EFEK TERATOGENIK EKSTRAK BUAH OYONG (Luffa acutangula (L.) Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FETUS MENCIT (Mus musculus L.)
Naskah Publikasi
Oleh: Feri Lina NIM. M0402028
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
THE TERATOGENIC EFFECT OF RIGGED GOURD (Luffa acutangula (L.) Roxb.) EXTRACT ON GROWTH AND DEVELOPMENT OF MOUSE (Mus musculus L.) FETUS EFEK TERATOGENIK EKSTRAK BUAH OYONG (Luffa acutangula (L.) Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FETUS MENCIT (Mus musculus L.) Feri Lina, Tetri Widiyani, Okid Parama Astirin. Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta. ABSTRACT
Rigged gourd (Luffa acutangula (l.) Roxb.) contains of antiviral protein LA-1 and LA-2, and ribosome inactivating protein luffaculin that exhibit cytotoxic activity, beside alkaloid, saponin, flavanoid, cucurbitacin, and luffein. They have teratogenic effects. The objectives of the research were to find out the effects of giving rigged gourd fruit extract orally on growth and development of fetuses and to find out the safely dosage. The Complete Random Design (CRD) with 4 treatment groups and each treatment used 5 repetitions were used in this study. Rigged gourd extract was dissolved in aquadest and administrated orally on 6-16th day of pregnancy. The groups treated with rigged gourd extract dosage: 0 mg/kg BW (control); 250 mg/kg BW; 500 mg/kg BW; 750 mg/kg BW and 1000 mg/kg BW. At 19th day of pregnancy, mouse were euthanased with dislocation cervix and caesarian sectioned to remove the fetuses and placentas from uterine. Observation include: number of living fetuses and intrauterine mortality, the weight and length of body, the weight and length of placenta, morphological malformation, and skeletal structure. The accumulated quantitative data were analyzed by ANOVA (Analysis of Variance) and continued by DMRT in signification level 5%. Qualitative data were analyzed descriptively. The result of the research showed that ridge extract decrease percentage of living fetus and increase percentage of intrauterine mortality. All treatments can decrease weight and length of the body; decrease weight and length of placenta; cause morphological malformation such as dwarfisme, flexion, and pale skin; caused kiphotic in columna vertebralis; an ossification delayed in cranium, osparietal, os-interparietal, os-supraoccipital, os-basioccipital, os-nasal, vertebrae lumbalis and limb bones.
Key words: Luffa acutangula, teratogenic, organogenesis, Mus musculus
1
PENDAHULUAN Tanaman oyong (Luffa acutangula (L.) Roxb.) telah dikenal luas di Indonesia sayuran (Soetjipto and Aminah, 1981) dan tanaman obat untuk pengobatan penyakit kanker (Abadi, 1990). Senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman oyong
antara lain alkaloid, flavanoid, dan saponin, dimana
senyawa-senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor dan bersifat sitotoksik yang dapat membunuh sel HeLa
(Robinson, 1995; de Padus et al., 1999).
Senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman oyong yang bersifat sitotoksik (obat antitumor dan antikanker) dapat berpotensi sebagai teratogen (Chan et al., 1994). Hasil purifikasi biji oyong menurut Haldar et al. (2005) menunjukkan adanya senyawa inhibitor tripsin Luffa acutangula-1 (LA-1) dan Luffa acutangula-2 (LA2) yang dapat menghambat aktivitas tripsin dengan membentuk komplek enziminhibitor. Menurut Chakraborty et al. (2000) kedua senyawa penghambat tersebut menunjukkan potensi aktivitas antitumor terhadap sel tumor tertentu pada manusia. Oyong juga mengandung luffaculin yang merupakan protein penghambat aktivasi ribosom pada sintesis protein. Luffaculin pada dosis 100 µg/ml mereduksi jumlah somit dan panjang aksis pada embrio, tapi pada dosis 200 µg/ml dapat menimbulkan kerusakan pada yolk sac, aksis tubuh, lempeng optik, apparatus branchial, fore limb bud dan neural tube cranial (Chan et al., 1994). Menurut Yeung et al. (1991), protein penghambat aktivasi ribosom dapat menyebabkan aborsi pada mencit dan menghambat sintesis protein pada sel bebas. Berdasarkan hal tersebut di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan efek teratogenik ekstrak buah oyong terhadap pertumbuhan dan perkembangan fetus mencit (Mus musculus L.). METODE PENELITIAN 1. Pembuatan ekstrak buah oyong (L. acutangula (L.) Roxb) Buah oyong yang siap konsumsi dipilih dan dipotong-potong, kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering potongan tersebut dibuat serbuk dengan menggunakan blender. Ekstraksi buah oyong dengan mengacu pada metode Sulistianto dkk. (2004).
