FENOMENA ESTETIKASI KEHIDUPAN SEHARI-HARI DALAM SENI RUPA KONTEMPORER INDONESIA Supatmo * Abstrak Seni rupa kontemporer Indonesia menemukan spirit awal dari lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (1975) dengan gejala-gejala penolakan dan penentangan terhadap mainstream seni rupa moderen, yang dianggap sewenang-wenang atas nama universalitas, ditandai dengan penggunakan berbagai ragam media ungkap alternatif di luar tradisi fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis), seperti seni rupa instalasi, seni rupa pertunjukan (performance art), seni rupa lingkungan (environmental art), video art, hingga seni rupa dengan media barang jadi (readymades). Penolakan itu juga diwarnai nuansa penghapusan (erasures) atas pengkotak-kotakan antarcabang seni rupa, antarcabang seni, percampuran berbagai gaya dan aturan (eklektik), hingga pengaburan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari. Dunia seni pada wacana seni rupa kontemporer tidak lagi dipandang sebagai “dunia agung”, yang terpisah dari dunia kehidupan sehari-hari. Pengaburan batas, bahkan penghapusan antara seni dengan kehidupan sehari-hari (estetikasi kehidupan sehari-hari) merupakan bentuk integrasi baru antara “dunia seni” dengan “dunia kehidupan sehari-hari” yang dilandasi oleh pemikiran akhir moderenisme (post modernism). Pemikiran posmoderenisme dalam konteks seni rupa yang sangat fenomenal dinyatakan secara filosofis oleh Arthur Danto, “The End of Art”, mengiri pameran “Brillo Box”-Andy Warhol (1964). Pernyataan filosofis “berakhirnya seni rupa” itu, pada tataran pemikiran, menandai berakhirnya seni rupa (mainstream moderenisme), sehingga mempersuasi lahirnya era seni rupa baru dengan paradigma posmoderen. Dinamika seni rupa dengan berbagai gejala dan fenomena yang bersumber dari padadigma posmoderen, yang di Indonesia lebih dikenal dengan terminologi seni rupa “kontemporer”, kembali menjadi arus besar yang mendominasi wajah seni rupa Indonesia mutakhir. Istilah seni rupa kontemporer tidak berhenti pada pengertian yang mengacu pada waktu (masa) sezaman atau masa kini, tetapi lebih berorientasi pada gejala-gejala dan fenomena anti-moderenisme. Berbagai perhelatan seni rupa kontemporer Indonesia, dalam wacana maupun praktik, sarat nuansa fenomena estetikasi kehidupan sehari-hari, yang dalam berbagai hal terasa epigonal dengan fenomena suatu masa perkembangan seni rupa di dunia Barat. Hal ini menandakan bahwa dinamika seni rupa kontemporer Indonesia selalu berputar-putar mengikuti superioritas arus besar seni rupa Barat. Kata kunci: estetikasi, readymades, moderenisme, posmoderenisme, kontemporer. Pendahuluan Sejak awal tahun 1990-an sering diselenggarakan pameran seni rupa Indonesia dengan label “Seni Rupa Kontemporer”. Kata “kontemporer” (contemporary) berarti sezaman atau masa kini, namun secara terminologis, seni rupa kontemporer tidak cukup dipahami pada pengertian seni rupa sezaman, seni rupa masa kini, atau seni rupa yang berkaitan dengan waktu saja. Seni rupa kontemporer dipahami sebagai wacana dan praktik seni rupa yang ditandai dengan gejala-gejala “kontradiksi”, “penolakan”, “subversi”, hingga “dekonstruksi” terhadap kemapanan wacana dan praktik seni rupa moderen, terutama aspek universalisme dan formalisme. Reaksi penolakan itu terepresentasikan melalui penggunaan *
Penulis adalah dosen Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Semarang, Magister Humaniora.
2
keragaman media ungkap baru di luar tradisi fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis) dengan kecenderungan yang bersifat eklektik (penggabungan berbagai gaya dan aturan). Dinamika seni rupa kontemporer Indonesia memiliki benang merah kesejarahan dengan Gerakan Seni Rupa Baru (1975). Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) sering dikukuhkan sebagai momentum awal perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Gerakan yang dipelopori oleh Jim Supangkat dan kawan-kawan itu mengusung paradigma estetis baru pada masa itu, yaitu personal liris. Gerakan itu menghadirkan perwajahan karya seni rupa yang sangat berbeda dengan mainstream seni rupa moderen yang telah ada sebelumnya, walaupun tidak secara eksplisit berlabel “seni rupa kontemporer”. Karya-karya Gerakan Seni Rupa Baru menekankan citra analitik kontekstual dan partisipatoris terhadap persoalan sosial-politik aktual. Gerakan itu juga mendekonstruksi, mengaburkan atau menghapus, batas-batas seni rupa tinggi (high art) dengan seni rupa rendah (low art), seni rupa murni (pure art/ fine art) dengan seni rupa terap (applied art), batas-batas antarcabang seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, seni reklame, dan cabang-cabang seni rupa lainnya), batas antarcabang seni, bahkan batas antara karya seni rupa dengan benda kehidupan sehari-hari. Salah satu catatan penting dari jejak wacana dan praktik seni rupa Gerakan Seni Rupa Baru adalah dieksploitasinya benda-benda pakai kehidupan sehari-hari (readymades) sebagai media ungkap. Penggunaan media ungkap “tak terbatas” (alternatif) itu telah mendorong perkembangan seni rupa instalasi, seni rupa lingkungan (environmental art), seni rupa pertunjukan (performance art), hingga seni video (video art). Dalam aspek yang lebih luas, penggunaan media ungkap alternatif itu turut mendorong fenomena pengaburan batas atau penghapusan jarak antara karya seni rupa dengan barang-barang kehidupan sehari-hari. Contoh nyata dapat diamati pada karya Hardi, salah satu personal Gerakan Seni Rupa Baru, berjudul “Rak Buku” yang mengusung rak buku sungguhan ke ruang pameran; atau karya Jim Supangkat berjudul “Kamar Tidur Seorang Perempuan dan Anaknya”, berupa kamar tidur sesungguhnya. Hal yang sama juga terlihat pada karya FX. Harsono berjudul “Rantai”, berupa tiga buah bantal yang dirantai di atas kasur (Dermawan 1990). Gejala media ungkap yang digunakan oleh kelompok Gerakan Seni Rupa Baru banyak diikuti oleh generasi setelahnya, terutama pada perioede setelah tahun 1990-an, bahkan menjadi salah satu ciri seni rupa kontemporer Indonesia hingga sekarang. Gejala dan gejolak tersebut mungkin terinspirasi oleh “pemberontakan kreatif” kelompok Dada (1920-an) atau Pop Art (1960an), yang menjadi arus kuat perkembangan seni rupa Eropa-Amerika. Featherstone (2005: passim) mengindentifikasi dan menyebut gejala-gejala semacam itu sebagai estetikasi kehidupan sehari-hari. Pada bahasan berikut dipaparkan secara fenomenologis tentang wacana maupun praktik estetikasi kehidupan sehari-hari pada seni rupa kontemporer Indonesia. Pembahasan terfokus pada seputar penafsiran dan pemahaman terminologi estetikasi kehidupan sehari-hari dalam konteks dinamika seni rupa kontemporer Indonesia, gejala-gejala beserta wacana dan contoh-contoh praktik, serta implikasinya.
