Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Manajemen LEMBAGA PENDIDIKAN
2015
i
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN © Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd; Temanggung, 2015 xii + 384 Halaman; 14,5 X 21 cm ISBN: 978-602-14834-0-4 Cetakan I: 2015 Penata Isi: lu_cy Desain Cover: Agung Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman dan lain-lain tanpa izin dari penerbit
Penerbit: Aswaja Pressindo Anggota IKAPI No. 071/DIY/2011 Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani, Ngaglik, Sleman Yogyakarta Telp.: (0274) 4462377 e-mail:
[email protected] [email protected] Website: www.aswajapressindo.co.id
ii
PENGANTAR Prof. Dr. H. Mansur, MA
Assalamu’alaikum wr.wb. Rasa puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan beberapa nikmat sehingga dapat melaksanakan tugas hidup di dunia ini yakni beribadah kepada Allah antara lain dengan menjunjung tinggi pendidikan secara umum maupun pendidikan Islam khususnya. Pendidikan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik harus dilengkapi dengan perencanaan yang baik, sampai dengan pengawasan yang baik, oleh karena itu dalam pendidikan diperlukan manajemen. Untuk mendukung hal itu maka diperlukan literature atau buku yang mengupas tentang manajemen dalam lembaga pendidikan, maka sangat tepat penulis pada kesempatan ini menyuguhkan buku yang berkaitan dengan hal tersebut. Buku ini diharapkan dapat memungkinkan pembaca untuk melakukan peninjauan dan perumusan kembali manajemen kependidikan yang melandasi penyelenggaraan pendidikan secara umum maupun pendidikan dalam nuansa Islam sekarang ini, agar penyelenggaraan pendidikan lebih dinamis, akan tetapi tetap bersandar pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
iii
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Salah satu cermin dan citra ilmiah yang paling solid dalam kehidupan dunia kampus atau suatu lingkungan lembaga ilmiah adalah sebuah buku. Sebab melalui buku orang dapat menambah pengalaman ilmiah seperti memperluas wawasan, memperluas cakrawala berpikir, orang menjadi kritis atau sekurang-kurangnya berpindah dari tidak mengetahui menjadi orang mengetahui. Dengan memanfaatkan buku sebagai sebuah informasi, orang bahkan dapat mengkaji dan menemukan dinamika tertentu dan kemudian terdorong untuk merancang sesuatu atau bertindak untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik dan berguna baik bagi dirinya, bangsa dan negaranya. Sebagai suatu kewajiban moral bagi setiap insan kampus untuk senantiasa memunculkan minat, motivasi, dan meningkatkan kemauan untuk selalu melekatkan diri pada buku, untuk menghadirkan buku yang dibutuhkan masyarakat. Persembahan ini bukan hanya sebagai cermin sisi kreatif seorang ilmuan, tetapi juga sebagai pertanggungjawaban keberadaannya dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencarian hakekat pendidikan merupakan persoalan akademis yang tidak pernah mengenal titik akhir. Lebih-lebih dalam era perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, pendidikan makin dirasakan tidak mampu berpacu dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Karena itu setiap upaya kearah pencarian sistem pendidikan yang mampu merespon tuntutan masyarakat perlu mendapatkan dukungan. Buku-buku tentang manajemen pendidikan tidaklah terlalu banyak diterbitkan. Padahal informasi baru tentang bidang ini juga sangat dibutuhkan khalayak, terutama bagi mereka yang bergelut terhadap dunia pendidikan. Untuk itulah kiranya penulis buku ini merasa terpanggil untuk mengantisipasi dan mengisi kekosongan atau kelowongan ini. Hal tersebut sebagai realisasi tanggung jawab untuk dapat memenuhi kebutuhan iv
Pengantar
buku tentang manajemen lembaga pendidikan yang memaparkan manajemen pendidikan pada umumnya maupun pendidikan khusus yang bernuansa Islam. Mudah-mudahan buku ini menjadi sebuah sumbangsih yang bermanfaat bagi para mahasiswa, guru, dan masyarakat pada umumnya yang peduli terhadap pendidikan anak bangsa. Semoga kehadiran buku ini akan memberi manfaat ganda. Pertama, akan diterima Allah SWT sebagai ilmu yang bermanfaat bagi penulis, akan tetap mendapatkan pahala walaupun sudah meninggal dunia. Kedua, diharapkan akan dapat diterima sebagai sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan . Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya yang masih ditemui dalam buku ini, tidak akan mengurangi maksud dan tujuan awal dari penulis, dan sekali lagi semoga bermanfaat dan mendapatkan ridla Allah SWT. Amin. Wassalamu’alaikum wr.wb. Salatiga, Januri 2015 Prof.Dr.H. Mansur, M.A. Guru Besar IAIN Salatiga
v
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
PENGANTAR PENULIS
yukur kehadirat Allah SWT yang telah memercikkan setetes dari keluasan lautan ilmu-Nya, sehingga penulisan buku Manajemen Lembaga Pendidikan ini dapat diselesaikan.
S
Buku ini merupakan salah satu sarana ikhtiar membantu para mahasiswa dalam menempuh mata kuliah Manajemen Lembaga Pendidikan yang disusun berdasarkan silabi yang ada dan pengembangannya yang disesuaikan dengan pendidikan kekinian. Pengembangan lembaga pendidikan memerlukan seni dan ilmu tersendiri. Sehingga objek kajian manajemen pendidikan sangat penting dipelajari secara sistematis dan mendalam untuk selanjutnya diimplementasikan dalam aktivitas dan proses pendidikan, baik dalam lembaga pendidikan secara umum maupun lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya. Buku ini menawarkan berbagai pemikiran konseptualteoritik dan aplikasi-praktik untuk memudahkan guru atau pendidik dalam menerapkannya di sekolah. Pada bagian pertama memaparkan konsepsi dasar manajemen pendidikan; bagian kedua, mengungkapkan ruang lingkup manajemen pendidikan yang meliputi objek kajian manajemen lembaga vi
Pengantar Penulis
pendidikan dan bidang garapan manajemen pendidikan yang merupakan dapur intinya yang terdiri dari 8 (delapan) bidang garapan manajemen pendidikan di sekolah. Bagian ketiga membahas fungsi-fungsi manajemen dimana didalam pengelolaan lembaga pendidikan terkait dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Pada bagian keempat mengupas kewenangan lembaga pendidikan untuk mengembangkan aktivitas pendidikan yang lebih akuntabel melalui Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu suatu program pengembangan lembaga pendidikan dan peningkatan mutu sekolah dengan merumuskan sistem pendidikan yang berbasis pada kultur masyarakat dan muatan lokal diwilayah tertentu. Bagian kelima mengkaji peran dan pentingnya keberadaan pemimpin atau manajer dalam suatu lembaga pendidikan. Bagian keenam, memaparkan suatu terobosan untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui TQM, yaitu manajemen mutu terpadu, merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam pengelolaan lembaga pendidikaan saat ini. Dalam teori ini menawarkan manajemen perbaikan terus-menerus meliputi produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan. Pada bagian ketujuh, delapan dan sembilan, memfokuskan pada kajian lembaga pendidikan bernuansa Islam meliputi pendidikan Islam diera globalisasi dan pengelolaan pendidikan di madrasah maupun pesantren. Sedangkan pada bagian kesepuluh dan sebelas, menguraikan pengelolaan perpustakaan sekolah. Dalam hal ini bertujuan memberikan bekal kepada calon guru maupun guru agar terampil mengelola perpustakaan sekolah. Dalam penyusunan buku ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, terutama Prof.Dr.H.Mansur,MA yang telah memberikan pengantar buku ini dan kontribusi pemikiran tentang manajemen lembaga pendidikan Islam. Kemudian vii
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Wiji Suwarno, S.PdI,MSi yang telah memberikan sumbangan pemikiran dalam manajemen pengelolaan perpustakaan dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu, tidak lain penulis ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya dan doa, semoga Allah SWT memberi berkah atas amal usahanya. Amin. Karya ini penulis persembahkan sepenuhnya untuk keluarga tercinta, khususnya Drs.H.Ibnu Maksum Jaiz,MPd (suami) sebagai mitra diskusi yang kritis dan tajam serta anakanakku Ikhma Novia Ummi Hana dan M.Irfan N.Fajar Albana yang menjadi sumber inspirasi dan tumpuan harapan penulis. Akhirnya, ada secercah harapan yang senantiasa digantungkan, yaitu mudah-mudahan buku ini dapat memberikan sedikit sumbangan berharga bagi pengembangan pendidikan, terutama sebagai bekal mengelola pendidikan bagi calon guru maupun guru yang sudah bertugas. Apresiasi dalam bentuk kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan buku ini. Temanggung, Januari 2015 Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman Pengantar Prof. Dr. H. Mansur, MA ........................... iii Pengantar Penulis .........................................................vi Daftar Isi ....................................................................... ix BAB I KONSEP DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN....... 1 A. Pengertian Manajemen Pendidikan .......................... 1 B.
Urgensi Manajemen Pendidikan .............................. 5
C. Model Manajemen Dalam Pendidikan ..................... 8 D. Prinsip-prinsip Manajemen .................................... 18 E.
Perkembangan Teori Manajemen ........................... 22
F.
Isu-isu Manajemen Pendidikan .............................. 30
BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN PENDIDIKAN .. 34 A. Obyek Kajian Manajemen Lembaga Pendidikan .... 34 B.
Bidang Garapan Manajemen Pendidikan ................ 36 1.
Manajemen Peserta Didik ............................... 37
2.
Manajemen Kurikulum ................................... 55
3.
Manajemen Personalia .................................... 71
4.
Manajemen Sarana dan Prasarana ................... 82 ix
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
5.
Manajemen Pembiayaan Pendidikan ............... 91
6.
Manajemen Tata Usaha (Tata Laksana) Pendidikan .................................................... 100
7.
Manajemen Humas ....................................... 107
BAB III PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ........................ 119 A. Perencanaan ......................................................... 120 B.
Struktur Organisasi dan Job Description ............. 125
C. Komunikasi dan Koordinasi ................................. 131 D. Pengawasan dan Pengendalian ............................. 132 E.
Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah 137
BAB IV MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) ........ 145 A. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ...... 145 B.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) .. 149
C. Sasaran dan Strategi Peningkatan Kualitas Melalui MBS ......................................................... 153 D. Kendala-kendala Penerapan MBS ......................... 158 E.
Indikator Keberhasilan Penerapan MBS ............... 160
BAB V KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ........................... 161 A. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan ........... 161 B.
Pendekatan Kepemimpinan.................................. 165
C. Fungsi Kepemimpinan ......................................... 169 D. Gaya Kepemimpinan ............................................ 177 E. x
Kepemimpinan Pendidikan .................................. 192
Daftar Isi
BAB VI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DALAM PENDIDIKAN ............................................ 208 A. Konsep Total Quality Management ...................... 208 B.
Prinsip Total Quality Management ...................... 222
C. Penerapan TQM Dalam Pendidikan ..................... 226 D. Pemimpin Pendidikan Dalam Manajemen Mutu . 233 BAB VII PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI ........................................................... 237 A. Arti Pentingnya Pendidikan Islam ........................ 237 B.
Globalisasi dan Tantangan Pendidikan Islam ....... 241
C. Peran Pendidikan Islam di Era Globalisasi ........... 246 D. Pentingnya Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam .................................................. 249 E.
Perlunya manajemen dalam Lembaga Pendidikan Islam .................................................................... 252
F.
Kepemimpinan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia Era Globalisasi ....................................... 257
BAB VIII MANAJEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN MADRASAH .............................................................. 261 A. Keberadaan Madrasah dari Berbagai Pandangan .. 261 B.
Proses Manajemen dalam Pengelolaan Madrasah . 269
C. Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan di Madrasah ......................................................... 270 xi
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
BAB IX MANAJEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN ............................................................. 275 A. Makna Pesantren .................................................. 275 B.
Perencanaan dalam Pendidikan Pesantren ........... 281
C. Pengorganisasian dalam Pendidikan Pesantren .... 303 D. Kepemimpinan dalam Pendidikan Pesantren ....... 305 E.
Pengendalian dalam Pendidikan Pesantren .......... 306
F.
Lembaga Pendidikan Pesantren Sub Sistem Pendidikan Islam .................................................. 307
BAB X MANAJEMEN PERPUSTAKAAN ........................... 322 A. Konsep Dasar Perpustakaan ................................. 322 B.
Perpustakaan Sebagai Sumber Daya Informasi .... 324
C. Antara Perpustakaan, Lembaga Pendidikan dan Informasi .............................................................. 325 D. Pengertian Perpustakaan ...................................... 326 E.
Fungsi Perpustakaan ............................................ 330
BAB XI PENGELOLAAN BAHAN PUSTAKA JENIS BUKU .............................................................. 332 A. Pengadaan Bahan Pustaka .................................... 332 B.
Pengolahan Bahan Pustaka ................................... 334
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 377 TENTANG PENULIS ................................................ 383
xii
BAB I KONSEP DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN
A. Pengertian Manajemen Pendidikan Istilah manajemen mempunyai konotasi dengan kata pengelolaan maupun administrasi. Kata pengelolaan merupakan terjemahan dari management dalam bahasa Inggris,tetapi secara substansif belum mewakili, sehingga kata management dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen. Sedangkan kata administrasi apabila ditinjau dari penggunaannya lebih condong pada konteks ketatalaksanaan pendidikan; istilah manajemen lebih sering digunakan dalam konteks pengelolaan pendidikan, seolah-olah menggantikan istilah administrasi setelah munculnya gerakan manajemen berbasis sekolah. Oteng Sutisna (1999) menyatakan bahwa administrasi lebih sesuai digunakan untuk lembaga-lembaga di bidang sosial seperti pendidikan,pemerintahan,rumah sakit dan sejenisnya, sehingga pemimpinnya disebut administrator. Sedangkan manajemen cenderung digunakan oleh lembagalembagaatau organisasi yang bersifat komersil,seperti misalnya di bidang industri atau perusahaan, sehingga pemimpinnya dinamakan manajer.Pendapat Mantja (2000) berbeda dengan argumen sebelumnya, bahwa dalam studi 1
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
kepustakaan secara umum ada kecenderungan manajemen merupakan bagian dari administrasi.Manajemen mengacu pada hal-hal yang bersifat tehnis, sehingga ada istilah manajerial tehnis.Keterampilan-keterampilan manajerial tehnis merupakan hal-hal mendasar yang memperkuat kegiatan administrasi yang dilakukan oleh administrator, meliputi perencanaan,pengorganisasian,pelaksanaan dan pengendalian. Pada kenyataannya penerapan kedua istilah tersebut tidak konsisten, buktinya lembaga pemerintah seperti BUMN dan BUMD menggunakan istilah manajer untuk pemimpinnya (Husaini, 2008). Sebenarnya para pakar pendidikan sekaligus penggagas manajemen pendidikan sudah menetapkan bahwa istilah manajemen pendidikan merupakan pengganti administrasi pendidikan karena dianggap mempunyai nilai komersial dan lebih bergengsi. Oleh karenanya istilah manajemen pendidikan lebih banyak digunakan dari pada istilah administrasi pendidikan. Adapun pengertian manajemen sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini, A.F.Stoner mengemukakan manajemen adalah sebagai proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunaan sumber daya organisasi agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan (1982: 8). Definisi tersebut senada dengan pendapat Terry dalam buku Principle of Management,bahwa “Management is distinct process consisting of planning,organizing,actuating and controlling,performed to determine and accomplish stated objective by the use of human being and other recorces”. (1977: 4). Menurut Terry tersebut bahwa manajemen adalah proses yang terinci tentang perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. 2
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
Robbins (1996: 8) mengemukakan bahwa manajemen adalah proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan kegiatan kerja agar diselesaikan secara efektif dan efisien melalui orang lain. Sedangkan Jonshon dalam Made Pidarta (1998: 15) memberikan definisi manajemen hampir sama dengan pendapat Robbins,yaitu proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total mencapai tujuan. Dari beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen mempunyai makna sebagai suatu proses kegiatan yang melibatkan sejumlah orang untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan secara efektif dan efisien. Dalam manajemen terkandung unsur (1) proses kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol, (2) sekelompok orang yang bekerja sama di dalam maupun di luar organisasi, (3) tujuan, bermaksud pencapaian sasaran yang ditargetkan, dan (4) efektif dan efisien mempunyai maksud bahwa efektif yaitu kuantitas pencapaian hasil yang diharapkan, sedangkan efisien memiliki arti sesuatu yang dikeluarkan dalam rangka pencapaian tujuan, bisa berupa biaya,barang maupun waktu,sehingga semakin sedikit biaya yang dikeluarkan berarti semakin efisien. Untuk sampai pada pemahaman manajemen pendidikan, perlu disinggung terlebih dahulu mengenai pengertian pendidikan. Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 3
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Mengacu pada pesan Undang-undang Sisdiknas tentang pendidikan tersebut, maka dalam operasionalisasinya diperlukan manajemen yang solid dalam rangka mencapai tujuannya, yaitu manajemen pendidikan. Tilaar (2004: 4) mengartikan manajemen pendidikan sebagai suatu kegiatan yang mengimplikasikan adanya perencanaan atau rencana pendidikan serta kegiatan implementasinya. Manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. (Hartani, 2011: 8). Selanjutnya dikemukakan bahwa sumber daya pendidikan yang dimaksud adalah sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk sumber daya manusia, sumber daya finansial maupun sumber daya material, termasuk didalamnya informasi dan teknologinya. Sedangkan Mulyasa (2003: 20) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan adalah proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Suryosubroto memberikan definisi hampir senada dengan pendapat sebelumnya bahwa manajemen pendidikan adalah sebagai proses untuk mencapai tujuan pendidikan dimana proses tersebut meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,pemantauan dan penilaian. (2004: 16). Merujuk dari beberapa pendapat tentang manajemen pendidikan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa makna manajemen pendidikanadalah suatu proses pengelolaan sumberdaya pendidikan baik personal maupun material secara sistematis dan kontinuitas sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan dengan cara efektif dan efisien. Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, perlu ditegaskan bahwa manajemen pendidikan berbeda dengan 4
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
pendidikan, karena tidak semua kegiatan pencapaian tujuan pendidikan adalah manajemen pendidikan.Manajemen pendidikan lebih menyangkut kemampuan mengendalikan kegiatan operasionalisasi pendidikan.Sedangkan pendidikan itu sendiri suatu program dalam lembaga pendidikan yang didalamnya terjadi proses mempengaruhi, memotivasi kreatifitas peserta didik dengan menggunakan alat-alat pendidikan, metode, media, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam melaksanakannya. Sehingga manajemen pendidikan dapat dipahami sebagai pelayanan atau pengabdian terhadap pendidikan, karena pada dasarnya manajemen pendidikan berhubungan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan pengabdian dalam tugas penyelenggaraan pendidikan.
B. Urgensi Manajemen Pendidikan Manajemen pendidikan pada hakekatnya merupakan proses kerja sama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting dalam mengelola program pendidikan. Dengan adanya kerja sama diantara personal lembaga pendidikan, maka akan memudahkan pelaksanaan kegiatannya. Demikian pula dalam menempatkan seseorang disesuaikan dengan profesi dan keahliannya (the right man in the right place). Sebagai contoh, pada jenjang pendidikan tinggi dosen mengampu mata kuliah yang bukan keahliannya. Hal itu berarti manajemen pendidikan pada lembaga pendidikan itu kinerjanya buruk, sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai dengan baik. Jadi pentingnya manajemen pendidikan adalah untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan pendidikan juga menempatkan posisi personal sesuai dengan keahliannya, 5
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sehingga tujuan pendidikan akan tercapai secara optimal. Dan tujuan pendidikan akan mudah diraih apabila diterapkan manajemen pendidikan yang baik, sehingga perlu dilaksanakan fungsi manajemen dengan mengikuti langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menempatkan personalia pendidikan sesuai keahliannya. 2. Mempersiapkan biaya pendidikan yang memadai. 3. Menerapkan metode pendidikan yang tepat. 4. Menyediakan alat-alat pendidikan yang memadai. 5. Mempersiapkan sarana dan prasarana yang efektif. 6. Mengintegrasikan proses pendidikan antara teori dan praktek. 7. Menerapkan desain pembelajaran sesuai dengan lingkungan obyek pendidikan. 8. Sistem kontrol yang melekat terhadap tugas dan fungsi kelembagaan secara internal maupun eksternal. 9. Mempersiapkan daya serap pasar yang baik bagi lulusan lembaga pendidikan. (Hikmat, 2009: 26). Mencermati perkembangan dunia pendidikan dewasa ini sangat membutuhkan suatu manajemen atau pengelolaan yang semakin baik, H.A.R. Tilaar mengkritisi bahwa terjadinya krisis pendidikan berkisar pada krisis manajemen. Apabila manajemen pendidikan yang dirumuskan adalah sebagai mobilisasi semua sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, maka yang apayang dihadapi ialah berbagai hambatan yang menghadang pencapaian tujuan tersebut. Misalnya masalah pembiayaan pendidikan, masalah ketenagaan pendidikan,masalah pengangguran lulusan pendidikan tinggi dan menengah, masalah perguruan swasta, dan sebagai titik puncak dari keseluruhan masalah manajemen tersebut ialah masih 6
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
rendahnya kualitas pendidikan. Manajemen menyangkut efisiensi dalam pemanfaatan sumber yang ada, sehingga masih lemahnya manajemen pendidikan menunjukkan sistem pendidikan masih belum efisien. (2004: xii). Berdasarkan pada pemikiran tersebut dapat ditarik benang merah bahwa sistem pendidikan tidak hanya membutuhkan konsep-konsep manajemen pendidikan yang mantap, tetapi juga memerlukan manajer-manajer pendidikan yang handal, mempunyai pengetahuan dan pengalaman luas yang secara sistematis bisa dikembangkan dan diterapkan dalam situasi dan kondisi sosial ekonomi negara yang beraneka ragam. Oleh karenanya, studi tentang manajemen pendidikan menjadi sangat penting dengan alasan sebagai berikut: 1. Manajemen lembaga pendidikan merupakan bagian dari usaha mencapai tujuan pendidikan. 2. Pelaksanaan kepemimpinan dalam kependidikan merupakan upaya mengintegrasikan aktifitas pendidikan agar semua kegiatan dapat dikendalikan dengan baik. 3. Pengembangan profesionalitas merupakan bagian dari proses pengembangan sumberdaya manusia yang akan mendorong laju perkembangan dan pertumbuhan pendidikan yang lebih optimal dan efektif bagi seluruh aktivitas akademik. 4. Kerjasama secara internal maupun eksternal merupakan proses mempermudah tercapainya tujuan pendidikan. 5. Fokus kinerja dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan strategi untuk meraih target pendidikan bagi semua peserta didik. 6. Pengawasan dan evaluasi pendidikan akan memberikan gambaran tentang keberhasilan pendidikan, sehingga 7
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
dapat dirumuskan perencanaan yang lebih baik di masa depan (Hikmat, 2009: 25). 7. Kebutuhan masyarakat sudah semakin tinggi taraf pendidikannya,maka sudah saatnya diperlukan pendidikan para manajer pendidikan dan pelatihan yang professional serta terbuka kemungkinan direkrutnya pimpinan lembaga pendidikan dari para manajer perusahaan. Karena pendidikan dalam dunia industry modern merupakan suatu industri tersendiri,sehingga perlu dikelola para manajer (perusahaan) yang professional yang tentu saja mempunyai kompetensi bidang pendidikan (Tilaar, 2004: 182).
C.
Model Manajemen Dalam Pendidikan
Dalam prakteknya, melakukan manajerial dapat menggunakan kemampuan atau keahlian dengan mengikuti alur atau prosedur keilmuan secara ilmiah danada pula karena berdasarkan pengalaman dengan lebih menonjolkan kekhasan dalam mendayagunakan kemampuan orang lain. Pada hakekatnya model-model manajemen dapat diterapkan pada semua bentuk organisasi termasuk lembaga pendidikan; akan tetapi setiap lembaga atau organisasinya. Made Pidarta (2004: 26) mengemukakan kajian model manajemen berdasarkan perspektif tujuan dan tinjauannya, sebagai berikut: 1. Management By Objective,manajemen berdasarkan sasaran atau tujuan yang akan dicapai, ciri-cirinya adalah: a. Semua aktivitas manajerial diarahkan pada tujuan yang telah ditetapkan b. Fasilitas yang disediakan bersesuaian dengan tujuan organisasi
8
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
c. Pengembangan sumber daya manusia sebagai upaya meningkatkan kualitas personal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sehingga tujuan dapat dicapai dengan lebih baik dan optimal. d. Sasaran yang dituju telah disepakati oleh seluruh anggota organisasi e. Kerjasama diciptakan untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan agar tujuan tercapai dengan sebaik mungkin f. Hasil yang dicapai dievaluasi dengan ukuran utama tujuan yang telah ditentukan. g. Hasil evaluasi dijadikan sandaran perencanaan berikutnya. h. Mengutamakan kontinuitas kerja organisasi i. Dilakukan penjabaran terhadap tujuan agar memudahkan pencapaiannya j. Fungsi-fungsi utama manajemen dianalisis secara rasionaldan kondisional guna tercapainya tujuan. k. Organisasi dikelola secara sinergis. l. Seluruh anggota meningkatkan profesionalitas kerja. m. Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada jenis-jenis tujuan dan lama waktu yang dibutuhkan. n. Manajer bertindak sebagai pengarah dan pembina seluruh pelaksana kegiatan organisasi. o. Konsep tentang tujuan organisasi dirumuskan secara strategis dan berkesinambungan. p. Tujuan ditetapkan dengan mengacu pada jumlah yang akan dicapai, yaitu tujuan tunggal (single goals) dan tujuan yang banyak (multiple goals). Berdasarkan kejelasan tujuan, tujuan ada yang jelas dinyatakan (stated goals) dan tujuan yang actual atau nyata (real goals). Berdasarkan keluasan dan waktu pencapaian, 9
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
tujuan terdiri atas: (1) tujuan strategis (strategic goals); (2) tujuan taktis (tactical goals) dan (3) tujuan operasional (operational goals). q. Seluruh manajemen secara terus – menerus melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja yang diterapkannya. r. Diharapkan tidak ada kegiatan yang menyimpang dari sasaran . s. Memperbaiki sesegera mungkin terhadap pelaksanaan kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan. t. Dalam melaksanakan kegiatan bersifat fleksibel terhadap perubahan situasi dan kondisi agar sasaran tetap dapat dicapai dengan baik. u. Mementingkan adaptabilitas terhadap jenis-jenis tugas yang diemban serta mengutamakan pendekatan yang rasional, kondisional, dan akomodatif. v. Pembuatan jadwal yang teratur dan sistematis. w. Penganggaran biaya yang terukur dan memerhatikan kemampuan finansial organisasi. x. Kritis terhadap perkembangan situasi dan kondisi. y. Menyiasati keadaan yang kadangkala bersifat tidak menentu. Menurut George Odiorne, penulis buku Management by Objective (1978: 2) bahwa manajemen sasaran harus memperhatikan kerjasama dan keterkaitan tugas serta fungsi para pengelola organisasi. Demikian pula Hikmat (2009: 18) menyatakan bahwa manajemen berdasarkan sasaran dalam mengelola organisasi sangat mementingkan kontinuitas kerja, maksudnya pelaksanaan kegiatan selalu berkelanjutan sesuai dengan target –target yang ditetapkan meurut urutan dan ukuran waktu dan biaya. Disamping itu, lembaga pendidikan 10
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
yang menerapkan manajemen sasaran juga harus selalu membuat persamaan program organisasi sesuai dengan struktur unit kerja yang ada.Program kerja perlu dirumuskan oleh bidang – bidang yang menangani urusan tertentu dengan skala prioritas. Selanjutnya tahap-tahap yang harus dilaksanakan dalam manajemen berdasarkan sasaran adalah sebagai berikut : a. Menentukan strategi pelaksanaan kegiatan secara target. b. Menentukan sasaran dengan pertimbangan prioritas yang bebeda-beda. c. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. d. Menentukan rencana tindakan dalam bentuk kalender kegiatan yang sistematis. e. Menentukan standar operasional kerja yang efektif dan efisien didasarkan pada kemampuan dana organisasi. f. Menentukan standar evaluasi kinerja personalia sesuai dengan tugas dan kewajibannya. g. Melaksanakan pembahasan dan diskusi tentang program kerja dan berbagai strategi pelaksanaan kegiatan. h. Menentukan penempatan para pegawai secara hierarkis sesuai dengan kedudukan, tugas dan kewajibannya, serta wewenannya masing-masing. i. Melakukan evaluasi terhadap seluruh strategi pelaksanaan kegiatan dan strategi pencapaian sasaran program. j.
Melaksanakan review secara berkala guna meningkatkan relevansi antara strategi dengan tujuan yang hendak dicapai.
k. Melakukan revisi kegiatan seara berkesinambungan untuk seluruh unit kerja.
11
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
l. Merencanakan sasaran lanjutan berdasarkan hasil evaluasi yang kemudian dibentuk program kerja berikutnya. m. Menentukan tahapan pelaksanaan lanjutan.
2.
Manajemen Berdasarkan Struktur
Struktur adalah organisasi, jadi strukturalisasi adalah mengorganisasikan personalia dalam kedudukan, wewenang, jabatan, pangkat, tanggung jawab, dan semua hal yang melekat pada personal yang duduk dalam struktur tertentu, sehingga ada perbedaan (misalnya insentif) antara struktur yang satu dengan lainnya. Jadi manajemen berdasarkan struktur menekankan pada pandangan bahwa organisasi adalah struktur personalia. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan, pelaksanaan manajerialnya disesuaikan dengan struktur yang ada mulai dari struktur yang paling atas (pejabat) sampai pada bawahanbawahannya. Sehingga tugas dan fungsi pejabat struktural sudah diatur secara organisatoris dan hierarkis. Dalam penempatan struktur secara hierarkis, mempunyai maksud bahwa setiap struktural memiliki tingkatan-tingkatan mulai dari pangkat, jabatan yang akhirnya berpengaruh pada besar kecilnya wewenang dan tanggungjawab masing-masing jabatan struktural (Johnson et.al, 1973: 32). Penempatan struktur juga selalu berkaitan erat dengan keahlian, pengalaman, pendidikan, dan karier yang dicapai oleh para personalia organisasi. Adapun karakteristik model manajemen dengan pendekatan struktural adalah sebagai berikut: a. Tugas individu jelas b. Jabatan jelas c. Wewenang dan tanggungjawab yang jelas 12
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
d. Deskripsi tugas dan kegiatan yang jelas sesuai dengan spesifikasinya yang terperinci bagi masing – masing petugas. e. Hubungan antar unit dan antar tugas yang jelas (David Evans, 1981: 241)
3.
Manajemen Berdasarkan Teknik
Model manajemen berdasarkan teknik yaitu mengelola organisasi atau lembaga yang mengacu pada teknik operasional. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam manajemen teknik kinerja organisasi ialah penguasaan teknikteknik yang akan diterapkan dan semua fasilitas untuk menerapkan teknik juga telah disediakan. Tahap-tahap pelaksanaan manajemen berdasarkan teknik adalah sebagai berikut: a. Membahas semua rancangan kegiatan b. Menempatkan dan menugaskan personal yang akan melakukan kegiatan. c. Mempersiapkan sarana dan prasarana serta alat-alat yang membantu pelaksanaan kegiatan. d. Melatih personal untuk meningkatkan keterampilan teknisnya. e. Mengembangkan kerjasama di seluruh pelaksana teknis kegiatan.
4.
Manajemen Berdasarkan Personal Organisasis
Yaitu model manajemen yang mengelola organisasi dengan mempertimbangkan sumber daya manusia sepenuhnya yang ada dalam organisasi. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa dalam praktiknya, pemimpin atau manajer suatu lembaga memberikan perhatian yang sangat 13
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
besar kepada bawahannya atau personalia yang ada. Hal ini beralasan bahwa setiap pemimpin berusaha agar mereka yang menjadi bawahannya mau bekerja dengan baik dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya.Pada kenyataannya menunjukkan bahwa pemimpin itu memperoleh hasil-hasilnya melalui bawahan-bawahannya sehingga pemimpin semakin memberikan perhatian yang besar kepada bawahannya, bagaimana usaha agar para bawahan itu memberikan prestasi- prestasinya yang besar dalam merealisasi tujuan organisasi. Adanya perhatian yang besar yang dicurahkan pada bawahannya tersebut, membuktikan bahwa nyata-nyata masalah kepegawaian dalam setiap lembaga atau organisasi merupakan fungsi pemimpin yang tidak dapat dielakkan. Taylor sendiri, dikenal sebagai bapak “scientific management” berpendapat bahwa salah satu “duties of management” ialah memilih pekerja yang terbaik untuk setiap tugas tertentu dan selanjutnya melatih dan mendidiknya (1961: 2-3). Dengan uraian tersebut, jelaslah bahwa masalah personalia merupakan fungsi setiap manajer atau pemimpin dalam setiap lembaga tanpa menjadi masalah tingkat pimpinannya. Ciri–ciri manajemen dengan pendekatan personalia adalah sebagai berikut : a. Membangun hubungan horizontal dengan seluruh personil organisasi. b. Merencanakan tenaga kerja c. Membangum komunikasi dan memotivasi kerja seluruh personal organisasi d. Memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan personal meskipun bukan bagian langsung dari wewenang personalia.
14
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
e. Menciptakan iklim kepegawaian yang dinamis dan kepemimpinan yang ideal. f. Mengurus pangkat dan peningkatan tunjangan, insentif, dan gaji pegawai. g. Menilai prestasi kinerja personal organisasi. h. Mengumumkan seluruh berita yang berhubungan dengan kepegawaian tepat waktu. i. Memberikan pengarahan, saran, dan petunjuk yang benar tentang tata cara pengurusan jabatan dan pangkat pegawai j. Menunjukkan sikap adil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang menyangkut masa depan para pegawai. (Hikmat, 2009: 37)
5.
Manajemen Berdasarkan Informasi
Informasi memberikan wacana yang baik bagi masa depan organisasi (Johnson,1993: 109). Demikian pula dikatakan oleh Shrode (1974 : 448) bahwa informasi merupakan agen yang menopang kehidupan organisasi. Dengan adanya informasi dapat memberikan nilai manfaat bagi lembaga atau organisasi, seperti dalam mempercepat pengambilan keputusan, mempermudah saluran kegiatan, dan pelaksanaan kegiatan yang tepat sasaran. Disamping itu, informasi yang diperoleh dapat dijadikan bahan perbincangan dalam rapat–rapat organisasi; seperti informasi perkembangan pasar global, informasi kompetisi pendidikan, informasi hasil penelitian, informasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Jadi organisasi atau lembaga perlu mengembangkan manajemen berdasarkan informasi guna pengembangan usaha-usahanya. Apalagi dalam era globalisasi yang menghasilkan eksplosif informasi daya 15
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
didukung oleh kemajuan teknologi menjadikan lembaga (pendidikan) semakin tak terbatas. Informasi ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta-peserta didik di sekolah menjadi tidak bermakna apabila tidak diiringi oleh kemampuan untuk menyerap dan menerapkan teknologi pendidikan.
6.
Manajemen Berdasarkan Lingkungan
Model manajemen dengan pendekatan lingkungan lebih mengedepankan human relation, yaitu hubungan secara internal maupun eksternal.Hubungan internal organisasi adalah hubungan antar warga di dalam lembaga, seperti misalnya kepala sekolah dengan guru, guru dengan peserta didik, dan sebagainya. Demikian pula yang berkaitan dengan alat-alat atau instrument organisasi, strategi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan organisasi.Sedangkan hubungan eksternal organisasi adalah hubungan organisasi atau lembaga dengan lingkungan masyarakat di luar lembaga.Misalnya kerjasama antar lembaga, lingkungan lintas pimpinan lembaga, tokoh masyarakat, instansi terkait, dan sebagainya. Lembaga pendidikan sangat perlu mengembangkan lingkungan organisasi secara internal maupun eksternal karena menyangkut hubungan sinergis antar personal organisasi dan dengan kondisi lingkungan personalnya. Misalnya sekolah yang letaknya berdekatan dengan masyarakat desa, maka keberadaan sekolah harus memberikan nilai positif untuk kehidupan masyarakatnyadalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan agama. Ada model manajemen selain yang dipaparkan di muka yaitu 5 (lima) model manajemen yang dikemukakan oleh Tony Bush (2000: 40), yaitu:
16
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
1. Model Manajemen Formal, yaitu model manajemen yang dalam struktur organisasi menekankan pentingnya struktur hierarkis. Pengambilan keputusan diatur pemimpin, dan tertutup terhadap lingkungan luar. Sistem terbuka diterapkan hanya untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk merespon kebutuhan komunitas, untuk menarik klien baru, sehingga menciptakan image yang positif. 2. Model Manajemen Kebersamaan (Collegial), adalah model manajemen yang cenderung fokus pada hubungan lateral antar orang-orang profesional yang memiliki otoritas keahlian. Pengambilan keputusan ataupun penetapan tujuan ditentukan dalam sebuah kerangka kerja partisipatoris berdasarkan kesepakatan. 3. Model Manajemen Politis, yaitu model manajemen yang memandang bahwa struktur organisasi bisa dijadikan dasar untuk melawan dan modal bersaing dengan lawan politiknya. Pengambilan keputusan dengan cara konflik dan hubungan lingkungan tidak stabil. 4. Model manajemen subjektif, adalah model manajemen yang lebih menekankan aspek kualitas personal individu daripada posisinya dalam struktur organisasi. Penentuan tujuan ditetapkan secara subjektif, sehingga sering timbul permasalahan dari pimpinan, karena disebabkan oleh pemaknaan oleh individu tersebut. 5. Model Manajemen Ambigu, ialah model manajemen dengan tujuan tidak jelas, status struktur organisasi bermasalah dan hubungan dengan lingkungan juga kabur, sehingga selalu terjadi pergolakan dalam organisasi. Lembaga pendidikan sebagai bentuk institusi yang memadukan semua kepentingan melalui penetapan konsensus tentang tujuan utama organisasi maka selayaknya 17
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
seorang pimpinan menerapkan tipe-tipe atau gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi kondisi ; demikian pula dalam mengaplikasikan model manajemennya. Namun tentunya lebih mengutamakan sistem manajerial yang bersifat manusiawi.Karena dalam lembaga pendidikan, manusia adalah objek kajian utama.Eksistensi manusia bukan hanya ikut serta membangun sistem pendidikan yang baik, tetapi lebih dari itu, manusia menciptakan dan menentukan sistem pendidikan yang terpadu.
D. Prinsip – prinsip Manajemen Prinsip – prinsip pengelolaan dalam manajemen menurut Hikmat (2009:41) ada 5 (lima) yaitu: 1.
Prinsip Efisiensi dan Efektifitas Efisiensi merupakan teknik atau cara membuat sesuatu dengan benar (doing things right) yang menekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Jadi kegiatan dikatakan efisien apabila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan sumber daya yang minimal.Sumber daya yang dimaksud berkaitan dengan tenaga, biaya dan waktu. Sedangkanefektifitas berkaitan dengan keberhasilan tujuan organisasi, dimana kenyataan hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil yang diharapkan. Kajian efektifitas meliputi: (1) masukan yang merata; (2) kuantitas dan kualitas keluaran yang tinggi; (3) ilmu dan keluaran yang relevan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun (4) pendapatan tamatan yang memadai (Engkoswara, 2011: 90) 2.
Prinsip Pengelolaan Prinsip pengelolaan tidak lain adalah fungsi manajerial yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengasahan 18
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
dan kontrol. Apabila seorang manajer melakukan tahap-tahap tersebut dalam kegiatannya, maka akan mudah meraih tujuan dengan baik. Tahap perencanaan mengacu pada visi dan misi organisasi, kemudian disusun program yang sistematis, berdasarkan pada skala prioritas untuk program jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Pelaksanaan program tersebut sering berkaitan dan menunjang dalam mencapai tujuan. Dengan demikian program jangka pendek dilakukan sebagai bagian awal dari program jangka menengah, sedangkan pelaksanaan program jangka menengah dilaksanakan sebagai awal menujuprogram jangka panjang. Tahap pengorganisasian merupakan bagian tugas manajer, dimana program kerja yang ada diorganisir sesuai dengan perencanaan, sehingga akan nampak hubungan antar program tersebut. Dengan demikian, pada tahap-tahap pelaksanaan, efisiensi dan efektifitas dapat diterapkan dan diarahkan pada tujuan yang diterapkan. Selanjutnya pada tahap pengawasan dan evaluasinya akan mudah terlaksana, sehingga dapat meminimalisir faktor resiko kegagalan pelaksanaan program. 3.
Prinsip Pengutamaan Tugas Pengelolaan Pengutamaan tugas pengelolaan merupakan tanggungjawab manajer secara internal maupun eksternal. Kedua beban tanggungjawab didalam maupun keluar organisasi secara sinergis harus diarahkan pada tujuan yang ditargetkan. Seperti misalnya bagian produksi bekerja sama dengan bagian promosi, dan bagian promosi berhubungan dengan masyarakat. Dengan demikian baik tujuan pengelolaan ke dalam maupun keluar merupakan satu kesatuan pengutamaan pengelolaan yang saling mempengaruhi dan menunjangdalam mencapai target. 19
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
4.
Prinsip Kepemimpinan Efektif Seorang pemimpin harus bisa mengembangkan hubungan yang baik dengan semua anggotanya dan pandai merealisasikanhuman relationship.Sehingga kepemimpinan efektif adalah kepemimpinan yang dipegang oleh seorang pemimpin yang memiliki kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, tegas, lugas, hemat waktu dan berkualitas. Dengan demikian, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengingatkan dan menyarankan, bukan menyalahkan anggota ; dan anggota yang baik tidak pernah protes dan gusar kepada pimpinan, tetapi meluruskan dan menyadarkan dalam konteks profesionalitas dan hubungan fungsional yang terkait dalam upaya mencapai tujuan. 5.
Prinsip Kerjasama Prinsip Kerjasama merupakan pemberian struktur dalam penyusunan atau penempatan personal, kegiatan-kegiatan, materiil dan ide-ide di dalam struktur organisasi tersebut. Dalam operasionalisasinya ada pemberian tugas, wewenang dan tanggungjawab berdasarkan profesionalitas, sehingga kerjasama di antara karyawan berjalan sinergis dan mempermudah tugas organisasi. Selanjutnya, ditegaskan bahwa secara umum organisasi memiliki prinsip-prinsip dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Memiliki tujuan yang jelas. b. Tiap anggota bisa memahami dan menerima tujuan. c. Adanya kesatuan arah, termasuk kesatuan tindakan dan pikiran. d. Adanya kesatuan perintah. e. Adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab antar anggota.
20
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
f. Pembagian tugas sesuai dengan kemampuan, keahlian, dan bakat masing-masing, sehingga kerjasama menjadi harmonis dan kooperatif. g. Pola organisasi relatif permanen dan struktur organisasi sederhana sesuai kebutuhan, koordinasi, pengawasan dan pengendalian. h. Adanya jaminan keamanan dalam bekerja. i. Gaji atau insentif sesuai dengan jasa atau pekerjaannya. j. Garis kekuasaan dan tanggung jawab serta hierarki tata kerjanya jelas tergambar dalam struktur organisasi. (Ngalim Purwanto dalam Hikmat: 21) Dalam praktiknya, lembaga pendidikan sebagai bentuk institusi yang memadukan berbagai kepentingan yang diarahkan pada tujuan tertentu, sering terjadi konflik kepentingan dan kinerja organisasi. Hal ini ditemui misalnya pada faktor perbedaan keahlian, tugas dan kewajiban. Sehingga dalam suatu organisasi diperlukan suatu prinsip yang memiliki esensi bahwa manajemen dalam ilmu dan praktiknya harus memperhatikan tujuan, orang- orang, tugastugas dan nilai-nilai. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Douglass (1963 : 13) yang merumuskan prinsip-prinsip manajemen pendidikan sebagai berikut: a. Mengutamakan tujuan organisasi daripada kepentingan pribadi dan mekanisme kerja. b. Mengkoordinasikan wewenang dan tanggungjawab. c. Memberikan tanggung jawab pada personal sekolah hendaknya sesuai dengan sifat–sifat dan kemampuannya. d. Memahami dengan baik faktor-faktor psikologis manusia. e. Relatifitas nilai-nilai. Berdasarkan pemahaman tentang prinsip-prinsip manajemen tersebut, maka pada dasarnya manajemen 21
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
lembaga pendidikan mengelola sistem pendidikan yang terpadu. Dalam hal ini manajemen lembaga pendidikan berkaitan dengan psikologi pendidikan karena membicarakan potensi motivasi kerja dan kepribadian seluruh pelaku pendidikan, termasuk guru, peserta didik dan sebagainya. Demikian pula berkaitan dengan sosiologi pendidikan, karena berbicara tentang sistem kerjasama secara terpadu dalam satu sistem kependidikan yang berhubungan dengan masyarakat. Misalnya peserta didik berhubungan dengan orang tuanya, orang tua berhubungan dengan sekolah, dengan lingkungannya, dengan orientasi pendidikannya dalam mewujudkan harapan anak- anaknya yang berhubungan dengan pendidikan, dan sebagainya.
E.
Perkembangan Teori Manajemen
Sejarah perkembangan teori manajemen terdiri dari 3 (tiga) fase, yaitu: 1.
Fase Pra Sejarah (sebelum tahun 1 Masehi) Sebenarnya, manajemen telah ada sejak timbulnya peradaban manusia.Hal ini terbukti pada zaman Mesopotamia, uang logam telah menjadi alat tukar-menukar yang dapat memperlancar perdagangan.Zaman Babilonia menandakan adanya “TamanTergantung”yang sulit ditandingi oleh manusia modern. Zaman mesir kuno juga membuktikan telah berkembang manajemen pemerintahan, militer, perhubungan, dan pembangunannya pasti ada perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan. Disusul Tiongkok Kuno dengan manajemen kepegawaiannya yang dikenal dengan istilah “merit system”, yaitu sistem penilaian karyawan yang dikaitkan dengan sistem balas jasa (gaji, insentif dan bonus) yang digunakan sebagai dasar penetapan promosi. (Hikmat, 2009: 74). Romawi kuno dikenal seorang filsuf yang bernama 22
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
Cicero menciptakan buku berjudul”De Offici” (The Office) dan De Legibus (The Law).Yunani Kuno dengan konsep demokrasinya, bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. 2.
Fase Sejarah (Tahun 1 Masehi sampai dengan 1886) Berawal dari sumbangan gereja Katholik Roma yang telah memiliki ajaran suci dan kerapian organisasi. Zaman ini telah muncul tokoh-tokoh pengembangan manajemen, diantaranya adalah George Van Zincke yang menulis karya ilmiah di antaranya tentang manajemen pertanian. Revolusi Industri di Inggris juga mempengaruhi sistem manajemen secara luas.James Watt yang menemukan mesin uap, ikut andil dalam percepatan resolusi tersebut. 3.
Fase Modern Fase ini diawali tahun 1886, dimana manajemen dipandang sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan pada fase pra sejarah dan fase sejarah, manajemen dikenal sebagai seni. Sejarah perkembangan manajemen sebagai ilmu, semakin melejit setelah munculnya aliran-aliran teori manajemen. Engkoswara (2010 : 96-99) memberikan gambaran pemikiran manajemen sebagai praktik yang berlandaskan konsep teori sesuai dengan aliran-aliran ilmu manajemen pada kurun waktu tertentu. 1.
Teori Manajemen Ilmiah (Scientific Management Theory) Tokoh-tokoh teori manajemen ilmiah adalah Frederick W. Taylor, Henry L. Gautt, Frank Bunker Gilberth dan Lilian Gilberth. Pemikiran-pemikiran mereka pada intinya suatu konsep untuk meningkatkan produktifitas dengan unsur para pekerja menyangkut keterampilannya, sistem upah maupun motivasi kerja.
23
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Frederick W. Taylor menulis buku berjudul “Scientific Management” sehingga dikenal sebagai “Bapak Manajemen Ilmiah”.Sebagai penggagas prinsip dasar manajemen, menjelaskan secara ilmiah bahwa perlu ada metode untuk melaksanakan tugas, menyeleksi, melatih dan memotivasi pekerja dengan teknik tertentu untuk mencapai efisiensi. Teknik yang digunakan untuk melaksanakannya adalah dengan studi gerak dan waktu(time and motion studi), maksudnya menganalisis dan mengukur waktu dari gerakan-gerakan pekerja dalam melakukan serangkaian pekerjaan. Taylor juga menerapkan sistem tarif berbeda, yaitu karyawan yang lebih produktif dan efisien mendapat upah lebih besar dari lainnya dengan tujuan memperbaiki metode kerja karyawan. Prinsip dasar yang dirumuskan Taylor ada (empat), yaitu: a. Pengembangan teori manajemen ilmiah dapat disampaikan untuk menentukan metode dalam mencapai tujuan. b. Seleksi karyawan dilakukan secara ilmiah, sehingga tugas dan tanggung jawabnya sesuai keahlian. c. Pendidikan dan pengembangan karyawan. d. Hubungan yang harmonis antara manajemen dan karyawan. Gantt memberikan kontribusinya dengan memperkenalkan metode grafik sebagai teknik scheduling, produksi untuk perencanaan, koordinasi dan pengawasan produksi yang disebut “Bagan Gantt” (Gantt Chart). Disamping itu juga mengemukakan sistem upah bagi pekerja, yaitu pemberian bonus bagi pekerja yang bekerja seharian dan prinsip pengupahan yang seimbang bagi seluruh prestasi karyawan. 24
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
Kadariman dkk dalam Hikmat (2009:85) menambahkan, bahwa masih ada tokoh-tokoh manajemen ilmiah lain menyumbangkan pemikiran-pemikirannya, antara lain: •
Robert Owen, mengemukakan bahwa peningkatan kondisi kerja dapat meningkatkan produksi dan keuntungan. Oleh karenanya dasar terpenting adalah pekerja sebagai mesin utama dalam proses produksi.
•
Charles Babbage, menjelaskan bahwa penerapan prinsip-prinsip ilmiah dalam proses kerja akan meningkatkan produktivitas dan hemat biaya. Pekerja bisa dilatih keterampilan tertentu dengan pembagian kerja dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya sesuai dengan keterampilannya.
•
Frank B. Gilbert dan Lilian Gilbert, mengemukakan konsep kelelahan dan gerak (fatique and motion). Ditegaskan bahwa sasaran akhir manajemen adalah menolong pekerja untuk mencapai kemampuannya yang optimal sebagai manusia. Sehingga ia mengembangkan rencana tiga kedudukan untuk keperluan promosi dan motivasi, yaitu pada saat yang sama pekerja melaksanakan tugas saat ini, juga bersiap diri untuk jabatan lebih tinggi dan sekaligus mempersiapkan generasi pengganti (be a does, a leader and a teacher).
•
Manajemen Organisasi Klasik (Clasisical Organiation Theory) atau Manajemen Operasional Modern
Tokoh teori manajemen operasional modern adalah Henry Fayol yang dikenal dengan sebutan “Bapak Teori manajemen Modern”. Fayol menulis buku berjudul “General and Industrial – Management” yang membahas tentang pembagian aktifitas organisasi dalam 6 (enam) hal, yaitu
25
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
teknikal, komersial, keamanan, finansial, akuntansi dan manajerial. Ia juga terkenal dengan empat belas prinsip manajemen, yaitu: a. Pembagian kerja b. Wewenang c. Disiplin d. Kesatuan perintah e. Kesatuan pengarahan f. Mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi g. Imbalan h. Sentralisasi i. Hierarki j. Order (susunan) k. Keadilan l. Stabilitas staf organisasi m. Inisiatif n. Esprit de Corps (semangat corps) Untuk menjadi manajer yang baik menurut Fayol harus menguasai keterampilan dan prinsip dasar manajemen.
26
2.
Aliran perilaku (Behavioral Sciences) Tokoh aliran perilaku adalah sebagai berikut:
•
Elton Mayo dan FJ. Roesthlisberger, menemukan teori tentang kelompok kerja informal lingkungan sosial mempunyai pengaruh besar terhadap produktifitas. Penelitian keduanya tentang perilaku manusia dalam berbagai situasi kerja dilakukan di pabrik Hawthorne
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
milik perusahaan Western Electric, sehingga dikenal dengan eksperimen Hawthorne. •
Mc Gregor, dikenal dengan teori X dan teori Y. ia beranggapan perlu adanya perhatian pada kebutuhan sosial dan aktualisasi diri karyawan dengan menunjukkan dua kategori manusia yaitu manusia yang harus selalu dalam pengawasan dalam pekerjaannya dan sebaliknya manusia tipe Y adalah manusia pekerja yang mempunyai motivasi tinggi sebagai kesempatan mengaktualisasi diri tanpa pengawasan sekalipun.
•
Abraham Maslow, Frederick Herzberg dan Edgar Schein. Ketiga tokoh tersebut mengembangkan aliran perilaku organisasi. Mereka berasumsi bahwa hubungan manusia dalam manajemen berada pada lingkup organisasi, yaitu interaksi antara pimpinan dan bawahannya dengan suasana kerja dalam organisasi yang kondusif. Prinsip yang dicanangkan aliran perilakuorganisasi adalah: a. Organisasi merupakan satu kesatuan, bukan bagian per bagian. b. Motivasi karyawan penting untuk komitmen pencapaian sasaran organisasi c. Manajemen adalah suatu proses yang fleksibel, tetapi tidak lepas dari peranan, prosedur dan prinsip.
3.
Pendekatan sistem (System Approach) Pendekatan sistem adalah teori yang berasumsi bahwa organisasi merupakan suatu kesatuansinergis yang terdiri dari komponen – komponen atau bagian – bagian yang saling berkaitan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.
27
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Tokoh pendekatan sistem, Chester I. Barnard dalam karyanya “The Function of The Executive”, mengemukakan bahwa tugas manajer adalah mengupayakan kerjasama organisasi dengan menggunakan pendekatan sistem sosial komprehensif dalam kegiatan “managing”. Hubungan dalam pendekatan atau manajemen sistem adalah hubungan antar komponen atau bagian-bagian, yaitu: a. Hubungan fungsional,berkaitan dengan gerak dari fungsi aktivitas organisasi. b. Hubungan timbal balik, yaitu hubungan saling menguatkan dan memberi masukan untuk kepentingan organisasi. c. Hubungan sinergitas, ialah hubungan kerjasama antar bagian walaupun beda tugas dan kewajiban. d. Hubungan umpan balik, berkaitan dengan hubungan yang saling melengkapi untuk penyempurnaan kinerja organisasi. e. Hubungan sebab akibat, berkaitan dengan kegiatan organisasi dengan hasil yang dicapai dan dampaknya terhadap pekerja. f. Hubungan normatif, adalah hubungan yang berkaitan dengan peraturan organisasi yang harus ditaati oleh personal organisasi (Hikmat, 2009: 93) Sistem merupakan himpunan komponen yang saling berhubungan dan mampu mengatur diri serta menyesuaikan diri lingkungan organisasi. Adapun ciri-ciri pokok sistem menurut William A. Schode dan Dan Voich Jr. (Hikmat, 94) adalah sebagai berikut: a. Mempunyai tujuan yang jelas. b. Mempunyai batas. 28
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
c. Terbuka, dalam arti hubungan dengan lingkungan. d. Terdiri dari berbagai komponen yang saling mempengaruhi dan berhubungan. e. Melakukan proses transformasi dari masukan (input) menjadi keluaran (output). f. Melakukan kontrol berdasarkan umpan balik. Mengacu pada ciri-ciri pokok sistem tersebut, maka sesuatu dapat disebut sistem apabila memiliki keterbukaan terhadap lingkungan, mampu melakukan transformasi dan evaluasi dari semua komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. 4.
Pendekatan Kontingensi atau Pendekatan Situasional Yaitu teori manajemen yang menitikberatkan pada situasi dan kondisi tertentu, dalam mengembangkan berbagai pendekatan dan menerapkannya. Namun tidak mengharuskan untuk pendekatan yang sekiranya tidak sesuai untuk situasi dan kondisi yang ada. Oleh karenanya, dalam situasi dan kondisi tertentu bisa digunakan pendekatan yang cocok secaramanajerial. 5.
Manajemen Birokrasi Birokrasi mempunyai makna kekuasaan ada pada orang-orang yang berada dibelakang meja. Bintoro Tjokroamidjojo (Hikmat :98) berpendapat bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang digunakan di pemerintahan modern untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat khusus, dalam sistem administrasi aparatur negara. Jadi manajemen birokrasi merupakan manajemen yang syarat dengan muatan aturan sesuai dengan kapasitas personal organisasi. Sehingga memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) pengelolaan organisasi teratur, (2) melayani 29
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
kepentingan umum, (3) berkaitan langsung secara birokrasi, (4) organisasi maju dengan pesat, (5) disiplin tinggi.
F.
Isu – isu Manajemen Pendidikan
Suatu masyarakat industri dalam era informasi merupakan masyarakat pembelajar (life long learning society), karena jika tidak terus- menerus belajar maka akan tertinggal dari laju ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat perkembangannya. Oleh sebab itu pendidikan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat industri modern, yaitu pendidikan berkualitas. Untuk mewujudkan pendidikan berkualitas tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun membutuhkan pemikiran–pemikiran yang cerdas dan bijaksana dalam menyikapinya. Karena semakin canggih sistem pendidikan, maka semakin dibutuhkan pengelola pendidikan yang professional.Sehingga pendidikan dan pelatihan yang profesional untuk para manajer pendidikan merupakan suatu keharusan dalam dunia industri modern ini. Berpijak pada permasalahan-permasalahan tersebut, maka isu-isu utama manajemen pendidikan yang dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut: •
30
Isu terbaru yang menjadi perhatian dalam manajemen pendidikan adalah mempertanyakan kompetensi manajer pendidikan yang menyongsong manajemen perubahan dan teknologi pendidikan. Apabila suatu lembaga pendidikan berharap tetap eksis, maka diperlukan kemampuan untuk menyesuaikan secara kreatif dan pintar. Manajemen perubahan meliputi perubahan pola pikir (mindset), perilaku, penampilan, kebiasaan (abilitas), kemampuan (kapabilitas), keberhasilan, nilai dan keyakinan normatif,
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
kultur, motivasi kerja, selera dan gaya hidup, serta karakter (Hartani, 2011: 34). Seorang manajer pendidikan harus responsif dalam menyikapi konteks perubahan tersebut. •
Lahirnya undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003 menandai terjadinya reformasi pendidikan. Terutama yang berkaitan denganmanajemen pendidikan dengan berharap pendidikan mampu memberikan nilai lebih pada peningkatan kesejahteraaan masyarakat melalui proses pendidikan. Disamping itu pendidikan diharapkan mampu bersaing ditingkat global. Oleh karena itu manajemen pendidikan di tingkat pusat maupun daerah adalah merupakan pembantu yang melayani semua keperluan lembaga pendidikan, sedangkan manajemen pada lembaga pendidikan (sekolah) sebagai pembantu belajar yang mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas manajemen dan lulusan pendidikan yang relevan dan kompetitif serta unsur lain yang berkaitan dengan pendidikan.
•
Munculnya manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan gagasan perubahan manajemen sekolah yang bertujuan meningkatkan mutu manajemen yng kompetitif, yaitu suatu pola manajemen sekolah yang memberdayakan potensi semua unsur sekolah mulai dari pimpinan hingga pelaksana pendidikan tingkat bawah yang dilakukan secara optimal dan proporsional. Sehingga semua komponen di sekolah adalah sebagai manajer terhadap tugas dan tanggung jawabnya masing – masing.
•
Manajemen pendidikan luar biasa perlu upaya peningkatan dan pelayanan khusus, agar bisa lebih memberi kepedulian dan kesempatan anak – anak berkebutuhan khusus untuk mengenyam pendidikan secara layak. Pengelolaan pendidikannya sudah saatnya ditata secara profesional, baik dari segi pendidiknya, sarana prasarana maupun seluruh unsur yang dibutuhkan dalam pendidikan, 31
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sehingga anak-anak tersebut tidak merasa sempit ruang geraknya. •
Pembelajaran sistem klasikal masih sangat mendominasi kegiatan belajar di sekolah. Padahal dalam lembaga pendidikan (sekolah) perbedaan individual peserta didik sangat membutuhkan perhatian guru kaitannya dengan manajemen pengajaran, agar proses pembelajaran lancar dan sukses. Perbedaan individu peserta didik meliputi (1) perbedaan biologis, yaitu berkaitan dengan fisik dan kesehatan serta mental anak; (2) perbedaan inteligensi, ialah kemampuan dalam memahami dan menyesuaikan dengan situasi baru dengan cepat dan efektf, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif dan kemampuan memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat; (3) perbedaan psikologis, terutama berkaitan dengan minat dan perhatian peserta didik terhadap materi pelajaran yang berdampak pada motivasi belajarnya (Syaiful Sagala: 55).
Dengan adanya fenomena tersebut, guru perlu memperbaiki manajemen pembelajarannya dengan lebih memahami jiwa dan watak peserta didik beserta keberadaannya dengan arif bijaksana, agar proses pembelajaran menjadi kondusif. Sehingga berhasil membentuk dan membangun kepribadian peserta didik yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Beberapa isu dan problematika manajemen pendidikan tersebut memberi jawaban bahwa manajemen pendidikan tidak hanya sekadar manajemen sekolah atau manajemen pembelajaran saja, namun lebih dari itu walaupun semua kebijakan manajemen pendidikan akhirnya berujung di sekolah pada semua jenjang dan jenisnya.Jadi manajemen pendidikan yang terkait dengan pengambil kebijakan adalah 32
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan
pemerintah yang berhubungan dengan biaya pendidikan, standar kurikulum, standar personal pendidikan, akreditasi, pelayanan kebutuhan sekolah dan pendidikan latihan (diklat). Adapun manajemen pendidikan pada satuan pendidikan berhubungan dengan aplikasi teori teori pembelajaran, konseling belajar, manajemen sekolah serta semua aktivitas yang turut menyukseskan kegiatan sekolah dalam rangka meraih tujuan yang telah ditetapkan.
33
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN PENDIDIKAN
empelajari ruang lingkup manajemen pendidikan akan dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pertama ditinjau dari objek kajian manajemen lembaga pendidikan, kedua berdasarkan bidang garapan manajemen pendidikan.
M
A. Objek Kajian Manajemen Lembaga Pendidikan Objek kajian manajemen lembaga pendidikan dilihat dari beberapa aspek penting yang diperlukan dalam kelembagaan pendidikan:
Manajemen lembaga pendidikan pada aspek struktur, menjelaskan struktur organisasi pendidikan, analisis unit kerja,deskripsi tugas, spesifikasi pelaku pendidikan, otoritas, hierarkhis jabatan, dinamika lingkungan struktural organisasi dan perbedaan profesionalitas pelaku pendidikan serta semua aktifitasnya.
Manajemen lembaga pendidikan ditinjau dari aspek teknik meliputi proses perencanaan, kegiatan lembaga perwujudan tugas-tugas dan strategi pelaksanaan pengembangan lembaga.
34
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
Manajemen lembaga pendidikan dilihat dari unsur personalia, menekankan pada penempatan personalia, studi kelayakan guru dan lembaga pengelolanya,sumber daya personal, hubungan antar personal, peevaluasi dan promosi serta kesejahteraan personalia.
Manajemen lembaga pendidikan ditinjau dari aspek informasi, meliputi sistem informasi lembaga pendidikan, sistem kontrol internal dan eksternal lembaga, pengawasan pegawai dan respons manajerial terkait masalah di dalam maupun diluar lembaga.
Manajemen lembaga pendidikan dilihat pada aspek lingkungan masyarakat,meliputi peran masyarakat dalam pengembangan lembaga, hubungan lembaga pendidikan dan masyarakat, peran pelaku pendidikan dalam masyarakat, kerja sama lembaga dan masyarakat,sosialisasi lembaga dan kegiatan lembaga pendidikan yang mengikutsertakan komponen masyarakat dan aparatur pemerintah.
Manajemen lembaga pendidikan pada aspek keterampilan manajerial, berhubungan dengan profesionalitas kerja pelaku pendidikan, keterampilan pemimpin dalam rancangan konsep, keterampilan manusiawi, keterampilan tehnik,dan keterampilan proyeksi masa depan lembaga dan out put lembaga.
Manajemen lembaga pendidikan ditinjau dari aspek pengembangan sumber daya manusia, terdiri dari pendidikan dan pelatihan manajerial kelembagaandan kependidikan, mutu pimpinan berdasarkan kriteria AD dan ART (statuta), pengelolaan supervisi dan tipe instruksi pimpinan lembaga yang berkaitan dengan intelektualitas pelaku pendidikan, baik secara struktural maupun kultural. (Hikmat,2009:155-156).
35
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Telaah manajemen lembaga pendidikan berdasarkan tinjauan beberapa aspek tersebut memberikan gambaran bahwa manajemen lembaga pendidikan merupakan manajemen pada suatu institusi pendidikan sebagai kegiatan utama yang membedakan satu institusi dengan institusi lain dalam memenuhi pelayanan kepada manusia dalam bidang pendidikan.Dan pada hakekatnya objek kajian manajemen lembaga pendidikan merupakan sistem organisasi pendidikan, yaitu satu kesatuan utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya sesuai konteksnya.
B. Bidang Garapan Manajemen Pendidikan Tinjauan manajemen pendidikan dilihat dari bidang garapannya bertitik tolak pada aktifitas “dapur inti” yaitu program pembelajaran di kelas, setidaknya ada 8 (delapan) bidang garapan manajemen, meliputi manajemen peserta didik, manajemen kurikulum, manajemen personalia, manajemen pembiayaan pendidikan, manajemen sarana dan prasarana, manajemen ketatalaksanaan,manajemen organisasi dan manajemen humas. Di samping kedelapan bidang garapan tersebut,ada unsur lain yang mempunyai fungsi membina dan mengendalikan masing-masing atau pun keseluruhan bidang garapan manajemen tersebut yaitu supervisi pendidikan. Pada pembahasan berikutnya yang menjadi sentral adalah ruang lingkup menurut bidang garapan, sedangkan urutan kegiatan dan pelaksana secara implisit diintegrasikan pada setiap bidang garapan tersebut. Urutan kegiatan yang dimaksudkan adalah adanya asumsi bahwa dalam pengertian manajemen terkandung makna proses kegiatan yang berarti ada urutan kegiatan dari awal sampai akhir. Proses kegiatan tersebut tidak lain adalah fungsi 36
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
manajemen yang secara umum diklasifikasikan menjadi tiga kegiatan, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing) dan pengontrolan (controlling). Sedangkan apabila manajemen dipandang dari pelaksananya, maka ada anggapan bahwa yang bertanggung jawab melaksanakan manajemen pendidikan hanyalah kepala sekolah dan staf tata usaha. Anggapan tersebut keliru, semua unsur pendidikan terlibat dalam pengelolaan sekolah, melaksanakan manajemen pendidikan di sekolah. Di kelas misalnya, guru harus melaksanakan kegiatan manajemen untuk mengatur proses pembelajaran, mengatur kelas, mengatur peserta didik yang sedang belajar, mengatur perangkat-perangkat manajemen yang diperlukan, dan sebagainya. Di sekolah, kepala sekolah adalah manajer,yang bertanggung jawab mengelola adalah semua unsur yang ada di sekolah.Misalnya mengatur guru, staf tata usaha, pembagian tugas mengajar termasuk penjadwalan menjadi tanggung jawabnya dalam memegang manajemen sekolah, namun secara tehnis biasanya dibantu para wakilnya dan staf tata usaha. Jadi rangkaian kegiatan manajemen yang tidak lain adalah fungsi manajemen itu sendiri dan pelaksana manajemen akan melekat pada masing-masing bidang garapan, artinya tidak diadakan pembahasan secara khusus. 1.
Manajemen Peserta Didik Peserta didik merupakan subyek pendidikan dimana semua aktifitas yang dilakukan dilembaga pendidikan (sekolah) pada akhirnya bermuara. Sesuai dengan definisi peserta didik di dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 1 dinyatakan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, 37
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Mengacu pada pernyataan tersebut, dalam mencermati upaya pengembangan potensi diri, maka pendidikan yang dilakukan juga hendaknya memperhatikan adanya ketidaksamaan potensi yang dimilikinya. Pemahaman berbagai karakteristik subyek didik secara menyeluruh akan mengantarkan para guru atau pendidik kepada pemahaman dan penghayatan secara mendalam tentang keperbedaan individual subyek didik. Dengan demikian guru akan mampu menyelenggarakan proses pembelajaran secara arif dan bijaksana tanpa mengenyampingkan keunikan dan potensi masing-masing peserta didik . Untuk mendukung paradigma tersebut, tidak semata memberikan ruang yang setara dalam belajar, tapi mampu menjunjung tinggi kebebasan berpikir sesuai dengan kapasitas potensi peserta didik.Apabila hal ini dapat digelar secara kongkrit dan praktis, maka sesungguhnya merupakan sebuah prestasi yang dinamis dan luar biasa dalam dunia pendidikan. Akhirnya dengan mengalirnya nilai-nilai pembaharuan berimbas pada kegiatan manajemen peserta didik, dimana peserta didik adalah manusia dinamis yang bisa dilibatkan bersama dalam menetapkan corak proses pendidikan masingmasing. Manajemen peserta didik merupakan sebagian kegiatan manajemen pendidikan yang berhubungan dengan peserta didik yang berupa pengelolaan peserta didik atau data tentang peserta didik dimulai sejak peserta akan masuk suatu lembaga pendidikan hingga keluar dalam arti selesai studi (lulus) atau alasan yang lain. AL.Hartani (2011: 35) mengartikan manajemen peserta didik sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,pengarahan dan pengendalian peserta didik mulai dari admisi (penerimaan), registrasi dan ketatausahaannya sampai peserta didik menyelesaikan 38
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
pendidikannya dalam arti tamat belajar atau karena sebab lain. Namun tidak semua kegiatan peserta didik masuk dalam manajemen peserta didik. Seperti proses pembelajaran di kelas adalah kegiatan peserta didik tetapi bukan manajemen peserta didik, melainkan manajemen pembelajaran yang menjadi ruang lingkup manajemen kurikulum. Cakupan manajemen peserta didik meliputi pengelolaan penerimaan peserta didik baru, pengelolaan bimbingan dan penyuluhan, pengelolaan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan pengelolaan data peserta didik. a.
