Volume 4, Nomor 1 April 2015 ISSN: 2089-7790
DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences) ISSN: 2089-7790
Penerbit
: Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc - Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan)
Ketua Dewan Editor
: Prof. Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc - Universitas Syiah Kuala (Manajemen SDP & Budidaya Perairan)
Editor Pelaksana Asisten Editor Pelaksana 1 Asisten Editor Pelaksana 2 Anggota Dewan Editor
: Ichsan Setiawan, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi) : Drs. Muhammad, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Hidrodinamika) : Yopi Ilhamsyah, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Meteorologi) : Prof. Dr. Syamsul Rizal - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi Fisik) Dr. Musri Musman, M.Sc - Universitas Syiah Kuala (Kimia Perairan) Dr. M. Ali Sarong, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Ekologi Perairan) Dr. Indra, MP - Universitas Syiah Kuala (Manajemen Sumberdaya Pesisir) Dr. Abrar Muslim, M.Eng - Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan) Dr. Muhammadar, ST, MP - Universitas Syiah Kuala (Akuakultur) Farok Afero, Ph.D - DKP Aceh (Biometrik & Sosek Perikanan) Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc - Universitas Riau (Pakan & Nutrisi Ikan) Teknisi IT/Web Master : Achmad Muhadjier, S.Kel Sirkulasi dan Dokumentasi : Muhammad Saumi, A.Md
Jurnal Depik Diindek Oleh:
Alamat Redaksi: Fakultas Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala Kopelma Darussalam - Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia. Email :
[email protected] Website : http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/depik Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DAFTAR ISI Volume 4, Nomor 1 April 2015 Kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Perairan Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar Samsul Bahri, Edi Rudi, Irma Dewiyanti Perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra (tubificidae) dengan memanfaatkan limbah budidaya ikan lele (clarias sp) sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra. Eddy Supriyono, Dedi Pardiansyah, Diana Sriwisuda Putri, Daniel Djokosetianto. Analisa ekonomi usaha pendederan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dalam tambak di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Farok Afero, Safrita AM. Identifikasi komponen harmonik di Selat Lombok berdasarkan data arus time series. Rizal Fadlan Abida, Widodo Setiyo Pranowo, Yogo Pratomo, Engki Andri Kisnarti. Pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang diberi pakan berbahan baku lokal. Zaenal Abidin, Muhammad Junaidi, Paryono, Nunik Cokrowati, Salnida Yuniarti. Studi penentuan lokasi budidaya kerapu menggunakan keramba jaring apung di perairan Timur Simeulue. Syahrul Purnawan, Muhammad Zaki, T.M. Asnawi, Ichsan Setiawan. Pengaruh penggorengan belut sawah (Monopterus albus) terhadap komposisi asam amino, asam lemak, kolesterol dan mineral. Ika Astiana, Nurjanah, Ruddy Suwandi, Anggraeni Ashory Suryani, Taufik Hidayat.
01 - 07
08 - 14
15 - 23
24 - 32
33 - 39
40 - 48
49 - 57
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Perairan Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar
Coral reefs and macro invertebrates condition in Ujong Pancu, Peukan Bada District, Aceh Besar Samsul Bahri1*, Edi Rudi2, Irma Dewiyanti3 1Jurusan
Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Putro Phang No.1 Darussalam, Banda Aceh 23111, *Email korespodensi:
[email protected] 2Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syech Abdurrauf No.3 Darussalam, Banda Aceh 23111. 3Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Putro Phang No.1 Darussalam Banda Aceh 23111.
Abstract. The aimof this study was to evaluate the condition of coral reefs and macro invertebrates at Ujong Pancu, Aceh Besar District The study was carried out from April to May 15 2012. Coral coverage was observed by using Point Intercept Trancect method and Visual census technique for macro invertebrates. There was 50% of hard coral coverage recorded in three observation locations. The predominant genus was Acropora with a percentage of more than 50% at all locations. The abundance of macro invertebrateswas ranged from 3.75 to 7.75 ind/transect. The most abundant macro invertebrates was Diadema setosum with percentage of more than 40% at each location. The diversity index (H’) of coral reefs and macro invertebrates were ranged from 0.74 - 1.36 and 0.98 – 1.5, respectively. In general, the condition of coral reefs and macro invertebrates in Ujong Pancu was in good condition. Keywords: Coral reefs; Macro invertebrates; Ujong Pancu. Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Ujong Pancu. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2012. Tutupan karang diamati dengan menggunakan Metode Point Intercept Transect (PIT) dan makro invertebrata diamati dengan menggunakan metode TeknikVisual Sensus. Hasil penelitian ditemukan bahwa lebih dari 50% tutupan karang keras pada ketiga stasiun pengamatan. Genus yang paling mendominasi pada ketiga stasiun adalah Acropora dengan persentase lebih dari 20% pada setiap stasiun pengamatan. Kelimpahan makro avertebrata berkisar antara 3,75 hingga 7,75 ind/transek. Kelimpahan makro invertebrata terbesar adalah Diadema setosum dengan persentase lebih dari 40% pada setiap stasiun pengamatan. Indeks keanekaragaman (H’) karang dan makro investebrata berkisar antara 0,74 - 1.36 dan 0,98 – 1,5 secara berurutan. Secara umum berdasarkan indeks yang digunakan, kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Ujong Pancu tergolong baik. Kata kunci : Terumbu Karang; Makro avertebrata; Ujong Pancu.
Pendahuluan Ekosistim terumbu terumbu karang dewasa ini mengalami kemunduran dan ancaman serius yang terjadi secara alami maupun akibat aktifitas manusia (Wilkinson, 2004; Uneputty dan Evans, 1997). Aktifitas manusia yang sering merusak terumbu karang antara lain; pengeboman, penurunan jangkar kapal di sembarang tempat, siltasi dan sedimentasi, serta faktor alami seperti kenaikan suhu secara drastis dan predasi oleh biota-biota laut lainnya (Dahuri, 2000).Terumbu karang berasosiasi dengan invertebrata dari filum protozoa, molluska, ekhinodermata, porifera, dan arthropoda (Cox dan Moore, 2005). Jenis biota yang berasosiasi merupakan kelompok biota yang khas menghuni daerah terumbu karang (Mawardi, 2002). Keanekaragaman makro invertebrata laut Indonesia diperkirakan mencapai 1.800 spesies (Hutomo dan Moosa, 2005). Jumlah filum ekhinodermata yang ada di Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 745 spesies, krustasea 1.512 spesies, sponge 830 spesies, bivalvia 1.000 spesies, dan gastropoda 1.500 spesies (Hutomo and Moosa 2005).
1
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Ujong Pancu terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar.Wilayah ini mengalami kerusakan parah akibat gelombang Tsunami pada tahun 2004 silam. Penduduk di wilayah Ujong Pancu sangat menggantungkan pada sumberdaya alam laut yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (AIPRD-LOGICA, 2006). Keberadaan makro invertebrata sangat berkaitan dengan kondisi terumbu karang sekitarnya, pada wilayah dengan kondisi terumbu karang yang sehat akan mengindikasi keberadaan dan makro invertebrata di ekosistem tersebut (Marsuki et al., 2013). Ujong Pancu telah direkomendasikan sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat oleh DKP Aceh Besar. Namun realisasinya belum dapat dilaksanakan dengan baik, salah satu sebabnya adalah terbatasnya informasi ekologi dan biodiveritas kawasan laut ini. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk menginventarisasi potensi ekosistem khususnya kondisi terumbu karang dan makro invertebrata yang ada di wilayah Ujung Pancu, Kabupaten Aceh Besar, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar bagi penetapan kebijakan pengelolaan ekosistim pesisir khususnya terumbu karang yang ada di wilayah ini.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitianini dilakukan di Desa Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, mulai tanggal 1 sampai 30 Juni 2012.Pengambilan data dilakukan pada tiga lokasi, yaitu Pulau Tuan (05° 34' 17.7 N, 95° 13'31.6" E), Lhok Mata Ie (05° 34' 17.9" N, 95° 13' 31.1" E), dan Lhok Keutapang (05° 33' 11.6" N, 95° 12' 43.4" E) (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Bulatan merah adalah lokasi sampling Pengambilan data karang menggunakan metode transek poin (point intercept transect) sepanjang 100 meter. Setiap segmen sepanjang 20 meter sebanyak 4 kali pengulangan dengan interval 5 meter. Pencatatan tipe substrat dasar terumbu karang pada setiap interval 0,5 meter. Sedangkan pengambilan data invertebrate menggunakan metode teknik visual sensus dengan menggunakan transek yang sama dengan transek pengamatan karang. Luas area 100 m2 pada setiap segmen sepanjang 20 meter dengan lebar 2,5 meter pada sisi kanan dan kiri transek sebanyak 4 kali pengulangan dengan interval 5 meter, berdasarkan English et al.(1997).
2
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Persentase tutupan bentik Perhitungan persentase penutupan (percent of cover) bagi masing-masing kategori pertumbuhan karang dihitung dengan cara membandingkan panjang total setiap kategori dengan panjang transek total dengan menggunakan persamaan English et al. (1997):
Indeks
keragaman
Untuk mengetahui indeks keragaman (H’) karang dan makro invertebratamenggunaan persamaan:
Kelimpahan dan komposisi jenis Untuk mengetahui kelimpahan dari biota makro invertebrata yang terdapat pada masing-masing stasiun dengan persamaan sebagai berikut:
Sedangkan untuk menghitung komposisi karang dan makro invertebrata digunakan persamaan sebagai berikut:
Hasil dan Pembahasan Persentase tutupan bentik Persentase tutupan bentik bervariasi, namun pada ketiga lokasi tutupan, jenis karang keras atau Hard Coral(HC) adalah yang paling dominan dan sering ditemukan dibandingkan dengan jenis-jenis karang yang lain. Tutupan karang keras (HC) di Pulau Tuan sebesar 53,75%, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang berturut-turut adalah 58,13% dan 51, 25% (Gambar 2).
Gambar 2.Persentase tutupan bentik di perairan Ujong Pancu, Aceh Besar Penelitian ini senada dengan hasil penelitian Fadli (2012) yang menemukan bahwa karang keras sangat dominan keberadaannya di perairan Pulau Rubiah, Kota Sabang. Jenis karang keras yang umumnya 3
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
terdapat di Aceh adalah karang massive dan bercabang (Rudi, 2010). Pada setiap lokasi pengamatan, jumlah persentase karang keras yang ditemukan masing-masing melebihi 50%. Hal ini menunjukan bahwa tutupan karang keras yang tumbuh di lokasi ini tergolong tinggi dibandingkan dengan kategori bentik yang lain. Johan (2003) berpendapat bahwa ada dua hal penting yang paling berperan dalam jumlah persentase karang, yakni aktifitas sekitar ekosistem dan pengelolaan wilayah. Diduga aktifitas masyarakat di Ujong Pancu khususnya para nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan serta tidak menggunakan bom dan racun dalam menangkap ikan, sehingga tidak merusak ekologi yang ada diperairan tersebut. Pengelolaan pesisir diwilayah ini juga mulai terbenahi pasca musibah gelombang Tsunami, hal ini ditandai dengan adanya pembagian zonasi penagkapan bagi nelayan jaring pantai, nelayan pancing, dan nelayan jaring yang ditempelkan pada papan-papan pengumuman desa untuk mengatur wilayah tangkap untuk masing-masing para nelayan. Jika mengacu pada kriteria kondisi tutupan terumbu karang hidup berdasarkan Gomez et al. (1998) maka kondisi tutupan karang di Ujong pancu tergolong baik karena persentase tutupannya melebihi 50%. Hal ini menunjukan bahwa suatu wilayah dengan aktifitas lingkungan yang baik serta didukung dengan pengelolaan yang baik akan meningkatkan kesehatan dan produktifitas ekosistem terumbu karang dilingkungan tersebut, karena secara tidak langsung terumbu karang akan terjaga dari ancaman lingkungan sekitar seperti limbah keluarga, pengeboman, serta racun ikan yang mempengaruhi terumbu karang.
Komposisi genus karang Secara umum dapat dilihat bahwa persentase keberadaan karang berdasarkan genus yang paling banyak ditemukan adalah Acropora. Genus ini ditemukan pada ketiga lokasi penelitian dengan jumlah yang lebih dominan dibandingkan dengan genus-genus yang lain (Gambar 3).
Gambar 3.Persentase komposisigenus karang di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang Tingginya tutupan karang Acropora pada ketiga lokasi pengamatan diperkirakan karena kondisi perairan yang berarus, kondisi arus di Ujong Pancu cenderung cepat karena dipengaruhi oleh kedua musim, yakni musim timur dan barat. Hal ini juga dinyatakan oleh nelayan lokal bahwa pada musim timur dan barat, Ujong Pancu selalu selalu berangin yang menyebabkan gelombang tinggi, dengan kondisi fisik perairan yang berarus dan dipegaruhi oleh kedua musim timur dan barat, menyebabkan wilayah ini lebih didominasi oleh jenis karang keras. Hal ini sesuai dengan pendapat Rudi (2013) bahwa jenis karang yang hidup pada kondisi perairan berarus biasanya adalah jenis karang bercabang Acropora dan Pocilopora. Sifatnya yang bercabang di perairan dangkal dan tidak mudah mati ini menyebabkan penyebaran jenis ini 4
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
sering ditemukan pada perairan pantai dengan perairan yang berombak.Karang bercabang biasanya tumbuh dan berkembang pada kedalaman 5 – 15 meter di bawah permukaan laut (Richmond, 1997).
Komposisi dan kelimpahan makro invertebrata Lokasi dengan kelimpahan makro invertebrate terbesar terdapat di Lhok Mata Ie dengan kelimpahan 7,75 individu/transek. Sedangkan di Lhok Keutapang sebanyak 5 individu/transek. Lokasi yang paling rendah jumlah kelimpahan makro invertebratadibandingkan kedua lokasi lainnya adalah Pulau Tuan, dengan total kelimpahan adalah 3,75 individu/transek. Perbedaan kelimpahan makro invertebratapada suatu wilayah pada umumnya sangat dipengaruhi oleh aktifitas penangkapan dan kecepatan arus(Hawkes, 1978). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dilapangan bahwa arus di Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang relatif cepat. Arus merupakan sarana transportasi makanan dan oksigen terlarut bagi suatu organisme (Sumich, 1992). Hasil pengamatan yang telah dilakukan, makro invertebrate yang paling dominan ditemukan adalah Ekhinoderata (Holothuroid, Echinoid, Asteroid dan Ophiuroid). Hasil perhitungan pada setiap stasiun penelitian jumlah jenis antara 10 - 17 jenis dan jumlah individu antara 23 – 48, jika dibandingkan dengan Tapak Tuan, potensi makro invertebrate yang terdapat di Ujong Pancu lebih sedikit, hal ini dikarenakan aktifitas penangkapan jenis makro invertebrate ini yang telah lama dilakukan di Ujong Pancu untuk dikonsumsi. Komposisi makro avertebrata pada masing-masing wilayah dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Komposisi makro invertebrate di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang
Indeks keragaman karang serta makro invertebrata Tingkat kisaran keragaman(H') karang dan makro invertebrata pada tiga lokasi pengamatan berturutturut adalah 0,74 hingga 1,36 dan 0,98 hingga 1,5. Lhok Mata Ie adalah lokasi dengan tingkat keragaman tertinggi, hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya jumlah genus karang yang ditemukan dilokasi ini juga tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marsuki (2013) bahwa keberadaan suatu biota asosiasi sangat dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang itu sendiri.
5
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Tabel 1. Indeks keanekaragaman dan keseragaman
Indek Keragaman Nama Lokasi Pulau Tuan Lhok Mata Ie Lhok Keutapang Rerata
Karang
Makro Invertebrata
0,74 1,36 1,01 1,04
1,39 1,5 0,98 1,29
Banyaknya genus yang ditemukan diperkirakan karena kondisi fisik perairan yang bagus, hal ini dirasakan saat pengambilan data dengan kondisi arus yang cepat sehingga selalu membawa nutrien-nutrien baru dikolom perairan serta kecerahan jarak pandang yang mencapai hingga 15 meter. Wallace (1998) berpendapat bahwa terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, kondisi fisik yang stabil seperti transportasi nutrient dan sedimentasi yang rendah dapat mengurangi tingkat kematian karang.
Kesimpulan Kondisi tutupan karang hidup pada tiga lokasi pengamatan tergolong baik karena tingkat tutupan rata-rata adalah 54,38%. Bentik (tutupan karang) yang paling dominan ditemukan pada ketiga lokasi adalah karang keras (HC) dengan persentase lebih dari 50% pada setiap lokasi dengan genus yang paling dominan ditemukan adalah Acropora dengan persentase lebih dari 20%. Keanekaragaman karang dan makro avertebrata pada ketiga lokasi pengamatan tergolong sedang.
Daftar Pustaka AIPRD-LOGICA. 2006. Profil desa lam pageu kecamatan peukan bada. Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa, Banda Aceh. Cox, C.B., P.D. Moore. 2005. An ecological and evolutionary approach. Blackwell Publishing Ltd, Australia. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan masyarakat. LIPI, Jakarta. Rudi, E. 2010. Tutupan karang keras dan distribusi karang indikator di perairan Aceh bagian Utara, Biospecies Research, 2(2): 1 – 7. Rudi, E. 2013. Penilaian sumberdaya terumbu karang dan persepsi masyarakat tentang daerah perlindungan laut di Ujong Pancu Aceh Besar. Biospecies Research, 6(2): 30-45. English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survei manual for tropical marine resource. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Hawkes, H.A. 1978. Invertebrate as indicator of river water quality. University of Newcastle. Upon Tyae, Newcastle. Hutomo, M., M.K. Moosa. 2005. Indonesian marine and coastal biodiversity: Present status. Indian Journal of Marine Science, (34):88-97. Johan, O. 2003. Metode survei terumbu karang Indonesia. Yayasan Terangi, Jakarta. Marsuki, I.D., B. Sadarun, R.D. Palupi. 2013. Kondisi terumbu karang dan kelimpahan kima di perairan Pulau Indo. Jurnal Mina Laut Indonesia, (1): 61-72. Fadli, N. 2012. Komposisi ikan karang di lokasi transplantasi karang di Pulau Rubiah, Kota Sabang, Aceh. Depik, 1(3): 196-199. Richmond. 1997. Reproduction and recruitment in corals: critical links in the persistence of reefs in life and death of coral reefs. Chapman and Hall 115 Fifth Avenue, New York.
6
Depik, 1 (1): 1-7 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2278
Sumich, J.L. 1992. An introduction to the biology of marine life. Edisi ke-5. Dubuque, WmC Brown, California. Uneputty, P.A., S.M. Evans. 1997. Accumulation of beach litter on islands of the Pulau Seribu archipelago, Indonesia. Marine Pollution Bulletin, (34): 652-655. Wallace, D. 1998. Coral reef and their management. www.cep.unep.org. Akses tanggal 18 Maret 2013. Wilkinson, C.R. 2004. Status of coral reefs of the world: 2004. Global Coral Reef Monitoring Network GCRMN, Australian Institute of Marine Science, Townsville. Queensland, Australia.
7
Depik, 4(1): 8-14 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra (tubificidae) dengan memanfaatkan limbah budidaya ikan lele (clarias sp) sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra
The comparison of cultivation of tubs silk worms (tubificidae) by utilizing waste cultivation of catfish (clarias sp) intensive systems on the quality of water catfish and production of silk worms Eddy Supriyono1, Dedi Pardiansyah1,2*, Diana Sriwisuda Putri1, Daniel Djokosetianto1 1Laboratorium
lingkungan, Akuakultur Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor Jl. Agatis, Kampus IPB Dramaga Bogor, Telp. 0251-8628755, 2Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu, .Jl. Jendral Sudirman Np. 185 Kota Bengkulu.Telp. 0736-344918, *Email korespondensi :
[email protected]
Abstract. This objective of the research was to compare the number of blood worm production using catfish cultivation waste, while the water from catfish cultivation flowed to blood worm cultivation with recirculate system. This research were used 3 treatments and 2 replications, the treatment was 2, 4 and 6 containers of blood worm. The results showed that the highest water quality and biomass was 6 containers treatment with 1.4 kg m-2 weight gain. Keywords: Catfish; silk worm; waste intensive farming.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya lele sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra, dimana air dari media budidaya ikan dialirkan ke media pemeliharaan cacing sutra dengan sistem resirkulasi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 2 ulangan, perlakuan yaitu Pemanfaatan 2 bak, 4 bak dan 6 bak cacing sutra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kualitas air budidaya lele dan produksi bobot biomassa tertinggi pada perlakuan 6 bak dengan pertumbuhan berat sebesar 1,4 Kg m-2. Kata kunci: ikan lele; cacing sutra; limbah lele.
