DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL LARVA IKAN DI PERAIRAN PULAU ABANG GALANG BARU BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU
MOH. ASMAN BAHARA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau adalah benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor,
Januari 2009
Moh. Asman Bahara NIM C151040071
ABSTRACT Moh. Asman Bahara. Spatial and Temporal Distribution of Fish Larvae in Pulau Abang Sea of Galang Baru Batam Province of Kepulauan Riau that guided by Sulistiono, M. Mukhlis Kamal, and Muhammad Husni Amarullah. A research on species and temporal distribution of fish larva has been conducted in Pulau Abang during three month that on May, July, and October in 2006. The research was aimed to investigate fish larvae composition and to analyze correlation between habitat and the distribution of fish larvae abundance, as well as to analyze the correlation between plankton abundance and fish larvae distribution. The sampling and data analyses were carried out in the field and in the laboratory. Larvae data and bio-phisycal-chemical parameter samplings were taken once, day and night on each munsoon and each station. Fish larvae were caught by using larvae net of 0.5 mm mesh size and 1 x 1 m opening. Larvae net was fixed behind the boat and it was horizontally pulled 1.5 knot at velocity for 10 minutes. Plankton sampling was done by using 2 plankton nets that are (scoop plankton net) plankton net and operated at the some time with larvae net. Plankton net used 0.04 mm mesh size and 25 ml of cod end. Phisycal chemical parameters were together taken with larva and plankton sampling on each research station. Bio-phisycal chemical parameters were grouped by PCA analysis which was aimed to know the character of each stasiun based on bio-phisycal chemical parameters and to know is correlation with fish larvae. Fish larvae and plankton abundance was analyzed by community structure analysis. Composition and abundance of fish larvae and fish juveniles obtanined in this research consisted of 52 families, 84 genus made up a total of 1,572 individu/m3 they were dominated by Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae and Mugilidae. Fitoplankton abundace on May, July and October is 679,150 individu/m3, 4,377,800 individu/m3, and 2,482,100 individu/m3. Respertively, Zooplankton abundance at the some season was 291,000 individu/m3, 166.500 individu/m3, and 747.900 individu/m3. Temporally, respective larvae distribution on July was higher during May. Larva distribution spatially on May amounts to 439 individu/m3, on July amounts to 608 individu/m3 and on October amounts to 525 individu/m3. The result of PCA analysis showed that the informations are concentrated in axis 1, 2, and 3 (F1, F2, and F3). Each axis explains 42,90%, 19,12%, and 9,6% of variation. Total of varian explained in the 3-prime component is 71,65%. From the value of the coordinat, it is concluded that variables which are near with the larvae (support larva living) are fitoplankton in axis F1. Keywords : larvae (ichthyoplankton), spatial and temporal distribution.
RINGKASAN Moh. Asman Bahara. Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh Sulistiono, M. Mukhlis Kamal , dan Muhammad Husni Amarullah. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Abang Kecamatan Galang Baru Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian berlangsung selama tiga kali yaitu pada bulan Mei, Juli, dan Oktober 2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi larva ikan, menganalisis keterkaitan antara kondisi habitat dengan distirbusi kelimpahan larva serta menganalisis kelimpahan plankton dengan kelimpahan larva ikan. Sampling dan analisis dilaksanakan dilapangan dan di laboratorium. Pengambilan contoh larva dan parameter bio-fisikakimia dilakukan sekali dalam setiap bulan pada setiap stasiun penelitian siang dan malam hari. Larva ikan ditangkap dengan menggunakan larva net dengan ukuran mata jaring 0,5 mm dengan bukaan mulut jaring 1 x 1 meter yang dipasang atau diikat pada bagian belakang perahu motor dan ditarik horizontal dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit dengan kedalaman 10 – 30 meter. Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan 2 jaring plankton net yaitu plankton net saring (scoop net) dan plankton net tarik. Untuk plankton tarik pengoperasiannya bersamaan dengan jaring larva. Ukuran jaring plankton yang digunakan berdiameter 20 cm dan ukuran mata jaring (mesh size) 0,040 mm dan cod end 25 ml. Parameter fisika kimia diukur pada setiap stasiun penelitian bersamaan dengan waktu pengambilan sampel larva dan plankton. Parameter bio-fisikakimia dikelompokan dengan menggunakan analisis PCA yang bertujuan untuk mengelompokan stasiun berdasarkan ciri-ciri parameter bio-fisikakimia serta untuk melihat hubungan antara parameter biofisikakimia dengan larva ikan. Sedangkan kelimpahan larva ikan dan plankton dihitung agar dapat dianalisis dengan menggunakan analisis struktur komunitas (indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominasi). Hasil penelitian ditemukan komposisi dan kelimpahan larva ikan sebanyak 52 famili dan 84 genus dengan total individu 1.572 individu/m3 didominasi famili Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae dan Mugilidae. Kelimpahan plankton bulan Mei (Fitoplankton 679.150 individu/m3 dan Zooplankton 291.000 individu/m3), bulan Juli (Fitoplankton 4.377.800 individu/m3 dan Zooplankton 166.500 individu/m3), dan bulan Oktober (Fitoplankton 2.482.100 individu/m3 dan Zooplankton 747.900 individu/m3).
Distribusi secara spasial bulan Mei berjumlah 439 individu/m3, bulan Juli berjumlah 608 individu/m3, sedangkan pada bulan Oktober berjumlah 525 individu/m3. Distribusi larva secara temporal bulan Juli lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Mei. Hasil PCA memperlihatkan bahwa sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1, 2, dan 3 (F1, F2, dan F3), dimana masing-masing sumbu menjelaskan 42,90 %, 19,12 %, dan 9,6 %. Total ragam yang terjelaskan dari ketiga komponen utama tersebut sebesar 71,65 %. Dilihat dari nilai koordinat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa parameter yang paling dekat dengan larva (sangat mendukung keberadaan larva) adalah fitoplankton untuk sumbu F1. Kata kunci : Larva (ichthyoplankton), distribusi spasial dan temporal
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL LARVA IKAN DI PERAIRAN PULAU ABANG GALANG BARU BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU
MOH. ASMAN BAHARA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan Di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau
Nama
: Moh. Asman Bahara
NRP
: C151040071
Disetujui Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Ketua
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Anggota
Dr. Ir. M. Husni Amarullah, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Enang Harris, M.Sc
Dr. Ir. Chairil Notodiputro, M.Sc
Tanggal Ujian : 22 Desember 2008
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil Alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmad dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan Di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Husni Amarullah, M.Sc selaku Anggota Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian dan atas arahanarahannya demi penyempurnaan. 2. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku penguji tamu. 3. Bapak Dr. Kardio Prapto Kardio, Dr. Chairul Muluk, M.Sc yang telah banyak memberikan arahan-arahan dan membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 4. Kepada seluruh staf
Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu Perairan,
Ekonomi Sumberdaya Perairan, Pemerintah Kota Batam, dan Laboratorium Perikanan BPPT penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan dan izin penggunaan bahan dan alat selama penulis melakukan penelitian. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor,
Januari 2009
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Rampungnya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI) atas bantuan dana penelitian dan penyelesaian stusi penulis. 2. Kepada Bapak Dr. H. Faad Maonde, M.S dan Ibu, serta Ibu Syamsiar La Wele, Alam Lawele Sekeluarga atas segala bantuan dan dukungannya. 3.
Teristimewa buat Ayahanda La Bahara dan Ibunda Fatimah, Kakak Sudin, Arifa, Arida serta Adik Ratna dan segenap keluarga, penulis menyampaikan terima kasih atas doa serta bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan di Bogor.
4. Kepada Bapak H. Ukon Sekeluarga yang telah banyak memberikan dukungan dan dorongan selama proses penyelesaikan studi penulis. 5. Buat yang tercinta Nita Setia Lestari atas kesetiaan, ketulusannya dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi. 6. Kepada rekan-rekan mahasiswa ilmu perairan: Hatta, Dodi, Linda, Endeng, Charles, Pak Robani, Eman, Pak Fadli dan Ibu, dan lain-lain yang tidak saya sebutkan atas kerjasama yang baik selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Hal yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa ternate Kusdi, Irham, Asmar. Rekan-rekan di Asrama PTD; Awir, Yani, Alim, Pido, dll, serta rekan-rekan yang tergabung dalam FORUM WACANA SULTRA, warga penghuni Wisma Haluoleo Takdir Saili, Tiar, Om Wellem, Muzuni, Oce, Nurgayah, Asniah, Asrianti, atas bantuan dan kerjasama yang baik serta pengertian yang tulus selama berada di Bogor. Semoga Allah SWT akan terus memberikan Rahmat dan HidayahNya kepada kita semua Amin..!
Bogor,
Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mawasangka, Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara pada tangggal 06 Januari 1975. Penulis merupakan anak keempat dari pasangan Bapak La Bahara dan Ibu Fatimah. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 2 Mawasangka pada tahun 1988, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Mawasangka dan selesai tahun 1991 dan pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Mawasangka. Pada tahun 1994 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Pertanian Jurusan MSP Universitas Haluoleo Kendari dan dinyatakan lulus pada tahun 2001. Selanjutnya pada bulan Juli tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program master di Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
1
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. ii ABSTRACT . ......................................................................................................... ii RINGKASAN . ...................................................................................................... iii HALAMAN HAK CIPTA . ................................................................................... iv HALAMAN JUDUL ............................................................................................. v HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... x DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian................................................................................... 6 1.5 Hipotesis.................................................................................................. 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Biologi Larva Ikan .................................................................................... Migrasi dan Distribusi Ikan Terumbu Karang. ......................................... Asosiasi Ekosistem Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan ............... Plankton sebagai Sumber Makanan bagi Larva Ikan ................................ Ekologi Larva Ikan dan Pembentukan Komunitas....................................
7 10 12 13 15
3 BAHAN DAN METODE 3.1 3.2 3.3 3.4
Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................... 17 Obyek Penelitian ...................................................................................... 20 Alat dan Bahan .......................................................................................... 20 Metode Penelitian...................................................................................... 20 3.4.1 Prosedur di Lapangan ..................................................................... 20 a. Pengambilan Contoh Larva ............................................................. 20 b. Pengambilan Contoh Plankton ........................................................ 21 c. Pengambilan dan Pengukuran Parameter Kualitas Air .................. 21 3.4.2 Prosedur Laboratorium .................................................................... 22 a. Identifikasi Larva ............................................................................. 22 b. Identifikasi Plankton ........................................................................ 23 c. Pengukuran Parameter Kualitas Air.................................................. 23 3.5 Analisis Data ............................................................................................. 22 3.5.1 Kelimpahan Larva ............................................................................. 22 3.5.2 Kelimpahan Plankton ....................................................................... 23 a. Indeks Keanekaragaman Shannon (H') ............................................ 24 b. Indeks Keseragaman (E) .................................................................. 24 c. Indeks Dominasi (D) ........................................................................ 25 3.5.3 Analisis Komponen Utama / PCA (Principal Components Analysis)..................................................... 26
2
4. HASIL PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Pulau Abang ................................................................. . 28 4.2 Kondisi Fisika – Kimia Perairan ............................................................. 29 1. Secara Spasial .......................................................................................... 30 2. Secara Temporal ..................................................................................... 31 4.3 Kondisi Biologi ...................................................................................... 32 4.3.1 Plankton .................................................................................................. 32 1. Secara Spasial .......................................................................................... 32 2. Secara Temporal....................................................................................... 33 4.3.2 Larva ........................................................................................................ 36 1. Secara Spasial .......................................................................................... 36 a. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Mei ............................. 36 b. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Juli ............................. 37 c. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Oktober........................ 37 2. Secara Temporal....................................................................................... 37 a. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Mei ............................. 38 b. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Juli ............................. 38 c. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Oktober .........................39 4.4 Keterkaitan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi ................................... 39 4.5 Jenis – jenis Larva Ikan yang Tertangkap ............................................... 42 4.6 Komposisi dan Kelimpahan Larva ........................................................... 42 4.7 Indek Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominasi ...... 43 4.7.1 Indeks Keanekaragaman (H') ................................................................... 44 4.7.2 Indeks Keseragaman (E) .......................................................................... 44 4.7.3 Indeks Dominasi (D) ................................................................................ 44 5. PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lingkungan . ....................................................................................... 45 5.2 Parameter Biologi ............................................................................................ 48 5.3 Distribusi, Komposisi, dan Kelimpahan Larva . .............................................. 51 5.4 Keterkaitan antara Larva dengan Parameter Lingkungan . .............................. 58 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 6.2
Kesimpulan ............................................................................................. 60 Saran ....................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA . .......................................................................................... 61 LAMPIRAN........................................................................................................... 64
3
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1
Posisi Stasiun Penelitian .................................................................................. 17
2
Data Rata-rata Parameter Fisika Kimia Perairan . ........................................... 30
3
Rata-rata Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton . ................................... 32
4
Kelimpahan Rata-rata Zooplankton setiap Bulan ............................................ 33
5
Kelimpahan Rata-rata Fitoplankton setiap Bulan . .......................................... 34
6
Perbandingan Kelimpahan Zooplankton dan Fitoplankton ............................. 35
7
Total Kelimpahan Larva Ikan setiap Bulan...................................................... 38
8
Matriks Korelasi antar Parameter Fisika, Kimia dan Biologi . ........................ 39
9
Diagonalisasi Komponen Utama ..................................................................... 41
10 Matriks Parameter pada Koordinat Sumbu . .................................................... 41 11 Rangkuman Kualitas Air Beberapa Hasil Penelitian . ..................................... 46
4
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Diagram Alir Pendekatan Masalah .................................................................. 5 2. Siklus Hidup Ikan Kakap Merah...................................................................... 8 3. Lokasi Penelitian .............................................................................................. 19 4. Jaring Larva Ikan.............................................................................................. 21 5. Hipotesis Teknik Identifikasi secara Morfologi Larva Ikan ............................ 22 6
Perbandingan Kelimpahan antara Fitoplankton dan Zooplankton . ................. 32
7
Histogram Kelimpahan Fitoplankton setiap Bulan .......................................... 34
8
Histogram Kelimpahan Zooplankton setiap Bulan .......................................... 35
9
Perbandingan Plankton Tarik antara Fitoplankton dan Zooplankton Siang dan Malam ............................................................................................. 36
10 Histogram Kelimpahan Larva Ikan Bulan Mei ................................................ 38 11 Histogram Kelimpahan Larva Ikan Bulan Juli................................................. 38 12 Histogram Kelimpahan Larva Ikan Bulan Oktober. ........................................ 39 13 Grafik Principal Component Analysis (PCA) pada Sumbu Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) . ........................................................................................ 40 14 Grafik Principal Component Analysis (PCA) pada Sumbu Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3) . ........................................................................................ 41 15 Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominasi (D) Larva Ikan . ............................................................................... 43
5
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Foto beberapa Contoh Species / Genus Larva Ikan ......................................... 64 2
Lampiran Komposisi Larva Ikan ..................................................................... 66
3
Kelimpahana Larva Ikan Bulan Mei ................................................................ 67
4
Kelimpahan Larva Ikan Bulan Juli................................................................... 68
5
Kelimpahan Larva Ikan Bulan Oktober ........................................................... 69
6
Parameter Bio-Fisikakimia Perairan . .............................................................. 70
7
Indeks Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E) dan Dominasi (D) Larva Ikan . ...................................................................................................... 72
8
Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton Bulan Mei...................................... 73
9
Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton Bulan Juli ...................................... 74
10 Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton Bulan Oktober ............................... 75 11 Kelimpahan Rata-rata Fitoplankton pada Waktu Siang Hari........................... 76 12 Kelimpahan Rata-rata Fitoplankton pada Waktu Malam Hari......................... 77 13 Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Bulan Mei...................................... 78 14 Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Bulan Juli ...................................... 79 15 Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Bulan Oktober ............................... 80 16 Kelimpahan Rata-rata Zooplankton pada Waktu Siang Hari........................... 81 17 Kelimpahan Rata-rata Zooplankton pada Waktu Malam Hari......................... 82 18 Peta Arus Permukaan di Kawasan Pulau Abang ............................................. 83 19 Uji - T Hubungan Plankton Siang dan Malam Hari......................................... 84
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kekayaan keanekaragaman hayati laut Indonesia tersebar di berbagai
kawasan ekosistem pesisir dan lautan. Berbagai jenis biota telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi habitat di berbagai zona maupun tipe ekosistem. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (seagrass beds) (Dahuri, 2003). Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu: 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan. Ekosistem perairan pantai dikenal sebagai zona pembiakan, pembesaran dan tempat mencari makan. Kawasan ini sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup berbagai jenis ikan pada fase larva dan juvenil. Terumbu karang dan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Ekosistem ini umumnya tumbuh di daerah tropis dan mempunyai produktivitas primer yang tinggi, yaitu bisa mencapai lebih dari 10 kg C/m2/tahun, dibandingkan dengan produktivitas perairan laut lepas pantai, yang hanya berkisar 50-100 mg C/m2/tahun. Tingginya produktivitas primer di daerah terumbu karang ini menyebabkan terjadinya pengumpulan hewan-hewan yang beranekaragam, seperti ikan, udang, moluska (kerang-kerangan), dan lainnya. Karenanya produktivitas sekunder di perairan karang biasanya juga tinggi (Supriharyono, 2000). Selain sebagai mata rantai makanan di dalam ekosistem terumbu karang, karang juga menjadi menjadi kerangka terbentuknya terumbu karang sebagai rumah dan tempat tinggal bagi semua biota asosiasi terumbu karang di sekitarnya, dan sebagai hewan yang bersimbiosis dengan ganggang monoseluler untuk menghasilkan oksigen terlarut yang diperlukan bagi biota laut (Gatra, 2006).
2
Nybakken (1992) mengemukakan bahwa ikan merupakan biota terbanyak dan organisme yang jumlahnya besar dan banyak ditemui di daerah terumbu karang. Sulistono et al., (2000) mengemukakan bahwa ikan karang digolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan ikan hias (ornamental fish) dan golongan ikan konsumsi (food fish). fisiografi dasar perairan merupakan faktor utama yang menentukan distribusi serta kelimpahan ikan-ikan karang (Sulistiono et al., 2000). Ikan dalam mengawali daur hidupnya melalui tiga tahap yaitu telur, larva dan juwana. Tahap transisi terjadi antara telur dan larva (yolk sac) serta antara larva dan juwana (transformasi larva). Pada tahap telur terbagi kedalam sub divisi yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga dibagi menjadi tiga sub divisi yaitu: preflexion larva, flexion larva dan postflexion larva (Hoar dan Randall, 1987). Selanjutnya Amarullah (2008) mengemukakan bahwa perkembangan ikan dari stadia larva menjadi juvenil memiliki konsekwensi ekologis sehingga terjadi hubungan yang kritis terhadap kelulushidupan (survival) dan pertumbuhan (growth). Konsekwensi ekologis terpenting yang berpengaruh diantaranya adalah yang berkaitan dengan makanan dan pemangsaan (food and feeding), deteksi predator dan kemampuan menghindar (predator detection and escape) serta peralihan habitat (habitat shift) yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap rekrutmen stok ikan di suatu perairan. Larva ikan (ichthyoplankton) merupakan bentuk tahapan siklus hidup ikan yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan ketika kuning telur yang merupakan makanan utamanya telah habis terserap. Amarullah (2008) menyatakan bahwa bagi berbagai jenis ikan laut yang memanfaatkan sistem perairan pantai (coastal system) sebagai nursery, migrasi telur, larva dan stadia awal juvenil dari tempat pemijahan (spawning area) dipengaruhi oleh kondisi dan perubahan meteorologi perairan. Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di alam. Faktor hidrografi di perairan pantai atau habitat nursery yang berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi larva diantaranya adalah aliran pasang surut (tidal flux) termasuk di dalamnya kecepatan arus, salinitas (terutama perairan estuari), kekeruhan, komposisi substrat dan juga pengaruh siklus bulan.
