CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Pengantar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dalam penerbitan News Letter Program EMAS Jawa Tengah pada Close Out wilayah phase II
D
i Jawa Tengah, masalah kesehatan merupakan hal yang masih perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, tingginya kasus penyakit menular terutama HIV AIDS , DBD, TBC, gizi buruk dan penyakit tidak menular lainnya. Permasalahan tersebut menjadi multi faktor yang mendukung tingginya kasus kematian ibu dan bayi. Program penurunan kasus kematian ibu dan bayi merupakan salah satu program prioritas Pemerintah Jawa Tengah untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat, khususnya kepada Ibu dan bayi. Saya mengapresiasi Program EMAS (Expanding Maternal Neonatal Survival) yang mulai dilaksanakan di Jawa Tengah sejak tahun 2012, yang telah banyak melakukan perbaikan dari sisi input, proses dan output. Meski diakui belum berhasil mewujudkan penurunan kasus kematian ibu dan bayi secara signifikan. Namun saya yakin bila perubahan tersebut dilakukan terus menerus, pasti akan terjadi penurunan kasus kematian ibu dan bayi. Fokus utama program EMAS adalah melakukan perbaikan nyata pada tata kelola klinik yang lebih baik, utamanya di Rumah Sakit sebagai tempat rujukan dan di Puskesmas sebagai tempat layanan dasar. Selanjutnya juga melakukan perbaikan tata kelola rujukan agar lebih efektif dan efisien melalui SijariEMAS. Upaya lainnya adalah pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Forum Masyarakat Madani dan POKJA (Kelompok Kerja) Kesehatan Ibu dan Anak. Melalui strategi ini Program EMAS telah menghasilkan sejumlah praktik-praktik baik yang dapat dilaksanakan di fasiltas kesehatan. Hal lain yang menjadi ciri dari Program EMAS adalah melakukan kegiatan Monitoring dalam bentuk kegiatan Kunjungan ataupun Pendampingan. Monitoring merupakan bagian dari alat Manajemen untuk
memastikan apakah seluruh sistem kesehatan berfungsi sesuai dengan yang ditetapkan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan pendamping. Semangat berbagi pengalaman dan pengetahuan dari pendamping kepada yang didampingi, merupakan hal positif dalam kegiatan Kunjungan dan Pendampingan. Oleh karena itu dua kegiatan ini saya nilai sebagai kegiatan yang bagus untuk dilanjutkan di masing-masing Kabupaten/ Kota dengan didukung sistem pencatatan buku register yang berkualitas, serta adanya pelaporan rutin, maka pihak manajemen akan terbantukan ketika membuat perencanaan program berbasis data untuk pengambilan keputusan. Saat ini Program EMAS telah direplikasi di lima Kabupaten yaitu Kabupaten Kendal, Pati, Batang, Pemalang dan Banjarnegara dengan menggunakan dana dari APBN (Dana Dekon) dan Kabupaten Kudus dengan menggunakan dana APBD. Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan diatas, saya mengharapkan agar, setelah Program EMAS ini selesai, tetap dilanjutkan dengan menggunakan sumber dana dari APBD dan APBN. Semoga segala upaya dan niat baik kita, dalam upaya penurunan kasus kematian ibu dan bayi baru lahir senantiasa mendapatkan ridho dari Tuhan Yang Esa. Semarang 02 Juni 2016 KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH
dr.YULIANTO PRABOWO, M.Kes Pembina Utama Muda NIP : 19620720 198803 1 010 Informasi tentang EMAS, bisa diunduh lebih lengkap pada: http://emasindonesia.org/read/resources/tools_ guidelines/34/EMAS-English
EMAS PROVINSI JAWA TENGAH dr. Hartanto Hardjono, M.Med.Sc. (Provincial Team Leader Jawa Tengah): Jl. Ungaran Raya No. 6 Candi Baru, Semarang Jawa Tengah Telp. 024-8501777 | Faks. 024-8502777 | Email:
[email protected] Website: www.emasindonesia.org | Fb: www.facebook.com/emas.usaid | Twitter: @emasindonesia
1
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
RSUP Dr. Kariadi dan EMAS Berikan Mentoring Penyelematan Ibu dan Bayi Baru lahir RSUP Dr Kariadi rajin memberikan mentoring kepada Rumah Sakit lain dalam rangka memperbaiki mutu dan tata kelola layanan, khususnya terkait ibu melahirkan. Makin baik mutu layanan, makin berkurang kasus kematian ibu
D
i sela kesibukannya, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang, dr. Agoes Oerip, Sp.OG(K), MARS, menyempatkan membalas pesan dari WatsApp dari smartphonenya. Pesan itu datang dari grup WatsApp para tenaga kesehatan dari beberapa Rumah Sakit di Jawa Tengah yang pernah mengikuti mentoring yang dilakukan tim RSUP Dr. Kariadi terkait dengan layanan persalinan. Melalui grup tersebut, mereka menyapa, berdiskusi dan berbagi pengalaman. Agoes sengaja menunjukkan grup WatsApp untuk membuktikan bahwa kegiatan mentoring sangat diperlukan. Dan mentoring tak hanya berhenti pada ruang kelas saja, tapi berlanjut melalui media sosial. Dengan demikian proses saling belajar terus berjalan.
2
Sebagai rumah sakit pusat yang berada di Jawa Tengah, RSUP Dr. Kariadi tak hanya menjadi rujukan akhir pasien se Jawa Tengah, namun juga bertanggungjawab melakukan pembinaan pada Rumah Sakit di Jawa Tengah. Tak terkecuali dalam masalah upaya menekan angka kematian ibu dan bayi. Pembinaan tersebut diantaranya dilakuan dengan melakukan mentoring ke sejumlah Rumah Sakit. Mentoring terkait dengan perbaikan layanan persalinan, tatakelola pelayanan atau menejemen Rumah Sakit, serta peningkatan kapasitas tenaga medis dalam memberikan pelayanan kegawatdaruratan. Menurut Agoes, sebagai rumah sakit pusat rujukan, RSUP Kariadi perlu mengetahui mutu layanan
dari Rumah Sakit yang mengirim rujukan. Selain itu, dengan melakukan mentoring, akan terjadi perbaikan mutu layanan di Rumah Sakit pengirim rujukan. “Dengan demikian, diharapkan makin sedikit angka rujukan, karena masingmasing Rumah Sakit makin mampu menangani kondisi emergency,” Karena semangat itulah, RSUP Dr. Kariadi menyambut baik kerjasama dengan EMAS Jawa Tengah dalam melakukan mentoring kepada Rumah Sakit di Jawa Tengah sebagai upaya menekan angka kematian ibu dan bayi. Apa lagi, lanjutnya, mekanisme dan alat ukur yang diajukan EMAS sangat membantu kami dalam melakukan mentoring. Standar pelayanan yang ditetapkan EMAS juga sesuai dengan standar akreditasi Rumah Sakit. RSUP Dr. Kariadi telah membentuk tim mentoring yang terdiri dari spesialis obgyn, spesialis anak, bidan dan perawat. Setiap saat, tim siap berbagi ilmu dan pengalaman dengan Rumah Sakit.
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 Diantara mentoring yang telah dilakukan adalah empat Rumah Sakit di Grobogan, empat Rumah Sakit di Kudus, satu Rumah Sakit di Brebes, satu Rumah Sakit di Kabupaten Tegal, Rumah Sakit Moewardi Solo serta Rumah Sakit Tlogorejo Semarang. Dari pengalaman mentoring yang dilakukan, Oerip berkesimpulan, tidak susah untuk meningkatkan kapasitas tenaga medis. Biasanya, setelah dua kali pertemuan dan latihan, menjadi lebih baik. “Karena sebenarnya semua tenaga kesehatan ingin meningkatkan kapasitas diri”. Justru yang harus lebih ditingkatkan dalam upaya perbaikan mutu layanan adalah masalah manajemen Rumah Sakit. Manajemen memiliki posisi kunci dalam menentukan seluruh layanan, mulai pegawai level terendah sampai dokter spesialis. dari tukang bersih . Bagaimana proses rujukan akan berjalan baik misalnya, jika tidak ada displin dari sopir ambulan. Bagaimana layanan akan bagus jika petugas kebersihan bekerja tidak maksimal. Masalah-masalah tersebut menjadi
tangggungjawab manajemen. Manajemen, lanjut Oerip, juga harus tegas dalam mendorong dokter spesialis agar menambah jam mengunjungi pasien. Manajemen juga harus mengupayakan kelengkapan fasilitas kesehatan. Hal lain yangtak kalah penting adalah komitmen kepala daerah dalam memajukan mutu layanan RSUD serta komitmen menekan angka kematian ibu dan bayi. Kadang dijumpai kepala daerah yang lebih mendahulukan program yang polulis, yang mampu menarik simpati masyarakat secara langsung. Sebaliknya kurang peduli dengan perbaikan mutu RSUD dan banyaknya kasus kematian ibu dan bayi. Komitmen RSUP Dr. Kariadi dalam memberikan mentoring juga disampaikan oleh bidan senior, Istirochah, SSiT, M.Kes. “Karena kami ingin pelayanan persalinan, terutama layanan kegawatdaruratan di seluruh rumah sakit menjadi lebih baik,” ujarnya. Mentoring menjadi sangat penting mengingat sebagian rumah sakit dan Puskesmas yang ada belum memiliki standar klinis yang baik dalam memberikan pelayanan, terutama pertolongan emergency pada ibu hamil. Menurutnya, masih banyak bidan di Rumah Sakit yang belum memiliki sertifikat kompetensi kebidanan. Sertifikat itu penting untuk menunjukkan kompetensi. Banyak juga bidan yang belum memiliki kemampuan resusitasi neonatus. Padahal kemampuan ini mutlak diperlukan kala menghadapi bayi yang mengaalami asfeksia (tak bias bernafas). Para Rumah Sakit juga didorong untuk membuat instalasi gawat darurat khusus ibu hamil. Hal ini penting guna memberikan pelayanan maksimal saat emergency, sehingga kematian ibu dan bayi bisa dihindari.