2
2. Pembuatan larutan ekstrak dan penentuan dosis Hewan uji dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yang terdiri dari satu kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri 5 mencit. Hewan uji diberi pakan dan minum secara ad libitum, serta diberi larutan ekstrak secara oral pada hari ke-6 sampai hari ke-15. Dosis perlakuan didasarkan pada dosis yang menghambat pertumbuhan pada mencit yaitu 500 mg/kg BB ekstrak buah oyong (de Padus et al., 1999). Dosis pemberian perlakuan pada penelitian ini yaitu: 0 mg/kg BB; 250 mg/kg BB; 500 mg/kg BB; 750 mg/kg BB dan 1000 mg/kg BB. Ekstrak dilarutkan dalam akuades 0,5 ml akuades untuk tiap pencekokan (Sulistyanto dkk., 2004). 3. Pemberian ekstrak buah oyong (L. acutangula (L.) Roxb) Pada hari ke-5 kebuntingan semua mencit ditimbang satu persatu. Pemberian larutan buah oyong disesuaikan dengan berat awal mencit dan diberikan secara oral menggunakan spuit yang jarumnya telah diganti kanul pada hari ke-6 sampai hari ke-15 kebuntingan, setelah itu mencit dipelihara sampai hari ke- 18 (Widiyani dan Sagi, 2001). 4. Pembedahan mencit Pada hari ke-18 hewan uji dibedah untuk diambil fetusnya. Mencit sebelum dibedah ditimbang, untuk mengetahui berat akhir, kemudian dieutanasi dengan cara dislokasi serviks. 5. Pemeriksaan fetus Fetus yang hidup dan mati ditimbang dan diukur panjang tubuhnya satu persatu. Setelah itu dihitung jumlah fetus yang mengalami resorbsi. Morfologi fetus juga diperiksa yang meliputi mata, telinga, ruas jari, tengkorak, ekor, dan lain-lain yang dianggap abnormal. Setelah diperiksa semua fetus dimasukkan ke dalam alkohol 95 % dan dibiarkan selama 3 hari (Widiyani dan Sagi, 2001). 6. Pemeriksaan skeleton Pembuatan preparat wholemount fetus dengan pewarnaan Alizarin Red S-Alcian Blue menurut Inouye (1976). Pengamatan yang dilakukan meliputi skeleton aksial (cranium, vertebrae, sternum, dan costae) dan skeleton appendicular (cingulum pectorales, cingulum pelvicales, dan ekstremitas)
3
(Widiyani dan Sagi, 2001). Jumlah komponen tulang penyusun vertebrae caudalis, chorda dorsalis, costae, metatarsal, dan metacarpal dihitung dengan menyinari lampu dari bagian belakang fetus dan menggunakan lup dari depan, selain itu diamati bentuk tulangnya. 7. Teknik Pengambilan Data Data kuantitatif diperoleh dengan melakukan pengamatan jumlah implantasi yang tediri dari jumlah fetus yang hidup, jumlah fetus mati, jumlah resorbsi, berat dan panjang fetus, serta berat dan panjang plasenta. Data kualitatif diperoleh dengan mengamati morfologi fetus, sistem skeleton fetus, dan morfologi plasenta (Rahayu dkk., 2005). 8. Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan 5 kali ulangan. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian (ANAVA), jika ada perbedaan nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf signifikansi 5% (Ghozali, 2005). Data kualitatif yang diperoleh dianalisa secara deskriptif komparatif (Rahayu dkk., 2005). Olah data menggunakan software SPSS 11. HASIL DAN PEMBAHASAN Abnormalitas eksterna dalam penelitian ini diamati secara morfometri dengan melihat penampakan reproduksi induk mencit dengan menghitung jumlah fetus hidup, jumlah kematian intra uterus (fetus mati dan resorbsi), mengukur berat badan dan panjang badan fetus, mengukur berat plasenta dan panjang plasenta fetus, dan mengamati abnormalitas berupa hemoragi dan kelainan bentuk pada beberapa bagian tubuh. Kelainan interna dengan mengamati struktur tulang dan hasil osifikasinya. A. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Oyong terhadap Reproduksi Induk Mencit Hamil Berdasarkan pengamatan diperoleh data tentang reproduksi induk mencit pada tiap-tiap perlakuan seperti yang tercantum pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Hasil Pengamatan Parameter Reproduksi Induk Mencit yang Diberi Ekstrak Buah Oyong secara Oral pada Periode Organogenesis. No
1. 2. 3. 4.
5.
6.
Parameter
Jumlah induk bunting Jumlah induk keguguran / resorb Jumlah total implantasi Jumlah fetus / implantasi tiap induk (rata-rata) Jumlah dan persentase fetus hidup Jumlah dan persentase kematian intra uterus a. Resorbsi b.
