FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (STUDI KASUS PADA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN CYCLOOP) KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA Factors Cause Damage to Forest and its control strategy (Case Study on the Mountains Nature Reserve Cycloop) Jayapura regency of Papua Province Fedrik AP, Roland A. Barkey dan Daniel
ABSTRACT This study aims to determine factors that cause the destruction of forests and why these factors cause damage to forests in the region Cycloop Mountains Nature Reserve so that in formulating appropriate strategies to control forest damage occurred. The research was conducted in Jayapura regency of Papua Province. Data collection through kuiesioner, interviews, observation, and study the document. Data were analyzed qualitatively desktiptif through data reduction, data display, and conclusion, The results concluded that the forest damage occurred in the mountains Cycloop conservation areas due to the 3 (three) aspects: physical, social and economic. The influence of each of these aspects can be seen through the activities of forest management or land conversion is done by the community living around / in the region in the form of settlements, fields, logging and mineral collection c as well as several other activities. The level of forest damage caused by the activities of the community in the form of conversion of forest / land such as fields 624 ha, 22 ha residential and logging 13 ha and 395 ha of critical land that occurs naturally. Thus, shifting cultivation is one of the many community activities causing deforestation in the mountainous area of nature reserves Cycloop. Keywords : Forest Damage and Control Strategy
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dan mengapa faktor-faktor tersebut menyebabkan kerusakan hutan pada kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop sehingga di rumuskan strategi yang tepat untuk mengendalikan kerusakan hutan yang terjadi. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Pengumpulan data melalui kuiesioner, wawancara, observasi, dan studi dokumen. Data dianalisis secara desktiptif kualitatif melalui reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan, Hasil penelitian disimpulkan bahwa kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop disebabkan oleh 3 (tiga) aspek yaitu aspek fisik, sosial dan ekonomi. Pengaruh dari masingmasing aspek tersebut dapat terlihat melalui aktifitas pemanfaatan hutan atau konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim disekitar / di dalam kawasan dalam bentuk pemukiman, perladangan, penebangan kayu dan pengambilan bahan galian c serta beberapa aktifitas lainnya. Tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh adanya aktifitas masyarakat dalam bentuk konversi hutan / lahan antara lain perladangan 624 ha, pemukiman 22 ha dan penebangan 13 ha serta 395 ha lahan kritis yang terjadi secara alami. Dengan demikian maka perladangan berpindah merupakan salah satu aktifitas masyarakat yang banyak menyebabkan kerusakan hutan di dalam kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Kata Kunci : Faktor Kerusakan Hutan dan Strategi Pengendalian
2 PENDAHULUAN Dalam peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 15 disebutkan, upaya pemanfaatan hutan ditujukan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Pemanfaatan hutan secara lestari dilakukan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Hutan bukan hanya sekumpulan pepohonan yang mampu menyediakan kayu, hutan sesungguhnya merupakan sistem ekologi penyangga kehidupan. Di dalam hutan terdapat beraneka ragam fungsi yang bermanfaat bagi manusia. Antara mata rantai kehidupan tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, sehingga rusaknya atau hilangnya salah satu mata rantai kehidupan akan berdampak pada mahluk hidup yang lain salah satunya adalah manusia. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 1945, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHKA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Uraian diatas mengigatkan kepada kita bagaimana pentingnya hutan bagi kehidupan manusia, namun saat ini kondisi hutan sudah mulai rusak bahkan sudah berada pada tahap yang memprihantinkan. Beberapa waktu yang lalu Menteri Kehutanan Republik Indonesia melaporkan kondisi hutan Indonesia saat ini. Dari laporan tersebut, diketahui hutan primer Indonesia tinggal 24% dari 71% sebelumnya, hutan produksi 25% dan 22% kawasan yang sudah tidak berhutan sama sekali. Dari data yang ada juga terlihat bahwa telah terjadi deforestasi yang hebat selama sepuluh tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan perubahan menjadi hutan produksi, kebakaran hutan dan dampak elnino. Semua kerusakan hutan yang terjadi berdampak pada kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global. Dalam dua dasawarsa, ancaman kerusakan ekosistem akan menimbulkan kerugian yang sangat serius baik kerugian ekologis, sosial maupun ekonomi finansial (Ismawan, 1999). Meningkatnya kecemasan tentang perusakan hutan berjalan seiring dengan peningkatan laju perekonomian global menuju era liberalisasi. Pada hal semakin intens liberalisasi perdagangan dioperasionalkan, makin tinggi pula tingkat aktifitas ekonomi dan transportasi (Low dalam Ismawan,1999). Seiring peningkatan aktifitas ekonomi dan transportasi itu, tingkat pencemaran pun akan semakin tinggi dan kegiatan yang bersifat merusak lingkungan juga semakin terjadi. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih memberi penekanan pada aspek ekonomi dan kurang berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan. Prinsip-prinsip keadilan, keberpihakan pada masyarakat, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan kurang memperoleh perhatian dalam sistem pengelolaan hutan yang selama ini diterapkan. Pegunungan Cycloop merupakan salah satu kawasan konservasi di Papua yang ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas ± 22.500 Ha. Penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung tentu dengan pertimbangan bahwa gunung cycloop merupakan tempat berlindung bagi beberapa satwa endemik papua dan juga satu-satunya sumber air bersih bagi seluruh lapisan masyarakat baik di Kabupaten maupun Kota Jayapura serta beberapa fungsi lainnya. Namun akhir-akhir ini eksistensi cagar alam pegunungan Cycloop sedikit mengalami permasalahan yang pada akhirnya berdampak negatif juga terhadap aktifitas dan kelangsungan hidup masyarakat. Menurut data dari World Wildlife Fund (WWF) Region Sahul Papua, bahwa Cagar Alam Pegunungan Cycloop yang selama ini berfungsi sebagai penyangga dan daerah tangkapan air beberapa tahun terakhir mengalami kerusakan akibat aktifitas warga masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Kerusakan yang terjadi saat ini bisa ditemukan dibeberapa lokasi antara lain di Waena, Skyaline, Ifar Gunung, Sereh, Pos Tujuh, Polomo, Kemiri, Doyo, Kodam Baru dan Angkasa Indah.