Pendahuluan
Budidaya sistem intensif menerapkan kepadatan yang tinggi, penambahan aerasi dan penggunaan pakan buatan dalam jumlah yang besar, tingginya penggunaan pakan buatan pada budidaya secara intensif akan mengakibatkan semakin tinggi pula akumulasi limbah N dalam media budidaya yang dapat mengganggu pertumbuhan ikan (Avnimelech, 1999). Limbah budidaya secara intensif berasal dari akumulasi residu organik yang berasal dari pakan yang tidak dimanfaatkan, ekskresi amoniak, feses, dan partikel-partikel pakan (Avnimelechet et al., 1995). Produksi ikan lele secara nasional menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, sebagai gambaran antara tahun 2007 sampai 2011 kenaikan produksi berkisar 39,03% sampai 39,50% (KKP, 2012) dan ditargetkan produksi ikan lele secara nasional pada tahun 2014 akan terus meningkat. Untuk memenuhi target tersebut maka teknologi pembenihan khususnya pakan alami bagi larva perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Salah satu pakan alami yang sangat popular bagi larva atau benih ikan lele adalah cacing sutra, sebagai ilustrasi untuk menghasilkan 200.000-250.000 ekor benih ikan lele memerlukan 2 liter cacing sutra setiap hari. Oleh karena itu kebutuhan cacing sutera pada pembenihan lele juga meningkat seiring bertambahnya umur benih lele (Adlan, 2014). Cacing sutra memiliki kandungan nutrien yang cukup tinggi yaitu protein (57%), lemak (13,3%), serat kasar (2,04%), kadar abu(3,6%) (Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013), oleh karena itu cacing sutra sangat baik untuk benih ikan (Priyadi et al., 2010). Marian dan Pandian (1989) menyatakan bahwa cacing sutra dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang memiliki kandungan bahan-bahan organik tinggi dan dapat beradaptasi pada perairan dengan oksigen terlarut rendah. 8
Depik, 4(1): 8-14 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Pasokan cacing sutra saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan di alam sehingga tidak dapat dipastikan kualitas dan kuatitasnya karena sangat tergantung pada musim serta dikhawatirkan dapat menjadi agen pembawa penyakit dan bahan pencemar lainnya. Santoso dan Hernayanti (2004) melaporkan bahwa ada hubungan yang kuat antara kandungan logam berat di perairan dengan kadar logam berat dalam tubuh cacing sutra. Hal ini menunjukkan bahwa caing sutra yang diperoleh dari alam berpotensi membawa zat pencemar berbahaya dan selanjutnya akan terakumulasi pada ikan. Penelitian tentang budidaya cacing sutra di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti namun sampai saat ini belum diperoleh hasil yang maksimal untuk sampai taraf komersial karena produktivitasnya masih rendah atau dibawah 2,5 kg/m2(Findy, 2011) (Febriyani, 2012; Pardiansyah, 2014), sedangkan produksi secara alami dapat mencapai 2,5 kg/m2. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk mengetahui efisiensi perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya ikan lele sistem intensif terhadap kualitas lingkungan budidaya lele dan pertumbuhan cacing sutra.
Bahan dan Metode Rancangan percobaan Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Variabel bebas adalah perbedaan jumlah bak budidaya cacing, sedangkan variabel terikat adalah nilai kualitas air media pemeliharaan dan produksi cacing sutra. Pengamatan kualitas air di wadah budidaya lele dilakukan setiap 10 hari sekali, pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005). Parameter kualitas air yang diukur adalah; Suhu diukur dengan thermometer air raksa, Dissolved Oxigen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter, pH diukur dengan menggunakan pH-meter, Total Solid Suspended (TSS), Volatile Suspended Solid (VSS), Amoniak, Total Ammonia Nitrogen (TAN), Nitrit dan Nitrat. Unit percobaannya adalah bak plastik berukuran 0,5 m x 1 m sebanyak 9 unit dan masing-masing perlakuan dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diuji adalah: Perlakuan A = Penggunaan 2 bak budidaya cacing sutra Perlakuan B = Penggunaan 4 bak budidaya cacing sutra Perlakuan C = Penggunaan 6 bak budidaya cacing sutra Budidaya ikan lele Budidaya ikan dilakukan pada bak plastik berukuran 2 m x 1m x 0,6 m dengan volume 800 L. Padat tebar 100 ekor/m2 dengan rata-rata biomass ± 5 g/ekor. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali berdasarkan pada biomassa dengan jumlah ransum harian 3 % dari bobot ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersil dengan kandungan protein 30-32%. Budidaya cacing sutra Budidaya cacing sutra dilakukan dengan menggunakan wadah berupa bak plastik dengan ukuran panjang 100 cm dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Lapisan dasar wadah diberi lumpur kolam sedalam 3 cm dengan ketinggian air 2 cm. Cacing sutra diperoleh dari para pengumpul, kemudian bibit dibersihkan dan ditimbang sesuai dengan perlakuan sebelum ditebar secara merata ke media budidaya. Padat tebar yang digunakan adalah 2 mg/cm2. Alian air yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem resirkulasi dengan debit air 0,05 l/detik. Air yang berasal dari wadah budidaya lele dialirkan ke wadah budidaya cacing dan kemudian kembali lagi kedalam wadah budidaya lele. Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara memasukkan pipa paralon berdiameter 3 cm ke dalam substrat sampai ke dasar wadah pada bagian inlet, tengah, dan outlet wadah. Cacing dipisahkan dari subtrat dengan cara mengambil sedikit demi sedikit substrat kemudian ditaruh pada kaca arlogi untuk mempermudah mengambil cacing yang berada di substrat tersebut.Cacing yang diperoleh dihitung, kemudian dibilas dengan air yang telah disiapkan, setelah semua cacing diambil kemudian di keringkan dengan tisu dan ditimbang. Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra dilihat dari nilai VSS (Volatile Suspended Solid) pada bagian inlet dan outlet pada bak budidaya cacing sutra, persentase pemanfaatan diukur beradasrkan selisih nilai inlet dan outlet terhadap nilai inlet pada bak budidaya cacing sutra. Bobot biomasa dihitung dengan cara mencari selisih antar berat biomasa akhir dikurangi dengan berat biomassa awal. 9
Depik, 4(1): 8-14 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Analisa data Penambahan bobot biomasa dan pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan One way analysis of variance (uji sidik ragam satu arah) dengan selang kepercayaan 95%. Untuk melihat perbedaan perlakuan maka dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Sedangkan Kualitas air dianalisa secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan Kualitas air media budidaya lele Hasil pengukuran TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia pada setiap perlakuan yang diukur selama penelitian masih dalam kisaran yang optimal untuk budidaya ikan lele sistem intensif. Pengukuran kualitasair dilakukan pada pagi hari dan sore hari untuk parameter DO, pH dan suhu, sedangkan TAN, Nitrit, Nitrat dan ammonia diukur setiap 10 hari sekali. Adapun hasil pengamatan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai kualitas air ikan lele berupa TAN, Nitrit, Nitran, Amonia, suhu, DO dan pH juga masih dalam kisaran yang optimal untuk pertumbuhan. Ikan lele masih dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan nilai pH air berkisar 6,5-7,11; suhu air berkisar 27,73-29,63 °C; amonia 0,0001-0,0256 mg/l; Nitrit 0,01-0,46 mg/l; Nitrat 0,161,65 mg/l; TAN 0,02-3,65 mg/l dan DO 2,61-6,92 mg/l (Gunadi, 2012). Kualitas air dengan nilai pH air berkisar 6,17,7; suhu air berkisar 27-30 °C; amonia 0-0,023mg/l; Nitrit 0,003-0,726 mg/l; Nitrat 0,128-0,860 mg/l; TAN 0-0,81 mg/l dan DO 2,24-8,14 mg/l baik untuk pertumbuhan ikan lele (Rohmana, 2009). Sedangkan nilai nitrat dan nitrit yang baik untuk lingkungan budidaya adalah nitrat 0-400 mg L-1 dan nitrit < 1 mg L-1 (Ebeling et al., 2006). Hasil dari pengukuran TSS diperoleh bahwa nilai TSS pada perlakuan 2 bak dab 4 bak semakin meningkat pada hari ke-30 hingga akhir pemeliharaan.pada perlakuan 6 bak nilai TSS cendrung stabil dari awal hingga akhir penelitian. Hasil pengukuran TSS (Total Suspended Solid) pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil dari pengukuran VSS pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai VSS yang diperoleh selama masa pemeliharaan menunjukkan nilai konsentrasi fluktuatif dan cendrung stabil hingga akhir pemeliharaan. Pada Gambar 2 terllihat dari nilai VSS pada perlakuan 4 bak dan 6 bak dimana kenaikan terus stabil hingga akhir penelitian. Hal ini karena cacing sutra mampu memanfaatkan bahan organik dengan baik. VSS (bakteri) dan fitoplankton merupakan sumberpakan bagi organisme lain, terutama golongan filter feeder (Gunadi, 2012). Pada budidaya systemintensif yang tidak memanfaatkan organisme filter feeder biomassa mikroba (bakteri dan alga) akan terus meningkat (Azhar, 2013; Gunadi, 2012). Nilai TSS dan VSS pada sistem intensif akan terus meningkat hingga akhir penelitian (Azhar, 2013). Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air ikan lele berupa DO, pH, Suhu TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia Kualitas air DO Suhu TAN Amonia pH Nitrit (mg/l) Nitrat (mg/l) Perlakuan (mg/l) (0C) (mg/l) (mg/l) 2 Bak 4,7-7,1 7,2-7,8 27-28,3 1,4-2,0 0,71-0,82 0,2-0,73 0,02-0,11 4 Bak 4,8-6,7 7,3-7,8 27,1-28,3 1,7-2,6 0,37-0,52 0,2-0,42 0,02-0,07 6 Bak 4,8-7,0 7,3-7,8 27-28,3 0,9-1,4 0,31-0,52 0,2-0,32 0,02-0,06
10
Depik, 4(1): 8-14 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
Gambar 1. Total Suspended Solid (TSS) pada air media pemeliharaan ikan lele
Gambar 2. Volatile Suspended Solid (VSS) pada media pemeliharaan ikan lele Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra dan hasil produksi Hasil dari pengukuran bobot biomasa pada media pemeliharaan cacing sutra yang dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 3. Terdapat selisih nilai VSS pada air masuk dan keluar di setiap perlakuan dan ulangan (Tabel 2), ini menandakan adanya pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra. Selisih nilai VSS ini adalah bahan organik yang dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen sehingga nilai VSS sedimen pada perlakuan meningkat. Jika dipersentasekan maka nilai pemanfaatn VSS dapat dilihat pada Tabel 3 yang memperlihatkan adanya pemanfaatan bahan organik olah cacing sutra terbaik pada perlakuan 6 bak, diikuti oleh perlakuan 4 bakdan terendah pada perlakuan 2 bak. Ketersediaan bahan organik dalam air media pemeliharaan ikan lele sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti, 2004; Findy, 2011; Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013).), bahan organik ini berasal dari limbah pakan yang diberikan untuk ikan lele. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa tiadak ada perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra antar perlakuan (Gambar 3). Bobot biomassa cacing sutra turun pada hari ke-10 dan mulai naik sejak hari ke-20 hingga hari ke-50. Gambar 3 memperlihatkan adanya peningkatan biomassa cacing sutra pada setiap perlakuan, dikarenakan adanya penambahan jumlah individu baru. Adanya kelahiran individu baru pada saat puncak populasi mengakibatkan peningkatan jumlah individu dan bobot biomassa (Shafrudin et al., 2005). Pertumbuhan terjadi karena media manpu mencukupi kebutuhan makan cacing sutra (Pursetyo, 2011).
Perlakuan 2 bak 4 bak
Tabel 2. Pengukuran nilai VSS pada bagian Inlet dan Outlet Nilai VSS hari ke Saluran air 0 10 20 30 In 164,706 108,571 138,444 115,000 Out 167,143 125,954 101,200 122,989 In 121,886 119,430 109,091 115,521 11
40 223,529 233,491 147,475
Depik, 4(1): 8-14 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
6 bak
Perlakuan 2 bak 4 bak 6 bak
Out In Out
132,432 121,189 111,686
120,077 68,2930 69,1290
87,5560 58,2350 87,5000
104,839 69,6200 77,8710
140,485 71,3410 69,1290
Tabel 3. Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra (%) hari ke0 10 20 30 40 17.970 a 17.338 a 15.179 a 16.710 a 13.738 a 20.216 ab 21.843 ab 21.817ab 20.840 ab 21.874 ab b b b b 35.919 33.224 35.155 36.418 35.929 b
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji beda nyata terkecil).
Gambar 3. Pertumbuhan Berat cacing sutra
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwa penggunaan limbah lele sistem intensif oleh cacing sutra akan lebih baik untuk perbaikan kualitas air ikan lele dan pertumbuhan cacing sutra dengan memanfaatkan 6 bak pemeliharaan cacing sutra.
Daftar Pustaka
Adlan, M.A. 2014. Pertumbuhan biomassa cacing sutra (tubifex sp.) pada media kombinasi pupuk kotoran ayam dan ampas tahu [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. APHA (American Public Health Association). 2005. Standard methods for examination of water and wastewater. 14thed. APHA. Washington DC: APHA. AWWA (American Water Works Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Avnimelech, Y., N. Mozes, S. Diab. 1995. Rates of organic carbon and nitrogen degradation in intensive fish ponds. Aquaculture, 134:211-216. Avnimelech, Y. 1999. Carbon/nitrogen ratioasacontrolelementin aquaculture system. Aquaculture, 176:227-235. Azhar, M.H. 2013. Peranan sumber karbon eksternal yang berbeda dalam pembentukan biflok dan pengaruhnya terhadap kualitas air serta produksi pada sistem budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Bintaryanto, B.W., T. Taufikurohmah. 2013. Pemanfaatan campuran limbah padat (Sludge) pabrik kertas dan kompos sebagai media budidaya cacing sutra (Tubifex sp). UNESA Journal of Chemistry 2(1). 1-8. Ebeling, J.M., M.B. Timmons, J.J. Bisogni. 2006. Engineering analysis of stoichiometry of photoautotrophic. Autotrophic and heterotrophic removal of amoniak-nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture, 12
Depik, 4(1): 8-14 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2279
257:346-358. Febrianti, D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutera (Limnodrilus) [Skipsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Febriyani, M. 2012. Budidaya cacing oligochaeta pada sistem terbuka [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Findy, S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubificidae). IPB. Bogor. Gunadi, B. 2012. Minimalisasi limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele (clarias gariepinus) dengan system akuakultur berbasis jenjang rantai makanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Statistik kelautan dan perikanan. Jakarta (ID). 302 hal. Marian, M.P., T.J. Pandian. 1989. Culture and harvesting technique for Tubifex tubifex. Aquaculture, 42:303-315. Pardiansyah, D. 2014. Pemanfaatan limbah budidaya lele (Clarias sp) sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra (Tubificidae). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Priyadi, A., E. Kusrini, T. Megawati. 2010. Perlakuan berbagai jenis pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan sintasan larva ikan upside down catfish (Synodontis nigiventris). Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Depok Jakarta. Pursetyo. 2011. Pengaruh pemupukan ulang kotoran ayam kering terhadap populasi cacing sutra (Tubifex sp). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Surabaya, 3(2):117-182. Rohmana, D. 2009. Konversi limbah budidaya ikan lele (clarias sp) menjadi biomassa bakteri heterotrof untuk perbaikan kualitas air dan makanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso, S., Hernayanti. 2004. Cacing sutra sebagai bio monitor pencemaran logam berat kadmium dan seng dalam leachate TPA sampah Gunung Tugel Purwokerto. Program Studi Biologi. ITS. Surabaya. Shafrudin, D., W. Efianti, Widanarni. 2005. Pemanfaatan ulang limbah organik dari substrak tubifex sp di alam. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2):97-102.
13
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Analisa ekonomi usaha pendederan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dalam tambak di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh
Economic analysis of pond nursery for tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus and green grouper Epinephelus coioides in Bireuen District of Aceh Province Farok Afero1*, Safrita AM2 1Dinas
Kelautan dan Perikanan Aceh; 2Jurusan Budidaya Perairan Universitas Al Muslim Bireuen. Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. This study presented an economic analysis of nursery operation for tiger and green grouper with different production scales. The result highlighted small scale nursery of tiger grouper with a 3 year projected both positive cumulative cash flows and NPV. Small scale of green grouper highlighted both positive cumulative cash flow and NPV, also IRR and B/C higher than the medium and large scale. Medium scale of tiger grouper generated both positive cumulative cash flow and NPV. In addition, medium scale of tiger grouper generated IRR and B/C higher than small and large scale. Medium scale of green grouper generated IRR and B/C higher than large scale. The results of the financial analysis indicated the income of large scale of tiger grouper higher than medium scale, but the ratio benefit of medium scale higher than large scale. Small scale of green grouper indicated ratio benefit higher than medium and large scale. The sensitivity analysis showed decreased survival rate to 60% affects a negative contribution to the NPV, IRR and B/C on a large scale of green grouper. On the other side, small scale of green grouper obtained higher profit ratio despite a decline in survival rate, an increase in seed costs and falling seed prices. This suggests that small scale of green grouper not affected to volatility of the main variable costs. Keywords: Nursery; tiger grouper; green grouper; production scale Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi pendederan kerapu macan dan lumpur dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 3 tahun menghasilkan arus kas kumulatif dan NPV positif. Sedangkan pendederan kerapu lumpur skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV positif, IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendederan skala menengah dan besar. Pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan aliran kas dan NPV positif. Selain itu, pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan IRR dan B/C yang lebih tinggi dari kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur skala menengah menghasilkan IRR dan B/C lebih tinggi dari skala besar. Hasil analisis keuangan menunjukkan bahwa pendapatan pendederan kerapu macan pada skala besar lebih tinggi daripada skala menengah, tetapi rasio keuntungan skala menengah lebih tinggi dibandingkan skala besar, sedangkan pada pendederan kerapu lumpur menunjukkan bahwa rasio keuntungan skala kecil lebih lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penurunan sintasan kehidupan sampai 60% memberikan kontribusi negatif pada NPV, IRR dan B/C pada pendederan kerapu lumpur skala besar. Sebaliknya pendederan kerapu lumpur skala kecil memperoleh rasio keuntungan yang lebih tinggi meskipun terjadi penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak berpengaruh dengan volatilitas biaya variable utama. Kata kunci: Pendederan; kerapu macan; kerapu lumpur; skala produksi
Pendahuluan Indonesia adalah salah satu produsen ikankerapu, dimana produksi ikan kerapu budidaya pada tahun 2011 sebesar 8.112 ton, meningkat menjadi 8.787 ton pada tahun 2012 dengan nilai total sekitar Rp 1.354 milyar. Budidaya kerapu di Indonesia tersebar dari Sumatera ke Papua dan terkonsentrasi di beberapa provinsi seperti Sumatera Utara (2.686 ton), Kepulauan Riau (1.202 ton), Lampung (1.776 ton), Sulawesi Tenggara (656 ton), Maluku (255 ton), Papua Barat (393 ton) (KKP, 2014). Ketersediaan benih merupakan komponen penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan telah dibangun, baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu. Jumlah benih yang ditebar selama tahun 2012 adalah 12,9 juta benih dan 67% atau 8,7 juta benih kerapu di tebar di Sumatera (KKP, 2014). Salah satu sentra produksi benih kerapu adalah di Bali Utara yang telah 15
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
memproduksi 200.000-1.000.000 ekor/bulan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) juga memproduksi kerapu tikus (Cromileptes altivelis) serta kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (Ismi et al., 2012). Namun terdapat kendala dalam keberhasilan pemeliharaan benih kerapu, yaitu kelangsungan hidup atau kematian benih (Rimmer, 2003). Keberhasilan pembenihan juga ditunjang ukuran benih, kepadatan, dan volume media (Minjoyo et al., 2004). Kerapu macan merupakan ikan karnivora, sehingga membutuhkan volume media dan kepadatan yang sesuai dengan ukuran tubuhnya agar tidak menimbulkan kematian (Resmiyati et al., 1993). Balai benih umumnya memelihara benih sampai ukuran berkisar 2-3 cm, sedangkan budidaya dalam keramba jaring apung membutuhkan benih kerapu dengan ukuran kisaran 5-10 cm. Untuk memenuhi kebutuhan kerapu ukuran layak tebar, pendeder kerapu memelihara kerapu dari ukuran 2-3 cm menjadi 5-10 cm atau lebih besar, kemudian menjual ke pembudidaya keramba jaring apung. Pendederan kerapu di Provinsi Aceh dilakukan dalam tambak yaitu benih ikan dipelihara dalam keramba jaring tancap kecil yang terpancang pada substrat dengan tiang kayu. Pendederan dibagi menjadi dua tahap: tahap awal menggunakan kelambu‘hijau’ dan membutuhkan waktu 10–15 hari. Kerapu ditebar sekitar 500–2.000 ekor per keramba (tergantung pada ukuran keramba), dan diberi pakan utama udang dan ikan liar kecil yang ditangkap dari tambak. Setelah 10–15 hari, ikan dipindahkan ke kelambu ‘hitam’ yang lebih besar dan kepadatan tebar dikurangi menjadi 300–1.000 ikan per keramba. Ikan dipanen ketika sudah mencapai panjang total (TL) 7–10 cm yang umumnya diperoleh setelah dipelihara 30–50 hari dari saat penebaran awal. Pendederan biasanya dilakukan 7–8 siklus produksi per tahun (Komarudin et al., 2010). Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan usaha pendederan kerapu macan dan lumpur sehingga dapat memberikan informasi untuk pelaku usaha tentang skala ekonomi usaha pendederan kerapu. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pendeder kerapu serta pemerintah daerah dalam mengembangkan sub-sektor pendederan ikan di Provinsi Aceh.
