Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DISTRIBUSI DIATOMAE PLANKTONIK PADA MUSIM YANG BERBEDA DI PERAIRAN WADUK WADASLINTANG WONOSOBO Aang Anshorullah *, Endang Widyastuti dan Asrul Sahri Siregar ABSTRAK Diatomae planktonik berperan penting di perairan waduk sebagai pakan alami yang disukai oleh ikan dan organisme perairan lainnya. Distribusi diatomae planktonik dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan waduk. Musim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan perairan waduk. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi diatomae planktonik di perairan Waduk Wadaslintang Wonosobo. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu minggu masing-masing untuk musim penghujan dan kemarau di lima stasiun. Kelimpahan dan distribusi diatomae planktonik antar stasiun pengambilan sampel dianalisis menggunakan analisis cluster dengan program Bio-Diversity Profesional Version 2 dan analisis distribusi Poisson. Hasil menunjukkan bahwa diatomae planktonik yang ditemukan sebanyak 28 spesies yang terdiri dari dua ordo yaitu ordo pennales (26 spesies) dan ordo centrales (2 spesies). Kelimpahan individu diatomae planktonik didapatkan lebih banyak pada musim penghujan (696 ind/l) dari pada musim kemarau (420 ind/l). Diatomae planktonik yang ditemukan melimpah adalah Nitzschia vermicularis, Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis, Synedra acus dan Nitzschia actinotroides. Analisis cluster menunjukkan bahwa antara musim penghujan dan kemarau memiliki kesamaan dengan nilai koefisien kesamaan 53%. Pola distribusi diatomae planktonik secara umum adalah mengelompok baik pada musim penghujan (65%) maupun kemarau (59%). Perbedaan musim memperlihatkan kondisi yang berbeda terhadap kelimpahan dan distribusi organisme perairan, khususnya diatomae planktonik. Kata Kunci : kelimpahan, distribusi, analisis cluster, diatomae planktonik, Waduk Wadaslintang
ABSTRACT Planktonic diatomae has necessary role in reservoir as natural food in the good graced with fish and other aquatic organism. Distribution of planktonic diatomae influenced with water condition of reservoir. Season was environmental factor that influenced aquatic condition of reservoir. Research entitled “Distribution of Planktonic Diatomae in Wadaslintang Reservoir Wonosobo” aimed to determine abundance and distribution of planktonic diatomae in Wadaslintang reservoir, Wonosobo. The Research was carried out by using a survey method with random sampling. Sample collection was conducted with three replication in a week period each for winter and summer. Sample collection was conducted at five stasions, inlet, near floating net cage of farmer, near floating net cage of Aquafarm firm, middle and outlet. Abundance and distribution of planktonic diatomae inter station was analysed with cluster analysis applying for Biodiversity Profesional version 2 (Mc Aleece, 1997) and Poisson distribution. The Result showed that species of planktonic diatomae were 28 species in each 26 species including in order pennales and 2 species order centrales. Abundance of planktonic diatomae was 696 ind/l (in winter) and 420 ind/l (in summer). The great abundance of planktonic diatomae are Nitzschia vermicularis, Pinnularia nobilis, Synechocystis aquatilis, Synedra acus and Nitzschia actinotroides. Cluster analysis identified that community of planktonic diatomae in winter and summer were same with similarity coefficient was 53%. Distribution pattern of planktonic diatomae in winter and summer were generally aggregated 65% in winter and 59% in summer. Season dissimilarity showed different condition for abundance and distribution of aquatic organism specially for planktonic diatomae. Keywords : abundance, distribution, cluster analysis, Planktonic diatomae, Wadaslintang Reservoir
*
Fakultas Biologi UNSOED E-mail :
[email protected]
1
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Tujuan pembangunan Waduk Wadaslintang adalah sebagai pembangkit tenaga listrik, irigasi, perikanan dan objek wisata. Kegiatan perikanan meliputi perikanan tangkap dan budidaya. Budidaya yang dikembangkan di Waduk Wadaslintang pada saat ini adalah adanya budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) yang sebagian besar dikelola oleh PT. Aquafarm dan sebagian lagi oleh petani setempat. Jenis ikan yang dikembangkan sebagai komoditas budidaya adalah nila merah (Oreochromis niloticus) (Dinas Perikanan Propinsi Jawa Tengah, 1994). Daerah aliran sungai (DAS) Waduk Wadaslintang mempunyai topografi dan bentuk wilayah berupa daerah datar dan perbukitan, sebagian besar wilayah berupa dataran dengan lereng curam dan bergelombang, sebagian lain berupa area persawahan. Tata guna lahan di sekitar DAS Waduk Wadaslintang dapat berpengaruh terhadap kondisi fisika dan kimia waduk. Penggunaan lahan di DAS Waduk Wadaslintang sebagian besar untuk lahan tegalan (7.529 ha), sebagian lagi berupa area hutan (5.307 ha), pekarangan (2.730 ha) dan persawahan (2.636 ha) (BRLKT, 2001). Dengan demikian DAS Waduk Wadaslintang dimungkinkan membawa limbah baik berupa bahan organik maupun anorganik dari DAS nya yang akan menjadi sumber nutrien bagi perairan waduk. Selain mendapatkan nutrien dari luar, waduk juga mendapat tambahan nutrien dari dalam waduk sendiri yaitu berupa sisa-sisa pakan ikan dari usaha budidaya KJA. Penambahan bahan organik dan anorganik tersebut akan semakin memperkaya nutrien di perairan waduk. Hal ini menyebabkan kondisi perairan waduk dari waktu ke waktu mengalami perubahan sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan dan distribusi organisme di dalamnya. Diatomae memiliki fungsi ekologis penting dalam mendukung ekosistem perairan waduk. Salah satunya sebagai pakan alami terbaik yang disukai ikan, udang, moluska, bivalvia dan organisme perairan waduk lainnya. Diatomae memiliki pori-pori dan bentuknya terdiri dari tutup dan wadah yang mudah membuka, di samping dindingnya yang sangat kuat sehingga memudahkan ikan untuk mencerna isi sel diatomae dengan bantuan enzim pencernaan (Payne, 1985). Selain itu keberadaan diatomae yang sebagian besar tersebar di permukaan perairan akan memudahkan ikan dalam mendapatkan pakan alaminya. Odum (1993), menyatakan bahwa diatomae
2
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
merupakan fitoplankton yang banyak ditemukan pada perairan danau bagian permukaan (bersifat planktonik). Diatomae memiliki kemampuan untuk merespon adanya perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi suatu perairan secara langsung (Munda, 2005). Perubahan kondisi perairan tersebut akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan diatomae. Musim merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi distribusi diatomae pada suatu perairan (Wu dan Chou, 1998). Musim di daerah tropis berkaitan erat dengan curah hujan yang turun sepanjang tahun dan terbagi menjadi dua yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan dimulai jika intensitas curah hujan lebih dari 150 mm per bulan (BMG, 2007). Perbedaan volume air masuk antara musim penghujan dan musim kemarau dengan demikian akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas nutrien di dalam waduk. Wulandari (2006) menyatakan bahwa curah hujan akan mempengaruhi volume air, transport sedimen dan nutrien yang masuk ke waduk. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya kelimpahan diatomae planktonik musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk Wadaslintan dan untuk mengetahui distribusi diatomae planktonik musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk Wadaslintang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam upaya menentukan kualitas ekosistem perairan kaitannya dengan pemanfaatan perairan bagi perikanan di perairan Waduk Wadaslintang.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan terhadap diatomae yang didapatkan di perairan Waduk Wadaslintang Wonosobo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara acak terpilih. Pengambilan sampel dilakukan pada lima stasiun dengan tiga kali ulangan masingmasing pada musim penghujan dan kemarau. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter fisika kimia perairan yang meliputi kedalaman, penetrasi cahaya, padatan tersuspensi {total suspended solid (TSS)}, suhu, derajat keasaman (pH), alkalinitas, oksigen (O2) terlarut, karbondioksida (CO2) bebas, BOD5, nitrat, ortofosfat dan silika. Pengambilan sampel diatomae dilakukan dengan menggunakan plankton-net no 25 dan diawetkan dengan formalin 4 % dan lugol
3
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
(APHA, 1992). Diatomae yang ditemukan diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Sachlan (1982), Davis (1955), Shirota (1966) dan Thompson (1959). Penghitungan kelimpahan diatomae menggunakan metode Lackey Drop Microtransec Counting (APHA,1965). Data kelimpahan diatomae dianalisis dengan menggunakan metode cluster. Analisis cluster yang digunakan merupakan paket program Bio-Diversity Profesional Version 2 (Mc Aleece, 1997), pengelompokkannnya berdasarkan rumus koefisien kesamaan Bray-Curtis dengan rumus sebagai berikut : 2W QS = A
B
X 100
PV = Ĉ F
Keterangan : QS = Koefisien kesamaan A = Jumlah PVdari spesies yang terdapat pada komunitas A. B = Jumlah PVdari spesies yang terdapat pada komunitas B. W = Jumlah PV terkecil antara di komunitas a dan b PV = prominance value Ĉ = Jumlah rataan individu satu spesies dari seluruh sampel di setiap komunitas F = Frekuensi terdapatnya setiap spesies dari seluruh sampel di setiap komunitas
Analisis distribusi Diatomae menggunakan analisis distribusi Poisson (Shoutwood, 1978), yaitu : 2
S =
∑ X 2− [ ∑
X 2 /N
]
N− 1
Keterangan : S2 = Variansi X = Jumlah individu N = Jumlah total individu Jika S2 = µ maka populasi tersebar acak, S2 < µ maka populasi tersebar merata, S2 > µ maka populasi tersebar berkelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan merupakan suatu indikasi dari penyebaran individu suatu spesies karena pengaruh faktor lingkungan (Mc Naughton and Wolf, 1990). Kelimpahan diatomae planktonik yang didapatkan selama penelitian di perairan Waduk Wadaslintang adalah 696 ind/l (musim penghujan) dan 420 ind/l (musim kemarau). Kelimpahan diatomae planktonik ini dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan seperti cahaya, temperatur, nitrat, ortofosfat, alkalinitas dan silika. Kondisi perairan
4
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Wadaslintang secara umum masih berada pada kisaran yang mendukung bagi kehidupan diatomae planktonik. Hasil pengukuran sifat fisika dan kimia air antara lain suhu air berkisar antara 26-29 0C. Hal ini sesuai dengan pendapat Werner (1977) yang menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan diatomae berkisar antara 20300C. Kandungan nitrat perairan Waduk Wadaslintang berkisar antara 0,26-0,34 mg/l, Kementerian lingkungan hidup (2002) menyatakan bahwa berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 kadar nitrat maksimun untuk usaha pembudidayaan ikan air tawar adalah 20 mg/l. Alkalinitas berkisar antara 45-142 mg/l, hal ini sesuai dengan pendapat Wardoyo (1978) yang menyatakan bahwa kadar alkalinitas yang baik untuk perairan untuk budidaya perikanan berkisar antara 50-200 mg/l. Silika berkisar antara 17,20 - 28,28 mg/l. APHA (1992) menyatakan bahwa silika di perairan alami berkisar antara 1-30 mg/l. Tabel 1. Kelimpahan Individu dan Kelimpahan Relatif (KR) Diatomae Planktonik Yang Didapatkan di Perairan Waduk Wadaslintang Berdasarkan Musim dan Stasiun Pengambilan Sampel No
Spesies 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Botrydiopsis arhiza Cocconeis pediculus Cymbella naviciliformes Diatoma vulgare Epithemia argus Fragillaria capucina F. construen Melosira malayensis Navicula gastrum Neidium affine Nitzschia actinotroides N. curvula N. filiformis N. phillipinerum N. purgena N. seriata N. vermicularis Pinnularia contorta P. nobilis Rhizosolenia styliformis Surirella elegans S. robusta S. tenera Synechocystis aquatilis Synedra acus S. coningtonii S. tabulata S. ulna ∑ individu ∑ spesies
Musim Penghujan 2 3 4
15
39
5
19 10
10
10
39
29 243
39
17
10
10 10 10 398
39 78
976
19 5
388
29
68
194
126
165
19
10 73
29 10 29 78
5 15 49 29 837 10
29 87
10 249 6
1348 6
335 9
698 6
Kelimpahan diatomae planktonik (Ind/liter) Musim Kemarau RataKR rata (%) 1 2 3 4 29 15 2,16 49 29 2 0,29 48 10 29 39 19 29 14 2,01 58 39 19 17 2,44 68 10 49 7,04 39 2 0,29 58 68 29 2 0,29 14 2,01 136 126 175 87 369 53,02 49 39 10 19 116 16,67 19 10 10 29 19 10 1,44 2 0,29 15 2,16 58 184 48 39 51 7,33 12 6 696
1,72 0,86 100
10 418 10
611 10
446 8
Ratarata 6
KR (%) 1,43
21
5,00
10 4 14 10
2,38 0,95 3,33 2,38
23 16
5,47 3,81
10 29
10 37
2,38 8,81
87
122 18 8 8 14
29,05 4,28 1,91 1,91 3,33
29
72
17,14
68
10 49
2 25
0,47 5,95
329 9
282 10
420
100
5
29
10
10 19
Kelimpahan diatomae planktonik musim penghujan (696 ind/l) lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau (420 ind/l). Melimpahnya diatomae planktonik pada
5
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
musim penghujan disebabkan oleh tingginya kandungan ortofosfat yaitu 0,015 mg/l dibandingkan musim kemarau (0,010 mg/l), nilai tersebut sangat baik untuk mendukung kehidupan diatomae planktonik. Ortofosfat adalah nutrien penting yang banyak dibutuhkan untuk kehidupan diatomae planktonik. Effendi (1993) menyatakan bahwa kadar ortofosfat pada perairan alami menurut UNESCO/WHO/UNEP 1992, berkisar antara 0,005-0,02 mg/l. Selain itu kelimpahan diatomae planktonik menyebabkan kandungan silika pada musim penghujan lebih rendah (17,20 mg/l) dibandingkan musim kemarau (28,28 mg/l). Kandungan silika yang rendah pada musim penghujan dikarenakan adanya pengenceran dari besarnya debit air yang masuk ke waduk dan banyaknya pemanfaatan silika oleh diatomae planktonik untuk membentuk frustule (dinding sel). Cetin (2004) menyatakan bahwa konsentrasi silika di perairan menurun seiring pertumbuhan diatom, konsentrasi terendah silika terjadi ketika pertumbuhan diatom maksimal. Dengan demikian kandungan silika di perairan waduk wadaslintang berbanding terbalik dengan kelimpahan diatomae planktonik. Diatomae planktonik yang ditemukan melimpah pada musim penghujan adalah Nitzschia vermicularis yaitu 369 ind/l, diikuti Pinnularia nobilis 116 ind/l, Synedra acus 51 ind/l dan Nitzschia curvula 49 ind/l. Pinnularia banyak ditemukan pada perairan danau dengan daerah tangkapan air (catchment area) yang melalui area perhutanan (Bigler, 2002). Daerah tangkapan Waduk Wadaslintang memiliki rona lingkungan berupa area hutan yang cukup luas (5.307 ha) sehingga dimungkinkan untuk ditemukannya Pinnularia. Sedangkan spesies yang ditemukan melimpah pada musim kemarau yaitu Nitzschia vermicularis 122 ind/l, Synechocystis aquatilis 72 ind/l, Nitzschia phillipinerum 37 ind/l, Synedra tabulata 25 ind/l, Neidium affine 23 ind/l dan Cymbella naviciliformis 19 ind/l. Bigler (2002) menyatakan bahwa Cymbella dan Fragillaria merupakan spesies yang menjadi karakteristik musim kemarau. Nitzschia merupakan genera yang ditemukan dengan jumlah individu dan jumlah spesies tertinggi pada seluruh stasiun baik musim penghujan dan kemarau. Hal ini dikarenakan Nitzschia merupakan genera yang memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan terutama bahan organik yaitu nitrat dan fosfat. Hynes (1960) menyatakan bahwa Nitzschia sangat resisten pada perairan yang kaya akan bahan organik. Nitrat merupakan bahan organik yang banyak dibutuhkan diatomae
6
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
planktonik untuk sintesis protein. Kandungan nitrat di perairan Waduk Wadaslintang mencapai kisaran 0,26 – 0,34 mg/l, kadar nitrat tersebut termasuk tinggi untuk perairan waduk. Hal ini sejalan dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan yang selanjutnya memicu terjadinya blooming alga. Berdasarkan Tabel 1 spesies yang hanya ditemukan pada musim penghujan adalah sebanyak 10 jenis yaitu Cocconeis pediculus, Diatoma vulgare, Navicula gastrum, Nitzschia curvula, N. purgena, N. seriata, Surirella robusta, S. tenera, Synedra acus dan S. ulna. Sedangkan spesies yang hanya ditemukan pada musim kemarau adalah sebanyak 12 jenis yaitu Botrydiopsis arhiza, Cymbella naviciliformes, Epithemia argus, Fragillaria capucina, F. construen, Melosira malayensis, Neidium affine, Nitzschia filiformis, Pinnularia contorta, , Rhizosolenia styliformis, Surirella elegans dan Synedra coningtonii. Wetzel (1983) menyatakan bahwa fitoplankton (termasuk diatomae) mempunyai kisaran toleransi yang luas pada perairan darat alami, namun jenis tertentu sering didapatkan sangat khas mengikuti perubahan kondisi kesuburan perairan tersebut. Kelimpahan diatomae planktonik dikelompokkan menggunakan analisis cluster untuk mengetahui tingkat kesamaan kelimpahan diatomae planktonik antar stasiun pengambilan sampel pada musim penghujan dan kemarau di perairan Waduk Wadaslintang seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1.
Dendogram Hasil Analisis Cluster Terhadap Kelimpahan Diatomae Planktonik Berdasarkan Stasiun Pengambilan Sampel Pada Musim Penghujan dan Kemarau.
Dendogram pada gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum terbentuk dua kelompok yaitu
kelompok musim kemarau
dan
kelompok
musim
penghujan. 7
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Kelompok musim kemarau terdiri dari kelompok stasiun dengan koefisien kesamaan yang berkisar antara 68,85% - 75,4% dan kelompok musim penghujan yang terdiri dari kelompok stasiun dengan koefisien kesamaan yang berkisar antara 64,4% - 86,4%. Koefisien kesamaan antara musim penghujan dan kemarau adalah 53 % (Lampiran 1). Secara umum kelompok stasiun pada musim penghujan memiliki koefisien kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok stasiun musim kemarau. Kelompok stasiun yang memiliki kesamaan tertinggi adalah stasiun I (inlet penghujan) dan stasiun II (KJA petani penghujan) dengan koefisien kesamaan 86,4 % dan kelompok stasiun I (inlet kemarau) dan stasiun II (KJA petani kemarau) dengan koefisien kesamaan 75,4 %. Kesamaan yang tinggi pada kelompok stasiun inlet dan KJA petani pada musim penghujan dan kemarau disebabkan oleh letak yang berdekatan antara kedua kelompok stasiun tersebut sehingga kondisi fisika dan kimia air kedua kelompok stasiun tersebut mendekati sama. Selain itu faktor lain yang menyebabkan kesamaan yang tinggi pada kedua kelompok stasiun tersebut adalah adanya kesamaan kondisi fisika perairan terutama penetrasi cahaya (kecerahan). Penetrasi cahaya pada kelompok stasiun inlet dan KJA petani (penghujan) tersebut mencapai kisaran 172 - 184 m, nilai ini tertinggi dibandingkan kelompok stasiun lainnya. Simon (1998) menyatakan bahwa kecerahan merupakan faktor fisika paling penting yang mempengaruhi distribusi diatom di perairan. Distribusi plankton merupakan suatu kemerataan penyebaran komposisi individu plankton dalam suatu komunitas di perairan (Odum, 1993). Diatomae planktonik yang diperoleh dari 5 stasiun penelitian masing-masing pada musim kemarau dan penghujan adalah sebanyak 28 spesies. Pola distribusi diatomae planktonik berdasarkan analisis distribusi Poisson disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa secara umum pola distribusi diatomae planktonik yang didapatkan pada musim kemarau dan penghujan adalah mengelompok. Pada musim penghujan pola distribusi mengelompok didapatkan sebanyak 11 spesies (65 %) dan pola distribusi teratur sebanyak 6 spesies (35 %). Sedangkan pada musim kemarau pola distribusi mengelompok didapatkan sebanyak 10 spesies (59 %) dan pola distribusi teratur sebanyak 7 spesies (41 %). Distribusi mengelompok diatomae planktonik dapat terjadi jika ada persaingan makanan, cahaya
8
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupannya. Selain itu distribusi mengelompok dapat terjadi karena adanya predasi dan juga sifat dari spesies itu sendiri (Ronihartanto dan Juwana, 1998). Diatomae merupakan pakan alami yang banyak disukai ikan sehingga penyebarannya dipengaruhi oleh keberadaan pemangsa terutama ikan. Hal ini ditegaskan oleh Werner (1977) yang menyatakan bahwa diatomae merupakan pakan alami terbaik yang disukai ikan, udang, moluska, bivalvia dan organisme perairan lainnya. Tabel 2. Hasil Analisis Distribusi Poisson Untuk Menggambarkan Pola Distribusi Diatomae Planktonik Berdasarkan Musim. No
Species
S2
1 Botrydiopsis arhiza 5,95 2 Cocconeis pediculus 3 Cymbella naviciliformes 1,21 4 Diatoma vulgare 5 Epithemia argus 6 Fragillaria capucina 7 Fragillaria construen 8 Melosira malayensis 3,88 9 Navicula gastrum 10 Neidium affine 16,68 11 Nitzschia actinotroides 44,28 12 N. curvula 13 N. filiformis 1,21 14 N. phillipinerum 1,21 15 N. purgena 6,01 16 N. seriata 24,14 17 N. vermicularis 18 Pinnularia contorta 12,14 19 P. nobilis 20 Rhizosolenia styliformis 3,14 21 Surirella elegans 5,49 22 S. robusta 1,21 23 S. tenera 4,16 24 Synechocystis aquatilis 1350,68 25 Synedra acus 26 S. coningtonii 7,61 27 S. tabulata 4,46 28 S. ulna Keterangan : S2 = Variansi K = Mengelompok µ = mean T = Teratur PD = Pola distribusi
Penghujan µ
3,20 1,23
3,31 4,69 3,69 1,23 1,23 2,32 23,98 12,35 3,39 2,40 1,23 3,42 21,87 2,47 1,65
PD K T K K K T T K K T T K T K K K K
S2
Kemarau µ
1,65
4,46
8,09
10,66
7,89 14,58 1,70 5,49
1,97 3,48 1,84 2,40
7,30 10,81
4,46 2,72
6,01 7,99
2,32 2,76
2,71 10,60 3,10 1,46
10,98 3,08 1,95 2,79
11,39
7,82
1,21 1,21
1,23 1,23
PD T T K K T K K K K K T K K T K T T -
Nitzschia merupakan genera yang secara umum didapatkan dengan distribusi mengelompok baik pada musim penghujan maupun kemarau. Hal ini sejalan dengan
9
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pendapat Munda (2005) yang menyatakan bahwa Nitzschia merupakan kelompok diatom yang terdistribusi mengelompok di perairan. Synedra memiliki pola distribusi mengelompok pada kedua musim. Hal ini dikarenakan tingginya konsentrasi silika di perairan Waduk Wadaslintang baik pada musim penghujan dan kemarau yaitu berkisar antara 17,2 – 28,3 mg/l. Mohan (2005) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi silika pada permukaan perairan menyebabkan pertumbuhan melimpah pada genera Synedra, Fragillaria dan Tabellaria.
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil dan pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Diatomae planktonik yang didapatkan di perairan Waduk Wadaslintang memiliki kelimpahan rata-rata 696 ind/l (penghujan) dan 420 ind/l (kemarau). Kelimpahan rata-rata musim penghujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Analisis cluster menunjukkan bahwa kelompok stasiun musim penghujan memiliki kisaran koefisien kesamaan lebih tinggi (64,4% - 86,4%) dibandingkan kelompok musim kemarau (68,85% - 75,4%). Koefisien kesamaan antara musim penghujan dan kemarau adalah 53%. 2. Pola distribusi diatomae planktonik yang didapatkan pada musim penghujan dan kemarau secara umum adalah mengelompok. Pola distribusi mengelompok pada musim penghujan didapatkan lebih banyak (65%) dibandingkan dengan musim kemarau (59%).
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Fundamental tahun 2007 dengan judul “Model Perancangan Pemanfaatan Perairan Waduk Wadaslintang bagi Budidaya Perikanan Berbasis Daya Dukung Lingkungan” oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan dana penelitian.
10
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G dan S.S. Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya. American Public Health Association (APHA). 1965. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. Americana Public Health Association, American Water Works Association and Water Pollution Control Federation, New York. American Public Health Association (APHA). 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 18th edition. Americana Public Health Association, American Water Works Association and Water Pollution Control Federation, New York. Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Awal musim penghujan dan Kemarau. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1990. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Bagi Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, BPPP. Jakarta. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 2001. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Mawar/ Medono DAS Serayu. BRLKT Opak Progo Serayu. Yogyakarta. Bigler, C. and R.I. Hall. 2002. Diatoms as Indicators Of Climatic And Limnologycal Change in Swedish Lapland: A 100 lake Calibrations Set and Its Validition For Paleoecological Reconstruction. Journal Of Paleolimnology, 27: 97-115. Cetin, A.K. 2004. Seasonal Distribution of Phytoplankton in Orduzu Dam Lake: Malatya. Turk J Bot, 28: 279-285. Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University Press, New York. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Fabricius, M.D., N. Maidana dan S. Sabater. 2003. Distributions Pattern of Benthic diatoms in a Pampean River Exposed to Seasonal Floods, The Cuarto River. Biodiversity and Conservation, 12: 25-32. Hynes, H.B.N. 1960. The Biology of Polluted Waters. Liverpool University Press, Liverpool. Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup. Mc Aleece, N. 1997. Biodiversity Profesional Version 2. The Natural History Museum and Scottish Association For Marine Science. Mc Naughton, S.J. and L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum Edisi Kedua. (Penerjemah S.P. Saputro dan B. Srigandono. 1990). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
11
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Mohan, R., S. Shanvas, M. Thamban dan M. Shudakar. 2004. Spatial distribution of Diatoms in Surface Sediments from The Indian Sector of Southern Ocean. National Centre For Antartic and Ocean Research, 91 (11): 1495-1502. Munda, I.M. 2005. Seasonal Fouling by Diatoms on Artificial Substrata at Different Depths Near Piran (Gulf of Trieste, Northern Adriatic). Center for Scientific research of The Slovene Academy of Science and Art, 46 (2): 137-157. Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. diterjemahkan oleh Tjahyono Samingan. UGM Press. Jogyakarta. Payne, A.I. 1985. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons, New York. Ronihartanto, K. dan S. Juwana. 1998. Plankton Larva Hewan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. Shoutwood, T.R.E. 1978. Ecologycal Methods. 2nd Edition. Chapman and Hall, London. Shirota, A. 1966. The Plankton of South Vietnam. Technical Cooperation Agency, Tokyo. Thompson, R.H. 1959. Algae. In Edmonson, W.T. (Ed) 1959. Freshwater Biology 2nd Edition. John Willey and Sons Inc, New York. Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Seminar Pengendalian Pencemaran Air, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Werner, D. 1977. The Biology of Diatoms. Blackwell Scientific Publication Oxpord, London. Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Saunders College Publishing Winston, New York. Wu, J.T and J.W. Chou. 1998. Dinoflagellate Associations in Fetsui Reservoir. Taiwan. Botanical Bulletin of Academica Sinica, 39: 137-145. Wulandari, D.T. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Alam Danau. Disertasi. Program Pascasarjana Biologi Universitas Indonesia, Jakarta.
12
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
LAMPIRAN Lampiran 1. Pengelompokan Kelimpahan Diatomae Planktonik Antar Musim dan Antar Stasiun Dengan Menggunakan Analisis Cluster Antar musim Step Clusters 1 1
Distance 46,6146431
Similarity Matrix Penghujan Penghujan * Kemarau *
Similarity 53,3853569
Joined 1 1
Joined 2 2
Kemarau 53,3854 *
Antar stasiun Step 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Clusters 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Distance 13,587059 23,1408482 23,2959328 24,5499783 30,2304878 31,1470718 35,6018677 35,9091606 37,2195053
Join ed 1 1 1 1 2 6 2 1 1 1
Similarity 86,41294098 76,85915184 76,70406723 75,45002174 69,76951218 68,85292816 64,39813232 64,09083939 62,78049469
Joined 2 3 5 7 4 8 10 9 6 2
Similarity Matrix Inlet Inlet KJA hujan kemarau petani (H)
KJA petani Aquafarm Aquafarm Tengah (K) (H) (K) hujan
Tengah (K)
Outlet hujan
Outlet kemarau
Inlet hujan Inlet kemarau KJA petani hujan KJA petani (K) KJA Aquafarm (H) KJA Aquafarm (K) Tengah hujan Tengah kemarau Outlet hujan
* * * * * * * * *
49,2601 * * * * * * * *
86,4129 55,0199 * * * * * * *
55,9379 75,45 55,2943 * * * * * *
76,8592 46,4531 75,7153 43,0829 * * * * *
54,7671 61,1575 64,0908 60,5281 51,3916 * * * *
70,7416 52,3434 73,9353 52,0674 76,7041 58,1983 * * *
40,8826 62,7805 48,289 52,3568 39,3128 69,7695 42,891 * *
62,1798 50,9683 57,7824 54,1622 58,1461 48,1537 64,3981 35,2508 *
51,6181 68,8529 50,853 68,3538 49,1498 57,1773 55,4256 58,757 51,2206
Outlet kemarau
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
13
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
ANALISIS KUALITAS PERAIRAN TAMBAK ALIH LAHAN SEBAGAI HABITAT KEPITING BAKAU BERDASARKAN INDEKS KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN BENTHOS G.Nugroho Susanto*
ABSTRAK Kawasan garis pantai Lampung yang terdiri dari hutan mangrove dan lahan pertanian telah banyak yang beralih fungsi menjadi tambak-tambak perikanan. Perubahan fungsi secara ekologis ini berdampak pada menurunnya produktivitas perairan dan menyebabkan terjadinya degradasi habitat pada kawasan tersebut. Perubahan kualitas dan kuantitas perairan dapat dilihat dari perubahan faktor fisika (suhu, kecerahan), faktor kimia (salinitas, pH, DO, kandungan phosphat dan nitrogen), dan faktor biologi (kandungan plankton dan benthos). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan tambak alih lahan sebagai kawasan habitat kepiting bakau berdasarkan pengukuran indeks keanekaragaman plankton dan benthos, serta pengaruh kualitas air secara fisik dan kimia terhadap keberadaan plankton dan benthos tersebut. Hasil penelitian pada analisis plankton menunjukkan indeks kemelimpahan sebesar 27000-33000 individu/liter, indeks dominansi rendah 0,10-0,18 dan indeks keanekaragaman tergolong sedang 2,22-2,58. Sedangkan pada analisis makrozoobenthos, indeks kemelimpahan sebesar 560-1168 ind/m2 dan indeks keanekaragaman 1,48 pada lokasi tambak, 2,14 pada lokasi aliran pasang surut dan 2,22 pada lokasi mangrove. Berdasarkan pengukuran indeks keanekaragaman tersebut, secara keseluruhan perairan di kawasan sekitar tambak alih lahan masih cukup baik dengan tingkat pencemaran yang tergolong masih ringan. ABSTRACT A large portion of the coastal area of Lampung which is consist of mangrove forest and agricultural area has been converted into fishery ponds. This ecological conversion has caused some decrease in the marine productivity, led to degradation of habitat in the region. The changes in quality and quantity could be seen from the changes in physical factors, such as temperature and light penetrability; chemical factors such as salinity, pH, DO, phosphate and nitrogen contents, as well as biological factors such as composition of plankton and benthos. This research is aimed to study the quality of water in conversion ponds as habitat for mangrove crabs. The quality is expressed in terms of diversity index of plankton and benthos and the influence of water quality on the population of plankton and benthos. The results obtained revealed that for plankton, the abundance index is in the dense of 27000-33000 individual/liter, dominance index of 0.1-0.18 and diversity index of 2.22-2.58 which is known as moderate diversity. For macrozoobenthos, the abundance index is in the range of 560-1168 individu/m2, diversity index of 1.48 in the pond site, 2.48 in the tidal site and 2.22 in the mangrove site. The overall results indicate that in general the quality of the conversion ponds could be considered as satisfactory with low pollution level.
*
Jurusan Biologi FMIPA UNILA E-mail :
[email protected]
14
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Wilayah pesisir Lampung merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam yang merupakan tumpuan dalam pengembangan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat di masa mendatang (Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, 2000). Sumber daya alam wilayah pesisir dan lautan memiliki potensi untuk pengembangan perikanan budidaya laut atau marikultur. Salah satu sumber daya alam di kawasan pesisir berupa hutan bakau atau mangrove yang mempunyai potensi besar jika dikelola dengan baik. Hilangnya ekosistem mangrove karena diubah menjadi tambak akan menyebabkan hilangnya sumber energi bagi rantai makanan pada ekosistem pantai, yang akan berdampak pada menurunnya produktivitas primer dan sekunder pada perairan pantai tersebut, sehingga dapat merugikan bagi pemanfaat ekosistem mangrove tersebut. Kerusakan habitat pesisir ini selain karena proses alami (erosi pantai), juga disebabkan penebangan tanaman mangrove, alih fungsi lahan pantai dan pencemaran lingkungan (limbah domestik dan industri). Akibatnya terjadi penurunan luas areal hutan pantai, kualitas air, hasil tangkapan (kepiting, udang, kerang), penurunan pendapatan pengguna hutan mangrove dan meluasnya erosi pantai (Aksornkoae, 1993 ; FAO, 1994 ; Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, 2000). Propinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki perairan yang langsung berbatasan dengan laut lepas di sebelah Barat, Timur, Selatan dan Utara. Menurut Susanto dan Murwani (2006) sumber daya alam di kawasan pantai di Lampung merupakan potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik dan benar, serta bermanfaat sebagai areal budidaya terutama untuk pertambakan, namun banyak pemanfaatannya yang tak terkendali. Banyak kawasan yang beralih fungsi dari hutan mangrove atau lahan pertanian menjadi lahan tambak. Peralihan fungsi lahan ini akan berdampak pada menurunnya produktivitas perairan secara kualitas dan kuantitas, sehingga menurunkan daya dukung lingkungan. Banyak tambak yang mengalami degradasi secara ekologis dan menjadi tidak produktif, sehingga dibiarkan terbengkelai begitu saja. Kondisi ini akan menurunkan hasil usaha perikanan dan kualitas perairan secara ekologis. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, produktivitas, kekayaan sumber daya alam, serta keseimbangan ekologis yang ada di sekitarnya. Perubahan tersebut dapat dilihat dari berubahnya kualitas fisik, kimia dan biologi
15
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
perairan yang meliputi kandungan oksigen, pH, kemelimpahan, keanekaragaman, dominansi organisme air dan sebagainya (Connell dan Miller, 1995). Indikator biologi dapat digunakan untuk mengukur kualitas air karena perubahan yang terjadi dalam suatu lingkungan akan menyebabkan komunitas yang ada di dalamnya juga berubah (Sastrawijaya, 2000). Organisme perairan penting yang berperan sebagai indikator biologi adalah plankton dan benthos. Keanekaragaman plankton dan benthos dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya perubahan kualitas air pada suatu perairan yang diakibatkan oleh perubahan nilai kuantitatif plankton dan benthos yang ada di dalamnya. Perubahan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Keanekaragaman plankton dan benthos pada suatu perairan dapat ditunjukkan dengan banyaknya jenis organisme tersebut yang terdapat dalam perairan. Keberadaaan plankton dan benthos dalam perairan sangat menentukan kelangsungan hidup organisme lain yang ada dalam perairan, karena kedua jenis organisme ini memegang peranan penting dalam ekosistem perairan (Anonim, 1997). Plankton adalah jasad renik yang melayang dan selalu mengikuti gerakan air. Plankton merupakan organisme perairan yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi ekologis perairan dan berperan sebagai pakan alami hewan laut yang tingkatan tropiknya lebih tinggi seperti ikan dan biota lain (Effendi, 2000). Sedangkan organisme yang berperan dalam mengubah bahan organik menjadi bahan anorganik yang menjamin kesuburan perairan adalah bakteri, fungi, dan detritivor besar seperti protozoa dan avertebrata yang dikenal sebagai makrozoobenthos (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Makrozoobenthos sangat peka terhadap perubahan kualitas air, sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kemelimpahannya (Odum, 1994). Dari uraian tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis kualitas perairan pada kawasan garis pantai Lampung, khususnya sekitar tambak alih lahan yang merupakan habitat penting bagi kepiting bakau, berdasarkan kandungan dan keanekaragaman plankton serta benthos yang ada di dalamnya.
16
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September - November 2007 di perairan kawasan tambak alih lahan di kecamatan Padang Cermin dan kecamatan Sragi, kabupaten Lampung Selatan. Pengukuran parameter fisika (suhu dan kecerahan) dan parameter kimia (pH, DO dan salinitas) dilakukan secara langsung di lokasi pengambilan sampel, sedangkan pengamatan dan analisis plankton dan benthos dilakukan di laboratorium Zoologi. Analisis sampel senyawa amonia (NH3) dan phosphat (PO4) dilakukan di laboratorium Instrumentasi FMIPA Universitas Lampung. Penentuan tempat dan lokasi penelitian dilakukan setelah survei lapangan pada kawasan pesisir dimana ditemukan lokasi tambak alih lahan. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode sampling pada tiga titik sampling secara acak dengan tiga kali ulangan pada setiap stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan di tiga titik pengamatan dengan pertimbangan terwakilinya zona lingkungan kawasan perairan pesisir, khususnya di sekitar tambak alih lahan yaitu stasiun I (Tambak), stasiun II (Mangrove) dan stasiun III (Aliran Pasang-Surut).
B. Pelaksanaan Penelitian - Pengambilan sampel plankton Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan
metode pemekatan dengan
menggunakan metode tuang/ saring. Sampel air diambil dengan ember volume ± 10 liter kemudian disaring dengan planktonet no. 25. Setelah sampel dipadatkan, dimasukkan ke dalam botol dan diberi larutan formalin 4 % sebanyak 4-5 tetes serta diberi label. Sampel plankton diidentifikasi dan dihitung jumlah jenis spesiesnya dengan buku acuan dari Davis (1955). - Pengambilan sampel benthos Pengambilan sampel makrozoobenthos dengan menggunakan metode sampling dengan pembuatan plot ukuran 50x50 cm pada tiap stasiun secara acak. Sampel diambil dengan menggunakan pengeruk. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dilakukan penyortiran dengan menggunakan saringan bertingkat. Sampel makrozoobenthos yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol dan diberi larutan formalin 4 % serta diberi label.
17
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sampel makrozoobenthos didentifikasi dengan buku acuan dari Edmonson (1959) dan Pennak (1978). -
Analisis Data
Hasil pengamatan dari plankton dan benthos, kemudian dilakukan analisis untuk dihitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemelimpahan, indeks dominansi (Welch, 1984; Odum, 1994). Untuk mengetahui hubungan antara parameter fisika dan kimia terhadap keberadaan plankton dan benthos dilakukan analisis korelasi Pearson menggunakan SPSS Base 14.0 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Plankton Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan Pada hasil penelitian ini ditemukan 14 famili dengan 23 jenis plankton pada seluruh stasiun pengamatan di perairan sekitar kawasan tambak alih fungsi lahan di desa Bandar Agung, kecamatan Sragi, kabupaten Lampung Selatan. Pada stasiun I (tambak) ditemukan 12 famili dengan 21 jenis plankton, stasiun II (mangrove) ditemukan 14 famili dengan 23 jenis plankton dan pada stasiun III (aliran pasang-surut) ditemukan 10 famili dengan 19 jenis plankton seperti tercantum pada Tabel 1. Hasil pengamatan menunjukkan pada setiap stasiun pengamatan ditemukan jenis dan perbandingan jumlah plankton yang relatif sama. Hal ini diduga karena di sekitar kawasan tambak alih lahan merupakan daerah pasang-surut yaitu tempat pertemuan antara air tawar dan air laut yang membawa zat hara, sehingga jenis plankton yang ditemukan relatif sama. Dari hasil pengukuran indeks kemelimpahan, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman plankton pada tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Indeks kemelimpahan tertinggi ditemukan pada stasiun II (mangrove) sebesar 33000 individu/Liter, disebabkan oleh tingginya unsur hara yang terdapat pada kawasan mangrove tersebut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemelimpahan dan keanekaragaman plankton dalam perairan adalah angin, arus, kandungan unsur hara, predator, cahaya, suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, kedalaman, migrasi harian dari plankton itu sendiri.
18
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
B. Benthos Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan Hasil pengamatan makrozoobenthos di kawasan perairan tambak alih lahan di desa Sidodadi, kecamatan Padang Cermin, kabupaten Lampung Selatan diperoleh 3 kelompok yaitu filum Mollusca yang terdiri dari 2 kelas : Gastropoda (12 spesies) dan Pelecypoda (9 spesies), filum Arthropoda dengan 1 kelas Crustacea (1 spesies), dan filum Annelida dengan 1 kelas Polychaeta (1 spesies) seperti tercantum pada Tabel 3. Kemelimpahan makrozoobenthos tertinggi dijumpai pada kawasan tambak termasuk kategori sangat melimpah (Stoyarow dikutip dalam Murwaningsih, 1999), meskipun jumlah spesies lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan mangrove dan aliran pasang-surut.
Spesies yang paling tinggi kemelimpahannya dari kelas
Gastropoda yaitu Pleurocera accuta dan Teribia granifera (Tabel 3). Kemelimpahan terjadi karena pada kawasan tambak memiliki tekstur lempung dengan substrat lumpur, ciri dari estuari dan rawa asin yang merupakan habitat yang baik bagi kelompok Gastropoda (Ardi, 2002). Sedangkan indeks keanekaragaman (H’) makrozoobenthos tertinggi pada kawasan mangrove (2,22), dibandingkan dengan kawasan tambak (1,48) dan daerah aliran pasang-surut (2,14). Tingginya keanekaragaman spesies ini karena pada daerah mangrove merupakan daerah penghasil detritus yang berasal dari daun dan dahan pohon sebagai makanan makrozoobenthos (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Indeks keanekaragaman yang tinggi menunjukkan banyaknya organisme yang hidup pada perairan tersebut (Kembarawati, 2003)
C. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air Sekitar Tambak Alih Lahan Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air dapat diketahui keadaan perairan di sekitar tambak alih lahan seperti terlihat pada Tabel 4. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan (Effendi, 2003). Suhu pada tiga stasiun pengamatan berkisar 29,5-30,5º C masih tergolong normal dalam badan air dan kehidupan akuatik. Nilai pH pada stasiun pengamatan normal berkisar 6,98-7,45. Menurut Ardi (2002) nilai pH menunjukkan derajad keasaman atau kebasaan suatu perairan. Toleransi organisme air terhadap pH bervariasi (Pescod, 1973) dan perairan yang memiliki pH < 7 akan mengalami penurunan nilai keanekaragaman
19
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
makrozoobenthos (Effendi, 2003). Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) relatif sedang berkisar 3,33-4,74. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) oksigen terlarut merupakan zat yang diperlukan organisme aerob, karena dalam kadar yang rendah akan mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitasnya. Bagi hewan benthik yang hidup di dasar perairan, DO 1 ppm masih dapat ditolerir (Yusuf, 1994). Setiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap oksigen terlarut di perairan (Odum, 1994). Spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang luas terhadap kadar DO penyebarannya luas, sedangkan yang toleransinya sempit hanya ditemukan pada tempat tertentu (Ardi, 2002). Kisaran salinitas masih alami berkisar 20-31 ppt. Salinitas < 30 ppt akan mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos, karena makrozoobenthos hanya dapat mentolerir perubahan salinitas yang relatif kecil dan perlahan (Hutabarat dan Evans, 1999).
D. Hasil Analisis Korelasi Pearson Hubungan parameter fisika dan kimia terhadap keberadaan plankton di sekitar tambak dianalisis menggunakan korelasi Pearson seperti terlihat pada Tabel 5. Tidak semua parameter fisika dan kimia yang diukur memberikan korelasi secara signifikan terhadap kemelimpahan, dominansi dan keanekaragaman plankton yang terdapat pada perairan sekitar tambak alih lahan. Kemelimpahan plankton berkorelasi positif dengan kecerahan, salinitas, DO dan kandungan phospat. Korelasi positif antara DO dan kemelimpahan berkaitan dengan aktifitas fotosintesis fitoplankton yang menghasilkan oksigen dan tingkat kecerahan. Menurut Setiyawati (2004) oksigen terlarut berasal dari difusi udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup di perairan. Kecerahan dapat berkaitan dengan penembusan cahaya ke dalam perairan yang akan mempengaruhi kehidupan plankton. Hasil korelasi positif diperoleh dari hubungan dominansi dengan suhu dan ammonia, yang berarti semakin tinggi suhu dan amonia di perairan akan meningkatkan dominansi plankton, sedangkan untuk phospat dan dominansi menunjukkan korelasi yang lemah atau tidak ada hubungan yang berarti. Sedangkan keanekaragaman plankton berkorelasi secara negatif dengan suhu perairan. Hal ini tentunya berkaitan dengan intensitas cahaya matahari. Menurut Nybakken (1992) suhu yang tinggi akan
20
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
menyebabkan respon negatif terhadap plankton, karena perubahan suhu akan mempengaruhi proses biologi dan ekologi. Selain itu kecerahan dan pH juga berkorelasi positif dengan keanekaragaman plankton (Tabel 5). Sedangkan distribusi organisme dasar seperti makrozoobenthos dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat fisika, sifat kimia dan biologi perairan (Odum, 1994). Menurut Hawkes (1978) ada beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi komposisi dan distribusi makrozoobenthos di suatu perairan, antara lain suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas, bahan-bahan organik dan tipe substrat. Perubahan komposisi makrozoobenthos pada suatu perairan akan mempengaruhi kemelimpahan dan keanekaragamannya baik secara segera maupun perlahan-lahan (Asriyanto, 1988).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada beberapa perairan pantai Lampung, khususnya di perairan sekitar tambak alih lahan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : -
Indeks kemelimpahan, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman plankton masih termasuk kategori sedang.
-
Indeks kemelimpahan dan indeks keanekaragaman makrozoobenthos dalam kategori masih cukup tinggi.
-
Perairan secara umum di kawasan sekitar tambak alih lahan masih cukup baik dengan tingkat pencemaran tergolong ringan.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DP2M Dikti, Depdiknas atas dukungan dana untuk peneliti melalui program Hibah Bersaing XIV Tahun 2006-2007.
DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Bangkok, Thailand. Anonim, 1997. Kisaran kemelimpahan Plankton Predominan Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Jakarta Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. http/ www.yahoo.com/rudyct.tripoid.com/sem 2012/ Ardi.htm. 21
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Asriyanto. 1988. Hubungan dan Pengaruh Kondisi Oseanograf Terhadap Struktur Komunitas Hewan Makrobentos Diantara Pulau Panjang dan LPWP UNDIP Jepara. Lembaga Penelitian UNDIP. Semarang. 45 hal. Connell, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Davis, C. C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State University Press. Chicago. 560 hal. Edmondson, W. T. 1959. Fresh Water Biology. John Wiley & Son. Inc. United States of America. Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. 258 hal. FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. FAO Forestry Paper. Rome. Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicator of River Water Quality dalam A. James dan L. Evison (ed). Biological Indicator of Water Quality. John Willey 7 Sons. Toronto. Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1999. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta. Hutagalung, H. P. dan A. Rozak. 1997. Penentuan Kadar Fosfat, Nitrat dan Kandungan Oksigen Terlarut. Dalam : H.P. Hutagalung, D. Setiapermana, dan S.H. Riyono (ed). Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Puslitbang Oseanologi, LIPI, Jakarta. 182 hal. Kembarawati. 2003. Kondisi Awal Kualitas Perairan di Saluran Primer Induk (SPI) Eks-PLG 1 Juta Hektar dan Wilayah Dusun Muara Puning, Kalimantan Tengah. CCFPI Project Wetlands International, Indonesia Programme, 15 hal. Murwaningsih, D. 1999. Studi Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Sungai Way Awi di Kotamadya Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal. Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. 2000. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir. Kejasama PKSPL-IPB/ CRC. Univ. Rhode Island. Pennak, W. R. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States Ed. 2nd. John Wiley & Son. Inc. United States of America. Pescod, M. B.1973. Investigation of Ratio Effluent and Stream of Tropical Countries. Bangkok. AIT. Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
22
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 274 hal. Setiyawati. 2004. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Plankton Berdasarkan Pada Penambahan Kedalaman Kolom Air Laut di Perairan Kepulauan Krakatau. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Susanto, G. N. dan Murwani, S. 2006. Analisis Secara Ekologis Tambak Alih Pada Kawasan Potensial Untuk Habitat Kepiting Bakau Scylla sp. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Jakarta. Hal 284-292. Welch, P. S. 1984. Lymnologycal Methods. Mc Graw – Hill Book Company, INC. Yusuf, M. 1994. Dampak Pencemaran Pantai Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Kualitas Perairan Laguna, Pulau Tirang Cawang, Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 166 hal.
23
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 1. Jenis Plankton yang Terdapat Pada Perairan di Sekitar Tambak Alih Lahan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11.
12. 13.
14.
Famili
No
Jenis
Stasiun I Stasiun II (Tambak) (Mangrove) Nitzschiaceace 1 Nitzschia sp + + Coscinodiscaceae 2 Coscinodiscus sp + + Tabellariaceae 3 Gramatophora sp + + Thalasiosiraceae 4 Thalasiosira sp + + Ptychocylidae 5 Favella sp + Naviculaceae 6 Pleurosigma sp + + 7 Gyrosigma sp + + 8 Navicula sp + + 9 Amphora sp + + Ceratiaceae 10 Ceratium sp + + Rhizosoleniaceae 11 Rhizosolenia sp + + Codonellidae 12 Tintinnopsis sp + + Surirellaceae 13 Surirella sp + Fragilariaceae 14 Thalassiothrix sp + + 15 Synedra sp + + 16 Fragilaria sp + + 17 Amphileura sp + + Testaceae 18 Diflugia sp + Skeletonemaceae 19 Skeletonema sp + + 20 Dithylium sp + + 21 Stephanopyxis sp + + Biddulphiaceae 22 Triceratium sp + + 23 Biddulphia sp + Keterangan : Tanda (+/-) menunjukkan ada tidaknya plankton pada tiap stasiun
Stasiun III (Pasang-Surut) + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Tabel 2. Indeks kemelimpahan, dominansi dan keanekaragaman plankton pada tiap stasiun pengamatan di sekitar tambak alih lahan Stasiun Pengamatan Stasiun I (Tambak) Stasiun II (Mangrove) Stasiun III (Pasang-Surut)
24
Indeks Indeks Indeks Kemelimpahan Dominansi Keanekaragaman 27666 ind/ Liter 33000 ind/ Liter 29444 ind/ Liter
0,11 0,10 0,18
2,41 2,58 2,22
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 3. Jenis dan kemelimpahan makrobenthos pada perairan di sekitar tambak alih lahan No
1.
Filum
Mollusca
Kelas
Famili
Gastropoda Pleuroceridae
Hidrobiidae Bulimidae
Pelecypoda
Lepyriidae Thiaridae Lymnaeidae Valvatidae Unionidae
Sphaeriidae
2 3
Arthropoda Annelida
Crustacea Polychaeta
Corbiculidae Mytilidae Penaidae
Kemelimpahan makrozoobenthos/m2 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Tambak Mangrove Pasang-Surut
Spesies
Pleurocera acuta Gormobasis virgincs Goniobasis livescens Eurycaelon Anthonyi Somatugyrus subglobosus Flumicola culumbiana Pomatiopsis lapidaria Littoridina monroensis Lepyrium showalteri Teribia granifera Stagnicola polutris Valvata tricarinata Hemistena lata Alasmidonta undulata Ptychobrancus Simpsoniconcha ambigua Pleurobema mytiloides Eupera singleyi Pisidium dubium Corbicula manilensi Mytilus viridis Gonoplax Glisera Total
352 0 0 80 0 0 8 0 16 560 8 8 0 24 0 0 0 24 16 0 0 56 16 1168
48 8 32 24 72 8 16 0 0 352 88 8 16 32 8 0 0 40 16 32 8 16 8 848
56 16 0 0 8 8 0 16 16 216 40 8 48 0 0 8 24 56 16 16 0 24 0 560
Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di sekitar tambak alih lahan No
1 2 3 4 5 6 7
Parameter Fisika-kimia Suhu (ºC) pH DO (ppm) Salinitas (ppt) Kecerahan (cm) Amonia (mg/L) Phosphat (mg/L)
Tambak 30,5 6,98 4,74 20 13,67 2,385 0,139
Stasiun Pengamatan Mangrove Pasang-Surut 29,5 7,04 3,9 29,5 15,93 2,107 0,314
30 7,45 3,33 31 8,67 2,392 0,256
Batas Toleransi Habitat Ekologis Kepiting Bakau 26,5 – 29,5 6,5 - 8,5 > 4,0 15 - 32 44 - 75 -
25
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 5. Hasil analisis korelasi Pearson antara parameter fisika dan kimia dengan keberadaan plankton di kawasan tambak alih lahan. Korelasi kuat ≥ 0,5 dan korelasi lemah ≤ 0,5 (*) korelasi signifikan pada taraf 5 %. Parameter Fisika-Kimia Suhu Kecerahan Salinitas pH DO NH3 (amonia) PO4 (phosphat)
26
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
Kemelimpahan (N) -0,763 0,224 3 0.511 0,329 3 0,570 0,307 3 0,409 0,366 3 0,514 0,343 3 -0,945 0,106 3 0,913 0,133 3
Dominansi Keanekaragaman (C) (H’) 0.865 -0,989(*) 0,168 0,048 3 3 -0.981 0,983 0.062 0,058 3 3 -0,965 0,994(*) 0,084 0,036 3 3 0,956 -0,997(*) 0,025 0,094 3 3 0,975 -0,988(*) 0,048 0,071 3 3 0,626 -0,869 0,285 0,165 3 3 0,077 0,295 0,475 0,405 3 3
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENYEBARAN ZOOPLANKTON DI BEBERAPA SITU JAWA BARAT Fachmijany Sulawesty*, Reliana L.T. dan Sulastri ABSTRAK Studi mengenai penyebaran zooplankton di perairan Indonesia sangat jarang dilakukan, padahal distribusi dan keanekaragaman zooplankton merupakan salah satu indikator kualitas biologi suatu perairan Studi mengenai distribusi dan keanekaragaman zooplankton pada beberapa situ di Jawa Barat ini diharapkan akan memberikan gambaran penyebaran zooplankton diberbagai perairan situ dengan kondisi lingkungan berbeda. Metoda yang digunakan adalah metoda survey terhadap beberapa situ di Jawa Barat yaitu Situ Patenggang, Situ Lembang, Situ Cileunca dan Situ Pangalengan di daerah Bandung, Situ Cangkuang di Garut, Situ Gede di Tasikmalaya dan Situ Lengkong Panjalu di Ciamis. Sampel zooplankton diambil menggunakan plankton net NXX 10 ukuran mata jaring 132 µ secara vertikal dengan penarikan 2 meter. Parameter kualitas air yang diamati adalah oksigen terlarut, pH, suhu, konduktivitas dan kekeruhan diukur insitu menggunakan water quality checker Horiba U10 ; kecerahan menggunakan keeping Secchi dan kandungan klorofil-a. Copepoda dan cladocera merupakan kelompok yang selalu ada disetiap situ yang diamati, rotifera juga ditemukan di hampir semua situ kecuali di Situ Patengang, protozoa ditemukan di Situ Cangkuang dan Cileunca, sedangkan Arachnida hanya di temukan di Situ Cangkuang. Hasil ini menunjukkan bahwa sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situ-situ di daerah Jawa Barat kearah timur. Berdasarkan matrik korelasi Pearson sebaran copepoda dan cladocera dipengaruhi oleh kandungan klorofil-a di perairan tersebut. Kata kunci : zooplankton, situ, penyebaran, jawa barat
ABSTRACT Study about zooplankton distribution in Indonesia is very rare, although zooplankton distribution and diversity is one of biological indicators on waters. Study on zooplankton distribution and diversity at several situ in West Java expected give a picture about zooplankton distribution in several situ with different condition. The method was survey methods at Situ Patenggang, Situ Lembang, Situ Cileunca and Situ Pangalengan at Bandung ; Situ Cangkuang at Garut ; Situ Gede at Tasikmalaya ; and Situ Panjalu at Ciamis. Zooplankton samples were taken with plankton net NXX 10 (132 µ mesh size) in a vertical way with 2 m haul. Water quality parameter that observation are dissolved oxygen, pH, temperature, conductivity, and turbidity with water quality checker Horiba U10, brightness with secchi dish and chlorophyll-a. Copepod and cladocera found at all of situ that we were study, rotifera was almost found at all situ except at Situ Patenggang, protozoa found at Situ Cangkuang and Situ Cileunca, and arachnida only found at Situ Cangkuang. The result indicate that the distribution of copepoda, cladocera and rotifera very wide for situ at
West Java. Base on Pearson correlation matrix, distribution of copepod and cladocera depend on chlorophyll-a contain in waters. Keywords : zooplankton, situ, distribution, West Java
*
Pusat Penelitian Limnologi-LIPI E-mail :
[email protected]
27
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Studi mengenai penyebaran zooplankton di perairan Indonesia masih jarang dilakukan, padahal distribusi dan keanekaragaman zooplankton merupakan salah satu indikator kualitas biologi suatu perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola kelimpahan zooplankton di daerah tropis antara lain ketersediaan makanan, tekanan predasi dan kondisi hidrologi perairan tersebut, Aka et al (2000) menyebutkan bahwa kekeruhan, pH dan suhu juga mempengaruhi komunitas zooplankton.
Yantrinata et al
(2003) juga menunjukkan adanya jenis zooplankton tertentu yang dapat hidup pada kondisi lingkungan tertentu juga, seperti Ilyocruptus sordidus ditemukan pada pH yang rendah, Diurella dixonnutalli pada perairan dengan kecerahan dan klorofil-a rendah, Eudactylota eudactylota pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut rendah, Colurella uncinata pada suhu dibawah 30°C dan Lecane signifera pada suhu dan kandungan klorofil-a tinggi. Situ merupakan ekosistem perairan tawar tergenang yang memiliki ukuran yang relatif kecil. Kendati demikian situ mempunyai peran dalam sistem penyerapan air, sebagai pengendali banjir, sarana rekreasi, budidaya perikanan, pengairan dan lain-lain. Sebagai ekosistem perairan yang terbuka, situ akan menerima berbagai masukan atau buangan dari lingkungan sekitarnya baik secara berkala maupun secara terus-menerus, hal ini secara langsung akan mempengaruhi kualitas air perairan situ, baik kualitas fisika, kimia maupun pengaruhnya terhadap biota perairan. Material yang masukan kedalam situ akan mempengaruhi distribusi dan keanekaragaman jenis zooplankton pada suatu perairan. Situ Cileunca, Situ Patenggang, Situ Lengkong, Situ Gede, Situ Cangkuang, dan Situ Panjalu, merupakan situ-situ yang terdapat di daerah Jawa Barat. Perbedaan status limnologis situ-situ ini akan menyebabkan perbedaan komunitas biota yang ada di dalamnya termasuk zooplankton. Untuk mengetahui penyebaran zooplankton di situsitu ini, maka dilakukan pengamatan yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas zooplankton hubungannya dengan beberapa faktor-faktor ekologi di perairan danau kecil di Jawa Barat.
28
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BAHAN DAN METODE Pengamatan dilakukan di enam situ yang terletak di Provinsi Jawa Barat yaitu di daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis (Gambar 1), pada 13 Mei sampai 30 Juni 2005 yang merupakan awal musim kemarau.
Kondisi umum situ-situ yang
diamati dapat dilihat pada Tabel 1, ketinggian bervariasi antara 400 – 1000 m dpl, areal situ tidak begitu luas sekitar 5,8 – 213,3 ha dengan kedalaman maksimum antara 3 - 13 m, dan penutupan tumbuhan air berkisar 0 – 60 %.
Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Situ Lembang sebagian besar (sekitar 84 %) berupa hutan, Situ Cileunca dan Situ Patengang sebagian besar DAS nya dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan, Situ Cangkuang sebagian besar DAS nya untuk ladang, sawah dan perkebunan ; Situ Gede untuk sawah irigasi dan Situ Panjalu sebagian besar DAS nya untuk pemukiman, perkebunan dan irigasi. Sampel zooplankton diambil menggunakan Plankton net NXX 10 ukuran mata jaring 132 µ secara vertikal dengan penarikan 2 meter.
Pengambilan sampel pada
masing-masing situ dilakukan pada 3 stasiun pengamatan kecuali Situ Lembang empat stasiun dan Situ Cangkuang satu stasiun.
Kelimpahan zooplankton dihitung
berdasarkan APHA (1995), identifikasi berdasarkan Alberti et al (2005), Carling et al (2004) dan Whipple & Ward (1963). Faktor ekologi yang diamati adalah oksigen terlarut, pH, suhu, konduktivitas dan kekeruhan diukur insitu menggunakan water quality checker Horiba U10 ; kecerahan menggunakan keeping Secchi dan kandungan klorofil-a berdasarkan APHA (1995). Analisis data matriks korelasi Pearson menggunakan program MS-Excell TM . HASIL DAN PEMBAHASAN Situ Patengang, Lembang dan Cileunca yang terletak di dataran tinggi mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 21,29 – 23,31°C, sedangkan Situ Cangkuang, Gede dan Panjalu yang ketinggiannya lebih rendah mempunyai suhu rata-rata berkisar 26,16 – 28,92°C (Tabel 2). Oksigen terlarut dan pH tidak terlalu berbeda antara situsitu ini, Situ Cangkuang mempunyai nilai oksigen terlarut terendah (6,552 mg/L) dan Situ Cileunca mempunyai nilai pH terendah, tetapi kisaran oksigen terlarut dan pH masih menunjukan nilai yang normal untuk suatu perairan. Situ Lembang mempunyai
29
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
nilai kekeruhan terendah dan nilai kecerahan tertinggi dibanding situ-situ lainnya. Klorofil-a paling rendah ditemukan di Situ Cangkuang dan tertinggi di Situ Gede. Komposisi jenis dan sebaran zooplankton di situ-yang diamati disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 2. Ada 51 jenis zooplankton yang ditemukan di situ-situ yang diamati, copepoda 19 jenis, cladocera 16 jenis, rotifera 11 jenis, protozoa 4 jenis dan arachnida 1 jenis, tetapi jumlah jenis pada masing-masing situ berkisar antara 6 sampai 28 jenis. Situ Cileunca merupakan situ yang jumlah jenis zooplanktonnya tertinggi, sedangkan Situ Gede jumlah jenisnya terendah. Copepoda dan cladocera merupakan kelompok yang selalu ada disetiap situ yang diamati, rotifera juga ditemukan di hampir semua situ kecuali di Situ Patengang, protozoa ditemukan di Situ Cangkuang dan Cileunca, sedangkan arachnida hanya di temukan di Situ Cangkuang.
