ETIKA PENDIDIKAN DAN TRADISI PESANTREN Oleh : Drs. H. Abd. Rouf Djabir, M.Ag. Dosen mata kuliah Tradisi Pesantren, mantan ketua STAI Qomaruddin Gresik
Abstrak Perkembangan dunia telah melahirkan kemajuan zaman modern. Beberapa perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural sering kali membentur pada aneka kemapanan dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan sosio-kultural dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajarannya dari waktu ke waktu agar tetap relevan dan survive. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah dimaklumi. Dunia pesantren telah memperkenalkan sebuah kaidah yang sangat populer: “al-muhafadhah „ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid alashlah” (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budayabudaya baru yang lebih konstruktif). Kaidah tersebut merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan prinsip, efektivitas, dan efisien. Kata Kunci : Rekonstruksi, al-Ashlah, Stigma, Akhlakul Karimah, Dakwah Islamiyah, Sorogan, Perang Nilai, Uzlah, Sistem Salafi, Kitab Kuning
ISU NEGATIF SEPUTAR PONDOK PESANTREN Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman Walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya, pondok pesantren berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang menurut Prof. Azyumardi Azra telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini, dalam konteks peran Amerika Serikat melawan terorisme dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali1, pondok pesantren dituding memainkan 1
Pada larut malam, tanggal 12 Oktober 2002, bom meledak di depan Sari Club, Jl. Legian, Kuta,
peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrem. Tuduhan tersebut adalah hal yang sangat serius bagi lembaga-lembaga pondok pesantren di Indonesia, terutama pada saat ini ketika Amerika Serikat dan sekutunya sedang mencari dan mencoba menebak tindakan berikut jaringan teroris yang ternyata sudah muncul di Indonesia. Stigma „sarang teroris‟ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia didasarkan pada proses pencarian dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali. Ada dua hal utama dari investigasi peledakan bom di Bali tersebut yang penting dalam tuduhan pondok pesantren ini. Pertama, penangkapan Ustadz Abubakar Ba‟asyir yang dituduh berkaitan dengan kepemimpinan jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia dan Asia Tenggara. Kedua, penangkapan dan pengakuan tiga orang bersaudara dari pondok pesantren di Desa Tenggulun, Jawa Timur yang merencanakan dan melakukan peledakan bom di Bali. Ini berarti bahwa memang ada kaitan antara pondok pesantren di Indonesia dan jaringan teroris internasional. Masalahnya muncul karena bukti ini harus dilihat dengan sikap proporsional. Walaupun beberapa pondok pesantren dituduh berkaitan dengan jaringan teroris internasional dan tindakan ekstrem, tidak berarti bahwa semua pondok pesantren menyebarkan ajaran Islam ekstrem.Untuk menjawab pertanyaan bagaimana posisi pondok pesantren terhadap proses penyebaran ajaran Islam ekstrem di Indonesia, perlu didefinisikan dulu apa maksud dari ekstrem. Pada umumnya, sesuatu yang ekstrem adalah sesuatu yang kurang seimbang. Sesuatu yang luar biasa, yang kelebihan, dan yang di luar nilai-nilai umum. Misalnya olahraga ekstrem, bahasa ekstrem atau cuaca ekstrem. Dalam konteks agama, tindakan ekstrem termasuk tindakan yang mendorong kekerasan misalnya: teroris yang meledakkan bom dengan tujuan membunuh diri dan sebanyak mungkin orang lain. Pendapat (atau ajaran) ekstrem adalah pendapat yang tertutup dan bersikap kurang toleran terhadap agama atau kepercayaan lain. Bisa dikatakan juga bahwa banyak ajaran ekstrem menolak kemajuan teknologi dan modernisme di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang mengancam kesucian masyarakat. Maka, ada tiga sifat yang harus dimiliki untuk menentukan apakah suatu ajaran masuk kategori ekstrem. Yaitu: mendorong tindakan keras, memiliki pikiran yang tertutup dan kurang toleran, dan memiliki sikap melawan modernisme. SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar, masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadap sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya dilangsungkan pada malam hari agar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, Bali. Kurang lebih 300 orang terluka dan 190 orang tewas akibat peledakan tersebut. Kebanyakan korban berasal dari Australia dan Indonesia. Dampak besar peledakan bom itu dirasakan terutama oleh masyarakat Bali karena ekonominya sangat tergantung kepada hasil bidang pariwisata yang setelah kejadian tersebut telah hancur. Tim investigasi (yang termasuk polisi RI dan polisi Australia) tidak perlu waktu yang lama untuk menangkap pelaku peledakan bom yang ternyata berasal dari Indonesia.
yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapatkan kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau pembantu kiai. Sistem ini biasanya diterapkan kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qur‟an. Dalam kenyataannya, sistem ini merupakan bagian yang paling sulit sebab ia menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28). Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual. Pesantren sekarang ini dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Proses modernisasi pondok pesantren dimaksudkan untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155). PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN DI GRESIK Secara historis Gresik merupakan daerah pemula berdirinya pesantren. Sejak abad ke-14 M. (sekitar tahun 1400 M.) di Gresik sudah ada gerakan dakwah Islamiyah oleh Maulana Malik Ibrahim. Setelah beliau wafat (1419 M.), gerakan dakwah Islamiyah tersebut dilanjutkan oleh Raden Rahmatullah bertempat di Ampel Dentho Surabaya. Salah satu santrinya adalah Raden Ainul Yaqin yang kemudian dikenal dengan sebutan Kanjeng Sunan Giri. Setelah selesai nyantri di Ampel Dentho, atas izin orang tua (Maulana Ishaq) dan gurunya (Sunan Ampel), Kanjeng Sunan Giri membuka pesantren baru di Giri, tepatnya di Bukit Pertukangan, Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Dengan demikian berdirinya Pesantren Giri merupakan mata rantai kepesantrenan di Gresik sejak gerakan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh Raden Maulana Malik Ibrahim. Setelah Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) wafat, sekitar tahun 1468 M., Gresik merupakan pusat pengembangan Islam di Jawa Timur di bawah pengaruh Sunan Giri. Bahkan praktis Pesantren Giri-Gresik menggantikan kedudukan Pesantren Ampel Dentho baik posisinya sebagai sentral keagamaan, sosial, maupun politik yang gemanya sampai ke wilayah Indonesia bagian timur. Babad Gresik, Babad Giri Kedaton, Babad Tanah Jawi, Serat Centini, dan penelitian De Graaf menyebutkan bahkan Sultan Pajang perlu sungkem, meminta restu kepada Sunan Giri untuk menduduki takhta di Kerajaan Pajang.
Keberhasilan Sunan Giri menarik simpati masyarakat untuk datang belajar agama Islam di Gresik antara lain didukung oleh: a. tempatnya yang strategis; dekat pelabuhan yang setiap saat dapat disinggahi oleh para pedagang antar-pulau, bahkan dari manca negara, b. keahlian sunan Giri di bidang pendidikan kepesantrenan (edukatif), sehingga ia dikenal sebagai seorang edukator ulung, c. Sunan Giri memiliki kemampuan manajemen dan jiwa leadership yang tinggi. Dengan kata lain, Sunan Giri adalah seorang ulama yang berjiwa umara‟. Pesantren Giri di bawah asuhan Sunan Giri mengalami perkembangan pesat, pengaruhnya tidak hanya masyarakat Jawa Timur tapi menyebar ke daerah-daerah di luar pulau Jawa. Karena itu, setelah Sunan Ampel wafat, Sunan Giri diangkat sebagai Adipati Kerajaan Majapahit yang wilayahnya meliputi Surabaya dan Gresik. Diangkatnya Sunan Giri sebagai adipati menggantikan kedudukan Sunan Ampel dengan harapan akan dijadikan partner pemerintah kerajaan Majapahit, yang saat itu sudah mulai goyah akibat perang paregrek yang banyak mengakibatkan rapuhnya ketahanan negara. Harus diakui bahwa faktor keberhasilan islamisasi yang dilakukan para Walisongo adalah selain karena peran mereka sebagai dai atau penganjur ilmu agama Islam, juga karena peran mereka sebagai tokoh-tokoh politik. Semua itu mereka tempuh sebagai sarana pengembangan ajaran Islam di tanah Jawa. Perkembangan Pesantren Giri sebagai pusat dakwah Islamiyah di Gresik, sudah mengakar dalam hati masyarakat. Hal itu terbukti dengan adanya catatancatatan sejarah baik yang ditulis oleh penulis dalam negeri maupun luar negeri. Di pihak lain, legenda dan mitos Sunan Giri beserta pesantrennya telah banyak melahirkan cerita-cerita tutur yang melekat di hati masyarakat. Misalnya, adanya seorang tokoh di suatu daerah yang kemudian dihubungkan dengan Sunan Giri. Di wilayah Sidayu, masyarakat mengatakan bahwa penyebar Islam di sana adalah Kanjeng Sepuh, yaitu salah seorang murid (santri) Kanjeng Sunan Giri. Di wilayah Bungah terdapat beberapa makam para tokoh penyebar Islam; pertama, Kiai Gede Bungah yang makamnya di belakang Masjid Jamik Bungah, kedua santri mBah Kramat yang makamnya terletak di selatan Gunung Pentung Desa Gunungsari, ketiga santri Ngabar yang makamnya terletak di Desa Bedanten. Disebutkan bahwa mereka adalah para santri Kanjeng Sunan Giri yang memiliki peran penting dalam islamisasi di daerahnya. Bahkan, di pulau Bawean ada makam seorang putri yang diakui masyarakat sebagai seorang penyebar Islam, yang diyakini pula sebagai santri Kanjeng Sunan Giri. Di Jombang pun terdapat tokoh mBah Alip yang oleh masyarakat sekitar dikatakan sebagai santri Kanjeng Sunan Giri. Sekali lagi, semua itu menunjukkan betapa melekatnya nama Sunan Giri dalam pikiran masyarakat di Jawa Timur dalam peranannya sebagai seorang pencetus ulama-ulama pesantren. Sehubungan dengan peranan Pesantren Giri dalam upaya islamisasi di Gresik dan sekitarnya, keberhasilan yang telah dicapai terutama ialah kaderisasi para juru dakwah yang kemudian bermunculan di daerah-daerah. Termasuk di dalamnya ialah para juru dakwah Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah. Pengaruh itu sekurangkurangnya berupa dukungan masyarakat yang telah mantap keislamannya terhadap misi yang diemban oleh Kiai Qomaruddin. Bahkan bila dihubungkan dengan sistem kekerabatan/silsilah, jelas bahwa antara Kiai Qomaruddin dengan Kanjeng Sunan Giri adalah masih satu jalur keturunan. Walhasil, supremasi yang pernah dicapai oleh Pesantren Giri dahulu, kemudian dilanjutkan dan diwarisi oleh Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik. Di pihak lain, dilihat dari segi usia (dua abad lebih) maka Pondok Pesantren Qomaruddin Sampurnan Bungah merupakan pondok pesantren pemula di wilayah Gresik bahkan Jawa Timur sesudah Pesantren Giri.