Bahan dan Metode Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada bulan November 2014. Semua data untuk penelitian ini dikumpulkan dari sentra pendederan kerapu di Kabupaten Bireuen (Kecamatan Samalanga dan Jangka). Untuk menilai dan membandingkan dampak dari skala ekonomi pendederan kerapu, usaha pendederan kerapu dikategorikan berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 200 juta, antara 200 dan 400 juta dan lebih dari 400 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masing-masing skala kecil, menengah dan besar. Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari pendeder kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Kuesioner terdiri dari tiga variable yaitu variable biologi (jumlah keramba, padat tebar, ukuran tebar, ukuran panen, sintasan kehidupan, konversi pakan, periode produksi, siklus produksi dan produksi), variable biaya (sewa lahan, biaya keramba, peralatan, benih, pakan, pupuk, bahan bakar dan gaji pekerja, pemeliharaan) dan variable pendapatan (pendapatan kotor dan bersih, rasio keuntungan). Sebanyak 36 pendeder ikan diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan, 34 sampel digunakan untuk analisa lebih lanjut sedangkan 2 sampel lagi tidak bisa dianalisa lanjut karena kurangnya data dari tiga variabel diatas. Sampel pendeder kerapu macan yang dianalisis dibagi menjadi berdasarkan skala, yaitu: skala kecil (7 pendeder), menengah (7 pendeder) dan besar (3 pendeder ). Sementara sampel untuk usaha kerapu lumpur adalah skala kecil (9 pendeder) menengah (5 pendeder) dan besar (3 pendeder). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel selanjutnya dianalisis secara deskriptif, sedangkan analisa sensitifitas berdasarkan asumsi penurunan sintasan kehidupan benih, kenaikan biaya benih dan penurunan harga jual.
Hasil dan Pembahasan Hasil
Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi pendederan ikan kerapu macan dan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda. Padat tebar pendederan kerapu macan skala kecil (99 ekor/m3), skala menengah (152,7 ekor/m3) dan skala besar (114 ekor/m3). Ukuran panen benih berkisar 6,7-7,6 cm. Rasio konversi pakan adalah 14,3 untuk skala kecil dan 14,5 untuk skala besar (Tabel 1). Pada pendederan kerapu lumpur kepadatan tebar untuk skala kecil (189,1 ekor/m3) skala menengah (208,4 ekor/m3) dan skala besar (171 ekor/m3). Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 28,5, 24,1 dan 29,4. Periode produksi 1,5-1,9 bulan per siklus dan siklus produksi per tahun berkisar 4,3-6,8 siklus. Produksi benih kerapu lumpur pada skala kecil, menengah dan besar adalah 56.656 ekor, 109.376 ekor dan 203.000 ekor (Table 2).
16
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Tabel 1.Ringkasan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda Kecil
Menengah
Besar
Jumlah keramba
7,0
16,7
51,7
Padat tebar (m3)
99,0
152,7
114,0
Ukuran benih awal (cm)
2,9
2,3
2,3
Ukuran benih panen (cm)
7,1
7,6
6,7
Sintasan kehidupan (%)
80,0
80,0
80,0
Konversi pakan
14,3
11,3
14,5
Periode produksi (bulan)
1,5
1,7
1,9
Siklus produksi per tahun
6,7
6,6
4,3
34.766
76.571
159.200
Produksi (ekor)
Tabel 2. Ringkasan pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda Kecil
Menengah
Besar
Jumlah keramba
6,9
18,4
75,0
Padat tebar (m3)
189,1
208,4
171,0
Ukuran benih awal (cm)
1,3
1,4
1,2
Ukuran benih panen (cm)
3,5
3,3
3,3
Sintasan kehidupan (%)
78,9
78,0
76,7
Konversi pakan
28,5
24,1
29,4
Periode produksi (bulan)
1,5
1,6
1,9
Siklus produksi per tahun
6,6
6,8
4,3
56.656
109.376
203.000
Produksi (ekor)
Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran pendederan kerapu macan dan lumpur. Biaya tetap pada budidaya kerapu macan berkisar antara 2% sampai 3%. Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih adalah komponen pengeluaran terbesar yaitu skala kecil (83%) menengah (82%) dan besar (77%). Pakan adalah biaya terbesar berkisar 8-10% dan komponen biaya tenaga kerja kisaran 7-9%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendederan skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala menengah dan kecil (Tabel 3). Dalam budidaya kerapu lumpur, biaya tetap berkisar antara 2-3%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh biaya pakan dan biaya tenaga kerja (Tabel 4). Tabel 3. Ringkasan pengeluaran pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda Variabel
Kecil
Menengah
Besar
1. Biaya modal Keramba Peralatan Sub Total
1.400.000 162.286 1.562.286
3.342.857 324.857 3.667.714
10.333.333 5.602.667 15.936.000
1.750.000 520.762
2.285.714 1.222.571
6.833.333 5.312.000
500.000
750.000
2.000.000
2. Biaya Operasional
Biaya tetap Sewa lahan Depresiasi Pemeliharaan Sub Total
2.770.762
2%
4.258.286
2%
14.145.333
3%
103.842.857
83%
207.914.286
82%
359.050.000
77%
Biaya Produksi Benih
17
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Pakan rucah
9.505.714
Pupuk
11.429
Buruh
8.554.286
8% 0,01% 7%
23.691.429 49.143 19.142.857
9% 0,02% 8%
Biaya lain-lain 98%
250.797.714
98%
47.200.000 340.000
10% 0,01%
43.190.000
9%
2.953.333
1%
452.733.333
97%
Sub Total
121.914.286
Total Biaya Produksi
124.685.048
255.056.000
466.878.667
5.000
5.143
4.833
173.828.571
393.142.857
673.000.000
3. Keuntungan Harga Pendapatan
Tabel 4. Ringkasan pengeluaran pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda Variabel
Kecil
Menengah
Besar
1. Biaya modal Keramba
1.377.778
3.680.000
15.000.000
Peralatan
258.000
251.200
302.667
1.635.778
3.931.200
15.302.667
Sewa lahan
1.583.333
2.900.000
6.833.333
Depresiasi
258.000
251.200
302.667
Pemeliharaan
500.000
750.000
2.000.000
Sub Total 2. Biaya Operasional
Biaya tetap
Sub Total
2.341.333
3%
3.901.200
2%
9.136.000
2%
Benih
62.966.667
72%
138.720.000
72%
255.000.000
69%
Pakan rucah
15.254.444
18%
33.300.000
17%
64.400.000
18%
Biaya Produksi
Pupuk
19.556
Buruh
6.275.556
0,02% 7%
44.000 16.256.000
0,02% 8%
Biaya lain-lain 97%
188.320.000
98%
326.667
0,01%
36.080.000
10%
2.303.333
1%
358.110.000
98%
Sub Total
84.516.222
Total Biaya Produksi
86.857.556
192.221.200
367.246.000
2.778
3.000
2.833
163.594.444
328.128.000
566.000.000
3. Keuntungan Harga Pendapatan
Analisis indikator keuangan pendederan kerapu macan dan lumpur pada skala produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan usaha skala kecil pendederan kerapu macan memiliki arus kas positif baik untuk proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang. Pendederan kerapu macan skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar Rp 410.592.857 dan NPV sebesar Rp 239.341.411. Nilai IRR sebesar 37,65 % dan rasio manfaat-biaya (B/C) sebesar 1,54 menunjukkan kelayakan usaha pendederan kerapu macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif positif dengan nilai IRR 12,93%, rasio manfaat-biaya sebesar 1,44 menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi menghasilkan kinerja ekonomi yang positif (Tabel 5). Analisis keuangan pendederan kerapu lumpur pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan proyeksi arus kas kumulatif selama 3 tahun. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp 133.340.881) menengah (Rp 235.294.965) dan skala besar (Rp 336.140.795). Analisis 18
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari 1,5 untuk semua skala produksi dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu bulan. Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda Perhitungan Profitabilitas Cash Flows
Kecil
Menengah
Besar
49.143.523
138.086.857
206.121.333
145.868.284
410.592.857
602.428.000
84.964.697
239.341.411
348.545.643
31,46
37,65
12,93
B/C Ratio
1,39
1,54
1,44
Payback Period
0,03
0,03
0,08
Cumulative cash flow NPV IRR
Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda Perhitungan Profitabilitas
Kecil
Cash Flows
76.736.889
135.906.800
198.754.000
Cumulative cash flow
228.574.889
403.789.200
580.959.333
NPV
133.340.881
235.294.965
336.140.795
46.91
34.57
12.98
B/C Ratio
1,88
1,71
1,54
Payback Period
0,02
0,03
0,08
IRR
Menengah
Besar
Hasil analisa sensitivitas pendederan kerapu macan menunjukkan bahwa sintasan hidup 60% tidak mengakibatkan efek negatif terhadap arus kas kumulatif untuk semua skala produksi. Peningkatan biaya benih sampai 20% masih menghasilkan rasio keuntungan diatas 20% untuk semua skala produksi. Sedangkan penurunan harga benih menghasilkan keuntungan yang minim untuk pendederan skala kecil (Tabel 7). Hasil analisa sensitivitas pendederan kerapu lumpur menunjukkan sintasan kehidupan 60% mengakibatkan arus kas kumulatif negatif untuk pendederan skala besar. Kenaikan harga benih dan penurunan harga jual tidak memiliki berpengaruh pada penurunan NPV dan rasio keuntungan pada pendederan kerapu lumpur skala kecil (Tabel 8).
19
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Tabel 7. Ringkasan analisa sensitivitas pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda Net Present Value Kecil
Menengah
Internal Rate of Return (%) Besar
B/C Ratio
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
SR 60%
23.936.919
101.316.720
200.740.859
9,19
16,21
7,64
1,12
1,23
1,26
Biaya benih + 20%
48.507.521
166.346.812
222.490.280
18,16
26,31
8,42
1,20
1,33
1,25
Harga - 20%
23.936.919
101.316.720
200.740.859
9,19
16,21
7,64
1,12
1,23
1,26
Table 8. Ringkasan analisa sensitivitas pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda Net Present Value Internal Rate of Return (%) Kecil SR 60% Biaya benih + 20% Harga - 20%
Menengah
B/C Ratio
Besar
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
29.958,281
27.936.298
-21.539.761
10,90
4,50
-
1,21
1,09
-
111.234.528
186.593.113
246.615.332
39,21
27,51
9,65
1,64
1,49
1,35
75.906.103
120.095.705
137.429.375
26,91
17,88
5,57
1,51
1,37
1,23
20
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Pembahasan Sintasan kehidupan pada usaha pendederan kerapu macan sebesar 80% sedangkan kerapu lumpur sebesar 78%. Padat tebar pendederan kerapu macan dan lumpur pada kisaran yang optimum untuk pertumbuhan. Ditjen Perikanan Budidaya (2002) merekomendasikan kepadatan optimum untuk pendederan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) di keramba jaring apung adalah 150-200 ekor/m3 dan setelah dibesarkan selama 1-1,5 bulan kepadatannya dikurangi menjadi 100 ekor/m3. Kepadatan benih ditingkatkan diatas 1,000 ekor/m3 pada pendederan dengan sistem sirkulasi air (APEC/SEAFDAC, 2001). Salinitas air tambak yang tinggi (25-30 ppt) salah satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup benih kerapu di tambak. Kisaran salinitas 20-32 ppt adalah kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu (Yoshimitsu et al.,1986; DKP, 2001; Anonymous, 2001) Selain itu benih kerapu yang dideder ditambak memiliki toleransi lingkungan yang lebih baik sehingga mudah beradaptasi untuk hidup di keramba jaring apung. Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya pendederan kedua kerapu sangat tinggi, konversi pakan kerapu lumpur berkisar 24,1-29,4, lebih tinggi dibandingkan kerapu macan berkisar 11,3-14,5. Hal ini menunjukkan pemakaian ikan rucah untuk pendederan ikan kerapu sangat tinggi sehingga rasio konversi pakan sangat buruk. Hampir semua pendeder kerapu di Kabupaten Bireuen menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan dalam pendederan kerapu karena harganya lebih murah daripada pakan buatan. Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan diberikan ke ikan sampai kenyang (ad libitum) dan diberikan 4 kali sehari. Liao et al. (1995) melaporkan konversi pakan pendederan Epinephelus marabaricus berkisar 2,2:1 sampai 3,6:1 dengan menggunakan pakan basah, sedangkan dengan penggunaan pakan kering konversi pakannya 0,8:1 dan membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk mencapai ukuran benih 6 cm. Sim et al. (2005) mengungkapkan pemberikan pakan rucah mengakibatkan pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali lebih banyak dibandingkan pemberian pellet. Manajemen pemberian pakan pada pendederan kerapu macan dan lumpur harus ditingkatkan sehingga bisa meningkatkan efisiensi pemberian pakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan lumpur adalah benih yaitu berkisar 77-83% pada pendederan kerapu macan dan 69-72% pada pendederan kerapu lumpur. Sedangkan pakan rucah menyumbang 8-10% pada kerapu macan dan 17-18% pada kerapu lumpur. Variabel tenaga kerja menyumbang kisaran 7-10% pada pendederan dua kerapu tersebut. Biaya benih masih merupakan komponen pengeluaran dominan pada pendederan kerapu, khususnya kerapu macan. Pendeder kerapu macan masih mengimpor benih dari Bali, Situbondo dan Lampung karena belum ada balai benih di Aceh yang berhasil memproduksi benih kerapu macan secara komersil. Sedangkan kerapu lumpur di beli dari pengumpul lokal yang menangkap dari wilayah pantai utara dan timur Provinsi Aceh. Penelitian ini juga menunjukkan peningkatan skala produksi berpengaruh terhadap peningkatan persentase biaya buruh pada pendederan skala besar. Pendederan kerapu memerlukan tenaga kerja intensif untuk pemberian makan dan pemilahan ikan dan peningkatan skala pendederan mengakibatkan tingginya input tenaga kerja Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan pendederan kerapu macan dan lumpur. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha pendederan kerapu macan skala kecil masih layak secara ekonomi. Proyeksi ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu macan skala kecil masih menguntungkan, meskipun demikian harus ada peningkatan pengelolaan pakan agar skala ini lebih menguntungkan. Pemberian pakan dengan menggunakan pellet kering atau pellet basah bisa meningkatkan effisiensi pemanfaatan pakan dan menurunkan komponen biaya pakan. Sedangkan analisis keuangan budidaya kerapu lumpur skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV positif dan IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendederan skala menengah dan besar (Tabel 7). Pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan aliran kas dan NPV positif. Selain itu, pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan IRR dan B/C serta yang lebih tinggi dari kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur skala menengah menghasilkan IRR dan B/C lebih tinggi dari skala besar. Hasil analisis keuangan berdasarkan skala menunjukkan bahwa meskipun pendapatan pendederan kerapu macan pada skala besar lebih tinggi daripada skala menengah, tetapi rasio keuntungan skala menengah lebih tinggi baik dibandingkan skala kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur menunjukkan bahwa rasio keuntungan skala kecil lebih lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar. Pendederan kerapu skala kecil lebih fleksibel dalam usaha pendederan karena suplai benih didapatkan dari lokal dibandingkan benih kerapu macan yang harus diimpor dari luar daerah. Pendederan kerapu macan sangat tergantung pada pemasok benih atau pemodal karena kurangnya modal yang dimiliki pendeder skala kecil untuk mengimpor benih langsung dari luar daerah. Sedangkan benih kerapu lumpur bisa langsung dibeli pada pengumpul setiap saat dengan harga murah. 21
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa tingkat sintasan kehidupan, biaya benih dan harga adalah variabel utama yang berpengaruh pada profitabilitas pendederan kerapu macan dan kerapu lumpur. Penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh oleh pendeder kerapu macan skala kecil. Pendeder kerapu macan skala besar tetap memperoleh keuntungan yang layak meskipun penurunan sintasan kehidupan dan harga benih. Penurunan sintasan kehidupan sampai 60% memberikan kontribusi negatif pada NPV, IRR dan B/C pada pendederan kerapu lumpur skala besar. Sebaliknya pendederan kerapu lumpur skala kecil memperoleh rasio keuntungan yang lebih tinggi meskipun terjadi penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak terpengaruh dengan volatilitas biaya variable utama (benih, pakan dan buruh). Temuan ini sama dengan analisis ekonomi oleh Ismi et al. (2012) bahwa pada sintasan kehidupan 60% usaha pendederan masih menguntungkan dengan rasio keuntungan 16% dari total biaya produksi. Menurut Komarudin et al. (2010) ada tiga model sistem bisnis yang diterapkan dalam pendederan kerapu di provinsi Aceh yaitu: investasi pemodal, investasi individu dan investasi kelompok. Pada model investasi pemodal, pemiliki modal menyediakan biaya operasional (benih, rucah dan jaring), laba hasil penjualan dibagi dua (50:50) antara pemodal dan pendeder. Investasi individu yaitu pendeder melakukan pendederan benih kerapu dengan menggunakan 1 sampai 3 tambak dan mempekerjakan orang untuk membantu kegiatan operasional harian. Sedangkan investasi kelompok melakukan pendederan lebih 200 keramba dan pembagian keuntungan adalah 70% untuk anggota kelompok dan 30% untuk investasi masa depan. Berdasarkan analisa ekonomi diatas, model kelompok dengan skala usaha kecil bisa menjadi model yang cocok di terapkan, selain tidak rentan terhadap perubahan input produksi, adanya pembagian resiko (risk share), juga meningkatkan daya tawar kelompok sehingga harga benih bisa dijual pada harga optimal.
Kesimpulan Suplai benih berperan besar pada kerentanan input produksi, ketergantungan benih dari luar daerah mengakibatkan usaha pendederan rentan terhadap kenaikan harga benih. Usaha kerapu macan skala kecil layak secara ekonomi sedangkan usaha pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak berpengaruh terhadap fluktuasi input produksi. Pendederan kerapu macan dan lumpur skala menengah dan besar menghasilkan keuntungan yang memadai tetapi pendederan kerapu lumpur skala besar sangat rentan terhadap fluktuasi input produksi, penurunan sintasan kehidupan mengakibatkan usaha pendederan menjadi tidak ekonomis.
Daftar Pustaka Anonymous. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu. SEAFDEC Aquaculture Department. Kelompok Kerja Perikanan APEC, Aquaculture Department. Southeast Asian Fisheries Development Center. APEC/SEAFDEC. 2001. Husbandry and health management of grouper. APEC: Singapore and SEAFDEC: Iloilo, Philippines. Ditjen Perikanan Budidaya. 2002. Buku petunjuk teknis budidaya laut ikan. Kumpulan SNI Bidang Pembudidayaan. Jakarta. DKP. 2001. Pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) dan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta. Ismi, S., T. Sutarmat, N.A. Giri, M.A. Rimmer, R.M.J. Knuckey, A.C. Berding, K. Sugama. 2012. Nursery management of grouper: a best-practice manual. ACIAR Monograph No. 150. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra. 44 pp. KKP. 2014. Statistik perikanan budidaya 2013. Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta. Komarudin, U., M.A. Rimmer, I. Zaifuddin, S. Bahrawi. 2010. Grouper nursing in Aceh, Indonesia. Aquaculture Asia–Pacific Magazine 6(2), 21–25. Liao, I.C., M.S. Su, S.L. Chang. 1995. A review of the nursery and grow-out techniques of high value marine finfishes in Taiwan. In: Main, K.L.and Rosenfeld, C. Culture of High-Value Marine Fishes in Asia and the United States. The Oceanic Institute, Honolulu, Hawaii, USA. 121-137. Minjoyo, H., Evalawati, Sudjiharno. 2004. Budidaya ikan kerapu bebek (cromileptes altivelis) di bak terkendali (Land-Based Mari-culture) merupakan suatu alternatif. Buletin Budidaya Laut, 17:17-21. 22
Depik, 4(1): 15-23 April 2015 ISSN 2089-7790
DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2306
Resmiyati, P., Waspada, Mustahal, D. Susanti. 1993. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umur sampai 35 hari dengan padat tebar berbeda. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 9(5):12-17. Rimmer, M. 2003. Review of grouper hatchery technology. Queensland Department of Primary Industries. Northern Fisheries Centre. Cairns, Queensland, Australia. Sim, S.Y., M.A. Rimmer, J.D. Toledo, K. Sugama, I. Rumengan, K.C. William, M.J. Phillips. 2005. A practical guide to feeds and feed management for cultured grouper. NACA, Bangkok, Thailand. Yoshimitsu, T.H. Eda, K. Hiramatsu. 1986. Groupers final report marineculture research and development in Indonesia. ATA 192, JICA. p. 103-129.