7. 8. 9. 10
Fetus mati
Berat fetus ratarata (gr) Panjang fetus ratarata (cm) Berat plasenta ratarata (gr) Diameter plasenta rata-rata (cm)
0 mg / kg bb 5
250 mg/kg bb 5
Dosis 500 mg/kg bb 5
750 mg/kg bb 5
1000 mg/kg bb 5
0
2
2
3
3
55
22
27
31
42
11
4,4
5,4
5,8
8,4
55 100%
20 90,91%
24 88,89%
18 58,10%
28 66,67%
0 0% 0 0% 1,016
1 4,55% 1 4,55% 0,591
2 7,41% 1 3,70% 0,776
13 41,94% 0 0% 0,223
14 33,33% 0 0% 0,275
2,25
1,20
1,47
0,67
0,77
0,106
0,072
0,077
0,038
0,046
0,75
0,48
0,47
0,29
0,31
1. Kematian Intrauterus (Resorbsi dan Fetus Mati) Kecenderungan terjadinya kematian intrauterus terjadi di semua kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak buah oyong selama masa organogenesis, yang dapat dilihat dari Tabel 1 dan Gambar 1. Kematian intrauterus tertinggi diperoleh pada dosis 750 mg/kg bb yaitu sebesar 41,94% dan pada dosis 1000 mg/kg bb sebesar 33,33%. Kedua dosis tersebut merupakan dua dosis tertinggi pada kelompok perlakuan, sedangkan pada dosis 250 mg/kg bb dan 500 mg/kg bb persentase jumlah kematian intrauterin yaitu sebesar 9,1% dan 11,11%. Berdasarkan hasil analisis varian, penurunan jumlah fetus hidup dengan pemberian ekstrak buah oyong selama masa organogenesis menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Namun demikian ada kecenderungan semakin tinggi dosis pemberian ekstrak buah oyong, persentase fetus hidup mengalami penurunan meskipun penurunannya tidak signifikan.
5
persentase kematian intrauterin
(%)
50%
42%
40%
33%
30% 20% 10%
9%
11%
2
3
0%
0% 1
4
5
kelompok perlakuan
Gambar 1. Histogram persentase kematian intrauterin setelah induk mencit diberi ekstrak buah oyong secara oral pada masa organoganasis. (1) kelompok perlakuan dosis 0 mg/kg bb; (2) kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb; (3) kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb; (4) kelompok perlakuan dosis 750 mg/kg bb; dan (5) kelompok perlakuan dosis 1000 mg/kg bb.
Pengamatan kematian intrauterus meliputi adanya resorbsi dan fetus mati. Resorbsi ditandai dengan adanya gumpalan berwarna merah yang tidak merespon bila disentuh. Resorbsi merupakan fetus yang tidak berkembang menjadi fetus normal di tempat implantasi, yang disebabkan oleh kesalahan morfologi dengan berbagai cacat tubuh yang berakhir dengan kematian (Peters and Berkvens, 1996). Apabila sel yang belum mengalami diferensiasi terkena zat teratogen dalam dosis tertentu, sel dapat mengalami kerusakan yang mengakibatkan sel-sel dan dapat dipastikan hal ini akan mengganggu perkembangan embrio selanjutnya. Pada penelitian ini kematian intrauterus yang dijumpai adalah resorbsi dan fetus mati. Resorbsi terjadi di semua kelompok perlakuan bahkan menunjukkan kecenderungan terjadinya aborsi atau resorbsi total. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah induk yang mengalami keguguran atau resorb total seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar
keguguran
(%)
persentase induk
2. Morfologi fetus yang mengalani resorbsi dapat dilihat pada Gambar 3. 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
40%
40%
2
3
60%
60%
4
5
0% 1
kelompok perlakuan
Gambar 2. Histogram persentase induk keguguran setelah diberi ekstrak buah oyong secara oral selama periode organogenesis. (1) kelompok perlakuan dosis 0 mg/kg bb; (2) kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb; (3) kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb; (4) kelompok perlakuan dosis 750 mg/kg bb; dan (5) kelompok perlakuan dosis 1000 mg/kg bb.
6
1
2
3
Gambar 3. Morfologi fetus yang mengalami resorb. (1) fetus normal; (2) fetus resorb dari kelompok dosis 500 mg/kg bb; (3) fetus resorb dari kelompok dosis 250 mg/kg bb.