3 TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Hutan Kata hutan merupakan terjemahan dari kata forrest (Inggris) yang berarti dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan seperti pariwisata. Didalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan. Disamping itu, hutan juga dijadikan tempat perburuan, tempat istirahat dan tempat bersenangsenang bagi raja dan pegawai-pegawainya (Black, 1997). Menurut Dengler yang menjadi ciri hutan adalah : (1) adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak termasuk savana dan kebun) dan (2) pepohonan tumbuh secara berkelompok. Pengertian diatas, senada dengan definisi yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Didalam pasal tersebut, hutan diartikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohonan) yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan. Dari beberapa definisi diatas, terkandung empat unsur penting dalam hutan yaitu : (1) unsur lapangan yang cukup luas (minimal1/4 hektar) yang disebut tanah hutan, (2) unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna, (3) unsur lingkungan dan (4) unsur penetapan pemerintah. B. Jenis – jenis Hutan Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditetapkan empat jenis hutan yaitu berdasarkan statusnya, fungsinya, hutan berdasarkan tujuan khusus dan hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air. C. Manfaat Hutan Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan karena hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Menurut Ngadung, ada dua manfaat hutan yaitu : a. Manfaat Langsung Yang dimasksud dengan manfaat langsung adalah manfaat hutan yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Misalnya penggunaan kayu untuk bahan bangunan, alat-alat rumah tangga, pembuatan perahu dan lainnya serta pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, getah, buah-buahan untuk mendukung kehidupan manusia. b. Manfaat Tidak Langsung Manfaat tidak langsung adalah manfaat hutan yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri. Pelestarian hutan terkait erat dengan pengelolaan hutan lestari, (Iskandar dkk, 2003) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan lestari mengandung tiga dimensi utama untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan, yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Praktek pengelolaan hutan lestari merupakan wujud nyata atas keberlanjutan usaha di sektor kehutanan (dimensi kelestarian ekonomi) serta tinggi rendahnya kadar harmonis interaksi sosial budaya dengan komunitas lokal (dimensi kelestarian fungsi sosial). Suhendang (2002) menjelaskan konsep pengelolaan hutan lestari mencakup hutan sebagai : (1) fungsi ekonomi merupakan keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi, (2) fungsi ekologis merupakan bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan, dan (3) fungsi sosial budaya merupakan barang dan jasa yang dihasilkan dari hutan untuk memenuhi kepentingan
4 kebutuhan hidup masyarakat di sekitar hutan, serta berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka kegiatan pendidikan, pelatihan serta kegiatan budaya dan keagamaan. D. Kerusakan Hutan Kerusakan hutan yang terjadi di indonesia bukan merupakan sebuah issu yang sama sekali baru dalam konteks pembangunan kehutanan di Indonesia, artinya sinyalemen rusak dan hilangnya hutan sudah berlangsung sejak lama (Iskandar, dkk 2003). Berbagai catatan dan literatur telah membuktikan bahwa aktivitas perusakan hutan di Indonesia telah berlangsung sejak zaman Pra kemerdekaan dimana sejarah telah mencatat bagaimana proses pengrusakan hutan Jati di Jawa oleh VOC, yang mana pada waktu itu berkuasa menentukan semua urusan perdagangan yang menginginkan hasil produksi yang tinggi dari hutan Indonesia tanpa mempedulikan asas kelestarian. Kerusakan hutan dimulai ketika pemberian areal konsensi berupa hutan produksi di luar pulau Jawa kepada para pemegang HPH, yang dimulai pada awal tahun 1970-an. Eksploitasi besar-besaran ini tanpa dipedomani oleh aturan yang jelas pada waktu itu, dan ketika hutan sudah mulai memasuki tahap kerusakan yang serius, baru dikeluarkan pedoman/aturan baku untuk eksploitasi hutan. Dengan pemaksaan percepatan produksi untuk menunjang pembangunan ekonomi indonesia dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, maka sudah dapat dipastikan kerusakan hutan yang lebih parah tidak dapat dihindari. Selain eksploitasi hutan