Editorial Psikobuana Vol. 3 No. 2 ini menghadirkan delapan buah artikel dari berbagai sub-disiplin psikologi. Artikel pertama berkaitan dengan Psikologi Industri dan Organisasi, dengan judul "Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi". Artikel ini merupakan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan. Sebagaimana kita ketahui, pentingnya sumber daya manusia telah mulai dikenal sejak Adam Smith (1963/1976) mengemukakan gagasan "the acquired and useful abilities" dari individu sebagai sumber pendapatan atau keuntungan. Atas dasar ini, para ilmuwan mengembangkan konstruk "human capital" dalam tradisi psikologi sampai dengan ekonomi. Pada tingkat mikro, ilmuwan mempelajari sumber daya manusia (human resources / HR), perilaku organisasi (organizational behavior / OB), dan psikologi industri/organisasi (PIO). Pada tingkat makro, ilmuwan mempelajari agregat atau himpunan dari pengalaman tingkat organisasi, pendidikan, dan keterampilan pekerja sebagai sumber daya yang dapat diungkit untuk mencapai keuntungan kompetitif yang bertahan. Artikel penelitian Purwanto, dkk., menyentuh semua tingkatan ini dalam setting perguruan tinggi dalam rangka membangun daya saing. Artikel kedua berkaitan dengan Psikologi Sosial ditulis oleh Ardiningtyas Pitaloka. Ia mengangkat judul "Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia", dengan menggunakan pendekatan studi psikologi sosial yang berkembang di Eropa, yakni representasi sosial, sebuah orientasi sosiologis dari psikologi sosial. Artikel ketiga bernuansa Psikologi Kesehatan ditulis oleh Puji Hermawanti dan Mochamad Widjanarko, dengan judul "Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah". Artikel keempat tentang penerapan Psikometri dengan judul "Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan" ditulis oleh Wahyu Widhiarso. Artikel kelima dalam bidang Psikologi Pendidikan berjudul "Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak" ditulis oleh Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie. Artikel keenam terkait dengan Psikologi Penerbangan mengupas tentang "Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis Fatigue", ditulis oleh Widura Imam Mustopo. Artikel ketujuh, "Support Group Therapy Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga Single Parent di Kota Malang", ditulis oleh M. Salis Yuniardi dan Djudiyah. Akhirnya, Bonar Hutapea menulis artikel dengan warna Psikologi Filosofis, tentang "Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas".
Penyunting
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2
ISSN 2085-4242
Daftar Isi Editorial Penyunting
i
Daftar Isi
ii
Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan
73–83
Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia: Studi Representasi Sosial Ardiningtyas Pitaloka
84–93
Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah Puji Hermawanti dan Mochamad Widjanarko
94–103
Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan Wahyu Widhiarso
103–117
Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie
118–125
Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue" Widura Imam Mustopo
126–134
"Support Group Therapy" Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga "Single Parent" di Kota Malang M. Salis Yuniardi dan Djudiyah
135–140
Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas
141–148
Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana
149-150
3
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN
ddd
3
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 73–83
ISSN 2085-4242
Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi Purwanto S. K. Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana – Alumnus Program Doktor Institut Pertanian Bogor
Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan Institut Pertanian Bogor
The competitiveness of Indonesian universities nationwide in 2010 is still relatively lower than some other countries such as Malaysia, Thailand and Singapore. The main pillars of the competition are in productivity and innovation which depend on the competence and commitment of human resources. The purposes of this study are to determine factors that influence the competitiveness and organizational performance and to find the effect of competence and commitment of human resources and other factors to improve competitiveness and organizational performance. This research is a case study in two universities, PTN X and PTS Y. The results showed that the competitiveness strongly influenced the performance of HR besides other factors such as competence and commitment of human resources. The implementation of HRM variables, especially training and development and compensation variables, significantly affect performance. The variables of leadership, especially the willingness to give an example and speed of act affect on performance. Good Governance variables, accountability and social responsibility, significantly affected performance. Several important variables to increase competitiveness are: product academic improvement, consumer and financial perceptions improvement, basic competencies improvement, and higher emotional closeness and willingness to work more for the organization. Keywords: competitiveness, competence, commitment, implementation of human resource management, leadership and good governance
Daya saing Perguruan Tinggi (PT) Indonesia secara nasional dan dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia sampai tahun 2010 masih relatif rendah (APTISI 2009; Jalal 2009a). Data peringkat PT versi THES
QS (Times Higher Education Supplement) pada tahun 2010, Indonesia hanya memiliki dua PT yang masuk peringkat seratus PT terbaik di Asia, sedangkan Malaysia ada lima, Singapura dan Thailand ada dua. Daya saing yang rendah, 73
74
PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
apabila dilihat dari kriteria ARWU, THES QS, Webometric, dan BAN-PT tergantung pada unsur SDM. Hampir semua faktor yang menentukan dalam pemeringkatan PT tergantung pada produktivitas dosen, yaitu jumlah penelitian dan publikasi, angka efisiensi edukasi, dan karya yang mendapatkan pengakuan paten (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2009). Daya saing PT, baik menurut THES-QS, Webometrics maupun Sanghai Jia Tong (ARWU), pada dasarnya menekankan pada unsur manusia yaitu kualitas penelitian, kualitas pengajaran, kompetensi lulusan dan prospek internasional (Suharyadi, 2008). PT di Indonesia pada umumnya mempunyai permasalahan yang hampir sama, yaitu dalam persoalan peningkatan produktivitas atau kinerja dosen. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu kompetensi atau kualifikasi SDM dan komitmen SDM (Suharyadi, 2008). Kompetensi SDM di PT terkait dengan pendidikan dan keterampilan dosen. Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 51% jumlah dosen masih berpendidikan S1, sedangkan S2 mencapai 42%, dan S3 hanya 7%. Masalah komitmen SDM di PT yang diukur oleh BANPT ditunjukkan dengan kinerja akademik yang menyangkut tridarma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari data tahun 2008 terlihat bahwa hampir 80% jenjang kepangkatan akademik dosen di Indonesia adalah di bawah lector; bahkan 40% belum mempunyai kepangkatan akademik. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan dalam kompetensi dan komitmen dosen terkait dengan kinerja dan daya saing organisasi. Permasalahan dalam daya saing perguruan tinggi adalah (1) daya saing yang rendah, (2)
kinerja dosen terkait dengan kompetensi dan komitmen, dan (3) kesehatan organisasi terkait kebijakan dalam implementasi manajemen sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata kelola. Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui faktorfaktor yang menyebabkan daya saing perguruan tinggi, (2) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kinerja dosen di perguruan tinggi rendah dan hubungannya dengan faktor kompetensi dan komitmen sumber daya manusia, dan (3) Mengetahui hubungan dan dampak dari faktor implementasi manajemen sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata kelola organisasi terhadap kinerja dosen di perguruan tinggi.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan prosedur statistik dengan pengujian hipotesa, sedangkan kualitatif dilakukan dengan observasi dan wawancara serta focus group discussion. Penelitian ini merupakan studi kasus di PTN X dan PTS Y. Kedua institusi dipilih dengan mempertimbangkan perbedaan status, yaitu PTN dan PTS serta memiliki jumlah mahasiswa yang hampir sama, yaitu 18.000 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan proportionate stratified random sampling yaitu sampel distratifikasi berdasarkan kepangkatan akademik mulai asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. Jumlah sampel tiap stratifikasi bersifat proporsional terhadap sampel total. Jumlah sampel sebanyak 285 orang terdiri 150 orang dosen di PTN X dan 135 dosen di
75
PERANAN SUMBER DAYA
Gambar 1. Model struktural daya saing perguruan tinggi di PTN X dan PTS Y (t > 1,96) PTS Y. Jumlah sampel 285 ditentukan berdasarkan standar normal, dan tingkat kesalahan 5%. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara. Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan skala, baik ordinal maupun interval. Skala interval menggunakan skala Likert dari 1 (Sangat Tidak Setuju) sampai dengan 5 (Sangat Setuju). Daya saing menggunakan indikator dari Ferguson (2006). Kinerja menggunakan indikator dari Chen, Wang, dan Yang (2009). Kompetensi menggunakan indikator dari Pahlan (2007). Komitmen menggunakan indikator Meyer dan Herscovitch (2001). Implementasi MSDM menggunakan indikator dari Cathy (2007). Kepemimpinan menggunakan indikator dari Bass atau MLQ (1996) dan tata kelola menggunakan dari Silveira dan Saito (2009). Sebelum kuesioner dipakai dalam penelitian, dilakukan pre-test terhadap 10 orang dosen di PTN X dan PTS Y. Data selanjutnya dilakukan
uji validitas dan reliabilitas dan dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk menemukan hubungan kausalitas dengan data skala atau multivariat.
Hasil dan Pembahasan Deskripsi tentang PTN X: PTN X mempunyai program studi S2 dan S3 sebanyak 105 (67%) dan S1 serta diploma 52 (31%). Jumlah mahasiswa S2 dan S3 13% dan 82% S1 dan diploma. Pendidikan dosen S2 dan S3 82% dan S3 saja 41%. Jumlah program studi yang terakreditasi A mencapai 69% dan peringkat Webometrics di Indonesia pada peringkat 13 dan di dunia 1.204. Melihat komposisi program studi dan pendidikan dosen, PTN X sudah pada tahap Universitas Riset. Deskripsi tentang PTS Y: PTS Y mempunyai program studi S2 sebanyak 23% dan S1 serta Diploma mencapai 77%. Jumlah
76
PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
mahasiswa S2 sebanyak 9% dan S1 serta Diploma 91%. Pendidikan dosen S2 dan S3 mencapai 100% dan yang berpendidikan S3 sebesar 15%. Akreditasi program studi 63% B dan 25% A. Peringkat Webometrics di Indonesia pada posisi 22 dan di dunia 2.063. Melihat komposisi program studi dan pendidikan dosen, PTS Y termasuk universitas dengan titik berat pendidikan. Deskripsi responden PTN X: Pendidikan dosen 61% S3 dengan lama kerja 48% diatas 20 tahun. Kepangkatan akademik dosen untuk lektor kepala dan guru besar mencapai 47% dan guru besar 11%. Berdasarkan suku, dosen yang berasal dari suku jawa dan sunda mencapai 89%, suku di luar jawa dan keturunan 12%. Berdasarkan tipe kepribadian (Pearson & Marr, 2002), 40% the sage, 48% the ruler, dan 12% the jester. Deskripsi responden PTS Y: Pendidikan dosen S2 85% dan S3 15% dengan lama kerja 89% kurang dari 20 tahun. Kepangkatan akademik lektor kepala dan guru besar sebesar 24% dan guru besar 3%. Berdasarkan suku, dosen yang bersuku Jawa dan sunda mencapai 62% dan non jawa serta keturunan mencapai 38%. Berdasarkan tipe kepribadian, the sage 31%, the ruler 54%, dan the jester 15%. Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi dosen PTN X menunjukkan bahwa: (a) daya saing organisasi mencapai 76% dari harapan dimana daya saing produk tertinggi diikuti pangsa pasar dan loyalitas konsumen; (b) kinerja dosen mencapai 76% dimana perspektif internal proses tertinggi dan diikuti perspektif konsumen, pembelajaran dan yang terendah adalah perspektif keuangan; (c) kompetensi dosen mencapai 82% dan termasuk sangat baik, dimana kompetensi dasar relatif lebih tinggi dibandingkan kompetensi fungsional; (d)
komitmen dosen mencapai 68% dari harapan dengan komitmen tertinggi adalah kemauan tinggal di organisasi dan kemudian kedekatan emosional dan keinginan berkinerja lebih; (e) implementasi MSDM mencapai 68% dari harapan. Implementasi yang dipandang baik adalah pelatihan dan pengembangan dan yang perlu perbaikan kompensasi serta promosi; (f) kepemimpinan mencapai 74% dari harapan. Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah optimisme, keyakinan dan kemauan memberi teladan dan indikator dua yang terakhir adalah kejelasan visi dan delegasi wewenang; (g) tata kelola mencapai 74% dari harapan dan yang terbaik adalah akuntabilitas dan keadilan, serta yang terendah adalah transparansi. Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi dosen PTS Y menunjukkan bahwa: (a) Daya saing organisasi mencapai 68% dari harapan dimana daya saing produk tertinggi diikuti loyalitas konsumen dan pangsa pasar; (b) Kinerja dosen mencapai 62% dimana perspektif konsumen tertinggi dan diikuti internal proses, pembelajaran dan yang terendah adalah perspektif keuangan; (c) Kompetensi dosen mencapai 70% dimana kompetensi fungsional dasar lebih tinggi dibandingkan kompetensi dasar; (d) Komitmen dosen mencapai 62% dari harapan dengan komitmen tertinggi adalah kedekatan emosional dan kemudian kemauan tinggal di organisasi dan terakhir keinginan berkinerja lebih; (e) Implementasi MSDM mencapai 66% dari harapan. Implementasi yang dipandang baik adalah seleksi dan rekrutmen, kemudian pelatihan dan pengembangan dan yang perlu perbaikan kompensasi serta promosi; (f) Kepemimpinan mencapai 68% dari harapan. Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah keyakinan, kejelasan visi dan optimisme serta indikator dua yang terakhir adalah pencapaian
PERANAN SUMBER DAYA
visi dan kecepatan tindakan. (g) Tata kelola mencapai 64% dari harapan dan yang terbaik adalah akuntabilitas dan keadilan, serta yang terendah adalah transparansi. Hasil analisis menggunakan SEM disajikan dalam Gambar 1. Daya saing ternyata sangat berhubungan dengan kinerja SDM sebesar 97% (t = 15,01). Hasil ini memperkuat pendapat teori diamond dari Porter (1985) bahwa SDM adalah kunci dalam meningkatkan daya saing organisasi sebagaimana yang dilakukan Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Singapura yang mengandalkan SDM dibandingkan sumber daya alam. Kinerja SDM mempunyai hubungan 41% dengan kompetensi (t = 4,71) dan 58% dengan komitmen (t = 9,47). Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Goleman (2002) yang menyimpulkan pencapaian kinerja ditentukan oleh 20% IQ sedangkan 80% oleh kecerdasan emosi (EQ). Kompetensi pada dasarnya melekat pada pendidikan dan pelatihan sebagai hard skill; sedangkan komitmen menyangkut kecerdasan emosi di mana komitmen merupakan sesuatu yang mendasari orang untuk melakukan sesuatu yang memadukan antara motivasi individu dengan motivasi organisasi. Hasil ini mendorong perlunya organisasi membangun komitmen dengan meningkatkan keterlibatan atau partisipasi dari seluruh dosen serta menciptakan reward dan punishment dalam mendorong kinerja organisasi. Implementasi MSDM mempunyai hubungan 48% (t = 3,00) dengan kompetensi dan 45% dengan komitmen (t = 2,69). Implementasi MSDM yang mencakup seleksi dan rekrutmen, pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan benefit serta promosi mempunyai dampak positif terhadap kompetensi dan komitmen. Pengaruh
77
implementasi MSDM ternyata lebih besar dan kuat terhadap kompetensi dibandingkan komitmen. Hal ini terjadi karena proses MSDM lebih banyak menekankan pada aspek kompetensi seperti pada proses seleksi dengan menekankan pada indeks prestasi kumulatif (IPK), kemampuan bahasa Inggris, serta tes potensi akademik (TPA) di samping jenjang pendidikan. Program pelatihan dan pengembangan tugas melekat pada aspek kompetensi yaitu pelatihan dan pengembangan yang menyangkut kompetensi dasar terkait dengan bidang ilmu. Faktor pendorong komitmen seperti kompensasi dan benefit serta promosi relatif kurang maksimal dikembangkan dengan adanya keterbatasan dalam ketersediaan dana, sistem penggajian yang belum berbasis kinerja, promosi yang belum berbasis pada desain organisasi. Kepemimpinan mempunyai hubungan 23% dengan kompetensi (t = 2,05) dan 45% dengan komitmen (t = 3,65). Pengaruh kepemimpinan jauh lebih kuat terhadap komitmen dibandingkan dengan kompetensi. Hasil ini sesuai dengan pendapat Yukl (2005) bahwa fungsi kepemimpinan memberikan pelatihan dan bimbingan dalam rangka meningkatkan kompetensi dan memberikan visi yang memberi inspirasi dalam rangka meningkatkan komitmen. Oleh sebab itu, implementasi MSDM dan kepemimpinan dapat saling melengkapi. Implementasi MSDM memperkuat sistem dan kepemimpinan memperkuat kinerja melalui komitmen. Fungsi kepemimpinan adalah menyinergikan antara motif individu dan organisasi dengan menyamakan visi dan misi, memberikan teladan, dan mengambil keputusan yang cepat serta keyakinan bahwa organisasi akan terus berkembang yang dapat memberikan rasa aman bagi anggota organisasi.
78
PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
Tata kelola mempunyai hubungan 15% dengan kompetensi (t = 2,04) dan 9% dengan komitmen (t = 2,39). Tata kelola organisasi mencakup akuntabilitas, keadilan, tanggungjawab sosial dan transparansi. Tata kelola organisasi dikembangkan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam anggaran dan kegiatan. Dampak dari akuntabilitas dan transparansi adalah efisiensi dan efektivitas yang akhirnya berdampak pada kompetensi yang dimiliki dosen. Hal ini dapat terjadi karena adanya ketersediaan dana akibat akuntabilitas dan motivasi yang tinggi dari dosen dalam pelatihan dan pengembangan akibat dituntut adanya akuntabilitas dari kegiatan yang diikuti. Komitmen juga dapat terbentuk dengan adanya keadilan dan tanggungjawab sosial. Prinsip keadilan akan mendorong setiap SDM akan meningkatkan keterlibatan dan partisipasi dalam organisasi. Di sisi lain, tanggungjawab sosial akan meningkatkan kedekatan emosional antara SDM dan organisasi sehingga pada akhirnya akan mendorong kemauan bekerja lebih bagi organisasi. Penelitian ini melakukan pembaharuan dengan memasukkan variabel tipe kepribadian sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi kinerja SDM disamping kompetensi dan komitmen yang pada awalnya disebut variabel “X”, suatu variabel yang belum ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kepribadian mempunyai hubungan 1% dengan kinerja (t = 2,01), mempunyai hubungan dengan kompetensi 61% (t = 2,32) dan mempunyai hubungan dengan komitmen 34% (t = 2,06). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian banyak berpengaruh terhadap kompetensi, kemudian komitmen dan relatif kecil dengan kinerja secara langsung.
Kepribadian merupakan keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Terdapat dua hal penting yang mempengaruhi kepribadian yaitu keturunan dan lingkungan. Pengaruh keturunan dan lingkungan inilah yang mempengaruhi kompetensi dan komitmen. Orang yang bertipe the ruler akan optimal menjadi pengajar, dan orang yang bertipe the seeker akan sesuai sebagai peneliti. Tabel 1. Peringkat Indikator Daya Saing Indikator daya saing Produk Loyalitas konsumen Pangsa pasar
Peringkat PTN X
PTS Y
1
1
Hasil SEM 1
3
2
2
2
3
3
Peningkatan daya saing secara berurutan diindikasikan oleh produk, loyalitas konsumen dan pangsa pasar (Tabel 1). Produk berupa kualitas akademik menempati peringkat ke-1 berdasarkan hasil SEM PTN X dan PTS Y. Dengan demikian, produk akademik baik kualitas dan jumlah ketersediaan menjadi penentu daya saing. Loyalitas konsumen di PTN X menempati peringkat ke-3, dan pangsa pasar ke-2, hal ini disebabkan PTN X sebagai PTN besar dan banyak calon mahasiswa sehingga tidak kesulitan mencari calon mahasiswa. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah meningkatkan pemahaman kepada dosen untuk memperhatikan mahasiswa dan pihak pemakai jasa PTN X sebagai konsumen sehingga perspektif konsumen berada pada peringkat kedua dan pangsa pasar pada peringkat ketiga. Bagi PTS Y, urutan daya saing sudah sesuai, dan permasalahan pada
79
PERANAN SUMBER DAYA
peningkatan kapasitas organisasi dengan menambah SDM sesuai dengan kebutuhan terutama yang berpendidikan S3, berkepangkatan akademik lektor kepala dan guru besar. Tabel 2. Peringkat Indikator Kinerja Indikator kinerja Perspektif konsumen Penerimaan/keuangan Pembelajaran Proses internal
Peringkat PTN PTS Hasil X Y SEM 2 1 1 4 4 2 3 3 3 1 2 4
Analisis terhadap kinerja dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif konsumen dan keuangan berada pada peringkat ke-1 dan ke-2, sedangkan pembelajaran dan proses internal pada peringkat ke-3 dan ke-4 (Tabel 2). Dosen PTN X dan PTS Y sama-sama menempatkan perspektif proses internal dan konsumen pada peringkat ke-1 dan ke-2, sedangkan pembelajaran dan keuangan pada peringkat ke-3 dan ke-4. Hal ini menunjukkan bahwa dosen masih fokus pada aspek akademik. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dosen di satu sisi dan manajemen di sisi lainnya; yaitu manajemen berpikir dari perspektif keuangan dan konsumen, sedangkan dosen pada perspektif proses internal dan pembelajaran. Bagi dosen PTN X, internal proses menjadi utama dan konsumen menjadi kedua, hal ini disebabkan kompetensi dosen yang tinggi dan bergerak secara individual sehingga fokus pada tridarma atau dari sisi supply side, dan konsumen belum menjadi fokus. Bagi PTS Y perspektif konsumen sudah menjadi utama, karena mahasiswa sumber utama pendapatan, namun perspektif internal menjadi nomor dua
dari seharusnya perspektif konsumen. Hal ini terjadi karena ada perbedaan pandangan antara sisi dosen yang fokus pada akademik dan manajemen yang fokus pada aspek konsumen dan keuangan. Implikasi manajerial bagi PTN X dan PTS Y adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dosen akan perspektif konsumen dan keuangan, dimana keberlanjutan organisasi juga ditentukan oleh kepuasan konsumen atau repeat order, dan aspek keuangan sebagai nadi organisasi. Tabel 3. Peringkat Indikator Kompetensi SDM Indikator kompetensi SDM Kompetensi dasar Kompetensi fungsional
PTN X 1 2
Peringkat PTS Penelitian Y 2 1 1 2
Kompetensi dosen PTN X sudah sangat bagus dan sudah sesuai dengan kebutuhan peningkatan daya saing (Tabel 3). Salah satu alasan dosen PTN X untuk komitmen tinggal di organisasi tinggi adalah kemudahan untuk pendidikan dan pelatihan terutama di luar negeri. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah meningkatkan kompetensi fungsional dosen, yaitu kemampuan dalam berinteraksi dengan dosen lain, serta berinteraksi dengan organisasi lain dalam rangka perbaikan bisnis proses kepakaran. Implikasi manajerial bagi PTS Y adalah meningkatkan kompetensi dasar pada peringkat ke-1 dan fungsional ke-2. Hal ini tentu berimplikasi pada pengembangan dosen yang bersifat formal terkait dengan hard skill dosen yang melekat pada pendidikan. Komitmen dosen untuk daya saing secara berurutan adalah kedekatan emosi, keinginan bekerja lebih dan kemauan tinggal di organisasi
80
PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
(Tabel 4). Kedekatan emosional di PTN X pada peringkat kedua, hal ini disebabkan kompetensi dosen yang tinggi dan bergerak sendiri-sendiri, kurangnya kesatuan gerak antara manajemen disatu sisi dan dosen di sisi lain. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah merubah suasana kerja PNS menjadi lebih dinamis. Kedekatan emosi dibangun dengan melibatkan partisipasi, kemauan bekerja lebih di dorong dengan sistem reward dan punishment dan loyalitas organisasi harus dijadikan lebih produktif dengan menyusun key performance indicators (KPI) sesuai visi dan misi organisasi. Implikasi manajerial bagi PTS Y adalah meningkatkan kinerja lebih ke peringkat ke-2 dan kemauan tinggal ke peringkat ke-3. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun partisipasi, sistem insentif serta reward dan punishment yang jelas dan terukur serta konsisten dilaksanakan. Tabel 4. Peringkat Indikator Komitmen SDM Indikator komitmen SDM Kedekatan emosi Keinginan berkinerja lebih Kemauan tinggal di organisasi
PTN X
Peringkat PTS Y Penelitian
2
1
1
3
3
2
1
2
3
Implementasi MSDM untuk meningkatkan daya saing adalah pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan benefit, promosi serta seleksi dan rekrutmen (Tabel 5). Bagi PTN X, pelatihan dan pengembangan dosen menjadi peringkat ke-1, dan ini menyebabkan komitmen tinggal di organisasi tinggi dan kompetensi
individual sangat tinggi. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah mengembangkan desain pelatihan dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan organisasi, perbaikan sistem kompensasi dan benefit. Integrasi seluruh penerimaan dan adanya persepsi yang sama dalam bidang SDM dan keuangan dapat dilakukan untuk memperbaiki kompensasi dan benefit. Proses promosi baik jenjang fungsional dan struktural harus menjadi kewajiban dan bukan hak bagi karyawan karena akan berdampak pada kinerja organisasi. Implikasi manajerial bagi PTS Y adalah mengembangkan pelatihan dan pengembangan. Selama ini PTS Y mengandalkan sistem seleksi dengan mendapatkan SDM yang relatif sudah jadi. Hal ini menyebabkan suasana akademik dan kemauan tinggal di organisasi tidak terlalu tinggi. Implikasi bagi PTS Y adalah pendidikan S3 harus menjadi fokus bagi SDM. Selain itu perbaikan sistem gaji yang adil, dan promosi. Tabel 5. Peringkat Indikator Implementasi MSDM Indikator implementasi MSDM Pelatihan dan pengembangan Kompensasi dan benefit Promosi Seleksi dan rekrutmen
Peringkat PTN X PTS Y Penelitian 1
2
1
3
3
2
4 2
4 1
3 4
Kepemimpinan yang dibutuhkan di organisasi adalah kemauan memberi teladan, kecepatan dalam tindakan dan keyakinan (Tabel 6). Ketiga hal tersebut membutuhkan pengalaman menjadi seorang pemimpin sehingga dapat memberi contoh, bertindak cepat dan yakin. Bagi PTN X dan PTS Y
81
PERANAN SUMBER DAYA
mempunyai kondisi yang hampir sama, dimana peranan dosen senior atau guru besar berdampak pada efektifitas organisasi. Sedangkan pemimpin struktural yang dipilih secara demokratis pada berbagai tingkatan menyebabkan tidak sinkronnya visi dan misi organisasi. Oleh sebab itu, bagi perguruan tinggi diperlukan adanya sistem yang memadukan profesionalitas, kinerja dan demokrasi yang menjamin sinerginya visi dan misi dari rektorat sampai dosen.
Kemauan memberi teladan Kecepatan tindakan Keyakinan Pencapaian visi Kejelasan visi Optimisme Delegasi wewenang
PTN X 3 4 2 5 6 1 7
Peringkat PTS Penelitia Y n 4 1 7 1 6 2 3 5
Tabel 7. Peringkat Indikator Tata Kelola Indikator tata kelola
Tabel 6. Peringkat Indikator Kepemimpinan Indikator kepemimpinan
keadilan dari posisi ketiga menjadi kedua. Hal demikian dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem kinerja, dimana orang yang bekerja lebih banyak mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Manajemen berbasis kinerja serta reward dan punishment yang jelas akan mendorong keadilan organisasi.