Fetus yang resorbsi kemungkinan mempunyai daya tahan paling lemah terhadap zat asing sehingga menyebabkan kematian banyak sel dan tidak dapat memperbaiki kembali. Fetus tersebut kemudian diserap kembali oleh tubuh induknya. Fetus mati kemungkinan disebabkan kematian sel-sel pada tahap akhir proliferasi sehingga hanya sebagian sel yang dapat diperbaiki dan pada saat pembedahan proses resorbsi oleh induk belum sempurna sehingga fetus yang mati ditemukan dalam keadaan cacat. Fetus yang hidup memiliki daya tahan paling tinggi terhadap zat asing yang masuk. Fetus ini mampu mengadakan perbaikan kembali sel-sel yang rusak atau mati dengan sel yang baru sehingga memungkinkan untuk bertahan hidup. Kematian intrauterus seperti resorbsi dan fetus mati kemungkinan dapat pula disebabkan oleh adanya kontraksi otot polos selama masa organogenesis akibat pemberian ekstrak buah oyong. Senyawa aktif seperti alkaloid, flavanoid dan saponin yang terkandung dalam buah oyong dapat memacu kontraksi otot polos uterus. Sarwono (1984) menyatakan tekanan mekanik pada embrio, seperti kontraksi uterus, dapat menyebabkan perubahan arah pertumbuhan. Hal ini dapat mengakibatkan cacat pada fetus. Saponin yang terdapat di dalam buah oyong dapat menghambat sintesis prostaglandin. Hambatan pada sintesis prostaglandin dapat mengganggu pengikatan oksigen oleh darah dan juga metabolisme lemak dan glukosa. Buah oyong juga memiliki protein penghambat kerja tripsin, LA-1 dan LA-2, untuk memecah protein menjadi asam amino. Terganggunya pemecahan protein menjadi asam amino menyebabkan suplai asam amino yang dibutuhkan fetus untuk melakukan berbagai proses metabolisme menjadi berkurang, sehingga proses metabolisme terganggu. Apabila gangguan pada
7
proses metabolisme terjadi terus menerus dapat menyebabkan kecacatan fetus bahkan kematian fetus. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Fowden (1995) adanya gangguan dalam penyediaan nutrisi bagi fetus misal asam amino dan oksigen, akan menyebabkan pertumbuhan abnormal pada fetus. 2. Berat dan Panjang Badan Fetus Menurut Wilson (1973), penurunan berat dan panjang badan merupakan indikator terjadinya hambatan pertumbuhan akibat gangguan terhadap prosesproses yang mendasari pertumbuhan (pembelahan sel, metabolisme dan sintesis di dalam sel). Pada penelitian ini pemberian ekstrak buah oyong pada masa organogenesis menyebabkan penurunan berat dan panjang badan fetus, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4 . Data tersebut menunjukkan rata-rata berat dan panjang fetus pada semua kelompok perlakuan lebih rendah daripada rata-rata berat dan panjang fetus pada kelompok kontrol. Berat rata-rata kelompok kontrol, kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 750 mg/kg bb, dan 1000 mg/kg bb berturut-turut adalah 1,016 g, 0,591 g, 0,766 g, 0,228 g, dan 0,275 g. Panjang badan rata-rata kelompok kontrol, kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 750 mg/kg bb, dan 1000 mg/kg bb berturut-turut adalah 2,25 cm, 1,206 cm, 1,43 cm, 0,668 cm, dan 0,768 cm. Hasil analisis varian menunjukkan penurunan berat dan panjang badan fetus tidak signifikan (α > 0,05). Hal ini menunjukkan ekstrak buah oyong yang diberikan pada masa organogenesis cenderung menurunkan berat dan panjang badan fetus meskipun tidak signifikan. 2,25
2 badan (cm)
rata-rata berat (g) dan panjang
2,5
1,43
1,5 1,0162 1
1,206 0,5906
0,7662
0,668 0,768
berat f etus panjang f etus
0,2276 0,2754
0,5 0 1
2
3
4
5
kelompok perlakuan
Gambar 4. Histogram rata-rata berat dan panjang badan fetus mencit setelah induknya diberi ekstrak buah oyong secara oral selama masa organogenesis. (1) kelompok perlakuan dosis 0 mg/kg bb; (2) kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb; (3) kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb; (4) kelompok perlakuan dosis 750 mg/kg bb; dan (5) kelompok perlakuan dosis 1000 mg/kg bb.
8
Pemberian ekstrak buah oyong menyebabkan gangguan pertumbuhan pada fetus yang dapat dilihat dengan adanya penurunan berat badan dan panjang fetus. Buah oyong mengandung protein penghambat aktivasi ribosom, luffaculin, yang dapat menghambat proses sintesis protein di dalam sel dengan menonaktifkan ribosom. Protein inhibitor tripsin yang terdapat di dalam buah oyong (LA-1 dan LA-2) dapat menggangu pemecahan protein menjadi asam amino yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan metabolis pada fetus. Berkurangnya suplai asam amino dapat menyebabkan hambatan pertunbuhan pada fetus karena asam amino merupakan sumber karbon dan nitrogen yang utama bagi fetus untuk proses katabolisme dan metabolisme oksidatif (Fowden, 1995). Respon sel yang mengalami hambatan pertumbuhan juga dipengaruhi besarnya dosis ekstrak buah oyong yang diterima induk. Menurut Ritter (1997) teratogen dosis rendah mengakibatkan kematian beberapa sel atau dapat pula terjadi pergantian sel karena sel fetus mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga fetus tersebut normal morfologinya tetapi berukuran kecil. Penggantian sel fetus akan dipertahankan selama masa organogenesis agar terjadi morfologi yang normal. Apabila gagal atau tidak mencapai target pada organogenesis akan menyebabkan kecacatan atau malformasi. 