DISKURSUS TOKOH ARJUNA DALAM LEGITIMASI RAJA-RAJA JAWA DINASTI MATARAM
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Kajian Budaya
Oleh EDY SULISTIONO NIM S701308003
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa: 1. Tesis yang berjudul Diskursus Tokoh Arjuna Dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram, ini adalah hasil penelitian saya sendiri, dan belum pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik. Berbagai konsep dan teori yang bersumber dari penulis lain dalam tulisan ini, diposisikan sebagai referensi yang disebutkan dalam sumber kutipan maupun daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa karya ini adalah plagiat, saya bersedia menerima sangsi sebagaimana ketentuan yang berlaku. 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, saya bersedia mendapat sangsi akademik yang berlaku.
Surakarta
April 2015
Edy Sulistiono NIM S701308003
iv
MOTTO Heh Sira Bebakal wania ing angel wedia ing gampang. Yen Sira wani ing angel saliring gegayuhan bakal kasembadan, lamun wedi ing gampang bakal nggedhekke pangati-ati (Sri Rama kepada Anoman dalam Serat Rama Jarwa Yasadipura I) Hasbunallaahu wani’mal wakil- Ni’mal maulaa wani’mannashiir. Artinya, cukuplah bagi kami Allah menjadi Tuhan kami dan Dia-lah sebaik-baiknya wakil. Dia-lah sebaik-baiknya pemimpin dan penolong. (Al Qur’an, Surat Ali Imran 173 & Al Anfaal:40)
Khoirunnas anfauhum linnas
Artinya,
sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi
sesama (Hadist riwasat Muslim)
PERSEMBAHAN Kupersembahkan karya ini kepada Ayahanda/Ibunda Solichin dan Ibu Susilawati. Kepada isteriku Yeni Kurniawati, dan ketiga anakku, Rahadyan, Rahajeng, dan Ranindya.
v
ABSTRAKSI Latar Belakang: Wayang adalah tontonan yang sangat populer di Jawa dahulu hingga sekarang. Salah satu tokoh wayang yaitu Arjuna menjadi idola Orang Jawa karena merupakan representasi karakter pria ideal. Popularitas tokoh wayang Arjuna diduga berkaitan dengan diskursus yang dibangun para penguasa Jawa dinasti Mataram untuk mendapatkan hegemoni legitimasi kekuasaanya. Dugaan itu atas dasar adanya wacana tentang kultus dan mitologi Arjuna sebagai leluhur Raja-Raja Mataram dalam Babad Tanah Jawi yang di susun zaman Sultan Agung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap kejelasan dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus, proses dibangunnya diskursus itu, serta implikasi-implikasinya bagi masyarakat Jawa. Metode: Jenis penelitian ini adalah kualitatif interpretatif yang menekankan analisis pengungkapan nilai-nilai di balik relasi-relasi hubungan data material yang ada. Pendekatan hermeneutik berfungsi mengarahkan terhadap filosofi interpretasi sejarah terjadinya diskursus Arjuna zaman Sultan Agung yang masih berimplikasi terhadap budaya jawa sekarang. Hasil: Pertama pemilihan Arjuna sebagai tokoh yang diwacanakan oleh Sultan Agung dengan pertimbangan bahwa Arjuna dipercaya membawa magi kemenangan perang. Sebagai tokoh mitologi, Arjuna dianggap leluhur yang akan mewariskan wahyu keraton, dan sebagai tokoh anutan, Arjuna adalah representasi ideologi kekuasaan Sultan Agung. Kedua, diskursus Arjuna dibangun dengan cara desentralisasi dan pluralisasi power knowledge (kuasa pengetahuan) bagi setiap individu di Mataram. Ketiga, implikasi diskurus Arjuna dalam masyarakat Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik secara individu-individu maupun inter-individu, menjadi sebuah pola pikir, perilaku, serta identitas yang disebut dengan istilah episteme era Mataram. Kesimpulan: Diskursus tokoh Arjuna di Jawa adalah upaya Sultan Agung mendapatkan legitimasi kekuasaan di tengah-tengah usahanya mendapatkan dukungan dari daerah-daerah bawahan bekas jajahan Pajang, yang ketika itu banyak yang membangkang. Kata Kunci: diskursus, ideologi, hegemoni, legitimasi, dan episteme.
vi
ABSTRACT Background: Puppet is a popular show in Java until nowadays. One of the puppet characters is Arjuna, that has been idolized by most Javanese people because of its representation of character of an ideal man. Its popularity is presumably related to the discourse constructed by the Javanese potentate in Mataram dynasty to gain the hegemony of its authority legitimation. The presumption is based on the discourse about cult and mythology of Arjuna as the ancestor Kings of Mataram in Babad Tanah Jawi arranged in Sultan Agung era. The objectives of this research is to reveal the clarity about choosing Arjuna as the discourse media, the process of how the discourse constructed, and the implications toward Javanese people. Method: It is a qualitative interpretative research which is emphasized in disclosure analysis of values behind relations of the existing material data. The approach of hermeneutic is used to lead to the historical interpretation philosophy of the occurrence of the discourse on Arjuna in the era of Sultan Agung which has implied in the Javanese culture until now. Result: First, the choosing of Arjuna as the evoked discourse figure by Sultan Agung considering that Arjuna is believed that can bring the magi of victory in a war. As a mythology figure, Arjuna is considered as the ancestor who bequeath the palace revelation, and as the role figure, Arjuna represents the authority ideology of Sultan Agung. Second, the discourse of Arjuna constructed in the way of decentralization and pluralization of the power knowledge for each individual in Mataram. Third, the implication of Arjuna discourse in the Javanese society is that totally accepted, the knowledge about Arjuna individually or interindividually, it becomes a role of thought, attitude, and identity which is called episteme of Mataram era. Conclusion: The discourse of Arjuna in Java is an effort of Sultan Agung to get the authority of legitimation besides his trying in gaining support from the colony of Pajang where there was a lot of insubordination from. Keyword:discourse, ideology, hegemony, legitimation and episteme
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya, Tesis ini bisa diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai derajat Magister dalam Program Pasca Sarjana Prodi Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis sadari bahwa Tesis ini bisa diselesaikan berkat kesempatan yang diberikan oleh institusi Prodi Kajian Budaya UNS, serta bantuan dari berbagai fihak, maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor UNS 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pasca sarjana UNS 3. Bapak Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum, selaku Kaprodi Kajian Budaya UNS, serta Pembimbing I 4. Ibu
Dr. Hartini, M. Hum, selaku Pembimbing II, dan PA
5. Ibu Dra. Chrisma Riny, MM, Kepala Stasiun RRI Surakarta yang telah memberi ijin kepada penulis menempuh study Pasca Sarjana di UNS. 6. Ibu Dra. R.Ay. Irawati Kusumorasri, M.Sn, Direktur ASGA yang telah memberi ijin dan mendorong selesainya penelitian ini. 7. Bapak Drs. H. Solichin, selaku Ketua Dewan Kebijaksanaan SENAWANGI yang telah mendanai study di Kajian Budaya Pasca Sarjana UNS. Terimakasih juga diucapkan kepada semua Bapak/Ibu dosen kami di Prodi Kajian Budaya UNS yang telah membekali konsep, teori, serta metodologi Kajian Budaya yang mencerahkan pemahaman dan menuntun selesainya Tesis ini. Lebih khusus diucapkan kepada Bapak Dr. Titis Srimuda Pitana, ST, M.Trop. Arch, yang telah mengkritisi Tesis ini dengan mengarahkan kepada pemahaman yang teliti terhadap konsep teori Diskursus Foucault, sehingga menuntun tercapainya tujuan penelitian ini. Demikian pula teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Prodi Kajian Budaya, serta keluarga kami, isteri, dan anak-anak tercinta yang telah mendorong dan membantu selesainya Tesis ini.
Karanganyar,
April 2015
Edy Sulistiono NIM S701308003
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.............................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.............................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH...............................................................
iv
MOTTO/PERSEMBAHAN.................................................................................................
v
ABSTRAKSI........................................................................................................................
vi
ABSTRACT.........................................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR..........................................................................................................
viii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR............................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2.1. Identifikasi Masalah...................................................................................................
6
1.2.2. Rumusan Masalah....................................................................................................... 7 1.3.
Tujuan Penelitian........................................................................................................ 8
1.3.1 Tujuan Umum............................................................................................................
8
1.3.2 Tujuan Khusus...........................................................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................................................
8
1.4.1
8
Manfaat Teoritis......................................................................................................
1.2.3. Manfaat Praktis.......................................................................................................
9
BAB II LANDASAN TEORITIS......................................................................................... 10 2.1 Kajian Pustaka................................................................................................................ 10 2.2.Konsep............................................................................................................................ 14 2.2.1. Diskursus Legitimasi................................................................................................... 15 2.2.2. Tokoh Arjuna Dalam Raja-raja Jawa Dinasti Mataram............................................. 16 2.3. Landasan Teori............................................................................................................. 19 2.3.1. Teori Wacana/Diskursus............................................................................................ 20 2.3.2. Teori Hegemoni......................................................................................................... 23 2.3.3. Teori Semiotika ....................................................................................................... 23 2.4 Model Penelitian.......................................................................................................... 24 ix
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................................... 27 3.1 Rancangan Penelitian.................................................................................................. 27 3.2 Lokasi Penelitian.......................................................................................................... 31 3.3 Jenis dan Sumber Data................................................................................................ 31 3.4 Teknik Penentuan Informan.......................................................................................
32
3.5 Instrumen Penelitian..................................................................................................
34
3.6 Teknik Pengumpulan Data.........................................................................................
35
3.6.1 Observasi................................................................................................................
35
3.6.2 Wawancara............................................................................................................
36
3.6.3 Studi Kepustakaan................................................................................................
36
3.6.4 Studi Dokumen......................................................................................................
36
3.7
Teknik Analisis Data.................................................................................................. 37
3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data........................................................................ 38
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................................... 39 4.1. Sebab Dipilihnya Tokoh Arjuna oleh Raja-Raja Mataram sebagai Media Diskursus
39
4.1.1. Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa........................................................... 43 4.1. 2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram.......................................................... 47 4.1.3. Nilai Anutan yang Terkandung dalam Wayang Arjuna..........................................
52
4.1.3.1. Memahami Nilai-Nilai Tokoh Arjuna dengan Semiotika Wacana Bartes...........
53
4.1.3.1.1. Makna Denotasi Ornamen Figur Arjuna...........................................................
57
4.1.3.1.2.Makna Konotasi Ornamen Figur Arjuna...........................................................
57
4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna......................................................................... 64 4.2. Proses Terjadinya Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram
68
4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang...................................................................................
73
4.2.2. Tempat Pentas Wayang.........................................................................................
73
4.2.3. Cara Mewacanakan Tokoh Arjuna dalam Pentas Wayang....................................
76
4.2.3.1. Wacana Tokoh Arjuna Secara Eksplisit dalam Teks Pakem.............................
76
4.2.3.2. Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran..................................
78
4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton..............................
82
4.3. Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa.......................................
84
4.3.1. Ragam Budaya Adiluhung...................................................................................
87
4.3.2. Religiusitas Kejawen............................................................................................
92
4.3.3. Patuh Terhadap Raja............................................................................................
97
x
4.3.4. Perilaku Poligami.................................................................................................
99
BAB V SIMPULAN DAN SARAN...............................................................................
104
5.1. Simpulan...................................................................................................................
104
5.2. Saran..........................................................................................................................
105
5.2.1. Saran Teoritis.........................................................................................................
105
5.2.2. Saran Praktis.............................................................................................................. 107 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 108 NARA SUMBER...............................................................................................................
xi
113
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori...............................................................
20
Gambar 2. Model Penelitian..................................................................................
25
Gambar 3. Diagram Rancangan Penelitian............................................................
30
Gambar 4. Skema Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Diskursus Foucault...........
42
Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Raja-Raja Dinasti Mataram.............................
49
Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram..................................
50
Gambar 7. Skema Prosedur Semiosis Barthes A....................................................
53
Gambar 8. Skema Prosedur Semiosis Barthes B....................................................
54
Gambar 9. Arjuna Wanda Malatsih......................................................................
56
Gambar 10. Skema Prosedur Semiosis Figur Wayang Arjuna...............................
56
Gambar 11. Skema Sumber Kekuasaan Sultan Agung..........................................
66
Gambar 12. Skema Jejaring Kuasa.........................................................................
70
Gambar 13. Skema Proses Diskursus Arjuna.........................................................
71
Gambar 14. Skema Relasi Antara Arjuna dengan Panakawan dan Buta...............
81
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Wayang Purwa adalah karya budaya Jawa yang telah berkembang dalam kurun
waktu amat panjang sejak masa lampau hingga sekarang. Soetarno (1995:5) berpendapat bahwa wayang bukan adopsi dari budaya India, ataupun Cina, tetapi karya asli orang Jawa. Alasan yang dikemukakan, bahwa meskipun wayang Purwa sangat dipengaruhi literatur darma sastra India Mahabarata dan Ramayana, tetapi kedua epos itu hanya menambah vokabuler lakon, yang sebelumnya telah ada seperti Cerita Sri Sadana, Mikukuhan, Ajisaka, dan sebagainya. Sebagai bentuk pertunjukan, wayang bisa digolongkan sebagai jenis seni teater tradisi yang menggunakan media boneka wayang. Namun banyak pakar pedalangan konvensi maupun akademisi berkeberatan penyepadanan wayang dengan seni teater, puppet, dan sejenisnya, dikarenakan wayang purwa adalah pertunjukan khas Jawa, yang tidak hanya sebagai media hiburan namun memiliki latar belakang sejarah khusus, serta berfungsi sebagai media, pendidikan, ritual adat, dan keagamaan (Murtiyoso 2007:1). Perkembangan wayang di Indonesia saat ini sangat menggembirakan dengan semakin banyaknya para generasi muda dan anak-anak mempelajari wayang baik di sekolah-sekolah formal seperti Jurusan Pedalangan ISI (Surakarta, Jogjakarta, Bandung, dan Bali), SMK-SMK kejuruan pedalangan maupun di sanggar-sanggar yang marak akhir-akhir ini, di Surakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan Jakarta. Bahkan, pada tahun 2004, atas usulan institusi pengembang pewayangan, Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI) wayang diakui oleh UNESCO sebagai “masterpiece of the oral intangible heritage of humanity” artinya “wayang sebagai maha karya agung dunia nir benda” adalah bukti bahwa budaya pewayangan telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai nilai-nilai luhur Indonesia yang sangat perlu dilestarikan. Salah satu tokoh wayang idola orang Jawa yaitu Arjuna. Dalam budaya Jawa, Arjuna dianggap simbol manusia berbudi luhur sehingga patut menjadi panutan. Keutamaan tokoh Arjuna terus menerus diwacanakan masyarakat Jawa sejak awal adanya wayang hingga sekarang, terutama oleh para pujangga pengarang sastra Jawa, para perupa pemahat cerita tentang Arjuna di candi-candi, para pembuat wayang, dan
1
2
tidak kalah penting juga peran para dalang yang selalu menceritakan Arjuna sebagai tokoh protogonis dalam pertunjukan wayang. Keberadaan wacana tentang Arjuna sangat menarik dan menimbulkan pertanyaan, siapakah sesungguhnya tokoh Arjuna itu sehingga menarik perhatian orang Jawa untuk selalu mewacanakan ? Soekmono (1985:35) ber-argumen bahwa awal mula orang Jawa mengenal tokoh Arjuna dari kitab Mahabarata bersama dengan adanya pengaruh budaya India di Jawa sejak abad X Jaman Darmawangsa Teguh di Kediri. Pada era penyebaran Hindu yang lebih banyak berpengaruh di lingkungan keraton itu cerita tentang Arjuna dalam Mahabarata mulai dikenal, dari sebagian kecil parwa Mahabarata seperti “Adiparwa” dan “Wanaparwa” kemudian secara berangsur-angsur lengkap hingga kedelapan belas parwa Mahabarata. Kitab Mahabarata karangan Rsi Wyasa oleh banyak ahli ditafsir sebagai cipta sastra era ribuan tahun sebelum masehi, menceritakan ketokohan Arjuna sebagai pemeran utama dalam darma sastra kuno itu (Soekmono, 1985:110).
Pada parwa
pertama “Adiparwa”, dikisahkan bahwa pada masa kecil Arjuna beserta kelima saudaranya anak Pandhu berguru pada seorang brahmana ahli perang Rsi Drona. Bersama saudara-saudaranya lima pandhawa serta keseratus Korawa anak Dhestarastra, Arjuna muncul sebagai murid terbaik dalam hal olah panah. Buku karangan Soekotjo (1982:178) berjudul Silsilah Wayang Mawa Carita menceritakan bahwa ketika masa pendidikan, pada sebuah arena ujian para siswa Rsi Drona yang disebut Astradarmakarya (ujian olah senjata), Arjuna mampu memukau para hadlirin yang diantaranya duduk raja Astina Destarastra, Rsi Bisma, Perdana mentri Widura dan Kunthi ibu Pandhawa, karena kehebatanya
mengendalikan panah dengan mantra-
mantra keramat ajaran Rsi Drona seperti Bayubyastra (panah angin), Brama hastra (panah api), dan Barunastra panah yang mampu mengeluarkan hujan. Pada parwa-parwa berikutnya Arjuna dikisahkan selalu menjadi andalan Pandhawa dalam membabat hutan Kandhawa yang kemudian menjadi kerajaan Indraprasta, dan menjadi kekuatan utama dalam hal mengalahkan musuh-musuhnya terutama kelicikan-kelicikan raja Gandara, Sakuni dan Korawa. Dalam parwa keempat “Wanaparwa”, setelah Pandhawa kalah bermain dadu, Arjuna berhasil dalam pertapaanya di Gunung Kailasa sehingga mendapat anugerah senjata pemusnah musuh, Pasupati. Dengan Pasupati itulah, Arjuna berhasil membunuh musuh para dewa raja
3
Manimantaka Prabu Niwatakawaca dan semua musuh-musuhnya dalam perang besar Baratayudha, antara Pandhawa dan Korawa, termasuk Karna raja Angga. Wacana tentang ketokohan Arjuna bersumber dari darma sastra India yang kemudian disadur oleh para pujangga Indonesia diantaranya Mpu Kanwa dengan karya populernya Arjuna Wiwaha abad XI. Seiring dengan pesatnya sastra Jawa klasik era Kediri, ketokohan Arjuna juga dipopulerkan lewat wacana lisan pentas-pentas wayang kulit purwa dan wayang wong. Wacana-wacana yang tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya berbagai kelompok masyarakat Jawa itu melahirkan interpretasi-interpretasi serta berbagai pandangan beragam tentang Arjuna. Kritik Murtiyoso (2007:4) dalam jurnal budaya Lango berjudul ”Misteri Risang Arjuna Rahasia Jagat Wayang” menguraikan bagi manyarakat penggemar mistik, Arjuna diinterpretasikan sebagai tokoh mitis yang disebut insan kamil atau manusia sempurna. Sebaliknya bagi kaum pria yang longgar terhadap ketaatan beragama Arjuna dianggap sebagai lambang kejantanan, dipengaruhi kisahnya yang diwarnai poligami serta perselingkuhan. Ada pula manyarakat Jawa yang percaya pada datangnya tuah keberhasilan dan kemenangan dari ketokohan Arjuna. Sebagai misal dalam adat tradisi Jawa selamatan setelah kehamilan mencapai tujuh bulan yang disebut mitoni, salah satu perabot upacara kelapa gading selalu digambari tokoh wayang Arjuna; bahkan group suporter PSIS Solo juga dinamai pusaka Arjuna Pasupati agar mendapatkan tuah kemenangan dari Arjuna. Pandangan tentang pengkultusan Arjuna itu juga berkembang di lingkungan masyarakat Dieng. Dataran tinggi di daerah Wonosobo itu terdapat kelompok candi yang oleh masyarakat setempat dinamai tokoh-tokoh wayang keluarga Pandhawa, seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, Nakula-Sadewa, Sembadra, Gathutkaca dan Semar. Yang menarik, kelompok candi utama dinamai Candi Arjuna, bukan nama Pandhawa yang lebih senior, Puntadewa ataupun Bima. Berkaitan dengan pengkultusan Arjuna di Dieng Rusmanto seorang paranormal setempat mengatakan bahwa, anak Pandhu ketiga itu bukan sosok imajiner melainkan nenek moyang masyarakat Dieng yang benar-benar ada dan bersemayam di puncak Gunung Sindoro untuk mengayomi anak keturuannya masyarakat di dataran tinggi Dieng (Sulistiono dan Made, 2013:12). Popularitas dan kultus Arjuna tidak bisa dipisahkan dengan warisan sejarah wacana-wacana masa lalu oleh para penguasa untuk mendapatkan kuasa bagi raja-raja
4
dinasti Mataram. Dugaan itu bisa dikaitkan dengan berbagai simbol pemuliaan Arjuna di lingkungan keraton seperti pemujaan pada tokoh Arjuna Kyai Mangu, Kanyut dan Jimat pusaka keraton Surakarta, kepercayaan tentang wahyu keraton Makutharama dan Cakraningrat dari Arjuna dan Abimanyu, dan yang paling menonjol adalah kepercayaan bahwa raja-raja Jawa dinasti Mataram keturunan dari Arjuna (Murtiyoso, 2007:2). Sekilas wacana lisan tersebut terasa aneh dan menimbulkan pertanyaan bagaimana seorang tokoh imajinatif dari Mahabarata India bisa menurunkan raja-raja Jawa dinasti Mataram? Namun demikian, pada kenyataanya mitologi itu dipercaya turun-temurun dan mengakar dahulu hingga sekarang oleh kalangan tertentu dalam budaya
Jawa.
Bahkan,
seorang
pejabat
Pengageng
Sasanawilapa
(bagian
keadministrasian) Keraton Surakarta, Winarno mengatakan bahwa mitologi tentang raja-raja di Keraton Surakarta sebagai keturunan dari Arjuna adalah konvensi resmi yang diakui oleh Keraton Surakarta (wawancara Winarno, 1 Desember 2014). Makna-makna pengkultusan, mitologi dan nilai-nilai pengaruh penokohan Arjuna yang begitu kuat mempengaruhi pola perilaku orang Jawa, memiliki indikasi kuat berhubungan dengan kekuasaan Raja-Raja di Mataram dan dinasti keturunannya. Gejala-gejala tersebut dalam konsep teori diskursus dari Michels Foucault adalah sebuah wacana pengetahuan yang sengaja diwacanakan di masyarakat oleh penguasa dengan tujuan mengkonstruksi pola perilaku budaya agar mendapatkan umpan balik positif dari masyarakat berupa dukungan politik legitimasi kekuasaan atau hegemoni. Barker (2005:109) mengutip pandangan Foucault menguraikan bahwa penguasa dimana-pun secara sadar atau tidak selalu memproduksi pengetahuan melalui bahasa untuk memformula budaya yang tujuannya mendapatkan kuasa. Formulasi budaya melalui wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat secara otomatis akan membentuk pembedaan-pembedaan, pendisiplinan-pendisiplinan, dan pembenaranpembenaran bagi perilaku dan legitimasi penguasa tanpa bisa dikontrol secara sadar oleh masyarakat dikarenakan mereka secara personal maupun
interpersonal telah
dibentuk menjadi subjek yang patuh. Gejala-gejala budaya sebagaimana diuraikan dalam aspek-aspek teori Foucault dapat ditangkap dalam unsur-unsur budaya baik artifac, ide-ide, maupun aktifitas jejakjejak peninggalan Mataram yang masih bisa di lacak dalam kehidupan budaya Jawa di
5
lingkungan keraton maupun masyarakat luas. Selain apa yang telah diuraikan di atas sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan tentang Arjuna juga implikasi-implikasi diskursus tokoh Arjuna yang hingga sekarang masih bisa dirasakan seperti (a) pembedaan strata masyarakat dalam level gusti dan kawula, trah ningrat (bangsawan) dan sudra (rakyat kebanyakan); (b) masih menjamurnya budaya sinkretik yang oleh sementara ulama dianggap syirik; (c) keharusan patuh pada aturan-aturan seni pertunjukan produk kraton yang dianggap belenggu kreativitas bagi para seniman muda; (d) perilaku-perilaku poligami dan perselingkuhan di lingkungan raja-raja dan ningrat Mataram yang kemudian menjadi model anutan bagi pria Jawa, dan (e) pengakuan orang Jawa dahulu hingga sekarang tentang legitimasi dinasti Mataram sebagai raja-raja Jawa. Menjadi menarik untuk dianalisis mengapa justeru Arjuna yang dikait-kaitkan dengan kultus, pembawa berkah, mistik bahkan dimanfaatkan sebagai media diskursus kepentingan keraton Jawa, bukannya tokoh yang lebih senior seperti Bima, Puntadewa, Kresna atau-pun Semar. Tokoh-tokoh tersebut tidak kalah populer bahkan bisa disebut lebih populer dari pada Arjuna berkaitan dengan pandangan sinkretik orang Jawa, dalam hal etika,
kebijaksanaan, kawruh penitisan (re-inkarnasi), dan mistik Islam
manunggaling kawula Gusti (penyatuan manusia dengan Tuhan). Tokoh Bima misalnya, dalam wacana kejawen begitu sangat populer karena dianggap simbol kesatuan antara manusia dan Tuhan, sebuah kepercayaan yang banyak diyakini oleh orang Jawa. Simbolisme manunggaling kawula Gusti itu berkiblat pada serat suluk yang sangat populer era Demak, tulisan Sunan Bonang berjudul Dewa Ruci, menceritakan Bima bertemu dengan perwujudan Tuhan, Dewa Ruci (Solichin, 2011: 44). Sisa-sisa kultus Bima oleh orang Jawa juga bisa dilacak pada relief-relief dan arca Bima di Candi Sukuh lereng Gunung Lawu berangka tahun 1437 M (Asmadi, 2004:7). Demikian pula tokoh Puntadewa dalam pedalangan dikisahkan manusia suci berdarah putih. Kesucian sulung Pandhawa itu juga disimbolkan bersenjata Jamus Kalimasada lambang dari kalimah syahadad, tauhied dan Rossul (Purwadi dalam Widyasari, 2010:16). Tidak kalah populer Kresna dan Semar sebagai titisan dewa untuk mensejahterakan bumi, bahkan Semar dianggap perwujudan sifat Tuhan (Purwadi 2005:13).
Di lingkungan masyarakat Dieng, Semar dipuja dengan sebutan Eyang
Sampurna Jati bersemayam di Goa Semar dekat Telaga Warna, yang dipercaya sebagai
6
nenek moyang dan pelindung masyarakat Dieng (Rusmanto dalam Sulistiono dan Prasta, 2014:17). Alasan pengkultusan dan diskursus Arjuna tentu tidak bisa dipisahkan dengan pandangan orang Jawa terhadap nilai-nilai yang tersembunyi dalam wayang Arjuna baik dari sisi wujud benda, ide-ide, serta aktivitas sehubungan eksistensi Arjuna dalam pakeliran (pentas wayang) dalam masyarakat Jawa.
Berkaitan dengan fungsi dan
peranan wayang dalam kebudayaan Jawa, Sutrisno (2009:1) berpandangan: Wayang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia Indonesia karena proses daya spiritual. Pengamatan yang mendalam terhadap pertunjukan wayang menunjukkan wayang bukan seni yang bertujuan untuk kepuasan biologis, tetapi memberi kepuasan batiniah. Menonton pergelaran wayang merupakan proses introspeksi intuitif terhadap simbol-simbol disertai pembersihan intelektual dan penyucian moral sehingga mendapatkan pencerahan rohani. Sunarto (2013:2) mengutip pandangan Bastomi dalam jurnal internasional Refereed Research Journal berjudul Leather Puppet In Javanese Ritual Ceremony menguraikan “Wayang art contains values thet people adore to date. Since the significance role of wayang in the live Javanees people, it can be said that wayang has become the identity of Javanese people.” Wayang mengandung nilai-nilai ideologi dan identitas orang Jawa. Borody (1997:1) berkaitan dengan ketokohan Arjuna dalam jurnal internasional Asian Philosophy menguraikan sebagai berikut: “In the Indian philosophical traditions Arjuna stands out as major representative of an importan ethical and intellectual position, as Socrates stands out in the West”. Landasan nilai-nilai etika dan intelektual Timur (India dan Indonesia) lebih banyak mereprentasikan ketokohan Arjuna, sedangkan di Barat adalah sosok Sokrates.
1.2.1. Identifikasi Masalah Keberadaan diskursus Arjuna yang kemudian berimplikasi terhadap diterimanya produk budaya priyayi, adiluhung sebagai representasi hegemoni masyarakat Jawa terhadap legitimasi Raja-Raja Jawa,
di era sekarang menimbulkan berbagai
permasalahan yang diuraikan dalam pernyataan sebagai berikut. Pertama, terjadi kebingungan para penggemar wayang dengan dikukuhkannya tokoh Arjuna dalam silsilah keraton Jawa, sebagai leluhur Raja-Raja Mataram dan
7
dinasti kerturunannya Surakarta dan Jogjakarta. Kebingungan masyarakat tersebut dikarenakan kerancuan posisi mitologi wayang antara tokoh imajiner atau tokoh sejarah. Kedua, budaya adiluhung sebagai produk keraton oleh kalangan tertentu wajib dihayati dan transformasikan kepada generasi penerus. Di sisi lain para generasi muda yang telah sangat akrab dengan budaya populer era global,
mengalami kesulitan
menerima transfer budaya tersebut karena pada umumnya mereka menganggap kuno dan ketinggalan zaman. Ketiga, budaya Jawa dipengaruhi diskursus Arjuna memandang bahwa Arjuna adalah simbol kejantanan kaum pria. Sistem pemikiran itu mengkonstruksi perilaku poligami dan perselingkuhan, yang sudah tidak sesuai dengan era emansipasi dan kesetaraan gender. Keempat, warisan budaya priyayi mengkonstruksi perbedaan ras antara trah gusti dan kawula yang memposisikan priyayi menduduki status yang tinggi dan kawula sebagai orang kebanyakan pada
posisi rendahan. Sistem pemikiran tersebut
meminggirkan peranan rakyat sehingga di era masa lampau kaum ningrat selalu mendominasi sejarah, sebaliknya di era sekarang perilaku tersebut bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Kelima, pemakeman berbagai jenis seni pertunjukan dan tata adat sebagai hasil pengendalian pengetahuan dari penguasa masa lampau, di era sekarang menjadi belenggu kreativitas yang berimplikasi terhadap tertinggalnya perkembangan seni tradisi dengan kemajuan zaman.
1.2.2. Rumusan Masalah Berbagai masalah di atas dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa tokoh Arjuna dipilih oleh penguasa Jawa Dinasti Mataram dalam membangun diskursus ? 2. Bagaimana Raja-Raja Jawa terutama dinasti Mataram membangun diskursus Arjuna untuk memperoleh legitimasi serta hegemoni dari orang Jawa ? 3. Bagaimana implikasi diskursus tokoh Arjuna dalam kehidupan orang Jawa ?
8
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mendeskrepsikan adanya fenomena diskursus tokoh Arjuna berkaitan dengan upaya raja-raja Jawa, terutama Mataram Islam awal, membentuk hegemoni dari orang Jawa untuk mendapatkan legitimasi sebagai penguasa Jawa. Selanjutnya diharapkan mampu memberi kejelasan serta memecahkan masalah terhadap implikasi-implikasi yang masih ada hingga saat ini, terutama berkaitan dengan kedudukan pakem sebagai belenggu kreativitas.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian dengan asas kajian budaya (cultural studies) ini ditujukan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini yakni sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui kejelasan sebab dipilihnya tokoh Arjuna dalam membangun diskursus. 2) Untuk mengungkap proses dalam membangun diskursus Arjuna oleh RajaRaja Mataram. 3) Untuk mengungkap implikasi diskursus tokoh Arjuna dalam kehidupan orang Jawa.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Secara teoritis hasil penelitian ini sangat berguna untuk pengembangan ilmu sejarah terutama kebudayaan Jawa era Mataram. 2. Konsep penelitian ini sangat membantu untuk mengetahui sejarah episteme era Mataram yang pengaruhnya masih sangat kuat terhadap kebudayaan Jawa saat ini sehingga dapat dijadikan referensi penulisan bidang pengetahuan sosial, sastra, seni maupun kajian budaya Jawa umunnya. 3. Hasil penelitian ini juga akan menjadi model penelitian lain sejenis yang akan memperkaya kajian budaya seni, khususnya wayang.
9
1.4.2. Manfaat Praktis 1. Secara praktis penelitian ini sangat berguna bagi masyarakat luas untuk meningkatkan pengetahuan dalam hal memahami kebudayaan pada umumnya, dan lebih khusus kearifan lokal Jawa. 2. Penelitian ini juga sangat berguna bagi para dalang dan institusi-institusi pedalangan baik formal maupun non formal dalam hal pemahaman tentang kedudukan pakem dalam budaya Jawa. 3. Konsep penelitian ini juga sangat penting bagi para pejabat pengambil keputusan di lingkungan pemerintahan baik di bidang pendidikan, kebudayaan, maupun pariwisata dalam hal pengembangan budaya Jawa.