Dengan mentoring yang dilakukan tim RSUP Dr. Kariadi, perbaikan layanan di rumah sakit dampingan berangsur membaik. Misalnya para tenaga medis mampu memberikan pertolongan kegawatdaruratan pada serta mengetahui alur pelayanan lebih efektif dan efisien. “Karena instrument yang diberikan EMAS sangat membantu,” kata Istirohah. Karena dampak positif tersebut, banyak Rumah Sakit yang bersedia mereplikasi instrument EMAS. RSUD Lukmono Hadi Kudus misalnya, berkat mentoring yang dilakukan EMAS dan RSUP Dr Kariadi, tak lama membangun Instalasi Gawat Darurat khusus persalinan. Mutu dan fasilitas juga terus diperbaiki. Istirochah berharap, meski program EMAS akan segera berakhir, diharapkan makin banyak Pemerintah Daerah atau Rumah Sakit bersedia mereplikasinya. “Jika ada sesuatu yang bagus, kenapa tidak kita contoh demi kebaikan bersama,” ujarnya menutup pembicaraan. Terkait perbaikan mutu dan tata kelola rumah sakit dapat di unduh di tautan berikut: http:// emasindonesia.org/read/resources/ tools_guidelines/29/InstrumenPenilaian-Sistem-Kinerja-di-RumahSakit http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/30/ Pedoman-Teknis-PenyelenggaraanSimulasi-Emergensi-Obstetri-danNeonatus http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/35/ Alat-Pantau-Sistem-Kinerja-Klinik-diRumah-Sakit http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/39/ Daftar-Tilik-Keterampilan-Klinik http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/42/ Definisi-Operasional-RS
3
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Dinkes Menjadi Regulator yang Efektif Tingginya angka kehamilan, serta banyaknya kasus kematian ibu dan bayi di Grobogan, Jawa Tengah, membuat Dinas Kesehatan setempat harus melakukan upaya ekstra keras untuk menanganinya. Belum lagi luasnya wilayah dan koindisi geografis menjadi tantangan tersendiri. Tahun 2014 angka kehamilan di kabupaten ini mencapai 22 ribu. Dari jumlah tersebut kasus kematian ibu tercatat 43.
S
alah satu upaya yang dilakukan, pada pertengahan 2015 diterbitkan surat edaran Kepala Dinas Kesehatan yang mengarahkan agar seluruh persalinan dilakukan di Fasilitas Layanan Kesehatan. Kebijakan ini ditempuh demi mengurangi potensi terjadinya kematian ibu dan bayi. “Banyak bidan yang membuka praktek di rumah, meski tidak memiliki sarana dan prasarana yang mendukung. Sekarang, proses persalinan harus dilakukan di Puskesmas. Dengan adanya peraturan tersebut, kami melengkapi sarana prasarana di 30 Puskesmas yang ada, dan juga disertai sistem jemput bola yang dilakukan puskesmas,” kata Kepala Dinas Kesehatan Grobogan, dr. Johari Angkasa. Sesuai dengan standar pelayanan persalinan, lanjutnya, persalinan harus diilakukan setidaknya oleh emapat tangan (dua tenaga kesehatan). Pwersalinan di bidan praktik mandiri sering dijumpai hanya ditolong oleh satu orang bidan. Hal ini menghawatirkan jika terjadi kegawatdaruratan dalam persalinan, maka pertolongan tak maksimal. Selain itu, persalinan di Puskesmas lebih nyaman karena didukung peralatan dan obat yang lebih lengkap disbanding di bidan mandiri. Jika harus dirujuk, ambulans di Puskesmas juga selalu siaga. Awalnya, kebijakan tersebut
4
menimbulkan resitensi dikalangan bidan. Namun menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Grobogan, dr. Rinjani Suryaningsih, hal itu tak berlangsung lama setelah dijelaskan maksudnya. Selain itu, bidan masih boleh melakukan pertolongan persalinan asal dilakukan di fasilitas layanan kesehatan, bukan di rumah. Upaya tersebut cukup berhasil dalam mengurangi kasus kematian ibu. Tahun 2015, kasus kematian bayi di Groboogan turun menjadi 33. Sedangkan tahun 2016 hingga bulan Mei tercatat 12 kasus. Untuk memperbaiki layanan Puskesmas, sejak 2015 Grobogan bekerja sama dengan program EMAS Jawa Tengah melaukan perbaikan layanan dan tata kelola pada 10 Puskesmas dari 30 Puskesmas yang ada. 10 Puskesmas tersebut adalah Geyer 1, Grobogan, Ngaringan, Pulokulon 1, Kradenan 1, Klambu, Karang Rayung 1, Kedung Jati, Gabus 1 dan Purwodadi 1. Pada 10 Puskesmas tersebut dilakukan peningkatan tata kelola klinis khususnya dalam menangani pasien hamil dalam kondisi emergency, serta bagaimana tata kelola rujukan. Hasilnya, Puskesmas yang awalnya hanya mampu mencapai 20 persen capaian klinis, kini sudah mencapai 80 persen capaian klinis. Dampingan program EMAS telah selesai, namun pemerintah
Grobogan bertekad merplikasi program EMAS di seluruh Puskesmas yang ada. April lalu, 20 Puskesmas yang lain melakukan kunjungan kepada Puskesmas terdekat yang telah didampingi EMAS. Mereka saling belajar dan meniru praktik baik yang sudah ada. Pada bulan Juni nanti, giliran 10 Puskesmas yang telah mendapat pendampingan EMAS melakukan
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 mentoring kepada Puskesmas yang lain. Juwita Rini, salah seorang bidan mengaku mendapat pegalaman baru serta diringankan dalam bekerja setelah mendapat pendampingan dari EMAS. Bukan soal kapasitas teknik kebidanan saja dalam menolong pasien, tapi juga dalam hal administratif. Di Puskesmas misalnya, biasanya harus mengisi banyak buku register. Namun EMAS memperkenalkan buku regrister yang lebih simple, namun komperhensif. Juga memperkenalkan Alat Pantau Sistem Kinerja Klinik di Puskesmas. “Semuanya simple, tapi lengkap dan terukur. Kami sangat terbantu,” ujarnya. Pendampingan EMAS juga dilakukan di empar Rumah Sakit di Grobogan, yakni RSUD Raden Sujati, RS Permata Bunda, RS Panti Rahayu
serta RS PKU MUhammadiyah Gubug. Pada Rumah Sakit tersebut tata kelola klinis dan rujukan bagi ibu hamil terus dibenahi. Dalam upaya menekan angka kematian ibu dan bayi, Dinas Kesehatan Grobogan juga melibatkan masyarakat, bekerjasama dengan Forum Masyarakat Madani yang digagas oleh EMAS serta dengan Tim Penggerak PKK. Selain mengkampanyekan kepedulian pada isu kesehatan ibu dan anak hingga tingkat desa dan RT, mereka juga mensosialisasikan program SMSbunda. Sebuah program layanan dari Kementrian Kesehatan tentang informasi dan tips kesehatan bagi ibu hamil yang dieroleh secara gratis hingga bayi berusia dua tahun. Dengan informasi via SMS tersebut, ibu hamil diharapkan mampu mengenali tanda tanda
jika mengalami kegawatdaruratan. Berkat kerjasama yang baik dengan Tim Penggerak PKK, Grobogan menjadi salah satu daerah pengakses SMSbunda tertingggi di Indonesia, dengan total pengakses mencapai 17 ribu lebih. Johari Angkasa mengatakan, segala upaya harus ditempuh demi menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian. “Semoga angka kematian ibu dan bayi di Grobogan terus berkurang,” ujarnya. Menurut dr. Agoes Oerip, SpOG (k), MARS, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang yang melaukan mentoring ke beberapa Rumah Sakit di Grobogan mengatakan, kasus kematian ibu dan bayi tidak perlu dipermasalahkan, sepanjang sudah mendapatkan pelayanan yang tepat secara medis. “Yang menjadi soal adalah yang meninggal siasia karena tidak mendapatkan pelayanan medis yang benar,” kata Agoes. Perlahan namun pasti, layanan kesehatan bagi ibu hamil di Grobogan terus meningkat. Kasus kematian ibu dan bayi juga menurun. Harus ada komitmen kuat dari semua fihak untuk aksi menekan angka kematian ibu dan bayi. Jika Grobogan bisa, daerah lain kenapa tidak? Informasi terkait artikel ini bisa diunduh pada link berikut: http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/10/ Panduan-Fasilitasi-PemantapanProses-AMP http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/48/ Panduan-Fasilitasi-AMP http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/23/ Pedoman-Teknis-PembentukanPendampingan-POKJA-EMAS http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/50/ Pedoman-Teknis-Pokja
5
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Penurunan AKI/AKB di Semarang Libatkan Jaringan Rumah Sakit Interfaith Jaringan Rumah Sakit berbasis agama (interfaith) memiliki peran strategis dalam bagian upaya menekan angka kematian ibu dan bayi. Perannya perlu dioptimalkan. EMAS Kota Sematang melakukan tereobosan baru dengan melibatkan mereka.