23
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Identifikasi komponen harmonik di Selat Lombok berdasarkan data arus time
series
The identification of harmonic component in Lombok Strait based on ocean current time-series data Rizal Fadlan Abida1*, Widodo Setiyo Pranowo2, Yogo Pratomo3, Engki Andri Kisnarti1 1Program
Studi Oseanografi, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman Hakim 150 - Surabaya 60111.*Email Korespondensi :
[email protected] 2Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Kementrian Kelautan Perikanan, Jalan Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta 14430. 3JurusanTeknik Hidro-Oseanografi, Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut, Jl. Pantai Kuta V Ancol Timur, Jakarta 14430
Abstract. Lombok Strait is one part of Indonesia Through Flow (ITF), important for national and international maritime
economic. The strait is passed by ITF, i.e., a displacement water from the Pacific Ocean into the Indian Ocean caused by a difference in the sea water level. ITF flows across the Makassar Strait to south direction and passes through the smaller straits along Bali to Flores. ITF pattern is influenced by its local area condition which creates unique characteristics in each place. ITF passes through the Lombok Strait in part directly related to the Indian Ocean, as well as a very diverse state bathymetry of shallow ocean to ocean trenches. Various oceanographic phenomena affect ITF in the Lombok Strait: tides and waves are formed due to the interaction between the ocean currents from the Indian Ocean to the Lombok Strait, met with ITF flowing from the Lombok Strait into the Indian Ocean. As tides, currents are influenced by the tides that have harmonic components, but there are differences in the frequency and phase are formed. Harmonic component is one of indicators in determining the characteristics of a body of water. The purpose of this study is to obtain the derived harmonic components by analysing currents data in the Lombok Strait acquired from The International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) Expedition Mooring Deployment 1 conducted in 2004 to 2005. Based on the analysis it is known that the characteristic harmonic currents in the Lombok Strait is influenced by significant harmonic components such as Solar Semi Annual (SSA) and Solar Annual (SA)constituents be used, as the result of harmonic analyses of tidal data at ports all over the world reveal that they are dominated by the seasonal variations of sun. Keywords : ITF; Sea Current; Harmonic Component; INSTANT Expedition Abstrak. Selat Lombok merupakan salah satu alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) yang penting bagi perekonomian maritim nasional dan internasional, sekaligus sebagai alur dari arus lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo merupakan peristiwa perpindahan masa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian air laut. Jalur Arlindo melintasi Selat Makasar menuju selatan, kemudian terbagi melewati selat-selat yang lebih kecil diperairan Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Pola Arlindo dipengaruhi keadaan perairan setempat yang dilewatinya, sehingga Arlindo memiliki karakteristik yang unik pada masing-masing tempat. Pada Selat Lombok yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia, fenomena oseanografi mempengaruhi ARLINDO di Selat Lombok diantaranya adalah pasang surut dan internal wave yang terbentuk karena interaksi antara arus laut dalam yang berasal dari Samudera Hindia menuju Selat Lombok. Arus pasut memiliki komponen harmonik seperti gaya pembangkitnya, namun terdapat perbedaan pada frekuensi dan fasa yang terbentuk. Komponen harmonik pasut dan arus pasut merupakan salah satu indikator dalam penentuan karakteristik suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh besaran komponen harmonik yang diturunkan dari arus di Selat Lombok dari Ekspedisi INSTANT Mooring Deployment 1 yang dilaksanakan pada tahun 2004 hingga 2005. Berdasarkan analisis harmonik diketahui bahwa karakteristik arus di Selat Lombok dipengaruhi oleh komponen harmonik signifikan seperti Solar Semi Annual dan Solar Annual yang merupakan komponen yang dipengaruhi oleh pergerakan matahari secara paruh tahun maupun tahunan. Kata kunci : Arlindo; Arus Laut; Komponen Harmonik; Ekspedisi INSTANT
24
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Pendahuluan Laut didunia mencakup lebih dari 70 % permukaan bumi, serta menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang cukup besar. Energi yang terkandungdalam lautan antara lain energi panas , energi kinetik (gelombang dan arus) serta sebagai sumber daya kimia dan produk biologi. Beragam cara untuk menjadikan energi dari laut yang sedang dikaji, yang sebagian besar termasuk dalam energi berikut: energi gelombang, energi arus laut dan pasang surut , energi panas laut , energi dari gradien salinitas (osmosis), dan pengembangan biomassa kelautan (Ben Elghali et al., 2007). Kehadiran energi kinetik dalam arus laut dan pasang surut dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi turbin yang relatif konvensional. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, hampir 70% terdiri atas perairan dan merupakan sumber daya yang terbarukan. Indonesia merupakan salah satu saluran dalam sabuk konveyor raksasa (great conveyor belt), yang memiliki pengaruh terhadap pola arus di perairan Indonesia. Fenomena Arus Lintas Indonesia (Arlindo) menjadi salah satu ciri khas sistem arus di Indonesia. Arlindo merupakan suatu sistem sirkulasi laut di perairan Indonesia dimana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki, 1961). Arlindo adalah aliran massa air yang membentuk arus laut pada wilayah perairan Indonesia dari Utara yang berasal dari Samudera Pasifik, menuju ke Selatan ke Samudera Hindia.Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin, 1998). Yang merupakan bagian dari Sabuk Konveyor Raksasa dunia, massa air ini dikenal memiliki suhu hangat (diatas 29ºC) dan berkadar garam rendah (kurang dari 32 ‰). Hal ini sangat berbeda dengan air Samudera Hindia yang relatif lebih dingin dan berkadar garam tinggi. Laut dan selat di Indonesia merupakan rute yang dilalui oleh arus Pasifik tropis yang mengalir ke Samudera Hindia. Arlindo menjadikan Selat Makassar sebagai jalur utama masuknya arus tropis Pasifik ke perairan Indonesia (Wajsowicz dalam Susanto et al., 2012). Arus dari Samudera Pasifik yang masuk melalui Selat Makassar terhalangi oleh Dewakang Sill (Pendangkalan pada alur di Selatan Selat Makassar) pada kedalaman 680 m di selatan Selat Makassar, yang kemudian menjadikan sebagian arus terbagi kearah timur dan sebagian lagi diteruskan kearah selatan sehingga keluar melalui Selat Lombok (Gordon et al. dalam Susanto et al., 2012). Pada tahun 2004, Indonesia dan empat negara lainnya melaksanakan riset bersama, yaitu Ekspedisi INSTANT (The International NusantaraStratification and Transport), bertujuan untuk mengetahui aliran masa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melalui perairan Indonesia dan berguna untuk memprakirakan variabilitas iklim, seperti El Nino dan La Nina serta Asian-Australian Monsoon. Pengukuran dilaksanakan pada beberapa bagian perairan Indonesia yaitu: jalur arus masuk di Selat Makassar dan Lintasan Lifamatola (LifamatolaPassage), jalur arus keluar di Pintasan Timor (TimorPassage), Selat Lombok, Selat Ombai, dengan periode selama 3 tahun. Ekspedisi INSTANT merupakan kejasama 5 negara yaitu, Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Perancis (Sprintall et al. dalam Gordon et al., 2008). Selat Lombok merupakan salah satu dari sekian jalur yang dilalui oleh Arlindo, selain Arlindo keadaan pasang surut serta internal wave turut mempengaruhi pola pergerakan arus. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi komponen harmonik yang dihasilkan dari data arus pada mooring Ekspedisi INSTANT deployment 1.
Bahan dan Metode Lokasi penelitian ini berada di Selat Lombok dengan koordinat 8° 26.774' - 8° 24.566' LS dan 115° 45.487' - 115° 53.769' BT, lokasi penelitian ditunjukan oleh gambar 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data arus di Selat Lombok, data arus tersebut diperoleh dari Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan, Kemeterian Kelautan dan Perikanan pada mooring Ekspedisi INSTANT yang dilaksanakan pada tahun 2004-2005. Alat pengukuran arus yang digunakan adalah ADCP Long Range dengan nomor seri 3517. Data yang digunakan pada kedalaman 100 meter dibawah permukaan air laut. Pengolahan data untuk memperoleh komponen harmonik mengunakan Toolbox T-Tide berbasiskan MatLab (Pawlowicz et al. 2002).
25
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Tahapan penelitian: 1.
Data arus berupa data u, v, dan waktu diekstrak dari data hasil pengukuran (raw data), diolah dalam Ms. Excel untuk menghapus data yang kosong atau tidak terekam (NaN/Not a Nummber).
2.
Data yang telah dikoreksi tersebut, kemudian diolah menjadi vektor menggunakan formulasi 𝑉 = 𝑢2 + 𝑣 2 dan di masukan kedalam t_tide.
3.
Data yang telak dimasukan kedalam t_tide kemudian diolah untuk memperoleh gambaran arus hasil pengukuran, arus harmonik, arus non-harmonik , serta komponen harmonik di Selat Lombok.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber: Rizal, 2014)
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengolahan data arus pada mooring timur Ekspedisi INSTANT pada perairan Selat Lombok, diperoleh kecepatan maksimal arus sebesar 1,068 m/detik sedangkan kecepatan minimal arus hasil pengukuran sebesar 0,0006236 m/ detik dengan jangkauan (range) kecepatan sebesar 1,0686236 m/ detik pada mooring timur, kecepatan maksimal arus sebesar 0,8665 m/ detik sedangkan kecepatan minimal arus hasil pengukuran sebesar -0,0003967 m/ detik dengan jangkauan (range) kecepatan sebesar 0,8668967 m/ detik pada mooring barat. Kecepatan arus hasil pengukuran ditampilkan pada gambar 2.
26
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
(a)
(b) Gambar 2. Pola dan Kecepatan arus hasil pengukuran (a) mooring/tambatan timur (b) mooring/tambatan barat.
27
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Karakteristik arus 1. Arus harmonik Arus harmonik merupakan arus yang memiliki karakteristik tetap (siklus) sehingga dapat diprediksi kecepatan maksimal dan minimal suatu arus. Arus harmonik ini merupakan hasil dari pengolahan data arus menggunakan Toolbox T-tide MatLabdengan menginterolasi data sehingga diperoleh data arus yang harmonik. Hasil pengolahan arus harmonik memiliki kecepatan maksimal sebesar 0,1213 m/detik, sedangkan kecepatan minimal sebesar -0,1283 m/detik, sehingga jangkauan kecepatan (range) dari maksimal dan sebaliknya sebesar 0,2496 m/detik pada mooring timur. Kecepatan maksimal arus harmonik 0,1055 m/ detik, sedangkan kecepatan minimal arus harmonik sebesar -0,1015 m/detik, sehingga jangkauan kecepatan (range) dari maksimal dan sebaliknya sebesar 0,207 m/ detik pada mooring barat. Pola dan kecepatan arus harmonik diilustrasikan pada gambar 3.
(a)
(b) Gambar 3. Pola dan Kecepatan arus harmonik (a) mooring/tambatan timur (b) mooring/tambatan barat. 28
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
2.
Arus non harmonik Arus non-harmonik merupakan arus yang terbentuk bukan karena adanya fenomena pasang surut sehingga memiliki sifat sebagai pelebur energi arus harmonik (Pawlowicz et al., 2002). Adapun kecepatan maksimal arus non-harmonik sebesar 1,167 m/detik, sedangkan kecepatan minimal arus non-harmonik sebesar -0,0974 m/ detik, sehingga jangjauan (range) kecepatan sebesar 1,2644 m/ detik pada mooring/tambatan timur. Kecepatan maksimal arus non-harmonik sebesar 0,9156 m/ detik, sedangkan kecepatan minimal arus nonharmonik sebesar -0,09365 m/ detik, sehingga jangkauan (range) kecepatan sebesar 1,00925 m/ detik pada mooring/tambatan barat. Pola pergerakan arus non-harmonik ditampilkan pada gambar 4.
(a)
(b) Gambar 4. Pola dan Kecepatan arus non-harmonik (a) mooring/tambatan timur (b) mooring/tambatan barat. 29
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
3.
Komponen harmonik Pengaruh pergerakan muka air laut (pasang surut) turut mempengaruhi pergerakan arus pada perairan tersebut. Arus harmonik pada perairan Selat Lombok pun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan karakteristik pasang surut sehingga memiliki pula komponen harmonik yang diperoleh dari analisis frekuensi terhadap amplitudo. Terdapat dua konstituen, yaitu konstituen signifikan yang mempengaruhi dari karakteristik arus harmonik serta konstituen insignifikan yang tidak terlalu berpengaruh pada karakteristik arus harmonik tersebut. Pembandingan analisis frekuensi terhadap amplitudo dapat dilihat pada gambar 5.
(a)
(b) Gambar 5. Pembandingan antara Amplitudo (m/detik) dengan frekuensi (cph/cycle per solar hour), (a) mooring/tambatan timur (b) mooring/tambatan barat. 30
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Berdasarkan pengolahan data arus menggunakan t-tide maka diperoleh komponen yang mempengaruhi arus harmonik di Selat Lombok, yang ditampilkan pada tabel 1. Tabel 1. Komponen Harmonik yang mempengaruhi arus di Selat Lombok Mooring/Tambatan Barat Konstanta
Frekuensi
Amplitudo
Mooring/Tambatan Timur
Amplitudo
SNR
Konstanta
Error
Harmonik
Frekuensi
Amplitudo
Amplitudo
SNR
Error
Harmonik
SA
0.000114
0.029
0.016
3.4 SSA
0.000228
0.0817
0.036
5.2
NO1
0.040269
0.0105
0.006
3.2 J1
0.043293
0.0144
0.008
3.5
MSF
0.002822
0.0268
0.016
2.9 TAU1
0.038959
0.0128
0.008
2.7
SSA
0.000228
0.0267
0.016
2.8 SN4
0.162333
0.0074
0.005
2.3
MK3
0.122292
0.0053
0.004
1.8 M6
0.241534
0.0036
0.003
1.8
2MK6
0.244584
0.0027
0.002
1.6 SO1
0.044603
0.0101
0.008
1.7
M4
0.161023
0.0048
0.004
1.5 2MS6
0.244356
0.0033
0.003
1.5
M8
0.322046
0.0014
0.001
1.5 M10
0.402557
0.0017
0.001
1.5
SO3
0.122064
0.0044
0.004
1.2 2MN6
0.240022
0.0031
0.003
1.3
TAU1
0.038959
0.0061
0.006
1.1 SF
0.002822
0.0348
0.036
0.94
MSK6
0.247406
0.0022
0.002
0.00131
0.0345
0.036
0.92
1 MSM
Pada tabel 1 menunjukkan komponen harmonik hasil pengolahan arus pada Selat Lombok. Komponen yang paling signifikan pada mooring timur SSA yaitu Solar Semi Annual, yang merupakan komponen paruhtahunan matahari yang disebabkan deklinasinya - dari equinox musim semi ke equinox musim gugur (vernal to automnal equinox), sedangkan pada moring barat komponen yang paling signifikan adalah SA yaitu SolarAnnual, yang merupakan komponen jarak-tahunan (paralax) matahari dari perigee ke perigee. Pola pergerakan matahari juga mempengaruhi perbedaan elevasi pada Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dalam hal ini menyebabkan terjadinya pergerakan masa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Arlindo). Terjadinya Arlindo disebabkan oleh bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Samudera Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur. Hasilnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arus lintas Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di Muson Barat Laut (Webster et al., 1998).
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, arus di Selat Lombok merupakan bagian dari Arlindo yang mengalir dari Pasifik menuju Samudra Hindia, serta pola pergerakan arus di Selat Lombok dipengaruhi oleh pola pergerakan semu matahari yang menjadikan terjadinya perbedaan elevasi air laut di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang menjadikan mengalirnya arus dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia melalui perairan Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan SSA dan SA sebagai komponen signifikan pada kedua perairan tersebut, sehingga dapat disimpulkan arus pada Selat Lombok turut dipengaruhi oleh keadaan musim.
31
Depik, 4(1): 24-32 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361
Ucapan Terimakasih Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penghargaan sebesar-besarnya diberikan kepada Fuad Amzinuddin mahasiswa magang di Lab Data P3SDLP dari Prodi Oseanografi Institut Teknologi Bandung yang menyediakan tutorial T-tide MatLab. Tak lupa diucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membentu penulis selama proses penelitian dan penulisan jurnal. Penyusunan dan penerbitan naskah arikel ini dibiayai oleh DIPA APBN Tahun Anggaran 2014 pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Perubahan Iklim.
Daftar Pustaka Ben Elghali, S.E., M.E.H. Benbouzid, J.F. Charpentier. 2007. Marine tidal current electric power generation technology: state of the art and current status. IEEE Journal, Perancis. Gordon, A.L., R.D. Susanto, A. Ffield, B.A. Huber, W. Pranowo, S. Wirasantosa. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophysical Research Letters, 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372. Hasanudin, M. 1998. Arus lintas Indonesia (ARLINDO). Oseana, 23(2):1-9. Pawlowicz, R., B. Beardsley, S. Lentz. 2002. Classical tidal harmonic analysis including error estimates in MATLAB using T TIDE. Pergamon. Computers and Geosciences, 28:929–937. Pranowo, W., A.R.T.D. Kuswardhani, T.L. Kepel, U.R. Kadarwati, S. Makarim, S. Husrin. 2005. Ekspedisi INSTANT 2003-2005 “menguak arus lintas Indonesia”. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya NonHayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Susanto, R.D., A. Ffield, A.L. Gordon, T.R. Adi. 2012. Variability of Indonesian throughflow within Makassar Strait, 2004–2009. Journal of Geophysical Research, 117, C09013, doi:10.1029/2012JC008096. Wyrtki, K. 1961. The physical oceanography of south east Asian waters. Naga Report Vol. 2. University California Press. La Jolla, California. 195p. Webster, P., V. Magana, T. Palmer et al. 1998. Monsoon: processes, predictability, and the prospects for prediction. Journal of Geophysical Research, 103: 14451-14510. [4.7].
32
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang diberi pakan berbahan baku lokal
The growth and feed consumption of walking catfish fed diets with local ingredients. Zaenal Abidin1*, Muhammad Junaidi1, Paryono1, Nunik Cokrowati1, Salnida Yuniarti1 1Program
Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram, JL Pendidikan No. 37 Mataram Nusa Tenggara Barat. *Email :
[email protected]
Abstract. Fish meal, corn, and rice bran are feed ingredient which easily obtained. Different of quality and amount of each
ingredients in fish feed result a various respons on fish. The aim of this study were to determine respon of growth and feed consumption of walking cat fish (Clarias sp.) which fed feed made of fish meal, rice bran, and corn. The experimental diets containing fish meal, corn meal, and rice bran meal, respectively A. 70;10:19,5.; B. 60;25;14,5 C=60,19,75:19,75; D=60:9,5:30, and the other diets, E and F, were commersial diets. Daily growth rate, feed consumption, feed eficiency, and feed conversion ratio showed significant differences (p>0,05) among the treatments. In general, feed consumption rate, daily growth rate, feed efficiency, and feed conversion rate were best obtained on commercial feed, while feed made from local ingredients showed lower performance than commercial feed. The low quality of feed local ingredients were caused by used low quality of local ingredients which caused the level minimum of fibre and ash were high in 17,9% and 23,5%, respectively. The utilization of Local fish meal 6070%, corn meal 9,5-19,75%, and rice bran meal 14,5-30% in fish diet did not result better growth performance than commercial diet, however the best formulation for local ingredients of fish meal, corn meal, rice bran meal were 60%; 19,75%; 19,75% and 60%; 9,5%;30 % respectively Keywords : Corn meal; diets; feed consumption; fish meal; growth; rice bran; walking catfish (Clarias sp.) Abstrak. Tepung ikan, jagung dan dedak padi adalah merupakan bahan baku yang mudah diperoleh dan dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan, meskipun demikian perbedaan kualitas setiap jenis bahan baku dan jumlah pengggunaan setiap bahan baku dalam pakan dapat menghasilkan respon yang berbeda terhadap ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang diberikan pakan berbahan tepung ikan, tepung dedak padi, dan tepung jagung. Pakan uji yang dicobakan adalah pakan dengan komposisi tepung ikan: tepung jagung, dan: tepung dedak yang berbeda yaitu masing-masing A=70:10:19,5; B=60:25:14,5; C=60:19,75:19,75; D=60:9,5:30, serta dua pakan komersial yaitu E dan F Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan dengan komposisi bahan baku yang berbeda berpengaruh (p<0,05) terhadap laju pertumbuhan harian, tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan dan rasio konversi pakan. Tingkat konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan dan rasio konversi pakan yang terbaik diperoleh pada pakan komersial sedangkan pakan yang berbahan baku lokal menunjukkan tampilan yang lebih rendah dibandingkan pakan komersial. Rendahnya kualitas pakan berbahan baku lokal diduga disebabkan oleh bahan baku lokal yang digunakan memiliki kualitas yang rendah sehingga menghasilkan pakan dengan kandungan serat kasar dan abu yang tinggi masing-masing minimal 17,9% dan 23,5%. Penggunaan bahan baku local yaitu tepung ikan 60-70%, tepung jagung 9,5-19,75% dan dedak 14,5 – 30% belum dapat menghasilkan tampilan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pakan komersial, meskipun demikian formulasi terbaik pakan berbahan baku lokal diperolah pada komposisi tepung ikan; jagung; dedak adalah 60%; 19,75%; 19,75% dan 60%; 9,5%;30 %. Kata kunci : Ikan lele (Clarias sp.); konsumsi pakan; pakan; pertumbuhan; tepung dedak; tepung ikan; tepung jagung
Pendahuluan
Biaya penyediaan pakan buatan dalam budidaya ikan lele (Clarias sp.) dengan sistem intensif dapat mencapai 50–60 % dari total biaya produksi. Harga pakan yang semakin meningkat akibat penggunaan bahan baku impor yang berupa tepung ikan dan tepung kedelai semakin menyulitkan petani untuk menekan biaya produksi. Salah satu cara untuk menekan biaya pakan yaitu dengan cara membuat pakan secara mandiri dengan 33
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
menggunakan bahan baku lokal yaitu bahan yang dapat diperoleh disekitar lokasi budidaya, sehingga pakan ikan tidak perlu lagi didatangkan dari daerah lain yang dapat menambah biaya penyediaan pakan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dedak padi dan jagung, serta tepung ikan yang merupakan hasil sampingan pengolahan minyak ikan dapat diolah menjadi bahan baku pakan ikan (Attipoe et al., 2009; Plutomeo dan Barro, 1991; Menghe et al., 2013). Tepung ikan merupakan sumber protein utama yang belum tergantikan dalam pakan ikan. Tepung ikan tersedia dalam berbagai jenis berdasarkan bahan bakunya, meskipun demikian perbedaan bahan baku tepung ikan dapat menghasilkan tampilan pertumbuhan yang sama (Kop dan Korkut, 2010). Dedak padi, jagung, dan tepung ikan pada beberapa daerah termasuk di Pulau Lombok dapat diperoleh dengan mudah. Penggunaan maksimal dedak dalam pakan untuk ikan karnivora adalah 15%, omnivora/herbivora 35%, sedangkan untuk tepung biji jagung pada pakan ikan karnivora maksimal 20%, omnivora/herbivora maksimal 35% (Nur dan Zainal, 2004). Ikan lele merupakan ikan karnivora yang cenderung omnivora. Tingkat kecernaan ikan lele-lelean pada beberapa bahan baku dapat lebih baik dibandingkan dengan ikan lain (Hertramf dan Felicitas, 2000). Penelitian mengenai penggunaan suatu bahan baku umumnya dilakukan melalui formulasi pakan dengan menggunakan bahan murni dan dilakukan secara terpisah untuk setiap bahan baku, sehingga hasilnya tidak dapat langsung diaplikasikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele yang diberikan pakan berbahan baku tepung ikan, tepung dedak padi, dan tepung jagung.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Perikanan dan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 perlakuan dan tiga ulangan. Bahan Ikan uji yang digunakan adalah ikan lele (Clarias sp.) ukuran 10+1,0 g. Setiap unit percobaan diisi dengan 5 ekor ikan. Bahan baku pakan terdiri dari tepung jagung, dedak padi, dan tepung ikan yang merupakan hasil sampingan pengolahan minyak ikan di Pelabuhan Perikanan Telong Elong Kabupaten Lombok Timur. Pakan uji Pakan uji berbentuk pelet dan terdiri dari 4 jenis pakan dengan komposisi bahan baku yang berbeda, dan 2 pakan komersial. Komposisi pakan uji dan perkiraan kandungan nutrisinya dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Tepung ikan, tepung jagung, dan tepung dedak dianalisa proksimat untuk dijadikan acuan dalam menyusun formulasi yang akan dicobakan. Analisa proksimat protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldhal, lemak dengan metode ekstraksi menggunakan alat Soxhlet; abu dengan menggunakan pemanasan dalam tanur pada suhu 400 sampai 600 oC, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta pemanasan, dan kadar air dengan menggunakan metode pemasanan dalam oven pada suhu 105 sampai 110 oC.