Hasil ini
menunjukkan bahwa sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situsitu di daerah Jawa Barat kearah timur. Jumlah jenis copepoda selalu lebih tinggi dari kelompok yang lain, walaupun di Situ Cangkuang kelimpahan cladocera lebih tinggi dibanding copepoda. Zooplankton yang ditemukan di Situ Patengang dari kelompok copepoda (7 jenis) dan cladocera (1). Kelimpahan setiap jenis copepoda hampir sama tidak ada yang dominan, yang paling tinggi adalah Microcyclops varican (copepoda) 23,8 %. Kelimpahan Diaphanosoma birgei (cladocera) sangat sedikit dibanding copepoda. Situ Lembang kelimpahan copepoda lebih tinggi dibanding cladocera dan rotifera, tetapi kelimpahan jenis copepoda tidak ada yang dominan. Kelimpahan Halicyclops spp (copepoda) 20,8 % dari zooplankton yang ada, Ectocyclops sp (copepoda) 20,6 % dan naupli copepoda 17 %. Situ Cileunca kelimpahan copepoda dan cladocera hampir sama, tidak ada jenis yang dominan. Tetapi jumlah jenis zooplankton yang ditemui tinggi dibanding situ-situ yang lain, ada sekitar 28 jenis zooplankton yang ditemukan. Situ Cangkuang ditemukan copepoda, cladocera, rotifera dan protozoa, jenis yang paling tinggi kelimpahannya adalah Diaphanosoma brachyur (cladocera), yaitu 42,1 % dari zooplankton yang ada. Nauplius copepoda merupakan zooplankton yang paling tinggi ditemukan di Situ Gede, yaitu 26 %, disusul oleh Nothalca squamala (rotifera) 24 % dan Cyclops sp (copepoda) 21,5 %. Total kelimpahan zooplankton tertinggi adalah di Situ Panjalu dibanding situ-situ lainnya, dengan jenis yang paling tinggi
30
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
kelimpahannya Nothalca squamala (rotifera) 19 % dan Eucyclops spp (copepoda) 14 %. Jika dilihat dari hasil yang didapatkan tidak ada satu jenis zooplankton yang mendominasi situ-situ ini. Diaphanosoma birgei ditemukan di lima situ, Microcyclops varican di empat situ, sedangkan yang lainnya ditemukan di satu, dua dan tiga situ. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan komposisi jenis zooplankton di suatu perairan adalah kebiasaan makan, ketersediaan makanan dan tekanan predasi. Rotifera yang memiliki ukuran lebih kecil sebagian besar memakan partikel seston yang memiliki ukuran diameter 12 µm sampai 50 µm, contohnya Brachionus calyciflorus memakan berbagai tipe makanan dari bakteri, yeast dan alga. Cladocera memakan partikel lebih besar seperti protozoa, rotifera, krustasea kecil dan alga misalnya untuk jenis-jenis Polyphemus, Leptodora dan Daphnia.
Beberapa jenis copepoda adalah
karnifora seperti Macrocyclop, Eucyclop, Mesocyclop dan Acantocyclop yang jenis makanannya mikrokrustasean, larva diptera dan oligochaeta. Beberapa jenis copepoda merupakan herbovorus yang memakan uniseluler dan filamentous diatom (Wetzel, 2001). Jumlah jenis atau kekayaan taksa zooplankton dan kelimpahan yang rendah dijumpai di Situ
Patenggang, Situ Lembang dan Situ Gede dan didominasi oleh
copepoda (Tabel 3). Dilihat dari kandungan klorofil-a nya yang relatif lebih rendah dibanding situ lainnya, perairan ini memang didominasi oleh kelompok Cyanophyta berdasarkan pengamatan Sulastri, dkk (2005),
yang menyebutkan bahwa komposisi
fitoplankton di ketiga situ ini didominasi oleh kelompok alga biru hijau
atau
Cyanophyta, yang umumnya tidak dimanfaatkan zooplankton kerena ukurannya yang lebih besar (Seller & Markland, 1987). Selain itu dilihat dari jenis copepoda yang ada di ketiga situ ini lebih banyak jenis karnifora seperti Ectocyclops spp, Macrocyclops albidus dan Microcyclops varican (Situ Patenggang) ; Cyclops spp (Situ Gede) ; Cyclops spp, Cyclops scutiffer,
Diacyclops spp, Ectocyclops spp, Halycyclops spp
dan Microcyclops varican (Situ Lembang) yang tidak memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber makanannya. Jumlah jenis zooplankton yang paling tinggi dijumpai di Situ Cileunca, hampir semua kelompok zooplankton ditemukan disini, yaitu copepoda, cladocera, rotifera dan protozoa dengan kelimpahan yang hampir sama artinya tidak ada jenis yang
31
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
mendominasi. Kelimpahan tertinggi dijumpai di Situ Panjalu. Dilihat dari kandungan klorofil-a, Situ Panjalu mempunyai kandungan yang paling tinggi diikuti oleh Situ Cileunca. Pada pengamatan ini ada delapan variabel yang dipergunakan untuk menentukan karakteristik habitat zooplankton, yaitu tujuh variabel abiotik (kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas, kekeruhan dan kedalaman Secchi), dan klorofil-a yang menggambarkan
sumber makanan zooplankton,
menurut Wetzel
(2001), sumber pakan utama zooplankton, terutama untuk kelompok copepoda dan cladocera, adalah fitoplankton seperti Scenedesmus, Pandorina, Chlamidomonas, Chlorella, Pediastrum, Nitzschia, dan lain-lain, sedangkan jenis-jenis dari kelompok rotifera umumnya merupakan pemakan partikulat atau bersifat shredders. Sehingga kandungan klorofil-a dapat diasumsikan sebagai sumber pakan bagi zooplankton. Berdasarkan nilai matriks korelasi Pearson (r) antara
lokasi, divisi (copepoda,
cladocera, rotifera, protozoa dan arachnida), kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas, kedalaman Secchi, dan klorofil-a menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (P < 0,05) antara copepoda dengan kandungan klorofil-a dan rotifera ; antara cladocera dengan arachnida dan protozoa ; arachnida dengan protozoa dan kecerahan ; dan protozoa dengan kecerahan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan copepoda di perairan situ-situ ini dipengaruhi oleh keberadaan klorofil-a. Nilai korelasi ini juga memperlihatkan bahwa keberadaan cladocera
terkait dengan keberadaan
arachnida dan protozoa serta arachnida dengan protozoa. Ini berarti bahwa ketersediaan sumber makanan dan kompetisi antara masing-masing kelompok mempengaruhi keberadaan zooplankton di perairan situ di daerah Jawa Barat.
Selain itu kecerahan
berpengaruh negatif terhadap keberadaan arachnida dan protozoa, artinya jika nilai kecerahan semakin tinggi maka keberadaan arachnida dan protozoa cenderung semakin menurun.
KESIMPULAN Ada 51 jenis zooplankton yang ditemukan di situ-situ yang diamati, copepoda 19 jenis, cladocera 16 jenis, rotifera 11 jenis, protozoa 4 jenis dan arachnida 1 jenis ;
32
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
jumlah jenis pada masing-masing situ berkisar antara 6 sampai 28 jenis, tetapi tidak ada jenis yang mendominasi. Sebaran copepoda, cladocera dan rotifera cukup luas untuk situ-situ di daerah Jawa Barat.
Berdasarkan nilai matriks korelasi Pearson, sumber makanan dan
kompetisi antara masing-masing kelompok mempengaruhi keberadaan zooplankton di perairan situ di daerah Jawa Barat, sedangkan kecerahan berpengaruh negatif terhadap keberadaan arachnida dan protozoa.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti Karakteristik Limnologis Situ-Situ di Jawa dalam pengambilan sampel, sehingga tulisan ini dapat dibuat.
DAFTAR PUSTAKA Aka, Maryse., Marc Pagano, Lucien Saint-Jean, Robert Arfi, Marc Bouvy, Philippe Checchi, Daniel Corbin & Serge Thomas. 2000. Zooplankton variability in 49 shallow tropical reservoirs of Ivory Coast (West Africa). Internat. Ret. Hydrobiol. 85 : 491 – 504. Aliberti, A. Maria., Darren J. Bauer, Shane R. Bradt, Brady Carlson, Sonya C. Carlson, W. Travis Godkin, Sara Greene, Dr. James F. Haney, Amy Kaplan, Shawn Melillo, Juliette L. Smith (Nowak), Brian Ortman, Judith E. Quist, Shayle Reed, Tiffany Rowin, Dr. Richard S. Stemberger., 2005., An Image-Based Key To The Zooplankton Of The Northeast (USA). Version 2.0 http//:www.cbf.unh.edu/CBFkey/html APHA. 1995. Standard Methods for the examination of water and waste water. 2nd ed. American Public Health Association. Washinton DC. Carling, Karen J., Ater, Ian M., Pellam, R Megan, Mihuc, Timothy B., 2004., A Guide to the Zooplankton of Lake Champlain., Scientia Disipulorum., Vol:1., 2004 George, D.G., Winfield, I.J., 2000., Factors Influencing the spatial distribution of zooplankton and fish in Loch Ness, UK., Freshwater Biology 43 (2000), pp 557570 Lin, Qiu-Qi., Duan, Shun-shan., Hu Ren, Han Bo-Ping., 2003., Zooplankton Distribution in Tropical Reservoirs, Sout China., International Reservoirs Hydrobiology 88:6, 2003 pp 602-613. Seller and Markland, 1987, Dacaying Lake. The Origin and Control of Cultural Eutrophication. John Wiley & Son, New York, Toronto. 254 p
33
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sulastri, S. Sunanisari., E. Harsono., T. Tarigan., F. Sulawesty., T. Suryono., Y. Sudarso., R.L. Toruan., H. Shohihah., S. Nomosatryo., I. Ridwansyah dan Laelasari. 2005. Pengembangan Kriteria Limnologis Perairan Darat Di Indonesia. Sub Kegiatan Pengembangan Kriteria Limnologis Untuk Perairan Danau Dangkal. Laporan Teknis DIPA. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Cibinong. Hal. : 1 – 36. Wetzel., R.G., 2001., Limnology. Lake and River Ecosystems. 3rd ed. Academic Press. New York. 1006 pp. Whipple, G.C., Ward, H.B., 1963., Freshwater Biology, Book 1- 2., 2nd edition, W.T Edmonson (ed.) , USA Yantrinata., S. Gumiri., K. Bungas and T. Iwakuma. 2003. Zooplankton communities in various freshwater bodies surround Palangka Raya City, Central KalimantanIndonesia. In : Osaki, Mitsuru et al (eds.) : Proceedings of the International Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. 423 – 426.
34
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 1. Peta lokasi situ-situ yang diamati
35000
Individu/l
30000 25000 20000 15000 10000 5000
Lokasi
Pa nj al u ng
en gk o
S. G ed e
Copepoda Cladocera Rotif era Protozoa
S. L
ng S. C an gk ua
S. C ile un ca
em ba ng S .L
S .P at en ga ng
0
Gambar 2. Sebaran Zooplankton di situ-situ yang diamati Tabel 1. Kondisi umum situ-situ yang diamati Nama Situ Patenggang Lembang Cileunca Cangkuang Gede Panjalu
Posisi Geografis 07°9’45,0” LS 107°21’31,0” BT 06°44’27,4” LS 107º34’38,9” BT 07º11’34,3” LS 107º32’57,0” BT 07°05’45,0” LS 107°55’15,0” BT 07°20’08,0” LS 108°11’24,0” BT 07°01’58,0” LS 108°16’59,0” BT
Lokasi
Elevasi (m dpl)
Luas (ha)
Kedalaman Maksimum (m)
Tutupan Tumbuhan Air (%)
Bandung
1000
52,0
4,0
< 10
Bandung
1500
5,8
6,0
Bandung
1000
213,3
13,0
Garut
400
8,3
2,0
60
Tasikmalaya
400
55,8
5,0
Relatif bersih
Ciamis
700
55,6
3,0
< 15
Tabel 2. Kondisi umum kualitas air situ-situ yang diamati Nama Situ Patengang Lembang Cileunca Cangkuang Gede Panjalu
Kedalaman (m) 4 6 13 2 5 3
Suhu (°C) 21,96 21,29 23,31 28,92 26,90 26,16
Oksigen terlarut (mg/L) 8,532 7,625 8,684 6,552 9,700 7,586
pH 7,213 7,309 6,143 7.873 8,728 7,604
Kekeruhan (NTU) 22,2 5,4 31,3 23,4 18,7 18,2
Konduktifitas (µS/cm) 0,046 0,018 0,059 0,364 0,353 0,033
Kecerahan (m) 1,17 1,40 0,76 0,18 0,77 0,70
Klorofil a (mg/m3) 15,89 8,84 29,40 13,72 9,46 43,95
35
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 3. Komposisi jenis dan sebaran zooplankton di situ-situ yang diamati Jenis Zooplankton 1 2 3 4 Copepoda Cyclops spp + Cyclops scutiffer + + Cyclops thomasi Diacyclops spp + + Diaptomus sp Diaptomus reighardi Ectocyclops spp + + Ectocyclpos phaleratus + Eucyclops spp + Halycyclops spp + Leptodiaptomus spp + + + + Macrocyclops albidus Mesocyclops sp + Mesocyclops edax Microcyclops rubellus + + + + + + Microcyclops varican Skistodiaptomus reighardi + Tropocyclops spp Tropocyclops exfensus + Nauplius copepoda + + + + Copepodid + + Cladocera Alona sp + Asplancha sp + Bosmina sp + Ceriodaphnia sp Daphnia spp Daphnia ambiqua + + Daphnia magna + Daphnia mendoeta Daphnia pulex + Daphnia retrocurva + Diaphanosoma birgei + + + Diaphanosoma brahcyurum + + Moina sp Sida sp + + Nauplius cladocera + + + Telur cladocera Arachnida Hydracarina sp + Rotifera + Anuraeopsis sp Asplachna sp + Brachionus sp + Brachionus falcatus Ceratium sp + Chonochiloides sp + Euchlanis triquetra + Filinia longiseta + + Keratella sp Keratella valga Notholca sp + + Notholca scuamala + + Polyartha sp Protozoa Ceratium sp Stentor sp + Trichodina sp + Vorticella sp + 7 11 28 17 Jumlah Jenis Catatan : 1. S. Patengang ; 2. S. Lembang ; 3. S. Cileunca ; 4. S. Cangkuang ;5. S. Gede ; 6. S. Panjalu
36
5
6
+ + + +
+ + + + +
+ + +
+ +
+ + +
+
+ + + + +
+ +
+
+
6
21
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 4. Koefisien korelasi (r) antara lokasi, divisi (copepoda, cladocera, rotifera,protozoa dan arachnida), kedalaman, suhu, oksigen terlarut, pH, konduktifitas dan kecerahan klorofil-a (n = 6). Lok
Copepoda
Cladocera
Arachnida
Rotifera
Protozoa
1 0.25131 0.40041
1
Ked
pH
Kond
Turb
DO
Temp
Kec
Lokasi Copepoda
1
Cladocera
0.710835
1
Arachnida
0.093849
0.755474
1
Rotifera
0.82093
0.390571
-0.1019
Protozoa
0.196831
0.785198
0.8581
Kedalaman
-0.02812
-0.21358
-0.4355
pH
-0.12365
-0.02898
0.22737
-0.1128
0.345374
0.64642
0.305994
0.420511
0.2028
Kond Turb DO
-0.18423
0.5266 -0.77085 -0.05084
-0.3268
-0.68858
-0.6998
Temp
0.463777
0.728281
0.67407
Kecerahan
-0.54247
-0.88201
-0.7541
0.45172 0.29982
0.90265
0.439375
-0.2302
0.72588
Klorofil-a
0.06973
0.32496 0.05901 0.10968 0.16312
0.48844 0.53959 -0.53972
Catatan : Tabel 4 hanya memperlihatkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05), r tabel = 0,754
37
Klora
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
ANTISIPASI DEGRADASI HABITAT IKAN PELANGI SULAWESI Marosatherina ladigesi MELALUI APLIKASI HABITAT EX-SITU Djamhuriyah S.Said*, Lukman, N. Mayasari, Supranoto, Syahroma H.Nasution, dan Triyanto ABSTRAK Ikan pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau juga dikenal dengan Celebes Rainbow merupakan salah satu jenis ikan hias komoditas ekspor, dan kebutuhan terhadap ikan tersebut terus meningkat dan kebutuhan tersebut selalu dipenuhi dari hasil tangkapan. Penangkapan yang berlebihan dan degradasi habitat dapat mengakibatkan kepunahannya sehingga ikan tersebut telah tercatat dalam IUCN (2003, 2007) dalam katagori terancam punah. Salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah tersebut yaitu melalui pengembangan dengan aplikasi habitat buatan (ex-situ). Tulisan ini memuat hasil rangkaian penelitian yang dilakukan terhadap ikan M. ladigesi yang endemis di perairan Maros-Sulawesi Selatan pada periode bulan April 2005—Aguatus 2007. Penelitian meliputi pengkajian karakteristik ekologis dan biologis habitat ikan pada 10 sungai di Kab. Maros, Gowa, Bone, Sopeng, dan Pangkep (fokus pada 5 sungai); pengembangan (adaptasi), serta optimasi produksi pada habitat ex-situ di laboratorium Puslit Limnologi-LIPI, Cibinong,. Faktor fisikokimia habitat dan biologis ikan relatif bervariasi.Terdapat kecenderungan penurunan populasi, bahkan di beberapa tempat tidak ditemukan lagi. Pada habitat ex-situ ikan mampu beradaptasi untuk tumbuh (somatis dan reproduktif) dengan peningkatan sintasan rata-rata mencapai10--60% bahkan mencapai 85—100% pada perlakuan jenis pakan. Reproduksi massal dengan rasio kelamin jantan : betina = 1:2 dan ukuran panjang induk 35—45 cm memberikan nilai terbaik. Suhu tinggi baik untuk memperpendek periode inkubasi, namun menghasilkan derajat penetasan rendah. Pakan Infusoria baik untuk ketahanan hidup larva, pH dan kesadahan tertentu memberikan efek penampilan tertentu. Pengembangan pada habitat ex-situ telah memberikan hasil, namun masih memerlukan perlakuan khusus untuk peningkatan kualitas. Hasil akhir kegiatan ini adalah terlaksananya domestikasi dan pengembangan ikan M. ladigesi pada habitat ex-situ sehingga keberadaannya tetap terjaga dan kontinuitas produksi dapat tercapai. Kata kunci: antisipasi, degradasi habitat, habitat ex-situ, Marosatherina ladigesi, Sulawesi. ABSTRACT Sulawesi rainbow fish (Marosatherina ladigesi) or also recognized with Celebes Rainbow is one of ornamental fish as exporting commodity. Requirement to the fish is increasing and the requirement always fulfilled from fishing. Over fishing and habitat degradation can result the destruction so that the fish have been registered in IUCN (2003,2007) in category vurnarable species. One of solution for anticipating the problem that is through development with the application of artificial habitat (ex-situ). This article contain some research result which done to fish M. ladigesi which endemis in inlandwater of Maros-South Sulawesi at April 2005-Agust 2007. Research cover study of biological and ecological characteristic of fish habitat at 10 rivers in Maros, Gowa, Bone, Sopeng, and Pangkep ( focus at 5 rivers), development, and optimization of fish production on habitat ex-situ in laboratory Research Center for Limnology-LIPI. The physics-chemist habitat factor and biological of fish relatively has variation. Decreasing of fish population has been done, even in some places are not found again. At the ex-situ habitat, fish can adapt to grow(somatic and reproduction) with survive improvement of average of 10-60% even reach 85-100% at treatment of feed type. Mass reproduction with sex ratio male : female = 1:2 with mains broods of 35-45mm give best value. High temperature good to cutting short incubation period, but yield degree of low hatch. Feed of Infusoria good to resilience of larva life, pH and hardnes is certain give effect of appearance. Development at habitat ex-situ have given result, but still require special treatment for increasing of quality. The final result has showed the domestication and development of M. ladigesi at habitat ex-situ is success so that the existence remain to awake and continuity of fish production can be reached. Keywords: anticipation, habitat degradation, habitat ex-situ, Marosatherina ladigesi, Sulawesi *
Pusat Penelitian Limnologi LIPI, E-mail :
[email protected]
38
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Ikan Pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau dikenal dengan Celebes Rainbow merupakan spesies tunggal pada famili Telmatherinidae, ordo Atheriniformes. Selain sebagai spesies tunggal juga merupakan satu-satunya jenis pada famili tersebut yang hidup di perairan mengalir (sungai) di wilayah Maros Sulawesi Selatan
Pada
sistematika sebelumnya ikan tersebut dikenal dengan nama Telmatherina ladigesi yang merupakan bagian dari 10 spesies Telmatherina spp yang tersebar di danau-danau daerah Sulawesi (Kottelat et. al. 1993). Ikan tersebut memiliki warna dasar badannya kuning zaitun, dengan bagian bawah berwarna kuning. Pada sisi tubuh terdapat garis linea lateralis yang berwarna hijau biru pelangi. Garis tersebut menyusur dari belakang tutup insang hingga batang ekor. Jari jari luar sirip punggung kedua berwarna hitam dan bagian dalam berwarna kuning. Sirip tersebut mengalami pemanjangan untuk hewan jantannya. Hewan jantan berpenampilan lebih menarik daripada hewan betina. Karena beberapa keunggulan dan keindahan yang dimilikinya maka selain menjadi bahan perdagangan juga menjadi salah satu faktor
digunakannya gambar ikan ini dalam logo organisasi Perhimpunan
Ikan Hias Indonesia (PIHI). Untuk memenuhi kebutuhan perdagangan terhadap ikan tersebut, menyebabkan penangkapan yang sangat intensif (Andriani, 2000). Akibat dari penangkapan yang berlebihan dan perubahan kondisi habitat maka M. ladigesi merupakan salah satu spesies yang telah terdaftar dalam IUCN (2003, 2007) bersama-sama dengan Rainbow Irian Melanotaenia boesemani dan Glossolepis incisus yang termasuk dalam katagori terancam punah. Menurut salah seorang eksportir ikan tersebut di daerah Maros, bahwa pada tahun 2000an sungai Jenelata-Gowa, Sopeng, Sanrego merupakan tempat-tempat penangkapan ikan tersebut karena populasinya yang banyak. Akan tetapi pada pendataan yang dilakukan tahun 2005 di daerah tersebut sangat sulit mendapatkan ikan tersebut (Said et. al. 2006). Untuk
mengantisipasi hal tersebut maka
dilakukan
penelitian dan pengembangan ikan M. ladigesi melalui apalikasi habitat ex-situ guna menjaga kelestraiannya dan memenuhi kebutuhan pasar. Parameter utama penelitian meliputi ketahanan hidup, pertumbuhan, reproduksi yang dikaitkan dengan kondisi lingkungan baik biologis, kimiawi, maupun fisik. 39
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tujuan penelitian untuk mengupayakan pengembangan ikan M.ladigesi pada habitat ex-situ guna mengantisipasi proses kepunahan akibat penangkapan dan degradasi habitat alaminya dengan mengungkapkan kondisi alami dan mengupayakan pengembangan ikan hias M. ladigesi melalui aplikasi/rekayasa habitat sehingga keberadaannya tetap terjaga, populasi alami tetap lestari, dan kontinuitas produksi tetap berlangsung.
Kondisi Habitat Alami Ikan M. ladigesi Ikan M. ladigesi merupakan penghuni sungai/ekosistem perairan mengalir (lentik), namun populasi ikan ini lebih banyak ditemukan pada bagian lubuk dari sungai (pool), dengan pola aliran air yang relatif lambat. Wilayah parung sungai (riffle), yang merupakan habitat yang mengalir deras, lebih merupakan tempat mencari pakan (feeding ground). Hal ini ditandai dari tipe pakannya berupa serangga air, yang umumnya penghuni tipe habitat batuan yang berada di bagian parung sungai. Karakteristik sungai-sungai yang menjadi habitat ikan M. ladigesi mencirikan wilayah perairan mengalir yang beragam, ditinjau dari kondisi fisik, karakteristik kualitas air, dan biologisnya. Secara keseluruhan terlihat bahwa S.Padae di Kab PangKep merupakan habitat terbaik untuk ikan tersebut, sedangkan S.Rakikang dan S. Jenelata memperlihatkan kondisi habitat yang telah mengalami kerusakan.
Kondisi Fisik Perairan Kecepatan arus pada wilayah sungai bervariasi, dengan kecepatan tertinggi 1,59 m.dt-1 di S (Sungai) Padae dan terendah di S. Patunuang yaitu 0,120 m.dt-1. Kecepatan arus tersebut, selain dipengaruhi oleh dimensi sungai, namun terutama dipengaruhi debit aliran yang berfluktuasi sejalan dengan musim. Sungai Padae memiliki debit aliran yang tinggi, sedangkan S. Patunuang dan Rakikang dengan debit aliran yang rendah, dengan debit aliran yang flukutuatif. Suhu perairan menunjukkan peningkatan sejalan dengan menurunnya debit aliran sungai debit aliran yang rendah menunjukkan pergantian air yang lambat, yang memungkinkan suhu dapat meningkat dengan pesat. Sungai-sungai yang cenderung memiliki suhu tinggi adalah S. Rakikang-Gowa (28,8 – 32,7oC) dan terendah di
40
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Bantimurung-Maros(25,3 – 27,0oC). Tinggi rendahnya suhu ini, juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar sungai. Sungai Rakikang tampak terbuka dan terdedahkan langsung ke sinar matahari, sedangkan S. Bantimurung cenderung terkelilingi gunung, di pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga teduh. Akan tetapi yang menjadi poin utamanya dari hasil pendataan ini adalah terlihat bahwa ikan M. ladigesi memiliki kisaran suhu air yang relatif lebar untuk kehidupannya. Bila dibandingkan dengan kerabatnya ikan pelangi Irian memiliki kisaran suhu 24,5—31oC untuk dapat bertahan hidup pada kondisi di luar habitat alaminya. Akan tetapi dapat pula dikatakan bahwa suhu tinggi (S Rakikang dan Jenelata) tetap tidak terlalu disenangi terbukti dengan rendahnya populasi ikan M.ladigesi pada tempat tersebut.
Kondisi Kimia Perairan Kondisi perairan sungai-sungai habitat M.ladigesi dicirikan oleh ketersediaan oksigen terlarut (DO) yang cukup tinggi (>3,0 mg.l-1) dan sangat layak untuk kehidupan ikan (Alabaster & Lloyd, 1982). Nilai pH cenderung basa (pH 7,48 – 8,55) tampaknya terkait dengan aliran sungai-sungai tersebut yang berada di daerah karst, yang banyak melarutkan komponen kalsium. Tingkat konduktivitas perairan menunjukkan tiga kelompok sungai, yaitu rendah pada S.Rakikang dan Jenelata (0,056 mS/cm – 0,121 mS/cm), sedang (S Abalu dan Padae (0,117 mS/cm – 0,244 mS/cm) dan tinggi yaitu S. Bantimurung dan S.Patunuang (0,219 mS/cm -0,386 mS/cm). Namun demikian masih berada di bawah baku mutu air mengalir (<2,250 mS/cm) (Macbub & Moelyo, 2000). Tingkat kesadahan sungai-sungai hampir menyerupai pola konduktivitasnya. Tingkat kesadahan S. Rakikang dan Jenelata (30,8 – 58,9 mg.l-1 CaCO3eq.) menunjukkan perairan lunak (soft water). Menurut Sawyer & McCarty (1967) dalam Boyd (1982) perairan lunak memiliki kesadahan <75 mg.l-1 CaCO3eq. Sungai Padae dan Abalu tampak mencirikan kesadahan sedang (moderately hard) (71,5 – 116,1 mg.l-1 CaCO3eq.), S. Bantimurung dan Patunuang menunjukkan perairan sadah (hard water) (120,1 – 181,2 mg.l-1 CaCO3eq.). Salah satu yang diduga sebagai penyebab tingginya kesadahan S. Bantimurung dan S. Patunuang karena kedua sungai tersebut berada pada
41
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
lingkungan gunung kapur atau tanah kars, sehingga perairannya banyak mengandung kapur, berbeda dengan S. Rakikang dan Jenelata (Said et al., 2006).
Kondisi Biologis Perairan Pada habitat ikan M.ladigesi, ditemukan ikan-ikan seperti Oryzias sp., Nomorhamphus sp., dan ikan-ikan lain seperti gabus dan mujaer dalam proporsi yang kecil. Ikan-ikan M. ladigesi cukup mendominasi di S. Bantimurung dan S. Padae, sebaliknya di S. Jenelata menunjukkan proporsi yang sangat rendah bahkan di Sanrego tidak ditemukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa S. Bantimurung dan S. Padae, merupakan habitat utama dan habitat yang sesuai untuk ikan M. ladigesi sedangkan Jenelata merupakan habitat yang telah mengalami kerusakan secara fisik (Said et.al, 2006). Karakteristik biota bentik di sungai-sungai yang diamati didominasi oleh kelas serangga air (insekta) dan ditemukan sembilan jenis (genus) insekta, yang terdiri dari ordo Ephemeroptera (dominan), Trichoptera, Diptera, Coleoptera dan Odonata. Tingkat kelimpahan antara 127 – 306 ind.m-2, tertinggi di S. Abalu dan terendah di S. Rakikang. Kelompok insekta merupakan organisme utama dari perairan mengalir, dan penunjang rantai makanan di dalam ekosistem tersebut. Menurut Andriani (2000), pakan utama (79 –97%) ikan T. ladigesi di wilayah Bantimurung adalah kelompok insekta. Kelas insekta air juga dapat digunakan sebagai indikator biologis, bahwa perairan tersebut masih dalam golongan baik/tidak tercemar.
Aspek biologis ikan M.ladigesi Karakteristik biologis ikan-ikan M. ladigesi dari berbagai sungai, memiliki nilai faktor kondisi (Kn) yang bervariasi. Nilai Kn ini dapat mencerminkan kebugaran/ kemontokan ikan, yang dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, umur,jenis kelamin, dan kematangan gonad. Nilai Kn antara 2 -4, menunjukkan ikan berbentuk agak pipih nilai Kn antara 1 – 3 menunjukkan kurang pipih (Effendie, 1997). Nilai Kn ikan M. ladigesi pada pengukuran bulan Juni 2005 sedikit bervariasi, namun berada pada kisaran angka 1 (satu). Hal ini berarti bahwa ikan M. ladigesi memiliki bentuk yang kurang
42
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pipih bahkan cenderung tidak pipih. Dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai Kn, semakin tidak pipih (cembung) ikan tersebut. Berdasarkan pengamatan Andriani (2000) kondisi perairan menentukan ciri morfometrik dari ikan M. ladigesi, dikemukakan bahwa ikan-ikan dari Bantimurung dan Patunuang menunjukkan kondisi morfologi lebih cembung dibandingkan daripada ikan dari Makatoang.
Kebiasaan Makanan (Food Habit) Kebiasaan makan dianalisis dengn mengambil sampel isi lambung ikan. Menurut Said et al (2008) bahwa dari hasil analisis isi lambung ikan M.ladigesi diperoleh 3 kelompok jenis makanan yaitu Bacillariophyceae, Zooplankton, serangga air (aquatic insecta). Komposisi makanan berdasarkan penghitungan “indeks of preponderance” (IP)
menunjukkan bahwa pakan utama ikan M. ladigesi
adalah
serangga air yang didominasi dari ordo Diptera dengan nilai IP rata-rata 21,62% ,ordo Odonata (IP = 14,55%), ordo Ephemeroptera (IP = 5,67%), dan ordo Neuroptera (IP = 0,76%).
Pengelompokkan tersebut didasari dari pernyataan Nikolsky (1963) yang
membedakan makanan ikan atas tiga kelompok yaitu makanan utama (IP > 40%), pelengkap ( IP = 4 – 40%), dan tambahan (IP < 4%).
Sedangkan Daphnia dari
kelompok Zooplankton di lokasi Jenelata memiliki nilai IP 42,73% Daphnia juga merupakan makanan utama ikan tersebut.
yang berarti
Bila dilihat dari bentuk
morfologi lambung ikan yang pendek dan pejal menunjukkan bahwa ikan tersebut merupakan jenis karnivora. Hal serupa juga dikemukakan oleh Andriani (2000) yang mengamati ikan T.ladigesi pada 3 habitat yang berbeda.
Aspek Reproduksi Aspek reproduksi pada pembahasan ini difokuskan pada rasio seks dan tigkat kematangan gonad ikan M.ladigesi jantan dan betina. Rasio seks (jantan:betina) ikan M.ladigesi dari beberapa habitat bervariasi (1:1; 1:2; 2:3; 2:5).Terlihat di sini bahwa jumlah individu jantan cenderung lebih rendah dibandingkan individu betina. Secara alami ikan-ikan yang bersifat cenderung bergerombol cenderung memiliki jumlah individu jantan lebih rendah daripada individu betina seperti halnya kerabatnya dari
43
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
jenis ikan pelangi Irian. Akan tetapi belum dapat dipastikan rasio seks alami optimal ikan M.ladigesi. Hal tersebut disebabkan saat penangkapan yang dilakukan pada siang hari, kemungkinan individu jantan selalu lebih lincah untuk menyelamatkan diri sehingga sulit tertangkap, atau waktu edar ikan yang berbeda. Hal tersebut juga dapat merupakan penyebab rendahnya rasio ikan jantan di perairan sampai angka 2:5 bahkan pada suatu waktu mencapai rasio1:13. Pada pendataan di laboratorium terlihat bahwa jumlah individu jantan
pada setiap populasi selalu lebih rendah daripada jumlah
individu betina, namun sampai saat ini belum diketahui pasti nilai rasio tersebut. Sedangkan aspek reproduksi berikutnya yaitu tingkat kematangan gonad. Menurut Nasution et.al. (2007) didapatkan ikan
M. ladigesi dari berbagai habitat
memiliki rasio seks dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang bervariasi antara periode maupun habitat. Seperti contoh pada bulan Juni di S Patunuang terdapat ikan dengan TKG IV dalam porsentase yang tinggi dibandingkan dengan ikan dari habitat lain. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan faktor eksternal seperti arus dan suhu habitat. Kematangan gonad ikan selain dipengaruhi oleh faktor internal ikan itu sendiri, juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal/lingkungan seperti arus, tinggi rendahnya permukaan air, maupun suhu. Selain itu faktor makanan juga diduga berperan dalam proses pematangan gonad Lagler et al (1977). Makanan yang mengandung banyak protein lebih cenderung mempercepat pematangan gonad daripada makanan yang banyak mengandung lemak.
Aspek Variasi Penampilan Pendataan yang dilakukan pada beberapa sungai di Sulawesi Selatan menunjukkan terdapatnya variasi morfologi dan warna ikan M.ladigesi, seperti yang dilaporkan oleh Said et al (2008). Variasi yang sangat mencolok terlihat pada populasi ikan dari daerah Pangkep (S. Padae) yaitu memiliki warna yang cenderung gelap, garis tengah badan berwarna hitam, dan yang sangat berbeda bahwa ujung sirip pektoral berwarna hitam dengan bentuk badan relatif panjang dan montok. Sedikit berbeda dengan ikan yang dari S. Bantimurung dan S. Patunuang dimana berwarna cenderung cerah dengan garis tengah (linea lateral) berwarna ungu kebiru-biruan, sedangkan ikan dari S Tompobulu garis tengahnya cenderung berwarna biru (turkeys) dan memantulkan
44
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
warna hijau terang dan bentuk badan cenderung pipih. Sebahagian populasi memiliki warna sirip ekor bagian dalam kuning dan bagian luar berwarna hitam, namun sebahagian menunjukkan semua sirip ekor berwarna kuning seperti halnya populasi yang hidup di S. Tompobulu. Sedangkan sirip punggung kedua bagian luar semua berwarna hitam dengan bagian dalam berwarna kuning. Hal tersebut tampak jelas pada populasi ikan jantan. Variasi warna ini diduga karena variasi kondisi lingkungan habitatnya masing-masing seperti perbedaan dasar sungai, kesadahan dan lain-lain. Wilayah S.Padae memiliki banyak wilayah yang memiliki kedalaman air yang tinggi atau dapat disebut lubuk, dan juga wilayah dengan arus yang besar, air jernih, dasar berbatu dan cadas. Kondisinya terlindung dari berbagai aktivitas masyarakat umum seperti penangkapan ikan dengan menggunakan racun, mandi cuci kakus (MCK) atau lainnya. Hal tersebut terjadi karena aturan setempat yang menetapkan bahwa air S.Padae merupakan sumber air minum sehingga harus dijaga kebersihannya. Terjaganya kondisi lingkungan sehingga berada pada kondisi yang alami tersebut mungkin juga dapat menyebabkan penampilan ikan yang berbeda pula. Berbeda halnya dengan S. Abalu, dimana aktivotas manyarakat sangat tinggi seperti mandi cuci dan kakus serta aktivitas penangkapan ikan konsumsi yang menggunakana beberapa cara antara lain menggunakan racun.
2. Pengembangan pada Habitat Ex-situ Uji Sintasan Pada fase adaptasi sampel ikan didatangkan dalam 3 periode. Sampel ikan I dan II mengalami kematian yang cukup tinggi, sehingga pada periode 2 minggu pertama ikan yang mampu bertahan hanya 10%, sedangkan pada tahap 3 (sampel ke III) ikan yang mampu bertahan hidup meningkat menjadi 30% pada kurun waktu yang sama. Selanjutnya pada tahap akhir sintasan yang dicapai menjadi 60% dalam 3 bulan pemeliharaan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tersebut perlahan-lahan telah mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan terkontrol (Said et.al., 2007).
45
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Manipulasi biologis untuk reproduksi (rasio kelamin dan ukuran yang berbeda) Dari uji reproduksi pada masa adaptasi dapat menghasilkan larva ikan berumur hanya sampai 15 hari dengan periode inkubasi telur selama 18—20 hari. Dari beberapa percobaan diperoleh bahwa ikan cenderung melakukan perkawinan secara massal dibandingkan secara individual. Ukuran ikan jantan yang digunakan antara 4.6 – 4.9 cm dengan berat 1.002—1.092 g dan ukuran ikan betina antara 3.6—4.2 cm dengan berat 0.536—1.043 g. Perkawinan secara individual cenderung menyebabkan kematian pada induk betina terutama pada rasio seks jantan:betina = 1:1. Pada tahap selanjutnya Said & Mayasari (2007) melaporkan bahwa perkawinan secara massal yang menggunakan rasio seks jantan:betina = 1:2 memberikan hasil yang lebih baik untuk viabilitas daripada rasio seks 1:3 dan 2:3, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Pada pengamatan ini pula nilai LIP relatif lebih pendek dibandingkan pada fase adaptasi . Tabel 1 .Jumlah Telur total (JTT), (Said & Mayasari, 2007) Parameter
(LIP), Jumlah Larva (JL), (HR %), dan (SR7%) Rasio Seks 1:3
1:2 b
JTT (butir) LIP (hari) JL (ekor) HR (%) SR7 (%)
130,1 ± 32,38 9,80 ± 0,42a 89,6 ± 32,43b 67,95 ± 11,22a 92,59 ± 9,07a
b
105,8 ± 60,75 9,30 ± 0,82a 78,7 ± 52,99b 79,23 ± 24,37a 87,21 ± 18,32a
2:3 31,22 ± 17,14a 9,67 ± 0,50a 24,33 ± 15,98a 75,34 ± 17,18a 97,75 ± 3,62a
Selain manipulasi yang menggunakan rasio seks, Said et al (2008) juga melaporkan bahwa ukuran panjang induk ikan yang optimal digunakan pada habitat exsitu yaitu antara 35-45 mm. Ukuran tersebut memberikan nilai lebih baik daripada ukuran lainnya yaitu
dengan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan sebesar 56,33 (22–
159 butir). Rata-rata LIP: 9,92 (9 –10 hari). Rata-rata nilai derajat pembuahannya (FR) adalah 58,30 (34,78-82%) dan sintasan 7 hari pertama (SR7) sebesar 86,45 (20 –100%).
Manipulasi lingkungan Manipulasi lingkungan yang dilakukan meliputi lingkungan pakan, fisik (suhu), dan kimiawi (pH dan kesadahan) air pemeliharaan.
46
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
a. Manipulasi lingkungan pakan Pada fase kehidupan ikan yang baru diadaptasikan pada habitat ex-situ memerlukan jenis pakan yang sesuai untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut dimulai pada fase larva kemudian fase pembesaran, fase reproduksi. Said et al. (2007) melaporkan bahwa kelangsungan hidup (SR) larva umur 15, 21, 28, dan 40 hari dari tiga perlakuan jenis pakan diperoleh bahwa pakan air hijau yang mengandung infusoria merupakan jenis pakan terbaik untuk kehidupan larva ikan M.ladigesi dibandingkan pakan pelet halus dan kuning telur (Tabel 2). Tabel 2. Analisa Data Kelangsungan Hidup Larva Ikan M.ladigesi (Said et al.,2007) Parameter SR15 (%) SR21 (%) SR28 (%) SR40 (%)
Infusoria 74.67 ± 22.03b 73.33 ± 23.09b 70.67 ± 18.48b 69.33 ± 16.17b
Perlakuan Pakan Kuning Telur 41.33 ± 4.62a 38.67 ± 6.11a 36.00 ± 8.00a 36.00 ± 8.00a
Pelet Halus 18.67 ± 6.11a 18.67 ± 6.11a 18.67 ± 6.11a 18.67 ± 6.11a
Sedangkan pada fase pertumbuhan ikan, Triyanto & Said (2007) melaporkan bahwa pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan pemberian pakan dengan cacing sutera, yaitu panjang mencapai 1,19 cm dengan pertumbuhan harian (0,02 cm/hari). Kemudian diikuti oleh perlakuan pakan Chironomus 1,01 cm (0,017 cm/hari), pellet 0,78 cm (0,013 cm/hari) dan Daphnia 0,75 cm (0,012 cm/hari). Sedangkan pertumbuhan berat ikan yang tertinggi didapatkan pada perlakuan pakan Chironomus yaitu 0,47g (0,008 g /hari) dengan sintasan tertinggi (100%), pakan jenis Cacing sutera 0,44 gram (0,007 g /hari), pakan jenis pellet 0,27 g (0,005 g /hari) dan terakhir jenis Daphnia 0,22 gram (0,004 g /hari).
Sedangkan pada fase reproduksi
pakan
Chironomus merupakan jenis pakan terbaik karena mengandung protein lebih tinggi dan lemak lebih rendah dibandingkan pakan Tubificidae (cacing sutera).
b. Manipulasi Lingkungan Fisik (Suhu) Tujuan penggunaan suhu dalam penetasan ikan M.ladigesi yaitu mencari suhu optimal untuk penetasan terbaik, mengingat kisaran suhu habitat ikan tersebut relatif luas. Di samping itu juga untuk mengetahui kemampuan toleransi ikan tersebut terhadap suhu perairan.
47
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Terlihat di sini bahwa suhu tinggi dapat memperpendek masa inkubasi telur, akan tetapi nilai derajat penetasan yang diperoleh sangat rendah (Tabel 3). Dengan demikian suhu tinggi (30oC) tidak direkomendasikan untuk penetasan ikan M.ladigesi. Masing-masing spesies memiliki kisaran suhu tersendiri. Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan atau kematian embryo ikan M.ladigesi
yang masih berada
dalam telur sehingga tidak mampu untuk menjadi larva. Tabel 3. Derajat Pembuahan (FR), Derajat Penetasan (HR), dan (SR7) Perlakuan
Parameter Suhu Normal
suhu 28oC
Suhu 30oC
7.88 ± 0.35a
7.71 ± 0.49a
FR (%)
9.88 ± 0.35b 79.08 ± 8.50b
HR(%)
68.94 ± 10.85b
59.74 ± 23.35b 54.55 ± 24.85b
35.02 ± 20.59a 22.32 ± 21.91a
SR7 (%)
91.66 ± 10.03b
92.81 ± 15.10b
37.14 ± 34.98a
LIP (hari)
c. Manipulasi Kimiawi (kesadahan dan pH) Air Pemeliharaan Penelitian manipulasi kimiawi dilakukan dengan mengambil parameter kesadahan dan pH air pemeliharaan. Menurut Lesmana (2002) bahwa kadar kesadahan memberikan pengaruh tertentu pada penampilan ikan hias, dan tiap spesies mempunyai kisaran kesadahan tersendiri. Pada penelitian manipulasi kesadahan digunakan 3 kisaran kesadahan dalam mencari kesadahan terbaik dan toleransi ikan tersebut pada kesadahan. Kisaran kesadahan I merupakan kesadahan air sumber (50 - 100), kisaran kesadahan II (>100 – 150) dan kisaran kesadahan III (>150 – 250) mg CaCO3/L Dari hasil penelitian Triyanto et al. (2008) bahwa kisaran kesadahan II (100 – 150 mg CaCO3/L) baik untuk pertumbuhan yaitu mencapai 2,1 cm (0,019 cm/hari). Sedangkan sintasan (SR) ikan M.ladigesi
tertinggi (100%) diperoleh pada kisaran
kesadahan III (50 – 250 mg CaCO3/L), dan pada kesadahan I diperoleh SR sebesar 98% dan kisaran kesadahan II diperoleh SR sebesar 95%.
Secara umum nampaknya
pengaruh penampilan warna tidak terlalu jauh berbeda pada masing-masing perlakuan, akan tetapi kisaran kesadahan III menunjukkan tubuh ikan yang relatif lebih bersih, lebih kemilau, dan secara umum lebih cerah. Tiga kisaran kesadahan yang diambil dapat diasumsikan kesadahan yang baik untuk kehidupan ikan, namun untuk menghasilkan penampilan warna yang baik disarankan menggunakan kisaran kesadahan III (>150 – 250 mg CaCO3/L). 48
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sedangkan pendataan penampilan ikan M.ladigesi pada pH perairan, dilakukan pendataan dimana ikan dipelihara pada 4 kisaran nilai nilai pH yang bervariasi. Kisaran I: 4,5—5,5; Kisaran II: 5,6—6,5; kisaran III: 6,6—7,5; dan kisaran IV: 7,6—8,5. Perlakuan dengan 2 ulangan. Diamati laju sintasan, dan variasi warna yang muncul dalam periode 2 minggu selama
60 hari. Pembuatan air pemeliharaan dengan pH
tertentu didapatkan dari penggunaan daun ketapang pada konsentrasi tertentu. Penelitian ini mencari pH optimal dan toleransi ikan M.ladigesi terhadap pH air pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukan secara keseluruhan perbedaan penampilan (warna) ikan M.ladigesi pada beberapa bagian tubuh paling bagus pada perlakuan kisaran pH – III, (6,6 - 7,5). Pada kisaran pH-III warna kuning pada sirip ekor dan sirip punggung kedua lebih menyala dibandingkan dengan perlakuan lain. Kisaran pH dalam air tidak berpengaruh langsung terhadap penampilan/warna ikan, akan tetapi pada pH tertentu
kandungan kalsium dalam tubuh ikan berperan optimal
sehingga dapat
memberikan efek penampilan yang relatif lebih baik. Nilai pH yang optimal untuk hidup ikan M.ladigesi akan mendukung proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh sehingga penyerapan nutrisi dari bahan makanan yang dimakan akan berjalan sempurna. Sintasan ikan M.ladigesi selama penelitian terlihat berbeda antara perlakuan. Sintasan cenderung menurun seiring menurunnya nilai pH air pemeliharaan, sehingga pada kisaran pH air 4,5—5,5 sintasan akhir menjadi 60%; sintasan pada kisaran pH 5,6—6,5 mencapai 80%; sintasan pada pH 6,6—7,5 dan kisaran 7,6—8,2 sintasan masih baik yaitu masing-masing 100% . Tampaknya untuk pemeliharaan ikan M.ladigesi nilai pH air harus dipertahankan sekitar 7 karena sesuai dengan daerah asalnya di daerah karst dengan pH relatif tinggi atau 7 ke atas. Dengan demikian perairan dengan pH rendah dapat menurunkan populasi ikan tersebut.
KESIMPULAN 1. Kondisi habitat alami ikan M.ladigesi bervariasi, dan populasi alaminya di beberapa sungai yang diamati telah mengalami penurunan 2. Ikan
M. ladigesi
dapat dikembangkan pada habitat ex-situ dengan proses
adaptasi yang relatif lama. Populasi alami dapat terjaga dan kebutuhan terhadap ikan tersebut dapat dicapai. 49
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
3. Rasio seks, jenis pakan, kondisi lingkungan perairan sangat berperan dalam menentukan penampilan/ketahanan hidup ikan M.ladigesi.
SARAN 1. 1.Diharapkan dengan menggabungkan beberapa faktor lingkungan (pH, kesadahan, jenis pakan dll) dalam suatu sistem budidaya (tidak secara terpisahpisah) dapat memberikan efek penampilan yang lebih baik. 2. Untuk terlaksananya pengembangan dan terkonservasinya ikan
M.ladigesi,
maka diharapkan peran serta dari semua pihak yang berkompeten.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih pada Proyek Penelitian Kompetitif LIPI 2005—2007 yang telah membiayai penelitian ini, dan kepada semua pihak yang telah membantu dan terima kasih setinggi-tingginya khusus untuk Sdr. Syahroni.
DAFTAR PUSTAKA Alabaster, J. S., & R. Lloyd, 1981, Water Quality Criteria for Freshwater Fish, FAO, Butterworth, London, 361 p Andriani, I., 2000, Bioekologi, Morfologi, Karyotipe, dan Reproduksi Ikan Hias Rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan, Tesis, Program Pascasarjana, IPB. Boyd, C. E., 1982, Water Quality Management for Pond Fish Culture, Elsevier Sci. Publ. comp., New York, 317 p Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama Yogyakarta. Effendie, M. I., 1979, Metoda Biologi Perikanan, Cetakan Pertama, Yayasan Dewi Sri, 112 hal Kottelat, M., A.J.Whitten, S.N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Pariplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta 293 hal. Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.H. Miller, and D.R.M. Passino. 1977. Ichthyology, John Wiley and Sons, Inc. Toronto, Canada. 556 p.
50
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Lesmana, D.S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. PT Penebar Swadaya 88 hal. Machbub, B., & M. Moelyo, 2000, Kualitas Air Sungai Alamiah sebagai Standar Kualitas Sumber Air, Bulletin Pusair, 34:31 – 38 Nasution, S.H., D.S. Said, Triyanto, Lukman. 2007. Tingkat Kematangan Gonad ikan Telmatherina ladigesi dari beberapa habitat. Prosiding Seminar ikan IV 2006 Masyarakat Ikhtiologi Indonesia Jatiluhur Agustus 2006 Said, D.S., O. Charman, dan Abinawanto. 2000. Intergenus Hybridization of Irian’s Rainbowfish, Melanotaeniidae Family. The Proceeding of The JSPS-DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area, 10:280-28 Said, D.S., Lukman, Triyanto, Sulaeman, dan S.H. Nasution. Kondisi Populasi, Kondisi Ekologis, dan Strategi Pengembangan Ikan Pelangi Sulawesi Telmatherina ladigesi. Prosiding Konferensi Nasional Akuakultur 2005. Makassar November 2005. Masyarakat Akuakultur Indonesia hal: 361—367. Said, D.S., Triyanto, S.H. Nasution, H. Fauzi, dan Supranoto. 2007. Perkembangan Daya Adaptasi dan Uji Reproduksi Ikan Pelangi Sulawesi (Telmatherina ladigesi) pada Habitat Eks-situ. Makalah disampiakan pada Seminar Ikan Hias Nusantara Jakarta, 9 Desember 2006 Said, D.S..& N. Mayasari . 2007. Reproduksi dan Pertumbuhan ikan Telmatherina ladigesi pada Rasio Kelamin Berbeda. Jurnal Aquacutura Indonesiana vol 8(1): 41--47 Said, D.S., Triyanto, & S.H. Nasution. 2007. Pengembangan Ikan Beseng-beseng Telmatherina ladigesi melalui Habitat Buatan. Prosiding Seminar Perikanan dan Kelautan Faperta Univ Gajah Mada Yogyakarta 28 Juli 2007 hal BI-2:1—9. Said, D.S., N. Mayasari & Triyanto.2007. Pengaruh Jenis Pakan untuk Ketahanan Hidup ikan pelangi Sulawesi Telmatherina ladigesi . Prosiding Konferensi Science dan Kelautan Perikanan Indonesia, Institut Pertanian Bogor Juli 2007 Said, D.S, Triyanto & N. Mayasari. 2008. Ikan Pelangi Sulawesi Marosatherina ladigesi pada Habitat Alami dan Habitat Buatan. Makalah Seminar Perikanan dan Kelautan Faperta Univ Gajah Mada Yogyakarta 26 Juli 2008. Triyanto, N. Mayasari, & D.S.Said.2008. Penampilan Ikan Pelangi Sulawesi Marosatherina ladigesi pada Kesadahan Berbeda. Makalah Seminar Nasional Ikan V Masyarakat Ikhtiologi Indonesia Botani Square Bogor 4 Juni 2008. Wargasasmita, S. 2004. Ancaman Invasi Ikan Asing terhadap Keanekaragaman IkanAsli. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikan ke III. Darmaga Bogor, 7 September 2004.
51
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BIOEKOLOGI DAN ASPEK PENANGKAPAN SIDAT (Anguilla spp.) DI PERAIRAN POSO, SULAWESI TENGAH Triyanto*, Lukman dan Ivana Yuniarti ABSTRAK Sidat (Anguilla spp) merupakan ikan katadromous yang memiliki karakteristik unik yaitu melakukan ruaya untuk keperluan reproduksinya ke laut dalam. Larva sidat akan kembali ke perairan tawar melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa pada habitat perairan tawar seperti sungai, dan danau. Perairan Poso meliputi Danau Poso dan sungaisungai yang ada disekitarnya merupakan daerah penghasil sidat yang potensial di Sulawesi Tengah. Penelitian bio-ekologi sidat dan aspek penangkapan telah dilakukan pada Mei – Agustus 2007. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan sifat biologis sidat, karakter ekologi perairan sebagai habitatnya, dan aspek penangkapan ikan tersebut. Sampel sidat diperoleh dari lima lokasi penangkapan meliputi wilayah Danau Poso dan Sungai Poso. Sifat biologis sidat dideskripsikan dengan melakukan kajian morfologis dan morfometrik, serta penentuan kebiasaan makanan. Kajian karakter ekologis sidat dilakukan dengan melakukan pengukuran kualitas perairan di Danau Poso dan Sungai Poso. Aspek penangkapan di bahas berdasarkan hasil survei pada beberapa lokasi penangkapan. Kata Kunci: Bio-ekologi, Sidat (Anguilla spp.), Poso
ABSTRACT Eels ( Anguilla spp) are catadromous fish having unique characteristic that is doing migration for reproduction to the sea. The juvenile will return to freshwater ecosystem through estuary hence forth grow and develop until adult at freshwater habitats such as rivers, and lake. Inland water of Poso, included the Poso Lake and the Poso River are producers’ area of eels in Central Sulawesi. Research of bio-ecology and fishing aspect has been done at May - August 2007. The aim of research was to describe the biological character of eel, ecology character as the habitat, and the fishing. The eels were obtained out of five location cover Lake Poso and River Poso. Biological character of eels was descripting by doing study of morphology, morphometric, and determination of food habit. Study of ecological character done by doing measurement of water quality of Lake Poso and River Poso. The fishing aspect was analyzed based on survey some on the numbers of fishing locations and catch data in some middle man and data in duty fishery of local district Keywords: Eel: Anguilla spp, Bio-ecology Poso
PENDAHULUAN Sidat di perairan Poso merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi primadona hasil tangkapan. Sidat merupakan jenis ikan katadromous yang memiliki karakteristik unik dengan melakukan ruaya (migrasi) untuk keperluan reproduksinya ke laut dalam. Larva sidat akan kembali ke perairan tawar *
Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Komplek LIPI Cibinong, 16911 Telp. 021-8757071, Fax. 021-8757076 e-mail:
[email protected]
52
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa pada habitat perairan tawar seperti sungai, dan danau. Berdasarkan klasifikasinya sidat termasuk dalam famili Anguillidae dan Genus Anguilla. Secara morfologi bentuk badannya memanjang, ramping dengan sebuah sirip punggung yang panjang dan menyatu dengan sirip anal dan sirip ekor. Kulitnya licin berlendir dengan garis liniea lateralis yang jelas terlihat. Keragaman jenis ikan tersebut dapat dibedakan dari bentuk pola warna tubuh, ukuran kepala, jarak sirip punggung dan sirip anal serta ukuran dari ikan tersebut yang berbeda-beda. Beberapa kriteria identifikasi morfologis telah diuraikan dengan beberapa pendekatan yaitu dari ukuran sirip punggung, sirip anal, pola gigi atas dan bawah. (Weber & Beaufort, 1922 dan Kottelat et al, 1993). Menurut Sugeha, 2001 dalam Sugeha 2006, ada lima jenis ikan sidat yang tertangkap di Muara Sungai Poso yaitu Anguilla marmorata, A. celebensis, A. bicolor pacifica, A. interiores dan A. borneensis. Produksi sidat dari perairan Poso pada tahun 2006 mencapai 9,1 ton, merupakan 51% dari hasil produksi total perikanan wilayah tersebut. Bila dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya telah terjadi penurunan produksi yang signifikan karena pada Tahun 1998 produksi sidat mencapai 30,5 ton (Lukman, et al. 2007). Diperlukan upaya pengelolaan mencakup pengelolaan biota (ikan sidat) dan pengelolaan habitat untuk dapat mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada. Informasi tentang sifat biologi dan ekologi sidat sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek bioekologi sidat serta aspek penangkapannya di Perairan Poso; Danau Poso dan Sungai Poso. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam upaya pengelolaan untuk menjaga keberlangsungan produksi perikanan sidat dan menjamin ketersediaan sumberdaya.
BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan Mei-Agustus 2007. Sampel ikan sidat didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap perangkap (waya masapi), pancing dan tombak. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 5 wilayah yang mencakup perairan Danau Poso dan Sungai Poso (Gambar 1). 53
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Muara
Lokasi pengambilan sample sidat
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel sidat di Periaran Poso (Danau dan Sungai Poso) pada Bulan Mei – Agustus 2007
Aspek Biologi Sidat Morfologi dan Morfometrik Sidat Identifikasi spesies menggunakan analisis morfologi berdasarkan Kottelat (1993). Untuk analisis morfologi dilakukan pengukuran beberapa parameter morfometri (Gambar 2), yang meliputi :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
54
PT PS Psp Psa JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd
: : : : : : : :
Panjang total Panjang baku/standar Panjang sirip punggung Panjang sirip anal Jarak antara sirip punggung dan anal Panjang kepala s/d batok Panjang kepala s/d pangkal sirip dada Panjang sirip dada
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
9. 10. 11. 12. 13.
: : : : :
Lpsd Tsp Tb Te Dm
Lebar pangkal sirip dada Tinggi sirip punggung Tinggi badan Tinggi batang ekor Diameter mata
Pkpl-1
Psp
Dm
Tsp Lpsd
Te
Tb
Psd
Pkpl
Psa JSp-a PS PT
Gambar 2. Pengukuran karakter Morphometrik pada bagian-bagian tubuh ikan sidat
Karakter morfometrik dianalisis dengan PCA (Principal Componen Analysis) dengan menggunakan software MVSP 3,1 (KCS, 1999). Analisis karaketeristik morfometrik telah banyak dilakukan untuk membedakan ciri/karakter suatu jenis ikan, seperti pada ikan botia dari perairan umum Jambi (Haryani, 1995), ikan kaca dari perairan waduk Cirata (Sarnita, 1994) dan ikan payangka dari perairan Danau Limboto (Satria, 2000).
Untuk membedakan karakter morfometrik terhadap sampel sidat yang
berasal dari masing-masing lokasi penangkapan dilakukan uji sidik ragam (ANOVA:Analysis of variance, Steel and Torrie, 1995).
Kajian Kebiasaan Makan (Food Habit) Kajian kebiasaan makan dilakukan pada sampel sidat yang diperoleh, dengan melakukan analisis lambung berdasarkan Effendie, 1979.
55
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Aspek Ekologi Sidat Aspek ekologi sidat dipelajari dengan melakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik habitat sidat. Pengukuran dilakukan di daerah-daerah penangkapan sidat mencakup Danau Poso dan Sungai Poso. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, pH, kekeruhan, konduktivitas, dan oksigen terlarut, kesadahan, COD, TN dan TP.
HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Biologi Sidat Karakter Morfologi dan Morfometrik Berdasarkan analisis morfologi contoh sidat yang diperoleh adalah satu spesies, yaitu
Anguilla marmorata dengan ciri-ciri utama sebagai berikut i) Warna tubuh
terutama pada bagian dorsal kuning kehitaman dan terdapat corak seperti kembang berwarna coklat gelap, sedangkan bagian ventral (perut) agak putih dan bersih tanpa adanya corak, ii) Susunan gigi rahang atas dan bawah terpisah oleh satu lekukan memanjang tanpa gigi (Gambar 3; Model b); dan iii) Jarak antara garis vertikal imajiner yang melalui awal sirip punggung dan dubur (JSp-a) 14 – 21% dari panjang total (PT). Karakteristik utama sidat (Anguilla marmorata) dari berbagai lokasi di Perairan Poso dapat di lihat pada Tabel 1, sedangkan hasil pengukuran morfometrik selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 3. Pola gigi rahang atas (kiri) dan rahang bawah (kanan) pada a) Anguilla celebensis dan b) A. marmorata
56
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 1. Karakteristik utama (kisaran dan rata-rata) sidat (Anguilla marmorata) dari berbagai lokasi di Perairan Poso No.
Karakteristik
1.
Panjang total (cm)
2.
Berat total
3.
Rasio JSp-a/PT
(kg)
Pendolo 52 – 105 (83,4) 0,3 – 2,8 (0,5) 0,15 – 0,20
Solokaia 51 – 102 (66,4) 0.2 - 2.6 (0,7) 0.14 - 0.19
Lokasi Tentena 75 – 119 (100,6) 1,6 - 5,0 (2,4) 0,16 - 0,21
Pandiri 46 – 74 (60) 0.2 – 1.1 (0,65) 0.12 – 0.13
Muara 46 – 77 (66,8) 0.2 – 1.3 (0,7) 0.15 – 0.18
Hasil analisis PCA menunjukan bahwa karakter morfometrik yang terbentuk mengelompok terpusat pada sumbu utama, sedangkan variasi pengukuran yang menunjukan asal contoh ikan sidat dari lima lokasi juga menunjukan hal yang serupa yaitu terpusat di sumbu utama. Kesamaan karakter morfometrik yang ditunjukan pada sumbu utama juga diperjelas dengan nilai akar ciri pada masing karakter yang rendah. Dari hasil PCA tersebut dapat diketahui bahwa ikan sidat yang dianalisis dari lima lokasi pengambilan menunjukan kesamaan. Tidak ada karakter morfometrik yang membedakan dari contoh ikan sidat yang dianalisis. Karakter morfometrik baku yang mencirikan kesamaan jenis ditunjukan pada karakter jarak antara awal sirip punggung dan anal (JSp-a), panjang kepala (Pkpl), tinggi badan (Tb), Panjang sirip punggung (Psp) dan dan panjang sirip anal (Psa) (Lampiran 2). Karakter utama yang mencirikan kesamaan jenis yang kuat akan terpusat pada sumbu utama (Gambar 4). Hasil uji sidik ragam (ANOVA) yang dilakukan pada contoh ikan sidat berdasarkan karakter morfometriknya pada
masing-masing lokasi penangkapan (5
lokasi) diperoleh nilai P>0,05 (Lampiran 3) Hal ini menunjukkan bahwa sample sidat yang dinalisis berdasarkan karakter morfometrik tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan, atau menunjukan kesamaan jenis.