T
ingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Semarang, adalah sebuah ironi tersendiri. Betapa tidak, ibukota provinsi Jawa Tengah memiliki sarana-prasarana yang cukup lengkap, terutama di bidang Kesehatan. Terdapat 26 Rumah sakit dengan berbagai kelas, baik kelas A, B, C maupun D dengan kualifikasi 7 Rumah Sakit diantaranya berstatus sebagai Rumah Sakit PONEK. Selain itu terdapat 37 Puskesmas, dengan kualifikasi diantaranya 6 Puskesmas PONED. Seluruh fasilitas kesehatan di Kota Semarang didukung dengan sarana peralatan dan sumberdaya manusia yang memadai. Terdapat
6
77 dokter obgyn serta tidak ada kendala geografis. Namun faktanya, kasus kematian ibu masih tinggi. Tahuin 2015 tercatat 33 ibu meninggal. Untuk itu EMAS Semarang bersama Dinas Kesehatan setempat berupaya meningkat segala upaya untuk menekan kasus kematianibu dan bayi. Salah satunya dengan mengoptimalkan jaringan Rumah Sakit interfaith (berbasis agama). Di Kota Semarang ada enam Rumah Sakit yang berbasis agama dan memiliki kontribusi dalam penurunan kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Klaim ini tak berlebihanmengingat
tiap rumah sakit berbasis agam memiliki kedekatan tertentu dengan pasiennya. Keenam Rumah Sakit tersebut adalah RS St Elisabeth dibawah Yayasan Elisabeth OSF (Ordo Santa Fransiskus) yang berbasis agama Katolik, RS Panti Wilasa Citarum dan Panti Wilasa dr. Cipto milik Yakkum yang berbasis agama Kristen, Rumah Sakit William Booth milik Yayasan Bala Keselamatan yang berbasis agama Katolik, Rumah Sakit Islam Sultan Agung milik Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung yang berbasis agama Islam dan Rumah Sakit PKU Roemani milik Muhammadiyah yang berbasis agama Islam. Mengingat jaringan interfaith
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 ini merupakan hal baru di Kota Semarang, maka langkah pertama yang dilakukan EMAS Kota Semarang adalah, melakukan komunikasi dan pertemuan dengan pihak yayasan yang menaungi Rumah Sakit tersebut. Pertemuan ini menjadi pintu pembuka untuk membangun komitmen dan kesadaran, serta kontribusi dalam penurunan kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir di Kota Semarang. Selain itu para Pengurus Yayasan Rumah Sakit Jaringan Interfaith juga membangun Perjanjian Kesepakatan Bersama tentang upaya Penurunan Kasus Kematian Ibu Melahirkan dan Bayi baru lahir di Kota Semarang. Selanjutnya, para pengelola Rumah Sakit itu juga membentuk Komite Bersama Rumah Sakit Antar Keagamaan di Kota Semarang. Dalam Komite Bersama ini Prof. DR. dr.H. Rifki Muslim SpB, SpU dari RS Roemani Semarang, terpilih menjadi Ketua. “Rumah Sakit berbasis agama memiliki tanggungjawab menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Semua agama menyerukan pada upaya penyelamatan ibu dan bayi,” kata Rifki Muslim. Jaringan Rumah Sakit interfaith ini sejak tahun 2014, sudah mengikuti pelaksanaan Program EMAS, namun belum terstruktur. Baru di tahun 2015, pihak Muhammadiyah yang menjadi anggota Konsorsium program EMAS mulai melakukan pembenahan proses peningkatan standarisasi Rumah Sakit jaringan Interfaith. Penandatangan kesepakatan kerjasama dilakukan pada 10 Juli 2015 bertempat di RS Pantiwiloso Citarum. Upaya pembenahan dilawali dengan melakukan kunjungan Rumah Sakit jaringan interfaith ke Rumah Sakit Panti Rapih dan Rumah Sakit Baithesda Yogyakarta. Setelah Kunjungan, Tim Mentor Rumah Sakit Interfaith yang terdiri dari Panti Rapih, Baithesda, PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, dan Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta, melakukan pendampingan ke Rumah Sakit jaringan Interfaith di Semarang. Tim Mentor juga melakukan pemetaan atas hasil Alat Pantau Kinerja klinis (APKK) yang dimiliki oleh masing-masing Rumah Sakit jaringan interfaith di Semarang. Hasilnya, tidak semua Rumah Sakit memiliki kapasitas yang sama. Frekwensi pendampingan yang dibutuhkan juga berbeda. Oleh karenanya, untuk effisiensi dan memberdayakan para calon-calon Mentor di Rumah Sakit Jaringan Interfaith, diadakan Standarisasi Mentor. Kegiatan ini diikuti oleh para calon mentor dari tiga Rumah Sakit yaitu dari RS St Elisabeth, RS Islam Sultan Agung dan RS Panti Wilasa Citarum. Ketiga Rumah Sakit ini setelah menjadi Mentor akan melakukan mentoring ke Rumah Sakit Panti Wilasa dr. Cipto dan Rumah Sakit William Booth. Dengan cara ini, dipastikan hampir seluruh Rumah Sakit di kota Semarang telah melakukan standarisasi untuk layanan PONEK atau PONED. Terkait dengan kegiatan mentoring, sebelumnya, EMAS Kota Semarang juga menginisiasi agar Rumah Sakit atau Puskesmas yang telah mampu, bersedia melakukan mentoring pada Rumah Sakit atau Puskesmas yang lain.
Awal dibukanya program EMAS di Kota Semarang pada Oktober 2013, hanya ada tiga yaitu Rumah Sakit yang menyelenggarakan layanan PONEK, yakni RSUP Dr. Kariadi, RSUD Tugurejo dan RSUD Kota Semarang. Serta tiga Puskesmas penyelenggaran PONED, yakni Puskesmas Bangetayu, Ngesrep dan Halmahera. Rumah Sakit dan Puskesmas itulah yang menjadi pelopor menjadi Mentor. Menjadi mentor sebenarnya bukan menjadi tujuan langsung dari Program EMAS. Tujuan utama program EMAS adalah melakukan perbaikan pelayanan Kegawat Daruratan dan perbaikan sistim rujukan yang efektif dan efisien. Kini Kota Semarang terdapat tiga Rumah Sakit dan beberapa orang Staf Dinas Kesehatan Kota Semarang yang memiliki pengalaman menjadi Mentor baik di Rumah Sakit maupun di Puskesmas, di luar Kota Semarang seperti Kab Grobogan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Kudus, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Kendal, Kota Magelang dan Kota Surakarta. Informasi terkait artikel ini bisa diunduh pada link berikut: http://emasindonesia.org/read/ resources/publications_reports/34/ The-Interfaith-Network
7
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Banyumas Sukses Mentoring di Kabupaten Tetangga
I
barat sepak bola, Banyumas menggunakan strategi total football. Itulah gambaran sederhana bagi Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam menekan angka kematian ibu dan bayi. Seluruh potensi digerakkan: perbaikan mutu layanan di Rumah Sakit dan Puskesmas, meningkatkan kepedulian obgyn, kapasitas bidan terus ditingkatkan, seluruh masyarakat diajak terlibat, serta komitmen pemerintah daerah yang kuat. Adalah sang bupati Achmad Husein yang terus menabuh genderang upaya penyelamatan ibu dan bayi. Tak hanya melakukan pendekatan politik dengan berbagai kebijakan dan dukungan keungan daerah dengan ungkapan, “Berapapun dana akan kami sediakan, demi menurunkan angkakematian
8
Tak hanya mengeluarkan kebijakan yang pro pada upaya menekan angka kematian ibu dan bayi, Bupati Achmad Husein juga mendorong Rumah Sakit dan Puskesmas melakukan mentoring, baik di Banyumas maupun kepada kabupaten tetangga. ibu dan bayi”. Namun gerakan kultural juga ia lakukan. Misalnya dengan membuat acara santai bersama dengan para obgyn untuk meningkatkan kepedulian menekan angka kematian ibu. Di sela kesibukannya, Husein secara insidental juga mengunjungi ibu hamil, terutama yang teridentifikasi berisiko tinggi. “Saya memang tidak main-main dalam upaya menekanangka kematian ibu dan bayi,” kata Husein. “Saya gregetan.Jumlah rumah sakit dan Puskesmas cukup. Jumlah obgyn juga banyak. Di Purwokerto
juga ada dua fakultas kedokteran. Tapi mengapa angka kematian ibu masih tingi?” atas pertanyaan itu, Husein menyimpulkan, gerakan penyelamatan ibu dan bayi, harus terus ditingkatkan, dengan melibatkan semua potensi.Upaya juga harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Dari hulu misalnya, ia meminta program KB harus diintensifkan. Makin sedikit angka kehamilan, makin kecil potensi kematian ibu. Para ibu dengan potensi risiko tinggi, diimbau untuk tidak hamil.