yang sangat merusak, masalah kebakaran hutan baik yang terjadi secara alamiah (kebakaran di lahan gambut dan lahan yang mengandung batu bara terutama di Sumatera dan Kalimantan), maupun akibat ulah manusia turut memperparah kondisi hutan di Indonesia. Akibatnya hutan Indonesia rusak berat (Media Indonesia, 4 September 2002 .40,26 juta Ha hutan Indonesia rusak). Inilah persoalan besar yang harus dihadapi lembaga Kementerian Kehutanan dan jajarannya. Masalah kerusakan hutan di Indonesia ini tidak hanya dilansir oleh lembaga-lembaga nasional tetapi juga telah disampaikan oleh berbagai kalangan / lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank), yang mengemukakan bahwa kawasan hutan di kalimantan akan habis pada tahun 2010. Penggambaran laju kerusakan hutan yang begitu tinggi juga dikemukakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta yang mengemukakan laju kerusakan hutan ini dalam hitungan waktu per menit. Ini merupakan kenyataan yang sementara dihadapi oleh bangsa indonesia dan bila kecenderungan ini tidak dapat dihentikan maka pada akhirnya Indonesia yang semula hijau akan berubah menjadi padang pasir manakala terjadi deforestasi (Iskandar, dkk, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa ketidak mampuan membalik atau menghambat kondisi ini akan menghasilkan sebuah fenomena pada tahun-tahun mendatang yaitu keberadan sebuah lahan hutan tanpa hutan (Forestland without forest) atau hutan tanpa pepohonan (Forest without trees) dan sektor publik kehutanan akan melakukan manajemen hutan untuk hutan yang tidak ada (Forest management of the non –existent forest). Hutan rusak sudah tentu ada faktor penyebabnya. Selain itu pihak yang dikategorikan sebagai perusak hutan juga beragam, mulai dari individu, kelompok bahkan negara melalui berbagai aparaturnya. Pada tataran yang paling tinggi, sejak awal kerusakan hutan diyakini para pihak disebabkan karena idiologi pembangunan kehutanan yang yang dianut negaralah yang justru telah menyebabkan kerusakan hutan. Ideologi pembangunan kehutanan, yang keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi, merupakan sumber terjadinya kerusakan hutan, termasuk berbagai kebijakan kehutanan sebagai derivatif paradigma pembangunan. Intinya, hutan sebagai ekosistem direduksi makna dan fungsinya hanya sebatas sebagai salah satu faktor produksi yang suatu saat akan habis (Iskandar, dkk, 2003). Apalagi dalam prakteknya, hutan hanya dipandang sebagai sumber komoditas yang sangat terbatas, yaitu sumber penghasil komoditas kayu yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu (hasil hutan). Pada hal tidak sesempit itu manfaatnya, karena sesuai hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor, menunjukkan bahwa, persentasi potensi ekonomi sumberdaya hutan yang berwujud kayu hanya sebesar 5% dari keseluruhan nilai potensi hutan (IPB, 1999). Itu berarti bahwa selain kayu yang hanya bernilai 5% tersebut, hutan masih memiliki potensi lain yang jauh lebih besar yang meliputi
5 sumber pangan, sumber energi dan bahan bakar, bioteknologi, biodiversitas (flora dan fauna), sumber obat-obatan serta fungsi ekologi, estetika dan sosial budaya. Fungsi-fungsi ini ada yang merupakan fungsi yang sulit dinilai dengan uang (Intangible) oleh karena itu sering luput dari perhatian pemerintah maupun pihak-pihak yang berhubungan dengan hutan itu sendiri. Selanjutnya menurut Iskandar Untung dkk, kerusakan hutan yang terjadi di indonesia saat ini di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain : a. Penebangan Liar (Illegal Logging) Penebangan liar atau illegal logging disektor kehutanan dewasa ini sudah demikian dominan dalam praktek pengelolaan hutan di indonesia sehingga tidak heran kalau saat ini banyak media baik elektronik maupun cetak banyak melansir berita tentang peristiwa illegal logging. Bahkan banyak pihak yang meyakini bahwa kalkulasi volume kayu yang bersumber dari praktek illegal logging justru jauh lebih besar dari pada yang berasal dari leggal logging. Yang lebih memprihantinkan lagi, sektor publik kehutanan tidak mampu merumuskan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini karena banyaknya pihak yang terlibat dalam upaya penanganan kegiatan malpraktek ini. Berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan, diperoleh data bahwa angka penebangan liar mencapai 50,7 juta m3 per tahun dengan kerugian finansial sebesar Rp 30 trilyun per tahun. b.