Begitulah mata rantai kesinambungan sejarah kepesantrenan di Gresik. PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN DARI MASA KEMASA 1. Pondok Pesantren pada Masa Hindu-Buddha Berdasarkan fakta sejarah dunia pesantren pada masa lalu, dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mampu mempertahankan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman. Pada pertumbuhan awalnya, pesantren berjuang melawan agama dan kepercayaan yang percaya pada serba Tuhan dan takhayul; tampil dengan membawakan misi agama tauhid. Kehadiran pesantren baru selalu diawali dengan "perang nilai" antara "nilai putih" yang dibawa oleh pesantren dan "nilai hitam" yang ada di masyarakat setempat. Pada gilirannya “nilai putih” pesantren itulah yang diterima oleh masyarakat. Hampir semua kiai pendiri dan pengasuh pondok pesantren dilaporkan sebagai memiliki cerita-cerita legendaris lengkap dengan kesaktian-kesaktian badaniyah dan misteri kekuatan batiniyah yang luar biasa di samping ilmu agama yang tinggi untuk melawan kekuatan-kekuatan hitam dan kebodohan masyarakat terhadap agama. Keberhasilan demi keberhasilan diraih oleh pesantren sehingga memperoleh tempat di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dan menjadi rujukan bagi masyarakat setempat. Bentuk dan sifat pesantren pada waktu itu adalah sebagai lembaga pendidikan, sosial, dan penyiaran agama dengan sifat pendidikan dan pengajaran yang didominasi oleh pikiran ahli fikih dan tasawwuf dari abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi, dengan kitab-kitab keagamaan yang berorientasi pada fikih dan kesufian. Pondok pesantren juga dipandang sebagai masyarakat ideal di bidang moral keagamaan. Kiai tidak hanya menjadi pemimpin spiritual dan tokoh kunci di dalam pesantren, tetapi juga di masyarakat sekitarnya. Pada skala nasional, pesantren telah memperoleh pengakuan sebagai lembaga pendidikan yang ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, setidak-tidaknya di kalangan mayoritas umat Islam Indonesia yang juga merupakan golongan mayoritas dari bangsa Indonesia. 2. Pondok Pesantren pada Masa Penjajahan Pada periode zaman penjajahan, pesantren tetap eksis dalam tata kehidupan masyarakat muslim dengan posisi uzlah, yaitu terpisah dari tata kehidupan pemerintah kolonial pada umumnya, karena pemerintah kolonial takut pada perkembangan Islam di Indonesia. Selain itu, keberadaan pendidikan pesantren jika dilihat dari kacamata pemerintah sangat jelek, sehingga sulit dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah. Dalam pandangan pemerintah, pesantren memiliki batas-batas yang tidak jelas antara lembaga pendidikan, lembaga sosial dan lembaga penyiaran agama; tidak jelas kedudukan antara guru, pimpinan spiritual, penyiar agama, dan pekerja sosial keagamaan. Tulisan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipelajari dan dipergunakan dalam pesantren sangat berbeda dan sulit dipadukan dengan tulisan Latin yang dipergunakan dalam sistem pendidikan pemerintah. Walhasil, sistem pendidikan di pesantren, oleh pemerintah saat itu, dianggap tidak jelas tujuan kurikulumnya, sistem evaluasinya, dan seterusnya. Oleh sebab itu, posisi pondok pesantren tetap berada di luar sistem pendidikan pemerintah kolonial. Dalam keadaan uzlah tersebut pondok pesantren tetap menjalankan fungsinya sebagai lembaga untuk memberdayakan masyarakat dengan memperdalam ajaran agama yang bercorak fikih-sufistik tersebut. Kondisi itu sebenarnya adalah sebuah keterpaksaan, sebab oleh pemerintah, pesantren dilarang mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan keduniawian (ekonomi, politik) kecuali yang menyangkut hukum warisan (faraid). Hal tersebut membawa keuntungan dan
kerugian sekaligus bagi pesantren. Keuntungannya ialah pesantren berhasil menjadi lembaga pendidikan yang sukses mengembangkan pertahanan mental spiritual, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kuat, sedangkan kelemahannya ialah pendidikan pesantren bagaikan lepas dari kehidupan nyata, tidak membumi, karena orientasi kehidupannya terlalu berat ke akhirat dan kurang memperhatikan kepentingan hidup duniawi. Sampai saat ini warna orientasi yang demikian itu masih dapat dilihat dengan jelas. 