PENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK DALAM BERWUDHU PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB BINA BHAKTI MANDIRI (Penelitian Tindakan Kelas di SLB Bina Bhakti Mandiri SMALB Kelas X C1)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Lomba Kreativitas Guru (LKG) Tingkat Provinsi Tahun 2014
Oleh : ISARIS ARWIANTI, S.Pd.,M.M.Pd. NIP : 196902122008012010
SLB BINA BHAKTI MANDIRI GUGUS XLVI Jl. Raya Sumedang Darmaraja KM 18 Dusun Dustan Rt 03 Rw 04 Desa Situmekar Kec. Cisitu Kab. Sumedang Provinsi Jawa Barat 45371 2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala atas perkenan-Nya lah kami dapat menyelesaikan Laporan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan judul Penggunaan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Anak dalam Berwudhu Pada Anak Tunagrahita Sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri (PTK di SMALB Kelas X C1 SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu). Tidak lupa pula shalawat dan salam kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta semoga kita semua termasuk umatnya yang selalu tunduk dan taat hingga hari kiamat. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Laporan ini.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan Makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik, saran sangat kami harapkan. Akhir kata mudah-mudahan Laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi rekan-rekan guru Pendidikan Luar Biasa.
Sumedang, 30 Mei 2014 Penyusun
2
ABSTRAK
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning) adalah salah satu inovasi pendekatan dalam pembelajaran. Apakah pendekatan kontekstual dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita sedang dalam pembelajaran PAI? Dalam penelitian yang berjudul “Penggunaan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Berwudhu Pada Anak Tunagrahita Sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri” (Penelitian Tindakan Kelas di SMALB Kelas X C1 SLB Bina Bhakti Mandiri) akan ditemukan jawaban pertanyaan tersebut. Proses pembelajaran PAI yang hanya menggunakan model pembelajaran yang hanya menggunakan metode peniruan, kurang meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar anak tunagrahita sedang. Untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita tersebut, diperlukan langkah-langkah model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data bagaimana model pembelajaran PAI dengan pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita sedang, dan bagaimana proses pembelarannya, serta bagaimana pula hasil pembelajarannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas (classroom action research). Teknik pengumpulan datanya menggunakan studi literatur dan studi lapangan melalui observasi, wawancara, tes hasil pembelajaran, dan studi dokumentasi. Lokasi penelitian di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu yang beralamatkan di Jalan Raya Sumedang-Darmaraja KM 18 Dusun Dustan Rt03 Rw 04 Desa Situmekar Kec. Cisitu Kab. Sumedang. Pelaksanaan penelitian model pembelajaran PAI bagi anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual, dilakukan melalui uji coba pelaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dipersiapkan oleh peneliti dan guru PAI. Hasil dari uji coba itu diperoleh data-data yang menunjukan ada peningkatan aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu dalam pembelajaran PAI. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan pembahasan yang dipaparkan pada bab IV. Kesimpulannya bahwa model pembelajaran PAI pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri, dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tersebut yang cukup berarti.
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................... iii ABSTRAK ..................................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. v BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2 C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3 D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 4 A. Kerangka Konseptual .................................................................. 4 B. Hasil Penelitian/Jurnal yang Relevan ......................................... 21 C. Hipotesis Tindakan ..................................................................... 21 BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN ................................................ 22 A. Pendekatan Penelitian ............................................................... 22 B. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 23 C. Prosedur Siklus Tindakan ......................................................... 23 D. Analisis Data ............................................................................. 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 28 A. Hasil .......................................................................................... 28 B. Pembahasan ............................................................................... 30 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 38 A. Kesimpulan ................................................................................. 38 B. Saran ........................................................................................... 40
4
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41 RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
5
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan yang berkualitas akan membuat warga Negara Indonesia cerdas, memiliki keterampilan hidup (life skills), mampu mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungan, mendorong tegaknya masyarakat madani yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut menjadi salah satu tujuan Negara sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk itu setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang berkualitas sekurangkurangnya sampai tingkat pendidikan dasar, melalui sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Perkembangan pandangan masyarakat akan kebutuhan pendidikan makin banyaknya peserta didik mengakibatkan kesulitan anak tunagarahita dalam mengikuti pembelajaran butuh program khusus. Pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara juga untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Tujuan pendidikan ini ditujukan kepada semua manusia, tidak memandang Anak tersebut berkebutuhan khusus atau Anak pada umumnya. Dalam kurikulum pendidikan Anak Tunagarhita, tujuan Pendidikan untuk Anak Tunagrahita dirumuskan berdasarkan berat dan ringannya ketunagrahitaan untuk tunagrahita ringan menjadi warga Negara yang baik, dapat melakukan kegiatan bina diri, dapat bekerja, dan bergaul, sedangkan untuk Anak Tunagrahita Sedang dapat bergaul dengan tetangga, temannya, dapat melakukan kegiatan bina diri, bekerja dengan pengawasan. Landasan pendidikan untuk anak tunagarhita sebagai alasan pendidikan tunagarahita dibangun berdasarkan anak tunagarahita yaitu dapat
6
mendidik dan dapat didik, perlu adanya landasan agama dan prikemanusiaan, landasan hak anak, landasan sosial ekonomi. Penyandang Tunagarahita (cacat ganda) adalah seorang yang mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu, adakalanya cacat mental dibarengi dengan cacat fisik sehingga disebut cacat ganda misalnya, cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat mata), selain cacat intelegensi inilah yang menciptakan istilah lain untuk anak Tunagrahita yakni cacat ganda. Menurut katakteristiknya, pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan atas taraf intellegensinya, yang terdiri dari tunagrahita ringan, sedang dan berat. Seiring dengan keterbatasan Anak Tunagarhita maka penaganan pada setiap pengelompokan Anak Tunagrahita memiliki cara tersendiri, mulai dari segi akademik, pribadi dan sosial mereka. Semuanya disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental mereka (American Anak tunagrahita sedang merupakan bagian dari anggota masyarakat, dalam kehidupan sehari-hari selalu dituntut untuk dapat berperilaku sesuai norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Untuk memenuhi harapan tersebut, sekolah mempunyai tugas yang tidak ringan. Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagaimana sekolah pada umumnya tidak mendidik anak dalam mencapai kecakapan akademisnya saja, tetapi juga membimbing dan mengarahkan aspek sosial anak, serta keterampilan yang sesuai dengan kemampuannya. Salah satu upaya untuk menangani masalah-masalah Anak Tunagrahita tersebut menjadi penting bagi guru-guru Sekolah Luar Biasa dalam menyusun strategi pembelajaran yang tepat. Untuk merealisasikan hal itu, penulis mencoba menulis makalah dengan judul : “PENGGUNAAN
PENDEKATAN
KONTEKSTUAL
UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK DALAM BERWUDHU PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB BINA BHAKTI MANDIRI (PTK di SMALB Kelas X C1 SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu)”
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana cara mengajarkan membasuh telapak tangan saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 2. Bagaimana cara mengajarkan membersihkan mulut (berkumur-kumur) saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 3. Bagaimana cara mengajarkan membasuh lubang hidung saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 4. Bagaimana cara mengajarkan membasuh muka saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 5. Bagaimana cara mengajarkan membasuh kedua tangan saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 6. Bagaimana cara mengajarkan membasuh mengusap sebagian rambut saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual? 7. Bagaimana cara mengajarkan membasuh kedua telinga saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 8. Bagaimana cara mengajarkan membasuh kedua kaki saat berwudhu pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ? 9. Bagaimana cara mengajarkan berwudhu secara baik dan benar pada anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual ?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini yaitu : 1. Anak dapat melakukan membasuh telapak tangan 2. Anak dapat melakukan membersihkan mulut (berkumur-kumur) 3. Anak dapat melakukan membasuh lubang hidung 4. Anak dapat melakukan membasuh muka 5. Anak dapat melakukan membasuh kedua tangan 6. Anak dapat melakukan membasuh sebagian rambut
8
7. Anak dapat melakukan membasuh kedua telinga 8. Anak dapat melakukan membasuh kedua kaki 9. Anak dapat berwudhu dengan baik dan benar
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat bagi Anak a. Siswa dapat meningkatkan pemahaman tentang urutan tata cara berwudhu melalui pendekatan kontekstual dengan tari kreasi. b. Siswa dapat mengikuti pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, edukatif dan menyenangkan (PAIKEM). 2. Manfaat bagi Guru a. Melalui PTK ini guru dapat menjawab permasalahan yang dihadapi mengenai pendekatan kontekstual melalui tarian kreasi dalam meningkatkan kemampuan berwudhu pada Anak Tunagrahita Sedang. b. Mendorong guru untuk menciptakan proses belajar mengajar yang bisa menimbulkan keterkaitan pelajaran yang satu dengan yang lainnya. (Pendidikan Agama Islam dengan SBK). c. Meningkatkan
kemampuan
guru
dalam
menggunakan
dan
memanfaatkan segala sumber daya kreatifitas anak yang ada dilingkungan siswa, dalam proses pembelajaran sehingga keterampilan proses siswa dapat dimaksimalkan. d. Guru memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengalaman. e. Guru
mampu
mendeteksi
permasalahan
yang
ada
di
proses
pembelajaran sekaligus mencari alternatif mencari permasalahan yang tepat. f. Guru mampu memperbaiki proses pembelajaran didalam kelas dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa. 3. Manfaat bagi Sekolah a. Sekolah mampu mengevaluasi media pembelajaran yang tepat untuk peningkatan pemahaman belajar siswa.