3. Berat dan Diameter Plasenta Menurut Owens et al. (1995) dan Constancia et al. (2002) plasenta mempunyai korelasi dengan berat dan panjang badan fetus. Pada kajian yang lebih sempit hambatan atau gangguan pertumbuhan fetus sering diasosiasikan dengan plasenta abnormal atau kecil. Pada penelitian ini dapat dilihat adanya penurunan berat dan diameter plasenta pada kelompok yang diberi perlakuan dengan ekstrak buah oyong (Tabel 1 dan Gambar 5). Gambar 5 menunjukkan rata-rata berat plasenta kelompok kontrol, kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 750 mg/kg bb, dan 1000 mg/kg bb berturut-turut adalah 0,106 g, 0,072 g, 0,077 g, 0,038 g, dan 0,046 g. Rata-rata diameter plasenta kelompok kontrol, kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb, 500 mg/kg bb, 750 mg/kg bb, dan 1000 mg/kg bb berturut-turut adalah 0,752 cm, 0,476 cm, 0,474 cm, 0,29 cm, dan 0,308
9
cm. Hasil analisis varian menunjukkan penurunan berat dan diameter plasenta tidak signifikan (α > 0,05). Hal ini berarti ekstrak buah oyong yang diberikan secara oral pada periode organogenesis cenderung mengakibatkan penurunan berat dan panjang plasenta meskipun tidak signifikan. Induk yang menderita kekurangan nutrisi dan hipoksaemia dapat menghambat pertumbuhan plasenta dan fetus. Senyawa-senyawa LA-1, LA-2, dan luffaculin yang terdapat dalam buah oyong dapat menghambat sintesis protein dan penyediaan asam amino yang merupakan sumber karbon yang penting dalam proses pembentukan glukosa dan lemak, sehingga suplai nutrisi tersebut menjadi berkurang. Selain itu saponin yang terdapat di dalam buah oyong dapat menghambat sintesis lemak dan mempengaruhi pengikatan oksigen oleh darah, yang menyebabkan pertumbuhan plasenta terganggu sehingga berat dan panjang plasenta menjadi berkurang. 0,752
0,7 0,6 plasenta
rata-rata berat (g) dan panjang (cm)
0,8
0,476
0,5
0,474
berat plasenta panjang plasenta
0,4 0,29
0,3 0,2
0,1064
0,1
0,0716
0,0772
0,0378
0,308
0,046
0 1
2
3 4 kelompok perlakuan
5
Gambar 5. Histogram rata-rata berat dan panjang plasenta fetus mencit setelah induk diberi ekstrak buah oyong secara oral. (1) kelompok perlakuan dosis 0 mg/kg bb; (2) kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb; (3) kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb; (4) kelompok perlakuan dosis 750 mg/kg bb; dan (5) kelompok perlakuan dosis 1000 mg/kg bb.
1 A
2 B
Ganbar 6. Morfologi plasenta fetus mencit. A. Plasenta yang masih segar. B. Plasenta dengan variasi ukuran yang telah diawetkan. (1) tali pusar; (2) plasenta.
B. Morfologi Fetus yang Mengalami Abnormalitas Eksterna setelah Pemberian Ekstrak Buah Oyong
10
Menurut Ryan et al (1991) penurunan berat badan akibat pengaruh teratogen selalu diikuti malformasi. Abnormalitas yang ditemukan dalam penelitan ini adalah tubuh bongkok (fleksi), tubuh kerdil, dan kulit pucat atau transparan. Persentase terjadinya abnormalitas eksterna pada fetus setelah pemberian ekstrak buah oyong secara oral dapat dilihat pada Tabel 2. Pemeriksaan terhadap morfologi fetus diperoleh bahwa mata, telinga, ruas jari dan ekor tidak terdapat kelainan. Tabel 2. Hasil Pengamatan Abnormalitas Eksterna pada Fetus setelah Induk Diberi Ekstrak Buah Oyong secara Oral pada Masa Organogenesis Jenis abnormalitas eksterna
0 mg/kg bb
250 mg/kg bb
55
22
Tubuh bongkok
-
Tubuh kerdil
-
Kulit pucat/transparan
-
1 (4,55%) 7 (31,82%) 6 (27,27%)
Jumlah fetus
Dosis 500 mg/kg bb 27 1 (3,70%) -
750 mg/kg bb 31
1000 mg/kg bb 42
1 (3,23%) 8 (25,81%) 8 (25,81%)
1 (2,38%) 9 (21,43%) 2 (4,76%)
1. Tubuh Bongkok (Fleksi) Abnormalitas berupa tubuh bongkok kemungkinan disebabkan oleh kelainan bentuk tulang belakang atau vertebrae. Kelainan ini dapat ditemukan pada semua kelompok perlakuan kecuali pada kelompok kontrol. Morfologi fetus dengan kelainan berupa tubuh bongkok dapat dilihat pada Gambar 7.
1
2
3
Ganbar 7. Morfologi fetus dengan kelainan berupa tubuh bongkok setelah induknya diberi ekstrak buah oyong secara oral. (1) fetus normal; (2) fetus kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb; (3) fetus kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb.