57
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PCA case scores 3.4
Psd
2.7
2.0
Axis 2
Pi1
Pi2
-2.0
-1.3
Dm
1.3
Pkpl Psp PT Psa
0.7
S8 Po3 S5 -0.7
T5 T6 T9 T3 T2 T1T10 M1 M2 T4T11T12 M3 T13 Po1 S2 T8 S4 Po2 S3 M4T7 S1 0.7
1.3
JSp-a Tb Pkpl-1 2.0
2.7
3.4
-0.7 Lpsd PS -1.3
Te Tsp
-2.0 Axis 1 Vector scaling: 4,83
Gambar 4. Hasil analisis PCA antara variabel morophometrik ikan sidat pada sumbu utama (Axis 1 dan Axis 2) dan sebaran lokasi pengambilan contoh
Anguilla marmorata ditemukan mulai dari Pendolo, Solokaia, Tentena, Pandiri, hingga Muara Sungai Poso. Berdasarkan hasil penelitian Sugeha (2006) dan Lukman et al. (2007) Anguilla marmorata merupakan jenis ikan sidat yang banyak tertangkap dari perairan Poso dan mendominasi hasil tangkapan ikan sidat yang berasal dari Danau Poso. Anguilla marmorata tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia, yaitu meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Sugeha, 2005; Aoyama, 2007). Distribusi Anguilla marmorata di dunia juga cukup luas yaitu mulai dari Afrika Timur sampai ke Indonesia, French-Polynesia di Lautan Pasific Selatan dan Jepang bagian Selatan, dan juga terdapat di Samudra Hindia dan Pacific (Sverdrup et al., 1942; Brown et al., 1989; Morey et al., 1999 dalam Ishikawa et al. 2004). Kebiasaan Makan Sebagian besar contoh sidat menunjukkan lambungnya tidak berisi (kosong). Tidak terdapatnya isi lambung dari contoh sidat-sidat itu terutama dipengaruhi metode penangkapannya yang menyesuaikan dengan kondisi sidat pada saat itu.
58
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sidat-sidat yang tertangkap dengan waya masapi (perangkap) di outlet danau, dipastikan lambungnya akan sangat kecil untuk terisi karena sedang bermigrasi ke laut. Terdapat waktu yang cukup panjang antara saat sidat makan dan sidat tertangkap di pagar tersebut, sehingga isi lambung sudah habis tercerna. Demikian juga sidat-sidat yang tertangkap pancing dan bubu, sangat kecil kemungkinan lambung sidat terisi pakan karena sidat yang tertangkap adalah sidat yang sedang mencari makan. Dari sidat-sidat yang lambungnya terisi, pakan alami yang teramati yaitu: i) kepiting (2 contoh); ii) udang (satu contoh); dan iii) ikan (satu contoh) dan sisanya adalah remahan daging yang tidak teridentifikasi.
Berdasarkan penelitian Samuel
(2007) sidat Anguilla marmorata yang tertangkap di Sungai Ketahun-Bengkulu makanannya terdiri dari ikan, udang, moluska, dan serangga. Aspek Ekologi Sidat Kondisi Kualitas Perairan Danau Poso dan Sungai Poso Danau
Poso memiliki luas 368,9 km2 (36.890 ha),
panjang garis pantai
mencapai 127 km dengan kedalaman maksimum mencapai 384,6 m. (Lukman dan Ridwansyah, 2007). Kondisi fisika kimia air Danau Poso pada pengukuran Mei 2007 menunjukkan kisaran suhu yang berkisar antara 27,9–28,8oC, pH cenderung basa (8,348,60), konduktivitas 0,113 mS.cm-1, kadar oksigen terlarut cukup tersedia (5,91 – 7,80 mg.l-1), dan bersifat air lunak (kesadahan total <75 mg.l-1CaCO3 eq.). Berdasarkan data COD menunjukkan kondisi yang masih alami, sedangkan berdasarkan kadar total phosphat (0,013 – 0,055 mg.l-1) dan kadar nitrogen total (TN) (0,137-0,680 mg.l-1). sudah menunjukkan kondisi perairan sedikit eutrofik (Tabel 2). Tabel 2. Kondisi Kualitas Air Danau Poso dan Sungai Poso No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Parameter Suhu (oC) pH Konduktivitas (mS.cm-1 ) Kecerahan (m) Oksigen (mg.l-1) Kesadahan total (mg.l-1) COD (mg.l-1) Total Nitrogen (mg.l-1) Total Fosfat (mg.l-1)
Pendolo 28,5 8,48 0,111 10 6,17 61,10 4,40 0,2088 0,0130
Danau Poso Solokaia 28,8 8,40 0,111 10 5,98 58,05 4,40 0,6801 0,0460
Tentena 27,9 8,60 0,113 10 7,80 61,10 8,80 0,2904 0,0425
Sungai Poso Pandiri Muara 28,2 28,0 8,29 8,27 0,111 0,139 5,36 5,30 56,52 97,76 8,80 11,00 0,4092 0,6220 0,0249 0,0589
59
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sungai Poso merupakan outlet dari Danau Poso dan merupakan alur utama ruaya sidat baik ruaya menghilir untuk sidat dewasa, maupu ruaya menghulu untuk sidat muda. Alur Sungai Poso memiliki pola yang landai hingga curam (Gambar 5).
Gambar 5. Skema elevasi Sungai Poso yang menjadi alur ruaya sidat (Sumber: Chr. Kritijanto, 1999)
Dari mulai Tentena hingga sebelum Sulewana, kurang lebih sepanjang 10 km memiliki pola yang landai, dan di wilayah Sulewana sekitar 70 meter merupakan alur curam yang membentuk jeram, selanjutnya antara Sulewana hingga Pandiri dengan alur terjal, dan terakhir dari Pandiri hingga muara sudah mulai melandai kembali. Kondisi kualitas air pada Sungai Poso (Pandiri dan Muara) dicirikan oleh suhu yang berkisar antara
28,0 – 28,2oC, tingkat pH cenderung alkalin (8,27 - 8,29),
konduktivitas antara 0,139 – 0,159 mS.cm-1, kadar oksigen terlarut cukup tinggi (5,30 – 6,28 mg.l-1), dan bersifat lunak-sadah (56,52 – 97,76 mg.l-1). Berdasarkan data COD menunjukkan kondisi yang masih alami, sedangkan berdasarkan kadar total phosphat dan kadar nitrogen total sudah menunjukkan kondisi perairan sedikit eutrofik.
Aspek Penangkapan Sidat Penangkapan sidat di perairan Poso, tersebar di beberapa lokasi yaitu di Sungai Poso wilayah outlet danau yang masuk dalam wilayah Kecamatan Pamona Utara dan di
60
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
perairan danau dan anak sungai di Pendolo, di Kecamatan Pamona Selatan. Alat tangkap yang digunakan cukup beragam, yaitu pancing, tombak, bubu dari rotan atau bambu, dan pagar (waya masapi).
Terdapat tiga desa di alur Sungai Poso yang
memiliki kelompok penangkap sidat dengan alat perangkap (Waya Masapi), yaitu di Kelurahan Sangele mencapai 11 unit, Kelurahan Tendeadongi 7 unit, dan di Saojo 5 unit (KCD Perikanan, Kec. Pamona Utara, 2007. Tidak dipublikasikan). Hasil pemantauan tangkapan sidat dari nelayan yang menggunakan alat tangkap pagar (perangkap/waya masapi) di wilayah Tentena, menunjukkan penurunan hasil tangkapan dari Mei ke September (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan perubahan tinggi muka air danau akibat intensitas curah hujan yang terjadi. Pada bulan Mei curah hujan masih tinggi sedangkan ke arah September curah hujan makin menurun. Berdasarkan data hasil tangkapan bulanan sidat dari periode Tahun 2004-2006, hasil tangkapan sidat tertinggi terjadi antara bulan April – Mei, dan produksi terendah terjadi pada bulan September – November (KCD Perikanan, Kec. Pamona, 2006; tidak dipublikasikan) 30 B e ra t /J u m la h
25 20 Kg
15
Ekor
10 5 0 Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Bulan
Gambar 6.
Data pemantauan produksi sidat dari nelayan penangkap dengan (perangkap) di Tentena, Bulan Mei – Septermber 2007.
alat tangkap pagar
Sidat yang tertangkap dengan waya masapi, pada umumnya adalah sidat-sidat yang
akan beruaya untuk melangsungkan proses reproduksinya ke laut dalam.
Aktivitas ruaya dari perairan tawar ke perairan laut (downstream migration) berdasarkan hasil penelitian Sugeha (2006) mencapai puncaknya pada sekitar Bulan
61
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
April, hal tersebut terkait dengan tinggi muka air danau yang meningkat akibat curah hujan yang tinggi pada bulan tersebut. Ukuran sidat yang tertangkap di Tentena pada periode Mei - September tahun 2007, berkisar antara 0,2 – 5,6 kg atau dengan panjang total antara 40 cm – 130 cm. Sidat yang berukuran >70 cm menunjukkan proporsi yang tinggi (>80%) (Tabel 3). Hasil penelitian Haryani, (1998) menyebutkan sidat yang berukuran di atas 70 cm memiliki gonad yang sudah berkembang menunjukkan awal vitelogenik, sedangkan yang berukuran di bawah 70 cm gonadnya belum memasuki tahap perkembangan. Dari data tersebut nampaknya pengaturan penangkapan sidat yang akan beruaya ke laut dalam harus dikelola dengan bijak, agar keberlangsungan reproduski sidat tetap terjamin dan proses rekrutmen sidat-sidat muda untuk mengisi periaran Poso dan sekitarnya dapat terus berlangsung. Pemahaman umum, mengemuka bahwa larva sidat yang memasuki sungai adalah mengikuti instingnya kembali ke tempat indukannya berasal, dengan demikian tingkat rekruitmen larva akan ditentukan oleh jumlah indukan yang menghilir menuju ke laut untuk melakukan pemijahan (Lukman, et al. 2007) Tabel 3. Data Sidat Hasil Sampling Tangkapan dengan Waya Masapi di Kecamatan Pamona Utara, pada Bulan Mei - September 2007
Bulan Mei Juni Juli Agustus September
Kisaran Berat (kg) 0,2 - 4,8 0,3 - 5,6 0,5 - 2,8 0,6 - 3,0 1,0 - 3,0
Panjang Total (cm) 50 - 130 56 - 127 51 - 108 56 - 122 73 - 103
Berat Total (Kg) 24.9 17.8 10.4 10.2 7.5
Jumlah (Ekor) 11 7 6 5 4
Ukuran Berat Rataan (kg) >70 cm 9 2.26 6 2.54 5 1.73 4 2.04 4 1.88
KESIMPULAN Sidat hasil tangkapan di perairan Poso (Danau Poso dan Sungai Poso) selama penelitian berlangsung didominasi oleh jenis Anguilla marmorata. Berdasarkan karakter morfologinya
Anguilla marmorata dicirikan oleh warna tubuh kuning kehitaman
dengan terdapat corak seperti kembang berwarna coklat kehitaman. Ukuran sidat yang tertangkap selama penelitian berukuran panjang total 46 – 119 cm dengan berat total
62
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
0,2 – 5 kg. Rasio antara jarak sirip punggung dan sirip anal/persatuan panjang total tubuhya berkisar antara 0,12 – 0,2 Berdasarkan makanan alaminya sidat termasuk ikan karnivor, jenis pakan alami sidat yang telah teridentifikasi adalah kepiting, udang dan ikan. Kondisi kualitas perairan Danau Poso dan Sungai Poso yang menjadi lokasi penangkapan sidat masih mendukung untuk kehidupan sidat. Yang perlu mendapat perhatian dari hasil penelitian ini adalah perlunya pengelolaan penangkapan sidat yang bijak yang dapat mengatur penggunaan waya masapi yang pemasangannya menghadang jalur ruaya sidat untuk bereproduksi, untuk menjamin keberlangsungan reproduski sidat sehingga proses rekrutmen sidat-sidat muda untuk mengisi perairan Poso dan sekitarnya dapat terus berlanjut.
UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kami sampaikan kepada Program Kompetitif LIPI Sub Program Sensus Biota Laut Tahun 2007 yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Kris, Staf Dinas Perikanan di Tentena dan para Nelayan Danau Poso yang telah membantu selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Aoyama, J. S.Wouthuyzen, M.J. Miller, Y. Minegishi, M. Kuroki, S.R. Suharti, T.Kawakami, K.O. Sumardiharga and K.Tsukamoto. 2007. Distribution of leptocephali of the freshwater eels, genus Anguilla, in the waters off West Sumatra in the Indian Ocean. Environ. Biol. Fish. 80:445–452 Chr. Kristijanto, 1999, Upaya Penanggulangan Kerusakan Sungai Poso, Buletin Pusair, No. 32 Tahun IX, hal, 1 – 13 Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor. Haryani, G.S. 1995. Karakter Morphometrik dan Kajian Gonad Ikan Botia (Botia macrocanthus Bleeker) jantan dan betina. Prosiding Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi-LIPI 1994/1995. Puslitbang Limnologi-LIPI, 178 halaman Haryani, G. S., 1998, Kajian Aspek Reproduksi Ikan Sidat (Anguilla marmorata) pada Masa Ruaya di Danau Poso, Sulawesi Tengah, Limnotek, Vol. 5 (1): 51 – 60
63
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Ishikawa, S., K. Tsukamoto, and M. Nishida. 2004. Genetic evidence for multiple geographic populations of the giant mottled eel Anguilla marmorata in the Pacific and Indian Oceans. Ichthyol Res 51: 343–353 Kottelat, Maurice, Anthony J.W, Sri N.K dan Soetikno W. 1992. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions 293 p. KCS, 1999. Multi Variate Statistical Package User’s Manual MVSP 3,1. Kovach Computing Services. Lukman, G.S. Haryani, Triyanto, Tri Suryono, I. Yuniarti dan H. Fauzi. 2007. Karakteristik sejarah kehidupan ikan sidat (Anguilla sp.) di DAS Poso, Sulawesi Tengah. Laporan Akhir. Program Kompetitif Sub Program Sensus Biota Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lukman & I. Ridwansyah. 2007. Physics and Chemical Condition of Lake Poso, Indonesia. (in processes). Lukman, Triyanto dan I. Yuniarti. 2007. Potensi Perairan Danau Poso, Sulawesi Tengah Untuk Perikanan Sidat Di Indonesia. Prosiding Simposium Perikanan, Departemen MSP Fakultas Perikanan IPB, Bogor Sarnita, H. 1994. Aspek Biologi dan Analisis Karakteristik Bentuk Ikan Kaca (Chandapunctulata) di Perairan Waduk Cirata. Bull.Perik.Darat Vol.12 No. 2 Hal: 12-22 Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 748 halaman Satria, H. 2000. Karakterisasi Morphometrik Ikan Payangka (Ophiocara porocephala) di Perairan Danau Limboto – Sulawesi Utara. Prosiding Semiloka Nasional ”Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk Universitas Padjajaran Bandung, 7 Nopember 2000 hal: I;140-152 Sugeha, H. Y. 2005, Biodiversitas, distribusi dan kelimpahan ikan sidat (Anguilla spp) di Perairan Indonesia, serta asosiasinya dengan faktor-faktor lingkungan. Laporan Akhir, Program Kompetitif Sub Program Sensus Biota Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sugeha, H. Y., J. Aoyama dan K. Tsukamoto. 2006. Downstream migration of trophical Angullid silver eels in the Poso Lake, Central Sulawesi Island, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Jakarta 5 September 2006. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Samuel. 2007. Eko-biologi dan Aspek Penangkapan Ikan Sidat (Anguilla spp.) di Sungai Ketahun, Propinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2007. Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM. Weber, M and K.L.F. de Beuafort. 1922. The Fisheries of Indo-Australia Archipelago. Vol II E.J. Brill. Leiden. 404p 64
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil pengukuran karakter morfometrik ikan sidat di beberapa lokasi penangkapan di perairan Poso No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sampel Sidat Po1 Po2 Po3 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
Karakter Morfometrik (cm) JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd 15,7 8 14,5 4,2 12 4,2 10 2,8 8 3,7 7,8 1,9 16,5 6,5 15,5 4,5 20 10 17,5 6 20 8,7 17 6 15 5 12,5 4,2 19,5 9 16,8 5,5 19 7 16 5,6 12,5 4,8 10,7 3,2 10,5 4,7 10 3
12
T9
100
13
T10
106
104
74
56
17
8
18
5
2,5
9,5
1
1
14
T11
88
86,5
63
46
18
6
12
4
2,3
1,8
5
1
1,1
15
T12
93,5
92
63
48
17
7
14
4,5
2,3
1,8
9
1
1
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
T13 S1 S2 S3 S4 S5 S8 M1 M2 M3
98 63,3 61 62,2 64,8 50,7 48,7 63,5 77 68,3
97 62 60 61,4 63,7 49,6 47,6 62,5 75,7 66,8
69 45,8 44,5 45,2 45,8 37,5 34,9 45,7 56,3 48,6
52 34,5 33,5 34,6 35,1 28,1 27,5 34 42,3 37,2
18 10 10,6 10 10,3 9 7 10 12 10
7 5 5 5 5 3 3,5 4,5 5,5 3,5
13 10 9,5 9,3 9,5 7,5 7 9 11,5 9,5
5 2,8 2,4 2,3 2,8 2,1 2,3 3,3 3 3,1
2,5 1,7 1,3 1,3 1,4 1 1 1,5 1,6 1,3
2 1,7 1,3 1,4 1,2 1,1 0,9 1,1 1,5 1,2
5,5 4,5 4,9 4,4 4,8 3,1 3,4 5,4 6 5,2
1 0,5 0,4 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,5 0,4
1 0,7 0,8 0,8 0,7 0,6 0,6 1 1 0,9
26
M4
72
71
51
39
12
5
9
3,2
1,7
1,5
4,4
0,7
0,7
27
Pi1
74
-
53
39,5
9
5
6
14
-
-
2,9
-
1,2
28
Pi2
46
-
34
26
6
5
6
8
-
-
2
-
0,7
PT 101 69,1 52,3 100 119,5 116,2 88,2 112,2 107,3 72,5 67
PS 98 68 51,4 98 118 114 87,1 110,3 106 71 65,8
Psp 73 50,5 37,8 72 85 82,5 63,6 81 78,6 52 49,2
Psa 56 38,2 29,9 53,5 62,5 61,5 47 61,5 58,1 39,5 37,5
97
71
51
21
8
15
5,5
Lpsd 2,5 1,8 0,9 2,5 3 3 2 2,4 2,3 1,7 0,5
Tsp 1,8 1,6 1 1,9 2,4 2 1,4 2 2 2 1,5
Tb 7,8 5 3,4 8,5 10,2 10 7,1 8,8 8,5 6 5,2
Te 1 0,4 0,3 0,5 0,8 0,7 0,6 0,5 0,5 0,5 0,6
Dm 0,9 0,8 0,5 1,1 1,2 1 1 1,3 1,1 0,7 0,7
2,2
1,8
8,5
1
1,2
Keterangan Po T S M Pi -
: Pendolo : Tentena : Solokaya : Muara : Pandiri : Tidak ada data
65
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Lampiran 2. Akar ciri, kontribusi variabel terhadap sumbu utama dan Matrik similarity antar karakter morphometrik
A. Akar ciri PCA case scores Cases Axis 1 Axis 2 Po1 0,564 -0,1 Po2 -0,26 -0,15 Po3 -0,76 -0,21 T1 0,515 0,043 T2 1,086 0,109 T3 0,906 0,08 T4 0,164 0,009 T5 0,849 0,227 T6 0,662 0,128 T7 -0,14 -0,21 T8 -0,34 -0,14 T9 0,676 0,084 T10 0,663 0,007 T11 0,302 -0,08 T12 0,47 -0,08 T13 0,477 -0,06 S1 -0,34 -0,21 S2 -0,41 -0,12 S3 -0,39 -0,15 S4 -0,39 -0,14 S5 -0,75 -0,21 S8 -0,8 -0,18 M1 -0,37 0,008 M2 -0,05 -0,04 M3 -0,37 -0,05 M4 -0,23 -0,19 Pi1 -0,66 1,086 Pi2 -1,08 0,51
Eigenvalues Axis 1 9,715 74,73 74,73
Eigenvalues Percentage Cum. Percentage
PCA variable loadings Variabels Axis 1 PT 0,314 PS 0,296 Psp 0,313 Psa 0,312 JSp-a 0,313 Pkpl 0,292 Pkpl-1 0,312 Psd 0,056 Lpsd 0,239 Tsp 0,27 Tb 0,302 Te 0,235 Dm 0,239
Axis 2 1,899 14,61 89,34
Axis 2 0,125 -0,26 0,129 0,119 0,019 0,161 -0,04 0,695 -0,2 -0,33 -0,03 -0,29 0,379
B. Matrik Similarity antara masing-masing karakter morphometrik ikan sidat PT PT PS Psp Psa JSp-a Pkpl Pkpl-1 Psd Lpsd Tsp Tb Te Dm
PS
Psp
Psa
JSp-a
Pkpl
Pkpl-1
Psd
Lpsd
Tsp
Tb
Te
Dm
1
66
0,848
1
0,998
0,846
1
0,996
0,85
0,998
1
0,953
0,885
0,949
0,938
1
0,918
0,739
0,913
0,915
0,871
1
0,947
0,925
0,945
0,947
0,927
0,888
1
0,344
-0,2
0,342
0,329
0,208
0,382
0,107
1
0,677
0,784
0,68
0,673
0,748
0,589
0,653
-0,129
1
0,75
0,935
0,744
0,75
0,795
0,661
0,862
-0,276
0,659
1
0,917
0,893
0,909
0,91
0,882
0,85
0,966
0,112
0,65
0,809
1
0,645
0,776
0,618
0,62
0,741
0,606
0,688
-0,183
0,558
0,777
0,638
1
0,799
0,515
0,802
0,781
0,757
0,726
0,67
0,577
0,464
0,375
0,663
0,341
1
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Lampiran 3. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) antara sample ikan sidat pada masing-masing lokasi penangkapan di Perairan Poso Sumber Keragaman Pendolo Eror Tentena Eror Solokaya Eror Muara Eror Pandiri Eror
SS 1361,551 30658,78 3577,046 215263,6 276,4564 35872,68 114,3085 34309,36 104,1606 3874,084
Antar Lokasi Eror
14398,64 323782,5
df 2 36 12 143 5 72 3 48 1 16
MS 680,776 851,633 298,087 1388,797 55,291 498,232 38,103 714,778 104,161 242,130
F 0,799
P-value* 0,50
0,215
0,998
0,111
0,990
0,053
0,984
0,430
0,521
27 327
533,283 990,161
0,539
0,973
Keterangan *Nilai P>0,05 : Tidak ada perbedaan jenis dari sampel sidat yang dianalisis berdasarkan karakter morfometriknya.
67
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KAJIAN STRATEGI REPRODUKTIF IKAN SENGGARINGAN Mystus nigriceps DI SUNGAI KLAWING KAB. PURBALINGGA PADA MUSIM BERBEDA Siti Rukayah1, Setijanto1 dan Isdy Sulistyo2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui strategi reproduktif ikan Senggaringgan dihabitat alaminya melalui pendekatan pengamatan : rasio kelamin, fekunditas , ukuran telur, indeks anatomi (IGS dan IHS), Gametogenesis. Sampel diambil 4-6 kali selama 3 bulan tiap musim. Sampel musim penghujan pada bulan Agustus-Oktober, sampel musim kemarau pada bulan mei-Juli. Data: ukuran morfologis, jumlah dan ukuran telur, indeks anatomi, histologi gonad. Pada musim penghujan diperoleh rasio kelamin 0,9, fekunditas10005-39.621butir dengan dismeter 200-275,4 µm, IGS betina 9,33-14,72 %, IHS 0,48-1,98 %. Pengamatan gametogenesis menunjukan kondisi gonad jantan pada semua tingkatan spermatogenesisi dapat diamati dalam testis, pada gonad betina mencapai vitelogenesis eksogen awal. Sedangkan pada musim kemarau diperoleh rasio kelamin 0,6.; fekunditas 9675-23220 butir dengan diameter 107-228,2 µm, IGS 1,79-11,13 %, IHS 1,1-2,31 %, pengamatan gametogensis menjunjukan kondisis gonad jantan didominasi spermatozoa, gonad betina pada fase Oogonium-Vitelogenesis Eksogen. Diperoleh kesimpulan rasio kelamin, fekunditas IGS meningkat memasuki musim penghujan, IHS jenderung menurun memasuki musim penghujan. Perkembangan Ovarium dan testis nyata terlihat saat musim penghujan, tetapi estimasi waktu peminjahan dan frekuensinnya belum dapat diketagui. Kata kunci : ikan senggaringan, strategi reproduktif, Sungai Klawing musim ABSTRACT This study were purposed to find out reproductive strategy of senggaringan fish in natural habitat through approach monitoring of male and female ratio, fecundities, egg size, index of anatomy (IGS and HIS), gametogenesis. Sampling was conducted out 4-6 times since 2 months in every season. Sampling of rainy season on September-October, sampling of dry season on May-June. Supporting data of morphology size, total and size of egg, anatomy index, histological gonad. On rainy season get the result of male and female ratio 0,9, fecundities 10005-39.625 grain with diameter 200-275,4 µm, female IGS 9,33-14,72%, HIS 0,48-1,98%. Monitoring of gametogenesis showed condition of male gonad in the all level spermatogenesis can monitoring the testis, in the female gonad achieve vitelogenesis of beginning exogenous. And then on the dry season get the result male and female ratio 0,6; fecundities 9675-23220 grain with diameter 107-228,2 µm, IGS 1,79-11,13, IHS 1,1-2,31%, monitoring of gametogenesis showed condition of male gonads were dominant spermatozoa, female gonads in the Oogonium fase-Exsogen Vitelogenesis. Key words: senggaringan fish, reproductive strategy, Klawing River, season.
1 2
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, e-mail:
[email protected] Fakultas Sain dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman
68
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan senggaringan Mystus nigriceps merupakan ikan liar bernilai ekonomis penting, namun di perairan umum wilayah Banyumas, penyebaran ikan ini sangat terbatas.
Hasil kajian Setijanto et al., (1999) menunjukkan bahwa sedikitnya tiga
species berhasil dijumpai yaitu M. Gullio, M. Microcanthus dan M. nigriceps. Species pertama dapat dijumpai disungai Serayu dan Mengaji. Species kedua didapatkan selain di sungai Serayu juga di sungai Logawa. Sementara, Sulistyo dan Setijanto (2002) mendapatkan species ketiga (M. nigriceps) di Sungai Klawing dan Serayu. Karena alasan inilah peneliti menentukan Sungai Klawing dan Serayu sebagai lokasi penelitian. Menurut Saanin (1982) kedudukan taksonomik ikan senggaringan termasuk Kelas Actinopterygii, Ordo Siluriformes dan Familia Bagridae. Usaha penangkapan yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan penurunan populasi. Menurut Duncan dan Lockwood (2001) ±10.000 species ikan air tawar telah didiskripsi dan sebagian besar berada dalam tekanan. Lebih dari 20% nya dalam kondisi terancam punah, termasuk di dalamnya ikan-ikan Siluriformes. Salah satu upaya perlindungan suatu species dari kepunahan adalah melalui budidaya atau penangkaran.
Budidaya ikan liar akan berhasil bila didasari atas
pengetahuan tentang biologi species dimaksud, khususnya aspek strategi reproduktif. Strategi reproduktif dapat dijabarkan ke dalam modalitas peneluran (Sulistyo, 1990), investasi gizi dan enerji (Xie et al., 1998; Basuki et al., 2002), gametogenesis jantan dan betina (Rinchard dan Kestemont, 1996; Sulistyo et al., 1998; Sulistyo, et al., 2000), frekuensi peneluran (Hunter dan Macewicz, 1985), rasio kelamin dan habitat (Baroiller dan D’Cotta, 2001) dan ukuran serta kualitas telur (Gisbert et al., 2000). Medium eksternal sangat berperan penting dalam menentukan tingkat kelangsungan hidup embrio ikan, beberapa saat sebelum menetas (Gunasekara dan De Silva 2000). Sehingga bagi perkembangbiakan ikan pengamatan kondisi habitat alami sangat penting dilakukan. Informasi ilmiah tentang ikan senggaringan sebagai sumberdaya lokal masih sangat jarang dilaporkan. Sebagaimana diketahui bahwa di perairan umum wilayah Banyumas masih banyak sumberdaya lokal yang perlu dikaji dan dikembangkan.
69
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sehingga penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam upaya budidaya ikan senggaringan yang secara tidak langsung dapat berkontribusi pada pelestarian stok ikan ini di sungai.
Perumusan Masalah Bagaimanakah perkembangan gonad jantan dan betina ikan senggaringan, berapa nilai indeks anatomis (IGS dan IHS), berapakah nilai fekunditas dan ukuran telur ikan senggaringan, berapakah nilai rasio kelamin dan bagaimana keadaan habitat.
Tujuan Penelitian Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui strategi reproduktif ikan senggaringan di habitat alaminya melalui pendekatan pengamatan: perkembangan gonad jantan dan betina, fekunditas serta ukuran telur, nilai IGS dan IHS, rasio kelamin, keadaan habitat ikan senggaringan dewasa.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sungai Klawing Kab. Purbalingga dan Sungai Serayu Kab. Banyumas. Pengambilan sampel dilakukan 9 kali selama 3 bulan (AgustusOktober 2003). Waktu pengambilan sampel pagi, siang, sore, malam hari.
Penentuan stasiun Pengamatan dan pengambilan sampel difokuskan pada 6 stasiun ( 4 di Sungai Klawing dan 2 di Sungai Serayu) hal ini untuk memudahkan dalam mendapatkan sampel berdasarkan pengamatan terdahulu oleh Sulistyo dan Setijanto (2002).
Pengambilan Sampel Jumlah sampel yang diambil 20 % dari hasil tangkapan (jantan dan betina). Tetapi bila hasil tidak mencapai 10 ekor maka seluruhnya diambil sebagai sampel.
70
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Perlakuan Sampel Setiap individu ikan sampel diukur (± 0,1 cm) dan ditimbang ( ± 0,01g) in situ. Selanjutnya, gonad, hati, dimasukkan dalam botol sampel. Botol-botol disimpan dalam ice box dengan diberi es curah untuk dibawa ke laboratorium PSPK Unsoed. Di laboratorium, organ-organ dalam botol sampel ditimbang (± 0,001 g). Khusus untuk gonad (jantan dan betina), sebelum dikeringkan, diambil sebagian untuk disimpan dalam larutan Bouin Hollande dan kemudian dibuat preparat histologi. Pembuatan preparat histologi dilakukan di laboratorium BPPV Wates Yogjakarta. Gonad betina juga sebagian disimpan dalam larutan Gilson menurut cara yang dipakai oleh Love dan Johnson (1998) untuk menghitung fekunditas dan mengukur diameter telur.
Pengumpulan data Untuk mengenali strategi reproduktif ikan senggaringan di sungai diperlukan data sebagai berikut: 1. Pengamatan gametogenesis Pengamatan gametogenesis betina dilakukan dengan menganalisis preparat histologi gonad betina untuk mengetahui perkembangannya dengan berpedoman pada klasifikasi yang disusun oleh Rinchard dan Kestemont (1996). Pengamatan gametogenesis jantan dilakukan dengan menganalisis preparat histologi gonad jantan untuk mengetahui perkembangannya dengan merujuk pada klasifikasi yang disusun oleh Sulistyo et al., (2000). Ukuran telur diperoleh dengan mengukur diameter telur menggunakan micrometer occuler (± 0,01 mm) terhadap minimal 100 butir telur dari satu individu. 2. Fekunditas atau jumlah telur Fekunditas atau jumlah telur mutlak dihitung dengan menggunakan rumus (Cerda et al., 1994). TF =
Wgox ∑ S Ws
TF = Fekunditas mutlak Wgo= berat gonad ∑S= jumlah telur sebagian Ws= berat telur sebagian 71
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
RF =
TF W1
RF= fekunditas relatif W1= berat individu ikan sampel
3.
Indeks anatomis jantan dan betina, yang terdiri atas: • indeks gonadosomatik (IGS= berat gonad/Wx100%) dan • indeks hepatosomatik (IHS=berat hati/Wx100%).
4.
Analisis proksimat pada organ-organ: gonad, hati,
5.
Ukuran morfologis: panjang (L) dan berat tubuh (W) untuk individu jantan dan betina
6.
Pengamatan habitat ikan senggaringan dewasa
Analisis data Analisis data dilakukan secara deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran Ikan dan Rasio Kelamin Ikan senggaringan betina yang tertangkap memiliki berat kisaran antara 58,57 sampai 100,01 g (panjang total antara 19,75 – 23,50 cm). Pada ikan jantan, berat ratarata individu berkisar antara 54,23 - 43,70 g (panjang total 18,00 - 19,73 cm), yang lebih kecil dibandingkan ikan betina. Ukuran berat, tampaknya, sebanding dengan ukuran panjang. Rasio kelamin pada penghujan 0,9, pada musim kemarau 0,6.
Indeks Morfo-anatomis Perkembangan ovarium ikan senggaringan, diamati dengan IGS ( Gambar 1), terutama mulai terlihat menjelang musim hujan (sampel mulai tanggal 3 September 2006; IGS 9,33 ± 1,67%). Meskipun terlihat relatif stabil sampai tanggal 28 September 2006 (IGS 10,86 ± 2,44%), IGS mencapai 14,72 ± 3,17% pada tanggal 20 Oktober 2006. Faktor hujan dapat dikatakan memegang peran penting dalam memicu perkembangan ovarium. Seperti yang dilaporkan Sulistyo dan Setijanto (2002), ditambah dengan keterangan nelayan di sungai Klawing, bahwa ikan ini memijah pada saat musim penghujan. Paiva dan Nepomuceno (1998) juga melaporkan puncak musim
72
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pemijahan selama musim hujan pada ikan oscar Astronotus ocellatus yang hidup di sungai Amazone. Aktifitas hati yang dicerminkan dalam nilai fluktuatif dari IHS ( Gambar 1), terlihat harus mengikuti perkembangan ovarium. Hal ini terutama tampak nyata pada ikan betina yang tertangkap tanggal 28-29 September dan 1 Oktober 2006. Pada musim kemarau nilai IGS dan IHS lebih kecil
dengan nilai yang
didapatkan pada musim penghujan, namun tren nilai IGS dan IHS sama yaitu IGS lebih tinggi dibanding IHS.
3,00
2,40 12,00 1,80
1,20 6,00 0,60
IGS (%) 0,00 30 Ag ust
IndeksH epatosom atik(% )
IndeksG onadosom atik(% )
18,00
IHS (%) 0,00
09 Se p
19 Se p
29 Se p
09 Okt
19 Okt
Tanggal Pengambilan Sampel
Gambar 1. Indeks gonado- dan hepatosomatik rata-rata (± sd) individu ikan senggaringan betina tertangkap dari sungai Klawing pada musim penghujan . 1,20
IHS (%)
2,70 0,80
1,80
0,40 0,90
0,00 02 Se p
12 Se p
22 Se p
02 Okt
12 Okt
IndeksHepatosom atik(% )
IndeksG onadosom atik(% )
IGS (%)
0,00 22 Okt
Tanggal Pengambilan Sampel
Gambar 2. Indeks gonado- dan hepatosomatik rata-rata (± sd) individu ikan senggaringan jantan tertangkap dari sungai Klawing pada musim penghujan
73
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 3. Nilai rata-rata IGS ikan senggaringan jantan dan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau
IHS (%)
Rata-rata IHS Jantan dan Betina 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 20 Mei
3 Juni
16 Juni
30 Juni
Tanggal Sampling IHS Jantan
IHS betina
Gambar 4. Nilai rata-rata IHS ikan senggaringan jantan dan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau.
Berfluktuasinya
nilai
IHS,
bersamaan
dengan
perkembangan
gonad,
menunjukkan fungsi hati dalam aktifitas reproduktif ikan-ikan Teleostei. Peran hati dalam sintesis bahan-bahan yang akan dideposisikan dalam gonad telah banyak dibahas pada beberapa spesies ikan, misalnya pada Perca fluviatilis betina (Sulistyo et al, 1998), P. fluviatilis jantan (Sulistyo et al, 2000), dan walleye Stizostediuon vitreum (Henderson
et al, 1996).
74
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Fekunditas Fekunditas mutlak ikan senggaringan pada musim penghujan ini berkisar antara 10005,00 – 39.621 butir (Tabel 1). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sulistyo dan Setijanto (2002). Ukuran telur (Ø) menunjukkan bahwa pada musim penghujani ukuran telur meningkat anatara 200 – 275,4 µm (Tabel 1). Tetapi, saat memasuki musim kemarau, ukuran telur
menurun yaitu 107 – 228,2 µm.
Proporsi ukuran 200 µm semakin
bertambah pada bulan Oktober 2006, dan ukuran > 200 µm semakin banyak juga dijumpai dalam ovarium. Sebaliknya, pada tanggal tersebut, ukuran 50-100 µm proporsinya berkurang. Hal ini sejalan dengan tingkat perkembangan ovarium (IGS) dan perubahan oosit secara histologis. Semakin besar ukuran telur, semakin lanjut tingkat perkembangan oosit. Diameter oosit pada ikan sungai lain, misalnya P. fluviatilis, dapat mencapai 750-800 µm jika telah mencapai tingkat perkembangan
sangat lanjut (Migaud et al, 2002). Pada ikan laut, Sardinella mderensis, dapat mencapai 650 µm (Sulistyo, 1990). Tabel 1. Fekunditas dan diameter telur (µm) ikan senggaringan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim hujan
Tanggal sampling 2 September 2006 9 September 2006 22 September 2006 2 Oktober 2006 12 oktober 2006 22 oktober 2006
Jumlah ikan 7 4 6 6 9 8
Fekunditas 14.578-16.652 36.480-37.220 12.151-21.370 10.005-34.410 12.151-21.370 19.671-39.621
Diameter telur (µm) 243,6-274,2 200,0-258,9 210,4-272,5 207,9-223,1 210,4-275,4 204,8-263,1
Tabel 2. Fekunditas dan diameter telur (µm) ikan senggaringan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap di Sungai Klawing musim kemarau
Tanggal sampling 20 Mei 2006 3 Juni 2006 16 Juni 2006 31 Juni 2006
Jumlah ikan 3 2 4 3
Fekunditas 9.978-22.654 16.480-23.220 9.675-21.370 19.875-22.410
Diameter telur (µm) 143,6-218,2 107,0-213,9 180,4-228,2 197,8-226,2
75
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambaran Histologis (Gametogenesis) Secara umum gambaran histologis ovarium ikan senggaringan menunjukkan keberadaan berbagai tingkatan perkembangan oosit. Hal ini sesuai dengan penjelasan Hunter et al (1985) bahwa pada ikan-ikan yang memiliki tipe peneluran heterokronus (multiple, batch spawners) di dalam ovariumnya dapat dijumpai berbagai tingkatan perkembangan oosit tanpa ada dominansi.
VG O og V E nd 1
Gambar 5. Potongan histologis ovarium ikan senggaringan Mystus nigriceps, tertangkap tanggal 22 September 2006 musim penghujan. Oog: oogonium; VEnd1: fase vitellogenesis endogen awal; VG: vesikel germinal (fase vitellogenesis eksogen awal). spg spd spc2
spc1 spz
Gambar 6. Potongan histologis testis ikan senggaringan Mystus nigriceps, tertangkap tanggal 22 September 2006. spg: spermatogonium; spc1: spermatosit primer; spc2: spermatosit sekunder; spd: spermatid; spz: spermatozo
76
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sp
Spc
Spg
Spz
Gambar 7. Histologis gonad ikan senggaringan jantan (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap tanggal 16 Juni 2006 musim kemarau (40x100). Keterangan : Spz : Spermatozoa, Spd : Spermatid, Spc : Spermatocyst, Spg : Spermatogonia
Vex Oog Vend1 Vend2 Gambar 8. Histologis gonad ikan senggaringan betina (Mystus nigriceps C.V) yang tertangkap tanggal 16 Juni 2006 musim kemarau (40x100). Keterangan : Oog : Oogonium, Vend1 : Vitelogenesis endogen awal, Vend2 : Vitelogenesis endogen akhir, Vex : Vitelogenesis eksogen
Dari Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa fase oogonium, vitellogenesis endogen awal dan vitellogenesis eksogen akhir berada dalam ovarium ikan senggaring tertangkap tanggal 22 September 2006. Pada tanggal tersebut, proporsi diameter 50-100 µm mencapai 60%, dengan tingkat perkembangan sampai pada fase vitellogenesis eksogen awal. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa untuk dapat mencapai fase vitellogenesis akhir dan pematangan final (yang ditandai dengan migrasi vesikel germinal ke arah peripheri) masih dimungkinkan terjadi penambahan ukuran diameter oosit. Pada ikan jantan, Gambar 6, testis telah berisi sel-sel spermatozoid yang cukup berlimpah, pada individu yang tertangkap tanggal 22 September 2006. Meskipun sel-sel 77
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
spermatogonium, spermatosit (primer dan sekunder), dan spermatid juga ada di dalam testis, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ikan yang tertangkap tidak berada pada kematangan seksual pertama kali. Scott dan Sumpter (1989) menjelaskan bahwa keberadaan berbagai tingkatan perkembangan sel spermatogenesis merupakan indikasi adanya sel-sel spermatozoid yang telah terbentuk sejak lama, tidak pada kematangan seksual pertama.
KESIMPULAN Ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan selama masa penelitian. Rasio kelamin, fekunditas, ukuran telur, IGS serta IHS pada musim penghujan lebih tinggai dibanding musim kemarau. Perkembangan ovarium dan testis secara nyata terlihat saat
musim hujan. Gonadogenesis, yang juga berupa gametogenesis,
mengakibatkan perubahan nilai indeks hepatosomatik. Oogenesis yang dapat diamati hanya mencapai vitellogenesis eksogen awal. Proporsi ukuran oosit berubah sesuai dengan tingkat perkembangan oosit. Semua tingkatan spermatogenesis dapat diamati dalam testis. Kualitas air sungai selama penelitian masih layak untuk kehidupan ikan senggaringan. Dari pengamatan histologi, estimasi waktu pemijahan dan frekuensinya belum memungkinkan untuk dilakukan. Hal yang dapat dijadikan indikator adalah bahwa IGS masih dapat meningkat lagi dan tidak dijumpainya oosit pada tahap kematangan akhir. SARAN Perubahan nilai indeks Gonadosomatik dan hepatosomatik perlu dikaji lebih lanjut dalam konteks analisis rinci dari kandungan bahan-bahan pada organ gonag dan hati. Untuk dapat memprediksi waktu pemijahan secara lebih teliti perlu dilakukan sampling di fase akhir oogenesis. DAFTAR PUSTAKA Baroiller, J. F. dan H. D’Cotta. 2001. Environment and sex determination in farmed fish. Comparative Biochemistry and Physiology Part C. 130: 399-409.
78
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Basuki, F., W. M. Nalley, R. Handarini, S. N. Tambing dan A. Parakkasi. 2002. Produktivitas ikan guppy (Poecilia reticulata Peters) pada berbagai level protein pakan. Aquaculture Indonesia. 2(2): 77-83. Duncan, J. R. dan J. L. Lockwood. 2001. Extinction in a field of bullets: a search for causes in the decline of the world’s freshwater fishes. Biological Conservation. 102: 97-105. Gisbert, E., P. Williot dan F. Castelló-Orvay. 2000. Influence of egg size on growth and survival of early stages of Siberian sturgeon (Acipenser baeri) under small scale hatchery conditions. Aquaculture. 183: 83–94. Gunasekera, R. M. dan S. S. De Silva. 2000. The amino acid profiles of estuary perch, Macquaria colonorum, during early development at different salinities. Aquatic Living Resources. 13: 153−162. Henderson A., Wong J. L., Nepszy S. J. 1996. Reproduction of walleye in Lake Erie: allocation of energy. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 53:127-133. Hunter J. R., Lo N. C. H., Leong R. J. H. 1985. Batch fecundity in multiple spawning fishes. In: Lasker R. (ed.). An egg production method for estimating spawning biomass of pelagis fish: Application to the nothern anchovy, Engraulis mordax. NOAA Technical Report NMFS. 36: 79-94. Migaud H., Fontaine P., Sulistyo I., Kestemont P., Gardeur J-N. 2002. Induction of outof-season spawning in Eurasian perch Perca fluviatilis: effects of rates of cooling and chilling durations on female gametogenesis and spawning. Aquaculture. 205: 253-267. Rinchard, J. Dan P. Kestemont. 1996. Comparative study of reproductive biology in single- and multiple-spawner cyprinid fish: I. Morphologicaland histological features. Journal of Fish Biology. 49: 883-894. Setijanto, E. Aryani, dan E. Proklamasiwati. 1999. Distribusi altitudinal ikan sungai: suatu informasi dasar penggunaannya sebagai bioindikator kualitas air dan usaha budidaya. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi, Unsoed. Sulistyo I. 1990. Ovogenèse et modalité de ponte chez la sardinelle Sardinella maderensis et le carangue medaille Chloroscombrus chrysurus des Côtes de Guinée. Mémoire du DEA. Université de Bretagne Occidentale, Brest, France. Sulistyo I., Fontaine P., Rinchard J., Gardeur J-N., Migaud H., Capdeville B., Kestemont P. 2000. Reproductive cycle and plasma levels of steroids in male Eurasian perch Perca fluviatilis. Aquat. Living Resour. 13 (2): 99-106. Sulistyo, I. dan Setijanto. 2002. Bioekologi ikan senggaringan (Mystus nigriceps): Acuan dasar domestikasi dan budidaya. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Biologi, Unsoed. Sulistyo, I., P. Fontaine, J. Rinchard, J-N. Gardeur, H. Migaud, B. Capdeville dan P. Kestemont. 1998. Reproductive cycle and plasma levels of sexe steroids in male Eurasian perch Perca fluviatilis. Aquatic Living Resources. 13(2): 99-106. Xie, X., T. Long., Y. Zhang dan Z. Cao. 1998. Rproductive investment in the Silurus meridionalis. Journal ofFish Biology. 53: 259-271.
79
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENGARUH CURAH HUJAN DAN TINGGI MUKA AIR TERHADAP KELIMPAHAN DAN WAKTU PEMIJAHAN IKAN RAINBOW SELEBENSIS (Telmatherina celebensis) DAN BONTI-BONTI (Paratherina striata) DI DANAU TOWUTI Syahroma Husni Nasution* ABSTRAK Ikan Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) dan Bonti-bonti (Paratherina striata) termasuk ikan endemik dan statusnya tergolong rawan punah (vulnerable species). Populasi ikan ini dikhawatirkan mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab penurunan populasi ikan adalah perubahan kualitas lingkungan akibat perubahan iklim global. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan tersebut agar dapat berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh curah hujan dan tinggi muka air terhadap kelimpahan dan waktu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti. Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti dari bulan Maret 2002 hingga April 2003 untuk ikan Rainbow selebensis, sedangkan untuk ikan Bonti-bonti dari bulan Mei 2006 hingga April 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif (sampling). Data curah hujan dan tinggi muka air diperoleh dari PT.INCO. Contoh ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan empat ukuran mata jaring. Hasil tangkapan dipisahkan menurut ukuran dan jenis kelamin. Dihitung jumlah dan ukuran ikan per penarikan alat tangkap untuk mengetahui kelimpahan ikan. Dilihat tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad ikan. Kelimpahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti tertinggi dijumpai pada bulan November. Parameter lingkungan yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan yaitu curah hujan, tinggi muka air dan kelarutan oksigen. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis jantan berkisar 0,46-0,81% dan betina adalah 1,87-2,65 % dan puncak pemijahan ikan ini terjadi pada bulan November. Nilai IKG tertinggi pada ikan Bonti-bonti jantan dan betina terjadi pada bulan Mei dan November masing-masing sebesar 2,09±1,36% dan 1,85±1,06%; 3,39±1,47% dan 3,47±1,37%. Puncak pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti terjadi pada saat tinggi muka air mulai meningkat setelah mencapai titik terendah. Peningkatan tinggi muka air akibat curah hujan di bulan November diduga memicu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti. Kata kunci: Curah hujan, tinggi muka air, kelimpahan, waktu pemijahan, ikan endemik, Danau Towuti ABSTRACT Rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) and Bonti-bonti (Paratherina striata) are endemic fishes and the status are vulnerable species. Its population tend to decrease. One factor cause of decreasing of fish population is environmental quality change impact from global climate change. Continuation of this fish require to be sustain. This research was aimed to reveal the influence of rainfall and water level to abundance and spawning season of Rainbow selebensis and Bonti-bonti. This research was conducted in Lake Towuti from March 2002 to April 2003 for Rainbow selebensis, while for BontiBonti from May 2006 to April 2007. Research method is descriptive (sampling). Rainfall and water level data obtained from INCO corporation. Samples were collected using experimental gillnet with four mesh sizes. The samples from each observation station were selected according to sex and size. Counted amount of fish and fish size per hauling to know fish abundance. Gonada maturity stages and gonada somatic index of fish were determined temporally. The highest abundance of Rainbow selebensis and Bonti-bonti occurred in November. Environmental parameters which have relationship with fish abundance were rainfall, water level and disolved oxygen. GSI value of male Rainbow selebensis were 0.46-0.81% and female were 1.87-2.65% and peak spawning season of fish occurred in November. The highest GSI of male Bonti-Bonti occurred in May and November were 2.09±1.36% and 1.85±1.06%; and female were 3.39±1.47% and 3.47±1.37%. The peak spawning season of Rainbow selebensis and Bontibonti occurred while water level started to increase after reached the lowest level. Increasing of water level due to rainfall in November and it estimated trigger Rainbow selebensis and Bonti-bonti to spawn. Key words : Rainfall, water level, abundance, spawning season, endemic fish, Lake Towuti. *
Pusat Penelitian Limnologi LIPI E-mail:
[email protected]
80
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Ikan
Rainbow
selebensis
(Telmatherina
(Paratherina striata) termasuk jenis ikan
celebensis)
dan
Bonti-bonti
endemik dan statusnya tergolong rawan
punah (vulnerable species) (IUCN, 2003 dan Froese and Pauly, 2004). Permasalahan yang dihadapi ikan endemik seperti
Rainbow selebensis dan
Bonti-bonti yaitu dikhawatirkan populasinya di alam akan mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab penurunan populasi ikan adalah perubahan kualitas lingkungan akibat perubahan iklim global. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan tersebut agar dapat lestari. Beberapa informasi mengenai ikan Bonti-bonti terbatas mengenai sistematika (Weber and De Beauford,
1922;
dan Kottelat et al., 1993) dan distribusinya
(Wirjoatmodjo et al., 2003). Penelitian yang telah dilakukan pada ikan Rainbow selebensis di Danau Towuti antara lain mengenai distribusi, morfologi, pertumbuhan, reproduksi dan kualitas perairan danau tersebut (Nasution dan Sulistiono, 2003; Nasution, 2004; Nasution et al., 2004; Indiarto dan Nasution, 2004; Nasution, 2005; Nasution et al., 2007a dan b; dan Nasution, 2007). Furkon (2003) juga telah meneliti kebiasaan makanan ikan Rainbow selebensis. Pengkajian pengaruh curah hujan dan tinggi muka air terhadap kelimpahan dan waktu pemijahan ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti perlu dilakukan. Hal ini untuk mendapatkan informasi dasar sebagai pendukung usaha konservasi ikan tersebut agar tetap berkelanjutan di perairan Danau Towuti.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti Sulawesi Selatan. Danau Towuti mempunyai luas 560 km2, kedalaman maksimum 203 m, ketinggian dari permukaan laut 293 m, dan transparansi sedalam 22 m (Fernando dalam Haffner et al., 2001). Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2002 hingga April 2003 untuk ikan Rainbow selebensis dan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 untuk ikan Bonti-bonti. Waktu penelitian mewakili musim kemarau, hujan dan peralihan.
81
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan di lima stasiun yaitu: Stasiun I : Tanjung Bakara, terletak di daerah yang terdapat pengaruh aktivitas penggergajian kayu dan kegiatan penduduk yang tinggi dalam bidang perikanan, kedalaman air 1,5 - 10 m. Substrat terdiri dari batu, pasir dan lumpur. Koordinat : S 02o 40’47,1”; E 121o 25’04,0”. Stasiun II : Inlet D. Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga, kedalaman air 1 - 20 m. Substrat terdiri dari batu, kerikil dan pasir serta jauh dari tempat tinggal penduduk. Koordinat : S 02o 39’43,4”; E 121o 32’46,0”. Stasiun III : Pulau Loeha, terletak di tengah danau dan tidak dihuni oleh
penduduk, kedalaman air >10 m. Substrat terdiri dari batu, kerikil dan
pasir. Koordinat : S 02o 44’33,9”; E 121o 34’44,6”. Stasiun IV : Outlet D. Towuti (Sungai Hola-hola) yang mengalir ke Sungai Larona, kedalaman air 3-10 m. Substrat terdiri dari batu dan lumpur, terdapat tanaman air serta jauh dari tempat tinggal penduduk. Koordinat : S 02o 47’35,1”; E 121o 24’21,1”. Stasiun V: Beau, terletak di daerah dengan pengaruh aktivitas penduduk yang tinggi dalam bidang perikanan , kedalaman air 1,5 - 5 m. Substrat terdiri dari lumpur berpasir dan banyak terdapat tanaman air. Koordinat : S 02o 51’23,2”; E 121o 32’46,6” (Gambar 1).
S. Tominanga
S. Larona
Keterangan: I-V = stasiun pengamatan Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Danau Towuti Peta landsat 21 Mei 2004 (Hehanussa, 2006) dengan modifikasi
82
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Contoh ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan empat ukuran mata jaring, yaitu: ⅝, ¾, 1, dan 1¼ inci dengan panjang masing-masing 50 m dan tinggi 2 m sehingga total panjang jaring satu unit adalah 200 m. Jaring dilengkapi pelampung pada bagian atas dan pemberat pada bagian bawah. Contoh ikan hasil tangkapan (Gambar 2) dari masing-masing stasiun pengamatan dipisahkan menurut ukuran dan jenis kelamin. Contoh ikan diawetkan dengan formalin 4% selanjutnya direndam dalam alkohol 70%. Sampel ikan diukur panjang dan bobotnya masing-masing menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 1 mm dan timbangan dengan ketelitian 0,01 gram. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), konduktivitas, dan pH diukur menggunakan
water quality checker (WQC) Horiba. Parameter
alkalinitas dianalisis menggunakan titrasi asam basa (APHA-AWWA-WEF 1998). Data curah hujan dan tinggi muka air berupa data sekunder yang diperoleh dari PT.INCO. Alat pengukur tinggi muka air dapat dilihat pada Gambar 3.
A
B
Gambar 2. Ikan Rainbow selebensis (A) dan ikan Bonti-bonti (B) Foto: Nasution
Gambar 3. Alat pengukur tinggi muka air di Danau Towuti .Foto: Nasution
83
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Diameter telur diketahui dengan cara mengambil sebanyak ng 100 butir telur dengan jumlah individu ikan sekurang-kurangnya 30 ekor dari total hasil tangkapan tiap periode pengambilan sampel. Diameter telur diamati menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Fekunditas dihitung sebagai jumlah telur yang terdapat dalam ovari pada ikan yang telah mencapai matang gonad. Telur diambil dari ikan betina dengan mengangkat seluruh gonadnya. Telur diawetkan dalam larutan gilson, kemudian dihitung jumlahnya dengan metode gravimetrik (Effendie 1979). Kelimpahan ikan,
dianalisis secara non parametrik menggunakan Mann-
Whitney Test pada paket software Minitab 13 dan Steel and Torrie (1981). Nilai IKG ikan antar stasiun/habitat dan antar waktu/musim, dianalisis secara non parametrik menggunakan Mann-Whitney Test (Steel & Torrie 1981). Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kelimpahan ikan, dianalisis menggunakan analisis multivariat (Principle Component Analysis/PCA) pada paket software SPSS 11.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan Ikan Pada Gambar 4 tampak terdapat dua puncak kelimpahan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti. Puncak-puncak tersebut disebabkan kedua jenis ikan bersifat multiple spawner (Nasution, 2005 dan Nasution et al. 2007a). Telur ikan tidak matang serentak
sehingga tidak semua telur dikeluarkan saat pemijahan (total spawner).
Namun
demikian kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada bulan Nopember baik pada Rainbow selebensis maupun Bonti-bonti. Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada saat curah hujan meningkat dan tinggi muka air juga mulai meningkat pada bulan Nopember. Curah hujan meningkat tampak lebih jelas apabila diperhatikan pada pola grafik (Gambar 4). Curah hujan terendah di Danau Towuti terjadi pada bulan September yang mengakibatkan tinggi permukaan danau terus berkurang.
Penurunan ketinggian air
mengakibatkan areal habitat ikan berkurang akibat penyusutan ketinggian air, sedangkan pada bulan Nopember curah hujan mulai meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan April.
Habitat ikan yang semula mengalami kekeringan mulai
terendam kembali dan populasi ikan Rainbow selebensis dan Bonti-bonti meningkat di 84
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
bulan Nopember. Keberhasilan ikan untuk bertahan pada bulan selanjutnya sangat ditentukan oleh kemampuan rekrut (R) yang dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (G), dikurangi kematian alami (M) dan kematian karena penangkapan (F). Kemampuan rekrut yang tinggi terjadi pada saat musim pemijahan, sedangkan diluar musim pemijahan kemampuan rekrut berkurang.
A
B
Gambar 4. Grafik hubungan antara kelimpahan (N), tinggi muka air dan curah hujan pada ikan Rainbow selebensis (A) dan Bonti-bonti (B)
Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan antar waktu adalah adanya perubahan curah hujan akibat perubahan musim. Perubahan curah hujan akan mempengaruhi tinggi muka air dan kualitas air danau yang pada akhirnya mempengaruhi ikan secara langsung (pertumbuhan dan reproduksi) maupun tidak langsung (ketersediaan makanan dan predasi) (Welcomme, 2001). Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Ikan Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan yang dianalisis secara multivariat dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah kumulatif varian yang dijelaskan oleh dua komponen (1 dan 2) adalah sebesar 100%. Komponen 1 menjelaskan varian sebesar 98% dan komponen 2 sebesar 2%. Berdasarkan kumulatif varian tersebut, analisis PCA cukup diwakilkan oleh dua komponen. Pada Gambar 5 tampak faktor yang berpengaruh terhadap komponen 1 adalah kelimpahan ikan (1,00), oksigen terlarut/DO (0,76), dan tinggi muka air (-0,61). Faktor
85
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
yang berpengaruh terhadap komponen 2 adalah alkalinitas (0,97), curah hujan (0,67), dan konduktivitas (0,60). Namun demikian kumulatif varian yang dijelaskan oleh komponen 1 sangat tinggi (98%) dibandingkan dengan komponen 2 (2%), maka faktor dominan yang berpengaruh adalah kelimpahan ikan, DO, dan tinggi muka air. Pada Gambar 5, faktor lingkungan yang berkorelasi erat dengan kelimpahan ikan adalah DO dan tinggi muka air.
alkalinitas
kelimpahan ikan
tinggi muka air
Curah hujan
Gambar 5. Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan yang dianalisis secara multivariat
Jika diperhatikan komponen pertama, maka faktor yang berkolerasi erat adalah kelimpahan ikan, oksigen terlarut dan tinggi muka air. Sedangkan faktor lainnya (suhu, pH, alkalinitas, konduktivitas dan curah hujan) memiliki korelasi yang rendah terhadap komponen pertama. Hal ini menyatakan bahwa antara kelimpahan ikan dengan oksigen terlarut dan tinggi muka air terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa kelimpahan ikan lebih dipengaruhi oleh oksigen terlarut dan tinggi muka air dibandingkan dengan faktor yang lain. Faktor curah hujan memiliki keeratan yang rendah terhadap komponen pertama. Hal ini disebabkan oleh nilai ratarata curah hujan harian yang sangat fluktuatif. Namun demikian tinggi muka air danau
86
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sangat dipengaruhi oleh curah hujan (Gambar 4). Oleh karena itu tinggi muka air harus dianggap sebagai satu kesatuan dengan (fungsi dari) curah hujan. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Nilai IKG bergantung dari ukuran ikan dan tingkat perkembangan gonad. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis jantan dan betina berfluktuasi sepanjang masa pengamatan yaitu 0,46–0,81% dan 1,87-2,65% (Gambar 6).
Fluktuasi nilai IKG
menunjukkan adanya aktifitas reproduksi ikan, paling sedikit terdapat tiga puncak IKG ikan jantan dan empat puncak kurva IKG betina. Dari keempat puncak kurva IKG betina yang merupakan puncak perkembangan gonadnya, hanya dua puncak yang sesuai dengan puncak kurva ikan jantan yaitu terjadi pada bulan Nopember dan Februari. Sedangkan dua puncak kurva yang lain berlawanan dimana IKG ikan jantan berada tidak dalam puncak (menurun).
Berdasarkan pola kurva IKG tersebut, besar
kemungkinan puncak pemijahan terjadi pada bulan Nopember dan Februari (terjadi saat
IKG (%)
musim hujan).
Waktu pengamatan
Waktu pengamatan
Gambar 6. Nilai IKG ikan Rainbow selebensis di Danau Towuti, M2: Maret, M2: Mei, J2: Juli, S2:September, O2: Oktober, N2: Nopember, D2: Desember 2002, F3: Februari, dan A3: April 2003
Adanya beberapa puncak kurva IKG menunjukkan bahwa ikan Rainbow selebensis tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari sekali dalam setahun. Menurut Bagenal (1978) bahwa ikan betina yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20%, dapat melakukan pemijahan beberapa kali disetiap tahunnya. Dalam penelitian ini nilai IKG Rainbow selebensis sekitar 3%. Jenis ikan ini memiliki keragaman ukuran telur yang tinggi. Keragaman telur ini dimungkinkan karena ada sebagian telur ikan
87
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
yang telah dilepaskan dan telur sisa merupakan telur yang belum matang. Berdasarkan tipe ovarium menurut Nagahama (1983), ikan Rainbow selebensis ini termasuk tipe asinkroni/metakrom,
dimana
ovarium
memiliki
oosit
pada
semua
tingkat
perkembangannya. Nilai IKG ikan Bonti-bonti tertinggi secara temporal yaitu dua kali setahun. Pada ikan jantan IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei dan November (2,09±1,36% dan 1,85±1,06%), sedangkan pada ikan betina IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei, Juni, dan November (3,39±1,47; 3,66±0,57%; dan 3,47±1,37%) (Gambar 7).
N=593
IKG (%)
N=522
ikan Waktu pengamatan
Waktu pengamatan
Gambar 7. Nilai IKG Ikan Bonti-bonti Jantan dan Betina
Nilai IKG ikan Bonti-bonti jantan memiliki nilai tertinggi di bulan Mei dan November. Uji Mann-Whitney menunjukan bahwa nilai IKG tersebut berbeda nyata (α=0,0007). Rendahnya nilai IKG ikan jantan di bulan November dibandingkan bulan Mei disebabkan ukuran ikan didominasi oleh ikan kecil (76% berukuran 3,80-9,00 cm dan 24% berukuran 9,01-19,78 cm; N=240 ekor). Demikian juga nilai IKG ikan Bontibonti betina memiliki nilai tertinggi di bulan Mei, Juni, dan November. Berdasarkan uji Mann-Whitney antara bulan Mei dan Juni menunjukkan bahwa nilai IKG tersebut tidak berbeda nyata (α=0,6170), sedangkan antara bulan Juni dan November menunjukkan perbedaan yang nyata (α=0,0547). Berdasarkan nilai IKG tiap bulan diduga bulan Mei dan November merupakan musim pemijahan ikan Bonti-bonti di Danau Towuti. Adanya beberapa nilai IKG tertinggi (bulan Mei dan November pada ikan jantan dan betina), menunjukkan bahwa ikan Bonti-bonti jantan dan betina tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari
88
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sekali dalam setahun.