9
b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai alternatif dalam menentukan strategi
dalam
memberikan
pembelajaran
melalui
pendekatan
kontekstual. c. Hasil
penelitian
dapat
dijadikan
acuan
meningkatkan
mutu
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan memanfaatkan media yang ada di sekolah.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual 1. Anak Tunagrahita a. Pengertian Tunagrahita termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus (ABK). Pendidikan secara khusus untuk penyandang tunagrahita lebih dikenal dengan sebutan sekolah luar biasa (SLB). Pengertian tunagahita pun bermacam-macam. Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lain untuk tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas. Pengertian lain mengenai tunagrahita ialah cacat ganda. Seseorang yang mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu. Istilah cacat ganda yang digunakan karena adanya cacat mental yang dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat mata). Ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran. Namun, tidak semua anak tunagrahita memiliki cacat fisik. Contohnya pada tunagrahita ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih banyak pada kemampuan
daya tangkap yang kurang. Secara global pengertian
tunagrahita ialah anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbelakangan dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang membutuhkan perlakuan khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan yang maksimal. Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) yang secara resmi digunakan AAMD (American Association on Mental Deficiency) sebagai berikut.
11
“Mental retardaction refers to significantly subaverage general Intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and manifested during the developmental period”. Artinya, ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya. Sejalan dengan definisi tersebut, AFMR (1987) menggariskan bahwa seseorang yang dikategorikan tunagrahita harus melebihi komponen keadaan kecerdasannya yang jelas-jelas di bawah rata-rata, adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku di masyarakat. b. Karakteristik Anak Tungrahita Menurut katakteristiknya, pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan atas taraf intellegensinya, yang terdiri dari tunagrahita ringan, sedang dan berat. Pengelompokan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Tunagrahita Ringan Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut binet, sedangkan menurut skala weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. dengan bimbingan dan pendidikan yang baik anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak tunagrahita ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja dipabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya dengan semaunya, tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat kesalahan.
12
Pada umumnya anak tunagrahita pada umumnya tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tuna grahita ringan dengan anak normal. 2) Tunagrahita Sedang Anak tunagrahita sedang disebut juga imbisil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala binet sedangkan menurut skala wsechler (WISC) memiliki IQ 54-40. Anak tuna grahita sedang bisa mencapai perkembangan MAsampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dapat dididik mengurus diri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara seperti belajar menulis, membaca dan berhitung, walaupun mereka masih dapat menulis secara social misalnya menulis namanya sendiri, alamatnya dan lain-lain, dapat dididik mengurus diri seperti mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan seperti menyapu,membersihkan perabot rumah tangga dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan pengawasan yang terus menerus. 3) Tunagrahita Berat Kelompok anak tuna grahita ringan disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menuru skala binet dan antara 39-25 menurut skala wsechler (WISC). Tunagrahita sangat berat (provound) memiliki IQ dibawah 19 menurut skala binet dan IQ dibawah 24 menurut skala wsechler (WISC). Kemampuan mental maksimal dapat dicapai kurang dari 3 tahun. Tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan dll. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Karakteristik belajar dalam pembicaraan ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam belajar anak tunagrahita yang harus disesuaikan
13
dengan keadaannya. Berhubung keadaan anak tunagrahita sedemikian rupa, maka tentu saja dalam pembelajarannya harus memperhatikan ciriciri yang berkaitan dengan situasi belajarnya. c. Kebutuhan Pendidikan Bagi Tunagrahita Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu: 1) Kelas Transisi Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak. 2) Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1) Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1. 3) Pendidikan terpadu Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
14
4) Program sekolah di rumah Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat. 5) Pendidikan inklusif Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersebut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan. 2. Pendidikan Agama Islam a. Pengertian Semua manusia tanpa terkecuali, memerlukan pendidikan. Dalam hal ini tentunya pendidikan agama Islam sebagai dasar agar dapat berkomunikasi dengan Pencipta. Menurut Heri Jauhari Mukhtar dalam bukunya Fiqih Pendidikan, “Pendidikan agama adalah cara satu-satunya yang baik dan efisien untuk menanamkan akhlak yang mulia dan mengajarkan budi pekerti yang halus pada seseorang”. Karena agama dengan pengaruhnya yang kuat terhadap jiwa seseorang dapat membentuk mental yang luhur dan membangkitkan naluri yang peka dalam dirinya. Kepekaan naluri dan kesadaran jiwa merupakan intisari dan hakekat iman serta bibit aqidah yang mantap, serta
15
menandakan Allah SWT meridhoi dan menghendaki kebaikan bagi seorang hamba-Nya. Pendidikan Islam menurut Naqvid Al-Attas ( Hasan Langgulung, 1984 : 52) merupakan proses pengenalan yang ditanamkan secara bertahap dan berkesinambungan dalam diri manusia mengenai objek – objek yang benar sehingga hal itu akan membimbing manusia kearah pengenalan dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan, kemudian dengan pengetahuan itu manusia diarahkan untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yag belum mereka ketahui (M. Athiyah Al-Abrasyi 1970 : 1), tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadillah, membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi dan mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. b. Prinsip-prinsip Pembelajaran PAI bagi Anak Tunagrahita Siswa tunagrahita mempunyai permasalahan yang majemuk dan komplek dalam proses pembelajaran. Pembelajaran PAI hendaknya menyesuaikan dengan karakteristik dan spesifikasi kemampuan siswa. Penyesuaian tersebut baik dari segi mental, sosial, fisik, intelegensi kemampuan
motorik
dan
psikososialnya.