2 3 4 5 6 7
Tata kelola organisasi dimaksudkan agar pengelolaan organisasi efektif dan efisien dengan memastikan adanya akuntabilitas dan transparansi (Tabel 7). PTN X dan PTS Y telah meningkatkan akuntabilitas dengan melakukan audit keuangan oleh akuntan publik dengan hasil wajar tanpa pengecualian. Transparansi dilakukan dengan menyampaikan program kerja, prosedur dan target kerja melalui berbagai media. Permasalahan yang terjadi adalah efektivitas komunikasi yaitu kemauan untuk mendorong dosen mau mencari dan membaca dari bebagai kegiatan yang disampaikan universitas. Hal penting dalam tata kelola adalah bagaimana meningkatkan rasa
Akuntabilitas Tanggungjawab sosial Keadilan Transparansi
Peringkat PTN X 1
PTS Y 1
Penelitian
3
3
2
2
2
3
4
4
4
1
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa daya saing organisasi sangat terkait dengan kinerja SDM terutama peningkatan kualitas produk akademik, dan loyalitas konsumen. Kinerja SDM berhubungan erat dengan kompetensi dan komitmen SDM. Kompetensi SDM dilakukan dengan pemenuhan kompetensi dasar berupa pendidikan dan komitmen dengan membangun kedekatan emosional dengan menyamakan visi individu dan organisasi, keinginan berkinerja lebih dengan menerapkan manajemen kinerja dan kemauan tinggal pada organisasi dengan jaminan rasa aman dalam organisasi. Implementasi MSDM berupa pendidikan dan pelatihan, dan sistem kompensasi serta benefit
82
PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
sangat penting untuk mendorong kinerja SDM. Kepemimpinan di perguruan tinggi untuk meningkatkan daya saing adalah kemauan memberi teladan, kecepatan mengambil tindakan dan keyakinan atau ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Tata kelola organisasi berpengaruh kuat terhadap komitmen dan kompetensi dengan meningkatkan akuntabilitas dan tanggungjawab sosial. Tipe kepribadian berpengaruh positif terhadap kinerja, namun pengaruhnya lebih kuat melalui kompetensi dan kemudian komitmen. Penugasan yang tepat bagi dosen dalam tridarma yang sesuai dengan tipe kepribadian akan meningkatkan daya saing organisasi. Saran Untuk peningkatan kinerja dosen, maka harus diperhatikan perspektif konsumen dan keuangan agar dosen mempunyai perspektif terhadap mahasiswa sebagai konsumen serta aspek keuangan dari seluruh aktivitas yang dilakukan dosen. Untuk meningkatkan kinerja dosen, kebijakan implementasi MSDM harus menekankan pada aspek pelatihan dan pengembangan dosen, serta kebijakan gaji dan benefit berdasarkan pada manajemen kinerja. Sistem kepemimpinan dibuat secara berjenjang berdasarkan kinerja, dan merupakan bagian dari jenjang karir, serta proses demokrasi hanya memilih orang yang terbaik dari kinerja dan rekam jejaknya. Peningkatan akuntabilitas organisasi dengan menyampaikan pertanggungjawaban keuangan kepada semua pihak yang berkepentingan. Seleksi dosen agar memperhatikan tipe kepribadian. Bagi dosen dengan tipe the sage fokus pada penelitian, dan dosen tipe the ruler fokus pada pengajaran.
Saran untuk penelitian lanjutan adalah: (a) melakukan analisis mendalam dengan mengembangkan indikator dari implementasi MSDM seperti cara atau metode seleksi, kebutuhan training needs analysis, metode penggajian dan insentif, serta tanggungjawab individu dan organisasi terhadap promosi, (b) secara metodologi melakukan analisis secara terpisah dengan memperbanyak jumlah responden sehingga dapat dibedakan setiap organisasi dan gabungan, dan (c) mengkaji tipe kepribadian secara lebih luas sebagaimana dikemukakan dalam teori Jung.
Bibliografi Brodjonegoro, S. S. (2008). Beberapa pemikiran dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing perguruan tinggi. Makalah Universitas Brawijaya, Malang. Chen, T. Y., Hwang S., & Liu, Y. (2009). Employee trust, commitment and satisfaction as moderators of the effects of idealized and consideration leadership on voluntary performance. International Journal of Management, 26(1). Ferguson, K. L. (2006). Human resource management system and firm performance. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Louisville, Kentucky. Pahlan, R. (2007). Competency management: A practicioner’s guide (Terjemahan). Jakarta: PPM. Noe, R., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2008). Human resource management: Gaining a competitive advantage. Boston: McGraw Hill Irwin. Pearson, C. S. & Marr, H. K. (2002). Introduction to archetypes: The guide to interpreting results from the Pearson-Marr
PERANAN SUMBER DAYA
Archetype Indicator Instrument. Florida: Center for Applications of Psychological Type. Porter, M. (1985). Outside-in business strategy: Explanation of five competitive forces. Ditemukembali pada 11 Juli 2009, dari http://www.12manage.com Silveira, A. D., & Saito, R. (2009). Corporate governance in Brazil: Landmarks, codes of best practices, and main challenges. The IUP Journal of Corporate Governance, 3(2). Suharyadi. (2008). Manajemen pendidikan tinggi: Strategi memenangkan kompetisi. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Tinggi di APTISI Wilayah III, Jakarta. Wijayanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8. Yogyakarta: Graha Ilmu. Yukl, G. (2005). Kepemimpinan dalam organisasi (terjemahan). Jakarta: Indeks.
83
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 84–93
ISSN 2085-4242
Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia: Studi Representasi Sosial Ardiningtyas Pitaloka Fakultas Psikologi, Universitas YARSI The Islamic fundamentalism movement has raised and grown in Indonesia in the last 10 years. The most remarkable and traumatic Bali bombing 2001 and 2002 alarmed Indonesia and the world about the real movement in East Asia region. In 2008, the three Bali bombers, Amrozi, Muklas, and Ali Gufron had been executed by dead penalty. Pro and cons emerged around the execution, and mass media had prominent role to create discourse among society. At the mean time, media exposures concern to construct public opinion about supporting jihad movement by three bombers, even as mainstream of Moslem in Indonesia refused the movement. This study intends to look deeper how mass media construct meaning for society. Using semiotic method and social identity theory, this study analyzed newspaper articles about dead-penalty execution in 2008. Interesting impact of mass media exposure towards Moslem identity in Indonesia will be discussed further in this study. Keywords:
social representation, social identity, fundamentalism
Pada 9 November 2008, Indonesia melaksanakan eksekusi hukuman mati atas terpidana Bom Bali I, yakni Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron, dan Imam Samudera. Meski telah banyak negara yang menentang hukuman mati, seperti seluruh anggota Uni Eropa, hukuman ini tidak bertentangan dengan konstitusi di Indonesia. Menurut Mahkamah Konstitusi, pidana mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia (Supandji, 2008). Peristiwa Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menyebabkan 202 korban meninggal, dengan
88 orang di antaranya warga negara Australia (Hutchison, 2008), merupakan peristiwa yang menyadarkan negara Indonesia akan keberadaan gerakan Islam fundamental. Peristiwa traumatik yang telah terjadi lebih dari lima tahun itu kembali menuai beragam pandangan di tahun 2008. Media massa dalam hal ini memiliki andil besar untuk menghadirkan sekaligus membentuk opini publik. Tidak hanya opini, namun studi telah menunjukkan pengaruh media terhadap kondisi psikologis seperti kecemasan dan sikap terhadap isu tertentu. Summers dan Winefield (2009) menemukan adanya pengaruh pemberitaan media terhadap kecemasan dalam 84
LIPUTAN MEDIA
isu perang dan terorisme. Studi pada usia remaja menunjukkan perlunya diskusi mendalam tentang informasi perang dan terorisme untuk menurunkan tingkat tekanan psikologis. Penelitian Shoshani dan Slone (2008) juga menunjukkan adanya tingkat keterlibatan emosi dan sikap yang tinggi terhadap pemberitaan terorisme dibandingkan non-terorisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pembentukan identitas sosial terpidana Bom Bali oleh media massa dalam rangkaian pemberitaannya. Henri Tajfel (1978) dalam teori identitas sosial menyatakan adanya kecenderungan bias ingroup dalam hal mana sekelompok orang cenderung menilai positif kelompoknya dibandingkan kelompok lain (Aronson, Wilson, & Akert, 2004). Anggota kelompok gerakan fundamentalis akan lebih memiliki identitas sosial yang religius dan sangat diutamakan dibandingkan anggota dari kelompok non-fundamentalis (Herriot, 2007). Peneliti menggunakan pendekatan representasi sosial, dalam hal mana wacana sosial berupa percakapan sehari-hari di masyarakat, termasuk media, memegang peran penting. Melalui komunikasi, masyarakat berbagi dan membentuk realitas yang bermakna (Wagner & Hayes, 2005). Fokus penelitian ini adalah representasi sosial pelaksanaan eksekusi terpidana mati Bom Bali melalui media massa. Pertanyaan utama penelitian ini adalah “Bagaimanakah representasi sosial eksekusi para terpidana mati pelaku Bom Bali I 2008?”
Gerakan Fundamentalisme Islam Sejarah menunjukkan bahwa gerakan ini telah ada sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seperti DI-TII di tahun 1953. Yang
85
kembali marak dalam pemberitaan adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Secara mendasar, gerakan tersebut memperjuangkan berdirinya negara Islam yang menggunakan syariat Islam sebagai konstitusi negara (Syu'aibi & Kibli, 2011). Syariat Islam sendiri diklasifikasikan dalam ibadah dan mu'amalah. Ibadah merujuk pada hubungan antara manusia dan Allah SWT, sementara mu'amalah pada hubungan antar manusia, manusia ke benda serta penguasa (Amal & Panggabean, 2004). Berbagai upaya teoretis dalam memahami politik Islam di Indonesia mendasarkan pada kisah kekalahan politik Islam secara formal (Effendy, 2008), atau bagaimana dunia Barat menyudutkan umat Islam (Ma'arif, 2009). Pada awal kemerdekaan Indonesia, Nieuwenhuijze dalam artikelnya di tahun 1950-1960-an menuliskan pandangannya tentang Islam di Indonesia, yakni bahwa penerimaan Pancasila, bukan Islam, sebagai landasan negara tidak serta merta berarti kekalahan politis umat Islam (Effendy, 1998). Pada kenyataannya, kisah kekalahan dan ketidakadilan terhadap umat Islam di Indonesia lah yang menjadi argumentasi kelompokkelompok fundamentalisme Islam hingga saat ini. Jika melihat sejarah Indonesia setelah Reformasi 1998, salah satu pemicu yang nampaknya memberikan celah bagi gerakan ini adalah “kekosongan” ideologi negara. Kekosongan di sini bukan berarti tidak adanya landasan, melainkan gelombang penolakan segala sesuatu yang terkait dengan kepemimpinan Soeharto. Indonesia seperti memasuki fase pembentukan ulang sehingga terbuka sekaligus rentan. Perubahan sistem negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi ditunjukkan salah satunya dengan penerapan hukum Islam di Daerah Istimewa Aceh,
86
PITALOKA
kompromi politik atas konflik senjata yang panjang, merujuk pada UU No. 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengatur lebih jauh otonomi khusus bagi NAD, seperti mahkamah syariat, qanun, lambang daerah, kepolisian dengan ciri khas Aceh, kepemimpinan adat, dan lain-lain (Amal & Panggabean, 2004). Peristiwa ini disadari atau tidak memberikan peluang kembalinya isu penerapan syariah di Indonesia secara luas. Pemicu lain perkembangan radikalisme agama adalah ketidakadilan dan persepsi ketidakadilan. Ancok (2008) menyatakan bahwa ketidakadilan prosedural dan ketidakadilan distributif dipersepsikan dilakukan oleh negara Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi dan politik seperti lembaga IMF, Bank Dunia, dan WTO. Ketidakadilan tercermin antara lain dengan penerapan standar ganda dalam hubungan negara Barat dan Israel yang sangat berbeda dengan perlakuan mereka pada negaranegara yang berpenduduk mayoritas agama Islam. Milla (2008) dalam studinya juga menemukan adanya kepercayaan yang sangat kuat tentang peran penting jihad dalam Islam, faktor situasional berupa tekanan dari pemerintah yang menghalangi penerapan syariah Islam, serta ketidakadilan dalam kondisi terbatasnya akan pilihan sumber daya, pada pelaku aksi terorisme. Pada perkembangannya, aksi fundamentalisme mengerucut pada ideologi jihad yang menggerakkan terjadinya kekerasan suci, suatu tindak kekerasan yang diyakini layak dan sah untuk dilakukan sebagai pembelaan agama (Chusniyah, 2006). Tindakan kekerasan atas nama agama kemudian menjadi teror di masyarakat.
Terorisme merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian dalam psikologi. Ketika sistem sosial tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka bencana muncul. Seperti halnya bencana, terorisme menghadirkan perubahan yang mengguncang, tidak diharapkan, dan tidak diinginkan. Hal ini karena munculnya ancaman terhadap aspek fisik, simbol, dan aspek afektif di masyarakat (Lavanco, Romano & Milio, 2008). Ancaman tersebut juga mencakup identitas sosial, seperti nampak dalam penyerangan atau ancaman terhadap simbol yang mewakili kelompok sosial masyarakat. Menurut Houghton (2009), terorisme adalah suatu “pertunjukan atau teater” karena dampaknya yang sangat kuat menarik perhatian masyarakat luas, sebagaimana dalam kutipan berikut: What sets terrorism apart from other violence is this: terrorism consists of acts carried out in a dramatic way to attract publicity and create an atmosphere of alarm that goes far beyond the actual victims. Indeed, the identity of the victims is often secondary or irrelevant to the terrorists who aim their violence at the people watching. This distinction between actual victims and a target audience is the hallmark of terrorism and separates it from other modes of armed conflict. Terrorism is theater.
Identitas Sosial Identitas sosial berbeda dengan identitas personal yang lebih menekankan aspek kepribadian seseorang. Setiap orang memiliki dan dapat memilih identitas sosial, seperti agama, bangsa, pekerjaan, dan lainnya; meski beberapa identitas sosial juga bersifat melekat, seperti etnisistas. Setiap orang juga dapat
87
LIPUTAN MEDIA
melepaskan identitas sosialnya dan beralih ke identitas sosial lain yang dapat memberikan self-esteem positif dan keuntungan lainnya (Aronson, Wilson & Akert, 2004). Teori identitas sosial juga menggambarkan bagaimana dinamika konsep diri dan interaksi antar anggota dalam sebuah kelompok (Abrams & Hogg, 1999). Tajfel dan kawan-kawan di Bristol berhasil menunjukkan bahwa kategorisasi sosial yang paling sederhana pun cukup untuk menyebabkan diskriminasi antar kelompok. Fenomena ini yang selanjutnya dikenal sebagai minimal group paradigm (Abbrams & Hogg, 1999). Identitas sosial berhubungan dengan diskriminasi antar kelompok, identifikasi kuat terhadap kelompok, favoritisme kelompok dan meningkatnya self-esteem (Páez, MartínezTaboada, Arróspide, Insúa & Ayestarán, 1998). Identitas sosial juga mempengaruhi konsep diri seseorang atau anggotanya. Oleh karena itu, menjadi anggota kelompok yang berstatus lebih tinggi sangatlah diinginkan, karena dapat memberikan identitas sosial positif dan konsep diri positif juga. Sebaliknya, keanggotaan dalam kelompok yang berstatus rendah tidak diinginkan, karena akan mempengaruhi konsep diri anggota kelompok menjadi negatif (Ellemers, Wilke, & van Knippenberg, 1993). Keanggotaan dalam hal ini tidak bermakna secara formal, melainkan bagaimana seseorang mengaitkan atau mengakui satu kelompok menjadi identitas sosialnya. Studi Tajfel menunjukkan bahwa bahkan kategorisasi paling sederhana pun cukup untuk menciptakan "kelompok saya" dan "kelompok kamu", atau in-group dan out-group (Abbrams & Hogg, 1999). Prinsip utama dalam teori identitas sosial adalah: (a) individu berusaha untuk memiliki
atau menjaga identitas sosial positif, (b) identitas sosial positif menjadi landasan untuk favoritisme kelompok atas kelompok lain (kelompok sendiri lebih positif), (c) jika identitas sosial yang ada tidak memuaskan, maka individu akan meninggalkan kelompoknya dan beralih ke kelompok lain yang lebih memberikan identitas sosial positif, atau memperjuangkan agar kelompoknya memiliki identitas sosial positif (Tajfel & Turner, 2001). Interaksi erat antara individu dengan kelompoknya juga dapat mendorong terjadinya depersonalisasi. Pada depersonalisasi, individu memandang dirinya sendiri sama, sejajar dan tidak tergantikan dengan sebagai anggota kelompok, daripada sebagai seorang individu yang memiliki keunikan. Kondisi ini akan membuat seseorang bertindak sesuai karakter atau standar kelompoknya, sehingga menampilkan pola yang sama (Lorenzi-Cioldi, 2006). Pembentukan identitas sosial cenderung digerakkan oleh proteksi-ego atau bias optimisme tentang diri yang berpotensi terjadinya favoritisme diri dan kelompok (Comstock & Scharrer, 2005).
Representasi Sosial dan Media Representasi kolektif adalah fenomena spesifik yang terkait dengan pola pemahaman dan komunikasi, suatu pola yang membentuk baik realitas dan logika. Representasi sosial memberikan gambaran untuk memahami dunia yang beragam dan kompleks berupa gambaran yang memiliki makna, bobot, dan struktur terhadap fenomena di kehidupan sehari-hari, sekaligus menentukan karakter stimulus dan respon (Moscovici, 2001). Makna dan struktur ini selanjutnya memberikan kepastian dan efek positif, karena adanya keselarasan antara
88
PITALOKA
ekspektasi dan data atau fakta (bukti) dalam interaksi dengan dunia (Wagner & Hayes,2005). Komunikasi antar manusia bersifat aktif, bermakna, dan dinamis, berbeda dengan pola mekanis seperti telekomunikasi (Rogers, 2003). Media massa merupakan salah satu media dalam mana terjadi interaksi antar berbagai simbol. Berbeda dengan subjek penelitian dalam disiplin psikologi yang menggunakan informasi kognitif maupun afektif dari individu, media massa baik dalam bentuk teks maupun gambar telah menjadi obyek penelitian. Wagner, Kronberger, & Seifert (dalam Wagner & Hayes, 2005) menyatakan bahwa kuantitas dan intensitas pemberitaan media secara langsung terkait dengan terbentuknya pemahaman metafora dan objektivikasi representasi. Dalam alam demokrasi, keterbukaan pemberitaan media seperti “pedang bermata dua”. Seringkali pemberitaan membentuk personalisasi yang cenderung menghambat atau menghalangi identitas kolektif sehingga memancing mobilisasi masyarakat akar rumput terkait satu isu. Gamson (2009) mengemukakan beberapa kritik terhadap media, antara lain: (a) tidak rasional dan menghadirkan argumentasi tak berdasar, (b) distorsi informasi, (c) rendahnya penghargaan terhadap peradaban, (d) polarisasi isu dan menghambat keragaman pandangan, (e) menitikberatkan emosi daripada logika, (f) tidak mendalam; (g) perspektif tidak beragam, (h) memicu sikap pasif masyarakat. Di sisi lain, demokrasi menuntut adanya ruang publik untuk beragam pemikiran dan pandangan, seperti dinyatakan oleh Cohen (1989, dalam Gamson, 2009) berikut:
The notion of a deliberative democracy is rooted in the intuitive ideal of a democratic association in which justification of the terms and conditions of association proceeds through public argument and reasoning among equal citizens.
Pada masyarakat kontemporer, media massa mendominasi makna dari representasi opini dan pengalaman kolektif. Masyarakat menonton televisi, membaca media cetak, mendengarkan radio dan mencari informasi melalui internet untuk mendapatkan apa yang orang lain pikirkan, rasakan, dan alami dalam hidupnya (Comstock & Scharrer, 2005).
Metode Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis konten. Holsti (dalam Triandis & Berry, 1980) mendefinisikan analisis konten sebagai segala teknik untuk mengambil kesimpulan secara sistematis dan objektif dengan mengidentifikasi karakteristek spesifik pada suatu catatan atau pesan teks. Janis (dalam Triandis & Berry, 1980) mendefinisikan analisis konten secara lebih operasional, seperti dalam kutipan berikut: Content analysis may be defined as referring to any technique (a) for the classification of the sign-vehicles, (b) which relies solely upon the judgments (which theoretically, may range from perceptual discriminations to sheer guesses) of analyst or group of analysts as to which sign-vehicles fall into which categories, (c) on the basis of explicitly formulated rules, (d) provided that the analyst's judgments are regarded as the reports of a scientific observer.
LIPUTAN MEDIA
Objek analisis penelitian ini adalah media massa dengan karakteristik (a) media cetak nasional, dan (b) telah dikenal masyarakat secara luas. Asumsi karakteristik tersebut adalah besarnya potensi media untuk menciptakan wacana dan makna untuk para pembacanya. Berdasarkan karakter subyek penelitian, maka peneliti memilih media harian Kompas. Unit analisis penelitian berupa artikel pemberitaan eksekusi pelaku Bom Bali I di surat kabar nasional sejak Oktober hingga November 2008 yang diunduh dari situs resmi surat kabar tersebut (Kompas.com). Data penelitian berupa artikel pemberitaan eksekusi terpidana mati pelaku Bom Bali I sejumlah 40 artikel dengan rincian: (a) 14 artikel pada bulan Oktober 2008 (6-13 Oktober 2008), (b) 13 artikel pada bulan November sebelum pelaksanaan eksekusi (2-8 November 2008), dan (c) 13 artikel setelah pelaksanaan eksekusi (9-17 November 2008). Analisis data penelitian dilakukan terhadap pemberitaan yang berisi (a) kategorisasi terpidana pelaku Bom Bali I sebagai korban; (b) identifikasi pelaksanaan eksekusi terpidana pelaku Bom Bali 1 sebagai peristiwa besar atau penting, dan (c) pembandingan terpidana dengan tokoh penting atau ternama.
Hasil
Kategorisasi terpidana sebagai korban Judul maupun isi berita menunjukkan adanya pengategorisasian terpidana sebagai korban. Perlakuan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam (a) perlakuan tidak adil oleh pemerintah kepada keluarga Amrozi, (b) dukungan dari pemimpin dan pengikut
89
tokoh kelompok Islam fundamental, (c) Amrozi dan kawan-kawan sebagai korban suatu rezim. Contoh-contoh pemberitaan dimaksud adalah sebagai berikut: “Mereka juga meminta, kalau mereka dieksekusi, maka eksekutornya juga harus dieksekusi," tambah Kholid. Selain itu, TPM juga diminta melaporkan perbuatan dzalim ini ke Mahkamah Internasional (MI). ("Jika Dieksekusi", 2008) Keluarga Amrozi menyayangkan kenapa pemerintah mempercepat eksekusi. Kakak Amrozi Ustad Jakfar yang juga pengasuh Ponpes Al Islam Desa Tenggulun menuturkan kenapa terpidana mati yang sudah belasan tahun belum dieksekusi, tetapi Amrozi cs dieksekusi. Dia juga menyayangkan tidak ada lagi kesempatan membesuk ke LP Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah. ("Warga Tanggapi", 2008) Hingga saat ini keluarga Amrozi dan Ali Ghufron, terpidana mati bom Bali I belum mendapatkan kepastian kapan eksekusi dilaksanakan. Kakak Amrozi, Ustad Khozin Jumat (31/10) menyatakan sampai Jumat sore belum ada pemberitahuan secara resmi kapan eksekusi dilaksanakan baik dari kejaksaan maupun dari Tim Pembela Muslim. ("Keluarga Amrozi ", 2008) "Jelang rencana pembunuhan Amrozi cs (eksekusi-Red), kami menyayangkan pengamanan begitu ketat seperti mau perang. Soal urusan perlawanan hukum kami percaya pada Tim Pembela Muslim. Kami hanya berdakwah dan melawan dengan lisan, dengan cara bersilaturahmi ke Tenggulun dan menyampaikan pendapat," kata Muzayyin. ("Anggota Ansharut", 2008) Hal yang sama diungkapan Pimpinan Pondok
90
PITALOKA
Pesantren Dzikrussyifa Brojomusti Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Kiai M Muzakkin. Muzakkin mengatakan setiap orang punya kepentingan yang sama menuju ke jalan Allah tetapi jalannya berbeda-beda. ("Anton Medan ", 2008)
Identifikasi eksekusi sebagai peristiwa besar Judul ("Warga Tanggapi Dingin Eksekusi Amrozi", "Pangdam: Waspadai Dampak Eksekusi Amrozi", "Regu Tembak dan 2 Helikopter Siaga di Nusakambangan", "Jakarta Siaga Satu Jelang Eksekusi Amrozi dkk", "Jelang Eeksekusi Amrozi cs, Turis Berkurang", "Jalan Panjang Amrozi dkk Menuju Eksekusi", "Adi Masardi Sesalkan Perlakuan Khusus Untuk Amrozi", "Eksekusi Amrozi dkk Menggunakan Satu Peluru", "Detik-detik Eksekusi Amrozi dkk") dan isi berita menunjukkan identifikasi pelaksanaan eksekusi terpidana sebagai peristiwa besar, seperti peristiwa nasional di Indonesia. Secara garis besar, identifikasi tersebut meliputi (a) pengumuman tanggal eksekusi oleh tokoh atau institusi ternama di Indonesia, (b) pemberitaan tentang proses, perangkat dan infrastruktur eksekusi secara detil, (c) peningkatan tingkat pengamanan di kota-kota besar, dan (d) kilas balik gerakan Amrozi dan kawan-kawan (terpidana). Contoh-contoh pemberitaan dimaksud adalah sebagai berikut: "Silakan datang besok jam 10 pagi. Besok akan diumumkan soal eksekusi Amrozi Cs. Tapi saya belum tahu, siapa yang akan mengumumkan dan apa yang akan diumumkan," tegas Kepala Pusat Penerangan
Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Jasman Panjaitan di Kejagung, Jakarta. ("Besok, Kejagung", 2008) Dua helikopter milik Polri itu diperkirakan akan digunakan untuk angkutan pascaeksekusi. ("Dua Helikopter ", 2008) "Ya. Ini kami sedang melakukan persiapan untuk mengumumkannya kepada publik. Mudah-mudahan sebelum pukul 12.00 konferensi pers sudah bisa dilakukan," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Jasman Pandjahitan ketika dihubungi, Minggu. ("Kejaksaan Akan", 2008)
Pembandingan terpidana dengan tokoh penting Judul dan isi berita menunjukkan bahwa media menghadirkan tokoh-tokoh tingkat nasional dan internasional dalam isi pemberitaan mengenai proses eksekusi dan terpidana. Hal ini mengindikasikan bahwa terpidana (Amrozi, dkk.) memiliki posisi yang sama signifikansinya dengan para tokoh pembanding. Selain itu, media cenderung menghadirkan pandangan tokoh atau pimpinan kelompok agama yang memiliki ideologi Islam fundamentalisme yang secara tegas membela terpidana dan tidak menyetujui eksekusi. Dalam pemberitaan selama dua bulan tersebut, media tidak menghadirkan tokoh agama Islam yang tidak berpihak pada satu golongan atau umat Muslim mainstream seperti Muhammadiyah atau Nahdhatul Ulama. Contoh-contoh pemberitaan dimaksud adalah sebagai berikut: Ustad Abu Bakar Ba'asyir, Senin (6/10), tidak diizinkan menjenguk tiga terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam
91
LIPUTAN MEDIA
Samudra, yang saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Cilacap. ("Abu Bakar", 2008) Menjelang eksekusi tiga terpidana mati pelaku bom Bali I, Duta Besar Australia Bill Farmer menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji di kantor Kejaksaan Agung Kejagung, Senin (27/10). ("Dubes Australia ", 2008) Sumber Persda Netowrk di Polda Jawa Tengah menyebutkan, eksekusi akan dilakukan setelah Pangeran Charles meninggakan Indonesia. "Setelah Pangeran Charles meninggalkan Indonesia, eksekusi akan dilaksanakan," tegasnya, Selasa (4/11) ("Eksekusi Amrozi Cs. ", 2008)
Kesimpulan dan Saran Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa media, dengan (a) mengidentifikasikan terpidana sebagai korban suatu pemerintahan/negara, (b) mengategorisasikan pelaksanaan eksekusi terpidana mati bom Bali sebagai peristiwa penting, (c) membandingkan terpidana dengan tokoh dan institusi penting tingkat nasional/internasional, (d) lebih menampilkan pandangan pemimpin agama yang membela terpidana, serta (e) tidak menampilkan pandangan tokoh agama dari organisasi Islam yang netral atau memiliki pandangan berbeda dengan terpidana, telah memicu pembentukan identitas sosial positif bagi gerakan kelompok fundamentalis. Hal tersebut karena (a) representasi sosial menjadi korban berarti pembom menjadi pihak yang "tidak bersalah" sehingga memicu kesan sebagai pahlawan, (b) kesan tersebut membentuk citra identitas positif sebagai
penegak agama Islam di mata pengikut atau siapapun yang bersimpati, dan menyulut dukungan umat muslim secara luas karena media hanya menampilkan pandangan tokoh yang bersimpati terhadap pembom. Representasi sosial bersifat dinamis. Pemikiran tidak hanya dimiliki sekelompok orang seperti kalangan akademis. Oleh karena itu, media massa diharapkan dapat menampilkan berita secara berimbang karena perannya yang signifikan dalam membentuk identitas sosial bagi pihak yang menjadi pemberitaan dan masyarakat lebih luas. Meskipun unit analisis penelitian ini adalah media nasional, namun sebaiknya menggunakan lebih dari satu media nasional. Media lain yang juga berpotensi mempengaruhi masyarakat adalah media elektronik atau televisi. Peneliti dapat membandingkan analisis konten dari satu media dan lainnya sehingga mendapatkan representasi sosial yang lebih komprehensif. Penelitian mendatang hendaknya menggunakan lebih dari satu sumber sebagai unit analisis. Selain itu, peneliti juga dapat melakukan elaborasi dengan metode focus group discussion dan wawancara terkait pemberitaan media. Analisis pendamping seperti statistik deskriptif juga dapat memperkuat representasi sosial yang terbentuk tentang satu isu atau permasalahan sosial.