Penyelundupan Kayu (Illegal Trade) Penyelundupan kayu atau illegal trade merupakan kegiatan yang langsung berkaitan dengan praktek illegal logging. Praktek penyelundupan kayu sebagai kelanjutan dari kisah kompleksitas dan ruwetnya masalah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia di tiga era sekaligus yaitu era krisis ekonomi berkepanjangan, era reformasi dan desentralisasi yang setengah hati. Implikasinya bahwa realitas menggambarkan keberadaan berbagai Intitusi formal negara tidak berdaya sehingga sesuatu yang nyata-nyata ilegal kemudian di legalkan, sungguh ironis tetapi itulah yang tengah berlangsung. Dengan demikian maka tidak heran kalau saat ini penebangan liar sudah merambah ke kawasan hutan lindung dan taman nasional. Ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, bila ada praktek penebangan liar maka selalu diikuti dengan penyelundupan kayu.
c.
Kebakaran Hutan (Forest Fire) Bencana kebaran hutan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan. Sebagaimana diketahui, bencana kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa rutin yang hampir sering terjadi di setiap musim kemarau. Dalam perspektif kerusakan hutan, kebakaran hutan merupakan salah satu faktor penyebab tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Dalam polemik penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, ada dua pihak yang selama ini dituding bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan yaitu (1) kelompok masyarakat yang selama ini menggunakan metode pertanian berladang berpindahpindah yaitu tebas dan bakar (slash and burn), (2) pihak perusahaan ( baik HTI, perkebunan dan perusahaan yang berbasis lahan lainnya).
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan studi kasus (case study) dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu menganalisis secara komprehensif tentang faktor-faktor penyebab kerusakan hutan pada kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Pemilihan cagar alam cycloop sebagai obyek penelitian tentu dengan alasan bahwa kawasan ini merupakan daerah penyangga dan tangkapan air bagi seluruh masyarakat di Kabupaten dan Kota Jayapura. Penelitian ini hanya difokuskan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dan bagaimana faktor-faktor tersebut menyebabkan kerusakan hutan pada kawasan cagar alam pegunungan
6 cycloop sehingga di cari solusinya. Sedangkan data yang digunakaan adalah data perimer data data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif melalui reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan. Adapun penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu Agustus – Oktober 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Jayapura merupakan salah satu wilayah di Provinsi Papua yang terdiri dari 19 Distrik / Kecamatan dan terletak diantara 139º Bujur Barat - 140º Bujur Timur dan 2º Lintang Utara - 3º Lintang Selatan dengan luas wilayah ± 17.516,6 Km². Distrik Kaureh dengan luas 4.357,9 km² merupakan distrik terluas di Kabupaten Jayapura atau sekitar 24,88 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Jayapura dan Distrik Sentani Barat dengan luas wilayah terkecil yaitu 129,2 km² atau sekitar 0,74 persen dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jayapura adalah 121.693 orang yang terdiri dari 64.982 penduduk laki-laki dan 556.711 penduduk perempuan. Dengan luas wilayah seluas 17.516,6 km² berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura adalah 6,95 jiwa / km². B. Profil Singkat Cagar Alam Pegunungan Cycloop Cagar Alam Pegunungan Cycloops merupakan salah satu kawasan konservasi di Papua yang ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas 22.500 Ha. Secara Geografis Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada 145˚30’ BT dan 2˚31’ LS. Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak memanjang dan membentang dari teluk merah ke arah timur. Gunung Rafeni merupakan puncak tertinggi dalam kawasan ini, ketinggiannya mencapai 1.880 meter dpl. Secara adminitrtif Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada Distrik Jayapura Selatan Jayapura Utara, Sentani dan Depapre Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Cagar Alam Pegunungan Cycloops sebelah utara dibatasi oleh laut Pasifik, sebelah selatan dibatasi oleh Kota dan Kabupaten Jayapura, sebelah timur dibatasi oleh Kota Jayapura dan sebelah barat dibatasi oleh Distrik Depapre. Potensi Flora dan Fauna Kawasan ini terdiri dari 5 tipe ekositem utama yaitu Hutan Hujan dataran rendah (Lowland Rainforest), Hutan Pegunungan (Mountain Forest), Hutan Sekunder (Secondary forest), Padang Rumput (Grassland). Seluruh ekosistem merupakan ekosistem alami. Potensi Flora dalam kawasan ini adalah Pometia sp, Instia bijuga, Anisoptera sp, Dilennia sp, Dracontomelon sp, Firmiana sp, Callophylum sp, Myritica sp, Araucaria cuninghammi, Castanopsis sp, Querqus spp, Sapotaceae (Burcella magusun), Callophylum carii, Ficus spp dan Syzybium spp dan beberapa jenis Anggrek seperti Anggrek Hitam (Dendrobium lasianthera), Anggrek besi (D. violaceoflavens), Anggrek Jamrud Hitam (D. macrophyllum var. gigantheum), Anggrek Jamrud Kuning (D. macrophyllum A. rich), Anggrek Kuning (D. connotum), Anggrek Dasi (Bulbophyllum sp), Anggrek Nenas (D. smilliae), Anggrek Kelinci (D. antenatum), Anggrek Kantung (Paphiopedillum violascens). Potensi fauna yang ada antara lain Kakatua Raja (Pobosciger atterimus), Paradisea minor, Palanger sp, Lorius domicella, Cacatua galerita triton, Dendrolagus sp, Goura victoria, Ornitophera sp, Electus rotatus, Casuarius sp serta beberapa jenis Kelelawar. Salah satu jenis hewan karnivora berkantong yang ditemukan di kawasan ini adalah Dasyrys albopunctatus.
