REKRUTMEN POLITIK TERHADAP PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara
Fanina Fanindita 050906002
Dosen Pembimbing Dosen Pembaca
: Drs.P.Anthonius Sitepu,M.si : Warjio,S.S,M.A
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
REKRUTMEN POLITIK TERHADAP PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara Oleh : Fanina Fanindita NIM : 050906002
ABSTRAKSI Rekrutmen politik tidak terlepas dari peranan partai politik.Keterwakilan perempuan dan kualitas wakil rakyat sangat tergantung dari sistem rekrutmen yang dilakukan parpol. Parpol juga berperan sebagai lembaga penghubung antara pemerintah dan rakyat serta sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan rakyat. Kuota 30% yang diberlakukan tidak meningkatkan keterwakilan perempuan secara signifikan. Ini dapat disimpulkan dengan jumlah anggota DPRD Sumatera Utara periode 1999-2004 yang hanya 3 orang menjadi 6 orang di periode 2004-2009. Mereka juga tidak duduk di posisi strategis sebagai pengambil keputusan. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dan pengumpulan data dengan metode wawancara dan studi kepustakaan. Penulis melakukan penelitian ini di DPRD Sumatera Utara yang terletak di Jl.Imam Bonjol, Medan. Dalam menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara, peranan perempuan fungsi perempuan tidak banyak,ini dikarenakan minimnya jumlah keterwakilan perempuan dan posisi mereka yang tidak menempati jabatan strategis sebagai pengambil keputusan. Pemilu 2004 merupakan ajang yang cukup konstruktif untuk menguji sejauh mana keseriusan partai untuk memberi ruang yang cukup kondusif bagi perempuan. Dengan meningkatnya representasi perempuan dalam legislatif seharusnya dapat meningkatkan proses akomodasi aspirasi perempuan. Kata Kunci : Rekrutmen Politik,Keterwakilan Perempuan dan Peranan Perempuan di Parlemen
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
KATA PENGANTAR Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat yang diberikan-Nya, atas segala kemudahan dan segala jalan terbaik yang ditunjukkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini penulis susun sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi yang penulis susun yaitu : REKRUTMEN POLITIK TERHADAP PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN yang merupakan Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari kekurangan, namun skripsi ini sudah penulis susun dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Dan penulis sangat menyadari, dalam penulisan skripsi ini sangat banyak pihak yang membantu penulis. Maka itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Prof.Dr. Arif Nasution,MA sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Drs. Heri Kusmanto,MA, sebagai Ketua Jurusan dan Dosen wali penulis.
3.
Bapak Drs. Humaizi,MA, sebagai Pembantu Dekan I
4.
Bapak Drs. Burhanuddin Harahap,Msi, sebagai Pembantu Dekan III.
5.
Bapak
Drs.P.Anthonius
Sitepu,M.Si,
sebagai
dosen
pembimbing yang selalu mengarahkan penulis dan menjadikan skripsi penulis lebih baik. 6.
Bapak
Warjio,S.S,M.A,
sebagai
dosen
pembaca
yang
memberikan masukan dan saran yang penting bagi penulis.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
7.
Bang
Rusdi,
mempersiapkan
yang
selalu
berkas-berkas,
membantu Kak
Dian
penulis
untuk
yang
sering
membantu penulis jika bang Rusdi tidak hadir. 8.
Untuk Kak Uci,Bang Hendra,bang Fuad terima kasih untuk bantuan dan sarannya.
9.
Terima Kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Alm mama tercinta, Dra. Ika Artika,M.Kes, karena cinta dan kasih sayangnya yang tiada terhingga dan selalu mendukung penulis dalam suka dan duka, memotivasi penulis untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik.
10.
Terima Kasih untuk papa tercinta,Ramamurti Naidu, yang selalu mendampingi penulis dimana pun kapanpun dan selalu mendorong penulis untuk mencapai hasil yang maksimal.Atas kerja keras yang beliau lakukan, waktu yang beliau korbankan semata-mata hanya untuk keberhasilan penulis.
11.
Untuk abang-abang tersayang Alexander Anindita Naidu,S.H, Febrian Prawira Naidu, M.Iqbal Naidu yang telah menjadi inspirasi dan panutan untuk penulis dan selalu memberikan perlindungan bagi penulis dan untuk adik tersayang Tania Sekar Kinanti Naidu, terima kasih untuk gangguannya.
12.
Untuk almarhum atok tercinta Ali Geno sebagai inspirator bagi penulis dan mimih tercinta,Maharani, yang selalu mendukung penulis untuk cepat menyelesaikan studi dan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tiggi.
13.
Untuk keluarga besar Ali Geno, yaitu teteh-teteh dan om-om penulis yaitu: teh Nila,teh didit,teh indah,om luh,om otay,om agus,om yani,tante maya,tante anne terima kasih atas segala motivasinya.
14.
Untuk sahabat penulis Aisyah,terima kasih atas bantuan dan kesediaannya untuk menemani penulis kapanpun dan Sri Puji Nurhaya terima kasih untuk saran dan bantuannya.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
15.
Untuk teman-teman politik Angkatan 2005 yang sudah selesai maupun yang belum yaitu
Nda, Fildza, Zaki, Fadly, Riki,
Nesia, Ronald, Nadya, Pebrina, Jaka, Taufik, Putri, Eka, Andika, Kartika dan semua yang mungkin penulis tidak dapat menyebutkannya satu persatu. 16.
Untuk adik-adik junior 2006 juga terima kasih atas motivasinya.
17.
Terima Kasih untuk anggota Dewan di DPRD Sumut yang bersedia membantu penulis dalam memberikan keterangan yang dibutuhkan penulis.
18.
Untuk bagian Tata Usaha DPRD Sumut yang bersedia memberikan data untuk kelengkapan skripsi penulis.
19.
Penulis mengucapkan terima kasih untuk seluruh pegawai FISIP yang selalu bersedia membantu penulis dan menjadi teman bagi penulis.
20.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada temanteman yang selalu ada dan hadir dalam setiap hari-hari penulis untuk memberikan saran dan motivasi agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Ucapan terima kasih inilah yang dapat penulis berikan untuk semua orang yang berperan penting dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini jauh dari kesempurnaan namun skripsi ini selalu penulis kerjakan dengan serius dan dengan sebaik-baiknya. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih Medan, Desember 2009
Penulis (Fanina Fanindita) Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
DAFTAR ISI ABSTRAKSI…………………………………………………………………. 2 KATA PENGANTAR……………………………………………………….. .3 DAFTAR ISI…………………………………………………………………...6 BAB I PENDAHULUAN 1. LatarBelakang…………………………………………………........8 2. Perumusan Masalah………………………………………………..11 3. Tujuan ……………………………………………………………..12 4. Manfaat Penelitian…………………………………………………12 5. Kerangka Teori 5.1 Politik Gender………………………………………………….12 5.1.1 Pengertian Gender……………………………………...12 5.1.2 Keterwakilan Perempuan dalam Politik………………..13 5.1.3 Dampak Partisipasi Perempuan…………………………15 5.2 Partai Politik 5.2.1 Pengertian Partai Politik…………………………………16 5.2.2 Peranan Partai Politik Di Parlemen………………………17 5.2.3 Sistem Kepartaian………………………………………..18 5.3 Rekrutmen Politik 5.3.1 Pengertian Rekrutmen Politik……………………………19 5.3.2 Metode Rekrutmen Politik………………………………………………….…22 5.4 Pemilihan Umum Dan Sistem Pemilihan Umum 5.4.1 Pemilihan Umum………………………………………...22 5.4.2 Sistem Pemilihan Umum……………………………..….24 5.5 Teori Perwakilan Politik 5.5.1 Pengertian Perwakilan Politik…………………………………………………….25 5.5.2 Bentuk-Bentuk Teori Perwakilan……………………………………………..…28 5.6 Lembaga Legislatif Republik Indonesia 5.6.1 Pengertian Lembaga Legislatif……………………….….30 5.6.2 Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Di Indonesia…………………………………………………30 5.6.3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah……………………………………………………36 5.6.4 Fungsi DPRD…………………………………………….37 6. Metode Penelitian 6.1 Jenis Penelitian…………………………………………..………38 6.2 Lokasi Penelitian…………………………………………………38 6.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………………….………38 6.4 Teknik Analisa Data……………………………………...………39 6.5 Sistematika Penulisan…………………………………………….39
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
BAB II PROFIL DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN DPRD PROVINSI SUMATERA UTARA 1. Profil DPRD Provinsi Sumatera Utara……………………………………………………………..….40 1.1 Sejarah Pembentukkan Badan Legislatif Daerah……………………………………………………………40 1.2 Sejarah Singkat Mengenai DPRD Provinsi Sumatera Utara…………………………………………………………...…41 1.3 Gambaran Umum Tentang DPRD Provinsi Sumatera Utara……………………………………………………………...42 2. Susunan Kenaggotaan DPRD Sumut. 2.1 Partai yang Mendapat Kursi Periode 20042009………………………………………………………………46 2.2 Fraksi-Fraksi…………………………………………………..…47 2.3 Ketua DPRD Periode 2004-2009……………………………..….47 2.4 Struktur Kepemimpinan Fraksi ………………………………….48 2.5 Struktur Keanggotaan Komisi DPRD Sumut………………………………………………………….…52 BAB III ANALISIS PERANAN REKRUTMEN TERHADAP PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN 1. Fungsi Partai Politik Dalam Parlemen……………………………….55 2. Fungsi Partai Politik Terhadap Keterwakilan Perempuan Di Parlemen………………………………………………………...........58 3. Perempuan Dalam Rekrutmen Politik………………………………..60 4. Pengaruh Sistem Pemilu Terhadap Keterwakilan Perempuan……………………………………………………………64 5. Perspektif Gender Di DPRD Provinsi Sumut………………………………………………………………...68 6. Kendala Yang Menyebabkan Representasi Perempuan Di Dewan Perwakilan Rakyat Sangat Rendah..................................................................................................69 7. Kinerja Anggota Dewan DAlam Pelaksanaan Fungsi Parlemen……………………………………………………………...73 8. Peran Perempuan Dalam Menjalankan Fungsi Parlemen…………………………………………………………...…81 BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan…………………………………………………………..86 2. Saran………………………………………………………………….88 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………90
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Dasar 1945 disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut sistem Trias Politica. Trias Politica merupakan suatu konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke (16321704) dan Montesquieu (1689-1755).1 Dalam konsep ini kekuasaan terbagi menjadi tiga yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif bertugas untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yaitu yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif bertugas untuk mengadili jika terjadi pelanggaran terhadap undangundang. Di Indonesia, kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden. Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Mahkamah Agung (MA) merupakan pelaksana dari kekuasaan yudikatif, MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan, kekuasaan legislatif berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yaitu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Dewan Perwakilan khususnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan bersama-sama dengan pemerintah untuk menyusun undang-undang. Sejak diberlakukan UU Nomor 22 thn 1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. Hubungan lembaga legislatif, 1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia,2008,hal 151.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
eksekutif dan yudikatif di tingkat daerah sama dengan hubungan antar lembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPRD tingkat I adalah mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun peraturan daerah. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat Kepentingan dan aspirasi masyarakat tersebut harus dapat ditangkap oleh Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagan pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan, yang bertujuan sebagaimana yang disebutkan di atas. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran (budgeting) dan fungsi pengawasan. Pada tanggal 5 April 2004 dilakukan Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diselenggarakan secara serentak pada untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan umum anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Pemilu Legislatif 2004 ini merupakan ajang untuk merekrut calon legislatif (caleg) yang diusung oleh berbagai partai untuk duduk sebagai anggota DPR,DPRD untuk masa bakti 2004-2009. Maka itu partai politik berperan sangat penting untuk melakukan rekrutmen terhadap orang-orang yang berkualitas untuk diusung menjadi calegnya, karena kualitas caleg akan berpengaruh kepada kualitas parlemen. Menurut Gabriel A. Almond partai politik yang termasuk salah satu kelompok infrastruktur politik adalah organisasi manusia di mana di dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai ideologi (ideal objective), mempunyai program politik platform, sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
menurut panahapan jangka dekat sampai yang jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa. Dengan demikian, setiap organisasi manusia yang memenuhi kriteria di atas secara material dan substansial dapat dianggap sebagai partai politik. 2 Adapun fungsi partai politik yang ideal menurut Gabriel A. Almond dan Coleman
adalah
berpartisipasi
dalam
sektor
pemerintahan,
dalam
arti
mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik ataupun output pada umumnya. 3 Hal ini sesuai dengan proses rekrutmen yang berarti proses pengisian jabatan-jabatan politik pada lembaga-lembaga politik, termasuk dalam jabatan dalam birokrasi atau administrasi negara dan partai-partai politik. Rekrutmen politik mempunyai fungsi yang sangat penting bagi suatu sistem politik, karena melalui proses ini orang-orang yang akan menjalankan sistem politik ditentukan. Dalam melakukan rekrutmen ini juga ada yang harus diperhatikan yaitu keterwakilan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam politik formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003, yang menyebutkan pentingnya aksi afirmasi bagi partisipasi politik perempuan dengan menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai politik pada parlemen di tingkat nasional maupun lokal. Aksi afirmasi seringkali didefinisikan sebagai upaya strategis untuk mempromosikan kesamaan dan kesempatan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat seperti perempuan atau kelompok minoritas yang kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar, melihat bahwa pemenuhan keterwakilan perempuan pada pemilu 2004 tergolong rendah, hanya mencapai 11.3%. Angka ini mengalami kenaikan 2% jika dibandingkan dengan
2
3
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Bandung :Sinar Baru Algesindo,.2004,hal.91. Gabriel A. Almond, and James S. Coleman, The Politics of Developing Areas. New Jersey: Princeton University Press.1960 dalam Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hal 115
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
pencapaian pada pemilu 1999 sebesar 9% di tingkat nasional. 4 Peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik harus terus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki. Maka dari itu penulis ingin meneliti tentang peranan rekrutmen terhadap perempuan yang dilakukan oleh partai politik terhadap kualitas parlemen yang dalam hal ini adalah DPRD khususnya di provinsi Sumatera Utara dilihat dari fungsi-fungsi yang dijalankan yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi budgeting karena keterlibatan perempuan pasti memiliki peranan di setiap fungsi tersebut. 2. Perumusan Masalah Pemilu 2004 merupakan ajang yang cukup fenomenal dalam sistem perpolitikan di Indonesia, karena merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan secara demokratis. Orang-orang yang berhasil menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR, DPRD dan DPD merupakan pilihan rakyat. Para wakil terpilih ini akan melaksanakan fungsi-fungsi seperti legislasi, penganggaran dan pengawasan. Dan salah satu masalah yang muncul adalah tentang keterwakilan perempuan di badan legislatif, perempuan pasti memiliki peranan tersendiri dalam menjalankan fungsi legislatif. Maka dari itu hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana peranan rekrutmen perempuan di DPRD Sumatera Utara jika dilihat dari fungsi-fungsi yang dijalankan?.
4
http :/delphi panel.com //woman research institute.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini ialah untuk memahami proses rekrutmen perempuan dan dampaknya terhadap kualitas kinerja DPRD Sumatera Utara. 4. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam pembuatan penelitian ini ialah: 1. Untuk penulis sendiri agar dapat meningkatkan kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah. 2. Penelitian ini diharapkan menjadi pengembangan dari teori-teori politik yang berkaitan dengan masalah yang diteliti penulis yaitu teori tentang gender, perwakilan politik dan proses politik di Indonesia sehingga karya tulis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan civitas akademika yang mempunyai pusat penelitian mengenai rekrutmen perempuan dan dampaknya terhadap koalitas parlemen. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD Sumatera Utara.