3
Pengaburan Batas antara Karya Seni Rupa dengan Benda Kehidupan Sehari-hari “Estetikasi kehidupan sehari-hari” merupakan suatu terminologi yang mengemuka seiring pewacanaan seni rupa kontemporer dalam pandangan dan pemikiran posmoderen. Kata “estetikasi” merupakan kata bentukan dari “estetik” (aesthetic) menjadi “estetikasi”, sebagaimana kata “publik” (public) menjadi “publikasi”. Secara lugas, estetikasi berarti mengestetikkan, sehingga estetikasi kehidupan sehari-hari berarti mengestetikkan atau “menyenikan” kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, sebagai suatu terminologi, estetikasi kehidupan sehari-hari tidak cukup dipahami sebatas pengertian lugas saja namun diperlukan gambaran dan benang merah wacana di sekelilingnya secara lebih komprehensif. Para pemikir posmoderenisme seperti Lyotard, Vattimo, Derrida, Habermas, dan Baudrillard (lihat Featherstone 2001: 17) berpandangan bahwa seni yang berasosiasi dengan wacana posmoderen memiliki beberapa gejala, antara lain: adanya penghapusdan batas antara seni dengan kehidupan seharihari, runtuhnya perbedaan hierarkis antara budaya tinggi [civilization] dengan budaya umum [culture], percampuran gaya dan berbagai aturan (eklektik), bersifat pastice (karya seni yang dimaksudkan sebagai sindiran terhadap seniman lain, ironi, lelucon tentang kedangkalan budaya), menurunnya orisinalitas atau bakat seni, dan asumsi bahwa seni hanya merupakan pengulangan. Seorang filsuf kontemporer, Arthur Danto, menganggap pameran karya seniman Pop Art, Andy Warhol, berjudul “Brillo Box” (1964) sebagai momentum “berakhirnya seni rupa”, yang ditulisnya dalam buku berjudul “The End of Art”. Pada pameran tersebut Warhol menampilkan karya seninya berupa tiruan kotak sabun Brillo, yang secara fisik tidak berbeda dengan kotak sabun Brillo sebenarnya, yang dijual di toko-toko grosir. Danto memaknai wacana “berakhirnya seni rupa” sebagai berakhirnya secara logis sebuah mainstream gerakan seni rupa moderenisme. Moderenisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaran seni yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan moderenisme telah membongkar konsep-konsep seni rupa klasik. Bagi seniman moderenis, konsep seni rupa klasik bahwa seni rupa harus indah, seni rupa harus menghadirkan sensasi menyenangkan mata, harus memiliki subjek penggambaran (subject matter), seni rupa harus merupakan produk magis dari aura sang seniman, dan seterusnya, selangkah demi selangkah mulai dicampakkan. Seniman moderenis mencampakkan keindahan sebagai faktor ideal dalam seni rupa, misalnya terlihat pada penggambaran wanita secara kubistis oleh Pablo Picasso pada lukisan berjudul “Les Demoiselles d’Avignon” (1907). Pokok persoalan (subject matter) tidak lagi dianggap sebagai hal penting terlihat pada lukisan tetesan cat (drip painting) karya-karya Jackson Pollock. Sementara itu para seniman konseptual menganggap tidak perlu lagi pemilikan karya, konsep lebih penting daripada karya. Pembongkaran dan penghapusan terus berkembang, termasuk yang dilakukan oleh Warhol atau masa sebelumnya oleh
4
kelompok Dada yang dimotori Marcel Duchamp (1913-1917) dengan mengusung benda-benda jadi dalam kehidupan sehari-hari (readymades) sebagai media ungkap karya seni rupa. Bagi filsuf Danto, “Brillo Box”-Andy Warhol selain menjadi momentum “berakhirnya seni rupa” juga menandai akhir moderenisme (post modernism), pasalnya karya itu secara implisit
mengandung
pernyataan filosofis bahwa publik tidak akan mampu lagi membedakan benda biasa (kehidupan seharihari) dengan karya seni rupa, karena memang secara visual (fisik) tidak berbeda. Dekonstruksi terpenting Warhol adalah tumbuhnya fenomena bahwa untuk mengetahui dan memahami suatu benda merupakan karya seni rupa atau bukan, seseorang dituntut mengetahui latar belakang, berpartisipasi dalam atmosfir konseptual, dan mengikuti “wacana nalar” yang menyelimutinya (Sumartono 2004: passim).
