlakuan
N
0% Tepung surimi ikan gabus 6% Tepung surimi ikan gabus 9% Tepung surimi ikan gabus
40 40 40
α=
5
a a
b b b
d. Hasil uji lanjut Dunn parameter kekenyalan mi. Nilai kritis = 18,6208 Perlakuan
N
0% Tepung surimi ikan gabus 6% Tepung surimi ikan gabus 9% Tepung surimi ikan gabus
40 40 40
α= a a
5 b
c
b c
51
Lampiran 3 Penilaian indeks kerja (metode Bayes) terhadap parameter sensori mi kering Nilai kepentingan Parameter Kenampakan Warna Aroma Rasa Kekerasan Kekenyalan
Nilai Kepentingan 5 2 4 1 6 5
Keterangan: Nilai 6 adalah sangat penting Nilai 5 adalah penting Nilai 4 adalah biasa Nilai 3 adalah kurang penting Nilai 2 adalah tidak penting Nilai 1 adalah sangat tidak penting
x/y Kenampakan Warna Aroma Rasa Kekerasan Kekenyalan
Kenampakan 1,00 0,40 0,80 0,20 1,20 1,00
Warna 2,50 1,00 2,00 0,50 3,00 1,00
Aroma 1,25 0,50 1,00 0,25 1,50 1,25
Rasa 5,00 2,00 4,00 1,00 6,00 5,00
Perkalian dengan matriks sekawan (matriks AxA = B) 1,00 0,40 0,80 0,20 1,20 1,00
2,50 1,00 2,00 0,50 3,00 1,00
1,25 0,50 1,00 0,25 1,50 1,25
5,00 2,00 4,00 1,00 6,00 5,00
0,83 0,33 0,67 0,17 1,00 0,83
1,00 0,40 0,80 0,20 1,20 1,00
1,00 0,40 0,80 0,20 1,20 1,00
2,50 1,00 2,00 0,50 3,00 1,00
1,25 0,50 1,00 0,25 1,50 1,25
5,00 2,00 4,00 1,00 6,00 5,00
0,83 0,33 0,67 0,17 1,00 0,83
1,00 0,40 0,80 0,20 1,20 1,00
6,40 2,93 9,12 2,36 28,36 12,18
49,17 7,73 119,80 16,70 409,68 210,67
4,74 1,61 5,98 3,00 21,49 12,03
8,80 1,94 38,80 4,38 263,55 82,14
Matriks B = 6,00 3,79 11,04 2,65 57,48 39,31
20,92 4,40 17,17 6,18 36,70 126,42
Kekerasan 0,83 0,33 0,67 0,17 1,00 0,83
Kekenyalan 1,00 0,40 0,80 0,20 1,20 1,00
52
Perkalian dengan matriks sekawan (matriks BxB = C) 6,00 3,79 11,04 2,65 57,48 39,31
20,92 4,40 17,17 6,18 36,70 126,42
6,40 2,93 9,12 2,36 28,36 12,18
49,17 7,73 119,80 16,70 409,68 210,67
4,74 1,61 5,98 3,00 21,49 12,03
8,80 1,94 38,80 4,38 263,55 82,14
588,42 1661,89 249,05 3508,22 36,61 77,44 578,59 421,90 137,93 285,21 14,20 3,76 5401,31 5503,34 1007,88 30347,46 152,11 1505,44 455,12 2235,91 515,79 2430,08 103,11 19,18 4746,78 4932,43 5795,70 172363,91 3633,31 69458,60 1545,66 15981,11 148,43 44380,42 144,82 6746,98 Matriks C = 588,42 1661,89 249,05 3508,22 36,61 77,44 578,59 421,90 137,93 285,21 14,20 3,76 5401,31 5503,34 1007,88 30347,46 152,11 1505,44 455,12 2235,91 515,79 2430,08 103,11 19,18 4746,78 4932,43 5795,70 172363,91 3633,31 69458,60 1545,66 15981,11 148,43 44380,42 144,82 6746,98 Hasil penjumlahan Matriks C dan nilai bobot Hasil Penjumlahan Kenampakan 588,42 668,9722 1661,89 249,05 3508,22 36,61 77,44 Warna 17,1258 578,59 421,90 137,93 285,21 14,20 3,76 Aroma 274,0128 5401,31 5503,34 1007,88 30347,46 152,11 1505,44 Rasa 1,0702 455,12 2235,91 515,79 2430,08 103,11 19,18 Kekerasan 4746,78 4932,43 5795,70 172363,91 3633,31 69458,60 1387,2097 Kekenyalan 1545,66 15,981,11 148,43 630,9097 44380,42 144,82 6746,98
Hasil perankingan berdasarkan uji Bayes Parameter Kenampakan Warna Aroma Kekerasan Rasa Kekenyalan Total nilai Ranking
A0 3 2 2 1 3 3 1,0985 3
Formula A1 2 3 3 3 2 1 2,1137 2
A2 1 1 1 2 1 2 2,7878 1
Nilai Bobot 0,2245 0,0057 0,0920 0,0004 0,4656 0,2118
Keterangan: A0 = Kontrol, A1 = 6% Tepung surimi ikan gabus, A2 = 9% Tepung surimi ikan gabus
Nilai Bobot 0,2245 0,0057 0,0920 0,0004 0,4656 0,2118
53
Lampiran 4 Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan karakteristik fisik mi kering 1. Grafik uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov Hipotesis: H0 = data menyebar normal H1 = data tidak menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,984 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,996 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
54
Keterangan:
Pvalue = 0,729 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,896 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
55
Keterangan:
Pvalue = 0,986 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,788 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
