ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN: KAJIAN TAFSIR TEMATIK
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh: AMIR MU’MIN SOLIHIN NIM:106034001218
JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Maret 2011 Penulis,
( Amir Mu’min Solihin )
ii
ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN: KAJIAN TAFSIR TEMATIK
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin ( S.Ud )
Oleh : AMIR MU’MIN SOLIHIN NIM. 106034001218
Di bawah Bimbingan :
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA NIP. 19620624200003 1 001
JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Jurusan Tafsir Hadits. Jakarta, 17 Maret 2011
SIDANG MUNAQASAH
Ketua,
Sekertaris,
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
Muslim, S. Th.I NIP.
Anggota, Penguji I,
Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, M.A NIP. 19600908 198903 1 005
Dr. Yusuf Rahman, MA NIP. 19670213 199203 1 002
Pembimbing,
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA NIP. 19620624200003 1 001 iv
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
B
Be
T
Te
Ts
te dan es
J
Je
H
h dengan garis bawah
Kh
ka dan ha
D
da
Dz
De dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis bawah
D
de dengan garis bawah
T
te dengan garis bawah
Z
zet dengan garis bawah
‘
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh
ge dan ha
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
v
ﻫـ
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
‘
Apostrof
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
___ُ___
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
__َ__ و
au
a dan u
vi
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَﺎ
â
a dengan topi di atas
ــﻲ
î
i dengan topi di atas
ـــﻮ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). vii
Contoh: no
Kata Arab
Alih aksara
1
ﻃﺮﻳﻘﺔ
tarîqah
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
viii
ABSTRAK Amir Mu’min Solihin, “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik” Salah satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt, kepada manusia adalah kemampuan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya secara efektif, dan mempermudah untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Selain itu, kemampuan komunikasi yang baik dan benar dapat menjadi jalan untuk mengantarkan seseorang dalam meraih kesuksesan dan akan membawa kemaslahatan bagi orang lain. Sebaliknya, komunikasi juga bisa menjadi pemicu munculnya kemudaratan, khususnya jika seseorang salah dalam berkomunikasi atau membuat orang lain terganggu. Apa lagi pembicaraan yang tidak baik tersebut muncul dari seseorang di pandang sebagai pejabat publik atau public figure, sebab pembicaraan yang kurang terkontrol akan menimbulkan keresahan dimasyarakat atau menyebabkan munculnya reaksi negatif terhadap dirinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui etika komunikasi menurut al-Qur’an, sehingga bisa dijadikan sebagai pedoman oleh setiap muslim, khususnya dalam berkomunikasi. Penelitian ini berpijak dari pemikiran bahwa setiap muslim harus berpedoman kepada al-Qur’an dalam merambah kehidupan di dunia. Berkomunikasi merupakan aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Agar setiap orang mampu berkomunikasi secara baik dan benar serta mendatangkan kemaslahatan maka ia harus berpedoman pada etika komunikasi sebagaimana digariskan dalam al-Qur”an Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir maudhu’i (tematik), yang secara umum menggunakan langkah-langkah: menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah; menyusun tuntutan ayat sesuai dengan masalah turunnya, disertai pengetahuan tentang asbabun Nuzul-nya; menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline); melengkapi bahasan dengan hadits-hadits yang relevan; dan mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan. Selain itu, penulis juga menggunakan metode content analisis atau analisis isi. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa kata komunikasi banyak di temukan dalam al-Qur’an baik yang menggunakan kata qala takallama, dan lainlain. Yang secara umum berkaitan erat dengan masalah etika komunikasi lisan. Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut secara seksama, penulis dapat menyimpulkan bahwa etika komunikasi lisan menurut al-Qur’an dapat dirumuskan sebagai berikut; berkomunikasi haruslah baik; isi pembicaraan harus benar; dalam berkomunikasi harus menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi ix
kalimat buruk; tidak boleh berkata bohong dan salah (batil), merendahkan diri saat berkomunikasi, larangan bersikap manja bagi wanita ketika berkomunikasi di depan laki-laki yang bukan muhrim dan dalam berkomunikasi hendaklah berlaku adil.
x
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ Segala Puji dan syukur penulis tersanjung hanya kepada Allah Swt, yang dengan taufiq-Nya, penelitian berjudul “ Etika Komunikasi Lisan menurut AlQur’an : Kajian Tafsir Tematik ” ini, dapat diselesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Segala karya tulis yang da’if, tentunya didalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterebatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang tafsir. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik moril maupun materil. Maka pada
kesempatan ini, izinkanlah
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada: 1.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir Hadits), dan Dr. Lilik Umi Kultsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).
xi
2.
Bapak Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA, selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang dengan keikhlasannya membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.
3.
Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA yang banyak memberikan masukan, arahan dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadits yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.
5.
Yang tercinta Ayahanda H.Ahmad Dimyati (Alm) dan Ibunda Muhinah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan yang selalu mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan di masa depan, semoga penulis selalu mendapat ridho mereka dan dapat berbakti kepadanya. Papi Somad, adikku (Dede dan Nuh) serta saudara-saudaraku tercinta yang memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6.
Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, khususnya temanteman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2006/2007, khususnya kelas TH-A: Harfa, Kholid, Ust. Ubaid, Firda, dua Hasan, Mega, Malik dll. yang dengan ikhlas turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman KKN 80 dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini.
xii
7.
Teman-teman penulis di manapun berada, khususnya sahabat-sahabatku (Bontot, Figo, Ust. Ajay). Untuk teman-teman Masyhar : Gondiel, Aki Zarkasih, Idham, Robi, Ijunk, Jamil, Jreng, Ismail. Teman-teman kampus : Kholiah, Inmi2takanu dan semua rekan-rekan seperjuangan yang selalu memberi Support dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8.
Terlebih “Sang Motivator”Iin Rosita yang selalu setia menemani langkah penulis dan mengisi hari-hari dengan senyum dan tawa, semoga apa-apa yang kita citakan dapat terwujud……Amin. ‘I Love you’
9.
Terakhir, untuk orang yang pernah melihat saya (ra’ânî yaqazatan kâna am fi al-manân), bertemu dengan saya (laqiyanî), belajar bersama saya (jâlasanî), tinggal bersama saya (aqâma ma’î), pernah mendengar suara dan ocehan saya (sami’a minnî wa akhaza ‘annî syai’an), semua orang yang mau menerima dan memperkenankan saya untuk mengambil hikmah darinya (wa akhaztu ‘anhu al-hikam wa al-‘ulûm), dan semua orang yang hidup semasa dengan saya (‘asaranî). Ini bukan karena saya yang istimewa, melainkan anda semua lah yang begitu spesial bagi saya. Bolehlah saya berharap dan ber-tafa’ul kepada nabi agar semua orang yang tersebut di atas menjadi orang yang beruntung, sekali lagi- bukan karena saya, tetapi karena kita dianugerahkan oleh Allah Swt untuk bisa saling berhubungan. Teriring doa, “ Tûbâ liman ra’ânî (bifadlih), wa tubâ liman ra’â man ra’ânî (bifadlih)”. Atas semua kebaikan tersebut, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan
xiii
kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ, Âmîn…..! Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis. Amin
Jakarta, 17 Maret 2011 Ttd,
Amir Mu’min Solihin Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………...
i
LEMBAR PERNYATAAN………….……………………………………...
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………….
iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI…………………………………………..
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………
v
ABSTRAK……………………………………………………………………
ix
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….
xv
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
8
D. Studi Terdahulu yang Relevan ..........................................................
9
E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13 BAB II : LANDASAN TEORITIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI LISAN A. Pengertian Etika Komunikasi Lisan ..…………..…………………. 15 B. Jenis-jenis Etika Komunikasi ...……………………………………. 25 C. Kedudukan Komunikasi dalam Islam ...………..………………….. 28 xv
D. Etika Komunikasi Qur’ani ……………………................................ 30 BAB III : TINJAUAN UMUM TEORI KOMUNIKASI QUR’ANI A. Al-Qur’an Sebagai Media Komunikasi ...………………………….. 35 B. Peran dan Fungsi Komunikasi dalam Kehidupan …………………. 39 C. Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an ...…………............................. 42 D. Identifikasi Ayat-ayat Tentang Komunikasi ...……………………... 52 BAB IV : ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI LISAN DALAM AL-QUR’AN A. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Baik atau Diam ...………... 54 B. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Benar ...…………………... 64 C. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Adil .......………………..... 80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...………………………………………………………. 85 B. Saran ...……………………………………………………………... 87 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 90
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berbicara merupakan salah satu potensi bawaan (Fitroh) yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya, sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah
“mengajarnya pandai berbicara”1.
Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi, berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi manusia dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban2.
1
2
Q.S. Ar-Rahman: 4.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1, hal. 286.
2
Selain itu kemampuan berkomunikasi juga membantu manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya secara efektif dan efisien. Sebab dengan memiliki kemampuan berkomunikasi, manusia akan bisa meminta bantuan kepada orang lain, atau mengutarakan maksud-maksud lainnya, atau fungsi-fungsi lainnya yang intinya bahwa berkomunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Memang benar bahwa manusia bisa menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi atau mengekpresikan keinginan dirinya, namun ternyata bahasa isyarat tidak seefektif bahasa lisan, baik dari cara pengungkapan maupun pengaruh yang ditimbulkannya. Lebih dari itu dengan memiliki kemampuan berkomunikasi juga dapat meninggikan derajat seseorang, jika ia mampu berbicara secara baik, meyakinkan, menyenangkan, dan menarik, yakni dengan memakai etika komunikasi. Dalam realitas kehidupan, kemampuan berkomunikasi secara baik yang dimiliki seseorang kerap menjadikannya sebagai panutan masyarakat, bahkan tidak sedikit yang disegani di dunia internasional dikarenakan kemampuannya dalam berkomunikasi lisan secara baik. Namun dengan demikian, berkomunikasi juga bisa berakibat fatal bagi seseorang jika salah dalam berkomunikasi juga dapat menumbuh-suburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi
3
kemajuan, dan menghambat pemikiran.3 Apalagi jika orang tersebut dipandang sebagai pejabat public atau pablik figure, sebab pembicaraan yang kurang kontrol akan menimbulkan keresahan di masyarakat atau menyebabkan munculnya reaksi negatif terhadap dirinya. Misalnya yang menimpa salah seorang mantan presiden, bahwa diantara penyebab jatuhnya dari singgasana kepresidenan karena ada beberapa yang dinilai tidak konsisten dan sering meresahkan masyarakat, sehingga hal itu menjadi lahan empuk bagi para lawan politiknya untuk menggulingkan dari jabatanya. Realitasnya, tidak sedikit perselisihan, percekcokan, permusuhan, dan pertengkaran muncul karena perkataan yang tidak terkontrol. Bahkan tidak sedikit pertumpahan darah mengerikan yang berawal dari pekerjaan lidah yang membabi buta. Rosulullah Saw menegaskan sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
:
4
“Diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a bahwa Rosulullah Saw. Bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah Swt, dan hari kiamat, maka ia hendaknya berkata hanya perkara yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada 3
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik(Tafsir Al-Qur’an Tematik), hal. 286. 4
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz. 20, hal. 11.
4
Allah dan hari kiamat, maka ia hendaklah memuliakan tetangganya. Begitu pula barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah memulaikan tetamunya”. Dalam hadits yang lain Rosulullah menegaskan lagi tentang bahaya yang akan menimpa seseorang jika ia berbicara salah:
5
“Telah menceritakan kepada saya Ibrahim kepada Ibrahim bin Hamzah, telah menceritakan kepada saya Ibn Abi Hajim, dari Yazid, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Isa bin Thalhah bin Ubaidillah dari Abu Hurairoh r.a bahwa ia mendengar Rosulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba, bisa jadi dia mengungkapkan satu kalimat (satu kata) yang tampak dari perkataannya bahwa ia akan tergelincir ke dalam neraka yang sangat jauh (sangat dalam) sejarak timur dan barat”. Berdasarkan hadits-hadits tersebut jelaslah bahwa Islam memberikan perhatian khusus terhadap pembicaraan, bahkan dipandang salah satu perkara yang akan menyelamatkan manusia, baik didunia dan diakhirat. Pembicaraan dimaksud adalah pembicaraan yan beretika, sehingga proses komunikasi berjalan dengan baik serta terjalin hubungan yang harmonis antara komunikator dengan komunikan.
5
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz. 20, hal. 118.
5
Hanya saja, etika komunikasi yang di maksud dalam kajian ini adalah etika yang berdimensi moral dan bersumber dari ajaran suci. Berkaitan dengan etika komunikasi tersebut, bagaimanapun juga seorang muslim harus berpedoman pada sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sebab akhlak Nabi sebagimana dinyatakan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Adalah Al-Qur’an.6 Dalam al-Qur’an Allah ternyata memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah berkomunkasi ini. Bahkan ucapan yang baik dipandang lebih baik dari pada shadaqah yang dibarengi dengan menyakiti hati penerima:
(٢٦٣ “Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari pada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun“7 (QS. AlBaqarah: 263) Dalam ayat lain Allah juga memerintahkan manusia agar berkata baik:
“Bertuturkatalah yang baik kepada manusia.8 “(QS. Al-Baqarah: 83) Selain itu, ada perintah untuk berkata benar, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an: 6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 259
7
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), Cet. Ke-3, jilid.1, hal. 390. 8
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid., hal. 140.
6
(٧٠ “Dan Ucapkanlahlah Perkataan yang benar.9 (QS. Al-Ahzab: 70) Masih banyak ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan masalah etika berkomunikasi. Hanya saja dalam kajian ini, akan dibahas ayat-ayat tentang etika yang menggunakan Shight Fi’il amr. Hal ini disimpulkan dalam enam prinsip komunikasi, yaitu: Qaulan Sadidan( QS 4:9, 33:70), Qaulan Balighan(QS 4:63), Qaulan Masyuran(QS 17:28), Qaulan Layyinan(QS 20:44), Qaulan Kariman(QS 17:23), Qaulan Ma’rufan(QS 4:5). Namun demikian, untuk memahami ayat-ayat tersebut bukanlah perkara mudah, penulis perlukan berbagai ilmu pendukung untuk dapat mengkaji ayat tentang komunikasi ini. Seperti Firman Allah:
(٧٠ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah Perkataan yang benar. “10(QS. Al-Ahzab: 70) Menurut Hamka maksud ayat tersebut bahwa diantara sikap hidup karena iman dan taqwa adalah jika kata-kata yang tepat, yaitu jitu. Dalam kata-kata yang tepat itu terkandung kata yang benar.11 Sedangkan Hasbi Ash-Shiddiqi berpendapat 9
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid.8, hal. 140. 10
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid.8, hal. 46. 11
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986), hal. 109.
7
maksud ayat tersebut adalah bahwa ucapkanlah perkataan-perkataan yang benar yang mengandung kebajikan bagimu dan jauhilah dari ucapan-ucapan yang salah, yang menyebabkan kamu mendapat azab di akhirat kelak.12 Dengan perkataan yang tepat atau baik yang terucapkan dengan lidah dan didengar banyak orang maka akan tersebar luas informasi dan pengaruh yang tidak kecil bagi jiwa dan pikiran manusia. Kalau ucapan itu baik maka baik pula pengaruhnya, dan bila buruk maka buruk pula pengaruhnya.13 Pandangan penulis, kajian tentang etika berkomunikasi ini relevan untuk dikaji dalam kondisi sekarang, khususnya bagi bangsa Indonesia dewasa ini yang sedang berada era reformasi dan kebebasan, termasuk di dalamnya bebas berbicara. Sebab, secara fenomenal tidak sedikit di antara masyarakat Indonesia tak terkecuali kaum terpelajar yang memahami era kebebasan tersebut sebagai kebebasan yang tanpa batas, terutama dalam berkomunikasi dan mengeluarkan pendapat. Sehingga tidak jarang yang berkomunikasi menyuarakan ‘kebenaran’ tanpa mengindahkan etika berkomunikasi. Padahal mereka mengaku sebagai umat Islam. Berdasarkan deskripsi di atas, penulis akan mengadakan penelitian tentang “ETIKA KOMUNIKASI LISAN MENURUT AL-QUR’AN: KAJIAN TAFSIR TEMATIK”
12
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3315. 13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 11, hal. 33.
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Al-Qur’an merangkai begitu banyak pelajaran dalam hal etika yang tak kunjung habis untuk digali, salah satunya adalah etika komunikasi lisan yang akan akan penulis kaji. Agar tidak terlalu luas dalam pembahasan masalah dalam skripsi ini, maka penelitian ini hanya dibatasi pada ayat-ayat yang menggunakan kata Qala atau berbagai bentuk derivasinya. Hal ini diambil atau berdasarkan asumsi bahwa kata tersebut adalah yang paling dekat dengan pola komunikasi verbal, sementara dalam praktik komunikasi sangat diperlukan adanya etika yang benar. Oleh karena itu, penulis menilai penelitian tentang kajian terhadap ayat-ayat yang difokuskan pada etika komunikasi ini. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan beberapa hal yang akan menjadi pertanyaan besar dalam skripsi ini adalah Bagaimana etika komunikasi lisan dalam perspektif al-Qur’an dan bagaimana nada dan sikap yang baik ketika berkomunikasi? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Ada beberapa tujuan pokok penulisan skripsi ini sebagai berikut; 1. Untuk memenuhi syarat akhir studi S1 di fakultas Ushuluddin dan Filasafat. 2. Untuk
mengetahui
Komunikasi Lisan.
bagaimana
Al-Qur’an
berbicara
mengenai
Etika
9
Adapun manfaat atau kegunaan penulisan skripsi ini adalah: a. Secara akademis tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menambah khazanah keilmuan tentang literatur, khususnya yang menyangkut etika komunikasi (communication etic), sehingga berguna bagi menjadi setetes pengetahuan di tengah-tengah lautan tentang komunikasi yang bermanfaat bagi para pemikir dan praktisi yang haus akan pengetahuan komunikasi. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis, praktisi dan aktivis Islam pada umumnya termasuk juga civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. c. Memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat luas akan arti pentingnya komunikasi, sehingga memotivasi masyarakat, umat islam khususnya, untuk selalu berkomunikasi yang baik. D. Studi Terdahulu yang Relevan Sejauh penelusuran penulis ada penelitian skripsi yang terkait dengan masalah yang ingin dikaji: terkait dengan hal itu adalah penelitian yang dilakukan oleh Eneng Maria Ulfah14 dalam sebuah skripsi yang diajukan kepada Jurusan Tafsir-Hadits UIN Jakarta, skripsi ini mengkaji masalah tentang Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an. Skripsi yang ditulis pada tahun 2006 ini hanya terbatas pada menjaga lisan saja dan tidak luas maknanya. Sedangkan dalam kaitannya dengan apa yang penulis kaji, skripsi tersebut mencakup juga pembahasan yang akan penulis paparkan. Namun bedanya tulisan di atas dengan penelitian yang 14
Eneng Maria Ulfah, “Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
10
hendak penulis angkat di sini adalah bahwa arti komunikasi itu sendiri luas cakupannya dan juga skripsi ini tidak hanya tercakup pada dua surat saja sementara itu ayat yang menjelaskan tentang etika komunikasi itu banyak dan inilah yang penulis akan kaji dalam tulisan ini. E. Metodologi Penelitian Sebagai sebuah kajian yang difokuskan pada kajian tafsir tematik, yang dalam hal ini mengenai etika komunikasi lisan, tentu studi ini tidak hanya terpaku secara normatif terhadap konsep-konsepnya saja (ontologi). Lebih dari itu, studi tersebut haruslah diarahkan juga kepada kajian tentang bagaimana etika komunikasi itu, apa komunikasi dalam al-Qur’an itu. Untuk selanjutnya, studi tersebut harus dapat diaplikasikan secara proporsional dalam sebuah kajian (aksiologi). Oleh karena itu, studi ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai berikut: 1. Jenis penelitian Penelitian ini yang digunakan adalah menggunakan metode telaah perpustakaan (Library research) yaitu, penelitian untuk memperoleh informasi yang komferehensif tentang konsep Etika komunikasi lisan menurut Al-Qur’an. 2. Sumber Data Sumber data atau bahan primer dalam penelitian ini adalah yang berhubungan dengan etika Komunikasi, karena studinya menyangkut Al-Qur’an, maka sumber utamanyapun adalah Tafsir. Dan buku-buku lain sebagai sumber tambahan seperti kitab-kitab tafsir, hadits, ulumul Qur’an, kamus, dan bukubuku yang berhubungan dengan penelitian ini.
11
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey kepustakaan dan studi literatur, survey kepustakaan yaitu menghimpun data yang berupa sejumlah literatur yang diperoleh diperpustakaan atau tempat lain ke dalam sebuah daftar bahan-bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah mempelajari, menelaah, dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian. 4. Metode Pembahasan Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir maudu’i (tematik). Selanjutnya penulis mencoba untuk melihat beberapa ayatayat yang berbicara tentang komunikasi lisan dengan menggunakan metode maudhu’i. Menurut Al-Faramawi metode maudhu’i (tematik) adalah menghimpun atau mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu dari surat al-Qur’an yang sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin dengan masa turunnya, selaras dengan masa turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan berhubungannya dengan ayat lain kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.15 Dengan menggunakan metdode tafsir maudhu’i ini diharapkan akan didapatkan jawaban al-Qur’an secara komprehensif terhadap masalah komunikasi lisan.
15
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar Terj. Surya A. Samran,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.36, Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan AlQur’an,( Jakarta: Mizan, 1992), Cet. Ke-1, hal. 115.
12
Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam mempelajari dan menghasilkan Etika Komunkasi Lisan menurut Al-Qur’an adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan masalah tentang etika komunikasi. 2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah etika komunikasi lisan. 3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami asbab an-Nuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk memahami makna yang tersembunyi dibaliknya. 4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna. 5. Melengkapi pembahasan ini akan dilengkapi dengan hadits-hadits Nabi yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditemukan pandangan al-Qur’an terhadap etika komunikasi lisan. 5. Pendekatan Penelitian Dalam pembahasannya skripsi ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Pendekatan seperti ini diperlukan untuk memaparkan hadis-hadis yang terkait dengan etika komunikasi lisan. Pendekatan analitis ini dimaksudkan untuk membuat analisa-analisa yang konfrehensif terhadap masalah yang dibahas. Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
13
Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.16 F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab-bab selanjutnya. Agar mempermudah memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh dan jelas tentang isi penelitian ini, maka skripsi ini disusun secara sistematika penulisan yang teratur, dimana skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari lima bab, sebuah bab pendahulu dan tiga bab isi, kemudian ditutup dengan sebuah bab penutup yang menguat kesimpulan penelitian ini. Adapun sistematika pembahasannya sebagai berikut: Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas landasan teoritis tentang etika komunikasi lisan yang didalamnya menjelaskan pengertian etika komunikasi lisan, jenis-jenis etika komunikasi, kedudukan komunikasi dalam Islam, etika komunikasi Qur’ani. Bab tiga akan di fokuskan pada pembahasan mengenai tinjauan umum teori komunikasi Qur’ani, pada bagian ini menjelaskan tentang al-Qur’an sebagai media 16
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2.
14
komunikasi, peran dan fungsi komunikasi dalam kehidupan, prinsip komunikasi dalam al-Qur’an, identifikasi ayat-ayat tentang komunikasi. Kemudian pada bab keempat, merupakan bab analisis tentang etika komunikasi dalam al-Qur’an. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang perintah untuk berkomunikasi dengan baik dan diam, perintah untuk berkomunikasi dengan benar, perintah untuk berkomunikasi dengan Adil. Bab kelima, berisikan Kesimpulan dan saran.
15
BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI LISAN
A. Pengertian Etika Komunikasi Lisan a.
Etika Etika berasal dari bahasa latin, “etthos”. Yang berarti kesusilaan atau moral.1 Maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan normanorma sosial, baik yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi. Terdapat pendapat bahwa kata etika berasal dari ethos (Yunani) yang artinya watak kesusilaan. Sedangkan pengertian etika secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Misalnya Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa ynag harusnya di lakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus di tuju oleh manusia di dalam perbuatan mereka, dan menunjukan yang seharusnya diperbuat.2 Sementara itu, pengertian etika menurut Ki Hajar Dewantara adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang
1
Hamzah Ya’qub, Etika Pembinaan Akhlaul Karimah(Suatu Pengantar), (Bandung: Diponegoro: 1990), cet. Ke-4, hal. 12. 2 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terjemahan, ( Jakarta: Bulan Bintang: 1996), cet. Ke-7, hal. 3.
16
merupakan pertimbangan dan perasaan, sehingga dapat mencapai tujuannya dalam bentuk perbuatan.3 Selanjutnya Soegarda Poerbakawatja, sebagaimana dikutip Abuddin Nata mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai itu sendiri.4 Dari beberapa pengertian tentang etika diatas, dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin Nata5 yaitu: a. Dari segi pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. b. Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. c. Dilihat dari fungsinya etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan manusia tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya. d. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, yakni berubah-ubah sesuai dengan tantangan zaman. Dengan demikian, pokok pembahasan etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat-sifat yang dilakukan oleh manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dalam bidang filsafat, perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan pada pemikiran etika, karena berdasarkan pada pemikiran yang diarahkan untuk manusia. Sedangkan menurut Muhammad al3
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 88. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 88. 5 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 90. 4
17
Ghozali berpendapat bahwa objek pembahasan etika adalah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok.6 Kata-kata etika sering disebut etik saja. Karena itu etika merupakan pencerminan dari pandangan masyarakat mengenai yang baik dan yang buruk, serta membedakan perilaku yang dapat diterima dengan yang ditolak guna mencapai kebaikan dalam kehidupan bersama.7 Istilah lain yang semakna dengan kata etika adalah moral, susila dan akhlak. Ditinjau dari segi etimologi, kata moral berasal dari bahasa latin “mores” jamak dari kata “mos” berarti adat kebiasaan.8 Selanjutnya, istilah moral menurut Abuddin Nata9 adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat-sifat, perangai kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat disebut benar, salah, baik atau buruk. Oleh karena itu, moral dapat dipahami sebagai istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan menilai baik, buruk, benar atau salah. Sementara itu, Hamzah Ya’qub10 mengartikan moral sebagai perkara yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima berkaitan dengan tindakantindakan manusia, yang baik dan wajar. Dengan kata lain, perbuatan manusia
6
Imam Al-Ghozali, Ihya ‘Ulumuddin, Terj. Drs. H. Moh. Zuhri, dkk, (Semarang: CV Asy Syifa’, 1992), cet. 2, jilid. 3, hal. 197. 7 Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 34. 8 Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: Diponegoro), cet. Ke-4, hal. 14. 9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 81. 10 Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14.
18
yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dengan meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Dengan demikian istilah moral ini jika dihubungkan dengan etika memiliki objek sama, yakni membahas tentang aktivitas manusia, yang selanjutnya ditentukan posisinya. Perbedaannya adalah bahwa etika banyak bersifat teori, sedangkan moral bersifat praktis.11 Dalam sisi penggunaannya, istilah moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Istilah susila memiliki makna yang senada dengan etika, moral dan akhlak. Hal ini bisa dilihat dari pengertian susila secara etimologis. Kata susila berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik atau bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, dan peraturan hidup atau norma.12 Sehingga kata susila bisa diartikan sebagai aturan hidup yang lebih baik. Dengan demikian, susila ini merupakan bimbingan kearah yang baik dengan berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan mengacu kepada suatu yang dipandang baik oleh masyarakat. Selanjutnya, istilah etika, moral dan susila ini mempunyai makna yang senada dengan akhlak (
)
sebagaimana disebutkan diatas. Dikatakan memiliki makna nada yang senada, karena akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata khulqun ( ) ﺧﻠﻖyang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku dan tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuian dengan kata kholqun ( ﺧﻠﻖ
11
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 94.
12
19
) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan Khaliq ( ) ﺧﺎﻟﻖyang berarti pencipta, dan makhluq ( ) ﻣﺨﻠﻮق, yang diciptakan. Oleh karena itu, menurut Hamzah Ya’qub13 perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dan makhluq dan antara makhuk dengan makhluk14. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt, dalam surat al-Qalam ayat 4:
“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur15” Menurut Abuddin Nata16 kata akhlak atau khuluq secara bahasa berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau sesuai yang menjadi tabi’at. Sedangkan pengertiannya secara terminologi (istilah), Abuddin Nata mengutip pendapat Ibnu Maskawaih yang menyatakan bahwa akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.17 Sementara Ahmad Amin berpendapat bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya.18
13
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 14. Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar) , hal. 11. 15 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 10, hal. 262. 16 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 3. 17 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 3. 18 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hal. 12. 14
20
Definisi-definisi akhlak di atas, secara substansial tampak saling melengkapi, sehingga menurut Abuddin Nata19 terdapat lima ciri yang ada tentang akhlak, yaitu: a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang yang tertanam dalam jiwa seseorang. b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang bersangkutan tidak sadar, hilang ingatan atau gila. Pada saat melakukan perbuataan yang bersangkutan tetap sehat akalnya dan sadar. c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengajarkannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. e. Sejalan dengan cirri yang keempat, perbuatan akhlak dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian. Dengan demikian, objek pembahasan tentang akhlak berkaitan dengan norma atau penelitian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Oleh karena itu, apabila suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk, maka ukuran yang digunakan adalah ukuran normatif.
19
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) , hal. 5.
21
Dari uraian di atas, tentang masalah etika, moral, susila, dan akhlak secara fungsinya dapat dipahami bahwa semuanya itu sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan kata lain, istilah-istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera lahir dan batiniyah. Oleh karena itu menurut Abudin Nata20, keberadaan etika, moral, dan susila
sangat
dibutuhkan
dalam
mengoprasionalisasikan ketentuan akhlak
rangka
menjabarkan
dan
yang terdapat dalam al-Qur’an.
Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak merupakan ilmu pengetahuan yang menjabarkan dan mengajarkan tentang baik dan buruk, benar atau salah menurut ajaran al-Qur’an dan as-Sunah. Sehingga etika dalam Islam sesuai dengan fitrah dan akal yang lurus. b.
Komunikasi Komunikasi dalam bahasa Inggris adalah communication, berasal dari akar kata bahasa latin, yaitu comunicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Maksudnya orang yang menyampaikan dan orang yang menerima mempunyai persepsi yang sama tentang apa yang disampaikan. Kalau yang menerima berkata
20
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 96
22
merah, maka yang menerima juga berpresepsi merah.21 Sedangkan kata komunikasi dalam bahasa arab adalah “Muwaasholat.”22 Komunikasi secara umum adalah sebagai hubungan atau kegiatankegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan atau diartikan sebagai saling tukar menukar pendapat antara manusia baik individu maupun kelompok23. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud komunikasi adalah proses penyampaian suatau pernyataan oleh seseorang kepada orang lain Komunukasi bisa dipandang sebagai salah satu kemampuan khusus kepada manusia, bahasa dan pembicaraan itu muncul, ketika manusia mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya kepada orang lain. Sebenaranya, manusia juga memiliki cara lain selain dengan berkomunikasi dalam mengungkapkan keinginan atau tujuannya, seperti menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi atau mengekpresikan keinginan dirinya dengan gerak gerik tubuh namun ternyata bahasa isyarat tidak seefektif bahasa lisan, baik dari cara pengungkapan maupun pengaruh yang ditimbulkannya. Hanya saja berkomunikasi merupakan cara paling efektif untuk menyatakan tujuannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
21
Jamaluddin Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, ((Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-1, hal. 17. 22 Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: (PT Bulan Bintang, 1997), hal. 276. 23 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hal. 9.
23
kemampuan berkomunikasi memiliki posisi sangat penting dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan pemahaman mengenai etika sebagaimana dijelaskan diatas, maka etika komunikasi adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral tingkah laku manusia dalam proses proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Abuddin Nata menilai etika komunikasi berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang bersumber pada akal pikiran dan filsafat, yang berfungsi untuk menilai, menentukan, dan menetapkan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (apakah perbuatan manusia tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya) yang berkaitan dengan proses penyampaian dan penerima pesan dari seseorang kepada orang lain24. c.
Lisan Kata lisan berasal dari bahsa arab jamak dari kata , lisana, wa lisanu, alisnatu, wa lisanatu yaitu alat ucap atau dalam bahasa Indonesia disebut lidah/lisan.25 Selain itu kata lisan juga dapat diartikan bahasa dan perkataan.
24
A.W Widjaja, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 90. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), hal. 395.
25
24
Sedangkan pengertian lidah itu sendiri ialah jenis otot yang memanjang di rongga mulut, organ ini terdiri dari beberapa unsur yang tersusun secara rapih, seperi otot-otot dan saraf-saraf dibagian lidah terdapat semacam saraf sebagai alat perasa.26 Lidah termasuk organ bicara yang paling aktif, dengan gerakangerakan tertentu dibagian lidah yang bertemu dengan organ lain, maka akan terjadilah bunyi yang mempunyai ciri tersendiri. Dengan inilah manusia bisa berkomunikasi anatara yang satu dengan yang lainnya. Namun disisi lain, lidah juga bisa membawa manusia kepada suatu bencana. Pengertian spesifik mengenai etika komunikasi lisan dalam al-Qur’an aturan tentang perilaku manusia dalam menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang yang tidak berarti dan akan membawa kemudaratan baginya didunia dan diakhirat. Etika dalam Al-Qur’an mempunyai aturan yang sangat dalam, maka hal tersebut menjadi sebuah etika yang sakral dan tidak terbantahkan. Isi alQur’an mengandung seruan moral bertujuan untuk menata tatanan sosial supaya lebih beradab dan lebih terjaga.
26
Ahmad Sayuti Ansari Nasution, Diklat Dasar-dasar ilmu Fonetik, (UIN Jakarta, 2003).
25
B. Jenis-jenis Etika Komunikasi Di lihat dari segi bentuknya, secara umum komunikasi meliputi bentuk : (1) Komunikasi Persona, (2) Komunikasi Kelompok, (3) Komunikasi Massa, dan (4) Komunikasi Medio27. 1. Etika Komunikasi Persona Komunikasi personal (personal Communication)adalah komunikasi seputar diri seseorang, baik dalam fungsinya sebagai komunikator maupun sebagai komunikan28. Komunikasi persona ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu komunikasi intrapersona dan komunikasi interpersona. Pertama, komunikasi intrapersonal adalah komunikasi dimana komunikator dan komunikannya diri seorang pribadi atau komunikasi dalam bentuk“melamun/menghayal” Materi yang dilamunkan atau dihayalkan bisa tenang diri sendiri atau orang lain, bisa melamunkan individu, kelompok maupun umat manusia secara keseluruhan. Dalam komunikasi intrapersonal ini harus dikendalikan oleh etika agar komunikasi intrapersonal yang dilakukan dapat menghasilkan niat yang baik (master plan), penilaian yang baik terhadap orang lain (positif thinking), ideide yang brilian tentang sesuatu yang dianggap baik menurut aturan yang berlaku.
27 28
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 7. Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 57.
26
Kedua, komunikasi interpersonal adalah proses dimana dua orang yang berperan sebagai pengirim dan penerima saling bertanggungjawab dalam menciptakan makna. 2. Etika Komunikasi Kelompok Onong Uchjana Effendy mengartikan komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara seseorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang29. komunikasi kelompok ini adalah komunikasi yang berlangsung antara komunikator dengan sejumlah komunikan, baik antar komunikator dengan sejumlah komunikan atau antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Lebih lanjut terdapat beberapa ciri kelompok, antara lain: (1) Komunikasi dengan tatap muka, (2) Komunikator dengan komunikan saling berhadapan, (3) Umpan balik bersifat langsung, dan (4) Tanggapan komunikasi bisa diketahui langsung pada saat komunikasi berlangsung. Untuk menentukan etika komunikasi kelompok ini, pada dasarnya tidak sama dengan etika komunikasi yang terdapat dalam komunikasi antar pribadi. 3. Etika Komunikasi Massa Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media massa (mass media communication), yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi 29
2, hal. 5.
Onong Uchjana Efendy, Dimensi-dimensi Komunikasi, (Bandung: Alumni, 1986), cet. Ke-
27
yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukan di gedung-gedung dan bioskop30. Dalam proses komunikasi massa, baik pimpinan redaksi, wartawan, penulis pengisi kolom, mereka bukan atas nama pribadi tetapi atas nama media. Oleh karena itu, mereka perlu memahami norma-norma atau etika yang berlaku dalam komunikasi massa. Diantara komunikasi massa, antara lain adalah: (1) beritakan informasi yang benar dan jujur sesuai denga fakta sesungguhnya, (2) berlaku adil dalam menyajikan informasi, (3) Gunakan bahasa yang bijak, sopan dan menghindari kata-kata yang propokatif, dan (4) Tampilkan gambar-gambar yang sopan dan menghindari gambar-gambar yang seronok. 4. Etika Komunikasi Medio Komunikasi medio adalah komunikasi dengan menggunakan atau memanfaatkan media (media communication), seperti: surat, telepon, famplet, poster, sepanduk, dan lain-lain31. Berdasarkan pemahaman tentang komunikasi medio yang tidak begitu berbeda dengan jenis komunikasi massa, maka bentuk dan setandar etika yang harus terdapat dalam komunikasi medio juga tidaklah mengalami perbedaan sebagaimana telah dijelaskan.
30 31
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 79. Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, hal. 7.
28
C. Kedudukan Komunikasi dalam Islam Dalam Islam, kemampuan berkomunikasi yang dimiliki manusia merupakan keistimewaan sangat besar dan termasuk salah satu perkara yang membedakan manusia dengan hewan, serta tidak dipisahkan dalam kehidupan manusia, sebab berkomunikasi hampir dibutuhkan pada semua gerak dan langkah manusia. Namun demikian, Islam memberikan rambu-rambu ketika hendak berkomunikasi. Ia harus berkomunikasi secara islami, yakni berkomunikasi yang berakhlakul karimah atau beretika. Berkomunikasi yang berakhlakul karimah tersebut berarti berkomunikasi yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Menurut ajaran Islam, berkomunikasi juga memiliki posisi sangat penting dalam menentukan nasib seorang, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang mampu mengendalikan pembicaraannya, akan memiliki kedudukan mulia dalam pandangan mulia dalam pandangan manusia, dan kelak akan memperoleh pahala di akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak mampu mengendalikan pembicaraannya, maka ia akan mudah menciptakan permusuhan dan percekcokan di antara sesama manusia di dunia, dan kelak akan memperoleh azab di akhirat. Hal itu secara tegas dinyatakan dalam sabda rasulullah saw.
29
Artinya: telah bercerita kepada kami muhamad bin abu bakar almuqaddami,telah bercerita kepada kami umar bin ali. Ia mendngar dari abu hazm dari sahal bin sa’ad dari rasulullah saw bahwa beliau bersabda;”barangsiapa mampu menjaga yang ada di janggutnya (lidah), dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), maka aku jamin dia masuk surga”.32 Tentang pentingnya berkomunikasi dalam Islam sangatlah jelas, baik berkaitan dengan eksistensi seorang muslim maupun aturan-aturan peribadatan yang terdapat dalam Islam. Seorang muslim, akan diakui eksistensinya sebagai seorang muslim apabila telah bersaksi dengan kata-katanya (bersyahadat) bahwa hanya Allah saja Tuhannya dan mengakui bahwa Muhamad adalah utusan-Nya. Selain itu, berkomunikasi hampir dipakai dalam setiap bentuk ibadah. Seperti dalam sholat pada hakikatnya. Ia sedang berkomunikasi kepada Tuhannya begitu pula pada bertransaksi, seorang muslim diharuskan untuk mengucapkan akan jual beli sebagai salah satu syarat absahnya jual beli dan masih banyak contoh pribadatan lainya yang melibatkan pembicaraan. Berkomunikasi juga berperan penting dalam menyebarkan Islam, yakni dengan berdakwah. Dimaklumi bahwa tersebut da’i atau muballig Islam telah mendakwahkan Islam sejak masa awal perkembangan Islam sampai sekarang di segenap penjuru dunia, dengan dakwahnya tersebut. Makan Islam semakin di kenal luas di sebagai belahan dunia, sehingga umat Islam pun kian hari semakin bertambah banyak di seluruh dunia. Dengan dakwah pula, ilmu setiap orang islam semakin bertambah dan iman, mereka semakin kuat. Dakwah tersebut sangat efektif jika
32
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz. 20, hal. 115.
30
disampaikan
lewat
kata-kata
atau
pembicaraan
sehingga
jelaslah
bahwa
berkomunikasi memiliki peranan penting dalam penyebaran islam. Berdasarkan pembahasan tersebut. Jelaslah bahwa komunikasi memiliki kedudukan sangat sentral dalam Islam. Hal itu di buktikan pula dengan banyaknya ayat dan hadits yang isinya berkaitan dangan berkomunikasi. D. Etika Komunikasi Qur’ani Komunikasi dalam pengertian Islam adalah sistem komunikasi umat Islam, pengertian itu menunjukan bahwa komunikasi Islam lebih fokus pada sistemnya dengan latar belakang filosofi (teori) yang berbeda dengan perspektif komunikasi non-Islam. Dengan kata lain sistem komunikasi Islam berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan kata lain sistem komunikasi Islam mempunyai implikasiimplikasi tertentu terhadap makna proses komunikasi.33 Al-Qur’an menurut al-Qardhawi dinamakan pula “al-Haq” yang memiliki makna yang sangat luas dan mendalam, diantaranya adalah: (1) al-Haq berarti petunjuk atas Citra tri Tunggal Yang Luhur, yaitu: kebenaran, kebajikan, dan keindahan: dan (2) al-Haq berarti etika timbal balik antara manusia34.
33
Prof, Dr, Andi Abdul Muis, SH, Komunikasi Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-1, hal. 65. 34 Yusuf Qardawi, Efistimologi Al-Qur’an (Al-Haq) terj, (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1996) cet. Ke-2 , hal. 3.
31
Sebagai kitab etika, didalam al-Qur’an terdapat sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang konsep dan ajaran etika ini35. Hal ini menunjuk betapa pentingnya etika, Etika yang diajarkan mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Allah. Figur contoh keteladanan etika adalah Rosulullah sendiri. Karena itu, dalam persepektif islam etika tidak saja merupakan suatu ajaran yang bersifat konseptual tetapi juga praktikal. Keberadaan Rosulullah sebagai figur keteladanan dalam bidang tingkah laku (behavior), menunjukan metode pengajaran dan aplikasi nilai-nilai etika yang paling akurat, sehingga dengan demikian nilai-nilai etika dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Rosulullah sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an adalah akhlaknya. Etika Qur’ani menurut Ilyas, mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai lima cirri utama, yaitu: (1) Rabbani, (2) Manusiawi, (3) Universal, (4) keseimbangan, dan (5) Realistik.36 Ciri Rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang membimbing manusia kearah yang benar, jalan yang lurus, atau sirathal mustaqim.37 Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan memenuhi fitrah manusia serta menuntun manusia agar memperoleh kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Ciri universal adalah etika Qur’ani membawa misi kasih sayang kepada umat manusia diseluruh dunia menegakkan kedamaian, menciptakan
35
H.M. Darwis Hude, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2002) Cet. Ke-1, hal. 189. 36 Drs. H. Yunahar Ilyas Lc. MA, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta. LPPI UMY, 1999), hal. 12. 37 Q.S Al-An’am: 153.
32
keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal.38ciri keseimbangan artinya etika Qur’ani mengajarkan manusia agar memperhatikan kepentingan duniawi namun tidak melupakan kepentingan ukhrowi, memenuhi keperluan jasmani tanpa mngabaikan keperluan rohani.39 Ciri relistik adalah etika Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al-Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan keringanan (rukshah) bagi yang tidak mampu melakukannya.40 Menurut Abuddin Nata41 etika Komunikasi Qur’ani adalah? a. Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. b. Menetapkan bahwa yang menjadi sumber ajaran Allah Swt dan Rosul-Nya (al-Qur’an dan as-Sunnah). c. Bersifat Universal dan Komprehensif, dapat diterima oleh seluruh manusia disegala tempat dan waktu. d. Dengan ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrahnya dan akal fikiran manusia, maka etika islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
38
Q.S Al-Imron: 104. Q.S Al-Baqarah: 201 dan Q.S Al-Qashash: 77. 40 Q.S Al-Baqarah: 173 dan 286. 41 Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf , (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) . hal. 96. 39
33
e. Mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang jujur dan meluruskan perbuatan manusia dibawah pancaran sinar petunjuk Allah Swt, menuju keridhoan-Nya42. Prinsip lain yang dijelaskan Al-Qur’an tentang komunikasi atau media massa adalah perlunya sikap kritis dalam menerima informasi, harus dilihat sumber informasi itu, apakah datang dari sumber yang dipercaya atau tidak. Dan salah satu etika komunikasi yang diungkapkan dalam Al-Qur’an khususnya media massa bahwa tidak dibenarkan menyebar luaskan suatu keburukan atau berita yang negative, kecuali untuk penegakkan hukum, selain untuk menjaga kehormatan orang lain.
42
Q.S Al-Hujurat: 6.
35
BAB III TINJAUAN UMUM TEORI KOMUNIKASI QUR’ANI
A. Al-Qur’an Sebagai Media Komunikasi Al-Qur’an adalah kitab komunikasi, karena didalamnya memenuhi seluruh komponen komunikasi. Menurut Effendi1, terdapat lima komponen komunikasi, yaitu: (1) Komunikator (communicator), (2) Pesan (message), (3) Media (media), (4) Komunikan (communicant). (5) Efek (efect). Dari lima komponen komunikasi tersebut ada pendapat lain yang menambahkan konteks kedalam komponen komunikasi, Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi2: 1. Fisik, adalah ruang dimana komunikasi berlangsung yang nyata atau berwujud. 2. Sosial-psikoilogis, meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat di mana mereka berkomunikasi. Lingkungan atau konteks ini juga mencakup rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau. 3. Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau sejarah dimana komunikasi berlangsung. Ketiga
dimensi
lingkungan
ini
saling
berinteraksi;
masing-masing
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh, terlambat
1
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997) ,
hal. 6. 2
Diakses pada tanggl 15 Maret 2011 Jam 21.30, http://www.lrckesehatan.net/modul/modul%20komunikasi%20dan%20motivasi-FINAL.doc
36
memenuhi janji dengan seseorang (dimensi temporal), dapat mengakibatkan berubahnya suasana persahabatan-permusuhan (dimensi sosial-psikologis), yang kemudian dapat menyebabkan perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah makan untuk makan malam (dimensi fisik). Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan banyak perubahan lain. Proses komunikasi tidak pernah statis. Komponen komunikasi yang dimaksud adalah: (1) Komunikator adalah Allah Swt, (2) Komunikan adalah Nabi Muhammad, (3) Pesan Komunikasi berupa ayat, (4) Media komunikasinya terbagi dua: media langsung melalui perantara Jibril dan media tidak langsung melalui mimpi dan gemercing lonceng, dan (5) Efek, yaitu terciptanya ketenangan, ketundukan, dan hidayah. Ditinjau dari tugas nabi sebagai penerima al-Qur’an, bahwa nabi sesuai dengan makna leksikal nabi itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari akar kata: nabaa, jamaknya adalah anbiya, dalam bahasa inggrisnya, prophets yang berarti pembawa berita.3 Dan berita yang disampaikan oleh nabi adalah al-Qur’an atau ayat-ayat Allah. Dengan asumsi seperti itu maka dapat dirumuskan komponen komunikasi sebagai berikut (1) Komunikator adalah Nabi Muhammad Saw, (2) Komunikan adalah Sahabat dan Umat, (3) Pesan Komunikasi adalah ayat al-Qur’an, (4) Media Komunikasi secara langsung adalah lisan, tulisan sedangkan media tidak langsung melalui code seperti melalui mimpi, gemercing lonceng dan Al-Qur’an yang
3
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-2, hal. 297.
37
dipraktikan oleh Muhammad Saw, dan (5) Efeknya adalah terciptanya suasana iman, Islam, dan ihsan. Mempertegas pembahasan tersebut, tugas utama para Nabi pada hakikatnya mengemban perintah dari Allah agar mengkomunikasikan dan mensyi’arkan syariat islam kepada umat manusia agar mampu dan memilah serta memilih yang baik dan benar, serta mencegah dari kesesatan dan kedzaliman. Tujuan utamanya adalah menuju kebahagian dunia dan akhirat. Prinsip dasar seorang Nabi sebagai komunikator adalah seseorang yang mempunyai kemampuan intelektual yang cerdas serta (fathonah) yang dapat memahami pesan yang diterima, seorang yang jujur (as-shidq), dan dapat dipercaya (amanah) sehingga benar-benar menyampaikan pesan tersebut dengan tidak dibuatbuat, dikurangi atau ditambahi.4 Seorang Nabi dalam menjalankan tugas menyampaikan risalah haruslah didasari perintah Allah, dengan jiwa yang tulus dan cara-cara yang bersih serta penuh kesabaran.5 Komunitas manusia yang dihadapi sebagai komunikan yang menjadi objek ajaran tersebut mempunyai beragam socio-cultural, adat istiadat, dan bahasa yang berlainan. Dalam hal ini seorang nabi harus mampu memahami situasi yang dihadapi dan menyampaikan pesan sesuai dengan karakteristik manusia. Kurun waktu yang berbeda, situasi yang beraneka ragam, domisili yang tersebar seantero
4
Q.S. Al-Maidah: 99. Q.S. Muddatsir: 1-7.
5
38
jagat raya, karakteristiknya pun berkembang sesuai dengan gerak kemampuan teknologi dan budaya, kesemuanya dipersatukan kepada satu tujuan yang sama. Dalam menunjang
keberhasilan komunikasi seorang nabi khususnya dan
umat manusia umumnya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi sangat ditentukan bagaimana komunikator menerapkan strategi dan metode yang tepat guna dan berhasil guna, berhadapan dengan komunitas komunikan yang beragam sebagaimana dijelaskan diatas. Dalam Al-Qur’an faktor utama dalam mencapai tujuan komunikasi ditengahtengah keragaman komunikan adalah dengan faktor bahasa dalam arti yang seluasnya. Sebab bahasa merupakan media yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi dan hanya bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk idea, informasi atau opini, baik mengenai hal yang konkrit maupun abstrak, bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang.6 Dengan media bahasa itu pula kita bisa mempelajari beragam ilmu, baik yang dituils oleh para ilmuan dahulu maupun yang akan datang. Kesamaan dalam arti pemahamannya, strata pengetahuan komunikator dan komunikan, pola pendekatan persuasif yang bisa diterima semua orang untuk selanjutnya berhasil mengubah sikap dan tingkah sadar untuk mengamalkannya, semua itu menjadi
6
, hal. 11.
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997)
39
target para nabi dan rosul yang hanya bisa disampaikan melalui bahasa yng dimengerti oleh umatnya.7 Secara praktis-aplikasi, al-Qur’an menawarkan metode yang tepat dalam komunikasi, yaitu dengan cara bijaksana (hikmah), nasehat yang baik (al-Mauidzah al-Hasanah) dan berdiskusi yang baik (al-Mujadalah)8. Ketiga cara ini merupakan etika komunikasi berdasarkan al-Qur’an
yang dapat diterapkan sesuai dengan
watak dan kemampuan komunikator dan Komunikan. B. Peran Dan Fungsi Komunikasi Dalam Kehidupan Peran dan fungsi berbicara sangatlah penting dalam berkomunikasi. Selain itu, antara berkomunikasi dan berbicara memiliki kaitan sangat erat. Hanya saja, komunikasi memiliki makna lebih luas dari sekedar berbicara. Dan bisa dikatakan bahwa berbicara merupakan bagian dari komunikasi, yang bisa disebut sebagai komunikasi lisan. Manusia berkomunikasi karena beberapa faktor: a. Perbedaan antara pribadi. b. Manusia meskipun merupakan makhluk yang utuh namun tetap mempunyai kekurangan. c. Adanya perbedaan motivasi antar manusia.
7
Syeikh Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid. V, Juz 13, hal. 126. 8 Q.S. An-Nahl: 125.
40
d. Kebutuhan akan harga diri yang harus mendapatkan pengakuan dari orang lain.9 Senada dengan hal tersebut, orang berkomunikasi dengan orang lain karena hal-hal berikut:10 a. Setiap orang memerlukan orang lain untuk mengisi kekurangan dan membagi kelebihan. b. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap. c. Interaksi ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan membuat orang mengantisipasi masa depan. d. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan penghalaman yang baru. Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa keinginan berkomunikasi antar pribadi disebabkan karena dorongan pemenuhan kebutuhan yang belum, atau tidak dimiliki seseorang sebelumnya atau belum layak di hadapannya. Dalam dipergunakan
berbicara, dalam
bahasa
merupakan
berkomunikasi,
karena
media
yang
bahasalah
paling
banyak
yang
mampu
menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu berbentuk media informasi atau ofini; baik yang mengenai yang konkriit abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang melain kan juga pada waktu yang
9
Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 48. 10 Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, hal. 48-49.
41
lalu dan masa yang akan datang.11 Dengan bahasa media itu pula kita, bisa mempelajari beragam ilmu, baik yang di tulis oleh para ilmuwan dahulu maupun akan datang. Dalam komunikasi lisan yang terutama dijumpai dalam komunikasi antar pribadi. Yang pasti unsur-unsur penting dalam komunikasi tercakup di dalam nya yaitu: sumber saluran, pesan, kode, penerima dan kerangka rujukan. Dan setiap unsur memberikan dukungan pada komunikasi verbal.12 Dalam berkomunikasi secara lisan ada enam jenis yang termasuk dalam komunikasi lisan, yaitu:13 a. Emotive Speech, yaitu gaya bicara yang mementingkan aspek psikologis. b. Phatic Speech, adalah gaya komunikasi yang verbal yang berusaha menciptakan hubungan sosial. c. Coginitive Speech, merupakan jenis komunikasi verbal yang mengacu pada kerangka berfikir atau rujukan yang mengartikan suatu cara kata secara denotative. d. Rethorical Speech, mengacu kepada komunikasi verbalkan yang menekankan sifat konatif, dan mendorongnya terbentuknya perilaku. e. Metaliguan
Speech,
adalah
komunikasi
secara
verbal,
tema
pembicaraannya tidak mengacu pada obyek dan peristiwa dalam dunia nyata melainkan tentang pembicaraan itu sendiri. 11
Onong Uchjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 11. 12 Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 43. 13 Alo Liliweri, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 43.
42
f. Poetic Speech, adalah komunikasi lisan secara verbal berkutat secara struktur penggunaan “kata” yang tepat melalui perindahan pilihan “kata”, ketepatan unkapan, menggambarkan rasa seni dan pandangan serta gayagaya lain yang khas. C. Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an Dalam proses komunikasi paling tidak terdapat tiga unsur, yaitu: komunikator, media dan komunikan.14 Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. komunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Meskipun
al-Qur'an
secara
spesifik
tidak
membicarakan
masalah
komunikasi, namun jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini dengan melihat kata qaul dalam konteks perintah, penulis menyimpulkan bahwa ada enam prinsip komunikasi, yaitu: Qaulan Sadidan( QS 4:9, 33:70), Qaulan Balighan(QS 4:63), Qaulan Masyuran(QS 17:28), Qaulan Layyinan(QS 20:44), Qaulan Kariman(QS 17:23), Qaulan Ma’rufan(QS 4:5). Yang diantaranya adalah:
14
YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta, Grasindo, 1998), hal. 69.
43
a. Prinsip Qaulan Balighan Di dalam al-Qur'an kata qaulan baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa': 63:
ﺎ (٦٣ “Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang di dalam hatinya. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasehat, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwanya.”15 (QS An-Nisa: 63) Kata baligh dalam bahasa Arab artinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qaul (ucapan atau komunikasi), ‘baligh’ berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu, prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif. Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap baligh, antara lain:16 Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara Kesesuaian dengan tata bahasa. b. Prinsip Qaulan Kariman
15
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid.2, hal. 199-200. 16 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an(Jakarta: Lentera Hati, 2000), jilid. 2, hal. 468.
44
Dalam al-Qur’an terdapat satu ayat yang memuat redaksi qaulan kariman, yaitu pada surat al-Isra ayat 23:
(٢٣) “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.17”(QS. al-Isra: 23) Dari sisi substansi ayat, firman Allah ini dalam pemahaman Hamka merupakan ayat yang menerangkan etika (akhlak) muslim yang berusaha menerangkan dasar budi pekerti dan kehidupan muslim. Akhlak pertama yang dibahas adalah etika atau akhlak kepada Allah yang merupakan pokok budi yang sejati. Sebab hanya Allah yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi kita hidup, memberi rezeki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada yang lain hanya Allah.18 Sedangkan akhlak yang kedua adalah berbakti kepada kedua orang tua dengan cara berkhidmat kepada ibu dan bapak, menghormati keduanya yang telah menjadi penyebab bagi kita sehingga kita dapat hidup di dunia ini yang merupakan kewajiban kedua setelah beribadah kepada Allah.
17
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya , (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke3, Jilid. 5, hal. 458. 18 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), Juz. 15, hal. 63.
45
Dalam ayat ini lebih lanjut secara teknis dijelaskan ketentuan etika yang baik menurut al-Qur’an mengenai sikap terhadap kedua orang tua. Di antaranya adalah “jika keduanya atau salah seorang mereka, telah tua dalam pemeliharaan engkau, maka janganlah engkau berkata “uff” kepada keduanya”. Perkataan uffin, menurut Hamka
adalah kalimat yang
mengandung rasa bosan atau jengkel meskipun tidak keras diucapkan atau dengan kata lain seorang anak dituntut supaya menggunakan etika dalam berkomunikasi kepada kedua orang tuanya. Sedangkan etika komunikasi menurut ayat ini adalah
. Qaulan
Karima secara bahasa berarti perkataan yang mulia. Menurut Al-Mawardi adalah perkataan dan ucapan-ucapan yang baik yang mencerminkan sebuah kemuliaan.19
Sedangkan
dalam
Al-Qur’an
dan
terjemahannya20.
Diterjemahkan dengan perkataan yang baik. Al-Maraghi21, mengartikan dengan perkataan yang mulia. Selanjutnya ucapkanlah kepada mereka perkataan yang lemah lembut dan baik yang disertai dengan sikap sopan santun, hormat, ramah, tamah, dan bertatakrama. Ayat ini memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali,
19
KH. Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah tidak berbohong, (Al-Mawardi Prima: Jakarta, 2002) , hal. 35. 20 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke3, Jilid.5, hal. 458. 21 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid. 15, hal. 51.
46
di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, alQur'an menggunakan term Karim, yang secara kebahasaan berarti mulia. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang Karim, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.22 Qaul karim, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan. c. Prinsip Qaulan Maysuran Istilah qaulan masyura hanya satu kali disebutkan dalam al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Isra ayat 28:
(٢٨ “Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang lemah lembut.23”(Q.s. al-Isra: 28). Menurut Hamka, qaulan masyura adalah kata-kata yang menyenangkan. Berdasarkan konteksnya menurut Hamka qaulan masyura itu pantas diucapkan oleh orang kaya nan dermawan, berhati mulia dan sudi menolong kepada orang yang pantas ditolong, didalam situasi si dermawan tersebut sedang “kering” belum mampu memberikan pertolongan. Di dalam
22
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, penerjemah: As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), juz 13, hal. 318. 23 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid.5, hal. 464-465.
47
al-Qur’an dan terjemahnya,24 qaulan masyuran diartikan dengan ucapan yang lemah lembut. Demikian pula yang terdapat di dalam Tafsir al-Maraghi.25 Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily26 dalam tafsirnya adalah, “Maka ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mudah dipahami, lunak dan lemah lembut.” Berdasarkan asbab an-Nuzulnya ayat tersebut diturunkan sebagai perintah kepada Nabi Muhammad Saw untuk menunjukan sikap yang arif dan bijak dalam menghadapi keluarga-keluarga dekat, orang miskin dan musafir ucapan yang manis dan pantas kepada mereka agar tetap bersabar dalam menghadap cemoohan dan hinaan serta bujukan harta kekayaan disamping mereka juga tidak sungkan memberikan harta kekayaannya kepada musuhmusuh Islam, yang karenanya bisa menghalangi dan memerangi umat Islam.27 d. Prinsip Qaulan Ma'rufan Secara bahasa, qaulan ma’rufa berarti perkataan yang ma’ruf (membangun). Dengan demikian, ia mengandung pengertian perkataan dan ucapan-ucapan yang baik, santun, dan sopan. Perkataan yang baik akan menggambarkan kearifan. Perkataan yang santun akan menggambarkan kebijaksanaan. Dan perkataan yang sopan menggambarkan sikap terpelajar
24
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid.5, hal. 465. 25 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993),, jilid 15, hal. 71. 26 Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hal. 59. 27 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), Jilid 15, hal. 71.
48
dan kedewasaan.28 Berkaitan dengan perkataan yang ma’ruf ini Allah Swt. berfirman:
(٥ “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.29” (QS. AnNisa: 5) Khithab (pembicaraan) pada ayat 5 surah an-Nisa tersebut ditujukan kepada semua umat dan larangannya mencakup setipa harta, yang intinya perintah agar memberikan harta kepada anak yatim apabila ia telah baligh dan memberikan mahar kepada isteri, kecuali apabila mereka termasuk orang safih (dungu), yang tidak akan bisa menggunakan harta benda. Maka cegahlah harta mereka agar jangan disia-siakan dan peliharalah harta mereka olehmu hingga mereka dewasa. Kemudian hendaknya setiap wali menasehati orang yang diasuhnya apabila ia masih kecil dengan perkataan yang enak dan membuatnya menjadi penurut.30 Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an mengharuskan setiap muslim untuk selektif dalam berbicara, antara lain 28
KH. Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah tidak berbohong, (Al-Mawardi Prima: Jakarta, 2002), hal. 42. 29 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), cet. Ke-1, Jilid. 2. hal. 114. 30 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), jilid 4, hal. 333.
49
dengan menggunakan kata-kata yang baik dan menjauhi kata-kata buruk. Kata-kata baik tersebut adalah kata-kata halus yang tidak menyinggung orang lain. Dengan kata lain, serang muslim hendaklah menghindari kata-kata kasar yang menyinggung lawan bicara, kata-kata tersebut diucapkan. Sebaliknya, ia harusg memperhatikan tatakrama bicara sesuai dengan lingkungan dimana ia hidup. Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu QS al-Baqarah: 235, al-Nisa: 5 dan 8, al-Ahzab: 32. Di dalam QS al-Baqarah: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam QS an-Nisa: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan di QS. alAhzab: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw. e. Prinsip Qaulan Layyinan Istilah qaulan layyinan hanya satu kali disebutkan dalam al-Qur’an yang terdapat dalam surat Thaha ayat 44:
(٤٤ “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia sadar atau takut"31. (QS Thaha: 44) Pada ayat di atas Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyerukan ayat-ayat Allah kepada Fir’aun dan kaumnya. Dikhususkan perintah berdakwah kepada Fir’aun setelah berdakwah secara 31
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirny, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 6, hal. 141.
50
umum, karena jika Fir’aun sebagai raja sudah mau mendengarkan dan menerima dakwah mereka serta beriman kepada mereka, niscaya seluruh orang Mesir akan mengikutinya, sebagaimana dikatakan dalam pepatah, “manusia mengikuti agama raja mereka”. Wahbah al-Zuhaily32 menafsirkan ayat tersebut dengan, “ Maka katakanlah kepadanya (Fira’un) dengan tutur kata yang lemah lembut (penuh persaudaraan) dan manis didengar, tidak menampakkan kekasaran dan nasehatilah dia dengn ucapan yang lemah lembut agar ia lebih tertarik. Karenanya ia akan merasa takut dengan siksa yang yang dijadikan oleh Allah melalui lisanmu”. Maksudnya adalah agar Nabi Musa dan Nabi Harun meninggalkan sikap yang kasar. Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. f. Prinsip Qaulan Sadidan Di dalam al-Qur'an kata qaulan sadidan disebutkan dua kali, pertama, QS. An-Nisa: 9:
32
Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 15, hal. 215.
51
(٩) “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara tutur kata yang benar.”33(QS. an-Nisa: 9) Ayat diatas sebagai bukti adanya dampak negative dari perlakuan kepada anak yatim yang dapat terjadi kepada kehidupan dunia ini. Sebaliknya, amal-amal
yang
soleh
dilakukan
seoarang
ayah
dapat
mengantar
terpeliharanya harta dan peninggalan orang tua untuk anaknya yang menjadi yatim.34 Muhammad Sayyid Tanthawi berpendapat bahwa ayat diatas ditujukan kepada semua pihak, siapapun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap yang benar dan tepat, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan diatas.35 Dan kedua, QS. al-Ahzab: 70
(٧٠ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar.”36(QS. Al-Ahzab:70)
33
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 114-115. 34 M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 2, hal. 339. 35 M.Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 2, h. 338. 36 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid. 8, hal. 46.
52
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadid. Atau dengan istilah lain, qaul sadid menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid,
terdapat banyak
penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat. Perkataan yang tepat itu terkandunglah kata yang benar,37 pembicaraan yang tepat sasaran dan perkataan yang disampaikan haruslah baik, benar dan mendidik.38 D. Identifikasi Ayat-ayat Tentang Etika Komunikasi Lisan Dalam al-Qur’an istilah komunikasi sebagian besar diungkapkan dengan kata - ﻗﺎل- ﻧﻄﻖ, dan_ ﻛﻠﻢatau_ ﺗﻜﻠﻢkata ﻗﺎلdengan berbagai derivasinya diulang sebanyak 1722 kali, yang terdapat pada 141 ayat dalam 57 surat,39 kata ﻧﻄﻖdengan berbagai derivasinya diulang sebanyak 12 kali yang terdapat pada 16 ayat dalam 11 surat,40 dan kata - ﻛﻠﻢatau ﺗﻜﻠﻢdengan berbagai derivasinya diulang sebanyak 75 kali, yang terdapat pada 72 ayat dalam 35 surat.41 Dari istilah tersebut kata Qala mempunyai beberapa tema yaitu: 1. Tema komunikasi tentang perintah ada beberapa ayat, yaitu: al-Baqarah: 263; anNisa: 5, 9, 63; al-Maidah: 8; al-An’am: 152; an-Nahl: 90; al-Israa: 23, 28 53; al37
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1984), Juzu’: 22, hal. 109. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol.11, hal. 330. 39 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, (al-Haiah alMisyriyyah li al-Ta’lif wa al-Nasyr, 1975), hal. 426-444. 40 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, hal. 726-727. 41 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, hal. 520-525. 38
53
Mu’minu: 3; an-Nuuur: 21; al-Qashash: 55; al-Ankabut: 28; az-Zumar: 18; alHujurat: 3; al-Ahzab: 70. 2. Tema komunikasi tentang tauhid ada beberapa ayat, yaitu: al-Baqarah: 83, alImran: 104, al-A’raf: 33, al-Hajj: 24, an-Nuur: 15, 16, 19, Fathir: 10. 3. Tema komunikasi tentang larangan ada beberapa ayat, yaitu: an-Nahl: 105; alFurqan: 72; Lukman: 19; al-Ahzab: 32. Setelah mengkaji ayat-ayat tersebut, dapat diketahui bahwa ayat yang berkaitan dengan etika komunikasi lisan dapat diklarifikasikan sebagai berikut: QS. al-Baqarah [2]: 83, 263; QS. Ali-Imran [3]: 104; an-Nisa [4]: 5, 9, 63, 114, 148; alMaidah[5]: 8; al-An’am [6]: 152; al-A’raf [7]: 33; Ibrahim [14]: 24, 25, 26; an-Nahl [16]: 90, 105; al-Isra’ [17]: 23, 28, 53; Thaha [20]: 44; al-Hajj [22]: 24; al-Muminun [23]: 3; an-Nuur [24]: 15, 16, 19, 21; a-Furqan [25]: 72: 165; al-Qashash [28]: 55; alAnkabut [29]: 28; Lukman [31]: 19; al-Ahzab [33]: 32, 70; Fathir [35]: 10; az-Zumar [39]: 18; Dan al-Hujurat [49]: 3.
54
BAB IV ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI DALAM ALQUR’AN
A. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Baik atau Diam Berkomunikasi dengan baik adalah suatu keniscayaan bagi seorang muslim. Namun demikian, cara berkomunikasi yang baik niscaya timbul dari budi yang baik. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholih niscaya perkataan yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah berkata jelek. Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah ini terdapat pada surat al-Isra’ ayat 53. Allah Swt. berfirman:
(٥٣ “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”1 (QS. Al-Isra: 53) Berdasarkan ayat tersebut, umat Islam diharuskan untuk selalu berbuat kebaikan dalam segala kondisi agar dapat menuai hasil (pahala) kebaikan pula, baik untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk menggapai pahala tersebut adalah dengan berkomunikasi secara baik, sebab berkomunikasi baik kepada orang lain akan mendatangkan kemashlahatan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Sebaliknya, cara komunikasi yang tidak baik akan mendatangkan kemadaratan dan permusuhan, sebab bersumber dari
1
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 5, hal. 497.
55
hasutan syaitan yang selalu berusaha agar manusia selalu mengikuti jalannya dengan berbagai cara, sehingga manusia terperangkap di pelukannya. Menurut Ibn Katsir, dalam ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar berkata baik atau menggunakan kata-kata terbaik ketika berkomunikasi atau ketika memerintahkan sesuatu kepada sesama. Jika mereka tidak berbuat demikian, maka di antara mereka akan terkena hasutan syaitan yang akan berdampak pada perbuatan mereka, sehingga akan terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka.2 Senada dengan tafsiran ayat tersebut, Imam Qurtubi berpendapat bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. agar menyuruh umatnya untuk berkomunikasi dengan baik, atau menggunakan kata-kata yang terbaik ketika mereka sedang berkomunikasi atau memberikan petuah kepada sesama mereka.3 Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut, jelaslah bahwa berkomunikasi dengan baik merupakan perintah dari Allah Swt. hanya saja, munculnya ucapan baik yang dilontarkan seseorang ternyata berkaitan pula dengan keteguhan iman seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang imannya kuat dipastikan akan selalu berusaha untuk berbuat kebaikan, termasuk dalam berkomunikasi. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
(٢٤
2
Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 59. 3 Muhammad bin Yazid bin Jarir bin Khalid at-Thabari Abu Ja’far, Tafsir al-Qurtubi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz . 15, hal. 180.
56
“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang Terpuji.4”(QS. Al-Hajj: 24) Menurut Hamka5, perkataan yang baik niscaya timbul dari budi yang baik dan sopan santun. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholeh niscaya perkataannya yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah berkata jelek. Orang yang memberikan bimbingan untuk bisa bersikap seperti itu tiada lain adalah utusan-utusan Allah Swt sendiri. Pendapat tersebut bisa dipahami dikarenakan seorang hamba yang beriman kuat, tentu saja akan terus berusaha untuk menguasai nafsunya dan mengendalikan jiwanya, sehingga segala perkataan dan perbuataannya tidak bertentangan dengan ketentuannya Tuhannya. Ia selalu merasa bahwa dimanapun ia berada, Allah Swt Senantiasa mengawasi dan memperhatikannya, sehingga tidak ada celah sendikit pun baginya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan-Nya, termasuk dalam komunikasi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang yang selalu berkata baik akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
(١٠ “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.”6(QS. Fathir: 10) 4
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 6, hal. 375. 5 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. Ke-3, Juz. 17, hal. 156. 6 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 8, hal. 141.
57
Menurut Hamka, maksud dari “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya”. Artinya bahwasannya terlontar dari mulutnya kata-kata yang baik, dia pun diangkat keatas, kemartabat yang lebih tinggi oleh amal shaleh. Dan itulah izzah atau kemuliaan sejati.7 Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa siapa saja yang menginginkan kejayaan di dunia dan di akhirat, maka hendaklah ia selalu taat kepada Allah Swt. Ketaatanlah yang akan menjadikan seorang hamba memperoleh kejayaan, sebab kejayaan semata-mata milik Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat. Di antara ketaatan adalah berkata baik, sebab Allah Swt. akan menerima perkataanperkataan yang baik, seperti tauhid, dzikir, dan bacaan al-Qur’an.8 Oleh karena itu, umat Islam sudah semestinya memandang penting untuk berkata baik, tidak asal bicara, apalagi mempengaruhi orang lain untuk berbuat kejelekan. Orang yang berkata jelek, tentu saja tidak akan mendapatkan pahala, sebab perkataan yang mengandung pahala adalah perkataan yang mengandung kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
(١١٤ “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.9” (QS. An-Nisa: 114)
7
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. Ke-3, Juz. 22 , hal. 219. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1382H/1962M), Jilid. 8, hal. 112-123. 9 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 263. 8
58
Dengan demikian, selain harus berkata baik seorang muslim pun harus selektif dalam menerima bisikan dari orang, sebab tidak semua bisikan yang datang kepadanya layak diceritakan kembali kepada orang atau ia praktikkan dalam perbuatan, sebab tidak menutup kemungkinan bisikan yang datang kepadanya akan menjerumuskannya. Begitu pula bisikan jelek yang diterima seseorang kalau disebarkan kepada orang lain tidak menutup kemungkinan hanya akan mendatangkan kemadaratan bagi orang lain. Menurut ayat tersebut, perkataan seseorang semestinya mengandung ajakan untuk berbuat kebaikan agar menghasilkan kebaikan pula, baik bagi dirinya maupun orang lain. Bahkan dalam ayat lain Allah Swt. menegaskan:
(١٠٤ “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”10 (QS. Ali-Imran: 104) Berkaitan dengan keutamaan berkata baik, Rosulullah Saw. Bersabda:
:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a katanya, “ Nabi Saw telah bersabda, pada setiap hari terdapat sedekah disetiap sendi manusia ketika matahari terbit. 10
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 13.
59
Kemudian Rosulullah Saw. Bersabda: “berlaku adil diantara dua orang manusia adalah sedekah, membantu seseorang naik keatas binatang tunggangannya atau mengangkat barang-barangnya keatas belakang tunggangannya juga adalah sedekah”. Rosulullah Saw. Bersabda lagi: perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah menuju sembahyang adalah sedekah dan membuang sesuatu yang berbahaya di jalan adalah sedekah.11(HR. Bukhori) Berdasarkan hadits tersebut jelas sekali bahwa berkata baik sangat menguntungkan orang mu’min, karena akan semakin menambah banyak pundipundi amalnya untuk bekal kelak di akhirat. Dalam hal ini tentu saja lebih baik diam dari pada berkata baik berkata tidak karuan yang memudhorotkan bagi orang lain. Ibnu Hajar12 berpendapat, yang dimaksud dengan penyataan bahwa perkataan yang baik adalah sedekah, yaitu perkataan seseorang yang membuahkan pahala dari Allah Swt. Baginya, sebagaimana Allah Swt pun telah menjanjikan kepada orang yang mengeluarkan sedekah. Ia juga mengutip hadits dari Adi bin Hatim yang menyatakan, “Jagalah diri kalian walaupun dengan biji kurma. Jika kalian tidak memilikinya, maka dengan perkataan yang baik”. Dalam hadits yang lain, Rosulullah Saw. Bersabda:
:
11
Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, (Beirût: Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz.10, hal. 163. 12 Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Fadhl al-‘Asqalani al-Syafi’I, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), Juz. 10, hal. 449.
60
“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah bercerita kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Husain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah. Ia berkata bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Rosulullah Saw dan hari akhirat, hendaklah berkata baik atau diam saja. Dan telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus dari A’Masy dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah. Ia berkata bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda sebagaiman hadits dari Abu Hushain tersebut. Hanya saja, beliau bersabda: Hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”(HR. Muslim)13 Menurut Imam an-Nawawi, maksud ungkapan , bahwa jika seseorang akan berkata sesuatu, maka hendaklah berpikir dahulu, jika perkataannya mendatangkan pahala baginya, baik berkaitan dengan perkara wajib maupun sunah maka katakanlah. Sebaliknya, apabila perkataannya tidak akan mendatangkan pahala, baik secara zhahir berkaitan dengan perkara yang makruh maupun haram, maka hendaklah ia tahan perkataannya.14 Dengan kata lain, diam adalah lebih utama dibandingkan banyak bicara tetapi tidak bermakna dan hanya mendatangkan kemudhorotan. Menurut Yusuf Qardhawi, banyak bicara akan membuat orang melakukan banyak kesalahan karena lidah (lisan) tidak terlepas dari berbagai kekeliruan. Seperti yang dikatakan Imam al-Ghazhali, lidah mempunyai dua puluh penyakit, antara lain: berdusta, ghibah, namimat (mengadu domba), bersaksi palsu, bersumpah palsu,
13
Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , (Beirût: Dar al-Fikr, 1993), Juz. 1, hal. 164. 14 Abu Zakariya Yahya bib Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392), Juz. 2, hal. 19.
61
memperbincangkan kesalahan orang, membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah, mencemooh orang lain, menghina, dan lain-lain.15 Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara baik mendapat perhatian penting dalam Islam dan diperintahkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Bahkan seseorang dianjurkan untuk berdiam jika tidak bisa berkata baik, sebab diam adalah lebih baik daripada berkata-kata namun tidak baik dan juga ada ungkapan bahwa diam itu emas, dari sekian banyak petunjuk agama yang yang mendorong agar seseorang selalu menimbang-nimbang segala apa yang di ucapkannya, karena seperti dalam Al-Qur’an:
(١٨ "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekat (pengucap)-nya Malaikat Pengawas yang selalu hadir (mencatat ucapan-ucapan tersebut).16 (QS. Al-Qaaf: 18)17 Setiap orang beriman harus berusaha agar setiap perkataan yang dilontarkannya mengandung kebaikan, sehingga akan mendatangkan pula bagi pendengarnya. Dengan kata lain, berusaha untuk melontarkan kata-kata yang baik dan berusaha pula untuk selalu menyimak dan mendengarkan perkataan yang baik, maka hidupnya akan dipenuhi dengan kebaikan, dan hanya mengikuti jalan kebaikan. Dalam
al-Qur’an
juga
membahas
masalah
berkomunikasi
dengan
menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi kalimat yang buruk, ayat yang berkenaan dengan masalah ini terdapat pada surat az-Zumar ayat 18; Ibrahim ayat
15
Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, (Bandung Trigenda Karya, 1996), hal. 113. 16 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 9, hal. 453. 17 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 283.
62
24, 25, 26; surat an-Nur ayat 26; dan surat al-Qashash ayat 55. Allah Swt. berfirman:
(١٨ “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.18” (QS. Az-Zumar: 18) Sebab turunnya ayat ini : Jawaibir meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah yang berkata, “ ketika turun ayat 44 surat al-Hijr, ‘(Jahanan itu mempunya tujuh pintu,” datanglah seorang laki-laki dari golongan Anshar menghadap Rosulullah seraya berkata, “Ya Rosulullah, aku mempunya tujuh orang hamab/budak yang telah saya memerdekakan seluruhnya untuk ketunjuh pintu neraka.” Ayat ini (Q.S. az-Zumar: 17-18) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menyatakan bahwa orang tersebut telah mengikuti petunjuk Allah.19 Dalam al-Qur’an Allah Swt. mengumpamakan perkataan yang baik dan buruk laksana pohon, pohon yang baik akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya pohon yang buruk akan mendatangkan kejelekan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
٢٤) (٢٦
٢٥) 18
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 8, hal. 425. 19 K.H.Q Shaleh dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat AlQur’an, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), Hal. 465.
63
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.20” (QS. Ibrahim: 24-26) Menurut al-Maraghi, dalam ayat tersebut Allah Swt. mengumpamakan kalimat iman (yang bersumber dari keimanan) dengan sebuah pohon yang akarnya tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke udara, sedang pohon itu berbuah pada setiap musim. Hal ini disebabkan apabila hidayah telah bersemayam di dalam satu kalbu, maka akan melimpah kepada yang lain dan memenuhi banyak kalbu, seakan sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim, karena buahnya tidak pernah terputus. Sedangkan perumpamaan kalimat kufur adalah laksana pohon yang buruk, seperti pohon paria dan sebagainya yang tidak mempunyai pokok yang tetap di dalam tanah, bahkan akarnya pun tidak mencapai permukaan tanah, sehingga tumbang di atas tanah karena akar-akarnya dekat kepermukaan tanah. Dengan kata lain, pohon tersebut cepat rusak dan kurang mendatangkan manfaat bagi manusia.21 Kemudian al-Maraghi mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa yang dimaksud dengan kalimat yang baik adalah ucapan La ila ha illa Allah, sedangkan pohon yang baik adalah pohon kurma.22 Hemat penulis, walaupun al-Maraghi mengartikan kalimat yang baik tersebut dengan kalimat iman, tidak diartikan sebagai perkataan yang baik, namun
20
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 5, hal. 143. 21 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1382H/1962M), Jilid. 5, hal. 138-139 22 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid. 5, hal. 139.
64
tetap relevan dengan bahasan ini, sebab kalimat iman mencakup perkataanperkataan baik yang sesuai dengan ketentuan syara. Perkataan yang baik biasanya muncul apabila seseorang terbiasa mendengarkan perkataan-perkataan yang baik pula. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah tidak memperhatikan kalimat-kalimat buruk atau kalimatkalimat tidak bermanfaat yang diucapkan oleh seseorang agar ia tidak terpancing untuk berkata dengan kalimat-kalimat yang buruk pula. Allah Swt. berfirman:
(٥٥ “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.23” (QS. Al-Qashash: 55) Ayat tersebut menerangkan tentang sikap kaum muslimin pada zaman Rasulullah yang tidak mempedulikan caci-maki atau ucapan-ucapan buruk dari orang-orang kafir yang dilontarkan kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak terhasut dan terpengaruh untuk berperilaku seperti mereka.24 B. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Benar Sesuatu yang tampak baik, belum tentu benar. Begitu pula dengan berkomunikasi, setiap orang harus berkomunikasi dengan benar. Menurut Hamka25, orang yang mengaku sebagai orang yang beriman, supaya memupuk jiwanya dengan takwa kepada Allah Swt.
23
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 7, hal. 309. 24 Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. Ke-II, jilid. 3, hal. 1659. 25 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986),Juz. 22, hal.109.
65
Diantara sikap hidup yang didasarkan pada iman dan takwa kepada-Nya ialah jika berkata-kata hendaklah memilih kata-kata yang tepat, yakni kata-kata yang benar. Selain itu tidak boleh berbelit-belit, dan kata-katanya tidak menyakiti sesama manusia. Pendapat tersebut berdasarkan pada firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 70:
(٧٠ “Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.26” (QS. Al-Ahzab: 70) Wahbah al-Zuhaily27 mengartikan qaulan sadidan pada ayat ini dengan ucapan yang tepat dan bertanggung jawab, yakni ucapan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Selanjutnya ia berkata bahwa surah al-Ahzab ayat 70 merupakan perintah Allah terhadap dua hal: Pertama, perintah untuk melaksanakan ketaatan dan ketaqwaan dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berbicara dengan qaulan sadidan, yaitu perkataan yang sopan tidak kurang ajar, perkataan yang benar bukan yang batil.28 Muhammad Fakhruddin al-Razy29 mengemukakan bahwa qaulan sadidan adalah segala sesuatu yang nampak sebagai manivestasi dari nilai ketaqwaan seseorang yang mendalam kepada Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan. Berkata benar atau jujur berperan sangat penting bagi seseorang dan akan membawa kebaikan baginya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Allah
26 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid. 8, hal. 46. 27 Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid. 3, hal. 260. 2828 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1382H/1962M), Jilid 8, hal. 44-45. 29 Muhammad Fakhruddin al-Razy, Tafsir Fakhru Razy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid. 3, hal. 260.
66
Swt. mengkategorikan orang yang
selalu berkata benar sebagai orang yang
bertaqwa.
(٣٣ “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.30” (QS. Az-Zumar: 33) Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang berbicara maka haruslah benar menurut standar syariat Islam. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak sedikit orang yang berkata manis, baik dalam tutur kata maupun isi pembicaraan, tetapi pada kenyataannya orang tersebut berkata tidak benar atau berbohong. Perbuatan seperti itu tidaklah dibenarkan dalam Islam, sebagaimana telah disebutkan landasannya, baik dari al-Qur’an maupun asSunnah. Dalam ayat yang lain Allah Swt. berfirman:
(٩ “Dan hendaklah takut kepada Allah Swt. orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Swt. dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.31” (QS. An-Nisa: 9) Kandungan pada ayat 9 surah an-Nisa ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu masih berkisar tentang para wali (penanggung jawab) dan orang-orang yang diwarisi, yakni mereka yang dititipi anak yatim. Juga tentang perintah agar mereka memperlakukan anak-anak yatim dengan baik, berbicara 30
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 8, hal. 441. 31 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 114.
67
kepada mereka dengan qaulan sadidan sebagaimana mereka berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan manja, seperti anakku, sayangku, dan sebagainya.32 Walaupun kandungan ayat tersebut tampaknya dikhususkan bagi para wali anak yatim agar berkata lembut kepada anak-anak yatim yang diurusnya, namun tidak berarti bahwa kepada anak yang lain atau kepada orang lain diperbolehkan untuk berkata kasar dan berbohong, sebab pada dasarnya keharusan untuk berkata benar dan sopan adalah berlaku bagi semua umat Islam agar memperoleh kemashlahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Selain perintah berkomunikasi dengan benar, dalam al-Qur’an juga melarang orang berkomunikasi seperti: 1. Dalam Berkomunikasi Tidak Boleh Bohong dan Berkata Keji (Batil) Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah di atas terdapat pada surat an-Nisa: 148; al-An’am: 151; al-A’raf: 33; an-N`ahl: 90; al-Mu’minun: 3; an-Nur: 15, 16, 19, 21; al-Furqan: 72; As-Syu’ara: 165; an-Naml: 54, 55; dan al-Ankabut: 28. 1. Larangan Berkata Keji Di antara ayat-ayat yang melarang untuk berkata keji adalah sebagai berikut:
(١٤٨ “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”33 (QS. An-Nisa: 148) 32
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1382H/1962M), Jilid 2, hal. 193 33 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 299.
68
Sebab turunnya ayat ini: Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa asSuddi berkata, “ Ayat ini turun pada Nabi Swa. Ketika seorang kaya dan seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan Rosulullah saw. Memihak orang yang fakir karena menurut beliau orang fakir tidak menzalimi orang yang kaya. Sedangkan Allah tepat ingin agar beliau berlaku adil kepada orang yang kaya dan fakir tersebut.34 Dalam Tafsir Jalalain dinyatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Swt. tidak menyukai ucapan buruk, yakni ucapan yang akan menimbulkan keburukan. Hal itu merupakan perbuatan orang-orang zhalim. Namun demikian, tidak pula diperbolehkan untuk menceritakan perbuatan buruk orang-orang zhalim, atau mendoakan jelek kepada mereka.35 Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga tatanan kehidupan yang baik di masyarakat, sehingga tidak terjadi percekcokan dan keributan yang disebabkan oleh ucapan buruk. Dan realitas di masyarakat banyak sekali keributan atau perkelahian masal gara-gar ucapan buruk. Itulah sebabnya, ucapan buruk bisa dikategorikan sebagai perbuatan keji seperti dinyatakan dalam firman Allah Swt:
34
Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
35
Imam Jalalain, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. II, jilid. 1,
Jalaluddin AS-Suyuthi, 2008), hal. 206.
hal. 401.
69
(١٥١ “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”36 (Al-An’am: 151) Larangan untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan keji tersebut, termasuk diantaranya larangan untuk mendekati perbuatan keji dalam berbicara,
baik
dari
segi
isi
pembicaraan
maupun
cara
pengungkapannya. Allah Swt berfirman:
(٣٣ “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.37" (Al-Araf: 33) Sebaliknya Allah Swt menyuruh hamba-Nya agar berlaku adil dan senantiasa berbuat kebaikan, serta menghindari berbagai kemungkinan termasuk dalam berbicara:
36
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 3, hal. 271. 37 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid. jilid.3, hal. 394.
70
(٩٠ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”38 (QS.An-Nahl: 90) Sebaliknya, orang yang mampu menjaga ucapannya dangan baik sehingga tidak pernah berkata kotor atau berkata keji termasuk katagori orang yang berbahagia,sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
(٣ “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.39 (QS.al-Mu’minun: 3) Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang orang-orang yangmendapat kebahagiaan dalam pandangan Allah Swt. Bagai mana pun juga orang yang apik dalam tidak pernah menyakiti orang lain dengan perkataannya, tentu saja tidak akan pernah dimusuhi orang, namun sebaliknya ia akan disenangi dan disukai banyak orang. Dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa berbuat keji tiada lain bersumber dari syaitan yang selalu berusaha agar manusia terjerumus pada perbuatan keji tersebut. Oleh karena itu Allah Swt. Melarang hambahamba-Nya agar tidak mengikuti perbuatan-perbuatan syaitan:
38
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, jilid. 5, hal. 372. 39 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 6, hal. 470.
71
(٢١ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.40 (QS.An-Nuur: 21) Ayat tersebut dengan tegas mengharuskan umatt islam agar tidak mendekati perbuatan-perbuatan syaitan, agar manusia terhindar dari kejelekan dan perbuatn keji lainnya, termasuk di dalam berkata kotor. Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dari perbuatan keji tidaklah terlepas dari pertolongan Allah Swt kepadanya. Oleh karena itu.setiap orang selalu berdoa’ agar bernantiasa dijauhkan dari dari sebagai perbuatan keji, baik dalam sikap, perilaku, maupun sehingga memperoleh kemaslahatan. Di antara perkataan yang tergolong perkataan keji antara lain: perkataan yang mengandung unsur buruk sangka, memata-matai orang, mencaci orang, gibah, dan lain-lain. 2. Larangan Berkata Bohong Ayat-ayat yang berkaitan dengan keharusan untuk berkata jujur, tidak bohong cukup banyak, diantaranya:
40
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 6, hal. 581.
72
(١٠٥ “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.41” (QS. An-Nahl: 105) Itulah ancaman Allah Swt. bagi orang yang suka berbuat bohong, bahwa mereka dipandang sebagai orang yang tidak beriman. Hal itu dikarenakan orang yang suka berbohong sama artinya dengan orang yang tidak mengakui eksistensi Allah Swt. karena merasa tidak ada yang mengawasi, padahal Allah Swt. selalu mengawasi gerak-geriknya. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa berkata bohong diantara ciri-ciri orang munafik Rasulullah Saw berabda:
:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a. ia berkata bahwa: Rosulullah Saw pernah bersabda: ada empat perkara jika siapa saja yang mempunyai empat perkara tersebut, maka dia merupakan orang munafik. Barangsiapa yang bersifat dengan salah satunya berarti dia memiliki sifat munafik, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila membuat persetujuan dia khianati, apabila berjanji dia menyalahi dan apabila bertikai dia melampaui batas.42 Hal itu menunjukan bahwa berkata bohong akan menimbulkan bahaya besar dalam kehidupan seseorang atau akan menimbulkan bencana
41
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 5, hal. 390. 42 Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , (Beirût: Dar al-Fikr, 1993), Juz.1, hal. 90.
73
besar di antaranya bencana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah Saw, akibat berita bohong adanya fitnah terhadap Siti Aisyah yang dituduh telah berbuat selingkuh dengan salah seorang sahabat. Berita tersebut menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam saat itu. Peristiwa tersebut diungkapkan dalam Al-Qur’an:
١٥ (١٦ “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.43"(QS An-Nur: 15-16) Kedua ayat tersebut berkaitan dengan fitnah yang menimpa kepada Siti Aisyah bahwa ia telah dituduh telah berbuat serong dengan laki-laki lain, sehingga menimbulkan gejolak dikalangan umat Islam saat itu. Berita tersebut menyebar dari mulut ke mulut yang dihembuskan oleh orang munafik. Padahal berita tersebut bohong belaka, namun tetap dampaknya sangat besar karena menyangkut nama istri Rosulullah Saw. Oleh karena
43
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid.6, hal. 578.
74
itu, tidak mengherankan apabila kebohongan seperti itu dipandang sebagai dusta yang besar.44 Termasuk dalam berbohong adalah memberikan kesaksian palsu, yang juga dilarang oleh Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Firman-Nya:
(٧٢ “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.45” (QS. Al-Furqan: 72) Berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits diatas dapat diketahui bahwa Islam sangat mencela umat yang suka berbohong atau berkata keji. Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah menjauhi perkataan bohong dan perkataan keji. Orang yang dikenal sebagai pembohong atau suka berkata keji, maka ia akan sulit dipercaya orang, sehingga kehidupannya akan sempit karena orang lain tidak akan bergaul dengan pembohong. Bahkan orang-orang akan membencinya, karena tidak sedikit yang dirugikan oleh perbuatannya. 2. Merendahkan Suara Saat Berkomunikasi Seseorang tidak diperbolehkan untuk bersuara keras yang tidak sepadan dengannya atau yang lebih tua, apalagi jika bergaul dengan orang ramai di tempat umum. Orang yang tidak tahu sopan santun lupa bahwa
44
Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 334. 45 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid.7, hal. 38.
75
ditemat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk. Oleh karena itu, orang yang bersuara keras bukan pada tempatnya diibaratkan sebagai suara keledai yang memekakkan telinga dan sangat tidak disukai oleh manusia. Maka tidak mengherankan jika suara keledai dipandang sebagia suara paling buruk. Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah di atas terdapat pada surat Luqman ayat 19 dan al-Hujurat ayat 3. Allah Swt. berfirman:
(١٩) “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.46” (QS. Luqman: 19) Hamka mengutip pendapat Mujahid yang berpendapat bahwa suara keledai sangatlah jelek. Oleh karena itu. Orang-orang yang bersuara keras, menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik-balik, menyerupai suara keledai, tidak enak didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah Swt.47 Seseorang sebaiknya berkata dengan lemah lembut. Namun demikian, ia dibolehkan untuk berbicara keras ketika seseorang sedang mengarahkan orang banyak dalam suatu pekerjaan. Begitu seorang komandan ketika mengarahkan pasukannya di medan perang.
46
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 7, hal. 545. 47 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1984), Juzu’:. 21, hal. 135.
76
Orang yang berusaha untuk bersuara lembut apalagi ketika bersama Rasulullah Saw. ternyata mendapat pujian dari Allah Swt. dan akan memperoleh pahala di sisi-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
(٣ “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.48” (QS. Al-Hujurat: 3) Sebab turunnya ayat ini: Rosulullah memanggil Tsabit bin Qais dab berkata, “ sukakah engkau hidup dalam kemulian dan nantinya meninggal dalam keadaan syahid?’ Tsabit segera menjawab, “ Ya, saya senang dengan kabar gembira yang saya terima dari Allah dan Rasul-Nya ini. Saya berjanji tidak akan pernah lagi berbicara lebih keras dari suara Rosulullah.’ Allah lalu menurunkan ayat Q.S. al-Hujurat: 3.49 Menurut al-Qurtubi, ayat tersebut merupakan larangan agar tidak meninggikan suara ketika sedang berada di sisi Nabi. Ia juga mengutip pendapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa dihukumi makruh meninggikan suara di dekat kuburan Nabi. Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar al-‘Arabi, bahwa keharusan untuk menghormati Nabi ketika sudah meninggal sama dengan keharusan untuk menghormati Nabi ketika masih 48
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-1, Jilid. 9, hal. 395. 49 Jalaluddin AS-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 522.
77
hidup. Begitu pula keharusan untuk menyimak suara Nabi sama dengan keharusan untuk mendengarkan hadits-haditsnya di tempat-tempat mencari ilmu.50 Walaupun ayat tersebut tampaknya dikhususkan ketika seseorang sedang berada di sisi Nabi, namun tidak berarti bahwa seseorang dibebaskan untuk berbicara seenaknya di hadapan orang lain, sebab menghormati orang lain termasuk perintah agama Islam, baik dalam bersikap maupun dalam bicara. Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya mengatur isi atau materi pembicaraan, tetapi juga memperhatikan intonasi suara. Hal tersebut dikarenakan isi pembicaraan yang baik kalau disampaikan dengan suara keras yang memekakan tidak akan mungkin diterima oleh pendengar dengan baik, sebaiknya bisa menimbulkan percekcokan. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengatur agar pembicara merendahkan suaranya saat berbicara. 1. Wanita Dilarang Bersikap Manja Ketika Berkomunikasi Wanita dikenal sebagai sosok yang memiliki daya tarik sangat besar khusunya terhadap lawan jenis. Oleh karena itu, dalam Islam seoarng wanita diharuskan untk menjaga sikap ketika berkomunikasi dengan lawan jenis. Sebab, jika hal itu tidak diindahkan, maka akan membawa kemadhartan.
50
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Juz. 16, hal. 203.
78
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Allah Swt berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 32:
ﻲ (٣٢ “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk (lemah gemulai) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”51 (QS. Al-Ahzab: 32) Pada ayat ini Allah memperingatkan kepada istri Nabi Saw bahwa mereka tidak dipersamakan dengan perempuan mukminat yang manapun dalam segi keutamaan dan penghormatan, jika mereka betul-betul bertakwa. Oleh karena itu jika mengadakan pembicaraan dengan orang lain, maka mereka dilarang merendahkan suara yang dapat menimbulkan perasaan kurang baik terhadap kesucian dank ehormatan mereka, terutama jika yang dihadapi itu orang-orang fasik atau munafik yang itukad baiknya di ragukan. 52 Maksud dari “Maka janganlah kamu berlemah gemulai dengan perkataan”, adalah jika seorang Istri Rosulullah bercakap-cakap, hendaklah percakapan itu yang tegas dan sopan, jangan genit. Jangan membuat perangai yang kurang pantas sebagai istri Rosulullah. Sebenarnya, perintah tersebut tidak hanya ditujukan kepada para isteri
51
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 8, hal. 3. 52 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. 8, hal. 4.
79
Nabi, tetapi ditujukan pula kepada wanita-wanita lainnya.53 Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Katsir bahwa perintah tersebut ditujukan kepada semua wanita, tidak hanya kepada para isteri-isteri Nabi saja, tetapi juga kepada semua perempuan, agar mereka tidak bermanja-manja ketika berbicara sehingga mengundang gairah kaum laki-laki.54 Ayat tersebut sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang, dimana akhlak sebagian wanita sudah sangat mengkhawatirkan, baik dalam segi perilaku maupun busana. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kasus-kasus perkosaan semakin merajalela dimana-mana, sebab perilaku sebagian wanita tampak seperti menantang gairah para lelaki. Sikap manja para wanita dalam berbicara tidak kalah berbahayanya dari berpakaian yang mengumbar aurat, sebab gaya bicara yang diatur sedemikian rupa agar menarik perhatian lawan jenis juga akan mengundang gairah seks para kaum lelaki. Begitu pula dalam bernyanyi, para wanita dilarang menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan lagu-lagu yang manja dan mengundang gairah seks apalagi jika dilakukan dengan pakaian seronok dan sengaja dipertontonkan kepada para lelaki.55 Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ada ketentuan khusus untuk para wanita berkaitan dengan berbicara ini, dimana mereka dilarang untuk bersikap manja ketika berbicara kepada 53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 11, hal. 261. 54 Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir , (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, hal. 583 55 Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, (Bandung Trigenda Karya, 1996), hal.754-755.
80
lawan jenis yang bukan suaminya ataun muhrimnya. Hal tersebut dimaksudkan antara lain untuk menghindari fitnah. Karena wanita yang bersikap manja dalam berbicara kepada lawan jenis akan menimbulkan birahi kepada lak-laki yang kurang kuat iman sehingga mendorong lakilaki tersebut untuk melakukan perbuatan tercela. C. Perintah Untuk Berkomunikasi Dengan Adil Perintah untuk berkomunikasi dengan adil adalah menyangkut ucapan karena
ucapan
berkaitan
dengan
penetapan
hukum
termasuk
dalam
menyampaikan hasil ukuran dan timbangan. Lebih-lebih lagi karena manusia sering kali bersikap egois dan memihak keluarganya. Untuk itu dinyatakan bahwa:
(١٥٢ “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”56(QS. Al-An’am: 152) Dalam ayat ini mencontohkan tentang salah satu kemungkinan terpelesetnya manusia karena kelemahannya, kelemahan yang menjadikan kekuatan perasaan kekerabatan seseorang mendorongnya untuk saling tolong, 56
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 3, hal. 268.
81
saling melengkapi, dan saling sambung-menyambung. Karena, manusia adalah sosok yang lemah dan terbatas. Maka, kekuatan kerabatnya menjadi sandaran bagi kelemahannya, keluasaan keberadaan kerabatnya itu menjadi pelengkap baginya. Karena itu, ia menjadi lemah terhadap kerabatnya ketika ia harus menjadi saksi bagi mereka atau dalam memutuskan perkara yang terjadi antara kerabatnya dengan orang lain. Dalam situasi yang seperti ini, katakanlah yang benar dan adil, sebab dengan adil akan berdampak positif dalam segala tindakaan. Jika selalu berkata benar, maka untuk bertindak adil dala kehidupan aka lebih mudah lagi terbiasa.57 Islam menarik hati nurani manusia, agar ia mengucapkan perkataan yang benar dan adil, berdasarkan petunjuk dan berpegang kepada Allah semata, introspeksi (muraqabah) terhadap Allah semata, merasa cukup dengan-Nya tanpa butuh bantuan terhadap kerabat, dan memperkuat dirinya agar tidak memilih untuk memenuhi hak kerabat dengan mengalahkan hak Allah karena Allah lebih dekat dengan seseorang dibandingkan urat lehernya.58 Dalam bahasan ini akan dikaji tentang hakikat adil yang sebenarnya. Adil secara bahasa mustaq dari kata ‘adala, ya’dilu, dan adlan fahuwa ‘adilun.59aladl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu
57
Syekh Muhammad Muatawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, Terj: Tim terjemah Safir alAzhar dkk, (Jakarta: Duta Azhar, 2006), cet. Ke-1, hal. 537. 58 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil-Qur’an, penerjemah: As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Jilid:8, hal. 94. 59 Ibrahim Anis dkk., Mu’jam al-Wasit, tt, tpn, tth, hal. 617.
82
dengan yang lain (al-musawah). Istilah lain dari al-adl adalah al-qisth, al-mitsl, dan al-mizan.60 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, adil mengandung banyak arti a.) Tidak berat sebelah, tidak memihak, b.) berpihak pada yang benar, c.) berpegang kepada kebenaran, d.) sepatutnya; tidak sewenangwenang.61 Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik dari segi nilai, maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Dengan kata lain adil berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Ada juga yang mengartikan dengan “wad’u al-syai fi mahalli (meletakan sesuatu pada tempatnya).62 Keadilan didalam al-Qur’an diungkapkan dalam berbagai bentuk diantaranya: al-‘adl, al-Qist dan al-Mizan. Kata ‘adl yang ada dalam berbagai bentuk terulang 28 kali, kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali yakni pada QS alBaqarah: 48, 123, 282 (dua kali), QS an-Nisa: 58, QS al-Maidah: 95 (dua kali) dan 106, QS al-An’am: 70, QS an-Nahl: 76 dan 90, QS al-Hujurat: 9, serta QS at-Thalaq: 2.63 Keadilan adalah kata-kata yang paling sering dikeluhkan banyak orang saat ini, salah satu elemen yang tak bisa diabaikan dalam penegakkan keadilan adalah saksi. Penyebutan diri sendiri orang tua dan kerabat dalam ayat ini
60 Abdul Aziz Dahlan(ed), “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1999), vol. 4, hal. 25-26. 61 Depdikbud, Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 8. 62 Abdul Aziz Dahlan (ed), vol.1, hal. 25-26. 63 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 110-127.
83
mengandung makna yang sangat dalam dan tegas. Hal itu karena tentunya tiap orang mencintainya. Rasa cinta dan sayang pada diri sendiri inilah yang biasanya menghalangi seseorang mengatakan kebenaran yang jika ia katakan akan berakibat buruk baginya. Begitu besar cinta dan sayang pada orang tua dan karib kerabat menyebabkan seseorang enggan menegakkan keadilan terhadap mereka atau bersaksi menentang mereka. Seseorang akan lebih mudah bersaksi terhadap orang lain dibanding orang tua atau keluarganya. Inilah fenomena yang umum di masyarakat kita saat ini. Banyak orang yang enggan bahkan bersaksi palsu demi cintanya pada orang tua atau karib kerabatnya. Di lain pihak ada juga yang enggan menegakkan keadilan atau kesaksian karena benci terhadap seseorang atau kepada suatu kaum sehingga berlaku curang karena kebencian pada seseorang atau kepada suatu kaum tersebut. Allah melarang kepada hal tersebut sebagaimana Firmannya dalam surat Al-Maidah ayat 8:
ﻻ (٨ “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.”64(Q.S Al-Maidah: 8)
64
Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 364.
84
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab65 menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu, bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya sendiri dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan cara meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama.
65
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 4, hal. 337-338.
84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan bahasan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi mendapat perhatian sangat besar dalam agama Islam dan mengarahkannya agar setiap muslim memakai etika islami dalam berkomunikasi. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat yang berkaitan dengan etika komunikasi, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Hanya saja, penelitian hanya memfokuskan pada etika komunikasi menurut alQur’an sesuai dengan judul skripsi ini, sehingga hasilnya pun banyak didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, bukan pada hadits Nabi. Bedasarkan kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa rumusan etika komunikasi menurut al-Qur’an sebagai berikut: 1. etika komunikasi lisan dalam perspektif al-Qur’an adalah aturan tentang perilaku manusia dalam menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang yang tidak berarti dan akan membawa kemudaratan baginya didunia dan diakhirat. Etika dalam Al-Qur’an mempunyai aturan yang sangat dalam, maka hal tersebut menjadi sebuah etika yang sakral dan tidak terbantahkan. Isi
al-Qur’an
mengandung seruan moral bertujuan untuk menata tatanan sosial supaya lebih beradab dan lebih terjaga.
85
2. Isi pembicaraan harus benar, tidak boleh berkata bohong dan salah (bathil, merendahkan suara saat berkomunikasi, wanita tidak diperbolehkan berkata-kata dengan nada manja ketika berkomunikasi, didalam berkomunikasi harus adil meskipun itu kerabat sendiri, Keharusan untuk berkomunikasi dengan baik atau diam, berkomunikasi dengan menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi kalimat yang buruk, diantara perkataan yang baik adalah, Perkataan yang mulia, Perkataan yang mudah dicerna, Perkataan yang lembut, Perkataan yang ma’ruf (membangun). B. Saran-saran Semua manusia dapat dipastikan sangat menyadari tentang pentingnya etika dalam berkomunikasi. Hanya saja, ada yang mau memakai etika tersebut dan ada yang enggan beretika. Namun demikian, pada akhirnya kembali kepada masing-masing komunikan itu sendiri untuk mau menggunakan kemampuannya dalam berkomunikasi, sehingga mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain. Penelitian ini sangatlah sederhana dan belum optimal, namun diyakini akan dapat membimbing siapa pun yang ingin mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an, khususnya dalam berkomunikasi. Tentu saja, disarankan pula untuk membaca literatur lainnya yang berkaitan dengan etika komunikasi, supaya pengetahuan tentang etika komunikasi bisa maksimal, sehingga dapat mengamalkannya secara maksimal pula.
86
DAFTAR PUSTAKA Abiddin, Djamaludin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Abu al-Fidâ, Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir , Beirut: Dar al-Fikr, 1412H/1992M. Al-Fâramawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir al-Maudhu’i: Sebuah Pengantar, Terj: Surya A. Samran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. Alkalali, Asad M, Kamus Indonesia Arab, PT Bulan Bintang, Jakarta 1997. Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak) terjemahan, Jakarta: Bulan Bintang: 1996, cet. Ke-7. Amir, Mafri, Etika Komunikasi Masa dalam Pandangan Islami, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1994. Amrullah, Abdul Malik Karim. (Hamka), Prof, Dr, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986. Ash-Shiddiqi, Teungku Muhammad Hasbi, M.A, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Ayyub, Hassan, Etika Islam Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Trigenda Karya, Bandung, 1994. al-‘Arabiyah, Majma’ al-Lugah, Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an al-Karim, al-Haiah alMisyriyyah li al-Ta’lif wa al-Nasyr, 1975. al-‘Asqâani, Ahmâd bin ‘Ali bin Hajar Ma’rifah, 1379.
al-Fadhl, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-
87
--------------, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995. al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah, Sahîh Bukhâri, Beirût: Dar Ibn Katsîr, 1407H/1987M. al-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad bin ‘Usmân, Tadzkiroh al-Huffaz, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419H/1998M. al-Ghâzâli, Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid, ‘Ihya ‘Ulûm al-Dîn, Terj. Drs. H. Moh. Zuhri, dkk, Semarang: CV Asy Syifa’, 1992, cet. Ke-2. al-Marâghi, Ahmad Mustafâ, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, Semarang: CV. Toha Putra, 1993. Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, Kairo: Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1382H/1962. Al-Mizzî, Yûsuf bin al-Zakî Abdurrahmân Abû al-Hajjâj, Tahzhîb al-Kamâl Fî Asmâ ar-Rijâl, Beirut: Darl Al Fikr, 1990. al-Nawâwi, Abu Zakariyâ Yahya bîn Syâraf, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392. al-Qurtubî, Muhammad bin Yâzid bin Jârir, Tafsir al-Qurtubi, Beirut: Dar al-Fikr, 1405H/1984M. al-Râzy, Muhammad Fâkhrûddin, Tafsir Fakhru Razy, Beirut: Dar al-Fikr, 1990. an-Naisâbûri, Muslim bin al-Hâjjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî, Sahih Muslim , Beirût: Dar al-Fikr, 1993. ar-Rifa’I, Muhammmad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Drs. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet. Ke-1,
88
Dahlan(ed), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1999. Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Effendi, Onong Ochjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Rosda karya, 1997. ---------, Dimensi-dimensi Komunikasi, Bandung: Alumni, 1986, cet. Ke-2. El-Sulthani, Mawardi Labay, KH, Lidah tidak berbohong, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002. Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, cet. Ke-1. Gunadi, YS, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta: Grasindo, 1998. Ibrahim Anis, dkk., Mu’jam al-Wasit, tt, tpn, tth. Ilyas, Yunahar, Drs. Lc. MA, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta. LPPI UMY, 1999. Jalalain, Imam, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995, cet. Ke-2. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan MushafAl-Qur’an, 2009, Cet. Ke-1. Liliweri, Alo, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. Hude, H.M. Darwis, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-1. Muis, Andi Abdul, Prof, Dr, SH, Komunikasi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Cet. Ke-1.
89
Nasution, Ahmad Sayuti Ansari, Diklat Dasar-dasar ilmu Fonetik, UIN Jakarta, 2003. Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: CeQda, 2007, cet. Ke-1. Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Qardhawi, Yusuf, Efistimologi Al-Qur’an (Al-Haq) terj, Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1996, Cet. Ke-2. ------------, Problematika Islam Masa Kini Qardawi Menjawab, Trigenda Karya, Bandung. 1996. Shihab, M. Quraish, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994. ---------, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993. ---------, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002. ---------, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993. Sya’rawi, Syekh Muhammad Muatawalli, Tafsir Sya’rawi, Terj. Tim terjemah Safir al-Azhar dkk, Jakarta: Duta Azhar, 2006, cet. Ke-1. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, Cet. Ke-3. Ulfah, Eneng Maria, “Etika Menjaga Lisan dalam Al-Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
90
Widjaja, A.W, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, Jakarta: Bina Aksara, 1988. Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlaul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung: Diponegoro: 1996 Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989. Zuhaily, Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.