Adapun
prinsip-prinsip
pembelajaran bagi siswa tunagrahita dibagi menjadi prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. 1) Prinsip-Prinsip Umum a) Prinsip Kasih Sayang Setiap proses pembelajaran hendaknya dilakukan dengan dasar kasih sayang, sifat kasih sayang merupakan prinsip dasar. Prinsip kasih sayang ini diartikan sebagai pemberian perhatian secara tulus-ikhlas oleh guru kepada para siswanya, yaitu menyangkut kesediaan pendidik untuk berbahasa lemah lembut, berperangai sabar dan tidak mudah marah, suka
16
memaafkan, rela berkorban, bertindak sportif, memberi contoh prilaku yang positif, ramah, supel terhadap para siswanya. Pemberian kasih sayang kepada siswa tunagrahita merupakan salah satu cara untuk menarik perhatian siswa dalam proses pembelajaran. Dengan sikap tersebut diharapkan siswa tertarik dan memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru, sehingga akan menumbuhkan rasa percaya diri. Misalnya ketika siswa yang memiliki perilaku malas, cengeng, usil, suka mengganggu teman, kurang percaya diri, sulit bersosialisasi, mudah putus asa dan lain-lain, maka tindakan guru adalah dengan memberikan perhatian dan kasih sayang. Guru hendaknya memberikan permainan edukatif yang bisa menghentikan perilaku negatif tersebut. b) Prinsip Keperagaan Peragaan adalah penggunaan alat peraga untuk membantu memudahkan penyerapan informasi dari suatu komunikasi timbalbalik. Dalam proses pembelajaran pada hakekatnya terdapat unsur komunikasi timbal-balik antara guru dengan siswa. Siswa tunagrahita akan lebih mudah tertarik perhatiannya, apabila dalam proses pembelajaran menggunakan berbagai media, alat dan metode. Dengan prinsip keperagaan akan memudahkan siswa dalam menyampaikan materi pelajaran dan membantu memudahkan siswa dalam menerima materi pelajaran tersebut. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran hendaknya guru lebih banyak menggunakan alat peraga yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik siswa tunagrahita. Misalnya ketika siswa belajar praktek sholat, maka guru harus menyediakan alat peraga misalnya VCD tentang sholat. Kemudian pendidik memperagakan satu demi satu, mulai bacaan maupun gerakannya. Siswa juga harus ditanamkan
kebiasaan
sholat
sejak
dini,
yaitu
mengajak
dan
membiasakan sholat berjamaah di sekolahnya. Guru tidak hanya mengajar di kelas saja, tetapi juga ada tindakan langsung untuk membiasakan sholat di sekolah dan di rumah bersama orang tuanya mustahil peserta didik tunagrahita akan memiliki kemampuan dan kebiasaan untuk sholat dengan baik.
17
c) Prinsip Pelayanan Individual Pelayanan individual adalah pemberian bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada seorang siswa, secara perseorangan sesuai dengan kemampuannya dalam mengikuti proses pembelajaran. Pendekatan individual ini lebih tepat diterapkan untuk menangani siswa tuna grahita dari pada pendekatan klasikal. Pembelajaran bagi siswa tunagrahita menggunakan prinsip pelayanan individual karena siswa tunagrahita sangat heterogen; memiliki keunikan dalam cara belajar, tempo belajar, stabilitas emosi, perkembangan sensori-motorik dan lain-lain. d) Prinsip Kesiapan Prinsip kesiapan adalah ketika guru akan melaksanakan proses pembelajaran harus memperhatikan tahap kematangan, perkembangan dan pertumbuhan siswa. Setiap siswa mengalami masa kematangan, perkembangan
dan
pertumbuhan
berbeda-beda.
Hal
ini
yang
memungkinkan siswa dapat mengerjakan atau siap menerima materi pelajaran. Kematangan psikis dan fisik sangat diperlukan oleh siswa saat akan belajar. Misalnya, supaya siswa dapat belajar membaca al-Qur’an dengan baik, maka harus sudah mempunyai kemampuan mengenal huruf hijaiyyah, membaca dan melafalkan huruf hijaiyyah serta menulis huruf hijaiyah. e) Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi Usaha habilitasi adalah usaha agar siswa tunagrahita menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan. Usaha tersebut juga menyangkut bagaimana cara memupuk dan mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Siswa tunagrahita masih memiliki kemampuan, tetapi terbatas dan bahkan ada yang
sangat
terbatas.
Karena
itu
diperlukan
usaha
untuk
mengaktualisasikan kemampuan yang terbatas tersebut dengan berbagai cara supaya dapat mengembangkan rasa percaya diri dan memiliki harga diri. Guru memberikan tugas kepada siswa tunagrahita sesuai dengan kemampuan siswa. Usaha rehabilitasi pada siswa tuna grahita menuntut keterlibatan beberapa ahli, misalnya siswa, dokter spesialis, pekerja sosial, psikiater, ahli terapi bicara dll. Penanganan rehabilitasi harus
18
dilakukan secara bertahap, sistematis, berkelanjutan, serta berjangka dan dikoordinasikan dalam bentuk tim atau kelompok kerja. Dengan demikian pendidik agama Islam dalam melaksanakan rehabilitasinya hendaknya berpegang pada prinsip rehabilitasi, yaitu menjalin kerja sama yang harmonis dengan para ahli. f) Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap Sikap dan penampilan seseorang dalam pergaulan sangat menentukan.
Kesan
pertama
mengenai
seseorang
didapat
dari
penampilannya. Ada seseorang yang cepat dikenal dan diterima dalam pergaulan, dan ada pula yang sebaliknya. Siswa tunagrahita dikenal sebagai pribadi yang mengalami kesulitan mengenal konsep diri, maka pelajaran bina diri merupakan kebutuhan khusus yang harus diajarkan kepada siswa tunagrahita. Siswa tunagrahita sering menunjukkan sikap fisik kurang sempurna, sulit konsentrasi atau khusyu’ dalam sholat, badan bungkuk kedepan, jalan terhuyung-huyung dengan tumit agak diangkat dan suka melamun. Oleh karena itu, guru harus sabar membetulkan dan membenahi jika ada sikap dan perbuatan yang salah atau tidak tepat tersebut. 2) Prinsip-Prinsip Khusus Problema mendasar bagi siswa tunagrahita ringan adalah memiliki Intelegensi dibawah rata-rata. Oleh sebab itu guru hendaknya selalu memperhatikan prinsip-prinsip khusus agar materi PAI lebih fungsional, aplikatif dan bermanfaat bagi siswa. Adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain : a) Menyederhanakan materi bila terdapat materi yang sulit diterima oleh siswa. b) Menghindari penyampaian materi PAI secara abstrak, teoritis dan verbal. c) Penyampaian materi PAI secara kontekstual, praktis, mudah, visual, bertahap, berkesinambungan dan berulang-ulang, agar siswa dapat menerima dan memahami. d) Mengoptimalkan kognitifnya.