Bibliografi Abbrams, D., & Hogg, M. (1999). Social identity and social cognition. Massachusetts: Blackwell Publishers. Abu Bakar Ba'asyir tak diizinkan temui Amrozi dkk. (2008, 6 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus112009/kpkr
92
PITALOKA
ead/2008/10/06/14251028/Abu.Bakar.Ba.as yir.Tak.Diizinkan.Temui.Amrozi.dkk Amal, T. A., & Panggabean, R. S. (2004). Politik syariat Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet Ancok, D. (2008). Ketidakadilan sebagai sumber radikalisme dalam agama: Suatu analisis berbasis teori keadilan dalam pendekatan psikologi. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 1-8. Anggota Ansharut Tauhid beri dukungan Amrozi cs. (2008, 4 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus102008/readi b/xml/2008/11/04/14115599/Anggota.Ansh arut.Tauhid..Beri.Dukungan.Amrozi.Cs Anton Medan doakan Amrozi cs. (2008, 7 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/11/0 7/19465874/anton.medan.doakan.amrozi.cs Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2004). Social psychology (4th ed.). New Jersey: Prentice Hall. Besok, Kejagung umumkan eksekusi Amrozi Cs. (2008, 23 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/2 3/18262323/Besok.Kejagung.Umumkan.Ek sekusi.Amrozi.Cs Chusniyah, T. (2006). Ideologi, mortality salience dan kekerasan suci: Analisis model struktural. Insan, 8(2). Comstock, G., & Scharrer, E. (2005) The psychology of media and politics. London: Elsevier Academic Press. Dua helikopter dikirim ke Nusakambangan. (2008, 2 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://kesehatan.kompas.com/read/2008/11/ 02/1946244/Regu.Tembak.dan.2.Helikopter .Siaga.di.Nusakambangan.
Dubes Australia temui Jaksa Agung. (2008, 27 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/2 7/21300236/dubes.australia.temui.jaksa.agu ng Effendy, B. (1998). Islam dan negara. Jakarta; Paramadina. Eksekusi Amrozi cs. setelah Pangeran Charles balik ke Inggris. (2008, 5 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/ 05/06041083/eksekusi.amrozi.cs.setelah.pan geran.charles.balik.ke.inggris Ellemers, N., Wilke, H., & van Knippenberg, A. (1993). Effects of the legitimacy of low group or individual status on individual and collective status-enhancement strategies. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 766-778. Gamson, W. A. (2009). Collective identity and the mass media. Dalam Borgida, E., Federico, E. M., & Sullivan, J. L. (2009), The political psychology of democratic citizenship. New York: Oxford University Press. Herriot, P. (2007). Religious fundamentalism and social identity. New York: Routledge. Houghton, D. P. (2009) Political psychology: situations, individuals, and cases. New York: Routledge. Hutchison, E. (2008). The politics of posttrauma emotions: Securing community after the Bali bombing. Working paper. Canberra: Department of International Relations, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. Jika dieksekusi Amrozi cs tuntut Jaksa Agung. (2008, 24 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/2 4/22001953/Jika.Dieksekusi..Amrozi.Cs.Tu
LIPUTAN MEDIA
ntut.Jaksa.Agung Kejaksaan akan umumkan detail eksekusi Amrozi, dkk. (2008, 9 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus052009/antas ariread/2008/11/09/11404962/Kejaksaan.Ak an.Umumkan.Detail.Eksekusi.Amrozi.dkk Keluarga Amrozi belum dapat pemberitahuan. (2008, 31 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/3 1/18071885/keluarga.amrozi.belum.dapat.p emberitahuan Lavanco, G., Romano, F., & Milio, A. (2008). Terrorism's fear: perceived personal and national threats. International Journal of Human and Social Sciences, 3-4. Lorenzi-Cioldi, F. (2006). Group status and individual differentiation. Dalam Postmes, T., & Jetten, J. (2006), Individuality and the group: advances in social identity. London: Sage Publication,Ltd. Ma'arif, A. S. (2009). Masa depan Islam di Indonesia. Dalam Wahid, A. (2009), Ilusi Negara Islam: Ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. Milla, M. N. (2008). Bias heuristik dalam proses penilaian dan pengambilan strategi terorisme. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 912. Moscovici, S. (2001). Social representations: Explorations social psychology. New York: University Press. Páez, D., Martínez-Taboada, C., Arróspide, J. J., Insúa, P., & Ayestarán, S. (1998). Constructing social identity: The role of status, collective values, collective selfesteem, perception and social behaviour. Dalam Worchel, M., Páez, D., & Deschamps, Social identity: International perspectives. London: Sage Publications.
93
Rogers, W. S. (2003). Social psychology: Experimental and critical approach. Bristol: Open Unity Press. Shoshani, A., & Slone, M. (2008). The drama of media coverage of terrorism: Emotional and attitudinal impact on the audience. Studies in Conflict & Terrorism, 31(7), 627640. Summers, J., & Winefield, H. (2009). Anxiety about war and terrorism in Australian highschool children. Journal of Children and Media, 3(2), 166-184. Supandji, H. (2008). Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, 4(2). Syu'aibi, A., & Kibil, G. (2011). Merunut akar kekerasan dalam Islam. Dalam Prasetyo, B., Merunut akar kekerasan dalam Islam. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ entertainmen/2011/05/14/3375/MerunutAkar-Kekerasan-dalam-Islam. Tajfel, H. & Turner, J. (2001). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam Hogg, M. A., & Abrams, D., Intergroup relations: Key readings in social psychology. Philadelpia: Psychology Press. Triandis, H. C. & Berry, J. W. (1998) Handbook of cross-cultural psychology: Methodology (Vol. 2). Boston: Allyn and Bacon. Wagner, W., & Hayes, N. (2005). Everyday discourse and common sense: The theory of representations. Hampshire: Palgrave MacMillan. Warga tanggapi dingin eksekusi Amrozi. (2008, 30 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/3 0/17340922/warga.tanggapi.dingin.eksekusi .amrozi
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 94–103
ISSN 2085-4242
Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah Puji Hermawanti
Mochamad Widjanarko
Sahabat Pantura, Pati, Jawa Tengah
Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus
This research is motivated by the complexity of HIV/AIDS problems among female sex workers. In Pati Regency, the number of female sex workers with HIV infection is the highest and whom most of the workers are still working without using condoms. Meanwhile, the classic problem of HIV/AIDS stigma and discrimination is still high and affecting their level of self-acceptance. The research is conducted to understand the selfacceptance aspects of female sex workers with HIV positive. To obtain the in depth data, the researcher uses phenomenological qualitative research method. The results of the research shows that the selfacceptance of female sex workers infected with HIV has a different level of maturity influenced by the support, experience, knowledge, independence, and self respect as well as work respect. Keywords: self-acceptance, female sex workers
Istilah HIV/AIDS sering terdengar, terutama pada 1 Desember yang diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Keberadaan tempat prostitusi merupakan faktor pendukung perkembangan kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah. Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki tempat prostitusi dengan sebaran lokasi cukup luas adalah Pati. Kabupaten Pati terletak sekitar 75 km sebelah timur Semarang dan berada di jalur pantai utara (pantura) Semarang-Surabaya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Laut Jawa di Utara, Kabupaten Rembang dan Laut Jawa di sebelah Timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di Selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di sebelah Barat. Luas wilayah kabupaten Pati 1.503,68 km² dengan jumlah
penduduk 1.247.881 pada akhir tahun 2007 dan kepadatan penduduk 830 jiwa/km² (Badan Pusat Statistik Pati, 2007). Luas wilayah kabupaten tersebut diikuti pula oleh luasnya persebaran tempat prostitusi. Berdasarkan data survei Lembaga Swadaya Masyarakat “Sahabat Pantura” (SAPA), pada Desember 2007 lalu terdapat 24 tempat prostitusi yang tersebar di 21 kecamatan, dengan jumlah pekerja seks mencapai 484 orang (Tabel 1). Dari sejumlah tempat prostitusi yang tercatat, terdapat 4 tempat prostitusi terlokalisasi dengan jumlah pekerja seks cukup tinggi, yaitu Lorong Indah, Pasar Hewan Margorejo, Kampung Baru, dan Gajah Asri, yang berada di Kecamatan Margorejo dan Batangan. Keempat lokasi tersebut terletak di 94
95
PENERIMAAN DIRI
jalur Pantura. Jumlah pekerja seks berdasarkan data Desember 2007 sebanyak 374 orang, dan data Desember 2008 sebanyak 321 orang. Dengan maraknya tempat prostitusi di Kabupaten Pati, maka risiko penularan penyakit seperti infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS sangat besar. Satu kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di kabupaten Pati pada 1996. Berdasarkan data Subdin PPM & PL DKK Pati, Desember 2008, sampai dengan September 2008 lalu telah terdapat 115 kasus (Tabel 2); 15 orang diantaranya sudah meninggal. Tabel 1. Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati Kecamatan
Tambakromo Gabus Winong Margorejo Pati Kota Trangkil Juwana Batangan Jakenan Pucakwangi Tayu Margoyoso Wedarijaksa Jumlah
Jumlah Lokasi
1 4 2 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2
Jumlah Perempuan Pekerja Seks (PPS) 6 11 7 269 6 15 30 105 3 1 16 7 8 484
Sebagian besar kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati ditemukan pada kelompok risiko tinggi pekerja seks dengan melakukan VCT mobile (program pendampingan dan tes pemeriksaan darah untuk mendeteksi HIV/AIDS yang dilakukan secara mobile) rutin. LSM SAPA mencatat 27 pekerja seks terinfeksi HIV pada tahun 2007-2008 di 5 tempat
prostitusi; tiga diantaranya telah meninggal pada tahun sama ditemukan kasus. Sementara itu 7 kasus yang masih hidup meninggalkan lokasi sehingga tidak terpantau oleh pendamping, sedangkan 17 kasus dalam pendampingan. Tabel 2. Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Kasus 1 0 2 0 2 4 3 3 2 10 12 22 54
Kumulatif 1 1 3 3 5 9 12 15 17 27 39 61 115
Dalam perkembangannya, kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pati mulai banyak dialami oleh kelompok masyarakat umum, namun kompleksitas permasalahan pada kelompok pekerja seks tetap tinggi. Mobilisasi pekerja seks yang tinggi, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain menyulitkan proses pendampingan serta pemantauan terutama bagi pekerja seks dengan status HIV positif. Proses perawatan tindak lanjut seperti melakukan pemeriksaan jumlah sel darah putih secara bertahap, pengobatan infeksi oportunistik pada HIV, dan perawatan lain, belum banyak dilakukan oleh pengidap HIV yang masih aktif bekerja di lokasi prostitusi. Pengusiran sudah banyak terjadi pada pekerja seks yang mengalami penurunan
96
HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
kondisi fisik seperti badan yang semakin kurus, tampak tidak sehat, mengalami infeksi menular seksual yang parah, serta beberapa kondisi yang diduga mengarah pada HIV/AIDS menurut informan dari lingkungan setempat. Beberapa pekerja seks yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV kemudian sengaja meninggalkan tempat kerja mereka karena diduga takut statusnya diketahui lingkungan lalu diusir.
Stigma Pengidap HIV/AIDS Pada Perempuan Pekerja Seks Meskipun lebih dari 20 tahun lalu kasus HIV/AIDS ditemukan di Indonesia, namun stigma dan perlakuan diskriminatif masih terjadi sampai sekarang. Stigma dan diskriminasi disebabkan oleh kurang tepatnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang HIV/AIDS. Tidak jarang perlakuan buruk justru dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti yang pernah terjadi di sebuah rumah sakit di Kabupaten Pati tahun 2008 lalu (pengamatan penulis). Pada waktu mengetahui bahwa pasien yang dirawat adalah seorang pengidap HIV, perawat rumah sakit tersebut menyebarkan informasi kepada teman-temannya sehingga mempengaruhi perlakuan perawatan terhadap pasien. Perlakuan pihak rumah sakit tersebut terhadap pasien HIV positif sampai saat ini terkesan masih menyamakan dengan pasien yang mengidap penyakit menular. Bila pada umumnya tempat makan untuk pasien menggunakan piring, maka untuk pasien HIV positif diberikan kemasan yang sekali pakai meskipun pasien tidak memiliki indikasi infeksi oportunistik yang menular. Perempuan pekerja seks tak terpisahkan dengan permasalahan HIV/AIDS. Tubuh
pengidap HIV positif sangat rentan menerima penyakit lain. Pada perempuan pekerja seks yang mengidap HIV positif, risiko terinfeksi berbagai penyakit sangat tinggi karena perilaku berganti-ganti pasangan seks yang tidak aman. Oleh karena itu perempuan pekerja seks tersebut seringkali disarankan untuk berhenti sebagai alternatif terbaik. Bila tidak dapat, maka perempuan disarankan untuk (a) merayu pelanggan untuk menjaga penggunaan 100% kondom dan berani menolak bila pelanggan tidak bersedia menggunakannya, (b) rutin memeriksakan kondisi IMS dan keluhan lain yang muncul, (c) mencari informasi tentang keluhan-keluhan yang dialami, dengan bertanya kepada dokter maupun pendamping, berbagi dengan teman sebaya, dan membaca buku-buku seputar keluhan yang dirasakan, (d) mencari teman sebaya untuk mendapatkan dukungan dan berbagi pengalaman, (e) bagi pengidap HIV yang belum mempercayai hasil, hendaknya memahami ada atau tidaknya perilaku berisiko yang dilakukan, serta bila perlu berkonsultasi dengan konselor VCT. Dalam penanggulangan HIV/AIDS, pekerja seks dikategorikan sebagai kelompok risiko tinggi yang menjadi sasaran utama program penanggulangan HIV/AIDS. Kenyataan ini semakin memperkuat stigmatisasi pekerja seks sebagai kaum marjinal sekaligus berisiko tinggi tertular maupun menularkan HIV. Dengan kata lain, pekerja seks menyandang stigma ganda yang cenderung bermakna negatif. Siapapun pengidap HIV positif, termasuk pekerja seks, kemungkinan besar akan memberikan reaksi psikis terhadap penyakit yang diderita meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda. Reaksi tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik. Tingginya stigma dan perlakuan diskriminatif sangat berpengaruh terhadap
PENERIMAAN DIRI
kondisi mental klien dengan HIV positif, meskipun reaksi individu satu dengan yang lain tidak sama. Perasaan cemas, khawatir, maupun takut diketahui selalu membayangi. Mitos mengenai HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan dan hanya tinggal menunggu kematian seringkali mengganggu pikiran mereka. Beberapa gangguan psikis yang sering muncul adalah susah tidur, sindrom rasa sakit, keinginan bunuh diri, gangguan kepanikan, serta gangguan kecemasan. Kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa pengidap HIV adalah orang-orang dengan perilaku menyimpang justru lebih menyakitkan dan memperparah kondisi pengidap HIV daripada penyakit itu sendiri. Minimnya pengetahuan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap tingginya stigma HIV, yang mengakibatkan rendahnya dukungan dan perawatan yang diterima pengidap HIV. Pengidap HIV tidak hanya membutuhkan perawatan medis, tetapi juga dukungan psikis agar mereka tidak merasa dikucilkan. Dukungan dari orang-orang terdekat diharapkan dapat membantu membangun kembali semangat pengidap HIV serta membantu proses penerimaan dirinya.
Penerimaan Diri Sehubungan dengan masih sensitifnya isu tentang HIV/AIDS pada kalangan kelompok berisiko tinggi seperti pekerja seks, maka penanganan kasus perlu berhati-hati dan memperhatikan kode etik kerahasiaan. Stigma buruk yang masih terjadi seringkali berdampak pada perlakuan diskriminatif, seperti pengucilan maupun pengusiran terhadap pekerja seks. Adanya stigma dan diskriminasi inilah yang seringkali menyebabkan seorang pengidap HIV
97
positif sulit menerima kondisi dirinya tersebut secara apa adanya. Penerimaan diri pada pengidap HIV positif dimaksudkan agar individu yang bersangkutan memiliki motivasi untuk tetap hidup sehat dan tidak terpuruk. Seseorang yang dapat menerima diri secara baik, menurut Calhoun dan Acocella (1990) tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Kesempatan itu membuat individu mampu melihat peluang-peluang berharga yang memungkinkan diri berkembang. Seorang pengidap HIV yang mampu menerima keadaan diri apa adanya diharapkan dapat melihat kembali masa depannya serta mampu mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Hurlock (1990) mengemukakan ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pembentukan penerimaan diri seseorang, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistis, bebas dari hambatan sosial, perilaku sosial yang menyenangkan, konsep diri yang stabil, dan adanya kondisi emosi yang menyenangkan. Hurlock (Izzaty, 1996, dalam Novidda, 2007) juga mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara keseluruhan. Sheerer (Cronbach, 1963, dalam Novidda, 2007) menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik individu yang dapat menerima dirinya, yaitu (a) individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan, (b) adanya anggapan bahwa dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain, (c) individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang
98
HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
Mengalami gangguan psikis
PPS HIV Positif
Perawatan dan dukungan
Penerimaan Diri
- Adanya keyakinan dan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan - Adanya anggapan berharga pada diri sendiri sebagai seorang manusia dan sederajat - Tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak - Tidak adanya rasa malu atau memperhatikan diri sendiri - Ada keberanian memikul tanggungjawab terhadap perilaku sendiri - Dapat menerima pujian, saran, kritikan atau celaan secara objektif - Tidak adanya penyalahan diri atas keterbatasan yang dimiliki ataupun pengingkaran berlebihan
Stigma dan Diskriminasi
Gambar 1. Alur pikir penelitian
lain, (d) individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri, (e) individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya dan individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Schlutz (Izzaty, 1996, dalam Novidda, 2007) mengatakan bahwa penerimaan diri memiliki hubungan yang erat dengan tingkat fisiologik. Tingkat fisiologik yang dimaksud adalah tingkat kesehatan individu yang dilihat dari kelancaran kerja organ tubuh dan aktivitas dasar, seperti makan, minum, istirahat dan kehidupan seksual, yang semuanya merupakan faktor penunjang utama kesehatan fisik. Penerimaan diri mengandaikan adanya kemampuan diri dalam psikologis seseorang, yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti bahwa tinjauan tersebut akan diarahkan pada seluruh kemampuan diri yang mendukung perwujudan diri secara utuh. Hal ini sesuai
dengan pendapat Schultz (Ratnawati, 1990, dalam Novidda, 2007) mengenai penerimaan diri, bahwa penerimaan diri merupakan hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.
Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan alur pikir penelitian sebagaimana nampak dalam Gambar 1. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan pendekatan sedemikian sehingga penafsiran atau interpretasi itu mengandung arti sebagai upaya memberikan makna atas suatu data empirik yang diperoleh dalam penelitian, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan dari suatu konsep. Validitas penelitian ini peneliti
PENERIMAAN DIRI
menggunakan metode triangulasi data, kecermatan transkripsi, dan pemeriksaan teman sejawat. Teman sejawat yang dimaksudkan adalah pendamping subjek penelitian yang mengetahui status HIV dari subjek.
Hasil Ada tiga orang yang menjadi subjek penelitian ini, yaitu E, M, dan S. Meskipun mereka sekarang sudah terbuka dengan pendamping, namun proses awal keterbukaan mereka tidak sama. Ada yang langsung terbuka, ada yang memerlukan pendekatan intensif, serta ada pula yang menunggu tes kedua karena belum percaya hasil tes pertama. Selain perilaku menghindar pernah terjadi pada awal keterbukaan, perasaan cemas dan susah tidur juga sering mereka alami pada awal menerima hasil tes, terutama sebelum membuka diri. Penerimaan diri pada penderita HIV/AIDS, khususnya pada penelitian ini mengalami tingkatan yang berbeda-beda. Dilihat dari keyakinan akan kemampuan individu dalam menghadapi persoalan, pada dasarnya, semua subjek penelitian memiliki keyakinan dan kemampuan menghadapi persoalan, namun hal tersebut sangat lemah pada M dan S. Mereka tidak mengatakan yakin mampu, namun harus mau menerima. Sedangkan pada E, aspek tersebut muncul kuat dilihat dari pengakuan serta usaha rutinnya memeriksakan diri, mencari tahu, konsultasi, mengikuti pertemuan support group. Keyakinan dan kemampuan E ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya dukungan yang ia terima dari berbagai pihak seperti pendamping, dokter klinik, serta teman-temannya sesama pengidap HIV yang menyebabkan ia mudah menemukan tempat untuk berbagi masalahnya yang
99
menambah semangat informan untuk terus memperbaiki diri. Sedangkan pada subjek yang lain, dukungan tersebut tidak mereka dapatkan karena mereka cenderung pasif dan masih menutup diri untuk mencari dukungan. Bahkan M seakan-akan tidak membutuhkan orang lain untuk mendukung perawatan dirinya. Dari aspek keyakinan individu (untuk dapat berarti atau berguna bagi orang lain) dan tidak memiliki rasa rendah diri (karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan), semua subjek terlihat memilikinya terutama pada E dan S. Faktor pemahaman terhadap gejalagejala HIV serta apresiasi kondisi sebagai pekerja seks sangat berpengaruh dalam meningkatkan keyakinan bahwa mereka masih berarti. Semakin rendah faktor pemahaman dan penghargaan ini, maka keyakinan untuk berharga juga semakin rendah. Hal ini tampak pada M yang tidak memahami dan tidak mau menerima pendapat orang lain mengenai gejalagejala HIV, sehingga tidak bersedia melanjutkan terapi. M juga memandang rendah pekerjaan sebagai pekerja seks yang ia jalani, sehingga ia juga memandang rendah terhadap dirinya sendiri. Dari aspek tidak adanya anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak oleh orang lain, seluruh subjek penelitian memilikinya. E dan S cenderung menjaga jarak dengan lingkungan, namun alasan mereka sangat berbeda. E sengaja menjaga jarak agar tidak terjadi penularan virus kepada orang lain, sehingga ia tidak sembarangan menggunakan peralatan makan bersama serta berhati-hati berinteraksi langsung untuk menghindari ketidaksengajaan penularan. Di samping itu, E menjaga diri untuk tidak membicarakan orang lain dan lebih banyak
100
HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
Bergantian pasangan seks Faktor resiko pekerja seks Tertular dan menularkan virus
Tidak percaya, Gangguanmenyangkal psikis Merasa hidup tidak adil Takut mati Kuat Perawatan dan dukungan
Penerimaan Diri
Sedang
Aspek-aspek penerimaan diri
Faktor penerimaan diri subjek : 1.Dukungan 2.Pengalaman 3.Pengetahuan 4.Penghargaan diri 5.Mandiri
Lemah
Gambar 2. Penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status HIV positif
merenung melihat kedalam dirinya, namun bukan berarti ia menjauh dari teman-temannya; hubungan dengan teman-temannya masih baik seperti biasanya. E mengalami perubahan sikap karena sebenarnya takut terhadap kematian yang selama ini dianggap dekat dengan pengidap HIV. Sementara itu, S menjaga jarak dengan teman-temannya karena memang terjadi perselisihan. Selain itu sebelumnya S memang tidak banyak memiliki teman karena sifatnya yang pendiam. Di lingkungan sekitar rumah, S tidak merasakan perubahan tingkah laku dari tetangga terhadapnya yang menandakan bahwa ia tidak mengalami gangguan interaksi dengan orang lain. E tidak merasakan adanya perbedaan
antara dirinya dengan orang lain, apalagi ia memang merasa baik-baik saja tanpa HIV dalam tubuhnya. Teman-temannya juga bersikap seperti biasa tidak menampakkan kecurigaan. Hal ini semakin menguatkan pendapat E bahwa dirinya tidak sakit. E menjadi tidak merasa khawatir. Sayangnya, hal ini menyebabkab ia meremehkan statusnya tersebut. Dalam hal ini, sikap orang lain mempengaruhi pengidap HIV untuk tidak membedakan dirinya. Dari aspek individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri, hal ini terlihat kuat pada E, namun lemah pada M dan S. Kuatnya aspek ini pada E terlihat pada
PENERIMAAN DIRI
pengalaman E di lingkungan pengidap HIV. E sering mengikuti pertemuan bagi pengidap HIV dan memungkinkan untuk bertemu dengan teman-teman baru sesama pengidap HIV, yang bermanfaat untuk saling memberikan motivasi maupun berbagi pengalaman. Pengalaman inilah yang menyebabkan E menjadi lebih terbuka namun tetap selektif menentukan kepada siapa ia mengutarakan keluhan seputar HIV-nya. M dan S cenderung tertutup dan tidak mau keluar mencari pengalaman atau pun sekedar mencari tahu mengenai perkembangan virus dalam tubuhnya. Mereka juga belum memperlihatkan rasa senasib kepada sesama pengidap HIV. Dari aspek keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri, E memahami bahwa dirinya memang berisiko tertular HIV karena lingkungan kerja yang sangat mendukung. Untuk itu, ia berani melakukan VCT dan menerima hasilnya dengan lapang dada. Sementara itu, M tidak mau tahu bahwa dirinya terinfeksi HIV, karena ia masih tidak percaya dinyatakan positif. Hal ini memperlihatkan bahwa ia belum berani menerima kenyataan sebenarnya, sehingga aspek keberanian memikul tanggung jawab tidak terlihat pada M. S sempat tidak percaya dinyatakan HIV positif. Ia mengaku tidak kuat menghadapi cobaan hidup dan keadaan ini dipandang tidak adil olehnya. Kadang ia bertanya-tanya pelanggan mana yang telah menularkan virus, namun S mencoba menerima kondisinya meskipun terpaksa. Dalam hal ini, penerimaan diri dipengaruhi oleh pemahaman terhadap perilaku berisiko yang dilakukan oleh subjek. Dari aspek objektivitas dalam penerimaan pujian dan celaan, E menerima kritik, saran, pujian, serta mampu menanggapi kecurigaan orang lain mengenai statusnya dengan tenang,
101
tidak emosional. Hal ini tampak pada waktu E menanggapi kecurigaan temannya dengan gurauan, menanggapi kritik dan saran peneliti dengan jawab yang tidak menentang, melainkan mengemukakan apa adanya yang dirasakannya. Objektivitas penerimaan pujian dan celaan ini pada E dipengaruhi oleh kebiasaannya untuk terbuka mengenai masalah yang ia alami. Usaha mencari dukungan ia lakukan tanpa malu-malu. Sementara itu, M agak terkejut ketika peneliti menuduhnya sengaja menularkan virus, kemudian ia menjawab memberitahukan usahanya menawarkan kondom namun ditolak pelanggan. Pada waktu peneliti menjelaskan risiko bila tetap bekerja, M mengatakan masa bodoh karena semuanya sudah diatur Tuhan dan ia hanya menjalani. M belum bisa menolak pelanggan yang tidak bersedia memakai kondom. Sewaktu peneliti memuji ketegarannya, ia hanya tersenyum tersipu. Ketika ditanya tentang risiko yang semakin tinggi karena masih bekerja, S tersenyum dan mengakui bahwa ketika melayani tamu yang menolak memakai kondom, hatinya "ngganjel", berpikir akan menambah penyakit. Sebenarnya S ingin berhenti, namun belum tahu kapan waktunya. Kalau ia berhenti, tidak ada yang mencarikan nafkah. Aspek penyalahan atas keterbatasan yang ada ataupun mengingkari kelebihan nampak pada semua subjek penelitian, meskipun pada informan S tidak sekuat E dan M. Hal ini dipengaruhi sikap kemandirian menjalani hidup. E dan M cenderung mandiri dan menerima kejadian yang mereka alami, sedangkan S cenderung mengeluh dan menyalahkan orang lain. E dan M tidak berusaha mencari siapa yang disalahkan. Mereka melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks karena keterbatasan yang harus diakui.
102
HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
Hal yang ditemukan mempengaruhi ketiga subjek penelitian dalam menerima status HIV antara lain karena adanya dukungan orang lain yang diterima, sehingga menimbulkan keyakinan dalam diri untuk menghadapi masalah. Namun dukungan tersebut tidak datang sendiri. Mereka berusaha mencari dukungan dan memberikan kepercayaan kepada orang lain tersebut. Faktor lain adalah pemahaman subjek penelitian terhadap HIV yang menyerangnya. Dengan mengetahui informasi ini, lebih mudah bagi mereka untuk memantau perkembangan kesehatannya. Selain memahami faktor penyakit, subjek juga memahami bahwa ia melakukan perilaku berisiko sebagai pekerja seks. Melalui pekerjaan tersebut, subjek berganti-ganti pasangan seks dan berisiko tertular dan menularkan penyakit. Meskipun demikian, subjek tidak terlalu memandang rendah pekerjaannya, karena justru ia akan menjadi semakin merasa bersalah terlebih statusnya sebagai pengidap HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV membutuhkan perawatan dan dukungan agar kesehatan fisik dan psikisnya pulih. Dalam hal ini, kemandirian subjek sangat membantu dalam mencari pengobatan serta menghadapi risiko yang ia terima. Sikap orang lain di sekelilingnya yang tidak mencurigai dan tidak mengucilkan juga sangat membantu subjek untuk menerima keadaannya.
Diskusi, Kesimpulan, dan Saran Pada pekerja seks, risiko tertular IMS cukup tinggi dan bisa memperparah HIV dalam tubuhnya. Pekerja seks pengidap HIV yang dapat menerima keadaannya akan rutin melakukan pemeriksaan IMS, seperti halnya yang dilakukan oleh subjek E. Dari tiga subjek
penelitian ini, E memiliki tingkat penerimaan diri paling matang dibandingkan dengan M dan S. Selain rutin mengontrol kondisi IMS, menjaga pola hidup agar teratur juga merupakan bagian dari penerimaan diri seorang pengidap HIV. Pola hidup teratur yang dimaksudkan adalah menjaga makanan dan minuman yang dikonsumsi, misal tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan buruk mengkonsumsi alkohol masih dilakukan oleh M dan S. E sudah mulai menerapkan pola hidup sehat dengan melakukan hampir semua aktivitas tersebut tanpa mengalami hambatan yang berarti. Artinya, E sudah bisa menerima keadaan dirinya seperti yang dikemukakan oleh Schlutz (Izzaty, 1996). Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerimaan diri terhadap status HIV positif pada perempuan pekerja seks berbeda tingkatannya yang dipengaruhi oleh dukungan, pengalaman, pengetahuan, penghargaan terhadap diri sendiri dan pekerjaan serta kemandirian (Gambar 2). Semakin tinggi faktor-faktor tersebut dimiliki oleh subjek, maka semakin kuat penerimaan diri subjek menghadapi status HIV positif. Penerimaan diri memiliki tingkatan yang berbeda beda antar orang, dan sewaktu-waktu dapat berubah karena pengaruh kondisi psikologis seseorang. Pada perempuan pekerja seks, proses penerimaan diri bisa lebih sulit terjadi karena kompleksnya permasalahan baik dalam lingkup internal pekerja seks sendiri maupun di lingkungan prostitusi tempat mereka bekerja. Kompleksitas masalah penerimaan diri pada perempuan pekerja seks sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Bibliografi
PENERIMAAN DIRI
Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relationship. New York: McGrawHill. Cronbach, L. J. (1963). Educational psychology. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Hurlock, E. B. (1990). Developmental psychology: A life span approach (5th ed.). Boston: McGraw-Hill. Izzaty, R. E. (1996). Penerimaan diri dan toleransi terhadap stres pada wanita berperan ganda. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Novidda, K. (2007). Penerimaan diri dan stres pada penderita diabetes mellitus. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Diakses dari http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/2 0080505120738SKRIPSI.doc Ratnawati, D. (1990). Hubungan keasertifan dengan penerimaan diri atas kecacatan yang disandang oleh para penyandang cacat tubuh di PRPCT. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada.
103
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 104–117
ISSN 2085-4242
Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan Wahyu Widhiarso Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada This study aims was exploring model that explain faking responses on the psychological scale through item response theory modeling (IRT) and tested its goodness of fit. This research use quasi-experimental design that manipulates participant instructions to response Five Factors Personality Scale. In the first instruction, participants were asked to give honest response to given scale, while the second condition were asked to imagine as job applicants so they consider to manipulate their response to give positive impression. IRT based modeling was done on both types of response by using partial credit model (PCM). Results of analysis suggest whether there is no difference in threshold parameters between the two types of responses. Additional analysis with differential item functioning (DIF) test found inconsistent results. There are some items affected by DIF that indicated participants who manipulated their response have probability of getting a high score than others. Overall, this study shows that the nature invariance of IRT modeling interrupted by faking response. Keywords: item response theory, faking response, differential item functioning
Penelitian banyak yang telah membuktikan bahwa skala psikologi sangat rentan terhadap respons tipuan sehingga diperlukan penelitian yang intensif untuk mengatasi permasalahan ini (Zickar & Robie, 1999). Viswesvaran dan Ones (1999) melalui studi meta analisis menemukan bahwa rerata skor skala kepribadian dari aplikan yang mengikuti seleksi kerja lebih tinggi 0,48 hingga 0,65 di atas rerata skor dari subjek yang telah bekerja. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa hadirnya respons tipuan mempengaruhi skor total (Hough, Eaton, Dunnette, Kamp, & McCloy, 1990), estimasi
theta dengan menggunakan IRT (Zickar & Drasgow, 1996), struktur faktor tes kepribadian baterai (Schmit & Ryan, 1993), korelasi antar sub-skala (Douglas, McDaniel, & Snell, 1996) dan validitas kriteria dan utilitas sistem seleksi (Zickar, Rosse, & Levin, 1996). Paparan tersebut menunjukkan bahwa pengukuran psikologi rentan terhadap respon yang menipu dan adanya respon menipu tersebut dapat mengganggu properti psikometris pengukuran yang dilakukan. Penelitian mengenai respons tipuan (faking) telah banyak dilakukan dengan desain 104
APLIKASI TEORI
penalitian yang dipakai sangat beragam. Pertama, beberapa peneliti berusaha mengidentifikasi tipuan dengan bantuan instrumen pengukuran yang khusus mendeteksi respons tipuan misalnya Balanced Inventory of Desirable Responding (Paulhus, 1984), Unlikely Virtues Scales, Assessment of Background and Life Experiences (ABLE), Validity Scale, serta Skala Kecenderungan Sosial (Social Desirability Scale) yang kembangkan oleh beberapa peneliti, misalnya Social Desirability Scale (Edwards, 1957), Marlowe-Crowne Social Desirability Scale (Crowne & Marlowe, 1960), dan Jackson Social Desirability Scale. Zickar dan Robie (1999) mengatakan bahwa meskipun skala tersebut didesain untuk tahan terhadap respons tipuan, hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak individu yang bisa mengatasi ‘jebakan’ ini. Korelasi antara skala tersebut dengan skalaskala kepribadian yang bersumber dari aplikan pekerjaan lebih tinggi dibanding dari responden non-aplikan. Dapat disimpulkan bahwa instrumen-instrumen tersebut tidak tahan terhadap respons tipuan. Kedua, desain penelitian dalam mengidentifikasi respons tipuan dilakukan dengan membandingkan rerata skor total skala psikologi dari dua kelompok yang memiliki motivasi yang berbeda, misalnya subjek pelamar pekerjaan dibandingkan dengan subjek penelitian atau subjek yang diinstruksikan menjawab jujur dan subjek yang diinstruksikan memberikan respon yang menggambarkan citra diri sebaik-baiknya. Desain ini memiliki keterbatasan karena fenomena respons tipuan tidak berada pada tataran skor total akan tetapi pada tataran skor butir. Von Davier (2010) mengatakan bahwa skor total kurang memberikan banyak informasi karena tidak bisa
105
menjangkau dinamika psikologis secara mendetail. Dalam konteks penelitian mengenai respons tipuan, investigasi melalui skor total juga kurang direkomendasikan (Zickar & Gibby, 2006). Ketiga, respons tipuan dikaji melalui analisis faktor baik eksploratori maupun konfirmatori (Montag & Comrey, 1990). Perbedaan struktur faktor data yang didapatkan dari partisipan yang memiliki motivasi berbeda (netral vs. motivatif) diinterprestasikan merupakan resultan dari respons tipuan. Asumsi bahwa konstrak empirik berkaitan dengan faktor secara linier menyebabkan teknik analisis ini kurang berhasil jika diterapkan pada skala psikologi yang menyediakan alternatif respon yang sedikit, misalnya dua alternative respons (ya dan tidak). Ditambah lagi dengan ukuran sampel yang sedikit dan jumlah faktor yang diekstrak terlalu banyak akan menghambat kestabilan hasil analisis faktor yang diterapkan (S. Stark, O. S. Chernyshenko, K. Y. Chan, W. C. Lee, & F. Drasgow, 2001). Keempat, respons tipuan dikaji melalui teori respon butir (Item Response Theory/IRT) (Zickar & Robie, 1999). Teknik IRT yang banyak digunakan adalah perbedaan keberfungsian butir (differential item functioning/DIF) yang dipakai mengindentifikasi perbedaan seberapa jauh probabilitas kelompok referen (respon jujur) dan fokal (respon menipu) dalam mengatasi butir dalam skala psikologi (Stark et al., 2001). Perbedaan keberfungsian tes (differential test functioning/DTF) juga dipakai untuk melihat apakah properti pengukuran satu kelompok dengan kelompok lainnya memiliki perbedaan setelah rerata perbedaan skor murni dikendalikan (Woods, Oltmanns, & Turkheimer, 2008).
106
WIDHIARSO
Secara metodologis IRT merupakan pelengkap dari teknik analisis konfirmatori (Reise, Widaman, & Pugh, 1993). Berbeda dengan analisis faktor konfirmatori yang dipakai untuk mengidentifikasi hubungan yang linier antara respon terhadap indikator, IRT dapat dipakai untuk mengidentifikasi hubungan antara pola respons individu terhadap indikator dengan faktor ukurnya. Selain itu kelebihan IRT dibanding analisis faktor konfirmatori adalah tersedianya model-model alternatif pilihan respon, misalnya pada model politomi dikenal model parsial kredit (PCM), skala rating (RM) dan model respons bergradasi (GRM). Model politomi memiliki keunggulan karena dapat dipakai untuk menyusun model yang menjekaskan interaksi antara subjek dengan butir. Oleh karena itu model politomi dapat diterapkan pada skala kepribadian dengan format Likert yang memiliki alternatif respon bergradasi dari setuju hingg tidak setuju. Model IRT politomi yang banyak dipakai untuk mengidentifikasi skor dari Skala Likert adalah model response bergradasi (Samejima, 1969) dan model kredit parsial (Masters, 1982), namun penelitian ini menggunakan model kredit parsial karena pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini pendekatan Rasch.
Pemodelan Respons Tipuan Menurut Zickar & Robie (1999) pemodelan respons tipuan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu model perubahan butir dan perubahan individu. Model perubahan butir mengasumsikan bahwa respons tipuan menyebabkan perubahan parameter butir dan alternatif pilihan respon. Karena memiliki harapan atau intensi yang berbeda, maka individu yang merespon jujur dan menipu pada
butir yang memiliki struktur yang sama akan memiliki persepsi yang berbeda terhadap butir yang dihadapi. Dengan demikian, karena perubahan hanya terletak pada parameter model maka nilai theta yang menunjukkan abilitas kedua orang di atas tidak berbeda. Model perubahan individu menunjukkan bahwa respons tipuan menyebabkan informasi mengenai abilitas laten individu menjadi berbeda. Subjek yang merespon butir dengan tidak jujur akan memperoleh nilai theta yang tinggi. Model ini bertolak belakang dengan asumsi IRT yang menjelaskan bahwa theta relatif stabil dan tidak terpengaruh oleh karakteristik subjek dan situasi pengukuran. Individu yang melakukan penipuan respon diasumsikan akan merespon butir seakan-akan dia memiliki nilai theta yang tinggi atau rendah dari nilai theta dia sebenarnya. Asumsi tersebut dapat diartikan bahwa model ini memperkenankan parameter butir bervariasi. Dengan mengasumsikan parameter butir bervariasi maka perubahan nilai theta tidak bersifat konstan, akan tetapi berbeda-beda pada tiap butir (Zickar dan Robie, 1999). Beberapa ahli telah mengembangkan model dalam menggambarkan respon menipu pada level butir. Levine dan Rubin (1979) mengembangkan model yang dinamakan dengan ketepatan pengukuran (appropriateness measurement) yang dapat dipakai untuk menguji apakah respon individu telah sesuai dengan model IRT yang menggambarkan pola respon individu di dalam sampel. Model tersebut dapat mengidentifikasi perbedaan antar pola respon individu teramati dengan pola respon individu harapan berdasarkan posisi individu pada rentang nilai theta dan perangkat fungsi respon butir (IRF). Fungsi respon butir adalah fungsi yang menunjukkan hubungan
107
APLIKASI TEORI
posisi trait individu dengan probabilitas dalam merespon butir. Beberapa peneliti telah mengembangkan model untuk mendeteksi kemunculan dan kuantitas respons tipuan. Levine dan Drasgow (1988) mengembangkan ketepatan pengukuran optimal yang memadukan antara respon netral dengan respon tipuan yang dapat dipakai untuk mendeteksi respon menipu. Zickar dan Drasgow (1996) mengembangkan model respon menipu yang dinamakan dengan model perpindahan nilai theta (theta-shift models) yang mendeteksi perubahan nilai theta akibat respons tipuan. Model tersebut merupakan modifikasi dari model dua parameter (IRT 2PL) yang banyak dipakai dalam mengidentifikasi properti data dari skala kepribadian dan skala sikap karena model ini cukup ini sederhana dan memiliki properti yang cukup atraktif. Peneliti banyak membuktikan ketepatan model ini dengan data yang berasal pengukuran kepribadian (Reise & Waller, 1990). Model perpindahan nilai theta mengasumsikan pada butir yang diduga rentan terhadap respon menipu, individu yang memberikan respon menipu akan mengalami peningkatan nilai theta (misalnya sebesar +0,5) pada kontinum skala theta. Model IRT politomi dasar juga dapat dipakai dalam pemodelan respon menipu. Submodel IRT politomi yang banyak dipakai adalah model GRM. Zickar dan Robie (1999) melakukan pemodelan respons tipuan dengan model GRM dari Samejima dengan menekankan pada ketepatan data dengan fungsi pilihan respons (option respon function/ORF). Ketepatan model ditentukan melalui uji kaikuadrat yang menguji perbedaan antara jumlah respon pilihan harapan dan jumlah respon pilihan dari data. Kai-kuadrat dihitung
berdasarkan jumlah waktu harapan bahwa responden akan memilih pilihan-k pada model probabilitas IRT. Tingginya nilai kai-kuadrat menunjukkan bahwa model tidak tepat dengan data. Penelitian mengenai pemodelan respon menipu pada skala kepribadian melalui pemodelan IRT memberikan manfaat yang besar dalam pengembangan skala psikologi. Informasi mengenai pengaruh respons tipuan terhadap parameter butir akan memudahkan peneliti untuk memahami invariansi properti psikometris butir. Informasi ini sekaligus akan menjadi masukan bagi pengembang alat ukur psikologi dalam menyusun butir yang tahan terhadap respons tipuan. Model yang akurat mengenai respon yang menipu dapat dijadikan sebagai panduan untuk mengidentifikasi respon tipuan subjek terhadap skala kepribadian. Model IRT yang dipakai dalam penelitian ini adalah model kredit parsial (PCM). Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama untuk mengeksplorasi pengaruh respon menipu terhadap perubahan parameter butir melalui pemodelan IRT. Investigasi pengaruh respons tipuan terhadap parameter butir dapat dilakukan dengan membandingkan parameter butir dari dua kondisi pengukuran, yaitu kondisi jujur dan kondisi menipu. Kedua, mengidentifikasi model IRT yang tepat dalam menggambarkan respons tipuan.
Metode Desain Penelitian ini menggunakan metode eksperimen kuasi dengan dua kondisi perlakuan. Pada kondisi pertama (kondisi
108
WIDHIARSO
netral), peneliti menginstruksikan subjek untuk merespon butir dengan jujur, pada kondisi kedua (kondisi motivatif) peneliti menginstruksikan subjek untuk merespon butir seakan-akan sebagai aplikan yang sedang melamar pekerjaan dan sedang mengikuti proses seleksi pekerjaan. Untuk menghindari efek urutan, peneliti membagi subjek menjadi dua kelompok dengan urutan pemberian instruksi yang berbeda. Partisipan Partisipan yang berpartisipasi dalam eksperimen adalah mahasiswa yang Fakultas Psikologi UGM yang berjumlah 120 (46% lakilaki dan 54% perempuan. Usia sampel bergerak dari 19-23 tahun (M = 20,21). Pelaksanaan eksperimen dilakukan di kelas setelah mereka mengikuti perkuliahan. Sebelum melakukan eksperimen peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kegiatan yang dilakukan. Semua mahasiswa setuju untuk mengisi lembar persetujuan partisipasi sebelum mereka mengikuti jalannya eksperimen dengan mengisi instrumen yang dibagikan. Instrumen Instrumen yang dipakai untuk mengukur adalah Inventori Kepribadian Lima Faktor yang diadaptasi oleh peneliti dari Big Five Inventory (BFI) yang dikembangkan oleh John, Donahue, & Kentle (1991). Instrumen ini menggunakan model skala Likert yang terdiri dari lima alternatif respons yang berbenyuk pelaporan mandiri (self report). Subjek diminta untuk melengkapi butir-butir pernyataan yang menggambarkan berbagai karakteristik individu. Respon yang disediakan ada lima
alternatif respons dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju dengan penyekoran butir bergerak dari 1 hingga 5. Skala ini mengukur lima faktor kepribadian antara lain ekstraversi (extroversion), keramahan (agreeableness), ketelitian (conscentiousness), neurotisisme (neuroticism) dan keterbukaan (openess). Dari kelima faktor BFI, hanya tiga faktor yang dilibatkan dalam penelitian ini, yaitu faktor kepribadian teliti, ekstrovert dan terbuka. Ketiga faktor tersebut dalam penelitian-penelitian sebelumnya lebih terkait dengan pekerjaan dibanding dengan dua faktor lainnya (Birkeland, Manson, Kisamore, Brannick, & Smith, 2006). BFI versi Bahasa Indonesia telah diujicobakan oleh peneliti pada sampel mahasiswa (n = 185) yang menghasilkan nilai reliabilitas (α) sebagai berikut: faktor ekstraversi (0,839), keramahan (0,789), ketelitian (0,924), kestabilan emosi (0,848) dan keterbukaan (0,807). Hasil ini mirip versi asli yang dilaporkan oleh John dan Srivastava BFI memiliki reliabilitas (α) antara 0,75 hingga 0,80 dan reliabilities tes-tes ulang antara 0,80 hingga 0,90. Validitas konkuren BFI cukup tinggi yang terlihat dari korelasi yang tinggi dengan NEO-FFI dan TDA menghasilkan rata-rata korelasi sebesar 0,83 hingga 0,91 (John & Srivastava, 1999). Analisis Analisis data dilakukan dengan menggunakan prosedur pemodelan IRT. Prosedur yang dilakukan adalah pengujian invariansi dan unidimensionalitas model yang kemudian dilanjutkan pada kalibrasi parameter butir. Proses kalibrasi ini dilakukan dengan menggunakan model kredit parsial (PCM) dari Master Masters (1982). Model ini termasuk
APLIKASI TEORI
dalam pendekatan model pengukuran Rasch yang menitikberatkan pada lokasi butir pada proses pemodelannya. Prosedur ini dilakukan pada data dari kondisi netral saja karena model ini dipakai untuk mengevaluasi model yang didapatkan dari data motivatif. Untuk menguji perbedaan model tersebut peneliti melakukan uji perbedaan keberfungsian butir (DIF) antar dua kondisi. Program lunak komputer yang dipakai untuk melakukan prosedur pemodelan ini adalah Winstep (Linacre, 2000).
Hasil Deskripsi data Deskripsi data statistik dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan rerata (M) dan deviasi standar (SD) pada masing-masing faktor kepribadian dan kondisi pengukuran. Secara umum rerata antara dua kondisi pengukuran berbeda yang telihat dari tingginya rerata skor faktor kepribadian pada kondisi motivatif dibanding dengan kondisi netral. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan mampu meningkatkan nilai skor skalanya ketika diminta untuk dengan sengaja memanipulasi tanggapannya terhadap butir-butir skala. Nilai deviasi standar antar dua kondisi tidak berbeda jauh yang menunjukkan adanya peningkatan sistematis skor skala subjek dari kondisi netral menuju kondisi motivatif. Dengan kata lain, sebagian besar peningkatan skor partisipan meningkat dalam selisih skor yang sama antar dua kondisi. Deskripsi statistik pada tataran butir dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan rerata dan deviasi standar skor butir pada tiap faktor kepribadian.