5. Kerangka Teori 5.1. POLITIK GENDER 5.1.1. Pengertian Gender Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang menarik perhatian masyarakat. Pada satu sisi hubungan gender menjadi persoalan tersendiri, padahal secara fakta persoalan emansipasi kaum perempuan masih belum mendapat tempat yang sepenuhnya bisa diterima. Perempuan diberikan kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap diikat dengan aturan patriarki yang relatif menghambat
dan
memberikan kondisi dilematis terhadap posisi mereka. Disini dibutuhkan pengertian dari konsep gender agar masyarakat dapat membedakan antara gender dan emansipasi perempuan. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Konsep gender pertama kali dibedakan oleh sosiolog yang berasal dari Inggris yaitu Ann Oakley. Ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks berarti pembedaan antara laki-laki dan perempuan atas dasar ciri-ciri biologis. Sedangkan perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya karena gender lebih mengarah kepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu.5 Dan menurut Mansour Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. 6 Jadi gender adalah pembedaan perilaku, peran, peringai laki-laki dan perempuan oleh budaya atau masyarakat melalui interprestasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Gender tidak diperoleh sejak lahir tetapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa.Pada akhirnya
dapat
disimpukan
bahwa
gender
merupakan
konsepsi
yang
mengharapkan kesetaraan status dan peranan antara laki-laki dan perempuan. 7
5.1.2. Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Indonesia sebagai Negara yang berdaulat dan merdeka telah berkomitmen dan secara tegas memberi pengakuan yang sama bagi setiap warganya, baik perempuan maupun laki-laki akan berbagai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Hak-hak politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum maupun dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut. Undang-Undang RI no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
5
Harmona Daulay, Perempuan Dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press,2007, hal 3. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2004, hal.8. 7 Harmona Daulay,op.cit, hal 5. 6
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Penegasan
hak-hak
politik
perempuan
dibuktikan
dengan
telah
diratifikasinya. Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan. Ketentuan dalam Konvensi PBB tersebut menjelaskan beberapa hal seperti berikut : 1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa suatu diskriminasi. 2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang
sama
dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi. 3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki. 8 Kemudian pada tanggal 4 Januari 2008, diundangkan sebuah undangundang partai politik baru yaitu UU No.2 Tahun 2008 sebagai pengganti UU no.31 Tahun 2002. Kehadiran UU no.2 thn 2008 ini dan UU no.10 thn 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan perkembangan yang cukup signifikan bagi kondisi feminisme di Indonesia, karena pada undang-undang ini menegaskan bahwa Indonesia berusaha keluar dari sistem yang bersifat patriarki. Pada UU No.2 thn 2008 telah ditentukan secara tegas mengenai porsi keterwakilan perempuan dalam kepengurusan suatu parpol. Sementara pada UU No.10 Thn 2008 memiliki prinsip yang sama, yaitu adanya affirmative action 9, dimana minimal harus terdapat 30 persen perempuan di DPR. Dalam pasal 2 dan pasal 20 UU no.2 thn 2008 tentang partai politik, disebutkan mengenai sistem keterwakilan perempuan. Sistem keterwakilan perempuan dimaksud terdapat, baik di dalam kepengurusan partai di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, dengan ketentuan kuota minimal 30 persen. Sama dengan pasal
8
Romany Sihite, Perempuan, Keserataraan, Keadilan,Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada, 2007, hal 155-157. 9 Affirmative action adalah semacam program khusus untuk lebih memungkinkan kaum perempuan memainkan perannya dalam masyrakat sesuai kemampuan dan talenta yang dimilikinya sehingga perempuan lebih termotivasi untuk untuk meraih posisi yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
53 dan pasal 55 UU no.10 thn 2008, ditentukan minimal 30 persen keanggotaan perempuan di parlemen. 10
5.1.3. Dampak Partisipasi Politik Perempuan Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangat diperlukan. Ini disebabkan jika keterwakilan di lembaga politik formal diserahkan kepada laki-laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan. Disini ada beberapa hal yang menyebabkan perempuan harus ikut serta dalam kebijakan politik, yaitu sebagai berikut : 1. Hak- hak politik perempuan merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. 2. Perempuan adalah separuh penduduk dunia oleh karena itu secara demokratis pendapat dari perempuan haruis dipertimbangkan. Dalam demokrasi, pandangan dari kelompok-kelompok yang berbeda jenis kelamin harus dipertimbangkan dan diformulasikan dalam setiap kebijakan. 3. Partisipasi politik perempuan diharapkan bisa mencegah kondisi yang tidak
menguntungkan
perempuan
dalam
mengatasi
permasalahan
stereotipe terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan kerja, dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan, karena dipercaya bahwa tidak ada satu kelompok orang pun yang dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan kelompok perempuan dengan kualitas tertinggi selain kaum perempuan sendiri. 11 4. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian.
Politik
perempuan
diharapkan
membawa
nilai-nilai
10
Astrid Anugrah,S.H,Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, Jakarta :Pancuran Alam,.2009,hal.15. 11 Indriyati Suparno, Masih Dalam Posisi Pinggiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal 25-26 Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembug dan mengubah kompetisi menjadi kerja sama.
5.2. PARTAI POLITIK 5.2.1. Pengertian Partai Politik Salah satu sarana untuk berpartisipasi adalah partai politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. 12 Definisi partai politik menurut Undang-undang No.31/2002 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No.2/1999 adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Dalam kehidupan politik yang demokratis, keberadaan partai politik adalah keharusan sebab fungsi utama partai politik adalah untuk bersaing memenangkan pemilu, mengagregasikan
kepentingan, menyediakan alternatif
kebijakan dan mempersiapkan calon pemimpin yang akan duduk dalam pemerintahan. Menurut Gabriel A. Almond partai politik adalah organisasi manusia di mana di dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai ideologi (ideal objective), mempunyai program politik (political platform, material objective) sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut panahapan jangka dekat sampai yang jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa.
12
Miriam Budiarjo, op.cit.hal 16.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Dengan demikian, setiap organisasi manusia yang memenuhi kriteria di atas secara material dan substansial dapat dianggap sebagai partai politik. 13
5.2.2. Peranan Partai Politik Di Parlemen Partai politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat politik yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil, berperan mengorganisir kekuasan dan meraih kontrol atas negara untuk kepentingan masyarakat. Peran partai politik itu diletakkan dalam arena pemilihan umum yang di dalamnya terjadi kompetisi antarpartai dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Partai politik merupakan institusi demokrasi yang secara langsung menentukan kualitas demokrasi. Posisi signifikan parpol ini disebabkan fungsi dan perannya di pemilu, pilkada dan lembaga legislatif di pusat dan daerah. Ketika pemilu dan pilkada, parpol berperan sebagai institusi yang menyeleksi, menganalisa dan menentukan pencalonan para pasangan kepala daerah, capres dan wapres, serta para calon anggota legislatif di pusat dan daerah, sebelum menghadapi pemilu dan pilkada untuk dipilih oleh rakyat. Di lembaga legislatif pusat dan daerah, peran parpol juga sangat signifikan dan menentukan. Melalui fraksinya yang merupakan perwakilan parpol di lembaga legislatif di pusat dan daerah, parpol merupakan satu-satunya institusi yang mengarahkan, bahkan menentukan pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Karena dalam prakteknya, mekanisme pengambilan keputusan di DPR/DPRD menempuh mekanisme kesepakatan fraksi, bukan mekanisme voting dan musyawarah.
14
Maka dalam menjalankan fungsi dan hak budgeting, pengawasan dan legislasi di DPR/DPRD, para wakil rakyat sesungguhnya kerap merepresentasikan dirinya sebagai wakil parpol. Sering kali dalam pengambilan keputusan, para wakil rakyat tidak dapat independen karena terancam hak recall parpol atau 13
http:// www.Indolisme.Blogspot.com Idris Thaha, Pergulatan Partai Politik Di Indonesia, Jakarta:P.T RajaGrafindo Persada, 2004, hal 24 14
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
khawatir tidak dicalonkan pada pemilu selanjutnya. Dapat dipahami bahwa kualitas pemilu, pilkada, presiden dan wakil presiden, kualitas para pasangan kepala daerah, kualitas para anggota DPR dan DPRD, demikian juga kualitas para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara dan lembaga-lembaga independen negara, semuanya sangat bergantung pada kualitas partai politik. Dengan kata lain, dapat dikatakan, bahwa kualitas parpol secara langsung berpengaruh pada kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau, kualitas parpol secara signifikan menentukan kualitas demokrasi.
5.2.3. Sistem Kepartaian Sistem kepartaian pada umumnya terbagi menjadi tiga tipe yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai dan sistem multi partai. Negara yang masyarakatnya bersifat majemuk cenderung memakai sistem multipartai seperti juga Indonesia. Di mana terdapat berbagai perbedaan sosial, seperti ras, suku, atau agama, maka golongan-golongan dalam masyarakat akan lebih cenderung untuk menyalurkan loyalitas mereka ke organisasi yang sesuai daripada
bergabung
dengan
kelompok-kelompok
dengan prinsipnya
lain
yang
berbeda
orientasinya. 15 Maka itu dianggap bahwa pola multipartai lebih mampu manyalurkan keanekaragaman budaya dan politik dalam suatu masyarakat daripada tipe partai yang lainnya. Kelemahan dari tipe multipartai ini adalah pertumbuhan partai polittik yang berlebihan dengan ideologi yang berbeda-beda membuat masyarakat yang majemuk semakin terpecah-pecah karena banyaknya pilihan partai. Persaingan antar partai juga tidak akan ada habisnya karena setiap partai berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati dari rakyat agar menang dalam Pemilu dan mendapatkan kekuasaan untuk mengatur negara.
15
Miriam Budiardjo, op.cit, hal 29-30.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
5.3. REKRUTMEN POLITIK 5.3.1. Pengertian Rekrutmen Politik Partai politik dalam pengertian modern dapat didefenisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Pengertian di atas sesuai dengan salah satu fungsi partai politik yaitu fungsi rekrutmen politik. Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. 16 Dalam pengertian lain rekrutmen politik merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya. 17 Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang direkrut adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan politik. Setiap partai juga memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pola rekrutmen anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya. Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi administratif, penelitian khusus yaitu menyangkut kesetiaan pada ideologi negara. Dengan adanya anggota-anggota partai politik yang berbakat dipersiapkan untuk menjadi pemimpin melalui pengkaderan, berarti proses regenerasi di dalam tubuh partai politik yang bersangkutan akan dapat berjalan dengan lancar, dan dengan lancarnya proses regenerasi berarti pula kelangsungan hidup partai politik tersebut. Melalui pengkaderan yang berlangsung dengan baik akan muncul calon-
16
Fadillah Putra, Kebijakan Publik Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai dengan Realisasi Produk Kebijakan Publik di Indonesia 1999-2003, Yogyakarta: Pustaka Relajar,2003. hal 19 17
Sudijono Sastroatmodjo,op.cit. hal 121.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
calon pemimpin yang baik pula. Maka itu cara pengakaderan lebih sering dipergunakan untuk merekrut kaum muda, baik yang berasal dari anggota partai maupun berasal dari masyarakat umum untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin. Di era reformasi, rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan politik dalam sebuah negara, agar sistem politik dapat memfungsikan dirinya dengan sebaik-baiknya,
guna
memberikan
pelayanan
dan
perlindungan
kepada
masyarakat. Proses rekrutmen dilakukan secara terbuka, semi tertutup, bahkan secara tertutup. Derajat keterbukaan rekrutmen akan ditentukan oleh derajat pelaksanaan demokrasi dalam sebuah negara. Pemilu 2004 merupakan ajang yang cukup konstruktif untuk menguji sejauh mana keseriusan partai untuk memberi ruang yang cukup kondusif bagi perempuan, karena di tahun sebelumnya yaitu pada bulan Februari tahun 2003, kuota perempuan disahkan. Permasalahan ini ada dalam batang tubuh UU Pemilu Pasal 65 ayat 1 yang berbunyi : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Adapun beberapa pilihan partai politik dalam proses rekrutmen politik sebagai berikut : a. Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis. b. Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang , misalnya aktivis LSM. c. Immediate Survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut. d. Civil Service Reform, merupakan proses
rekrutmen berdasarkan
kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau tinggi.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Ada beberapa hal menurut Czudnowski yang dapat menentukan terpilihnya seseorang dalam lembaga legislatif baik perempuan maupun laki-laki adalah sebagai berikut : •
Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan.
•
Political
Socialization
:
Merupakan
suatu
proses
yang
menyebabkan seseorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh satu kedudukan politik. •
Initial Political Activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik calon elit selama ini.
•
Apprenticeship : Faktor ini menunjuk lansung kepada proses “magang” dari calon elit ke elit lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit.
•
Occupational Variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanya dalam lembaga formal yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik,kapasitas intelektual dan kualitas kerjanya.
•
Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik.
•
Selection : Faktor ini menunjukkan pada mekanisme rekrutmen politik yaitu rekrutmen terbuka dan rekrutmen tertutup. 18
Perwakilan politik haruslah merupakan cerminan realitas sosial yang ada, para elit tidak hanya sekedar pencerminan dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tetapi mereka juga harus dapat mewakili emosi dan aspirasi masyarakat yang diwakili. Rekrutmen politik ini sangat menentukan kinerja parlemen dalam konsistensi perwujudan janji politik mereka dalam kebijakan publik.
18
Fadillah Putra.op.cit.hal 257-260.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Kegiatan menyeleksi para bakal calon, mengajukan serta memberi dukungan pada calon yang bersangkutan merupakan bagian dari aktifitas politik yang penting. Dengan demikian parpol sangat berperan dalam proses pendidikan politik sebagai sumber rekrutmen para pemimpin untuk duduk di legislatif atau eksekutif. Parpol juga berperan sebagai lembaga penghubung antara pemerintah dan rakyat serta sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan rakyat.
5.3.2. Metode Rekrutmen Politik Sistem rekrutmen politik memiliki keragaman walaupun ada dua cara seleksi pemilihan melalui ujian dan latihan yang dianggap paling penting. Namun disamping itu ada beberapa metode yang ada dalam rekrutmen politik yaitu sebagai berikut: •
Penarikan undian : Ini merupakan metode tertua yang digunakan pada masa Yunani Kuno.
•
Rotasi : Metode yang dibuat untuk mencegah dominasi jabatan oleh orang atau kelompok tertentu.
•
Perebutan kekuasaan : Metode ini biasanya menggunakan kekerasan dalam penggulingan rezim politik.
•
Patronage : Dalam sistem ini kenaikan pangkat dapat dibeli oleh individu yang mencari jabatan dan metode ini tidak mejami kualitas si pemegang jabatan
•
Co-option : Dalam metode ini pemilihan seseorang ke dalam suatu badan dilakukan oleh anggota yang ada.
5.4. PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM PEMILIHAN UMUM 5.4.1. Pemilihan Umum Pemilu adalah suatu contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakilwakilnya yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Sebagai negara yang menganut paham demokrasi Indonesia harus melakukan pemilu 5 tahun sekali. Pemilu dilakukan untuk mencari dan menentukan calon-calon pemimpin yang akan mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti di DPR,DPRD,DPD juga presiden dan wakil presiden. Tahun 2004 adalah tahun yang cukup fenomenal karena pada tahun ini pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilu yang benar-benar demokrastis karena seluruh rakyat diikutsertakan untuk menentukan calon presiden dan wakil presiden pada saat itu. Memang Indonesia telah melakukan Pemilu pertamanya di tahun 1955 yang memenangkan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden namun pemilu pada saat itu dinilai kurang demokrastis bahkan pemilu selanjutnya pada tahun 1971 sampai 1999 juga bisa dikatakan tidak demokrastis karena tidak mengikutsertakan rakyat. 19 Maka
Pemilu 2004 adalah moment yang cukup membanggakan bagi
bangsa Indonesia sebagai negara demokrastis. Pemilu itu memiliki peranan yang sangat penting untuk menentukan perubahan dalam negeri ini tentunya perubahan yang mengarah pada kemajuan dan kebaikan. Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 20042009. Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. 20
19 20
Idris Thaha, op.cit, hal 40. http//media-indonesia.com.Pemilu legislatif 2004
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
5.4.2. Sistem Pemilihan Umum Perbedaan sistem pemilu tergantung pada dimensi dan pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan dapat mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam badan perwakilan rakyat dan ia tiak berhak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dari perbedaan perspektif diatas, maka sistem pemilu dapat dibedakan menjadi sistem pemilihan organis dan sistem pemilihan mekanis.Dalam sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup fungsi tertentu, lapisan sosial dan lembaga-lembaga sosial. Persekutuan inilah yang diutamakan sebagai pengendali hak untuk mengutus wakil-wakilnya dan wakil-wakil
yang
duduk
dalam
perwakilan
rakyat
hanya
berdasarkan
pengangkatan. Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partailah yang mengorganisir pemilih dan memimpin pemilihan baik berdasarkan dua partai maupun multipartai. Sistem ini menghasilkan badan perwakilan yang mencerminkan kepentingan umum. Sistem pemilihan mekanis dapat dijalankan dengan dua cara yaitu dengan sistem perwakilan distrik dan sistem perwakilan proporsional. a. Sistem Distrik Kriteria utama dari sistem distrik adalah dimana wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Misalnya anggota DPR ditentukan 500 orang maka wilayah negara dibagi dalam 500 distrik pemilihan, sehingga di setiap distrik hanya akan diwakili oleh satu orang. Ciri pokok sistem pemilihan distrik adalah bahwa yang menjadi fokus pemilihan bukanlah organisasi politik, melainkan individu yang mewakili atau yang dicalonkan oleh parpol di suatu distrik. Orang yang dicalonkan biasanya warga distrik tersebut yang sudah dikenal secara baik oleh warga
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
distrik yang bersangkutan. Jadi hubungan antara para pemilih dengan para calon cukup dekat.21 b. Sistem Proporsional Dalam sistem ini tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena pemilihan bersifat nasional. Pembagian kursi di badan perwakilan rakyat didasarkan pada jumlah pesentase suara yang diperoleh masing-masing parpol. Jadi dalam satu kesatuan geografis menghasilkan lebih dari satu wakil. Adapun beberapa kelebihan dari sistem ini ialah tidak ada suara yang terbuang karena perhitungan digabungkan secara nasional. Partai minoritas juga berkesempatan untuk mendudukkan wakilnya di legislatif. Namun ada juga kelemahan dari sistem ini yaitu kekuasaan parpol sangat besar karena parpol yang menentukan orang-orang yang akan diajukan sebagai calon, akibatnya wakil-wakil yang duduk di lembaga legislative tidak murni sebagai wakil rakyat tetapi lebih merupakan wakil parpol yang mengusungnya. 22
5.5. TEORI PERWAKILAN POLITIK 5.5.1. Pengertian Perwakilan Politik Pemikiran tentang konsepsi perwakilan dalam politik mempunyai rentang sejarah yang panjang, seperti rentangan sejarah tentang demokrasi itu sendiri. Sesungguhnya konsep perwakilan dalam politik adalah perwujudan dari demokrasi yang tidak bisa dilakukan melalui sistem demokrasi langsung seperti yang pernah dilakukan di Athena, yaitu demokrasi melalui partisipasi langsung dari setiap warga negara, pemerintahan yang mewakilinya ia sebut “ Aristrokasi elektif”, karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan di negara besar. Dari sisi teori menurut Afred de Grazia menuturkan bahwa perwakilan dapat diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak yaitu wakil dan dengan terwakil dimana
21
Nazaruddin Sjamsuddin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, Jakarta: P.T Gramedia, , 1993, hal.143. 22
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya.: SIC, 2002, hal 199-201
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil. Dalam perkembangannya, studi-studi tentang perwakilan politik erat kaitannya dengan penelitian-penelitian tentang badan legislatif yang dikenal sebagai parlemen. Dalam hal pendekatan atau keragaman orientasi penelitian terhadap badan legislatif , realitanya telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu melalui beberapa tahapan pendekatan yang dikenal dalam ilmu politik. Penelitian-penelitian yang dilakukan mempunyai rangkaian tahapan disesuaikan dengan orientasi peminatan para ilmuan politik, yaitu dari orientasi pada pendekatan kelembagaan (institusional), pendekatan proses, dan yang terakhir pendekatan tingkah laku (behavioral). 23 Ketiga tahapan itu dapat dijelaskan yaitu pendekatan kelembagaan memandang parlemen dari sisi struktur dan fungsinya, kemudian pendekatan proses memandang parlemen dari sisi pembuatan keputusan sebagai fungsi utamanya , maka pendekatan tingkah laku memandang parlemen dari sisi sikap dan tingkah laku para anggota parlemen dalam setiap keputusan yang dihasilkannya. Pendekatan institusional memberikan pemahaman tentang hubungan formal diantara wakil dengan terwakil yang terwujud sebagai pemilih, tetapi kurang menjelaskan hubungan itu didalam kenyataan, disamping kurang menerangkan interaksi yang sesungguhnya telah terjadi di lembaga itu. Melalui pendekatan proses diketahui hubungan antar struktur di dalam lembaga serta hasil interaksi itu disamping upaya yang dilakukan oleh anggota didalam struktur-struktur tersebut dalam rangka mencapai produk-produk kebijakan termaksud. Di samping hubungan kolektif di dalam lembaga pendekatan proses memperhatikan pula hubungan kolektif diantara badan tersebut dengan masyarakat pemilih. Namun tidak menjelaskan hubungan internal dan eksternal badan legislatif dari sikap dan tingkah laku perseorang anggotanya, telaah seperti itu dikerjakan melalui pendekatan tingkah laku. Hal yang paling penting datang dari perkembangan terakhir dari pendekatan proses tersebut ialah sampai seberapa jauh hasil usaha para wakil yang 23
Arbi Sanit, Perwakilan Politik Di Indonesia, Jakarta:C.V.Rajawali, 1985, hal 6
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
berupa kebijaksanaan itu menciptakan rasa keterwakilan di pihak terwakil. Dengan kata lain apakah terwakil merasa cukup terwakili didalam kebijaksanaan atau keputusan yang dibuat oleh anggota badan legislatif. Pemahaman pemerintahan perwakilan dalam politik adalah pemerintah mewakili warga negara dalam memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk menyelenggarakan
kehidupan
bersama.