7 1.
Faktor - faktor Penyebab Kerusakan Hutan Hasil penelitian menunjukan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab kerusakan hutan pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop, yaitu antara lain : a. Pemukiman dan Pertambahan Penduduk Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi serta batas kawasan cagar alam yang begitu dekat dengan batas pemukiman masyarakat dibeberapa tempat, menyebabkan terjadinya pembangunan perumahan dan pemilikan tanah dalam berbagai bentuk dan sifat, sehingga ada sebagian kapling masyarakat yang letaknya telah masuk kawasan cagar alam dan sebagian yang berbatasan. Kapling-kapling yang telah menjadi milik masyarakat adalah pemukiman yang terletak disepanjang batas kawasan cagar alam antara lain Kampung Harapan, Ifar Gunung, Doyo baru dan Kampung Sereh. Jumlah pemukiman didalam kawasan cagar alam adalah 56 Unit rumah yang menyebar hampir di tiga kecamatan yang menjadi sampel penelitian Pemukiman masyarakat yang tidak sesuai dengan prosedur dan rencana tata ruang wilayah kabupaten Jayapura menyebabkan terjadinya pemukiman liar serta munculnya pemukiman baru disekitar maupun di dalam kawasan cagar alam cycloop. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah penduduk atau lajunya angka pertambahan penduduk di Kabupaten Jayapura yang meningkat setiap tahunnya sementara lahan yang tersedia terbatas. Tingginya angka pertambahan penduduk setiap tahun jika tidak diimbangi dengan tersedianya lahan maka akan menambah jumlah pemukiman liar didalam kawasan cagar alam cycloop. Jika masalah pemukiman masyarakat yang tidak teratur serta tidak sesuai dengan prosedur ini dibiarkan terus menerus dan tidak mendapat penanganan yang baik dari pihak terkait maka dikhawatirkan beberapa tahun kedepan wilayah perbatasan kawasan cagar alam yang berfungsi sebagai zona penyangga kawasan cagar alam pegunungan cycloop akan berubah menjadi pemukiman bahkan bisa jadi pemukiman tersebut masuk didalam zona inti kawasan cagar alam pegunungan cycloop. b. Perladangan Hasil pengolahan data primer menunjukan bahwa rata-rata responden bermata pencaharian pokok sebagai petani/peladang yaitu 49 KK atau 98 persen. Hal ini karena kegiatan perladangan sudah merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang serta hasil dari ladang tersebut bisa langsung dikonsumsi serta sebagian dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Pola perladangan masyarakat dibeberapa lokasi yang dijadikan sampel dalam penelitian ini dapat dikatakan sangat aktif dan sebagian besar responden menggunakan system perladangan berpindah-pindah (50 KK) atau 100 persen responden menganut sistem perladangan berpindah-pindah (shifting cultivation). c. Penebangan kayu Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan responden diketahui bahwa kegiatan penebangan kayu didalam kawasan cagar alam pegunungan cycloop dibeberapa lokasi yang dijadikan sample dilakukan oleh hampir semua kelompok masyarakat baik suku asli sentani sendiri selaku pemilik hak ulayat atas areal tersebut maupun imigran lokal dari daerah lain. Hasil pengolahan data primer menunjukan bahwa 100 persen (50 KK) responden mengambil kayu di hutan atau didalam kawasan cagar alam. Hal ini disebabkan karena letak kawasan yang dekat dengan pemukiman masyarakat serta kebiasaan dari masyarakat pemilik tanah (hak ulayat) yang bebas melakukan aktifitas didalam kawasan karena menganggap bahwa areal tersebut adalah hak ulayat mereka. Pada umumnya pengambilan/penebangan kayu yang dilakukan masyarakat didalam kawasan digunakan untuk keperluan memasak yaitu 32 KK(64%), bahan bangunan rumah 13 KK(26%) serta untuk di jual 5 KK(10%). Hal ini disebabkan karena memasak dengan kayu bakar merupakan cara praktis dan tidak membutuhkan biaya serta kondisi ekonomi masyarakat yang terbatas sehingga tidak mampu untuk membeli peralatan masak seperti kompor minyak
