FAKTOR RISIKO STATUS GIZI KURANG PADA WANITA USIA SUBUR DI BOGOR
ZULAIKHAH
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di Bogor” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal dan atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Zulaikhah NRP I151080081
ABSTRACT ZULAIKHAH. The Risk Factors for Under Nutritional Status in Childbearing Age of Woman in Bogor. Under supervision of SITI MADANIJAH, DODIK BRIAWAN and NURI ANDARWULAN. The aim of this study was to analyze the risk factors for under nutritional status of childbearing age. The design was cross-sectional study, and samples were 200 childbearing age of women in Bogor. Of these childbearing ages, a sub sample of 45 women was collected for blood analysis i.e. Haemoglobin, ferritin, serum folic acid, serum vitamin A. Data were collected on socio-economic status and other demographic parameters. Dietary intake of macro and micronutrients was collected with 2-day 24-hour dietary recall method. The Chi-square (X2) and logistic regression analysis were applied for the hypotheses testing. The results show that the highest percentage of childbearing age of woman had deficit of energy (71.5%), protein (56.5%), iron (70.0%), vitamin A (62.5%) and vitamin C (88.0%). As amount 14.0% of women were founded to be underweight and also 12.5% of women had low of mid upper arm circumference (MUAC). Chi-square test showed that education level of respondents was significant related with BMI (p=0,017), in the other hands, %RDA of energy was significant related with MUAC (p=0,009). The risk factor of underweight was education level (OR=2.569; 95% CI: 1.045-6.315) (p=0.04); and risk factor of chronic energy deficient (MUAC <23.0) was %RDA of energy (<80%) (OR=0.263; 95% CI: 0.075-0.916) (p=0.03). About 11.1%; 13.3%; 4.0% and 64.4% childbearing age women were anemia, iron depletion, iron deficient anemia and vitamin A deficient, respectively, but no women were deficient of folic acid. Chi-square test showed that there were no variables significantly related with anemia and iron deficient (p>0.05), %RDA of vitamin A was significant related with vitamin A status (p=0.005). The risk factor of vitamin A status was %RDA of vitamin A (<77%) (OR=0.136; 95% CI: 0.029-0.635) (p=0.01). Keywords: childbearing age of women, micronutrient deficiency, underweight, anemia, vitamin A
RINGKASAN ZULAIKHAH. Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH, DODIK BRIAWAN dan NURI ANDARWULAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu sejak di dalam kandungan, bayi, anak-anak, masa remaja, dewasa dan masa usia lanjut. Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya. Kualitas hidup seseorang pada masa dewasa merupakan hasil dari investasi sejak masa dini kehidupannya. Pentingnya memantau status gizi perlu dilakukan ibu/calon ibu sejak awal kehamilan. Kondisi status gizi yang tidak normal tanpa penanggulangan akan memberikan konsekuensi yang besar saat kehamilan dan melahirkan, bukan hanya kesakitan ibu dan anak, tetapi kematian ibu dan anak. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis keragaan status gizi berdasarkan pengukuran antrophometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, ferritin, asam folat, dan status vitamin A); (2) Menganalisis faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan pengukuran antrophometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, ferritin, asam folat, dan status vitamin A); (3) Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi status gizi berdasarkan pengukuran antrophometri (IMT, LILA); dan (5) Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi berdasarkan biokimia (status Hb, ferritin, asam folat, dan status vitamin A) Disain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengambilan data hanya dilakukan pada satu kali waktu saja. Penelitian dilaksanakan di wilayah Kota Bogor yang meliputi 6 kecamatan. Data diambil dari bulan Nopember 2010 – Februari 2011. Sebanyak 200 orang WUS (wanita usia subur) yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini yang dipilih berdsarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan yaitu, adalah kelompok wanita usia subur yang sudah menikah dan sedang mempersiapkan kehamilan, berusia antara 20-40 tahun, berbadan sehat dan/atau tidak mempunyai komplikasi penyakit lainnya, dan bersedia mengikuti kegiatan. Selain itu, juga dilakukan sub-sampel sebanyak 45 untuk melakukan pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb), ferritin, serum asam folat, dan serum retinol dengan menggunakan jasa Laboratorium PRODIA – Bogor. Data dianalisis secara dskriptif, melakukan uji chi square, dan regresi logistik. Secara ringkas karakteristik responden digambarkan bahwa sebagian besar responden berada pada kisaran 20-29 tahun (52,5%), 80,5% merupakan ibu rumah tangga (IRT), responden merupakan lulusan SMA/Sederajat yaitu 36,5%, dan sebagian besar pendapatan responden (93,0%) yang diperoleh setiap bulannya masih di bawah UMR. Sedangkan karakteristik suami responden sebagian besar berusia antara 30-40 tahun (74,5%), sebanyak 26,5% suami responden bekerja sebagai karyawan swasta, merupakan lulusan SMA/Sederajat (48,5%), dan sebagian besar (72,0%) pendapatan suami responden berada diatas UMR Kota
Bogor. Selain itu, sebagian besar (77,0%) keluarga responden mempunyai jumlah anggota ≤ 4 orang dan hampir seluruh keluarga (94,0%) responden mempunyai pendapatan perkapita perbulannya di bawah dari UMR Kota Bogor (< Rp 971.200,-) dengan kata lain termasuk kategori kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi aktual rata-rata responden WUS masih dibawah angka yang seharusnya. Rata-rata konsumsi energi sebesar 1.435 kkal/kap/hr (77,4% AKE); protein 47 gram (93,3% AKP); zat besi 25 mg (95,0% AKFe); Vitamin A 445 RE (89,0% AKVitA) dan rata-rata konsumsi vitamin C sebesar 28 mg (37,0% AKVitC). Secara keseluruhan menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami defisit energi (71,5%) dan protein (56,5%), sebanyak 70,0% responden termasuk ke dalam defisit zat besi, 62,5% defisit vitamin A, dan 88,0% defisit vitamin C. Pada penelitian ini, diketahui bahwa dari 4,4% responden yang merokok, satu diantaranya merokok dengan frekuensi 4 kali/hari dan lainnya merokok dengan frekuensi 1 kali/hari. Ada sebanyak 77,5% responden satu bulan sebelum diambil data menderita penyakit penyakit infeksi. Kondisi status gizi berdasarkan atropometri menunjukkan bahwa ada sebanyak 14,0% responden yang mengalami gizi kurang dengan IMT < 18,5 dan ada sekitar 12,5% responden yang mempunyai ukuran LILA kurang dari 23,5 cm. Hal ini berarti ada sebanyak 12,5% responden WUS yang mempunyai risiko KEK. Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden berhubungan dengan dengan IMT (p=0,017), dan tingkat konsumsi energi diketahui berhubungan signifikan dengan LILA (p=0,009). Kondisi status gizi berdasarkan pengukuran secara biokimia menunjukkan bahwa ada sebanyak 11,1% responden WUS mengalami anemia, sebanyak 13,3% mengalami defisien besi, 64,4% defisien vitamin A dan semua responden WUS mempunyai status folat dengan kategori normal. Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa tidak ada satu variabel yang berhubungan dengan status Hb dan status feritin (p>0,05), namun tingkat konsumsi vitamin A diketahui berhubungan signifikan dengan status vitamin A (p=0,005). Pada penelitian ini asam folat tidak dapat diuji karena data tidak beragam, yakni seluruh responden (100,0%) tidak mengalami defisiensi asam folat. Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung (tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein, infeksi) dan variabel tidak langsung (merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik responden) terhadap status gizi makro (IMT dan LILA) menunjukkan bahwa bahwa tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berpengaruh terhadap IMT (OR=2,569; 95% CI: 1,045-6,315) (p=0,04); dan pengaruh yang signifikan antara tingkat konsumsi energi (TKE<80%) dengan LILA (OR=0,263; 95% CI: 0,075-0,916) (p=0,03). Selain itu, tingkat konsumsi protein (TKP <70%) juga menjadi faktor risiko terhadap status LILA yaitu dengan OR=0,295; 95% CI: 0,088-0,983 (p=0,05). Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung (status gizi, tingkat konsumsi gizi, dan infeksi) dan variabel tidak langsung (merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik responden) terhadap status gizi mikro (Hb, feritin, dan vitamin A) menunjukkan
bahwa tidak ada variabel yang berpengaruh terhadap status Hb dan feritin (p > 0,05). Meskipun demikian, menggunakan uji yang sama diketahui bahwa terdapat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap status vitamin A yaitu tingkat konsumsi vitamin A (OR=0,136; 95% CI: 0,029-0,635) (p=0,011). Hal tersebut berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi vitamin A rendah berisiko menderita defisiensi vitamin A 0,136 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang cukup. uji statistik dengan menggunakan kategori defisit tingkat berat (TKE dan TKP < 70% dan TKFe, TKVitA, TKVitC <50%) terdapat pengaruh antara densitas vitamin C dengan status Hb yaitu dengan OR=0,049; 95% CI: 0,003-0,765 dengan p=0,03.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan untuk kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izi IPB
FAKTOR RISIKO STATUS GIZI KURANG PADA WANITA USIA SUBUR DI BOGOR
ZULAIKHAH
Tesis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Tesis
: Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di Bogor
Nama
: Zulaikhah
NIM
: I151080081
Program Studi : Gizi Masyarakat
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS Ketua
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Anggota
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi GMK
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
drh. M. Rizal M Damanik, MRepSc, PhD
DR. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 30 Juli 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Sujud syukur sepantasnya penulis haturkan pada Allah SWT atas ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Setelah melalui proses yang cukup panjang, Alhamdulillah, Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul: “Analisis Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di Bogor”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kerjasama antara SEAFAST Center IPB dan PT Sari Husada dengan judul “Konsumsi Pangan dan Status Gizi pada Wanita Usia Subur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui di Wilayah Bogor” Tesis ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Siti Madanijah MS, Dr.Ir. Dodik Briawan, MCN, dan Dr.Ir. Nuri Andarwulan, MSi selaku pembimbing yang dengan semangat dan penuh kesabaran dalam membimbing, memotivasi, menegur yang memang sangat penulis butuhkan semenjak penulisan proposal hingga selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan ke Dr.Ir. Budi Setiawan, MS sebagai penguji serta banyak memberi masukan dan kritik atas kurang cermatnya penulis. Ungkapan terima kasih disampaikan pula pada pemerintah Kota Bogor, seluruh staf Kecamatan di Kota Bogor, para Lurah dan kader Posyandu atas izin dan bantuan selama berlangsungnya kegiatan pengambilan data di lapang. Selain itu, kepada rekan-rekan enumerator dan asisten peneliti lainnya Sanaiskara dan Mawi. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada SEAFAST Center yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis mempunyai kesempatan dapat melanjutkan sekolah di Pascasarjana IPB. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga besar yaitu mamak, bapak, ibu mertua (Alm), bapak mertua, kakak, adik, ponakan yang selalu memberi semangat, dan do’a yang tiada hentinya supaya tesis ini dapat terselesaikan. Ucapan yang sama penulis haturkan kepada suami tercinta yang sangat sabar membimbing, memotivasi, mendo’akan dan bahkan kadang memarahi penulis supaya tesis ini dapat selesai; kebahagiaan dan semangat lain hadir dengan adanya ananda “Jalaluddin Muhammad Zaenuri” dengan wajah dan celoteh lucunya. Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat atas semua kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga tesis dapat bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Agustus 2012 Zulaikhah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 29 April 1983 sebagai anak ke-lima dari lima bersaudara dari pasangan Bpk. Kasmu’in dan Ibu Siti Alwi. Penulis menikah dengan Anas Zaenuri dan telah dikarunia putera pertama yaitu Jalaluddin Muhammad Zaenuri. Penulis menamatkan pendidikan dasar di Pati, Jawa Tengah yaitu SDN 1 Kayen lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Bhakti Wasita Rimbo Bujang, Jambi lulus tahun 1998. Jenjang pendidikan menengah atas dilanjutkan di SMAN 1 Rimbo Bujang, Jambi dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan sarjana melalui jalur USMI di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai staf peneliti di SEAFAST Center – LPPM IPB sejak tahun 2006.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
xii
PENDAHULUAN........................................................................................
1
Latar Belakang..................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................. Manfaat Penelitian ...............................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
5
Wanita Usia Subur ............................................................................... Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi .............................................. Status Gizi dan Masalah Gizi ............................................................... Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi ........................... Faktor Risiko Status Gizi ....................................................................
5 6 11 16 21
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ...........................................
23
METODE PENELITIAN .............................................................................
25
Disain, Tempat dan Waktu................................................................... Cara Pengambilan Contoh.................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................... Pengolahan dan Analisis Data.............................................................. Definisi Operasional ............................................................................
25 25 27 28 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
35
Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................... Karakteristik Responden ..................................................................... Karakteristik Rumahtangga ................................................................. Kebiasaan Merokok ............................................................................ Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi .............................................. Penyakit Infeksi .................................................................................. Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Atropometri ....................... Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia ............................ Hubungan Antar Variabel ................................................................... Faktor Risiko Status Gizi Pada Wanita Usia Subur (WUS) ..................
35 36 39 44 46 51 52 54 58 74
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
83
Kesimpulan ......................................................................................... Saran ..................................................................................................
83 84
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
85
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 Angka Kecukupan Gizi pada wanita ........................................................
10
2 Jenis data dan cara pengumpulan .............................................................
27
3 Klasifikasi variabel penelitian ..................................................................
30
4 Distribusi responden berdasarkan usia .....................................................
36
5 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan ....................................
37
6 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ...............................
38
7 Distribusi responden berdasarkan usia suami ...........................................
39
8 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan suami ..........................
40
9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan suami .....................
41
10 Distribusi responden berdasarkan besar anggota rumahtangga ...............
42
11 Distribusi responden berdasarkan pendapatan rumahtangga ....................
43
12 Jenis dan jumlah konsumsi pangan responden ........................................
46
13 Distribusi responden berdasarkan densitas protein .................................
47
14 Distribusi responden berdasarkan densitas zat gizi ..................................
48
15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi ...................................................
49
16 Distribusi responden berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein ..
49
17 Tingkat konsumsi zat besi, vitamin A, dan vitamin C .............................
50
18 Distribusi responden berdasarkan penyakit infeksi .................................
51
19 Distribusi responden berdasarkan jenis penyakit/infeksi .........................
52
20 Distribusi responden berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) ...............
53
21 Distribusi responden berdasarkan Lingkar Lengan Atas (LILA) .............
54
22 Distribusi responden berdasarkan status besi ...........................................
55
23 Distribusi responden berdasarkan status Vitamin A .................................
57
24 Distribusi responden berdasarkan defisien multi gizi mikro .....................
58
25 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan IMT .............................................................................................
60
26 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan LILA ...........................................................................................
62
27 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan anemia ........................................................................................
64
x
28 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan defisiensi besi .............................................................................
66
29 Hubungan antara anemia dengan defisiensi besi ......................................
68
30 Hubungan status asam folat dengan anemia ............................................
69
31 Hubungan status asam folat dengan defisiensi besi ..................................
69
32 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan vitamin A ....................................................................................
71
33 Hubungan antara status vitamin A dengan anemia ..................................
73
34 Hubungan antara status vitamin A dengan defisiensi besi ........................
74
35 Faktor-faktor yang mempengaruhi IMT ..................................................
77
36 Faktor-faktor yang mempengaruhi LILA ................................................
78
37 Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia ...............................................
77
38 Faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin A ................................
82
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alur perjalanan status gizi WUS .............................................................
12
2 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi WUS ..
24
3 Cara pemilihan responden ........................................................................
26
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu sejak di dalam kandungan, bayi, anak-anak, masa remaja, dewasa dan masa usia lanjut. Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya. Saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Kondisi status gizi dihasilkan dari konsumsi pangan seseorang dalam jumlah yang cukup, kurang atau berlebih. Kualitas hidup seseorang pada masa dewasa merupakan hasil dari investasi sejak masa dini kehidupannya. Artinya status gizi seorang dewasa biasanya merupakan hasil akhir dari pertumbuhannya selama masih di dalam kandungan, masa bayi dan kanak-kanak, kemudian masa puber/remaja. Efek sisa yang akumulatif dari setiap pertumbuhan dan perkembangan pada setiap tahapan tumbuh kembang akan menghasilkan seorang remaja atau dewasa yang pendek (Achadi 2007). Pentingnya memantau status gizi perlu dilakukan ibu/calon ibu sejak awal kehamilan. Ibu/calon ibu yang memasuki awal kehamilan dengan status gizi rendah (Indeks Massa Tubuh (IMT< 18,5 kg/m²) berisiko melahirkan bayi dengan ukuran kecil. Apabila status gizi rendah ini terus berlangsung hingga melahirkan (yang ditandai dengan pertambahan berat badan < 9 kg) maka ibu berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Di sisi lain, ibu dengan IMT ≥ 25 kg/m² berisiko melahirkan bayi dengan NTD (Neural Tube Defects), selain itu ibu yang obesitas berisiko mengalami Diabetes Mellitus, hipertensi, preeklamsia, dan juga risiko melahirkan bayi caesar. Sekitar 12-22% wanita Indonesia usia 15-49 tahun yang mengalami KEK. Prevalensi KEK lebih tinggi pada wanita yang lebih muda dibandingkan pada wanita lebih tua (Atmarita 2005). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, mengungkapkan bahwa prevalensi KEK secara nasional pada wanita usia
2
19-45 tahun adalah 13,6%, dimana prevalensi di wilayah pedesaan lebih tinggi (14,1%) dibanding perkotaan (13,0%) (Departemen Kesehatan 2008). Kondisi status gizi yang tidak normal tanpa penanggulangan akan memberikan konsekuensi yang besar saat kehamilan dan melahirkan, bukan hanya kesakitan ibu dan anak, tetapi kematian ibu dan anak. Berdasarkan Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia Tahun 2010, persentase perempuan usia subur yang mengalami kurang energi kronis masih cukup tinggi yaitu mencapai 13,6% dan 15-20% ibu hamil berisiko mengalami komplikasi selama kehamilan, dengan angka kematian ibu (AKI) yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup. Hal tersebut masih jauh dibandingkan target AKI pada tahun 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu, angka kematian bayi (AKB) yang telah dicapai yakni 44 per 1000 kelahiran hidup, angka tersebut ternyata masih jauh dari target AKB tahun 2015 yakni 32 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS 2010). Selain masalah kurang gizi makro, masalah kurang gizi mikro juga banyak dialami oleh kelompok wanita usia subur. Masalah gizi mikro yang banyak dan umum terjadi adalah anemia gizi besi. Menurut Isniati (2007), berdasarkan data SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi di Indonesia pada kelompok usia 19-45 tahun sebanyak 39,5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19,7% (Departemen Kesehatan RI 2008). Penyebab utama terjadi anemia terutama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyerapan zat besi dan cadangan besi dalam tubuh (feritin). Berdasarkan studi Ani et al. (2010), menunjukkan bahwa ada sebanyak 47,1% wanita pasangan pengantin baru di wilayah Bali mengalami defisiensi besi (feritin< 20 µg/dL). Penyerapan zat besi dalam tubuh juga tergantung pada asupan zat gizi mikro lain yang membantu penyerapannya seperti asam folat dan vitamin A. Selain membantu penyerapn zat besi, asam folat dan vitamin A mempunyai peranan penting pada kelompok WUS. Kaitan kekurangan vitamin A pada kelompok wanita berhubungan dengan morbiditas. Namun demikian, studi mengenai status asam folat dan status vitamin A masih terbatas dilakukan
3
khususnya pada kelompok WUS. Studi yang dilakukan Khan et al. (2010) pada ibu hamil menunjukkan ada sebanyak 20% yang mengalami defisiensi asam folat. Beragam
konsekuensi
yang
ditimbulkan
akibat
kekurangan
gizi
ditunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami KEK dan anemia mempunyai risiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 5 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK. Sedangkan konsekuensi lain akibat kekurangan folat adalah menimbulkan kecacatan pada tabung syaraf (Neural Tube Defects) NTDs pada bayi, yaitu spina bifida (kelainan pada tulang belakang) dan anencephaly (kelainan dimana otak tidak terbentuk). Menurut studi yang dilakukan Rice, West dan Black (1998), estimasi risiko relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada anakanak adalah 1,86 (95% CI: 1,32–2,59) meninggal karena campak, 2,15 (95% CI: 1,83–2,58) meninggal karena diare, 1,78 (95% CI: 1,43–2,19) meninggal karena malaria, 1,13 (95% CI: 1,01–1,32) meninggal karena penyakit infeksi. Sedangkan RR pada ibu hamil adalah 4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab menimbulkan kematian pada ibu hamil. Apabila kondisi di atas dibiarkan maka wanita usia subur akan hamil dengan status gizi yang kurang dan akan mengalami konsekuensi yang besar saat hamil dan melahirkan nanti. Oleh karena itu, mengingat besarnya konsekuensi akibat KEK dan kekurangan gizi mikro pada wanita usia subur tersebut dan banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung serta masih terbatasnya informasi mengenai status gizi mikro pada WUS, maka peneliti ingin mengetahui gambaran lebih lanjut dan menganalisis faktor-faktor risiko status gizi kurang pada wanita usia subur yang sedang mempersiapkan kehamilan di Kota Bogor.
4
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor risiko status gizi kurang pada wanita usia subur (WUS) di wilayah Kota Bogor
Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis keragaan status gizi berdasarkan pengukuran antropometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, feritin, asam folat, dan status vitamin A) 2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan pengukuran antropometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, feritin, asam folat, dan status vitamin A) 3. Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi status gizi berdasarkan pengukuran antropometri (IMT, LILA) 4. Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi berdasarkan biokimia (status Hb, feritin, asam folat, dan status vitamin A)
Manfaat Penelitian Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai masalah gizi dan faktor risiko status gizi pada wanita usia subur (WUS). Informasi ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah, dinas kesehatan dan stakeholder yang terkait sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam merancang, melaksanakan atau mendukung program peningkatan gizi pada WUS. Programprogram tersebut untuk mempersiapkan kondisi WUS agar siap menjadi ibu yang sehat, sehingga pada waktu hamil tidak menderita masalah kurang gizi makro dan mikro serta bayi yang dilahirkan juga sehat.