56
2. Tabel analisis ragam (ANOVA) karakteristik mi kering Analisis Ragam (ANOVA) Cooking time
Cooking loss
Db
Perlakuan
Jumlah kuadrat 37,906
Galat Total Perlakuan
,006 37,912 942,795
6 8 2
2
Kuadrat tengah 18,953
F hitung
Signifikan
19834,686
,000
10,018
,012
107,316
,000
6,582
,031
68,062
,000
160,292
,000
,001 471,398
Galat 282,335 6 47,056 Total 1225,130 8 Warna Perlakuan 60,746 2 30,373 Galat 1,698 6 ,283 Total 62,444 8 Kekerasan Perlakuan 139450,549 2 69725,274 Galat 63555,787 6 10592,631 Total 203006,336 8 Kelengketan Perlakuan 109929,954 2 54964,977 Galat 4845,467 6 807,578 Total 114774,421 8 Kekenyalan Perlakuan 789,705 2 394,853 Galat 14,780 6 2,463 Total 804,485 8 Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
3. Tabel uji lanjut Duncan karakteristik fisik mi kering Hasil uji lanjut Duncan cooking time Perlakuan
α=
N
5
1 2 Tepung surimi gabus 9% 3 8,0967 Kontrol 3 12,4267 Komersial 3 8,0500 Signifikan ,114 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan cooking loss Perlakuan
N
α= 1
5 2 32,0400 23,0267
Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 Komersial 3 7,2733 Signifikan 1,000 ,159 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
57
Hasil uji lanjut Duncan warna Perlakuan
α=
N
1 94,4767
5 2
3 Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 96,4833 Komersial 3 100,7100 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kekerasan Perlakuan
N
α = 0,05 1 1493,2000 1627,8000
2 Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 1627,8000 Komersial 3 1797,4333 Signifikan ,160 ,090 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kelengketan Perlakuan
N
α= 1 -307,7000
5 2
3
Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 -244,3667 Komersial 3 -48,0933 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kekenyalan Perlakuan
N
α= 1 71,7872
5 2
3 Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 76,9484 Komersial 3 93,7294 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
58
Lampiran 5 Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan karakteristik kimia mi kering 1.
Grafik uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov Hipotesis: H0 = data menyebar normal H1 = data tidak menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,956 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,998 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
59
Keterangan:
Pvalue = 0,306 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,443 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
60
Keterangan:
Pvalue = 0,999 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan:
Pvalue = 0,997 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
61
Keterangan:
Pvalue = 0,994 Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
2. Tabel analisis ragam (ANOVA) karakteristik kimia mi kering Analisis Ragam (ANOVA) Jumlah Kuadrat Db kuadrat tengah Kadar air Perlakuan 13,698 2 6,849 Galat ,048 6 ,008 Total 13,746 8 Kadar abu Perlakuan ,582 2 ,291 Galat ,002 6 ,000 Total ,585 8 Kadar protein Perlakuan 55,843 2 27,921 Galat ,108 6 ,018 Total 55,950 8 Kadar lemak Perlakuan ,100 2 ,050 Galat ,014 6 ,002 Total ,114 8 Kadar karbohidrat Perlakuan 247,096 2 123,548 Galat ,189 6 ,031 Total 247,285 8 Serat pangan Perlakuan 34,653 2 17,328 Galat 148,958 6 24,826 Total 183,611 8 Aktivitas air Perlakuan ,001 2 ,000 Galat ,000 6 ,000 Total ,001 8 Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
F hitung
Signifikan
860,899
,000
748,886
,000
1555,988
,000
21,859
,002
3923,544
,000
,698
,0534
114,179
,000
62
3. Tabel uji lanjut Duncan karakteristik kimia mi kering Hasil uji lanjut Duncan kadar air Perlakuan
N
α= 1 8,0100
5 2
3 Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 8,5167 Komersial 3 10,8433 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar abu Perlakuan
N
α= 1
5 2