Pengelolaan Penerimaan Peserta Didik Penerimaan peserta didik baru merupakan momentum penting bagi sekolah, karena merupakantitik awal yang menentukan kelancaran aktifitas sekolah, mewarnai sukses tidaknya usaha pendidikan di sekolah tersebut.Disamping itu kegiatan penerimaan peserta didik baru di Indonesia ini sudah menjadi fenomena sosial yang menarik perhatian masyarakat maupun pemerintah. Asumsi masyarakat, pendidikan dipercaya sebagai alat strategis untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Sehingga melalui pendidikan manusia menjadi cerdas, memiliki keterampilan, perilaku hidup yang baik dan akhirnya dapat hidup bermasyarakat, membantu dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakat. Demikian pula, pendidikan menjadi investasi yang memberi keuntungan sosial dan pribadi yang menjadikan bangsa yang bermartabat dengan individu yang memiliki derajat. Berpijak pada paparan tersebut, maka tidak heran masyarakat semakin cerdas dan sangat antusias dalam menyikapi momen penerimaan peserta didik baru sesuai dengan tingkat partisipasi dan wawasan kependidikannya. Masyarakat berusaha mengejar sekolah atau lembaga 39
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pendidikan yang dipandang berkualitas, favorite dan bergengsi. Disamping alasan lain misalnya terjangkau pendanaannya maupun transportasinya. Bahkan sering terjadi pemaksaan kehendak orang tua yang berambisi menyekolahkan anaknya di sekolah yang menjadi pilihannya, maka dengan jalur persaingan yang tidak sehat pun ditempuh. Inilah perlunya faktor kehati-hatian seorang manajer atau kepala sekolah dalam memprakarsai pembentukan panitya penerimaan peserta didik baru (biasa disingkat PPDB), sehingga tidak merusak citra sekolah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikandalam pengelolaan penerimaan peserta didik baru adalah pembentukan panitya PPDB, persyaratan calon peserta didik baru, pendaftaran, testing, seleksi, dan pengumuman hasil seleksi. 1) Kepanitiaan Kegiatan panitia ini meliputi urusan pendaftaran, penyelenggaraan tes masuk, seleksi dan pengumuman hasil seleksi.Unsur-unsur personalia yang ada dalam kepanityaan harus memiliki kompetensi untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Selanjutnya panitya merumuskan program kerja yang terdiri dari:macam kegiatan, jadwal waktu kegiatan, pembagian tugas, beberapa aspek yang berkaitan dengan seleksi, jumlah calon yang akan diterima, sarana dan prasarana yang diperlukan, dan rencana anggaran. 2) Persyaratan calon peserta didik Persyaratan yang dikenakan bagi calon peserta didik sangat bervariatif, karena jenis sekolah yang beraneka 40
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
ragam,masing-masing lembaga pendidikan mempunyai kepentingan tertentu, sehingga persyaratan yang ditetapkan menjadi berbeda-beda. Namun secara umum berkaitan dengan indikator-indikator berikut: usia, kesehatan, prestasi akademik dan persyaratan administratif lainnya. Bagi calon peserta didik SD/MI menurut ketentuan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 sekurang-kurangnya berusia 6 tahun. Artinya di bawah usia 6 tahun termasuk dalamprogram pendidikan pra sekolah yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pengelompokan program pendidikannya berdasarkan faktor usia, yaitu usia 4-6 tahun untuk Taman Kanak-Kanak dengan pembagian TK A usia 4-5 tahun dan TK B usia 5-6 tahun. Sedangkan anak berusia di bawah 4 tahun masuk dalam kelompok bermain (play group). Di masyarakat kadang-kadang masih menunjukkan gejala pemaksaan orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah sebelum mencapai usia siap sekolah dengan alasan anaknya sudah pintar, atau dari pada di rumah tidak ada yang menjaga. Misalnya anaknya baru berusia 3 tahun dipaksakan untuk memasuki pendidikan TK, atau anak usia baru 5 tahun didaftarkan ke jenjang pendidikan SD dan sebagainya. Hal tersebut sering dilakukan para orang tua dengan caramelobby pihak sekolah dengan dalih yang bermacam-macam. Karena obsesi dan keinginan orang tua yang tidak terkendali, sehingga menimbulkan potensi praktek pungutan liar. Tentu saja hal tersebut tidak dibenarkan. Di samping mengotori image sekolah, ada sesuatu yang lebih penting dari itu, yaitu berkaitan dengan kondisi psikhis anak. Berdasarkan tinjauan psikhologis, apabila seorang anak dipaksakan untuk menduduki bangku 41
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sekolah tidak sesuai dengan usia matang pada jenjang pendidikan tertentu maka si anak akan mengalami “kejenuhan sekolah” pada level-level tertentu. Misalnya anak usia 4,5 tahun duduk di kelas satu SD, maka di kelas-kelas di atasnya dia akan menunjukkan gejala bosan sekolah bahkan tidak mau sekolah. Kemudian persyaratan untuk masuk kelas satu SD tidak ada keharusan untuk memiliki sertifikat TK. Demikian pula tidak diperkenankan adanya tes calistung atau dalam bentuk lain dalam persyaratan masuk jenjang pendidikan sekolah dasar. Karena hal ini sudah tentu bertentangan dengan prinsip pendidikan nasional. Sedangkan persyaratan untuk memasuki jenjang pendidikan SMP/MTs, SMA/SMK/MA pada umumnya adalah Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), salinan raport kelas tertinggi, akte kelahiran, surat keterangan kesehatan, pas photo ukuran 3x4 atau 4x6 , sejumlah yang dibutuhkan, mengisi blangko pendaftarandan membayar biaya pendaftaran. Persyaratan apapun yang ditetapkan oleh sekolah hendaknya sebelum waktu pendaftaran sudah disosialisasikan kepada masyarakat untuk ketertiban dan kelancaran proses pendaftaran calon peserta didik. 3) Pendaftaran Dalam prakteknya pendaftaran calon peserta didik baru untuk jenjang pendidikan dasar yaitu meliputi SD/ MI dan SMP/MTs biasanya dikelola oleh masing-masing lembaga pendidikan. Sedangkan untuk jenjang menengah yang terdiri dari SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat, kadang-kadang dikelola per wilayah dan diberlakukan menyeluruh bagi lembaga pendidikan yang berada dalam wilayah tersebut. Hal ini untuk 42
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
menghindari terjadinya ketimpangan animo pendaftar, sehingga pembagian calon siswa secara merata ada pada semua lembaga pendidikan, tidak ada lembaga pendidikan yang kelebihan animo, demikian pula tidak ada lembaga pendidikan yang kekurangan animo. Manajemen pendaftaran yang kerap diterapkan pada jenjang pendidikan menengah adalah pengelolaan mandiri, dimana tidak ada ketentuan bersama antar lembaga pendidikan menengah. Sehingga kesan terjadinya ajang kompetitif nampak lebih menonjol. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang sudah membumi sangat membantu lembaga pendidikan dalam melakukan manajemen pendaftaran peserta didik baru. Via jalur internet dengan tehnik online calon peserta didik bisa mengisi data yang dipersyaratkan tanpa harus antri datang di sekolah. Fitur yang tersedia biasanya meliputi persyaratan dan prosedur; schedule pelaksanaan pendaftaran, tes dan pengumuman;alur pendaftaran; data pendaftar; daya tampung; sistem orderisasi rangking nilai UN, prestasi raport dan nilai tambahan di luar akademik; info sekolah; arsip hasil PPDB tahun lalu; dan sebagainya. Dengan manajemen pendaftaran sistem online ini, panitya PPDB menjadi ringan tugasnya, tidak banyak kerja yang sifatnya manual dan lebih hemat dari segi pembiayaannya. Bagi calon peserta didik juga beruntung, karena cukup memantau di rumah atau di warnet melalui internet tentang alur penerimaan peserta didik baru termasuk kondisi lembaga pendidikan yang menjadi pilihannya.
43
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
4) Testing Salah satu kegiatan penerimaan peserta didik baru adalah menyelenggarakan tes sebagai upaya untuk mendapatkan skala nilai bagi calon peserta didik sehingga dapat ditetapkan diterima atau tidak dalam lembaga yang dipilihnya. Untuk jenjang pendidikan SD/MI diharapkan semua pendaftar yang memenuhi persyaratan usia bisa diterima dengan memperhatikan daya tampung sekolah. Sedangkan untuk jenjang pendidikan dasar SMP/MTs dan jenjang pendidikan menengah SMA/MA/SMK/ MAK dan pendidikan yang sederajat pada tahun-tahun terakhir ini pada umumnya tidak menerapkan tes tertulis yang mengukur prestasi akademik.Untuk melihat kemampuan hasil belajarnya dari Nilai Ujian Nasional/NUN (istilah dahulu NEM) yang dilampirkan. Namun untuk melengkapi pertimbangan diterima tidaknya calon peserta didik, diadakan tes kepribadian, tes bakat dan minat serta wawancara. Hal ini penting dilakukan untuk mengukur sikap dan perilaku juga potensi yang dimiliki calon peserta didik, sehingga sekolah benar-benar mendapatkan input yang baik, tidak semata-mata mempunyai intelegensi tinggi. 5) Seleksi Tahap seleksi diadakan setelah selesai pelaksanaan tes.Dari hasil seleksi inilah yang menentukan diterima tidaknya calon peserta didik. Untuk jenjang pendidikan SD/MI cara menyeleksi calon peserta didik adalah pertama mencatat dan menerima semua pendaftar yang berusia 6 tahun; kedua apabila masih ada kuota yang tersisa, maka prioritas penerimaan diurutkan mulai dari usia 7 tahun, 8 tahun, 9 tahun, 10 tahun dan 11 tahun. 44
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
Seleksi calon peserta didik baru untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK dan yang sederajat dilakukan secara transparan, yaitu berdasarkan Jumlah NUN ditambah nilai tes kepribadian, tes bakat dan wawancara ditambah lagi dengan nilai prestasi di luar akademik (jika ada), misalnya juara olimpiade,mengikuti jambore pramuka, pelajar teladan, dan sebagainya. Nilai tersebut dikemas dalam jurnal harian yang dapat dipantau setiap saat sampai dengan hari terakhir seleksi, sebelum pengumuman. Dalam masa seleksi tersebut setiap hari dapat dilihat calon peserta didik yang tereliminasi dan calon peserta didik yang masih bertahan. Calon peserta didik yang memiliki jumlah nilai rendah, berada pada urutan dibawah kuota, maka dengan sendirinya gugur dan tidak diterima atau mungkin dapat masuk lagi sebagai cadangan. Sedangkan bagi calon peserta didik yang mempunyai jumlah nilai yang bisa masuk dalam jumlah kuota sampai akhir masa seleksi dengan sendirinya lolos atau bisa diterima, namun ada kemungkinan tidak lolos apabila pada saat tertentu posisinya tergeser oleh calon peserta didik yang lain yang memiliki jumlah nilai lebih baik. Selain ditetapkan sejumlah calon peserta didik yang diterima sesuai kuota, ditentukan pula sejumlah calon peserta didik (biasanya berkisar 5 orang) diterima sebagai cadangan. Calon peserta didik cadangan inilah yang nantinya akan menggantikan posisi calon peserta didik yang diterima tetapi mengundurkan diri. 6) Pengumuman hasil seleksi Hal yang paling penting dalam kaitannya dengan pengumuman adalah ketepatan waktu sesuai schedule 45
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
yang telah diinformasikan.Sehingga tidak meresahkan calon peserta didik, terutama yang tidak diterima. Sebab mereka yang gagal masih ada kemungkinan untuk menindaklanjuti berbagai peluang mendaftar di lembaga pendidikan yang lain. Bagi calon peserta didik yang diterima pun ingin segera berbenah, mempersiapkan segala sesuatunya berkaitan dengan peserta didik baru. Ada dua macam sistem pengumuman yang bisa dilakukan yaitu dengan sistem terbuka dan sistem tertutup. Pengumuman dengan sistem terbuka biasanya ditempel di papan pengumuman yang ditempatkan pada posisi yang strategis, bisa ditaruh di dalam maupun di luar sekolah, sekiranya bisa dijamin keamanannya. Disamping itu juga bisa memanfaatkan media cetak untuk menyebarluaskan pengumuman tersebut.Tetapi untuk jenjang pendidikan di bawah jenjang pendidikan tinggi lebih memilih pengumuman yang dipajang di papan pengumuman sekolah. Adapun pengumuman dengan sistem tertutup, biasanya menggunakan amplop tertutup kemudian diserahkan pada peserta tes masuk calon peserta didik baru yang datang ke sekolah, atau bisa dilakukan dengan cara dikirimkan melalui Pos. Ada satu cara lain yang lebih efektif dan efisien yaitu melalui internet. b.
Pengelolaan Bimbingan dan Konseling Dalam konteks bidang garapan manajemen peserta didik,bimbingan konseling yang dimaksudkan terutama pada aspek pengelolaannya.Pembahasan pengelolaan bimbingan dan konseling meliputi pedoman pelaksanaannya, tenaga (konselor),dan pengelolaan data pribadi peserta didik.
46
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
1) Pedoman pelaksanaan bimbingan dan konseling. Program bimbingan dan konseling hendaknya dilaksanakan berdasarkan pada pedoman sebagai berikut: a) Penanggungjawab utama dalam perencanaan dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling adalah kepala sekolah. b) Program bimbingan konseling meliputi bimbingan pribadi, bimbingan belajar, bimbingan sosial dan bimbingan karir. c) Pelaksanaan bimbingan dan konseling hendaknya dilakukan secara kontinu untuk program yang membutuhkan penanganan secara terus-menerus dan berkelanjutan, sedangkan bimbingan yang munculnya sewaktu-waktu bisa dilakukan secara insidental. d) Perencanaan program bimbingan dan konseling dirumuskan secara cermat sepadan dengan keperluan sekolah. e) Pelaksanaan bimbingan dan konseling berdasarkan pada pendekatan perseorangan maupun kelompok tergantung permasalahan dan pemecahannya. f) Diperlukan adanya kerjasama dengan konselor atau psikolog maupun lembaga-lembaga terkait lainnya untuk memperlancar proses bimbingan dan konseling. g) Waktu bimbingan yang sifatnya rutin sangat penting untuk dialokasikan. Karena program bimbingan dan konseling ini justru sangat membantu mengatasi kesulitan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. Inilah nilai manfaat pro47
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
gram bimbingan konseling yang selama ini sekolah lebih mementingkan waktu untuk proses pembelajaran, semakin banyak materi yang disampaikan kepada peserta didik semakin baiklah peserta didik tersebut. Oleh karena itu sekolah perlu memperhatikan jadwal tertentu, misalnya seminggu sekali masuk kelas,hingga memungkinkan bimbingan dan konseling bisa berjalan kontinu. h) Deskripsi tugas masing-masing pelaksana bimbingan konseling (guru-guru BK) harus jelas dan teratur. i) Data pendukung proses bimbingan konseling harus selalu menyertai dan memadai. j) Supervisi terhadap pelaksanaan program bimbingan dan konseling perlu dilakukan untuk koreksi dan penyempurnaan program yang akan datang. 2) Petugas Bimbingan dan Konseling Pengelolaan program bimbingan dan konseling di sekolah ditangani oleh guru yang memiliki kompetensi dalam bidang bimbingan konseling, disebut guru BK. Namun dari segi kuantitas keberadaan guru BK di sekolah biasanya kurang memadai. Dalam kenyataannya dari jumlah petugas berkisar 2-3 orang mustahil bisa menangani sekian peserta didik dalam satu sekolah. Pada hakekatnya program bimbingan di sekolah menjadi tanggung jawab semua aparatur sekolah mulai dari kepala sekolah, dewan guru dan tenaga tata usaha. Semua itu ikut aktif membimbing, mengarahkan, menasehati, membina peserta didik dalam rangka mengantarkan mereka menuju kesuksesan studi. Sehingga tugas guru tidak hanya mentrasfer pengetahuan saja tetapi juga membentuk karakter 48
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
peserta didik. Dalam mengevalusi hasil belajar peserta didik pun akhirnya tidak melulu menilai kemampuan otak saja tetapi juga bagaimana sikap dan perilakunya. Dengan demikian, semua guru yang ada di sekolah meliputi guru bidang studi,guru wali kelas, kepala sekolah, ditambah karyawan tata usaha dan termasuk guru bimbingan dan konseling itu sendiri mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah sesuai dengan obyek garapan dan kapasitas masing-masing. Pembagian tugas dan tanggung jawab hendaknya diatur dengan jelas dan tertib untuk menghindari terjadinya tumpang tindih (over Lapping) dan kesemrawutan dalam pelaksanaannya. Kepala sekolah sebagai penanggungjawab utama dalam pengelolaan program bimbingan dan konseling kaitannya dengan perencanaan program, penyatuan program bimbingan dalam program pembelajaran, supervisi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling, merekomendasikan pemberian alokasi waktu, dana dan sarana lain. Sedangkan guru bimbingan dan konseling (guru BK) sebagai petugas yang dibebani sebagai penanggung jawab penuh dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling. Adapun tugasnya adalah menghimpun data peserta didik yang bersumber dari guru bidang studi yang terkait dengan prestasi dan selanjutnya menentukan program bimbingan yang akan dilaksanakan. Di samping itu juga mengumpulkan data dari guru wali (kelas) yang berkaitan dengan masalah pelanggaran,tata tertib sekolah, dan kasus-kasus penyimpangan peserta didik hingga perlu penanganan guru bimbingan konseling. Termasuk menjalin kerjasama dengan lembaga diluar sekolah terutama untuk menyelesaikan 49
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
masalah yang sulit dipecahkan, misalnya minta bantuan tenaga psikologi. Adapun guru wali bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program bimbingan dan konseling peserta didik khusus di kelas yang diampunya.Masalah yang ditangani seputar persoalan akademis maupun diluar akademis yang nantinya data yang diperoleh dilaporkan kepada guru bimbingan dan konseling. Apabila masalah yang dialami peserta didik cukup pelik hingga tidak bisa diselesaikan secara tuntas, maka diteruskan pada ahlinya yaitu guru bimbingan dan konseling. Guru bidang studi bertugas memberikan bimbingan dalam pembelajaran khususnya di bidang studi yang diampunya. Data spesifikasi peserta didik yang membutuhkan penanganan lebih lanjut diserahkan kepada guru bimbingan dan konseling. Sedangkan tenaga tata usaha secara tehnis membantu program bimbingan dan konseling dalam hal penyediaan fasilitas, pendataan peserta didik maupun pemberian informasi terkait permasalahan peserta didik di dalam mapun di luar sekolah. 3) Data Pribadi Peserta Didik Sebagai landasan pelaksanaan program bimbingan dan konseling dibutuhkan data pribadi peserta didik. Data tersebut harus tersimpan rapi dan tertutup untuk umum, sehingga terjaga kerahasiaannya. Tentu saja data pendukung yang lengkap dan detail sangat membantu kelancaran proses bimbingan dan konseling. Berikut beberapa hal yang berkaitan dengan data pribadi peserta didik: a). Identitas peserta didik, berisi nama peserta didik, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, bidang 50
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
studi yang disenangi, bidang studi yang tidak disukai, partisipasi dalam pembelajaran di sekolah, waktu belajar di rumah, keikutsertaan dalam ekstrakurikuler,dan hobby. b). Latar belakang orang tua,mencakup identitas orang tua, pekerjaan, kepedulian terhadap pendidikan anaknya, perhatiannya terhadap belajar anaknya di rumah, pengamatan orang tua terhadap sikap anak dan kegiatan sehari-harinya. c). Keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas. d). Kelainan-kelainan sikap peserta didik di dalam kelas. e). Kebiasaan dan tingkah laku peserta didik di luar kelas. f). Keakraban dengan teman sekolah dan di rumah. g). Ragam masalah yang berkaitan dengan agama, moral, sosial, kesehatan, kesukaan, hubungan lawan jenis, kehidupan keluarga, adaptasi dengan kondisi sekolah, cita-cita, dan sebagainya. h). Frekwensi kunjungan rumah (home visit) dan temuan yang diperoleh. Data pendukung tersebut mempunyai nilai positif sebagai penentu kebijakan proses bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, untuk memperjelas pemahaman tentang keterangan yang diperoleh alangkah baiknya data tersebut dikemas dalam bentuk matriks, sehingga konselor bisa lebih cepat mempelajari kondisi peserta didik yang sebenarnya.
51
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
c.
Pengelolaan Organisasi Siswa Intra Sekolah Selama peserta didik mengenyam pendidikan di suatu sekolah, maka dengan sendirinya menjadi anggota OSIS di lembaga pendidikan tersebut. Dengan OSIS maka peserta didik diharapkan mampu melatih diri untuk berorganisasi dibawah bimbingan dan pengawasan 2 (dua) aspek, yaitu pertama aspek keorganisasiannya, dan kedua aspek kegiatannya. Dilihat dari segi keorganisasiannya, maka di dalam OSIS harus ada hal-hal berikut ini: 1). Bagan Struktur kelembagaan OSIS. 2). Pengurus OSIS terpilih berdasarkan seleksi. 3). Fungsi, wewenang dan deskripsi tugas masing-masing divisi. 4). Susunan rencana kerja OSIS. Untuk melatih dan membina peserta didik tentang keorganisasian biasanya melalui kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) yang diperuntukkan bagi pengurus OSIS. Ditinjau dari aspek kegiatannya, diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1). Kelompok pengembangan pengetahuan dan kemampuan penalaran peserta didik, meliputi kegiatan diskusi, seminar, penelitian, karyawisata, menulis karya ilmiah. 2). Kelompok kegiatan pengembangan keterampilan sesuai minat dan hobby peserta didik, seperti: kepramukaan, PMR, UKS, Dokter kecil,seni music, teatre, tata boga, tata busana, olah raga, pencinta alam, keterampilan tehnik elektro, mesin dan sebagainya. 3). Kelompok pengembangan sikap dan perilaku meliputi: pengadaan bank sampah, menghimpun dana sosial, 52
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
amal jum’at, memperingati hari besar nasional dan keagamaan, majelis taklim, kerja bakti bersama masyarakat, jum’at bersih,dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu dipersiapkan dengan perencanaan di awal tahun ajaran, agar tidak terjadi over lapping atau tumpang tindih dengan kegiatan pembelajaran. Beberapa aspek yang harus ditentukan dalam perencanaan di antaranya schedule program kegiatan, jenis kegiatan, kegiatan wajib bagi seluruh peserta didik, kegiatan pilihan, koordinator, guru Pembina, tenaga ahli dari luar, dan anggaran program kegiatan. Kegiatan OSIS pada sebagian besar sekolah masih di bawah bimbingan dan arahan tim guru Pembina OSIS maupun Waka Kesiswaan. Sehingga nampak keterlibatan peserta didik dalam kegiatan tersebut masih kurang, karena sangat bergantung pada instruksi Pembina sesuai dengan kapasitasnya sebagai motor penggerak. Berbeda dengan beberapa sekolah yang sudah mulai menyerahkan kegiatan OSIS sepenuhnya kepada peserta didik yang terpilih dalam seleksi pengurus OSIS, maka peserta didik lebih aktif dan bertanggungjawab. Namun tentu saja masih dalam pengawasan sekolah, artinya apabila ada kegiatan tertentu harus sepengetahuan Pembina sebatas sebagai konsultan. d.
Pengelolaan Data Peserta Didik Pengelolaan data peserta didik merupakan salah satu bidang garapan manajemen peserta didik yang harus ada.Setiap peserta didik sebagai warga sekolah mulai dari proses pendaftaran, registrasi, mengikuti pendidikan hingga selesai atau hal lain yang menyebabkan peserta didik tersebut meninggalkan sekolah harus dicatat datanya secara tertib dan teratur. Karena data peserta didik mem-
53
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
punyai arti penting terutama bagi sekolah untuk dipergunakan dalam berbagai ragam kepentingan. Pada dasarnya data yang perlu dikelola dapat diklasifikasikan menjadi 4(empat), yaitu: 1). Data Identitas peserta didik,memuat tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan diri pribadi peserta didik. 2). Data Hasil Belajar peserta didik, berisi tentang daftar bidang studi yang ditempuh peserta didik dan perolehan nilai serta keterangan penting lainnya dari awal sampai akhir pendidikan. 3). Data Presensi pesrta didik, yaitu data kehadiran peserta didik dan beberapa catatan penting yang menyertainya yang bisa dibuat per bulan berdasarkan data presensi harian. 4). Data Tata tertib dan Skoring Pelanggaran, berisi data tentang tata tertib sekolah dan skor pelanggaran yang dimiliki peserta didik beserta beberapa ketentuan sangsi akibat pelanggaran tata tertib tersebut. Data identitas siswa biasanya dicatat dalam buku Induk dibantu dengan buku Klapper, sebagai catatan pelengkap. Namun dewasa ini melalui komputerisasi pencatatan maupun penyimpanannya menjadi lebih mudah, rapi dan aman.Tetapi tidak ada salahnya untuk mengantisipasi sesuatu hal yang tidak diinginkan, alangkah baiknya apabila pencatatan data disamping di dalam file computer, juga dicatat secara manual. Adapun manfaat data peserta didik adalah pertama sebagai dasar pertimbangan dalam bimbingan konseling; kedua sebagai bahan pertimbangan untuk menyampaikan saran kepada orang tua peserta didik tentang belajar anaknya; ketiga untuk menetapkan keputusan sekolah 54
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
tentang beberapa hal yang berkenaan dengan peserta didik; keempat sebagai bahan rekomendasi bagi peserta didik untuk kelanjutan studi atau melamar pekerjaan; kelima untuk kepentingan pengecekan data, apabila dikemudian hari terdapat kesalahan atau mungkin terjadi pemalsuan; keenam untuk kepentingan mutasi ke sekolah lain, sehingga mempermudah pembinaan terhadap peserta didik yang bersangkutan dan ketujuhsebagai bahan pertimbangan bagi sekolah untuk menentukan punishman atau punreward pada peserta didik, agar pemberian penghargaan maupun hukuman berdampak positif. 2.
Manajemen Kurikulum Manajemen kurikulum merupakan salah satu bidang garapan manajemen pendidikan yang sangat penting. Karena pada dasarnya kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan dalam UndangUndang Sisdiknas. Dan lebih khusus lagi kurikulum merupakan instrumen dalam rangka meraih tujuan institusional sesuai dengan ragam dan jenjang pendidikan, tujuan kurikuler bidang-bidang studi, dan tujuan pembelajaran yang disusun atas prakarsa guru di RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Semua tujuan itu tidak akan tercapai tanpa adanya kurikulum, sehingga kurikulum harus dikelola dengan baik dan benar. S.Nasution menegaskan bahwa kualitas bangsa di masa yang datang sangat bergantung pada pendidikan yang dirasakan anak-anak saat ini, terutama dalam pendidikan formal di sekolah.Realitas apapun yang dicapai sekolah, ditentukan oleh kurikulum sekolahnya.(2003:1). Sehingga bisa dikatakan bahwa siapa pun yang menguasai kurikulum, maka dialah yang mempunyai peran penting dalam mengatur bangsa dan Negara di kemudian hari.Sedangkan pendapat 55
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
S.Bellen (2000: 49) agak sedikit berbeda, bahwa menurutnya kurikulum bukan satu-satunya penentu kualitas pendidikan dan bukan pula perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Karena fungsi kurikulum dalam peningkatan kualitas dan paparan visi sangat tergantung pada kecerdasan guru dalam memahami substansi kurikulum yang tertuang pada buku ajar dan proses evaluasi belajar.Jadi dapat dipahami bahwa sekolah sebagai pelaksana kurikulum terutama pendidik atau guru harus bisa memahami dan mengembangkan kurikulum secara inspiratif, inovatif dan progresif dalam skala kelas. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia mengalami perkembangan sebagai berikut: Tahun 1964: perencanaan kurikulum sekolah dasar. Tahun 1973: kurikulum sekolah PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan). Tahun 1975: dikenal dengan Kurikulum 1975,yaitu Kurikulum SD. Tahun 1984: Kurikulum 1984 Tahun 1994: Kurikulum 1994 Tahun 1997: revisi kurikulum 1997 Tahun 2004: rintisan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tahun 2006: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tahun 2013: Kurikulum 2013, yang mulai diimplementasikan pada tahun ajaran 2013/2014. Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari kurikulum 2006 yang berlandaskan pada pemikiran tentang tantangan abad 21 yang dikenal dengan abad ilmu pengetahuan, knowledge-based society dan kompetensi masa depan.Disamping itu alasan yang sangat mendasar adalah 56
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
pertama perlu adanya perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi mencari tahu) dan perubahan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), kedua perlu penambahan jam pelajaran, karena banyak Negara mengalokasikan jam pelajaran lebih banyak, sedangkan Indonesia relatif lebih singkat. (Pedoman Diklat Kurikulum 2013: 2). Implementasi kurikulum 2013 dimulai bulan Juli 2013 dan dilaksanakan secara bertahap, untuk jenjang pendidikan SD/MI kelas I dan IV, jenjang SMP/MTs kelas VII dan jenjang SMA/MA/SMK kelas X. Selain kelas-kelas tersebut masih menggunakan kurikulum 2006 sampai dengan batas yang belum ditentukan. Adapun manajemen kurikulum mencakup kegiatan perencanaan,pelaksanaan sampai dengan evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum tersebut.Kegiatan perencanaan telah dilakukan oleh Pusat, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini yang berwenang adalah Pusat Kurikulum dan Perbukuan di bawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan. Pusat Kurikulum dan Perbukuan bertugas melakukan penyusunan kebijakan tehnis,pengembangan kurikulum, metodologi pembelajaran dan perbukuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya lebih fokus pada manajemen pelaksanaan kurikulum di sekolah. Telah disinggung di atas bahwa yang dimaksud manajemen kurikulum adalah semua proses perencanaan, pengorganisasian,dan pengontrolan kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum dan tujuan peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Dengan demikian dalam manajemen pelaksanaan kurikulum di sekolah akan dibahasberturut-turut tentang struktur kurikulum, 57
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pengelolaan pelaksanaan kurikulum dan evaluasi program pembelajaran serta evaluasi hasil belajar.Pembahasan beberapa hal tersebut mengacu pada Kurikulum 2013, bahwasanya kurikulum 2013 menekankan pada usaha yang terpadu antararekonstruksi kompetensi lulusan, kesesuaian dan kecukupan serta keluasan dan kedalaman materi, revolusi pembelajaran, dan reformasi penilaian.(KemendikbudImplementasi Kurikulum 2013). Sedangkan inti kurikulum itu sendiri pada pasal 38 Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 dinyatakan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa munculnya kurikulum 2013 merupakan perubahan mind set terhadap kurikulum terutama pada perubahan kultur sekolah, sebagai pelaksana kurikulum, lebih-lebih sebagai agen pembelajaran. Sehingga sekolah dituntut untuk bisa menciptakan anak bangsa yang mempunyai kecerdasan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang memadai agar bermakna bagi dirinya,bangsanya serta dunia dan peradabannya. Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum 2013, yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi, dan warga Negara yang berilmu, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. a.
Struktur Kurikulum Struktur kurikulum merupakan salah satu indikator komponen kurikulum yang mencakup kompetensi inti, kompetensi dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran dan beban belajar. Komponen kurikulum juga memuat
58
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
indikator lain, meliputi kerangka dasar, silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penjabaran struktur kurikulum pada setiap jenjang pendidikan mengacu pada ketentuan sebagai berikut: Sekolah Dasar (SD): 9 Secara holistik berbasis sains (alam, sosial dan budaya). 9 Jumlah mata pelajaran dari 10 menjadi 6. 9 Jumlah jam bertambah 4 jam pelajaran per minggu, akibat perubahan pendekatanpembelajaran. Sekolah Menengah Pertama (SMP): 9 TIK menjadi media semua mata pelajaran. 9 Pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler. 9 Jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10. 9 Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran sebagai dampak dari perubahan pendekatan pembelajaran. Sekolah Menengah Atas (SMA): 9 Perubahan sistem, yaitu adanya mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan sesuai bakat dan minatnya. 9 Terjadi pengurangan mata pelajaran. 9 Jumlah jam bertambah 1 jam pelajaran per minggu sebagai akibat pendekatan pembelajaran. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): 9 Adanya penyesuaian jenis keahlian berdasarkan spektrum kebutuhan terkini. 9 Pengurangan adaptif dan normatif,ada penambahan produktif. 9 Produktif disesuaikan dengan trend perkembangan terkini. 59
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Adapun penjabaran struktur kurikulum untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan Permendikbud adalah sebagai berikut: SD/MI: No. Komponen
I
II
III
IV
V
VI
1 . Pendidikan Agama
4!
4!
4!
4!
4!
4!
2 . PPKn
5!
6!
6!
5!
5!
5!
3. Bahasa Indonesia
8!
8!
10!
7!
7!
7!
4. Matematika
5
6
6
6
6
5
IPA
-
-
-
3!
3!
3!
IPS
-
-
-
3!
3!
3!
4!
4!
4!
4!
4!
4!
6. Pend.Jasmani,Or.&Kes. 4!
4!
4!
4!
4!
4!
32!
34!
36!
36! 36!
5. Sn Budaya & Prakarya
30!
Fenomena alam, sosial dan budaya sebagai obyek pembelajaran.Oleh karena itu secara substantif tetap diajarkan, meskipun tidak ada mata pelajaran IPA dan IPS untuk kelas I, II dan III.Tetapi diintegrasikan ke mata pelajaran lainnya.Sedangkan mata pelajaran Seni budaya dan Prakarya, PJOK serta bahasa Daerah bisa dimasukkan dalam muatan lokal. SMP/MTs : No.Komponen
VII
VIII
IX
1. Pendidikan Agama
3!
3!
3!
2. Pend.Pancasila dan Kewarg.
3!
3!
3!
3. Bahasa Indonesia
6!
6!
6!
4. Matematika
5!
5!
5!
5. I P A
5!
5!
5!
6. I P S
4!
4!
4!
60
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
7. Bahasa Inggris
4!
4!
4!
8. Seni Budaya (Mulok)
3!
3!
3!
9. P J O K (Mulok)
3!
3!
3!
10. Prakarya (Mulok)
2!
2!
2!
38
38
38
Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah. SMA/MA/SMK/MAK : Kelompok A (Wajib):
X
XI
XII
1. Pendidikan Agama
3!
3!
3!
2. Pend. Pancasila dan Kewarg.
2!
2!
2!
3. Bahasa Indonesia
4!
4!
4!
4. Matematika
4!
4!
4!
5. Sejarah Indonesia
2!
2!
2!
6. Bahasa Inggris
2!
2!
2!
7. Seni Budaya
2!
2!
2!
8. P J O K
3!
3!
3!
9. Prakarya dan Kewirausahaan
2!
2!
2!
Jumlah jam pelajaran kel.A dan B
24!
24!
24!
Kelompok C (Peminatan):
X
XI
XII
Mata pelajaran akademik (SMA)
18!
20!
20!
Mata pelajaran peminatan
24!
24!
24!
Jumlah jam pelajaran per minggu (SMA)
42!
44!
44!
Jumlah jam pelajaran per minggu (SMK)
48!
48!
48!
Kelompok B (Wajib):
akademik dan Vokasi (SMK)
61
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Sedangkan Struktur Kurikulum Peminatan SMA/MA adalah sebagai berikut: Mata Pelajaran
Kelas
Kelompok A dan B (wajib)
X
XI
XII
24!
24!
24!
Kelompok C (peminatan): I.
Peminatan Matematika dan Ilmu Alam
1. Matematika
3!
4!
4!
2. Biologi
3!
4!
4!
3. Fisika
3!
4!
4!
4. Kimia
3!
4!
4!
1. Geografi
3!
4!
4!
2. Sejarah
3!
4!
4!
3. Sosiologi dan Anthropologi
3!
4!
4!
4. Ekonomi
3!
4!
4!
II. Peminatan Ilmu Sosial
III. Peminatan Ilmu Bahasa Dan Budaya 1. Bahasa dan Sastra Indonesia
3!
4!
4!
2. Bahasa dan Sastra Inggris
3!
4!
4!
3. Bahasa dan Sastra asing lainnya 3!
4!
4!
4. Antropologi
3!
4!
4!
6!
4!
4!
68!
72!
72!
42!
44!
44!
Mata Pelajaran Pilihan: Pilihan lintas kelompok atau pendalaman minat Jumlah jam pelajaran yang tersedia per minggu Jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh per minggu 62
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
(Sumber: Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013Kemendikbud). b.
Pengelolaan Pelaksanaan Kurikulum Kegiatan pengelolaan pelaksanaan kurikulum di sekolah meliputi 1)pembagian tugas guru dan penyusunan jadwal pelajaran, 2)proses pembelajaran,3)penyusunan silabus dan RPP. 1) Pembagian Tugas Gurudan penyusunan jadwal pelajaran. Kegiatan yang berkaitan dengan tugas mengajar diadakan pada saat akan dimulainya semester baru, biasanya melalui agenda rapat dewan guru. Tentu sajapembagian tugas guru ini mengacu pada jadwal pelajaran yang telah tersusun. Sehingga guru memperoleh beban mengajar sesuai dengan keahliannya. Kepala sekolah sebagai penanggungjawab utama dalam pembagian tugas guru, biasanya dibantu oleh beberapa guru yang bertindak sebagai koordinator pelaksana, yaitu: a) Waka Kurikulum, bertugas mengatur dan mengkoordinasikan semua kegiatan pembelajaran di sekolah secara keseluruhan, dan membantu kepala sekolah dalam merencanakan dan menyusun jadwal pelajaran. b) Waka Kesiswaan,bertugas membina kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan tambahan diluar akademik. c) Guru Koordinator Jurusan, yaitu mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran di jurusan. d) Guru Bimbingan dan Konseling, bertugas membina aktifitas bimbingan dan konseling. 63
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
e) Guru Wali, bertugas mengelola kelas yang menjadi beban tugasnya. f) Guru Piket, yaitu guru yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan atau kontrol pelaksanaan pembelajaran sehari-hari sesuai dengan jadwal piketnya. g) Guru Bidang Studi,yaitu yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pembelajaran sesuai bidang studi masing-masing. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembagian tugas guru adalah aspek perimbangan bobot tugas yang diemban masing-masing guru dan perbedaan hak dan wewenang sesuai dengan pangkat guru, apabila diberlakukan sistem kredit dalam kenaikan pangkatnya. Adapun jadwal pelajaran di sekolah disusun berdasarkan struktur kurikulum untuk tiap jenjang dan dan jenis sekolah yang berisi macam program, bidang studi dan alokasi waktu untuk tiap-tiap periode penyampaiannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun jadwal pelajaran adalah sebagai berikut: a) Penyusunan jadwal pelajaran mengacu pada kurikulum yang sedang berlaku, terutama mengenai jumlah mata pelajaran dan alokasi waktu pelajaran atau bobot jam pelajaran. b) Program penyampaian menggunakan sistem semester yang berkisar rata-rata 120 hari efektif. c) Materi belajar yang sifatnya wajib hendaknya dijadwalkan pada hari Senin sampai Jum’at, sedangkan pada hari Sabtu untuk materi pilihan atau yang bersifat rekreatif.
64
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
d) Susunan mata pelajaran tidak berurutan terusmenerus agar tidak menimbulkan kejenuhan, sehingga perlu diselingi mata pelajaran lain. e) Mata pelajaran yang membutuhkan pemikiran tingkat tinggi dijadwalkan pada jam-jam awal, sedangkan jam-jam akhir untuk pelajaran yang bersifat praktis atau kerja fisik. f) Waktu istirahat harus disediakan secukupnya. g) Perlu dikondisikan ketenangan belajar di masingmasing kelas,sehingga pemasangan mata pelajaran dibuat sedemikian rupa agar tidak menganggu pembelajaran di kelas yang lain. h) Jadwal pelajaran harus disesuaikan dengan keahlian guru pengampu,setidaknya yang paling mendekati potensi guru dengan pembagian beban mengajar yang merata. 2) Proses Pembelajaran Proses pembelajaran merupakan aktifitas peserta didik dan guru dalam rangka meningkatkan potensi peserta didik,agar menjadi pribadi yang mampu berpikir dan bertindak yang berorientasi pada kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan.Adapun prinsip proses pembelajaran adalah a).memberdayakan semua potensi peserta didik untuk meningkatkan pemahamannya tentang materi yang dipelajarinya,sehingga akan nampak kemampuannya dalam berpikir logis, kritis dan kreatif; 2).belajar melalui perbuatan dengan cara mengembangkan kreatifitas peserta didik, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai dan menyediakan pengalaman belajar yang beragam. (AL.Hartani,2011:81). Dan proses pembelajaran akan 65
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
lebih sempurna apabila digunakan berbagai macam metode yang bisa merespons semua indera sesuai dengan sifat materi yang dipelajari. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran yang disesuaikan dengan kekinian adalah sebagai berikut: a) Standar proses pembelajaran dahulu berfokus pada eksplorasi,elaborasi dan konfirmasi; sekarang dilengkapi dengan mengamati, menanya,mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta. b) Belajar tidak hanya di dalam kelas,tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat. c) Sumber belajar tidak hanya guru, namun mencakup semua aspek yang sangat luas. d) Mengedepankan kompetensi sikap melalui contoh dan teladan,dan tidak diajarkan secara verbal. e) Guru perlu memperhatikan perkembangan psikologi anak, lingkup dan kedalaman materi, kesinambungan dan lingkungan. Sedangkan proses pembelajaran yang mengacu pada kurikulum 2013 memiliki karakteristik berikut ini; a). Berorientasi pada 3 (tiga) kompetensi, yaitu: 1) Sikap (menerima, menjalankan, menghargai, menghayati dan mengamalkan). 2) Keterampilan (mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji dan mencipta).
66
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
3) Pengetahuan (mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta). b). Menggunakan pendekatan saintifik, karakteristik kompetensi sesuai jenjang pendidikan: SD
: tematik terpadu.
SMP : tematik terpadu, IPA-IPS dan Mapel. SMA : tematik dan mapel. c). MengutamakanDiscovery learning dan Project Based learning. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk ketiga ranah atau kompetensi dirumuskan sebagai berikut: Sikap, yaitu pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri,dan bertanggungjawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar serta dunia dan peradabannya. Keterampilan, yaitu pribadi yang berkemampuan pikir dan tindakan yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkrit. Pengetahuan, yaitu pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban. 3). Penyusunan Silabus Dan RPP Silabus merupakan rencana pembelajaran pada mata pelajaran atau tema tertentu yang meliputi kompetensi inti, kompetensi dasar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar. Dalam penyusunannya mengacu pada pedoman pengembangan silabus yang dirumuskan oleh 67
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Pemerintah, dalam hal ini Dikdasmen-Kemendikbud yang bertugas mempelajari kurikulum untuk diwujudkan dalam silabus, kemudian menyebarluaskan silabus ke daerah dan terakhir memantau silabus sekaligus penerapannya di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan di tingkat sekolah, berdasarkan silabus tersebut dibuat rambu-rambu pengembangan silabus sesuai kebutuhan sekolah oleh tim pengembang silabus sekolah. (Hartani, 2011:86). Tiap-tiap sekolah mempunyai rumusan silabus yang berbeda-beda tergantung dengan ciri khas masingmasing sekolah.Dalam penyusunannya pun tidak ada aturan mengenai isi maupun formatnya,sehingga sekolah dan guru bisa leluasa mengekspresikan pemikirannya dengan penuh tanggungjawab. Sekolah juga dapat mengundang beberapa aparat terkait diluar sekolah,seperti instansi pemerintah dan swasta, dewan pendidikan, pemerhati pendidikan dan lain-lain untuk ikut menuangkan aspirasinya dalam menyusun silabus. Adapun Rencana Program Pembelajaran (RPP) merupakan pedoman pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memuat komponen-komponen sebagai berikut: a) Identitas Sekolah yaitu nama satuan pendidikan. b) Identitas Mata pelajaran atau tema/sub tema. c) Kelas/Semester d) Materi Pokok e) Alokasi waktu f) Tujuan Pembelajaran g) Kompetensi Dasar dan indikator pencapaian kompetensi. 68
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
h) Materi pembelajaran i) Metode Pembelajaran j) Media Pembelajaran k) Sumber Belajar l) Langkah-langkah pembelajaran m) Penilaian hasil pembelajaran. RPP dibuat oleh masing-masing guru disesuaikan dengan mata pelajaran yang diampu dan sejumlah bidang studi yang menjadi beban tugasnya. Penyusunan RPP mengacu pada silabus yang telah disusun tim pengembang silabus tingkat sekolah. c.
Evaluasi Program Pembelajaran Dan Hasil Belajar Mengevaluasi program pembelajaran dan hasil belajar peserta didik merupakan bagian dari evaluasi pelaksanaan kurikulum.Sehingga bisa dijadikan sebagai dasar penentu kebijakan pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun sekolah untuk perbaikan dan penyempurnaan hasil yang lebih maksimal. Secara operasional yang menjadi basis pelaksanaan kurikulum di sekolah adalahproses pembelajaran yang dilaksanakan guru di kelas. Oleh karenanya, bentuk evaluasi program pembelajaran pada hakekatnya adalah evaluasi terhadap proses kinerja guru. Evaluasi program pembelajaran terdiri dari 2 (dua) hal, evaluasi perencanaan program pembelajaran dan evaluasi pelaksanaan program pembelajaran. Tahap-tahap yang harus diikuti dalam evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:1)mengidentifikasi aspek-aspek yang dievaluasi, 2)menentukan indikator, 3)menetapkan kriteria keberhasilan, 4)merumuskan skor, 5)menentukan hasil skor dan interpretasinya,dan 6)rekomendasi dan follow upnya. 69
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Supervisor evaluasi program pembelajaran bisa Kepala Sekolah, Pemilik Sekolahmaupun Pengawas Sekolah atau pun kolega (teman sesama guru). Hal yang urgen dalam evaluasi program pembelajaran,disamping untuk mengetahui seberapa jauh upaya pelaksanaan kurikulum di sekolah,juga adanya kepentingan untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam mengampu mata pelajaran yang menjadi beban tugasnya. Sedangkan evaluasi hasil belajar pada hakekatnya juga merupakan salah satu bentuk evaluasi kurikulum yang secara langsung mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Jadi obyek yang dikenai evaluasi hasil belajar adalah peserta didik. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir setiap program pembelajaran yaitu kompetensi tertentu yang harus dimiliki peserta didik seperti rumusan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Evaluasi hasil belajar juga dapat digunakan untuk: 1) memberikan feedback atau umpan balik kepada guru, 2) menetapkan kemajuan belajar peserta didik, 3) membantu penempatan peserta didik (misalnya untuk penjurusan) dan 4)membantu program bimbingan dan konseling untuk kepentingan pembinaan peserta didik. Mengacu elemen penilaian hasil belajar pada kurikulum 2013 diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Penilaian berbasis kompetensi. 2) Menggunakan authentic assessment,yaitu mengukur semua kompetensi sikap,keterampilan dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil. 3) Memperkuat Penilaian Acuan Patokan (PAP), yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal).
70
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
4) Penilaian tidak hanya pada level Kompetensi Dasar (KD), tetapi juga kompetensi inti dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). 5) Mendorong pemanfaatan portopolioyang dibuat peserta didik sebagai instrumen utama penilaian. 6) Rapor memuat penilaian kuantitatif tentang pengetahuan dan deskripsi kualitatif tentang sikap dan keterampilan. 3.
Manajemen Personalia Istilah Manajemen Personalia dimaknai sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara bagaimana memberikan fasilitas untuk perkembangan pegawai dan rasa partisipasi pegawai dalam suatu unit kegiatan. Sedangkan Manajemen Personalia yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah manajemen pendidik dan tenaga kependidikan sebagai penyelenggara program pendidikan di sekolah. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan tehnis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitan dan pengabdian kepada masyarakat,terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sebutan pendidik meliputi guru, dosen, tutor, widyaiswara, instruktur,fasilitator, konselor dan lain-lain. Sedangkan tenaga kependidikan meliputi kelompok manajer lembaga pendidikan seperti kepala sekolah,ketua, direktur, dan rektor; kelompok tenaga fungsional pendidikan seperti penilik, pengawas, peneliti dan pustakawan; kelompok tenaga tehnis 71
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pendidikan seperti staf ketatausahaan pendidikan, tehnisi sumber belajar dan tehnisi laboratorium pendidikan. Sebutan guru merupakan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Sesuai dengan pernyataan di dalam Undang-Undang No.14 tahun 2005 pasal 1 bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasipeserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Secara khusus guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional yang berfungsi meningkatkan martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Selanjutnya kedudukan tersebut bertujuan melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlakmulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.(pasal 6). Telah disinggung di atas bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus, sehingga dalam pelaksanaannya harus memenuhi prinsip-prinsip profesionalitas sebagai berikut: a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan,dan akhlak mulia. c. Memiliki kualitas akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
72
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
e. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Disamping itu, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru harus memenuhi kewajiban-kewajiban berikut: a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika. e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. (UU No.14 Th.2005pasal 20). Adapun kompetensi yang wajib dimiliki guru meliputi pertama kompetensi pedagogik; kedua kompetensi kepribadian; 73
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
ketiga kompetensi sosial dan keempat kompetensi profesional. Maksud kepemilikan kompetensi-kompetensi tersebut adalahbahwa guru harus mampu mengelola pembelajaran peserta didik; mempunyai pribadi yang mantap, berakhlak mulia,arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Selanjutnya guru harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar juga guru harus menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Sedangkan istilah profesional itu sendiri berarti suatu pekerjaan atau aktifitas yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional, sehingga memperoleh sertifikat pendidik sebagai bukti formalnya. Tentu saja sertifikat pendidik yang dimaksud diberikan kepada guru apabila telah memenuhi persyaratan yang berlaku.Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru. Ruang Lingkup Manajemen Personalia Pendidikan Pada dasarnya proses memenej personel khususnya di sekolah meliputi tahap-tahap: Pengadaan (perekrutan), penempatan (penugasan), pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan, pemutusan hubungan kerja dan pensiun. 74
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
a.
Tahap Pengadaan (Perekrutan) Proses aktifitas pengadaan personel atau perekrutan dilakukan karena adanya formasi yang harus diisi. Formasi adalah susunan pegawai sesuai dengan jumlah dan pangkat yang diperlukan untuk mampu melaksanakan tugas di suatu lembaga.Adanya formasi bisa dikarenakan adanya tuntutan kebutuhan lembaga akibat bertambahnya beban tugas dan atau terjadi mutasi personel. Kegiatan pengadaan personel baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan yang lain biasanya dimulai dari pengumuman kebutuhan, menyeleksi sampai pada pengangkatannya. Hal ini sesuai dengan pasal 41 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengangkatan, penempatan dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal. Bagi sekolah swasta aktifitas perekrutan ini dilakukan secara mandiri.Berbeda dengan sekolah negeri, biasanya personelnya merupakan jatah dari daerah atau pusat, sehingga sekolah tinggal memenej saja. b.
Tahap Penempatan (Penugasan) Prinsip dasar penempatan (penugasan) adalah kesesuaian tugas dengan kemampuan yang dimiliki personel (the right man in the right place).Dalam tahap ini dibutuhkan kecermatan dalam menempatkan dan menugaskan personel sesuai dengan latar belakang pendidikan, kemampuan, pengalaman dan kesanggupannya. c.
Tahap Pemeliharaan Personel Dalam tahap pemeliharaan personel sekolah ini memuat tentang kewajiban dan hak personel yang mengacu pada UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 40 (ayat 1 dan 2), dinyatakan bahwa: 75
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
1). Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. b) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan. c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. 2). Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja. c) pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas. d) perlindunganhukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual. e) kesempatan untuk menggunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka tenaga pendidik dan kependidikan harus memenuhi tuntutan kewajiban dan sekaligus memperoleh haknya. Adapun yang dimaksud dengan penghasilan yang pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat tenaga profesional di atas Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dimaknai sebagai pendapatan yang cukup memenuhi kebutuhan hidup personel dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
76
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
Di samping itu, secara umum tenaga kependidikan yang berstatus PNS juga memperoleh hak cuti, seperti cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting dan cuti di luar tanggungan Negara. d.
Tahap Pembinaan (Pengembangan) Personel Maksud pembinaan atau pengembangan personel yaitu usaha-usaha yang dilakukan untuk memajukan dan meningkatkan mutu serta efisiensi kerja semua tenaga personalia yang berada di lingkungan lembaga baik pendidik maupun tenaga kependidikan yang lain. Pembinaan dan pengembangan personel menurut UU Sisdiknas no.20 tahun 2003 pasal 43 ditegaskan bahwa promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dalam pasal 44 dijelaskan bahwa pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah dan penyelenggara pendidikan serta masyarakat. Promosi dimaknai sebagai kenaikan pangkat yang merupakan salah satu jenis usaha peningkatan dan pembinaan personel, meliputi sistem karier dan sistem prestasi kerja. Sistem karir merupakan sistem kepegawaian, dimana untuk pengangkatan pertamanya berdasarkan atas kecakapan yang bersangkutan, tetapi untuk pengembanganselanjutnya dengan memperhitungkan masa kerja, pengalaman, kesetiaan, pengabdian dan syarat-syarat yang lain. Sedangkan sistem prestasi kerja adalah suatu sistem pengangkatan kepegawaian berdasarkan atas kecakapan dan prestasi kerja yang dibuktikan secara nyata. Bentuk pembinaan dan pengembangan personalia yang lain adalah kenaikan pangkat. Ada berbagai macam jenis 77
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
kenaikan pangkat, yaitu kenaikan pangkat regular, istimewa, pilihan, pengabdian, anumerta, dalam tugas belajar, menjadi pejabat Negara, dalam penugasan di luar lembaga, dalam wajib militer, dan penyesuaian ijazah. Pembinaan dan pengembangan khusus tenaga pendidik (guru) termaktub dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 32. Didalam pasal tersebut ditegaskan bahwa pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.Untuk pembinaan dan pengembangan profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang dilakukan melalui jabatan fungsional. Sedangkan pembinaan dan pengembangan karier guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat dan promosi.Ada pembinaan dan pengembangan guru dalam bentuk penghargaan. Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa dan atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan. Demikian pula guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah dan /atau masyarakat. Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan, tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat propinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam maupun bentuk yang lain. e.
Tahap Pemutusan Hubungan Kerja Maksud pemutusan hubungan kerja adalah pemberhentian seorang pegawai, sehingga yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai pegawai. Seorang pegawai (PNS) diberhentikan karena alasan-alasan sebagai berikut:
78
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
1) mencapai batas usia tahun pensiun. Dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun untuk pendidik (guru) dan 58 (lima puluh delapan) untuk tenaga kependidikan yang lain. 2) Pemberhentian atas permintaan sendiri (pensiun dini). 3) Pemberhentian karena melakukan penyelewengan atau pelanggaran. 4) Pemberhentian karena penyederhanaan organisasi. 5) Pemberhentian tidak sehat jasmani dan rohani, sehingga tidak dapat menjalankan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan atau. 6) Pemberhentian karena tidak melaksanakan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus. 7) Pemberhentian karena meninggal dunia. 8) Pemberhentian karena sebab-sebab lain. Penilaian personalia (PNS) mengacu pada PP No.46 Tahun 2011 tentang Penilaian Kinerja PNS dan PERBA BKN No.1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Penilaian Prestasi Kerja PNS yang diberlakukan mulai 1 Januari 2014. Aspek yang dinilai terdiri dari: a. Sasaran Kerja Pegawai (SKP) adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang pegawai yang dibuat diawal tahun (kontrak kerja antara bawahan dan pimpinan). Bobot nilainya sebesar 60%. Target yang dinilai meliputi: 1) kuantitas/output 2) kualitas/mutu kerja 3) waktu 4) biaya(apabila diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan)
79
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
b. Perilaku Kerja Pegawai (PKP) adalah setiap tingkah laku, sikap, tindakan yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan pegawai sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Bobot nilai sebesar 40%. Target yang dinilai meliputi: 1) orientasi pelayanan 2) integritas 3) komitmen 4) disiplin 5) kerja sama 6) kepemimpinan (bagi pejabat struktural). Sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja pegawai dibuat berdasarkan karakteristik, sifat dan jenis kegiatan pada masing-masing unit kerja. Adapun rincian kegiatan yang dapat dinilai dalam Sasaran Kerja Pegawai adalah sebagai berikut: 1) Rincian/uraian tugas jabatan sehari-hari yang dapat diukur, relevan, jelas, memiliki target waktu dan dapat dicapai. 2) Tugas Tambahan, yaitu tugas yang diberikan pimpinanatau pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas jabatandan dibuktikan melalui surat keterangan. 3) Menunjukkan kreatifitas yang bermanfaat bagi organisasi dalam melaksanakan tugas jabatan dan dibuktikan dengan surat keterangan. Sedangkan penilaian untuk perilaku kerja pegawai berdasarkan pada pengamatan antara pejabat penilai terhadap pegawai yang dinilai. Ada 3 (tiga) macam blangko yang harus dibuat dalam proses penilaian prestasi kinerja pegawai: 80
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
1) SKP (Sasaran Kerja Pegawai), yaitu kontrak kerja diawal tahun. 2) PSK (Penilaian Sasaran Kerja), yaitu penilaian realisasi diakhir tahun. 3) PPK (Penilaian Prestasi Kerja), yaitu raport hasil prestasi kerja. 4) Rumus perhitungan dalam penilaian SKP adalah sebagai berikut: a) Penghitungan aspek output/Kuantitas : RO/TO x 100 b) Penghitungan aspek Mutu/Kualitas : RK/TK x 100 c) Penghitungan aspek Waktu : 100% - (RW/TW x 100%) d) Penghitungan aspek Biaya : 100% - (RB/TB x 100%) Keterangan: RO : Realisasi Output ; TO : Target Output RK : Realisasi Kualitas; TK : Target Kualitas RW: Realisasi Waktu; TW: Target Waktu RB : Realisasi Biaya; TB: Target Biaya Nilai Prestasi Pegawai dinyatakan dengan angka dan sebutan sebagai berikut: No.
Angka
Sebutan
1).
91 – keatas
Sangat Baik
2).
76 – 90
Baik
3).
61 – 75
Cukup
4).
51 – 60
Kurang
5).
50 kebawah
Buruk
(Sumber: PP No.46 Th.2011 tentang PPK PNS).
81
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
4.
Manajemen Sarana Dan Prasarana a. Konsep Manajemen Sarana dan Prasarana 1. Pengertian Manajemen Sarana dan Prasarana Pada dasarnya manajemen sarana dan prasarana pendidikan terdiri dari dua unsur, yaitu sarana dan prasarana. Menurut Mulyasa, sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran, seperti papan tulis, spidol, penghapus, alat tulis, buku, dan media pengajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya suatu proses pendidikan atau pengajaran di suatu lembaga pendidikan, seperti gedung, ruang kelas, halaman, kebun sekolah, jalan menuju sekolah, dan sebagainya. Namun, apabila prasarana tersebut digunakan secara langsung untuk kegiatan pembelajaran, misalnya kebun sekolah digunakan untuk kegiatan belajar biologi maka kebun sekolah menjadi sarana pendidikan. (Baharudin dkk, 2010: 84) Manajemen sarana dan prasarana merupakan suatu kegiatan untuk mengatur dan mengelola sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, manajemen sarana dan prasarana adalah proses kerjasama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah secara efektif dan efisien. Tugas manajemen sarana dan prasarana yaitu mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti dalam proses pendidikan.
82
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
2.
Tujuan Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Pada dasarnya manajemen sarana dan prasarana pendidikan memiliki tujuan sebagai berikut: a) Menciptakan sekolah atau madrasah yang bersih, rapi, indah, sehingga menyenangkan bagi warga sekolah atau madrasah. b) Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai baik secara kualitas maupu kuantitas dan relevan dengan kepentingan dan kebutuhan pendidikan.
Secara lebih rinci Tim Pakar Manajemen Universitas Negeri Malang mengidentifikasi beberapa hal mengenai tujuan sarana dan prasarana pendidikan yaitu: a) Untuk mengupayakan pengadaaan sarana dan prasarana pendidikan melalui sistem perencanaan dan pengadaan secara hati-hati dan saksama, sehingga sekolah atau madrasah memiliki sarana dan prasarana yang baik sesuai dengan kebutuhan dana yang efisien. b) Untuk mengupayakan pemakaian sarana dan prasarana sekolah itu harus secara tepat dan efisien. c) Untuk mengupayakan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan secara teliti dan tepat, sehingga keberadaan sarana dan prasarana tersebut akan selalu dalam keadaaan siap pakai ketika akan digunakan atau diperlukan. (Tim,2010:85) Jadi, tujuan manajemen sarana dan prasarana pendidikan yaitu agar dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
83
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
3.
Prinsip-Prinsip Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Menurut Hunt Pierce sebagaimana dikutip Barnawi dkk.(2012:82) bahwa prinsip dasar dalam manajemen sarana dan prasarana di sekolah sebagai berikut: 1. Lahan bangunan dan perlengkapan perabot sekolah harus menggambarkan cita dan citra masyarakat seperti halnya yang dinyatakan dalam filsafat dan tujuan pendidikan. 2. Perencanaan lahan bangunan, dan perlengkapanperlengkapan perabot sekolah hendaknya merupakan pancaran keinginan bersama dan dengan pertimbangan suatu tim ahli yang cukup cakap yang ada di masyarakat. 3. Lahan bangunan dan perlengkapan-perlengkapan perabot sekolah hendaknya disesuaikan dan memadai bagi kepentingan peserta didik, demi terbentuknya karakter mereka dan dapat melayani serta menjamin mereka diwaktu belajar, bekerja, dan bermain sesuai dengan bakat. 4. Lahan bangunan dan perlengkapan-perlengkapan perabot sekolah serta alat-alatnya hendaknya disesuaikan dengan kepentingan pendidikan yang bersumber dari kepentingan serta kegunaan atau manfaat bagi peserta didik dan guru. 5. Sebagai penanggung jawab harus membantu program sekolah secara efektif, melatih para petugas serta memilih alatnya dan cara menggunakannya agar mereka dapat menyesuaikan diri serta melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan fungsi dan profesinya.
84
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
6. Seorang penanggung jawab sekolah harus mempunyai kecakapan untuk mengenal, baik kualitatif maupun kuantitatif serta menggunakan dengan tepat fungsi bangunan dan perlengkapannya. 7. Sebagai penanggung jawab harus mampu memelihara dan menggunakan bangunan dan tanah sekitarnya sehingga ia dapat membantu terwujudnya kesehatan, keamanan, kebahagiaan serta kemajuan sekolah dan masyarakat. 8. Sebagai penanggung jawab, sekolah bukan hanya mengetahui kekayaan sekolah yang dipercayakan kepadanya, melainkan harus memperhatikan seluruh alat-alat pendidikan yang dibutuhkan oleh peserta didiknya. b. Proses Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Manajemen sarana dan prasarana pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan pengadaaan barang, pembagian dan penggunaan barang, perbaikan barang, dan tukar tambah maupun penghapusan barang. (Mulyono, 2010:157) Proses yang dilakukan dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan memiliki beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: 1) Perencanaan sarana dan prasarana pendidikan Perencanaan sarana atau alat pelajaran tidak semudah perencanaan prasarana (meja kursi) yang hanya mempertimbangkan selera dan dana yang tersedia. Untuk proses pengadaan sarana harus mempertimbangkan lebih banyak dan semuanya bersifat edukatif. Adapun tahap-tahap perencaaan sarana (alat pelajaran) sebagai berikut: 85
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
a. Mengadakan analisis tentang mata pelajaran apa saja yang membutuhkan sarana dalam penyampaian pembelajarannya. Hal ini dilakukan oleh para guru bidang studi. b. Apabila kebutuhan sarana yang diajukan para guru melampaui kemampuan daya beli sekolah, maka diadakan seleksi yang berdasarkan pada prioritas terhadap alat-alat yang mendesak pengadaannya. c. Mengadakan inventarisasi terhadap alat atau media yang telah ada. Alat yang sudah ada ini perlu ditinjau lagi, dan mengadakan re-inventarisasi. d. Mengadakan seleksi terhadap alat pelajaran/media yang masih dapat dimanfaatkan, baik dengan reparasi atau modifikasi maupun tidak. e. Mencari dana apabila masih kekurangan dana dalam pengadaaan sarana pendidikan. f. Menunjuk seseorang dalam melaksanakan pengadaan sarana dan prasarana. Penunjukkan ini sebaiknya berdasarkan pada keahlian, kelincahan berkomunikasi, kejujuran, dan sebagainya. 2) Pengadaan Sarana dan Prasarana Pengadaan sarana pendidikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh sarana pendidikan yang dibutuhkan untuk kelancaran proses pendidikan dan pengajaran. Pengadaan sarana pendidikan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Pembelian artinya sarana pendidikan tersebut harus dibeli sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Membuat sendiri yaitu sarana pendidikan dapat dibuat sendiri oleh sekolah.
86
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
c. Menerima hibah atau bantuan atau sumbangan dari pihak lain, dan menyewa atau meminjam artinya sarana pendidikan yang diperlukan disewa atau dipinjam dari pihak lain dalam jangka waktu tertentu. d. Guna susun artinya suatu pengadaan barang dengan menggunakan barang-barang yang sudah tidak bisadipakai kemudian disusun kembali sehingga menjadi sarana pendidikan atau daur ulang. 3) Pemeliharaan dan Penyimpanan Sarana dan Prasarana Kegiatan setelah proses pengadaan adalah pencatatan, penyimpanan, dan pemeliharaan sarana pendidikan. Pencatatan atau yang lebih dikenal dengan inventarisasi harus dilaksanakan secara terperinci. Tujuan dari inventarisasi adalah sebagai berikut: a. Tertib administrasi dan tertib sarana pendidikan b. Pendaftaran, pengendalian dan pengawasan setiap sarana c. Usaha untuk memanfaatkan penggunaan setiap sarana d. Menunjang proses pembelajaran 4) Penggunaan Sarana dan Prasarana Sarana pendidikan yang disediakan dimaksudkan untuk memperlancar proses pembelajaran. Sarana pendidikan ditinjau dari fungsinya dapat digolongkan menjadi: a) Sarana pendidikan yang langsung digunakan dalam proses pembelajaran, seperti alat pelajaran, alat peraga, dan media pendidikan. 87
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
b) Sarana pendidikan yang tidak langsung terlibat dalam proses pendidikan (pra sarana) seperti gedung, perabot kantor, kamar mandi dan sebagainya. Pengaturan penggunaan sarana pendidikan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a) Banyaknya sarana pendidikan untuk tiap-tiap jenisnya. b) Banyaknya kelas masing-masing level. c) Banyaknya peserta didik dalam tiap-tiap kelas. d) Banyaknya ruang atau kelas yang ada di sekolah. e) Banyaknya guru atau karyawan yang terlibat dalam penggunaan sarana pendidikan. Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas penggunaan sarana pendidikan dapat diatur sebagai berikut: a) Sarana pendidikan untuk kelas tertentu. Maksudnya suatu alat yang hanya digunakan untuk kelas tertentu sesuai dengan materi kurikulum, jika banyaknya alat untuk mencukupi banyaknya kelas, maka sebaiknya alat-alat disimpan di kelas agar mempermudah penggunaan. b) Sarana pendidikan untuk beberapa kelas. Apabila jumlah alat yang tersedia terbatas, padahal yang membutuhkan lebih dari satu kelas, maka alatalat tersebut terpaksa digunakan bersama secara bergantian atau dibuat jadwal penggunaan. c) Sarana pendidikan untuk semua kelas. Penggunaan alat untuk semua kelas dapat dilakukan dengan membawa ke kelas yang membutuhkan 88
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
secara bergantian atau siswa yang akan menggunakan mendatangi ruangan tertentu. d) Sarana pendidikan yang dapat digunakan oleh umum. Sarana pendidikan yang digunakan untuk beberapa kelas dan semua peserta didik, dan mereka yang akan membutuhkannya akan dibawa ke ruang atau kelas tersebut disebut kelas berjalan. 5) Penghapusan Sarana dan Prasarana Kerusakan kecil pada sarana pendidikan masih mungkin diperbaiki tetapi apabila kerusakan besar diperbaiki sudah tidak ekonomis, efektif dan efisien, sarana tersebut sebaiknya dihapuskan. Penghapusan sarana dari daftar inventaris berfungsi sebagai berikut: a) Mencegah atau mengurangi kerugian yang lebih besar. b) Mengurangi pemborosan biaya. c) Meringankan beban kerja inventarisasi. d) Membebaskan tanggung jawab satuan organisasi terhadap suatu barang atau sarana pendidikan. Beberapa pertimbangan yang dapat dipakai sebagai alasan penghapusan sarana pendidikan adalah sebagai berikut: a) Dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat dipergunakan atau diperbaiki lagi. b) Perbaikan memerlukan biaya yang besar sehingga tidak ekonomis. c) Kegunaan sarana pendidikan tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan dan perbaikannya.