TINJAUAN PUSTAKA
Wanita Usia Subur Wanita usia subur usia 20-40 tahun tergolong wanita dewasa awal (young adulthood. Seorang wanita dewasa awal selain mengalami perubahan fisik dan fisiologis juga mengalami perubahan psikologis yang cukup besar. Seorang wanita dewasa awal termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition). Usia dewasa merupakan masa/periode terpanjang dalam siklus kehidupan yang ditandai dengan masa pencapaian keberhasilan kerja, kemapanan dalam gaya hidup, sikap dan nilai kehidupan yang akan diwariskan kepada anak-anak, dan tugas sosial dalam aktualisasi diri (Pritasari 2006). Usia dewasa juga merupakan usia yang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup, dengan kata lain orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang dipilihnya dan berusah untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap. Kemantapan jiwa orang dewasa memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang sudah dipilihnya, baik sistem nilai yang berasumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini maka sikap keberagaman seorang diusia dewasa sulit untuk diubah, jikapun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan pada pola pemikiran dan pertimbangan yang matang. Secara fisik, seorang wanita dewasa awal (young adulthood) menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspekaspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Aspek-aspek fisiologis yang dimaksud antara lain pertumbuhan yang cepat, perkembangan seksual, perubahan bentuk badan, dan perubahan hormonal. Mereka memiliki daya tahan dan taraf
6
kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif. Namun kenyataannya tidak sedikit masalah gizi dan kesehatan yang terjadi pada kelompok ini. Kekurangan dan kelebihan gizi menjadi masalah ganda yang terjadi saat ini. Tingkat kesehatan dan status gizi yang baik pada wanita yang sedang mempersiapkan kehamilan akan menjadi penentu kualitas kesehatan bagi anak-anaknya. Kurang gizi akan mengakibatkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan dan kematian (Azwar 2004). Status gizi masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi secara kompleks. Di tingkat rumah tangga, status gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga menyediakan pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitasnya, asuhan gizi ibu dan anak dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan perilaku serta keadaan kesehatan anggota rumah tangga. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mempengaruhi peningkatan dari status gizi masyarakatnya. Status gizi merupakan salah satu faktor penyebab dari kualitas hidup manusia. Perbaikan gizi merupakan syarat utama dalam perbaikan kesehatan ibu hamil, menurunkan angka kematian bayi dan balita. Oleh karenanya, wanita usia subur mempunyai peluang dalam rangka memutus rantai masalah gizi.
Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi Konsumsi pangan adalah banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan.
7
Banyak metode yang digunakan untuk mengukur konsumsi pangan, diantaranya adalah dengan menggunakan food recalls 2x24 jam, yang dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta minuman yang telah dikonsumsi selama 2x24 jam yang lalu (Achadi 2007). Kelebihan food recall adalah mudah dan pencatatan cepat, murah, mendapatkan informasi secara detail tentang jenis bahkan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, beban responden rendah, recall secara beberapa kali dapat digunakan untuk memperkirakan asupan zat gizi tingkat individu dan biasanya bias dilakukan 2 atau 3 kali, lebih objektif, tidak mengubah kebiasaan diet. Keterbatasan food recall adalah bergantung pada ingatan, kadang mengabaikan saus atau minuman ringan yang menyebabkan rendahnya asupan energi, kadang terjadi under/over reporting, recall 1x24 jam tidak dapat mencerminkan secara representative kebiasaan asupan individu. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Achadi 2007). Agar hidup dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang memerlukan 5 kelompok zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan. Di samping itu, manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar berbagai proses faali dalam tubuh. Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beranekaragam,
8
maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beranekaragam, kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang (Azwar 2002). Wanita usia subur dengan usia 20-40 tahun merupakan dewasa awal. Umumnya setelah mencapai usia dewasa awal, pada wanita telah terbentuk eating habits dan body weight yang ideal. Namun banyak yang menjadi sulit mengontrol berat badan ideal dan kebiasaan makan yang baik, hal ini disebabkan karena perilaku hidup yang tidak sehat dan kebiasaan makan yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan gizi yang dianjurkan. Kondisi seperti ini yang menimbulkan masalah di kalangan wanita dewasa awal, terutama dengan berat badan. Dimana untuk menjaga berat badan dan penampilan, mereka membatasi diet mereka sehingga banyak yang mengalami masalah kekurangan zat gizi tertentu. Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur > 10 tahun adalah 93,6%. Secara nasional, prevalensi makanan berisiko yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk umur > 10 tahun adalah penyedap (77,8%), manis (68,1%), dan kafein (36,5%) (Depkes 2008).
Konsumsi Pangan Sumber Energi Pangan sumber energi yang paling murah adalah karbohidrat dibandingkan lemak dan protein. Kebutuhan karbohidrat menurut anjuran WHO (1995) adalah 55-75% dari total konsumsi energi. Pangan sumber karbohidrat utama berasal dari kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Sedangkan pangan sumber energi lainnya seperti lemak hanya dibutuhkan sekitar 15-30% dari total kebutuhan energi. Pangan sumber lemak adalah minyak nabati seperti minyak kelapa sawit, kacang-kacangan, margarin, susu, keju dan lainnya. Selain
karbohidrat
dan
lemak,
protein
juga
mempunyai
peran
menghasilkan energi. Sumber protein dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber protein hewani dan sumber protein nabati. Sumber protein hewani diperoleh melalui daging, telur, dan semua yang berasal dari hewan. Sedangkan nabati berasal dari produk sayur sayuran seperti kacang kacangan, susu kedelai.
9
Konsumsi Vitamin dan Mineral Vitamin merupakan zat organik yang umumnya tidak dapat dibentuk dalam tubuh. Vitamin berperan sebagai katalisator organik, mengatur proses metabolisme dan fungsi normal tubuh. Di dalam tubuh, vitamin mempunyai peran utama sebagai zat pengatur dan pembangun bersama zat gizi lain melalui pembentukan enzim, antibodi dan hormon. Masing-masing vitamin mempunyai peranan khusus yang tidak bisa digantikan oleh vitamin atau zat gizi lainnya. Vitamin A merupakan vitamin larut lemak dan tahan terhadap panas cahaya tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Vitamin A berfungsi sebagai penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan, diferensiasi sel, reproduksi dan kekebalan tubuh. Pangan sumber vitamin A dapat berasal dari bahan pangan nabati seperti hati, kuning telur, susu, dan dari pangan nabati seperti sayuran daun berwarna hijau, dan kuning. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan pada mata, perubahan pada kulit, infeksi, dan gangguan pertumbuhan. Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang diperlukan oleh tubuh dan berfungsi untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh. Vitamin ini mudah larut dalam air sehingga bila vitamin yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan, maka akan dibuang melalui urine. Dosis rata-rata dibutuhkan bagi orang dewasa adalah 60-90 mg/hari dan batas maksimum yang diizinkan untuk mengkonsumsi vitamin C adalah 1000 mg/hari. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan gusi berdarah, sariawan, nyeri otot atau gangguan syaraf. Makanan yang mengandung vitamin C umumnya adalah buah-buahan dan sayuran. Salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel darah merah adalah zat besi. Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan. Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi. Fungsi zat besi antara lain adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan mengangkut elektron di dalam proses pembentukan energi yang terjadi di dalam sel. Zat besi juga sangat penting dalam proses pembentukan hemoglobin serta membantu sistem kekebalan tubuh dalam menangkal berbagai serangan virus dan bakteri.
10
Berbagai macam jenis vitamin dan mineral seperti vitamin A, vitamin C, asam folat dan zinc, serta berbagai macam jenis protein hewani mampu membantu proses penyerapan zat besi dalam tubuh. Beberapa jenis makanan sumber zat besi dibedakan menjadi 2 macam, yaitu berasal dari hewan (hewani) dan berasal dari sayur dan buah-buahan (nabati). Untuk produk hewani, sumber zat besi yang baik yaitu daging merah, daging unggas, hati (ayam/sapi), telur, ikan tuna, sarden serta jenis kerang-kerangan. Sedangkan untuk sumber zat besi yang berasal dari sayuran dan buah-buahan antara lain bayam, brokoli, tahu, dan kedelai. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recomended Dietary Allowaness (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika, dan keadaan fisiologis, seperti hamil atau menyusui. Berikut ini adalah AKG untuk kelompok umur wanita dewasa awal (20-40 tahun) menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004. Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada wanita Wanita
Zat gizi Energi (Kkal) Protein (g) Vit A (RE) Vit D (µg) Vit E (mg) AsamFolat (µg) Besi (mg) Seng (mg) Selenium(µg) Sumber : WKNPG (2004)
19-29 tahun
30-49 tahun
1900 50 500 5 15 400 26 9,3 30
1800 50 500 5 15 400 26 9,8 30
11
Status Gizi dan Masalah Gizi Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi. Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang menderita kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi. Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang menderita kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi. Berbagai penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa separuh dari penyebab terjadinya BBLR adalah status gizi ibu pada saat hamil. Efek sisa pada masa janin yang mengalami hambatan pertumbuhan akan mempunyai tinggi badan yang tidak optimal pada usia dewasa. Remaja yang pendek berisiko mempunyai kapasitas lebih rendah daripada rekannya yang tidak pendek. Remaja tersebut tumbuh menjadi wanita dewasa yang merupakan calon ibu dan apabila wanita tersebut hamil maka membutuhkan penambahan berat badan lebih besar selama kehamilan. Jika penambahan berat badan tidak dapat terpenuhi maka akan mempunyai risiko BBLR. Berikut dapat digambarkan alur perjalanan status gizi wanita usia subur sebagai calon ibu:
12
Janin tumbuh terhambat
-- Infeksi Infeksi berulang berulang -- Intik Intik kurang kurang
- Infeksi: malaria, kecacingan - Intik kurang - Hamil usia dini
BBLR, balita kurang gizi
Puber, remaja kurang gizi
Efek sisa =ES
ES
- Intik kurang - Jarak kehamilan pendek - Anak terlalu banyak
Dewasa kurang gizi ES
Ibu hamil
Gambar 1 Alur perjalanan status gizi wanita usia subur sebagai calon ibu (Achadi 2007 diadapsi dari ACC/SCN 2002) Masalah Gizi Makro Kurang Energi Kronis. Di Indonesia, ada sekitar 12-22% wanita usia 1549 tahun yang mengalami KEK. Prevalensi KEK lebih tinggi pada wanita yang lebih muda dibandingkan pada wanita lebih tua (Atmarita 2005). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, mengungkapkan bahwa prevalensi KEK scara nasional pada wanita usia 19-45 tahun adalah 13,6%, dimana prevalensi di wilayah pedesaan lebih tinggi (14,1%) dibanding perkotaan (13,0%) (Departemen Kesehatan 2008). Menurut Azwar (2004), di Indonesia ada sekitar sepertiga remaja dan WUS menderita anemia gizi besi dan berlanjut pada masa kehamilan. Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA < 23,5 cm, sebesar 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada anak usia balita. Menurut Achadi (2007), secara spesifik KEK disebabkan akibat dari ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi. Beberapa hal yang terkait dengan status gizi ibu adalah distribusi pangan yang tidak merata dalam rumahtangga.
13
Di Uganda pada tahun 2006 ada sebanyak 12% wanita usia subur (usia 1549 tahun) mengalami KEK. Prevalensi KEK di wilayah ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, paling tinggi KEK terjadi pada wanita usia 35 tahun dan lebih. Selain masalah KEK, kejadian obesitas juga banyak terjadi pada wanita usia subur. Pada tahun 2006, prevalensi obesitas adalah 17% lebih tinggi dibandingkan prevalensi KEK pada wanita usia subur (Food and Nutrition Technical Assistance II Project (Fanta-II) 2010). Kegemukan/Obesitas. Selain masalah KEK, kegemukan juga banyak terjadi pada kelompok usia WUS. Kegemukan dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit degeneratif sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, perubahan pola makan ke arah tinggi karbohidrat, lemak dan garam serta rendah serat serta rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari. Kejadian overweight dan obesitas tidak hanya terjadi pada kelompok wanita dewasa, namun sudah banyak menimpa kelompok anak usia sekolah. Survey dilakukan di 36 negara di Eropa, dimana prevalensi overweight dan obesitas antara 5-30% pada anak usia 11 tahun. Dari hasil survey ini menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi (15%) dibanding perempuan (10%) yang hampir disemua negara pada semua umur. Kecuali pada usia 11 tahun di Denmark, Perancis, Netherland dan Inggris dan usia 13 tahun di Irlandia menunjukkan bahwa perempuan mempunyai prevalensi overweight dan obesitas lebih tinggi dibanding pada laki-laki (WHO 2009). Prevalensi overweight dan obesitas pada anak Portugis usia 7-9 tahun sebanyak 31,5%. Angka prevalensi overweight/obesitas pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki pada usia 7,5 tahun dan 9 tahun. Angka prevalensi ini lebih rendah dibandingkan dengan Italia yang mencapai 36,0% anak yang overweight/obesitas. Negara lain yang mempunyai prevalensi overweight/obesitas tinggi adalah Yunani (31%) dan Spanyol (30%) (Padez et al 2004). Beberapa faktor utama penyebab kegemukan dan obesitas adalah faktor genetik, fisiologis, pola makan yang salah di masa lalu, dan perilaku atau gaya hidup.
14
Masalah Gizi Mikro Anemia Gizi Besi. Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel darah merah. Zat besi secara alamiah diperoleh dari makanan. Kekurangan zat besi dalam makanan sehari-hari secara berkelanjutan dapat menimbulkan penyakit anemia gizi. Tanda-tanda anemia gizi besi (AGB) antara lain: pucat, lemah lesu, pusing dan penglihatan sering berkunang-kunang. Besi dalam darah berada dalam bentuk hemoglobin yang terdapat di dalam butir-butir darah merah (erythrocyte), dalam bentuk transferrin di dalam plasma darah dan dalam serum feritin. Meskipun tidak cukup banyak, feritin juga didapati di dalam butir-butir darah merah dan putih (leucocyte). Fungsi hemoglobin adalah pembawa oksigen untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh. Kadar hemoglobin di dalam darah bergantung kepada umur, seks, nutrisi, kehamilan, laktasi, altitude dan kesehatan individu (Piliang dan Al Haj 2006). Menurut Isniati (2007), berdasarkan data SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi di Indonesia pada kelompok usia 19-45 tahun sebanyak 39,5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19,7% (Departemen Kesehatan RI 2008). Di wilayah Uganda ada sebanyak 49% wanita usia subur mengalami anemia (Hb<12,0g/dL) (Fanta-II 2010). Di wilayah Mexico, menunjukkan angka rata-rata kadar Hb pada wanita tidak hamil (WUS) adalah 13,1 mg/dL dengan prevalensi anemia sebesar 20,8% dan rata-rata 11,9 mg/dL pada wanita hamil dengan prevalensi anemia 27,8%. Prevalensi anemia pada wanita tidak hamil menunjukkan angka yang lebih tinggi di wilayah perdesaan dibandingkan perkotaan (22,6% vs 20,0%) (Levy 2003). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh National Food & Nutrition Centre (NFNC) tahun 2007 yang dilakukan pada 749 wanita. Dari hasil survei tersebut diperoleh bahwa 40% wanita yang di survei mengalami anemia. Prevalensi anemia lebih banyak pada wanita India (51%) dibandingkan pada wanita Fijian (33%). Penyebab utama terjadi anemia terutama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyerapan zat besi. Sumber terbaik dari besi adalah makanan
15
yang berasal dari daging, ikan dan telur, namun konsumsi jenis pangan ini rendah pada masyarakat yang berpenghasilan rendah. Menurut Rolfes, Pinna, dan Whitney (2008) menyatakan bahwa jumlah zat besi yang diserap dari makanan hewani adalah sekitar 25%, sedangkan jumlah besi yang diserap dari biji-bijian dan kacang-kacangan hanya 17%. Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya. Asam folat, vitamin A, vitamin C, dan vitamin B12 berperan di dalam metabolisme besi, eritropoiesis dan regulasi deposit zat besi. Untuk itu suplementasi zat besi saja akan lebih efektif jika ditambahkan zat gizi lainnya. Studi menunjukkan penambahan vitamin tersebut dapat memperbaiki status gizi secara keseluruhan (Ahmad et al. 2005; Dillon 2005). Feritin. Cadangan zat besi yang tersimpan dalam tubuh tersedia dalam bentuk ikatan feritin dan hemosiderin. Kedua macam zat ini terkumpul dan tersebat di dalam jaringan tubuh tetapi sebagian besar disimpan di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Kedua macam zat ini termasuk dalam golongan “non heme iron”. Bila tubuh mengalami defisiensi zat besi dan memerlukan zat besi untuk keperluan pembentukan hemoglobin dan keperluan lainnya di dalam tubuh, maka feritin dan hemosidiren akan selalu melepaskan besi cadangannya (Piliang dan Al Haj 2006). Menurut Piliang dan Al Haj (2006), feritin yang terdapat di dalam darah berbeda kadarnya antara wanita dan pria. Kadar rata-rata feritin di dalam serum pria adalah 2-3 kali lebih banyak dibandingkan pada wanita. Pada orang yang telah dewasa kadar feritin mencapai nilai rata-rata 39 ng/ml untuk wanita dan 140 ng/ml untuk pria. Studi yang dilakukan Ani et al. (2010), menunjukkan bahwa ada sebanyak 47,1% wanita pasangan pengantin baru di wilayah Bali mengalami defisiensi besi (feritin< 20 µg/dL). Ada sebanyak 51,9% wanita pasangan pengantin baru memiliki kadar feritin serum antara 20-99 µg/dL. Asam Folat. Asupan asam folat yang cukup sebelum dan selama kehamilan akan mencegah timbulnya kecacatan tabung saraf (Neural Tube Defects) NTDs pada bayi, yaitu spina bifida (kelainan pada tulang belakang) dan
16
anencephaly (kelainan dimana otak tidak terbentuk). Dengan asupan asam folat yang cukup pada masa sebelum dan selama kehamilan yaitu sekitar 0,4 – 0,8 mg per hari. Data mengenai angka prevalensi defisiensi asam folat di Indonesia belum ada. Studi yang dilakukan Khan (2010) pada ibu hamil menunjukkan ada sebanyak 20% yang mengalami defisiensi asam folat. Vitamin A. Vitamin A merupakan zat gizi penting yang diperlukan untuk menjaga sistem imun tubuh, kesehatan mata, pertumbuhan dan kelangsungan hidup manusia. Kelompok anak-anak banyak menderita kekurangan vitamin A. Di Indonesia, sejak tahun 1970-1990 telah ada program pemberian kapsul vitamin A dengan dosis tinggi dua kali per tahun. Selama dua dekade, program tersebut sukses dan mampu menurunkan prevalensi kekurangan vitamin A (xeroptalmia). Namun demikian masih banyak anak usia <5tahun yang memiliki serum retinol ≤20µg/dl (Atmarita 2005). Selain kelompok anak-anak, wanita usia subur juga masih rentan terhadap masalah kekurangan vitamin A. Komposisi intik makanan yang kurang beragam menjadi salah satu penyebab kekurangan zat gizi mikro. Kaitan kekurangan vitamin A pada kelompok wanita berhubungan dengan morbiditas dan produktivitas kerja. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Tingkat Pendapatan Menurut Berg (1986) bahwa keluarga miskin akan menggunakan 70%80% pendapatannya untuk makanan dan apabila mereka memperolah tambahan pendapatan maka bagian terbesar dari pendapatan tersebut akan digunakan untuk membeli makanan. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan setempat. Semakin tinggi pendapatan, maka semakin bertambah peningkatan pengeluaran untuk pangan termasuk buah-buahan, sayuran dan jenis makanan lainnya. Penduduk miskin biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan dan penduduk kaya lebih sedikit. Penelitian yang dilakukan Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa pendapatan tidak berpengaruh positif terhadap status gizi
17
anak balita. Bagaimana hubungan antara pendapatan dan status gizi tidak secara langsung, tetapi melalui variabel antara misalnya distribusi makanan dalam keluarga, kesehatan dan keadaan sanitasi, pengetahuan dan keterampilan orang tua, dan banyak faktor lainnya. Girma dan Genebo (2002), mengungkapkan bahwa status ekonomi merupakan salah satu faktor deteminan status gizi pada wanita di Ethiopia. Dalam studinya menunjukkan bahwa wanita yang berada pada tingkat status ekonomi sangat miskin/miskin mempunyai risiko mengalami gizi kurang dibandingkan wanita yang berada pada tingkat status ekonomi sedang/tinggi.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Namun, apabila tingkat pendidikan umum yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi terutama ibu, ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga. Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ethiopia (Yimer et al. 2000; Genebo et al. 1999) menunjukkan bahwa terjadi penurunan insiden masalah gizi pada anak-anak dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian Rahman dan Nasri (2009), menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi wanita. Hal ini dikarenakan wanita dengan pendidikan yang tinggi mampu mengambil keputusan dan memilih jenis pangan yang baik untuk dikonsumsi.
Besar Anggota Rumahtangga Jumlah anggota rumahtangga merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi status gizi. Besar kecilnya keluarga akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan dan mempengaruhi distribusi pangan pada anggota keluarga, sehingga secara langsung dapat menpengaruhi ketahanan
18
pangan tingkat rumahtangga. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka akan berpengaruh pada kemampuan penyediaan pangan dan meningkatkan daya saing ketika pangan terbatas. Suhardjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Menurut penelitian Rajhans dan Sharma (2011) di India Tengah pada kelompok populasi dewasa tua, berdasarkan hasil uji Chi-square (X2) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dan asupan energi pada kelompok wanita tua. Namun koefisien korelasi menunjukkan negatif (r = -0,04; p>0,05) yang artinya terjadi penurunan asupan energi diikuti dengan bertambahnya anggota keluarga.