109
Variasi asumsi model Teori respon butir memiliki beberapa asumsi yang perlu diverifikasi sebelum proses pemodelan dilakukan. Asumsi tersebut adalah unidimensionalitas data, independensi lokal dan invariansi pengukuran (Embretson & Reise, 2000). Unidimensionalitas menunjukkan apakah model mengukur atribut tunggal ataukah majemuk, independensi lokal menunjukkan apakah respons terhadap satu butir tidak dipengaruhi oleh respons terhadap butir lainnya sedangkan invariansi menunjukkan bahwa model tersebut tidak dipengaruhi oleh karakteristik sampel. Konfirmasi asumsi pada penelitian ini dilakukan dengan prosedur berikut: unidimensionalitas data diuji dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori, independensi lokal ditunjukkan dengan penelaahan butir-butir yang tidak tumpang tindih dalam mengukur target ukur, dan invariansi dilakukan dengan mengidentifikasi kesamaan hasil kalibrasi parameter butir. Invariansi dibuktikan dengan tingginya korelasi antara hasil kalibrasi parameter butir antara kelompok sampel yang dibagi secara acak. Prosedur konfirmasi ini dilakukan pada data dari kondisi netral. Hasil analisis data menunjukkan bahwa semua asumsi IRT pada semua faktor kepribadian dapat dibuktikan. Hasil analisis dimensionalitas pengukuran melalui analisis faktor konfirmatori menunjukkan bahwa asumsi model pengukuran tunggal pada masing-masing konstrak menghasilkan indeks ketepatan model yang dapat dibuktikan. Hasil analisis invariansi menunjukkan bahwa semua data bersifat invarian. Pengujian invariansi menunjukkan bahwa korelasi antara hasil kalibrasi pada kedua
110
WIDHIARSO
kelompok semuanya tinggi (0,76 – 0,89). Pengujian DIF yang dilakukan sebagai uji pelengkap pengujian invariansi menunjukkan bahwa terdapat satu butir yang memiliki perbedaan hasil kalibrasi parameter, yaitu satu pada faktor keramahan dan satu pada faktor emosi stabil. Hasil ini tidak mempengaruhi kesimpulan peneliti karena penelitian lebih mengutamakan pada korelasi antar hasil kalibrasi parameter. Pemodelan IRT Hasil pemodelan IRT pada tiap faktor disajikan pada Tabel 4 yang menunjukkan perbandingan parameter butir ditinjau berdasarkan kondisi pengukuran dan faktor kepribadian. Statistik yang dipaparkan pada tabel tersebut adalah parameter ambang batas (threshold) yang menunjukkan titik pada sepanjang kurva karakteristik butir (ICC), yang memperlihatkan probabilitas respons untuk mendapatkan skor yang tinggi pada butir tertentu. Semakin besar nilai parameter ini semakin mudah seorang individu untuk mendapatkan skor tinggi. Dalam tes kognitif, parameter ini dinamai tingkat kesukaran butir yang menunjukkan semakin tinggi tingkat kesukaran butir maka probabilitas subjek untuk mendapatkan skor tinggi semakin rendah. Parameter lainnya yang dipaparkan adalah OUTFIT dan INFIT beserta nilai standarnya (ZSTD). OUTFIT adalah statistik yang menunjukkan informasi yang menunjukkan kecocokan antara butir dan subjek yang tidak terstandarisasi dan terbobot. INFIT adalah statistik yang menunjukkan informasi yang menunjukkan kecocokan antara butir dan subjek yang terstandarisasi dan terbobot. Ketika data sesuai dengan model, maka statistik ini nilainya
akan mendekati nilai t yang dalam pengaturan ini, perkiraan nilai t memiliki rerata sebesar 0 dan deviasi standar sebesar 1. Hasil analisis yang ditunjukkan oleh Tabel 4 menginformasikan bahwa hasil pengujian parameter butir baik pada kondisi netral dan kondisi motivatisional tidak memiliki perbedaan. Nilai ambang untuk tiap kondisi adalah sama. Sebagian besar parameter butir pada INFIT dan OUTFIT adalah setara. Nilai rerata Z pada INFIT dan OUTFIT untuk antar dua kondisi adalah setara. Diantara kelima faktor kepribadian, faktor keterbukaan memiliki nilai kecocokan butir yang rendah yang terlihat pada tingginya nilai deviasi standar INFIT dan OUTFIT baik pada kondisi netral dan kondisi motivatif. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata butir-butir dalam mengukur keterbukaan kurang tepat dikenakan pada sampel penelitian. Permasalahan ini tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini karena fokus penelitian ini adalah membandingkan hasil pemodelan antara dua kondisi pengukuran. Kesimpulan analisis yang didapatkan adalah pemodelan pada respons netral dan motivatif secara umum memiliki kesetaraan. Pengujian Diferensial Keberfungsian Butir Selain membandingkan pemodelan berdasarkan IRT, penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan probabilitas individu untuk mendapatkan skor tinggi pada pengukuran kepribadian dengan menggunakan teknik diferensial keberfungsian butir (DIF). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada faktor ekstraversi dari 9 butir yang mengukurnya, 8 butir terjangkit DIF. Hasil tersebut menunjukkan bahwa probabillitas partisipan
111
APLIKASI TEORI
Tabel 1. Deskripsi Statistik Skor Skala Pada Tiap Faktor Kepribadian dan Kondisi Pengukuran Faktor Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi Stabil Keterbukaan
Kondisi Netral Motivatif Netral Motivatif Netral Motivatif Netral Motivatif Netral Motivatif
M 31,832 37,044 35,337 39,483 30,495 38,767 24,400 30,444 33,200 37,878
SD 5,951 4,432 3,962 3,721 5,945 5,208 4,483 4,037 5,400 4,434
SE 0,611 0,467 0,406 0,394 0,610 0,549 0,460 0,426 0,554 0,467
Skewness -0,174 -0,321 -0,323 -0,096 0,030 -1,331 0,089 0,102 -0,014 -0,319
Kurtosis -0,114 0,520 0,453 -1,047 -0,273 2,763 1,033 -0,104 0,619 0,248
Tabel 2. Deskripsi Statistik Skor Butir Pada Tiap Faktor Kepribadian Nomor butir 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ekstraversi M (SD) 3,87 (1,01) 3,73 (1,10) 3,79 (0,93) 4,10 (0,79) 3,58 (1,14) 3,68 (0,98) 3,76 (1,08) 4,01 (0,85) 3,85 (0,94)
Keramahan M (SD) 4,00 (0,85) 3,91 (0,87) 4,36 (0,64) 4,30 (0,75) 4,35 (0,65) 4,21 (0,83) 4,22 (0,62) 3,73 (1,10) 4,27 (0,75)
Faktor kepribadian Keuletan M (SD) 4,23 (0,72) 3,92 (1,14) 4,11 (0,83) 3,62 (1,18) 3,68 (1,17) 3,64 (0,97) 3,94 (0,85) 4,01 (0,78) 3,37 (1,04)
Emosi Stabil M (SD) 3,76 (0,88) 3,91 (0,69) 2,62 (0,95) 3,54 (1,02) 3,67 (0,95) 2,80 (1,07) 3,59 (0,95) 3,45 (0,95)
Keterbukaan M (SD) 3,94 (0,89) 4,37 (0,63) 3,98 (0,81) 4,04 (0,81) 3,99 (0,86) 4,22 (0,67) 3,35 (1,06) 3,89 (0,82) 3,69 (2,27)
Tabel 3. Hasil Pengujian Invariansi Estimasi Parameter Model Pada Tiap Faktor Kepribadian Faktor Kepribadian Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi stabil Keterbukaan
Unidimensi λ2 (db = 24) 42,16 25,51 36,18 32,73 30,25
Invariansi GFI 0,92 0,94 0,92 0,93 0,93
RMSEA 0,08 0,02 0,08 0,07 0,04
rxy 0,86 0,72 0,89 0,76 0,85
Σ DIF 0 1 0 1 0
Keterangan. Nilai kai kuadrat unidimensi faktor ekstraversi memiliki signifikansi di atas 0.05 namun memiliki nilai indeks pendukung yang cukup tinggi untuk penerimaan model yaitu GFI (0.92) dan RMSEA (0.08)
112
WIDHIARSO
Tabel 4. Deskripsi Statistik Skor Butir pada Tiap Faktor Kepribadian Nilai Ambang Infit Outfit M SE MNSQ Z.STD MNSQ Z 0,00 0,15 1,01 0,00 1,03 0,00 Netral (0,59) (0,02) (0,27) (1,70) (0,31) (1,90) Keramahan 0,00 0,16 1,01 0,10 1,00 0,00 (0,53) (0,02) (0,12) (0,80) (0,14) (0,90) Keuletan 0,00 0,17 0,98 -0,10 1,06 0,30 (0,76) (0,02) (0,19) (1,40) (0,30) (1,90) Emosi Stabil 0,00 0,16 0,99 -0,10 0,99 -0,10 (0,42) (0,02) (0,19) (1,50) (0,18) (1,40) Keterbukaan 0,00 0,15 0,92 -0,50 1,05 0,00 (1,03) (0,04) (0,51) (2,90) (0,50) (3,00) Motivatif Ekstraversi 0,00 0,17 0,99 -0,20 1,12 0,40 (0,48) (0,04) (0,17) (1,00) (0,30) (1,50) Keramahan 0,00 0,20 0,99 -0,10 1,09 0,30 (0,69) (0,04) (0,10) (0,50) (0,35) (1,30) Keuletan 0,00 0,22 1,01 -0,30 1,00 -0,20 (0,64) (0,02) (0,45) (1,90) (0,52) (1,90) Emosi Stabil 0,00 0,16 0,99 -0,20 1,05 0,10 (0,39) (0,02) (0,26) (1,70) (0,38) (2,30) 0,96 -0,50 1,03 -0,20 Keterbukaan 0,00 0,21 (0,67) (0,03) (0,49) (2,50) (0,70) (3,10) Keterangan. Yang ditampilkan pada tabel adalah rerata parameter dari butir-butir di dalam faktor. Angka yang di dalam kurung adalah deviasi standar dari parameter tersebut. Kondisi
Faktor Kepribadian Ekstraversi
Tabel 5. Hasil Uji Perbedaan Keberfungsian Butir Diferensial Pada Tiap Faktor Kepribadian Nomor Faktor kepribadian Butir Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi stabil ** ** a1 3,298 10,242 0,196 0,150 a2 26,280** 4,799* 3,254 2,494 0,900 0,467 0,491 a3 9,567** a4 2,265 1,927 1,048 0,267 a5 10,164** 1,158 0,098 0,092 ** ** a6 10,010 6,646 0,272 0,485 2,841 0,784 2,055 a7 38,879** ** * a8 43,701 4,830 3,247 0,246 a9 21,566** 0,255 1,151 a10 Keterangan. Yang ditampilkan adalah hasil nilai kai-kuadrat. ** p < 0,01 * p < 0,05
Keterbukaan 4,948* 0,465 2,124 0,000 5,755* 11,915** 0,282 3,518 7,799**
APLIKASI TEORI
untuk mendapatkan skor tinggi pada kondisi motivatif lebih tinggi dibanding ada kondisi netral. Dengan kata lain, partisipan pada kondisi motivatif cenderung untuk memberikan respon yang mendukung tingginya perolehan skor pada faktor ini. Selain faktor ekstraversi, faktorfaktor lain menghasilkan adanya butir yang terjangkit DIF yaitu faktor keramahan (4 butir) dan keterbukaan (3 butir). Butir-butir pada faktor keuletan dan emosi stabil tidak ada yang terjangkit DIF.
Diskusi Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, pemodelan IRT dengan menggunakan data yang berasal dari data partisipan yang memanipulasi responnya terhadap butir skala secara umum memiliki kesamaan dengan dari data partisipan yang tidak memanipulasi responnya. Hasil kalibrasi parameter butir pada kedua kondisi menunjukkan nilai ambang yang setara pada semua faktor skala kepribadian lima faktor. Kedua, probabilitas untuk mendapatkan skor butir yang tinggi antara partisipan yang netral dan partisipan memiliki motivasi (memberikan impresi positif), cenderung bervariasi. Pada faktor keterbukaan, keramahan dan keterbukaan, beberapa butir memberikan probabilitas yang berbeda antara kedua jenis respons tersebut. Partisipan yang memanipulasi responsnya memiliki probabilitas yang tinggi untuk mendapatkan skor yang tinggi pada butir skala. Sebaliknya pada faktor keuletan dan emosi stabil probabilitas antar kedua jenis respons tersebut adalah sama. Temuan pertama penelitian ini membuktikan asumsi pemodelan IRT yang
113
menyatakan bahwa pemodelan IRT adalah sampel independen. Artinya nilai parameter butir di dalam model tidak terpengaruh oleh karakteristik sampel (invarian). Selama ini penelitian mengenai independensi pemodelan sampel IRT dipakai terhadap karakteristik sampel dilakukan berdasarkan karakteristik sampel berdasarkan kondisi demografis (misalnya jenis kelamin dan budaya) maupun karakteristik sampel (misalnya tingkat kecerdasan dan unit kelompok). Penelitian ini menambahkan informasi baru bahwa pemodelan IRT ternyata juga invarian terhadap sampel yang netral dan sampel yang memiliki motivasi tertentu. Tidak adanya perbedaan antara model IRT antara partisipan yang jujur dan menipu dapat disebabkan oleh pola respons partisipan ketika pada situasi netral dan situasi motivatif adalah sama. Peningkatan terjadi hanya pada nilai rerata skor saja akan tetapi tidak pada nilai varians. Peningkatan rerata ini menyebabkan adanya perbedaan yang terjadi adalah perbedaan sistematis. Dengan adanya perbedaan yang sistematis antara skor dari kondisi jujur dan menipu menyebabkan analisis tidak mendeteksi adanya perbedaan model. Kesamaan parameter model tersebut dikarenakan nilai varians respons pada kedua kondisi tersebut adalah sama. Variabilitas yang sama ini mengurangi kemanjuran pendeteksian terhadap respons yang khas dan unik yang diberikan oleh partisipan yang menipu. Ketika respon butir yang unik tersebut digabungkan dengan respon butir yang unik secara keseluruhan, maka keunikan tersebut saling membatalkan satu dengan lainnya. Akibatnya model IRT yang dihasilkan konstan dengan model IRT pada sampel jujur. Invariansi berdasarkan karakteristik sampel
114
WIDHIARSO
dari fitur parameter butir merupakan salah satu kekuatan pemodelan IRT. Pernyataan bahwa nilai-nilai parameter butir bukan hanya untuk kelompok tertentu yang menanggapi butir (Natarajan, 2009) telah dibuktikan dalam penelitian ini. Parameter butir yang diperkirakan dari setiap segmen kurva respons butir menunjukkan bahwa parameter tersebut dapat diperkirakan dari setiap kelompok pengambil tes. Dengan adanya berlakunya invariansi pemodelan IRT berdasarkan situasi yang dihadapi partisipan, maka pemodelan khusus untuk partisipan yang memberikan respon menipu tidak dapat dikenakan. Hal ini dikarenakan hasil pemodelan sampel yang melakukan tipuan akan sama dengan sampel yang memberikan respon jujur. Dengan tidak berlakunya pemodelan khusus untuk partisipan yang melakukan tipuan maka estimasi nilai theta tidak dapat dipakai untuk membedakan mana partisipan yang jujur dan menipu. Hal ini sama halnya dengan membedakan skor skala yang tinggi dan rendah yang tidak dapat dipakai untuk mengetahui tingginya skor skala tersebut dikarenakan mereka menipu ataukah tidak. Fenomena ini telah diperkirakan oleh Zickar dan Robie (1999) yang menggunakan istilah perpindahan nilai theta (theta shift). Penyebab lain kesamaan model antara partisipan yang jujur dan menipu adalah strategi yang dilakukan oleh partisipan dalam memanipulasi responnya (Zickar, Gibby, & Robie, 2004). Dari deskripsi statistik didapatkan informasi pendukung bahwa upaya partisipan untuk memberikan impresi positif tidak dilakukan dengan sekedar memanipulasi responnya untuk mendapatkan skor maksimal skala. Pada kondisi motivatif seperti ini, subjek menghindari untuk mendapatkan skor maksimal skala. Hal ini dikarenakan skor maksimal akan
memberikan informasi bahwa mereka memberikan respons yang menipu. Analisis lebih lanjut untuk menjawab mengapa ketiga faktor di dalam skala kepribadian lima faktor rentan terhadap respons tipuan sedangkan kedua faktor lainnya tidak dapat diwujudkan dalam penelitian lanjutan yang menggunakan analisis secara mendetail. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian eksperimental yang menggunakan desain mirip dengan desain penelitian ini yang menemukan bahwa respon tidak benar-benar memberikan respon yang menipu sesuai dengan instruksi yang diberikan (Eid & Zickar, 2007). Penelitian ini menemukan bahwa nilai varians skor antara partisipan pada kondisi netral dan motivatif. Penulis berargumen bahwa jika variasi di dalam respon pada kondisi netral diakibatkan oleh variasi karakteristik kepribadian antar partisipan, variasi di dalam respon motivatif diakibatkan oleh perbedaan strategi dalam memberikan impresi positif. Argumen ini didukung oleh pernyataan Zickar, et al. (2004) yang mengatakan bahwa perbedaan skor di antara para pelamar pekerjaan dapat disebabkan oleh perbedaan motivasi, perbedaan tingkat kejujuran, dan kemampuan untuk memalsukan respon. Partisipan yang memiliki motivasi tertentu memiliki persepsi dan kemampuan berbeda terhadap butir-butir di dalam skala. Temuan penelitian ini yang kedua adalah mengenai probabilitas partisipan untuk mendapatkan skor butir tinggi yang berbeda pada tiap faktor. Adanya probabilitas yang berbeda antar partisipan menunjukkan bahwa pengukuran kepribadian dengan menggunakan skala psikologi yang menggunakan teknik pelaporan mandiri (self report) tidak tahan terhadap respons tipuan. Subjek yang memiliki motivasi tertentu dalam merespon alat ukur
115
APLIKASI TEORI
memiliki probabilitas tinggi untuk mendapatkan yang skor tinggi. Motivasi tersebut diwujudkan dengan memanipulasi responsnya untuk memberikan impresi positif. Secara umum, penelitian ini menemukan hasil yang tidak konsisten mengenai adanya butir yang terjangkit DIF berdasarkan kondisi partisipan. Sebagian butir terjangkit DIF sedangkan sisanya tidak terjangkit. Hasil penelitian ini paralel dengan temuan penelitian Zickar dan Robie (1999) yang menemukan adanya DIF akan tetapi pada sebagian kecil butir pada alat ukur yang dipakai dalam penelitian mereka. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, ukuran sampel yang dipakai dalam pemodelan IRT relatif kecil untuk mengembangkan model yang stabil. Kedua, desain penelitian ini yang menggunakan antar amatan dapat mengakibatkan tidak ditemukannya perbedaan parameter butir pada partisipan yang jujur dan menipu. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah agar penelitian ke depan menggunakan desain penelitian campuran yang melibatkan manipulasi dalam dan antar subjek. Hasil ini merekomendasikan kepada penelitian ke depan untuk mengarahkan upaya pendeteksian respon menipu pada skala kepribadian yang bersifat pelaporan mandiri dilakukan pada parameter IRT yang lain, misalnya indeks ketepatan personal (person fit). Partisipan yang melakukan tipuan dapat dideteksi dari kecocokan responnya terhadap skala dengan model IRT (Meade, Ellington, & Craig, 2004). Penggunaan indeks kecocokan personal ini merupakan indeks ketepatan yang juga dapat dipakai sebagai model untuk mendeteksi respon menipu. Indeks ini akan menunjukkan ketidaktepatan pola respon individu terhadap konstrak yang diukur. Respon individu terhadap
butir - butir alat ukur yang tidak konsisten dengan tingkat abilitasnya dapat diprediksi bahwa individu tersebut melakukan respon menipu. Penelitian ini diselenggarakan atas dukungan dana hibah kompetisi oleh Fakultas Psikologi UGM tahun 2009.
Bibliografi Birkeland, S. A., Manson, T. M., Kisamore, J. L., Brannick, M. T., & Smith, M. A. (2006). A Meta-Analytic Investigation of Job Applicant Faking on Personality Measures. International Journal of Selection and Assessment, 14(4), 317-335. Crowne, D. P., & Marlowe, D. (1960). A new scale of social desirability independent of psychopathology. Journal of Counseling Psychology, 24, 349-354. Douglas, E. F., McDaniel, M. A., & Snell, A. F. (1996). The validity of non-cognitive measures decays when applicants fake. Paper presented at the Annual meeting of the Academy of Management, Cincinnati, Ohio. Edwards, A. L. (1957). The social desirability variable in personality assessment and research. . New York: Dryden. Eid, M., & Zickar, M. J. (2007). Detecting response styles and faking in personality and organizational assessments by mixed rasch models (pp. 255-270). New York: Springer. Embretson, S. E., & Reise, S. P. (2000). Item response theory for psychologists: Multivariate applications book series Mahwah (NJ): Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Hough, L. M., Eaton, N. K., Dunnette, M. D.,
116
WIDHIARSO
Kamp, J. D., & McCloy, R. A. (1990). Criterion-related validities of personality constructs and the effect of response distortion on those validities [Monograph]. Journal of Applied Psychology, 75, 581595. John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The big five trait taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives. Dalam L. A. Previn & O. P. John (Eds.), Handbook of personality: Theory and research (2nd ed). New York: Guilford Press. John, O. P., Donahue, E. M., & Kentle, R. L. (1991). The Big Five Inventory - Versions 4a and 54. California: University of California, Berkeley, Institute of Personality and Social Research. Levine, M. V., & Drasgow, F. (1988). Optimal appropriateness measurement. Psychometrika, 53, 161-176. Levine, M. V., & Rubin, D. B. (1979). Measuring the appropriateness of multiplechoice test scores. Journal of Educational Statistics, 4, 269-290. Linacre, J. M. (2000). WINSTEPS: Rasch Model Computer Program (Version 3.68.2). Chicago: Winstep.com. Masters, G. N. (1982). A Rasch model for partial credit scoring. Psychometrika, 47(2), 149-174. Meade, A. W., Ellington, J. K., & Craig, S. B. (2004). Exploratory measurement invariance: a new method based on item response theory. Paper presented at the Symposium presented at the 19th Annual Conference of the Society for Industrial and Organizational Psychology,, Chicago. Montag, I., & Comrey, A. L. (1990). Stability of major personality factors under changing motivational conditions. Journal of Social
Behavior and Personality, 5, 265 – 274. Natarajan, V. (2009). Basic principles of IRT and application to practical testing & assessment. Bangalore MeritTracers. Paulhus, D. L. (1984). Two component models of socially desirable responding. Journal of Personality and Social Psychology, 46, 598609. Reise, S. P., & Waller, N. G. (1990). Fitting the two-parameter model to personality data. Applied Psychological Measurement, 14, 45-58. Reise, S. P., Widaman, K. F., & Pugh, R. H. (1993). Confirmatory Factor-Analysis and Item Response Theory - Two Approaches for Exploring Measurement Invariance. Psychological Bulletin, 114(3), 552-566. Samejima, F. (1969). Estimation of latent ability using a response pattern of graded scores. Psychometrika Monographs, 34((Suppl. 17).). Schmit, M. J., & Ryan, A. M. (1993). The big five in personnel selection: Factor structure in applicant and nonapplicant populations. Journal of Applied Psychology, 78(966974). Stark, S., Chernyshenko, O. S., Chan, K. Y., Lee, W. C., & Drasgow, F. (2001). Effects of the testing situation on item responding: Cause for concern. Journal of Applied Psychology, 86, 943-953. Stark, S., Chernyshenko, O. S., Chan, K.-Y., Lee, W. C., & Drasgow, F. (2001). Effects of the testing situation on item responding: Cause for concern. Journal of Applied Psychology, 86, 943-953. Viswesvaran, C., & Ones, D. S. (1999). Metaanalysis of fakability estimates: Implications for personality measurement. Educational and Psychological
APLIKASI TEORI
Measurement, 59, 197-210. von Davier, M. (2010). Why sum scores may not tell us all about test takers. Newborn and Infant Nursing Reviews, 10(1), 27-36. doi: 10.1053/j.nainr.2009.12.011 Woods, C. M., Oltmanns, T. F., & Turkheimer, E. (2008). Detection of aberrant responding on a personality scale in a military sample: An application of evaluating person fit with two-level logistic regression. Psychological Assessment, 20(2), 159-168. Zickar, M. J., & Drasgow, F. (1996). Detecting faking on a personality instrument using appropriateness measurement. Applied Psychological Measurement, 20(1), 71-87. Zickar, M. J., & Gibby, R. E. (2006). A history of faking and socially desirable responding on personality tests. Dalam R. L. Griffith & M. H. Peterson (Eds.), A closer examination of applicant faking behavior. Greenwich, CT: Information Age Publishing. Zickar, M. J., & Robie, C. (1999). Modeling faking good on personality items: An itemlevel analysis. [doi:10.1037/00219010.84.4.551]. Journal of Applied Psychology, 84(4), 551-563. doi: 10.1037/0021-9010.84.4.551 Zickar, M. J., Gibby, R. E., & Robie, C. (2004). Uncovering faking samples in applicant, incumbent, and experimental data sets: An application of mixed-model item response theory. Organizational Research Methods, 7(2), 168-190. Zickar, M. J., Rosse, J., & Levin, R. (1996). Modeling the effects of faking on personality instruments. Paper yang disajikan pada The Annual meeting of the Society for Industrial and Organizational Psychology, San Diego, CA.
117
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 118–125
ISSN 2085-4242
Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie Program Studi Psikologi, Universitas Negeri Malang English has been presented as one of extra curricular subjects in kindergarten. The main English lesson given is simple vocabularies. Mnemonic skill such as keyword is known as an effective method to improve memory ability. The research tried to find the effectiveness of keyword method to improve the subjects' memory on English vocabularies. The 20 subjects aged 5-7 years old and divided into two groups. Using the Mann-Whitney analysis and Post Test Only Control Group Design, it was found that the experiment group showed significantly better memory ability. Mnemonics effectiveness and memory ability are discussed further in the article. Keywords:
memory,
keyword
Dunia pendidikan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Salah satu kemampuan dasar yang diajarkan pada tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) adalah bahasa. Bahasa dianggap sebagai salah satu komponen penting yang digunakan anak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mengingat arti pentingnya bahasa Inggris dalam kehidupan mendatang, maka bahasa Inggris dikenalkan sejak dini. TK, sebagai salah satu lembaga pendidikan untuk anak usia dini, mulai mengenalkan bahasa Inggris kepada anak-anak didiknya sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Mempertimbangkan perkembangan kognitif pada anak TK yang masih cukup awal, maka materi bahasa Inggris yang dikenalkan pun masih cukup sederhana. Anak-anak mulai diperkenalkan dengan kosa kata bahasa Inggris
method,
English
vocabularies
untuk anggota badan, angka-angka dan bendabenda sederhana yang ada di sekitarnya. Anak-anak dikenalkan dengan bahasa Inggris melalui proses listening (mendengarkan) ucapan dari guru ataupun media compact disc (CD). Biasanya guru hanya mengenalkan kosa kata bahasa Inggris dari halhal yang berkenaan dengan diri anak itu sendiri dan benda-benda yang berada di sekitarnya. Anak-anak akan tertarik juga apabila mempelajari bahasa Inggris dengan menggunakan nyanyian atau gambar. Anak TK memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal yang masih dianggapnya asing. Agar tidak cepat lupa biasanya kepada mereka dikenalkan kosakata bahasa Inggris melalui media gambar menarik, selain itu alasan lain adalah karena anak-anak belum banyak mengenal tulisan. Namun ada juga anak-anak 118
119
EFEKTIVITAS METODE
yang kurang mampu dalam mengingat kosa kata bahasa Inggris yang telah diajarkan. Pembelajaran kosa kata bahasa Inggris ini melibatkan proses kognitif pada anak. Proses kognitif meliputi proses persepsi, memahami, dan mengingat. Masing-masing individu memiliki kemampuan kognitif berbeda-beda, tergantung pada bagaimana mereka menggunakan dan melatihnya. Kendala dalam dunia pendidikan saat ini pada umumnya terletak pada kesulitan para siswa menangkap informasi, baik itu dalam memahami maupun mengingat kembali apa yang telah dipelajari di sekolah. Memori merupakan suatu proses biologis yang terjadi dalam individu dimana individu dapat memanggil kembali informasi yang telah diberi kode. Memori ini terbagi atas tiga tahap yaitu penyandian (encoding), penyimpanan (storage) dan pengambilan (retrieval). Memori berfungsi penting dalam suatu proses pembelajaran. Pembelajaran bahasa Inggris merupakan salah satu jenis pembelajaran verbal dalam mana guru memberikan pembelajaran berupa kata-kata. Salah satu jenis tugas pembelajaran verbal yang biasa digunakan adalah pembelajaran pasangan berkaitan, dalam mana ketika salah satu anggota suatu pasangan disajikan, anggota pasangan yang lain dapat diingat. Salah satu teknik untuk mengingat dalam pembelajaran pasangan berkaitan adalah metode kata kunci (keyword method). Metode kata kunci adalah salah satu teknik mnemonik. Mnemonik adalah strategi yang digunakan untuk memberi makna, untuk mengelompokkan, dan membayangkan materi yang bila tanpa strategi ini akan sulit diingat (Esgate, et al., 2005). Menurut Atkinson dan Rough (1975), metode kata kunci adalah suatu
prosedur mnemonik untuk mengasosiasikan sebuah kata asing dengan terjemahannya. Metode ini membagi pembelajaran sebuah kata asing ke dalam dua tahapan. Tahap yang pertama melibatkan asosiasi kata asing yang diucapkan dengan kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal yang terdengar kurang lebih seperti bagian dari kata asing tersebut. Pada umumnya, kata kunci tidak memiliki keterkaitan dengan kata asing kecuali persamaan bunyi. Tahap yang kedua, subjek mampu membentuk suatu gambaran mental yang menggambarkan interaksi antara kata kunci dengan terjemahan kosa kata bahasa asing. Gambaran mental yang dibentuk mungkin dapat berupa sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal atau tidak sepatutnya sesuai seperti apa yang diinginkan subjek, agar membuat gambaran mental tersebut hidup dan mudah untuk diingat. Berdasarkan pemahaman tersebut penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas metode kata kunci untuk meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris siswa TK Dharma Rini II Kota Pasuruan.