89
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
d) Penyusutan sarana di luar kekuasaan pengurus sarana. e) Tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. f) Barang kelebihan, jika disimpan lebih lama akan rusak dan tidak terpakai lagi. g) Adanya penurunan efektifitas kerja. h) Barang atau sarana pendidikan sudah tidak ada, karena dicuri, terbakar atau hilang. Penghapusan barang atau sarana pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai macam antara lain: a) Penjualan, barang atau sarana pendidikan dijual. b) Tukar menukar barang, barang yang tidak dipakai ditukarkan dengan barang baru atau sarana baru. c) Dihibahkan, barang atau sarana pendidikan yang tidak dipakai dihibahkan kepada lembaga lain yang membutuhkan. d) Dibakar, barang yang tidak mungkin dijual atau dihibahkan bisa dibakar. Sebelum tahap penghapusan, sebenarnya ada tahap pengendalian, apabila dibutuhkan.Maksudnya sebelum dilakukan penghapusan barang atau sarana maupun prasarana pendidikan, maka dievaluasi terlebih dahulu atau dikendalikan.Hal tersebut bertujuan penghematan anggaran, yaitu barang yang sudah rusak kalau memungkinkan bisa diperbaiki, sehingga dapat digunakan kembali.Inilah yang disebut sebagai tahap pengendalian, dimana harus dilakukan penyortiran barang sebelum penghapusan. Pengawasan (supervisi) terhadap sarana dan prasarana pendidikan di sekolah menjadi tanggung jawab pemimpin pendidikan yaitu kepala sekolah 90
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
beserta waka sarana prasarana. Supervise bisa dilakukan setiap saat maupun secara periodik (berkala), sehingga manajemen sarana dan prasarana akan tertata dengan tertib, dan dapat difungsikan sebagai penunjang proses pembelajaran sebagaimana mestinya. 5.
Manajemen Pembiayaan Pendidikan Pembiayaan pendidikan merupakan unsur yang sangat penting bagi penyelenggaraan pendidikan. Sehingga proses pendidikan tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa ditopang biaya. Pendidikan dipandang sebagai sektor publikyang dapat melayani masyarakat dengan berbagai pembelajaran, bimbingan dan latihan yang dibutuhkan oleh peserta didik. Manajemen pembiayaan dalam lembaga pendidikan berbeda dengan manajemen pembiayaan perusahaan yang berorientasi profit atau laba. Organisasi pendidikan dikategorikan sebagai organisasi publik yang nirlaba (non profit).Oleh karena itu, manajemen pembiayaan memiliki keunikan sesuai dengan misi dan karakterisrik pendidikan. Penerapan peraturan dan sistem manajemen pembiayaan yang baku dalam lembaga pendidikan tidak dapat disangkal lagi. Permasalahan yang terjadi didalam lembaga terkait dengan manajemen pembiayaan pendidikan diantaranya sumber dana yang terbatas, pembiayaan program yang serampangan, tidak mendukung visi, misi dan kebijakan sebagaimana tertulis didalam rencana strategis lembaga pendidikan. Disatu sisi, lembaga pendidikan perlu dikelola dengan tata pamong yang baik (good governance), sehingga menjadikan lembaga pendidikan yang bersih dari berbagai malfungsi dan malpraktik pendidikan yang merugikan pendidikan. 91
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
a.
Pengertian manajemen pembiayaan pendidikan Pada dasarnya, manajemen pembiayaan pendidikan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan sumber, penggnaan dan pertanggungjawaban dana disuatu lembaga pendidikan. Adapun Badrudin dkk (2004:62) memberikan definisi administrasi pembiayaan adalah pengelolaan biaya yang berhubungan dengan pendidikan mulai dari tingkat perencanaan sampai pada pengukuran biaya yang efisien dalam proses pendidikan. Sedangkan Masyhud (2005:187) mengemukakan bahwa administrasi pembiayaan dalam arti luas, yaitu suatu kebijakan dalam pengadaan keuangan untuk mewujudkan kegiatan kerja yang berupa perencanaan, pengurusan dan pertanggungjawaban lembaga terhadap penyandang dana, baik individual maupun lembaga. Istilah administrasi pada kedua pengertian tersebut dalam hal ini dikonotasikan dengan manajemen atau pengelolaan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam manajemen pembiayaan pendidikan terdapat kegiatan yang meliputi perencanaan pembiayaaan pendidikan atau penyusunan anggaran, pelaksanaan pembiayaan pendidikan atau pembukuan dan pengawasan serta pertanggungjawaban. b.
Prinsip manajemen pembiayaan pendidikan Manajemen pembiayaan pendidikan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Sesuai dengan rencana anggaran 2. Terarah dan terkendali diselaraskan dengan rencana kegiatan 3. Transparan atau terbuka 92
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
4. Efisien dan efektif sesuai petunjuk dan tehnis(juknis). 5. Berusaha memanfaatkan produksi dalam negeri c.
Sumber-sumber pembiayaan pendidikan Dalam UUD 1945 pasal 31, ayat 1 dan 2 mengamanatkan bahwa :setiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran, pemerintah mengusahakan dan melaksanakan satu system pengajaran nasional.Jika perhatikan secara seksama dari pengertian diatas bahwa yang menjadi sumber biaya untuk terlaksananya pendidikan dan pengajaran bagi semua warga negaranya.Akan tetapi pada dewasa ini masih banyak orang yang belum merasakan kesempatan belajar. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, ditegaskan secara jelas bahwa pengadaaan dan pendayagunaan sumber-sumber daya pendidikan dilakukan oleh semua pihak termasuk didalamnya adalah pemerintah, masyarakat, serta keluarga peserta didik, untuk mempermudah dalam memberi kesempatan belajar bagi semua warga negaranya. Sedangkan Supriadi (2003:5) mengatakan bahwa sumber-sumber biaya pendidikan adalah sebagai berikut: 1) Dari Pemerintah Pusat dan Daerah Pada tingkat pusat (nasional) berasal dari a) sektor pajak; b) sektor pajak, seperti pemanfaatan sumber daya alam (gas atau non migas); c) keuntungan dari ekspor barang dan jasa; d) investasi saham pada perusahaan Negara (BUMN), dan e) bantuan dalam bentuk hibah (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) dari lembagalembaga keuangan internasional (Bank Dunia, ADB, IMF, IDB) maupun kerja sama multilateral atau bilateral.
93
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Sedangkan pada tingkat propinsi dan kabupaten/ kota (Daerah), pembiayaan pendidikan sebagian besar dari dana yang diturunkan pemerintah pusat ditambah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah (era desentralisasi) sekarang, tanggungjawab pengalikasian dana diserahkan sepenuhnya kepada daerah dalam bentuk paket yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam yang dikuasai Negara (misal hasil tambang) seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Irian Jaya), disamping pendapatan dari PADS dan DAU juga dari bagi kasil yang diturunkan pemerintah pusat ke Daerah (propinsi) kemudian diteruskan ke tingkat kabupaten/kota. Sehingga daerah-daerah tersebut sangat mungkin untuk mengalokasikan dana yang lebih besar untuk bidang pendidikan. 2) Pada level satuan pendidikan (sekolah), biaya pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat melalui pemerintah daerah yang disebut Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS diterima sekolah setiap 3 bulan sekali, dengan nominal yang bervariasi, disesuaikan dengan jumlah peserta didik di sekolah, semakin banyak jumlah peserta didik maka penerimaannya semakin besar. Namun tidak semua sekolah mau menerima BOS, karena konsekuensi penerima BOS tidak boleh menarik biaya pendidikan dari orang tua peserta didik. Hal ini sejalan dengan program pemerintah tentang wajib belajar 12 tahun. Artinya proses pendidikan dari jenjang pendidikan 94
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
dasar sampai menengah gratis. Pada sekolah-sekolah tertentu (misal sekolah unggulan) yang sudah terbiasa menghabiskan biaya operasional sekolah yang tinggi, maka lebih memilih menarik Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari orang tua peserta didik dari pada mengandalkan kontribusi pemerintah (BOS) yang jumlahnya relative kecil. Dalam realitasnya, banyak sekolah yang menerima BOS, tetapi masih memanfaatkan iuran keluarga peserta didik melalui musyawarah komite sekolah. Sumber pembiayaan yang lain adalah penerimaan sumbangan-sumbangan sukarela dari masyarakat, seperti lembaga swasta atau perusahaan, perorangan maupun keluarga. Sumbangan yang diberikan tidak hanya berupa finansial, tetapi juga tanah, tenaga, dan bahan bangunan untuk kepentingan mendirikan bangunan sekolah. d.
Kegiatan Dalam Manajemen Pembiayaan Pendidikan 1) Perencanaan Menyusun suatu perencanaan pembiayaan atau rencana anggaran perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama periode anggaran. b) Mengidentifikasikan sumber-sumber yang dinyatakan dalam uang, jasa, dan barang c) Semua sumber dinyatakan dalam bentuk uang sebab uang pada dasarnya merupakan pernyataan finansial
95
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
d) Memformulasikan anggaran dalam bentuk format yang telah disetujui dan dipergunakan oleh instansi tertentu e) Menyusun usulan anggaran untuk memperoleh persetujuan pihak yang berwenang f) Melakukan revisi usulan anggaran g) Persetujuan revisi anggaran h) Pengesahan anggaran Kegiatan perencanaan dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang mencerminkan power sekolah dalam membiayai program pendidikannya, dan kadang-kadang dijadikan gambaran status sosial ekonomi keluarga peserta didik.RAPBS terdiri dari rencana pendapatan dan rencana pengeluaran (belanja sekolah). Dalam rencana pendapatan, terdapat beberapa komponen sumber pembiayaan (sudah dipaparkan dimuka). Sedangkan dalam rencana pengeluaran terdiri dari komponen gaji guru/pegawai, dan non gaji yaitu pemeliharaan, pengadaan sarana penunjang seperti alat peraga, pelaksanaan proses pembelajaran dan program ekstrakurikuler. 2) Pelaksanaaan Pelaksanaan administrasi keuangan terdiri dari halhal sebagai berikut: a) Pengurusan Keuangan. Hal-hal yang berkenaan dengan pengurusan keuangan adalah: 1) SK Bendaharawan Sekolah 2) Bendaharawan bukan Guru atau Kepala Tata Usaha
96
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
3) Penunjukkan Bendaharawan memenuhi persyaratan 4) Pemeriksaan keuangan oleh Kepala Sekolah 5) Pemisahan antara bendaharawan: Rutin, BOS, SPP, Komite Sekolah b) Kelengkapan Tata Usaha keuangan sekolah, meliputi: 1) Daftar Gaji 2) Daftar lembur dan atau daftar honorarium 3) Buku kas tabelaris, buku kas dan buku kas pembantu 4) Tempat penyimpanan uang, kertas berharga dan tanda bukti pengeluaran 5) Brand kas c) Pencatatan Keuangan, Pencatatan keuangan terdiri dari: 1) Pengerjaan pembukuan kas umum/tabelaris sesuai dengan peraturan yang berlaku 2) Penerimaan SPMU otorisasi rutin, dibukukan pada buku register SPMU, sedangkan penerimaan OPP dalam buku tersendiri 3) Penerimaan dan penyetoran SPP dibukukan sesuai dengan peraturan yang berlaku (tanda bukti setoran) 4) Penerimaan dan penggunaan DPP dibukukan sesuai dengan peraturan yang berlaku 5) Penerimaan dan penyetoran PPh dan PPn dibukukan pada buku kas umum/tabelaris
97
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
6) Penerimaan dan penggunaan dana bantuan pemerintah setempat atau dari Komite Sekolah dibukukan dalam buku kas khusus 7) Telah dibuat berita acara penutupan kas pada saat penutupan buku kas setiap tiga bulan (inspeksi mendadak minimal tiga bulan sekali) 8) Tanda bukti pengeluaran (surat pertanggungan jawab disampaikan ke KPKN, tidak melewati tanggal 10 bulan berikutnya) 9) Laporan penggunaan keuangan menurut sumbernya kepada atasan yang bersangkutan 10)Peringatan/teguran tertulis kepada Bendaharawan apabila ada penggunaan uang yang tidak sesuai dengan tanda bukti yang ada dan penggunaan diluar rencana 11)Perlu diperhatikan/diteliti ada tidaknya tunggakan untuk pembayaran listrik, telepon, air, atau gas pada sekolah yang bersangkutan 3) Pengawasan Pengawasan adalah usaha untuk mencegah terjadinya penyimpangan dari aturan, prosedur atau ketentuan dengan pengawasan (controlling) diharapkan penyimpangan yang mungkin terjadi dapat ditekan sehingga kerugian dapat dihindari. Pengawasan dapat ditempuh melalui: Pemeriksaan Kas Pemeriksaan adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh bukti secara objektif tentang pernyataan-pernyataan berbagai kejadian/kegiatan sekolah dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut 98
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
dengan kriteria yang telah ditetapkan, dan penyampaian hasil-hasilnya kepada yang berkepentingan. Prosedur pemeriksaan kas yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut : a) Dilakukan dengan tiba-tiba b) Bendaharawan wajib mengeluarkan uang yang dikuasainya dalam lingkup tanggung jawab atasnya c) Adakah bukti-bukti pembayaran yang belum dibukukan d) Adakah surat-surat berharga e) Bendaharawan harus membuat surat pernyataan dengan bentuk yang sudah dibaukan f) Adakah bukti-bukti pengeluaran yang belum disahkan oleh kepala sekolah g) Sisa kas harus sama dengan sisa kas di buku umum h) Setelah selesai pemeriksaan kas, perlu dibuat register penutupan buku kas i) Selanjutnya buku ditutup dan ditandatangani oleh bendahara dan kepala sekolah j) Buat berita acara pemeriksaan kas dengan format yang telah ditentukan k) Sampaikan berita pemeriksaan kas 4) Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban dapat disampaikan kepada kepala sekolah (pimpinan), sumber pemberi dana maupun kepada personil sekolah untuk dapat diketahui bersama. Hal ini perlu dilakukan mengingat “keuangan” 99
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
adalah hal yang sangat sensitive. Ketidakjelasan laporan pertanggungjawaban keuangan sekolah akan menambah anggapan negative terhadap kepala sekolah dalam hal penyelenggaraan keuangan sekolah yang tidak tertib. Masalah pembiayaan pendidikan di Indonesia sangat kompleks, karena sistem anggarannya yang rumit, birokratis, kaku dan melibatkan banyak instansi dengan aturannya masing-masing. Pada era otonomi daerah sekarang ini juga belum banyak perubahan. Anggaran pendidikan tetap sangat kompleks permasalahan, sehingga sering terjadi kebocoran maupun pemborosan dalam pengelolaannya. 6.
Manajemen Tata Usaha (Tata Laksana) Pendidikan a. Pengertian Manajemen Tata Usaha Tata Usaha (Tata Laksana) merupakan unit kerja pendukung dalam suatu organisasi (sekolah) yang mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam pencapaian tujuan suatu lembaga. Sedangkan Manajemen Tata Usaha adalah kegiatan pengelolaan teknis surat-menyurat sesuai dengan fungsinya yaitu mulai dari menerima (menghimpun), mencatat, mengolah, menggandakan, mengirim, dan menyiapkan semua bahan informasi yang diperlukan organisasi (sekolah). b.
Fungsi Tata Usaha Berdasarkan pengertian Tata Usaha, maka fungsi tata usaha tidak lain mencakup 6 (enam) kegiatan yang berkaitan dengan clerical work atau pekerjaan tulis-menulis, yaitu: 1) Menghimpun: yaitu kegiatan-kegiatan mencari data, mengusahakan tersedianya segala keterangan yang 100
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
tadinya beluma ada, sehingga siap untuk dipergunakan bilamana diperlukan. 2) Mencatat: yaitu kegiatan membubuhkan dengan berbagai peralatan tulis keterangan yang diperlukan sehingga terwujud tulisan yang dapat dibaca, dikirim dan disimpan. Dalam perkembangan teknologi modern, maka dapat termasuk alat-alat perekam suara. 3) Mengolah: bermacam kegiatan mengerjakan keterangan-keterangan dengan maksud menyajikan dalam bentuk yang lebih berguna. 4) Menggandakan: yaitu kegiatan memperbanyak dengan berbagai cara dan alat. 5) Mengirim: yaitu kegiatan menyampaikan dengan berbagai cara dan alat dari satu pihak kepada pihak lain. 6) Menyimpan: yaitu kegiatan menaruh dengan berbagai cara dan alat di tempat tertentu yang aman. c.
Ruang Lingkup Kegiatan Tata Usaha Sekolah Di sekolah memerlukan kegiatan Tata Usaha yang tertib dan terarah.Pada lembaga pendidikan yang belum ada bagian tata usaha, maka kegiatan tehnis persekolahan biasanya diserahkan kepada masing-masing guru kelas dan bertanggung jawab langsung kepada kepala sekolah. Ruang lingkup kegiatan tata usaha sekolah secara global meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Menyusun Program Kerja tata usaha sekolah 2) Pengelolaan keuangan sekolah 3) Pengurusan manajemen ketenagaan dan peserta didik 4) Pembinaan dan pengembangan karier pegawai tata usaha sekolah 5) Penyusunan manajemen perlengkapan sekolah 101
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
6) Penyusunan dan penyajian data/statistik sekolah 7) Mengkoordinasikan dan melaksanakan 7 K (Kebersihan, Kesehatan, Keamanan, Ketertiban, Keindahan, Kekeluargaan dan Keseimbangan) 8) Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan, pengurusan ketatausahaan secara berkala 9) Pengurusan manajemen persuratan 10) Pengelolaan perpustakaan 11) Pengelolaan laboratorium 12) Pengelolaan Tugas Pokok Pesuruh atau Penjaga Sekolah Secara terperinci kegiatan-kegiatan tersebut menjadi tugas pokok atau job description masing-masing bagian, di antaranya: a)
Tugas Pokok Bendaharawan Sekolah Melaksanakan seluruh Manajemen Keuangan Sekolah, meliputi keuangan rutin atau UYHD (Usaha Yang Harus Dipertanggungjawabkan) atau BOPS (Biaya Operasional Penyelenggaraan Sekolah), Dana BOS, Dana Komite Sekolah dan Dana dari sumber lainnya, bertanggung jawab langsung kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian tugas sebagai berikut:
102
•
Menyimpan Dokumen, Rekening Giro atau Bank Keuangan sekolah
•
Mengajukan Pembayaran
•
Membuat Laporan Penggunaan Keuangan BOPS, BOS, Komite Sekolah dan sumber lainnya.
•
Melaksanakan Pengambilan dan Pengembalian serta pembayaran Keuangan Negara sesuai petunjuk.
•
Menyimpan arsip/dokumen dan SPJ Keuangan
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
•
Membuat Laporan posisi anggaran (daya serap)
•
Membuat Lembar Hasil Waskat
•
Menjadi / melaksanakan tugas kebendaharaan dari setiap kepanitiaan yang dibentuk sekolah. membentuk keuangan berdasarkan sumber keuangannya pada buku kas umum, pembantu dan tabelaris.
b) Tugas pokok urusan inventarisasi dan perlengkapan Melaksanakan Manajemen Inventarisasi dan Kelengkapan sekolah bertanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian tugas sebagai berikut: •
Mencatat Penerimaan Barang Inventaris dan Non Iventaris
•
Mengisi Buku Induk Iventaris
•
Mengisi Buku Golongan Inventaris
•
Membuat Buku Penerimaan dan Pengeluaran Barang Non Inventaris
•
Membuat Buku Pengeluaran / Penggunaan Barang Inventaris
•
Membuat Kode/Sandi pada Barang Inventaris
•
Membuat Laporan Keadaan Barang Inventaris
•
Mengisi Kartu Barang
•
Membuat Berita Acara Penghapusan Barang Inventaris
•
Menyimpan Dokumen Kepemilikan Barang-barang Inventaris dan dokumen lainnya
•
Membuat Daftar kebutuhan Sarana atau Prasarana atau ruang
•
Membuat Daftar Pengumuman Barang Inventaris pada setiap ruangan 103
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
c) •
Tugas Pokok Urusan Manajemen Kepegawaian Mengisi Buku Induk Pegawai
•
Membuat DUK. R7/R6 (F-3) dan DSO (F-1,2) guru atau pegawai
•
Membuat Daftar Prediksi Kenaikan Tingkat atau Golongan gaji Berkala Guru/Pegawai
•
Membuat dan mengajukan berkas usul permohonan kenaikan Gaji Berkala Guru atau Pegawai
•
Membuat Daftar hadir Guru dan Pegawai
•
Menyimpan Berkas data atau arsip Kepegawaian
•
Membuat SK Pembagian Tugas dan Surat Tugas
•
Membuat Daftar Gaji
•
Membuat Daftar Pembayaran Honorarium dan Kesejahteraan
d) Tugas Pokok Urusan Manajemen Peserta Didik Melaksanakan Manajemen Peserta Didik, bertanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian tugas sebagai berikut:
104
•
Membuat Daftar Nomor Induk Peserta Didik
•
Mengisi Buku Klaper Peserta Didik
•
Mengisi Buku Induk Peserta Didik
•
Mengisi Buku Mutasi Peserta Didik
•
Membuat Daftar Keadaan Peserta Didik
•
Membukukan Daftar Keadaan Peserta Didik
•
Membukukan Daftar Peserta Didik
•
Mencatat Pendaftaran Peserta Didik
•
Membuat usulan peserta ujian
•
Menyimpan daftar Lulusan
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
•
Menyimpan Daftar Penerimaan atau penyerahan STTB
•
Menyimpan Daftar kumpulan nilai (leger)
•
Menyediakan Blanko Pemanggilan Orang Tua Peserta Didik
•
Membuat Surat keterangan dan surat mutasi Peserta Didik
•
Menyediakan Blanko izin keluar masuk kelas
•
Mengisi papan data keadaan Peserta Didik
e) Tugas Pokok Urusan Manajemen persuratan Melaksanakan Manajemen Persuratan, bertanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian tugas sebagai berikut: •
Membuat Nomor Agenda Surat Masuk dan keluar
•
Mengisi Buku Agenda Surat Masuk dan Keluar
•
Menggandakan surat atau dokumen sekolah
•
Mengisi Buku Ekspedisi
•
Menyimpan Arsip dan menyampaikan surat
•
Memelihara dan menata kearsipan dan dokumen surat keputusan, laporan dan lainnya.
•
Membantu kelancaran manajemen sekolah
•
Menyimpan dan menjaga kerahasiaan data sekolah
f)
Tugas Pokok Pengelola perpustakaan Melaksanakan Manajemen Perpustakaan, bertanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian tugas sebagai berikut: •
Mengisi buku induk Perpustakaan dan Buku Paket
•
Membuat Nomor/Kode Klasifikasi Buku
•
Membuat Buku Pengunjung Perpustakaan 105
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
•
Membuat Kelengkapan Kartu, Date due slip, Katalog Anggota Peminjam
•
Membuat Statistik/Grafik Pengunjung dan peminjam
•
Membuat Laporan Keadaan Buku
•
Membuat Daftar penggunaan barang inventaris di perpustakaan
g) Tugas Pokok Pengelola Laboratorium Melaksanakan Manajemen Laboratorium, bertanggung jawab kepada kepala Tata Usaha, dengan rincian sebagai berikut: •
Mencatat/Membukukan barang-barang laboratorium
•
Menyediakan Buku Penggunaan barang laboratorium
•
Membuat daftar penggunaan laboratorium
•
Melayani kebutuhan alat-alat praktikum
•
Menata, menjaga, dan merawat alat-alat laboratorium
•
Membuat daftar laporan keadaan dan mutasi alatalat
•
Membuat daftar kebutuhan bahan praktikum
h) Tugas Pokok Pesuruh atau Penjaga sekolah Melaksanakan Kegiatan kebersihan dan pengamanan sekolah, bertanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian sebagai berikut: •
106
Menjaga dan melaksanakan kebersihan ruang seluruh bangunan sekolah
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
•
Membantu menyediakan kebutuhan guru/pegawai
•
Menyiapkan air minum
•
Mencuci dan menyimpan alat-alat minum dan makan
•
Membuka dan mengunci seluruh ruangan
•
Kebersihan toilet
•
Kebersihan dan kerapihan taman Sekolah
•
Melaksanakan piket malam, dan sebagainya.
Kegiatan Tata Usaha harus menjunjungfungsi manajemen, sehigga perlu direncanakan, diarahkan, dikoordinasikan, dikontrol dan dikomunikasikan secara efektif dan efisien. Demikian pula, kegiatan Tata Usaha sering disebut sebagai Manajemen perkantoran, (office management), namun tidak sekedar berkaitan dengan tugas tulis-menulis, akan tetapi menyangkut pula unsurunsur pengaturan dan penyediaan tempat kerja, lokasi belajar yang nyaman dengan sistem kerja yang efektif. 7.
Manajemen Hubungan Masyarakat a. Pengertian Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat Istilah hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan terjemahan dari Public School Relations yang bermakna hubungan timbal balik antara lembaga pendidikan (sekolah) dengan masyarakat atau lingkungan terkait. Kegiatan humas di sekolah dimaksudkan sebagai hubungan masyarakat internal dan eksternal.Dalam hubungan internal terjadi komunikasi antar warga sekolah yang terdiri dari Kepala Sekolah, Dewan guru, Tenaga Tata usaha dan peserta didik. Sedangkan humas eksternal merupakan hubungan sekolah dengan masyarakat di luar 107
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sekolah, meliputi instansi terkait, lembaga-lembaga pendidikan, komite sekolah, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat pada umumnya. b.
Pentingnya Kegiatan Humas Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana dan prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisyaratkan bahwa orang tua peserta didik dan masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Tingkat partisipasi yang tinggi dari orang tua peserta didik dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauh mana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang baik. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah, kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya akan bermuara pada kemajuan dan prestasi belajar peserta didik di sekolah. Tentu saja keterlibatan masyarakat termasuk orang tua peserta didik sangat bergantung pada usaha dan kreatifitas sekolah dalam memberdayakannya sebagai mitra untuk menuju pendidikan yang berkualitas. Hal ini penting sekali, sebagai permulaan munculnya perhatian dan dukungan. 108
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
Oleh karenanya komunikasi sekolah terhadap masyarakat internal maupun eksternal sekolah harus selalu dibangun, agar mereka turut serta memikirkan dan memberikan dukungan demi suksesnya pendidikan di sekolah. Seperti di Negara-negara maju, sekolah memang dikreasikan oleh masyarakat, sehingga mutu sekolah menjadi pusat perhatian mereka dan selalu mereka upayakan untuk dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena mereka sudah meyakini bahwa sekolah merupakan cara terbaik dan meyakinkan untuk membina perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka. Mengingat keyakinan yang tinggi akan kemampuan sekolah dalam pembetukan anak-anak mereka dalam membangun masa depan yang baik tersebut membuat mereka berpartisipasi secara aktif dan optimal mulai dalam perencanaan, pelaksana maupun pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah, karena kesadaran yang tinggi dari masyarakat yang bersangkutan. Sehingga hubungan sekolah dengan masyarakat mempunyai kepentingan yang menguntungkan antara kedua pihak tersebut.Bagi sekolah, dari informasi dan penjelasan yang diberikan kepada masyarakat, maka terbentuklah opini terhadap sekolah. Di samping itu sekolah mendapatkan berbagai macam sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran dan kegiatan pendidikan yang lain-lain. Demikian pada masyarakat dapat menggunakan hasil-hasil pemikiran dan perkembangan pengetahuan serta teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat.
109
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
c.
Model dan Tehnik Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat Dalam manajemen Humas, ada 5 (lima) model kegiatan humas dengan berbagai pihak, termasuk tehnik hubungan yang bisa dilakukan. Berikut, paparan Abdurrahman Mala berdasarkan materi kuliah Administrasi Pendidikan (tidak diterbitkan): 1) Hubungan Sekolah dengan Komite Sekolah Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dalam era reformasi, dan era otonomi penyelenggaraan pendidikan sampai pada tingkat kabupaten.kota dan bahkan otonomi pada tingkat sekolah, memberikan keleluasaan bagi setiap sekolah untuk berkreasi dan berinovasi dalam penyelenggaraan sekolah. Dengan demikian diharapkan akan memacu percepatan peningkatan mutu penyelenggaraan sekolah yang pada gilirannya mempercepat peningkatan mutu hasil belajar secara keseluruhan. Konsekuensi dari paradigma pendidikan yang memberikan otonomi sampai pada tingkat sekolah menuntut sekolah untuk memberdayakan semua sumber daya yang dimilikinya.Salah satu sumber daya yang sangat potensial dan dimiliki oleh sekolah adalah masyarakat dan orang tua peserta didik. Di Amerika Serikat, pengembangan sekolah di pedesaan atau di daerah-daerah urban berada di tangan dewan masyarakat sekolah (SCC-School Community Council).Dewan ini terdiri dari unsur-unsur tenaga professional pendidikan dan anggota masyarakat, dalam rangka pengembangan staf.Aspek struktural dari pelibatan masyarakat berarti adanya kesamaan atau keseimbangan antar struktur yang terlibat dalam pembuatan keputusan.Aspek prosedural pelibatan 110
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
masyarakat berarti mengandung makna adanya kesamaan masukan dari kelompok professional dan anggota-anggota masyarakat dalam menentukan aktivitas pengembangan staf untuk meningkatkan praktek-praktek penyelenggaraan seolah yang berkualitas. Secara organisatoris dewan SCC ini memiliki tanggung jawab bersama sekolah untuk meningkatkan mutu pelayanan sekolah. Di sisi lain SCC ini ternyata juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan analisis kebutuhan sekolah dan kebutuhan masyarakat melalui survey yang dilakukannya. Hasil analisis yang dilakukan dewan ini didiskusikan bersama pihak sekolah denga melibatkan para ahli seperti konsultan dan sebagainya untuk diterjemahkan menjadi kebijakan dan program sekolah. Kebijakan model pelibatan masyarakat dalam pendidikan melalui lembaga SCC seperti di Amerika ini sebenarnya sudah sejak lama dikenal dan dilakukan oleh pendidikan dan persekolahan di Indonesia, mulai dari POM, POMG, BP3, hingga sekarang yang dikenal dengan Komite Sekolah. Tetapi hasilnya belum terlalu nampak karena keterlibatan mereka lebih banyak pada membantu keuangan sekolah. Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemendikbud membuat kebijakan baru dengan mengganti istilah BP3 menjadi Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah di tingkat sekolah. 2) Komunikasi dengan masyarakat dan lingkungan di luar sekolah Keberadaan sekolah berlandaskan kemauan baik negara dan masyarakat yang mendukungnya. Oleh karena itu orang-orang bekerja di sekolah mau tidak 111
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
mau harus bekerja sama dengan masyarakat. Masyarakat dapat berwujud orang tua peserta didik, badan-badan, organisasi-organisasi, baik negeri maupun swasta.Salah satu alasan mengapa sekolah perlu dukungan dari masyarakat tempat sekolah itu berada ialah karena sekolah harus dibiayai. Tugas sekolah ialah bagaimana menumbuhkan rasa ikut memiliki (senseaf belonging) dan rasa ikut bertanggung jawab (senseresponsibility) masyarakat terhadap sekolah. Dalam hal ini perhimpunan administrator sekolah di Amerika Serikat (the American Association of School Administrators) telah mengumpulkan beberapa indikator (petunjuk) tentang hubungan sekolah dengan masyarakat, yaitu bahwa para kepala sekolah harus memahami: 1. Unsur-unsur penting pada anggota masyarakat lingkungan sekolah, kesetiaan, kepatuhan dan perasaan terikat yang ada pada masyarakat, caracara beraksi, menangani ide baru. 2. Tradisi dan adat-istiadat. 3. Organisasi anggota masyarakat. 4. Kepemimpinan/struktur kekuatan yang terdapat dalam masyarakat. 5. Situasi fisik masyarakat, ciri-ciri pengelompokkan formal dan hubungan ciri-ciri populasi. Jika para kepala sekolah memperoleh keterangan – keterangan di atas, berarti ia mendapat informasi yang diperlukan untuk mengembangkan hubungan yang sehat dan sukses antara sekolah dan masyarakat.
112
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
3) Hubungan Sekolah dengan Pemerintah dan Lembaga Masyarakat a) Hubungan Sekolah dengan Pemerintah Dalam era otonomi sekolah, khususnya dengan implementasi pendekatan manajemen sekolah berbasis masyarakat, sekolah memang memiliki keleluasaan dan atau otonomi yang lebih luas. Otonomi pemerintahan yang berbasis pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota meletakkan pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan berada di tingkat Kabupaten dan Kota, sehingga nampaknya peranan Pemerintah provinsi dan pusat tidak dominan.Meskipun demikian bukan berarti pusat dan propinsi tidak memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan.Dalam paradigma otonomi seperti sekarang diperlukan kemampuan sekolah (kepala sekolah) untuk membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai institusi pemerintahan mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat Kabupaten/kota/Kecamatan bahkan kelurahan. Di samping institusi pemerintahan, sekolah juga perlu membangun kerjasama yang sinergis dengan lembaga masyarakat seperti karang taruna, kepramukaan dan berbagai lembaga LSM yang bergerak dalam membantu dan membangun pendidikan.Hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam kerjasama dengan lembaga ini adalah jangan sampai sekolah larut dan dapat dibawa kepada masalah-masalah lain selain untuk kepentingan pendidikan.Sekolah tidak boleh terbawa arus kepada kegiatan politik praktis dan kepentingan kelompok tertentu. 113
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Kerjasama dengan berbagai institusi tersebut di atas menjadi kemutlakan bagi sekolah dalam upaya mengembangkan sekolah secara optimal, sebab sekolah adalah lembaga interaksi sosial yang tidak bisa lepas dari masyarakat secara keseluruhan, khususnya masyarakat di sekitarnya.Banyak hal yang tidak dapat dilakukan sekolah tanpa bantuan masyarakat tersebut, katakanlah sekolah mengadakan perayaan ulang tahun sekolah, untuk menjaga keamanan, maka sekolah mutlak meminta bantuan kepolisian atau petugas keamanan lingkungan setempat. Berbagai bentuk atau tehnik kerjasama yang dapat dikembangkan dengan berbagai institusi tersebut antara lain: 1. Pemberian dan atau penggunaan fasilitas bersama. Berbagai fasilitas yang tidak dimiliki oleh sekolah mungkin saja terdapat dan dimiliki oleh lembaga tertentu. Untuk menunjang kegiatan pendidikan sekolah dapat membangun kerjasama dengan pemilik fasilitas tersebut. Misalnya tempat pameran, gedung olah raga dan lain-lain. 2. Pelaksana kegiatan peningkatan kemampuan peserta didik. Misalnya sekolah ingin meningkatkan pemahaman dan kemampuan peserta didik tentang kesehatan, dapat bekerjasama dengan puskesmas, dalam memanfaatkan berbagai fasilitas kesenian (alatalat seni, seperti seni tradisional) sekolah bisa menjalin kerja sama dengan komunitas seni dan budaya di masyarakat. 3. Pemanfaatan sumber daya manusia secara mutualism, sekolah dapat memanfaatkan 114
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
sumber daya manusia di masyarakat dan sebaliknya masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya manusia yang dimiliki sekolah. b) Hubungan Sekolah Dengan Lembaga Masyarakat Pada saat ini sangat banyak masyarakat yang mengikat dirinya dalam satu kelompok organisasi, baik yang bersifat organisasi sosial, organisasi profesi, organisasi untuk community tertentu yang bersifat kedaerahan maupun organisasi yang mementingkan laba. Dari berbagai organisasi tersebut banyak sekali yang sangat peduli terhadap pendidikan, tetapi tidak sedikit juga organisasi yang menjadi stressor bagi dunia pendidikan.Disadari bahwa organisasi-organisasi tersebut sangat besar peranannya dalam membantu pendidikan apabila diberdayakan secara optimal dan murni. Beberapa organisasi yang memfokuskan dirinya terhadap pendidikan antara lain: Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (IPSI), Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia (ISMAPI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia, Asosiasi Bimbingan Konseling Idonesia (ABKINS), Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN OTA) 65, Himpunan Masyarakat Psikologi Indonesia (HIMAPSI), Kelompok Budayawan, Seni Tari dan Musik, dan lain-lain. Organisasi tersebut sangat besar manfaatnya apabila sekolah mampu menjadikannya sebagai mitra bagi pengembangan dan peningkatan mutu sekolah. Sebagai contoh, kalau sekolah ingin meningkatkan bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah yang berkualitas, maka Ikatan sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia yang ada di masing-masing daerah 115
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
dapat dimanfaatkan sebagai mitra, baik dalam pengembangan konsep, implementasi kegiatan maupun dalam pembinaan sehari-hari. Hal yang sama juga dapat dilakukan kerjasama dengan kelompok seni tari, misalnya kalau sekolah menyelenggarakan ekstra kurikuler seni tari musik atau drama. Sangat mungkin suatu sekolah pada masa sekarang ingin meningkatkan peran guru di samping sebagai pengajar juga sebagai pembimbing. Untuk meningkatkan kemampuan guru tersebut sekolah dapat bekerja sama dengan asosiasi bimbingan ABKINS (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia), atau juga dengan HIMAPSI (Himpunan Masyarakat Psikologi Indonesia). Dalam kenyataan sehari-hari sering terjadi organisasi masyarakat melaksanakan kegiatannya justru menggunakan sekolah sebagai sasarannya, seperti pengabdian masyarakat mereka tentang penyuluhan NARKOBA. Hal ini harus dimanfaatkan oleh sekolah sebagai peluang dalam pembinaan pesrta didik di sekolahnya. Oleh sebab itu tidak salah kalau sekolah selalu memprogramkan berbagai kegiatan tersebut sebagai upaya meningkatkan mutu di sekolah. 4) Hubungan antara Sekolah dengan Orang Tua Peserta Didik (Hubungan Edukatif) Hubungan efektif sekolah, orang tua dan masyarakat dapat dilakukan melalui:
116
•
Mengadakan pertemuan dengan keluarga dan kelompok masyarakat untuk memperkenalkan diri. Jelaskan kepada mereka makna keragaman dalam kelas dan pelajaran yang ramah.
•
Jadwalkan diskusi informal, satu atau dua kali dalam setahun dengan orang tua dan komite
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan
sekolah untuk menggali potensi belajar peserta didik mereka. Tunjukkan contoh hasil karya peserta didik, tekankan bakat dan prestasi yang dimiliki pesesrta didik, dan bicarakan bagaimana agar dapat belajar lebih baik jika ia bisa mengatasi hambatannya. •
Kirim hasil karya peserta didik ke rumahnya agar orang tuanya mengetahui perkembangan potensi peserta didik kemudian mintalah pendapat mereka.
•
Biasakanlah peserta didik membahas apa yang telah dipelajari di rumah dengan memanfaatkan informasi pelajaran yang diperoleh dari sekolah. Juga komunikasikan dengan orang tua bagaimana dan apa yang telah dipelajari di kelas dengan mengaitkan kegiatan dan perannya di rumah. Dengan kata lain, tunjukkan bagaimana pengetahuan yang diperoleh di kelas bisa digunakan di rumah dan di masyarakat.
Lakukan kunjungan sumber belajar di masyarakat atau minta peserta didik mewawancarai orangtuanya, atau kakek neneknya tentang kegiatan saat masa kanak-kanak dalam kehidupan bermasyarakat. 5) Memberi pengertian kepada masyarakat tentang fungsi sekolah melalui teknik-teknik komunikasi. a) Media-media hubungan Sekolah dengan Masyarakat •
•
Media visual (majalah, gambar, posterposter dan sebagainya).
•
Media Audio (microphone, telephone, handphone, radio dan lain-lain). 117
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
•
Media Audio Visual (televisi, film, dan sebagainya).
b) Jalur-jalur komunikasi Sekolah dengan Masyarakat Ada beberapa jalur yang dapat ditempuh walaupun demikian jalur yang paling menguntungkan adalah jalur yang langsung berhubungan dengan peserta didik dan situasi pertemuan langsung (face to face), diantaranya adalah: •
Peserta didik
•
Surat-surat selebaran dan buletin sekolah.
•
Mass Media (Media Masa)
•
Pertemuan Informal
•
Laporan Kemajuan
•
Kontak Formal
Pada dasarnya, lembaga pendidikan bukanlah lembaga yang berdiri sendiri dalam membina pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, tetapi sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang luas, dan bersama masyarakat membangun dan meningkatkan segala upaya untuk memajukan sekolah.
118
BAB III PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN
alam mengoperasionalisasikan fungsi-fungsi manajemen, pendidikan membutuhkan perencanaan pengelolaan yang baik, sebagaimana adanya pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan untuk semua kegiatan pendidikan. Fungsi-fungsi manajemen yang lazim diterapkan pada lembaga atau organisasi termasuk pendidikan mengacu pada pendapat Henry Fayol, seorang pakar ilmu manajemen yang memerinci secara sistematis, yaitu meliputi: (1) planning (perencanaan), (2) organizing (pengorganisasian), (3) coordinating (pengoordinasian), (4) commanding (pengarahan), dan (5) controlling (pengawasan). (Hikmat, 2009 : 39). Di samping memaparkan fungsi manajemen, Henry Fayol juga memunculkan azas-azas manajemen yang meliputi (1) azas pembagian kerja, (2) azas wewenang dan tanggung jawab, (3) disiplin, (4) kesatuan perintah, (5) kesatuan arah, (6) azas kepentingan umum, (7) pemberian janji yang wajar, (8) pemusatan wewenang, (9) azas keteraturan, (10) azas keadilan, (11) kestabilan masa jabatan, (12) inisiatif, (13) azas kesatuan.
D
119
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Pemaparan dalam bab ini meliputi perencanaan, struktur organisasi dan job description, komunikasi dan koordinasi, pengawasan dan pengendalian serta diakhiri dengan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
A. Perencanaan Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu. Sedang Hartani (2011: 23) menjelaskan bahwa perencanaan pendidikan adalah kegiatan yang akan dilakukan di masa yang akan datang untuk mencapai tujuan pendidikan. Perencanaan mengandung unsur-unsur (1) sejumlah kegiatan yang ditetapkan sebelumnya, (2) adanya proses (3) hasil yang ingin dicapai, (4) menyangkut masa depan dalam kurun waktu tertentu. Mengamati pelaksanaan perencanaan program pendidikan, kepala sekolah bersama-sama stakeholder sekolah merumuskan dan menetapkan visi-misi sekolah sebagai pra perencanaan merupakan tolak ukur atau acuan dalam melakukan program perencanaan pendidikan. ¾ Visi Sekolah: •
Dijadikan sebagai cita-cita bersama warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan pada masa yang akan datang;
•
Mampu memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan pada warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan;
•
Dirumuskan berdasar masukan dari berbagai warga sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan, selaras dengan visi institusi di atasnya serta visi pendidikan nasional;
120
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
•
Diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah dengan memperhatikan masukan komite sekolah;
•
Disosialisasikan kepada warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan;
•
Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
¾ Misi Sekolah: •
Memberikan arah dalam mewujudkan visi sekolah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional;
•
Merupakan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu;
•
Menjadi dasar program pokok sekolah;
•
Menekankan padamutu layanan peserta didik dan mutu lulusan yang diharapkan oleh sekolah;
•
Memuat pernyataan umum dan khusus yang berkaitan dengan program sekolah;
•
Memberikan keluwesan dan ruang gerak pengembangan kegiatan satuan-satuan unit sekolah yang terlibat;
•
Dirumuskan berdasarkan masukan dari segenap pihak yang berkepentingan termasuk komite sekolah dan diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah;
•
Disosialisasikan kepada warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan;
•
Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
Secara substansial, perencanaan pendidikan mengandung 3 (tiga) hal yang mendasar, yaitu: (1) tujuan pendidikan, 121
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
(2) pertimbangan kebijakan, (3) pelaksanaan rencana pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dirumuskan, ditetapkan dan dikembangkan, karena merupakan target yang akan dicapai dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan. ¾ Tujuan pendidikan: •
Menggambarkan tingkat kualitas dan kuantitas yang perlu dicapai dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang;
•
Mengacu pada visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat;
•
Mengacu pada standar kompetensi lulusan yang sudah ditetapkan oleh sekolah dan pemerintah;
•
Mengakomodasi masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan termasuk komite sekolah dan diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah;
•
Disosialisasikan kepada warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan.
Dalam mempertimbangkan kebijakan pendidikan secara umum, perencanaan pendidikan harus mengacu pada Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam BAB II Pasal 2, dinyatakan bahwa, Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945, dalam pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yag bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, 122
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Di samping itu, lebih ditegaskan lagi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global, sehingga perlu perubahan pendidikan terencana dan berkesinambungan. Rencana pendidikan di sekolah dijadikan sebagai dasar pengelolaan sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Sedangkan isi perencanaan pendidikan tersebut harus memuat bidang garapan manajemen pendidikan di sekolah yang meliputi kesiswaan, kurikulum, tenaga personalia, sarana, dan pra sarana, pembiayaan, budaya, dan lingkungan sekolah, hubungan masyarakat dan kemitraan, dan Tata Laksana. Secara terperinci, Husaini (2010: 641) memaparkan pedoman pelaksanaan rencana pendidikan di sekolah sebagai berikut: •
Sekolah membuat dan memiliki pedoman yang mengatur berbagai aspek pengelolaan secara tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait.
•
Perumusan pedoman sekolah: 1) Mempertimbangkan visi, misi, dan tujuan sekolah; 2) Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat.
•
Pedoman pengelolaan sekolah meliputi: 1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); 2) Kalender pendidikan/akademik 3) Pembagian tugas diantara guru; 123
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
4) Pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; 5) Peraturan akademik; 6) Tata tertib sekolah; 7) Kode etik sekolah; 8) Biaya operasional sekolah. •
Pedoman sekolah sebagai petunjuk pelaksanaan operasional.
•
Pedoman pengelolaan KTSP, kalender pendidikan, dan pembagian tugas pendidik dan tenaga kependidikan dievaluasi dalam skala tahunan, sementara lainnya dievaluasi sesuai kebutuhan.
Beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan perencanaan pendidikan di sekolah: •
Kegiatan sekolah dilaksanakan berdasarkan macam kerja minimal satu tahun.
•
Dilaksanakan dan penanggung jawab kegiatan berdasarkan sumber daya yang ada.
•
Pelaksanaan kegiatan sekolah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan perlu mendapatkan persetujuan melalui rapat dewan pendidik dan komite sekolah;
•
Kepala sekolah mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang non akademik pada rapat komite sekolah dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahunan berikutnya.
124
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
B. Struktur Organisasi dan Job Description Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni orang-orang dalam satu kelompok kerjasama, dengan maksud menempatkan masingmasing/penentuan struktur, hubungan tugas, dan tanggung jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju kepadatercapainya tujuan bersama.Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat kepala sekolah, guru-guru, pegawai tata usaha, dan muridmurid, memerlukan adanya organisasi yang baik agar jalannya sekolah itu lancar menuju kepada tujuannya. Perlunya organisasi sekolah yang baik adalah karena tugas-tugas di sekolah tidak hanya mengajar saja, juga pegawai-pegawai tata usaha, pesuruh dan penjaga sekolah, dan lain-lain, semuanya harus bertanggung jawab dan diikutsertakan dalam menjalankan roda sekolah itu secara keseluruhan.Dengan demikian agar jangan terjadi overlapping (tabrakan) dalam memegang atau menjalankan tugasnya masing-masing, diperlukan organisasi sekolah yang baik dan teratur.Dengan organisasi sekolah yang baik dimaksudkan agar pembagian tugas dan tanggung jawab dapat merata kepada semua orang sesuai dengan kecakapan dan fungsinya masing-masing. Tiap orang mengerti dan menyadari tugasya dan tempatnya dalam struktur organisasi itu.Dengan demikian, dapat dihindari pula adanya tindakan yang sewenang-wenang atau otoriter dari kepala sekolah, dan sebaliknya dapat diciptakan adanya suasana yang demokratis didalam menjalankan roda sekolah itu. Struktur organisasi sekolah adalah susunan komponenkomponen (unit-unit kerja) yang ada di sekolah. Struktur organisasi tersebut menunjukkan adanya pembagian kerja dari berbagai unit kegiatan yang berbeda-beda dapat dikondisikan, digerakkan dan diserasikan sesuai dengan sumber daya 125
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pendidikan di sekolah. Dengan adanya Struktur Organisasi Sekolah, semua pimpinan, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya mempunyai tugas wewenang, dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan manajemen sekolah. Sebuah sekolah terdiri dari berbagai bagian-bagian yang keseluruhannya memerlukan pengaturan dan uraian pekerjaan pada masing-masing bagian tersebut.Oleh karenanya diperlukan uraian kerja masing-masing. Job description (uraian pekerjaan) merupakan dokumen formal organisasi yang berisi ringkasan informasi penting mengenai suatu jabatan untuk memudahkan dalam membedakan pekerjaan yang satu dengan yang lain dalam suatu organisasi. Uraian pekerjaan tersebut disusun dalam suatu format yang terstruktur sehingga informasi mudah dipahami oleh setiap pihak yang berkaitan di dalam organisasi. Pada hakikatnya, uraian pekerjaan merupakan bahan baku dasar dalam pengelolaan SDM di organisasi, dimana suatu pekerjaan dijelaskan dan diberikan batasan. Informasi dasar dan penting mengenai jabatan ini diperlukan oleh banyak pihak, mulai dari pemegang jabatan (agar ia mengerti apa yang dituntut dari jabatan tersebut), perekrut (agar mengerti orang seperti apa yang sesuai untuk mengisinya), alasan (supaya memahami apa yang ia tuntut dari pekerjaan bawahannya dan menjadi dasar yang objektif untuk mengkomunikasikan ekspektasi organisasi terhadap bawahannya, serta dasar untuk pengukuran kinerja), hingga bagi pengelola pelatihan (agar mengerti kompetensi apa yang perlu dimiliki oleh setiap pemegang jabatan). Penyusunan uraian jabatan harus dilakukan dengan baik agar mudah dimengerti. Untuk itulah diperlukan suatu proses yang terstruktur pula yang dikenal dengan analisis jabatan. 126
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
Analisa jabatan adalah sebuah proses untuk memahami suatu jabatan dan kemudian menyadurnya ke dalam format yang memungkinkan orang lain untuk mengerti tentang jabatan tersebut. Ada 3 tahap penting dalam proses analisis jabatan, yaitu (1) mengumpulkan informasi, (2) menganalisis dan mengelola informasi jabatan, dan (3) menyusun informasi jabatan dalam suatu format yang baku. Analisis jabatan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan uraian jabatan yang baik pula, dan kemudian dapat dijadikan bahan baku yang baik untuk proses pengelolaan SDM yang lain (evaluasi jabatan, rekrutmen dan seleksi, manajemen kinerja, penyusunan kompetensi, pelatihan). Ada sejumlah prinsip penting yang harus dipegang adalam melakukan proses analisis jabatan. Pertama, proses analisis dilakukan untuk memahami apa tanggung jawab setiapjabatan dan kontribusi hasil jabatan tersebut terhadap pencapaian hasil atau tujuan organisasi. Dengan analisis ini, maka nantinya uraian jabatan akan menjadi daftar tanggung jawab, bukan daftar tugas atau aktivitas. Kedua, yang dianalisis adalah jabatan, bukan pemegang jabatan yang saat ini kebetulan sedang memangku jabatan tersebut. Ini penting untuk menghindari kebiasaan menganalisis jabatan berdasarkan kemampuan, kinerja, gaya atau metode kerja dari pemegang jabatan saat ini. Yang perlu dianalisis adalah standar desain jabatan tersebut berdasarkan struktur organisasi yang ada saat ini.Ketiga, kondisi jabatan saat ini berdasarkan fakta yang ada sesuai rancangan strategi dan struktur organisasi.Prinsip-prinsip ini penting untuk dipahami karena sering terjadi di banyak organisasi, uraian jabatan dibuat berdasarkan “selera” masing-masing atasan, atau bahkan diserahkan untuk dibuat oleh pemegang jabatan.Ini membuat tidak adanya standar batasan jabatan yang sebenarnya diinginkan oleh organisasi. Jika hal ini terjadi, maka akan 127
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
mudah untuk diperkirakan munculnyabanyak masalah mengenai tumpang tindih tanggung jawab antar jabatan, atau rangkap tanggung jawab oleh karena ada beberapa tanggung jawab yang ternyata tidak tercakup di jabatan apapun. Juga akan dapat terjadi adanya jabatan yang beban yang tanggungjawabnya sangat besar/luas, sementara jabatan lain terlihat sangat sempit dan ringan, sehingga tidak ada perimbangan cakupan pekerjaan, yang dapat menimbulkan banyak masalah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam job description (uraian pekerjaan) diantaranya sebagai berikut : 1. Perumusan fungsi, tugas atau kegiatan yang jelas dan tegas, 2. Penempatan orang secara tepat yaitu atas dasar pertimbangan yang obyektif. 3. Kejelasan dan ketegasan wewenang serta tanggung jawab. 4. Kejelasan pertanggungjawaban dari masing-masing anggota seperti laporan kegiatan, keuangan dan lain-lain. 5. Membebaskan pucuk pimpinan (top management). Perlunya Job Description Dalam Organisasi Sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa di lingkungan sekolah adalah lingkungan orang-orang yang memiliki sumber daya manusia yang cukup dalam bidang masing-masing, namun tidak dapat dielakkan juga kenyataan bahwa dengan perbedaan latar belakang pengetahuan dan disiplin ilmu tersebut mengakibatkan lingkungan sekolah rentan dengan konflik yang tidak perlu.Ini bisa saja diakibatkan oleh mis manajemen.Oleh karenanya manajemen sumber daya manusia sangat dibutuhkan di sekolah, dimana dalam MSDM tersebut berbicara tentang seni mengatur dan mengelola SDM. Sumber daya manusia memiliki perbedaan-perbedaan meskipun latar belakang spesialisasi ilmu yang sama apalagi 128
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
jika berangkat dari spesialisasi dan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda. Sebagai ilustrasi bahwa pemberian perintah kepada dua orang dengan perintah yang sama dan penyampaian yang sama akan dapat ditafsirkan berbeda oleh dua orang tesebut menurut tingkat pemikiran dan kehalusan perasaan masing-masing dan hal ini tentunya akan sangat berpengaruh dalam mencapai tujuan organisasi sekolah tersebut. Oleh karenanya maka benar bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan seni dan sekaligus ilmu, karena itu menuntut bagaimana dapat melakukan suatu pengelolaan dengan cara yang dapat diterima oleh semua orang dengan pemahaman yang diharapkan sama sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Kenyataan ini menguatkan bahwa dalam sebuah organisasi sekolah yang di dalamnya terdapat berbagai tugas manajemen, diantaranya manajemen kurikulum, manajemen kesiswaan, manajemen personalia, manajemen keuangan, dan manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana, semua harus dapat memastikan bahwa pembagian tugas dapat terdistribusi dengan baik. Karena job description (uraian pekerjaan) adalah sebagai dokumen formal organisasi sekolah yang memuat uraian kerja maka ini menjadi sangat perlu adanya sehingga dapat dijadikan sebagai dokumen kontrol pelaksanaan pekerjaan bagi masing-masing pegawai, yang sekaligus juga dapat dijadikan sebagai kontrol keberhasilan pekerjaan karyawan atau pegawai tersebut.Selain itu, bagi organisasi sekolah sendiri ini dapat dijadikan sebagai pegangan apabila terjadi rolling atau mutasi pegawai sehingga pegawai baru dapat melaksanakan tugasnya dengan mudah. Berikut, beberapa contoh pembagian tugas dan job description Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan Kepala Tata Usaha: 129
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Kepala sekolah, bertugas memimpin dan mengkoordinasikan semua pelaksanaan rencana kerja harian, mingguan, bulanan, semester, dan tahunan.Juga mengadakan hubungan dan kerjasama dengan pejabat-pejabat resmi setempat dalam usaha pembinaan sekolah. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, bertugas membuat perencanaan dan mengkoordinasikan pembagian tugas guru-guru per semester merekap daya serap dan target pencapaian kurikulum per semester dan per tahun pelajaran, serta segala kegiatan yang berhubungan dengan urusan kurikulum dan pengajaran bidang intra-kurikuler. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan bertugas membuat perencanaan penerimaan siswa baru, mutasi siswa dan pendaftaran ulang siswa, membina dan membimbing OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan mengkoordinasikan semua yang berkaitan dengan kegiatan siswa di bidang ekstra kurikuler. Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan, bertugas mengkoordinasikan segala kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan, pemeliharaan dan penghapusan barang-barang inventaris/non inventaris baik fisik maupun non-fisik milik sekolah.Kepala Tata Usaha, bertugas mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan manajemen sekolah, meliputi penyusunan program tahunan, kepegawaian, keuangan, pelaporan, inventaris dan kesiswaan. Semua gambaran ini memperjelas bahwa job decription dalam sebuah sekolah sangat diperlukan adanya, oleh karenanya pihak sekolah harus benar-benar memperhatikan dan merumuskan dengan baik tentang uraian pekerjaan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, serta selalu terbuka dengan pengaruh perkembangan teknologi sehingga dapat menyesuaikan diri dengan arus globalisasi di era teknologi yang lebih pesat sekarang ini.
130
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
C.
Komunikasi dan Koordinasi
Untuk menuju manajemen yang baik diantaranya diperlukan komunikasi dan koordinasi yang lancar dan tepat. Pengertian komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan dari seseorang kepada orang lain secara tertulis, lisan maupun isyarat baik secara langsung (face to face) maupun tidak langsung (melalui media tertentu). Dalam proses komunikasi terdapat unsur-usur sebagai berikut: (1)Pengirim pesan (sender) atau komunikator dan materi (isi) pesan, (2)Bahasa pesan (coding) (3)Media (Telepon, TV, radio) mikrofon, surat, memo, computer, internet, dan sebagainya (4)Menginterprestasikan pesan (5)Penerima pesan (6)Respons (balikan penerima pesan) (7)Gangguan komunikasi (error) (Hartani, 2011: 25) Komunikasi ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi kesalahpahaman penerima pesan tentang isi pesannya. Menurut Amstrong seperti dikutip Hartani (2011: 26) bahwa seorang manajer yang baik adalah manajer yang lebih banyak mendengar dari pada bicara. Pada dasarnya manajer adalah komunikator; sehingga seorang manajer perlu menguasai tehnik berkomunikasi yang baik, cara mengatasi kendala berkomunikasi dan terampil menjadi pendengar yang baik. Selanjutnya, koordinasi dapat didefinisikan sebagai tindakan kerjasama antar personil, unit atau bagian tentang segala sesuatu dalam hubungan yang harmonis dan produktif untuk mencapai suatu tujuan. Rencana program pendidikan 131
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
di sekolah sangat kompleks dan saling berkaitan antara bidang satu dan lainnya, sehingga dibutuhkan adanya koordinasi. Koordinasi tersebut perlu untuk mengatasi kemungkinan adanya duplikasi tugas, menyatukan satu pemahaman, mengantisipasi perebutan hak dan tanggung jawab, kesimpangan dalam menjalankan tugas dan kewajiban dan sebagainya.
D. Pengawasan dan Pengendalian 1.
Pengawasan (Controlling) Istilah pengawasan sering dikaitkan dengan kata evaluasi (evaluating), koreksi (correcting), sepervisi (supervision), dan pemantauan.Semua istilah tersebut lebih tepatnya sebagai tehnik dalam kegiatan pengawasan.Secara umum pengawasan merupakan kunci keberhasilan manajemen.Karena adanya pengawasan suatu organisasi, perencanaan, kebijakan dan upaya peningkatan mutu dapat dilaksanakan dengan baik. Pengertian pengawasan menurut Jhonson (Syaiful, 2006: 59) adalah sebagai fungsi sistem yang melakukan penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpanganpenyimpangan tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi. Sedangkan Engkoswara (2011: 219) mengemukakan bahwa pengawasan pada dasarnya membandingkan kondisi yang ada dengan yang seharusnya terjadi. Jadi bila dalam proses terjadi penyelewengan atau hambatan segera dilakukan tindakan koreksi. Pengawasan tidak hanya dilakukan pada akhir proses manajemen, tetapi pada setiap tahap kegiatan sehingga lebih efektif. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang melakukan penyelesaian terhadap rencana dan sebagai
132
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
kontrol terjadinya penyelewengan-penyelewengan, sehingga kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Tujuan Pengawasan Secara umum pengawasan tidak bertujuan untuk mencari kesalahan ataupun memberi hukuman dari pimpinan pada bawahannya, tetapi pengawasan mempunyai tujuan sebagai dasar bagi pimpinan untuk menentukan kebijakan dan mengambil keputusan yang strategis, menuju organisasi yang lebih baik. Tujuan pengawasan berdasarkan konsep sistem manajemen adalah membantu mempertahankan hasil atau output yang sesuai sistem. Artinya melalui pengawasan apa yang telah ditetapkan dalam rencana dan program, pembagian tugas dan tanggung jawab, pelaksanaannya serta evaluasinya, senantiasa dipantau dan diarahkan sehingga tetap berada dalam ketentuan. (Fattah, 1996: 103). Sedangkan Engkoswara (2011: 221) menjabarkan tujuan pengawasan sebagai berikut: •
Agar pihak yang diawasi merasa terbantu, sehingga visi dan misi organisasi bisa tercapai secara efektif dan efisien.
•
Agar tercipta suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, saling percaya dan akuntabilitas.
•
Untuk meningkatkan kelancaran kegiatan organisasi
•
Untuk memotivasi terwujudnya good governance
Dengan kata lain, tujuan pengawasan adalah untuk menentukan solusi yang tepat, efisien, dan efektif dalam mengatasi berbagai problema organisasi (kependidikan). Fungsi pengawasan Menurut Donn (Engkoswara, 2011: 221) pengawasan mempunyai 4 (empat) fungsi, yaitu: 133
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
¾ Fungsi eksplanasi
: menjelaskan bagaimana kegiatan dilakukan meliputi hambatan dan kesulitan serta alasan adanya perbedaan hasil kegiatan.
¾ Fungsi akuntansi
: dilakukan auditing terhadap penggunaan sumber daya dan tingkat out put yang dicapai. Hal ini bermanfaat untuk melakukan program lanjutan atau bahkan untuk pengembangan program.
¾ Fungsi pemeriksaan : mengkaji kesesuaian pelaksanaan kerja nyata dengan rencana. ¾ Fungsi kepatuhan
: mulai sejauh mana ketaatan personal dengan aturan, sehingga dapat (coomplience) diketahui tingkat kedisiplinannya.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengawasan yang efektif berfungsi sebagai “Early warning system” yaitu sistem peringatan dini, untuk memberikan informasi awal tentang persiapan, pelaksanaan dan keberhasilan program. Prinsip pengawasan Pengawasan mempunyai prinsip tidak hanya dilakukan dari pihak pimpinan kepada bawahan, tetapi juga bisa sebaliknya, sebatas mengingatkan. Massic dalam Syaiful (2006:60) mengemukakan prinsip-prinsip pengawasan yang perlu diperhatikan, meliputi: Pengawasan tertuju pada kunci strategis mencapai sasaran yang menentukan keberhasilan Pengawasan harus menjadi umpan balik (feed back) sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan.
134
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
Pengawasan harus harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan kondisi dan lingkungan. Pengawasan cocok diterapkan untuk organisasi sistem terbuka misalnya pendidikan Pengawasan lebih dijadikan sebagai kontrol diri sendiri. Pengawasan lebih bersifat langsung, artinya control di tempat pekerjaan Pengawasan lebih memperhatikan hakekat manusia dalam mengontrol personal. Proses pengawasan Ada 4 langkah dasar proses pengawasan: •
Menetapkan standar dan metode mengukur prestasi kerja, penentuan standar berdasarkan padatujuan atau sasaran secara spesifik dan mudah diukur. Sedangkan pengukuran prestasi dapat diambil berdasarkan standar dan metode kerja.
•
Mengukur prestasi kerja. Dilakukan berdasarkan pengamatan langsung atau melalui penggunaan instrument beberapa indikator efektifitas kerja
•
Menetapkan keserasian prestasi kerja dengan standar. Hasil pengukuran dijadikan informasi untuk dibandingkan antara standar dengan keadaan di lapangan.
•
Menentukan tindakan korektif, apabila diketahui terjadi penyimpangan pada hasil pengukuran. (Mockler dalam Engkoswara 2011: 220).
Pada intinya proses pengawasan meliputi 3 (tiga) tahap, meliputi penetapan standar pelaksanaan, pengukuran pelaksanaan dan membandingkan antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.
135
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Jenis Pengawasan Jenis pengawasan yang lazim dilakukan di lembaga pendidikan (sekolah) pada umumnya meliputi : •
Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai top leader dan supervisor di sekolah. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengabdian, agar pimpinan bisa memonitor efektivitas proses manajemen dan dapat mengambil tindakan korektif sesuai kebutuhan.
•
Pengawasan yang dilakukan oleh seorang penilik atau pengawas sekolah sebagai pengawas fungsional, yaitu melaksanakan pembinaan terhadap personal sekolah, agar profesional dan dapat mengembangkan diri secara optimal.
2.
Pengendalian Pada umumnya proses pengendalian dikaitkan dengan proses pengawasan. Dalam proses pengendalian ada upaya untuk membina dan meluruskan dalam rangka mengendalikan mutu suatu organisasi. Mengendalikan organisasi yaitu menciptakan organisasi secara kondusif bisa mencapai tujuan secara efektif dan efisien.Apabila terjadi penyelewengan harus dilakukan upaya mengembalikan ke arah semula sesuai dengan hasil evaluasi. Pengertian pengendalian dalam hal ini adalah proses yang menetapkan kepastian bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai dengan perencanaan. Tahap-tahap pengendalian meliputi: •
Menetapkan standar kinerja
•
Mengukur kinerja
•
Membandingkan hasil kerja dengan standar kinerja
•
Menentukan tindakan korektif apabila terjadi penyelewengan.
136
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
E.
Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah
Semua fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, motivasi, kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, pengawasan, dan pengendalian memerlukan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Perubahan situasi dan kondisi yang sangat cepat menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam manajemen yang mendorong manajer untuk mampu membuat sejumlah keputusan yang tepat dan cepat.Untuk mampu mengimbangi cepatnya perubahan waktu, seorang manajer harus sanggup menghadapi minimal tiga tantangan yaitu (1) keadaan yang sangat kompleks, (2) keadaan yang tidak menentu, (3) tuntutan untuk dapat bertindak luwes. Kualitas suatu keputusan merupakan cermin dari daya pikir manajer.Oleh karena itu, berfikir dalam hubungannya dengan mengambil keputusan dan memecahkan masalah harus diusahakan agar kegiatan manajemen efektif dan efisien. Pengertian Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan ialah proses memilih sejumlah alternatif. Artinya pengambilan keputusan penting bagi manajer pendidikan karena proses pengambilan keputusan mempunyai peran penting dalam memotivasi, kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dan perubahan organisasi. Keputusan yang diambil berpengaruh terhadap pelanggan pendidikan terutama peserta didik.Oleh karena itu, setiap manajer pendidikan harus memiliki keterampilan mengambil keputusan secara cepat dan tepat. (Husaini, 2006: 321-322). Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pernyataan. Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan 137
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula.(Hasan, 2004). James A. F..Stoner (1996) memberikan definisi atau pengertian keputusan sebagai pemilihan diantara alternatifalternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu : 1) Ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan 2) Ada beberapa alternatif yang harus ada dan dipilih salah satu yang terbaik 3) Ada tujuan yang ingin dicapai, dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tertentu. Keputusan adalah sutau reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang dilakukan secara sadar dengan cara menganalisis kemungkinan-kemungkinan dari alternatif tersebut bersama konsekuensinya. Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir, dapat berupa tindakan atau opini.Itu semua bermula ketika perlu untuk melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk itu keputusan dapat dikatakan rasional atau irrasional dan dapat berdasarkan asumsi kuat atau asumsi lemah. Model-model pengambilan Keputusan Ditinjau dari karakteristiknya, keputusan diklarifikasikan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: • Keputusan Otoritatif Keputusan otoritatif adalah setiap keputusan yang dipaksakan oleh seorang kepala sekolah kepada orang lain, seperti guru dan staf tata usaha. Keputusan semacam ini biasanya berupa kebijakan yang dibuat oleh pimpinan sekolah yang otoriter, yang pelaksanaannya dipaksakan kepada bawahan yang tidak berdaya. Manajemen sekolah yang membuat keputusan secara otoriter tidak mengenal bawahan yang banyak bicara. Bawahan tidak diberi 138
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
kesempatan untuk membuat alasan apakah dia menerima atau menolak keputusan yang telah dibuatnya.Bawahan, oleh pimpinan atau manajer, hanya dianggap sebagai aparat pelaksana atau “sapi perahan” yang dapat dikendalikan sedemikian rupa. Keputusan Pribadi Keputusan pribadi adalah setiap keputusan yang diambil oleh individu atas nama pribadi. Kalau hal itu diambil oleh orang uang sedang menjabat, keputusan ini harus benar-benar terpisah dari statusnya sebagai pejabat, meski statusnya sedang menduduki jabatan tertentu. Ketika seorang pejabat membuat keputusan itu benar-benar atas nama pribadi. Jika tidak ada ketegasan semacam itu, akanmelahirkan dilema bagi organisasi. Bahkan dengan menyebut bahwa keputusan yang diambil itu atas nama pribadi, seringkali dikaitkan dengan posisinya sehingga melahirkan problema organisasional. •
Keputusan Organisasi Setiap keputusan yang diambil oleh organisasi formal.Keputusan organisasi merupakan keputusan kolektif, ketika personal organisasional harus mematuhi kebijakan itu.Keputusan kepala sekolah mutlak diperlukan, karenakeberlangsungan organisasi ditentukan oleh sampai seberapa jauh organisasi itu dapat membuat keputusankeputusan baru. •
Adakalanya ketiga jenis keputusan ini dikacaukan. Pada situasi tertentu, misalnya dalam keadaan memaksa, seorang pimpinan membuat keputusan otoritatif karena tidak ada pilihan lain. Keputusan organisasi telah menjadi tanggung jawab individu atau kelompok yang ada di dalam organisasi. 139
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Mungkin saja keputusan hanya diambil oleh pimpinan puncak, tetapi kesiapan personal organisasional secara keseluruhan mutlak diperlukan untuk merealisasikan keputusan itu. Sedang model-model pengambilan keputusan yang lain adalah sebagai berikut : • Model Mintzberg, Drucker, dan Simon Mintzberg, et al. (1976) memberikan tiga tahap dalam proses pengambilan keputusan yaitu: 1) Pada tahap identifikasi, pengambilan keputusan memahami dan peluang membuat diagnosis. 2) Pada tahap pengembangan, mengambil keputusan mencari standar prosedur yang tersedia atau pemecahan masalah sebagai desain baru. 3) Sedangkan pada tahap pemilihan, pengambilan keputusan dapat memilih dengan menggunakan pertimbangan, analisis logis, basis sistematis, atau bargain. Drucker (1993) seorang ahli pemimpin organisasi memberikan enam langkah dalam pengambilan keputusan, yaitu: 1) Mengidentifikasi masalah 2) Menganalisis masalah 3) Mengembangkan alternatif pemecahan masalah 4) Memutuskan atau pemecahan masalah terbaik 5) Merencanakan tindakan yang efektif 6) Memantau dan menilai hasilnya. Simon (1997) pemenang Nobel teori pengambilan keputusan menggambarkan proses pengambilan keputusan dalam tiga tahap, yaitu: 140
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
1) Kegiatan inteligen, pengambilan keputusan diawali dengan mengintai dan mengidentifikasi situasi dan kondisi lingkungan. 2) Kegiatan desain, mengambil keputusan menemukan, mengembangkan dan menganalisis kemungkinan dari aksi yang akan diambil. 3) Kegiatan pemilihan, pengambilan keputusan dengan memilih satu yang terbaik dari sejumlah alternatif. Dari ketiga pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses pengambilan meliputi tiga kegiatan, yaitu (1) kegiatan yang menyangkut pengenalan, penentuan dan diagnosis masalah, (2) kegiatan yang menyangkut pengembangan alternatif pemecahan masalah, dan (3) kegiatan yang menyangkut evaluasi dan memilih pemecahan masalah terbaik.
Keputusan rasional Keputusan dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu : a. Keputusan terprogram ialah keputusan yang selalu diulang kembali. Contohnya : keputusan kenaikan kelas peserta didik, pengangkatan, penetapan gaji pegawai baru, keputusan pensiun, dan sebagainya. b. Keputusan tidak terprogram ialah keputusan yang diambil untuk menghadapi masalah yang rumit atau baru. Contohnya : keputusan lembaga baru, keputusan terjadinya musibah kebakaran, robohnya bangunan sekolah, dan sebagainya.
Keputusan berdasarkan lapangan Model ini paling banyak digunakan sekolah karena ingin melibatkan partisipasi warga sekolah dalam mengambil
141
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
keputusan. Empat teknik penting dalam pengambilan keputusan berdasarkan lapangan adalah: 1) Curah pendapat (brainstorming), 2) Teknik grup nominal, 3) Teknik Delphi, 4) Pembela yang menantang apa yang dianggap baik (devil‘s advocate).
Keputusan Pokok Masalah Masalah yang dihadapi adalah buruknya manajemen, akibatnya adalah rendahnya mutu.Penyebabnya adalah perencanaan tidak mantap, pelaksanaan tidak tepat, pengawasan tidak ketat. Dipilih lagi satu penyebab yang prioritas misalnya pelaksanaan tidak tepat.Penyebab pelaksanaan tidak tepat adalah rendahnya motivasi kerja, lemahnya kepemimpinan, lambatnya memecahkan masalah, kurang baiknya komunikasi, dan kurang baiknya koordinasi. Penyebab pelaksanaan tidak tepat tidak boleh samamaknanya, misalnya lemahnya koordinasi, yang lain lagi kurang baiknya koordinasi atau koordinasi belum efektif.
Penyebab Terjadinya Kesulitan Pengambilan Keputusan • Kurang lengkapnya informasi dan data yang diperlukan •
Kesulitan menggunakan tolak ukur
•
Munculnya tujuan ganda
•
Adanya lebih dari satu orang yang berwenang mengambil keputusan
Pemecahan Masalah dalam Manajemen Pendidikan Pemecahan masalah ialah suatu proses pengamatan dan pengenalan serta usaha mengurangi perbedaan antara keadaan 142
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan
sekarang (das sein) dengan keadaan yang akan datang yang diharapkan (das sollen). Pemecahan masalah mengusahakan pendekatan antara jurang pemisah kesenjangan yang ada.Masalah ialah perbedaan das sein dengan das sollen. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, manajer selalu berhadapan dengan berbagai masalah karena masalah merupakan dinamika kehidupan.Manusia masih hidup, selama itu pula masalah pasti ada, baik itu masalah besar atau masalah kecil.Jika masalah satu telah berhasil dipecahkan, maka timbul pula masalah lainnya.Tidak jarang pemecahan masalah satu belum selesai, justru menimbulkan masalah baru. Demikian seterusnya, permasalahan yang mungkin dihadapi oleh manajer sekolah antara lain ialah masalah proses pembelajaran, kesiswaan, ketenagaan, sarana, prasarana, keuangan, laboratorium, perpustakaan, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. Agar permasalahan itu di atasi secara efektif dan efisien, manajer pendidikan harus mampu mengintegrasikan permasalahan yang dihadapinya dan mensinkronisasikan ketatalaksanaannya.Oleh sebab itu, manajer pendidikan perlu dibekali kemampuan mengatasi masalah dan mensinkronisasikan ketatalaksanaannya melalui teori pemecahan masalah. Langkah-langkah pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Menemukan persoalan •
Mengetahui mengapa persoalan itu harus dipecahkan.
•
Mengetahui mana yang harus benar-benar bermakna.
•
Membedakan persoalan dengan petunjuk adanya persoalan.
2) Mencari sebab persoalan Mencari semua penyebab yang memungkinkan terjadinya permasalahan. 143
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
3) Mencari faktor yang paling berpengaruh •
Menemukan penyebab utama dari semua penyebab yang mungkin.
•
Mengakibatkan penyelesaian masalah yang paling bermakna.
4) Merencanakan langkah-langkah yang tepat •
Menentukan tindakan yang perlu dilakukan dengan menggunakan 5W + 1H.
5) Menjalankan sesuai rencana 6) Memeriksa hasilnya •
Membandingkan hasil dengan rencana.
•
Mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
7) Mencegah timbulnya persoalan yang sama •
Apabila rencana terdapat buat standarisasi
•
Apabila ada penyimpangan buat tindakan korektif dan perbaikan
8) Memperhatikan persoalan yang masih ada. •
Melihat kembali persoalan yang belum terselesaikan.
•
Untuk memulai kembali dengan langkah (1).
144
BAB IV MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
A. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Sejak dimulainya otonomi daerah (Otda) Januari 2001, Pemerintah menggulirkan reformasi dan demokratisasi pendidikan yaitu pemberdayaan sekolah di semua jenjang pendidikan. Husaini (2010: 622) menjelaskan bahwa: Tujuan otda di bidang pendidikan antara lain 1) meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih dekat, cepat, mudah, dan sesuai kebutuhan masyarakat dengan menekankan pada prinsip demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa (memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah), sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; 2) pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat ; 3) memberikan keteladanan, membangun kemauan ; 4) mengembangkan kreativitas peserta didik; 5) mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung, dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat (peran serta masyarakat); 6) pemerataan dan keadilan; 7) meningkatkan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan; 8) akuntabilitas publik; 9) transparansi; 10) memperkuat 145
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
integritas bangsa (memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI; 11) meningkatkan daya saing di era global. Jika tujuan ini tercapai maka hal-hal inilah yang menjadi dampak positif otda terhadap input pendidikan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, kewenangan pengelolaan pendidikan sebagian diserahkan ke pemerintah daerah, meliputi administrasi pegawai, pembiayaan, perlengkapan, dan sarana pendukungnya. Dampak positif pemerintah tersebut sampai tingkat ke sekolah, dengan menuntut pemerintah untuk memberikan otonomi pengelolaan sekolah. Depdiknas (sekarang Kemendikbud) kemudian terdorong untuk melakukan reorientasi Manajemen Berbasis Sekolah/MBS (School Based Management / SBM) atau site based management. Hal ini disadari, bahwa kenyataan menunjukkan bahwa rendahnya mutu sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah jeleknya manajemen pendidikan. Edward Sallis (1993 : 7), mengatakan bahwa salah satunya tantangan yang dihadapi sekolah adalah kualitas manajemennya. Pendapat ini sejalan degan aturan 85/15 yang dikemukakan oleh Juran seperti dikutip Edward Sallis (1993: 52), bahwa 85 % masalah dalam suatu organisasi ditentukan oleh mutu manajemennya dan 15 % dari faktor lainnya. 1.
Pengertian MBS Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
146
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto (2004) merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Sedangkan Nurcholis(2003) mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami kompleksitas pendidikan, membantu serta turut mengontrol pengelolaan pendidikan. Adapun kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula diperhatikan oleh kepala sekolah. Dengan demikian sekolah dituntut memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah, karena keduanya merupakan penyelenggara pendidikan di sekolah. 2. Tujuan MBS • Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; •
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 147
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
•
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
•
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
3.
Manfaat MBS MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya :
Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
Guru didorong untuk berinovasi;
Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
4.
Prinsip MBS Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain sebagai berikut: ¾ Komitmen kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS. ¾ Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS. ¾ Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak. ¾ Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif. 148
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
¾ Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan. ¾ Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum. ¾ Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana. ¾ Ketahanan, perubahan atau bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders sekolah. (Husaini, 2010 : 624).
B. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Prasyarat penerapan MBS yang perlu dipenuhi sekolah adalah sebagai berikut: •
MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
•
MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap .
•
Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
•
Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
•
Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
Sedangkan langkah-langkah penerapan MBS meliputi 10 (sepuluh) tahap berikut ini. (Suryosubroto, 2004). 149
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
1.
Sosialisasi Sekolah mensosialisasikan konsep MBS kepada seluruh warga sekolah dan masyarakat melalui berbagai kegiatan antara lain seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja. Kegiatan mensosialisasikan MBS dapat dilakukan dengan cara: a. Melakukan identifikasi dan mengenalkan sistem, budaya, dan sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan MBS. b. Membuat komitmen secara rinci jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumber daya yang cukup mendasar. c. Mengklarifikasikan visi, misi dan tujuan, sasaran rencana dan program-program penyelenggara MBS. d. Memberikan penjelasan secara rinci mengapa diperlukan manajemen berbasis sekolah. e. Mendorong sistem, budaya, dan sumber daya manusia yang mendukung penerapan MBS dan memberi penghargaan kepada warga sekolah yang menerapkannya. f. Mengarahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program sekolah. 2.
Identifikasi tantangan sekolah. Sekolah mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. Tantangan adalah selisih antara hasil yang diharapkan di masa yang akan datang, contoh hasil prestasi akademik dan non akademik. Tantangan sekolah bersumber dari hasil sekolah yang dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisien.
150
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
3.
Visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah Setiap sekolah memiliki visi yang berisi tentang:
a. Wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. b. Pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa c. Gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. 4.
Identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan. Fungsi-fungsi yang digunakan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu tingkat kesiapannya, antara lain fungsi proses pembelajaran, pengembangan kurikulum, perencanaan dan evaluasi, ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas. 5.
Analisis SWOT Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dilakukan untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Fungsi yang memadai sebagai kekuatan dan fungsi yang kurang dinyatakan sebagai kelemahan, untuk faktor internal dan ancaman. 6.
Alternatif Pemecahan Masalah Tindakan tersebut merupakan upaya untuk mengatasi kelemahan maupun ancaman, agar menjadi kekuatan atau peluang, yakni dengan memanfaatkan faktor lain yang menjadi kekuatan atau peluang, yakni dengan memanfaatkan faktor lain yang menjadi kekuatan atau peluang. 151
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
7.
Rencana dan Program Sekolah Rencana harus menjelaskan secara detail aspek-aspek yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan siapa, kapan, dan dimana dilaksanakan, serta biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah dalam mewujudkan keterpaduan dalam pelaksanaan. 8.
Implementasi rencana dan Program Sekolah Dalam kaitannya dengan implementasi Rencana dan Program sekolah, kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin semata-mata untuk kualitas pembelajaran. 9.
Evaluasi pelaksanaan Sekolah harus melakukan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek (akhir semester), jangka menengah (satu tahun) dan jangka panjang untuk mengetahui seberapa jauh program sekolah memenuhi tuntutan pasar. Hasil evaluasi dibuat laporan meliputi laporan teknis yang menyangkut program pelaksanaan dan hasil MBS serta laporan keuangan tentang penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. 10. Sasaran baru Hasil evaluasi untuk menentukan sasaran baru untuk tahun yang akan datang. Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi di sekolah.
152
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
C.
Sasaran dan Strategi Peningkatan Kualitas Melalui MBS
Sasaran MBS meliputi komponen pendidikan dan perlakuannya pada setiap tahap input, proses dan out-putnya. Pada tahap input pendidikan, sasarannya meliputi: 1. Pendidikan memiliki kebijakan, tujuan dari sasaran program yang jelas. Kebijakan tujuan dan sasaran sekolah harus disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, dan karakter yang kuat oleh warga sekolah. 2. Sumber daya yang tersedia. Sekolah harus memiliki sumber daya yang kuat baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya berupa uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan lain-lain. 3. Staf yang kompeten dan dedikasi tinggi. 4. Memiliki harapan prestasi yang tinggi Kepala sekolah memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi untuk mencapai prestasi serta peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. 5. Fokus pada pelanggan Peserta didik merupakan fokus utama semua kegiatan proses pembelajaran yang dikerahkan di sekolah dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. 6. Manajemen Kelengkapan dan kejelasan manajemen dibutuhkan sekolah untuk membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif. 153
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dalam bidang pendidikan biasanya penekanannya pada: 1. Proses pembelajaran yang efektifitasnya tinggi. Proses pembelajaran yang menekankan pada bekerja, belajar hidup bersama dan belajar menjadi diri sendiri. 2. Kepemimpinan sekolah yang tangguh. Kepala sekolah yang memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang tangguh, kuat, dan mampu meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. 3. Lingkungan sekolah yang tertib, aman, dan nyaman. 4. Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif. 5. Sekolah memiliki budaya mutu. Sekolah memiliki kualitas informasi untuk perbaikan hasil diikuti penghargaan atau sanksi, warga merasa aman, warga sekolah merasa memiliki sekolah. 6. Sekolah memiliki kebersamaan yang kompak. Sekolah memiliki budaya kerjasama antar individu tanpa adanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat menghambat kemajuan sekolah. 7. Sekolah memiliki kewenangan. Kewenangan sekolah merupakan kesanggupan kerja dan tidak menggantungkan orang lain. Kepala sekolah mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menuju sekolah yang lebih baik. 8. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat Hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupan sekolah yang paling tinggi terutama di bidang non akademik dan akademik.
154
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
9. Keterbukaan (transparansi) manajemen. Masalah manajemen perlu keterbukaan antara warga sekolah dan masyarakat terutama komite sekolah. Apalagi manajemen tersebut menyangkut perencanaan anggaran (RAPBS) dan penggunaan uang sekolah. Komite sekolah harus tahu terutama menyangkut anggaran sekolah. 10.Sekolah memiliki kemauan untuk berubah. Perubahan sekolah diharapkan menuju yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan fisik sekolah, prestasi akademik dan non akademik. 11.Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan. Evaluasi bukan sekedar untuk memenuhi daya serap siswa menerima pelajaran. Namun, evaluasi dapat dipakai tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah pada proses pembelajaran selanjutnya. Sekolah harus selalu melaksanakan evaluasi secara terus-menerus baik berupa pengayaan maupun perbaikan untuk siswa demi peningkatan mutu di sekolah. 12.Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. Sekolah harus mampu mengantisipasi setiap kejadian yang ada di sekolah terutama menyangkut mutu sekolah. Sekolah tidak pasif melainkan antisipatif mencari ke sekolah-sekolah lain atau ke lembaga-lembaga pendidikan dengan kata lain menjemput bola demi kemajuan sekolah. 13.Sekolah memiliki komunikasi yang baik. Sekolah memiliki komunikasi yang baik terutama antara warga sekolah. Kebersamaan antar warga sekolah dapat mengantar sekolah ke hal-hal yang lebih bermutu. Contoh Kelompok Kerja Guru disetiap Gugus Sekolah.
155
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
14.Sekolah memiliki Akuntabilitas. Sekolah memiliki tanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan program sekolah. Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang harus dilaporkan kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program, pemerintah dapat menilai apakah program MBS dapat mencapai tujuan atau tidak. Jika mencapai tujuan maka diberi penghargaan atau sebaliknya jika tidak berhasil perlu diberikan sanksi atau teguran atas kinerjanya yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan para orang tua murid dapat memberikan penilaian terhadap program MBS yang dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya atau kinerja sekolahnya. Jika berhasil, orang tua dapat memberikan dorongan dan semangat kepada sekolah, atau sebaliknya jika tidak berhasil orang tua dapat meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan yang telah dilakukan. Pada out put pendidikan, dengan adanya MBS diharapkan sekolah mendapatkan prestasi akademik maupun non akademik. Prestasi akademik seperti NEM, lomba karya ilmiah, olympiade, siswa berprestasi, guru berprestasi, kepala sekolah teladan, dan sebagainya. Sedangkan prestasi non akademik berupa kesenian, olah raga, pramuka, lingkungan, dan sebagainya. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS. Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentralisasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu
156
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni: ¾ Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orang tua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ¾ Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan Ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut. ¾ Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah. ¾ Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penalaran MBS.
157
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
D. Kendala-kendala Penerapan MBS Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut: 1.
Tidak berminat untuk terlibat Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya untuk dalam halhal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu. 2.
Tidak efisien Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu. 3.
Pikiran kelompok Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis. 158
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
4.
Memerlukan Pelatihan Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya. 5.
Kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru. Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihakpihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan. 6.
Kesulitan koordinasi Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
159
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
E.
Indikator Keberhasilan Penerapan MBS
MBS dikatakan sukses apabila sekolah bisa menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya kemandirian sekolah yang kuat. 2. Adanya kemitraan sekolah yang efektif . 3. Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat. 4. Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat. 5. Adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah dari program peningkatan mutu. (Husaini, 2010 : 629). Dalam menerapkan program MBS, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan Sekolah dan Dinas Pendidikan di Daerah seharusnya merupakan mitra kerja yang saling mendukung. Karena tujuan diadakannya komite dan dewan pendidikan menurut Kemendikbud adalah mewujudkan cita-cita pendidikan yang ideal.
160
BAB V KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan Banyak definisi pemimpin dan kepemimpinan dari para ahli menurut cara pandang yang berbeda-beda. Pada dasarnya pemimpin dan kepemimpinan merupakan seni dan ketrampilan seseorang dalam memanfaatkan kekuasaannya untuk mempengaruhi orang lain agar melakukan kegiatan tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Semua manusia menurut kodrat dan iradatnya dilahirkan menjadi pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri, karena mempunyai akal dan hati.Akal dan hati perlu dipimpin ke jalan yang lurus dengan mengacu pada sistem nilai yang berlaku dan ilmu pengetahuan.Nabi Muhammad SAW juga bersabda bahwa semua manusia adalah pemimpin dan kelak diminta bertanggungjawab dari kepemimpinannya. Istilah pemimpin, dalam bahasa Inggris leader adalah subjek atau pelaku dari unsur-unsur yang terdapat dalam kepemimpinan, yaitu kekuasaan, pengaruh, kekuatan, penanggungjawab utama bagi semua kegiatan yang dilakukan bawahannya. (Thoha, 1995: 3). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibagi beberapa unsur penting, yaitu: 161
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
•
Adanya unsur kekuasaan, artinya orang yang menguasai organisasi dan sekaligus mengendalikannya.
•
Adanya unsur intruksional, artinya mempunyai wewenang memberikan tugas, perintah kepada bawahannya.
•
Adanya unsur responsibility, artinya penanggungjawab utama atas kinerja organisasi.
•
Adanya unsur pendelegasian, artinya berhak dan berwenang mengalihkan tugasnya kepada bawahan.
•
Adanya unsur supervisi, artinya mempunyai kewajiban membina dan mengarahkan bawahannya.
•
Adanya unsur strategi, artinya orang yang mempunyai power dalam mengembangkan organisasi.
•
Adanya unsur budaya, artinya orang yang menciptakan model dan pola perilaku dalam organisasi.
•
Adanya unsur kharismatika, artinya memiliki wibawa yang terbentuk secara formal struktural maupun kultural.
Pengertian pemimpin lainnya, dikemukakan olehHikmat (2009: 249) berikut ini; Pemimpin adalah: 1. Orang yang berwenang mengendalikan organisasi dan semua struktur yang ada. 2. Orang yang memiliki kemampuan meningkatkan sumber daya manusia dan organisasi. 3. Orang yang paling berpengaruh di dalam organisasi. 4. Orang mempunyai kedudukan tertinggi dalam organisasi. 5. Orang yang paling bertanggung jawab atas seluruh kinerja organisasi. Dari beberapa pengertian pemimpin tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan kegiatan sesuai dengan harapannya dan tujuan organisasi. 162
Kepemimpinan Pendidikan
Sedangkan istilah kepemimpinan, dalam Bahasa Inggris Leadership yang dapat diartikan sebagai hubungan yang erat antara seseorang dan kelompok manusia, karena ada kepentingan sama. Hubungan yang dimaksud adalah tingkah laku yang tertuju dan terbimbing dari pemimpin dan yang dipimpin.(Ensiklopedia, 1993). Pengertian kepemimpinan dari beberapa ahli dapat dikemukakan berikut ini: 1. Kepemimpinan adalah suatu proses individu dalam mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan umum. (P.G.Northouse, 2003: 3). 2. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. (A.J.Dubrin, 2001: 3). 3. Kepemimpinan adalah suatu kepribadian (personality) seseorang yang mendatangkan keinginan pada kelompok orang-orang untuk mencontohnya atau mengikutinya, atau yang memancarkan suatu pengaruh tertentu, suatu kekuatan atau wibawa yang sedemikian rupa, sehingga membuat sekelompok orang mau melakukan apa yang dikehendakinya. (Prajudi Atmosudirdjo dalam Ngalim P, 1990). 4. Kepemimpinan adalah sebagai proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilainilai, norma dan sebagainya dari pengikut untuk merealisasikan visi. (Wirawan, 2001: 18). Mengacu pada pengertian tersebut, pada dasarnya dalam kepemimpinan mengandung beberapa indikator: 1) proses mempengaruhi orang lain; 2) mengarahkan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; 3) meyakinkan orang lain untuk memperoleh dukungannya; 4) faktor kepribadian sebagai 163
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
perilaku yang bisa mengarahkan aktifitas organisasi ; 5) proses realisasi visi organisasi. Kepemimpinan merupakan pelaksanaan ketrampilan mengelola orang lain, mengelola sumber daya manusia dan organisasi dalam tinjauan secara umum. Oleh karenanya setiap pemimpin harus memiliki managerial skill yang sangat berpengaruh pada kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga keahlian utama kepemimpinan adalah terampil mengendalikan situasi dan kondisi organisasi, yaitu dengan menentukan konsep masa depan organisasi dalam bentuk kerangka kerja yang visioner. Adanya pendelegasian tugas kepada bawahannya merupakan bagian dari kepemimpinan, sehingga bisa menjalin komunikasi, interaksi dan dapat diketahui mentalitas dan kinerjanya agar dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah rangkaian kemampuan dan kepribadian seseorang untuk dapat meyakinkan sekelompok orang, agar mereka mau mengikuti dan bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian antara pemimpin dan kepemimpinan dapat dipahami bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki kedudukan utama dalam menjalankan suatu organisasi sebagai motivator, stabilisator, katalisator, kreatordalam organisasi. Sedangkan kepemimpinan adalah proses pelaksanaan tugas dan kewajiban pemimpin, termasuk sifatnya sebagai bentuk atau pola kepemimpinannya. Adapun memimpin adalah melaksanakan niat tertentu untuk memenuhi tujuan, tetapi yang mengerjakan orang lain, yaitu orang yang dipimpin dengan kata lain orang yang diperintah, dipengaruhi, dan diatur oleh ketentuan yang berlaku secara formal maupun non formal. 164
Kepemimpinan Pendidikan
B. Pendekatan Kepemimpinan Dalam studi kepemimpinan terdapat beberapa pendekatan atau teori kepemimpinan.Engkoswara dkk (2010: 179) merangkum pendekatan-pendekatan tersebut menjadi 3 (tiga) pendekatan, yaitu pendekatan sifat (Thraits approach), pendekatan perilaku (behavioral approach) dan pendekatan situasional (kontingensi). Pendekatan sifat (Thraits approach) Pendekatan ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat atau watak.Kualitas pribadi yang dimiliki, banyak ahli yang berusaha meneliti dan mengemukakanpendapatnya tentang sifat-sifat baik manakah yang diperlukan bagi seorang pemimpin agar sukses dalam kepemimpinannya.Pemimpin yang memiliki ciri kepemimpinan adalah seseorang yang memiliki kualitas diri yang baik tercermin dari sifat-sifat atau watak.Secara umum sifat utama seorang pemimpin adalah kecerdasan, energik, bijaksana, tanggung jawab, jujur, dapat dipercaya.
•
Hikmat (2009: 253) mengemukakan sifat-sifat kepemimpinan sebagai berikut: 1. Energik, artinya memiliki semangat yang tinggi dan terbaik dibandingkan dengan bawahannya; 2. Emosinya stabil, yairu telaten dalam melaksanakan tugastugasnya; 3. Mampu membangun relasi dengan semua bawahannya dan lingkungan eksternal organisasinya; 4. Memiliki motivasi yang kuat di dalam jiwanya untuk memimpin dengan baik; 5. Idealis, artinya memiliki gagasan dan cita-cita yang tinggi untuk diri dan organisasinya; 165
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
6. Mampu membimbing dan mengarahkan bawahannya; 7. Rasional dalam memecahkan masalah; 8. Memiliki moralitas tinggi yang patut diteladani; 9. Inovatif, kreatif, dan konstruktif; 10.Berwawasan luas; 11.Sehat jasmani dan rohani; 12.Memiliki keahlian tehnis, dan konseptor andal; 13.Jujur dan amanah; 14.Bertanggung jawab; 15.Demokratis, bisa memahami situasi dan kondisi bawahan. Sedangkan Davis dalam Engkoswara (2010: 179) mengikhtisarkan 4 sifat utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan pemimpin, yaitu: (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi dan dorongan berprestasi, (4) sikap-sikap hubungan manusiawi. Meskipun telah banyak pendidikan tentang sifat-sifat kepemimpinan, tetapi hingga kini para peneliti tidak berhasil menemukan satu atau sejumlah sifat yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan menggunakan pendekatan sifat saja, masalah kepemimpinan tidak akan dapat dipahami dan diselesaikan dengan baik. Pendekatan Perilaku (behavioral approach) Pendekatan perilaku (behavioral approach) merupakan pendekatan yang berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh sikap dan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin yang bersangkutan. Sikap dan gaya kepemimpinan itu tampak dalam kegiatannya sehari-hari, dalam hal bagaimana cara pemimpin itu memberi perintah, membagi tugas dan
•
166
Kepemimpinan Pendidikan
wewenangnya, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat kerja bawahan, cara menyelenggarakan dan memimpin rapat anggota, cara mengambil keputusan dan sebagainya. Sehingga pendekatan ini memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari pola tingkah laku bukan dari sifat-sifat pemimpin, bahwa sifat seseorang sulit diidentifikasi secara pasti. Di samping itu, teori atau pendekatan perilaku ini juga beranggapan bahwa kepemimpinan diciptakan oleh hubungan antar manusia.Oleh karenanya keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh kemampuan pemimpin sendiri bersama bawahannya. •
Pendekatan Situasional (Kontingensi)
Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan bergantung pada situasi dan kondisi.Suatu organisasi atau lembaga memiliki ciri-ciri khusus dan keunikan tersendiri.Demikian pula pada organisasi atau lembaga yang sejenis pun akan menghadapi masalah yang berbeda karena lingkungan yang berbeda, semangat dan watak bawahan yang berbeda. Situasi dan kondisi ini harus dihadapi dengan pola kepemimpinan yang berbeda pula.Banyak kemungkinan yang dapat diterapkan dalam pola kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi, sehingga pendekatan ini dinamakan juga pendekatan kontingensi yang berarti kemungkinan. Pendekatan situasional ini dikembangkan lebih lanjut oleh Fred E. Fielder dan Hersey. Menurut Fielder (1973), seorang pemimpin cenderung berhasil dalam menjalankan kepemimpinannya apabila menerapkan model kepemimpinan yang berlainanuntuk menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda. Selanjutnya dikemukakan bahwa menentukan efektif tidaknya kepemimpinan tergantung dengan 3 (tiga) variabel, yaitu (1) hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, 167
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
artinya hubungan mereka harus baik, pemimpin disenangi oleh anggotanya dan ditaati segala perintahnya; (2) derajat struktur tugas, maksudnya struktur tugas-tugas terperinci dengan jelas dan bisa dipahami oleh anggotanya, setiap anggota memiliki wewenang dan tanggung jawab masingmasing secara jelas sesuai dengan fungsinya; (3) kedudukan kekuasaan pimpinan, maksudnya pemimpin harus kuat dan kelas kedudukan kekuasaannya secara formal, sehingga memperlancar usaha untuk mempengaruhi anggotanya. Hersey dan Blanchard dalam Engkoswara (2011: 184) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan, yaitu (1) kepribadian, pengalaman masa lampau dan harapan pemimpin, (2) harapan dan perilaku atasan; (3) tuntutan tugas yang diberikan; (4) harapan dan perilaku rekan sejawat; (5) karakteristik, harapan dan perilaku bawahan; (6) kultur dan kebijakan organisasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa kepemimpinan yang paling efektif adalah sesuai dengan kematangananggota organisasi, yaitu kesiapan anggota menerima tanggung jawab dan tugas serta memiliki motivasi untuk berprestasi. Seorang pemimpin perlu menerapkan pola kepemimpinannya dengan cara menyesuaikan perkembangan setiap tahap kematangan anggota. Untuk melaksanakannya ada 4 (empat) tipe tahapan berikut ini: Tahap Direktif atau Telling: pemimpin sebagai pengambil keputusan dan memberi komando atau perintah kepada anggota, sehingga terjadi komunikasi hanya satu arah saja dari atas ke bawah. Tahap Konsultatif atau Selling: pemimpin masih sebagai penanggung jawab dan pengambil keputusan, tetapi sudah mulai ada komunikasi dua arah.
168
Kepemimpinan Pendidikan
Tahap Partisipatif: pemimpin menciptakan interaksi dengan anggotanya (komunikasi dua arah) berdasarkan respek dan kepercayaan. Sehingga dalam pengambilan keputusan, pemimpin mulai melibatkan anggotanya dan yakin bahwa anggota sudah memiliki kematangan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Tahap Delegasi: pemimpin yakin bahwa apabila anggota organisasi diberi kepercayaan dan tanggung jawab, maka mampu untuk memecahkan masalah dan bisa mengambil keputusan dengan tepat. Keempat tahap tersebut hendaknya dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi, baik berupa jenis pekerjaan, waktu, watak anggota, harapan dan keinginan anggota, arah dan tujuan organisasi, tingkat kematangan anggota, dan sebagainya.Sehingga pemimpin harus menerapkan pola kepemimpinannya disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya.
C.
Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan bukan monopoli individu pemimpin, melainkan sebagai fungsi struktur kelompok.Dalam kelompok tersebut dibutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan, membimbing, mengarahkan, memotivasi, memberikan inspirasi dan mengajak dengan suka rela terhadap orang lain dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sehingga diperlukan adanya seorang pemimpin yang efektif.Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, baik kebutuhan bekerja, motivasi, rekreasi, kesehatan, sandang, pangan, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya yang pantas didapatkannya.Dan kepemimpinan akan terjadi secara efektif apabila pemimpin 169
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
dapat melakukan fungsi utamanya, yaitu menjalankan kepemimpinannya dengan baik dan benar berdasarkan aturan yang ditetapkan organisasi. Fungsi utama kepemimpinan yaitu (1) berhubungan dengan Tugas (task-related) atau fungsi pemecahan masalah, dan (2) berhubungan dengan pembinaan kelompok (group maintenance) atau fungsi sosial. (Engkoswara dan Aan Komariah, 2011: 180). Fungsi tugas untuk memudahkan koordinasi kelompok dan memecahkan masalah secara mufakat.Sedangkan fungsi sosial untuk membantukegiatan kelompok lebih lancar, menjembatani perbedaan pendapat, meredam konflik, dan dapat memberikan perasaan bahagia dan empati kepada anggota. Pada umumnya, fungsi pemimpin dalam suatu lembaga atau organisasi adalah sebagai: 1. Manajer organisasi, yaitu pengelola utama dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban kegiatan organisasi. Sehingga pemimpin harus memiliki 3 (tiga) ketrampilan, yaitu a. Tehnical skills b. human skills c. conceptual skills 2. Pengambil keputusan (Decision making). Proses pengambilan keputusan dimulai pada saat seorang pimpinan menyadari adanya suatu masalah yang perlu dipecahkan dan berakhir pada saat ia menggerakkan anggotanya untuk melaksanakan keputusan yang telah diambil. Pengambilan keputusan ini akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan organisasi serta kesejahteraan anggotanya.
170
Kepemimpinan Pendidikan
Dalam hubungannya dengan teknik pengambilan keputusan oleh seorang pimpinan, ada dua kategori pengambilan keputusan yang dapat dilakukannya, yaitu (1) keterampilan analisis dan (2) keterampilan operasional. Ada sepuluh macam keterampilan analisis yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan yaitu sebagai berikut. (1)Kemampuan untuk menemukan suatu frame of reference Suatu frame of reference memang tidak terbentuk begitu saja, tetapi melalui suatu proses yang lama yang diperoleh dari observasi, informasi dan pengalaman yang langsung mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak seseorang dalam menghadapi suatu masalah. (2)Kemampuan mengasosiasikan Kemampuan untuk melihat keserupaan, saling hubungan, dan interpedensi antara sesuatu hal dengan hal yang lain yang disebut kemampuan mengasosiasikan. (3)Persepsi urutan Kemampuan untuk melakukan persepsi urutan sebenarnya berkenaan dengan dimensi waktu.Dimensi waktu yang dimaksud adalah kemampuan untuk menghubungkan masa lalu yang dimanifestasikan oleh pengalaman dengan masa sekarang dan dapat diantisipasikan untuk masa mendatang. (4)Elaborasi Kemampuan untuk mengisi suatu kerangka secara sistematis adalah kemampuan untuk mengelaborasi sesuatu.
171
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
(5)Generalisasi Kemampuan untuk dapat menggali dari sesuatu yang banyak merupakan tuntutan pimpinan dalam meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan. Generalisasi merupakan upaya untuk merumuskan kebijaksanaan. (6)Mengorganisasi Artinya memiliki keterampilan untuk membagi-bagi keseluruhan sehingga keseluruhan ini mempunyai hubungan yang logis. (7)Kemampuan melihat hal-hal yang strategis Ini merupakan kemampuan seseorang untuk dapat mengantisipasi sehingga pengambilan keputusannya tepat. (8)Orientasi kepada tujuan Apa yang dilakukan pimpinan dalam tindakannya selalu dihubungkan dengan tujuan. Oleh sebab itu pemahaman terhadap tujuan organisasi sangat penting bagi pengambilan keputusan. (9)Objektivitas dan skeptimisme Kemampuan seseorang untuk menerima pendapat orang lain dan menelitinya sebelum ia menerima adalah hubungan untuk terciptanya keputusan yang tepat. (10) Kemampuan membangun relasi secara internal maupun eksternal organisasi. Dengan memahami aspirasi anggota dan harapan serta kepentingan lingkungan di luar organisasi menjadi hal yang sangat urgen bagi ketepatan pengambilan keputusan. Keterampilan Operasional meliputi hal-hal sebagai berikut: 172
Kepemimpinan Pendidikan
(1) Penugasan para bawahan secara jelas. (2) Pendelegasian wewenang. (3) Penentuan sumber-sumber informasi supaya mudah dalam pemecahannya. (4) Menyediakan media komunikasi yang cukup. (5) Mengendalikan disiplin. (6) Penciptaan iklim kerja yang baik. (7) Menyediakan kegiatan-kegiatan penunjang yang mempercepat kepentingan keputusan. (8) Memelihara ketertiban operasional sehingga terdapat suasana saling menghargai dan menghormati anatara unsur-unsur pelaksana di dalam organisasi. (9) Kesadaran tentang pentingnya pelaksanaan kegiatan, termasuk pengambilan keputusan secara institusional. (10) Kemampuan mengorganisasi diri sendiri (11) Kemampuan untuk mengetahui alat apa yang diperlukan untuk suatu kegiatan (12) Kemampuan dalam berkomunikasi baik tertulis maupun lisan, karena melalui media komunikasilah ide, perintah, dan keputusan disampaikan oleh orang lain. (13) Membina kepribadian yang antion-oriented dan kurang kepada legal orientation. (14) Kemampuan bersifat tentang dalam hal menghadapi kesulitan operasional. (15) Kemampuan mendisiplinkan diri sendiri. 3. Motivator, yaitu memiliki motivasi yang kuat di dalam jiwanya untuk memimpin dengan baik dan mampu 173
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
memberikan dukungan penuh pada anggotanya untuk bekerja secara optimal. Sebagai upaya motivasi, pemimpin dapat melakukan kegiatan untuk meningkatkan gairah kerja, disiplin, kesejahteraan, prestasi kerja, moral kerja dan tanggung jawab terhadap tugas, produktifitas dan efisiensi kerja. Adapun tujuan pelaksanaan motivasi menurut Hasibuan (1991 : 96), adalah : a. Menyesuaikan perilaku anggota sesuai harapan pemimpin b. Meningkatkan gairah kerja c. Meningkatkan disiplin d. Meningkatkan prestasi kerja e. Meningkatkan moral kerja f. Meningkatkan kesejahteraan g. Meningkatkan tanggung jawab h. Meningkatkan loyalitas kepada perusahaan atau lembaga i. Meningkatkan produktifitas dan efisiensi j. Meningkatkan partisipasi pegawai. Pada dasarnya motivasi merupakan proses psikologis yang menggambarkan interaksi sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang berasal dari faktor dalam diri sendiri dan faktor dari luar dirinya. Sehingga jenis motivasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: •
Motivasi intrinsik Yaitu keinginan bertindak karena adanya faktor pendorong dari dalam dirinya sendiri. Misalnya sikap, kepribadian, pendidikan, pengalaman, cita-cita atau harapan masa depan.
174
Kepemimpinan Pendidikan
•
Motivasi ekstrinsik Yaitu hasrat melakukan sesuatu disebabkan adanya pengaruh rangsangan dari luar; bisa dari pimpinan, sejawat, lingkungan dan berbagai sumber yang lain. Pemimpin suatu organisasi atau lembaga perlu memiliki skill untuk bisa memotivasi anggotanya, sehingga tercapai tujuan secara produktif. Tehniktehnik motivasi tersebut, diantaranya adalah : •
Pemberian gaji yang memadai, sesuai dengan aturan
•
Pemberian insentif dengan tepat sesuai bentuk kinerja
•
Memperdulikan kebutuhan sosial.
•
Menghargai anggota.
•
Menciptakan suasana damai.
•
Menempatkan anggota pada posisi yang tepat.
•
Memberi kesempatan pengetahuan.
•
Memberikan fasilitas yang menyenangkan.
•
Mengikutsertakan anggota untuk bermusyawarah (Nitisemiko dalam Engkoswara, 2011 : 218)
untuk
menambah
4. Evaluator: pemimpin memiliki fungsi sebagai evaluator atau penilaiyaitu menilai kinerja anggotanya dan memberikan penghargaan bagi prestasi kerjanya serta sekaligus memperbaiki kinerja yang tidak sesuai program, prosedur maupun tujuan organisasi. Penilaian yang kontinu adalah penting, karena menjadi landasan usaha perbaikan dan penyesuaian kembali pada semua sub sistem lembaga atau organisasi sesuai keputusan perbaikan yang dibutuhkan.
175
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
5. Dinamisator dan katalisator organisasi. Maksudnya pemimpin berfungsi sebagai orang yang mampu memajukan organisasi secara kreatif dan inovatif. Sedangkan fungsi katalisator mempunyai maksud bahwa seorang pemimpin harus bisa mengendalikan situasi dan kondisi yang akan berpengaruh terhadap kemajuan atau kemunduran organisasi. Pemimpin yang dinamis, sangat menghargai perubahan secara kreatif dan inovatif. Hal ini memberi makna bahwa seorang pemimpin yang selalu berupaya untuk maju mampu menciptakan sesuatu yang baru dari hal-hal yang sudah ada dan mampu merubah gagasan atau ide menjadi sesuatu (barang atau jasa). Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang yang kreatif tetapi tidak inovatif.Orang yang demikian, idenya sangat berlimpah tetapi tidak mampu merubah idenya menjadi kenyataan. Pemimpin sebagai katalisator organisasi artinya harus mampu menjembatani situasi dan kondisi yang terjadi pada organisasinya.Situasi dan kondisi yang berbeda-beda menyebabkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap pemimpin. Berarti tingkah laku pemimpin pada situasi dan kondisi tertentu akan berbeda dengan tingkah laku pemimpin pada situasi dan kondisi yang lain. 6. Stabilisator. Artinya seorang pemimpin harus mempunyai kapabilitas terkuat dalam mempertahankan eksistensi organisasi. Di samping itu juga perlu dilandasi oleh filsafat keoptimisan, bahwa segala problema pasti dapat diselesaikan. 7. Supervisor. Yaitu orang yang membantu, membina, membimbing, melatih, mendidik, mengawasi, menilai dan
176
Kepemimpinan Pendidikan
turut serta dalam usaha-usaha perbaikan dan peningkatan mutu. Dalam berbagai aktifitasnya supervisor turut sebagai partisipan, pimpinan (leadership) dan menstimulir kerjasama anggota. Di samping itu juga mempunyai fungsi sebagai penilai (evaluator) dengan cara penelitian (research) dan merupakan usaha perbaikan (improvement).
D. Gaya Kepemimpinan Istilah gaya sering diidentikkan dengan kata model, tipe, style ataupun sikap. Kata mana yang dipilih dari semua kata tersebut, mengandung makna dan maksud yang sepadan, yaitu pola perilaku pemimpin dalam memperagakan kepemimpinannya. Kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik, karena dalam kepemimpinan diperlukan gaya yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi atau lembaga. Tetapi pada prinsipnya kepemimpinan tidak hanya masalah gaya yang di tampilkan oleh pemimpin, karena tidak satu gaya pun yang dapat diterapkan secara konsisten pada beragam situasi kondisi organisasi. Beberapa ahli kepemimpinan menyatakan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang baik untuk semua situasi, karena masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, penerapan gaya kepemimpinan tidak lebih penting daripada masalah kemampuan pemimpin dalam memperlakukan anggotanya secara manusiawi, sehingga tugas dapat diselesaikan tepat waktu dan berkualitas sesuai dengan standar yang diterapkan. Sejumlah ahli teori kepemimpinan mengemukakan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, sesuai dengan cara pandang masing-masing.
177
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
•
Engkoswara dan Aan Komariah (2011 : 180) mengemukakan 2 (dua) macam gaya kepemimpinan, yaitu: 1. Gaya dengan orientasi tugas (task oriented) 2. Gaya dengan orientasi pada anggota (employee-oriented) Gaya kepemimpinan berorientasi tugas berkeinginan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan memuaskan, tepat waktu, dan sempurna.Pemimpin dalam hal ini benar-benar mengendalikan anggotanya agar konsisten dan serius dalam pekerjaannya, bahkan kadang-kadang tidak peduli dengan urusan pribadi anggotanya. Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada anggota, pemimpin berusaha memberikan motivasi, membimbing dan mengarahkan secara empati dan mempercayai anggota untuk bekerja dengan karya sendiri.
•
Fred E. Fielder, dikenal dengan gaya kontingensi, dinyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh 3 (tiga) variabel, yaitu: 1. Human relationship atau hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin. 2. Staffing dan organizing yang efektif dan professional. 3. Otoritas pemimpin yang kuat dan tegas. (Ngalim Purwanto : 1990 : 39) Jadi keberhasilan kepemimpinannya dipengaruhi oleh hubungan atasan dan bawahan yang harmonis, derajat struktur tugas yang tepat, dan kedudukan kekuasaan pimpinan yang tegas.
•
Sondang P. Siagian (1990: 41), ada 4 (empat) gaya kepemimpinan, yakni:
178
Kepemimpinan Pendidikan
1. Gaya kepemimpinan Otokratis 2. Gaya kepemimpinan Demokratis 3. Gaya kepemimpinan militeristis 4. Gaya kepemimpinan Paternalistis Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak sebagai penguasa mutlak dan anggota melaksanakan tugas berdasarkan perintahnya secara patuh.Karakteristik pemimpin otokratis, adalah: a. Menganggap organisasi sebagai milik pribadi pemimpin. b. Tidak suka didebat maupun meminta pendapat anggota c. Anggota dipandang sebagai alat yang dapat diperdayakan d. Menetapkan tujuan pribadi sebagai tujuan organisasi. e. Memimpin dengan cara paksa. f. Merendahkan makna musyawarah dan menolak partisipasi anggota. Gaya kepemimpinan demokrasi dilandasi filsafat kebersamaan dalam semua hal.Pemimpin dan anggota terlibat bersama dalam penetapan policy atau kebijakan organisasi.Mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Ciri-ciri pemimpin yang demokrasi adalah: a. Menekankan pada hubungan interpersonal yang baik. b. Mengambil keputusan berdasarkan musyawarah. c. Menghargai pendapat anggota. d. Memberi kesempatan anggota untuk mengembangkan inisiatif dan kreasi anggota. e. Mendelegasikan sebagian kekuasaan dan tanggung jawab kepada anggota. 179
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
f. Berupaya membimbing, mengarahkan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi.
dan
Gaya kepemimpinan militeristis hampir serupa dengan kepemimpinan otokrasi, sebagai ciri khas keduanya yang paling menonjol adalah pemimpin sebagai penguasa tunggal.Seorang pemimpin yang bergaya militeristis ialah seorang pemimpin yang mempunyai ciri-ciri berikut: a. Memerintah berdasarkan instruksi. b. Pangkat dan jabatan sebagai alat untuk memaksa anggotanya untuk melaksanakan tugas. c. Tidak suka dikritik. d. Disiplin kaku. e. Formalistik dalam pelaksanaan tugas. Gaya kepemimpinan paternalistik ini beranggapan bahwa anggota adalah anak kecil yang masih membutuhkan perlindungan.Sehingga pemimpin bertindak seperti orang tua terhadap anaknya. Ciri-ciri pemimpin dengan gaya paternalistikadalah: a. Terlalu melindungi (over protective) dan kesan memanjakan anggota. b. Tidak menghargai kemampuan anggota. c. Sikap kebapakansangat menonjol hingga mematikan kreatifitas anggota. d. Menghandle semua program kerja. e. Manajemen organisasi ditangan pemimpin. •
Max Weber, seperti dikutip Syaiful Sagala (2010 : 150) dikenal dengan teorinya tentang gaya kepemimpinan yang didasari tradisi turun-temurun, kharisma dan wibawa. Hal tersebut disebabkan adanya karakteristik pribadi yang istimewa dan aturan-aturan yang logis atau perpaduan antara keturunan, kharisma dan kewibawaan.
180
Kepemimpinan Pendidikan
Gaya kepemimpinan yang kharismatik, dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a. Kewibawaan alamiah; maksudnya kewibawaan yang telah melekat pada diri pemimpin. b. Kewibawaan non alamiah (buatan), yaitu kewibawaan yang diciptakan oleh jabatan dan kekuasaan. (Hikmat, 2009 : 258). •
Vroom dan Yetton, dikenal sebagai pencetus gaya kepemimpinan (kontinum); dinyatakan bahwa kepemimpinan didasarkan pada 2 (dua) macam kondisi utama, yaitu: (1) tingkat keefektifan tehnis diantara anggota, dan (2) tingkat motivasi serta dukungan anggota. Dalam pengambilan keputusan kadang-kadang pemimpin bertindak sendiri, karena mendesak dan terukur oleh profesionalitas kepemimpinannya, tetapi adakalanya melibatkan anggota dalam rangka kemajuan organisasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa berdasarkan pada kedua kondisi tersebut, maka pemimpin bisa memilih salah satu dari gaya kepemimpinan yang diterapkan berkaitan dengan pengambilan keputusan. a. Apabila tingkat keefektifan tehnis anggota tinggi, tetapi motivasi rendah, maka pemimpin memilih gaya membuat putusan secara konsultatif, pimpinan berkonsultasi dengan anggota. b. Apabila tingkat keefektifan tehnis anggota rendah, tetapi motivasi tinggi, maka pemimpin memilih gaya mendelegasikan (delegate) kepada anggota. Dengan kata lain pemimpin membuat keputusan, kemudian melimpahkan tanggung jawab kepada anggota untuk melaksanakannya. c. Apabila tingkat keefektifan tehnis anggota maupun motivasinya tinggi, maka pemimpin memilih gaya 181
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
membuat putusan bersama (share decision) atau bermusyawarah. (Ngalim Purwanto, 1990 : 45). •
Gaya kepemimpinan Kendali Bebas atau disebut Leizess-faire. Pemimpin dalam hal ini memberikan kebebasan seluasluasnya kepada semua anggota untuk melaksanakan tugasnya.Pemimpin membiasakan mereka berinisiatif sendiri, membuat kebijakan sendiri, dan mengatur strategi tugasnya tanpa dorongan, bimbingan, pengarahan dan pengawasan dari pimpinan. Gaya kepemimpinanini seolah-olah tidak adaherarkhi struktural, pembagian tugas tidak jelas, dan tidak ada proses kepemimpinan secara fungsional maupun struktural. Gaya kendali bebas atau Laizess-faireini mendasarkan pada pemikiran bahwa segala aktifitas dalam organisasi agar berjalan lancar dan sukses mencapai tujuan yang ditetapkan, apabila anggotanya dalam melaksanakan tugas diberi keleluasaan untuk memutuskan semua yang dikehendaki kemudian melaksanakan sesuai dengan keinginannya pula.Gaya ini dianggap tidak mempunyai nilai manfaat, tetapi menjadi efektif dalam kelompok profesional yang termotivasi tinggi.
•
Gaya Kepemimpinan Pscudo demokratisatau demokrasi semu (manipulasi demokrasi). Gaya ini menampakkan dua wajah. Seolah-olah kepemimpinan yang diterapkan demokratis, namun sebenarnya dilaksanakan kepemimpinan yang otokratis. Para anggota diajak untuk menetapkan policy yang sebenarnya telah dibuat oleh pimpinan, sehingga seolah-olah policy tersebut milik bersama. Namun dalam prakteknya, policy pemimpinlah yang dijadikan pegangan pelaksanaan tugas. Jadi bukan lagi kebijakan bersama dari hasil musyawarah.
182
Kepemimpinan Pendidikan
•
Gaya kepemimpinan dalam era perubahan sosial Perubahan sosial yang sering terjadi dan akan terjadi, sangat mempengaruhi keadaan dan kehidupan organisasi. Hal ini antara lain mencakup: 1) Perubahan peran dan tujuan organisasi, 2) Membesar dan makin kompleksnya organisasi, 3) Penggunaan teknologi yang lebih maju, 4) Adanya bentuk organisasi baru, 5) Perubahan pandangan terhadap manusia
Demikian pendapat Margulies dalam Engkoswara (2011: 188), kemudian lebih tegas lagi pandangan Benis, bahwa perubahan itu akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap iklim organisasi, gaya kepemimpinan, dan hakekat kehidupan organisasi. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, terjadi perubahan sistem manajemen sentralistik menjadi desentralistik. Sehingga menuntut adanya perubahan komponen organisasi dan juga gaya kepemimpinan. Maksudnya dalam era perubahan ini memberi peluang besar kepada para pemimpin untuk mengembangkan nilai-nilai kepemimpinannya. Pada era desentralisasi ini diperlukan pemimpin yang bisa menyelesaikan situasi dan kondisi dengan komitmen kualitas dan selalu memperbaharuinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Selanjutnya Engkoswara (2011: 190) mengemukakan 3 (tiga) jenis kepemimpinan yang dianggap representatif dengan tuntutan era desentralisasi, yaitu kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional, dan kepemimpinan visioner. Ketiganya mempunyai karakteristik sesuai dengan jenis masalah dan mekanisme kerja yang dihadapi. 183
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
a.
Kepemimpinan transaksional Yaitu kepemimpinan yang menekankan pada tugas anggota.Pemimpin sebagai desainer pekerjaan sekaligus mekanismenya, sedangkan anggota yang melaksanakan tugas sesuai kemampuan dan keahlian. Ciri-ciri kepemimpinan transaksional adalah: 1) Peran pemimpin sebagai manajer. 2) Sesuai diterapkan pada anggota-anggota yang belum matang. 3) Fokus pada pelaksanaan tugas untuk mendapatkan insentif, bukan aktualisasi diri. 4) Pola hubungan berdasar timbal balik (transaksi). 5) Adanya anggapan bahwa anggota lebih senang diarahkan dengan prosedur dan pemecahan masalahnya dari pada tanggungjawab atas tindakan dan keputusan yang diambil sendiri. 6) Menerapkan sistem reward dan punishment dalam kontrak kerja yang telah disepakati. 7) Tidak mau berbagi pengetahuan kepada anggota dan sedikit menyepelekan kepribadian manusia. Berikut skematik model kepemimpinan transaksional menurut Hoover dan Leitwood (Engkoswara,2011:191). Gambar tersebut menunjukkan bahwa anggota atau bawahan berusaha menghindari pekerjaan jika ada kesempatan untuk itu, sehingga merasa senang tanpa pekerjaan dan tanggung jawab. Pemimpin dalam hal ini harus senantiasa mengontrol, mengarahkan, dan mengancam kalau perlu dalam upaya untuk memaksa individu menjadi produktif.
184
Kepemimpinan Pendidikan
b.
Kepemimpinan Transformasional. Kepemimpinan transformasional adalah sebagai agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator. Maksudnya pemimpin tersebut berperan meningkatkan sumber daya manusia yang ada dan berusaha memberikan reaksi yang memunculkan semangat dan daya kerja cepat serta optimal, selalu tampil sebagai pelopor dan perubahan. Banyak pakar kepemimpinan mengungkapkan bahwa kepemimpinan transformasi adalah kepemimpinan yang ideal di era desentralisasi ini.Hal ini berhubungan dengan berkembangnya teknologi informasi yang harus ditransformasikan secara komprehensif pada anggota. Sejalan dengan 185
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pemikiran Luthans (Engkoswara, 192) yang mengidentifikasi karakteristik pemimpin di abad XXI, adalah: 1)
Innovates (menciptakan sesuatu yang baru).
2)
An original (asli dari pemimpin).
3)
Develops (mengembangkan).
4)
Focuses on people (terkonsentrasi pada manusia).
5)
Inspires trust (menghidupkan rasa percaya).
6)
Long range perpective (memiliki perpektif jangka panjang).
7)
Asks what and why (ia menanyakan apa dan mengapa).
8)
Eye on the horizon (berpandangan sama pada sesamanya).
9)
Challenges the status quo (menentang kemapanan).
10) Own person (mengakui tanggung jawab ada pada pemimpin). 11) Does the right thing (mengerjakan yang benar). Seiring dengan kemajuan pemikiran dan teknologi dizaman yang penuh perubahan ini, maka karakteristik pemimpin tersebut sangat berpengaruh pada perilaku pemimpin.Pemimpin transformasional menjawab tantangan itu untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan secara utuh melalui motivasi terhadap anggota dan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan. Selanjutnya Bass dan Aviola dalam Engkoswara (193) mengemukakan kader kepemimpinan transformasional yang disebut empat dimensi atau konsep”4i” (empat i), maksudnya:
186
Kepemimpinan Pendidikan
“I” pertama :idealized influence (kharisma) yaitu perilaku yang memunculkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Idealized influencemempunyai makna saling berbagi resiko, melalui pertimbangan kebutuhan anggota di atas kebutuhan pribadi dan perilaku moral secara etis. “I” kedua :inspirational motivation, tergambar dalam perilaku yang selalu bersifat tantangan bagi tugas yang dilakukan anggota dan mempedulikan arti tugas bagi angggota. Pemimpin menunjukkan komitmen terhadap sasaran organisasi melalui perilaku yang bisa diamati anggota, sehingga ia adalah seorang motivator yang bersemangat untuk selalu membangkitkan aktualisme dan optimisme anggota. “I” ketiga :intellectual stimulation: maksudnya sikap dan perilaku kepemimpinan berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang berkembang dan secara intelektual ia mampu menerapkannya dalam bentuk kinerja yang produktif. Pemimpin senantiasa menjadi ide-ide baru dari orang-orang yang dipimpinnya dan sekaligus mendorong pendekatan baru dalam melakukan tugas. “I” keempat :individualism consideration, direfleksikan oleh pemimpin yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan atensi khusus kepada kebutuhan prestasi kerja dan kebutuhan anggota. Berikut gambar model kepemimpinan Transformasional menurut Bass dan Aviola kemudian disadur oleh AlHamdani (2003) seperti dikutip Engkoswara (2011:194). Kepemimpinan transformasional bisa dilihat secara makro dan dan mikro.Dipandang secara makro,kepemimpinan transformasional merupakan proses memobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem sosial dan mereformasi kelembagaan.
187
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Sedangkan secara mikro, kepemimpinan transformasional sebagai proses yang mempengaruhi antar individu.
Sumber : Bass dan Aviola
Gambar Model Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan Visioner Yaitu kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan, mengkomunikasikan dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau hasil interaksi sosial diantara anggota dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa depan yang harus dicapai melalui komitmen semua personil. c.
Pemimpin visioner adalah pemimpin yang memiliki wawasan yang jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini tapi di masa datang. Dampak positif dari kepemimpinan yang visioner pada suatu lembaga akan tampak pada cara ia menentukan kebijakan dan keputusan, dasar pengambilan keputusan, cara yang sesuai 188
Kepemimpinan Pendidikan
dengan aturan dan sesuai pula bagi pihak yang menerima delegasi, acuan sikap dalam bekerja, dan acuan pengawasan. •
Konsep Kepemimpinan Visioner 1) Harus memahami Konsep Visi Visi merupakan tindakan, kekuatan, kecakupan atau kemampuan untuk melihat dan memahami untuk berimajinasi dalam mempersiapkan masa datang. 2) Harus memahami Karakteristik dan Unsur Visi Karakteristik visi adalah: a) Arah dan tujuan jelas, mudah dipahami. b) Terkandung cita-cita tinggi. c) Menumbuhkan semangat, inspirasi, kegairahan dan komitmen. d) Tidak sekedar kepentingan pemimpin, tetapi juga untuk anggota. e) Mempunyai gagasan brilian. f) Memperhatikan lingkungan sekitar atau penelitian sejarah perkembangan masyarakat. 3) Harus memahami Tujuan Visi Tujuan visi adalah memperjelas arah perubahan tertentu untuk masa mendatang yang mengandung cita-cita, nilai, semangat motivasi, niat yang jelas, wawasan dan keyakinan.
•
Langkah-langkah Kepemimpinan Visoner 1) Penciptaan Visi Visi diciptakan berdasarkan pemikiran bersama antara pemimpin dan anggotanya berupa gagasan dan ide cemerlang tentang cita-cita memajukan organisasi di masa depan.
189
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
2) Perumusan visi Visi dirumuskan dalam pernyataan yang jelas, tegas, sehingga memudahkan lembaga atau organisasi untuk menetapkan cara-cara untuk mencapainya. Berikut kriteria merumuskan visi, sebagai berikut: (1) Mudah diingat. (2) Singkat, maksimal 8 (delapan) kata. (3) Menarik perhatian warga internal lembaga dan stakeholders. (4) Memberi inspirasi menantang untuk mencapai prestasi di masa yang akan datang. (5) Berfungsi sebagai titik temu dengan stakeholders. (6) Menyatukan esense yang jelas tentang seharusnya bagi lembaga. (7) Memungkinkan fleksibilitas dan keluwesan dalam pelaksanaannya. (Husaini Usman, 2010 : 625) 3) Transformasi Visi Maksudnya adalah bahwa rumusan visi organisasi harus memiliki nilai kepercayaan bagi lembaga yang diatasnya maupun stakeholders. 4) Implementasi visi Visi merupakan keadaan dimasa depan yang ingin dicapai, jadi semakin jelas suatu visi, semakin mudah mengimplementasikannya. Cara mengimplementasikan visi disebut misi.Dalam hal ini pemimpin dituntut untuk mampu memerinci visi menjadi visi atau tindakan untuk mewujudkan visi. Sehingga dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, mempunyai vision (visi) yang jelas, dalam arti sebenarnya. Gutric & Reed menyatakan dalam arti singkatan, VISION adalah pemimpin harus memiliki 190
Kepemimpinan Pendidikan
vision (visi), inspiration (memberi ilham), Strategy Orientation (orientasi jangka panjang), integrity (integritas), Organizatinal sophisticated (memahami dan berorganisasi dengan canggih), dan Nurturing (memelihara keseimbangan, keharmonisan antara tujuan lembaga, dengan tujuan individu anggota atau peka terhadap kebutuhan anggota. (Husaini, 2010 : 626). Berikut gambar model kepemimpinan visioner yang dikembangkan Locke (1997). (Engkoswara, 2011 : 197):
Gambar Model Kepemimpinan Visioner
191
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
E.
Kepemimpinan Pendidikan
1.
Konsepsi Kepemimpinan Pendidikan Pemimpin pendidikan secara hakiki mencakup semua orang yang bergerak di bidang penanaman pengaruh dan bimbingan serta ajakan dalam mengelola pendidikan. Dalam pendidikan formal maupun non formal, pemimpin pendidikan meliputi guru, kepala sekolah, dosen, rektor, kyai, ulama, ustadz, kepala kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari jenjang paling bawah sampai atas, penilik sekolah, pengawas sekolah, dan sebagainya. Kepemimpinan dalam pendidikan mempunyai figur tersendiri dibandingkan dengan kepemimpinan pada umumnya.Hal tersebut mempunyai makna bahwa pemimpin pendidikan harus mampu mengedepankan uswah khasanah (teladan yang baik),berjiwa penuh kasih sayang dan bijaksana. Adanya slogan guru –”di gugu lan di tiru”, ternyata benar apa yang dicontohkan atau dilakukan gurunya, murid akan menirunya. Bahkan mungkin lebih dari itu, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jadi, tingkah laku pemimpin pendidikan tidak hanya mendapat evaluasi dari atasan, tetapi juga menjadi penilaian masyarakat. Mempertimbangkan idealisme kepemimpinan yang ingin diraih lembaga pendidikan, sebaiknya mengacu pada tingkah laku dan sifat Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan barometer oleh semua lembaga pendidikan, yaitu shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (komunikatif), dan fathanah (cerdas). Nabi Isa a.s adalah pemimpin umat yang penuh dengan kasih sayang; berkorban untuk kehidupan yang layak dan memiliki harga diri yang tinggi.Kepemimpinan Nabi Isa ini ideal bagi lembaga pendidikan. 192
Kepemimpinan Pendidikan
Nabi Musa a.s dikenal sebagai nabi yang berani, tegas, tanpa pandang bulu dalam mengadili orang salah.Beliau berani menghancurkan Fir‘aun dan pasukannya serta tidak gentar menghadapi orang-orang yang menzalimi. Kepemimpinan seperti ini patut dikembangkan dan dicontoh sebagai pemimpin ideal untuk lembaga pendidikan, yaitu pemimpin yang tegas, tidak menganut KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga akan tercipta lembaga pendidikan yang maju, berkarakter dan berkualitas. Apabila kepemimpinan Nabi Isa dan Nabi Musa dipadukan, muncullah kepemimpinan yang sempurna, yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,sebagai rahmat bagi seluruh alam, namun tegas terhadap orang-orang kufur. Para ahli memberikan definisi kepemimpinan pendidikan dengan memadukan pengertian kepemimpinan dan pendidikan. Pengertian kepemimpinan sudah disampaikan di muka, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi, memerintah secara persuasif, memberi contoh, dan bimbingan kepada orang lain seperti guru, konselor, dan profesi kependidikan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (Syaiful, 2010 : 147). Dengan kata lain, kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tugas dengan berhasil mencapai tujuan pendidikan. Berdasarkan pengertian di atas ada komponen-komponen kepemimpinan pendidikan yang penting, yaitu: a. Adanya proses rangkaian tindakan dalam sistem pendidikan. b. Mempengaruhi dan memberi teladan. c. Memberi perintah dengan cara persuasi dan manusiawi tetapi tetap menjunjung tinggi disiplin dan aturan. 193
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
d. Anggota patuh pada perintah sesuai wewenang dan tanggung jawab. e. Menggerakkan semua anggota untuk menyelesaikan tugas, sehingga tercapai tujuan. (148). Selanjutnya untuk memenuhi kriteria kepemimpinan tersebut diperlukan kepemimpinan yang visioner, kepemimpinan yang efektif dalam penentuan kebijakan, kepemimpinan yang tepat dalam mengambil keputusan, kepemimpinan yang mampu melakukan pendelegasian secara tepat dan kepemimpinan yang demokratis. 2.
Karakteristik kepemimpinan pendidikan Kepemimpinan pendidikan memiliki karakteristik dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Manusiawi. b. Memandang jauh ke depan (visioner). c. Inspiratif. d. Percaya diri (Sharplin, 1985 : 149) Sementara (Hikmat,2009 : 261) mengidentifikasi sifatsifat yang harus dimiliki oleh pemimpin yang ideal untuk lembaga pendidikan berikut ini, a. Capacity, meliputi : 1) Kecerdasan. 2) Kewaspadaan. 3) Kemampuan bicara. 4) Keterampilan. 5) Kemampuan evaluasi. b. Achievement, meliputi : 1) Titel atau gelar pendidikan. 2) Pengetahuan. 194
Kepemimpinan Pendidikan
3) Keberhasilan. 4) Kesehatan jasmani rohani. c. Responsibility, meliputi: 1) Mandiri dan inisiatif. 2) Tekun. 3) Agresif. 4) Percaya diri. 5) Futuristik. d. Participation, meliputi: 1) Aktif. 2) Relationship. 3) Cerdas membangun team works. 4) Adaptif. e. Status, meliputi: 1) Kedudukan sosial ekonomi. 2) Popularitas. f. Situation, meliputi: 1) Mental baik. 2) Skill. 3) Energik. 4) Fleksibel. 5) Goal oriented. Seorang pemimpin pendidikan perlu mempunyai sikap peduli dalam pengelolaan pendidikan dan benar-benar memahami bahwa manajemen pendidikan tidak bisa lepas dari pembaharuan yang serba cepat mengikuti arus zaman, yaitu tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari dinamika pendidikan. Dampak dari pembaharuan dan perkembangan ilmu pengetahuan tesebut, sebagai 195
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
konsekuensinya pemimpin perlu kesiapan bereaksi dan motivasi yang kuat dengan aktifitas yang penuh tanggung jawab agar tidak tertinggal oleh pembaharuan dalam dinamika pendidikan yang kompetitif. Bagaimanakah agar pemimpin pendidikan bisa memunculkan sikap kritis dan peduli terhadap pembaharuan. Kepedulian itu memberi gambaran bahwa seorang pemimpin cepat bereaksi, tanggap, dan merespon hal-hal yang sekiranya memberi kontribusi terhadap mutu lembaga yang dipimpinnya sebagai bagian dari pembaharuan. Berikut ini tabel sikap kritis dan kepribadian kepemimpinan yang dikembangkan Harold T.Smith (Timpe) dalam Syaiful (2006 : 169), diharapkan bisa membantu para pemimpin pendidikan untuk lebih memusatkan perhatiannya dalam memahami kinerja lembaga. Tabel Sikap Kritis dan Kepedulian kepemimpinan
196
Kepemimpinan Pendidikan
3.