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 dan bayi kepada daerah tetangga seperti Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Brebes, Tegal dan Pekalongan. “Tak ada salahnya berbagi pengalaman baik. Kepada para dokter dan perawat juga saya persilakan jika akan melakukan mentoring,” ujarnya suatu ketika. Kepada kepala daerah, ia selalumengingatkan pentingnya komitmen kepala daerah dalammendorong gerakan menekan angka kematian ibu dan bayi. Ini penting karena terkait dengan masa depan bangsa serta investasi generasi. Caranya, dengan mengerakkan seluruh potensi yang ada mulai tenaga kesehatan, pemerintah hingga masyarakat umum. “Karena masalah kematian ibu dan bayi, adalah masalah bersama,” tegas Husein. Pada ranah hilir, Pemerintah Banyumas dengan pendampingan program EMAS, terus melakukan perbaikan mutu dan tatakelola Rumah Sakit dan Puskesmas serta meningkatkan pelayanan kegawatdaruratan bagi ibu hamil. Pada 2012, awal program EMAS masuk, dari 39 Puskesmas yang ada di Banyumas, 10 diantaranya adalah Puskesmas vanguard. Pada 2013 dilakukan scaling up pada 12 Puskesmas yang lain. Rumah Sakit dan Puskesmas yang telah mampu memberikan layanan persalinan dengan baik harus melakukan mentoring pada Puskesmas lain. Tak heran pada 2014 seluruh Puskesmas sudah memberikan layanan persalinan. Tak hanya mendorong mentoring di internal Banyumas. Husein juga mendorong mentoring ke kabupaten tetangga. Hal ini ditunjukkan dengan dukungan kepada tim RSUD Margono Soekarjo untuk melakukan mentoring pada Rumah Sakit di Cilacap. Husein sendiri berbagi pengalaman kebijakan pemerintah daerahnya dalam menekanangka kematian ibu
Dr. Hendro Boedhi Hartono, salah seorang Obgyn senior di Rumah Sakit Margono membenarkan yang disampaikan Husein. Selain terus melakukan perbaikan internal dalam layanan persalinan, RS Margono juga aktif melakukan pendampingan atau mentoring ke beberapa Puskesmas dan Rumah sakit baik di Banyumas maupun tetanga. Dalam proses mentoring, Hendro selalu mengingatkan kepada dokter dan bidan agar bekerja profesional, ikhlas dan menganggap pasien sebagai saudara sendiri. Komitmen ini membuat tenaga kesehatan bekerja tanpa pamrih, menjamin persalinan yang berkualitas dan pada akhirnya menyiapkan generasi yang akan datang menjadi lebih baik. “Saya punya asumsi kalau ada isntitusi yang tergugah untuk ikut memikul tanggung jawab meningkatkan kualitas persalinan maka angka kematian ibu dan bayi bisa ditekan,” ujarnya optimis. Memang, lanjutnya. Dalam proses mentoring, Hendro menemukan kenyataan bahwa melakukan perubahan bukan hal yang mudah.
Namun perubahan bukan hal yang tidak mungkin jika kita memulainya dengan langkah-langkah kecil yang dibangun dari potensi-potensi yang sudah ada. Semua tergantung pada kesediaan dan bekerja dari hati masing-masing. Ia mencontohkan, awalnya ia menjumpai beberapa tindakan sederhana namun penting, belum menjadi tradisi pada Rumah Sakit atau Puskesmas. Misalnya tidak ada sabun cuci tangan di setiap ruangan, troli emergensi belum terisi dengan persediaan dan peralatan yang lengkap, seperti magnesium sulfat (MgSO4) untuk menangani ibu hamil dengan kasus pre-eklampsia/ eklampsia. Posisi duduk perawat sering membelakangi kamar-kamar pasien sehingga sulit mengawasi dan memonitor pasien. Namun setelah dilakukan penjelasan, mereka mau perubah. Rumah sakit sudah siap menerima ibu hamil dengan kasus kegawatdaruratan (emergency drill), relasi dan komunikasi antara dokter dan perawat atau bidan makin intensif. Bidan dan perawat sudah terbiasa menggunakan standar kinerja, dasbor—kumpulan data yang menampilkan indikator-indikator kesehatan spesifik pada fasilitas kesehatan—dan pendekatan tata kelola klinis. Atas berbagai terobosan serta kuatnya komitmen menurunkan angk akematian ibu dan bayi, awal tahun 2015, Husen menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai Bupati pelopor penyelamatan ibu dan bayi baru lahir. Atas penghargaan tersebut, Husein menyatakan bahwa yang layak menerima penghargaan adalah para petugas kesehatan seperti bidan, dokter direktur rumah sakit dan kepala puskesamas. “Karena saya hanya simbol, yang berada diujung tombak adalah para tenaga kesehatan,” ujarnya merendah. []
9
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
K
EMATIAN adalah takdir Tuhan. Itu keyakinan final semua agama. Tentang kapan dan bagaimana cara ajal menjemput, sepenuhnya menjadi rahasia Tuhan. Meski meyakini kematian adalah takdir, tak satupun agama mengajarkan kepada umatnya untuk menjemput kematian secara sia-sia. Karena memperjuangakan kehidupan jauh lebih utama dibanding pasrah menerima takdir kematian. Kematian sia-sia yang dimaksud adalah, kematian yang sesuangguhnya bisa dicegah. Bukan kematian yang menyisakan ironi seperti yang terjadi pada sebagian ibu hamil dan bayi baru lahir. Mengapa disebut ironi, karena secara medis, sesungguhnya kematian itu bisa dicegah. Para ibu hamil dan bayi-bayi itu sebenarnya bisa diselamatkan, andai mendapat pertolongan yang tepat dan cepat. Hasil death audit yang dilakukan Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) pada tahun 2014 terhadap 102 kasus kematian ibu, yang terjadi pada lima kabupaten/ kota yang mendapat pendampingan EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) Jawa Tengah (Kota Semarang, Tegal, Brebes, Banyumas dan Cilacap) diperoleh kesimpulan, secara medis 70 persen diantaranya sebenarnya bisa diselamatkan, andai saja mereka mendapatkan pelayanan kegawatdaruratan yang tepat dan cepat. “Dengan penanganan emergency yang tepat dan cepat, mestinya angka kematian yang terjadi hanya 30-31 kasus saja,” kata dr. Hartanto Hardjono, Provincial Team Leader USAID EMAS Jawa Tengah. Ironi tersebut, terjadi di semua kabupaten/kota. Di Banyumas misalnya, meski daerah ini mempunyai komitmen kuat untuk menurunkan angka kematian ibu, namun pada tahun 2015 tercatat 24 kasus. Hasil death audit
10
Ironi Kematian Ibu dan Bayi
Tingginya kematian ibu dan bayi adalah sebuah ironi. Dengan penangan medis yang cepat, mestinya sebagian angkanya bias berkurang. Upaya pencegahan hulu hingga hilir harus dilakukan bersamaan. menunjukkan, separuh diantaranya disebabkan preeklampsia dan perdarahan. Separuh lainnya disebabkan penyakit lain. Preeklampsia dan perdarahan mestinya bisa ditangani secara medis. Sehingga angka kematian ibu yang bisa ditoleransi hanya 12 kasus. Ironi yang paling mencolok terjadi di Kota Semarang yang pada tahun yang sama mencatat 33 kasus kematian ibu. Hasil death audit menunjukkan dari jumlah tersebut, hanya 15 kematian yang disebabkan penyertaan penyakit lain, sisanya karena preeklampsia dan perdarahan. Jadi mestinya, 18
dianaranya bisa tertolong. Ini terjadi di Ibukota provinsi yang memiliki 26 Rumah Sakit, terdapat 77 lebih dokter spesialis obgyn yang jauh memadai jika dibanding dengan kota lain yang dokter obgynnya hanya dalam hitungan jari. Secara geografis, Kota Semarang juga tak ada kesulitan. Hasil death audit pada kematian bayi baru lahir juga mencengangkan. Dari kasus kematian bayi di enam rumah sakit di Jawa Tengah yang didampingi EMAS, secara medis, mestinya 80 persen kematian tak perlu terjadi, karena bobot bayi di atas 2.000 gram serta tanpa kelainan
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 saat ada bayi yang diare, menular kepada yang lain. Oleh karenanya EMAS selalu mengingatkan standar klinis perawatan bayi, misalnya jarak antarbox bayi minimal semester, tiap box harus dilengkapi stetoscop, alkohol untuk mencuci, dan sebagainya. Awalnya ada tenaga kesehatan yang sinis karena menganggap terlalu ribet. Tapi setelah mereka tahu bahwa standar itu harus dipenuhi untuk kepentingan akreditasi, mereka baru menjalankan.