Keseluruhan
proses
penggunaan
kekuasaan tersebut diawasi oleh sekelompok orang yang telah diserahi kekuasaan, yang kemudian dikenal sebagai wakil rakyat. Kemampuan pengawasan wakil rakyat yang bertindak sebagai pengawas kekuasaan pemerintah tersebut masih dapat dibantu oleh berbagai hak yang tetap berada di tangan rakyat, seperti hak menyatakan pendapat, mendapatkan keadilan dan sebagainya yang disampaikan melalui wakil rakyat. 24 Sementara itu makna demokrasi perwakilan dalam konteks perwakilan politik adalah keseluruhan proses pemerintahan yang berjalan secara demokratis dan diproses oleh wakil-wakil rakyat , inilah makna dari konsepsi demokrasi perwakilan. Secara umum peranan perwakilan badan legislatif , pada dasarnya berkenaan dengan masalah-masalah hubungan antara badan tersebut (parlemen) atau tepatnya anggota badan legislatif dengan anggota masyarakat yang diwakili mereka secara individu berdasarkan kelompok maupun secara keseluruhan. Dengan demikian para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan pemutusan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan di parlemen. Pertimbangan utama para wakil rakyat di dalam menciptakan keselarasan itu ialah mengutamakan kehendak atau opini pihak yang diwakili tanpa perlu mengorbankan kelestarian sistem politik secara keseluruhan. Pertimbangan tersebut didasari oleh landasan utama dari sistem politik yang menganjurkan supaya kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan politik berlangsung dengan keharmonisan. Atas dasar itu dikehendaki pula supaya lembaga-lembaga politik berproses secara serasi melalui kerjasama yang harmonis.
24
http//www.rakyat merdeka.com
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Berdasarkan pemikiran itulah pembahasan tentang usaha para wakil rakyat untuk menegakkan keserasian antara kepentingan anggota masyarakat yang diwakilinya dengan kepentingan berbagai kelompok dan lembaga, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah dapat ditinjau dari empat faktor, pertama integrasi dan kemampuan atau keterampilan anggota badan legislatif, kedua, pola hubungan anggota badan tersebut dengan anggota masyarakat yang mereka wakili, yang tercermin di dalam sistem perwakilan yang berlaku. Ketiga, struktur organisasi bada legislatif yang merupakan kerangka formal bagi kegiatan anggota dalam bertindak sebagai wakil rakyat. Keempat, hubungan yang tercermin dalam pengaruh timbal balik antara badan legislatif dengan eksekutif dan lembagalembaga lainnya sebagai unit-unit pemerintahan di tingkat daerah, serta hubungan badan tersebut dengan lembaga-lembaga yang sama di tingkat yang lebih tinggi hirarkinya.
5.5.2. Bentuk-Bentuk Teori Perwakilan Perwakilan adalah sekelompok orang yang diberikan kepercayaan, otoritas dan kemampuan yang berkorelasi dengan wakil atau yang diwakili. Dalam teori ini dapat dijelaskan adanya empat bentuk kemungkinan hubungan dalam memaknai relasi antara wakil dengan terwakil yaitu, pertama trusthe model, delegation model, mandat model dan politico model. a. Trusthe Model Model perwakilan rakyat yang didasarkan pada perilaku seorang wakil rakyat, yang dipandang mengetahui apa yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat pemilihnya (konstituen) dan bertindak selaras dengan kepentingan tersebut. Maka itu, wakil rakyat pada konteks ini tidak terikat pada kepentingan partainya. b. Delegation Model Wakil rakyat dalam konteks ini dipandang sebagai yang mewakili kontituennya. Oleh karena itu fungsinya di DPR ditentukan oleh apa yang menjadi kepentingan masyarakat pemilihnya.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
c. Mandat Model Dalam konteks ini, pertanggungjawaban seorang wakil rakyat dinilai atas dasar apakah dia loyal atau tidak kepada partai yang mengutusnya. Jadi, segala kegiatannya sebagai wakil rakyat ditentukan oleh kepentingan partainya. d. Politico Model Model ini adalah gabungan dari ketiga model teori perwakilan yang telah disebutkan di atas. 25 Di samping keempat model di atas, teori wakil rakyat dan yang diwakili yang di sebut Teori mandat, menyatakan bahwa seorang wakil rakyat yang duduk di perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat, sehingga ia disebut Mandataris. Teori ini terbagi atas tiga macam yaitu sebagai berikut : 1. Mandat Interaktif Seorang wakil rakyat yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah yang diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil rakyat tidak boleh bertindak di luar dari perintah. 2. Mandat Bebas Seorang wakil rakyat dapat bertindak tidak tergantung atas perintah dari yang diwakilinya karena wakil telah diberikan kepercayaan. Maka itu dalam merumuskan sikap dan pandangannya seorang wakil tidak terikat lepada yang diwakili. 26 3. Mandat Representatif Seorang wakil rakyat tergabung dalam lembaga perwakilan rakyat, dimana yang diwakili, memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan sehingga wakil tersebut secara individual tidak memiliki hubungan dengan konstituennya.
25
Bintan Regen Saragih, Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia,
Yogyakarta: Perintis Press, 1985, hal.102. 26
Arbi Sanit,op.cit, hal 37
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
5.6. LEMBAGA LEGISLATIF REPUBLIK INDONESIA 5.6.1 Pengertian Lembaga Legislatif Sesuai dengan konsep Trias Politica yang secara garis besar dianut oleh negara Indonesia maka kekuasaan di negara ini terbagi atas tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Seperti yang kita tahu bahwa kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, di tingkat daerah dipegang oleh Pemerintah daerah yaitu gubernur atau walikota. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh MA dan badan peradilan lainnya. Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah dipegang oleh DPRD. Lembaga legislatif di Indonesia yang merupakan bagian yang integral dari struktur politik ini berdasarkan idiologi Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersma-sama Presiden. DPR merupakan hakekat dan eksistensi dari lembaga legislatif Indonesia merupakan pencerminan dari rakyat, unutk rakyat, dan oleh rakyat yang dapat menjamin kesimbungan dan kestabilan politik negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif adalah suatu badan yang berdasarkan sistem ketatanegaraan yang dijamin oleh Konstitusi, dengan tugas pokok untuk membuat Undang-undang. Dan undang-undang yang dibuat oleh legislatif ini akan dilaksanakan oleh eksekutif dan bila terjadi pelanggaran akan diadili oleh yudikatif. 27
5.6.2 Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia A. Volksraad Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini sebagai dampak dari gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya perang dunia I (1914-1918).Volksraad dibentuk pada tahun 1918 oleh Gubernur Jenderal Mr. Graaf van Limburg Stirum. Kaum
27
Ramdlon Naning,S,H, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, ,1982, hal 19. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Nasionalis moderat antara lain Mohammad Husni Thamrin, dll, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka melalui jalan Parlemen.Volksraad sebagai sebuah lembaga di situasi Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik. Pemilihan orang untuk mengisi jabatan volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, dimana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian “wali pemilih” inilah yang berhak memilih sebagian anggota “Dewan Kabupaten”. Kemudian setiap propinsi mempunyai “Dewan Propinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota” di wilayah propinsi tersebut. Sebagian besar anggota “Dewan Propinsi” yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal. Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan. 28 Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Walaupun pada umumnya Volksraad ini tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia karena tidak lebih hanyalah merupakan badan penasehat bagi Gubernur Jenderal. Ia tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen pada umumnya. Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih, serta diadakan sistem pembagian dalam 12 daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia Asli.Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan 28
Ibid, hal 21
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan. 29 B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949) Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum di bentuk. Dengan demikian, Sesuai dengan pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU disamping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain. 30 C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950) Sebagai konsekuensi diterimanya hasil KMB, maka diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi Negara Serikat, sebagaimana dituangkan dalam Konstitusi RIS. Berdasarkan Konstitusi RIS, badan legislatif RIS dibagi menjadi 2 kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. 1. DPR-RIS DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan
perundang-undangan.
DPR-RIS
juga
berwenang
mengontrol
pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama 6 bulan, DPR-RIS berhasil mensahkan 7 buah Undang-undang. 2. Senat-RIS Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing 2 anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS. 29 30
http// www.dpri.go.id Miriam Budiarjo,op.cit.hal 190
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956) Pada tanggal 14 Agustus 1945, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS NKRI (UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam pasal 83 ayat 2 UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti bahwa DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah. 31 Menurut UUDS, DPR dapat menjatuhkan kabinet dan presiden berhak membubarkan DPR. E. DPR Hasil Pemilu 20 maret 1956-22 juli 1959 DPR ini adalah hasil pemilu 1955 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak 272 orang. Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante. Tugas dan wewenang DPR hasil pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda. F. DPR Hasil Pemilu 1955 berdasarkan UUD 1945 (1959-1965) Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI. Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Sehubungan
31
Ibid,hal 190-191
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR. DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat. 32 G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966) Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. 33 DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966. c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966. d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966. Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut. H. DPR-GR dan Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk 2 buah panitia: a. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang
politik.
b. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya. 34 32
Ibid,hal 191-193
33
B.N Marbun, DPR-RI, Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta:Garamedia Pustaka
Utama,1992,hal 124. 34
AM Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi,Jakarta:Penerbit RajaGrafindo
Persada,2004,hal 12. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971 Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas-tugas utama sebagai berikut: 1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 beserta penjelasannya. 2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya. 3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945.35 H. DPR Era Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat pada era reformasi, sama dengan era Orde Baru, tidak lepas dari sasaran kritik dan kecaman masyarakat. Pada era Orde Baru, DPR dianggap sebagai lembaga stempel yang tidak mampu bersikap kritis terhadap rezim otoriter Soeharto. Sedangkan pada era reformasi, DPR seakan berubah menjadi raksasa yang tidak terkontrol. Ia begitu digdaya menjalankan peran-peran kelembagaan. Ia begitu haus dengan kekuasaan. Semua kekuasaan yang selama era Orde Baru menjadi wilayah kekuasaan eksekutif, kini diambil alih atau minimal berbagi dengan parlemen. 36 Peran DPR yang begitu digdaya pada era reformasi pun tidak lepas dari kritik dan kecaman. Dalam berbagai kasus, anggota DPR seakan bergerak dengan rasionalitas kelembagaan yang dimilikinya. Seakan ia betul-betul merasa mewakili konstituennya dan menyuarakan suara rakyat. Padahal, Pemilu 1999 adalah pemilihan untuk mencoblos tanda gambar parpol.
35
Ibid,hal 197 Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi,Jakarta:Garamedia Pustaka Utama,2007,hal 58. 36
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
I. DPR 2004-2009 Ketua DPR RI Agung Laksono mengatakan bahwa DPR RI saat ini masih berada dalam suasana transisi yang diwarnai dengan agenda reformasi, demokratisasi, dan rekontruksi Indonesia dalam membangun Indonesia baru. Untuk itu
DPR periode 2004-2009 telah meletakkan dasar yang baik dan
berharap dapat diteruskan . “Jika periode 2004-2009 saya sebut periode transisi peletakan dasar berdemokrasi dalam parlemen, maka periode 2009-2014 merupakan periode pemantapan”. 37 pada periode pasca reformasi yang dilalui melalui amandemen UUD 1945 telah memberikan kepada Dewan posisi yang sangat kuat didalam menjalankan fungsi-fungsinya. Amandemen
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan
kekuasaan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, juga mengatur adanya lembaga-lembaga negara yang baru dalam sistem kenegaraan dengan pengaturan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Tugas DPR pada periode pemantapan adalah tidak hanya menata dan membangun kembali demokrasi, tetapi harus mengarahkan pelaksanaan tugas konstitusionalnya pada perwujudan stabilitas nasional yang kondusif dan pertumbuhan ekonomi yang mampu memperkuat pondasi perekonomian nasional yang pada akhirnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Masa bakti 2004-2009 dihasilkan oleh pemilihan umum tingkat nasional pada 5 April 2004. Anggota DPR terpilih diambil sumpahnya pada Jumat, 1 Oktober 2004, oleh ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Bagir Manan. Terdapat 16 partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR periode ini. DPR periode ini terdiri atas 550 kursi dan 10 fraksi. 5.6.3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pokok-pokok pembagian kekuasaan di suatu Negara diatur di dalam konstitusi negara bersangkutan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. UUD 1945 sebelum di amandemen menggunakan prinsip pembagian kekuasaan (distribussion of power) diantara lembaga tinggi negara bukan menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Konsekuensi logisnya terjadi 37
http //media indonesia.com-Agung Laksono dalam pidatonya pada Rapat Paripurna DPR
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
saling pengaruh dan tumpang tindih antara kekuasaan satu lembaga dengan lembga lainnya. Sistem semacam itu kemudian menjadi latar belakang terbentuknya UU Nomor 22 thn 1999 dimana kewenangan menetapkan Peraturan Daerah berada di tangan Kepala Daerah, sedangkan DPRD memiliki hak unutk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah. 38 Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Eksekutif Daerah (BED) meliputi Kepala Daerah dibantu seorang wakil dan perangkat daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan Badan Legislatif Daerah (BLD) adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan alat-alat kelengkapannya yang terdiri dari pimpinan, komisi dan panitia-panitia. 39 Adapun beberapa penjelasan tentang DPRD adalah sebagai berikut : 1.
DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan sarana unutk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
2.
DPRD sebagai badan legislative daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.
3.
Keanggotaan DPRD dan julah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4.
Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi dan panita-panitia.
5.
DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD. 40
5.6.4. Fungsi DPRD Ada beberapa fungsi DPRD yaitu: - Fungsi Legislasi : Diwujudkan dalam membentuk Peraturan Daerah bersama Kepala Daerah. - Fungsi Pengawasan : Diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama Pemerintah Daerah. 38
Dr.Sadu Wasistiono,M.S, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Bandung:Alqaprint, ,2001, hal 18. 39 Ibid.hal 19 40 Ibid,hal 3 Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
- Fungsi Budgeting (penganggaran) : Diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan analisis, yaitu suatu metode dalam meneliti suatu objek, kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa yang terjadi di masa sekarang. Menurut Whitney, Metode Deskriptif adalah pencarian fakta interprestasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat dan tatacara yang berlaku dalam masyarakat, serta hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan dan proses yang sedang berlangsung juga pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 41 6.2. Lokasi Penelitian Lokasi tempat penelitian ini akan dilakukan adalah di DPRD Provinsi Sumatera Utara yang beralamat di Jalan Imam Bonjol, Medan, Sumatera Utara. 6.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dan informasi berdasarkan fakta maka penulis akan menggunakan : a.
Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku-buku, artikel maupun undang-undang yang berhubungan dengan penelitian ini.
b.
Penelitian Lapangan ( Field Research ) yaitu pengumpulan data dengan dialog ataupun wawancara dan terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Data-data yang dimaksud adalah data tentang DPRD Provinsi Sumatera Utara dan penulis akan melakukan wawancara dengan anggota perempuan DPRD periode 2004-2009.
41
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta 1998.hal 64
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
6.4.Teknik Analisa Data Untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Untuk analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka. Dalam penelitian kualitatif ini juga penulis tidak mencari kebenaran dan moralitas tetapi lebih kepada upaya pemahaman. 42 6.5.Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini kan dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup. BAB I : Pendahuluan Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Profil DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada bab ini akan memaparkan penjelasan tentang profil DPRD Provinsi Sumut, tugas, hak, deserta struktur pimpinannya. BAB III : Kajian dan Analisis Data Tentang Rekrutmen perempuan dan Dampaknya Terhadap Kualitas Parlemen Pada bab ini akan dianalisis proses rekrutmen perempuan untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara dan menjelaskan tentang peranan perempuan di DPRD dilihat dari fungís-fungsi yang dijalankan. BAB IV : Penutup Bab ini akan berisi beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan penelitian yang dilakukan.
42
Lexy.J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung :Remaja Karya, 1990.Hal.108.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
BAB II Profil Dan Susunan Keanggotaan DPRD Provinsi Sumatera Utara 1. Profil DPRD Provinsi Sumatera Utara 1.1 Sejarah Pembentukan Badan Legislatif Daerah Negara Indonesia adalah negara kesatuan, gagasan ini diterangkan secara jelas dan konkrit dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam setiap ketentuan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Unruk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan social untuk seluruh rakyat Indonesia, Republik Indonesia dibagi dalam beberapa daerah. Pembagian tersebut adalah konsekuensi logis dari sistem pemerintah yang desentralistis dan demi kemudahan manajemen pemerintahan mengingat luas daerah yang jumlah penduduk yang banyak. Maka itu dalam Pasal 18 UUD 1945 merumuskan :” Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan oleh undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Pasal 18 UUD 1945 ini menjadi landasan pembentukan pemerintah daerah yang akan diatur dengan undang-undang bahwa daerah-daerah yang dimaksud akan bersifat otonom dan akan memiliki badan perwakilan daerah yang dalam perkembangannya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD), serta pemerintahan di daerah yang berdasarkan permusyawaratan. 43 Namun sistem seperti ini memberikan konsekuensi logisnya terjadi saling pengaruh dan tumpang tindih antara kekuasaan satu lembaga dengan lembaga lainnya. Sistem semacam itu kemudian menjadi latar belakang terbentuknya UU 43
B.N, Marbun, DPR-RI, Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,1992, hal 9-10
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
No. 22 thn 1999 dimana kewenangan menetapkan Peraturan Daerah berada di tangan Kepala Daerah, sedangkan DPRD memiliki hak untuk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah. 44 Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Eksekutif Daerah (BED) meliputi Kepala Daerah dibantu seorang wakil dan perangkat daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan Badan Legislatif Daerah (BLD) adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan alat-alat kelengkapannya yang terdiri dari pimpinan, komisi dan panitia-panitia. 45 Adapun beberapa penjelasan tentang DPRD adalah sebagai berikut : 6.
DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan sarana unutk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
7.
DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.
8.
Keanggotaan DPRD dan julah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9.
Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi dan panita-panitia.
10.
DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD. 46
1.2. Sejarah Singkat Mengenai DPRD Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara dibentuk pada tanggal 15 April 1948 berdasarkan Undang-Undang No.10 tahin 1948. provinsi ini meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli Utara. Pembentukkan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan juga surat keputusan DPRD Tingkat I Sumatera Utara No.19 Tahun 1973 pada tanggal 13 Agustus yang ditetapkan sebagai hari jadi provinsi daerah tingkat I Sumatera Utara. Sebelumnya berdasarkan surat penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPPKI) tanggal 19 Agustus 1945, Sumatera Utara menjadi sebuah propivinsi dan daerah administrasi. Kemudian dibentuk Komite Nasional 44
Dr.Sadu Wasistiono,Op.Cit hal 18 Ibid.hal 19 46 Ibid,hal 3 45
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Daerah(KND) yang kedudukannya diatur melalui Maklumat Gubernur Sumatera Utara tanggal 12 April 1946 No.2/MGS yang isinya sesuai dengan UU No.1 tahun 1945, Dalam maklumat tersebut ditetapkan bahwa KND dibentuk di provinsi dan keresidenan, sehingga provinsi dan keresidenan itu menjadi kota otonom. Daerahdaerah tersebut memiliki DPRD yang mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam sidang pada tanggal 17-19 April 1946 di Bukit Tinggi, DPRD Sumatera Utara secara sub administratif dibagi dalam sub propinsi, yaitu : - Sub Provinsi Sumut yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli - Sub Provinsi Sumatera Tengah meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau - Sub Provinsi Suamatera Selatan meliputi Keresidenan Bangka, Belitun, Lampung, dan Palembang. Tiap Sub Provinsi dikepalai oleh seorang Gubernur Muda yang bertindak sebagai koordinator dari Keresidenan. Kepemimpinan Gubernur Muda di setiap sub provinsi berjalan terus sebagai suatu daerah administratif yang dalam prakteknya mengatur rumah tangganya masing-masing. Pada tanggal 13 Desember 1948 untuk pertama kalinya dilantik anggota DPRD tingkat I Sumatera Utara yang bertempat di Tapak Tuan. Anggotanya berasal dari sub provinsi terdahulu.
1.3. Gambaran Umum Tentang DPRD Provinsi Sumatera Utara 1.3.1. Hak DPRD DPRD mempunyai beberapa hak-hak tertentu yaitu sebagai berikut : -
Hak interpelasi
-
Hak angket
-
Hak mengajukan pernyataan pendapat
1.3.2. Hak Anggota DPRD - Mengajukan rancangan Perda - Mengajukan pertanyaan - Menyampaikan usul dan pendapat Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
- Memilih dan dipilih - Membela diri - Imunitas - Protokoler - Keuangan dan administratif. 47 1.3.3. Tugas DPRD 1. Membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala daerah untuk mencapai tujuan bersama 2. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama dengan Kepala Daerah 3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, Anggaran Pendapatan
dan
Belanja
Daerah,
kebijakan
Pemerintah
Daerah dalam
melaksanakan Program Pembangunan Daerah, dan Kerjasama Internasional di daerah 4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Gubernur 5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah 6.
Meminta
laporan
pertanggungjawaban
Kepala
Daerah
dalam
pelaksanaan tugas desentralisasi. 48 1.3.4. Komisi DPRD Dengan banyakya variasi verja dan kompleksitas tugas-tugas DPRD, maka untuk melaksanakan mekanisme verja yang lebih optimal maka DPRD dibagi dalam komisi-komisi. Komisi yang ada di DPRD adalah sebagai berikut :
47
48
UU No.32 Thn 2004 Pasal 44 ayat 1 Tentang pemerintahan Daerah Tatib DPRD Periode 2004-2009
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
•
Komisi A : Meliputi bidang pemerintahan dan keamanan yaitu ketertiban, kependudukan, kebakaran, penerangan, perundangundangan, perizinan, agraria, pariwisata, pos dan telekomunikasi.
•
Komisi B : Meliputi bidang keuangan, yaitu perpajakan, perbankan, perusahaan daerah, dan preusan patungan.
•
Komisi C : Meliputi bidang perekonomian, yaitu distribusi, perindustrian, pertanian, koperasi, perikanan, peternakan, kehutanan.
•
Komisi D : Meliputi bidang pembangunan, yaitu pekerjaan umum, tata kota, pertamanan, kebersihan, dan perhubungan.
•
Komisi E : Meliputi bidang kesejahteraan rakyat, yaitu perburuhan atau tenaga verja, pendidikan, kepemudaan, olah-raga, agama, kebudayaan, sosial, dan kesehatan. 49
Panitia-Panitia Tetap Di DPRD Panitia-panitia tetap di DPRD adalah kelengkapan dewan yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam menyelesaikan tugas-tugas DPRD. Pembentukan panitia ini merupakan konsekuensi logis dari tugas DPRD yang terus ada tetapi tidak secara periodik. Adapun jenis panitia tetap yang terdapat pada DPRD yaitu: •
Panitia Musyawarah
•
Panitia Anggaran
•
Panitia Khusus
1. Panitia Musyawarah Secara teoritis, segala sesuatu yang mencakup persoalan besar yang akan dibahas dan diputuskan DPRD, pertama kali akan diputuskan dalam panitia musyawarah. Namun fungsi panitia musyawarah telah bergeser yaitu hanya untuk menentukan jadwal pembahasan rancangan peraturan daerah, dan sidang paripurna dewan.
49
B.N, Marbun, op.cit,hal 99-100
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Selain fungsi tersebut, panitia musyawarah memiliki tugas sebagai berikut: -
memberi pertimbangan atau saran kepada pimpinan dewan tentang penetapan acara DPRD
-
memutuskan apabila timbul perbedaan pendapat di DPRD
-
Memberi saran-saran atau pertimbangan kepada pimpinan DPRD untuk melancarkan segala pembicaraan berdasarkan atas musyawarah mufakat.
-
Bermusyawarah dengan kepala daerah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan penetapan acara dewan serta pelaksanaannya, apabila hal ini dianggap perlu oleh DPRD atau bila diminta oleh kepala daerah.
2. Panitia Anggaran Keterlibatan panitia anggaran DPRD dalam membahas anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan perealisasian hak anggaran yang dimiliki DPRD. Panitia anggaran dapat berperan besar dalam menentukan jumlah dan proporsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terutama yang berkaitan dengan biaya pembangunan. Adapun perincian tugas panitia anggaran adalah sebagai berikut: -
memberi saran-saran untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan nota keuangan daerah yang disusun oleh kepala daerah.
-
Membantu kepala daerah dalam menyusun nota perubahan atas RAPERDA mengenai RAPBD.
-
Memberikan pendapat lepada DPRD mengenai nota keuangan dan RAPBD yang oleh kepala daerah disampaikan kepada DPRD. 50
3. Panitia Khusus Dalam menangani tugas khusus atau menyelesaikan sesuatu permasalahan tertentu, DPRD membentuk satu atau beberapa panitia khusus yang juga merupakan alat kelengkapan DPRD. Satu panitia khusus 50
Ibid,hal 103
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
dibentuk hanya untuk satu periode. Panitia ini dapat dibentuk oleh pimpinan dewan setelah mendengar pertimbangan dari panitia musyawarah. Keanggotaan panitia khusus minimal terdiri atas tiga orang termasuk seorang ketua yang ditetapkan pimpinan DPRD. Adapun fungsi panitia khusus ini adalah sebagai berikut: -
Menampung persoalan-persoalan mendesak yang meliputi bidang dan tugas kewajiban beberapa komisi.
-
Menyelesaikan beberapa masalah antara lain mengenai rancangan peraturan daerah yang perlu segera mendapat penyelesaian.
-
Meninjau persoalan-persoalan yang meminta penelitian secara khusus.
-
Merumuskan rancangan peraturan tata tertib DPRD.
Panitia khusus wajib menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh pimpinan dewan dengan menyampaikan hasil pekerjaannya secara tertulis. 51
2. SUSUNAN KEANGGOTAAN DPRD PROVINSI SUMATERA UTARA 2.1. Partai Yang Memperoleh Kursi Di DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 1. Partai Golongan Karya( GOLKAR)
: 19 kursi
2.Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan ( PDI-P) : 13 kursi 3. Partai Persatuan Pembangunan ( PPP )
: 8 kursi
4. Partai Demokrat
: 10 kursi
5. Partai Keadilan Sejahtera ( PKS )
: 8 kursi
6. Partai Amanta Nasional ( PAN )
: 8 kursi
7. Partai Damai Sejahtera ( PDS)
: 6 kursi
8. Partai Bintang Reformasi ( PBR)
: 5 kursi
9. Partai Bulan Bintang ( PBB)
: 3 kursi
10. Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB)
:1 kursi
11. Partai Patriot Pancasila
: 1 kursi
12. Partai Buruh Sosial Demokrat
: 1 kursi
51
Ibid, hal 104
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
13. Partai Pelopor
: 1 kursi
14. Partai Nasional Benteng Kemerdekaan ( PNBK) : 1 kursi Dan jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2004-2009 adalah 85 orang dimana 79 orang adalah laki-laki dan 6 orang perempuan.
2.2. Fraksi-Fraksi yang Ada di DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2004-2009 Berdasarkan Keputusan pimpinan sementara DPRD Provinsi Sumatera Utara No.2/KPS/2004 yang dibacakan oleh Sekretaris DPRD Provinsi Sumatera Utara, Nurdin Lubis, jumlah fraksi di DPRD Sumatera Utara periode 2004-2009 ada 9 fraksi dan masing-masing berdasarkan urutan jumlah kursi terbanyak,yaitu: 1. Fraksi Partai Golkar 2. Fraksi PDI-P 3. Fraksi PPP 4. Fraksi Partai Demokrat 5. Fraksi PKS 6. Fraksi PAN 7. Fraksi PDS 8. Fraksi PBR 9. Fraksi Gabungan dari 5 partai yang berbeda.
2.3. Ketua DPRD Provinsi Sumatera Periode 2004-2009. Dalam periode ini, jabatan ketua DPRD mengalami pergantian sebanyak tiga kali. Pertama, jabatan sebagai Ketua DPRD jatuh kepada H. Abdul Wahab Dalimunte,S.H dari Fraksi Golkar yang berhasil mendapatkan sebanyak 51 suara dari 83 anggota DPRD yang hadir pada acara pemilihan tersebut pada tanggal 8 Oktober 2004. Kemudian pada tanggal 13 November 2008, terpilih Drs. Aziz A. Angkat, MAP dari Fraksi Golkar untuk menggantikan H.Abdul Wahab Dalimunte sebagai Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara yang mengundurkan diri. Dengan
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia ini, Drs. Aziz A. Angkat berhasil mendapatkan 61 suara dari 76 anggota DPRD yang hadir. Tetapi Drs. Azis A. Angkat wafat dalam tragedi demonstrasi anarkis yang mendukung pembentukkan Propinsi Tapanuli Utara pada tanggal 3 Februari 2009. Maka itu DPRD kembali mengadakan pemilihan untuk mengisi jabatan ketua DPRD. Dan pada tanggal 15 April 2009, terpilihlah Dra.Hj. Darmataksiah. YWR dari Fraksi Golkar sebagai Ketua DPRD Sumatera Utara untuk sisa masa bakti 2004-2009. Terpilihnya Dra.Darmataksiah cukup fenomenal karena beliau menjadi Ketua DPRD perempuan pertama di Sumatera Utara dan menjadi satu satunya politisi perempuan di Sumatera Utara yang berhasil menjadi Ketua DPRD.