3. Pondok Pesantren pada Masa Revolusi Ketika datang masa pergerakan dan persiapan perang kemerdekaan, pondok pesantren tidak tinggal diam. Seiring dengan semakin matangnya dunia pesantren yang pada awalnya merupakan pusat pemurnian ajaran agama dan kepercayaan, kini berubah menjadi salah satu pusat perjuangan nasional. Pada masa periode perang fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan, pondok pesantren menjadi pusat-pusat gerilyawan (tentara Hizbullah) berjuang melawan penjajah. Pada awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), utamanya Angkatan Darat, banyak anggotanya yang berasal dari kalangan pesantren (santri). Selain itu, di tingkat pimpinan dan jalur perjuangan melalui diplomasi, tidak sedikit kiai, ustadz, dan pengasuh pesantren yang menjadi pemimpin nasional dan diplomat yang ikut serta memberikan andilnya dalam menegakkan kemerdekaan bangsa. Fakta sejarah menunjukkan bahwa banyak kiai yang terlibat langsung secara aktif dalam proses penyusunan dasar-dasar konstitusi negara republik Indonesia. Peran ganda pesantren seperti itu tidak mengubah bentuk dan sifat serta kultur pesantren. Bentuk dan sifat pesantren pada waktu itu masih tetap merupakan sebuah lembaga pendidikan agama (tafaqquh fiddin), sosial keagamaan, dan penyiaran agama, dengan corak ajarannya yang fikih-sufistik berorientasi ukhrawi. 4. Pondok Pesantren pada Pasca Kemerdekaan Sejak awal abad ke-20, ilmu-ilmu pengetahuan umum telah mulai diajarkan di pesantren. Pada seputar tahun 1970-an latihan-latihan keterampilan mengenai berbagai bidang, seperti: jahit-menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, juga diajarkan di pondok pesantren. Pemberian keterampilan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan wawasan warga pesantren. Dengan demikian, diharapkan orientasi kehidupan pesantren yang semula terlalu condong keakhiratan menjadi berimbang dengan kehidupan keduniawian. Sebenarnya bentuk-bentuk keterampilan sudah ditekuni oleh dunia santri. Misalnya, sejak awalnya para santri telah akrab dengan berbagai keterampilan seperti: pertanian, perkebunan, pertambaan, dan pekerjaan-pekerjaan praktis-pragmatis lainnya. Hanya saja bentuk-bentuk keterampilan seperti itu tidak ditonjolkan dalam dunia pesantren sebab memang bukan bagian integral orientasi pengajarannya. Di pihak lain, corak ajaran yang bersifat fikih-sufistik tersebut, membawa santri berperilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari dan kepekaan yang luar biasa terhadap kejadian-kejadian yang berkaitan dengan hukum agama (halal-haram, pahala-dosa, wajib-sunnah, makruh, dan sebagainya), sehingga menimbulkan pribadi yang hanya peka terhadap hal-hal yang bersifat moral (charitable) dan kurang peka terhadap halhal yang bersifat sekular, programatis dan kalkulatif. Misalnya santri lebih peka terhadap 'seekor anjing yang kehausan‟ atau „duri yang melintang di jalanan‟ daripada sebuah “tanah longsor” atau “jembatan yang putus" yang menyangkut langsung kebutuhan hidup dirinya dan kebutuhan hidup orang banyak. Sikap karitas yang seperti itu sebenarnya memang tidak perlu, karena memang agama juga mengajarkan
hal-hal yang menyangkut dua kebutuhan hidup tersebut. Akan tetapi masalahnya adalah bagaimana mendudukkan ajaran tersebut secara proporsional sesuai dengan tempat dan masalahnya. Ilmu umum dan keterampilan tersebut dimasukkan ke dalam pesantren, dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan keduniawian, dan kesadaran bahwa "yang sekuler itu" adalah bagian dari akherat, dan kedua-duanya adalah sama-sama esensial untuk ditekuni. Keduanya merupakan satu kesatuan kewajiban yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, tetapi mereka hanya dapat dibedakan dan masing-masing memiliki nilai tersendiri yang tidak dapat saling menggantikan satu terhadap yang lain. Misalnya, orang yang shalatnya baik dan benar, tetapi jika ia berbuat tidak jujur maka ia tetap berdosa. Juga berlaku sebaliknya, sekalipun ia selalu berperilaku jujur dan banyak menolong orang lain, tetapi jika ia tidak shalat, maka ia tetap berdosa. Nilai kejujurannya tidak dapat menggantikan fungsi perintah kewajiban shalat bagi dirinya 5. Pondok Pesantren pada Era IPTEK Pada masa mutakhir, sejak 20–30 tahun yang lalu, akibat tantangan yang semakin gencar atas perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi (IPTEK), maka sudah menjadi kenyataan bahwa di dalam pesantren telah terselenggara berbagai jenis pendidikan formal, yaitu madrasah atau sekolah umum, yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum. Sumber-sumber belajar pun telah berkembang dengan luar biasa, tidak hanya terbatas pada kitab-kitab kuning yang bercorak fikih-sufistik, tetapi telah berkembang pula pada pelajaran-pelajaran filosofis lengkap dengan cabang keilmuannya. Banyak buku tentang filsafat dan pembaruan pemikiran dalam Islam yang ditulis oleh para cendekiawan muslim, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, telah memasuki dunia pondok pesantren. Semua itu menggambarkan bahwa seluruh jaringan sistem pendidikan pesantren telah berkembang tidak hanya menyangkut nilai-nilai yang sifatnya mendasar, tetapi juga nilai-nilai instrumental. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang mendasar ialah ajaran yang bersumber pada kitab-kitab klasik, sedangkan yang dimaksud dengan nilai-nilai instrumental ialah munculnya lembaga-lembaga pendidikan formal, pergeseran-pergeseran gaya kepemimpinan, diselenggarakannya training-training kepemimpinan, seminar-seminar, penelitian-penelitian dan lain sebagainya yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan pengembangan proses belajar-mengajar di pondok pesantren. 6. Pondok Pesantren pada Era Globalisasi Pada masa sekarang pondok pesantren sedang berada dalam pergumulan antara identitas dan keterbukaan. Artinya, di satu pihak pesantren dituntut untuk menemukan identitasnya kembali (sebagai lembaga sosial keagamaan), di pihak lain ia harus secara terbuka bekerja sama dengan sistem-sistem yang lain di luar dirinya (yang tidak selalu sepaham dengan dirinya). Misalnya, kiai akan menemui berbagai kemungkinan tantangan perubahan, antara lain: 1. Ia bukan lagi sebagai satu-satunya sumber mencari ilmu dan moral. 2. Ia harus bekerja keras mengatasi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. 3. Ia harus menghadapi krisis kelembagaan pesantren sebagai tempat ideal untuk mencari ilmu dan mengabdi, kini telah berkembang selain menjadi tempat untuk mencari ilmu dan mengabdi, juga sebagai tempat untuk mencari nafkah dan kesempatan untuk meniti karier resmi yang lebih tinggi. Artinya, Para kiai, ustadz, santri dan wali santri juga menghadapi tantangan yang serupa. Yakni bahwa selain
membutuhkan moral dan pengabdian, mereka juga butuh kerja, mengembangkan karier dan mencari nafkah. Dengan demikian, sejauh ini telah terjadi perubahan-perubahan bentuk, sifat dan fungsi pondok pesantren. Perubahan-perubahan itu dapat disebutkan sebagai berikut: a. Semakin jelas batasan-batasan; fungsinya sebagai lembaga pendidikan, sosial, dan syiar agama, b. Fungsinya sebagai lembaga pendidikan terasa semakin menonjol dibandingkan kedua fungsi yang lain, yang berarti semakin menuju ke arah profesionalisme di bidang pendidikan. c. Dengan semakin berkembangnya sumber-sumber belajar dan berkembangnya pendidikan formal dalam pesantren, maka semakin beragam (diversifikasi) jenisjenis pendidikan yang diselenggarakannya, dan semakin menyatu dengan sistem pendidikan nasional. Kedua jenis pendidikan formal tersebut merupakan jembatan bagi santri untuk memasuki sekolah-sekolah formal yang lebih tinggi tingkatannya dalam sistem pendidikan nasional. Sementara itu, kecenderungan global perkembangan dunia pendidikan dalam budaya industri ini adalah sifatnya yang semakin massif, standar dan rasional. Pendidikan keilmuan akan semakin menonjol di masa-masa mendatang, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu agama. Lembaga-lembaga pendidikan akan semakin didominasi dengan pekerjaanpekerjaan untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu daripada mengembangkan nilai-nilai dan kearifan. Tidak semua persoalan dalam kehidupan ini (nilai dan kearifan) dapat diajarkan dan dididikkan melalui lembaga pendidikan formal. Guru dapat mengajar filsafat tetapi tidak dapat mengajar kebijakan. Pendidikan nilai dan kearifan akan lebih efektif bila dilakukan melalui jenis pendidikan non-formal yang lebur dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dilakukan oleh pondok pesantren selama ini. ALTERNATIF ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN Sehubungan dengan uraian di atas, maka arah perkembangan pendidikan pesantren diperkirakan akan berjalan menempuh bentuk-bentuk sebagai berikut : a. Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non-formal, khusus mendalami ilmu-ilmu agama, yang menekankan pentingnya pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari, bersumber dari penilaian para ahli fikih dan sufistik dari abad ke-7 s.d. 13 M dengan kitab-kitab klasik keagamaan.Tampaknya bentuk itu secara murni dan konsekuen sudah tidak memadai lagi untuk dipertahankan, tetapi beberapa nilai tertentu masih amat penting untuk dipertahankan dan bahkan perlu dikembangkan. Misalnya keikhlasan, kesederhanaan, kebersamaan, dan moral keberagamaan sebagai pedoman dalam hidup keseharian. b. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non-formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai keterampilan, dengan catatan bahwa bidang studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam. Jadi, tidak hanya terbatas pada sumber-sumber literatur klasik yaitu terbatas pada fikih-sufistik saja, tapi perlu dilengkapi dengan filsafat dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Tampaknya bentuk ini akan dapat bertahan terus, tapi kelemahannya ia tidak mampu mengakomodasikan perkembangan ilmu dan teknologi termasuk ilmu-ilmu agama secara teoritis di
c.