Bagenal (1978) menyatakan bahwa jenis ikan seperti ini
biasanya memiliki variasi jumlah telur (fekunditas) yang tinggi. Dalam penelitian ini nilai IKG ikan Bonti-bonti adalah 0,01-6,77% dengan fekunditas berkisar antara 818 hingga 6.051 butir (rata-rata 3.154 ±1.318 butir). Fluktuasi ukuran diameter telur rata-rata ikan Bonti-bonti berdasarkan dapat dilihat pada Gambar 8. Ukuran diameter telur rata-rata tertinggi terjadi pada bulan November, sedangkan terrendah terjadi pada bulan Juli. Peningkatan ukuran diameter telur dari bulan Agustus hingga November mengindikasikan adanya peningkatan pertumbuhan reproduktif dan mencapai puncaknya pada bulan November. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai IKG pada Gambar 7, nilai IKG cenderung meningkat dari bulan Agustus hingga mencapai puncaknya pada bulan November. Peningkatan nilai IKG disebabkan oleh adanya peningkatan ukuran diameter telur. N= 522
Gambar 8. Ukuran Rata-Rata Diameter Telur Ikan Bonti-Bonti Matang Gonad
KESIMPULAN • Kelimpahan ikan
tertinggi terjadi pada bulan Nopember baik pada Rainbow
selebensis maupun Bonti-bonti. Kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada saat curah hujan meningkat dan tinggi muka air juga mulai meningkat pada bulan Nopember. • Parameter lingkungan yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan yaitu
curah hujan, tinggi muka air dan kelarutan oksigen. • Puncak pemijahan ikan Rainbow selebensis terjadi pada bulan Nopember dan ikan
Bonti-bonti pada bulan Mei dan Nopember.
89
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA APHA-AWWA-WEF 1998. Standard Method For the Examination of the Water and Waste Water. 17th Edition. APA-AWWA-WPCF: 1100 pp. Bagenal, T.B. 1978. Aspecs of fish fecundity. Ecology of freshwater fish production. Blackwell Scientific Publications. Oxford. p 77-101. Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Cetakan I. Bogor. 112 hal. Haffner, G.D., P.E. Hehanussa, and D.I. Hartoto. 2001. The Biology and Physical Processes of Large Lakes of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. In M. Munawar and R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of The World (GLOW): Foodweb, health, and integrity. Netherlands. p. 183-192. Hehanussa, P. 2006. Land-inland water interactions of the Malili Lakes, their characteristics and antropogenic effects. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in BogorIndonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p 1-4. IUCN. 2003. 2003 IUCN Redlist of threatened species. www.redlist.org. Download on July 6, 2004. Froese, R. and D. Pauly. 2004. Fish base. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org. Download on July 6, 2004. Furkon, A. 2003. Kebiasaan makanan ikan bonti (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Indiarto, Y. dan S.H. Nasution. 2004. Makrofita air Ottelia mesenterium dalam kaitannya dengan kelimpahan ikan Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti. LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia. XI(2):45-49. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan S.Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. 293 p. Nagahama, Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. In W.S. Hoar, D.J. Randal, and E.M. Donaldson (eds.). Fish physiology, IX A: 223-276. Academic Press, New York. Nasution, S.H. dan Sulistiono. 2003. Kematangan Gonad Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (JIPPI), Jilid 10 (2):71-77 Nasution, SH. 2004. Conservation of endemic fish Telmatherina celebensis in Lake Towuti, South Celebes. Proceedings of The International Workshop on Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. BogorIndonesia, December 8-9, 2004. 35-42.
90
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, G.S. Haryani. 2004. Variasi Morfologi Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(2):13-18. Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan, 11(2):29-37. Nasution, S.H. 2007. Growth and Condition Factor of Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) in Lake Towuti, South Celebes. Indonesian Fisheries Research Journal, 13(2):117-123. Nasution, S.H., Sulistiono, D. Soedharma, I. Muschsin, dan S. Wirjoatmodjo. 2007a. Kajian Aspek Reproduksi Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata)di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Biologi Indonesia, IV(4):225-238. Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, dan G.S. Haryani. 2007b. Distribusi spasial dan temporal ikan endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 13(2):95-104. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedure of Statistic. Second Edition. Mic Graw Hill Book Company, Inc New York. 748 p. Weber, M. and De Beaufort. 1922. The Fishes of the Indo Australian Archipelago. Vol.IV. EJ. Brill, Leiden. 235 p. Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries, Ecology, and Management. Fishing News Books, A Division of Blackwell Science Ltd, London. 358 p. Wirjoatmodjo, S., Sulistiono, M.F. Rahardjo, I.S. Suwelo dan R.K. Hadiyati. 2003. Ecological distribution of endemic fish species in Lakes Poso and Malili Complex, Sulawesi Island. Funded by Asean Regional Centre for Biodiversity Conservation and the European Comission. 30 p.
91
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
EVALUASI KESESUAIAN HABITAT GRASS CARP (Ctenopharyngodon idella) UNTUK PENGENDALIAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) DI DANAU LIMBOTO Andri Warsa* , Krismono** dan Lismining Pujiyani Astuti** ABSTRAK Danau Limboto terletak di Propinsi Gorontalo dengan luas 2500 ha pada ketinggian 25 m diatas permukaan laut. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian habitat ikan grasscarp (Ctenopharyngodon idella) untuk pengendalian eceng gondok (Eichornia crassipes) di Danau Limboto ditinjau dari aspek kualitas air dan ketersediaan pakan alami. Penelitian dilakukan pada bulan Februari, April dan Juli 2007 dengan menggunakan metode survey berstrata. Berdasarkan beberapa parameter kualitas perairan dan ketersediaan pakan alami pakan alami di Danau Limboto grascarp dapat di introduksi, namum introduksi ikan ini juga harus mempertimbangkan mengenai interaksinya dengan (1) beberapa jenis ikan predator yaitu Glossogobius giuris, Ophiocara porocephala, Channa striata yang mungkin menjadi pemangsa dan (2) ikan herbivora yaitu Barbonymus goneonotus, Trichogaster pectoralis yang mungkin dapat berkompetisi dalam pakan. Kata Kunci : Habitat, Introduksi, Grascarp dan Danau Limboto
ABSTRACT Lake Limboto located at Gorontalo Provincy with area about 2500 ha and elevation about 25 m above sea level. Aim of writing this paper know habitat suitability of grass carp (Ctenopharyngodon idella) for water hyacinth (Eichornia crassipes) controlling at Lake Limboto based on water quality and availability of natural feeding. Research was done on February, April and July 2007 by survey stratified methode. Based on some parameter of water quality and availability of natural feeding of grass carp at Lake Limboto could be introduced but must consider interaction between grasscarp and (1) predator fish as Glossogobius giuris, Ophiocara porocephala, Channa striata can be prey and (2) herbivore fish as Barbonymus goneonotus, Trichogaster pectoralis can be happen competition of feeding. Key words: habitat, introduction, grasscarp, Lake Limboto
PENDAHULUAN Danau Limboto yang secara administratif terletak di propinsi gorontalo dengan luas 2500 ha dan terletak pada ketinggian 25 m diatas permukaan laut. Danau ini merupakan muara dari sungai Rintenga, Alopohu, Marisa, Meluopo, Biyonga, bulola, Talubongo dan sungai sungai kecil di sisi selatan seperti Olimayonga, Ilopopala, Huntu, Hulakiki, Langgilo dengan outlet sungai Topodu (Legowo, 2007). Saat ini telah mengalami
penurunan
kualitas
perairan
yang
mengkhawatirkan
pendangkalan, penyusutan luas dan populasi tumbuhan air yang tinggi.
* **
92
Staf Peneliti pada Loka Riset Pemacuan stok ikan Jatiluhur Peneliti pada Loka Riset Pemacuan stok ikan Jatiluhur e-mail:
[email protected]
antara
lain
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 1. Ikan Grasscarp
Grasscarp mempunyai warna abu – abu gelap pada badan bagian atas dengan
badan berwarna putih cerah dan sedikit warna keemasan pada tubuh bagian samping. Sirip berwarna coklat- abu –abu. Grascarp adalah kelompok terbesar dari family Cyprinidae dan masuk dalam genus Ctenopharygodon. Spesies ikan ini terdapat didaerah sub tropis hingga temperat dan merupakan dan merupakan spesies asli di badan air danau dan sungai besar di Rusia dan China. Grascarp diintroduksi secara besar – besaran di Amerika Utara, Tengah dan Selatan, kepulauan pasifik selatan, Eropa Skandinavia dan Afrika. Introduksi grass carp ini bertujuan untuk mengendalikan tumbuhan air pengganggu secara biologi pada suatu badan air misalnya danau (Bonar et al, 2002). Ikan ini dapat mencapai berat 30 – 50 kg dengan panjang 1 m (Shiremen and
Smith, 1983). Sama seperti spesies ikan lainnya, pertumbuhan ikan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, ukuran dan faktor – faktor abiotik seperti kepadatan, nutrisi, temperatur dan konsentrasi oksigen terlarut. Introduksi ikan ini kesuatu badan air akan berpengaruh pada makrofita akuatik, kualitas air dan biota air lainya termasuk plankton, makroinvertebrata, benthos. Besarnya pengaruh introduksi tersebut tergantung dari kepadatan stok, kelimpahan tanaman air dan komunitas ikan yang tedapat dibadan air tersebut (Cudmore and Mandrak, 2004). Dampak yang ditimbulkan oleh penurunan populasi tumbuhan air adalah meningkatnya total alkalinitas, total fosfor dan klorofil a dan penurunan kecerahan (Canfiield et al, 1983).
Tujuan intoduksi utama adalah pengendalian
kelimpahan dan keragaman tumbuhan air namum kendala yang dihadapi adalah mempertahankan ikan ini dalam jumlah yang efektif untuk pengedalian tumbuhan air yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kematian dan migrasi grascarp serta peruaban iklim dan kondisi limnologi (Cassani et al, 2008).
93
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesesuain habitat untuk ikan grass carp di Danau Limboto untuk pengendalian populasi eceng gondok (Eichornia crassipes) ditinjau dari aspek kualitas air dan ketersediaan pakan alami.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Danau Limboto pada bulan Februari, April dan Juli 2007. Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan ” kemmerer water sampler” dengan volume 5 l. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik yaitu
darah inlet, aoutlet, daerah bebas dan daerah budidaya pada kedalaman 0,5; 1; 2 m dan dasar perairan dengan metode berstrata (Nielsen and Johnson, 1985).
Sampel air
dianalisa di Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur berdasarkan APHA, 2005. Beberapa Parameter kualitas air dan metode/alat yang digunakan untuk analisa disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Beberapa Parameter Kualitas Air dan Metode Analisa / alat
Parameter Suhu air Oksigen Terlarut pH Alkalinitas Nitrit Nitrat Orthofosfat
Satuan o C Mg/l Unit Mg/l Mg/l Mg/l mg/l
Metode / Alat Termometer Oksigenmeter YSI 55 pH indikator Titrasi HCl Spektrofotometerα – Naftilamin Spektrofotometer, Brucine Sulfat Spektrofotometer, Amonium Molibdat
Sampel plankton diperoleh dengan menyaring sampel air menggunakan plankton net dengan mesh size 25 µm dan diberi pengawet lugol. Plankton dianalisa menggunakan microskop dengan metode lucky drop microtransect counting chamber dan di identifikasi berdasarkan Needham & Needham (1963), N = nx
a v 1 x x A vc V
Keterangan : N n a v A vc V
94
= = = = = = =
jumlah total fitoplankton (sel/l) jumlah rataan individu per lapang pandang 2 luas gelas penutup (mm ) volume air terkonsentrasi (ml) 2 luas satu lapang pandang (mm ) volume air di bawah gelas penutup (ml) volume air yang disaring (l)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Pengambilan sampel benthos menggunakan Eikman Dredge dengan luasan 30 x 30 cm. Sample yang didapat kemudian disaring menggunakan saringan benthos dan di identifikasi berdasarkan Pennak (1953) dan Edmonson (1959 )
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk introduksi suatu spesies ikan pada statu badan air perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain kesesuaian habitat yang dapat ditinjau dari kualitas perairan, ketersediaan pakan alami dan kompetisi dengan ikan yang sudah ada di badan air tersebut pertumbuhan ikan koan dapat mencapai lebih 29 g/hari pada kondisi habitat yang sesuai naum pertumbuahnnya akan terhenti pada kondisimlingkungan yang buruk atau pada habiat yang tidak terdapat pakan alaminya. Oleh karena itu untuk introduksi grascarp di Danau Limboto perlu mempertimbangkan aspek - aspek tersebut.
Kualitas Air Kualitas suatu habitat dapat ditentukan dari berbagai indikator salah satunya adalah kualitas air (Welcome, 2001). Beberapa parameter kunci kualitas air untuk kehidupan ikan antara lain konsentrasi oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH, Alkalinitas dan sulfida (Effendi, 2001). Beberapa parameter kualitas air di Danau Limboto di sajikan pada tabel 2. Tabel 2. kisaran beberapa parameter kualitas air Parameter Suhu air Oksigen Terlarut pH Alkalinitas Nitrit Nitrat Orthofosfat
Satuan o C Mg/l Unit Mg/l Mg/l Mg/l mg/l
Kisaran (rataan) 26,8 – 32,9 (30) 2,18 – 9,84 (5,05) 7 – 8 (7,5) 71,14 – 252 (129) 0,001 – 0,2 (0,05) 0,034 – 2,926 (0,768) 0,071 – 0,457 (0,2)
Suhu air di Danau Limboto berkisar 26,8 – 32,9 oC dengan rata – rata 30 oC. Kemampuan makan ikan grascarp akan optimal pada suhu minimal 20oC. Suhu air yang mencapai lebih dari 38 oC akan menyebabkan kematian pada ikan grascarp dewasa (Fedorenko and Fraser, 1978) dan untuk anakan ikan berkisar pada suhu 33 41 oC sedangkan untuk fingerling ikan grass carp berkisar 35 – 36 oC (Chilton and
95
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Muoneke, 1992) dan ikan ini mempunyai kemampuan toleransi terhadap perubahan suhu yang cepat yaitu 4 – 22 oC dalam waktu 2 – 3 jam (Shiremen and Smith, 1983). Tinggi muka air dan temperatur air mempunyai peran yang penting dalam merangsang pemijahan. Dibeberapa lokasi misalnya di China temperatur air yang dibutuhkan untuk merangsang pemijahan berkisar 20 – 30 oC (Chilton and Muoneke, 1992) dan temperatur untuk pemijahan adalah diatas 27 oC (Crossmen et al, 1987). Telur ikan grascarp mampu bertahan pada suhu dibawah 18 oC dan membutuhkan suhu 21 – 26 o
C untuk inkubasi (Fedorenko and Fraser, 1978). Peningkatan suhu akan mempercepat
metabolisme dan kelarutan gas diperairan misalnya oksigen sehingga dikhawirkan tidak mampu untuk memnuhi kebutuhan organisme akuatik untuk respirasi dan metabolisme (Efendi, 2003). Konsentrasi oksigen terlarut di Danau Limboto berkisar 2,18 – 9,84 mg/l dengan rata – rata adalah 5,05 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah pada umunya terdapat didasar perairan. Ikan grasscarp akan megalami stress pada konsentrasi oksigen terlarut di bawah 3 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut antara 0,2 – 0,3 mg/l adalah konsentrasi letal bagi ikan ini sedangkan fingerling dapat beradaptasi pada konsentrasi oksigen terlarut pada kisaran 2,8 mg/l (Shiremen and Smith, 1983). Fingerling grascarp mempunyai kemampuan adaptasi adaptasi yang lebih baik pada
konsentrasi oksigen rendah dibandingkan dengan ikan dewasa (Chilton and Muoneke, 1992). Kemampuan makan ikan ini akan menurun hingga 40 % pada konsentrasi oksigen terlarut < 4 mg/l. Fingerling ikan grascarp mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dengan
kisaran pH 5 – 9 unit (Shiremen and Smith, 1983). Danau Limboto memiliki pH berkisar 7 – 8 unit sehingga mendukung kehidupan grascarp dan biota air lainya. pH netral dibadan air ini kemungkinan dikarenakan Danau Limboto memiliki nilai alcalinitas yang cukup tinggi sehingga mampu menetralkan zat – zat yang bersifat asam atau basa yang masuk kedalam perairan sehingga pH tidak berubah drastis. umumnya ikan dan biota air lainnya
Pada
lebih menyukai perairan dengan pH dengan
kisaran 7 – 8,5. Pada pH 6,0 – 6.5 akan menyebabkan penurunan keragaman benthos dan plankton meskipun total biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan (Efendi, 2003). pH suatu badan air akan mempengaruhi toksisitas ammona (Wright and
96
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
anderson, 2001) karena pada pH tinggi (alkalis) akan banyak ditemukan senyawa ammonia tak terionisasi (Efendi, 2003). Total alkalinitas di Danau Limboto berkisar 71,4 – 252 mg/l dengan rata – rata 129 mg/l. Tinnginya daya mengikat asam atau total alklinitas di danau ini kemungkinan karena catchment area disekitar danau merupakan perbukitan kapur. Ikan grascarp pada ukuran fingerling mampu bertahan pada total alkalinitas
620 mg/l.
Nilai
alkalinitas yang tinggi tidak berkaitan langsung dengan kesuburan atau produktivitas perairan namun dengan meningkatnya nilai alkalinitas meningkatkan kebaeradaan fosfor dan elemen esensial lainnya (Effendi, 2003). Nitrit di Danau Limboto kemungkinan berasal dari limbah domestik dan dekomposisi bahan organik. Konsentrasi nitrit di Danau Limboto berkisar 0,001 – 0,2 mg/l dengan rata – rata 0,05 mg/l namum secara umum konsentrasi nitrit di Danau Limboto masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota air. Pada konsentrasi lebih dari 0,05 mg/l akan nitrit akan bersifat toksik bagi biota yang sensitif (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Konsentrasi nitrat di Danau Limboto berkisar 0,034 – 2,926 mg/l
dengan rata – rata adalah 0,768 mg/l dan masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan ikan ((PP No 82 Tahun 2001 dalam KLH, 2004). Nitrat merupakan sumber nutrien yang dapat digunakan oleh fitoplankton namum dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan terjadinya blooming (Effendi, 2003). Orthofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuham air secara langsung. Konsentrasi orthofosfat di Danau Limboto berkisar 0,071 – 0,457 mg/l dengan rata – rata 0,2 mg/l. Konsentrasi nutrien nitrat dan orthofosfat di Danau Limboto dapat mendukung pertumbuhan fitoplankton. Konsentrasi nitrat dan orthofosfat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton tampa menyebabkan blooming masing masing adalah 0,9 – 3,5 mg/l dan 0,09 – 1,8 mg/l (Mackentum 1969 dalam Yuliana dan Thamrim (2006). Dengan demikian diharapkan pakan alami untuk fingerling ikan grasscarp akan cukup tersedia. Keberhasilan introduksi Grass carp untuk mengendalikan pertumbuhan tanaman air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah ikan yang ditebar, struktur komunitas ikan yang ada dan ketersediaan pakan alami (Tu, 2003). Kemampuan makan grasscarp akan sangat tergatung pada umur dan ukuran ikan, temperatur, konsentrasi
oksigen terlarut dan jenis tumbuhan air yang terdapat di badan air tersebut (Rottman,
97
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
1977). Empat hari setealah memijah grascarp memakan rotifera dan protozoa dan 11 – 15 hari setelah memijah larva ikan ini akan memakan cladocera. Pada waktu 2 minggu dengan ukuran 12 – 17 cm larva ikan ini akan memakan daphnia dan larva serangga (Opuzynski and Shiremen, 1995). Pada umur 3 minggu sudah mampu untuk makan alga berfilamen dan makrofita. Pada usia 1 – 1,5 bulan juvenil ikan ini akan hanya memakan makrofita. Ikan dewasa akan memakan tumbuhan air submerged dengan daun yang lunak namum jika keberadaan tumbuhan air hanya dalam jumlah yang sedikit maka ikan ini mampu memakan benthos dan zooplankton. Berdasarkan kebiasaan pakan ikan grascarp tersebut, ketersedaiaan pakan alami ikan pada fase larva dan fingerling cukup
banyak di Danau Limboto. Kelimpahan protozoa dan rotifera masing – masing berkisar 2515 – 6707 ind/liter dengan rata – rata 4019 ind/liter dan 1006 – 8495 ind/liter dengan rata – rata 3085 ind/liter. Ketersedaiaan pakan alami untuk ikan grasscarp dengan panjang 10 – 15 mm yaitu Daphnia berkisar 1207 – 5030 ind/liter. Untuk ikan yang telah dewasa pakan adalah macrophyta salah satunya adalah eceng gondok (Eichornia Crassipes) yang merupakan pakan kesukaan dalam tingkat medium (Van Dyke et al, 1984) . Tumbuhan air yang banyak terdapat di Danau Limboto adalah eceng gondok
yang menutupi hampir 40 % dari luasan danau
(Krismono, et al, 2007).
Gambar 2. Tumbuhan Eceng Gondok (Eichornia Crassipes)
Jika ketersedaiaan pakan alami berupa macrophyta sedikit, ikan ini juga mampu untuk memakan benthos dan zooplankton. Benthos yang terdapat di Danau Limboto didominasi oleh klass gastropoda dari genera tarebia, margaritifera, pteucera, lymnea dan pomacea dengan kelimpahan berkisar 11 – 723 individu/m2 dengan rata – rata 3026 individu/m2.
98
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan untuk introduksi grass carp di Danau Limboto adalah predasi dan kompetisi dengan ikan lain yang ada di telah ada di danau tersebut. Salah satu faktor penyebab kematian ikan grascarp dialam adalah predasi oleh beberapa jenis ikan antara lain adalah snakehead. Di Danau Limboto terdapat beberapa jenis ikan predator yaitu manggabai (Gossogobius giuris), payangga (Ophiocara porocephala) dan gabus (Channa striata) dengan persentase hasil tangakan masing – masing adalah 24; 21 dan 3 % yang termasuk dalam kelompok snakehead yang dikhawatirkan akan menjadi pemangsa ikan grascarp pada ukuran kecil. Untuk mencegah predasi oleh ikan – ikan tersebut maka ukuran panjang yang dapat di introduksi adalah 30 cm (Cassani et al, 2008). Di Danau Limboto juga terdapat beberapa juga terdapat jenis ikan herbivora yaitu tawes (Barbonymus goneonotus) dan saribu (Trichogaster pectoraalis) dengan persentase hasil tangkapan masing – masing adalah 4 dan 20 % dengan adanya ikan herbivora ini dikhawatirkan akan terjadinya kompetisi pakan. Kompetisi antara ikan introduksi dengan spesies ikan yang ada pada badan air tersebut dikhawatirkan akan menjadi
suatu masalah yang cukup sulit.
Persaingan tersebut tidak hanya terjadi untuk pakan alami tetapi juga spawning, nursery, feeding dan refuge ground (Welcome, 2001). Hal ini kemungkinan akan
berdampak terhadap beberapa jenis ikan asli danau (Taylor et al, 1984 dalam Ccudmore and Mandarak, 2004). Introduksi ikan ini dapat menyebabkan penurunan ketersediaan pakan alami bagi invertebrata dan ikan lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan komposisi makrofita, fitoplankton dan struktur komunitas invertebrta serta mengubah struktur trofik dari suatu badan air (Tu, 2003). Teknik yang digunakan untuk pengendalian eceng gondok di danau ini harus tepat agar graas carp yang di gunakan untuk tujuan tersebut tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan membuat pen yang berisi tumbuhan eceng gondok dan kemudian di masukan grass carp. Dengan demikian diharapkan ikan tidak terlepas keluar ke lingkungan perairan.
99
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 3. Pen percontohan yang berisi eceng gondok dan grass carp
KESIMPULAN Berdasarkan beberapa parameter kualitas perairan seperti oksigen terlarut, pH, alkalinitas, nitrat dan nitrit serta
ketersediaan pakan alami pakan alami di Danau
Limboto yaitu plankton, tumbuhan air dan benthos ikan grascarp bisa diintroduksikan di danau tersebut. Namum juga harus dipertimbangkan interaksi dan persaingan dengan ikan lainnya yaitu manggabai (glossogobius giuris), payangga (Ophiocara porocephala) dan gabus (Channa striata) yang bersifat predator dan tawes (Barbonymus goneonotus) dan saribu (Trichogaster pectoraalis) yang bersifat herbivora.
DAFTAR PUSTAKA Bonar, S.A, B. Bolding and M Divens. 2002. Effect of Triploid grasscarp on aquatic plants, water quality, and public satisfaction In Washington State North :American Journal of Fisheries Management. American Fisheries society. United States of America. Cassani J,. S Hardin,. V Mudrak., P Zajicek and C.H Bronson. 2008. Arisk Analysis Pertaining to the Use of Triploid Grass Cdarp For The Bilogical Control of aquatic Plants. Di Akses pada tanggal 25 Juni 2006 dari http//: lkewatch.fas.ufl.edu/ Canfield D.E., Langeland K.A, Maceina M.J Halle W.T and Shireman J.V. 1983. Trophic state Classification of lake With aquatic macrophyte. Canadian Journal of fisheries and aquatic science. Chilton III,E.W and M.I Muoneke. 1992. Biology an Management of Grasscarp (Ctenopharyngodon idella, Cyprinidae) for Vegetation Control a North America Perpective. Crossman,E.J., S.J. Nepzy and P. Klause, 1987. The First Record Of Grasscarp, Ctenopharyngodon Idella in Canadian Waters. Can Field-Net.
100
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Cudmore, B and N.E Mandrak, 2004, Biologycal synopsis of Grasscarp (Ctenopharingodon idella). Canadian Manuscript report of fisheries and aquatic science. Canada Edmonson, W.T. 1959. Freshwater Biology, 2 York.
nd
Ed. John Wiley & Sonc. Inc. New
Effendi.H. 2003, Telaah Kualitas air Bagi Pengelolaan Sumbr Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Effendie, M.I. 2002. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Fedorenko AY and F.J Fraser, 1978, . Rivew of Grasscarp Biology. Interagancy Committee on Transplants and Introduction of Fish ang Aquatic Invertebrata in British columbia. British Columbia. Departement of Fish and Enviromental Fisheries and Marine Service. Technical Report. Krismono, Astri Suryandari, Amula Nurfiarini, Nanang widarmanto, Mujiyano, Lismining Pujiyani Astuti dan Yayuk Sugianti. 2007. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya perikanan Danau Limboto. Laporan Akhir. Loka riset Pemacuan Stok ikan. Tidak dipublikasikan Legowo WD,S. 2008. Pendugaan Erosi dan Sedimentasi menggunakan model Geo WEPP (studi kasus DAS Limboto, propinsi Gorontalo). Diakses dari www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknik_sumber_daya_air). Opuzky, K. and J.V Shiremen, 1995. Herbivorous Fish: culture and Use for Weed Management in coorporation With James F Weaven. Director of The United States Fish and Wildlife Services National. Fisheries Research Center. CRC Press. Boca Raton, Florida. Pennak, R.W. 1953. Fresh Water Invertebrata of The United States. The Ronald Press Company. New York. Nielsen, L.A. And D.L. Johnson.1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. Needham. J.G and P.R. Needham .1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco. Rottman. R. 1977. Management of Weedy Lake and pond with Grascarp. Fisheries. Shirenmen,J.V And C.R Smith, 1983 . Synopsis of Bilogycal data on grasscarp Ctennopharyngodon idella (Cuvier and Valenciennes, 1844) Food and Aquaculture. Tu, M. 2003. Invasive spesies Notice : Triploid Grass Carp/White Amur (Ctenopharyngodon idella). The Nature conservancy’s Wildland Van dyke J.M., A.J Leslie jr and L.E Nall, 1984, The Effect of The Grass carp on aquatic macrophyte of four Florida lakes. Journal of aquatic Plant Management. Wright P and Anderson P. 2001. Nitrogen excretion. Academic Press. United States of America.
101
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Yuliana dan Tamrin. 2006. Struktur komunitas dan kemelimpahan fitoplankton dalam kaitannya dengan parameter fisiska-kimia perairan di danau Laguna Ternate, Maluku utara. Dalam Prosiding seminar nasional limnologi 2006 : Pengelolaan sumberdaya Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Pusat penelitiab Limnologi, Jakarta.
102
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BIOLOGICAL ASPECTS OF THE ENDEMIC EELS, Anguilla borneensis, FROM LAKE SEMAJANG, MAHAKAM WATERSHED (EAST KALIMANTAN, INDONESIA) Hagi Yulia Sugeha* and Sasanti R. Suharti
Abstract In order to study biological aspects of the endemic eels from Indonesian Waters, 30 specimens of anguillid eels were collected by gill nets from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia) from January to February 2007. The specimens were successfully identified as the endemic species of Anguilla borneensis from Kalimantan Inland Waters, based on morphology and genetic analyses. The endemic species was about 320~780g (Mean ± SD; 519.17±122.26) in BW and 55~74cm (64.20±5.60) in TL, and belong to the long-finned eels with 11.11~15.87 (12.97±1.13) in ADL/%TL. Based on PCR-RFLP analyses, genetic character of the species could be detected by the appearance of double fragment DNA performed by restriction enzymes Alu I (400bp and 500bp), BbrP I (300bp and 500bp), and EcoT14 I (700bp and 600bp) and single fragment DNA performed by restriction enzymes Hha I (500bp), Mva I (700bp) and Bsp1286 I (250bp). Species adjustment was done using DNA mitochondria sequence of the 16S ribosomal RNA gene with specific primer set of the tropical anguillid eels species. Gonado Somatic Index and Eye Index of A. borneensis were about 1.8~10.3 (Mean ±SD; 3.6±2.1) and 3.8~15.9 (8.7±3.1), respectively. It is suggesting that the species were in yellow and silver eel stages when collected. However based on gonad morphology, most specimens (80%) was belong to female immature eels while remain specimen was separated into 10% female mature eels and 10% intersex eels. Positive linear relationship was detected between TL and BW of A. borneensis suggesting the species still in growth phase when collected. The study had proven that Lake Semajang as upper side of Mahakam Watershed was inhabited by the endemic eels A. borneensis. Management and conservation are require in order to keep sustain A. borneensis in the nature since the species also promoted as one ancestor of genus Anguilla in the world. Keywords: Anguilla borneensis, Lake Semajang, Mahakam Watershed, biologicalaspect, endemic eel
INTRODUCTION About 18 species and subspecies of anguillid eels has been reported to distribute around the world (Ege, 1939; Jespersen, 1942; Aoyama and Tsukamoto, 1997; Tsukamoto and Aoyama, 1998; Aoyama et al, 2001) and 9 species among them was reported to inhabit in the Indonesian Waters (Aoyama et al, 2003, 2007; Watanabe et al, 2004 and 2005; Minegishi et al, 2005; Sugeha et al, 2008). Nine species and subspecies of tropical eels were including Anguilla borneensis, A. marmorata, A. celebesensis, A. interioris, A. bicolor bicolor, A. bicolor pacifica, A. nebulosa nebulosa, A. obscura, and A. megastoma. The tropical area of Indonesian Waters reported as the center for *
Institution: Research Center for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta-INDONESIA E-mai :
[email protected] or
[email protected]
103
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
biodiversity of the anguillid eels in the world (Sugeha et al, 2008) and were inhabit by the endemic and the ancestor eels of A. borneensis (Aoyama et al, 2001). The endemic eels, A. borneensis Popta, were firstly reported as A. latirostris (Popta 1906 cited in Ege, 1939). In 1916, the species were reported as A. celebesensis by Weber & Beaufort (see Ege1939). But in 1924, Popta revised his work and renamed A. latirostris as A. borneensis. No information about sampling location of the two adult
specimens of A. borneensis identified by Popta in 1906 but her specimens were keep in the Leyden Museum and were used by Ege for his historical taxonomic study on the anguillid eels around the world (see Ege, 1939). Together with Popta’s two co-types, Ege (1939) reported the taxonomy of A. borneensis based on his observation on the one adult specimen and large number of elvers of A. borneensis collected from Muara Muntai, Sungai Belajan, and Kuala Tenggarong of Mahakam River, Central Borneo (now Kalimantan) from 1926 to 1930. According to Ege (1939) A. borneensis Popta was an anguillid eel species without variegated marking and with long dorsal fin. The author reported that the body coloration of the species was similar with A. anguilla (European eel), A. rostrata (American eel), and A. japonica (Japanese eel) with a skin type shows on the body a marked contrast between an upper dark part and a lower lighter part. Complete body proportion of A. borneensis was not reported by Popta since their adult eel specimen was very limited. However, recent study on the re-examination of taxonomy of genus Anguilla conducted by Watanabe et al (2004) reported the similarity of morphological
characters of A. borneensis from their studied with from Ege’s study. The authors also suggest that the senior synonym A. malgumora after Kaup (1856), Bauchot et al (1993), and Smith (1999) for the name of A. borneensis was in doubt so they were used the traditional name A. borneensis in the published paper. Except for the taxonomic studies conducted by Ege (1939) and Watanabe et al (2004 and 2005), there was no other biological study applied for the tropical eel of A. borneensis.
In contrast,
impact of environmental degradation, infrastructure
development, human daily activities, and climate change was gradually affecting environmental condition of the Kalimantan Inland Waters as natural growth habitat of the endemic and the ancestor eel. Based on this problem we conducted both field and
104
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
laboratory study on the anguillid eels from Kalimantan inland waters. The objective of this study was to carry out basic biological information on the endemic eels of A. borneensis from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia).
MATERIAL AND METHOD Eel specimens was collected in the Lake Semajang, (00.24157 0S; 116.65623 0
E), upper part of Mahakam Watershed, East Kalimantan, Indonesia (Figure 1).
Sampling was done in January and February 2007 using gill nets and traps. Eels that trapped in the fishing gears were kept alive in the fish container and directly landed using small boat in order to avoid specimen failed. After landed, specimens were anaesthetized with phenoxy-ethanol for external morphological observation and dissecting organs. Body weighing was done to the nearest 1gr. Body length measurements were done including total length (TL), pre-dorsal length (PDL), pre-anal length (PAL), body depth (BD), head length (HL), head width (HW), head depth (HD), inter-orbital width (IOW), and pectoral fin length (Pf-L) to the nearest 1cm. Other body part measurements such as horizontal and vertical eye diameter were measured to the nearest 0.1mm. The morphological characters of ADL/%TL (Sugeha et al, 2001; Watanabe et al, 2004) and the dentition structure (Watanabe et al, 2004) were used as first confirmation for species identification. Thereafter, specimens were dissected to pick up a piece of liver tissue for crossing check with genetic species identification using PCR-RFLP analyses (Sugeha et al, 2006 and 2008) and DNA mitochondria sequence analyses of 16S ribosomal RNA
gene (Aoyama et al, 2001, 2003 and 2007;Watanabe et al, 2005). Gonad morphology and development were observed and described based on Satoh et al (1962). After observation, gonad were removed and weighed for adjustment the GSI of the specimen. The Gonad Somatic Index (GSI) was calculated as: Gonad Somatic Index = (gonad weight/body weight)*100. The eye index (EI) was also calculated as: Eye Index = {((A+B)/4)2 *π/L}*100 (Pankhurst, 1982), where A is the horizontal eye diameter, B is the vertical eye diameter and L is the total length.
105
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
RESULT AND DISCUSSION A total of 30 specimens of freshwater eels were collected by gill nets from Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan (Indonesia) from January to February 2007, in order to study biological aspects of anguillid eels from the waters. The specimens were successfully identified as the endemic species of Anguilla borneensis from Kalimantan, based on morphology and genetic analyses. The endemic species was about 320~780g (Mean ± SD; 519.17±122.26) in BW, 55~74cm (64.20±5.60) in TL, and about 17.12~34.55 (29.85±2.93) (Table 1). The species belong to long-finned eels with 11.11~15.87 (12.97±1.13) in ADL/%TL (Figure 2). All the specimen of A. borneensis was non-spotted of skin type, blackish brown in dorsa-lateral and yellowish to silvering in ventral side coloration, with narrow maxillary of teeth-structure. Based on PCR-RFLP analyses, genetic character of the species could be detected by the appearance of double fragment DNA performed by restriction enzymes Alu I (400bp and 500bp), BbrP I (300bp and 500bp), and EcoT14 I (700bp and 600bp) and single fragment DNA performed by restriction enzymes Hha I (500bp), Mva I (700bp), and Bsp1286 I (250bp). Species adjustment was done using DNA mitochondria sequence of the 16S ribosomal RNA gene with specific primer set of the tropical anguillid eels species. Gonado Somatic Index (GSI) and Eye Index (IE) of A. borneensis were about 1.8~10.3 (Mean ±SD; 3.6±2.1) and 3.8~15.9 (8.7±3.1), respectively (Figure 3). It is suggesting that the species were in yellow and silver eel stages when collected. However based on gonad morphology, most specimens (80%) was belong to female immature eels while remain specimen was separated into 10% female mature eels and 10% intersex eels. Positive linear relationship was detected between TL and BW (Figure 4). Here in the present study, we report the existence of A. borneensis in Kalimantan Island based on morphology and genetic study. Aoyama et al (2001) was the first to report the occurrence of A. borneensis in the Kalimantan inland waters based on molecular genetics analysis and the authors proposed the species as the ancestor of genus Anguilla in the world. Further, Watanabe et al (2004 and 2005) was conducted
106
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
taxonomic study on the genus Anguilla around the world based on morphology and genetic analysis and the authors also reported the occurrence of A. borneensis in the Kalimantan inland waters. After studies by Kaup (1856), Ege (1939), Aoyama et al (2001), Watanabe et al (2004 and 2005), and the present study, it was no doubt that the species was an endemic species or just grow up in the waters of Kalimantan Island. Taxonomy study on the species by Popta (cited in Ege, 1939) and Ege (1939) was using limited number of adult specimen so difficult to carry out other important biological information such as reproductive characters. This study is the first to report basic biological information on the reproductive character of the endemic species, A. borneensis. Relatively highest in GSI and eye index of A. borneensis suggesting that the
specimens collected in the present study were in young and adult eel stages. Mostly specimens were in the growth stage or belong to immature eels but some specimen just entering maturation or reproductive stage as mature eels which soon would be initiative to migrate downstream for reach their spawning area. Jespersen (1942) is the first who proposed the spawning ground A. borneensis based on his collecting specimens of eel larvae (leptocephalus) of the endemic species in around Sulu and Sulawesi Seas. Recent study on the distribution and dispersal of tropical anguillid eel leptocephali in the Indonesian Waters (Aoyama et al, 2003; Sugeha et al, 2006) reported the occurrence of A. borneensis leptocephalus in the Sulu Sea, Sulawesi Sea, Maluku Sea, and Makassar Strait. Based on collection of relatively small A. borneensis (8.5mm in TL) in the Celebes Sea, then the species were proposed to spawn on that sea. However, the occurrence of larvae of the species in the other areas suggested that the species may have multiple spawning areas including around Makassar Strait and Sulu Sea near their growth habitat in the Kalimantan inland waters. Interestingly, Sugeha et al (2001) reported the occurrence of glass eel A. borneensis in the Poso River Estuary. Therefore, it is possible to find A. borneensis in the Maluku Sea (Aoyama et al, 2003), and the sea would be one proposed area for spawning ground of the species. In fact, it is important to review the endemic status of A. borneensis using more advance genetic study of cryptic species. Future intensive research cruise on those areas as well as continues study on the tropical eels from Poso River system were also important to do in order to proof the hypothesis.
107
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Study on the early life history of A. borneensis leptocephali based on otolith microstructure and microchemistry analyses (Kuroki et al, 2006) suggested that the species has to spawn at a variety of times throughout the year, and have to reach their maximum size of leptocephali around 50mm in TL and about 80days old. At that time the leptocephali start to metamorphosis to be glass eels while migrate inshore to reach their recruitment area in the estuary. The author also proposed that the species has a small-scale local migration from spawning area to growth area, so A. borneensis may spawn near their growth habitat. Unfortunately, no study has ever been done for the glass eel recruitment of A. borneensis that would be help answer the question about recruitment season and duration of oceanic migration of the remarkable species from spawning area to recruitment area. Some difficulties related to the widest and deepest of Mahakam River and recruitment area of Delta Mahakam that completely covered by a great mangrove forest has rising up a big problem for collecting specimens of glass eels and elvers.
In addition, environmental degradation, development of infrastructure,
water transportation, and forest fired become the next indirect problems that may cause the endemic species to be an endangered species in the future. In conclusion, the study had proven that Lake Semajang, as the upper side of Mahakam Watershed, inhabited by the endemic eels of A. borneensis. Management and conservation are required in order to keep sustain A. borneensis in the nature since the species also promoted as one ancestor of genus Anguilla in the world.
ACKNOWLEDGEMENT We wish to send our grateful to the local fisherman and local people of Kotabangun Villege, Lake Semajang, Mahakam Watershed for useful help during the field research and to the Fisheries Government of East Kalimantan Provincy for valuable support. This study was funded by a research grant from Program CompetitiveLIPI, Sub Program Census of Marine Life from 2004 to 2007 of fiscal years.
108
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
REFERENCES Aoyama J and Tsukamoto K. 1997. Naturwissenschaften, 84:17-21
Evolution
of
the
freshwater
eels.
Aoyama J, Nishida M, Tsukamoto K. 2001. Molecular phylogeny and evolution of the freshwater eel, genus Anguilla. Molecular Phylogenetics and Evolution, 20:450459 Aoyama J, Wouthuyzen S, Miller MJ, Inagaki T, Tsukamoto K. 2003. Short-distance spawning migration of tropical freshwater eels. Bio Bull, 204:104-108 Aoyama J, S Wouthuyzen, MJ Miller, Y Minegishi, M Kuroki, SR Suharti, T Kawakami, OK Sumadhiharga, K Tsukamoto. 2007. Distribution of leptocephali of the freshwater eels, genus Anguilla, in the waters off Sumatera in the Indian Ocean. Environ Bio of Fish, 80:445-452 Bauchot ML, M Desoutter, and PHJ Castle. 1993. Catalogue of type specimens of fishes in the Museum national d’Histoire naturelle, Paris. Anguilliformes and Saccopharyngiformes. Cybium 17:91-151 Ege V. 1939. A revision of the genus Anguilla Shaw. A systematic, phylogenetic and geographical study. Dana Report, 16:1-256 Jespersen P. 1942. Indo-Pasific leptocephali of the genus Anguilla. Dana Rep 22:1-128 Kaup JJ. 1856. Catalogue of apodal fish in the collection of the British Museum, London. British Museum, London. 163 p., 19 pls Kuroki M, Aoyama J, Miller MJ, Arai T, Wouthuyzen S, Tsukamoto K. 2006. Contrasting pattern of growth and migration of tropical anguillid leptocephali in the western Pacific and Indonesian Seas. Mar Ecol Prog Ser, 309:233-246 Minegishi Y, J Aoyama, JG Inoue, M Miya, M Nishida, K Tsukamoto. 2005. Molecular phylogeny and evolution of the freshwater eel genus Anguilla based on the whole mitochondrial genome sequence. Molecular Phylogenetic and Evolution, 34:134-146 Pankhurst NW. 1982. Relation of visual changes to the onset of sexual maturation in the European eel Anguilla anguilla (L.). J Fish Biol, 21:127-140 Smith DG. 1999. Anguillidae. Freshwater eels. Pages 1630-1636 in KE Carpenter and VH Niem eds. FAO species identification guide for fisheries purposes. The living marine resources of the western central Pacific, 3. Sugeha HY, Watanabe S, Arai T, Aoyama J, Limbong D, Tsukamoto K. 2001. Inshore migration of tropical glass eels (Anguilla spp) to the Poso River, Central Sulawesi Island, Indonesia. In: K. Aida, K Tsukamoto, K Yamauchi (eds). Proceedings of the International Symphosium on Advances in Eel Biology. The University of Tokyo. Pp. 122-125 Sugeha HY, Arai T, Miller MJ, Limbong D, Tsukamoto K. 2001. Inshore migration of the tropical eels Anguilla spp recruiting to the Poigar River estuary on north Sulawesi Island. Mar Ecol Prog Ser, 182:283-293 109
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sugeha HY. 2003. Life history of the tropical eel Anguilla marmorata (Quoy & Gaimard) in the Indonesian Waters. Doctoral dissertation, The University of Tokyo, Japan Sugeha HY, S. Wouthuyzen, O.K. Sumadhiharga, and Katsumi Tsukamoto. 2006. Distribution and dispersal of anguillid leptocephali in the Indonesian Throughflow and Tomini Bay revealed by morphology and genetic analysis. Proceeding on the Annual Scientific III - ISOI, UNDIP Semarang, 19-20 September 2006. Sugeha HY, Sasanti RS, Wouthuyzen S, Sumadhiharga OK. 2008. Biodiversity, Distribution, and Abundance of the Tropical Angullid Eels in the Indonesian Waters. Marine Research in Indonesia, 33(2):129-138 Satoh H, Nakamura N, and Hibiya T. 1962. Studies on the sexual maturation of the eel. Part I. On the sex differentiation and the maturing process of the gonads. Bull. Japan Soc Scient Fish, 28:579-584 Tsukamoto K, Aoyama J. 1998. Evolution of the freshwater eels of the genus Anguilla: a probable scenario. Environmental Biology of Fishes, 52:139-148 Watanabe S, J Aoyama and K Tsukamoto. 2004. Reexamination of Ege’s (1939) Use of Taxonomic Characters of the Genus Anguilla. Bull Mar Sci, 74:337-351 Watanabe S, J Aoyama, M Nishida and K Tsukamoto. 2005. A molecular genetics evaluation of the taxonomy of eels of the genus Anguilla (Pisces:Anguilliformes). Bull Mar Sci, 76(3):675-690
110
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Figure 1. Map of sampling location in the Lake Semajang, Mahakam Watershed, East Kalimantan, Indonesia Black circle indicating sampling site of the endemic eel, Anguilla borneensis.
Number of specimen
10 8
A. borneensis N = 20
6 4 2 0 8
9
10
11
12
13
14
15
16
ADL/%TL Figure 2. Distribution of ano-dorsal length in percentage of total length (ADL/%TL) of Anguilla borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)
111
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
1000 900
y = 15.14x - 453.2 R² = 0.481
800
Body Weight (gr)
700 600 500 400 300 200 100 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
Total Length (cm)
Figure 3. Relationship between total length (TL) and body weight (BW) of Anguilla borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)
Number of specimens
12
(A)
A. borneensis N = 20
10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gonado Somatic Index
Number of specimen
5
(B)
A. borneensis N = 20
4 3 2 1 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Eye Index
Figure 4. Distribution of (A) Gonad Somatic Index and (B) Eye Index of Anguilla borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (East Kalimantan, Indonesia)
112
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Table 1. Morphological characters of Anguilla borneensis collected in the Lake Semajang, Mahakam Watershed (EastKalimantan, Indonesia).
Character
BW
TL
PDL
PAL
ADL
BH
LG
HL
HW
HD
IOW
(gr)
(cm)
(cm)
(cm)
(cm)
(cm)
(mm)
(cm)
(cm)
(cm)
(mm)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Mean
514.75
64.80
19.05
27.38
8.33
4.94
28.65
8.20
4.06
4.04
18.77
Max
780.00
74.00
23.00
33.00
10.50
6.00
34.60
9.50
5.00
5.00
22.70
Min
320.00
55.00
12.50
22.00
4.50
4.00
22.70
6.50
3.00
3.00
15.40
SD
123.79
5.94
2.39
2.73
1.26
0.43
2.98
0.86
0.52
0.46
2.07
N
BW TL PDL PAL ADL BH LG HL HW HD IOW
: body weight, : total length, : pre-dorsal length, : pre-anal length, : ano-dorsal length, : body depth, : length of gape, : head length, : head width, : head depth, : inter-orbital width
113
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
FISH DIVERSITY OF UPPER PART OF SERAYU RIVER AS A BASE OF CONSERVATION W. Lestari* and Sugiharto ABSTRACT Conservation of riverine fish should be based on fish biology particularly ecology of fish. However, information on this subject was not available since most research was conducted on distribution and morphology or aquaculture. Therefore, this research was carried out to fulfill this need. Survey was conducted in 30 sites in upper part of Seraru River. Fish was collected by applying seine net combined by electro fishing during long dry season in 2007. Ninet families, constructed by 17 species of 1796 individuals were recorded. There were Cobitidae, Bagridae, Channidae, Gobiidae, Clariidae, Chichidae, Sisoridae and Cyprinidae. Seven species of Cyprinidae such as Osteochilus hasseltii, O kahajanensis, O microcephalus, Puntius javanicus, P orphoides, Rasbora agryrotaenia and R lateralis were dominant. Meanwhile, Osteochilus microcephalus with 178 individual was the commonest species and Glyptothorax platypogon with 899 individuals belong to Sisoridae occurred in all sites. Puntius javanicus with two individuals was the rare species. Population of an endemic fish of Java seems to be endangered and needed an urgent conservation. Key words: diversity, riverine fish, conservation, Serayu River
INTRODUCTION Among the diverse human impacts on rivers, there are three main threats. The first is degradation of drainage basins, especially due to deforestation. This impact causes increase in suspended sediment loads and flooding. Excessive flooding siltation changes river habitats causing species decline. Observation in the Gombak River Malaysia demonstrated the reduction of fish species due to land development. In 1969, twenty seven species were recorded, data from 1985 indicated that seven fish species have completely vanished and five years later four more species disappeared (Zakaria Ismail, 1994). The second threat is river regulation and control.
Flow regulation
changes the magnitude and extent of floodplain inundation and land water interactions. Fish breeding migrations may be disrupted because dams block migration routes and change flow regimes. The third threat is river pollution. Untreated waste is a particular problem in densely populated areas and pollution by industrial effluents is a serious problem in tropical rivers (Dudgeon, 1992). Most pollution comes from domestic,
*
Faculty Biology, University of Jenderal Soedirman. Jl. dr. Suparno No 63. Kampus,Karangwangkal. Purwokerto 53122. e-mail:
[email protected]
114
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
agricultural or industrial wastes and can be totally toxic, killing all the fish species present or selective, destroying a few sensitive species (Maitland, 1995; Kottelat and Whitten, 1996). For example, thousand tones of the freshwater fish in the floating nets in the Saguling, Cirata and Jatiluhur reservoirs (West Java) were killed by poisonous waste every year (Lehmusluoto, 1993) Based on these fenomena, the research was carried out to determine the fish diversity of Serayu River especially in upper part.
MATERIALS AND METHODS Materials Fishes and water samples were collected from upper part of Serayu River. The sampling was performed twice during dry season in March - October 2007. Sampling Methods The fish sampling was performed in 30 sites of upper part of Serayu River (Figure 2). Concerning that the efficiency of electric fishing is highest in such a condition as follows depth < 1 metre with low current, solitary and non migratory fishes with size > 30 cm (Casselman et al 1990), meanwhile the condition of the 30 sampling sites was varied, the combined seine net and electric fishing was applied mostly in this research it means that this combined method was the primary collection method (Gorman and Karr, 1978, American Public Health Association, 1989) (Figure 1.).
Figure 1. Sampling scheme for fishes. The samples were taken from 2 metres from bank river.
115
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Fishes were sampled by a combined seine net and electric fishing as determined by the environmental condition at each sampling site. In each sampling site, two types of microhabitat (riffle, pool and riffle) were differentiated. Riffle habitat is characterised by flow, shallow and stony substrate. Pool habitat by standing water or very slow current, deeper and muddy substrate (Angermeier and Karr, 1983). When distinct microhabitat types riffle and pool were present in sampling site, the pool habitats were sampled by applying 1.5 x 15 metres seine net with 0.75 cm, 1.5 cm and 3 cm mesh. The seine net was drawn through and emptied, and then fish were accounted. Riffle habitat was sampled by thoroughly disturbing the substrates down to 10 cm by kicking and using electric fishing while moving. Non stationary debris (branches, logs, etc) and rock that protrude into the water column were removed from the channel in order to facilitate seining net (Angermeier and Karr, 1983).
Figure 2. Catchment Areas of Serayu
Data Analysis. The fish composition of the Serayu River was evaluated by counting all fish captured from 30 sampling sites with 2 replications. Based the species abundance, all
116
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
species of fish was classified into abundance or rare and the results presented in histograph. RESULTS AND DISCUSSION The results of physico-chemical parameters observation was presented in Appendix 1. It seems that physic of Serayu River was varied. For instance, width and depth were gradually increased fro upper part to down part such as in site 5 (808 m asl) with 15 m in width and 40 cm in depth. These become 50 m and 200 cm in site 15 (588 m asl). Clearly, that Serayu River resembled the pattern river continuum (Payne, 1986). The chemical parameters showed that Serayu River received organic materials from surrounding areas (App 1). The average BOD value (0.2 mg/l) was recorded in site 30 and the highest COD (19.2 mg/l) was in site 17, it was due to mostly of catchment areas of Serayu River was agricultural areas and housing. Both are the main source of organic pollution (Mason, 1991). However, the pH and DO was well supported the aquatic living particularly fish. It was 7.0 -7.5 and DO more than 6.0 mg/l (Lowe-Mc Connell, 1975; Leveque, 1997; Martin-Smith, 1998).
Table 1. Fish Abundance of Upper part of Serayu River (n: 60) Family Bagriidae Channidae Clarridae Chichilidae Cobiidae Cobitidae Cyprinidae
Mastacembelidae Sisoridae
Species Mystus nigriceps Channa gachua Channa striata Clarias batrachus Oreochromis mossambicus Oreochromis niloticus Glossobius bioceliatus Nemachilus fasciatus Osteochilus hasselti Osteochilus mircocephalus Osteochilus kahajanensis Puntius javanicus Puntius orphoides Rasbora agryrotaenia Rasbora lateristriata Macrograthus aculeatus Glyptothorax platypogon
Total (individuals) 21 1 1 1 0 4 7 139 55 164 2 2 15 7 6 2 1357 1784
117
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Fish collection in Table 4 demonstrated that Cyprinidae was dominant in this part of river. The species richness was 17 species composed by 1784 individuals. Those belong to nine families. Serayu River was poorer than other rivers such as Logawa River that inhabited by 33 species (Lestari, 2004, 2005). Like other tropical rivers, Cyprinidae was the commonest fish, since this family was well adapted in many varied river conditions. Lowe-McConnell (1975) also reported that Cyprinidae commonly dominated the rivers in the whole of Southeast Asia. In Western Borneo, about onethird of all freshwater fishes belong to the family Cyprinidae (Robert, 1989) and in the Baram River in Sarawak. More over, 44 species of Cyprinidae were recorded in Java rivers (Kottelat et al., 1993). Like many other rivers, habitat complexity increases as width and depth increase may lead to increase in density, and diversity of in downstream part (Schlosser, 1990). Previous study of fish in rivers revealed variations in fish species composition along longitudinal gradients within individual rivers, portraying adaptation to habitat condition associated with upstream versus downstream variation in depth, current and
29
27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
Number os Species
substrate type (Gorman and Karr, 1978).
Sites
Figure 3. Fish Richness in each site of upper part of Serayu River
118
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
The abundance of fish also portrayed that fish community was mainly dominated by Cyprinidae, particularly Osteochilus mircocephalus with 164 individuals. However, only two individuals of Macrograthus aculeatus was captured. The most abundance site was recorded in site 27 inhabited by 204 individuals, and the poorest were sites 11 and 13 that only occupied by two individuals. Dominancy of Osteochilus mircocephalus in this river could be responsible for decreased of riverine fish such as Macrograthus aculeatus, Channa gachua and Clarias batrachus and an endemic java
fish such as Puntius javanicus. Concerning the importance of upper part as spawning ground of fish, like case of the upper stream part of Putah Creek California (Angermeier and Karr, 1983). This part provided better condition and it was apparently more favourable condition for spawning and rearing of native species. Moreover, the impact of clearance of forest and establishment of plantation changes of water quality of rivers through chemical applications to crops and directly addition of nutrient to the rivers. Clearance forest and established plantation in upper part of Kali Bedadung in East Java, were claimed as major cause of high total suspended solids (10 mg/l), total dissolved solids (90.0 mg/l), conductivity (90µS/cm) of this river (Dudgeon, 2000). Therefore, maintaining the
250 200 150 100 50
29
27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
0
1
Total Number of Individuals
natural condition of upper part of river areas becomes necessary.
Sites
Figure 4. Fish abundance in each site of upper part of Serayu River
119
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
CONCLUSION Upper part of Serayu River occupied 1796 individuals composed by 7 species belong to nine families: Cobitidae, Bagridae, Channidae, Gobiidae, Clariidae, Chichidae, Sisoridae and Cyprinidae. Maintaining the natural condition of this part becomes necessary.
ACKNOWLEDGEMENT This research is part of fundamental research which is financially supported by DP2M, DIKTI 2007. REFERENCES American Public Health Association. (1989). Standard Methods for the Examination of Waste and Waste Water. American Public Health Association. New York Angermeier, P.L and Karr, J.R. (1983) Fish communities along environmental gradients in a system of tropical streams. Environmental Biology of Fish 9:117 - 135. Casselman, J.M., Penczak, T., Carl, L., Mann, R.H.K., Holcik, J and Woitowich, W.A. (1990). An Evaluation of Fish Sampling Methodologies for Large River Systems. Polskie Arch Hydrobiologii 37(4): 512-551. Colwell, R.K. (2000). Statistical Estimation of Species Richness and Shared Species From Samples. EstimateS. University of Connecticut. USA. http://viceroy-eeb.uconn.edu/Esti diakses pada 25 Juli 2002. Dudgeon, D. (1992) Endangered ecosystems: a review of the conservation status of tropical asian rivers. Hydrobiologia 248: 167 - 191. Dudgeon, D. (1999). The Future Now: Prospects For The Conservation of Riverine Biodiversity in Asia. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 9: 497-501 Dudgeon, D. (2000). Riverine Biodiversity in Asia: a Challenge for Conservation Biology. Hydrobiologia 418: 1- 13 Gorman, O.T and Karr, J.R. (1978) Habitat structure and stream fish communities. Ecology 59(3): 507 - 515. Krebs, C.J. (1998). Ecology: the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row. New York. Kottelat; M., Whitten, A.J., Kartikasari, S.N and Wirjoatmodjo,S. (1993). Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus. Jakarta Kottelat, M and Whitten .T. (1996). Freshwater Biodiversity in Asia: with Special Reference to Fish. World Bank Technical Paper No: 343. Washingto DC
120
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Lagler, K.F., Bardach, J,E., Miller. R.R. and D.R. May Passino. (1977). Ichthyology. John Wiley and Sons. New York. Lehmusluoto, P. (1993) Limnology of Indonesia Lakes and Reservoirs: With Reference to the Saguling, Cirata and Jatiluhur Reservoirs in the Citarum River Basin. Final Project Seminar on Water Quality Management and Optimisation of the System of the Citarum River Basin, Bandung 9 - 14 Augusts 1993. Lestari,W and M.Mühlenberg. (2004) Freshwater fish of the Logawa River Central Java, Indonesia: Adapted or Threatened In: E.Kalko dan M Tschapka (Eds). Proceeding of the 17th Biodiversity and Dynamics in Tropical Ecosystem. ISSN 0944-4122 p: 181 Lestari,W.(2005). Fish Communities of Tropical River: a Case Study of the Mengaji River, Central Java, Indonesia. Sains Akuatik 7(2): 60-66 Lestari,W. (2005b). Kranji Stream: Fish Community and Organic Pollution. In: E.Yuwono dan P. Sukardi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Aquakultur Berkelanjutan. ISBN 929-9995-0-2 p: 89-94. Leveque, C. (1997). Biodiversity Dynamic and Conservation. The Freshwater Fish of Tropical Africa. Cambridge University Press. Cambridge Lowe-Mc Connell, R.H. (1975). Fish Communities in Tropical Freshwaters: Their Distribution, Ecology and Evolution. Longman, London Martin-Smith, K.M. (1998). Relationships Between Fishes And Habitat In Rainforest Stream In Sabah, Malaysia. Journal of Fish Biology 52: 458 – 482 Mason, C.F. (1991). Biology of Freshwater Pollution. Second Edition.Longman Group United Kingdom Ltd, Harlow, England Payne, A.I. (1986). The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons, Chichester Roberts, T.R. (1989) The freshwater fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). Mem. California.Acadamic. Science 14: 1 - 210. Schlosser, I.J. (1990) Environmental variation, life istory attributes and community structure in stream fishes: implication for environmental management and assessment. Environment Management 14: 621 - 628. Zakaria Ismail, M. (1994) Zoogeography and biodiversity of the freshwater fishes of Southeast Asia. Hydrobiologia 285: 41 - 48.