Bahan Baku Pakan ikan2
Tepung Tepung jagung2 Tepung dedak2 Minyak ikan2 1pakan
Tabel 1. Komposisi pakan uji (g/100 g pakan) Pakan Uji A B C D 70 60 60 60 10 25 19,75 9,5 19,5 14,5 19,75 30 0,5 0,5 0,5 0,5
E1 -
F1 -
komersial, komposisinya tidak diketahui; 2harga tepung ikan Rp 4500/kg; tepung jagung Rp 3500kg-1; dedak Rp minyak ikan Rp 60.000kg-1.
750kg-1;
Komposisi Proksimat Protein Lemak BETN2 Serat Kasar
Tabel 2. Komposisi proksimat pakan uji (% berat kering) Pakan Uji A B C D E1 26,5 24,2 24,2 24,2 min 16,5 9,2 8,5 8,5 8,6 min 8,4 16,6 25,9 23,9 19,9 20,2 17,9 19,3 22,2 max 7,3 34
F1 30,6-23,9 min 5,68 max 6,81
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Abu Energi3 1 2 3
27,5 327,0
23,5 359,6
24,1 348,4
25,1 327,0
max 13,4 -
max 14,7 -
Pakan Komersial Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen Total energi kasar dihitung berdasarkan nilai ekuivalen untuk protein 5,6 kkal g -1, lemak 9,4 kkal g-1, dan BETN 4,1 kkal g-1.
Komposisi setiap bahan baku disusun dengan mempertimbangkan kandungan protein pakan yaitu minimal 22% dan perkiraan harga pakan maksimal Rp 4.500 kg-1. Pemeliharaan ikan dan pengumpulan data Ikan lele dipuasakan sebelum beratnya diseleksi. Berat awal ikan yang diseleksi adalah 10+1,0 g. Ikan dipelihara selama 45 hari dalam akuarium yang berukuran 45 x 40 x 35 cm dan diberi pakan uji secara satiation Pada akhir penelitian dilakukan pengukuran bobot biomassa yang kemudian dirata-ratakan untuk setiap ekor ikan. Pengukuran bobot dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan harian ikan. Jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan dihitung untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan dan rasio konversi pakan. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 7 hari. Parameter yang diukur adalah oksigen terlarut (DO Meter : LT Lutron DO-5510), pH (pH meter : EZDO 7011), dan suhu (termometer). Analisa data Parameter yang diuji secara statistik adalah laju pertumbuhan harian, 𝑊𝑡 = 𝑊𝑜 1 + 0,01 ∝ 2 ; jumlah konsumsi pakan; efisiensi pakan = (( 𝑊𝑡 + 𝑊𝑑 − 𝑊𝑜 /𝐹𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 ) × 100) dan; rasio konversi pakan = (𝐹𝑏𝑎𝑠𝑎 ℎ / 𝑊𝑡 + 𝑊𝑑 − 𝑊𝑜 ). Wt= berat akhir; Wo = berat awal; Wd = berat ikan yang mati; ∝ = laju pertumbuhan harian; Fbasah = berat basah pakan yang dikonsumsi; Fkering = berat kering pakan yang dikonsumsi. Pengaruh pakan uji terhadap setiap parameter ditentukan melalui analysis ragam (uji F). Jika terdapat perbedaan antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Tuckeys.
Hasil dan Pembahasan Hasil
Pemberian pakan dengan kandungan bahan baku lokal berupa tepung ikan, dedak padi, dan tepung jagung dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan lele (Gambar 1).
Gambar 1. Pertambahan berat rata-rata ikan lele selama 45 hari Pakan yang dibuat dengan komposisi bahan baku yang berbeda dapat mempengaruhi (p<0,05) laju pertumbuhan harian, tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan rasio konversi pakan yang dapat dilihat pada Tabel 3. LPH terendah terjadi pada pakan A kemudian diikuti oleh pakan B. LPH ikan yang diberi pakan C adalah yang tertinggi tetapi tidak berbeda (p>0,05) dengan pakan D. Akan tetapi jika dibandingkan dengan pakan komersial makan LPH yang diberikan oleh pakan uji berbahan baku lokal masih signifikan lebih rendah. 35
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Tabel 3.
Laju pertumbuhan harian (LPH ,%hari-1), konsumsi pakan (KP, g), efisiensi pakan (EP, %), dan rasio konversi pakan (food conversion ratio/FCR)
Parameter LPH KP EP FCR
A 0,5+0,1a 85,4+14,3a 18,5+1,7a 6,1+0,5d
B 0,9+0,2b 106,5+23,4a 26,7+1,31b 4,2+0,2c
Jenis Pakan C D 1,4+0,2c 1,2+0,1c 176,7+32,0bc 138,4+29,4ab 30,6+0,1b 31,7+1,8b 3,8+0,1c 3,6+0,2c
E 2,2+0,1d 222,9+49,3cd 41,9+4,7c 2,7+0,3b
F 3,6+0,2e 269,3+15,6d 83,8+6,0d 1,3+0,1a
Keterangan : Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan (p<0,05).
Tingkat konsumsi pakan tertinggi terjadi pada pakan F kemudian disusul oleh pakan E dan C (p>0,05) dan terendah pada pakan A, B, dan D (p>0,05). Tingkat konsumsi pakan yang terbuat dari bahan baku lokal masih lebih rendah dari pakan komersial yang dicobakan. Efisiensi pakan tertinggi dihasilkan oleh pakan komersial yaitu pakan F dan diikuti oleh pakan E (p<0,05) sedangkan efisiensi pakan berbahan baku lokal masih lebih rendah pada pakan B, C dan D yang masing-masing tidak berbeda nyata (p>0,05) dan kemudian diikuti oleh pakan A (p<0,05). Hasil pengukuran kualitas air pada media pemeliharaan adalah pH 6,8-7,5; oksigen 4,5-5,1 ppm, dan suhu o 25-29 C. Parameter kualitas air yang diukur memiliki nilai yang sama pada setiap unit percobaan karena wadah didesain menggunakan sistem resirkulasi. Pembahasan Peningkatan pertumbuhan pada semua jenis pakan yang dicobakan menunjukkan bahwa pakan dapat dikonsumsi dan nutrisi yang terkandung didalamnya dapat dipergunakan untuk membangun jaringan tubuh yang baru. Terjadinya pertumbuhan adalah merupakan indikator bahwa energi yang dikonsumsi sudah melebihi energi yang dibutuhkan untuk maintenance dan volunetary (NRC, 1983). Parameter yang diamati untuk mengevaluasi mutu pakan pada percobaan ini menunjukkan bahwa pakan komersial memiliki mutu yang lebih baik dari pakan yang berbahan baku lokal. Rendahnya tingkat pertumbuhan yang dihasilkan oleh pakan yang berbahan baku lokal dapat diakibatkan oleh mutu pakan yang kurang baik, termasuk mutu protein pakan. Kualitas protein dapat diukur melalui peningkatan berat tubuh yang dihasilkan oleh pakan (Watanabe, 1988; Nur dan Arifin, 2004). Ikan yang diberikan protein dengan kualitas yang berbeda meskipun pada level yang sama dapat menghasilkan pertumbuhan yang berbeda (Stankovic et al., 2011). Protein sangat diperlukan sebagai bahan penyusun jaringan yang pada akhirnya akan meningkatkan berat untuk terjadinya pertumbuhan. Tingkat konsumsi pakan pada kedua pakan komesial E dan F lebih tinggi dari pakan uji lainnya, meskipun tingkat konsumsi pakan E sama dengan tingkat konsumsi pakan C. Formulasi pakan seharusnya tidak hanya mengutamakan nilai nutrisi pakan namun juga harus mempertimbangkan jumlah pakan yang dimakan dan kecernaan nutrisi. Proses untuk memperoleh nutrisi tersebut harus didahului oleh pengambilan makanan masuk ke dalam saluran pencernaan. Tingkat konsumsi pakan yang lebih tinggi akan cenderung menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jika tingkat konsumsi pakannya lebih sedikit (Peterson dan Small, 2006; Guroy et al., 2006; Ndome et al., 2011). Rendahnya tingkat konsumsi pakan pada pakan yang berbahan baku lokal menyebabkan semakin rendahnya kemungkinan ikan untuk memenuhi kebutuhan nutriennya, sehingga mengakibatkan rendahnya pertumbuhan. Perbedaan tingkat konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh kandungan dan karakteristik fisik pakan seperti ukuran, bentuk, warna, tekstur, rasa dan bau. Houlihan et al. (2001) menyebutkan bahwa sifat fisik pakan dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan pakan, seperti penggunaan suhu dan tekanan, meskipun demikian faktor yang paling mempengaruhi adalah kondisi bahan baku yang digunakan. Rendahnya tingkat konsumsi pakan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa palatabilitas pakan yang berbahan baku lokal kurang disukai oleh ikan lele. Cita rasa pakan sangat tergantung pada bahan baku dan cara pengolahan. NRC (1993) menyebutkan bahwa tepung ikan yang baik dapat memberikan cita rasa yang lebih baik untuk ikan. Pakan A yang memiliki komposisi tepung ikan tertinggi justru tidak menghasilkan konsumsi pakan yang tinggi. Tepung ikan yang digunakan dalam penelitian ini diolah dari ikan rucah yang tidak ditangani dengan baik 36
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
sehingga tingkat kesegaran ikan yang digunakan sangat rendah. Menurut Aksnes dan Mundheim (1997) bahwa penggunaan bahan baku ikan yang tidak segar dapat menyebabkan penurunan tingkat konsumsi pakan. LPH tertinggi terjadi pada pakan F karena memiliki kandungan protein 23,9-30,6 %, lebih tinggi dari pakan yang berbahan baku lokal (A,B,C dan D) yang hanya mengandung protein 24,2-26,5 %. Jantrarotai et al. (1998) mengatakan bahwa tampilan pertumbuhan pada ikan lele lebih bayak dipengaruhi oleh kandungan protein pakannya dari pada kandungan energinya. Kandungan protein yang sesuai untuk kebutuhan ikan lele ukuran 10-15 g adalah berkisar antara 35 sampai 40 % (Ali dan Jauncey, 2004; Mollah dan Hossain, 1990). Kandungan protein E adalah min 16,5% lebih rendah dari pakan uji lainnya, namun tetap memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pakan yang berbahan baku lokal yang mengandung protein yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa protein pakan E lebih berkualitas dibandingkan dengan protein yang terkandung dalam pakan yang berbahan baku lokal. Chowdhary et al. (2012) menunjukkan bahwa meskipun pakan yang digunakan memiliki kandungan protein yang sama, namun dapat memberikan respon pertumbuhan dan nilai konversi pakan yang berbeda jika sumber protein yang digunakan berbeda. LPH terendah terjadi pada ikan yang diberi pakan A yang memiliki protein 26,5% lebih tinggi dibandingkan D dan E yang memiliki protein 24,2%. Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga bahwa perbedaan pertumbuhan antara pakan uji komersil dengan pakan yang berbahan baku lokal tidak disebabkan oleh perbedaan level protein tapi lebih disebabkan oleh karena mutu protein yang kurang baik pada pakan yang berbahan baku lokal. NRC (1983) dan Watanabe (1988) menyebutkan bahwa mutu protein ditentukan oleh kualitas dan kuantitas asam amino serta bioavailabilitasnya. Pakan yang dibuat dari ikan yang tidak segar akan menurun tingkat kecernaannya (Aksnes and Mundheim, 1997). Konversi pakan yang diperoleh dalam penelitian ini berhubungan langsung dengan nilai efisiensinya. Semakin rendah nilai konversi pakan maka nilai efisiensi juga akan semakin tinggi (pakan F dan E), sebaliknya semakin tinggi nilai konversi pakan maka nilai efisiensi pakan akan semakin rendah. Nilai konversi pakan menunjukkan jumlah pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiap satuan berat ikan, sedangkan efisiensi menunjukkan jumlah pakan dalam berat kering yang berhasil disimpan menjadi bagian dari tubuh ikan. Pakan A memberikan petumbuhan dan efisiensi pakan yang terendah meskipun menggunakan tepung ikan sebesar 70% sedangkan pakan yang berbahan baku lokal lainnya hanya 60%. Hal ini semakin menunjukkan bahwa bahan baku tepung ikan yang digunakan kurang baik. Kualitas pakan sangat ditentukan oleh bahan baku yang digunakan. Hasil analisa proksimat pada tepung ikan menunjukkan bahwa kadar abu tepung ikan 33% sedangkan protein 30%. Kadar abu yang lebih tinggi daripada kandungan protein menunjukkan bahwa bahan baku tepung ikan berasal dari limbah ikan mentah yang memiliki bagian tulang yang lebih banyak dari pada bagian dagingnya. Hertramf dan Felicitas (2000) menyebutkan bahwa semakin tinggi bagian tulang pada bahan baku akan menghasilkan tepung tulang yang memiliki kandungan abu yang tinggi, sehingga menurunkan proporsi kandungan protein tepung ikan yang dihasilkan. Pengolahan bahan baku tepung ikan yang digunakan dapat mengakibatkan menurunnya mutu tepung ikan yang dihasilkan. NRC (1993) menyebutkan bahwa kandungan abu yang tinggi pada tepung ikan harus dipertimbangkan penggunaannya karena akan menghasilkan pakan dengan komposisi mineral yang tidak seimbang. Standar kualitas tepung ikan untuk ikan salmon memiliki kandungan abu di bawah 13%. Hasil perkiraan proksimat pakan yang berbahan baku lokal menunjukkan bahwa kandungan serat kasar pakan berkisar antara 17,9-22,2 %. Kandungan serat kasar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua pakan komersial yang kandungan serat kasarnya adalah maksimal 7,31 %. Menurut Webster dan Lim (2002), keberadaan serat kasar dalam pakan ikan dapat menyebabkan absorbsi pakan menjadi terganggu. Learly dan Lovell (1975) menyebutkan bahwa pada ikan channel catfish pertumbuhannya akan nyata terhambat jika diberi pakan yang mengandung serat kasar sebanyak 14 dan 20%, sedangkan NRC (1983) melaporkan bahwa pakan sebaiknya mengandung serat sebanyak 3-5% yang umumnya diperoleh dari bahan baku tumbuhan. Tingginya serat kasar akan menghambat pengambilan pakan, meningkatkan tingkat buangan feses yang akhirnya akan menyebabkan rusaknya kualitas air. Pakan uji yang dicobakan mengandung serat kasar yang tinggi sehingga memberikan nilai efisiensi pakan yang rendah yaitu 18,54-31,66% dibandingkan dengan pakan komersil yang memiliki nilai efisiensi pakan yaitu 41,99-83,77%. Tingginya serat kasar dalam pakan disebabkan karena penggunaan tepung dedak dan tepung ikan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Komposisi serat kasar pada berbagai jenis tepung ikan tidak lebih dari 5% (NRC, 1983; Hertramf dan Felicitas, 2000), sedangkan komposisi serat kasar dalam tepung ikan yang digunakan adalah 16%. Berdasarkan pengamatan di lokasi produksi bahan baku tepung ikan, ditemukan bahwa limbah ikan tidak ditangani dengan baik. Limbah ikan dibiarkan tergeletak di atas pasir dan kemudian ampas hasil ekstrak 37
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
minyak ikan dijemur di tempat yang kurang bersih sehingga butiran-butiran pasir banyak ditemukan pada bahan baku tepung ikan.
Kesimpulan
Penggunaan bahan baku lokal yaitu tepung ikan 60-70%, tepung jagung 9,5-19,75% dan dedak 14,5-30%, belum dapat menghasilkan pakan yang memiliki kualitas sama dengan pakan komersial. Kombinasi bahan baku lokal yang menghasilkan respon terbaik diperoleh pada komposisi tepung ikan; jagung; dedak adalah 60%; 19,75%; 19,75% dan 60%; 9,5%;30 %. Rendahnya kualitas pakan berbahan baku lokal disebabkan oleh karena mutu tepung ikan sebagai satusatunya sumber protein yang digunakan dalam pakan lokal masih sangat rendah.
Daftar Pustaka
Ali, M.Z., K. Jauncey. 2004. Effect of feeding regime and dietary protein on growth and body composition in Clarias gariepinus (Burchell, 1822). Indian Journal of Fisheries, 51(4):407-416. Aksnes, A., H. Mundheim. 1997. The infact of raw material freshness and processing temprature for fish meal on growth, feed efficiency and chemical composition of Atlantic Halibut (Hippoglossus hippoglossus). Aquaculture, 149:87-106. Attipoe, F., F. Nelson, E. Abban. 2009. Evaluation of three diets formulated from local agroindustrial by products for production of Oreochromis niloticus in Earthen Ponds. Ghana Journal of Agricultural Science, Vol. 42. No. 1-2. Chowdhary, S., P.P. Srivastava, S. Mishara, A.K. Yadav, R. Dayal, S. Raizada, J.K. Jena. 2012. Partial replacement of dietary animal protein with vegetable protein blend with different proportions of glucosamine on growth, feed efficiency, body composition and survival of fingerlings of Asia catfish (Clarias batrachus). Vol 35:4. 291-297. Guroy, D., E. Deviciler, B.K. Guroy, A.A Tekinay. 2006. Influence of feeding frequency on feed intake, growth performance and nutrient utilization in European Sea Bass (Dicentrarchus labrax Fed Pelleted or Extruded Diets. Turkish Journal of Veterinary and Animal Sciences, 30:171-177. Ndome, C.B., A.O.Ekwu, A.A. Ateb. 2011. Effect of feeding frequency on feed consumption, growth and feed conversion of clarias gariepinus x heterobanchus longifilis hybrid. American-Eurasian Journal of Scientific Research, 6(1):06-12. Hertrampf, J.W., P.P. Felicitas. 2000. Handbook on ingredients for aquaculture feeds. Kluwer Academic Publisher. Netherlands. Houlihan, D., T. Boujard, M. Jobling. 2001. Food intake in fish. Oxford. Blackwell Publishing. Jantrarotai, W., P. Sitasit, P. Jantrarotai, T.V. Puthanumas, P. Srabua. 1988. Protein and energy levels for maximum growth, diet utilization, yield of edible flesh and protein sparing of hybrid clarias catfish (Clarias macrocephalus x Clarias garriepenus). Journal of The World Aquaculture Society, 3(29): 281-289. Kop, A., A.Y. Korkut. 2010. Effects of diets with fish meal origins on the performance of rainbow trout onchorhynchus mykiss (Walbaum). Journal of Animal and Veterinary Advances, 9(3): 581-583. Leary, D.F., R.T. Lovell. 1975. Value of fiber in production type diets for channel catfish. Transactions of the American Fisheries Society American Fisheries Society, 104:328-332. Mollah, M.F.A., M.A. Hossain. 1990. Effects of artificial diets containing different protein levels on growth and feed efficieny of catfish (Clarias batrachus L.). Indian Journal of Fisheries, 37(3):251 -259. Menghe, H. Li., E.H. Robinson, D.F. Oberle, P.M. Lucas, B.G. Bosworth, 2013. Use of corn germ meal in diets for pond raised channel catfish, Ictalurus punctatus. Journal of The World Aquaculture Society, 44(2): 282-287. Peterson, B.C., B.C. Small. 2006. Effect of feeding frequency on feed consumtion, growth, and feed efficiency in aquarium-reared norris and NWC103 channel catfish (Ictalurus punctatus). Journal of The World Aquaculture Society, 36(4): 490-495. Plutomeo, N., R.V. Barro. 1991. Evaluation of local ingredients (fish, shrimp, snail, copra, leaf meals, and rice bran) for feeding nile tilapia (Oreochromis niloticus) fingerlings. Research and Development Journal, 7:2-10. NRC [National Research Council]. 1993. Nutrient requirements of fish. National Academy Press. Washington. NRC [National Research Council]. 1983. Nutrient requirements of warmwater fishes and shellfishes. Revised Edition. National Academy Press. Washington. 38
Depik, 4(1): 33-39 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2360
Nur, A., A. Zaenal. 2004. Nutrisi dan formulasi pakan ikan. [Terjemahan] Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Stankovic, M.B., Z.P. Dulic, Z.Z. Markovic. 2011. Protein source and their significance in carp (Cyprinus carpio L.) nutrition. Journal of Agricultural Sciences, 56(1):75-86. Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture. Departement of Aquatic Biasciences Tokyo University of Fishes. Tokyo. Webster, C.D., C. Lim. 2002. Nutrient requirement and feeding of finfish for aquaculture. CABI Publishing. New York.