3
Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang lamun, terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan nursery bagi berbagai jenis ikan. Melalui mekanisme hidro-biologi larva ikan yang dilahirkan di daerah lepas pantai akan menuju daerah habitat nursery yang kemudian keberhasilan hidupnya akan berpengaruh terhadap rekrutmen (Amarullah, 2008). Salah satu negara yang telah melakukan perlindungan terhadap sebaran larva ikan di suatu pantai adalah Jepang dengan cara mengidentifikasi pola sebaran larva ikan dan kapan larva ikan masuk ke pantai sehingga pada saat musim tersebut pantai ditutup untuk umum agar larva ikan dapat berkembang dengan baik. Sementara itu di Eropa ketika musim penangkapan, para ilmuwan yang telah mempelajari tentang larva ikan dapat memperkirakan stok ikan komersial yang ada di perairan tersebut (Najamuddin, 2004). Pengelolaan pantai tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap komunitas organisme laut dapat mengganggu kehidupan biota laut, diantaranya larva. Pada ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan dan tumbuh besar (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground) bagi biota laut khususnya bagi larva ikan yang bermigrasi ke wilayah pantai dapat terganggu akibat adanya pergerakan arus ataupun pasang surut yang begitu kuat di wilayah itu sehingga menimbulkan akibat tersendiri terhadap ekologi daerah pantai tersebut. Pengetahuan tentang spawning ground larva ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi aplikasi yaitu dapat menduga atau meramalkan musim benih (spatfall), mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya, mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998). Pulau Abang termasuk dalam Kecamatan Galang Baru yang terletak di Pulau Batam, (Provinsi Kepulauan Riau) dikenal sebagai salah satu daerah kawasan
4
Agribisnis, Industri Budidaya Laut, daerah penghasil dan penangkapan ikan. Aktivitas penangkapan ikan dan benih ikan di perairan ini merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga nelayan. Hasil tangkapannya dijual kepada penampung dan petani keramba. Daerah ini merupakan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan hampir 80% dari total area adalah habitat laut yang memiliki karakter spesifik dan sangat potensial untuk pengembangan sea ranching dan sea farming untuk berbagai jenis ikan konsumsi (kerapu, kakap, bandeng), kekerangan dan rumput laut. Pengembangan sea ranching dan sea farming di Pulau Abang diarahkan
untuk
mendukung
penyediaan
sumberdaya
ikan
yang
dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan wisata bahari pemancingan disamping untuk menambah sediaan ikan di alam untuk masyarakat sekitar Pulau Abang serta untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang tersedia dikawasan sea ranhcing, meminimalkan resiko kegagalan, mencegah kerusakan dan gangguan lingkungan, mempertahankan kelangsungan dan kelestarian sumberdaya perikanan, memudahkan proses pengelolaan kawasan dan pemeliharaan lingkungan serta menjaga keseimbangan dan daya dukung lingkungan dalam rangka optimalisasi berbagai kegiatan dalam kawasan sea ranching baik yang bersifat ekonomi maupun ekologi (BPPT 2007). Perairan Pulau Abang dari segi ekologis yang semakin hari semakin berubah fungsi, maka suatu ketika akan mengalami tekanan dari lingkungan akibat aktifitas manusia dimana fungsi ekologis pada suatu saat akan hilang. Hal ini sebagai akibat perubahan kondisi habitat bahkan tekanan lingkungan baik langsung maupun tidak langsung. Perubahan habitat dapat berasal dari pemusnahan lahan mangrove untuk pengembangan pelabuhan ataupun pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan mangrove untuk bahan bangunan dan bahan bakar (kayu api). Perubahan habitat di laut seperti terumbu karang dapat di akibatkan oleh usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia (potasium sianida). Sedangkan tekanan lingkungan yang tidak langsung diakibatkan oleh limbah rumah tangga yang meningkat sebagai akibat perluasan pemukiman penduduk. Penelitian ini lebih diarahkan pada interaksi antara komunitas larva ikan dengan beberapa parameter bio fisika-kimia yang merupakan parameter yang menentukan karakteristik dari perairan pantai (Effendie 1997).
5
1.2
Perumusan Masalah Bertolak pada keberadaan perairan Pulau Abang yang diuraikan di atas,
maka diperlukan suatu kajian untuk mengetahui keberadaan peran ekologis dari perairan tersebut. Kajian ini diarahkan pada keberadaan larva ikan dalam hubungan dengan lingkungan seperti yang ditampilkan pada (Gambar 1). Struktur Komunitas & Kelimpahan
Hidrodinamik
?
?
Tipe/karak teristik perairan
Intensitas Cahaya (Iz)
Biomass Phyto Cukup memadai
BioFisikakimia perairan
Plankton
Kkeberadaan Larva Ikan
Kelimpahan Larva: - berkaitan dengan bio fisika-kimia - berkaitan dengan kelimpahan plankton
Larva Ikan : - resident - seasonal - insidental
INPUT
PROSES
OUTPUT
Keterangan :
= Proses = Ketentuan/bagian = Kajian/evaluasi Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui komposisi larva ikan yang ada di Pulau Abang
2.
Menganalisis keterkaitan antara kondisi habitat dengan distribusi dan kelimpahan larva ikan di Pulau Abang
3.
Menganalisis keterkaitan kelimpahan plankton dengan kelimpahan larva ikan
6
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Menginventarisir jenis / genus ikan yang bernilai ekonomis
2.
Menentukan habitat jenis / genus ikan yang hidup di daerah tersebut
3.
Menentukan kebijakan pengelolaan daerah Pulau Abang berdasarkan data hasil penelitian.
1.5
Hipotesis Penelitian Distribusi dan kelimpahan larva ikan tidak dipengaruhi perbedaan bulan
(musim), karakteristik dan kondisi perairan (pH, turbiditas, temperatur, salinitas, DO, dan kelimpahan plankton).
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Biologi Larva Ikan Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan
yang hidup plantonik, merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva ikan yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungannya tertutama dalam pergerakan dan migrasinya. Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Metarase et.all. (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Pemijahan sebagai salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan dan bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan kelak berkembang (Effendie, 1997). Secara umum tahap awal dari daur hidup ikan ialah setelah telur dibuahi yang juga dinamakan zygot terjadi perkembangan embryonic terjadinya organ genesis sampai tiba saatnya menetas. Pasca penetasan disebut larva sampai tahap juvenil dimana ikan sudah mulai seperti ikan dewasa dengan hilangnya organorgan larva yang bersifat sementara (Sulistiono, Rahardjo, dan Effendie, 2001). Selanjutnya (Effendie, 1997) mengemukakan bahwa anak ikan yang baru ditetaskan dinamakan larva, tubuhnya belum dalam keadaan sempurna baik organ luar maupun organ dalamnya. Larva ikan merupakan fase ikan setelah telur menetas (Gambar 2). Istilah larva ikan yang merujuk kepada stadia kantung kuning telur dan postlarva untuk ikan muda antara stadia larva dan juvenil. Stadia larva ini berakhir ketika kuning telur telah habis diserap. Romomihtarto dan Juwana (1998) membagi fase larva ikan menjadi pre flexion larva, flexion larva, dan post-flexion larva. Selanjutnya Russel (1976) menggunakan istilah larva yang merujuk pada larva beryolk sac dan “postlarva” untuk ikan muda antara stadia larva dan juvenile. Stadia ini berakhir setelah persediaan kuning telur yang ada telah habis diserap.
8
Gambar 2. Siklus hidup ikan Kakap Merah (Sulistiono et al,. 2000). Keterangan : (1) Telur yang telah dibuahi (diameter 0,9 – 11 mm) (2) Perkembangan telur (3) Larva ikan (baru menetas, panjang 2,1 mm) (4) Larva ikan (15 hari, panjang total 5,5 mm) (5) Juvenil (2 bulan, panjang total 36,0 mm) (6) Muda (7) Dewasa (lebih dari 4 tahun) Perkembangan larva, dalam garis besarnya dibagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Untuk membedakannya, prolarva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui. Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak punya sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darahnya tidak sempurna. Makanannya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Adakalanya larva ikan
9
yang baru ditetaskan letaknya dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya masih mengandung minyak. Apabila kuning telurnya telah habis dihisap, posisi larva tersebut akan kembali seperti biasa. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan ke kanan dengan banyak diselingi oleh istirahat karena tidak dapat mempertahankan keseimbangan posisi tegak. Sedangkan masa post larva ikan ialah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morphologis sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis bentuknya. Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997). Selanjutnya apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile. Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada yang mengalami beberapa perubahan bentuk tubuhnya atau bermetamorphose. Diantara beberapa ikan yang mengadakan metamorphose ialah ikan sidat, ikan paru-paru, ikan berlistrik (Gymnarchus) dan ikan sebelah. Sumber makanan larva ikan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Masa postlarva ikan ialah masa larva ikan dimana mulai hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya tahap penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada tahap akhir dari postlarva ikan tersebut secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya (Effendie 1997). Kuning telur terletak pada bagian anterior/ventral tubuh pada larva ikan yang baru menetas. Bentuknya menonjol dan seringkali menutupi hampir separuh panjang tubuh total. Mata belum berpigmen, mulut belum berfungsi dan anus belum terbuka. Selang perkembangan larva, mata menjadi berpigmen, mulut serta anus mulai terbuka. Posisi anus dapat digunakan sebagai salah satu karakter untuk identifikasi. Dalam perkembangan isi kuning telur dan kelenjar minyak digunakan secara bertahap. Ketika kuning telur habis, organ-organ yang dibutuhkan untuk mencari dan mengunyah makanan sudah berfungsi. Pada tahap ini larva ikan menghadapi fase yang kritis (Russell 1976).
10
Pada larva ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang digunakan yaitu : 1.
Berbagai struktur atau bentuk tubuh seperti mata, kepala, bagian lambung dan sirip khususnya sirip dada.
2.
Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang, pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora).
3.
Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan berubah, sungut dan pada preoperculum dan lain-lain (Romomihtarto dan Juwana 1998).
2.2
Migrasi dan Distribusi Ikan Terumbu Karang Migrasi atau ruaya, adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke
tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian, terhadap kondisi alam yang menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya. Migrasi dan distribusi suatu jenis ikan merupakan hal yang fundamental dari ikan. Ikan mengadakan migrasi dalam rangka : (1) pemijahan; (2) mencari makan; (3) mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pola migrasi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor Eksternal dan Internal dari suatu jenis ikan. Faktor eksternal berupa faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan dalam migrasi ikan. Sedangkan internal adalah faktor yang terdapat di dalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain-lainnya yang berhubungan dengan faktor luar tadi (Baskoro. Wahyu, dan Effendy, 2004). Perairan karang adalah salah satu diantara ekosistem yang amat penting di laut. Salah satu diantara kelompok biota yang hidup disana adalah ikan. Ikan karang merupakan sumberdaya yang penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia (Adrim 1997 dalam Sulistiono 2000). Sale (1991) dalam Sulistiono (2000) mengemukakan bahwa ikan tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies ikan serupa mempunyai kebutuhan yang sama, dan terdapat persaingan aktif diantara spesies. Sebagai akibat dari jumlah spesies yang besar dan pembagian-pembagian habitat, dapat dikatakan bahwa kebanyakan ikan-ikan terumbu karang meskipun gerakan-gerakan mereka jelas tetapi ternyata mereka terbatas pada daerah tertentu di terumbu yang sangat
11
terlokalisasi. Mereka juga tidak berpindah dan banyak yang ukurannya kecil, seperti ikan belosoh, ikan tembakul, dan ikan betok yang terkenal dalam mempertahankan wilayahnya. Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan. Sehingga secara otomatis produktivitas sekunder atau produksi ikan, termasuk hewan-hewan laut lainnya seperti ikan, udang-udangan (lobster), octopus, kerangkerangan (oyster), di daerah terumbu karang juga sangat tinggi (Supriharyono, 2000). Menurut Nybakken (1992) dalam Sulistiono (2000) faktor kedalaman juga berperan dalam distribusi ikan karang. Pada umumnya mereka mempunyai kisaran kedalaman yang sempit, yang disebabkan faktor ketersediaan makanan, ombak dan predator. Selanjutnya Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) mengatakan bahwa kondisi fisik dapat berfungsi sebagai faktor yang mengekang larva ikan bermigrasi vertikal. Gradien suhu dapat membatasi migrasi vertikal dari organisme planktonik, termasuk larva ikan. Di lautan terbuka beberapa spesies terus menerus ditemukan di permukaan lapisan tercampur pada kolom air yang distratifikasi karena suhu misalnya herring, (Heath dkk, 1988; cod, Bucley dan Lough 1987; Ellersen dkk 1981; mackerel, Coombs dkk 1981, 1983; de Lafontaine dan Gascon 1989; Ropke 1989). Bagaimanapun juga, penafsiran dari beberapa pola ini harus dilakukan dengan alasan bahwa banyak zooplankton juga menunjukkan konsentrasi yang meningkat di lapisan permukaan kolom air yang distratifikasi. Motivasi sebenarnya distribusi larva ikan yang diamati mungkin karena bertemunya mangsa. Ikan akan cenderung mengelompok di lokasi yang kaya akan makanan dan menghindari ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam. Sebagian besar ikan karang merupakan ikan bertulang keras (Teleostei) dari ordo Percimorfes yang mulai berkembang sejak jaman tersier (Hutomo 1995 dalam Sulistiono 2000). Terumbu karang mempunyai keanekaragaman yang tinggi disebabkan karena daerah terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, namun terdapat
12
pula habitat lain seperti daerah pasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga dan juga perairan dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda melintasi karang. Keanekaragaman spesies ikan-ikan karang mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan terumbu karang di daerah tersebut. Ikan-ikan akan cenderung mengelompok pada bentuk karang tertentu dan umumnya mempunyai pergerakan yang terbatas dibandingkan invertebrata lain yang sama ukurannya. Hal ini disebabkan lingkungan yang berstruktur akibat bentuk terumbu karang yang kompleks (Nybakken 1992; Hutomo, 1993 dalam Sulistiono 2000). 2.3
Asosiasi Ekosistem Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi.
Hal ini di sebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Selanjutnya Odum (1993) menyatakan bahwa meskipun karang adalah binatang (phylum Coelenterata) namun banyak terumbu yang dengan penuh semangat memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi terorganisasi secara baik dalam menggunakan, menimbun, mendaur ulang masukan-masukan yang diterima dari perairan sekitarnya. Terumbu karang memiliki spesies yang amat beragam, dan sebagian besar dari spesies tersebut bernilai ekonomi tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri dari berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis (Dahuri, 2003). Organisme yang mendominasi daerah karang adalah ikan. Ikan merupakan organisme yang paling banyak ditemukan di daerah karang. Ikan karang digolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan ikan hias (ornamental fish) dan ikan yang dikonsumsi (food fish). Selanjutnya Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa fisiografi dasar perairan merupakan faktor utama yang menentukan distribusi dan kelimpahan ikan-ikan karang.
13
Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar ikan di ekosistem terumbu karang adalah ikan-ikan yang bersifat diurnal (aktif pada siang hari). Mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan plankton yang lewat di atasnya. Ikan-ikan diurnal ini seperti Famili Pomacentridae,
Chaetodontidae,
Pomacanthidae,
Acanthuridae,
Labridae,
Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cinrhitidae, Tetraodontidae, Blennidae, dan Gobiidae. Sebagian kecil lainnya adalah ikan-ikan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Ikan ini pada siang hari menetap di gua-gua dan celah-celah karang. Yang termasuk dalam kelompok ikan ini adalah Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae dan termasuk juga Famili Serranidae dan Labridae. Ada pula sebagian kecil jenis-jenis ikan yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti Famili Scombridae, Sphyraenidae dan Caesionidae. Sulistiono et al., (2000) menyatakan hal menarik tentang ikan ini adalah adanya perbedaan antara jenis ikan di siang hari (yang bersifat diurnal) dan jenis ikan di malam hari (yang bersifat nocturnal). Jenis ikan-ikan yang terlihat pada siang hari tidak akan terlihat di malam hari. Hal ini dikarenakan pada malam hari ikan-ikan yang bersifat diurnal bersembunyi dan berlindung di celah atau gua terumbu karang untuk menghindari pemangsaan dari ikan-ikan yang bersifat nocturnal. 2.4
Plankton Sebagai Sumber Makanan Bagi Larva Ikan Plankton merupakan kosakata Yunani yang berarti mengapung (drifting),
yang dapat didefenisikan sebagai komunitas organisme termasuk tumbuhan kecil (tiny plants) yang disebut phytoplankton, dan hewan (tiny animals) yang disebut zooplankton, yang tidak cukup memiliki kekuatan untuk mempertahankan atau menghindari pergerakan air atau arus. Untuk perikanan, keberadaan ikan selalu dikaitkan dengan keberadaan palnkton dan secara tegas mengikuti moto lama: “ Tidak ada plankton, tidak ada ikan” (no plankton, no fish) (Widodo dan Suadi, 2006). Plankton tidak hanya mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut, tetapi juga memberikan kemungkinan untuk percontohan kuantitatif (Odum, 1993). Selanjutnya Riley (1967) dalam Odum (1993) menemukan bahwa jumlah dan distribusi musiman fitoplankton maupun zooplankton dikawasan mana pun
14
dapat diramalkan melalui suatu formula yang didasarkan atas faktor-faktor keterbatasan penting tertentu dan koefisien fisiologi yang ditetapkan pada percobaan dalam laboratorium. Ikan mengadakan ruaya pemijahan, ruaya ke daerah makanan, pembesaran, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya dimana mereka menemukan kondisi yang diperlukan oleh fase tertentu dari daur hidupnya (Nikolsky 1963 dalam Effendie 1997). Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Makanan ikan mulai dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lamanya masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Umumnya makanan pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya adalah plankton bersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Jika untuk pertama kali ikan itu menemukan makanan yang berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya (Baskoro, Wahyu, dan Effendy, 2004). Makanan alami yang terdapat di alam seperti plankton atau jenis organisme lain merupakan sumber makanan bagi ikan. Kepadatan plankton merupakan indikator kesuburan suatu perairan. Makin subur suatu perairan maka semakin tinggi pula pertumbuhan plankton di perairan tersebut (Djajadiredja 1973). Keberadaan plankton berhubungan pula dengan keberadaan faktor fisika dan kimia dari perairan itu sendiri. Keterkaitan antara beberapa parameter fisika dan kimia merupakan suatu hubungan yang tak terpisahkan antara ketersediaan hara bagi fitoplankton dan kelangsungan keberadaan larva ikan sebagai salah satu organisme penghuni perairan. Penyesuaian terhadap ketersediaan makanan alami bagi ikan sangat erat hubungannya dengan faktor fisika-kimia dari perairan tersebut. Ketersediaan makanan alami pada suatu perairan sangat menentukan keberadaan dari organisme pemakan makanan alami tersebut. Demikian halnya bila terjadi perubahan lingkungan akan dapat merubah kebiasaan makan dari organisme yang
15
bersangkutan. Fluktuasi komposisi makanan dalam suatu perairan dimana ikan harus mampu untuk menyesuaikan pada ketersediaan makanan yang ada. Hal ini mengakibatkan persaingan pada kelompok tersebut bahkan persaingan antar individu dalam kelompok yang sama. Jenis / individu yang menang dalam kompetisi berpeluang untuk bertahan dan berkembang (Tjahyo, 1987). Dengan demikian keberadaan larva ikan pada suatu perairan sangat ditentukan oleh faktor makanan dan faktor-faktor fisika dan kimia sebagai faktor pendukung keberadaan dari ikan yang berarti kelangsungan dari komunitas sebagai bagian yang lebih besar. 2.5
Ekologi Larva Ikan dan Pembentukan Komunitas Kemampuan melawan pencampuran fisik dan terdapatnya kedalaman
tertentu tidak hanya tergantung dari kemampuannya berenang dan daya apungnya, tetapi juga motivasi untuk mengatasi kedalaman. Seleksi vertikal (kedalaman) yang cukup disebabkan beberapa parameter, misalnya : 1. Diutamakan untuk menghindari kondisi fisika seperti suhu, intensitas cahaya atau hempasan gelombang 2. Mencari lokasi yang banyak terdapat sumber makanan / mangsa (prey) 3. Menghindari daerah yang banyak pemangsa 4. Memenuhi tahap khusus dalam fisiologis seperti hasrat untuk berenang 5. Optimalisasi distribusi horizontal akibat gesekan vertikal. Pentingnya syarat ini membedakan antar spesies, antara tahap pertumbuhan dari suatu spesies, dan secara temporal (misalnya selama pergantian siklus) dari beberapa spesies (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001). Penelitian yang dilakukan terhadap larva yang mengungkapkan aspek-aspek tertentu dari fisiologi dan tingkah lakunya yang mengakibatkan terbentuknya komunitas. Telah diketahui bahwa larva dapat memilih daerah yang akan mereka tempati. Jadi, larva tidak menetap begitu saja pada perairan atau substrat yang ada jika tiba waktunya bermetamorfosis menjadi dewasa. Berbagai jenis biota telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi habitat di berbagai zona maupun tipe ekosistem (Dahuri, 2003). Secara alami ikan akan selalu mencari tempat yang sesuai dengan sifat hidupnya. Pada umumnya ikan
16
mempunyai lingkungan tertentu untuk kehidupannya dan antara satu ikan dengan ikan lainnya mempunyai syarat-syarat lingkungan yang tidak sama. (Baskoro, Wahyu, dan Effendy, 2004) Banyak larva dari invertebrata yang juga mempunyai kemampuan menunda metamorfosisnya sendiri selama jangka waktu tertentu sebelum mereka menemukan substrat yang baik pada saat mereka harus menetap. Penundaan metamorfosis ini mempunyai periode terbatas, jika setelah jangka waktu tertentu mereka belum juga menemukan substrat yang baik, metamorfosis akan berlangsung juga walaupun pada substrat yang kurang baik. Kemampuan menunda metamorfosis merupakan faktor untuk menjaga agar larva menetap pada tempat yang sesuai (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001). Selanjutnya Eidman, dkk (1988) dalam Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) mengatakan bahwa larva juga bereaksi terhadap faktor fisika-kimia lain seperti cahaya, tekanan, dan salinitas. Banyak larva yang mengapung bersifat fototaksis positif pada tahap awal kehidupan larvanya. Ini membuat mereka terdapat pada perairan bebas yang bergerak cepat dan jika tiba waktunya untuk menetap, mereka menjadi fototaksis negatif dan bermigrasi ke arah dasar. Beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga mereka hanya menempati tingkatan tertentu pada kolom air, yaitu daerah dengan keadaan sinar dan tekanan yang tepat. Penyebaran larva ke dalam berbagai lapisan air juga menunjukkan bahwa lapisan yang dekat dasar hanya akan mengandung larva yang siap untuk menetap. Walaupun larva mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk memisahkan substrat dan memilih tempat untuk menetap, sering ada variasi kelimpahan dan komposisi spesies yang cukup besar pada komunitas infauna dasar dari tahun ketahun. Hal ini berkenaan dengan sejarah hidup berbagai invertebrata yang membentuk komunitas, interaksi satu sama lain dan dengan lingkungan fisiknya, serta pengaruh pemangsa (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001).