Andy Warhol, “Brillo Box”, 1964 Silkscreen ink on painted wood, 17 1/8 x 17 1/8 x 14 in Private collection ©1999 Andy Warhol Foundation for the Visual Arts / Artists Rights Society (ARS), NY. (Daniel Marx 2005, http://gallery.euroweb.hu) Aspek lain dekonstruksi Warhol, sebagaimana diproklamirkan oleh Danto, adalah gagasan penghapusan jarak antara karya seni rupa dengan benda kehidupan sehari-hari, yang berarti telah muncul gejala estetikasi (“menyenikan”) kehidupan sehari-hari. Selanjutnya berdasarkan pandangan posmoderen, Featherstone (2005: 158-163) menjelaskan beberapa asumsi pemahaman tentang estetikasi kehidupan sehari-hari. Pertama, gerakan Dada-Marcel Duchamp dengan konsep “barang sudah jadi” (readymades), karya seni rupa dengan media barang-barang buatan pabrik, yang pada mulanya tidak dikenal, kemudian
5
dipuja-puja oleh seniman trans-avan garde New York (1960-an), yang melahirkan Pop Art-Andy Warhol. Gerakan Pop Art didasari oleh asumsi bahwa seni dapat terjadi di mana saja, dari apa saja, dan menjadi apa saja. Kedua, estetikasi kehidupan sehari-hari merujuk pada asumsi bahwa kehidupan sehari-hari dapat menjadi institusi seni. Hal demikian merupakan tema terpenting dalam gerakan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap budaya artistik yang mencemooh hal-hal (seni) yang bersifat massa, mengagungkan orisinalitas, dan superioritas seni atas kehidupan sehari-hari. Gerakan ini melahirkan budaya massa dengan pemikiran bahwa konsumsi estetik harus dihubungkan dengan perkembangan konsumsi massa (budaya konsumen). Ketiga, estetikasi kehidupan sehari-hari merujuk pada realitas gerak cepat zaman dan citra (image) estetis yang memenuhi jaringan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat kontemporer. Masyarakat kontemporer adalah masyarakat dengan praktik budaya konsumen, yang mengestetikkan dan menderealisasikan realitas. Aspek ini menekankan pada peran baru dan penting yang dimainkan oleh citra estetik dalam masyarakat kontemporer, yang di dalamnya terjadi pengaburan antara citra dengan realita dan pengestetikan (estetikasi) kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi ruh budaya posmoderen yang sangat simulasional. Pemikiran demikian telah mendorong terjadinya integrasi yang lebih progresif antara seni dengan kehidupan sehari-hari dan mengondisikan situasi “kehidupan sehari-hari menjadi suatu karya seni”. Seni tidak lagi menjadi realitas yang terkotak dan terpisah, seni telah memasuki proses produksi dan reproduksi, sehingga segala sesuatu, meskipun merupakan realitas sehari-hari dan realitas biasa, dengan demikian masuk dalam wilayah seni dan bernilai estetik. Pengaburan batas antara karya seni rupa dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari merupakan salah satu konsekuensi logis dari pilihan pengertian seni rupa sebagai visual art, seni yang berhubungan dengan aspek visual, daripada sekadar fine art. Pengertian seni rupa (visual art), menurut Soemartono (2001) memiliki lingkup sangat longgar. Demikian longgarnya pengertian seni rupa sehingga pasir dan batu yang disusun di atas tanah atau onggokan jagung yang dibentuk-bentuk, kini bisa disebut karya seni rupa instalasi kalau pelakunya “meniatkan” demikian. Inilah salah satu contoh dari apa yang oleh Featherstone disebut estetikasi kehidupan sehari-hari. Estetikasi Kehidupan Sehari-hari dalam Dinamika Seni Rupa Kontemporer Indonesia Seni rupa kontemporer Indonesia, dalam hal ini, lebih dipandang sebagai suatu terminologi yang merujuk pada gejala-gejala atau fenomena seni rupa (sebagaimana dipaparkan pada bahasan terdahulu) daripada Indonesia sebagai representasi kewilayahan (geografis) praktik seni rupa tersebut. Dalam pandangan dan bahasan secara fenomenologis, hal ini memberi makna bahwa tinjauan wilayah, dalam
6
bahasan lebih lanjut, tidak dijastifikasi sebagai representasi keindonesiaan secara keseluruhan, namun lebih dipandang sebagai “medan fenomenal” dari gejala-gejala yang dimaksud. Ada dua aspek mendasar di balik pemahaman tentang terminologi seni rupa kontemporer yang berlaku di Indonesia. Aspek pertama mengacu pada pemahaman seni rupa kontemporer sebagai seni rupa alternatif, dengan media ungkap baru seperti instalasi, performance art (happenings), video art, invironmental art, hingga readymades. Seni instalasi merupakan karya rupa yang terdiri atas gabungan berbagai media sehingga membentuk kesatuan baru dan menawarkan makna baru pula. Karya seni instalasi menjadi wujud nyata pembebasan seni rupa dari pengotak-kotakan seni lukis, seni grafis, seni patung, seni reklame, dan cabang-cabang seni rupa lainnya, serta penghapusan pandangan dikotomis atas seni rupa menjadi seni murni-seni terap, seni tinggi-seni rendah, atau seni bebas-seni terikat. Performance art atau happenings disebut juga seni rupa pertunjukan, seni rupa peristiwa, atau seni rupa total. Performance art merupakan penggabungan seni rupa dengan seni pertunjukan (performing), persilangan antara pameran seni rupa dengan pertunjukan teatrikal. Dalam hal ini ditampilkan unsur rupa, musik, dan gerak, namun menghindari adanya alur cerita (ploting) secara tradisional. Salah satu contoh performance art yang sangat fenomenal dan tercatat dalam sejarah perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia adalah performance art yang dilakukan oleh Eddie Hara dan Ellen Urselmann (1987) pada Pekan Seni Eksperimental FSR ISI Yogyakarta, sebagaimana yang dicatat oleh Marianto (2000: 198-199). Karya performance art itu diilhami oleh Hardship Art Amerika. Mereka berdua merantai salah satu tangan masing-masing lalu digembok. Selama 24 jam dirantai, mereka tidak berbicara satu sama lain dan tidak saling bersentuhan secara fisik. Mereka mengenaka pakaian putih-putih dan berjalan-jalan menyusuri perkampungan untuk mengalami suatu sensasi seperti yang terjadi dalam tradisi laku mati raga, puasa membisu, puasa pati geni, dan sebagainya. Hal itu menggugah keingintahuan warga masyarakat yang dilewatinya. Keanehan dan daya kejut yang unik karya performance art itu telah membuka mata tentang kenyataan bahwa kemungkinan berkesenian dapat dilakukan dengan berbagai cara. Invironmental art adalah seni rupa yang menggunakan lingkungan hidup (alam) sebagai media ungkapnya, seperti yang terlihat pada karya Dadang Christanto berjudul “For Thoses Who Had Been Killed” (1993), yang memanfaatkan lereng perbukitan yang dikepras. Seni rupa yang memanfaatkan video sebagai media ungkapnya (video art) secara intensif ditekuni oleh perupa Krisna Murti, atau perupa tokoh video art berskala internasional kelahiran Korea, Nam June Paik. Aspek kedua adalah seni rupa kontemporer sebagai seni rupa yang menentang atau menolak seni rupa moderen (anti-moderenisme). Dalam pandangan Sumartono (2000: 22-23), aspek ini merupakan penolakan terhadap pengagungan seni rupa Barat dan pelecehan terhadap seni rupa non-Barat (atas dasar universalisme). Seni rupa kontemporer sangat menghargai pluralitas, berorientasi secara bebas, tidak menghiraukan batasan-batasan secara kaku (baku). Seni rupa kontemporer dapat diciptakan dari
7
berbagai benda, bahan, atau media, tidak ada pembedaan antara satu dengan yang lain, termasuk benda-benda jadi (readymades) dalam kehidupan sehari-hari. Spirit seni rupa kontemporer Indonesia yang telah ditemukan pada Gerakan Seni Rupa Baru, terus berkembang dengan penuh dinamika. Mencermati dinamika seni rupa kontemporer Indonesia tidak dapat berpaling dari dominasi para perupa dan medan seni rupa Yogyakarta, bahkan menurut Irianto (2000: 73), para perupa Yogyakarta merupakan pemeran utamanya. Yogyakarta menjadi medan terpenting bagi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, selain Bandung, Jakarta, dan Bali. Intensitas dan maraknya kegiatan kesenirupaan Yogyakarta, seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang diselenggarakan setiap tahun, Biennale Yogyakarta setiap dua tahun, pameran-pameran tunggal dan pameran-pameran bersama, galeri-galeri seni rupa, komunitas-komunitas seni rupa, dan lembagalembaga pendidikan seni rupa memberi kontribusi besar dalam dinamika seni rupa kontemporer tersebut.