121
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Appendix 1. Physico-chemical parameters of 30 sites in upper part of Serayu River
Site
Width (m)
Depth (cm)
Current (m/sec)
Intencity (m)
Air Temperature (oC)
Water Temperature (oC)
pH
DO (mg/l)
BOD (mg/l)
1
10 _ 20
50
1.0
50
21-22
21-22
7,00
8,8-9,8
2,2-2,6
2
20 _ 25
55
1.3
55
21 -23
22-23
7,40
8,6-9,8
3
20 _ 30
55
0.8
55
23 -27
23-24
7,30
8,8-11,8
3,44-4,97
4
20 _ 35
35
0.7
35
23 -25
25-26
7,00
9,2-10,0
1,8-5,0 1,542,60 0,97-3,2
5
15 _ 20
50
1.1
50
22- 24
23-24
7,30
10,0
0,97-2,6
4,35-4,68
6
40 _ 50
35_50
0.7
50
22 -24
23-25
7,50
7,8-10,4
2,6-3,26
2,61-6,14
7
15 _ 20
40_55
1.1
55
21- 26
23-25
7,40
8,2-9,0
1,54-7,6
8
15 _ 25
55
2.0
55
21-22
23-25
7,40
7,8-9,0
1,2-1,83
9
20 _ 25
50 _90
1.2
75
21 -24
23-24
7,50
8,2-9,0
1,83-4,6
10
15 _ 30
40_80
1.0
55
21-22
23-25
7,50
6,8-10,4
1,0-2,11
11
30
70
0.7
45
22-23
23
7,00
8,8-10,0
1,0-2,0
2,3-4,97 4,9724,35 2,93-6,38 3,516,67 6.67-7,90
12
30
40_65
1.0
65
21-26
23-24
7,00
8,6-10,8
1,2-1,4
13
25
55_60
1.2
45
21-28
23
7- 7.5
8,4-10,6
2,4-8,4
14
30
30
1.1
30
24-30
26
6.8 -7
2,0-4,2
15
50
> 200
0.6
50
27-28
23-26
6.8 -7
8,2-10,2 10,410,6
7,9-10,99 8,6212,37 1,37-8,62
1,8-6,0
2,75-9,34
16
25
50_60
0.8
60
26-27
24-26
7,00
8,2-9,4
0,6-5,4
17
25
45_80
0.5
50
24
24-25
7,00
8,0-10,4
1,8-2,6
18
20_25
50_60
0.8
60
24-27
25
7,00
6,2-9,4
1,4-2,4
19
30
60
0.9
60
22–24
25
7,00
7,4-10,0
2,0-2,6
20
20
40_80
1.1
65
23
25-26
7,00
8,8-10,0
1,2-3,6
21
30
6.90
1.4
1.4
24-27
24-27
7,00
8,8-10,4
2,2-3,6
4,1214,36 9,3419,23 14,3616,49 7,9014,08 8,5910,41 4,82-5,84
22
25
54.90
0.2
0.2
26-32
25
7-7,5
0,4-1,4
3,91-5,16
23
50
87.90
0.1
0.1
26-32
26
7,00
0,5-1,8
3,91-5,59
24
30
64.50
0.2
0.2
26-31
24-28
7,00
0,9-1,8
4,51-6,03
25
25
73.73
0.1
0.1
26–31
24-28
7,00
0,2- 0,4
3,61-7,74
26
30
72.30
0.1
0.1
25-29
25-27
7,00
2-3,2
5,16-6,32
27
25_30
13.58
0.7
0.7
27–31
25-28
7- 7,5
7,8-9,8 10,0 10,4 10,010,2 10,010,4 10,010,2 8,2-10,2
0,2-0,4
28
50
9.01
1.1
1.1
27
26
6,8 - 7,00
9,4-10,6
4,21-5,16 6,45 6,92
29
40
9.55
1.0
1.0
27-31
26 - 29
7,00
30
50
5.07
1.9
1.9
25 – 27
26 -30
7,00
122
10,010,2 10,010,2
0,7-2,0
COD (mg/l) 3,774,68 4,1-4,93
2,0-6,44
1,4-3,2
3,87-6,92
0,9-1,4
3,87-6,32
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PROSPEK KANAL PERIFITON SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN PERAIRAN DARAT: Potensi Perifiton Sebagai Bioindikator, Bioproduk, dan Biotik Uptake di Perairan Nofdianto* ABSTRAK Salah satu dampak krisis global yang melanda planet bumi dewasa ini adalah terjadinya degradasi ekologis pada sektor perairan darat. Terutama di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia pengelolaan sumberdaya perairan umumnya masih bersifat darurat dan tidak memperhatikan aspek perlindungan dan pelestarian. Didukung oleh faktor geografis, pengembangan model pengelolaan perairan darat berbasiskan “Kanal Perifiton” memiliki prospek terutama sebagai bio-indikator, bioproduk, dan biotik- Uptake. Beberapa studi secara terpisah telah dilakukan terhadap tiga prospektif tersebut, antara lain studi pemodelan produksi net yang mengukur laju fotosintesis-respirasi dan dikembangkan sebagai bio-indikator di perairan lotik di Laboratorium SEVAB Universitas Paul Sabatier Toulouse Perancis. Net produksi bervariasi secara nyata berdasarkan waktu dan tempat terutama dengan ketersediaan cahaya, arus, nutrien, dan tingkat polusi. Produksi massal dan laju biotik-uptake dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton” di Puslit Limnilogi-LIPI, Cibinong, menunjukan hasil yang sangat prospektif. Kanal mampu memproduksi hingga 986 kg berat kering perifiton jenis Stigeoclonium sp per hektar substrat atau rata-rata produksi mencapai 808.2 kg per hektar per minggu. Fungsi bio-sorption atau bio-uptake oleh perifiton yang diukur pada kanal mampu menurunkan konsentrasi N,P hingga 94 persen terutama pada fase pertumbuhan eksponensial. Kata Kunci : Kanal Perifiton, Perairan Darat, Bio-indikator, Bio-uptake, Bio-produc
ABSTRACT One impact of the global crisis on the world is a degradation of the water ecology. In particular in developing countries such as Indonesia, the water resource management is still conducted temporally and without concerned to environmental protection. As a tropical country, Indonesia has a potential in development of water resources management based pheriphyton communities, such as bio-indicators, bio-products, and biotic-up take. The studies were done in some regions shown that net production of periphyton community fluctuated in place and time. Mass culture and bio-uptake of periphyton were conducted by using a “Canal Periphyton” model in Limnology–LIPI laboratory, Cibinong. The canal can produce dry weigh of biomass up to 986 kg or the average production about 808.2 kg per hectare per week. The study of bio-sorption or bio up take of periphyton was also conducted by using “Canal Periphyton” model, and the result has shown that substrate periphyton able to reduce nitrogen and phosphorus concentration up to 94 % in the water. Key words: Canal Periphyton, Bio-indicators, Bio-product, Bio-Up take, Net production
PENDAHULUAN Pemanfaatan, perlindungan, dan pelestarian merupakan kunci kesinambungan ekosistem dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk perairan. Salah satu dampak krisis global yang melanda planet bumi dewasa ini adalah terjadinya degradasi ekologis
*
Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong Email :
[email protected]
123
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pada sektor perairan darat. Terutama di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia pengelolaan sumberdaya perairan umumnya masih bersifat darurat dan tidak memperhatikan ketiga aspek tersebut di atas. Sementara air merupakan sumberdaya yang sangat esensial bagi kehidupan umat manusia. Ketersediaan sumberdaya air di bumi tidak merata, dinamis dari waktu ke waktu, dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Disisi lain pertumbuhan populasi manusia semakin tinggi dengan tuntutan urbanisasi dan industrialisasi yang semakin meluas berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya air. Ketimpangan antara tingkat kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya air akan mengakibatkan terjadinya krisis air. Melihat nilai strategis dari sumberdaya air, maka sistem atau model pengelolaan sumberdaya air menjadi sangat penting artinya. Termasuk berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi krisis air yang berkelanjutan. Beberapa statement dan kesepakatan telah dibuat sehubungan dengan krisis air antara lain Unesco Tahun 2003 dalam bukunya Water for people-water for life, mengungkapkan bahwa terkait dengan permasalahan pengelolaan sumberdaya air disinyalir sekitar 25.000 orang meninggal dunia per hari akibat malnutrisi dan 6000 orang lainnya, yang kebanyakan anak-anak dibawah umur 5 tahun, meninggal akibat penyakit berkaitan dengan air (water-related diseases). Pada pertemuan puncak di Rio de Janeiro pada Tahun 1992, disepakati tentang agenda 21 yang didalamnya juga memuat tentang kebijakan sumberdaya air. Pada salah satu Babnya menyatakan bahwa tujuan umum dari pengembangan kebijakan sumberdaya air adalah untuk membuat kepastian terhadap ketersediaan supply secara mencukupi dari sumberdaya air dengan kualitas yang baik dan pengelolaannya untuk seluruh populasi di muka bumi. Melakukan pengelolaan secara hidrologis, biologis dan kemia dari fungsifungsi ekosistem, adaptasi aktivitas-aktivitas manusia dalam keterbatasan kapasitas alam dan melawan vektor penyakit berkaitan dengan air (UN, 1992). Dalam United Nation Millenium Declaration (2000), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghimbau kepada negara-negara anggotanya untuk menghentikan eksploitasi sumberdaya air yang mengakibatkan ketidaktersediaan sumberdaya air yang berkelanjutan, melakukan pengembangan strategi pengelolaan sumberdaya air di tingkat regional, nasional maupun lokal menuju akses berkeadilan dan distribusi berkecukupan.
124
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Bertitik tolak pada permasalahan di atas tulisan ini mencoba mempresentasikan beberapa hasil penelitian tentang pengembangan model pengelolaan sumberdaya air berbasiskan “Kanal Perifiton” baik sebagai bioindikator, bioproduk, dan biosorption atau biouptake. Kanal Perifiton merupakan istilah baru yang digunakan untuk menjelaskan sebuah komunitas perifiton atau perifiton yang telah dikondisikan secara artifisial pada sebuah substrat di bawah permukaan air yang bergerak atau mengalir. Di alam ketersediaan perifiton terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang terdiri dari mikroalgae, bakteri, jamur, mikrofauna, detritus biotik maupun abiotik. Keberadaan perifiton ini sering menempel pada benda keras sebagai substratnya berada beberapa sentimeter di bawah permukaan air. Komunitas ini akan berkembang dengan baik apabila didukung oleh faktor lingkungan yang memadai seperti tersedianya nutrient yang cukup, arus air, dan cahaya. Peran perifiton ini diperairan lotik atau perairan mengalir belum banyak dipelajari secara intensif hingga saat ini, sementara kehadiran komunitas ini di suatu badan air tersebut merupakan faktor yang sangat penting. Dalam hal ini perifiton merupakan rantai trofik dasar sebagai produktivitas primer, dan juga sangat berperan dalam proses resirkulasi kimia dan biokimia di perairan seperti pada proses fotosintesis dalam mengikat karbon inorganik, mengasimilasi nutrien terlarut di perairan, mineralisasi komponen organik dan lain-lain. Menurut beberapa literatur seperti LangeBertalot (1979); Van Dam (1982); Schoeman & Haworth (1986); Round (1991); Cox (1991); Prygiel & Coste (1993) perifiton sudah lama digunakan sebagai bioindikator untuk menetukan kualitas air, baik sebagai indikator pada perairan yang kaya akan elemen nutritif, maupun karena tingkat sensitifitasnya terhadap ion-ion metalik atau senyawa-senyawa toksik di perairan. Bahkan perifiton juga berfungsi sebagai host dan sumber nutrisi bagi beberapa jenis mikro konsumer seperti meiofauna dan invertebrata herbivor di perairan. Beberapa hasil studi melaporkan bahwa mikroalga benthik atau perifiton ternyata sangat potensial mereduksi nutrien terutama N dan P dari perairan (Wilde & Benemann, 1993; Wilde et al.1991; Weissman et al. 1998). Komunitas perifiton mampu mereduksi dan mengasimilasi senyawa N dan P di perairan, seperti dilaporkan Walter &
125
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Dodds (2003) bahwa perifiton mempengaruhi removal P dalam badan air mengalir atau tenang dan memiliki kemampuan mereduksi P melalui uptake dan deposisi, penyaringan P partikulat dari badan air dan menurunkan aliran yang mempengaruhi penurunan transport advective P partikulat dan terlarut dari sedimen. Lebih jauh fotosintesis perifiton secara lokal mampu meningkatkan pH dan dapat meningkatkan overflow kalsium fosfat, deposisi secara simultan karbonat fosfat komplek dan memperpanjang siklus P. Disamping itu perifiton yang berfotosintesis secara aktif dapat menyebabkan konsentrasi oksigen di permukaan sedimen mencapai titik jenuh yang mendorong deposisi metal fosfat. Contoh lain Kristina & Alison (2002) dengan kemampuan mengontrol ketersediaan derifat nutrien di sedimen perifiton mampu mengendalikan dan menekan pertumbuhan gulma laut makro alga di pantai barat Swedia. Sementara beberapa hasil studi lainnya juga melaporkan bahwa komunitas perifiton bahkan mampu menurunkan konsentrasi logam berat diperairan melalui filament dan proses-proses fisiologis yang dihasilkannya. Dengan potensi yang dimiliki oleh komunitas perifiton tersebut serta faktor alam yang juga mendukung penulis ingin mencoba membahas lebih jauh kemampuan dan sumberdaya perifiton ini dalam kaitannya dengan pengelolaan perairan khususnya perairan darat. Kali ini studi yang berhubungan dengan prospek “Kanal Perifiton” sebagai bioindikator, bioproduk, dan biouptake menjadi bahasan utama dalam tulisan ini.
METODOLOGI Beberapa studi telah dilakukan secara terpisah terhadap tiga prospektif perifiton. Studi pemodelan produksi net yang mengukur laju
fotosintesis-respirasi telah
dikembangkan sebagai bioindikator di perairan lotik di Laboratorium SEVAB Universitas Paul Sabatier Toulouse Perancis. Teknologi produksi massal dan penghitungan laju biotik uptake dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton” di Puslit Limnilogi-LIPI, Cibinong. Pemodelan produksi net dari komunitas perifiton pada site Pinsaguel dan Gagnac sungai Garonne di Toulouse Perancis dilakukan dengan menggunakan “Model
126
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
P3B” yang dikembangkan oleh (Nofdianto dan Dauta, 2004). Model ini merupakan penggabungan antara data base lapangan dengan pengukuran secara infitro di laboratorium. Penentuan laju fotosintesis dan respirasi digunakan parameter KI, Pmax, dan respirasi yang diukur secara laboratori yang diekspresikan pada persamaan berikut:
P = Pmax * I *(1+ Ki)-1 P = produksi fotosintetik (fosintesis) yang bisa diekspresikan sebagai nilai produksi primer kotor (GPP) atau nilai produksi primer bersih (NPP).
Pmax = produksi
maksimal pada saat intensitas cahaya dititik jenuh, I = intensitas cahaya saat pengukuran, Ki = nilai konstanta pada titik paroh jenuh cahaya. Persamaan ini dihubungkan dengan nilai fotosintesis sesaat pada masing-masing fluktuasi intensitas cahaya harian selama 12 jam (Nofdianto, 2005). Teknologi produksi massal dan penghitungan laju biotik uptake dilakukan pada sebuah prototipe ”Kanal Perifiton”.
MPB Photo-bioreactor
Gambar 1. Sketsa “Kanal Perifiton” dilihat dari sisi depan dan atas.
Kanal perifiton ini dibuat dengan konstruksi beton dengan ukuran panjang total 7 meter, lebar total 2,5 meter dan tinggi/kedalaman 0,5 meter. Kanal menyerupai doubel U yang menghubungkan dua buah bak reservoir dengan volume total sekitar 1000 liter.
127
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Untuk menciptakan arus, kanal dilengkapi dengan dua buah submersible pump yang berkapsitas sekitar 3000 liter per jam, pompa ini bekerja masing-masing selama 12 jam per hari yang dikontrol dengan menggunakan timer. Kanal perifiton juga dilengkapi dengan pengontrol batas permukaan air automatik menggunakan water level ball dan tangki air fibre 500 liter. Instrumen ini berfungsi sebagai pengontrol volume air media dalam kanal terhadap proses evaporasi sekitar 10 hingga 15 liter per hari. Untuk mengurangi pengaruh radiasi UV dan masuknya air hujan kanal ditutup dengan atap flaxy exel warna putif susu pada ketinggian sekitar 80 centimeter dari permukaan kanal. Akumulasi perifiton dilakukan dengan pengambilan biang berasal dari perairan mengalir dilokasi percobaan, dikoleksi sesuai metoda standar dan dengan menggunakan sebuah kontainer yang dilengkapi pengontrol suhu perifiton segera dibawa ke laboratorium,
untuk
selanjutnya
diinkubasikan
pada
fotobioreaktor
dengan
menggunakan media air tanah yang diperkaya dengan 0.115 NH4Cl mg.l-1, 0.022 mg KH2PO4 mg.l-1, 0.018 mg O3Na2Si, 5H2O mg.l-1) dan trace element dengan pH akhir diset sekitar 7. Mengukur laju biotik uptake perifiton dilakukan dengan penambahan konsentrasi nutrien pada media tumbuh. Pengukuran konsentrasi nutrien dilakukan setelah 4 jam untuk menetapkan konsentrasi awal. Selanjutnya pengambilan sampel dan pengukuran konsentrasi nutrien (TN, NO3, TP, PO4) dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari dan dilakukan selama 5 minggu. Biomassa perifiton ditentukan setiap minggu dengan mengukur berat kering dalam bentuk DW, AFDW, dan Klorofil a sesuai dengan cara kerja metoda standar untuk perifiton.
HASIL DAN DISKUSI Fluktuasi gross primary production (GPP) dan net primary production (NPP) diukur pada sesi melintang atau cross section stasiun Gagnac dan Pinsaguel yang dimodelkan selama periode siang hari dimusim panas dengan menggunakan “P3B model” (Gambar 2.). Berdasarkan sebaran grafik yang diperoleh terlihat bahwa nilai NPP positif hanya terdapat pada sebagian cross section saja terutama pada saat intensitas cahaya tinggi. Pada stasiun Gagnac untuk sektor 2 hingga 7 dengan
128
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
kedalaman 0.9 sampai 1.2 meter, oksigen balansnya selalu negatif, sebagai konsekuensinya untuk sektor ini nilai NPP per harinya tidak pernah mencapai angka positif. Gagnac GP NP
900 600 300 0 -300 1
3
5
7
9
11
12.00 08.00 1200 07.00
12.00 08.00 07.00
06.00
06.00
900 600
05.00
300
13
0 -300
-600 -900
05.00
1
3
5
7
9
11
-600 Sectors
Sectors
Gambar 2. Pemodelan fluktuasi GPP dan NPP pada cross-section stasiun Gagnac dan Pinsaguel dari pukul 5 pagi hingga pukul 12 siang
Berdasarkan hasil proyeksi model P3B, sangat memungkinkan metoda ini digunakan sebagai pembanding diferensiasi yang ditimbulkan oleh faktor intensitas cahaya atau kecerahan, musim, dan ketinggian. Secara umum kecerahan rendah akan meningkatkan defisit keseimbangan oksigen harian pada setiap sektor perairan sungai. Hasil kuantifikasi proses ini juga berkaitan erat dengan sebaran dan akumulasi komunitas perifiton, ketersediaan nutrien, pencemaran dan mikroinvertebrata grazer serta kondisi morfologis perairan itu sendiri. 30
Stigeoclonium sp - Mei 2008 25 TN (mg/L)
P ( mg O2.m -2.h-1 )
1200
Pinsaguel
1500
P (mg O2.m -2.h-1)
1500
20 y = -9.0397Ln(x) + 21.352 R2 = 0.7517
15 10 5 0 0
2
4
6
8
Tim e (day)
129
10
12
14
13
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
3.0
TP (mg/L)
2.5 2.0 y = -0.9782Ln(x) + 2.5318 R2 = 0.8651
1.5 1.0 0.5 0.0 0
2
4
6
8
10
12
14
Tim e (day)
Gambar3. Grafik penurunan konsentrasi N P yang dukur sebagai biouptake perifiton pada fotobioreaktor kanal.
Biotik uptake yang diekspresikan dengan penurunan konsentrasi nutrien (N,P) di media oleh “Kanal Perifiton” seperti terlihat pada Gambar 3. Penurunan konsentrasi N dan P berturut-turut berkisar 93.66 dan 94.40 % dari konsentrasi awal yang dimonitor selama lebih kurang dua minggu. Penurunan konsentrasi nutrien lebih efektif terutama pada fase tumbuh eksponensial atau berkisar antara satu hingga 3 minggu. Hal lain yang juga menjadi perhatian dari biouptake perifiton ini adalah laju uptake harianya cenderung menurun selama pengamatan (Gambar 4.). Hal ini berarti bahwa kemampuan uptake komunitas perifiton ada kaitannya dengan tingkat akumulasi biomassa atau dengan ketersediaan nutrien di media. Dugaan ini di perkuat dengan membandingkan hasil laju uptake pada fase stasioner dan fase tua , dimana laju uptake sudah sangat rendah dan penurunan konsentrasi menjadi sangat fluktuatif (Data tidak ditampilkan). Persoalan lain yang mungkin timbul bila biosorption ini untuk diaplikasikan dilapangan adalah penimbunan biomasa perifiton pada reaktor. Penimbunan ini bisa berakibat buruk terhadap kualitas air yang ditreatmen karena akan melepas eksudat berasal dari proses dekomposisi biomassa. Untuk itu pemanfaatan biouptake “Kanal Perifiton” akan lebih efektif pada fase tumbuh awal (1 hingga 3 minggu) dan memblok fase tumbuh selanjutnya dengan cara pemanenan.
130
Uptake rate (mgTN /L/day)
6
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
5 4 y = -1.6647Ln(x) + 4.9985 R2 = 0.933
3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Daily uptake
Gambar 4. Laju bio-uptake perifiton diamati selama 2 minggu pada fotobioreaktor kanal.
Biomas ( Kg/Ha )
1200 1000 800 DW total
600
AFDW Total
400 200 0 2-Jul08
8-Jul08
15-Jul08
22-Jul- 29-Jul- 3-Aug08 08 08
Sam pling
Gambar 5. Grafik konversi bio produk perifiton yang diekspresikan dalam berat kering dan berat kering tanpa abu.
Pemanfaatan potensi bioproduk sebagai biomassa dari perifiton yang cenderung monokultur pada pertengahan hingga akhir masa akumulasi), yang mana setelah dikonversikan kanal mampu memproduksi hingga 986 kg berat kering perifiton jenis Stigeoclonium sp per hektar substrat atau rata-rata produksi mencapai 808.2 kg per hektar per minggu (Gambar 5.). Bioproduk ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat, kosmetik, pakan, pupuk organik, dan biofuel. Dalam pemanfaatan biomasa juga terbuka kemungkinan pengembangan teknologi perikanan budidaya perikanan dengan perifiton sebagai pakan utamanya, sehingga biaya produksi bisa ditekan lebih jauh.
Ucapan Terimakasih Banyak pihak yang mendukung terlaksananya kegiatan ini, terutama Prof. Dr. Alain DAUTA dari Universitas Paul Sabatier Toulouse III Perancis, dukungan dana dari kegiatan Kompetitif LIPI, dan seluruh teman-teman yang terlibat pada kegiatan kompetitif “Fitoteknologi Mikrofitobentik” Puslit Limnologi, Cibinong.
131
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Cox, E.J.(1991). What is the basis for using diatoms as monitors of river quality. ln Whitton B.A., Rott E. & Friedrich G. (eds.), Use of algae for monitoring rivers, Düsseldorf, E. Rott, Innsbruck; 33-40. Kristina S.& Alison M. (2002). Role of microphytobenthos and denitrification for nutrient turnover in embayments with floating macroalga mats: a spring situation. Aquatic Microbia Ecology, 30: 91-101. Lange-Bertalot, H. (1979). Pollution tolerance of diatoms as a criterion for water quality estimation. Nova. Hedw. Bieh. 64:285-304. Prygiel, J. and M. Coste, (1993). Utilisation des indices diatomiques pour la mesure de la qualité des eaux du bassin Artois-Picardie: bilan et perspectives. Annls Limnol. 29 (3-4) : 255-267. Round, F.E. (1991). Diatoms in river water-monitoring studies. J. Appt. Phyrot. 3 : 129145. Schœman, F .R. and Haworth, E. Y. (1986). Diatoms as indicators of pollution. Report on a workshop. ln M. Ricard (00.), Proc. of the 8th. Internat. Diatom Symp. Paris Aug. 84, O. Kœltz Publ., Kœnigstein. : 757-759. UN Mellinium Declaration, 2002. World Urbanization Prospects, The 1999 Revision. New York. UN, 1992. Agenda 21. Programme of Action for Sustainable Development. Official Outcome of the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED).3-14 Juni 1992. Rio de Janeiro. Unesco, 2003. Water for People-Water for Life. The United Nations World Water Development Report. Unesco Publishing/Berghahn Books. Van Dam, H. (1982). On the use of measures of structure and diversity in applied diatom ecology. Nova Hedwigia 73: 97-115. Walter K& Dodds (2003). The role of periphyton in phosphorus retention in shallow freshwater aquatic systems. J. Phycol.39: 840-849. Weissman, J.C., Radway, J.C., Wilde, E.W., and Benemann, J.R. (1998). Biosources Tech., 65: 87-95. Wilde, E.W., and J.R. Benemann, J.R. (1993). Biotechnology Advances. 11:781-812. Wilde, E.W., J.R. Benemann, J.R. Weissman, J.C., and Tillett, D.M. (1991). U.S. Patent No.5,011,604
132
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
STUDI EKOLOGI MAKROFITA AKUATIK UNTUK BIOMONITORING STATUS TROFIK EKOSISTEM WADUK Dwi Nugroho Wibowo∗ dan Agatha Sih Piranti∗ ABSTRAK Penelitian tentang studi ekologi makrofita akuatik untuk biomonitoring status trofik ekosistem waduk telah dilakukan di waduk Penjalin, Paguyangan, Kabupaten Brebes. Variabel penelitian diambil dari sembilan stasiun pengamatan terpilih yang mewakili zona inlet, tengah, dan outlet waduk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaman makrofita akuatik di waduk Penjalin pada zona inlet, tengah, dan outlet waduk, baik pada musim kemarau maupun musim hujan sebagai upaya mendapatkan biota indikator status trofik ekosistem waduk. Analisis struktur komunitas makrofita akuatik dilakukan dengan mendeskripsikan data keragaman jenis makrofita. Kesamaan karakteristika makrofita akuatik antar zona waduk ditelaah berdasar dendogram kesamaan rata-rata. Variasi karakteristika variabel kualitas air dan makrofita akuatik antar stasiun dikaji dengan analisis multivariat yang didasarkan pada analisis komponen utama, sedangkan distribusi spasial makrofita akuatik dianalisis menggunakan analisis faktorial korespondensi. Berdasarkan variasi karakteristik variabel kualitas air, waduk Penjalin termasuk kedalam waduk eutrof. Keragaman makrofita akuatik di waduk Penjalin pada musim hujan menunjukkan keragaman yang rendah (4 jenis), yaitu Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, dan Eichhornia crassipes. Informasi tentang distribusi spasial berdasarkan pada keragaman makrofita akuatik dan informasi variasi temporal berdasarkan pada biomasa makrofita akuatik, baik pada musim kemarau maupun musim hujan tidak diperoleh. Hal ini disebabkan karena adanya serangan hama Pomacea canaliculata. Kata kunci : makrofita akuatik, biomonitoring, status trofik ABSTRACT An ecological study on aquatic macrophytes for biomonitoring trophic status of water reservoir ecosystem was conducted in Penjalin Water Reservoir, Paguyangan, Brebes Regency. Variables of study were taken from nine selected observation stations representing inlet, middle, and outlet zones both in wet season and dry season. The study was aimed to investigate the diversity of aquatic macrophytes in Penjalin Water Reservoir at the three zones in both season in order to obtain bioindicator for trophic status of water reservoir ecosystem. The analysis on community structure of aquatic macrophytes was carried out by describing data on the diversity of aquatic macrophytes species. The similarity of aquatic macrophyte characteristics among zones was analyzed on the basis of average similarity dendogram. The variation of water quality and aquatic macrophyte characteristics among stations was analyzed using multivariate analysis based on the analysis of main component, while spatial distribution of aquatic macrophytes was analyzed using correspondence factorial analysis. Based on the variation of characteristics of water quality, Penjalin Water Reservoir belongs to oligotrophic status. Low diversity of aquatic macrophytes in Penjalin Water Reservoir in wet season (4 species) was observed, i.e. Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, and Eichhornia crassipes. Information about spatial distribution based on the diversity of aquatic macrophytes species and temporal variation based on aquatic macrophyte biomass either in dry or wet season were not obtained. This was due to the existance of Pomacea canaliculata pest. Keywords: aquatic macrophyte, biomonitoring, trophic status
∗
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Email :
[email protected]
133
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Eutrofikasi adalah proses pengayaan unsur hara, terutama nitrogen (N) dan fosfor (P), yang saat ini merupakan fenomena pada perairan danau, waduk, dan sungai dengan kecepatan aliran air (debit, m3/det) rendah (Abel,1989). Fenomena itu ditandai dengan pertumbuhan makrofita akuatik. Secara alamiah ekosistem perairan akan mengalami suksesi tingkat trofik dari oligotrof (miskin hara) menuju eutrof (kaya hara). Aktivitas manusia dalam bidang pertanian yang saat ini banyak menggunakan pupuk untuk meningkatkan produksinya, bahan organik dan deterjen yang berasal dari limbah cair domestik, serta limbah cair industri mempercepat eutrofikasi. Proses pengayaan unsur hara pada ekosistem perairan akan menimbulkan perubahan-perubahan parameter fisika-kimia dan biologi. Perubahan parameter fisika antara lain meningkatnya kekeruhan air dan pendangkalan. Perubahan parameter kimia ditandai dengan meningkatnya kadar unsur hara, terutama N dan P, dari status oligotrof menjadi eutrof. Perubahan parameter biologi ditunjukkan dengan meningkatnya diversitas (keanekaragaman) makrofita akuatik yang pada status oligotrof besar dengan biomassa kecil menjadi kecil dengan biomassa besar pada status eutrof atau terjadi dominansi jenis (Harper,1992). Pada status eutrof selalu muncul jenis makrofita akuatik yang dominan dan karateristik. Waduk Penjalin yang terletak di desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes merupakan waduk buatan, melipati areal seluas 125 ha, dengan kedalaman normal 17 m, volume air 9,5 juta m3 dengan panjang tanggul 850 m. Waduk itu terletak pada ketinggian 152 m di atas permuakaan air laut (dpl) pada 107o15’ LS dan 109o01’ BT yang menempati daerah topografi cekungan yang pada awalnya merupakan badan air alami. Sumber airnya berasal dari sungai Penjalin dan terutama berasal dari air hujan. Fungsi utama waduk Penjalin adalah untuk menambah debit air sungai Pemali pada musim kemarau, agar lahan-lahan pertanian di daerah Brebes dapat dialiri dengan baik. Selain itu, waduk itu dimanfaatkan untuk sarana transportasi, kegiatan perikanan, dan pariwisata. Dengan demikian, waduk Penjalin merupakan waduk serbaguna sebagaimana tujuan pembuatan waduk pada umumnya. Pemantauan kesuburan perairan waduk dapat dilakukan dengan mengetahui sifat fisika-kimia dan biologi. Salah satu sifat fisika-kimia yang berperan dalam tingkat
134
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
kesuburan suatu perairan adalah kandungan unsur hara N dan P. Salah satu faktor biologi yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan suatu perairan adalah diversitas (keanekaragaman) makrofita akuatiknya. Adanya stratifikasi unsur hara di waduk berpengaruh pada tingkat kesuburan (status trofik) waduk. Keberadaan makrofita akuatik berhubungan erat dengan kandungan hara. Dengan demikian, struktur komunitas makrofita akuatik berkorelasi dengan tingkat kesuburan suatu perairan. Komposisi makrofita akuatik adalah urutan jenis gulma air yang hidup dan berkembang sejalan dengan ketersediaan hara perairan. Dalam kondisi geologi yang sama, proses eutrofikasi ditentukan oleh ketersediaan hara nitrat (NO3-) dan fosfat (PO43-). Kenyataan itu dapat menjelaskan bahwa diversitas makrofita akuatik ditentukan oleh distribusi dan stratifikasi ketersediaan hara nitrogen (N) dan fosfor (P). Hara tersebut akan terdistribusi secara vertikal (dari permukaan sampai dasar) dan secara horisontal dari hulu ke hilir badan air yang menyebabkan terjadinya sebaran makrofita akuatik. Makrofita akuatik dengan pola-pola komunitasnya umumnya mencerminkan status trofik air waduk (Jeffries dan Mills, 1990; Kovács, 1992). Pengaruh eutrofikasi terhadap ekosistem perairan adalah penurunan diversitas jenis dan terjadinya perubahan jenis, peningkatan biomassa makrofita akuatik, peningkatan kekeruhan, peningkatan laju sedimentasi, dan perpendekan umur fungsi waduk (Mason, 1991).
Informasi
tentang makrofita akuatik berkaitan dengan eutrofikasi yang terjadi pada waduk-waduk di Indonesia masih sangat sedikit. Dari uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui keragaman makrofita akuatik pada Waduk Penjalin pada bagian hulu, tengah, dan hilir rawa, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. (2) Mengetahui pola zonasi makrofita akuatik Waduk Penjalin.
METODOLOGI PENELITIAN Pengambilan sampel makrofita akuatik dilaksanakan di daerah eufotik waduk Penjalin, Paguyangan. Kabupten Brebes. Identifikasi jenis, pengukuran biomassa makrofita akuatik, dan pengukuran parameter kimia air (Tabel 1) dilakukan di
135
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Ekologi Fakultas Biologi UNSOED. Pengukuran pH, suhu air, Daya Hantar Listrik (DHL), kandungan O2, dan transparansi dilakukan secara in situ di Waduk Penjalin. Sampel air dan makrofita akuatik diambil masing-masing dari tiga stasiun pengamatan sampel untuk setiap zona horisontal waduk, yaitu hulu, tengah, dan hilir (Tabel 2), pada musim kemarau dan musim hujan. Data dianalisis berdasarkan rancangan petak terbagi pola bifaktorial dengan musim (kemarau dan hujan) sebagai faktor petak utama, zona-zona horisontal rawa (inlet, tengah, dan outlet) sebagai faktor anak petak (Steel dan Torrie, 1985). Pengambilan data dilakukan sekali sebulan dalam tiga bulan berurutan. Tabel 1. Variabel kualitas air yang diukur, metode analisis, dan peralatan yang digunakan (APHA, 1985). No.
Parameter Kualitas Air (satuan)
Metode Analisis
Peralatan
Fisika 1.
TSS (mgL-1) -1
Gravimetri
Timbangan analitik
2.
DHL (µmhos cm )
Potensiometri
Konduktivitimeter
3.
Transparansi (cm)
Organolepti
Keping Secchi
Pemuaian
Termometer
4.
o
Suhu air ( C) Kimia O2 terlarut (mgL-1)
Potensiometri
DO meter
6.
pH
Potensiometri
pH meter
7.
NO2—N (mgL-1)
5.
8.
Spektrofotometri
Spektrofotometer
—
-1
Spektrofotometri
Spektrofotometer
—
-1 -1
NO3 N (mgL )
9.
NH3 N (mgL )
Spektrofotometri
Spektrofotometer
10.
PO43—P
11.
Spektrofotometri
Spektrofotometer
-1
Spektrofotometri
Spektrofotometer
-1
Spektrofotometer
(mgL )
N-total (mgL )
12.
P-total (mgL )
Spektrofotometri
13.
COD (mgL-1)
Titrimetri
Buret
Titrimetri
Buret
Kuadrat
Counter
14.
-1
BOD (mgL ) Biologi
15.
136
Makrofita akuatik
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel makrofita akuatik dan sampel air.
No.
Zone
Stasiun
1.
Inlet
I
Daerah muara sungai Penjalin
2.
II
Daerah muara sungai Soka
3.
III
Daerah muara sungai Garung
IV
Daerah Kedung Wungu
5.
V
Daerah Blandong Cekung
6.
VI
Daerah Dermaga
VII
Daerah Blandong Ujung
8.
VIII
Daerah Menara
9.
IX
4.
7.
Tengah
Outlet
Lokasi
Daerah Limpasan
Variasi variabel kualitas air dalam kaitannya dengan kelimpahan makrofita akuatik dikaji dengan pendekatan analisis multivariat yang didasarkan pada analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA) menurut Legendre dan Legendre (1983) dan Bengen (2000). Sebaran makrofita akuatik berdasarkan variasi variabel habitat dianalisis dengan menggunakan teknik statistika multivariat yang didasarkan pada analisis faktorial korespondensi (Factorial Correspondence Analysis, CA) menurut Legendre dan Legendre (1983) dan Bengen (2000). Perhitungan analisis komponen utama dan analisis faktorial korespondensi tersebut dilakukan dengan menggunakan paket statistik Xlstat versi 7.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kandungan Unsur Fosfor dan Nitrogen Waduk Penjalin Bahan organik di daerah eufotik waduk Penjalin mengalami mineralisasi berturut-turut dari yang paling mudah terurai yaitu karbohidrat dan protein, sedangkan lemak lebih stabil. Protein akan mengalami amonifikasi menjadi NH3 yang oleh mikroorganisme dinitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat. Karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya didegredasi menjadi CO2 dan H2O. Dalam badan air terdapat N-organik dan P-organik yang dapat dinyatakan dalam N-total dan P-total.
137
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Kandungan N-total dan P-total air waduk Penjalin disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 1. Tidak terdapat perbedaan kandungan N-total antara musim kemarau dan musim hujan (Lampiran 1). Kandungan N-total air waduk Penjalin pada musim kemarau dan musim hujan di ketiga zone waduk juga tidak berbeda (Tabel 3). Pada musim kemarau, kandungan N-total berkisar antara 0,6621 mgL-1 sampai 1,1197 mgL-1, sedangkan pada musim hujan berkisar antara 0,9133 mgL-1 sampai 0,9967 mgL-1. Kandungan P-total air waduk Penjalin pada musim hujan dan musim kemarau di ketiga zone waduk tak berbeda (Tabel 3). Pada musim hujan, kandungan P-total berkisar antara 0,0653 mgL-1 sampai 0,4918 mgL-1, sedangkan pada musim kemarau berkisar antara 0,0299 mgL-1 sampai 0,0380 mgL-1. Berdasarkan kandungan N total dan P totalnya, waduk Penjalin tergolong pada perairan dengan status oligotrof (Likens, 1975 dan Jorgensen, 1980). Sumber utama N dan P air waduk Penjalin berasal dari tanah yang mengalami erosi, pupuk dan zat kimia pertanian yang tercuci, sampah organik, limbah rumah tangga, dan sisa pakan kegiatan karamba jaring apung. Menurut Tohir (1985), perairan yang banyak kandungan N dan P akan mengalami eutrofikasi. Artinya, perairan mengalami penyuburan yang berlebihan sehingga pertumbuhan makrofita akuatik dan plankton terpacu. Soerjani dan Widyanto (1977) menyatakan, hasil buangan yang masuk ke dalam suatu perairan dapat memacu pertumbuhan masal (blooming) makrofita akuatik.
138
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 3. Kandungan N-total dan P-total waduk Penjalin selama penelitian (musim hujan dan musim kemarau).
N-total (mgL-1)
Zone Waduk
Inlet
MH
MK
MH
MK
0,9967a
0,9446a
0,4918a
0,0343a
A
A 0,9400a
Tengah A
Outlet
P-total (mgL-1)
A 0,6621a
A 0,9133a A
0,0653a A
1,1197a A
A 0,0380a A 0,1064a
A
0,0299a A
Berdasarkan sidik ragam, data N-total dan P-total tak beragam (Lampiran 1). Keterangan : Masing-masing angka yang ditandai dengan huruf yang sama (huruf kecil arah vertikal dan huruf besar arah horizontal) tidak berbeda menurut uji BNT α = 0,05. MK : Musim Kemarau, MH : Musim Hujan.
2. Sebaran Spasial Temporal Makrofita Akuatik Waduk Penjalin Keragaman jenis dapat diartikan sebagai kekayaan jenis yang terdapat dalam suatu area di dalam komunitas ekologi (Krebs, 1972). Kekayaan jenis bergantung pada kestabilan ekosistem yang mendukung komunitas tersebut. Pada ekosistem waduk dan waduk yang sedang mengalami proses eutrofikasi, kekayaan jenis cenderung meningkat sampai status mesotrof, kemudian menurun pada status eutrof. Pada status eutrof, kadar hara N dan P waduk tinggi sehingga tumbuhan yang tumbuh adalah jenis tumbuhan yang membutuhkan habitat dengan kondisi tersebut. Tujuan pengukuran kekayaan jenis suatu komunitas adalah untuk menyatakan karakteristik lain dari komunitas seperti produktivitas, stabilitas, atau kondisi lingkungan yang mengontrol. Yang dilakukan pada penelitian ini adalah mencari hubungan antara tingkat eutrofikasi (status trofik) waduk Penjalin dengan keragaman jenis makrofita akuatik. Pengukuran keragaman jenis suatu komunitas harus memperhatikan area, waktu, dan jenis tumbuhan. Secara sederhana keragaman jenis
139
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
dapat diukur dengan menghitung jumlah jenis, biomasa, dan kelimpahan relatif (Krebs, 1972; Poole, 1974; dan Pielo, 1975). Untuk tumbuhan yang berkembang biak secara vegetatif dan ukuran individunya sangat bervariasi, lebih cocok dihitung jumlah individu atau ditimbang bobot kering (biomasa). Makrofita akuatik adalah paku air, spermatofita, ganggang, dan berbagai jenis tumbuhan monokotil yang tumbuh dalam air. Proses eutrofikasi yang mempunyai faktor pembatas hara N dan P menyebabkan perbandingan kedua hara tersebut atau rasio N/P menentukan komposisi jenis makrofita dalam badan air. Makrofita akuatik merupakan elemen kunci di ekosistem perairan yang dapat digunakan sebagai alat pengklasifikasian ekosistem perairan karena distribusi dan komposisi jenisnya mencerminkan karakter daerah tangkapan air (Anderson, 2001; Jensen, 1979; Robach et al., 1996). Hasil penelitian Wibowo (2004a, 2004b, dan 2006) menunjukkan adanya perbedaan jenis makrofita akuatik pada musim kemarau dan musim hujan pada Waduk PB Soedirman Banjarnegara dan pada Rawa Pening yang merupakan waduk eutrof. Keragaman jenis makrofita akuatik waduk Penjalin selama masa penelitian tersaji pada Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa makrofita akuatik hanya dijumpai pada musim hujan. Hal ini terjadi, karena adanya serangan hama keong emas (Pomacea canaliculata) yang memakan makrofita akuatik yang ada di waduk Penjalin. Data jenis makrofita akuatik waduk Penjalin hanya ditemukan di pengambilan data bulan pertama musim hujan. Pada bulan-bulan berikutnya, tidak lagi dijumpai makrofita akuatik, karena telah habis dimakan P. Canaliculata. Dengan demikian. kondisi struktur komunitas makrofita akuatik yang diketemukan tidak dapat mengambarkan hubungan antara jenis makrofita akuatik dengan status trofik ekosistem waduk Penjalin. Suatu komunitas dengan jumlah jenis dan kerapatan populasi yang sama dapat dikatakan lebih beraneka dari pada komunitas lain yang mempunyai jumlah jenis yang sama, tetapi dengan kerapatan populasi yang berbeda, yaitu beberapa jenis merupakan jenis-jenis yang umum dijumpai (kelimpahan merata), sedangkan beberapa jenis lain merupakan jenis yang jarang dijumpai (kelimpahannya kecil). Waduk Penjalin mempunyai keragaman jenis (richness) yang rendah (Kuswanto, 1999).
140
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 4. Keragaman jenis makrofita akuatik waduk Penjalin selama penelitian (musim kemarau dan musim hujan)
No.
Nama jenis
Musim hujan
Musim kemarau
1.
Hydrilla verticillata
+
-
2.
Ipomoea aquatica
+
-
3.
Ludwigia adscendens
+
-
4.
Eichhornia crassipes
+
-
Keterangan : + : ada - : tidak ada
KESIMPULAN a. Kesimpulan (1) Waduk Penjalin mempunyai diversitas makrofita akuatik yang rendah (4 jenis), yaitu Hydrilla verticillata, Ipomoea aquatica, Ludwigia adscendens, dan Eichhornia crassipes. (2) Penyebaran keragaman makrofita akuatik waduk Penjalin pada musim kemarau dan musim hujan tidak dapat digambarkan, karena adanya serangan hama Pomacea canaliculata. (3) Variasi temporal biomasa makrofita akuatik waduk Penjalin antar zone waduk dan pola penyebarannya pada musim kemarau dan hujan tidak dapat digambarkan, karena adanya serangan hama Pomacea canaliculata. b. Saran (1) Diperlukan pengulangan penelitian ini pada waduk mesotrof lain untuk melengkapi data-data penelitian yang telah penulis lakukan pada waduk eutrof.
141
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood, Ltd., Chichester, England. Anderson, B. 2001. Macrophyte Development and Habitat Characteristics in Sweden’s Large Lake. Ambio (30) 8 : 503 – 513. APHA. 1985. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 16 th edition. American Public Health Association. New York. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor Harper, D. 1992. Eutrophication of Freshwaters. Principles, problems and restoration. Chapman and Hall, London. Jensen, S. 1979. Classification of Lake in Southern Sweden on the Basis of their Macrophyte Composition by means of Multivariate Methods. Vegetatio 39 : 129 – 146. Jeffries, M., and D. Mills. 1990. Freshwater Ecology. Principles and Applications. John Wiley and Sons, New York. Jorgensen, S.E. 1980. Lake Management, Water Development, Supply and Management, Developments in Hydrobiology. Vol. 14. Pergamon Press, Oxford, New York. Kovács, M. 1992. Biological Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood, New York. Krebs, C.J. 1989. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Raw Publ., New York. Legendre, P., and L. Legendre. 1983. Numerical Ecology.2nd English Ed. Elsevier Science, Amsterdam. Likens, G.E. 1975. Primary Production of Inland Aquatic System. In : H. Leith, and R.H. Whittaker (ed.). Primary Productivity of the Biosphere. Springer-Verlag, Berlin. Mason, C.F. 1991. Biology of Freshwater. Pollution. 2 Technical, London.
nd
ed. Longman Scietific and
Pielo, Y. 1975. Micro Algal Separatory from High Rate Ponds. University of California, Berkeley, CA. Poole, R.W. 1974. An Introduction to Mathematical Ecology. McGraw-Hill Book Co., New York. Robach, F., G. Thiébaut, M. Trémolières, and S. Muller. 1996. A Reference System for Continental Running Waters : Plant Communities as Bioindi-cators in Increasing Eutrophication in Alkaline and Acidic Waters in Northeast France. Hydrobiologia 340 : 67 - 76.
142
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Soerjani, M., dan L.S. Widyanto. 1977. Pertumbuhan Masal Gulma Air dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Air. BIOTROP, Bogor. Steel, RGD dan Torrrie. 1985. Principles and Procedures of Statistic. McGraw-Hill. Inc. Auckland, Bogota, Guatamela. Wibowo, D.N. 2004a. Potensi Gulma Air untuk Monitoring Kualitas Air Waduk. J. Agrista 8 (2) : 187 – 197. Wibowo, D.N. 2004b. Tingkat Eutrofikasi Waduk PB Soedirman Banjarnegara Berdasarkan Kandungan Fosfor dan Nitrogen. Biosfera 21 (3) : 126 – 131. Wibowo, D.N. 2006. Studi Ekologi Makrofita Akuatik untuk Biomonitoring Status Trofik Ekosistem Waduk. Laporan Hasil Penelitian (Tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
LAMPIRAN Lampiran 1. Kebermaknaan nilai F hitung sidik ragam data N total dan P total selama penelitian.
Sumber
Derajat
keragaman
bebas
F hitung dengan F tabel 0,05
N total
P total
Ulangan
2
ns
ns
Musim (M)
1
ns
ns
Zona waduk (Z)
2
ns
ns
MxZ Galat Total
2 10 17
Keterangan : * = bermakna ns = tidak bermakna
143
Kebermaknaan berdasarkan perbandingan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
RESPON KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA TERHADAP KONTAMINASI LOGAM BERAT DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING Yoyok Sudarso* , Gunawan P. Yoga, Tri Suryono
ABSTRAK Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade yang inletnya berasal dari Sungai Citarum yang telah mengalami pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami kontaminasi oleh logam berat lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya (Cirata dan Jati Luhur). Salah satu komponen biota akutaik yang diduga mengalami dampak negatif dari kontaminasi logam di sedimen adalah komunitas bentik makroavertebrata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menkaji pengaruh kontaminasi logam di sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata di sedimen. Pengambilan sampel sedimen dan biota telah dilaksanakan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2006. Logam yang dikaji dalam penelitian hanya 4 jenis yaitu Cu, Hg, Pb, dan Cd. Konsentrasi logam tersebut dibandingkan dengan beberapa guideline effect range low (ERL), effect range median (ERM), probable effect level (PEL), severe effect level (SEL), dan treshold effect level (TEL), secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan Cu yang paling berpotensi menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan, sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas dari sebagian besar guideline tersebut di atas. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kontaminasi logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk Saguling akan diikuti dengan penurunan beberapa atribut biologi (indek) yaitu: biological monitoring working party (BMWP), diversitas, kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi besarnya kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph di sedimen. Kata kunci: logam berat, sedimen, bentik makroavertebrata, Waduk Saguling. ABSTRACT Saguling reservoir is one of reservoirs in the reservoir cascade system which is located in Citarum river, west java province. The reservoir is the first part from that system and located in upper part of the system. The reservoir inlet comes from Citarum River which is heavily polluted and causes the reservoir potentially heavily contaminated by heavy metal especially if it compared to two other reservoirs located below it (Cirata and Jatiluihur). Benthic macroinvertebrates community is one of aquatic ecosystem components which directly exposed to heavy metals pollution in aquatic ecosystem. The aim or this research is to evaluate effect of heavy metal contamination to benthic macroinvertebrates community lives at reservoir’s sediment. Biota and sediment samples were taken and on June, July, and August 2006. Heavy metals of interest of this study were Cu, Hg, Pb, and Cd. Concentration of those heavy metals in sediments were compared to several guidelines such as ERL, ERM, PEL, SEL, and TEL. In general Hg, Pb, and Cu showed adverse effect to benthic macroinvertebrates community, while Cd was still below most of guideline’s threshold. Result of this study showed that the elevation of Pb, Cu, and Hg concentration in sediment’s reservoir was followed by decline of several biological attributes such as: biological monitoring working party (BMWP), diversity, taxa richness, and combination. However those indices were not sensitive to detect Cd contamination, C-organic concentration, and ph in sediment. Keywords: Heavy metals, sediment, benthic macroinvertebrates, Saguling Reservoir.
*
Puslit limnologi-LIPI, Jl. Jakarta-bogor km 46, Cibinong, E-mail:
[email protected]
144
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Keberadaan bahan polutan pada ekosistem akutik cenderung berikatan dengan bahan partikulat dan akan diendapkan di dasar sedimen. Oleh sebab itu di dasar sedimen seringkali mengakumulasi bahan polutan misalnya logam berat, polycyclic aromatic hydrocarbons /PAH, polychlorinated biphenyl/PCB, pestisida, dan nutrien dalam konsentrasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan yang ada di kolom air. Kontaminasi polutan tersebut di sedimen berpotensi menimbulkan stress bagi ekosistem air tawar dengan mode perusakan pada spesies yang toleran (misalnya: kecacatan) dan menghilangkan spesies makroavertebrata yang tergolong sensitif (Beasley and Kneale 2004). Komunitas bentik makroavertebrata sering digunakan sebagai indikator biologi dalam mendeteksi keseluruhan pengaruh yang terjadi pada sumber daya air (Zisckhe and Ericksen 2003; Poulton et al. 2003). Hewan tersebut biasanya dilibatkan dalam program restorasi tipe badan air (sungai, danau dan sebagainya) karena fungsi hewan tersebut dalam rantai makanan yang penting sebagai penyusun produktivitas sekunder. Adanya pencemaran umumnya dapat menyebabkan perubahan pada struktur komunitas yang dapat diketahui dengan perubahan pada komposisi dan kelimpahan taxanya. Mize and Deacon (2002) menyebutkan komposisi dan struktur komunitas dari bentik makroavertebrata mampu mencerminkan kondisi kualitas perairan dari bulanan hingga tahunan secara terus menerus. Pengaruh polusi pada struktur komunitas bentik makroavertebrata umumnya dapat dibagi menjadi tiga ketegori yaitu: menurunkan keanekaragaman, meningkatkan dominansi oleh grup atau spesies tunggal yang bersifat oppurtunistic, dan menurunkan ukuran individu (Azrina et al. 2006). Sedangkan perubahan pada status fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada produktivitas sekunder, laju dekomposisi dan sebagainya. Beberapa alasan lain tentang keuntungan penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi perairan adalah: mobilitas yang rendah, diversitas yang tinggi, peran pentingnya dalam rantai makanan, siklus hidup yang relatif panjang, dan sensitivitas yang bervariasi terhadap polutan (Reynoldson and Metcalfe-Smith 1992).
145
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Waduk Saguling merupakan salah satu waduk sistem cascade yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat. Waduk tersebut terletak di bagian pertama dari sistem cascade yang inletnya mendapat masukan dari Sungai Citarum yang telah mengalami pencemaran. Oleh sebab itu waduk tersebut berpotensi mengalami pencemaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua waduk yang ada di bawahnya (Waduk Cirata dan Jati Luhur). Waduk Saguling saat ini telah mengalami beberapa masalah yang cukup serius antara lain: peningkatan beban sedimen yang tinggi (> 4 juta m3/thn), masuknya sampah dan gulma air ke dalam waduk (250.000 m3/thn), percepatan korositas turbin, dan penurunan kualitas air oleh kontaminasi bahan polutan organik, logam berat, pestisida, dan mikropolutan lainnya (Anonim 2004). Namun demikian peningkatan konsentrasi logam di Waduk Saguling juga ditengarai dari aktivitas gunung berapi Tangkuban Perahu dan Patuha yang dapat memuat senyawa sulfat ke DAS Citarum sebesar 6000-12.000 ppm, chlorida 5300-12.600 ppm, dan logam seperti As, Ba, Mg, Al, Cu, Pb, Zn, Hg, Se, dan Cd (Sriwana 1999). Adanya fenomena kematian ikan secara masal yang mencapai ribuan ton di Waduk Saguling, sementara ini disebabkan oleh kombinasi penurunan oksigen terlarut, tingginya konsentrasi amonia, dan bahan kimia toksik lainnya seperti pestisida, logam berat dan sebagainya yang dilepaskan dari sedimen ke kolom air (Brahmana and Firdaus 1997; Hart et al. 2002 ). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak kontaminasi logam berat di sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata yang ada di Waduk Saguling.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2006. Ada 12 titik stasiun pengamatan yang berada di dalam Waduk Saguling dan 1 titik di bagian hulu Sungai Citarum (Gunung Wayang) yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakangnya (background concentration). Keterangan nama dan peta lokasi sampling yang telah ditetapkan meliputi (Gambar 1): Stasiun 1 Hulu Sungai Citarum di Gunung Wayang (GW), Stasiun 2 Sungai Citarum di Nanjung (Nj), Stasiun 3 Sungai Citarum di Trash Boom Batujajar (Bj), Stasiun 4 Cihaur Kampung Cipendeuy (Chr), Stasiun 5 Cangkorah (Ckr), Stasiun 6 Cimerang (Cmr), Stasiun 7 Muara Cihaur/ Kampung
146
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Maroko (Mrk), Stasiun 8 Muara Cipatik (Cpk), Stasiun 9 Muara Ciminyak (Cmy), Stasiun 10 Muara Cijere (Cjr), Stasiun 11 Muara Cijambu (Cjb), Stasiun 12 Dekat intake structure (Itk), dan Stasiun 13 Rajamandala (Rjm). Jenis logam berat yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya empat jenis yaitu plumbum (Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd) yang sudah diketahui berpotensi toksik bagi sebagian besar biota akuatik dan telah direkomendasikan oleh agensi lingkungan seperti US-EPA (Anonim 1986). Parameter pendukung yang diukur pada sedimen meliputi: konsentrasi C organik, fraksi ukuran butir, dan pH sedimen. Parameter kualitas air yang diukur di air adalah oksigen terlarut dengan menggunakan alat water quality checker U-10 (merk Horiba). Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau, karena menggambarkan kondisi gangguan ekologi (diwakili oleh organisme bentik makroavertebrata) dalam kondisi stres maksimum, dengan debit air yang minimal, dan kadar bahan polutan yang relatif tinggi (Davis and Tsomides 1997). Disamping itu, komunitas bentik makroavertebrata diharapkan mampu mencerminkan pengaruh utama peningkatan dari kontaminasi logam tanpa adanya pengaruh faktor lainnya misalnya: peningkatan debit air/ banjir yang telah diketahui dapat berpengaruh pada komposisi dan kelimpahan bentik makroavertebrata (Matthaei et al. 2000).
Gambar 1. Peta lokasi sampling pengambilan sedimen dan organisme bentik makroavertebrata.
147
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sampling organisme bentik makroavertebrata/ bentos dilakukan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2006 dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan bentik makroavertebrata dilakukan pada kedalaman ± 5 meter yang ditetapkan dengan menggunakan alat Fish finder 250 merk Garmin pada semua stasiun pengamatan. Diharapkan adanya kesamaan kedalaman ini diantara stasiun pengamatan akan memiliki kemiripan komunitas bentik yang akan dikaji pada penelitian ini. Pada masing-masing stasiun pengamatan dilakukan pengambilan sebanyak 9 kali grab (luas area yang disampling ± 2025 cm2). Pengawetan bentik makroavertebrata dengan menggunakan larutan formalin 10% yang dimasukkan dalam keller plastik. Sedimen dibilas dengan menggunakan air kran di atas saringan yang berpori 0,5 mm. Sortir bentik makroavertebrata dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran hingga 10 hingga 45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol flakon yang sudah berisi larutan alkohol 75%. Khusus identifikasi hewan cacing Oligochaeta dan larva Diptera Chironomidae dilakukan mounting dengan menggunakan larutan CMCP-10 (Polysciences Inc.). Sampel sedimen yang akan dianalisis konsentrasi logamnya berasal dari lapisan atas/ permukaan (±2-5 cm) dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan cuplikan sedimen pada masing-masing stasiun dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Cuplikan sedimen tersebut kemudian dimasukkan dalam botol kaca Scott yang bervolume 250 ml. Botol tersebut kemudian dimasukkan dalam coolbox yang sebelumnya sudah diberi es batu pada bagian luarnya sebagai pengawetnya. Analisis logam Pb, Cu, Cd dikerjakan dengan menggunakan metode dekstruksi HCL-HNO3 dengan perbandingan (3:1) dan larutan H2O2 30% yang dipanaskan di atas hotplate. Larutan ekstrak dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AAS flame spectrofotometer merk Hitachi Z6100. Penjelasan dari metode ini dapat dilihat dalam Smoley (1992). Untuk logam merkuri (Hg), sedimen didekstruksi dengan menggunakan campuran larutan asam H2SO4-HNO3 yang dioksidasi dengan menggunakan larutan KMnO4 45% dan Kalium persulfat 5%. Reduksi MnO4 dengan menggunakan larutan hidroksilamide klorit 10%. Reduksi Hg dilakukan dengan menggunakan larutan SnCl2.2H2O dan larutan ekstrak yang tertinggal dianalisis dengan menggunakan alat mercury analyzer (cold vapor AAS) merk Hiranuma 310. Penjelasan lebih lanjut
148
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
metode analisis logam merkuri ini dapat dilihat pada Smoley (1992). Metode pengukuran konsentrasi C organik pada sedimen dilakukan menurut Graham (1948) dan Bray and Kurtz (1945). Adapun pengukuran parameter lainnya seperti: fraksi ukuran butir dengan menggunakan saringan bertingkat, dan pH sedimen secara rinci dijelaskan dalam Blackmore et al. (1981).
Analisis data Status kontaminasi dari empat logam yang terakumulasi di sedimen (Hg, Cd, Cu, dan Pb) digabung kedalam satu indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000). Rumus dari indek polusi (W) dapat dilihat di bawah ini:
Dengan Ci = konsentrasi logam i di sedimen, Coi = konsentrasi logam di stasiun yang berfungsi sebagai latar belakang (background consentration), dan n = jumlah dari logam. Lokasi dikategorikan belum terpolusi jika W ≤ 0, terpolusi ringan jika 0 ≤W< 1, terpolusi sedang 1<W≤ 2, dan terpolusi berat jika W> 2. Prediksi besarnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata di masingmasing stasiun pengamatan, mengadopsi dari kriteria MacDonald et al. (2004). Tipe kualitas sedimen digolongkan menjadi tiga bagian yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A diharapkan kondisi yang mewakili tingkat gangguan yang rendah yang umumnya terdapat pada bagian reference site (background concentration). Tipe B menunjukkan tingkat gangguan sedang, dan tipe C menunjukkan tingkat gangguan yang tinggi. Uraian penjelasan secara rinci dari kriteria tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria kualitas sedimen yang didasarkan pada besarnya gangguan pada komponen triad uji bioassai dan komunitas bentik makroavertebrata.
149
Komunitas bentik (%
Tipe kualitas
Besarnya gangguan
sedimen
pada efek biologi
Tipe A
Rendah
< 10
Tipe B
Sedang
10-50
Tipe C
Tinggi
> 50
sampel yang terpengaruh)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
HASIL DAN PEMBAHASAN Status kontaminasi dan polusi logam di sedimen Hasil kompilasi analisis logam rata-rata Cu, Cd, Hg, dan Pb di sedimen dari mulai bulan Juni, Juli, Agustus 2006 telah disajikan Gambar 2 dan 3. Dari gambar tersebut menunjukkan kontaminasi logam mulai Stasiun Nanjung hingga outlet Waduk Saguling (Stasiun Rajamandala) yang secara umum relatif tinggi. Konsentrasi logam setelah Stasiun Gunung Wayang berkisar 3 hingga 8 kali lipat untuk beberapa jenis parameter logam berat yang diamati. Tingginya kontaminasi logam yang terakumulasi di sedimen tidak terlepas dari beban polusi yang diterima pada masing-masing stasiun pengamatan. Sumber kontaminasi logam berat yang masuk ke Sungai Citarum dan Waduk Saguling mungkin sangat beragam dan komplek. Gerhardt et al. (2004) dan Paul and Meyer (2001) menyebutkan adanya peningkatan aktivitas antropogenik di ekosistem air tawar akan meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di atas konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menambahkan sumber logam di sedimen di ekosistem akuatik umumnya berasal dari buangan limbah industri dan perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian. Hasil penilaian status polusi logam berat total (Pb, Cu, Hg, dan Cd) dengan menggunakan indek polusi (W) dari Widianarko et al. (2000) menunjukkan Stasiun Gunung Wayang yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakang dikategorikan belum mengalami polusi. Stasiun Nanjung hingga Maroko dikategorikan telah terpolusi berat, Stasiun Cipatik, intake structure, dan Rajamandala tergolong terpolusi sedang, dan Stasiun Ciminyak hingga Cijambu menunjukkan status terpolusi ringan. Tingkat status polusi pada masing-masing stasiun pengamatan secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 2. Penilaian status polusi logam di sedimen dengan menggunakan indek polusi (Widianarko 2000) pada penelitian ini bermanfaat dalam memprediksi besarnya bobot bukti dari kontaminasi kimia (salah satu komponen triad) pada masing-masing stasiun pengamatan. Salah satu keuntungan penggunaan indek polusi tersebut di atas, yaitu dalam membandingkan antara konsentrasi logam pada daerah uji (test site) dengan konsentrasi latar belakangnya (reference site) mungkin memiliki kemiripan kondisi geokimianya maupun sejarah asal penyusun partikel sedimen itu sendiri. Sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat dan mendekati kondisi riil di lapangan. Norris and Norris
150
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
(1995) menyebutkan dalam penyusunan indek polusi yang didasarkan pada perbandingan daerah uji (test site) dengan konsentrasi latar belakang yang berfungsi sebagai reference site biasanya memiliki hasil yang lebih baik guna diterapkan pada skala lokal, regional, bahkan nasional yang kadangkala memiliki perbedaan karakter kondisi geomorfologinya. Lima guideline lain dari sediment effect concentration (SECs) meliputi: ERL, ERM, TEL, PEL, dan SEL menunjukkan stasiun-stasiun yang telah melebihi TEL (Cu: 35,7 mg/kg berat kering) yaitu Stasiun Nanjung hingga Rajamandala. Stasiun Muara Cihaur dan Cipatik telah melebihi nilai guideline ERL-Cu yaitu 70 mg/kg berat kering, dan khusus Stasiun Nanjung telah melebihi nilai SEL-Cu yaitu 86 mg/kg berat kering. Untuk logam Pb hanya di Stasiun Nanjung saja yang telah melebihi kedua nilai guideline di atas (TEL-Pb: 35 mg/kg berat kering dan ERL-Pb: 35 mg/kg berat kering). Adapun konsentrasi logam Hg di Stasiun Gunung Wayang, intake structure, Rajamandala, Muara Cipatik, Muara Cijere, dan Muara Cijambu masih berada di bawah kelima guideline tersebut di atas, sedangkan Stasiun Nanjung hingga Muara Cihaur sebagian besar telah melebihi guideline ERL-Hg, TEL-Hg, dan PEL-Hg. Kontaminasi logam Cd di sedimen dibandingkan dengan lima guideline tersebut di atas, semuanya masih di bawah nilai dari lima guideline tersebut. Dari lima guideline tersebut di atas menunjukkan kontaminasi logam Cd di Waduk Saguling diprediksi sangat kecil menimbulkan gangguan ekologi maupun toksisitasnya pada biota akuatik. Tabel 2. Status polusi dari logam berat yang terakumulasi di sedimen dengan menggunakan indek polusi (Widianarko et al.2000).