3 BAHAN DAN METODE 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Pulau Abang Kecamatan Galang Baru Batam,
Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian berlangsung selama tiga kali yaitu pada bulan Mei, bulan Juli, dan bulan Oktober 2006. Stasiun penelitian dengan posisi masing-masing stasiun seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Letak stasiun tersebut merupakan hasil pengukuran GPS (Global Position System). Penentuan titik sampling berdasarkan hasil survei dan asumsi migrasi larva, arus, pasang surut serta evaluasi master plan Kota Batam dan rencana pengembangan Batam Mariculture Estate serta pengembangan sea rancching dan sea farmning dengan posisi masing-masing stasiun adalah : Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan contoh dan karakteristik masing-masing stasiun Letak Geografis Stasiun
Kedalaman
Karakteristik
Lintang Selatan
Bujur Timur
1 (Ranu)
000 33.378'
1040 13.810'
15
2 (Coi)
000 34.297'
1040 13.441'
10
3 (Dapur Enam)
000 34.163'
1040 12.923'
10
Terumbu karang, mangrove
4 (Sungai Tungkang)
000 35.977'
1040 12.324'
30
Terumbu karang, mangrove
5 (Pasir Bugis)
000 34.096'
1040 12.223'''
10
Terumbu karang, mangrove
6 (Sungai Pumpang)
000 33.533'
104011.838'
10
Terumbu karang, mangrove
7 (Ujung Baran)
000 32.673'
1040 11.9260
10
8 (Tanjung Mekmin)
000 32.02'
1040 14.518'
25
Terumbu karang, pertanian, dan pemukiman Terumbu karang, mangrove
Terumbu karang, mangrove Terumbu karang, pertanian, dan pemukiman
18
Stasiun penelitian ditetapkan sebanyak 8 stasiun yaitu : stasiun 1 berada diantara Pulau Abang Kecil dan Pulau Ranu dengan kondisi terumbu karang dan mangrove baik dan memiliki arus cukup deras, serta dicirikan adanya lokasi pertanian dan pemukiman. stasiun 2, 3, 5 dan 6 berada pada Pulau Abang Besar yang tidak berpenghuni dikelilingi oleh gusung pasir buluh, dan kondisi perairan dangkal dan terumbu karang dan mangrove padat. Untuk satasiun 4 berada pada bagian selatan Pulau Abang Besar yang perairannya menjorok kedalam dengan mangrove cukup padat dan terumbu karangnya cukup baik pula. Stasiun 6 dan 7 berada disebelah Timur Pulau Abang Besar dengan kondisi perairan cukup dalam dan berarus deras, terumbu karang baik dan mangrove sedikit. Sedangkan pada stasiun 8 berada di dekat Pulau Abang Kecil yang merupakan pemukiman penduduk yang kondisi terumbu karang dan mangrovenya sedikit kurang baik (CRITC- COREMAP, 2005). Posisi stasiun penelitian seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.
19
104°11'
104°13'
104°12'
104°14'
1
Tg. Mulut
Tg. Selit
1
l
a
t
0°36'
0°36'
e
St. 4
# Y
0
Km
S
Tg. Batu
104°15'
D
Tg. Air jambu
e
m
P. Abang Besar P. Penyu
p
o
0°35'
0°35'
Dapur Enam # Y
St. 3
0°34'
St. 2
St. 5 # Y
Gs. Pasir Buluh
P. Ranu
St. 1
Tg. Balap
# Y
P. Hantu
St. 7
0°33'
0°33'
St. 6 # Y
Tg. Pangkalan Tering 0°34'
# Y
# Y
P. Abang Kecil
St. 8
# Y
0°32'
0°32'
P. Sepintu
N W
E S
Skala 1 : 50.000
Legenda :
# Y Titik Stasiun
Darat Perairan Dangkal Mangrove Laut
104°14'
P. BATAM P. BINTAN
P. SUM ATRA
103°30'
104°00'
104°30'
104°15'
Digambar Oleh : M. Asman Bahara
SINGAPURA
1°00'
Peta Lokasi Penelitian Pulau Abang Kepulauan Riau
104°13'
Peta Indeks :
0°30'
104°12'
0°00'
104°11'
Tg. Mekmin
105°00'
Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Perairan Institut Pertanian Bogor 2008 Sumber Peta : - Peta RBI 1992 Bakosurtanal - Survey Lapangan 2006
Gambar 3 Lokasi Penelitian (Sumber : Peta RBI 1992 Bakosurtanal, Survei Lapangan 2006).
20
3.2
Objek Penelitian Obyek utama penelitian ini adalah larva ikan dan obyek pendukungnya yaitu
parameter bio fisika-kimia (kelimpahan plankton, TSS, salinitas, pH, temperatur, DO, dan sedimen). 3.3 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva net ukuran 0,5 mm, plankton net ukuran 0,040 mm dan cod end 25 ml, YSI.85 (OCST), WTW, secchi disk, kertas label, botol sampel, ember, kamera, mikroskop, dan bahan-bahan yang digunakan terdiri dari bahan pengawet larva ikan dan plankton, yaitu formalin dan lugol. 3.4
Metode Penelitian
3.4.1 Prosedur di Lapangan a.
Pengambilan Contoh Larva Pengambilan larva ikan dilakukan sekali dalam setiap bulan (Mei, Juli, dan
Oktober). Setiap stasiun penelitian dilakukan pengambilan sampel yaitu pada saat malam dan siang hari. Larva ikan ditangkap dengan menggunakan larva net dengan ukuran mata jaring 0,5 mm. Jaring larva yang digunakan seperti yang ditampilkan pada Gambar 4. Cara pengoperasian jaring larva ikan ini yaitu : Jaring larva (dengan bukaan mulut jaring 1 meter x 1 meter) yang dipasang atau diikat pada bagian belakang perahu motor dengan jarak 10 meter dengan kedalaman 10 – 30 meter. Kemudian jaring larva ditarik secara horizontal dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit setelah itu perahu berhenti, kemudian jaring ditarik dan diangkat. Sampel larva yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam ember lalu disortir untuk dimasukkan dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan formalin 4 % untuk selanjutnya di identifikasi.
21
Gambar 4 Jaring Larva Ikan b.
Pengambilan Contoh Plankton Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan 2 jaring plankton
net yaitu plankton biasa dan plankton tarik. Ukuran jaring plankton yang digunakan berdiameter 20 cm dan ukuran mata jaring (mesh size) 0,040 mm dan cod end 25 ml. Teknik pengambilan plankton net saring (scoop net) pertama dengan menyaring air sebanyak 100 liter (10 ember) yang disaring menggunakan alat plankton net yang bagian ujungnya telah dilekatkan botol film 30 ml. Sedangkan untuk pengambilan sampel plankton tarik digunakan alat jaring plankton tarik yang teknik pengambilan sampel planktonnya dilakukan bersamaan dengan pengoperasian jaring larva. Pengoperasian plankton tarik dilakukan dengan menarik dengan perahu motor selama 10 menit dengan kecepatan 1,5 knot (0,7717 m/s). Selanjutnya sampel plankton yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan lugol. c.
Pengambilan dan Pengukuran Parameter Kualitas Air Pengambilan air menggunakan alat Van Dorn Sampler. Pengoperasian alat ini
mula-mula kedua tutup katup dibuka lalu diturunkan setelah mencapai dasar, kemudian ditarik lagi setinggi satu meter selanjutnya pemberat (bandul) diturunkan untuk menutup kedua katup lalu ditarik. Sampel air permukaan dan dasar yang diperoleh kemudian dimasukan kedalam botol sampel, kemudian sisa air diukur oksigen, konduktivitas, salinitas, pH dan suhunya dengan menggunakan alat YSI.85 (OSCT).
22
3.4.2 Prosedur Laboratorium a. Identifikasi Larva Pengamatan
dilaboratorium
untuk
parameter
biologi
dilakukan
untuk
mengidentifikasi larva ikan. Larva ikan yang tertangkap di identifikasi sampai ke takson yang paling memungkinkan yaitu genus. Identifikasi mengacu pada buku Leis dan Rennis (1983), Jeyaseelan (1998) dan Okiyama (1988). HEAD
TRUNK
OTIC BRAIN CAPSULE PECTORAL BASE OLFACTORY PIT
TAIL
MYOMERES DORSAL FIN ANLAGE
EXTERNAL PIGMENT FINFOLD
TIP OF NOTOCHORD
POSTANAL MYOMERES
CLEITHRUM PELVIC ANGLE OF BUT LOWER CLEIITHRAL JAW MYOSEPTUM SYMPHYSIS CHOROID TISSUE
GAS BLADDER
INTERNAL PIGMENT
ANUS STRITED OUT
SUPRACLEIT HRAL SUPRAOCCIPITAL SPINE CREST WITH SPINE SERRATE SPINE PARIETAL SPINE SMOOTH SOFT PTEROTIC SPINE SPINE SPINE RAY BASE SUPRAOCULAR SPINE
SOFT RAY BASE
NOSTRIL ASCENDING MAXILLARY PROCESS
POSTANAL MYOMERES
PREOPERCULAR SPINE OPERCULAR SPINE
HEAD
INCIPIENT SOFT RAY ADIPOSE FIN
ANUS
TRUNK
TAIL
Gambar 5 Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan Stolephorus dan Decapterus (Leis, J.M. and Rennis, D.S. 1983).
23
b. Identifikasi Plankton Plankton yang telah diawetkan, kemudian diidentifikasi hingga ke takson yang memungkinkan yaitu genus dengan menggunakan buku pedoman Yamaji (1982), Tomas (1997). c. Pengukuran Parameter Kualitas Air Pengamatan laboratorium untuk parameter biologi kualitas air dilakukan di Laboratorium ProLing FPIK-IPB Bogor untuk mengamati TSS, DO, dan Nitrat-Nitrit. 3.5
Analisis Data
3.5.1 Kelimpahan Larva Kelimpahan larva ikan yang didefenisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus :
N = n / Vtsr dimana : N
= Kelimpahan larva ikan (ind/m3)
n
= Jumlah larva ikan yang tercacah (ind)
Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v ) l
= luas bukaan mulut saringan
t
= lama waktu penarikan saringan (menit)
v
= Kecepatan tarikan (m/menit)
3.5.2 Kelimpahan Plankton Kelimpahan plankton digunakan untuk mengetahui jumlah plankton dalam setiap volume ukuran. Secara sederhana jumlah hasil cacahan dikalikan dengan jumlah fraksi. Pencacahan plankton mengunakan SRC (Sedgwick Rafter Counting Cell) yang dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah individu/m3 (Basmi, 1999) dan dihitung berdasarkan rumus :
N = n×
1 Vr × Vs Vo
24
dimana: N
: Kelimpahan plankton (individu/m3)
n
: Jumlah plankton yang tercacah
Vs
: Volume air contoh yang disaring (m3)
Vr
: Volume air contoh yang tersaring (ml)
Vo
: Volume air pada Sedgwick Rafter (ml)
3.5.3 Indeks Keanekaragaman Keanekaragaman larva ikan diperlukan untuk menjelaskan kehadiran jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Keanekaragaman larva ikan dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Legendre dan Legendre 1983 dan Bengen 2000). Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai berikut :
H
!
=
S
∑
pi ln ni
i =1
Keterangan : H! = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener N = jumlah total individu dalam komunitas (Σ ni) ni = jumlah individu spesies atau jenis ke-i pi = proporsi individu spesies ke-i (ni/N) i = 1, 2, 3,......,s s = jumlah genus Dari persamaan di atas, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dikategorikan sebagai berikut (Odum 1971) : H!
< 2,3026
: Keanekaragaman populasi kecil
2,3026 < H! < 6,9078 : Keanekaragaman populasi sedang H!
> 6,9078
: Keanekaragaman populasi tinggi
3.5.4 Indeks Keseragaman Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu setiap spesies dalam komunitas. Indeks keseragaman (E) larva ikan dihitung berdasarkan persamaan berikut :
25
E =
H
,!
=
atau E
!,
H ln
H maks .
,
s
Keterangan : E
= indeks keseragaman ,
H
= indeks keanekaragaman
s
= jumlah genus
Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas. Indeks Keseragaman berdasarkan Odum (1971) adalah : ,
H
E = H
!
,
maks
.
Keterangan : E
= indeks keseragaman
H,
= indeks keanekaragaman
H maks = ln s s
= jumlah genus
Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati 1 sebaran individu antar jenis merata (seragam). Nilai E mendekati 0 apabila sebaran individu antar jenis tidak merata atau ada sekelompok jenis tertentu yang dominan. 3.5.5 Indeks Dominasi Indeks Dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Odum 1971) :
D=
⎛ ni ⎞ 2 ∑ ( pi ) = ∑ ⎜ ⎟ S
n
i =1
i =1
2
⎝N⎠
Keterangan : D
= indeks dominasi
ni
= jumlah individu genus ke-i
N
= jumlah total individu
pi
= proporsi individu spesies ke-i (ni/N)
i
= 1, 2, 3, ....., s
s
= jumlah genus
26
Kriteria nilai sebagai berikut : D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi, dan D mendekati 1 terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lain. 3.5.6 Analisis Komponen Utama / PCA (Principal Component Analysis) Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter bio-fisikakimia perairan (Bengen 2000). Analisis Komponen Utama adalah suatu teknik ordinasi yang memproyeksikan dispersi matriks dari data multidimensi dalam suatu ruang datar. Dengan
cara
mereduksi
ruang
maka
diperoleh
sumbu-sumbu
baru
yang
merepresentasikan secara optimal dari sebagian besar variabilitas data matriks multidimensi sehingga dapat ditemukan hubungan antar ciri dan hubungannya antar obyek. Analisis ini membagi matriks korelasi parameter menjadi beberapa komponen, kemudian menyusun keragaman komponen bersangkutan dari yang terbesar pada sumbu komponen utama hingga didapatkan ditribusi spasial parameter biologi, fisika dan kimia pada suatu daerah tertentu. Data karakteristik habitat yang berupa parameter lingkungan tidak mempunyai satuan unit pengukuran dan ragam yang sama. Oleh karena itu sebelum data dianalisis, perlu dilakukan ormalisasi data terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Dengan demikian didapatkan indeks sintetik dari kombinasi linear nilai-nilai karakteristik habitat asal (Legendre dan Legendre 1983). Korelasi linear antar dua parameter yang dianalisis dari indeks sintetik merupakan peragam dari kedua parameter yang telah dinormalisasikan. Analisis Komponen Utama mencari indeks yang menunjukkan ragam stasiun maksimum. Indeks ini disebut Komponen Utama Pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun direpresentasikan oleh F1. Selanjutnya dicari Komponen Utama Kedua (F2) yang memiliki korelasi nol dengan F1. Komponen F2 ini memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap F2. Proses ini berlanjut terus hingga memperoleh komponen utama ke-p, dimana begian informasi dapat dijelaskan semakin kecil. Analisis Komponen Utama menggunakan indeks jarak Euclidean pada data. Jarak Euclidean (Ludwig dan Reynold 1988; Bengen 2000) hubungan didasarkan pada rumus:
27
2
D (i, i ) = ∑ (xij − xii j ) 2
,
p
,
j =1
Keterangan : i,i, = stasiun (baris) j = parameter lingkungan (kolom) Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka karakteristik bio-fisikakimia antar 2 stasiun tersebut semakin mirip, demikian pula sebaliknya. Perhitungan PCA dilakukan dengan bantuan paket program statistik XLSTAT versi 5.0.
4 HASIL PENELITIAN
4.1
Kondisi Umum Pulau Abang Secara geografis Kepulauan Abang merupakan wilayah yang masuk dalam
wilayah Kota Batam yang mempunyai posisi yang strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional dan hanya berjarak 12.5 mil laut dengan negara tetangga Singapura, kondisi ini menempatkan Kota Batam sebagai pintu gerbang lokomotif pembangunan ekonomi baik Propinsi Riau maupun Nasional. Kepulauan Abang terletak pada 0.53o – 0.58o Lintang Utara dan 104.21o – 104.23o Bujur Timur merupakan sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa pulau yang mempunyai batas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Karas (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Senayang (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karimun (4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Senayang Pulau Abang termasuk dalam kawasan kepulauan Riau, memiliki gugusan pulau yang terdiri dari ± 30 pulau besar dan kecil. Pulau Abang Besar memiliki panjang pantai sekitar 29,9 km dan Pulau Abang Kecil memiliki panjang pantai sekitar 9,5 km. Iklim yang berpengaruh di Pulau Abang adalah iklim tropis. Lokasi penelitian merupakan daerah kepulauan yang masih termasuk dalam Kecamatan Galang Baru yang terletak di sebelah Selatan kawasan Barelang (Batam, Rempang dan Galang) yang termasuk kedalam wilayah administrasi Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk 1.645 jiwa. Daerah ini memiliki daratan sepanjang 12.7 Km2 dengan jumlah 42 pulau dan yang berpenghuni 7 pulau. Kepulauan Abang dikelilingi oleh tumbuhan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora sp. Sonneratia sp dan beberapa jenis Avicennia sp. Selain ekosistem mangrove, Pulau Abang juga memiliki potensi terumbu karang yang relatif baik. Terumbu karang di Pulau Abang memiliki lereng terumbu landai dengan kemiringan sekitar 30o. Beberapa karang batu dengan bentuk pertumbuhan massif seperti Porites lutea dan Favia, serta Acropora lebih umum dijumpai dibandingkan dengan karang batu jenis lainnya. Menurut data hasil pengamatan citra satelit, terumbu karang di
29
Pulau Abang diperkirakan mencapai tidak kurang dari 1400 ha. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kepulauan Abang memiliki sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik seperti ekosistem mangrove dan terumbu karang. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut. Pulau Abang memiliki kawasan mangrove yang cukup luas dengan luasan mencapai 4 km2 (CRITC-COREMAP, 2005). Kondisi mangrove yang baik ini akan mendukung pengembangan sea ranching di kawasan tersebut. Menurut Masaru (1999) in Sudrajad et al. (2001) sea ranching adalah konsep pengelolaan perairan pantai atas dasar pendekatan ekologi dengan memperhatikan potensi sumberdaya yang ada, sedangkan sea farming dapat dievaluasi sebagai elemen-elemen teknologi dari kegiatan sea ranching. Dalam hal ini, kegiatan sea ranching yang akan dikembangkan di Pulau Abang berupa penebaran stok ikan ke perairan di sekitar Pulau Abang. Ikan-ikan ini akan dibiarkan hidup secara alami. Adapun bentuk dari kegiatan sea farming yang akan dikembangkan adalah pembudidayaan ikan karang (ikan kerapu dan ikan kakap) melalui keramba jaring apung (KJA). Keadaan iklim daerah ini dipengaruhi oleh dua Musim yaitu Musim Timur, dan Musim Barat yang diselingi oleh Musim Peralihan (Pancaroba). Musim Timur biasanya terjadi pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei, Musim Peralihan terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan September sedangkan Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan bulan Januari. Berdasarkan rata-rata curah hujan Pulau Abang tergolong daerah basah dengan curah hujan 2000 mm/tahun, suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celcius, dengan dataran yang berbukit – bukit, berlembah, dan berbatu muda dengan ketinggian maksimum 160 meter di atas permukaan laut. 4.2
Kondisi Fisika Kimia Perairan Berikut adalah tabel hasil rata-rata perhitungan parameter fisika kimia perairan
Pulau abang. Nilai tersebut merupakan nilai dengan simpangan baku dari masing – masing stasiun setiap bulan pengamatan (Tabel 2).