10
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1. Kajian Pustaka Penelitian ini meskipun menggunakan obyek material wayang bukan mengarah pada kajian seni pertunjukannya yang mengandalkan data dari observasi pentas, tetapi kajian wacana mengenai kuasa pengetahuan Arjuna, yang lebih mengarah pada pembahasan konseptual baik teori-teori diskursus maupun sejarah tersosialisasinya tokoh Arjuna dalam masyarakat Jawa. Analisis tentang diskursus Arjuna ini akan berkisar pada sejarah kultus, mitologi dan nilai-nilai klasik wayang Arjuna kaitannya dengan peradaban Jawa sejak masa-masa awal era Kahuripan hingga Mataram dan dinasti keturunannya di Surakarta. Konsekuensinya analisis penelitian ini lebih mengandalkan data kepustakaan. Telah banyak tulisan tentang wayang baik oleh para pujangga, para akademisi maupun para peneliti asing dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Di antaranya tulisan para pujangga di keraton dalam bentuk-bentuk gancaran (prosa), tembang sekar ageng ataupun macapat, seperti Serat Rama, Serat Dewa Ruci dan Serat Pustkaraja Purwa, karangan Yasadipura I, Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsita. Banyak pula karangan buku-buku pedalangan dalam bentuk pedoman belajar mendalang atau yang dalam budaya Jawa disebut pakem, baik ciptaan keraton maupun para penulis di luar keraton, diantaranya yang digunakan sebagai pakem pedalangan baku di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunagaran, yaitu Irawan Rabi karya Noyowirongko dan Wahyu Pakem Makutharama tulisan Ki Ng.Wignyo Soetarno (Soetarno 1995:30). Dari sekian banyak buku gancaran yang banyak penulis acu untuk penelitian ini adalah karangan Padmosoekotjo (1982), berjudul Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid III, dan Jilid IV (1984), terbitan
dari CV. Citrajaya Surabaya. Buku ini tergolong
istimewa karena urainnya dalam bahasa Jawa baru selain mudah dipahami, juga berisi relatif lengkap tentang silsilah Pandhawa dan leluhurnya, serta parwa-parwa kutipan Mahabarata India yang dikomperasi dengan gaya pedalangan Jawa. Hal itu tidak biasa dalam tulisan pedalangan pada umumnya yang lebih mengacu gaya Surakarta, tentang mitos-mitos Jawa asli dan konvensi-konvensi lisan.
11
Tulisan dari ruang akademik berupa tesis dan laporan penelitian di Institut Seni Surakarta (ISI), dan Sekretariatan Pewayangan Indonesia (SENAWANGI) juga sangat diperlukan dalam penelitian ini. Tesis berjudul “Wanda Wayang Kaitannya dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa ini”, tulisan Soewarno (1999) karya tesis di Program pasca Sarjana UGM Jogjakarta,
berisi deskripsi tentang wanda-wanda
wayang, diantaranya figur tokoh Arjuna, yaitu wanda Kinanthi, Malatsih, Mangu, dan Arjuna bertapa yang bergelar Begawan Ciptawening. Karya tesis tersebut lebih banyak mengkaji macam-macam bentuk fisik figur, serta wanda (bentuk raut muka wayang) tokoh Arjuna dengan petunjuk pemakaian wanda-wanda itu dalam pentas wayang. Karya ini sama sekali tidak menyentuh makna figur Arjuna, sebagaimana penelitian ini. Buku laporan penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI) berjudul “Telaah Perwatakan Sembilan Tokoh Wayang Dalam Serat Centhini Jilid 1” tulisan Suratno (1993) menguraikan tentang perwatakan sembilan tokoh wayang, salah satunya Arjuna, memberi kontribusi deskrepsi karakter Arjuna, yang akan dikaji dengan semiotika dalam penelitian ini. Tulisan tersebut tidak mengkhususkan uraian tentang makna Arjuna dalam legitimasi raja-raja Jawa Mataram, sebagaimana penelitian ini, melainkan uraian tentang watak sembilan wayang, yang salah satunya Arjuna. Laporan penelitian STSI Surakarta tahun 2003, tulisan Suratno berjudul “Studi tentang Lakon Wahyu dalam Pakeliran di Surakarta dalam Satu Dekade Terakhir”, berkontribusi penting dalam penelitian ini memberi katagori penerima wahyu dalam wayang. Informasi itu sangat penting kaitanya dengan diskursus Arjuna dalam proses mengkonstruksi hegemoni kekuasaan raja-raja Jawa.
Dari informasi buku tersebut
diperoleh data bahwa wahyu Cakraningrat dan Makutharama, yang dalam mitos Jawa sebagai kekuatan utama para raja Jawa, adalah cerita wayang. Laporan penelitian dari STSI itu juga tidak memfokus mengkaji Arjuna, berkaitan dengan fenomena budaya Jawa, tetapi mengarah pada kajian seni pedalangan katagori jenis-jenis lakon wahyu dalam pakeliran. Tulisan berjudul Filsafat Wayang terbitan SENAWANGI, karya Slamet Sutrisno (2009) dan kawan-kawan, dalam salah satu bab-nya menguraikan tentang nilai-nilai filosofi tokoh Begawan Ciptawening (nama lain Arjuna ketika bertapa di Indrakila), dengan menggunakan pendekatan reflektif, menyumbang makna-makna filsafat tokoh Arjuna bagi tulisan ini.
Akan tetapi sangat berbeda dengan penelitian ini yang
12
memfokus pada diskursus tokoh Arjuna dan semiotika figur serta gelar-gelar tokoh Arjuna. Laporan penelitian dari Prodi Kajian Budaya UNS berjudul “Berwisata ke Negeri Pewayangan”, tulisan Sulistiono dan Prasta (2013) memberi informasi tentang keberadaan tokoh Arjuna kaitannya dengan Candi Arjuna dan mitologi tokoh tersebut di dataran tinggi Dieng. Dari laporan penelitian itu bisa diketahui bahwa masyarakat Dieng sangat percaya bahwa tokoh-tokoh Mahabarata seperti Krisna, Puntadewa, Arjuna, Bima, Nakula-Sadewa, Sembadra, Dropadi dan lainnya di jaman dahulu hidup di daerah tersebut. Kepercayaan masyarakat Dieng itu adalah bagian dari wacana-wacana dari kultus Arjuna yang sangat relevan dengan penelitian ini. Buku berjudul Kalanggwan tulisan Zoetmulder (1983) terbitan Djambatan Anggota IKAPI Jakarta, menguraikan banyak literatur kuno pedalangan, salah satunya Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa menyadur “Wanaparwa”, bab IV Mahabarata, menginformasikan bahwa pada abad X di Kahuripan, Mpu Kanwa atas perkenan Airlangga mengarang cerita tentang kemenangan Arjuna melawan raja raksasa Niwata kawaca. Cerita itu dipercaya oleh masyarakat Kahuripan masa itu bisa mendatangkan berkah kemenangan bagi Airlangga melawan musuh dari Kerajaan Wengker yang telah menguasai ibu kota. Babad Tanah Jawi buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1980, yang dialihaksarakan oleh Sudibyo (1980), memberi informasi penting mengenai silsilah raja-raja Mataram sejak Nabi Adam hingga raja-raja di Surakarta. Sangat diperlukan juga dalam tulisan ini adalah buku berjudul Kebudayaan Jawa tulisan Koentjaraningrat (1994), terbitan Balai Pustaka, banyak memberi informasi tentang ritual-ritual tradisi Jawa pemujaan kepada Arjuna serta konsepkonsep gaya hidup para priyayi Jawa di lingkungan keraton. Demikian pula, tulisan Geertz ( 1959) berjudul
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, edisi
terjemahahan Mahasin, terbitan Pustaka Jawa Jakarta memberi acuan tentang perilakuperilaku religi kaum priyayi maupun petani di Jawa. Buku tersebut dalam tulisan ini digunakan untuk memahami sejauh mana religiusitas perilaku para raja Jawa Mataram. Seorang peneliti Belanda Graaf ( 2003), dalam judul tulisannya Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI terbitan PT Temprint
13
Jakarta, banyak memberi informasi tentang sejarah kehidupan raja-raja dan para bangsawan di Mataram awal, Kota Gede, materi analisis dalam penelitian ini. Tulisan tersebut bisa mengarahkan objektivitas kajian, karena de Graaf di samping menggunakan sumber data primer Babad Tanah Jawa, juga memanfaatkan sumber tertulis berupa catatan harian dari duta besar Belanda bernama Rijklof Van Goens, yang saat kejayaan Sultan Agung (1636-1642) sedang ditugaskan di Mataram. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli cetakan ke-IV, penerbit Laksana Jogjakarta, tulisan Abimanyu (2014) dalam penelitian ini memberi informasi tentang konsep legitimasi raja Jawa, yang diperoleh dengan memuliakan Arjuna sebagai nenek moyangnya. Lebih tua lagi dari kedua buku Babad Tanah Jawi terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1980, dan karangan Abimanyu tersebut adalah tulisan seorang gubernur jendral Inggris Raffles (1817) berjudul The Histori of Java terjemahan Prasetyaningrum dan kawan-kawan, menginformasikan lebih rinci lagi tentang silsilah raja-raja Jawa serta peristiwa-peristiwa sejak Ajisaka mendarat pertama kali di Pulau Jawa, jaman kehidupan Arjuna hingga trah keturunannya jaman Pangeran Haryo Hamangkunagara atau yang lebih dikenal Pangeran Sambernyawa pendiri dinasti Mangkunagaran. Buku tulisan Raffles itu banyak mengutip sumber-sumber resmi dari keraton Jawa yang mengukuhkan bahwa Babad Tanah Jawi dianggap sebagai sejarah resmi keraton Jawa. Buku berjudul Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, tulisan Stuers (2008) terjemahan dari Elvira, terbitan Komunitas Bambu Jakarta, memberi informasi implikasi dari poligami para priyayi Jawa bagi para selir di keraton. Stuers mengutip surat RA Kartini kepada sahabatnya di Belanda,
Zeehandelaar pada 23
Agustus 1900 yang menguraikan kritik pedas pahlawan emansipasi itu terhadap iklim poligami di lingkungan priyayi Jawa. Implikasi kekerasan terhadap wanita di dalam keraton disebabkan adanya tradisi poligami juga disajikan oleh Soeratman (2000) dalam penelitiannya yang berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, terbitan Yayasan Untuk Indonesia, Jogjakarta, menjadi rujukan penting pada bagian implikasi-implikasi adanya diskursus Arjuna di lingkungan keraton.
14
Penelitian kajian budaya berparadigma postmodernisme ini akan memanfaatkan teori- teori diskursus dari Foucault, teori hegemoni dari Gramsci mengacu pada tulisan Barker (2005) dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies Teori dan Praktik terjemahan dari Cultural Studies Theori and practice, terjemahan Tim kunci cultural studies center terbitan PT Bentang Pustaka Jogjakarta. Teori-teori diskursus dalam penelitian ini banyak mengacu dua tulisan dari Yusuf Lubis (2014a) dan (2014b) berjudul Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer dan Postmodernisme Teori dan Metode. Buku pertama terbitan PT Raja Grafindo Persada Jakarta, diacu penulis dalam hal teori relasi kuasa, pengetahuan, dan kebenaran. Selain itu buku tersebut menguraikan relatif jelas tentang teori-teori Foucault berkaitan dengan diskursus yaitu genealogi dan episteme. Buku kedua juga diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada menjadi acuan bagi penulis untuk memahami teori Foucault tentang power, tubuh, dan wacana-kuasa wacana. Buku lain sebagai acuan teori diskursus mengacu tulisan Kali (2013) berjudul Diskursus Seksualitas Michel Foucault, diterbitkan oleh Ledalero Maumere yang menguraikan sejarah pemikiran Foucaul tentang arkheologi, genealogi dan wacana, serta konsep tentang wacana dan episteme. Dalam menganalisis tentang nilai-nilai makna figur Arjuna, digunakan teori dari Bartes yang mengacu pada tulisan Budiman (2002) berjudul Analisis Wacana dari Lingguistik sampai Dekonstruksi terbitan Pusat studi Kebudayaan UGM Jogjakarta. Buku tersebut menguraikan cukup jelas tentang analisis wacana mitos dan prosedurprosedurnya. Lebih diperjelas lagi tentang analisis mitos dari Bartes itu oleh Hoed (2011) dalam judul bukunya Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, diterbitkan oleh Komunitas Bambu, Jakarta.
2.2. Konsep Untuk menjelaskan dan memberi batasan tentang pusat perhatian penelitian ini perlu dijelaskan konsep-konsep yang digunakan. Urutan konsep yang diuraikan tesis berjudul Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram ini terdiri dari 2 satuan (unit) yaitu (1) Diskursus Legitimasi; dan (2) Tokoh Arjuna dalam Raja-raja Jawa Dinasti Mataram.
15
2.2.1. Diskursus Legitimasi Satuan konsep dari kalimat diskursus legitimasi dapat diurai menjadi dua unsur yaitu diskursus, dan legitimasi. Dua unsur prasa tersebut bisa dijabarkan maknanya dalam uraian berikut. Pertama, diskursus dalam Bahasa Indonesia disinonimkan dengan wacana. Diskursus atau wacana dalam konteks penelitian ini mengacu pada teori Foucault tokoh Postmodernisme anti esensialisme pasca strukturalis yang mengajukan argumen melawan teori-teori formalis mengenai bahasa yang memandang sebagai sistem otonom yang memiliki aturan sendiri. Lebih lanjut pendapat Foucault bahwa ia juga menentang metode-metode interpretatif atau hermeneutika yang hendak mengungkap makna tersembunyi bahasa. Foucault mengajukan argumen bahwa kondisi –kondisi historis di mana pernyataan-pernyataan dikombinasi dan diregulasi untuk membentuk dan mendefinisikan suatu
bidang pengetahuan/obyek tertentu
yang membutuhkan
seperangkat konsep dan memunculkan sebuah rezim pembenaran, yang akan menentukan apa yang termasuk sebagai kebenaran (Barker, 2005:104-105). Yusif Lubis (2014a: 161) mencatat bahwa Michel Foucault (1926 – 1984) lahir di tengah-tengah keluarga ahli medis di Poiteirs Prancis. Meskipun ia keluarga dokter, tetapi Faoucault lebih tertarik pada Filsafat, Sejarah dan Psikologi. Pandanganya yang dianggap sangat kontroversi pada tulisan-tulisannya seperti Folie et Deraison (Kegilaan dan Peradaban), dan Naissance de la Clinic (Lahirya Klinik) keduanya diterbitkan di Fillingham mengantarkannya sebagai tokoh filsuf dan sejarawan terkemuka paradigma pasca strukturalisme. Khusus bukunya berjudul Larcheo Logie du Savoir (1968) Foucault melontarkan metode dan teori discourse yang diadaptasi dalam Bahasa Indonesia menjadi wacana atau diskursus mengemukakan bahwa diskursus adalah sebuah produksi pengetahuan yang berasal dari bahasa dengan cara diwacanakan di tengah-tengah masyarakat; di mana wacana tersebut akan menghasilkan kuasa. Kuasa yang oleh Foucault dipahami sebagai
kemampuan mengkomunikasikan
pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah menyatu menjadi sistem pola pikir masyarakat yang diistilahkan Foucault episteme oleh kuasa agung yaitu penguasa. Dalam proses sosialisasi dalam episteme kurun sejarah tertentu
16
manusia mengalami proses menjadi pribadi-pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi menjadi subyek. Pribadi-pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula oleh episteme pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa (Yusuf Lubis, 2014a: 162-188). Masih berkaitan dengan diskursus, diuraikan oleh Yusuf Lubis (2014b:168) dalam metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan yang oleh Foucault disebut genealogi, mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu
apa
yang
disebut
sebagai
sebuah
kebenaran
dikonstruksi
untuk
mendistribusikan kekuasaan lewat lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan, penjara, rumah sakit, yang hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang gila dan waras, bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan. Kedua, kata legitimasi berarti kredibelitas seorang penguasa berujut pengakuan kekuasaan dari rakyat, bawahan maupun penguasa lain sebagai seorang pemimpin yang syah (Abimanyu, 2013:386). Dalam kajian budaya legitimasi dan pengakuan terjadi lewat proses hegemoni yang oleh Gramsci adalah suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses penciptaan makna digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467).
2.2.2. Tokoh Arjuna dalam Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram. Satuan konsep kata tokoh Arjuna dalam raja-raja Jawa dinasti Mataram dapat diurai menjadi tokoh, Arjuna, dalam, Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram. Makna konsep kata-kata tersebut bisa diuraikan sebagai berikut. Pertama, makna dari kata tokoh. Kata tersebut adalah unsur penting dalam karangan-karangan rekaan baik bentuk prosa, puisi maupun drama. Maryanto (2009:10) mengutip pendapat Sudjiman mendefinisikan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam cerita tokoh digolongkan menjadi dua yaitu tokoh atasan atau utama dan tokoh bawahan pendukung tokoh utama.
17
Menurut dramaturgi tokoh dipilahkan sebagai berikut: (a) protogonis, (b) antagonis, (c) deutragonis dan (d) tritagonis. Protogonis adalah tokoh utama cerita, yang kehadirannya untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam meraih cita-cita. Tokoh antagonis diklasifikasikan tokoh-tokoh yang melawan tujuan protogonis, deutragonis adalah tokoh pendamping protogonis dalam menyelesaikan masalah, dan tritagonis adalah tokoh penengah konflik antara protogonis dan antagonis (Anirun, 1998:124126). Kedua Arjuna adalah tokoh protogonis dalam wayang. Wayang kulit purwa meskipun diklaim asli karya orang Jawa oleh Hazeau dan Brandes, tetapi menggunakan sumber lakon asal India kuno, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Dua epos itu sangat populer di Jawa dahulu hingga sekarang mengalahkan karya pujangga lokal Jawa. Cerita Mahabarata sebanyak 18 parwa menceritakan ketokohan ksatria utama anak Pandhu yang populer disebut Pandhawa, terutama Arjuna. Sentralitas Arjuna dalam Mahabarata terjadi karena berperan sangat dominan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa kelima saudara Pandhawa, terutama dalam memenangkan perang besar Baratayuda (Soekmono, 1985: 113). Ketiga, makna kata dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata dalam adalah bagian yang di dalam; yang tak tampak dari luar (Setiawan, 2014:1). Relasi kata dalam dengan raja-raja Jawa Mataram bermakna berbagai masalah yang menyangkut kedalaman kehidupan sosial budaya raja-raja Jawa Mataram. Keempat, raja-raja Jawa dinasti Mataram berkaitan dengan pengertian penguasa Islam Jawa pasca Kerajaan Pajang, yaitu masa pemerintahan Mataram dan trah keturunanya di Kartasura dan Surakarta. Graaf dan Pigeaud (2003:249) dalam bukunya berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mendeskrepsikan sejarah Mataram didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan seorang prajurit karismatik dati Sela pada tahun 1577 M bertempat di Kota Gede sebagai ibu kota pemerintahan. Sebelum dibangun menjadi kerajaan Mataram, wilayah itu berujud hutan yang disebut Hutan Mentaok, merupakan tanah hadiah dari Raja Pajang Hadiwijaya, setelah Pemanahan mampu mengalahkan Harya Penangsang Bupati Jipang yang makar kepada raja Pajang. Setelah Ki Gedhe Pemanahan wafat Mataram diteruskan oleh raja-raja trah keturunannya, yaitu Panembahan Senopati, Sunan Hanyakrawati (seda Krapyak), Sultan Agung, Sunan Mangkurat I dan seterusnya.
18
Buyut Pemanahan, Sultan Agung Hanyakra Kusuma pada era kekuasaanya tahun 1613 – 1645 memindahkan ibu kota ke Pleret. Era Sultan Agung itu bisa dikatakan jaman keemasan Mataram, karena di era itu merupakan superioritas raja Jawa Islam dalam hal politik budaya dan sosial. Di era Sultan Agung bupati-bupati di Jawa tengah dan timur berhasil ditahlukkan oleh cucu Panembahan Senopati itu. Kompeni Belanda di Batavia yang sejak masa pemerintahan ayah Sultan, Sunan Hanyakarawati diberi ijin mendirikan beteng di Jayakarta diserang dua kali tahun 1628 dan 1629. Di bidang budaya era Sultan Agung tercipta karya seni yang selanjutnya akan menjadi pedoman bagi dinasti selanjutnya di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta maupun orang Jawa pada umumnya, di antaranya adalah penetapan tahun Jawa 1555, penciptaan Sastragendhing, pemakeman wayang pangruwatan, dan Bhedhaya Ketawang. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram menjadi semakin terpuruk akibat perang saudara sesama dinasti keturunan Panembahan Senopati yang menyebabkan Keraton Mataram berpindah-pindah serta terbagi-bagi.
Perpindahan dan pembagian itu dicatat oleh
Soeratman (2000) sebagai berikut: (a) masa Sunan Mangkurat II (1677-1703) Mataram pindah ke Kartasura akibat serbuan Trunajaya, (b) tahun 1743 Mataram dipindahkan oleh PB II ke Surakarta, (c) tahun 1755 Mataram dibelah menjadi Surakarta dan Jogjakarta akibat perjanjian Giyanti antara PB III, Mangkubumi, dan Belanda, dan (d) tahun 1775 sekali lagi Surakarta harus dikurangi wilayahnya oleh Belanda untuk diserahkan kepada Raden Mas Said yang kemudian mendirikan Kadipaten Mangkunagaran. Demikian pula Jogjakarta atas prakarsa pemerintah kolonial Inggris, Raffles pada tahun 1813 membagi kasultanan Jogjakarta diberikan kepada Pangeran Nata Kusuma yang kemudian mendirikan Kadipaten Pakualaman bergelar Sri Paku Alam I. Jadi, batasan konsep tentang dinasti Mataram adalah trah/dinasti Ki Gedhe Pemanahan beserta anak keturunanya sejak putranya Panembahan Senopati hingga rajaraja di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta, Mangkunagaran dan Pakualaman. Bisa diabstraksikan secara ringkas judul Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram adalah wacana-wacana tentang tokoh Arjuna yang dibangun oleh para raja Jawa dinasti Mataram untuk mendapatkan hegemoni legitimasi kekuasaan.
19
2.3. Landasan Teori Tulisan ini merupakan penelitian kajian budaya yang bertujuan mengungkap makna wacana-wacana tokoh wayang Arjuna di era raja-raja Jawa Mataram Sultan Agung hingga Zaman Surakarta, yang mana diskursus itu ditujukan untuk mendapatkan hegemoni dari orang Jawa. Sebagaimana tradisi penelitian ilmiah yang ciri-cirinya mengembangkan metode berfikir kritis objektif, konsisten serta sistematis, maka dalam rangka pengungkapan makna tujuan penelitian sangat perlu dituntun oleh teori-teori yang tepat. Ratna (2010:49-53) mengemukakan bahwa peranan sebuah teori dalam sebuah penelitian adalah sebagai penuntun memahami obyek yang akan mengarahkan peneliti memecahkan masalah. Teori berbentuk konsep, argumentasi, dan proposisi yang lahir dari pemikiran yang sensitif, tajam, dan sistematis. Sifat analisis kajian budaya yang holistik dan ekletik mengarahkan penelitian ini bisa menggunakan multi disiplin serta memanfaatkan berbagai teori secara dinamis dengan tujuan menghasilkan harmoni makna. Grand teori atau teori induk dari penelitian ini menggunakan teori wacana dari Foucault, didukung teori-teori minor seperti semiotika, dan hegemoni. Khusus berkaitan dengan semiotika pada bab pembahasan akan digunakan untuk mengungkap makna nilai-nilai yang terkandung dalam figur wayang Arjuna beserta gelar-gelarnya. Maknamakna yang terungkap berupa nilai-nilai etika serta estetika klasik orang Jawa merupakan struktur-struktur mapan dari nilai-nilai Jawa. Hal itu adalah konsekuensi dari semiotika yang harus mengacu pada ground atau kode budaya lokal. Ratna berpandangan bahwa tidak bisa dihindari semiotika sebagai teori tanda selalu berkaitan dengan semua teori lain. Untuk memudahkan pemahaman jalinan metodologi serta teori yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar 1.
20
Diskursus
Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-raja Jawa Mataram Semiotika
Hegemoni
Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori
2.3.1. Teori Wacana/diskursus Michel Foucault adalah filsuf anti-esensialisme dan pascastrukturalisme yang intinya menolak tradisi berfikir tiga hal berikut. 1) Menolak kebenaran transendental sebagaimana mendominasi filsafat modern seperti konsep Kant, Descartess dan Husserl tentang adanya kebenaran yang mutlak atau kebenaran akhir asal-usul adanya sesuatu seperti Tuhan, ide, roh absolut, kebenaran mutlak dan abadi berasal dari substansi transenden yang metafisis yang berada di luar ruang dan waktu. Sebaliknya sebagimana pemikir post modernisme yang lain Foucault beransumsi bahwa tidak ada sebuah kebenaran mutlak, dan universal karena filsafat dan ilmu pengetahuan bersumber dari upaya manusia untuk menyingkap rahasia alam. Dalam konsep teorinya Arkeologi kemudian sejak tahun 1970 lebih populer disebut Genealogi, Foucault mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran dan ide yang diturunkan dari “dunia sana” melainkan berasal dari konstruksi berfikir yang bersumber dari wacana-wacana pada episteme kurun sejarah tertentu (Yusuf Lubis, 2014 b:68). 2) Menolak paradigma strukturalisme yang beransumsi bahwa perkembangan pola pikir manusia lebih ditentukan oleh struktur/sistem seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan bahasa di sekitarnya. Bukan manusia yang menciptakan makna melalui bahasa tetapi sebaliknya bahasa dan budayalah yang mengkonstruksi pikiran manusia. Foucault mengkritisi pandangan kaum strukturalis yang dipelopori oleh Levi Strauss, bahwa dengan hilangnya otonomi imajinasi kreatif manusia sebagaimana asumsi strukturalisme berarti telah terjadi “kematian
21
manusia” (the death of man). Bagi Foucault meskipun ia mengakui adanya episteme/sistem yang menstruktur pikiran manusia, akan tetapi tidak bersifat kontinyu sebaliknya diskontinyu bisa berubah dan berganti-ganti dari satu zaman atau tempat ke zaman dan tempat yang lain (Yusuf Lubis, 2014a: 168). 3) Menolak konsep subyek universal sebagaimana teori Marx bahwa kesadaran dikonstruksi oleh kelas sosial, sehingga ada perbedaan kesadaran, nilai-nilai antara kelas proletar dan borjuis. Bagi Foucault subyek adalah produk sejarah, produk dari diskursus yang berbeda dari satu era ke era lain. Kuasa yang oleh Foucault dipahami sebagai
kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk
mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah menyatu menjadi sistem pola pikir masyarakat yang diistilahkan Foucault episteme oleh kuasa agung yaitu penguasa. Dalam proses sosialisasi dalam episteme kurun sejarah tertentu manusia mengalami proses menjadi pribadipribadi yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi menjadi subyek. Pribadipribadi atau subyek-subyek yang telah diformula oleh episteme pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa. Yusuf Lubis (2014:168) dalam metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan yang oleh Foucault disebut genealogi, mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu apa yang disebut sebagai sebuah kebenaran dikonstruksi untuk mendistribusikan kekuasaan lewat lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan, penjara, rumah sakit, yang hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang gila dan waras, bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan
(Yusuf
Lubis, 2014b:73). Teori Diskursus tersebut digunakan untuk menganalisis diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Dinasti Mataram dalam pembahasan sebagai berikut. Pertama, konsep teori Foucault power knowledge / kuasa pengetahuan digunakan untuk menganalisis motifasi tindakan Sultan Agung dalam mewacanakan tokoh Arjuna sebagai media membangun legitimasi kekuasaanya. Salah satu aspek jalinan diskursus ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh
22
untuk menahlukan dan membuat orang menjadi patuh. Bagi penguasa pengetahuan adalah sebuah ekspresi berkuasa. Pengetahuan yang diwacanakan oleh penguasa akan membangun sebuah sistem berpikir yang disepakati dan disepahami oleh anggota kolektif masyarakat dan sesuai dengan deskrepsi kebenaran menurut otoritas intelektual, politis, dan elite pemerintah. Untuk mensosialisasikan wacana itu maka pengetahuan didesentralisasi dan dipluralisasi, sehingga akan melahirkan dukungan produktif dari masyarakat kepada penguasa (Faoucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:77). Berlandaskan pertimbangan bahwa pengetahuan bisa dijadikan alat untuk membangun kekuasaan, maka Sultan Agung memilih Arjuna sebagai tokoh paling populer yang memiliki reputasi nilai kultus, mitologi dan simbol kejayaan bagi Mataram, sebagai media wacana. Wacana-wacana yang disosialisasikan kepada semua lapisan dan penjuru masyarakat Mataram diaharapkan akan mampu menyatukan pola pikir masyarakat yang pada akhirnya mendatangkan timbal balik dukungan terhadap kekuasaan Raja-Raja Dinasti Mataram. Kedua, konsep teori Foucault tentang jaringan kuasa, pengetahuan dan kebenaran digunakan untuk menganalisis proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram. Foucault dalam Yusuf Lubis (2014a : 176) mengemukakan adanya relasi yang sigfikan antara kuasa – pengetahuan – kebenaran.
Kuasa didapat dari pengetahuan, dan
dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa. Dalam wacana itu kebenaran dikonstruksi. Pada akhirnya kebenaran adalah kekuasaan itu sendiri. Teori tersebut menuntun pemahaman bahwa wacana tokoh Arjuna bersumber dari Babad Tanah Jawi disebarluaskan ke seluruh Mataram oleh agen-agen diskursif yaitu dalang, penanggap dan penonton, dalam setiap ivent-ivent yang mentradisi di masyarakat, di keraton, di rumah-rumah priyayi maupun masyarakat umum. Dalam satu periode wacana tokoh Arjuna itu menyatu dalam kesadaran setiap subyek dan kolektif di Mataram membentuk kesamaan sistem berpikir tentang Arjuna dan nilai-nilai pengetahuannya berkaitan dengan legitimasi Raja-Raja Mataram, yang disebut episteme era Mataram atau budaya ragam Mataraman sebagaimana mentradisi di keraton Jawa Surakarta dan Jogjakarta. Ketiga, pandangan Foucault tentang tubuh digunakan untuk menganalisis proses terbentuknya kepatuhan orang Jawa terhadap diskursus yang dibangun oleh Raja-Raja Dinasti Mataram. Berkaitan teori tentang tubuh Foucault menguraikan bahwa tubuh/subyek bukan terbentuk secara transenden tetapi melalui proses normalisasi dan
23
regulasi (sosialisasi kepatuhan terhadap norma-norma dan aturan-aturan di masyarakat), yang norma serta aturan itu dikonstruksi oleh rezim kebenaran atau episteme era sejarah tertentu oleh penguasa (Barker, 2005:104).
2.3.2. Teori Hegemoni Teori hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci, berkait dengan pembahasan tentang masalah politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980. Konsep ini menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467). Teori hegemoni dalam penelitian ini akan dimanfaatkan untuk menuntun analisis peranan raja-raja Jawa merebut persetujuan dari orang Jawa dengan makna tokoh Arjuna yang pada finalnya akan melegitimasikan kekuasaan mereka. Wayang memiliki sejarah panjang berkaitan dengan perananya dalam masyarakat untuk kepentingan penguasa. Helen (2004) dalam jurnal internasional Journal of Southeast Asian Studies menguraikan “The use of wayang (shadow puppets) as means of conveying political propaganda in Java is far from new.” Sejak dahulu hingga sekarang wayang sering dimanfaatkan penguasa untuk kepentingan politiknya.
2.3.3. Teori Semiotika Untuk menganalisis nilai-nilai moral dalam figur wayang Arjuna dan gelargelarnya, digunakan semiosis wacana dari Bartes. Tokoh terkemuka semiosis pasca strukturalisme yang bernama lengkap Roland Barthes (1915-1980) lahir di Cherbourg Prancis utara mengembangkan analisis wacana (Budiman, 2002:102). Hal itu berbeda dengan semiotika struktural Saussure yang telah mendominasi model semiosis modern barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa wacana/parole (termasuk bentuk-bentuk ujaran individual) adalah sub sistem semiosis yang tidak mungkin bisa terjangkau analisis. Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi disejajarkan dengan penanda ekspresi obyek, dan konotasi sebagai
24
petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis baik denotasi maupun konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi (expression) dilambangkan E, dan isi (content) dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi (relation) yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan (ERC) Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi subyek-subyek individu.
Hoed (2011:66) tentang semiotika wacana Barthes
mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer (mana suka) digolongkan sebagai mitos jika konotasi itu telah tetap mencapai kemapanan sebagai sebuah kewajaran di masyarakat; jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi. Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur tokoh wayang Arjuna dan gelar julukannya “Lelananging Jagat” bertujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana pengetahuan di Mataram. Dalam analisis semiosis Barthes ini figur wayang Arjuna akan dianalisis menggunakan konsep teori citra visual, dan julukan Arjuna yang digolongkan citra lingguistik akan dianalisis sebagai citra penambat.
2.4. Model Penelitian Sebuah model atau pola diperlukan untuk menampilkan gagasan yang abstrak menjadi sebuah pola-pola visual yang mudah dipahami (2010:286). Model penelitian tentang diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini berupa diagram yang menampilkan objek, variabel, dan masalah-masalah dan implikasi-implikasi yang terjadi dari proses budaya tersebut. Rekonstruksi alur pemikiran penelitian ini bisa divisualkan dalam gambar 2 berikut.
25
NILAI-NILAI KULTUS,MITOLOGI, & IDEOLOGI WAYANG
Sultan Agung, dan Rajaraja Mataram dan penerusnya
DISKURSUS TOKOH ARJUNA
(1) Motifasi dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus Nilai-nilai kultus, mitologi dan anutan moral Arjuna
(2) Proses terjadinya diskursus dengan menyebar kuasa pengetahuan
Para agen kuasa pengetahuan wayang, dalang, penanggap & penonton
(3) Implikasi Diskursus dalam kehidupan orang Jawa
Gambar 2. Model Penelitian.