kongenital berat. “Menurut teori, mestinya bayi-bayi itu masih bisa diselamatkan,” tandas Hartanto. Tapi, kenapa masih terjadi kematian? Ini disebabkan keputusan atau penangan klinis yang tidak tepat. Jika ditelisik lebih jauh, kematian bayi di rumah sakit juga lebih banyak terjadi pada dini hari. Kenapa? Karena minimnya tenaga medis yang mengawasi. Bayangkan, sebuah rumah sakit dengan 28 box bayi, pada malam dan dini hari hanya dijaga oleh dua perawat yang kadang masih yunior. Saya sering bilang, kata Hartanto, betapa keluarga bayi rela menunggu di lorong rumah sakit dengan beralas tikar. Mereka berdoa dan berharap bayinya sehat, sementara di balik tembok, para bayi dibiarkan tak diawasi. “Sungguh sangat menyedihkan”. Pernah juga di sebuah rumah sakit pemerintah terjadi kejadian luar biasa diare pada bayi. Penyebabnya karena perawatan bayi tidak dilakukan sesuai standar klinis, sehingga
Mestinya, ketika ibu atau bayi dirawat di Rumah Sakit, maka penangannya menjadi tanggungjawab dokter spesialis. Oleh karenanya, idealnya tiap rumah sakit harus dilengkapi dokter spesialis obgyn dan spesialis anak yang on site 24 jam. Ini yang tidak dilakukan. Di Semarang misalnya, dari 26 Rumah Sakit yang ada, hanya RS Kariadi, RS Tugurejo dan RSUP Kota Semarang yang on site. Padahal terdapat 77 lebih spesialis obgyn. Perlu ada kesadaran dari manajemen Rumah Sakit dan obgyn. Penangan pasien harus berperspektif kesehatan, bukan bisnis. “Inilah pentingnya mengingatkan kembali soal integritas dokter,” tandas Hartanto. Mungkin ada daerah yang jumlah obgynnya terbatas, tapi bukan berarti tidak bisa on site. Sepanjang ada komitmen, pasti bisa dilakukan, misalnya dengan memberikan jadwal piket yang ketat. Buuktinya, Rumah Sakit Tugurejo yang hanya memiliki enam obgyn, bisa on site. Okay. Atas keterbatasan obgyn, beberapa Rumah Sakit menerapkan sistem on call bagi obgyn, dengan toleransi respon time 30 menit. Jika demikian, dokter harus konsekwen dalam waktu maksimal 30 menit sejak ditelepon, harus hadir. Respon time sering diabaikan. Dinas Kesehatan sebagai regulator juga harus serius memikirkan ini. Mestinya Dinas bisa mengancam tak memberikan izin bagi Rumah Sakit
yang belum menerapkan on site atau respon time yang buruk. Hal lain yang tak kalah penting adalah disiplin penegakan hasil death audit. Temun audit harus menjadi pembelajaran bagi seluruh dokter dan fihak Rumah Sakit, sehingga kejadian serupa tak terulang. Yang terjadi, hasil audit sekadar temuan yang tak memberi pembelajaran. Menurut dr Soerjo Hadijono, Sp.OG (K), tingginya kasus mematian ibu dan bayi terjadi dari hulu hingga hilir. Ada input (pasien), ada proses (penangan medis), ada output (hasil). Dari sisi medis proses itu lebih banyak kuratif. Masalahnya bukan di proses semata, tapi juga input. Masalahnya belum ada upaya preventif promotif dan proses dalam waktu bersamaan. “Kalau program KB berjalan dengan baik, maka kasus kematian ibu pasti turun drastis,” kata Soerjo. Senada dengan Soerjo, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah, dr. Yulianto Prabowo, M.Kes mengatakan, tingginya angka kematian ibu dan bayi harus ditangani dari hulu hingga hilir. Dari persiapan kehamilan, saat hamil, hingga pasca melahirkan. “Semuanya harus dibenahi,” ujarnya. Informasi terkait artikel ini bisa diunduh pada link berikut: http://emasindonesia.org/read/ resources/publications_reports/30/ SUCCESS-STORY-A-Life-Saved-inAras-Kabu-North-Sumatra http://emasindonesia.org/read/ resources/publications_reports/31/ SUCCESS-STORY-DeliveringConfidence-and-Quality-AnIndonesian-Health-Center-MakesAmazing-Gains-in-Just-One-Year http://emasindonesia.org/read/ resources/infographic/10/TalunKenas-Infographic http://emasindonesia.org/read/ resources/infographic/7/24-Hoursto-Save-a-Life
11
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Perjanjian Lintas Batas Mempermudah Sistem Rujukan di Kabupaten Tegal Luas wilayah serta tingginya angka kehamilan mendorong Pemerintah Kabupaten Tegal membuat kerjasama lintas batas dalam merujuk pasien ibu hamil dalam kondisi emergency. Inilah Terobosan baru sistem rujukan maternal dan neonatal.
N
amanya Perjanjian Kerjasama Lintas Batas dalam Sistem Jejaring Rujukan Maternal dan Neonatal. Inilah terobosan baru sistem jejaring rujukan di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah dalam upaya menekan kasus kematian ibu dan bayi. Ibu hamil yang mengalami kondisi emergency di Kabupaten Tegal bisa dirujuk ke Rumah Sakit di Kota Tegal dan Pemalang, karena pertimbangan jarak yang lebih dekat. Kabupaten Tegal (Slawi), adalah salah satu kabupaten dengan kasus kematian ibu yang tinggi. Pada 2015 tercatat 33 kasus. Wilayah luas yang terdiri terdiri 18 kecamatan, menjadikan sebagian kecamatan lebih dekat dengan daerah tetangga, yakni Kota Tegal dan Kabupaten Pemalang. Tak heran, beberapa kecamatan lebih mudah mengakses layanan kesehatan di Rumah Sakit tetangga. Inilah alasan utama digagasnya Perjanjian Kerjasama Lintas Batas. Adalah Isriyati, Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal yang terlibat aktif dalam membidani perjanjian tersebut. Dokter sekaligus mentor dalam program EMAS sejak tahun 2014 ini menyatakan pentingnya perjanjian tersebut. Mengingat kapasitas fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Tegal tidak seimbang dengan jumlah kehamilan yang mencapai 29.000 (2015). Di sisi
12
lain, dari 29 Puskesmas induk yang ada, hanya 20 unit yang mampu memberikan layanan persalinan. Mulanya pada 2012, perjanjian kerjasama rujukan hanya melibatkan tiga Rumah Sakit di Kabupaten Tegal, yaitu RSUD Soeselo, RSI PKU Muhammadiyah, dan RSU Adella. Tentu kurang memadai. “Banyak ibu hamil yang tidak bisa di rujuk ke RSUD Slawi. Mereka lebih dekat dirujuk ke Rumah Sakit di Kota Tegal atau Kabupaten Pemalang.” Ucap Isriyati. “Harus ada terobosan
perjanjian lintas batas dalam merujuk pasien”. Berdasarkan hal tersebut, membangun jejaring yang efektif untuk memperkuat sistem rujukan menjadi salah satu pilihan penting untuk mempercepat upaya penyelamatan ibu dan bayi. Tentu, pada awal perintisannya, ditemui kendala, seperti perbedaan mekanisme rujukan dan wilayah administrasi. Namun hal tersebut bisa diselesaikan dengan dampingan program EMAS yang membantu kami dalam mengadvokasi.
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 Isriyati menjelaskan, langkah awal yang dilakukan adalah pemetaan sarana dan prasarana, kemampuan fasilitas kesehatan. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun draft perjanjian kerjasama yang melibatkan fasilitas kesehatan di luar Kabupaten Tegal Perjanjian Kerjasama Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal mengenai: mekanisme rujukan, alur rujukan antar fasilitas, tugas dan peran, alur data dan pelaporan, komunikasi, mekanisme pembiayaan, dan pembinaan
fasilitas kesehatan dalam menangani masalah rujukan kegawatdaruratan. Seluruh Puskesmas di Kabupaten Tegal telah memanfaatkan sijariEMAS. Dengan sistem ini, tenaga kesehatan di Puskesmas dengan mudah dan tepat merujuk ibu hamil berdasarkan wilayah, prioritas Rumah Sakit, dan alur rujukan. Fasilitas kesehatan yang menjadi perujuk harus melakukan stabilisasi terhadap ibu hamil, sebelum merujuk. Dengan demikian tidak terjadi keterlambatan merujuk dan keterlambatan penanganan. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, dr. Titis Cahyaningsih, MMR, yang sejak awal ikut menangani sijariEMAS mengatakan, sijari EMAS tak hanya diterapkan di Puskesmas. Namun juga pada Bidan Desa dan Bidan praktik mandiri. Sehingga mereka juga bisa merujuk ibu hamil. “Kami telah memverifikasi dan melatih Bidan Desa dan dan Bidan Praktik Mandiri untuk menggunakan sijariEMAS,” ujarnya.