30
Tabel 2 Data rata-rata parameter fisika kimia perairan pada setiap stasiun Parameter ST TSS
1)
Kecerahan Suhu
DO
Salinitas
pH
Nitrat Nitrit
1
28.7±4.5
6.5±0.9
30.0±0.1 4.2±0.2
31.1±0.4 8.08±0.1 0.35±0.6 0.06±0.01
2
27.3±4.5
6.0±0.9
29.9±0.1 4.2±0.2
32.1±0.4 8.14±0.1 0.23±0.6 0.06±0.01
3
32.7±4.5
5.7±0.9
29.9±0.1 4.1±0.2
32±0.4
8.07±0.1 0.23±0.6 0.05±0.01
4
25.3±4.5
6.0±0.9
30.0±0.1 4.3±0.2
32±0.4
8.09±0.1 0.24±0.6 0.06±0.01
5
31.3±4.5
5.0±0.9
30.3±0.1 4.6±0.2
32.2±0.4 8.09±0.1 0.21±0.6 0.07±0.01
6
25.3±4.5
5.0±0.9
30.2±0.1 4.4±0.2
31.9±0.4 8.13±0.1 0.24±0.6 0.05±0.01
7
37.3±4.5
5.0±0.9
29.9±0.1 4.7±0.2
32.2±0.4 8.03±0.1 0.21±0.6 0.05±0.01
8
24±4.5
7.5±0.9
30.0±0.1 4.3±0.2
32±0.4
7.82±0.1 0.15±0.6 0.03±0.01
Secara Spasial Secara spasial suhu perairan Pulau Abang pada setiap stasiun pengamatan
berkisar antara 29.9 – 30.3 °C, dimana suhu tertinggi ditemukan pada stasiun 5 (30,3 0C) dan suhu terendah ditemukan pada stasiun 2, 3, dan 7 (29,9 0C). DO berkisar antara 4.1 – 4.7 mg/l, tertinggi ditemukan pada stasiun 7 (4,7) sedangkan DO terendah ditemukan pada stasiun 3 (4,1). Salinitas perairan berkisar 28.7 – 32.2 ppt, dimana salinitas tertinggi ditemukan pada stasiun 5 (32,2 ppt) dan terendah ditemukan pada stasiun 1 (31,1 ppt). Kecerahan berkisar antara 5 – 40 meter, kecerahan tertinggi ditemukan pada stasiun 8 (7,5 meter) dan kecerahan terendah ditemukan pada stasiun 5, 6, dan 7 (5 meter). Kadar TSS berkisar antara 4 – 54, tertinggi ditemukan pada stasiun 7 (37,3) dan terendah pada stasiun 8 (24). Untuk pH perairan berkisar antara 7.8-8.14, tertinggi ditemukan pada stasiun 2 (8,14) dan terendah ditemukan pada stasiun 8 (7,82). Nitrat berkisar antara 0.15 – 0.35, tertinggi ditemukan pada stasiun 1 (0,35) dan terendah pada stasiun 8 (0,15). Sedangkan untuk parameter Nitritnya berkisar antara 0.03 – 0.07, dimana nilai tertinggi ditemukan pada stasiun 5 (0,07) dan terendah ditemukan pada stasiun 8 (0,03). Nilai tersebut merupakan rata-rata hasil pengukuran parameter yang di dapatkan pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 2 dan lampiran 6a. 6b. 6c).
31
2) Secara Temporal Secara temporal suhu perairan Pulau Abang pada bulan Mei berkisar 30.2 – 31.4 °C, bulan Juli berkisar 31,4 – 30,8, sedangkan pada bulan Oktober suhu berkisar 29,4 – 30,1. Suhu tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 1 (30,8°C) sedangkan suhu terendah ditemukan pada bulan Juli pada stasiun 7 (29,2°C). Oksigen terlarut (DO) bulan Mei berkisar 4,8 – 5,95, bulan Juli 3,18 – 3,62, sedangkan pada bulan Oktober berkisar 3,41 – 4,3. DO tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 7 (5,95) dan DO terendah ditemukan pada bulan Juli stasiun 1 (3,18). Salinitas bulan Mei berkisar 31,1 – 32, 2 o/oo, bulan Juli berkisar 28,7 – 30,9 o/oo, dan bulan Oktober berkisar 30 – 32 o/oo. Salinitas tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 5 dan 7 (32,2), dan salinitas terendah ditemukan pada bulan Juli pada stasiun 1 (28,7). Kecerahan perairan bulan Mei berkisar 5 – 10 meter, bulan Juli berkisar 5 – 6,5 meter, sedangkan pada bulan Oktober kecerahan berkisar 5 – 7 meter. Kecerahan perairan tertinggi diemukan pada bulan Mei pada stasiun 8 (10 meter), dan kecerahan terendah ditemukan pada setiap bulannya yaitu pada stasiun 6 (5 meter). Kadar TSS bulan Mei berkisar 4 – 32, bulan Juli berkisar 41 – 54, dan bulan Oktober berkisar antara 4 – 40. TSS tertinggi ditemukan pada bulan Juli pada stasiun 3 (54), sedangkan yang terendah ditemukan pada bulan Mei stasiun 3 dan bulan Oktober stasiun 8 (4). Kadar pH bulan Mei berkisar 8 – 8.12, bulan Juli berkisar 7,65 – 8,21, sedangkan pada bulan Oktober berkisar 8,04 – 8,23. Kadar pH tertinggi ditemukan pada bulan Oktober pada stasiun 8 (8,23), dan terendah ditemukan pada bulan Juli stasiun 8 (7,65). Nitrat bulan Mei berkisar 0,353 – 0,890, bulan Juli berkisar 0,020 – 0,034, sedangkan pada bulan Oktober berkisar antara 0,070 – 0,188. Kadar Nitrat tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 1 (0,890), sedangkan Nitrat terendah ditemukan pada bulan Juli stasiun 7 (0,020). Sedangkan kadar Nitrit pada bulan Mei berkisar 0,001 – 0,005, bulan Juli berkisar 0,014 – 0,027, dan bulan Oktober berkisar 0,070 – 0,188. Kadar Nitrit tertinggi ditemukan pada bulan Oktober stasiun 5 (0,188), sedangkan yang terendah ditemukan pada bulan Mei stasiun 2 dan 5 (0,001).
32
4.3
Kondisi Biologi
4.3.1 Plankton Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama tiga kali dari 8 stasiun, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-rata kelimpahan fitoplankton dan zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan (individu/m3) Parameter
Stasiun
Fitoplankton
Zooplankton
1
231166.7
45100
2
519200
51200
3
276983.3
38700
4
472316.7
46300
5
374750
53900
6
231400
54500
7
189666.7
73600
8
217533.3
38500
Perbandingan Kelimpahan
Kelimpahan Individu/m3
600000 500000 400000 300000 200000
Fitoplankton
100000
Zooplankton
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Gambar 6 Histogram perbandingan kelimpahan antara fitoplankton zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan 1)
dan
Secara Spasial Secara spasial kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan Pulau
Abang berkisar antara 18.550 – 1.044.800 individu/m3. Pada bulan Mei kelimpahan kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 4 sebesar 312.800 individu/m3 dan kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 6 yaitu sebesar 18.550 individu/m3. Untuk zooplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 7 sebesar 53.400
33
individu/m3 dan terendah ditemukan pada stasiun 6 sebesar 26.100 individu/m3. Pada bulan Juli kelimpahan kelimpahan fitoplanktonnya tertinggi ditemukan pada stasiun 2 yaitu sebesar 1.044.800 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 yaitu sebesar 192.600 individu/m3. Untuk zooplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 4 sebesar 32.100 individu/m3 terkecil pada stasiun 8 sebesar 11.100 individu/m3. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu sebesar 514.800 individu/m3 dan kelimpahan terendah pada stasiun 7 yaitu sebesar 46.250 individu/m3 dan untuk kelimpahan zooplanktonnya tertinggi ditemukan pada stasiun 7 sebesar 154.500 individu/m3. (Tabel 3 dan Lampiran 6). 2)
Secara Temporal Untuk kelimpahan fitoplankton secara temporal, bulan Mei tertinggi
ditemukan pada stasiun 4 dengan kelimpahan 312.800 individu/m3 dan terendah pada stasiun 6 yaitu sebesar 18.550 individu/m3. Bulan Juli kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 2 dengan kelimpahan sebesar 1.044.800 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 yaitu 192.600 individu/m3. Sedangkan untuk kelimpahan bulan Oktober, tertinggi ditemukan pada stasiun 4 dengan kelimpahan 514.800 individu/m3 dan terendah ditemukan pada stasiun 7 yaitu 46.250 individu/m3 (Tabel 4 Lampiran 6). Tabel 5 Kelimpahan rata-rata fitoplankton setiap bulan di setiap stasiun pengamatan (individu/m3) Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah
Bulan Mei Fitoplankton 47650 66200 48900 312800 78300 18550 58050 48700 679150
Parameter Bulan Juli Fitoplankton 406650 1044800 430950 589350 826650 422100 464700 192600 4377800
Bulan Oktober Fitoplankton 239200 446600 351100 514800 219300 253550 46250 411300 2482100
34
1200000 1000000 Indv./m3
800000 600000
Bulan Mei Fito
400000
Bulan Juli Fito
200000
Bulan Oktober Fito
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Gambar 7
Histogram kelimpahan fitoplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan
Hasil perhitungan kelimpahan zooplankton secara temporal, pada bulan Mei tertinggi ditemukan pada stasiun 7 sebesar 53.400 individu/m3 dan terendah pada stasiun 6 yaitu sebesar 26.100 individu/m3. Untuk bulan Juli kelimpahan zooplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 4 sebesar 32.100 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 yaitu sebesar 11.000 individu/m3. Sedangkan kelimpahan zooplankton pada bulan Oktober zooplankton tertinggi pada stasiun 7 yaitu 154.500 individu/m3 dan terendah ditemukan pada stasiun 3 sebesar 55.500 individu/m3 (Tabel 3 dan Lampiran 6). Tabel 4 Kelimpahan rata-rata zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan (individu/m3) Parameter Stasiun
Bulan Mei
Bulan Juli
Bulan Oktober
Zooplankton
Zooplankton
Zooplankton
1
36300
16500
82500
2
40800
13200
99600
3
33300
27300
55500
4
30300
32100
76500
5
43500
27600
90600
6
26100
25800
111600
7
53400
12900
154500
8
27300
11100
77100
Jumlah
291000
166500
747900
35
160000 140000 Indv./m3
120000 100000 80000
Bulan Mei Zoo
60000
Bulan Juli Zoo
40000
Bulan Oktober Zoo
20000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Gambar 8 Histogram kelimpahan zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan Dari hasil analisis kelimpahan, didapatkan perbandingan antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton siang dan malam hari seperti yang disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 9. Tabel 6 Perbandingan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton siang dan malam hari (individu/m3) Sampling Siang
Parameter ST 1
Fitoplanton Zooplanton
ST 2
ST 3
56400
ST 6
ST 7
23100
11400
33600
46800
65700 128700
ST 8 706200 38700
Sampling Malam ST 1
Zooplankton
ST 5
454700 324900 599800 666100 417950 435600 2018000
Parameter Fitoplankton
ST 4
ST 2
ST 3
ST 4
ST 5
ST 6
ST 7
ST 8
351250 392700 317900 275350 462300 255800 382750 229200 24300
48000
29400
40500
47700
36600
50400
32100
36
Fitoplankton
Kelmpahan Individu/m3
2500000 2000000 1500000
Siang
1000000
Malam
500000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Zooplankton
Individu/m3
Kelimpahan
250000 200000 150000
Siang
100000
Malam
50000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Gambar 9
Histogram perbandingan plankton tarik antara fitoplankton dan zooplankton siang dan malam hari.
4.3.2 Larva 1. Secara Spasial Dari hasil penelitian yang dilakukan selama tiga bulan larva ikan yang ditemui pada setiap musimnya mempunyai kelimpahan berbeda. a.
Kelimpahan Larva disetiap Stasiun pada Bulan Mei Jumlah kelimpahan total larva ikan yang tertangkap pada bulan Mei, baik siang
maupun malam hari berjumlah 439 individu/m3. Kelimpahan terbanyak terdapat pada stasiun 2 yaitu sebanyak 97 individu/m3 dan terendah pada stasiun 7 sebanyak 33 individu/m3 dengan jumlah famili yang tertangkap 29 famili. Jumlah total larva ikan yang banyak tertangkap pada bulan Mei setiap stasiun baik malam maupun siang yaitu famili Mullidae (100 individu/m3), famili Carangidae (53 individu/m3) famili Kuhliidae (39 individu/m3), dan famili Monacanthidae (21 individu/m3) (Lampiran 3).
37
b.
Kelimpahan Larva disetiap Stasiun pada Bulan Juli Jumlah kelimpahan total larva ikan yang tertangkap pada bulan Juli baik siang
maupun malam hari berjumlah 608 individu/m3. Kelimpahan terbanyak terdapat pada stasiun 3 yaitu sebanyak 117 individu/m3 dan terendah pada stasiun 4 sebanyak 31 individu/m3 dengan jumlah famili yang tertangkap terdiri dari 39 famili. Jumlah total larva ikan yang banyak tertangkap pada bulan Juli baik siang maupun malam yaitu famili Carangidae (70 individu/m3), Clupeidae (64 individu/m3), Engraulididae (59 individu/m3), dan famili Sillaginidae (56 individu/m3) (Lampiran 4). c.
Kelimpahan Larva disetiap Stasiun pada Bulan Oktober Jumlah kelimpahan total larva ikan yang tertangkap pada bulan Oktober baik
siang maupun malam hari berjumlah 525 individu/m3. Kelimpahan terbanyak terdapat pada stasiun 1 yaitu sebanyak 117 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 sebanyak 22 individu/m3 dengan jumlah famili yang tertangkap terdiri dari 30 famili. Jumlah total larva ikan yang banyak tertangkap pada bulan Oktober baik siang maupun malam hari yaitu famili Carangidae (123 individu/m3), Engraulididae (58 individu/m3), Clupeidae (44 individu/m3), dan famili Mugilidae (37 individu/m3) (Lampiran 5). 2. Secara Temporal Secara temporal kelimpahan larva ikan yang ditemukan setiap musim pada setiap stasiun, terlihat bulan Mei pada stasiun 2, 6 dan stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober. Pada bulan Juli, kelimpahan tertinggi larva ikan pada stasiun 2, 3, 6, dan stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan pada bulan Mei dan bulan Oktober. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan tertinggi larva ikan stasiun 1, 4, 5 dan stasiun 7 lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Juli dan bulan Oktober (Tabel 7).
38
Tabel 7 Total kelimpahan larva ikan setiap bulan selama penelitian (individu/m3) Stasiun Bulan
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
8
Mei
72
97
50
36
36
75
33
39
438
Juli
100
106
117
31
81
97
33
44
609
Oktober
119
56
53
89
83
69
33
22
525
a.
Kelimpahan larva disetiap stasiun pada bulan Mei Kelimpahan Larva Bulan Mei (Individu/m3)
120
ST. 1
100
ST.2 ST.3
80
ST.4 60
ST. 5
40
ST. 6 ST. 7
20
ST. 8 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 10 Histogram kelimpahan larva ikan setiap stasiun pada bulan Mei b.
Kelimpahan larva disetiap stasiun pada bulan Juli Kelimpahan Larva Ikan Bulan Juli (Individu/m3)
120
ST. 1
100
ST.2 ST.3
80
ST.4 60
ST. 5
40
ST. 6
20
ST. 7 ST. 8
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 11 Histogram kelimpahan larva ikan setiap stasiun pada bulan Juli
39
c.
Kelimpahan larva disetiap stasiun pada bulan Oktober Kelimpahan Larva Ikan Bulan Oktober (Individu/m3) 120 ST. 1 100
ST.2
80
ST.3 ST.4
60
ST. 5
40
ST. 6 ST. 7
20
ST. 8
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 12 Histogram kelimpahan larva ikan setiap stasiun pada bulan Oktober 4.4 Keterkaitan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Tanda minus atau positif menunjukan sifat korelasi negatif atau positif antar parameter. Nilai positif yang mendekati satu (0.5 sampai 1) menjelaskan hubungan yang berbanding lurus antar parameter. Nilai negatif yang mendekati minus satu (-0.5 sampai -1) menjelaskan hubungan yang berbanding terbalik antar parameter. Sedangkan nilai yang mendekati nol (-0.5 sampai 0.5) menjelaskan bahwa hubungan antar parameter yang tidak erat atau tidak mempunyai pengaruh terhadap parameter yang lain. Tabel 8 Matriks korelasi antar parameter fisika. kimia dan biologi
Parameter TSS Kecerahan Suhu Oksigen Salinitas pH Nitrat Nitrit Larva Fito Zoo
TSS Kecerahan Suhu Oksigen Salinitas 1.000 -0.243 1.000 -0.662 0.062 1.000 -0.656 0.052 0.869 1.000 -0.510 0.045 0.425 0.714 1.000 -0.031 0.073 -0.162 -0.205 -0.318 -0.726 0.114 0.803 0.890 0.575 0.097 0.098 -0.338 -0.398 -0.318 0.342 -0.168 -0.229 -0.353 -0.343 0.590 -0.143 -0.705 -0.689 -0.495 -0.237 0.043 -0.032 -0.041 -0.044
pH
Nitrat
Nitrit Larva
Fito
Zoo
1.000 -0.161 0.394 0.130 0.326 0.391
1.000 -0.361 -0.158 -0.653 -0.104
1.000 0.171 1.000 0.066 0.297 1.000 0.770 -0.117 -0.234 1.000
40
Untuk mengetahui hubungan antar parameter fisika kimia dan biologi dengan kelimpahan larva ikan di perairan Pulau Abang digunakan Analisis Komponen Utama (AKU) atau PCA (Principal Components Analysis). Beberapa parameter fisika kimia biologi perairan yang diperhitungkan yaitu: TSS, kecerahan, suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH, nitrat dan nitrit, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton serta kelimpahan larva. Dari gambar 13 dapat dilihat bahwa akar ciri dari komponen utama yang pertama dapat menjelaskan data sebesar 42.90 % dan akar ciri yang kedua dapat menjelaskan data sebesar 19.12 %. Analisis komponen utama yang dilakukan terhadap data rataan selama pengamatan di perairan Pulau Abang menghasilkan dua sumbu penyusun komponen utama dengan kontribusi total mencapai 71.65 % (Gambar 13 dan 14). Hal ini berarti total ragam yang terjelaskan dari ketiga analisis komponen utama tersebut sampai dengan 71.65 %.
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2)
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)
Cases with sum of cosine square >= 0.00 5
4 2.Oktober 3
Zooplankton Nitrit
1.0
7.Oktober
pH
5.Oktober 6.Oktober 4.Oktober 8.Oktober 1.Oktober
0.5 Factor 2 : 19.13%
Factor 2: 19.13%
2
1 3.Oktober 8.Mei 1.Mei 2.Mei 5.Mei 3.Mei 7.Mei 4.Mei 6.Mei
0
Larva Fitoplankton TSS
-0.5
4.Juli 1.Juli 6.Juli 3.Juli 5.Juli 7.Juli 2.Juli 8.Juli
-1
Kecerahan Suhu Nitrat Oksigen Salinitas 0.0
-1.0
-2
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Factor 1 : 42.90%
-3
-4 -6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
Active
Active
Factor 1: 42.90%
Gambar 13 Grafik Principal Component Analysis (PCA) pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2). A. Korelasi antar stasiun pengamatan B. Korelasi antar parameter bio-fisika kimia perairan
41
Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 3)
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 3)
Cases with sum of cosine square >= 0.00 5
4 1.0 3
8.Mei
Kecerahan 8.Oktober 8.Juli
1 4.Mei 3.Mei 0
0.5 Factor 3 : 9.63%
Factor 3: 9.63%
2
4.Juli 7.Juli 3.Oktober 7.Oktober 4.Oktober 2.Oktober 2.Juli 5.Juli 5.Oktober 6.Juli 6.Oktober 1.Juli 3.Juli 1.Oktober
7.Mei 1.Mei 5.Mei 2.Mei
Salinitas ZooplanktonNitrit
0.0 Oksigen Nitrat Suhu
Fitoplankton TSS
pH
-0.5
Larva
-1 6.Mei -1.0
-2
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Factor 1 : 42.90%
-3
-4 -6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
Active
Active
Factor 1: 42.90%
Gambar 14 Grafik Principal Component Analysis (PCA) pada sumbu faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3). A. Korelasi antar stasiun pengamatan B. Korelasi antar parameter bio-fisika kimia perairan Tabel 9 Diagonalisasi komponen utama berdasarkan stasiun Subyek
Akar Ciri
% Total
Komulatif
Komulatif %
F1
4.7187
42.8977
4.7187
42.8977
F2
2.1041
19.1286
6.8229
62.0263
F3
1.0594
9.6312
7.8823
71.6574
Tabel 10 Matriks parameter pada koordinat sumbu Variabel TSS Kecerahan Suhu Oksigen Salinitas pH Nitrat Nitrit Larva Fitoplankton Zooplankton
Faktor 1
Faktor 2
Faktor 3
0.7768 -0.1459 -0.8695 -0.9486 -0.7369 0.3182 -0.8985 0.4267 0.4194 0.7906 0.0594
-0.3750 0.2778 0.0479 0.0002 -0.0725 0.5639 0.0072 0.8016 -0.1212 -0.2510 0.9168
-0.0029 0.6594 -0.2412 -0.1308 0.1186 -0.2191 -0.2291 -0.0638 -0.6525 0.0261 -0.0657
42
4.5
Jenis-jenis Larva Ikan yang Tertangkap Berdasarkan banyaknya jumlah larva ikan yang banyak tertangkap setiap
musim diperairan Pulau Abang pada setiap stasiun didominasi oleh jenis larva ikan dari famili Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae dan Mugilidae. Sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah larva dari famili Tetraodontidae, Scorpaenidae, Sphyraenidae, Sternoptychidae, dan Pegasidae. Berdasarkan dari hasil sampling yang dilakukan ada beberapa jenis larva yang hanya banyak ditemukan atau tertangkap pada malam hari akan tetapi pada siang hari tidak ditemukan begitupun sebaliknya. Jumlah jenis dan kelimpahan larva ikan yang banyak ditemukan pada malam hari setiap stasiunnya umumnya banyak didominasi dari famili Mullidae dan Aulopodidae, sedangkan pada siang hari didominasi famili Clupeidae dan Apogonidae pada sampling bulan Juli. 4.6 Komposisi dan Kelimpahan Larva Penelitian yang telah dilaksanakan selama 3 kali ditemukan komposisi dan kelimpahan larva ikan terdiri dari 52 famili dan 84 genus dengan total individu 1.572 individu/m3 (Lampiran 2, 3, 4 dan 5).Total dari 1.572 individu/m3 tersebut mencakup hasil keseluruhan perhitungan selama 3 kali pengamatan baik sampling siang dan malam hari pada 8 stasiun penelitian (Lampiran 3, 4, dan 5). Dari hasil sampling larva ikan yang dilakukan di perairan Pulau Abang selama penelitian dari delapan stasiun, larva dari famili Carangidae genus Selar menempati jumlah yang lebih banyak baik sampling siang maupun malam hari. Kelimpahan larva Selar yang ditemukan sebesar 175 individu/m3 (Lampiran 4. 5) dengan kelimpahan terbesar pada bulan Juli dan bulan Oktober sampling malam stasiun 2 dan 1. Sedangkan pada bulan Mei larva selar tidak dijumpai baik sampling siang maupun malam. Pada posisi ke dua ditempati larva dari famili Engraulididae genus Stolephorus sebesar 136 individu/m3 yang ditemukan terbesar pada bulan Juli di stasiun 1 sampling malam. Sedangkan yang terkecil ditemukan pada bulan Mei sebesar 22 individu/m3.