39
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Studi penentuan lokasi budidaya kerapu menggunakan keramba jaring apung di perairan Timur Simeulue
Site selectionstudy for grouper cage-mariculture in Eastern coastal of Simeulue Syahrul Purnawan1*, Muhammad Zaki2, T.M. Asnawi2, Ichsan Setiawan1 1Program
Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh. Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh. *Email Korespondensi:
[email protected]
2Program
Abstract. Groupers are of considerable economic value in southeast Asia. Cage culture is considered as the proper technology to maximize the sustainable biomass production in a unit area. This research assesses a site selection approach for net-cage grouper mariculture in the eastern coastal area of Simeulue Island, namely Sambai, Kuta Batu and Pulau Bengkalak. Data collection focused on 7 biophysical site capability parameters i.e.: current flow, temperature, water clarity, bottom depth, pH, salinity, dissolved oxygen. Suitability analysis identified all stations was categorized as a very appropriate and appropriate conditions for the fish cage location. Keywords: grouper; mariculture; fish cage; Simeulue Abstrak. Kerapu merupakan komoditas unggulan dan memiliki permintaan pasar yang tinggi di daerah Asia Tenggara. Keramba jaring apung (KJA) dianggap sebagai teknologi yang tepat untuk meningkatkan biomassa budidaya di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesesuaian lokasi penempatan KJA di wilayah pesisir timur Pulau Simeulue yaitu Sambai, Kuta Batu dan Pulau Bengkalak. Kajian data difokuskan pada tujuh parameter biofisik yaitu arus, suhu, kecerahan, kedalaman perairan, pH, salinitas, dan oksigen terlarut. Analisis kelayakan menunjukkan seluruh stasiun dikategorikan sebagai layak dan sangat layak untuk lokasi budidaya KJA. Kata kunci: Kerapu; marikultur; KJA; Simeulue
Pendahuluan
Wilayah Simeulue terletak di bagian barat Sumatera dan dikelilingi oleh perairan Samudera Hindia sehingga memberikan ciri massa air oseanik yang terbuka dan memiliki sirkulasi yang baik. Dikelilingi garis pantai yang cukup panjang, memiliki sejumlah pulau, adanya teluk dan selat, menjadikan wilayah perairan Simeulue sangat potensial untuk dikembangkan kegiatan budidaya laut (Idris et al., 2007). Pengembangan budidaya laut dapat menyerap tenaga kerja baru bagi daerah desa pesisir yang umumnya masuk dalam kategori desa tertinggal (FAO, 1995). Pengembangan perikanan budidaya juga diharapkan dapat mengurangi gejala over fishing yang terjadi di perairan Indonesia (Dahuri, 1998; Dahuri et al., 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007) Ikan kerapu memiliki nilai ekonomis tinggi dengan permintaan yang cukup besardi pasar Asia Tenggara (Pierre et al., 2008; Yamamoto, 2006; Tookwinas, 1989). Salah satu kegiatan budidaya laut yang populer untuk dikembangkan adalah penggunaan keramba jaring apung (KJA). Pemilihan lokasi KJA yang tepat merupakan hal yang sangat menentukan, mengingat kegagalan dalam pemilihan lokasi akan berakibat resiko yang permanen dalam kegiatan produksi (Radiarta et al., 2005; Ismail et al., 2001). Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan karakteristik biofisik (persyaratan hidup) bagi jenis ikan yang dibudidayakan (Milne, 1979; Muir dan Kapetsky, 1998; Smith, 1982; Tucker, 1999). Bahan dan Metode Waktu dan lokasi survei Kegiatan survei lapangan pada daerah yang akan dijadikan lokasi penempatan Keramba Jaring Apung (KJA) dilakukan pada tanggal 23 Oktober sampai 1 November 2011. Lokasi survei berada di tiga titik atau stasiun yang dipilih pada daerah timur Pulau Simeulue (Gambar 1). 40
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Gambar 1. Titik Lokasi Pengamatan P. Simeulue (inset: Aceh/ P. Sumatera): Kuta Batu (02°30'23"LU: 96°22'58"BT), Sambai (2°39’20”LU: 96°10’51”BT), P.Bengkalak (02°28’48”LU: 096°25’41”BT). Berdasarkan pengamatan di lapangan pada tiga lokasi yang akan dijadikan daerah pengembangan budidaya laut dengan sistem keramba jaring apung, terlihat kondisi perairan yang tenang dan terlindung. Ketiga lokasi tersebut berada dalam daerah teluk sehingga relatif tenang dari hempasan angin dan gelombang. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Ahmad et al. (1996) dan Cholik et al. (1995), yang menyatakan bahwa lokasi yang sesuai untuk pengembangan budidaya berbasis KJA adalah daerah yang tenang seperti Goba, Muara dan Teluk. Pengumpulan data lapangan Secara umum, pengamatan terhadap parameter kualitas perairan mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51(KLH, 2004). Telah ditentukan tujuh parameter kunci yang dianggap sebagai parameter utama yang sangat berperan terhadap keberhasilan upaya pengembangan budidaya KJA. Penentuan dilakukan berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yaitu: arus (Cholik et al., 1995; Ahmad et al., 1991; Ingmanson dan Wallace, 1985; Lumb, 1989; Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Mayunar et al., 1995; Radiarta et al., 2005; KLH, 2004); suhu (Laevestu dan Hayes, 1981; Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Brown dan Gratzek, 1980; Davis, 1975; Kinne, 1972; Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al., 2001; Peres dan Olivia-teles, 1999), kedalaman (Ahmad et al., 1991; Sunyoto, 1994), kecerahan (Laevastu dan Hayes, 1981; Boyd, 1982; Nybakken, 1998; Radiarta et al., 2005), pH (Gao et al., 2011; Zweig et al., 1999), salinitas(Laevastu dan Hayes, 1981; Radiarta et al., 2004; Ingmanson dan Wallace, 1985; Ahmad et al., 1991), dan oksigen terlarut (Rahayu, 1991; Mayunar et al., 1995; Akbar, 2001; Laevastu dan Hayes, 1981). Seluruh parameter diukur di lapangan (insitu) dengan 2 kali pengulangan pada tiap lokasi, terlihat pada Tabel 1.
41
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Tabel 1. Parameter Fisik-Kimia Oseanografi yang Diukur dan Metode yang Digunakan Keterangan No Parameter Satuan Metode Analisa 1 Arus cm/s Floating Insitu 2 Suhu °C Thermometer Insitu 3 Kecerahan M Secchi disk Insitu 4 pH pH meter Insitu 5 Salinitas ppt (‰) Hand refrakto Insitu 6 DO mg/l DO meter Insitu 7 Kedalaman M Tali skala Insitu Sampel dasar laut (substrat sedimen) turut dikaji dalam studi ini. Penentuan jenis substrat dilakukan dengan metode ayakan bertingkat untuk mendapatkan nilai ukuran butiran sedimen. Ukuran butiran ini dijadikan panduan untuk menentukan jenis sedimen menggunakan segitiga Folk (Folk, 1974). Komponen lain yang turut dalam penilaian adalah pasang-surut perairan. Perhitungan pasang surut (pasut) dilakukan berdasarkan data komponen pasut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (Dishidros, 2010) dan model yang mampu memprediksi tipe pasut di daerah tersebut. Jenis pasut ditentukan berdasarkan perhitungan Formzahl, yakni bilangan yang dihitung dari nilai perbandingan antara amplitudo (tinggi gelombang) komponen harmonik pasang surut tunggal utama dan amplitudo komponen harmonik pasang surut ganda utama. Analisa kesesuaian Studi ini melakukan pengukuran, kajian dan telaah dari sejumlah parameter biofisik yang terkait erat dengan keberlangsungan usaha KJA. Analisa kesesuaian lahan yang akan dijadikan lokasi KJA dilakukan dengan menyusun matriks kesesuaian lahan berdasarkan sistem pembobotan (Tabel 2). Tabel 2. Kriteria Kelayakan Lokasi untuk Budidaya Sistem Keramba Jaring Apung. No
Parameter
Bobot
1 2 3 4 5 6 7
Suhu Salinitas Arus Kedalaman Oksigen pH Kecerahan
3 3 3 2 2 2 1
Sangat sesuai (4) 27-29 31-33 15-30 7-15 5-8 7,5-8 ≥5
Sesuai (3)
Kategori (rating) Sesuai bersyarat (2)
25-<27 atau >29-31 27-<31 atau >33-35 10-<15 atau >30-40 5-<7 atau 15-20 4-<5 atau >8-9 7-<7,5 atau >8-8,5 4-<5
20-<25 atau >31-35 20-<27 atau >35-37 5-<10 atau >40-50 4-<5 atau >20-25 3-<4 atau >9-10 6-<7 atau >8,5-9 3-<4
Tidak sesuai (1) <20 atau >35 <20 atau >37 <5 atau >50 <4 atau >25 <3 atau >10 <6 atau >9 <3
Sumber: modifikasi dari KLH (2004); Radiarta et al. (2004); Sudjiharno dan Winanto (1998); Langkosono dan Wenno (2003); Anonim (2001); Mainassy et al. (2005); Chua dan Teng (1978); Minggawati dan Lukas (2012). Pembobotan pada setiap faktor pembatas/ parameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut, seperti ikan kerapu. Faktor-faktor pembatas tersebut diurutkan dari yang paling berpengaruh, karena setiap parameter memiliki andil yang berbeda dalam menunjang kehidupan komoditas. Parameter yang memiliki peran yang besar akan mendapatkan nilai lebih besar dari parameter yang tidak memiliki dampak yang besar (Hidayat et al., 1995). Bobot terbesar adalah 3 (tiga) dan yang terkecil adalah 1 (satu) sehinggajumlah seluruh bobot adalah 16,00 (100%). Setiap faktor pembatas dalam kolom matriks dibuat skala penilaian (rating) dengan angka 2 (kurang layak), 3 (layak), dan 4 (sangat layak). Perkalian bobot dengan skala penilaian (rating) akan mendapatkan nilai akhir (skor) dari faktor-faktor tersebut. Kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap kolom skala penilaian (rating) mulai dari 1 hingga 4. Kemudian dicari persentase dari nilai skor tersebut dengan satuan per-4, artinya nilai 4 mendapatkan nilai 100% dan nilai 1 mendapatkan nilai 25%. Kesesuaian scoring ditetapkan berdasarkan nilai dari pembobotan scoring, 42
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
dengan perhitungan kriteria sebagai berikut: Sangat Layak>85%-100%; Layak jika skor 70%-85%; Layak bersyarat jika skor 55%-70%; Tidak layak jika <55%.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi hidro-oseanografi Kedalaman perairan pada ketiga lokasi menunjukkan nilai yang lebih besar dari 7 meter, dengan tipe substrat pasir, kecuali pada stasiun Pulau Bengkalak berupa pasir berlumpur (Tabel 3). Kedalaman perairan dipengaruhi oleh fenomena pasang surut. Nilai pasang surut diukur berdasarkan pemodelan, sehingga menghasilkan gambaran pasut selama satu bulan penuh untuk mendapatkan tidal range tertinggi (Gambar 2). Tunggang pasut yang didapat dari pemodelan menunjukkan nilai kurang dari 1 meter. Penyusunan matrik kesesuaian lahan pada stasiun Kuta Batu, Sambai, dan Pulau bengkalak, terhadap parameter yang telah ditentukan sebelumnya dapat ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 3. Kedalaman Dasar Laut dan Jenis Substrat di Lokasi Penelitian Simeulue No
Lokasi
1 2 3
Kuta Batu (Simeulue Timur) Sambai (Teluk Dalam) P. Bengkalak (Teupah Selatan)
Kedalaman (m) 11 7 10
Jenis substrat Pasir Pasir Pasir berlumpur
Tabel 4. Perhitungan Matriks Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kualitas Perairan Pulau Simeulue Nilai (Ni/N No Parameter Rating Bobot Ni Skor terukur maks) x 100 Kuta Batu (Simeulue Timur) 1 Suhu (°C) 28 4 3 12 18,75 2 Salinitas (ppt) 30 3 3 9 14,06 3 Arus (cm/s) 10 3 3 9 14,06 90,62 4 Kedalaman dasar laut (m) 11 4 2 8 12,5 5 Oksigen terlarut (mg/l) 5,8 4 2 8 12,5 6 Ph 7,83 4 2 8 12,5 7 Kecerahan (m) 5 4 1 4 6,25 Sambai (Teluk Dalam) 1 Suhu (°C) 29 4 3 12 18,75 2 Salinitas (ppt) 26 2 3 6 9,38 3 Arus (cm/s) 10 3 3 9 14,06 4 Kedalaman dasar laut (m) 7 4 2 8 12,5 85,94 5 Oksigen terlarut (mg/l) 6 4 2 8 12,5 6 pH 7,82 4 2 8 12,5 7 Kecerahan (m) 6,5 4 1 4 6,25 P. Bengkalak (Teupah Selatan) 1 Suhu (°C) 29 4 3 12 18,75 2 Salinitas (ppt) 25 2 3 6 9,38 3 Arus (cm/s) 12.5 3 3 9 14,06 4 Kedalaman dasar laut (m) 10 4 2 8 12,5 84,38 5 Oksigen terlarut (mg/l) 5,1 4 2 8 12,5 6 pH 7,76 4 2 8 12,5 7 Kecerahan (m) 4,5 3 1 3 4,69 43
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Keterangan: 1. nilai terukur adalah nilai yang didapatkan pada saat survei lapangan 2. N maks adalah total nilai terbesar dari seluruh parameter, yaitu 64 3. Skor adala nilai total (%) yang didapatkan untuk setiap lokasi pengamatan yang menjadi acuan penilaian kelayakan lokasi.
Time/ date (Oct)
Gambar 2. Kondisi pasang surut yang terjadi di perairan Pulau Simeulue pada bulan Oktober 2011. Pembahasan Kondisi dasar laut menjadi hal yang penting untuk diamati sebelum meletakkan KJA pada suatu daerah. Dasar perairan tempat KJA sebaiknya memiliki topografi yang landai (Mayunar et al., 1995).Selanjutnya kedalaman dasar laut juga harus lebih dalam dari 5 meter (Krisanti dan Imran, 2006; Sunyoto, 1994). Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkanketiga stasiun memiliki kontur yang sangat landai dengan kemiringan sekitar 0,32 % hingga 3,13 % atau 0,19 - 1,79 derajat, dengan kedalaman terendah adalah 7 m. Pengamatan pasut diperlukan untuk melihat variasi kedalaman yang diakibatkan oleh pasut. Ahmad et al. (1991) mengatakan bahwa daerah yang akan dijadikan lokasi budidaya laut berbasis KJA harus memiliki tunggang pasut kurang dari 2 meter. Data prediksi pasang surut memperlihatkan tidal range pada daerah perairan Simeulue adalah kurang dari 1 meter (amplitudo pasut<0,5 m), dengan tipe pasut campuran cenderung semi diurnal (mixed tide prevailing semidiurnal). Berdasarkan hal tersebut maka kedalaman perairan pada saat surut masih berada di atas 5 meter. Jenis substrat yang ditemukan di daerah ini umumnya adalah pasir kecuali pada daerah Pulau Bengkalak yang berjenis pasir berlumpur (Tabel 2). Pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat sejumlah sungai yang bermuara di sekitar wilayah Pulau Bengkalak serta adanya vegetasi mangrove, menyebabkan terjadinya sedimentasi lumpur (Nybakken, 1998; Fernandes et al., 2002; Provost, 1996). Sedimen lumpur lebih mudah teraduk ke kolom perairan dan menyebabkan kekeruhan (Mason and Folk, 1958; Folk dan Robbles, 1964; Friedman, 1967; Boggs, 2009). Perairan yang keruh menurunkan penetrasi cahaya kedalam perairan, sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis dan mengurangi tempat dari tumbuhan yang berada di kolom (Nybakken, 1998). Cahaya juga dibutuhkan oleh ikan budidaya, untuk menentukan keberadaan mangsa melalui pantulan cahaya yang ditangkap oleh sensor di mata ikan (Laevastu dan Hayes, 1981). Sejalan dengan hal tersebut, kecerahan terendah (4,5 m) ditemukan pada P. Bengkalak (Teupah Selatan), namun nilai tersebut masih lebih tinggi dari nilai referensi minimal yang disebutkan Radiarta et al. (2005), sebesar 3 meter. Kecepatan arus yang terukur pada tiga stasiun bernilai 10-12,5 m/d Posisi ketiga stasiun dapat dikatakan berada di kawasan teluk, dimana kondisi arus perairan teluk yang lemah cenderung akan membuat proses sedimentasi terjadi di sekitar lokasi tersebut (Purnawan et al., 2012; Cholik et al., 1995). Kecepatan arus yang dapat ditoleransi berada pada kisaran 5 – 50 cm/s (Mayunar et al., 1995; Radiarta et al., 2005; KLH, 2004). Kecepatan arus yang terlalu lemah akan membuat sirkulasi di sekitar jaring keramba akan berkurang, sementara arus yang terlalu kencang akan mempengaruhi ketahanan bangunan keramba dan pakan yang banyak terbuang terbawa oleh arus sebelum sempat dimakan oleh hewan budidaya. Kecepatan arus yang sesuai juga dapat mengurangi polutan yang dihasilkan dan untuk memastikan limbah yang dihasilkan terbawa dari lokasi budidaya (Lumb, 1989). Kondisi arus pada tiga stasiun pengamatan masih dapat dianggap sesuai berdasarkan rujukan di atas. 44
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Nilai salinitas yang diperoleh pada stasiun Sambai dan Pulau Bengkalak relatif rendah yaitu 26‰ dan 25‰. Kedua stasiun berada dalam perairan teluk yang semi tertutup serta adanya masukan (runoff) sungai yang terdapat di sekitar stasiun tersebut diduga menurunkan salinitas air laut di sekitarnya (Stewart, 2006). Kondisi salinitas pada dua lokasi tersebut tentunya perlu dipertimbangkan dalam menjalankan proses budidaya kerapu. Jenis kerapu yang akan dibudidayakan hendaknya memiliki toleransi terhadap kondisi salinitas rendah, serta turut dilakukan proses aklimatisasi terlebih dahulu (Kohno et al., 1988; Ahmad et al., 1991; Radiarta et al., 2004). Suhu yang terukur saat pengamatan adalah 28-29 °C,sementara nilai pH 7,76-7,83, dan nilai DO sebesar 5,15,8 mg/l. Pengamatan terhadap nilai suhu, pH, dan DO perairan menunjukkan kesesuaian dengan syarat yang dibutuhkan untuk pengembangan kegiatan budidaya laut. (KLH, 2004; Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al., 2001). Hasil penilaian (scoring) yang dilakukan di perairan Simeulue menunjukkan bahwa Stasiun Kuta Batu dan Sambai berada dalam kategori sangat layak untuk dikembangkan menjadi lokasi KJA budidaya kerapu, sementara Pulau Bengkalak berada dalam kategori layak. Meskipun demikian, perlu diperhatikan lebih lanjut kondisi salinitas dan potensi sedimentasi pada stasiun Sambai dan Pulau Bengkalak yang dapat menjadi faktor penentu keberhasilan kegiatan budidaya kerapu berbasi KJA. Salah satunya adalah pemilihan jenis kerapu yang akan dibudidayakan pada lokasi tersbut (Chen et al., 1977; Kohno et al., 1988). Akhirnya, keberhasilan kegiatan budidaya KJA juga ditentukan oleh penanganan yang tepat dalam operasional KJA agar resiko kegagalan relatif rendah dan hasil yang didapat bisa berlangsung secara berkesinambungan (Ali, 2003).
Kesimpulan
Bedasarkan hasil kajian pada Kuta Batu (Simeulue Timur), Sambai (Teluk Dalam) dan Pulau Bengkalak (Teupah Selatan) dapat diketahui bahwa nilai parameter utama, yaitu: suhu berkisar 28-29 °C, pH 7,76-7,83, DO 5,1-5,8 mg/l, kecerahan 4,5-6,5 m, kedalaman 7-11 m, salinitas 25-30 ‰, arus 10-12,5 cm/s. Analisis matriks kesesuaian menunjukkan stasiun Kuta Batu dan Sambai berada dalam kategori sangat layak, sementara Pulau Bengkalak berada dalam kategori layak. Ditemukan kondisi salinitas yang cenderung rendah pada stasiun Sambai dan Pulau Bengkalak diakibatkan adanya runoff sungai yang berada di sekitar perairan tersebut. Penentuan jenis kerapu yang memiliki adaptasi terhadap kondisi salinitas rendah diperlukan untuk keberhasilan kegiatan budidaya.
Ucapan Terima Kasih Studi ini merupakan bagian dari kegiatan Sustainable Sea Fisheries for Simeulue and Singkil (SSFS) yang diprakarsai oleh Islamic Relief Aceh District, yang mengkaji kelayakan (feasibility study) untuk penempatan keramba jaring apung di perairan Pulau Simeulue.