potensi
afektif
dan
psikomotor
dari
pada
19
e) Menggunakan media dan metode yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
3. Berwudhu a. Pengertian Wudhu menurut lugot (bahasa) berarti bersih dan indah. Sedangkan menurut syara’ berarti membersihkan anggota–anggota wudhu untuk menghilangkan hadas kecil. Wudhu adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum orang mengerjakan shalat. Perintah wajib wudhu ini sebagaimana firman Allah Swt. Yang bunyinya sebagai berikut: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu akan mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu dan dua tanganmu hingga kedua siku, sapulah kepalamu kemudian basuhlah kedua kakimu hingga kedua mata kaki”(QS. Al-Ma’idah ,ayat 6). b. Tujuan Wudhu Ibadah yang oleh karenanya seseorang berwudhu disebut tujuan wudhu, dan itu antara lain adalah : 1) Shalat wajib atau sunnah 2) Tawaf 3) Menyentuh tulisan al-qur’an. Telah diriwayatkan dari imam shadiq bahwa beliau berkata kepadanya Isma’il “Hai anakku, bacalah mushaf!” anaknya berkata, Saya belum berwudhu1 beliau berkata, “jangan sentuh tulisannya, sentuhlah kertasnya dan baca.” Perlu disebutkan disini bahwa menyentuh al-Qur’an sebenarnya bukan termasuk tujuan wudhu, karena menyentuh bukan wajib dan bukan pula sunah, jika demikian, wudhu untuk menyentuh lebih tidak wajib dan lebih tidak sunah lagi, karena sarana tidaklah wajib bila tanpa tujuan dank arena yang mengikuti tidak akan lebih dari yang diikuti. Atas dasar ini, wudhu untuk menyentuh sama sekali tidak disyariatkan. Kalau begitu, yang dimaksud adalah: orang yang tidak berwudhu diharamkan baginya
20
menyentuh tulisan Al-Qur’an dan yang berwudhu untuk tujuan lain boleh menyentuh tulisan yang suci itu. c. Syarat-syarat Wudhu Ada beberapa syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam berwudhu, diantaranya : 1) Air yang digunakan untuk berwudhu harus air yang mutlaq / suci. 2) Air yang halal, bukan hasil ghasab (hasil curian) 3) Suci anggota wudhu dari najis 4) Melaksanakan wudhu sendiri, tidak boleh diwakilkan oleh orang lain 5) Diwajibkan adanya urutan di antara anggota – anggota wudhu. 6) Wajib bersifat segera. Artinya, tidak ada tenggang waktu yang panjang dalam membasuh nggota wudhu yang satu dengan yang lain, sebelum kering. Kecuali airnya kering karena terkena sinar matahari, ataupun panas badan. Untuk sah nya wudhu, disyaratkan adanya waktu yang cukup untuk wudhu dan salat, dalam arti bahwa setelah berwudhu yang bersangkutan masih memungkinkan untuk melaksanakan shalat yang dimaksud pada waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan jika waktunya sempit, dimana jika ia berwudhu maka keseluruhan salatnya atau sebahagian salatnya berada diluar waktu salat yang telah ditentukan, sementara jika ia tayammum maka keseluruhan salatnya masih bias ia laksanakan, maka dalam hal ini ia wajib tayammum, maka apabila ia berwudhu, maka batallah wudhunya. Dan adapun syarat sah wudhu antara lain: 1) Islam; orang yang tidak beragama islam tidak sah melaksanakan wudhu 2) Tamyiz, yakni dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan 3) Tidak berhadats besar 4) Dengan air suci, lagi mensucikan (air mutlak) 5) Tidak ada sesuatu yang menghalangi air, sampai ke anggota wudhu, misalnya getah, cat dan sebagainya 6) Tidak ada najis pada tubuh, sehingga merubah salah satu sifat air yang suci lagi mensucikan.
21
d. Fardhu Wudhu Fardhu wudhu ada enam perkara, yakni: 1) Niat: hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara melakukannya tepat pada waktu membasuh muka, sesuai dengan pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in, muqtarinan bi fi’lihi” 2) Yang artinya : meniatkan sesuatu secara beriringan dengan perbuatan. 3) Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri) 4) Membasuh kedua tangan sampai siku-siku 5) Mengusap sebagian rambut kepala 6) Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki 7) Tertib (berturut-turut), artinya mendahulukan mana yang harus didahulukan, dan mengakhirkan mana yang harus diakhirkan. e. Sunnah-sunnah Wudhu Ada beberapa sunnah dalam melaksanakan wudhu, antara lain : 1) Membaca basmallah pada permulaan wudhu 2) Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan 3) Berkumur-kumur 4) Membasuh lubang hidung sebelum berniat 5) Menyhapu seluruh kepala dengan air 6) Mendahulukan naggota kanan daripada kiri 7) Menyapu kedua telinga luar dan dalam 8) Menigakalikan membasuh 9) Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki 10) Membaca doa sesudah wudhu Namun ada beberapa hal yang perlu kita ketahui selain sunnah dalam waktu melaksanakan wudhu, yakni sunah berwudhu. Tersebut dalam kitab “Wasa’il al-Syi’ah” dari Syeh Mufid, bahwa Rasulullah Saw bersabda “Hai Anas, banyak-banyaklah bersuci, maka Allah
22
akan memperpanjang umurmu. Jika kamu bias senantiasa dalam wudhu pada malam dan siang hari, kerjakanlah, karena jika kamu mati dalam keadaan wudhu, maka kamu syahid”. Dari Nabi Saw : “Siapa yang berhadas dan tidak berwudhu, maka ia telah memutuskan hubungannya denganku”. Riwayat-riwayat di atas dan lainnya menunjukkan bahwa wudhu disamping merupakan sarana kepada yang lainnya, juga merupakan tujuan itu sendiri dan mempunyai nilai lebih. Karena itu, seseorang boleh berwudhu sekadar agar ia senantiasa dalam keadaan suci sepanjang hari. Atas dasar ini maka wudhu adakalanya wajib untuk lainnya. Seperti : shalat lima waktu; tawaf wajib, dan nazar. Dan adakalanya sunah karena wudhu itu sendiri atau karena lainny, seperti : salat sunnah dan tawaf sunah. f. Hal – Hal yang Membatalkan Wudhu Adapun hal-hal yang dapat membatalkan wudhu antara lain: 1) Keluar sesuatu dari qubul dan dubur meskipun hanya angin. 2) Hilang akal karena gila, pingsan, mabuk, atau tidur nyenyak. 3) Bersentuhan kulit anatara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan tidak memakai tutup. 4) Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan tapak tangna atau jari yang tidak memakai tutup.
4. Pendekatan Kontekstual Pendekatan kontekstual adalah salah satu pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan proses pembelajaran. Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan intruksional untuk suatu satuan intruksional tertentu (Syarif Sagala, 2007:68). Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan pendekatan kontekstual, sesuai dengan judul sub bab ini, yang akan memaparkan pengertian, tujuan, karakteristik dan strategi penerapan pembelajaran kontekstual dan penerapan pembelajaran kontekstual di kelas.
23
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran
yang
mengakui
dan
menunjukan
kondisi
alamiah
pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks materi tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana seseorang belajar atau siswa belajar. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran perlu adanya upaya membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan agar
siswa
mudah
meneriman
ide,
gagasan,
mudah
memahami
permasalahan dan pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan produktif. Untuk mencapai usaha tersebut segala komponen pembelajaran harus dipertimbangkan termasuk pendekatan kontekstual. Depdiknas (2002), menyampaikan bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerjaan serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang dituntut dalam pelajaran. Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang didapatnya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Nurhadi (2004: 13), menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
24
membuat
hubungan
antara
pengetahuan
yang
dimilikinya
dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memotivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan yang diperolehnya dari proses belajar dengan kehidupan mereka sehari-hari, yang bermanfaat bagi mereka untuk memecahkan suatu masalah di lingkungan sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang diperoleh siswa lebih bermakna. b. Tujuan model pembelajaran kontekstual 1) Model pembelajaran ini menekankan dalam belajar itu tidak hanya sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman 2) Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa. 3) Model pembelajaran ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. 4) Agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna. 5) Untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks jehidupan sehari-hari. 6) Agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi komplek dan siswa dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri. c. Karakteristik pembelajaran kontekstual 1) Pembelajaran
dilaksanakan
dalam
konteks
autentik,
yaitu
pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konnteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting). 2) Pembelajaran
memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learnig). 3) Pembelajaran
dilaksanakan
dengan
meberikan
pengalaman
bermakna kepada siswa (learning by doing). 4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antarteman (learning in a group).