Metode Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelompok B TK Dharma Rini II di Kota Pasuruan tahun ajaran 2009/2010, sebanyak 20 siswa, yang terbagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara acak. Teknik random yang digunakan adalah acaj sederhana (simple random) dengan melakukan undian. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang dikenai perlakuan metode kata kunci, sedangkan kelompok kontrol adalah
120
KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE
kelompok yang tidak dikenai perlakuan metode kata kunci. Adapun karakteristik anak yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini adalah (1) berada dalam rentang usia 5-7 tahun, (2) memiliki standar kompetensi dalam akademik yang sama, (3) belum pernah diajarkan kosa kata bahasa Inggris yang akan digunakan dalam eksperimen, dan (4) mengerti bahasa Jawa. Menurut teori kognitif yang dikembangkan oleh Piaget, anak usia 5-7 tahun telah memasuki tahap pra-operasional, yaitu tahap dalam mana anak-anak mulai melukiskan dunia dengan katakata dan gambar-gambar (Santrock, 2002). Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian metode kata kunci, dalam hal mana anak-anak diberikan kosa kata bahasa Inggris dan media gambar yang mampu mengilustrasikan arti dari kosa kata tersebut. Subjek penelitian adalah anakanak yang berada dalam satu kelompok belajar, yaitu TK B, karena dianggap telah lulus dari kelompok TK A dan memiliki standar kompetensi dalam akademik yang sama. Selain itu, anak-anak dalam kelompok TK B juga mendapatkan pelajaran ekstra bahasa Inggris, sehingga penelitian ini dapat menjadi salah satu variasi metode pengajaran bahasa Inggris yang terdapat di TK tersebut. Sebagai upaya untuk menghindari pengaruh pembelajaran sebelumnya maka digunakan kosakata bahasa Inggris yang belum pernah diajarkan. Oleh karena itu, peneliti melakukan kontrol dengan memberikan kosa kata bahasa Inggris di luar tema-tema yang diajarkan di TK B tersebut, serta berdiskusi dengan guru pengajar untuk mengetahui kosa kata bahasa Inggris yang sudah dan belum diajarkan. Adanya kriteria anak harus mengerti bahasa Jawa dikarenakan adanya penggunaan bahasa lokal (bahasa Jawa) untuk beberapa kata kunci yang akan diberikan.
Desain dan Analisis Desain penelitian yang digunakan adalah Post Test Only Control Group Design. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan peneliti untuk menggunakan desain ini, yakni (1) subjek penelitian dibagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, (2) dapat digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh metode kata kunci untuk meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris, yaitu dari perbandingan hasil post-treatment antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dan (3) pembagian subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak. Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis statistik nonparametrik karena penelitian ini menggunakan sampel kecil, yaitu 20 anak. Uji statistik nonparametrik yang digunakan adalah uji MannWhitney (U). Analisis tersebut dipakai untuk menguji dua variable dalam penelitian ini, yaitu satu variabel bebas berupa metode kata kunci dan satu variabel terikat yaitu memori. Prosedur Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan ada dua. Instrumen pertama berupa daftar kata. Daftar kata ini terdiri atas empat kolom (Tabel 1). Kolom yang pertama adalah kata bahasa Inggris, kolom yang kedua adalah kata kunci yang digunakan, kolom yang ketiga adalah arti kosa kata bahasa Inggris, dan kolom yang keempat adalah gambaran mental yang akan diceritakan kepada subjek. Daftar kata ini merupakan pegangan bagi guru atau peneliti mengenai kata bahasa Inggris beserta kata kunci yang akan digunakan dalam pemberian metode
121
EFEKTIVITAS METODE
Tabel 1. Contoh Instrumen Daftar Kata Bertemakan “Kitchen and Utensils” Kata bahasa Inggris Spoon (spuwn) Bowl (bowl) Spatula (spæ’tyulə)
Kata kunci Spon Bola Sepatu
Arti Sendok Mangkuk Sutil/Sudip
Cup (kΛp)
Kapal
Cangkir
Saucer (‘souser)
Saos
Lepek/Piring kecil
Gambaran mental Mencuci sendok dengan spon Mangkuk yang berisi bola Sutil yang digunakan untuk menggoreng sepatu Kapal kecil yang berlayar di dalam cangkir Saos yang dituangkan di atas lepek
Catatan. dalam kurung / (……….), adalah cara pengucapan bahasa Inggrisnya
Gambar 1. Contoh instrumen daftar gambar kata kunci. Kosa kata bahasa Inggris yang dikenalkan kepada subjek berjumlah 20 item, dengan empat tema yang berbeda. Tiap tema berisi lima butir kosa kata bahasa Inggris. Tema-tema yang diberikan yaitu Accessories, Buildings and Places, Foods, dan Kitchen and Utensils. Instrumen kedua adalah media gambar berupa kartu bergambar untuk mengilustrasikan kata bahasa Inggris dan kata kunci yang diajarkan (Gambar 1). Kartu yang digunakan untuk kata bahasa Inggris dan kata kunci memiliki ukuran yang sama, yaitu 15,5 x 22 cm. Diharapkan dengan media gambar ini subjek
mampu berimajinasi, sehingga dapat mengasosiasikan antara kosa kata bahasa Inggris dan kata kunci sesuai dengan gambaran mental yang diberikan. Pemberian materi kosa kata bahasa Inggris terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara bersamaan, tetapi berbeda ruangan. Kemudian keesokan harinya diberikan suatu tes secara lisan yang bertujuan untuk menguji memori siswa terhadap kosa kata bahasa Inggris yang diberikan sebelumnya. Pemberian perlakuan dilakukan empat sesi dengan tema yang berbeda pada tiap-tiap sesi. Pada setiap pertemuan waktu yang dibutuhkan
122
KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE
kurang lebih sekitar 45 menit. Pemberian perlakuan dilakukan oleh peneliti dan dibantu guru pengajar. Langkah konkret prosedur pemberian perlakuan bagi kelompok eksperimen pada setiap sesi meliputi (1) menyiapkan ruangan dan instrumen yang sesuai bagi kelompok eksperimen saat diberikan perlakuan, (2) menjelaskan kepada subjek manfaat dari pemberian perlakuan, yaitu dapat meningkatkan kemampuan memori siswa terhadap kosa kata bahasa Inggris, (3) menjelaskan kepada subjek mengenai tata cara pemberian perlakuan dan apa yang harus dilakukan subjek ketika perlakuan diberikan, (4) subjek diberi perlakuan yaitu metode kata kunci. Pemberian metode kata kunci dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu mengajarkan mengenai kosa kata bahasa Inggris (disertai gambar), dan arti katanya dalam bahasa Indonesia. Tahap kedua, yaitu mengenalkan kata kunci (disertai gambar). Tahap ketiga adalah memberikan gambaran mental yang dapat mengasosiasikan kata bahasa Inggris dengan kata kunci. Setelah diberikan perlakuan pada kelompok eksperimen, peneliti dibantu oleh guru memberikan tes kepada subjek penelitian untuk mengetahui jumlah kosa kata bahasa Inggris yang dapat diingat oleh subjek. Sedangkan untuk kelompok kontrol, tes yang serupa akan diberikan kepada subjek setelah diberi materi kosa kata bahasa Inggris tanpa menggunakan kata kunci. Tes ini diberikan melalui proses tanya jawab dan dilakukan setelah berselang ± 24 jam dari pemberian perlakuan.
Hasil Berdasarkan hasil analisis perbedaan dengan menggunakan uji Mann Whitney (U)
terhadap skor memori didapatkan nilai Asymptotic Significance (2-tailed) adalah 0,004 (p < 0,05). Artinya, ada perbedaan kemampuan memori antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil analisis deskriptif terhadap skor memori yang diperoleh kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menunjukkan bahwa skor rata-rata kelompok eksperimen adalah 17,7, sedangkan skor rata-rata kelompok kontrol adalah 14,2. Artinya, skor rata-rata yang diperoleh kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata yang diperoleh kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan memori kelompok eksperimen terhadap materi kosa kata bahasa Inggris yang diajarkan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Diskusi dan Kesimpulan Penelitian ini menemukan bahwa metode kata kunci efektif untuk meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris siswa taman kanakkanak. Metode kata kunci dapat bekerja cukup efektif dikarenakan dua hal (Shapiro & Waters, 2005). Salah satu alasan yang membuat metode ini efektif adalah metode ini mengambil keuntungan terhadap kekuatan ingatan visual. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa katakata yang mudah digambarkan lebih mudah untuk diingat daripada kata-kata abstrak. Ellis dan Beaton (dalam Shapiro & Waters, 2005) menemukan bahwa metode kata kunci menghasilkan memori pengenalan superior untuk kosa kata baru. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip pendidikan bagi anak yaitu prinsip pengamatan. Stimulasi pendidikan anak usia dini memberikan kesempatan yang banyak bagi berkembangnya fungsi penglihatan melalui
EFEKTIVITAS METODE
indera mata. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kemampuan visual-memory menjadi prioritas utama dalam perkembangan anak usia dini. Melalui berbagai kegiatan pengamatan yang sengaja diberikan, anak memiliki kemampuan mengenal, memahami dan membedakan, menyimpulkan dan menyampaikan kembali berbagai informasi (pengetahuan) yang telah diterimanya. Selain menggunakan bentuk visual, informasi juga disajikan dalam bentuk verbal. Siswa diberitahukan nama dari setiap gambar yang ditunjukkan secara verbal. Konsep ini terkait dengan teori kode ganda daya ingat (dual code theory of memory) dari Paivio (dalam Slavin, 2008), yang memprediksi bahwa informasi yang disajikan secara visual maupun verbal diingat dengan lebih baik daripada informasi yang disajikan dengan satu cara. Alasan lain yang mungkin menyebabkan kesuksesan dari metode kata kunci adalah siswa yang menggunakan metode ini mengeluarkan kemampuan berpikir yang lebih besar sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya memori siswa. Ketika menggunakan metode kata kunci, siswa taman kanak-kanak melakukan suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses kognitif mereka, siswa membayangkan gambaran mental yang menghubungkan antara arti kosa kata bahasa Inggris dengan kata kunci. Menurut Dryden dan Vos (dalam Afiatin, 2001), modalitas belajar mempengaruhi proses memori. Jeannette Vos (dalam Afiatin, 2001) menyatakan bahwa model belajar yang efektif dapat dikembangkan melalui apa yang kita lihat, dengar, kecap, bau, sentuh, lakukan, bayangkan, intuisikan, dan rasakan. Ketika siswa menggunakan metode kata kunci, siswa diberikan informasi dengan cara melihat,
123
mendengar dan membayangkan. Semakin banyak jalan yang digunakan untuk menyampaikan informasi yang diberikan, semakin banyak stimulan yang menstimulasi otak, sehingga otak menjadi semakin kaya atau memiliki banyak jaringan koneksi (Afiatin, 2001). Suatu studi menemukan bahwa jumlah rangsangan sejak dini dalam perkembangan anak terkait dengan jumlah koneksi saraf, atau synapses, yang merupakan dasar untuk pembelajaran dan daya ingat yang lebih tinggi (Slavin, 2008). Dengan demikian, kegiatan melihat, mendengar dan membayangkan yang dilakukan oleh siswa dapat meningkatkan memori siswa terhadap kosa kata bahasa Inggris yang diberikan. Efektivitas penggunaan metode kata kunci ini diperkuat oleh penelitian yang pernah dilakukan Atkinson dan Rough pada tahun 1975. Atkinson dan Rough menggunakan metode ini untuk mengajari siswa daftar 120 kata Rusia dalam kurun waktu 3 hari, setiap hari disajikan 40 kata. Sedangkan siswa yang lain diberi terjemahan Inggris kata-kata Rusia tersebut dan dibolehkan belajar seperti yang mereka inginkan. Pada akhir eksperimen, siswa yang menggunakan metode kata kunci tersebut mengingat 72 persen kata-kata tadi, sedangkan siswa lainnya hanya mengingat 46 persen. Hal ini membuktikan bahwa metode kata kunci yang diterapkan oleh Atkinson dan Rough efektif untuk meningkatkan kemampuan memori siswa terhadap beberapa kata Rusia. Hasil yang hampir serupa juga diperoleh ketika mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya. Perbedaan penerapan metode kata kunci yang diterapkan pada anak yang sudah bersekolah atau orang dewasa dengan anakanak pra sekolah (TK) adalah pada pembentukan gambaran mental (Slavin, 2008).
124
KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE
Anak-anak pra-sekolah belum mampu untuk membentuk gambaran mental yang menghubungkan antara kata kunci dengan arti kata yang dipelajari, tetapi telah mampu berimajinasi untuk membayangkan apa yang diucapkan. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan memori jangka panjang adalah dengan imajinasi. Menciptakan bayangan-bayangan mental adalah strategi lain untuk mengembangkan memori. Namun, menggunakan imajinasi untuk mengingat informasi verbal memberi hasil lebih baik bagi anak-anak yang berusia lebih tua dibandingkan anak-anak yang lebih muda (Santrock, 2007). Kemampuan anak-anak TK untuk berimajinasi diperkuat oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget, dalam mana anak-anak TK yang berusia 4 hingga 7 tahun telah memasuki tahap pra-operasional. Pada tahap ini anak-anak memiliki kapasitas kognitif baru yang disebut mental representation (gambaran mental). Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal perhitungan dan generalisasi hasil. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sampel kecil yaitu 20 subjek penelitian, dengan rincian 10 subjek pada kelompok eksperimen dan 10 subjek pada kelompok kontrol. Sampel yang kecil menyebabkan peneliti menggunakan uji statistik non-parametrik. Menurut Kerlinger (2003), statistik yang dihitung berdasarkan sampel besar adalah lebih tepat daripada yang dihitung dari sampel kecil, jika semua hal lain tetap sama. Sampel kecil memiliki keterbatasan dalam generalisasi hasil, maka hasil dalam penelitian mengenai efektivitas metode kata kunci untuk meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris
siswa taman kanak-kanak ini cukup sulit untuk digeneralisasikan pada siswa taman kanakkanak kelompok TK yang lain. Hasil penelitian ini hanya dapat berlaku bagi siswa taman kanak-kanak di TK Dharma Rini II Kota Pasuruan ketika penelitian ini dilaksanakan. Selain keterbatasan dalam hal perhitungan dan generalisasi hasil, penelitian ini juga tidak dapat mengendalikan kemungkinan bahwa subjek penelitian mendapatkan pengetahuan kosa kata bahasa Inggris yang diberikan di luar pembelajaran di TK. Peneliti berasumsi bahwa subjek hanya mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris di TK dan tidak mendapatkan pembelajaran dari luar TK, sehingga peneliti hanya melakukan diskusi dengan guru pengajar mengenai kosa kata bahasa Inggris apa sajakah yang belum diajarkan di TK tersebut. Namun demikian, penelitian ini dapat melengkapi dan mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Atkinson dan Rough (1975), yakni dapat membuktikan bahwa metode kata kunci cukup efektif untuk meningkatkan memori dalam pembelajaran kosa kata bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa metode kata kunci dapat pula diterapkan pada siswa taman kanak-kanak yang baru saja memasuki tahap pra-operasional dalam perkembangan kognitifnya.
Bibliografi Afiatin, T. (2001). Belajar pengalaman untuk meningkatkan memori. Anima, Indonesian Psychological Journal, 17(1), 26-35. Atkinson, R. C., & Raugh, M. R. (1975). An application of the mnemonic keyword method to the acquisition of a Rusian
EFEKTIVITAS METODE
vocabulary. Journal of Experimental Psychology: Human Learning and Memory, 104(2), 126-133. Esgate, A., Groome, D., Baker, K., Heathcote, D., Kemp, R., Maguire, M., & Reed, C. (2005). An introduction to applied cognitive psychology. East Sussex, Great Britain: Psychology Press. Kerlinger, F. N. (2003). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Santrock, J. W. (2002). Life span development: Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga. Shapiro, A. M., & Waters, D. L. (2005). An investigation of the cognitive processes underlying the keyword method of foreign vocabulary learning. Language Teaching Research, 9(2), 129-146. Slavin, E. R. (2008). Psikologi pendidikan: Teori dan praktik (Jilid I). Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.
125
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 126–134
ISSN 2085-4242
Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue" Widura Imam Mustopo Asosiasi Psikologi Penerbangan Indonesia—Himpunan Psikologi Indonesia Fatigue is frequently considered as one of the influential factors for aviation safety. Pilots and aviation technicians are likely to suffer from fatigue. The technicians are responsible for aircraft maintenance. This article is intended to explore some studies about fatigue. This article tries to find the clear definitions of fatigue, its causes, its clear indicators, and its influence to psychological aspects related to performance failure especially pilots' performance failure. The article is closed with some tips to avoid the performance failure due to fatigue and some tips to overcome fatigue. Keywords:
fatigue,
performance,
Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat (accidents) yang meningkat. Meningkatnya insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional penerbangan. Kecelakaan penerbangan dapat disebabkan karena berbagai kemungkinan. Salah satunya karena kegagalan pada mesin pesawat udara, atau karena kondisi cuaca yang buruk. Sebab-sebab lainnya terhadap terjadinya insiden atau kecelakaan penerbangan dapat timbul karena kesalahan di tingkat individu (penerbang atau awak pesawat lainnya) atau pengendali lalu lintas udara yang sering dikenal dengan air traffic controller (ATC). Salah satu kondisi yang sering menjadi perhatian di tingkat individu ini adalah kelelahan individu atau sering dikenal dengan istilah “fatigue”. Memperhatikan hal di atas, kajian terhadap fatigue dalam upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan dan sekaligus
aviation
safety,
accident
mempromosikan derajat keselamatan penerbangan adalah upaya yang penting. Tulisan ini akan mengungkap berbagai studi tentang “fatigue”, menyangkut pengertiannya, sebab-sebab timbulnya fatigue, apa saja yang dapat menjadi indikator fatigue, dan pengaruhnya pada aspek-aspek psikologis yang berhubungan dengan kegagalan performance seseorang dan/atau penerbang pada khususnya. Pada akhir tulisan akan diulas juga upaya pencegahan penurunan performance karena sebab-sebab fatigue termasuk cara dan kiat-kiat menghadapi dan mengatasi fatigue. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pemahaman tentang timbulnya fatigue dan pengaruhnya terhadap performance yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya insiden atau accident antara kasus kecelakaan yang satu dan lainnya tidak selalu sama. Tulisan ini merupakan kajian literatur yang didasarkan atas penelitian empirik maupun studi kasus. 126
KESELAMATAN PENERBANGAN
Fatigue Secara harafiah, fatigue dapat diartikan secara sederhana sebagai kelelahan yang sangat (deep tiredness), mirip stres, bersifat kumulatif. Bila dikaitkan dengan pengalaman “seperti apa sebenarnya fatigue itu?”, pengertiannya menjadi bervariasi. Dari berbagai literatur, fatigue sering dihubungkan dengan kondisi kurang tidur, kondisi akibat tidur yang terganggu, atau kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan dengan panjangnya waktu kerja, dan stres-stres kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli lainnya sering mengaitkan fatigue dengan perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya perhatian bersifat temporer, dan menurunnya respon psikomotor; atau berhubungan dengan gejala-gejala yang dikaitkan dengan menurunnya efisiensi performance dan skill; atau, berhubungan dengan menurunnya performance sebagai hasil dari akumulasi stresstres penerbangan. Fatigue juga kerap dikaitkan dengan kondisi non-patologis yang dapat membuat kemampuan seseorang menurun dalam mempertahankan kinerja yang berhubungan dengan stres fisik maupun mental; atau, terganggunya siklus biologis tubuh (jet lag). Terdapat dua macam fatigue, yaitu fatigue jangka pendek (short-term fatigue) dan fatigue jangka panjang (long-term fatigue/chronic fatigue). Short-term fatigue sering dihubungkan dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan dengan kurang tidur atau istirahat, kerja fisik atau mental yang berlebihan, periode waktu tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag. Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan dapat diatasi dengan tidak terbang dan beristirahat yang cukup.
127
Long-term fatigue atau fatigue yang bersifat kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini dapat muncul dari sejumlah penyebab yang bervariasi, termasuk tidak fit, baik fisik maupun mental; kondisi stres, baik karena masalah pekerjaan ataupun rumah tangga; kekhawatiran finansial, dan beban kerja. Fatigue ini juga dapat bersifat subjektif, artinya ada penerbang yang memiliki toleransi yang cukup, namun yang lainnya tidak; bisa juga terjadi pada seorang penerbang dalam hal mana saat ini ia lebih toleran terhadap fatigue waktu dari sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang adalah tindakan yang bijaksana. Terdapat beberapa situasi yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi fatigue. Situasi tersebut bisa fisik-fisiologis maupun psikologis. Secara umum, fatigue merupakan hasil dari konsumsi resources, baik fisik dan/atau mental. Manifestasi fatigue dapat berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau menurunnya kinerja (drop of performance). Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai penyebab terjadinya fatigue, antara lain kebutuhan tidur (baik karena kurang tidur atau terganggu), jadwal waktu kerja dan istirahat yang menyebabkan circadian desynchronization, posisi duduk yang terbatas dalam durasi penerbangan yang lama, kekurangan nutrisi dan cairan yang berhubungan dengan terbatasnya asupan, cockpit ergonomics and equipment yang tak nyaman, noise atau kebisingan, vibration, hypoxic environments (perubahan tekanan atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan temperatur), akibat dari zat-zat dan obat-obatan tertentu (seperti caffeine, alkohol, antihistamines), accelerative forces and Grelated stress, stres-stres psikologis yang
128
MUSTOPO
berhubungan dengan situasi kerja maupun misimisi penerbangan khususnya di lingkungan militer. Selain memahami sebab-sebab timbulnya fatigue, perlu diwaspadai konsekuensi dari timbulnya fatigue. Oleh karenanya, penting untuk memperhatikan simtom-simtom penurunan performance yang disebabkan fatigue (Rosekind, Gregory, Miller, Lebacqz, & Brenner, 2003). Beberapa simtom penurunan performance yang disebabkan fatigue, antara lain, sebagai berikut: Pertama, penurunan motivasi dan perubahan suasana hati. Simtom awal dari fatigue dan kurang tidur biasanya adalah berubahnya perasaan atau suasana hati (moods) menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini, umumnya orang melaporkan munculnya rasa malas untuk memulai kerja, atau merasa kurang bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan negatif, dan mengantuk. Mereka yang mengalami hal tersebut seringkali menyangkal bahwa mereka mengalami hal tersebut. Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan dengan menurunnya performance. Menurunnya inisiatif dan meningkatnya perasaan tidak suka serta perasaan mudah tersinggung pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim. Kedua, penurunan rentang perhatian (span of attention). Hasil sejumlah penelitian (dalam Cassie, Foklema, & Parry, 1964; Dhenin, Sharp, & Ernsting, 1978) menunjukkan bahwa fatigue dan terganggunya waktu tidur akan menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu khususnya yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur, seperti terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang
sama dengan gangguan sistematika berpikir yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian sesaat (lapses of attention) dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu tidur, lapses of attention menjadi meningkat pula. Ketiga, kehilangan daya ingat jangka pendek. Tanda yang jelas sebagai akibat hilangnya waktu tidur adalah ketidakmampuan mengingat apa yang pernah didengar, dilihat, atau dibaca sebelumnya (Dhenin, et al., 1978). Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada daya ingat jangka pendek (short term memory). Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya. Sebuah penelitian melaporkan, individu yang tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat beberapa informasi atau materi yang baru dibacanya. Setelah 48 jam tidak tidur karena harus bekerja terus menerus, daya ingat terhadap bahan/materi yang baru dibacanya akan menurun lebih dari 40 persen. Keempat, waktu reaksi melambat. Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi, melainkan juga akurasi reaksi. Bahaya fatigue dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat diprediksi, seperti jenis respon-respon apa sajakah yang terganggu. Hal ini tergantung dari tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap terganggunya waktu tidur dan fatigue, sedangkan untuk tugas yang lain kurang peka. Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas yang menuntut kewaspadaan, namun bila tugas tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka performance akan memburuk. Bertambahnya tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon
KESELAMATAN PENERBANGAN
jadi lebih lama yang mengakibatkan performance menjadi rusak. Kelima, tidak menyadari adanya penurunan performance. Dalam kondisi fatigue, individu biasanya lebih mudah menerima tingkat performance yang lebih rendah dan seringkali sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi tidak berusaha mengoreksinya. Di samping itu, kondisi fatigue juga membuat seseorang kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan masalah serta kemampuannya mengamati suatu persoalan, atau dalam melihat kemungkinan baru dalam mengatasi masalah. Keenam, menurunnya interpersonal skills dan kegagalan crew coordination. Seperti telah disinggung sebelumnya, fatigue dapat menyebabkan menurunnya inisiatif dan meningkatnya perasaan negatif, serta perasaan mudah tersinggung yang pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan interaksi antar awak yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim (Rosekind, et al., 2003). Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang mendukung keberhasilan dan kegagalan operasi penerbangan adalah kemampuan awak pesawat memelihara komando, kendali, dan koordinasi antar awak pesawat. Problem koordinasi antar awak pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu (1) ketidaktepatan dalam menetapkan prioritas tugas, (2) komunikasi yang tidak efektif, atau (3) tidak adanya tindakan koordinasi. Ketiga macam keterampilan ini dipercaya paling peka terhadap fatigue dan hilangnya waktu tidur. Selain hal yang telah disebutkan di atas, masih terdapat simtom lainnya, yaitu lack of awareness, menurunnya keterampilan motorik,
129
konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan cenderung kembali ke kebiasaan lama.