2.4. Struktur Pimpinan Dan Keaggotaan Fraksi di DPRD Provinsi Sumatera Utara 1. Fraksi Partai Golkar Ketua
: H. Amas Muda Siregar,S.H
Wakil Ketua
: Ir.H. Sujarwono
Sekretaris
: Drs. H. Nurdin Ahmad
Anggota
:
1. H. Marzuki 2. H.Syahrul M. Pasaribu 3. H.M. Zaki Abdullah 4. Drs. H. Mahmudin Lubis 5. H. Soedjono Humardhani.,S.E 6. Dr. H.M. darwin Harahap,S.E 7. Dra.Hj. Darmataksiah,YWR 8. Zaman Gomo Mendrofa 9. Drs. Pangihutan Siagian 10. H. Syukran J. Tandjung, S.E 11. Hj. Apriani Hakim Nasution, S.E 12. Drs. H. Hasnan Said Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
13. Ir.G.M. Chandra Panggabean 14. Drs. H. Abdul Muis Dalimunthe 15. H.M Hanafiah Harahap,S.H
1. Fraksi PDI-P Penasehat : 1. Ir. Taufan Agung Ginting 2. Jhon Eron Lumbangaol, S.E 3. Ir. Ramses Simbolon, M.Sc Ketua
: Eddi Rangkuti
Wakil Ketua : 1. Syamsul Hilal 2. Efendi Naibaho Sekretaris
: Analisman Zalukhu,S.Sos, M.Sp
Wakil Sekretaris : Isrok Anshari Siregar Bendahara : Ir. Yantoni Purba,MM Anggota : 1. Japorman Saragih 2. Zakaria Bangun,S.H,M.H 3. Drs. Budi Mulia Bangun 4. Budiman P. Nadapdap, S.E 5. Elbiner Silitonga,MBA
3. Fraksi PPP Penasehat
: H. Ali Jabbar Napitupulu
Ketua
: Drs. H. Rijal Sirait
Sekretaris
: Drs. H. Banuaran Ritonga
Anggota : 1. Drs. H. Yulizar Parlagutan Lubis 2. Apriadi Gunawan,S.S 3. Drs. Abdul Hasan Harahap 4. Dra. Fitri Siswaningsih 5. Ahmad Hosen Hutagulung S.Ag Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
6. Fadly Nurzal S.Ag 7. Ir. Bustinursyah, Msc.IAI 8. Fahrizal Dalimunthe S.Ag
4. Fraksi Demokrat Penasehat
: H. Mutawali Ginting
Ketua
: Drs. H. Rahmat P. Hasibuan
Wakil Ketua
: Akmal Samosir, S.Ag
Sekretaris
: Belly Simanjuntak
Wakil Sekretaris
: Dra. Ristiawati
Bendahara
: Azwar A. Husin
Anggota : 1. Drs.H.Hasbullah Hadi, S.H.S.Pn 2. Drs. Achmad Ikhyar Hasibuan 3. Hj. Wardaty Nasution,BA 4. Alizisokhi Fau, S.Pd 5. Ir. Harman Manurung 6. Ir. Edison Sianturi
5. Fraksi PKS Penasehat
: H.Muhammad Nuh,S.Pdi
Ketua
: Sigit Promino Asri, S.E
Wakil ketua
: H. Arifin Nainggolan, S.H. M.Si
Sekretaris
: Heriansyah
Bendahara
: Zulkarnain, S.T
Anggota : 1. H. Hidayatullah, S.E 2. Timbas M. Tarigan, A.Md 3. Hj.Riri Kartini Bertauhid
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
6. Fraksi PAN Penasehat
: H. Azwir Sofyan
Ketua
: Drs. H. Ibrahim Sakty Batubara, MAP
Wakil Ketua
: Ir. Kamaluddin Harahap, Msi
Sekretaris
: Drs. Parluhutan siregar
Wakil Sekretaris
: Abdul hakim Siagian, S.H,M.Hum
Anggota
: 1. Rafriandi Nasution, S,E 2. H. Isfan F. Fachruddin, S.E,MT 3. Usman Hasibuan, S.Ag
7. Fraksi Partai Damai Sejahtera Ketua
: Dr.(HC) Drs. Toga Sianturi, MA
Wakil Ketua : Ir. Sahat H. Situmorang Sekretaris
: Petrus Sihombing, S.th
Anggota
: 1. Ir. Tonnies Sianturi 2. Drs. Burhanuddin Rajagukguk 3. Drs. Penyabar Nakhe 4. Sobambowo Bu’ulolo 5. Rinawati Sianturi
8. Fraksi PBR Ketua
: H. Raden Muhammad Syafi’i, S.H
Wakil Ketua : Drs. Mursito Kabu Kasuda Sekretaris
: Ir. Tosim Gurning
Anggota :
1. Drs. Asyirwan Yunus 2. Wira Abdi, S.Si
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
2.5. Struktur Keanggotaan Komisi-Komisi Di DPRD Provinsi Sumatera Utara 1. Komisi A Ketua
: Zakaria Bangun, S.H, M.H
Wakil Ketua : Drs. H. Hasnan Said Sekretaris
: Ir. Edison Sianturi
Anggota : 1. H.M. Zaki Abdullah 2. Zaman Gomo Mendrofa 3. Drs. H.M. Darwin Harahap, S.E 4. Syamsul Hilal 5. Ir. Ramses Simbolon,M.Sc 6. Drs. Ahmad Ikhyar Hasibuan 7. Dra. Fitri Siswaningsih 8. Akman Daulay, S.E, MM 9. Sigit Pramono Asri, S.E 10. Heriansyah 11. Abdul Hakim Siagian, S.H, M.Hum 12. Ir. Marasal Hutasoit 13. Raden Muhammad Syafi’i, S.H
2. Komisi B Ketua
: Drs. H. Mahmuddin Lubis
Wakil Ketua
: Belly Simanjuntak, S.H
Sekretaris
: Ir. Taufan Agung Ginting
Anggota : 1. H. Syahrul M. Pasaribu 2. Drs. H. Rusli Batubara 3. Hj. Apriani Hakim Nasution, S.E 4. Drs. Budi Mulia Bangun 6. Azwir A. Husin 7. Ahmad Hosen Hutagalung, S.Ag Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
8. Timbas Tarigan, A.Md 9. Hj. Riri Bertauhid 10. Ir. Kamaluddin Harahap, M.Si 11. Ir. Tosim Gurning 12. H. Azwir Sofyan 13. Drs. Penyabar Nakhe
3. Komisi C Ketua
: Drs. H. Yulizar Parlagutan Lubis
Wakil Ketua : Isrok Anshari Siregar Sekretaris
: H. Andjar Amry, S.H
Anggota :1. H. Amas Muda Siregar, S.H 2. H.M Hanafiah harahap, S.H 3. H. Soedjono Humardhani, S.E 4. Eddi Rangkuti 5. Ir. Harman Manurung 6. Dra. Ristiawati 7. Ir. Bustinursyah, M.Sc,IAI 8. H. Hidayatullah, S.E 9. Rafriandi Nasution, S.E, MT 10. Petrus Sihombing, S.Th 11. Ir. Sahat Haodjahan Situmorang
4. Komisi D Ketua : Sobambowo Bu’ulolo Wakil Ketua : Analisman Zalukhu, S.Sos, MSP Sekretaris
: Ir.H. Suwarjono
Anggota
:1. Drs. Hj. Darmataksiah, YWR 2. Drs. H. Nurdin Ahmad 3. H.M. Marzuki 4.Ir. Yantoni Purba,MM
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
5. Elbiner Silitonga, MBA 6. H. Mutawalli Ginting 7. Drs. H. Rahmad P. Hasibuan 8. Akmal Samosir, S.Ag 9. H. Fadly Nurzal, S.Ag 10. Drs. H. Rijal Sirait 11. Ir. Tonies Sianturi 12. Drs. Asyirwan Yunus 13. Ir. Harman Manurung 14. Drs. H. Ibrahim Sakty Batubara, MAP 15. H. Isfan F. Fachruddin, S.E,MST
4. Komisi E Ketua : Budiman P. Nadapdap, S.E Wakil Ketua : Dr(HC) Drs. Toga Sianturi,MA Sekretaris
: H. Syukran J. Tandjung, S.E
Anggota :
1. Drs. H. Abdul Muis Dalimunthe 2. Drs. T.M.H. Sinaga 3. Jhon Eron Lumbangaol, S.E 4. Efendi Naibaho 5. Aliozisokhi Fau, S.Pd 6. Palar Nainggolan, S.H 7. Drs. Abdul hasan Harahap 8. Apriadi Gunawan, S.S 9. H. Muhammad Nuh, M.SP 10. Mhd. Darwis Batubara, S.Pd 11. Drs. Parluhutan Siregar 12. Usman Hasibuan, S.Ag 13. Rinawati Sianturi 14. Drs. Mursito Kabukasuda
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
BAB III ANALISIS PERANAN REKRUTMEN TERHADAP PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PARLEMEN 1. Fungsi Partai Politik Dalam Parlemen Definisi partai politik menurut Undang-Undang No.31/2002 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 2/1999 adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan citacita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Di antara banyak fungsi parpol dalam sistem demokrasi, ada lima yang sangat penting, yaitu: - Mengagregasikan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dari berbagai kalangan masyarakat. - Menjajaki, membuat, dan memperkenalkan kepada masyarakat platform pemilu parpol mereka. - Mengatur proses pembentukan kehendak politik dengan menawarkan alternatifalternatif kebijakan yang lebih terstruktur. - Merekrut, mendidik, dan mengawasi staf yang kompeten untuk jabatan publik dan untuk menduduki kursi di parlemen. - Memasyarakatkan, mendidik, serta menawarkan kepada anggota-anggotanya saluran mana yang efektif bagi partisipasi politik mereka sepanjang masa pemilu.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Salah satu problematik partai-partai politik di Indonesia dewasa ini adalah belum terlembaganya partai sebagai organisasi modern. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik, adalah proses pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. suatu sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik. 52 Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalu jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan dari jalanan ke dalam partai politik. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru di mobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi partai yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik. Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi-fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap masyarakat. Diantara fungsi partai terhadap negara adalah jaminan menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya kekuatan kontrol (oposisi) terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sementara fungsi partai politik terhadap masyarakat, antara lain, adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilainilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman.
52
http//www.parlemen.net
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Partai politik juga belum memberikan pendidikan politik yang baik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang demokratis sehingga menghasilkan kader kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan. Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya pola partai kader. Dalam sejarahnya sebagian besar partai di Indonesia belum terbiasa dengan pengembangan partai kader. Partai politik cenderung tergoda untuk membangun partai massa yang memiliki ciri-ciri: hanya sibuk menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar sekaligus berarti tidak memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang ketat, tidak memiliki sistem pengembangan kaderisasi dan kepemimpinan yang kuat. Partai massa memiliki kelemahan menyangkut kurang intensifnya kerja partai. Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti. Padahal, partai politik semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan rakyat. Ini membuat partai tidak memiliki program yang jelas dalam hal bagaimana melakukan pendidikan politik bagi masyarakat, melakukan artikulasi kepentingan, melakukan agregasi kepentingan, dan membangun sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah. Partai politik seolah hanya terfokus pada fungsi rekrutmen politik dan sekaligus hanya sibuk mengumpulkan massa bila mendekati pemilu. Keanggotaan yang terlalu longgar pada partai massa akan menyebabkan partai politik sering kali gagal membangun kader-kader berdedikasi kuat sekaligus memiliki karakter, sehingga tidak jarang kita melihat anggota partai yang tidak memiliki disiplin atau mungkin pengurus partai yang dengan mudahnya pindah ke partai politik lain.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
2. Fungsi Partai Politik Terhadap Keterwakilan Perempuan di Parlemen. Berbicara tentang keterwakilan perempuan di parlemen (badan legislatif pusat atau daerah), sesungguhnya sama saja dengan berbicara tentang peran dan posisi perempuan dalam dunia politik di Indonesia. Kemudian, pembicaraan itu selalu terkait dengan proses pemilu, rekrutmen partai politik, dan Undang-Undang Pemilu serta Undang-Undang Politik. Berangkat dari masalah peran dan posisi politik perempuan itu, maka terdapat dua agenda yang sangat sensitif yaitu: 1) Konstruksi tentang peran dan posisi perempuan dalam sejarah politik dan parlemen di Indonesia yang selalu ditempatkan di kelas dua 2) Konstruksi tentang partai politik dan institusi parlemen di Indonesia yang sangat maskulin. Dua masalah ini juga akan menjadi halangan bagi perjuangan atau gerakan perempuan, baik secara politik maupun kultural. Dengan kata lain, dua masalah ini pun telah menjadi pisau bermata dua bagi gerakan perempuan Indonesia di arena politik dan parlemen.. Bila dikaitkan dengan keterwakilan perempuan di dalam partai politik dan parlemen, maka dapat disimpulkan bahwa perjuangan perempuan di sini merupakan perjuangan untuk mencapai hubungan antarsesama manusia termasuk hubungan laki-laki dan perempuan yang bersifat emansipatoris-partisipatif dalam kegiatan politik dan kebijakan negara. Perempuan Indonesia sudah memiliki hak dipilih ataupun memilih dan kuantitasnya sekitar 50%
lebih dari total penduduk
Indonesia, tetapi
perwakilannya hanya 8,8% di DPR dan 8,6% di MPR. Kedua, institusi politik dan proses yang mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan sangat terbatas. Ketiga, RUU Pemilu dan RUU Partai Politik merupakan media untuk mencapai agenda strategis yaitu penerapan kuota perempuan (minimal 30% dari total perempuan) dalam proses rekrutmen partai politik dan pencalonan anggota partai politik untuk badan legislatif saat pemilu.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Walaupun ada peluang bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik, khususnya menjadi calon legislatif, tetap saja kesempatan tersebut bergantung kepada pimpinan partai politik. Pimpinan-pimpinan partai politik tersebut memegang kekuasaan untuk menetapkan nomor urut calon legislatifnya. Pasal 67 ayat (1) berbunyi : “Calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan partai politik peserta pemilu merupakan hasil seleksi secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal parpol” Alasan lain ialah RUU Partai Politik dapat mengatur soal jaminan atas keterwakilan perempuan yang harus dilakukan secara internal oleh partai politik yaitu melalui platform atau AD/ART, rekrutmen, kaderisasi atau pendidikan politik dan secara eksternal melalui UU Partai Politik dan RUU Pemilu dapat mengatur sistem pemilihan proporsional terbuka sehingga yang dipilih oleh pemilih adalah individu-individu dari setiap partai politik yang mencalonkannya sebagai kandidat legislatif. Melalui sistem pemilu proporsional terbuka inilah peluang perempuan akan terbuka lebar karena para pemilih dapat menakar langsung kualitas para kandidat laki-laki maupun perempuan yang akan dipilihnya. Jadi, selama anggota legislatif masih berasal dari parpol, keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali kepada kesungguhan dan political will dari parpol dan segenap jajaran elitenya. Berapa pun persentase keterwakilan perempuan dalam politik juga harus didasari pertimbangan rasional dan strategis, seperti kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, dan pengalaman yang relevan, dan visi serta misi yang sejalan dengan parpol. 53 Representasi perempuan dalam politik melalui para politikus perempuan jelas suatu kemajuan peradaban. Namun, perlu dicatat bahwa representasi politik tidak harus selalu diafirmasi melalui jumlah wakil dalam lembaga politik. Salah satu fungsi partai politik dalam UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik 53
Adinda Tenriangke Muchtar, Analis Politik The Indonesian Institute.Http//Media Indonesia.com.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
adalah “rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan publik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.”. Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum menyebut “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”UU No. 31 tahun 2002 secara tepat mengakomodasi kehendak untuk meningkatkan derajat keterwakilan perempuan. UU ini juga akan meminimasi kemungkinan pratik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi kandidat dalam pemilu. Menurut ibu Darmataksiah yang merupakan Ketua DPRD Sumatera Utara untuk sisa masa bakti 2004-2009 “dengan terpenuhinya kuota, maka akan lebih memudahkan untuk membuat agenda politik perempuan di DPRD dengan keseimbangan jumlah keterwakilan perempuan tentunya juga akan merubah arah kebijakan politik yang lebih berpihak kepada perempuan.” 54 Dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender, diharapkan bahwa partai-partai politik tidak akan mengabaikan isu-isu tentang kepentingan kelompok terutama perempuan, mengingat relatif tertinggalnya kelompok ini dibandingkan laki-laki.