jejaring medis dan non medis. Pada 10 September 2015, perjanjian disepakati. Dengan meluasnya fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan, kebutuhan ibu hamil bisa dilayani dan terawasi walaupun berada di luar wilayah. Ditambah dengan penggunaan aplikasi program rujukan sijariEMAS (Sistem Informasi dan Komunikasi Jejaring Rujukan Maternal & Neonatal) berbasis layanan SMS. Sistem informasi ini memudahkan komunikasi antar tenaga dan
Setelah perjanjian lintas batas berjalan, kerjasama rujukan yang semula hanya melibatkan tiga Rumah Sakit, kini bertambah menjadi sembilan Rumah Sakit dengan sebaran rujukan yang merata. Sembilan rumah Sakit tersebut adalah RSUD Soeselo, RSI PKU Muhammadiyah, dan RSU Adella di Kabupaten Tegal. RSUD Dr. M Ashari di Pemalang. RSUD Surodadi, RSIA Palaraya, RSU Mitra Siaga, RSUD Kardinah, dan RSU Harapan Anda di Kota Tegal. Bagaimana dengan pembiayaan pasien rujukan? Meski beda daerah, tidak masalah. Seluruh Rumah Sakit yang terlibat dalam perjanjian kerjasama telah tersambung dengan sistem pembiayaan BPJS. Bagi yang belum menjadi peserta BPJS, pembiayaan dibantu oleh Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) Kabupaten Tegal yang dapat
digunakan di RSUD Soeselo Kab Tegal, RSUD Dr. M Ashari Pemalang dan RSUD Kardinah Kota Tegal. Pemerintah Kabupaten Tegal juga telah membuat SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) untuk melanjutkan program-program yang telah dilakukan saat pendampingan EMAS dan pengembangan sistem sijariEMAS. Setelah ada Perjanjian Kerjasama Lintas Batas, angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Tegal menurun secara signifikan. Tentu, terobosan ini bisa ditiru oleh daerah lain sebagai ikhtiyar menekan kasus kematian ibu dan bayi. Informasi terkait artikel ini bisa diunduh pada link berikut: http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/52/ Pedoman-Teknis-PK-antar-Fasilitas http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/22/ Pedoman-Teknis-FasilitasiPerjanjian-Kerjasama-antar-Fasilitas http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/13/ Panduan-Implementasi-SijariEMASSistem-Informasi-Jejaring-RujukanMaternal-dan-Neonatal http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/17/ Panduan-Operasional-PelayananJejaring-Sistim-RujukanKegawatdaruratan-Ibu-Bayi-BaruLahir-Neonatus-Puskesmas-RumahSakit http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/19/ Panduan-Pengisian-Data-padaAplikasi-Data-Entry-Alat-PantauKinerja-Jejaring-Sistem-RujukanKegawatdaruratan-Ibu-Bayi-BaruLahir http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/27/ Pemanfaatan-Alat-Pantau-KinerjaJejaring-Rujukan-KegawatdaruratanIbu-dan-Neonatal-melaluiPenyeliaan-Fasilitatif
13
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Puskesmas Wiradesa Terus Berbenah Meski baru setahun mendapat pendampingan program EMAS, upaya menekan kasus kematian ibu dan bayi di Pekalongan sudah menunjukkan hasil baik. Puskesmas Wiradesa adalah contohnya. Pemerintah Kabupaten Pekalongan juga berkomitmen mereplikasi program EMAS dengan dana mandiri. rogram EMAS di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah baru dilakukan setahun. Meski demikian, sebagaimana pada wilayah dampiangan yang lain, kehadiran program EMAS di Kota Santri ini juga terus memberi dampak baik pada tata kelola dan mutu pelayanan persalinan, baik di Puskesmas maupun Rumah Sakit. Perubahan positif tersebut, misalnya bisa dilihat di Puskesmas Wiradesa.
P
empat kasus kematian ibu hamil. Salah satu penyebab utamanya adalah eklampsia (kejang-kejang karena tekanan darah tinggi). Namun sejatinya kondisi emergency tersebut bisa ditangani jika pasien mendapatkan penangan yang tepat dan cepat. Yang terjadi saat itu, fasilitas persalinan yang kurang memadai, petugas kesehatan kurang sigap, serta penanganan kegawatdaruratan yang tidak maksimal.
Pada tahun 2014, sebelum program EMAS melakukan pendampingan, di Kecamatan Wiradesa tercatat
Kondisi tersebut diperparah dengan belum terintegrasinya pola komunikasi dan koordinasi antara Bidan Desa dengan Bidan Puskesmas. Hal ini berdampak pada proses rujukan pada tiap persalinan berisiko tinggi yang kurang maksimal. Kendala-kendala tersebut membuat Kepala Puskesmas Wiradesa, Bidan Koordinator, serta jajaran lainnya memandang bahwa pelayanan maternitas dan neonatal perlu dibenahi. Pada tahun 2015, seiring digulirkannya SK Kadinkes tentang Puskesmas Mampu Salin 24 jam yang wajib diterapkan, EMAS mulai mendampingi Puskesmas Wiradesa dalam upaya menekan kasus kematian ibu dan bati. Bersama program EMAS, kegiatankegiatan peningkatan kualitas layanan terus dilakukan. Antara lain penataan ruang bersalin, ruang nifas, trolly emergency, perbaikan setandard pelayanan, hingga perbaikan algoritma emergency
14
maternal dan neonatal mulai terbenahi. Untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, para bidan diajak untuk berkunjung ke Puskesmas percontohan di Kota Semarang, mendapatkan pelatihan keterampilan klinis, dan perbaikan sistem rujukan dengan Sijari EMAS (Sistem Informasi Jejaring Rujukan Expanding Maternal And Neonatal Survival), sebuah layanan rujukan berbasis SMS dari Puskesmas ke Rumah Sakit rujukan. Selain fasilitas dan standar pelayanan, para tenaga kesehatan di Puskesmas di Jalur Pantai utara Jawa tersebut menyadari bahwa pembinaan sumber daya manusia merupakan titik kunci dalam perbaikan tata kelola klinis. “Jika mau menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir, selain fasilitas ruang bersalin memadai dan perbaikan stabilisasi pra-rujukan, hal yang paling utama adalah penataan keterampilan klinis Bidan Desa,” Kata Lestari, seaku Bidan Koordinator di Puskesmas Wiradesa. Di Wiradesa, lanjutnya, terdapat 27 orang bidan dengan kapasitas penguasaan penangan kegawatdaruratan yang berbedabeda. Dengan pelatihan simulasi kegawat-daruratan secara rutin, diskusi kasus, dan saling berbagi pengalaman, kapasitas para bidan meningkat. Contoh yang paling sederhana, menurut Lestari, adalah kemampuan bidan melakukan stabilisasi pada ibu
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
hamil yang mengalami kondisi kegawatdaruratan, sebelum dirujuk ke rumah sakit. Ada pengalaman menarik yang selalu diingat Lestari. Suatu hari, Puskesmas Wiradesa menyelenggarakan pelatihan simulasi emergency eklampsi. Ini merupakan pengalaman baru bagi para bidan. Sehari berikutnya, mereka mendapatkan pasien eklampsi. Tanpa ragu, para bidan memberikan MgSO4 (obat pengurang kejang-kejang pada ibu hamil karena hipertensi) sebagaimana yang ditetapkan pada prosedur penangan Pre Eklampsia Berat dan Eklampsi di Puskesmas. “Kemudian kami merujuk pasien ke Rumah Sakit dengan kondisi stabil. Pelajaran yang kami terima, langsung berguna esok harinya,” ujar Bidan Lestari sambil tersenyum. Manfaat baik dari program EMAS, kata Bidan Lestari, selain kapasistas para bidan meningkat, juga meningkatkankepercayaan
diri bidan dalam menjalankan tindakan emergency. Pengalaman keberhasilan menolong ibu hamil dengan risiko tinggi, mendorong para bidan untuk terus belajar. Para bidan menjadilebih peduli dengan pasien. Dampaknya, kepercayaan masyarakat terhadap Puskesmas juga meningkat. Sebelum mendapatkan pendampingan EMAS, angka persalinan di Puskesmas rata-rata berjumlah 15 persalinan per bulan. Kini angka persalinan di Puskesmas mencapai 30 perbulannya. Bahkan, di awal tahun 2016 Puskesmas Wiradesa berhasil menangani dua pasien PPH (perdarahan) dengan syok hipovolemik (kondisi medis dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berisiko pada kegagalan organ tubuh) yang telah distabilisasi dan dirujuk ke Rumah Sakit. Seiring membaiknya mutu pelayanan persalinan di Puskesmas Wiradesa, pada tahun 2015 tak ada
kematian ibu dan bayi di kecamatan Wiradesa. Prestasi ini menjadikan Pemerintah Kabupaten Pekalongan mengapresiasi program EMAS dan berkomitmen mereplikasi dan melanjutkan penerapan programprogram yang EMAS dengan dana APBD sendiri sebagai upaya menekan angka kematian ibu dan bayi. Informasi terkait artikel ini bisa diunduh pada link berikut: http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/28/ Instrumen-Penilaian-Sistem-Kinerjadi-Puskesmas http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/36/ Alat-Pantau-Sistem-Kinerja-Klinik-diPuskesmas http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/40/ Definisi-Operasional-PKM http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/41/ Petunjuk-Magang-di-Rumah-Sakitbagi-Staff-Puskesmas
15
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Puskesmas Sampang Ciptakan Inovasi Layanan Berbintang “
P
elajaran penting dari program EMAS adalah inovasi. Jika pelayanan ingin bagus, jangan takut berinovasi,” kata Muhajirin, S.Kep.Ners, M.Kes, Kepala Puskesmas Sampang mengawali perbincangan. Dia berkisah, sebelum program EMAS yang masuk Cilacap akhir 2013, angka persalinan di Puskesmas Sampang tiap bulan hanya 2-4 persalinan atau hanya 2 persen dari jumlah persalinan di kecamatan tersebut. Ibu hamil lebih memilih persalinan di rumah bidan. Jumlah pasien rawat jalan tiap hari antara 80 - 100 pasien. Kondisi berubah signifikan setelah puskesmas ini melakukan serangkaian inovasi pelayanan dampak dari pendampingan program EMAS. Jumlah persalinan meningkat menjadi 40-60 orang tiap bulan. Jumlah pasien rawat jalan tiap hari mencapai 150-200 pasien. Bahkan banyak ibu hamil dan pasien lain di luar Sampang memilih bersalin dan
16
Program EMAS tak hanya menjadikan Puskesmas Sampang unggul dalam layanan persalinan tapi juga menginspirasi munculnya inovasi “Gerak Cepat, Cermat dan Tepat Pelayanan Rawat Jalan 10 Menit” yang masuk dalam TOP 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. berobat di puskesmas ini. Apa saja inovasi yang dilakukan? Perbaikan standar pelayanan, pengelolaan staf, kesiapan dalam menangani kegawat-daruratan, mulai terorganisasi secara baik. Tiap persalinan tak hanya ditolong oleh empat tangan (dua bidan), namun oleh delapan tangan (tiga bidan dan satu dokter). Perubahan juga dilakukan dalam penyediaan ruang bersalin yang lebih besar dengan peralatan yang memadai, perbaikan manajemen klinis. Untuk memastikan seluruh ibu hamil di Sampang melakukan persalinan di Puskesmas, dibangun relasi yang baik dengan seluruh bidan desa.