43
4.7 Indeks Keanekaragaman. Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi Hasil analisis indeks Keanekaragaman (H’). indeks Keseragaman (E) dan indeks Dominansi (D) larva ikan menunjukan nilai yang hampir sama pada setiap bulannya (Lampiran 7). Bulan Mei
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
(H*) (E) (D) 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Bulan Juli
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
(H*) (E) (D) 1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Bulan Oktober (H*) 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
(E) (D)
1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun
Gambar 15 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi larva ikan setiap bulan pengamatan.
44
4.6.1 Indeks Keanekaragaman Dari hasil perhitungan nilai indeks Keanekaragaman (H’) pada setiap stasiun bulan Mei, bulan Juli, dan bulan Oktober memiliki nilai yang berbeda dimana nilai tertinggi terdapat pada bulan Mei stasiun 1 dan 2 (2,92), sedangkan nilai terendah ditemukan pada bulan Oktober stasiun 8 (1,21). Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) larva ikan setiap bulan selama penelitian berlangsung diperlihatkan pada Gambar 15 dan Lampiran 7. 4.6.2 Indeks Keseragaman Dari hasil perhitungan nilai indeks Keseragaman (E) pada setiap stasiun, nilai tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 4 dan 5 yaitu 0.98 dan terendah pada stasiun 3 yaitu 0.88. Bulan Juli nilai tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,95 dan terendah pada stasiun 8 dengan nilai 0.89, sedangkan pada bulan Oktober nilai tertinggi ditemukan pada stasiun 2 yaitu 1.00 dan terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0.63. Nilai hasil perhitungan indek Keseragaman (E) ini dapat dilihat pada Gambar 15 dan Lampiran 7. 4.6.3 Indeks Dominansi Dari hasil perhitungan nilai indeks Dominansi (D’) pada setiap stasiun bulan Mei, bulan Juli, dan bulan Oktober memiliki nilai yang sama dimana nilai tertinggi pada stasiun 3 yaitu 0.17 dan terendah pada stasiun 1 yaitu 0.06.
Nilai hasil
perhitungan indek Dominansi (D) ini dapat dilihat pada Gambar 15 dan Lampiran 7.
5 PEMBAHASAN 5.1
Kondisi Lingkungan Suhu perairan Pulau Abang setiap waktu pengamatan berkisar antara
29.2 0C – 31.4 °C. Nilai suhu terendah dijumpai pada bulan Juli stasiun 7 sebesar 29.2 0C. Rendahnya nilai suhu pada stasiun 7 ini, diduga karena berada pada Bulan Juli serta letak daerah ini berada pada daerah berarus kuat. Massa air pada stasiun ini sering berganti sebagai akibat perpindahan massa air laut. Selain pengaruh perpindahan massa air dari laut tersebut, stasiun ini juga merupakan daerah celah karang/selat antara pulau Abang Besar dan pulau Abang Kecil. Menurut Effendi (2003) mengatakan suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Nilai suhu tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan 6 dengan nilai 31,4 0C. Nilai temperatur yang tinggi tersebut karena berada pada bulan Mei yang bercurah hujan rendah serta diduga akibat pemanasan sinar matahari karena perairannya dangkal dan menjorok kedalam. Nilai suhu yang diperoleh ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang penelitian (CRITC- COREMAP, 2005) dimana suhu perairan Pulau Abang berkisar antara 29,64 0C – 30,20 0C. Suhu sangat menentukan laju reaksi kimia (metabolisme) pada semua kehidupan dan pada beberapa jenis ikan suhu sangat menentukan pola perkembangbiakkannya. Selain mempengaruhi kehidupan di laut, suhu juga menentukan parameter perairan lainnya seperti jumlah gas terlarut, viskositas air laut, dan densitas, yang juga menentukan distribusi kehidupan di laut (Widodo dan Suadi, 2006). Dari hasil pengukuran suhu dan salinitas penelitian terlihat perbedaan nilai suhu dan salinitas dengan pengukuran yang dilakukan oleh beberapa orang peneliti pada penelitian larva dan juvenil ikan yang berbeda di tiap daerah di Indonesia. Berikut ini rangkuman data pengukuran suhu dan salinitas hasil penelitian larva dan juvenil ikan di Indonesia seperti pada Tabel 11 dibawah ini.
46
Tabel 11 Rangkuman kualitas air beberapa hasil penelitian Peneliti
Suhu (0C)
Salinitas (0/00)
Daerah
Lokasi
Tahun
Asman Gaspar Najamuddin Nursid Purwandayanti Sukiyati Khoiriya
29 – 31 28 – 29 28 - 30 28 - 33 26 - 29 24 - 29 25 - 32
28 – 32. 10 - 33 31 - 33 00 - 33 33 - 34 31 -34 25 - 33
Pulau Abang T. Likupang Tj. Mangkok Cilacap Teluk Awur Teluk Awur Tegal
L E, L P E PL PL P, E, K
2006 2005 2003 2002 2000 2000 1999
Keterangan : L = Laut; P = Pantai; E = Estuaria; PL = Padang Lamun; K = Kanal
Nilai salinitas hampir relatif sama pada setiap bulannya dengan kisaran 28.7 ‰– 32.2 ‰. Nilai salinitas tertinggi pada bulan Mei ditemukan pada stasiun 5 dan 7 yaitu dengan nilai 32.2 ‰. Tingginya salinitas pada perairan ini diduga karena perairan ini merupakan perairan yang sering dilalui massa air laut terbuka. Sedangkan salinitas terendah ditemukan pada bulan Juli yaitu 28.7 ‰. Rendahnya salinitas pada bulan ini diduga pengaruh dari pola pergerakan arus, dimana pada bulan ini arus bergerak dari Timur menuju Barat. Nilai salinitas yang didapatkan masih dalam batas normal untuk kondisi perairan laut yang berkisar antara 30‰ – 40‰ (Effendi, 2003). Hasil penelitian (CRITC- COREMAP, 2005) salinitas perairan Pulau Abang berkisar 31,94 ‰– 32,65 ‰ dan kecepatan arus di perairan ini tertinggi mencapai 1.023 mm/detik pada kondisi surut dan 1.032 mm/detik pada kondisi menuju pasang. pH merupakan parameter yang juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Konsentrasi pH yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,82 – 8,14. Nilai ini masih dalam kisaran normal untuk perairan laut dan sebagian besar biota akuatik di suatu perairan menyukai nilai pH dengan kisaran 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam
47
perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang itu berlendir (anoxia) dan mati. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai indikator senyawa-senyawa kimia di perairan. Sumbangan terbesar berasal dari adsorpsi udara bebas, sementara dari fitoplankton dan tumbuhan hijau lain yang berklorofil menyumbang oksigen sebagai produk fotosintesis (CRITCCOREMAP, 2005). Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervarisi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan amosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Selain itu faktor kedalaman juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut (Tijssen, 1990 dalam CRITC- COREMAP, 2005). Hasil pengukuran kadar oksigen di perairan Pulau Abang berkisar antara 3.18 mg/l – 5.95 mg/l. Kadar oksigen tertinggi ditemukan pada bulan Mei yang hampir mendominasi semua stasiunnya. Tingginya kadar oksigen diduga akibat faktor kedalaman perairan serta tingginya kecerahan yang berkisar antara 5 – 10 m. Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan peneringan pada suhu tertentu (APHA, 1976 dalam Effendi, 2003). Residu dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama penentuan residu ini, sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas lain yang menghilang pada saat pemanasan tidak tercakup dalam nilai padatan total (Boyd, 1988 dalam
48
Effendi, 2003). Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm). TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kisaran tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Hasil pengukuran kadar TSS diperairan Pulau Abang berkisar antara 4 mg/l – 54 mg/ltr. Hasil ini menurut (Effendi 2003) sedikit berpengaruh terhadap kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan. Dari hasil pengukuran beberapa parameter yang didapatkan pada setiap pengamatan (lampiran 6b, 6c, 6d) dapat menggambarkan keadaan parairan Pulau Abang yang masih cocok untuk kehidupan dan perkembangan larva, fitoplankton dan zooplankton. 5.2
Parameter Biologi Kelimpahan jenis plankton di perairan Pulau Abang sangat bervariasi di
setiap bulannya. Pada umumnya dapat diterangkan bahwa migrasi vertikal harian disebabkan oleh faktor internal misalnya dengan adanya jam biologis (biological clock) yang secara otomatis mengatur irama kegiatan harian tiap individu, dan faktor eksternal yang ditentukan oleh perubahan kondisi lingkungan perairan karena faktor cahaya, suhu, salinitas, kandungan oksigen, tekanan hidrostatik dan ketersediaan pakan (fitoplankton). Banyak yang menduga bahwa yang paling dominan berpengaruh adalah cahaya (Nontji, 2006).
Migrasi vertikal harian
merupakan fenomena universal yang dipicu oleh rangsangan cahaya dan suhu. Dengan mempertimbangkan kelompok taksonomi, ukuran atau kebiasaan makan, hanya sedikit generalisasi yang dapat dikemukakan untuk membandingkan zooplankton yang bermigrasi secara vertikal atau tidak (Nybakken, 1992). Selanjutnya Basmi (1999) dalam Krisnanti, A. A. I (2008) menyatakan bahwa distribusi horizontal fitoplankton tidak akan pernah mencapai hasil yang homogen. Hal ini dikarenakan kondisi perairan yang tidak homogen serta berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti aksi angin, perubahan kondisi parameter fisika-kimia perairan yang tidak sama antar lokasi, adanya arus dalam perairan, adanya pergantian musim sehingga muncul spesies baru, serta sifat zooplankton yang senang bergerombol. Menurut Nontji (2006) ada hipotesis isolume (isolume hypothesis) yang menerangkan bahwa plankton bergerak mengikuti kedalaman yang mempunyai
49
intensitas cahaya yang paling cocok. Namun karena parameter-parameter fisik lautan tidak seragam dalam arah vertikal, diduga ada beberapa faktor yang dapat memodifikasi skema pengaturan cahaya misalnya suhu. Banyak migrasi dibatasi oleh perubahan suhu pada kedalaman yang akan dituju. Kedalaman maksimum dapat ditentukan oleh suhu yang dapat mengalahkan rangsangan cahaya (Nybakken, 1992). Kelimpahan plankton setiap stasiun dalam setiap pengamatan sangat berbeda – beda. Perbedaan kelimpahan ini dapat disebabkan karena pengaruh faktor fisika dan kimia perairan seperti TSS, kecerahan, suhu, salinitas dan DO. Dari hasil pengukuran beberapa parameter yang didapatkan pada setiap pengamatan (lampiran 6a, 6b, 6c) dapat menggambarkan keadaan parairan yang masih cocok untuk kehidupan dan perkembangan plankton. Menurut Riley dalam Junaedi (2002) suhu yang baik adalah 25 °C atau lebih, sedangkan salinitas yang cocok berkisar 30 – 40 ppt (Odum, 1993) karena umumnya organisme laut bersifat stenohaline. Nilai DO yang didapatkan dari hasil pengukuran sangatlah rendah, sedangkan plankton dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kadar oksigen yang melebihi 5 ppm (Hutagalung dalam Zakiyah, 1996). Tetapi jika perairan tidak mengandung bahan beracun, maka kandungan oksigen terlarut minimal 2 mg/l cukup mendukung kehidupan komunitas akuatik secara normal di daerah tropis (Pescod dalam Junaedi, 2002). Dari hasil penelitian diperoleh pada bulan Mei perbandingan antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang paling menonjol terdapat pada stasiun 4 dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 312.800 ind/m3 dan kelimpahan zooplankton sebesar 30.300 ind/m3 dan Stasiun 6 dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 18.550 ind/m3 dan kelimpahan zooplankton sebesar 26.100 ind/m3, dimana kelimpahan zooplankton lebih dominan dari fitoplankton. Pada bulan Juli kelimpahan fitoplankton cenderung melimpah dibandingkan dengan kelimpahan zooplankton. Nilai kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1.044.800 ind/m3 dan kelimpahan zooplanktonnya sebesar 13.200 ind/m3 (Lampiran 6). Sedangkan kelimpahan zooplankton terkecil pada stasiun 8 sebesar 11.100 ind/m3 yang kelimpahan fitoplanktonnya sebesar 192.600 ind/m3. Sedangkan pada bulan Oktober perbandingan zooplankton dan fitoplankton yang
50
paling menonjol terdapat pada stasiun 7 dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 46.250 ind/m3 sedangkan kelimpahan zooplankton 154.500 ind/m3, (Lampiran 6). Perbedaan kelimpahan plankton dapat disebabkan kerena perbedaan faktor fisika-kimia lingkungan perairan serta keistimewaan biologi organisme tersebut. Michael dalam Makaminan (2000) mengatakan bahwa pola penyebaran suatu organisme akuatik dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan dan sebaran plankton di laut seperti suhu, cahaya matahari, salinitas, oksigen terlarut, kadar ion hidrogen (pH), kecerahan, dan arus. Selain sifat fisikakimia perairan, sebaran plankton juga dipengaruhi oleh daur pembiakan, tingkah laku spesies dalam populasi, dan persaingan diantara spesies. Menurut Michael dalam Makaminan (2000), pada umumnya plankton dan larva planktonik menyebar dengan cara hanyut mengikuti arus. Kecepatan arus sangat mempengaruhi penyebaran fitoplankton dan unsur hara yang ada, sehingga berpengaruh besar terhadap penyebaran zooplankton. Selain sifat fisika-kimia perairan, sebaran zooplankton juga dipengaruhi oleh daur pembiakan, tingkah laku spesies dalam populasi, dan persaingan diantara spesies. Pada umumnya, kelimpahan zooplankton harus lebih rendah dari pada kelimpahan fitoplankton karena produksi zooplankton yang lebih lambat dari produksi fitoplankton (Davis, 1955). Sebagai produsen yang paling utama di perairan, fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan di perairan. Perbandingan kelimpahan fitoplankton yang baik harus lebih melimpah dibandingkan kelimpahan konsumen I untuk mengimbangi jumlah zooplankton. Tetapi pada bulan Mei dan bulan Oktober terdapat kelimpahan zooplankton yang melampauhi kelimpahan fitoplankton (Gambar 6 dan 7 yaitu pada stasiun 6 dan 7). Hal ini dapat diduga karena adanya predasi dari zooplankton maupun hewan lain yang bersifat plankton feeder. Hal ini sesuai dengan teori dimakannya fitoplankton oleh zooplankton (Theory of grazing) yang menerangkan hubungan antara fitoplankton dengan zooplankton Davis (1955) dalam Yuningsih (2007) jika populasi zooplankton tinggi, maka fitoplankton akan sampai pada kecepatan pertumbuhan tertentu, sehingga kecepatan pertumbuhan fitoplankton tidak dapat mengimbangi kecepatan pertumbuhan zooplankton.
51
Sedangkan pada bulan Juli, kelimpahan fitoplankton sangat melimpah sementara kelimpahan zooplankton sangat sedikit. Dapat diduga akibat siklus pertumbuhan fitoplankton lebih cepat dibandingkan zooplankton, predasi zooplankton oleh predator, dan adanya migrasi diurnal zooplankton. Ini sesuai dengan teori Grazing Davis, (1955) dalam Yuningsih (2007) jika populasi zooplankton sedikit, maka fitoplankton akan berkembang dan menyebabkan jumlah fitoplankton berlimpah. Davis (1955) dalam Yuningsih (2007) juga menyatakan teori penyingkiran hewan (Theory of animal exlution) dan teori perbedaan laju pertumbuhan (Theory of different growth rate) (Nielsen dalam Davis, 1955) yaitu selama zooplankton melakukan migrasi vertikal harian, maka zooplankton akan menemui hambatan untuk mencapai permukaan jika bertemu dengan kelimpahan fitoplankton yang sangat padat. Meskipun zooplankton memakan fitoplankton, tetapi untuk mencapai populasi yang melimpah akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari fitoplankton. Hal ini disebabkan zooplankton mempunyai siklus reproduksi yang lebih panjang dari pada fitoplankton. 5.3 Distribusi, Komposisi, dan Kelimpahan Larva Migrasi dan distribusi suatu jenis ikan merupakan hal yang fundamental yang harus diketahui, karena dengan mengetahui pola migrasi dan distribusi suatu jenis ikan maka akan diketahui batas-batas daerah dimana stok atau sub populasi dari suatu jenis ikan hidup (Chusing, 1968 dalam Baskoro, Wahyu dan Effendy 2004). Demikian pula life history, serta mata rantai daur hidup dari suatu jenis ikan yang tidak dapat dipisahkan dari mata rantai sebelum dan sesudahnya (Nikolsky, 1963 dalam Effendie, 1997). Ikan mengadakan migrasi dalam rangka : (1) pemijahan; (2) mencari makanan; dan (3) mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya, tidak terlepas dari beberapa faktor eksternal dan internal dari suatu jenis ikan. Faktor eksternal berupa faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan dalam migrasi ikan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat didalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain-lainnya yang berhubungan dengan faktor luar tadi (Baskoro, Wahyu dan Effendy 2004).
52
Ikan dapat merubah pola migrasi yang telah ada ke pola migrasi yang lain, dengan bergantung pada kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Selama tahap-tahap kehidupan ikan dalam bermigrasi, ikan yang hidup soliter dapat melakukan pola migrasi yang berbeda pada satu waktu (Baskoro, Wahyu dan Effendy 2004). Secara umum komposisi jenis dan kelimpahan larva ikan yang tertangkap sangat bervariasi tiap musimnya, namun komposisinya lebih banyak larva tertangkap pada saat sampling malam, hal ini disebabkan oleh beberapa jenis ikan yang tertangkap adalah jenis ikan karang yang bersifat nocturnal (aktif pada malam hari) seperti jenis Apoginidae, Serranidae, Lutjanidae, dan Scombridae. Untuk jenis larva ikan yang bersifat diurnal, namun tertangkap pada malam hari seperti jenis Mullidae diduga disebabkan oleh faktor eksternal seperti suhu, salinitas dan arus dan pasang surut juga sangat menentukan distribusi dari larva ikan. Selain jenis ikan penghuni karang, ada beberapa jenis ikan tertangkap merupakan jenis larva ikan yang pemigrasi. Menurut Clemens (1961) dalam Effendie
(1997)
mengatakan
bahwa
penangkapan
ikan
pemigrasi
ada
hubungannya dengan suhu perairan. Adanya variasi tangkapan larva ikan dapat pula disebabkan oleh adanya masa pemijahan genus tersebut yang terjadi di daerah perairan yang lebih dalam di dekat Pulau Abang dimana akibat adanya pergerakan arus yang kuat membawa larva dan juvenil ke sekitar perairan pulau, disamping itu adanya ledakan populasi genus tertentu akibat pemijahan sehingga berakibat fluktuasinya larva ikan yang tertangkap pada setiap bulannya di daerah penelitian serta daerah ini merupakan daerah yang banyak pulaunya yang dikelilingi oleh terumbu karang dan mangrove. Fluktuasi tangkapan juga disebabkan adanya faktor internal yaitu efektivitas penangkapan, baik waktu sampling, alat tangkap, jarak sampling dan kemampuan larva ikan itu sendiri untuk menyebar. Hal ini dinyatakan oleh Leis (1983) bahwa banyak larva di perairan yang dangkal mempunyai kemampuan untuk menyebar secara luas dengan jarak sebaran ratusan kilometer.