Dari gambar di atas dapat diuraikan alur pemikiran penelitian sebagai berikut: 1) Wayang adalah jenis teater tradisi yang telah berkembang di Jawa dahulu hingga sekarang. Kelestarian wayang tersebut karena orang Jawa menganggap bahwa wayang memiliki keterkaitan dengan kehidupannya dalam hal sejarah, kultus, mitologi, dan tokoh anutan. 2) Menyadari posisi wayang yang sangat satrategis dalam kehidupan budaya Jawa, maka Sultan Agung sebagai raja Mataram yang sangat membutuhkan legitimasi kekuasaan dari masyarakat Jawa, memilih wayang tokoh Arjuna sebagai media diskursus. Pertimbangan pemilihan itu adalah tokoh Arjuna selain sangat populer dan diidolakan oleh orang Jawa juga dikultuskan, dan dimitoskan sebagai pembawa kejayaan bagi seorang raja. 3) Diskursus Arjuna diwacanakan dengan cara menyebar power knowledge kepada masyarakat pendukung wayang yaitu dalang, penanggap, dan penonton yang terdiri dari masyarakat luas.
26
4) Implikasi dari diskursus Arjuna itu, menjadikan masyarakat jawa secara pribadi dan kolektif tersosialisasi terhadap pengetahuan tentang Arjuna sehingga menerima secara total dalam bentuk kesatuan pemahaman, pola pikir dan perilaku berkaitan tentang mitologi, serta ideologi Jawa berkaitan tentang Arjuna. 5) Proses sosialisasi masyarakat baik secara individu atau kolektif dalam episteme era Mataram Sultan Agung itu secara otomatis menumbuhkan hegemoni terhadap legitimasi Raja-Raja Mataram.
27
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian Ratna (2010:289) mengutip metode penelitian dari Black dan Champion (1999) mengemukakan bahwa rancangan penelitian adalah sebuah desain proses pelaksanaan penelitian semacam blue prient yang bertujuan memberi kejelasan keseluruhan proses baik pengumpulan data, sumber data, analisis, paradigma serta pendekatan yang digunakan. Penelitian ini dirancang dengan paradigma kajian budaya ranah postmodernisme, menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai model analisis, dan memanfaatkan metode analisis kualitatif interpretatif yang akan mengungkap nilai-nilai serta maknamakna dari objek material pewayangan dalam ground budaya Jawa di masa klasik maupun kekinian. Paradigma, oleh Ratna (2010:38) didefinisikan sebagai kerangka pokok sebuah ilmu yang membedakan dengan ilmu lain. Ia mengutip pandangan yang lebih lengkap dari Lincoln dan Guba yang mendefinisikan bahwa paradigma adalah sistem anggapan dasar pandangan dunia yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metodologi dan kerangka ontologisnya. Paradigma post modernisme lahir di Inggris sejak tahun 1960-an melalui lembaga Centre of contemporery Cultural Study (CCCS) dipelopori oleh Richard Hoggart, Raymond William, E.P. Thomson, Stuart Hall, Paul Willis, dan Dick Hebdige. Dari ketiga pelopor tersebut kajian budaya melangkah lebih jauh memanfaatkan budaya sebagai arena pertarungan ideologi, beroperasi secara independen bukan semata-mata sebuah refleksi dari sistem ekonomi. Sebagai sebuah ilmu paradigma postmodernisme memiliki ciri umum filosofis yaitu secara ontologi kajian budaya digali dari hakikat multidisiplin, multikultur, budaya minoritas, dan analisis permukaan; secara epistemologis kajian budaya termasuk ranah postmodernisme yang melakukan analisis melalui teori-teori post strukturalisme; dan tidak berbeda dengan ilmu lain, kajian budaya juga digunakan untuk memahami keseluruhan aspek budaya. Perbedaanya, ilmu pengetahuan lain lebih cenderung untuk mempertahankan eksistensi yang sudah ada,
28
sebaliknya kajian budaya memperlakukan secara kritis, politis, partisipatoris, bahkan secara dekonstruktif. Dalam tulisan ini paradigma post modernisme diposisikan sebagai sudut pandang teoritis, yang ciri utamanya kritis dalam memahami objek. Penggunaan teori-teori tersebut bertujuan sebagai alat (1) memperjelas suatu fenomena yang muncul pada tahap penelusuran masalah; (2) sebagai alat peringkas atau alat seleksi data pada tahapan pengumpulan data; dan (3) sebagai alat untuk mempertajam kajian pada tahap analisis (Storey dalam Ratna, 2010:169). Pendekatan oleh Ratna (2010:45) diartikan sebagai cara mendekati, menjinakkan sehingga kahekat objek dapat diungkapkan sejelas mungkin. Secara praktis pendekatan adalah model analisis yang akan mempermudah pengungkapan makna.
Dalam
penelitian ini digunakan pendekatan hermeneutik yang diposisikan sebagai sudut pandang filosofis. Sumaryono (1991:40) mengutip pandangan dari Palmer (1969) mengemukakan bahwa hermeneutik adalah proses menelaah isi dan maksud yang direpresentasikan oleh teks hingga pada makna terdalam dan laten. Pakar hermeneutik sejarah dan psikis Dilthey mengemukakan bahwa bila kita mencoba menjelaskan alam, saat itu pula kita memahami kehidupan batin (psychic life). Pemahaman terhadap kehidupan sama dengan memahami diri-sendiri. Pemahaman itu didapat manusia karena mengalami sebuah pengalaman (Sumaryono, 1991:51). Berkaitan dengan pengalaman yang akan membentuk pemahaman individu dalam sejarah Dilthey mengungkapkan bahwa pribadi-pribadi dalam masyarakat selalu dalam kondisi tersejarahkan. Ia membagi individu hidup dalam dua sistem, yaitu sistem ekternal yang ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi-organisasi sosial, politik, ekonomi, tehnologi serta keagamaan, dan internal adalam sistem individual. Hanya pengetahuan tentang sistem eksternal saja yang bisa dijadikan bekal setiap individu untuk meng-interpretasi secara obyektif tentang situasi historis (Sumaryono, 1991:49). Individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti misalnya sejarah, keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatan, tetapi individu tersebut juga merupakan person psikologis yang mampu merusak lingkungan eksternalnya atas alasan-alsan pribadi. Dalam hal cara kerja pendekatan hermeneutik, Dilthey
29
mengemukakan dua prosedur yaitu interpretasi data dan riset sejarah. Pertama, interpretasi data, Dilthey memilahkan dua katagori yaitu benda dan manusia. Terhadap benda, manusia hanya mampu memahami, dan terhadap manusia-lah bisa dilakukan interpretasi. Proses dimana manusia bisa menangkap manifestasi kejiwaan dengan melihat tanda-tanda dari pancaindera dari individu itulah disebut komprehensi atau pemahaman. Kedua riset sejarah Dilthey mengemukakan tiga langkah: (a) memahami sudut pandang pelaku sejarah, (b) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah, (c) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat tokoh sejarah itu hidup (Dilthey dalam Sumaryono, 1991:53-59). Konsep-konsep Dilthey tersebut akan mengarahkan penelitian ini dalam mendekati obyek diskursus Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Jawa yang lebih mengarah pada interpretasi sejarah episteme era Sultan Agung dan penerusnya. Lebih lanjut Ratna menguraikan langkah kerja pendekatan dalam penelitian ini yaitu: (a) pemahaman secara umum, secara keseluruhan dalam rangka menemukan kedudukan objek dalam totalitas kebudayaan sebagai analisis makro, (b) pemahaman dengan intensitas pada objek, sebagai analisis mikro, dan (c) mengadakan hubungan dialektis antara analisis makro dan mikro, sekaligus menemukan maknanya (Ratna, 2010:407). Dalam hal metode,
penelitian ini dirancang menggunakan metode analisis
kualitatif interpretatif, yang menekankan intensitas kualitas nilai-nilai. dalam ilmu-ilmu humaniora terutama
Metode ini
kajian budaya sangat dianjurkan karena
kekhasannya yang bersifat penafsiran dan tekstual (Ratna 2010:307). Rangkaian kerja dari metode ini dimulai dari pengumpulan data, klasifikasi, komperasi, dan dilanjutkan interpretasi yaitu menguraikan segala sesuatu yang ada di balik data yang ada, yang bertujuan akhir kualitias obyektifitas (Ratna 2010:307). Dalam hal obyektifitas, berbeda dengan metode penelitian kealaman yang diperoleh dengan pembuktian, metode kualitatif ini dengan cara pemahaman, mengaitkan objek dengan referensi-referensi yang relevan. Benar bahwa interpretasi berasal dari interpretator, tetapi dalam teori kontemporer interpretator bukan sematamata merupakan kualitas subyektif, tetapi intersubyektif. Artinya, interpretator dalam
30
hubungan ini
peneliti sebagai anggota masyarakat pada dasarnya membawa ide
kelompok dan/atau masyarakat (Ratna 2010:309). Secara umum penelitian yang menggunakan analisis kualitatif akan menghasilkan data deskreptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan serta data-data yang dapat diamati. Untuk lebih mudah dalam pemahaman rancangan penelitian ini juga disajikan desain penelitian dalam bentuk gambar 3 diagram sebagai berikut.
Paradigma: Sudut pandang teoritis digunakan paradigma Kajian Budaya sistem berfikir kritis wilayah Post Modernisme
Teori
Diskursus , Hegemoni, & semiotika
Pendekatan: Hermeneutik
Fenomena: Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-raja Dinasti Mataram
Data: Fenomenafenomena diskursus tokoh Arjuna serta implikasi-implikasinya dalam masyarakat Jawa
Analisis data
Tehnik Pengumpulan Data
Gambar 3. Diagram Rancangan Penelitian
Konsep-konsep Teori-teori
31
3.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada dalam wilayah-wilayah sumber dan pengembangan budaya
wayang
di
Jawa,
di
antaranya
kawasan
Keraton
Surakarta,
Pura
Mangkunagaran, Prodi Kajian Budaya UNS, dan ISI Surakarta dalam administrasi pemerintah Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah.
Pemilihan tempat tersebut atas
pertimbangan berikut. Pertama, Keraton Surakarta dan Mangkunagaran hingga saat ini masih diakui dan berwibawa di tengah masyarakat sebagai trah peradaban Mataram Islam, sumber budaya Jawa serta pusat kekuasan Jawa sebelum kemerdekaan. Kedua di Keraton Surakarta dan Mangkunagaran dapat dilacak isyu-isyu wacana yang berkaitan dengan tokoh Arjuna, melalui wawancara dengan para abdi dalem dan empu-empu kedua keraton, serta sumber-sumber tertulis di kedua keraton yaitu Sana Pustaka dan Reksa Pustaka. Ketiga, Program studi Kajian Budaya UNS, juga lokasi sangat penting dalam penelitian ini, sebagai wahana transformasi keilmuan bidang humaniora terutama paradigma kajian budaya, wilayah struktural, poststruktural, modernis, post modernis maupun kajian budaya populer. Lebih-lebih disiplin ilmu Semiotika yang menjadi kunci pembahasan dalam penelitian ini, Prodi Kajian Budaya Pasca Sarjanna UNS, menyediakan pakar-pakar serta buku-buku referensi yang cukup memadai. Keempat, ISI Surakarta juga termasuk lokasi penelitian yang penting karena, di sana terdapat beberapa pakar pedalangan yang memungkinkan dijadikan informan, serta tersedia banyak tulisan tentang wayang di perpustakaan
terutama laporan
penelitian, tesis maupun disertasi.
3.3. Jenis dan Sumber Data Ratna (2010:143) mengutip pendapat Kerlinger, mengkatagorikan bahwa data adalah hasil penelitian baik yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan proses pengamatan. Dalam penelitian data adalah rekaman dari fakta-fakta yang merupakan sasaran analisis penelitian. Dikaitkan antara ilmu nomonetis dan ideografis, variabel kualitatif dan kuantitatif data dibedakan menjadi dua jenis yaitu: data kuantitatif dalam bentuk angka
32
(numerik) dan data kualitatif dalam bentuk non-angka (katagorisasi) seperti sikap-sikap, tingkah laku, pemahaman dan sebagainya. Sumber data menurut Ratna baik jenis penelitian kuantitatif maupun kualitatif dibedakan menjadi dua yaitu: a) sumber primer sumber aktual pada saat terjadinya peristiwa pengumpulan data seperti informan atau responden, dan b) sumber sekunder, tangan kedua atau sumber lain yang telah ada sebelum penelitian dilakukan seperti artikel dalam media massa, buku teks, publikasi organisasi pemerintah ataupun hasil penelitian baik yang sudah dipublikasikan ataupun belum. Dengan demikian, data juga dibedakan menjadi dua yaitu: a) data primer seperti hasil wawancara maupun survei, dan b) data sekunder seperti berbagai pendapat yang diambil melalui sumber sekunder untuk menjelaskan data primer. Akan tetapi diuraikan Ratna lebih lanjut bahwa pengertian data primer maupun sekunder sangat relatif tergantung jenis dan tujuan penelitian. Secara umum hasil wawancara, survei, observasi dan diskusi kelompok merupakan jenis data primer dalam penelitian lapangan, tetapi dalam penelitian pustaka data tersebut dikatagorikan menjadi data sekund (Ratna, 2010:143). Berdasar katagori di atas penelitian berjudul Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram ini adalah penelitian pustaka yang menggunakan data primer berbagai teks dan wacana dari buku-buku, jurnal, majalah, dan media internet, sehingga sumber data diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, dan media internet itu pula. Sumber data tersebut didapat penulis dari koleksi pribadi serta koleksi perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran, ISI Surakarta, dan perpustakaan pasca sarjana UNS. Data sekunder berupa hasil wawancara, dan observasi yang bersumber dari para informan dan pengamatan langsung di lapangan pentas wayang ataupun ritualritual yang berkaitan dengan diskursus tokoh Arjuna.
3.4.Teknik Penentuan Informan Berkaitan dengan informan Ratna (2010:227) mendefinisikan orang yang memberi informasi dalam hal teknik wawancara. Peranannya dalam penelitian ini memberi kejelasan, tambahan informasi serta klarifikasi data pustaka berkaitan dengan obyek material wacana-wacana Arjuna serta kaitanya dengan hegemoni serta legitimasi raja-raja Jawa Mataram.
33
Dalam sebuah penelitian informan diperlakukan bukan sebagai obyek melainkan sebagai subjek karena ia ikut berperan memberi informasi kejelasan, kejernihan dan klarifikasi sehingga hasil analisis penelitian menjadi obyektif, bahkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk penelitian emik sekaligus etik, dengan temuan-temuannya merupakan kerja sama antara subjek dan objek antara peneliti dan informan. Penentuan informan dilakukan secara purposif yaitu informan yang akan diwawancarai adalah orang yang diyakini mampu memberikan informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu tentang makna tokoh Arjuna serta hal-hal yang berkaitan tentang legitimasi raja-raja Jawa. Memenuhi syarat teknik purposif, peneliti telah memiliki bekal dan pemahaman awal tentang objek material yang diteliti, sehingga dapat langsung menunjuk para informan kunci (key informan) terdiri dari para budayawan, dan praktisi pewayangan, baik abdi dalem kabudayan keraton, Mangkunagaran, abdi dalem dalang, peniti wayang pusaka keraton, maupun pakar wayang di lingkungan ISI Surakarta, yang pada umumnya mereka telah menekuni bidang itu dalam jangka waktu cukup panjang. Secara lebih rinci tehnik penentuan informan disyaratkan sebagai berikut. 1) Bisa diajak berkomunikasi. 2) Memiliki pengetahuan tentang wayang terutama tokoh Arjuna, segi kerupaan maupun filosofi. 3) Budayawan keraton, Mangkunagaran, ataupun akademisi budaya yang memiliki pengetahuan tentang tradisi budaya yang berhubungan dengan silsilah raja-raja Jawa, serta ritual-ritual budaya yang berhubungan dengan diskursus tokoh Arjuna. 4) Empu di keraton maupun Mangkunagaran, dalang ataupun akademisi budaya pedalangan yang memiliki pengetahuan tentang sastra maupun lakon-lakon wayang yang berkaitan dengan Arjuna.
Berdasarkan kreteria di atas informan-informan yang akan diwawancarai dikelompokkan menjadi tiga. Mangkunagaran.
Pertama, informan dari dalam keraton dan Pura
Kedua, informan dari para akademisi budaya di Fakultas Sastra,
maupun Prodi Pengkajian Budaya Pasca Sarjana UNS, maupun Jurusan Pedalangan di
34
ISI Surakarta. Ketiga informan dari praktisi dalang ataupun tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang wayang dan legitimasi raja-raja Jawa.
3.5. Instrumen Penelitian Dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan instrumen-instrumen sebagai berikut. 1) Peneliti sendiri. Peneliti merupakan instrumen terpenting dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif yang di peroleh dari para informan dan peristiwa atau obyek yang diobservasi, yaitu dari para budayawan serta Empu Pedalangan Keraton Surakarta, dan Mangkunagaran. Hasil wawancara itu, serta pengamatan langsung terhadap ritual wayang tokoh Arjuna pada Hari Anggarakasih (Selasa Kliwon) pada saat ngeses (mengeluarkan wayang dari dalam kotak untuk diangin-anginkan) di Keraton, dan hari Jum’at Kliwon untuk wayang di Mangkunagaran, diperlukan untuk mengklarifikasi data pustaka yang dimiliki peneliti. Demikian pula data observasi pentas wayang berkaitan dengan diskursus tokoh Arjuna, selain penulis sebagai pengamat kadang-kadang juga sebagai pelaku yaitu dalang. 2) Pedoman wawancara. Instrumen ini digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara dengan informan agar memperoleh data yang diperlukan dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian. Dalam hal ini peneliti tidak mencatat secara khusus tetapi mengacu pada topik-topik yang memerlukan klarifikasi dengan informan kemudian melakukan wawancara saat bertemu di tempat pentas atau kerja, mengingat para informan adalah temanteman akrab peneliti di lingkungan Keraton Surakarta maupun Mangkunagaran. Jika terjadi pemahaman kurang jelas dari hasil wawancara, peneliti menghubungi lagi informan lewat hand phone. 3) Alat perekam gambar (kamera dan scanner) dan alat perekam suara.
Alat
perekam gambar akan digunakan untuk memperoleh data visual dari objek amatan, sedangkan alat perekam suara akan digunakan dalam upaya merekam informasi yang didapat dari wawancara dengan informan. Dalam penelitian ini, oleh karena yang diperlukan adalah data sekunder, rekaman wawancara dari informan sebagai klarifikasi data primer pustaka, maka peneliti menggunakan
35
alat rekam hand phone. Pertimbangannya, selain sangat praktis dibawa juga relatif bisa menyimpan data rekaman dalam durasi waktu relatif panjang. Sedangkan data pelengkap berupa rekaman pentas wayang berkaitan diskursus Arjuna, penulis menggunakan keping compact disc (CD) koleksi Pasinaon Dalang Mangkunagaran (PDMN), yang kebetulan peneliti kelola sendiri. 4) Alat tulis. Alat ini banyak digunakan dalam proses pencatatan sebagai bagian proses pengumpulan data, baik dalam wawancara, observasi, dan kepustakaan. Dalam hal ini selain menggunakan alat tulis manual,
juga mengandalkan
penulisan program WS dan penyimpanan dalam file computer di laptop milik peneliti.
3.6.Teknik Pengumpulan Data Kajian tentang Diskursus Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini adalah kajian kepustakaan, maka pengumpulan data lebih banyak digali dari sumber-sumber pustaka. Pengumpulan data melalui wawancara digunakan untuk memperkaya data serta klarifikasi dari fenomena budaya yang masih berlangsung di masyarakat Jawa sekarang. Sedangkan observasi lapangan dibutuhkan untuk mengumpulkan data-data live tentang fenomena-fenomena serta isyu-isyu budaya berkaitan dengan tokoh Arjuna serta tradisi-tradisi raja-raja di Surakarta maupun Mangkunagaran berkaitan dengan wacana-wacana yang terjadi.
Adapaun detail kerja tehnik masing-masing dijelaskan
sebagai berikut.
3.6.1. Observasi Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi langsung, yakni peneliti melakukan pengamatan langsung membaur dalam ritual-ritual tradisi serta pentas para dalang informan. Hasil pengamatan ini diposisikan sebagai data sekunder. Kegunaan dari observasi langsung ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mendapatkan pengalaman langsung dari ekspresi masyarakat pelaku budaya dalam upacara-upacara yang diselenggarakan,
pentas wayang dari
dalang, pengrawit, pesindhen maupun respon penonton.
Data itu digunakan
untuk mengecek langsung kebenaran yang didapatkan dari informasi wawancara maupun studi pustaka.
36
2) Untuk mendapatkan pengalaman langsung dari respon serta pandanganpandangan masyarakat
yang hasilnya menjadi catatan data kejadian yang
sebenarnya.
3.6.2. Wawancara Jenis wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dengan tujuan
untuk
mengetahui
tanggapan,
serta
penerimaan
masyarakat
dalam
mengungkapkan pikiran-pikiran kolektivitas selama proses penelitian, mengingat informan dan koresponden adalah individu-individu yang aktif, bukan pasif, memahami situasi dengan horizon harapannya, dengan masa lalu dan masa kininya (Kutha Ratna 2010:223). Selain wawancara khusus, dialog juga dilakukan pada waktu observasi. Manfaat dari teknik ini adalah untuk mengetahui tanggapan masyarakat dalam hal fungsi dan peranan upacara-upacara adat berkaitan tentang kultus Arjuna, serta isyuisyu perilaku para raja Jawa dalam mengkultuskan tokoh Arjuna.
Pitana (2008:51)
mengemukakan bahwa wawancara mendalam dilaksanakan dalam tahapan sebagai berikut. 1) Menentukan seleksi informan yang diwawancarai. 2) Pendekatan informan terpilih untuk diwawancarai. 3) Mempersiapkan instrumen pendukung, yaitu (a) pedoman atau materi wawancara;(b) alat tulis, dan (c) alat perekam suara. 4) Melakukan wawancara dan memelihara agar tetap kondusif dan produktif. 5) Merangkum hasilnya.
3.6.3. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah pengumpulan data-data dari buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil penelitian terdahulu dalam konteks perkembangan penulisan tentang tokoh Arjuna. Studi pustaka juga ditujukan untuk mencari pengertian-pengertian, konsepkonsep, yang dikembangkan dalam penelitian sebagai data primer.
3.6.4. Studi Dokumen Studi dokumen adalah tehnik pengumpulan data yang bersumber dari pengumpulan data non insani, seperti surat-surat, laporan resmi, catatan harian, data
37
absen, berita acara dan sebagainya. Termasuk juga foto-foto, dan audio visual. Untuk mendapatkan dokumen-dokumen tersebut peneliti harus melakukan pengumpulan data yang memuat informasi tentang figur wayang Arjuna, dan ornamen-ornamen busananya. Data yang diperoleh dari dokumen ini diposisikan sebagai data sekunder. Dalam penelitian ini, semua tehnik pengumpulan data tersebut tidak saja digunakan untuk memperoleh data, tetapi sekaligus juga sebagai bagian dari proses keabsahan data, karena untuk mendapatkan keabsahan data, menurut Pitana (2008:52) mengutip pendapat Moleong peneliti menggunakan
yang disebut triangulasi, yang
memiliki tiga prosedur yaitu pertama, membandingkan data observasi dengan data interviev; kedua, membandingkan informasi dari sumber satu dengan yang lainnya; dan ketiga membandingkan hasil interview dengan dokumen yang terkait.
3.7. Teknik Analisis Data Ratna (2010:310) mengutip pendapat Miles dan Huberman bahwa analisis data dilakukan dengan empat langkah proses analisis data yaitu: (a) pengumpulan data, (b) reduksi data. (c) penyajian data, dan (d) penarikan simpulan. Pada tahap pengumpulan data, dilakukan studi pustaka dengan tehnik membaca buku-buku, jurnal, majalah, dan juga browsing internet tentang fakta-fakta adanya fenomena budaya diskursus tokoh Arjuna beserta implikasi-implikasinya dalam kehidupan masyarakat budaya Jawa. Dari pemahaman tentang fakta-fakta itu dicari data-data tertulis kemudian diklarifikasi dengan observasi lapangan dengan menonton wayang dan wawancara dengan para budayawan, empu, serta warga masyarakat budaya Jawa yang memiliki pengalaman dan kompetensi berkaitan dengan masalah yang sedang dianalisis. Tahap reduksi data adalah tahap menata data-data yang didapat dengan memilah-milah, mengklasifikasi, serta melengkapi kompilasi data kemudian ditata pada file-file khusus dengan pengkodean. Untuk mempermudah penggunaan, sebelum dikelompokkan lebih dahulu ditulis dalam bentuk resume, sinopsis, maupun ringkasanringkasan. Tahap penyajian data adalah langkah penyusunan deskripsi terstruktur untuk menyajikan makna baru dalam penelitian yang disebut tahap interpretasi, baik secara etik maupun emik, terhadap unsur-unsur maupun totalitas, baru kemudian langkah
38
terakhir penyajian simpulan yang salah satunya berupa saran-saran adanya penelitian berikutnya pada bidang masalah yang belum sempat dibahas pada sebuah penelitian. Menurut Miles dan Huberman ketiga tahap terakhir, reduksi data, penyajian data dan simpulan itulah tahap analisis data. Khusus mengenai interpretasi Ratna mendeskripsikan bahwa proses itu memiliki kesamaan dengan imajinasi, khayalan, kreativitas, dan bentuk-bentuk kontemplasi rohaniah lain, kekhasannya interpretasi bertujuan akhir kualitas obyektifitas. Interpretasi bukan ekpresi dan aktualisasi personal tetapi interpersonal sebagai bagian sosial budaya masyarakat yang berlandasan kuat terhadap tiga pijakan yaitu: (a) secara ontologis merupakan hakekat dasar manusia, (b) secara epistemologis ditunjukan dengan interpretasi secara obyektif, dan (c) secara aksiologis interpretasi bertujuan mengembangkan aspek kehidupan manusia secara keseluruhan (Ratna, 2010:307). Berlandaskan ketiga pijakan di atas interpretasi unsur-unsur maupun keseluruhan diskursus berkaitan dengan tokoh Arjuna akan menyajikan makna baru sebagai berikut. 1) Hakekat dari terjadinya wacana-wacana tentang Arjuna berkaitan dengan legitimasi raja-raja Jawa Mataram dalam masyarakat budaya Jawa; 2) Menyajikan proses terjadinya diskursus Arjuna di Mataram yang kemudian akan membangun kuasa pengetahuan berkaitan dengan wayang; 3) Menunjukkan bahwa hasil penelitian yang mengurai tentang implikasi-implikasi wacana tentang tokoh Arjuna terhadap budaya Jawa sekarang perlu dipahami dan disikapi secara proporsional terutama berkaitan dengan tranformasi budaya di era sekarang.
3.8. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Teknik penyajian hasil analisis data adalah dengan menggunakan gabungan antara informal dan formal. Tehnik penyajian informal adalah penyajian hasil analisis secara naratif dengan menggunakan Bahasa Indonesia ragam Ilmiah, sedangkan teknik penyajian formal adalah hasil analisis dalam bentuk gambar, bagan, diagram, foto, atau semacamnya. Teknik penyajian ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas narasi hasil analitis. Keseluruhan sajian urainnya akan dibagi menjadi lima bab dengan berpedoman teknik penulisan karya ilmiah yang lazim berlaku di kalangan akademis.
39
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Sebab Dipilihnya Tokoh Arjuna Oleh Raja-Raja Mataram sebagai Media Diskursus Mataram adalah sebuah era peradaban dalam sejarah Jawa yang sangat termasyur hingga saat ini. Dalam sejarah Jawa, Mataram bermakna dua pengertian era Hindu didirikan oleh Dinasti Sanjaya pada abad IX dan era Islam yang didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan pada abad XVI. Dalam pembahasan ini Mataram mengacu pada makna terakhir era Islam, pasca runtuhnya peradaban sebelumnya Pajang atau Demak. Jejak-jejak kemasyuran Mataram Islam hingga kini masih disebut-sebut dalam arena sejarah dan budaya, karena dinasti keturunanya hingga abad 21 saat ini masih eksis di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan masih berwibawa di bidang budaya yaitu Keraton Surakarta, Kasultanan Jogjakarta, Kadipaten Mangkunagaran dan Pakualaman Jogjakarta. Sebagaimana telah disinggung dalam konsep “Raja-Raja Dinasti Mataram” pada bab II, Graaf dan Pigeaud (2003:249) dalam bukunya berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mendeskrepsikan bahwa
Mataram didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan
seorang prajurit karismatik dari Sela (Purwodadi Grobogan) pada tahun 1577 M, di Kota Gede.
Sebelum dibangun menjadi kerajaan, wilayah itu berujud hutan yang
disebut Hutan Mentaok, bagian dari wilayah Sultan Hadiwijaya di Pajang. Hutan yang terkenal angker itu dianugerahkan kepada Pemanahan sebagai hadiah kemenangan Pajang atas Jipang, setelah terjadi kemelut perebutan tahta Demak berkepanjangan di antara pewaris keturunan Sultan Demak, setelah Raden Patah wafat. Setelah Ki Gedhe Pemanahan wafat, penguasa Mataram diteruskan oleh rajaraja trah keturunannya, yaitu Panembahan Senopati, Sunan Hanyakrawati (seda Krapyak), Sultan Agung, Sunan Mangkurat I dan seterusnya. Sepeninggal perintisnya Pemanahan dan Panembahan Senopati, pusat pemerintahan Mataram berpindah-pindah sejak dari Kota Gedhe, ke Kedhaton Plered, kemudian berpindah ke Kartasura dan Surakarta, disebabkan terjadinya berbagai pergolakan perebutan tahta di antara para raja dan pangeran keturunan Dinasti Mataram yang pada akhirnya karena campur tangan
40
Kompeni, peradaban Mataram Surakarta dan Jogjakarta tersebut dikuasai Belanda hingga era kemerdekaan 1945. Di antara semua nama Raja-Raja Mataram, Graaf dan Pegeaud (2003:ix) mencatat Sultan Agung (1613 – 1645) paling masyur dikarenakan karya-karya di masa pemerintahanya masih dikenang hingga era sekarang. Karya yang pada jamannya dianggap monumental itu antara lain adalah Serat Sastragendhing, Penanggalan Tahun Jawa, Bedaya Ketawang, dan sikap patriotismenya menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Satu lagi karya Sultan Agung yang masih mewarnai corak budaya Jawa dalam hal religiusitas dan seni hingga saat ini, adalah penyusunan Babad Tanah Jawi. Penyusunan Babad Tanah Jawi dilatarbelakangi carut marut suasana politik Mataram penaklukan raja-raja di pesisir utara, Jawa timur dan barat diantaranya Madiun, Giri, Pati, Tuban, Pasuruan, dan Banten (Graaf, 2002: 32-63). Berbagai peperangan itu disebabkan keengganan raja-raja di luar Mataram mengakui kekuasaan Raja-Raja Mataram sebagai raja Tanah Jawa penerus Pajang, dengan alasan bahwa kerajaan yang dirintis oleh Pemanahan dan Panembahan Senopati adalah negara baru di luar lajer (jalur silsilah) keturunan kerajaan agung sebelumnya yaitu Demak dan Majapahit (Graaf dan Pegeaud, 2003:251). Berkaitan dengan uraian Graaf (2002:327-328) tentang Babad Tanah Jawi, silsilah Raja-Raja Mataram sebagai karya sastra yang sangat monumental dan populer di era Mataram,
yang menurutnya dicipta era Sultan Agung antara Tahun 1641 –
1645, hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para sejarawan. Soemarsaid Moertono (1985:36), dalam bukunya Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, mengutip uraian Graaf tersebut dan melengkapinya bahwa proses tersusunnya diperkirakan sejak era Sultan Agung (1613 – 1645) hingga Hamengku Buwana V di Jogjakarta (1822-1826, 1828 – 1855). Margana (2004:140-141) mengutip pendapat Brumund, dalam Pujangga Jawa dalam Bayang-bayang Kolonial, mengemukakan bahwa Babad Tanah Jawi, adalah mitologi Raja-Raja Jawa yang ditulis oleh banyak carik, maupun pujangga sejak era Sultan Agung dan baru diselesaiakan oleh Carik Bajra dan dipublikasikan untuk umum di era PB II Kartasura (1726-1749). Demikian pula Moedjanto (1987:21) dalam Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa memberi keterangan agak lebih gamblang sebagai berikut “ Meskipun Babad
41
Tanah Jawi sudah ada sejak zaman Sultan Agung, tetapi versinya yang sampai kepada kita berasal dari masa Kartasura (1681-1743)”. Dalam Babad Tanah Jawi diuraikan bahwa Raja-Raja Mataram adalah keturunan dari tokoh wayang Arjuna. Wayang Arjuna yang oleh masyarakat Jawa pada umumnya dipahami sebagai boneka wayang yang bersumber dari wira carita kuno Mahabarata diwacanakan ke tengah-tengah masyarakat Mataram melalui mitos-mitos, karya sastra dan lebih khusus dalam pertunjukan wayang. Analisis ini menjadi sangat menarik karena menghadirkan asumsi-asumsi faktor-faktor Arjuna menjadi pilihan Raja-Raja Mataram dalam membangun diskursus, bukan tokoh-tokoh lain yang lebih senior dan memiliki reputasi populer dalam pertunjukan wayang seperti Kresna sebagai inkarnasi dari Wisnu, atau Bima yang telah mampu bersatu dengan Dzat Tuhan, atau Puntadewa yang terkenal berdarah putih karena pancaran kebijaksanaannya. Faktor-faktor yang memungkinkan menjadi alasan dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus
tidak bisa lepas dengan tujuan utama sebagai seorang penguasa
Mataram, yaitu dalam rangka mempertahankan kekuasaan dengan dukungan, baik rakyat maupun bawahan, serta para bupati yang pada saat itu sedang ditaklukkan. Dengan menghubungkan antara diskursus Arjuna dan dukungan, dapat dipahami pola pemikiran Raja-Raja Mataram bahwa kekuasaan seorang raja tidak cukup dengan memperoleh dukungan secara represif dengan jalan penaklukan tetapi sangat diperlukan juga membangun wacana-wacana di tengah masyarakat luas berkaitan dengan keagungan Dinasti Mataram melalui pengetahuan yang pada gilirannya akan menciptakan mitos serta ideologi pengagungan terhadap kekuasaanya. Untuk memperjelas pemahaman tentang analisis mengenai relasi antara kekuasaan dan pengetahuan yang diwacanakan oleh Raja-Raja Mataram perlu dituntun oleh teori power dari metode diskursus, Faoucault, yang menguraikan sebagai berikut. Ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh untuk menahlukan dan membuat orang patuh sebagaimana dikemukakan ahlinya. Ada dua istilah yang harus dijelaskan disini yakni: “savoir” dan “connaissance”. Savoir berkaitan dengan pengetahuan formal dan gagasan-gagasan filosofis dan institusi formal yang mengawasi kegiatan ilmiah, maka connaissance adalah badan-badan pengetahuan formal seperti buku-buku, teori-teori filosofis serta norma-norma religius.....safoir adalah kondisi-kondisi diskursif (jalinan antara pengetahuan, pemikiran dan tindakan) yang diperlukan bagi pengembangan connaissance (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:74).