Senyawa alkaloid, flavanoid, protein antiviral LA-1 dan LA-2, luffaculin, luffein serta cucurbitasin yang terdapat dalam buah oyong bersifat sitotoksik sehingga menyebabkan kematian beberapa sel penyusun vertebrae, akibatnya kecepatan pertumbuhan tulang tidak sama sehingga tulang menjadi
11
bengkok. Kelainan ini juga dapat disebabkan oleh adanya tekanan mekanik yang berupa kontraksi otot polos uterus sehingga arah pertumbuhan berubah. 2. Tubuh Kerdil Kelainan tubuh kerdil ditemukan pada kelompok perlakuan dengan dosis 250, 750, dan 1000 mg/kg bb. Perbandingan morfologi tubuh kerdil dengan tubuh normal dapat dilihat pada Gambar 8. Panjang badan fetus normal menurut Kaufman (1992) pada usia kehamilan 17 hari rata-rata 19,31 mm dan pada usia kehamilan 18 hari panjangnya 20-23 mm. Fetus dengan kelainan tubuh kerdil pada penelitian ini adalah fetus dengan panjang badan kurang dari 19 mm. Menurut Wilson (1973) dan Herbold (1985) suatu agen dapat mempengaruhi prolifersi sel, interaksi sel atau biosintesis yang berhubungan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, protein dan mukopolisakarida sehingga terjadi kelambatan pertumbuhan. Alkaloid kemungkinan kemungkinan juga dapat menghambat ekskresi hormon pertumbuhan sehingga menyebabkan pertumbuhan tulang menjadi terhambat yang menimbulkan kelainan berupa tubuh kerdil.
1
2
2
Gambar 8. Morfologi fetus dengan kelainan berupa tubuh kerdil setelah diberi ekstrak buah oyong secara oral. (1) fetus normal dan (2) fetus kerdil
3. Kulit Pucat Kelainan berupa kulit pucat transparan terjadi pada kelompok perlakuan dengan dosis 250, 750, dan 1000 mg/kg bb. Fetus dengan bentuk kelainan berupa kulit pucat dan transparan ini dapat dilihat pada Gambar 9. Warna kulit pada fetus normal kemerahan dan terlihat lebih kuat serta terasa kasar apabila disentuh, sedangkan pada fetus dengan kelainan kulit pucat dan transparan organ dalam terlihat, terasa lebih halus apabila disentuh serta kulitnya lebih rapuh.
12
1
2
Gambar 9. Morfologi fetus dengan kelainan berupa kulit pucat. (1) fetus normal dan (2) fetus dengan kulit pucat
Kelainan pada fetus berupa kulit pucat dan transparan kemungkinan disebabkan oleh pembentukan kulit yang tidak sempurna karena sel-sel penyusun jaringan kulit terganggu oleh adanya senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak buah oyong sehingga proses pembelahan dan diferensiasi sel-sel tersebut terganggu. Safy dan Tamboise (1980) dalam Ekawati (2002) menyatakan bahwa radiasi dan senyawa kimia dapat mempengaruhi lapisan-lapisan sel yang sedang berdiferensiasi dan selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan pembentukan sistem tubuh. Protein antitumor yang terdapat dalam ekstrak buah oyong dapat menghambat proses pembelahan dan diferensiasi sel-sel kulit sehingga pembentukan kulit menjadi tidak sempurna dan kulit menjadi pucat transparan. C. Morfologi Tulang Fetus yang Mengalami Malformasi setelah Pemberian Ekstrak Buah Oyong Pada penelitian ini dilakukan pengamatan skeleton aksial yang meliputi cranium, vertebrae, dan sternebrae, sedangkan skeleton apendikular meliputi cingulum pectorals, cingulum pelvicales, dan ekstremitas. Kelainan penulangan atau osifikasi ini dapat diamati setelah fetus dibuat preparat whole mount dengan metode pewarnaan ganda menurut Inouye (1976), bagian tulang keras akan terwarna merah sedangkan tulang rawan akan terwarna biru. Menurut Anderson and Conning (1988) dalam Widiyani dan Sagi (2001) ada tiga tolok ukur untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan skeleton yaitu: Jumlah komponen skeleton dan tingkat osifikasinya, ada tidaknya atau sempurna tidaknya osifikasi, serta ada tidaknya kelainan dalam pembentukan skeleton. Berdasarkan hasil pengamatan pada jumlah komponen rangka aksial tidak terdapat perbedaan dengan kelompok kontrol, tetapi terdapat keterlambatan penulangan pada tulang penyusun cranium di semua kelompok perlakuan.
13
Keterlambatan osifikasi ditunjukkan dengan warna biru atau merah terang pada kelompok perlakuan yang menunjukkan tulang masih berupa tulang rawan dan merah tua pada kelompok kontrol yang menunjukkan tulang sejati. Tubuh bengkok (fleksi) disebabkan kifosis pada vertebrae thoracales. Kelainan pada vertebrae dapat disebabkan oleh tiga kemungkinan yaitu gangguan pada somit, gangguan terhadap chorda dorsalis atau gangguan terhadap sklerotom.