53
Dugaan lainnya adalah daerah ini merupakan daerah migrasi dimana larva mempunyai kemampuan alamiahnya untuk menuju daerah asuhan (nursery ground). Menurut Drake dan Arias (1991) dalam Najamuddin (2004) yang melakukan penelitian di pantai barat daya Spanyol menyatakan bahwa daerah pantai merupakan daerah pembesaran bagi ikan-ikan pelagis dengan banyaknya di dapatkan dalam bentuk postlarva. Lokasi penelitian yang berhadapan langsung dengan Selat Dempu dan sebelah Timurnya adalah Selat Abang dan Selat Pengalap sangat mempengaruhi pergerakan arus yang terjadi di daerah ini, sehingga keadaan perairan pantai dominan dipengaruhi oleh arus yang datang dari timur menuju barat dengan kecepatan 1430 mm/ detik (CRITC-COREMAP, 2005). Dikatakan pula oleh Leis (1986) bahwa zoogeografi sebaran larva adalah siklus hidup yang pendek atau akibat adanya kekuatan arus dimana dapat memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Dilihat dari genus larva ikan yang tertangkap nampak genus yang merupakan ikan-ikan pelagis. Sedangkan tertangkapnya ikan karang, diantarannya genus Epinephelus, ini dimungkinkan karena lokasi penelitian ini merupakan daerah karang yang banyak terdapat karang penghalang/batu karang. Seperti yang dinyatakan Leis (1986) bahwa larva dan juvenil ikan karang secara reguler didapatkan di daerah pantai yang letaknya berdekatan dengan karang. Sedangkan ikan penghuni daerah mangrove, seperti Liza dan Valamugil, juga dimungkinkan tertangkap karena hampir sebagian besar di lokasi penelitian banyak terdapat tumbuhan mangrove. Hal ini dinyatakan oleh Mc.Lachlan (1983) dalam Najamuddin (2004) bahwa pasang surut menjadi media utama bagi larva dan juvenil ikan untuk bermigrasi ke pantai pada umumnya. Sedangkan Hayase dan Haron (2002) dalam Najamuddin (2004) mendapatkan juvenil ikan pelagis menggunakan mangrove yang ada di estuarin sebagai daerah pemeliharaan atau daerah makanan. Berdasarkan banyaknya jumlah larva ikan yang banyak tertangkap setiap bulan pada setiap stasiun di perairan Pulau Abang didominasi oleh larva ikan dari famili
Carangidae,
Engraulididae,
Clupeidae,
Monacanthidae,
Gobiidae,
Sillaginidae dan Mugilidae. Dari 7 famili larva ikan yang mendominasi diduga
54
merupakan famili yang selalu melimpah setiap tahunnya disamping mempunyai kemampuan untuk menyebar secara luas. Disamping itu lokasi perairan Pulau Abang ini merupakan habitat yang cocok untuk perkembangbiakkan ke-7 famili larva ikan karena banyaknya terumbu karang dan mangrove di sekitar lokasi penelitian yang merupakan daerah potensial sebagai nursery ground (Bagarinao dan Taki, 1996 dalam Najamuddin, 2004). Penelitian yang telah dilaksanakan selama 3 kali (sampling siang dan malam hari) ditemukan komposisi dan kelimpahan larva ikan terdiri dari 52 famili dan 84 genus dengan total individu sebesar (1.572 individu/m3) (Lampiran 2, 3, 4, dan 5). Total dari 1.572 individu/m3 tersebut mencakup hasil keseluruhan perhitungan selama 3 kali baik sampling siang dan malam hari pada 8 stasiun penelitian (Lampiran 3, 4 dan 5). Gambar 9, 10 dan 11 menunjukan diagram kelimpahan larva ikan pada setiap stasiun dan bulan. Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan, larva ikan yang banyak tertangkap adalah pada saat sampling malam hari. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suhu serta aktifitas plankton yang banyak pada malam hari yang berpengaruh besar terhadap aktivitas dan kecepatan menjelajah. Kecepatan penjelajahan akan meningkat setelah stadia larva berkuning telur secara proporsional terhadap panjang. Blaxter dan Staines (1971) dalam Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) telah melakukan penelitian kecepatan menjelajah pada larva herring, yaitu meningkat dari 20 cm/min pada akhir stadia “ yolk sac” menjadi 80 cm/min. Selain itu pula faktor cahaya sangat berpengaruh terhadap distribusi vertikal larva ikan. Dari penelitian yang dilakukan, hasil yang diperoleh merupakan yang terbanyak jenis dan jumlah individunya. Nursid (2002) menemukan 13.459 individu larva ikan dari 23 famili dan 38 genus di Estuari Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Najamuddin (2004) menemukan 5.272 individu larva dan juvenil ikan dari 17 famili dan 18 genus di Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan. Selanjutnya Manu (2005) menemukan 6.559 individu larva ikan dari 27 famili dan 34 genus di Estuari dan Laut Teluk Likupang, Sulawesi Utara.
55
Kelimpahan larva ikan yang banyak tertangkap menurut perhitungan setiap bulannya dari 8 stasiun adalah pada bulan Juli, yaitu 608 individu/m3 dan hasil tangkapan terendah adalah pada bulan Mei yaitu 439 individu/m3 (Lampiran 3, 4, dan 5). Secara spasial kelimpahan larva ikan di bulan Mei, stasiun 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu sebesar
97 individu/m3 dan yang
terendah terdapat pada stasiun 7 yaitu 33 individu/m3. Untuk kelimpahan larva ikan di bulan Juli, jumlah tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu sebesar 117 individu/m3 dan yang terendah ditemukan pada stasiun 4 yaitu 31 individu/m3. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan larva ikan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 yaitu 117 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 sebesar 22 individu/m3 (Tabel 7 dan Lampiran 6). Tingginya kelimpahan pada bulan Juli ini diduga disebabkan oleh kelimpahan plankton dan dukungan dari kondisi parameter lingkungan perairan, pola pergerakan arus yang bergerak dari utara (Lampiran 8). Secara temporal kelimpahan larva ikan yang ditemukan setiap bulan pada setiap stasiun, terlihat bulan Mei pada stasiun 2, 6 dan stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober. Pada bulan Juli, kelimpahan tertinggi larva ikan pada stasiun 2, 3, 6, dan stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan pada bulan Mei dan bulan Oktober. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan tertinggi larva ikan stasiun 1, 4, 5 dan stasiun 7 lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Juli dan bulan Oktober (Tabel 7 dan Lampiran 6). Tingginya kelimpahan pada bulan Oktober ini diduga disebabkan tingginya pasang dan pola arus yang membawa massa air diperairan ini yang bergerak mengalir dari timur keselatan, mendorong masuk kembali ke selat antara Pulau Abang Kecil dan Pulau Pengelap melalui sisi utara selat (Lampiran 8) (CRITC-COREMAP, 2005). Kelimpahan larva ikan cukup tinggi pada bulan Oktober ini juga diduga pada bulan ini merupakan musim pemijahan bagi ikan di Perairan Pulau Abang yang salah satunya dipengaruhi oleh datangnya massa air baru yang berasal dari hujan (Effendi, 1997).
56
Tidak semua larva memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan Oktober, misalnya kelimpahan pada stasiun 6 dan stasiun 8, bulan Mei dan bulan Juli lebih tinggi dari bulan Oktober. Hal ini disebabkan karena ada beberapa larva yang pemijahannya berlangsung sepanjang tahun misalnya famili dari Engraulididae jenis Stolephorus indicus (Prabu, 1956 dalam Effendie, 1997). Hasil analisis Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (D) larva ikan menunjukkan nilai yang berfluktuatif seperti yang ditampilkan pada lampiran 7. Nilai indeks keanekaragaman dari hasil perhitungan disetiap stasiun pada setiap bulan menunjukan keaneragaman populasi cukup tinggi dan nilai cukup seragam pada setiap bulannya, dengan nilai tertinggi didapatkan pada stasiun 1dan 2 (2.92) setiap bulan dan terendah ditemukan di bulan Oktober pada stasiun 8 (1.21). Najamuddin (2004) mendapatkan nilai keanekaragaman dari 8 bulan penelitian di Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan dengan Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) adalah 0.31-1.62 (keanekaragaman populasi rendah). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manu (2005) selama 6 bulan penelitian
di
Teluk
Likupang
Sulawesi
Utara
diperoleh
nilai
Indeks
Keanekaraman (H’) adalah 1.47-2.33 (keanekaragan populasi sedang). Hasil penelitian di Pearairan Pulau Abang Batam selama 3 musim didapatkan nilai indeks keanekaragaman yang hampir seragam setiap bulannya yaitu berkisar 1.21 -2.92, terdiri 2 kriteria yaitu sedang dan tinggi. Dengan demikian indeks keanekaragaman dari larva ikan yang ada di Perairan Pulau Abang masih cukup baik dibandingkan dengan yang ada di Tanjung Mangkok dan Teluk Likupang untuk keseluruhan bulan pengamatan. Besarnya nilai indeks keanekaragaman ini menunjukan adanya peningkatan jumlah seluruh individu dan jumlah genus yang tertangkap, disaping itu memperlihatkan adanya daya dukung lingkungan perairan yang lebih baik. Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas (Odum, 1971) baik setiap stasiun maupun setiap bulan. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai indeks keseragaman setiap stasiun memiliki nilai yang bervariasi untuk setiap bulannya (Gambar 14 dan Lampiran 7) yang berkisar 0.59 – 1.00
57
untuk keseragaman stasiun. Kisaran nilai berdasarkan stasiun tersebut dapat dipisahkan menurut kriteria Suryadiputra (1996), bahwa nilai indeks keseragaman pengamatan setiap stasiun masuk pada kriteria dengan kondisi labil dan stabil. Dari kisaran nilai tersebut maka indeks keseragaman yang berdasarkan stasiun pada bulan Mei (Gambar 14) dapat dibagi menjadi 2 kriteria. Kriteria pertama dengan nilai 0.50 < E ≤ 0.75, yaitu terdiri dari 8 stasiun yaitu ekosistem labil. Sedang kriteria kedua yaitu dengan nilai indeks keseragaman 0.75 < E ≤ 1.00. Indeks keseragaman dengan kriteria yang demikian mencakup 8 stasiun pula. Dengan demikian indeks keseragaman pada delapan stasiun di bulan Mei ini memenuhi dua kriteria yaitu labil dan stabil. Begitupun juga untuk indeks keseragaman pada bulan Juli yang berkisar 0.59 – 0,95. Indeks terendah diperoleh pada stasiun 3 dan tertinggi terdapat pada stasiun 4. Nilai indeks ini kondisinya mencakup 2 kriteria yaitu labil dan stabil. Sedangkan untuk bulan Oktober pada setiap stasiunnya berkisar antara 0.63 – 1.00 dimana nilai indeks terendah terdapat pada stasiun 3 dan tertinggi terdapat pada stasiun 2. Nilai indeks keseragaman pada bulan ini kondisinya masih labil dan stabil pula. Dari keseluruhan hasil indeks keseragaman yang diperoleh menunjukan adanya peningkatan jumlah genus tertentu sehingga penyebaran antar individu cukup merata. Pada Gambar 14 dan Lampiran 7 ditampilkan nilai Indeks Dominansi (D) setiap bulan pada setiap stasiunnya. Hasil analisis indeks dominansi antar stasiun setiap bulan diperoleh nilai yang sama, dimana nilai indeks dominansi tertinggi pada stasiun 3 yaitu sebesar 0.17 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0.06. Keseluruhan stasiun disetiap bulannya menunjukan nilai indeks dominansi yang mendekati nol. Dengan indeks dominansi yang mendekati 0 (Gambar 14 dan Lampiran 7) artinya tidak ada genus yang mendominasi setiap bulan pada setiap stasiunnya. Dengan demikian indeks dominasi antar bulan pada setiap stasiunnya tidak ada genus larva ikan yang mendominasi genus larva ikan yang lain.
58
Dari hasil keseluruhan pengamatan dapat dilihat bahwa tingginya nilai keseragaman dan rendahnya nilai dominansi menunjukan bahwa perairan Pulau Abang memiliki kondisi perairan yang masih stabil karena jumlah individu masih relatif sama di setiap stasiun pengamatan karena tidak terjadi tekanan ekologis pada biota yang hidup di perairan Pulau Abang tersebut. 5.4
Keterkaitan antara Larva dengan Parameter Lingkungan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisys, PCA) dilakukan
untuk melihat sebaran parameter bio-fisikakimia perairan selama penelitian berlangsung. Hasil PCA memperlihatkan bahwa sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1, 2, dan 3 (F1, F2, dan F3), dimana masing-masing sumbu menjelaskan 42,90 %, 19,12 %, dan 9,7 % (Gambar 12 dan 13). Total ragam yang terjelaskan dari ketiga komponen utama tersebut sebesar 71,65 %. Pengelompokan stasiun hasil PCA memperlihatkan adanya tiga kelompok bulan yaitu kelompok pertama bulan Juli, kelompok kedua bulan Mei dan kelompok ketiga bulan Oktober yang masing kelompok terdiri dari 8 stasiun. Kelompok pertama dicirikan oleh fitoplankton, kelompok kedua dicirikan oleh suhu, salinitas, dan oksigen sedangkan pada kelompok ketiga dicirikan oleh kecerahan, zooplankton, pH dan Nitrit. Dengan demikian ketiga kelompok tersebut memiliki masing-masing ciri parameter (Gambar 12 dan 13). Pengelompokan tersebut memperlihatkan bahwa parameter yang berhubungan dengan larva ikan adalah fitoplankton (Gambar 12). Akan tetapi pada (Gambar 13) parameter zooplankton Nitrit dan pH turut memberi andil terhadap keberadaan larva. Pada Tabel 8 menampilkan matriks hubungan antara parameter biofisikakimia yang berpengaruh terhadap kelimpahan larva ikan. Parameter yang berhubungan positif terhadap keberadaan larva ikan adalah Fitoplankton (0,59), TSS (0,34), dan Nitrit (0,09). Selain memiliki korelasi yang positif, ada juga parameter yang memiki korelasi negatif. Parameter yang mempunyai korelasi negatif adalah parameter suhu (-0,22), DO (-0,35) dan Salinitas (-0,34). Matriks pada Tabel 8 menjelaskan pula bahwa keberadaan larva ikan berhubungan dengan parameter yang memiliki nilai hubungan positif dan hubungan nilai negatif. Hubungan nilai positif menggambarkan bahwa setiap
59
perubahan nilai pada parameter yang bersangkutan secara positif akan mempengaruhi nilai dari larva ikan secara positif pula. Demikian halnya dengan parameter yang nilai hubungannya negatif. Apabila pameter yang memiliki nilai negatif berubah (bertambah), maka nilai larva (kelimpahan) akan menurun. Hasil analisis PCA dijumpai kontribusi setiap parameter yang menujukan nilai komulatif pada sumbu utama (F1) hingga sumbu ketiga (F3) sebesar 71,65 % (Tabel 9). Tabel 9 menggambarkan persentase hubungan parameter biofisikakimia dan larva terhadap sumbu utama F1 hingga sumbu utama F3. Gugus data ini menunjukan bahwa nilai keragaman gugus data tersebut terdiri dari 42,90 %, 19,12 % dan 9,64 % oleh sumbu utama (F1) sampai sumbu utama F3, atau secara komulatif sebesar 71,65 %. Selanjutnya pada Tabel 10 merupakan nilai koordinat dari masing-masing parameter terhadap sumbu utama. Koordinat yang mendekati nilai koordinat dari larva adalah fitoplankton untuk sumbu utama F1 (kolerasi positif), yaitu fitoplankton 0,79, TSS 0,77, nitrit 0,42, pH 0,31 dan zooplankton 0,05 (Gambar 12). Dengan demikian dilihat dari koordinat sumbu utama F1 yang paling dekat dengan larva ikan adalah fitoplankton. Sedangkan pada sumbu utama F2 hampir tidak ada parameter yang koordinatnya dekat dengan koordinat larva ikan. Oleh karena analisis PCA adalah hubungan parameter terhadap sumbu F1 hingga F3, maka pada sumbu F3 parameter yang koordinatnya berkolerasi negatif dengan larva (-0,65) adalah kecerahan 0,65, salinitas 0,12, dan fitoplankton 0,02. Dilihat dari nilai koordinat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa parameter yang paling dekat dengan larva (sangat mendukung keberadaan larva) adalah fitoplankton untuk sumbu F1.
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hasil penelitian yang dilaksanakan selama 3 kali pengamatan, dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : 1.
Komposisi dan kelimpahan larva ikan sebanyak 52 famili dan 84 genus dengan kelimpahan 1.572 individu/m3 didominasi famili Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae dan Mugilidae.
2.
Distribusi larva secara spasial Bulan Mei berjumlah 439 individu/m3, Bulan Juli berjumlah 608 individu/m3, dan Bulan Oktober berjumlah 525 individu/m3.
3.
Secara temporal kelimpahan larva ikan Bulan Juli lebih tinggi dibandingkan dengan Bulan Mei dan Bulan Oktober.
4.
Parameter bio-fisikakimia yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan larva ikan adalah parameter biologi fitoplankton dan zooplanton.
6.2 Saran Terumbu karang dan kualitas perairan di lokasi penelitian ini relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Untuk itu pencegahan terhadap pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan khususnya di ekosistem terumbu karang dan mangrove harus dicegah sedini mungkin, serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya daerah mangrove dan terumbu karang bagi kehidupan biota laut, khususnya larva ikan sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Amarullah, M.H. 1991. Settlement of Larval Japanese Flounder (Paralichtys Olivaceus) along Yanagihama Beach, Nagasaki Prefecture. Bull. Fac. Fish. Nagasaki Univ. No. 70 (1991). Amarullah, M.H. 2008. Hidro-Biologi Larva Ikan dalam Proses Rekruitmen (tidak dipublikasikan) . Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Baskoro, SM., Wahyu, RI., Effendy, A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. ISBN 979-96923-9-3. Cetakan Pertama. 47-49. CRITC-COREMAP. 2005. Studi Baseline Ekologi Batam (2004). Jakarta. Davis, C.C. (1955). The Marine and Fresh Water Plankton. Associated Professor of Biology Westrn Reserve University: Michigan State University Press. Djajadiredja R. 1973. Peningkatan Pemeliharaan Ikan di Kolam Penangkaran. Jakarta: Dirjen Perikanan. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Effendie, M. I. 1978. Biologi Perikanan (Study Natural History). Perikanan. IPB. 106 hal. Effendie, M. I. Nusantara.
1997. Biologi Perikanan.
Yogyakarta:
Fakultas
Yayasan Pustaka
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Gatra Edisi Khusus. No. 08 Tahun XII, Januari 2006. Di Laut Kita Belum Jaya. Hlm : 72 – 74. Hoar. W.S., D.J. Randall. 1997. The Physiology of Developing Fish Volume XI Part A. Vivipari and Posthatching Juveniles. Academis Press Inc. San Dies. Toronto. Herman. (2007). Studi Parameter Fisika-Kimia di Perairan Pulau Abang Besar dan Pulau Abang Kecil Daerah Kotamadya Batam. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. IPB Bogor.
62
Jeyaseelan M J. 1988. Manual of Fish Eggs and Larvae from Asian Mangrove Waters. UNESCO Publishing. Krisnanti Adia Ayu Ida, 2008. Distribusi Spasial dan Temporal Komunitas Fitoplankton serta Hubungannya dengan Parameter Fisika-Kimia di Kawasan Perairan Pulau Abang Kepulauan Riau. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Leis, J.M. and Rennis, D.S. 1983. The Larvae of Indo-Pasific Coral Reef Fishes. Leis J.M. 1996. Ecological Requirement of Indo-Pacific Larval Fishes: A Neglected Zoogeographic Factor. In T. Uyeno, R. Arai, T. Taniuchi and K. Matsuura (Eds.). Indo-Pacific Fishes. Ichthyological Society of Japan, Tokyo. Metarase, A. C., A.W. Kedall, Jr., dan D.M. Vinter. 1989. Laboratory Guide to Early Life History Stages of Northeas Pacific Fishes. NOAA Technical Report NMFS 80. U.S Dept. Commerce. 652 hal. Makaminan, F. (2000). Struktur Komunitas dan Distribusi Horizontal Zooplankton di Perairan Pesisir Muara Angke dan Sunda Kelapa, Teluk Jakarta. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. IPB Bogor. Manu. 2005. Distribusi Spasial Larva Ikan di Ekosistem Estuaria dan Laut Teluk Likupang. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nikolsky, G. V., 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. London. 352p. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: P.T. Gramedia. Jakarta. Nursid M. 2002. Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Estuaria Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Najamuddin A. 2004. Variasi Ukuran dan Kebiasaan Makan Larva Ikan dan Juvenil Ikan di Pantai Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Okiyama M. 1988. An Atlas of of The Early Stage Fishes in Japan. Tokyo: Tokyo University Press. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
63
Russel IFS. 1976. The Eggs and Plantonic Stages of British Marine Fishes. Amsterdam: Academic Press. 446-451. Romomihtarto K, Juwana S. 1999. Plankton Larva Ikan Hewan Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Suryadiputra P. 1996. Daya Dukung Lingkungan Pantai bagi Kegiatan Pariwisata Ditinjau dari Aspek Pencemaran dan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Kuta Bali. Tesis. PSL Pascasarjana IPB, Bogor. Supriharyono. 2000. Djambatan Jakarta.