42
Lebih lanjut Foucault mengemukakan bahwa bagi penguasa pengetahuan adalah sebuah ekspresi berkuasa. Pengetahuan yang diwacanakan oleh penguasa akan membangun sebuah sistem berpikir yang disepakati dan disepahami oleh anggota kolektif masyarakat dan sesuai dengan deskrepsi kebenaran menurut otoritas intelektual, politis, dan elite pemerintah. Untuk mensosialisasikan wacana itu maka pengetahuan didesantralisasi dan dipluralisasi, sehingga akan melahirkan dukungan produktif dari masyarakat kepada penguasa (Faoucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:77). Untuk lebih jelasnya teori power dari Foucault tersebut bisa dijelaskan dengan skema gambar 4 sebagai berikut.
Savoir (pengetahuan) dijadikan alat ampuh untuk menaklukkan
Pengetahuan adalah ekspresi kehendak berkuasa
Power (kekuasaan)
Power terdesentralisasi dan terpluralisasi
Kebenaran (episteme/paradigma/ideologi) sesuai wacana yg dibentuk oleh otoritas intelektual, politis dan sesuai dengang ideologi elite pemerintah
Gambar 4. Skema Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Diskursus Foucault (Yusuf Lubis, 2014b:74-80).
43
Penjelasan skema di atas bisa dipahami bahwa diskursus Arjuna yang bersumber dari Babad Tanah Jawi adalah sebuah strategi politik Raja-Raja Mataram,
dalam
membangun wacana-wacana legitimasi dan keagungan lewat pengetahuan wayang yang dikonstruksi secara dialetik; instruksi dari pemerintah pusat secara desentralisasi dan sosialisasi
untuk mendapatkan umpan balik hegemoni masyarakat Jawa terhadap
kekuasaannya di Mataram.
Basuki dalam jurnal internasional K@ta menguraikan
“Wayang kulit (shadow puppet) has not only been an entertainment; it is a medium to disseminate Javanese values to the public. Therefore, wayang kulit has been a site of power game. Those who could control it have their best opportunity to pass their values to the public”(Basuki, 2006 : 1). Wayang adalah media ampuh untuk mengendalikan masyarakat Jawa dikarenakan karakter kolektif Jawa yang selalu patuh dan berusaha menggapai nilai-nilai. Berlandaskan konsep di atas bisa dipahami motivasi Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media wacana, didorong oleh eksistensi ketokohan Arjuna di era itu yang memungkinkan bisa menjadi media legitimasi kewibawaan Raja-Raja Mataram. Sesuai dengan budaya jamannya; di mana orang Jawa masih dalam tahap tradisi-tradisi pengkultusan, dan mitologi, maka eksistensi itu bisa diketahui dari pandangan dan tradisi masyarakat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Mataram terhadap kultus yang berkaitan dengan magi-magi, mitologi, serta nilai-nilai anutan yang melekat pada ksatria panengah Pandhawa itu. Ketiga penyebab motivasi itu diuraikan per-sub judul sebagai berikut.
4.1.1. Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online), kata kultus diartikan penghormatan resmi dalam agama, seorang raja dan/tokoh yang didewa-dewakan (Setiawan, 2014:1).
Dalam arti luas kultus bisa diartikan sebagai pemujaan terhadap
dewa atau tokoh mitologi yang dihormati dan diyakini mendatangkan berkah. Pemujaan Arjuna berkaitan terhadap diskursus yang konstruksi oleh Raja-Raja Mataram tentu tidak bisa dipisahkan dengan popularitas tontonan wayang di era itu. Popularitas wayang era Islam diawali konvensi-konvensi lisan tentang peranan wali dalam mengembangkan seni pentas wayang, terutama Sunan Kalijaga yang konon berdakwah menggunakan cerita wayang. Soetarno (1995:22) menguraikan bahwa era Islam awal
44
partisipasi
keraton
terhadap
wayang
pada
tahun
1518
M,
Raden
Patah
menginstruksikan pelarangan mementaskan wayang purwa gaya Majapahit yang wujudnya mirib manusia, selanjutnya diperintahkan kepada para dalang dan abdi dalem pemahat wayang untuk membuat dalam bentuk stilisasi. Raja I Demak itu juga melengkapi wayang dengan pembuatan wayang gunungan dan tokoh kera. Kultus tokoh Arjuna di Mataram diketahui sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati (1584-1601) dengan instruksi raja kepada abdi dalem dalang agar membuat wayang Arjuna wanda Jimat. Sejak itulah,
tonggak awal lahirnya
pemakaian wanda, yaitu penampilan wayang dengan ekspresi muka disesuaikan dengan suasana adegan. Wanda itu pertama kali diperuntukkan wayang Arjuna dengan raut muka ekpresi mitis dan tajam yang dinamakan Jimat. Kata jimat dalam bahasa Jawa juga bermakna pusaka yang sangat dikeramatkan. Demikian pula Sunan Hanyakrawati, ayahanda Sultan Agung (1601 – 1613) memerintahkan membuat wayang Arjuna wanda Kanyut, dan Sultan Agung Tahun 1630 M memerintahkan membuat wayang Arjuna wanda Mangu. Pemujaan Arjuna sangat nampak di era Mataram dengan dibuatnya tiga karya wayang wanda Jimat, Kanyut dan Mangu dari tiga generasi raja. Ketiga wayang Arjuna tersebut di Mataram dan dinasti keturunannya diposisikan sebagai pusaka keramat sejajar dengan pusaka yang memiliki sejarah monumental seperti tumbak Kyai Pleret (pusaka tinggalan Senopati yang telah digunakan untuk membunuh Harya Penangsang), dan Keris Kyai Crubuk, tinggalan Sunan Kalijaga. Sesuai tradisi keraton, pusaka-pusaka termasuk wayang Arjuna selalu mendapatkan persembahan sesaji bunga, pembakaran dupa, serta dimandikan setahun sekali dalam bulan Sura, dan mendapatkan sebutan gelar kehormatan Kyai (Soetarno, 1995:24). Yuwono (2012:14) mengutip pandangan Sumardjo mengemukakan bahwa sikap memuliakan pusaka-pusaka termasuk wayang Arjuna ketiga wanda di atas, dilatarbelakangi religiusitas budaya Jawa kuno yang telah lama berkembang terhadap kepercayaan
magi-magi,
yaitu
keyakinan
bahwa
benda-benda
keramat
bisa
mendatangkan pengaruh baik atau buruk. Magi-magi itu dibedakan menjadi empat fungsi yaitu magi produktif, berfungsi mendatangkan tuah positif, magi simpatetik untuk mendatangkan pengasihan (pesona),
magi destruktif
pengaruh buruk, dan magi proteksi sebagai tolak bala.
untuk mendatangkan
45
Berkaitan magi Arjuna, Anderson (1972:5) mengemukakan bahwa pengumpulan benda-benda pusaka itu dalam pemikiran penguasa Jawa adalah sebuah strategi pengumpulan kesaktian, di samping askesis atau laku tirakat, berpuasa, berpanjang seks, penyucian ritual, berjiarah, bertapa mbisu dan lain sebagainya. Pencarian kesaktian itu dimaksudkan memusatkan esensinya yang utama agar memiliki kekuatan supra natural, untuk meneguhkan esensinya sebagai pusat mikrokosmos (Jagat kecil duniawi). Dalam tradisi pertunjukan wayang juga dikenal kepercayaan sejenis, misalnya lakon tentang kemenangan dan kesuksesan Arjuna akan dapat mendatangkan magi tuah positif terhadap penanggap dan penontonnya; sebaliknya lakon-lakon bertema tragis tentang kesengsaraan Pandhawa akan mendatangkan magi yang buruk pula kepada masyarakat (wawancara dengan Sunarno, 24 Oktober 2014). Pemujaan atau kultus terhadap tokoh Arjuna telah berkembang cukup lama jauh sebelum era Mataram Islam. Kultus tokoh pewayangan mulai dikenal bersama dengan popularitas tontonan wayang di masa lampau abad XI jaman Raja Airlangga dalam Kitab Arjuna Wiwaha bait 59 karangan Mpu Kanwa sebagai berikut “Hananonton mawayang asekel muda hidepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana ri tatwan jan maya sahanhaning bhawa siluman”.
Terjemahan kalimat tersebut demikian:
para penonton
wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa wayang yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat, berbentuk orang, yang digerak-gerakkan begitulah perumpamaan, manusia yang dimabuk nafsu mengakibatkan kegelapan hati (Soetarno 2002: 4). Zoetmulder (1983: 308-311 ) mendeskripsikan dalam Kalanggwan, bahwa pemuliaan Arjuna paling awal dilakukan oleh Empu Kanwa, seorang pujangga jaman pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan (1028-1035), dimana ia menyadur bagian dari Mahabarata, “parwa IV Wanaparwa”, kemudian menyusun kisah Arjuna Wiwaha dengan tujuan memperoleh berkah dari tokoh Arjuna bagi kemenangan Airlangga yang ketika itu tengah berjuang merebut kembali tahta mertuanya, Darmawangsa Teguh, dari serangan musuh.
Secara garis besar Zoetmulder menguraikan cerita Arjuna Wiwaha,
berisi tentang kesuksesan Arjuna ketika bertapa di Gunung Indrakila, mendapatkan anugerah senjata Pasupati, dari Hyang Guru. Berkat Pasupati yang mata panahnya
46
berbentuk bulan sabit itu, Arjuna mampu mengalahkan musuh dewa, Niwata kawaca, kemudian dinobatkan menjadi raja serta berhak memperisteri para bidadari di kayangan. Arjuna Wiwaha kala itu selain dimaksudkan oleh Empu Kanwa sebagai puja sastra bagi tuannya Airlangga, juga berharap agar lakon itu memberi tuah kemenangan bagi Airlangga, dalam peperangan melawan musuh dari Kerajaan Wengker. Harapan Empu Kanwa itu terkabul, pada penyerbuan Airlangga di Kediri dengan para pengikutnya berhasil mengalahkan musuh, kemudian ia bertahta di Kahuripan sejak tahun 1019 M bergelar
Maharaja
Rake
Halu
Sri
Lokeswara
Dharmawangsa
Airlangga
Anantawikramotunggadewa. Jaman pemerintahan Raja Mapanji Jayabaya (1130-1160) keturunan Airlangga di Jenggala Kediri keraton Mpu
kultus Arjuna masih berkembang. Ia memerintahkan pujangga
Sedah dan Panuluh, untuk menggubah kemenangan Arjuna dalam
Bharatayuda dengan maksud mendapatkan magi positif dan protektif sesudah menaklukkan Raja Hemabupati di Panjalu, yang masih kakaknya sendiri. Kitab Baratayuda gubahan Mpu Sedah dan Panuluh yang bersumber dari Mahabarata India itu dimaksudkan sebagai sastra pangruwatan, yaitu sastra pembersih anasir buruk di kerajaan Jayabaya setelah terjadi perang saudara sesama keturunan Airlangga (Kawuryan, 2006:96-101). Kepercayaan
terhadap
magi-magi
dari
dari
tokoh
Arjuna
selain
direpresentasikan dalam sastra dan pentas wayang, juga nampak dalam tradisi pemahatan ornamen relief candi-candi sejak Jaman Kediri hingga Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Soekmono (1985:101-102) bahwa sejak jaman Kediri cerita tentang Arjuna dipahat dalam relief Candi Jajagu di Singosari Malang, dan Surawana Kediri dengan lakon Partayadnya dan Arjuna Wiwaha. Relief kedua candi yang dibangun pada tahun Masehi 1268 masa pemerintahan Krtanegara di Singosari, dan tahun 1365 masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bertema tentang kemenangan Arjuna itu selain untuk memuliakan para leluhur yang telah disemayamkan juga sebagai media untuk mendapatkan magi-magi positif. Satu hal yang menarik menurut Soekmono bahwa kedua relief Partayadna dan Arjuna Wiwaha di kedua candi itu para tokoh dipahat mirip wayang purwa yang kita lihat sekarang, sehingga bisa diperkirakan wacana pemuliaan Arjuna telah berkembang di masyarakat saat itu bersamaan dengan popularitas tontonan wayang di masyarakat.
47
Pendapat Soekmono tersebut dibenarkan Raffles (2014:355) dalam tulisannya berjudul History of Java yang mencatat bahwa candi adalah monumen yang berfungsi untuk mengabadikan dan memuja para leluhur orang Jawa, termasuk Pandhawa. Demikian pula penulis Santri, Priyayi dan Abangan, Clifors Geerz (1959:353), menandaskan bahwa tujuan utama diadakan wayang bagi orang Jawa adalah pemujaan terhadap Pandhawa yang dianggap sebagai leluhur, raja-raja Jawa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alasan Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media diskursus, dari sisi tradisi kultus, didorong oleh keyakinan bahwa tokoh Arjuna akan mendatangkan magi-magi positif berupa kesejahteraan, tolak bala serta kemenangan perang. Harapan itu bisa dipahami karena pada saat itu Mataram sedang dalam suasana peperangan penaklukan raja-raja bekas bawahan Pajang yang membangkang pada Mataram. Pemujaan Arjuna oleh Raja-Raja Mataram dan leluhurnya dengan penulisan Babad Tanah Jawi dan pembuatan wayang Arjuna wanda Jimat, Kanyut dan Mangu adalah kelanjutan tradisi pengkultusan Arjuna sebagaimana telah dilakukan raja-raja Jawa kuno, di Kediri, Singasari dan Majapahit dalam era Islam, atau lebih tepatnya sebagai bentuk transformasi budaya kultus Arjuna Hindu/Buda dalam Islam.
4.1.2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram Motivasi kedua yang menjadikan alasan dipilihnya Arjuna menjadi tokoh wacana dalam rangka membentuk legitimasi Raja-Raja Mataram, adalah kepercayaan tentang adanya mitos-mitos Arjuna sebagai leluhur raja-raja Jawa yang mewariskan wahyu keraton. Berkaitan denga mitos Rahcman (2008:2) mengutip Wallek dan Werren mendefinisikan bahwa mitos adalah cerita anonim tentang dewa-dewa, tokoh-tokoh foklor, dan kejadian alam. Mitos berupa penjelasan-penjelasan dari orang tua kepada penerusnya yang berkaitan tentang tingkah laku, citra alam dan tujuan hidup manusia. Frazer dalam teori evolusinya mengemukakan bahwa adanya pemikiran mitos karena upaya manusia setiap dekade dalam memahami realitas alam (Subiyantoro, 2011:63). Berkaitan dengan pengertian mitos dalam konteks tanda, Bartes mengemukakan bahwa mitos terjadi dari kesepakatan dan kesepahaman kode budaya dalam kolektif masyarakat. Adanya sebuah tanda jika mendapatkan kesepahaman dan kesepakatan dari masyarakat secara tetap digolongkan sebuah mitos, selebihnya jika kesepahaman
48
itu menjadi mapan akan mengkristal menjadi sebuah ideologi (Bartes dalam Budiman, 2002:93). Mitos-mitos berkaitan dengan Arjuna itu diantaranya diuraikan oleh Graaf (2002:327) penulis Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, memanfaatkan sumber tutur Jawa, Serat Kandha, Babad Demak, Babad Tanah Jawi, diverifikasi dengan dokumen utusan Belanda, Jan Vos tahun 1624, serta sumber-sumber lain dari kantor dagang Inggris, di bawah bimbingan ahli bahasa senior Pigeaud, menyimpulkan bahwa Babad Tanah Jawi disusun pada era Sultan Agung sekitar tahun 1641 – 1645, oleh tim penyusun yang dipimpin oleh Panembahan Kadilangu seorang ulama keturunan wali Sunan Kalijaga. Buku dokumen resmi sejarah silsilah raja-raja di Mataram itu sesungguhnya hasil pemikiran beberapa pakar di era itu, salah satunya adalah Pangeran Pekik, seorang raja bawahan di Surabaya, keturunan Sunan Ampel. Diterangkan lebih lanjut bahwa Babad Tanah Jawi berisi rangkuman berbagai cerita tutur dari Surabaya, Demak, Cirebon, dan Sunda, sehingga Graaf memuji sebagai tulisan yang lengkap dan luar biasa. Abimanyu (2014:387) mengutip Babad Tanah Jawi memerinci silsilah raja-raja Mataram yang menjelaskan bahwa Panembahan Senopati kakek Sultan Agung adalah keturunan ke-35 dari Arjuna, dan Sultan Agung merupakan keturunan ke-37. Melengkapi rincian silsilah itu, Abimanyu menyatakan bahwa menurut Sejarah Leluhur Dalem saking Pangiwa Utawi Panengen dari alur panengen (garis ibu) dinasti Mataram keturunan dari Sunan Giri putra Syeh Maulana Ishak penyebar Islam awal dari Arab yang masih bernasab Nabi Muhammad SAW, sedangkan dari alur pangiwa (garis bapak) adalah keturunan Arjuna. Alur keturunan pangiwa dinasti Mataram itu bisa dilihat dalam gambar 5 tabel silsilah berikut.
49
SILSILAH ALUR PANGIWA (GARIS AYAH) RAJA-RAJA MATARAM 1.
Nabi Adam
28
Prabu Pancadriya
2.
Nabi Sis
29
Prabu Anglingdriya
3.
Nurcahya
30
Prabu Swelacala
4.
Nurasa
31
Prabu Srimahapunggung
5.
Sang Hyang Wenang
32
Prabu Kandhihawan
6.
Sang Hyang Tunggal
33
Resi Gentayu
7.
Bathara Guru
34
Lembu Miluhur
8.
Bathara Brama
35
Panji Kartapati
9.
Bathara Bremani
36
Panji Kuda Laleyan
10.
Trithustha
37
Prabu Banjaransari
11.
Parikenan
38
Prabu Mundhingsari
12.
Manumayasa
39
Prabu Mundhingwangi
13.
Sakutrem
40
Prabu Sri Pamekas
14.
Sakri
41
Prabu Joko Sesuruh
15.
Palasara
42
Prabu Anom
16.
Wiyasa
43
Prabu Adaningkung
17.
Pandhu
44
Prabu Hayamwuruk
18.
Arjuna
45
Lembu Amisani
19.
Abimanyu
46
Bratanjung
20.
Parikesit
47
Prabu Brawijaya
21.
Yudayana
48
Raden Bondan Kejawan
22.
Gendrayana
49
Ki Gedhe Getas Pandhawa
23.
Jayabaya
50
Ki Ageng Sela
24.
Jaya amijaya
51
Ki Ageng Enis
25.
Jaya Misena
52
Ki Ageng Pemanahan
26.
Kusuma Wicitra
53
Panembahan Senopati
27.
Citrasoma
Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Dinasti Mataram (Abimanyu, 2014:378)
50
Dari garis keturunan panengen Abimanyu (2014:354) menyajikan silsilah Panembahan Senopati sebagai berikut.
Syeh Maulana Ishak (Syeh Wali Lanang)
Ki Getas Pandhawa
Sunan Giri I (Prabu Satmata)
Ki Ageng
Sela
Sunan Giri II (Sunan Kedul)
Ki Ageng Enis
Ki Ageng Saba
Ki Jurumertani
Nyai Sabinah
+
Ki Gedhe Pemanahan
Panembahan Senopati
Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram (Abimanyu, 2014:354).
Catatan harian dari Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris untuk Jawa tahun 1811 – 1816, tentang kajian Jawa mengambil sumber sejarah dari keraton Kasunanan Surakarta kemudian diterbitkan pertama kali tahun 1817 di London berjudul The History of Java mendeskrepsikan silsilah yang kurang lebih sama dengan tulisan Abimanyu di atas (Raffles dalam Prasetyaningrum, 2014:431). Wacana-wacana
yang
berkembang
tentang
silsilah
raja-raja
Mataram
sebagaimana dicatat Babad Tanah Jawi dan Sejarah Leluhur Dalem saking Pangiwa Utawi Panengen mengukuhkan legitimasi kekuasaan raja-raja dinasti Mataram, karena wacana itu mengandung pesan bahwa Panembahan Senopati dan trah keturunannya bukan orang biasa sebaliknya manusia istimewa keturunan dari Arjuna dan nabi Muhammad (Koentjaraningrat, 1994: 326-327). Pengukuhan Arjuna sebagai leluhur dinasti Mataram dalam penulisan Babad Tanah Jawi itu dilatarbelakangi keyakinan mitologi bahwa Arjuna akan mewariskan
51
wahyu yang telah diterima dan Abimanyu, putranya yaitu wahyu Makutharama dan Cakraningrat.
Kedua wahyu itu dipercaya dalam budaya Jawa sebagai pikukuh
(kekuatan) bagi raja dalam memegang kekuasaan. Berkaitan dengan kedua wahyu tersebut, Soeratman (2000:3) berpandangan bahwa syarat kelayakan raja di Tanah Jawa harus memiliki empat wahyu yaitu: (a) wahyu nubuwah, wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil tuhan, (b) wahyu kukumah, yang menempatkan raja sebagai sumber hukum,dan penguasa tertinggi, (c) wahyu wilayah, yang mendudukkan raja menaungi wilayahnya, dan (d) wahyu Cakraningrat, yang memberi daya kekuatan menjadi penguasa. Lebih lanjut dalam tulisannya Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830 – 1939 Soeratman mendeskripsikan bahwa setelah raja berkuasa harus memiliki kebijaksanaan sebagai raja utama, dari wahyu Makutharama. Dalam pedalangan wahyu Makutharama adalah ajaran Sri Rama kepada adiknya Barata sebelum memerintah di Ayodya tentang karakter kepemimpinan hastha brata sesuai dengan watak dari bumi, api, air, angin, matahari, bulan, bintang dan mendung (Soetarno dalam Nugroho, 1996: 93-94). Wahyu kebijaksanaan raja itu telah diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi (penjilmaan dari Wisnu) setelah bertapa berat di hutan Kutharunggu. Demikian pula putra Arjuna, Abimanyu dari laku tapanya di hutan Krendhawahana, berhasil menerima wahyu keraton Cakraningrat. Dari kedua wahyu itu Arjuna dan Abimanyu, diramalkan oleh dewa bahwa kelak anak cucunya turun temurun akan menjadi raja binathara di Tanah Jawa meskipun Arjuna dan putranya itu tidak dikodratkan menjadi raja (Soetarno dalam Nugroho, 1996:95) Dari uraian di atas bisa dirangkum bahwa dari sisi mitologi pertimbangan dari Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media diskursus juga sangat dipengaruhi keyakinan dan harapannya bisa mewarisi
wahyu Cakraningrat
dan wahyu
Makutharama, dari Arjuna dan Abimanyu, yang akan meningkatkan kekuasaanya di Mataram. Kedua wahyu itu adalah kekuatan supra natural yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin Jawa di dalam menguasai wilayah kekuasaanya, baik manusia, alam lahir, maupun dimensi batin yang nir kasat mata.
52
4.1.3. Nilai Anutan yang Terkandung dalam Wayang Arjuna Selain kedua alasan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Mataram terhadap kultus dan mitos Arjuna sebagaimana telah diuraiakan diatas, pemilihan tokoh tersebut sebagai wacana legitimasi juga sangat dipengaruhi nilai-nilai panutan terhadap Arjuna yang telah populer di masyarakat. Berkaitan dengan masalah nilai, Moedjanto mendeskripsikan bahwa “nilai tidak hanya tampak bagi seseorang saja, melainkan bagi semua umat manusia. Nilai tampil sebagai sesuatu yang patut dikejar dan dilaksanakan oleh semua orang. Oleh karena itu nilai dapat dikomunikaskan kepada orang lain” (Sutrisno et al., 2009:146). Magnis Suseno (1991:69-71 ) berpandangan bahwa sebagai kolektif agraris, masyarakat Jawa menempatkan norma-norma serta nilai-nilai sebagai sebuah kesepakatan kolektif yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi sebagai parameter moralitas. Nilai-nilai yang melandasi setiap tindakan orang Jawa itu menurut Hartoko adalah nilai-nilai ketuhanan, kebaikan, kebenaran, dan keindahan (Sutrisno et al., 2009:145). Pertunjukan wayang yang dalam dunia Pedalangan diistilahkan pakeliran, dipandang orang Jawa sebagai tontonan dan tuntunan, artinya sebagai pertunjukan yang menghibur semua kalangan tidak hanya orang tua tetapi juga kaum muda, remaja dan anak-anak. Tuntunan dalam pakeliran dimaksudkan bahwa di balik tontonan yang menghibur itu wayang penuh pesan-pesan moral sebagai pembelajaran nilai-nilai bagi individu dan inter-individu Jawa. Salah satu alasan dilestarikannya wayang hingga saat ini karena banyak kalangan pendukung wayang memandang bahwa wayang adalah refleksi dan kontemplasi nilai-nilai Jawa sebagai media introspeksi diri (Sutrisno et al., 2009:145). Nilai-nilai tuntunan hidup dalam wayang disampaikan dalang lewat adegan dialog, narasi, sulukan (vokal iringan wayang dari dalang), lelucon dari Panakawan, dan sebagainya. Khusus sebagai tokoh panutan, nilai-nilai dari tokoh Arjuna lebih banyak disampaikan dalang lewat karakter penokohan yang dibangun dari adegan-adegan, dan cerita. Karakter tokoh Arjuna juga bisa disimak secara rinci pada ornamen-ornamen wayang bagian tubuh dan pakaian wayangnya. Melengkapi analisis tentang karakter Arjuna perlu dalam penulisan ini diuraikan tentang makna-makna simbol figur wayang Arjuna menggunakan ilmu penanda, semiotika.
Dari banyak tokoh semiosis terkemuka seperti Ferdinand de Saussure,
53
Charles Sanders Pierce, Levi Strauss yang dikenal sebagai semiotika Struktural, dan tokoh lain seperti Jacobson atau Umberto Eco,
yang dikenal sebagai semiotika
komunikasi, dalam pembahasan ini dipilih analisis wacana Roland Bartes yang terkenal dengan analisis mitosnya. Langkah itu dengan pertimbangan semiotika analisis wacana dari Bartes diharapkan bisa mengungkap wacana mitos, dan ideologi berkaitan dengan tokoh Arjuna sebagai salah satu tokoh mitologi Jawa yang dipilih oleh Sultan Agung dalam membangun diskursus.
4.1.3.1. Memahami Nilai-Nilai Tokoh Arjuna dengan Semiotika Wacana Bartes Roland Barthes (1915-1980) lahir di Cherbourg Prancis utara adalah tokoh semiotik pasca strukturalisme yang mengembangkan analisis wacana (Budiman, 2002:102). Hal itu berbeda dengan semiotika struktural Saussure yang telah mendominasi model semiosis modern barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa wacana/parole (termasuk bentuk-bentuk ujaran individual) adalah sub sistem semiosis yang tidak mungkin bisa terjangkau analisis. Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi disejajarkan dengan penanda ekspresi obyek, dan konotasi sebagai petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis, baik denotasi maupun konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi (expression) dilambangkan E, dan isi (content) dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi (relation) yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan (ERC) RC, atau bisa juga dijelaskan dengan skema berikut.
II
Konotasi
I
Denotasi
E
E
R
R
C
C
Gambar 7. Skema Prosedur Semiosis A Barthes (Barthes dalam Budiman, 2002:96)
Skema di atas menerangkan bahwa tataran I denotasi terdiri dari ekspresi yang akan berelasi dengan isi dari citra bentuk yang nampak, dan pada tataran II konotasi,
54
denotasi menjadi citra ekspresi dari content konotasi. Dalam content konotasi itulah, makna dari obyek terbentuk (Budiman, 2002:96). Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi subyek-subyek individu. Dengan demikian relasi denotatif dan konotatif tidak statis sebagaimana skema di atas, tetapi bisa juga sebagai berikut. II
I
Konotasi
Denotasi
E
R
E
C
R
C
Gambar 8. Skema Prosedur Semiosis Barthes B (Barthes dalam Budiman, 2002:96)
Skema II menerangkan bahwa dua denotasi bermakna satu konotasi, yang diistilahkan Barthes sebagai sinonim (Hoed, 2011: 85). Masih berkait dengan prosedur semiosis Barthes, Budiman (2002: 98) mengemukakan bahwa citra bentuk pada ekspresi diistilahkan Barthes iconic message (amanat ikonik) dibedakan menjadi dua tataran yaitu: (1) amanat harfiah atau amanat ikonik tak berkode dan (2) amanat simbolik atau ikonik berkode (coded iconic massage). Amanat harfiah sebagai denotasi dan amanat simbolik adalah tataran konotasi yang mengacu kode budaya tertentu. Mungkin berupa tatanan atau norma-norma universal atau stok stereotip kultural dari periode sejarah tertentu yang diistilahkan Barthes “ideologi”. Ada lagi menurut Barthes citra yang berkaitan dengan citra ikonik berujut kata-kata, judul atau kalimat yang melekat pada citra ikonik. Citra verbal itu disebut sebagai amanat lingual (linguistik message) yang berfungsi sebagai penambat untuk mengunci atau mengikat petandapetanda citra visual yang biasanya mengapung (Budiman, 2002:99). Hoed (2011:18) tentang semiotika wacana Barthes mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer (mana suka) digolongkan sebagai mitos jika konotasi itu sebuah makna yang tetap sebagai sebuah kewajaran di masyarakat, lebih dari itu
jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir
masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi.
55
Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur tokoh wayang Arjuna dengan tujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana pengetahuan di Mataram. Pengungkapan nilai Arjuna menggunakan semiotika Bartes ini, akan menganalisis duas aspek penting yaitu mengenai figur bentuk wayang Arjuna dan mitos gelar-gelarnya. Kedua aspek tersebut akan diinterpretasi sebagai amanat harfiah atau denotasi, dan dimaknai sebagai amanat simbolik atau konotasi. Bentuk wayang Arjuna terdiri dari ornamen-ornamen bagian kepala, tubuh dan pakaiannya yang dalam seni rupa wayang terdiri dari wanda (ekspresi muka), kapangan (bentuk tubuh), pahatan serta sunggingan (pewarnaan), dan berbagai jenis busana yang dikenakan. Sebagai sebuah simbol wayang Arjuna berujud dua dimensi berbahan kulit kerbau dipahat dan disungging (diwarnai). Bentuk figurnya terdiri dari bagian kepala, pundak, tangan, dada, perut, sor-soran (ornamen kain) dan kaki. Bagian muka wayang menduduki citra rupa sangat penting dalam wayang karena muka yang terdiri dari hidung, mata, athi-athi, telinga, bibir, gigi, dan janggut, adalah penunjuk ekspresi tokoh yang disebut wanda.
Ada lebih dari dua belas wanda Arjuna diantaranya: wanda
mangu, kanyut, janggleng, kinanthi, malatsih, muntab, pengawe, jimat, penganten, pacel dan sebagainya (Soetarno et al., 1978: 46).
Sekilas nampak sama antara wanda
Arjuna satu dengan yang lain, perbedaanya terletak pada lebar dan ciutnya mata, senyum dan cemberut bibir, tengadah dan tunduknya pandangan, dengan pautan ukuran lebar dan sempit pahatan hanya beberapa mili meter saja. Salah satu bentuk Arjuna dalam wanda Malatsih (merayu) seperti gambar berikut.
56
Gambar 9. Arjuna Wanda Malatsih
Untuk mengungkap makna figur Arjuna seperti dalam gambar perlu diuraikan prosedur pemaknaan wacana Bartes pada gambar 10 skema berikut. E
R
C
II Konotasi Eskpresi dari figur Arjuna
Makna Mitos & Ideologi Arjuna
I Denotasi
EKSPRESI Bentuk visual ornamen Arjuna
RELASI
CONTEN Makna ornamen Arjuna
Gambar 10. Skema Prosedur Semiosis Figur Wayang Arjuna.
57
4.1.3.1.1. Makna Denotasi Ornamen Figur Arjuna Berdasarkan prosedur semiosis wacana Bartes di atas, pemaknaan Arjuna dapat dirinci dari dua aspek, denotasi dan konotasi . Tataran denotasi semiotika wacana terdiri dua komponen yaitu ekspresi tentang citra visual wujud ornamen Arjuna, dan content makna dari citra visual tersebut. Antara citra visual direlasikan dengan content atau makna dari ekspresi yang dicitrakan. Pertama ekspresi, wujud ornamen Arjuna terdiri dari: (a) gelung minangkara berwujut sanggul bulat bagai capit udang, (b) hidung wali miring berujud hidung mancung bagai ujung pisau, (c) mata liyepan berujud mata mengatup memandang ujung hidung, (d) sumping waderan adalah hiasan telinga berujut sumping mas bermotif ikan wader, (e) warna muka tampak hitam kelam kontras dengan kulit tubuhnya yang berwarna emas, (f) leher manglung berupa leher jenjang yang condong ke depan dengan kepala menunduk, (g) badan pideksa adalah postur tubuh sedang tidak terlalu tinggi juga bukan pendek, (h) kampuh limar ketangi berujut kain dengan motif batik lingkaran permata berjajar-jajar dilingkari garis-garis lengkung tipis seperti rambut. Kedua, citra visual itu berelasi dengan content sebagai petanda makna dari ekpresi figur Arjuna. Pemaknaan ini sangat khusus dalam dunia seni rupa, karena dalam meng-interpretasinya diperlukan bekal pengetahuan dan kebiasaan bagi orangorang yang menekuni seperti dalang atau penggemar yang bisa memahami wujud wayang yang dikatakan oleh Sunarno bukan citra manusia tetapi gambar abstraksi dari karakter manusia (wawancara Sunarno, 24 Desember 2014). Makna denotasi ornamen wayang Arjuna antara lain: Seorang pria dewasa berwajah tampan, bersanggul dan berbadan tegap dari sorot mata yang tajam ia adalah seorang yang berpengalaman. Sederhana dalam penampilan tetapi tubuhnya yang tegap atletis memancarkan keindahan dan kewibawaan. Pandanganya tajam tersungging senyum menawan memancarkan karakter Arjuna yang romantis.