3 Tepung surimi gabus 9% 3 4,2167 Kontrol 3 3,6133 Komersial 3 3,7800 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar protein Perlakuan
α=
N
5
1 2 3 Tepung surimi gabus 9% 3 5,7600 Kontrol 3 1,2267 Komersial 3 7,0300 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar lemak Perlakuan
N
α= 1
5 2
3 ,9600
Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 ,8567 Komersial 3 ,7033 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
63
Hasil uji lanjut Duncan kadar karbohidrat Perlakuan
N
1
α = 0,05 2 89,0667
3 Tepung surimi gabus 9% 3 Kontrol 3 94,3067 Komersial 3 81,5400 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan serat pangan 5 1 Tepung surimi gabus 9% 3 6,2967 Kontrol 3 2,6600 Komersial 3 7,2000 Signifikan ,322 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata Perlakuan
N
α=
Hasil uji lanjut Duncan aktivitas air Perlakuan
N
α=
5
1 2 3 Tepung surimi gabus 9% 3 ,5193 Kontrol 3 ,5447 Komersial 3 ,5283 Signifikan 1,000 1,000 1,000 Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
64
Lampiran 6 Perhitungan persentase sumbangan gizi mi kering Kebutuhan gizi per hari mengacu pada kebutuhan perhari untuk umum dari BPOM (2005) yaitu karbohidrat 300 g (1200 kkal), protein 60 g (240 kkal), lemak 62 g (560 kkal), dan serat pangan 25 g. Mi kering dengan konsentrasi tepung surimi ikan gabus 9% Parameter Kadar (%) Kadar (gram) dalam 100 gram Energi disumbangkan (kkal) Energi dibutuhkan (kkal) Kebutuhan (gram) %AKG
% AKG =
Karbohidrat 81,93 81,93 327,72 1200 300 27,31
kadar dalam produk
)
kebutu an per ari
)
% AKG karbohidrat % AKG protein % AKG lemak %AKG serat pangan
Protein 5,30 5,30 21,2 240 60 8,83
Lemak 0,88 0,88 7,92 560 62 1,41
x
= 81,93 / 300 x 100% = 27,31% = 5,30 / 60 x 100% = 8,83% = 0,88 / 62 x 100% = 1,41% = 8,38 / 25 x 100% = 33,52%
Energi dari karbohidrat Energi dari protein Energi dari lemak Energi total
= 81,93 x 4 = 327,72 kkal = 5,30 x 4 = 21,2 kkal = 0,88 x 9 = 7,92 kkal = 327,72 + 21,2 + 7,92 = 356,84 kkal
Serat pangan 8,38 8,38 25 33,52
65
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Desember 1993, dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Arif Dibyo Pranowo, SE dan Anita Yustisia. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Gunung 05 Pagi (SD Mexico 05) Jakarta pada tahun 2005, lulus dari SMPN 11 Jakarta pada tahun 2008, dan menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 82 Jakarta pada tahun 2011. Penulis diterima di program studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri IPB (SNMPTN IPB) pada tahun 2011. Selama kegiatan perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan sebagai anggota divisi Pengembangan Budaya, Olahraga dan Seni BEM-FPIK IPB pada periode tahun 2012/2013, anggota divisi Layouter Majalah Pangan dan Gizi EMULSI IPB pada periode tahun 2012/2013, editor dan ketua divisi Layouter pada tahun 2013/2014, dan menjadi anggota aktif IKASUMI (Ikatan Keluarga Alumni SUIJI Mahasiswa IPB) dari tahun 2014 hingga sekarang. Penulis merupakan peserta Six Universities Initiative Japan Indonesia (SUIJI)-Service Learning Program di Pulau Shikoku, Jepang tahun 2014. Penulis juga aktif menjadi Master of Ceremony dalam beberapa acara Seminar di Institut Pertanian o or sala satunya “SUIJI SLP Final Presentation International Seminar” yan diadakan ole irektorat Kema asiswaan IP . elama kulia penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan pada tahun ajaran 2013/2014 serta asisten praktikum Teknologi Industri Tumbuhan Laut (TITL) pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis menerima beasiswa PPA pada periode tahun 2013/2014. Penulis juga aktif dalam kegiatan sosial IPB Goes To Field (2013) dan IPB Goes To Field International (2015). Penulis telah melaksanakan praktik lapangan dan menyelesaikan laporan yan berjudul “ injauan Kelayakan asar Produk Abon Ikan Lele di UMKM Pamuji Kabupaten oyolali Jawa en a ” dibimbing oleh Dr Bustami Ibrahim, MSc.