Kegagalan Penerbangan Tanda-tanda penurunan performance seperti telah diuraikan di atas dapat kita amati melalui beberapa kasus kejadian. Beberapa kejadian atau kecelakaan penerbangan yang disebabkan penurunan performance karena fatigue diulas di bawah ini. Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan Rentang Perhatian
Hubungan antara pengalaman kecelakaan pesawat terbang dan situasi yang berkaitan dengan fatigue (shift kerja yang panjang, istirahat yang kurang memadai, dan sebagainya) sebenarnya telah dibuktikan oleh McFarlan, seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa bila penerbang mengalami fatigue di luar batas kemampuannya akan meningkatkan frekuensi dari “personnel error” (seperti lupa, tidak akurat dalam mengendalikan pesawat, dan sebagainya). Salah satu efek fatigue yang meningkat tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan “mental block”. Aspek mental yang berkaitan dengan hambatan dalam mengingat dan menurunnya daya assosiatif. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang sedang melakukan tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun. Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak teringat, dan detil yang penting tidak terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai, bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk
130
MUSTOPO
berfikir dan bertindak efisien. Dalam kasus lainnya, kondisi fatigue dapat menyebabkan tatapan perhatian cenderung menyempit dan rentang perhatian menjadi terbatas. Dalam kondisi seperti ini, penerbang cenderung lupa mencek instrumen di luar rentang perhatiannya, misalnya panel di samping. Ia lebih memusatkan perhatiannya pada pengamatan dan/atau kesulitan-kesulitan yang membuatnya khawatir daripada aspekaspek yang lebih penting dalam situasi penerbangan (Rosekind, et al., 2003). Konsekuensinya, reaksi-reaksi yang seharusnya dilakukan terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh instrumen utama dapat berubah secara cepat ke reaksi-reaksi otomatis (refleks) yang bersifat primitif (suatu reaksi alamiah bila seseorang mulai menjadi takut dan panik). Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan dapat membuat kesalahan dalam mengambil tindakan vital atau paling esensial.
Fatigue dan Fleksibilitas Dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam tindakan penerbangan, terlebih bila penerbang menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue yang dialami penerbang dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan di bidang ini (Rosekind, et al., 2003). Dalam keadaan fatigue, pengambilan keputusan cenderung kaku. Penerbang menjadi tidak fleksibel dalam mengamati berbagai alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan, dan tentunya dapat berakibat fatal. Sebenarnya pengambilan keputusan tak
terlepas dari faktor psikologis yang telah dibicarakan sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, blocking mental dan penyempitan perhatian dapat mempengaruhi penerbang terutama dalam mendapatkan data informasi untuk dasar pertimbangan (judgment) sebelum keputusan diambil. Bilamana fatigue mulai menyempitkan perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir, biasanya seseorang akan mengambil beberapa kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama, ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan terpaku pada satu set prosedur yang khusus (biasanya yang termudah). Misalnya, ketika ia membuat suatu manuver dalam situasi pendaratan yang sulit, ia hanya mengandalkan instrumen saja. Atau, kemungkinan lainnya, dalam menghadapi situasi yang tak menguntungkan, penerbang mulai menurunkan standar akurasi performance yang lebih rendah. Suatu penyelidikan yang dikenal dengan “Cambridge Cockpit Experiment” (Cassie, et al., 1964) melaporkan bahwa seseorang yang mengalami fatigue cenderung meningkat keinginannya untuk menerima standar akurasi performance yang lebih rendah. Kemungkinan lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya mengandalkan satu cara atau tindakan yang sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena, menurut pengalaman subjektifnya, bila ia tidak menggunakan cara tersebut akan mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk. Ia mengambil tindakan yang diyakini secara subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang logis dan realistis.
Fatigue dan Deteriorisasi Akhir
Efek fatigue lainnya yang menarik untuk
KESELAMATAN PENERBANGAN
diamati adalah kekeliruan atau kesalahankesalahan yang muncul bila penerbang mulai mendekati atau memasuki tempat pendaratan. Efek ini sering disebut “end deterioration” (Dhenin, et al., 1978). Suatu kecenderungan kegagalan penerbang meningkat pada tahaptahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat terbang mendekati akhir penerbangan. Sebenarnya efek fatigue pada tahap-tahap akhir penerbangan dapat dimengerti. Dalam suatu penerbangan yang penuh dengan stres, pada titik tertentu penerbang akan mengalami kelelahan dan keinginan yang besar untuk beristirahat. Bila keinginan tersebut tak terbendung lagi akan menyebabkan penerbang ingin cepat-cepat sampai di pangkalan. Konsekuensinya, kewaspadaan dan kesiagaan menjadi menurun. Efek yang lebih buruk lagi bila saat itu fatigue mulai mempengaruhi “skilled performance”. Beberapa eksperimen dari Bartlett dan Davis (dalam Cassie, et al., 1964) menunjukkan bahwa stres yang dialami secara terus menerus akan menyebabkan fatigue yang muncul dalam bentuk menurunnya “skilled performance”. Dilaporkan pula bahwa penurunan performance tersebut umumnya tidak disadari oleh yang bersangkutan. Berbagai efek dari “end deterioration” tersebut mempunyai implikasi yang besar untuk terjadinya kecelakaan. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa frekuensi kecelakaan pada saat pendaratan dapat dikatakan cukup tinggi. Suatu penelitian mengindikasikan bahwa kecelakaan pada saat pendaratan yang berhubungan dengan sebab-sebab fatigue adalah “undershoot” (Cassie, et al., 1964). Dilaporkan kasus ini terjadi tidak kurang dari
131
17 kejadian di antara 23 kasus kecelakaan yang diteliti dalam jangka waktu tertentu.
Fatigue dan Rangkaian Kesalahan
Efek fatigue tidak saja mengakibatkan kecelakaan pada akhir suatu sort penerbangan. Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak berapa lama setelah lepas landas. Hal ini biasanya disebabkan oleh suatu rangkaian kesalahan (“series of error”) sejak persiapan penerbangan saat masih di darat. Dari suatu misi penerbangan yang panjang, para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu pangkalan untuk beristirahat dan keesokan harinya akan melanjutkan penerbangan, mungkin melakukan penerbangan untuk kembali ke home base, atau melanjutkan penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi operasi lainnya. Diharapkan, pada malam sebelumnya penerbang (dan awak pesawat lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan waktu membuat penerbang tidak mungkin beristirahat secara memadai, atau pada kasus lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan kondisi fisik maupun mental yang bersangkutan. Kondisi fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik setelah suatu penerbangan yang panjang dapat mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi tersebut sudah mempengaruhi pola dan sistimatika berpikir, maka sedikit banyak akan mempengaruhi persiapan dan perencanaan penerbangan. Hasil penelitian dari “series of error” (Angus, Heselgrave, & Miles, 1985) yang
132
MUSTOPO
berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain (a) kecenderungan kekeliruan dalam membuat persiapan penerbangan, (b) penerbang melakukan error yang serius dalam memperkirakan ketahanan penerbangan, (c) keliru dalam mengamati penyelurusan ketika memasuki ketinggian tertentu pada saat merencanakan penerbangan, (d) keliru ketika memeriksa navigasi karena perkiraan posisi yang salah, (e) keliru dalam mempertahankan ketinggian yang aman, (f) kesalahan ketika penerbang secara prematur mulai menurunkan ketinggian.
Upaya Pencegahan Penurunan Performance Karena Fatigue
Oleh karena biasanya penerbang atau awak pesawat lainnya tidak bisa sepenuhnya beristirahat di sela-sela operasi yang terus menerus, maka penting mereka dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan tidur yang minimal, setidaknya untuk memelihara atau mengembalikan kondisi agar performance dapat tetap efektif. Beristirahat atau breaks (istirahat tapi tidak tidur) dipercaya cukup bermanfaat bagi individu yang sedang melaksanakan tugas terbang terus menerus (Angus, Heselgrave, Pigeu, & Jamieson, 1987). Performance dan kondisi suasana hati (mood) secara konsisten menjadi lebih baik segera setelah orang beristirahat lebih kurang satu jam. Namun efek positif dari istirahat di sela-sela tugas operasi intensif terhadap performance bersifat jangka pendek. Cara ini tidak bermanfaat untuk seterusnya bekerja dengan performance optimal. Karena cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue
dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur sama sekali. Lebih lamanya waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert). Walau ada perdebatan antar ahli dalam hal ini, namun tidur sejenak (nap) yang dilakukan antara 20-30 menit di tempat duduk cukup efektif untuk kembali segar, dan durasi nap minimum tidak kurang dari 10 menit untuk memperoleh efek pemulihan (Angus, et al., 1987). Namun yang perlu diperhatikan adalah nap bersifat individual, sehingga bervariasi antara individu satu dan lainnya. Ada yang mendapatkan dampak positif, namun mungkin ada yang tidak mendapatkan dampak atau manfaat. Bagi mereka yang belum terbiasa melaksanakan nap, dampaknya bisa berbeda. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah bahwa setelah nap kondisi segar (fresh) tidak terjadi serta merta. Diperlukan beberapa menit untuk mengumpulkan kesadaran, adanya reaksi yang lambat, dan umumnya untuk kembali dapat bereaksi secara normal setelah ± 5 menit terbangun. Pada dasarnya fungsi tidur tidak diartikan bahwa seseorang harus tidur lebih lama sebagai persiapan tubuh agar hari berikutnya tidak usah tidur. Fungsi tidur tidak dilihat sebagai tabungan. Tidur normal adalah 7 sampai 8 jam sebelum tugas operasi (Rosekind, et al., 2003), bukan tidur lebih lama untuk mempersiapkan kondisi tubuh menghadapi tugas operasi dimana kemungkinan sulit untuk mencari waktu istirahat dan tidur. Waktu tidur akan lebih efektif dimanfaatkan untuk beristirahat setelah waktu yang cukup lama tidak tidur. Penelitian Naitoh, Englund, dan Ryman (1986) menunjukkan bahwa setelah 36 sampai 48 jam
133
KESELAMATAN PENERBANGAN
bekerja terus menerus, tingkat minimum performance dapat dicapai kembali sesudah beristirahat 12 jam, walaupun suasana hati relatif tak berubah. Di samping cara-cara seperti tersebut di atas, masih ada beberapa kiat yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah penurunan performance karena fatigue, antara lain (1) menerima bahwa fatigue merupakan potensi yang dapat menimbulkan masalah, (2) rencanakan tidur / istirahat secara proaktif (rencanakan tidur / istirahat sebelum melaksanakan aktivitas berdurasi lama/panjang), (3) manfaatkan olah raga (exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan jaminan bahwa kita dalam kondisi fit, (4) kendalikan emosi dan kehidupan psikologis, (5) yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman, (6) yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan minuman yang cukup untuk penerbangan yang panjang, (7) yakinkan diri bahwa tempat duduk sudah disesuaikan (adjusted). Cara lain namun lebih membutuhkan keahlian, terutama dari flight surgeon (dokter penerbangan), adalah dengan memanfaatkan obat-obat tertentu seperti stimulan, atau caffeine untuk memperoleh kondisi tetap terjaga atau menahan kantuk. Upaya-upaya ini cukup efektif namun diperlukan keahlian dan pengalaman, karena bila tidak sesuai atau berlebihan malah akan memberikan dampak yang tidak diinginkan.
Kesimpulan Sebenarnya, sejauh seseorang berada dalam keadaan segar, ia akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang paling rumit sekalipun, pun bila tugas-tugas tersebut sangat menuntut
perhatiannya. Bila penerbang mengalami kelelahan atau fatigue, baik karena stres yang berlangsung terus menerus ataupun waktu istirahat yang tidak dimanfaatkan dengan memadai, ia akan memperlihatkan penurunan performance. Cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur sama sekali. Lebih lamanya waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert).
Bibliografi Angus, R. G., Heselgrave, R. J., & Miles, W. S, (1985, Mei). Effects of prolonged sleep deprivation, with and without chronic physical exercise, in mood and performance. Psychophysiology, 22(3), 276-82. Angus, R. G., Heselgrave, R. J., Pigeu, R. A., & Jamieson, D. W. (1987, Maret). Psychological performance during sleep loss and continuous mental work: The effort of interjected naps. Paper yang disajikan pada The NATO Seminar "Sleep and its Implications for the Military", Lyon, France. Cassie, A., Foklema, S. D., & Parry, J. B. (Eds.). (1964). Aviation psychology: studies on accident liability, proficiency criteria and personnel selection. Paris: Mouton & Co. Dhenin, S. G., Sharp, G. R., & Ernsting, J., (1978). Aviation medicine, physiology and human factors. London: Tri-Med Books Ltd.
134
MUSTOPO
Naitoh, P., Englund, C. E., & Ryman, D. H., (1986). Sleep management in sustained operation’s user guide (NHRC Report No. 86-22). San Diego: Naval Health Research Center. Rosekind, R. M., Gregory, B. K., Miller, D. L., Lebacqz, J. V., & Brenner, M. (2003). Examiner fatigue factors in accident investigations: Analysis of Guantanmo Bay aviation accident. Alertness Solutions, NASA Ames Research Center, and National Transportation Safety Board. Sells, S. B., & Berry, C. A. (1961). Human factors in jet and space travel. New York: The Roland Press Co. The Oxford Aviation Training. (2001). Human performance and limitation. Oxford Aviation Services Limited.
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 135–140
ISSN 2085-4242
“Support Group Therapy” Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga “Single Parent” di Kota Malang M. Salis Yuniardi dan Djudiyah Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
This research aimed to measure the efficacy of support group therapy empowering resiliency potentials among adolescent coming from single parent families. This study used case study method and the subject of this research were 15 students of SMU 1 Batu, SMK PGRI 3 Malang and SMK Muhammadiyah 2 Malang. The data was collected using interview and self report and then analyzed using qualitative descriptive analysis. The result reveals that the support group therapy has proven successfully enhancing self-concept of all participants. Keywords: resiliency, adolescent, single parent, support group therapy
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan diri setiap anak. Sejak lahir anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa disekitarnya terutama orang tua. Peran orang tua dalam perkembangan anak sangatlah penting karena orang tua dan keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal anak. Orang tua berkewajiban sebagai pendidik utama bagi anak dalam perkembangan kepribadiannya. Orang tua dan keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan pertama yang bertanggung jawab ditengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak (Kartono, 1992). Namun sayang, di era modern seperti sekarang ini banyak fenomena di masyarakat orang tua bercerai dengan berbagai alasan. Kota Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa 135
Timur yang rentan terhadap perceraian dan bahkan menduduki peringkat pertama dalam kasus ini. Berdasarkan data Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, antara tahun 2007 hingga tahun 2008 terdapat 2.306 kasus perceraian (Jawa Pos, 19 Pebruari 2009). Terjadinya kasus perceraian tersebut mengakibatkan besarnya angka keluarga single parent yang diprediksi menjadi penyebab terjadinya penyimpangan perilaku remaja. Single parent memiliki kecenderungan kurang optimal dalam pengasuhan remaja karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan orangtua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat perhatian dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan konsep diri dalam keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga berkecenderungan melakukan perilaku
136
YUNIARDI DAN DJUDIYAH
menyimpang, seperti dendam terhadap orangtua, frustasi, mengalami guncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang, dan bentuk kenakalan remaja lainnya. Pada keluarga single parent, orangtua berperan ganda dalam menjalankan kewajibannya sebagai orangtua. Hal ini dapat menghambat hubungan antara anak dan orangtua. Baik orangtua maupun anak biasanya kurang mampu beradaptasi dan menerima keadaan tersebut sebagai sesuatu yang harus dijalani. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan konflik antar anggota keluarga, sehingga memunculkan masalah, baik dari pihak orang tua maupun anak (Balson, 1993, h. 95). Berbeda dengan kondisi remaja yang memiliki ayah dan ibu, kondisi remaja dari keluarga single parent secara umum mengalami ketimpangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini diakibatkan selain menghadapi beban psikologis yang cukup berat, mereka juga harus menanggung perlakuan dari masyarakat yang kurang mendukung eksistensi single parent di masyarakat (Calhoun & Acocella, 1990, h. 66). Pada satu sisi, remaja membutuhkan bimbingan dan arahan dari orangtua, sementara pada sisi lain orangtua tidak mampu berperan secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan frustrasi pada diri remaja sehingga mereka cenderung melamun, menekuni hobi secara berlebihan, dan suka menyendiri (Balson, 1995, h. 96). Kendati demikian, diyakini bahwa bila seseorang menghadapi permasalahan, maka sebenarnya ia memiliki kekuatan untuk mengatasinya. Kekuatan semacam ini disebut resiliensi. Tidak ada definisi universal mengenai resiliensi, namun secara umum pengertian yang mudah dimengerti adalah apa yang diungkap Wolin (1993), yakni
“kemampuan untuk bangkit kembali”. Lebih lengkap diungkap pada makalah yang disusun International Resiliency Projecets (dalam Henderson & Milstein, 2003), bahwa resiliensi adalah kemampuan setiap orang, kelompok, atau komunitas, untuk mencegah, meminimalkan, atau mengatasi dampak buruk suatu kemalangan atau masalah. Resiliensi adalah sebuah kapasitas mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera (Turner, 2001). Jadi dapat disederhanakan bahwa resiliensi adalah proses menemukenali hal positif di balik suatu kemalangan dan memanfaatkannya sebagai tenaga untuk memantul bangkit. Resiliensi ini sangat penting karena orang yang resilien mengetahui bagaimana mengembalikan mental dari suatu kemalangan atau kesengsaraan dan membaliknya menjadi sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan keadaan sebelum kemalangan itu sendiri. Mereka maju dengan cepat dalam perubahan yang berlangsung terus menerus karena mereka fleksibel, cerdas, kreatif, secara cepat menyesuaikan diri, sinergik, danbelajar dari pengalaman. Mereka dapat mengendalikan kesulitan-kesulitan besar, dengan lebih baik meski ketika dipukul oleh kemunduran besar, mereka tetap tidak mengeluh dengan kehidupannya yang tidak wajar (Siebert, 2000). Merujuk hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk mengembangkan potensi resiliensi tersebut. Salah satu yang memungkinan untuk diupayakan adalah melalui support group therapy. Support group therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara berbagi (sharing) informasi tentang permasalahan yang dialami
137
SUPPORT GROUP
serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan (Yalom, 1985). Tujuan utamanya adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami (Gazda, 1989).
Resiliensi Berdasarkan beberapa teori resiliensi yang dikemukakan pada bagian sebelumnya di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen posistif dari lingkungannya, untuk membantu mencapai kesusksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal maupun internal. Menurut Grotberg (1999, h. 12) resiliensi berasal dari tiga sumber. Pertama, “Saya Memiliki (I Have)”. I Have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosisl terhadap dirinya. Kedua, “Saya (I Am)”. I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimilki oleh banyak individu, yang terdiri atas perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Ketiga, “Saya dapat (I Can)”. I can merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan individu sehubungan dengan keterampilanketerampilan sosial dan interpersonal.
Support Group Therapy
Support group therapy adalah suatu proses terapi pada suatu kelompok yang memiliki permasalahan yang sama untuk mengkondisikan dan memberi penguatan pada kelompok maupun perorangan dalam kelompok sesuai dengan permasalahannya (Seligman & Marhsak, 1990). Berdasarkan penjelasan tentang support group therapy yang dikemukakan pada bagian sebelumnya di atas, dapat disimpulkan bahwa support group therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara berbagi (sharing) informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan, dengan tujuan utama tercapainya kemampuan penanggulangan (coping) yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami.
Metode Penelitian ini merupakan studi kasus dengan subjek penelitian sebanyak 15 siswa dari SMAN 1 Batu, SMK PGRI 3 Malang dan SMK Muhammadiyah 2 Malang yang berasal dari keluarga single parent, baik yang hidup bersama ayah saja, atau ibu saja, baik karena perceraian maupun karena meninggal dunia. Istrumen penelitian yang digunakan adalah sebagaimana nampak dalam Tabel 1. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan laporan diri (self report). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan tiga sesi, yaitu pada saat sebelum support group diberikan, pasca support group dilakukan, serta pada saat tindak lanjut (dua hari setelah support group dilakukan). Rangkaian wawancara dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan
138
YUNIARDI DAN DJUDIYAH
resiliensi subjek dari waktu kewaktu. Laporan diri dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan daya resiliensi subjek sebelum, selama, dan sesudah proses terapi. Laporan diri ini nantinya akan dianalisis berbentuk deskriptif.
Tabel 1. Instrumen Penelitian Sesi 1.
Tujuan 1. Membangun hubungan baik (rapport) 2. Penjelasan program
Metode Instrumen 1. Berbagi 1. Kartu(sharing) kartu tentang harapan tujuan dan program kecemas 2. Pembuatan an kontrak 2. Flipchart aturan 3. Spidol kelompok
2.
I-AM (menemu kenali kekuatan diri)
1. Jendela Johari 2. Support group therapy
1. Jendela Johari
3.
I-HAVE (menemu kenali kekuatan lingkungan)
1. Kartu Sahabat 2. Support group therapy
1. Kartu Sahabat
4.
I-CAN (membangun rencana pengembangan kekuatan)
1. My Dreams 2. Support Group Therapy 3. Surat Sahabat
1. My Dreams 2. HVS
5.
Penutup
1. Evaluasi 2. Positive summary
1. Kertas koran 2. Flipchart
Hasil dan Diskusi Hasil penelitian menunjukkan bahwa support group therapy dapat digunakan untuk mengembangkan resiliensi remaja dari keluarga single parent. Keseluruhan subjek penelitian mampu mengembangkan resiliensi yang dimiliki. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya faktor I am, I have, dan I can; yang dapat dilihat dari perubahan hasil rangkaian wawancara. Keseluruh subjek penelitian selama proses terapi secara umum mampu menjalankan serangkaian prosedur yang telah ditetapkan bersama secara bertahap baik dari proses sebelum terapi hingga masa follow up selesai sehingga mereka dapat bangkit kembali dalam berbagai kesulitan yang sedang dialami. Pengembangan faktor I am terlihat pada semua subjek. Mereka dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, meyakini bahwa setiap orang juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Support group therapy yang diberikan membuat peserta mampu mengenali dirinya, memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan kekurangan dan juga sejarah masing-masing, serta bisa menerima dirinya. Erikson (dalam Dahlan, 2009) mengatakan bahwa remaja berkaitan erat dengan perkembangan sense of identity vs role confusion, yaitu perasaan atau kesadaran dirinya.
139
SUPPORT GROUP
Apabila remaja berhasil memahami dirinya dan makna hidup beragama, maka remaja akan menemukan jati dirinya. Sebaliknya, apabila gagal, maka remaja akan mengalami kebingungan, yang akan berdampak pada kesulitan menyesuaikan diri. Dengan lebih memahami tentang kelebihan dan kekurangan dirinya, semua subjek lebih percaya diri baik ketika berhubungan dengan orang lain maupun pada kemampuan yang dimiliki, suatu hal yang belum dipahami subjek sebelumnya. Keyakinan dan kepasrahan tiap-tiap subjek terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan perwujudan dari I am yang ada dalam diri masing-masing subjek. Hal ini membuat mereka kuat dan tabah menjalani cobaan. Keyakinan ini awalnya tidak ada dalam diri beberapa subyek, namun berubah setelah proses support group therapy. Menurut Hurlock (1980), bagi remaja keraguan religius dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja lain berusaha untuk mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut oleh keluarganya. Beberapa subjek awalnya cenderung menyalahkan Tuhan atas apa yang telah menimpa keluarganya, sehingga subjek berfikir bahwa tidak ada gunanya beribadah karena Tuhan tidak adil terhadap diri dan keluarganya. Namun, setelah diberikan terapi yang membuatnya lebih bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang, keyakinan mereka kepada Tuhan berubah, meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya. Selain itu, subjek yakin bahwa cobaan yang ada membawa banyak hikmah melatih dirinya untuk bersyukur dan lebih tegar. Hal yang sama terjadi terkait pandangan mereka mengenai diri dan juga keluarga.
Mereka awalnya merasa minder dan tidak percaya diri, serta merasa tidak memiliki kelebihan. Selain itu, mereka juga merasa kurang mendapat dukungan dari orangtua, dalam hal mana orangtua yang tersisa, baik ayah atau ibu, sering diterima sebagai figur yang selalu hanya memarahi serta jarang memberi mereka pujian ataupun dukungan. Namun demikian melalui proses support group therapy para subjek diajak untuk melihat dan fokus pada sisi sebaliknya, menemukenali hikmah dibalik kemalangan, sehingga memunculkan sikap penerimaan diri, kebanggaan, dan optimisme. Hal tersebut sesuai dengan diungkap Henderson dan Milstein (2003), bahwa selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian dan klien memiliki potensi untuk menemukan hikmah tersebut dan menggunakannya untuk bangkit kembali dari keterpurukannya. Potensi inilah yang disebut resiliensi. Penelitian ini menemukan bahwa resiliensi menawarkan dua hal penting pada diri subjek, yakni (1) kemalangan atau masalah tidak selalu membawa pada disfungsi melainkan dapat memberi variasi hasil pada individu yang mengalaminya, (2) sekalipun ada reaksi awal yang disfungsi sekalipun, setiap orang tetap memiliki kemungkinan membalikkannya.
Kesimpulan Support group therapy terbukti mampu mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent. Hal ini dapat terlihat dari para subjek yang awalnya banyak yang merasa tidak memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I am), kurang mendapat dukungan utamanya dari keluarga (I have), serta tidak memiliki rencana masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can),
140
YUNIARDI DAN DJUDIYAH
namun setelah proses support group therapy keseluruhan subyek dapat menyadari adanya potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia miliki dan menjadi kekuatannya. Subjek menerima hal-hal yang menjadi kekurangan diri, dapat melihat bahwa masih ada orangorang di sekitarnya terutama keluarga yang sesungguhnya mendukung mereka dengan ekspresi yang mungkin berbeda dari yang para subjek harapkan. Subjek juga mampu melihat kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk optimistis melihat masa depan.
Bibliografi Balson. (1993). Psychology of family. New york: Mac Garw-Hill, Co. Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relationships. USA: McGraw-Hill, Inc. Dahlan. (2009). Psikologi perkembangan. Jakarta: Arcan. Gazda, G. M. (1989). Group counselling: A developmental approach (4th ed.). Boston: Allyn and Bacon. Grotberg, E. H. (1999). How to deal with anything. New York: MJF Books, Fine Communications. Henderson, N., & Milstein, M. M. (2003). Resiliency in schools. California: Corwin Press, Inc. Hurlock, E. B. (1980). Developmental psychology: A life span approach (5th ed.). Boston: McGraw-Hill. Kartono, K. (1992). Psikologi wanita. Bandung: Mandar Maju Seligman, M., & Marhsak, L. E. (Eds.). (1990). Group psychotherapy: Interventions with special populations. Boston: Allyn and Bacon
Siebert, A. (2000). The five levels of resiliency. Diakses pada 10 September 2011, dari http://www.resiliencycenter.com/articles/5le vels.shtml Turner, S. G. (2001). Resilience and social work practice: Three case studies. Families in Society, 82(5), 441-448. Wolin. (1993). Resiliency and factor defined. California: Corwin Press. Yalom, I. (1985). The theory and practice of group psychotherapy (3rd ed.). New York: Basic Books.
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 141–148
ISSN 2085-4242
Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas Bonar Hutapea Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y. A. I.