4.1.3.1.2. Makna Konotasi Ornamen Figur Arjuna Pada tataran konotatif di mana mitos dan ideologi bertempat, interpretasi pada wayang lebih mengacu pada norma-norma, pandangan histori tertentu, atau stok stereotif kultural masyarakat lokal yang oleh Bartes disebut ground atau kode budaya (Budiman, 2002:22).
58
Dalam tataran konotasi figur wayang Arjuna bisa diinterpretasi bahwa Arjuna adalah seorang pria dewasa yang bertubuh tegap berwajah tampan rupawan. Dalam hal karakter Arjuna mencitrakan orang yang matang, penuh pengalaman di bidang kesatriaan yaitu sebagai sosok pengayom rakyat pembela kebenaran bagi siapa saja, dan di mana saja pemenang dari semua pertempuran melawan kebatilan. Dari sorot matanya yang tajam menunjukkan seorang bangsawan yang santun, bijak penuh kasih sayang bagi semua umat dan semua lapisan masyarakat. Dalam hal berbusana Arjuna menampilkan pakaian bagi bangsawan yang prasaja dalam arti sederhana namun tetap memancarkan keagungan dan kekhususan yaitu berkain limar ketangi sebuah karya batik khusus bagi bangsawan bercita rasa seni yang tinggi dan sangat rumit. Citra pandangan Arjuna yang tajam namun sayu menunjukkan bahwa Arjuna pria romantis, meskipun pecinta kebenaran tetapi tidak mengelak kodratnya sebagai pria yang memiliki kecenderungan suka digandrungi wanita dan suka menjalin cinta dengan wanita. Dalam konteks tersebut Arjuna seorang pria pemuja cinta. Arjuna adalah ksatria yang tampan, memiliki ketahanan bertapa luar biasa, bijak, pemenang dalam segala peperangan, penerima segala anugerah, ahli bercinta serta representasi dari Tuhan. Makna tersebut menurut Bartes masuk dalam tataran mitos karena makna itu tetap dan wajar di tengah-tengah masyarakat (Hoed, 2011:18). Mitos tersebut lebih jelas lagi dengan hadirnya linguistik message yang diartikan Bartes sebagai citra penambat, berupa citra verbal berbentuk kata atau kalimat, dalam narasi dalang. Cerita dalang tentang mitos karakter Arjuna baik dalam dialog maupun narasi, menjelaskan sifat-sifat khas Arjuna melalui pentas wayang kemudian menjadi wacana-wacana tetap, dalam teks sastra, serta pertunjukan-pertunjukan lain yang berkaitan dengan mitos itu, seperti wayang wong dan ketoprak.
Mitos itu adalah julukan
Arjuna sebagai
satriya
pinandita, satriya tohjalining jagat, dan satriya lelananging jagad. Pertama, mitos satriya pinandita, diuraikan dalam karya sastra wayang seperti Arjuna Wiwaha, Partayatna, atau Pustakarajapurwa dan dinarasikan dalang bahwa karakter Arjuna adalah perpaduan dari sifat brahmana dan satria, yang dalam kode budaya Jawa di-dikotomikan bahwa pendeta selalu bersifat cinta kasih, menjaga kedamaian dunia dengan berdoa; sedangkan ksatria menjaga perdamaian dunia dengan berperang membunuh angkara murka. Arjuna dimitoskan memiliki sifat keduanya, baik
59
sebagai seorang ksatria sekaligus petapa. Dari ketahanannya bertapa Arjuna banyak mendapatkan anugerah berujut pusaka, kedudukan, ilmu pengetahuan termasuk wahyu Makutharama yang dipercaya menjadi sarana menurunkan raja-raja di Tanah Jawa. Dalam kedudukannya sebagi ksatria, Arjuna dimitoskan penolong dan pengayom masyarakat baik dari golongan teman maupun lawan. Sangat banyak lakon wayang atau karya sastra yang menonjolkan sifat penolong dari Arjuna. Dalam “Adi Parwa” bab I Mahabarata, Arjuna menolong para brahmana dari ancaman naga Taksaka yang sering mencuri sapi-sapi piaraan kaum brahmana. Karena kejadian itu ia iklas melaksanakan hukum buang 12 tahun disebabkan terpaksa harus melanggar peraturan perjanjian yang dibuat oleh Pancali, isteri Pandhawa, untuk mengambil busur Gandhiwa di kamar Dropadi di luar waktu yang ditetapkan untuknya (Soekotjo, 1984:85) Dalam “Wana Parwa”, bab IV Mahabarata, terdapat lakon yang sangat terkenal “Arjuna Wiwaha”, mengisahkan Arjuna menolong Dewa Indra dari serangan para asura niwata, yang kemudian mengantarkannya mendapatkan anugerah dari Mahadewa berupa mantra Pacupata sastra dan senjata Pasupati. Demikian pula dalam Lakon Wahyu Pakem Makutharama, Karna musuh bebuyutannya juga pernah ditolong Arjuna ketika senjata andalanya Kunta Wijayandanu direbut Anoman. Arjuna mengembalikan senjata raja Angga itu setelah berhasil mendapatkan wejangan Hasthabrata dari Kesawasidhi, penjilmaan Wisnu (Soetarno dalam Nugroho, 1996:57). Karena sifat penolong itu sebagai ksatria Arjuna bergelar Dananjaya yang diartikan oleh Soetarno kesaktiannya digunakan untuk beramal. Kedua mitos satria tohjalining Jagat. Mandali (2006: 16) dalam Bangun Tuwuh menguraikan bahwa makna tohjali adalah panitisan (inkarnasi). Dalam relasi Arjuna satria tohjalining jagat bermakna mitos titisan Tuhan. Dalam Pedalangan mitos itu diceritakan bahwa Arjuna dan Krisna adalah dwi tunggal titisan Wisnu. Dalam narasi adegan Arjuna diceritakan bahwa “Wisnu binelah panitise marang Kresna lan Arjuna kaya suruh lumah lan kurebe, yen dinulu seje rupane yen ginigit tunggal rasane”. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Wisnu terbelah dua dalam menitis pada diri Kresna dan Arjuna bagai dua sisi daun sirih jika dilihat tampak berbeda warnanya, tetapi jika digigit sama rasanya (Suratno dalam Sumarno, 1996:1). Makna simbol Arjuna sebagai tempat penitisan separoh Wisnu berkorelasi dengan dasa nama Janaka
60
yang oleh Soetarno diartikan sebagai wadah penitisan
(Soetarno dalam Nugroho ,
1996:49). Dalam tafsir mistik Islam, Arjuna dipandang perwujudan Nur Muhammad yang menurut Abd al- Qadir al-Jaillani adalah dzat pertama yang diciptakan Allah dari cahaya-Nya sebagai kalifatullah wakil Tuhan di Bumi dan penuntun umat manusia (Solikhin, 200:223). Karena perannya sebagai penuntun umat manusia itu maka Arjuna memiliki kecerdasan luar biasa. Kecerdasan Arjuna itu berelasi dengan nama lainnya Kuntadi yang artinya senjata panah yang sangat tajam. Dalam adegan Arjuna, dalang menarasikan “keplasing pambudi Raden Arjuna ngungkuli bantering jemparing,” yang terjemahannya, kecepatan berfikir Arjuna melebihi kecepatan perjalanan senjata panah (Soetarno dalam Nugroho, 1996:49). Sebagai tohjalining jagat esensi dari Nur Muhammad, Arjuna juga memiliki ketajaman rasa, senantiasa tajam/peka dan siap terhadap segala kemungkinan situasi dan kondisi, dalam menghadapi kehidupan maupun perkembangan jaman. Interpretasi mitos itu berelasi dengan dasa nama (nama lain) dari Arjuna, yaitu Premadi dan Jahnawi yang menurut Ki Ng. Wignyo Soetarno, nama Premadi diuraikan bermakna “premati mumpuni saliring reh” artinya efektif menguasai segala hal. Nama Jahnawi oleh guru senior Pedalangan Pura Mangkunagaran itu diartikan “wiyaring pambudi ngungkuli jembaring samodra” terjemahannya luas pengetahuan Arjuna melebihi luasnya lautan (Soetarno dalam Nugroho, 1996:49) Ketiga, mitos Arjuna sebagai lelananging jagat dalam semiotika model Bartes dapat dianalisis berdasarkan struktur wacana yang bersifat linier yang diistilahkan sintagme. Analisis sintagme mengungkap makna wacana berdasarkan relasi-relasi unsur-unsur kata dan/atau kalimat. Analisis ini adalah padanan dari sintagmatik model Saussure dalam lingguistik (Hoed, 2011:65). Dalam analisis sintagme gelar Arjuna lelananging jagat dapat diurakain sebagai berikut. Kata lelananging jagat berasal dari parama sastra (tata bahasa Jawa) la + lanang + e dan Jagat. Bentukan kata majemuk la+lanang+e dan jagat, menyebabkan akhiran e harus luluh menjadi ing, sehingga menjadi lelananging jagat, artinya seorang pria yang memiliki kemampuan melebihi banyak para pria, atau pria yang memiliki kemampuan di atas umumnya pria. Makna sintagme
lelananging jagat
adalah
pria yang istimewa di dunia.
Keistimewaan Arjuna di antara pria lain adalah ketampannya dan kesaktiannya yang
61
melebihi para pria lain di jamannya sebagaimana narasi dalang dalam adegan Arjuna sebagai berikut “Raden Arjuna tuhu satriya lelananging jagat bagus tanpa cacat, lamun lanang padha ngondhangake kasektene lamun wadon padha ngondhangake kebagusane. Turta tau tate sinarayeng dewa ngrabaseng mengsah sekti.” Terjemahan narasi tersebut adalah Raden Arjuna sebagai seorang ksatria adalah pria istimewa di dunia, tampan tiada cacat, para pria selalu menyebut-nyebut kesaktiannya, sedangkan para wanita terpesona dengan ketampanannya. Demikian pula sering diduta para dewa untuk melawan musuh sakti (Soeratno dalam Soemarno, 1996:20). Selain makna sintagme, wacana citra verbal mitos Arjuna lelananging jagat bisa juga diungkap berdasarkan relasi antar paradigma berdasarkan pandangan budaya yang diistilahkan sistem wacana (Hoed, 2011:65) Merujuk konsep sistem wacana, Bartes di atas makna mitos lelananging jagat lebih mengungkap makna-makna peristiwa di balik gelar itu berkaitan dengan lakon, serta simbol-simbol dalam budaya Jawa. Julukan lelananging jagat dalam lakon wayang muncul pada lakon carangan Wahyu Tohjali, yang garis besar ceritanya mengkisahkan kemenangan Arjuna mendapatkan anugerah dewa, wahyu tohjali yaitu anugerah kekuatan sebagai pria sejati (Sularso, wawancara 24 oktober 2014). Suwandono (1977:35) dalam Ensiklopedi Wayang Purwa I mendeskripsikan bahwa lelananging jagat bermakna pahlawan ulung yang benar-benar jantan bersifat ksatria sejati menguasai segala hal. Pokok paradigma dari lelananging jagat adalah: lanang + jagat. Kata lanang dalam bahasa Jawa bermakna pria, menang, dan jantan. Kata lanang dalam arti pria adalah sosok figur laki-laki yang dibedakan sekaligus berpasangan dengan wadon artinya perempuan. Lanang dalam arti menang sering dijumpai dalam bahasa klise wayang tokoh tetua yang memberkati pada yang lebih muda ketika dimintai restu menjelang maju perang. Restu itu biasanya diungkapkan dengan rangkaian kata “dak pangestoni muga lanang yudamu.” Terjemahannya saya berkahi agar menang dalam perang. Makna ketiga berarti jantan menampilkan pengertian sifat-sifat kejantanan Arjuna dalam hal kejayaannya dalam peperangan di dunia kanuragan (olah bela diri) di antara para ksatria sebagai seorang pribadi yang pemberani bertanggung jawab serta sportif dalam pertempuran. Karena sifat utama Arjuna itu oleh pengarang Baghavad Gita, Lokamaya ia digelari sebagai Dananjaya artinya seorang pemenang. Baik dalam
62
Mahabarata, maupun Baghawad Gita, dialog Krisna dan Arjuna yang terkenal disebut The song of God (nyanyian Tuhan), dinarasikan bahwa kesatuan antara Dananjaya dan Krisna mampu mengalahkan semua musuh-musuhnya termasuk golongan, asyura (iblis), raksasa, naga, bahkan raja dewa Indra-pun kalah dengan Arjuna, ketika menghalangi putranya itu membakar hutan Kandhawa, yan kemudian menjadi Indraprastha (Pasaribu et al., 2004:40). Dalam masa pendidikankanya, oleh gurunya Rsi Drona, Arjuna dipersiapkan menjadi pemanah tanpa tanding. Untuk tujuan luar biasa itu Drona membekali Arjuna penguasaan mantra yang memungkinkan murid kesayangannya itu melepaskan anak panah gaib dari unsur-unsur bumi, api, angin, dan air, yang disebut bayyabyastra, bramahastra, bayubyastra, dan
barunastra (Soekotjo, 1984:85).
Oleh karena,
kemampuan itu Arjuna mampu mengalahkan satria sakti seniornya seperti Rsi Bisma, Drona bahkan penentang dan saudaranya tertua Karna raja Angga, juga harus mati dari busur Gandhiwa dan Pasupati, pusaka andalan putra Kunthi itu. Mitos lelananging jagat juga bermakna kejantanan Arjuna dalam hal libido seksual yang diceritakan sangat luar biasa dalam lakon wayang. Cerita yang bersumber pada pakem Jawa, seperti Pustaka Rajapurwa, Serat Kandha maupun Serat Pakem Ringgit Purwa karya MN VII, menarasikan bahwa selain Arjuna beristeri Subadra, Srikandhi, Sulastri, Larasati, Manuhara, dan Hulupi, juga beristeri para bidadari sejumlah sekethi kurang siji (999), tujuh diantaranya pemimpin bidadari itu adalah Supraba, Tilotama, Irim-irim, Leng-leng Mandanu, Tunjung Biru, Warsiki, dan Mayangsekar (Diyono,1997:24). Dalam hal berhubungan suami isteri dengan wanita sebanyak itu, Arjuna menggunakan aji Asmaranggama (ajian percintaan dan sanggama), yang daya kekuatanya mampu melayani dan memuaskan semua isterinya secara bersamaan dalam satu waktu setiap kali berhubungan intim (Suwandono et al, 1977:40). Cerita-cerita yang berkembang dalam wayang baik tertulis maupun konvensikonvensi lisan dari lakon-lakon carangan para dalang lebih menggambarkan bahwa Arjuna adalah sosok pria gemar kawin, dan pemburu cinta sejati. Gambaran yang kedua dibuktikan dengan banyaknya lakon-lakon tertulis maupun lisan yang menceritakan karakter Arjuna mudah tertarik kepada wanita cantik yang mana; ketika Arjuna telah terpikat ia akan memperjuangkan cintanya itu meskipun harus melanggar
63
aturan. Kisah tentang Arjuna berselingkuh dan merebut isteri orang lain itu misalnya, dengan Banuwati isteri Duryudana, Dewi Antrakawulan isteri Prabu Barata di Ayodya, dan Dewi Citrahoyi isteri Prabu Arjunapati di Sriwedari. Kisah percintaan Arjuna dan Dewi Citrahoyi dalam Serat Kalimataya, karangan MN IV, menarasikan bahwa sesudah perang Baratayuda, Arjuna dengan direstui oleh Kresna memboyong permaisuri Prabu Arjunapati, ke Astina. Kejadian tidak lazim pada kehidupan keraton itu, dilatarbelalakangi kematian Banuwati oleh sisa-sisa tentara Korawa yang membunuh isteri Arjuna itu pada waktu malam hari. Untuk mengobati kegalauan Arjuna akibat ditinggal mati Banuwati, maka Kresna memohon kepada sahabatnya Prabu Arjunapati agar permaisurinya termuda yang wajahnya mirip Banuwati itu diserahkan pada Arjuna. Sahabat Prabu Kresna raja Sriwedari itu tidak keberatan memenuhi permintaan itu, karena isteri termudanya itu kurang mencintainya. Akan tetapi, adik Prabu Arjunapati, Raden Suwanda, patih Sriwedari sangat kecewa dengan arogansi Arjuna, sehingga terjadi perang besar antara Pandhawa dan ksatria Sriwedari. Kisah cinta Arjuna dengan Dewi Citrahoyi yang menyulut perang besar itu meninggalkan tragedi memilukan berupa tumpasnya Arjunapati dan semua bala tentaranya, serta patih sepuh Dwaraka, Hudawa (MN IV dalam Laginem, 1981:4). Kisah percintaan Arjuna yang kontroversi itu sesungguhnya adalah sisi negatif moral ketokohannya, namun demikian kisah-kisah itu tidak pernah menyurutkan popularitas panengah pandhawa itu,
sebaliknya malah menjadi model identifikasi
kehebatan pria Jawa terutama kaum priyayi di lingkungan keraton yang akan di bahas selanjutnya. Makna lelananging jagat berkaitan dengan perspektif kejantanan Arjuna dalam mengawini banyak wanita bukan tidak mungkin dipengaruhi pandangan Jawa kuno yaitu tantrayana dan pemujaan kesuburan di Jawa. Coitus (persetubuhan) antara pria dan wanita dalam pandangan Hindu maupun Budha secara umum sangat disakralkan, sehingga penyatuan pria dan wanita itu harus memenuhi syarat-syarat ketentuan agama dalam lembaga pernikahan yang disebut grehastha. Di luar ketentuan tersebut persetubuhan adalah tindakan jina yang melanggar agama dan dianggap sebuah kotoran jiwa. Namun berbeda dengan keyakinan kedua agama tersebut, tantrayana, sebuah sekte dalam Hindu,
yang konon dicipta oleh Mahadewa, memandang bahwa
64
persetubuhan adalah sebuah ritual suci yang disebut maituna, lambang bersatunya Siva dan Parwati yang akan mendatangkan anugerah, kesuburan (Soekmono 1985:34). Soekmono (1985:34) lebih lanjut mendeskripskan bahwa maituna adalah lambang kesatuan dewa dan saktinya, justeru dari sakti-sakti dewa itu asal mula aliran energi trimurti. Konsep itulah yang mendasari setiap pasangan kehadiran arca-arca dewa di candi Jawa yaitu, Brahma-Sarasvati, Wisnu-Laksmi, dan Siva – Parwati, demikian pula lambang lingga dan yoni dalam tantrayana. Sisa-sisa kepercayaan kesuburan dengan ritual maituna itu salah satunya terdapat di Candi Sukuh lereng Lawu dalam candra sengkala Gapura Bhuta Anguntal Jalma (dalam tahun Jawa Gapura Raksasa Menelan Manusia) artinya 1359 Caka atau 1437 masehi. Candi di lereng Lawu yang berdiri masa pemerintahan Ratu Suhita (1429-1447) periode akhir Majapahit tersebut banyak relief maupun arca pallus (alat kelamin pria) dan vagina (alat kelamin wanita) ukuran besar sebagai media ritual maituna bertujuan mendapatkan berkah bagi kesuburan masyarakat Majapahit di sekitar Lawu, serta harapan kebangkitan datangnya pencerahan bagi kerajaan dinasti Rajasa yang saat itu terus-menerus mengalami kemunduran karena perang saudara memperebutan tahta Majapahit (Soekmono, 1985:78).
4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna Sebagaimana dikemukakan Bartes dalam Hoed (2011:18) di atas bahwa wacana mitos akan menjadi ideologi dari masyarakat tertentu jika mengalami kemapanan makna. Sejajar dengan Bartes, dan episteme dari Foucault, Gramsci lebih jelas mendefinisikan ideologi sebagai berikut. ideologi adalah peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok sosial tertentu mengakar pada praktik sosial kehidupan sehari-hari kehidupan populer....ideologi memberi kita aturan-aturan perilaku praktis dan moral. Ideologi adalah pengalaman sehari-hari sekaligus sekumpulan ide-ide sistematis yang berperan untuk mengatur dan mengikat suatu blok elemen sosial yang beragam dalam pembentukan blok-blok hegemonik maupun kontra hegemonik. Hegemoni ideologi adalah proses di mana cara-cara pemahaman tertentu tentang dunia menjadi demikian gamblang atau ternaturalisasi sehingga cara pemahaman alternatif di luar mereka terasa tidak masuk akal atau tidak terpikirkan (Gramsci dalam Barker, 2005:468). Sejajar dengan konsep Gramsci, wacana ideologi dari Barthes dipahami sebuah makna yang sistematis di masyarakat berupa sekumpulan ide-ide, aturan-aturan, serta
65
perilaku moral sehari-hari untuk menyatukan keberagaman baik yang menghegemoni maupun kontra hegemoni dalam suatu tatanan yang dibentuk oleh kekuasaan. Kembali pada ideologi sebagai wacana semiosis, tokoh Arjuna adalah maknamakna yang mapan menjadi sebuah nilai bagi masyarakat Jawa di Mataram. Nilai-nilai itu didukung oleh penguasa sebagai sebuah sistem anutan moral dan praktik tingkah laku bagi masyarakat Mataram saat itu. Sebagai pengetahuan, ideologi Arjuna menjadi kiblat karakter, baik oleh anggota masyarakat maupun perilaku individu penguasa sendiri, dikarenakan sebagaimana dikemukakan Gramsci di atas, nilai-nilai tersebut telah menjadi sistem pengetahuan, sehingga dalam hal penghayatan nilai itu, anggota blok hitori Mataram tidak mungkin melampau sistem pengetahuan yang ada. Merangkum berbagai mitos di atas dengan merujuk teori ideologi, baik semiosis dari Bartes maupun Gramsci, nilai-nilai pengetahuan berkaitan dengan tokoh Arjuna di Mataram, adalah representasi/personifikasi dari ide kekuasaan Raja-Raja Mataram, yang mendambakan kesempurnaan kekuasaan yang dalam konsep Jawa disebut oleh Soeratman mukti wibawa mbahudhendha nyakrarawati (mulia berwibawa berkekuatan tinggi berbahu gada dan memutar roda kekuasaan dunia). Kesempurnaan kekuasaan dibangun dari empat sumber kekuatan yang berpusat pada satu titik Raja Mataram, yang disebut keblat papat lima pancer atau mancapat dan mancalima (Soeratman, 2000:89). Konsep kasampurnan dalam dimensi kekuasaan itu bisa dijelaskan dengan skema gambar sebagai berikut.
66
Nur Muhammad
Gambar 11. Skema Sumber Kekuasaan Raja-Raja Mataram.
Diperjelas oleh skema di atas dapat diuraikan bahwa Arjuna adalah pusat dari empat dimensi kekuasaan secara vertilal dan horisontal. Secara vertikal dari atas bersumber dari Nur Muhammad kaliffatullah di muka bumi, dari arah bawah bersumber dari dukungan rakyat yang dilambangkan Panakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong), sedangkan secara horisontal dari arah belakang sebagai kawan pendukung
67
yang berasal dari raja-raja keluarga para isteri Arjuna, dan dari depan Arjuna dalam posisi berhadapan dengan para raksasa kaum sabrang sebagai musuh yang harus ditahlukkan yang pada akhirnya juga menjadi sumber kekuatan kekuasaan. Nilai-nilai pengetahuan keblat papat lima pancer kekuatan Arjuna itu adalah representasi kekuasaan Raja-Raja Mataram, dari atas sebagai trah agung binathara keturunan para dewa dan nabi, dari belakang para pendukung permanen dari para isteri yang berasal dari putri raja-raja bawahan misalnya pada zaman Sultan Agung, putri dari Cirebon, Pati, dan Batang; sedangkan dari arah bawah dan musuh (para raja pembangkang di Jawa timur dan barat), Raja-Raja Mataram itu menempatkan diri sebagai trahing kusuma dan satria Tanah Jawa, yang istimewa dan berkuasa memerintah raja lain. Berdasarkan uraian di atas dari sisi nilai dapat disimpulkan bahwa sebab dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus bagi Raja-Raja Mataram dimotifasi untuk memposisikan Arjuna sebagai tokoh tauladan bagi orang Jawa, karena panengah Pandhawa memiliki karakter sempurna sebagai pria Jawa yaitu, berkuasa, jantan, superior, produktif, dan religius. Nilai-nilai itu sesungguhnya adalah representasi ideologi kekuasaan mancapat dan manca lima dari Raja-Raja Mataram. Nilai kesempurnaan karakter Arjuna itu disebut oleh Solichin (2011) sebagai Insan Kamil artinya manusia sempurna. Demikian pula Laurie (1994:1) dalam jurnal internasional Spring 1994 pokok bahasan “Comparative Drama” mengatakan “Arjuna the third Pandhawa brother, and his sons are the self controlled and exalted heroes, experts in love, war, and mystical practices”. Moertono
(1985:34)
berkaitan
dengan
konsep
kedudukan
raja
Jawa
mengemukakan bahwa raja diposisikan sebagai pusat mikrokosmos negara yang menempati hierarki tertinggi sebagai penguasa negara dan rakyat. Karena mikrokosmos dianggap sejajar dengan makrokosmos maka raja disamasesuaikan dengan dewa dengan permaisurinya,
biasanya Wisnu-Laksmi atau Syiva – Parwati.
Di era Mataram
meskipun doktrin Islam menolak penyamasesuaian itu tetapi doktrin raja sebagai kalifatullah; di mana raja sebagai wakil Tuhan di muka Bumi, juga memiliki pengertian sejajar dengan raja era Hindu yaitu kekuasaan total raja atas negara dan rakyatnya.
68
4.2. Proses Terjadinya Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja
Mataram Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata proses bermakna “runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu” (Setiawan, 2011:1). Relasi kata proses dengan diskursus tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram menguraikan runtunan peristiwa, perubahan dan
cara-cara yang digunakan oleh
penguasa Mataram dalam mewacanakan tokoh Arjuna untuk kepentingan-kepentingan legitimasi
kekuasaanya.
Kali
menguraikan
pandangan
Foucault
tentang
diskursus/wacana sebagai berikut. Wacana dipahami oleh Foucault sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran orang, pengetahuan, serta sistem-sistem abstrak pemikiran, tidak terlepas dengan relasi kekuasaan. Wacana selalu bersumber dari manusia yang memiliki kekuasaan dan dari mereka yang memiliki pemikiran kreatif. Hal itu memungkinkan mereka untuk membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam sitem sosial, dan kemudian dengan berpijak pada tautan relasi tersebut mereka mampu memproduksi wacana yang kebenarannya diakui dan bertahan suatu rentang historis tertentu (Kali, 2013:55). Yusuf Lubis mengemukakan (2014a:176) menurut teori Foucault diskursus dibangun melalui jejaring kuasa – pengetahuan – kebenaran. Kuasa didapat dari pengetahuan, dan dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa.
Kuasa-
pengetahuan-dan kebenaran adalah relasi-relasi yang dimaknai spesifik oleh Foucault. Kuasa bukan dimaknai sebagai sesuatu yang diperoleh, disimpan, dibagi, dan dimiliki, tetapi adalah strategi pengetahuan yang dipraktikkan, artinya pengetahuan tertentu akan mendatangkan kekuasaan bagai seseorang di bidang terkait. Kuasa menurut Foucault bukan wewenang yang terfokus pada penguasa tetapi menyebar ke banyak figur maupun lembaga; tidak selalu bekerja secara negatif dan represif tetapi positif sekaligus produktif menghasilkan makna-makna baru, obyek-obyek, pandangan-pandangan, dan ritus-ritus yang disepahami dan disepakati oleh kolektif sosial sebagai sebuah kebenaran. Pengetahuan disini dipandang sebagai power knowledge yaitu kesatuan antara kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan yang terbentuk dari bahasa akan menjadikan kuasa, yaitu kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain. Pengetahuan yang dimaksud adalah bahasa itu sendiri yang oleh Ricoer dianggap “rumah sang ada”. Maksudnya, bahasa adalah media bagi manusia untuk
69
mendapatkan segala pengetahuan. Melalui bahasa Foucault dalam genealogi mengkronologikan, bahwa manusia belajar mengetahui berbagai hal yang dilihat, belajar norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai, apa yang boleh dan dan yang tidak yang rasional atau-pun irrasional yang pada gilirannya membentuk kesadaran pada jiwa-jiwa manusia yang diistilahkan sebagai personal-personal atau subyek-subyek (Yusuf Lubis, 2014b:167-192). Kebenaran dalam relasi kuasa dan pengetahuan adalah norma-norma, nilainilai, dan aturan-aturan yang telah menyatu dalam sistem cara berpikir dan bertingkah laku manusia dalam kurun era tertentu yang oleh Foucaul disebut episteme. Disebut sebagai kebenaran karena episteme adalah konstruksi budaya sebagai sebuah kesepakatan dan kesepahaman kolektif tentang apa yang dianggap benar dan tidak benar, apa yang dianggap boleh dan yang dilarang, apa yang memenuhi etika dan yang tidak etis dan sebagainya. Hubungannya dengan penguasa dikemukakan oleh Foucault bahwa kebenaran dalam sebuah episteme itu berakar dan dikontrol oleh penguasa dengan cara desentralisasi dan pluralisasi, yaitu mensosialisasikan wacana dari penguasa melalui lembaga-lembaga terkait dan kepada individu-individu secara budaya dalam masyarakat (Yusuf Lubis, 2014a:80-87) Untuk memperjelas bagaimana diskursus dibangun dalam jejaring kuasa, pengetahuan dan kebenaran dalam teori Foucault, sebagaimana diuraikan oleh Kali dan Yusuf Lubis di atas bisa dijelaskan melalui gambar skema berikut.
70
KUASA & PENGETAHUAN
PRAKTIK DISKURSIF (Jalinan hubungan antara bahasa, pengetahuan, pikiran dan tindakan
KEBENARAN
BAHASA & WACANA
Gambar 12. Skema Jejaring Kuasa (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:176).
Skema di atas menjelaskan bahwa kuasa oleh Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain. Kuasa didapat dari pengetahuan-pengetahuan melalui bahasa diwacanakan oleh penguasa menjadi sebuah ide, tingkah laku, norma, aturan yang membudaya menjadi pola pikir kolektif yang diistilahkan Foucault episteme, melalui lembaga-lembaga yang ada seperti pendidikan, pelatihan, himbauan, instruksi, dan komunitas-komunitas publik yang memungkinkan menerima pengetahuan. Pribadi-pribadi di lingkungan wacana baik para penguasa maupun rakyat anggota kolektif akan memahami dan menerima episteme sebagai sebuah kebenaran karena mereka telah dikondisikan secara budaya sejak tahap balita belajar berbahasa hingga tersosialisasi menjadi bagian masyarakat diskursif. Dengan demikian, kuasa-kuasa sebagai sebuah pengetahuan menyebar ke seluruh individu-individu maupun kelompok yang secara budaya akan patuh kepada episteme yang telah dikonstruksi penguasa (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:178). Dituntun oleh pemahaman konsep jejaring kuasa dari Foucault di atas, dapat diuraikan alur analisis tentang proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram seperti gambar skema berikut.
71
Raja-Raja Mataram
Episteme Budaya Wayang Mataraman
Pengetahuan Wayang Arjuna
Kuasa Dalang, Penanggap & Penonton
Gambar 13. Skema Proses Diskursus Arjuna.
Skema di atas memetakan analisis bahwa tokoh Arjuna diwacanakan oleh RajaRaja Mataram dengan bersumber pada Babad Tanah Jawi, secara desentralisasi dan pluralisasi lewat relasi pertunjukan wayang. Secara desentralisasi, pertunjukan wayang disosialisasikan lewat tradisi di berbagai lapisan dan hierarki masyarakat Mataram seperti di lingkungan keraton, rumah para priyayi, adat tradisi masyarakat maupun kepentingan ritual-ritual keluarga. Diskursus secara pluralisasi berupa penyebaran nilai-nilai wayang Arjuna kepada para penonton umum secara ekplisit maupun implisit dalam pakeliran. Penyebaran pengetahuan diskursus Arjuna itu pada gilirannya membentuk personal-personal yang terkondisi dalam budaya pewayangan dengan Arjuna sebagai sentral tokoh panutan. Dari proses praktik diskursif itu menghasilkan personal-personal masyarakat kolektif Jawa yang menerima secara total sistem berfikir tata kehidupan priyayi Mataram. Proses subyektifitas dalam kolektifitas Jawa untuk senyawa dengan budaya priyayi itulah faktor utama hegemoni terhadap legitimasi RajaRaja Mataram awal, terutama era Sultan Agung hingga sekarang. Alur pemikiran tersebut dianalisis seluruhnya dalam pemaparan selanjutnya.