Prinsip-prinsip Kepemimpinan Pendidikan Prinsip kepemimpinan yang dikembangkan dalam dunia pendidikan menganut sikap demokratik. Makna demokrasi dalam Kamus Besars adalah sebagai berikut: a.
Prinsip partisipasi Pemimpin berusaha meningkatkan dan memupuk kesadaran pada setiap anggotanya agar rela dan ikut bertanggung jawab serta aktif berpartisipasi dalam memikirkan serta memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan perencanaan strategi program pendidikan. b.
Prinsip Kooperasi Dalam prinsip kooperasi ini, partisipasi harus ditingkatkan menjadi kerja samayang dinamis. Setiap anggota disamping bertanggung jawab dalam tugasnya masing-masing, juga harus merasa berkepentingan pada masalah yang berkaitan dengan suksesnya tugas anggota lain. Adanya kesadaran dan perasaan seperti itu memungkinkan anggota akan sering bantu-membantu 197
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
serta kerja sama dalam setiap usaha serta memecahkan masalah yang timbul dalam lembaga yang barangkali bisa menjadi kendala lembaga dalam mencapai tujuan. c.
Prinsip Human Relation Perlu diciptakan suasana persahabatan dan persaudaraan yang harmonis serta perlu dipupuk sikap saling menghormati. Pemimpin juga harus menjadi teladan bagi terciptanya suasana semacam itu, tidak boleh bersikap sebagai majikan terhadap bawahan, melainkan harus dapat menempatkan diri sebagai sahabat tanpa melupakan unsurunsur formal jabatannya. d.
Prinsip Pendelegasian Pemimpin perlu mendelegasikan kekuasaan, wewenang dan tanggungjawabnya pada anggota sesuai kapasitasnya masing-masing, agar proses kerja secara keseluruhan dapat berjalan lancar, efektif, dan efisien. Pemimpin harus yakin dan percaya bahwa setiap anggota mempunyai kemampuan dan potensi yang dapat bermanfaat bagi lembaga kerjanya. e.
Prinsip fleksibilitas organisasi dan tata kerja Tujuan penyusunan program dan tata kerja organisasi adalah untuk mengatur kegiatan dan hubungan kerja yang harmonis, dinamis, efektif, dan efisien.Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa hendaknya struktur organisasi dan hubungan serta tata kerja tersebut tidak menimbulkan suasana kaku, sehingga membawa dampak negatif yang dapat menghambat perencanaan dan pelaksanaan program. Fleksibilitas organisasi akan menjamin hubungan kerja dan tata kerja yang sesuai dengan kenyataan dan masalah baru yang muncul dan selalu berubah. Perubahan itu tidak 198
Kepemimpinan Pendidikan
bisa lepas dari berbagai hubungan kemanusiaan diantara anggota. f.
Prinsip kreatifitas Guilford dalam Alma (2002 : 47) mengemukakan 5 (lima) ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu: 1) Fluency (kelancaran) adalah kemampuan melahirkan banyak ide atau gagasan. 2) Flexibility (keluwesan) yaitu kemampuan mengemukakan berbagai macam pemecahan atau pendekatan masalah. 3) Originality (keaslian) ialah kemampuan menciptakan gagasan yang bersifat asli, tidak klise. 4) Elaboration (penguraian) adalah kemampuan menguraikan secara terperinci. 5) Redefinition (perumusan kembali) yaitu kemampuan merumuskan kembali suatu persoalan perspektif yang berbeda dengan apa yang telah ada. Seorang pemimpin minimal memiliki ciri-ciri tersebut kaitannya dengan kreatifitas sekaligus berusaha mendorong usaha kreatif anggotanya. Tanpa adanya kreatifitas dalam organisasi, maka organisasi tesebut akan selalu tertinggal oleh kemajuan dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah. Dari sikap kreatif ini akan muncul ide-ide baru yang dapat membantu kemajuan organisasi. 4.
Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan Pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian 199
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Implikasi pendidikan sebagaimana tertuang di dalam UU Sisdiknas tersebut tidak dapat terwujud begitu saja tanpa dikelola melalui lembaga-lembaga pendidikan di sekolah dan luar sekolah sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dicanangkannya gerakan mutu pendidikan tanggal 2 Mei 2002, maka sekolah mau tidak mau harus mengawali dengan mereformasi penyelenggaraan pendidikan untuk memenuhi harapan pendidikan yang bermutu. Reformasi sekolah tidak hanya terbatas pada pengelolaan sekolah saja, tetapi penataan kembali semua institusi yang berkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap sekolah. Kepala sekolah, guru, konselor dan tenaga kependidikan lain adalah tenaga professional yang harus terus-menerus berinovasi untuk kemajuan sekolah, bukan birokrat yang sekedar patuh menjalankan tugas sesuai petunjuk atasan. Dengan demikian tercipta konsep sekolah efektif, yaitu sekolah yang memiliki profil yang kuat, mandiri, inovatif, dan memberikan iklim yang kondusif bagi civitas academika untuk mengembangkan sikap kritis, kreatif, dan motivasi. Konsep sekolah sebagaimana dijelaskan tersebut, memiliki kerangka akuntabilitas yang kuat kepada peserta didik dan warga sekolah yang lain melalui pemberian layanan yang berkualitas dan bukan semata-mata akuntabilitas pemerintah karena ketaatannya. Bertitik tolak dari kondisi dan penataan kembali manajemen sekolah tersebut, peran apa yang harus dimainkan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan pada satuan pendidikannya dalam rangka memiliki tuntutan pendidikan yang bermutu? 200
Kepemimpinan Pendidikan
Pengelolaan pendidikan dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif berkelanjutan merupakan komitmen dalam pemenuhan janji sebagai pemimpin pendidikan.Kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan operasional kerja harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan yang dapat memecahkan berbagai problematika pendidikan di sekolah. a.
Peran kepala Sekolah menghadapi persaingan mutu: 1) Kepala sekolah yang semula otoriter, mereformasi dirinya menjadi kepala sekolah yang kolaboratif, sehingga menumbuhkan iklim sekolah yang demokratis yang dapat mengakomodir aspirasi seluruh warga sekolah. 2) Memenuhi kebutuhan civitas academika secara professional. Kepala sekolah harus mengetahui persis kebutuhan para guru dan tenaga pendidikan lainnya dalam melaksanakan tugas profesionalnya. 3) Memposisikan diri untuk mewakili masyarakat pendidikan. Hal ini untuk tujuan memperbaiki sistem yang dipandang tidak memberdayakan pendidikan, seperti perlakuan pada birokrat pemerintah bahwa kepala sekolah diperlakukan sebagai pelaksana tehnis dari unit kerjanya, sehingga tidak memiliki otonomi atas dasar keprofesionalannya. 4) Belajar menanggulangi kekuatan yang non linier, maksudnya dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, tidakbisa menyepelekan hal-hal yang kecil, karena bisa jadi hal itulah yang menghambat kesuksesan. 201
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
5) Sebagai “learning person”, yaitu seseorang yang selalu berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya. 6) Sebagai pemerhati hati lingkungan sekolah secara komprehensif. Perhatian kepala sekolah meliputi keseluruhan lingkungan fisik sekolah, kegiatan dan interaksi fungsionalnya mulai dari gedung sampai sudut-sudut halamannya,kantor, ruang kelas, kantin, toilet, parkir, taman, dan sebagainya. 7) Membuka ruang kreatifitas dan otonomi guru seluasluasnya dan proportional guru. Kepala sekolah memberikan kesempatan kepada guru dan tenaga non guru untuk memaksimalkan pemikiran dan keterampilannya dalam rangka memajukan sekolah. 8) Membudayakan tradisi “disiplin diri” dengan sepenuh hati. Kepala sekolah berusaha membiasakan diri dengan ikhlas berada di sekolah sebelum orang lain datang dan masih berada di sekolah sesudah orang lain pulang. Disiplin adalah begitu penting dilaksanakan dengan tulus, bukan karena takut pada atasan. Oleh karenanya jika kepala sekolah akan memenuhi dengan niat disiplin diri tersebut, maka guru dan karyawan akan mengikuti teladan pimpinannya. Dalam upaya peningkatan mutu yang kompetitif yaitu model manajemen sekolah tentu tidak cukup dengan peran kepala sekolah saja, tetapi juga dengan memberdayakan potensi sumber daya sekolah dengan memberikan fungsi yang optimal dan proporsional bagiseluruh elemen sekolah baik tingkat pimpinan maupun operasional dengan menjadikan semua unsur 202
Kepemimpinan Pendidikan
di sekolah adalah manajer terhadap tugas dan tanggung jawabnya. b.
Kriteria Kepala Sekolah Husaini (2010 : 653), memerinci kriteria kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan sebagai berikut: 1) Setiap sekolah/madrasah dipimpin oleh seorang kepala sekolah/madrasah. 2) Kriteria untuk menjadi kepala dan wakil kepala Sekolah-Madrasah berdasarkan ketentuan dalam standar pendidik dan tenaga kependidikan. 3) Kepala SD/MI, SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala sekolah madrasah. 4) Kepala SMA/MA dibantu minimal tiga wakil kepala sekolah/madrasah untuk bidang akademik, sarana dan prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan Kepala SMK dibantu empat wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana dan prasarana, kesiswaan, dan hubungan dunia usaha dan dunia industri. Dalam hal tertentu atau sekolah/madrasah yang masih dalam taraf pengembangan, kepala sekolah/madrasah dapat menugaskan guru untuk melaksanakan fungsi wakil kepala sekolah/madrasah. 5) Wakil kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan pendidik, dan proses pengangkatan serta keputusannya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/ madrasah kepada institusi di atasnya. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah penyelenggara sekolah/madrasah. 6) Kepala dan wakil kepala sekolah/madrasah memiliki kemampuan memimpin yaitu seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki, 203
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
dihayati, dikuasai, dan diwujudkannya dalam melaksanakan tugas keprofesionalan sesuai dengan Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan. 7) Kepala sekolah/madrasah dapat mendelegasikan sebagian tugas dan kewenangan kepada wakil kepala sekolah/madrasah sesuai dengan bidangnya. Sedangkan dalam konteks perguruan tinggi, kriteria pemimpin yang didambakan adalah pemimpin yang memiliki wawasan keilmuan tinggi, (minimal guru besar). Disamping itu juga mempunyai keterampilan-keterampilan sebagai berikut: 1) Menguasai bahasa asing yang aktif, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab. 2) Hubungan yang luas dengan lembaga pendidikan di dalam maupun luar negeri. 3) Memiliki keahlian dan keilmuan yang mumpuni. 4) Konseptor yang andal. 5) Dipilih oleh wakil-wakil dosen (senat) secara demokratis. 6) Memiliki visi dan misi yang jelas dan mudah diimplementasikan dalam kegiatan akademik dan managerial lembaga. 7) Bijaksana, jujur, dan amanah 8) Pandai menempatkan karyawan sesuai kapabilitas dan profesionalitasnya. 9) Tidak bergantung pada politik praktis. (Hikmat, 2009: 263) Tentu saja keterampilan-keterampilan pemimpin lembaga pendidikan tesebut harus diimbangi dengan kecerdasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi lembaga. Pemimpin yang cerdas dan tanggap terhadap 204
Kepemimpinan Pendidikan
permasalahan lembaga akan mencermati latar belakang munculnya masalah dengan cara mengumpulkan data yang akurat dan menyelesaikan permasalahan secara ilmiah dan rasional. c.
Tugas Kepala Sekolah/Madrasah Tugas Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan di satuan pendidikannya tidak semudah menambahkan telapak tangan, tetapi sangat berat, luas dan dalam sesuai dengan beratnya tuntutan mutu pendidikan yang harus dipenuhi. Berikut Husaini (2010 : 654) secara global mengemukakan tugas-tugas kepala sekolah/madrasah, yaitu: 1)
Menjabarkan visi ke dalam target mutu.
2)
Merumuskan tujuan dan target mutu yang akan dicapai.
3)
Menganalisis tantangan, peluang, kekuatan, kelemahan Sekolah/Madrasah.
4)
Membuat rencana kerja strategis dan rencana kerja tahunan untuk pelaksanaan peningkatan mutu.
5)
Bertanggung jawab dalam membuat keputusan anggaran sekolah/madrasah.
6)
Melibatkan guru, komite sekolah dalam pengambilan keputusan penting sekolah/madrasah. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, pengambilan keputusan tersebut harus melibatkan penyelenggara sekolah/ madrasah.
7)
Berkomunikasi untuk menciptakan dukungan intensif dari orang tua peserta didik dan masyarakat.
8)
Menjaga dan meningkatkan motivasi kerja pendidik dantenaga kependidikan dengan menggunakan sistem
205
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pemberian penghargaan atas prestasi dan sanksi atas penyelenggaraan peraturan dan kode etik. 9)
Menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik.
10) Bertanggung jawab atas perencanaan partisipatif mengenai pelaksanaan kurikulum. 11) Melaksanakan dan merumuskan program supervisi, serta memanfaatkan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja sekolah/madrasah. 12) Meningkatkan mutu pendidikan. 13) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. 14) Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasi dengan baik dan didukungoleh komunitas sekolah/ madrasah. 15) Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah/madrasah dan program pembelajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan tenaga kependidikan yang lain. 16) Mengelola menajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah/madrasah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, efisien, dan efektif. 17) Menjalin kerja sama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat, dan komite sekolah/madrasah menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.
206
Kepemimpinan Pendidikan
18) Memberi contoh/teladan/tindakan yang bertanggung jawab. Kepala sekolah yang memimpin tanpa ilmu kependidikan dan hanya bermodalkan kekuasaan dan kedekatan dengan atasannya serta kebiasaan menakutnakuti para guru dan peserta didiknya untuk menerima hukuman jika tidak patuh padanya, sudah selayaknya tidak menduduki jabatan kepala sekolah.Kepemimpinan seperti inilah yang mematikan kreatifitas dan otonomi guru maupun peserta didiknya.Oleh karenanya diperlukan adanya penilaian terhadap kepemimpinan kepala sekolah. Penilaian yang kontinu terhadap kinerja pimpinan menjadi hal yang urgen, karena menjadi landasan usaha perbaikan program, prosedur, dan usaha mencapai tujuan. Dengan menggunakan penilaian tersebut, efektifitas kinerja semua sub sistem sekolah bisa ditentukan dan kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan, sehingga pada akhirnya kualitas pendidikan dapat diperbaiki,disinilah tampak jelas peran kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan.
207
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
BAB VI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DALAM PENDIDIKAN
A. Konsep Total Quality Management Manajemen yang berorientasi kepada kualitas dan memenuhi kepuasan pelanggan adalah Total Quality Management (TQM) atau manajemen mutu terpadu, merupakan pilihan yang tepat dalam pengelolaan lembaga pendidikan saat ini. Dengan falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, team work produktifitas serta kepuasan pelanggan, pendekatan ini nanti akan menggantikan posisi manajemen konvensional. Dengan terus mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan atau produk jasa, manusia, proses dan lingkungan. Sebagai pencetus TQM, Deming (Sashkin dan Kiser, 1993: 56) mengemukakan, bahwa “Quality is What the customers says it is”. Dalam konteks pendidikan, TQM adalah suatu cara untuk menjamin kualitas standar dalam pendidikan (Sallis, 1993: 8). Lembaga pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi tantangan global pada milenium ke-tiga ini. Sejalan dengan pendapat di atas, Feigenbaum (Gunawan, 2004: 11-12) mengatakan bahwa faktor kunci 208
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
dalam menentukan kualitas lulusan adalah kualitas pendidikan yang diperolehnya selama belajar, sedangkan kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas lembaga tempat lulusan belajar. TQM is a philosophy of continuous improvement, which can provide any educational institution with a set of practical tools for wiving meeting and exceeding present and future customers needs, wants, and expectations. (Edward Sallis, 1993 : 34) Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-menerus yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam menambahi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya saat ini dan masa yang akan datang. 1.
Sejarah Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total Quality Management (TQM) Akibat Perang Dunia II, industri Jepang hancur total. Untuk membangun kembali dan bangkit dari kehancuran industrinya tersebut, pada tahun 50-an Asosiasi Insinyur Jepang mengundang Dr. W. Edward Deming untuk melatih para insinyur Jepang dalam bidang manajemen untuk mencapai kualitas, yang kemudian dikenal sebagai Total Quality Management (TQM). Deming mengajarkan bahwa, barang atau jasa yang berkualitas adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu, dalam usaha mengadakan barang atau jasa yang berkualitas, kebutuhan pelanggan harus diketahui lebih dahulu dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan pengetahuan itulah dibuat rencana pengadaan barang atau jasa, dan pembuatannya harus sesuai dengan rencana itu, 209
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Karena kebutuhan pelanggan berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka kualitas barang atau jasa juga berubah. Sebab itu, kualitas tidak absolut, tidak berakhir pada kualitas itu sendiri, tetapi harus ditingkatkan terus-menerus, sehingga selalu dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Kualitas yang demikian ini adalah kualitas yang bersifat relatif. Inilah pengertian kualitas dalam TQM (Sallis, 1993:23). Konsep Deming tersebut cukup berhasil di Jepang, justru di negaranya sendiri Amerika Serikat- tidak mendapatkan perhatian sebelum Perang Dunia II, karena para industriawan Amerika Serikat telah puas dengan keberhasilan mereka. Tetapi setelah industri Jepang, terutama industri mobil, merajai pasar dunia, baru mereka sadar akan pentingnya pikiran Deming. Mereka mulai mempelajarinya kembali dan mengimplementasikannya, termasuk dalam dunia pendidikan. Dalam sejarah perkembangan manajemen kualitas, paling tidak ada tiga jenis sistem yang utama, yaitu a) Pengendalian kualitas (Quality Control), b) Jaminan Kualitas (Quality Assurance), dan c) Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Manajemen) (Sallis, 1993 : 26). Pengendalian Kualitas (Quality Control) adalah sistem manajemen kualitas yang dilakukan dengan prosedur atau pendekatan pemeriksaan pada produk (barang atau jasa) yang sudah jadi, untuk menentukan apakah kualitasnya sudah sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Jika tidak sesuai, produk itu tidak akan dipasarkan, tetapi dipelajari dengan teliti apa kelemahan- kelemahannya. Berdasarkan data kelemahan itu, perbaikan kualitas dibuat pada produk-produk berikutnya. Yang melakukan pemeriksaan umumnya adalah inspektur atau pengawas yang telah terdidik dan terlatih untuk tugas itu. Dalam sistem ini yang jelas barang yang sudah diproduk tersebut tidak dapat diperbaiki lagi, yang diperbaiki 210
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
adalah barang atau jasa yang diproduk berikutnya, tentu hal ini akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Inilah kelemahan pokok dalam manajemen ini. Jadi tujuan utama dari manajemen ini adalah perbaikan kemudian. (Sallis, 1993 : 26). Jaminan Kualitas (Quality Assurance) adalah sistem manajemen kualitas yang berkembang kemudian. Dalam sistem ini tujuan utamanya ialah pencegahan kesalahan. Karena itu, dalam proses pengadaan barang atau jasa harus diusahakan agar setiap langkah dilaksanakan dengan cermat sejak permulaan dan terus diawasi selama proses. Apabila ada kesalahan, pada pemrosesan juga diusahakan perbaikannya. Sistem inilah yang sesuai dengan prinsip Crosby-Zero defects (tanpa cacat). Kekuatan sistem ini ialah bahwa kualitas produk memang lebih terjamin, dan tidak mungkin ada produk yang sesuai kualitasnya. Kelemahan sistem ini adalah perencanaan umumnya lebih sulit, dan memerlukan sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas, yang sudah tentu memerlukan biaya. Namun dalam jangka panjang, tetap dianggap lebih menguntungkan. (Sallis, 1993 : 26). Total Quality Manajemen adalah prinsip manajemen yang berkembang periode berikutnya. Dalam sistem ini ada prinsip yang dijadikan sebagai acuan dan dipegang, yaitu (1) memahami kebutuhan pelanggan sebaik-baiknya, (2) menterjemahkan kebutuhan pelanggan ke dalam perencanaan dan proses untuk menghasilkan produk (barang atau jasa), dan (3) memadukan partisipasi semua pihak terkait dalam usaha untuk peningkatan kualitas yang harus dilakukan secara terus-menerus. Dalam sistem ini, prinsip jaminan kualitas juga diintegrasikan. Tujuan pokok sistem ini ialah mencegah terjadinya kesalahan dan perbaikan kualitas terus-menerus sesuai dengan kebutuhan pelanggan. (Sallis, 1993 : 26-27). 211
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
2.
Kualitas Pelayanan Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Aplikasi kualitas sebagai sifat dari penampilan produk dan kenerja merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam rangka meraih keunggulan yang berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar maupun sebagai strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa adalah tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut. Apakah sudah sesuai dengan harapan dan keinginan konsumen atau belum. Menurut Goetsh dan Davis (Fandy Tjiptono, 2002 : 51) “Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Sedangkan menurut Elthaitammy (Fandi Tjiptono, 2002 : 58). “Service excellence atau pelayanan yang unggul yakni suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan”. Jadi kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara harapan pelanggan dengan pelayanan suatu perusahaan. Sehubungan dengan contact personnel yang sangat penting dalam menentukan kualitas jasa, setiap perusahaan memerlukan service excellence. Fandy Tjiptono (2002 : 58) menyatakan bahwa secara garis besar terdapat empat unsur pokok dalam komponen memberikan service excellence, yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. Pimpinan dan karyawan untuk mencapai tingkat excellence harus memiliki keterampilan tertentu, diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihat212
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
kan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani, tentang dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya baik tugas yang berkaitan dengan bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan secara professional. Dengan demikian, upaya mencapai excellence bukanlah pekerjaan yang mudah. Akan tetapi bila hal tersebut dapat dilakukan, maka perusahaan yang bersangkutan akan dapat meraih manfaat besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas yang besar. Istilah kualitas tetap digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulisan. Dalam interaksi sosial di dalam masyarakat pemahaman kualitas terhadap pelayanan jasa dan atau terhadap sebuah barang semakin meningkat. Untuk itu melalui pendidikan dan pemahaman / pengamalan agama akan diketahui makna yang dinamakan “kualitas”. Tetapi kesadaran akan berkualitas yang demikian sering tidak berkembang. Apabila kesejahteraan ekonomi dan pendidikan meningkat, maka kesadaran akan kualitas atas segala sesuatu juga meningkat. Masyarakat akan memilih berbagai kebutuhan akan jasa dan barang dengan predikat yang berkualitas dan halal, karena sudah menjadi pilihan yang alami. Definisi kualitas berlaku untuk barang dan jasa, tetapi ada perbedaan terutama berkaitan dengan sifat kualitas barang dan jasa yang dimaksud. Menurut Tjiptono (2002 : 8) sifat kualitas barang dan jasa dapat dibedakan yaitu kualitas barang bersifat objektif, berwujud, berukuran metrik, menggunakan perhitungan waktu penyampaian, terbuat dari materi dan dapat dihitung. Sedangkan kualitas jasa bersifat subjektif, tidak selalu berwujud, umumnya berukuran afektif, mengutamakan perhatian, terdiri dari non materi (reputasi, 213
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sikap, etika, dll) dan tidak dapat dihitung tetapi dirasakan dan diyakini. Menurut Sallis (1993) perbedaan antara jasa dan produksi adalah jasa memerlukan kontak langsung antara customer dan penyedia jasa. Disampaikan langsung orang per orang oleh para staf junior, sehingga terjadi hubungan langsung. Dalam produksi tidak ada kontak langsung dan tidak ada kebersamaan antara penyedia dan pengguna. Jasa sangat terkait dengan waktu, merupakan elemen dari kualitas jasa, seperti halnya dalam produk adalah spesifikasi barang. Bila terjadi cacat dalam jasa tidak bisa diperbaiki karena jasa diterima langsung oleh pelanggan, oleh karenanya orang yang melayani atau memberi sebuah jasa harus betul-betul mempunyai komitmen yang tinggi. Jasa tidak kasat mata baik bentuk maupun kualitasnya dan berbeda dengan produk yang bisa langsung dilihat mata. Menurut Fandy Tjiptono(1997:14) sifat kualitas jasa adalah (a) reability (kepercayaan) sesuai yang dijanjikan yaitu jujur, aman, tepat waktu, kesediaan (b) Assurance (jaminan) yaitu kompentensi, percaya diri, menimbulkan keyakinan, kebenaran (objektif) (c) Tangible (penampilan) yaitu kebersihan, baik dipandang, teratur dan rapi, harmonis, cantik (d) Empaty (perhatian) antara lain mencakup penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani pelanggan dengan ramah dan menarik, memahami aspirasi pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, bersikap dengan penuh simpati (e) Responsiveness (ketanggapan) tanggap terhadap permintaan / kebutuhan pelanggan dan cepat memberi perhatian dan mengatasi keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pelanggan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang kualitas jasa yang dimaksud, lembaga pendidikan dalam proses pembelajaran harus benar-benar menggunakan prinsip-prinsip kualitas jasa pada setiap aspek pelayanan 214
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
kepada para pelanggannya. Hal ini dimaksudkan agar kualitas proses pembelajaran di lembaga akan sangat tergantung pada sejauh mana mampu memberikan pelayanan dengan memperhatikan prinsip kualitas jasa yang seutuhnya. 3.
Hakikat Total Quality Management (TQM) “Total Quality is the most important, though provoking revolution in the world of modern management” (www.crossroad.to, 2005). Mutu terpadu merupakan revolusi yang paling penting di dunia manajemen modern. Menurut Tjiptono (1996: 4) Total Quality Management (TQM) adalah “Suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, dan lingkungan”. Menurut Sashkin dan Kiser (1993: 39) dalam bukunya Putting Total Quality Management to Work memberi definisi TQM sebagai berikut : “TQM means that organization`s culture is defined by and supports the constant attainment of customers satisfaction through an integreated system of tools, techniques, and training. This involves the continuous improvement of organization processes, resulting in high quality products and services”. TQM merupakan budaya organisasi yang mendukung pencapaian kepuasan pelanggan secara konstan melalui sistem peralatan, teknik, dan pelatihan yang terintegrasi. Hal ini menyangkut perbaikan proses-proses organisasi yang kontinu guna menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tinggi. Menurut Azhar Arsyad (2002 : 48) Total Quality Management (TQM) adalah “Penerapan metode kuantitatif dan pengetahuan kemanusiaan untuk (a) memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan pada organisasi, (b) memperbaiki semua proses penting dalam organisasi, dan (c) memperbaiki upaya memenuhi kebutuhan para pemakai 215
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
produk dan jasa pada masa kini dan masa mendatang”. Dengan demikian filosofi yang terkandung dalam TQM adalah bahwa dalam setiap usaha, pemenuhan kebutuhan pelanggan dengan sebaik mungkin adalah masalah yang sangat prima. Jadi diperlukan pengelolaan mutu (kualitas) secara total terpadu. Paradigma manajemen tradisional mempunyai karakteristik sentralisasi, organisasi fungsional, dan birokrasi dibangun berdasarkan atas paradigma lingkungan yang stabil, persaingan tidak tajam, pengendalian merupakan fokus manajemen. Dengan perubahan lingkungan bisnis yang berkarakteristik : customers take charge, competition intensifities, dan change becomes constants, radical, fast, and pervasive maka diperlukan paradigma baru yang sesuai dengan keadaan, yaitu : customer value, continuous improvement, dan organizational system (Mulyadi, 1998: 20). Produsen produk dan jasa dalam manajemen tradisional berpandangan bahwa kelangsungan hidup dan perkembangan organisasi tersebut di dalam memproduksi dan menyediakan produk dan jasa, terlepas dari apakah produk dan jasa tersebut menghasilkan manfaat bagi customers atau tidak, sehingga ungkapan yang sering didengar adalah : “kami menjual apa yang dapat kami buat”. Dalam manajemen kontemporer, dengan paradigma customers value memandang bahwa suatu organisasi akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan memiliki kesempatan untuk berkembang, jika organisasi tersebut mampu memproduksi dan menyediakan produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customers. Dengan demikian, ungkapan yang digunakan adalah : “kami membuat apa yang dibutuhkan oleh customer”. Dengan demikian maka pelangganlah yang memegang kendali bisnis, karena paradigma customer value memfokuskan semua sumber daya yang dikuasai oleh organisasi untuk menghasilkan value untuk 216
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
memenuhi kebutuhan pelanggan. Paradigma customers value membangkitkan kegairahan di dalam diri personil organisasi untuk menghasilkan manfaat dalam keseluruhan proses pemanfaatan produk oleh pelanggan, yang lebih besar dari pada pengorbanan yang dilakukan oleh pelanggan di dalam memperoleh manfaat tersebut (Mulyadi, 1998: 35). Paradigma customers value mengarahkan semua proses bisnis dan organiasi untuk menghasilkan value bagi customers. Customers value mengubah arah perhatian manajer, dari fokus untuk memuaskan kepentingan diri sendiri, menjadi memuaskan kebutuhan pelanggan. Dengan demikian, dalam setiap tahapan proses manajemen, kegiatan di tujukan untuk menghasilkan value bagi pelanggan. Karena proses manajemen yang berhasil adalah proses yang mampu menghasilkan satisfied customers. Menurut Sander, et al. (Mulyadi, 1998: 41) paradigma customers value perlu diwujudkan ke dalam keyakinan dasar yang kuat yang harus ditanamkan kepada seluruh personil organisasi, bahwa : (1) bisnis merupakan suatu mata rantai yang menghubungkan pemasok dengan customers, (2) customers merupakan tujuan pekerjaan, (3) sukses merupakan hasil penilaian terhadap suara customer. Di samping keyakinan dasar, untuk mewujudkan paradigma customer value perlu juga ditanamkan personal value yang cocok dengan paradigma tersebut, yang meliputi : (1) integritas, (2) kerendahan hati, dan (3) kesediaan untuk melayani. Dari pengertian tersebut, maka falsafah TQM adalah : (1) reaksi berantai untuk perbaikan kualitas, (2) transformasi organisasional, (3) peran esensial pimpinan, (4) hindari praktek-praktek manajemen yang merugikan, dan (5) penerapan system of profound knowledge, yang mencakup orientasi pada sistem, teori variasi, teori pengetahuan, dan psikologi. Pada akhirnya, aplikasi pendekatan ilmiah untuk 217
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
memperbaiki kualitas meliputi karakteristik dan penggunaan; plan,Do- Check-Act, cycle (Handjosoedarmo, 1999). Menurut Shaskin dan Kiser (1993: 39) budaya organisasi (organization‘s culture) terdiri dari dua komponen, yaitu nilai (values) dan keyakinan (belief). Keyakinan dan nilai-nilai tersebut ditentukan dan diekspresikan melalui kepemimpinan yang kemudian diikuti oleh anggota organisasi. Keyakinan meliputi pertanyaan atau ungkapan “if …..., than……”. Misalnya, “Jika saya melaksanakan ini, maka hasilnya adalah ……” (Shaskin dan Kiser, 1993: 76). Sashkin dan Kiser (1993: 77) memilah elemen budaya tersebut menjadi delapan elemen, yaitu : a. Informasi yang berkaitan dengan kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk menghukum atau mengawasi seseorang. b. Kewenangan harus seimbang dengan tanggung jawab. c. Harus ada penghargaan atas keberhasilan. d. Kerjasama, bukan kompetisi, harus menjadi landasan kerja sama. e. Pekerja harus memiliki jaminan akan keamanan pekerjaannya. f. Harus ada iklim keterbukaan. g. Pemberian kompensasi harus adil, wajar dan pantas. h. Pekerja harus ikut memiliki andil dalam usaha. Sebagai suatu konsep yang berupaya melaksanakan sistem manajemen berkualitas, maka diperlukan perubahanperubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. Oleh karenanya, Hensler dan Brune (Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, 1998: 14) mengemukakan ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu (1) kepuasan pelanggan, (2) respek pada setiap orang, (3) manajemen 218
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan kesinambungan. Sementara itu, menurut Azhar Arsyad (2002: 50) di dalam TQM ada lima tiang (pillar), yaitu (1) membina tekad yang kuat dari pimpinan sampai tingkat paling bawah dari seluruh jajaran yang ada untuk meningkatkan mutu, (2) perbaikan proses. Dengan kata lain, memperbaiki mutu secara bertahap dan terus-menerus. (3) pemberdayaan setiap orang dalam lembaga atau organisasi. (4) membantu setiap orang untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. (5) berfokus pada pelanggan. Tiga aspek mendasar dalam TQM sebagai philosophy of management yaitu counting, customers, and culture. Counting merupakan alat, teknik, dan pelatihan yang digunakan untuk penganalisisan, pemahaman, dan pemecahan masalahmasalah yang berkaitan dengan kualitas. Customers merupakan kualitas untuk pelanggan sebagai pendorong (driving force) dan menjadi konsentrasi utamanya. Culture menyangkut nilainilai dan keyakinan bersama, yang diekspresikan oleh pemimpin, untuk mendukung kualitas (Sashkin dan Kiser: 1993). Menurut Deming (Sallis, 1993: 48) ada empat belas prinsip yang perlu diperhatikan dan dijadikan acuan untuk mencapai produktivitas yang berfokus pada kepuasan pelanggan, yaitu: a. Memiliki tekad kuat untuk terus-menerus memperbaiki kualitas produk atau jasa. b. Gunakan filosofi kerja yang tidak bisa menerima keterlambatan, kesalahan, cacat materi dan cacat pekerjaan. c. Hentikan pemeriksaan kualitas pekerjaan hanya pada akhir proses; ganti dengan adanya proses perbaikan sejak awal sampai akhir guna mendapatkan hasil yang berkualitas. 219
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
d. Jangan terkecoh oleh besarnya biaya saja; yang mahal belum tentu baik dan yang murah belum tentu jelek. Oleh karenanya utamakan kualitas. e. Lakukan terus-menerus dan selamanya usaha perbaikan kualitas dalam setiap kegiatan. f. Lembagakan pembinaan dalam bentuk on-the-job training untuk semua orang (pimpinan, guru, karyawan, dan lainlain) agar masing-masing dapat selalu meningkatkan kualitas kerjanya. g. Lembagakan kepemimpinan yang membentuk setiap orang untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik (membina, memfasilitasi, membantu mengatasi kendala, dan lain-lain). h. Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang merasa takut dalam organisasi, agar orang dapat bekerja secara efektif dan efisien. i. Hilangkan segala yang menghambat komunikasi antar bagian dan antar individu dalam organisasi, agar mereka dapat bekerja sama dengan baik. j. Hilangkan slogan dan peringatan untuk kerja lebih keras kepada para pelaksana, sebab itu hanya akan menimbulkan hubungan yang kurang baik; penyebab rendahnya kualitas dan produktivitas bukan ada pada pihak pelaksana, tetapi ada pada sistem organisasi. k. Hilangkan target kerja (quota) bagi para pelaksana, dan hilangkan angka-angka tujuan bagi para pimpinan. l. Singkirkan penghalang yang merebut hak para pemimpin dan pelaksana untuk bangga atas hasil kerjanya. m. Lembagakan program yang kuat untuk pendidikan, pelatihan dan pengembangan diri bagi semua orang.
220
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
Tenaga-tenaga profesional sadar bahwa dirinya harus selalu meningkatkan kemampuan dirinya. n. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa ikut serta dalam usaha memperbaiki kualitas. Menurut Philip Crosby (Sallis, 1993: 55) ada empat belas langkah yang harus ditempuh untuk melaksanakan TQM dalam sebuah organisasi, yaitu: a. Komitmen dari pimpinan. b. Bentuk tim perbaikan kualitas. c. Pengukuran kualitas: tentukan base line data dan tentukan standar kualitas yang diinginkan. d. Menghitung biaya untuk kualitas: mengulang pekerjaan yang cacat, dan lain-lain. e. Membangkitkan kesadaran akan kualitas. f. Melakukan tindakan perbaikan. g. Perencanaan kerja tanpa cacat. h. Adanya pelatihan bagi unsur pimpinan dan kemudian juga bagi semua pegawai/karyawan. i. Adakan hari-hari tanpa cacat (zero-defects). j. Masing-masing tim menentukan tujuan perbaikanperbaikan yang akan dicapai. k. Menghilangkan penyebab kesalahan, berarti melakukan usaha perbaikan. l. Mengakui atas partisipasi dan prestasi dalam bentuk bukan-uang. m. Bentuk komisi kualitas secara professional akan usahausaha perbaikan kualitas dan memonitor secara berkelanjutan. n. Lakukan berulang lagi.
221
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dengan berpedoman kepada uraian di atas, sebuah organisasi khususnya lembaga pendidikan, akan mencapai maksud dan tujuan yang maksimal dalam pengembangan diri dengan kualitas dan hasil yang sangat memuaskan bagi kepentingan bersama.
B. Prinsip Total Quality Management (TQM) Prinsip-prinsip TQM dalam pendidikan adalah sebagai berikut: 1.
Produk ditentukan oleh visi-misi dan tujuan organisasi Beberapa patokan diberikan oleh Patricia Jones dan Larry Kahanar untuk membuat dan melaksanakan visi-misi perusahaan. Pertama, pernyataan tersebut tidak harus pendek, tetapi sederhana sehingga mudah dipahami baik dari dalam perusahaan maupun luar perusahaan. Kedua, susunan dan nada kata-kata mencerminkan kepribadian perusahaan dan ingin menjadi apa perusahaan ini. Ketiga, sosialisasikan visimisi ini dengan cara kreatif sehingga setiap orang mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang diharapkan dari dirinya. Manajemen harus mengatakan, melaksanakan, dan menilai karyawan dengan berpatokan pada visi dan misi. (1999 : 302). Selama ini visi-misi dan tujuan lembaga lebih banyak sebagai slogan daripada sebagai nilai yang harus diperjuangkan. Hal ini sangat merugikan karena nilai, idealisme, dan cita-cita organisasi yang luhur dapat menjadi sumber inspirasi, semangat, dan tuntutan organisasi. Dan pernyataan misi perusahaan merupakan alat paling penting bagi manajer perusahaan. Oleh sebab itu, sudah saatnya pimpinan lembaga merencanakan secara sistematis dan taktis pemahaman dan 222
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
pelaksanaan visi-misi dalam kurikulum, kebijakan, dan peraturan organisasi. 2.
Konsentrasikan pada proses TQM bertujuan untuk secara berkesinambungan meningkatkan kualitas produk dengan melibatkan setiap orang dalam proses produksi (belajar dan mengajar). (P.Jones,1999:5). Untuk itu, diperlukan komitmen kepemimpinan yang tinggi, pemanfaatan sumber daya yang ada, terutama sumber daya manusia, dan mengurangi variasi yang tidak perlu. Ada beberapa sumber variasi, seperti latar belakang siswa, kemampuan belajar siswa, kemampuan guru, dan cara guru mengajar yang sifatnya individual. Hal-hal seperti ini harus segera teridentifikasi karena dapat menghambat proses peningkatan mutu. Meskipun cara TQM ini telah berhasil diterapkan diberbagai bidang, di bidang pendidikan perlu disadari bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar sangat kompleks. Beberapa kesulitan, antara lain hubungan peserta didik dan guru bersifat dinamis dan sulit dinilai serta menentukan keinginan masyarakat tidaklah mudah. Kerja sama tim yang merupakan salah satu faktor kunci TQM tidak begitu dikenal, misalnya dalam perguruan tinggi yang umumnya dosennya bersifat otonom dan individualis. Mereka terbiasa bekerja sendiri dan mendapatkan pengakuan akan keberhasilan usahanya. Mereka juga sulit menerima pandangan luar (seperti masyarakat pengguna lulusan, praktisi) karena selama ini mereka beranggapan bahwa mereka yang paling tahu akan mutu dan mereka yang menentukan standar mutu tersebut.
223
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
3.
Kualitas ditentukan oleh pelanggan Tujuan dan sasaran pendidikan ialah memberikan daya kepada manusia untuk menghadapi berbagai persoalan hidup. Ia mampu mengembangkan berbagai daya yang ada di dalam dirinya sehingga mencapai tingkat yang paling optimal. Selama ini pendidikan yang ada adalah pendidikan yang berdasarkan hafalan, bukan berdasarkan penyadaran sehingga lulusan yang ada secara teori sangat pintar, tetapi dalam praktik lapangan tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang dipelajarinya. Untuk mengatasi kesenjangan ini dibuatlah kurikulum berbasis kompetensi. Berdasarkan visi dan misi dari lembaga, program studi dapat membuat analisis kebutuhan dari masyarakat pengguna, industri, dan profesi mengenai kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk lulusannya. Diharapkan dengan cara ini dihasilkan lulusan yang memiliki kualitas di bidang kemampuan kognitif (keilmuan), keterampilan, dan sikap (kearifan, karakter, dan kematangan emosi) yang siap untuk masuk ke dunia kerja. Kendala dalam penyusunan dan implementasi pendidikan berbasis kompetensi, antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, mayoritas guru atau pun dosen hampir tidak pernah bekerja di luar dunia akademis apalagi pengalaman kerja yang sesuai dengan bidang studi yang digelutinya. Kedua, kalangan industri dan masyarakat pengguna kurang concern terhadap dunia pendidikan. Model kerja praktik lapangan dianggap mengganggu proses produksi. Oleh sebab itu, perlu dijalin kerja sama antara lembaga dan dunia kerja untuk memecahkan masalah ini. Dunia pendidikan membutuhkan masukan dari dunia kerja tentang kompetensi lulusan dan juga dana pengembangan pendidikan,
224
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
sedangkan dunia kerja mendapatkan lulusan dengan kualitas yang diinginkan. 4.
Perbaikan berkesinambungan (Continuous improvement) Dalam konsep ini yang diperhatikan bukanlah memastikan apakah kualitas itu tercapai atau belum, tetapi pada usaha memperbaiki hasil yang telah dicapai. Selalu ada celah untuk memperbaiki dan menyempurnakan apa yang telah dikerjakan. Pemantauan kualitas senantiasa dilakukan dengan melibatkan semua pihak dan dengan segera dilakukan. Data yang terkumpul dianalisis, dipelajari bersama bukan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk mencari pemecahan. Dengan demikian, diharapkan keterbukaan dari semua pihak untuk memberikan data dan terlibat aktif memecahkan masalah. Salah satu metode yang sering digunakan adalah PDCA (plan-do-check-act). Konsep perbaikan berkesinambungan tidaklah mudah diterapkan karena umumnya staf lembaga merasa sudah cukup puas dengan hasil selama ini, merasa kurang gairah berkompetisi, munculnya raja-raja kecil, dan tidak ada keinginan untuk berubah. Oleh sebab itu, pimpinan harus dapat menggunakan nilai-nilai pokok akademis, seperti ilmu pengetahuan, penalaran kritis, kebebasan akademis, integritas personal, dan desentralisasi sebagai dasar proses perubahan. Dalam pengelolaan lembaga, esensi penting tidak hanya komitmen dan efisiensi, tetapi sumber daya manusia yang unggul juga harus tersedia sebagai motor penggerak organisasi. Untuk itu, perlu senantiasa dilakukan perbaikan kondisi kualitas kehidupan kerja (quality of work life), yaitu iklim kerja yang diciptakan dan dikembangkan secara sengaja, berencana, dan sistematik untuk menimbulkan kepuasan kerja, perasaan senang, dan mendapat perlindungan dalam 225
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
bekerja. Beberapa aspek penting dalam peningkatan kualitas kehidupan kerja, ialah pengembangan karier, kompensasi (upah/gaji) yang layak, pekerjaan yang menarik, menyenangkan dan menantang, kondisi kerja yang baik (jaminan keselamatan kerja, kesehatan), dan jaminan hari tua. (Nawawi, 2003: 236).
C.
Penerapan TQM Dalam Pendidikan
Untuk keberhasilan penerapan Total Quality Management (TQM) dalam pendidikan memang tidak mudah, diperlukan kebutuhan dan kerja sama yang baik antara pihak terkait dan lembaga pendidikan setempat sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya kejelasan secara sistematik dalam memberikan kewenangan antar institusi terkait. Jika manajemen ini diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan fleksibilitasnya, maka akan menjadi perubahan yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan. Langkah-langkah penerapan TQM: Edward Sallis, terjemahan (2012 : 245-253) memaparkan langkah-langkah penting sebagai berikut: a. Kepemimpinan dan komitmen mutu. Pemimpin sekolah harus menunjukkan komitmen yang kuat dan selalu memotivasi wakil kepala sekolah dan pejabat-pejabat lainnya agar berupaya keras dan optimal. Apabila kepala sekolah tidak peduli terhadap kepemimpinan dan komitmen mutu tersebut, maka sekolah terancam akan gagal menerapkannya. ¾
226
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
b.
Menggembirakan pelanggan. Tony Henry, Kepala sekolah East Birmingham College mengatakan bahwa mutu lebih menekankan pada kegembiraan dan kebahagiaan pelanggan dan bukan sekedar kepuasan pelanggan. Ia lebih menekankan pada keterlibatan seluruh staf dan tidak bersifat hirarchis. Ia juga lebih menekankan pada perbaikan mutu secara terusmenerus dan bukan sekedar lompatan mutu yang temporal. Ia adalah tentang hidup, cinta, perjuangan, pemeliharaan, tangis, tawa... (kutipan Sallis dan Hilngley dalam Edward Sallis, terjemahan 2012). Keterlibatan pelanggan dalam proses ini sangat penting, karena pandangan merekalah yang harus diutamakan. c.
Menentukan fasilitator mutu Tanggung jawab fasilitator adalah mempublikasikan program dan memimpin kelompok pengendali mutu dalam mengembangkan program mutu. Fasilitator mutu juga harus menyampaikan perkembangan mutu langsung kepada kepala sekolah. d.
Membentuk kelompok pengendali dan koordinator mutu. Kelompok pengendali mutu adalah pengembang dan inisiatur proyek mutu, sehingga bertugas mengarahkan dan mendorong proses peningkatan, mutu. Sedangkan koordinator mutu berperan membantu dan membimbing tim dalam menemukan cara baru dalam menangani dan memecahkan permasalahan. e.
Seminar manajemen senior untuk evaluasi program. Perlu dibangun tim manajemen senior yang baik dan integral, karena mereka harus memberi contoh pada tim 227
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
dalam mamajukan institusi. Manajer senior diharapkan bisa merubah pola kerjanya dalam rangka mengembangkan metode kerja baru, sehingga mampu menurunkan peran mutu ke tingkat bawah. f.
Merencanakan strategis mutu Kegiatan ini meliputi analisis dan diagnosis situasi yang ada pada institusi. Alat yang umum digunakan untuk merencanakan mutu yaitu analisis SWOT (Strategic, Weekness, Opportunity, dan Threat). Analisis ini bertujuan untuk menemukan aspek-aspek penting dalam memaksimalkan kekuatan, meminimalkan kelemahan, meredukasi ancaman, dan membangun peluang. g.
Melibatkan konsultan eksternal Jika konsultan digunakan, maka perlu seleksi ide dan pendekatan yang sesuai dengan institusi. Konsultan dapat memberi petunjuk dan nasehat awal dalam rangka membakar semangat civitas akademik; melatih para staf; diajak untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan institusi. h.
Pelatihan mutu bagi staf Pelatihan harus digunakan sebagai motor perubahan strategis. Hal ini sebagai tahap implementasi awal yang sangat penting. Staf membutuhkan pengetahuan tentang beberapa alat kunci yang mencakup tim kerja, metode evaluasi, pemecahan masalah, dan tehnik membuat keputusan. Strategi, relevansi, dan keuntungan TQM juga harus dikomunikasikan secara efektif. i.
Menghitung biaya mutu Disamping mengukur biaya mutu juga diperlukan pengujian biaya pengabaian mutu. Hal ini penting dilakukan sebagai suatu upaya untuk menyoroti usaha 228
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
peningkatan mutu dan memberikan motivasi agar institusi terus berpegang pada yang telah ditetapkan. j.
Mengoptimalkan alat dan tehnik mutu melalui pengembangan kelompok kerja yang efektif. Tim kerja bisa memulai dengan menganalisis tuntutan kerja, proses, metode, dan hasilnya. Proses analisis tersebut menyoroti bagian-bagian yang perlu ditingkatkan dengan memberikan agenda awal program peningkatan. k.
Evaluasi program secara rutin. Review dan evaluasi yang teratur dan rutin harus menjadi bagian yang integral dalam program. Kelompok pengarah harus berusaha melakukan review bulanan secara teratur dan tim manajemen senior perlu mempertimbangkan laporan berdasarkan hasil pengawasannya. Sedangkan Syafaruddin (2002:16) dalam buku “Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan” memaparkan bahwa pendidikan saat ini dituntut untuk bisa menciptakan sekolah yang berkualitas, sehingga harus memenuhi aspek-aspek penting berikut ini, a)perbaikan manajemen sekolah, b)persediaan tenaga kependidikan yang professional, c)perubahan budaya sekolah seperti visi, misi, tujuan dan nilai, d)peningkatan pembiayaan pendidikan, dan e)optimalisasi dukungan masyarakat terhadap sekolah. Mengacu pada paparan tersebut, maka untuk memenuhi tuntutan peningkatan mutu, pendidikan perlu mengimplementasikan Total Quality Management. Selanjutnya dijelaskan oleh Syafaruddin (49) bahwa pokok implementasi TQM dalam pendidikan meliputi faktor kepemimpinan, pemberdayaan guru, kelompok kerja, alat dan tehnik serta strategi penerapan mutu. 229
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
a.
Kualitas Kepemimpinan Untuk mencapai kualitas pendidikan dibutuhkan pemimpin yang efektif, komitmen terhadap perbaikan mutu. Kepala sekolah sebagai top leader harus bisa menjadi pendorong perubahan lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Dukungan dari anggota akan muncul apabila pimpinannya bermutu dan manajemennya efektif.
b.
Pemberdayaan Guru Makna pemberdayaan guru tidak hanya sekedar kewenangan dalam mengajar, tetapi lebih pada tuntutan pengembangan potensi secara kreatif dan inovatif serta kontinu yang diimplementasikan melalui pembinaan sekaligus pembentukan karakter peserta didik.
c.
Kelompok Kerja (team work) untuk Meraih Mutu Dalam meraih mutu yang diinginkan, kelompok kerja perlu diciptakan untuk membangun semangat kerja tim, meningkatkan kualitas komunikasi, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan yang tepat.
d.
Alat dan Teknik Perbaikan Mutu Untuk menuju Manajemen Mutu Terpadu dibutuhkan alat atau instrumen sekaligus teknik penggunaannya. Sebagaimana pendapat Schangel, bahwa dengan alat dan teknik penggunaannya untuk perbaikan mutu akan dapat diketahui masalah yang dihadapi dan penyebabnya, sehingga dapat membantu untuk mencari solusinya.(Syafaruddin,2002:71).
230
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
e.
Strategi Implementasi Manajemen Mutu Lembaga pendidikan perlu strategi yang kuat untuk meraih tujuan yang diharapkan, sehingga dibutuhkan proses pengembangan strategi tersebut yang meliputi: 1)misi yang jelas, 2)fokus pada pelanggan internal maupun eksternal, 3)ada strategi untuk meraih misi, 4)semua pelanggan terlibat dalam mengembangkan strategi, 5)pemberdayaan semua komponen dengan cara menghapus hambatan dan membantu memberikan kontribusi seoptimal mungkin melalui pengembangan kelompok kerja yang efektif, dan 6)penilaian dan evaluasi efektifitas lembaga dalam mencapai tujuan yang berkaitan dengan pelanggan.(Edward Sallis, terj. 2012: 244). Kelima pokok implementasi TQM dalam pendidikan tersebut merupakan sumber-sumber kualitas yang mendukung terwujudnya kualitas proses dan hasil yang akan dicapai. Penerapan TQM dalam pendidikan tidak terjadi secara spontan, namun harus direncanakan secara matang, terus menerus dan maju berkelanjutan. Oleh karena itu Field (Syafaruddin,2002:81) mengemukakan 10(sepuluh) langkah yang harus ditempuh dalam mengimplementasikan mutu dalam pendidikan, yaitu: a. Mempelajari dan memahami manajemen mutu terpadu secara menyeluruh. b. Memahami filosofi perbaikan terus-menerus. c. Menilai jaminan mutu saat ini dan program pengendalian mutu. d. Membangun sistem mutu, meliputi kebijakan mutu, rencana strategis mutu, implementasi rencana, rencana pelatihan, organisasi dan struktur, 231
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
prosedur perbaikan dan memaknai terhadap nilai mutu. e. Memperdayakan semua komponen untuk perubahan, menilai budaya mutu untuk perbaikan dan melatih bekerja dalam team work. f. Menggunakan alat dan tehnik TQM dalam mengatasi masalah dan menerapkan tindakan perbaikan. g. Menentukan proyek percontohan diaplikasikan dengan TQM.
untuk
h. Menetapkan prosedur tindakan perbaikan dan mengakui keberhasilannya. i. Pimpinan menciptakan komitmen dan strategi mutu terpadu yang benar. j. Menjaga jiwa mutu terpadu dalam penelitian dan aplikasi pengetahuan yang luas. Tahap-tahap tersebut harus diikuti secara seksama, sinergi dan konsekwen sesuai dengan komitmen bersama yang dibangun untuk menciptakan mutu dengan budaya perbaikan terus menerus. Sedangkan untuk mengetahui bahwa implementasi TQM dalam lembaga pendidikan itu berhasil, menurut Hadari Nawawi (2005:47) apabila institusi tersebut menampakkan fenomena berikut: a. Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan kualitas sumber daya manusia terus meningkat. b. Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayan semakin berkurang. 232
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
c. Semakin meningkat kedisiplinan kerja dan waktu. d. Inventarisasi aset lembaga semakin sempurna, terkendali dan tidak berkurang. e. Kontrol berlangsung efektif dari atasan langsung, sehingga menghemat biaya, mencegah penyimpangan dalam memberikan pelayanan secara internal maupun eksternal. f. Peningkatan keterampilan dan keahlian bekerja terus dilaksanakan, sehingga tehnik bekerja selalu mampu mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Metode bekerja demikian merupakan cara bekerja yang paling efektif, efisien, dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan terus meningkat. Berdasarkan tuntutan peningkatan mutu pendidikan, mutu institusi pendidikan perlu menerapkan Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT). TQM tidak hanya mengatasi problem pendidikan, tetapi sekaligus sebagai model yang mengutamakan perbaikan terus-menerus.
D. Pemimpin Pendidikan Dalam Manajemen Mutu Pada sekolah yang menerapkan TQM, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif atau 233
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah yang tangguh memiliki kemampuan sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan sekolah. Peters dan Austin dalam Edward Sallis (terj. 2012:170), menyatakan bahwa yang menentukan mutu dalam sebuah lembaga adalah pemimpinnya, yaitu gaya kepemimpinannya yang disingkat MBWA (Management By Walking About) atau manajemen dengan melaksanakan gaya kepemimpinan ini mementingkan komunikasi visi dan nilai-nilai lembaga kepada pihak-pihak lain dan bersama-sama dengan anggota dan para pelanggan. Sehingga untuk menuju mutu tidak bisa dikomunikasikan dari balik meja saja. Selanjutnya Peters dan Austin menganjurkan bahwa pemimpin pendidikan yang sudah komitmen terhadap mutu harus memperhatikan perspektif-perspektif berikut: •
Visi dan simbol-simbol, yaitu kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai lembaga kepada dewan guru, peserta didik dan komunitas yang lebih luas.
•
MBWA merupakan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan bagi lembaga.
•
Peserta didik sebagai pelanggan utama.
•
Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi beserta anggotanya, dan siap mengantisipasi kegagalan dalam inovasi tersebut.
•
Pemimpin harus menciptakan rasa kekeluargaan diantara civitas akademica dan orang tua peserta didik (komite sekolah).
•
Sifat-sifat ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas dan antusiasme merupakan mutu personal esensial bagi pemimpin.
234
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan
Sedangkan kepala sekolah untuk menerapkan TQM secara spesifik, Ilyas Mudakir dalam “Manajemen Mutu Terpadu TQM”, (Buletin, 1998 No. 13) mengemukakan 13 karakter yang harus ada pada pemimpin dalam TQM, yaitu : 1. Membuat keputusan berdasarkan data, tidak hanya pendapat saja. 2. Pimpinan merupakan fasilitator dan pelatih bagi anggota. 3. Selalu aktif terlibat dalam pemecahan masalah yang dihadapi anggota. 4. Harus bisa membangun komitmen, sehingga bisa dipahami visi, misi, nilai dan target yang jelas. 5. Dapat membangun dan memelihara kepercayaan. 6. Harus memahami betul ucapan “terima kasih” kepada anggota yang sukses. 7. Mengadakan kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan secara aktif dan terprogram. 8. Berorientasi pada pelanggan internal dan eksternal. 9. Menilai situasi dan kemampuan orang lain secara cerdas dan tepat. 10.Selalu menciptakan suasana kerja yang sangat menyenangkan. 11.Mau mendengar dan menyadari kesalahan. 12.Banyak berimprovisasi dan memperbaiki sistem. 13.Berusaha untuk belajar kapan dan dimana saja. Demikian pentingnya peran kepala sekolah dalam implementasi TQM, sehingga menjadikannya sebagai motor penggerak proses peningkatan mutu secara kontinu. Untuk menjalani proses tersebut pemimpin perlu memainkan gaya kepemimpinan dalam konteks TQM. Gaya kepemimpinan yang tepat dalam TQM menurut Fandy Tjiptono dkk. 235
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
(2000:163) adalah kepemimpinan partisipatif yang lebih tinggi tingkatannya. Kepemimpinan partisipatif yang dimaksudkan yaitu meliputi upaya mencari masukan dari anggota yang diberdayakan, mempertimbangkan masukan tersebut, dan bertindak berdasarkan masukan itu. Gaya kepemimpinan partisipatif model TQM bisa diterapkan dengan baik apabila mendapat dukungan anggotanya, mulai dari loyalitas, respek pada pimpinan sampai pada kesediaan mengikutinya. Beberapa karakteristik yang perlu dimiliki seorang pemimpin, agar anggotanya respek kepadanya adalah : 1) rasa tanggung jawab yang besar; 2) disiplin pribadi; 3) jujur; 4) memiliki kredibilitas tinggi; 5) menggunakan akal sehat (common sense), fleksibel tapi tegas; 6) memiliki energi dan stamina tinggi; 7) memegang teguh komitmen terhadap tujuan lembaga, orang yang bekerja sama, secara pribadi dan profesional serta berkelanjutan; 8) setia dan tabah dalam segala kesulitan. Komitmen terhadap mutu harus menjadi peran utama bagi seorang pemimpin, karena TQM adalah proses atas ke bawah (top-down). Sering terjadi kegagalan dalam mutu karena pemimpin yang kurang mendukung proses dan komitmen untuk inisiatif tersebut. Memang masalah peningkatan mutu merupakan hal yang sangat berat bagi pemimpin, karena ia menganggap bahwa pelimpahan tanggungjawab pada anggota mempengaruhi kewibawaannya. Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan yang kuat dan berpandangan jauh ke depan diperlukan dalam kesuksesan peningkatan mutu.
236
BAB VII PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI
A. Arti Pentingnya Pendidikan Islam Pendidikan dapat dilaksanakan dalam sebuah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu lembaga yang senantiasa diperlukan oleh masyarakat, namun tidak semua lembaga pendidikan diminati masyarakat, ada beberapa lembaga pendidikan yang semakin tahun semakin menurun baik jumlah siswa maupun kualitasnya sampai akhirnya ditutup, sebaliknya tidak sedikit lembaga pendidikan yang semakin tahun semakin eksis dan semakin maju. Pendidikan jika dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia, yakni untuk membentuk kepribadian manusia, mengembangkan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religius. Maka berbicara masalah pendidikan adalah berbicara tentang sesuatu yang penting, karena pendidikan merupakan pemberdayaan manusia dalam menjalani kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki masa depan. Di samping itu pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. (Mansur, 2004: 1). Tanpa pendidikan manusia 237
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sekarang tidak akan berbeda dengan manusia masa lampau, bahkan malah lebih rendah atau jelek kualitasnya. (Mansur, 2004: hlm. 8). Masyarakat yang dicita-citakan dapat diwujudkan antara lain dengan melalui peningkatan pendidikan umatnya. Hal ini berlaku juga bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. (Azwar Anas, 1993: xiii). Yakni mendidik generasi muda Islam agar mereka dapat menjadi orang modern (tidak kalah dalam persaingan) tetapi tetap memiliki rasa keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. (Arif Furchan, 2004: 10). John Dewey berpendapat bahwa pendidikan diartikan sebagai social continuity of life. Ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan adalah it more narrowly as transmission from some person to others of the skills, the arts and the sciences. (Kingsley Price, 1965: 4). Adapun Kant mengartikan pendidikan sebagai care, discipline, and instruction. Dengan melalui pendidikan Islam manusia akan mampu mengembangkan dirinya dan meningkatkan potensinya untuk memperbaiki kehidupan di masa depannya. Oleh karena itu institusi pendidikan Islam peran sertanya untuk perbaikan aspek kehidupan sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Dewasa ini , dunia sedang mengalami proses yang sering disebut dengan istilah globalisasi, proses mendunia akibat kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama bidang komunikasi dan transportasi yang mengakibatkan dampak positif maupun negatif. Di era globalisasi terjadinya krisis di berbagai bidang di setiap lapisan negara, terutama krisis moralitas. Dengan terjadinya krisis tersebut tidak semata-mata hanya tanggung jawab pemerintah, namun kondisi krisis tersebut merupakan tanggung jawab bersama. Lembaga pendidikan Islam dituntut perannya untuk peduli dalam rangka memperbaiki kehidupan masyarakat menghadapi era globalisasi. Berikut akan dikaji 238
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
apa yang dimaksud globalisasi dan bagaimana tantangan pendidikan Islam. Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia, pada dasarnya adalah untuk mengembangkan kemampuan dan potensi manusia sehingga bisa hidup layak, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidikan juga bertujuan mendewasakan anak, kedewasaan tersebut mencakup pendewasaan intelektual, sosial dan moral tidak semata-mata kedewasaan dalam arti fisik. Pendidikan adalah proses sosialisasi untuk mencapai kompetensi pribadi dan sosial sebagai dasar untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. (Nana Sudjana, 1995: 3). Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan. Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Maka dari itu anak sebagai harta yang dibina dan dipupuk sejak dini, ia membutuhkan pendidikan untuk menyiapkan diri menatap masa depan sehingga menjadi manusia dewasa yang berkualitas. Dalam pandangan Islam anak adalah amanat yang dibebankan oleh Allah SWT kepada orang tuanya, karena itu orang tua harus memelihara dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerima. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua untuk membimbing anak sejak dini. Keteledoran dan penyelewengan pendidikan anak dari manhaj yang telah ditentukan merupakan pengkhianatan terhadap amanat besar itu. Anak dilahirkan dalam keadaan suci, sebagaimana pendapat tokoh dari aliran Empirisme (John Locke) mengajarkan bahwa 239
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan terutama pendidikan. Ia mengemukakan bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih dan lingkunganlah yang menulisi kertas itu. (Hery Noer Aly, 1999: 14). Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 2 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi: Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Setiap potensi yang dimiliki manusia akan dikembangkan melalui jalur pendidikan, institusi pendidikan merupakan wadah untuk membentuk manusia yang cerdas, beriman, cakap, berwatak dan menjunjung harkat martabat bangsa. Jalur pendidikan nasional tidak hanya bersifat formal atau non formal saja, tetapi juga bersifat informal. Dilihat dari jalur Pendidikan Nasional, Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal, yaitu pendidikan luar sekolah yang merupakan proses berlangsungnya pewarisan norma, budaya, agama maupun keterampilan secara situasional dan wajar dengan perencanaan dan pengorganisasian, pendidikan Islam merupakan proses sosial psikologis untuk mengembangkan dan mendewasakan kepribadian manusia seutuhnya, secara fisik, intelektual, emosional, moral, dan spiritual sedemikian rupa sehingga
240
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
sebagai muslim kompeten untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
B. Globalisasi dan Tantangan Pendidikan Islam Pada umumnya sistem pendidikan dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan, baik tantangan internal (nasional) maupun tantangan eksternal (globalisasi). (Mastuhu, 2003: 31). Istilah globalisasi sering diberi arti berbeda-beda antara satu dengan yang lain, namun pada prinsipnya dalam era globalisasi ini terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi yang dapat melahirkan tatanan kehidupan dari hasil modernisasi teknologi yang mengakibatkan dampak positif dan negatif. (A.Qodri Azizy, 2004: 20). Jadi, dalam era globalisasi, selain menghasilkan peluang positif untuk hidup mudah, nyaman, murah, indah dan maju, juga dapat menghadirkan peluang negatif sekaligus menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan. Dengan kata lain dewasa ini telah terjadi banjir pilihan dan peluang terserah kemampuan seseorang untuk memilikinya. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan tantangan yang berasal dari internal yakni sistem pendidikan berjalan kurang sesuai dari cita-cita semula yaitu mengembangkan sifat-sifat pendidikan yang demokrasi. Pendidikan yang berjalan masih ada yang kurang memperhatikan kehidupan manusia secara menyeluruh yang sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Secara umum pendidikan Islam di Indonesia selama ini terkesan agak terhambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Pendidikan Islam dewasa ini terlihat goyah karena orientasi yang semakin tidak jelas. (Muslih Usa, 1991: 11-13). Maka 241
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM). (Mansur, 2005: 8). Adapun faktor eksternal sistem pendidikan kurang berdaya saing, oleh karena itu sistem pendidikan yang berjalan perlu dikelola secara seimbang dan sinergis antara pusat dan daerah. Sistem pendidikan yang berlaku sekarang hendaknya menghindari unsur diskriminatif. Waktu penerimaan siswa atau tenaga pendidik baru juga perlu menghindari unsur diskriminatif. Berlakunya sistem pendidikan nasional, hendaknya memikirkan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar. Dalam UUSPN tahun 2003 telah banyak mengalami kemajuan atau perubahan dibanding dengan sebelumnya. Strategi pendidikan nasional diupayakan untuk membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa maju. Pemerintah dalam hal ini telah mencanangkan gerakan peningkatan mutu pendidikan dan lebih fokus lagi setelah diamanatkan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Namun dalam kenyataan sistem operasionalnya tidak semudah membalikkan telapak tangan atau sesuai yang dicita-citakan. Sebagai output pendidikan hendaklah cenderung kepada pencarian ilmu yang setinggi-tingginya namun tetap dilandasi keimanan yang kuat sebagai wujud pendidikan berwajah insani yang mampu mengoptimalkan kecerdasan IQ, EQ, dan SQ sebagai bekal kehidupan dalam menghadapi globalisasi, bukan semata-mata bersifat materialistik. (Mansur, “Menyeimbangkan IQ, EQ, SQ dalam Pendidikan Bewajah Insani”, dalam Millah, Jurnal Ilmiah Program Pascasarjana UII Yogyakarta, Vol. V, No. 1, Agustus 2005: 140). Dalam menyelenggarakan sistem pendidikan sistem kerjanya hendaknya tidak hanya di bawah otoritas kekuasaan tetapi secara profesional, karena dalam lembaga pendidikan 242
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
atau akademik bukan lembaga yang menyelenggarakan administrasi kenegaraan seperti kantor kelurahan atau kecamatan. Perguruan tinggi dikenal adanya eselonisasi jabatan atau kepegawaian, sehingga dapat dikatakan tidak ada bedanya antara menyelenggarakan lembaga pendidikan dengan kantoran. Misalnya Perguruan Tinggi, rektor menempati eselon tertinggi, sebaliknya ketua jurusan atau program studi berada di eselon bawah. Padahal bonafid tidaknya suatu perguruan tinggi adalah sangat bergantung pada kemampuan dan keahlian ketua jurusan atau program studi karena merekalah yang lebih mengetahui ilmunya dan langsung menggeluti permasalahan dan kendala dalam kegiatan pendidikan. Lain dengan penyelenggaraan di kantor birokrasi adanya kepemimpinan yang hirarkis yang mana disusun berdasarkan menurut umur, masa jabatan dan kekuasaan. Dengan demikian berarti sistem kerja lingkungan akademik hendaknya yang menentukan adalah tinggi rendahnya keilmuan seseorang. Dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan nasional jika dikatakan idealitas seperti di atas hendaknya pendidikan yang berlaku sekarang ini adalah untuk memajukan manusia agar sejahtera hendaknya pendidikan mempunyai sifat-sifat membaur akrab dan memenuhi kebutuhan dari semua lapisan yang ada. Lembaga pendidikan pada realitasnya masih ada yang belum berpengalaman mengelola pendidikan yang terpadu antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan yang lainnya. Pada hakekatnya ilmu adalah bagian esensial dari Islam, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan Islam hanya satu dan tidak ada pendidikan agama dan tidak ada pendidikan umum, semua pendidikan apapun jenis dan jenjangnya adalah sama yaitu bertujuan untuk mengembangkan human dignity. Padahal Islam merupakan sumber dasar yang menjiwai nilainilai ilmu. Lembaga pendidikan Islam maupun lembaga 243
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pendidikan nasional lainnya muatan pendidikan sering bersifat verbal dan kurang inovatif dari segi metodologi. Hal ini tidak boleh berkelanjutan, sehingga kita harus mengambil langkah untuk menghindari timbulnya kesan indoktrinasi. (Ismail SM (ed.), 2000: 10). Dapat juga dikatakan bahwa secara eksternal sistem pendidikan telah ketinggalan kereta api globalisasi dan secara internal sistem pendidikan berjalan kurang sesuai dengan citacita semula. Oleh karena itu wajarlah terdapat kritik yang disampaikan dari berbagai pihak bahwa kegiatan pendidikan dari tahun ke tahun tidak pernah konsisten dan tidak bisa menjamah seluruh aspek manusia secara utuh dan langsung. Tantangan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan Islam pada era globalisasi adalah bagaimana mempersiapkan input, pengajar, fasilitas, termasuk juga pengembangan kurikulum dan pengembangan silabus. (Mansur, “Materi Seminar/Lokakarya Pengembangan Silabus Pengawas SMP se Jateng”, di Hotel Dibya Puri Semarang, Selasa 19 September 2006: 1). Hal itu perlu dicari penyelesaiannya agar dapat mengantisipasi beberapa hal yaitu mengadaptasi dan mengelola peradaban, mengembangkan kemampuan diri dan mengembangkan kreatifitas lembaga pendidikan sebagai learning organization and creative centre. (Teuku Amirudin, 2000: 87). Pendidikan dari berbagai tingkatan akan mengalami berbagai tantangan bahkan dunia semakin tua maka semakin tinggi pula perubahannya. Oleh karena itu manusia hendaknya siap menghadapi perubahan zaman, namun realitanya manusia cenderung menolak terjadinya perubahan karena ada hal-hal yang perlu direnungkan. Setiap perubahan mengandung ketidakpastian terhadap hasil yang akan dicapai. Perubahan dapat mengganggu suatu sistem yang telah mapan dan perubahan mengandung ancaman, memberikan rasa tidak aman terhadap orang yang 244
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
sulit menyesuaikan diri dengan perubahan, perubahan ini pasti mengandung resiko untung maupun rugi dalam berkehidupan. Masyarakat memang selalu berubah dan memang harus berubah. Sejarah telah mencatat perubahan-perubahan itu mulai dari zaman primitif sampai zaman kontemporer sekarang ini. Masyarakat yang tidak mau berubah akan ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat yang mau berubah. Kita tidak dapat menghalangi perubahan itu karena di dunia ini hanya perubahan itulah yang pasti terjadi. Persoalannya barangkali kita merasa perubahan-perubahan yang terjadi akhir-akhir ini begitu cepat sehingga kita pontang panting untuk menyesuaiakn diri. Oleh karena perubahan itu tidak bisa ditolak karena pengaruh tersebut bisa masuk melalui berbagai cara, maka umat Islam akan kurang siap menghadapi gagasan itu jika tidak dipersiapkan sejak dini. Oleh karena itu pendidikan Islam perlu mempersiapkan generasi agar mampu menghadapai era globalisasi itu dengan bijaksana, waspada, dan selektif dengan tidak meninggalkan jati dirinya. Pada era globalisasi, akal dan materi sebagai simbol kekuatan yang mengontrol kehidupan, hal ini sesuai dengan pendapat Gary Zukav yakni: Money is symbol eksternal power those who have the most money have the most ability to control their environment and those within it, while those who the least money have the least within it. Money is acquired lost stolen inheried and fought for. (Gary Zukav, 1991: 24). Dengan demikian salah satu ciri arus globalisasi yakni adanya desakan dahsyat dari negara maju melanda negaranegara yang kurang kuat, seperti negara-negara berkembang. Di samping itu tata kehidupan menjadikan akal dan materi sebagai simbol kekuatan yang mengontrol kehidupan, 245
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dampak negatif globalisasi di dunia pendidikan: 1) rusaknya orientasi hidup beragama, 2) runtuhnya nilai agama, nilai moral dan nilai tradisi. Pendidikan Islam dewasa ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa krisis ekonomi dan politik yang melanda masyarakat Indonesia secara berkepanjangan disebabkan terutama oleh krisis moral yang menandakan bahwa pendidikan Islam telah gagal membina masyarakat, khususnya masyarakat peserta didik untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa yang mampu mencegah umat Islam dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang didorong oleh sikap hidup konsumeristik, materialistik dan hedonistic. Dengan demikian, siapa yang mempunyai uang atau materi, merekalah yang memegang kendali dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan semaksimal mungkin dampak positif (peluang) globalisasi itu dan meminimalkan dampak negatif (ancaman) nya. Dari uraian di atas muncul pertanyaan, bagaimana peran pendidikan Islam di era globalisasi? Oleh karena itu berikut akan dikaji bagaimana peran pendidikan Islam dalam menyiapkan lulusan yang akan mampu survive dalam era globalisasi ini, tetap dapat memainkan peranan penting dalam kehidupan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai muslim Indonesia.