d.
e.
f.
masa-masa mendatang. Bentuk kedua ini berarti pesantren lebih menjadi lembaga pemakai ilmu daripada sebagai lembaga pengembang ilmu. Berbentuk seperti alternatif kedua ditambah dengan penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum, sebagaimana sekarang ini berlaku: Pesantren, madrasah, sekolah umum, bahkan perguruan tinggi hidup dalam satu kampus pesantren. Bentuk seperti ini diperkirakan akan dapat bertahan di masamasa depan, karena dengan demikian akan saling mengisi kekurangan masingmasing. Pesantren sebagai jenis pendidikan non-formal bertugas menggarap bidang nilai yang dalam hal ini sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan pengamalan agama, sementara pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) yang berperan menggarap bidang ilmu. Dengan kata lain, bentuk yang ketiga ini adalah: pendidikan formal diselenggarakan dalam lingkar budaya pesantren. Tetapi dengan alternatif ketiga ini pesantren akan tetap menjadi pendidikan nonformal, yang hidup berdampingan dengan pendidikan formal. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mempelajari khusus ilmu-ilmu agama, dalam pengertian sebagaimana disebut dalam alternatif pertama di depan. Bentuk ini kiranya tidak dapat dipertahankan karena ilmu-ilmu yang diajarkan kurang memadai dengan kebutuhan. Berubah menjadi alternatif keempat ditambah dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum dan ilmu-ilmu agama yang diajarkan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam. Jadi, dalam alternatif kelima ini pengajaran ilmu-ilmu agama menjadi mayoritas, sedang ilmu pengetahuan umum menjadi minoritas. Alternatif kelima ini sama dengan sekolah-sekolah percobaan yang diadakan oleh Departemen Agama yang disebut "Madrasah Plus" yang sekarang berubah menjadi "Madrasah Keagamaan". Sekolah percobaan tersebut dimaksudkan untuk mencari masukan calon-calon mahasiswa IAIN/STAIN dengan perbandingan kurikulum 70% ilmu agama, 30% ilmu pengetahuan umum. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal, sebagaimana alternatif kelima di atas, akan tetapi dengan perbandingan terbalik: 70% akal (ilmu pengetahuan umum atau metode berpikir), 30% moral (agama). Bentuk ini sama dengan bentuk yang berlaku di madrasah-madrasah yang diasuh oleh Departemen Agama, sebagai hasil keputusan Menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri, tahun 1975.
PEMBARUAN KONSEP ASRAMA MASA DEPAN Gambaran asrama pondok pesantren selama ini merupakan tempat tinggal bersama selama 24 jam. Fokus penglihatan mata para santri hanya tertuju pada masjid atau mushalla sebagai tempat ibadah. Telinganya selalu mendengar alunan suara bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, mulutnya selalu mengumandangkan suara istigfar, takbir, tahmid dan pujian-pujian shalawat. Kaki dan tangannya selalu basah dengan air wudlu, siap melangkah ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Seluruh gerak langkahnya selalu berlomba dalam mengamalkan agama dan mengharap berkah sang romo kiai. Keadaan seperti itu selain dapat menimbulkan hal-hal positif, seperti berkembangnya moral keagamaan yang baik dan pertahanan mental-spiritual keagamaan yang kuat, juga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri). Karena pribadi individu telah larut ke dalam kepribadian kolektif dan dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan kejiwaan lainnya yang tidak diharapkan. Misalnya,sikap tertutup, fanatisme agama yang sempit, homoseks, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan konsep asrama di masa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannya sebagai sub-sistem pendidikan nasional