Daftar Pustaka
Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S. Diana, S. Redjeki, A.S. Pranowo, S. Murtiningsih. 1991. Operasional pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung. Laporan Teknis Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 59 p. Ahmad, T., A. Mustafa, A. Hanafi. 1996. Konsep pengembangan desa pantai mendukung keberlanjutan produksi perikanan pesisir. Dalam Prosiding Rapat Kerja Teknis Peningkatan Visi Sumberdaya Manusia Peneliti Perikanan Menyongsong Globalisasi IPTEK. Poernomo, A., H.E. Irianto, S. Nurhakim, Murniyati, E. Pratiwi (Eds). Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan, Jakarta. Hal 91-106. Akbar, S. 2001. Pembesaran ikan kerapu bebek dan kerapu macan di keramba jaring apung. Pengembangan Agribisnis Kerapu. Prosiding Lokakarya Nasional. RISTEK - DKP – BPPT. Jakarta. Ali. 2003. Penentuan lokasi dan estimasi daya dukung lingkungan untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung di perairan Padang Cermin, Lampung Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. 2001. Pembudidayaan dan managemen kesehatan ikan kerapu. SEAFDEC Aquaculture Departement. Kelompok Kerja Perikanan APEC, Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Boggs, S. Jr. 2009. Petrology of sedimentary rocks, 2nd ed. Cambridge University Press. Cambridge. 600 p. 45
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. Brown, E.E., J.B. Gratzek. 1980. Fish farming handbook. AVI Publishing Company, Connecticut. Westport. Cholik, F.A., Sudradjat, P.T. Imanto. 1995. Peluang agribisnis budidaya laut di Kawasan Timur Indonesia, dalam Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut. A. Sudradjat, W. Ismail, B. Priono, Murniyati, dan E. Pratiwi (Eds). Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan. Jakarta. Hal 136-156. Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chao, R. Lim. 1977. Artificial spawning and larval rearing of the grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) in Singapore. Singapore Journal of Primary Industries, 5(1):1-21. Chua, T.E., S.K. Teng. 1978. Effects of feeding frequency on the growth of Young Estuary Grouper, E. tauvina Forskal, Cultured in Floating Net Cages. Aquaculture, 14:31-47. Dahuri, R. 1998. Kebutuhan riset untuk mendukung implementasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan (Indonesian Journal of Coastal And Marine Resources), 1(2):61-77. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Davis, J.C. 1975. Minimal disolved oxygen requirement of aquatic life with emphisis on Canadian Species. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, 32(12):2296-2332. Dishidros. 2010. Daftar pasang surut Kepulauan Indonesia. Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL. Jakarta. Effendi, I. 2004. Pengantar akuakultur. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 187 p. FAO. 1995. Code of conduct for responsible fisheries. FAO. Rome. 41 p. Fernandes, T.F., A. Eleftheriou, H. Ackefors, M. Eleftheriou, A. Ervik, A. Sanchez-Mata, T. Scanlon, P. White, S. Cochrane, T.H. Pearson, P.A. Read. 2002. MARAQUA: The management of the environmental impacts of marine aquaculture. Final Report: European Union FAIR Programme, PL98-4300. Fisheries Research Services, Aberdeen, Scotland. 70 p. + appendices. Folk, R.L. 1974. Petrology of sedimentary rocks. Hemphills. Austin. Texas. 170 p. Folk, R., R. Robles. 1964. Carbonate sands of Isla Perez, Alacran Reef Complex, Yucatan. Journal of Geology, 72:255-292. Friedman, G.M. 1967. Dynamic processes andstatistical parameters compared for size frequency distributions of beach and riversands. Journal of Sedimentary Petrology, 37:327-354. Gao, Y., S.G. Kim, J.Y. Lee. 2011. Effects of pH on fertilization and the hatching rates of far eastern catfish Silurus asotus. Fisheries and aquatic sciences, 14(4):417-420. Hardjojo, B., Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan analisis kualitas air. Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka. Jakarta. Hidayat, A.M., Soekardi, Ponidi. 1995. Kajian kesesuaian lahan untuk mendukung pembangunan perikanan pantai dan pertanian di daratan Kasipute-Lainea, Sulawesi Tenggara. Dalam Laporan Akhir Hasil Penelitian Potensi dan Hasil Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Perikanan Pantai (Tingkat Tinjau Mendalam) Daerah Kasipute-Lainea, Sulawesi Tenggara. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat bekerjasama dengan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian Nasional. Jakarta. Hal 96-162. Idris, I., S.P. Ginting, Budiman. 2007. Membangunkan raksasa ekonomi: sebuah kajian terhadap perundangundangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer. 296 hal. Ingmanson, D.E., W.J. Wallace. 1985. Oceanography: an introduction. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company. California. USA. Ismail, A., Wedjatmiko, Sastrawijaya, S. Sindu. 2001. Kajian teknis pembesaran ikan kerapu sunu dalam keramba jaring apung di lahan petani. pusat penelitian dan pengembangan eksplorasi laut dan perikanan. Departemen Perikanan dan Kelautan Bekerjasama dengan Japan International Cooporation Agency. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No. 51/2004 tentang baku mutu air laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta. Kinne, O. 1972. Marine ecology: environmental factors v.1. John Wiley & Sons Ltd. New York. 544 p. 46
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Kohno, H.M., Duray, J. Juario. 1988. State of grouper Lapu-Lapu culture in the Philippines. SEAFDEC Asian Aquaculture, 10(2):4-8. Krisanti, M., Z. Imran. 2006. Daya dukung lingkungan perairan teluk ekas untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Jurnal Pertanian Indonesia, 11(2):15-20. Laevastu, T., M.L. Hayes. 1981. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News Books. England. 199 p. Langkosono, L.F. Wenno. 2003. Distribusi ikan kerapu (serranidae) dan kondisi lingkungan perairan Kecamatan Tanimbar Utara, Maluku Tenggara. Prosiding Lokakarya Nasional dan Pameran Pengembangan Agribisnis. Kerapu II 203-212. Jakarta 8-9 Oktober 2002. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian, BPPT. Jakarta. Lumb, C.M. 1989. Self-pollution by scottish salmon farms. Marine Pollution Bulletin, 20:375-379. Mainassy, B., N.V. Huliselan, S.F. Tuhumury, J.J. Wattimury. 2005. Penentuan lokasi pengembangan budidaya keramba jaring apung (kja) di perairan Teluk Ambon dalam (tad) menggunakan sistem informasi geografis. Ichthyos, 4(2):69-80. Mason, C.C., R.L. Folk. 1958. Differentiation ofbeach, dune and aeolian flat environments by size analysis, Mustang Island, Texas. Journal of Sedimentary Petrology, 28:211-226. Mayunar, R. Purba, P.T. Imanto. 1995. Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan laut. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut. pusat penelitian dan pengembangan perikanan. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian – Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Agribisnis (FKKPA). Jakarta 12 – 13 April, No. 38: 179 – 187. Milne, P. H. 1979. Fish and shellfish farming in coastal waters. Fishing News Book Ltd. Farnham Surrey. Minggawati, I., Lukas. 2012. Water quality research for fish farming keramba in The Kahayan River. Media Sains, 4(1):87-91. Muir, J.F., J.M. Kapetsky. 1988. Site selection decisions and project cost. The Case of Brackish Water Pond System. Aquaculture Engineering Technologies for The Future. IChemE Symposium Series No. 111, EFCE Publication Series No 66, Scotland. Nybakken, J.W. 1998. Biologi laut suatu pendekatan ekologi. Penerjemah: M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. PT. Gramedia. Jakarta. 459 p. Peres, H., A. Oliva-Teles. 1999. Influence of temperature on protein utilization in juvenile european seabass (Dicentrarchus labrax). Aquaculture, 170:337–348. Pierre, S., S. Gaillard, N. Prevot-D’alvise, J. Aubert, O. Rostaing-Capaillon, D. Leung-Tack, J.P.Grillasca. 2008. Grouper aquaculture: Asian success and Mediterranean trials. Aquatic Conservative: Marine Freshwater Ecosystem, 18:297-308. Provost, P.G. 1996. The persistence and effects of antibacterial agents in marine fish farm sediments. PhD Tesis. Napier University. Edinburgh. 313 p. Purnawan, S., I. Setiawan, Marwantim. 2012. Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 1(1):31-36. Radiarta, I.N., A. Saputra, B. Priono. 2004. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(5):19-32. Radiarta, I.N., A. Saputra, B. Priono. 2005. Identifikasi kelayakan lahan budidaya ikan dalam keramba jaring apung dengan apikasi sistem informasi geografis di Teluk Pangpang, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11(5):1-13. Rahayu, S. 1991. Penelitian kadar oksigen terlarut (DO) dalam air bagi kehidupan ikan. BPPT No. XLV/1991. Jakarta. Smith, L.S. 1982. Introduction to fish physiology. T.F.H. Publications. 352 p. Stewart. 2006. The oceans, their physics, chemistry, and general biology. Prentice-Hall. New York. Sudjiharno, T. Winanto. 1998. Pemilihan lokasi pembenihan ikan kerapu macan dalam pembenihan ikan kerapu macan (E. Fuscoguttatus). Hal 13-19. Deptan. Ditjen. Perikanan Balai Budidaya Laut Lampung. Sunyoto, P. 1994. Pembesaran kerapu dalam keramba jaring apung. Penebar Swadaya. Jakarta. 65 p. Tookwinas, S. 1989. Review of knowledge on grouper aquaculture in South East Asia. Advance in Tropical Aquaculture, 9:429-435. 47
Depik, 4(1): 40-48 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Tucker, J.W. 1999. Species profile grouper aquaculture. Southern Regional Aquaculture Center. SRAC Publication No. 721. Yamamoto, K. 2006. Asia Pacific Marine Finfish Aquaculture Network (APMFAN) and the efforts towards sustainable grouper aquaculture in the region. Paper presented at the NACA/FAO Regional Workshop "The Future of Mariculture: A regional approach for responsible development of marine farming in the Asia-pacific region”. China. Zweig, R.D., J.D. Morton, M.M. Stewart. 1999. Source water quality for aquaculture: a guide for assessment. World Bank, Washington, DC, US.
48
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Pengaruh penggorengan belut sawah (Monopterus albus) terhadap komposisi asam amino, asam lemak, kolesterol dan mineral
Amino acids, fatty acids, cholesterol andmineral composition on eel (Monopterus albus) due to deep frying Ika Astiana*, Nurjanah, Ruddy Suwandi, Anggraeni Ashory Suryani, Taufik Hidayat Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor 16680. *Email Korespondensi:
[email protected],
[email protected] telp: 087731326152.
Abstract. The nutrition contains on eel flash aremainly amino acids, fatty acids, cholesterol, and mineral. The chemical content of
foods are change during frying process. The aim of this research was to studythe rendemen, proximate composition (moisture, ashes, protein, and fat content), and analyzing the influence of deep fryingon amino acids, fatty acids, cholesterol, and mineralof eel. The research measures were eel morfometric which includes length, diameter, circumference, total weight, yield, proximat, amino acids, fatty acids, cholesterol, and mineral analysis on fresh eel and after frying in 180 oC temperature for 5 minutes.Rendemen of fried eel reducedabout 26%. The increasing of proximate levels were found on ashes by 2.56% and fat by
14.47% while water, protein, and carbohydrate were decreased about 55.43%, 2.84%, and 14.19% respectively. All of the eel amino acids were decrease after deep frying. The highest non essensial amino acid on fresh and fried eel were glutamic acids by 12,89 g/100g and 9,06 g/100g respectively, and essensial amino acid were lisin by 7,13 g/100g and 4,91 g/100g respectively. Limit amino acid on fresh and fried eel were histidine by 1,54 g/100g and 1,18 g/100g respectively.Deep frying could increase palmitic acid by 17.37%, oleic acid by 24.31%,and EPA by 1.42%. Cholesterol content average of fresh eel was 30.15 mg /100 grams and fried eel was 170.44 mg /100 grams. Calcium, natrium, kalium, magnesium, iron, and zinc are decrease and the copper wereincrease. Keywords : composition; eel; heating; nutrition; processing Abstrak. Kandungan gizi dalam daging belut sawah diantaranya adalah asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral. Proses penggorengan dapat mempengaruhi kandungan kimia suatu bahan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rendemen, komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak) serta menganalisis pengaruh penggorengan terhadap kandungan asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral belut sawah. Penelitian mencakup pengukuran morfometrik belut sawah segar yang meliputi panjang, diameter, lingkar badan, dan berat total, pengukuran rendemen, analisis proksimat, analisis asam amino, asam lemak, kolesterol, dan analisis mineral pada belut sawah segar dan setelah penggorengan dengan suhu 180 oC selama 5 menit.Rendemen belut goreng mengalami susut sebesar 26%. Perubahan kadar proksimat adalah peningkatan kadar abu sebesar 2,56% dan peningkatan kadar lemak sebesar 14,47%. Penurunan terjadi pada kadar air yaitu sebesar 55,43%, protein sebesar 2,84%, dan karbohidrat sebesar 14,19%. Keseluruhan kandungan asam amino belut mengalami penurunan setelah penggorengan. Asam amino non esensial tertinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah asam glutamat yaitu 12,89 g/100g dan 9,06 g/100g, sedangkan asam amino esensial yang tertinggi adalah lisin yaitu 7,13 g/100g dan 4,91 g/100g. Asam amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin yaitu 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g. Proses penggorengan dapat meningkatkan kandungan asam palmitat sebesar 17,37%, asam oleat sebesar 24,31%, dan EPA sebesar 1,42%. Kandungan kolesterol rata-rata belut segar adalah 30,15 mg/100 gram dan belut goreng adalah 170,44 mg/100 gram.Mineral kalsium, natrium, kalium, magnesium, besi, dan seng juga mengalami penurunan sedangkan tembaga mengalami kenaikan. Kata kunci :belut sawah; komposisi; gizi; pemanasan; pengolahan
Pendahuluan Seiring dengan berkembangnya era globalisasi aktivitas dan tuntutan hidup semakin tinggi, tentunya tubuh memerlukan energi yang cukup. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat-zat gizi yang merupakan sumber utama yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Belut sawah merupakan salah satu sumber energi hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat. Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 volume ekspor belut mencapai 2.676 ton meningkat dibandingkan tahun 2007 yang hanya 2.189 ton. Tahun 2009 ekspor belut terus meningkat 49
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
menjadi 4.744 ton atau meningkat 77,2% dibandingkan tahun 2008. Permintaan belut tidak hanya datang dari luar tetapi permintaan dalam negeri pun melimpah seperti Jakarta yang membutuhkan belut 20 ton per hari dan Yogjakarta yang membutuhkan belut 30 ton per hari (WPI, 2010). Kelebihan ikan sebagai sumber energi yaitu memiliki struktur protein yang lebih mudah dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan protein dari hewan terestrial. Protein memiliki fungsi sebagai bahan pembangun dan membantu pertumbuhan sel-sel tubuh. Protein tersusun atas dua puluh monomer-monomer asam amino yang berbeda. Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut (Winarno, 2008). Ikan juga memiliki kandungan omega-3 yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Ikan kaya akan EPA dan DHA yang dapat mereduksi timbulnya resiko aterosklerosis, jantung koroner dan memiliki pengaruh anti-inflamatori (De Castro et al., 2007). Bahan pangan kususnya biota perairan semenjak penanganan awal, pengolahan, penyimpanan, dan akhirnya sampai pada konsumen sering terjadi kerusakan nilai gizi. Cara pengolahan bahan makanan dapat berperan dalam penentuan nilai gizi suatu makanan. Teknik pengolahan yang biasanya dilakukan pada belut adalah penggorengan. Makanan yang digoreng memiliki sifat sensorik yang unik yang membuatnya menarik bagi konsumen, namun penggunaan minyak yang berulang akan berdampak pada nilai gizi. Selama proses penggorengan, minyak dipanaskan pada suhu berkisar antara 170-200 °C (Ghidurus et al., 2000). Beberapa studi menunjukkan proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, protein, lemak, dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Selama proses penggorengan, uap air dan beberapa zat volatil dilepaskan dari makanan dan sisanya tetap berada dalam minyak melalui reaksi kimia yang kemudian diserap dalam makanan yang digoreng (Ghidurus et al., 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggorengan terhadap komposisi gizi dari belut sawah (Monopterus albus) untuk memberikan informasi seberapa jauh proses penggorengan akan merubah komposisi gizi dari bahan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rendemen dan komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak) daging belut segar dan setelah proses penggorengan juga menganalisis pengaruh penggorengan terhadap kandungan asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral belut sawah.
Bahan dan Metode
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian yaitu belut sawah (Monopterus albus) yang berasal dari kolam budidaya Desa Cipambuan Kabupaten Bogor. Bahan pembantu yang digunakan adalahminyak goreng kelapa sawit, akuades, HCl 0,1 N, NaOH 40 %, katalis selenium, H2SO4, H3BO3 2%, pelarut heksana, bromcresol green 0,1%, methyl red 0,1%, NaOH 0,5 N dalam metanol, BF3, NaCl jenuh, n-heksana, Na2SO4 anhidrat, etanol, petroleum benzen, alkohol, acetic anhidrid, HNO3, HClO4, natrium hidroksida, 2-merkaptoetanol, larutan standar asam amino 0,5 mikromol/ml, Na EDTA, methanol, Na-asetat, tetrahidrofuran (THF) dan larutan ortoftalaldehid. Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu oven, desikator, tanur, deep fryer, bulb, pipet, tabung reaksi, erlenmeyer, tabung kjeldahl, tabung soxhlet, labu lemak, kertas saring, kapas bebas lemak homogenizer, evaporator, corong pisah, botol vial (metilasi), vortex, perangkat kromatografi gas SupelcoTM 37 Component FAME Mix, hight performace liquid chromatrografi (HPLC) Shimadzu model LC-6A dan AAS. Penelitian diawali dengan pengumpulan data-data berupa asal, ukuran belut, dan pengukuran rendemen tubuh (daging, kepala, tulang, kulit, dan jeroan). Pengumpulan data berupa asal, ukuran, dan pengukuran rendemen belut dilakukan pada kondisi segar. Analisis proksimat, asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral dilakukan pada kondisi segar dan setelah penggorengan. Penelitian dilakukan dengan dua perlakuan, yaitu belut segar dan belut goreng. Belut yang akan digoreng dimasukkan ke dalam panci deep frying yang telah berisi minyak sebanyak 4 L dan telah dipanaskan pada suhu 180°C. Belut digoreng selama 5 menit, kemudian belut didinginkan pada suhu ruang. Sebelum dan sesudah proses penggorengan dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat belut. Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC.Preparasi sampel, yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel ditimbang, sebanyak 0,1 gram dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam.Sampel disaring dengan kertas saring milipore kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi sebanyak 30 mikroliter ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari campuran metanol, natrium asetat dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4.selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml asetonitrit 60 % atau buffer natrium asetat 1M, lalu dibiarkan selama20 menit. Hasil saringan diambil sebanyak 40 mikroliter untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. 50
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Metode asam lemak dilakukan dengan tiga tahap yaitu ekstraksi, metilasi, dan identifikasi. Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode soxhlet dan ditimbang sebanyak 0,02-0,03 gram lemak dalam bentuk minyak. Metilasi dilakukan dengan merefluks lemak di atas penangas air dengan menambahkan 1 ml NaOH 0,5 N ke dalam metanol dan dipanaskan pada suhu 80 °C selama 20 menit. BF3 20% sebanyak 2 ml ditambahkan dan dipanaskan pada suhu 80 °C selama 20 menit. Tahap selanjutnya, 2 ml NaCl jenuh dan 1 ml isooktan ditambahkan pada sampel, dihomogenkan, lalu dipipet lapisan isooktan ke dalam tabung reaksi yang berisi 0,1 gram Na2SO4 anhidrat dan dibiarkan 15 menit. Larutan disaring dengan mikrofilter untuk memisahkan fase cairnya sebelum diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnya sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas untuk dilakukan identifikasi. Analisis kadar kolesterol dilakukan dengan menggunakan metode Liebermann - Buchard Colour Reaction. Sampel ditimbang sebanyak ± 0,1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, ditambah dengan 8 ml larutan etanol dan petroleum benzen dengan perbandingan 3 : 1, kemudian diaduk sampai homogen. Pengaduk dibilas dengan 2 ml larutan etanol : petroleum benzen (3 : 1) kemudian disentrifuge selama 10 menit (3.000 rpm). Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100 ml dan diuapkan di penangas air. Residu diuapkan dengan kloroform (sedikit demi sedikit), sambil dituangkan ke dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml). Residu kemudian ditambahkan 2 ml acetic anhidrid dan 0,2 ml H2SO4 pekat atau 2 tetes. Larutan divortex dan dibiarkan di tempat gelap selama 15 menit, selanjutnya dibaca absorbansi pada spektrofotometri dengan panjang gelombang (λ) 420 nm dan standar yang digunakan 0,4 mg/ml. Sampel yang akan diuji kadar mineralnya dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Proses pengabuan basah dilakukan dengan sampel ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Ke dalam labu ditambahkan 5 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam. Labu ditempatkan di atas hotplate selama ± 4 jam dan ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, campuran (HClO4 dan HNO3) sebanyak 3 tetes, 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Larutan contoh kemudian diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan stok standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan menggunakan akuades sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang diinginkan.Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam atomic absorption spectrophotometer (AAS).