“Rantai Yang Santai”, FX. Harsono 1975 Pameran Gerakan Seni Rupa Baru I, 1975 di Taman Ismail Marzuki Jakarta (Katalog Pameran KIAS 1990-1991) Sejumlah perupa kontemporer Yogyakarta telah memberi kontribusi secara signifikan dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, seperti Heri Dono, Dadang Christanto, Anusopati, Mella Jaarsma, Hanura Hosea, Entang Wiharso, Agung Kurniawan, S. Teddy, Samuel Indratmo, dan lain-lain. Sebagian dari nama-nama itu bahkan telah berpartisipasi aktif dalam berbagai perhelatan seni rupa kontemporer Internasional di Autralia, Jepang, Brazil, Taiwan, Belanda, Cuba, Switzerland, Inggris, Italia, dan lain-lain. Para perupa kontemporer itu telah akrab dengan media ungkap alternatif, seperti
8
readymades, seni rupa instalasi, special site installation, enviromental art, atau performace art yang sangat dekat dengan gejala estetikasi kehidupan sehari-hari. Perupa kontemporer tidak menyandarkan inspirasi karyanya dari keagungan kekuatan individu, melainkan dari realitas sehari-hari masyarakat sekitar, sehingga pilihan media ungkap bukan lagi berada pada wilayah yang sangat personal dan tidak berhubungan langsung dengan orisinalitas. Dalam pandangan ini, seorang perupa dapat membentuk , menemukan, atau menerima media ungkap dari hal-hal di sekelilingnya dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa mencakupi apapun: objek-objek, benda-benda alam, tanda-tanda, simbol-simbol, barangbarang jadi (readymades), bahkan meminjam gagasan-gagasan dari aspek budaya tertentu. Pada sisi yang sama, Bandung juga merupakan suatu “medan fenomenal” dinamika seni rupa kontemporer Indonesia. Mencermati dinamika seni rupa Bandung sebagai “medan fenomenal”, yakni transformasi kaidah-kaidah estetik yang sebelumnya diyakini dan digunakan menuju “wilayah” baru yang berciri eksperimentasi, eksplorasi, penerimaan pengaruh-pengaruh di luar Bandung serta semangat atau gagasan “mendahului zaman”-nya. Transformasi estetik dengan sendirinya dipengaruhi kuat oleh penggunaan media alternatif bersamaan dengan semangat found object, seni objek, performance art, seni video, atau instalasi. Paruh 1980-an hingga awal 1990-an, seni rupa kontemporer Bandung diwarnai resistensi terhadap dominasi estetik, prinsip-prinsip formal seni, hingga memperlebar ruang presentasi sebuah karya seni. Perlu dicatat, nama-nama perupa kontemporer Bandung seperti Arahmaiani, Tisna Sanjaya, Hendrawan Riyanto, Andar Manik, Marintan Sirait, Christiawan, Acep Zamzam Noor, Diyanto, Yudi Yudoyoko, beberapa di antaranya menjadi wakil seni rupa di forum-forum internasional. Pada masa itu, tulisan dan pemikiran seni rupa banyak diproduksi oleh Sanento Yuliman, Yustiono, Jim Supangkat, Herry Dim, dan Mamannoor. Periode itu menjadi masa subur untuk mempertanyakan kembali fungsi seni di masyarakat, resistensi atas dominasi praktik seni, gagasan/ inovasi baru, eksperimen teknik dan media baru (Siregar 2003). Para perupa kontemporer semakin intensif dalam pencarian gagasan, memperkaya langgam baru, bahasa baru, estetika baru yang menyerap keinginan untuk dibedakan. Makna seni diperluas dalam konteks yang sebelumnya dianggap sebagai aspek non-seni (mengestetikkan aspek kehidupan sehari-hari yang “non-estetik”). Lebih lanjut, seni diperankan sebagai media perbaikan hajat kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Dinamika seni rupa kontemporer Bandung melahirkan pameran transisi yang ditujukan untuk mengonstruksi gagasan, media, dan estetika baru, Pameran Blup Art (1999), diikuti sekitar 30 perupa kontemporer Bandung, atau Bandung Art Event (BAE-2001) sebagai kegiatan partisipatif perupa kontemporer dan pertumbuhan ruang presentasi alternatif seni rupa. Perhelatan itu mengakomodasi seni rupa media alternatif seperti performance art, seni video, seni rupa instalasi, dan multimedia. Media “baru” tersebut selanjutnya berkembang pesat dan lazim dipraktikkan, bersamaan dengan hangatnya isu feminisme-gender, wacana tubuh, kematian subjek seniman, identitas, pluralisme, nihilisme hingga seni
9