C.
Peran Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Umat Islam harus mempersiapkan dalam menghadapi arus globalisasi di tengah-tengah isu krisis di berbagai bidang yang dahsyat penuh dengan berbagai tantangan, di samping itu telah terbukti bahwa umat Islam sering dituduh sebagai sarang terorisme serta pihak penghambat kemajuan oleh pihak-pihak negara adi kuasa. Oleh karena itu umat Islam 246
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
seyogyanya mempersiapkan sedini mungkin untuk menghadapi keadaan itu yang dimulai dari peningkatan kualitas pendidikan Islam yang lebih konkrit dan realistis dan pendidikan sebagai lembaga untuk meluruskan teori yang salah misalnya harta benda dianggap segala-galanya. Pada dasarnya harta benda hanyalah sebagai sarana yang diamanatkan bagi manusia sebagai pelaku-pelaku kehidupan di dunia. Pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab dalam menghadapi globalisasi, maka lembaga pendidikan Islam hendaknya berperan aktif untuk memberdayakan manusia melalui pendidikan Islam, karena pendidikan Islam merupakan lapangan untuk mencetak generasi-generasi masa depan yang lebih handal dan yang lebih kompeten untuk membumikan prinsip-prinsip Islam. Pendidikan Islam perlu menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang mampu memilih tanpa kehilangan peluang jati dirinya. (Mansur, 2005: 1). Pendidikan Islamlah yang bisa menghadapi arus globalisasi dan dampak negatifnya. Oleh karena itu sekarang waktunya lembaga pendidikan Islam menyumbangkan perannya untuk membantu masyarakat dalam menghadapi globalisasi. Adapun peran pendidikan Islam dalam era globalisasi di antaranya: Pertama, Islami. Peranan strategis pendidikan Islam sebagai lembaga yang mampu menyiapkan para alumninya yang berkepribadian, beriman, dan bertawakal. Jadi, pendidikan Islam mempunyai peran membentuk anak didik mempunyai kepribadian utama atau insan kamil sesuai dengan ajaran Islam (Islami). Dengan demikian seorang guru seharusnya bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik. Karena itu dalam Islam, seorang 247
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
dapat menjadi guru bukan hanya karena ia telah memenuhi kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi lebih penting lagi ia harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting pula membentuk watak dan pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran-ajaran Islam. (Azyumardi Azra, 1998: 167). Oleh karena itu pendidikan Islam mampu membentuk output-outputnya bisa mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kondisi zaman yang penuh terbuka ini agar tetap menjadi insan kamil yang tangguh. Kedua, populis. Pendidikan Islam mempunyai peran kemasyarakatan (populis), artinya pendidikan Islam berperan membantu pemerintah dalam ikut berperan serta menyukseskan pemerataan pendidikan, mampu memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat atau merakyat, hal ini telah terbukti bahwa pendidikan Islam mampu memasuki semua penjuru atau lini kehidupan dan sampai ke pelosok tanah air, jadi pendidikan Islam bukanlah milik some selected few dalam masyarakat dengan segala hak-hak istimewa (privelege) nya. Pendidikan Islam berperan mengangkat harkat dan martabat masyarakat pada umumnya secara sosial, ekonomi, intelektual dan agama tentunya. Apabila masyarakat secara menyeluruh bisa mengenyam pendidikan Islam maka akan mampu menghadapi kehidupan di era globalisasi. Ketiga, peningkatan kualitas. Peranan strategis pendidikan Islam sebagai lembaga mampu menyiapkan para alumninya yang bisa hidup mandiri dan berkualitas. Pendidikan Islam berperan meningkatkan kualitas masyarakat atau bangsa untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki, tetap bisa eksis dalam zaman globalisasi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terpinggirkan oleh lulusan pendidikan yang lain dalam memperebutkan tempat dan peran di era globalisasi. Bahkan pada era globalisasi perlu adanya daya saing yang 248
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
unggul yakni aspek kualitas yang perlu dijamin dari semua bidang baik ekonomi, politik maupun pendidikan dan lainlain. Terutama dalam dunia pendidikan perlu ditingkatkan kualitas pendidikan dalam era globalisasi bukan berarti pendidikan berorientasi pasar bebas yang identik dengan liberalisme, sebagai warga negara Indonesia yang baik tetap mendukung adanya pasar bebas tetapi dalam negeri perlu adanya integritas domestik di semua bidang. Terutama dalam dunia pendidikan Islam tidak menutup diri dari arus globalisasi yang identik dengan pasar bebas namun terlebih dahulu yang perlu dilakukan adalah integritas domestik. Jika pendidikan Islam mampu berperan meningkatkan kualitas masyarakat dan bangsa, maka mereka akan mampu menghadapi kehidupan di era globalisasi. Keberadaan pendidikan Islam di tengah-tengah arus globalisasi agar dapat mencapai kondisi ideal maka diperlukan peningkatan kualitasnya. (Mansur, dkk., 2006: 107. Dengan demikian di tengah-tengah era globalisasi lembaga pendidikan Islam perlu berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada. Peran pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk menghadapi globalisasi, lembaga pendidikan Islam ikut berperan aktif mengadakan perubahan di berbagai aspek kehidupan tetapi tetap bertendensi pada nilai-nilai Islam. Oleh karena itu berikut akan dikaji tentang pentingnya peningkatan kualitas pendidikan Islam.
D. Pentingnya Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam Untuk mewujudkan peran pendidikan Islam di atas maka diperlukan peningkatan internal pendidikan Islam itu sendiri. Dalam menghadapi era globalisasi ini perlu adanya gagasan baru pendidikan Islam dalam masa yang akan datang, antara lain perlu mengubah paradigma lama menjadi paradigma baru. Artinya meninggalkan yang sudah tidak sesuai dengan 249
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
tuntutan era reformasi dan demokrasi. Perlu mengembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman, al-muhafadhatu alal qadim al-shalih wa al-akhadzu ala al-jadid al-ashlah. Untuk itu perlu ada tawaran gagasan menata ulang sistem pendidikan yang mampu menghadapi perubahan zaman di era globalisasi. Dalam menghadapi era globalisasi ini diperlukan terobosan dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan atau paradigma dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Sebab apabila tuntutan-tuntutan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan mengalami kegagalan. Dalam pendidikan Islam masih terdapat beberapa kelemahan yang secepatnya perlu diperbaiki antara lain: Pertama, manajemen. Dunia pendidikan Islam dalam bidang manajemen perlu perubahan yang dinamis dan baik yang dilakukan secara terus-menerus agar tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam tercapai. Manajemen dalam pendidikan Islam hendaknya diperhatikan rencana pendidikan jangka pendek, menengah dan jangka panjang agar dapat dievaluasi keberhasilan dan kemajuan dalam pengelolaan pendidikan Islam. Manajemen hendaknya berorientasi pada pelayanan yang dinamis dan baik terhadap semua elemen yang terkait dalam dunia pendidikan baik peserta didik maupun internal pendidikan, adanya hubungan yang integral dalam dunia pendidikan Islam. Manajemen dalam pendidikan Islam perlu diperbaiki lagi dari tahun ke tahun agar semakin baik dan manajemen yang tidak sesuai zaman perlu ditinggalkan. Dengan manajemen atau pengelolaan yang fair dan berorientasi pada kemajuan eksternal dan internal pendidikan akan tetap unggul di tengah-tengah derasnya arus globalisasi dan ditambah lagi adanya krisis global. 250
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
Kedua, pembelajaran. Karena pendidikan pada hakekatnya mengembangkan potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain pendidikan pada hakekatnya mengembangkan human dignity yang memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu menjadi khalifatullah fi al-ardhi. Oleh karena itu berikan ruang lebih banyak bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan jati diri dan menempuh cita-citanya. Pemerintah telah menetapkan standar minimal kompetensi dan arah dasar agar tidak keluar dari Pancasila dan UUD 1945 sebagai akidah dan syariah negara. Untuk mencapai basic kompetensi tersebut serahkan pada masing-masing pihak. Untuk menghadapi tantangan arus globalisasi maka harus mengembangkan daya kreatifitas lembaga pendidikan sebagai learning organization and creative centre. Yang memerlukan upaya sungguh-sungguh agar produk atau outputnya tetap berorientasi intelektual, emosional dan spiritual. Lingkungan pendidikan Islam hendaklah mampu mengembangkan daya kreatifitas untuk mempersiapkan input pendidikan dapat menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya untuk dapat memberi arti pada kehidupan di dunia yang penuh perubahan dengan begitu cepatnya. (Mansur, 2001: 22). Oleh karenanya guru harus berupaya untuk menumbuh dan mengembangkan sikap kreatif dalam mengelola pembelajaran dengan memilih dan menetapkan berbagai pendekatan, metode, media pembelajaran yang relevan dengan kondisi siswa dan pencapaian kompetensi. Ketiga, sarana/prasarana. Pendidikan Islam masih banyak mengalami permasalahan dalam bidang sarana dan prasarana dan ditambah adanya bongkar pasang untuk melengkapi sarana pendidikan. Dalam hal ini berarti kurang efisien dalam 251
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
melengkapi sarana sebagai penunjang untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu perlu adanya kiat untuk memperbaiki agar tidak terkesan bongkar pasang, sehingga awal proses melengkapi sarana tersebut harus direncanakan lebih matang lagi apalagi didukung adanya instrumen otonomi daerah. Otonomi pendidikan perlu diberikan agar leluasa mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Namun demikian, peran pemerintah tetap diperlukan untuk menjadi wasit yang adil dalam memberikan motivasi, fasilitas dan politik penyelenggaraan pendidikan yang sungguh-sungguh dan jujur pada pihak-pihak yang lemah agar mampu bangkit dalam persaingan yang terbuka dan bermutu. Di samping itu mengingatkan pada penyelenggara pendidikan agar tidak menjadikan wahana pendidikan sebagai usaha perdagangan yang sering disebut bisnis pendidikan. Melihat beberapa kelemahan yang ada, oleh karenanya sarana prasarana dalam pendidikan Islam perlu diperbaiki dan ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.
E.
Perlunya Manajemen dalam Lembaga Pendidikan Islam
Trend pendidikan di era reformasi bernafaskan otonomi daerah, oleh karena itu pendidikan Islam dalam pengembangan dan pendewasaan kepribadian manusia seutuhnya serta proses sosial psikologis dengan pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqohu fiddin), hendaknya berpusat pada potensipotensi lokal, potensi masyarakat atau potensi daerah, baik potensi alam lingkungan maupun SDM. (Abdurrahman Mas’ud, 2004L: 34)
252
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
Berdasarkan hal itu jalur pendidikan Islam termasuk pesantren merupakan alternatif pilihan yang tepat bagi pendidikan luar sekolah karena pesantren menerapkan pembelajaran dengan pola sehari semalam dan berada di tengah-tengah masyarakat. Institusi pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan yang dikembangkan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian tradisional di atas bukan berarti tidak mengalami penyesuaian, tetapi menunjukkan bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300-400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, karena pada perkembanganya pesantren telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan umat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren dapat dilihat dari unsur-unsur yang membentuknya yaitu: (1) pelaku terdiri dari kiai, ustad, santri, dan pengurus. (2) sarana perangkat keras: misalnya masjid, rumah kiai, rumah ustad, pondok, gedung sekolah, gedung-gedung lain untuk pendidikan seperti perpustakaan, aula, kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, gedung-gedung keterampilan dan lain-lain. (3) sarana perangkat lunak: kurikulum, buku-buku dan sumber belajar lainya cara belajar-mengajar (bandongan, sorogan, halaqoh, dan menghafal), evaluasi belajar mengajar. Unsur terpenting dari semua itu adalah kiai, ia adalah tokoh utama yang menentukan corak kehidupan pesantren. Semua warga pesantren patuh pada kiai. Sistem manajemen pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan yang sangat ideal dan merupakan sumber dasar 253
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.Tetapi sekarang persoalan sudah kompleks ilmu yang ada dipesantren berhadapan dengan astronomi modern, matematika dan logika modern, hal ini tidak perlu disesali bahwa mereka kehilangan perspektif terhadap ushul al-figh, dan seharusnya falak hisab dan mantiq tetap dipelajari bahkan harus dikembangkan dengan memperhatikan perkembangan baru dalam bidang ilmu itu sehingga bisa menghubungkan antara materi dan metodologi. (Nurcholis Madjid, tt,: 12). Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berkembang di Indonesia dan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki akar sejarah panjang di Indonesia. Proses pembelajaran yang berlangsung selama 24 jam penuh menyatu antara kiai, badal dan santri dalam satu komplek (lingkungan pesantren), sehingga sangat efektif dalam upaya pembentukan tiga kecerdasan yaitu: (1) kecerdasan spiritual; (2) kecerdasan emosional; (3) kecerdasan akal. Sehubungan dengan ketradisionalan pesantren, Mas’ud dalam Ismail (Ismail SM (ed.), 2000: 33) mengatakan bahwa: Dengan menunjuk pada dinamika keilmuan pesantren dalam sejarah, agaknya istilah ‘’konservatif ’’ yang dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. Konservatif pada umumnya identik dengan statis, jumud (kolot) serta implikasi-implikasi fatalis menyerah saja kepada nasib lainnya. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada suatu tradisi luhur dalam berbagai hal termasuk tradisi intelektual pesantren yang tidak pernah berhenti sampai sekarang. Pesantren adalah fenomena sosiokultural yang unik pada dataran historis. Pesantren merupakan sistem pendidikan 254
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
tertua khas Indonesia yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Ia bisa dibidik dari dimensi pendidikan, sejarah, agama, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, ekonomi, politik dan dimensi. Pesantren bukan hanya mampu bertahan, tetapi lebih dari itu dengan penyesuaian akomodasi dan konsesinya pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia secara keseluruhan. Itulah sebabnya, dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia keilmuan dewasa ini dan makna penting dari keilmuan dunia pesantren agaknya tidak tergeser. Seorang tokoh modernis, Dawam Raharjo misalnya, menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia barat dan bekerja di berbagai sektor. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi yang keberadaannya tetap diakui sebagai salah satu lembaga pendidikan yang dapat mencetak sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni baik dari segi ilmu pengetahuan, moral, maupun spiritual. Lembaga ini memiliki banyak kelebihan dan keunikan dibanding dengan lembaga pendidikan formal. Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, pondok pesantren perlu dikembangkan bidang-bidang yang tercakup di dalamnya. Untuk itu diperlukan suatu manajemen yang tepat. Stoner sebagaimana dikutip oleh Handoko (Hani Handoko, 2001: 9) menyebutkan bahwa “manajemen adalah proses perencanaan, perngorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan pengunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”. Fungsi manajemen meliputi: perencanaan (planning), pengorganisa255
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sian (organizing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian (controlling. Sebenarnya banyak definisi yang disampaikan oleh para ahli, namun bila dicermati fungsi-fungsi manajemen yang dipaparkannya dapat memberikan gambaran tentang perbedaan fungsi manajemen yang dikembangkan para ahli tersebut, yakni pada prinsipnya setiap manusia memiliki ilmu dan seni tersendiri dalam menggerakkan orang, terutama dalam rangka menetapkan tujuan yang telah ditetapkan. Sungguhpun terdapat perbedaan, namun fungsi-fungsi manajemen itu mempunyai makna yang sama, dan di sisi lain setiap pemimpin harus mampu menempatkannya dalam situasi dan kondisi tertentu. Dari batasan-batasan manajemen yang beragam, dapat disampaikan bahwa manajemen merupakan suatu usaha mencapai tujuan tertentu dengan mendayagunakan segala sumber daya baik manusia maupun non-manusia. Segala sumber daya yang semula tidak berhuhungan satu dengan yang lainnya lalu diintegrasikan, dihimpun menjadi sistem menyeluruh, secara sistematis, terkoordinasi, kooperatif, dengan maksud agar tujuan organisasi dapat tercapai, melalui pembagian kerja, tugas dan tanggungjawab yang seimbang. Dalam hal ini, pengertian manajemen yang digunakan adalah manajemen dengan empat fungsi tersebut di atas yakni perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian (controlling). Dari fungsi dasar manajemen tersebut, kemudian dilakukan tindak lanjut setelah diketahui bahwa tujuan yang telah ditetapkan “tercapai” atau “belum tercapai”.dengan fungsi manajemen tersebut juga harus memadukan kemampuan SDM yang profesional yang berpacu dengan waktu dan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang semakin berkembang. Perpacuan dengan lembaga pendidikan lain bisa menghasilkan kompetetif maupun distributif. 256
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
Kemampuan berpacu kompetitif jika pesantren menangani berbagai macam disiplin ilmu, misalnya dengan cara mendirikan perguruan tinggi, perpacuan secara kompetitif tergantung pada kualitas yang dikembangkan. Berpacu distributif yakni pengkhususan diri dalam satu bidang dan menyerahkan penanganan bidang keilmuan selebihnya kepada lembaga lain atau mengambil ahli lain yang ahli dalam bidangnya.
F.
Kepemimpinan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia Era Globalisasi
Kepemimpinan merupakan jenis kegiatan manajerial yang memusatkan pada interaksi antar pribadi antara pemimpin dan bawahan dengan maksud memperbesar efektivitas perusahaan. Pemimpin yang profesional dalam perusahaan harus mempunyai seperangkat kompetensi atau keterampilan manajerial. Terdapat tiga macam keterampilan manajerial yang diperlukan oleh seorang manajer (pimpinan) dalam mengelola sumber daya perusahaan yaitu: “(a) keterampilan konseptual (conceptual skill), (b) keterampilan hubungan manusia (Human skill), dan (c) keterampilan teknikal (technical skill)”. Keterampilan konseptual adalah “keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan perusahaan. Keterampilan ini antara lain meliputi kemampuan dalam menentukan strategi, kebijakan, merencanakan suatu yang baru dan mengambil keputusan”. Keterampilan kemanusiaan atau hubungan manusia adalah “keterampilan untuk bekerjasama, memotivasi dan memimpin”. Kegiatan perusahaan merupakan kegiatan hubungan manusia dan interaksi antar anggota perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan keseharian sering terjadi hubungan yang kurang harmonis antar individu dalam 257
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
perusahaan, hal ini disebabkan komunikasi kurang lancar atau dikarenakan tujuan individu berbeda dengan tujuan perusahaan. Karena itu, untuk menjalin kerjasama yang baik perlu diciptakan hubungan secara harmonis di antara anggota perusahaan. Jadi, keterampilan hubungan manusia merupakan kemampuan seseorang untuk bekerja sama, berkomunikasi dan memahami individu di dalam perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja bawahan. Keterampilan hubungan manusia di dalam perusahaan, diartikan sebagai “kemampuan untuk bekerja dengan memahami dan memotivasi orang lain baik sebagai individu maupun kelompok dengan tujuan agar manajer (pimpinan) memperoleh partisipasi secara aktif oleh anggota perusahaan dalam pencapaian tujuan”. Apabila hal tersebut diterapkan di dalam suatu perusahaan, maka perilaku hubungan yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan adalah: -
Menjalin hubungan komunikasi dan kerjasama dengan para bawahan dalam perusahaan, demi terbitnya hubungan kerjasama yang baik antara pimpinan dengan bawahan sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai dengan mudah.
-
Memberikan bimbingan dan bantuan dalam menyelesaikan tugas bawahan untuk memperlancar pelaksanaan tugas mereka dalam perusahaan.
-
Membangkitkan semangat kerja para bawahan, khususnya bagi bawahan yang belum berhasil menyelesaikan tugas, maka menjadi kewajiban pimpinan perusahaan untuk menumbuhkan kepercayaan diri bagi bawahan agar mereka berhasil dalam menyelesaikan tugasnya.
-
Memberikan penghargaan kepada bawahan yang berprestasi sebagai pengakuan terhadap prestasi yang telah
258
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi
diraih dalam usahanya yang maksimal sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan prestasinya. -
Menyelesaikan segala permasalahan maupun konflik di dalam perusahaan, agar masalah dan konflik yang terjadi tidak berlarut-larut dan semakin kompleks.
-
Mengikutsertakan bawahan dalam merumuskan pengambilan keputusan, agar keputusan dapat diterima oleh semua pihak. Meskipun permasalahan dan konflik tidak bisa dihindarkan, namun pimpinan perusahaan harus mengelola permasalahan dan konflik itu secara baik.
-
Membangun kebiasaan semua SDM perusahaan baik pimpinan maupun bawahan untuk menghormati peraturan perusahaan.
-
Menciptakan iklim komparatif yang sehat diantara sesama bawahan. Perlu dipahami bahwa sebagai manusia, bawahan berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup esensialnya, seperti mendapatkan promosi, kenaikan gaji atau penghargaan lainnya.
Dengan keterampilan teknikal memungkinkan pimpinan perusahaan melaksanakan mekanisme yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan khusus sebagai pimpinan perusahaannya. Keterampilan teknikal (technical skill) adalah kemampuan untuk menggunakan peralatan-peralatan, prosedur-prosedur atau teknik-teknik dari suatu bidang tertentu, seperti akuntansi, permesinan dan sebagainya. Kepemimpinan yang efektif mempengaruhi keberhasilan perusahaan, karena kepemimpinan berada di barisan yang paling depan dalam suatu perusahaan. Hal itu memberikan sinyal bagi para pemimpin perusahaan, bahwa tugas pemimpin sangat kompleks dan berat. Peranan pimpinan dalam perusahaan sangat besar, di samping harus menyelenggarakan kegiatan perusahaan yang konsisten sesuai dengan rencana, 259
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
maka ia harus mampu menetapkan standar kerja, upaya mempengaruhi kinerja, melakukan monitoring, mengevaluasi dan juga harus mampu melakukan koreksi. Itulah sebabnya, seorang pemimpin harus berbekal seperangkat keterampilan, paling tidak, mencakup keterampilan konseptual (conceptual skill), keterampilan hubungan manusia (human skill), dan keterampilan teknikal (technical skill)”.
260
BAB VIII MANAJEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN MADRASAH
A. Keberadaan Madrasah dari Berbagai Pandangan Madrasah dalam pengertian bahasa diartikan sebagai tempat untuk belajar para pelajar. (Abu Luwis al-Yasu’i, t.t.,: 211). Dalam perkembangannya madrasah mempunyai beberapa pengertian, seperti aliran, madzhab, kelompok filosof, dan ahli pikir tertentu pada metode dan pemikiran yang sama. Penggunaan nama madrasah sebagai lembaga pendidikan memiliki sejarah yang sangat panjang. Imam Tholkhah, mengutip pendapat Al-Maqrizî mengatakan, bahwa madrasah yang pertama kali berdiri adalah Al-Baihaqiyah di Nisapur yang didirikan oleh Abû Hasan ‘Alî Al Baihaqi (Imam Tholkhah, 1998: 8). Madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad ke-11 M/abad ke-5 H, yaitu ketika Wazir Bani Saljuk Nizam al-Mulk mendirikan Madrasah Nizâmiyah di Baghdad yang dijadikan sebagai salah satu ciri khas tradisi pendidikan dalam Islam yang terbesar terutama bagi kaum Sunni. (Maksum, 1999: 79). Melalui perjalanan yang sangat panjang, pada abad ke-19 lembaga kependidikan madrasah mulai berkembang di Indonesia, yaitu dimulai dari berdirinya Madrasah Adabiyah oleh Abdullah Ahmad di Padang Panjang, (Malik Fadjar, 1999: vii). 261
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam pada awalnya berupa pendidikan informal dakwah Islamiyah dan berlangsung di rumah-rumah yang dikenal dengan Dâr al-Arqâm sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama (Mansur, 2004: 84). Selanjutnya pendidikan berlangsung di masjid-masjid yang dikenal dengan halaqah. Dalam halaqah ini tidak dikenal sistem klasikal, tidak dibedakan antara usia dan jenjang pendidikannya. Dalam masa kebangkitan pendidikan Islam, lembaga pendidikan diselenggarakan di lingkungan pesantren berbentuk klasikal yang dikenal dengan sebutan madrasah. (Ilman Nafi’a, 2002: 297) Pada awal kemunculannya, madrasah di Indonesia lebih memfokuskan perhatian pada pengajaran agama Islam (‘ubûdiyyah) sebagaimana dipraktikkan dalam pendidikan di masjid, surau, dan pesantren, sehingga pelajaran yang bersifat kemasyarakatan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya tidak mendapat perhatian yang sewajarnya. Hal itu disebabkan antara lain karena tekanan penjajah yang sengaja menutup kesempatan bagi umat Islam untuk maju. (Mahmud Yunus, 1979: 33-34). Akibatnya, madrasah kurang mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum, lulusan madrasah tidak mendapat kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum dalam masalah kesempatan kerja baik di instansi pemerintah maupun swasta. Di samping itu, lulusan madrasah juga mengalami kendala yang cukup berat, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang lebih tinggi. Keberadaan madrasah mendapat pengakuan resmi pemerintah sejak terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri; Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 24 Maret 1975 yang menegaskan, bahwa kedudukan madrasah adalah sejajar dengan sekolah formal lain. Yang dimaksud 262
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah
sejajar adalah, keberadaan madrasah (MI, MTs, MA) yang berada di bawah naungan Kemeneteian Agama diakui dan disejajarkan kedudukannya dengan sekolah (SD, SMP, SMA) di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Implikasinya adalah siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum lain dan sebaliknya atau siswa madrasah dapat melanjutkan sekolah umum lain yang jenjangnya lebih tinggi. (Zakiah Daradjat, dalam “Tokoh di Balik Lahirnya SKB Tiga Menteri”, Jurnal Madrasah Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Dirjen Binbaga Islam, Jakarta, Vol. 1, 1996: 5051). Madrasah Ibtidaiyah (MI) sejajar dengan Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) sejajar dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah (MA) sejajar dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). SKB Tiga Menteri ini menguatkan posisi madrasah dan sekaligus mengubah citra madrasah sehingga mendapat simpati masyarakat. Dengan demikian, status Madrasah Aliyah (MA) setara dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Implikasi dari terbitnya SKB Tiga Menteri tersebut antara lain berubahnya kurikulum pendidikan madrasah dengan memasukkan pelajaran umum pada pendidikan madrasah dengan komposisi 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum. Kebijakan pemerintah tentang Sistem Pendidikan Nasional segera ditindaklanjuti dengan terbitnya PP. No. 29 Tahun 1990 dan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0489/U/1992 tentang Sekolah Menengah Umum, yang secara tegas menyebutkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. (Zamakhsyari Dhofier (ed.), 1996: 12). Dengan lahirnya kebijakan tersebut, Departemen Agama memberlakukan 263
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
semua madrasah untuk melaksanakan kurikulum pendidikan dengan komposisi 100% pelajaran agama dan 100% pelajaran umum. Dengan demikian, tuntutan terhadap kualitas pendidikan madrasah sangat penting mengingat bobot pendidikan umum pada Madrasah Aliyah harus sama dengan SMU, tanpa mengurangi muatan pendidikan agama Islam sebagai ciri khasnya. Hal yang demikian merupakan tantangan yang tidak ringan bagi pendidikan agama, Pendidikan madrasah sebagai sub sistem pendidikan nasional dituntut untuk tetap dapat mempertahankan kualitas pendidikan agama dan memacu kualitas pendidikan umum sekaligus. Dilema yang dihadapi oleh pendidikan madrasah sebenarnya tidak hanya terletak pada pencapaian tujuan pendidikan umum dan agama secara seimbang, tetapi justru dihadapkan pada persoalan rendahnya mutu pendidikan madrasah, di mana kualitas keluaran (out put) pendidikan madrasah dinilai sangat memprihatikan. Sebab, dalam mata pelajaran umum belum seimbang dengan keluaran sekolah umum, sementara untuk mata pelajaran agama masih tertinggal dengan keluaran pondok pesantren. Pemberdayaan madrasah, menurut Malik Fadjar, merupakan keharusan yang tidak boleh ditunda tunda lagi agar lembaga pendidikan Islam mampu mengangkat peserta didik menjadi generasi yang diperhitungkan di masa depan. Gagasan pemberdayaan madrasah belum dapat menjawab permasalahan rendahnya mutu pendidikan pada lembaga pendidikan Islam selama pemberdayaan itu sendiri belum menyentuh persoalan mendasar pembinaan mutu pendidikan madrasah. Pemberdayaan merupakan salah satu komponen peningkatan mutu pendidikan yang bergantung pada kemampuan madrasah dalam melakukan inovasi pemikiran dan pengembangan kurikulum pendidikannya. 264
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah
Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, K.H. M.A. Sahal Mahfudz mengatakan bahwa madrasah pada masa esok akan cerah atau suram tergantung kemampuan madrasah dalam mengembangkan kurikulum pendidikan sekaligus memecahkan masalah masalah yang dilematis. (KH. M.A. Sahal Mahfudz, 1994: 298). Muchtar Buchori lebih tegas menjelaskan, bahwa kelemahan mendasar pendidikan madrasah adalah kurang memperhatikan pendidikan sains, keterampilan, dan teknologi. (Muchtar Buchori, 1996:. 20-22). Secara sepintas, program-program keterampilan yang ditawarkan oleh madrasah-madrasah tersebut cukup relevan dengan kebutuhan masyarakat di lingkungan masing-masing madrasah. Terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji, antara lain bahwa Madrasah Aliyah Program Keterampilan mampu merubah kesan (image) masyarakat terhadap keberadaan Madrasah Aliyah secara umum. Tulisan tentang madrasah telah dilakukan oleh beberapa penulis. Karel A. Steenbrink misalnya menulis buku berjudul Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Ia melakukan tinjauan historis atas pesantren, madrasah, dan sekolah dari zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia, profil guru agama modern, perubahan dalam materi pengajaran agama, dan penghargaan agama terhadap pendidikan umum. Penelitian tersebut dilakukan dalam rentan waktu antara tahun 1970 sampai dengan 1974. (Karel A. Steenbrink, 1974: vii-xv).Dalam tulisan ini diperkaya dengan data baru yang berkembang hingga tahun 1985. Selanjutnya Maksum melakukan penulisan berjudul Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Dalam penulisan ini ia membahas tentang konsep dan karakteristik pendidikan Islam, madrasah pada masa Islam klasik, sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia, perkembangan madrasah dan kebijakan pemerintah. Dari hasil kajian secara mendalam, 265
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Maksum menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada awal abad 20 merupakan bagian dari pembaharuan Islam di Indonesia, yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaharuan di Timur Tengah. Eksistensi lembaga madrasah itu sudah berkembang sejak masa Islam klasik, dan terus berkembang hingga masa modern dengan segala bentuk penyesuaian dan pembaharuannya. (Maksum, 1999: 82). Ia menjelaskan pula bahwa perkembangan dan pertumbuhan madrasah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakatnya. Mengenai sejarah madrasah di Indonesia, A. Malik Fajar antara lain menulis, bahwa pada abad 19 Abdullah Ahmad telah mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Panjang. (A. Malik Fajar, 1999: vii). Mengenai hal yang sama, Karel A. Steenbrink mencatat bahwa pendidikan di Madrasah Adabiyah diselenggarakan dengan sistem klasikal. Di samping pelajaran agama, di madrasah ini juga diajarkan pelajaran membaca dan menulis latin dan ilmu hitung. Karel A. Steenbrink menulis bahwa pada tahun-tahun pertama sesudah 1945 Departemen Agama mengambil keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan Barat dengan melakukan propaganda untuk memasukkan mata pelajaran umum di madrasah. Departemen Agama dalam hal ini memiliki kewenangan atas sistem dan pengajaran agama yang diberikan dengan sistem sekolah. Tujuan utamanya adalah untuk menghapuskan perbedaan antara sistem sekolah dan madrasah. Melalui konvergensi yang secara perlahan-lahan diharapkan kedua sistem pendidikan yang terpisah sejak permulaan abad XX ini dapat dipersatukan lagi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa menurut kriteria pengetahuan agama yang mendalam, madrasah tidak merupakan suatu alternatif yang memuaskan. Pengetahuan 266
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah
umum yang diberikan di madrasah juga tidak memenuhi syarat yang diminta. Dari kalangan madrasah modern sering muncul keluhan bahwa para alumninya tidak begitu mudah mendapatkan pekerjaan. Orang yang melihat mata pelajaran umum di madrasah menyetujui bahwa mata pelajaran tersebut tidak berbeda dari yang ada di sekolah umum, hanya tingkatannya saja relatif lebih rendah dibandingkan dengan sekolah umum. Oleh karena tingkatannya tersebut, maka lulusan madrasah biasanya tidak mendapatkan penghargaan yang sama dengan lulusan sekolah umum, meskipun dinyatakan bahwa madrasah sederajat dengan sekolah umum. Tentang kualifikasi tenaga kependidikan Utami Munandar menjelaskan, bahwa pendidikan menuntut tingkat kemampuan kreatif yang lebih tinggi dari para pendidik agar dapat memenuhi tuntutan dari kebutuhan peserta didik. (Utami Munandar, 1977: 2). Utami lebih lanjut menjelaskan, bahwa proses pembelajaran yang didukung oleh kreativitas guru akan mendorong semangat belajar anak sekaligus dapat memenuhi tuntutan masa depan peserta didik. Tuntutan masa depan anak antara lain terwujud dalam bentuk nyata, yaitu terpenuhinya kebutuhan lapangan kerja bagi lulusannya. Dengan demikian, model pendidikan madrasah yang baik di masa mendatang adalah madrasah yang dapat menyiapkan lulusannya menjadi tenaga terampil dan siap berkompetisi dalam dunia kerja. Model pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan pemikiran dan model kurikulum yang dikembangkan. Selanjutnya mengenai kualitas pembelajaran, Fatchul Arief melakukan penelitian dengan judul Kontribusi Orientasi Profesional dan Persepsi tentang Sumber Belajar terhadap Perilaku Pembelajaran. Dari hasil kajiannya Arief menjelaskan, bahwa guru yang profesional memiliki pengetahuan yang luas serta 267
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
memiliki persepsi yang baik tentang metode dan sumber belajar. Kemudian pada akhir penelitiannya, Arief menemukan korelasi yang signifikan antara guru yang profesional terhadap perilaku pembelajaran. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin profesional seorang guru, maka ia akan semakin baik mengelola pengajaran dan pada akhirnya akan menghasilkan prestasi belajar yang baik pula. Hal itu memperkuat, bahwa guru yang profesional akan mengetahui tugas-tugas sebagai pendidik dan mampu mengarahkan peserta didik dengan baik. (Robert Houston, 1972: 4). Mengenai figur tenaga kerja yang berwawasan Islami, Hamzah Ya’qub menulis dalam sebuah buku yang berjudul Etos Kerja Islami. Ia menjelaskan bahwa sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak sedikit manusia yang cerdas akalnya tetapi tidak berakhlak. (Hamzah Ya’qub, 2003: 2-3). Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa dalam era modern seperti ini dibutuhkan tenaga ahli yang terampil, jujur dan amanah, sehingga dapat menghasilkan pekerjaan yang baik dan optimal. Oleh karena itu munculnya tenaga terampil dari lulusan Madrasah yang sekaligus memiliki wawasan agama yang luas, akan dapat membantu para pengusaha dalam menyediakan tenaga kerja yang ahli dan terpercaya, serta meningkatkan produktifitas usahanya. Perkembangan masyarakat yang semakin modern ini menuntut madrasah untuk menyesuaikan diri, baik dari aspek perubahan filosofi pemikiran, kurikulum, maupun aksinya dalam kegiatan pembelajaran. Tuntutan perubahan tersebut adalah sesuai dengan harapan masyarakat terhadap keberadaan madrasah sesuai tuntutan zamannya. Madrasah yang dapat menyiapkan lulusannya menjadi tenaga terampil dan dapat memasuki dunia kerja serta mampu berwirausaha akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat. 268
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah
Sebaliknya, madrasah yang hanya menghasilkan alumni yang menjadi pengangguran akan dihindari oleh masyarakat.
B. Proses Manajemen dalam Pengelolaan Madrasah Proses manajemen dalam madrasah tidak berbeda dengan organisasi atau lembaga lembaga lainnya, yaitu dimulai dari proses perencanaan dan diakhiri evaluasi. Proses manajemen itu sendiri masing masing ahli memiliki pandangan yang berbeda, Iwa Sukiswa, misalnya, berpendapat bahwa proses manajemen itu sangat halus dan tidak terpisah antara satu dengan lainnya, sehingga tidak dapat dianalisa ke dalam komponen komponen tertentu. Dengan kata lain bahwa proses manajemen sebenarnya merupakan suatu keseluruhan tindakan dalam mencapai tujuan dan masing masing proses yang ada hanyalah sekedar suatu tahapan saja. Proses manajemen pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari fungsi manajemen itu sendiri. Setiap tahapan tahapan yang ada pada proses manajemen selalu menunjukkan fungsi dari proses manajemen masing masing. Fungsi manajemen secara sederhana dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi perencanaan dan fungsi kontrol. Sondang P. Siagian membagi fungsi manajemen menjadi lima macam, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian. (Sondang P. Siagian, 1989: 44). Proses model manajemen yang efektif di madrasah hendaknya meliputi beberapa hal: a. Perencanaan, yaitu suatu tahapan di mana seorang manajer berusaha memahami tujuan yang akan dicapai serta prospek ke depan madrasah yang dipimpin, kemudian menyusun perkiraan program atau rencana program yang sesuai dengan tujuan dimaksud. 269
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
b. Pengorganisasian, yaitu suatu langkah strategis yang dilakukan oleh pimpinan dalam menetapkan dan mengatur kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan, mengadakan pembagian pekerjaan, menempatkan orang orang yang ahli sesuai dengan bidang masing masing. c. Pelaksanaan, yaitu suatu proses pelaksanaan dari program yang telah direncanakan sebelumnya. Pelaksanaan program ini dikerjakan oleh staf atau orang orang yang telah diberi tugas dan tanggung jawab, serta pimpinan yang telah diberikan kewenangan menjalankan tugas organisasi. d. Pengawasan, yaitu tindakan yang bertujuan untuk memberikan pengamatan, pembimbingan, serta evaluasi terhadap tugas yang telah diberikan oleh pimpinan kepada staf. Pengawasan dapat dilakukan secara langsung, yaitu pengawasan terhadap proses pelaksanaan kegiatannya atau pengawasan secara tidak langsung, di mana seorang kepala madrasah tidak melihat proses kegiatannya tetapi melihat hasil yang dicapai. Unsur-unsur manajemen tersebut di atas diterapkan dalam teori model yang digunakan di madrasah. Dengan demikian manajemen pendidikan yang digunakan di madrasah selain mengacu pada tujuan nasional juga menggunakan manajemen sesuai situasi dan kondisi (fleksibel). Artinya setiap madrasah memiliki keunggulan teori model yang dimiliki.
C.
Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan di Madrasah
Sebagaimana diketahui bahwa tingkat kemajuan suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas out put atau keluaran madrasah yang bersangkutan. Kemudian kualitas keluaran suatu lembaga pendidikan terkait erat dengan penerapan prinsip prinsip manajemen, seperti 270
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah
efektifitas, transparansi, demokratis, peningkatan mutu dan tepat waktu. Prinsip prinsip manajemen sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya sudah cukup baik, tetapi untuk konteks pendidikan madrasah masih perlu ditambah dengan prinsip moralitas atau keislaman yang sekarang sering disebut kecerdasan spiritual atau spiritual quostion (SQ). (Abdullah Sukarta, 1999: 20). Sebab pada kenyataannya penyelenggaraan pendidikan tanpa diikuti manajemen dengan prinsip moralitas atau etika keislaman maka masih terdapat penyimpangan penyimpangan dan keterpurukan mental anak. Dengan demikian manajemen yang ideal untuk lembaga pendidikan madrasah adalah manajemen yang menggunakan prinsip prinsip manajemen modern dan tidak meninggalkan prinsip manajemen yang berdasarkan nilai nilai etika ke-islaman. Prinsip prinsip manajemen yang ideal untuk pendidikan madrasah adalah: 1.
Prinsip Efektif dan Efisien. Penyelenggaraan pendidikan akan berhasil dan sukses bila mengacu kepada prinsip prinsip efisiensi dan efektifitas. Dalam konteks ini ajaran agama Islam sangat menganjurkan setiap muslim untuk berperilaku memanfaatkan waktu dan mengerjakan suatu pekerjaan sampai tuntas. Pertimbangan pemanfaatan waktu dengan sebaik baiknya merupakan hal yang sangat penting untuk mewujudkan manajemen madrasah yang efektif dan efisien, di mana waktu merupakan salah satu tolok ukurnya. Berkaitan dengan pemanfaatan waktu al Quran telah memberikan anjuran dalam surat al Ashr. Kesadaran untuk memanfaatkan sumber sumber yang ada dalam lembaga pendidikan dengan efektif dan efisien akan membuahkan produktivitas yang tinggi, sebaliknya bila 271
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
sumber sumber sistem pendidikan tanpa disertai dengan manajemen yang efektif dan efisien, maka yang akan terjadi adalah pemborosan dalam pelaksanaannya. Untuk menentukan taraf efisiensi dan efektifitas, penyelenggara pendidikan madrasah harus mampu mengadakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan usaha yang dikeluarkan, yakni suatu kegiatan dikatakan efisien jika hanya dengan usaha minimal dapat mencapai hasil yang maksimal. 2.
Prinsip Transparansi dan Demokratis Prinsip keterbukaan menghendaki agar dalam pelaksanaan proses pendidikan menghindari adanya sekat sekat dan rahasia antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi harus mengembangkan adanya sikap saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Dalam mengemukakan kebijaksanaan, pemimpin harus dapat bersikap terbuka, tidak perlu takut pendapatnya dilecehkan oleh bawahannya dan mencoba menjadikannya sebagai lontaran dan mengembangkannya sebagai pendapat dan keputusan bersama. Prinsip keterbukaan sebagaimana di atas sangat berkaitan dengan prinsip demokrasi, di mana keterbukaan yang terjalin dengan saling adanya kesadaran akan bermuara pada terbentuknya suasana demokrasi, baik dalam hal kepemimpinan sekolah maupun dalam segala hal yang berkaitan dengan proses perumusan dan penetapan keputusan. Berkaitan dengan prinsip di atas, maka penyelenggara madrasah mempunyai tugas dan kewajiban bersama sama untuk menerapkan dan mengembangkannya sebagai landasan pokok dalam me manage pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan.
272
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah
3.
Prinsip Peningkatan Mutu Penyelenggaraan pendidikan akan berkembang dengan baik apabila dari awal dilandasi oleh niat yang bulat untuk meningkatkan mutu penyelenggaraannya, tidak sekedar asal asalan. Penyelenggara madrasah dalam mengembangkan manajemen hendaknya berorientasi pada peningkatan mutu. Kesadaran akan pentingnya orientasi pada pengembangan kualitas ini pada gilirannya akan meningkatkan kinerja pengelola dan penyelenggara pendidikan di madrasah, sehingga dengan bertahap akan membawa lembaga pendidikan madrasah menjadi lembaga pendidikan yang mampu berkompeten dengan lembaga lain dan dibutuhkan oleh masyarakat. 4. Prinsip Komitmen Pelaksanaan pendidikan yang dilandasi oleh adanya komitmen yang tinggi oleh masing masing penyelenggara lembaga pendidikan yang terkait atas tugas dan tanggung jawab masing masing merupakan modal pokok yang harus dikembangkan. Prinsip komitmen ini dapat tercermin dalam dedikasi dan disiplin kerja. Dengan dedikasi dan disiplin kerja yang tinggi dalam mengelola madrasah, maka akan tercipta manajemen yang berkualitas dan merupakan salah satu ciri manajemen modern. Tanpa adanya komitmen dengan dedikasi dan disiplin kerja maka mustahil tercipta suatu penyelenggaraan pendidikan madrasah yang berkualitas, dan hanya merupakan impian dan harapan saja. 5.
Prinsip Etika dan Moralitas. Prinsip moral dan etika merupakan ciri khusus yang harus diterapkan dalam manajemen pendidikan madrasah. Pengembangan manajemen madrasah yang mengutamakan 273
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
moral dan etika sosial keagamaan hendaknya direalisasikan dalam berperilaku sehari hari oleh masing--masing penyelenggara pendidikan dalam tata hubungan sosial. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan agama Islam harus mengutamakan dan selalu berpegang teguh pada prinsip prinsip moral dan etika ajaran agama dalam segala aspeknya, termasuk pengelolaan manajemennya. Etika dan moral yang dimaksud adalah etika yang dikembangkan oleh Rasulullah yang tertuang dalam al Quran dan al -Hadits dengan keimanan dan ketakwaan sebagai landasannya. Keberhasilan lembaga pendidikan madrasah dalam mengembangkan manajemen berbasis moral dan etika sosial keagamaan akan melahirkan dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat masa depan.
274
BAB IX MANAJEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN
A. Makna Pesantren Pesantren secara fisik mengalami kemajuan yang cukup fundamental, begitu pula pesantren dapat dilihat dari pertumbuhannya yang semula “rural based instituation” menjadi pendidikan urban, misalnya bermunculan pesantren di kota seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan lain-lain. Pendidikan pesantren semakin all-out dengan pemerintah ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden. (Ismail, 2000: 127). Pondok pesantren pada hakikatnya adalah pendidikan keagamaan yang mempunyai tujuan yang searah dengan pendidikan lainnya, yakni mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui jalur keagamaan. Status pondok pesantren dikaitkan dengan sistem pendidikan nasional dijelaskan pada Pasal 30 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan 275
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama; (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal; (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Agama RI telah menunjukkan kepeduliannya dengan membuat dan menerbitkan berbagai pedoman bagi pembinaan pondok pesantren, antara lain: (1) Pembakuan Sarana Pendidikan; (2) Petunjuk Teknis; (3) Manajemen Pondok Pesantren; (4) Panduan Organisasi Santri; (5) Kewirausahaan Santri; (6) Panduan Palang Merah Remaja (PMR) Santri; (7) Visi, Misi, Strategi dan Program Ditpekapontren (Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok pesantren); (8) Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Paket A, Paket B, dan Paket C di Pondok Pesantren; dan sebagainya. Kondisi pesantren dewasa ini khususnya pesantren tradisional masih menghadapi problema yang nyata baik secara internal maupun eksternal. Karena itu, upaya maksimal untuk mencari solusinya dari berbagai pihak selalu diperlukan. Dalam kaitannya dengan hal ini, akan dicoba mencermati manajemen pembinaan santri di pondok pesantren. Perkembangan pesantren di masa datang akan sangat ditentukan oleh kemampuannya mengantipasi dan mengatasi kesulitan, tantangan dan dilema yang selama ini menyelimutinya. Oleh karena itu, agar tidak terpaku pada kondisi status quo dan bahkan mundur ke belakang, maka satusatunya kemungkinan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah adanya kesadaran langkah antisipasi ke depan dengan 276
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
melakukan inovasi dan pengembangan pesantren. Dengan demikian, pesantren akan semakin eksis dalam mengantisipasi perubahan sosial dan bahkan berperan mengarahkan perubahan yang terjadi seiring dengan menggelindingnya era modernisasi dan globalisasi (Ismail,2000: 61). Sehubungan dengan hal itu, Sudirman Tebba yang dikutip oleh Ismail mengemukakan alasannya: (1) Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan,dakwah dan social dirasakan oleh banyak pihak memiliki potensi yang besar untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat; (2) Jumlah pesantren potensial terbukti telah melaksanakan usaha kreatif yang bersifat rintisan; (3) Usaha ini perlu dikembangkan sambil terus melakukan upaya pembenahan terhadap masalah utama yang dihadapi pesantren, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Harapan terhadap pesantren agar dapat berperan aktif dan memberi kontribusi yang berbobot di dalam social engineering (rekayasa social) dan transformasi sosial kultural, maka pesantren harus memiliki ciri pembaharuan, meskipun ciri tradisional yang masih relevan dipertahankan. Untuk mencapai hal itu ada dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan, sebagaimana dikemukakan oleh Ismail (Ismail: 63-64), yakni: dimensi kultural, dimensi edukatif, dan dimensi sosial. Dimensi kultural, dalam konteks ini watak mandiri merupakan ciri kultural yang harus dipertahankan meskipun harus dijaga agar tidak berkembang kearah pengucilan diri. Oleh karena itulah solidaritas spontan dan tak terarah perlu ditingkatkan menjadi solidaritas yang terorganisasikan dalam suatu hubungan akademis yang fungsional antar pesantren. 277
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dimensi edukatif, dalam konteks ini antara lain dapat terlihat pada output pendidikan. Secara tradisional proses pendidikan di pesantren menghasilkan pimpinan keagamaan (religious leader) atau setidak-tidaknya religious people yang berorientasi pada masyarakat setempat. Makin berkembangnya diferensiasi, spesialisasi, dan adanya tuntutan kebutuhan baru dalam proses pembangunan, makin berkembang pula kebutuhan masyarakat. Peranan pesantren akan lebih besar dan kontribusinya pada proses transformasi social cultural akan makin bermakna bila pesantren dapat menjawab tuntutan kebutuhan baru. Dimensi sosial, dalam konteks ini pesantren dapat dikembangkan menjadi lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat (community learning centre) yang berfungsi menyampaikan teknologi baru yang cocok buat masyarakat setempat dan memberikan pelayanan sosial maupun keagamaan. Disisi lain, masyarakat setempat dapat berfungsi sebagai “laboratorium sosial” di mana pesantren melakukan eksperimentasi pengembangan masyarakat. Dengan demikian terciptalah hubungan timbal balik antara pesantren dan masyarakat setempat yang bersifat simbiose mutualistis. Masa depan pesantren sangat ditentukan oleh faktor manajerial Globalisasi menempatkan pula nasib umat manusia sebagai keseluruhan menjadi tanggung jawab bersama. Hubungan antar sesama manusia yang dekat akan menumbuhkan perasaan ingin sederajat dalam kehidupan antar negara. Oleh karena itu, arus globalisasi menuntut pengembangan manusia yang bermutu. Pendidikan yang bermutu menjadi motto bagi arus globalisasi. Realitas inilah yang menuntut adanya pengelolaan lembaga pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Untuk bisa memenuhi tuntutan seperti itu, lembaga pendidikan harus dikelola secara profesional dan harus menganalisa kondisi dan posisi umat
278
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
dewasa ini dan diikuti dengan upaya-upaya perbaikan yang terus menerus dilakukan. (Teuku Amiruddin, 2000: 91) Keperluan akan profesionalitas manajemen itu karena lembaga pendidikan ini ibaratnya sebuah industri. Ibarat sebuah industri, lembaga pendidikan pesantren berusaha mengolah para santri sebagai input untuk dididik menjadi manusia terdidik sesuai tujuannya sebagai output.dari proses pendidikan. Tuntutan profesionalitas manajerial pesantren seperti dalam pengelolaan industri itu karena peta permasalahan pendidikan kita sangat kompleks yang menyangkut bukan saja masalah teknis pendidikan, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, pendanaan, dan efisiensi dari sistem itu sendiri Berkaitan dengan hal itu, santri di pondok pesantren pun harus dikelola sedemikian rupa dengan mengerahkan segenap sumber daya pesantren. Pembinaan terhadap santri ini merupakan bagian dari pembinaan terhadap lembaga pendidikan. Kiai sebagai manajer dalam proses pembinaan santri di pondok pesantren, bertanggungjawab mengintegrasikan segala bentuk unsurunsur kegiatan pembinaan. Kiai dapat berperan sebagai manajer, dan selaku manajer, kiai harus berupaya mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ke arah pencapaian tujuan organisasi agar terjadi perubahan tingkah laku santri sesuai tujuan yang diinginkan. Kiai harus dapat mengelola semua komponen yang diperlukan dalam pembinaan santri, bagaimana agar santri menjadi generasi muslim yang mampu berkembang dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam masyarakat yang begitu komplek. Untuk itu diperlukan manajemen yang tepat sesuai dengan kondisi dan situasi pondok pesantren. Untuk mencapai keberhasilan organisasi/lembaga memang diperlukan kemampuan manajemen yang profesional dalam mengelola semua sumberdaya pendukung yang ada. 279
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Oleh karena itu manajemen merupakan hal yang sangat penting dikuasai oleh seorang pemimpin baik itu secara teoretis maupun secara praktis sehingga dapat mengelola organisasinya secara efektif dan efisien. Kegiatan manajerial sebagai gambaran dari fungsi manajemen pada umumnya meliputi banyak aspek, namun aspek utama dan sangat esensial adalah perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling). Selama ini berbagai permasalahan menyangkut upayaupaya pengembangan pondok pesantren cukup kompleks. Misalnya, ada kekeliruan persepsi bahwa pondok pesantren yang tradisional (salaf) sulit mengalami kemajuan dan sulit untuk mengembangkan ilmu-ilmu kemasyarakatan karena pondok pesantren lebih menekankan pada pendalaman ilmuilmu agama (tafaqqohu fiddin). Kekeliruan persepsi tersebut memperbesar hambatan pada kemajuan pondok pesantren termasuk kemajuan para santrinya karena kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Pengelolaan pondok pesantren diharapkan dapat berhasil bila dilakukan paduan secara proposional antara Pesantren Based Management (PBM) dan Community Based Educational (CBE). Namun perpaduan manajemen tersebut sulit dilaksanakan sehingga masih ada kesan bahwa pondok pesantren menerapkan manajemen tradisional, yang teridentifikasi masih lambatnya perkembangan berbagai pondok pesantren. Peranan pengelola dalam pembinaan santri melalui manajemen yang tepat akan sangat efektif, karena santri bukan hanya siswa di pondok, tetapi lebih dari itu, mereka diharapkan dapat berbaur dengan masyarakat. Namun penerapan manajemen harus dilakukan oleh kiai yang profesional sebagai manajer, dan didukung oleh fasilitas pondok yang memadai. Perubahan pesantren dari rural based institution ke pendidikan urban diharapkan 280
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
pesantren masih tetap mampu berpegang pada jati diri pesantren tafaqqohu fiddin serta bisa menjadi “agent of change” yang dapat mewujudkan manusia-manusia modern dan memiliki orientasi ke depan dan sanggup menjadi bingkai kultur secara agamis. Namun proses perubahan tersebut tidak didukung oleh komunikasi dengan masyarakat yang cukup sehingga pondok pesantren masih dikenal masyarakat sebagai rural based institution. Dengan kegiatan bahtsul masail dan munadloroh yang dilaksanakan pondok pesantren akan memberikan wawasan berpikir yang luas serta kebebasan berpikir santri sebagai bentuk ijtihad, karena akan berhadapan langsung dengan budaya masyarakat yang beragam namun tidak lepas dari koridor tafaqqohu fiddin. Permasalahannya adalah bahwa pelaksanaan dari kegiatan tersebut memerlukan pendekatan yang benar-benar efektif terhadap masyarakat sebagai sosiokultural. Permasalahan lain yang sangat penting bagi pengembangan pondok pesantren adalah menyangkut pembinaan santri. Dalam hal ini, dengan upaya pembinaan santri diharapkan santri menjadi aktif, kreatif, dinamis, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
B. Perencanaan dalam pendidikan pesantren Kegiatan perencanaan dalam fungsi manajemen pendidikan Islam ini dapat disusun berdasarkan rumus 5 W dan 1 H, yaitu: What, Why, When, Where, Whow, dan How. What : apa program kegiatan yang akan dilaksanakan Why
: mengapa kegiatan dilaksanakan
When : kapan kegiatan dilaksanakan Where : di mana kegiatan dilaksanakan Who : siapa yang melaksanakan How
: bagaimana melaksanakan kegiatan itu. 281
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Kiai dituntut mempunyai kemampuan mengelola semua komponen pendidikan Islam. Prinsip pendidikan Islam adalah pembinaan terhadap segenap kebutuhan santri selama mereka belajar di pondok pesantren. Hal tersebut mencakup: sarana prasarana, sumber daya manusia, dan pendanaannya. Esensi kebutuhan manusia termasuk santri meliputi: (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan sosial, (3) kebutuhan prestise/penghargaan, dan (5) aktualisasi diri (physiological, safety, social, esteem, and self actualization needs). Kebutuhan esensial kehidupan santri di dalam pondok pesantren tersebut, tentu tidak boleh lepas dari perencanaan. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hidup, misalnya kebutuhan akan sandang, papan dan pangan. Kebutuhan keamanan atau rasa aman mencakup keamanan fisik maupun psikis, misalnya tidak ada perasaan takut terhadap sesama santri maupun terhadap kiai, adanya suasana yang menggairahkan untuk belajar, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan lain-lain. Kebutuhan sosial, dalam manifestasinya antara lain diterima lingkungannya, memperoleh kesempatan untuk maju, dan lain-lain. Kebutuhan perstise/penghargaan biasanya diwujudkan dalam sikap, kondisi belajar yang menyenangkan, dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan mewujudkan dirinya agar seluruh potensi yang dimilikinya menjadi kenyataan, misalnya memperoleh kedudukan yang layak, dan berkesempatan untuk mengikuti kegiatan pengembangan diri. Santri sebagai manusia pun mempunyai kebutuhankebutuhan sebagaimana tersebut di atas. Dalam kerangka pendidikan Islam, kebutuhan esensial santri harus diperhatikan, karena itu perlu disusun perencanaan mengenai hal-hal sebagai berikut: 282
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
(1)Kebutuhan Fisiologis Santri (a) Kebutuhan Sandang bagi Santri (b)Kebutuhan Papan/Tempat Pemondokan Santri (c) Kebutuhan Pangan bagi Santri (2)Kebutuhan Keamanan/Rasa Aman Santri (a) Kondisi Tempat Belajar bagi Santri (b)Lingkungan Belajar bagi Santri (c) Hubungan Santri dengan Kiai (d)Hubungan Santri dengan Santri (e) Kebebasan Berpendapat bagi Santri (3)Kebutuhan Rasa Sosial Santri (a) Sikap Kiai terhadap Santri (b)Sikap Santri terhadap Santri (c) Sikap Masyarakat terhadap Santri (d)Persaingan antar Santri (e) Kesempatan untuk Maju bagi Santri (4)Pembinaan terhadap Kebutuhan Prestise bagi Santri (a) Kondisi Belajar yang Menunjang Proses Pembelajaran Santri (b)Penghargaan terhadap Prestasi Santri (5)Aktualisasi Diri bagi Santri (a) Kesempatan untuk mengekspresikan diri bagi Santri (b)Kesempatan untuk mengikuti Kegiatan Pengembangan Diri bagi Santri (6)Kurikulum Pembelajaran (a)Visi dan Missi Pondok Pesantren Visi mencerminkan apa yang diinginkan untuk dicapai oleh pesantren, hendaknya dapat memberikan arah dan 283
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
fokus strategi yang jelas, mampu menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan strategis, memiliki orientasi terhadap masa depan, mampu menumbuhkembangkan komitmen dari semua unsur dan mampu menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi di pesantren. Berdasarkan visi tersebut, maka perlu direncanakan missi pondok pesantren, misalnya: melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dengan kompetensi pencapaian tertentu; dan menyiapkan santri berkualitas dan berkepribadian Islam. (b) Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren Tujuan pendidikan di pondok pesantren memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan di pondok pesantren mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan (2) merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan pondok pesantren. Tujuan pendidikan menduduki posisi terpenting, sebab segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukan untuk pencapaian tujuan pendidikan yang berwawasan demokrasi dan kebangsaan dalam perspektif Siyasah Islamiyah (Ismail Sm-Abdul Mukti (ed), 2000: 40). Tujuan pendidikan pesantren perlu dirumuskan dengan berdasar pada tujuan pendidikan nasional dan bermisi khusus, misalnya: (1) melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dengan kompetensi tafaqqohu fiddin; (2) menyiapkan santri menjadi akrom-saleh. (c) Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap guru selalu bermula dari dan bermuara pada 284
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
komponen-komponen pembelajaran yang tersurat dalam kurikulum. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap guru merupakan bagianj utama dari pendidikan formal yang syarat mutlaknya adalah adanya kurikulum sebagai pedoman. Dengan demikian, guru dalam merancang program pembelajaran maupun melaksanakan proses pembelajaran akan selalu berpedoman pada kurikulum. Demikian pula halnya di dalam pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pembelajaran terhadap santri, kiai seharusnya berpedoman pada kurikulum pendidikan di pondok pesantren. Banyak ahli pendidikan yang masing-masing berbeda dalam mendefinisikan kurikulum ini, ada yang mengandung makna luas dan ada yang mengandung makna terbatas. Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum sebagai wahana belajar-mengajar yang dinamis sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terusmenerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Pasal 36 Ayat (2) UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Dalam penjelasannya disebutkan pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. (Mulyasa, 2004: 37) Kurikulum mengandung berbagai komponen, seperti: tujuan, bahan ajar, strategi mengajar, media mengajar, evaluasi pengajaran, dan penyempurnaan pengajaran. (Muhaimin, 285
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
2002: 186). Pedoman kurikulum pondok pesantren disusun untuk menentukan garis-garis besar kurikulum, setidaknya pedoman tersebut mencakup: (1) apa yang akan diajarkan (ruang lingkup, scope); (2) kepada siapa diajarkan; (3) apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa; dan (4) dalam urutan yang bagaimana. (7) Proses Pembelajaran Dalam suatu pembelajaran, harus diperhatikan/direncanakan beberapa hal pokok, yaitu: (a) pembelajaran apa yang akan dilaksanakan; (b) mengapa pembelajaran itu diberikan kepada santri; (c) kapan pembelajaran itu dilaksanakan; (d) di mana pembelajaran akan dilakukan; (e) siapa yang melakukan pembelajaran; dan (f) bagaimana melaksanakan pembelajaran itu. Perlu diingat bahwa ada komponenkomponen pembelajaran yang harus ada dalam suatu pembelajaran sehingga terjadi suatu interaksi pembelajaran yang disebut sebagai “interaksi edukatif ’ sehingga diperoleh hasil sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Kemudian, bagaimana mengevaluasi pembelajarannya, dan sebagainya harus direncanakan dengan matang. Dalam suatu interaksi edukatif terdapat komponenkomponen seperti: (1) bahan yang menjadi isi proses; (2) ada tujuan yang akan dicapai; (3) ada pelajar yang aktif mengalami; (4) ada guru yang melaksanakan; (5) ada metode tertentu untuk mencapai tujuan; dan (6) proses interaksi tersebut berlangsung dalam ikatan situasional. Suatu sistem pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang terdiri atas sejumlah komponen yang berhubungan satu dengan yang lain dan berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Secara umum, pendekatan sistem dirumuskan dalam bentuk tujuan dan standar perilaku tertentu yang diharapkan. Pembelajaran merupakan suatu sistem, karena dalam pembelajaran terdapat 286
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
komponen-komponen yang saling berhubungan dan berinteraksi. Berdasarkan pendekatan sistem, maka konsep pembelajaran terdiri atas komponen-komponen seperti: tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi. (a) Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran adalah rumusan yang menunjukkan dan menjelaskan hal yang ingin dicapai. Tujuan tersebut menunjukkan atau menjelaskan perubahan apa yang harus terjadi dan dialami oleh siswa (orang yang melakukan tindakan belajar), seperti pola pikir, perasaan, tingkah lakunya. Sumber belajar harus dapat membuat perubahan itu terjadi. (Anissatul Mufarrok, 2009: 3). Untuk itu ia perlu memikirkan bahan pembelajaran yang dibutuhkan agar terjadinya perubahan-perubahan serta bagaimana cara menangani bahan pembelajaran yang dimaksud secara baik dan tepat. Sebagai persiapan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif, maka dibuatlah suatu perencanaan mengajar. Tujuannya adalah mengantisipasi dan memperkirakan apa yang akan dilakukan dalam pembelajaran sehingga tercipta situasi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran yang baik, dan dapat mengantarkan santri mencapai tujuan yang direncanakan. Perencanaan itu adalah: (1) tujuan apa yang hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku yang dimiliki oleh santri; (2) bahan pembelajaran yang dapat mengajak santri mencapai tujuan; (3) bagaimana proses pembelajaran yang akan diciptakan oleh sumber belajar agar santri mencapai tujuan secara efektif dan efisien; (4) bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui dan mengukur tujuan itu tercapai atau tidak. Upaya yang dilakukan agar tujuan belajar dapat dicapai, maka perlu dikondisikan sistem lingkungan belajar 287
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
yang kondusif. Hal ini sangat berhubungan erat dengan situasi pembelajaran. Membelajarkan diartikan sebagai suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan belajar dipengaruhi oleh berbagai komponen yang saling mempengaruhi. Komponen tersebut misalnya tujuan belajar yang hendak dicapai, materi pembelajaran yang ingin diajarkan, sumber belajar dan siswa itu sendiri. Komponen-komponen lingkungan tersebut saling mempengaruhi secara bervariasi sehingga setiap peristiwa belajar memiliki profil tertentu yang unik dan kompleks. Masing-masing lingkungan belajar menentukan tujuantujuan tertentu pula. Situasi belajar dipengaruhi oleh faktor sumber belajar, siswa, kurikulum, dan lingkungan. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dikenal tujuan pembelajaran yang secara umum dikenal sebagai tujuan instruksional. Tujuan ini merupakan tuntunan kearah mana pembelajaran hendak dituju. Tujuan belajar tercapai melalui kegiatan pembelajaran di bawah bimbingan sumber belajar/tutor dalam situasi dan kondisi yang mendukungnya. Tujuan pembelajaran dibagi menjadi dua, yaitu: Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) dan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK). Tujuan pembelajaran umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya umum dan luas. Tujuan ini tercapai melalui tujuan pembelajaran khusus, yaitu tujuan pembelajaran yang bersifat spesifik yang menyangkut kemampuan-kemampuan khusus dapat diukur atau dapat diamati hasilnya secara konkret. Tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus dapat dirumuskan melalui dua cara, yaitu: dengan menggunakan kata-kata dan menggunakan luas sempitnya 288
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
materi. Kata-kata yang digunakan dalam tujuan pembelajaran umum dapat dipilih kata-kata yang memiliki pengertian secara luas dan umum, misalnya memahami, menghayati, mengetahui, menyadari, dan sebagainya. Sedangkan pada tujuan pembelajaran khusus dapat digunakan kata-kata yang sifatnya khusus dan operasional, misalnya menyebutkan, melakukan, menjelaskan, menerangkan, menunjukkan, dan sebagainya. Perumusan dengan berpijak pada luas sempitnya materi, dapat dilakukan dengan menyesuaikan sasaran materi luas atau umum, sedangkan untuk tujuan pembelajaran khusus dirumuskan dengan materi yang merupakan penjabaran atau bagian-bagian dari materi yang ada pada tujuan pembelajaran umum. Merumuskan tujuan khusus pembelajaran ada tiga sifat, yaitu (1) berpusat pada perubahan tingkah laku siswa; (2) mengkhususkan dalam bentuk-bentuk terbatas; dan (3) realistis bagi kebutuhan perkembangan siswa. (b) Materi Pembelajaran Materi atau bahan pembelajaran adalah materi yang harus dipelajari oleh siswa dalam proses belajar. Materi tersebut merupakan untuk mencapai tujuan belajar dan suatu program belajar yang telah ditentukan. Isi materi pembelajaran dapat meliputi sebagian atau keseluruhan program belajar. Materi pembelajaran adalah salah satu sumber belajar bagi siswa. Materi yang dapat disebut sebagai sumber belajar ini merupakan sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran harus memenuhi kriteria, yaitu kesesuaian, kemudahan dan kemenarikan.