8 sehingga menggunakan kayu bakar sebagai perlengkapan memasak sehari-hari. Hal lain yang turut mempengaruhi adalah langkanya BBM khususnya minyak tanah beberapa tahun terakhir ini membuat distribusi minyak tanah kepada masyarakat sangat sulit sehingga walaupun ada keluarga yang mempunyai kompor tetapi tidak bisa menggunakannya karena tidak ada minyak tanah. d. Pembangunan Jalan Dari hasil survey dilapangan diperoleh informasi bahwa sementara ini dibangun jalan raya yang akan menghubungkan beberapa lokasi baik di Kabupaten maupun Kota Jayapura yang rutenya akan melewati bahkan masuk dalam kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Jalan tersebut diantaranya meliputi : a. Ruas Jalan Skyline ke Perumnas IV Waena. Ruas jalan yang dibuat dari Skyline ke Perumnas IV Waena dibangun pada zona penyangga hingga masuk dalam kawasan cagar alam. b. Pembangunan ruas jalan dari Pasir VI menuju Ormu. Pembangunan jalan ini masuk dalam kawasan cagar alam. Dampak yang ditimbulkan dari pembangunan jalan ini adalah rusaknya habitat dan satwa yang ada di kawasan tersebut serta banyak masyarakat yang akan bermukim disepanjang jalan tersebut dan sudah pasti melakukan aktifitas di dalam kawasan cagar alam cycloop. e. Penggalian Bahan Galian C Kebutuhan akan bahan baku pembuatan jalan dan bangunan dari tahun ke tahun semakain meningkat. Bahan galian tersebut telah banyak digali secara illegal dan dijual kepada setiap kendaraan yang masuk untuk membelinya. Selain secara illegal juga digali oleh perusahaan yang memiliki ijin dari Dinas Pertambangan Provinsi Papua. Dari hasil survey dan wawancara dengan para pengumpul di beberapa lokasi penggalian, diperoleh informasi bahwa penggalian bahan material bangunan dilaksanakan dengan dasar kontrak bersama pemilik tanah atau ondoafi sebagai pemilik hak ulayat setempat. Penggalian illegal yang dilaksanakan oleh masyarakat secara perorangan pada umumnya terpusat pada aliran kali/sungai dengan lokasi kegiatan antara lain : di kiri kanan kali Kayabu, kali Jabawi, dan Kali Ular. f.
Status Penguasaan Tanah/Lahan di dalam Kawasan Peranan kebudayaan tradisional masih sangat kuat bagi masyarakat asli suku sentani yang pada umunya mendiami Kabupaten Jayapura. Sistem adat yang kuat ini turut mempengaruhi sistem pemanfaatan lahan/tanah dan sumber daya alam yang lebih dikenal dengan Hak Ulayat. Kawasan hutan pegunungan cycloop telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan cagar alam, namun bagi warga masyarakat suku sentani mengagnggap bahwa kawasan hutan cagar alam pegunungan cycloop merupakan tanah adat yang merupakan hak ulayat mereka. Secara tidak langsung status kepemilikan atas tanah / hak ulayat masyarakat atas kawasan cagar alam cycloop turut mempengaruhi upaya pengelolaan kawasan ini kedepan. Hal ini terlihat dimana instansi terkait sudah melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan, namun upaya ini tidak pernah berhasil karena banyak marga/klen yang mempunyai hak ulayat didalam kawasan sehingga kadang upaya pemberdayaan tersebut menimbulkan konflik sesama pemilik hak ulayat yang pada akhirnya berpengaruh kepada berhentinya program pemberdayaan dari instansi terkait yang sudah berupaya untuk mencegah tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cagar alam cycloop.