Stasiun
151
Stasiun Pengamatan
1
Gunung Wayang
2
W
Status Polusi
0
Belum terpolusi
Nanjung
4,1
Terpolusi berat
3
Trashboom Batujajar
3, 1
Terpolusi berat
4
Cihaur
2,9
Terpolusi berat
5
Cangkorah
3,0
Terpolusi berat
6
Cimerang
2,2
Terpolusi berat
7
Maroko
3,1
Terpolusi berat
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
8
Cipatik
1,1
Terpolusi sedang
9
Ciminyak
-0,5
Terpolusi ringan
10
Cijere
0,5
Terpolusi ringan
11
Cijambu
0,5
Terpolusi ringan
12
Intake structure
1,1
Terpolusi sedang
13
Rajamandala
1,2
Terpolusi sedang
Gambar 2. Konsentrasi rata-rata logam Pb dan Cu pada sedimen (mg/kg berat kering) di masing-masing stasiun pengamatan.
Gambar 3. Konsentrasi rata-rata logam berat Cd dan Hg (mg/kg berat kering) di sedimen di setiap stasiun pengamatan
152
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Dari Gambar 2, 3, dan Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan kontaminasi logam dan status polusi di masing-masing stasiun pengamatan kemungkinan disebabkan oleh perbedaan beban pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun pengamatan tersebut. Status polusi logam di sedimen umumnya dihasilkan dari perbedaan jenis dan besarnya logam berat yang digunakan dan dilepaskan ke lingkungan akibat dari peningkatan aktivitas antropogenik di sekitar site tersebut (Förtstner 1983a). Power and Chapman (1992) menyebutkan kemampuan yang tinggi dari sedimen untuk merespon dan merekam kejadian polusi yang terjadi di dalam ekosistem akuatik dari masa lampau hingga sekarang. Sebagai contoh daerah-daerah yang mendapat masukan utama dari lindih aktivitas gunung berapi, limbah industri dan perkotaan (misalnya Stasiun Nanjung dan Trashboom), dan kawasan industri (Stasiun Cihaur, dan Cangkorah) akan memiliki kontaminasi logam di sedimennya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya yang beban polusinya masih didominasi oleh pertanian dan limbah domestik yang berasal dari perkampungan (misalnya Stasiun Cipatik, Cijere, dan Cijambu). Peningkatan logam di Stasiun Cihaur, Cangkorah, dan Cimerang diduga dari buangan industri yang berada di pinggir waduk yang membuang limbahnya secara langsung ke dalam Waduk Saguling (Misdi1 2006, komunikasi pribadi). Kontaminasi logam di Stasiun Ciminyak dan stasiun lainnya dalam Waduk Saguling mungkin berasal dari penumpukan sisa pakan buatan dari budidaya jaring apung, beban polusi dari anak-anak sungai yang masuk ke stasiun tersebut, maupun berasal dari air Waduk Saguling sendiri yang sudah mengalami kontaminasi logam di
kolom airnya dari Sungai Citarum
(Mulyanto 2003).
Hubungan Kontaminasi Makroavertebrata.
Logam
di
Sedimen
dengan
Komunitas
Bentik
Interaksi kontaminasi logam berat dan bahan polutan lainnya di lapangan mungkin bersifat sangat komplek dalam memberikan pengaruh pada perubahan struktur komunitas bentik makroavertebrata. Namun demikian dampak keberadaan logam berat
1
PT. Indonesia Power, UBP Saguling, Bandung
153
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
di sedimen terhadap komunitas bentik makroavertebrata telah banyak dikaji, karena efek negatif dari logam tersebut akan berpengaruh secara langsung pada seluruh tingkatan organisasi biologi dari level seluler (proses biokimia dan fisiologi) hingga penurunan keanekaragaman hayati (Luoma and Carter 1991). Luoma and Carter (1991) menyebutkan pengaruh negatif dari pemaparan logam ke organisme bentik makroavertebrata mungkin berupa gangguan pada laju feeding, respirasi, proses reproduksi, embriogenesis, perkembangan larva, abnormalitas morfologi, histopatologi, perilaku, pengaturan ion (osmotik), dan fungsi organ tubuh lainnya yang semuanya itu akan berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup organisme bentik yang bersangkutan. Konsekuensi dari terganggunya struktur komunitas oleh bahan toksikan biasanya berupa hilangnya beberapa spesies yang tergolong sensitif dan perubahan dalam kelimpahan organisme yang bersangkutan pada komunitasnya, sehingga integritas biologi dari peraiaran tersebut biasanya akan mengalami penurunan (Ford 1989).
Data
komposisi
dan
kelimpahan
rata-rata
dari
organisme
bentik
makroavertebrata pada setiap stasiun pengamatan secara rinci dapat dilihat dalam Lampiran 1. Respon atribut biologi (bentik makroavertebrata) dalam mencerminkan tingkat gangguan ekologi yang terjadi di setiap stasiun pengamatan telah disajikan dalam Tabel 3. Dari tabel tersebut menunjukkan trend nilai indek diversitas Shannon-Wiener yang menurun drastis setelah Stasiun Gunung Wayang dari 3,4 hingga mencapai nilai 0,1 , 0,9, dan 0 berturut-turut pada Stasiun Nanjung, Cihaur, dan Cangkorah. Rendahnya indek diversitas di Stasiun Nanjung disebabkan oleh adanya dominasi yang kuat dari kelimpahan satu hewan tertentu saja misalnya cacing Oligochaeta Limnodrilus sp. (24.030 indv/m2). Di Stasiun Cihaur dan Cangkorah rendahnnya indek diversitas disebabkan oleh rendahnya jumlah komposisi taksa dan kelimpahan organisme bentik makroavertebrata yang menyusun komunitas stasiun tersebut (44 indv/m2 di Cangkorah). Di Stasiun Cangkorah hanya tersusun oleh larva Chironomid Kiefferulus sp. yang relatif rendah jumlah kelimpahannya. Setelah Stasiun Cangkorah nilai indek sedikit demi sedikit meningkat di kisaran 2,1 hingga 3,3.
154
Stasiun Cimerang hingga Rajamandala dengan
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 3. Respon beberapa metrik biologi di setiap stasiun pengamatan
Indek
Kekayaan
Diversitas
taxa
Gunung Wayang
3,4
15
24
27
Nanjung
0,1
1
0
3
Batujajar
0,5
2
0
5
Cihaur
0,9
1
2
7
Cangkorah
0
1
2
5
Cimerang
2,6
7
18
13
Maroko
2,4
6
14
13
Cipatik
2,7
8
2
13
Ciminyak
3,3
12
13
19
Cijere
3,0
8
8
17
Cijambu
2,9
9
12
19
Intake
2,1
6
7
11
Rajamandala
2,4
9
5
13
Stasiun
BMWP
Indek biotik gabungan
Indeks diversitas Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum digunakan dalam menggambarkan stabilitas komunitas dan besarnya degradasi pada ekosistem akuatik (Reynoldson and Metcalfe-smith 1992, Berkman et al. 1988). Indeks tersebut menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu kelimpahan, jumlah taksa, dan evenness (kemerataan distribusi organisme diantara spesies). Rendahnya indeks tersebut biasanya mencirikan adanya stress dari komunitas yang cenderung menjadi tidak stabil. Indeks tersebut mencapai maksimum jika jumlah individu pada masing-masing individu spesies terdistribusi secara merata (Norris 1999). Zisckhe and Ericksen (2003) menyebutkan nilai indek diversitas antara 3 hingga 4 umumnya mencerminkan kondisi sungai yang belum terpolusi, sedangkan nilai indek di bawah 1 umumnya mencerminkan kondisi sungai yang terpolusi berat. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya indek diversitas selain stress oleh polusi antara lain kecepatan arus, heterogenitas substrat, kedalaman usaha sampling, metode sampling yang dipergunakan, ukuran sampel, durasi sampling, tingkat resolusi taksonomi yang digunakan, dan waktu koleksi sampel (Norris 1999, Washington 1984). Salah satu
155
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
kekurangan penggunaan indek diversitas dalam mencerminkan status polusi di perairan yaitu dalam penghitungan indek tersebut tidak memasukkan unsur nilai toleransi dari masing-masing hewan bentik makroaveretebrata terhadap pencemaran seperti indek BMWP maupun indek biotik lainnya. Adanya pencemaran ringan dari peningkatan nutrien diduga dapat menyebabkan peningkatan nilai indek diversitasnya (Washington 1984). Oleh sebab itu dalam mencerminkan gangguan yang terjadi dalam ekosistem perairan, penggunaan indek diversitas Shannon-Wiener perlu dilakukan kombinasi dengan indek biotik lainnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan terintegrasi. Atribut biologi kekayaan taksa menunjukkan trend yang hampir mirip dengan atribut biologi indek diversitas. Di Stasiun Gunung Wayang masih memiliki indek kekayaan taksa yang tertinggi (14). Setelah Stasiun Gunung Wayang, indek kekayaan taksanya mengalami penurunan hingga Stasiun Cangkorah (1). Setelah Stasiun Cangkorah trend dari indek kekayaan taksa cenderung meningkat kembali dengan kisaran nilai yang cukup bervariasi dari 6 hingga 12 (dari Stasiun Cimerang hingga Rajamandala). Bode et al. (1996) telah menggunakan atribut biologi atau metrik kekayaan taksa dalam menentukan tingkat gangguan pada ekosistem sungai khususnya di daerah New York Amerika Serikat. Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Bode et al. (1996), Stasiun Gunung Wayang dikategorikan telah mengalami gangguan sedang, sedangkan stasiun lainnya dikategorikan telah mengalami gangguan berat. Rendahnya kekayaan taksa ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain perbedaan ekosistem (misalnya perairan mengalir dan menggenang), heterogenitas susbstrat, ketersediaan pakan, dan adanya polusi. Karena penelitian ini dilakukan di dalam Waduk Saguling dan hulu Sungai Citarum yang substrat dasarnya lebih didominasi oleh
pasir dan
campuran clay dan silt, maka hanya bentik makroavertebrata yang bertipe detritivor (pemakan detritus) saja yang biasanya mendominasi perairan tersebut dan akan berpengaruh pada rendahnya jumlah taksa yang ditemukan. Disamping itu dengan semakin bertambahnya beban polusi logam yang ada di sedimen, pada umumnya diikuti dengan berkurangnya jumlah kekayaan taksa dan kelimpahan beberapa taksa yang tergolong sensitif misalnya larva Ephemeroptera (Baetis sp.), Hemiptera (Abedus
156
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
identatus), Aeshnidae (Coryphaeschna sp) dan sebagainya yang sering ditemukan di Gunung Wayang. Atribut biologi indek BMWP menunjukkan trend yang agak berbeda dari indek sebelumnya. Grafik batang indek BMWP memperlihatkan bahwa Stasiun Gunung Wayang masih memiliki nilai indek BMWP tertinggi yaitu 20. Setelah Stasiun Gunung wayang nilai indek menurun drastis pada Stasiun Nanjung dan Stasiun Batujajar yang mencapai nilai 0. Nilai indek secara bertahap meningkat dari Stasiun Cihaur hingga Stasiun Maroko yang mencapai nilai 14. Setelah Stasiun Maroko nilai indek cenderung turun kembali hingga mencapai nilai 3. Peningkatan cukup signifikan mulai tampak pada Stasiun Ciminyak hingga Stasiun Cijambu dengan nilai indek dari 8 hingga 12. Setelah Stasiun Cijambu nilai indek mulai turun kembali dari mulai stasiun intake structure (7) hingga Stasiun Rajamandala (5). Dari Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan kontaminasi logam terutama pada Stasiun Nanjung hingga Cangkorah diikuti dengan menurunnya indek BMWP. Berdasarkan kriteria indek BMWP, maka stasiun Gunung Wayang termasuk dalam kategori terpolusi ringan (16-50) dan semua stasiun pengamatan lainnya dalam kategori terpolusi berat (0-15). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi sensitifitas dan besarnya nilai indek BMWP selain dari adanya polusi yaitu perbedaan tipe perairan dan keterbatasnya nilai toleransi dari masing-masing oranisme bentik makroavertebrata yang ditemukan. Penyusunan indek BMWP pada awalnya dikembangkan
untuk
mendeteksi adanya pencemaran organik pada sungai (Martin 2004). Adanya perbedaan karakteristik fisik, kimia, maupun biologi dari tipe perairan pada umumnya akan menyebabkan perbedaan preference dari organisme bentik yang hidup di perairan tersebut. Beberapa famili dari organisme bentik makroavertebrata yang hidup di perairan mengalir tidak dijumpai pada perairan tergenang misalnya Nemouridae, Perlodidae dan sebagainya. Penggunaan indek BMWP untuk perairan tergenang (kolam, waduk, atau danau) mungkin memerlukan modifikasi atau kalibrasi nilai toleransinya dari masing-masing famili organisme bentik makroavertebrata yang ditemukan. Disamping itu, nilai toleransi dari beberapa famili organisme bentik makroavertebrata yang ditemukan pada penelitian ini, tidak memiliki nilai skornya pada indek BMWP misalnya Coenagrionidae, Oxygastridae, Lymnaeidae dan sebagainya. Hal ini akan
157
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
berpengaruh pada rendahnya nilai indek dan salah satu kelemahan dari indek BMWP, karena setiap taksa yang ditemukan mungkin mencirikan kondisi kualitas air tententu. Ketiga indek tersebut di atas selanjutnya dibuat menjadi indek biotik gabungan yang didasarkan pada pendekatan multimetrik. Hasil penggabungan indek tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan nilai indek gabungan yang hampir mirip dengan 2 indek sebelumnya (indek diversitas dan kekayaan taksa). Pada indek gabungan, Stasiun Gunung Wayang masih memiliki rangking tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 27. Setelah Stasiun Gunung Wayang trend dari grafik menunjukkan adanya penurunan pada Stasiun Nanjung yang mempunyai nilai indek 3. Nilai indek setelah Stasiun Nanjung mulai menunjukkan adanya sedikit peningkatan dari Stasiun Batujajar (5) hingga Stasiun Cihaur (7). Di Stasiun Cangkorah nilai indek biotik gabungan mulai menurun kembali (5). Peningkatan yang signifikan terjadi dari Stasiun Cimerang hingga Stasiun Rajamandala dengan kisaran nilai indek yang bervariatif dari 11 hingga 17. Adanya peningkatan indek gabungan tersebut mungkin erat kaitannya dengan penurunan kontaminasi dari logam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Keran and Karr (1994) dan Reynoldson et al. (1997) menyebutkan setiap komponen atribut biologi (metrik) yang digunakan mengandung makna tersendiri dalam merespon perubahan komunitas dari adanya perubahan habitat, interaksi biologi, maupun oleh polusi. Dari ketiga indek (metrik) tersebut, setelah mengalami pembobotan atau normalisasi, maka memungkinkan adanya penggabungan indek ke dalam satu indek biotik tunggal, seperti yang dilakukan dalam penyusunan biokriteria dengan menggunakan konsep multimetrik. Penggunaan konsep multimetrik (indek gabungan) di Waduk Saguling ini sangat bermanfaat terutama dalam penggabungan informasi yang ada dari setiap metrik guna mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi di dalam Waduk Saguling. Hasil penilaian tingkat gangguan komunitas bentik makroavertebrata dengan menggunakan indek biotik gabungan yang mengadopsi dari kriteria MacDonald et al. (2004), memperlihatkan bahwa secara keseluhanan komunitas bentik makroavertebrata yang hidup di Waduk Saguling telah mengalami gangguan dari kategori sedang (30-37) hingga berat (51-88). Kategori sedang dijumpai pada Stasiun Ciminyak hingga
158
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Cijambu, sedangkan kategori berat terdapat pada Stasiun Nanjung hingga Cipatik, intake,
dan
Rajamandala
(Tabel
4).
Beratnya
gangguan
komunitas
bentik
makroavertebrata yang ada di Stasiun Nanjung hingga Cipatik diduga dipengaruhi oleh tingginya kontaminasi logam di sedimennya (Tabel 2). Adapun di stasiun intake dan Rajamandala beratnya gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata selain disebabkan oleh kontaminasi logam berat itu sendiri, juga disebabkan oleh adanya faktor lainnya yang turut mengatur dan memberikan pengaruh pada komunitas tersebut misalnya amoniak, nitrit, PCB dan sebagainya.
Tabel 4. Penilaian gangguan komunitas bentik makroavertebrata di Waduk Saguling yang didasarkan pada atribut biologi gabungan.
(% Stasiun
Gangguan Efek Biologi
Komunitas
Makroavertebrata
Bentik yang
Terpengaruh) Gunung Wayang
Rendah
0
Nanjung
Tinggi
88
Batujajar
Tinggi
81
Cihaur
Tinggi
74
Cangkorah
Tinggi
81
Cimerang
Tinggi
51
Maroko
Tinggi
51
Cipatik
Tinggi
51
Ciminyak
Sedang
30
Cijere
Sedang
37
Cijambu
Sedang
30
Intake
Tinggi
59
Rajamandala
Tinggi
51
Ke empat atribut biologi di atas, di uji dengan korelasi Spearman dengan konsentrasi logam berat dan variabel pendukungnya (DO, C-organik dan pH sedimen) pada masing-masing stasiun pengamatan. Data hasil pengukuran parameter DO, COrganik, dan pH sedimen secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil uji korelasi
159
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
antara variabel di atas secara rinci telah disajikan dalam Tabel 6. Dari tabel tersebut menunjukkan tingkat sensitifitas dari masing-masing indek biologi dalam merespon besarnya kontaminasi logam dan beberapa variabel pendukung lainnya (C-organik, ph sedimen, DO). Indek diversitas Shannon-Wiener, kekayaan taksa, dan indek biotik gabungan/ multimetrik masih menunjukkan sensitifitas yang relatif tinggi (signifikan pada p = 0,05) dalam mendeteksi peningkatan kontaminasi logam Cu, Pb, Hg, dan persentase ukuran butir sedimen. Indek BMWP hanya sensitif terhadap kontaminasi logam Pb, Hg, dan persentase ukuran butir sedimen. Selain hal tersebut empat atribut biologi di atas ternyata kurang sensitif dalam mendeteksi pengkayaan logam Cd di sedimen. Tabel 5: Hasil analisis karbon organik dan fraksi butiran dari sedimen di setiap stasiun pengamatan. Fraksi Butiran Sedimen Dalam Satuan %
No
Lokasi
DO
Karbon
Dasar
Organik
(mg/l)
[%]
Pasir pH
Clay &
Sangat
Silt
Halus
<63µm
Halus
Sedang
Kasar
Sangat Kasar
63 –
125 –
250 –
500µm
1–
125µm
250µm
500µm
– 1mm
2mm
1
Gunung Wayang
6,45
0.820
7.278
4.63
37.16
40.00
11.31
6.91
-
2
Nanjung
2,31
4.547
6.594
38.50
28.24
20.65
12.20
0.41
-
3
Batujajar
2,49
1.087
6.598
19.37
22.04
34.01
22.85
1.73
-
4
Cihaur
0,24
1.833
8.52
19.07
22.12
35.03
21.89
1.89
-
5
Cangkorah
0,71
2.147
9.116
19.07
22.12
35.03
2189
1.89
-
6
Cimerang
0,6
1.187
8.304
18.58
24.30
31.03
24.02
2.08
-
7
Maroko
0,36
2.61
7.78
6.58
32.83
35.86
23.11
1.63
-
8
Cipatik
0,70
3.19
7.48
16.94
30.56
29.26
22.10
1.14
-
9
Ciminyak
0,26
2.2
7.62
4.47
27.07
43.54
23.91
1.01
-
10
Cijere
0,44
2.40
8.268
23.37
34.23
32.17
9.96
0.28
-
11
Cijambu
1
1.487
7.776
4.08
31.19
39.16
24.17
1.40
-
12
Intake
0,59
1.47
7.74
16.58
28.14
25.01
26.57
3.71
-
13
Rajamandala
3,27
0.983
7.43
24.79
69.94
4.03
1.08
0.16
-
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan adanya fenomena penurunan beberapa atribut biologi seperti indek diversitas, kekayaan taksa, Indek BMWP, dan indek biotik
160
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
gabungan (Tabel 3 dan 4) akan diikuti dengan peningkatan kontaminasi logam berat di sedimen dan penurunan konsentrasi oksigen terlarutnya (Gambar 2, 3, dan Tabel 2). Adanya penurunan nilai dari beberapa atribut biologi di atas sangat dipengaruhi oleh perubahan komposisi taksa dan tingkat keseimbangan kelimpahan dari populasi bentik makroavertebrata yang ada. Adanya stress atau polusi pada umumnya menyebabkan penyederhanaan dari rantai makanan pada ekosistem akuatik yang biasanya diikuti dengan penurunan jumlah taksa dari komunitas bentik makroavertebrata. Cairns and Dickson (1971) menyebutkan introduksi polutan biasanya akan menurunkan jumlah spesies yang tergolong sensitif hingga organisme yang relatif toleran saja yang mampu tetap bertahan hidup. Adanya pergeseran komposisi taksa dan nilai kelimpahan dapat berpengaruh secara langsung pada pergeseran nilai beberapa atribut biologi di atas seperti: indek diversitas dan kekayaan taksanya. Indek BMWP relatif hanya dipengaruhi oleh perubahan komposisisi taksa dan nilai toleransi dari setiap hewan yang merespon adanya kontaminasi polutan di perairan pada setiap stasiun pengamatan. Tabel 6. Hasil uji korelasi Spearman antara konsentrasi logam berat dan variabel pendukung lainnya dengan beberapa atribut biologi dari struktur komunitas bentik. Variabel Indek Diversitas Indek BMWP Kekayaan Taksa Indek Gabungan Cd
Pb
Cu
Hg
DO
% Clay
% Pasir
C-Org
pH sed
-0,1654
-0,2812
-0,1761
-0,2935
p = 0,589
p = 0,352
p = 0,565
p = 0,330
-0,778
-0,6011
-0,7363
-0,7468
p = 0,002*
p = 0,030*
p = 0,004*
p = 0,003*
-0,565
-0,3841
-0,6426
0,6694
p = 0,044*
p = 0,195
p = 0,018*
p = 0,009*
-0,8577
-0,577
-0,8023
-0,7708
p = 0,001*
p = 0,000*
p = 0,001*
p = 0,002*
0,3595
0,6
0,2502
0,2584
p = 0,228
p = 0,030*
p = 0,410
p = 0,394
-0,6287
-0,7469
-0,6307
-0,7044
p = 0,021*
p = 0,003*
p = 0,021*
p = 0,007*
0,63
0,7471
0,6308
0,7046
p = 0,000*
p = 0,000*
p = 0,000*
p = 0,000*
-0,32
-0,39
-0,38
-0,41
p = 0,28
p = 0,184
p = 0,2
p = 0,17
0,003
0,082
-0,12
0,002
p = 0,991
p = 0,782
p = 0,729
p = 0,999
Simbol * menunjukkan nilai korelasi yang signifikan pada selang kepercayaan 95%.
161
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2006 ini, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain: 1. Konsentrasi logam berat di sedimen dibandingkan dengan beberapa guideline dari: kementrian lingkungan Ontario, SEPA, ERL, ERM, PEL, SEL, dan TEL, secara umum menunjukkan kontaminasi logam Hg, Pb, dan Cu yang paling berpotensi menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan, sedangkan logam Cd masih di bawah ambang batas dari sebagian besar guideline tersebut di atas. 2. Adanya peningkatan logam Pb, Cu, dan Hg di sedimen pada Waduk Saguling akan diikuti dengan penurunan beberapa atribut biologi (indek) yaitu BMWP, diversitas, kekayaan taksa, dan gabungan. Namun indek tersebut di atas relatif kurang sensitif dalam mendeteksi besarnya kontaminasi logam Cd, C-organik, maupun ph sedimen.
DAFTAR PUSTAKA Anonim 2004. Booklet Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling. Anonim 1986. Quality Criteria for Water 1986, United States Environmental Protection Agency. EPA 440/5-86-001. Washington. Azrina M.Z., C.K. Yap, A. Rahim Ismail, A. Ismail, S.G. Tan, 2006, Anthropogenic Impacts on The Distribution and Biodiversity of Benthic Macroinvertebrates and Water Quality of The Langat River, Peninsular Malaysia, Ecotoxicology and Environmental Safety 64: 337–347. Beasley G. dan P.E. Kneale, 2004, Assessment of Heavymetal and PAH Contamination of Urban Streambed Sediments on Macroinvertebrates, Water, Air, and Soil Pollution: Focus 4: 563–578. Berkman HE., Rabeni CF., and Boyle TP. 1988. Biomonitors of Stream Quality in Agricultural Areas: Fish Versus Invertebrates. Environmental Management 10(3): 413-419. Blackmore LC., Searle PL., and Daly BK. 1981. Methods for Chemicals Analysis of Soils. N.Z. Soil Bureau Sci. Rep. 10 A. Soil Bureau. Sower Hutt. New Zealand.
162
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Bode RW., Novak MA., and Abele LE. 1996. Quality Assurance Workplan for Biological Stream Monitoring in New York State. NYS Department of Environmental Conservation. Albany. New York. Brahmana SS., and Firdaus A. 1997. Eutrophication in Three Reservoirs at Citarum River, Its Relation to Beneficial Uses. Proceeding Workshop on Ecosystem Approach to Lake and Reservoir Management. hlm 199-211. Bray RH., and Kurtz L.T. 1945. Determination of Total Organic and Available Form of Phosphorus in Soil. Soil Sci. 59: 39-45. Davies SP., and Tsomides L. 1997. Methods for Biological Sampling and Analysis of Maine’s Inland Water. Maine Department of Environmental Protection. Augusta-Maine. Ford J. 1989. The Effects of Chemical Stress on Aquatic Species Composition and Community Structure in Ecotoxicology: Problems and Aproaches. Harwell LM., Kelly J., and Kimball K., editors. New York. Springer–Verlag. hlm 932. Fὅrtstner U. 1983a. Metal pollution assessment from Sediment Analysis. in Metal Pollution In Aquatic Environment. Springer Verlag. Berlin Heidelberg. Germany. hlm 110-196. Gerhardt A., De Bisthoven LJ., and Soares AMVM. 2004. Macroinvertebrtae Response to Acid Maine Drainage: Community Structure and On-line behavioral taoxicity bioassay. Environmental Pollution 130: 263-274 Graham E.R. 1948. Determination of Soil Organic Matter by Means a Photoelectric Colorimeter. Soil Sci. 65 : 181-187 Hart BT., Dok WV., and Djuangsih N. 2002. Nutrient Budget for Saguling Reservoir, West Java, Indonesia. Water Research 36: 2152-2160. Keran B.L. and Karr J.R. 1994. A Benthic Index of Biotic Integrity (B-IBI) For River of The Tennesse Valley. Ecol. Appl. 4: 768-785. Luoma SN., and Carter JL. 1991. Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. in M.C. Newman and A.W. McIntosh (eds): Metal Ecotoxicology: Concepts and Applications. Lewis Publishers. Chelsea. Michigan. 261-300. Mac Donald, D.D., Carr R.S., Calder F.D., Long E.R., and Ingersoll C.G. 1996. Development and Evaluation of Sediment Quality Guidelines for Florida Coastal Water. Ecotoxicology 5 : 253-278. MacDonald, D. M., R. S. Carr, D. Eckenrod, H. Greening, S. Grabe, C. G. Ingersoll, S. Janicki, T. Janicki, R. A. Lindskong, E. R. Long, R. Pribble, G. Sloane, and D. E. Smorong. 2004. Development, Evaluation, and Application of Sediment Quality Target for Assessing and Managing Contaminated Sediments in Tampa bay, Florida. Arch. Environ. Contam. Toxicol. 46:147161.
163
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Martin R. 2004. Origin of The Biological Monitoring Working Party System, www. cies.staffs.ac.uk./rscrbmwp.htm.3k. Matthaei, C. D., C. J. Arbukle, and C. R. Townsend. 2000. Stable Surface Stones as Refugia for Invertebrates During Disturbance in a New Zealand Stream. J. N. Am. Benthol Soc.19(1): 82-93. Mize S.V. and R. Deacon, 2002, Relations of Benthic Macroinvertebrates to Concentrations of Trace Elements in Water, Streambed Sediments, and Transplanted Bryophytes and Stream Habitat Conditions in Nonmining and Mining Areas of the Upper Colorado River Basin, Colorado, 1995–98, U.S. Geological Survey, Water-Resources Investigations Report 02–4139, Denver, Colorado. Mulyanto S. 2003. Rekapitulasi Penelitian Kualitas Air Waduk PLTA Saguling Tahun 1994-2003. PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling. 32 hal. Mwamburi, J. 2003. Variations in Trace Elements in Bottom Sediments of Major Rivers in Lake Victoria’s Basin, Kenya. Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: 5–13. Norris, R.H. and K.R. Norris. 1995. The Need for Biological Assessment of Water quality: Australian Perspective. Australian Journal of Ecology 20: 1-6. Norris, R. H. 1999. Environmental Indicators: Recent Development in Measurement and Application for Assessing Freshwater. in: A. Holt, K. Dickinson, and G.W. Kearsley (eds): Environmental Indicators. Proceeding of The Environmental Indicator Symposium. University of Otago. Dunedin. New Zealand. 1-43. Paul, M.J. and J.L. Meyer. 2001. Stream in the Urban Landscape, Annu. Rev. Ecol. Syst. 32:333–365 Poulton B. C., Mark L. Wildhaber, Collette S. Harbonneau, James F. Fairchild, Brad G. Mueller, and Christopher J. Schmitt, 2003, A Longitudinal Assessment of The Aquatic Macro-invertebrate Community in The Channelized Lower Missouri River, Environmental Monitoring and Assessment 85: 23–53 Power, E. A., and P. M. Chapman. 1992. Assessing Sediment Quality. In: A. Burton (Eds): Sediment Toxicity Assessment. Lewis Publishers. 1-16. Reynoldson T.B., and Metcalfe-Smith, 1992, An Overview Of The Assessment Of Aquatic Ecosystem Health Using Benthic Invertebrates, Journal Of Aquatic Ecosystem Health 1: 295-308pp. Reynoldson, T.B., R.H. Norris, V.H. Resh, K.E. Day, and D.M. Rosenberg. 1997. The Reference Condition: A Comparison Of Multimetric And Multivariate Approaches To Assess Water Quality Impairment Using Benthic Macroinvertebrates. J. N. Am. Benthol. Soc. 16(4): 833-852. Smoley, C. K. 1992. Methods for The Determination of Metals in Environmental Samples. Method 200.2. US- EPA. Cincinnati. Ohio. 281 hal.
164
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sriwana, T. 1999. Polusi Vulkanogenik: Akumulasi Unsur Kimia dan Penyebarannya di Sekitar Kawah Putih, G. Patuha Bandung. Makalah Seminar di Puslit Limnologi-LIPI. Cibinong. 5 hal. Timmermans, K.R., W. Peeters, and M. Tonkes. 1992. Cadmium, Zinc, Lead, and Copper in Chironomus riparius (meigen) Larvae (Diptera, Chironomidae): Uptake and Effects. Hydrobiologia 241: 119-134 Widianarko, B., R. A. Verweij, A. M. Van Gestel, and N. M.Van Straalen. 2000. Spatial Distribution of Trace Metal in Sediments from Urban Streams of Semarang, Central Java, Indonesia. Ecotoxicology and Environmental Safety 46: 95100. Washington, H. G. 1984. Diversity, Biotic, and Similarity Indices: a Review with Special Relevance to Aquatic Ecosystem. Water Res. 18(6): 653-694. Zisckhe J.A. dan G. Ericksen, 2003, Analysis of Benthic Macroinvertebrate Communities in The Minnesota River Watershed, Diane Waller, United states fish and Wildlife Service, La Crosse, Wisconsin.
165
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008 Lampiran 1 Data rata-rata kelimpahan organisme bentik makroavertebrata di setiap stasiun pengamatan.
Rata-rata kelimpahan jumlah individu/m2 Ordo
Famili
Taxa St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8
St 9
St 10
St 11
St 12
St 13
Ephemeroptera
Baetidae
Baetis sp.
415
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Hemiptera
Belostomatidae
Abedus identatus
281
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Hemiptera
Nepidae
Ranatra dispar
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Hemiptera
Corixidae
Micronecta sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30
0
Odonata
Aeshnidae
Coryphaeschna sp.
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Odonata
Coenagrionidae
Amphiagrion sp.
89
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Odonata
Libellulidae
Libellula sp
0
0
0
0
0
0
0
0
15
15
0
0
0
Odonata
Oxygastridae
Hesperocordulia sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30
0
Hirudinea
Glossiphoniidae
Glossiphonia sp.
119
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1126
Molusca
Viviparidae
Belamya javanica
0
0
0
0
0
296
563
0
667
163
163
0
0
Molusca
Viviparidae
Pila scutata
0
0
0
0
0
163
148
0
15
0
59
59
0
Molusca
Lymnaeidae
Lymnaea stagnalis
1126
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Molusca
Planorbidae
Amerianna sp.
0
0
0
0
0
0
0
15
0
0
0
0
0
Molusca
Thiaridae
Melanoides (melanoides) sp.
0
0
0
0
0
74
0
74
341
252
252
30
237
Molusca
Thiaridae
Brotia sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
59
Crustacea
Atyidae
Atyaephyra desmaresti
3393
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Diptera
Chironomidae
Procladius sp.
222
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Diptera
Chironomidae
Tanytarsus sp.
0
0
0
0
0
207
0
0
44
0
0
0
44
166
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Diptera
Chironomidae
Kiefferulus sp.
0
0
0
637
44
267
356
578
607
119
652
415
178
Diptera
Chironomidae
Polypedilum sp.
296
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Diptera
Ceratopogonidae
Culicoides sp.
0
0
0
0
0
0
15
0
0
0
0
0
0
Diptera
Chaoboridae
Chaoborus sp.
0
0
0
0
0
0
30
59
30
222
0
0
0
Oligochaeta
Naididae
Haemonais waldvogelli
104
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Oligochaeta
Naididae
Stephensonia sp.
74
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Oligochaeta
Naididae
Branchiodrilus semperi
163
0
0
15
0
148
578
459
548
415
370
1156
44
Oligochaeta
Naididae
Pristina menoni
59
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Oligochaeta
Naididae
Chaetogaster lymnaei
30
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Oligochaeta
Naididae
Dero digitata
0
0
400
326
0
711
593
548
222
415
711
1170
59
Oligochaeta
Naididae
Dero obtusa
0
0
0
0
0
0
0
44
696
148
296
15
0
Oligochaeta
Naididae
Dero (Aulophorus) gravelyi
0
0
15
30
0
0
0
44
3022
519
859
15
15
Oligochaeta
Naididae
Naididae
0
0
0
0
0
104
0
74
1289
0
0
104
74
Oligochaeta
Naididae
Pristina sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
74
0
0
0
0
Oligochaeta
Tubificidae
Branchiura sowerbyi
2844
0
0
0
0
15
0
0
607
0
15
15
10015
Oligochaeta
Tubificidae
Limnodrilus sp.
0
24030
133
0
0
44
341
30
1170
400
104
1096
14104
Oligochaeta
Tubificidae
Aulodrilus piqueti
0
0
0
0
0
0
15
15
963
0
0
163
133
Tricladida
Dugesidae
Cura sp.
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Tricladida
Dugesidae
Dugesia sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
59
0
0
0
0
Lepidoptera
Pyralidae
Nymphulinae
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Crustacea
Cirolamidae
Austroargathona sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
74
0
9289
24030
548
1007
44
2030
2637
1941
10370
2667
3481
4370
26089
Jumlah Total
167
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENGGUNAAN DIATOM EPILITHIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS AIR SUNGAI REMBANGAN JEMBER YANG MELEWATI PERKEBUNAN KOPI Retno Wimbaningrum*) dan Siswoyo**) ABSTRAK Diatom epilithik merupakan kelompok mikroalga eukariotik yang hidupnya melekat di bebatuan. Di banyak negara, keberadaan komunitas diatom epilithik ini telah dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk menilai kualitas air sungai. Namun demikian, di Indonesia baru sedikit ahli yang memanfaatkan diatom sebagai bioindikator untuk menilai kualitas air sungai. Analisis komposisi dan kelimpahan diatom epilithik telah dilakukan di Sungai Rembangan, Jember yang melewati perkebuan kopi pada bulan Agustus 2008 pada tiga stasiun. Koleksi sampel diatom epilithik dilakukan dengan cara menyikat batu yang terendam air sungai dengan kuas..Identifikasi taksonomi diatom epilitik dilakukan di bawah mikroskop sampai ditemukan minimum 200 frustula (Winter and Duthie, 2000). Sampel air sungai diambil untuk dianalisis kadar fosfat, nitrat, amoniak, TSS, konduktivitas, alkalinitas, dan temperatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 25 jenis diatom epilithik. Komposisi jenisnya pada ketiga stasiun tidak terlampau berbeda nyata. Jenis yang paling melimpah pada ketiga stasiun adalah Fragillaria crotonensis. Kadar fosfat, nitrat, amoniak, TSS dan alkalinitas air sungai adalah rendah, dengan demikian kualitas air sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi dapat dikategorikn tidak tercemar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah diatom epilithik jenis Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator penilaian kualitas air yang melewati perkebunan kopi yang tidak tercemar. Kata kunci: diatom, epilithik, bioindikator, kualias air.
ABSTRACT Epilithic diatom are a group of eucaryotic microalgae that life on surface of rock. In some countries, the presented of epilithic diatom communities in the river have been used as bioindicator to asses river water quality. In Indonesia only view researcher that used diatom as bioindicator to asses water river quality. The analyzed of composition and relative density of epilithic diatom communities was conducted in August 2008 in Rembangan river flowing through a coffee cultivated field at Jember at three sites. Epilithic diatom samples were collected by brushing the upper surfaces of the rock. Taxonomic identification of epilithic diatom were done by using compound microcope until found 200 minimum of frustules diatom (Winter and Dutie, 2000). Water river samples were collected to analyzed of concentration of phophat, nitrat, ammonium, TSS, alkalinity, and temperature. These research have been found 25 species of epilithic diatom. The difference of composition of species epilithic diatom at three sites are not significant.Fragillaria crotonensis is the most abundance species at three sites. The concentration of phosphate, nitrat, ammonium, TSS, conductivity, and temperature are low that the quality of river water in Rembangan river flowing through a coffee cultivated field at Jember is not polluted. The result of these research is Fragillaria crotonensis can be used as bioindicator of water river quality in the rivers are not polluted. Key words: diatom, epilithic, bioindicator, water quality *)
Jurusan Biologi **) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Jember Email:
[email protected]
168
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Sungai merupakan salah satu ekosistem penting sebagai penyedia kebutuhan air bagi hampir semua makhluk hidup. Namun fenomena yang terjadi saat ini, kelestarian sebagian besar ekosistem lotik tersebut terancam. Buangan limbah industri dan rumah tangga, aliran pestisida dan sisa pupuk pertanian, dan sedimentasi merupakan penyebab utama menurunnya kualitas lingkungan perairan sungai. Sungai Rembangan merupakan salah satu sungai penting yang terdapat di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sungai ini dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan hidup. Sebagian dari badan sungai Rembangan berbatasan langsung dengan perkebunan kopi yang dikelola oleh PTPN XII. Sisa pupuk dan insektisida yang digunakan untuk memupuk dan membasmi hama tanaman kopi akan mengalir ke sungai dan akan mempengaruhi kualitas air sungai tersebut. Umumnya penilaian kualitas air sungai yang selama ini dilakukan adalah berdasarkan karakteristik kimia, fisika, dan keberadaan bakteri (Vis et al., 1998). Namun karena besarnya dana yang dibutuhkan untuk melakukan analisis kimia, fisika dan uji bakteri maka biasanya penilaian kualitas air sungai baru dilakukan jika sungai telah mengalami pencemaran yang parah. Hal ini kemungkinan yang menjadi salah satu penyebab bahwa belum pernah dilakukan penilaian kualitas air sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi. Sebenarnya, selain berdasarkan parameter kimia, fisika dan uji bakteri, ada cara lain yang lebih murah dan mudah untuk melakukan penilaian kualitas air sungai. Cara tersebut adalah dengan memanfaatkan kelompok organisme penghuni sungai. Hellawel (1986) mengatakan bahwa alga dan makroinvertebrata bentik adalah dua kelompok organisme yang dapat digunakan untuk menilai kualitas air sungai. Umumnya alga yang disarankan sebagai indikator kualitas air sungai adalah alga perifiton dan khususnya alga perifiton diatom (Winter and Duthie, 2000). Chessman, et al. (1999) mengatakan bahwa penggunaan diatom sebagai bioindikator meningkat karena komunitas organisme ini memberikan respon yang kuat dan
169
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
cepat terhadap perubahan lingkungan perairan. Round (1991) mengatakan bahwa di sungai, diatom ditemukan di seluruh habitat sungai mulai dari hilir sampai ke hulu. Juttner et al. (1996) menyatakan bahwa karena dinding sel diatom mengandung silica maka organisme ini mudah dikoleksi dan disimpan., dan juga dapat menyediakan data yang bersifat permanen yang merekam perubahan yang terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Rushforth and Brock (1991) menyatakan bahwa secara taksonomis, diatom mudah dikenal karena mudah diidentifikasi dan responnya terhadap satu jenis polutan bersifat konsisten walaupun peristiwa pencemarannya terjadi pada wilayah geografis yang berbeda. Selain itu, tersedia protocol untuk sampling diatom. Analisis komunitas diatom dapat digunakan untuk menilai efek polutan organik dan peningkatan senyawa anorganik (Winter and Duthie, 2000). Saat ini keberadaan komunitas diatom epilithik di banyak negara telah dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air. Namun demikian, di Indonesia baru sedikit ahli yang melakukan penelitian tentang kemampuan diatom sebagai bioindikator kualitas air. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kualitas air sungai yang melewati perkebunan kopi dengan menggunakan diatom epilithik sebagai bioindikator.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi pada bulan Agustus 2008. Pengambilan dan pengukuran data dilakukan pada tiga stasiun yang terletak di sepanjang badan sungai yang melewati perkebunan kopi. Pengukuran kualitas fisik air yang dilakukan di lapang meliputi temperatur, kecepatan arus, dan konduktivitas. Sampel air diambil untuk dianalisis kadar total suspended solid (TSS), nitrat, fosfat, ammoniak, alkalinitas, dan pH di laboratoium. Sampel diatom epilithik diambil dengan menggunakan metode plot. Pada permukaan batu yang terbenam di air seluas 5 x 5 cm2 dikoleksi diatom eplitik dengan cara menyikatnya dengan kuas halus, kemudian menyiramnya dengan akuades sebanyak 50 ml dan menyimpannya dalam tabung penyimpan. Di laboratorium dilakukan identifikasi dan penghitungan jumlah indvidu setiap
170
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
jenis diatom epilithik. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop sampai ditemukan minimum 200 frustula (Winter and Duthie, 2000). Data kualitas air sungai Rembangan dianalisis dengan Analisis Varians (ANAVA) untuk mengetahui beda nyata konsentrasi masing-masing parameter kualitas air tersebut di antara tiga stasiun pengambilan data. Jika ada beda nyata maka analisis akan dilanjutkan dengan analisis regresi antara kelimpahan relatif diatom (sebagai faktor dependen) dengan data kualitas air sebagai faktor independen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu (°C), kecepatan arus (m/dt), dan konduktivitas (µS/cm) air sungai Rembangan pada ketiga stasiun selama periode sampling adalah sebagai berikut, Stasiun 1 (24,8- 25,3; 0,2 – 0,33; 103,3- 105,1), Stasiun 2 (23,7; 0,16 – 0,2; 101,2-10,2,0), dan Stasiun 3 (25,225,9; 0,2-0,33; 111,3-113,4). Kadar nitrat, amoniak, fosfat, TSS, pH tertera dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Konsetrasi nitrat, amoniak, fosfat, TSS, dan pH air sungai Rembangan
Parameter
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Nitrat (mg/L)
0,5570
0,5125
0,5310
Amoniak (mg/L)
0,0747
0,1247
0,1231
Fosfat (mgP/L)
0,0061
0,0165
0,0193
TSS (mg/L)
0,0173
0,0153
0,0177
Alkalinitas(mg CaCO3/L)
50,52
50,52
50,52
7
7,03
7,26
pH
Hasil analisis varians terhadap enam parameter kualitas air (nitrat, amoniak, fosfat, TSS, alkalinitas, dan pH) menunjukkan tidak berbeda nyata di antara ketiga stasiun penelitian. Konsentrasi pH, fosfat dan nitrat sungai Rembangan yang melewati kebun kopi adalah di bawah ambang batas baku mutu kualitas air. Baku mutu untuk konsentrasi pH,
171
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
nitrat, dan fosfat berturut-turut adalah 6,5-8,5; <50mg/L; <0,2 mg/L. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas air sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi tidak tercemar. Hal ini didukung pula oleh konsentrasi amoniak dan TSS yang cukup rendah. Kondisi tidak tercemar ini didukung oleh posisi perkebunan kopi yang berada pada lereng gunung dan jauh dari pemukiman penduduk. Selain itu, berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, pemupukan tanaman kopi sebagian besar menggunakan pupuk organik yang bahan bakunya berasal dari limbah kulit buah kopi yang bijinya telah diolah menjadi kopi bubuk. Aktifitas identifikasi sampel diatom epilithik berhasil mengidentifikasi 25 jenis. Jenis diatom epilithik terbanyak adalah dari tipe Pennales. Komposisi jenis diatom dan kelimpahan relatifnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Komposisi jenis diatom dan kelimpahan relatif setiap jenis
No
Taksa Diatom
1
Diatoma vulgare
4,554
2
Fragillaria crotonensis
46,110
3
Fragillaria capucina
3,985
4
Fragillaria construens
0,949
Navicula cryptocephala
12,334
Rhoicosphenia abbreiviata
2,467
Stauroneis anceps
1,898
Achnanthes minutissima
10,436
Surirella ovata
0,949
Nitzschia palea
0,569
5 6 7 8 9 10
172
Kelimpahan relatif (%)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
11
Nitzschia sigmoides
0,569
Meridion circulare
0,569
Cymbella helvetica
3,416
Achnantes sp.
0,190
Ceratoneis arcus
0,569
Gomphonema geminatum
0,190
Surirella angusta
3,605
Synedra ulna
0,949
Navicula pupula
0,759
20
Cymbella prostrata
0,759
21
Melosira granulata
0,569
Amphora sp.
0,190
Cyclotella kutzingiana
0,569
Surirella robusta splendida
0,190
Cocconeis pediculus
2,657
12 13 14 15 16 17 18 19
22 23 24 25
Di antara 25 jenis diatom epilithik, jenis yang paling melimpah adalah Fragillaria crotonensis yaitu dengan nilai kelimpahan relatifnya sebesar 46,11%. Kualitas air sungai Rembangan ternyata merupakan habitat yang mampu ditoleransi dengan baik oleh jenis ini.
173
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Di antara komunitas diatom epilithik, jenis ini memiliki ukuran tubuh paling besar (sangat panjang). Jenis ini sering ditemukan berkoloni walaupun kadang-kadang juga pernah ditemukan sendiri (soliter). Berdasarkan nilai kelimpahan relatifnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jenis diatom epilithik Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator perairan sungai yang tidak tercemar oleh limbah buangan aktivitas perkebunan kopi. Di antara 25 jenis diatom epilitik yang hadir di sungai Rembangan, terdapat satu jenis yaitu Achnantes minutissima. Jenis ini oleh Nakanishi, Dkk. (2004) telah diusulkan sebagai bioindikator untuk kualitas air yang tercemar logam berat. Di sungai Rembangan Achnantes minutissima ditemukan hadir dengan nilai kelimpahan 10,436%. Dengan demikian jenis ini merupakan jenis yang kisaran toleransinya lebar sehingga mampu tumbuh di lingkungan tercemar logam berat maupun di lingkungan yang tidak tercemar logam berat.
KESIMPULAN Kualitas air Sungai Rembangan yang melewati perkebunan kopi adalah tidak tercemar. Jenis diatom epilithik yang paling melimpah hidup di sungai ini adalah Fragillaria crotonensis. Berdasarkan nilai kelimpahannya maka jenis Fragillaria crotonensis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air sungai yang melewati perkebunan yang tidak mengalami pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA Chessman, B., Grown, I., Curry, J. and Plunkett-Cole, N. 1999. Predicting diatom communities at the genus level for rapid biological assessment of river. Fresw. Biol, 41. Hellawell, J.M. 1986. Biological indicator of freswater pollution and environment management. London: Elsevier.
174
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Juttner, I.H. and S.J. Ormeod. 1996. Diatoms as indicators of river quality in the Nepalese Middle Hills with consideration of effects of habitat spesific sampling. Freshwater Biology, 36. Rosenberg D.M. and V.H Resh. 1993. Freshwater biomonitoring and benthic macroinvertebrate. New YorK; Chapman & Hall. Rushfort, S.R. and Brock, J.T. 1991. Attached diatom communities from the lower truckee river, summer, and fall. Hydrobiologia, 224. Vis, C., C. Hudon, A. Cattaneo, B. Pinel-Alloul. 1998. Periphyton as `an indicator of water quality in the St Lawrence River (Quebec, Canada). In: Environmental Pollution, 101. Winter, J.G. and H. C. Duthie. 2000. Stream biomonitoring at an agricultural test site using benthic algae. In: Can. Journal Botani, 78: 01319-1325 (2000)
175
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
POLA AKUMULASI Fe, K DAN Mg OLEH KULTUR Scenedesmus dimorphus PADA VARIASI PENAMBAHAN KONSENTRASI LARUTAN CAMPURAN LOGAM Awalina Satya *, Tjandra Chrismadha dan Mey R.Widoretno
ABSTRAK Perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan alga yang menduduki tingkat primer pada rantai makanan untuk bertahan hidup. Tujuan eksperimen di laboratorium ini adalah mengamati trend pola bioakumulasi Fe,K dan Mg oleh kultur Scenedesmus dimorphus yang dibiakkan dalam Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) dengan variasi penambahan volume larutan campuran logam berturut turut 1 mL, 5 mL, 10 mL dan 20 mL. Kultur alga ini dicuplik pada periode pemaparan hari ke 10, 20, dan 30 untuk penentuan biomassa, kepadatan sel, dan kandungan ketiga jenis logam tersebut baik pada larutan media tumbuh alga maupun pada matriks alganya. Pada tahap determinasi kandungan logam, setelah melewati proses sentrifugasi untuk pemisahan matriks sample, digesti dengan larutan aqua regia dilakukan terlebih dulu sebelum pengukuran dengan Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometer (GFAAS). Penentuan biomassa dilakukan secara gravimetric setelah penyaringan dengan GF/C, sementara kepadatan sel dilakukan dengan cara pengukuran absorbans pada λ400 nano meter. Nilai r 2 eksponensial tertinggi (0,9971 ; 0,9972 dan 0,9965) berturut-turut teramati pada bioakumulasi Mg dengan penambahan larutan campuran logam (LCL) sebanyak 20 mL ; K dan Fe dengan volume penambahan LCL 10 mL. Sebaliknya Bioakumulasi K dalam matriks sel alga cenderung memperlihatkan pola eksponensial yang paling jelas (kisaran r 2= 0,9169-0,9987) pada kesemua variasi penambahan LCL. Berbeda dengan Mg, hasil analisis pictorial menunjukkan persamaan pola pada K dan Fe yaitu berkurangnya bioakumulasi dan bertambahnya biomassa seiring dengan bertambahnya waktu pada semua variasi penambahan LCL. Kata kunci:pola akumulasi, Scenedesmus dimorphus, Fe, K,Mg ABSTRACT The climate change affects on the survival of algal life as primary producers in food web. The aim of this laboratory experiment was to observe bioaccumulation of Fe, K and Mg trend pattern by cultured Scenedesmus dimorphus which was grown in Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) followed by addition of respectively 1 mL, 5 mL, 10 mL and 20 mL of the Mixed Trace Metals Solution (MTS). This algae culture was sampled in exposure period in 10, 20, and 30 days to determine its biomass, cell density, and those of three metals contents not only in media but also in its algae matrix. Due to metals quantification, after sample matrix separation by centrifugation process, wet digestion with aqua regia was done before measurements Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometer (GFAAS). Biomass was measured by gravimetrically after filtration with GF/C, while cell density was determined by absorbance reading on λ400 nano meter. The highest observed value of the exponential r 2 (0,9971 ; 0,9972 and 0,9965) respectively on Mg bioaccumulation with 20 mL ; K and Fe with 10 mL MTS added. The most clearest exponential pattern was observed in K bioaccumulation in algae matrix (r 2=
*
Pusat Penelitian Limnologi LIPI Email :
[email protected]
176
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
0,9169-0,9987) in all of MTS added variation. Different from Mg case, pictorial analysis result show that both of K and Fe has similar bioaccumulation exponential pattern which bioaccumulation decreasing and ascending of biomass coincidently with observations period in all of MTS added variations. Key words: accumulation pattern, Scenedesmus dimorphus, Fe, K,Mg
PENDAHULUAN Perubahan iklim ini berkaitan dengan perubahan keseimbangan siklus biogeokimia, maka dampaknya terhadap perairan darat tentu sudah dapat diperkirakan juga akan berpengaruh terhadap kehidupan mulai pada tingkat primary producers sampai pada top consumers pada rantai makanan. Menurut Yu and Wang (2004), alga atau phytoplankton menduduki level terendah (primary producers) merupakan komponen ekosistem yang sensitive terhadap perubahan keseimbangan siklus biogeokimia perairan. Karena kemudahannya untuk tumbuh, Scenedesmus sp banyak digunakan dalam eksperimen bioakumulasi di laboratorium (Buffle and De Vitre, 1994). Menurut Csuros and Csuros (2002), baik kalium (K) maupun magnesium (Mg) masing masing dikenal sebagai salah satu makro nutrient esensial untuk tumbuhan termasuk phytoplankton. K berperan dalam proses aktivasi enzim, fotosintesis, respirasi dan pemeliharaan sel. Sedangkan Mg berperan dalam struktur molekul chlorophyll, aktivasi enzim, terkait dengan sintesis Adenosine Tri Phosphate (ATP), dan dalam pengembangan sel (sintesis Ribonucleic Acid, RNA dan Deoxyribonucleic acid, DNA). Sementara Besi (Fe) berperan besar dalam sintesis chlorophyll, proses reduksi oksidasi dalam fotosintesis, dan respirasi (terkait dengan cytochromes, Fe-S protein, ferredoxin) juga dalam proses reduksi Nitrogen-Nitrat dan pembelahan sel (sebagai phytopherritin). Buffle and De Vitre (1994) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengetahui interaksi logam terhadap mikroorganisme adalah melalui pengamatan terhadap response mikroorganisme tersebut terhadap keberadaan kandungan logam dalam media hidupnya. Cara termudah dalam hal tersebut adalah melalui pengamatan terhadap pertumbuhan alga (kepadatan sel dan biomassa). Informasi lainnya lagi adalah bahwa K dan Mg menurut Wuyep et al. (2007) jauh lebih mudah terbioakumulasikan dalam biomassa Polyporus
177
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
squamosus dibandingkan Fe, Ni Cu dan Pb yang berasal dari effluent limbah penyulingan minyak. Dari uraian tersebut maka pengamatan terhadap pola bioakumulasi ketiga jenis logam ini dalam Scenedesmus dimorphus perlu untuk dilakukan sebagai studi awal dalam mempelajari siklus biogeokimia perairan darat. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan trend pola bioakumulasi Fe,K dan Mg oleh kultur Scenedesmus dimorphus yang dibiakkan dalam Provasoli for Haematococcus Medium (PHM) dengan variasi penambahan volume larutan campuran logam. PHM dipilih untuk digunakan karena media ini paling sering digunakan dalam laboratorium kami di Puslit Limnologi-LIPI.
BAHAN DAN METODE Sebanyak 10 mL inokulum Scenedesmus dimorphus dibiakkan dari stok yang tumbuh dengan baik pada umur sekitar 10 hari dimasukkan dalam media PHM yang telah diatur pHnya sekitar 6-7. PHM ini mengandung 1000 mgKNO3/L; 200 mg K2HPO4/L; 200 mgMgSO4.7H2O/L; 50 mgNa2SiO3.9H2O/L; 189 mgNa2EDTA/L; 244 mgFeCl3.6H2O/L. Sementara
itu Larutan Campuran Logam (LCL) mengandung 61 mg H3BO3/L; 41 mg
MnCl2.4H2O; 41 mg ZnCl2/L; 38 mg Na2MoO4.4H2O/L; 6 mg CuSO4.5H2O/L; dan 5,1 mg CoCl2.6H2O/L. Volume kultur sebanyak 400 mL dalam wadah erlenmeyer 500mL berbahan pyrex glass dan merupakan batch culture system yang dialiri 10 mL gas CO2 setiap hari. Pengadukan dilakukan tanpa aerasi untuk mengurangi evaporasi. Penyinaran dilakukan dengan menggunakan beberapa Tubular Lamp (TL) dengan flux sebesar 1500 Lux pada permukaan gelas wadah kultur. Perlakuan terdiri atas variasi penambahan volume LCL (1 mL, 5 mL, 10 mL, dan 20 mL) secara duplo. Pencuplikan sample media berikut alga dilakukan pada umur kultur 10 hari, 20 hari dan 30 hari. Pengukuran biomassa dilakukan secara gravimetri setelah sebelumnya 5-10 mL cairan kultur disaring dengan kertas saring GF/C (APHA, 1992). Sementara itu Kepadatan sel diukur secara spektrofotometri uv-vis dengan pembacaan absorbans pada λ 400 nanometer (APHA, 1992). Determinasi Mg,K dan Fe diawali dengan pemisahan antara
178
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
matriks sample alga dari cairan medianya dengan cara sentrifugasi 2000-3000 round per minute (rpm), proses ini dianggap selesai bila telah diperoleh cairan media yang benarbenar jernih. Matriks alga kemudian dicuci dengan larutan HNO3 1 % agar terbebas dari logam yang menempel dipermukaan sel alga. Sample cairan media dan matriks alga (yang telah dikeringkan pada incubator bersuhu 100 °C selama satu jam dan didinginkan dalam dessicator sampai pada suhu ruang lalu ditimbang dengan sartorious balance ) kemudian melalui tahap wet digestions dengan penambahan masing-masing sebanyak 0,5 mL HCl pekat dan 0,1 mL HNO3 pekat sebelum di autoclave 30 menit pada 121°C dan 15 Psi gauge. Kedua jenis sample tersebut di digest dalam reaction vessel bertutup teflon coated yang tahan terhadap proses pengautoclavan tersebut (modifikasi dari ASTM D1971-02 (2002). Digestat yang diperoleh kemudian diukur kandungan Mg, K dan Fe nya dengan menggunakan Zeeman background corrected-Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometer (GFAAS) sesuai dengan Operation Manual Hitachi High Technologies Corp ( 2006). Analisis data yang diperoleh dilakukan secara pictorial dengan MS-Excell TM untuk mengetahui pola kecenderungan hubungan yang terjadi selama observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada eksperimen ini, maksud penambahan LCL adalah untuk mempercepat penambahan kepadatan sel dan biomassa alga (Gambar 4-6). Variasi penambahan volume LCL ini akan memungkinkan dipilihnya kuantitas penambahan yang yang tepat untuk eksperimen lanjutan yang menggunakan kultur Scenedesmus dimorphus di masa mendatang. Berdasarkan beberapa literatur
kami berasumsi
bahwa seiring dengan
bertambahnya waktu pengamatan, maka baik K, Mg maupun Fe dalam larutan media PHM akan terus menurun seiring dengan peningkatan biomassa dan kepadatan sel. Sedangkan untuk bioakumulasi ketiga logam tersebut pada awalnya akan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya biomassa, tetapi cenderung sebaliknya bila biomassa telah mencapai
179
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pada kuantitas maksimumnya. Pendekatan untuk membuktikan asumsi tersebut dapat ditelusur mulai Gambar 1 sampai 6. Hasil analisis trendline pada hubungan antara Mg di media selama periode pengamatan menunjukkan bahwa secara eksponensial kandungan Mg dalam media cenderung turun seiring waktu hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsumsi Mg untuk mendukung metabolisme alga semasa masa pertumbuhannya (Gambar 1a sampai 1d). Tetapi trend reability paling jelas terlihat pada Gambar 1b dimana penambahan volume LCL sebesar 5 mL (r2 = 0,999). Penambahan LCL volume 20 mL juga jauh lebih baik (r2 = 0,886) dibandingkan dengan penambahan volume LCL 1 dan 10 mL.