Puskesmas Sampang, juga melakukan inovasi cara memastikan seluruh ibu hamil yang tersebar di 10 desa di Sampang melakukan persalinan di Puskesmas. Caranya dengan membuat call center, dengan dua sambungan nomer telepon selama 24 jam. Call center tersebut di publikasikan di tempat umum, balai desa, serta disimpan oleh seluruh tokoh masyarakat sampai tingkat RT. Jika ada ibu hamil hendak melakukan persalinan, silakan menghubungi call center , selanjutnya pihak puskesmas akan menjemput ibu hamil dengan ambulan lengkap dengan peralatan serta dua bidan. Penjemputan dan mengantar pulang pasien diberikan
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 secara gratis. Awalnya, layanan ini dikhususkan untuk pasien ibu hamil, namun akhirnya digunakan untuk seluruh pasien. Tak hanya itu. Untuk mensiasati luasnya wilayah pelayanan, Puskesmas Sampang juga mendirikan Rumah Singgah Persalinan, yakni di Desa Pabrasan, Nusa Jati dan Paketingan. Tiap rumah singgah dilengkapi peralatan persalinan serta satu bidan jaga. Tujuannya, untuk memotong jarak penjemputan ambulan. Jika ada ibu hamil yang hendak bersalin, dia bisa menunggu di rumah singgah sambil mendapatkan pengawasan dari bidan. Jika terpaksa melahirkan di rumah singgah, persalinan mendaptkan pertolongan enam tangan, yakni satu bidan di rumah singgah serta dua bidan dari ambulan. Menurut Muhajirin, ide Rumah Singgah Bersalin dilalarbelakangi pengalaman pada 2013 ada ibu hamil melahirkan di tengah perjalanan menuju Puskesmas. “Kejadian serupa, jangan sampai terjadi lagi”. Muhajirin juga membentuk Gerakan Orang Tua Asuh Ibu Hamil Risiko Tinggi. Sesuai dengan namanya, wadah ini dikhususkan untuk mendampingi ibu hamil dengan risiko tinggi. Tugasnya selain melakukan pendampingan, juga memastikan ibu hamil risiko tinggi harus melakukan persalinan di Puskesmas atau Rumah Sakit. Yang menarik, wadah ini diketuai oleh Camat dengan anggota Kapolsek, Kepala Dinas Pendidikan tingkat kecamatan serta Kepala Kantor Urusan Agama. Adanya camat dan Kaposek dalam Gerakan Orang Tua Asuh Ibu Hamil Risiko Tinggi, merupakan cara ampuh memaksa keluarga ibu hamil risiko tinggi bersalin di Puskesmas atau Rumah Sakit. Sebagian warga desa masih takut dengan Camat dan polisi. Dengan berbagai inovasi tersebut,
jika tahun 2013 Sampang merupakan penyumbang angka kematian ibu tertinggi di Cilacap dengan 4 kasus, sejak 2015 Sampang bebas dari kematian ibu. Semangat inovasi yang semula hanya untuk layanan persalinan, kini juga diterapkan pada layanan rawat jalan. Khusus layanan rawat jalan, dibentuk pelayanan “Gerak Cepat, Cermat dan Tepat Pelayanan Rawat Jalan 10 Menit”. Tiap pasien rawat jalan hanya membutuhkan waktu 2 menit di loket pendaftaran, 5 menit pemeriksaan dokter dan tiga menit pengambilan obat. Kok bisa? “Penggunaan teknologi, adalah kuncinya,” ujar Muhajirin. Seluruh informasi dan instruksi dari tiap bagian pelayanan sudah terkoneksi
dengan sistem komputer yang cepat dan praktis. Perubahan dan konsistensi peningkatan layanan itu mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dan masuk ke dalam “TOP 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik” yang diselenggarakan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Puskesmas Sampang mampu bersaing dengan inovasi yang dilakukan oleh 2.476 instansi seluruh Indonesia. Dari 99 instansi tersebut, kementrian masih menyeleksi untuk menentukan “TOP 25 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik” yang tidak menutup kemungkinan Puskesmas Sampang masuk di dalamnya. []
17
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
Di Kaligiri, Semua Bergerak Turunkan AKI meninggal dalam persalinan. Namun baginya, jika kematian bisa dicegah, tak ada ibu yang memilih mati syahid bukan?
Di desa ini, semua komponen masyarakat bergerak peduli pada isu KIA. Angka kematian ibu dan bayi menjadi nihil. Di tengah masih tingginya kasus kematian ibu dan bayi, masih ada optimisme di Kaligiri.
K
ALIMI tak mau pengalaman buruknya menimpa para tetangga. Tiga tahun silam, kelahiran anak pertamanya, Salman Hanif Alfarisi, diwarnai pengalaman menjengkelkan. Lahir di salah satu rumah sakit di Brebes, beberapa jam berselang, tim dokter memutuskan merujuk sang bayi ke Purwokerto, karena menderita hirschsprung, tak bisa buang air besar setelah lahir. Dua rumah sakit menolak dengan alasan keterbatasan alat. Rumah sakit ke tiga juga menolak, dengan alasan ruangan penuh. Khawatir atas keselamatan anaknya, pria 36 tahun ini mengancam akan mengundang wartawan untuk memberitakan penolakan. Pihak rumah sakit luluh. Lima belas menit kemudian anaknya mendapat perawatan. Kalimi juga mendapati ternyata banyak ruang rawat inap bayi yang kosong. Beruntung, Kalimi berani mengancam, sehingga
18
anaknya tertolong. Bagaimana dengan keluarga pasien yang tak punya keberanian? Cerita buruk bisa menimpa pasien. Berangkat dari kejadian itu, Kalimi yang juga kepala dusun ini merasa perlu mengingatkan kepada warganya yang sedang hamil untuk memastikan kandungannya sehat dan tidak berisiko, sehingga gampang dalam persalinan. “Lebih baik melakukan deteksi dini, dari pada harus dirujuk dengan proses yang panjang, sementara keluarga bertaruh dengan nyawa ibu dan anak,” ujarnya. Apa lagi, angka kehamilan dengan risiko tinggi di desanya, Desa Kaligiri, Kecamatan Sirampog Brebes, terbilang cukup tinggi. Tahun 2015, dari 65 persalinan, 25 diantaranya berisiko tinggi. Beberapa di antaranya meninggal dalam persalinan. Tentu, ia tidak menampik keyakinan agama yang mengganjar syahid bagi ibu
Rasa peduli pada ibu hamil makin menguat, ketika program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) masuk ke Kaligiri. Melalui program tersebut, Kalimi menjadi salah satu Motivator Kesehatan Ibu dan Anak (MKIA). Dari EMAS, ia mengaku mendapatkan cara tepat mengajak masyarakat peduli gerakan penyelamatan ibu dan bayi. Sejak menjadi MKIA, ia rajin mendampingi ibu hamil serta memberikan materi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) kepada masyarakat, melakukan pemberdayaan masyarakat serta mendorong partisipasi Pemerintah Desa. Agar para ibu hamil mendapatkan informasi yang cukup dan mudah tentang kesehatan kehamilan dan perawatan bayi, ia rajin mengunjungi ibu hamil dan mengajak mengikuti program SMS Bunda. Sebuah program berbasis SMS gratis tentang informasi dan tip kesehatan ibu hamil dari Kementrian Kesehatan. Jika ada ibu hamil dengan risiko tinggi, Kalimi mengajak segenap tokoh masyarakat memberikan perhatian serta siaga memberikan bantuan. Kalimi sadar, menekan angka kematian ibu dan bayi, bukanlah tangungjawab tenaga kesehatan belaka. Untuk itu, menurutnya harus ada peraturan desa yang mendorong agar banyak pihak yang peduli. Bersama beberapa tokoh dan perangkat desa, sejak 2013 diinisiasi penerbitan Peraturan Desa Kaligiri nomor 441/06/2015 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016 Lahir dan Anak (KIBBLA). Perdes ini mengatur dana sehat desa melalui infaq, mekanisme pengelolaan, pelayananan kesehatan bayi, tenaga persalinan, pembagian tugas bidan dan dukun bayi, pemantauan wilayah kesehatan ibu hamil, persiapan biaya persalinan, sampai persiapan calon pendonor darah. Untuk memastikan Perdes berjalan, dibentuk pula tim kepengurusan Gerakan Peduli Kesehatan ibu dan Anak melalui SK Kepala Desa No. 441.8/012/Tahun 2015. Tim yang terdiri dari tokoh masyarakat, kader Posyandu, dan penggerak PKK itu bertanggungjawab mengimplementasikan Perdes KIBBLA. “Tim KIA bertugas mengajak semua warga untuk peduli pada isu KIA,” kata Kepala Desa Kaligiri, Rosidin. “Kami berharap kematian ibu dan bayi di Kaligiri berkurang”. Bagi sebagian warga desa, dana persalinan kerap menjadi persoalan serius. Melalui dana sehat desa dengan konsep infaq, setiap kepala keluarga diajak berinfaq Rp 2.000 tiap bulan guna membantu pembiayaan proses persalinan. Sebagai bentuk transparansi, perolehan infaq disampaikan tiap bulan pada beberapa forum. Dari dana tersebut, tiap ibu melahirkan di Puskesmas mendapat bantuan Rp 150.000, atau Rp 200.000 bagi yang melahirkan di rumah sakit. Tak hanya infaq, motivator dan tim KIA juga berhasil mengajak kelompok tani untuk berkontribusi dalam gerakan ini. Caranya dengan menyisihkan 10 persen hasil penjualan untuk kepentingan KIA, sebagaimana yang dilakukan Kelompok Tani Beras Hitam.