The critique or the deconstruction of subjectivity or putting into question of the "subject" according to the structure, the meaning, and the value subsumed under this term, is to be considered one of the great motifs of contemporary philosophical work and it has been taken off from several teachings including Psychoanalysis of Sigmund Freud, as the First Force in Psychology, in the beginning of twentieth-century. This paper is intended to describe how the subject of Freudian regarded as critique for modern subject as Cartesian tradition legacy. According to Freud's view, decentering consciousness as the autonomous and absolute center of the human is one of main antecedent for the deconstructionist critique of unified subjectivity. It is surely regarded that Freud's work that underpins the postmodern thesis that fragmentation is the condition of contemporary subjectivity. Keywords: consciousness, philosophy of subjectivity
unconsciousness,
Freud adalah salah satu pemikir abad kedua puluh yang melakukan revolusi terhadap pemahaman mengenai hakikat manusia. Freud menghabiskan hampir lima puluh tahun untuk membangun dan memodifikasi teori-teorinya, dan ia menulis sangat banyak materi sehingga seringkali dikatakan para komentator bahwa hanya seorang spesialis sajalah yang diharapkan mampu menyelami semua isinya (Leslie & Haberman, 2001). Psikoanalisa yang dibangun Freud menjadi mazhab besar yang dikenal sebagai Mazhab Pertama dalam Psikologi. Tempatnya yang begitu penting dalam budaya masyarakat dunia, dalam sejarah psikologi, dan 141
human,
Freudian,
model psikodinamikanya yang amat penting, membuat psikoanalisis begitu populer. Psikoanalisis lahir dalam alur sejarah psikologi saat psikologi didominasi oleh gagasan psikologi strukturalisme dengan penekanan pada proses-proses kesadaran dan memandang kesadaran sebagai aspek utama dari kehidupan kejiwaan. Gagasan-gagasan besar dan penting Freud amat berpengaruh tak hanya di lapangan psikologi dan psikiatri, namun juga bidang lain seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, kesusasteraan, kesenian dan filsafat, membuatnya dianggap revolusioner sekaligus
142
HUTAPEA
kontroversial (Koeswara, 1986). Tulisan singkat ini mencoba mengurai bagaimana Freud menentang pemikiran yang menjadi arus utama (mainstream) pada masa hidupnya saat ia mendirikan psikoanalisa. Secara khusus bagaimana subjek yang dimaksudkan Freud dalam psikoanalisa berhadapan dengan subjek modern hasil konstruksi pemikiran Descartes. Tulisan ini akan diawali dengan uraian singkat mengenai posisi Freud antara psikologi dan filsafat, selanjutnya akan dibahas ringkas pandangan Freud tentang hakikat manusia— jika tidak mungkin mengatakannya sebagai filsafat manusia dari Freud. Selanjutnya akan dijelaskan secara ringkas filsafat subjektivitas dari Descartes yang menjadi semacam “lawan” yang hendak dikonfrontasikan terhadap psikoanalisa Freud. Pada bagian akhir akan disajikan dampak dari “perlawanan” Freud terhadap konvensi pemikiran yang diturunkan dari pemikiran Descartes tadi.
Freud, Filsafat, dan Metapsikologi Sigmund Freud dilahirkan di Moravia, sebuah kota kecil di Austria (sekarang kota ini menjadi bagian dari negara Cekoslowakia), 6 Mei 1856, dari sebuah keluarga Yahudi. Pada usia 4 tahun, Freud pindah ke Wina karena mengalami kemerosotan ekonomi keluarga. Semasa menjadi mahasiswa kedokteran, Freud tidak merasa cocok dengan ilmu pengobatan, malah mengikuti kuliah-kuliah lain seperti kuliah filsuf Franz Brentano yang pada waktu itu sangat berpengaruh di bidang pemikiran manusia. Selain seorang dokter, dokter jiwa (sekarang lebih dikenal sebagai psikiater), sarjana ilmu pengetahuan alam, sarjana psikologi, Freud juga disebut ahli filsafat— sebuah status yang mungkin masih
diperdebatkan. Namun, konon suratnya tahun 1896 berisikan pengakuan bahwa ia ingin memahami ilmu filsafat. Kutipan suratnya itu kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Sebagai seorang muda saya tidak menginginkan yang lain selain daripada mempunyai pengetahuan tentang ilmu falsafah, dan saya sekarang sedang memuaskan keinginan itu dengan jalan beralih dari lapangan kedokteran ke lapangan ilmu jiwa” (Hall, 1980). Hal ini sebenarnya tidak terlalu luar biasa mengingat merupakan hal yang lazim bila seorang sarjana abad kesembilan belas merasa tertarik kepada filsafat, di samping karena, bagi sebagian besar sarjana pada waktu itu, sains adalah filsafat dikarenakan pengartian filsafat sebagai cinta terhadap pengetahuan. Semacam pertanyaan retoris yang diajukan untuk menguatkan hal ini adalah, “Jalan apa yang lebih baik untuk memperlihatkan cinta seseorang terhadap pengetahuan selain daripada menjadi sarjana?” Pertanyaan ini diajukan oleh Goethe kepada setiap intelektual Jerman, dan Freud tidak dapat menghindarkan dirinya dari pengaruh Goethe. Bahkan pilihannya terhadap bidang ilmu alam adalah karena diilhami oleh essai Goethe tentang alam dalam kuliah umum yang amat inspiratif. (Hall, 1980) Meski begitu, apakah Freud sesungguhnya ahli filsafat? Jawabannya adalah tidak sama sekali, bila yang dimasudkan adalah filsuf profesional ataupun filsuf akademis. Perhatiannya terhadap filsafat lebih bersifat sosial dan kemanusiaan, dalam arti mengambil suatu pendirian filosofi hidup, yakni suatu filsafat yang berdasarkan pengetahuan yang hakiki tentang hakekat manusia, suatu pengetahuan yang hanya mungkin didapat dengan cara mengadakan penelitian ilmiah. Freud lebih menganut filsafat hidup yang
MENGGESER KESADARAN
berdasarkan ilmu pengetahuan daripada berdasarkan metafisika. Freud tidak merasa perlu bahwa Psikoanalisa yang dikembangkannya menjadi Weltanschaung baru, melainkan memperluas pandangan dunia yang berciri ilmiah hingga mencakup studi tentang manusia. Freud dengan psikoanalisanya tidak bermaksud memandang manusia secara filosofis. Tidak sedikit komentator yang mengatakan bahwa Freud segan (atau tidak merasa perlu?) berdialog dengan filsafat. Maka psikoanalisa dapat disebut sebagai pandangan tentang manusia dalam arti yang paling umum. Pandangan Freud dalam psikoanalisa menjadi relevan dengan refleksi filosofis disebabkan adanya hubungan yang erat antara filsafat manusia dengan psikologi (dalam bahasa Freud disebut ilmu jiwa), di mana batasan keduanya kadang tidak begitu jelas; meski secara teoritis perbedaan keduanya cukup jelas, yakni psikologi sebagai ilmu empiris dan filsafat manusia bersifat spekulatif ataupun metafisis. Namun harus diakui, dari semua ilmu pengetahuan kemanusiaan, barangkali tidak ada yang hubungannya lebih erat dengan filsafat manusia selain psikologi, dalam mana psikologi memberi manfaat praktis yang besar dan berkontribusi untuk memberi pemahaman yang lebih baik tentang manusia, sedangkan filsafat bisa memberikan kata terakhir tentang manusia di mana psikologi tak memilikinya. Uraian Freud dalam arti yang paling teoritis disebut metapsikologi yang memiliki unsurunsur yang sulit dipisahkan dari pandangan filosofis. Kata “metapsikologi” digunakan Freud untuk menamai dua hal yang amat berbeda yakni analisis filosofis, di satu pihak; dan opini-opini macam spekulatif, di pihak lain, yang tidak ilmiah ataupun pengetahuan
143
filosofis, melainkan “teori” dugaan. (Adler, 1995, h. 105). Bahkan dapat dikatakan bahwa refleksinya tentang manusia melampaui refleksi filosofis. Metapsikologi diakui Freud sebagai doktrin tingkat lanjut yang bukan merupakan pengetahuan ilmiah yang ketat melainkan filsafat psikologi.
Hakikat Manusia Menurut Freud Sebelum kita berlanjut membicarakan subjek dan subjektivitas dalam Freudianisme, ada baiknya melihat sejenak pendekatan Freud pada hakikat manusia dengan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Pertama adalah asumsi materialisme yakni pengakuan terhadap perbedaan kondisi kejiwaan dengan kondisi fisiologis namun tak menyetujui dualisme dua substansi (jiwa dan tubuh), sekalipun Freud tak menyangkal bahwa postulatnya tentang semua kondisi dan proses kejiwaan yang amat rumit memiliki beberapa dasar fisiologis. Asumsi Freud ini mendapat dukungan dari banyak filsuf yang setuju bahwa berbicara mengenai kondisi kesadaran (pemikiran, harapan, dan emosi) tidak harus terikat dengan dualisme metafisis dan tidak beralasan menolak teori bawah sadar seperti yang dipostulasikan Freud. (Stevenson & Haberman, 2001) Kedua, asumsi determinisme yang ketat, yakni bahwa setiap kejadian memiliki penyebab bagi realitas kejiwaan. Tak ada tingkah laku, pikiran, dan perkataan yang bersifat kebetulan. Pendapat Freud ini tampaknya menolak kebebasan berkehendak yang beranggapan manusia bebas memilih secara sempurna bahkan mungkin arbitrer. Isi kesadaran kita jauh dari “kebebasan” yang sempurna dan “rasional” secara unik karena dibatasi oleh penyebabpenyebab yang normalnya tidak kita sadari.
144
HUTAPEA
Tampaknya ada persamaan atau kemiripan paralel dengan Karl Marx. Hanya saja Marx menyatakan bahwa penyebab itu adalah hakikat sosial dan ekonomi manusia, sedangkan Freud beranggapan itu bersifat individual dan berakar pada dorongan-dorongan biologis. Ketiga, asumsi tentang kondisi kejiwaan bawah sadar. Kondisi ini muncul dari asumsi kedua. Namun perlu sedikit lebih berhati-hati agar tidak mencampuradukkan kondisi bawah sadar dengan “pra-sadar”, yakni sesuatu yang siap menjadi sadar karena dapat dipanggil kembali ke kesadaran jika dibutuhkan. Istilah “bawah sadar” digunakan untuk menunjukkan keadaan yang tidak dapat menjadi sadar dalam keadaan normal melainkan dengan cara-cara khusus, seperti tafsir mimpi, hipnotis, dan asosiasi bebas. Pembedaan antara sadar, prasadar, dan bawah sadar ini lebih dikenal sebagai topografi kesadaran. Analogi Freud yang dekat dengan hal ini adalah fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dalam mana kesadaran digambarkan sebagai puncak gunung es yang mengambang di atas air, sedangkan sebagian besarnya tersembunyi di bawah permukaan air. Mirip seperti itulah ketidaksadaran. Selain dimensi deskriptif dari bawah sadar, Freud juga melibatkan dinamika dalam hakikat manusia yang melibatkan bawah sadar di mana eksistensi ide-ide yang diisi secara emosional dalam alam pikiran bahwa dasar yang secara misterius berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan seseorang. Hasrat-hasrat atau ingatan-ingatan bawah sadar dapat menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara rasional kepada orang lain, bahkan kepada diri sendiri. Beberapa keadaan bawah sadar mungkin sebelumnya disadari. Misalnya, pengalaman-
pengalaman emosional yang traumatis, namun telah ditekan (repressed) karena terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Namun, menurut Freud, dorongan-dorongan tertinggi kehidupan kejiwaan sudah ada sejak lahir dan beroperasi secara tak sadar sejak masa bayi Freud juga mengajukan teori tiga struktur jiwa yang tidak sama dengan topografi kesadaran, yang membedakan tiga aspek atau komponen atau aparatus jiwa yakni (1) id yang berisikan semua dorongan instinktif yang mencari pemuasan langsung dan berjalan dengan prinsip kesenangan; (2) ego berisikan kondisi kejiwaan yang sadar yang berfungsi menguji realitas dan memutuskan bagaimana bertindak serta menjembatani dunia luar dan id; (3) super ego yang diidentifikasikan sebagai bagian khusus jiwa yang berisikan kesadaran hati nurani dan norma-norma sosial hasil internalisasi semasa kanak-kanak. Ketiga aparatus jiwa ini senantiasa berhadapan menjadikan manusia berada dalam kondisi yang selamanya dikepung oleh masalah-masalah eksternal dan konflik-konflik internal. Bila diperhatikan lebih seksama, tampak teori struktur ini agaknya paralel dengan hakikat manusia menurut Plato. Id agak mirip dengan Hasrat/keinginan, ego dan super ego sedikit ada kemiripan dengan Rasio dan Roh. Perbedaannya barangkali pada muatan fungsi moral yang diberikan Plato pada Rasio. Keempat, asumsi dasar tentang naluri atau dorongan-dorongan, yang menjadi penggerak dasar kekuatan-kekuatan aparatus jiwa dan semua energi psikis. Pandangannya tentang naluri ini dianggap yang paling spekulatif dan tidak pasti.
Konsep Ketidaksadaran Freud Lebih Jauh
MENGGESER KESADARAN
Jasa Freud yang amat besar dalam mengubah kebiasaan yang berlaku selama abadabad sebelumnya adalah pemikirannya yang menguraikan secara sistematis perihal peranan ketidaksadaran atau alam tak sadar dalam kehidupan psikis manusia. Manusia tidak hanya terdiri dari kesadaran, bahkan yang sadar itu hanya sebagian kecil dibandingkan dengan ketidaksadaran (fenomena gunung es sebagai model topografi kesadaran) Secara umum, ketidaksadaran menunjuk pada suatu fenomena yang tak mudah dikuasai, sulit dimengerti, tersembunyi di dalam diri manusia. Demikian pula menurut Freud, yang menganggap ketidaksadaran mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, penuh teka-teki dan arti, sehingga untuk memahaminya orang harus menggunakan metode atau teknik tertentu antara lain analisis/tafsir mimpi, hipnosis, dan asosiasi bebas. Konsep Freud mengenai ketidaksadaran erat kaitannya dengan represi. Tanpa teori tentang represi, tak mungkin kesadaran dapat dipahami. Represi dipahami sebagai proses tak sadar di mana suatu pikiran atau keinginan yang mengganggu tidak diizinkan untuk mencapai yang sadar, dan dipindahkan ke ketidaksadaran. Ketidaksadaran merupakan ketidaksadaran yang dinamis.
Istilah "Subjek" dan Freudianisme Sebelum kita kembali ke melanjutkan pembahasan ini, sejenak kita singgung tentang istilah subjek dalam psikoanalisa. Istilah ini hampir tidak muncul dalam Freud, yang lebih memilih membicarakan “ego” “id” “superego” atau bahkan “kesadaran” dan “ketidaksadaran.” Maka ada baiknya kita mulai menyadari
145
sebelumnya bahwa “subjek” muncul, bukan dari Freud sendiri, tapi dari interpretasi tertentu atas karyanya yakni dari Lacan dengan “kembali ke Freud”-nya mulai di awal tahun 1950-an, di mana terdapat penggunaan kata subjek yang kebablasan oleh psikoanalis Perancis.(Borch-Jacobsen, 1991). Kata subjek diambil dari filsafat dan mungkin bisa dianggap sebagai istilah kunci metafisika Barat. Konsep subjek modern ini dengan sukses diimpor Lacan ke psikoanalisis dari Rasionalisme Cartesian dalam bentuk Cogito Cartesian, ultimum subjectum, bahwa ego menjadi suatu “subjek” dalam pengertian kata yang modern secara tepat.(Borch-Jacobsen, 1991). Penggunaan kata “subjek” dalam konteks tertentu, sejarahnya, asal muasal, dan genealogi yang dari Descartes ini membuat pemahaman bahwa sebenarnya istilah subjek menjadi tidak tepat diterapkan pada individu dalam Freud mengingat subjek yang dimaksudkan Descartes adalah “aku” yang mutlak dan otonom yakni auto-foundation atau auto-positioning yang menghadirkan dirinya sendiri terhadap dirinya sendiri sebagai kesadaran, dalam representasi atau dalam kehendak. Sedangkan subjek dalam Freud subjek dipahami dalam pengertian determinasi pada pengada egois atau subjektivis. Subjek Freud dianggap justru direduksi pada hasrathasrat, dorongan-dorongan dan keinginankeinginan. Dalam hal ini, Freud sebenarnya amat berbeda dengan Jacques Lacan yang membedakan secara tegas antara ego dengan subjek. Diri dalam bentuk ego berbeda dengan diri dalam bentuk subjek. Posisi ego dalam pemahaman Lacan berseberangan dengan ego dalam psikoanalisa Freud. (Lihat Yudiarso, 2003). Konsep subjek dalam Freud juga berbeda
146
HUTAPEA
dengan konsep subjek dari penerusnya di kemudian hari termasuk pewarisnya seperti Erik H. Erikson, Goerge Klein, Melanie Klein, Ronald Fairbank yang beranggapan bahwa ego itu otonom, kuat dan kreatif. Tak seperti penggambaran Freud bahwa ego sangat tergantung pada Id karena diturunkan (derived) dari Id karena Freud mengakarkan (rooting) ego dari id. Subjek Freud tampaknya menjadi terpecah atau terbelah karena terdiri dari beberapa aspek atau komponen berbeda dalam sistem kepribadian. Ego hanyalah salah satu dengan fungsi tertentu.
Subjektivitas Descartes dan Dualisme Substansi Manusia Penyelidikan Descartes terhadap obyekobyek pengetahuan tanpa mengandaikan apapun agar sampai pada pengetahuan yang benar dan bertanggung jawab dilakukannya dengan segenap akal budinya. Jalan yang ditempuhnya adalah meragu-ragukan segala sesuatu, yang dikenal sebagai metode atau cara kerja “penyangsian metodis”. Meragukan segala sesuatu dalam hal ini dengan optimisme akan menemukan kebenaran, yang berbeda dengan skeptisisme yang menolak adanya yang disebut kebenaran. Pernyataan Descartes “Cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir maka saya ada” adalah hasil penyangsiannya yang pertama. Tetapi kata “cogito” sebenarnya lebih tepat dipahami sebagai ”saya menyadari”. Oleh karenanya, pernyataan “Cogito ergo sum” harusnya dimengerti sebagai “saya menyadari maka saya ada”. Kata “menyadari” sangat penting di sini karena selanjutnya Descartes tiba pada kesimpulan bahwa “ aku” sebagai “yang sadar” dan bahwa “yang sadar” atau kesadaran
itu adalah “aku” yang secara langsung mengenal diri sendiri. Ini yang disebut imanentisme Descartes, yaitu bahwa “aku” secara langsung mengenal diriku sendiri. Alasan Descartes untuk ini sangat jelas yakni bahwa apa yang ada di luar dirinya masih berada dalam taraf penyangsian, maka tidak ada kebenaran yang pasti bagi Descartes selain dirinya sendiri yang sedang meragu-ragukan itu memang ada. Dengan pernyataan yang amat terkenal itu, Descartes dipandang berjasa menemukan “aku”. Pengalaman filsuf sebagai “aku” menjadi pusat dan dasar bagi setiap refleksi filosofis. Dapat dikatakan bahwa Descartes mendasarkan filsafat atas subjektivitas. Atau dengan kata lain yang kurang lebih sama tepatnya, Descartes mendasarkan filsafat pada kesadaran atau mungkin lebih tepat lagi kesadaran diri (selfconsciousness). Suatu refleksi filosofis tentang manusia harus berpangkal pada subjektivitas atau pengalaman saya sebagai “aku”. Subjek yang dimaksudkan Descartes adalah “subjek sadar” dan kesadaran termasuk subjektivitas sendiri. Dapat disimpulkan bahwa kesadaran adalah dimensi hakiki dari subjektivitas. Penyangsian Descartes bersifat radikal dan terus menerus, maka tak berhenti pada “cogito ergo sum”. Descartes juga sampai pada pandangan tentang manusia yang dualistis. Manusia sebagai “res cogitans” (manusia yang pada hakekatnya berpikir) atau jiwa merupakan kenyataan pertama yang tak tergoyahkan, dan kenyataan kedua adalah manusia sebagai “res extensa” (substansi yang memiliki keluasan) atau badan. Adanya dua kenyataan dalam diri manusia ini membuat filsafat Descartes disebut “dualisme Descartes” yang berarti pandangan bahwa dalam diri manusia tak ada kesatuan antara jiwa dan badan, tidak ada saling
147
MENGGESER KESADARAN
pengaruh-mempengaruhi.
Gugatan Terhadap Filsafat Subjektivitas dan "Decentering" Kesadaran Karena Freud bukan filsuf profesional atau filsuf akademis serta tidak berniat merefleksikan manusia secara filosofis maka hampir tidak mungkin Freud melakukan konfrontasi terhadap sistem filosofi tertentu khususnya yang berlawanan dengan teori yang dikonstruksi dan dikembangkannya. Barangkali dapat disebut Freud melakukan kritik implisit secara khusus terhadap kesadaran Cartesian, seolah-olah hanya kesadaran lah yang penting. Subjektivitas manusia sebagai “aku yang berpikir” atau “aku yang menyadari” yang menjadi titik tolak refleksi filosofis sejak Descartes, tampak tergantikan oleh pandangan Freud. Kesadaran bukan lagi satu-satunya komponen dalam diri manusia. Temuan-temuan psikoanalisa secara tak langsung mengajukan keberatan-keberatan terhadap pandangan Cartesian. Asumsi-asumsi yang diajukan Freud dalam membangun teori psikoanalisa sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat konvensi yang diterima atas dasar pemikiran Descartes atau filsafat subjektivitasnya menjadi tak dapat diterima lagi. Ada beberapa alasan untuk ini antara lain: Pertama, asumsi Freud tentang materialisme dan perbedaan namun berhubungan erat antara kondisi kejiwaan dengan kondisi fisiologis (khususnya sistem syaraf) mengandaikan bahwa tidak adanya dualisme jiwa dan badan. Hal ini didukung oleh asumsi Freud tentang prinsip deterministik kondisi kejiwaan terhadap pikiran, tingkah laku atau perkataan seseorang. Prinsip ini menolak
kebebasan kehendak termasuk otonomi dan kemutlakan kesadaran karena penyebabpenyebab yang ada dalam jiwa memiliki daya pengaruh yang amat kuat menentukan kesadaran. Kedua, teori topografi kesadaran dan teori sistem kepribadian (id, ego, super ego) semakin menegaskan adanya unsur lain yang sungguh-sungguh ada di dalam kehidupan psikis manusia. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kehidupan psikis (jiwa) manusia tidak bisa disamakan begitu saja dengan kesadaran. Hal-hal yang ada dalam ketidaksadaran dapat berada pada taraf kesadaran dalam menyatakan diri dalam pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Ketiga, perbedaan pemikiran dan pandangan tentang hakekat manusia. Menurut Descartes, hakekat manusia adalah makluk berpikir (maka berarti kesadaran) sedangkan menurut Freud adalah keinginan-keinginan yang lebih ditentukan ketidaksadaran daripada kesadaran. Alam tak sadar menentukan tingkah laku manusia. Keinginan-keinginan itu bersifat libidinal yang bersumber pada seksualitas kanak-kanak. Maka bila “cogito” Descartes itu berakhir menjadi “cogito tertutup” karena tidak membutuhkan apapun yang lain, sebaliknya libido selalu mencari obyek pemuasan dan mengarah kepada yang lain. Secara lebih tajam dapat dikatakan bahwa manusia tidak lagi tuan dan penguasa dalam rumahnya sendiri karena kesadaran yang mutlak dan otonom itu sebagai pusat manusia telah “digusur”. Dapat dikatakan Freud dengan psikoanalisanya telah melakukan penggeseran (decentering) kesadaran dari pusat manusia yang otonom dan mutlak dan menggantikannya dengan ketidaksadaran.
Penutup
148
HUTAPEA
Uraian yang relatif singkat dan jauh dari memadai ini telah berupaya menyampaikan kritik Freud terhadap filsafat subjektivitas. Freud secara tak langsung telah menolaknya. Penemuan psikoanalisa dan perkembangan teori-teorinya seakan menggugat tradisi Cartesian. Namun uraian ini perlu dilanjutkan mengingat minat filsafat terhadap psikoanalisa tampaknya terus bertambah dan masih berlangsung. Barangkali masih banyak masalah yang dihadapi psikoanalisa terhadap filsafat setelah Descartes. Bidang filsafat seperti philosophy of mind atau psychological philosophy bisa menjadi ranah di mana hubungan psikoanalisa dan filsafat dikaji.
Bibliografi Adler, M. J. (1995). Platonisme & positivisme in psychology. New Jersey: Transaction Publisher. Borch-Jacobsen, M. (1991). The Freudian subject, from politics to ethics. Dalam Cadava, E., Connor, P., & Nancy, J (Ed.), Who comes after the subject. New York: Routledge, Chapman, and Hall, Inc. Hall, C. S. (1980). Sigmund Freud: Suatu pengantar ke dalam ilmu jiwa Sigmund Freud (terjemahan). Jakarta: Pustaka Sarjana PT. Pembangunan Jakarta. Koeswara, E. (1986). Teori-teori kepribadian. Bandung: Eresco Stevenson, L., & Haberman, D. L. (2001). Hakikat manusia (terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya. Yudiarso, A. (2003). Kritik psikoanalisis Jacques Lacan. Antitesis: Jurnal Psikologi Alternatif, 1(1), 19-52.
ISSN 2085-4242
Psikobuana 2011, Vol. 3, No. 2, 149–150
Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana (Judul, 22 point Centered) Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi Nama dan alamat lembaga (12 point centered) Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and written in single paragraph. Abstract should contain goal, research method, and short description of result. (11 point, use block format, no indentation). Keywords: written inline, three to ten words (10 point).
Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau "Latar Belakang".
umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang dalam Publication Manual of the American Psychological Association (APA) 6th ed. (2010). Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua peringkat sub-heading:
Panduan Bagi Penulis Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat pemberitahuan revisi. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. Kepastian pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara tertulis. Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar salinannya dikirimkan dalam format soft copy (Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui media cakram kompak ke alamat surat Sidang Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan alamat
[email protected]
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada
Ini Heading Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush Left, Capitalize Keywords) Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini menerangkan hal tersebut. Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a) pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian, gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan problem-problem terkait yang dipandang dapat memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,
PANDUAN BAGI PENULIS
implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan, ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan dan rekomendasi. Tabel dan gambar harus diberi caption (judul/keterangan) menggunakan huruf besar di awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case untuk gambar), serta dengan penomoran yang berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya tidak terlalu kecil. Usahakan penggunaan gambar dua warna (hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p < 0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk kai kuadrat, dan sejenisnya.
Cara Mengacu dan Bibliografi Penulisan acuan mengikuti format APA (2001). Contoh cara mengacu: Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun .... Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008) berargumen bahwa kekerasan verbal .... Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang serupa mengenai .... Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk, disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang berasal dari sumber primer (laporan penelitian, artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan bibliografi:
Bibliografi Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D. (2002). The personality paradox in offender profiling: A theoretical review of the processes involved in deriving background characteristics from crime scene actions. Psychology, Public Policy, and Law, 8(1), 115-135. Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of geographical profiling. UK: Virgin Books. Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997, April). Level of voice among adolescent males and females. Paper yang disajikan pada The biannual meeting of the Society for Research in Child Development, Washington, D. C. Johnson, E. (1995). The role of social support and gender orientation in adolescent female development. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Denver, Denver, CO. Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound syndromes, ethnopsychiatry, and alternative therapies. Honolulu: The University Press of Hawaii. National Council Against Health Fraud. (2001). Pseudoscientific psychological therapies scrutinized. NCAHF news, 24(4). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html Petition for the recognition of police psychology as a proficiency in professional psychology. (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police %20Psychology%20Proficiency%20PetitionFinal.pdf Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970) Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain for Intel. Time Magazine, 9-10.