jeprut (eklektik). Suatu fenomena yang teridentifikasi dari dinamika itu adalah lenyapnya batas antara seni dan bukan seni, karya seni berbaur dengan benda-benda atau kejadian sehari-hari (Siregar 2003). Salah satu tanda penting kemunculan seni rupa kontemporer Indonesia, secara eksplisit, adalah Biennale Jakarta IX (1993/ 1994) di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang tampil dengan label Seni Rupa Kontemporer. Biennale itu diikuti oleh perupa-perupa muda dengan karya-karya yang memperlihatkan secara nyata gejala-gejala seni rupa kontemporer sebagaimana dipaparkan di atas. Seiring dengan penyelenggaraan biennale selama tiga bulan itu di media massa terjadi polemik tentang masuknya arus besar posmoderenisme di Indonesia. Karya-karya seni rupa kontemporer ketika itu mendapat reaksi penolakan yang sangat keras. Para seniman, kritikus seni rupa, birokrat seni, pengamat seni rupa, budayawan, sampai ahli filsafat beramai-ramai mengkritik dan mengecam Biennale Jakarta IX itu karena dianggap mempromosikan keburukan dan kekurangajaran. Seni rupa kontemporer dan wacana posmoderen itu dipandang sebagai kendaraan pemikiran Barat yang mengundang anarkhisme. Visi yang menonjol di balik kritik dan kecaman itu adalah mempertahankan keniscayaan karya seni rupa Indonesia yang menampilkan identitas nasional, ketertiban bahasa rupa, dan etika ketimuran (Supangkat 2005: 2). Munculnya berbagai reaksi kecaman terhadap seni rupa kontemporer pada masa itu, pada sisi lain, dapat dipahami sebagai bentuk “kekhawatiran” terhadap arah perkembangan seni rupa Indonesia. Gejala-gejala karya seni rupa kontemporer itu mengubah wajah seni rupa Indonesia masa sebelumnya, masa setelah Gerakan Seni Rupa Baru yang cenderung “mapan” di bawah represi penguasa Orde Baru (tahun 1980-an). Masa tahun 1980-an itu, oleh kritikus seni rupa Sanento Yuliman, disebut sebagai masa booming seni lukis di Indonesia, yang ditandai dengan terjadinya komoditikasi karya seni rupa, terutama seni lukis (sebagai kesinambungan tradisi fine art). Karya seni rupa menjadi komoditas komersial. Banyak orang kaya menginvestasikan kekayaannya dengan cara menjadi “kolektor” (membeli karya seni rupa walaupun dengan harga yang mahal, dengan harapan pada suatu saat dapat dijual kembali dengan harga lebih mahal). Kehadiran dan perkembangan seni rupa kontemporer itu juga ditandai dengan tema-tema sosial yang sangat kritis dan menentang kekuasaan, sebagai media kontrol; berbeda dengan tema-tema sebelumnya yang cenderung mendukung kepentingan penguasa. Penggunaan media ungkap baru, seperti seni rupa instalasi, seni rupa pertunjukan (performance art), hingga seni rupa dengan media readymades telah membongkar kemapanan reputasi seni rupa “tradis”i fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis). Tahun 2003 menjadi jejak penting bagi dinamika seni rupa kontemporer Indonesia. Pada tahun tersebut digelar dua perhelatan biennale seni rupa di dua kota: “Jakarta CP Open Biennale 2003” (September-Oktober 2003) di Jakarta dan “Biennale Yogyakarta VII 2003” (Oktober 2003) di Yogyakarta. Sebanyak 128 seniman berikut 200 karyanya dipamerkan dalam ajang dua tahunan “Jakarta CP Open Biennale 2003”. Perhelatan seni rupa berskala internasional itu merupakan ajang yang pertama kali digelar di Indonesia. Sifat internasional bukan hanya dari aspek keterlibatan sejumlah perupa ternama dari
10
Cina, Singapura, Filipina, Jerman, Australia, Belanda, Amerika, dan Jepang, melainkan juga dari berbagai prasyarat penyelenggaraan serta kualitas penyelenggaraan (Suara Merdeka 4 September 2003: halaman Budaya). Kuratorial biennale itu dipimpin oleh Jim Supangkat, seorang kritikus seni rupa dan kurator Indonesia yang telah dikenal luas di forum-forum Internasional. Biennale yang bertema “Interpellation” itu berlangsung di Galeri Nasional Jakarta, diikuti sejumlah perupa kontemporer Indonesia, antara lain Heri Dono, Anusapati, Nindityo Adipurnomo, Dadang Christanto, Agus Suwage, Arahmaiani, Sunaryo, Tisna Sanjaya, Oscar Matulloh, Mella Jaarsma, dan Krisna Murti, sedangkan 28 perupa mancanegara yang berpartisipasi antara lain Kuroda Raiji (Jepang), Oscar Ho, Els Van Der Plas, Christina Clark, Chong Boon Yee (Cina), Jannet Ferraris (Amerika Serikat), dan Herman & Isabel Carnavo (Australia). Pada perhelatan itu Heri Dono, misalnya, menampilkan karya ''Trojan Horse'' setinggi 5 meter dengan mixing media kertas, kayu, dan plastik, sebuah karya seni rupa yang membebaskan batas-batas cabang seni rupa dan menawarkan pencitraan bebas diapresiasi. Sunaryo, perupa yang pada waktu itu baru saja menyelesaikan patung Jendral Sudirman, menciptakan seni rupa instalasi citra suasana gurun pasir. Tisna Sanjaya menyajikan seni rupa instalasi “Kapal Nuh” dengan unsur berbagai jenis jajan pasar yang bergelantungan dan setiap orang boleh mencomot untuk menyantapnya. “Jakarta CP Open Biennale 2003'' memamerkan karya seni rupa kontemporer dengan berbagai macam media ungkap, seperti lukisan, gambar, ukiran, instalasi, fotografi, video