D. Strategi Pengendalian Kerusakan Hutan pada Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Kegiatan pengelolaan Cagar Alam Cycloop tentu saja tidak berbeda jauh dengan pengelolaan cagar alam secara umum di Indonesia namun disesuaikan dengan kondisi setempat. Agar
9 eksistensi cagar alam Cycloop tetap terjamin maka diperlukan upaya pengelolaan yang yang tepat guna meminimalisir kerusakan yang ada. Untuk merencanakan kegiatan pengelolaan tersebut tentu saja juga diharapkan untuk mengatasi permasalahan atau kerusakan hutan yang terjadi di dalam kawasan CA. Cycloop. Beberapa kebijakan pengelolaan yang perlu dilakukan dalam rangka menekan tingkat kerusakan pada kawasan CA. Cycloop antara lain : 1. Kampanye dan Sosialisasi Upaya penanggulangan kerusakan hutan pada cagar alam cycloop yang dilakukan melalui kegiatan kampanye dan sosialisasi perlu dilakukan melalui beberapa media seperti media cetak dan elektronik, spanduk dan pembuatan baliho. Kegiatan kampanye dan sosialisasi melalui beberapa media sebagaimana tersebut diatas perlu memuat beberapa informasi penting seperti arti pentingnya hutan bagi kehidupan manusia, bahaya dan bencana alam bagi manusia dan penerapan hukum dan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan tindakan kerusakan didalam kawasan cagar alam cycloop. Untuk menyebarluaskan informasi tersebut, maka spanduk dan baliho hendaknya dipapampang pada tempat-tempat umum yang sering dikunjungi masyarakat seperti pasar, mall dan sebagainya. Sedangkan melalui media cetak dan elektronik perlu dilakukan melalui koran dan stasiun televisi lokal seperti koran cenderawasih pos dan TOP TV Papua dan Televisi Mandiri Papua. 2. Pemantapan Kawasan Pemantapan kawasan hutan perlu dilakukan melalui beberapa bentuk antara lain : a. Pemetaan situasi dan kondisi cagar alam cycloop seperti penyebaran tingkat kerusakan / degradasi serta kerawanan bencana longsor dan banjir pada kawasan cagar alam cycloop. Tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui dengan jelas lokasi-lokasi dan luas areal yang sudah rusak serta daerah yang rawan bencana. b. Rekonstruksi pal batas yaitu mengembalikan pal-pal batas kawasan yang sudah hilang atau rusak. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui dengan jelas batas-batas kawasan cagar alam cycloop sehingga tidak melakukan aktifitas didalam kawasan tersebut. c. Pemancangan papan pengumuman / peringatan disetiap titik-titik jalan yang rawan kerusakan. 3. Penanaman Pohon Batas Tujuan dari kegiatan ini yaitu menanam pohon/tanaman sebagai pengganti pal batas sepanjang batas kawasan cagar alam cycloop. Jenis pohon/tanaman yang perlu ditanam adalah : a. Jenis tanaman kayu-kayuan seperti merbau, matoa, sengon dan cemara. Maksud dari menanam jenis kayu seperti ini adalah agar apabila kayu tersebut sudah besar maka dipanen/ditebang oleh masyarakat sendiri dan tidak perlu lagi menebang kayu didalam kawasan. b. Jenis tanaman yang bersifat multi fungsi seperti pohon pinang, bambu dan buah merah. Mengingat jenis tanaman ini mempunyai banyak fungsi maka perlu ditanam disepanjang batas kawasan. Sedangkan pola tanamnya harus pada batas luar kawasan. Penanamannya pun harus melibatkan masyarakat umum yang bermukim disepanjang batas kawasan. Hal ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial terhadap para pemilik hak ulayat disepanjang batas kawasan cagar alam. 4. Pengamanan Cagar Alam Cycloop Dalam rangka melakukan pengamanan terhadap kawasan cagar alam cycloop, maka perlu dilakukan beberapa tindakan pengamanan sebagai berikut : a. Membentuk polisi hutan adat yang direkrut dari masyarakat setempat yang berasal dari kampung-kampung yang dilalui cagar alam cycloop. Hal ini perlu dilakukan mengingat ada sebagian kawasan yang sangat susah aksesibilitasnya sehingga tidak pernah dikontrol oleh polisi kehutanan dari BBKSDA Papua maupun Dinas Kehutanan.
10 b. c. d. e.
Memasang papan pengumuman dan larangan disekitar kawasan hutan. Melakukan pengawasan / patroli rutin ke setiap lokasi yang rentan terhadap kerusakan. Menerapkan sanksi yang jelas bagi yang melakukan pelanggaran Pengembangan dan penguatan kelembagaan masyarakat disekitar kawasan hutan.