Jenis Pekerjaan Menurut Kartasapoetra dan Masetyo (2003), jenis pekerjaan merupakan salah satu indikator besarnya pendapatan individu/keluarga. Diharapkan semakin besar pendapatan seseorang atau sebuah keluarga, maka konsumsi pangan akan menjadi lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Girma dan Genebo (2002), dalam studinya menunjukkan bahwa wanita yang tidak mempunyai pekerjaan mempunyai risiko KEK dibandingkan wanita yang mempunyai pekerjaan. Hal ini karena, wanita yang mempunyai pekerjaan akan memiliki tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan akses pangan dalam rumahtangga. Berdasarkan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), bahwa pekerjaan merupakan faktor penting yang berhubungan sangat signifikan dengan status gizi kurang pada istri. Hasil analisinya menunjukkan bahwa suami yang mempunyai pekerjaan secara professional akan menurunkan proporsi defisiensi dibanding pada suami yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau tidak bekerja. Dimana,
19
suami yang mempunyai pekerjaan professional mampu meningkatkan rata-rata konsumsi energi sebesar 300 kkal.
Kebiasaan Merokok Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi yaitu kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi (dibakar) pada tahun 2002 sebanyak 182 milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China (1.697.291 milyar), Amerika Serikat (463.504 milyar), Rusia (375.000 milyar) dan Jepang (299.085 milyar). Laporan Susenas menunjukkan prevalensi perokok pasif di Indonesia sebesar 49%, yaitu 32% pada laki-laki dan 66% pada wanita. Pada kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi perokok pasif pada wanita sebesar 6956%, sedangkan pada pria sebesar 51% pada umur 15-19 tahun dan terus menurun hingga 5% pada umur di atas 50 tahun. Pada wanita berstatus menikah prevalensi perokok pasif sebesar 70%, yang belum menikah sebesar 67%, dan yang cerai sebesar 41%. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, menunjukkan bahwa persentase nasional merokok setiap hari pada penduduk umur > 10 tahun adalah 23,7%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi merokok setiap hari pada penduduk umur > 10 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu salah satunya adalah Jawa Barat. Sedangkan perilaku minum alkohol menunjukkan adanya prevalensi selama 12 bulan terakhir adalah 4,6% (Depkes 2008). Perokok pasif mempunyai risiko lebih besar untuk menderita kanker paruparu dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma dibandingkan perokok aktif. Karena itu meskipun tidak aktif merokok, wanita dewasa sebagai perokok pasif membutuhkan suplementasi vitamin C atau antioksidan lain dalam menghindari risiko kanker dan penyakit jantung akibat asap rokok. Sebuah studi di Kanada yang melihat pengaruh merokok terhadap fungsi ovarium dan hasil kehamilan melaporkan bahwa dari 447 pasangan yang mengikuti kegiatan, 124 wanita diantaranya merokok, serta 69 wanita berada
20
dalam masa kehamilan. Hasil studi tersebut adalah tidak terdapat pengaruh signifikan antara merokok dengan gangguan fungsi ovarium, tetapi keguguran lebih tinggi terjadi pada kelompok wanita hamil yang merokok (42,1%) dibandingkan wanita hamil yang tidak merokok (18,9%) (Pattinson, Taylor, dan Pattinson 1991).
Penyakit Infeksi Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya masalah gizi. Menurut Supriasa et al. (2001), mengungkapkan bahwa umumnya infeksi lokal mendapat respon metabolik bagi penderita yang disertai dengan kekurangan gizi. Penyakit infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh sehingga
dapat menyebabkan kekurangan gizi.
Penyakit infeksi dapat
menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga dapat mempermudah terkena infeksi. Menurut Depkes (2008), menyatakan bahwa anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, sehingga mudah untuk terserang penyakit infeksi. Disisi lain, anak yang terkena infeksi cenderung mengalami gizi buruk. Beberapa jenis penyakit infeksi yang mungkin banyak terjadi pada anakanak maupun pada kelompok usia lainnya seperti kelompok wanita usia subur adalah diare, ISPA, maupun Tuberkolosis paru (paru TB). Diare umumnya disebabkan oleh infeksi virus, parasit atau racun dari bakteri. Diare dapat juga merupakan gejala dari penyakit seperti disentri, kolera atau botulisme. ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. ISPA menjadi salah satu penyebab terjadinya kematian bayi dan balita. Tanda-tanda dari kondisi
21
ini adalah batuk, pilek, nafas cepat dan atau kesulitan bernafas (Dina dan Maria 2003).
Faktor Risiko Status Gizi Faktor risiko adalah karakteristik, tanda dan gejala pada individu yang secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit. Berdasarkan penelitian Pryer, Rogers, Rahman (2003), menyatakan bahwa wanita yang bekerja 15-23 hari per bulan adalah 2,3 kali mempunyai BMI tinggi (OR= 2,33; 95% CI:0,11-4,56). Studi lainnya menganalisis pengaruh merokok dan konsumsi kopi terhadap konsepsi melaporkan bahwa dari 1341 primigravida yang mengikuti kegiatan, wanita yang merokok memiliki kesuburan yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi (OR = 0,5-0,6) (Alderet, Eskenazi, dan Sholtz 1995). Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR=3,50; 95% CI: 4,57-40,0 (Shulman et al. 2002). Selain itu, studi lainnya mengenai gambaran penyebab kematian maternal di lima Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa perdarahan, preeklamsia, dan infeksi merupakan penyebab kematian yang paling banyak (Wiludjeng 2005). Berdasarkan penelitian Assefa, Berhane, Worku (2012) menyatakan bahwa kejadian BBLR di Ethiopia mempunyai hubungan yang signifikan dengan kesejahteraan keluarga (pendapatan) (OR=2,1;95% CI:1,42-3,05), LILA rendah (OR=1,6; 95% CI:1,119-2,19), pemeliharaan selama kehamilan (OR=1,6; 95% CI: 1,12-2,28), dan pengalaman ibu terhadap kekerasan selama kehamilan (OR=1,7; 95% CI: 1,12-2,48). Menurut Al Khatib et al. (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa feritin, plasma folat dan sejarah kejadian anemia dalam keluarga merupakan penyebab anemia pada wanita usia subur di Lebanon. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk melihat
22
pengaruh suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) pada WUS melaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi anemia yaitu usia, jumlah kelahiran, pendidikan, pola haid, status perkawinan, pengetahuan gizi, status gizi, dan pola makan. Asupan asam folat dan vitamin C dilaporkan merupakan zat gizi dapat mempengaruhi Hb. Hal yang menarik pada penelitian ini adalah bahwa risiko anemia pada responden yang telah menikah 3,32 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang belum menikah. Responden yang berpendidikan rendah memiliki risiko anemia 2,05 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan menengah dan tinggi. Hasil lainnya yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah suplementasi TTD dapat meningkatkan kadar Hb, feritin, berat badan, dan IMT (Mulyawati 2003). Menurut Rice, West dan Black (1998) mengungkapkan bahwa ada sebanyak 21,1% usia anak pra sekolah dan 5,6% ibu hamil mengalami kekurangan vitamin A. Estimasi risiko relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada anak-anak adalah 1,86 (95% CI: 1,32–2,59) meninggal karena campak, 2,15 (95% CI: 1,83–2,58) meninggal karena diare, 1,78 (95% CI: 1,43– 2,19) meninggal karena malaria, 1,13 (95% CI: 1,01–1,32) meninggal karena penyakit infeksi. Sedangkan RR pada ibu adalah 4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab menimbulkan kematian pada ibu.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Berdasarkan kerangka konseptual status gizi yang telah disusun oleh UNICEF tahun 1997 menggambarkan bahwa faktor asupan gizi, pola asuh dan status kesehatan adalah merupakan faktor yang secara langsung berperan terhadap status gizi seseorang. Namun pada dasarnya lebih detail lagi masih banyak faktor tidak langsung yang sangat dominan berpengaruh, seperti ketersediaan pangan, karakteristik individu, ketersediaan sarana kesehatan, partisipasi masyarakat, lingkungan tempat tinggal dan faktor lainnya. Kerangka tersebut telah banyak dipergunakan sebagai dasar pemikiran di berbagai penelitian terkait masalah status gizi baik kurang gizi makro dan mikro. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah gizi pada wanita usia subur (WUS). Faktor karakteristik individu (usia, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan), faktor lingkungan seperti karakteristik suami (jenis pekerjaan, tingkat dan tingkat pendidikan) dan karakteristik rumahtangga (besar rumahtangga, dan pendapatan rumahtangga) serta kebiasaan merokok merupakan faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi pada WUS. Faktor-faktor yang langsung mempengaruhi status gizi pada WUS adalah konsumsi pangan dan intik zat gizi, dan penyakit infeksi. Kerangka pikir secara operasional dapat dilihat pada Gambar 2, yang menggambarkan alur pikir hubungan antara variabel baik langsung dan tidak langsung.
24
Penyebab Tidak Langsung :
Karakteristik Contoh: - Usia - Jenis Pekerjaan - Tingkat Pendidikan
Penyebab Langsung :
Konsumsi Pangan dan Intik Zat Gizi: - Jenis dan Jumlah - Tingkat Kecukupan Zat Gizi - Densitas Zat Gizi
Karakteristik suami: - Usia - Jenis Pekerjaan - Tingkat Pendidikan
Status Gizi secara antrophometri: - IMT - LILA Status Gizi secara biokimia: - Status Besi - Status Asam Folat - Status Vitamin A
Karakteristik Rumahtangga : - Besar Anggota Rumahtangga - Pendapatan Rumahtangga Kebiasaan Merokok: - Jenis - Frekuensi
Output :
Penyakit Infeksi
Gambar 2 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko status gizi pada WUS Hipotesis Hipotesis faktor-faktor risiko status gizi pada wanita usia subur di Bogor: H0 : Usia contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga, penyakit infeksi, tingkat kecukupan gizi contoh secara individu atau bersama-sama tidak berpengaruh terhadap status gizi. H1 : Usia contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga, penyakit infeksi, tingkat kecukupan gizi contoh secara individu atau bersama-sama berpengaruh terhadap status gizi.
METODE PENELITIAN
Disain, Tempat dan Waktu Pelaksanaan Disain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengambilan data hanya dilakukan pada satu kali waktu saja. Penelitian dilaksanakan di wilayah Kota Bogor yang meliputi 6 kecamatan. Data diambil dari bulan Nopember 2010 – Februari 2011. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian SEAFAST Center – LPPM IPB kerjasama dengan PT Sari Husada yang berjudul “Konsumsi Pangan dan Status Gizi pada Wanita Usia Subur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui di Wilayah Bogor”
Cara Pengambilan Contoh Populasi adalah wanita usia subur yang tinggal di wilayah Kota Bogor. Jumlah contoh ditetapkan berdasarkan angka prevalensi kekurangan zat gizi mikro atau menderita anemia pada kelompok wanita usia subur yaitu ada sekitar 20% (Departemen Kesehatan 2008), dengan α=5% dan d=5,8%. Rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel (Madiyono et al. 2008) : n= keterangan:
Zα2PQ d2
n = Jumlah sampel yang dibutuhkan P = Perkiraan prevalensi masalah gizi α = Tingkat kepercayaan 95% d = Akurasi
Dengan menggunakan perhitungan rumus di atas, maka minimal jumlah subyek yang dapat mewakili populasi WUS sebanyak 183 orang, dan untuk mengantisipasi kemungkinan subyek drop out maka diambil sebanyak 200 orang. Sampel dipilih berdasarkan pada persyaratan inklusi yaitu adalah kelompok wanita usia subur yang sudah menikah dan sedang mempersiapkan kehamilan, berusia antara 20-40 tahun, berbadan sehat dan/atau tidak mempunyai komplikasi penyakit lainnya, berada pada kuintil 2, 3 dan 4 serta bersedia mengikuti kegiatan. Total populasi ini akan digunakan analisis faktor risiko status gizi yang diukur
26
secara antrophometri (IMT dan LILA). Berikut adalah bagan pengambilan sampel pada populasi WUS di Bogor. Populasi WUS Seleksi dengan kriteria inklusi: - Sehat - Telah menikah (usia: 20-40 tahun) - Mempersiapkan kehamilan/tidak sedang menggunakan alat KB
Calon responden
Tidak
Stop
Ya
Wawancara dengan Kuesioner
Gambar 3 Cara pemilihan responden Sub-sampel sebanyak 45 orang diambil untuk melakukan pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb), feritin, serum asam folat, dan serum retinol dengan menggunakan jasa Laboratorium PRODIA - Bogor. Sub-sampel dihitung dengan menggunakan rumus yang sama dengan pengambilan sampel di atas, namun pertimbangan yang digunakan adalah dengan mengacu pada besarnya prevalensi BBLR sebagai outcome akibat kekurangan gizi makro dan mikro pada WUS, yaitu sebesar 11,1% (Depkes 2008), dengan α=5% dan d=10%. Dari perhitungan ini diperoleh minimal sampel adalah 38 orang, untuk menghindari terjadinya drop out maka diambil sebanyak 45 orang. Sub-sampel akan digunakan untuk analisis faktor risiko status gizi yang diukur secara biokimia (Hb, feritin, asam folat dan vitamin A).
27
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer meliputi karakteristik contoh, karakteristik suami contoh, karakteristik keluarga, konsumsi pangan contoh, kebiasaan merokok, status kesehatan dan status gizi contoh. Data dikumpulkan melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner yang terstruktur, pengukuran langsung dan analisis laboratorium. Data konsumsi pangan harian diperoleh dengan metode food recalls 2x24 jam yang dikumpulkan menggunakan kuesioner food recalls 2x24 jam. Metode food recalls 2x24 jam merupakan salah satu cara untuk mengukur konsumsi pangan harian seseorang. Metode ini dipilih karena dianggap mudah, dan murah namun mengandalkan ingatan yang baik pada responden. Menurut Gibson (2005), food recalls 2x24 jam dianggap lebih mampu menggambarkan konsumsi pangan dan zat gizi harian pada seseorang. Di Amerika Serikat, metode Recalls 2x24 jam juga direkomendasikan untuk mengukur pola konsumsi pangan. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data No
Jenis Data
1
Karakteristik contoh dan sumai (usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan) Karakteristik rumahtangga contoh (jumlah anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga) Penyakit Infeksi dan kebiasaan merokok Konsumsi pangan harian
2
3 4 5
7
Status gizi berdasarkan pengukuran antrophometri : - IMT - LILA Status gizi berdsaarkan pengukuran biokimia : - Kadar Hb - Feritin - Asam folat - Vitamin A
Cara Pengumpulan Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner Wawancara dengan menggunakan kuesioner Food Recalls 2x 24 jam IMT : - Microtoise (TB) - Timbangan BB Pita/meteran LILA Analisis laboratorium Prodia: Peroxidation/Colorimetry Chemiluminescent Immunoassay (CMIA) Chemiluminescent Immunoassay (CMIA) High Performance Liquid Chromatography - UV
28
Data anthropometri dikumpulkan meliputi berat dan tinggi badan. Untuk pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang (SECA ketelitian 0,1 kg) dan statur meter (ketelitian 0,1 cm). Sampel darah diambil sebanyak 15 cc dari pembuluh vena oleh tenaga kesehatan yang terlatih dari PRODIA. Analisa kadar haemoglobin (Hb) menggunakan metode Peroxidation/Colorimetry, feritin dan asam folat menggunakan metode Chemiluminescent Immunoassay (CMIA), dan
vitamin
A
dianalisis
dengan
metode
High
Performance
Liquid
Chromatography - UV. Secara ringkas, jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2.
Pengolahan dan Analisis Data Sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data, terlebih dahulu dilakukan pengecekan kelengkapan data di setiap kuesioner, entri data, verifikasi data dan cleaning data. Data yang telah dikumpulkan diberi kode sesuai dengan kode dalam code book. Seluruh data yang telah dikumpulkan dientri dengan menggunakan software microsoft excel for windows. Cleaning data dilakukan untuk melihat konsistensi data yang telah dientri. Data karakteristik seperti tingkat pendidikan dilihat dari kelulusan pendidikan formal contoh dan suami, yaitu SD, SLTP, SLTA dan PT. Data pendapatan rumahtangga merupakan penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota keluarga baik dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan atau sumber lainnya selama satu bulan. Besar anggota rumahtangga dikategorikan menjadi 3 yaitu rumahtangga kecil (≤ 4 orang); sedang (5-6) dan rumahtangga besar (≥ 7 orang). Konsumsi pangan yang diperoleh dengan food recalls 2x24 jam dikonversi beratnya dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizi yaitu energi (kkal), protein (gr), vitamin A (RE), vitamin C (mg), dan zat besi (mg) dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Pangan tahun 2004, 2008, dan program nutri survey tahun 2007. Konversi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
29
Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100) dimana; Kgij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-j Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (gr) Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan-j BDDj = bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan Tingkat kecukupan energi dan zat gizi kelompok WUS dihitung dengan menggunakan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004). Kategori tingkat konsumsi energi dan protein yaitu <70% defisit berat, 70-80% defisit sedang, 80-90% defisit ringan, dan >90% AKG kategori cukup. Tingkat konsumsi zat besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C dikategorikan berdasarkan kategori tingkat konsumsi vitamin dan mineral seperti yang disebutkan dalam Gibson (2005). Tingkat konsumsi digolongkan menjadi defisit jika kurang dari 77% (TK < 77%) dan normal jika lebih dari sama dengan 77% (TK ≥ 77%). Dari data food recalls juga akan dihitung densitas pangan yang bertujuan untuk mengetahui komposisi konsumsi pangan individu tertentu apakah kaya gizi tertentu atau tidak. Densitas pangan dihitung dengan membandingkan rasio standar kalori FAO yaitu 1000 kkal dengan asupan kalori aktual per individu dikalikan dengan konsumsi zat gizi tertentu. Rumus densitas pangan sebagai berikut : Densitas zat gizi “a” = 1000 kkal Energi X Konsumsi zat gizi “a” Konsumsi kkal aktual Keterangan : a = protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin C Semakin tinggi nilai densitas zat gizi tertentu maka menunjukkan bahwa individu tersebut mengkonsumsi pangan yang kaya akan zat gizi tertentu. Densitas pangan diukur untuk setiap individu. Kategori densitas masing-masing zat gizi dihitung berdasarkan rumus : Kategori densitas zat gizi “a” = 1000 kkal Energi X Angka Kecukupan zat gizi “a” Angka Kecukupan Energi
30
Status anemia diukur berdasarkan kadar Hb hasil analisis darah, dengan kategori anemia jika konsentrasi Hb <12 g/dL (INACG/WHO/UNICEF dalam Gibson (2005), cadangan besi dalam tubuh diukur dengan serum feritin dengan batasan < 12µg/L. Status asam folat dikatakan defisiensi jika serum folat < 3 ng/mL dan status vitamin A dikatakan defisiensi jika serum retinol <50 µg/dL. Data antropometri yang menggambarkan keadaan status gizi contoh diolah menggunakan indeks massa tubuh (IMT), dengan rumus: IMT=
Berat Badan (Kg) Tinggi Badan (m2)
Berdasarkan nilai IMT tersebut, maka status gizi diklasifikasikan dengan menggunakan kriteria Departemen Kesehatan RI tahun 1994 (Azwar 2002). Secara ringkas pengkategorian variabel ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini : Tabel 3 Klasifikasi variabel penelitian Variabel 1. Karakteristik Contoh : a. Usia
b. Pendidikan
c. Pekerjaan
Kategori 20-29 tahun 30-40 tahun Tidak sekolah SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma Sarjana Ibu rumah tangga (IRT) Wiraswasta Pembantu rumah tangga (PRT) Pedagang Guru Buruh pabrik Karyawan swasta
200 dan 45
2. Karakteristik Suami : a. Usia
b. Pendidikan
n 200 dan 45
20-29 tahun 30-40 tahun Tidak sekolah SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma
31
Variabel
c. Pekerjaan
Kategori
Sarjana Karyawan swasta Buruh pabrik Penyedia jasa Wiraswasta Pedagang/petani Polisi/satpam PNS/guru Tidak bekerja 200 dan 45
3. Karakteristik Rumahtangga a. Besar Rumahtangga b. Pendapatan Rumahtangga 4. Kebiasaan Merokok 5. Penyakit Infeksi
n
Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥ 8 orang) Kurang (< Rp 971.200/kap/bulan) Cukup (≥ Rp 971.200/kap/bulan) Ya Tidak Menderita Tidak Menderita
6. Konsumsi Zat Gizi Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingkat sedang (70-80% AKG) a. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Defisit tingkat ringan (80-90% AKG) Normal (>90% AKG) b. Tingkat Konsumsi Defisit (< 77% AKG) Vitamin A, C dan Fe Normal (≥77% AKG) 7. Densitas Zat Gizi Kurang (<27 g) a. Densitas Protein Cukup (≥27 g) Kurang (<14 mg) b. Densitas Zat Besi Cukup (≥14 mg) Kurang (<270 RE) c. Densitas Vitamin A Cukup (≥270 RE) Kurang (<41 mg) d. Densitas Vitamin C Cukup (≥41 mg) 8. Status Gizi yang Diukur Secara Antrophometri Gizi lebih (IMT≥25,0) a. Gizi Makro (IMT) Gizi normal (18,5
200 dan 45 200 dan 45 200 dan 45
200
45
200
32
Variabel Kategori 9. Status Gizi Mikro yang Diukur Secara Biokimia a. Hb Normal (≥ 12 g/dL) Anemia (< 12 g/dL) b. Feritin Normal (≥ 12 µg/L) Defisien Besi (< 12 µg/L) c. Asam Folat Normal (≥ 3 ng/mL) Defisien Folat (< 3 ng/mL) d. Vitamin A Normal (> 50 µg/dL) Defisien Vitamin A (≤ 50 µg/dL)
n 45
Pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan software SPSS VS 17 untuk menentukan faktor risiko status gizi kurang pada wanita usia subur. Data yang telah dientri dan dinyatakan clean dilakukan analisis secara statistik. Analisis data meliputi: Analisis Univariat Analisis univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari semua variabel yang diteliti, meliputi variabel dependen (status gizi), dan variabel independen (konsumsi pangan, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, karakteristik contoh, karakteristik suami dan karakteristik keluarga). Nilai sebaran ditunjukkan dengan nilai rata-rata dalam populasi (mean), standar deviasi (standar deviation), nilai minimum dan nilai maksimum. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel independen dengan status gizi WUS. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Dalam menentukan variabel yang dapat masuk ke dalam analisis logistik, maka kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan adalah p<0,05. Analisis Multivariat Analisis multivariat yang digunakan untuk dapat menarik kesimpulan akhir dari penelitian ini digunakan analisis logistic regression (regresi logistik) karena keluaran variabel data bersifat dikotomi. Melalui analisis ini dapat dihitung nilai
33
odds ratio (OR). Adapun model regresi logistik untuk analisis faktor tidak langsung dan langsung : Faktor tidak langsung: Y = Log F = 1-F β0+βFU+βFTP+βFJK+βFTPS+βFJKS+βFPRT+βPRT+βBRT+βFMR βAG+βPI+βDG+ε Keterangan faktor tidak langsung: F = Fungsi kumulatif β0 = Konstanta βFU = Faktor usia responden βFTP = Faktor tingkat pendidikan responden βFJK = Faktor jenis pekerjaan responden βFTPS = Faktor tingkat pendidikan suami βFJKS = Faktor jenis pekerjaan suami βFPRT = Faktor pendapatan rumahtangga βFBRT= Faktor besar rumahtangga βFMR = Faktor kebiasaan merokok βAG = Faktor asupan gizi βDG = Faktor densitas zat gizi βPI = Faktor penyakit infeksi ε = Galat Y = LILA, IMT, Anemia, Defisien Besi, Status Vitamin A Definisi Operasional Contoh adalah wanita usia subur (usia 20-40 tahun) yang telah menikah dan sedang merencanakan kehamilan. Umur adalah lama hidup contoh (tahun) yang dihitung sejak contoh dilahirkan sampai ulang tahun terakhir. Pendidikan contoh/suami adalah tingkat pendidikan formal yang berhasil ditamatkan oleh contoh dan suami, yang diukur berdasarkan lamanya pendidikan (tahun). Pendapatan per kapita per bulan adalah keseluruhan hasil dari melakukan pekerjaan selama satu bulan yang dilakukan oleh para anggota rumahtangga dibagi jumlah anggota dalam satu rumahtangga. Pekerjaan adalah jenis aktivitas kerja yang dilakukan contoh dan suami yang berhubungan dengan penghasilan dan masih dilaksanakan saat ini. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan contoh baik kelompok anak, remaja dan dewasa yang menjadi tanggungan hidup dalam keluarga.
34
Kebiasaan merokok adalah perilaku contoh dalam memilih dan mengkonsumsi rokok dalam sehari. Penyakit infeksi adalah kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agen penyakit menular ke dalam tubuh manusia yang, bentuk penyakit infeksi ini berupa TB paru, ISPA, diare, dll yang diderita contoh satu bulan yang lalu Konsumsi pangan adalah menggambarkan konsumsi pangan harian contoh baik konsumsi pangan tungggal maupun beragam untuk memperoleh sejumlah zat gizi sumber energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat gizi besi dan gizi lainnya yang diperlukan oleh tubuh. Status gizi adalah gambaran kondisi seseorang dari hasil keseimbangan antara asupan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh, dinilai dari pengukuran antropometri dan biokimia. Status gizi kurang adalah kondisi seseorang dari hasil keseimbangan antara asupan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan IMT <18,5 cm dan LILA <23,5 cm yang menunjukkan adanya risiko kurang energi kronik (KEK). Status anemia adalah kondisi contoh yang mengalami kekurangan zat besi yang ditunjukkan dengan kadar Hb, dikatakan anemia jika kadar Hb <12 g/dL. Status feritin adalah kondisi cadangan besi dalam tubuh yang diukur dalam serum darah, dengan batasan apabila defisiensi besi jika serum feritin < 12 µg/L Status anemia gizi besi adalah kondisi contoh yang mengalami kekurangan Hb <12 g/dL dan serum feritin < 12 µg/L Status Vitamin A adalah kondisi vitamin A dalam tubuh yang diukur dalam serum darah dengan batasan apabila defisiensi vitamin A maka serum retinol ≤ 50 µmol/dL. Status asam folat adalah kondisi asam folat dalam tubuh yang diukur dalam serum darah, dengan batasan apabila defisiensi asam folat maka serum folat <3 ng/mL.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitian Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor. Wilayah Bogor merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Kondisi iklim di Kota Bogor memiliki suhu rata-rata tiap bulan 26 oC dengan kisaran antara 21,8oC - 30,4oC. Kelembaban udara 70%, dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 – 4.000 mm yang merupakan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari. Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 hektar terdiri dari enam kecamatan dan 68 kelurahan. Kemudian secara administratif kota Bogor terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec. Sukaraja Kabupaten Bogor.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor. Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2009 yakni sebanyak 1.061.440 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 543.570 jiwa dan perempuan 517.870 jiwa, dengan kepadatan penduduk 9.077 jiwa per hektar. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Bogor tahun 2008 adalah 2,9%, dimana LPP Kota Bogor tersebut lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2005 dan 2020-2025 menurut BPS (2011) yakni 0,9%.
36
Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diteliti dalam penelitian ini meliputi usia responden, jenis pekerjaan responden, dan tingkat pendidikan responden. Usia Responden Usia menjadi salah satu kriteria inklusi dalam memilih responden. Responden yang dipilih berkisar antara usia 20-40 tahun. Kelompok usia tersebut merupakan usia produktif. Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata usia responden adalah 29,4 tahun. Berdasarkan pengkategorian usia menurut WNPG tahun 2004, diketahui bahwa sebagian besar responden berada pada kisaran 20-29 tahun (52,5%) yang berarti termasuk ke dalam usia aman untuk hamil dan sebanyak 47,5% berada pada kisaran usia 30-40 tahun. Sebanyak 22,2% responden dalam penelitian ini berusia > 35 tahun yang termasuk ke dalam usia yang berisiko untuk hamil. Sebaran usia pada responden dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan usia Usia Responden a. 20-29 tahun b. 30-40 tahun Total
Total populasi n % 105 52,5 95 47,5 200 100,0
n 24 21 45
Sub-sampel % 53,3 46,7 100,0
Data sub sampel menggambarkan bahwa lebih dari separuh responden 53,3% berusia 20-29 tahun dan sebanyak 46,7% berusia 30-40 tahun. Dari 45 orang responden yang diuji darah, 24,4% berusia ≥ 35 tahun yaitu merupakan usia berisiko terhadap kehamilan. Menurut Depkes (2001), usia > 35 tahun meningkatkan risiko pada kehamilan seperti pendarahan, hipertensi, obesitas, diabetes, myoma uteri, persalinan yang lama, serta penyakit-penyakit lainnya. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sistiarani (2008), dimana dalam penelitian yang melibatkan 23 kasus kehamilan dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun, serta 46 kontrol diperoleh bahwa usia < 20 tahun dan > 35 tahun dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah (OR = 4,28; 95% CI: 1,4812,40). Disamping itu, temuan dalam studi lainnya menyebutkan bahwa umur ibu
37
merupakan faktor risiko penyulit persalinan yang memerlukan tindakan, dimana usia ibu saat hamil yang berusia < 20 tahun atau ≥ 35 tahun memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami persalinan yang sulit dibandingkan ibu yang berusia 20-35 tahun
(Supriyati,
Doeljachman,
dan
Susilowati
2000).
Penelitian
lain
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia dengan status gizi pada wanita di Ethiopia, dimana prevalensi gizi kurang banyak terjadi pada usia muda dibanding usia tua (Girma dan Genebo 2002). Jenis Pekerjaan Responden Jenis pekerjaan seseorang akan berpengaruh pada jumlah pendapatan yang diperoleh seseorang. Menurut Suhardjo (1989), jenis pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Pada Tabel 5 menggambarkan sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaannya, dimana diketahui bahwa sebagian besar responden (80,5%) merupakan ibu rumah tangga (IRT). Namun demikian, ada sekitar 19,5% responden memiliki jenis pekerjaan yang selain IRT. Jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai wiraswasta, pedagang, pembantu rumah tangga, guru, bahkan sebagai buruh pabrik. Data sub-sampel menunjukkan ada sebanyak 82,2% responden merupakan ibu rumah tangga (IRT). Namun demikian ada sekitar 17,8% responden memiliki jenis pekerjaan yang selain IRT. Jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai wiraswasta, pedagang, guru, dan pembantu rumah tangga. Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan a. b. c. d. e. f. g.
Ibu rumah tangga (IRT) Wiraswasta Pembantu rumah tangga (PRT) Pedagang Guru Buruh pabrik Karyawan swasta Total
Total populasi n % 161 80,5 10 5,0 9 4,5 7 3,5 6 3,0 3 1,5 4 2,0 200 100,0
Sub - sampel n % 37 82,2 3 6,7 1 4,4 2 4,4 2 2,2 0 0,0 0 0,0 45 100,0
38
Girma dan Genebo (2002), menyatakan bahwa wanita yang bekerja mempunyai peluang 1,2 kali lebih rendah berisiko gizi kurang dibandingkan pada wanita yang tidak bekerja yaitu 1,5 kali. Pryer, Rogers, Rahman (2003), menyatakan bahwa wanita yang bekerja 15-23 hari per bulan adalah 2,3 kali mempunyai BMI tinggi (OR=2,33; 95% CI:0,11-4,56). Tingkat Pendidikan Responden Dalam sebuah keluarga, biasanya ibu atau isteri adalah penentu pengambilan keputusan dalam memilih bahan pangan. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase paling besar responden merupakan lulusan SMA/Sederajat yaitu 36,5%, namun demikian, adapula yang merupakan lulusan dari universitas yaitu lulusan diploma sebanyak 1,5% dan lulusan Sarjana sebanyak 5,5%. Dari Tabel 6 juga menunjukkan bahwa terdapat sebagian kecil (0,5%) responden yang ternyata tidak sekolah (tidak lulus SD/sederajat). Rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh responden adalah 9,5 tahun. Tingkat pendidikan yang umumnya berkaitan dengan pengetahuan gizi tentang informasi gizi dan kesehatan yang akhirnya akan mendorong perilaku makan yang baik. Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan responden sub-sampel, Tabel 6 juga menggambarkan bahwa persentase paling besar responden merupakan lulusan SD/Sederajat yaitu 37,8%. Sebanyak 33,3% responden berpendidikan SMA/sederajat,
sedangkan
sisanya
tersebar
dalam
tingkat
pendidikan
SMP/sedarajat (24,4%) dan sarjana (4,4%). Tabel 6 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan a. Tidak sekolah b. SD/sederajat c. SMP/sederajat d. SMA/sederajat e. Diploma f. Sarjana Total
Total populasi n % 1 0,5 64 32,0 48 24,0 73 36,5 3 1,5 11 5,5 200 100,0
Sub-sampel n % 0 0,0 17 37,8 11 24,4 15 33,3 0 0,0 2 4,4 45 100,0
39
Karakteristik Rumahtangga Peran serta keluarga sebagai salah satu dukungan yang paling dominan untuk mempersiapkan kehamilan, terutama dalam hal ini adalah peran suami dalam memelihara status gizi istrinya sejak persiapan kehamilan hingga masa kehamilan. Ekowati, Kamaluddin, dan Febriani (2007), mengemukakan hasil penelitiannya mengenai peran suami dalam pemeliharaan status gizi ibu hamil yakni bahwa peran suami belum optimal dalam memahami peran dan hubungan yang sinergi antara suami dan istri dalam pembagian peran secara adil sehingga tercipta lingkungan yang harmonis bagi perkembangan janin secara fisik maupun psikologisnya. Beberapa faktor yang diungkapkan menjadi faktor penyebab kurang optimalnya peran suami tersebut adalah pengetahuan yang rendah mengenai kehamilan dan kebutuhan gizi ideal, faktor ekonomi keluarga, serta faktor pemahaman terhadap kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan tanggung jawab keluarga. Pada penelitian ini, karakteristik rumahtangga yang diteliti meliputi usia suami, jenis pekerjaan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga dan pendapatan rumahtangga. Usia Suami Data pada Tabel 7 menunjukkan sebaran usia suami responden yang juga berkisar antara 20-40 tahun. Usia suami tidak menjadi kriteria pemilihan responden. Rata-rata usia suami responden adalah 33,9 tahun lebih tua dibandingkan usia istri. Sebagian besar suami berusia antara 30-40 tahun (74,5%), dan sisanya berada pada kisaran usia 20-29 tahun (25,6%). Hasil penelitian menunjukkan sebaran usia suami pada sub-sampel responden berkisar antara 2040 tahun yakni sebesar 24,4% dan ≥ 30 tahun sebesar 75,6%. Tabel 7 Distribusi responden berdasarkan usia suami Usia Suami a. 20-29 tahun b. 30-40 tahun Total
Total populasi n % 149 74,5 51 25,5 200 100,0
Sub-sampel n % 11 24,4 34 75,6 45 100,0
40
Jenis Pekerjaan Suami Data pada Tabel 8 menggambarkan keberagaman jenis pekerjaan suami responden. Sebanyak 26,5% suami responden bekerja sebagai karyawan swasta, 24,0% sebagai buruh pabrik, 18,0% sebagai penyedia jasa dan 14,5% sebagai wiraswasta. Hanya sebagian kecil suami responden sebagai petani, PNS/Guru maupun Polisi/Satpam. Namun demikian, sebesar 1,0% suami responden tidak bekerja. Berdasarkan keberagaman jenis pekerjaan tersebut, tentu keluarga yang suaminya tidak memiliki pekerjaan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Data sub-sampel menunjukkan hampir seluruh suami adalah bekerja (97,8%), hanya sebesar 2,2% suami responden yang tidak bekerja. Jenis pekerjaan suami responden terbanyak yaitu karyawan swasta (24,4%) dan buruh pabrik (24,4%), sisanya tersebar ke dalam jenis pekerjaan sebagai penyedia jasa, wiraswasta, PNS/guru, dan polisi/satpam. Jenis pekerjaan suami umumnya akan berpengaruh pada besar kecilnya pendapatan yang diperoleh. Suami sebagai kepala rumah tangga biasanya memberikan kontribusi terbesar dalam hal perolehan pendapatan keluarga bahkan sebagian keluarga menjadi pendapatan utama. Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan suami Jenis Pekerjaan a. Karyawan swasta b. Buruh pabrik c. Penyedia jasa d. Wiraswasta e. Pedagang/petani f. Polisi/satpam g. PNS/guru h. Tidak bekerja Total
Total populasi n % 53 26,5 48 24,0 36 18,0 29 14,5 13 6,5 11 5,5 8 4,0 2 1,0 200 100,0
Sub-sampel n % 11 24,4 11 24,4 9 20,0 9 20,0 1 2,2 1 2,2 2 4,4 0 0,0 45 100,0
Berdasarkan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), bahwa pekerjaan merupakan faktor penting yang berhubungan sangat signifikan dengan status gizi
41
kurang pada istri. Hasil analisinya menunjukkan bahwa suami yang mempunyai pekerjaan secara profesional akan menurunkan proporsi defisiensi gizi dibanding pada suami yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau tidak bekerja. Dimana, suami yang mempunyai pekerjaan profesional mampu meningkatkan rata-rata konsumsi energi sebesar 300 kkal. Tingkat Pendidikan Suami Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung pada kualitas pendidikan. Secara umum tingkat pendidikan suami responden (Tabel 9) yaitu lulusan SMA/sederajat (48,5%), sebanyak 24,0% lulus SMP/sederajat, dan 22,5% suami responden merupakan lulusan SD/sederajat. Sekitar 5,0% suami responden merupakan lulusan universitas baik jenjang diploma (1,0%), dan 4,0% lulusan sarjana. Rata-rata lama sekolah yang ditempuh oleh suami lebih tinggi dibandingkan lama sekolah isteri yaitu 10,1 tahun. Tabel 9 juga menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat pendidikan, suami responden sub-sampel merupakan lulusan SMA/Sederajat (48,9%). Sebanyak 26,7% lulus SMP/Sederajat, 22,2% suami responden merupakan lulusan SD/Sederajat, dan sekitar 2,2% suami responden merupakan lulusan universitas yaitu jenjang sarjana . Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan suami Tingkat Pendidikan a. Tidak sekolah b. SD/sederajat c. SMP/sederajat d. SMA/sederajat e. Diploma f. Sarjana Total
Total populasi n % 0 0,0 45 22,5 48 24,0 97 48,5 2 1,0 8 4,0 200 100,0
Sub-sampel n % 0 0,0 10 22,2 12 26,7 22 48,9 0 0,0 1 2,2 45 100,0
Menurut Rahman dan Nasri (2009) menyatakan bahwa tingkat pendidikan suami merupakan faktor penting yang berhubungan signifikan dengan status gizi kurang pada istri. Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai suami
42
dengan tingkat pendidikan tinggi memberikan proporsi lebih rendah untuk terjadinya defisiensi. Besar Anggota Rumahtangga Besar anggota rumahtangga akan mempengaruhi pendapatan perkapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu rumahtangga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota rumahtangga itu. Data pada Tabel 10 menggambarkan bahwa sebagian besar (77,0%) keluarga mempunyai jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang (rumahtangga kecil). Sebaliknya hanya sebagian kecil (0,5%) saja keluarga responden merupakan rumah tangga dengan kategori besar (anggota ≥ 8 orang).
Rata-rata jumlah
anggota rumahtangga responden adalah sebanyak 4 orang. Data pada Tabel 10 juga menggambarkan bahwa sebagian besar (73,3%) keluarga sub-sampel mempunyai jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang yang disebut keluarga kecil. Sebaliknya hanya sebagian kecil (27,6%) keluarga responden sub-sampel merupakan rumahtangga dengan kategori sedang (anggota 5-7 orang). Rata-rata responden sub-sampel memiliki anggota rumahtangga sebanyak 4 orang. Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan besar anggota rumahtangga Besar Anggota Rumahtangga a. Kecil (≤ 4 orang) b. Sedang (5-7 orang) c. Besar (≥ 8 orang) Total
Total populasi n % 154 77,0 45 22,5 1 0,5 200 100,0
Sub-sampel n % 33 73,3 12 27,6 0 0,0 45 100,0
Menurut penelitian Rajhans dan Sharma (2011) di India Tengah pada kelompok populasi dewasa tua, berdasarkan hasil uji Chi-square (X2) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dan asupan energi pada kelompok wanita tua. Namun koefisien korelasi menunjukkan
43
negatif (r = -0,04; p>0,05) yang artinya terjadi penurunan asupan energi diikuti dengan bertambahnya anggota keluarga. Pendapatan rumahtangga Pendapatan merupakan sumberdaya material bagi seseorang/keluarga yang dapat digunakan untuk membiayai semua kebutuhan baik pangan maupun non pangan. Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya beli. Meningkatnya pendapatan perorangan juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Namun demikian, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Hal ini karena kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dikonsumsi lebih mahal. Pendapatan keluarga merupakan gabungan dari pendapatan seluruh anggota keluarga yang bekerja. Pendapatan perkapita merupakan hasil bagi dari pendapatan total dengan jumlah anggota keluarga. Pada Tabel 11, diketahui bahwa hampir seluruh keluarga (94,0%) responden mempunyai pendapatan perkapita perbulannya di bawah dari UMR Kota Bogor (< Rp 971.200,-) dengan kata lain termasuk kategori kurang. Sedangkan hanya sekitar 6,0% yang mempunyai pendapatan perkapita di atas UMR Kota Bogor (≥ Rp 971.200,-). Selain itu, hampir seluruh keluarga (95,6%) responden sub-sampel mempunyai pendapatan perkapita perbulannya di bawah dari UMR Kota Bogor (< Rp 971.200,-) dengan kata lain termasuk kategori kurang. Sedangkan hanya sekitar 4,4% responden yang mempunyai pendapatan perkapita di atas UMR Kota Bogor (≥ Rp 971.200,-). Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan pendapatan rumahtangga Pendapatan Rumahtangga a. Kurang (< Rp 971.200) b. Cukup (≥ Rp 971.200) Total
Total populasi n % 188 94,0 12 6,0 200 100,0
Sub-sampel n % 43 95,6 2 4,4 45 100,0
Rata-rata pendapatan/kap/bulan responden yaitu Rp 435.526. Besar atau kecilnya pendapatan perkapita sebuah rumahtangga tergantung pada besarnya
44
jumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga yang bekerja dan jumlah anggota
keluarga.
Berdasarkan
penelitian
Rahman
dan
Nasri
(2009),
mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi keluarga adalah salah satu pengaruh paling penting terhadap status gizi pada wanita
Ethiopia. Studi ini
membandingkan antara wanita dengan status ekonomi yang sedang/tinggi dengan wanita dengan status ekonomi sangat miskin/miskin, dimana status gizi kurang banyak terjadi pada keluarga sangat miskin/miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kaitan positif antara status ekonomi keluarga dengan ketahanan pangan keluarga. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989). Pendapatan juga menunjukkan hubungan yang yang positif dengan semua variabel asupan gizi kecuali asupan vitamin C (Obong, Enugu dan Uwaegbute 2001) Di negara industri, kejadian anemia pada wanita terjadi pada status sosio ekonomi yang rendah. Defisiensi besi penyebab utama terjadinya anemia pada kelompok dengan pendapatan rendah. Anemia akut yang terjadi pada wanita hamil berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian ibu dan bayi dan meningkatkan angka kesakitan (WHO, 2000; WHO/CDC, 2008). Menurut Amsalu dan Tigabu (2008), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa besar anggota keluarga (>3 orang) dan tingkat pendapatan rumahtangga yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya gizi kurang dengan OR=1,96; 95% CI: 1,043,73 dan OR=3,44; 95% CI: 1,66-7,20. Kebiasaan Merokok Perilaku merokok dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan. Seseorang yang sudah terlanjur kecanduan rokok sangat sulit untuk berhenti, padahal kebiasaan tersebut tidak memberikan manfaat yang positif bagi kesehatan. Merokok telah banyak menimbulkan berbagai penyakit, diantaranya kanker paru, penyakit jantung, stroke, penyakit kardiovaskuler. Bagi wanita yang
45
hamil dan perokok dapat menimbulkan gangguan kehamilan seperti terjadi kelahiran dengan berat bayi lahir rendah, ataupun keguguran. Terdapat dua jenis rokok yang umum beredar di masyarakat yaitu rokok filter dan rokok kretek (non filter). Rokok kretek tidak dilengkapi dengan filter yang berfungsi untuk mengurangi asap rokok, sehingga kandungan nikotinnya lebih besar dibandingkan rokok filter (Susanna, Hartono, dan Fauzan 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 2,2% responden merokok dengan jenis rokok filter dan 2,2% responden merokok dengan jenis rokok non filter. Kebiasaan merokok berpengaruh pada kondisi kesehatan, terlebih jika sedang mempersiapkan kehamilan. Oleh sebab itu, kebiasaan tersebut harus dihentikan karena terdapat zat-zat berbahaya yang dapat mempengaruhi kehamilan seperti karbon monoksida, sianida, dan nikotin. Pada penelitian ini, diketahui bahwa dari 4,4% responden yang merokok, satu diantaranya merokok dengan frekuensi 4 kali/hari dan lainnya merokok dengan frekuensi 1 kali/hari. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (95,6%) responden sub-sampel tidak merokok, sedangkan terdapat 4,4% responden yang merokok dengan frekuensi 4 kali/hari dan 1 kali/hari. Menurut hasil penelitian Dallongenville, Mare’caux, Fruchart dan Amouyel (1998) menunjukkan bahwa orang yang perokok cenderung mempunyai perilaku konsumsi pangan yang tinggi mengandung energi, lemak, lemak jenuh, kolesterol dan alkohol serta rendah konsumsi pangan sumber antioksidan dan serat dibandingkan pada orang yang tidak merokok. Sebuah studi di Kanada yang melihat pengaruh merokok terhadap fungsi ovarium dan hasil kehamilan melaporkan bahwa dari 447 pasangan yang mengikuti kegiatan, 124 wanita diantaranya merokok, serta 69 wanita berada dalam masa kehamilan. Hasil studi tersebut adalah tidak terdapat pengaruh signifikan antara merokok dengan gangguan fungsi ovarium, tetapi keguguran lebih tinggi terjadi pada kelompok wanita hamil yang merokok (42,1%) dibandingkan wanita hamil yang tidak merokok (18,9%) (Pattinson, Taylor, dan Pattinson 1991). Studi lainnya menganalisis pengaruh merokok dan konsumsi kopi terhadap konsepsi melaporkan bahwa dari 1341 primigravida yang mengikuti kegiatan, wanita yang merokok memiliki kesuburan yang lebih rendah
46
dibandingkan wanita yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi (OR = 0,5-0,6) (Alderet, Eskenazi, dan Sholtz 1995).
Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi Jenis dan Jumlah Konsumsi Pangan Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Jenis pangan yang dikonsumsi oleh responden sangat beragam. Data pada Tabel 12 menunjukkan keragaman konsumsi pangan baik makanan dan minuman yang dikelompokkan menjadi 10 kelompok pangan dari hasil data recall pangan 2 x 24 jam. Dari 10 kelompok pangan, konsumsi minuman memberikan kontribusi terbesar yaitu 53,8% (1133,7 g/kap/hari) dari konsumsi total. Jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi adalah air putih, teh, kopi, sirup, dan jus buah. Selanjutnya konsumsi sereal dan olahannya sebesar 24,2% (511,1 g/kap/hari). Jenis makanan yang banyak dikonsumsi oleh responden pada kelompok serealia adalah nasi, mie, dan pangan yang diolah dari tepung terigu. Tabel 12 Jenis dan jumlah konsumsi pangan responden Kelompok Pangan 1. Sereal dan hasil olahannya 2. Daging dan hasil olahannya 3. Ikan dan hasil olahannya 4. Telur dan hasil olahannya 5. Susu dan hasil olahannya 6. Kacang-kacangan dan hasil olahannya 7. Sayur dan hasil olahannya 8. Buah dan hasil olahannya 9. Minuman 10. Makanan jajanan Total
Berat (g/kap/hr) 511,1 45,1 23,0 20,1 64,6 67,7 138,8 29,1 1133,7 75,6 2108,7
Kontribusi (%) 24,2 2,2 1,1 1,0 3,1 3,2 6,6 1,4 53,8 3,6 100,0
Konsumsi kelompok sayur dan hasil olahannya seperti sayur sup, bayam, sawi, wortel, dan toge tumis memberikan kontribusi 6,6% (138,8 g/kap/hari); dan
47
konsumsi susu, kacang-kacangan dan makanan jajanan memberikan kontribusi sekitar 3% (64-75 g/kap/hari). Sedangkan untuk konsumsi susu, ikan, daging dan buah hanya memberikan kontribusi paling sedikit yaitu sekitar 1-2% (20-45 g/kap/hari) dari konsumsi total. Keragaman jenis konsumsi pangan tersebut menunjukkan kualitas jenis konsumsi pangan yang baik. Densitas Zat Gizi Konsumsi pangan-pun sebaiknya mempertimbangkan densitas zat gizi. Densitas zat gizi merupakan rasio kandungan zat gizi terhadap kandungan energi total bahan makanan tersebut (per 1000 kkal). Jika suatu bahan makanan memiliki kandungan beberapa zat gizi yang tinggi densitas gizi dan cukup rendah kandungan energinya maka bahan makanan tersebut disebut padat gizi (Drenowski 2005). Rata-rata densitas zat gizi yang diperoleh dari rata-rata pengeluaran pangan responden yakni Rp 8.986 kap/hari adalah protein (32,7±6,7 g), zat besi (17,9±32,7 mg), vitamin A (306,5±574,7 RE), dan vitamin C (19,9±31,8 mg). Hal tersebut berarti bahwa untuk mendapatkan densitas zat gizi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan dari konsumsi pangan responden, misalnya untuk zat besi yaitu 26 mg maka pengeluaran WUS yang diperlukan adalah dua kali lipat yaitu Rp 19.972 kap/hari. Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan densitas protein Densitas Protein a. Kurang (< 27 mg) b. Cukup (≥ 27 mg) Total
Total populasi n % 45 22,5 155 77,5 200 100,0
Sub-sampel n % 10 22,2 35 77,8 45 100,0
Pada Tabel 13 menggambarkan bahwa ada sebanyak sekitar 22% responden secara total dan sub-sampel mempunyai densitas protein dengan kategori kurang. Hal ini menunjukkan bahwa menu makan yang dikonsumsi oleh responden miskin akan zat gizi yang mengandung protein. Pada Tabel 14 menggambarkan densitas besi, vitamin A dan vitamin C pada
responden
sub-sampel.
Lebih
dari
50%
rseponden
mengkonsumsi pangan yang rendah zat besi, vitamin A dan vitamin C.
sub-sampel
48
Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan densitas zat gizi Densitas Zat Gizi
Sub-sampel n
%
27 18 45
60,0 40,0 100,0
25 20 45
55,6 44,4 100,0
37 8 45
82,2 17,8 100,0
Zat Besi a. Kurang (<14 mg) b. Cukup (≥14 mg)
Total Vitamin A a. Kurang (<270 RE) b. Cukup (≥270 RE)
Total Vitamin C a. Kurang (<41 mg) b. Cukup (≥41 mg)
Total
Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat konsumsi pangan lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan, sehingga untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (WNPG 2004). Rata-rata konsumsi energi responden adalah 1.435 kkal/kap/hari. Kelompok pangan yang memberikan kontribusi terbesar adalah sereal dan hasil olahannya yaitu 742 kkal/kap/hari (51,7%) dari total konsumsi. Selanjutnya makanan ringan memberikan kontribusi 204 kkal/kap/hari (14,2%); kacangkacangan 166 kkal/kap/hari (11,6%) lebih besar dibandingkan konsumsi kelompok pangan lainnya seperti ikan, daging, telur, susu, sayur dan buah yang
49
hanya memberikan kontribusi berkisar antara 3-4% (40-60 kkal/kap/hari) dari total konsumsi total responden. Tabel 15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi Konsumsi (kap/hari) Energi (kkal) Protein (g) Zat besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Rata-rata Konsumsi 1.435 47 25 445 28
AKG 1.853 50 26 500 75
% AKG Kekurangan 77,4 93,3 95,0 89,0 37,0
-418 -3 -1 -5 -47
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi aktual rata-rata responden masih dibawah angka yang seharusnya. Tabel 15 menunjukkan gap/selisih antara konsumsi aktual dengan yang dianjurkan berdasarkan angka kecukupan gizi pada wanita usia subur. Pada tabel tersebut menujukkan bahwa konsumsi gizi makro (energi dan protein) dan gizi mikro (zat besi, vitamin A dan Vitamin C) masih rendah dibawah angka yang dianjurkan. Konsumsi yang rendah pada WUS yang sedang mempersiapkan kehamilan dapat menimbulkan masalah gizi makro dan mikro pada saat kehamilan nanti. Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein Tingkat Konsumsi Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingkat sedang (70-80% AKG) Defisit tingkat ringan (80-90% AKG) Normal (>90% AKG)
Energi (%) Protein (%) Total SubTotal SubPopulasi sampel Populasi sampel 45,0 48,9 27,0 22,2 15,0 8,9 14,0 17,8 11,5 15,6 15,5 22,2 28,5 26,7 43,5 37,8
Tingkat konsumsi energi dan protein merupakan hasil dari semua konsumsi pangan dan merupakan indikasi dari perilaku pemilihan pangan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil penelitian (Tabel 16) menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami defisit energi (71,0%) dan protein (56,0%). Terdapat sebanyak 45,0% responden yang mengalami defisit energi dan 27,0% kurang protein dalam kategori tingkat berat. Sedangkan data sub-sampel menunjukkan bahwa lebih dari separuh sub-sampel responden mengalami defisit
50
energi (73,4%) dan protein (62,2%). Sebanyak 48,9% responden yang mengalami defisit energi dan 22,2% defisit protein dalam kategori tingkat berat. Konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dapat mempengaruhi status gizi, dimana hal tersebut telah banyak dibuktikan, seperti penelitian Priswanti (2005), dimana dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga melaporkan hal serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein (OR=4,57) mempengaruhi LILA. Zat gizi yang harus diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan WUS tidak hanya terbatas pada energi dan protein saja, tetapi juga zat gizi lainnya seperti vitamin dan mineral. Terkait dengan defisiensi gizi besi yang sering terjadi pada WUS maka konsumsi zat gizi yang perlu diperhatikan adalah zat besi, vitamin A (pembentukkan sel darah), dan vitamin C (mempengaruhi penyerapan zat besi). Berdasarkan tingkat konsumsinya maka diketahui bahwa sebanyak 70,0% responden termasuk dalam kelompok yang defisit konsumsi zat besi, 62,5% kurang vitamin A, dan 88,0% defisit konsumsi vitamin C (Tabel 17). Sedangkan sub-sampel menunjukkan bahwa sebanyak 71,1% responden termasuk defisit zat besi, 53,3% defisit vitamin A, dan 86,7% defisit vitamin C. Tabel 17 Tingkat konsumsi zat besi, vitamin A, dan vitamin C Tingkat Konsumsi Defisit (< 77% AKG) Normal (≥77% AKG)
Besi (%) Total SubPopulasi sampel
Vit. A (%) Vit. C (%) Total SubTotal SubPopulasi sampel Populasi sampel
70,0
71,1
62,5
53,3
88,0
86,7
30,0
28,9
37,5
46,7
12,0
13,3
Pervaiz, Gillani, Alia dan Qayyum (2000) yang melakukan penelitian pada kelompok wanita usia subur yang dipilih dari wanita yang menyusui dengan membagi tiga kelompok sosial ekonomi yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil penelitiannya menunjukkan secara keseluruhan konsumsi energi, protein dan vitamin A 2.275±40,50 kkal, 65±14,35 g dan 442±182,0 µg/kap/hari, dimana tingkat konsumsi gizi masih dibawah angka yang dianjurkan. Berdasarkan hasil
51
uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan konsumsi zat gizi yang signifikan pada ketiga kelompok tersebut. Penyakit Infeksi Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya masalah gizi. Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan penyakit infeksi Penyakit Infeksi a. Menderita b. Tidak menderita Total
Total populasi n % 155 77,5 45 22,5 200 100,0
Sub-sampel n % 31 68,9 14 31,1 45 100,0
Pada Tabel 18 menunjukkan bahwa sebanyak 77,5% responden satu bulan sebelum diambil data menderita penyakit penyakit infeksi, sedangkan yang tidak menderita penyakit infeksi sebesar 22,5%. Pada Tabel 18 juga menunjukkan bahwa sebanyak 68,9% responden sub-sampel satu bulan sebelum diambil data menderita penyakit penyakit infeksi, sedangkan yang tidak menderita penyakit infeksi sebesar 31,1. Penyakit infeksi disebabkan oleh sebuah agen biologi (seperti virus, bakteri atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar) atau kimia (seperti keracunan). Jenis penyakit infeksi yang diderita oleh responden satu bulan yang lalu adalah flu, diare, thipus, dan radang. Data pada Tabel 19 menggambarkan bahwa sebanyak 49,0% responden menderita penyakit flu, 21,0% mengalami radang, sebanyak 6,5% mengalami diare dan hanya 1,0% yang sakit thipus. Sedangkan tidak ada satupun responden yang mengalami TBC, demam berdarah, dan malaria sebulan yang lalu. Beberapa jenis penyakit infeksi yang banyak terjadi pada usia dewasa antara lain influenza, diare, ISPA, maupun TBC. Hal tersebut disebabkan
52
gaya hidup pasif dan pola makanan yang tidak sehat sehingga terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh (Purwaningsih 2007). Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR = 3,50; 95% CI: 4,57-40,0 (Shulman et al. 2002). Tabel 19 Distribusi responden berdasarkan jenis penyakit/infeksi Jenis Penyakit Infeksi a. Flu b. Radang c. Diare d. Tipus e. TBC f. Demam berdarah g. Malaria
n 98 42 13 2 0 0 0
% 49,0 21,0 6,5 1,0 0,0 0,0 0,0
Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang banyak terjadi di Nepal. Ada sebanyak 78% (anak usia sekolah), 68% (wanita) dan 75% wanita hamil menderita anemia. Anemia akut ditemukan sebanyak 2,2% pada wanita dan 3,1% pada anak usia 6-23 bulan. Rendahnya status vitamin A, kadar Hb pada wanita di Nepal erat kaitannya dengan adanya infeksi. Selain itu, ada hubungan yang kuat antara rendahnya konsumsi energi dan protein dengan asupan protein (Rai, Hirai, Abe, dan Ohno 2002).
Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Antropometri Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup dan beragam dapat membawa ke arah status gizi yang baik. Status gizi yang diukur secara anthropometri digambarkan oleh IMT (indeks massa tubuh) dan LILA (lingkar lengan atas).
53
Status Gizi Berdasarkan IMT Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Berat badan normal merupakan idaman bagi setiap orang untuk menacapai tingkat kesehatan yang optimal. Keuntungan apabila berat badan normal adalah penampilan baik, lincah dan risiko sakit rendah. Berat badan yang kurang dan berlebihan akan menimbulkan risiko terhadap berbagai macam penyakit. Pengukuran status gizi menggunakan indeks IMT hanya berlaku untuk orang dewasa di atas 18 tahun. Namun tidak tepat jika digunakan pada balita, anak-anak, remaja, ibu hamil, dan para olahragawan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan responden adalah 153 ± 5,3 Cm dan rata-rata berat badan 54±11 Kg. Tinggi badan yang rendah pada remaja atau dewasa wanita berhubungan dengan kekurangan gizi selama masa kanak-kanak yang akhirnya akan memberikan dampak pada ukuran IMT. Menurut WHO (1995) tinggi badan yang kurang (TB < 145 cm) meningkatkan risiko kelahiran melalui sesar. Dengan kategori ini, maka ada sebanyak 3,0% responden dalam penelitian ini yang mempunyai risiko untuk melahirkan secara sesar. Rata-rata nila IMT responden pada penelitian ini adalah 23,1±4,1. Tabel 20 Distribusi responden berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) Status Gizi a. Gizi lebih (IMT≥25,0) b. Gizi normal (18,5
n 62 110 28 200
% 31,0 55,0 14,0 100,0
Pada Tabel 20, menggambarkan bahwa lebih dari separuh (55,0%) responden mempunyai status gizi normal (18,5
54
menunjukkan bahwa sebaran responden berdasarkan penelitian dan angka sebaran nasional tidak jauh berbeda. Status gizi pada orang dewasa juga dapat diukur dengan menggunakan indikator lingkar lengan atas. Salah satu ukuran untuk mengetahui risiko KEK (kurang energi kronis) pada WUS adalah ukuran lingkar lengan atas (LILA) < 23,5 Cm. Hasil penelitian (Tabel 21) menunjukkan bahwa rata-rata LILA WUS pada penelitian ini adalah 27,4±3,8 Cm. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (87,5%) responden mempunyai LILA dengan kategori normal (LILA≥ 23,5 cm). Namun, ada sekitar 12,5% responden yang mempunyai ukuran LILA kurang dari 23,5 cm. Hal ini berarti ada sebanyak 12,5% responden WUS yang mempunyai risiko KEK. Angka tersebut ternyata tidak berbeda jauh dengan angka KEK nasional yaitu 13,6% (Depkes 2010). Tabel 21 Distribusi responden berdasarkan Lingkar Lengan Atas (LILA) Status Gizi a. Gizi Kurang (<23,5 cm) b. Gizi Normal (≥ 23,5 cm) Total
n 25 175 200
% 12,5 87,5 100,0
Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia Status gizi yang diukur secara biokimia yaitu dengan mengukur kadar Hb, feritin, asam folat dan vitamin A hanya digambarkan oleh sub-sampel dari responden WUS yaitu sebanyak 45 orang. Berikut adalah gambaran kondisi responden terhadap status Hb, feritin, asam folat dan vitamin A. Status Besi Status besi responden digambarkan dengan kadar Hb dan kadar fertin. Status Hb pada WUS diukur dengan mennggunakan menggunakan metode Peroxidation/Colorimetry, yang diperlukan untuk mengetahui apakah seorang WUS menderita anemia (Hb < 12 g/dl) atau tidak menderita anemia (Hb ≥ 12 g/dl). Anemia pada WUS dapat meningkatkan risiko anemia pada kehamilan karena rendahnya cadangan besi dalam tubuh. Sedangkan selama kehamilan,
55
anemia dapat menjadi faktor penyebab prematur, berat bayi lahir rendah, serta kematian ibu dan anak. Menurut Banda (2004) ada hubungan yang kuat antara status gizi ibu dan anak. Anak-anak dengan status anemia ternyata 82% ibunya adalah anemia. Tingakt keparahan anemia ibu konsisten dengan status anaknya, dimana anak yang mempunyai status anemia parah berasal dari ibu dengan anemia parah dan anak dengan anemia sedang cenderung berasal dari ibu dengan anemia dengan kategori sedang pula. Tabel 22 Distribusi responden berdasarkan status besi Status Besi Hemoglobin (Hb) a. Anemia (< 12 g/dL) b. Normal (≥ 12 g/dL) Total Feritin a. Defisien besi (< 12 µg/L) b. Normal (≥ 12 µg/L) Total Status Besi a. Anemia gizi besi b. Normal Total
n
%
5 40 45
11,1 88,9 100.0
6 39 45
13,3 86,7 100,0
2 43 45
4,4 95,6 100,0
Pada Tabel 22, dapat dilihat bahwa sebanyak 88,9% responden tidak mengalami anemia (normal), hanya 11,1 % responden yang menderia anemia. Apabila ditinjau dari data SKRT (Survei Riset Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2004, persentase anemia yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan prevalensi nasional yakni 39,5%. Namun, apabila ditinjau dari laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) maka persentase anemia yang diperoleh dalam penelitian tidak jauh berbeda dengan prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) yakni sebesar 19,7%. Rata-rata kadar Hb yang diperoleh dalam penelitian yaitu 13,2 ± 1,2 g/dL, berkisar antara 9,2 – 15,3 g/dL. Meskipun penentuan status besi seringkali menggunakan pengukuran Hb, namun kesalahan klasifikasi sering terjadi karena overlap antara rentang nilai Hb pada orang normal dan defisiensi besi sehingga perlu digunakan pengukuran lain
56
seperti status feritin. Status feritin diukur dengan menggunakan metode Chemiluminescent Immunoassay (CMIA), yang berfungsi untuk mendukung penentuan status besi karena konsentrasi serum feritin paralel dengan penyimpanan zat besi (1 µg/L sama dengan 10 mg cadangan besi), sehingga benar-benar dapat menggambarkan kekurangan zat besi, kelebihan zat besi, dan normal. Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa sebanyak 86,7% responden memiliki status feritin normal (feritin ≥ 12µg/L), hanya 13,3 % responden yang menderita defisien besi (< 12 µg/L). Persentase tersebut ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil studi yang dilakukan Ani et al. (2010), dimana prevalensi pasangan pengantin baru di wilayah Bali yang mengalami defisien besi yakni 47,1%. Rata-rata kadar serum feritin yang diperoleh dalam penelitian adalah 70,0 ± 50,5µg/L, berkisar 2,7 – 184,0µg/L. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada sebanyak 4,4% responden WUS yang mengalami anemia yang disebabkan karena kekurangan besi.