art, fiber art, dan karya seni tiga dimensional dari bahan keramik, kayu, metal dan fiber glass. Beberapa wajah karya tersebut sangat dekat dengan benda kehidupan sehari-hari (Katalog “Jakarta CP Open Biennale 2003”). Tepat dua minggu setelah berakhirnya “Jakarta CP Open Biennale 2003” di Yogyakarta diselenggarakan perhelatan serupa, “Biennale Yogyakarta VII 2003” dengan tema "Countrybution". Kuratorial biennale itu dipimpin oleh Hendro Wiyanto dan melibatkan M. Dwi Marianto, Rain Rosidi, Samuel Indratma, dan Suwarno Wisetrotomo. Berbeda dengan "Jakarta CP Open Biennale 2003", "Biennale Yogyakarta VII 2003" merupakan sebuah biennale bagi perupa Yogyakarta dan perupa yang pernah lama tinggal di kota itu, sebuah biennale dari Yogyakarta, oleh Yogyakarta, untuk Yogyakarta. Perhelatan itu diikuti lebih dari 20 perupa atau komunitas seni rupa kontemporer dari Yogyakarta, antara lain: Agus Suwage, Anusapati, Dadang Christanto, Dipo Andy, Hendimirwan Saputra, Hanura Hosea, Heri Dono, Mella Jaarsma, Ugo Untoro, S. Tedy, Komunitas Daging Tumbuh, Komunitas Geber Modus Operandi, dan Komunitas Ruang Mes 56. Karya-karya yang ditampilkan hampir seluruhnya berupa karya seni rupa dengan media ungkap alternatif seperti seni rupa instalasi, performance art, seni video, fotografi, seni gambar, seni rupa publik, hingga special sites installation berupa sumur yang berada di samping gedung tempat pameran. Bahan-bahan pendukung karya yang digunakan pun tidak berbeda dengan benda atau barang kehidupan sehari-hari seperti kayu bakar, meja kursi, boneka, mesin foto kopi, kulit binatang, gula jawa, kaos oblong, cover CD, poster, hingga sampah pasar. Salah satu fenomena yang terjadi adalah tidak tampilnya karya seni rupa tradisi “fine art”(seni lukis, seni patung, seni grafis), bahkan
11
batas-batas antarcabang seni rupa sengaja dikaburkan. Secara umum karya-karya itu bersifat amorf, menjumput benda-benda atau barang-barang apa saja untuk didayagunakan sebagai elemen karya, mengolah tema-tema remeh-temeh, namun dikemas dengan nuansa “problemtis”. Dalam hal ini, seni rupa diposisikan sebagai bagian dari persoalan sehari-hari, persoalan sehari-hari menjadi bagian dari seni rupa, bersifat fungsional, dan dapat dimanfaatkan (diakses) oleh siapa saja. Karya Anusapati, misalnya, berupa sebuah tumpukan kayu bakar yang berbentuk roda raksasa berdiameter sekitar 2 meter. Karya yang berjudul “In The Name of Prosperity” (2003) itu, walaupun menggunakan elemen kayu bakar namun memunculkan sensasi estetis dan problematika yang kuat. Karya komunitas Slilit Gabah berupa interakasi langsung (semacam reality show) seniman dengan masyarakat sekitar tempat pameran (para pedagang kaki lima) yang ditangkap melalui kamera video kemudian diproyeksikan dengan LCD projector ke ruang pamer, berjudul “Seniman Wong Biasa Wae” (Seniman Orang Biasa Saja). Bagi komunitas ini, seniman adalah orang biasa sehingga aktivitas berkesenian tidak berbeda dengan aktivitas biasa sehari-hari. Mella Jaarsma menampilkan performance art berjudul “Rubber Time”. Ia bergulung, berselubung kasur dan tikar, diikat dan hanya tampak bagian kaki saja, bergeletak tengkurap, berdiam diri bersama-sama dengan boneka-boneka manequin. Heri Dono menampilkan karya special sites installation berjudul “Sumur Art”. Ia memanfaatkan situs (kolam-sumur) di halaman samping gedung pameran sebagai media ungkap karyanya. Sumur itu dilengkapi dua kerekan (timba) dan pada atas batang penyangganya ditambah unsur boneka (wayang).
“Seniman Wong Biasa Wae”, Slilit Gabah 2003 Media campuran dan performance art dalam “Biennale Yogyakarta VII 2003” (Katalog)
Rancangan “ Sumur Art”, Heri Dono 2003 Special site Installation dalam “Biennale Yogyakarta VII 2003” (Katalog)
12
Perhelatan “Biennale Yogyakarta VII 2003” itu semakin mengukuhkan maraknya fenomena estetikasi kehidupan sehari-hari pada seni rupa kontemporer Indonesia, baik dalam wilayah wujud karya, tema, maupun pewacanaannya. Fenomena itu menimbulkan berbagai tanggapan pro-kontra dari publik, khususnya terhadap kurator dan tim seleksi karya sebagai pihak yang paling menentukan wajah keseluruhan biennale tersebut. Dalam berbagai forum diskusi atau tulisan di media massa, publik terkesan “menggugat” wajah seni rupa kontemporer Yogyakarta yang tampil dengan “bahasa lain” itu. Biennale itu dinilai kurang (tidak) merepresentasikan kondisi kekontemporeran seni rupa Yogyakarta dan tampil dengan “bahasa asing” yang membuat sebagian publik menjadi terbengong-bengong.