3.Perempuan Dalam Rekrutmen Politik Rekrutmen politik adalah salah satu cara untuk menyeleksi warga negara untuk dijadikan calon-calon pemimpin. Partai politik berperan penting dalam proses ini. Partai politik yang menyeleksi orang-orang yang mempunyai bakat dalam bidang politik,baik dari anggota partai itu ataupun dari asyarakat umum, untuk dicalonkan menjadi wakil rakyat. Fungsi rekrutmen politik begitu penting tidak saja dari segi legitimasi kewenangan, tetapi juga untuk menjamin kualitas kepemimpinan bangsa pada berbagai lembaga kenegaraan di pusat dan di daerah. Agar orang-orang yang direkrut 54
ke dalam berbagai posisi kenengaraan
itu
memiliki kualitas
Hasil wawancara dengan Dra. H. Darmataksiah,YWR.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
kepemimpinan diperlukan untuk melaksanakan jabatan itu, partai politik melakukan kaderisasi kepemimpinan baik dalam visi dan misi perjuangan partai manapun dalam bidang substansi yang sesuai dengan tugas kenegaraan. Tuntutan bagi peningkatan keterwakilan perempuan di Indonesia sudah ramai dibicarakan sejak tahun 1998 setelah turunnya Soeharto dari puncak kekuasaaan rezim Orde Baru. Wacana tersebut sudah berkembang di tahun 1999 ketika negara ini mempersiapkan pemilihan umun pertama di era Reformasi. Dalam Pemilu 1999, untuk pertama kalinya isu mengenai hak-hak perempuan juga dikedepankan dalam kampanye yang berlangsung. Dari sisi keragaman isu dalam kampanye pemilu memang ada kemajuan karena keikutsertaan perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses politik untuk membangun demokrasi di Indonesia. Pada era reformasi ini sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memajukan
kepentingan
perempuan
dan
memperjuangkan
keterwakilan
perempuan dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Partai dan politik adalah wadah yang penting untuk partisipasi politik dalam negara demokrasi. Melalui partai politik, aktivitas rekrutmen dan pendidikan politik dilakukan. Masalah yang strategis untuk dikembangkan ialah mengenai rekrutmen perempuan dalam kepengurusan partai politik. Hal ini sangat penting karena dalam perspektif politik modern, agenda yang konkrit untuk memajukan peran dan kedudukan perempuan Indonesia sudah selayaknya dijadikan salah satu tawaran utama oleh partai politik yang ingin masuk ke parlemen. Kriteria untuk merekrut para kandidat wakil rakyat harus dapat diukur dan transparan. Aturan dan prosedur yang jelas, transparan dan adil gender untuk perekrutan para kandidat termasuk kandidat perempuan. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh partai untuk merekrut anggotanya, adalah sebagai berikut: • Penerapan metode silang-menyilang dalam penyusunan daftar partai. • Salah satu kriteria yang akan dipertimbangkan dalam menyeleksi para kandidat haruslah berupa prinsip kesetaraan gender yang harus bisa diukur dan transparan. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
• Persyaratan dan mekanisme untuk pemilihan para kandidat dalam partai politik harus dinyatakan dengan jelas dalam peraturan. Memperbolehkan orang-orang yang bukan anggota partai menjadi calon anggota legislatif dalam pemilihan umum bias menjadi semacam insentif bagi perempuan unutk maju sebagai calon. 55 Ada beberapa macam pola rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik, yaitu sebagai berikut :1.Partisan, 2.Compartmentalization 3.Immediate Survival 4.Civil Service Reform
3.1. Compartmentalization Konsep ini dalam proses rekrutmen berdasarkan latar belakang pendidikan dan latar belakang sosial sehingga menempatkan seseorang menjadi pengurus partai maupun sebagai calon anggota legislatif. Reformasi politik dan semangat untuk membangun masyarakat madani pada semua undang-undang politik mengamanahkan tentang rekrutmen kepemimpinan nasional baik di tingkat pusat maupun daerah yang harus diproses melalui partai politik dalam pemilu legislatif, Pilkada dan Pilpres. Dengan demikian menjadi kewajiban partai politik untuk mengembangkan kualitas SDM yang handal dan mampu berjuang dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat. 3.2. Partisan Persoalan perempuan direkrut menjadi pengurus partai dan calon legislatif tidak dapat dilepaskan dari loyalitas terhadap partai yang menjadi salah satu indikator yang menyebabkan seseorang dapat diusung untuk menduduki jabatan publik. Pengurus partai yang paling tinggi dedikasi dan loyalitasnya terhadap partai yang disebut kader militan. Mereka sangat aktif, berdisiplin tinggi dan menjadi motor penggerak kegiatan partai. Posisi perempuan memang kurang memungkinkan untuk menjadi pemimpin di partai maupun menjadi kader militan tersebut. Kedudukan mereka tidak 55
Julie Ballington, Perempuan di Parlemen Bukan Sekedar Jumlah, Jakarta, IDEA,2002, hal 93.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
terlepas dari kulitas dan kemampuannya. Maka itu perempuan harus mampu bersaing dengan laki-laki. 3.3. Immediate Survival Proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut. Misalnya dengan adanya faktor hubungan pribadi ataupun hubungan kedekatan dengan pengambil kebijakan di partai. Almond dalam salah satu tulisannya yang berkaitan dengan rekrutmen politik berpendapat bahwa sistem rekrutmen selain ditentukan oleh kriteria yang universal, yakni berdasarkan kemampuan yang ditunjukkan lewat berbagai tes, atau berdasarkan bukti-bukti pengalaman dan prestasi, juga ditentukan oleh kriteria partikularistik. Berdasarkan faktor status atau ikatan primordial (suku, agama, keluarga, almamater) atau berdasarkan status (kebangsawanan). 56 3.4.Civil Service Reform Proses
rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon
sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau tinggi. Partai politik yang demokratis tidak akan diskriminatif dalam merekrut anggota. Dalam merekrut partai politik tidak boleh melakukan perbedaan berdasarkan atribut yang melekat pada diri seseorang antar lain seperti asal-usul, suku, golongan, agama, dan kepercayaan dan jenis kelamin. Jadi untuk menjadi anggota partai, seseorang memang harus benar-benar loyal dan memiliki kemampuan yang memadai. Kaum perempuan sering kali tidak percaya akan kemampuan dirinya sendiri dan tidak siap untuk berkompetisi. Jadi hal inilah yang terkadang membuat keterwakilan perempuan di partai maupun di parlemen rendah. Di DPRD Provinsi Sumatera Utara sendiri, keterwakilan anggota dewan perempuan yang berhasil menjadi dewan sangat sedikit. Ini dibuktikan dengan hasil Pemilu Legislatif 2004 yang diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan 56
Rusli. M. Karim, Perjalanan partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta.1993,hal 132. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota). Hasilnya hanya 5 orang perempuan yang berhasil duduk sebagai anggota dewan dan 79 lainnya adalah laki-laki. Tabel 1 Nama Anggota Dewan Perempuan di DPRD Sumatera Utara Periode 2004-2009. 57 Nama
Partai
1. Hj.Apriani Hakim Nasution, S.E
GOLKAR
2. Dra. Darmataksiah, YWR
GOLKAR
3. Hj. Wardaty Nasution, BA
Demokrat
4. Ristiawati
Demokrat
5. Dra. Fitri Siswaningsih
PPP
6. Hj. Riri Kartini Bertauhid
PKS
Dengan melihat rendahnya keterwakilan perempuan di DPRD periode 2004-2009 ini yang hanya 5 orang, kemusian bertambah 1 orang sebagai anggota PAW menjadi 6 orang membuktikan bahwa belum ada keseriusan partai politik dalam merealisasikan kebijakan kuota 30%.
4.Pengaruh Sistem Pemilu Terhadap Keterwakilan Perempuan Pemilihan umum merupakan manifestasi kongkret dari kedaulatan rakyat. Dalam pemilihan umum rakyat memilih wakil-wakil dalam parlemen untuk kemudian diharapkan dapat memperjuangkan aspirasinya. Pada pemerintahan kota Yunani Kuno pernah dilakukan demokrasi langsung. Artinya hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Pasca perang dunia II atau dalam negara modern sekarang ini akan sulit jika dilakukan pemilihan secara langsung karena masalah ruang, waktu dan biaya. Maka banyak negara yang menganut paham demokrasi dalam pelaksanaan pemilu
57
Sekwan DPRD Sumut
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
memilih menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Setiap sistem pemilihan masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Pemilihan Umum adalah suatu bentuk dari kegiatan partisipasi politik masyarakat untuk ikut menentukan atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi Indonesia harus melakukan pemilu 5 tahun sekali.Pemilu dilakukan untuk mencari dan menentukan caloncalon pemimpin yang akan mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti di DPR,DPRD,DPD juga presiden dan wakil presiden. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil. Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sebagian kalangan menganggap bahwa sebagian penyebab dari kesulitan membangun sistem demokrasi disebabkan karena sistem pemilu dan sistem Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
kepartaian yang diberlakukan dan pola rekrutmen legislatif di Indonesia. Berbagai sistem pemilu yang dikenal, baik proporsional (representasi proporsional/ proportional representation/ PR) maupun distrik/ mayoritas/ pluralitas (pluralitymajority sistem), sebenarnya bisa menjanjikan sistem politik yang demokratis. Artinya, kedua sistem ini bisa memungkinkan check and balance, adanya kontrol rakyat melalui DPR kepada pemerintah, dan adanya pertanggungjawaban politik pemerintah kepada rakyatnya . Sistem distrik sebetulnya sistem tertua yang menjamin pemilih dapat langsung memilih kandidatnya untuk wakil rakyat di unit pemilihan distrik, yang hanya dapat dimenangkan oleh satu kandidat yang mendapat suara terbanyak. Beberapa varian sistem ini adalah: 1. Single member district dengan first-past-the-post (FPTP), kandidat yang memperoleh suara terbanyak, otomatis menjadi wakil terpilih dari unit pemilihan distriknya. 2. Block vote (BV), merujuk pada kandidat-kandidat dalam satu partai tertentu yang meraih suara terbanyak, otomatis akan menjadi wakil terpilih dari unit pemilihan distriknya (multi member district). 3. Alternative vote (AV), pemilih menomori kandidat berdasarkan preferensi yang mereka sukai. Kadidat yang akan memenangkan unit distrik, akan terpilih berdasarkan presentasi 50+1. Keuntungannya adalah akuntabilitas tinggi antara pemilih dan yang dipilih. Namun, kelemahan yang ada adalah cenderung menguntungkan partai politik dan menghapuskan partai politik kecil atau kelompok minoritas termasuk perempuan. Kandidat perempuan umumnya tidak mampu memenangkan kompetisi langsung di pemilu sistem distrik. Dalam sistem representasi proporsional (PR), partai politik menentukan sendiri daftar kandidat di setiap unit pemilihan. Ada beberapa variasi PR antara lain: 1. Reprsentasi proporsional daftar partai (list PR). Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik dalam pemilu. Perolehan kursi didasarkan pada proporsi suara yang mereka peroleh di tingkat nasional. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
2. Single transferable vote (STV), dalam sistem ini pemilih menomori kandidat sesuai dengan urutan preferensi yang mereka sukai. Kandidat yang menang harus memnuhi kuota tertentu. 3. Mixed member proportional (MMP), dalam sistem ini pemilih harus memberikan dua suara. Satu utnuk kandidat yang dipilih berdasar sistem majoritarian/ distrik. Keuntungan sistem PR adalah semaksimal mungkin mengurangi gap antara perolehan suara dengan perolehan kursi. Artinya, prosentasi kursi yang diperoleh partai politik sesuai dengan persentase suara yang diperolehnya. Keuntungan lain, membuka peluang luas bagi keterwakilan kelompok minoritas, partai politik kecil dan perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa negara-negara yang berganti dari sistem distrik ke PR menunjukkan bahwa peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Diantara dua sistem PR dan distrik terdapat sistem yang dikenal semi proportional. Sistem ini berusaha mengkombinasikan keuntungan dari sistem PR dan distrik yang kemudian berkembang menjadi dua tipe: • Single non transferable vote (SNTV), pemilih hanya memilih satu kali tetapi terdapat lebih banyak kursi di distrik yang dapat diisi. Kandidat memperoleh suara tertinggi yang akan menang dan menjadi wakil terpilih di unit dstrik tetsebut. • Parallel system, kombinasi antara daftar representasi proporsional dangan distrik. Sebagian anggota parlemen akan dipilih berdasar PR dan sisanya dengan distrik. Berbeda dengan sistem MMP, kursi PR tidak memberikan kompensasi bagi persoalan disproporsionalitas yang muncul dengan hasil perhitungan sistem distrik. Perkembangan di Indonesia yang amat majemuk dan plural, banyaknya kelompok minoritas yang harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi, adalah memerlukan adanya sistem yang bisa menjembatani dua pertimbangan tesebut. Sistem yang paling mungkin adalah MPP (Multy Member Paliament) sistem campuran proporsional dan distrik untuk pemilihan parlemen, dimana sebagian dari anggota parlemen akan dipilih berdasar sistem distrik dan sebagian dipilih berdasar sistem proporsional. Tujuan utama dari sistem MPP adalah untuk Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
meningkatkan akuntabilitas anggota DPR tanpa menutup kemungkinan adanya proporsionalitas keterwakilan kelompok minoritas, termasuk perempuan. Selama Pemilu di Indonesia diadakan memang
jumlah perempuan yang
duduk di lembaga legislatif meningkat. Seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2 Perempuan di Lembaga Legislatif Periode
Perempuan
%
Laki-laki
%
1955-1960
17
6,3
272
93,7
1956-1959
25
5,1
488
94,9
1971-1977
36
7,8
460
92,2
1977-1982
29
6,3
460
93,7
1982-1987
39
8,5
460
91,5
1987-1992
65
1,3
500
87
1992-1997
62
12,5
500
87,3
1997-1999
54
10,8
500
89,2
1999-2004
46
9
500
91
2004-2009
61
11,69
489
88,9
Sumber: Ani Widyani Soetjipto(www.cetro.com)
5. Perspektif Gender Di DPRD Provinsi Sumatera Utara Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan dan laki-laki, maka dengan demikian mereka memiliki akses, Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, karena gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Seperti yang dikatakan Ibu Ristiawati, anggota Dewan dari Fraksi Demokrat bahwa “ Stereotip gender yang terbangun dalam masyarakat merupakan hasil dari proses sosialisasi, sehingga menghasilkan pembangian peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.” 58 Sejak awal reformasi, pembicaraan tentang keterwakilan politik perempuan makin bergeser dari isu akademik dan gerakan sosial menjadi agenda kerja politik. Adanya ketentuan kuota perepuan di lembaga legislatif dan partai politik menguatkan desakan terhadap partai untuk memberi peluang khusus bagi politisi perempuan. 59 Aksi affirmasi dibutuhkan untuk kuota politik perempuan di parlemen, rekrutmen pejabat politik dan birokrasi yang sensitif gender, konsultasi khusus untuk kalangan perempuan, akses-akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik, dan prioritas anggaran. Aksi afirmatif untuk membangun keterwakilan politik perempuan bukan sekedar keperluan tetapi keharusan.