25
5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply). 6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerjasama (learning to ask, to inquiry, to work together). 7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an enjoy activity). 8) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru. 9) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. d. Strategi Penerapan Pembelajaran Kontekstual Beberapa strategi pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru secara konstektual antara lain : 1) Pembelajaran berbasis masalah. Dengan memunculkan problem yang dihadapi bersama, siswa ditantang untuk berfikir kritis untuk memecahkan. 2) Menggunakan konteks yang beragam. Dalam CTL guru membermaknakan pusparagam konteks sehingga makna yang diperoleh siswa menjadi berkualitas. 3) Mempertimbangkan kebhinekaan siswa. Guru mengayomi individu dan menyakini bahwa perbedaan individual dan social seyogianya dibermaknakan menjadi mesin penggerak untuk belajar saling menghormati dan toleransi untuk mewujudkan ketrampilan interpersonal. 4) Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri. Pendidikan formal merupakan kawah candra dimuka bagi siswa untuk menguasai cara belajar untuk belajar mandiri dikemudian hari. 5) Belajar melalui kolaborasi Dalam setiap kolaborasi selalu ada siswa
yang menonjol
dibandingkan dengan koleganya dan sisiwa ini dapat dijadikan sebagai fasilitator dalam kelompoknya. 6) Menggunakan penelitian autentik
26
Penilaian autentik menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung secara terpadu dan konstektual dan memberi kesempatan pada siswa untuk dapat maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya. 7) Mengejar standar tinggi Setiap sekolah seyogianya menentukan kompetensi kelulusan dari waktu kewaktu terus ditingkatkan dan setiap sekolah hendaknya melakukan Benchmarking dengan melakukan study banding keberbagai sekolah dan luar negeri. Berdasarkan Center Development (CORD)
for Penerapan
Occupational strategi
Research
pembelajaran
and
konstektual
digambarkan sebagai berikut: a. Relating Belajar dikatakan dengan konteks dengan pengalaman nyata, konteks merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta didik agar yang dipelajarinya bermakna. b. Experiencing Belajar adalah kegiatan “mengalami “peserta didik diproses secara aktif dengan hal yang dipelajarinya dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal yang baru dari apa yang dipelajarinya. c. Applying Belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki dengan dalam konteks dan pemanfaatanya. d. Cooperative Belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui kegiatan kelompok, komunikasi interpersonal atau hubunngan intersubjektif. e. Transfering Belajar menenkankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru. Ciri kelas yang menggunakan pendekatan konstektual : Pengalaman nyata, kerja sama, saling menunjang, gembira, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif dan kritis, menyenangkan, tidak membosankan, guru kreatif.
27
B. Hasil Penelitian yang Relevan Sebagai bahan pembanding, peneliti melakukan kajian terhadap penelitian terdahulu yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang dilaksanakan. Beberapa hasil penelitian terdahulu, antara lain sebagai berikut: 1. L. Kamalia (2009), dengan judul “Model Pembelajaran Seni Tari Bagi Anak Tunagrahita Ringan Melalui Pendekatan Kontekstual di SLB-C Sukapura Bandung”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukannya tersebut menyimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual dapat digunakan untuk pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita ringan. Model pembelajaran kontekstual sejalan dengan kurikulum SLB-C Sukapura Bandung yang bersifat tematik. 2. Rantini (2010), dengan judul “Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Bagi Anak Tunagrahita di SLBN Semarang”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukannya tersebut menyimpulkan bahwa penerapan masing-masing metode pembelajaran PAI bagi siswa tunagrahita dilaksanakan dengan cara diulang-ulang, baik mengulang penjelasan materi maupun mengulang teknik yang diajarkan. Siswa sering berbicara sendiri, oleh karena itu guru harus aktif berkomunikasi dengan siswa.
C. Hipotesis Tindakan Pembelajaran PAI melalui pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam tata cara berwudhu.
28
BAB III METODE
A. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Arah dan tujuan tindakan kelas (classroom action research) yang dilakukan oleh guru adalah demi kepentingan peserta didik dalam memperoleh hasil belajar yang memuaskan.(Arikunto, 2008:2). Rochiati Wiraatmadja (2006:36) mengemukakan bahwa Penelitian Tindakan Kelas dapat memperkecil kesenjangan antara idealisme seorang guru yang baik dengan tampilan sehari-hari agar guru bekerja lebih profesional. Selanjutnya Rochiati W (2006:75) mengingatkan bahwa tujuan dasar Penelitian Tindakan Kelas adalah memperbaiki pembelajaran guru di kelas, bukan untuk menghasilkan pengetahuan atau teori. Ada beberapa model Penelitian Tindakan Kelas, salah satu diantarnya adalah model Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas yang dikemukakan oleh Arikunto (2008:20) mencakup empat langkah , yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi (perenungan). Proses Penelitian Tindakan Kelas itu oleh Mc Kernan dalam Depdikbud (1999:6), dijabarkan lagi ke dalam tujuh langkah, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Analisis situasi (reconnaissance) atau kenal medan. Perumusan dan klarifikasi masalah. Hipotesisi tindakan. Perencanaan tindakan. Implementasi tindakan dan monitoringnya. Evaluasi hasil tindakan. Refleksi hasil tindakan keputusan untuk pengembangan selanjutnya.
Ditinjau dari rumusan sederhana Arikunto, maka langkah (1), (2), (3) dan (4) merupakan penjabaran dari langkah perencanaan. Langkah (5), (6) dan (7) merupakan langkah pelaksanaa, pengamatan dan refleksi. Langkah-langkah penelitian kelas yang digunakan peneliti adalah model Penelitian Tindakan Kelas yang mencakup empat langkah sebagaimana dikemukakan di atas.
29
B. Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dilakukan dari bulan Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 dan dilakukan di SLB Bina Bhakti Mandiri yang terletak di Jalan Raya Sumedang Darmaraja KM 18, Dusun Dustan RT 03 RW 04 Desa Situmekar Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang, dengan menggunakan sample penelitian anak-anak tunagrahita sedang kelas X SMALB. Penentuan lokasi SLB Bina Bhakti Mandiri ini lebih kepada pemilihan berdasarkan kebutuhan proses aplikasi yang diinginkan, yaitu dalam penerapan pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita, dapat dijadikan sebagai studi kasus dalam penelitian ini, sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian. Dengan demikian pemilihan sample didasarkan atas purposive sampling. C. Proses/Siklus Penelitian Model PTK yang akan digunakan adalah Model yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin (Depdiknas, 2003:16), yaitu bahwa satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) perancanaan (planning), (2) aksi atau tindakan (action), (3) observasi (observing), (4) refleksi (reflecting), hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: SIKLUS PELAKSANAAN PTK Pelaksanaan P Perencanaan
SIKLUS 1
Pengamatan
Refleksi pelaksanaan
PERENCANAAN
SIKLUS 2
PENGAMATAN
Refleksi
Gambar 3.1 (Bagan diadopsi dari langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas)
30
Dalam penelitian ini akan menggunakan PTK eksferimentalis yang ditujukan untuk mengetahui hubungan antara teknik maupun metode yang berkaitan dengan penerapan pendekatan kontekstual learning yang dikhususkan dalam pembelajaran PAI. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa observasi partisifasi langsung ke lapangan dengan menerapkan pendekatan kontekstual learning, kemudian diadakan pengukuran untuk memperoleh faktafakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual dengan kondisi yang bersangkutan. Siklus 1