“Visit Indonesia Year”, Tisna Sanjaya 1999 Instalasi toko souvenir T-Shirt Visit Indonesia Year dipamerkan di Bridge Galery Amerika Serikat. Karya seni rupa dengan media ungkap barang-barang kehidupan sehari-hari, kritik (sindiran) terhadap program pemerintah Indonesia tentang pariwisata dengan segala dampaknya (http://www.artfacts.net/index.php/pageType/artistInfo/artist/14880)
Estetikasi Kehidupan Sehari-hari dan Superioritas Seni Rupa Barat Dinamika seni rupa kontemporer Indonesia tidak terlepas dari kecenderungan bayang-bayang bingkai seni rupa dunia (Barat) mutakhir. Sebaliknya, beberapa perupa Indonesia sebagaimana disebut di atas, juga turut mewarnai dinamika seni rupa komtemporer dunia. Interaksi para perupa kontemporer Indonesia dengan perupa-perupa mancanegara dalam berbagai perhelatan seni rupa berskala internasional telah mendorong meluasnya cakrawala pemikiran, pewacanaan, dan pengukuhan praktik seni rupa yang sebelumnya masih asing. Rahzen (2005: 1-2) mengidentifikasi gejala-gejala dominan pada karya seni rupa kontemporer dunia (mutakhir) itu. Salah satu gejala adalah pergeseran monumentalisme naratif [agung, besar, kolektif] menjadi monumen dunia sehari-hari. Para perupa enggan memandang
13
karyanya sebagai bagian dari representasi besar dan kolektif tetapi lebih tertarik mengambil peristiwa biasa, kehidupan sehari-hari yang dimaknai dan ditandai kembali (monument to now). Hal ini menunjukkan bahwa para perupa cenderung mengubur keagungan tradisi narasi besar, tetapi justru mengistimewakan narasi biasa, narasi kecil kehidupan sehari-hari. Cara pandang terhadap karya seni rupa juga mengalami pergeseran dari pandangan ke dalam (in looking) menjadi pandangan ke luar (out looking). Karya seni tidak diapresiasi berdasarkan bentuk fisik dan penampilan bentuk luar (visual), tetapi nilai inheren dengan pemaknaan yang sangat subjektif. Hal ini berimplikasi pada pandangan bahwa konsep pemikiran dan pewacanaan menjadi sangat penting selain wujud visual karya seni serta terjadinya pergeseran dari seeing is believing menjadi believing is seeing. Pada bulan Februari 2004, masyarakat khususnya masyarakat seni rupa, dikejutkan oleh pemberitaan di media massa tentang pembakaran (pemusnahan) karya seni rupa instalasi Tisna Sanjaya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung. Karya berjudul “Special Prayer for The Death” (Doa Khusus untuk si Mati) itu pernah dipamerkan di berbagai negara untuk mendukung perdamaian, tetapi di negeri sendiri tidak memperoleh apresiasi selayaknya. Karya Tisna itu bercerita mengenai berbagai hal tentang kedamaian dan antikekerasan, sebagai sebuah doa yang dibuat dengan media benda-benda kehidupan sehari-hari, seperti bambu dan rempah-rempah. Karya seni rupa instalasi Tisna Sanjaya itu dibakar seusai pameran seni rupa yang diadakan oleh Komunitas Gerbong Siliwangi di Babakan Siliwangi, Bandung. Satpol PP menyatakan pembakaran itu sebagai kesalahpahaman karena mereka mengira bahwa karya instalasi yang dipamerkan di ruang publik itu adalah sampah (http://www.kompas.com Sabtu, 18 September 2004). Terlepas dari isu politis di baliknya yang menyeret penyelesaian “kasus” itu ke meja hijau, pembakaran karya seni rupa instalasi itu menyimpan suatu ironi, petugas Satpol PP tidak mampu membedakan antara karya seni rupa dengan sampah. Hal ini menandaskan pernyataan filosofis Danto (the end of art) bahwa seseorang tidak mampu membedakan benda biasa (kehidupan sehari-hari) dengan karya seni rupa hanya dengan melihatnya, tanpa mengikuti atmosfer konseptual dan “wacana nalar” yang dibangun. Praktik estetikasi kehidupan sehari-hari dalam dinamika seni rupa kontemporer Indonesia seolah lepas dari persepsi publik, walaupun sebenarnya spirit estetikasi kehidupan sehari-hari telah lama terjadi pada kehidupan seni tradisi di Indonesia. Dalam pandangan tradisi, seni tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan sehari-hari merupakan ruh dari seni tradisi itu. Seni tradisi Bali, misalnya, tidak pernah dibeda-bedakan dengan aktivitas atau benda-benda kehidupan sehari-hari. Seni menjadi mediasi yang sangat cair untuk berbagai keperluan kehidupan sehari-hari. Terjadinya “pemisahan” antara dunia seni dengan dunia sehari-hari merupakan suatu konsekuensi dari arus moderenisasi. Dengan demikian, fenomena estetikasi kehidupan sehari-hari yang didasari oleh pemikiran posmoderenisme sebagai penolakan terhadap moderenisme memiliki kesamaan mendasar (common ground) dengan kehidupan seni tradisi di Indonesia.
14
Pada masanya, arus besar moderenisme, yang datang dari para pemikir Barat, melanda wacana dan praktik seni rupa di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Para seniman, kritikus, pemerhati, akademisi, sampai birokrat terbawa oleh arus besar itu. Keberadaan dan kualitas karya seni rupa selalu dipandang dari kacamata moderenisme (universalisme), para seniman berlomba-lomba agar karyanya menjadi “yang paling moderen”, seni-seni tradisi, seni-seni etnik, atau seni-seni klasik dimarjinalkan, pandangan dan pemikiran konservatif yang tidak selaras dengan pandangan moderenisme dikubur dalam-dalam. Moderenisasi di Indonesia merupakan “proses pembaratan” yang telah menjadi semacam paradigma, ideologi, identitas, bahkan tujuan akhir. Hal ini terjadi bukan dalam bidang seni rupa saja, namun menyebar pada segala aspek dan sendi peradaban. Ironisnya, bangsa Barat memandang hasil gerakan moderenisasi pada peradaban non-Barat, termasuk aktivitas dan karya seni rupa, bukan sebagai sesuatu yang moderen, tetapi dikategorikan sebagai eksotisme etnografis. Kini, ketika arus besar moderenisme itu dibongkar (didekonstruksi) sendiri oleh para pemikir Barat dengan wacana berakhirnya moderenisme (postmodernism), dinamika seni rupa kontemporer Indonesia kembali dilanda arus pembongkaran-pembongkaran (dekonstruksi) sebagaimana wacana pemikiran posmoderenisme. Posmoderenisme kembali menjadi arus besar yang mengganti arus moderenisme. Fenomena seni rupa kontemporer Indonesia mutakhir sangat erat dengan warna dan jejak-jejak perkembangan seni rupa Barat. Para perupa kontemporer lebih tertarik dengan media ungkap alternatif yang sebenarnya juga merupakan pengulangan (epigonal) dari media ungkap yang telah digunakan oleh para perupa Barat puluhan tahun silam daripada menggali media ungkap yang berakar dari seni rupa tradisi. Seni rupa tradisi dipandang sebatas sebagai eksotisme masa lalu belaka. Di satu sisi wacana seni rupa kontemporer (posmoderen) menjunjung tinggi pluralitas nilai dan multikulturalisme, termasuk nilai dan kultur tradisi, namun di sisi lain aspek tersebut selalu termarjinalkan (mengalami inferioritas). Sekali lagi tidak terelakkan bahwa dinamika wacana dan praktik seni rupa Indonesia senantiasa kembali berputar ke arah pusaran arus besar, superioritas seni rupa Barat. Wajah dan dinamika seni rupa kontemporer Indonesia cenderung menuju pada kebebasan yang absolut. Kesimpulan Wacana berakhirnya seni rupa (the end of art) tidak berarti berakhirnya praktik seni rupa secara umum, namun lebih bermakna sebagai momentum “berakhirnya” seni rupa dengan mainstream moderen dan merupakan spirit awal bagi seni rupa kontemporer dengan landasan pemikiran posmoderen. Hal itu pun tidak harus dipahami secara hitam putih bahwa praktik seni rupa moderen telah hilang, karena wacana tersebut lebih berada pada tataran pemikiran filosofis. Dinamika seni rupa kontemporer Indonesia, yang tumbuh dan berkembang dari arus posmoderenisme itu, melahirkan fenomena estetikasi kehidupan sehari-hari, sebagaimana terjadi pada perkembangan seni rupa Barat (Eropa-Amerika).