6. Kendala-Kendala Yang Menyebabkan Representasi Perempuan Di Dewan Perwakilan Rakyat Sangat Rendah Ketika rancangan undang-undang pemilu RI tahun 2003 lagi dibahas untuk menjadi undang-undang pemilu yang belaku bagi pemilu pada tahun 2004, pertanyaan yang muncul apakah sudah terantisipasikan jenis pemilihan umum macam apa, dengan jenis sistem partai apa, yang sesuai dengan jenis tindakan affirmatif yang bagaimana, didalam situasi dan kondisi negara yang bagaimana, sehingga sedikitnya 30 % perempuan Indonesia dapat duduk di parlemen. Pertimbangan-pertimbangan
58 59
ini
sangat
penting
dan
menentukan
dalam
Hasil wawancara dengan Ibu Ristiawati Eep Saefullah Fatah,Perspektif, Gatra no.13,Februari 2009.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
keberhasilan dan tidaknya, karena akan berkonsekuensi kepada tantangan dan kendala yang harus di hadapi. UU Pemilu Tahun 2003 itu menentukan bahwa sistem pemilu 2004 adalah system proporsional terbuka. Di dalam pasal 65 ayat 1 UU Pemilu Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa “Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kuota untuk setuap daerah pemilihannya dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30 persen “. Pasal ini dianggap sebagai pasal setengah hati, karena tidak bersifat mengharuskan parpol melaksanakan ketentuan tersebut dan tidak ada sanksi bagi parpol yang tidak melaksanakannya. Hal ini membuka peluang bagi parpol-parpol yang selama ini didominasi laki-laki untuk mengabaikan aturan itu, dan pada akhirnya, keterwakilan perempuan tetap tidak tercapai. Dalam imlementasi dari UU Pemilu 2003 itu banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi perempuan legislatif (caleg). Setiap partai harus menyertakan perempuan caleg sedikitnya 30% perempuan dalam daftar calon anggota partainya atau non-partainya. Lalu konsekuensi dari sistem pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka membawa konsekuensi yang cukup berat bagi perempuan yang meskipun 30% perempuan caleg dipenuhi, namun tentu perempuan dan juga laki-laki akan terpilih karena rakyat memilih langsung nama calon, bukan lagi partai. Tantangan pertama adalah dari sistem pemilu baru itu sendiri, yaitu dalam hal bilangan pembagi pemilih (BPP), yakni angka pendapatan suara di suatu wilayah dibagi kursi yang diperebutkan. Disini persaingan caleg perempuan akan berat menghadapi sesama perempuan caleg dari partai lain dan dengan caleg laki-laki dalam memperebutkan sedikitnya kursi yang tersedia. Perubahan wilayah pemilihan dan penempatan calon jadi di partai adalah hal lain yang harus di perhatikan karena tidak ada gunanya kalau calon legislatif berada di urutan bawah, sementara kursi yang diperebutkan di suatu daaerah pemilihan hanya tiga. Misalnya caleg perempuan
ditingkat kabupaten/kota harus mendekatkan diri
langsung dengan massa pemilih. Kalau ditingkat propinsi dan pusat peran media massa cukup signifikan dalam membantu caleg memperkenalkan diri kepada Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
masyarakat. Hal ini mengandung kendala dana kampanye yang cukup besar bagi caleg perempuan yang membiayainya sendiri. Sebelumnya caleg suatu partai di haruskan memberikan uang pendaftaran yang akan digunakan sebagai dana kampanye partainya, sejumlah tertentu yang tidak boleh melebihi jumlah yang di tentukan dalam UU Pemilu yaitu seratus juta rupiah, yang bukan merupakan jumlah kecil. Kompetisi di arena kampanye akan sangat keras antar perempuan sendiri mengingat hanya 30%, lalu dengan caleg laki-laki dalam pemilihan terbuka yang mana para laki-laki tidak asing di dunia publik atau politik bagi masyarakat. Di sinilah kepiawaian caleg perempuan diuji, apalagi banyak daerah-daerah yang budaya patriarkhinya sangat kuat dan daya penerimaan terhadap perempuan yang berkiprah di dunia publik sangat rendah. Namun, tantangan yang terberat adalah bagi perempuan caleg dari sesama para perempuan itu sendiri di seluruh Indonesia, dengan beragam budaya politik lokalnya, tingkatan keterkungkungan mereka dalam budaya patriarkhi lokal, tingkat pendidikanya, tingkat pemahaman dan kesadaran akan pentingnya suara mereka terwakili dengan memadai, dan tingkat pandangan mengenai politik itu sendiri. Yaitu menghapus keragu-raguan diantara perempuan sendiri tentang anggapan bahwa politik itu buruk dan kotor. Pemahaman makna dari politik yang berpresfektif perempuan harus di pahami terlebih dahulu, yang menjadi platform bagi dirinya sendiri dalam memperjuangkan perbaikan dan perubahan nasib perempuan Indonesia. Sehingga bisa mengkritisi pandangan umum yang maskulin bahwa politik adalah alat untuk memperoleh kekuasaan, daripada
sebagai
prasarana/sarana untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Sedangkan partai politik adalah salah satu kendaraan arus utama, namun kendaraanya bukan milik pribadi, tetapi milik bersama anggota partainya yang berlaku di sistem pemilu ini, yang mau tidak mau harus diikuti oleh para perempuan Indonesia. Selain hal tersebut, seperti telah dikemukakan di atas, perempuan telah tertinggal dalam mengendarai kendaraan partai politik. Hampir tidak ada (kecuali Megawati) yang pernah menjadi pimpinan partai politik, padahal menurut aturan perundang-undangan salah satu persyaratan sebagai calon Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
legislatif adalah keaktifan calon legislatif. Kedudukan mereka dalam partai hanyalah menjadi anggota biasa, selalu tidak pernah menjadi orang yang diunggulkan. Memang dalam kenyatannya perempuan cerdik atau perempuan teknokrat telah menjabat kedudukan tertentu di lembaga eksekutif dan yudikatif. Mereka adalah pegawai negeri sipil, hal yang tidak memungkinkan mereka masuk dalam lingkaran legislatif. Undang-undang telah menetapkan bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh menjadi anggota partai politik. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa tidak ada perempuan yang dapat memenuhi kualifikasi sebagai calon legislatif. Kuota perempuan ini menimbulkan polemik yang cukup menarik, yaitu mengenai setuju dan tidak setuju adanya kuota tersebut. Khususnya yang tidak setuju, menilai bahwa dengan adalah kuota tersebut menunjukklan bahwa perempuan masih perlu mendapat “jatah” yang ditetapkan undang-undang, bukan karena hasil persaingan dengan sesama calon legislatif laki-laki. Lebih lanjut lagi bahkan ada yang berpendapat bahwa kuota tersebut mengukuhkan kesubordinasi-an kaum perempuan. Dari kaum perempuan sendiri, walaupun menyambut dengan gembira kuota ini, tetapi tetap merasakan bahwa perjuangan masih panjang. Partai politik sendiri tidak terlalu merespon adanya kuota. Selain itu terdapat tujuh alasan, yang oleh Diah Nurwitasari dari partai Keadilan Sejahtera 60, dianggap sebagai keengganan perempuan mengajukan diri sebagai calon legislatif yaitu : 1. Kurangnya dukungan secara penuh dari partai politik yang bersangkutan. 2. Tuntutan kualitas pada caleg perempuan lebih ditonjolkan. 3. Selama ini masyarakat selalu menyaksikan prilaku politik yang cenderung brutal, kurang beradab, serta kotor. 4. Dengan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2004, perempuan bakal calon bukan hanya harus berjuang agar namanya masuk di dalam daftar jadi partainya, tetapi harus berada pada urutan pertama atau kedua dalam daftar calon. Alasannya, Pasal 107 (2) UU Pemilu 2003 menyebutkan bahwa: 60
Makalah Imas Rosidawati WR, S.H, M.H, Keterwakilan Perempuan Di DPRD, Kesiapan Partai Politik dan Perempuan Indonesia Di Arena Politik Praktis, 2008.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
a) Nama calon yang mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP, jumlah suara dibagi kursi yang diperebutkan) ditetapkan sebagai calon terpilih b) Nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan bersangkutan. 5. Perempuan menghadapi dua tahap yakni tahap penentuan bakal caleg
merupakan titik kritis untuk terpenuhinya jumlah 30% perempuan di parlemen, serta tahap pemilihan yang notebene dibutuhkan kemampuan berkompetensi dengan laki-laki. 6. Dana kampanye.
7. Kendala lain yang akan dihadapi perempuan setelah lolos menjadi calon legislatif partai adalah besarnya daerah pemilihan. Salah satu kendala yang akan dihadapi perempuan caleg adalah besarnya daerah pemilihan. Semakin kecil kursi yang diperebutkan di suatu daerah pemilihan, semakin kecil perempuan akan terpilih. Sebaliknya, semakin besar daerah pemilihan, semakin besar peluang perempuan caleg untuk terpilih asalkan kandidat perempuan ini berada pada nomor urutan jadi. Menurut anggota dewan perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Sumatera Utaea periode 2004-2009 memang banyak kendala yang dihadapi perempuan untuk masuk dalam politik apalagi menjadi anggota legislatif. Seperti yang di katakan Ibu Ristiawati bahwa kendala yang dihadapi perempuan dalam politik dikarenakan adanya dominasi laki-laki akibat bias gender dari sistem politik dan sistem patriarki yang ada dalam budaya masyarakat Indonesia. 61
7. Kinerja Anggota Dewan Dalam Perlaksanaan Fungsi Parlemen Berbicara tentang parlemen khususnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maka harus melihat pada fungsi dari parlemen tersebut yaitu fungsi legislasi (pembuatan undang-undang atau perda), fungsi pengawasan (kontrol terhadap pihak eksekutif) 61
dan fungsi anggaran ( Menyusun APBD). Hal ini
Hasil wawancara dengan ibu Ristiawati.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
merupakan acuan untuk menilai apakah perempuan di perlukan atau tidak di parlemen. Dari fungsi legislasi, jika dilihat dari penduduk Indonesia yang mayoritas adalah perempuan, maka menjadi suatu keharusan setiap kebijakan akan bersentuhan dengan perempuan. Penting bagi perempuan unutk ikut menjadi pembuat keputusan politik karena perempuan memiliki kebutuhan khusus seperti isu kesehatan reproduksi, KDRT, masalah sembako, pendidikan dan kesejahteraan keluraga yang lebih banyak dipahami dengan baik oleh perempuan sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Hj. Wardaty bahwa “ dengan didominasinya parlemen oleh laki-laki maka akan mengabaikan perempuan perempuan dalam pembuatan keputusan politik. Sama dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik. Akan berdampak buruk dalam mengakomodir kepentingan perempuan.” 62 Adapun beberapa tugas yang dijalankan perempuan sebagai anggota dewan, adalah sebagai berikut : • Mengembangkan jaringan lintas fraksi antara perempuan di parlemen •Memperjuangkan sistem politik yang menunjang peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen (sistem proporsional yang diterapkan masih setengah hati • Mempertegas pasal tentang kuota untuk perempuan • Memperjuangkan Undang-Undang yang menjamin peran perempuan di ranah publik dan perlindungan kepada perempuan Adapun beberapa bentuk dari fungsi DPRD adalah sebagai berikut: 7.1. Fungsi Legislasi 7.1.1. Peran Alat Kelengkapan Dewan Dalam Fungsi Legislasi Jika kita merujuk pada ketentuan Pasal 46 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 43 PP No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, alat kelengkapan DPRD terdiri dari pimpinan, komisi, panitia musyawarah, panitia anggaran, badan kehormatan dan alat kelengkapan lain yang diperlukan. Jika dikaitkan dengan fungsi legislasi, tidak semua alat kelengkapan 62
Hasil wawancara dengan Hj. Wardaty Nasution, BA
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
tersebut terlibat secara langsung. Alat-alat kelengkapan yang terlibat secara langsung antara lain adalah komisi, panitia musyawarah dan adanya kemungkinan alat kelengkapan lain yang dibentuk khusus menangi masalah legislasi, misalnya Panitia Legislasi. Dibawah ini akan penulis sampaikan tugas-tugas alat-alat kelengkapan dewan tersebut yang terkait dengan fungsi legislasi. a. Komisi Jika kita mengacu pada fungsi dewan, ada 3 hal yang melekat padanya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut secara inhern melekat pada tugas komisi selain alat kelengkapan dewan yang lain. Dalam fungsi legislasi, komisi dapat mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan membahas rancangan peraturan daerah bersama dengan pemerintah daerah, baik terhadap rancangan Perda usul inisiatif Dewan maupun usul inisiatif Pemerintah Daerah. Jika rancangan Perda tersebut merupakan usul inisiatif dewan (komisi), maka tugas yang dapat dilakukan adalah mulai dari persiapan, penyusunan, pembahasan dan penyempurnaan rancangan Perda, sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Ketentuan lebih rinci yang terkait dengan tugas dan kewenangan ini biasanya diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan. Untuk menunjang perancangan dan pembahasan Perda tersebut, komisi dapat melakukan kunjungan kerja dalam rangka mencari dan menjaring aspirasi masyarakat yang terkait dengan substansi materi rancangan Perda yang akan dibahas. Selain itu Komisi juga dapat melakukan rapat kerja dan dengar pendapat untuk melakukan pengayaan materi terhadap Rancangan Perda yang dibahas. Selajutnya dilakukan pembahasan bersama pemerintah daerah dan dinas terkait yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota untuk mendapatkan persetujuan bersama. b. Panitia Musyawarah Panitia Musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Ada tugas-tugas lain yang masih relevan dan substansi terkait dengan kewenangan Panitia Musyawarah.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Tugas-tugas dimaksud antara lain : a. Memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD. b. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPRD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut. c. Mengatur lebih lanjut penanganan dalam hal peraturan perundang-undangan (Perda) menetapkan bahwa Pemerintah Daerah atau pihak lainnya diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPRD mengenai suatu masalah. d. Menentukan penanganan suatu Rancangan Perda atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD. Namun Panitia Musyawarah tidak boleh mengubah keputusan atas suatu Rancangan Perda atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD; e. Melaksanakan hal-hal yang oleh Rapat Paripurna diserahkan kepada Panitia Musyawarah. Berkaitan dengan tugas-tugas di atas, setiap anggota Panitia Musyawarah wajib mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi sebelum mengikuti rapat Panitia Musyawarah dan menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Panitia Musyawarah kepada fraksi. 7.1.2. Mekanisme Legislasi a. Draft rancangan peraturan daerah (Ranperda) diusulkan oleh pihak eksekutif atau bias juga Ranperda berdasarkan inisiatif dewan b. Melalui keputusan pimpinan dewan, panitia khusus membahas Ranperda tersebut. c. Panitia khusus, eksekutif dan dan para pakar membahas Ranperda tersebut bersama-sama. Yaitu membahas materi Ranperda, studi banding keluar propinsi yang telah mempunyai persda tersebut dan rapat membahas hasil studi banding.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
7.2. Fungsi Pengawasan Menurut UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 42 ayat 1C, “DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.” a. Pengawasan DPRD Terhadap Peraturan Daerah. 1. Menginventarisasi berbagai Perda yang ada untuk dilihat kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan yang ada. 2. Dari hasil inventarisasi diperoleh gambaran sbb: a.Adanya berbagai Perda yang perlu diganti atau diubah b.Perlu dibuat Perda baru sebagai pelaksanaan peraturan perundangundangan ditingkat nasional 3. Mendorong pihak Pemda agar Perda yang sudah ada dapat diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan supaya tercipta tertib hukum dan kepastian hukum. b. Pengawasan Terhadap Pelaksanaan APBD Wujudnya adalah melihat, mendengar, mencermati pelaksanaan APBD oleh SKPD baik secara langsung maupun berdasarkan informasi yang diberikan oleh konstituen,tanpa masuk ke ranah pengawasan yang bersifat teknis. Apabila ada dugaan penyimpangan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut : a.Memberitahukan kepada KDH untuk ditindaklanjuti oleh Satuan Pengawas Internal b.Membentuk Pansus untuk mencari informasi yang lebih akurat c.Menyampaikan adanya dugaan penyimpangan kepada instansi penyidik (Kepolisian, Kejaksaan, KPK). c. Pengawasan Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Program Pembangunan Daerah Yaitu dengan melihat, mengamati, mendengar pelaksanaan pembangunan oleh SKPD maupun melalui partisipasi masyarakat untuk dibandingkan dengan dokumen perencanaan yang sah berupa RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Panjang Daerah) untuk kurun waktu 20 tahun.RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) untuk kurun waktu 5 tahun. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang digunakan untuk dasar penyusunan APBD. Selain itu ada juga beberapa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD, sebagai berikut: - DPRD pelakukan pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah - Pengawasan legislatif dilakukan sesuai dengan tugas dan wewenangnya melalui: a. Dengar pendapat (public hearing). b. Kunjungan kerja. c.Pembentukan panitia khusus (pansus), panitia kerja (panja). sebagaimana diatur dalam tata tertib dan atau sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam fungsi pengawasan, komisi mempunyai tugas : a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan APBD yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. b. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan Bawasda/BPKP/BPK yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya. c. Melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah. 7.2.1. Mekanisme Pengawasan a. Pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD selama ini pada dasarnya dilakukan melalui beberapa mekanisme yaitu: 1. Rapat kerja komisi dengan pemerintah 2. Kegiatan kunjungan kerja 3. Rapat dengar pendapat umum (public hearing) 4. Pengaduan bPengawasan yang bentuknya kunjungan kerja. Dapat dilihat ada atau tidaknya penyimpangan yang dilakukan oleh pihak eksekutif. c. Hasil kunjungan kerja dibuat dalam bentuk laporan. d. Kemudian laporan kunjungan tersebut di paripurnakan. e. Laporan kunjungan kerja tersebut diserahklan kepada Gubernur. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
7.3. Fungsi Anggaran Pada fungsi anggaran, DPRD dan Kepala daerah
bertugas untuk
menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari samapai dengan tanggal 31 Desember. Adapun fungsi anggaran tersebut, adalah sebagai berikut : 1.Kepala Daerah dalam penyusunan rancangan APBD menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyususnan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah. 2.Berdasarkan prioritas dan plafon tersebut, kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana kerja dan dan anggaran satuan kerja perangkat daerah dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. 3.Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah, disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.
Dalam fungsi anggaran, komisi mempunyai tugas : a. Mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah daerah; b. Mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan Rancangan APBD; c. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk program, proyek atau kegiatan Dinas/Instansi yang menjadi pasangan kerja komisi; d. Mengadakan pembahasan laporan keuangan daerah dan pelaksanaan APBD termasuk hasil pemeriksaan Bawasda/BPKP/BPK yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya; e. Menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan dan hasil pembahasan kepada Panitia Anggaran untuk disinkronisasi; f.
Menyempurnakan
hasil
sinkronisasi
Panitia
Anggaran
berdasarkan
penyampaian usul komisi; Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
g. Hasil pembahasan Komisi diserahkan kepada Panitia Anggaran untuk bahan akhir penetapan APBD. 7.3.1. Mekanisme Anggaran a. Draft Rancangan Anggaran dan Pengeluaran Belanja Daerah (RAPBD) diajukan oleh eksekutif. Dalam artian kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk disetujui. b. Panitia Anggaran legislatif membahas RAPBD melalui rapat intern dan rapat dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah ( TAPD) c.
Apabila
RAPBD
tidak
disetujui
DPRD,
pemerintah
daerah
berkewajiban menyempurnakan rancangan APBD tersebut. d. Penyempurnaan rancangan APBD harus disampaikan kembali kepada DPRD. e. Apabila rancangan APBD tersebut tidak disetujui DPRD, pemerintah daerah
menggunakan
APBD
tahun
sebelumnya
sebagai
dasar
kepengurusan keuangan daerah. 63 7.3.2. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD a.