Status Asam Folat Asam folat merupakan zat gizi yang sangat berperan alam sintesis DNA dan kekurangan folat selama kehamilan akan berpengaruh pada risiko neural tube defects (Gibson 2005). Oleh karena itu, konsumsi asam folat pada WUS harus diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan, sehingga risiko yang mungkin akan terjadi selama kehamilan terkait dengan rendahnya cadangan gizi dalam tubuh ibu dapat diminimalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden (100,0%) tidak menderita defisiensi asam folat (3-17 ng/mL), dengan rata-rata 17,6 ± 5,2 ng/mL, berkisar 9,3 – 35,8 ng/mL. Penelitian lain (Zhu et al. 2010) yang dilakukan di Cina bagian Utara yang merupakan daerah dengan insiden NTD tinggi mengungkapkan ada sebanyak 24% wanita dari populasi 1.671 wanita usia subur yang tidak hamil yang mengalami defisien asam folat (<6,8 nmol/L). Terkait dengan anemia atau kondisi dimana tubuh tidak memiliki sel darah merah yang cukup, kurangnya asupan asam folat dapat menyebabkan berkurangnya sel darah merah (eritrosit), sehingga disebut anemia defisiensi asam folat. Menurut Antony (2008), asam folat dibutuhkan untuk pembentukkan dan
57
perkembangan eritrosit. Pada anemia akibat defisiensi asam folat ukuran sel darah merah besar secara abnormal. Sel darah merah yang besar tersebut disebut megalosit atau megaloblas dalam sumsum tulang, sehingga dinamakan megaloblastic anemia. Faktor risiko megaloblastic anemia yaitu alkoholisme, makan sayuran terlalu masak, gizi buruk (kurang makan sayuran), dan kehamilan.
Status Vitamin A Vitamin A berperan penting mempertahankan fungsi imunitas dalam tubuh, serta terkait dengan anemia maka vitamin A berperan dalam penyerapan zat besi. Menurut Gibson (2005), defisiensi yang parah dari beberapa zat gizi pun dapat menstimulasi defisiensi vitamin A, seperti energi dan protein. Pada penelitian ini, vitamin A dianalisis dengan metode High Performance Liquid Chromatography – UV. Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden (64,4%) menderita kurang vitamin A (≤ 50 µg/L), sedangkan sisanya memiliki status vitamin A normal (> 50 µg/L) (Tabel 23). Rata-rata kadar vitamin A yakni 49,8 ± 21,8 µg/dL, berkisar 13,4 – 109,5µg/dL. Tabel 23 Distribusi responden berdasarkan status Vitamin A Status Gizi a. Defisien Vitamin A (≤ 50 µg/dL) b. Normal (> 50 µg/dL) Total
n 29 16 45
% 64,4 35,6 100,0
Status Defisiensi Multi Gizi Mikro Kondisi status gizi mikro responden menunjukkan adanya defisiensi multi gizi mikro. Sebagian besar responden mempunyai status vitamin A rendah (64,4%), dan 13,3% mengalami defisiensi besi. Ada sebanyak 4,4% responden yang menderita anemia gizi besi dan mengalami anemia gizi besi & vitamin A. Tabel 22 juga menggambarkan ada sebanyak 11,1% responden mengalami anemia saja; anemia & defisien besi; dan defisiensi besi & vitamin A (Tabel 24). Kajian mengenai defisien multi gizi mikro pada wanita usia subur belum banyak ditemukan, penelitian yang dilakukan Zhu et al. (2010) pada wanita usia subur di Lebanon mengungkapkan ada sebanyak 16,0% dan 27,2% WUS yang
58
menderita anemia dan defisien besi, serta dari total responden (407 WUS usia 1549 tahun) ada sebanyak 7,7% menderita anemia gizi besi. Defisiensi folat dan Vitamin B12 masing-masing sebanyak 25,1% dan 39,4%, dan ada sebanyak 12,6% menderita defisiensi folat dan vitamin B12. Tabel 24 Distribusi responden berdasarkan defisien multi gizi mikro Defisiensi Gizi Mikro Anemia Defisiensi besi Defisiensi vitamin A Anemia gizi besi Anemia dan defisiensi vitamin A Defisien besi dan vitamin A Anemia gizi besi dan vitamin A
n 5 6 29 2 5 5 2
% 11,1 13,3 64,4 4,4 11,1 11,1 4,4
Kajian lain yang dilakukan Pathak (2004) pada wanita hamil menghasilkan ada sebanyak 54,9% wanita hamil mengalami defisien Zc dan Fe; 25,6% defisien Mg dan Fe; 9,3% defisien Zc, Mg, Fe, asam folat dan sebesar 0,8% mengalami defisien Zc, Mg, Fe, asam folat, dan iodin. Berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa penyebab terjadinya masalah defisien multi gizi mikro adalah rendahnya konsumsi zat gizi, rendahnya frekuensi konsumsi kelompok pangan yang kaya dengan zat gizi mikro tertentu dan jarak kelahiran yang pendek.
Hubungan Antar Variabel Uji hubungan dilakukan dengan menggunakan metode Chi Square (X2) dengan tabel 2x2. Uji hubungan antar variabel-variabel baik tidak langsung dan langsung terhadap status gizi pada WUS digambarkan pada Tabel 25-34. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan IMT Hasil uji hubungan antar variabel dengan IMT pada responden menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat pendidikan responden yang berhubungan sangat signifikan dengan IMT (P=0,017). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi wanita. Hal ini dikarenakan
59
wanita dengan pendidikan yang tinggi mampu mengambil keputusan dan memilih jenis pangan yang baik untuk dikonsumsi. Menurut penelitian Obong, Enugu dan Uwaegbute (2001) pada wanita desa di Nigeria menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan semua asupan gizi, yaitu energi (r=0,334), niacin (r=0,330) dan vitamin C (r=0,348). Variabel-variabel lain seperti usia responden, jenis pekerjaan responden dan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, tingkat konsumsi energi dan protein tidak berhubungan dengan IMT. Namun demikian pada Tabel 25 dapat menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek (IMT Kurang) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek. Responden
yang
mempunyai
IMT
dengan
kategori
kurang
menggambarkan bahwa sebanyak 11,5% berada pada kelompok usia yang berisiko untuk hamil; 20,8% tidak bekerja; dan 13,0% mempunyai tingkat pendidikan rendah (<9 tahun). Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang mempunyai IMT kurang ternyata sebesar 15,3% tingkat pendidikan suami rendah. Karakteristik rumahtangga
yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (IMT kurang) yaitu 20,6% pada rumahtangga dengan anggota besar; dan 19,0% pendapatan rumahtangga rendah. Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 20,5% responden yang menderita penyakit infeksi mempunyai IMT kurang. Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko ternyata 15,6% dan 18,3% dan mengkonsumsi pangan yang rendah protein sebanyak 18,8% yang mengalami efek yaitu mempunyai IMT kurang. Sedangkan ada sebanyak 84,4% dan 81,7% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami efek (IMT normal). Hanya 18,8% responden yang mengalami efek mengkonsumsi makanan dengan rendah kandungan protein.
60
Tabel 25 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan IMT (N=138)
Karakteristik Usia Responden : a. Berisiko (≥ 35 tahun) b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) Pekerjaan Responden : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Responden : a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Pekerjaan Suami : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Suami: a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Besar Anggota Rumahtangga : a. Kecil (< 4 orang) b. Besar (≥ 4 orang) Pendapatan Rumahtangga : a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) Merokok : a. Ya b. Tidak Infeksi : a. Menderita b. Tidak Menderita Tingkat Konsumsi Energi (TKE) : a. Defisit (TKE < 80%) b. Normal (TKE ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) : a. Defisit (TKP < 80%) b. Normal (TKP ≥ 80%) Densitas Protein : a. Kurang (<27 g) b. Cukup (≥27 g)
Kurang (IMT<18,5) n %
Normal (18,5
25,0) n %
Chisquare (X2)
3 25
11,5 22,3
23 87
88,5 77,7
0,218
22 6
20,8 18,8
84 26
79,2 81,3
0,805
10 18
13,0 29,5
67 43
87,0 70,5
0,017*
0 28
0,0 20,3
0 110
0,0 79,7
-
9 19
15,3 24,1
50 60
84,7 75,9
0,204
7 21
19,4 20,6
29 81
80,6 79,4
0,883
24 4
19,0 33,3
102 8
81,0 66,7
0,240
0 28
0,0 21,1
5 105
100,0 78,9
0,250
23 5
20,5 19,2
89 21
79,5 80,8
0,882
12 16
15,6 26,2
65 45
84,4 73,8
0,123
23 5
18,3 41,7
103 7
81,7 58,3
0,218
6 22
18,8 20,8
26 84
81,3 79,2
0,805
61
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan LILA Hasil uji hubungan antar variabel dengan LILA pada responden menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan LILA (P=0,009 dan P=0,024). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Priswanti (2005), dimana dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga melaporkan hal serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein (OR=4,57) mempengaruhi LILA. Variabel-variabel lain seperti usia responden, tingkat pendidikan responden, jenis pekerjaan responden dan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, tingkat konsumsi protein dan dan densitas protein tidak berhubungan dengan LILA. Namun demikian pada Tabel 26 menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek (LILA kurang) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek. Pada Tabel 26 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai LILA kurang menggambarkan bahwa sebanyak 4,9% berada pada kelompok usia yang berisiko untuk hamil; 11,8% tidak bekerja; dan 11,3% mempunyai tingkat pendidikan rendah (<9 tahun). Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang mempunyai LILA kurang ternyata sebesar 10,8% tingkat pendidikan suami rendah. Karakteristik rumahtangga
yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (LILA kurang) yaitu 11,0% pada rumahtangga dengan anggota besar; dan 11,7% pendapatan rumahtangga rendah. Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 14,8% responden yang menderita penyakit infeksi mempunyai efek (LILA kurang).
62
Tabel 26 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan LILA (N=200)
Karakteristik Usia Responden : a. Berisiko (≥ 35 tahun) b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) Pekerjaan Responden : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Responden : a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Pekerjaan Suami : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Suami: a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Besar Anggota Rumahtangga : a. Kecil (< 4 orang) b. Besar (≥ 4 orang) Pendapatan Rumahtangga : a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) Merokok : a. Ya b. Tidak Infeksi : a. Menderita b. Tidak Menderita Tingkat Konsumsi Energi (TKE) : a. Defisit (TKE < 80%) b. Normal (TKE ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) : a. Defisit (TKP < 80%) b. Normal (TKP ≥ 80%) Densitas Protein (d) : a. Kurang (d<27 g) b. Cukup (d≥27 g)
Kurang (LILA<23,5) n %
Normal (LILA≥23,5) n %
Chisquare (X2)
2 23
4,9 14,5
39 139
95,1 85,5
0,098
19 6
11,8 15,4
142 33
88,2 84,6
0,544
13 12
11,3 14,1
102 73
88,7 85,9
0,552
0 25
0,0 12,6
2 173
100,0 87,4
0,591
10 15
10,8 14,0
83 92
89,2 86,0
0,486
8 17
17,4 11,0
38 137
82,6 89,0
0,253
22 3
11,7 25,0
166 9
88,3 75,0
0,177
0 25
0,0 13,1
9 166
100,0 86,9
0,246
23 2
14,8 4,4
132 43
85,2 95,6
0,063
9 16
7,5 20,0
111 64
92,5 80,0
0,009*
8 17
9,8 14,4
74 101
90,2 85,6
0,328
5 20
11,1 12,9
40 135
88,9 87,1
0,749
63
Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko ternyata ada 7,5% dan 11,2% serta ada 11,1% responden mengkonsumsi dengan menu yang rendah protein mengalami efek yaitu LILA kurang. Sedangkan ada sebanyak 92,5% dan 88,8% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami efek (LILA normal). Tabel 26 diketahui pula bahwa persentase terbesar responden (> 80,0%) yang mengkonsumsi energi (defisit dan normal) memiliki LILA normal (≥23,5 cm). Serupa halnya dengan energi, persentase terbesar responden (> 60,0%) yang mengkonsumsi protein (defisit dan normal) memiliki LILA normal. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia Berdasarkan hasil uji hubungan dengan Chi Square (X2) menunjukkan tidak ada variabel baik variabel tidak langsung maupun langsung yang berhubungan dengan kadar hemoglobin responden (p>0,05). Namun demikian pada Tabel 27 dapat menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek (anemia) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek. Tabel 27 menggambarkan bahwa responden yang berisiko dan mengalami anemia mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 9,1% berada pada kelompok usia yang berisiko untuk hamil; dan 10,8% tidak bekerja. Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko dan mengalami efek (anemia) ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan suami rendah dan suami tidak bekerja. Karakteristik rumahtangga
yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (anemia) yaitu 15,2% pada rumahtangga dengan anggota besar; dan 11,6% pendapatan rumahtangga rendah. Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 9,7% responden yang menderita penyakit infeksi mengalami anemia. Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko ternyata ada 15,4% dan 15,2% yang mengalami anemia. Sedangkan ada sebanyak 84,6% dan 84,8% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami anemia.
64
Tabel 27 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan anemia (N=45) Karakteristik Usia Responden : a. Berisiko (≥ 35 tahun) b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) Pekerjaan Responden : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Responden : a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Pekerjaan Suami : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Suami: a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Besar Anggota Rumahtangga : a. Kecil (< 4 orang) b. Besar (≥ 4 orang) Pendapatan Rumahtangga : a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) Merokok : a. Ya b. Tidak Infeksi : a. Menderita b. Tidak Menderita Tingkat Konsumsi Energi (TKE) : a. Defisit (TKE < 80%) b. Normal (TKE ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) : a. Defisit (TKP < 80%) b. Normal (TKP ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Zat Besi (TKFe) : a. Defisit (TKFe < 77%) b. Normal (TKE ≥ 77%) Tingkat Konsumsi Vitamin A (TKVA) : a. Defisit (TKVA < 77%) b. Normal (TKVA ≥ 77%) Tingkat Konsumsi Vitamin C (TKVC) : a. Defisit (TKVC < 77%) b. Normal (TKVC ≥ 77%)
Anemia (Hb<12g/dL) n %
Normal (Hb≥12 g/dL) n %
Chisquare (X2)
1 4
9,1 11,8
10 30
90,9 88,2
0,806
4 1
10,8 12,5
33 7
89,2 87,5
0,890
0 5
0,0 11,1
0 40
0,0 88,9
-
0 5
0,0 11,4
1 39
100,0 88,6
0,721
0 5
0,0 11,1
0 40
0,0 88,9
-
0 5
0,0 15,2
12 28
100,0 84,8
0,153
5 0
11,6 0,0
38 2
88,4 100,0
0,609
0 5
0,0 11,6
2 38
100,0 88,4
0,609
3 2
9,7 14,3
28 12
90,3 85,7
0,649
4 1
15,4 5,3
22 18
84,6 94,7
0,286
5 0
15,2 0,0
28 12
84,8 100,0
0,153
3 2
9,4 15,4
29 11
90,6 84,6
0,561
2 3
8,3 14,3
22 18
91,7 85,7
0,526
3 2
7,7 33,3
36 4
92,3 66,7
0,063
65
Karakteristik Densitas Protein : a. Kurang (<27 g) b. Cukup (≥27 g) Densitas Zat Besi : a. Kurang (<14 mg) b. Cukup (≥14 mg) Densita Vitamin A : a. Kurang (<270 RE) b. Cukup (≥270 RE) Densitas Vitamin C : a. Kurang (<41 mg) b. Cukup (≥41 mg)
Anemia (Hb<12g/dL) n %
Normal (Hb≥12 g/dL) n %
Chisquare (X2)
1 4
10,0 11,4
9 31
90,0 88,6
0,899
1 4
3,7 22,2
26 14
96,3 77,8
0,053*
2 3
8,0 15,0
23 17
92,0 85,0
0,458
2 3
5,4 37,5
35 5
96,4 62,5
0,009*
Pada Tabel 27 tersebut juga diketahui bahwa persentase terbesar responden (>80%) yang mengkonsumsi zat besi (kurang dan cukup) memiliki status Hb normal. Demikian halnya dengan vitamin A dan vitamin C, yakni responden terbesar (60,0-92,3%) yang mengkonsumsi dalam keadaan kurang dan cukup memiliki status Hb yang normal. Meskipun demikian, masih terdapat 33,3% responden yang mengkonsumsi vitamin C cukup, justru menderita anemia (Hb < 12 g/dL). Hal tersebut terjadi karena konsumsi vitamin C responden tidak diimbangi dengan konsumsi zat besi, padahal konsumsi vitamin C berfungsi untuk membantu penyerapan zat besi. Jika dilihat dari komposisi menu yang dikonsumsi oleh responden subsampel menunjukkan bahwa responden yang menderita anemia memang ada yang mengkonsumsi pangan rendah protein (10,0), zat besi (3,7%), vitamin A (8,0%) dan rendah vitamin C (5,4%). Namun demikian, ada sekitar 11-37% responden yang anemia mengkonsumsi makanan dengan menu yang cukup akan protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Defisiensi Besi Berdasarkan hasil uji hubungan dengan Chi Square (X2) menunjukkan tidak ada variabel baik variabel tidak langsung maupun langsung yang berhubungan dengan kadar feritin responden (p>0,05). Namun demikian pada Tabel 28 dapat menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek (defisien besi) dan proporsi prevalen subyek tanpa
66
faktor risiko yang mengalami efek. Responden yang berisiko dan mengalami defisien besi mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 9,1% berada pada kelompok usia yang berisiko untuk hamil; dan 13,5% tidak bekerja. Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko dan mengalami defisien besi ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan suami rendah dan suami tidak bekerja. Tabel 28 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan defisiensi besi (N=45) Karakteristik Usia Responden : a. Berisiko (≥ 35 tahun) b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) Pekerjaan Responden : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Responden : a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Pekerjaan Suami : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Suami: a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Besar Anggota Rumahtangga : a. Kecil (< 4 orang) b. Besar (≥ 4 orang) Pendapatan Rumahtangga : a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) Merokok : a. Ya b. Tidak Infeksi : a. Menderita b. Tidak Menderita Tingkat Konsumsi Energi (TKE) : a. Defisit (TKE < 80%) b. Normal (TKE ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) : a. Defisit (TKP < 80%) b. Normal (TKP ≥ 80%)
Defisien Besi (<12µg/L) n %
Normal (≥12 µg/L) n %
Chisquare (X2)
1 5
9,1 14,7
10 29
90,9 85,3
0,634
5 1
13,5 12,5
32 7
86,5 87,5
0,939
0 6
0,0 13,3
0 39
0,0 86,7
-
0 6
0,0 13,6
1 38
100,0 86,4
0,692
0 6
0,0 13,3
0 39
0,0 86,7
-
2 4
16,7 12,1
10 29
83,3 87,9
0,692
6 0
14,0 0,0
37 2
86,0 100,0
0,570
0 6
0,0 14,0
2 37
100,0 86,0
0,570
3 3
9,7 21,4
28 11
90,3 78,6
0,283
4 2
12,1 16,7
22 17
84,6 89,5
0,692
4 2
12,1 16,7
29 10
87,9 83,3
0,252
67
Karakteristik Tingkat Konsumsi Zat Besi (TKFe) : a. Defisit (TKFe < 77%) b. Normal (TKE ≥ 77%) Tingkat Konsumsi Vitamin A (TKVA) : a. Defisit (TKVA < 77%) b. Normal (TKVA ≥ 77%) Tingkat Konsumsi Vitamin C (TKVC) : a. Defisit (TKVC < 77%) b. Normal (TKVC ≥ 77%) Densitas Protein : a. Kurang (<27 g) b. Cukup (≥27 g) Densitas Zat Besi : a. Kurang (<14 mg) b. Cukup (≥14 mg) Densita Vitamin A : a. Kurang (<270 RE) b. Cukup (≥270 RE) Densitas Vitamin C : a. Kurang (<41 mg) b. Cukup (≥41 mg)
Karakteristik rumahtangga
Defisien Besi (<12µg/L) n %
Normal (≥12 µg/L) n %
Chisquare (X2)
4 2
12,5 15,4
28 11
87,5 84,6
0,796
3 3
12,5 14,3
21 18
87,5 85,7
0,860
5 1
12,8 16,7
34 5
87,2 83,3
0,796
3 3
30,0 8,6
7 32
70,0 91,4
0,079
4 2
14,8 11,1
23 16
85,2 89,9
0,720
3 3
12,0 15,0
22 17
88,0 85,0
0,769
5 1
13,5 12,5
32 7
86,5 87,5
0,839
yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami defisien besi yaitu 16,7% pada rumahtangga dengan anggota besar; dan 14,0% pendapatan rumahtangga rendah. Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 9,7% responden yang menderita penyakit infeksi mengalami anemia. Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko masing-masing 12,1% yang mengalami defisien besi. Sedangkan ada sebanyak 84,6% dan 87,9% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami defisien besi. Tabel 28 juga menggambarkan bahwa persentase terbesar responden (>80,0%) yang mengkonsumsi zat besi kurang dan cukup memiliki status feritin normal (≥12µg/L). Demikian halnya dengan responden yang mengkonsumsi vitamin A dan vitamin C dalam ketagori kurang dan cukup, yakni persentase terbesar (80,0%) memiliki status feritin normal. Jika dilihat dari komposisi menu yang dikonsumsi oleh responden sub-sampel menunjukkan bahwa responden yang
68
menderita defisiensi besi memang ada yang mengkonsumsi pangan rendah protein (30,0), zat besi (14,8%), vitamin A (12,0%) dan rendah vitamin C (13,5%). Namun demikian, ada sekitar 8-15% responden yang defisiensi besi mengkonsumsi makanan dengan menu yang cukup akan protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C. Pada penelitian ini juga diteliti hubungan antara status Hb dengan status feritin. Pada Tabel 29, diketahui bahwa sebanyak 33,3% responden yang defisien besi menderita anemia dan 7,7% responden yang memiliki status feritin normal menderita anemia. Namun demikian, persentase tertinggi (92,3%) responden memiliki status feritin normal dan tidak menderita anemia. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status Hb dengan status feritin (p=0,063). Tabel 29 Hubungan antara anemia dengan defisiensi besi
Status Feritin Defisien besi (< 12 µg/dL) Normal (≥ 12 µg/dL) Total
Status Hb Anemia Normal (< 12 g/dL) (≥ 12 g/dL) n % n % 2 33,3 4 66,7 3 7,7 36 92,3 25 11,1 175 88,9
Total n 6 39 45
% 100,0 100,0 100,0
Hubungan Antara Status Besi dengan Status Asam Folat Pada Tabel 30 menunjukkan kecenderungan hubungan antara status asam folat dan status Hb, dimana diketahui bahwa dari seluruh responden yang memiliki status asam folat normal, hanya 11,1% yang menderita anemia. Uji ChiSquare (X²) tidak dapat dilakukan karena data tidak menyebar normal (seluruh responden tidak menderita defisien asam folat). Penelitian oleh Zhu et al. (2010) menyatakan bahwa uji regresi menyatakan bahwa defisien asam folat tidak mempunyai hubungan dengan kejadian anemia pada wanita usia subur di Cina Utara. Sebuah studi yang dilakukan 39 orang ibu hamil di Semarang melaporkan bahwa tingkat konsumsi asam folat tidak berhubungan signifikan dengan kejadian anemia (p>0,05) (Priswanti 2005). Hasil studi tersebut ternyata tidak sejalan dengan studi yang dilakukan terhadap 1459 responden di Amerika untuk melihat
69
hubungan status vitamin B-12 dan serum folat dengan anemia, dimana hasil studi tersebut adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara status vitamin B-12 dan serum folat yang rendah dengan kejadian anemia (OR = 3,1 95% CI: 1,50-6,60) (Morris et al. 2007). Tabel 30 Hubungan status asam folat dengan anemia
Status Asam Folat a. Defisien (< 3 ng/mL) b. Normal (≥ 3 ng/mL) Total
Anemia (< 12 g/dL) n % 0 0,0 5 11,1 5 11,1
Status Hb Normal (≥ 12 g/dL) n % 0 0,0 40 88,9 40 88,9
Total n 0 45 45
% 0,0 100,0 100,0
Tangkilisan dan Rumbajan (2002), menyatakan bahwa asam folat merupakan kelompok vitamin B yang termasuk unsur penting dalam sintesis DNA. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan megaloblastik anemia, yang dilaporkan terjadi pada 3-75% wanita yang kurang asupan asam folat. Anemia megaloblastik yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan Nueral Tube Defect (NTD) atau kelainan kongenital akibat kegagalan penutupan lempeng saraf yang terjadi pada mingu ke-3 dan ke-4 masa gestasi dan Hiperhomosisteinemia atau peningkatan kadar homosistein dalam darah. Wanita yang pernah mengalami NTD biasanya menderita hiperhomosisteinemia. Tabel 31 Hubungan status asam folat dengan defisiensi besi
Status Asam Folat a. Defisien (< 3 ng/mL) b. Normal (≥ 3 ng/mL) Total
Defisien Besi (< 12 µg/L) n % 0 0,0 6 13,3 6 13,3
Status Feritin Normal (≥ 12 µg/L) n % 0 0,0 39 86,7 39 86,7
Total n 0 45 45
% 0,0 100,0 100,0
Hubungan antara status asam folat dan status feritin ditunjukkan pada Tabel 31, dimana diketahui bahwa dari seluruh responden yang memiliki status asam folat normal, hanya 13,3% diantaranya yang menderita anemia. Serupa dengan status Hb, pada hubungan status asam folat dengan status feritin tidak
70
dapat dilakukan uji Chi-Square (X²) karena data tidak menyebar normal (seluruh responden tidak menderita defisien asam folat). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin A Hasil uji hubungan antar variabel dengan status vitamin A pada responden menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat konsumsi vitamin A responden yang berhubungan sangat signifikan dengan status vitamin A (p=0,005). Variabelvariabel lain seperti usia responden, tingkat pendidikan responden, jenis pekerjaan responden dan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, tingkat konsumsi energi, protein, besi, dan tingkat konsumsi vitamin C tidak berhubungan dengan status vitamin A (p>0,05). Namun demikian pada Tabel 32 dapat menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek (defisien serum vitamin A) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek. Responden yang berisiko dan mengalami defisien serum vitamin A mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 72,7% berada pada kelompok usia yang berisiko untuk hamil; dan 64,9% tidak bekerja. Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko dan mengalami defisien serum vitamin A ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan suami rendah dan 100,0% suami tidak bekerja. Karakteristik rumahtangga
yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami defisien vitamin A yaitu 72,7% pada rumahtangga dengan anggota besar; dan 62,8% pendapatan rumahtangga rendah. Sebanyak 50,0% responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 58,1% responden yang menderita penyakit infeksi mengalami efek. Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko masing-masing 65,4% dan 66,7% yang mengalami defisien vitamin A. Sedangkan ada sebanyak 34,6% dan 33,3% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami efek.