15
Seni rupa kontemporer tidak lagi dibatasi dalam pengertian seni rupa sezaman, masa kini, atau yang berorientasi dengan aspek masa, tetapi lebih berorientasi pada seni rupa dengan gejala-gejala penentangan atau penolakan terhadap mainstream seni rupa moderen (universalisme). Penolakan itu paling nyata terlihat dari penggunaan media ungkap alternatif yang “tanpa batas”, sehingga merebakkan seni rupa alternatif seperti seni rupa instalasi, seni rupa pertunjukan (performance art), seni rupa lingkungan (environmental art), readymades, video art, dan sebagainya. Salah satu fenomena yang berkembang dari kondisi tersebut adalah terjadinya estetikasi kehidupan sehari-hari (menyenikan kehidupan sehari-hari yang sebelumnya dianggap non-seni). Fenomena estetikasi kehidupan sehari-hari yang berkembang dalam dinamika seni rupa kontemporer Indonesia merupakan puncak pembongkaran (dekonstruksi) atau penghapusan (erasures) batas antara seni dengan kehiduapan sehari-hari, setelah terjadinya penghapusan antarcabang seni rupa atau antarcabang seni, yang dipelopori oleh Gerakan Seni Rupa Baru (1975). Estetikasi kehidupan sehari-hari berkembang dalam wacana dan praktik seni rupa kontemporer Indonesia sebagai manifestasi dari keinginan gerakan posmoderenisme untuk mengintegrasikan seni dengan kehidupan sehari-hari. Dinamika ini terbaca dari berbagai perhelatan seni rupa kontemporer Indonesia dan wacana yang mengiringinya, seperti perhelatan biennale, award, pameran, atau berbagai tulisan kritik seni rupa di media massa. Hal ini menjadi ironi bahwa arus besar seni rupa mainstream moderennisme yang ditolak melalui praktik dan wacana seni rupa kontemporer, karena dianggap “sewenang-wenang” (dengan dalih universalisme) ternyata kembali melahirkan arus besar (mainstream) posmoderenisme dengan fenomena estetikasi kehidupan sehari-hari sebagai aspek utamanya. Pluralitas nilai dan multikulturalisme sebagaimana diusung oleh para pemikir posmoderen, yang semestinya memberi ruang dan penghormatan sama terhadap berbagai alternatif wajah, aktivitas, maupun media ungkap dalam dinamika seni rupa kontemporer Indonesia, cenderung melahirkan bentuk kesewenangwenangan budaya (cultural arbitrary) baru. Dinamika seni rupa kontemporer Indonesia menghempaskan diri dalam pusaran arus besar “pembaratan” dan semakin tercerabut dari akar-akar tradisinya.
16
Yustoni Volunteero, “Open Your Frezzer and Find New Cloths for The Fresh President”, 1997. Media: frezzer, pakaian, air kemasan, pot tanaman, dll.
Anusapati, “Trap-series #15”, 1994. Media: kayu, bambu, rotan (bentuk dan struktur alat penjebak ikan).
Daftar Pustaka Atmadja, M. K. (Ed.) tt. Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. Jakarta: Panitia Pameran KIAS 1990-1991. Dermawan,T.A. tt. “Seni Lukis Kontemporer Indonesia 1950-1990.” Dalam Atmadja, M. K. (Ed.) tt. Featherstone, M. 2005. Posmoderenisme dan Budaya Konsumen, terjemahan Elisabeth, M. Z.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://www.artnet.com . 20 Juni 2005. http://www.kompas.com . 18 September 2004. http://www.suaramerdeka.com. Halaman Budaya. 4 September 2003. Irianto, A..J. 2000. “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90an.” Dalam Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Katalog “Biennale Yogkarta VII 2003”. Katalog (Compact Disc) “Jakarta CP Open Biennale 2003”. Kompas, 31 Juli 2001. “Aura Religius dalam Pameran Seni Rupa Spiritual.”
17
Marianto, D. M. 2000. “Gelagat Yogyakarta Menjelang Mellenium Ketiga.” Dalam Yogyakarta Dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Mark, D. 2005. http://www.gellery.euroweb.hu. Rahzen, T. 2005. “Kecenderungan Seni Rupa dan Pendidikan Kita.” Makalah Seminar Nasional 55 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa Indonesia. ISI Yogyakarta. Siregar, A. Th. 2003. “Seni Rupa Bandung Transisi atau Dekadensi?” http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1203/24/0801.htm. Situmorang, S. 2003. “Biennale, A Tale of Two City.” http://www.pikiran-rakyat.com. Stafford, A. 2005. “Making Sense of Marcel Duchamp.” http://www.understandingduchamp.com Sumartono. 2000. “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta.” Dalam Yogyakarta Dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Sumartono. 2001. Dalam Kompas, 31 Juli 2001. Sumartono. 2002. “Berbagai Pendekatan dalam Penelitian Seni Kriya.” Makalah Seminar Internasional Seni Rupa 2002: Orientasi dalam Penciptaan dan Pengkajian Seni Kriya Indonesia di Era Masyarakat Terbuka, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Sumartono. 2004. “Materi Kuliah Estetika, Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada”. Naskah, tidak dipublikasikan. Supangkat, J. 2000. “Sebuah Pengantar di Mana Letak Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Komtemporer Indonesia?” Dalam Yogyakarta Dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Supangkat, J. 2005. “Dua Gejala Seni Rupa 1990”, Makalah Seminar Nasional 55 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa Indonesia. ISI Yogyakarta.