Kepala
Daerah
menyampaikan
rancangan
Perda
tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. b. Laporan keuangan meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan aliran kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik daerah. c. Laporan keuangan tersebut disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 64
63
Prof. Drs. HAW, Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 158. 64
UU No.32 Tahun 2004 pasal 184.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
8. Peran Perempuan Dalam Menjalankan Fungsi Parlemen. Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya UndangUndang Dasar 1945, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan danwajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan di lembaga itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka gerakan perjuangan, khususnya bagi mereka yang dianggap berjasa dalam pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Demikian seterusnya, sampai pada zaman orde baru, ketika perempuan hanya diberikan status sebagai pendamping suami, organisasi perempuan terbesar waktu itu, yaitu PKK dan Dharma Wanita tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat pelaksanaan program pemerintah. Posisi, peran dan aktivitas perempuan Indonesia didalam dunia publik semakin meningkat dalam ukurannya sendiri dari waktu ke waktu di dalam sejarah Indonesia merdeka. Namun jumlah tersebut tidak terwakili dan tercerminkan secara proporsional dan signifikan di lembaga-lembaga atau di sektor-sektor strategis pengambilan keputusan atau kebijakan dan pembuatan hukum formal. Keterwakilan perempuan yang memadai setidaknya dapat memberikan, melengkapi dan menyeimbangkan visi, misi dan operasionalisasi Indonesia selanjutnya, yang objektif, namun berempati dan berkeadilangender tidak mendiskriminasikan jenis kelamin. Dengan sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender yang adil, perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan, perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukan kebutuhan-kebutuhan Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
perempuan sebagai bagian dari agenda nasional dan membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat perhatian di Indonesia, yang sensitif gender. Seperti yang dikatakan oleh Linda Agum Gumelar bahwa peran perempuan di parlemen diperlukan agar mereka terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan. ”Kita mempunyai kepentingan yang besar agar kaum perempuan banyak yang menjadi caleg, karena di sanalah kebijakan-kebijakan dibuat,” 65 Peranan perempuan di parlemen dalam proses pengambilan keputusan, sesuai dengan fungsi-fungsi yang harus dilakukan, yakni legislasi, pembiayaan (budgeting), dan pengawasan sangat berpengaruh signifikan terhadap arah perkembangan gerakan perempuan di Indonesia. Dan ini merupakan salah satu faktor penting dalam rangka mewujudkan tujuan nasional Adapaun jenis keterwakilan perempuan yaitu : • Keterwakilan Ide/Gagasan: Bisa diwakilkan kepada selain perempuan karena ide/gagasan yang berhubungan dengan perempuan bisa disampaikan oleh selain perempuan • Keterwakilan Keberadaan (Eksistensi): Tidak bisa diwakilkan kepada selain perempuan, sehingga komposisi keterwakilan perempuan sama dengan perempuan yang diwakili. Perempuan harus diwakili oleh perempuan juga, karena yang lebih mengetahui tentang kebutuhan perempuan adalah perempuan sendiri. Contoh kasus: Perdagangan perempuan dan perkosaan. Dalam hal-hal tersebut, perempuan lebih bisa memiliki rasa empati kepada kondisi kaumnya sendiri karena sama-sama perempuan.
65
Linda Agum Gumelar dalam Pentingnya Peran Perempuan di Parlemen saat acara Sosialisasi
Tata Cara Pelaksanaan Pemilu 2009 di Gedung Kowani,Jakarta. Pada saat itu ibu Linda menjabat sebagai Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan saat ini Linda Agum Gumelar menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
8.1. Peran Perempuan Dalam Fungsi Legislasi Dalam menjalankan fungsi legislasi yaitu sebagai pembuat undang-undang khususnya Peraturan Daerah (Perda), anggota dewan perempuan kurang memiliki peranan karena posisi perempuan di DPRD bukan sebagai pembuat keputusan melainkan mayoritas hanya sebagai anggota, seperti yang dituturkan oleh ibu Ristiawati “ Anggota parlemen perempuan tidak diberi kesempatan memegang jabatan strategis.” 66 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Apriani yang mengatakan bahwa “ Di parlemen, perempuan tidak mendapatkan posisi yang strategis sebagai pengambil kebijakan. Biasanya hanya sebagai anggota, Jadi sulit bagi perempuan untuk memperjuangkan isu-isu tentang perempuan.” 67 Menurut Ibu Apriani sendiri dalam fungsi legislasi, anggota dewan perempuan dan laki-laki bekerja sama dalam membahas Ranperda dan ketika melakukan kunjungan kerja dengan eksekutif. Dan menurut Ibu Fitri Siswaningsih yang merupakan Anggota Pergantian Antar Waktu (PAW) dari Fraksi PPP yang menggantikan Zulkarnain Malik belum ada Ranperda yang diajukan oleh dewan perempuan karena biasanya pihak eksekutif yang memberi inisiatif untuk membuat Ranperda. Untuk Perda yang dirancang untuk melindungi perempuan juga belum banyak, hanya saja ada satu Perda yang yang telah disahkan dalam hal trafficking yaitu Perda Provinsi Sumatera Utara no.5 tahun 2004 tentang pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Perda ini dibuat atas inisiatif dari aktivis perempuan. 8.2. Peran Perempuan Dalam Fungsi Anggaran Sama seperti fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran peran perempuan juga sangat kecil, namun karena perempuan banyak diposisikan sebagai anggota di Panitia anggaran, maka perempuan dapat meningkatkan anggaran untuk
66 67
Hasil wawancara dengan Ibu Ristiawati dari Fraksi Partai Demokrat. Hasil wawancara dengan Ibu Hj. Apriani Hakim Nasution, SE
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
perempuan seperti untuk masalah kesehatan reproduksi dan pemberdayaan perempuan. 68 8.4. Peran Perempuan Dalam Fungsi Pengawasan Dalam menjalankan fungsi pengawasan, umumnya dewan perempuan dan laki-laki bekerja sama. Misalnya ada suatu proyek yang sudah disepakati anggarannya, kemudian dilaksanakan oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Kemudian pihak legislatif melakukan kontrol dalam pelaksanaan proyek itu agar dapat dilihat apabila terjadi penyimpangan oleh oknum-oknum yang menjalankan proyek itu. Ibu Ristiawati menuturkan bahwa “ dalam fungsi pengawasan, perempuan banyak berperan dalam pembuatan laporan hasil kunjungan kerja.” 69 Dari keterangan-keterangan para anggota dewan perempuan tersebut dapat disimpulkan bahwa memang ada peranan perempuan di parlemen khususnya DPRD Sumatera Utara walaupun belum maksimal. 8.5. Peran Kaukus Perempuan DPRD Sumatera Utara Kaukus yang terbentuk pada 15 September 2009 ini bertujuan untuk menjalin hubungan sesama anggota kaukus perempuan mulai dari tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Ketua KPP DPRD Sumatera Utara Ristiawati, mengatakan,bahwa mereka saat
ini
sedang
merancang
program kegiatan
yang
berkaitan dengan
pemberdayaan perempuan. Program kegiatan ini akan menjalin sinergisitas dengan organisasi perempuan, Biro Pemberdayaan Perempuan Pemprov Sumut dan PKK dalam upaya memberdayakan kaum perempuan di semua sektor mulai di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. “Kita akan menjadikan organisasi yang kita bangun ini mampu menjadi pipa saluran bagi kalangan perempuan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di daerah ini,”
68
Hasil wawancara dengan Ibu Fitri Siwaningsih
69
Hasil wawancara dengan Ibu Ristiawati
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi oleh ada kecende-rungan selama ini pemerintah kurang memperhatikan keberadaan kaum perempuan untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan khususnya di Sumatera Utara. Maka itu KPP DPRD Sumut akan berusaha menempatkan anggotanya di Panitia Anggaran DPRD Sumut agar para anggotanya dapat berupaya memperjuangkan anggaran di APBD Sumut untuk pemberdayaan kaum perempuan. Keberadaan Kaukus ini bertujuan sebagai wadah menyuarakan aspirasi perempuan di Medan. Menampung segala masalah yang dihadapi kaum perempuan terutama persoalan pendidikan dan kesehatan. Adapun visi dan misi Kaukus ini menitikberatkan untuk mewujudkan persamaan akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dengan kata lain, tak ada pemisahan antara kaum lelaki dan perempuan. Khususnya pada hal-hal penting mengenai sumber daya ekonomi, politik sosial dan budaya. KPP juga ingin meningkatkan peran perempuan dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya. Dalam kepengurusannya Kaukus Perempuan
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
BAB IV PENUTUP 1. KESIMPULAN Transisi demokrasi yang berlangsung
sepanjang tahun 2004 telah
melahirkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warga negara. Masalah rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia
menjadi
persoalan
yang
penting
bagi
perempuan
untuk
mengartikulasikan kepentingannya. Sementara itu di tingkat lokal , peraturan-peraturan daerah juga tidak pernah memperhatikan aspirasi perempuan. APBD tidak mengalokasikan dana untuk mendorong partisipasi perempuan dan kebutuhan-kebutuhan perempuan. Kenyataan ini tidak terlepas dari kebijakan pembangunan politik Orde Baru . Politik gender Orde Baru dengan tegas menempatkan perempuan bukan sebagai subjek yang mandiri untuk terlibat dalam proses politik formal. Perempuan selalu di tempatkan dalam posisi domestik sementara laki-laki di ranah publik. Dampak dari kebijakan ini ialah perempuan menjadi termarginalisasi dalam proses politik formal baik di organisasi kemasyarakatan, partai politik, legislatif maupun eksekutif. Keterlibatan perempuan dalam organisasi terbatas pada organisasi homogen yang aktivitasnya jauh dari bidang politik. Perempuan sebagai salah satu kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat justru mendapat perlakuan tidak adil karena terlahir sebagai perempuan Penyebabnya ialah faktor kultural, yaitu praktik yang didasari sikap cenderung menyudutkan perempuan.. Pemahaman masyarakat bahwa politik adalah dunianya laki-laki, sementara wilayah perempuan tetap berada di bidang domestik, adalah contoh yang menjadi kendala bagi perempuan untuk duduk di lembaga politik. Selain itu juga ada faktor struktural, dimana kelemahan status perempuan secara formal dilegalisasi melalui berbagai kebijakan baik yang spesifik ditujukan Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
untuk perempuan ataupun tidak.. Sebenarnya perempuan justru memiliki banyak pengetahuan tentang kebutuhannya sendiri, namun potensi dan kapasitas perempuan ini sering tidak dihargai karena ketidakmampuan perempuan lebih ditonjolkan dari pada kemampuannya. Dalam perubahan sistem politik di Indonesia yang membuka peluang untuk membuka masyarakat untuk berpartisipasi politik dalam kebijakan publik. Pemilu 2004 telah memberi kesempatan untuk meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam aktivitas politik. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Pemilu No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 yang memberlakukan kuota 30% terhadap perempuan. Pemberlakuan pasal ini setidaknya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk
meningkatkan
keterwakilannya
dalam
lembaga
legislatif
yang merupakan lembaga strategis untuk membawa perubahan bagi posisi perempuan.. Masalah representasi baik perempuan adalah satu hal penting, khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilu. Karena jumlah pemilih perempuan lebih banyak dari pada laki-laki maka layak bagi perempuan untuk menuntut perolehan kursi dalam legislatif. Dengan meningkatnya representasi perempuan dalam legislatif seharusnya dapat meningkatkan proses akomodasi aspirasi perempuan . Tetapi dalam kenyataannya, dengan kuota yang diberlakukan tidak terjadi peningkatan keterwakilan perempuan secara signifikan. Ini dapat disimpulkan dengan jumlah anggota DPRD Sumatera Utara periode 1999-2004 yang hanya 3 orang menjadi 5 orang di periode 2004-2009. Mereka juga tidak duduk di posisi strategis sebagai pengambil keputusan. Jika ditelusuri permasalahan keterwakilan perempuan berhubungan dengan kebijakan partai politik, karena untuk menjadi wakil rakyat seseorang harus menjadi anggota partai politik terlebih dahulu. Kemudian parpol yang akan mengusungnya untuk menjadi calon legislatif. Maka itu parpol harus mampu memberdayakan perempuan unutk menjadi kadernya. Hal ini juga sesuai dengan fungsi parpol sebagai sarana pemberi pendidikan politik dan sosialisasi politik kepada masyarakat termasuk perempuan. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Tetapi, hal ini seakan sulit dilakukan karena pada Pemilu 2004 sampai Pemilu 2009 pun, parpol terlihat sulit untukmemenuhi kuota 30%. Banyak parpol yang tidak memepunyai kualifikasi khusus dalam merekrut partainya, sehingga banyak calon legislatif perempuan yang tidak jelas latar belakang pendidikan dan kemampuannya dalam politik. Dapat dianggap bahwa perempuan direkrut hanya untuk pemenuhan kuota saja bukan bedasarkan potensinya. Inilah salah satu hal yang menyebabkan rendahnya keterwakilan permpuan sealin dari factor internal yaitu dari diri sendiri dan faktor cultural yakni budaya patriarki. Untuk melihat kinerja DPRD, tentunya dapat dilihat dari tiga fungsi utamanya, yaitu legislasi, pengawasan dan penganggaran. Dalam menjalankan fungsi-fungsi ini, peran anggota dewan perempuan memang ada, namun belum maksimal. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, ketidakmaksimalan ini disebabkan karena mayoritas dewan perempuan tidak berada di posisi yang kuat dan strategis. Rata-rata mereka hanya duduk sebagai anggota sehingga mereka hanya dapat berpartisipasi dalam bentuk pemberian saran dan masukan. Untuk hasil akhirnya tetap berada pada keputusan pimpinan.
2. SARAN Adapun beberapa saran untuk meningkatkan kerterwakilan perempuan dan untuk memperkuatkan partisipasi perempuan di sector public dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1.
Memberikan pendidikan politik kepada perempuan dan melakukan pendidikan yang berperspektif perempuan dalam institusi, untuk mendorong partisipasi politik perempuan sehingga kebijakan yang dihasilkan juga memperhatikan kepentingan perempuan.
2.
Mensosialisasikan pentingnya organisasi sebagai alat untuk melakukan perubahan baik kultural maupun struktural.
3.
Partai politik harus mendukung dan siap menerima perempuan berpartisipasi pada posisi strategis sesuai dengan kemampuan
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
perempuan tersebut. Sehingga tidak ada lagi marginalisasi dan stereotype yang bias menghambat perempuan di partai. 4.
Kesiapan masyarakat untuk mendukung bagi perempuan yang ingin berkiprah dalam politik, tidak lagi berprinsip bahwa dunia politik hanyalah dunia untuk laki-laki.
5.
Memberikan kesempatan kepada perempuan yang memang memiliki potensi dalam politik untuk menjadi wakil rakyat agar dapat
memperjuangkan kepentingan
bersama
terutama
kepentingan perempuan yang perlu untuk diperjuangkan. Dalam menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara, memang keberadaan perempuan memberikan peranan, namun peranan itu tidak begitu terlihat dikarenakan minimnya jumlah keterwakilan perempuan di sana. Tetapi, sebagai rakyat kita harus menghargai keminimalan fungsi tersebut karena bagaimanapun mereka adalah pilihan rakyat. Rakyatlah yang memilih, maka itu rendahnya keterwakilan perempuan di DPRD juga tidak lepas dari pengaruh pilihan rakyat. Jika ingin meningkatkannya, maka rakyat juga harus belajar untuk percaya terhadap wakil perempuan dan mau memberikan mandatnya kepada wakil perempuan Tetapi harus diingat juga bahwa dalam pemberian mandat terhadap wakil rakyat tidak cukup dengan penghapusan stereotipe gender, namun harus dilihat juga kualitas dan potensi yang dimiliki perempuan tersebut, karena jika wakil rakyat yang terpilih tidak punya kualitas yang baik dan tidak punya kemampuan untuk menjadi legislator yang baik, tentu ini akan berpengaruh juga terhadap kualitas parlemen, yang pada akhirnya akan berimbas lagi kepada rakyat, karena aspirasinya yang tidak tersalurkan dengan baik.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
DAFTAR PUSTAKA Buku Anugrah, Astrid S.H,Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, Jakarta : Pancuran Alam,2009. Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Budiarjo, Miriam, dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta: AIPI Jakarta, 1995. Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1982. Darwin,M, Muhadjir, Negara dan Perempuan, Yogyakarta: Media Wacana, 2005. Daulay, Harmona, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan: USU Press, 2007. Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2004. Fatwa, A.M ,Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi,Jakarta:Penerbit RajaGrafindo Persada,2004. Koiruddin, Partai dan Agenda Transisi Demokrasi : Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004,hal.24. Marbun, B.N, DPR-RI, Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,1992 Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung :Remaja Karya, 1990.
Naning,Ramdlon,S.H, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,Yogyakarta : Liberty,1982.
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998. Notopuro, Hardjito, Peranan Wanita Dalam Masa Pembangunan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia,1984.
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
Putra, Fadillah, Kebijakan Publik Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai dengan Realisasi Produk Kebijakan Publik di Indonesia 1999-2003, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003. P. Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994. Rahman, Arifin, Sistem Politik Indonesia,Surabaya: SIC,2002.
Sanit, Arbi, Perwakilan Politik Di Indonesia, Jakarta:C.V.Rajawali, 1985 Saragih, Bintan, Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia, , Yogyakarta: Perintis Press,1985 Sastroatmodjo, Sudijono, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995. Sihite, Romany, Perempuan, Keserataraan, Keadilan,Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada,2007 Sjamsuddin, Nazaruddin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia.1993. Suparno, Indriyati, Masih Dalam Posisi Pinggiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005. Thaha, Idris, Pergulatan Partai Politik Di Indonesia, Jakarta : P.T RajaGrafindo Persada, 2004 Wasistiono, Sadu, M.S, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Bandung: Alqaprint,2001. Winarno, Budi,Sistem Politik Indonesia Era Reformasi,Jakarta:Garamedia Pustaka Utama,2007.
Internet http ://www.delphi panel.com //woman research institute http// www.dpri.go.id http:// www.Indolisme.Blogspot.com. http://www.lintasberita.com/Pemilu_Legislatif_2009_di_Indonesia. Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.
http//media-indonesia.com.Pemilu legislatif 2004 http //media indonesia.com-Agung Laksono dalam pidatonya pada Rapat Paripurna DPR http//www.rakyat merdeka.com
Fanina Fanindita : Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-2009 Di Sumatera Utara, 2010.