71
Tabel 32 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan status vitamin A (N=45) Karakteristik Usia Responden : a. Berisiko (≥ 35 tahun) b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) Pekerjaan Responden : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Responden : a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Pekerjaan Suami : a. Tidak Bekerja b. Bekerja Tingkat Pendidikan Suami: a. Rendah (< 9 tahun) b. Tinggi (≥ 9 tahun) Besar Anggota Rumahtangga : a. Kecil (< 4 orang) b. Besar (≥ 4 orang) Pendapatan Rumahtangga : a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) Merokok : a. Ya b. Tidak Infeksi : a. Menderita b. Tidak Menderita Tingkat Konsumsi Energi (TKE) : a. Defisit (TKE < 80%) b. Normal (TKE ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) : a. Defisit (TKP < 80%) b. Normal (TKP ≥ 80%) Tingkat Konsumsi Zat Besi (TKFe) : a. Defisit (TKFe < 77%) b. Normal (TKE ≥ 77%) Tingkat Konsumsi Vitamin A (TKVA) : a. Defisit (TKVA < 77%) b. Normal (TKVA ≥ 77%) Tingkat Konsumsi Vitamin C (TKVC) : a. Defisit (TKVC < 77%) b. Normal (TKVC ≥ 77%)
Defisien Vit A (≤50µg/dL) n %
Normal (>50 µg/dL) n %
Chisquare (X2)
8 3
72,7 61,8
3 13
27,3 38,2
0,509
24 5
64,9 62,5
13 3
35,1 37,5
0,899
0 29
0,0 64,4
0 16
0,0 35,6
-
1 28
100,0 63,6
0 16
0,0 36,4
0,453
0 29
0,0 64,4
0 16
0,0 35,6
-
5 7
41,7 72,7
7 9
58,3 27,3
0,054
27 2
62,8 100,0
16 0
37,2 0,0
0,283
1 28
50,0 65,1
1 15
50,0 34,9
0,662
18 11
58,1 78,6
13 3
41,9 21,4
0,183
17 12
65,4 63,2
9 7
34,6 36,8
0,878
22 7
66,7 58,3
11 5
33,3 41,7
0,606
21 8
65,6 61,5
11 5
34,4 38,5
0,795
11 18
45,8 85,7
13 3
54,2 14,3
0,005*
24 5
61,5 83,3
15 1
38,5 16,7
0,299
72
Karakteristik Densitas Protein : a. Kurang (<27 g) b. Cukup (≥27 g) Densitas Zat Besi : a. Kurang (<14 mg) b. Cukup (≥14 mg) Densita Vitamin A : a. Kurang (<270 RE) b. Cukup (≥270 RE) Densitas Vitamin C : a. Kurang (<41 mg) b. Cukup (≥41 mg)
Defisien Vit A (≤50µg/dL) n %
Normal (>50 µg/dL) n %
Chisquare (X2)
4 25
40,0 71,4
6 10
60,0 28,6
0,067
21 8
77,8 44,4
6 10
22,2 55,6
0,022
12 17
48,0 85,0
13 3
52,0 15,0
0,10
22 7
59,5 87,5
15 1
40,5 12,5
0,133
Pada Tabel 32 tersebut juga diketahui bahwa persentase terbesar responden (>60%) yang mengkonsumsi zat besi (defisit dan normal) memiliki status defisien vitamin A. Demikian halnya dengan tingkat konsumsi vitamin C, yakni responden terbesar (61,5-83,3%) yang mengkonsumsi dalam keadaan defisit dan normal memiliki status defisien vitamin A. Meskipun demikian, masih terdapat 83,3% responden yang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah normal, justru menderita defisien vitamin A. Hal tersebut terjadi karena konsumsi vitamin C responden tidak diimbangi dengan konsumsi zat besi, padahal konsumsi vitamin C berfungsi untuk membantu penyerapan zat besi. Pada Tabel 32 juga menggambarkan bahwa persentase terbesar responden (54,2%) yang mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah kurang memiliki status vitamin A normal, tetapi persentase terbesar responden (85,7%) yang mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah cukup justru menderita defisien status vitamin A. Jika dilihat dari komposisi menu yang dikonsumsi oleh responden subsampel menunjukkan bahwa banyak responden yang memiliki status vitamin A rendah memang mengkonsumsi pangan rendah protein (40,0%), zat besi (77,8%), vitamin A (48,0%) dan rendah vitamin C (59,5%). Namun demikian, ada sekitar 44-87% responden yang defisien status vitamin A mengkonsumsi makanan dengan menu yang cukup akan protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C. Meskipun persentase antara responden yang mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah kurang dan cukup tidak terlalu jauh berbeda, tetapi penyebab lebih
73
tingginya persentase responden yang menderia defisien status vitamin A dengan konsumsi vitamin A yang cukup diduga karena rendahnya konsumsi ikan, daging, telur, dan susu yang hanya memberikan kontribusi sekitar 3-4% (40-60 kkal/kap/hari) dari total konsumsi total responden. Seperti diketahui bahwa konsumsi vitamin A yang tinggi tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi apabila jumlah yang diserap oleh tubuh tidak sesuai dengan kebutuhan. Penyerapan vitamin A dapat dibantu oleh konsumsi lemak yang terdapat pada pangan hewani seperti daging, ikan, telur, dan susu. Vitamin A dapat berperan dalam penyerapan zat besi di dalam tubuh, sehingga status vitamin A dapat berperan dalam menentukan status Hb dan feritin. Hubungan antara status vitamin A dengan status Hb ditunjukkan pada Tabel 33, dimana diketahui bahwa persentase terbesar responden (> 80,0%) yang memiliki defisien status vitamin A dan normal tidak menderita anemia, hanya 17,2% responden yang menderita defisien vitamin A dan menderita anemia. Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara status vitamin A dengan status Hb (p=0,078). Tabel 33 Hubungan antara status vitamin A dengan anemia
Status Vitamin A a. Defisien (≤ 50 µg/dL) b. Normal (> 50 µg/dL) Total
Anemia (< 12 g/dL) n % 5 17,2 0 0,0 5 11,1
Status Hb Normal (≥ 12 g/dL) n % 24 82,8 16 100,0 40 88,9
Total n 29 16 45
% 100,0 100,0 100,0
Hasil tersebut ternyata berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh Diana (2003), dimana pada studinya yang dilakukan terhadap 60 ibu hamil di Semarang menunjukkan bahwa status vitamin A mempengaruhi kadar hemoglobin (OR=16,71; 95% CI: 1,84-151,34). Brabin dan Brabin (1992), menyatakan bahwa zat besi dan vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Selama remaja, zat besi mengalami peningkatan kebutuhan yang maksimal dan setelah menarche maka kehilangan zat besi harus digantikan. Peningkatan konsumsi vitamin A pada periode ini dapat mempengaruhi
74
kematangan seksual, bahkan kombinasi zat besi dan vitamin A dapat mempengaruhi ritme pertumbuhan. Tabel 34 Hubungan antara status vitamin A dengan defisiensi besi
Status Vitamin A a. Defisien (≤ 50 µg/dL) b. Normal (> 50 µg/dL) Total
Defisien (< 12 µg/L) n % 5 17,2 1 6,2 6 13,3
Status Feritin Normal (≥ 12 µg/L) n % 24 82,2 15 93,8 39 86,7
Total n 29 16 45
% 100,0 100,0 100,0
Pada Tabel 34 menunjukkan hubungan antara status vitamin A dengan status feritin. Serupa halnya dengan status Hb, persentase terbesar responden (> 80,0%) yang memiliki defisien status vitamin A dan normal tidak menderita defisien feritin. Hasil uji Chi-Square (X²) terhadap status vitamin A dengan status feritin menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan (p=0,299).
Faktor Risiko Status Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS) Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur sehingga mempengaruhi status gizi pada periode kehidupan selanjutnya. Masa kehamilan sangat menentukan kualitas SDM karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisi saat janin masih berada di dalam kandungan, namun demikian perlu diingat bahwa kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan pula oleh kesehatan dan status gizi sebelum kehamilan. Berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi status gizi wanita usia subur yang diteliti yaitu karakteristik responden (usia, pekerjaan, dan pendidikan), karakteristik suami (pekerjaan dan pendidikan), serta karakteristik keluarga (besar anggota rumahtangga dan pendapatan rumahtangga), konsumsi pangan, infeksi, dan kebiasaan merokok. Faktor Risiko Status Gizi yang Diukur Secara Antropometri pada Wanita Usia Subur (WUS) Tahapan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui faktor risiko status gizi makro pada WUS yang harus diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan,
75
yakni uji bivariat (Chi-Square/X²) dan uji multivariat (regresi logistik). Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa hanya ada satu variabel yang berhubungan dengan IMT yaitu tingkat pendidikan responden (p=0,017), dan tingkat konsumsi energi diketahui berhubungan signifikan dengan LILA (p=0,009). Terkait hubungannya dengan pemenuhan gizi, hasil pada penelitian ini yang mengungkapkan tidak adanya hubungan sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan) dan besar keluarga ternyata tidak sejalan dengan pernyataan bahwa status sosial ekonomi seperti pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kulitas makanan yang dikonsumsi sehingga terdapat hubungan antara pendapatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990). Miller dan Rodgers (2009) menyatakan bahwa tingkat pendapatan berhubungan dengan daya beli dan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula aksesnya terhadap makanan bergizi, air bersih, higienitas, dan pelayanan kesehatan. Selain pendapatan, faktor sosial ekonomi yang penting adalah pendidikan dan pekerjaan, karena pendidikan dan pekerjaan akan menentukan pendapatan yang diperoleh. Ambarwati, Sulchan, dan Wardani (2005) melaporkan hasil studinya bahwa status pekerjaan akan memberikan pengaruh terhadap status gizi (p=0,016) karena pekerjaan yang baik akan mempengaruhi pendapatan sehingga berpengaruh pula terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Disamping itu, Suhardjo (1989) juga mengungkapkan bahwa banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar dan tidak diimbangi dengan pendistribusian konsumsi pangan akan menyebabkan timbulnya gangguan gizi. Selain itu, hasil penelitian mengenai kaitan antara status sosial ekonomi dengan status gizi ibu hamil dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yongki et al. (2009), penelitian terhadap 638 ibu hamil yang memeriksakan kesehatan di wilayah Jakarta Timur dan Bekasi melaporkan bahwa rata-rata berat badan ibu dengan status sosial ekonomi rendah lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang berstatus sosial ekonomi tinggi, baik pada ibu kurus, normal, dan overweight di awal kehamilan.
76
Merokok merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi karena tiga zat yang dikandungnya yakni karbon monoksida, sianida, dan nikotin. Dampak merokok terhadap status gizi WUS memang belum dilaporkan, namun dampak merokok terhadap hasil kehamilan telah banyak dilaporkan, salah satunya adalah studi terhadap 6248 kelahiran di Switzerland yang melaporkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko berat bayi lahir rendah OR = 2,70; 95% CI: 2,10-3,50 (Chiolero, Bovet, dan Paccaud 2005). Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agen penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya masalah gizi. Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR = 3,50; 95% CI: 4,57-40,0 (Shulman et al. 2002). Selain itu, studi lainnya mengenai gambaran penyebab kematian maternal di lima Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa perdarahan, preeklamsia, dan infeksi merupakan penyebab kematian yang yang paling banyak (Wiludjeng 2005). Konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dapat mempengaruhi status gizi, dimana hal tersebut telah banyak dibuktikan, seperti penelitian Priswanti (2005), dimana dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga melaporkan hal serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein (OR=4,57) mempengaruhi LILA. Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung (tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein, densitas protein dan infeksi) dan variabel tidak langsung (merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik responden) terhadap status gizi berdasarkan IMT menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berpengaruh terhadap
77
IMT responden (n=138; p=0,04) (OR=2,569; 95% CI: 1,045-6,315) (Tabel 35). Hal ini menggambarkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pendidikan rendah cenderung mempunyai IMT 2,569 kali lebih rendah dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Namun variabel tingkat pendidikan responden ini bukan sebagai faktor risiko terjadinya status gizi kurang karena didalam populasi yang diwakili oleh sampel (n=138), 95% CI: 1,045-6,315 menunjukkan bahwa nila interval kepercayaannya mencakup angka satu. Tabel 35 Faktor-faktor yang mempengaruhi IMT Variabel Pendidikan Responden 1=Tinggi (≥ 9 tahun) 0=Rendah (<9 tahun) Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 1=Normal (TKE≥80%) 0=Defisit (TKE<80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 1=Normal (TKP≥80%) 0=Defisit (TKP<80%) Densitas Protein (d) 1=Cukup (d≥27) 0=Kurang (d<27) Infeksi 1=Tidak Menderita 0=Menderita Konstanta
Exp (β) = OR 2,569
95% C.I. Lower Upper 1,045 6,315
Sig. 0,04*
1,437
0,571
3,615
0,44
2,237
0,576
8,685
0,25
0,951
0,332
2,727
0,93
0,870
0,274
2,764
0,81
0,128
0,00
Uji yang sama menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat konsumsi energi dengan LILA (n=200; p=0,03) (OR=0,263; 95% CI: 0,075-0,916) (Tabel 36). Hal tersebut dapat diartikan bahwa responden yang mengalami defisit konsumsi energi (TKE<80%) berkecenderungan untuk memiliki LILA lebih rendah 0,263 kali dibandingkan responden yang mengkonsumsi energi dalam jumlah cukup. Hasil analisis ini juga bisa dikatakan bahwa tingkat konsumsi energi merupakan faktor protektif untuk terjadinya KEK pada populasi ini yang diwakili oleh sampel (n=200) karena mempunyai OR < 1
78
dan nilai 95% CI: 0,075-0,916 menunjukkan bahwa nila interval kepercayaannya tidak mencakup angka satu. Tabel 36 Faktor-faktor yang mempengaruhi LILA Variabel
Exp (β) = OR
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 1=Normal (TKE≥80%) 0=Defisit (TKE<80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 1=Normal (TKP≥80%) 0=Defisit (TKP<80%) Densitas Protein (d) 1=Cukup (d≥27) 0=Kurang (d<27) Infeksi 1=Tidak Menderita 0=Menderita Konstanta
0,263
95% C.I. Lower Upper 0,075 0,916
Sig. 0,03*
1,680
0,443
6,375
0,45
0,633
0,195
2,053
0,45
2,871
0,632
13,041
0,17
12,151
0,00
Uji regresi logistik juga dilakukan pada tingkat konsumsi energi dan protein dengan kategori (TKE dan TKP <70% defisit tingkat berat), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap IMT (n=138;p=0,01) (OR=0,369; 95% CI: 0,153-0,889). Sedangkan faktor yang berpengaruh pada LILA adalah tingkat konsumsi protein (TKP<70%) dengan OR=0,295; 95% CI: 0,088-0,983 (p=0,05). Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (WNPG 2004).
79
Faktor Risiko Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia pada Wanita Usia Subur (WUS) Analisis faktor risiko status gizi mikro hanya dilakukan pada sub-sampel yaitu sebanyak 45 orang. Tahapan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui faktor risiko status gizi mikro pada WUS yang harus diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan tidak berbeda dengan faktor risiko status gizi makro, yakni uji bivariat (Chi-Square/X²) dan uji multivariat (regresi logistik). Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa tidak ada satu variabel-pun yang berhubungan dengan status Hb dan status feritin (p>0,05), namun tingkat konsumsi vitamin A diketahui berhubungan signifikan dengan status vitamin A (p=0,005). Pada penelitian ini asam folat tidak dapat diuji karena data tidak beragam, yakni seluruh responden (100,0%) tidak mengalami defisiensi asam folat. Pada uji statistik dengan menggunakan kategori tingkat konsumsi gizi makro dengan kategori defisit tingkat berat (<70%) dan tingkat konsumsi gizi mikro (<50%), menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi protein, densitas besi dan densitas vitamin C. Meskipun uji statistik tidak banyak membuktikan hubungan antara faktor-faktor yang diteliti dengan status gizi mikro tetapi secara teori dan beberapa penelitian dapat menjelaskan hubungan tersebut. Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung (tingkat konsumsi gizi, dan infeksi) dan variabel tidak langsung (merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik responden) terhadap status gizi mikro (Hb, feritin, dan vitamin A) menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel yang berpengaruh terhadap status Hb dan feritin (p > 0,05). Berdasarkan nilai Nagelkerke R-Square yang diperoleh dapat diketahui bahwa seluruh faktor yang diteliti baik langsung dan tidak langsung mempengaruhi status Hb sebesar 32-80%, sedangkan untuk status feritin diperoleh hasil bahwa sebesar 25-70% dari seluruh faktor yang diteliti mempengaruhi status feritin. Namun, uji statistik dengan menggunakan kategori defisit tingkat berat (TKE dan TKP < 70% dan TKFe, TKVitA, TKVitC <50%) terdapat pengaruh antara densitas vitamin C dengan status Hb yaitu dengan OR=0,049; 95% CI: 0,003-0,765 dan p=0,03 (Tabel 37). Artinya responden WUS yang menderita
80
anemia cenderung mengkonsumsi menu yang kaya dengan vitamin C lebih rendah 0,049 kali dibanding dengan responden yang tidak anemia. Tabel 37 Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia Variabel Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 1=Tidak Defisit (TKP≥70%) 0=Defisit tingkat berat (TKP<70%) Densitas Besi : 1=Cukup (≥14 mg) 0=Kurang (<14 mg) Densitas Vitamin C : 1=Cukup (≥41 mg) 0=Kurang (d<41 mg) Konstanta
Exp (β) = OR 5,997
95% C.I. Lower Upper 0,426 84,416
Sig. 0,18
0,128
0,008
2,161
0,15
0,049
0,003
0,765
0,03*
21,585
0,05
Zat gizi mikro yang sangat berperan dalam proses kehamilan adalah zat besi (Fe). Defisiensi Fe yang terjadi karena rendahnya asupan, penurunan bioavailabilitas tubuh, peningkatan kebutuhan, dan proses pertumbuhan dapat menyebabkan anemia. Wahyuni (2006) menyatakan bahwa salah satu penyebab tingginya prevalensi anemia adalah faktor sosial-ekonomi yang membatasi kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan seperti daging, ikan, dan ayam sehingga absorpsi zat besi dapat ditingkatkan. Penelitian mengenai anemia masih terbatas pada wanita usia subur, namun Depkes (2008) menyebutkan bahwa persentase anemia pada wanita hamil dari keluarga miskin terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan (8% anemia di trimester 1, 12% anemia di trimester II, dan 29% anemia di trimester III). Anemia pada wanita pasca persalinan juga masih banyak terjadi yang 10-22% diantaranya diderita oleh wanita yang memiliki ekonomi rendah (Fatma 2008). Kondisi ekonomi yang rendah diperparah dengan jumlah anggota keluarga yang besar, dimana keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit memenuhi kebutuhan pangannya dibandingkan dengan keluarga miskin dengan jumlah anak yang lebih sedikit (Sanjur 1982). Lebih lanjut dapat diuraikan bahwa penyebab anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang kurang memadai dan absorpsi yang rendah, serta pola makan yang
81
sebagian besar hanya terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Disampng itu, investasi cacing tambang dapat memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah-daerah tertentu terutama daerah pedesaan. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan anemia gizi adalah sosial-ekonomi, pendidikan, status gizi, pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan infeksi (Wahyuni 2006). Selain itu, kebiasaan merokok juga dapat mengakibatkan anemia akibat sianida yang terkandung di dalamnya karena tubuh memerlukan banyak vitamin B12 untuk dapat melepaskan sianida (Rose-Neil 2007). Salah satu penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) pada WUS melaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi anemia yaitu usia, jumlah kelahiran, pendidikan, pola haid, status perkawinan, pengetahuan gizi, status gizi, dan pola makan. Asupan asam folat dan vitamin C dilaporkan merupakan zat gizi dapat mempengaruhi Hb. Hal yang menarik pada penelitian ini adalah bahwa risiko anemia pada responden yang telah menikah 3,32 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang belum menikah. Responden yang berpendidikan rendah memiliki risiko anemia 2,05 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan menengah dan tinggi. Hasil lainnya yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah suplementasi TTD dapat meningkatkan kadar Hb, feritin, berat badan, dan IMT (Mulyawati 2003). Menggunakan uji yang sama diketahui bahwa terdapat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap status vitamin A yaitu tingkat konsumsi vitamin A (n=45;p=0,011) (OR=0,136; 95% CI: 0,029-0,635) (Tabel 38). Hal tersebut berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi vitamin A (TKVit A < 77%) rendah cenderung menderita defisien vitamin A 0,136 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang cukup. Hasil analisis ini juga bisa dikatakan bahwa tingkat konsumsi vitamin A merupakan faktor protektif untuk terjadinya status defisien vitamin A pada populasi ini yang diwakili oleh sampel (n=45) karena mempunyai OR < 1 dan nilai 95% CI: 0,02-0,64 yang tidak mencakup angka satu. Menurut Rice, West dan Black (1998) mengungkapkan bahwa ada sebanyak 5,6% ibu hamil mengalami kekurangan vitamin A. Estimasi risiko
82
relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada ibu adalah 4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab menimbulkan kematian pada ibu. Studi mengenai status vitamin A belum banyak dilakukan pada usia subur. Keberadaan zat besi dan vitamin A dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sudah banyak dilakukan. Vitamin A sendiri sangat berperan dalam sintesis hemoglobin (Hb), terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Salah satu studi mengenai efek fortifikasi vitamin A dalam pengaruhnya terhadap status vitamin A dilakukan di Kota Bogor, Jawa Barat. Dalam studi, sebanyak 70 anak balita dikelompokkan menjadi 2, yaitu 35 anak balita diberi biskuit fortifikasi vitamin A dan 35 anak balita diberi biskuit plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 4 bulan status vitamin A yang diukur menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi pada kelompok fortifikasi vitamin A dibandingkan dengan plasebo (p<0,05) (Widayani 2007). Tabel 38 Faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin A Variabel
Exp (β) = OR
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 1=Normal (TKE≥80%) 0=Defisit (TKE<80%) Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 1=Normal (TKP≥80%) 0=Defisit (TKP<80%) Tingkat konsumsi besi (TKFe): 1=Normal (TKFe≥77%) 0=Defisit (TKFe<77%) Tingkat konsumsi vitamin A: 1=Normal (TKVitA≥77%) 0=Defisit (TKVitA<77%) Tingkat konsumsi vitamin C: 1=Normal (TKVitC≥77%) 0=Defisit (TKVitC<77%) Infeksi: 1=Tidak Menderita 0=Menderita Konstanta
0,896
95.0% C.I. Lower Upper 0,100 8,024
1,107
0,110
11,145
0,93
0,875
0,174
4,400
0,87
0,136
0,029
0,635
0,01*
0,380
0,029
4,913
0,46
0,397
0,073
2,166
0,29
1,827
.
.
0,36
Sig. 0,92
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Secara
keseluruhan menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
responden
mengalami defisit energi (71,5%) dan protein (56,5%), sebanyak 70,0% responden termasuk ke dalam defisit zat besi, 62,5% defisit vitamin A, dan 88,0% defisit vitamin C. Kondisi status gizi menunjukkan bahwa ada sebanyak 14,0% responden yang mengalami gizi kurang dengan IMT < 18,5 dan ada sekitar 12,5% responden yang mempunyai ukuran LILA < 23,5 cm. Selain itu, ada sebanyak 11,1% responden WUS mengalami anemia, sebanyak 13,3% mengalami defisien besi, 4,4% anemia gizi besi, 64,4% defisien vitamin A dan semua responden WUS mempunyai status folat dengan kategori normal. 2. Hasil uji Chi-square (X2) menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan responden dengan IMT (p=0,017); antara tingkat konsumsi energi dengan LILA (p=0,009); dan antara tingkat konsumsi vitamin A dengan status vitamin A (p=0,005). 3. Hasil uji regresi logistik terhadap status gizi berdasarkan IMT dan LILA menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berpengaruh terhadap IMT responden (n=138; p=0,04) (OR=2,569; 95% CI: 1,045-6,315); dan pengaruh yang signifikan antara tingkat konsumsi energi (TKE<80%) dengan LILA (n=200; p=0,03) (OR=0,263; 95% CI: 0,0750,916). Selain itu, tingkat konsumsi protein (TKP <70%) juga menjadi faktor risiko terhadap status LILA yaitu dengan OR=0,295; 95% CI: 0,088-0,983 (p=0,05). 4. Hasil analisis terhadap status gizi yang diukur secara biokimia menunjukkan tingkat konsumsi vitamin A (TKVitA <77%) yang berpengaruh secara signifikan terhadap status vitamin A (n=45;p=0,011) (OR=0,136; 95% CI: 0,029-0,635). Namun, uji statistik dengan menggunakan kategori defisit tingkat berat (TKE dan TKP: < 70% dan TKFe, TKVitA, TKVitC: <50%)
84
terdapat pengaruh antara densitas vitamin C dengan status Hb yaitu dengan OR=0,049; 95% CI: 0,003-0,765 dengan p=0,03. Saran Masalah kurang zat gizi makro dan mikro yang masih banyak terjadi pada kelompok WUS sehingga diperlukan beberapa masukan baik untuk pemerintah maupun untuk kajian penelitian yang lebih lanjut. Berikut beberapa saran yang perlu diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan: 1. Pemerintah : a. Selama ini program perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah masih terfokus pada kelompok Balita, dan Ibu Hamil, maka dengan adanya kajian ini menjadi alternatif langkah lebih awal untuk memberikan intervensi/ perbaikan gizi pada kelompok WUS. b. Masih rendahnya kualitas konsumsi pangan, baik dilihat dari jumlah maupun keragamannya, diharapkan menjadi upaya-upaya pemerintah daerah melalui dinas kesehatan dan stakeholder terkait untuk melakukan sosialisasi/penyuluhan dan pendidikan gizi bagi WUS mengenai konsumsi pangan yang baik dan beraneka ragam, serta dan menerapkan kebiasaan hidup sehat guna mempersiapkan kehamilan yang baik karena status gizi pada saat kehamilan sangat ditentukan oleh status gizi sebelum kehamilan. c. Dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik, pemerintah dapat memberikan pelatihan-pelatihan seperti kursus menjahit, merajut, dll supaya dapat membantu pendapatan keluarga karena sebagian responden merupakan ibu rumahtangga. 2. Untuk penelitian lebih lanjut : a. Karena masih terbatasnya informasi mengenai masalah gizi pada kelompok WUS, maka dapat dilakukan kajian yang lebih dalam lagi dengan menambah variabel-variabel lain yang sekiranya diduga mempengaruhi status gizi seperti pengetahuan gizi, persepsi gizi, sikap dan praktek gizi. b. Dapat dilakukan penelitian dengan memberikan intervensi perbaikan gizi
pada kelompok WUS berupa suplementasi dan makanan tambahan bagi mereka yang sedang mempersiapkan kehamilan dan memiliki status gizi kurang.
DAFTAR PUSTAKA Achadi EL. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ahmed F, et al. 2005. Efficacy of twice weekly multiple micronutrient supplementation for improving the hemoglobin and micronutrient status of anemia adolescent schoolgirls in Bangladesh. Am J Clin Nutr 82:829-835. Alderet E, Ezkenazi B dan Sholtz R. 1995. Effect of cigarette smoking and coffee drinking on time to conception. Epidol 6(4): 403-408 Al Khatib et al. (2006). Folate deficiency is associated with nutritional anaemia in Lebanese women of childbearing age. Public Health Nutr. 2006 Oct;9(7):921-7. Ani LS et al. 2010. Kadar ferritin serum dan hemoglobin pada wanita pasangan pengantin baru di Bali. Jurnal Gizi Pangan, 5(1):26-30. Assefa N, Berhane Y dan Worku A. 2012. Wealth Status, Mid Upper Arm Circumference (MUAC) and Antenatal Care (ANC) Are Determinants for Low Birth Weight in Kersa, Ethiopia. PLoS ONE 7(6): e39957. doi:10.1371/journal.pone.0039957. Ambarwati, Sulchan dan Wardani RS. 2005. Hubungan antara status pekerjaan ibu, frekuensi makan, dan tingkat konsumsi energi-protein anak dengan status gizi anak TK (4-6 tahun) di TK Dharma Wanita Campurejo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal tahun 2005. J Univ Muhammadiyah, Semarang. Amsalu S & Tigabu Z. Risk factor for severe acute malnutrition in children under the age of five: A case-control study. Ethiop J Health Dev. 2008;22(1):2125. Antony AC. 2008. Megoblastic Anemias. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:39. Atmarita. 2005. Nutrition problem in Indonesia. An Integrated International Seminar and Workshop Lifestyle – Related Diseases, Gajah Mada University: 19-20 March, 2005. Directorat of Community Nutrition, Ministry of Health. Azwar A. 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Bina Kesehatan Masyarakat, Depatemen Kesehatan, Jakarta. . 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004. Banda T. 2004. Infant feeding and children’s and women’s nutritional status. Malawi Chapt 10.
86
Bappenas 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta : Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Penerbit Rajawali. Jakarta. BPS.
2011. http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_ tabel/task,/Itemid,171/. 5 September 2011.
Brabin & Brabin BJ. 2002. The cost of successful adolescent growth and development. Am J Clin Nutr l992:55:955-8 Chilero A, Bovet P dan Paccaud F. 2005. Association between maternal smoking and low birth weight in Switzerland: The EDEN Study. Swiss Med Wkly 2004. 135: 525-530. Dallongeville J, Mare’caux N, Fruchart JC dan Amoyel P. 1998. Cigarette smoking is associated with unhealthy patterns of nutrient intake: a Metaanalysis. American Society for Nutritional Sciences. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. ________. 2001. Buku Pedoman Tanda-Tanda Bahaya Pada Kehamilan, Persalinan, dan Nifas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Diana TR. 2003. Hubungan status gizi mikro asam folat, vitamin B12, seng, dan vitamin A pra suplementasi dengan pencapaian kadar hemoglobin harapan ibu hamil [Tesis]. Semarang: Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro. Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of riboflavin and vitamin A on iron status [Disertasi]. Netherlands: Wageningen University. Dina AS & Maria PH. 2003. Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Jakarta. Puspa Swara. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr; 82(4): 721-732. Ekowati, Kamaluddin R dan Febriani S.2007. Peran suami dalam pemeliharaan status gizi ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Baturaden Banyumas. jurnalonline.unsoed.ac.id. 5 Mei 2012. FANTA-2. 2010. The Analysis of the Nutrition Situation in Uganda. Food and Nutrition Technical Assistance II Project (FANTA-2), Washington, DC: AED. Genebo et al. 1999. The association of children’s nutritional status to maternal education in Ziggbaboto, Guragie Zone South Ethiopia. Ethiopian Journal of Health Develompment 13(1):55-61.
87
Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assesment. Okali Ford Universty Press. Girma W & Genebo T. 2002. Determinants of nutritional status of women and children in Ethiopia. Calverton, Maryland, USA: ORC Macro. Isniati.
2007. Efek suplementasi tablet Fe+ obat cacing terhadap kadar hemoglobin remaja yang anemia di Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Pasir Kec. IV Candung tahun 2008. J. Sains Tek. Far., 12(2): 100-104.
Kartasapoetradan MH. 2003. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineksa Cipta. Khan DA et al. 2010. Iron, folate and cobalamin deficiency in anemic pregnant females in tertiary care centre at Rawalpindi. J Ayub Med Coll Abbottabad 2010;22(1) Levy TS et al. 2003. Anemia in Mexican women: A public health problem. Salud Publica Mex 2003;45 suppl 4:S499-S507. Madiyono et al. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis: Perkiraan Besar Sampel. Jakarta: Sagung Seto. Megawangi R.1991. Pre-school aged nutritional status parameters for indonesia, and their application to nutrition-related policies. A thesis Presented to the Faculty of the School of Nutrition. Tufts University. Miller JE & Rodgers YV. 2009. Mother’s education and children’s nutritional status: New evidence from Cambodia. Asian Development Review 26 (1); 131-165. Morris MS et al. 2007. Folate and vitamin B-12 status in relation to anemia, macrocytosis, and cognitive impairment in older Americans in the age of folic acid fortification. Am J Clin Nutr 2007:85:193–200. Mulyawati Y. 2003. Perbandingan efek suplementasi tambah darah dengan dan tanpa vitamin C terhadap kadar hemoglobin pada pekerja wanita di perusahaan plywood, Jakarta 2003.[Tesis] Jakarta: Program Pascasarjana Uniersitas Indonesia. [NFNC] National Food & Nutrition Centre. 2007. Micronutrient status of women in Fiji. Ministry of Health, Sufa, Fiji. Obong HNE, Enugu GI, dan Uwaegbute AC. 2001. Determinants of Health and Nutritional Status of Rural Nigerian Women. J Health Popul Nutr 2001 Dec;19(4):320-330. Padez et al. 2004. Prevalence of overweight and obesity in 7–9 year old Portuguese children: trends in body mass index from 1970–2002. Am. J. Hum. Biol. 2004:16:670–678. Pattinson HA, Taylor PJ dan Pattinson MH. 1991. The effect of cigarette smoking on ovarian function and early pregnancy outcome of in vitro fertilization treatment. Fertil steril 1991: 55(4):780-783.
88
Pervaiz S, Gillani AH, Alliya dan Qayyum M. 2000. Effect of nutrient intake on haematology in child bearing women of different age and socio–economic groups. International Journal of Agriculture & Biology 15608530/2000/02-4-282–285. Piliang WG & Al Haj S. 2006. Fisiologi Nutrisi Vol 1. IPB Press. Priswanti P. 2005. Hubungan ketersediaan pangan keluarga dan tingkat konsumsi energi protein, Fe, asam folat, vitamin B12 dengan kejadian kurang energi kronis (KEK) dan anemia pada ibu hamil.[Tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Universitas Diponegoro. Pritasari. 2006. Hidup sehat: Gizi seimbang dalam siklus kehidupan manusia. Jakarta: Gramedia. Pryer JA, Rogers S dan Rahman A. 2003. Factors affecting nutritional status in female adults in Dhaka slums, Bangladesh. Soc Biol. Autumn-Winter;50(34):259-69. Purwaningsih E. 2007. Dampak Gangguan Gizi Sejak Awal Kehamilan Dalam Terjadinya Penyakit Di Usia Dewasa (Suatu Kajian Ilmu Gizi Dan Epidemiologi.[Tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Universitas Diponegoro. Rahman MM & Nasrin SO. 2009. Mothers nutritional status in an impoverished nation: Evidence from rural Bangladesh. The Internet Journal of Nutrition and Wellness. Volume 7 Number 1. DOI: 10.5580/135f Rajhans K & Sharma R. 2011. Relationship between socio-economic status and energy intake of elderly from Central India. Journal of The Indian Academy of Geriatrics, Vol. 7, No. 4, December. Rai K, Hirai K, Abe A dan Ohno Y. 2002. Infectious diseases and malnutrition status in Nepal: an overview. Mal J Nutr 8(2): 191-200. Rice AL, West KP dan Black RE. 1998. Comparative Quantification of Health Risks: Vitamin A Deficiency. Chapter 4. WHO. Riyadi, H et al. 1995. Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia Penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan kecamatan Ciomas. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rolfes SR, Pinna K dan Whitney E. 2008. Understanding Normal and Clinical Nutrition. New York: Cengage Learning. Rose-Neil. 2007. Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Dian Rakyat: Jakarta. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspektifes in Nutrition. Washington DC: Prentice Hall, Inc. Newyork, USA. Shulman et al. 2002. Malaria in Pregnancy: adverse effects on haemoglobin levels and birthweight in primigravidae and multigravidae. Trop Med Int Health 2002. 6(10): 770-778.
89
Simarmata M. 2004. Hubungan pola konsumsi, ketersediaan pangan, pengetahuan gizi, dan status kesehatan dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Kabupaten Simalungun 2008. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sistiarani C. 2008. Faktor maternal dan kualitas pelayanan antenatal yang berisiko terhadap kejadian berat badan lahir rendah (BBLR). [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Suhardjo. 1989. Sosio-Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Suhardjo & Riyadi H. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Bogor. Supariasa et al. 2001. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC, Jakarta. Supriyati, Doeljachman dan Susilowati. 2000. Faktor sosio demografi dan perilaku ibu hamil dalam perawatan antenatal sebagai risiko kejadian distokia di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Berita Kesehatan Masyarakat; XVIII; 2:65-70. Susanna D, Hartono B dan Fauzan H. 2003. Penentuan kadar nikotin dalam asap rokok. Makara Kesehatan 2003; 7:2 Tangkilisan HA & Rumbajan R. 2002. Defisiensi asam folat. Sari Pediatri 2002 4(1): 21 – 25. Umk/UMR Jawa Barat tahun 2010. 2011. SK Gubernur No. 561/Kep.1665Bangsos/2009 Tanggal SK : 20 November 2009/hrcentro.com/umr. 14 Juli 2011. [WHO] World Health Organization. 1995. Maternal anthropometry and pregnancy outcomes: A WHO Collaborative Study, World Health Organization Supplement 1995: 73:32-37 [WHO] World Health Organization. 2000. The management of nutrition in major emergencies, Geneva: WHO. [WHO] World Health Organization. 2005. Child Growth Standards Length/Hightfor-Age, Weight-for-Age, Weight-for-Height and Body Mass Index-forAge Methods and Development. Genewa. WHO/CDC. 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993–2005 : WHO global database on anaemia. De Benoist B, McLean E, Egli I, Cogswell M eds. World Health Organization, Geneva. Available at http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657_eng.pdf [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. Wahyuni AS. 2006. Anemia Defisensi Besi pada Balita. Karya Tulis Ilmiah Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas sumatera Utara.
90
Widayani S. 2007. Ffikasi dan preferensi biskuit yang difortifikasi vitamin a dan zat besi (fe) dan kaitannya dengan konsumsi, status gizi, dan respons imun anak balita. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Wiludjeng RLK. 2005. Gambaran Penyebab Kematian Maternal di Rumah Sakit. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan Departemen Kesehatan. Yongki et al. 2009. Status gizi awal kehamilan dan pertambahan berat badan ibu hamil kaitannya dengan BBLR. J Pangan dan Gizi 2009. 4(1): 8-12. Yimer G. 2000. Malnutrition among children in Southern Ethiopia: Levels and risk factors. Ethiopian Journal of Health Development 14(3):283-292. Zhu et al. 2010. Iron, folate, and B(12) deficiencies and their associations with anemia among women of childbearing age in a rural area in Northern China. Int J Vitamin Nutr Res. Apr;80(2):144-54.