72
Berpedoman pada alur pemikiran di atas pengetahuan tentang nilai-nilai Arjuna dimiliki oleh relasi kuasa dalang, penanggap, dan penonton dan dipraktikkan dalam pementasan wayang. Pertama, dalang sebagai aktor utama dalam pertunjukan wayang mendapat perhatian utama dalam sebuah pertunjukan wayang baik dari penanggap maupun para penonton. Perhatian tersebut bisa berujud fasilitas-fasilitas atau-pun honor yang diberikan dalang atau penghormatan terhadap profesi dalang sebagai tetua dan guru masyarakat. Dengan berbekal pengetahuan tentang wayang dalang mendapat kuasa sebagai tetua dan guru masyarakat. Kedua, penanggap sebagai penyelenggara pertunjukan wayang juga akan menduduki posisi terhormat dalam masyarakat Jawa dikarenakan selain sebagai hiburan dan tuntunan, pentas wayang adalah simbol kemapanan ekonomi bagi penanggap. Semakin tinggi honor dalang dan beaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan pentas wayang, akan menunjukkan gengsi yang tinggi bagi penanggap di tengah-tengah masyarakat. Kedudukan wayang dalam budaya Jawa sebagai karya adiluhung juga akan mendatangkan apresiasi kepada penanggap sebagai anggota masyarakat yang bercita rasa seni tinggi, berwawasan budaya serta akan dinilai sebagai pelestari identitas Jawa. Dengan menanggap wayang penanggap mendapatkan kuasa sebagai pelestari budaya. Ketiga, penonton sebagai audiens penikmat pentas wayang akan mendapatkan pengalaman jiwa tentang nilai-nilai moral yang disampaikan oleh dalang dalam kemasan cerita wayang. Sutrisno (et.al.,2009:1) menyebut bahwa pentas wayang adalah wahana refleksi, kontemplasi, dan introspeksi intuitif yang akan berpengaruh pada pengendalian diri bagi para penikmat. Dengan demikian penonton wayang lewat amanat dari dalang dituntun menjadi warga masyarakat yang baik sesuai dengan nilai-nilai Jawa yang berlaku. Penonton mendapat kuasa pengetahuan untuk bersosialisasi dengan norma budaya Jawa. Bentuk relasi antara dalang, penanggap maupun penonton, nampak pada pementasan wayang yang bisa dilihat dari event-event penyelenggaraan, tempat di mana pentas diadakan serta bentuk dan cara-cara yang dilakukan dalang dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat.
73
4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang Kesempatan pentas wayang terselenggara sesuai dengan kebiasaan masyarakat Jawa yang telah mentradisi, diantaranya hajatan keluarga, ritual-ritual tradisi masyarakat dan acara-acara yang diadakan keraton. Pertama, pentas wayang di lingkungan keluarga diselenggarakan dalam ritual memperingati vase-vase pergantian tataran kehidupan seperti tradisi mitoni (selamatan tujuh bulan kehamilan wanita), sepasaran bayi (selamatan lima hari kelahiran bayi), tetakan/tetesan (selamatan pergantian vase anak-anak laki-laki/perempuan menjadi dewasa), pernikahan, dan nyewu (selamatan seribu hari kematian). Salah satu ritual keluarga, mitoni atau populer di Jawa disebut tingkeban digunakan sesaji berupa buah kelapa gading yang digambari tokoh Arjuna dan Subadra dengan maksud harapan dari keluarga agar bayi yang akan lahir laki-laki atau perempuan meniru sifat-sifat Arjuna atau Subadra. Kedua, pentas yang diselenggarakan oleh masyarakat misalnya bresih dusun, sedhekah bumi, dan sadranan, yang bertujuan memuliakan roh-roh nenek moyang serta doa keselamatan untuk masyarakat. Ketiga pentas wayangan di lingkungan keraton diantaranya peringatan wiyosan jumenengan, tumbuk yuswa, yaitu berjaga pada malam-malam ulang tahun penobatan raja kelahiran raja, serta tuguran yaitu berjaga ketika raja sedang pergi dari keraton (Soetarno, 2002:11).
4.2.2. Tempat Pentas Wayang Tempat atau ruang dalam pembahasan ini mencakup pengertian tidak hanya ruang dan waktu pementasan diadakan, tetapi juga berkaitan dengan golongan lapis sosial yang menyelenggarakan. Perbedaan sosial penyelenggara pentas wayang akan berpengaruh pula terhadap nilai pengetahuan yang disampaikan oleh dalang. Soetarno (2002:13) mengutip pendapat Nayawirangka membagi ruang pentas dalang menjadi tiga, yaitu: wayangan pringgitan, pendapan dan kebonan. Pembagian ruang wayangan sebagaimana dipilah oleh Soetarno itu tidak sekedar berkaitan pringgitan, pendapa, dan kebon, sebagai ruang dalam arti harfiah tetapi lebih bermakna status sosial pemilik dari tempat tersebut.
74
Pringgitan adalah sebuah ruangan di keraton yang terletak di antara ruang terdepan pendhapa dan dalem, rumah bagian dalam, yang dalam tradisi Jawa diperuntukan untuk menyelenggarakan wayang. Pentas di pringgitan bagi dalang menduduki status tertinggi karena disaksikan oleh raja, permaisuri, para pangeran serta pejabat tertinggi di lingkungan keraton serta para bupati undangan raja, bisa juga rajaraja lain di luar Jawa sebagai undangan raja. Sesuai dengan tradisi wayangan di keraton dalang ditunjuk oleh raja dari para pangeran dengan menggunakan wayang terbaik (Soetarno, 2002:11). Sebagaimana telah terbangun pada kultur sebelumnya, pentas wayang di keraton lebih mengarah pada pemuliaan raja yang sedang berkuasa. Di era Mataram awal Sultan Agung, misi utama pementasan wayang adalah untuk mewacanakan pengetahuan dan nilai-nilai yang berkaitan tentang Arjuna sebagai alat untuk membangun legitimasi kekuasaan, dengan cara mengukuhkan Arjuna sebagai leluhur raja-raja Mataram. Dalang sebagai pemeran utama dalam pertunjukan wayang di keraton selain terdiri dari para pangeran juga abdi dalem dalang yang dipandang memiliki kemampuan oleh raja. Sayid (1958:60) dalam Bauwarna Kawruh Wayang menguraikan bahwa dalang-dalang terkenal abdi dalem di Mataram diantaranya adalah Ki Widiguna, Ki Cermanasa, Ki Widi Leksana, Ki Tur Krucil dan yang paling populer Ki Panjangmas dipercaya sebagai moyang dalang-dalang di Solo, Jogja, serta Banyumas. De Graaf (1987 : 28) menguraikan bahwa Ki Panjangmas selain ahli mendalang juga seorang sastrawan yang dipandang memiliki kapasistas intelektual pada jaman itu. Selanjutnya Graaf mengemukakan bahwa Panjangmas ditunjuk oleh Susuhunan Hanyakrawati, ayahanda Sultan Agung, sebagai penyusun Babad Demak, serta menjadi tetua dalang yang bertanggung jawab atas kegiatan pedalangan di Mataram terutama terkait dengan ritual pangruwatan. Di ruang pringgitan Kraton Mataram itulah, awal mula nilai-nilai pengetahuan tentang Arjuna digali dan diwacanakan. Oleh karena konsep Jawa yang memposisikan raja sebagi pusat kekuasaan, maka pentas-pentas wayang di keraton adalah ruangan paling efektif sebagai wahana tranformasi wacana-wacana pengetahuan tentang wayang, karena nilai-nilai pengetahuan tersebut langsung ditranfer kepada pejabat penting pemegang kuasa baik di dalam maupun di luar keraton. Wayangan pringgitan adalah sebagai doktrin tidak langsung secara komprehensip yang memungkinkan akan
75
secara mudah menyebar ke seluruh lini kerajaan Jawa, mengingat bahwa nilai-nilai yang diciptakan di keraton bermakna sebagai hukum yang akan dipatuhi oleh seluruh rakyat (Soetarno, 2002:14). Ruang kedua di luar keraton adalah wayangan pendapan. Akhiran an pada kata pendapa mengacu pada makna ruang terdepan rumah kaum priyayi (biasanya berbentuk joglo) representasi dari orang-orang di sekitar raja, sejak pejabat terdekat hingga pejabat tingkat desa seperti demang, lurah, jagabaya, kebayan dan sebagainya. Rumah-rumah priyayi meskipun di luar tembok keraton tetapi dalam budaya Jawa, masih tergolong tempat terhormat karena para priyayi adalah pemegang kuasa di bawah kendali penguasa. Berbeda wayangan pringgitan yang khusus ditonton oleh keluarga raja serta para tamu penting kerajaan, wayangan pendapan di rumah-rumah priyayi Jawa memungkinkan menghadirkan penonton homogen. Lebih banyak didominasi kehadiran para tamu sesama priyayi kenalan dari penanggap; bisa juga dihadiri oleh para pangeran atau-pun raja bagi priyayi yang memiliki hubungan dekat dengan raja. Sangat memungkinkan juga, kehadiran orang kebanyakan dari golongan rakyat, jika rumah priyayi terletak di desa jauh dari kota raja. Karakter pementasan wayang pendapan meskipun masih mengacu pada norma-norma pakem sebagaimana di keraton, bentuk pertunjukan mengarah ke tontonan yang menghibur; menyesuaikan cita rasa penonton campuran antara priyayi dan kalangan rakyat yang pada umumnya kurang berminat pada bentuk tontonan serius tentang kedalaman filosofi. Dalam hal pemilihan dalang wayangan pendapan berbeda dengan kebiasaan keraton. Jika di keraton dipilih dalangdalang dari para pangeran dan abdi dalem dalang, di lingkungan priyayi biasanya mendatangkan dalang-dalang keraton, atau dalang-dalang terkenal di daerah. Kehadiran dalang terkenal tersebut selain menjamin kualitas mutu pentas juga akan menjadi prestise bagi penanggap karena dalang terkenal di daerah, biasanya
honor serta dana
penyelanggaraannya relatif tinggi. Ruang pementasan wayang ketiga menurut Soetarno (2002:13) adalah kebonan. Kebonan adalah berasal dari kata dasar kebon mendapat akhiran an mengacu pada makna pekarangan rumah, bagian depan atau belakang. Menurut Soetarno wayangan kebonan mengacu pada bentuk pementasan di masyarakat luas, di luar level keraton maupun rumah kaum priyayi, yang tidak dikekang oleh pedoman-pedoman pakem, sehingga lebih cenderung sebagai tontonan atau hiburan. Pilihan dalang yang
76
ditampilkan oleh penanggap di kalangan rakyat juga beragam sesuai dengan kemampuan ekonomi penanggap. Sesuai kebiasaan masyarakat agraris Jawa, wayangan di daerah akan dipilih dalang lokal yang telah dikenal di daerah tersebut. Di ketiga ruang pentas wayang baik di keraton dan di masyarakat luas ditinjau dari levelitas dan komunitas penonton merupakan unsur-unsur proses yang menunjang diskursus Arjuna di Mataram.
4.2.3. Cara Mewacanakan Tokoh Arjuna dalam Pentas Wayang. Tidak kalah penting dalam analisis ini adalah metode atau cara-cara yang digunakan oleh penguasa dan para pemegang kuasa dalam membangun diskursus dengan media tokoh wayang Arjuna. Metode wacana Raja-Raja Mataram sangat efektif dan berhasil mengkonstruksi sistem berfikir masyarakat Mataram, lewat tokoh wayang Arjuna menggunakan dua cara, yaitu mewacanakan Arjuna secara ekplisist lewat teks karya sastra dan secara implisit lewat nilai-nilai dalam pewayangan. Dengan kedua metode tersebut Sultan Agung dan raja-raja penerusnya secara konsisten dan berkesinambungan, terus-menerus membangun normalisasi dan regulasi dalam aturanaturan praktik mendalang yang disebut pakem. Pakem itu menjadi alat sangat efektif dan menentukan dalam hal strategi mewacanakan Arjuna, disebabkan dijadikan sebagai aturan baku pertunjukan wayang bagi para dalang se-wilayah Mataram oleh keraton.
4.2.3.1. Wacana Tokoh Arjuna Secara Eksplisit dalam Teks Pakem Pewacanaan Arjuna secara ekplisit dalam pembahasan ini dimaksudan wacanawacana yang mudah ditangkap bagi dalang dan penikmat melalui tulisan-tulisan yang harfiah dalam buku-buku sumber literatur pedalangan yang dalam dunia pedalangan lebih dikenal dengan sebutan pakem. Dalam praktik mendalang tulisan-tulisan dalam bentuk kalimat dan kata-kata itu juga diucapkan oleh dalang secara verbal. Sutrisno (2009:26) mendefinisikan bahwa pakem adalah buku pedoman mendalang bagi para dalang. Pakem dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pakem gancaran, balungan, dan tuntunan pakeliran. Pakem gancaran adalah buku teks berbentuk prosa yang memuat mitologi dan cerita wayang seperti Mahabarata Kawedhar karangan Sutarta Harja Wahana, Pustakarajapurwa dan Serat Paramayoga tulisan dari Ranggawarsita, Serat Dewa Ruci oleh Yasadipura II, dan sebagainya. Balungan adalah teks berisi garis-garis
77
besar jalan cerita lakon wayang seperti Serat Pakeliran Ringgit Purwa, karangan MN VII, Buku Balungan Lakon berjudul Pakem Wayang Purwa tulisan Prabaharjono, Kumpulan Balungan Lakon, karangan Sabdawara, Reroncen Balungan Ringgit Purwa tulisan Hargono dan sebagainya. Jenis ketiga, Pakem tuntunan pakeliran adalah buku pedoman mendalang lengkap yang berisi dialog, sulukan, narasi, dan deskrepsi tentang jalanya cerita, misalnya Wahyu Pakem Makutharama karangan Wignyo Soetarno dan Irawan Rabi tulisan Naya Wirangka. Dalam ketiga jenis pakem yang juga karya termasuk sastra klasik Keraton Surakarta di atas cerita tentang Arjuna sangat mendominasi . Pakem gancaran utama seperti Mahabarata kawedhar, mewacanakan Arjuna dan saudara-saudaranya Pandhawa sejak “parwa I Adiparwa” tentang leluhur dan masa kecil Arjuna, masa kejayaan Arjuna dan Pandhawa, dalam “Baratayudha” hingga “Swarga Rohana parwa” Arjuna bermeditasi untuk mencapai moksa.
Sebuah kitab sempalan (ranting) dari
Baratayudha karangan Lokamaya disebut Bagawat Gita, berisi wejangan (nasehat) Kresna kepada Arjuna juga menokohkan Arjuna sebagai simbol individu manusia yang mampu bersatu dengan Tuhan yang dilambangkan Krisna. Demikian pula Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa dan Partayadna karangan Mpu Triguna, sebagaimana telah disinggung di atas. Dominasi cerita tentang Arjuna juga tampak pada pakem jenis kedua yang populer disebut balungan. Pakem balungan berupa uraian tentang jalan cerita lakon carangan (prahmen cerita yang masih bersumber dari pakem utama), itu diantaranya “Arjuna Wiwaha”, “Partayatna”, “Parta Krama”, “Wirathaparwa”,
“Parta Soba”,
“Arjuna Rangka”, “Parta Warayang”, “Cekel Indralaya”, “Puthut Sidalamong”, dan masih banyak lagi.
Suratno (2003:38) dalam penelitiannya berjudul Studi tentang
Lakon Wahyu dalam pakeliran Wayang Kulit Purwa di Surakarta Dalam Satu Dekade terakhir, menyimpulkan bahwa dari banyak lakon wahyu Arjuna dan Abimanyu-lah yang paling banyak menerima wahyu. Berkaitan dengan pakem tuntunan pedalangan, tokoh Arjuna juga menjadi pilihan bagi penulis pakem. Di lingkungan pedalangan dikenal empat naskah lakon yang dipandang berbobot dan menjadi acuan para dalang, semuanya bertema tentang Arjuna, yaitu Lakon Wahyu Pakem Makutharama dan Arjuna Wiwaha karangan Wignyo
78
Soetarno, Wahyu Purba Sejati karangan Siswa Harsaya, dan Irawan Rabi karangan Nayawirangka. Dominasi penampilan Arjuna dalam pakeliran juga nampak berkaitan dengan pathet. Sutrisno (et al., 2009:41) mengemukakan bahwa semua bentuk pentas wayang baik semalam, ringkas maupun padat selalu mentaati ketentuan pakem yang terdiri dari pathet nem, sanga, dan manyura.
Ketiga pathet dikaitkan dengan makna simbol
perjalanan hidup manusia, pathet nem gambaran proses kehidupan masa muda, pathet sanga menyimbolkan kehidupan masa tua, dan manyura simbol ketika manusia telah hampir mendekati kematian. Di antara ketiga pathet Solichin (2010:186) berpendapat bahwa pathet sanga-lah yang tertinggi dan penting karena dalam pathet tersebut manusia sampai pada tahap sepuh artinya sepuh sepi hawa awas loroning atunggal (masa tua yang telah mampu mengendalikan napsu serta waspada terhadap kesatuan dikotomi benar dan salah). Tokoh Arjuna leluhur dan keturunanya garis ke atas Pandhu (ayah), Abiyasa (kakek), Palasara (buyud) dan garis ke bawah Abimanyu (anak), Parikesit (cucu) dalam pakem tuntunan pedalangan selalu ditampilkan dalam pathet sanga yang dikatakan Solichin sebagai pathet tertinggi. Kekhususan Arjuna pada adegan tersebut adalah tampil dalam adegan meditasi di tengah hutan, berguru pada pendeta dan perang kembang. Ketiga adegan tersebut dipandang sangat penting dalam pedalangan karena dianggap representasi nilai Jawa sebagai manusia yang telah sempurna dalam hal pengendalian diri, mencari ilmu dan mengesampingkan napsu-napsu negatif.
4.2.3.2. Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran Pewacanaan Arjuna selain dibangun oleh
Sultan Agung dan keturunannya
secara eksplisit lewat teks-teks pakem, juga dibangun secara implisit melalui nilai-nilai wayang. Hal itu dikarenakan pencipta Babad Tanah Jawi sebagai sumber wacana tentang Arjuna sangat menyadari bahwa nilai adalah sumber ide yang menuntun etika dan estetika, bagi masyarakat Jawa, maka wacana Arjuna lewat nilai-nilai merupakan strategi sangat efektif untuk mempengaruhi masyarakat Jawa (Magnis Suseno, 1991:6971). Nilai-nilai tokoh Arjuna tersembunyi di balik makna-makna baik rupa wayang sebagaimana semiotika di atas maupun lewat dialog-dialog, narasi, sulukan, dan juga
79
adegan. Nilai-nilai dalam pakeliran disampaikan dalang sebagai amanat atau pesan moral secara tersirat. Penonton akan menangkap pesan-pesan itu melalui kontemplasi dan refleksi makna pertunjukan. Nilai-nilai moral dalam pakeliran terkandung pada hampir seluruh unsur dan aspek pakeliran, tetapi dalam pembahasan ini dikhususkan pada nilai yang menyangkut wacana tokoh Arjuna dalam adegan perang kembang dan relasinya dengan Panakawan. Adegan perang kembang sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan tentang pakem tuntunan pedalangan di atas,
mengandung nilai pengendalian diri
sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup yang diistilahkan kasampurnan. Cresnayani (et.al,. 2009:289) mengemukakan bahwa adegan perang kembang, Arjuna berperang dan membunuh empat raksasa, Cakil, Rambut geni, Pragalba, dan Buta Galiyuk adalah simbol dari pribadi yang selalu menghadapi empat napsu lauamah, amarah, sufiyah dan mutmainah. Keempat napsu itu maknanya masing-masing, lauamah napsu kemalasan, amarah napsu kemarahan, sufiyah napsu birahi dan mutmainah napsu kesucian. Kemenangan Arjuna melawan keempat raksasa dipandang sebagai simbol kesempurnaan manusia mencapai hakekat hidup setelah mampu mengesampingkan keempat napsu. Solichin (2010:282) berpendapat bahwa makna simbol dari adegan perang kembang adalah makna esensial adanya wayang karena makna itu menuntun manusia Jawa untuk mencapai hakekat kesempurnaan untuk manunggaling kawula gusti yang artinya bersatu dengan hakekat hidup yaitu Tuhan. Nilai-nilai perang kembang itu dikonstruksi dan diwacanakan lewat pertunjukan wayang untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat luas bahwa Raja-Raja Mataram yang disimbolkan tokoh Arjuna adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan menyatu dengan dzat Tuhan. Persatuan manusia dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa populer disebut Manunggaling Kawula Gusti mengandung dimensi legitimasi kekuasaan.
Solikhin (2008:104-105 ) dalam tulisannya berjudul Ajaran
Ma’rifat Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa syarat manusia bisa menyatu dengan Dzat Allah adalah jika telah mencapai derajat insan al kamil (manusia sempurna), dan pada derajat itu-lah manusia bisa disebut sebagai kalifah fi al- Ardh yang artinya wakil Tuhan di muka Bumi. Dengan demikian perang kembang mengandung pesan bahwa Sultan Agung adalah wakil Tuhan di Tanah Jawa.
80
Demikian pula relasi antara Arjuna dengan Panakawan dan musuhya para danawa/buta, adalah nilai-nilai implisit dalam pakeliran yang disampaikan kepada masyarakat penonton yang berisi pesan bahwa Raja-Raja Mataram adalah wiji luhur trahing kusuma rembesing madu wijiling andanawa ri (ras super, keturunan para pahlawan, darah bangsawan, dan
musuh para angkara murka).
Sultan Agung
dikodratkan sebagai penguasa orang Jawa dan satria penahluk bagi para pembangkang, sehingga siapa-pun golongan pembangkang disimbolkan sebagai kaum raksasa, buta, sabrang dan/atau danawa.
Adegan Arjuna dengan Panakawan abdinya yang terdiri
dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, serta peperangan Arjuna dengan raksasa dalam Perang Kembang adalah representasi dari konsep tersebut. Nilai-nilai implisit relasi Arjuna dengan Panakawan dan para raksasa dalam perang kembang dapat digambarkan dalam skema berikut.
81
Raja-Raja Mataram trah Arjuna istimewa di atas kebanyakan orang
Buta dan danawa lambang musuh Mataram
Panakawan lambang orang kebanyakan
Gambar 14. Skema Relasi antara Arjuna dengan Panakawan, dan Buta.
Dalam setiap pentas, dalang selalu mengacu ketiga jenis pakem di atas. Pakem gancaran sebagai sumber acuan bagi dalang tentang silsilah, isi cerita dan nilai-nilai moral lakon wayang. Pakem balungan menjadi acuan bagi dalang dalam hal alur lakon khususnya lakon-lakon carangan (cerita baru yang masih mengacu pada cerita baku), dan pakem tuntunan diacu dalam hal urut-urutan adegan. Selain ketiga jenis pakem tertulis, masih banyak pakem-pakem
konvensi tidak tertulis dalam hal tehnik
mendalang tentang sulukan (vokal dalang), sabet (tata cara menggerakkan wayang), dan catur (tata wacana wayang). Semua pakem bersumber dari para pujangga dan guru-guru pedalangan keraton yang telah mendapat pengesahan raja yang sedang berkuasa, diturunkan dari dalang legendaris Mataram, Kyai Panjangmas serta berpedoman pada isi Babad Tanah Jawi karya sastra era Sultan Agung (Graaf, 2002:327).
82
4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton Pakem pedalangan yang sebelumnya berujut konvensi-konvensi lisan di lingkungan para dalang mulai dilembagakan secara resmi sejak era PB X dalam Pasinaon Dalang ing Surakarta (PADASUKA) berdiri tahun 1923
di keraton
Surakarta, Pasinaon Dalang Mangkunagaran (PDMN) didirikan pada tahun 1931, di Pura Mangkunagaran, dan Hanggiyarake Biwara Rancangan Dalang (HABIRANDA) berdiri tahun 1925 di keraton Jogjakarta (Soetarno 1995:15). Melalui pakem dan sekolah-sekolah dalang tersebut calon dalang dan bahkan juga dalang-dalang yang meskipun sebelumnya telah laris, dituntut menjalani tahap sosialisasi dengan normanorma dan aturan-aturan pedalangan gaya keraton sesuai dengan disiplin-disiplin yang telah di buat para empu-empu pedalangan keraton yang mendapat pengesahan raja, PB X dan MN VII saat itu. Pakem dan sekolah dalang dalam teori Foucault tentang power dipahami sebagai institusi-institusi yang didirikan oleh penguasa sebagai sarana untuk mendisiplinkan dan mensosialisasikan norma-norma kepada individu-individu (Yusuf Lubis, 2014a:80). Dalam bukunya berjudul The History of Sexuality (1978), Foucault menguraikan bahwa: Bio-power adalah satu bentuk kekuasaan yang berfokus pada bagaimana mengatur kehidupan manusia pada tingkat populasi masa. Pada bio-power institusi melakukan apa yang disebut “power/knoledge” dengan melakukan pelatihan dan pendidikan bagi individu dan ini meningkatkan dan mengatur kehidupan manusia secara umum (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:80). Sejak lahirnya pakem pedalangan keraton terjadi kecenderungan di masyarakat penilaian yang positif terhadap dalang-dalang penganut pakem terutama lulusan sekolah pedalangan PADASUKA, PDMN, maupun HABIRANDA di Jogjakarta, sebagai dalang berkualitas yang merepresentasikan cita rasa priyayi keraton. Dengan adanya normanorma dan aturan-aturan pementasan
wayang dalam bentuk pakem sebagai acuan
semua dalang di Jawa maka wacana tokoh Arjuna disosialisasikan terus secara menerus oleh dalang kapan-pun dan di mana-pun. Dengan demikian tidak hanya para dalang yang mengalami tahap sosialisasi dan pendisiplinan di sekolah-sekolah dalang, tetapi juga para penonton baik di lingkungan komunitas keraton, rumah-rumah priyayi, atau di tengah-tengah masyarakat umum. Dalam jangka waktu tertentu, sosialisasi itu akan mengkonstruksi kesepahaman dan kesepakan dalam kesatuan kolektif Jawa dalam
83
bentuk sebuah cita rasa bersama, kegemaran bersama atau identitas bersama dalam periode Mataram yang disebut oleh Foucault sebagai episteme (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:184). Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa diskursus tokoh Arjuna diwacanakan sejak zaman Sultan Agung dengan cara desentralisasi dan pluralisasi, kuasa pengetahuan tersebut kepada masyarakat luas. Artinya, pengetahuan tentang Arjuna yang mendatangkan power knowledge (kuasa pengetahuan) bagi setiap individu di Mataram, tidak memusat di lingkungan keraton tetapi disebarluaskan melalui agenagen utama wacana yaitu dalang, penanggap maupun penonton dalam ivent-ivent yang telah mentradisi dalam masyarakat Jawa di berbagai lapisan baik lapisan atas di lingkungan keraton, rumah priyayi maupun masyarakat umum. Sedangkan pluralisasi adalah sebuah proses dimana setiap individu dan kolektif dibiasakan, di latih dan dihimbau melalui wacana itu tentang arti penting pertunjukan wayang dan nilai-nilai ketokohan Arjuna terhadap kehidupan orang Jawa. Hasil dari diskursus Arjuna itu adalah tersosialisasinya pengetahuan tentang Arjuna dalam setiap pribadi dan kolektif di Jawa dengan lahirnya kesadaran setiap subyek dalam satu kesatuan episteme yang menghegemoni legitimasi kekuasaan Raja-Raja Mataram.
84
4.3. Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa Arti kata implikasi menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia online) adalah “keterlibatan” atau “keadaan terlibat” (Setiawan, 2014:1). Makna dari relasi kata implikasi dengan diskursus tokoh Arjuna bagi kehidupan orang Jawa adalah hubungan keterlibatan diskursus tersebut terhadap kehidupan orang Jawa era Mataram hingga sekarang, sebagai akibat atau dampak dari proses diskursus tokoh Arjuna yang telah di bangun oleh Sultan Agung, dan terus-menerus di-reproduksi oleh para raja penerusnya hingga Paku Buwono di Surakarta sekarang.
Hubungan keterlibatan
itu adalah
pengaruh dari wacana-wacana tentang Arjuna terhadap kesadaran personal dan interpersonal di Mataram, atau pada umumnya orang Jawa. Untuk memahami keterlibatan dan pengaruh-pengaruh pengetahuan terhadap pribadi dan kolektif Jawa perlu dituntun teori Foucault tentang tubuh dan episteme.
Teori genealogi dari Foucault (1978)
menguraikan tentang tubuh sebagai berikut. Tubuh diukir secara total oleh sejarah. Tubuh juga terlibat secara langsung dalam ranah politik, relasi kekuasaan memunculkan secara langsung terhadapnya, relasi kekuasaan menyemainya, melatihnya, menyiksanya, menandainya, memaksanya melakukan berbagai tugas. “Investasi politik” tubuh ini terikat sejalan dengan relasi-relasi timbal balik yang kompleks, dikaitkan dengan berbagai relasi kekuasaan dan dominasi. Menjadi tubuh yang bermanfaat jika produktif sekaligus patuh (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:82). Konsep teori di atas, menuntun pemahaman bahwa penguasa (Sultan Agung) menyemaikan, mengkondisikan dan melatih pengetahuan tentang Arjuna dengan membangun kesadaran subyek, dan inter-subyek di Mataram agar setuju, sepaham dan tersosialisasi dengan nilai-nilai tersebut. Setiap subyek dalam jaringan diskursif mengalami sosialisasi nilai-nilai tokoh wayang Arjuna secara budaya lewat tontonan wayang di lingkungan sekitarnya pada event-event yang mentradisi di Jawa, wacanawacana di masyarakat atau-pun pelajaran muatan lokal di sekolah yang akhir-akhir ini digalakkan. Kesadaran masing-masing subyek terhadap wacana Arjuna, dalam satu kesatuan kolektif Jawa menjadi kesapahaman dan kesepakatan kolektik yang pada akhirnya membentuk sistem berpikir dan perilaku yang diistilahkan Foucault episteme. Berkaitan dengan episteme, Kali menguraikan pendapat Foucault sebagai berikut. Episteme merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan praktik-praktik lisan dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah tertentu. Dengan demikian episteme adalah sistem tersembunyi di balik pengetahuan yang dominan pada masa tertentu. Sistem tersembunyi itu dianggap
85
pemersatu dalam realitas yang paling dalam, pada suatu peradaban atau periode tertentu (Kali, 2013:40). Foucault dalam teori genealogi mengemukakan bahwa episteme adalah suatu sistem berpikir pada era histori tertentu, yang mengarahkan praktik suatu pengetahuan menjadi sebuah pola perilaku kolektif. Berbeda dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang biasanya tertulis dalam teks secara eksplisit, episteme bersifat implisit atau tidak nampak, tetapi menjadi acuan berfikir para subyek yang telah dibentuk secara budaya oleh apa yang disepakati sebagai sebuah kebenaran dan pembenaran. Konstruksi subyek dan kebenaran itu dibentuk oleh penguasa dalam periode histori tertentu (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:184). Mengacu pada kedua konsep teori di atas, maka bisa diketahui bahwa diskursus tokoh Arjuna yang dibangun sejak era Sultan Agung berimplikasi terbentuknya episteme Jawa era Mataram. Oleh orang Jawa episteme itu dikenal dengan istilah gagrag budaya mataraman. Akhiran-an pada kata Mataram, merujuk sebuah ragam budaya dan periodisasi vase Mataram Sultan Agung sebelum Kartasura dan Surakarta. Episteme Mataraman itu dalam percaturan budaya sering digunakan untuk menyebut karya budaya yang dilahirkan era Mataram Islam sejak zaman Panembahan Senopati hingga periode pasca Sultan Agung di Kartasura tahun 1584 -1749, misalnya dalam hal penyebutan tahun Jawa mataraman, batik corak mataraman, keris tangguh mataraman, sulukan gaya mataraman, atau ukir ragam mataraman. Setelah peristiwa palihan nagari terpecahnya bekas Kerajaan Mataram yang telah berpindah ke Surakarta, ditandai penobatan Pangeran Mangkubumi menjadi penguasa di Jogjakarta pada tahun 1755, negara baru yang beribukota dekat dengan Kota Gede bekas ibu kota Mataram itu, merasa sebagai penerus dinasti lama, sehingga episteme era Mataram diwacanakan lagi di Jogjakarta. Dengan demikian,
episteme mataraman sering kacau dengan
pengertian episteme produk budaya Jogjakarta. Oleh sebab itu untuk menunjuk produk budaya era Mataram lama perlu diberi keterangan episteme Mataram sultan-agungan. Sebagaimana dikemukaan Foucault di atas, episteme adalah pola pemikiran dan perilaku yang bersifat implisit tidak tampak di permukaan. Dengan demikian, episteme era Mataram hanya bisa diamati berujut kecenderungan, kesetujuan, dan cita rasa yang mengarah kepada hegemoni karya budaya era Mataram. Salah satu bentuk hegemoni itu adalah pandangan bahwa keraton adalah pusat dan sumber budaya agung Jawa yang
86
harus menjadi acuan bagi masyarakat Jawa. Pengakuan keraton sebagai sumber budaya agung merepresentasikan bahwa keraton dianggap sebagai parameter nilai budaya yang tinggi, sebaliknya di luar keraton adalah produk budaya yang memiliki kadar nilai lebih rendah atau bahkan budaya rendahan. Berkaitan dengan budaya tinggi/agung, penulis Inggris abad 19, Arnold mengemukakan sebagai berikut. Budaya tinggi adalah hal-hal terbaik yang pernah dipikirkan dan diucapkan manusia di dunia, dengan membaca, mengobservasi dan berfikir sebagai sarana menuju penyempurnaan moral dan kebaikan sosial. Kebudayaan adalah bentuk peradaban manusia yang berlawanan dengan sifat anarkis massa yang mentah, dan tidak berbudaya (Arnold dalam Barker, 2005:48). Pandangan Arnold didukung oleh Leavis yang mengemukakan sebagai berikut. Kebudayaan adalah puncak peradaban urusan kaum elite terpelajar. Tujuan budaya adalah menghidupkan, merawat, dan menyebarkan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang baik dari hal-hal yang buruk dalam kebudayaan. Tugas kebudayaan adalah mendefinisikan, membela yang terbaik dari kebudayaan kanon karya-karya hebat, dan mengkritik iklan, film, dan fiksi-fiksi populer produk terburuk budaya massa sebagai candu pengalih perhatian (leavis dalam Barker, 2005:49). Bentuk-bentuk khas representasi dari cita rasa budaya episteme Mataram itu disebut dengan beragam istilah di antaranya, adiluhung, kejawen, Agami Jawi, Jawa Jawata, Jawa Dipa dan sebagainya. Di antara istilah satu dan yang lain tidak memiliki pemilahan pengertian secara jelas, namun berupa bangunan keterkaitan yang rumit antara aspek satu dan yang lain. Misalnya istilah paling umum kejawen, selain memiliki cakupan pengertian religiusitas, juga berkaitan dengan adat tradisi baik yang berlaku di lingkungan keraton atau-pun di masyarakat luar keraton. Istilah itu juga mencakup nilainilai produk Jawa seperti etika dan estetika yang berkaitan dengan seni. Demikian pula, istilah adiluhung lebih sering digunakan dalam ranah seni yang edi peni dan edi luhung (indah dan memiliki makna luhur). Akan tetapi,
makna adi dalam istilah itu
menampilkan pengertian makna-makna dalam konteks mistik religiusitas Jawa. Saling keterjalinan berbagai unsur budaya tersebut sangat nampak dalam seni wayang, yang seharusnya masuk ranah seni pertunjukan, tetapi pada kenyataanya, dalam unsur-unsur pentas wayang penuh pesan nilai-nilai religi, keyakinan, kebatinan yang menyatu dalam kompilasi nilai moral dan seni pentas. Tidak mengherankan, karena pengaruh mistisisme pakeliran itu, di lingkungan dalang-dalang senior banyak yang berpendapat
87
bahwa wayang adalah ideologi tersendiri, bahkan bentuk keyakinan khusus bagi para dalang, sehingga banyak para dalang tidak merasa perlu memeluk agama formal secara khusuk karena wayang telah memberi banyak penghayatan religiusitas, lengkap dengan tuntunan ritualnya (Sularso, wawancara 24 Oktober 2014). Berkaitan dengan sangat rumitnya jalinan unsur budaya episteme Mataraman, kejawen, adiluhung, atau dengan istilah yang lain, Mulder dalam Ruang Batin Masyarakat Indonesia mengemukakan. Cara berfikir orang jawa melaraskan semua gejala. Perbedaan yg prinsipial di antara macam-macam kelas gejala seperti obyek/subyek, bentuk/waktu, bentuk/waktu, simbol/benda, hidup/mati, kawula/gusti, dan ide/hal tidak dipikirkan; semua disederhanakan dalam satu bagan yang mana semua berhubungan secara mitologis (Mulder, 2001: 52). Mengacu pendapat Mulder di atas dalam pembahasan tentang bentuk-bentuk khas episteme era Mataram sebagai pengaruh implikasi diskursus Arjuna akan diuraikan beberapa contoh aspek budaya yang mengindikasikan pengaruh episteme tersebut dalam masyarakat Jawa sekarang. Untuk mempermudah pemahaman bentuk-bentuk khas dari aspek episteme era Mataram itu diuraikan sesuai dengan kecenderungannya masingmasing, misalnya episteme adiluhung lebih mengarah pada bentuk khas seni, kejawen lebih mengacu pada bentuk religiusitas, dan poligami sebagai gaya hidup priyayi yang hingga saat kini kontroversial di masyarakat. Meskipun episteme era Mataram masih sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan orang Jawa hingga saat ini, tetapi karena implikasi globalisasi di mana pengaruh global seperti kapitalisme, budaya populer, liberalisasi, dan demokrasi tidak bisa dihindarkan dalam perkembangan kehidupan masyarakat Jawa modern, maka perbenturan budaya antara tradisi dan modern berdampak masalah-masalah budaya di masyarakat. Berdasarkan fakta-fakta itu maka pembahasan selanjutnya juga mengkritisi masalah-masalah tersebut.