secara mantap. Tampaknya kebutuhan asrama di masa depan ialah bahwa asrama bukan sekadar tempat hidup bersama selama 24 jam. Asrama hendaknya juga berfungsi sebagai forum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampu mengembangkan ilmu, teknologi dan agama sesuai dengan tantangan zamannya dan mengembangkan individualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang dengan perkembangan kepribadian kolektif. Dengan demikian konsep asrama masa depan adalah sesuatu yang amat penting dan yang perlu dipahami secara saksama. Jadi, tujuan utama peng-asrama-an itu bukan terletak pada prinsip hidup bersama (tidur bersama) selama 24 jam atas semua anggota, tetapi lebih merupakan pemikiran selama 24 jam untuk merencanakan atau memprogramkan kegiatankegiatan pengembangan ilmu dan teknologi yang dipandu oleh moral agama sebagai satu kesatuan yang diamalkan dalam hidup keseharian. Dengan demikian asrama juga berfungsi sebagai forum dialog antara murid dan guru dan antara murid dengan sesamanya. Dalam kaitan tersebut, pesantren perlu mengadopsi sistem pendidikan nasional dalam hal wawasan berpikir keilmuan, meliputi metode berpikir; deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis untuk memahami ajaran-ajaran agama secara kontekstual. Hal itu penting utamanya menyangkut dalam upaya-upaya mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan umum dan teknologi dalam relevansinya dengan ajaran agama. Di pihak lain, relevansi sistem tersebut dengan penerapan sistem madrasah berkurikulum 30% agama, 70% umum, dalam kultur dan asrama pesantren dengan konsep asrama baru tersebut, diharapkan pesantren dapat menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dan mengamalkan bidang keahliannya dengan tetap dipandu oleh iman dan takwa kepada Allah swt. Berikut ini adalah matrik yang menggambarkan nuansa pendidikan pesantren: dulu, sekarang, dan kecenderungan pada masa mendatang: Perbandingan Nuansa Pendidikan di pesantren Dulu dan Sekarang NO
KOMPONEN
DAHULU
SEKARANG DAN MENDATANG
01
Status
-
Uzlah
-
Sub sistem pendidikan nasional
-
Milik Pribadi
-
Milik Institusi
-
Pesantren
-
Pesantren
-
Madrasah
-
Sekolah Umum
-
Perguruan Tinggi
-
Lembaga Pendidikan
02
03
04
05 06
Jenis Pendidikan
Fungsi
Sifat
Pendekatan Corak Kehidupan
-
Lembaga Pendidikan
-
Lembaga Sosial
-
Lembaga PenyiaranAgama
-
Bebas waktu dan tempat
-
Bebas Biaya
-
Bebas syarat
-
Holistik
-
Spesifik
-
Fikih-Sufistik (tarekat)
-
Fikih-Sufistik + Ilmu
-
Masih berlaku bagi pendidikan nonformal, tapi tidak berlaku bagi pendidikan formal.
NO
07
KOMPONEN
Sumber Belajar
DAHULU
SEKARANG DAN MENDATANG
-
Orientasi ukhrawi
-
Ukhrawi + Duniawi
-
Sakral
-
Sakral + Profan
-
Manusia (fatalistik)
-
08
09
Bahasa Pengantar
Methode Belajar
Ilmu
11
Keterampilan
12
13
Perpustakaan, Dokumentasi & alat pendi-dikan Tujuan
15
Kurikulum
Sumber dan Pengolahan Dana
Kiai/Ustadz Kitab kuning)
Klasik Agama
(kitab -
Manusia Obyek + Subyek (vitalistik) Kiai/Ustadz Kitab Klasik Kitab-kitab Kontemporer (Agama dan Ilmu-ilmu Umum)
Daerah
-
Daerah
-
Arab
-
Arab
-
Indonesia
-
Inggris
-
Bahasa Asing lainnya
-
Sorogan
-
Sorogan
-
Bandongan
-
Bandongan
-
Halaqah
-
Halaqah
-
Lalaran
-
Lalaran
Kaya materi, tapi metodologi (menghafal)
miskin -
Diskusi-diskusi, Training, Seminarseminar menuju pengayaan metodologi (dialog).
-
Sakral, mapan, dan dipe-roleh - Profan, Instrumental, belum ma-pan, melalui berkah Kiai. dan dicari melalui akal. - Tekstual - Kontekstual -
Merupakan bagian integral dari - Merupakan sarana pendidikan un-tuk kehidupan santri mengembangkan wawasan pemikiran keduniawian.