289
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dalam proses pembelajaran, materi pembelajaran memiliki arti yang sangat penting, sebab dari materi tersebut substansi tujuan pembelajaran termuat dan terjabarkan sesuai dengan keinginan pihak siswa (santri di pondok pesantren). Materi pembelajaran adalah substansi yang disampaikan dalam proses pembelajaran, dan tanpa materi itu proses pembelajaran tidak berjalan. Karena itu, dalam pembelajaran, pengajar (pembelajar) harus menguasai materi pembelajaran yang akan disampaikan dalam kegiatan mengajarnya. Penggunaan materi pembelajaran disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan belajar, serta pelaksanaannya diharapkan dapat memberi motivasi dan minat siswa. Terdapat dua permasalahan berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran ini, yaitu penguasaan materi pembelajaran pokok dan materi pembelajaran pelengkap. Materi pembelajaran pokok adalah materi pembelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh tutor sesuai dengan profesi atau disiplin ilmunya. Sedangkan materi pembelajaran pelengkap adalah materi pembelajaran yang menunjang penyampaian materi pembelajaran pokok. (c) Metode Pembelajaran Proses pembelajaran terjadi karena ada interaksi antara sumber belajar/tutor dengan siswa. Dalam proses pembelajaran kelompok, interaksi yang terjadi antara siswa dengan sumber belajar, atau antara siswa dengan lingkungannya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh tutor selaku sumber belajar bertujuan agar setiap usaha yang dilakukan oleh sumber belajar merupakan kegiatan belajar. Upaya pembelajaran itu mempunyai nama dan penerapan yang beraneka ragam, misalnya berupa bantuan, 290
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
dorongan atau bimbingan belajar yang arahnya adalah agar warga belajar dapat secara aktif dan efektif melakukan kegiatan belajar. Dalam proses interaksi pembelajaran bagi para santri, kedua belah pihak, yaitu kiai (guru) dan santri menampilkan perannya masing-masing dan tiap individu memiliki respon yang berbeda-beda. Perbedaan respon tersebut dilatarbelakangi oleh pengalaman individu, pendidikan dan status. Karena itu, agar pembelajaran terhadap santri dapat berjalan secara baik dan efektif, maka prasyarat penguasaan teknik pembelajaran mutlak bagi sumber belajar (kiai/ guru). Salah satu usaha untuk mencapai keberhasilan pembelajaran adalah ketepatan dalam pemilihan metode pembelajaran, sebab kemampuan dan kecakapan sumber belajar terhadap penguasaan metode mengajar berbedabeda. Masing-masing individu (kiai/guru) memiliki seni dan cara yang berlainan satu sama lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh materi, situasi dan kondisi proses pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan cara sebaik-baiknya dalam menyampaikan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Banyak pilihan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. menyampaikan berbagai metode pembelajaran dalam interaksi edukatif, yaitu: (1) metode proyek, (2) metode eksperimen, (3) metode pemberian tugas dan resitasi, (4) metode diskusi, (5) metode bermain peran, (6) metode sosiodrama, (7) metode demonstrasi, (8) metode karyawisata, (9) metode tanya jawab, (10) metode latihan, (11) metode bercerita, dan (12) metode ceramah. Masing-masing metode pembelajaran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena itu, dalam pelaksanaannya digunakan paduan antara berbagai metode. 291
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Sebagaimana halnya pada pelaksanaan pembelajaran di sekolah umum, pelaksanaan pembelajaran terhadap santri di pondok pesantren dapat digunakan kombinasi dari beberapa metode sekaligus agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif. Metode pembelajaran mempunyai peranan yang amat penting karena dapat membangkitkan perhatian dan minat belajar. Metode pembelajaran berfungsi sebagai: (1) Penuntun dalam penyampaian atau pembahasan isi pesan belajar; (2) Pembangkit perhatian dan minat belajar; (3) Pencipta peluang berinteraksi bagi siswa; (4) Memproses perubahan individu siswa; (5) Pencipta iklim belajar yang menyenangkan dan mendukung proses belajar. Pemilihan metode pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) tujuan belajar, apakah bersifat kognitif, afektif, ataukah psikomotorik; (2) materi yang diajarkan; (3) keadaan siswa; (4) alokasi waktu pembelajaran; (5) sarana belajar; dan (6) kecakapan sumber belajar. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah interaksi siswa dengan pembelajar (sumber belajar) dalam upaya mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Interaksi yang diharapkan tentunya adalah keaktifan siswa dalam kegiatan belajarnya dan terjadinya situasi yang komunikatif. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran terjadi interaksi antara siswa dengan komponen-komponen belajar melalui proses komunikasi, dan metodelah sebagai alat komunikasinya. (d) Alat dan Media Pembelajaran Alat pembelajaran adalah semua bahan yang digunakan untuk pembelajaran, seperti buku dan media pembelajaran. Alat pembelajaranberfungsi untuk membantu pencapaian tujuan pembelajaran. Semakin 292
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat diciptakan alat-alat khusus untuk mencapai tujuan pembelajaran. Demikian pula, tidak semua metode pembelajaran senantiasa mengunakan alat-alat yang berupa benda konkrit. Alat-alat pembelajaran ini juga berupa media yang digunakan dalam pembelajaran. Bahwa media adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Sehubungan dengan hal itu, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Media pembelajaran adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Nustikasari menyebutkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi .Dari beberapa pengertian tersebut, dapat diambil pengertian umum media pembelajaran, yaitu segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Tujuan penggunaan media pembelajaran adalah untuk memperjelas materi atau bahan belajar yang disampaikan oleh pembelajar. Kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam materi belajar dapat disederhanakan pengertiannya sehingga mudah untuk dimengerti. Namun yang harus 293
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
diperhatikan dalam penggunaan media pembelajaran adalah kesesuaiannya dengan isi dan tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Tujuan pembelajaran menjadi acuan dasar terhadap pemilihan dan penggunaan media pembelajaran. Karena itu, pemilihan dan penggunaan media pembelajaran harus tetap berdasar pada tujuan utama pembelajaran yang telah dirumuskan agar peran media dapat ditempatkan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai alat bantu penyalur pesan. Sebagai alat bantu, media pembelajaran berfungsi sebagai jalan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini berarti penggunaan media pembelajaran adalah untuk mendukung proses pembelajaran dan untuk mencapai hasil yang lebih baik. Setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu, pembelajar dituntut cakap memilih atau menentukan media mana yang paling cocok untuk salah satu kegiatan pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar jangan salah dalam memilih atau menentukan media pembelajaran tersebut. Peranan media pembelajaran adalah: (1) alat untuk memperjelas materi/bahan pembelajaran pada saat pembelajar menyampaikan materi tersebut; (2) alat untuk menimbulkan persoalan yang akan dikaji lebih lanjut dan dipecahkan oleh siswa dalam proses belajar-mengajar; (3) sumber belajar bagi siswa, artinya media tersebut berisikan bahan-bahan yang harus dipelajari siswa baik secara individual atau kelompok. Secara umum, kegunaan media pembelajaran yang disebut oleh Sadiman sebagai media pendidikan ini adalah sebagai berikut: (1)Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis. (2)Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera. 294
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
(3)Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa. (4)Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lingkungan dan pengalaman yang berbeda sedangkan kurikulum dan materi pembelajaran ditentukan sama, maka pembelajar akan mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri, apalagi bila lingkungan dan pengalaman pembelajar berbeda dengan siswa. Masalah ini dapat diatasi dengan metode pendidikan, yaitu dalam kemampuannya dalam: (a) memberikan perangsang yang sama; (b) menyamakan pengalaman; (c) menimbulkan persepsi yang sama. Jadi, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana penyampai pesan yang fungsinya untuk memperjelas informasi dari pembelajar kepada siswa dalam suatu proses pembelajaran. media pembelajaran berpola: (1) bahan-bahan cetakan atau bacaan seperti buku, koran, komik, majalah, pamflet, dan lain-lain; (2) alat-alat audio-visual; (3) sumber-sumber masyarakat seperti obyek-obyek, peninggalan sejarah, dokumentasi, dan lain-lain; (4) kumpulan benda-benda seperti potongan kaca, daun, bibit, dan lain-lain; (5) kelakuan yang dicontohkan oleh guru. Macam media yang digunakan dalam pendidikan umum tersebut dapat pula digunakan dalam pembelajaran kepada santri di pondok pesantren, namun sudah barang tentu kebutuhan media pembelajaran disesuaikan dengan tujuan pembelajarannya. (e) Evaluasi Pembelajaran Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran tersebut sumber belajar harus mengetahui seberapa jauh tujuan 295
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
pembelajaran telah tercapai. Evaluasi belajar akan bermakna apabila dalam prosesnya memenuhi prinsipprinsip dan persyaratan tertentu. Evaluasi berarti menilai tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat dua macam evaluasi yang bisa diterapkan di pondok pesantren, yaitu evaluasi proses dan evaluasi produk. Evaluasi proses diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran yang telah dilakukan, apakah dalam proses tersebut ditemui kendala dan bagaimana kerja sama setiap komponen pembelajaran yang telah diprogramkan dalam satuan pelajaran. Evaluasi produk adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh santri setelah menerima pelajaran. Fungsi evaluasi dalam pembelajaran dapat dimanfaatkan dalam berbagai tindakan pendidikan. penilaian evaluasi bermakna baik bagi siswa, guru dan sekolah. Di pondok pesantren, santri memperoleh hasil yang memuaskan dan mempunyai motivasi untuk belajar lebih giat agar lain kali mendapat hasil yang lebih memuaskan lagi. Bagi kiai (guru), dengan hasil penilaian yang diperoleh kiai( (guru) dapat mengetahui santri-santri mana yang sudah berhak melanjutkan pelajarannya karena sudah berhasil menguasai bahan dan yang belum menguasai bahan. Bagi pondok pesantren, apabila para kiai (guru) mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar santrinya, dapat diketahui pula apakah kondisi belajar santri yang diciptakan oleh pondok pesantren sudah sesuai dengan harapan atau belum. Prinsip-prinsip tesebut menunjukkan bahwa pengukuran psikologis bersifat indirect instrument, artinya mengukur hasil belajar tidak dapat secara langsung tetapi 296
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
harus diungkap lebih dahulu dengan jumlah pertanyaan/ perintah yang disebut tes. Evaluasi hasil belajar dalam konteks pembelajaran menurut tujuannya dapat dibedakan menjadi: evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif bertujuan mengetahui hasil belajar siswa dalam rangka mencari bahan untuk perbaikan proses pembelajaran. Adapun evaluasi sumatif bertujuan untuk mengetahui hasil belajar santri dalam rangka menentukan perkembangan hasil belajar selama proses pembelajaran tertentu. Dalam rangka mengumpulkan informasi hasil belajar dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui cara tes dan non tes, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tes Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas yang harus dikerjakan oleh santri sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasinya yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh santri lainnya dengan standar yang ditetapkan. Pengertian tes secara umum adalah sejumlah pertanyaan atau perintah yang harus dijawab atau dilakukan oleh testee (orang yang dites) dalam keadaan dikuasai oleh tester (orang yang mengetes). Tes sebagai alat evaluasi hasil belajar dilihat dari pola jawaban diklasifikasikan menjadi: (1) tes obyektif pilihan ganda, menjodohkan dan benar salah; (2) tes jawaban singkat, isian, melengkapi, memberi nama; dan (3) tes uraian jawaban terpimpin, jawaban terbatas, dan jawaban terbuka.
297
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
b.
Non Tes Non tes mengandung makna bahwa pengumpulan informasi atau pengukuran dalam rangka kegiatan evaluasi hasil belajar dapat juga dilakukan melalui observasi, wawancara, dan angket. Tentu saja informasi yang akan diungkap dalam non tes ini lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan kemampuan psikomotorik, hasil belajar afektif yang bersifat kualitatif. Menyusun tes hasil belajar yang baik memerlukan pemikiran yang cermat karena kegiatan ini berkaitan dengan beberapa hal yang perlu dipahami terlebih dahulu. Hal-hal yang dimaksud adalah prinsip dasar, yaitu sebagai berikut: (1) mengukur secara jelas hasil belajar; (2) mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar materi yang digunakan; (3) mencakup tipe item tes yang cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan; (4) didesain sesuai dengan kegunaan tertentu untuk memperoleh hasil yang diinginkan; (5) dibuat sereliabel mungkin sehingga selanjutnya dapat diuji validitasnya; (6) digunakan untuk memperoleh cara belajar bagi siswa dan cara pembelajaran sumber belajar yang melakukan pembelajaran. Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa dalam pengertian umum, yang dimaksud dengan evaluasi adalah suatu kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi yang diperlukan sebagai bahan masukan untuk penetapan keputusan peningkatan hasil belajar dalam kegiatan pembelajaran.
(8) Pendanaan Pendanaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi 298
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
pengelolaan pendidikan. Demikian pula di pondok pesantren, pendanaan tersebut secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan di pondok pesantren. Karena itu, pimpinan pondok pesantren dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengelola keuangan, baik dalam perencanaan, penggunaan, serta pertanggungjawabannya. Komponen dana di pondok pesantren harus dikelola dengan baik dan benar agar dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan di pondok pesantren. Dana pendidikan dapat diartikan semua jenis pengeluaran berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga yang dapat dihargakan dengan uang. Sumber dana di pondok pesantren antara lain berasal dari pemerintah, orang tua peserta didik, serta masyarakat. Sedangkan pembiayaan meliputi pengeluaran operasional dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran operasional meliputi gaji pengurus, alat tulis kantor, biaya perawatan dan biaya perjalanan, sedangkan pengeluaran pembangunan antara lain pembangunan gedung/pondok, perbaikan gedung/pondok, pengadaan tanah, dan lain-lain. Pimpinan pondok pesantren sebagai manajer berfungsi sebagai otorisator dan dilimpahi fungsi ordonator untuk memerintahkan pembayaran, namun tidak dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan. Dana merupakan sumber daya yang terpenting dalam hal ini, karsena setiap kegiatan pendidikan di pondok pesantren memerlukan dana. Penyediaan dana pendidikan dan tanggung jawab pemdanaan pendidikan secara umum termasuk penyediaan dana di pondok pesantren telah di atur dalam peraturan perundangan yang berlaku. UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XIII pasal 46 menyatakan bahwa:
299
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
(1)Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (2)Pemerintah dan Pemeritah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3)Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Selama ini dana pendidikan yang bersumber dari Pemerintah sangatlah terbatas jumlahnya. Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan dana APBN bidang pendidikan merupakan kendala besar dalam suksesnya penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas termasuk pendidikan di pondok pesantren. Studi pendanaan dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan sangat penting. Ketika kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat, keuangan secara umum juga perlu ditingkatkan. Begitu pula ketika dukungan keuangan terbatas, maka kualitas dan kuantitas pendidikan juga terbatas. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa, dalam kondisi yang ideal, ketersediaan dana yang memadai dengan pendanaan yang lebih baik dapat menyumbangkan peningkatan hasil pendidikan, baik dilihat dari kuantitas (jumlah) ataupun kualitasnya. Dana pendidikan di pondok pesantren mencakup satuan dana untuk satu bangku yang ditempati oleh seorang santri dalam satu tahun ajaran. Dana pendidikan merupakan seluruh pengeluaran yang berupa sumber daya (input) baik berupa barang (natura) atau berupa uang yang ditujukan untuk menunjang kegiatan proses belajar mengajar. Dana pendidikan di pondok pesantren 300
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
merupakan pengeluaran atau pemanfaatan uang untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan yang sumbernya berasal dari pemerintah, perseorangan dan masyarakat/dunia usaha. Jenis dana pendidikan di pondok pesantren, terbagi atas: a) Dana langsung (direct cost) Dana yang langsung menyentuh aspek dan proses pendidikan, seperti gaji kiai (guru) dan pengelola, pengadaan fasilitas belajar, misal: ruang kelas, kantor, sarana ibadat, gudang, laboratorium, WC, alat tulis kantor, buku rujukan kiai (guru), buku-buku santri, dll. b) Dana tidak langsung (inderect cost) Pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan, namun memungkinkan kelancaran proses pendidikan. Misalnya: dana hidup santri, dana transportasi ke pondok pesantren, dana kesehatan, uang saku dan lain-lain. c) Dana kesempatan (opportunity cost) Dana kesempatan juga disebut earning forgone, yaitu potensi pendapatan seorang santri selama mengikuti pendidikan. Pendanaan pendidikan mengandung makna kegiatan dalam penyelenggaraan pendidikan mencakup pada aspek dari mana sumber pendanaan pendidikan itu (revenue), aspek alokasi atau distribusi yang mengungkap masalah-masalah bagaimana mengalokasikan dan mendistribusikan dana yang diperoleh dari berbagai revenue untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Dalam menentukan dana satuan terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan Makro dan pendekatan Mikro. Pendekatan makro dalam menganalisis dana pendidikan di dasarkan pada perhitungan keseluruhan pengeluaran yang 301
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
diterima dari berbagai sumber dibagi jumlah santri. Pendekatan mikro dalam menganalisis dana pendidikan berdasarkan perhitungan dana pengeluaran perkomponen yang dipergunakan santri untuk tiap-tiap komponen berbeda satu dengan yang lain seberapa pengaruhnya terhadap pencapaian hasil belajar. Sistem pendanaan pendidikan antara pondok pesantren yang satu tentu berbeda dengan pondok pesantren yang lain, namun secara umum pendanaan pendidikan dari sisi penerimaan diperoleh dari berbagai sumber yang sama yaitu dari pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat/dunia usaha. Penerimaan dari pemerintah diperoleh dari pemerintah pusat dan daerah. Pendanaan pendidikan pemerintah yang mungkin diadakan ialah: pusat dan daerah; pusat dan wilayah; atau campuran dari ketiganya itu. Rencana pendanaan gabungan dari pemerintah pusat dan daerah (provinsi maupun kabupaten), masing-masing dapat mendanai bagian-bagian sistem tertentu agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaanya. Setiap pondok pesantren dituntut memiliki kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan secara transparan. Oleh karena sumber dana merupakan potensi yang sangat menemukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian pengelolaan pendidikan di pondok pesantren, maka sangat memerlukan pemikiran bersama dari para pengelolanya. Pondok pesantren juga perlu melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan (income generating activities) sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pihak lain. Sesuai gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dana atau pendanaan pendidikan pondok pesantren merupakan segala pengeluaran baik berupa barang ataupun uang yang diperoleh dari pemerintah dan masyarakat untuk keperluan 302
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
dan kemaslahatan pendidikan di pondok pesantren. Sistem pendanaan pendidikan di pondok pesantren merupakan bentuk kegiatan, bagaimana cara menggali dan mengelola semua dana pendidikan untuk proses kegiatan pendidikan di pondok pesantren.
C.
Pengorganisasian dalam Pendidikan Pesantren
Pengorganisasian adalah suatu proses pembentukan hubungan perilaku efektif antara dua orang atau lebih dalam bekerja bersama-sama dengan menggunakan suatu cara yang terstruktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana disebutkan oleh Handoko ( 2001:24) bahwa kegiatan-kegiatan dalam pengorganisasian, yaitu: (1) penentuan sumber daya-sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi; (2) perancangan dan pengembangan suatu organisasi yang akan dapat melaksanakan tugas untuk hal-hal tersebut kearah tujuan; (3) penugasan tanggung jawab tertentu; dan (4) pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individuindividu untuk melaksanakan tugasnya. Fungsi ini menciptakan struktur formal di mana pekerjaan ditetapkan, dibagi, kemudian dikoordinasikan. Berkenaan dengan pengorganisasian dalam majemen pendidikan Islam, maka perlu ditentukan dulu bidang apa yang akan diorganisir. Misalnya dalam hal pembelajaran, maka perlu diorganisir mulai dari materi, fasilitas yang diperlukan, kiai yang akan melakukan pembelajaran, siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pembelajaran itu, dan sebagainya. Pelaksanaan pengorganisasian ini diperlukan adanya koordinasi yang baik. Koordinasi merupakan proses mempersatukan kontribusi berbagai orang, bahan dan sumber 303
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
lainnya ke arah tercapainya maksud-maksud yang telah ditetapkan. Koordinasi memegang peranan penting dalam pelaksanaan pekerjaan bila dilakukan secara kelompok. Peran pimpinan menjadi sentral dalam menggerakkan setiap orang ataupun unit tertentu sehingga koordinasi diantara mereka berlangsung secara baik. Segala sesuatu yang telah ditetapkan pada perencanaan dalam kerangka pendidikan Islam di atas, kemudian diorganisir, yaitu siapa saja yang harus menangani apa saja yang diperlukan dan bagaimana menciptakan hal-hal yang berkaitan dengan: (1)Kebutuhan fisiologis santri (sandang, papan/tempat pemondokan, dan Pangan); (2)Kebutuhan keamanan/rasa aman santri (kondisi/tempat belajar, lingkungan belajar, hubungan santri dengan kiai, hubungan Santri dengan Santri, dan kebebasan berpendapat bagi santri; (3)Kebutuhan rasa sosial santri (sikap kiai terhadap santri, sikap santri terhadap santri, sikap masyarakat terhadap santri dan sebaliknya, persaingan antar santri, dan kesempatan untuk maju bagi santri); (4)Pembinaan terhadap kebutuhan prestise bagi santri (kondisi belajar yang menunjang proses pembelajaran, dan penghargaan terhadap prestasi santri); (5)Kebutuhan aktualisasi diri bagi santri (kesempatan untuk mengekspresikan diri dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan pengembangan diri bagi santri); (6)Pembinaan kurikulum pembelajaran (Visi dan missi pondok pesantren, tujuan pendidikan pondok pesantren, kurikulum pendidikan pondok pesantren. (7)Proses Pembelajaran (dalam suatu pembelajaran harus diperhatikan/direncanakan beberapa hal pokok, yaitu: (a) 304
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
pembelajaran apa yang akan dilaksanakan; (b) mengapa pembelajaran itu diberikan kepada santri; (c) kapan pembelajaran itu dilaksanakan; (d) di mana pembelajaran akan dilakukan; (e) siapa yang melakukan pembelajaran; dan (f) bagaimana melaksanakan pembelajaran itu. Perlu diingat bahwa ada komponen-komponen pembelajaran yang harus ada dalam suatu pembelajaran sehingga terjadi suatu interaksi pembelajaran yang disebut sebagai “interaksi edukatif’ sehingga diperoleh hasil sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Kemudian, bagaimana mengevaluasi pembelajaran-nya, dan seterusnya harus direncanakan dengan matang. Konsep pembelajaran ini pada hakikatnya terdiri atas komponenkomponen seperti: tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi. (8)Pendanaan Dalam pengorganisasian ini, pendanaan perlu diperiksa kesesuaiannya dengan kebutuhan pendidikan Islam sebagaimana tercantum dalam pengorganisasian nomor (1) sampai dengan (7) di atas.
D. Kepemimpinan dalam Pendidikan Pesantren Fungsi ini sebagai tindakan mengarahkan pekerjaan yang perlu dilaksanakan di dalam sebuah organisasi. Karena itu, menggerakkan harus dikaitkan dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya, misalnya perencanaan, organisasi dan pengawasan agar tujuan organisasi tercapai. Pada dasarnya, kepemimpinan (mengarahkan dan mempengaruhi) ini ditunjang oleh perilaku lebih banyak bekerja dari pada berbicara dari pimpinannya. Setelah program kegiatan ditetapkan dan dilakukan pengorganisasian terhadap segala sesuatu yang terlibat dalam 305
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
kegiatan tersebut, maka langkah berikutnya adalah dilakukan pengarahan, pemberian motivasi, dan sebagainya yang pada intinya menggerakkan semua personil atau sumber daya yang diberi tugas dan wewenang (baik kiai maupun santri) agar dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh sederhana dalam hal pembelajaran santri, maka perlu digerakkan kiai yang melakukan pembelajaran, personil yang mempersiapkan fasilitas pembelajaran (tempat, perlengkapan, dan lain-lain), termasuk memberi arahan terhadap proses pembelajaran seharusnya berlangsung. Berkenaan dengan pemberian motivasi, ada suatu motivasi yang sangat bagus untuk diterapkan “ilmu motivasi” di Indonesia bukanlah serangkaian teknik mengotak-atik anak buah oleh manajer atau pimpinan, tetapi lebih merupakan seni memimpin yang mementingkan dan memelihara hubungan dengan bawahan sedemikian rupa sehingga bawahan mau menjadi produktif. Setelah segala sesuatu yang diperlukan untuk pendidikan Islam ditetapkan dalam perencanaan, kemudian diorganisir personil yang melakukan dengan segala kebutuhannya dalam pengorganisasian, kemudian dilaksanakan pengarahan, instruksi dan motivasi agar semuanya bekerja secara ikhlas dan terarah untuk mencapai tujuan pembinaan.
E.
Pengendalian dalam Pendidikan Pesantren
Pengendalian meliputi pemeriksaan apakah segala sesuatunya telah berjalan sesuai dengan rencana, instruksiinstruksi, dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat ditemukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan, kemudian dibetulkan dan dicegah agar tidak terulang. Sebagai contoh sederhana dalam hal 306
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
pembelajaran santri, perlu dilihat apakah materinya telah dapat disampaikan kepada santri secara tuntas, apakah metode yang digunakan sesuai atau tidak untuk menyampaikan pesan dan sesuai dengan tujuan pembelajarannya, apakah para santri dapat memahami dan menyerap segenap ilmu yang dibelajarkan, dan sebagainya. Baik tujuan pembelajaran tersebut tercapai atau belum karena ternyata ada kelemahankelemahan mengenai hal itu, maka perlu ditentukan tindak lanjut atau langkah-langkah berikutnya.
F.
Lembaga Pendidikan Pesantren Sub Sistem Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pesantren adalah tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. (Mahfudz, M.A. Sahal, 1994:. 1) mengindentifikasikan pesantren lebih luas lagi, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan dimana pengasuhnya juga menjadi “pimpinan” dan menjadi “sumber rujukan” umat. Dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan umat atau warganya, sudah barang tentu pesantren mempunyai dasar pijakan yang sifatnya keagamaan dalam melakukan tindakan umatnya yang dinggap baru oleh masyarakat. Istilah “pondok” pada pondok pesantren memberikan gambaran bahwa pesantren mempunyai fasilitas pemondokan bagi para santri yang bermaksud menetap di dalam pesantren selama masa pendidikannya. Pondok dalam pesantren pada dasarnya merupakan dua kata yang sering penyebutannya tidak dipisahkan, yaitu menjadi “Pondok Pesantren”, yang berarti keberadaan pondok dalam pesantren merupakan penggemblengan, pembinaan dan pendidikan serta pengajaran ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan.
307
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Kedudukan pondok bagi para santri sangat esensial sebab di dalamnya santri tinggal belajar dan ditempa diri pribadinya dengan kontrol seorang ketua asrama atau kiai yang memimpin pesantren. Kiai dengan mudah mendidik dan mengajarkan segala bentuk atau jenis ilmu yang telah ditetapkan sebagai kurikulumnya. Keberadaan santri di pondok, mereka dapat melatih diri dengan ilmu-ilmu praktis seperti kepandaian berbahasa Arab, Inggris, menghafal Al-Qur’an, dan lain-lain. Ada beberapa jenis pondok pesantren, yaitu: (1) pondok pesantren tradisional; (2) pondok pesantren modern; dan (3) pondok pesantren komprehensif. Pondok pesantren tradisional masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem halaqah, dengan metode sorogan dan bandongan. Seorang kiai mengajari santrisantrinya berdasarkan pada kitab-kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab abad pertengahan dengan sistem terjemahan. yang dilaksanakan di masjid atau surau. Hakikat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghafalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh kiainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kiai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong). Pondok pesantren semacam ini steril dari ilmu pengetahuan umum, orang biasanya menyebutnya dengan pondok salaf (tradisional) seperti al-Anwar Sarang Rembang, Pacul Gowang Jombang, dan Lirboyo-Ploso Kediri. Pesantren model ini mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: (1) hanya 308
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
mengaji kitab kuning (salaf); (2) intensifikasi musyawarah atau bathsul Masai’l; (2) berlakunya sistem diniyah (klasikal), biasanya tempat dan lingkunganya mencerminkan masa lalu, seperti kemana-mana memakai sarung, songkok dan banyak yang masak sendiri, kultur dan paradigma berpikirnya didominasi oleh term-term klasik, seperti tawadhu yang berlebihan, puasa dawud (puasa sehari, buka sehari), Zuhud, Qonaah, barakah, kuwalat dan biasanya akhirat oriented. Betapapun demikian, ada beberapa kelebihan dari pesantren model ini, yaitu: semangat mengarungi hidup yang luar biasa, mental kemandirian yang tinggi, terjaga moralitas dan mentalitasnya dari pengaruh modernitas, mampu menciptakan insan dinamis, kreatif dan progresif, karena dia tertantang dengan untuk menghadapi hidup dengan tanpa fomalitas ijazah, tumbuhnya mental enterpreneurship (kewirausahaan) dan berani sakit dan menderita demi suksesnya sebuah citacita. Pondok pesantren modern merupakan pengembangan tipe pesantren tradisional karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelaskelas belajar, baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di daerah sekitar pondok pesantren. Kedudukan para kiaisebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar dan sebagai pengajar berlangsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal. Pondok pesantren ini telah memasukkan pendidikan umum ke pesantren SMP, SMA, SMK seperti pesantren 309
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Tebuireng, Mathaliul Falah Kajen dan Futuhiyyah Mranggen Demak. Karakteristik pesantren model ini adalah ada pengajian kitab salaf (seperti taqrib, jurumiyah, ta’limul muta’allim, dan lain-lain, ada kurikulum modern (seperti bahasa Inggris, matematika, manajemen dan sebagainya), mempunyai independensi dalam menentukan arah dan kebijakan, ada ruang kreatifitas yang terbuka lebar untuk para santri (seperti berorganisasi, membuat buletin, majalah, mengadakan seminar, diskusi, bedah buku, dan lain-lain). Pondok pesantren ini juga mengintegrasikan sistem madrasah ke dalam pondok pesantren dengan segala jiwa, dan atribut-atribut lainya. Di dalam pengajaranya memakai sistem beberapa metode dan sistem evaluasi pada setiap semester. Dan pengajarannya memakai sistem klasikal ditambah dengan disiplin yang ketat dengan full asrama atau santri diwajibkan berdiam di asrama. Pondok modern ini antara lain seperti Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Zaitun Indramayu Jawa Barat, Darun Najah dan Darur Rahman Jakarta. Karakteristik pesantren model ini adalah penekanan pada penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris), tidak ada pengajian kitab-kitab kuning (salaf), kurikulumnya mengadopsi kurikulum modern, lenturnya term-term tawadhu, kuwalat, barakah dan sejenisnya, dan penekanan pada rasionalitas, orientasi masa depan, persaingan hidup dan penguasaan teknologi. Pondok pesantren pada umumnya lemah terhadap penguasaan khazanah klasik, bahkan mayoritas output tidak mampu membaca kitab kuning dengan standar pesantren salaf seperti penguasaan nahwu, sharaf, balaghah, ‘arudh, mantiq, ushul dan qawaid. Namun demikian bukan berarti pondok modern mempunyai kelemahan tetapi ada keseimbangan antara salaf dengan pembelajaraan lain yang diatur melalui kurikulum pondok pesantren. Pondok pesantren komprehensif, disebut 310
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
demikian karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya, di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan keterampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dengan tipologi kesatu dan kedua. Lebih jauh dari pada itu, pendidikan masyarakat pun menjadi garapannya, dalam arti sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa pondok pesantren lebih berkiprah pada pembangunan sosial kemasyarakatan. Ketiga tipe pondok pesantren tersebut memberikan gambaran bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan sekolah, luar sekolah, dan masyarakat yang secara langsung dikelola oleh masyarakat, bahkan merupakan lembaga pendidikan sekolah milik masyarakat karena tumbuh dari dan oleh masyarakat. Lembaga pendidikan sekolah sesuai dengan pengertian sekolah padas umumnya. Sebagai lembaga pendidikan luar sekolah, nampak dari adanya kegiatan pendidikan baik dalam bentuk keterampilan tangan, bahasa maupun pendalaman pendidikan agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan sorogan, bandongan, dan wetonan, bahkan kegiatan pengajian dilaksanakan oleh para kiai di dalam pondoknya. Sedangkan sebagai lembaga pendidikan masyarakat, terlihat dari kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh pondok pesantren dalam mengikuti perkembangan masyarakat lingkungannya. Keberadaan pondok pesantren dan masyarakat memang merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling mempengaruhi. Bahwa sebagian besar pesantren berkembang dari adanya dukungan masyarakat, dan secara sederhana muncul atau berdirinya pesantren merupakan inisiatif masyarakat baik secara individual maupun 311
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
kolektif. Sebaliknya, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan dinamika kegiatan pondok pesantren dalam pendidikan dan kemasyarakatan. Konsep pesantren menjadi cerminan pemikiran masyarakat dalam mendidik dan melakukan perubahan sosial terhadap masyarakat. Dampak yang jelas adalah terjadinya perubahan orientasi kegiatan pesantren sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian pondok pesantren berubah tampil sebagai lembaga pendidikan yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial Dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pondok pesantren bermuara pada satu sasaran utama, yaitu perubahan, baik secara individual maupun kolektif. Karena itu, pondok pesantren dapat juga dikatakan sebagai agen perubahan, artinya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat. Perubahan itu berwujud peningkatan pemahaman (persepsi) terhadap agama, ilmu dan teknologi, serta dalam bentuk pengalaman atau praktek yang cenderung membekali masyarakat ke arah kemampuan masyarakat siap pakai. Kemampuan siap pakai yang dimaksud adalah sumber daya manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat. Hal ini berarti masyarakat cenderung mengatasi persoalannya dengan potensi sendiri. Tradisi akademik pondok pesantren merujuk pada suatu proses pembelajaran yang tuntas yang dapat menampilkan suatu sosok lulusan pesantren yang berwawasan luas, berkepribadian matang, dan berkemampuan tinggi dalam melakukakn rekayasa sosial. Pondok pesantren adalah suatu lembaga yang tidak identik dengan makna ke-Islam-an tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indegeneous). Sebagai lembaga indegeneous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis lingkungannya. 312
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
Dari pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah suatu bentuk “indigeneous Culture” atau bentuk kebudayaan asli Indonesia, sebab lembaga pendidikan dengan pola kiai, santri, dan asrama telah dikenal dalam kisah rakyat Indonesia, khususnya Jawa. Pondok pesantren menjadi pencetak ulama sebagai panutan dan rujukan umat serta mampu meberikan sikap tepat, jelas, dan tegas dalam menghadapi waqi’ah. Ulama dapat memberikan sikap yang tepat dan jelas di dalam menghadapi waqi’ah (peristiwa), mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang dilarang, mana yang esensial dan mana yang tidak esensial. Tradisi akademik pesantren merujuk pada proses pembelajaran “tuntas” sehingga “mutakharijin” (alumni)-nya memiliki wawasan luas dengan kepribadian matang dan berkembang tinggi dalam rekayasa sosial. Pondok pesantren adalah pendidikan non-formal yang bertujuan utama menyelenggarakan pendidikan agama (tafaqqohu fiddin), yang memberikan pendidikan masyarakat agar mampu menjadikan diriny sebagai “khoiru al umat” (umay yang baik). Mengingat masalah “ad din” mempunyai kaitan langsung dengan “kehidupan umatnya”, maka tafaqqohu fiddin” harus memenuhi kapasitas yang diperlukan oleh realitas umatnya dalam menghadapi berbagai macam kebutuhan dan kemajuan hidupnya. Untuk itu santri harus dibina untuk menjadi generasi muslim intelektual. Cara seperti ini berfungsi agar tidak menjadi doktrin agama serta pola piker yang bersifat taqlid (mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dasar-dasar hukumnya) sehingga diharapkan santri memilki wawasan pemikiran yang luas. Keterlibatan santri dalam kegiatan forum bahtsul masa’il dan munadloroh (forum perdebatan umum yang munguji kekuatan teori dan pandangan ulama) adalah cara membangun generasi muslim yang intelektual, yang dimiliki 313
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
kebebasan berpikir, aktif, kritis, dan dinamis. Secara umum munadloroh telah menyediakan jalan berpikir bagi santri. Sedikitnya ada enam aspek dalam munadloroh: (1)Penguasaan tesis dan tesis balasan dalam hal ini adalah pendapat-pendapat mazhab; (2)Penguasaan argumen atau dalil yang mendukung pendapatnya; (3)Kemampuan untuk menolak argumen; (4)Kemampuan untuk memberikan respon atas penolakan; (5)Penguasaan argumen bayangan dalam kaitannya dengan tesis balasan; (6)Memberikan respon untuk mengelola bayangan lawan. Berdasarkan hal tersebut, tuntunan membangun lingkungannya merupakan panggilan dakwah bagi para santri sebagai pengejawantahan ajaran agama. Dakwah telah dipahami tidak terbatas pada sekadar menyampaikan AlQur’an dan Hadist belaka, tetapi secara kontekstual usaha agamawi sekaligus komitmen moral dan sosial yang terencana dengan pendekatan yang lebih kontekstual, dalam mengimplementasikan ajaran agama secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai khasanah di akhirat. Makna ini jelas sejalan dengan pembangunan yang berorientasi pada usaha perubahan yang menuju kepada hari esok yang lebih baik. Keduanya merupakan sisi mata uang yang saling berkaitan dan melengkapi. Antara dakwah dan pembangunan masyarakat di sekitar pesantren saling menunjang. Pembangunan terhadap masyarakat sekitarnya merupakan lahan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya dakwah, sebaliknya, dakwah yang dilakukan oleh pesantren merupakan media yang mendekatkan masyarakat terhadap tujuan pembangunan manusia seutuhnya. 314
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
b.
Munculnya lembaga pendidikan Islam Di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan umat ini, secara langsung menempatkan pesantren sebagai kompetisi kultural (munafasat tsaqofiyat), pesantren menjadi salah satu dari sekian banyak pilihan. Dalam posisi demikian pesantren harus lebih memahami secara tepat visinya, hakekat tujuan misinya, masalah-masalah yang dihadapinya, kekuatan yang masih dimilikinya, kelemahan yang dialaminya dan langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukannya. Mempunyai rasa “kebanggaan masa lalu” (syarafin qodim) saja, tentunya tidak akan memecahkan masalah, tanpa disertai kemampuan kratif membangun prestasi-prestasi baru sesuai dengan perkembangan waktu (aqama linafsih syarafan jadidan). Sebagai lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat dan masih menjadi harapan besar masyarakat, peluang untuk bangkit kembali (revival) dan maju masih berpeluang besar. Sistem Pendidikan Nasional yang ada sekarang, keberadan pondok pesantren diakui oleh pemerintah dan respon masyarakat semakin bagus. Hal ini karena pendidikan di pesantren berjalan secara dinamis sebagai respon atas situasi dan kondisi yang terus berkembang yang pada gilirannya membangkitkan inspirasi dan gairah kaum muslimin dalam bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi, dan kebudayaan.Lapisan intelektual di lingkungan kaum muslimin (pesantren) secara bertahap mengalami konsolidasi dan ekspansi (melebar). Ini juga disebabkan, Islam bukan hanya sekedaar sebuah agama dalam pengertian biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial, politik, pandangan keduniaan, dan pandangan hidup yang mencakup semua aspek fisik, mental dan spiritual manusia. Pondok pesantren sebagai institusi non formal di bidang pendidikan, senantiasa memandang ke depan yang mampu meneropong apa yang akan terjadi. Kemampuan untuk 315
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
melihat segala kemungkinan yang akan terjadi dan yang akan diinginkan merupakan hal yang benar-benar penting bagi sebuah pondok pesantren untuk membawa santrinya ke arah yang dituju.Untuk membawa pesantren ke arah kemajuan, pengaruh (kiai) telah membawa tuntutan perkembangan zaman dan lingkungan, menganalisis SWOT yaitu kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan tantangan (threat) yang merupakan dasar-dasar dari perwujudan visi dan misi pondok pesantren. Visi berkaitan dengan pandangan ke depan menyangkut ke mana pondok pesantren harus dibawa dan diarahkan agar ara santri menjadi insan akrom-saleh dan berkualitas. Karena visi juga merupakan suatu gambaran tentang keinginan yang harus dicapai pada masa yang akan datang yang berisikan cita dan citra yang hendak diwujudkan. Oleh sebab itu visi yang mencerminkan apa yang diinginkan untuk dicapai oleh pesantren, hendaknya dapat memberikan arah dan fokus strategi yang jelas, mampu menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan strategis, memiliki orientasi terhadap masa depan, mampu menumbuhkembangkan komitmen dari semua unsur dan mampu menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi di pesantren. Dengan visi yang jelas diharapkan mampu menarik masyarakat dan mampu menggerakan orang, menciptakan makna bagi kehidupan santri dan masyarakat, menciptakan standar keunggulan dan menjembatani keadaan sekarang dengan masa yang akan datang. Untuk mengembangkan visi tersebut, pondok pesantren memiliki misi sebagai suatu yang harus diemban atau dilaksanakan sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan. Karenanya misi hendaknya melingkupi semua pesan yang ada pada visi pesantren, memberikan petunjuk terhadap tujuan 316
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
yang akan dicapai serta memberikan petunjuk kelompok sasaran mana yang akan dilayani oleh pesantren. Berdasarkan kerangka visi dan misi pondok pesantren, maka harapan yang diinginkan oleh pesantren adalah: a. Mewujudkan Sumber daya Insani (SDI) yang berkualitas melalui pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dengan kompetensi tafaqqohu fiddin. b. Kompetensi tafaqqohu fiddin dengan peran kitab kuning (KK) sebagai salah satu unsur mutlak dari pendidikan, pembelajaran intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) dan keakroman pada santri/thalib. c. Penyiapan santri menjadi insane akrom dan saleh artinya upaya mewujudkan santri pesantren Maslakuh Huda yang memliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta mampu menjadi kholifah fil ardli dengan mewarisi bumi dan mahkluknya untuk dikelola dengan sebaik-baiknya. d. Untuk menjadi kholifah fil ardli, santri harus belajar secara aktif, kreatif, kritis, dinamis dan meiliki kepekaan sosial yang tinggi serta mampu berijtihad dalam penerapan fiqh sosial dan fiqh tekstual menjadi kontekstual, karena mereka hidup di tengah-tengah kuluarga dan masyarakat yang heterogen. e.
Santri sebagai calon ulama mampu mengubah tradisi pemahaman fiqh secara tekstual menjadi kontekstual, dari kecenderungan berdakwah dengan ceramah (dakwah bil lisan), dakwah dengan amal perbuatannya (dakwah bil haal), dan dari kecenderungan kesalehan ritual (habl min Allah) menjadi kecenderungan kesalehan sosial (habl min al naas). Sehingga ulama dituntut mampu mengaplikasikan peralatan yang sudah biasa digunakan oleh umat dalam lingkungan masing-masing.
317
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Pondok pesantren adalah suatu bentuk “Indegenous Culture” atau benduk kebudayaan asli bangsa Indonesia, sebab lembaga pendidikan dengan pola kiai, santri dan asrama telah dikenal dalam kisah dan cerita rakyat maupun dalam sastra klasik Indonesia Khususnya di pulau Jawa. Para kiai (ulama) menyiarkan agama Islam dengan menggunakan pesantren yang telah ada memang ternyata banyak tumbuh dan berkembang serta berakar di masyarakat. Pada proses pembudayaan, sekurang-kurangnya ada dua alasan yang menyebabkan mengapa perkembangan agama Islam di Indonesia amat tergantung pada lembaga pendidikan. Pertama, karena nilai ajaran agama itu sendiri sah, bersifat legal dan terbuka bagi setiap orang, serta tersusun dalam naskah tulisan yang jelas. Ini mebedakan dengan ajaran lainnya yang umumnya pada waktu itu terbatas bagi masyarakat tertentu saja., dan disampaikan dalam bahasa lisan. Kedua, ialah karena pada masa itu tidak ada lembaga sosial lainnya dalam menyebaran agama Islam di Indonesia yang lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya. Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang ditengahtengah masyarakat, sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu: (a) Ibadah untuk menanamkan iman (b) Tabligh untuk menyebaran ilmu, dan (c) Amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari. Selama kurang lebih lima abad, pesantren berkiprah di tengah-tengah perjalanan bangsa Indonesia, dan telah memberikan sumbang besar baik dalam bidang keilmuan, kemasyarakatan, kenegaraan, dan lain ebagainya, sehingga pesantren disegani dan di hormati. Kekuatan pesantren pada masa itu, lebih tertumpu pada kebesaran dan kualitas “kiai 318
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
pengasuhnya”(Dawam Raharjo, tt. 28) dari pada kelembagaannya sendiri, dengan kadar: (1) keilmuannya yang luas dan dalam; (2) kearifan wataknya yang disegani; (3) sikap laku amaliyahnya yang teladani; (4) keikhlasan juangnya yang dirasakan; (5) pengayomannya kepada umat setiap saat. Sosok “kiai pengasuh pesantren” menjadi parameter hampir dalam segala sisi kehidupan. Mengidentifikasikan masalah utama yang dihadapi pondok pesantren dewasa ini menjadi empat aspek, yaitu: 1. Masalah indentitas diri pondok pesantren dalam hubungannya dengan kemandiriannya terhadap lembagalembaga lain di masyarakat. 2. Masalah jenis pendidikan yang dipilih dan dikelolanya. 3. Masalah pemeliharaan sumber-sumber daya internal yang ada dalam pemanfaatannya bagi pengembangan pesantren itu sendiri. 4. Masalah antisipasi ke masa depan dalam hubungannya dengan peranan-peranan dasar yang dilaksanakan. Dengan terbentuknya RMI (Robithoh Al Ma’ahid Al Islamy) sebagai organisasi yang didirikan untuk menjembatani dan menampung kemungkinan-kemungkinan yang bisa direalisasikan dalam kerangka hubungan antar pesantren dan pencarian solusi terhadap problematika yang dihadapinya di seluruh Indonesia. Walaupun dalam perkembangan di lapangan, organisasi ini belum bekerja secara optimal tapi sudah ada kontribusi yang signifikan, sisi lain adalah belum semua pesantren mau bergabung dengan organisasi RMI ini. Kondisi pendidikan pondok pesantren dewasa ini masih menghadapi problematika yang nyata baik secara internal maupun secara eksternal. Oleh karenanya pondok pesantren harus dapat mengaktualisasi diri dalam memasuki era globalisasi, milinium ketiga ini, sebab itu perlu output yang 319
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
menjadi target pesantren tradisional untuk masa depan, yaitu: Pertama, Relegious skillful People, yang akan menjadi tenagatenaga trampil tetapi sekaligus mempunya iman yang teguh dan utuh, sehingga religius dalam sikap dan perilaku yang mengisi kebutuhan tenaga diberbagai sektor pembangunan. Kedua, religious Community Leader, yang akan menjadi penggerak dinamis dalam trasformasi sosial kultural dan sekaligus menjadi gawang terhadap akses pembangunan dan mampu membawakan aspirasi masyarakat terutama golongan lemah serta melakukan pengendalian sosial (social control). Ketiga, Relegious Intellectual, yang mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan analisis ilmiah dan concern terhadap masalah sosial. Untuk mewujudkan pondok pesantren sebagai lembaga non formal yang peka di tengah-tengah kemajuan teknologi dan informasi, maka secara makro pondok pesantren diharapkan dapan berperan aktif dan memberi kontribusi yang berbobot di dalam social engineering (rekayasa sosial) dan tranformasi sosial kultural, maka pesantren harus mengadakan pembaharuan. Meskipun demikian ciri-ciri lama yang masih relevan harus masih tetap dipertahankan, yaitu ada tiga dimensi utama pesantren, yaitu, Pertama, dimensi kultural dengan watak kemandirian, kebersamaan (gotong royong). Kedua, dimensi edukatif yang dapat dilihat dari output dan outcome-nya yang bisa diterima masyarakat, dan yang ketiga, dimensi sosial, diharapkan pesantren sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (Community Learning Center) dan disisi lain masyarakat setempat dapat berfungsi sebagai laboratorium sosial di mana pesantren melakukan eksperimen pengembangan masyarakat.
320
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren
Kepekaan pondok pesantren terhadap perubahan masyarakat pendukungnya harus dijaga baik-baik, sehingga terjadi keselarasan antara pesantren dengan masyarakat, sebab eksistensi pondok pesantren tidak bisa lepas dari penghargaan dan dukungan masyarakat kepadanya. Pondok pesantren juga diharapkan tetap mampu menjaga identitasnya (kepribadiannya) sebagai wadah pendidikan Islam dan pusat kajian ilmu syari’ah, namun pondok pesantren diharapkan pula memiliki sikap keterbukaan, berwawasan lebih luas, kritis dan selektif, sehingga benar-benar menjadi lembaga pendidikan yang mampu melakukan ‘pelestarian nilai-nilai lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik (al muhafadhatu ala al-qadim al-salih wa al-akhadzu bi aljadid al-ashlah).
321
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
BAB X MANAJEMEN PERPUSTAKAAN
A. Konsep Dasar Perpustakaan Perpustakaan di era modern seperti sekarang ini bukan lagi seperti penilaian mayoritas orang-orang masa lalu. Perpustakaan itu adalah tempat buku yang dijaga oleh petugas yang berkaca mata tebal, yang dengan setia menjaga buku dan memberikan peluang kepada siapa saja yang meminjam buku. Pustakawan di perpustakaan hanya ditemani buku-buku kumal dan ruang ber-”AC, Angin C(J)endela”. Setelah ribuan tahun hidup dengan teknologi cetak, ratusan tahun dengan teknologi analog, kelahiran dan perkembangan pesat teknologi digital menimbulkan revolusi mendasar dalam kehidupan manusia, khususnya bagi kalangan pustakawan. Artinya pustakawan sesungguhnya berperan besar dalam memberikan sumbangan dalam perkembangan peradaban. Tetapi perannya tidak terlihat oleh sebagian besar masyarakat. Masalahnya, ketika orang melihat perpustakaan, seolah-olah pustakawan terhalang oleh deretan koleksi yang semakin hari semakin menua dan semakin menjauhi unsur kekiniannya. Konon, ketika menyebut kata perpustakaan atau library, pemikiran orang merujuk pada suatu medium peradaban manusia, yaitu buku. Untuk waktu yang sangat lama, buku 322
Manajemen Perpustakaan
menjadi sumber daya pengetahuan yang utama, yang dihimpun oleh perpustakaan. Hal ini terjadi karena posisi perpustakaan dianggap hanya sebagai tempat penyimpanan saja, dan ternyata hingga abad modern anggapan yang demikianpun masih belum bisa dihilangkan. Fenomena semacam ini pernah diteliti oleh Korneliza Pert tahun 2002 dengan mempertanyakan kepada sebagian warga masyarakat Kroasia menyangkut profesi yang diminatinya untuk dijadikan sebagai mata pencaharian. Ternyata hasil yang didapat, pustakawan berada di urutan ke 6 (enam) dari tujuh profesi yang paling diminati setelah dokter, guru, konstruktor, ekonom, pengacara, dan yang keenam adalah pustakawan (librarian), sedangkan yang terakhir ditempati system engineer atau programmer. Bahkan menurut Hovart dalam Pert (2002), profesi pustakawan sering dianggap hanya sebagai batu loncatan atau alternatif pekerjaan sebelum mendapatkan profesi yang sesungguhnya diinginkan. Hal ini tentu memberikan gambaran bahwa anggapan pustakawan sebagai profesi yang “diminorkan” tidak hanya melekat pada masyarakat Indonesia, tetapi juga di negara lain. Posisi pustakawan yang demikian ini seringkali diperparah dengan tidak adanya perhatian institusi terkait (pemerintah) terhadap gerak majunya perpustakaan. Maka menjadi tidak aneh ketika menengok pada kasus seperti ini, yang kemudian disimpulkan menjadi bagian dari kendala bagi pustakawan untuk loyal dan berfikir untuk kemajuan perpustakaan tempatnya bekerja. Sejalan dengan perkembangannya, beberapa tahun terakhir sejak dikeluarkannya UU Nomor 43 tahun 2007, perpustakaan seperti memperoleh angin segar, perpustakaan mulai mendapat mendapat perhatian dari pemerintah terkait dengan eksistensinya maupun perkembangannya. Perpustakaan mulai diberikan ruang untuk melakukan 323
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
berbagai kegiatan, terutama untuk kepentingan pendidikan. Bahkan dikatakan bahwa setiap. lembaga pendidikan, diwajibkan untuk menyelenggarakan perpustakaan.
B. Perpustakaan Sebagai Sumber Daya Informasi sPerpustakaan sebagai pusat sumber daya informasi menjadi tulang punggung gerak majunya suatu institusi terutama institusi pendidikan, dimana tuntutan untuk adaptasi terhadap perkembangan informasi sangat tinggi. Hal ini dikarenakan pengguna (user) dominan dari kalangan akademisi yang kebutuhannya akan informasi begitu kuat, sehingga mau tidak mau perpustakaan harus pula berfikir untuk berupaya mengembangkan diri guna memenuhi kebutuhan penguna (user). Perpustakaan seperti sebuah “permata” yang hilang dan telah ditemukan. Dulu, perpustakaan telah ada bahkan dimana ada sekolah, di situ perpustakaan ada. Tetapi perpustakaan dulu hanya sebagai tempat buku saja, bahkan mungkin hanya sebagai pelengkap dunia pendidikan. Tradisi di sekita buku dan jurnal tercetak ini luar biasa tertanam dalam budaya masyarakat, yang membentuk sebuah “dunia teks” yang melandasi semua upaya manusia memperluas ilmu pengetahuannya. Beberapa dasawarsa terakhir ini dunia teks mendapat tantangan dari teknologi-teknologi baru. Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, perpustakaan pun ternyata tidak luput dari perhatian pemerintah yang selama ini me-nomorsekian-kan perpustakaan. Perpustakaan telah menemukan jati dirinya sebagai tempat perubahan (agen of change), tempat dimana berbagai informasi disimpan, dan tempat dimana embrio intelektual diciptakan. Betapa tidak, dulu perpustakaan yang dianggap sebagai tempat buku saja, kini berkembang menjadi pusat sumber 324
Manajemen Perpustakaan
daya informasi. artinya, perpustakaan tidak lagi sebagai penyimpanan buku semata, melainkan menjadi tampat dimana pengguna (user) mampu menciptakan lagi sesuatu yang mampu dibaca dan digunakan orang lain.
C.
Antara Perpustakaan, Lembaga Pendidikan dan Informasi
Perpustakaan menurut fungsinya, memposisikan diri sebagai tempat yang menyediakan berbagai informasi, baik yang berkaitan dengan sosial,politik maupun ekonomi, dan informasi lainnya. Di Perguruan Tinggi, perpustakaan sering diistilahkan sebagai “jantungnya perguruan tinggi”. Hal ini berarti perpustakaan memiliki peranan penting di dunia pendidikan. Jika jantungnya lemah, tubuh lainnya juga akan menjadi lemah. Ini artinya jika perpustakaan perpustakaan lemah, akan berpengaruh pula terhadap institusi tempat perpustakaan bernaung, sebaliknya jika jantungnya baik, maka akan membuat baik pula tubuhnya. Sehingga jika perpustakaan baik, maka akan baik pula lembaga/institusinya. Pemisalan lain, perpustakaan dan lembaga pendidikan sekarang ini seperti dua sisi mata uang. Keduanya akan menjadi bernilai jika keduanya ada. Demikian pula dengan informasinya. Perpustakaan dengan informasi juga tidak boleh dipisahkan, sebab kekuatan perpustakaan ada pada informasi yang disajikannya. Hubungan kedua hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:
325
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa perpustakaan memiliki kaitan dengan lembaga pendidikan, dimana hubungan itu secara kasat mata dapat dilihat dari pendekatan kelembagaan. Sedangkan baik perpustakaan dan lembaga pendidikan, keduanya memiliki tugas yang sama, yaitu menyebarkan informasi. Perbedaannya, lembaga pendidikan memberikan informasi kepada para siswa melalui proses pembelajaran dengan informasi yang mengacu kepada kurikulumnya, sedangkan perpustakaan menyebarkan informasi secara langsung kepada pemustaka tanpa terikat langsung oleh kurikulum. Namun demikian perpustakaan yang bernaung di bawah institusi pendidikan, bergerak maju mengikuti pola perkembangan kurikulum. Hal ini dapat dimaklumi karena perpustakaan di sini berperan sebagai pendukung program lembaga induknya. Pergeseran paradigma lembaga pendidikan menandakan gerak dinamisnya pendidikan itu sendiri sekaligus sebagai jawaban dari konsekuensi logis sebagai upaya beradaptasi dengan tuntutan jaman yang juga selalu berkembang. Agar pendidikan dapat menjalankan fungsinya dengan baik harus ada perubahan dan pembaruan paradigma.
D. Pengertian Perpustakaan Perpustakaan berasal dari kata dasar pustaka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pustaka artinya kitab, buku (Depdikbud: 1980). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan library. Istilah ini berasal dari kata librer atau libri, yang artinya buku (Sulistyo Basuki: 1991, 3). Dari kata latin tersebut terbentuklah istilah librarius, tentang buku. Dalam bahasa asing lainnya perpustakaan disebut bibliotheca (Belanda), yang juga berasal dari bahasa Yunani biblia yang artinya tentang buku, kitab. 326
Manajemen Perpustakaan
Dengan demikian, batasan istilah perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasa disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual (Sulistyo Basuki: 1991, 3). Atau, suatu unit kerja yang substansinya merupakan sumber informasi yang setiap saat dapat digunakan oleh pengguna jasa layannya. Selain buku, di dalamnya juga terdapat bahan cetak lainnya seperti majalah, laporan, pamflet, prosiding, manuskrip atau naskah, lembaran musik, dan berbagai karya media audiovisual seperti film, slide, kaset, piringan hitam, serta bentuk mikro seperti mikrofilm, mikrofis, dan mikroburam (micro-opaque). Definisi ini mengisyaratkan bahwa perpustakaan memiliki spesifikasi tersendiri mengenai fungsi dan peranannya. Ini dapat dilihat dari pengertiannya yang memiliki beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi, yaitu:
Perpustakaan sebagai suatu unit kerja
Perpustakaan sebagai tempat pengumpul, penyimpan, dan pemelihara berbagai koleksi bahan pustaka
Bahan pustaka itu dikelola dan diatur secara sistematis dengan cara tertentu
Bahan pustaka digunakan oleh pengguna secara kontinu
Perpustakaan sebagai sumber informasi
Sepanjang sejarah manusia, perpustakaan bertindak selaku penyimpan khazanah hasil pemikiran manusia. Hasil itu kemudian dituangkan dalam bentuk cetak, noncetak ataupun dalam bentuk elektronik (digital). Hasil pemikiran manusia yang dicetak dalam bentuk buku dalam arti luas mencakup bentuk cetak atau grafis, bentuk noncetak yang mencakup hasil rekayasa teknologi dalam bentuk elektronik atau digital, ini sering diasosiasikan dengan kegiatan belajar. 327
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Yaitu sebagai alat bantu manusia dalam belajar. Karena perpustakaan selalu dikaitkan dengan buku, sementara buku dekat dengan kegiatan belajar, maka perpustakaan pun sangat dekat dengan kegiatan belajar. Hanya saja, perpustakaan bukan tempat sekolah dalam arti formal. Karena adanya kegiatan belajar yang berbeda jenjangnya, dari prasekolah hingga universitas, ditambah dengan kepentingan membaca yang berbeda-beda, maka muncullah perpustakaan dengan berbagai bentuk dan jenisnya demi menyesuaikan kebutuhan penggunanya tersebut. Ada yang disebut dengan perpustakaan umum untuk melayani masyarakat umum, dan perpustakaan khusus untuk melayani pengguna dari komunitas di mana perpustakaan itu didirikan. Istilah lain yang berkaitan dengan pustaka adalah kepustakawanan, librarianship. Istilah ini menyangkut penerapan pengetahuan (baca: ilmu perpustakaan) dalam hal pengadaan, penggunaan serta pendayagunaan buku (baca: bahan pustaka) dalam arti luas, serta perluasan jasa perpustakaan. Berikut ini beberapa tujuan kepustakawanan (Sulistyo Basuki: 1991, 67), yaitu: 1. Penyimpanan. Artinya, perpustakaan bertugas menyimpan buku atau bahan pustaka yang diterimanya. Tujuan ini nyata sekali pada perpustakaan nasional, yaitu perpustakaan yang ditunjuk oleh undang-undang untuk menyimpan semua terbitan dari suatu negara. 2. Penelitian. Artinya, perpustakaan bertugas menyediakan buku untuk keperluan penelitian. Penelitian ini mencakup arti luas karena dapat dimulai dari penelitian sederhana hingga penelitian yang rumit dan canggih. Untuk keperluan penelitian ini, perpustakaan bertugas menyediakan jasa yang membantu keberhasilan sebuah penelitian, misalnya 328
Manajemen Perpustakaan
menyediakan daftar buku mengenai suatu subjek, menyusum daftar artikel majalah mengenai suatu masalah, membuat sari karangan artikel majalah maupun pustaka lainnya, dan menyajikan laporan penelitian dalam bidang yang berkaitan. 3. Informasi. Artinya, perpustakaan menyediakan informasi yang diperlukan pengguna jasa layanan perpustakaan. Pemberian informasi ini dilakukan baik atas permintaan maupun tidak diminta. Hal terakhir ini dilakukan bila perpustakaan menganggap informasi yang tersedia sesuai dengan minat dan keperluan pengguna. 4. Pendidikan. Artinya, perpustakaan dalam arti umum merupakan tempat belajar publik seumur hidup, terutama bagi mereka yang tidak lagi ada di bangku sekolah. Sebab, jika mengandalkan perpustakaan suatu instansi tertentu, tentu penggunaannya terbatas. Misalnya perpustakaan sekolah, hanya terbatas pada saat menjadi anggota komunitas sekolah tersebut. Atau, perpustakaan khusus, yang hanya memberikan layanan perpustakaan kepada pengguna terkait dengan cakupan keanggotaan yang terbatas oleh ketentuan perpustakaan tersebut. 5. Kultural. Artinya, perpustakaan menyimpan khazanah budaya bangsa atau masyarakat tempat perpustakaan berada dan juga meningkatkan nilai dan apresiasi budaya masyarakat sekitarnya melalui proses penyediaan bahan bacaan. Bacaan yang disediakan perpustakaan, terutama perpustakaan umum, dapat berupa bacaan serius maupun bacaan ringan. Bacaan serius artinya bacaan yang bertujuan menambah pengetahuan maupun membantu keperluan pembaca dalam pencarian informasi penting, dan sejenisnya. Sedangkan bacaan ringan adalah bacaan yang sifatnya menghibur atau bacaan rekreasi. 329
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
E.
Fungsi Perpustakaan
Perkembangan jaman menuntut perubahan pola pikir masyarakat agar mampu beradaptasi dengan baik pada situasi dan kondisi yang ada. Demikian pula dengan paradigma perpustakaan yang dituntut mampu mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Suwarno (2010) melihat paradigma perpustakaan juga sebagai fungsi perpustakaan era sekarang ini, sebagaimana beberapa hal berikut: Simpan saji karya, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat menyimpan suatu karya, yang kemudian menyajikan karya tersebut sebagai informasi yang bisa diakses oleh pemustakanya. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No.43 Tahun 2007 bahwa koleksi perpustakaan diseleksi, dilayankan, disimpan dan dikembangkan sesuai dgn kepentingan pemustaka. Pusat Sumber Daya Informas (SDI), yaitu fungsi perpustakaan yang menggali dan mengelola informasi, yang dapat menjadi bahan bagi pemustaka untuk menghasilkan karya baru yang dapat diakses oleh pemustaka lainnya sebagai informasi yang baru. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No.43 Tahun 2007 bahwa koleksi perpustakaan diseleksi, dilayankan, disimpan dan dikembangkan sesuai dgn kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam hal ini terdapat dua pesan bagi pustakawan agar mengembangkan system cari – kelola informasi, dan sekaligus cepat tanggap terhadap informasi baru. Pusat sumber belajar, penelitian masyarakat, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat belajar dan penelitian bagi masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang cerdas dan berpengetahuan luas. Pasal 2 UU No.43 Tahun 2007 330
Manajemen Perpustakaan
menyebutkan bahwa perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat. Dalam ayat lainpun dijelaskan bahwa perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Rekreasi dan Re-kreasi, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat yang nyaman dan menyajikan informasi-informasi yang sifatnya menyenangkan, serta sebagai tempat yang menghasilkan kreasi (karya) baru yang berpijak dari karyakarya orang lain yang telah dipublikasikan. Mengembangkan kebudayaan, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat mengembangkan kebudayaan melalui informasi yang disajikan, serta penanaman nilai-nilai kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan-kegiatannya. Seperti: pemutaran film dokumenter, belajar menari, les bahasa, story telling, dan lain-lain. Berkaitan dengan nilai, dikembangkan pula sikap pelayanan dengan semakin ditekankannya pustakawan untuk memahami karakter pemustaka. Tidak disangkal lagi bahwa trend centre dari pelayanan ini merujuk pada pelayanan Bank, dimana pelayanan terhadap nasabah yang berorientasi kepuasan pelanggan sangat diperhatikan, sehingga dikenal slogan pelayanan 4 S, yaitu senyum, sapa, sopan dan santun.