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit
Sudradjat, A., E. S. Heruwati, A. Poernomo, A. Ruktani, J. Widodo, E. Danakusumah. 2001. Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan dan JICA. Jakarta. 982p. Sulistiono, Sjafei DS, Rahardjo MF. 2000. Ekobiologi Ikan. Bagian I. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (tidak dipublikasikan). Sulistiono, Rahardjo MF, Effendie MI. 2001. Pengantar Iktioplankton. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (tidak dipublikasikan). Tjahyo DWH. 1987. Studi Pendahuluan Kompetisi Pakan Komunitas Ikan di Waduk Saguling. Bulletin Perikanan Darat. Jakarta: Dirjen Perikanan. Tomas CR. 1997. Identifying Marine Phytoplankton. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto: Academic Press. Toruan, L. N. L. (2003). Struktur Komunitas Zooplankton di Perairan Pesisir Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Skripsi. Ilmu Kelautan. IPB Bogor. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Terjemahan oleh Ir. Bambang Sumantri. Introdution to Statistics 3rd edition. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Widodo J. dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yamaji I. 1982. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Osaka Japan: Hoikhusa Publishing Co. Ltd. Yuningsih. 2007. Studi Komunitas Zooplankton di Perairan Pulau Abang, Batam Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Foto beberapa contoh spesies / genus larva ikan yang ditemukan di Perairan Pulau Abang.
Asterorhombus
Apogon
Petroscirtes
Aeoliscus
Mugil
Girella
Paramocanthus
Girella
Himantolopus
Stolephorus
Chaenogobius
Uncisudis
Epinephelus
Psettina
Emmelichtys
64
Lampiran 1 (Lanjutan) Foto beberapa contoh spesies / genus larva ikan yang ditemukan di Perairan Pulau Abang.
Lutjanus
Laemonema
Lefua
Petroscirtes
Nibea
Scatophagus
Sardinella
Acanthopagus
Mugil
Parapristipoma
Acropoma
Selar
Stephanolepis
Cryptocentrus
Decapterus 65
Lampiran 2 Komposisi larva ikan No. Famili 1 Apogonidae 2
Astronesthidae
3 4
Aulopodidae Blennidae
5
Bramidae
6
Bothidae
7 8
Bregmacerotidae Carangidae
9
Clupeidae
10 Cobitididae 11 Chaunacidae 12 Engraulididae 13 Emmelichtydae 14 Exocoetidae 15 Gadidae 16 Girellidae 17 Gobiidae
18 19 20 21 22
Gerreidae Gonostomatidae Himantolophidae Kuhliidae Lethrinidae
Genus Apogon Gymnapogon Astronesthes
No. Famili 23 Leiognathidae 24 Lutjanidae 25 Mugilidae
Aulopus Omobranchus Petroscirtes Xiphasia Leiognathus Emmelichthys Asterorhombus Hippoglossus Psettina Bregmaceros Atule Caranx Decapterus Seriola Selar Pseudocarax Trachurus Clupea Sardinella Lefua Himantolophus
26 Mullidae
27 Monacanthidae 28 Moridae 29 Myctophidae 30 Nemipteridae
31 Nomeidae 32 Oryziatidae 33 Paralepididae
34 Pegasidae 35 Percichthydae 36 Pomacentridae
Engraulis Stolephorus Emmelichthys Cypselurus Laemonema
37 Pomadasyidae
Girella Acanthogobius Asterropteryx Chasmichtys Chaenogobius Criptocentrus Luciogobius Priolepis Gerres Diplophos Himantolophus Kuhlia Acanthopagrus
41 Sillaginidae 42 Sparidae
38 Plesiopidae 39 Pleuonectidae 40 Serranidae
43 44 45 46 47 48 49 50
Scatophagidae Sciaenidae Scombridae Scorpaenidae Sternoptychidae Sphyraenidae Teraponidae Tetraodontidae
Genus Leiognathus Lutjanus Liza Valamugil Mugil Mullidae Scianidae Upeneus Paramocanthus Stephanolepis Laemonema Benthosema Acanthopagrus Nemipterus Psenes Oryzias Lestidiops Notolepis Stemonosudis Uncisudis Parapegasus Acropoma Sygnagrops Pomacentrus Rhyncopelates Parapristipoma Plesiopsp Aseraggodes Epinephelus Chelidoperca Sillago Acanthopagrus Dentex Pagrus Scatophagus Nibea Grammatorcynus Sebastes Sternoptyx Sphyraena Terapon Takifagu
66
67
Lampiran 3 Kelimpahan larva setiap stasiun pada bulan Mei (Individu/m3) Larva Ikan No 1 2 Genus Famili S M S M S 1 Apogonidae Apogon 6 3 2 Blennidae Omobranchus 6 Petroscirtes 3 3 3 Bramidae Leiognathus 3 3 4 Bothidae Asterorhombus Psettina 5 Carangidae Atule 3 6 Caranx 3 Decapterus 3 Seriola 3 3 Trachurus 3 6 Clupeidae Sardinella 3 6 7 Cobitididae Lefua 8 Engraulididae Stolephorus 6 6 3 9 Exocoetidae Cypselurus 10 Girellidae Girella 3 3 11 Gobiidae Asteropteryx 8 Chasmichtys 3 Chaenogobius Luciogobius 12 Gerreidae Gerres 13 Kuhliildae Kuhlia 8 14 Mugilidae Liza 3 Valamugil 6 3 15 Mullidae Mullidae 11 14 Upeneus 3 17 3 3 3 6 16 Monacanthidae Paramocanthus Stephanolepis 3 3 17 Myctophidae Benthosema 3 3 18 Nemipteridae Acanthopagrus 19 Oryziatidae Oryzias 20 Paralepididae Lestidiops 3 21 Percichtydae Acropoma 3 22 Pomacentridae Pomacentrus 3 3 23 Pomadasyidae Rhyncopelates 24 Serranidae Eppinephelus 25 Sillaginidae Sillago 3 26 Sparidae Acanthopagrus Dentex 27 Scatophagidae Scatophagus 3 28 Sphyraenidae Sphyraena 29 Teraponidae Terapon JUMLAH 8 64 6 92 22 Keterangan
Stasiun 3
4
M
S
5
M
S
6
M
S
S
M
S
3 3
Jumlah
8
7
M
M 3
3
3 3 3
3 3 6 3 3
3
3
8 3
3
3
3
3
3 3 3 3
3
6 3
3
6
3
3 3
3
3
3 3 3 8
6
6
3 3
3
3 3
3
8 6 3
3
3 6 3
8
8
6
3 3
3
3
3 3 3 3
3 3 3 3 3 3
28
3
3 33
28
8
53
22
17
17
22
17
S =Siang M =Malam
68
14 14 6 6 8 3 14 6 22 8 3 14 3 22 3 19 19 3 3 3 3 39 6 11 64 36 19 11 6 3 3 3 3 6 3 6 6 8 3 6 3 3 439
Lampiran 5 Kelimpahan larva setiap stasiun pada bulan Oktober (Individu/m3) Larva Ikan No 1 2 3 Famili Genus S M S M S M 1 Astronesthidae Astronesthes 6 8 2 Aulopodidae Aulopus 11 6 3 Blennidae Petroscirtes 3 3 Xiphasia 4 Bramidae Leiognathus 3 5 Bothidae Asterorhombus Hippoglossus 3 6 Carangidae Decapterus 3 Selar 39 11 3 8 Pseudocarax 7 Clupeidae Sardinella 6 8 3 3 8 Cobitididae Lefua 3 3 9 Engraulididae Stolephorus 8 17 3 3 10 Emmelichytidae Emmelichthys 3 11 Gadidae Laemonema 3 12 Girellidae Girella 8 6 13 Gobiidae Chasmichtys Chaenogobius 3 Priolepis 14 Leiognathidae Leiognathus 6 15 Lutjanidae Lutjanus 16 Mugilidae Liza Valamugil 3 Mugil 6 3 17 Monacanthidae Paramocanthus 18 Moridae Laemonema 3 19 Nemipteridae Acanthopagrus 3 20 Nomeidae Psenes 21 Oryziatidae Oryzias 3 6 22 Paralepididae Uncisudis 23 Pegasidae Parapegasus 24 Percichtydae Acropoma 3 Sygnagrops 25 Pleuonectidae Aseraggodes 26 Sillaginidae Sillago 8 3 27 Sparidae Pagrus 28 Sternoptychidae Sternoptyx 29 Sphyraenidae Sphyraena 30 Tetraodontidae Takifagu JUMLAH 8 108 39 19 3 50 Keterangan
Stasiun 4
S
5
M
S
6
M
S
8
7
M
S
Jmlh
8
M
S
M
3 3 3 3
3 8
3
6
3 3 3
14 3
3 14
6
6 8
3
8
3
19
3
3
11
6
3
8 3
3
3
3 6
6 3 6
6
6 3 3
3 3 8
6
6
6 3
3 6 3 3
3 3 3 11
3 3 3
3
3 6
3 83
6
78
19
47
8
28
11
11
S =Siang M =Malam
69
14 28 8 3 3 3 3 6 114 3 44 8 58 28 3 25 14 8 8 19 3 3 6 28 6 8 3 6 11 3 3 3 3 3 28 3 3 3 3 525
Lampiran 6 Parameter bio-fisika kimia perairan Pulau Abang a. Tabel parameter bio-fisika kimia bulan Mei Parameter
Stasiun TSS
Kecerahan
Suhu
Oksigen
Salinitas
pH
Nitrat
Nitrit
Larva
Fito
Zoo
1 2 3 4 5 6 7
11 8 4 8 10 14 32
7 6 6 6 5 5 5
30.8 30.3 30.2 30.5 31.4 31.4 30.6
5.4 4.8 5.06 5.13 5.82 5.39 5.95
31.1 32.1 32 32 32.2 31.9 32.2
8.010 8.070 8.000 8.050 8.020 8.120 8.070
0.890 0.528 0.537 0.540 0.443 0.610 0.503
0.005 0.001 0.002 0.003 0.001 0.002 0.004
72 97 50 36 36 75 33
47650 66200 48900 312800 78300 18550 58050
36300 40800 33300 30300 43500 26100 53400
8
20
10
30.7
5.13
32
8.000
0.353
0.003
39
48700
27300
b. Tabel parameter bio-fisika kimia bulan Juli Parameter
Stasiun TSS
Kecerahan
Suhu
Oksigen
Salinitas
pH
Nitrat
Nitrit
Larva
Fito
Zoo
1 2 3 4 5 6 7
41 47 54 39 51 45 50
6 6 5.5 6 5 5 5
30.3 29.3 29.3 29.5 29.3 29.3 29.2
3.18 3.62 3.27 3.48 3.45 3.42 3.61
28.7 30.7 30.8 30.9 30.8 30.8 30.9
8.150 8.210 8.140 8.130 8.160 8.140 8.000
0.023 0.024 0.034 0.032 0.026 0.020 0.022
0.020 0.014 0.026 0.020 0.016 0.027 0.021
100 106 117 31 81 97 33
406650 1044800 430950 589350 826650 422100 464700
16500 13200 27300 32100 27600 25800 12900
8
48
6.5
29.5
3.57
30.8
7.650
0.028
0.018
44
192600
11100 70
Lampiran 6 (lanjutan) Parameter bio-fisika kimia perairan Pulau Abang c. Tabel parameter fisika, kimia, biologi bulan Oktober Parameter
Stasiun TSS
Kecerahan
Suhu
Oksigen
Salinitas
pH
Nitrat
Nitrit
Larva
Fito
Zoo
1
34
6
29.6
3.91
32
8.090
0.152
0.152
117
239200
82500
2
27
7
29.7
3.8
30
8.900
0.155
0.155
58
446600
99600
3
40
6
29.7
3.78
31.1
8.040
0.129
0.129
53
351100
55500
4
29
7
29.5
3.6
30.4
8.180
0.156
0.156
89
514800
76500
5
33
6
29.9
3.81
30.6
8.070
0.188
0.188
83
219300
90600
6
17
5
30.1
3.9
30.2
8.080
0.114
0.114
67
253550
111600
7
30
6
30
4.3
31.3
8.160
0.116
0.116
36
46250
154500
8
4
7
29.4
3.41
31.6
8.230
0.070
0.070
22
411300
77100
71
Lampiran 7 Indek Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E), dan Dominansi (D) larva ikan setiap stasiun pada setiap bulan pengamatan
Stasiun
Kelimpahan larva (ind./m3) Bulan
Jumlah jenis Bulan
Keanekaragaman (H') Bulan
Keseragaman (E) Bulan
Dominansi (D) Bulan
Mei
Juli
Oktober
Mei
Juli
Oktober
Mei
Juli
Oktober
Mei
Juli
Oktober
Mei
Juli
Oktober
1
72
100
119
20
19
13
2.92
2.47
2.23
0.97
0.84
0.87
0.06
0.06
0.06
2
97
106
56
20
19
9
2.92
2.46
2.23
0.97
0.83
1.01
0.08
0.08
0.08
3
50
117
53
10
16
12
2.03
1.63
1.57
0.88
0.59
0.63
0.17
0.17
0.17
4
36
31
89
11
7
14
2.35
1.85
1.72
0.98
0.95
0.65
0.10
0.10
0.10
5
36
81
83
11
16
19
2.35
2.14
2.46
0.98
0.77
0.83
0.10
0.10
0.10
6
75
97
69
17
20
14
2.65
2.62
2.10
0.94
0.88
0.79
0.09
0.09
0.09
7
33
33
33
8
8
8
1.98
1.82
1.86
0.95
0.88
0.90
0.15
0.15
0.15
8
39
44
22
12
9
4
2.40
1.96
1.21
0.97
0.89
0.88
0.10
0.10
0.10
Jmlh
438
609
525
109
114
93
19.60
16.95
15.38
7.65
6.63
6.57
0.85
0.85
0.85
72
73 Lampiran 8 Kelimpahan dan komposisi fitoplankton bulan Mei (individu/m3) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Jenis Bacillariophyceae Amphiprora Asterionella Asteromphalus Baccilaria Bacteriastrum Bellerochea Biddulphia Campylodiscus Chaetoceros Cocconeis Corethron Coscinodiscus Diatoma Diploneis Ditylum Eucampia Fragillaria Guinardia Hemiaulus Lauderia Leptocylindrus Licmophora Melosira Navicula Nitzschia Planktoniella Pleurosigma Rhabdonema Rhizosolenia Scenedesmus Skeletonema Stephanopyxis Streptotheca Thallasionema Thallasiothrix Dinophyceae Ceratium Glenodinium Peridinium Pyrocistis Cynophyceae Trichodesmium Crysophyceae Dictyocha Jumlah
ST.1
ST.2
ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7
ST.8
5000 0 0 0 5000 0 10000
2500 0 0 0 2500 0 16250
75000 0 0 15000 0 0 0 0 0 6250 0 2500 0 0 1250 1250 30000 0 1250 0 31250 0 0 3750 0 2500 1250
117500 0 0 13750 0 0 1250 6250 0 12500 0 13750 0 0 7500 1250 16250 0 0 0 27500 0 28750 0 0 0 2500
11250 1250 0 0 3750 0 10000 2500 40000 2500 0 18750 0 1250 1250 0 0 1250 0 2500 0 0 2500 21250 17500 0 21250 0 30000 0 0 0 0 0 2500
10000 1250 0 2500 26250 8750 25000 3750 108750 1250 1250 53750 0 0 11250 8750 1250 43750 5000 10000 27500 2500 21250 40000 85000 0 37500 0 678750 0 2500 0 0 0 10000
7500 0 0 0 3750 0 10000 23750 20000 2500 0 25000 0 1250 2500 0 37500 10000 2500 1250 7500 2500 26250 36250 0 26250 0 62500 0 0 2500 0 0 1250
1250 0 0 0 1250 0 0 0 22500 0 0 7500 0 0 0 0 0 2500 5000 0 0 0 0 1250 17500 0 1250 0 10000 0 0 0 0 0 2500
2500 0 0 0 3750 0 11250 0 45000 1250 0 22500 0 0 2500 42500 12500 13750 25000 1250 0 0 1250 0 16250 0 5000 6250 7500 0 0 3750 0 0 2500
2500 0 0 0 3750 0 22500 0 40000 1250 0 11250 1250 0 2500 0 0 7500 2500 0 0 0 0 1250 16250 1250 3750 11250 45000 0 0 1250 0 0 2500
8750 0 1250 0
5000 0 1250 1250
5000 0 6250 0
55000 0 8750 0
7500 0 6250 0
8750 0 0 0
11250 0 10000 0
10000 0 13750 0
0 0 0 201250
0 0 0 277500
1250 0 0 203750
13750 0 0 1305000
1250 0 0 327500
0 0 0 81250
0 0 0 247500
0 0 0 201250
74 Lampiran 9 Kelimpahan dan komposisi fitoplankton bulan Juli (individu/m3) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Jenis Bacillariophyceae Amphiprora Asterionella Asteromphalus Baccilaria Bacteriastrum Bellerochea Biddulphia Campylodiscus Chaetoceros Cocconeis Corethron Coscinodiscus Diatoma Diploneis Ditylum Eucampia Fragillaria Guinardia Hemiaulus Lauderia Leptocylindrus Licmophora Melosira Navicula Nitzschia Planktoniella Pleurosigma Rhabdonema Rhizosolenia Scenedesmus Skeletonema Stephanopyxis Streptotheca Thallasionema Thallasiothrix Dinophyceae Ceratium Glenodinium Peridinium Pyrocistis Cynophyceae Trichodesmium Crysophyceae Dictyocha Jumlah
ST.1
ST.2
ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7
ST.8
1200 26100 0 16200 17400 4500 20400 0 219600 1800 300 7500 0 0 11100 1800 13200 3300 1200 6000 0 0 8100 5700 3000 0 3000 0 24000 0 0 300 300 4800 6900
4500 5400 0 8700 57000 3600 48900 0 594750 4800 2100 23400 0 0 40500 4800 24900 21300 3900 27300 900 0 15300 7800 4500 0 7800 0 52200 600 0 0 0 54600 26100
1800 1500 0 8700 32100 6900 41400 900 151500 1200 2400 22200 0 300 31500 900 14100 14100 3000 12900 1800 300 14700 7200 900 0 6000 0 26700 300 0 0 0 17700 6300
2100 1200 0 10200 34200 9000 80400 1500 60300 3900 1800 92700 0 900 39000 5700 15600 28500 3000 12600 6000 150 4200 10800 6300 0 21900 21900 35100 0 300 0 0 49200 18900
2100 5100 0 11400 46800 8700 52800 900 333900 1200 5700 66900 1200 600 44400 2700 18600 29100 3000 36300 600 0 7800 10500 3000 0 9000 10200 51000 3900 300 300 0 37200 15600
1500 1500 0 12000 23400 4200 33300 300 145500 300 4200 26400 0 300 26100 1800 4800 22500 1200 16500 2100 300 4200 12300 1200 0 7200 2700 39300 0 300 600 0 18300 6900
3000 5700 300 19800 19800 600 43800 1200 65700 1200 5700 50400 2400 900 27600 1500 20700 15600 2400 17700 3000 1500 4500 15600 4200 0 15600 11100 29700 2100 0 300 0 55500 9300
2400 1500 300 0 11700 10800 32100 300 2100 1500 900 36300 0 300 10800 300 4200 7500 1500 1200 0 300 1200 11400 3600 0 7500 3000 10800 0 0 0 0 23400 1500
0 0 300 0
300 0 150 0
1200 300 1500 0
3600 300 7800 0
900 300 3900 0
300 300 900 300
1200 900 3600 0
300 600 2100 0
0
0
900
900
1200
300
600
900
0 408000
0 1046100
300 433500
0 589950
0 827100
0 423300
300 465000
0 192300
75 Lampiran 10 Kelimpahan dan komposisi fitoplankton bulan Oktober (individu/m3) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Jenis Bacillariophyceae Amphiprora Asterionella Asteromphalus Baccilaria Bacteriastrum Bellerochea Biddulphia Campylodiscus Chaetoceros Cocconeis Corethron Coscinodiscus Diatoma Diploneis Ditylum Eucampia Fragillaria Guinardia Hemiaulus Lauderia Leptocylindrus Licmophora Melosira Navicula Nitzschia Planktoniella Pleurosigma Rhabdonema Rhizosolenia Scenedesmus Skeletonema Stephanopyxis Streptotheca Thallasionema Thallasiothrix Dinophyceae Ceratium Glenodinium Peridinium Pyrocistis Cynophyceae Trichodesmium Crysophyceae Dictyocha Jumlah
ST.1
ST.2
ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7
ST.8
1800 5700 300 0 8100 4200 5700 0 55500 600 900 14700 0 0 7200 2400 7200 22200 1200 2100 5100 0 2400 2400 2400 0 2100 19200 48600 0 0 0 0 9600 5400
1800 3000 2100 3000 12900 10200 9600 0 125700 1800 900 23700 4200 0 11400 5100 11400 33000 3300 9300 13200 0 1200 6000 3000 0 3900 17400 96600 0 0 0 0 15900 9300