sisanya Rp 11.315.000. Hingga pertengahan Mei 2016, jumlah saldo melonjak drastis hingga mencapai Rp.26.000.000. Jumlah tersebut akan bertambah karena pihak desa juga telah memberikan hak guna pakai lahan seluas 3.500 meter milik desa kepada Tim KIA. Lahan itu disewakan kepada masyarakat untuk kandang kambing. Bantuan keuangan juga datang dari warga Kaligiri yang tergabung dalam Paguyuban Perantau Peduli KIA. Kaligiri juga memiliki 10 mobil warga yang dijadikan mobil siaga KIA. Bersama motivator KIA, para pemilik mobil menandatangani surat kesediaan. Untuk keperluan donor darah pertolongan persalinan, Kepala Desa telah menerbitkan surat edaran yang didalamnya menyebut 25 nama warga yang bersedia menjadi pendonor. Berbagai inovasi juga terus dilakukan. Motivator KIA mengajak koperasi dan para pengusaha lokal untuk berpartisipasi. Misalnya kepada pengusaha seperti fotokopi, toko bangunan, serta provider telekomunikasi. Bentuk partisipasinya beragam, seperti penyediaan media promosi kesehatan ibu hamil di ruang publik, hingga pemeriksaan gratis dan pemberian makanan tambahan gratis pada ibu hamil. Gerakan peduli KIA juga melibatkan para suami. Caranya dengan mengadakan sesi Kelas Ayah yang memanfaatkan acara pengajian bulanan. Para suami diberi pemahaman tentang KIA.
Gerakan di Kaligari berdampak baik. Sebelumnya (2014) tercatat satu kasus kematian ibu dan tiga kematian bayi di Kaligiri. Namun pada 2015 sudah tidak terjadi lagi. EMAS Jawa Tengah menjadikan Kaligiri sebagai desa pelopor peduli KIA. Informasi terkait artikel ini bisa diunduh pada link berikut: http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/11/BukuSaku-Motivator-Kesehatan-Ibu-danAnak http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/24/ Pedoman-Teknis-PembentukanPenguatan-Forum-MasyarakatMadani http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/26/ Pedoman-Umum-PelaksanaanFasilitasi-Maklumat-Pelayanandalam-Layanan-Kesehatan-Ibu-danBayi-Baru-Lahir-KIBBLA http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/51/ Pedoman-Teknis-FMM http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/53/ Pedoman-Teknis-Fasilitasi-FasilitasiMaklumat-Pelayanan-untuk-FasilitasPelayanan-Emergensi-Ibu-dan-BayiBaru-Lahir http://emasindonesia.org/read/ resources/tools_guidelines/54/ Pedoman-Teknis-MonitoringPelayanan http://emasindonesia.org/read/ resources/publications_reports/37/ Motivator-Kesehatan-Ibu-dan-AnakMKIA
Sejak November 2015 hingga Februari 2016, dana sehat desa yang terkumpul mencapai Rp 14.365.000, dengan rincian Rp 7.265.000 (infaq), Rp 2.100.000 (bagi hasil beras hitam), Rp 5.000.000 (dana stimulan dari desa). Hingga Februari 2016, dana telah terpakai Rp 3.050.000 untuk membantu 19 ibu melahirkan,
19
CERITA SUKSES PROGRAM EMAS JAWA TENGAH 2012-2016
SAYA MENTOR dr. Hendro Boedi Hartono, Sp.OG – RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto “Ini sebuah komitmen untuk dokter dan bidan agar bekerja profesional dengan ikhlas dan menganggap pasien sebagai saudara sendiri. Komitmen ini membuat kita bekerja tanpa pamrih menjamin persalinan yang berkualitas dan pada akhirnya menyiapkan generasi yang akan datang menjadi lebih baik.”
dr. Rudi P. Utami – Kasi Kesga Dinkes Kab. Brebes “Kesehatan dan keselamatan Ibu bayi sangat penting. Dari mulai hulu hingga hilir haruslah terintervensi. Dengan implementasi program EMAS yang bagus dan mudah, pada dasarnya merupakan hal-hal dasar yang sudah seharusnya dilakukan oleh para pelaku di bidang kesehatan. Namun dengan EMAS jadi lebih terarah. Sehingga saya lebih bersemangat menjalankan semuanya dan bersedia menjadi mentor.”
Rumono Aswad – Ketua FMM Brebes “Masalah AKI/AKB itu masalah bangsa, masalah kemanusiaan. Siapa lagi yang harus peduli kalau bukan kita. Kalau bisa dilakukan sekarang, kenapa harus menunda? Dengan menjadi mentor, semangat saya untuk berbagi terwadahi melalui program EMAS. Bantulah ibu hamil agar selamat dan bayinya sehat. Semoga program EMAS dilanjutkan oleh pemerintah setempat.”
Ir. Purwanti Susantini M. Kes – Kabid Kesga Dinas Kesehatan Kota Semarang “Tingginya angka kematian Ibu dan bayi, adalah tanggungjawab bersama. Masing-masing kita berjuang untuk menurunkannya, sesuai dengan kemampuan. Dengan menjadi mentor, saya berharap makin banyak orang yang terpapar upaya perbaikan pelayanan kesehatan ibu dan anak, demi menciptakan generasi bangsa yang lebih baik. Semoga niat baik ini bagian dari ibadah”. Informasi terkait Mentor dapat diunduh melalui link berikut: http://emasindonesia.org/read/resources/publications_ reports/36/Saya-Mentor
20
dr. Suryanto Setyo Priyadi – Kepala Puskesmas Bangetayu Semarang “Menjadi mentor adalah menyebar virus kebaikan. Kebaikan untuk memperkuat komitmen memperbaiki tata kelola pelayanan kesehatan, khususnya untuk kesehatan ibu dan bayi. Secanggih apapun fasilitas kesehatan yang ada, tanpa komitmen yang kuat, hasilnya tidak maksimal. Di sinilah komitmen tenaga kesehatan diuji”. dr. Isriyati – Kabid Kesga Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal “Menjadi mentor banyak memberikan kesempatan untuk berbagi, cerita pengalaman dan membuka cakrawala teman-teman Nakes. Banyak mengunjungi wilayah lain tidak hanya memberi, tapi juga mendapatkan informasi yang variatif dan inspiratif dalam menekan AKI dan AKB, yang dapat diaplikasikan di daerah sendiri”. Hidayat, S.KM, M.Si – Dinas Kesehatan Kab. Cilacap “AKI/AKB itu masalah bersama, tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Miris rasanya melihat beberapa daerah yang belum memiliki fasilitas. Kenapa daerah sini bisa, daerah lain kok belum bisa. Menjadi Mentor memberikan banyak kesempatan untuk berbagi. Terutama berbagi dengan teman sejawat.” Miswagiyanti – Bidan Senior RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto “Saya tergugah menjadi mentor karena melihat banyak ibu meninggal dan bayi menjadi yatim. Kematian ibu dan bayi sebenarnya bisa dicegah karena bukan penyakit asal ada perhatian dari semua pihak.”
dr. R. Soerjo Hadijono. SpOG (K) – Obgyn Senior RSUP dr Kariadi Semarang “Kelemahan orang Indonesia itu, bekerja harus diawasi mandor. Sistem sudah bagus, tapi pelaksanaannya harus diawasi. Demikian pula dalam dunia kesehatan. Mentor adalah pekerjaan mandor dalam upaya menekan angka kematian ibu dan bayi. Saya siap menjadi mandor demi pelayanan kesehatan ibu dan anak yang lebih baik”.