Tetapi untuk
hubungan Mg dalam sel alga terhadap biomassa alga (Gambar 1e sampai 1h) volume penambahan LCL 20 mL adalah yang terbaik (Gambar 1h). Penambahan volume LCL 5 mL maupun 10 mL menunjukkan trend reability yang hampir sama (Gambar 1f dan 1g). Pada Gambar 2a sampai 2d terlihat adanya penurunan eksponensial K dalam media seiring waktu hanya jelas terlihat pada penambahan LCL 5 mL (Gambar 2b) sementara penambahan 10 mL LCL justru menunjukkan peningkatan K dalam media secara eksponensial (Gambar 2c) demikian juga dengan 20 mL LCL (Gambar 2d), mungkin hal ini disebabkan oleh dominannya konsentrasi K dalam media PHM. Tampaknya volume penambahan LCL 5 mL merupakan perlakuan yang tepat dinadingkan variasi volume yang lainnya. Sementara itu Gambar 2e sampai 2h menunjukkan bahwa hubungan bioakumulasi K dalam sel cenderung menurun seiring dengan menurunnya biomassa. Trend reability hubungan kedua faktor tersebut paling jelas terlihat (r2 = 0,999 dan r2 = 0,997) pada penambahan LCL 1 mL maupun 10 mL (Gambar 2e dan 2g) sementara Gambar 2f dan 2h menunjukkan nilai r2 terpaut hanya sedikit dengan kedua gambar yang disebut sebelumnya. Sama halnya yang teramati pada Mg, baik Fe dalam media versus waktu pengamatan (Gambar 3a sampai 3d) dan bioakumulasi Fe dalam sel versus biomassa (Gambar 3e sampai 3h) juga secara eksponensial menurun. Namun hanya pada penambahan LCL 10 mL saja yang menunjukkan bahwa penurunan Fe dalam media seiring waktu paling jelas terlihat (Gambar 3c). Gambar 3a, 3b dan 3d hanya menunjukkan
180
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
kecenderungan pada level sedang. Sebaliknya Gambar 3e sampai 3h membuktikan bahwa jelas terlihat secara eksponensial kecenderungan pola menurunnya bioakumulasi Fe dalam sel seiring dengan menurunnya biomassa. Pola paling jelas terlihat pada penambahan LCL 1 mL (Gambar 3e) dan 10 mL (Gambar 3g). Gambar 1 sampai Gambar 3 (kecuali untuk K pada penambahan LCL 10 mL dan 20 mL yang cenderung secara eksponensial meningkat pada akhir pengamtan) hanya jelas menunjukkan bahwa ketiga logam tersebut cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan pada semua variasi penambahan volume LCL. Tetapi untuk menunjukkan bagaimana trend pola penurunan konsentrasi ketiga logam tersebut baik dalam media maupun dalam sel alga , kenaikan kepadatan sel, kenaikan biomassa seiring bertambahnya waktu periode pengamatan Gambar 4 sampai Gambar 6 adalah yang paling jelas dalam mendeskripsikannya karena pada gambar-gambar ini konsentrasi ketiga logam pada 0 hari pengamatan juga ikut ditampilkan. Gambar 4a sampai 4h menunjukkan bahwa pada semua variasi penambahan LCL, baik kepadatan sel maupun biomassa cenderung untuk meningkat sedangkan Mg dalam media cenderung menurun seiring bertambahnya waktu pengamatan. Tetapi hanya pada penambahan LCL 20 mL terlihat jelas penurunan bioakumulasi Mg dalam sel (Gambar 4h). Pola kecenderungan pengurangan K dalam medium dan peningkatan kepadatan sel seiring waktu (Gambar 5a sampai 5d ) menunjukkan seolah-olah waktu pengamatan 30 hari tidaklah cukup bila dibandingkan dengan Mg maupun Fe. Tetapi hal tersebut tidak tampak pada biomassa dan bioakumulasi K seiring waktu (Gambar 5e sampai 5h). Pada keempat gambar terakhir ini terbukti bahwa seiring bertambahnya waktu pengamatan, biomassa terus bertambah sampai berakhirnya observasi sementara bioakumulasi K pada sel cenderung tinggi pada awal periode dan akhirnya menurun pada akhir periode. Gambar 6a sampai 6d menunjukkan bahwa Kepadatan sel cenderung terus meningkat sampai pada akhir masa observasi, sedangkan Fe di media memiliki kecenderungan berbeda yaitu secara tajam menurun seiring bertambahnya waktu pengamatan. Hal ini jauh berbeda dengan Mg yang langsung menurun drastis begitu
181
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
memasuki hari ke 10 pada semua variasi penambahan volume LCL. Pada Fe hanya pada penambahan 1 mL LCL yang berpola sama dengan Mg yaitu langsung menurun pada hari ke 10 (Gambar 6a dan 6c). Waktu yang diperlukan untuk menurunkan Fe di media secara tajam menjadi 20 hari justru terjadi pada penambahan LCL 5 mL dan 20 mL (Gambar 6b dan 6d). Uraian tersebut diatas mengindikasikan
bahwa perbedaan karakteristik setiap
logam baik dalam berinteraksi dengan sesama logam penyusun media maupun dengan kebutuhan akan jenis logam tersebut untuk proses metabolisme alga berpengaruh terhadap pola bioakumulasi Mg, K dan Fe dalam penelitian ini.
KESIMPULAN Hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa setiap logam membutuhkan volume penambahan LCL yang berbeda beda agar jelas untuk diamati trend pengurangan kandungan logam dalam medianya seiring pertambahan waktu pengamatan sekaligus pengurangan bioakumulasi versus pertambahan biomassanya (Mg pada penambahan LCL 5 mL dan 20 mL, Kalium hanya pada penambahan LCL 5 mL dan Besi hanya pada penambahan LCL 10 mL ). Fakta ini dapat menjadi dasar untuk eksperimen labortorium lanjutan yang relevan dengan penyerapan Mg, K dan Fe secara lebih detail di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Environmental Protection Agency. 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 18 th ed., Government Printing Office, Washington, D.C (APHA-AWWA-WPCF). ASTM D1971-02 .2002. Standard Practises for Digestion of Water samples for determination of metals by flame atomic absorption, Graphite furnace atomic absorption, plasma emission spectroscopy or plasma mass spectrometry. Annual book of ASTM Standards, Vol 11.01 Buffle, J. and R.R. De Vitre.1994. Uptake of trace metals by aquatic organisms dalam Chemical and Biological regulation of aquatic system. Lewis Publisher. CRC Press. Boca Raton Florida.
182
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Csuros, M. and Csuros , C. 2002 Metals and Plants dalam Environmental Sampling and Analysis for metals. Hal 324., Lewis Publishers. 372 pp Hitachi High Technologies Corp . 2006. Model z-2000 series polarized Zeeman atomic absorption spectrophotometer, Operation Manual:Graphite Furnace Atomizer.5 th ed. Japan. Wuyep , P.A, Chuma A.G, Awodi, S and Nok, A.J .2007. Biosorption of Cr, Mn, Fe, Ni, Cu, and Pb metals from petroleum refinery effluent by calcium alginate immobilized mycelia of Polyporus squamosus. Scientific Research and Essay Vol.2 (7), pp.217-221. Yu, R.Q and Wang, WX .2004. Biological uptake of Cd, Se(IV) and Zn by Chlamydomonas reinhardtii in response to different phosphate and nitrate additions. Aquatic microbial ecology.Vol.35:163-173.
183
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
1e. penambahan 1 mL
1a. penambahan 1 mL 6.00
0.484
0.483 2
R = 0.0782
ugMg/L
0.483 0.482
ugMg/g dry weight
y = 0.4825e-0.0005x
0.483
0.482 0.481
0.482 0.481
4.88
5.00
y = 4.385e-0.1433x R2 = 0.0988
4.00 3.00
3.66
2.00
2.00 1.00 0.00
0.481
112.5
0.480
177.5
292.5
Biom assa (m g/L)
10
20
30
pengamtan hari ke
1b.penambahan 5 mL
y = 0.4984e-0.0381x R2 = 0.9999 0.46
0.47 u g M g /L
12.00
0.48
0.48
u g M g /g d ry w eig h t
0.49
1f. penambahan 5 mL
0.46 0.44
0.45 0.44 0.43 0.42
11.06
10.00 8.00
y = 18.793e-0.6499x R2 = 0.907
6.00 4.03
3.02
4.00 2.00 0.00
10
20
30
162.5
pengamatan hari ke
0.49
y = 0.4869e-0.0021x
7.00
0.49
R 2 = 0.0065
0.47
10
20
265
1 g. penambahan 10 mL
6.00 u g M g /g d ry w eig h t
u g M g /L
1c. penambahan 10 mL
0.50 0.50 0.49 0.49 0.48 0.48 0.47 0.47 0.46 0.46
227.5 biomassa(mg/L)
5.86
5.00
y = 7.0356e-0.222x R2 = 0.9151 4.17
3.76
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
30
152.5
237.5
292.5
pengam tan hari ke biomassa (mg/L)
1d. penambahan 20 mL
25.00
0.50 y = 0.5168e-0.0325x R2 = 0.8862
0.50
19.91
u g M g /L
0.49 0.48
0.48
0.47
0.47 0.46 0.45
ugMg/g dry weight
0.51
1h. pe nambahan 20 mL
20.00 y = 62.747e-1.1846x R2 = 0.9971
15.00 10.00 5.45 5.00
1.86
0.00
10
20 pengamatan hari ke
30
147.5
215
300
biomassa (m g/L)
Gambar 1. Hasil analisis trend line konsentrasi Mg dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi penambahan LCL (1a-1d).Sementara 1e-1f menggambarkan trendline antara Mg dalam sel alga terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.
184
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
2e. penambahan 1 mL
1,280.000 1,260.000 1,240.000 1,220.000 1,200.000 1,180.000 1,160.000 1,140.000 1,120.000 1,100.000 1,080.000 1,060.000
60.00
1,263.475 y = 1251.8e-0.023x R2 = 0.1876 1,190.074 1,136.613
50.00 ugK/g dry weight
ugK/L
2a. penambahan 1 mL
47.77
40.00
y = 114.78e-0.8585x R2 = 0.9987
30.00 21.38 20.00 8.58
10.00 0.00 112.5
177.5
292.5
Biom as s a (m g/L)
10
20
30
pengam atan hari ke
1200.00 1190.00 1180.00 1170.00 1160.00
2f. penambahan 5 mL
1187.88
35.00
y = 1212.7e-0.0221x R2 = 0.9881 1157.10
1150.00 1140.00 1130.00 1120.00 1110.00 1100.00
30.55
30.00
1136.61
ugK/g dry weight
ugK/L
2b. penambahan 5 mL
25.00
y = 59.66e-0.7528x R2 = 0.9642
20.00 15.00
11.20
10.00
6.78
5.00 0.00
10
20
30
162.5
pengam atan hari ke
227.5
265
biom assa (m g/L)
2g. penambahan 10 mL 2c.penambahan 10 mL 40.00 1250.00
R2 = 0.9568
1,181.20
1150.00 1100.00
1091.04
1050.00
36.12
35.00 ugK/g dry weight
ugK/L
1200.00
1,225.35
y = 1036.9e0.058x
30.00 25.00
20.58
y = 68.352e-0.619x R2 = 0.9972
20.00 15.00
10.47
10.00 5.00
1000.00 10
20
0.00
30
152.5
pengamtan hari ke
1236.85
10
1223.38
y = 1103e0.0402x R2 = 0.6495
1128.83
20 pengam atan hari ke
292.5
2h. penambahan 20 mL
ugK/g dry w eight
u g K /L
2d.penambahan 20 mL
1260.00 1240.00 1220.00 1200.00 1180.00 1160.00 1140.00 1120.00 1100.00 1080.00 1060.00
237.5 biomassa (m g/L)
30
50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
46.88
y = 97.441e-0.8857x R2 = 0.9169
12.18 7.97
147.5
215
300
biomassa (mg/L)
Gambar 2. Hasil analisis trend line konsentrasi K dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi penambahan LCL (2a-2d).Sementara 2e-2f menggambarkan trendline antara K dalam sel alga terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.
185
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
3a.penambahan 1 mL
ugFe/L
y = 971.23e-0.6631x R2 = 0.645
455.07
500.00 376.68
300.00 200.00
ugFe/g dry weight
70.00
600.00
400.00
3e.penambahan 1mL
100.00
60.86
60.00 y = 149.15e-0.8766x R2 = 0.9985
50.00 40.00
26.88
30.00 20.00
10.54
10.00 0.00
100.00
112.5
0.00
177.5
292.5
Biomassa (m g/L)
10
20
30
pengamatan hari ke
3b.penambahan 5 mL
3f.penambahan 5 mL
2500.00 ugFe/L
2000.00
1767.98
1707.38
y = 7724.4e-1.1146x R2 = 0.7617
1500.00 1000.00 500.00
190.25
ugFe/g dry weight
3000.00
0.00 10
20
50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
30
45.57
y = 82.781e-0.7192x R2 = 0.9202 15.38 10.81
162.5
pengam atan hari ke
3c.penambahan 10 mL 60.00
1152.04
729.78
800.00
y = 2641.9e-0.7366x R2 = 0.954
600.00 400.00
264.03
200.00
u g F e/g d ry w eig h t
u g F e/L
52.62
50.00
1000.00
0.00 10
20
y = 103.76e-0.6565x R2 = 0.9965
40.00 29.19 30.00 20.00
14.16
10.00 0.00
30
152.5
pengamatan hari ke
60.00
ugFe/L
y = 3915.1e-1.2882x R2 = 0.7022
600.00 400.00 200.00
50.59
0.00
ugFe/g dry weight
70.00
1,000.00 784.45
292.5
3h.penambahan 20 mL
1,200.00
665.22
237.5 biomassa (mg/L)
3d. penambahan 20 mL
800.00
265
3g. penambahan 10 mL
1400.00 1200.00
227.5 biom assa (m g/L)
64.97
50.00 y = 140.27e-0.9403x R2 = 0.9101
40.00 30.00 15.21
20.00
9.91
10.00 0.00
10
20 pengam atan hari ke
30
147.5
215
300
biomassa (mg/L)
Gambar 3. Hasil analisis trend line konsentrasi Fe dalam media terhadap periode pengamatan) dalam 4 variasi penambahan LCL (3a-3d).Sementara 3e-3f menggambarkan trendline antara Fe dalam sel alga terhadap biomassa alga pada 4 variasi penambahan volume LCL.
186
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
4e.Penambahan 1 mL
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000
k u a n ti ta s
k u a n ti ta s
4a.Penambahan 1 mL
0
5
10
15
20
25
6 5 4 3 2 1 0 10
30
12
14
16
18
kepadatan sel pada λ400 nm
ku an titas
ku an titas 10
15
26
28
30
26
28
30
26
28
30
26
28
30
alga,µg/g dry weight
20
25
12 10 8 6 4 2 0
30
10
12
14
16
Pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
24
4f.Penambahan 5 mL
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 5
22
Biomassa( mg)
media,µgMg/L
4b.penambahan 5 mL
0
20
pengamtan hari ke
pengamatan hari ke
18
20
22
24
pengamtan hari ke media,µgMg/L
Biomassa( mg)
alga,µgMg/g dry weight
4g.Penambahan 10 mL
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000
ku an titas
kuantitas
4c.Penambahan 10 mL
0
5
10
15
20
25
30
7 6 5 4 3 2 1 0 10
35
12
14
16
kepadatan sel pada λ400 nm
20
Biomassa( mg)
media,µgMg/L
4d. penambahan 20 mL
22
24
alga,µgMg/g dry weight
4h. penambahan 20 mL
5.000
25
4.000
20
k u a n t it a s
k u a n tita s
18
pengamatan hari ke
pengamatan hari ke
3.000 2.000 1.000
15 10 5 0
0.000 0
5
10
15
20
25
35
10
12
14
16
18
20
22
24
penambahan hari ke
Pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
30
media,µgMg/L
Biomassa( mg)
alga,µgMg/g dry w eight
Gambar 4. Kecenderungan pengurangan kandungan Mg dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap lamanya waktu pengamatan (4a-4d). Serta kecenderungan penurunan kandungan Mg dalam sel dan peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (4e-4h).Kesemuanya dalam 4 variasi penambahan volume LCL.
187
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
5e. penambahan 1 mL 6
1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
5 k u a n ti ta s
k u a n ti ta s
5a.Penambahan 1 mL
4 3 2 1 0
0
5
10
15
20
25
30
35
10
12
14
16
18
pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
media,µgK/L x 1000
Biomassa( mg)
5b. penambahan 5 mL
22
24
26
28
30
28
30
alga,µgK/g dry weight x 10
5f.penambahan 5 mL
1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
k u a n ti ta s
k u a n t i ta s
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
0
5
10
15
20
25
30
35
10
12
14
16
18
pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
20
22
24
26
pengamtan hari ke
media,µgK/L x 1000
Biomassa( mg)
alga,µgK/g dry weight x 10
5g.penambahan 10 mL
5c.penambahan 10 mL 40
1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
k u a n ti ta s
k u a n ti ta s
30 20 10 0
0
5
10
15
20
25
30
10
35
12
14
16
kepadatan sel pada λ400 nm
18
20
22
24
26
28
30
pengamtan hari ke
pengamatan hari ke
Biomassa( mg)x10
media,µgK/L x 1000
5d.Penambahan 20 mL
alga,µgK/g dry weight
5h. Penambahan 20 mL
1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
50 40 k u a n tita s
k u a n tita s
20
pengamatan hari ke
30 20 10 0
0
5
10
15
20
25
pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
media,µgK/L x 1000
30
35
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
pengamatan hari ke Biomassa( mg)x10
alga,µgK/g dry weight
Gambar 5. Kecenderungan pengurangan kandungan K dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap lamanya waktu pengamatan (5a-5d). Serta kecenderungan penurunan kandungan K dalam sel dan peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (5e-5h).Kesemuanya dalam 4 variasi penambahan volume LCL.
188
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
6e. penambahan 1 mL
1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
70 60 50 40 30 20 10 0
k u a n ti ta s
k u a n ti ta s
6a. penambahan 1 mL
0
5
10
15
20
25
30
35
10
12
14
16
pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
media,µgFe/L x 1000
22
24
26
28
30
alga,µgFe/g dry weight
6f.penambahan 5 mL 50
2.000
40
1.500
k u a n ti ta s
k u a n ti ta s
20
Biomassa( mg)x10
6b.penambahan 5 mL
1.000 0.500
30 20 10 0
0.000 0
5
10
15
20
25
30
10
35
12
14
16
kepadatan sel pada λ400 nm
k u a n ti ta s 10
15
20
25
30
10
35
12
14
media,µgFe/L x 1000
k u a n ti ta s
k u a n t i ta s
0.600 0.400 0.200 0.000 15
20
25
30
pengamtan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
30
16
18
20
22
24
26
28
30
alga,µgFe/g dry weight
6h.penambahan 20 mL
0.800
10
28
alga,µgFe/g dry weight
Biomassa( mg)x10
1.000
5
26
pengamatan hari ke
6d. penambahan 20 mL
0
24
70 60 50 40 30 20 10 0
pengamatan hari ke kepadatan sel pada λ400 nm
22
6g. penambahan 10 mL
3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 5
20
Biomassa( mg) x 10
media,µgFe/L x 1000
6c.penambahan 10 mL
0
18
pengamatan hari ke
pengamatan hari ke
k u a n ti ta s
18
pengamatan hari ke
media,µgFe/L x 1000
35
70 60 50 40 30 20 10 0 10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
pengamtan hari ke Biomassa( mg)x10
alga,µgFe/g dry weight
Gambar 6. Kecenderungan pengurangan kandungan Fe dalam media dan peningkatan kepadatan sel terhadap lamanya waktu pengamatan (6a-6d). Serta kecenderungan penurunan kandungan Fe dalam sel dan peningkatan biomassa terhadap lamanya waktu pengamatan (6e-6h).Kesemuanya dalam 4 variasi penambahan volume LCL.
189
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
RASIO COLI FEKAL DAN STREPTOCOCCI FEKAL SEBAGAI PENUNJUK SUMBER PENCEMARAN FEKAL PADA MUSIM HUJAN DI SUNGAI BANJARAN KABUPATEN BANYUMAS
Sri Lestari* ABSTRAK Bakteri coli fekal dan streptococci fekal selalu terdapat di dalam tinja manusia dan hewan berdarah panas. Keberadaan bakteri coli fekal dan streptococci fekal di perairan mengindikasikan adanya pencemaran fekal. Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri indikator adanya mikroorganisme patogen yang mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat sekitar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sebaran bakteri coli fekal dan streptococci fekal yang dapat menunjukkan sumber pencemaran fekal di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas. Penelitian dilakukan di sepanjang Sungai Banjaran pada musim hujan (Oktober - Desember 2005). Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik pengambilan sampel air dilakukan secara Stratified Random Sampling di 6 stasiun pengamatan. Parameter utama yang diukur adalah jumlah coli fekal dan streptococci fekal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total populasi coli fekal berkisar antara 40 160/100 ml. Rasio colifekal dan streptococci fekal berkisar antara 2,0 – 4,0 yang menunjukkan sumber pencemaran fekal didominasi oleh limbah manusia. Kata kunci : Coli fekal, Streptococci fekal, Pencemaran fekal
ABSTRACT Faecal coli and faecal streptococci bacteria are always occur in human feses and warm-blooded animals. Existence of faecal coli and faecal streptococci bacteria in water indicate there was occurred faecal material of pollution. Faecal coli and faecal streptococci bacteria as an indicator bacteria was occurred pathogen microorganisms which influential the community health of degree. Aims of research was know the spread of faecal coli and faecal streptococci that showed faecal pollution source of Banjaran River in Banyumas Regency. Research was conducted in all along the Banjaran River on wet season (October – December 2005). Method used in this research was that a survey with Stratified Random Sampling in 6 observation stasion. The main parameter that measured were the number of population faecal coli and faecal streptococci. The result show that the totally of population faecal coli and faecal streptococci ranges 40 – 160/100 ml. Faecal coli and faecal streptococci ratio ranges 2,0 – 4,0 that show faecal pollution source in Banjaran River was domination of human feses. Keywords: Faecal coli, Faecal streptococci, Faecal pollution
*
Fakultas Biologi UNSOED Email :
[email protected]
190
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Pencemaran organik di sungai umumnya disebabkan oleh bahan buangan organik yaitu limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme. Materi fekal adalah salah satu limbah organik yang memicu terjadinya pencemaran organik di sungai. Pencemaran organik berupa fekal disebabkan oleh masuknya kotoran manusia dan kotoran hewan berdarah panas ke dalam sungai. Penduduk di sekitar sungai tersebut banyak membuang tinjanya ke sungai. Menurut Suparman dan Suparmin (2001), tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses pencernaan makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan (tractus digestifus). Adanya materi fekal menyebabkan pencemaran fekal yang erat hubungannya dengan kandungan mikroorganisme di dalam air yaitu semua mikroorganisme yang bersifat patogen dan berbahaya jika air tersebut digunakan oleh manusia. Mikroorganisme patogen tersebut dapat menimbulkan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Keberadaan bakteri coli fekal dan streptococci fekal di perairan sungai mengindikasikan terjadinya pencemaran materi fekal di sungai tersebut. Akibat pencemaran sungai yang paling fatal terhadap masyarakat sekitarnya adalah timbulnya penyakit gastroenteritis. Menurut Rheinheimer (1992) adanya bakteri coli fekal dan streptococci fekal di perairan dalam jumlah tertentu mengindikasikan kemungkinan hadirnya bakteri patogen yang disebarkan lewat tinja, seperti Shigella dysentrie dan Salmonella. Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi serta beberapa spesies dari genus tersebut mampu menyebarkan thypus dan parathypus serta penyakit gastroenteritis. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas air di sungai, salah satunya dengan bioindikator. Pemantauan kualitas air dengan menggunakan bioindikator merupakan bagian dari pemantauan biologis karena keberadaan indikator yang cenderung menetap dapat mencerminkan kondisi lingkungan dari waktu ke waktu. Bioindikator yang paling tepat untuk memantau adanya pencemaran fekal adalah bakteri coli fekal dan streptococci fekal karena dapat menunjukkan tingkat dan sumber pencemaran fekal yang terjadi di sungai. Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri yang selalu terdapat di dalam tinja, baik tinja manusia maupun hewan berdarah panas lainnya. Kelompok bakteri
191
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
tersebut dikenal mampu memfermentasi laktosa dan tidak bersifat patogen. Adanya bakteri coli fekal mengindikasikan bahwa terdapat peluang bagi berbagai macam mikroorganisme patogenik yang secara berkala terdapat dalam saluran pencernaan untuk masuk ke dalam perairan tersebut. Menurut Hawker dan Linton (1979) mikroorganisme patogen sulit dideteksi karena keberadaannya bersifat sporadis dan hanya sesaat setelah pencemaran tejadi. Coli fekal dan streptococci fekal dapat bertahan hidup lebih lama sehingga tepat dijadikan sebagai bioindikator. Menurut Rheinheimer (1992) tingginya keberadaan streptococci fekal mengindikasikan bahwa perairan tersebut tercemar materi fekal. Gerba (1999) menyatakan bahwa streptococci fekal mempunyai keunggulan sebagai indikator dibanding coli fekal karena beberapa sifatnya yaitu (1) tidak mengalami perkembangbiakan di air, (2) lebih tahan terhadap tekanan lingkungan dan klorinasi dan (3) mampu bertahan hidup lebih lama di lingkungan. Menurut Pelczar dan Chan (1988) ciri penting coli fekal dapat dijadikan sebagai bioindikator adalah (1) terdapat dalam air tercemar dan tidak ada dalam air yang tidak tercemar, (2) terdapat dalam air jika ada patogen, (3) jumlah bioindikator berkorelasi dengan kadar pencemaran, (4) mempunyai kemampuan bertahan hidup yang lebih besar daripada patogen, (5) mempunyai sifat yang seragam dan mantap, (6) tidak berbahaya bagi manusia dan hewan, (7) terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan patogen sehingga mudah dideteksi dan (8) mudah dideteksi dengan teknik-teknik laboratorium yang sederhana. Coliform merupakan mikroorganisme yang hidup di air dan dapat digunakan sebagai indikator adanya pencemaran terutama pencemaran fekal dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan produk-produk susu lainnya. Bakteri coliform dibedakan menjadi dua kelompok yaitu coliform fekal misalnya, E. coli dan coliform non-fekal misalnya, Enterobacter aerogenes (Fardiaz, 1993). E. coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedang E. aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman yang sudah mati. Suriawiria (1993), menambahkan bahwa coliform dibagi menjadi tiga kelompok penting yaitu Escherichia yang terdiri dari E. coli, E. freundii dan E. intermadia; Aerobacter terdiri dari A. arogenes dan A. cloaceae; dan Citrobacter yang terdiri atas C. freudii.
192
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Semua anggota coliform mempunyai karateristik yang sama antara lain bersifat aerob, gram negatif, tidak berspora, memfermentasi glukosa dengan membentuk asam dan gas. Bakteri coli fekal umumnya hidup lebih tahan lama dibanding bakteri penyebab penyakit sehingga jika suatu badan air bebas dari bakteri coli fekal maka badan air tersebut secara bakteriologis aman dikonsumsi (Tortora, et al., 1998). Menurut Sutiknowati (2003), bakteri coli fekal merupakan bakteri gastrointestinum yang dapat menyebabkan penyakit perut apabila menginfeksi makhluk hidup (manusia). Penggunaan streptococci fekal sebagai indikator pencemaran materi fekal didasarkan pada habitat dominannya yang terdapat dalam intestinum manusia dan hewan, sehingga memungkinkan dapat keluar bersama tinja. Streptococci fekal merupakan salah satu mikroorganisme indikator dari kelompok bakteri kokus Gram positif Lancefield Group D yang meliputi genera Enterococcus dan Streptococcus (Devriese, et al, 1991). E. faecalis dan E. faecium merupakan streptococci spesifik yang dijumpai pada manusia, sedangkan S. bovis dan S. equines dominan dijumpai pada manusia. Besarnya rasio coli fekal dan streptococci fekal mampu mengindikasikan sumber pencemaran dalam air (Gerba, 1999). Meskipun validitas rasio coli fekal dan streptococci fekal masih dipertanyakan, namun akhirnya ditegaskan bahwa rasio ini dapat dipercaya hanya selama 24 jam pencemaran fekal terjadi.
BAHAN DAN METODE Obyek penelitian adalah Sungai Banjaran yang berada di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei. Teknik pengambilan sampel air dilakukan secara Stratified Random Sampling di
6 stasiun
pengamatan yaitu desa Ketenger, Karangnangka, Beji, Bobosan, Kedungwuluh dan Sidabowa. Pengambilan sampel diulang 2 kali dengan interval waktu 1 minggu. Parameter utama yang diamati adalah total coli fekal yang dihitung menggunakan metode MPN seri 3-3-3 (Prescott, et al., 1999) dan total streptococci fekal menggunakan media Chromocult Enterococci Broth. Perhitungan rasio coli fekal dan streptococci fekal
193
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sebagai indikator sumber pencemaran berdasarkan Gerba (1999) yang berdasar tabel berikut:
Tabel 1. Rasio coli fekal/streptococci fekal (FC/FS) dan hubungannya dengan sumber pencemaran
Rasio FC/FS
Sumber pencemaran
>4,0
Petunjuk kuat bahwa sumber pencemaran berasal dari manusia
2,0-4,0
Petunjuk pencemaran campuran yang didominasi limbah manusia
0,7-2,0
Petunjuk bahwa pencemaran campuran didominasi limbah dari hewan piaraan Petunjuk kuat bahwa pencemaran berasal dari hewan
<0,7 Sumber : Gerba (1999)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis secara mikrobiologis terhadap total populasi bakteri coli fekal dan streptococci fekal di Sungai Banjaran menunjukkan bahwa semua stasiun pengamatan terdapat cemaran materi fekal. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya populasi coli fekal dan streptococci fekal dari sampel air per 100 ml. Hasil selengkapnya disajikan dalam Gambar 1. berikut:
194
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 1. Diagram batang rata-rata populasi coli fekal dan streptococci fekal pada setiap stasiun pengamatan
Total populasi coli fekal dan streptococci fekal terendah pada stasiun Ketenger yaitu 74/100ml dan 40/100 ml, kemudian meningkat pada stasiun Karangnangka yaitu 86/100 ml dan 40/100 ml. Populasi coli fekal dan streptoccoci fekal tertinggi diperoleh di Stasiun Beji yaitu 160/100 ml dan 90/100 ml, kemudian berturut-turut turun pada stasiun Bobosan sampai stasiun Kedungwuluh dengan total coli fekal adalah 134/100 ml dan 102/100 ml sedangkan total streptococci fekal adalah 60/100 ml dan 48/100 ml. Populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat lagi di stasiun Sidabowa sebesar 120/100 ml dan 55/100 ml. Menurut Imamuddin et al., (1999) tingginya populasi coli fekal dan streptococci fekal pada suatu stasiun dapat diartikan bahwa pada saat pengamatan, cemaran materi fekal di stasiun tersebut tinggi. Secara garis besar populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat mulai dari daerah hulu dan mencapai puncaknya pada stasiun Beji kemudian menurun sampai ke daerah hilir. Daerah hulu masih alami dan bersih karena jumlah penduduk relatif sedikit sehingga cemaran organik yang masuk sedikit. Semakin ke hilir cemaran tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang membuang feses ke sungai. Peningkatan populasi coli fekal dan streptococci fekal terjadi di stasiun Beji. Di stasiun Bobosan Sungai Banjaran menjadi muara Sungai Kranji sehingga populasi coli fekal dan streptococci fekal menurun. Penurunan populasi coli fekal dan streptococci fekal
195
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
disebabkan oleh debit air sungai bertambah akibat adanya masukan dari Sungai Kranji sehingga terjadi pengenceran, akibatnya populasi coli fekal dan streptococci fekal menurun meskipun jumlah penduduk sekitar lokasi pengamatan semakin banyak daripada di daerah hilir. Penurunan populasi coli fekal dan streptococci fekal berturut-turut sampai di stasiun Kedungwuluh kemudian meningkat lagi di stasiun Sidabowa karena dengan debit air yang tetap namun jumlah penduduk semakin ke hilir semakin bertambah banyak sehingga populasi coli fekal dan streptococci fekal meningkat lagi. Bakteri coli fekal dan streptococci fekal merupakan bakteri gastrointestinum yang dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis apabila menginfeksi manusia. Menurut Mehlman (1984), tingginya jumlah koloni bakteri coli fekal dan streptococci fekal sangat erat hubungannya dengan sanitasi lingkungan dan adanya pengaruh aktivitas daratan terhadap kualitas perairan. Tingginya angka coli fekal dan streptococci fekal menunjukkan telah terjadi kontaminasi tinja di Sungai Banjaran. Cemaran materi fekal dapat berasal dari feses manusia, feses hewan berdarah panas atau kombinasi keduanya. Menurut Gerba (1999) sumber cemaran materi fekal suatu perairan dapat diketahui melalui besarnya rasio coli fekal dan streptococci fekal. Nilai rasio coli fekal dan stretococci fekal Sungai Banjaran setiap stasiun pengamatan disajikan dalam Tabel 2. berikut :
Tabel 2. Nilai rasio coli fekal dan streptococci fekal setiap stasiun pengamatan
No.
196
Stasiun
Rasio FC/FS
Sumber Pencemaran
1.
Ketenger
1,85
Didominasi limbah dari hewan peliharaan
2.
Karangnangka
2,15
Didominasi limbah manusia
3.
Beji
1,778
Didominasi limbah dari hewan peliharaan
4.
Bobosan
2,233
Didominasi limbah manusia
5.
Kedungwuluh
2,125
Didominasi limbah manusia
6.
Sidabowa
2,181
Didominasi limbah manusia
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa nilai rasio coli fekal dan streptococci fekal pada stasiun Ketenger dan Beji berkisar antara 0,7-2,0 yang mengindikasikan sumber pencemaran berasal dari hewan peliharaan sedangkan stasiun Karangnangka, Bobosan, Kedungwuluh dan Sidabowa berkisar antara 2,0-4,0 yang mengindikasikan sumber pencemaran berasal dari limbah manusia. Keadaan ini menggambarkan bahwa cemaran materi fekal yang terdapat di Sungai Banjaran sebagian besar berasal dari manusia. Stasiunstasiun pengamatan tersebut tidak jauh dari pemukiman penduduk sehingga memungkinkan untuk membuang limbah ke Sungai Banjaran. Meskipun pada bagian hilir sungai sudah melalui daerah perkotaan namun kebanyakan penduduk yang memiliki WC tidak memiliki septic tank sehingga buangan akhir yang dianggap tepat adalah Sungai Banjaran.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan : 1. Total coli fekal dan streptoocci fekal terendah pada stasiun Ketenger yaitu 74/100ml dan 40/100ml dan teringgi di Stasiun Beji yaitu 160/100 ml dan 90/100ml. 2. Rasio coli fekal dan streptococci fekal menunjukkan bahwa sumber pencemaran fekal di Sungai Banjaran berasal dari limbah manusia.
DAFTAR PUSTAKA Devriese, L.A., M.D. Collins and R. Wirth. 1991. The Genus Enterococci. In; Balows, A., H.G. Truper, M. Dworkin, W. Harder and K. Scheifer. (Editors) The Prokaryotes Volume II; A Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation, Identification and Applications. Springer Verlag, New York. Pp 1466-1481. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Gerba, C.P. 1999. Indicator Microorganism. In; Maier, R. M., I. L. Pepper and C. P. Gerba. (Editors) Enviromental Microbiology. Academic Press A Horcourt Science and Technology Company, San Diego. Pp 491-541. Hawker, L.E., and Linton A. H. 1979. Micro-organisms Function, Form and Environment 2ed. Edward Arnold Publisher Ltd., London.
197
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Imamuddin, H., R. D. Rahayu, D. Supriyati dan G. Kartina. 1999. Pola Penyebaran Bakteri Koliform di Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur. Jurnal Mikrobiologi Tropika Vol.2 No.1: 32-37. Mehlman, I. J. 1984. Coliforms, Fecal Coliforms, Escherichia coli and Enteropathogenic E. coli. Compendium of Method for tha Microbiological Examnination of Foods, 2nd edition, APHA, Washington D. C. :265-285. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi II. UI-Press, Jakarta. Prescot, L. M., J. P. Harley and D. A. Klein. 1999. Microbiology 4ed. McGraw Hill Companies Inc., Boston. Rheinheimer, G. 1992. Aquatic Microbiology 4ed. John Wiley and Sons Ltd., Chichester. Suparman dan Suparmin. 2001. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair: Suatu Pengantar. Penerbit Buku Kedokteran EGG, Jakarta. Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. Penerbit Alumni, Bandung. Sutiknowati, L. I. 2003. Pengamatan Kepadatan Bakteri Pencemar untuk Kelayakan Budidaya Di Perairan Tangerang. Majalah Ilmiah UNSOED No. 3 : 9-22. Tortora, G., B.R. Funke and C.L. Case. 1998. Microbiology An Introduction Six Edition. Benjamin/Cumming Publishing Company, California.
198
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM BAKTERI TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR TAMBAK DAN PERTUMBUHAN UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) Muhammad Badjoeri*, Tri Widiyanto, Sekar Laras Hati, Widi Riyanto dan Nina Hermayani ABSTRAK Pemanfaatan mikroorganisme (bakteri) untuk mengatasi kendala menurunnya kondisi kualitas air tambak dikenal dengan sebutan pendekatan bioremediasi. Meningkatnya kandungan senyawa organik sisa pakan dan senyawa metabolit toksik (amonia, nitrit dan hidrogen sulfida) merupakan salah satu permasalahan yang sering muncul dalam budidaya udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian konsorsium bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi terhadap kondisi kualitas air tambak dan pertumbuhan udang. Konsorsium bakteri yang digunakan terdiri dari bakteri nitrifikasi (Pseudomonas sp.), bakteri denitrifikasi (Alcaligenes sp.) dengan ratio 1:1, dan bakteri fotosintetik anoksigenik untuk menginokulasi pakan. Penelitian dilakukan pada 2 tambak tambak uji berukuran 2000 m2, padat penebaran 30 ekor/m2, sebagai kontrol adalah tambak tanpa diberikan bakteri. Dosis pemberian bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi yaitu sebanyak 150 L/Ha (tergantung kondisi tambak) pada tahap persiapan, bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L/Ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5 hari. Pemberian bakteri (inokulasi) dilakukan secara langsung dengan menebarkan kultur bakteri ke dalam perairan tambak. Penelitian dilakukan selama 120 hari pada tahun 2005. Pemberian konsorsium bakteri setiap 10 hari secara kontinyu. Lokasi tambak di Desa Ciparage Jaya, Karawang - Jawa Barat. Analisis bakteri dan kualitas air dilakukan di Lab. Mikrobiologi Puslit Limnologi-LIPI Cibinong. Hasil analisa kualitas air menunjukan pemberian konsorsium bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi berpengaruh positif terhadap perbaikan kondisi kualitas air tambak dan pertumbuhan udang. Konsentrasi amonia dan nitrit di tambak uji kondisinya berada dibawah ambang batas konsentrasi toksik yang membahayakan udang yang dibudidayakan, juga terhadap pertumbuhan udang serta hasil produksi tambak udang. Kata kunci: Bioremediasi, konsorsium bakteri, tambak udang, kualitas air, senyawa toksik,, pertumbuhan udang ABSTRACT Increasing of concentration of organic material in fishery system such as prawn pond (tambak) as the impact of artificial feed (pelet) is difficult to be avoided at the risk of decreasing water quality. Bioremediation using bacteria activity is one of effort to overcome decreasing of water quality. A research of using nitrifying bacteria as bioremediation agent to water quality was done in tiger prawn pond in Karawang - West Java. The objective of this research is to elucidate the influence of nitrifying bacteria to water quality of the pond. Two test pond of each of 2000 m2 consisted of test pond treated by bioremediation and control pond without bioremediation. Density of prawn seed is 30 individuals per m2. The research is done for 120 days and sampling of water was done periodically every 10 days during 4 month. The pond treated with bioremediation was inoculated by bacteria consisted of nitrifying bacteria and denitrifying bacteria with the ratio of 1:1. The abundance of bacteria inoculated is 109 cfu/mL. The dose of bacteria are as follows; at
*
Pusat Penelitian Limnologi LIPI Email :
[email protected]
199
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
preparation stage is 150 L/ha, at month of one to two is 50 L/ha every 10 days, month of 3 to 4 is 100 L/ha every 5 days. The results of water quality analysis indicated that nitrifying bacteria as bioremediation agent capable to restore water quality condition of the pond and concentration of amonia and nitrite stays below toxic concentration for prawn aquaculture, and growth of prawn and productivity of prawn pond. Keywords: Bioremediation, bacteria consortium, water quality, prawn-pond, toxic compound, growth of prawn
PENDAHULUAN Budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan usaha yang potensial dan bernilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan negara yang mempunyai peluang besar untuk mengembangkan usaha ini. Pada tahun 1993 Indonesia adalah negara penghasil udang windu terbesar ke tiga di dunia setelah Thailand dan Equador (ANONYMOUS 1996), namun sejak tahun 1995 produksi udang di Indonesia sampai saat ini terus mengalami penurunan produksi yang sangat berarti, yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan, akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air. Pencemaran lingkungan perairan oleh bahan organik yang umumnya berasal dari limbah industri dan domestik, yang dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkat (GUNALAN 1993). Pencemaran pada perairan budidaya selain berasal dari limbah industri dan domestik juga berasal dari sisa pakan buatan (pelet) dan feces hewan yang dibudidayakan. Kandungan protein pelet (pakan udang buatan) cukup tinggi, yaitu sekitar 40 %, sehingga pembusukan (perombakan) pelet akan menghasilkan senyawa nitrogen anorganik berupa N-NH3 / N-NH4+ (amonia/amonium) yang merupakan salah satu senyawa toksik bagi udang (BOYD 1990). Menurut GARNO (2004) sekitar 90% protein yang terdapat pada tambak berasal dari pelet, hanya 22% yang dikonversi menjadi biomassa udang dan 7% dimanfaatkan oleh aktivitas mikroorganisme, sedangkan 14% terakumulasi dalam sedimen dan 57% tersuspensi pada air tambak. Diestimasi terjadi akumulasi senyawa nitrogen organik di tambak udang jumlahnya sebesar 600 kg/ha/tahun pada tambak yang berproduksi 10 ton/ha/th dengan konversi pakan 1,6. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa semakin
200
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
banyak penggunaan pelet akan semakin besar terjadinya akumulasi bahan organik yang dapat memacu terjadinya proses terbentuknya senyawa metabolit toksik di dalam perairan tambak, sedangkan pemberian pelet akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan udang. Tinggginya akumulasi bahan organik di tambak udang dapat menimbulkan beberapa dampak yang merugikan yaitu, 1). memacu pertumbuhan mikroorganisme heterotrofik dan bakteri patogen, 2). eutrofikasi, 3). terbentuknya senyawa toksik (amonia dan nitrit), dan 4). menurunnya konsentrasi oksigen terlarut (WIDIYANTO, 2006). Secara alamiah sistem perairan (tambak udang) mampu melakukan proses self purification, namun apabila kandungan senyawa organik sudah melampaui batas kemampuan self purification, maka akumulasi bahan organik dan pembentukan senyawasenyawa toksik di perairan tidak dapat dikendalikan, sehingga menyebabkan menurunnya kondisi kualitas air bahkan kematian udang yang dibudidayakan (BADJOERI et al. 2006). Senyawa amonia atau amonium dan nitrit dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat menimbulkan dampak negatif (Tabel 1). Tabel 1. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh senyawa metabolit toksik amonia dan nitrit terhadap hewan akuatik Dampak negatif yang di timbulkan No
Senyawa metabolit toksik Amonia / Amonium
1
Memicu terjadinya blooming fitoplankton
Nitrit Menghambat pengikatan oksigen oleh darah di dalam tubuh (methemoglobinemia)
2
Terjadinya fluktuasi oksigen terlarut di air antara
Terbentuknya
senyawa
met-
hemoglobin
siang dan malam hari
(met-Hb) yang dapat menyebabkan penyakit “brown blood diseases”
3
Berpengaruh terhadap fisiologis udang, pH
Menyebabkan LC 50 ikan air tawar pada
darah dan menghambat kerja enzimatik
konsentrasi antara 0,66 – 200 mg/L dalam waktu 96 jam, dan terhadap udang air tawar pada konsentrasi antara 8,5 – 15,4 mg/L
201
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
4
Pada konsentrasi 5,7 mg/L dapat menyebabkan
Menyebabkan LC 50 post larva udang windu
LC 50 udang windu dalam waktu 24 jam, dan
(Penaeus monodon) pada konsentrasi 204
pada konsentrasi 1,26 mg/L dalam waktu 96 jam
mg/L dalam waktu 24 jam dan pada konsentrasi 45 mg/L dalam waktu 96 jam
5
Pada konsentrasi berkisar antara 0,7 – 2,4 mg/L
Menghambat
pertumbuhan
udang
dinyatakan sebagai konsentrasi toksik terhadap
(Macrobrachium
ikan air tawar
konsentrasi antara 1,8 – 6,2 mg/L.
rosenbergii)
galah pada
Sumber : BOYD 1990, CHIN & CHEN (1987), CHEN & CHIN (1988), BOYD & FAST (1992)
Senyawa amonia dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi ambang batas, namun demikian mekanisme toksisitasnya bagi udang masih belum banyak diketahui dengan jelas. Konsentrasi amonia yang aman untuk budidaya udang ≤ 0,012 mg/L dan konsentrasi maksimum senyawa nitrit di perairan budidaya ≤ 4,4 mg/L. (SCHWEDLER et. al., 1985). Beberapa upaya pengelolaan perairan tambak udang yang umumnya banyak dilakukan para petani tambak, antara lain teknik sedimentasi dengan menggunakan kolam tandon air untuk menyimpan air sebelum air dimasukkan kedalam tambak; pemakaian kincir air untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan penggunaan bahan kimia (antara lain saponin dan antibiotik) untuk mengantisipasi hama dan penyakit. Namun upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan hasil produksi udang. Salah satu upaya alternatif yang terus dikaji dan dikembangkan ialah teknik bioremediasi, merupakan pendekatan biologis dalam pengelolaan kualitas air tambak dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam merombak bahan organik dalam sistem perairan budidaya. Beberapa jenis atau kelompok bakteri diketahui mampu melakukan proses perombakan senyawa-senyawa metabolit toksik, dan dapat dikembangkan sebagai bakteri agen bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok bakteri tersebut antara lain
bakteri
nitrifikasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit), dan bakteri
pengoksidasi amonia. Kelompok atau jenis bakteri tersebut perlu dikondisikan agar lebih
202
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
aktif dalam membantu proses perombakan, sehingga dapat mengeliminasi senyawasenyawa toksik tersebut dari dalam sistem perairan tambak. Beberapa produk bakteri agen bioremediasi hasil penelitian telah dikomersilkan dan diaplikasikan di tambak pada saat ini, antara lain EM4, StarBIO, Aquazyme dan Super PS. Beberapa penelitian bakteri agen bioremediasi, antara lain dilakukan oleh MUSTAFA et al. (2001) dengan menggunakan bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. yang diinokulasi secara bersamaan, sehingga mampu menurunkan kandungan bahan organik sedimen tambak udang sebesar 60% setelah inkubasi selama 56 hari. DEVARAJA et al. (2002) menggunakankan campuran bakteri Bacillus sp. dan Saccharomyces sp., serta campuran dari Bacillus sp., Nitrosomonas sp. dan Nitrosobacter sp. pada sistem budidaya udang. Pada penelitian ini digunakan bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi sebagai agen bioremediasi senyawa metabolit toksik amonia dan nitrit di tambak udang. Bakteri yang akan digunakan adalah hasil isolasi dan seleksi dari beberapa perairan tambak di Indonesia. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan, dilepaskan berupa gas N2 / N2O ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N2O) atau gas nitrogen (N2). Pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi sebagai agen bioremediasi ke dalam tambak udang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bakteri yang berperan dalam proses remineralisasi unsur hara nitrogen dan membantu proses purifikasi alamiah (self purification) dalam siklus nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri agen bioremediasi menjaga keseimbangan kondisi kualitas air dan pengaruhnya terhadap kualitas air di tambak udang windu, serta pertumbuhan udang yang dibudidayakan.
203
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada tambak udang windu di daerah Karawang, Jawa Barat pada bulan Juni s/d September 2005. Tambak yang digunakan berupa 2 kolam uji yang luasnya masing-masing sekitar 2000 m2. Kolam pertama sebagai tambak uji dengan perlakukan pemberian konsorsium bakteri bioremediasi dan kolam kedua sebagai tambak kontrol (tanpa perlakuan bioremediasi). Padat tebar 30 ekor per m2. Lama penelitian satu siklus pemeliharaan udang windu sekitar 120 hari, pengamatan dilakukan secara berkala setiap 10 hari. Setiap tambak dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit aerojet. Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri ke dalam tambak udang dengan ratio penebaran bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifikasi = 1 : 1. Dosis pemberian bakteri, pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L/ha (tergantung kondisi tambak), bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L/ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5 hari, dengan kepadatan populasi 109 upk/mL. Isolat bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang digunakan hasil isolasi dari perairan tambak udang daerah Tanggerang dan Serang, Jawa Barat dan tambak daerah MoramoKendari, Sulawesi Tengara. Hasil uji genetika (PCR dan 16S rRNA), isolat bakteri dengan kode ASLT yang mempunyai kemampuan aktivitas nitrifikasi mirip (99%) dengan Pseudomonas stutzeri. Isolat bakteri dengan kode KDTS yang mempunyai kemampuan aktivitas denitrifikasi mirip (99%) dengan Alcaligenes sp (WIDIYANTO 2006). Media pertumbuhan bakteri untuk bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi adalah media cair Sea Water Complete (bakto pepton 5g, ekstrak ragi 1g, gliserol 3g, akuades 250 mL dan air laut 750 mL) dan diinkubasi pada kondisi aerofilik, pH 7,2 dan suhu ruang. Inkubasi baktri denitrifikasi pada pH dan suhu yang sama dengan kondisi mikroaerofilik (LUEKING et al., 1978). Inkubasi bakteri selama 5 – 7 hari. Isolat siap ditebar ke dalam tambak udang pada hari ke 8 – 10 karena masa pertumbuhan eksponensial. Parameter fisika-kimia kualitas air tambak yang diamati meliputi: pH, suhu, oksigen terlarut (DO), salinitas, kecerahan, amonia, nitrit, nitrat dan nitrogen total selama satu siklus pemeliharaan (sekitar 120 hari), (Tabel 2). Analisa dilakukan di Laboratorium
204
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Mikrobiologi Puslit Limnologi LIPI Cibinong. Pengukuran pertumbuhan udang dilakukan langsung dilapangan setiap 10 hari sekali sejak udang berumur 30 hari dengan menggunakan jala tebar, dan panen dilakukan setelah udang berumur 4 bulan (120 hari). Tabel 2. Parameter fisika - kimia air dan metode yang digunakan
No 1 2 3 5 6 7 8 9
Parameter fisikakimia air
Satuan
pH Suhu Oksigen terlarut (DO) Kecerahan Amonia (N- NH3) Nitrit (N-NO2) Nitrat (N-NO3) Total Nitrogen (TN)
C mg/L cm mg/L mg/L mg/L mg/L o
Metode yang digunakan Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10 Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10 Menggunakan alat WQC, Horiba type U 10 Menggunakan alat Secchi disc Motode fenat dan spektrofotometri Metode sulfanilamid dan spektrofotometri Metode brucine dan spektrofotometri Metode dekstruksi peroksodisulfat dilanjutkan dengan brucine dan spektrofotometri
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis kualitas air tambak menunjukkan pemberian bakteri bioremediasi berpengaruh terhadap kondisi kualitas air tambak, terutama terhadap konsentrasi senyawa amonia, nitrit, nitrat, dan nitrogen total. Secara keseluruhan konsentrasi senyawa-senyawa tersebut di tambak yang diberi perlakuan bakteri bioremediasi (tambak uji) tampak lebih rendah. Kondisi kualitas air pada awal pemeliharaan sampai pemeliharaan selama 50 hari konsentrasi amonianya masih rendah baik pada tambak uji (0,0406 – 0,1566 mg/L) maupun pada tambak kontrol (0,00641 – 0,1317 mg/L). Kondisi ini menunjukkan, bahwa konsentrasi senyawa nitrogen organik di tambak udang belum terlalu tinggi, hal ini kelihatan dari konsentrasi nitrogen totalnya yang berkisar antara 0,2102 – 2,2577 mg/L di tambak uji, sedangkan di tambak kontrol 0,3173 – 2,4311 mg/L (Gambar 1).
205
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 1. Konsentrasi amonia dan total nitrogen di tambak udang windu, 2005
Selain itu juga terlihat sampai hari ke 50, konsentrasi amonia dan nitrit di tambak udang rendah. Kondisi ini menunjukan proses purifikasi alami di tambak udang dapat berlangsung dan diduga bakteri bioremediasi yang ditambahkan dapat beradaptasi dalam menjaga keseimbangan populasi mikroorganisme di tambak udang. Pada pengamatan hari ke 10 konsentrasi amonia di tambak uji 0,1417 mg/L dan terjadi peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,1566 mg/L, akan tetapi selanjutnya konsentrasi amonia terus mengalami penurunan pada hari ke 30 (0,877 mg/L), hari ke 40 (0,0406 mg/L) sampai hari ke 50 (0,0434 mg/L). Begitu pula halnya terjadi di tambak kontrol, dimana pada hari ke 10 konsentrasi amonia 0,1097 mg/L dan mengalami peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,1317 mg/L, dan terus menurun menjadi 0,0413 mg/L (hari ke 30), 0,00641 mg/L (hari ke 40) dan 0,0826 mg/L (hari ke 50). Konsentrasi senyawa metabolit toksik di tambak udang, umumnya menunjukkan peningkatan pada hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu
amonia (NH3) di sedimen
mencapai 8,5 mg/L, nitrat (NO3) 0,93 mg/L, nitrit (NO2) 0,69 mg/L. Sedangkan konsentrasi nitrogen total terlarut pada hari ke 3 mencapai 0,42 mg/L (BUFORD et.al., 2002). Setelah 50 – 60 hari pemeliharaan, terjadi peningkatan konsentrasi amonia di tambak kontrol dari 0,0826 mg/L menjadi 2,6388 mg/L, sedangkan di tambak uji juga terjadi peningkatan konsentrasi amonia namun relatif lebih kecil peningkatannya, yaitu dari 0,0434 mg/L menjadi 0,1367 mg/L. Hal ini menyerupai hasil penelitian yang dilakukan
206
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
oleh SABAR & WIDIYANTO (1998), yang menunjukkan adanya peningkatan senyawa organik pada sistem tambak semi-intensif terjadi mulai hari ke 60. Pada awal operasional tambak, konsentrasi senyawa karbon organik pada sistem sedimen umumnya sebesar 41,0 mg/L dan pada tambak udang umur 60 hari meningkat menjadi 140 mg/L dan selain senyawa karbon organik juga unsur nitrogen, fosfat dan sulfur banyak terkandung di dalam senyawa organik yang berasal dari pakan udang. Memasuki masa pemeliharaan 70 – 80 hari konsentrasi amonia baik pada tambak uji maupun kontrol relatif berfluktuasi, namun cendrung terjadi peningkatan konsentrasi amonia, dimana pada tambak uji pada hari ke 80 konsentrasinya mencapai 0,301 mg/L dan di tambak kontrol 1,2101 mg/L., namun pada hari ke 80 - 100 terjadi lagi penurunan konsentrasi amonia, dan pada hari ke 120 terlihat konsentrasi amonia terlihat cendrung terus meningkat, pada tambak uji 0,7563 mg/L, sedangkan pada tambak kontrol 0,7019 mg/L. Peningkatan
konsentrasi
amonia
ini
sebagai
akibat
proses
dekomposisi
(amonifikasi) bahan-bahan organik yang berasal dari sisa pakan, feces udang, plankton yang mati oleh bakteri heterotrof, dan apabila proses selanjutnya yaitu nitrifikasi tidak berlangsung baik maka akan terjadi akumulasi amonia di perairan tambak udang. Konsentrasi nitrit di tambak udang baik di tambak uji maupun di tambak kontrol cenderung terus mengalami peningkatan, terutama masa pemeliharaan 10 – 60 hari, bahkan sampai 70 hari di tambak kontrol. Pada tambak uji konsentrasi nitrit meningkat dari 0,0082 mg/L (hari ke 10) menjadi 0,1272 mg/L (hari ke 60) atau meningkat sebanyak 0,116 mg/L selama 50 hari, sedangkan ditambak kontrol konsentrasi nitrit meningkat dari 0,0112 mg/L (hari ke 10) menjadi 0,1652 mg/L (hari ke 70) atau meningkat sebanyak 0,154 mg/L selama 60 hari. Konsentrasi nitrit dan nitrat di tambak udang selama pemeliharaan diperlihatkan pada gambar 2.
207
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 2. Konsentrasi nitrit dan nitrat (mg/L) di tambak udang windu, 2005
Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi, yang pada kondisi aerobik, bakteri nitritasi (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan pada kondisi oksigen yang memadai proses ini akan berlanjut menjadi proses nitratasi, nitrit akan dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (bakteri pembentuk nitrat). Pada masa pemeliharaan udang 70 – 120 hari konsentrasi nitrat relatif tinggi, (di tambak kontrol berkisar 0,3206 – 0,9955 mg/L dan di tambak uji berkisar 0,2218 – 0,7573 mg/L) karena hasil perombakan nitrit menjadi nitrat pada proses nitrifikasi. Konsentrasi nitrit di tambak udang uji setelah umur 80 – 100 hari berfluktuasi, namun cenderung terus mengalami penurunan, hal ini diduga karena aktivitas bakteri nitratasi yang mereduksi nitrit menjadi nitrat. Hasil analisis nitrit di tambak udang uji juga memperlihatkan konsentrasi nitrit yang lebih rendah dibanding tambak kontrol, hal ini menunjukan adanya pengaruh pemberian bakteri nitrifikasi untuk bioremediasi perairan tambak udang. Hasil pengukuran parameter pH dan oksigen terlarut di tambak udang diperlihatkan pada Gambar 3. Nilai pH air pada tambak uji maupun tambak kontrol tidak menunjukan konsentrasi yang jauh berbeda, yaitu berkisar antara 8,09 - 8,49 pada tambak uji dan 8,00 – 8,85 pada tambak kontrol. Menurut AHMAD (1991) dan RHEINHEIMER (1985) bakteri di perairan dapat tumbuh optimal pada pH kisaran antara 6,5 – 8,5 dan fluktuasi pH di perairan merupakan proses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fungi).
208
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Kondisi pH air tambak antara 7 - 9 merupakan kondisi yang mendukung untuk pemeliharaan ikan atau udang (BOYD 1990). Nilai pH >7 menunjukkan air tambak teroksidasi dengan baik (RHEINHEIMER 1985), kondisi ini mendukung bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat
Gambar 3. Nilai pH dan konsentrasi oksigen terlarut (mg/L) di tambak udang windu, 2005
Oksigen terlarut (DO) di dalam air merupakan parameter yang sangat penting, karena apabila konsentrasinya rendah (<50 % konsentrasi jenuh) menyebabkan tekanan parsial oksigen di dalam air menjadi tidak cukup tinggi untuk proses penetrasi oksigen ke dalam lamella insang udang sehingga menyebabkan udang mati lemas. Apabila terlalu lewat jenuh (>150 %), penetrasi oksigen ke dalam insang menjadi terlalu cepat, menyebabkan penyakit “gas bubble deasease” (AHMAD, 1991). Konsentrasi oksigen terlarut di tambak uji maupun tambak kontrol relatif tinggi yaitu antara 8,55 – 18,49 mg/L di tambak uji dan 7,95 – 18,60 mg/L di tambak kontrol (Gambar 3). Hal ini dikarenakan proses fotosintesis oleh fitoplankton di tambak (BOYD dan CHIANG dalam AHMAD 1991). Tingginya konsentrasi oksigen terlarut di tambak udang diduga juga karena penetrasi oksigen oleh kincir air (2 unit) dan aerojet (1 unit) yang dipasang di tambak. Menurut AHMAD (1991) konsentrasi oksigen terlarut pada waktu fajar (jam 04.00) dapat terjadi defisit konsentrasi oksigen hingga mencapai 1, 54 mg/L,
209
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
karena itu pemasangan alat pemasok oksigen (aerator) di tambak udang sangat diperlukan untuk menghindari kematian udang akibat kekurangan oksigen. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di tambak uji (10,93 mg/L) dan di tambak kontrol (12,33 mg/L) layak untuk mendukung kehidupan ikan atau udang yang dibudidayakan dan aktivitas mikroorganisme (bakteri) untuk melakukan proses biogeokimia di perairan. Konsentrasi oksigen terlarut pada tambak uji, sejak memasuki masa pemeliharaan 30 hari sampai 120 hari lebih rendah konsentrasinya dibanding tambak kontrol, hal ini menunjukan adanya proses respirasi dan perombakan bahan organik yang terjadi pada tambak uji lebih aktif dibanding di tambak kontrol. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak akan terjadi fluktuasi antara pagi, siang, sore dan malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak pada sore hari (jam 15.00 – 18.00) dapat mencapai 15 – 16 mg/L di musim kemarau dan mencapai 8 mg/L di musim penghujan. Pada pagi hari (jam 04.00 - 06.00) di musim kemarau konsentrasi oksigen terlarut mencapai 4 – 4,5 mg/L dan di musim hujan < 4 mg/L (BOYD 1990). Proses perombakan senyawa amonia sangat tergantung dengan keberadaan konsentrasi oksigen terlarut di tambak. Menurut WICKINS (1985) udang windu berbobot 1,6 g menghasilkan 0,96 mg N-NH3+/hari sedangkan udang yang berbobot 30 g menghasilkan 0,3 mg N-NH3+/hari, dan apabila pakan yang diberikan 3 % dari berat biomassa udang, maka dalam satu hari akan diproduksi amonia sekitar 0,49 mg/L N-NH3+ per hari, yang merupakan penjumLahan amonia yang diproduksi udang dan sisa pakan. Untuk mengoksidasi amonia 0,49 mg/L per hari diperlukan oksigen sebanyak 1,9 mg/L (AHMAD 1991). Pada malam hari diperlukan oksigen terlarut sebanyak 7,54 mg/L. Jika konsentrasi oksigen terlarut pada sore hari (jam 17.00) sebanyak 9 mg/L maka konsentrasi oksigen terlarut pada pagi hari (jam 05.00) adalah 9 mg/L – 7,54 mg/L = 1,46 mg/L (AHMAD 1991). Sedangkan konsentrasi oksigen terlarut terendah untuk budidaya udang adalah 3 mg/L (POERNOMO 1988, CHOLIK 1988, BOYD 1990 dan AHMAD 1991). Oleh karena
210
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
itu untuk mengatasi kondisi ini diperlukan alat bantu pemasok oksigen ke dalam tambak, yaitu kincir air dan aerojet. Menurut AHMAD (1991) kincir air dan aerojet mempunyai efisiensi aerasi masingmasing sebesar 2,10 kg O2/kw.jam dan 0,97 kg O2/kw.jam. Sedangkan menurut BOYD & AHMAD (1987) untuk menaikan konsentrasi oksigen terlarut dari 1, 46 mg/L menjadi 3 mg/L diperlukan sekitar 7 kw.jam atau diperlukan sekitar 4 buah aerator (kincir)/ha untuk meningkatkan oksigen terlarut sampai konsentrasi yang aman bagi kehidupan udang pada malam hari (jam 24.00 – 01.00). Pada penelitian ini, tambak udang dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit aerojet (pompa penyemprot) disetiap tambak untuk mememenuhi kebutuhan oksigen di air tambak. Suhu air selalu berkaitan dengan pH air, konsentrasi oksigen terlarut, salinitas dan kelarutan amonia di perairan (BOYD 1990). Suhu air di tambak uji berkisar antara 30,5 – 31,7 oC dan kontrol 30,2 – 31,5 oC (Gambar 4). Pada kisaran suhu tersebut udang masih dapat hidup normal, bahkan pada suhu sekitar 35 oC udang masih dapat hidup normal seperti pengamatan yang dilakukan oleh AHMAD (1991) di tambak percobaan MaranakSulawesi selatan. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang adalah berkisar antara 28 – 30 oC (BOYD 1990). Suhu rata-rata di tambak uji 31,17 oC dan di tambak kontrol 31,08 oC, kondisi suhu ini mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik. Menurut RHEINHEIMER (1985) suhu optimal amonifikasi dan nitrifikasi berkisar antara 30 – 35 oC.
211
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 4. Profil suhu (oC) dan salinitas (o/oo) di tambak udang windu, 2005
Salinitas (kadar garam) di tambak uji berkisar antara 31,0 – 33,62 o/oo dan tambak kontrol berkisar 29,4 – 33,4 o/oo (Gambar 4). Salinitas di tambak udang, di tambak uji maupun tambak kontrol relatif cukup tinggi, karena salinitas optimal air tambak untuk pertumbuhan udang windu 20 o/oo . Menurut AHMAD (1991) udang windu walaupun termasuk hewan euryhaline dan masih dapat hidup normal pada salinitas 35 o/oo, sebaiknya dibudidayakan pada salinitas normal untuk perkembangannya yaitu 12 – 20 o/oo, dan salinitas tertinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme halophilic (bakteri dan fungi), yaitu 25 – 40 o/oo, dan tumbuh optimal pada salintas 5 – 20 o/oo (RHEINHEIMER 1995). Tingginya kadar garam di tambak udang uji maupun kontrol dikarenakan musim kemarau sehingga salinitas di tambak terus meningkat karena proses penguapan air, selain
212
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
itu di lokasi penelitian relatif sulit untuk mendapatkan air tawar. Pada masa pemeliharaan 70 – 90 hari, salinitas air tambak menurun akibat pengenceran yang disebabkan oleh hujan yang turun. Namun demikian kondisi salinitas air tambak diduga masih mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik. Pertumbuhan udang windu selama penelitian memperlihatkan tingkat kelangsungan hidup udang pada tambak uji mencapai 72,8 % sedangkan pada tambak kontrol 45,7 %. Panen udang dilakukan pada saat udang berumur 120 hari, dengan bobot rata-rata udang di tambak uji berkisar 22,5 – 25,0 gram/ekor sedangkan pada tambak kontrol berkisar 20,5 – 22,5 gram/ekor. Panjang rata-rata udang di tambak uji 14,6 cm sedang di tambak kontrol 12,5 cm. JumLah total produksi udang pada tambak uji mencapai 1300 kg/2000 m2 dan pada tambak kontrol mencapai 745 kg/2000 m2. Hal ini menunjukan kondisi kualitas air tambak uji lebih baik dibanding tambak kontrol, sehingga menyebabkan lingkungan hidup udang di tambak uji menjadi lebih sehat. Profil pertumbuhan udang windu selama 120 hari diperlihatkan pada gambar 5.