Gangguan
terhadap
migrasi
sel-sel
mesenkim
pada
waktu
pembentukan vertebrae juga menyebabkan kelainan terhadap centrum vertebrae (Loegito dkk., 1995 dalam Ekawati, 2002). 1
5
2 4
3
B
A
Gambar 10. Perbandingan rangka tulang fetus dari kelompok kontrol (A) dengan kelompok perlakuan dosis 250 mg/kg bb, (B). (1) keterlambatan penulangan pada os-interparietal, (2) keterlambatan penulangan pada osnasal, (3) keterlambatan penulangan pada os-basioccipital, (4) keterlambatan penulangan pada os-supraoccipital, (5) keterlambatan penulangan pada os-parietal.
4
5
1 3
2
B
A
Gambar 11. Perbandingan rangka tulang fetus dari kelompok kontrol (A) dengan kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb, (B). (1) keterlambatan penulangan pada os-interparietal, (2) keterlambatan penulangan pada os-nasal, (3) keterlambatan penulangan pada os-basioccipital, (4) keterlambatan penulangan pada os-supraoccipital, (5) keterlambatan penulangan pada os-parietal.
Berdasarkan hasil pengamatan pada rangka fetus dari kelompok perlakuan dengan dosis 250 mg/kg bb (Gambar 10) dan kelompok perlakuan dosis 500 mg/kg bb (Gambar 11) terlihat adanyan keterlambatan penulangan pada tulang
penyusun
cranium
yaitu
pada
os-parietal,
os-interparietal,
os-
supraoccipital, os-basioccipital dan os-nasal. Rangka kelompok perlakuan dosis
14
750 mg/kg bb, Gambar 12, menunjukkan adanya keterlambatan penulangan pada tulang pennyusun cranium yaitu pada os-parietal, os-interparietal, ossupraoccipital, dan os-basioccipital, pada vertebrae lumbalis juga terlihat adanya fleksi kifosis. Sedangkan pada kelompok perlakuan dengan dosis 1000 mg/kg bb keterlambatan penulangan terjadi hampir di semua bagian rangka aksial dan apendikular. Pada rangka aksial tulang yang sudah tersusun oleh tulang sejati terdapat pada bagian sternebrae yaitu pada tulang-tulang rusuknya. Sedangkan pada rangka apendikular rangka yang telah tersusun oleh tulang sejati yaitu pada tulang scapula. Hal ini sebagaimana terlihat pada Gambar 13. 2
3 4
5
1 A
B
Gambar 12. Perbandingan rangka tulang fetus dari kelompok kontrol (A) dengan kelompok perlakuan dosis 750 mg/kg bb, (B). (1) fleksi berupa kifosis pada vertebrae lumbalis, (2) keterlambatan penulangan pada osinterparietal, (3) keterlambatan penulangan pada os-parietal, (4) keterlambatan penulangan pada os-supraoccipital, (5) keterlambatan penulangan pada os-basioccipital.
2
1 3 A
B
Gambar 13. Perbandingan rangka tulang fetus dari kelompok kontrol (A) dengan kelompok perlakuan dosis 1000 mg/kg bb, (B). (1) keterlambatan penulangan pada vertebrae lumbalis; (2) keterlanbatan penulangan pada tulang-tulang cranium, (3) keterlambatan penulangan pada tulang-tulang ekstrenitas.
Tulang merupakan jaringan ikat yang tersusun dari tiga unsur yaitu sel, serabut dan substansi (Ganong, 1998). Tulang kompak terdiri atas 70% garam anorganik dan 30% matriks organik. Kolagen merupakan lebih dari 90% penyusun unsur organik, sisanya adalah substansi dasar proteoglikan dan
15
sekelompok molekul non kolagen yang terlibat dalam pengendalian mineralisasi tulang (Burkitt dkk., 1995). Sel tulang terdiri atas empat jenis sel, sel osteoprogenitor merupakan populasi sel induk yang memiliki daya mitotik yang tinggi. Sel ini akan membentuk osteoblas yang berfungsi mensintesis dan mensekresi unsur organik dari matriks ekstrasel, dan membentuk osteosit yang berfungsi mempertahankan matriks tulang (Burkitt dkk., 1995). Cucurbitasin yang bersifat antimitotik dan luffaculin yang terdapat dalam ekstrak buah oyong diduga dapat mengganggu proses pembelahan sel pada sel osteoprogenitor. Apabila pembelahan sel osteoprogenitor terganggu akan menyebabkan pembentukan osteoblas dan osteosit menjadi terganggu. Hal ini akan menyebabkan proses penulangan menjadi terhambat. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan penambahan dosis ekstrak buah oyong menyebabkan peningkatan jumlah kematian fetus, penurunan panjang dan berat badan fetus, penurunan berat dan diameter plasenta, serta menyebabkan peningkatan resorbsi. Pada dosis 250 mg/kg bb ekstrak buah oyong dapat menyebabkan efek teratogenik pada mencit. Abnormalitas eksternal pada fetus yang terjadi antara lain:tubuh bongkok, kulit transparan (pucat), dan tubuh kerdil. DAFTAR PUSTAKA Abadi, S. L. M.1990. Mengenal Apotik Hidup. Surabaya: Usaha Nasional. Burkitt, H. G., B. Young, dan J. W. Heath. 1995. Histologi Fungsional Edisi 3. (Diterjemahkan oleh Jan Tambajong). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Chakraborty, S., S. Bhattacharya, S. Ghosh, A. K. Bera, U. Haldar, A. K. Pal, B. P. Mukhopadhyay, and A. Banerjee. 2000. Structural and Interactional Homology of Clinically Potential Trypsin Inhibitors: Molecular Modelling of Cucurbitaceae Family Peptides Using the X-ray Structure of MCTI-II. Protein Engineering 13(8): 551-555. Chan, W. Y., T. B. Ng, and H. W. Yeung. 1994. Differential Abilities of The Ribosome Inactivating Protein Luffaculin, Luffins, and Momorcochin to Induce Abnormalities in Developing Mouse Embryos In Vitro. Gen Pharmacol. 25(2): 363-7 Constancia, M., M. Hemberger, J. Hughes, W. Dean, A. Ferguson-Smith, R. Fundele, F. Stewart, G. Kelsey, A. Fowden, C. Sibley and W. Reik. 2002.