-
Tidak ada
-
Ada
-
Manual
-
Manual dan Elektronikal
-
Agama (Ukhrawi)
-
Agama (Duniawi)
-
14
Obyek -
-
-
10
sebagai
-
Memahami dan mengamal - Memahami dan mengamalkannya kannya secara (tekstual) sesuai dengan tempat dan zamannya (kontekstual) Menurut penjenjangan kitab
-
Pribadi, Masyarakat
-
Pribadi Kiai
-
Menurut penjenjangan kitab
-
Menurut Dept. Agama (madrasah)
-
Menurut Diknas (Sekolah Umum)
-
Perguruan Tinggi menyesuaikan
-
Pribadi, Masyarakat, dan Pemerintah Yayasan
NO
KOMPONEN
DAHULU
SEKARANG DAN MENDATANG
16
Santri
-
Tidak Membayar
-
Membayar
-
Memasak dan mencuci sendiri
-
Bayar Makan dan Penatu
-
Mencari nafkah sendiri
-
Menerima wesel uang secara rutin
-
Sarung dan Peci
-
Tidak mencari nafkah sambil belajar
-
17
Ustadz
18
Orang Tua
19
Pengurus
20
Kiai
21
Suksesi
23
Nilai kunci
24
Air
25
Asrama
Celana dan Sepatu Mencari ilmu dan Ijazah (terprogram)
-
Mengabdi kepada Kiai dan - Mengabdi kepada Kiai, belajar dan belajar mencari nafkah
-
Menyerahkan anaknya kepada - Mengirimkan anaknya ke Pesantren Kiai untuk dididik dan untuk belajar agama agar menjadi orang memperoleh berkah Kiai baik dan ber-keahlian
-
Mengabdi Kiai
-
Jenis kepemimpinan -
22
Mengabdi Kiai dan cari ilmu sedapat-dapatnya -
-
Bertanggung jawab pada unit kerjanya Memberi masukan / pertimbangan Kiai
Sumber belajar/ moral (tunggal)
-
Bukan merupakan sumber tunggal, namun Kiai masih tetap menjadi tokoh kunci
Karismatik
-
Rasional
Keturunan
Keahlian
-
Berkah Kiai
-
Ibadah
-
Ikhlas
-
Ikhlas
-
Ibadah
-
Berkah Kiai
Dua kullah
Kran/ Ledeng
-
-
-
Hidup bersama
Menerima, memiliki Ilmu dan mengamalkannya -
Hidup bersama Dialog Menjadikan Ilmu pengembangan diri.
sebagai
sarana
PENUTUP Pondok Pesantren telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Secara fisik pertumbuhan dan perkembangan itu tampak nyata dengan adanya bangunan-bangunan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran. Pertumbuhan dan perkembangan itu juga terjadi pada sisi lain, yaitu model pendidikan dan pengajarannya, yang mengikuti pola dan sistem pendidikan sesuai dengan pertumbuhan zaman. Pertumbuhan dan perkembangan itu terjadi pada tataran yang istiqamah di bidang akhlak. Pesantren dengan segala variasinya akan selalu mengedepankan akhlak, sebab pemunculannya merupakan jawaban atas kondisi masyarakat yang beragam etika dan budi pekertinya. Dengan demikian Pondok Pesantren akan selalu berusaha untuk mengisi pendidikan dan pengajaran itu dengan target utama pembinaan akhlakul karimah. Fokus akhlakul karimah itu diharapkan akan menjadi ciri khas kependidikannya dulu, kini, dan masa mendatang. Kiai merupakan pribadi yang identik dengan pesantren. Pondok Pesantren Qomaruddin sejak pendiri pemula hingga sekarang (generasi ke-7) menjadikan kiai sebagai figur percontohan (teladan), baik pada aspek keagamaan maupun kemasyarakatan. Pada aspek keagamaan sang kiai adalah penasihat spiritual umat, sedangkan pada aspek kemasyarakatan sang kiai adalah pengayom masyarakat. Satu hal yang membayang di mata ialah alam usianya yang telah dewasa itu (lebih dua abad) PP Qomaruddin belum sempat membentuk jaringan perjuangan yang berskala nasional apalagi internasional. Hal itu tidak berarti bahwa PP Qomaruddin tidak memiliki laskar-laskar pejuang yang menyebar ke mana-mana atau ke manca negara. Namun yang dimaksudkan ialah bahwa laskarlaskar itu belum sempat dirajut menjadi sebuah semai yang bersama-sama berjuang dengan misi dan visi yang sama. Kondisi itulah, barangkali, yang sementara ini menyebabkan PP Qomaruddin belum terlihat kebesarannya. Keberadaan laskar yang belum sempat dirajut itu bukanlah monopoli soal bagi PP Qomaruddin. Tak sedikit pesantren yang mengalami persoalan seperti itu. Di pihak lain, barangkali memang PP Qomaruddin tidak terlalu merasa perlu untuk merajut dan menyemainya sebab yang dipentingkan ialah laskar-laskar (santri-santri) itu dapat mengamalkan ilmunya sehingga mereka dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya, dan lingkungannya di mana pun mereka berada. Dengan demikian misi pesantren sebagai wahana pembekalan pribadi muslimmuslimah yang manfaat telah tercapai.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Azra, Prof.Dr.Azyumardi, 2001, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Penerbit Kalimah, Jakarta.
13
Beatty, Andrew., 1999, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, Cambridge University Press, Cambridge. Borgatta, Edgar.F. (ed), 1992, Encyclopedia of Sociology, V.1., Macmillan Publishing Company, New York. Devi, Laxmi., (ed), 1997, Encyclopedia of Social Research, V.2., Anmol Publications PVT.LTD, New Delhi.. Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, Jakarta. Esposito, John (ed), 1995, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, V.3, New York, Oxford, Oxford University Press. Hakim, Agus., 1996, Perbandingan Agama, CV. Diponegoro, Bandung. Hasbullah, Drs., 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (hl 24-27, 138-161) Singelton, R.A. dan Straits, B. C., 1999, Approaches to Social Research, OUP, New York, (pp. 320 – 356 and pp. 513 – 536). Wahid, Abdurrahman, 2001, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, LkiS, Yogyakarta.. Ziemek, Manfred., 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta.
14