331
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
BAB XI PENGELOLAAN BAHAN PUSTAKA JENIS BUKU
A. Pengadaan Bahan Pustaka Perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat sumber daya informasi, dituntut harus siap menyediakan koleksi bahan pustaka yang up to date bagi pemustakanya. Koleksi perpustakaan merupakan sumber informasi yang tidak hanya mewakili hasil karya manusia masa lampau dan masa sekarang, namun juga masa yang akan datang. Artinya bahwa koleksi ini adalah koleksi yang selalu berkembang. Sehingga Rangganathan mengatakan bahwa perpustakaan ini adalah the growing organism, perpustakaan merupakan organisme yang tumbuh dan berkembang. Bila koleksi perpustakaan dikembangkan tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka lambat laun perpustakaan akan ditinggalkan penggunanya Sebuah paradigma baru menyimpulkan, salah satu kriteria penilaian layanan perpustakaan yang bagus adalah dilihat dari kualitas koleksinya. Koleksi yang dimaksud tentu saja mencakup berbagai format bahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan alternatif para pemakai perpustakaan terhadap media rekam informasi. Setiap kegiatan lain di perpustakaan akan bergantung pada pemilikan koleksi 332
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
perpustakaan yang bersangkutan. Selanjutnya, bahan pustaka dapat dikatakan bermanfaat bagi masyarakat apabila informasi tersebut dapat didayagunakan masyarakat penggunanya, maka informasi tersebut dianggap memiliki nilai guna bagi masyarakat. Agar pengadaan bahan pustaka benar-benar sesuai dengan kebutuhan informasi masyarakat, maka perpustakaan harus mampu: (1)mengkaji dan mengenali siapa masyarakat pemakainya dan informasi apa yang diperlukan, (2)berusaha menyediakan layanan jasa yang diperlukan saat itu, serta (3) mendorong pemakai untuk menggunakan fasilitas yang disediakan oleh perpustakaan. Sehingga pengadaan koleksi yang akan dilakukan benar-benar mutakhir dan relevan dengan kebutuhan informasi masyarakat tersebut. Adapun pengadaan bahan perpustakaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya: (1) Pembelian, untuk meringankan biaya pembelian, kita bisa melakukan pembelian di bursa buku-buku bekas atau menelusuri pameran-pameran buku karena pameran buku biasanya memberikan diskon besar-besaran, kesempatan seperti ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pengelola perpustakaan. (2)Tukar-menukar, kita bisa melakukan kerja sama dengan perpustakaan yang lain dengan tukar-menukar koleksi dengan cara peminjaman jangka panjang. Sehingga pemustaka bisa memanfaatkan koleksi dari perpustakaan yang lain. (3)Hadiah, untuk mendapatkan buku secara cuma-cuma/ hadiah, maka perpustakaan dan pustakawan harus pro aktif bekerja sama dalam mencari unit kerja atau instansi 333
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
atau LSM mana yang dapat menghadiahkan buku-bukunya bagi keperluan perpustakaan. Pendekatan ini sangat diperlukan, karena dengan adanya permohonan yang resmi dari pejabat perpustakaan akan memudahkan proses pustakawan dalam memperoleh buku-buku yang di perlukan perpustakaan secara cuma-cuma. (4) Sumbangan, perpustakaan dan pustakawan harus pro aktif mencari perpustakaan yang akan mengadakan penyiangan koleksi, sehingga bisa membuat permohonan buku-buku hasil penyiangan tersebut bisa disumbangkan dan dimanfaatkan oleh perpustakaan kita. (5) kerjasama, kita bisa mendapatkan bahan pustaka dengan melakukan kerjasama, misalnya dengan penerbit dan penulis dengan mendapatkan harga buku-buku yang serendah-rendahnya dengan kualitas yang sama dengan buku yang bagus dan mahal. Cara-cara pengadaan bahan pustaka diatas dapat dilakukan dengan catatan tetap memperhatikan kebutuhan informasi masyarakat dengan cara memberikan bahan pustaka yang uptodate, mutakhir dan relevan sesuai dengan kebutuhan pengguna perpustakaan. Walaupun cara-cara tersebut diatas bertujuan untuk meminimalisir pembiayaan pengadaan koleksi, tapi tidak menutup kemungkinan dengan cara-cara tersebut kita akan mendapatkan bahan pustaka yang berkualitas, bagus dan bermanfaat untuk masyarakat.
B. Pengolahan Bahan Pustaka a.
Analisis subjek Analisis subjek merupakan kegiatan awal pengolahan dalam rangka menentukan subjek dari sebuah bahan pustaka. Analisis subjek merupakan hal yang sangat penting dan memerlukan kemampuan intelektual, karena di sinilah bahan 334
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
pustaka ditentukan tempatnya dalam golongannya. Kekeliruan dalam menentukan subjek dapat menyesatkan pengguna (baca: pembaca buku). Jadi, setiap dokumen harus dianalisis isinya. Kegiatan yang demikian inilah yang dikatakan sebagai “analisis subjek”. Selanjutnya, subjek tersebut diterjemahkan ke dalam kode tertentu berdasarkan suatu sistem, sehingga setiap bahan pustaka akan mempunyai identitas subjek tertentu pula. Kegiatan ini dinamakan dengan “deskripsi indeks”. Untuk melakukan analisis subjek, penganalisis perlu mengetahui prinsip-prinsip dasarnya. Prinsip-prinsip tersebut dibagi menjadi tiga bagian besar, yang kemudian diperinci kembali dalam bagian-bagian yang lebih kecil, yakni seperti yang dapat dilihat dalam bagan berikut. Bagan 1 Prinsip Dasar Analisis
Tiga bagian besar analisis subjek adalah pada disiplin ilmu, yaitu buku yang dianalisis harus masuk ke dalam disiplin ilmu tertentu; objek bahasan atau fenomena, yaitu setelah ditemukan 335
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
disiplin ilmu tertentu buku tersebut harus jelas membahas tentang suatu kajian atau fenomena tertentu dalam disiplin ilmu tersebut; dan bentuk, yaitu setelah ditemukan bentuk objek kajian atau fenomenanya buku harus disajikan dalam suatu bentuk tertentu. a.
Disiplin ilmu Disiplin ilmu adalah istilah yang digunakan untuk satu bidang atau satu cabang keilmuan. Misalnya, Hukum, Kimia, atau sosiologi. Masing-masing adalah disiplin ilmu yang merupakan bidang atau cabang keilmuan. Dalam analisis subjek, pertama kali yang harus ditentukan adalah disiplin ilmu atau bidang ilmu pengetahuan yang dicakup oleh bahan pustaka yang dianalisis tersebut. Sebagai contoh, buku berjudul “Perkembangan Koperasi Sepuluh Tahun Terakhir”. Maka dapat ditentukan bahwa disiplin ilmu untuk buku ini adalah “ekonomi”. Kemudian dapat ditentukan pula objek pembahasannya yang juga sebagai fasetnya adalah “koperasi”. Dan pada konsep ketiga, yang harus ada adalah bentuk, maka bentuk penyajian buku ini adalah sejarah, mengingat unsur waktu atau perkembangan dari waktu ke waktu sangat dominan. Disiplin ilmu dapat dibedakan atas dua kategori. Pertama, disiplin fundamental (fundamental disciplines). Disiplin fundamental merupakan bagian utama ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, para ahli berbeda pendapat tentang ciri-cirinya, pengelompokan dan jumlahnya, tetapi terdapat kesepakatan umum mengenai eksistensi bidangbidang pengetahuan dasar ini. Kedua, subdisiplin. Subdisiplin merupakan bidang spesialisasi dalam suatu disiplin fundamental. Misalnya, dalam kelompok ilmu-ilmu alamiah, subdisiplin yang
336
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
merupakan spesialisasi atau cabang antara lain ialah fisika, kimia, biologi, sosiologi, ekonomi, dan politik. b.
Objek pembahasan atau fenomena Objek pembahasan atau fenomena ialah benda atau wujud yang menjadi titik kajian dari suatu disiplin ilmu. Misalnya, dalam buku berjudul “pendidikan wanita”, pendidikan merupakan disiplin ilmu dan wanita merupakan objek atau titik kajiannya dari disiplin ilmu pendidikan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa objek kajian merupakan bagian dari disiplin ilmu, atau dengan kata lain fenomena atau objek kajian dapat ditentukan setelah disiplin ilmu dalam suatu bahan pustaka sudah ditentukan. Fenomena yang sama dapat dikaji oleh disiplin ilmu yang berbeda, tetapi penentu golongan utama adalah disiplin ilmu yang membawahi fenomena tersebut. Dengan kata lain, fenomena berperan sebagai konsep subjek dalam analisis subjek. Konsep subjek menunjukkan tema suatu bahan pustaka. Fenomena yang dikaji oleh berbagai disiplin ilmu dapat dibedakan atas dua kategori. Pertama, Objek Konkret. Misalnya gedung, meja, buku, dan lain-lain. Kedua, Objek Abstrak. Misalnya moral, hukum, adab, dan lain-lain. Fenomena dapat dikaji dari satu atau beberapa disiplin ilmu. Fenomena yang dikaji tersebut dikelompokkan berdasarkan suatu ciri yang dimiliki bersama. Ciri pembagian itu disebut dengan “faset”. Suatu disiplin ilmu pengetahuan dapat ditinjau menurut sejumlah faset. Misalnya, bidang sosial dapat ditinjau antara lain menurut demografi, yang akan diperoleh: lingkungan, kependudukan, dan lain-lain. Atau, 337
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
jika ditinjau dari interaksi sosial akan diperoleh: komunikasi, psikologi sosial, dan lain-lain Menurut Ranganathan, seorang ilmuwan dan pustakawan dari India yang pernah menciptakan sistem klasifikasi yang disebut “Colon Classification”, untuk membantu para pengklasifikasi bahan pustaka dalam melakukan analisis subjek, suatu fenomena/faset dapat dianalisis dengan memberikan urutan faktor-faktornya, yang disingkat PMEST. Yaitu, (P) personality, (M) Matter, (E) Energy, (S) Space, dan (T) Time. Sebagai contoh buku yang berjudul “Pendekatan dalam Penyusunan Organisasi Sekolah Tahun 2005 di Indonesia”, urutannya dapat ditentukan sebagai berikut. (P) Personality : Sekolah (M) Matter
: Organisasi
(E) Energy
: Penyusunan
(S) Space
: Indonesia
(T) Time
: Tahun 2005
Secara lengkap susunan analisis subjek adalah: DISIPLIN/PMEST/BENTUK c.
Bentuk Pembahasan mengenai “bentuk” berbeda dengan konsep subjek yang menunjukkan mengenai tema atau isi suatu bahan pustaka. Konsep bentuk lebih merujuk pada bagaimana penyajian suatu kajian dari bahan pustaka itu. Dalam hal ini, dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1) Bentuk Fisik, yaitu sarana yang digunakan dalam menyajikan suatu subjek. Misalnya dalam bentuk buku, majalah, pita rekaman, mikrofilm, mikrofis, dan lainlain. Bentuk fisik tidak memengaruhi isi dokumen 338
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
bahan pustaka. Misalnya, subjek “agama” dapat disajikan dalam berbagai bentuk, tapi isinya tetap pada “agama”. Majalah tentang agama, subjeknya adalah agama tapi bentuknya adalah majalah. Bentuk fisik dalam analisis subjek sering diabaikan. Padahal bentuk fisik yang dicantumkan dalam analisis subjek menunjukkan bahwa bahan pustaka itu mempunyai tempat khusus di perpustakaan. 2) Bentuk Penyajian, yaitu bentuk yang ditekankan pada pengaturan atau organisasi isi dokumen bahan pustaka. Dalam hal ini dikenal tiga bentuk penyajian, yaitu: a) Penyajian yang menggunakan lambang-lambang, seperti bahasa (dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab dan lain-lain), gambar, dan sebagainya. b) Penyajian yang memperlihatkan tata susunan, bentuk, kumpulan, dan peragaan tertentu, misalnya abjad, kronologis, sistematik, esei, pidato, bibliografi, dan sebagainya. c) Penyajian untuk kelompok tertentu, misalnya Bahasa Inggris untuk pemula, Psikologi untuk ibu rumah tangga. Kedua dokumen bahan pustaka itu adalah mengenai bahasa Inggris dan Psikologi, bukan mengenai pemula atau ibu rumah tangga. 3) Bentuk Intelektual, yaitu aspek yang ditekankan pada suatu subjek. Misalnya buku yang berjudul “Filsafat Hukum”, di sini yang menjadi subjeknya adalah “Hukum”, sementara “Filsafat” adalah bentuk intelektual yang menjadi titik tekan dalam pembahasan subjek “Hukum” tersebut. Sehingga bentuk yang dapat disajikan adalah bentuk intelektual.
339
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dalam melakukan analisis subjek seseorang sangat dipengaruhi oleh subjektivitas dan latar belakangnya. Karena itu, hasilnya sering kali berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, meskipun bahan pustaka yang dikajinya sama. Bahkan, kadang-kadang bahan pustaka yang sama dianalisis orang yang sama dalam waktu yang berbeda dapat menghasilkan subjek yang berbeda. Untuk mengurangi subjektivitas dalam melakukan analisis subjek dan agar dapat dilakukan secara taat asas, perlu dikenali jenis-jenis subjek yang terdapat dalam bahan pustaka yang akan dianalisis. Pada pokoknya terdapat empat jenis subjek yang memiliki kaidah, yaitu: 1) Subjek Dasar Subjek dasar adalah subjek yang merupakan bidang pengetahuan secara umum tanpa ada suatu fenomena tertentu. Contoh: “Pengantar Ilmu Pendidikan”. Subjek judul tersebut dapat dirangkum dengan “Pendidikan” saja, tanpa fenomena. Contoh lain, “Dasar-Dasar Ilmu Sosial”. Subjek judulnya cukup “Sosial” saja, tidak diikuti dengan fenomena lain. 2) Subjek Sederhana Subjek sederhana adalah subjek yang membahas disiplin ilmu tertentu yang disertai dengan satu faset aja. Atau dengan kata lain, subjek dasar yang disertai dengan satu fenomena. Contoh: “Sekolah Dasar”, subjek ini dapat diurai menjadi: Disiplin ilmu = Pendidikan Fenomena
= Pendidikan Dasar
Contoh lain, buku tentang “Penyakit Menular”, dapat dirangkum menjadi: 340
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
Disiplin ilmu = Kedokteran Fenomena
= Penyakit Menular
3) Subjek Majemuk Subjek majemuk adalah jika subjek dasar disertai fokus-fokus yang berasal dari dua faset atau lebih. Atau, jika subjek dasar disertai lebih dari satu fenomena. Contoh, buku yang berjudul “Perguruan Tinggi di Indonesia”, dapat dirangkum menjadi: Disiplin ilmu
= Pendidikan
Fenomena (Faset) 1 = Perguruan Tinggi Fenomena (Faset) 2 = Indonesia 4) Subjek Kompleks Subjek kompleks adalah suatu bahan pustaka yang memiliki dua atau lebih disiplin ilmu. Contoh, buku yang berjudul “Dasar-Dasar Pendidikan Ilmu Perpustakaan”, dapat dirangkum menjadi: Disiplin ilmu 1
= Pendidikan
Disiplin ilmu 2
= Perpustakaan
Dalam melakukan analisis subjek terhadap subjek kompleks ini harus dilakukan pemilihan secara taat asas subjek-subjek yang diutamakan atau yang perlu dihimpun di perpustakaan. Yang perlu diperhatikan adalah hubungan interaksi atau hubungan fase antar subjek-subjek yang ada. Sebab dalam subjek kompleks ini terdapat empat hubungan fase-fase, yaitu: a) Fase Bias, yaitu jika suatu subjek digunakan untuk kelompok tertentu. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah subjek yang digunakan.
341
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Contoh
: “Koperasi untuk Sekolah Dasar”
Rangkuman
: EKONOMI/KOPERASI/ PENDIDIKAN/SEKOLAH DASAR
Disiplin ilmu
: Ekonomi
Fenomena 1
: Koperasi
Fenomena 2
: Sekolah Dasar
Rangkuman pilihan : EKONOMI/KOPERASI b) Fase Pengaruh, yaitu jika terdapat subjek dasar yang memengaruhi subjek dasar yang lain. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah subjek yang dipengaruhi. Contoh
: “Pengaruh Pendidikan di Desa”
Disiplin Ilmu 1 : Pendidikan Disiplin ilmu 2 : Sosiologi Fenomena
: Desa (dari faset kemasyarakatan)
Rangkuman
: SOSIOLOGI/DESA
struktur
c) Fase Alat, yaitu jika subjek dasar digunakan sebagai alat untuk menjelaskan atau membahas subjek dasar yang lain. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah subjek yang dijelaskan atau yang dibahas. Contoh
: “Penggunaan Statistik pada Perkembangan Keluarga Berencana di Indonesia”
Disiplin ilmu 1 : Statistik Disiplin ilmu 2 : Sosiologi
342
Fenomena 1
: KB (dari faset kependudukan)
Fenomena 2
: Indonesia (dari faset tempat)
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
d) Fase Perkembangan, yaitu jika dalam satu bahan pustaka terdapat dua subjek atau lebih yang berasal dari dua disiplin ilmu atau lebih. Hubungan fase dapat bersifat perbandingan baik secara jelas maupun samar. Dalam subjek kadang-kadang hubungan antarsubjek tersebut sama sekali tidak terasa, sehingga hanya berupa gabungan dua subjek atau lebih, atau gabungan dari dua disiplin ilmu atau lebih. Contoh
: “Islam dan Ilmu Pengetahuan”
Disiplin ilmu 1 : Islam Disiplin ilmu 2 : Ilmu Pengetahuan Rangkuman
: ISLAM/ILMU PENGETAHUAN
Untuk memilih subjek-subjek yang diutamakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya: 1) Subjek ditentukan pada tekanan pembahasan, atau subjek yang dibahas lebih banyak. Contoh: “Matematika dan Biologi” Kedua subjek merupakan subjek dasar dari disiplin ilmu yang berbeda. Untuk menentukan subjeknya, maka pengklasifikasi harus mengetahui subjek mana yang dominan atau yang lebih banyak dibahas. 2) Subjek ditentukan pada subjek yang erat relevansinya dengan perpustakaan tempat pengklasifikasi bekerja. Contoh: “Pendidikan dan Kesehatan” Keduanya merupakan subjek dasar. Tapi karena perpustakaan yang ditempati merupakan perpustakaan ilmu keguruan atau pendidikan, maka subjek yang dimunculkan adalah pendidikan. Sedangkan subjek kesehatan merupakan subjek alternatif.
343
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
3) Subjek ditentukan pada subjek yang dibahas pertama dalam bahan pustaka tersebut. Hal ini dilakukan jika pembahasan subjek-subjek yang ada sama berat dan tidak ada pertimbangan kepentingan perpustakaan. Contoh: “Statistik dan Pendidikan” Kedua subjek berasal dari disiplin ilmu yang berbeda. Maka, jika pembahasan subjek tersebut sama berat dan kepentingan perpustakaan terhadap subjek tersebut juga sama, pilihan ditentukan pada Statistik, karena subjek ini lebih awal dibahasnya dibanding dengan pendidikan. b. Penentuan notasi Notasi adalah symbol tertentu berupa angka atau yang lainnya yang memiliki arti sama dengan subjek bahan pustaka. Seperti 000 merupakan notasi dari semua karya umum, 100 merupakan notasi dari semua bahan pustaka yang bersubjek filsafat, 200 tentang agama, dan seterusnya. Notasi ini akan bisa diketahui manakala mengenali subjek suatu bahan pustaka sudah dilakukan, sehingga memudahkan pula bagi pustakawan/ pengelola perpustakaan dalam melakukan klasifikasi. Dalam kehidupan sehari-hari sesungguhnya pekerjaan klasifikasi telah banyak dilakukan orang. Kalau kita di pasar atau di pusat perbelanjaan lain misalnya, kita dapat memerhatikan bagaimana para pedagang memilah dan memisahkan barang yang sejenis dan memiliki harga yang sama, juga memilah dan memisahkan ukuran besar atau kecilnya, merek dan sebagainya. Perhatikan juga penjual buah yang memisahkan buah yang sejenis semisal jeruk dipisahkan dari apel, dipisahkan pula dengan salak, semangka atau buah yang lainnya. Atau juga dalam rumah tangga, seorang ibu memisahkan antara piring, gelas, sendok di dalam rak, tidak 344
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
disatukan dalam satu tempat, melainkan dikelompokkan menurut jenisnya. Ilustrasi kecil di atas bisa menjadi titik awal kita memahami klasifikasi, yang dapat kita asumsikan sebagai cara untuk mempermudah dalam kegiatan pencariannya ketika barang itu akan digunakan. Di perpustakaan berbagai jenis bahan pustaka dikumpulkan, baik melalui pembelian, hadiah ataupun tukarmenukar. Tujuannya ialah agar semua jenis bahan pustaka itu dapat didayagunakan semaksimal mungkin oleh pemakai atau pengguna. Untuk itu, kegiatan klasifikasi menjadi kebutuhan bagi perpustakaan. Klasifikasi di perpustakaan juga dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat pemakai dalam memilih dan mendapatkan buku atau bahan pustaka yang diperlukan secara cepat dan tepat. Untuk setiap buku yang dimiliki perpustakaan harus melalui proses klasifikasi sebelum dilayankan kepada masyarakat. Untuk melakukan proses klasifikasi di perpustakaan sudah ada cara-cara tertentu yang merupakan hasil kesepatakatan secara nasional maupun internasional.
Klasifikasi a. Pengertian dan fungsi klasifikasi Jika memerhatikan pengelompokan barang yang dilakukan para pedagang atau ibu rumah tangga pada ilustrasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa klasifikasi adalah pengelompokan barang-barang atau objek berdasarkan tingkat persamaannya. Dengan demikian, klasifikasi merupakan kegiatan pemisahan benda-benda atau objek lain berdasarkan tingkat perberbedaannya. Fungsi klasifikasi ini adalah untuk mempermudahkan kita dalam penelusuran terhadap bendabenda yang ingin kita peroleh secara cepat dan cepat. 345
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Adapun benda-benda yang dapat kita klasifikasikan di perpustakaan adalah bahan pustaka yang merupakan koleksi perpustakaan. Bahan-bahan pustaka memiliki beberapa ciri, misalnya pengarang, bentuk fisik, subjek ukuran besar atau kecilnya, warna kulit atau sampulnya, dan lain-lain. Setiap dokumen dapat dikelompokkan pada setiap ciri tersebut. Secara umum klasifikasi terbagi dalam dua jenis, yaitu: a. Klasifikasi artifisial (artificial classification), yaitu klasifikasi bahan pustaka berdasarkan sifat-sifat yang secara kebetulan ada pada bahan pustaka tersebut. Misalnya, bahan pustaka berdasarkan warna kulit buku: buku yang berwarna merah dikelompokkan dengan warna merah, warna kuning dengan warna kuning, dan sebagainya. Atau mungkin bahan pustaka yang dikelompokkan berdasarkan tinggi bukunya: buku yang tingginya 20 cm dikelompokkan dengan buku 20 cm, 25 cm dengan 25 cm, dan seterusnya. Pengelompokan semacam ini hanya baik untuk buku-buku tertentu saja, seperti skripsi suatu jurusan ditentukan warna, sehingga pengelompokannya dominan berdasarkan warna. Sementara untuk buku-buku umum, pengelompokan ini tidak efektif digunakan, apalagi pada saat perkembangan modern sekarang ini. b. Klasifikasi fundamental (fundamental classification), yaitu klasifikasi bahan pustaka berdasarkan isi atau subjek buku, yaitu sifat yang tetap pada bahan pustaka sekali pun kulitnya berganti-ganti atau formatnya diubah. Klasifikasi kedua inilah yang paling sesuai digunakan dalam era sekarang ini. Dengan ini dapat diperoleh keuntungan sebagai berikut. a. Buku-buku yang sama atau mirip isinya akan terletak berdekatan
346
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
b. Memudahkan dalam mengadakan perimbangan koleksi yang dimiliki c. Memudahkan dalam mengadakan penelusuran terhadap bahan pustaka menurut subjek d. Memudahkan dalam pembuatan bibliografi menurut pokok masalah. Dari kedua jenis klasifikasi di atas, dapat diketahui kegunaan klasifikasi bagi perpustakaan, yaitu: b. Untuk menyusun buku-buku dalam penyimpanannya di rak. Untuk kepentingan ini, buku diberi label yang berisi tanda buku yang salah satu unsurnya adalah notasi klasifikasi. c. Untuk menyusun katalog berdasarkan nomor klasifikasi (classified catalog). b. Alat bantu klasifikasi Dalam sistem klasifikasi ini Dewey membagi seluruh bidang ilmu pengetahuan menjadi 9 bidang pengetahuan. Masing-masing bidang diberi simbol berupa angka Arab: 1— 9. Karena dalam sistem klasifikasi DDC ini suatu notasi sekurang-kurangnya terdiri atas 3 buah angka Arab, maka dalam pembagian pertama ditambah 00 menjadi 100–900. Di samping itu, terdapat satu bidang yang bersifat umum yang diberi simbol 000, sehingga menjadi 10 bidang. Kesepuluh bidang ini merupakan pengelompokan pertama dalam sistem DDC, dan menjadi kelas utama (main classes), yaitu: 000-
Karya Umum
100-
Filsafat
200-
Agama
300-
Ilmu Sosial 347
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
400-
Bahasa
500-
Ilmu Murni
600-
Ilmu Terapan
700-
Kesenian
800-
Kesusasteraan
900-
Sejarah dan Geografi
Setiap kelas utama dibagi lagi secara desimal menjadi 10 divisi yang merupakan subordinasi dari kelas utama tersebut. Misalnya, kelas utama 300 (Ilmu Sosial) dibagi menjadi 10 divisi sebagai berikut: 300-
Ilmu-Ilmu Sosial
310-
Statistik
320-
Politik
330-
Ekonomi
340-
Hukum
350-
Administrasi Umum
360-
Masalah Sosial dan Pelayanan Sosial
370-
Pendidikan
380-
Perdagangan, Komunikasi, dan Transportasi
390-
Adat Istiadat, Cerita Rakyat
Selanjutnya, divisi dapat dibagi ke dalam seksi-seksi secara desimal. Misalnya, divisi 370 (Pendidikan) dibagi menjadi 10 seksi sebagai berikut: 370-
Pendidikan
371-
Faktor-faktor Pendidikan
372-
Pendidikan Dasar
373-
Pendidikan Menengah
374-
Pendidikan Dewasa
348
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
375-
Kurikulum
376-
Pendidikan Wanita
377-
Sekolah dan Agama
378-
Pendidikan Tinggi
379-
Pendidikan dan Negara
Setiap seksi dapat dibagi lagi menjadi 10 subseksi yang merupakan subordinasi dari seksi. Misalnya, untuk kelas 371 (Faktor-faktor Pendidikan) dibadi menjadi 10 subseksi sebagai berikut: 371
- Faktor-faktor Pendidikan
371.1 - Mengajar dan Pengajar 371.2 - Administrasi Pendidikan 371.3 - Metode Belajar dan Mengajar 371.4 - Bimbingan dan Penyuluhan 371.5 - Disiplin Sekolah 371.6 - Sarana Fisik Sekolah 371.7 - Kesehatan dan Keselamatan Sekolah 371.8 - Peserta Didik (Siswa) 371.9 - Pendidikan Khusus Perlu diingat, jika dalam sistem DDC notasinya melebihi 3 angka, penulisan notasi angkanya menggunakan tanda titik (.) setelah angka ketiga seperti 371.1, 371.2, 371.3 dan sebagainya. Masing-masing subseksi dapat dibagi lagi menjadi 10 bagian yang lebih kecil. Demikian seterusnya hingga semakin spesifik suatu subjek akan mendapat notasi yang lebih panjang sesuai hierarki atau tingkat pembagiannya. Notasi-notasi yang telah dikembangkan untuk seluruh bidang pengetahuan telah
349
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
terdaftar dalam bagan DDC dan merupakan notasi-notasi dasar yang siap digunakan (enumerated). Di samping menyediakan notasi-notasi yang siap pakai tadi, DDC juga memberi kemungkinan untuk membentuk notasi dengan menggunakan notasi dasar ditambah dengan notasi tambahan yang tersedia dalam DDC sebagai kelengkapan bagan. Sering suatu subjek dari hasil analisis subjek tidak cukup dicerminkan dengan notasi dasar yang siap pakai ini sebagaimana telah tersedia dalam bagan klasifikasi. Karenanya perlu pembentukan notasi sesuai dengan sistem klasifikasi DDC. Misalnya, jika suatu subjek mengandung aspek bentuk, apakah bentuk penyajian, bentuk fisik atau intelektual, aspek bentuk tersebut sedapat mungkin harus diwujudkan dalam notasi. Dalam sistem klasifikasi DDC, pembentukan notasi dapat dilakukan dengan fasilitas notasi-notasi tambahan sebagaimana yang tercantum dalam tabel-tabel tambahan atau sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam notasi dasar, yaitu: -
Tabel 1 Notasi Subdivisi Standar (Standar Subdivision)
-
Tabel 2 Notasi Wilayah (Area Table)
-
Tabel 3 Notasi Bentuk Sastra
-
Tabel 4 Notasi Bentuk Bahasa
-
Tabel 5 Notasi Ras, Etnis dan Kebangsaan
-
Tabel 6 Notasi Bahasa-bahasa sesuai petunjuk yang terdapat dalam bagan DDC.
Pada DDC Edisi XXII, tabel 7 (kelompok orang) ditiadakan dan penggunaannya diintegrasikan dengan tabel 1. Cara menggabungkan notasi-notasi tambahan pada notasi dasar dari bagan klasifikasi adalah sebagai berikut: 350
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
1.
Tabel 1 Notasi Subdivisi Standar Notasi bentuk ini diambil dari notasi tambahan Subdivisi Standar yang secara ringkas meliputi bentuk sebagai berikut: -01
: Filosofi
-02
: Bunga Rampai
-022 : Manual, Pedoman, Petunjuk -03
: Kamus, Ensiklopedi
-04
: Kekhususan
-05
: Majalah
-06
: Organisasi
-07
: Belajar Mengajar
-072 : Hasil Penelitian -08
: Kumpulan
-09
: Sejarah
Dalam sistem klasifikasi DDC terdapat 5 cara untuk penggunaan Subdivisi Standar ini. a. Tidak terdapat petunjuk (instruksi) Adakalanya pada suatu notasi terdapat petunjuk untuk menambahkan notasi Subdivisi Standar, tapi kebanyakan notasi tidak disertai petunjuk penggunaannya. 1) Notasi Dasar dengan angka terakhir 0 Jika suatu notasi terakhir dengan angka 0, sebelum ditambahi notasi Subdivisi Standar (SS), terlebih dahulu angka 0 pada notasi dasar dibuang kemudian ditambah notasi Subdivisi Standar yang diperlukan. Contoh:
351
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
720 - Arsiktektur -03 - Kamus (notasi S S) 72 + 03 = 720.3 - Kamus Arsitektur 2) Notasi Dasar tanpa angka akhir 0 Notasi Dasar yang tanpa angka akhir 0, cukup digabung dengan notasi Subdivisi Standar (SS) yang diperlukan. Contoh: 334 - Koperasi -05 - Majalah (notasi SS) 334 + 05 = 334.05 - Majalah Koperasi b.
Ada petunjuk penggunaan notasi Subdivisi Standar 1) Terdaftar di dalam bagan Adakalanya dalam bagan terdapat Notasi Dasar yang telah tergabung dengan Notasi Subdivisi Standar. Dalam hal ini tidak perlu lagi melakukan penggabungan notasi. Gunakan saja notasi yang telah terdaftar dalam bagan. Contoh: 101 - Teori Filsafat 109 - Sejarah Filsafat 2) Terdaftar sebagian dalam bagan Jika sebagian Notasi Dasar telah terdaftar disertai notasi Subdivisi Standar, gunakan seperti pola yang telah terdaftar apa adanya. Contoh: 551.1 - Geologi, Metereologi, Hidrologi 551.2 - Struktur dan Sifat-sifat Bumi 3) Jika terdapat petunjuk, sedangkan belum ada contoh yang terdaftar, ikuti sesuai petunjuk.
352
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
2.
Tabel 2 Notasi Wilayah (Area Table) Tabel Notasi Wilayah secara ringkas adalah sebagai berikut: -4
Eropa
-42
Inggris/ Britania Raya
-43
Jerman dan sekitarnya
-44
Perancis dan Monaco
-45
Italia
-46
Jazirah Liberia, Spanyol dan Portugal
-47
Eropa Timur dan Rusia
-48
Scandinavia
-49
Bagian Eropa lainnya
-5
Asia
-51
Cina dan wilayah sekitarnya
-52
Jepang dan wilayah sekitarnya
-53
Jazirah Arab dan wilayah sekitarnya
-54
Asia Selatan dan India
-55
Iran
-56
Timur Tengah
-57
Siberia
-58
Asia Tengah Afganistan
-59
Asia Tenggara
-591
Burma
-593
Thailand
-594
Laos
-595
Malaysia, Brunai, Singapore
-596
Kamboja
-597
Vietnam 353
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
-598
Indonesia
-599
Philipina
-6
Afrika
-61
Afrika Utara, Tunisia, Libya
-62
Mesir dan Sudan
-64
Afrika Barat
-7
Amerika Utara
-71
Canada
-72
Amerika Tengah dan Mexico
Guatemala, Honduras, El Salvador, Nikaragua, Kostarika, Kuba, Jamaika, Poerto Rico, Haiti -73
Amerika Serikat
-8
Amerika Selatan
-9
Bagian dunia yang lain
-94
Australia
-95
Papua Nugini
-96
Polinesia, Mikronesia, Hawaii
(selengkapnya, lihat pada tabel 2 DDC) Kadang-kadang suatu subjek mempunyai aspek geografis yang perlu dinyatakan dalam notasi. Seperti, “Angkatan Laut Indonesia” dalam notasi perlu dinyatakan selain Notasi Dasarnya (Angkatan Laut) juga notasi wilayah “Indonesia”. Untuk keperluan wilayah ini, DDC mempunyai tabel wilayah (tabel 2) yang mendaftar notasinotasi wilayah di seluruh dunia. Notasi wilayah (NW) seperti halnya notasi Subdivisi Standar (SS) dalam penggunaannya tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ditambahkan pada Notasi Dasar (ND) dengan cara tertentu sebagai berikut: 354
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
a. Ada petunjuk penggunaan Adakalanya suatu notasi disertai petunjuk penggunaan NW yang berbunyi “Add area notations from table 2 to base number…” tambahkan notasi wilayah dari tabel 2 pada Angka Dasar, kadang-kadang didahului “Geographical Treatment”, dan sebagainya. Seperti: 334, 335, 346 Tambahkan notasi wilayah 3-9 dari tabel 2 pada Angka Dasar. Dalam hal ini, penambahan ND dengan NW dilakukan dengan mengikuti petunjuk sepenuhnya. Seperti: Hukum Pidana di Indonesia 345+598 = 345.598 b. Tidak terdapat petunjuk penggunaan NW Jika tidak dijumpai petunjuk penggunaan NW, penambahan NW pada ND dilakukan sebagai berikut: 1. Terlebih dahulu ND ditambah dengan -09 dari SS 2. NW ditambahkan pada ND + 09 Contoh, “Angkatan Laut Indonesia” 359 - Angkatan laut -09 - Notasi SS -598 - NW Indonesia 359.095 98 - Angkatan Laut Indonesia c. Menentukan notasi geografi wilayah Notasi geografi suatu wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan NW dari tabel 2 DDC dengan cara sebagai berikut:
355
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
1. Tentukan ND 910 2. Buang angka terakhir 0 3. Tambahkan NW yang bersangkutan Contoh: Geografi Jepang 910 - Geografi -52 - NW Jepang dari tabel 2 DDC 91 + 52 = 915.2 - Geografi Jepang d. Menentukan notasi sejarah dengan NW Subjek sejarah yang dikaitkan dengan wilayah, dalam DDC mendapat notasi 930–999, sementara geografi kewilayahan memperoleh notasi 913–919. Jika dikaitkan dengan tabel 2 (NW), terdapat mekanisme yang hampir sama, yaitu ND ditambah dengan NW. Bedanya, dalam pembentukan notasi sejarah suatu wilayah digunakan ND 9(00), sedangkan pada pembentukan notasi geografi suatu wilayah, ND-nya adalah 91(0). Bandingkan notasi-notasi di bawah ini:
-52, -598, dan -42, masing-masing adalah NW untuk Jepang, Indonesia dan Inggris. Pembentukan notasi tersebut perlu dilakukan apabila dalam bagan belum terdapat notasi geografi maupun sejarah dari suatu wilayah yang bersangkutan.
356
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
3.
Tabel 3 Notasi Bentuk Sastra (NBS) Dalam notasi 800 (Sastra) dikenal notasi-notasi bentuk penyajian sastra (Subdivision of Individual Literatures), yaitu: - 1 Puisi -2 Drama -3 Fiksi -4 Esai -5 Pidato -6 Surat-menyurat -7 Satire dan Humor -8 Bunga Rampai Notasi Bentuk Sastra (NBS) dalam DDC terdapat dalam tabel 3. Penggunaannya hanya dapat ditambahkan pada ND sastra bahasa yang bersangkutan apabila dalam bagan belum terdapat notasi bentuk sastra dari bahasa yang bersangkutan. Mekanisme pembentukannya adalah: Notasi Dasar Sastra (NDS) tanpa angka terakhir 0 + NBS. Seperti: Drama Belanda
= Sastra Belanda + NBS
Drama
= 839.31 + -2
Novel Belanda
= 839.31 + -3 = 839.313
= 839.312
4.
Tabel 4 Notasi Subdivisi Bahasa (NSB) Dalam kelas 4000 (bahasa) terdapat notasi-notasi yang disertai notasi-notasi Subdivisi Bahasa (NSB). Secara detail Subdivisi Bahasa sebagaimana yang tercantum dalam tabel 4 yaitu: -1 Kode Bahasa Lisan dan Tulis -2 Etimologi 357
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
-3 Kamus -5 Tata Bahasa -6 Prosodi -7 Bahasa Tidak Baku -8 Bahasa Baku -9 Lain-lain NSB hanya dapat ditambahkan pada ND yang tertera pada bagan DDC yang belum disertai notasi bentuk bahasa. Mekanisme penambahannya adalah dengan cara menambahkan NSB pada ND tanpa angka terakhir 0. Contoh: Tata Bahasa Belanda
= ND Belanda + NSB
439.31 + -5
= 439.315
Kamus Bahasa Belanda = 439.31 + -3 = 439.313 Dengan NSB dapat dibentuk kamus Dwibahasa dan Kamus Poliglot, yang caranya sebagai berikut: a. Kamus Dwibahasa : Kamus Inggris – Perancis ND Bahasa (4) + Notasi Bahasa I + NSB + Notasi Bahasa II 4 + 2 (Inggris) + -3 + 4 (Perancis) = 423.4 b. Kamus Poligot: Kamus Inggris-Perancis-Belanda ND Bahasa 41(0) + NSB Kamus = 41 + -3
= 413
5.
Tabel 5 Notasi Ras, Bangsa dan Kelompok Etnik (NRE) Garis besar notasi ras, bangsa dan kelompok etnis adalah sebagai berikut: -1 Ras/etnik Amerika Utara -2 Anglo Saxon, Inggris 358
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
-3 Nordies -4 Latin Modern -5 Rumania -6 Spanyol, Portugis -7 Italia -8 Yunani -9 Kelompok lain (untuk lebih lengkap rinciannya dapat dilihat pada tabel 5 DDC) Adapun cara pembentukan notasinya sebagai berikut: a. Terdapat petunjuk Jika terdapat petunjuk atau instruksi pada ND, ikuti saja sesuai dengan petunjuk. Contoh: Subjek Ethnopsychology of Candians Pada ND 155.84 Ethnopsychology, terdapat petunjuk sebagai berikut: Add racial, ethnic, national groups 01 – 99 from table 5 to base number 155.84. (Tambahkan ras, etnik, kelompok kebangsaan 01 – 99 dari tabel 5 pad angka dasar 155.84). Jadi, hasilnya 155.84 + -11 (ethnic Canada) = 155.841 1 b. Tidak terdapat petunjuk Jika tidak terdapat petunjuk pada ND, notasinya dapat dibentuk sebagai berikut: ND + 089 (SS) + NRE Contoh: Untuk subjek Ceramic Arts of Bengalis 783
ND Ceramic Arts
-089
SS untuk Ras (dari tabel 1) 359
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
-914 4 Ras Bengalis (dari tabel 5) hasilnya = 738.089 914 4 Subjek Ceramic Arts of Bengalis 6.
Tabel 6 Notasi Bahasa-Bahasa (NBB) Garis besar Notasi Bahasa-bahasa individual adalah:
-1 Bahasa Indonesia -2 Bahasa Inggris -3 Bahasa Jerman -4 Bahasa Perancis -5 Bahasa Italia -6 Bahasa Spanyol -7 Bahasa Latin -8 Bahasa Yunani -9 Bahasa-bahasa lain -91 Bahasa Sanskerta -92 Bahasa Ibrani -927 Bahasa Arab -951 Bahasa Cina -952 Bahasa Jepang (untuk lebih lengkap lihat pada tabel 6 DDC) Cara pembentukan notasinya: a. Terdapat petunjuk Jika terdapat petunjuk atau instruksi pada ND, ikuti saja sesuai dengan petunjuk. Contoh: Subjek Alquran dengan Terjemah dalam bahasa Inggris
360
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
2X1.2 Notasi untuk Alquran dan Terjemah. Ada petunjuk: Tambahkan notasi bahasa dari tabel 6 DDC pada notasi 2X1.2 -2 adalah notasi bahasa untuk bahasa Inggris Jadi, subjek di atas memiliki notasi 2X2.22 b. Tidak terdapat petunjuk Jika tidak terdapat petunjuk pada ND, notasinya dapat dibentuk sebagai berikut: ND + -0175(SS) + NBB Contoh: Untuk subjek Kitab Injil dalam bahasa Jerman 220
Kitab Injil
-0175 Notasi SS aspek bahasa (dari tabel 1) -3
Notasi NBB untuk bahasa Jerman
Jadi, hasilnya = 220.175 3 Kitab Injil dalam bahasa Jerman 7.
Pembentukan Notasi dengan Petunjuk untuk Membagi Lebih Lanjut Selain dengan notasi tambahan yang tercantum dalam tabel 1 (Subdivisi Standar = SS), tabel 2 (Notasi Wilayah = NW), tabel 3 (Notasi Bentuk Sastra = NBS, tabel 4 (Notasi Bentuk Bahasa = NBB), tabel 5 (Notasi Subdivisi Bahasa = NSB), tabel 5 (Notasi Ras, Bangsa, dan Kelompok Etnis = NRE), dan tabel 6 (Notasi Bahasa-Bahasa = NBB), pembentukan notasi juga dapat dilakukan sesuai petunjuk apabila pada ND terdapat petunjuk lain untuk mengembangkan/membentuk notasi. a. Jika pada ND terdapat petunjuk untuk membagi ND tersebut seperti perincian pada ND yang lain, ikuti untuk memerinci sesuai petunjuk. 361
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
373.1 Generalities of Secondary Education Add to base number 373.1 the numbers following 373 in 373.1 - 373.8 373.112 Professional Qualifications of Teachers in Secondary Education. b. Jika pada ND terdapat petunjuk untuk menambah ND dengan ND yang lain, ikuti pembentukan notasinya sesuai petunjuk. 028.27 Acquisition of Materials, ada petunjuk sebagai berikut: Add 001-999 to base number 028.27 300 Social Sciences 028.273 Acquisition Material in Social Sciences b. Jika pada ND terdapat petunjuk untuk menambah ND dengan NW dan angka sebagian dari ND yang lain, ikuti pembentukan notasinya sesuai petunjuk. 345 Criminal Law 345.3–345.9 Special Jurisdiction and Areas, ada petunjuk sebagai berikut: Add Areas Notation 3 – 9 to base number 345, then to the result add the numbers following 345 in 345.01 – 345.087 345.06 Evidence -094 NW untuk Australia 345.940 Law of Evidence in Australia Untuk melakukan klasifikasi dengan menggunakan DDC, maka lebih lengkapnya dapat menggunakan alat bantu buku bagan klasifikasi persepuluhan Dewey.
362
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
Deskripsi Bibliografi Istilah bibliografi berasal dari kata Yunani “biblion” yang artinya buku dan “graphein” yang artinya menulis (Sulistyo Basuki: 1991, 421). Jadi, secara etimologis, bibliografi berarti penulisan buku. Pengertian yang dimaksud dalam operasional perpustakaan adalah teknik sistematik untuk membuat daftar deskriptif cantuman tertulis atau yang diterbitkan. Maka, bibliografi merupakan daftar yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Dengan demikian, bibliografi merupakan daftar bahan pustaka yang lengkap, dengan tidak memberikan komentar kritis (Sulistyo Basuki: 1991, 421). Tapi, dalam kondisi sesungguhnya tidak ada bibliografi yang lengkap sesuai dengan definisi tersebut. Ketidaklengkapan ini terjadi karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dalam arti sempit, daftar bacaan sebenarnya tidak memenuhi persyaratan definisi bibliografi namun dalam praktiknya daftar bacaan tetap dianggap sebagai bibliografi. a. Konsep Pengawasan Bibliografi Pengawasan bibliografi ialah usaha pengembangan dan pemeliharaan suatu sistem pencatatan bagi semua bentuk bahan, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan, yang berbentuk bahan tercetak, bahan audiovisual dan bentuk yang lainnya, yang menambah khazanah pengetahuan dan informasi. Pengawasan diperlukan agar informasi rekam dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kemajuan segala bidang, budaya, sains dan teknologi, ilmu sosial, humaniora maupun semua aspek kehidupan sehari-hari, sangat bergantung dari adanya sumber ilmu pengetahuan dan informasi yang dikelola dengan baik sehingga dapat dengan mudah dan cepat diakses saat diperlukan.
363
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Kesadaran bahwa pengawasan bibliografi yang menyeluruh sangat perlu, bukanlah hal yang baru. Sejak akhir abad ke-19 sudah ada upaya untuk merealisasikan gagasan pengawasan bibliografi tersebut. Paul Otlet dan Henri La Fontaine merintis adanya gerakan pengawasan ini. Mereka mengharapkan pengawasan bibliografi ini tidak terbatas pada buku saja, melainkan juga mencakup akses ke bagian dari buku, artikel dalam jurnal, laporan penelitian, brosur, paten, terbitan pemerintah, dokumen kearsipan, foto, dan surat kabat. Mereka memprakarsai suatu konferensi yang diadakan di Brussels pada tahun 1982 untuk membahas bibliografi universal ini. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah dengan didirikannya Institus International de Bibliographie (IIB) yang bertugas menyusun bibliografi universal. Untuk itu, staf IIB mengumpulkan dan menelusuri sebanyak mungkin bibliografi, katalog perpustakaan, katalog penerbit, dan toko buku, serta daftar-daftar lain, untuk mengidentifikasi terbitanterbitan di seluruh dunia. Hingga tahun 1929, hampir 60 juta entri disalin pada kartu dengan tulisan tangan lalu disusun menurut subjek. Pada awalnya, untuk penyusunan itu digunakan sistem Dewey Decimal Classification. Kemudian Universal Decimal Classification dibuat khusus untuk menyusun bibliografi universal tersebut. (Irma U Aditirto: 1). Sampai tahun empat puluhan pelaksanaan pengawasan bibliografi masih bertolak dari pendekatan sentralisasi. Unesco, misalnya, dalam program pengawasan bibliografinya merencanakan pembentukan suatu pusat bibliografi yang akan menangani koordinasi semua kegiatan perpustakaan dan badan bibliografi seluruh dunia dan menerbitkan berbagai sarana bibliografi, seperti katalog induk dan bibliografi. Namun, tidak lama kemudian fokus berubah, karena mulai 364
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
timbul kesadaran bahwa keterlibatan badan-badan atau pusatpusat nasional sangat perlu. Tahun 1958 diadakan pertemuan Symposium of National Libraries in Europe, bertempat di Wina Austria, dan menghasilkan peran perpustakaan nasional dan tanggung jawabnya dalam pengembangan pengawasan bibliografi nasional, yaitu: 1. Perpustakaan Nasional bertanggung jawab atas pengadaan dan pelestarian seluruh hasil produk tercetak di negaranya. 2. Perpustakaan Nasional harus mengoordinasikan usahausaha untuk mendapatkan bahan luar negeri yang penting bagi negaranya. 3. Perpustakaan Nasional harus menggalakkan penggunaan peraturan standar untuk penyusunan katalog. 4. Perpustakaan Nasional bertanggung jawab atas jasa dan layanan bibliografi negaranya. 5. Perpustakaan Nasional harus menyusun bibliografi nasional yang up to date. Tahun 1961 suatu konferensi internasional diadakan di Paris, yaitu International Conference on Cataloging Principle (ICCP) yang membahas prinsip-prinsip penentuan entri dan tajuk untuk katalog pengarang dan judul. Hasil konferensi ini dikenal dengan Paris Principles, yang mencakup beberapa prinsip, antara lain: -
Fungsi katalog
- Kepengarangan tunggal
-
Struktur katalog
- Kepengarangan ganda
-
Jenis-jenis entri
- Kata utama
-
Fungsi dari jenis entri
- Entri pada badan korporasi
-
Pemilihan tajuk
365
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Sebagai pedoman pengatalogan internasional perpustakaan tahun 1967, disusunlah buku Anglo American Cataloging Rules (AACR) yang merupakan follow up dari Paris Principles setelah banyak melalui proses. Dan, edisi keduanya dicetak tahun 1978, lalu beberapa tahun kemudian muncul edisi revisinya yaitu tahun 1988, 1998, dan terakhir tahun 2002. b.
Garis Besar Susunan Deskripsi Deskripsi bibliogafi disusun atas 8 (delapan) daerah pokok. Yaitu: 1. Daerah judul dan pengarang -
Judul sebenarnya/asli
-
Judul sejajar, judul lain, atau anak judul
-
Pernyataan pengarang
2. Daerah edisi -
Pernyataan edisi
-
Pernyataan pengarang sehubungan dengan edisi
3. Daerah data khusus 4. Daerah impresum/imprint -
Tempat terbit
-
Nama penerbit
-
Tahun terbit
5. Daerah kolasi -
Jumlah halaman
-
Pernyataan ilustrasi
-
Ukuran buku
6. Daerah seri monograf -
Pernyataan seri
-
Pernyataan anak seri
366
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
-
Pernyataan nomor seri
-
Seri disertasi
-
Standar internasional nomor terbitan berseri
7. Daerah catatan/anotasi 8. Daerah ISBN -
Standar internasional nomor buku
Delapan daerah di atas adalah uraian atau deskripsi dari suatu bahan pustaka monograf yang diperinci dalam suatu katalog. Dengan asumsi, deskripsi ini merupakan suatu informasi yang setiap saat bisa digunakan oleh pengguna untuk mencari atau mengetahui informasi suatu bahan pustaka, khususnya monograf. Contoh: Pada suatu ketika, perpustakaan menerima buku yang ditulis oleh Wiji Suwarno yang berjudul “Perpustakaan dan Buku”. Buku itu dicetak pertama kali dan terbit tahun 2009 di Jakarta oleh penerbit Sagung Seto. Ketebalannya kurang lebih 170 halaman, dengan panjang (tinggi) 21 cm. nampaknya buku itu sudah terdaftar di Perpustakaan Nasional RI karena sudah ada nomor standarnya 978-9793-288-643. Subjek buku itu adalah kecerdasan dan bakat. Buku ini perlu tentunya perlu diolah sedemikian rupa, sehingga ketika nanti pemustaka ingin menggunakan, dia akan mudah mencarinya diantara ribuan buku yang dimiliki perpustakaan. Bagaimana menentukan deskripsi bibliografinya? Jawab: Perhatikan tetap pada 8 (delapan) daerah bibliografi. Kemudian masing-masing daerah bibliografi tersebut diisi dengan informasi yang ada pada buku. Jika tidak ada
367
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
informasinya, maka daerah tersebut tidak perlu diisi, tetapi susunan urutan daerah lainnya tidak boleh diacak. 1. Judul dan penanggung jawab : Perpustakaan dan Buku / Wiji Suwarno 2. Daerah Edisi
: cet.1
3. Data Khusus
: -
4. Impresum
: Jakarta: Sagung Seto, 2009
5. Kolasi
: 170 hlm.; Ilus.; 21 cm.
6. Seri
: -
7. Catatan/ Anotasi
: -
8. Nomor Standar (ISBN)
: 978-9793-288-643
Dari delapan daerah deskripsi bibliografi yang sudah terinci tersebut kemudian dapat dituliskan dalam bentuk deskripsi sebagai berikut:
Pengatalogan Setelah memahami proses klasifikasi, penentuan tajuk subjek dan deskripsi bibliografi, langkah selanjutnya untuk melengkapi sistem pengolahan adalah dengan membuat katalog, yaitu kartu yang berisi keterangan-keterangan mengenai sebuah buku yang dilayankan. Ukuran katalog adalah 7.5 cm x 12.5 cm dengan tata pengetikan tertentu sesuai dengan sistem atau aturan yang berlaku. Kartu katalog menurut jenisnya ada lima macam, yaitu: kartu katalog pengarang, judul, subyek, shelflist, dan kartu katalog subyek klasifikasi. Untuk setiap buku setidaknya 368
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
memiliki empat jenis, yaitu katalog pengarang, judul, subjek, dan shelflist (Sumardji: 1978, 41). Katalog bisa dituangkan di mana saja sesuai selera pengelola bahan pustaka. Hanya saja, perlu dipertimbangkan kebutuhan pemakai dan jumlah koleksi yang dimiliki. Misalnya, kalau koleksi dalam jumlah kecil (baca: perpustakaan pribadi), katalog cukup ditulis pada buku atau kertas yang difungsikan untuk temu baliknya, tetapi jika dibuat katalog sebenarnya itu lebih baik. Untuk perpustakaan, idealnya katalog diketik dalam kertas khusus katalog. Tata pengetikan kartu katalog tersebut diatur sebagai berikut: a) Call Number atau nomor panggil Call Number diketik di sudut kiri atas, dengan mengetik nomor kelas yang kira-kira berjarak 1/2 cm dari tepi kiri dan 1/2 cm dari atas. Kemudan di bawahnya diketikkan 3 (tiga) huruf kependekan nama pengarang, dan kemudian diketikkan pula 1 (satu) huruf kecil yang diambil dari huruf paling depan judul yang dicantumkan. Seperti:
b) Nama Pengarang Nama pengarang diketik mulai dari indensi pertama sejajar dengan 3 huruf kependekannya pada call number. Pengetikan nama pengarang diutamakan lebih dahulu nama keluarganya, kemudian nama kecilnya (nama depan), dan ditulis dengan huruf kapital untuk kata pertama nama yang dicantumkan. Seperti:
369
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Nama sebenarnya= Syarifudin Amir Nama di katalog = AMIR, Syarifudin c) Judul Judul diketik pada indensi kedua baris berikutnya di bawah huruf ke-4 cantuman nama pengarang. Jika ada judul tambahan atau anak judul, diberi tanda titik dua (:) setelah judul utama dicantumkan. Kemudian diketik pula nama pengarang tanpa dibalik dengan dibatasi tanda garis miring (/) kemudian diteruskan dengan mengetik keterangan edisi yang dibatasi dengan tanda titik dan strip panjang atau dua strip (.—). Contoh: -
Jalan Menuju Surga/Jalaludin Saktinaga.—Edisi ke-2.—
-
Hukum Perkawinan: Aspek dan proses penetapan/ Romly Kartika.—Edisi ke-1.—
d) Impresum atau Imprint Impresum atau Imprint diketik setelah pengetikan judul, pengarang dan keterangan edisi (bila ada) yang dibatasi dengan tanda “.—” sebelum imprint ini dicantumkan. Contoh: - Hukum Perkawinan: Aspek dan proses penetapan/ Romly Kartika.—Edisi ke-1.—Jakarta: Gramedia, 2006. e) Kolasi Kolasi diketik mulai indensi kedua baris berikutnya (di bawah huruf ke-4). Jika tidak cukup diketik pada 1 baris, lanjutannya diketik pada baris berikutnya mulai indensi pertama. Contoh: ix, 241 hlm.: Ilus.; 21 cm.
370
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
f) Anotasi atau catatan Anotasi diketik di bawah kolasi dan diberi jarak satu spasi. Anotasi ini tidak selalu digunakan di setiap katalog, karena hanya sebagai catatan khusus bagi buku yang memiliki ciri khusus dan perlu diberikan catatan. Contoh: - Catatan: Buku ini berdasarkan KBK g) Tracing atau Jejakan Tracing adalah keterangan lebih lanjut mengenai buku yang bersangkutan. Diketik lurus dengan indensi pertama pada deskripsi bibliografi di atasnya. Ditulis dengan angka untuk menuliskan subjek atau kata kunci temu baliknya, dan angka romawi untuk keterangan judul, dan pengarang setelah pengarang utama. Contoh: 1. Ekonomi
2. Akuntansi
I. Judul
II. Aris, Yudi III. Rambe, Arifin Jadi, pengetikan katalog bisa dilakukan jika konsep kerangka penulisannya telah dibuat atau diketahui. Berikut bagan kerangka penulisan dalam katalog:
Contoh (lihat kembali pada contoh pada saat pembahasan deskripsi bibliografi) 371
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dari contoh tersebut sudah diperoleh deskripsi bibliografi. Sehingga untuk katalog, tinggal menentukan tajuk subjeknya dan notasi untuk nomor panggil. Diketahui bahwa daerah deskripsi bibliografi adalah sebagai berikut 1. Judul dan penanggung jawab : Perpustakaan dan Buku/ Wiji Suwarno 2. Daerah Edisi
: cet.1
3. Data Khusus
: -
4. Impresum
: Jakarta: Sagung Seto, 2009
5. Kolasi
: 170 hlm.; Ilus.; 21 cm.
6. Seri
: -
7. Catatan/ Anotasi
: -
8. Nomor Standar (ISBN)
: 978-9793-288-643
Dari delapan daerah deskripsi bibliografi yang sudah terinci tersebut kemudian dapat dituliskan dalam bentuk deskripsi sebagai berikut:
Untuk menentukan subjeknya menggunakan analisis subjek bahwa Disiplin ilmu : Filsafat Fenomena
: Perpustakaan dan buku
Faset
:-
Fokus
:-
Bentuk
: Buku
372
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
Atau bisa juga menggunakan model pendekatan PMEST (P) Personality : Perpustakaan (M) Matter
: Perpustakaan dan buku
(E) Energy
: -
(S) Space
: -
(T) Time
: -
Sehingga susunannya adalah sebagaimana rumus DISIPLIN/ PMEST/ BENTUK Adalah sebagai berikut FILSAFAT/ PERPUSTAKAAN, PERPUSTAKAAN DAN BUKU/ BUKU Jadi intinya, buku yang berjudul “Perpustakaan Dan Buku” ini termasuk pada : Kategori kelas utama : FILSAFAT Subjeknya adalah PERPUSTAKAAN. Bentuk penyajiannya adalah berupa BUKU. Adapun notasinya dapat merujuk ke bagan klasifikasi DDC di kelas utama filsafat (100) yang membahas tentang perpsutakaan (120). Maka ditemukan notasi dari buku tersebut adalah 120. Sehingga nomor panggil untuk buku itu adalah disusun sebagai berikut: Nomor panggil : 120 3 huruf awal nama akhir pengarang (kalau dibalik): SUW 1 hurup pertama judul buku : p Penulisannya pada katalog adalah sebagai berikut
373
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Maka antara deskripsi bibliografi, notasi dan nomor panggil, serta subjeknya dapat dicantumkan dalam katalog sebagai berikut:
Pelabelan dan Atributnya a. Pelabelan Pelabelan adalah pemasangan label pada punggung buku yang berisi call number sesuai dengan yang tertulis dalam katalog. Pelabelan ini sebaiknya diketik pada kertas label putih, atau pada kertas HVS biasa yang digunting satu ukuran (seragam), sesuai dengan kebutuhan perpustakaan. Pemasangan dilakukan setelah call number sudah dicantumkan, dan tinggi label pada buku harus sama (misalnya 3 cm dari bawah), agar jika buku dijajarkan akan tampak rapi. 374
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku
Pelabelan adalah berdasarkan nomor panggil yang sudah ditentukan, maka jika melihat contoh yang dikemukakan sebelumnya, label untuk buku “Perpustakaan dan Buku” adalah”
b. Blanko kartu buku Blanko kartu buku ini berukuran tertentu yang berisi isian ataupun kolom untuk diisi dengan keterangan-keterangan yang berfungsi sebagai kartu kendali atau arsip peminjaman. Blanko itu memuat keterangan-ketarangan seperti: -
Call number
- Nama peminjam
-
Nama pengarang
- Tanggal peminjaman
-
Judul buku
- Tanggal kembali
-
Nomor induk buku
- Paraf
375
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
c.
Pemasangan kantong kartu buku Kantong kartu buku dibuat dari kertas yang agak lebih tebal dan dibuat dengan perkiraan bisa untuk tempat kartu buku. Kantong ini berfungsi sebagai tempat kartu buku yang ditempel di bagian belakang (sampul) dalam buku. Kantong ini ada baiknya jika ditandai pula dengan keterangan seperti call number, nama pengarang, dan judul buku yang berfungsi sebagai kontrol untuk kartu buku yang tidak sesuai. Sebagai catatan khusus, bagi perpustakaan yang telah menggunakan sistem komputerisasi atau automasi, kartu katalog berikut kelengkapan buku seperti kartu buku, kantong kartu ada baiknya tetap digunakan. Paling tidak, sebagai alternatif kendali jika suatu ketika listrik padam atau program automasi mengalami gangguan.
376
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999. Amirudin, Teuku, Reorientasi Manajemen Pendidikan Islam di Era Indonesia Baru, UII Press, Yogyakarta, 2000. Anas, Azwar (ed.), Kompetensi Perguruan Tinggi Islam Swasta dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993. Atmodiriwo, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, Ardadizya Jaya, Jakarta, 2000. Azizy, A.Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998. Dubrin, A, Leadership: Research Findings, Practices and Skills,Third, 2001. Arsyad, Azhar, Pokok-pokok Manajemen, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Badrudin dkk., Administrasi Pendidikan, Insan Mandiri, Bandung, 2004. Barmawi & Arifin, Manajemen Sarana dan Prasarana Sekolah, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2004. Chirzin, Habib, Dari Nilai Salaf Hingga Etik Baru, P3M, Jakarta, tt. 377
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Dhofier, Zamakhsyari (ed.), Kebijakan Departemen Agama dari Masa ke Masa dalam Kurun Setengah Abad, Balitbang Depag RI, RaharjoJakarta, 1996. Engkoswara & Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2011. Evans, David, Supervisory Management, : Holf,Rinchart and Wiston, London, 1981. Fadjar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1999. Fatah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2000. Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995. Furchan, Arif, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2004. Gary Zukav, The Seat of The Soul, An Inspiring Vision of Humanity’s Spiritual Destiniy, Rider and Co., London, 1991 . George R. Terry, Prinsip-prinsip Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta, 2003. Hardjosoedarmo, Soewarso, Total Quality Management, Andi, Yogyakarta, 1999. Hartani, A, Manajemen Pendidikan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011. Hasan, Ani M.”Pengembangan Profesional Guru Di abad Pertengahan”. Pendidikan Network 24 Maret 2006. Hasibuan, Malayu SP., Manajemen (Dasar, Pengertian dan Masalah), CV. Haji Masagung, Jakarta, 1993. _________________, Manajemen Sumber Daya Manusia, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1994. Hasyim, Dahlan, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1999. 378
Daftar Pustaka
Henry L. Sisk, Principle of Management, South Western Publishing Company, Ohio, 1969. Hikmat, Manajemen Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2009. Houston, Robert, Competency Based Education, Science Research Associates, US RaharjoA, 1972. Ismail SM (ed.), Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. Kadarmansi dan Jusuf Udaya, Pengantar Ilmu Manajemen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. Komarudin, Ensiklopedia manajemen Pendidikan, Alumni, Bandung, 1972. Luthans, Fred, Organizational Behavior, MC.Graw-Hill, America, 1992. Mahfudz, M.A. Sahal, Madrasah dari Masa ke Masa, dalam Nuansa Fiqh Sosial, LKiS, Yogyakarta, 1994. Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999. Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001 . ______, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2004. ______, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. ______, Pendidikan dan Globalisasi, Pilar Humania, Yogyakarta, 2005. ______, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Depag Pusat, Jakarta, 2005 . ______, “Materi Seminar/Lokakarya Pengembangan Silabus Pengawas SMP se Jateng”, di Hotel Dibya Puri Semarang, Selasa 19 September 2006 . 379
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
Mansur dkk., Implementasi KBK Pada Madrasah Tsanawiyah di Jawa Tengah, Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah, 2006. Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2003. Mas’ud, Abdurrahman, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Aneka Ilmu, Semarang 2004. Mufarrok, Anissatul, Strategi Belajar Mengajar, Teras, Yogyakarta, 2009. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakter dan Implementasi, Rosdakarya, Bandung, 2004. Mulyono.2010. ManajemenAdministrasidanOrganisasiPendidikan. Solo: AR-RUZZ. Munandar, Utami, Creativity and Education, UI, Jakarta, 1977. Muslih Usa, (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991. Muttowi, Ibrahim Isnad, Al Ushul al Idariyah li at Tarbiyah, Daral Suruqi, Riyadh, 1996. Nawawi, Hadari, ManajemenStategik, UGM Press, Yogyakarta, 2005. Nawawi, Hadari, Administrasi Pendidikan, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1996 . Nurcholis, Manajemen BerbasisSekolah, Jakarta, Gramedia Widia Sarana, 2003. Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, BinaAksara, Jakarta, 1988. ____________,ManajemenPendidikan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. 380
Daftar Pustaka
Price, Kingsley, Education and Philoshopical Thought, Allyn and Bacon, USA, 1965. Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung,1998. Raharjo, Dawam, Kyai dalam Perubahan Social, P3M, Jakarta, tt. Sagala, Syaiful, AdministrasiPendidikanKontemporer, Alfabeta, Bandung, 2010. Salis, Edward, Total Quality Management in Education, Kogan Page, London, 1993. Sashkin,Marshall and Kisser Kenneth,Putting Total Quality Management to Work, Berret- Kohler Publisher, San Francisco, 1993. Siagian, Sondang P, FilsafatAdministrasi, CV. Hajimasagung, Jakarta, 1990. Soetopo, Hendiat dkk., Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1982. Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern LP3ES, Jakarta, 1974. Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Sekolah, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1995. Sukiswa, Iwa, Dasar Dasar Umum Manajemen Pendidikan, Tarsito, Bandung, 1986. Sutisna, Oteng, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Praktik Profesional, Penerbit Angkasa, Bandung, 1999. Suryosubroto, ManajemenPendidikan di Sekolah, RinekaCipta, Jakarta, 2004. Sulistyo, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Gramedia Jakarta, 1991. Suwarno, Wiji, Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan, Arruz Media, Yogyakarta, 2006. 381
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
————————- Pengetahuan Dasar Kepustakaan: Sisi Penting Perpustakaan dan Pustakawan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009. ————————Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan, Arruz Media, Yogyakarta, 2010. Syafarudin, ManajemenMutuTerpaduDalamPendidikan: Konsep Strategis dan Aplikasi, PT.GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta, 2002. Thoha, Miftah, Kepemimpinan Dalam Manajemen: Suatu Pendekatan Perilaku, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 1995. Tholkhah, Imam, Sejarah Perkembangan Madrasah, Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah, Jakarta, 1998. Tilaar, HAR, Manajemen Pendidikan Nasional, Rosdakarya, Bandung, 2004. __________, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, 1998. Usman, Husaini, Manajemen: Teori, PraktikdanRiset Pendidikan, BumiAksara, Jakarta, 2008. ____________,Manajemen: Teori, Praktek dan Riset Pendidikan, Bumi Aksara Jakarta, 2010. Ya’qub, Hamzah, Etos Kerja Islami; Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syariat Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Bandung, 2003. al-Yasu’I, Abu Luwis, al-Munjid fî al-Lughah al Munjid fî al-Alam, Dâr al-Masyriq, Beirut, t.t) Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara, Jakarta, 1979.
382
TENTANG PENULIS
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd, lahir di Brebes, dari pasangan H.Kalyubi Hadisusanto dan Hj.Siti Roiyah Irfan. Pendidikan formal diawali di SD Negeri 1 Brebes, SMP Negeri 1 Brebes, SMF (Sekolah Menengah Farmasi) Yogyakarta dan SMA P Yogyakarta. Kemudian melanjutkan ke IKIP Negeri Yogyakarta (S1) dan Universitas Negeri Yogyakarta (S2). Pendidikan Non Formal diawali dengan ikut ngaji pada Ustadz Ahsan Ali dan Ustadz Amu’i, di Kota Baru Brebes. Kemudian mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyah di Gandasuli dilanjutkan di Lembaga Pendidikan Ihsaniyah di Kleben Brebes. Pengalaman pekerjaan dimulai dari guru SPG Pusponegoro Brebes, kemudian mengajar di SMA Pusponegoro Brebes. Dilanjutkan menjadi dosen luar biasa di IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon dan mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) “Islamic Centre” Cirebon. Setelah diangkat menjadi CPNS di IAIN “SGD” Cirebon ditempatkan sebagai staf perpustakaan sambil mengajar dengan status tenaga pengajar. Setahun kemudian (1989) menjadi dosen 383
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd
tetap di IAIN SGD Cirebon (sekarang IAIN Syekh Nurjati Cirebon). Tahun 1998 mutasi ke STAIN Salatiga (sekarang IAIN Salatiga) sampai sekarang. Organisasi yang digeluti saat ini antara lain Pengurus Wanita Islam PD.Kab.Temanggung, Pembina Forum Mahasiswa Asal Temanggung di Salatiga (FORMATAS), Divisi penelitian dan pendidikan PSGK IAIN Salatiga dan sebagainya. Karya buku yang disusun, antara lain Administrasi Pendidikan, Evaluasi Pendidikan, Evaluasi Pembelajaran untuk TK, Evaluasi pengajaran untuk PGMI/SD. Manajemen Lembaga Pendidikan. Kemudian buku Menelisik Jender Dalam Konstruksi Sosial (Tim) dan Madrasah dan Lingkungan Hidup (Tim). Disamping itu beberapa tulisan yang dimuat pada jurnal At Tarbiyah dan Mudarisa.
384