Gambar 5. Profil pertumbuhan udang windu selama 120 hari di tambak udang
213
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KESIMPULAN Pemberian
konsorsium
bakteri
nitrifikasi
dan
denitrifikasi
sebagai
agen
bioremediasi ke dalam perairan tambak udang dengan dosis 50 L/ha (udang umur 30 –60 hari) dan 100 L/ha (60 – 120 hari) dengan kepadatan populasi 109 upk/mL setiap 10 hari berpengaruh positif terhadap perbaikan kualitas air tambak dan pertumbuhan udang windu.
DAFTAR PUSTAKA ANONYMOUS, 1996. Aqua Farm News. Vol. XIV: No. 4 dan 5. AHMAD, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air Yang Penting dalam Tambak Udang Intensif. Indonesia Fisheries Information System. Infis Manual Seri no. 25. Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre. 40 hal. BADJOERI. M., G. S. HARYANI, T. WIDIYANTO, W. RIYANTO, I. RUSMANA, N. H. SADI, dan V. INDARWATI. 2006. Pemanfaatan Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk Bioremediasi Senyawa Metabolit Toksik di Tambak Udang. Laporan Tahunan. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek - Riset Kompetitif LIPI. Dipa Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI dan Puslit Biologi LIPI. Bogor. 46 hal. BOYD, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural experiment station. Auburn University. 482 pp. BOYD, C.E. and A.W. FAST. 1992. Pond monitoring and management In. FAST, A.W. and LESTER, L.J. (Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and Practices, 497 514. BOYD, C. E. and T. AHMAD. 1987. Evaluation of Aerators for Channel Catfish Farming. Ala. Agr. Exp. Sta., Auburn Univ., Ala., Bull. 584. 52 pp. BUFORD, M. A., N.P. PRESTON, P.M. GILBERT and W.C. DENNISON. 2002. Tracing the fate of 15N-enriched feed in an intensive shrimp system. Aquaculture. 206 : 199 – 216. CHIN, T. S. and J. C. CHEN. 1987. Acute Toxicity of Amonia to Larvae of the Tiger Prawn, Penaeus monodon. Acuaculture, 66: 247-253. CHEN, J. C. and CHIN, T.S. 1988. Joint Action of Ammonis snf znitrite on Tiger Prawn Penaeus monodon Postlarvae. J. Worls Aquacul. Soc., 19:127-131.
214
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
CHOLIK, F.1988. Dasar-dasar Bertambak Udang Intensif. Seminar Budidaya Udang Intensif. Patra Utama, Jakarta, 12-19. DEVARAJA, T.N., F.M. YUSOFF and M. SHARIFF. 2002. Changes in bacterial population and shrimp production in pond treated with commercial microbial products. Aquaculture. 206 : 245 – 256. GUNALAN, D. E. A. 1993. Penerapan Bioremediasi untuk Melenyapkan Polutan Organik dari Lingkungan. Makalah Diskusi Panel. Kongres Nasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Surabaya 2-4 Desember 1993. Univ. Erlangga. 13 hal. GARNO. S. Y. 2004. Biomanipulasi. Paradigma Baru dalam Pengendalian Limbah Organik pada Budidaya Perikanan di Waduk dan Tambak. Orasi Ilmiah Ahli Peneliti Utama. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. 58 hal. LUEKING. D. R., R.T. FRALEY and S. KAPLAN. 1978. Intracytoplsmic Membrane Synthesis in Syncronous Cell Populations of Rhodopseudomonas sphaeroides. J. Biol. Chem. 253:451-457. MUSTAFA. A., NURHIDAYAH, NURJANA, R. SABANG dan SUTRISYANI. 2001. Pemanfaatan bakteri pengurai bahan organik asal tanah gambut pada tanah dari tambak intensif. J. Penel. Perikanan Indonesia 1: 31 – 40. POERNOMO, A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia, Departemen Pertanian, Balit. Perikanan Budidaya Pantai, Maros. 40 hal. RHEINHEIMER, G. 1985. Aquatic Microbiology. 3rd (eds). John Wiley & Sons Ltd. Chichester. 257 pp. SABAR, F dan T. WIDIYANTO. 1998. Profil Senyawa Karbon Organik pada Sistem Perairan Tambak Udang Windu. Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi LIPI. Cibinong. Bogor, 429 – 432. SCHWEDLER, T. E., C. S. TUCKER, and M. H. BELEAU. 1985. Non-infectious diseases. In. TUCKER (Ed.). Channel Catfish Culture. Development in Aquaculture and Fisheries Science. Vol. 15. Elsevier, New York. 249 pp. WICKINS, J. F. 1985. Amonia Production and Oxidation During The Culture of Marine Prawn and Lobsters in Laboratory Recirculation System. Awc. Eng., 4: 155-174. WIDIYANTO, 2006. Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk Bioremediasi di tambak Udang. Ringkasan disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 39 hal.
215
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KETERKAITAN KUALITAS AIR DENGAN DINAMIKA POPULASI Microcystis spp. DI WADUK SUTAMI, MALANG JAWA TIMUR
Catur Retnaningdyah* ABSTRAK Terdapat dua permasalahan yang dihadapi di perairan waduk Sutami Malang Jawa Timur yaitu dominansi mikroalga Cyanobacteria dari genus Microcystis yang berpotensi untuk menimbulkan blooming pada waktu tertentu dan juga permasalahan kualitas fisik-kimia perairan yang telah menunjukkan adanya eutrofikasi dan pencemaran bahan organik tinggi. Pada kondisi blooming, Microcystis sp. dapat menghasilkan racun yang disebut microcystin yang bersifat toksik terhadap organisme yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi Microcystis spp. dan keterkaitan antara kualitas air dengan dinamika populasi tersebut di waduk Sutami Malang. Penelitian dilakukan mulai tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) dan 2006 (Januari-Maret) dengan mengambil sampel air dan plankton pada daerah hulu, tengah dan hilir waduk setiap dua minggu sekali. Kualitas air yang diukur adalah BOD, COD, nilai KMnO4, TSS, TDS, Nitrat, Nitrit, Total Kjeldahl Nitrogen, Sulfat, Kalium, total Fosfat, Sulfida (H2S), Cyanida, Suhu, Konduktivitas, kecerahan, Oksigen Terlarut (DO), dan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi kelimpahan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami sangat besar (0-639.028 koloni/L). Kelimpahan bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret. Kelimpahan antara daerah hulu, tengah dan hilir tidak berbeda nyata. Perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam kategori eutrofik dengan sumber pencemar utama adalah bahan organik. Pada waktu pantau tertentu didapatkan beberapa parameter kualitas air seperti DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan Analisis Jalur (Path Analyses) dapat disimpulkan bahwa peningkatan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami secara positif dipengaruhi oleh tingginya TSS, BOD, total Kjeldahl N, total Fosfat, dan kelimpahan fitoplankton yang lain. Sedangkan tingginya nilai TDS, COD dan rasio N:P dapat menurunkan populasi Microcystis spp. Kata Kunci: Dinamika Populasi, Microcystis spp., Waduk Sutami
ABSTRACT There are two problem facing in Sutami reservoir Malang: (1) the dominance of Microcystis spp having potency to bloom and (2) the water quality had showed eutrophication and organic pollution. The blooming of Microcystis can caused severe of other organism because of high toxicicity of microcystin. The objective of this research is to know the population dynamics of Microcystis spp. in Sutami reservoir and that interrelationship with the water quality. The exploration of Microcystis and water sampling was done every two weeks on October-December 2004, January-December 2005 and January-March 2006. The water quality parameters were measured: BOD, COD, KMnO4, TSS, TDS, nitrate, nitrite, Total Kjeldahl Nitrogen, sulphate, kalium, total phosphate, sulfida (H2S), cyanida, temperature, conductivity, dissolved oxygent (DO), and pH. The research result showed that fluctuation of Microcystis abundance in Stami reservoir is very high with rangeof population 0-639,028 colony/Litre.Generally, the abundance in November-December is lower and the abundance in January-March is higher. There are not significance difference the abundance between
*
FMIPA UNIBRAW Email :
[email protected]
216
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
upper, middle and down area. The value of DO, pH, BOD, COD, nitrate, nitrite, total phosphate and H2S have exceed the standard. Based on path analyses concluded that the population dynamics of Microcystis spp is affected by the high of TSS, BOD, total Kjeldahl N, total phosphate, abundance of other phytoplankton and the lower of TDS, COD and N:P ratio. Key words: Population dynamics, Microcystis spp., Sutami reservoir
PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang terjadi pada beberapa perairan menggenang di Indonesia adalah peledakan (blooming) populasi dari jenis-jenis mikroalga terutama Cyanobacteria. Salah satu perairan tawar yang juga mengalami permasalahan di atas adalah waduk Sutami (Karangkates) di Malang Jawa Timur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Retnaningdyah, dkk (2002), menunjukkan bahwa di waduk Sutami pada daerah bendungan telah terjadi blooming fitoplankton dari jenis Microcystis spp. Berdasarkan hasil monitoring selama tahun 2004 sampai bulan Maret 2006 ditemukan bahwa Microcystis spp. bersamasama dengan Synedra sp dan Ceratium sp. selalu ada dalam kelimpahan yang tinggi di waduk Sutami meskipun tidak sampai mengakibatkan terjadinya blooming (Samino dan Retnaningdyah, 2004; Retnaningdyah dan Samino, 2005 dan 2006). Terjadinya dominansi ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan waduk Sutami sudah tidak stabil lagi oleh karena tingkat pencemaran air waduk sudah berpengaruh terhadap struktur komunitas mikroalga. Seperti telah dinyatakan oleh Abel (1989) bahwa suatu perairan yang didominansi oleh Microcystis spp. menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemari oleh nitrat organik. Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan terhadap kualitas air di waduk Sutami yang dilakukan oleh Retnaningdyah dkk. (2002), Samino dan Retnaningdyah (2004), serta Retnaningdyah dan Samino (2005 dan 2006) yang menunjukkan bahwa baik pada tahun 2002, tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) maupun tahun 2006 (Januari-Maret) perairan waduk Sutami termasuk dalam kategori eutrofik dengan kadar nitrogen dan fosfat yang tinggi. Kadar nitrat berkisar antara 0,325-11,07 mg/L, kadar nitrit berkisar antara 0,04-0,81 mg/L, sedangkan kadar fosfat total di waduk Sutami berkisar antara 0,01-1,91 mg/L. Parameter kualitas air tersebut
217
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
telah melebihi standar baku mutu Kelas II untuk keperluan prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yaitu sebesar 10 mg/L untuk nitrat, 0,06 mg/L untuk nitrit dan 0,2 mg/L untuk fosfat total. Perairan waduk Sutami selama penelitian tahun 2002-2006 juga menunjukkan telah tercemar oleh bahan organik dengan nilai BOD dan COD yang tinggi. Kadar BOD berkisar antara
3,9 - 46,2 mg/L dan kadar COD berkisar 10,2 -114,1 mg/L. Pencemaran bahan
organik ini juga dapat ditunjukkan dari hasil penghitungan Indeks Pencemaran Implisit Prati’s di mana pada tahun 2002, 2004 dan 2005 termasuk dalam kategori dapat diterima (Acceptable) sampai tercemar tingkat berat (Heavily polluted) dengan nilai indeks berkisar antara 1,71-8,24 (untuk tahun 2002), 1,36-2,80 (untuk tahun 2004) dan 1,92-8.37 (untuk tahun 2005). tingkat pencemaran perairan waduk Sutami pada waktu pantau bulan Januari sampai Maret 2006 termasuk dalam kategori tercemar ringan (Slightly polluted) dengan nilai indeks berkisar antara 2,59-3,52. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua permasalahan yang dihadapi di perairan waduk Sutami yaitu dominansi mikroalga Cyanobacteria dari genus Microcystis yang berpotensi untuk menimbulkan blooming pada waktu tertentu dan juga permasalahan kualitas fisik-kimia perairan yang telah menunjukkan adanya eutrofikasi dan pencemaran bahan organik tinggi. Microcystis spp. adalah sejenis blue-green algae (Cyanobacteria) yang biasa tumbuh di permukaan air. Pada kondisi yang normal Microcystis sp. ini tidak berbahaya bagi organisme lain atau manusia. Organisme ini dapat membentuk koloni seperti pollen yang terapung di permukaan air dengan warna hijau kekuning-kuningan. Pada kondisi tertentu seperti musim panas dengan nutrien (terutama nitrat) yang tinggi jenis ini bisa tumbuh secara cepat yang biasa disebut “algae blooms”. Pada kerapatan yang sangat tinggi maka angin dapat meniup koloni ini menuju ke tepi perairan dan membentuk lapisan yang
218
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
sangat rapat. Pada kondisi blooming ini Microcystis sp. dapat menghasilkan racun yang disebut microcystin yang dapat menyebabkan kematian pada organisme perairan serta ternak dan burung yang minum air tersebut. Efek toksik racun ini pada manusia adalah dapat mengakibatkan kerusakan liver secara kronik yang selanjutnya dapat memicu tumor liver. Hal ini terjadi jika waktu pendedahannya sangat lama (Taylor, 1997; Solomon, 1998; Oregon Public Health Services, 2002; Romanowska et al, 2002). Hasil penelitian Samino dan Retnaningdyah (2006) menunjukkan bahwa kelimpahan Microcystis spp. dari waduk Sutami yang diperlukan untuk mematikan 50% dari ikan Nila selama 24 sampai 72 jam adalah nyata lebih tinggi (104.320-119.193 koloni/ml) dibandingkan dengan ikan Tawes, Wader dan Mujair dengan nilai LC50 selama 24 sampai 96 jam yang berkisar antara 33.629-63.167 koloni/ml. Sedangkan nilai LC50 selama 96 jam untuk ikan Nila adalah 55.509 koloni/ml. Uraian di atas menunjukkan bahwa Cyanobacteria Microcystis merupakan jenis yang membahayakan bagi organisme yang lain,
maka diperlukan usaha untuk
pengendalian jenis ini di perairan. Akan tetapi, penelitian tentang faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya blooming di perairan daerah tropik belum diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan antara kualitas air (fisiko-kimiawi-biologi) dengan dinamika populasi Microcystis spp.di perairan waduk Sutami. Dalam bidang perkembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melengkapi dasar teori penyebab blooming Microcystis spp. yang terjadi di perairan tawar khususnya di daerah tropik. Sedangkan dalam bidang terapan, hasil penelitian ini untuk selanjutnya diharapkan dapat dipakai sebagai landasan penelitian berikutnya dan juga tindakan dalam rangka pengendalian blooming Microcystis spp. di perairan.
219
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel plankton dilakukan di waduk Sutami. Analisis fisika kimia air dilakukan di Laboratorium Perum Jasa Tirta I Malang. Identifikasi dan penghitungan plankton (termasuk Microcystis spp.) dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang. Pengambilan sampel dilakukan pada tahun 2004 (Oktober-Desember), 2005 (Januari-Desember) maupun tahun 2006 (Januari-Maret). Pengambilan sampel tersebut dilakukan tiap dua minggu sekali sehingga jumlah total sampel adalah 109. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan variabel terikat berupa kelimpahan Microcystis spp. dan kelimpahan jenis fitoplankton yang lain serta zooplankton sedangkan variabel bebas berupa kualitas fisika kimia perairan. Pada perairan waduk Sutami tersebut ditetapkan tiga stasiun pengambilan sampel. Stasiun satu adalah daerah
inlet
yang dibatasi oleh desa Ternyang, stasiun dua adalah daerah inlet yang
dibatasi oleh desa Jati Gui, sedangkan stasiun tiga adalah daerah outlet (bendungan). Pada masing-masing stasiun tersebut dilakukan pengulangan pengambilan sampel pada tiga tempat yang berdekatan (dua tepi dan tengah). Pengambilan sampel tersebut dilakukan secara acak, dengan asumsi bahwa pada satu stasiun kondisi faktor fisiko-kimia dan biologi ekosistem perairan lentik tersebut relatif homogen. Pada masing-masing lokasi yang telah ditetapkan tersebut dilakukan pengambilan sampel air dan plankton berdasarkan pedoman Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water (Clesceri et al., 1989). Secara lebih jelas, diagram alir penelitian tahap ini dapat dilihat pada Gambar 1.
220
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
WADUK SUTAMI
DITENTUKAN 3 STASIUN
PENGAMBILAN SAMPEL TIAP DUA MINGGU SEKALI
AIR
PLANKTON
Penyaringan & Fiksasi Uji Fisik
Uji Kimia Identifikasi & Penghitungan
Analisis Data (Path analysis) Gambar 1. Skema Diagram Alir Penelitian
Pada masing-masing stasiun pengamatan yang telah ditetapkan dilakukan pengambilan sampel air sebanyak tiga liter dengan menggunakan alat pencuplik air (water sampler) vertikal yang berkapasitas satu liter. Sampel air tersebut merupakan akumulasi dari air yang diambil pada kedalaman + 0-25 cm, 25-50 cm, 50-75 cm dan 75-100 cm di bawah permukaan air (masing-masing kedalaman di ambil 1 liter). Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menyaring air tersebut dengan menggunakan jaring plankton yang mempunyai ukuran 406 pori-pori per inci dan diameter 12 cm. Sampel plankton yang tersaring selanjutnya dimasukkan dalam botol flakon dan diawetkan dengan formalin 4%. Untuk menjaga agar klorofil fitoplankton tidak mudah rusak maka pada setiap sampel diberi larutan CuSO4 jenuh (Welch, 1948).
221
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Plankton yang telah diperoleh selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah masing-masing jenis yang didapatkan per liter dengan menggunakan Sedgewick Rafter Counting Chamber dan bantuan mikroskop. Perhitungan masing-masing jenis plankton per liter dilakukan menurut rumus berdasarkan Effendi (1979). Identifikasi fitoplankton dilakukan dengan menggunakan buku Edmondson (1959), Prescot (1978) dan Bold & Wynne (1985). Sedangkan identifikasi zooplankton dilakukan dengan menggunakan buku Davis (1955) dan Hutabarat dan Evans (1986). Faktor fisika kimia air yang diukur dan metoda pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Diukur dalam Penelitian dan Metode Pengukurannya No.
Parameter
Satuan
Metode
I. Analisis lapangan o
1.
Temperatur
2.
pH
3.
Konduktivitas
4.
Oksigen terlarut
5.
Kecerahan
C
Pemuaian
-
Potensiometer
mS/cm
Konduktometri
mg/L
Titrimetri
cm
Sechi disc
II. Analisis laboratorium 1.
BOD
mg/L
Potensiometri
2.
COD
mg/L
Spektropotometri
3.
KMnO4
mg/L
Oks. suasana asam
4.
TSS
mg/L
Gravimetri
5.
TDS
mg/L
Gravimetri
mg/L
Kromatografi ion
6. 7.
Nitrat (NO3 ) 2-
mg/L
Kromatografi ion
+
mg/L
Kromatografi ion
9.
-
Nitrit (NO2 )
mg/L
Asam Sulfanilat
10.
Total Kjeldahl Nitrogen
mg/L
Makro Kjeldahl
11.
Phospat total
mg/L
Asam Askorbat
12.
Sulfida (H2S)
mg/L
Methilen Biru
13.
Sianida (CN)
mg/L
Kalorimetri
8.
222
-
Sulphate (SO4 ) Kalium (K )
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Data
hasil
pengukuran
parameter
fisiko-kimiawi,
kelimpahan
Microcystis,
fitoplankton dan zooplankton pada tiap-tiap waktu pengamatan selanjutnya dibuat grafik. Perbedaan kelimpahan populasi Microcystis antar stasiun diketahui dari uji Anova yang dilanjutkan dengan uji Tukey HSD dengan SPSS release 13.0 for windows. Sedangkan untuk mengetahui keterkaitan antara kualitas air (fisiko-kimiawi-biologi) dengan dinamika populasi Microcystis spp.di perairan waduk Sutami, maka dilakukan analisis jalur (Path Analysis) dengan program Lisrel 8.50 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan terhadap kelimpahan Microcystis spp, fitoplankton lain dan zooplankton di waduk Sutami periode pemantauan 2004-2006 menunjukkan fluktuasi yang sangat tinggi yaitu 0-639.028 koloni/L (Microcystis spp.), 756-10.368.056 Individu/L (fitoplankton lain) dan 138-31.625 Individu/L (zooplankton lain). Rata-rata kelimpahan tersebut tiap waktu pantau dapat dilihat pada Gambar 2. 10000000,0
Kelimpahan
1000000,0
100000,0
10000,0
1000,0
20
15
D es 1
N op
10
27
O kt
04
04
10,0
04 D es Ja 0 nu 4 24 ar i P 05 eb ru ar i0 17 5 M ar et 05 6 A pr il 05 4 M e i0 5 1 Ju ni 0 5 6 3 J A uli gu 05 st us 05 7 12 Se p O t 16 kto 05 be N r op 0 em 5 7 be D r es 05 em be r 05 11 Ja n 06 8 P e 08 b M 06 ar et 06
100,0
Microcystis (Koloni/L)
Fitoplankton lain (Ind/L)
Zooplankton lain (Ind/L)
Gambar 2. Rata-rata kelimpahan populasi Microcystis spp., fitoplankton lain dan zooplankton di Waduk Sutami Periode Oktober 2004 sampai Maret 2006
223
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Berdasarkan Gambar 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum kelimpahan populasi Microcystis pada bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah (8511.838 koloni/L) dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret (407232.146 koloni/L). Sedangkan kelimpahan bulan April sampai Oktober berada di antaranya (342-34.539 koloni/L). Berdasarkan uji Anova yang dilanjutkan dengan Tukey HSD, dapat diketahui bahwa kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami antara daerah hulu, tengah dan hilir adalah sama. Tabel 2. Rata-rata Kualitas Air Waduk Sutami Periode Pemantauan 2004-2006 Nilai
Nilai
NBM Kelas II PP
Minimum
Maksimum
No. 82 th 2001
8,17
2,70
58,60
3,00
COD (mg/L)
26,48
8,10
261,60
25,00
Nilai KMnO4 (mg/L)
14,51
4,70
104,30
-
TSS (mg/L)
21,74
2,30
142,70
-
TDS (mg/L)
230,36
103,60
349,20
-
NO3- (mg/L)
4,21
0,01
12,10
10,00
SO4 (mg/L)
13,98
7,46
20,88
-
K+ (mg/L)
3,23
0,64
6,46
-
NO2 (mg/L)
0,21
0,00
1,13
0,06
Total Kjeldahl N (mg/L)
0,61
0,01
3,17
-
PO4 Total
0,26
0,00
3,44
0,20
H2S (mg/L)
0,03
0,00
0,25
0,002
CN (mg/L)
0,00
0,00
0,02
0,020
Suhu Udara ( C)
30,28
25,20
36,40
-
Suhu Air (oC)
29,15
21,60
32,70
Deviasi 3
Konduktivitas (mS/cm)
0,30
0,19
0,76
-
Kecerahan (cm)
69,17
18,00
148,00
-
DO (mg/L)
8,17
2,20
13,60
>4
pH
8,52
6,60
10,00
6-9
Parameter
rata-rata
BOD (mg/L)
2-
-
o
224
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Dinamika populasi Microcystis spp. sangat dipengaruhi oleh kualitas air sebagai habitatnya. Kualitas air di waduk Sutami, secara umum dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3. Parameter kualitas air yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II untuk keperluan prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air adalah DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam kategori eutrofik dengan sumber pencemar utama adalah bahan organik dan nutrien terutama N dan P. Menurut Dokulil & Teubner (2000) dan Raps et al. (1983) penyebab terjadinya blooming oleh Cyanobacteria adalah (1) suhu yang tinggi yang merupakan suhu optimal bagi pertumbuhannya; (2) rendahnya energi cahaya yang diperlukan oleh Cyanobacteria untuk dapat tumbuh cepat; (3) rendahnya CO2 dan pH yang tinggi; (4) rendahnya rasio total N/total P; (5) Tingginya kadar nitrogen anorganik seperti nitrat; (6) rendahnya tingkat kematian oleh karena kecilnya grazing oleh zooplankton; dan (7) mampu memproduksi racun yang dapat berpengaruh terhadap biota yang lainnya.
225
Waktu Pantau
BO D (m g/L)
Waktu Pantau
37
34
31
28
22
25
34
37
34
37
31
28
25
22
31
28
25
22
19
16
13
10
36
31
26
21
11
16
34 37
28 31
22 25
16 19
10 13
7
60,00 40,00
34 37
28 31
20,00 0,00
22 25
34 37
28 31
22 25
19
13 16
7 10
1
0,00
37
24,0 31 34
2,00
4
4,00
26,0
100,00 80,00
16 19
6,00
10 13
pH
28,0
140,00 120,00
7
8,00
30,0
19
16
13
10
7
6
1 1
4
D O (m g /L ) NBM=6-9
4
10,00
1
12,00
32,0
K ecerah an (cm )
34,0
25 28
4
1
H2S (mg/l) 37
31
28
34
34 37
1
28 31
Waktu Pantau
Waktu Pantau
Waktu Pantau
19 22
1
37
34
28 31
25
25
0,00
NBM>4
14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
37
34
31
28
25
22
22
0,10
0,000 19
19
0,20
22 25
0,002
0,30
16 19
0,004
0,40
10 13
0,006
0,50
7
0,008
Waktu Pantau
0,60
4
0,010
16
16
0,000
1
0,050
K o n d u ktivitas (m S/cm )
0,012
16
0,100
0,00
NBM=0,02
13
0,150
5,00
37
34
31
28
25
22
19
16
13
7
10
22
10,00
NBM=0,002
Waktu Pantau
0,014
7
19
13 16
7
10
4
1
15,00
Waktu Pantau
10
Waktu Pantau
0,200
0,00
7
10,00
0,250
13
1,00
10 13
20,00
20,00
7
2,00
4
30,00
25,00
10
3,00
4
40,00
0,00
4
Su lfat (m g /L )
4,00
4
50,00
Waktu Pantau
5,00
19
37
34 37
100,00 50,00
37
34
28 31
25
19 22
16
7
10 13
4
1
28 31
150,00
0,00
6,00
1
25
200,00
Waktu Pantau
1
19 22
13 16
250,00
7
25,0
60,00
T SS (m g /L )
50,0
K+ (mg/L)
5,0
Waktu Pantau
300,00
0,0
CN (mg/L)
10,0 0,0
350,00
TDS (mg/L)
CO D (m g/L )
75,0
Waktu Pantau
15,0
4
NBM=25
0,016
20,0
Waktu Pantau
100,0
1
29
0,00
Waktu Pantau
Suhu Air ( oC)
33
10,00
25,0
37
29
33
25
17
21
13
9
1
5
0,0
20,00
7
0,5
30,00
10
1,0
NBM=3
30,0
40,00
4
1,5
Waktu Pantau
50,00
1
NBM=0,02
2,0
125,0
21
Waktu Pantau
Nilai KMn O 4 (m g /L )
PO4 Total (mg/l)
2,5
25
13
17
5
9
1
33
37
29
21
25
17
9
5
1
13
0,00
16
0,20
0,0
13
0,40
7
0,60
10
5,0
1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00
4
10,0
NBM=0,06
0,80
Nitrit (mg/L)
Nitrat (mg/L)
1,00
1
NBM=10
15,0
Total Kj. Nitrogen (mg/L)
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Waktu Pantau
Gambar 3. Rata-rata Kualitas air Waduk Sutami Selama Periode Waktu Pantau Tahun 2004,2005 dan 2006 (keterangan: NBM = Nilai Baku Mutu Kelas II PP No. 82 Th 2001)
226
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Gambar 4. Koefisien Korelasi Hasil Analisis Jalur yang Menunjukkan Keterkaitan Antara Kualitas Air dengan Dinamika Populasi Microcystis spp. di waduk Sutami
Keterkaitan antara kualitas air dengan dinamika populasi Microcystis spp di waduk Sutami dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi sebagai hasil analisis jalur (Path Analyses) seperti yang terlihat pada Gambar 4. Nilai koefisien jalur tersebut setelah diuji signifikansinya dengan dilakukan transformasi ke nilai t menunjukkan bahwa koefisien jalur tersebut adalah signifikan dengan nilai t > 1,96. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kelimpahan populasi Microcystis spp di waduk Sutami secara tidak langsung dipengaruhi oleh BOD, total N dan P, serta rasio N:P. Parameter kualitas air yang mempengaruhi secara langsung dinamika populasi Microcystis spp. adalah COD, TDS dan kelimpahan fitoplankton lain. Sedangkan TSS mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. COD, TDS dan rasio N:P mempengaruhi secara negatif, yang mana dapat diartikan bahwa peningkatan COD, TDS
227
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
dan rasio N:P dapat menurunkan kelimpahan Microcystis spp., sedangkan parameter yang lain bersifat sebaliknya yaitu semakin tinggi TSS, BOD, total P dan N serta kelimpahan fitoplankton lain dapat mendorong peningkatan kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami. Hasil di atas sesuai dengan Closs et al (2006) dan Ernst et al. (2005) yang menyatakan bahwa kecukupan ketersediaan nutrien tumbuh bagi mikroalga yang sebagian besar berasal dari bahan pencemar terutama bahan organik dan unsur hara lain yang masuk ke perairan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kelimpahan mikroalga. Menurut Abel (1989) dan
Ramirez & Bicudo (2005), suatu perairan yang didominansi oleh
Microcystis spp. menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemari oleh nitrat organik. Sedangkan Zmijewska et al. (2000), menyatakan bahwa Microcystis spp. merupakan jenis yang dapat digunakan sebagai bioindikator untuk perairan yang telah mengalami eutrofikasi. Rasio N:P merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan relatif dari mikroalga.
Setiap jenis Cyanobacteria mempunyai kebutuhan N dan P dengan rasio
yang tertentu. Hasil penelitian Fujimoto & Sudo (1997) tentang kemampuan bersaing dari Microcystis aeruginosa dan Phormidium tenue yang diisolasi dari salah satu danau di Jepang terhadap P dan N di dalam kultur kontinyu secara tunggal (murni) dan campuran dengan P dan N terbatas pada berbagai rasio suply N:P dan suhu menunjukkan bahwa M. aeruginosa merupakan kompetitor unggul pada kondisi rasio N:P rendah (11, 22, dan 44 mol) dan suhu tinggi (30oC), sedangkan P. tenue unggul pada kondisi N:P tinggi (89 mol) dan suhu rendah (20oC). Tingginya unsur fosfor dan nitrogen di perairan dapat mengakibatkan terjadinya proses peningkatan kesuburan yang disebut sebagai eutrofikasi. Banyak aktivitas manusia di sekitar perairan yang dapat meningkatkan kesuburan perairan seperti limbah kotoran (sewage effluents), limpasan air dari lahan pertanian dan sebagainya. Air limbah dan limpasan tadi mengandung beban muatan yang berupa garam-garam mineral terlarut, bahan organik terlarut, tubuh biota mati dan detritus serta endapan mineral. Beban muatan
228
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
tersebut merupakan bahan atau senyawa yang mengandung nutrien bagi biota nabati (fitoplankton dan tumbuhan) di perairan. Dengan demikian sampai pada batas tertentu, limbah dan limpasan dari suatu kegiatan manusia dapat meningkatkan produktivitas hayati perairan. Apabila penambahan nutrien tadi berlebihan, perairan menjadi lewat subur (eutrophic). Hal ini dapat berakibat “blooming” atau peledakan populasi biota tertentu, terutama biota nabati. Tingginya unsur fosfor di dalam perairan, menurut Goldman & Horne (1983) dapat mengakibatkan terjadinya dominansi jenis-jenis mikroalga tertentu. Misalnya jenis diatom akan mendominansi perairan yang berkadar fosfat rendah (0-0,02 mg/L), pada kadar 0,02-0,05 mg/L banyak tumbuh chlorophyceae dan pada kadar yang lebih tinggi dari 0,1 mg/L banyak terdapat cyanophyceae/cyanobacteria. Menurut Abel (1989), limbah organik yang masuk ke perairan dapat berpengaruh terhadap terhadap sifat fisik dan kimia perairan khususnya terhadap padatan tersuspensi (suspended solid), BOD, Oksigen, NH4, NO3, dan PO4. Dalam keadaan normal nilai oksigen terlarut (DO) lebih tinggi dari nilai BOD. Tetapi setelah terjadi pencemaran bahan organik nilai BOD langsung meningkat sedangkan nilai DO menurun. Menurunnya kandungan oksigen terlarut tersebut oleh karena terjadinya proses penguraian bahan organik oleh bakteri aerob menjadi bahan anorganik yang mana dalam proses penguraian tersebut bakteri memerlukan oksigen untuk pernafasannya. Sedangkan meningkatnya nilai BOD oleh karena adanya bahan organik tersebut. Dengan kurun waktu tertentu, begitu bahan pencemar organik mulai terurai, maka nilai BOD mulai menurun dan nilai DO mulai meningkat lagi seperti semula. Kandungan ammonium (NH4+) dan PO43- adalah meningkat dengan masuknya bahan organik ke perairan. Peningkatan kandungan kedua senyawa diatas oleh karena dalam proses penguraian bahan organik secara aerobik, unsur N yang terdapat pada bahan organik diuraikan menjadi NH4+ sedangkan unsur P diuraikan menjadi PO43-. Dan semakin ke arah hilir terlihat bahwa kandungan NH4+ mulai menurun sedangkan NO3- meningkat. Hal ini karena NH4+ yang ada tersebut apabila cukup tersedia oksigen maka akan diuraikan lebih lanjut menjadi NO3- melalui peristiwa nitrifikasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dan bakteri Nitrobacter. Dan selanjutnya kandungan ke tiga
229
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
senyawa tersebut menurun terus oleh karena dimanfaatkan oleh organisme perairan seperti algae untuk pertumbuhannya.
KESIMPULAN 1. Fluktuasi kelimpahan populasi Microcystis spp. di waduk Sutami sangat besar. kelimpahan populasi Microcystis pada bulan Nopember sampai Desember adalah lebih rendah dan mulai bulan Januari kelimpahan meningkat sampai bulan Maret. Sedangkan kelimpahan bulan April sampai Oktober berada di antaranya. Kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami antara daerah hulu, tengah dan hilir Kelimpahan bulan Nopember adalah sama. 2. Perairan waduk Sutami selama waktu pantau periode tahun 2004-2006 termasuk dalam kategori eutrofik dan sumber pencemar utama adalah bahan organik.
Pada waktu
pantau tertentu didapatkan beberapa parameter kualitas air seperti DO, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, fosfat total dan H2S yang telah melebihi standar baku mutu Kelas II berdasarkan PP No. 82 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 3. Berdasarkan Analisis Jalur (Path Analyses) dapat disimpulkan peningkatan COD, TDS dan rasio N:P dapat menurunkan kelimpahan Microcystis spp., sedangkan peningkatan nilai TSS, BOD, total P dan N serta kelimpahan fitoplankton lain dapat mendorong peningkatan kelimpahan Microcystis spp. di waduk Sutami.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai atas kerjasama Fakultas MIPA Universitas Brawijaya dengan Perum Jasa Tirta I (PJT I) Malang, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas MIPA UB dan Direktur PJT I Malang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Setijono Samino, MS yang telah banyak membantu selama penelitian dan juga kepada mahasiswa serta laboran yang terlibat dalam penelitian ini.
230
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
DAFTAR PUSTAKA Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited Publishers, Chichester. Bold, C.H and Wynne, M.J. 1985. Introduction to the Algae: Structure and Reproduction. 2nd Ed. Prentice Hall Inc Engelwood Clif. New Jersey Clesceri, L.S., Arnold E.G., R.R. Trussel, & Mory A.H.F. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. Seventeenth Ed., Washington. Closs, G., B. Downes, A. Boulton. 2006. A Scientific Introduction Freshwater Ecology. Blackwell Publishing. Malden USA Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State University Press. Chicago. Dokulil, M.T. & K. Teubner. 2000. Cyanobacterial Dominance in Lakes. Hydrobiologia. 438: 1-12 Edmondson, W.T. 1959. Fresh Water Biology. Second Edition. John Wiley and Sons Inc., New York. Effendi, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Ernst, A., M. Deicher, P.M.J. Herman, Ute I.A. Wollenzien. 2005. Nitrate and Phosphate Affect Cultivability of Cyanobacteria from Environments with Low Nutrient Levels. Applied and Environmental Microbiology 71(6):3379-3383 Fujimoto, N., R. Sudo. 1997. Nutrient-limited growth of Microcystis aeruginosa and Phormidium tenue and competition under various N:P supply ratios and temperatures. Limnol. Oceanogr., 42(2): 250-256 Goldman, C.R. & A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill International Book Co., New York. Hutabarat, S. & S.M. Evans. 1986. Kunci Identifikasi Zooplankton. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Oregon Public Health Services. 2002. Fact Sheet: hazards from Microcystis aeruginosa in Fresh Water. http://www.ohd.hr.state.or.us /esc/docs/mafact.htm. Diakses 26 April 2002 Prescott, G.W. 1978. How to Know the Fresh Water Algae. 3rd Ed. Wm.C. Brown Company Publisher, Iowa Ramirez, J.J. dan C.E.M. Bicudo. 2005. Diurnal and Spatial (Vertical) Dynamics of Nutrients (N, P, Si) in Four Sampling Days (Summer, Fall, Winter and Spring) in A Tropical Shallow Reservoir and Their Relationships with The Phytoplankton Ccommunity. Braz. J. Biol. 65(1): 141-157
231
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Retnaningdyah, C. , Prayitno, Y. Rosyitawati, M.Y.C Dewi, A.N. Hartini, 2002. Potensi Mikroalga sebagai Bioindikator Tingkat Pencemaran Bahan Organik di Perairan Waduk. National Seminar on Research and Studies Research Grant conducted by Ministry of National Education, Directorate General of Higher Education, TPSDP, Jakarta December 27-28. Retnaningdyah,C. Dan S. Samino. 2005. Monitoring Dinamika Komunitas Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode 2005. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127 Retnaningdyah,C. Dan S. Samino. 2006. Monitoring Dinamika Komunitas Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode Bulan Januari-Maret 2006. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127 Romanowska-Duda, Z., J. Mankiewicz, M. Tarczyńska, Z. Walter, M. Zalewski. 2002. The Effect of Toxic Cyanobacteria (Blue Green Algae) on Water Plants and Animal Cells. Polish Journal of Environmental Studies. 11(5): 561-566 Samino, S. dan C. Retnaningdyah, 2004. Monitoring Dinamika Komunitas Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode Bulan Oktober sampai Desember 2004. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127 Samino, S. dan C. Retnaningdyah, 2006. Evaluasi Sifat Toksik Microcystis spp. Terhadap Beberapa Ikan dari Waduk Sutami untuk Pengembangan Early Warning System dalam Blooming Mikroalga. Laporan Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I dengan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Sertifikat No. ID03/0127 Solomon, D. 1998. Microcystis in Southwest Michigan Lakes. http://www.kbs. msu.edu/Extension/microcystis/INDEX.HTM. Diakses 26 Juli 2004 Taylor, R. 1997. That Blooming Microcystis: Where’d it come from ? Where’d it go. http://www.sg.ohio-state.edu/publications/nuisances/algae/tl0897microcystis. html. Diakses 25 April 2002 Welch, P.S. 1948. Limnological Methods. Mc Graw Hill International Book Co., New York. Zmijewska, M.I., E. Niemkiewicz, L. Bielecka. 2000. Abundance and Species Composition of Plankton in the Gulf of Gdańsk-Wschód (Gdańsk-East) Sewage Treatment Plant. Oceanologia, 42 (3): 335-357.
232
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KUALITAS AIR PASCA PENGERUKAN ALUR TRANSPORTASI BATU KAPUR DI KALI DONAN CILACAP Moh. Husein Sastranegara* & Sri Lestari* ABSTRAK Kali Donan berpotensi sebagai alur pelayaran internasional karena keberadaan industri. Meskipun industri turut menyumbang permasalahan perubahan iklim; pengoperasian jaring apong ditengarai juga sebagai penyebab pendangkalan kali dan mengganggu alur transportasi batu kapur. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kualitas air ditinjau dari aspek fisik, kimiawi dan biologik pada daerah utara, tengah dan selatan pengerukan; serta tekstur sedimen, benthos dan plankton sebagai penunjang. Survai dilakukan di semua daerah dari bulan Januari sampai Maret 2008. Pengambilan contoh air dilakukan sesuai dengan persyaratan paket parameter pada kelas II dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 dan cara kerja SNI. Data dianalisis secara deskriptif dan ditunjang oleh indeks similaritas Sorensen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar TDS, NH3, Mn dan Fe tetap melebihi baku mutu yang dipersyaratkan; meskipun kadarnya berkurang. Sebaliknya, peningkatan kadar H2S berada di tengah, sedangkan kadar Pb, tekstur sedimen berupa silty clay, serta dominansi benthos Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides berada di daerah tengah dan selatan (indeks similaritas penelitian ini 95,14%; penelitian sebelumnya 99,15%). Kesimpulan menunjukkan bahwa pengerukan tidak merubah kadar TDS yang tetap tinggi karena TDS yang terbawa oleh pasang surut dihambat oleh jaring apong. Selain itu, kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderuangan yang sama pada kelompok daerah tengah dan selatan pengerukan. Kata kunci: kualitas air, pengerukan, Kali Donan
ABSTRACT Donan River has the potential of international ship’s channel due to the availability of industry. Even, the industry has a contributed additional problem on a climate change; the apong net operation was predicted also causing river shallowness and disturb the limestone transportation channel. The aim of research was to know water quality based on physic, chemical, and biological aspects at the north, central, and south area of dredging; and sediment texture, benthos dan plankton as proponent. Survey was done at all areas of dredging from January to March 2008. Water samples were taken according to the class II of Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Number 82 in the year of 2001 and the procedure of SNI. Data was analised as descriptive and supported by Sorensen similarity index. The result showed that the concentration of TDS, NH3, Mn and Fe was above levels considered as water quality standard at all areas; even the concentration decreases. On the other hand, increasing the concentration of H2S was only at the central area, whereas the concentration of Pb, silty clay sediment texture, and domination of benthic of Rhinoclavis asper and plankton of Lyngbya spirulinoides were at the central and south areas (similarity index of this research was 95.14%; the research before was 99.15%). The conclution showed that the dredging did not change the high concentration of TDS because it which was taken along tide was hampered by apong net. In addition, the concentration of Pb, silty clay sediment texture, and dominated by benthic of Rhinoclavis asper and plankton of Lyngbya spirulinoides have the same tendencies at the central and south areas. Keywords: water quality, dredging, Donan River
___________________________________ * Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman; e-mail:
[email protected]
233
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
PENDAHULUAN Kali Donan berpotensi sebagai alur pelayaran internasional karena keberadaan PT Holcim Indonesia Tbk, Kawasan Industri Cilacap, PT UP IV Pertamina, dan Pelabuhan Intan (White et al., 1989). Meskipun industri turut menyumbang permasalahan perubahan iklim dari kualitas udara seperti debu partikel dan TSP, SOx, COx, NOx, Ox, HC, serta Pb (Gubernur Jawa Tengah, 2001); pengoperasian jaring apong ditengarai juga sebagai penyebab pendangkalan kali dan mengganggu alur transportasi batu kapur, sehingga tim penertiban alur pelayaran dan pembinaan kepada masyarakat nelayan di Kabupaten Cilacap dibentuk (Bupati Cilacap, 2002). Tindak lanjut program yang berkaitan langsung dengan nelayan jaring apong dilakukan dengan program advokasi (PT Semen Cibinong Tbk., 2005a) pada 435 nelayan (Rosyadi, 2006). Kegiatan transportasi batu kapur di Kali Donan dilakukan oleh PT Holcim Indonesia Tbk. yang merupakan unit usaha dalam memproduksi semen dan beton untuk keperluan pembangunan infrastuktur dengan lokasi unit pengolahan di Kabupaten Cilacap. Untuk memperlancar pengangkutan bahan baku maupun produk melalui transportasi angkutan air, PT Holcim Indonesia Tbk. telah melakukan kegiatan Maintenance Dredging Alur Transportasi Batu Kapur di Perairan Kali Donan Cilacap dalam rangka penyusunan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL dan UPL). Kegiatan Maintenance Dredging Alur Transportasi Batu Kapur di Perairan Kali Donan Cilacap dilakukan antara bulan September 2006 dan Mei 2007 pada Alur Kali Donan dari segmen Buoy 30 sampai 34. Pada segmen sepanjang 1,3 km tersebut, volume sedimen perairan yang dikeruk mencapai ± 350.000 m3. Material sedimen hasil kerukan ditempatkan di lahan yang terletak di tepian kali pada segmen yang sama pada lahan Kawasan Industri milik Kawasan Industri Cilacap (KIC) dan lahan Kawasan Industri milik PT Holcim Indonesia Tbk. Kegiatan penempatan hasil keruk (dumping) memerlukan lahan seluas 11,2 ha yang digunakan untuk mengurug lahan Kawasan Industri milik KIC seluas 8,3 ha dan Lahan Kawasan Industri milik PT Holcim Indonesia Tbk. seluas 2,9 ha (PT Holcim Indonesia Tbk., 2007).
234
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Kadar Total Dissolved Solid (TDS) selalu melampaui baku mutu yang dipersyaratkan baik pada saat (pra-operasi, operasi, dan post-operasi) maupun pasca pengerukan. Oleh karena itu, penelitian dengan judul ”Kualitas Air Pasca Pengerukan Alur Transportasi batu kapur di Kali Donan Cilacap” perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas air ditinjau dari aspek fisik, kimiawi dan biologik pada daerah utara, tengah dan selatan pengerukan. Tekstur sedimen, benthos dan plankton juga diteliti untuk menunjang data kualitas air.
BAHAN DAN METODE Bahan penelitian berupa contoh air (fisik, kimiawi, dan mikrobiologik), substrat, benthos, dan plankton. Cara kerjanya mengacu pada SNI untuk pengujian kualitas air dan limbah (BSN, 2004) yang merujuk pada Standard methods for the examination of water and waste water (APHA, AWWA, and WEF, 1998). Metode penelitian dilakukan secara survai di daerah utara (stasiun 1 berada dekat Bouy 34 sebagai kontrol dengan jarak 1 km dari batas terluar daerah pengerukan), tengah (stasiun 2 berada antara Bouy 30 dan 34 yaitu tengah lokasi pengerukan) dan selatan (stasiun 3 berada dekat Bouy 30 sebagai arah surut dengan jarak 1 km dari batas terluar daerah pengerukan, Gambar 1) pada tanggal 24 Januari 2008, 22 Februari 2008, dan 23 Maret 2008 ketika bulan purnama penuh pada saat air pasang terendah (Hopper, 2004) sebagai berikut: 1. Ulangan pertama dengan ketinggian 0,6 m dpl pada pukul 14:51 W.I.B. 2. Ulangan kedua dengan ketinggian 0,5 m dpl pada pukul 15:10 W.I.B. 3. Ulangan ketiga dengan ketinggian 0,4 m dpl pada pukul 15:13 W.I.B. Pengambilan contoh air dilakukan sesuai dengan persyaratan paket parameter kualitas air kelas II pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 (Presiden Republik Indonesia, 2001).
235
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Data dianalisis secara deskriptif yaitu dibandingkan dengan dokumen UKL dan UPL (PT Holcim Indonesia Tbk., 2007), serta baku mutu (Presiden Republik Indonesia, 2001) dan ditunjang oleh indeks similaritas Sorensen beserta dendogramnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menginformasikan bahwa kadar TDS, NH3, Mn dan Fe tetap melebihi baku mutu yang dipersyaratkan baik pada daerah utara, tengah maupun selatan (Tabel 1); meskipun kadarnya berkurang (perbandingan data pada Tabel 1 dan PT Holcim Indonesia Tbk., 2007). TDS dalam air yang pasang surut berpotensi terhambat oleh jaring apong dan mengendap ke dasar kali. Kadar NH3 yang tinggi di Kali Donan relatif masih tergolong lebih rendah di kawasan Segara Anakan. NH3 merupakan salah satu nitrogen anorganik terlarut yang perlu mendapat perhatian bersama dengan nitrogen anorganik terlarut lain seperti NO3 dan NO2 (Yuwono et al., 2007). Pada tahun 2002, NO2 di daerah yang sama pernah melampaui ambang batas yang diperbolehkan (Sastranegara, 2004), sehingga proses pembusukan pohon bakau ditengarai sebagai salah satu penyebab kadar NO2 yang tinggi karena kawasan Segara Anakan merupakan perairan payau berhutan bakau. Peningkatan kadar H2S di perairan berada di tengah saja (Tabel 1) dan ini mengindikasikan PT Holcim Indonesia Tbk. berpeluang membuang limbah SOx. Odum (1971) menyatakan bahwa H2S di perairan dapat berasal dari H2S di tanah dan sedimen, serta H2S di atmosfir. Holcim Group Support Ltd. (2004) melaporkan bahwa H2S di atmosfir dihasilkan olehnya dan instalasi pembuangan SO2 basah hanya mampu memotong emisi gas SO2 mencapai 70%. Pada saat ini, hasil sampingan dimanfaatkan untuk pembuatan gipsum. Pemilik sebelumnya, PT Semen Cibinong Tbk. (2005b) telah melaksanakan kegiatan pemantauan terhadap parameter ini dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Peningkatan kadar Pb berada di daerah tengah dan selatan (Tabel 1) dengan tekstur sedimen berupa silty clay. Hal ini ditunjang oleh data indeks similaritas tertinggi pada
236
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
kelompok ini (95,14%; Tabel 2), serta juga penelitian sebelumnya (99,15%; PT Holcim Indonesia Tbk., 2007). Menurut NOAA (2003), Pb merupakan salah satu logam berat yang perlu mendapat perhatian bersama dengan logam berat lain seperti Hg, Cd, Zn dan Cu. Pada tahun 2002, Cd di daerah yang sama pernah melampaui ambang batas yang diperbolehkan (Sastranegara, 2004) dan akumulasinya terdeteksi pada kerang totok Polymesoda erosa (Nurlaeli, 2007) dan ikan (Hartoyo dan Mahdiana, 2007). Everaarts et al. (1989) juga mendapatkan akumulasi Cd pada komunitas benthos secara umum. Menurut UNEP (2003), Cd dapat berasal dari industri dan aktivitas pemupukan. Industri dan aktivitas pemupukan terjadi juga di Kali Donan. Pengelompokan indeks similaritas pada pasca pengerukan (Tabel 2) memiliki kemiripan lebih dari 50% yang ditunjukkan oleh semua kelompok dengan urutan tertinggi pada kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan; diikuti oleh kelompok antara stasiun bagian utara daerah pengerukan dan stasiun bagian tengah daerah pengerukan; serta antara stasiun bagian utara daerah pengerukan dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan sebagaimana tampilan dendogram (Gambar 2). Pengelompokan indeks similaritas pada saat pengerukan (PT Holcim Indonesia Tbk., 2007) memiliki kemiripan lebih dari 50% yang ditunjukkan oleh kelompok dengan urutan tertinggi pada kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan pada saat post-operasi dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan pada saat post-operasi; serta diikuti oleh kelompok lain sampai yang terendah seperti kelompok antara stasiun bagian tengah daerah pengerukan pada saat operasi dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan pada saat post-operasi sebagaimana tampilan dendogram (Gambar 3). Dendogram pada gambar 2 dan 3 menunjukan bahwa stasiun bagian utara daerah pengerukan (U) cenderung berbeda dari stasiun bagian tengah daerah pengerukan (P) dan stasiun bagian selatan daerah pengerukan (S) baik pada pasca pengerukan maupun saat pengerukan, kecuali pada daerah pengerukan pada saat operasi. Pada daerah pengerukan
237
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
pada saat operasi, stasiun bagian pengerukan berbeda dari stasiun pada bagian utara dan selatannya karena proses pengerukan, terutama menghasilkan TDS yang sangat tinggi (Tabel 1 dan PT Holcim Indonesia Tbk., 2007). Stasiun bagian utara daerah pengerukan cenderung berbeda dari ke dua stasiun lainnya karena TDS yang tinggi di stasiun bagian tengah pengerukan terbawa ke stasiun bagian selatan pada saat air pasang terendah (Tabel 1). Secara umum, aktivitas manusia yang mengganggu dasar suatu perairan dapat mengganggu komunitas benthos (Hatcher et al., 1989; Sastranegara, 2004; Gunarto, 2004; Nordhaus, 2007). Distribusi dan kelimpahan benthos berkaitan dengan karakteristik sedimen (Frusher et al., 1994), sehingga spesies dominan akan mencirikan kondisi yang ada (Dittmann, 2002). Oleh karena itu, dominasi benthos Rhinoclavis asper di Kali Donan diduga karena kesesuaian sedimen silty clay yang ada. Penelitian sebelumnya di daerah yang sama pada Kali Donan menunjukkan sedimen yang sama (Djohan, 1982). Oleh karena itu, pengerukan tidak merubah tekstur sedimen. Penelitian lain menunjukkan bahwa sedimen tepi dan dasar kali adalah sama (Sastranegara, 2004), sehingga ombak pasang surut mempercepat pendangkalan. Plankton Lyngbya spirulinoides dijumpai dominan. Sastranegara dan Andriyani (2006) juga mendapatkannya, meskipun bukan spesies dominan. Oleh karena itu, perubahan komposisi dan kelimpahan plankton berjalan seiring dengan waktu. Spesies lain yang didapatkan di Kali Donan dan berhubungan secara negatif dengan NH3 menurut model asimtotik adalah Chaetoceros densum, Thallasiothrix nitzchioides, dan Nitzschia vermicularis (Sastranegara et al., 1996). Kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderungan yang sama pada kelompok antara daerah tengah dan selatan. Hal ini ditunjang oleh data indeks similaritas tertinggi pada kelompok ini (95,14%), serta juga penelitian sebelumnya (99,15%).
238
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
KESIMPULAN Kesimpulan menunjukkan bahwa pengerukan tidak merubah TDS yang tetap tinggi di Kali Donan karena TDS yang terbawa oleh pasang surut berpotensi terhambat oleh keberadaan jaring apong. Selain itu, kadar Pb, sedimen silty clay, serta dominasi benthos Rhinoclavis asper dan plankton Lyngbya spirulinoides mempunyai kecenderungan yang sama pada kelompok antara daerah tengah dan selatan pengerukan.
DAFTAR PUSTAKA APHA, AWWA, and WEF, 1998. Standard methods for the examination of water and wastewater. American Public Health Association, American Water Works Association, and Water Environment Federation, Washington. BSN, 2004. SNI 06-6989.1-2004: Pengujian kualitas air sumber dan limbah cair. Badan Standar Nasional, Jakarta. Bupati Cilacap, 2002. Keputusan Bupati Cilacap Nomor 615/136/17/Tahun 2002 tentang pembentukan tim penertiban alur pelayaran dan pembinaan kepada masyarakat nelayan di Kabupaten Cilacap. Pemerintah Kabupaten Cilacap, Cilacap. Everaarts, J.M., Boon, J.P., Kastoro, W., Fischer, C.V., Razak, H., Sumanta, I., 1989. Copper, zinc and cadmium in benthic organisms from the Java Sea and estuarine and coastal areas around East Java. Netherlands Journal of Sea Research 23, 415426. Dittmann, S., 2002. Benthic fauna in tropical tidal flats – a comparative perspective. Wetlands Ecology and Management 10, 189-195. Djohan, T.S., 1982. Species diversity of mangrove forest floor fauna in Segara Anakan and the Donan River. In: E.C.F. Bird, A. Soegiarto, K.A. Soegiarto (eds), workshop on coastal resources management in the Cilacap region. The Indonesian Institute of Sciences and the United Nations University, Jakarta. Frusher, S.T., Giddins, R.L., Smith III, T.J., 1994. Distribution and abundance of grapsid crabs (Grapsidae) in a mangrove estuary: effects of sediment characteristics, salinity tolerances, and osmoregulatory ability. Estuaries 17(3), 647-654. Gubernur Jawa Tengah, 2001. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2001 tentang baku mutu udara ambien di Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Gunarto, 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayati perikanan pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23(1), 15-21.
239
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Hartoyo, Mahdiana, A., 2007. Analisis resiko kontaminasi cadmium pada ikan terhadap masyarakat pesisir Sungai Donan Kabupaten Cilacap. Jurnal Sains Akuatik 10(2), 96-104. Hatcher, B.G., Johannes, R.E., Robertson, A.I., 1989. Review of research relevant to the conservation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanogr. Mar. Biol. Annu. Rev. 27, 337-414. Holcim Group Support Ltd., 2004. Holcim as a group to the top of the industry: Holcim news report – technical meeting 2004. Holcim Group Support Ltd., Holderbank. Hopper, M., 2004. WXTide32 version 4.0. Free Software Foundation Inc., Cambridge. NOAA, 2003. Mangrove ecology. National Oceanic and Admospheric Administration. http://response.restoration.noaa.gov/oilaids/mangroves/pdfs/chapter1.pdf Nordhaus, I., 2007. The benthic community in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. In: E. Yuwono, T. Jennerjahn, M.H. Sastranegara, and P. Sukardi (eds), synopsis of ecological and socio-economic aspects of tropical coastal ecosystem with special reference to Segara Anakan. Research Institute, Jenderal Soedirman University, Purwokerto. Nurlaeli, A., 2007. Kandungan logam berat cadmium (Cd) pada kerang totok (Polymesoda erosa) di Segara Anakan Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Odum, P.E., 1971. Fundamentals of ecology. Third edition. W.B. Saunders Co., Philadelphia. Presiden Republik Indonesia, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Sekretariat Negara, Jakarta. PT Semen Cibinong Tbk., 2005a. Program advokasi dan pendampingan masyarakat nelayan jaring apong di Kelurahan Kutawaru dan Karangtalun, Kabupaten Cilacap. PT Semen Cibinong Tbk., Cilacap. ________________________, 2005b. Pemantauan lingkungan biotis dan kualitas air. PT Semen Cibinong Tbk., Cilacap. ________________________, 2007. Maintenance dredging alur transportasi batu kapur di perairan Kali Donan Cilacap. PT Holcim Indonesia Tbk., Cilacap. Rosyadi, S., 2006. Tata kelola sumberdaya perairan Kali Donan Cilacap. Laporan Penelitian Tripartit. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Sastranegara, M.H., 2004. The impact of forest use on the intertidal crab community in managed mangroves of Cilacap, Central Java, Indonesia. Cuvillier, Göttingen.
240
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Sastranegara, M.H., Andriyani, N., 2006. Keragaman dan kelimpahan plankton di Segara Anakan Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Sastranegara, M.H., Eidman, M., Suratmo, G., Widjaja, F., 1996. Hubungan antara ketersediaan unsur hara dengan keragaman dan kelimpahan fitoplankton di Segara Anakan Cilacap. Majalah Ilmiah UNSOED 4(12), 10-21. UNEP, 2003. Inventory of chemical information sources. United Nations Environment Program. http://dbserver.irptc.unep.cl:8887/metadb/owa/mt.BrowseInventory?iinvid=5123 White, A.T., Martosubroto, P., Sadorra, M.S.M., 1989. The coastal environmental profile of Segara Anakan - Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Techn. Rep. 25, Manila, Philippines, 82 pp. Yuwono, E., Jennerjahn, T.C., Nordhaus, I., Ardli, E.R.., Sastranegara, M.H., Pribadi, R., 2007. Ecological status of Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environment & Pollution 4, 61-70.
Sumber: PT Holcim Indonesia Tbk. (2007)
Gambar 1. Lokasi penelitian
241
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
S P U 85
90
95
100
Persentase (%)
Keterangan: U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34) P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 da 34) S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)
Gambar 2. Dendogram Kali Donan pasca pengerukan
SA PA UA SB UB PB SC PC UC
20
40
60 Persentase (%)
80
100
Keterangan: U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34) P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 da 34) S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30) A = Pra-operasi B = Operasi C = Post-operasi
Gambar 3. Dendogram Kali Donan saat pengerukan
242
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008
Tabel 1. Kualitas air Kali Donan pasca pengerukan Hasil
No
Parameter
Unit
1.
Suhu
°C
29
29
29
Deviasi 3
2.
TDS
mg/l
13.942
19.574
23.248
1.000
3.
TSS
mg/l
14
16
12
50 6–9
Stasiun 1
Stasiun 2
Standar* Stasiun 3
I. FISIK
II. KIMIAWI ANORGANIK 4.
pH
7,02
7,14
7,24
5.
BOD5
mg/l
8,39
3,52
2,30
3
6.
COD
mg/l
54,59
22,74
19,71
25
7.
DO
mg/l
4,24
4,08
4,42
>4
8.
PO4
mg/l
0,081
0,033
0,024
0,2
9.
NO3
mg/l
0,169
0,121
0,133
10
10.
NH3
mg/l
0,236
0,216
0,111
nd
11.
Mn
mg/l
0,053
< 0,010
< 0,010
nd nd
12.
Fe
mg/l
0.106
< 0,010
< 0,221
13.
As
mg/l
-
-
-
1
14.
Cd
mg/l
< 0,005
< 0,005
0,006
0,01
15.
Cr
mg/l
0,010
0,004
0,004
0,05
16.
Cu
mg/l
0,008
0,050
0,023
0,02
17.
Pb
mg/l
< 0,030
2,535
8,466
0,03
18.
Hg
mg/l
< 0,001
< 0,001
< 0,001
0,002
19.
Zn
mg/l
< 0,010
0,010
0,022
0,05
20.
CN
mg/l
< 0,002
< 0,002
< 0,002
0,02
21.
NO2
mg/l
< 0,001
< 0,001
< 0,009
0,06
22.
Chlorin bebas
mg/l
< 0,002
< 0,002
< 0,002
0,03
23.
H2S
mg/l
< 0,002
0,055
0,002
0,002
24.
Minyak dan lemak
µg/l
< 50
< 50
< 50
1.000
25.
Deterjen sebagai MBAS
µg/l
-
-
-
200
26.
Fenol
µg/l
<1
<1
6
1
III. KIMIAWI ORGANIK
IV. MIKROBIOLOGIK 27.
Fecal coliform
Jml/100 ml
23
43
23
1.000
28.
Total coliform
Jml/100 ml
0
0
0
5.000
Tabel 2. Indeks similaritas Kali Donan pasca pengerukan U
P
S
U
0
0
0
P
91,42
0
0
S
86,98
95,14
0
Keterangan: U = Stasiun 1 pada bagian utara daerah pengerukan (Bouy 34) P = Stasiun 2 pada bagian tengah daerah pengerukan (Bouy antara 30 dan 34) S = Stasiun 3 pada bagian selatan daerah pengerukan (Bouy 30)
243