5. Rehabilitasi Lahan Kritis Merehabibilitasi lahan kritis pada kawasan penyangga cagar alam pegunungan cycloop. Tujuan dari kegiatan ini adalah menanam kembali lahan kritis yang ada sehingga berhutan kembali. 6. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Program pemberdayaan ekonomi masayarakat disekitar kawasan sangat penting sekali karena dengan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat disekitar kawasan, maka turut mengurangi tingkat ketergantungan/ pemanfaatan masyarakat didalam kawasan cagar alam. 7. Pembentukan Kelompok Pecinta Alam Membentuk kelompok pencinta alam dan kader konservasi ditingkat kampung. Tujuannya adalah agar memperkenalkan anak-anak muda pada lingkungan dalam hal ini kawasan cagar alam sehingga ada rasa kepedulian terhadap kondisi cagar alam cycloop. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian pembahasan penelitian ini, ada beberapa kesimpulan pokok yang diambil yaitu : 1. Kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop di Kabupaten Jayapura pada umumnya disebabkan karena pemanfaatan lahan / konversi lahan oleh masyarakat dalam bentuk Pemukiman, Perladangan dengan sistem shifting cultivation (98%), Penebangan Kayu (64% kayu bakar, 26% bahan bangunan dan 5% dijual) , Penggalian Bahan Galian c (61%), Pembangunan Jalan (ruas jalan Skyline - Perumnas IV dan Pasir VI – Ormu) serta Status Kepemilikan Tanah / Hak Ulayat Masyarakat. 2. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan cagar alam pegunungan cycloop cukup baik, namun karena tuntutan ekonomi dan kebutuhan hidup yang mendesak maka masyarakat terpaksa melakukan aktifitas di dalam kawasan cagar alam. 3. Untuk mencegah kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop, maka ada beberapa strategi pengelolaan kawasan guna mengendalikan kerusakan yang terjadi yang perlu dilakukan antara lain : kampanye dan Sosialisasi, Pemantapan Kawasan, Penanaman Pohon Batas, Pengamanan Cagar Alam Cycloop, Rehabilitasi Lahan Kritis, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Pembentukan Kelompok Pecinta Alam. B. Saran Untuk mengendalikan dan menekan sekecil mungkin kerusakan yang terjadi pada kawasan cagar alam pegungan cycloop, maka saran kami adalah : 1. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait perlu menjalin hubungan kerja sama dengan lembaga adat / kepala-kepala suku dari masyarakat yang bermukim disekitar kawasan cagar alam pegunungan cycloop dalam upaya pelestarian kawasan tersebut. 2. Rekruitmen Polisi Khusus dari kampung dan bukan pegawai negeri sipil yang berasal dari masyarakat adat kampung disepanjang trayek batas kawasan cagar alam yang difasilitasi dengan pelatihan dan ketrampilan polisi khusus serta diberikan tunjangan pembinaan setiap bulan. 3. Dipertimbangakan untuk perlu relokasi masyarakat yang ada didalam kawasan cagar alam pegungan cycloop ke lokasi yang layak untuk pemukiman.
11 4. Pemerintah melalui Intansi terkait perlu menganggarkan biaya khusus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang bermukim disekitar maupun didalam kawasan cagar alam pegunungan cycloop.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2002. Media Indonesia, 4 September 2002. Topik : 40,26 juta Hektar Hutan Indonesia Rusak, Media Group Jakarta. Astuti N.S. 1990, Analisa Status Kesuburan Tanah Hutan dan Tanah Perladangan di Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari, Fakultas Pertanian Unversitas Cenderawasih, Manokwari (tidak diterbitkan). Bungin B, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Black C, Henry. 1979. Black’s Dictionary, Fifth Edition. St. Paul Minn : West Publishing Co. Badan Planologi Kehutanan, 2003, Kondisi Tutupan Lahan (Land Cover) Indonesia, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Barber C.V, 1999 Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika Serikat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Departemen Kehutanan, 2000, Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1999. Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Departemen Kehutanan, 1967, Undang-undang Nomor. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001, Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. Global Forest Watch, Bogor HS. Salim, 2002, Dasar – Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta Ismawan. I, 1999, Resiko Ekologis dibalik Pertumbuhan Ekonomi, Media Pressindo, Yog yakarta. Iskandar. U, Ngadiono dan Nugraha. A, 2003. Hutan Tanaman Industri di Persimpangan Jalan, Arivco Press, Jakarta. Iskandar. U dan Nugraha. A, 2004, Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Issu dan Agenda Mendesak, Debut Press, Yogyakarta. Mambay B, http://www.cenderawasihpos.com/alamku/direktur-wwf-papua-kondisi-cagar-alamcykloop-semakin memprihantinkan, diakses tgl 12 Juli 2010. Mampioper D, http://belanegarari.wordpress.com/2009/06/25/papua-hutan-tropis-terakhir-diindonesia-yang-terancam-punah, diakses tanggal 12 Juli 2010. Nasution, S.,1988, “Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif”, Tarsito, Bandung Ngandung, I.B. 1976, Ketentuan Umum Pengantar ke Hutan dan Kehutanan di Indonesia, Ujung Pandang : Pusat Latihan Kehutanan. Petocz R.G., 1987, Konservasi Alam dan Pembangunan di Papua, Graffity Pers, Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Team World Wildlife Fund (WWF), 1991, Cagar Alam Cycloop dan Permasalahannya, WWF, Jayapura
12 Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Utomo, Muhajir, Rifai E, Thahar A, 1992, Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Weinstock, J.A. and Satyawan S. 1989. Review of shifting cultivation in Indonesia. Directorate General of Forest Utilization, Ministry of Forestry, Government of Indonesia and Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta.