EFEKTIVITAS TANAMAN AIR DALAM PEMBERSIHAN LOGAM BERAT PADA AIR ASAM TAMBANG
MADANIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Tanaman Air dalam Pembersihan Logam Berat pada Air Asam Tambang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015 Madaniyah NIM A154130161
*Pelimpahan
hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN MADANIYAH. Efektivitas Tanaman Air dalam Pembersihan Logam Berat pada Air Asam Tambang. Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI dan IRDIKA MANSUR. Indonesia adalah salah satu negara penghasil batubara di dunia. Sebagian besar kegiatan pertambangan batubara di Indonesia dilakukan dengan metode tambang terbuka (open pit mine). Salah satu perusahaan tambang batubara di Indonesia yang menggunakan metode penambangan terbuka yaitu PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Permasalahan paling berat pada kegiatan penambangan batubara secara terbuka yaitu terjadinya fenomena air asam tambang (AAT). AAT terbentuk karena oksidasi mineral-mineral sulfida yang terekspos ke lingkungan dengan kehadiran air sehingga timbul air tambang yang bersifat asam. Permasalahan AAT ini bukan hanya akan dihadapi pada masa kini, tetapi akan tetap menjadi permasalahan lingkungan yang serius di masa yang akan datang sehingga memerlukan penanganan jangka panjang yang serius dan sistematis. Selama ini, pengendalian AAT yang banyak dilakukan yaitu pengendalian secara aktif dengan pemberian kapur tohor pada aliran AAT. Pengendalian secara aktif ini hanya untuk meningkatkan pH air tetapi tidak memperbaiki kualitas air di kolam bekas tambang. Salah satu metode penanganan AAT adalah pengolahan AAT secara pasif (Passive Treatment). Salah satu bentuk passive treatment dalam pengolahan AAT adalah sistem constructed wetland atau dengan lahan basah. Keberadaan lahan basah dalam pengelolaan AAT dapat meningkatkan pH dan menurunkan kadar logam terlarut. Pemilihan tanaman air untuk lahan basah ini juga perlu dipertimbangkan untuk efektifitas peningkatan pH AAT dan penyerapan logam berat. Dalam rangka mengembangkan proses remediasi AAT dan mencari tanaman air lokal yang efektif meningkatkan pH dan menyerap logam berat yang terkandung dalam AAT, maka penelitian ini menggunakan tanaman air yaitu kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes). Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) Menganalisis kinerja tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok dalam meningkatkan pH dan penurunan kadar logam yang terdapat pada AAT serta penyebaran dan komposisi logam berat dari permukaan sampai dasar kolam, (ii) Mengetahui karakteristik hasil pengolahan AAT dengan menggunakan lahan basah dan tanaman air baik sebelum dan sesudah proses melalui parameter nilai pH, kadar besi (Fe) terlarut, kadar mangan (Mn) terlarut dan Total Suspended Solid (TSS). Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai Maret 2015 di areal pertambangan batubara PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Muara Enim, Sumatra Selatan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Tunggal dengan jenis tanaman air sebagai perlakuan. Perlakuan terdiri dari 3 taraf yaitu kayu apu, kiambang dan enceng gondok. Penelitian ini menggunakan metode fitoremediasi statis. Pada Penelitian ini terdapat 3 titik pengukuran dan pengambilan sampel pada masing masing kolam wetland, yaitu pada bagian permukaan, bagian tengah kolam dan bagian dasar kolam. Kayu apu, kiambang dan enceng gondok yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari lokasi pertambangan batubara, PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Tanaman tersebut diaklimatisasi selama 2 minggu
sebelum digunakan. Sampel AAT diambil dari kolam penampungan Stockpile-1 yang terlebih dahulu dianalisis kandungan Fe, Mn, Sulfat, TSS, dan nilai pH AAT kemudian ditambahkan pada kolam percobaan dengan tinggi muka air ±42 cm. Aplikasi perlakuan adalah sebagai berikut: (i) AAT + Matrik Lahan Basah (MLB) tanpa tanaman uji (Kontrol), (ii) AAT + MLB + kayu apu, (iii) AAT + MLB + kiambang, (iv) AAT + MLB + enceng gondok. Pengambilan sampel air dilakukan setiap 3 hari sampai hari ke 29. Sampel tersebut kemudian dianalisa pH, kadar Fe, Mn dan TSS dilaboratorium. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Varian (Anova) pada taraf kepercayaan 95% dengan menggunakan software SAS. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka dilakukan uji lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 95%. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tanaman air dapat memberikan pengaruh terhadap nilai pH, kadar Fe, kadar Mn, dan TSS air asam tambang. Semua perlakuan efektif meningkatkan pH menjadi sesuai baku mutu dalam waktu 3 hari. Perlakuan dengan pemberian tanaman enceng gondok pada kolam lahan basah memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar Fe-terlarut dan Mn-terlarut dalam kolam lahan basah dengan persentase efektifitas penurunan 90-99%. Konsentrasi Fe dan Mn tertinggi dalam tanaman ditemukan pada perlakuan dengan tanaman enceng gondok dengan prosentase penyerapan berturut turut 35.5% untuk penyerapan Fe dan 61.59% untuk penyerapan Mn. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian akar memiliki kadar logam lebih besar dibandingkan bagian pucuk pada tanaman enceng gondok yang mengindikasikan bahwa tanaman eceng gondok tidak dapat mengakumulasi logam di bagian pucuk, translokasi dibatasi hanya di bagian akar. Tanaman kayu apu dan kiambang menunjukkan TF>1 pada logam Mn yang dapat diartikan kedua tanaman tersebut tidak hanya mengakumulasi logam Mn di akar tapi juga mampu mentranslokasi logam Mn pada daun. Penyebaran dan komposisi logam Fe dalam kolam menunjukkan bahwa logam Fe banyak terakumulasi pada bagian dasar kolam atau dengan kata lain logam Fe selain diserap oleh tanaman juga diendapkan. Penyebaran dan komposisi logam Mn dalam kolam menunjukkan bahwa logam Mn baik pada bagian permukaan kolam, tengah kolam dan dasar kolam tidak jauh berbeda. Logam Mn tidak mudah diendapkan. Karakteristik hasil pengolahan air asam tambang secara passive treatment melalui lahan basah dengan menggunakan kayu apu, kiambang dan enceng gondok pada akhir penelitian telah memenuhi baku mutu lingkungan yang dipersyaratkan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 dan SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Kata kunci: Air asam tambang, fitoremediasi, tanaman air, lahan basah buatan.
SUMMARY MADANIYAH. Effectivness of Water Plant for Metal Cleaning in Acid Mine Drainage. Supervised by ANAS MIFTAH FAUZI and IRDIKA MANSUR. Indonesia is one of the coal-producing countries in the world. Most of the coal mining activities in Indonesia carried out by open pit mining. One of the coal mining company in Indonesia that use open pit mining methods, namely PT Bukit Asam (Persero). Tbk. The most severe problem in the open pit mining activites is Acid Mine Drainage (AMD) phenomenon. AMD formed due to the oxidation of sulfide minerals exposed to an environment with the presence of water causing the acidic mining water. The AMD problem is not only would be faced currently, but will remain be a serious environmental problem in the future so that it requires a serious and systematic long-term treatment. During this time, AMD control which is mostly done is actively control with giving limestone on the flow of AMD. This active control is only to increase pH of the water but it does not fix water quality in the ex-mining ponds. One of the interesting technology in the AMD treatment is passive treatment i.e. Constructed Wetland system or wetlands. The existence of wetlands on the AMD management can increase pH and reduce level of dissolved metals. Selection of aquatic plants for wetland also need to be considered for effectivity of an increase of pH and heavy metal absorption. In order to develop a remediation process of AMD and look for the effective aquatic plants in increasing pH and absorb heavy metals contained in AMD, therefore this study used the aquatic plants such us kayu apu (Pistia stratiotes) and kiambang (Salvinia cucullata) and water hyacinth (Eichornia crassipes). The objectives of this study were: (i) to analyze performance of water hyacinth, kayu apu and kiambang in increasing pH and decreasing level of metals contained in the AMD, distribution and composition of heavy metals from the surface to the bottom of the pool, (ii) To determine the characteristics of the processing results of AMD using wetlands and aquatic plants, both before and after the process through the parameters such us pH, levels of dissolved iron (Fe), levels of dissolved manganese (Mn) and Total Suspended Solid (TSS). This research was conducted on February until March 2015 at PT. Bukit Asam (Persero) Muara Enim, South Sumatra. The research used Single randomized block design with species of aquatic plants as treatments. The treatment consists of three levels such us water hyacinth, kayu apu, and kiambang. This research used a static phytoremediation. In the research, there were three points of measurement and sampling at each wetland pond, which were on the surface, the middle and the bottom of the wetland pool. The water hyacinth, kayu apu and kiambang that were used in this research obtained from coal mining sites of PT. Bukit Asam (Persero). Tbk. Those plants were acclimatized for 2 weeks prior to use. AMD samples were taken from KPL Stockpile-1 that were first analyzed Fe, Mn, Sulfate, TSS, and pH value, then AMD was added to an experiment pond with height of water level of ± 42 cm. Treatment application was as follow: (i) AMD + MLB without test plants (control), (ii) AMD + MLB + Kayu Apu, (iii) AMD + MLB + Kiambang, (iv) AMD + MLB + Water Hyacinth. Water sampling was done every 3 days until 29th day. pH value, levels of Fe, Mn and TSS of those samples were analyzed in the laboratory. Experiment lasted for
29 days and observations were done every 3 days by taking random samples of aquatic plants. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) at the level of 95% by SAS software. If there is a treatment effect, then further tests would be done by DMRT (Duncan Multiple Range Test) at the level of 95%. The results showed that aquatic plants can give effect to pH value, the level of Fe, Mn content and TSS in AMD. Aquatic plants were effective in increasing pH of AMD with retention time of 14 days. The water hyacinth plant showed its effectivity in decreasing the levels of Fe and Mn until 90-99%. The highest concentrations of Fe and Mn in plant found in treatment with water hyacinth with percentage of reduction of Fe 35.5% and 61.59% for Mn. Metals absorption by plants were much accumulated in the roots compare to the leaves. the roots have a higher metal content than leave on the water hyacinth plant which indicates that the water hyacinth plants not accumulate metals in the leave, translocation is restricted only in the roots. Kayu apu and kiambang shows TF> 1 in Mn metal which can be interpreted both these plants not only accumulate Mn metals in roots but is also able to translocate the Mn metal in the leaves. Deployment and composition of metallic Fe in the pool shows that the metals Fe much accumulated at the bottom of the pond or in other words Metals Fe besides absorbed by plants was also precipitated by the chelating agent and organic materials. Deployment and composition of the Mn metal in the pool shows that the Mn metal both on the surface of the pond, in middle pond and in the bottom of the pool is not much different, although quantitatively Mn metal in the bottom of the pool is more widely. Mn metal is not easily deposited. Characteristics of acid mine water in passive treatment through wetlands with kayu apu, kiambang and water hyacinth at the end of the study have met the environmental standards required by the Decree of the Minister of the Environment No. 113 of 2003 and Decree of the Governor of South Sumatra No. 16 of 2005 on River Water Quality Standard. Key words: Acid mine drainage, phytoremediation, aquatic plants, constructed wetland.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS TANAMAN AIR DALAM PEMBERSIHAN LOGAM BERAT PADA AIR ASAM TAMBANG
MADANIYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Dosen Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Mohamad Yani, MEng
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini adalah tanaman air, dengan judul Efektivitas Tanaman Air dalam Pembersihan Logam Berat pada Air Asam Tambang. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng selaku ketua komisi pembimbing, Dr Ir Irdika Mansur, MForSc sebagai anggota komisi pembimbing, atas kerelaannya dalam membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, saran, koreksi, dan motivasi sehingga karya tulis dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya, juga disampaikan kepada Dr Ir Mohamad Yani, MEng yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan banyak memberi masukan mendasar pada keseluruhan isi tesis ini. Terima kasih kepada Rektor IPB, Dekan SPs IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan dana kuliah pada tahun 2013-2015 pada program beasiswa BPPDN 2013, kepada Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan SPs IPB beserta staf atas semua bantuan administrasi serta kepada Staf Laboratorium Bioteknologi Tanah. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Senior Manajer Pengelolaan Lingkungan dan Penunjang Tambang (Bapak Muhammad Bagir) dan Manajer Pengelolaan Lingkungan (Bapak Suhendi Arensta) PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. beserta staf yang telah mengizinkan dan membantu pelaksanaan penelitian di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk, Teman teman seperjuangan Zahriska Dewani SSi, Firmansyah Adi Prianto ST atas dukungan dan kerjasamanya, rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan angkatan 2013 Vera Oktavia SP, Maipa Dia Pati SSi dan Deni Pratama SP, serta pihak lain yang tidak dapat disebut nama satu persatu atas kerjasamanya. Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis. Terimakasih yang sangat dalam kepada ayahanda (Bapak Abd. Samad) dan Ibunda (Ibu Mahkamah) yang telah berjasa membesarkan, mendidik dan membentuk karakter penulis, kepada kakak dan adik serta keluarga besar, penulis ucapkan terimakasih atas dukungannya. Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada Mohammad Ridho atas dukungan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2015 Madaniyah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Teknik Remediasi Air Asam Tambang Pengolahan Limbah Air Asam Tambang dengan Tanaman Tanaman Air
3 3 8 9 10
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Prosedur Penelitian Pengambilan dan Aklimatisasi Tanaman Air Pembuatan Lahan Basah Buatan Perlakuan Fitoremediasi Isolasi Total Populasi Mikrob Analisis Data
13 13 13 14 14 14 14 15 17 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Limbah AAT Stockpile 1- IUP Air Laya Pengaruh Tanaman Air Terhadap Nilai pH Pengaruh Tanaman Air Terhadap Kadar Fe dan Mn dalam Wetland Akumulasi Fe dan Mn dalam Jaringan Tanaman Pengaruh Tanaman Air Terhadap Kadar Total Suspended Solid (TSS)
17 17 18 20 25 28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
44
DAFTAR TABEL 1 Komposisi material lahan basah aerobik pada pengelolaan AAT secara pasif 2 Metode Pengukuran Parameter 3 Karakteristik kimia limbah air asam tambang Stockpile-1 4 Total populasi mikrob aerob dan anaerob setelah perlakuan pada berbagai lahan basah yang ditanami tanaman uji. 5 Kadar Fe pada akar dan daun tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) 6 Konsentrasi Fe dalam jaringan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) 7 Kadar Mn pada akar dan daun tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) 8 Konsentrasi Mn dalam jaringan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes)
15 16 18 24
25
26
27
27
DAFTAR GAMBAR 1 Proses pelarutan mineral pirit oleh bakteri Thiobacillus sp. (Sumber: Naveke 1986) 2 Macam-macam kontaminan yang bisa dihilangkan oleh spesies tanaman air 3 Desain lahan basah buatan 4 Perubahan pH pada (A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan. 5 Perubahan konsentrasi Fe terlarut pada (A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan. 6 Perubahan konsentrasi Mn terlarut pada (A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan. 7 Profil kadar TSS pada (A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah dan (C) bagian bawah wetland selama 29 hari masa percobaan. 8 Profil Panjang akar tanaman uji.
6 10 14
19
21
23 29 30
DAFTAR LAMPIRAN 1 Proses pembuatan kolam percobaan dan pengambilan sampel air 2 Jumlah tanaman kayu apu, kiambang dan eceng gondok selama masa percobaan. 3 Perhitungan konsentrasi logam Fe, Mn dan total biomassa tanaman kayu apu. 4 Perhitungan konsentrasi logam Fe, Mn dan total biomassa tanaman kiambang. 5 Perhitungan konsentrasi logam Fe, Mn dan total biomassa tanaman eceng gondok.
36 37 37 40 42
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dalam pertambangan batubara memegang peringkat keempat sebagai penghasil batubara di dunia, setelah Cina, Amerika Serikat dan Australia (BP 2014). Posisi ini secara tidak langsung menunjukkan tingginya aktivitas penambangan batubara yang dilakukan di Indonesia. Sebagian besar kegiatan pertambangan batubara di Indonesia dilakukan dengan metode tambang terbuka (open pit mine). Salah satu perusahaan tambang batubara di Indonesia yang menggunakan metode penambangan terbuka yaitu PT Bukit Asam (Persero) Tbk. PT Bukit Asam (Persero) Tbk. merupakan salah satu tambang batubara terbesar di Indonesia yang beroperasi di wilayah Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Penambangan terbuka batubara dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat kegiatan eksploitasinya. Permasalahan paling berat pada kegiatan penambangan batubara secara terbuka yaitu tereksposnya mineral-mineral yang bersifat reduktif seperti mineral bersulfur ke lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya air tambang yang bersifat asam secara terus menerus yang disebut dengan air asam tambang. Air asam tambang adalah air yang terbentuk akibat oksidasi mineral sulfida yang terpajan atau terdedah (exposed) di udara dengan kehadiran air (Lottermoser 2010) yang dikatalis oleh bakteri pengoksida besi dan sulfur, seperti Thiobacillus ferrooxidans, Leptospirillum ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans (Schipper 2004; Cohen 2005; Johnson dan Hallberg 2005). Air asam tambang ini dapat mengakibatkan pencemaran badan air sehingga mencemari bukan hanya daerah penambangan akan tetapi juga daerah hilir. Dengan menurunnya harga batubara dunia sebagai dampak dari menurunnya harga minyak dunia dikhawatirkan akan menyebabkan banyak lahan-lahan tambang batubara yang akan ditinggalkan dan tidak dikelola dengan baik karena tidak ekonomis lagi dilakukan kegiatan penambangan. Hal tersebut akan berdampak pada banyak lahan bekas bukaan tambang yang tidak dilakukan pengelolaan lingkungannya termasuk pengelolaan air asam tambang. Permasalahan air asam tambang ini bukan hanya akan dihadapi pada masa kini, tetapi akan tetap menjadi permasalahan lingkungan yang serius di masa yang akan datang sehingga memerlukan penanganan jangka panjang yang serius dan sistematis. Selama ini, pengendalian air asam tambang yang banyak dilakukan oleh perusahaan pertambangan untuk meningkatkan pH yaitu pengendalian secara aktif dengan pemberian kapur tohor pada aliran air asam tambang. Metode ini mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan biaya yang mahal dan harus menambahkan bahan alkali secara terus menerus. Selain itu, pengolahan secara aktif juga dapat menyebabkan terbentuknya beban pencemaran baru yaitu sludge yang berasal dari endapan gipsum (CaSO4) yang harus dikuras secara berkala (Johnson dan Hallberg 2005). Pengendalian secara aktif ini hanya untuk meningkatkan pH air tetapi tidak memperbaiki kualitas air di kolam bekas tambang. Salah satu teknologi untuk penanganan air asam tambang adalah pengolahan air asam tambang secara pasif (Passive Treatment). Passive treatment sangat
2 efektif meningkatkan pH dan menurunkan kandungan logam pada air asam tambang. Penggunaan passive treatment dalam pengolahan air asam tambang hanya memerlukan dana pada awal pembangunan serta sedikit perawatan dan tidak memerlukan tenaga manusia yang sering ke lokasi instalasi pengolahan air asam tambang. Hal ini tentu sangat efisien dalam pengelolaan air asam tambang selama pasca penambangan. Salah satu passive treatment dalam pengolahan air asam tambang adalah sistem constructed wetland atau lahan basah. Secara alamiah, pada sistem lahan basah terjadi proses-proses biologi, kimia dan fisika karena adanya interaksi antara tumbuhan penyusun lahan basah dengan lingkungannya tersebut. Adanya tanaman pada sistem lahan basah ini memberikan kontribusi dalam peningkatan kandungan bahan organik melalui zat-zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman, membantu menstabilkan substrat, membantu menjaga populasi mikroba, dan memberikan kualitas estetika untuk lahan basah (Herniwanti et al. 2013). Keuntungan dari sistem ini adalah biaya operasional yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan sistem penambahan bahan kimia alkalin. Pemilihan tanaman air untuk lahan basah ini juga perlu dipertimbangkan untuk efektifitas peningkatan pH air asam tambang dan penyerapan logam berat. Beberapa tanaman air yang telah diteliti efektif untuk pengolahan air asam tambang adalah Eichornia sp,, Lepironia sp (Henny et al. 2010), Eleocharis dulcis, Cyperus odoratus, Hydrilla Vercilata, Ipomea aquatic, dan Pistia Stratatiotes (Herniwanti et al. 2013). Pengetahuan bahwa tanaman aquatic (air) dan semiaquatic seperti Eichornia crassipes, Hydrocotyle umbellata, Lemna minor dan Azolla pinnata dapat menyerap logam berat timbal (Pb), tembaga (Cu), kadmium (Cd), besi (Fe) dan merkuri (Hg) dari larutan terkontaminasi telah lama diketahui (Salt et al. 1995). Kemampuan ini sekarang digunakan dalam beberapa kontruksi lahan basah dan mungkin menjadi efektif dalam menghilangkan beberapa logam berat seperti bahan organik dari air. Berdasarkan pada penjelasan di atas dan dalam rangka mencari tanaman air lokal yang efektif meningkatkan pH dan menyerap logam berat yang terkandung dalam air asam tambang, maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan pH dan penurunan konsentrasi logam berat pada air asam tambang dengan menggunakan tanaman air yaitu kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes). Tanaman ini adalah jenis tanaman mengapung (floating) yang dapat digunakan untuk pengolahan limbah karena tingkat pertumbuhannya tinggi dan kemampuannya untuk menyerap hara langsung dari kolam air. Akarnya menjadi tempat filtrasi dan adsorpsi padatan tersuspensi serta menjadi tempat pertumbuhan mikrob (Saeni 1989).
Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, rumusan masalah penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana efektivitas kayu apu, kiambang dan enceng gondok dalam meningkatkan pH dan menurunkan kadar logam berat pada air asam tambang secara passive treatment?
3 2. Bagaimana penyebaran dan komposisi logam berat dari permukaan sampai dasar kolam? 3. Bagaimana karakteristik hasil pengolahan air asam tambang secara passive treatment melalui lahan basah dengan menggunakan kayu apu, kiambang dan enceng gondok?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, air asam tambang menjadi permasalahan utama pada proses penambangan. Pemanfaatan tanaman dan penggunaan bioteknologi dalam pengelolaan air asam tambang dapat menurunkan pH dan mengurangi toksisitas logam yang beracun. Dalam rangka mengembangkan proses remediasi air asam tambang dan mencari tanaman air lokal yang efektif meningkatkan pH dan menyerap logam berat yang terkandung dalam air asam tambang, maka penelitian menggunakan tanaman air yaitu kayu apu, kiambang dan enceng gondok sangat diperlukan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kinerja tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok dalam meningkatkan pH air asam tambang dan penurunan kadar logam yang terdapat pada air asam tambang secara passive treatment serta penyebaran dan komposisi logam berat dari permukaan sampai dasar kolam. 2. Mengetahui karakteristik hasil pengolahan air asam tambang dengan menggunakan lahan basah dan tanaman air baik sebelum dan sesudah proses melalui parameter kadar Fe, Mn, TSS, dan nilai pH.
Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini yaitu diperoleh informasi, data dan pengetahuan baru tentang efektifitas penggunaan kayu apu, kiambang dan enceng gondok dalam meningkatkan pH air asam tambang dan penurunan kadar logam yang terdapat pada air asam tambang secara passive treatment dan mendapatkan karakteristik hasil pengolahan air asam tambang secara passive treatment melalui lahan basah dengan menggunakan ketiga tanaman uji coba.
2 TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Kegiatan pertambangan berpotensi menimbulkan dampak penting pada lingkungan hidup. Dalam usaha pertambangan secara garis besar dikenal dua sistem penambangan, yaitu : 1. Sistem penambangan terbuka / di permukaan (open pit mining) 2. Sistem penambangan dalam / bawah tanah (underground mining) Perbedaan yang paling mencolok yang dapat dilihat antara kedua sistem tersebut terletak pada tebal atau tipisnya lapisan penutup yang berada di atas
4 lapisan batubara yang akan diambil (Evasari 2013). Kegiatan penambangan batubara yang diterapkan untuk tambang terbuka diawali dengan pembersihan lahan (land clearing), peledakan tanah penutup dan atau pemindahan tanah penutup, penambangan batubara, pembersihan batubara, pemuatan dan pengangkutan batubara menuju penyimpanan (stockpile). Akibat dari kegiatan penggalian dan penimbunan pada penambangan secara terbuka dipastikan akan mengubah kondisi lingkungan, terutama komponen tanah dan batuan yang dapat berdampak pada komponen lingkungan lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, penggalian tanah atau batuan akan berdampak pada komponen biota yang berada dipermukaan maupun yang terkandung di dalam tanah atau batuan. Dampak dari kegiatan pertambangan secara tidak langsung yaitu peningkatan erosi tanah, pemiskinan unsur hara akibat erosi dan timbulnya lapisan sub soil yang bereaksi masam dan miskin unsur hara (Rosi 2010). Kegiatan penggalian dan penimbunan pada pertambangan batubara secara terbuka juga dapat mengakibatkan terdedahnya (exposed) batuan sehingga memungkinkan kontak dengan udara dan air hujan yang akan menghasilkan limbah cair yang bersifat asam yang dikenal dengan air asam tambang (AAT). AAT merupakan air dengan pH yang rendah dan kelarutan logam yang tinggi sebagai akibat dari adanya reaksi oksidasi antara mineral sulfida yang tersingkap karena kegiatan penggalian dengan oksigen dan air (Gunawan et al. 2014) yang dikatalis oleh bakteri pengoksida besi dan sulfur, seperti Thiobacillus ferrooxidans, Leptospirillum ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans (Schipper 2004; Cohen 2005; Johnson dan Halberg 2005). Pirit merupakan mineral sulfida yang banyak dijumpai pada pertambangan batubara. Reaksi oksidasi mineral sulfida dalam hal ini pirit, dibagi menjadi 3 reaksi utama yakni (i) reaksi spontan yang terjadi saat mineral pirit tersingkap ke permukaan tanah, (ii) reaksi dipercepat dengan adanya ion Fe3+, dan (iii) reaksi biologi yang mengikutsertakan aktivitas oksidasi bakteri pengoksida besi dan sulfur (Lizama dan Suzuki 1989). AAT ditemukan baik pada tambang-tambang batubara maupun tambang bijih atau kegiatan penggalian lain dimana terdapat mineral-mineral sulfida besi. Bentuk sulfida besi yang umum ditemukan pada daerah batubara adalah pyrite dan marcasite (FeS2), sementara sulfida logam lainnya antara lain chalcopyrite (CuFeS2) covellite (CuS), dan arsenopyrite (FeAsS) (Baiquni 2007 dalam Evasari 2013). Di pertambangan terbuka, AAT berpotensi untuk terbentuk di area penambangan aktif dan disposal. Pembentukan AAT merupakan fungsi dari geologi, hidrologi, dan teknologi penambangan yang diterapkan (Gautama 2012). Menurut Gautama (2014) ada empat komponen pembentuk AAT yaitu, mineral sulfida, oksigen, air dan bakteri. AAT terbentuk melalui suatu seri reaksi geokimia dan mikrobial yang kompleks yang terjadi ketika air kontak dengan mineral pirit (besi disulfida). Air tersebut umumnya memiliki tingkat keasaman dan kandungan logam terlarut yang tinggi. Logam akan tetap terlarut sampai pH meningkat sampai pada suatu tingkat logam tersebut mengalami presipitasi. AAT umumnya diasosiasikan dengan kandungan sulfat, logam berat (Fe, Cu, Pb, Zn, Cd, Co,Cr, Ni, Hg), metalloid (As, Sb), dan unsur lain seperti Al, Mn, Si, Ca, Na, Mg, Ba dan F yang tinggi. Kandungan logam yang tinggi umumnya ditemukan pada AAT pertambangan bijih logam dasar atau emas, sementara di tambang batubara kandungan logam dan metalloid lebih rendah. AAT biasanya dicirikan oleh kandungan sulfat yang tinggi(>1000
5 mg/l), kandungan besi (Fe) dan aluminium (Al) yang tinggi (>100 mg/l) (Lottermoser 2010). Reaksi pembentukan AAT menurut Gautama (2014) dapat ditulis sebagai berikut : 2FeS2 + 7O2 FeS2 + 14Fe3+ 4Fe2+ + O2 Fe2+ + 1/4O2 FeS2 + 15/4 O2
+ 2H2O + 8H2O + 4H+ + 5/2 H2O + 7/2 H2O
2Fe2+ + 4SO42- + 4H+ 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+ 4Fe3+ + 2H2O Fe(OH)3 + 2H+ Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+
(1) (2) (3) (4) (5)
Reaksi pertama adalah reaksi oksidasi mineral pirit oleh kehadiran air. Pada reaksi ini Fe2+ dihasilkan dari proses oksidasi mineral pirit oleh kehadiran air. Terjadi reaksi pelapukan dari pirit disertai proses oksidasi. Sulfur dioksidasi menjadi sulfat dan besi ferro dilepaskan. Dari reaksi ini dihasilkan dua mol keasaman dari setiap mol pirit yang teroksidasi. Reaksi ini dapat berlangsung baik pada kondisi abiotik maupun biotik. Reaksi kedua adalah oksidasi lanjutan dari pirit oleh besi ferri. Ini adalah reaksi propagasi yang berlangsung sangat cepat dan akan berhenti jika pirit atau besi ferri habis. Proses reaksi oksidasi pirit setelah reaksi (1) yang terjadi pada kondisi dekat netral, dilanjutkan dengan reaksi (2) jika kondisi semakin asam atau pH lebih kecil dari 4.5. Ion ferri akan mengoksidasi pirit sehingga mempercepat laju oksidasi dua sampai tiga kali dibandingkan dengan oksidasi oleh oksigen. Pada pH rendah (lebih kecil dari 4.5) Fe3+ akan lebih cepat mengoksidasi pirit dibandingkan dengan O2 dan lebih cepat pula daripada O2 mengoksidasi Fe2+ (Nordstrom 1982). Reaksi ini hanya akan berlangsung selama ion ferri cukup tersedia atau kondisi asam. Oleh karena itu, reaksi (2) dikenal sebagai langkah pembatas laju oksidasi pirit. Reaksi ketiga adalah konversi dari besi ferro menjadi besi ferri yang mengkonsumsi satu mol keasaman. Ion ferri tebentuk sebagai hasil konversi ion ferro yang terbentuk pada reaksi (1) dan mengkonsumsi satu mol keasaman seperti yang ditunjukkan pada reaksi (3). Laju reaksi lambat pada pH < 5 dan kondisi abiotik. Kehadiran Bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans akan mempercepat proses oksidasi Fe2+ sampai 5 sampai 6 kali. Dari reaksi (3) tersebut dapat terlihat bahwa untuk mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferri diperlukan kehadiran oksigen. Reaksi keempat adalah hidrolisa dari besi. Hidrolisa adalah reaksi yang memisahkan molekul air (Evasari 2013). Ion ferri dapat mengalami oksidasi dan hidrolisa sehingga membentuk ferri hidroksida. Pembentukan ferri hidroksida yang berwarna coklat kekuningan dan sering disebut yellowboy sangat tergantung pada pH yaitu lebih banyak pada pH diatas 3.5. Reaksi (4) ini merupakan reaksi pelarutan-pengendapan yang reversibel dan berlangsung sampai pH sama dengan 3 dan merupakan sumber atau berkurangnya Fe3+ serta merupakan langkah penting dalam melepaskan asam kelingkungan. Jika reaksi (1) sampai (4) digabung, akan diperoleh reaksi oksidasi pirit yang dikenal sebagai reaksi umum yang menghasilkan AAT. Produk dari oksidasi sulfida adalah keasaman, spesies sulfur, padatan terlarut total (Total dissolved solid / TDS), dan logam. Spesies sulfur yang terbentuk adalah sulfat. Pada kondisi
6 asam kondisi sulfat terlarut dapat mencapai 10.000 mg/L atau bahkan lebih pada kondisi yang lebih ekstrim. Jika kondisi semakin basa, konsentrasi sulfat dipengaruhi oleh kelarutan dari gipsum (CaSO4.2H2O). Beberapa mineral sulfida yang diketahui pembangkit asam dengan ion ferri sebagai pengoksidasi adalah sfalerit (ZnS), galena (PbS), kalkopirit (CuFeS2), kovelit (CuS), cinnabar (HgS), millerit (NiS), pentlandit ((Fe,Ni)9S8) dan greenockit (CdS). Sedangkan mineral sulfida yang diketahui pembangkit asam dengan oksigen sebagai pengoksidasi adalah pirit dan markasit (FeS2), pirotit (Fe1-xS), bornit (Cu5FeS4), arsenopirit (FeAsS), enargit atau famatinit (Cu3AsS4/Cu2SbS4), tennantit atau tetrahidrit ((Cu,Fe,Zn)12As4S13/(Cu,Fe,Zn)12ASb4S13), realgar (AsS), orpiment(As2S3) dan stibnit (Sb2S3) (Gautama 2014). Peranan bakteri dalam pembentukan AAT juga sangat penting. Proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans. T. Ferrooxidans mampu memanfaatkan Fe3+ untuk mengoksidasi senyawa sulfur, tetapi laju oksidasi sulfur tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan oksidasi Fe2+ (Lizama dan Suzuki 1989). Adanya aktivitas bakteri pengoksida, laju oksidasi meningkat sampai 106 kali lipat (Hossner dan Doolittle 2003). Percepatan laju pelarutan pirit oleh bakteri mencapai 10-5 μmol Fe per sel per hari pada pH 0,7 dan suhu 42°C (Schrenk et al. 1998). Adanya peran bakteri dalam proses pelarutan dan oksidasi pirit dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 (Naveke 1986). FeS2 akan terurai menjadi Fe2+ dan S2-. Selanjutnya bakteri T. ferrooxidans akan berperan dalam mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. T. ferrooxidans mengoksidasi Fe2+untuk menghasilkan energi yang kemudian dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri, sedangkan Fe3+ dengan adanya air akan membentuk fenomena yellowboy (Fe(OH)3). Sedangkan S2- atau S0 dioksidasi menjadi SO42oleh T. ferrooxidans dan atau T. Thiooxidans.
Gambar 1 Proses pelarutan mineral pirit oleh bakteri Thiobacillus sp. (Sumber: Naveke 1986) Terbentuknya ion sulfat sangat mempengaruhi kemasaman lingkungan. Pada pH 2.5 sampai 3.5, sulfat akan melarutkan ion-ion logam dari bentuk karbonat dan oksidanya dan relatif rendah terhadap logam sulfida (Greenberg et
7 al. 1992). Disamping itu, adanya ion Fe3+ yang merupakan pengoksida kuat mampu melarutkan mineral- mineral logam sulfida, logam-logam berat dalam mineral sulfida tersebut akan teroksidasi menjadi ion logam yang terlarut (Leduc dan Ferroni 1994). Dengan adanya kandungan sulfat dan logam yang terlarut menyebabkan limbah air asam tambang sangat berbahaya bagi kehidupan flora dan fauna, serta ekosistem secara keseluruhan (Downing 2002). Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam-logam berbahaya. Meningkatnya kelarutan logam-logam berbahaya tersebut akan sangat membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada keracunan dan bahkan dapat menyebabkan kematian hewan air. Dengan demikian, peningkatan kelarutan logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Fenomena AAT sebenarnya bukan hal yang baru di dunia pertambangan, daerah Iberian Pyrite Belt di Spanyol merupakan contoh yang paling terkenal bagaimana AAT mencemari sungai Tinto dan Odiel sehingga air sungai tersebut memiliki kandungan logam dan tingkat keasaman yang tinggi (Nieto et al. 2013). Penambangan dan pengolahan tembaga di daerah tersebut sudah dilakukan sejak sekitar 3000 tahun sebelum masehi pada awal zaman perunggu. AAT yang mengalir ke kedua sungai tersebut berasal dari lubang-lubang bekas tambang bawah tanah. Sampai dengan saat ini AAT masih terbentuk dan menjadi kewajiban dari pemerintah Spanyol untuk mengendalikan kualitas air sungai yang menerima AAT dari bekas-bekas tambang di wilayah tersebut. Di Amerika Serikat pencemaran limbah AAT di seluruh wilayah pertambangan mencakup area sekitar 25.000 hektar dan mencemari wilayah aliran air permukaan yang cukup luas (Durkin dan Herrmann 1994). Di Indonesia di wilayah industri pertambangan limbah AAT menjadi permasalahan lingkungan yang krusial. Hasil monitoring limbah pertambangan batu bara di Kalimantan, atau pertambangan tembaga di Nusa Tenggara dan Papua, memperlihatkan bahwa limbah air buangan tambang masih melebihi ambang batas mutu air (Gautama 2014). Hal ini yang menyebabkan kondisi lingkungan di sekitar limbah buangan tersebut mengalami kerusakan. Keberadaan AAT di lingkungan terutama air permukaan maupun air tanah berpotensi memberikan dampak terhadap terganggungnya kualitas dan habitat lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan AAT yang baik untuk mencegah terbentuknya AAT dan mengolah AAT agar memenuhi baku mutu lingkungan sebelum dialirkan ke badan air penerima.
Teknik Remediasi Air Asam Tambang Cukup banyak teknologi yang telah dikembangkan untuk mengolah AAT. Berdasarkan proses pengolahannya, teknologi pengolahan AAT dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu (1) proses aktif dan (2) proses pasif (Yusron 2009). Proses aktif lebih sering kali dimaksudkan sebagai aplikasi penambahan bahan alkalis secara terus menerus untuk menetralkan limbah AAT, sedangkan istilah proses pasif adalah penggunakan ekosistem lahan basah (wetland) baik secara alami maupun buatan. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kelebihan dari proses pasif adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan lahan basah lebih sedikit dibandingkan proses aktif.
8 Teknologi yang saat ini banyak dipakai di Indonesia untuk mengurangi dampak negatif AAT adalah proses pengolahan aktif. Menurut Youger et al. 2003 yang disebut pengolahan aktif adalah penambahan bahan kimia yang dapat menetralisir kemasaman limbah sehingga memperbaiki kualitas air. Penambahan bahan alkalin akan meningkatkan nilai pH, mempercepat laju oksidasi ion fero (Fe2+), serta mengendapkan logam terlarut dalam bentuk hidroksida dan karbonat (Johnson dan Hallberg 2005). Berbagai bahan penetralisir telah banyak digunakan seperti kalsium oksida, kalsium karbonat, sodium hidroksida, magnesium oksida dan magnesium hidroksida. Efektivitas masing-masing bahan tersebut sangat beragam. Penambahan bahan kimia sangat efektif dalam mengolah AAT, akan tetapi membutuhkan biaya operasional sangat tinggi, harus dilakukan secara terus menerus, dan meghasilkan lumpur limbah yang sangat banyak, terutama pada penggunaan senyawa kalsium. Pengendalian secara aktif ini hanya untuk meningkatkan pH air tetapi tidak memperbaiki kualitas air di kolam bekas tambang. Proses pengolahan AAT secara pasif mulai banyak dikembangkan di Indonesia, kelebihan utama dari sistem pengolahan pasif adalah biaya pemeliharaan relatif murah tetapi sistem ini juga memiliki kelemahan seperti membutuhkan lahan yang cukup luas dan hasil yang terkadang tidak pasti jika dibandingkan dengan sistem pengolahan secara kimiawi (Johnson dan Hallberg 2005). Beberapa teknik yang digunakan dalam sistem pengolahan pasif adalah dengan menggunakan anoxic limestone drains (ALD), Successive alkalinity producing system (SAPS), lahan basah buatan yang meliputi lahan basah aerob dan lahan basah anaerob. Teknik pengolahan pasif yang banyak digunakan dalam pengolahan AAT adalah lahan basah buatan (constructed wetland) yang meliputi lahan basah aerob dan lahan basah anaerob. Lahan basah aerob adalah sistem lahan basah yang relatif dangkal yang beroperasi dengan aliran permukaan. AAT dialirkan pada permukaan wetland yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman sejenis cattail (Typha sp.) yang tumbuh di atas tanah atau substrat organik. Tanaman lahan basah yang ditanam pada sistem aerob ditanam dengan alasan estetika untuk mengatur aliran air dan menyaring serta menstabilkan endapan besi yang terakumulasi. Selain itu, adanya tanaman pada sistem lahan basah aerob memberikan kontribusi meningkatkan kandungan bahan organik melalui zat-zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman. Pada sistem lahan basah aerob, pengurangan konsentrasi logam sebagian terjadi karena proses pengendapan logam dengan adanya reduksi sulfat secara biologi, dan sebagian kecil juga diserap oleh tanaman. Munawar (2007) menjelaskan tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti: 1. Konsolidasi substrat oleh akar tanaman dengan cara memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland. 2. Stimulasi proses jasad renik melalui penyediaan tapak (site) oleh tanaman untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof. 3. Tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi satwa liar, sehingga dapat membentuk habitat satwa liar. 4. Lahan basah dengan tanamannya lebih enak dipandang mata (estetika). 5. Akumulasi logam.
9 Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan sistem aktif. Namun demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan, diantaranya adalah membutuhkan lahan yang luas dan hasil kinerja dari sistem ini tidak dapat diprediksi seperti pada pengolahan aktif (Johnson dan Hallberg 2002) . Berbeda dengan lahan basah aerobik, pada lahan basah anaerobik menggunakan instalasi pengolahan AAT dengan sistem tertutup seluruhnya dibawah permukaan tanah. Sehingga penggunaan tanaman tidak dibutuhkan dalam sistem anaerobik. Pada sistem ini dibutuhkan bahan organik dalam pengoperasiannya. Bahan organik berguna sebagai sumber energi bagi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Bakteri tersebut juga menghasilkan kondisi alkalin melalui proses oksidasi bahan organik dan memanfaatkan energi yang dihasilkan untuk reduksi sulfat. Dengan adanya aliran air asam tambang melalui bahan organik menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi tidak ada oksigen bebas, oksidasi logam akan berjalan lebih lambat sehingga pembentukan logam oksihidroksida juga lambat dibandingkan dengan kondisi aerob. Hilangnya logam terjadi melalui pengendapan dalam bentuk logam sulfida, dijerap oleh bahan organik dalam bentuk bentuk logam hidroksida dan logam oksihidroksida (Wouls dan Ngwenya 2004). Kelemahan dari sistem ini adalah proses sistem lahan basah sangat lambat dan membutuhkan lahan yang luas.
Pengolahan Limbah Air Asam Tambang dengan Tanaman Pengembangan teknologi yang murah dan ramah lingkungan untuk remediasi tanah dan air yang tercemar zat beracun menjadi perbincangan yang menarik yang sering dibahas diseluruh dunia. Akhir akhir ini teknik reklamasi yang banyak digunakan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau air tercemar yaitu dengan menggunkan tanaman. Penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi disebut dengan fitoremediasi. Teknologi fitoremediasi didefinisikan sebagai pencucian polutan yang dimediasi oleh tumbuhan berfotosintesis, termasuk pohon, rumput-rumputan dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya (Chaney et al. 1995; Squires 2001). Banyak istilah yang diberikan pada sistem ini sesuai dengan mekanisme yang terjadi pada prosesnya. Phytostabilization: polutan distabilkan di dalam tanah oleh pengaruh tanaman. Phytostimulation: akar tanaman menstimulasi penghancuran polutan dengan bantuan bakteri rhizosfere. Phytodegradation: tanaman mendegradasi polutan dengan atau tanpa menyimpannya di dalam daun, batang, atau akarnya untuk sementara waktu. Phytoextraction: polutan terakumulasi di jaringan tanaman, terutama daun. Phytovolatilization: polutan oleh tanaman diubah menjadi senyawa yang mudah menguap sehingga dapat dilepaskan ke udara. Rhizofiltration: polutan diambil dari air oleh akar tanaman pada sistem hidroponik (Gerloff 1975). Selama dua dekade terakhir telah banyak makalah yang diterbitkan tentang tanaman air yang dapat menyerap logam beracun dari air tercemar (Hassan et al. 2007; Miretzky et al. 2004; Maine et al. 2001). Tanaman air yang telah berhasil
10 diketahui dalam menyerap logam beracun dari air yang tercemar adalah enceng gondok (Eichhornia crassipes, Eichhornia azurea, Eichhornia diversifolia, Eichhornia paniculata), selada air (Pistia stratiotes), Kiambang (Salvinia molesta, Salvinia auriculata ,Salvinia minima) dan Lemna minor (Deng et al. 2004; Axtell et al.2003; Vasely et al. 2011). Sudah banyak hasil penelitian yang membuktikan keberhasilan penggunaan tumbuhan untuk remediasi tanah dan air, tumbuhan tumbuhan tersebut antara lain Thlaspi calaminare untuk seng (Zn), T. caerulescens untuk kadmium (Cd), Aeolanthus biformifolius untuk tembaga (Cu), Phylanthus serpentinus untuk nikel (Ni), Haumaniastrum robertii untuk kobalt (Co) Astragalus racemosus untuk selesium (Se), dan Alyxia rubricaulis untuk mangan (Mn) (Wise et al. 2000). Semua tumbuhan mampu menyerap logam dalam jumlah yang bervariasi, tetapi beberapa tumbuhan mampu mengakumulasi unsur logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Proses remediasi polutan dari dalam tanah atau air terjadi karena jenis tanaman tertentu dapat melepaskan zat carriers, yang biasanya berupa senyawaan kelat, protein, glukosida, yang berfungsi mengikat zat polutan tertentu kemudian dikumpulkan di jaringan tanaman, misalnya pada daun atau akar (Fahrizal 2004). Bioremediasi merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah yang telah lama dikenal dalam masyarakat.
Tanaman Air Salah satu faktor penentu fungsi lahan basah dalam fitoremediasi AAT adalah pemilihan jenis tanaman (Kivaisi 2001; Dhir 2013).Pemilihan jenis untuk tujuan remediasi logam dalam AAT pada konstruksi lahan basah yaitu tanaman harus adaptif pada kondisi tergenang, toleran terhadap pH rendah dan toksik logam berat (Tuheteru 2015).
Gambar 2 Macam-Macam kontaminan yang bisa dihilangkan oleh spesies tanaman air. Sumber : Dhir 2013.
11 Menurut Dhir (2013) ada 3 kategori utama spesies tanaman air yang dapat menghilangkan kontaminan di perairan yaitu spesies free-floating, submerged dan emergent.Tanaman air yang termasuk spesies free-floating adalah tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok. Tanaman air yang termasuk spesies submerged salah satunya adalah Hydrilla verticillata, sedangkan tanaman air yang termasuk spesies emergent salah satunya adalah Typha latifolia.
Enceng Gondok (Eichornia crassipes) Taksonomi Enceng Gondok Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Suku : Pontederiaceae Marga : Eichornia Jenis : Eichornia crassipes (Mart) Solms Enceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Enceng gondok lebih banyak dikenal sebagai tanaman tumbuhan pengganggu (gulma) di perairan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru mendatangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak. Sebagai biofilter cemaran logam enceng gondok mampu menyerap berbagai zat yang berbahaya yang mencemari perairan seperti logam berat, cemaran organik, buangan industri, buangan pertanian dan buangan rumah tangga (Joedodibroto 1983). Enceng gondok merupakan tumbuhan parenial yang hidup di perairan terbuka, mengapung di air jika tempat tumbuhnya cukup dalam dan berakar di dasar jika air dangkal. Tingginya sekitar 0.4 – 0.8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Perkembangbiakan dapat terjadi secara vegetatif maupun secara generatif. Perkembangan terjadi jika tunas baru tumbuh pada ketiak daun lalu membesar dan akhirnya menjadi tumbuhan baru. Enceng gondok dapat menggandakan daunnya pada 7-10 hari. Perkembangbiakan secara generatif terjadi melalui bijinya, sebelum terjadinya biji didahului oleh penyerbukan pada bunga. Karangan enceng gondok berbentuk bulir bertangkai panjang, berbunga 6 sampai 35 tangkai. Kelopaknya bunga berbentuk tabung, termasuk bunga majemuk, sehingga enceng gondok memungkinkan penyerbukan, setelah 20 hari bunganya akan masak, terbebas lalu pecah dan bijinya masuk ke perairan untuk kemudian menjadi tanaman baru. Satu tanaman dapat menghasilkan 5 sampai 6 ribu biji tiap musim (Tjitrosoepomo 1996)
12 Kemampuan tanaman inilah yang banyak digunakan untuk mengolah air buangan, karena dengan aktivitas tanaman ini mampu mengolah air buangan domestik dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Eceng gondok mempunyai sifatsifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11.5% dan mengandung selulosa 64.51% lebih besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain (Joedodibroto 1983). Enceng gondok dapat digunakan untuk menghilangkan polutan, karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis, menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti cuprum, aurum, cobalt, strontium, timbal, timah. Selain itu, eceng gondok juga punya kemampuan menyerap logam berat.
Kayu Apu (Pistia stratiotes) Taksonomi Kayu apu : Kerajaan : Plantae (tumbuhan) Subkerajaan : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu/monokotil) Sub-kelas : Arecidae Ordo : Arales Famili : Araceae (suku talas-talasan) Genus : Pistia Spesies : Pistia stratiotes L. Nama lokal tumbuhan ini adalah kayu apu. Bentuknya mirip dengan sayuran kol atau kubis yang berukuran kecil. Banyak tumbuh di daerah tropis, terapung pada genangan air yang tenang dan mengalir dengan lambat. Kayu apu mempunyai banyak akar tambahan yang penuh dengan bulu-bulu akar yang halus, panjang dan lebat. Bentuk dan ukuran daunnya sangat bervariasi, dapat menyerupai sendok, lidah atau rompong dengan ujung daun yang melebar. Warna daunnya hijau muda makin ke pangkal makin putih. Susunan daun terpusat berbentuk roset. Batangnya sangat pendek, bahkan terkadang tidak tampak sama sekali. Buah buninya bila telah masak pecah sendiri serta berbiji banyak. Selain dengan biji, kayu apu berkembang biak dengan selantar atau stolonnya (Sastrapradja dan Bimantoro 1981). Tanaman air ini termasuk floating aquatic plant seperti tanaman eceng gondok. Pada mulanya tumbuhan kayu apu hanya dikenal sebagai tumbuhan pengganggu di danau, karena tanaman tersebut biasanya tumbuh dan berkembang biak dengan cepat. Tanaman kayu apu banyak dijumpai pada kolam-kolam air tawar, menempati permukaan dari perairan tersebut, karena tanaman ini tergolong floating aquatic plant. Akar tanaman berupa akar serabut, terjurai pada lapisan atas perairan dan sangat potensial untuk menyerap bahan-bahan yang terlarut pada bagian itu (Yusuf 2001). Banyak kelebihan yang dimiliki oleh tumbuhan air ini, seperti sebagai pakan ternak, obat dan pupuk. Kayu apu banyak ditumbuhkan di kolam-kolam ikan, karena udang dan anak-anak ikan sangat senang hidup dan berlindung di bawah tanaman ini. Selain itu, karena kayu apu mempunyai daya mengikat butiran-
13 butiran lumpur yang halus maka dapat digunakan untuk menjernihkan air bagi industri maupun keperluan sehari-hari.
Kiambang (Salvinia molesta) Taksonomi Kiambang Kerajaan : Plantae Divisi : Pteridophyta Kelas : Pteridopsida Orde : Salviniales Famili : Salviniaceae Genus : Salvinia Species : Salvinia molesta D.mitch. Salvinia molesta adalah jenis tumbuhan yang hidup setahun. Pembiakannya dilakukan dengan spora (Sundaru 1979). Salvinia molesta termasuk tumbuhan air yang hidup mengapung. Daunnya berupa karangan, terdiri dari 3 bagian, yaitu 2 bagian terapung yang berfungsi sebagai daun dan 1 bagian menggantung dalam air berbentuk serabut seperti akar. Pangkal daun berbentuk jantung, panjang dan lebar daun antara 1-2 cm, dengan rambut-rambut pada permukaannya. Fase generatif dari tanaman ini dicirikan oleh adanya daun yang melengkung. Setelah menghasilkan sporangia, pembentukkan sporokarp terjadi dengan cepat pada waktu populasi padat. Sporokarp pertama atau dua yang pertama dari masingmasing kelompok merupakan mikrosporokarp. Dari satu mikrosporokarp, sporangia yang matang adalah 1-5 buah, sedang mikrosporokarp yang matang antara 30-90 buah dari sebuah makrosporokarp (Pancho 1978).
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kolam Pengendapan Lumpur (KPL) Cik Ayip - IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., Kab. Muara Enim, Sumatera Selatan dengan sumber AAT dari Stockpile 1. Analisa sampel penelitian berupa AAT dilakukan di Laboratorium pengujian air PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Analisa logam dalam tanaman dianalisis di Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanah, Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret s/d Mei 2015.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah enceng gondok, kayu apu, kiambang, air asam tambang dari Stockpile 1-IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., lumpur dan bokashi. Bahan-bahan untuk analisa AAT dan tanaman adalah asam nitrat (HNO3), HClO4, aquadest, larutan standart Fe, larutan standart Mn, alkohol, dan spiritus.
14 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 kolam buatan yang masing - masing berukuran 80x80x70 cm3 dengan volume air asam tambang 270 L/bak reaktor fitoremediasi, plastik, labu erlenmeyer, gelas ukur, botol sampel 100 mL, AAS (Atomic Absorbtion Spectrometer), oven, desikator, timbangan analitik, Filter paper no 41 WhatmannTm D125 mm (CAT No 1441-125), Cellulose nitrate filter 0,45µm (Sartorius stedim biotech), pipet ukur, gunting, corong gelas dan labu semprot.
Prosedur Penelitian Pengambilan dan Aklimatisasi Tanaman Air Kayu apu, kiambang dan enceng gondok yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari lokasi pertambangan batubara, PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Tanaman air yang diambil sebanyak 2 kg kemudian diaklimatisasi. Sampel kayu apu, kiambang dan enceng gondok diaklimatisasi di kolam aklimatisasi selama 2 minggu sebelum digunakan dalam penelitian. Pembuatan Lahan Basah Buatan Lahan basah yang akan digunakan dalam percobaan dibuat seperti lahan basah yang telah digunakan di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. dengan ukuran yang diperkecil menjadi 80x80x70 cm3 (Gambar 2), sehingga kapasitas volume AAT yang tertampung adalah sebesar 270 L/bak, dengan tinggi permukaan air ±42 cm. Jenis kolam lahan basah yang digunakan adalah anaerobic wetland.
AAT Bokashi
PAF
Gambar 3 Desain lahan basah buatan Lumpur yang masih berpotensi membentuk asam (Potensial Acid Forming (PAF)) dimasukkan ke dalam kolam hingga mencapai ketinggian 15 cm. Komponen selanjutnya adalah bokashi yang digunakan oleh PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. yang berfungsi sebagai media tumbuh tanaman. Bokashi
15 dimasukkan hingga mencapai ketinggian 3 cm. AAT dimasukkan dalam kolam percobaan dengan ketinggian muka air ±42 cm, kemudian dimasukkan tanaman uji berupa kayu apu, kiambang dan enceng gondok (Tabel 1). Sebelum dimasukkan kedalam kolam percobaan sampel AAT yang diambil dari KPL Stockpile-1 IUP Air Laya terlebih dahulu dianalisis Nilai pH, kadar Besi (Fe) terlarut, kadar Mangan (Mn) terlarut dan Total Suspended Solid (TSS). Tabel 1 Komposisi material lahan basah anaerobik pada pengelolaan AAT secara pasif Berat tanaman Lumpur Bokashi Banyaknya No Jenis tumbuhan yang dimasukkan PAF (Kg) (Kg) Tanaman dalam kolam (Kg) 1 Kayu apu 96 15 0.6 60 2 Kiambang 96 15 0.5 3 Enceng gondok 96 15 1.50 15 Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Tunggal dengan jenis tanaman air sebagai perlakuan. Perlakuan terdiri dari 3 taraf yaitu kayu apu, kiambang dan enceng gondok. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 9 unit kolam percobaan. Aplikasi perlakuan adalah sebagai berikut : 1. AAT + Matrik lahan basah (MLB) tanpa tanaman uji (Kontrol) 2. AAT + MLB + Kayu apu AAT + MLB + Kiambang 3. 4. AAT + MLB + Enceng gondok Perlakuan Fitoremediasi Penelitian ini menggunakan metode fitoremediasi statis (air yang di fitoremediasi dalam keadaan diam atau tidak mengalir). Setelah reaktor fitoremediasi siap, selanjutnya dilakukan pemilihan dan penimbangan tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok yang telah diambil dari media aklimatisasi. Tanaman yang digunakan untuk perlakuan dipilih yang mempunyai ukuran yang relatif sama yaitu dengan panjang daun 2-4 cm dan panjang akar 3-6. Masing-masing tanaman dimasukkan ke dalam kolam percobaan yang telah berisi media AAT + MLB. Setiap percobaan menggunakan 3 ulangan dan dibuat juga kontrol yaitu bak berisi larutan yang sama tetapi tanpa tanaman. Pengambilan sampel air dilakukan setiap 3 hari sampai hari ke 29 (Herniwanti et al. 2013), sedangkan untuk sampel tanaman diambil 5 kali sampel selama 29 hari yaitu pada hari ke-0 setelah perlakuan (HSP), 3 HSP, 7 HSP, 15 HSP, 21 HSP dan 29 HSP. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah Simple Randomized and Composite. Sampel air diambil pada tiga titik kedalaman yang berbeda pada lahan basah buatan yaitu pada bagian permukaan atas air (0-5 cm dari permukaan), pada bagian tengah air (20-25 cm dari permukaan) dan pada bagian bawah air yaitu ±2 cm diatas permukaan matrik lumpur bokashi (35-40 cm dari permukaan). Sampel AAT dianalisis berdasarkan nilai pH, kadar besi (Fe), kadar mangan (Mn), dan Total Suspended Solid (TSS). Standard operasional prosedur (SOP) dalam pengukuran Fe, Mn, pH, dan TSS pada sampel air berdasarkan SNI (Tabel 2). Pengukuran logam Fe dan Mn pada sampel tanaman dianalisis menggunakan cara
16 pengabuan basah dengan HNO3-HClO4 (AOAC 2000) kemudian diikuti oleh pengukuran logam dengan atomic absorption spectrometry (AAS). Nilai kadar logam (Fe dan Mn) selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menghitung nilai Faktor Translokasi (Translocation Factor/TF), dengan persamaan berikut: TF = Caerial/Croot ; dimana Caerial adalah kadar logam pada bagian pucuk (batang & daun) dan Croot adalah kadar logam pada bagian akar (Wang et al. 2005). Pengurangan atau efisiensi reduksi (R) pH, Fe, Mn, dan TSS pada lahan basah dihitung dengan rumus: R (%) = (Konsentrasi awal-Konsentrasi akhir/ Konsentrasi awal ) x 100% (Nyquist dan Greger 2009; Palapa 2009). Tabel 2 Metode pengukuran parameter Pengujian Metode pH SNI: 6989.11-2004 Kadar Fe SNI: 6989.4-2009 Kadar Mn SNI: 6985.5-2009 TSS SNI: 6989.3-2004
Alat yang digunakan pH meter AAS AAS Kertas saring/ Gravimetri
Pengukuran pH SNI: 6989.11-2004. Penetapan pH air asam tambang dilakukan setelah pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan buffer pH 4 dan pH 7. Stabilisasi pH meter dilakukan selama 15 menit. Setelah itu, elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel air asam tambang dan pengukuran pH dapat diatur. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel dapat dicatat. Pengukuran Fe dan Mn Pengukuran kadar Fe berdasarkan SNI: 6989.4-2009. Pengukuran ion logam Fe terlarut dilakukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) – nyala, pada kisaran kadar Fe 0.3 mg/L hingga 10mg/L dengan panjang gelombang 248.3 nm. Pengukuran kadar Mn berdasarkan SNI: 6985.5-2009. Pengukuran ion logam Mn terlarut dilakukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala, pada kisaran kadar Mn 0.1 mg /L hingga 10 mg/L dengan panjang gelombang 279.5 nm. Pengukuran TSS Pengukuran Total Padatan Tersuspensi diukur dengan menggunakan metode gravimetri. Sampel yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan dikeringkan hingga mencapai berat konstan pada suhu 103oC – 105oC. Kenaikan massa pada kertas saring mewakili kadar TSS, maka untuk memperoleh estimasi TSS dapat dihitung melalui rumus:
Keterangan : A : Massa kertas saring + Residu (mg) B : Massa kertas saring (mg) V : Volume sampel (ml)
17 Isolasi Total Populasi Mikrob Setelah 29 hari masa percobaan, kemudian dihitung total populasi mikrob yang terdapat pada kolam lahan basah. Sampel yang akan digunakan untuk mengetahui total populasi mikrob diambil dari kolam air asam tambang setelah 29 hari masa percobaan. Sampel diambil secara purposif dari kolam air asam tambang yang diberi tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok dengan ulangan sebanyak 3 kali. AAT dianalisis total populasi mikrobnya menggunakan metode total plate count (TPC). Sebagai kontrol diambil AAT dari lahan basah tanpa tanaman dan sebagai pembanding diambil AAT dari kolam lahan basah yang telah diterapkan di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Mikrob diisolasi dari sampel air asam tambang dengan menggunakan medium NA dan medium Postgate B (Atlas 1993). Isolasi sampel dari air asam tambang pada media NA menggunakan metode pengenceran bertingkat spread plate dan pour plate kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 7 hari. Sebanyak 1 ml sampel air asam tambang dimasukkan pada media Posgate B, kemudian di inkubasi suhu 30° C selama 7 hari. Untuk Isolasi total populasi mikrob anaerob, setelah medium dibuat maka diletakkan di anaerob chamber untuk menghilangkan oksigen pada medium. Isolasi total populasi mikrob anaerob dalam pengerjaannya dilakukan secara anaerob. Jenis dan jumlah bakteri yang didapat dari hasil isolasi kemudian dihitung jumlah dan kerapatannya.
Analisis Data Percobaan berlangsung selama 29 hari dan pengamatan dilakukan setiap 3 hari dengan cara mengambil sampel AAT dan tanaman air secara acak. Analisa data dilakukan secara tabulasi dan statistik. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan, antara lain data sebelum, pada saat, dan setelah proses pengolahan air asam tambang. Data primer tersebut diambil pada tiap 3 HSP selama 29 hari, sedangkan data sekunder yang dibutuhkan berupa referensi data, baku mutu, dan studi kepustakaan. Data Primer yang diperoleh yaitu berupa nilai pH, kadar Fe, kadar Mn, dan TSS yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Varian (Anova) pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui pengaruh jenis tanaman terhadap penurunan logam berat dan peningkatan pH AAT. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka dilakukan uji lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 95%.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Limbah AAT Stockpile 1- IUP Air Laya Air asam tambang (AAT) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kolam penampungan Stockpile-1, pertambangan batubara PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Kualitas AAT diuji melalui analisa kandungan Fe, Mn, TSS, dan nilai pH di laboratorium. Kualitas AAT diuji dengan
18 mengambil sampel dari kolam penampungan tersebut. Sampel AAT diambil dengan menggunakan metode grab sampel dimana limbah AAT dimasukkan ke dalam botol sampel dan diambil pada waktu tertentu. Tabel 3 Karakteristik limbah air asam tambang Stockpile-1 Stockpile-11) Kadar Maksimum2) pH 3.45 6-8 TSS (mg/L) 28 50 Fe (mg/L) 4.49 0.300 Mn (mg/L) 8.75 0.100
Kadar Maksimum3) 6-9 400 7 4
1)
Dewani (2015), Komunikasi pribadi SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai 3) Kepmen LH Nomor 113 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara 2)
Hasil uji kualitas air asam tambang (AAT) dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai pH pada limbah AAT sangat rendah sehingga menyebabkan kemasaman, yaitu berkisar 3.45. Data pH AAT tersebut menunjukkan bahwa AAT pada kolam penampungan Stockpile-1 merupakan air asam tambang tipe “net acid”. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pH AAT yaitu <4.5, dimana pada pH <4.5 alkalinitas dapat mencapai nol (Watzlaf et al. 2004). Tingginya kemasaman AAT juga menyebabkan logam terlarut cukup tinggi, terutama Fe dan Mn, yaitu 4.49 mg/L dan 8.75 mg/L. Kualitas AAT Stockpile-1 untuk parameter TSS dan Fe sudah memenuhi batas ambang Kepmen LH Nomor 113 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara tetapi untuk kadar Fe jauh melebihi batas ambang yang telah ditetapkan dalam SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Sedangkan untuk parameter pH dan kadar Mn jauh melebihi batas ambang yang telah ditetapkan dalam Kepmen LH Nomor 113 Tahun 2003 dan SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Oleh karena itu, AAT tersebut perlu diolah sebelum dibuang ke dalam perairan.
Pengaruh Tanaman Air terhadap Nilai pH Pada Penelitian ini terdapat 3 titik pengukuran dan pengambilan sampel pada masing masing kolam lahan basah, yaitu pada bagian permukaan atas air (05 cm), pada bagian tengah air (20-25 cm) dan pada bagian bawah air yaitu ±2 cm diatas permukaan matrik lumpur bokasi (35-40 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan AAT dengan sistem lahan basah menggunakan 3 tanaman air efektif meningkatkan pH AAT secara bertahap dari >5 menjadi 7 dalam waktu 24 hari pada semua perlakuan dan pada semua titik pengambilan, sedangkan 29 hari setelah perlakuan (HSP) nilai pH AAT mengalami penurunan kembali (Gambar 4).
19
A
B
8.0
8.0
7.5
7.5
7.0
Nilai pH
Nilai pH
7.0
6.5
6.5
6.0
6.0
5.5
5.5 5.0
5.0 0
3
7 11 14 17 21 24 29
0
3
Waktu (hari ke-)
7
11 14 17 21 24 29
Waktu (hari ke-) C
8.0
Nilai pH
7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 0
3
7
11
14
17
21
24
29
Waktu (hari ke-) Blanko
Kayu apu
Kiambang
Eceng gondok
Gambar 4 Perubahan pH pada (A) bagian permukaan lahan basah, (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan), dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan setiap 3 hari pada bagian permukaan kolam (Gambar 4A) menunjukkan terjadinya peningkatan nilai pH secara bertahap pada semua perlakuan. Pada hari pertama (0 HSP) dimasukkannya AAT pada kolam percobaan, terjadi peningkatan pH AAT dari 3.45 menjadi >5 pada semua perlakuan. Peningkatan pH ini kemungkinan disumbangkan dari kandungan alkalinitas dari kompos yang digunakan sebagai matrik lahan basah. Pada sistem wetland anaerobik, komposisi matrik yang digunakan seperti kompos yang ditambahkan lumpur aktif dari sewage dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk menaikkan alkalinitas yang dapat meningkatkan pH AAT (Chang et al. 2000; Gibert et al. 2003). Pada pengamatan 3 HSP dapat dilihat pada Gambar 4A bahwa kolam lahan basah yang
20 ditambahkan tanaman kiambang dan enceng gondok mengalami peningkatan pH dari >5 menjadi 6 yaitu lebih tinggi daripada kontrol dan kolam yang ditambahkan tanaman kayu apu yang nilai pH berada dikisaran 5.73 dan 5.98. Peningkatan pH pada perlakuan dikarenakan proses biologi yang terjadi pada interaksi tanaman dengan lingkungannya tersebut (Henny et al. 2010). Adanya tanaman air yang mengambang pada kolam lahan basah menyebabkan kondisi lingkungan dibawah tanaman tersebut menjadi anaerob. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi CO2 pada lingkungan akan meningkat. pH air juga dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 bebas yang berada di lingkungan. Tanaman air akan mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat (Cholik et al. 1991). CO2 dapat mempengaruhi nilai pH dan mempengaruhi kandungan bikarbonat (Hermawati et al. 2005). Di samping itu, salah satu hasil mineralisasi bahan organik adalah bikarbonat, dimana bikarbonat akan mengikat ion H+ sehingga pH akan meningkat (Bohn 1985). Nilai pH pada semua kolam lahan basah yang berisi tanaman perlakuan dari 3 HSP sampai 29 HSP terjadi fluktuasi pH yaitu pada 7 HSP dan 11 HSP pH mengalami penurunan, kemudian mengalami peningkatan nilai pH pada 14 HSP dan mengalami penurunan pH kembali pada 17 HSP. Pada 21 HSP dan 24 HSP nilai pH pada semua perlakuan mengalami peningkatan, tetapi mengalami penurunan kembali pada 29 HSP. Pada grafik nilai pH bagian tengah kolam dan bagian bawah kolam (Gambar 4B dan 4C) yaitu terjadi fluktuasi nilai pH, tetapi secara keseluruhan nilai pH selama 29 perlakuan mengalami peningkatan dari pH >5 menjadi pH >7. Fluktuasi nilai pH baik pada semua perlakuan dan semua bagian memiliki nilai rata rata penurunan pH sebesar 35%. Adanya tanaman air pada kolam lahan basah tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan kadar pH air asam tambang dibandingkan kontrol tanpa adanya tanaman. Akan tetapi kadar pH akhir percobaan menunjukkan bahwa pH pada kolam lahan basah yang terdapat tanaman air lebih tinggi daripada pH kontrol.
Pengaruh Tanaman Air terhadap Kadar Fe dan Mn dalam Wetland Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 mensyaratkan besi (Fe) dan Mangan (Mn) sebagai parameter air limbah yang berasal dari kegiatan pertambangan, dengan baku mutu berturut turut 7 dan 4 mg/l. Sedangkan SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai mensyaratkan kadar maaksimum Fe dan Mn berturut turut 0.300 mg/l dan 0.100 mg/l.
21 14.0
Kadar Fe (mg/L)
12.0 10.0 8.0
A
6.0 4.0 2.0 0.0
0
3
7 11 14 17 21 Waktu (hari ke-)
24
29
14.0
Kadar Fe (mg/L)
12.0 10.0 8.0
B
6.0 4.0 2.0 0.0 0
3
7
11
14
17
Waktu (hari ke-)
21
24
29
14.0
Kadar Fe (mg/L)
12.0 10.0 8.0
C
6.0 4.0 2.0 0.0
0
3
7 11 14 17 21 24 29 Waktu (hari ke-) Blanko Kayu apu Kiambang Eceng gondok Gambar 5 Perubahan konsentrasi Fe terlarut pada (A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan. Data kualitas AAT pada kolam penampungan Stockpile-1 yang ditunjukkan pada Tabel 3, menjelaskan bahwa konsentrasi Fe dan Mn yang digunakan pada penelitian ini masih memiliki konsentrasi diatas baku mutu yang dipersyaratkan.
22 Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa semua perlakuan dapat menurunkan kadar Fe maupun kadar Mn dalam AAT (Gambar 5 dan Gambar 6). Gambar 5 menunjukkan perubahan konsentrasi Fe yang terlarut pada AAT di 3 titik pengambilan sampel pada masing masing kolam lahan basah. Hasil analisa konsentrasi Fe terlarut dalam AAT pada bagian permukaan air (Gambar 5A) dapat dilihat bahwa sampel air dari bak yang berisi tanaman kayu apu dan enceng gondok pada akhir perlakuan yaitu 29 HSP menunjukkan konsentrasi Fe yang lebih kecil daripada kontrol dan bak perlakuan kiambang. Meskipun antara perlakuan dan kontrol memberikan penurunan konsentrasi yang tidak berbeda nyata (p>0.05) tetapi semua perlakuan memiliki fluktuasi penurunan konsentrasi Fe yang berbeda dari pada kontrol. Hal yang menarik disini adalah meningkatnya konsentrasi Fe pada kontrol pada pengamatan 3 HSP pada bagian permukaan (Gambar 5A). Pada kontrol peningkatan konsentrasi Fe kemungkinan disebabkan oleh tidak tertutupnya permukaan kontrol dengan tanaman sehingga menyebabkan teroksidasinya kembali logam sulfida yang telah terbentuk dan dapat meningkatkan konsentrasi logam Fe pada permukaan kontrol. Hal ini juga dapat dikorelasikan dengan peningkatan pH bagian permukaan pada kontrol yang tidak jauh berbeda antara pengamatan 0 HSP dan 3HSP (Gambar 4A). Fenomena meningkatnya kembali konsentrasi Fe dan Mn pada bagian permukaan lahan basah disebabkan oleh proses oksidasi biotik, abiotik, maupun foto-oksidasi logam sulfida yang telah terbentuk pada permukaan lahan basah tersebut. Pada lahan basah yang berisi tanaman enceng gondok terdapat siklus peningkatan dan penurunan konsentrasi Fe berturut turut pada 3 hari dan 6 hari. Pengamatan lahan basah yang berisi enceng gondok pada 0 HSP memperlihatkan konsentrasi Fe yang rendah sedangkan pada 3 HSP mengalami kenaikan dan pada 6 HSP mengalami penurunan konsentrasi kembali. Hal tersebut terulang sebanyak 3 kali selama 29 hari masa percobaan. Pada akhir percobaan, konsentrasi Fe terlarut pada lahan basah hampir mendekati 0 mg/L yaitu <0.0010. Fluktuasi peningkatan dan penurunan konsentrasi Fe juga terjadi pada lahan basah yang berisi kiambang, yaitu mengalami peningkatan pada 3 HSP dan 7 HSP serta mengalami penurunan sampai 21 HSP. Pada lahan basah yang berisi tanaman kayu apu mengalami penurunan konsentrasi Fe sampai 21 HSP dan meningkat pada 24 HSP dan menurun kembali pada 29 HSP. Pada bagian tengah dan bawah lahan basah juga mengalami penurunan kadar Fe (Gambar 5B dan Gambar 5C). Penyisihan logam Fe pada semua titik pengambilan tertinggi dicapai oleh lahan basah yang berisi tanaman enceng gondok yaitu sebesar 90%-99% dalam waktu 29 hari, sedangkan lahan basah yang berisi tanaman kayu apu mengalami penyisihan logam Fe sebesar 77%-98%. Prosentase penyisihan logam Fe oleh perlakuan lebih tinggi daripada kontrol yaitu hanya sebesar 61%. Terdapat 4 kemungkinan yang menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi logam Fe terlarut pada wetland yaitu: 1. Interaksi antara sulfida (S2- ) yang dihasilkan pada proses reduksi sulfat dengan logam bervalensi 2 (seperti Fe2+ dan Mn2+) membentuk logam sulfida yang mengendap. 2. Proses absorpsi logam oleh jaringan tanaman. 3. Proses adsorpsi logam oleh bahan organik.
23 4. Proses biopsorpsi logam oleh mikroorganisme yang terdapat pada lingkungan lahan basah. Penelitian Herniwanti et al. (2013) menggunakan 5 tanaman yang berbeda yaitu Eleocharis dulcis, Cyperus odoratus, Hydrilla vercilata, Ipomea aquatic dan Pistia statatiotes pada skala mini-project di perusahaan batubara PT. Jorong Barutama Greston dengan penurunan rata-rata Fe selama 29 hari sebesar 7%. Rata-rata penurunan logam Fe pada penelitian ini lebih tinggi dari rata-rata penurunan kadar Fe yang dilaporkan oleh Herniwanti et al. (2013) dimana terjadi penurunan kadar Fe pada lahan basah sebanyak 8 kali lebih tinggi yaitu sebesar 54%. Parameter lainnya yang diukur dalam penelitian yaitu kadar Mn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan dapat menurunkan kadar Mn terlarut dalam AAT (Gambar 6). B
A Kadar Mn (mg/L)
Kadar Mn (mg/L)
10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0
3
7
14 17 21 29
10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0
Kadar Mn (mg/L)
Waktu (Hari Ke-)
3
7
14
17
21
29
Waktu (Hari Ke-)
10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
C
0
3
7
14
17
21
29
Waktu (Hari Ke-) Blanko
Kayu apu
Kiambang
Eceng gondok
Gambar 6 Perubahan konsentrasi Mn-terlarut pada (A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan.
24 Pada Gambar 6A dapat dilihat bahwa semua perlakuan dapat menurunkan kadar Mn pada bagian permukaan air lahan basah lebih baik dari pada kontrol. Prosentase reduksi penurunan kadar Mn tertinggi ditunjukkan oleh kolam lahan basah yang berisi enceng gondok yaitu sebesar 72% dalam waktu 29 hari. Eceng gondok memiliki sistem perakaran serabut yang berkembang dengan baik dan biomassa yang tinggi sehingga sangat bagus digunakan pada sistem pengolahan limbah perairan. Enceng gondok dapat memperbaiki kualitas air dengan mengurangi kandungan bahan organik dan anorganik. Tanaman ini juga dapat mengurangi kandungan logam pada AAT (Zhu et al. 1999). Lahan basah yang berisi tanaman kayu apu, kiambang dan kontrol memiliki prosentase reduksi penurunan kadar Mn berturut turut adalah sebesar 47%, 53% dan 43% dalam waktu 29 hari. Penurunan kadar Mn sebesar 55% oleh tanaman kayu apu juga pernah dilaporkan oleh Herniwanti et al. (2010). Penurunan kadar Mn selama 29 hari percobaan juga terjadi pada kadar Mn bagian tengah dan bawah kolam (Gambar 6B dan Gambar 6C), dimana kadar penurunan Mn pada semua perlakuan lebih baik jika dibandingkan kontrol. Penambahan bokashi berkontribusi pada penurunan kadar Fe dan Mn pada lahan basah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Munawar (2007) yang menyatakan bahwa pemberian bahan organik dapat memperbaiki kualitas AAT dengan meningkatkan pH dan menurunkan kadar Fe dan Mn terlarut. Penurunan Fe dan Mn oleh bahan organik disebabkan karena bahan organik melepaskan elektron untuk mengikat logam. Bokashi memiliki komposisi yang reaktif yang dapat merangsang pertumbuhan BPS untuk meningkatkan alkalinitas dan merubah logam dalam bentuk endapan disulfida dan menjadi sumber energi bakteri pereduksi sulfat (BPS) (Johnson dan Hallberg 2005). Peningkatan pH dan penurunan logam Fe dan Mn dalam AAT terdapat peranan dari aktivitas bakteri yang terdapat dalam lahan basah. Tabel 4 menunjukkan total populasi bakteri aerob dan anaerob pada berbagai lahan basah yang ditumbuhi tanaman. Tabel 4 Total populasi mikrob aerob dan anaerob setelah perlakuan pada berbagai lahan basah yang ditanami tanaman uji. Total Populasi Mikroba (CFU/mL) Perlakuan Anaerob Aerob Kontrol <1 x 104 1 x 105 Kontrol Wetland PT. Bukit Asam <1 x 104 5.7 x 106 Wetland tanaman kayu apu 1 x 104 14 x 106 4 Wetland tanaman kiambang 1 x 10 2.8 x 106 Wetland tanaman eceng gondok 1.5 x 104 40 x 106 Lahan basah buatan (constructed wetland treatment) merupakan suatu sistem ekologi dimana proses fisika, kimia, dan biologi terjadi yang dapat mengubah sifat kimia dari suatu limbah cair. Proses yang terjadi pada air limbah diantaranya adalah oksidasi reduksi, presipitasi, khelasi, adsorpsi, sedimantesi, filtrasi, penyerapan aktif oleh tanaman, dan aktivitas mikroba (US EPA 2013). Aktivitas mikrob telah dilaporakan oleh Widyawati (2011) bahwa kandungan sulfat dalam AAT dapat diturunkan dengan memanfaatkan aktivitas bakteri pereduksi sulfat (BPS). Hal ini disebabkan karena BPS mampu menggunakan ion
25 sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi dalam proses metabolismenya. Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi perlakuan bahan organik yang dikoloni oleh BPS dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi. Tabel 4 menunjukkan bahwa total populasi mikrob pada lahan basah lebih banyak mikrob aerob daripada anaerob. Hal ini terjadi karena setelah perlakuan pH telah mencapai netral sehingga populasi BPS sedikit pada lahan basah. Menurut El Bayoumi et al. (1997) pada pH 7 kemampuan bisorpsi BPS akan konstant, sehingga hal ini memungkinkan BPS ada pada fase pertumbuhan statis dimana bakteri yang hidup sama dengan bakteri yang mati yang memungkinkan jumlah BPS atau bakteri anaerob lebih sedikit dari bakteri aerob. BPS adalah bakteri anaerob obligat yang membutuhkan lingkungan mikro anaerob. Suyasa (2002) mengemukakan bahwa pH optimal bagi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat berkisar antara 5 sampai 8. BPS yang diisolasi dari ekosistem air hitam Kalimantan mampu menyesuaikan diri pada pH 2.5, dan menunjukkan pertumbuhan yang pesat pada kisaran pH antara 4 dan 7. Mekanisme penting bagi aktivitas BPS adalah proses reduksi sulfat tersebut berlangsung dalam kondisi anaerob dan kondisi faktor lingkungan yang optimal bagi pembentukan sulfida yang maksimal. Reduksi sulfat dapat terjadi pada kisaran pH, tekanan, suhu dan salinitas yang lebar, namun ketersediaan senyawa karbon sebagai donor elektron dan molekul hidrogen dapat menjadi pembatas (Yusron 2009).
Akumulasi Fe dan Mn dalam Jaringan Tanaman Hasil analisa Fe dalam jaringan tanaman dapat dilihat pada Tabel 5. Konsentrasi Fe dalam jaringan tanaman sebelum percobaan menunjukkan bahwa logam Fe pada jaringan tanaman baik daun maupun akar tanaman kayu apu dan kiambang tidak dapat terdeteksi oleh AAS, sedangkan dalam tanaman enceng gondok kandungan hanya terdeteksi dalam akar yaitu sebesar 0.03 ppm. Tabel 5 Kadar Fe pada akar dan daun tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) Konsentrasi Fe (mg/Kg) Hari keKayu apu Kiambang Eceng Gondok Akar Daun Akar Daun Akar Daun 0 HSP ttd ttd ttd ttd ttd 0.03 3 HSP 8.41 0.35 1.15 0.83 2,53 0,41 6 HSP 2.57 0,28 1.52 0.79 2,34 0,31 15 HSP 2.22 0,21 1.62 0.65 2,49 0.44 21 HSP 1.95 0,18 1.13 0,76 2,21 0.52 29 HSP 1.13 0.19 1.38 0,58 1,92 0.42 Keterangan : ttd = tidak terdeteksi. Batas minimum kadar Fe pada tanaman yang dapat terdeteksi oleh alat spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah 0.001. Tabel 5 menyajikan kadar Fe dalam jaringan tanaman selama masa percobaan. Dari Tabel 5 terlihat bahwa konsentrasi Fe tertinggi terdapat dalam
26 akar daripada dalam daun pada semua tanaman. Kadar Fe lebih rendah pada bagian pucuk dibanding akar mengindikasikan bahwa pergerakan Fe ke bagian pucuk lebih rendah (Tuheteru 2015). Konsentrasi Fe yang diserap dalam tanaman semakin rendah seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat dikorelasikan dengan penurunan konsentrasi Fe dalam air yang juga semakin rendah mencapai 0 mg/L pada 29 HSP (Gambar 5). Tabel 6 menyajikan konsentrasi rata-rata Fe dalam jaringan tanaman setelah percobaan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Fe tertinggi terdapat dalam akar daripada dalam daun baik pada kayu apu maupun eceng gondok. Konsentrasi Fe dalam kiambang lebih besar pada daun daripada dalam akar dikarenakan daunnya berupa karangan dan memiliki akar yang kecil sehingga logam langsung di translokasikan pada daun. Rasio nilai konsentrasi Fe dalam daun/akar pada tanaman eceng gondok yaitu sebesar 20 kali lebih besar daripada tanaman kayu apu yang nilainya 1. Hal ini dapat diartikan bahwa eceng gondok lebih banyak mengakumulasi Fe dalam jaringan akarnya, sedangkan kayu apu lebih mampu untuk mentranslokasikan Fe dari akar kebagian atas akar. Tabel 6 Konsentrasi Fe dalam jaringan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) diakhir masa percobaan. Konsentrasi Fe (mg/Kg) Rasio konsentrasi Jenis tanaman akar/daun Akar Daun Kayu apu 124.32 95.20 1.31 Kiambang 128.34 162.44 0.79 Eceng gondok 278.74 13.86 20.11 Penyerapan Fe terbesar diserap oleh tanaman enceng gondok dengan prosentase penyerapan sebesar 35.5% (Lampiran 5). Prosentase penyerapan tanaman kayu apu dan kiambang masing masing sebesar 20.97% (Lampiran 3) dan 26.99% (Lampiran 4). Prosentase penyerapan Fe oleh enceng gondok lebih besar daripada penyerapan tanaman kayu apu dan kiambang. Hal ini sesuai dengan penelitian Suryati dan Priyanto (2003) yang menyatakan bahwa penyerapan Cd oleh enceng gondok lebih besar daripada kayu apu dan kiambang. Enceng gondok efektif menyerap Cd dalam waktu 6 hari dengan rasio konsentrasi Cd pada akar/daun enceng gondok 36 kali lebih tinggi daripada kayu apu. Logam Fe lebih banyak diserap pada bagian akar dibandingkan bagian lainnya, seperti ditunjukkan oleh nilai translocation factor (TF) < 1 pada tanaman kayu apu dan enceng gondok, sedangkan kiambang memiliki TF > 1. Mekanisme yang dilakukan oleh tanaman untuk penghilangan Fe adalah dengan teknik rhizofiltrasi yang ditunjukkan dengan nilai TF<1. Kadar Fe lebih rendah pada bagian pucuk dibanding akar mengindikasikan bahwa pergerakan Fe ke bagian pucuk lebih rendah. Kadar logam tertinggi setelah Fe adalah Mn. Kadar Mn didalam jaringan tanaman disajikan pada Tabel 7.
27 Tabel 7 Kadar Mn pada akar dan daun tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) Konsentrasi Mn (mg/Kg) Hari keKayu apu Kiambang Eceng Gondok Akar Daun Akar Daun Akar Daun 0 HSP 0.15 ttd 0.06 ttd 0.23 0.00 3 HSP 1.51 0.47 0.62 0.55 1.06 0.90 6 HSP 2.08 0.58 1.95 0.73 2.22 1.09 15 HSP 2.84 0.97 2.31 0.98 3.36 2.00 21 HSP 3.65 1.40 2.82 1.23 7.98 2.74 29 HSP 4.25 1.03 2.85 1.33 6.92 3.58 Keterangan : ttd = tidak terdeteksi. Batas minimum kadar Fe pada tanaman yang dapat terdeteksi oleh alat spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah 0.001. Hasil analisa Mn dalam jaringan tanaman semakin meningkat baik pada akar maupun daun seiring berjalannya waktu (Tabel 7). Serapan tertinggi ditunjukkan oleh akar enceng gondok yaitu mencapai 6.92 mg/Kg pada 29 HSP. Sedangkan untuk kayu apu dan kiambang serapan Mn dalam akar berturut turut sebsesar 4.25 dan 2.85 mg/Kg. Kadar Mn cenderung lebih rendah pada Daun daripada pada akar. Penyerapan Mn terbesar diserap oleh tanaman enceng gondok dengan prosentase penyerapan sebesar 61.59% (Lampiran 5). Prosentase penyerapan tanaman kayu apu dan kiambang masing masing sebesar 45.10% (Lampiran 3) dan 29.64% (Lampiran 4). Konsentrasi Mn dalam jaringan tanaman ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 menyajikan konsentrasi rata-rata Mn dalam jaringan tanaman setelah percobaan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi Mn tertinggi pada tanaman kayu apu dan kiambang terdapat dalam daun daripada dalam akar. Konsentrasi Mn pada enceng gondok lebih besar pada akar daripada dalam daun. Rasio nilai konsentrasi Mn dalam daun/akar pada tanaman eceng gondok yaitu sebesar 9 kali lebih besar daripada tanaman kayu apu dan 10 kali lebih besar daripada tanaman kiambang. Hal ini dapat diartikan bahwa enceng gondok lebih banyak mengakumulasi Mn dalam jaringan akarnya, sedangkan kayu apu dan kiambang lebih mampu untuk mentranslokasikan Mn dari akar kebagian atas akar. Mekanisme yang dilakukan oleh tanaman eceng gondok untuk penghilangan Mn adalah dengan teknik rhizofiltrasi yang ditunjukkan dengan nilai TF<1. Logam Mn lebih banyak diserap pada bagian akar dibandingkan bagian lainnya, seperti ditunjukkan oleh nilai faktor translokasi (TF)<1. Detoksifikasi Mn oleh tanaman dapat terjadi melalui stimulasi ATP, Mn-Chelat di vacuola dan pembentukan P-Mn komplek yang memiliki kelarutan rendah (Tuheteru 2015). Tabel 8 Konsentrasi Mn dalam jaringan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia cucullata) dan enceng gondok (Eichornia crassipes) diakhir masa percobaan. Konsentrasi Mn (mg/Kg) Rasio konsentrasi Jenis tanaman akar/daun Akar Daun Kayu apu 467.04 515.20 0.91 Kiambang 264.12 371.36 0.71 Eceng gondok 1004.64 118.30 8.49
28 Penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman kayu apu, kiambang dan enceng gondok dapat menyerap dan mengakumulasi logam Fe dan Mn. Variasi akumulasi logam pada jaringan tanaman lahan basah juga dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Khan et al. 2009; Nyquist dan Greger 2009). Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian akar memiliki kadar logam lebih besar dibandingkan bagian pucuk pada tanaman enceng gondok. TF<1 pada tanaman mengindikasikan bahwa tanaman enceng gondok tidak dapat mengakumulasi logam di bagian pucuk, translokasi dibatasi hanya di bagian akar. Faktor traslokasi (TF) secara umum menunjukkan pergerakan logam dari tanah (sedimen) dan air ke akar dan pucuk. TF memberikan petunjuk apakah jenis yang digunakan termasuk akumulator ekskluder dan indikator (Bose et al. 2008). Tanaman kayu apu dan kiambang menunjukkan TF>1 pada logam Mn yang dapat diartikan kedua tanaman tersebut tidak hanya mengakumulasi logam Mn di akar tapi juga mampu mentranslokasi logam Mn pada daun. Rizofiltrasi merupakan cara penghilangan kontaminan di air oleh akar tanaman melalui adsorpsi atau absorpsi diikuti penyimpanan logam di dalam akar. Logam yang umum diserap melalui proses rhizofiltrasi diantaranya Pb, Cd, Cu, Fe, Ni, Mn, Zn dan Cr (Dhir 2013). Akumulasi dan distribusi logam di bagian akar sangat dikaitkan dengan mekanisme kompartemenisasi, sehingga mencegah trasport logam ke bagian pucuk (Lambers et al. 2008). Pertumbuhan akar yang baik dapat memberikan keuntungan kepada kegiatan fitoremediasi karena akar lebih banyak menyerap logam (Liphadzi et al. 2006).
Pengaruh Tanaman Air terhadap Kadar Total Suspended Solid (TSS) Pada pengambilan sampel AAT diawal percobaan (Tabel 3) parameter TSS telah memenuhi baku mutu menurut Kepmen LH Nomor 113 Tahun 2003 dan SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai, akan tetapi TSS yang diperlihatkan disini adalah TSS yang terbentuk karena faktor penuangan AAT kedalam wadah percobaan. Hal ini juga dapat terjadi pada kolam lahan basah di lapangan. AAT dari hasil pertambangan kadangkala sudah bening, tetapi menjadi keruh (TSS meningkat) karena banyak faktor, salah satunya pengaliran AAT dari stockpile ke lahan basah, proses pengadukan dll. Menurut Fachrurrozi (2010) TSS merupakan bahan-bahan tersuspensi dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen. Yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri, jamur, detritus dan partikel-partikel anorganik. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Konsentrasi TSS dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi dan dengan aktifitas mikroorganisme dan tanaman (Wood 1993). Logam oksida banyak terdapat dalam air asam tambang berupa kation-kation logam yang tersuspensi atau melayang layang di air asam
29 400
400
A
B
350
Kadar TSS (mg/L)
Kadar TSS (mg/L)
350 300 250 200 150 100
300 250 200 150 100
50
50
0
0 0
3
7 11 14 17 21 29 29
0
Waktu (Hari Ke-)
3
7
11 14 17 21 24 29
Waktu (Hari Ke-)
400
Kadar TSS (mg/L)
350 300 250
C
200 150 100 50 0 0
3
7
11 14 17 21 24 29
Waktu (Hari Ke-) Blanko
Kayu apu
Kiambang
Eceng gondok
Gambar 7 Profil kadar TSS pada A) bagian permukaan lahan basah (B) bagian tengah (20-25 cm dari permukaan) dan (C) bagian bawah (35-40 cm dari permukaan) selama 29 hari masa percobaan Penurunan kadar TSS dengan perlakuan tanaman air dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7A menunjukkan penurunan kadar TSS pada bagian permukaan lahan basah. Penurunan kadar TSS tertinggi pada bagian permukaan lahan basah diperlihatkan oleh kolam lahan basah yang berisi tanaman kiambang yaitu sebesar 92%. Sedangkan penurunan kadar TSS tertinggi pada bagian tengah dan bagian bawah lahan basah berturut turut diperlihatkan oleh kolam lahan basah yang berisi tanaman kiambang yaitu 97% (Gambar 7B) dan yang berisi tanaman eceng gondok yaitu 94% (Gambar 7C). Menurut Supradata (2005), perbedaan laju penurunan TSS pada tiap-tiap wetland bisa saja terjadi akibat perbedaan porositas media yang dibentuk oleh sistem perakaran tanaman dalam kolam lahan basah. Penurunan kandungan TSS di dalam AAT menunjukkan penurunan kandungan TSS yang lebih besar dengan adanya tanaman air dibandingkan kolam lahan basah
30 yang tidak berisi tanaman. Tanaman air berfungsi sebagai penyerap kandungan TSS pada limbah AAT. Kandungan TSS pada AAT tersebut sangat memenuhi baku mutu limbah cair dari kegiatan penambangan yang disyaratkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005. Nilai TSS yang memenuhi baku mutu lingkungan yang disyaratkan ini menunjukkan bahwa air limbah aman untuk dibuang ke Sungai Enim. Penurunan kadar TSS dalam kolam ada kaitannya dengan adanya akar tanaman. Gambar 8 memperlihatkan profil panjang akar tanaman uji selama 29 hari masa percobaan. Semakin panjang akar tanaman maka kadar TSS semakin menurun. Panjang akar tanaman berbanding lurus dengan lama percobaan dan menurunnya kadar TSS dalam kolam. Penurunan TSS ini dikarenakan tanaman mempunyai rambut akar yag bermuatan positif sehingga menarik partikel koloid yang bermuatan berlawanan seperti padatan tersuspensi sehingga partikel tersebut menempel pada akar dan secara perlahan lahan diserap dan diasimilasi oleh tanaman dan mikroorganisme (Wolverton 1989; Brix 1993 dan Johnston 1993 dalam Singh et al. 2012). Brix (1993) mengamati bahwa enceng gondok telah berhasil digunakan dalam sistem pengolahan air limbah untuk meningkatkan kualitas air dengan mengurangi tingkat nutrisi organik dan anorganik. Dengan demikian, enceng gondok mungkin akan memiliki toleransi yang tinggi dan mampu menghapus sejumlah besar logam (Sutcliffe 1962).
Panjang Akar (cm)
25 20 15 10 5 0 0
3
7
11
14
17
21
24
29
Waktu (Hari Ke-) kayu apu
kiambang
eceng gondok
Gambar 8 Profil panjang akar tanaman uji Akar merupakan organ tanaman yang berfungsi sebagai alat penyerapan air dan hara mineral dari medium habitatnya. Unsur Fe dikolam lahan basah merupakan mikronutrien bagi tanaman. Adannya hara Fe dan Mn dalam AAT dapat ditolerir tanaman sehingga tanaman tetap tumbuh dan beradaptasi dengan medium tersebut. Pada minggu 1 atau 7 HSP terjadi penurunan panjang akar tanaman kayu apu dan kiambang, hal ini dikarenakan kedua tanaman tersebut melakukan adaptasi dengan lingkungan AAT. Fenomena ini menarik karena dalam proses adaptasinya akar yang telah berkembang mengalami lepasnya akar dari batang sehingga menambah bahan organik dan meningkatkan kembali kadar TSS dalam kolam. Akar-akar tanaman merupakan media untuk proses penyerapan
31 dan penyaringan, sehingga dengan adanya tanaman dapat menurunkan kadar TSS dalam kolam lahan basah. Akar yang masih muda memiliki potensi menyerap ionion dalam jumlah besar (Dwidjoseputro, 1992).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan tanaman air dapat memberikan pengaruh terhadap nilai pH, kadar Fe, kadar Mn, dan TSS air asam tambang. Semua perlakuan efektif meningkatkan pH menjadi sesuai baku mutu dalam waktu 3 hari. Perlakuan dengan pemberian tanaman eceng gondok pada kolam lahan basah memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar Feterlarut dan Mn-terlarut dalam kolam lahan basah dengan persentase efektifitas penurunan 90-99%. Konsentrasi Fe dan Mn tertinggi dalam tanaman ditemukan pada perlakuan dengan tanaman eceng gondok dengan prosentase penyerapan berturut turut 35.5% untuk penyerapan Fe dan 61.59% untuk penyerapan Mn. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian akar memiliki kadar logam lebih besar dibandingkan bagian pucuk pada tanaman eceng gondok yang mengindikasikan bahwa tanaman eceng gondok tidak dapat mengakumulasi logam di bagian pucuk, translokasi dibatasi hanya di bagian akar. Tanaman kayu apu dan kiambang menunjukkan TF>1 pada logam Mn yang dapat diartikan kedua tanaman tersebut tidak hanya mengakumulasi logam Mn di akar tapi juga mampu mentranslokasi logam Mn pada daun. Penyebaran dan komposisi logam Fe dalam kolam menunjukkan bahwa logam Fe banyak terakumulasi pada bagian dasar kolam atau dengan kata lain Logam Fe selain diserap oleh tanaman juga diendapkan. Penyebaran dan komposisi logam Mn dalam kolam menunjukkan bahwa logam Mn baik pada bagian permukaan kolam, tengah kolam dan dasar kolam tidak jauh berbeda. Logam Mn tidak mudah diendapkan. Karakteristik hasil pengolahan air asam tambang secara passive treatment melalui lahan basah dengan menggunakan kayu apu, kiambang dan eceng gondok pada akhir penelitian telah memenuhi baku mutu lingkungan yang dipersyaratkan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 dan SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai.
Saran Hasil penelitian skala pilot ini sebelum diaplikasikan pada skala lapang perlu beberapa penelitian lanjutan terkait perpanjangan waktu percobaan dan pada tipe lahan basah mengalir. Hasil penelitian skala pilot ini menunjukkan kolam lahan basah yang ditanami dengan kayu apu, kiambang dan eceng gondok sudah mengalami peningkatan pH dan penurunan logam berat dalam waktu 3 hari sehingga disarankan waktu tinggal AAT dalam rangkaian lahan basah selama 3 hari. Agar lahan basah efisien maka urutan penempatan tanaman pada
32 kompartemen lahan basah perlu diuji lebih lanjut dan dikombinasikan dengan tanaman non-floating.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association Official Agricultural Chemist. 2000. Official method of analysis of AOAC International. 17th edition. Volume 1. Di dalam: Horwits W, Editor. Agricultural Chemical, Contaminat, Drug. Maryland(USA): AOAC International. Hlm 95,99-104. Axtell N, Sternberg S, Claussen K. 2003. Lead and nickel removal using Microspora and Lemna minor. Bioresour Technol. 89(1): 41–48. [BP] British Petroleum. 2014. BP statistical review of world energy June 2014. [Diunduh 2014 Desember 09]. Tersedia pada: http://www.bp.com/statisticalreview. Bose S, Vedamati J, Rai V, Ramanthan AL. 2008. Metal uptake and transport by Typha angustata L. grown on metal contaminated waste amended soil : An impilication of phytoremediation. Geoderma 145:136-142. Chaney RL, Brown SL, Li YM, Angle JS, Homer F, Green C. 1995. Potential Use of Metal Hyperaccumulators. Mining Environ Manage. 3(3): 9-11. Chang IS, Shin PK, Kim BH. 2000. Biological treatment of acid mine drainage under sulphate-reducing conditions with solid waste materials as substrate. Wat Res. 34:1269–1277. Cholik FA, Wiyono, Arifuddin R. 1991. Pengolahan kualitas air kolam ikan. Imfismanualseni. 16:1-9 Cohen RRH. 2005. Use microbes for cost reduction of metal removal from metals and mining industry waste streams. J. Cleaner Prod. 5:1-2. Deng H, Ye ZH, Wong MH. 2004. Accumulation of lead, zinc, copper and cadmium by 12 wetland plants species thriving in metal contaminated sites in China. Environ Pollut. 132(1): 29–40. Dhir B. 2013. Phytoremediation: Role of Aquatic Plants in Environmental CleanUp. New Delhi (IN) : Springer. Downing BW. 2002. Acid rock generation/drainage in mineral deposit throughout time. [Diunduh 2015 Agustus 08]. Tersedia pada: http://www.technology.infomine.com/enviromine/ard/Case%20Studies/kem ess.html. Durkin TV, Herrmann JG. 1994. Focusing on the problem of mining wastes: An introduction to acid mine drainage. EPA Seminar Publication no. EPA/625/R-95/007. Dwidjoseputro. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia: Jakarta. Evasari J. 2013. Evaluasi Kinerja Pengolahan Limbah Cair Pertambangan Batu Bara dengan Constructed Wetland, Studi Kasus di PT Bukit Asam (Persero) Tbk. [Tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Fachrurrozi M, Utami LB, Suryani D. 2010. Pengaruh variasi biomassa Pistia stratiotes L. Terhadap penurunan kadar BOD, COD dan TSS limbah cair tahu di Dusun Klero Sleman Yogyakarta. 4(10). ISSN: 1978-0575.
33 Gautama RS. 2012. Pengelolaan Air Asam Tambang. Bimbingan Teknis Reklamasi dan Pascatambang Pada Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Yogyakarta, 20 Juni 2012. Yogyakarta (ID): Ditjen Mineral dan Batubara. Gautama RS. 2014. Pembentukan AAT. Kursus dan Seminar air asam tambang Ke-5. Bandung(ID) : Institut Tekhnologi Bandung. Gerloff GC. 1975. Nutritional ecology of nuisance aquatic plants. Natl Environ Res Center. 78. Gibert O J, de Pablo JL, Cortina, Ayora, C. 2005. Municipal compostbased mixture for acid mine drainage bioremediation: Metal retention mechanisms. Appl Geochem. 20:1648–1657. Greenberg AE, Clesceri LS, Eaton AD, Franson MAH. 1992. Ion and sulfur bacteria. Di dalam: Standard Methods for Examination of Water and Wastewater 18th. Washington DC(USA): American Public Health Assoc. Gunawan F. Gautama RS. Abfertiawan MS. Kusuma GJ. Lepong Y. Saridi. 2014. Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengeolaan Air Asam Tambang di Lati Mine Operation. Seminar Air Asam Tambang Ke-5 dan Pasca Tambang di Indonesia. Bandung (ID): Institut Tekhnologi Bandung. Hassan SH, Talat M, Rai S. 2007. Sorption of cadmium and zinc from aqueous solutions by water hyacinth (Eichhornia crassipes). Bioresour Technol. 98: 918–928. Henny C, Ajie GS, Susanti E. 2010. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Sistem “Passive Treatment”. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V 2010. Bogor (ID):Pusat Penelitian Limmologi – LIPI. Hermawati E, Wiryanto, Solichatun. 2005. Fitoremediasi limbah detergen menggunakan kayu apu (Pistia straitiotes L.) dan genjer (Limnocharis flava L.). Bio Smart. 7(2):115-124. Herniwanti, Priatmadi JB, Yanuwiadi B, Soemarno. 2013. Water Plants Characteristic for Phytoremediation of Acid Mine Drainage Passive Treatment. Inter J Basic Applied Sci. 13(06) : 14-20. Hossner, L.R. and J.J. Doolittle. 2003. Iron sulfide oxidation as influenced by calcium carbonate application. J. Envi. Qual. 32:773-780. Johnson DB, Hallberg KB. 2002. Pitfalls of passive mine water treatment. Environ Sci BioTechnol 1:335–43. Jhonson DB, Hallberg KB. 2005. Acid Mine Drainage Remediation Option : Paper Review. Sci of The Total Environ J. 338: 3-14. Joedodibroto, R. 1983. Prospek pemanfaatan eceng gondok dalam industri pulp dan kertas. Berita Selulosa. 29 (1): 3-7. [Kepmen LH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun Pertambangan Batubara. Khan S, Ahmad I, Shah MT, Rehman S, Khaliq A. 2009. Use of constructed wetland for the removal of heavy metals from industrial wastewater. J Environ Manage. 90:3451–3457. Kivaisi AK. 2001. The potential for constructed wetlands for wastewater treatment and reuse in developing countries: a review. Ecol Eng. 16:545560. Lambers H, Chapin III FS, Pons TL. 2008. Plant physiology ecology. Second edition. New York (US) : Springer.
34 Leduc LG, Ferroni GD. 1994. The chemolithotrophic bacterium Thiobacillus ferrooxidans. FEMS Microb. Rev. 14: 103-120. Liphadzi MS, Kirkham MB, Paulsen GM. 2006. Auxin-enhanced root growth for phytoremediation of sewage-sludge amended soil. Environ Technol. 27:695–704. Lizama HM, Suzuki I. 1989. Rate equations and kinetic parameters of the reaction involved in pyrite oxidation by Thiobacillus ferrooxidans. Appl. and Envi. Microbiol. 55:2918-2923. Lottermoser BG. 2010. Mine Wastes, Characterization, Treatment and Environmrntal Impacts. 3rd edition. London (GB) : Springer. Maine MA, Duarte M, Sune N. 2001. Cadmium uptake by floating macrophytes. Water Resour. 35(11): 2629–2634. Miretzky P, Saralegui A, Fernandez Cirelli A. 2004. Aquatic macrophytes potential for the simultaneous removal of heavy metals (Buenos Aires, Argentina). Chemosphere. 57(8): 997–1005. Munawar A. 2007. Pemanfaatan Sumber Daya Biologis Lokal untuk Pengendalian Pasif Air Asam Tambang. J. Ilmu Tanah Lingk. 7:31-42. Naveke, R. 1986. Bacterial leaching of ores and other materials. Institut für Mikrobiologie, Technische Universität, Braunschweig, Germany Nieto JM, Agusanta M, Sarminto. 2013. Acid mine drainagein the Iberian Pyrite Belt : 1. Hydrochemical characteristics and pollutant load of the Tinto and Odiel river. Environ Sci Pollut Res. 20:7509-7519. Nyquist J, Greger M. 2009. A field study of constructed wetlands for preventing and treating acid mine drainage. Ecol Eng. 35:630-642. Rosi A. 2010. Bioremediasi air asam tambang batubara dengan bakteri pereduksi sulfat di PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. [Tesis]. Palembang (ID): Universitas Sriwijaya. Saeni MS. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Salt DE, Blaylock M, Kumar NPB, Dushenhov V, Ensley BD, Chet I, Raskin I. 1995. Phytoremediation: A. Novel Strategy for the Removal of Toxic Metals from The Environment Using Plants. Biotechnol. 13 : 468-474. Sastrapradja S, Bimantoro R. 1981. Tumbuhan air. Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Schrenk MO, Edwards KJ, Goodman RM, Hamers RJ, Banfield JF. 1998. Disrtibution of Thiobacillus ferrooxidans and Leptospirillum ferrooxidans: Implications for generation of acid mine drainage. Sci. 279. Schipper A. 2004. Biogeochemistry of metal sulfide oxidation in mining environments, sediment and soils. Di dalam: Amend JP, Edwards KJ, Lyons TW, editor. Sulfur Biogeochemistry – Past and Present. Amerika (USA): Geological Soc. of America. 379:49-62. [SK] Surat Keputusan Gubenur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2005 tentang Baku Mutu Air Sungai. Singh D, Tiwari A, Gupta, R. 2012. Phytoremediation of lead from wastewater using aquatic plants. J. of Agri.Tech. 8(1): 1-11. Squires VR. 2001. Soil Pollution and Remediation: Issues, Progress and Prospects. Prosiding Workshop Vegetation Recovery in Degraded Lands Area. Western Australia: Kaloorlie. hlm 11-20.
35 Sundaru. 1979. Lembaga Biologi Nasional. Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Supradata. 2005. Pengolahan Limbah Domestik Menggunakan Tanaman Hias Cyperus alternifolius Dalam sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan. [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Suryati T, Priyanto B. 2003. Eliminasi logam berat cadmium dalam air limbah menggunakan tanaman air. J Tek Ling. 4(3):143-147. Sutcliffe JF. 1962. Mineral salts absorption in plants. London (UK): Pergamon Press. Suyasa IWB. 2002. Peningkatan pH dan Pengendapan logam berat terlarut air asam tambang (AAT) dengan bakteri pereduksi sulfat dari ekosistem air hitam Kalimantan. [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Tjitrosoepomo G. 1996. Taksonomi Tumbuhan Cet.Kelima.. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Tuheteru FD. 2015. Potensi Lonkida (Nauclea orientalis L.) untuk fitoremediasi lahan basah air asam tambang. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Veselý T, Tlustoš P, Száková J. 2011. The Use of Water Lettuce (Pistia Stratiotes L.) for Rhizofiltration of a Highly Polluted Solution by Cadmium and Lead. Inter. J. of Phytoremediation. 13(9) :859-872. Wang F, Lin X, Yin R. 2005. Heavy metal uptake by arbuscular mycorrhizas of Elsholtzia splendens and the potential for phytoremediation of contaminated soil. Plant and Soil. 269:225-232. Widyati E. 2006. Bioremediasi tanah bekas tambang batubara untuk memacu revegetasi lahan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widyawati, E. 2011. Formulasi inokulum bakteri pereduksi sulfat yang diisolasi dari sludge industri kertas untuk mengatasi air asam tambang. 4(3):119-125. Wise DL, Trantolo DJ, Cichon EJ, Inyang HI, Stottmeister U. 2000. Bioremediation of Contaminated Soils. New York(USA): Marcel Dekker Inc. Wood. A. 1993. Constructed Wetland for Wastewater Treatment Engineering and Design Consideration. South Africa. Wouls C, Ngwenya TB. 2004. Geochemical process governing the performance of a contsructed wetland treating acid mine drainage, Central Scotland. Appl. Geochem.19:1773-1783. Younger PL, Jayaweera A, Elliot A, Wood R, Amos P, Daugherty AJ. 2003. Passive treatment of acidic mine waters in subsurfaceflow systems: exploring RAPS and permeable reactive barriers. Land Contam Reclam. 11:127– 35. Yusron M. 2009. Pengolahan air asam tambang menggunakan biofilm bakteri pereduksi sulfat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yusuf G. 2001. Proses bioremediasi limbah rumah tangga dalam skala kecil dengan kemampuan tanaman air pada sistem simulasi. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zhu YL, Zayed AM, Qian JH, De Souza M, Terry N. 1999. Phytoaccumulation of trace elements by wetland plants: II. Water hyacinth. J Environ Qual. 28(1):339-344.
36 Lampiran 1 Proses pembuatan kolam percobaan dan pengambilan sampel air
A
B
C
D
F Keterangan : A = Pembuatan kolam percobaan, B = Pengukuran panjang akar tanaman sebelum dimasukkan ke kolam percobaan , C = Tanaman dimasukkan pada kolam percobaan, D = Kolam percobaan setelah diisi tanaman dan F = Sampel AAT sebelum diuji di laboratorium.
37 Lampiran 2 Jumlah tanaman kayu apu, kiambang dan eceng gondok selama masa percobaan. Jumlah tanaman Hari keKayu Apu Kiambang (cm) Eceng gondok U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 0 HSP 60 60 60 40 40 40 15 15 15 3 HSP 72 69 65 44 42 41 17 20 20 6 HSP 100 96 50 52 49 46 22 19 19 15 HSP 140 115 40 72 54 58 19 21 20 21 HSP 150 125 35 79 58 51 19 19 14 29 HSP 170 145 20 80 60 45 18 13 11 Keterangan : U = Ulangan. Untuk tanaman kiambang karena daun berupa karangan, tidak dapat dihitung banyaknya individu tumbuhan sehingga dihitung luas penyebaran (cm) di air. Lampiran 3 Perhitungan konsentrasi logam Fe, Mn dan total biomassa tanaman kayu apu. Perhitungan neraca massa logam selama percobaan dihitung dengan rumus : L0 = konsentrasi logam awal diair (ppm) x volume air (L) Lt = konsentrasi logam pada tanaman di akhir masa percobaan x jumlah tanaman rata-rata Lair = konsentrasi logam yang hilang selama 29 hari percobaan R = Lt/L0 x 100% Total Biomassa = Berat kering tanaman di akhir percobaan x jumlah rata-rata tanaman. Keterangan: L0 = konsentrasi total logam Lt = konsentrasi total logam ditanaman Lair = konsentrasi logam diair x volume air (setelah ada pengurangan volume) R = reduksi logam Konsentrasi Fe pada tanaman kayu apu Konsentrasi Fe di tanaman kayu apu (mg/Kg) Akar Daun 0.00 0.00 8.41 0.35 2.57 0.28 2.22 0.21 1.95 0,18 1.13 0.19 Jumlah
Berat Kering (Kg) Akar 0.44 1.26 0.88 0.93 0.52 0.98
Daun 1.73 4.61 3.14 3.54 2.31 4.47
Konsentrasi Total (mg/Kg) Akar Daun 0 0 10.61 1.62 2.27 0.88 2.07 0.74 1.01 0.42 1.11 0.85 17.07 4.51
38 Konsentrasi Fe dalam air pada kolam tanaman kayu apu Volume air (ml) 256000 255000 254000 253000 252000 251000 250000 249000 248000
Konsentrasi Total (mg/L) 1149.57 622.49 27.92 116.02 204.72 26.25 66.12 52.51 38.26
Konsentrasi Mn di Tanaman Berat Kering (Kg) kayu apu (mg/Kg) Akar Daun Akar Daun 0.15 0.00 0.44 1.73 1.51 0.47 1.26 4.61 2.08 0.58 0.88 3.14 2.84 0.97 0.93 3.54 3.65 1.40 0.52 2.31 4.25 1.03 0.98 4.47 Jumlah
Konsentrasi Total (mg/Kg) Akar Daun 0.07 0 1.90 2.17 1.83 1.82 2.64 3.43 1.90 3.23 4.17 4.60 12,51 15,25
Hari ke0 HSP 3 HSP 7 HSP 11 HSP 14 HSP 17 HSP 21 HSP 24 HSP 29 HSP
Konsentrasi Fe di kolam kayu apu (mg/L) 4.49 2.44 0.11 0.46 0.81 0.10 0.26 0.21 0.15
Konsentrasi Mn pada tanaman kayu apu
Konsentrasi Mn dalam air pada kolam tanaman kayu apu Hari ke0 HSP 3 HSP 7 HSP 14 HSP 17 HSP 24 HSP 29 HSP
Konsentrasi Mn diair pada kolam kayu apu (mg/L) 8.75 3.55 2.65 3.05 2.29 2.53 2.47
Volume air (ml) 256000 255000 254000 252000 251000 249000 248000
Konsentrasi Total (mg/L) 2239.46 904.43 672.07 767.34 573.75 631.09 612.43
Konsentrasi total logam ditanaman kayu apu adalah : Lt(Fe) = (1.11 + 0.85) x 112 = 219.52 mg/Kg Jadi Fe total yang diserap oleh tanaman selama 29 hari percobaan adalah : = Jumlah total konsentrasi Fe ditanaman selama percobaan + Lt (Fe) = (17.07 + 4.51) + 219.52 = 21.58 + 219.52 = 241.10 mg/Kg R (Fe) = (241.10 /1149.57) x 100% = 20.97% Lair (Fe) = 1111.31 mg/L Lt(Mn) = (4.17 + 4.60) x 112 = 982.24 mg/Kg Jadi Mn total yang diserap oleh tanaman selama 29 hari percobaan adalah :
39 = Jumlah total konsentrasi Mn ditanaman selama percobaan + Lt (Mn) = (12.51 + 15.25) + 982.24 = 27.76 + 982.24 = 1010 mg/Kg R (Mn) = (1010/2239.46) x 100% = 45.10% Lair(Mn) = 1627.03 mg/L Total biomassa kayu apu = (0.98 + 4.47) x 112 = 610,51
40 Lampiran 4 Perhitungan konsentrasi logam Fe, Mn dan total biomassa tanaman kiambang. Konsentrasi Fe pada tanaman kiambang Konsentrasi Fe di Tanaman Kiambang Akar Daun 0.00 0.00 1.15 0.83 1.52 0.79 1.62 0.65 1.13 0.76 1.38 0.58
Berat Kering Akar 0.73 1.20 1.01 1.28 0.93 1.50
Daun 2.07 3.91 2.17 2.82 2.63 4.51
Jumlah
Konsentrasi Total Akar 0 1.38 1.54 2.07 1.05 2.07 8.11
Daun 0 3.24 1.71 1.83 1.99 2.62 11.39
Konsentrasi Fe dalam air pada kolam tanaman kiambang Hari ke0 HSP 3 HSP 7 HSP 11 HSP 14 HSP 17 HSP 21 HSP 24 HSP 29 HSP
Konsentrasi Fe di kolam kiambang (mg/L) 4.49 3.07 0.33 0.64 1.87 0.34 0.27 0.30 0.29
Volume air (ml) 256000 255000 254000 253000 252000 251000 250000 249000 248000
Konsentrasi Total (mg/L) 1149.57 782.32 83.32 162.07 471.54 84.18 66.42 74.98 72.85
Konsentrasi Mn pada tanaman kiambang Konsentrasi Mn di Tanaman Kiambang Akar Daun 0.06 0.00 0.62 0.55 1.95 0.73 2.31 0.98 2.82 1.23 2.85 1.33
Berat Kering Akar 0.73 1.20 1.01 1.28 0.93 1.50 Jumlah
Daun 2.07 3.91 2.17 2.82 2.63 4.51
Konsentrasi Total Akar 0.04 0.74 1.97 2.96 2.62 4.26 12.59
Daun 0 2.15 1.58 2.76 3.23 5.99 15.71
41 Konsentrasi Mn dalam air pada kolam tanaman kiambang Hari ke0 HSP 3 HSP 7 HSP 14 HSP 17 HSP 24 HSP 29 HSP
Konsentrasi Mn diair pada kolam kiambang (mg/L) 8.75 4.36 3.70 3.75 3.23 2.92 2.41
Volume air (ml) 256000 255000 254000 252000 251000 249000 248000
Konsentrasi Total (mg/L) 2239.46 1111.61 938.82 945.33 811.04 726.83 597.75
Konsentrasi total logam ditanaman kiambang adalah : Lt(Fe) = (2.07 + 2.62) x 62 = 290.78 ppm Jadi Fe total yang diserap oleh tanaman selama 29 hari percobaan adalah : = Jumlah total konsentrasi Fe ditanaman selama percobaan + Lt (Fe) = (8.11 + 11.39) + 292.6 = 19.5 + 290.78 = 310.28 mg/Kg R (Fe) = (310.28/1149.57) x 100% = 26.99% = 1076.72 mg/L Lair (Fe) Lt(Mn) = (4.26 + 5.99) x 62 = 635.5 mg/Kg Jadi Mn total yang diserap oleh tanaman selama 29 hari percobaan adalah : = Jumlah total konsentrasi Mn ditanaman selama percobaan + Lt (Mn) = (12.59 + 15.71) + 635.5 = 28.3 + 635.5 = 663.8 mg/Kg R (Mn) = (663.8 /2239.46) x 100% = 29.64% Lair(Mn) = 1641.71 mg/L Total biomassa kiambang = (1.50 + 4.51) x 62 cm = 370,86
42 Lampiran 5 Perhitungan konsentrasi logam Fe, Mn dan total biomassa tanaman eceng gondok. Konsentrasi Fe pada tanaman eceng gondok Konsentrasi Fe di tanaman eceng gondok (mg/Kg) Akar Daun 0.00 0.03 2,53 0.41 2,34 0.31 2,49 0.44 2,21 0.52 1,92 0.42 Jumlah
Berat Kering (Kg) Akar 7.62 12.57 4.92 6.67 12.89 10.37
Daun 2.07 3.35 4.46 3.92 3.33 2.36
Konsentrasi Total (mg/Kg) Akar Daun 0 0 31.81 1.37 11.50 1.38 16.61 1.73 28.48 1.73 19.91 0.99 108.31 7.2
Konsentrasi Fe dalam kolam tanaman eceng gondok Hari ke0 HSP 3 HSP 7 HSP 11 HSP 14 HSP 17 HSP 21 HSP 24 HSP 29 HSP
Konsentrasi Fe di kolam eceng gondok (mg/L) 4.49 3.36 0.57 0.36 0.70 0.13 0.22 0.18 0.02
Volume air (ml) 256000 255000 254000 253000 252000 251000 250000 249000 248000
Konsentrasi Total (mg/L) 1149.57 857.62 145.10 91.13 175.43 33.68 54.54 43.77 5.31
Konsentrasi Mn pada tanaman Eceng gondok Konsentrasi Fe di Tanaman Eceng gondok (mg/Kg) Akar Daun 0.23 0.00 1.06 0.90 2.22 1.09 3.36 2.00 7.98 2.74 6.92 3.58 Jumlah
Berat Kering (Kg) Akar 7.62 12.57 4.92 6.67 12.89 10.37
Daun 2.07 3.35 4.46 3.92 3.33 2.36
Konsentrasi Total (mg/Kg) Akar Daun 1.75 0 13.32 3.01 10.92 4.86 22.41 7.84 102.86 9.12 71.76 8.45 223.02 33.25
43 Konsentrasi Mn dalam air pada kolam tanaman eceng gondok Hari ke0 HSP 3 HSP 7 HSP 14 HSP 17 HSP 24 HSP 29 HSP
Konsentrasi Fe diair pada kolam eceng gondok (mg/L) 8.75 3.87 2.88 2.77 1.94 1.53 0.69
Volume air (ml) 256000 255000 254000 252000 251000 249000 248000
Konsentrasi Total (mg/L) 2239.46 985.85 731.34 697.73 487.48 381.35 171.19
Konsentrasi total logam ditanaman eceng gondok adalah : Lt(Fe) = (108.31 + 0.99) x 14 = 292.6 mg/Kg Jadi Fe total yang diserap oleh tanaman selama 29 hari percobaan adalah : = Jumlah total konsentrasi Fe ditanaman selama percobaan + Lt (Fe) = (108.31 + 7.2) + 292.6 = 115.51 + 292.6 = 408.11 mg/Kg R (Fe) = (408.11/1149.57) x 100% = 35.5% = 1144.26 mg/L Lair (Fe) Lt(Mn) = (71.76 + 8.45) x 14 = 1122.94 mg/Kg Jadi Mn total yang diserap oleh tanaman selama 29 hari percobaan adalah : = Jumlah total konsentrasi Mn ditanaman selama percobaan + Lt (Mn) = (223.02 + 33.25) + 1122.94 = 256.27 + 1122.94 = 1379.21 mg/Kg R (Mn) = (1379.21 /2239.46) x 100% = 61.59% Lair(Mn) = 2068.27 mg/L Total biomassa eceng gondok = (10.37 + 2.36) x 14 = 178.26
44 .
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur pada tanggal 20 Mei 1991 sebagai putri dari pasangan Bapak Abd. Samad dan Ibu Mahkamah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Tambaaagung Tengah II pada tahun 2002, lulus dari Madrasah Tsanawiyah Miftahul Ulum pada tahun 2005, dan lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sumenep pada tahun 2008. Pendidikan Sarjana ditempuh penulis pada Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember (UNEJ) dan lulus pada tahun 2013. Semasa kuliah S1 penulis telah mempublikasikan 1 paper ilmiah yaitu berjudul Skrining Enzim Fibrinolitik Dari Bakteri Tanah pada Seminar Nasional dan Kongres Indonesian Protein Society (IPS), Universitas Jember. Selain itu, sebagian karya ilmiah dari penulisan tesis ini akan diterbitkan dengan judul Efektivitas Tanaman Air dalam Pembersihan Logam Berat pada Air Asam Tambang Di PT. Bukit Asam (Persero). Tbk pada Jurnal tekMIRA – Bandung. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi strata S2 di Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan (BTL) Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2015. Selama menempuh Program Pascasarjana, penulis mendapatkan program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) 2013.