4.3.1. Ragam Budaya Adiluhung. Salah satu sistem berpikir yang mencirikan episteme era Mataram di bidang wayang dan seni pertunjukan pada umumnya adalah seni budaya adiluhung. Solichin (1998:2) menguraikan bahwa karya seni budaya adiluhung adalah ungkapan-ungkapan dalam budaya khususnya seni yang menampilkan estetika keindahan dilandasi dengan makna filosofis tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Salah satu bentuk dari adiluhung itu dikenal dengan istilah ngrawit yaitu karya seni yang me-representasikan keindahan
88
pada tingkat kerumitan yang tinggi, misalnya batik, wayang, tari, dan karawitan klasik. Makna filosofis yang terkandung dalam seni adiluhung, sebagaimana dimaksud oleh Solichin tersebut adalah makna-makna mistik tentang cita-cita kehidupan manusia mencapai kasampurnan dengan manunggaling kawula gusti. Dalam pertunjukan wayang, kasampurnan dan manunggaling kawula gusti itu tercermin secara implisit dalam sistem tiga pathet, alur pengadegan, dan perang kembang sabagaimana telah disinggung di atas. Selain itu juga sangat tampak pada lakon-lakon yang dikeramatkan dalam pedalangan yaitu Dewa Ruci dan Bima Suci, yang bertema mistik Jawa tentang keberhasilan Bima bertemu dengan Dewa Ruci sebagai simbol dari kehadiran Tuhan. Salah satu produk budaya adiluhung yang mengakar di masyarakat adalah pakem. Pakem sebagai kumpulan dari pedoman mendalang hingga saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat pendukung wayang. Meskipun pakeliran telah mengalami banyak perubahan dari para dalang dan lembaga-lembaga pengembangan wayang seperti sekolah-sekolah formal jurusan pedalangan di SMKI, SMK, ISI dan juga di sanggar-sanggar, tetapi pengembangan itu sebatas pada tata lampu, iringan, garapan alur menjadi pakeliran ringkas atau padat; sedangkan secara garis besar acuan terhadap pakem, balungan, maupun gancaran tidak ditinggalkan. Pakem sebagai produk adiluhung dipandang masyarakat sebagai strandar mutu etika dan estetika wayang. Bagi para dalang yang melanggar ketentuan pakem akan mendapat sangsi dari masyarakat berupa penilaian sebagai dalang yang tidak bermutu. Karena pelanggaran-pelanggaran itu maka muncul sebutan negatif dari masyarakat seperti dalang edan, dalang stress, dalang degleng, dalang setan dan sebagainya (Sulistiono, 2014:5). Di sisi lain pakem dipandang sebuah belenggu bagi seniman. Wahyudi (2012:3) mengemukakan bahwa pakem mulai dikritisi sekitar tahun 50-an oleh direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Gendhon Humardani, beserta cantrik-cantriknya (murid-murid) di Jurusan Pedalangan ASKI Surakarta, seperti Bambang Suwarno, Bambang Murtiyoso, Sumanto dan lainnya. Mereka mendekonstruksi pakem dengan garapan kontemporernya saat itu “pakeliran padat” yang berusaha memadatkan unsurunsur pakeliran, alur cerita, dan iringan, serta durasi waktu pentas yang sebelumnya selama sembilan jam dalam vase pembagian waktu tiga pathet, nem, sanga, dan manyura, menjadi tiga jam, satu, atau bahkan 45 menit. Berkaitan dengan pakem pedalangan Murtiyoso berpandangan.
89
Pakem tersebut memang semula sekedar sebagai pancadan para murid. Tetapi dalam penyebaran selanjutnya ditafsirkan suatu hal mutlak harus begitu. Harus dijalankan, tidak boleh dilanggar sebab itu dianggap yang benar, kalau tidak seperti itu salah !( Murtiyoso 1981:8) Kecenderungan sebagian besar masyarakat Jawa untuk selalu melanggengkan pakem yang bernilai adiluhung sekarang ini dipandang memiliki kelemahan sebagai berikut. Pertama, bagi seniman pencipta,
pakem adalah penghilangan hak personal
untuk mengakui karya ciptanya; dikarenakan telah dikondisikan sejak jaman Sultan Agung, bahwa setiap karya di lingkungan keraton baik karya sastra, seni pertunjukan, rupa, atau-pun yang lain harus diatasnamakan raja, sebagaimana diuraikan di atas karyakarya monumental seperti Babad Tanah Jawi, Sastragendhing, Wayang Arjuna wanda Mangu, Tari Bedaya Ketawang, semua tidak menyertakan pencipta aslinya, Pangeran Kadilangu, Pangeran Pekik, Kyai Panjang Mas, Pangeran Purbaya dan sebagainya. Akibatnya setelah pamor keraton semakin memudar karya-karya tersebut anonim tidak diketahui penciptanya. Di era pengakuan hak cipta sebagaimana dikatakan Sedyawati (2009:69) bahwa semua pengguna karya seni wajib ijin kepada pencipta dengan memberi kompensasi bonafit (kemanfaatan) dan profit (keuntungan), formulasi budaya pengingkaran hak cipta, atas nama raja itu sungguh sangat merugikan pencipta dan keturunanya yang seharusnya menerima royalti. Kedua, bentuk pemakeman karya seni sesungguhnya juga merupakan belenggu kreativitas bagi para seniman. Seni yang dalam konsepnya adalah suatu kebebasan berekspresi bagi masyarakat menjadi terhalang dan terbelenggu oleh pedoman-pedoman pakem, waton, angger-angger dan sebagainya yang sebetulnya sengaja diciptaan keraton untuk memuliakan raja dan keluarganya. Pemakeman-pemakeman itu akhirnya mengakibatkan terbentuknya vokabuler blangkon (konvensi-konvensi teknik pentas yang tinggal memakai) tanpa ada ruang penciptan bagi para seniman, misalnya ketentuan dalam pentas wayang dalam hal alur pengadegan yang harus dimulai dari jejer, kedatonan, pagelaran njaba, budhalan hingga tancep kayon (adegan I keraton, keputrian, penghadapan di ruang pagelaran, parade keberangkatan prajurit dan tancep kayon pertanda pertunjukan selesai).
90
Bentuk-bentuk konvensi sebagaimana contoh di atas lebih banyak menonjolkan keagungan kekuasaan raja misalnya dialog baku dalam jejer antara Sri Kresna dan Samba,
putranya
“Kulup
aja
was
sumelang
atinira,
Sira
tansah
antuk
palimirmaningsun, lamun Sira nandhang ukum pati mung bakal tumeka lara, yen nandhang ukum lara bakal antuk pangapuraningsun” artinya “putraku, Kamu selalu akan mendapat anugerah dariku, jika Kamu mendapat hukuman mati hanya akan kuganjar sakit, jikalau Kamu mendapat hukuman sakit akan aku bebaskan” (Soeratno dalam Soemarno 1996:3). Dialog tersebut mengungkapkan tentang kekuasan raja yang tak terbatas termasuk pembenaran melakukan nepotisme dengan melaksanakan hukum negara semaunya tanpa berpedoman dengan hukum positif. Ketiga, kehadiran pakem juga berdampak karya seni lokal di luar keraton menjadi terpinggirkan. Intervensi keraton terhadap karya seni masyarakat yang dimulai sejak jaman Sunan Hanyakrawati turun temurun hingga Surakarta, menyebabkan keraton dijadikan kiblat etika dan estetika budaya Jawa. Karena pengaruh wibawa raja segala hal yang berkaitan pedoman dan karya produk keraton, mendapat penghormatan sangat tinggi di masyarakat luas, sebaliknya karya lokal kedaerahan di luar pengaruh raja dianggap kerakyatan dan produk rendahan. Karena asumsi itu maka masyarakat pendukungnya meninggalkan sehingga pelan-pelan karya seni kedaerahan mengalami kepunahan. Hal itu terbukti setelah Sunan Hanyakrawati menitahkan kepada tetua dalang di Mataram Kyai Panjangmas agar pentas ruwatan (pentas wayang yang dipercaya sebagai pembuang sial) yang sebelumnya menggunakan wayang beber diganti dengan wayang purwa, mengakibatkan kepunahan wayang beber baik bentuk pentas maupun regenerasi dalangnya.
Akhir-akhir ini berkembang wacana pelestarian wayang beber di
lingkungan dalang-dalang muda dan kepariwisataan Surakarta, untuk menampilkan lagi wayang tertua itu. Namun usaha rekonstruksi menemui kegagalan karena telah sangat langka dalang senior yang memiliki kemampuan mementaskannya. Hanya tinggal satu keluarga saja Bapak Guna Sarnen di Pacitan, pewaris wayang beber Pacitan, tetapi ia tidak bisa menularkan kepada orang lain dikarenakan takut pada kutukan leluhurnya bagi yang mengajarkan pentas wayang beber di luar keluarga (Soetarno, 1995:19). Demikian pula, semenjak Pedalangan gaya priyayi Surakarta populer di masyarakat, dampak yang terjadi adalah semakin punahnya gaya Pedalangan
91
kedaerahan seperti wayang gaya Pesisiran, Jawatimuran, wayang Golek Menak, Krucil, Klithik, dan sebagainya.
Nasib yang sama menimpa pula produk seni kedaerahan
seperti Srandul, Topeng Klaten, Jathilan, Sronthol, Orek-orek, Barongan, Jaran dhor, Angguk, bahkan seni Ketoprak yang pada tahun 70-an mengalami kejayaan sekarang ini telah punah dikarenakan mendapat stigma karya seni rendahan bukan produk kraton. Masyarakat dalam budaya Jawa pada umumnya beramsumsi bahwa raja adalah sumber dari berbagai anugerah seperti pandangan Soetarno berikut “ Raja adalah pusat segala-galanya; pusat kekuasaan, pusat kesejahteraan, pusat kekuatan dan sebagainya, maka tidak aneh apa yang ada di kalangan keraton itu akan mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan di masyarakat”(Soetarno,1995:44). Pandangan tentang budaya adiluhung bisa dipahami menggunakan teori budaya tinggi dan rendah dari Penulis Inggris Matthew Arnold pada abad 19, bahwa kebudayaan adalah hal-hal terbaik yang pernah dipikirkan dan diucapkan manusia di dunia, dengan membaca, mengobservasi, dan berfikir sebagai sarana menuju penyempurnaan moral dan kebaikan sosial. Argumen estetik dan politis kebudayaan sebagai peradaban itu dilawankan dengan sifat anarkis massa yang mentah dan tidak berbudi daya (Arnold dalam Barker, 2005:48) Teori Arnold dikembangkan oleh F.R Leavis dan Q.D. Leavis yang karyanya dimulai sekitar Tahun 1930-an.
Dalam argumennya leavis mengemukakan tujuan
budaya tinggi adalah untuk menghidupkan, merawat, dan menyebarkan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang baik dari hal-hal yang buruk dalam kebudayaan. Bagi Leavisisme, tugasnya adalah mendefinisikan dan membela yang terbaik dari kebudayaan, kanon karya-karya hebat dan mengkritik hal-hal terburuk dari budaya massa dengan candu pengalih perhatian (Leavis dalam Barker, 2005:49). Berkaitan dengan konsep budaya adiluhung/tinggi yang sangat superior, Barker (2005) mengutip pendapat yang berbeda dari Williams sebagai berikut: Kebudayaan memiliki dua aspek makna dan arahan-arahan yang sudah dikenal yang sudah dilatihkan pada para anggota budaya itu; (dan) observasi dan makna-makna baru, yang ditawarkan dan diuji. Semua ini merupakan proses-proses biasa dalam proses masyarakat manusia dan jiwa manusia, dan melaluinya kita bisa melihat sifat dari kebudayaan: bahwa kebudayaan selalu tradisional sekaligus kreatif; bahwa ia adalah makna-makna umum yang paling biasa sekaligus makna-makna individual yang paling halus (Williams dalam Barker, 2005 :50)
92
Williams memposisikan budaya secara netral dan alami, bahwa budaya tinggirendah, adiluhung-kerakyatan, kontemporer, klasik dan populer sesungguhnya hanya perbedaan dimensi tempat dan waktu saja, sedangkan penilaian seni halus dan kasar, narasi besar dan kecil hanya asumsi-asumsi yang sangat dilatarbelakangi oleh relatifitas pengalaman masing-masing. Namun baik seni keraton, maupun rakyat, budaya klasik maupun populer semuanya adalah proses alami dalam sosial budaya, semuanya berhak hidup bersama-sama tidak ada yang saling mengungguli.
4.3.2. Religiusitas Kejawen Di bidang religius masyarakat, di Jawa maupun Indonesia pada umumnya telah dilembagakan oleh negara dalam bentuk agama yang dicantumkan dalam “kartu tanda penduduk” (KTP). Dalam pelaksanaanya terutama Agama Islam, tradisi lokal sangat mempengaruhi, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Wahied, bahwa bentuk ritual Islam tradisi Indonesia terdiri dari tiga model yaitu (a) model Sumatera Barat yang berakar pada tradisi Minangkabau, (b) model Gowa di Sulawesi yang berakar pada tradisi Islam kerajaan Gowa, dan (c) model Jawa yang berakar pada tradisi Islam Jawa (Wahied, 2000:19-21). Islam Jawa terutama daerah pedalaman sering disebut dengan dua istilah yaitu Islam Kejawen dan abangan. Kedua istilah tersebut mendeskrepsikan bahwa pelaksanaan ritual Islam di Jawa sangat dipengaruhi tradisi Jawa yang dalam pembahasan ini menunjukkan indikasi-indikasi pengaruh episteme era Mataram Sultan Agung yang bersifat sinkretik. Suyamto (1992:13) memaknai kejawen adalah sistem pemikiran dan perilaku yang memadukan dua unsur agama atau lebih menjadi sebuah bentuk religi lain dari sebelumnya. Lebih lanjut diuraikan oleh Ketua Yayasan Jatidiri Propinsi Jawa tengah itu bahwa pemaduan itu bukan sebuah pencampuradukan dogma agama tetapi sebuah sikap saling toleransi sesama pemeluk agama dan keyakinan yang diwujudkan dalam religiusitas. Oleh sebab itu ia lebih suka menggunakan istilah tantularisme, yang berakar dari ajaran Mpu Tantular di era Majapahit yang mengajarkan nilai “bhineka tunggal ika tan hana darma mangrwa” (berbeda-beda dalam kesatuan tidak ada agama yang mendua). Koentjaraningrat (1994:318) berpandangan bahwa sikap pemaduan beberapa agama dan keyakinan itu digolongkan dalam sinkretisme yang disebut Agami Jawi, yaitu suatu sikap budaya menampakkan pengamalan Islam di
93
permukaan tetapi di dalamnya belum meninggalkan nilai-nilai hinduistik, budaistik, animistik dan dinamistik. Geetz (1959:353) menyebut budaya sinkretik itu dengan istilah tradisi Islam abangan, yang digunakan sebagai pembeda Islam putihan yang dianut oleh sebagian besar pemeluk di pesisir utara Jawa.
Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa akar ritual Agami Jawi diturunkan sejak era Mataram, Sultan Agung bersama para tim ahlinya, Panembahan Kadilangu, Pangeran Pekik, Kyai Panjang Jiwa, dan Kyai Panjang Mas, diteruskan trah keturunannya PB III (1749-1788) di Surakarta , bersama pujangga R.Ng. Yasadipura (1729-1803), untuk tetap melestarikan warisan nilai-nilai budaya sebelumnya, era Demak, ataupun Majapahit. Lebih lanjut dikemukakan bahwa formulasi Agami Jawi itu dilatarbelakangi oleh semakin kuatnya desakan budaya Islam pesisir yang mistik dan heterodog kepada budaya pedalaman Mataram yang hinduistik, animistis dan dinamistis, ditandai dengan semakin merebaknya pemakaian tulisan Arab di masyarakat serta populernya karyakarya suluk dari pesantren pesisir yang salah satunya Serat Dewa Ruci. Untuk mempertahankan budaya Jawa kuno itu maka budaya Islam pesisir kemudian disatukan dengan kearifan lokal yang telah lama berkembang, dalam bentuk nilai-nilai ideologi Mataram sebagaimana dalam Babad Tanah Jawi, Sastra Gending dan penetapan penanggalan Jawa yang didalamnya berisi mitologi baru perpaduan antara dewa dan nabi dari Arab dalam satu keluarga sesama keturunan Nabi Adam dan Sis (Koentjaraningrat, 1994:317-318). Nilai-nilai sinkretik sebagai konstruksi budaya yang dibangun dari diskursus Arjuna, sangat nampak dalam silsilah wayang, dengan sangat pentingnya peran dewadewa dalam menentukan nasib para titah manusia. Tokoh-tokoh dewa pemelihara alam seperti Wisnu, Indra, Naradha dan Guru sangat berperan dalam menentukan kemenangan perang, serta anugerah wahyu yang akan diterima para manusia. Sangat berbeda dengan konsep Hindu bahwa Wisnu dan Guru sebagai inkarnasi dari Hyang Widiwasa (Tuhan), dalam pakem wayang episteme Mataram, para dewa diposisikan sebagai kerurunan dari nabi Sis dan Adam (Raffles dalam Prasetyaningrum, 2014:354 ). Selain pada wayang, pengaruh tradisi sinkretik di keraton penerus Mataram, Surakarta, dan Jogjakarta, tampak pada acara Maesa Lawung yaitu upacara persembahan sesaji di Laut selatan, Puncak Lawu, Merapi dan Hutan Krendhawahana di Kaliyasa Sragen yang diselenggarakan setiap tahun untuk menghormati empat penjuru
94
danyang (leluhur) penjaga kedua keraton tersebut (wawancara Winarno, 1 Desember 2014). Berkaitan dengan tradisi selamatan di keempat tempat itu Soeratman (2000:179) mengemukakan, bahwa dimensi kekuasaan Raja Jawa tidak hanya hamparan Tanah Jawa dan manusia yang mendiami, tetapi juga didukung oleh empat penjuru kekuatan supranatural yaitu dari arah timur Sunan Lawu di puncak Gunung Lawu, dari arah selatan Raja laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, dari arah barat Danyang Gunung Merapi Eyang Sapujagat, dan dari utara Hutan Krendhawahana, Kanjeng Ratu Kalayuwati. Episteme era Mataram juga mengakar pada tradisi keraton tentang pemakaian gelar raja baik di Surakarta dan Jogjakarta selalu mengacu gelar Sultan Agung yang memadukan antara unsur Islam dan Jawa. Gelar Sultan Agung (1613-1645), yang lengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma, dan gelar sebelumnya yang dipakai sejak tahun 1624 M, Susuhunan Ngalaga ing Mataram Prabu Hanyakrakusuma, terdiri dari gabungan kata-kata simbol pemimpin Islam, Sultan dan Susuhunan serta simbol raja Jawa kuno, Prabu dan Hanyakrakusuma (Graaf, 2002:157) . Gelar sunan dan sultan telah dipakai para pemimpin negara sebelumnya di Pajang maupun Demak, seperti Sunan Bonang, Sultan Hadiwijoyo maupun Sultan Patah Jimbuningrat. Konsep kata Hanyakusuma berasal dari tradisi raja-raja hinduistis dari kata dasar cakra dan kusuma. Konsep cakra dilandasi sifat raja Jawa mbau dhendha dan nyakrawati, artinya raja memiliki kekuatan tidak terbatas bagai berpundak gada dan raja sebagai penguasa dunia (Soeratman, 2000:6 ). Fenomena Agami Jawi di keraton juga nampak pada tradisi sekaten yang hingga kini masih dilestarikan oleh dinasti Mataram di Surakarta, maupun Jogjakarta. Peringatan hari besar Islam, kelahiran Nabi Muhammad, SAW pada setiap bulan Maulud di kedua keraton Jawa yang merupakan pelestarian tradisi Mataram jaman Sultan Agung selalu diwarnai tradisi prosesi garebeg tumpeng gunungan (arak-arakan tumpeng menyerupai gunung), dan kemeriahan gamelan sekaten. Bahkan, ada pula nilai-nilai Mataram yang secara eksplisit masih berlaku hingga saat ini setiap tahun di lingkungan keraton dan daerah-daerah kolektif agraris, yaitu penanggalan Jawa yang oleh Sultan Agung mulai dipakai sejak hari Jum’at 1 Sura 1555 Jawa (8 Juli 1633). Sejak penetapan itu, orang Jawa memasuki tradisi baru pemakaian nama bulan yang dipengaruhi budaya Arab seperti
Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal,
Jumadilakhir dan seterusnya. Demikian juga nama-nama hari,
orang Jawa mulai
95
menggunakan hari Arab, meskipun pemakaian pasaran produk Hindu masih dipertahankan, (Graaf, 2002:245). Akar budaya Mataram yang sangat penting bagi ideologi Jawa dahulu dan sekarang, adalah tradisi berfikir mistik, berkaitan dengan tasawuf Islam atau mistik yang mengarah pada kepercayaan takhayul. Graaf (2002:256) mendeskripsikan bahwa mistik Islam telah dirintis oleh keturunan ke-7 dari Sunan Ampel, Pangeran Pekik saudara ipar Sultan Agung, dengan karyanya yang sangat populer yaitu Sastragendhing. Karya monumental itu dipersembahkan atas nama Sultan Agung menarasikan tasawuf Islam, sebuah refleksi ruhani islami dengan perpaduan perumpamaan-perumpamaan tembang, gendhing Jawa dan tokoh-tokoh wayang yang lebih bercorak hinduistik. Salah satu ajaran tasawuf itu adalah “pupuh tembang Asmarandana pada 8” sebagai berikut: Dudu ngakal trusing gendhing, ngakal lungiting susastra, ngakal ing gendhing jatine, babaring jatining sastra, kawitaning aksara, sawiji alif kang tuduh, mengku gaibul uwiyah (Sultan Agung dalam Rendra, 2010:10). Terjemahan tembang tersebut sebagai berikut: Bukan pemahaman tentang gendhing, pemahaman tentang sastra, sejatinya pemahaman gendhing, penjelasan tentang hakikat sastra, tentang asal mula huruf-huruf, satu alif yang menjadi petunjuk, memuat substansi kegaiban. Salah satu contoh lagi episteme era Mataram yang masih marak hingga kini yaitu kepercayaan orang Jawa terhadap roh-roh, penunggu desa atau tempat tertentu yang disebut danyang, terutama kepercayaan tentang Kanjeng Ratu Kidul. Sumber mitos tentang isteri raja-raja Jawa di Mataram itu selain dari wacana lisan, juga Babad Tanah Jawi, yang disusun di era Sultan Agung, sebagaimana telah disinggung di atas. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi setelah melaksanakan pertapaan berat menghanyutkan diri di kali Opak yang bermuara di pantai laut selatan Parang Kusuma, di tempat itu Sutawijaya (nama Senopati sewaktu remaja) bertemu dengan makluk magis Ratu Kidul. Dalam pertemuan itu dikisahkan bahwa raja laut selatan itu bersedia
96
diperisteri Sutawijaya dan akan membantu berdirinya Mataram secara turun-temurun. Dalam sebuah ketegangan di desa Taji dekat Prambanan ketika kedua negara Pajang dan Mataram siap berperang, Ratu Kidul membantu Panembahan Senopati secara gaib membunuh Sultan Hadiwijaya, raja Pajang yang juga ayah angkat dari Sutowijaya (Graaf dan Pigeaud, 2003:253 ). Dipengaruhi kepercayaan tentang Ratu Kidul itu hingga kini orang Jawa masih banyak yang mentaati pantangan-pantangan seperti larangan punya kerja di bulan Sura, memakai pakaian hijau gadhung melathi di pinggir pantai selatan, serta kepercayaan datangnya lampor yang mendatangkan pagebluk (wabah). Sejak era keterbukaan dan demokrasi, jaman reformasi, tradisi kejawen era Mataram mulai dikritisi masyarakat, terutama dari lingkungan santri. Qordowi (1980:327-329) mengemukakan bahwa sinkretisme, mistisisme, dan perdukunan, dalam konsep Islam digolongkan amalan bid’ah, kurafat, dan syirik, yang sangat di larang oleh agama (Qordowi, 1980:327-329). Ketua Dewan Syuro Nahdatul Ulama (NU), Gus Dur (2000, 19-21) berpandangan bahwa Mataram adalah tonggak sejarah awal terbentuknya masyarakat Islam yang menempatkan keraton sebagai pusat kekuasaan agama, tetapi ajaran Islam hanya sebagai simbol ornamental belaka. Simbol Islam mudah dilihat secara fisik seperti gelar raja Syayidin Panatagama Kaliffaulloh Tanah Jawi, masdjid agung selalu di bangun megah di sebelah kanan alun-alun di keratonkeraton Jawa, dengan upacara-upacara besar pada hari besar Islam seperti Maulud Nabi dan Hari Raya Idul Fitri yang rutin selalu diperingati orang Jawa dengan sangat meriah. Akan tetapi, bisa diketahui bahwa raja dan hampir seluruh rakyatnya tidak melaksanakan syariat Islam dengan baik; hal itu mudah diketahui dengan hadirnya raja hanya tiga kali ke masjid, pada upacara Garebeg Sekaten, Syawal, serta Besar. Simbol-simbol islami seperti itu ditiru dan dilestarikan oleh propinsi-propinsi dan kebupaten-kabupaten di Jawa tengah dan timur, bahkan juga Pemerintahan Republik dalam penataan posisi Istana Negara dengan Masjid Istiqlal. Namun harus diakui bahwa pengamalan Islam di Jawa pada umumnya baru sebatas pada ornamental Islam belum menyentuh substansi maupun penghayatan nilai-nilai Islam itu sendiri.
97
4.3.3.Patuh terhadap Raja Salah satu etika masyarakat yang mengindikasikan episteme era Mataram dalam budaya Jawa adalah kepatuhan terhadap raja. Bentuk kepatuhan itu selain taat terhadap perintah raja juga nampak dalam etika hubungan masyarakat kepada raja dan keluarganya dengan menunjukkan sikap penghormatan khusus yaitu dengan menyembah (menyatukan ujung jari tangan di depan hidung dengan menunduk) serta berbicara dengan menggunakan krama hinggil (berbahasa halus tingkat tinggi untuk raja) dengan sebutan khusus kepada raja
misalnya “Sampeyan ndalem ingkang
Sinuwun” (Paduka yang mulia) untuk sunan di Surakarta, “Ngarsadalem Kanjeng Sultan” (kepada paduka Sultan yang mulia), untuk sultan di Jogjakarta, dan “Sripaduka yang Mulia” untuk menyebut Mangkunagara. Demikian pula panggilan untuk para pangeran dan putri raja seperti, gusti, kanjeng pangeran, gusti ayu, raden ayu, dan panggilan lain seperti kanjeng, mas ngabehi bagi orang-orang terdekat raja yang dalam budaya Jawa disebut kaum priyayi (wawancara dengan Winarno, 24 Desember 2014). Sikap hormat orang Jawa kepada keluarga raja juga ditunjukkan dengan kepatuhan dalam hal berpakaian misalnya larangan memakai kain parang rusak dan alas kaki di lingkungan keraton, karena kedua pakaian itu dikhususkan untuk raja dan permaisuri (Soeratman, 2000:158 ). Perilaku orang Jawa memuliakan raja-raja dan kerabatnya adalah konstruksi sosial yang mengakar pada sikap legitimasi Raja-Raja Mataram sebagai penguasa tunggal di Tanah Jawa sebagai trah agung keturunan nabi dan para dewa. Wacana pengagungan dinasti itu berdampak stratifikasi sosial dikotomi hierarkis kawula-gusti, dan wirya-sudra.
Gusti dan
wirya, menempati hierarkis agung sebagai patron,
sedangkan kawula-sudra berada dalam strata rendahan sebagai klien yang harus melayani. Pertama makna kata gusti dan kawula. Menurut kamus bahasa Jawa bausastra, gusti adalah sebutan bagi Tuhan dan orang-orang terhormat (Atmojo, 1994:126). Dalam bahasa Jawa, kata gusti biasa digunakan untuk menyebut Tuhan seperti Gusti Allah, Gusti kang Maha Agung, Gusti Maha kuwasa. Namun, kata itu juga untuk menyebut dzat manusia yang berstatus tinggi khususnya para raja ataupun para putra raja seperti Kanjeng Gusti Sri Mangkunagara IX, Gusti Koesmurtiyah, Gusti Puger, dan sebagainya. Status pangeran, raja, dan Tuhan disamakan karena dalam budaya Jawa,
98
sebagaimana diajarkan PB IV dalam Wulangreh raja adalah wakil Tuhan di dunia, siapa saja berani menentang raja sama juga dengan menentang Tuhan (Soeratman, 1983:4). Sebaliknya kata kawula dalam bahasa Jawa dimaknai sebagi pembantu, abdi, dan rakyat orang-orang di bawah kekuasaan raja (Atmojo, 1994:157). Dalam fungsi yang berbeda kawula biasa di sinonimkan dengan abdi artinya pelayan bagi para gusti. Interaksi sosial antara kawula dan gusti bisa dipahami pada ajaran PB IV dalam Wulangreh “pupuh Maskumambang pada 16 – 17” sebagai berikut “wong neng donya kudu manut marang Gusti......Nora beda putra sentana wong cilik, yen padha ngawula, pan kabeh namaning abdi, yen dosa ukume padha” (PB IV dalam Sukiyat, 1990:75). Tembang tersebut diterjemahkan bebas sebagai berikut “manusia di dunia harus taat kepada tuwan...tidak berbeda saudara dan rakyat kecil jika mengabdi semua disebut abdi, jika bersalah hukumnya sama”. Soemarsaid Moertono (1985:25) berkaitan dengan hubungan antara kawula dan gusti menguraikan sebagai berikut. Hubungan antara raja dan rakyat, konsep kawula-gusti tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi menunjukkan kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda namun tak terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari yang sama. Kedua, makna kata wirya dan sudra. Wirya menurut Sarkoro (2000:181) dalam tulisanya Bahasan dan Wawasan atas Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagoro IV, dimaknai manusia yang berderajat tinggi, yang karena jabatan dan kedudukannya maka dihormati orang lain. Wirya dalam budaya Jawa dianggap satu kesatuan dengan harta (kekayaan) dan wasis (kecerdasan).