900 1200 100 1100 9900 4100 5700 200 83500 1300 1500 24800 0 0 13600 3500 5100 23600 2600 7000 10100 0 1100 4400 3300 0 2000 26100 80500 0 0 0 0 10100 8600
2900 1200 100 8500 24900 6200 52000 900 87800 1500 1100 73800 1400 0 13700 2700 15600 42400 4300 12000 3700 400 600 9100 1100 200 4700 13300 70700 0 400 500 0 38700 10200
1600 2900 0 1200 11000 0 4000 600 66000 900 800 16800 0 1600 7100 1400 2600 10900 2100 6500 9500 1000 800 6100 600 0 1300 0 34500 0 400 0 400 3600 3400
1950 5450 0 2350 8750 0 5100 200 50200 1900 200 23650 2400 650 6500 2200 4400 12450 1400 2350 22950 1450 950 4550 2400 0 7900 7950 51750 0 200 300 0 5350 3550
450 300 300 0 4750 1350 800 300 13900 0 150 4950 0 750 550 1100 0 1500 0 300 5250 300 150 300 600 0 450 0 4100 0 0 0 0 0 500
2400 4650 0 0 13400 3100 7550 700 106650 2400 1350 38100 0 9300 6750 9700 18100 38150 4350 6650 6950 1200 200 14400 3300 0 6050 300 69400 0 0 1950 0 9400 12700
1800 0 600 0
3300 0 2700 0
1500 0 4100 0
1100 200 3800 0
1300 400 3800 11200
4050 700 4850 0
450 0 2000 0
2750 1700 5100 0
900
1200
9800
3100
2600
1950
700
2000
0 240300
0 446100
0 351300
0 514800
400 219300
600 253550
0 46250
600 411300
76
Lampiran 11 Kelimpahan rata-rata fitoplankton pada waktu siang (individu/m3) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Jenis Bacillariophyceae Amphiprora Asterionella Asteromphalus Baccilaria Bacteriastrum Bellerochea Biddulphia Campylodiscus Chaetoceros Cocconeis Corethron Coscinodiscus Diatoma Diploneis Ditylum Eucampia Fragillaria Guinardia Hemiaulus Lauderia Leptocylindrus Licmophora Melosira Navicula Nitzschia Planktoniella Pleurosigma Rhabdonema Rhizosolenia Scenedesmus Skeletonema Stephanopyxis Streptotheca Thallasionema Thallasiothrix Dinophyceae Ceratium Glenodinium Peridinium Pyrocistis Cynophyceae Trichodesmium Crysophyceae Dictyocha Jumlah
ST.1
ST.2
ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7
ST.8
58 41 2 19 75.5 27 59 1 478.5 19.5 115 126.5 1 33.5 68 8 53 136 19 107.5 99 24 26 78 107 0 180 130 475 0 13 29.5 5 83.5 94.5
39.5 46 21 22 104.5 31.5 90 7.5 716.5 11.5 187.5 160.5 9 33.5 100 56 44.5 179.5 37.5 95.5 92.5 7 68.5 161.5 83 0 182.5 0 645.5 3 7 7 0 1119 146.5
34.5 14.5 0.5 1.5 114.5 85.5 366 5 425 17.5 48 493.5 8.5 4 127.5 17 93 252 24 52.5 46.5 4 30.5 210.5 56 0 110 63 668 0 0 2 0 249 34.5
32.5 12 3 131.5 204.5 2 78.5 4.5 867 13.5 57.5 215 0 6.5 167 39.5 81.5 411 38 111.5 68.5 3 22.5 186.5 85.5 0 88.5 151.5 829 3 1.5 0 0 136.5 122
23 37 0 13 99.5 92.5 60 2 582 11 46.5 129 0 1.5 117 24.5 43.5 238 21 56 52.5 5 56.5 125 37 0.5 68 0 469.5 0 3 0 0 80.5 99.5
15.5 41.5 2 40 47.5 28.5 33.5 9.5 437.5 6.5 25.5 281 0 3 105.5 34.5 87 107 15 93 71.5 5 24 142.5 23 0 40 2.5 588 0 12.5 0 4 147 143.5
18.5 47.5 0 6 689 0 405.5 5 2222 11 40 892.5 0 0 458.5 167.5 111.5 1365 181 317.5 208 12 25.5 500.5 33.5 3 103 16 4370 0 96.5 0.5 0 110 176.5
18.5 44 0 134.5 147.5 46.5 85.5 19.5 264 20.5 11.5 561 0 10.5 163 42 11.5 132.5 48.5 102 75 8.5 44 403 75 0 174.5 366.5 875 0 13 0 19 217.5 90
61.5 2 36.5 0
25.5 2 44 0
66.5 0 90 0
41.5 0.5 16 0
27.5 0 32.5 0
49 0.5 72.5 5.5
65.5 0 147.5 1.5
89.5 7 150.5 0
11.5
17
15
17
13.5
36.5
74.5
35
0 2904
4 4609
0 3830
1.5 4251
0 2667.5
0 2781
0 12882
0 4506
77 Lampiran 12 Kelimpahan rata-rata fitoplankton pada waktu malam (individu/m3) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Jenis Bacillariophyceae Amphiprora Asterionella Asteromphalus Baccilaria Bacteriastrum Bellerochea Biddulphia Campylodiscus Chaetoceros Cocconeis Corethron Coscinodiscus Diatoma Diploneis Ditylum Eucampia Fragillaria Guinardia Hemiaulus Lauderia Leptocylindrus Licmophora Melosira Navicula Nitzschia Planktoniella Pleurosigma Rhabdonema Rhizosolenia Scenedesmus Skeletonema Stephanopyxis Streptotheca Thallasionema Thallasiothrix Dinophyceae Ceratium Glenodinium Peridinium Pyrocistis Cynophyceae Trichodesmium Crysophyceae Dictyocha Jumlah
ST.1
ST.2
ST.3
ST.4
ST.5
ST.6
ST.7
ST.8
35 6.5 0 56.5 101.5 0 50.5 2 297 5 17 181 0 0 116 44 98 98 15.5 65 133 0 28 98.5 73.5 0 103.5 6.5 374 3 11.5 0 0 77 58
26.5 23 0 13.5 97 0 41 4 451 9 51.5 164.5 0 0 224 27 24 190.5 36 110 23 55.5 15.5 81 24.5 0 40 0 590.5 0 4 0 0 64 49.5
11.5 17 4 0 77.5 7.5 53.5 20 91 8.5 3 318 13.5 0 112 23 14.5 125 25 48 50.5 0 13.5 102.5 25 0 66 0 581 0 23 0 0 95 12.5
30 17 1.5 0 51 7.5 41.5 15.5 125 24.5 3 301.5 0 2.5 75 20.5 7.5 173 16.5 16 14.5 0 13.5 75 60.5 0 82 19 383 0 1 0 0 68 19
18.5 6 1.5 0 138 1 105 2 635 8.5 10.5 257 0 3 98 23 25 180 62.5 125.5 48.5 1 10.5 131 45.5 0 43 0 745 0 5.5 3 9 96 70
6.5 23 0 5 79 11.5 50 3 291 6.5 22 123.5 0 0 85 31.5 23 95 31 24 66 0 9.5 32.5 18 0 61 0 319 0 8.5 0 0 76.5 81.5
5 11.5 1 0 76.5 0 61.5 1 339 1 7 202 0 1 407.5 19.5 42 128.5 22.5 56 75.5 1 5 173 72.5 0 46.5 0 484.5 0 3 0 0 43 38.5
11.5 5 2 0 81.5 0 30.5 2 151 4 4 162 0 0 96.5 12.5 4 84.5 14.5 53.5 40.5 4 19 78.5 34.5 0 26 0 428 0 1 0 0 47 16.5
52.5 0 24 0
26 0 30.5 0
32 0 39.5 0
58 5 19.5 0
12.5 1 18 2
10.5 0 20 0
40.5 2 46 0
20 2 14.5 0
11
8.5
16.5
11.5
11.5
18
29.5
14.5
0 2242.5
0 2505
0 2029.5
0 1758.5
0 2953
0 1631.5
1 2444
0 269.5
78 Lampiran 13 Kelimpahan dan komposisi zooplankton (individu/m3) Bulan Mei Kelimpahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama Jenis Acartia Atlanta Balanus Beroe Branchycelus Branchionus Bougainvillia Calanus Canthocalanus Cephalodella Ceriantus Cladonema Copepodite Copilia Diaptomus Doliolum Edvane Fritillaria Globigerina Gonionema Haploscoloplos Kepiting Limacina Macrosetella Miracia Mitaria Nauplius Nematobranchion Neocalanus Obelia Oikopleura Oithona Oncaea Paracalanus Pinctada Podon Sagitella Sida Synchaeta Temora Tintinopsis Travisiopsis Thysanoessa Trichoerca Zoea Jumlah
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
0 300 600 0 600 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 300 300 0 900 4500 0 600 0 0 0 0 0 0 0 0 300 0 600 0 0 0 0 0 9000
0 600 0 300 2100 0 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 0 300 0 0 0 0 600 600 0 0 10800 0 0 0 1500 600 0 2700 0 1200 300 0 300 1200 300 0 0 0 0 23700
0 0 900 0 0 0 0 1800 600 0 0 0 0 0 300 0 0 0 900 0 0 0 0 900 0 0 8400 0 0 0 900 300 0 0 0 0 0 0 600 600 600 0 0 0 0 16800
0 0 1200 300 0 0 0 600 300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 600 0 0 0 0 600 0 0 3000 0 0 0
0 600 0 0 0 0 0 1500 0 0 0 0 600 0 0 0 300 0 900 0 0 0 900 300 300 0 3900 0 0 300 300 900 0 0 0 0 0 0 300 600 300 0 0 0 0 12000
0 600 0 300 0 0 0 900 0 0 0 0 300 0 0 0 0 0 600 0 0 0 1500 300 0 0 7800 0 0 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 300 0 0 0 0 0 12900
300 0 300 0 0 0 0 600 0 0 0 0 300 0 600 0 0 0 0 0 0 0 300 600 0 0 4500 0 0 0 0 0 0 0 0 600 0 0 0 0 900 0 0 0 0 9000
0 0 600 0 0 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 600 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1200 0 0 0 0 300 0 0 0 0 0 0 600 0 600 0 0 0 0 4200
600 0 0 0 0 0 0 300 0 2400 0 0 0 0 9900
79 Lampiran 14 Kelimpahan dan komposisi zooplankton (individu/m3) Bulan Juli Kelimpahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama Jenis Acartia Atlanta Balanus Beroe Branchycelus Branchionus Bougainvillia Calanus Canthocalanus Cephalodella Ceriantus Cladonema Copepodite Copilia Diaptomus Doliolum Edvane Fritillaria Globigerina Gonionema Haploscoloplos Kepiting Limacina Macrosetella Miracia Mitaria Nauplius Nematobranchion Neocalanus Obelia Oikopleura Oithona Oncaea Paracalanus Pinctada Podon Sagitella Sida Synchaeta Temora Tintinopsis Travisiopsis Thysanoessa Trichoerca Zoea Jumlah
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
600 0 600 0 0 0 0 900 0 0 0 2100 0 300 0 0 0 0 300 3900 0 0 0 0 0 0 3600 0 0 0 300 600 0 0 600 0 0 0 300 300 1800 0 0 0 300 16500
300 0 600 0 0 0 0 600 0 0 0 900 0 0 0 0 0 0 0 3600 0 0 0 0 0 0 3000 0 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2700 0 0 600 600 13200
0 0 900 0 0 0 0
0 0 1200 0 0 0 0 300 0 0 0 1800 0 300 0 0 900
300 0 600 0 0 0 0 2100 300 0 0 1800 0 300 0 0 600
900 3300 600 0 0 0 0 0 9900 0 0 0 0 0 300 0 1800 600 0 0 1200 2100 6300 0 600 0 0 32100
600 2100 0 0 0 0 300 0 6900 0 0 0 0 300 0 600 300 1200 0 0 600 600 5700 1500 300 0 600 27600
300 300 1500 0 0 0 0 5400 0 0 0 300 0 600 0 0 0 0 0 0 0 0 0 300 600 0 7500 0 0 0 0 1200 0 300 0 600 0 0 300 1200 4800 0 0 0 600 25800
0 300 0 0 0 0 0 600 0 300 0 0 0 600 0 300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3900 0 0 0 0 0 300 300 300 600 0 0 0 900 4500 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 300 600 0 0 0 900 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 600 0 3900 0 0 0 0 300 0 300 0 0 0 0 0 600 2700 0 0 0 600 11100
0 0 0 4800 0 300 0 0 0 0 900 4200 0 0 0 0 300 0 7800 0 0 0 0 0 0 600 600 1200 0 0 300 600 4500 0 300 0 0 27300
12900
80
Lampiran 15 Kelimpahan dan komposisi zooplankton (individu/m3) Bulan Oktober No
Nama Jenis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Acartia Atlanta Balanus Beroe Branchycelus Branchionus Bougainvillia Calanus Canthocalanus Cephalodella Ceriantus Cladonema Copepodite Copilia Diaptomus Doliolum Edvane Fritillaria Globigerina Gonionema Haploscoloplos Kepiting Limacina Macrosetella Miracia Mitaria Nauplius Nematobranchion Neocalanus Obelia Oikopleura Oithona Oncaea Paracalanus Pinctada Podon Sagitella Sida Synchaeta Temora Tintinopsis Travisiopsis Thysanoessa Trichoerca Zoea Jumlah
Kelimpahan St.1 300 300 900 0 0 0 0 900 300 300 0 0 0 300 0 0 0 0 300 0 0 0 600 0 0 0 11400 300 0 0 0 900 0 300 300 1800 0 0 300 600 5700 0 600 0 2700 29100
St.2 900 1800 1200 0 0 0 0 2100 300 600 300 0 0 600 0 0 0 0 1200 0 600 0 1200 1200 300 300 13500 300 0 0 900 300 600 0 3000 2100 0 0 0 600 9900 0 0 0 1800 45600
St.3 600 900 1200 0 0 0 300 900 0 0 0 300 0 0 0 300 0 0 1500 0 600 0 1200 0 0 0 11100 0 0 0 0 300 900 300 1200 2400 0 0 300 900 5400 0 0 0 600 31200
St.4 0 600 900 0 0 0 0 1200 0 0 0 0 0 300 0 0 300 0 600 0 0 0 300 300 300 0 9600 0 0 0 600 0 0 0 900 1800 0 0 0 900 3600 0 0 0 600 22200
St.5 300 900 0 0 0 0 0 600 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 300 0 1800 0 0 0 9000 0 0 0 0 0 600 0 1500 1200 0 0 0 600 10500 0 0 0 0 27600
St.6 1500 900 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 600 0 0 0 0 600 0 0 0 600 1200 0 0 9900 0 0 0 0 0 0 300 900 1500 0 0 0 900 3000 0 0 0 600 22500
St.7 0 600 300 0 0 0 0 300 0 0 300 0 900 0 0 0 0 2100 0 0 0 0 0 0 0 3900 0 0 0 0 0 300 0 1800 1800 0 0 600 6900 0 0 0 0 19800
St.8 600 300 0 0 0 0 1200 0 0 0 600 900 0 0 0 0 300 0 0 0 300 300 0 0 12300 0 0 0 0 0 600 600 1500 1200 0 0 600 900 6900 0 300 0 0 29400
81
Lampiran 16 Kelimpahan rata – rata zooplankton pada waktu siang (individu/m3) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama Jenis
St 1 Acartia 900 Atlanta 2700 Balanus 600 Beroe 0 Branchycelus 0 Branchionus 0 Bougainvillia 0 Calanus 1500 Canthocalanus 0 Cephalodella 0 Ceriantus 0 Cladonema 0 Copepodite 0 Copilia 0 Diaptomus 0 Doliolum 0 Edvane 0 Fritillaria 0 Globigerina 300 Gonionema 0 Haploscoloplos 0 Kepiting 0 Limacina 0 Macrosetella 300 Miracia 300 Mitaria 0 Nauplius 17700 Nematobranchion 0 Neocalanus 0 Obelia 0 Oikopleura 900 Oithona 0 Oncaea 0 Paracalanus 300 Pinctada 5400 Podon 1500 Sagitella 0 Sida 0 Synchaeta 900 Temora 600 Tintinopsis 21900 Travisiopsis 300 Thysanoessa 0 Trichoerca 0 Zoea 300 Jumlah 56400
Kelimpahan St 2 600 1200 300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 300 0 0 0 300 0 0 0 9900 0 0 0 0 0 0 0 600 600 0 0 0 600 8700 0 0 0 0 23100
St 3 600 600 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3000 0 0 0 0 0 300 300 900 300 0 0 600 600 3600 0 600 0 0 11400
St 4 0 900 1200 0 0 0 0 2400 0 0 0 0 0 300 0 300 0 0 300 0 0 300 900 300 300 0 7500 0 0 0 900 300 0 300 3000 900 0 0 600 900 11700 0 0 0 300 33600
St 5 0 3900 900 0 0 0 0 2400 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 600 0 0 0 0 1500 900 0 13200 0 0 0 900 0 0 0 3300 1500 0 0 600 900 15600 0 0 0 600 46800
St 6 0 9300 600 0 0 0 0 3600 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1500 0 0 0 0 1500 600 0 14700 0 0 0 900 300 0 300 4500 2100 0 0 0 600 22200 0 0 0 3000 65700
St 7 3300 3000 6900 0 0 0 0 5100 0 0 0 0 1500 0 0 0 0 0 3000 0 0 0 0 3000 900 0 53100 0 0 0 2400 900 600 600 4500 3600 0 0 900 3300 27600 1500 300 0 2700 1E+05
St 8 0 300 3000 0 0 0 0 600 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1800 0 0 0 0 300 300 0 13200 0 0 0 600 0 0 600 1200 900 0 0 0 1200 14700 0 0 0 0 38700
82
Lampiran 17 Kelimpahan rata – rata zooplankton pada waktu malam (individu/m3) Kelimpahan No
Nama Jenis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Acartia Atlanta Balanus Beroe Branchycelus Branchionus Bougainvillia Calanus Canthocalanus Cephalodella Ceriantus Cladonema Copepodite Copilia Diaptomus Doliolum Edvane Fritillaria Globigerina Gonionema Haploscoloplos Kepiting Limacina Macrosetella Miracia Mitaria Nauplius Nematobranchion Neocalanus Obelia Oikopleura Oithona Oncaea Paracalanus Pinctada Podon Sagitella Sida Synchaeta Temora Tintinopsis Travisiopsis Thysanoessa Trichoerca Zoea Jumlah
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
600 900 600 0 0 0 0 900 0 300 0 0 0 0 0 0 0 0 600 0 0 300 0 0 0 0 6000 0 0 0 600 600 0 0 900 900 0 0 2100 300 8400 300 0 0 0 24300
600 600 2700 1200 0 0 0 4200 0 0 0 0 1800 0 0 0 0 0 1200 0 0 300 600 600 0 0 12300 300 0 0 300 300 600 600 3000 1800 0 0 900 1200 11700 0 0 0 1200 48000
300 600 1500 0 0 0 300 2400 600 0 0 0 300 0 0 0 300 0 300 0 0 0 0 0 600 0 5100 0 0 0 600 300 0 0 0 600 0 0 0 600 14400 0 0 600
300 0 1500 0 0 0 0 900 600 0 0 0 600 0 0 300 300 0 0 0 0 0 0 300 300 0 6900 600 0 0 900 300 300 300 1500 300 0 0 300 1200 21600 0 0 600 600 40500
300 300 4200 0 0 0 0 2100 0 0 0 0 0 600 0 300 1200 0 600 0 0 0 0 1800 300 0 15300 600 0 0 0 300 300 600 2100 900 0 0 1800 2100 9300 0 600 1500 600 47700
29400
St 6 0 1200 1500 0 0 600 0 900 0 0 0 0 0 0 0 0 300 0 900 0 0 0 1200 600 0 0 9900 300 0 0 0 0 0 600 3000 1800 0 0 2100 10200 0 0 0 1500 36600
St 7
St 8
1200 900 3900 0 0 300 0 2400 0 0 600 300 0 900 0 0 300 0 0 0 0 300 600 900 300 0 11700 0 0 0 3300 900 1200 1200 4200 900 300 0 600 2100 9900 0 0 600 600 50400
0 300 1200 0 0 0 0 600 0 0 0 0 300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 900 0 11100 0 0 0 300 300 0 300 2400 300 0 0 0 1500 12300 0 0 0 300 32100
83
Lampiran 18 Peta Arus Permukaan di Kawasan Pulau Abang (Sumber BPPT, 2003) a. Peta Arus Permukaan Bulan Mei
b. Peta Arus Permukaan Bulan Oktober
84
Lampiran 19.a t-Test Hubungan zooplankton siang malam t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1
Variable 2
Mean
8986,66667
6866,666667
Variance
719840273
335864545,5
45
45
Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df
527852409 0 88
t Stat
0,43769427
P(T<=t) one-tail
0,33134016
t Critical one-tail
1,66235395
P(T<=t) two-tail
0,66268032
t Critical two-tail
1,9872914