16
Placental-specific IGF-II is a Major Modulator of Placental and Fetal Growth. Nature 417(6892): 945-948. de Padus, L. S., N. Bunyapraphatcara, and R. H. M. J. Lemmens. 1999. Plant Resources of South East Asia 12 (1): Medicinal and Poisonous Plants 1. Bogor: PROSEA. Ekawati, Y. 2002. Pengaruh Radiasi Sinar-β terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Embrio Tikus Putih (Rattus norvegicus). Skripsi. Surakarta: FMIPA Fowden, A. L. 1995. Nutrients Requirements for Normal Fetal Growth and Metabolism. In Hanson, M. A., Spencer, J. A. D., and Rodeck, C. H. Fetus and Neonate Physiology and Clinical Applications Volume 3 Growth. New York: Cambridge University Press. p.31-56. Ganong, W. F. 1989. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Ghozali, I. 2005. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi 3. Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Haldar, U. C., S. K. Saha, R. C. Beavis, and N. K. Sinha. 2005. Trypsin Inhibitors from Ridged Gourd (Luffa acutangula Linn.) Seeds: Purification, Properties, and Amino Acid Sequences. J Protein Chemistry 15(2): 177-184. Herbold, B. 1985. Propoxur Sister Chromatid Exchange in the Bone Marrow of Chinese Hamster In Vivo to Evaluate for Harmful Effect on DNA. Unpublished Report No 13501. Bayer AG, Institute of Toxicology, Wuppertal Elberfeld. Federal Republic of Germany. Http://www.inchem.org/propoksur.ac.id. (20 Juni 2007). Inouye, M. 1976. Differential Staining of Cartilage and Bone in Fetal Mouse Skeleton by Alcian Blue and Alizarin Red S. Cong Anomali 16(3): 171-173. Kaufman, M. H. 1994. The Atlas of Mouse Development. San Diego: Academic Press. Owens, J. A., P. C. Owens and J. S. Robinson. 1995. Experimental Restriction of Fetal Growth. In Hanson, M. A., Spencer, J. A. D., and Rodeck, C. H. Fetus and Neonate Physiology and Clinical Applications Volume 3 Growth. New York: Cambridge University Press. p. 139-176. Peters, P. W. J. and J. M. Berkvens. 1996. General Reproduction Toxycology. In Niensink, R. J. M., J. D. Vries and M. A. Hollinger. Toxycology: Principles and Application. New York: CRC-Press. Rahayu, S. Y., T. Widiyani, dan Sutarno. 2005. Pertumbuhan dan Perkembangan Embryo Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) setelah Perlakuan Kebisingan. BioSMART 7(1): 53-59. Ritter, E. J. 1977. Hand Book of Teratology. New York: Plenum Press. Robinson, T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tinggi Edisi keenam Penerjemah Prof. Dr. Kosasih Pamawinata. Bandung: Penerbit ITB. Ryan, L. M., P. J. Catalano, C. A. Kimmel and G. L. Kimmel. 1991. Relationship Beetwen Fetal Weight and Malformation in Developmental Toxicity Studies. Teratology 44: 215-223. Sarwono, P. 1984. Ilmu Kebidanan. Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Soetjipto, N. W. and S. H. Aminah. 1981. Vegetables. Roma: IBDGR Secretariat.
17
Sulistianto, D. E., M. Hartini, dan N. S. Handajani. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl] terhadap Struktur Histologis Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) setelah Perlakuan dengan Karbon Tetraklorida (CCl4 ) secara Oral. BioSMART 6(2): 91-98. Widiyani, T. dan M. Sagi. 2001. Pengaruh Aflatoksin B1 terhadap Pertumbuhan Mencit dan Perkembangan Embryo dan Skeleton Fetus Mencit (Mus musculus L.). BioSMART. 3(2): 28-35. Wilson, J. G. 1973. Environment and Birth Defects. New York: Academic Press Yeung, H. W., W. W. Li, and T. B. Ng. 1991. Isolation of Ribosome Inactivating and Abortieacient Protein from Seeds of Luffa acutangula. Int J Pept Prot Res. 38(1): 15-9.
18