Ketiga-tiganya dalam budaya Jawa
dipandang sebagai sebuah kesempurnaan bagi manusia yang bermartabat luhur. Setidaknya, satu atau dua diantara wirya, harta, dan wasis harus ada dalam diri manusia, sebaliknya jika satu-pun tidak dimiliki, manusia akan jatuh pada derajat terendah yang tidak akan dihargai oleh siapa-pun. Konsep pandangan itu diajarkan oleh Mangkunagoro IV dalam Wedhatama “pupuh tembang Sinom pada 15 “ sebagai berikut: Bonggan yen tan merlokena, angger ugering aurip, uripe mung tri prakara, wirya harta tri winasis,
99
kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa, papariman ngulandara. (MN IV dalam Sarkoro, 2000: 181 ). Terjemahan bebas tembang di atas sebagai berikut: Salah sendiri jika tidak berusaha, kebutuhan baku orang hidup, kehidupannya ada tiga hal, kewibawaan, harta, dan kepandaian, jikalau sampai tidak memiliki di antara ketiga tersebut, sirna bekas-bekas kemanusiaanya, lebih berharga dari pada daun jati kering, akhirnya jatuh miskin bagai pengemis yang mengembara. Kaum sudra telah dikenal dalam era Hindu yaitu golongan terakhir dari catur warna, kasta brahmana, ksatria, weisya dan sudra. Kawuryan (2006:240) mengutip undang-undang tata negara Majapahit Kutaramanawa Darmasastra, yang menurut Soekmono (1985:72) disusun oleh Mahapatih Gajahmada (1313-1364 M) menguraikan bahwa kaum sudra dikodratkan oleh dewa menjadi pelayan dari kaum brahmana, Ksatria dan Weisya. Kaum sudra dianjurkan untuk taat dan patuh melayani tuan-tuanya terutama para brahmana agar di alam baka mendapatkan nirwana, sedang ketaatan kepada ksatria dan weisya mendapatkan pahala duniawi.
4.3.4. Perilaku Poligami Implikasi lain dari episteme era Mataram dalam sosial masyarakat Jawa, dikarenakan adanya diskursus Arjuna adalah perilaku poligami, yang menurut Koentjaraningrat (1994:261-267) lebih banyak dilakukan para raja dan kaum priyayi. Di masa lampau poligami di lingkungan keraton dilakukan oleh raja agar memiliki banyak keturunan untuk mendukung kekuasaanya sebagai bupati di daerah jajahan. Hal itu adalah sebuah strategi untuk menjamin kelestarian kekuasaan raja. Selain itu diluar isteri utama raja yang berstatus garwa padmi, isteri selir lebih banyak berasal dari kawula klas rendah untuk mendapatkan keturunan dari raja agar ikut mengangkat derajat keluarga para selir tersebut. Soeratman (2000:359) menguraikan poligami di lingkungan istana seringkali menyebabkan terjadinya masalah-masalah perselisihan di antara keluarga raja disebabkan saling cemburu untuk mendapatkan perhatian dari raja.
100
Poligami berakar dari episteme era Mataram yang menurut Graaf (2002:299) mengarah pada ekploitasi dan diskriminasi perempuan. Tindak diskriminasi terhadap perempuan itu sering direpresentasikan dalam narasi klise wayang atau seni rakyat ketoprak bahwa para raja taklukan di luar Jawa setiap setahun sekali harus menyerahkan glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni guru bakal guru dadi putri tandha panungkul, artinya bahan mentah dan bahan jadi bahan perhiasan mentah seperti intan, emas, perak, mutiara maupun perhisan siap pakai , hingga putri sebagai tanda patuh (Soeratno dalam Soemarno, 1996:2). Bahasa klise yang biasa dinarasikan babad, wayang, ketoprak serta syair bedaya turun temurun itu meng-aktualisasikan sikap budaya Jawa khususnya keraton, bahwa para kaum hawa dipersamakan dengan barangbarang mentah, intan, perak, serta perhiasan.
Oleh karena ideologi itu kedudukan
wanita Jawa era Mataram sangat inferior dan tidak dilindungi oleh hukum. Tindak diskriminatif terhadap perempuan era Mataram bisa diketahui dari adanya tradisi pergundikan di lingkungan keraton dan perselingkuhan di lingkungan para bangsawan,
ketika perjinaan itu diketahui umum, pihak wanita yang
dipersalahkan, sebagaimana
catatan dari Jan Vos 1637 di Mataram telah terjadi
kehebohan karena putra mahkota (kelak bertahta sebagai Sunan Mangkurat I) berselingkuh dan melarikan selir tercantik dari tumenggung senior Wiraguna. Tidak terima dengan ulah sang pangeran itu Wiraguna melapor kepada raja memohon keadilan, tetapi sikap itu malah menimbulkan murka Sultan Agung. Catatan Jan Vos selanjutnya menguraikan bahwa akhirnya dengan kesadaranya sendiri putra mahkota mengembalikan selir Wiraguna. Akan tetapi malang nasib bagi selir cantik tersebut karena ia menjadi sasaran kemarahan Wiraguna ditusuk enam kali dengan keris disekujur tubuhnya hingga menemui ajalnya. Atas sikap semena-mena Wiraguna kepada selir itu,
biang perselingkuhan putra mahkota dan Sultan Agung tidak
mengambil tindakan apa-apa ( Graaf, 2002: 299). Menarik untuk dikaji berkaitan perilaku diskriminatif tersebut, mengapa Sultan Agung tidak menghukum putranya sebagai biang perselingkuhan, sebaliknya memarahi kepada pelapor Wiraguna, bahkan mengatakan bahwa “biasa sesekali seorang pria berselingkuh “ (Graaf, 2002:299). Perkataan Raja Mataram bahwa berselingkuh sebagai sebuah hal biasa tersebut mengisyaratkan bahwa, berselingkuh bagi kaum pria adalah hal yang biasa. Pandangan
101
itu
bisa
dipahami dalam konteks kode budaya Jawa,
dikarenakan mereka
mengkultuskan Arjuna yang beristeri banyak dan suka berselingkuh. Graaf mengutip catatan Coen bahwa Sultan Agung dilayani oleh 50 000 wanita dalam kedaton dan putra mahkota dengan selir 10 000.
Tiga diantara wanita ribuan itu putri keturunan
bangsawan di Cirebon, Pajang, dan Pati berstatus sebagai permaisuri yang memiliki hak-hak istimewa dalam berinteraksi dengan raja serta fasilitas-fasilitas yang di dapat, sedangkan bagi para wanita yang berstatus selir di terangkan oleh Koentjaraningrat (1994:261-267), hanya memiliki kontak-kontak terbatas dengan raja, fasilitas serba terbatas, dan perilaku yang kadang semena-mena sebagaimana dicontohkan di atas. Bukan tidak mungkin poligami perselingkuhan dan sifat thuk mis (mudah terpesona terhadap wanita) bagi pria Jawa khusunya para priyayi, adalah perilaku yang diturunkan dari sifat Arjuna sebagai lelananging jagad sebagaimana dikemukakan di atas. Berkaitan dengan sikap peniruan, Freud dalam tulisannya berjudul Psikologi Kepribadian, terjemahan dari Sumadi menguraiakan bahwa untuk menghilangkan /mereduksi empat macam ketegangan pokok kepribadian yaitu (1) proses pertumbuhan fisiologis, (2) frustasi (3) konflik (4) ancaman, manusia melakukan identifikasi atau peniruan kepada orang lain. Proses itu lebih banyak tidak disadari oleh manusia, dengan memilih sosok tokoh yang bisa mengantarkan tujuannya juga agar dapat identik dengan yang ditiru. Menurut Sigmund Freud obyek peniruan itu tidak sebatas pada manusia bisa juga sifat-sifat binatang, tumbuhan, dan barang-barang dipandang bisa menjadi acuan. Berbeda dengan imitasi peniruan itu kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya (Freud dalam Sumadi, 1982 : 164:165). Poligami adalah perilaku fenomenal di masyarakat Jawa dahulu hingga sekarang yang selalu diwarnai pro dan kontra disebabkan lebih merupakan subordinasi wanita berdampak penderitaan.
Vreede (2008) mengutip pandangan pelopor pejuang
emansipasi wanita Indonesia, R.A. Kartini dalam surat kepada sahabatnya di negeri Belanda Zeehandelaar bertanggal 23 Agustus 1900, mengungkapkan keluhan mengenai kehidupan poligami di lingkungan para priyayi sebagai berikut: Jalan hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola saja yang sama. Kami tak boleh bercita-cita. Satu-satunya yang boleh kami mimpikan adalah hari ini atau besok menjadi isteri yang kesekian bagi seorang lelaki......mereka begitu saja dikawinkan dengan siapa saja yang dipandang baik oleh orang tuanya.......Tidak semua orang memiliki empat orang isteri, tetapi dalam dunia kami tiap perempuan yang sudah kawin mengetahui bahwa ia
102
bukan satu-satunya isteri dari suaminya, dan hari ini atau besok suami tercinta dapat saja membawa perempuan menjadi temannya, hampir tiap perempuan yang kukenal mengutuk hak para lelaki itu. Namun kutukan itu tak berguna (Kartini dalam Vreede, 2008:67). Terbentuknya episteme era Mataram sebagaimana telah diuraikan di atas dengan bentuk-bentuk khas episteme itu menunjukkan bahwa tujuan Raja-Raja Mataram untuk memperoleh dukungan dari masyarakat Jawa telah tercapai dengan relatif sempurna. Tidak saja dukungan itu mampu menyokong target politik Sultan Agung yang sifatnya sesaat untuk mendapatkan pengakuan terhadap legitimasi kekuasaan di Jawa, tetapi juga menghegemoni relatif langgeng terhadap kekuasaan keturunannya zaman Mataram hingga era Surakarta dan Jogjakarta sekarang ini. Proses membangun dukungan dengan mewacanakan diskursus Arjuna itu dalam pandangan hegemoni Gramsci adalah upaya Sultan Agung merebut persetujuan dari masyarakat Mataram untuk mendukung kekuasaanya. Dalam konsep hegemoni, Gramsci mengemukakan seperti di bawah ini. Ada suatu blok historis dari faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni terjadi proses-proses penciptaan makna yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktikpraktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467) Dari berbagai uraian di atas bisa dirangkum bahwa implikasi diskursus Arjuna dalam kebudayaan Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik secara individu-individu maupun inter-individu. Artinya, pengetahuan itu diterima melalui tahap sosialisasi kehidupan sejak balita hingga dewasa, di masing-masing pribadi dan kolektif masyarakat Jawa di lingkungan masyarakat tradisi Jawa tradisi yang mengkultuskan Arjuna, lewat ritual-ritual maupun pentas wayang. Dalam vase yang cukup panjang pengetahuan itu kemudian mempribadi menjadi sebuah nilai-nilai yang dipahami, disepakati, dan ditaati bersama sebagai sebuah pola pikir, perilaku, serta identitas yang disebut dengan istilah episteme era Mataram. Episteme itu dalam budaya Jawa sering disebut dengan budaya gagrag (ragam) mataraman, atau Mataram sultanagungan. Terkonstruksinya episteme era Mataram itu menandakan bentuk hegemoni masyarakat Jawa terhadap legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan dinasti keturunannya. Bentuk-bentuk riil dari episteme mataraman itu adalah kecenderungan, kesetujuan dan hegemoni terhadap pengagungan produk budaya keraton, sebagaimana
103
dipahami masyarakat Jawa umumnya misalnya budaya adiluhung, kejawen, pengkultusan terhadap para raja Jawa dan gaya hidup priyayi terutama yang masih poluler hingga sekarang poligami. Ketika episteme budaya keraton telah mbalung sungsum (mengakar) dalam kebudayaan Jawa, tidak bisa dihindari perjalanan budaya memasuki era globalisasi, di mana budaya Jawa harus menyesuaikan diri dengan isyu-isyu global seperti demokrasi, kapitalisme, budaya populer, simulacra, gender, emansipasi dan feminisme, sehingga akhirnya benturan budaya tersebut menimbulkan masalah-masalah budaya di masyarakat. Problem itu misalnya budaya adiluhung dalam sisi tertentu adalah kultus terhadap kekuasaan raja yang sudah tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Produk adiluhung di bidang pakem juga dicurigai sebagai pembelenggu kreatifitas berkarya seni, serta biang dari kematian budaya kerakyatan. Ciri khas releigiusitas kejawen yang bersifat sinkretik juga mulai dihujat karena menjadi faktor penghalang pengamalan Islam dan agama lain secara totalitas atau dalam istilah Islam pengalaman yang kaffah. Lebih-lebih gaya hidup para raja dan priyayi, poligami dituduh sebagai model poligami dan perselingkuhan bagi kaum pria sekarang di masyarakat, yang bertentangan dengan semangat kesetaraan gender, dan emansipasi.
104
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Dari berbagai analisis dalam pembahasan “Bab IV” bisa disimpulkan bahwa diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Jawa adalah wacana yang dibangun oleh Sultan Agung menggunakan media tokoh wayang Arjuna
bertujuan untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat Jawa. Jawaban ketiga permasalahan sebagai sasaran dari tujuan penelitian berkaitan dengan dipilihnya tokoh Arjuna sebagai media diskursus, proses serta implikasinya dalam masyarakat Jawa sekarang,
dalam
pembahasan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama tujuan penelitian untuk mendapatkan kejelasan dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus dijelaskan bahwa pemilihan itu dengan pertimbangan bahwa Arjuna adalah tokoh protogonis Wayang Purwa yang bernilai kultus, mitologis dan anutan. Sebagai tokoh yang dikultuskan Arjuna dipercaya membawa magi keberkahan, tolak bala dan kemenangan perang. Sebagai tokoh mitologi, Arjuna dianggap leluhur Raja-Raja Mataram yang akan mewariskan wahyu keraton kepada keturunannya rajaraja dinasti Mataram, dan sebagai tokoh anutan, Arjuna adalah representasi ideologi kekuasaan Sultan Agung. Kedua, tujuan penelitian untuk mengungkap proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna yang diwacanakan oleh Sultan Agung, dijelaskan bahwa wacana itu dibangun dengan cara desentralisasi dan pluralisasi power knowledge (kuasa pengetahuan) bagi setiap individu di Mataram. Desentralisasi kuasa pengetahuan disebarluaskan melalui agen-agen utama wacana yaitu dalang, penanggap maupun penonton pada ivent-ivent yang telah mentradisi dalam masyarakat Jawa di berbagai lapisan baik lapisan atas di lingkungan keraton, rumah priyayi maupun masyarakat umum.
Pluralisasi adalah
sebuah proses di mana setiap individu dan kolektif dibiasakan, di latih dan dihimbau melalui wacana itu tentang arti penting pertunjukan wayang dan nilai-nilai ketokohan Arjuna terhadap kehidupan orang Jawa. Hasil dari diskursus Arjuna itu adalah tersosialisasinya pengetahuan tentang Arjuna dalam setiap pribadi dan kolektif di Jawa dengan lahirnya kesadaran setiap subyek dalam satu kesatuan episteme yang menghegemoni legitimasi kekuasaan Raja-Raja Mataram.
105
Ketiga, tujuan penelitian untuk mengungkap implikasi diskursus Arjuna dalam kebudayaan Jawa, dijelaskan bahwa implikasi atau keterlibatan diskurus Arjuna dalam masyarakat Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik secara individu-individu maupun inter-individu, melalui tahap sosialisasi kehidupan sejak balita hingga dewasa, oleh masing-masing pribadi dan kolektif masyarakat Jawa di lingkungan masyarakat tradisi Jawa tradisi yang mengkultuskan Arjuna, lewat ritualritual maupun pentas wayang. Dalam vase yang cukup panjang pengetahuan itu kemudian mempribadi menjadi sebuah pola pikir, perilaku, serta identitas yang disebut dengan istilah episteme era Mataram. Episteme itu dalam budaya Jawa sering disebut dengan budaya gagrag (ragam) mataraman, atau Mataram sultan-agungan. Terkonstruksinya episteme era Mataram itu menandakan bentuk hegemoni masyarakat Jawa terhadap legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan dinasti keturunannya. Episteme budaya keraton yang telah mbalung sungsum (mengakar) dalam kebudayaan Jawa, di era globalisasi sekarang ini, mengalami pergeseran akibat isyu-isyu global seperti demokrasi, kapitalisme, budaya populer, simulacra, gender, emansipasi dan feminisme, sehingga akhirnya benturan budaya tersebut menimbulkan perubahan sosial budaya di masyarakat.
5.2. Saran Saran ini ditujukan pada kemanfaatan penelitian sebagaimana diuraikan dalam bab I terdiri dari saran teoritis dan praktis.
Saran teoritis mengarah pada ranah
akademis bagi para peneliti terutama yang berkaitan dengan penggunaan paradigma kajian budaya dengan teori diskursus seperti tulisan ini, dan saran praktis mengarah pada kemanfaatan konsep ini pada aplikasi kehidupan sehari-hari di lingkungan penyangga pewayangan baik formal maupun non formal, terlebih khusus kepada para pengambil kebijakan berkaitan dengan pengembangan pewayangan nasional maupun internasional. Saran ini disajikan menjadi dua kelompok sebagai berikut.
5.2.1. Saran Teoritis 1. Sejarah kebudayaan Jawa hingga saat ini selalu mendeskripsikan tentang kronologi dan peranan sekelompot elite masyarakat Jawa raja-raja dan priyayi. Padahal terjadinya sejarah bukan hanya ditentukan oleh para bangsawan tetapi
106
juga dibentuk oleh masyarakat pada umumnya. Penulisan sejarah hingga saat ini dalam perspektif kajian budaya tidak lebih dari kelanjutan diskursus yang dikonstruksi oleh raja-raja Jawa untuk kepentingan politiknya.
Dengan
menggunakan paradigma kajian budaya penulisan sejarah akan lebih mampu menyajikan obyektifitas sejarah tentang peranan rakyat dan kejadian seusungguhnya terhadap pramen-prahmen sejarah bukan sebuah informasi pengagungan sekelompok masyarakat Jawa, para raja. Informasi sangat penting dari penelitian ini berhubungan dengan penulisan sejarah, bahwa penilitian ini telah menghasilkan temuan kebenaran teori Foucault bahwa sejarah tidak berjalan linear dan esensial tetapi berujud repture, atau prahmentasi, retakanretakan sejarah yang terjadi secara kebetulan dilatarbelakangi ambisi-ambisi kelompok mansyarakat yang menginginkan kekuasaan. Temuan tersebut bahwa peradaban era Mataram Sultan Agung adalah prahmen sejarah Jawa yang sama sekali bukan alur penerus dari era sebelumnya, Pajang, Demak atau-pun Majapahit baik secara silsilah keturunan maupun episteme sejarah yang dibentuk. Episteme era Mataram yang melahirkan budaya adiluhung dan diskursus Islam dengan warna sinkretik adalah kearifan lokal yang lebih dipengaruhi konstruksi wacana dari Sultan Agung menggunakan Arjuna sebagai media diskursus. 2. Dalam penulisan kajian budaya Jawa, seperti sastra, sosial, maupun seni saat ini seyogyanya tidak selalu berfokus pada analisis corak budaya adiluhung produk keraton, karena ruang lingkup budaya Jawa ternyata lebih beragam, dinamis dan memiliki ranah lebih luas lagi termasuk budaya kerakyatan dan budaya Jawa kekinian yang belum banyak mendapat perhatian peneliti. 3. Selain diskursus Arjuna, masih banyak lagi obyek material penelitian tokoh wayang atau-pun budaya Jawa lainnya yang perlu diteliti menggunakan teori diskursus. Kelebihan teori Foucault itu sebagai obyek formal dalam hal kajian budaya Jawa adalah efektif dalam mengungkap kejelasan makna berkaitan dengan terbentuknya episteme era tertentu dalam budaya Jawa.
107
5.2.2. Saran Praktis 1. Masyarakat luas dan siapa saja yang membaca tulisan ini akan mendapatkan pengetahuan bahwa corak budaya Jawa yang selama ini telah tersosialisasi menjadi identitas budaya bagi masyarakat Jawa berasal dari konstruksi budaya yang dilatarbelakangi kepentingan politik Sultan Agung dan dinastinya. Dengan demikian, pengembangan budaya Jawa jangan selalu bersumber budaya keraton tetapi bisa dengan pengembangan nilai-nilai budaya di luar keraton, terutama yang lebih mengarah pada identitas budaya Jawa kekinian sebagaimana menjadi apresiasi generasi sekarang. 2. Dalam konsep penelitian ini juga telah dikemukakan bahwa pakem juga termasuk produk konstruksi budaya dari Sultan Agung yang penuh pesan politis legitimasi raja-raja Jawa. Oleh sebab itu fungsi dan peranan pakem dalam pakeliran yang selalu membingkai pertunjukan wayang dan membelenggu kreatifitas perlu dikembangkan lebih proforsional sesuai dengan selera dan perkembangan jaman. 3. Kepada para pejabat pengambil keputusan di lingkungan pemerintah diharapkan mengambil kebijakan yang tepat dan proporsional dalam hal pengembangan nilai budaya Jawa, dengan mengangkat nilai-nilai kerakyatan dan kekinian yang selama ini dianggap budaya pinggiran. Selain itu mendorong tranformasi nilainilai budaya lama ke dalam bentuk-bentuk baru sesuai dengan apresiasi masyarakat sekarang, kiranya sebuah langkah yang lebih realis dengan semangat jaman, dari pada perubahan jaman.
selalu dimabuk nilai-nilai lama tanpa mempedulikan
108
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Sutjipto. 2014. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Jogjakarta: Laksana Anderson, Benedict. R.O.G. 1972. Gagasan Kekuasaan di Dalam Kebudayaan Jawa. Jogjakarta: Pelayanan Rohani Mahasiswa Jogjakarta. Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor. Bandung:PT. Rekamedia Multiprakasa Asmadi, Suwarno. 2004. Candi Sukuh Antara Situs Pemujaan dan Pendidikan Seks. Surakarta: Massa Baru Atmojo, Prawiro. 1991. Bausastra Jawa. Surabaya: Yayasan Joyo Boyo. Barker, Chris. 2005. Bentang Pustaka.
Cultural
Studies
Teori dan Praktek. Yogyakarta: PT
Basuki, Ribut. 2006. Panakawan’s Discourse of Power in Javanese Shadow Puppet during the New Order Regime: From Traditional Perspective to New Historicism . K@ta, vol. 8, no 1,hlm. 68-88. Borody, W.A. 1997. The ‘Trials’ of Arjuna and Socrates: Physical Bodies, Violence and Sexuality. Asian Philosophy Journal. Vol. 7.No.3. Hlm 221. Budiman, Kris. 2002. Analisis Wacana dari Lingguistik sampai Dekonstruksi. Chresnayani, Monica Dwi. 2009. Digelar pada Layar. Jakarta: SS Fondation. Diyono. 1997. Serat Pedhalangan Lampahan Harjuna Wiwaha. Sukoharjo: Cendrawasih. Geertz,
Clifford. 1959. Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa. Terjemahahan oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Graaf, H. J. De. dan Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: PT Temprint. Graaf,
H. J. De. 1987. Runtuhnya Istana Mataram Johannes. Jakarta: Temprint.
Terjemahan oleh Hermanus
_______ 2002. Puncak Kekuasaan Mataram. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Helen, Pausacker. 2004. Presidents as Punakawan: Portrayal of National leaders as Clown-Servants in Central Javanese Wayang. Journal of Southeast Asian Studies. Vol.32.No.2.Hlm 213. Hoed, Benny.H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Jogjakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM Kali, Ampy. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Jogjakarta: Ledalero Anggota IKAPI. Kamajaya. 1986. Yogyakarta
Serat Centhini Latin Jilid 1.
Jogjakarta: Yayasan Centhini
_______1992, Serat Centhini Latin Jilid 2. Jogjakarta: Yayasan Centhini Yogyakarta
109
Kawuryan, Megandaru. 2006. Tata Pemerintahan Negara Kertagama Kraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Kuwato. 1990. Telaah Naskah Pakeliran Padat Lakon Palguna Palgunadi Susunan Bambang Murtiyoso DS. Surakarta: Laporan penelitian STSI Lokamaya. 2003. Baghawad Gita. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. Orchid.
Jogjakarta:
Lubis, Yusuf Akhyar. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Magnis Suseno, Frans. 1986. Kepribadian Jawa dan pembangunan Nasional. Yogjakarta: Gajahmada University Press. _______1991. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Mandali, Sondong. 2006. Bawarasa Kawruh Kejawen. Widijatmo Sontodipura (edt). Mbangun Tuwuh. Solo: Paguyuban Tridarmo Mangkunagaran. Mangkunagara IV. 1981. Serat Kalimataya. Terjemahan oleh Laginem & Adi Triyono. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maryanto, Eko. 2009. Analisis Struktur Cerita Rekaan. Jakarta: FIB UI Masinambow. 2001. Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa. Jogjakarta: Kanisius. Moenta, Andi Pangerang. 2009. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Http://id.Wikisaurrce.org: 2 Juli 2014,jam 16.30. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor. Mulder, Niels. 2001. Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Jogjakarta:KliS Murtiyoso, Bambang. 1981. Garap Pakeliran Sekarang Pada Umumnya. Surakarta: ASKI _______2007. Misteri Risang Arjuna Rahasia Jagat Wayang. Lango Vol 2. No. 6. lm.1-5. Pitana, Titis Srimuda. 2008. Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta. Denpasar:Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Probohardjono. 1961. Pakem Wayang Purwa. Surakarta: Penerbitan Ratna Qardhawi, Syekh M. Yusup. 1980. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh Mu’amal Hamidi. Jakarta: Bina Ilmu
110
Raffles, Thomas Stamford. 2014. The Histori of Java. Prasetyaningrum dkk. Jakarta: Narasi
Terjemahan oleh Eko
Rahcman, Doni. 2008. Kajian Mitos Masyarakat Terhadap Foklor Ki Ageng Gribig. Malang: Universitas Negeri Malang. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya d an Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rendra. 2010. Sastra Gendhing. Macapat.web.id. Diakses, 20 Oktober 2014. Ronggowarsito. 1992. Serat Paramayoga. Yogyakarta:Yayasan Centhini
Terjemahan
oleh
Kamajaya.
_______1993. Serat Pustakaraja Purwa. Terjemahan oleh Kamajaya. Jogjakarta: Yayasan Mangadeg Surakarta dan Yayasan Centhini Yogyakarta Sabdawara. 1997. Kempalan Balungan Lakon. Sukoharjo: Cendrawasih. Sarkoro, Sarjono Darmo. 1997. Serat Wedhatama Yasan KGPAA. Mangkoenagoro IV. Surakarta: Pura Mangkunagaran. Sayid. 1958. Bauwarna Kawruh Wayang.
Solo : Widya Duta
Sedyawati, Edy (edt). 2009. Industri Budaya di Indonesia. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Setiawan, Ebta. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) http KBBI. Web.Id, Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa), diakses 10 Nopember 2014 Soekmono. 1985. Kanisius
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Soekotjo, Padmo. 1982. Citrajaya.
Yogyakarta:
Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid III.
Surabaya:PT
_______1984. Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid IV. Surabaya:PT Citrajaya Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia Soeratno, Gunowihardjo dan Sumarno, Poniran (ed). 1996. Pakem Ringgit Purwa Lampahan Parta Krama. Surakarta:SMKI Soetarno, Wignyo, dan Nugroho, Sugeng (ed). 1996. Wahyu Pakem Makutharama. Surakarta: STSI Press Soetarno. 1995. Wayang Kulit Jawa. Sukoharjo: Cendrawasih _______ 1997. Reflektif Budaya Jawa dalam Pertunjukan Wayang Kulit.Surakarta: Laporan penelitian STSI Prize _______ 2002. Pakeliran Pujo Sumarto, Nartosabdho dan Pakeliran Dekade 19962001. Surakarta: STSI Press Solichin. 2010. Wayang Masterpice Seni Budaya Indonesia. Persadatama Foundation. _______2011. Falsafah Wayang. Jakarta: SENAWANGI.
Jakarta: Sinergi
111
_______2013. Gatra Wayang Indonesia. Jakarta: CV. Dedy Jaya. Solikhin, Muhammad. 2008. Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar.
Jogjakarta:
Narasi
STSI Subiyantoro, Slamet. 2011. Antropologi Seni Rupa Teori, Metode, & Contoh Telaah Analitis. Surakarta: UNSPress Sudibyo. 1980. Babad Tanah Jawi. Alih aksara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku sastra Indoneisa dan Daerah Sujiman, Panuti. 1992. Serba Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Sukiyat. 1990. Yasan Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV Wulangreh I. Klaten: Intan Pariwara. Sulistiono, Edy dan Prasta, Made. 2013. Berwisata ke Negeri Pewayangan. Surakarta: Laporan Penelitian Prodi Kajian Budaya UNS. Sulistiono, Edy. 2014. Keresahan Para Seniman Surakarta Era Budaya Populer. Seminar Mata Kuliah Kajian Budaya Populer, di Prodi Kajian Budaya Pasca Sarjana UNS, 5 Juni 2014. Sumaryono. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius Sunarto. 2013. Leather Puppet In Javanese Ritual Ceremony. International Researc Journal. Vol IV. No 3 hlm 71. Suratno. 1993. Telaah Perwatakan Sembilan Tokoh Wayang Dalam Serat Jilid 1. Surakarta: Laporan penelitian STSI 1993
Centhini
Suratno. 2003. Studi tentang Lakon Wahyu dalam pakeliran Wayang Kulit Purwa di Surakarta Dalam satu Dekade terakhir. Surakarta: Laporan penelitian Sutrisno, Slamet(edt.). 2009. Filsafat Wayang. Jakarta:Senawangi. Suwandono (edt.). 1998. Ensiklopedi Wayang Purwa I. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian Dit.Jen. Kebudayaan Dep. P & K. Suwarno, Bambang. 1999. Wanda Wayang Kaitannya dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa Kini. Yogyakarta: Program Pasca sarjana UGM Suyamto. 1992. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahara Prize Suyanto. 2003. Pakem Pedalangan. Kertas Sarasehan Pedalangan PDMN, tgl 2 Nopember 2003. Surakarta: Pura Mangkunagaran. Vreede-de, Cora Stuers. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian. Edisi terjemahan: Elvira Rosa, Paramita ayuningtyas, Dwi Istiani). Jakarta: Komunitas Bambu. Wahid, Abdurrahman. 1999. Rosdakarya. Wahyudi, Aris. Bagaskara.
2012.
Membangun Demokrasi.
Bandung: PT Remaja
Lakon Dewa Ruci Cara Menjadi Jawa. Yogjakarta: PT
112
Widyasari, Novika. 2010. Nilai Budaya Lakon Joko Kembang Kuning dalam Wayang Beber Pacitan. Surakarta: Tesis Kajian Budaya Pasca Sarjana UNS Yunus, Ahmad. 2013. Panduan Penulisan Tesis. Surakarta: Program Pasca Sarjana UNS Yusuf Lubis, Akhyar. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer. Jakarta. PT Raja Hrafindo Persada. _______ 2014. Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers Yuwono, Basuki Teguh. 2012. Keris Indonesia. Jakarta: Citra Sains LPKBN Zoetmulder. 1983. Kalanggwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan Anggota IKAPI NARA SUMBER K.P. Winarno Kusuma Lahir pada tanggal 11 Pebruari 1949 di Surakarta, beralamat di Perumahan Ngringo Palur Karanganyar. Tahun 1972 sambil bekerja di Dinas Peternakan Surakarta, mulai mengabdi di Keraton Surakarta. Baru setelah pensiun pada tahun 2000, sepenuhnya waktunya di fokuskan untuk mengabdi di Keraton Surakarta sebagai Wakil Pengageng Sasanawilapa (keadministrasian) Keraton Surakarta. Tugas budaya yang lain sekarang ini Kanjeng Winarno begitu biasa dipanggil sebagai juru bicara dan narasumber berkaitan dengan kabudayan Jawi Keraton Surakarta, termasuk pengasuh tetap acara Kawruh Budaya di RRI Surakarta setiap Selasa malam Rabu, dan pengajar Bahasa Daerah di SMAN 1 Surakarta di Margayudan Surakarta. Wawancara 1 Desember 2014 M.Dm. Hali Jarwo Soelarso. Lahir tanggal 5 Januari 1951 di Sukoharjo, bertempat tinggal di Praon, Nusukan, Surakarta. Sejak tahun 1980 mengabdi di Pura Mangkunagaran sebagai abdi dalem dalang sambil membantu mengajar guru pedalangan senior Ki Ngabehi Wignyo Sarono di Pasinaon Dalang Mangkunagaran (PDMN). Tahun 1981 ditugasi oleh Sri Paduka MN IX menjadi peniti (abdi dalem yang bertugas memelihara dan mengoprasikan wayang saat pentas) wayang pusaka Kyai Sebet Pura Mangkunagaran. Sekarang menjadi guru senior di PDMN dan nara sumber Jurusan Pedalangan Akademi Seni Mangkunagaran (ASGA) Surakarta. Wawancara 24 Oktober 2014 R.Ng. Sunarno Dutadiprojo, Spd. Lahir pada tanggal 11 April 1958 di Klaten, tinggal di Semanggi Pasar Kliwon Surakarta. Sambil bekerja sebagai guru Pedalangan di SMKN 8 Surakarta, sejak tahun 1996 di serahi tugas oleh PB XII sebagai guru Pedalangan di Pawiyatan Pedalangan ing Surakarta (PADASUKA), setelah guru senior Ki Redi Suta mangkat. Sekarang di sela-sela tugasnya di SMK 8 dan keraton Ki Sunarno aktif sebagai narasumber berkaitan dengan Pedalangan gaya keraton Surakarta. Wawancara 24 Oktober 2014.
113