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran, belut sawah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang rata-rata 42,63±2,03 cm, diameter rata-rata 1,05±0,13 cm, lingkar badan rata-rata 5,07±0,37 cm dan berat rata-rata 62,33±8,01 g. Perbedaan ukuran dan bobot dari belut dipengaruhi oleh pertumbuhan.Menurut Metusalach (2007), pertumbuhan suatu biota dipengararuhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah habitat, musim, suhu perairan, jenis makanan yang tersedia, dan faktor lingkungan lainnya sedangkan faktor internal adalah umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan, dan faktor biologis lainnya. Rendemen Perhitungan rendemen didasarkan pada persentase perbandingan bobot contoh dengan bobot total.Belut yang digunakan pada penelitian ini memiliki rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan yang diberikan yaitu belut segar dan belut goreng. Rendemen belut terdiri atas rendemen daging, kepala, jeroan, kulit, dan tulang (Tabel 1). Komposisi rendemen daging yang besar menunjukkan bahwa belut merupakan salah satu bahan baku yang menjanjikan untuk diolah lebih lanjut. Daging belut yang telah dipreparasi kemudian digoreng. Perlakuan penggorengan menyebabkan terjadinya penyusutan atau kehilangan berat (lost) sebesar 26 %. Penyusutan ini terjadi karena kandungan air menguap dari bahan dan digantikan oleh minyak (Gokoglu et al., 2004). Kadar air yang berkurang selama proses penggorengan mengakibatkan berkurangnya komponen zat gizi lain yaitu protein, lemak, vitamin dan mineral. Tabel 1. Rendemen belut sawah segar No. Parameter Satuan Nilai 1. Badan % 55,09 2. Kepala % 10,12 3. Jeroan % 9,69 4. Kulit % 10,39 5. Tulang % 14,72
51
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Komponen gizi Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut. Analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan baku yaitu menggunakan analisis proksimat (Tabel 2). Komposisi kimia yang paling banyak terdapat pada belut adalah protein. Belut segar memiliki kandungan air yang tinggi sedangkan kadar abu dan lemak rendah. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada jenis bahan dan proses pengabuannya (Jacoeb et al., 2008). Proses penggorengan dapat mengubah komposisi kimia bahan makanan seperti pada belut. Proses penggorengan pada belut menaikkan komposisi kimia berupa abu dan lemak sedangkan air, protein, dan karbohidrat mengalami penurunan. Perhitungan karbohidrat pada daging belut segar dan goreng dilakukan dengan metode by difference. Tabel 2 Komposisi kimia daging belut sawah segar dan goreng Segar (%) Goreng (%) Komposisi kimia (%) Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering Kadar air 78,90 0 23,47 0 Kadar abu 0,33 1,56 3,15 4,12 Kadar protein 15,90 75,32 55,47 72,48 Kadar lemak 0,12 0,58 11,52 15,05 Kadar karbohidrat 4,75 22,54 6,39 8,35 Asam amino Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida (Sitompul, 2004). Kualitas suatu protein dapat dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang menyusun protein tersebut. Hasil analisis asam amino belut sawah segar dan goreng didapatkan 15 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah histidin, threonin, tirosin, methionin, valin, fenilalanin, I-leucin, leucin, dan lisin. Asam amino nonesensial belut sawah adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, dan alanin. Asam amino esensial dan nonesensial belut sawah segar lebih tinggi dibandingkan belut sawah setelah proses penggorengan (Tabel 3). Asam amino non esensial tertinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah asam glutamat yaitu 12,89 g/100g dan 9,06 g/100g, sedangkan asam amino esensial yang tertinggi adalah lisin yaitu 7,13 g/100g dan 4,91 g/100g. Asam glutamat merupakan salah satu sumber rasa umami (gurih) yang dominan pada bahan pangan, yang merupakan rasa dasar kelima disamping rasa manis, asin, asam dan pahit (Suryaningrum et al. 2010). Asam amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin yaitu 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g. Kandungan asam amino pada masing-masing spesies memiliki proses fisiologis yang berbeda. Perbedaan kandungan asam amino ini juga dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay, 2005). Proses penggorengan dengan suhu 180 oC dapat merusak asam amino yang terkandung dalam bahan pangan. Kandungan asam amino yang hilang pada belut sawah setelah penggorengan bervariasi antara 22-48% dari berat awal asam amino pada belut sawah segar, hal ini dapat disebabkan oleh ketahanan masing-masing asam amino terhadap suhu tinggi. Penelitian Ito et al. (2009) menyatakan bahwa asam amino akan mengalami kerusakan apabila dipanaskan lebih dari 100 oC, akan tetapi bila dipanaskan dalam larutan alkali, maka kestabilan asam amino dapat dinaikkan sampai suhu 200 oC. Kandungan asam amino di dalam belut sawah yang digoreng sebagian diubah menjadi pigmen melanoid, sehingga jumlahnya di dalam bahan pangan menjadi berkurang. Jenis asam amino yang paling banyak berkurang setelah penggorengan adalah asam glutamat dan lisin. Asam amino yang paling berperan dalam pembentukan reaksi Maillard adalah lisin dan asam glutamat, dikarenakan asam amino ini merupakan asam amino yang paling reaktif dan merupakan gugus amino bebas (deMan, 1997). Tabel 3 Komposisi asam amino belut sawah dalam basis kering Jenis asam Hasil (g/100g) amino Belut sawah segar Belut sawah goreng Kehilangan asam amino Asam aspartat 7,39 5,39 2,00 Asam glutamat 12,89 9,06 3,83 Serin 3,22 2,34 0,88 Histidin* 1,54 1,18 0,36 Glisin 3,90 2,43 1,47 52
Kebutuhan perhari** ~ ~ ~ 1,9 ~
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Treonin* 3,12 2,35 Arginin 5,02 3,53 Alanin 4,82 3,29 Tirosin* 2,55 1,90 Methionin* 2,22 1,62 Valin* 3,34 2,29 Fenilalanin* 3,88 2,01 I-leusin* 3,27 2,28 Leusin* 5,99 4,12 Lisin* 7,13 4,91 Keterangan: *asam amino esensial ** FAO/WHO (1985) diacu dalam Almatsier (2006)
0,77 1,49 1,53 0,65 0,60 1,05 1,87 0,99 1,87 2,22
2,8 ~ ~ 2,2 2,2 2,5 2,2 2,8 4,4 4,4
Asam lemak Nilai asam lemak yang terdapat pada daging belut segar dan goreng didapatkan dengan cara membandingkan retention time standar asam lemak dengan retention time sampel yang diuji. Kandungan asam lemak jenuh pada belut segar adalah 25,2% dan belut goreng adalah 35,53%. Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal pada belut segar adalah 14,7% dan belut goreng adalah 36,51%. Kandungan asam lemak tak jenuh jamak pada belut segar adalah 12,40% dan belut goreng adalah 12,88% (Tabel 4). Variasi asam lemak pada organisme perairan dapat dipengaruhi oleh pergantian musim, letak geografis, salinitas lingkungan (Ozyurt et al., 2006), dan perlakuan yaitu hidup bebas di alam atau dibudidayakan (Kandemir dan Polat, 2007). Tabel 4 Kandungan asam lemak pada belut sawah (Monopterus albus) Belut Segar Belut Goreng Minyak Kelapa Asam Lemak (% w/w) (% w/w) Sawit* Asam lemak jenuh Capric (C10:0) 0,02 0,02 Undecanoic (C11:0) 0,02 Lauric (C12:0) 1,93 0,17 Tridecanoic (C13:0) 0,53 Myristic (C14:0) 2,24 0,94 0,88 Pentadecanoic (C15:0) 0,72 0,06 Palmitic (C16:0) 12,83 29,90 42,6 Heptadecanoic (C17:0) 0,85 0,13 Stearic (C18:0) 5,13 3,82 8,13 Arachidic (C20:0) 0,28 0,32 0,29 Heneicosanoic (C21:0) 0,07 Behenic (C22:0) 0,26 0,06 Tricosanoic (C23:0) 0,10 Lignoceric (C24:0) 0,22 0,11 Asam lemak tak jenuh tunggal Myristoleic (C14:1) 0,04 Palmitoleic (C16:1) 1,88 0,33 Cis-10-Heptadecanoic (C17:1) 0,40 0,06 Elaidic (C18:1n9t) 0,18 0,08 Oleic (C18:1n9c) 11,54 35,85 30,91 Cis-11-Eicosenoic (C20:1) 0,54 0,19 0,35 Nervonic (C24:1) 0,12 Asam lemak tak jenuh jamak Linoleic (C18:2n6c) 4,22 10,45 9,23 g-Linoleic (C18:3n6) 0,19 Linolenic (C18:3n3) 1,13 0,28 Cis-11,14-Eicosedienoic (C20:2) 0,74 0,13 0,26 Eicosentrienoic (C20:3n6) 0,72 0,04 53
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Eicosentrienoic (C20:3n3) Arachidonic (C20:4n6) Docosadienoic (C22:2) EPA (C20:5n3) DHA (C22:6n3) Keterangan : *Abiona et al. (2011)
0,58 2,14 0,07 0,29 2,32
0,04 0,18 0,02 1,42 0,32
-
Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Penggorengan dapat meningkatkan ataupun menurunkan kandungan asam lemak jenuh pada belut. Kandungan asam lemak jenuh yang paling tinggi pada belut segar dan goreng adalah asam palmitat dengan nilai masingmasing adalah 12,83%dan 29,90%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al. (1994) yang menyatakan bahwa asam palmitat merupakan asam lemak jenuh paling banyak pada belut segar. Asam palmitat juga merupakan komponen utama dalam asam lemak jenuh yaitu 53-65% dari total asam lemak jenuh (Ozugul dan Ozugul 2007). Kandungan asam lemak palmitat yang meningkat setelah proses penggorengan dapat disebabkan oleh tercampurnya asam palmitat yang berasal dari minyak. Kandungan asam palmitat pada minyak kelapa sawit sekitar 42,6% (Abiona et al., 2011). Kandungan asam palmitat yang meningkat sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alireza et al. (2010) yaitu asam palmitat pada minyak dapat meningkatkan setelah proses deep fat frying. Kandungan asam stearat dan miristat mengalami penurunan setelah proses penggorengan. Proses penggorengan akan menghasilkan senyawa-senyawa karbonil, hal ini didukung oleh penelitian Gladyshev et al. (2006) tentang pengaruh pengolahan terhadap kandungan asam lemakjenuh ikan salmon (Oncorhynchus gorbuscha) yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa karbonil yang terbentuk selama pengolahan berasal dari pembentukan produk-produk lipida yang teroksidasi. Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal yang paling tinggi pada belut segar dan goreng adalah asam oleat dengan nilai masing-masing 11,54% dan 35,85%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al. (1994) yang menyatakan bahwa asam oleat merupakan asam lemak tak jenuh paling banyak pada belut segar. Asam oleat merupakan asam lemak paling banyak dalam asam lemak jenuh tunggal yaitu 52-79% dari total asam lemak tak jenuh tunggal (Ozugul dan Ozugul, 2007). Kandungan asam lemak oleat dan linoleat yang meningkat setelah proses penggorengan dapat disebabkan oleh tercampurnya asam oleat dan linoleat yang berasal dari minyak. Kandungan asam oleat pada minyak kelapa sawit sekitar 30,91% dan asam linoleat sebesar 9,23%. Kadar asam lemak oleat dan linoleat dapat meningkat selama proses penggorengan (Abiona et al., 2011). Kandungan asam arakidonat mengalami penurunan setelah proses penggorengan yang disebabkan oleh dekomposisi oksidatif pada asam lemak tidak jenuh selama proses pemanasan pada suhu tinggi karena ikatan rangkapnya lebih mudah diserang oleh oksigen. Asam arakidonat adalah prekursor prostaglandin dan thromboxan yang akan mempengaruhi proses pembekuan darah dan membawa ke jaringan endotel selama penyembuhan luka. Asam arakidonat juga memainkan peran dalam pertumbuhan (Rahmat et al., 1994). Asam lemak linolenat merupakan prekursor asam lemak omega-3 yang dijumpai dalam tubuh manusia yaitu EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid). Menurut Ozugul dan Ozugul (2007) keragaman komposisi asam lemak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, ketersediaan pakan, umur, habitat dan ukuran. Kandungan DHA yang lebih tinggi pada belut yang diuji sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Razak et al. (2001) yaitu kandungan minyak dari belut memiliki kandungan DHA yang lebih tinggi daripada EPA. EPA merupakan turunan oksidatif dari asam arakidonat. Asam lemak esensial seperti DHA (docosahexaenoic acid) sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen, hal inilah yang menyebabkan kandungan DHA pada belut mengalami penurunan. Hasil ini didukung oleh penelitian Arias et al. (2003) tentang pengaruh metode pengolahan yang berbeda terhadap komposisi kimia dan kandungan asam lemak Sardine pilchardus yang menyatakan bahwa kandungan DHA mengalami penurunan setelah dilakukan pengolahan dengan panas. Ozugul et al. (2006) menyatakan bahwa DHA sangat penting bagi perkembangan otak dan mata juga dalam mencegah penyakit kardiovaskular. Kolesterol Kolesterol merupakan substrat yang tidak larut air untuk pembentukan beberapa zat esensial, yaitu sintesa asam empedu yang penting untuk penyerapan lemak serta hormon seperti testosteron, estrogen, dihydroepidanrosterone, progesteron dan kortisol. Analisis kandungan kolesterol dilakukan untuk mengetahui kandungan kolesterol pada belut (Gambar 1). Kandungan kolesterol rata-rata belut segar adalah 30,15 mg/100 gram dan belut goreng adalah 170,44 mg/100 gram. Volume minyak yang masuk selama proses penggorengan 54
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
kedalam 100 gram bahan adalah 24 ml yang didapatkan dari selisih volume minyak sebelum dan setelah penggorengan. Kandungan lemak yang bertambah pada bahan pangan dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolesterol pada bahan tersebut. Abiona et al. (2011) menyatakan kandungan asam lemak jenuh pada minyak kelapa dapat meningkatkan kandungan kolesterol pada bahan yang digoreng. Kandungan asam lemak jenuh pada minyak kelapa sebesar 59,24%. Sampaio et al. (2006) menyatakan bahwa variasi kolesterol dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, ketersediaan makanan, umur, seks, suhu air, lokasi geografis, dan musim. 222,71
250 200
170,44 142,89
150 % 100 50
30,15
0 segar
goreng
Gambar 1. Kandungankolesterol belut sawah dalam mg/100 gram: ( ) basis basah; ( ) basis kering Mineral Kandungan mineral di dalam setiap bahan makanan berbeda-beda bergantung kepada jenis dan kondisi hidupnya. Kandungan mineral makro yang paling tinggi pada belut sawah segar dan goreng yaitu masing-masing 8.049,45 mg/kg dan 5.025,08 mg/kg. Kandungan kalium yang tinggi pada belut dapat mencegah hipokalemia. Hipokalemia adalah gejala kekurangan kalium pada tubuh yang ditandai badan yang lemah, kelelahan otot, tidak nafsu makan, dan muntah (Widjajanti dan Agustini, 2005). Kandungan mineral belut sawah setelah dilakukan proses penggorengan akan berubah (Tabel 5). Ada mineral yang berkurang setelah penggorengan dan ada pula yang mengalami peningkatan. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium (Ca) 95,98 mg/kg, magnesium (Mg) 65,70 mg/kg, natrium (Na) 2.397,73 mg/kg, kalium (K) 3.024,37 mg/kg, seng (Zn) 18,37 mg/kg, dan besi (Fe) 36,92 mg/kg. Mineral yang mengalami peningkatan adalah tembaga yaitu sebesar 0,38 mg/kg. Natrium dan kalium terdapat pada cairan sel. Jika cairan di dalam daging hilang maka unsur tersebut juga akan berkurang (deMan 1997). Mineral besi bersifat kurang stabil, dan mudah berubah menjadi ferro dan ferri (Arifin, 2008). Mineral seng juga mengalami penurunan kandungan setelah proses penggorengan, akan tetapi jumlahnya tidak terlalu tinggi bila dibandingkan mineral lain, hal ini dimungkinkan karena seng lebih stabil terhadap panas dibandingkan mineral lain.
Mineral Ca Mg Na K Zn Fe Cu
Tabel 5 Kandungan mineral belut sawah segar dan goreng basis kering. Hasil (mg/kg) Daging belut sawah segar Daging belut sawah goreng Kehilangan mineral 542,25 446,28 95,98 148,27 82,57 65,70 2745,69 347,96 2397,73 8049,45 5025,08 3024,37 99,79 81,41 18,37 75,09 38,17 36,92 1,92 2,30 +0,38
Kesimpulan Penggorengan memberikan pengaruh terhadap komposisi asam amino, asam lemak, kolesterol, dan mineral belut sawah (Monopterus albus).Proses penggorengan merubah bobot dan komposisi gizi belut sawah. 55
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Komposisi gizi yang mengalami penurunan jumlah didalam daging belut sawah setelah penggorengan adalah kadar air, kadar protein, dan karbohidrat sedangkan komposisi gizi yang mengalami kenaikan setelah penggorengan adalah kadar lemak dan kadar abu. Komposisi asam amino pada belut goreng secara keseluruhan mengalami penurunan. Komposisi asam lemak dan kolesterol pada belut goreng secara keseluruhan mengalami peningkatan. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium, magnesium, natrium, kalium, seng, dan besi. Mineral tembaga pada belut sawah goreng mengalami kenaikan.
Daftar Pustaka
Abiona, O.O., S.H. Awojide, A.J. Anifowoshe, O.B. Babalola. 2011. Comparative study on effect of frying process on the fatty acid profile of vegetable oil and palm oil. E-International Scientific Research Journal, 3(3):210-219. Alireza, S., C.P. Tan, M. Hamed, C.Y.B. Man. 2010. Effect of frying process on fatty acid composition and iodine value of selected vegetable oils and their blends. International Food Researh Journal, 17:295-302. Almatsier, S. 2006. Prinsip dasar ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Arias, M.T., E. Pontes, G. Linares. 2003. Cooking-freezing-reheating (CFR) of sardine (Sardine pilchardus) fillets, effect of different cooking dan reheating procedures on the proximate dan fatty acid composition. Food Chem, 83:349-356. Arifin, Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3):99-105. De Castro, F.A., H.M. Sant’Ana, F.M. Campos, N.M. Costa, M.T. Silva, A.L. Salaro, S.C. Franceschini. 2007. Fattyacid composition of three freshwater fishes under different storage and cooking processes. Food Chemistry. 103:1080-1090. deMan, J.M. 1997. Kimia makanan. Penerjemah: Kosasih P. 550 hal. ITB. Bandung. Ghidurus, M., M. Turtor, G. Boskou, P. Niculita, V. Stan. 2000. Nutritional and health aspects related to frying (I). Romanian Biotecnological Letters, 15(6):5675-5683. Gladyshev, M., N.N. Sushchik, G.A. Gubanenko, S.M. Demirchieva, G.S. Kalachova. 2006. Effect of way of cooking on content of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of humpback salmon (Oncorhynchus gorbuscha). Food Chemistry, 96:446-451. Gokoglu, N., P. Yerlikaya, E. Cengiz. 2004. Effect of cooking methods on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Food Chemistry, 84: 19-22. Ito, M., K. Yamaoka, H. Masuda, H. Kawahata, L. Gupta. 2009. Thermal stability of amino acid in biogenic sediments and aqueous solutions at seafloor hydrothermal temperatures. Geochemical Journal, 43:331341. Jacoeb, A.M., M. Hamdani, Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan vitamin daging udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, 11 (2): 76-89. Kandemir, S., N. Polat. 2007 Seasonal variation of total lipid and total fatty acid in muscle and liver of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss W 1792) reared in derbent dam lake. Tukish Journal of Fisheries and Aquatic Science, 7:27-31. Litaay, M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalone. Oseana, 3:1-7. Metusalach. 2007. Pengaruh fase bulan dan ukuran tubuh terhadap rendemen, kadar protein, air dan abu daging kepiting rajungan, Portunus spp. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, 17(3):233239. Ozugul, Y., F. Ozugul, S. Alagoz. 2006. Fatty acid profiles and fat contents of commercially important seawater and freshwater fish spesies of Tukey: a comparative study. Food Chemistry, 103:217-223. Ozugul, Y., F.Ozugul. 2007. Fatty acid profiles of commercially important fish species from the mediterranean, agean dan black seas. Food Chemistry, 100 (4):1634-1638. Ozyurt, G., O. Duysak, E. Akamca, C. Tureli. 2006. Seasonal changes of fatty acids of cuttlefish Sepia officinalis L. (mollusca: cephalopoda) in the north eastern mediterranean sea. Food Chemistry, 95(3):382-385. Rahman, S.A., T.S. Huah, O. Hassan, N.M. Daud. 1994. Fatty acid composition of some malaysian fresh water fish. Food Chemistry, 54:45-49. Razak, Z.K.A., M. Basri, K. Dzulkefly, C.N.A. Razak, A.B. Salleh. 2001. Extration and characterization of fish oil from Monopterus albus. Malaysian Journal of Analytical Sciences, 7(1):217-220. Sampaio, G.R., D.H.M. Bastos, R.A.M. Sares, Y.S. Queiroz, E.A.F.S. Torres. 2006. Fatty acid dan cholesterol oxidation in salted dan dried shrimp. Food Chemistry, 95(2):344-351. 56
Depik, 4(1): 49-57 April 2015 ISSN 2089-7790 DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2365
Sitompul, S. 2004. Analisis asam amino tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian, 9(1):33-37. Suryaningrum, T.D., I. Muljanah, E. Tahapari. 2010. Profil sensori dan nilai gizi beberapa jenis ikan patin dan hybrid nasutus. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 5(2):153-164. Widjajanti, A., S.M. Agustini. 2005. Hipokalemik periodik paralisis. Indonesian Journal of Critical Pathology and Medical Laboratory, 12(1):19-22. Winarno, F.G. 2008. Kimia pangan dan gizi. 297 hal. Mbrio Press. Bogor. [WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan sidat permintaannya semakin meningkat. Edisi April Vol. 80. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. Jakarta.
57