Perencanaan Ide Awal Temuan Awal
Diagnosa (hipotesis)
Perencanaan
Tindakan
Meningkatkan aktifitas belajar anak tunagrahita dalam pembelajaran PAI Selama ini sering ditemukan bahwa anak tunagrahita kurang memahami konsep yang abstrak, sehingga mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran yang kurang efektif dan hasil belajar yang kurang optimal. Untuk itu diperlukan adanya upaya dari pihak guru untuk menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat membawa anak tunagrahita pada hal yang sifatnya kongkrit dan langsung, agar proses dan hasil pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Dengan menggunakan pendekatan kontekstual meningkatkan aktifitas belajar tunagrahita dalam merawat dirinya sendiri dan akan berdampak pada proses dan hasil dari pembelajaran yang dilakukan. - merencanakan program pembelajaran - mempersiapkan silabus - menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran - menyiapkan format observasi - meyiapkan format evaluasi - menyiapkan alat bantu pembelajaran - menyiapkan media pengiring - menata kelas - mengajak para siswa untuk melihat guru sedang berwudhu - memulai pembelajaran dengan appersepsi - penyampaian materi pembelajaran dengan menggunakan media, alat bantu atau alat peraga - pemberian tugas dan evaluasi
31
Observasi (pengamatan) Refleksi
Siklus 2
Perencanaan
Tindakan
Observasi (pengamatan)
Refleksi
- mengamati proses pembelajaran terutama cara siswa belajar berwudhu - menilai hasil tindakan dengan menggunakan format Lembar Kerja Siswa - melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan, meliputi evaluasi: perhatian, konsentrasi, cara menggunakan alat, pemahaman cara berwudhu saat pembelajaran berlangsung - memperbaiki pelaksanaan sesuai hasil evaluasi, untuk digunakan dalam siklus berikutnya - merencanakan program pembelajaran - menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran - menyiapkan format evaluasi - menyiapkan format observasi - menyiapkan alat bantu pembelajaran - menyiapkan media - memulai pembelajaran dengan appersepsi - menyampaikan pembelajaran dengan model pembelajaran yang berpusat pada aktifitas siswa - penyampaian materi pembelajaran dengan menggunakan media, alat bantu atau alat peraga - pemberian tugas dan evaluasi - mengamati proses pembelajaran terutama cara siswa belajar berwudhu dengan menggunakan format observasi - menilai hasil tindakan dengan menggunakan format Lembar Kerja Siswa - melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan, meliputi evaluasi: perhatian, konsentrasi, cara menggunakan alat, pemahaman cara berwudhu saat pembelajaran berlangsung - melakukan pertemuan untuk membahas hasil evaluasi tentang tindakan yang telah dilakukan - memperbaiki pelaksanaan sesuai dengan hasil evaluasi, untuk digunakan pada siklus berikutnya Tabel 3.1
Tahapan Siklus Penelitian
32
Untuk jelasnya Tahapan Siklus Penelitian dapat dilihat dari skema gambar berikut :
Masalah
RANCANGAN PROGRAM I
Revisi Program
TINDAKAN I KBM dengan membawa anak ke halaman sekolah
Refleksi (Perenungan)
TINDAKAN II KBM dengan mengenalkan tatacara berwudhu
Gambar 3.1 Tahap Penelitian
Observasi dan Pengumpulan Data
33
D. Analisis Data Pada dasarnya analisis data merupakan suatu proses penyusunan data agar mudah diinterpretasi oleh peneliti. Semua data yang terkumpul direduksi dengan memperhatikan keakuratan data dengan mengklasifikasikan dan mengeliminasi data-data yang tidak perlu, sehingga diperoleh data yang benar-benar akurat. Peneliti melakukan analisis data sejak awal tindakan pada setiap kegiatan tindakan. Analisis data hasil observasi dapat dilakukan langsung oleh peneliti bersamaan dengan kegiatan proses pembelajaran. Dengan demikian aktifitas belajar anak yang diteliti benar-benar dapat diamati dengan jelas dan langsung dapat diinterpretasi dan dikategorikan ke dalam aktifitas belajar yang: baik, cukup atau kurang.
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
E. Hasil Pemaparan hasil penelitian ini adalah hasil dari observasi dan analisis pelaksanaan, proses pembelajaran PAI pada siswa kelas X SMALB C1 di SLB Bina Bhakti Mandiri sebelum dan sesudah menggunakan pendekatan kontekstual yang dilaksanakan oleh peneliti (guru) di SLB Bina Bhakti Mandiri Mengobservasi dan menganalisis pelaksanaan proses pembelajaran PAI sebelum menerapkan pendekatan kontekstual dan sesudah melaksanakan pendekatan kontekstual oleh peneliti. Mendeskripsikan penemuan-penemuan data hasil pelaksanaan proses pembelajaran, khususnya mengenai kemampuan dan hasil belajar siswa sebelum menggunakan pendekatan kontekstual dan sesudah menggunakan pendekatan kontekstual pada pelajaran PAI. Semua data itu dianalisis, diklasifikasi dan diinterpretasi serta disimpulkan yang didasarkan pada tujuan penelitian. Pemaparan data-data tersebut diklasifikasikan pada kelompok kualitatif. Data kualitatif menggambarkan hasil observasi selama penelitian tindakan kelas dan rekaman prestasi hasil belajar siswa.
F. Pembahasan 1. Proses Pembelajaran Tata Cara Berwudhu dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri Pemaparan pelaksanaan proses pembelajaran tata cara berwudhu dengan pendekatan kontekstual, akan memaparkan gambaran kondisi guru, siswa, alat bantu pendukung sarana pembelajaran. Paparan ini merupakan data yang dikumpulkan dari pendataan awal sampai akhir kegiatan penelitian, dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi. Semua data yang terkumpul direduksi, diklasifikasi, dianalisis, ditafsirkan (diinterpretasi) yang akhirnya disimpulkan.
35
a. Kondisi Guru Komposisi guru di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu berjumlah 10 orang terdiri dari: 1 orang guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil yaitu Kepala Sekolah dan 9 orang lainnya merupakan guru sukarelawan. Hanya sebagian guru yang memiliki latar belakang pendidikan S1 sedangkan guru lainnya masih menempuh pendidikan S1 jurusan Pendidikan Luar Biasa. Guru sukarelawan mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Ketua Yayasan Bina Bhakti Mandiri untuk masa kerja satu tahun ajaran. Dan setiap awal tahun ajaran SK tersebut diperpanjang lagi, apabila masih dibutuhkan. b. Kondisi Siswa SLB Bina Bhakti Mandiri yang berdiri sejak tahun 2013, saat ini memiliki siswa yang berjumlah 33 orang. Sebagian besar merupakan penyandang tunagrahita dan sebagian ada pula penyandang tunarungu dan autistik. Anak tunagrahita dari SD sampai SMA ada yang termasuk tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang. Berdasarkan hasil observasi dalam proses pembelajaran dari pertemuan pertama sampai dengan pertemuan terakhir ditemukan beberapa kendala sebagai berikut: 1) Pada saat mengamati demonstrasi guru tentang tahapan berwudhu, para siswa kurang mampu melakukan pengamatan, bertanya dan meyimpulkan suatu temuan secara optimal. Namun meskipun demikian aktivitas belajar siswa menunjukkan peningkatan yang berarti. 2) Tingkat ketergantungan kepada guru memang cukup besar, namun dengan dorongan dari guru untuk bekerja sama dengan sesama teman sekelompoknya ada kecenderungan meningkat. 3) Pada saat guru mengikutsertakan refleksi, para siswa nampak ada sikap responsif menanggapinya dengan ungkapan bahasa, sikap dan gerak yang sederhana. 4) Diakhir pembelajaran para siswa mampu mengikuti tes lisan untuk ukur pengetahuaannya, selanjutnya mengikuti tes perbuatan untuk diukur prestasi pemahaman tata cara berwudhu, baik perorangan maupun kelompok dan prestasinya cukup memuaskan.
36
c. Kondisi Alat Bantu Pembelajaran Pendidikan Agama Islam SLB Bina Bhakti Mandiri yang baru berusia 1 tahun masih memiliki sarana prasarana yang cukup minim. Sampai saat ini yayasan dan sekolah masih terus menambah sarana dan prasarana yang diperlukan guna menunjang kegiatan akademik sekolah. Skala prioritas sarana dan prasarana masih pada penambahan ruang kelas beserta kelengkapannya. Sarana penunjang untuk mata pelajaran secara spesifik merupakan prioritas berikutnya. Maka dari itu sarana pendukung pendidikan PAI belum lengkap. Adapun alat/media pendukung yang ada ialah gambar tata cara berwudhu.
2. Aplikasi Pendekatan Kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri Pendekatan
kontekstual
dalam
pembelajaran
PAI
adalah
untuk
meningkatkan aktifitas siswa dalam proses pembelajaran PAI. Karena dengan pembelajaran kontekstual proses pembelajaran PAI, siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran PAI. Kondisi siswa tunagrahita dengan keterbatasan kemampuannya ditambah dengan bakat minat yang hetorogen diperlukan pendekatan pembelajaran PAI yang tepat yang berorientasi kepada siswa yang didukung media dan komponen pembelajaran lainnya.
a. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Menerapkan Pendekatan Kontekstual Penelitian Tindakan Kelas dimulai dengan penyusunan rencana pembelajaran PAI. Materi atau bahan ajarnya mengambill tema merawat diri sendiri yang diterapkan kepada cara memakai kaok kaki. Metode yang digunakan ialah metode pemodelan, simulasi, demonstrasi dan tugas resitasi yang digunakan secara variatif. Pendekatan pembelajarannya adalah pendekatan kontekstual sebagaimana yang telah dipaparkan deskripsinya pada bab sebelumnya. Adapun gambaran model pembelajaran kontekstual Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut:
37
Pertemuan I Pengamatan Objek di luar Kelas (Demonstrasi Guru Tentang Tata Cara Berwudhu) Mengkonstruksi melalui pengamatan terhadap aktivitas/demonstrasi guru tentang tata cara berwudhu
Penemuan (inkuiri) dengan Tanya Jawab tata cara berwudhu yang didemonstrasikan oleh guru
Diskusi ringan tentang alat-alat yang dipergunakan untuk berwudhu
Bersama-sama mencoba melakukan tahapan-tahapan berwudhu
Melakukan gerakan berwudhu tanpa menggunakan air dengan meniru gerakan guru
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap kegiatan pembelajaran yang baru diikuti
Pengumpulan data hasil pengamatan/penilaian dalam proses dan penilaian hasil belajar, dengan menggunakan beberapa sumber dan cara
Bagan 4.2
38
Pertemuan I
39
Pertemuan II Penerapan hasil pengamatan ke dalam gerak tari berwudhu Rekontruksi gerakan tahapan-tahapan berwudhu (membasuh telapak tangan, muka, kedua tangan, sebagian rambut dan kedua kaki)
Mencoba menemukan musik yang menarik siswa untuk menjadikan gerak-gerak wudhu ke dalam gerakan tari
Mencoba menemukan gerakan-gerakan tari yang diambil dari tahapan wudhu
Aktif bekerjasama berlatih gerak-gerak wudhu dengan musik sesuai imajinasi siswa
Beberapa orang siswa dicoba untuk tampil menjadi model
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap semua gerakan yang baru dipelajari
Semua data yang diperoleh dari hasil pengamatan/penilaian dalam proses dan akhir belajar, dijadikan dasar penentuan
Bagan 4.3
40
Pertemuan II
41
Pertemuan III Tari Kreasi dengan Tema Berwudhu Revisi gerakan-gerakan tari berwudhu (membasuh telapak tangan, muka, kedua kaki, sebagian rambut dan kedua kaki)
Mencoba menemukan cara yang lebih mudah untuk siswa mengetahui gerakan berwudhu
Tanya jawab mengenai semua gerakan berwudhu yang telah dipelajari
Berlatih bersama menari gerakan wudhu dengan musik rekaman dalam kaset
Beberapa orang siswa dicoba untuk tampil menjadi model
Melakukan perenungan (refleksi) terhadap tarian yang baru saja diperaktikan dengan iringan musik
Mengumpulkan data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan, penilaian dalam proses dan hasil akhir kegiatan sebagai bahan penilaian
Bagan 4.4
42
Pertemuan III
v
43
Pertemuan IV Tari Kreasi Berwudhu dengan Penerapan Irama, Tempo dan Pola Lantai Rekontruksi/revisi gerakan-gerakan tari kreasi berwudhu dengan iringan musik
Mencoba menemukan gerak yang disesuaikan dengan irama, tempo dan pola lantai
Tanya jawab antar guru, siswa mengenai irama, tempo dan pola lantai dalam menari
Berlatih menari berwudhu dengan iringan musik, sesuai dengan irama, tempo dan pola lantai
Mengganti dan mengikuti model yang ditayangkan dalam monitor TV dari VCD
Merefleksi keseluruhan gerak tari berwudhu untuk meneliti gerak mana yang sudah tepat dan yang belum
Data yang terkumpul dari hasil pengamatan dalam proses dan hasil akhir, dengan menggunakan beberapa alat evaluasi
Bagan 4.5
44
Pertemuan IV
45
Pertemuan V Pentas Tari Kreasi dengan Tema Berwudhu
Rekonstruksi seluruh gerak, irama, tempo, dan pola lantai dengan iringan musik
Inkuiri akhir sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing mempertunjukan tarian yang dikuasai
Diskusi kecil mempersiapkan pementasan tari berwudhu
Latihan berkelompok untuk pentas tari kreasi dengan tema berwudhu
Pentas tari berwudhu secara berkelompok
Refleksi akhir untuk menyimak dan mencerna dalam memori siswa masing-masing tentang gerakan tari berwudhu
Semua data dari pertemuan I sampai V dihimpun dan dioleh menjadi dasar penentuan penilaian sebenarnya yang diperoleh siswa, sebagai prestasi belajar Bagan 4.6
46
47
b. Hasil Pengamatan dengan Tes Perbuatan Keberhasilan siswa dalam pembelajaran PAI dengan menggunakan pendekatan kontekstual selain dari hasil observasi juga dilakukan dengan tes perbuatan. Penilaian dilakukan terhadap pemahaman siswa tentang tata cara berwudhu dalam pertemuan-pertemuan yang sudah dilaksanakan. Pelaksanaan tes itu dilakukan pada pertemuan akhir pembelajaran PAI. Indikator Penilaian : a) Kemampuan menirukan dan mengingat tahapan berwudhu b) Kesesuaian urutan dalam berwudhu c) Penguasaan pemahaman tata cara berwudhu d) Kekompakan dalam saling mengingatkan tata cara berwudhu dengan teman e) Kreativitas menemukan tahapan berwudhu yang cocok untuk diaplikasikan dalam gerakan tari sesuai irama dan tempo Kriteria Penilaian: 86-100
: A (Sangat Baik)
71-85
: B (Baik)
56-70
: C (Cukup)
41-55
: D (Kurang)
0-40
: E (Sangat Kurang)
Penilaian Hasil Tes Perbuatan Tari Berwudhu
No
Nama Siswa
1
Dedi Supriatna
2
Didi Tarsidi
3
Febryan
4
Unang
5
Warliah
Rata-rata
Pertama Terakhir Pertama Terakhir Pertama Terakhir Pertama Terakhir Pertama Terakhir Pertama
a 60 75 52 75 60 75 61 75 62 75 59
Indikator Penilaian b c d 58 55 60 73 72 75 58 55 60 72 72 73 61 61 60 75 74 72 62 60 60 73 72 71 65 64 63 74 73 72 60,8 59 60,6
Terakhir
75
73,4
Pertemuan yang
72,6
Tabel 4.1
72,6
e 58 72 59 72 60 72 61 71 62 72 60 71,8
Rata-rata 58,2 73,4 56,8 72,8 60,4 73,6 60,8 72,4 63,2 73,2 59,88 73,08
Keterangan Naik dari C ke B Naik dari C ke B Naik dari C ke B Naik dari C ke B Naik dari C ke B
Naik dari C ke B
Grafik Penilaian Hasil Tes Perbuatan Tari Berwudhu
Skor
a
b
c
d
e
Rata-rata
100 90
80
75
70 60
73,4 60,8
59
72,6
72,6 60,6
59
73,08
71,8 60
59,88
50 40 30 20 10 0 1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
Indikator Penilaian 1 = Pertemuan Pertama
2 = Pertemuan Terakhir
Berdasarkan tabel penelitian di atas dijelaskan bahwa: 1) Dalam kemampuan menirukan dan mengingat tahapan berwudhu diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 59 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 75. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik). 2) Kesesuaian dalam urutan berwudhu diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 60,8 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 73,4. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik). 3) Penguasaan pemahaman tata cara berwudhu diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 59 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 72,6. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik). 4) Kekompakan dalam saling mengingatkan tata cara berwudhu dengan teman diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 60,6 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 72,6. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik). 5) Kreativitas
menemukan
tahapan
berwudhu
yang
cocok
untuk
diaplikasikan dalam gerakan tari sesuai irama dan tempo diperoleh nilai rata-rata pertemuan pertama 60 dalam pertemuan terakhir naik menjadi 71,8. Jika dikonversikan pada kriteria penilaian termasuk kategori C (Cukup) naik menjadi B (Baik). 6) Nilai rata-rata keseluruhan hasil pembelajaran pada pertemuan pertama 59,88 termasuk kategori C (Cukup), naik menjadi 73,08 termasuk kategori B (Baik).
Dari penjelasan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan menirukan dan mengingat tahapan berwudhu ada peningkatan dari Cukup menjadi Baik. Kesesuaian dalam urutan berwudhu ada peningkatan juga dari Cukup menjadi Baik. Penguasaan pemahaman tata cara berwudhu juga mengalami peningkatan dari Cukup menjadi Baik. Kekompakan dalam saling mengingatkan tata cara berwudhu dengan teman juga meningkat dari Cukup
0
1
menjadi Baik. Kreativitas menemukan tahapan berwudhu yang cocok untuk diaplikasikan dalam gerakan tari sesuai irama dan tempo ada peningkatan juga dari Cukup menjadi Baik. Kesimpulan bahwa secara umum penguasaan siswa terhadap pemahaman tahapan wudhu melalui tari kreasi dengan tema berwudhu adalah baik.
2
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Bab V ini merupakan hasil kesimpulan dari hasil penelitian dan menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam pembelajaran PAI peneliti mencoba melaksanakan pembelajaran PAI dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri. Dari peneltian diuji coba model pembelajaran tersebut, peneliti menemukan data-data mengenai proses pembelajaran, data hasil pembelajaran, sebagai dampak positif dari model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Oleh karena itu penelitian ini menghasilkan prinsip bahwa pembelajaran untuk Anak Tunagrahita Sedang lebih cocok dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ternyata dapat digunakan pada pembelajaran PAI bagi anak tunagrahita sedang. Model pembelajaran kontekstual sejalan dengan kurikulum SLB C1 (Tunagrahita Sedang) yang bersifat tematik ditinjau dari sisi karakteristik anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam pembelajaran yang bersifat abstrak maka, ada kesesuaian dengan model pembelajaran kontekstual yang memilki karakteristik yang tematik dan kongkrit. Pendekatan kontekstual sangat dianjurkan oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk digunakan guru dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku. Tahapan-tahapan pembelajaran kontekstual pada pembelajaran PAI ternyata mampu menumbuhkembangkan kreatifitas belajar anak tunagrahita sedang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil pengamatan (observasi) selama proses pembelajaran berlangsung seperti dalam merespon objek yang diamati, menjawab dan bertanya, melaksanakan tugas dari guru, kerjasama dalam kelompok, dan merespon kegiatan perenungan (refleksi). Suasana pembelajaran menunjukan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan serta bermakna. Pembelajaran tidak monoton tetapi berfariasi sebab pemebelajaran tidak hanya
3
berlangsung di dalam kelas tetapi juga dapat di luar kelas, bahkan di alam terbuka di luar lingkungan sekolah. Hasil pembelajaran PAI pada anak tunagrahita sedang sebagai dampak positif dari model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual, menunjukan hasil yang cukup signifikan. Dari pertemuan pertama sampai dengan pertemuan terakhir, baik secara kelompok maupun perorangan menunjukan peningkatan. Berdasarkan hasil penelitian di SLB Bina Bhakti Mandiri, peneliti akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual dalam pembelajaran PAI pada anak tunagrahita sedang dapat meningkatkan aktifitas dan kreatifitas mereka. Dengan meningkatnya aktifitas dan kretifitas belajar PAI, maka motivasi belajar pun bisa meningkat dan sekaligus akan meningkat pula hasil belajarnya. Tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dalam program pembelajaran PAI dapat tercapai. Peningkatan aktifitas dan kreativitas pembelajaran siswa sebagai hasil model pembelajaran PAI dengan menggunakan pendekatan kontekstual, dapat menjadi motivator untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.
B. Saran-saran Hasil penelitian awal, menurut penjelasan guru PAI bahwa pembelajaran PAI di SLB pada umumnya sering menggunakan metode ceramah dan peniruan, sehingga pembelajaran PAI hasil belajarnya kurang optimal dan kurang bermakna bagi kehidupan siswa. Hasil belajar siswa hanya terbatas meniru, menghapal dan mengingat apa yang diajarkan guru. Kreativitas, aktivitas dan sikap apresiatif siswa
terhadap
mata
pelajaran
kurang
diperhatikan.
Karena
proses
pembelajarannya hanya dilaksanakan diruang kelas dengan metode mengajar yang kurang menumbuhkembang ranah afektif siswa. Akibatnya pengetahuan siswa tentang keterkaitan materi PAI dengan kehidupan nyata yang ada dilingkungan hidupnya kurang mendapat perhatian pendekatan akademis. Hasil pembelajaran
4
PAI hanya terbatas untuk mendapatkan nilai akademis mata pelajaran PAI. Lebih jauhnya paling sekedar anak hanya bisa berwudhu tetapi tidak dengan baik dan benar. Pembelajaran PAI dengan menggunakan pendekatan kontekstual dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi guru-guru di SLB Bina Bhakti Mandiri sebagai alternatif pendekatan pembelajaran, untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI dan pembelajaran mata pelajaran lainnya. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran PAI sudah selayaknya dipertimbangka oleh guruguru untuk digunakan, apalagi di SLB C yang kemampuan berfikir terhadap halhal yang abstrak, mereka lemah sekali. Pendekatan kontekstual memberikan jalan keluar bagi anak tunagrahita dengan mengaitkan materi atau bahan ajar pada halhal yang kongkrit (nyata). Harapan peneliti sekaligus mengajukan saran kepada kepala sekolah hendaknya dengan sikap yang bijak ada upaya dengan penuh pengabdian memberikan motivasi kepada guru-guru untuk menerapkan pendekatan kontektual dalam pembelajaran PAI, dengan ditunjang sarana pendukungnya. Pendekatan kontekstual perlu didukung berbagai faktor, seperti faktor profesionalisme guru, kebijakan kepala sekolah, motivasi belajar siswa yang tinggi dan faktor-faktor lain yang terkait dengan keberhasilan pembelajaran PAI. Bagi pihak-pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang obyek penelitian yang sama penelitian ini, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam penelitian selanjutnya.
5
DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, E. (2008). Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung : Remaja Rosda Karya Kamalia, L. (2019). Model Pembelajaran Seni Tari Bagi Anak Tunagrahita Ringan, tersedia : http://repository.upi.edu/id/1353 Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. (2002). Pendekatan Kontekstual (CTL). Jakarta: Depdiknas Ratini. (2010). Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Bagi Anak Tunagrahita, tersedia: http://library.walisongo.ac.id Amin, Moh. (1996). Pendidikan Anak Tunagrahita, Jakarta: PPPTG Ditjen Dikti Cece Wijaya, (1996). Pendidikan Remedial: Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosdaka. Fallen, N.H. dan Umansky, W. (1985). Young Children With Special Needs, Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company. Indria Laksmi G. (1997). Pengalaman Upaya Penanganan Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian di PPPTA. Makalah Seminar Pengkajian dan Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta. Ingalls, Robert P., (1978). Mental Retardation: The Changing Outlook, New York:John Wiley & Sons, Inc. McLoughlin, J.A. dan Lewis, R.B. (1986). Assesing Special Students. Ohio: Merril Publishing Company Mulyono Abdurrahman, (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti PPPG. Natawidjaja, Rochman, (1997). Penelitian Tindakan (Action Research), Bandung: IKIP Bandung Natawidjaya dan Alimin, (1996). Penelitian dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud.