Volume 1, Nomor 1 April 2012 ISSN: 2089-7790
DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences) ISSN: 2089-7790
Penerbit
: Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Ketua Pelaksana Koordinatorat Kelautan dan Perikanan)
Ketua Dewan Editor
: Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc
(Manajemen SDP dan Budidaya Perairan)
Editor Pelaksana : Ichsan Setiawan, M.Si (Oseanografi) Sekretaris Editor : Drs. Muhammad, M.Si (Hydrodinamika) Anggota Dewan Editor : Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Kimia Lingkungan) Prof. Dr. Syamsul Rizal (Fisika Perairan) Dr. Musri Musman, M.Sc (Kimia Perairan) Dr. M. Ali Sarong, M.Si (Ekologi Perairan) Dr. Indra, M.Si (Manejemen Pesisir & Kelautan) Dr. Edi Rudi, M.Si (Biologi Laut) Dr. Abrar Muslim, M.Eng (Kimia Lingkungan) Farok Afero, Ph.D (Biometrik dan Sosial Ekonomi Perikanan) Teknisi IT/Web Master Sirkulasi dan Dokumentasi
: Achmad Muhadjier : Muhammad Saumi, A.Md
Ikan Depik, Rasbora tawarensis
Alamat Redaksi: Koordinatorat Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala Kopelma Darussalam – Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia. Email :
[email protected] Website : depikjurnal.unsyiah.ac.id Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DEPIK JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2012 ISSN: 2089-7790 DAFTAR ISI 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11.
Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh………………… Mulfizar, Zainal A. Muchlisin, Irma Dewiyanti
1-9
Analisa ekonomi budidaya kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung di Indonesia ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… Farok Afero
10-21
Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan bandeng, Chanos-chanos……………………………………………………………………………………………………………………………… Sofyatuddin Karina, Rizwan, Khairunnisak
22-25
Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batrachus)…………………………………………………………………………………………… Musri Musman, Sofyatuddin Karina, Kavinta Melanie
26-30
Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh ………………………………………………………………… Syahrul Purnawan, Ichsan Setiawan, Marwantim Komunitas ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara……………………… Edi Rudi, Nur Fadli Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… Nur Fadli, Ichsan Setiawan, Nurul Fadhilah
31-36 37-44
45-52
Kajian pendahuluan analisis peramalan thunderstorm untuk penyusunan indeks dasar adaptasi kegiatan pertambakan (Suatu tinjauan meteorologi di Jakarta)…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… Yopi Ilhamsyah
53-60
Pengaruh ENSO (El Niño and Southern Oscillation) terhadap transpor massa air laut di Selat Malaka ……………………………………………………………………………………………………… Muhammad, Syamsul Rizal, Junaidi M. Affan
61-67
Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu kajian awal………………………………………… Z. A. Muchlisin, Muhammad Nazir, Musri Musman
68-77
Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam keramba jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di perairan pantai timur Bangka Tengah……………………………………………………………………………………………………………………………………… Junaiadi M. Affan
78-85
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh Length-weight relationship and condition factors of three fishes found in Gigieng estuary of Aceh Besar, Aceh Province Mulfizar2, Zainal A. Muchlisin1*, Irma Dewiyanti1 1
Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda aceh 2311; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda aceh 2311. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. The study of the lenght weight relationships and condition factors of the brackiswater fishes found in Kuala Gigeng was conducted. The objective of the present study was to evaluate the growth pattens and condition factor of the belanak (Mugil cephalus), seriding (Ambassis koopsii) and petek (Leiognathus fasciatus). The sampling was conducted for eight time on July 2011 by using gillnet and castnet. The results showed that the belanak (M. cephalus) and seriding (A. koopsii) have allometric negative growth patten, while the petek (L. fasciatus) has an allometric positive. In addition, the relative weight condition factor’s was higher than 100. And the Fulton’s condition factor were not different significantly among fishes. Indicating the condition of the Kuala Gigeng is relatively in good condition and support fish growth as well. Keywords: Allometric, Fulton’s condition factor, fish relative weight, morphology Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan yang ditemukan di muara Kuala Gigeng. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pola pertumbuhan dan faktor kondisi dari ikan belanak (Mugil cephalus), seriding (Ambassis koopsii) dan petek (Leiognathus fasciatus). Pengambilan sampel dilakukan sebanyak delapan kali pada bulan Juli 2011 dengan menggunakan jaring insang dan jala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan belanak (M. cephalus) dan seriding (A. koopsii) memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. sementara petek (L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan allometrik positif. Selain itu, faktor kondisi berat relatif lebih tinggi dari 100. Dan faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda nyata. Kondisi muara Kuala Gigeng mengindikasikan secara relatif dalam keadaan baik dan mendukung pertumbuhan ikan. Kata kunci : Allometrik, faktor kondisi Fulton, berat relatif ikan, morfologi
Pendahuluan Perairan Kuala Gigieng terletak di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, perairan ini memiliki potensi perikanan antara lain perikanan laut, tambak dan sungai. Beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis hidup di perairan ini dan sering ditangkap oleh nelayan setempat antara lain ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus fasciatus). Ikan-ikan ini diperjual-belikan oleh nelayan setempat dan merupakan ikan-ikan yang dominan tertangkap di Kuala Gigeng. Namun demikian penelitian tentang aspek biologi ikan-ikan tersebut belum pernah dikaji, termasuk aspek hubungan panjang-berat dan faktor kondisi di perairan esuaria yang terdapat di Aceh. Informasi hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan penting 1
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
diketahui dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan ini. Hal ini mengingat intensitas aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat dan ancaman gangguan terhadap kondisi perairan baik yang disebabkan oleh alam misalnya pemanasan global maupun aktifitas manusia misalnya penangkapan ikan secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan. Dalam biologi perikanan, hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam Merta, 1993). Lebih lanjut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu (Everhart & Youngs, 1981). Kajian hubungan panjang-berat ikan telah banyak dilakukan oleh para peneliti, diantaranya; ikan layang (Decapterus ruselli) dari perairan sekitar Teluk Likupang, Sulawesi Utara (Manik, 2009), ikan sebelah (Psettodes erumel) di perairan Jepara (Redjeki, 2003), beberapa jenis ikan asli Danau Sentani, Papua (Umar & Lismining, 2006), ikan kerapu (Serranidae) diperairan Berau, Kalimantan Timur (Nuraini, 2007). Salah satu kajian tentang hubungan panjang-berat ikan yang hidup di perairan Aceh yang pernah dilaporkan adalah dua jenis ikan air tawar yang hidup di Danau Laut Tawar Rasbora tawarensis dan Poropuntius tawarensis (Muchlisin, 2010a). Namun kajian terhadap spesies ikan yang lain terutama yang hidup di perairan estuaria dan laut Aceh belum pernah dilaporkan, oleh karena itu penelitian ini penting sebagai upaya penyedia data awal tentang kondisi ikan di perairan estuaria khususnya di Kuala Gigeng. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus fasciatus) sehingga dapat diketehui pola pertumbuhannya masing-masing.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Kuala Gigeng yang terletak diantara tiga desa yaitu: Gampong Lambada Lhok, Gampong Lamnga dan Gampong Baro Kabupaten Aceh Besar, pada bulan Juli 2011 (Gambar 1). Penelitian ini menggunakan metode survei, penentuan titik sampling dilakukan secara acak. Pengambilan sampel ikan menggunakan jaring insangdengan ukuran mata jaring 1 inchi, 2 inchi dan 3 inchi dan jala ukuran mata jaring 1 inchi. Penentuan ikan target Penentuan ikan target dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil survey pendahuluan yang telah dilakukan, yaitu dengan mengamati hasil tangkapan yang dominan oleh nelayan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus fasciatus) adalah jenis-jenis ikan yang dominan dan sering tertangkap di Kuala Gigeng. Sampling ikan Penangkapan ikan sampel yang dilakukan dengan menggunakan jaring insang yang berjumlah 6 unit dengan rincian masing-masing; 2 unit dengan ukuran mata jaring 1 inchi, 2 unit dengan ukuran mata jaring 2 inchi dan 2 unit dengan ukuran mata jaring 3 inchi. Jaring diletakkan tegak lurus dengan arah arus. Selain itu penangkapan ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala, penangkapan ikan dengan menggunakan jala dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan yang sesuai dan menduga keberadaan ikan. Penangkapan ikan dilakukan selama 8 jam, yaitu dari jam 08:00 s/d 16:00 WIB. Pengontrolan hasil tangkapan dilakukan setiap 6 jam, 2
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
ikan-ikan yang tertangkap dihitung jumlah untuk masing-masing jenisnya, kemudian dicuci bersih dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup (styrofoam box) yang berisi es (4oC). Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di analisis lebih lanjut. Pengukuran panjang-berat ikan Pengukuran panjang dan berat ikan dilakukan pada hari yang sama ikan diperoleh. Pada pengukuran panjang ikan alat yang digunakan adalah jangka sorong digital (tingkat ketelitian 0.01 mm). Sedangkan pada pengukuran berat total ikan, alat yang digunakan adalah timbangan digital dalam satuan gram dengan ketelitian 0.1 gram.
Gambar
1. Peta Lokasi Penelitian (sumber: www.googleearth.com)
Analisis data panjang - berat Model allometric linear (LAM) di gunakan untuk menghitung parameter a dan b melalui pengukuran perubahan berat dan panjang. Koreksi bias pada perubahan berat rata-rata dari unit logaritma digunakan untuk memprediksi berat pada parameter panjang sesuai dengan persamaan allometric berikut, berdasarkan DeRobertis & William (2008). W = a Lb Dimana W adalah berat ikan (g), L adalah panjang total ikan (mm), a dan b adalah parameter. Analisis data faktor kondisi Berat relatif (Wr) dan koefesien (K) faktor kondisi di gunakan untuk mengevaluasi faktor kondisi dari setiap individu. Berat relatif (Wr) di tentukan berdasarkan persamaan Rypel & Richter (2008) sebagai berikut: Wr = (W/Ws) x 100 Wr adalah berat relatif, W berat tiap-tiap ikan, dan Ws adalah berat standar yang diprediksi dari sampel yang sama karena dihitung dari gabungan regresi panjang-berat melalui jarak antar spesies : Ws = a Lb Koefesien kondisi Fulton (K) ditentukan berdasarkan Okgerman (2005) dengan rumus sebagai berikut: K= WL-3 x 100 dimana K adalah faktor kondisi, W adalah berat (g), L adalah panjang (mm) dan -3 adalah koefesien panjang untuk memastikan bahwa nilai K cenderung bernilai 1.
3
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
Hasil dan Pembahasan Hubungan panjang-berat Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 295 ekor, terdiri dari 98 ekor ikan belanak (Mugil cephalus), 100 ekor ikan petek (Leiognathus fasciatus) dan 97 ekor ikan seriding (Ambasis koopsii). Ikan belanak (M.cephalus) memiliki panjang total berkisar antara 68.23 mm sampai 150.84 mm (rata-rata 98.57 ±12.61 mm) dan berat berkisar antara 4 g sampai 31 g (rata-rata 12.34 ±4.74 g). Ikan petek (L. fasciatus) memiliki panjang total yang berkisar antara 54.34 mm sampai 127.34 mm (rata-rata 82.46 ±17.82 mm) dan berat berkisar antara 2 g sampai 33 g (rata-rata 10.03± 6.63 g). Sedangkan ikan seriding (A. koopsii) memiliki kisaran panjang total antara 68.85 mm sampai 95.79 mm (ratarata 82.06 ± 4.99 mm) dan kisaran berat antara 3 g sampai 14 g (rata-rata 7.12 ±1.51 g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi pola pertumbuhan ikan dan faktor kondisi (Tabel 1). Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Sedangkan ikan petek (L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan bersifat allometrik positif. Grafik hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan yang diteliti disajikan pada (Gambar 2 & Gambar 3). Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r) berkisar 0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352 sampai 0.930 masing-masing ditemukan pada ikan seriding (A. koopsii), ikan petek (L. fasciatus) secara berurutan. Kami menemukan bahwa ikan petek memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, hasil yang berbeda diperoleh Djadja & Saadah (2001) pada ikan Leiognathus splendens diperoleh pola pertumbuhan bersifat isometrik, namun nilai b keduanya cenderung mendekati 3 (isometrik). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan petek memiliki bentuk tubuh pipih menegak (compressed), diduga penambahan bobot ikan tidak hanya disebabkan oleh pertambahan panjang, tetapi juga disebabkan oleh pertambahan tinggi badan, sehingga tidak memperlihatkan bentuk tubuh yang montok sebagaimana ikan dengan pola allometrik positif pada umumnya. Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding (A. koopsii) memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Hasil yang sama dijumpai pada ikan Mugil dussumieri (Sulistiono et al., 2001) dan Rhinomugil corsula famili yang sama (Mugilidae, Sani et al., 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan perairan Kuala Gigeng relatif lebih menguntungkan bagi ikan petek (L. fasciatus). Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling (Jenning et al., 2001) dan juga kondisi biologis seperti perkembangan gonad dan ketersediaan makanan (Froese, 2006). Dalam penelitian ini ditemukan nilai b relatif kecil dan hasil pengukuran arus menunjukkan kondisi perairan relatif tenang sehingga bertolak belakang dengan Shukor et al., (2008), yang menyebutkan bahwa ikan yang hidup diperairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang lebih rendah dan sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang besar. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkah laku ikan, ini sesuai dengan pernyataan Muchlisin (2010b) yang menyebutkan bahwa besar kecilnya nilai b juga dipengaruhi oleh perilaku ikan, misalnya ikan yang berenang aktif (ikan pelagis) menunjukkan nilai b yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan yang berenang pasif (kebanyakan ikan demersal). Mungkin hal ini terkait dengan alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan pertumbuhan. Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r) berkisar 0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien korelasi yang tinggi menunjukkan hubungan yang erat antara pertambahan berat dengan pertambahan panjang dan sebaliknya. Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352 sampai 0.930. Hal ini bermakna 35% sampai 93% dari total varian pertambahan berat dapat dijelaskan oleh grafik hubungan panjang-berat tersebut (Gambar 2), masing-masing ditemukan pada ikan seriding (A. kopsii) dan ikan ciriek (L. fasciatus) secara berurutan.
4
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
Faktor kondisi Ikan belanak (M. cephalus) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 1.74 sampai 3.07 (rata-rata 2.51±0.22) dan berat relatif (Wr) berkisar 48.76 g sampai 195.41 g (rata-rata 103.18±15.2 g). Ikan petek (L. fasciatus) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 0.96 sampai 3.29 (rata-rata 2.36±0.53) dan berat relatif (Wr) berkisar 55.06 g sampai 158.56 g (rata-rata 104.59 ± 19.34). Sedangkan ikan seriding (A. koopsii) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 1.29 sampai 2.88 (rata-rata 2.26±0.19) dan berat relatif (Wr) berkisar 48.76 g sampai 195.41g (rata-rata 103.51±17.46 g). Hasil perhitungan menunjukkan nilai berat yang diamati (observed weight) lebih rendah berbanding berat yang diprediksi (predicted weight), ini mengindikasikan kondisi perairan kurang baik untuk mendukung pertumbuhan. Namun nilai faktor kondisi memberikan nilai rata-rata diatas 100. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator rendah disini, ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2002) bahwa perairan estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi sebagian besar organisme, tetapi bagi organisme yang dapat menyesuaikan diri akan dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dan kondisi ini juga dapat menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. FAO (1983) juga menyatakan bahwa predator yang pada umumnya ditemukan di wilayah muara adalah spesies reptilia seperti ular dan biawak, namun di Asia jumlah spesies reptilia yang ditemukan sedikit. Variasi pasokan pakan yang terjadi antar musim dapat mengubah faktor kondisi musiman (Offem et al., 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan (Anderson & Neumann, 1996) nilai berat relatif (Wr) berada dibawah 100 bagi suatu individu ataupun populasi menunjukkan adanya masalah seperti rendahnya ketersediaan mangsa atau tingginya kepadatan suatu predator. Sedangkan apabila nilai berat relatif (Wr) berada di atas 100 hal ini menunjukkan kelebihan ketersediaan suatu mangsa atau rendahnya kepadatan suatu predator. Selain ketersediaan pakan atau pemangsa, faktor biotik, abiotik dan manajemen perikanan juga dapat mempengaruhi berbagai faktor kondisi (Murphy et al., 1991; Blackwell et al., 2000). Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum, produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan (Richter,2007; Blackwell et al., 2000). Faktor kondisi ini mencerminkan karakteristik morfologi tubuh, kandungan lipid dan tingkat pertumbuhan (Bister et al., 2000; Rypel & Richter, 2008; Froese, 2006; Stevenson & Woods, 2006). Secara umum nilai faktor kondisi ketiga jenis ikan yang diteliti tidak berbeda. Namun, nilai faktor kondisi yang di peroleh ikan belanak lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lain. Ikan dengan faktor kondisi yang lebih tinggi diharapkan akan memiliki fekunditas lebih tinggi daripada ikan dengan faktor kondisi lebih rendah (Baltz & Moyle, 1982). Ini sesuai dengan Sulistiono et al., (2001) yang menyatakan ikan belanak termasuk kedalam kelompok ikan yang mempunyai fekunditas yang cukup tinggi, hal ini merupakan daya adaptasi ikan tersebut untuk mempertahankan populasinya di alam.
5
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
Tabel 1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan belanak, petek dan seriding
Parameters
Ikan belanak (Mugil cephalus) (n=98)
Ikan petek fasciatus) (n=100)
Panjang Total (TL) mm (rata-rata±SD)
68.23-150.84 (98.57 ±12.61)
54.34-127.34 (82.46 ±17.82)
68.85-95.79 (82.06 ± 4.99)
Berat (W) gr (rata-rata ±SD)
4-31 (12.34 ±4.74)
2-33 (10.03 ±6.63)
3-14 (7.12 ±1.51)
Berat (Ws)
12 ± 4.55
9.66±6.40
6.88±0.84
48.76-195.41 (103.18±15.20)
55.06-158.56 (104.59±19.34)
48.76-195.41 (103.51±17.46)
1.74-3.07 (2.51±0.22)
0.96-3.29 (2.36±0.53)
1.29-2.88 (2.26±0.19)
Indek koefesien diterminasi (R2)
0.860
0.930
0.352
Indek (r)
0.927
0.964
0.593
2.81
3.18
2.00
yang
diprediksikan
Berat Relatif (Wr) (rata-rata ±SD) Faktor Kondisi Fulton (rata-rata ±SD)
Nilai b
koefesien
(K)
korelasi
6
(Leiognathus
Ikan seriding koopsii) (n=97)
(Ambasis
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
(d) (d)
(e)
(f)(f)
Gambar 2. Hubunganpanjang berat (a) ikan belanak (Mugil cephalus) n=98, (b) ikan petek (Leioghnathus fasciatus) n=100 dan (c) ikan seriding (Ambassis koopsii) n=97. Perbandingan hubungan panjang-berat yang diamati dan prediksi (d) ikan belanak (Mugil cephalus) (e) ikan petek (Leioghnathus fasciatus) dan (f) ikan seriding (Ambassis koopsii).
Kesimpulan Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan bervariasi, ikan petek (Leiognathus fasciatus) memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, sedangkan ikan belanak (Mugil cephalus) dan ikan seriding (Ambasis koopsii) memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan Kuala Gigeng merupakan perairan yang lebih menguntungkan bagi ikan petek (L. fasciatus). Faktor kondisi ketiga jenis ikan berdasarkan nilai berat relatif (Wr) berada diatas 100, menunjukkan ketersediaan makanan mencukupi atau kepadatan predator rendah. Nilai faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda, ini mengindikasikan kondisi perairan relatif baik dan mendukung pertumbuhan ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambasis koopsii) dan ikan petek (L. fasciatus).
7
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka Anderson, R.O., R.M. Newmann. 1996. Length weight and associated structural indices. In: Fisheries techniques, 2nd edition. B.R.Murphy and D.W. Willis (eds). American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. pp 447-481. Baltz, O.M, P.B. Moyle. 1982. Life history characteristics of tule parch (Hysterocarpus trask) populations in contrasting environments. Environmental Biology of Fish, 7: 227-242. Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status and current use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries Science, 8: 1-44. Bister, T.J., D.W. Willis, M.L. Brown, S.M. Jordan, R.M. Neumann, M.C. Quist, C.S. Guy. 2000. Proposed standard weight (Ws) equations and standard length categories for 18 warmwater nongame andriverine fish species. North American Journal of Fisheries Management. 20:570-574. De Robert, A., K. William. 2008. Weight-legth relationship in fisheries studies: the standard allometric model should be applied with caution. Transaction of the American Fisheries Society, 137: 707-719. Djadja, S.S., Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leioghnathus splendens cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi Indonesia. 1(1): 13-17. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Everhart, W.H., W.D. Youngs. 1981. Principles of fishery Science. 2nd Edition Comstock Publishing Associates, a division of Cornell University Press, London. FAO. 1983. Management and Utilization of Mangroves in Asia Pasific. FAO Environmental Paper 3, FAO, Rome. Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight length relationship: history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology, 22: 241-253. Jennings, S., M.J. Kaiser, J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell Sciences, Oxford. Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus ruselli) dari Perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Oseanologi dan Limnologi, 35(1): 65-74. Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang – berat dan faktor kondisi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perairan Laut, 73 : 35 - 44. Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. Siti-Azizah. 2010a. Length-weight relationships and condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and Poropuntius tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia. Journal of Applied Ichthyology, 26: 949-953. Muchlisin, Z.A. 2010b. Diversity of freswater fishes in Aceh Province, Indonesia with emphasis on several biological aspects of the Depik (Rasbora tawarensis) an endemic Species in Lake Laut Tawar. Disertasi Ph.D Universiti Sains Malaysia, Penang. Murphy, B.R., M.L. Brown, T.A. Springer. 1990. The relative weight (Wr) index in fisheries management: status and needs. Fisheries, 16(2): 30-38. Nuraini, S. 2007. Jenis ikan kerapu (Serranidae) dan hubungan panjang – berat di Perairan Berau Kalimantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7(2): 61-70. Offem, B.O., Y. Akegbejo-Samsons, I.T. Omoniyi. 2007. Biologicalassessment of Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae: Linne:1958) in a tropical floodplain river. African Journal of Biotechnology, 6(16): 1966-1971. Okgerman, H. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition factor of Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International Journal of Zoological Research, 1(1): 6-10. Redjeki, S. 2003. Faktor kondisi dan hubungan panjang – berat ikan sebelah (Psettodes erumel) di Perairan Jepara. Laporan Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang. Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries Management, 27: 936-939. 8
Depik, 1(1):1-9 April 2012 ISSN 2089-7790
Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Emperical percentile standard weight equation for the Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28: 1843-1846. Sani, R., B. K. Gupta, U. K. Sarkar, A. Pandey, V. K. Dubey, W. S. Lakra. 2010. Length–weight relationships of 14 Indian freshwater fish species from the Betwa (Yamuna River tributary) and Gomti (Ganga River tributary) rivers. Journal of Applied Ichthyology, 26: 456-459. Shukor, M.Y., A. Samat, A.K. Ahmad, J. Ruziaton. 2008. Comparative anaalysis of length-weight relationship of Rasbora sumatrana in relation to the physicochemical characteristic in different geographical areas in peninsular Malaysia. Malaysian Applied Biology, 37(1): 21-29. Stevenson R.D., W.A. Woods. 2006. Condition indices for conservation: new uses for evolving tools. Integrative and Comparative Biology, 46:1169-1190. Sulistiono, M. Arwani, K.A. Aziz. 2001. Pertumbuhan ikan belanak Mugil dussumieri diperairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 1(2): 3947. Umar, C., Lismining. 2006. Analisis hubungan panjang – berat beberapa jenis ikan asli Danau Sentani Papua. Abstrak Seminar Nasional Ikan IV, 8-9 Juni 2010, Bogor.
9
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Analisa ekonomi budidaya kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung di Indonesia Economic analysis for tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus and humpback grouper Cromileptes altivelis in commercial cage culture system in Indonesia Farok Afero Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Banda Aceh 23121. Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. This study presents an economic analysis of tiger and humpback grouper at different production scales in Indonesia. The results highlight the nonviability of small scale tiger grouper, with a 5 years projected negative cumulative cash flow of – Rp. 18.102.650 and a negative net present value (NPV) of – Rp. 22.059.576. An increasing production scale of tiger grouper highlight a marginal viability for medium scale (with a 5 year projected cumulative cash flow of Rp. 198.320.673 and a positive NPV of Rp. 105.578.440; with a benefit cost ratio of 1,25; an internal rate of return (IRR) of 88%; and a payback period of 0,99 year), and an economically viable of large scale cage culture (with a 5 year projected cumulative cash of Rp. 707.746.923; a NPV of Rp. 406.801.749; a benefit cost ratio of 1,33;an internal rate of return of 157%; and a payback period of 0,57 year). The economic analysis of humpback grouper at different production scales highlight positive cumulative cash, a positive NPV, a benefit cost ratio higher than 2, an internal rate of return over 300% and a payback period of less than one year. A sensitivity analysis revealed that increased survival rate up to 80% would increase cumulative cash and NPV of small scale tiger grouper cage culture. Additionally, improved profitability performance was associated with decreased major production costs, increased production and price of the product. Keywords: Tiger grouper, Humpback grouper, Production scale, profitability Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi budidaya kerapu macan dan bebek dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan arus kas kumulatif negatif sebesar –Rp. 18.102.650 dan NPV negatif –Rp. 22.059.576. Peningkatan skala produksi (skala menengah) meningkatan keuntungan (proyeksi aliran kas kumulatif selama 5 tahun sebesar Rp. 198.320.673, NPV sebesar Rp. 105.578.440, B/C 1,25; IRR 88%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,99 tahun), sedangkan untuk skala besar (dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan kas kumulatif sebesar Rp. 707.746.923; NPV sebesar Rp. 406.801.749, B/C 1,33; IRR 157%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,57 tahun). Analisis ekonomi kerapu bebek pada skala produksi yang berbeda menunjukkan kas kumulatif positif, NPV positif, ratio manfaat-biaya (B/C) lebih tinggi dari 2, IRR lebih dari 300% dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa sintasan kehidupan lebih 80% akan meningkatkan kas kumulatif dan NPV pada budidaya kerapu macan skala kecil. Selain itu, peningkatan profitabilitas berkaitan dengan penurunan biaya produksi, peningkatan produksi dan harga produk. Kata kunci: Kerapu macan, Kerapu bebek, skala produksi, profitabilitas.
10
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Pendahuluan Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000 ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi makanan ikan laut (FAO, 2003). Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 13.000 pulau, sekitar 75% (5,8 mill km persegi) dari total luas ditutupi oleh laut. Memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 80.000 km. Diperkirakan area untuk budidaya laut di sekitar 62.629 ha, dengan produksi tahunan sebesar 890.074 MT. Indonesia adalah produsen utama kerapu, dimana produksi ikan kerapu budidaya pada tahun 1999 sebesar 759 ton, meningkat menjadi 6.493 ton pada tahun 2005 dengan nilai total sekitar Rp. 116.891.489.000. Budidaya kerapu di Indonesia tersebar dari Sumatera sampai Papua dan terkonsentrasi di beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi Utara. Total produksi ikan kerapu di Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur dan Bali pada tahun 2005 masing-masing sebesar 4.496 ton, 388 ton 24 ton dan 180 ton (DKP, 2006). Ketersediaan benih merupakan komponen penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan dibangun baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu itu. Kawahara & Ismi (2003) melaporkan terdapat 123 unit pembenihan memproduksi benih kerapu macan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Sugama (2003) melaporan bahwa 3,8 juta benih ikan kerapu macan dengan ukuran 5-10 cm dihasilkan oleh balai benih ikan di Indonesia pada tahun 2002. Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi usaha budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Harga beli benih kerapu macan dan bebek masing-masing berkisar Rp. 600-700/cm dan Rp.1000-1200/cm. Biaya benih adalah biaya terbesar dan mencapai 36,5% dan 36,72% dari total biaya produksi untuk budidaya kerapu macan dan kerapu bebek secara berurutan (DKP, 2001). Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi. Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.), layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al., 2002). Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja masingmasing menyumbang 18% dan 7% dari total biaya produksi budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Budidaya kerapu membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk memotong ikan rucah, penggolongan (grading) mingguan dan perendaman ikan di air tawar untuk mencegah penyakit. Oleh karena itu, manajemen biaya produksi yang efisien akan meningkatkan profitabilitas usaha. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan usaha budidaya kerapu macan dan bebek serta memberikan informasi analisa ekonomi untuk pelaku usaha tentang skala ekonomis budidaya kerapu. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen memahami dan menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta kendala ekonomi yang dihadapi oleh produsen.
Bahan dan Metode Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada November 2009. Semua data untuk penelitian ini dikumpulkan dari daerah penghasil kerapu di Indonesia (Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur dan Bali). Untuk menilai dan membandingkan dampak dari skala ekonomi pada profitabilitas, usaha budidaya dikategorikan berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 100 juta, antara 100 dan 200 juta dan lebih dari 200 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masingmasing skala kecil, menengah dan besar. 11
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari produsen kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Sebanyak 65 petani ikan diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan, 48 sampel digunakan untuk analisa lebih lanjut. Sampel terakhir untuk budidaya kerapu macan berdasarkan skala adalah skala kecil (10 petani ikan), menengah (8 petani ikan) dan besar (6 petani ikan). Sementara sampel untuk usaha kerapu bebek adalah skala kecil (11 petani ikan) menengah (9 petani ikan) dan besar (4 petani ikan). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik selanjutnya dianalisis secara deskriptif
Hasil dan Pembahasan Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi budidaya ikan kerapu macan dan bebek dengan skala produksi berbeda. Tabel 1 menjelaskan padat tebar budidaya kerapu macan untuk skala kecil (9 ekor/m3), skala menengah (15 ekor/m3) dan skala besar (19 ekor/m3). Ukuran tebar benih kerapu berkisar 7,90-9,66 cm. Rasio konversi pakan adalah 3,19 untuk skala kecil dan 4,27 untuk skala besar. Bobot panen lebih besar dari 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 9,05 -10,66 bulan. Pada budidaya kerapu bebek kepadatan tebar untuk skala kecil (8 ekor/m3) skala menengah (9,5 ekor/m3) dan skala besar (10 ekor/m3). Tingkat kelangsungan hidup adalah antara 52,50% sampai 62% dan ukuran tebar berkisar 10,27-11,00 cm. Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 5,44, 6,02 dan 13,52. Bobot panen di atas 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 15,54-16,75 bulan (Table 2). Tabel 1. Ringkasan produksi kerapu macan dengan skala produksi berbeda Variabel 3
Padat tebar (m )
Kecil
Menengah
Besar
9,00
15,00
19.00
72,70
66,50
71.00
Ukuran benih (cm)
7,90
7,12
9,66
Rasio konversi pakan (FCR)
3,19
4,16
4,27
457,00
462,00
516,00
Sintasan kehidupan (%)
Ukuran panen (gram) Masa pemeliharaan (bulan) Produksi (kg)
9,05
10,00
10,66
665,50
3.074,25
8.487.00
Tabel 2. Ringkasan produksi kerapu bebek dengan skala produksi berbeda Variabel
Kecil
Menengah
Besar
Padat tebar (m )
8,00
9,50
10,00
Sintasan kehidupan (%)
60,00
62,00
52,50
Ukuran benih (cm)
10,27
10,89
11,00
3
Rasio konversi pakan (FCR) Ukuran panen (gram) Masa pemeliharaan (bulan) Produksi (kg)
5,44
6,02
13,52
472,00
468,00
492,00
15,54
15,77
16,75
416,82
1.146,89
4.262,50
Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dan bebek. Biaya tetap pada budidaya kerapu macan berkisar antara 9% sampai 25%. Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih adalah komponen pengeluaran terbesar, berkisar antara 28% dan 42%. Pakan adalah biaya terbesar kedua pada skala menengah (24%) dan skala besar (32%), sementara itu biaya tenaga kerja (26%) adalah biaya terbesar kedua usaha skala kecil. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa budidaya skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala menengah dan kecil (Tabel 3). Dalam budidaya kerapu bebek, biaya tetap berkisar antara 10% sampai 13%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh 12
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
biaya pakan kecuali pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya kedua terbesar (Tabel 4).
Tabel 3. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dengan skala produksi berbeda Variable
Kecil
%
Menengah
%
Besar
%
1.Biaya modal Keramba
29.900.000
56.380.952
96.121.212
Peralatan
2.600.000
7.375.000
20.000.000
Perahu
1.500.000
3.000.000
3.000.000
34.000.000
66.755.952
119.121.212
Depresiasi
6.800.000
13.351.190
23.824.242
Pemeliharaan
1.730.000
3.325.000
5.950.000
Izin
1.370.000
2.550.000
4.350.000
Total biaya tetap
9.900.000
24,7
19.226.190
15,6
34.124.242
Benih
11.380.000
28,4
41.525.000
33,8
154.000.000
42,1
Pakan
5.980.000
14,9
29.925.000
24,3
116.916.600
31,9
Buruh
10.200.000
25,5
24.825.000
20,2
48.783.000
13,3
510.000
1,3
3.200.000
2,6
4.666.713
1,3
1.290.000
3,2
2.600.000
2,1
5.566.000
1,5
790.000
2,0
1.662.500
1,4
1.916.660
0,5
Total biaya variabel
30.150.000
75,3
103.737.500
Total biaya produksi
40.000.000
122.850.000
365.965.573
59.500
57.500
65.000
39.597.250
176.769.375
551.655.000
Total modal 2.Biaya Produksi Biaya tetap
9,3
Biaya variable
Vitamin Solar Lain-lain
84,4
331.848.973
90,7
3. Keuntungan Harga (kg) Total keuntungan
Analisis indikator keuangan budidaya kerapu macan dan bebek pada skala produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan usaha skala kecil budidaya kerapu macan mengalami kerugian besar baik untuk proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, dengan arus kas kumulatif – Rp. 18.102.650 pada tahun ke 5. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV negatif - Rp. 22.059.576 untuk jangka waktu 5 tahun (Tabel 5), mengindikasikan bahwa investasi ditolak. Budidaya skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar Rp. 198.320.673 dan NPV sebesar Rp. 105.578.440. Rasio manfaat-biaya (B/C) sebesar 1,25 dan IRR sebesar 88% menunjukkan kalayakan usaha budidaya kerapu macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif sebesar Rp. 707.746.923 dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Rasio manfaat-biaya (1,33), IRR (157%) dan periode pengembalian (0,57 tahun) menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi menghasilkan kinerja ekonomi yang positif. Analisis keuangan budidaya kerapu bebek pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan proyeksi arus kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826) menengah (Rp. 446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp. 13
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
286.822.375) dan skala besar (Rp. 1.088.181.355) selama periode 5 tahun. Analisis keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari 2, IRR lebih besar dari 300% untuk semua skala produksi dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun. Tabel 4. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu bebek dengan skala produksi berbeda Variable
Kecil
%
Menengah
%
Besar
%
1.Biaya modal Keramba Peralatan
14.100.000
39.200.000
131.500.000
2.000.000
7.000.000
15.000.000
1.000.000
2.500.000
5.000.000
17.100.000
48.700.000
151.500.000
3.420.000
9.740.000
30.300.000
Pemeliharaan
918.100
2.433.000
7.825.000
Izin
645.400
1.766.000
5.925.000
Perahu Total modal 2.Biaya Produksi Biaya tetap Depresiasi
Total biaya tetap
4.983.500
12,6
13.939.000
13,1
44.050.000
9,5
Benih
15.409.091
39,1
44.944.444
42,4
192.625.000
41,3
Pakan
5.672.727
14,4
20.000.000
18,9
129.900.000
27,9
Buruh
8.609.000
21,8
18.766.660
17,7
64.850.000
13,9
Vitamin
1.327.270
3,4
1.655.500
1,6
10.850.000
2,3
Solar
1.563.630
4,0
3.888.800
3,7
13.775.000
3,0
1.863.000
4,7
2.888.000
2,7
10.000.000
2,1
92.143.404
86,9
Biaya variable
Lain-lain Total biaya variabel
34.444.718
87,4
422.000.000
Total biaya produksi
39.571.218
106.030.404
467.000.000
266.818
300.000
318.500
111.215.078
344.067.000
1.357.606.250
90,5
3. Keuntungan Harga (kg) Total keuntungan
Hasil analisa sensitivitas beberapa variabel utama yang mempengaruhi profitabilitas budidaya kerapu macan dan bebek dirangkum dalam tabel 7 dan 8. Hasil analisa sensitivitas untuk usaha budidaya kerapu macan skala kecil menunjukkan bahwa tingkat sintasan hidup meningkat memiliki efek berarti dalam hal menghasilkan NPV positif. Hasil penelitian menunjukkan penurunan produksi sebesar 20% mengakibatkan penurunan NPV dan B/C yang signifikan pada skala produksi menengah dan besar. Selain itu, kedua skala produksi menunjukkan penurunan NPV yang signifikan ketika harga jual turun menjadi Rp. 50.000 (Tabel 7). Hasil analisa sensitivitas pada budidaya kerapu bebek menunjukkan kelayakan ekonomi dengan NPV positif pada semua skala produksi. Peningkatan produksi dan harga terbukti memiliki pengaruh terbesar terhadap profitabilitas pada semua skala produksi (Tabel 8).
14
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Sintasan kehidupan kerapu macan dan bebek pada skala berbeda masing-masing 75% dan 65%. Ikan kerapu adalah ikan kanibalisme dan hampir dari kematian terjadi pada bulan pertama penebaran ke dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy & Lau (2002) melaporkan bahwa tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80% selama siklus pemeliharaan. Ukuran benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA di atas 7 cm mengingat benih kerapu bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro (1999) melaporkan bahwa ukuran minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar 7-10 cm. Angka kematian selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan kurang dari 5 cm (Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki tingkat kelangsungan hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan (Leong, 1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti pada skala besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu, kepadatan tebar yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan kontribusi positif pada sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas benih dan mengurangi kanibalisme dengan cara pemilahan dapat meningkatkan tingkat sintasan kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan volume produksi.
Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu macan dengan skala produksi berbeda Perhitungan profitabilitas Kecil Menengah Besar Arus Kas Kumulatif
-18.102.650 198.320.673
707.746.923
NPV
-22.059.576 105.578.440
406.801.749
B/C
0,84
1,25
1,33
IRR (%)
88%
157%
Payback period (tahun)
0,99
0,57
Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu bebek dengan skala produksi berbeda Perhitungan profitabilitas Kecil Menengah Besar Arus Kas Kumulatif NPV
133.344.826 446.749.192
1.692.212.500
85.009.002 286.822.375
1.088.181.353
B/C
2,36
2,69
2,52
IRR (%)
361%
430%
506%
Payback period (tahun)
0,23
0,20
0,57
Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kedua kerapu sangat tinggi pada skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan pabrik (pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et al., (1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan rasio konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan ikan rucah, Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon et al., (1991) melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa biaya produksi satu kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan ikan berkorelasi langsung dengan FCR. Peningkatan FCR secara positif akan meningkatkan biaya produksi satu kilogram ikan kerapu. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi akan meningkatkan FCR. FCR pada budidaya kerapu macan dan bebek dalam skala besar masing-masing meningkat 1,34 15
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
dan 2,34 dibandingkan dengan skala kecil. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa meningkatnya skala operasi menyebabkan penggunaan rucah yang tidak efisien, yang berarti bahwa produsen skala besar membuang pakan lebih banyak dari produsen skala kecil. Panjang periode budidaya dan skala operasi membuat produsen skala besar kurang mengontrol manajemen pemberian pakan. Manajemen pemberian pakan pada budidaya kerapu harus di tingkatkan untuk meningkatkan effesiensi pemberian ikan rucah. Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala produksi (Gambar 1). Hasil ini sama dengan pendapat Shang (1990) yang menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan bebek adalah benih, pakan dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya produksi. Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi kecuali untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua kerapu dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah. Budidaya kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk pemberian makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.
(a)
Fixed cost
Fry
Feed
Labor
45
Fixed cost
(b)
Fry
Feed
Labor
45
40 40
35 Production cost (% )
Production cost (%)
35 30 25 20 15
30 25 20 15
10
10
5
5 0
0 Small
Gambar 1.
Medium Scale
Small
Large
Medium
Large
Scale
Biaya produksi kerapu macan (a) dan kerapu bebek (b) pada skala produksi berbeda
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan budidaya kerapu macan dan bebek. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha budidaya kerapu macan skala kecil tidak layak secara ekonomi. Dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan arus kas negative –Rp. 18.102.650 dan NPV negatif-Rp. 22.059.576 (Tabel 5). Proyeksi ini menunjukkan bahwa kerapu macan skala kecil mengalami kerugian besar dan harus ada perubahan besar agar usaha dalam skala ini menjadi layak. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam skala kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian tersebut diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64 dan IRR sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan harga Rp. 77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2004) memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa tingkat kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual Rp. 66.000. Oleh karena itu, meningkatkan ukuran panen dan sintasan kehidupan mungkin dapat meningkatkan profitabilitas pada usaha skala kecil. Sedangkan analisis keuangan budidaya kerapu bebek skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif positif, NPV positif serta IRR yang lebih tinggi. Hasil ini setuju dengan Pomeroy et al., (2006) bahwa budidaya kerapu bebek skala kecil memperoleh arus kas positif untuk proyeksi 5 tahun. 16
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Skala ekonomi jelas terlihat sebagai akibat dari meningkatnya skala produksi kerapu macan dan bebek. Berbeda dengan budidaya kerapu macan skala kecil, skala menengah menghasilkan aliran kas positif sebesar Rp. 198.320.673 dan NPV positif sebesar Rp. 105.578.440. Selain itu, usaha kerapu bebek skala menengah menghasilkan arus kas dan NPV, B/C serta IRR yang lebih tinggi. Estimasi ini menyoroti pentingnya skala ekonomi dan potensi kelayakan ekonomi pada tingkat output yang lebih tinggi. Hasil analisis pada skala besar lebih menekankan skala ekonomi yang penting bagi kelangsungan hidup ekonomi dan potensi keberhasilan pada skala besar. Hasil dari analisis ekonomi skala besar kerapu macan menunjukkan aliran kas positif sebesar Rp. 707.746.923 dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Selain itu, IRR yang lebih tinggi menunjukkan potensi yang besar pada skala besar dibandingkan kecil dan menengah. Proyeksi usaha kerapu bebek skala besar juga menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV tertinggi serta IRR lebih dari 300%. Dibandingkan dengan kinerja keuangan budidaya udang windu yang di estimasi oleh Dwijanti (2004) memperoleh kas bersih sebesar Rp. 107.992.997/ha/tahun; B/C 1,23; IRR 24%. DKP (2007) dalam studi budidaya dan analisa ekonomi budidaya udang melaporkan aliran kas bersih sebesar Rp. 226.960.000/ha/ tahun, B/C 1,87 dan periode pengembalian modal 1,2 tahun. Perbedaan besar profitabilitas antara usaha kerapu dan udang menunjukkan kinerja keuangan yang lebih kuat pada budidaya kerapu. Budidaya kerapu menawarkan pendapatan tinggi dan skala besar adalah skala produksi yang paling menguntungkan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa tingkat sintasan kehidupan, harga jual, peningkatan produksi dan pengurangan biaya produksi adalah variabel utama yang berpengaruh pada profitabilitas budidaya kerapu. Peningkatan sintasan kehidupan sampai 80% memberikan kontribusi positif pada NPV dengan skala produksi yang berbeda. Peningkatan sintasan kehidupan sampai 80% menyebabkan budidaya kerapu macan skala kecil menjadi layak secara ekonomi. Temuan ini sama dengan analisis ekonomi oleh Pomeroy et al., (2006) bahwa tingkat sintasan kehidupan 80% membuat usaha menjadi layak dan arus kas selama 5 tahun menjadi positif untuk setiap tahun produksi. Penurunan biaya benih dan pakan menghasilkan peningkatan NPV dan IRR yang signifikan dalam usaha skala menengah dan besar. Selain itu, penurunan produksi sebesar 20% menyebabkan penurunan NPV dan IRR yang signifikan pada skala produksi yang berbeda. Analisis juga menggarisbawahi bahwa kenaikan harga menjadi Rp. 70.000 mengakibatkan peningkatan NPV yang signifikan pada skala menengah dan besar tetapi gagal untuk meningkatkan NPV pada skala kecil. Analisis sensitivitas pada usaha kerapu bebek menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan biaya variabel menghasilkan NPV positif pada skala produksi yang berbeda. Selain itu, penurunan produksi dan harga bahkan tidak menghasilkan NPV negatif untuk semua skala produksi. Kesimpulannya bahwa peningkatkan sintasan kehidupan, benih yang unggul serta manajemen pakan yang effisien akan menjanjikan keuntungan ekonomi yang besar bagi produsen.
17
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Tabel 7. Ringkasan analisa sensitivitas usaha budidaya kerapu macan dengan skala produksi berbeda Net present value (NPV) Kecil
Benefit cost ratio (B/C) Kecil Menengah Besar
Menengah
Besar
47.854.657
231.250.002
580.453.076
1,34
1,54
+20%
-29.688.500
77.740.910
303.563.229
0,80
-20% Biaya Pakan
-14.430.651
133.415.969
510.040.269
+20%
-26.068.448
85.517.318
-20%
-18.050.703
+20% -20%
IRR (%)
Payback period
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
1,46
70
164
212
0.99
0,57
0,43
1,17
1,22
-
65
105
-
1,13
0,67
0,89
1,34
1,44
-
116
240
-
0,88
0,50
328.423.198
0,82
1,19
1,25
-
71
116
-
1,09
0,64
125.639.561
485.180.299
0,87
1,31
1,41
-
108
216
-
0,91
0,51
-28,897,452
88.936,256
374.098.601
0,80
1,20
1,29
-
74
138
-
1,07
0,60
-15.221.700
122.220.623
439.504.896
0,89
1,30
1,36
-
104
179
-
0,93
0,54
+20%
-1.667.266
194.038.999
681.597.789
0,99
1,46
1,55
-
143
246
-
0,65
0,37
-20%
-40.985.752
18.514.080
133.826.441
0,64
0,93
0,99
-
29
67
-
2,10
1,20
Rp. 70.000
-3.980.118
201.670.517
513.052.759
0,97
1,47
1,41
-
148
192
-
0,63
0,47
Rp. 50.000
-37.020.862
49.040.153
91.690.183
0,74
1,12
1,07
-
51
52
-
1,51
1,45
SR 80% Biaya benih
Biaya Buruh
Produksi
Harga
18
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Tabel 8. Ringkasan analisa sensitivitas usaha budidaya kerapu bebek dengan skala produksi berbeda Net present value (NPV)
Benefit cost ratio (B/C) Kecil Menengah Besar
Kecil
Menengah
Besar
136.178.120
446.171.022
2.119.419.152
3,17
3,62
+20%
80.899.181
274.648.622
1.041.157.983
2,21
-20% Biaya Pakan
89.083.257
298.519.515
1.143.464.973
+20%
83.484.770
281.511.175
-20%
86.497.669
+20% -20%
IRR (%)
Payback period
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
3,96
580
668
1028
0,15
0,13
0,09
2,51
2,37
343
409
499
0,24
0,20
0,17
2,52
2,89
2,73
378
445
549
0,22
0,19
0,59
1.053.685.109
2,30
2,60
2,42
354
419
507
0,23
0,20
0,17
291.895.268
1.126.807.722
2,41
2,77
2,67
367
435
541
0,22
0,19
0,16
82.705.013
281.600.394
1.075.089.912
2,27
2,61
2,48
351
420
516
0,23
0,20
0,17
87.277.425
291.567.742
1.109.533.044
2,45
2,76
2,60
370
434
532
0,22
0,19
0,16
SR 80% Biaya benih
Biaya Buruh
Produksi +20%
112.239.289
372.970.826
1.435.615.828
2,73
3,13
2,97
477
557
692
0,18
0,16
0.13
-20%
57.743.149
200.197.310
749.007.129
1,96
2,21
2,08
246
299
359
0,31
0,27
0.23
Rp. 350.000
131.046.379
362.726.095
1.270.593.525
3,09
3,13
2,79
557
542
611
0,16
0,16
0,14
Rp. 250.000
75.701.019
210.442.041
704.618.775
2,21
2,24
1,99
321
314
337
0,25
0,26
0,24
Harga
19
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Kesimpulan Hasil dari penelitian ini telah memberikan informasi penting tentang kelayakan ekonomi budidaya kerapu macan dan bebek pada skala produksi yang berbeda. Dalam hal kegiatan budidaya, kualitas benih perlu mendapat perhatian karena tingkat sintasan kehidupan masih rendah selama periode pemeliharaan. Produsen perlu memilih benih berkualitas tinggi untuk memastikan tingkat sintasan kehidupan lebih tinggi. Rasio konversi pakan yang lebih besar pada berbagai skala produksi terutama dalam skala besar sehingga manajemen pakan yang lebih baik harus diterapkan untuk mengurangi limbah pakan selama siklus pemeliharaan. Selanjutnya, penelitian ini juga menyoroti bahwa usaha kerapu macan skala kecil tidak layak secara ekonomis tetapi peningkatan sintasan kehidupan menjadi 80% dapat memberikan kontribusi positif pada skala ini. Usaha menengah dan besar menghasilkan usaha yang ekonomis. Akhirnya, usaha kerapu bebek menghasilkan pendapatan paling besar dibandingkan kerapu macan karena perbedaan pada harga pasar. Daftar Pustaka Chou, R., F.J. Wong. 1985. Preliminary observation on the growth and dietary performance of grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) in floating net cages and fed dry pelleted diet from autofeeds. Singapore J. Primary Ind., 13: 84-91. DKP. 2001. Pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) dan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta. DKP. 2006. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta. DKP. 2007. Aplikasi Best management practices pada budidaya intensif udang windu (Penaeus monodon Fabricius). Balai Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta. Dwijanti, R. 2004. Analisa kelayakan proyek budidaya udang windu Tiger prawn (Penaeus monodon L.) dala rangka pengembangan wilayah pessisir kabupaten Purworejo. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. FAO. 2003. FISHSTAT Plus 2.3. www. Fao.org/fi/statis/fispft/fishplus.asp/. Cited January 2009. Kawahara, S., S. Ismi. 2003. Grouper seed production statistics in Indonesia 1999-2002. Research Institute for marine aquaculture-Gondol in cooperation with institute for the Lampung marine aquaculture development and the Situbondo brackish water aquaculture development, Department of Marine Affairs and Fisheries, Indonesia. Leong, T. S. 1997. Management of marine finfish disease in Malaysia. Paper presented at a Seminar on Sustainable Development of Mariculture Industry in Malaysia, 30-31 July, 1997, Kuala Lumpur, Malaysia. Manadiyanto, N. Zahri, A.H. Purnomo, S.A. Pranowo, Azizi, A. Tajerin. 2002. Pengembangan model budidaya kerapu di Batam Riau. Pusat Riset Sosial Ekonomi dan Produk Olahan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Marte, C.L. 2003. Larviculture of marine species in Southeast Asia: current research and industry prospect. Aquaculture, 227: 293-304. Pomeroy, R.S., R. Agbayani, M. Duray, J. Toledo, G. Quinitio. 2004. The financial feasibility of small scale grouper aquaculture in the Philippines. Aquaculture Economics and Management, 8: 61-83. Pomeroy, R.S., J.E. Parks, C.M. Balboa. 2006. Farming the reef: is aquaculture a solution for reducing fishing pressure on coral reef? Marine Policy, 30: 111-130. Sadovy, Y. 2000. Regional survey for fry/fingerling supply and current practices for grouper mariculture: evaluating current status and long-term prospects for grouper mariculture in South East Asia. Final report to the Collaboration APEC grouper research and development network (FWG 01/99). December, 2000. Sadovy, Y.J., P.P.F. Lau. 2002. Prospect and problems for marine culture in Hong Kong. Aquaculture Economic and Management, 6 (3/4): 177-190. 20
Depik, 1(1): 10-21 ISSN 2089-7790
Sadovy, Y.J., T.J. Donaldson, T.R Graham, F. McGilvray, G.J. Muldoon, M.J. Phillipps, M.A. Rimmer, A. Smith, B. Yeeting. 2003. While stock last: the live reed food fish trade. ADB Pacific Studies Series. Asian Development Bank. Manila. Shang, Y.C. 1990. Aquaculture economic analysis: An introduction. World Aquaculture Society, Baton Rouge, LA. Sheriff, N. 2004. Fisher livelihoods in southern Thailand: sustainability and the role of grouper culture. Stirling University, UK. Sih, S.Y., M.A. Rimmer, J.D. Toledo, K. Sugama, I. Rumengan, K.C. William, M.J. Phillips. 2005. A Practical guide to feeds and feed management for cultured grouper. NACA, Bangkok, Thailand. Sih, S.Y. 2006. Grouper aquaculture in three Asian countries: farming and economic aspect. Deakin University, Australia. Sugama, K. 2003. Indonesia focuses on groupers. Asia Aquaculture Magazine September-October 2003. Tacon, A.G.J., N. Rausin, , M. Kadari, P. Cornelis. 1991 The food and feeding of tropical marine fishes in floating net cages: Asian seabasss, Lates calcarifer (Bloch), and brown-spotted grouper, Epinephelis tauvina (Forskal). Aquaculture and Fisheries Management, 22: 165-182. Wu, R.S.S., K.S. Lam, C.W. Mackay, T.S. Lau, V. Yam. 1994 Impact of marine fish farming on water quality and bottom sediment: a case study in the sub tropical environment. Marine Environmental Research, 38: 115-145. Yashiro, R., V. Vatanakul, P. Panichsuke. 1999. Status of grouper culture in Thailand. pp. 27-35. In: Report of the APEC/NACA Cooperative Grouper Aquaculture Workshop Hat Yai, Thaiand, 7-9 April 1999. Collaborative APEC Grouper Research and Development Network (FWG 01/99). Network of Aquaculture Centres in Asia Pacific, Bangkok, Thailand.
21
Depik, 1(1): 22-26 ISSN 2089-7790
Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan bandeng, Chanos-chanos The influence of salinity and buoyancy on hatchability of milkfish eggs, Chanos-chanos Sofyatuddin Karina*, Rizwan, Khairunnisak Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda aceh 2311. *E-mail :
[email protected]
Abstract. The objective of this research was to study the influence of salinity and buoyancy on hatchability of milkfish eggs (Chanos-chanos). The completely random design was used this study. Two factors i.e. salinity and buoyancy were tested where the salinity with three levels concentration; 16, 23 and 30 ppt, while the buoyancy with three egg buoyancy categories i.e. floating, drifting and sinking with three replicates respectively. The result showed that the hatchability of floating eggs in tested salinities were 76,7% ; 78,75% ; 91,7%, for 16, 23 and 30 ppt, respectively. Then drifting eggs were 65,3%; 67,0%; 77,0% and sinking eggs were 54,0% ; 55,3% ; 65,0% for 16, 23 and 30 ppt, respectively. In generally, the hatchability was increased with increasing of salinity. In addition, the hatchability of the floating eggs was higher than the sinking eggs. Keyword: Salinity, buoyancy, hatchability, milkfish. Abstrak. Salinitas dan daya apung memiliki peran penting terhadap daya tetas telur ikan bandeng. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan bandeng (Chanos-chanos). Rancangan acak lengkap digunakan sebagai analisis statistik untuk mempelajari pengaruh kedua parameter tersebut dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Daya apung yang diuji adalah mengapung, melayang dan tenggelam dengan tiga tingkatan salinitas 16, 23 dan 30 ppt. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase daya tetas telur yang mengapung pada ketiga salinitas tersebut secara berturut-turut adalah 76,7%; 78,7%; 91,7%, kemudian telur yang melayang adalah 65,3%; 67%; 77% dan telur yang tenggelam adalah 54%; 55,3%; 65%. Dengan kata lain, daya tetas telur meningkat seiring dengna meningkatnya salinitas. Berdasarkan analisis statistik one-way ANOVA dan uji lanjut Duncan menggunakan software SPSS versi 12 terdapat perbedaan yang nyata dari daya tetas telur pada salinitas 16 atau 23 ppt dengan 30 ppt. Juga dilaporkan bahwa telur yang mengapung memiliki daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan telur yang tenggelam. Kata kunci: Salinitas, daya apung, daya tetas telur, bandeng.
Pendahuluan Permintaan hasil perikanan termasuk ikan bandeng (Chanos chanos) terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani yang menyehatkan dan murah. Untuk mengantisipasi permintaan yang semakin meningkat, maka perlu dilakukan upaya peningkatan produksi, pelestarian dan pengembangan ikan
22
Depik, 1(1): 22-26 ISSN 2089-7790 bandeng melalui teknologi budidaya dan pembenihan untuk menjamin kuntinyunitas dan kualitas pasokan bibit. Selama ini, bibit atau nener bandeng yang digunakan untuk pembudidayaan umunya berasal dari alam, kemudian ditebarkan dan dibesarkan dalam tambak. Bibit yang berasal dari alam umumnya berkualitas rendah, ukuran tidak seragam dan berpotensi membawa bibit penyakit sehingga produksi ikan bandeng tidak memuaskan. Biologi reproduksi ikan bandeng dialam belum banyak diketahui, namun demikian telur ikan bandeng diketahui bersifat pelagik dan setelah menetas larva-larva ikan bandeng terbawa arus hanyut ke daerah pantai memasuki muaramuara sungai dan tambak (Murtidjo, 2002). Daya apung merupakan faktor penting dalam proses penyebaran dan penetasan telur ikan bandeng. Daya apung ini disebabkan oleh adanya perbedaan berat jenis telur dan air dan salah satu faktor penting yang mempengaruhinya adalah salinitas. namun, hal ini tidak menjamin telur ikan bandeng juga memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap perubahan salinitas. Sampai saat ini belum diketahui berapa kisaran salinitas yang optimum untuk penetasan telur ikan bandeng dan apakah telur yang tenggelam masih memiliki potensi untuk menetas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai salinitas media penetasan dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan bandeng. Bahan dan Metode Lokasi dan waktu Penelitian ini dilakukan di hatchery ikan bandeng Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Aceh Besar pada tanggal 10-16 Maret, 2011. Pemijahan dan koleksi telur Induk ikan bandeng dipijahkan secara alami dan massal dalam wadah berupa bak beton berbentuk bulat berdiameter 7 m dengan volume 250 m2. Induk bandeng berukuran 4-6 kg/ekor dipelihara dalam bak dengan kepadatan 1 ekor/8 m3 air atau sekitar 1 kg induk/2 m3. Induk-induk diberi pakan pelet dengan kandungan protein 38% dan lemak 8% yang diperkaya dengan vitamin dan minyak ikan untuk mempercepat pematangan gonat induk. Induk-induk ikan bandeng yang telah memijah pada malam hari, telurnya akan mengapung di permukaan air, telur-telur tersebut selanjutnya dihanyutkan/dialirkan melalui pipa yang dipasang menembus dinding bak induk dan dihubungkan dengan bak penampungan telur yang dilengkapi dengan kantong penampung telur (egg collector). Selanjutnya telur-telur dipindahkan ke dalam akuarium kaca untuk memilah telur yang mengapung, melayang dan tenggelam. Hanya telur yang berdiameter rata-rata 1,21 mm yang digunakan dalam kajian ini. Persiapan salinitas air media Air yang digunakan untuk media penetasan berasal dari air laut yang telah diendapkan dalam bak penampungan 12 jam sebelum dipakai. Salinitas yang diuji adalah 16, 23 dan 30 ppt, disiapkan dengan menambahkan aquades ke dalam air laut untuk memperoleh salinitas yang diinginkan dengan formula pengenceran menurut Kordi (2009). Rancangan percobaan Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 jenis perlakuan, masing-masing tiga taraf uji dan 3 kali perulangan. Perlakuan yang diuji adalah daya apung (buoyancy); mengapung, melayang dan tenggelam serta 3 perlakuan salinitas; 16, 23 dan 30 ppt. Dengan demikian terdapat 27 satuan percobaan yang akan diamati. Penanganan dan penetasan Telur Telur uji yang berasal dari egg collector dimasukkan ke dalam 3 wadah 10 L, masing-masing wadah diisi dengan telur yang berbeda daya apungnya. Wadah satu berisi telur yang mengapung (telur yang berada di permukaan air), 23
Depik, 1(1): 22-26 ISSN 2089-7790 wadah 2 berisi telur yang melayang (telur yang berada antara dasar dan permukaan air) dan wadah 3 berisi telur yang tenggelam (telur yang berada di dasar air. Dari ketiga wadah ini, sebanyak kurang lebih 100 telur masingmasing didistribusikan ke dalam 3 wadah untuk masing-masing jenis daya apung dengan salinitas yang telah ditentukan (16, 23 dan 30 ppt). Kemudian setelah 24 jam, daya tetas telur dihitung. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan jumlah telur, jumlah larva dan kualitas air. Pengamatan untuk jumlah telur dihitung secara manual menggunakan hand counter dengan bantuan beakerglass 50 mL. Pengamatan terhadap jumlah larva (telur yang menetas) setelah 24 jam juga dilakukan dengan cara yang sama. Menurut Suseno (1983) dalam (Putra, 2010) daya tetas telur ikan dapat dihitung dengan cara menghitung larva satu persatu kemudian dinyatakan dalam persen dengan rumus: Daya tetas telur =
x 100%
Analisa data Untuk mengetahui pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan bandeng (Chanos-chanos) digunakan analisis statistik one-way ANOVA dan uji lanjut Duncan menggunakan SPSS software versi 12.0 untuk menentukan perlakuan terbaik.
Hasil dan Pembahasan Salinitas 30 ppt adalah tingkat kadar garam normal pada air laut, pada salinitas ini induk ikan bandeng dipelihara dan dipijahkan. Salinitas 23 ppt adalah kisaran salinitasi media air laut - payau, di mana nener (stadium akhir larva bandeng) dipelihara di bak- bak hatchery bandeng. Sementara salinitas 16 ppt mewakili air payau, di alam kondisi ini dijumpai pada tambak-tambak dimana benih bandeng dipelihara atau dibesarkan mencapai ukuran konsumsi. Tabel 3. Persentase daya tetas (%) 3 kelompok telur ikan bandeng (Chanos-chanos) pada salinitas 16, 23 dan 30 ppt. Daya apung
Salinit Ulangan Rata-rata as 1 2 3 (ppt) Mengapung 16 72 80 78 76,7a 23 79 83 74 78,7 a 91,7 b 30 89 95 91 Melayang 16 68 62 66 65,3 a 23 64 68 69 67,0 a 30 79 72 80 77,0 b Tenggelam 16 51 59 52 54,0 a 23 56 52 58 55,3 a 30 62 66 67 65,0 b Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 1%.
24
Depik, 1(1): 22-26 ISSN 2089-7790
Gambar 1. Peningkatan daya tetas (%) telur ikan bandeng (Chanos-chanos) yang mengapung, melayang dan tenggelam dengan kenaikan salinitas dari 16 ppt ke 30 ppt. Daya tetas telur ikan akan menentukan kualitas larva yang dihasilkan, menurut Bobe dan Labbé (2010) bahwa kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain status nutrisi induk jantan/betina, penanganan/ manajemen induk saat pemijahan (tingkat pembuahan), faktor stress dan kondisi lingkungan seperti suhu, lama pencahayaan dan salinitas. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa daya tetas telur beragam untuk ketiga jenis daya apung dan salinitas yang diuji. Daya tetas yang paling tiggi diperoleh pada jenis telur yang mengapung dengan salinitas 30 ppt. Secara umum terlihat terjadi peningkatan yang signifikan pada daya tetas telur dengan meningkatnya salinitas dari 23 ppt ke 30 ppt, baik pada telur mengapung, melayang dan tenggelam, sementara tidak ada perbedaan antara daya tetas telur pada 16 ppt dengan 23 ppt. Pada penelitian ini, salinitas 30 ppt merupakan salinitas yang memiliki suhu lebih tinggi dari salinitas lainnya (16 dan 23 ppt). Data yang didapatkan adalah bahwa telur ikan bandeng pada ketiga jenis perlakuan masih dapat menetas pada salinitas yang cukup rendah yaitu 16 ppt, dengan laju penetasan 75,7% (mengapung), 65,3% (melayang) dan 54,0% (tenggelam), hal ini membuktikan bahwa telur ikan bandeng memiliki toleransi salinitas yang cukup luas sama halnya dengan sifat yang dimiliki oleh induknya. Selain dari pada itu, dapat disimpulkan juga bahwa telur yang mengapung memiliki kualitas lebih baik dari telur yang tenggelam serta salinitas di atas 23 ppt (hingga 30 ppt) adalah salinitas yang optimum untuk penetasan telur ikan bandeng.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data yang didapatkan selama penelitian dapat disimpulkan bahwa daya tetas telur yang mengapung lebih tinggi daripada telur yang tenggelam dan melayang pada semua tingkat salinitas yang diuji, namun telur yang tenggelam masih memiliki peluang untuk menetas. Daya tetas juga meningkat seiring dengan peningkatan salinitas.
25
Depik, 1(1): 22-26 ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka Bobe,
J., C. Labbé. 2010. Egg and sperm quality in fish. General and Comparative Endocrinology, 165(3):535-548. Chauduri, H., J.V. Juario, Jurgenne H. Primavera, R. Samson, R. Mateo. 1978. Observations on artificial fertilization of eggs and the embryonic and larval development of milkfish, Chanos-chanos (Forskal). Aquaculture, 13(2):95-113. Kordi, H., M. Gufran. 2009. Sukses memproduksi bandeng super untuk umpan, ekspor dan indukan. Lily Publisher, Yogyakarta. Murtidjo, B. Agus. 2002. Budidaya dan pembenihan bandeng. Kasinius, Yogyakarta. Suseno. 1983. Suatu perbandingan antara pemijahan alami dengan pemijahan stipping ikan mas (Cyprinus caprio. L) terhadap derajat fertilitas dan penetasan telurnya. Tesis magister Fakultas Pasca Sarjana Perikanan. UGM, Yogyakarta.
26
Depik, 1(1): 27-31 ISSN 2089-7790
Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batrachus) The selectivity test of ethyl acetate extract (EtOAc) of putat air kernel’s (Barringtonia racemosa) on golden snail (Pomacea canaliculata) and local catfish (Clarias batrachus) Musri Musman*, Sofyatuddin Karina, Kavinta Melanie Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; *Email korespondensi:
[email protected] Abstract. This study examined the selectivity of ethyl acetate extract of putat air (Barringtonia racemosa) in controlling Pomacea canaliculata compared to local catfish (Clarias batrachus). Five concentration of putat air (25, 50, 100, 200, and 400 ppm) with triplicate were tested in this study. The powder of putat air kernel was extracted through increasing the polarity of solvent, i.e. dichloromethane, ethyl acetate, and methanol. The mortality data were analyzed using Trimmed Spearman Karber (TSK) program version 1.5. The selectivity value was calculated based on LC50 values obtained from TSK. The results showed that (1) LC50 values of putat air’s kernel extract of putat air to P. canaliculata and C. batrachus were 25.00 and 87.06 ppm, respectively, (2) the selectivity value of putat air’s kernel extract as molluscicide of P. canaliculata was 3.48. Key words: Pomacea canaliculata, local catfish (Clarias batrachus), putat air (Barringtonia racemosa). Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa) dalam pengendalian hama keong mas (Pomacea canaliculata) yang dibandingkan terhadap ikan lele lokal (Clarias batrachus). Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Laut Jurusan Ilmu Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan dan Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala dari bulan Juni sampai Juli 2011. Serbuk biji putat air diekstraksi berdasarkan kepolarannya secara berurutan, yaitu diklorometana, etil asetat, dan metanol. Pada penelitian ini digunakan ekstrak etil asetat dari simplisia. Penelitian ini dirancang dengan lima perlakuan konsentrasi (25, 50, 100, 200, dan 400 ppm). Masing – masing sebanyak 10 individu organisme uji (ikan lele lokal, keong mas) digunakan pada tiap perlakuan. Tiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Ekstrak biji putat air dipajan ke dalam aquarium pengujian. Data hasil pengamatan mortalitas organisme uji dianalisis dengan program Trimmed Spearman Karber (TSK) version 1.5. Nilai selektivitas dihitung berdasarkan harga LC50 yang diperoleh dari program TSK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) LC50 ekstrak biji putat air terhadap keong mas adalah 25,00 ppm dan LC50 ekstrak biji putat air terhadap lele lokal adalah 87,06 ppm. (2) selektivitas ekstrak biji putat air sebagai antimoluska keong mas terhadap ikan lele lokal adalah 3,48. Kata kunci: keong mas (Pomacea canaliculata), ikan lele lokal (Clarias batrachus), putat air (Barringtonia racemosa).
Pendahuluan Keong mas (Pomacea canaliculata) adalah moluska introduksi dari Amerika Selatan (Musman, 2010), namun kemudian, keong mas menjadi hama utama tanaman padi (Suripto, 2009) dengan memakan batang padi muda yang lunak (Reubee, 2010). 27
Depik, 1(1): 27-31 ISSN 2089-7790 Pengendalian hama keong mas menggunakan moluskosida sintesis, bahan kimia ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena mengandung residu seperti metaldehid, niklosamid atau klorothalonil (Niawati, 2007). Penggunaan moluskosida sintesis berbahaya bagi kelangsungan hidup organisme lain di sawah dan dapat menyebabkan kematian bagi ikan - ikan, bahkan hewan peliharaan (Wada, 2004). Pencemaran lingkungan sebagai dampak dari pengendalian hama keong mas pada tanaman padi dapat dihindari dengan mencari alternatif moluskosida alami dari bahan tumbuhan (Suripto, 2009). Sejumlah tumbuhan tropis telah diketahui memiliki aktivitas antimoluska seperti jambu mente, akasia, dan jayanti (Suripto, 2009). Kelompok senyawa yang berasal dari tumbuhan yang telah diidentifikasi memiliki moluskosida aktif adalah golongan saponin, tanin, alkaloid, dan flavonoid (Musman, 2006). Putat air telah diuji memiliki aktivitas moluskosida dan efektif mengendalikan keong mas yang diuji di laboratorium (Musman, 2009). Untuk menilai kualitas suatu pestisida secara ekologis, bukan hanya ditentukan toksisitas terhadap organisme sasaran di dalam pengendaliannya, akan tetapi juga toksisitasnya terhadap organisme lain yang bukan sasaran pengendalian, seperti tanaman inang itu sendiri atau organisme lainnya di tempat yang sama dan memiliki manfaat bagi manusia (Suripto, 2009). Berdasarkan uraian di atas, perlu dikaji tentang selektivitas ekstrak etil asetat biji putat air (B. racemosa) terhadap keong mas (P. canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batrachus). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan selektivitas ekstrak etil asetat biji putat air dalam pengendalian hama keong mas yang dibandingkan terhadap ikan lele lokal.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Laut Jurusan Ilmu Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan dan Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2011. Pengumpulan buah putat air dan ekstraksi etil asetat Buah putat air dikumpulkan dari Desa Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar pada Juni 2011. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut diklorometana, etil asetat, dan metanol. Proses ekstraksi biji putat air dalam pelarut diklorometana Buah putat air dikupas kulitnya untuk diambil bijinya. Ditimbang berat semua biji yang telah dikupas sebagai berat basah (1,9 kg). Biji tersebut dirajang-rajang tipis dengan menggunakan pisau dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari. Rajangan tipis biji putat air diblender dan disaring pada ayakan. Ditimbang berat tepung yang diperoleh sebagai berat kering (550 g). Ditimbang 500 g tepung biji putat air dan masukkan ke dalam toples bervolume 1,5 liter. Dialirkan perlahan-lahan 1 liter pelarut diklorometana ke dalam toples dimaksud sambil diaduk-aduk hingga semua tepung terendam homogen, lalu didiamkan selama 24 jam. Campuran disaring dengan kertas Whatman No. 1. Filtrat yang diperoleh kemudian dievaporasi dengan pengawa putar hingga diperoleh padatan/pasta ekstrak kasar diklorometana. Ditimbang ekstrak kasar yang diperoleh dari hasil evaporasi dan disimpan dalam botol untuk uji selektivitas. Penyimpanan dilakukan dalam ruang pendingin. Proses ekstraksi biji putat air dalam pelarut etil asetat Diulangi langkah kerja di atas pada residu yang diperoleh dengan mengganti pelarut diklorometana dengan pelarut etil asetat. Residu yang diperoleh direndam dengan pelarut etil asetat. Filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan pengawa putar hingga diperoleh padatan/pasta ekstrak kasar etil asetat. Ditimbang ekstrak kasar yang diperoleh dari hasil evaporasi dan disimpan dalam botol untuk uji selektivitas. Penyimpanan juga dilakukan dalam ruang pendingin. Pengumpulan organisme uji dan persiapan wadah uji Organisme uji adalah keong mas dan ikan lele lokal, sebanyak 180 individu keong mas dengan panjang cangkang 3-4 cm dan 180 ekor ikan lele lokal dengan panjang total 3-5 cm. Organisme uji yang telah dikumpulkan, dimasukkan ke dalam ember yang telah diisi air tawar. Selanjutnya organisme uji dibawa ke 28
Depik, 1(1): 27-31 ISSN 2089-7790 tempat penelitian. Wadah uji yang digunakan untuk penelitian ini adalah aquarium berukuran 45x30x35 cm sebanyak 36 unit. Ketinggian air dalam wadah adalah 10 cm (Musman, 2010). Proses pencampuran ekstrak biji putat air dalam wadah uji Ekstrak biji putat air dibuat menjadi beberapa larutan konsentrat yaitu 25, 50, 100, 200, dan 400 ppm. Kelompok aquarium disusun dalam urutan pertama untuk keong mas dan kedua untuk ikan lele lokal. Enam baris aquarium terdiri atas baris pertama untuk kontrol (0 ppm), baris kedua untuk pemberian konsentrat 25 ppm, baris ketiga untuk pemberian konsentrat 50 ppm, baris keempat untuk pemberian konsentrat 100 ppm, baris kelima untuk pemberian konsentrat 200 ppm, dan baris keenam untuk pemberian konsentrat 400 ppm, pada masing-masing kelompok baris dilakukan tiga kali ulangan. Setiap aquarium diisi air sampai ketinggian 10 cm yang diukur dari dasar aquarium. Setiap aquarium kemudian diisi sebanyak masing-masing 10 ekor hewan uji tiap spesiesnya (Rudiyanti dan Ekasari, 2009; Suripto, 2009). Hewan uji diaklimasi selama 30 menit dalam wadah uji sebelum eksperimen dijalankan (Musman, 2010). Setekah 30 menit, larutan konsentrat ekstrak biji putat air dituangkan sebanyak 100 ml ke dalam masing-masing melalui dinding aquarium dan semua organisme uji telah di dalam air. Pengamatan kondisi dan mortalitas organisme uji Pegamatan mortalitas organisme uji dilakukan setelah 48 jam. Mortalitas keong mas ditandai dengan keluarnya lendir melalui celah operculum atau kakunya pergerakan operculum bila ditekan ke arah dalam (Musman, 2004). Rudiyanti dan Ekasari (2009) menyatakan bahwa ikan yang terkena racun dapat diketahui dengan gerakan hiperaktif, lebih sering berada di permukaan, menggelepar, lumpuh sehingga kemampuan ikan untuk beradaptasi semakin berkurang dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Analisa Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data mortalitas keong mas dan ikan lele lokal adalah program TSK (Trimmed Spearman-Karber) versi 1.5 yang diproses dengan perangkat lunak komputer (Hamilton et al., 1997). Hasil yang diperoleh dari TSK ini berupa LC50 (rerata konsentrasi yang mematikan) yaitu konsentrasi kimia yang membunuh 50% hewan uji. Nilai selektivitas ekstrak biji putat air dapat dihitung berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh tersebut, dengan menggunakan rumus dari Feng and Wang (1984) yaitu sebagai berikut: LC50 ikan lele lokal Selektivitas untuk ikan lele lokal = ___________________ LC50 keong mas Kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai selektivitas antimoluska secara fisiologis adalah sebagai berikut: - Jika S > 1, artinya ekstrak biji putat air memiliki selektivitas tinggi untuk pengendalian keong mas. - Jika S ≤ 1, artinya ekstrak dari biji putat air tidak selektif sebagai anti keong mas.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ektrak biji putat. Kematian keong mas mulai terjadi pada konsentrasi 25 ppm, sedangkan pada ikan lele kematian mulai terjadi pada konsentrasi 50 ppm (Gambar 1). Keong mas bergerak mencari makan dengan cara membuka operculum-nya dan menggerakkan kakinya. Keaktifan keong mas bergerak untuk mencari makanan berakibat pada seringnya terjadi kontak tubuh dengan bahan moluskosida (Musman, 2009), akibatnya ekstrak biji putat air terakumulasi pada kaki keong mas. Untuk mengurangi kontak lebih lanjut permukaan tubuhnya dengan moluskosida, keong mas mengeluarkan lendir. Namun pembentukan lendir dalam jumlah yang berlebihan ini, dapat menghambat proses pernapasannya dan mengakibatkan kematian.
29
Depik, 1(1): 27-31 ISSN 2089-7790
Gambar 2. Tingkat mortalitas keong mas dan ikan lele pada konsentrasi ekstrak biji putat air yang berbeda. Musman (2010) menyatakan bahwa pada biji putat air terkandung senyawa saponin dan flavonoid. Diduga adanya senyawa saponin dalam ekstrak biji putat air menyebabkan kematian pada keong mas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Musman (2009) yang menyatakan bahwa hadirnya saponin dalam badan air menyebabkan terhambatnya proses pernafasan pada keong mas. Francis et al.(2002) juga menjelaskan bahwa bahwa terhambatnya proses pernafasan pada keong mas terjadi karena difusi oksigen melalui insang terhalangi oleh lendir tersebut. Untuk ikan lele lokal, pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa daya tahan ikan lele lokal terhadap daya toksik ekstrak biji putat air lebih tinggi dibandingkan keong mas. Perubahan tingkah laku pada ikan lele lokal disebabkan karena adanya pengaruh pemberian ekstrak biji putat air. Perubahan tingkah laku yang tampak yaitu ikan aktif menghindar ketika diberi ekstrak putat air dan ikan mencoba mencari air yang belum terkontaminasi racun. Ikan lele lebih sering muncul ke permukaan air sebagai upaya untuk mendapatkan udara, hal ini diduga akibat banyaknya racun yang masuk ke tubuh, baik melalui insang atau saluran cerna. Rudiyanti dan Ekasari (2009) juga menyatakan bahwa ikan yang terkena racun dapat diketahui dengan gerakan hiperaktif dan lebih sering berada di permukaan. Kemudian ikan lele lokal bergerak lambat dan akhirnya menyebabkan kematian. Senyawa saponin yang terkandung dalam biji putat air bersifat racun untuk ikan (Orwa et al., 2009). Saponin juga merusak insang organisme akuatik (Clearwater et al.,, 2008). Reed et al. (1967) menyatakan bahwa racun tumbuhan mempengaruhi insang sehingga ikan sulit bernafas. Nilai selektivitas ekstrak biji putat air yang diperoleh dari perbandingan LC50 ikan lele lokal (87,06) terhadap LC50 keong mas (25,00) adalah 3,48. Nilai ini menunjukkan bahwa ekstrak biji putat air memiliki selektivitas yang tinggi. Artinya sifat racun ekstrak biji putat air sangat selektif terhadap keong mas, karena pada batasan konsentrasi tertentu ekstrak ini sudah mampu mematikan organisme sasaran yaitu keong mas, tetapi belum mematikan organisme non sasaran yaitu ikan lele lokal.
Kesimpulan Pemberian ekstrak biji putat air kepada keong mas dan ikan lele lokal berpengaruh terhadap mortalitas keong mas dan ikan lele lokal. LC50 ekstrak biji putat air terhadap keong mas adalah 25,00 ppm dan LC50 ekstrak biji putat air terhadap ikan lele lokal adalah 87,06 ppm berdasarkan uji TSK. 30
Depik, 1(1): 27-31 ISSN 2089-7790 Selektivitas ekstrak biji putat air sebagai antimoluska keong mas terhadap ikan lele lokal adalah 3,48.
Daftar Pustaka Clearwater, S.J., C.W. Hickey, M.L. Martin. 2008. Overview of Potential Piscicides and Molluscicides for Controlling Aquatic Pest Species in New Zealand. New Zealand. http://www.doc.govt.nz diakses pada tanggal 23 Oktober 2011. Feng, H.T., T.C. Wang. 1984. Selectivity of insecticides to Plutella xylostella (L) and Apanteles plutellae. Plan Prot. Bull., 26:275-284. Francis, G., Z. Keren, H.P.S. Makkar, K. Becker. 2002. The Biological Action of Saponins in Animal Systems: A Review. British Journal of Nutrition, 88:587-605. Hamilton, M. A., R.C. Russo, R.V. Thurston. 1997. Trimmed Spearman-Karber Method for Estimating Median Lethal Concentrations in Toxicity Bioassay. Environmental Science and Technology, 11(7):714-719. Musman, M. 2004. Pengaruh Ekstrak Metanol Buah Penteut (Barringtonia asiatica) Terhadap Mortalitas Keong Mas (Pomacea canaliculata). Jurnal Natural, 4 (2):99-11. ------. 2006. Laboratory and Field Evaluation of Molluscicide of Golden Snail (Pomacea canaliculata). Jurnal Bionatural, 8(1):39-46. ------. 2009. The Potency of Penteut Ie (Achehnese Barringtonia racemosa (L.) Spreng) as Molluscicide of Pomacea Species (Ampullariidae). In Abidin et al. (eds.). Understanding Disaster and Environmental Issues with Science and Engineering towards Sustainable Development. Proceeding The International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES ’09). Banda Aceh. ------. 2010. Toxicity of Barringtonia racemosa (L.) Kernel Extract on Pomacea canaliculata (Ampullariidae). Tropical Life Science Research, 21(2):4150. Niawati, S.T. 2007. Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai Solusi Alternatif Pengendalian Hama Telur Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamark) pada Tanaman Padi. http://studentresearch.umm.ac.id/ diakses pada tanggal 12 April 2011. Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt, R. Jamnadass, A. Simons. 2009. Barringtonia racemosa (L.) Spreng Lecythidaceae, Agroforestry Database: a tree reference and selection guide version 4.0. http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ diakses pada tanggal 09 April 2011. Reed, W., J. Burchard, A.J. Hopson, J. Jenness, L. Yaro. 1967. Fish and Fisheries of Northern Nigeria publication. Ministry of Agriculture press Northern Nigeria. Pp. 201-202. Reubee, A.A. 2010. Keong Mas Serang 500 Hektare Sawah. Media Indonesia online. http://www.mediaindonesia.com diakses pada tanggal 12 April 2011. Rudiyanti, S., A.D. Ekasari. 2009. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 g. Jurnal Saintek Perikanan, 5(1):39-47. Suripto. 2009. Selektivitas Anti Moluska Dari Tanaman Jayanti (Sesbania sesban (L.) Merr.). Jurnal Biologi Tropis. 10(1):24-32. Wada, T. 2004. Strategies for controlling the apple snail Pomacea canaliculata (Lamarck) (Gastropoda : Ampulliariidae) in Japanese direct-sown paddy fields. Japan Agricultural Research Quarterly, 38(2): 75-80.
31
Depik, 1(1): 31-36 April 2012 ISSN 2089-7790
Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh Study of sediment distribution based on grains size in Kuala Gigieng Estuary, Aceh Besar District, Province of Aceh Syahrul Purnawan, Ichsan Setiawan*, Marwantim Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. The objective of the present study was to evaluate the distribution of sediments in the estuary of Kuala Gigieng. The study was done on Mei to June 2011 and the sampling was conducted in three areas of estuary i.e. downestuarine, middle-estuarine and river section of Kuala Gigieng. The wet sieving analysis method was used in this study. The data was then weighed and the percentage was calculated and classified based on the Wentworth scale. The results showed that (1) the mean grain size of sediment of each area was 0.50 mm, 0.65 mm and 0.56 mm and the characteristically, the sediment distribution was consisted of medium sand 63.42%, fine sand 23.40%, coarse sand 5.59%, very fine sand-mud 4.13% and pebble 0.17%. The currents speed were 0.25 m/s, 0.23 m/s and 0.19 m/s. The current speed has influenced the sediment distribution where small grains were mostly found at higher current speed. Key words: Estuary, currents and sediment distribution Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran sedimen yang ada di daerah Kuala Gigieng, dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2011. Lokasi sampling terbagi atas kawasan hilir, tengah dan hulu. Teknik yang digunakan adalah analisis penyaringan dengan metode ayak basah yang menggunakan saringan sedimen bertingkat dengan diameter berbeda-beda (4,75 mm, 1,7 mm, 250 µm, 850 µm, 150 µm). Dihitung persentase berat, nilai ukuran butir rata-rata serta hubungan arus dengan ukuran butir rata-rata berdasarkan skala Wentworth. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ukuran butir rata-rata di kawasan hilir sebesar 0,50 mm, di kawasan tengah sebesar 0,65 mm, dan di kawasan hulu sebesar 0.56 mm. Karakteristik sedimen di Kuala Gigieng terdiri atas butir pasir sedang (medium sand) dengan nilai persentase 63,42%, pasir halus sebesar 23,40%, pasir kasar 5,59%, pasir sangat halus sampai lumpur sebesar 4,13%, kerikil halus sebesar 2,6% dan kerakal sebesar 0,17%. Nilai kecepatan arus pada masing-masing kawasan adalah sebesar 0,25 m/detik, 0,23 m/detik dan 0,19 m/detik. Kecepatan arus mempengaruhi sebaran sedimen, dimana butiran sedimen yang lebih besar ditemukan pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi. Kata kunci : Estuaria, arus dan sebaran sedimen
Pendahuluan Muara mempunyai nilai penting sebagai alur penghubung antara laut dan sungai, sehingga dapat digunakan sebagai alur pelayaran menuju ke daerah pedalaman untuk mempercepat perkembangan daerah. Secara umum kawasan muara juga mempunyai peran ekologis penting antara lain sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi arus harian dan pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh 31
Depik, 1(1): 31-36 April 2012 ISSN 2089-7790 besar (spawning and nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang (Nontji, 2007). Kuala Gigieng merupakan salah satu muara yang secara administratif berada di Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Letak Kuala Gigieng sangat strategis karena diapit oleh tiga desa yaitu Gampong Lambada Lhok, Gampong Lamnga, dan Gampong Baro serta berhubungan langsung dengan Selat Malaka dan Krueng Neuheun. Namun demikian berdasarkan informasi dari peta satelit menunjukkan bahwa proses penumpukan sedimen yang ada di daerah ini cenderung berubah dan tidak stabil. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian untuk mengetahui dan mengkaji sebaran sedimen di Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Kuala Gigieng, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Pengumpulan sampel sedimen dilakukan sebanyak empat kali pengulangan selama Bulan Mei – Juni 2011 pada 9 stasiun yang terbagi dalam tiga kawasan yaitu pada kawasan hilir (menghadap laut), tengah dan hulu (menghadap sungai), seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Kuala Gigieng yang menunjukkan lokasi penelitian dan titik sampling Analisis distribusi ukuran butir sedimen dan arus Pengambilan sampel sedimen dilakukan secara coring dengan menggunakan tube core sampler diameter 3,5 inchi dengan kedalaman sampel 15 cm (Indarto, 1996). Sampel sedimen yang telah diperoleh dikeringkan selama enam hari. Selanjutnya dari setiap sampel diambil 200 gram untuk dianalisis menggunakan metode ayak basah pada saringan bertingkat (sieve analysies) berukuran 4,75 mm, 1,70 mm, 850 µm, 250 µm, 150 µm dan ditadah menggunakan media penampung (Wentworth, 1922). Setelah diayak, sampel sedimen yang tertinggal pada setiap ukuran saringan dikeringkan kembali untuk ditimbang masing-masing beratnya sehingga diperoleh distribusi berat sedimen berdasarkan rentang ukuran kerapatan jaring saringan (Sheppard, 1954; Poerbandono dan Djunasjah, 2005). Perhitungan persentase berat sedimen dapat diketahui dari masing-masing fraksi sedimen tersebut dengan menggunakan persamaan :
32
Depik, 1(1): 31-36 April 2012 ISSN 2089-7790
persen _ berat = Dimana,
berat _ fraksi _ i × 100% berat _ total _ sampel
berat fraksi i = Berat tiap-tiap fraksi ukuran butir (g)
Penentuan ukuran butir rata-rata dapat diketahui sampel sedimen tersebut dengan menggunakan persamaan :
d =∑
dari
masing-masing
persen _ berat _ fraksi × ukuran _ butir _ fraksi 100
Dimana, d = Nilai ukuran butir rata-rata (mm) Pengukuran arus dilakukan pada setiap kawasan penelitian, yaitu kawasan hulu, tengah dan hilir yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecepatan arus yang ada di ketiga wilayah. Pengukuran arus dilakukan sebanyak empat kali pengulangan yaitu pada bulan Mei – Juni 2011 dengan menggunakan floating drauge.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik sedimen Hasil analisa sampel sedimen di Kuala Gigieng menunjukkan tiga fraksi sedimen yang ada di daerah tersebut yaitu kerikil, pasir dan lumpur yang memiliki persentase berat yang berbeda di setiap titik dan periode pengambilan (Tabel 1). Secara umum jenis sedimen yang dominan pada tiga kawasan tersebut adalah pasir sedang (0,25 - 0,85 mm). Hal ini menunjukkan pengaruh lautan sangat dominan pada perairan Kuala Gigieng, khususnya pada kawasan hilir yaitu pada Stasiun 1, 2 dan 3, yang berbatasan langsung dengan kawasan laut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa perairan yang berarus kuat umumnya tekstur sedimen berpasir. Transport sedimen pada kawasan hilir dapat disebabkan oleh arus sejajar pantai atau diistilahkan dengan transport sedimen sepanjang pantai (longshore sediment transport). Koesoemadinata (1980) menyebutkan bahwa transport sedimen sepanjang pantai terjadi apabila pasir terangkat oleh turbulensi yang disebabkan oleh gelombang pecah sehingga menyebabkan terjadinya erosi dan akresi di daerah pantai. Kawasan hulu didominasi oleh jenis sedimen pasir sedang (0,25 - 0,85 mm) meskipun memiliki kandungan pasir halus (0,15-0,25 mm) dan lumpur (<0,15 mm) yang lebih tinggi dibandingkan kawasan tengah dan hilir. Hal ini disebabkan letaknya yang lebih jauh dari pantai dan terlindung dari pengaruh gelombang laut serta banyaknya bahan organik dan detritus yang dibawa air sungai menumpuk di perairan ini, terutama pada saat arus melemah. Bahan organik dan detritus yang terdapat pada kawasan hulu dapat disebabkan oleh input yang dibawa oleh air sungai yang berasal dari kawasan mangrove yang terdapat di sekitar Kuala Gigieng. Dean dan Dalrymple (2004) mengatakan Pada umummya sedimen berpasir bersifat terrigenous yang komposisinya dipengaruhi lokasi asli dimana ia berada. Lebih lanjut Nybakken (1992) menyatakan bahwa jenis sedimen dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi dan mempengaruhi kandungan bahan organik dimana semakin halus tekstur subtrat semakin besar kemampuannya menjebak bahan organik.
33
Depik, 1(1): 31-36 April 2012 ISSN 2089-7790
Tabel 1. Distribusi persentase berat sampel sedimen di perairan Kuala Gigieng
Stasiun
Kerakal (>4,75 mm)
Persentase berat Sedimen (%) Pasir Pasir Pasir halus Kerikil kasar sedang (1,70 (0,15(0,85 (0,25 4,75 mm) 0,25 1,70 mm) 0,85 mm) mm)
Lumpur (<0,15mm)
(d) Ukuran butir rata – rata (mm)
Kawasan hilir (menghadap laut) 1
0
0,63
3,49
69,39
23,07
3,43
0,50
2
0,13
1,47
2,91
69,23
22,59
3,69
0,52
3
0
1,47
1,56
67,98
25,83
3,65
0,48
Kawasan tengah 4
0
0,99
4,66
68,35
20,16
3,62
0,59
5
0,25
3,22
5,48
72,60
15,21
4,59
0,58
6
0,13
1,87
2,47
67,29
11,73
1,52
0,78
Kawasan hulu (menghadap Sungai) 7
0,04
6,87
5,88
51,99
35,24
5,15
0,50
8
1,02
1,71
9,33
46,01
29,28
9,00
0,67
9
0
5,38
4,50
64,26
27,50
2,50
0,51
Pengaruh arus terhadap distribusi sedimen di muara Kuala Gigieng Analisa ukuran butir rata-rata sangat dipengaruhi oleh proses-proses oseanografi di sekitar lokasi sedimen ditemukan. Data sampel sedimen yang diambil pada kawasan hilir menunjukkan nilai ukuran butir rata-rata sebesar 0,50 mm sedangkan ukuran butir rata-rata di kawasan tengah dan kawasan hulu masing-masing adalah sebesar 0,65 mm dan 0,56 mm (Tabel 2). Salah satu faktor oseanografi yang penting dalam distribusi sedimen di suatu perairan adalah arus, khususnya terhadap sedimen tersuspensi (suspended sediment). Kecepatan arus yang tercatat di bagian menghadap laut adalah sebesar 0,25 m/detik sedangkan arus yang tercatat di bagian Tengah dan Hulu masing-masing memiliki kecepatan sebesar 0,23 m/detik dan 0,19 m/detik. Gambar 2 memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan ukuran butiran rata-rata yang ditemukan pada daerah yang memiliki arus yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat arus yang menyeleksi ukuran butir yang dipindahkannya dalam proses sedimentasi. Hal ini senada dengan Darlan (1996) menyebutkan bahwa distribusi fraksi-fraksi sedimen dipengaruhi oleh arus. Pada daerah dengan turbulensi tinggi, fraksi yang memiliki kenampakan makroskopis seperti kerikil dan pasir akan lebih cepat mengendap dibandingkan fraksi yang berukuran mikroskopis seperti lumpur. Lebih lanjut Dyer (1986) menjelaskan bahwa sedimen dengan ukuran yang lebih halus lebih mudah berpindah dan cenderung lebih cepat daripada ukuran kasar. Fraksi halus terangkut dalam bentuk suspensi sedangkan fraksi kasar terangkut pada dekat dasar laut. Selanjutnya partikel yang lebih besar akan tenggelam lebih cepat daripada yang berukuran kecil.
34
Depik, 1(1): 31-36 April 2012 ISSN 2089-7790
Tabel 2. Ukuran Butiran rata-rata pada setiap periode pengambilan sampel di kawasan hulu, muara dan hilir Ukuran butir (d) rata-rata (mm) Stasiun
1 2 3 rata-rata
Mei I
Mei II
Juni I
Juni II
0,49 0,49 0,44 0,47
Kawasan hilir 0,63 0,59 0,54 0,58
0,54 0,57 0,52 0,55
0,33 0,43 0,42 0,40
0,47 0,60 0,83 0,63
0,83 0,63 0,77 0,74
0,66 0,74 0,58 0,66
0,42 0,61 0,42 0,48
Kawasan tengah 4 5 6 rata-rata
0,47 0,53 0,58 0,53
7 8 9 rata-rata
0,35 0,46 0,50 0,44
0,57 0,56 0,95 0,69 Kawasan hulu 0,56 0,85 0,55 0,65
Tabel 3. Kecepatan arus pada setiap periode pengambilan sampel di kawasan hulu, tengah dan hilir Waktu
Kecepatan Arus (m/detik) Kawasan hilir
Mei I Mei II Juni I Juni II Rata-rata
0,15 0,20 0,28 0,36 0,25
Kawasan tengah 0,04 0,16 0,31 0,24 0,23
Kawasan hulu 0,07 0,15 0,31 0,23 0,19
Kecepatan arus (m/dtk) Gambar 2. Hubungan kecepatan Arus terhadap ukuran butir rata-rata
35
Depik, 1(1): 31-36 April 2012 ISSN 2089-7790
Kesimpulan Karakteristik sedimen di Kuala Gigieng terdiri atas butir pasir sedang (medium sand) dengan nilai persentase 63,42%, pasir halus sebesar 23,40%, pasir kasar 5,59%, pasir sangat halus sampai lumpur sebesar 4,13%, kerikil halus sebesar 2,6% dan kerakal sebesar 0,17%. Ukuran butir rata-rata pada kawasan hilir adalah sebesar 0,50 mm sedangkan ukuran butir rata-rata di bagian tengah dan di kawasan hulu masing-masing adalah sebesar 0,65 mm dan 0,56 mm. Kecepatan arus rata-rata tertinggi terdapat pada kawasan hilir yang mencapai 0,25 m/s diikuti oleh kawasan tengah sebesar 0,23 m/detik dan kawasan hulu sebesar 0,19 m/detik. Kecepatan arus mempengaruhi distribusi sebaran sedimen, dimana butiran sedimen yang lebih besar ditemukan pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi.
Daftar Pustaka Darlan, Y. 1996. Geomorfologi Wilayah Pesisir. Aplikasi Untuk Penelitian Wilayah Pantai. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung. Dean, R.G., R.A. Dalrymple. 2004. Coastal Processes with Engineering Application. Cambridge University. UK. Dyer, K.R.1986. Coastal and Estuary Sediment Dynamic. John Willey & Sons. New York. Indarto. 1996. Geologi Lembar Blambangan, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Koesoemadinata, R.P. 1980. Prinsip-Prinsip Sedimentasi. Departemen Teknik ITB. Bandung. Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan Ke-5. PT Djambatan. Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta. Penerjemah: Eidman dkk. 459 Hal. Poerbandono, E. Djunasjah. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama. Bandung. Sheppard, E.P. 1954. Nomenclature based on sand silt clay ratios. Journal of Sediment and Petrology, 24(4): 151 - 158. Wentworth, C.K. 1922. A scale of grade and class term for clastic sediment. Geology, 30: 337 – 392.
36
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790
Komunitas ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara Community of herbivory reef fishes in northern Acehnese reef Edi Rudi
1*
, Nur Fadli2
1
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. Herbivory reef fish is the most important of fish tropic group in the coral reef ecosystem.Hence, the objective of this study was to provide reliable data and information on herbivory reef fish based on management types in the northern Acehnese reef. Underwater Visual Census Techniques was used to collect the data at 20 sites around Weh Island and Aceh Besar. This study found 32 herbivory reef fishes species from five families in northern Acehnese reef. Densities of herbivory reef fish were varied from 27 to 104 ind./transect,while species numbers were also varied from 6 to 14 species/site. Family Acanthuriidae was the highest in species number, i.e. 19 species. Densities of herbivory reef fish in sites that were protected under the management authority of Sabang Weh Island were not significantly higher compare with sites from open access areas. Keywords: herbivory reef fish, coral reef, visual census technique, Aceh Abstrak. Ikan karang herbivora adalah kelompok tropik yang penting di ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang ikan karang herbivora berdasarkan bentuk-bentuk pengelolaan di perairan Aceh bagian utara. Teknik Visual Sensus Bawah air digunakan untuk mengoleksi data di 20 stasiun sekitar Pulau Weh Sabang dan Aceh Besar. Dari penelitian ini ditemukan 32 spesies dari tujuh famili ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara. Famili Acanthuridae adalah yang paling banyak ditemukan dalam hal jumlah spesies. Kepadatan ikan karang yang ditemukan berkisar antara 27 hingga 104 individu/transek, sedangkan jumlah spesies berkisar antara 6 hingga 14 spesies/stasiun. Kelimpahan ikan karang herbivora di stasiun-stasiun penelitian yang memiliki autoritas pengelolaan (daerah dikelola) terlihat tidak berbeda nyata dengan stasiun-stasiun yang merupakan daerah terbuka. Kata kunci : Ikan karang herbivora, terumbu karang, teknik sensus visual, Aceh
Pendahuluan Terumbu karang di wilayah perairan Aceh bagian utara terkenal memiliki terumbu karang yang baik dan menjadi objek wisata serta sumber perikanan bagi nelayan setempat (Baird et al., 2005). Habitat terumbu karang dan fauna dan flora yang berasosiasi dengannya memberikan fungsi dan pelayanan yang penting bagi penduduk di sekitarnya. Bencana tsunami tahun 2004 lalu tidak memberikan dampak kerusakan yang berarti terhadap kondisi terumbu karang di kawasan ini (Brown, 2005). Secara umum kondisi terumbu karang di perairan Aceh bagian utara berkisar dari tingkatan buruk hingga baik (Baird et al., 2005; Campbell et al., 2005; Rudi, 2005; Ardiwijaya et al., 2007). Kerusakan terumbu karang yang terjadi sebelum tsunami disebabkan penangkapan ikan yang berlebihan dan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan (Baird et al., 2005). Untuk meningkatkan pengelolaan dan menghindari adanya kerusakan akibat illegal fishing maka diperlukan strategi pengelolaan melalui penyediaan data, pendidikan dan pembentukan daerah perlindungan laut. Wantiez et al. (1997) dan Aswani et al. (2007) menyatakan bahwa kekayaan spesies dan biomassa ikan 37
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790 karang di area yang dikelola akan jauh lebih tinggi dari pada wilayah terumbu karang yang dapat diakses terbuka. Indonesia memiliki jumlah spesies ikan karang terbanyak di dunia, Allen & Adrim (2003) melaporkan bahwa di perairan Indonesia terdapat 2.057 spesies ikan karang dari 113 famili. Randall (1998) mengemukakan beberapa faktor kunci yang menyebabkan tingginya keragaman ikan karang di wilayah timur Samudera Hindia seperti Pulau Weh, antara lain kondisi terumbu karangnya dan relung ekologis. Lebih lanjut, Allen & Adrim (2003) memperkirakan setidaknya ada 6 species ikan karang yang endemik di perairan utara dan barat Aceh. Ikan herbivora merupakan komponen penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem terumbu karang. Menurut Smith et al. (2001) dan McCook (2001), turunnya kelimpahan herbivora dan meningkatnya konsentrasi nutrien merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya pergantian dari fase yang dominan karang menjadi dominan alga di sejumlah terumbu karang wilayah tropis. Ikan herbivora juga merupakan salah satu indikator penting dalam resiliensi terumbu karang dari beberapa indikator penilaian resiliesi suatu terumbu karang (Obura, 2008). Namun demikian, kajian mengenai biodiversitas ikan herbivora di peraian Aceh belum pernah dilaporkan. Perairan Aceh bagian utara memiliki beberapa bentuk pengelolaan, antara lain adanya daerah yang dikelola oleh autoritas tertentu, daerah wisata, daerah panglima laot dan daerah perairan terbuka (open access). Penelitian ini dilakukan untuk menelaah komunitas ikan herbivora yang ada di wilayah terumbu karang perairan Aceh bagian utara pada tempat-tempat dengan pengelolaan yang berbeda. Dalam hal ini bentuk pengelolaan dikelompokkan menjadi dua yaitu daerah yang ada pengelolaan dan yang tidak pengelolaan.
Bahan dan Metode Pengambilan data dilakukan di 20 stasiun pengamatan yang terdiri dari 17 stasiun di Pulau Weh dan 3 stasiun di Aceh Besar (Gambar 1). Stasiun-stasiun penelitian dipilih dan ditentukan untuk mewakili wilayah dan bentuk-bentuk pengelolaan yang ada di perairan Pulau Weh dan sekitarnya. Secara umum stasiun penelitian dikelompokkan menjadi dua yaitu wilayah yang dikelola (terdiri dari daerah perlindungan laut daerah/taman laut, daerah kegiatan wisata, wilayah panglima laot) dan daerah yang dibiarkan terbuka (open access). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode tidak merusak yaitu teknik underwater visual census (English et al., 1997; Hill and Wilkinson, 2004). Secara lebih spesifik, data diambil oleh pengamat dengan posisi diam (stasionary) dan melakukan pencatatan data dalam radius 7 m selama lebih kurang 15-20 menit per transek. Untuk mendapatkan keterwakilan data, transek ditempatkan di dua kedalaman perairan, yaitu 3-4 m dan 6-8 m masing-masing dengan tiga kali ulangan. Idenfikasi ikan herbivora dilakukan secara langsung di lapangan atau dilanjutkan di laboratorium dengan menggunakan acuan buku identifikasi ikan karang (Allen, 2000; Kuiter & Tonozuka, 2001; Kimura et al., 2009).
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini memperlihatkan terdapat 32 spesies dengan lima famili ikan herbivora yang ada di perairan Aceh bagian utara. Beberapa spesies seperti Acanthurus tristis, A. leucosternon, A. tristis, Zebrasoma scopas, Chlorurus sordidus dan Naso elegans adalah spesies herbivora yang umum dijumpai hampir di semua stasiun pengamatan (Tabel 1 dan Gambar 2). Bila dilihat kelimpahan dan jumlah jenis ikan herbivora di masing-masing stasiun (Gambar 3 dan Gambar 4), maka kelimpahan dan jumlah jenis ikan terlihat cukup bervariasi antar stasiun pengamatan, nilainya berkisar dari 27 – 104 ind./transek, tertinggi di Gapang dan terendah di Lhok Me untuk kelimpahan, sedangkan untuk jumlah jenis berkisar antara 6 – 14 spesies/stasiun, tertinggi di Gapang dan terendah di Benteng. Penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya keterkaitan antara daerah pengelolaan dengan kelimpahan ikan secara umum, dimana pada daerah yang dikelola kelimpahan ikan karang akan tinggi dan sebaliknya di daerah yang dibiarkan sebagai akses terbuka, kelimpahan ikan karang akan rendah (Rudi et al., 2009), namun dalam penelitian ini terlihat bahwa kelimpahan ikan herbivora tidak berkaitan erat dengan tipe pengelolaan yang ada dan kondisi terumbu karangnya (persen tutupan karang keras) (Gambar 38
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790 5). Walaupun demikian, kelimpahan ikan karang di wilayah yang dikelola (misalnya oleh panglima laot), seperti Anoi Itam, Sumur Tiga, Ujung Kareung, Seulako Barat, Seulako Timur, Rubiah timur, Rubiah channel dan Ujung Seurawan juga tinggi. Di daerah-daerah yang tidak dikelola (open access), kelimpahan ikan herbivoranya terlihat sangat bervariasi dari rendah hingga tinggi. Tabel 1. Spesies ikan herbivora yang diperoleh di tiap stasiun di perairan Aceh bagian utara Stasiun No
Taksa (Famili/Spesies) 1
I. 1 2
Acanthurus auranticavus
5 6
Acanthurus lineatus
7
Acanthurus maculiceps
8
Acanthurus mata
4
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
+
+
+
+
14
15
16
17
+
+
+
18
19
20
Acanthuridae
Acanthurus nobilis Acanthurus grammoptilus Acanthurus leucocheilus Acanthurus leucosternon
3
2
9
Acanthurus nigroris
10
Acanthurus triostegus
11
Acanthurus tristis
12
Ctenochaetus striatus
13
C.
14
Naso vlamingii
15
Naso sp.
16
Naso annulatus
cyanocheilus
17
Naso caesius
18
Zebrasoma rostratum
19
Zebrasoma scopas
+
+ + +
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+ + +
+ +
+
+ +
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
II. Ephippidae 20
+
Platax teira
III. Kyphosidae 21
Kyphosus bigibbus
22
Kyphosus vaigiensis
+ +
+
III. Scaridae +
23
Chlorurus bleekeri
24
Chlorurus sordidus
+
25
Chlorurus troschelli
+
26
Scarus frenatus
27
Scarus ghobban
28
Scarus niger
29
Scarus schlegeli
30
Scarus altifinnis
31
Scarus tricolor
+
+
+ +
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
V. Siganidae 32 Siganus sp.
Keterangan nama stasiun: 1. Ujung Seurawan; Gapang; 6. Batee Meurunon; 7. Lhok Weng; 8. Ujung Kareung; 13. Reteuk; 14. Lheung Angen Barat; 18. Lhok Me; 19. Aramayang; 20. Ujung
+
2. Rubiah Timur; 3. Rubiah Channel; 4. Pulau Klah; 5. Benteng; 9. Anoi Itam; 10. Jaboi; 11. Sumur Tiga; 12. 2; 15. Lheung Angen 1; 16. Seulako Timur; 17. Seulako Pancu
39
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790
Gambar 1. Stasiun penelitian di Pulau Weh (Stasiun No. 1 – 17) dan Aceh Besar(18–20). 1. Ujung Seurawan (dikelola/taman laut), 2. Rubiah Timur (dikelola/taman laut dan wisata), 3. Rubiah Channel (dikelola/taman laut dan wisata), 4. Pulau Klah (open access), 5. Gapang(open access), 6. Batee Meurunon (dikelola/taman laut), 7. Lhok Weng(open access), 8. Benteng (dikelola/panglima laot dan wisata), 9. Anoi Itam (dikelola/panglima laot dan wisata) 10. Jaboi (open access,11. Sumur Tiga (dikelola/panglima laot dan wisata), 12. Ujung Kareung (dikelola/panglima laot), 13. Reteuk (dikelola/panglima laot), 14. Lheung Angen 2 (open access), 15. Lheung Angen 1(open access), 16. Seulako Timur (dikelola/taman laut dan wisata), 17. Seulako Barat (dikelola/taman laut dan wisata), 18. Lhok Me (open access),19. Aramayang (open access), 20. Ujung Pancu (open access)
Gambar 2. Enam dari 32 spesies ikan herbivora di terumbu karang Aceh bagian utara: searah jarum jam dari kiri atas: Acanthurus tristis, A. leucosternon, Zebrasoma scopas, Siganus javus, Naso elegans dan Chlorurus sordidus 40
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790 Tingginya kelimpahan ikan herbivora di wilayah yang dikelola dalam penelitian ini sesuai dengan Wantiez et al. (1997) dan Aswani et al. (2007) yang melaporkan bahwa keragaman jenis, kepadatan dan biomassa ikan karang di daerah perlindungan laut akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terumbu karang yang terbuka. Rendahnya kelimpahan ikan karang di wilayah terbuka diperkirakan akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan tidak memperhatikan sifat-sifat biota seperti musim pemijahan dan kualitas ikan yang ditangkap. Hal lain yang diduga menyebabkan tingginya variasi kelimpahan ikan di wilayah terbuka adalah akibat faktor non-anthropogenic seperti migrasi, musim dan pemangsaan. Namun hal ini perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. 120
80
(ind./transek)
Kelimpahan Ikan Herbivora
100
60
40
20
0
Ujung Pancu
Lhok Me
Aramayang
Seulako Barat
Seulako Timur
Lheung Angen 1
Reteuk
Lheung Angen 2
Ujung Karenung
Jaboi
Sumur Tiga
Benteng
Anoi Itam
Lhok Weng
Gapang
Batee Meuronon
Pulau Klah
Rubiah Timur
Rubiah Channel
Ujung Seurawan
Stasiun Pengamatan
Gambar 3. Kelimpahan ikan herbivora di tiap stasiun (tidak diarsir adalah daerah dikelola) 16
Jumlah Spesies Ikan Herbivora
14 12 10 8 6 4 2 0
Gambar 4.
Aramayang
Ujung Pancu
Lhok Me
Seulako Barat
Seulako Timur
Lheung Angen 1
Lheung Angen 2
Reteuk
Sumur Tiga
Ujung Karenung
Jaboi
Anoi Itam
Benteng
Lhok Weng
Batee Meuronon
Gapang
Pulau Klah
Rubiah Channel
Rubiah Timur
Ujung Seurawan
Stasiun Pengamatan
Jumlah spesies ikan herbivora di tiap stasiun (tidak diarsir adalah daerah dikelola) 41
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790 Hasil penelitian ini memperlihatkan rendahnya keragaman dan kelimpahan Parrotfish (Scaridae), yaitu hanya sembilan spesies dan hanya Chlorurus sordidus dan Scarus niger yang ditemukan hampir di semua stasiun pengamatan. Populasi ikan Scaridae adalah sangat penting sebagai ikan herbivora. Populasi Scaridae secara umum mengalami penurunan di seluruh dunia dan ini menjadi rentan (Bellwood et al., 2003; Aswani and Hamilton, 2004; Ferreira et al., 2005; Floeter et al., 2006; Sabetian and Foale, 2006). Ikan ini adalah kelompok yang bertanggungjawab untuk membuka daerah baru (kolonisasi) pada permukaan substrat terumbu karang untuk memungkinkan terjadinya penempelan atau rekrutmen karang baru, sehingga jumlahnya yang menurun akan menjadi permasalahan dalam aktivitas grazing di suatu terumbu karang (McClanahan, 2008). 80% 70%
Percent Cover
60% 50% 40% 30% 20% 10%
Gambar 5.
Lhok Me Aramayang Ujung Pancu
Seulako Timur Seulako Barat
Lheung Angen 1
Jaboi
Sumur Tiga Ujung Kareung Reteuk Lheung Angen 2
Benteng
Anoi Itam
Batee Meuronon Lhok Weng
P Klah
Gapang
Ujung Serawan Rubiah Timur Rubiah Channel
0%
Persen tutupan karang keras (± sd) di tiap stasiun (tidak diarsir adalah daerah dikelola)
Ke depan, wacana untuk membentuk daerah perlindungan laut mesti dijadikan langkah strategis yang dipakai dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang sehingga diharapkan populasi ikan herbivora meningkat dan terumbu karang menjadi sehat yang ditandai dengan persentase tutupan karang keras yang tinggi (Jennings et al., 1996; Ledli et al., 2007). Hasil penelitian mengenai ikan herbivora ini diharapkan menjadi pedoman dan masukan bagi pengelola dan para pihak yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang di Aceh. Dengan adanya usaha menjaga dan meningkatkan kelimpahan dan keragaman ikan herbivora diharapkan resiliensi terumbu karang di perairan Aceh bagian utara ini akan meningkat.
Kesimpulan Ditemukan 32 spesies dengan lima famili ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara, Famili Acanthuridae memiliki jumlah spesies paling banyak yaitu 19 spesies. Keragaman dan kelimpahan ikan karang herbivora terlihat tidak berhubungan dengan persentase tutupan karang keras dan bentuk pengelolaan yang ada, yaitu antara daerah laut yang dikelola (terdiri dari daerah perlindungan laut daerah/taman laut, daerah kegiatan wisata, wilayah panglima laot) dengan daerah laut yang dibiarkan terbuka (open access).
42
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka Allen, G.R., M. Adrim. 2003. Coral reef fish of Indonesia. Zoological Studies, 42: 1–72 Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan. 2007. The coral reefs of northern Aceh: an ecological survey of Aceh and Weh Islands, April 2006. Wildlife Conservation Society, Bogor, Indonesia. Aswani, S., R.J. Hamilton. 2004. Integrating indigenous ecological knowledge and customary sea tenure with marine and social science for conservation of bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum) in the Roviana Lagoon, Solomon Islands. Environmental Conservation, 31: 69–83. Aswani, S., S. Albert, A. Sabetian, T. Furusawa. 2007. Customary management as precautionary and adaptive principles for protecting coral reefs in Oceania. Coral Reefs, 26:1009–1021 Baird, A.H., S.J. Campbell, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y. Herdiana, T..Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, M.S. Pratchett, E. Rudi, A.M. Siregar. 2005. Acehnese reefs in the wake of the Asian Tsunami. Current Biology, 16: 1926–1930 Bellwood D.R., A.S. Hoey, J.H. Choat. 2003. Limited functional redundancy in high diversity systems: resilience and ecosystem function on coral reefs. Ecological Letter, 6: 281–285. Brown, B.E. 2005. The fate of coral reefs in the Andaman Sea, eastern Indian Ocean following the Sumatran earthquake and tsunami, 26 December 2004. The Geographical Journal, 171: 372–374 Campbell, S.J., M.S. Pratchett, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y. Herdiana, T. Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, E. Rudi, A.M. Siregar, A.H. Baird. 2005. Disturbance to coral reef in Aceh, Northern Sumatera. Atoll Research Bulletin, 544: 55–78 English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia. Ferreira, C.E.L., J.L. Gasparini, A. Carvalho-Filho, S.R. Floeter. 2005. A recently extinct parrotfish species from Brazil. Coral Reefs, 24: 128– 134. Floeter S.R., B.S. Halpern, C.E.L. Ferreira. 2006. Effects of fishing and protection on Brazilian reef fishes. Biological Conservation, 128: 391– 402. Hill, J., C. Wilkinson. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia Jennings, S., S.S. Marshall, N.V.C. Polunin. 1996. Seychelles’ marine protected areas: comparative structure and status of reef fish communities. Biological Conservation, 75: 201–209 Kimura, S., U. Satapoomin, K. Matsuura. 2009. Fishes of Andaman Sea: west coast of southern Thailand. National Museum of Nature and Science, Tokyo, Jepang. Kuiter, R.H., T. Tonozuka. 2001. Indonesian reef fishes. Zoonetics, Sydney, Australia. Ledlie, M.H., N.A.J. Graham, J.C. Bythell, S.K. Wilson, S. Jennings, N.V.C. Polunin, J. Hardcastle. 2007. Phase shifts and the role of herbivory in the resilience of coral reefs. Coral Reefs, 26: 641–653 McClanahan, T.R. 2008. Response of the coral reef benthos and herbivory to fishery closure management and the 1998 ENSO disturbance. Oecologia, 155:169–177 McCook, L.J. 2001. Competition between coral and algal turfs along a gradient of terrestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef. Coral Reef, 19: 419–425 Obura, D. 2008. Resilience Assessment of Coral Reef – Draft Manual. IUCN – CORDIO, Ghana. Randall, J.E. 1998. Zoogeography of shore fishes of the Indo-Pacific region. Zoological Studies, 37: 227-268. Rudi, E. 2005. Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. Ilmu Kelautan, 10: 50-60 43
Depik, 1(1): 37-44 April 2012 ISSN 2089-7790 Rudi, E., S.A. Elrahimi, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan, P. Shinta, S.J. Campbell, J. Tamelander. 2009. Reef fish status in northern Acehnese reef based on management type. Biodiversitas, 10: 87–92 Sabetian, A., S. Foale. 2006. Evolution for artisanal fisher: case studies from Solomon Islands and Papua New Guinea. SPC Traditional Marine Resources Management Knowledge Information Bulletin, 20: 3–8 Smith, J.E., C.M. Smith, C.L. Hunter. 2001. An experimental analysis of the effect of herbivore and nutrient enrichment on benthic community dynamics on a Hawaiian reef. Coral Reef, 19: 332–342 Wantiez, L., P. Thollot, M. Kulbicki. 1997. Effects of marine reserves on coral reef fish communities from five islands in New Caledonia. Coral Reefs, 16: 215–224
44
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790
Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar Diversity of macrozoobenthos in Kuala Gigieng estuary, Aceh Besar Nur Fadli*, Ichsan Setiawan, Nurul Fadhilah Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Unversitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. Email korespondensi:
[email protected] Abstract.The objective of present study was to study the diversity of macrozoobenthos in Kuala Gigieng estuary, Aceh Besar. The study was conducted in June 2011. The random sampling method was used to determine the area and sampling points based on tidal activities. Samples were taken with the Eckmann grab, then identified at Marine Biological Laboratory of Marine Science Department. The results showed that there were three class of macrozoobenhos (Malacostraca, Gastropoda, and bivalves) within 12 species of makrozoobenthos occured in Kuala Gigieng. The Shannon-Wienner diversity index (H’) at high tide, mean sea level, and low tide were 1.26, 1.446, and 1.892, respectively, and it was categorized as low level. Keywords: Diversity, Makcrozoobenthos, Gigieng estuary Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman makrozoobenthos berdasarkan kondisi pasang surut, dan parameter lingkungan fisika dan kimia di Kuala Gigieng, Aceh Besar. Penelitian dilakukan bulan Juni 2011. Penentuan area dan titik sampling menggunakan metode random sampling berdasarkan pengaruh aktivitas pasang surut. Sampel diambil menggunakan Eckmann grab, kemudian diidentifikasi di Laboratorium Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan. Dari hasil penelitian ditemukan 3 kelas yaitu Malacostraca, Gastropoda, dan Bivalvia yang terdiri dari 12 spesies makrozoobenthos. Indeks keragaman Shannon-Wienner (H’) pada saat pasang, mean sea level dan surut didaerah Kuala Gigieng berturut-turut adalah 1,26, 1,446, dan 1,892, sehingga dapat disimpulkan keragaman dikategorikan rendah. Kata kunci: Keragaman, Makrozoobenthos, Kuala Gigieng
Pendahuluan Kabupaten Aceh Besar terletak di Propinsi Aceh yang memiliki sumberdaya alam laut yang melimpah. Berbagai ekosistem laut terdapat di Kabupaten Aceh Besar diantaranya yaitu ekosistem terumbu karang dengan luas 1.155 Ha, mangrove dengan luas 980,82 Ha, pantai berbatu dan pantai berpasir dengan panjang total garis pantai 344 Km, ekosistem estuaria dan berbagai ekosistem laut lainnya (Adil, 2011). Kuala Gigieng merupakan salah satu ekosistem estuaria yang ada di Kabupaten Aceh Besar. Kawasan estuaria adalah sebuah ekosistem yang mempunyai peran ekologis penting baik sebagai sumber zat hara dan bahan organik, penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan tempat tumbuh besar (spawning and nursery grounds) sejumlah biota perairan (Bengen, 2004).Selain memiliki fungsi ekologis, kawasan estuaria juga merupakan kawasan yang sangat penting secara ekonomis. Manusia memanfaatkan kawasan tersebut untuk berbagai aktifitas ekonomi diantaranya sebagai tempat penangkapan ikan, tempat pendaratan ikan, pertambakan dan kawasan pemukiman. Kegiatan manusia dapat menyebabkan meningkatnya kerusakan ekosistem laut. 45
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790 Burke et al.(2002) menyatakan bahwa 50% ekosistem terumbu karang yang berada di kawasan Asia tenggara berada pada level “resiko tinggi” terhadap ancaman kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Selanjutnya, Baird et al. (2005) menyatakan ekosistem terumbu karang di Perairan Aceh termasuk didalamnya wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu ekosistem yang mengalami degradasi karena adanya perbuatan manusia yang tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan metode yang merusak, pembuangan limbah ke laut dan lain-lain. Salah satu upaya yang ingin dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam menjaga ekosistem lautnya adalah dengan membuat rencana pengelolaan sehingga ekosistem laut yang ada di Kabupaten Aceh besar dapat dikelola secara berkelanjutan. Namun, upaya tersebut terbentur dengan berbagai kendala, diantaranya minimnya data yang berkaitan dengan sumber daya laut (termasuk kondisi dan keanekaragaman biota laut) yang dimiliki oleh Kabupaten Aceh Besar. Sejauh ini, sejumlah kajian yang berkaitan dengan keanekaragaman biota di ekosistem laut di Aceh masih terfokus di perairan Sabang dan sekitarnya antara lain oleh Baird et al. (2005), Rudi (2005), Campbell et al. (2007), Ardiwijaya et al. (2007) dan Rudi et al. (2008). Salah satu kelompok biota laut yang hidup di kawasan estuaria Kuala Gigieng adalah golongan makroozoobenthos. Makrozoobenthos adalah organisme yang hidup pada dasar perairan, dan merupakan bagian dari rantai makanan yang keberadaannya bergantung pada populasi organisme yang tingkatnya lebih rendah (Noortiningsih et al., 2008). Makrozoobenthos juga merupakan sumber makanan utama bagi organisme lainnya seperti ikan demersal (Zaleha et al., 2009). Selanjutnya Pratiwi et al.(2004) menyatakan makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup menetap (sesile) dan memiliki daya adaptasi yang bervariasi terhadap kondisi lingkungan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Mengingat peran penting makrozoobenthos di perairan, dan belum adanya informasi serta data tentang jenis makrozoobenthos di Kuala Gigieng, Aceh Besar maka perlu dilakukannya penelitian tentang keragaman makrozoobenthos di perairan ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Kuala Gigieng Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, pada bulan Juni 2011 (Gambar 1). Penelitian ini menggunakan metode survey, penentuan area dan titik sampling menggunakan metode purposive random sampling berdasarkan aktivitas pasang surut. Pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan pada tiga waktu berbeda yakni saat pasang, pertengahan pasang dan surut (MSL), dan surut. Setiap waktu sampling ditetapkan tiga titik sampling dalam area yang telah ditentukan dengan masingmasing tiga titik ulangan. Pengambilan sampel dengan menggunakan Eckmann grab, sampel yang diperoleh disortir menggunakan metode hand sorting dengan bantuan ayakan mesh berukuran 0,5 mm, kemudian dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4% dan dibawa ke laboratorium, disimpan selama 1 hari. Setelah 1 hari, sampel kemudian dicuci dengan aquades dan dikeringkan, selanjutnya dimasukkan kembali ke dalam botol sampel yang telah diberikan alkohol 70% sebagai pengawet, selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan identifikasi Dance (1997); Robert et al. (1982); Masson dan Schodde (1997). Setelah diidentifikasi sampel makrozoobenthos dimasukkan kembali dalam botol sampel yang berisikan 70% alkohol untuk disimpan sebagai koleksi laboratorium.
46
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790 Keragaman makrozoobenthos Parameter yang dihitung dan diukur antara lain kepadatan populasi, kerapatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener, indeks equitabilitas, dengan persamaan sebagai berikut: Kepadatan populasi, (Krebs, 1985)
Gambar 1. Peta Kuala Gigieng yang menunjukan lokasi penelitian
Kepadatan relatif,
Dimana, ni
= Jumlah individu spesies i,
N
(Brower et al., 1990) = Total individu seluruh jenis
Frekuensi hehadiran,
(Krebs,1985) Indeks Diversitas Shannon-Wiener,
H' = -
pi ln pi
(Krebs, 1985) Dimana, H'= indeks diversitas Shannon Wiener, ln= logaritma nature, pi= proporsi spesies ke-i, pi= ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengankeselurahan jenis) 47
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790
Indeks keseragaman, (Krebs, 1985) Dimana, H'= Indeks diversitas Shannon-wiener, H max= Keragaman spesies maksimum, Dengan nilai E berkisar antara 0-1.
Kekayaan spesies, Dimana, d= Kekayaan spesies, S= Total spesies, N= Total individu. Indeks keragaman, keseragaman, kekayaan spesies, dan similaritas dianalisis menggunakan software Plymouth Routines in Multivariate Ecological Research (Primer E) Versi 6.
Hasil dan Pembahasan Keragaman dan kelimpahan makrozoobenthos Makroozoobenthos yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 3 kelas, dengan komposisi Bivalvia (46%), Gastropoda (31%) dan Crustacea (23%). Komposisi Bivalvia lebih tinggi dibandingkan kelas Gastropoda dan Crustacea (Gambar 2). Hasil ini tidak begitu jauh dengan hasil pengamatan makrozoobenthos yang dilakukan oleh Fitriana (2006) di Kawasan mangrove Bali yang menemukan komposisi makrozoobenthos terdiri atas 4 kelas yaitu Bivalvia, Gastropoda, Crustacea (Malacostraca) dan Polychaeta. Bivalvia merupakan kelas makrozoobenthos yang memiliki penyebaran sangat luas di dunia. Bivalvia juga dapat hidup di berbagai tipe subtrat mulai dari substrat pasir, batu, lumpur dan lain sebagainya (Gosling, 2003).
Gambar 2. Komposisi jenis makrozoobenthos yang ditemukan selama penelitian Secara umum kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) tertinggi pada saat surut. Berdasarkan hasil penelitian ini pula dapat diketahui bahwa jenis yang memiliki nilai K, KR, dan FK tertinggi saat pasang dan surut adalah Cerithidae djadjariensis. Sedangkan pada MSL jenis yang memiliki nilai tertinggi adalah Ostrea edulis (Tabel 1). Menurut Valero (2006) Cerithidae djadjariensis dan Ostrea edulis menyukai substrat lumpur berpasir dan hidup secara mengelompok. Kedua spesies ini merupakan spesies asli pada habitat estuaria dengan substrat dasar lumpur, lumpur pasir dan batuan. Selanjutnya, pada saat surut organisme memiliki keterbatasan dalam pergerakan hal ini disebabkan karena kolom air pada saat surut lebih kecil 48
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790 dibandingkan pada saat pasang. Selain itu, pada saat surut kecepatan arus di kawasan Muara Gigieng lebih kecil dibandingkan pada saat pasang. Makrozoobenthos umumnya membenamkan diri didasar substrat. Gosling (2003) menyatakan arus menjadi salah satu faktor pembatas penyebaran makrozoobenthos. Arus yang kuat dapat mengurangi kepadatan benthos di sebuah kawasan. Masih menurut Gosling (2003), selain factor fisik, factor biologi juga berperan dalam pembatasan kepadatan benthos. Predator, penyakit dan kompetisi antar makhluk hidup dapat membatasi penyebaran organisme di sebuah kawasan. Kepiting dan burung merupakan predator yang utama di kawasan estuary. Di Kawasan Muara Gigieng banyak terdapat kepiting bakau (Scylla serrata), kepiting hantu (Uca spp) dan burung air seperti bangau. Keberadaan organisme tersebut dapat mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos di kawasan Muara Gigieng. Tabel 1. Kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) makrozoobenthos rata-rata Pasang No
Spesies
Mean Sea Level
Surut
K
KR
FK
K
KR
FK
K
KR
FK
ind/h
%
%
ind/h
%
%
ind/h
%
%
10
29
55
10
15
77
20
15
88
60
112
166
70
80
200
110
79
256
Timoclea ovata Chamelea striatula
20
38
88
20
35
110
50
37
165
10
39
66
20
17
88
60
46
189
50
80
143
90
119
233
70
55
200
6.
Ostrea edulis Lithopaga truncata
-
-
-
20
20
66
10
10
55
7. 8.
Anadara granosa Placuna sella
-
-
-
6
5
33
30 -
24 -
121 -
9. 10.
Natica catena Uca tetragonon Heloecius cordiformis Myctyris platycheles
-
-
-
-
-
-
6 10
4 10
22 55
-
-
-
-
-
-
10
10
66
-
2
1
11
269
378
97
409
1. 2. 3. 4. 5.
11. 12.
Nassarus dorsatus Cerithidae djadjariensis
Total
150
99
173
230
97
Indek biologi Indeks keragaman (H') Indeks keragaman Shannon-Wiener (H') rerata pada saat pasang surut berkisar antara 1,26 – 1,89 dan terlihat tidak ada perbedaan nyata baik saat pasang, MSL, dan surut (Gambar 3). Secara umum indeks keragaman makrozoobenthos di Kuala Gigieng tergolong rendah. Hal ini diduga disebabkan karena Kuala Gigieng merupakan kawasan dengan berbagai aktivitas manusia. Aktivitas manusia dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Hasil penelitian ini juga sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2006) dan Takarina dan Adiwibowo (2011). Fitriana (2006) menemukan rendahnya keanekaragaman makrozoobenthos di Bali disebabkan oleh tekanan ekologi yang berat dan ekosistem yang tidak stabil di kawasan tersebut. Takarina dan Adiwibowo (2011) juga menemukan keragaman benthos yang rendah di Perairan Teluk Jakarta terutama di kawasan yang tingkat pencemarannya tinggi.
49
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790
Gambar 3. Indeks keragaman (H') rata-rata saat pasang surut Indeks keseragaman dan similaritas Indeks keseragaman pada saat pasang, MSL, dan surut berkisar 0,764 – 0,985. Nilai indeks keseragaman tertinggi juga dijumpai pada saat surut, namun tidak berbeda nyata dengan nilai indeks keseragaman pada pasang dan MSL. Secara umum indeks keseragaman makrozoobenthos di Kuala Gigieng tergolong sedang sampai tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada organisme yang mendominasi di Kawasan Muara Gigieng. Hasil ini juga sebanding dengan hasil pengamatan Fitriana (2006). Indeks similaritas adalah indeks biologi yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesamaan struktur komunitas satu dengan yang lainnya. Indeks similaritas di Kuala Gigieng berkisar antara 52,27 – 74,19% dan tergolong sedang. Tingkat kesamaan spesies yang ditemukan saat pasang dan MSL sebesar 74,19%. Sedangkan pada saat MSL dan surut similaritasnya 67,30% diikuti saat surut dan pasang sebesar 52,27%. Indeks kesamaan tertinggi antara pasang dan MSL (Gambar 4). Group average Resemblance: S17 Bray Curtis similarity
50
n
S im ila r it y
60 70 80
MSL
Pasang
100
S u ru t
90
Samples
Gambar 4. Dendogram indeks similaritas Bray Curtis Tingkat kesamaan yang tinggi pada saat pasang dan MSL lebih banyak disebabkan oleh faktor lingkungan yang hampir mirip sehingga tidak adanya perbedaan yang besar terhadap jenis dan jumlah spesies yang ditemukan. Pada saat surut jenis spesies yang ditemukan lebih beragam dan jumlahnya pun lebih banyak, sehingga membuat tingkat similaritasnya berbeda dengan saat pasang dan MSL. 50
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790
Kesimpulan Makrozoobenthos yang ditemukan di Kuala Gigieng terdiri dari 3 kelas (Bivalvia, Gastropoda, dan Malacostraca) dengan jumlah 12 spesies. Indeks keragaman Shannon-Wienner (H’) pada saat pasang, mean sea level dan surut berturut-turut adalah 1,26, 1,446, dan 1,892. Indeks keragaman makrozoobenthos dikategorikan rendah dan indek similaritasnya tergolong sedang. Keragaman tertinggi dijumpai pada saat surut dan similarsiti tetinggi antara pasang dan MSL.
Daftar Pustaka Adil,
2011. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Aceh Besar. Makalah dalam Seminar, Diskusi dan Lokakarya Inisiatif konservasi dan Investasi hijau menuju Perikanan Aceh yang Berkelanjutan. 22 – 23 Agustus 2011. Banda Aceh. Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan. 2007. The coral reefs of northern Aceh: an ecological survey of Aceh and Weh Islands. Wildlife Conservation Society – Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia. Baird, A.H., S.J. Campbell, A.W. Anggorro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y. Herdiana, D. Mahyiddin, S.T. Pardede, M. Pratchett, E. Rudi, A. Siregar. 2005. Acehnese reefs in the wake of the tsunami. Current Biology, 15: 1926-1930. Bengen, D.G. 2004. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya pesisir dan laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Brower, J.Z., C. Jerrold, V. Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. McGraw-Hill Science.New York. 288 pp. Burke, L., E. Selig, M. Spalding. 2002. Reefs at risk in Southeast Asia. World Resources Institute (WRI), Washington D.C., USA. 76 pp. Campbell, S.J., M.S. Pratchett, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y. Herdiana, T. Kartawijaya, D. Mahyiddin, S.T. Pardede, M.S. Pratchett, E. Rudi, A. Siregar, A.H. Baird. 2007. Disturbance to coral reefs in Aceh: impacts of the Sumatra-Andaman tsunami and pre-tsunami degradation. Atoll research Bulletin, Special issue on the Sumatra-Andaman Tsunami, 544: 55-78. Dance, S.P. 1997. The Encyclopedia Of Shells. Blandford press. London. Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas, (7): 67-72. Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p Krebs, C.J. 1985. Ecology The Eksperimental Analysis Of Distribution And Abudance. Third edition. Haeper and Row Publisher. New york. Masson, J.S., R, Schodde. 1997. Zoological Catalogue Of Australia Vol.37. Csiro publishing. Australia.450 pp. Noortiningsih, I.S., S. Jalip, Handayani. 2008. Keanekaragaman Makrozoobenthos, Meiofauna Dan Foraminifera Di Pantai Pasir Putih Barat Dan Muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat. Vis Vitalis, 1 (1): 34- 42. Pratiwi, N., Krisanti, Nursiyamah, I. Maryanto, R. Ubaidillah, W.A. Noerdjito. 2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Robert, D., S. Soemodihardje., W. Kastoro. 1982. Shallow Water Marine Molluscs Of North-West Java. Lembaga Oseonologi Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Rudi E. 2005. Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. Jurnal Ilmu Kelautan,10: 50-60. 51
Depik, 1(1): 45-52 April 2012 ISSN 2089-7790 Rudi, E., Elrahimi, S.A., S. Irawan, R.A. Valentino, Surikawati, Yulizar, Munandar, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan, S. Rizal, S.T. Pardede, S.J. Campbell. 2008. Post tsunami status of coral reef and fish in northern Aceh, CORDIO Report. Banda Aceh: Unsyiah-Cordio-IUCN. Takarina, N.D., A. Adiwibowo. 2011. Impact of Heavy Metals Contamination on the Biodiversity of Marine Benthic Organism in Jakarta Bay. Journal of Coastal Development, 14(2): 168-171. Valero, J. 2006. Ostrea edulis Growth and mortality depending on hydrodynamic parameters and food availability. Thesis. Department of Marine Ecology, Goteborg University. Sweden. Zaleha, K., D.M.F.Farah, S.R. Amira, A. Amirudin. 2009. Benthic Community Of The Sungai Pulai Seagrass Bed, Malaysia. Malaysian Journal of Science, 28(2):143– 159.
52
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790
Kajian pendahuluan analisis peramalan thunderstorm untuk penyusunan indeks dasar adaptasi kegiatan pertambakan (Suatu tinjauan meteorologi di Jakarta) A preliminary study on analysis of thunderstorm forecasting to the principal indices arrangement of fishpond adaptation (A meteorological point of view in Jakarta) Yopi Ilhamsyah Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
[email protected] Abstract. A meteorological prespective to analyze the Thunderstorm forecasting in Jakarta has been done. The principal indices to be adapted in a fishpond were also arranged in the study. Storms in Jakarta, so-called as Ordinary Cell Thunderstorms, are frequently arose in the afternoon, particularly during transition period on March-May and September-November in which many of them are triggered by different in surface heating. The latter emerged to an atmospheric instability and force the air parcel to rise through the atmosphere. RAOB was employed to the forecasting of Thunderstorm. A number of such indices as K and Showalter indices as well as CAPE are produced and applied to forecast the conditional instability of the troposphere. The result showed that the extension of inversion layer in ~500–300 hPa implied the shrink of humidity and might strength the convective instability. In addition, the higher amount of CAPE proved the maximum velocity of updraft which lead to a strong convection and vertical wind shear during Thunderstorm in Jakarta. On the other hand, based on the storm indices, three principal indices adapted in a fishpond were also arranged i.e. normal, moderate and risk condition. Keywords: Thunderstorm, Storm indices, Fishpond adaption Abstrak. Telah dilakukan studi pendahuluan mengenai suatu tinjauan meteorologi untuk menganalis peramalan badai guruh di Jakarta. Penelitian ini juga menyusun indeks dasar untuk diadaptasikan pada kegiatan pertambakan. Badai di Jakarta, disebut juga badai guruh sel biasa, sering terjadi pada sore hari terutama pada masa pancaroba pada bulan Maret-Mei dan September-November. Badai ini diakibatkan oleh perbedaan panas permukaan yang selanjutnya menghasilkan ketidakstabilan yang mendorong paket udara naik ke atmosfir. RAOB digunakan untuk meramalkan badai guruh ini. Beberapa indeks seperti indeks K, Showalter dan CAPE dihasilkan dan digunakan untuk meramalkan ketidakstabilan bersyarat di Troposfir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran lapisan inversi pada ~500–300 hPa menyiratkan turunnya kelembaban sehingga mendorong ketidakstabilan konvektif, nilai CAPE tinggi juga menggambarkan potensi kecepatan maksimum gerak udara ke atas sehingga menimbulkan konveksi yang kuat dan gerak vertikal geser angin yang bervariasi baik dalam arah dan kecepatan terhadap ketinggian. Selain itu, tiga indeks dasar yaitu normal, sedang dan berbahaya dengan mengacu pada indeks badai untuk diadaptasikan pada tambak juga disusun. Kata kunci: Badai guruh, indeks badai, adaptasi tambak
Pendahuluan Secara geografis, Jakarta terletak pada 6,12º LS dan 106,65º BT dan beriklim tropis lembab dan hangat. Hujan deras disertai petir dan angin kencang sering melanda Jakarta. Hujan deras seperti ini biasanya terjadi pada masa transisi. Namun karena musim hujan terjadi hampir di sepanjang tahun sehingga hujan deras yang disertai angin dan petir dapat terjadi kapan saja. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pembentukan cuaca lokal. Seperti diberitakan 53
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790 oleh sebuah media nasional bahwa hujan petir terjadi pada musim penghujan yang diakibatkan oleh perubahan pola angin yang seharusnya berhembus dari arah barat, tetapi justru berhembus dari arah timur. Hal ini disebabkan oleh karena adanya tekanan rendah di bagian barat selat Sunda. Tekanan rendah itu yang menyebabkan angin berhembus dari arah timur. Tekanan rendah itu disebabkan oleh suhu di barat selat Sunda lebih hangat. Secara normal, tekanan rendah itu seharusnya sudah berada di sekitar Darwin, di tenggara pulau Jawa. Tekanan rendah itu mengakibatkan suhu di permukaan laut menghangat. Air laut menghangat karena adanya penguapan wilayah atau penguapan lokal. Letak geografis Jakarta yang berada di dekat Khatulistiwa di mana terdapat kombinasi massa udara hangat dan lembab menjadikan daerah ini sangat kondusif terhadap pembentukan badai konvektif. Di wilayah Jakarta hujan petir yang disertai angin kencang dapat terjadi pada satu dari setiap tiga hari (Vivanews, 2011). Hujan konvektif yang terbentuk di Jakarta sering disebut dengan badai tersebar (scattered thunderstorms) yang biasanya terbentuk pada hari hangat lembab atau badai massa udara karena cenderung terbentuk dalam massa udara hangat dan lembab yang jauh dari signifikansi front cuaca. Badai seperti ini dapat dianggap sebagai badai sederhana karena jarang menjadi ekstrim, badai ini biasanya memiliki lebar kurang dari 2,4 kilometer dan memiliki siklus hidup yang terprediksi dari lahir hingga dewasa serta kemudian hilang yang biasanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam (Ahrens dan Samson, 2011). Selain itu, Sofyan et al. (2005) menemukan bahwa naiknya udara hangat terjadi di sepanjang zona konvergensi yang diakibatkan oleh pertemuan angin sinoptik barat - barat daya dengan angin lokal (angin laut). Udara hangat yang naik ini menjadi pemicu terbentuknya hujan petir pada sore hari di Jakarta. Badai konvektif di Jakarta cenderung terbentuk di daerah dengan geser angin terbatas yaitu dengan kecepatan angin dan arah angin yang tidak secara tiba-tiba mengalami perubahan terhadap ketinggian. Badai ini diawali dengan naiknya paket udara dari permukaan melalui turbulensi angin. Selain itu, badai ini sering terbentuk di sepanjang zona dangkal yang mengalami konvergensi angin (Ahrens dan Samson, 2011). Kegiatan pertambakan umumnya dilakukan di pesisir utara Jakarta. Kegiatan pertambakan sangat tergantung dengan pengaturan kualitas dan kuantitas air di tambak. Banyak petani tambak yang mengalami gagal panen disebabkan oleh berkurangnya kadar salinitas air di tambak yang diakibatkan oleh banyaknya curah hujan yang masuk ke areal pertambakan yang terjadi secara tiba-tiba. Studi ini mencoba menyusun suatu indeks adaptasi dasar yang disusun berdasarkan indeks potensi Thunderstorm. Dengan demikian hasil analisis Thunderstorm ini dapat digunakan untuk pedoman manajemen kualitas air tambak untuk menjamin kelangsungan kegiatan pertambakan.
Bahan dan Metode Analisis prediksi Thunderstorm di Jakarta menggunakan data rawinsonde yang diperoleh dari http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html. Data ini diperoleh dua kali sehari pada 0Z dan 12Z melalui balon cuaca yang dilengkapi paket instrumen radiosonde. Z merupakan singkatan dari Greenwich Mean Time (GMT). Selisih waktu antara GMT dan Jakarta adalah 7 jam. Jakarta termasuk ke dalam zona waktu Indonesia Barat (WIB). Maka data pada 0Z mengindikasikan data pada jam 7,00 WIB di pagi hari sedangkan data 12Z adalah data pada jam 19,00 WIB di malam hari. Data rawinsonde untuk wilayah Jakarta menggunakan data rawinsonde di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng (6,1º LS dan 106,7º BT) dengan elevasi 8 m di atas permukaan laut. Meskipun lokasi bandar udara dengan kota Jakarta sedikit berjauhan. Akan tetapi, unsur-unsur cuaca di bandar udara dapat mewakili keadaan atmosfir di Jakarta. Namun, untuk memperoleh hasil yang dapat merepresentasikan keadaan atmosfir di Jakarta sebaiknya juga menggunakan data rawinsonde dari stasiun cuaca di Jakarta. Beberapa peneliti juga menggunakan data rawinsonde di bandar udara internasional Soekarno-Hatta Cengkareng untuk mengamati struktur vertikal atmosfir di Jakarta seperti yang dilakukan oleh Matsumoto et al. (2009). 54
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790 Selanjutnya data ini ditampilkan menggunakan software RAOB (Rawinsonde Observation Program). Sehingga diperoleh informasi mengenai keadaan atmosfir termasuk stabilitas, kecepatan vertikal, ketinggian dasar awan, ketinggian puncak awan dan informasi lain yang berkaitan dengan kinematika dan termodinamika Troposfir dan bahkan Stratosfir. Informasi ini nantinya menjadi masukan (input) pada berbagai indeks prediksi badai yang telah dikembangkan untuk mengamati potensi terbentuknya badai di sore hari. Studi ini didahului oleh pengumpulan sejumlah informasi mengenai waktu terjadinya Thunderstorm di Jakarta, kemudian dilakukan penyesuaian dan pengumpulan data rawinsonde di waktu itu dan menganalisnya menggunakan software RAOB. Tabel 1 menyajikan informasi mengenai Thunderstorm yang pernah terjadi di Jakarta. Tabel 1. Informasi Thunderstorm di Jakarta. No.
Tanggal
Keterangan
Sumber
1.
13 Februari 2010
Hujan angin Jakarta
2.
25 Oktober 2011
Hujan petir di Depok
3.
26 Oktober 2011
Hujan disertai petir guyur Jakarta
petir
di
http://detiknews.com http://megapolitan.ko mpas.com http://news.okezone.c om
Indeks prediksi Thunderstorm Untuk memprediksi Thunderstorm, sejumlah aturan dan indeks telah dikembangkan (Haklander dan Van Delden, 2003). Gambaran singkat mengenai indeks disajikan sebagai berikut: Indikasi Thunderstorm dari ketinggian puncak awan: di bawah 4000 m: kecil kemungkinan. antara 4000 dan 5000 m: besar kemungkinan. di atas 5000 m: sangat besar kemungkinan. Berikut beberapa penjelasan indeks yang dapat digunakan untuk memprediksi potensi Thunderstorm di Jakarta. Indeks K (K Index) Didefinisikan oleh persamaan berikut: KI = T850 – T500 + Td.850 – (T700 – Td.700) Tabel 2 berikut menyajikan potensi Thunderstorm untuk indeks K. Tabel 2. Potensi Thunderstorm untuk indeks K. Indeks KI Potensi badai < 20 Tidak ada 20 – 25 Lemah: Thunderstorm terisolasi 26 – 30 Sedang: Thunderstorm tersebar secara luas 31 – 35 Sedang: Thunderstorm tersebar > 35 Kuat: Thunderstorm banyak Indeks Showalter (Showalter Index) Indeks yang dikembangkan untuk menentukan kestabilan udara. Selisih T pada saat P 500 mb dengan T paket udara pada P yang sama. SI = T 500 – T’ 500 T adalah suhu lingkungan pada 500 hPa dan T’ adalah suhu paket udara pada 500 hPa. Tabel 3 di bawah ini menyajikan taksiran potensi Thunderstorm untuk indeks Showalter.
55
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790 Tabel 3. Potensi Thunderstorm untuk indeks Showalter. Potensi badai Troposfir stabil, tidak ada Thunderstorm, > 3 hujan sebentar Kecil peluang terjadi Thunderstorm, konveksi 1 < SI < 3 lemah, ada hambatan lapisan stabil Thunderstorm meningkat, troposfir tidak -3 < SI < 1 stabil lemah Thunderstorm hebat, troposfir tidak stabil -6 < SI < -3 Thunderstorm dan Tornado, troposfir sangat SI < -6 tidak stabil
Indeks SI
CAPE dan Intensitas Thunderstorm Hubungan antara CAPE dan intensitas Thunderstorm potensial diberikan pada Tabel 4, di mana CAPE(m2 dt-2) = 38 CAPE (ºC km). Estimasi intensitas Thunderstorm vs. CAPE disajikan pada tabel 4 di bawah ini:
CAPE ºC km CAPE < 0 0 < CAPE < 26 26 < CAPE < 66 66 < CAPE < 92 92 < CAPE
Tabel 4. Intensitas Thunderstorm untuk CAPE. CAPE(m2 dt-2) Intensitas CAPE < 0 Tidak ada konveksi 0 < CAPE < 1000 Konveksi lemah / Kumulus 1000 < CAPE < 2500 Badai sedang 2500 < CAPE < 3500 Badai kuat 3500 < CAPE Badai ekstrim
Indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan Penyusunan indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan dengan mengacu pada indeks potensi Thunderstorm adalah sebagai berikut: 1. Untuk kondisi normal dengan kategori tidak ada hujan hingga hujan ringan. 2. Untuk kondisi sedang dengan kategori hujan. 3. Untuk kondisi berbahaya dengan hujan deras disertai petir dan angin kencang (Thunderstorm). Indeks adaptasi dasar untuk berbagai kondisi Thunderstorm disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Indeks dasar adaptasi tambak untuk berbagai kondisi Thunderstorm. Kondisi Ketinggian awan Indeks K Indeks Showalter CAPE(m2 dt-2) Thunderstorm < 4000 m < 25 > 3 < 1000 Normal < 4000 m 25-35 -3-3 1000-2500 Sedang > 4000 m > 35 < -3 > 2500 Berbahaya
Hasil dan Pembahasan Data yang direkam oleh radiosonde diplot dalam diagram Skew-T log P RAOB. Diagram ini selanjutnya digunakan untuk menganalisis variabel-variabel meteorologis yang bertujuan untuk memprediksi cuaca jangka pendek. Gambar 2 menyajikan hasil sounding di bandar udara internasional Jakarta. Informasi penting yang diperoleh dari rawinsonde antara lain: • Tekanan permukaan = 1008 hPa. • Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 25,2 0C dan 23,8 0C. • Suhu konvektif = 33,2 0C. • CAPE = 2 J kg-1. Nilai CAPE yang rendah ini menandakan bahwa kecepatan gerak udara ke atas (updraft) untuk membentuk awan konvektif juga rendah. Namun nilai Richardson (BRN) 0 mengindikasikan aliran udara tidak stabil dan turbulen. Nilai BRN yang kecil menandakan geser angin yang relatif kuat. Keadaan ini sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Gambar 1, bahwa arah angin berlawanan dengan kecepatan vertikal geser angin dengan kecepatan 10 m dt-1 pada lapisan 56
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790 bertekanan 900–700 hPa. Titik jenuh (LCL) yang menandakan dasar awan terbentuk pada 988 hPa dengan ketinggian 180 m di atas permukaan. Ketinggian awan mencapai 3 km dan kecepatan vertikal maksimum relatif rendah sebesar 2 m dt-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah ini sedang tidak mengalami badai.
Gambar 1. Diagram Skew-T Log-P RAOB di Jakarta jam 7,00 WIB pada 13 Februari 2010. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap ketinggian di tepi kanan luar diagram. Kondisi ini juga sesuai dengan indeks prediksi badai (Tabel 6) dan CAPE pada Tabel 4 yang hampir semuanya menyimpulkan bahwa potensi badai lemah dengan kemungkinan terjadi hujan berintensitas ringan di wilayah ini. Tabel 6. Indeks potensi Thunderstorm di Jakarta jam 7,00 WIB pada 13 Februari 2010. Potensi Thunderstorm Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) KI KI 31,1 Sedang: Thunderstorm tersebar SI Showalter 3,25 Troposfir stabil, tidak ada Thunderstorm, hujan sebentar Dengan berpedoman pada indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan (Tabel 5) maka kondisi seperti ini tergolong sedang. Petani tambak tidak dikhawatirkan oleh pengendalian kualitas air di tambak karena curah hujan yang masuk ke areal tambak tidak berdampak terhadap penurunan kualitas air secara drastis. Namun kondisi hujan sedang ini juga harus terus dimonitor perkembangannya, karena tidak jarang pula hujan sedang dapat meningkat menjadi hujan lebat. Hal ini dikarenakan oleh kondisi daerah tropis yang cenderung berawan yang dapat mendorong bergabungnya udara lembab dan kembali turun sebagai hujan deras. Gambar 2 dan Gambar 3 adalah hasil sounding di bandar udara internasional Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 dan 26 Oktober 2011. Gambar 2 dan 3 menunjukkan dua sounding identik yang sama-sama menyatakan kondisi atmosfir tidak stabil bersyarat. Bar berwarna hijau dan biru masing-masing menunjukkan kondisi tidak stabil dan stabil. Kondisi tidak stabil berada pada lapisan terbawah Troposfir yang identik dengan laju penurunan adiabatik kering di mana paket udara naik karena pemanasan permukaan sementara laju adiabatik basah terjadi setelah 57
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790 paket udara mengalami kondisi jenuh pada LCL. Laju adibatik basah juga menyiratkan kondisi basah dan bila paket udara ini terus naik melalui Troposfir maka berpeluang terhadap terbentuknya awan kumulonimbus yang berpotensi terhadap Thunderstorm.
Gambar 2. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 Oktober 2011. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap ketinggian di tepi kanan luar diagram. Informasi penting yang diperoleh dari sounding pada gambar 3 adalah: • Tekanan permukaan = 1008 hPa. • Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 26,8 0C dan 24,8 0C. • Suhu konvektif = 31,4 0C. • CAPE = 2574 J kg-1. • LCL = 979 hPa = 258 m. Berdasarkan analisis dari Gambar 2 prediksi indeks pada Tabel 7 dan CAPE pada Tabel 4, keadaan atmosfir di Jakarta mengindikasikan potensi badai dengan intensitas sedang hingga tinggi. Pada Troposfir bawah, udara berada dalam keadaan tidak stabil bersyarat. Keadaan ini diperkuat oleh terbentuknya lapisan udara kering pada ~500–300 hPa sehingga mengakibatkan tidak terbentuknya awan di lapisan ini. Pada lapisan ini pula terjadi pembelokan arah angin yang mengindikasikan wind shear yang lebih kuat di lapisan atas dibanding kecepatan wind shear pada lapisan ~900–700 hPa yang bernilai 7 m dt1 -1 . Kecepatan angin di permukaan mencapai 56 km jam . Tabel 7. Indeks potensi Thunderstorm di Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 Oktober 2011. Nilai (diagram Potensi Thunderstorm Singkatan Nama indeks RAOB) KI KI 35,6 Kuat: Thunderstorm banyak. SI Showalter -1,86 Thunderstorm meningkat, troposfir tidak stabil lemah.
58
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790
Gambar 3. Diagram Skew-T Log-P RAOB di Jakarta jam 7,00 WIB pada 26 Oktober 2011. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap ketinggian di tepi kanan luar diagram. Keadaan atmosfir di Jakarta pada pagi hari berada pada Gambar 4 menyatakan ketidak stabilan konvektif di tandai dengan terbentuknya lapisan inversi pada ~600–300. ketidakstabilan konvektif ini memicu terjadi hujan petir dengan intensitas sedang di sore hari. Variasi arah dan kecepatan wind shear 9 m dt-1 pada lapisan ~900–600 hPa. Sementara itu, potensi kecepatan microburst adalah 28 km jam-1. Dengan mengacu pada indeks adaptasi kegiatan pertambakan terhadap terjadinya Thunderstorm maka kondisi seperti ini sangat tidak diinginkan oleh petani tambak karena mereka harus melakukan adaptasi terhadap volume air hujan yang masuk ke areal pertambakan. Kondisi seperti ini dapat mengancam kelangsungan usaha tambak karena dapat mengancam hasil panen (ikan/udang terancam mati) karena terjadi pengenceran air tambak oleh masuknya curah hujan dalam jumlah yang tinggi. Dengan kondisi ini pengusaha tambak harus lebih waspada, usaha yang dapat dilakukan antara lain harus melakukan penambahan air laut agar salinitas air tambak tetap berada pada kisaran yang baik untuk biota peliharaan. Namun demikian, karena penelitian ini sifatnya studi dasar yang tinjauannya lebih ditekankan pada kondisi pra-konvektif di Troposfir untuk peramalan potensi terjadinya Thunderstorm maka studi ini masih memerlukan penelitan lebih lanjut dan mendalam mengenai kaitannya dengan adaptasi kegiatan pertambakan saat berlangsungnya Thunderstorm. Demikian juga dalam penyusunan indeks adaptasi dasar kegiatan pertambakan yang masih memerlukan validasi dalam penerapannya.
Kesimpulan Indeks prediksi badai yang sesuai digunakan untuk wilayah Jakarta adalah: indeks K, indeks Showalter serta jumlah CAPE. Badai konvektif di Jakarta di awali oleh naiknya udara dalam lingkungan tidak stabil bersyarat, kehadiran lapisan inversi pada ~500–300 hPa menyiratkan turunnya kelembaban sehingga mendorong ketidakstabilan konvektif. Penyusunan indeks adaptasi tambak didasarkan pada indeks potensi badai. Pada 13 Februari 2010, indeks adaptasi tambak masing-masing dengan rentang indeks K 25-35 dan Showalter -3-3 yang menyiratkan kondisi sedang dengan intensitas hujan ringan hingga sedang. Pada 25-26 Oktober 2011, indeks adaptasi tambak memiliki rentang K > 35, Showalter < -3 dengan ketinggian awan > 4000 m yang menyatakan kondisi berbahaya dengan kategori Thunderstorm sehingga petani tambak harus meningkatkan kewaspadaan dengan menjaga dan mengontrol kualitas air di areal tambak. Namun, studi ini 59
Depik, 1(1): 53-60 April 2012 ISSN 2089-7790 masih memerlukan penelitian lanjutan dalam kaitannya dengan adaptasi kegiatan pertambakan di lapangan secara menyeluruh.
Ucapan terima kasih Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Dr. Tania June atas saran dan koreksi yang bermanfaat dalam studi ini juga kepada reviewer atas arahannya serta rekan-rekan pascasarjana Klimatologi Terapan IPB Bogor atas diskusinya dan akhirnya penghargaan penulis berikan kepada DIKTI melalui beasiswa BPPS untuk kelangsungan studi dan publikasi ini.
Daftar Pustaka Ahrens, C.D., P. Samson. 2011. Extreme Weather and Climate. Pearson Prentice Hall. Brooks/Cole; Thomson Learning, USA. Haklander, A.J., A. van Delden. 2003. Thunderstorm predictors and their forecast skill for the Netherlands. Journal of Atmospheric Research, 6768: 273-299. Matsumoto, J., W. Peiming, H. Kamimera, J-I. Hamada, S. Mori, M. Yamanaka, N. Sakurai, F. Syamsudin, R. Sulistyowati, A.A. Arbain, Y.S. Djajadihardja. 2009. Torrential in Indonesia Capital City Jakarta. The seventh International Conference on Urban Climate. Yokohama, Japan 29 June - 3 July 2009. Sofyan, A., T. Kitada, G. Kurata. 2005. Characteristics of Local Flow in Jakarta, Indonesia and its implication in air pollution transport. The 9th Atmospheric Sciences and Air Quality Conferences. San Francisco, USA 26-29 April 2005. Vivanews. 2011, Pemicu Hujan, Angin dan Petir di Jakarta. http://us.metro.vivanews.com/news/read/190933-jakarta-hujan--angin-danpetir--ini-sebabnya. Tanggal akses 6 November 2011.
60
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790
Pengaruh ENSO (El Niño and Southern Oscillation) terhadap transpor massa air laut di Selat Malaka The influence of ENSO (El niño and southern oscillation) on water mass Transport in the Malacca Strait Muhammad1, Syamsul Rizal*1, Junaidi M. Affan2 1
Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. This research examines the influence of ENSO (El Niño and Southern Oscillation) in the Malacca Strait with the southern oscillation index using the Pacific Ocean in determining the condition of Normal, El Niño and La Nina as the analysis of mass transpor of sea water, sea surface elevation and the density of the sea. The research methods using the Navier-Stokes equations with force generating tides, winds from the National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Year 1980-2007, salinity(Levitus and Boyer, 1994a) and temperature (Levitus and Boyer, 1994b). Equations of motion of the sea water were modeled with the model of Hamburg Shelf Ocean Model (HAMSOM). The results show that the transport in northwestern part of the Malacca Strait is lower, but in the southeastern part is stronger compared to that of in Normal and La Nina events. While in Sea Level Elevation at El Niño event is lower compared to that of in Normal and La Nina events. For sea surface density, the density values are 18.5 s/d 20.5 kg/m3 while for the later 30-50 m, the values are 19-21 kg/m3. Sea surface density and density for layer 30-50 m in th southeastern part of Malacca Strait for El Niño events are higher than that of in normal and La Nina event. Key words: Sea level elevation, sea density and Hamsom model Abstrak. Penelitian ini mengkaji pengaruh ENSO (El Niño and Southern Oscillation) di Selat Malaka dengan memakai indek osilasi selatan Samudera Pasifik dalam menentukan kondisi Normal, El Niño dan La Nina sebagai analisis transpor massa air laut, elevasi muka laut dan densitas laut. Metode penelitian menggunakan persamaan Navier-Stokes dengan gaya pembangkit pasang surut, angin dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Tahun 1980-2007, Salinitas (Levitus dan Boyer, 1994a) dan Temperatur (Levitus dan Boyer, 1994b). Persamaan gerak air laut tersebut dimodelkan dengan model Hamburg Shelf Ocean Model (HAMSOM). Hasil-hasil menunjukkan bahwa transpor di bagian barat laut Selat Malaka pergerakannya melemah dan transpor di bagian tenggara pergerakannya menguat dibandingkan pada kondisi tahun Normal dan La Nina. Sedangkan elevasi muka air di Selat Malaka pada kondisi tahun El Niño lebih rendah dibandingkan pada kondisi Normal dan La Nina. Selanjutnya densitas permukaan laut di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal, El Niño dan La Nina berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3. Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal, El Niño dan La Nina berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan densitas laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El Niño lebih besar dibandingkan pada tahun Normal maupun tahun La Nina. Kata kunci : Elevasi muka laut, densitas laut dan model HAMSOM
Pendahuluan Gejala penyimpangan iklim, yang dikenal dengan El Niño, dirasakan di Indonesia lewat musim kemarau yang lebih panjang, dapat mengakibatkan kebakaran hutan, kabut asap, turunnya kualitas udara, rusaknya siklus hidrologi, berjangkitnya penyakit pernapasan, kegagalan panen dan berbagai dampak buruk lain (Susilo, 2009). 61
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790 Meskipun kejadian El Niño, prosesnya di Pasifik, dampaknya bisa meluas ke berbagai belahan dunia. Berdasarkan Studi Kishore et al. (2000) tentang dampak El Niño 1997-98, dari 1877 sampai dengan 1997, 93% dari tahun-tahun kering selalu dihubungkan dengan El Niño. Beberapa studi menunjukkan hubungan yang jelas antara anomali curah hujan yang normal dengan Southern Oscillation Index (SOI). Pada tahun-tahun terjadi El Niño, datangnya monsoon lebih lambat, sehingga menyebabkan kelambatan masa tanam dan mereduksi hasil pertanian. Dampak yang paling terasa di Indonesia dan sangat menarik perhatian internasional akibat kejadian El Niño 1997-98, adalah pada sektor kehutanan. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sangat serius dan mempunyai dampak ekonomi yang sangat signifikan. Asian Development Bank (ADB) dan BAPPENAS menduga kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan musim kering yang melanda Indonesia lebih dari 9 milliar US$ (Kishore et al., 2000). Sehingga penelitian mengenai pengaruh ENSO terhadap transpor massa air laut penting untuk dikaji dengan tujuan melihat korelasi antara kondisi normal, El Niño dan La Nina yang terjadi di Pasifik dengan keadaan transpor massa air laut di Selat Malaka. Transpor massa air akan mempengaruhi pola distribusi ikan dengan demikian akan bermanfaat bagi nelayan untuk mengetahui tempat-tempat yang banyak terdapat ikan.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini menggunakan persamaan gerak Navier-Stokes. Adapun persamaan dasarnya adalah persamaan gerak dinamika oseanografi dalam arah x dan y (Backhaus, 1985 ; Rizal dan Sündermann, 1994; Pohlmann, 1996; Rizal, 2000, Rizal 2002):
u u u u 1 p u u u u v w fv AH AH Av t x y z x x x y y z z
(1)
v v v v 1 p v v v u v w fu AH AH Av t x y z y x x y y z z
(2)
Dalam arah z
persamaan hidrostatika disederhanakan dalam bentuk:
p g z
(3)
Persamaan keadaan air laut:
S , T , p o '
(4)
Persamaan konservasi temperatur:
T T T T T u v w K H 2T K V ST t x y z z z
(5)
Persamaan konservasi salinitas:
S S S S S u v w K H 2 S KV SS t x y z z z
(6)
Persamaan kontinuitas:
u dz v dz 0, t x h y h
(7)
di mana u(x,y,z,t), v(x,y,z,t) and w(x,y,z,t) merupakan kecepatan arus dalam arah x, y dan z. f = 2 sin adalah parameter Coriolis, adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan merupakan lintang geografi; (x,y,t) merupakan elevasi permukaan air yang diukur dari permukaan air tenang, h(x,y) merupakan kedalaman air juga diukur dari permukaan air tenang, g adalah konstanta percepatan gravitasi, H xk dan H yk secara bersamaan merupakan ketebalan lapisan dalam arah u dan v pada lapisan ke-k, dan H adalah operator gradient horizontal. Ah adalah koefisien pertukaran turbulensi horizontal dan Av adalah koefisien viskositas eddy vertikal. Pers (1), (2), (3) digunakan untuk pemodelan dinamika 62
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790 oseanografi melalui proses diskrisitasi menggunakan metode finite different skema semi-implisit. Tekanan hidrostatis p (dengan mengabaikan suku g 0 z dan pa, dikarenakan tidak memiliki kontribusi terhadap gradient tekanan horizontal) pada arah z ditulis dalam bentuk : 0
p g1 p' g ' dz g1 I
(8)
z
Karena berhubungan dengan syarat stabilitas pada langkah waktu yang harus dipenuhi oleh simulasi numerik, tekanan pada pers. (8) dipisahkan menjadi dua suku yaitu : komponen Barotropik ( g1 ) dan komponen Baroklinik (I). Tahapan penelitian ini terdiri atas pengumpulan data Indek Osilasi Selatan dari situs: (1)http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1977-1984.shtml; 1. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1985-1992.shtml; 2. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1993-2000.shtml; 3. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-2000-2007.shtml (Gambar 1), data sekunder 7 parameter meteorologi tahun 1980-2007 dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP), data temperatur dan salinitas (Levitus dan Boyer, 1994a,b) serta data amplitudo dan phase komponen harmonik pasang surut. Data sekunder 7 parameter meteorologi NCEP yaitu: Kecepatan angin arah U pada 10 meter (m/detik) (U-wind at 10 m). Kecepatan angin arah V pada 10 meter (m/detik) (V-wind at 10 m). Suhu udara pada 2 meter (K) (air temperature at 2 meters). Laju presipitasi (kg/m2/detik) (precipitation rate). Kelembaban khusus pada 2 meter (kg/kg) (specific humadity at 2 meters). Tekanan level permukaan laut (Pa) (sea level pressure). Total tutupan awan (%) (total cloud cover).
Gambar 1. Indek Osilasi Selatan tahun 1977-2007 Selanjutnya disimulasikan dengan domain 5°30’ LU - 1°30’ LU dan 95°30’ BT - 103°30’ BT (Gambar 2) dengan lebar grid horizontal x = 5’, y = 5’ dan grid vertikal kedalaman (z) yang didiskritisasi sebanyak 11 lapis, yaitu 0-10,10-20, 20-30, 30-50, 50-75, 75-100, 100-125, 125-150, 150-200, 200-250, 250-300, 300400, 400-500, 500-600, 600-700, 700-800 dan 800-900 m. Langkah waktu t = 600 detik, koefisien eddy horizontal AH = 500 m2/detik, koefisien eddy vertikal AV = 0,01 m2/detik dan faktor gesekan dasar laut Cf = 0,0025. Syarat batas elevasi pada bidang terbuka diasimilasi dari komponen harmonik dengan interpolasi 5’. 63
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790 Analisis pengaruh el Niño di Selat Malaka berupa perbandingan antara tahun normal, el Niño dan la nina dari output transpor massa air laut, elevasi muka laut dan densitas laut.
Gambar 2. Batimetri Selat Malaka (meter)
Hasil dan Pembahasan Transpor massa air laut Transpor massa air laut di Selat Malaka secara umum baik pada kondisi Tahun Normal, El Niño maupun La Nina bergerak ke arah Barat Laut dengan massa air yang dibawa sebesar 0,1 – 3 Sv. Namun terjadi transpor yang lebih kuat pada tahun El Nino (1982 dan 1997) dibandingkan kondisi normal maupun la nina, hal ini ditunjukkan pada Gambar 3. Elevasi Muka Laut Secara umum elevasi muka laut di Selat Malaka baik pada tahun normal, el nino da la nina berkisar 0,4 sampai 1 m. Pada kondisi tahun Normal (Nov 1981 dan Nov 1996) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998 dan Nov 2007) elevasi muka air laut jauh lebih tinggi berkisar 0,8 m s/d 1 m, sedangkan pada kondisi El Niño (Nov 1982 dan Nov 1997) elevasi muka air laut jauh lebih rendah yaitu berkisar 0,4 m s/d 0,8 m (Gambar 4). Densitas Air Laut Densitas permukaan laut di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Niño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3 (Gambar 5). Sementara densitas pada lapisan kedalaman 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Niño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 19 s/d 21 kg/m3 (Gambar 6). Tingginya densitas pada lapisan dibawah permukaan dikarenakan adanya paksaan atau tekanan dari massa air lapisan permukaan. Keterkaitan ENSO dengan Transpor massa air laut dan parameter oseanografi Kekuatan transpor massa air laut secara langsung sangat dipengaruhi oleh suhu, densitas dan elevasi muka air, sehingga secara tidak langsung ENSO yang terdiri atas kondisi normal, El Niño, dan La Nina mempengaruhi suhu, densitas dan elevasi muka air yang memberikan keterkaitan dengan kekuatan transpor yang bergerak. Kekuatan transpor tersebut dapat menguat ataupun melemah sesuai dengan kondisi ENSO. Dari hasil yang diperoleh dari gambar 3 di Selat Malaka menunjukkan bahwa pada kondisi El Niño menguat dibandingkan kondisi normal dan La Nina. Sedangkan kejadian sebenarnya di Samudera Pasifik bahwa pada kondisi El Niño melemah dibandingkan kondisi normal dan La Nina yang memberikan efek langsung di Indonesia bagian timur. Namun demikian ENSO juga memberikan efek ke Selat Malaka secara tak langsung melalui aliran telekoneksi dari atmosfir yang membawa efek sampai permukaan laut Selat Malaka. 64
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790
a
c
b
d
f
e
g Gambar 3. Transpor Massa Air Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Niño Kuat (Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
a
b
c
d
e
f
g Gambar 4. Elevasi muka air di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Niño Kuat (Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
65
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790
a
b
c
e
d
f
g Gambar 5. Densitas Permukaan Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Niño Kuat (Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 1997),f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
a
b
d
e
c
f
g Gambar 6. Densitas Laut Lapisan 30-50 m di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Niño Kuat (Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Niño Kuat (Nov 1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
66
Depik, 1(1): 61-67 April 2012 ISSN 2089-7790
Kesimpulan Transpor massa air laut pada kondisi El Niño menunjukkan bahwa transpor di bagian barat laut Selat Malaka pergerakannya melemah dan transpor di bagian tenggara pergerakannya menguat dibandingkan pada kondisi tahun Normal dan La Nina. Elevasi muka air di Selat Malaka pada kondisi tahun El Niño lebih rendah dibandingkan pada kondisi Normal dan La Nina. Densitas permukaan laut di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Niño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3. Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Niño (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan densitas laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El Niño lebih besar dibandingkan pada tahun normal. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Penelitian Unggulan Strategis Nasional tahun 2009 dengan nomor kontrak: 096/H11P2T/A.01/2009 Tanggal 27 Februari 2009. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan kepercayaan atas kelancaran penelitian ini.
Daftar Pustaka Backhaus, J. O. 1985. A three-dimensional model for the simulation of shelf sea dynamics. Deutsche Hydrographische Zeitschrift – German. Journal of Hydrography, 38: 165-187. Kishore, K., A. Setiana, A.R. Subbiah, T. Sribimawati, S. Diharto, S. Alimoeso, P. Rogers. 2000. Indonesia Country Case Study: Impacts and Responses to the 1997-98 El Niño Event, supported by the US Office of Foreign Disaster Assistance and Office of Global Programs, National Oceanic and Atmospheric Administration as a contribution to the UNEP/NCAR/WMO/UNU/ISDR study for the UN Foundation. Levitus, S., T. Boyer. 1994a. World Ocean Atlas 1994, Vol 3: Salinity. NOAA Atlas NESDIS 3, U. S. Government Printing Office, Washington D.C. 93 pp. Levitus, S., T. Boyer. 1994b. World Ocean Atlas 1994, Vol 4: Temperature. NOAA Atlas NESDIS 4, U. S. Government Printing Office. Washinton D.C. 117 pp. Pohlmann, T. 1996. Calculating the annual cycle of the vertical eddy viscosity in the North Sea with a three-dimensional baroclinic shelf sea circulation model. Cont. Shelf Res. Vol., 16(2): 147 – 161. Rizal, S., J. Sündermann. 1994. On the M2 tide of the Malacca Strait: a numerical investigation, Deutsche Hydrographische Zeitschrift – German. Journal of Hydrography, 46(1): 61 - 80. Rizal, S. 2000. The role of nonlinear terms in the shallow water equations with the application in the three-dimensional tidal model of Malacca Strait and Taylor's problem in low geographical latitude. Continental Shelf Research, 20(15): 1965 - 1991. Rizal, S. 2002. Taylor's problem - influences on the spatial distribution of real and virtual amphidromes. Continental Shelf Research, 22(15): 21472158. Susilo, I. 2009. Cuaca: Dari El Niño 1997 ke El Niño 2009, Harian Nasional Kompas, tanggal 10 Oktober 2009.
67
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu kajian awal Mapping of the potencial locations for developing minapolitan region in Aceh Province: a preliminary study
of
Z.A. Muchlisin1*, Muhammad Nazir2, Musri Musman2 1
Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. Email korespodensi:
[email protected]
Abstract. The objective of the present survey was to map the potency of locations for developing of minapolitan area in Aceh province. The survey was conducted on November-December 2011 and it was focused on the four districts i.e. Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen and Aceh Timur. The data were categorized into two types, i.e. secondary data which was compiled from annual reports, research report and other references. The primary data were collected throught direct and indirect interviewed the key persons in fisheries sector by using the questionnaire. Primary data were also obtained by direct observation in the fields. The results showed that every site has the advantages and disadvantages. However, generally all of the locations have potency to be developed as minapolitan region. Minapolitan models that can be developed are the combination between of capture fisheries, aquaculture, processing and marine tourism. Keywords: Capture fihery, aquaculture, fish processing industry and marine tourism
Abstrak. Survei ini bertujuan untuk memetakan lokasi bagi pengembangan kawasan minapolitan di Provinsi Aceh. Survey dilakukan pada bulan November-Desember 2011 pada empat Kabupaten, yaitu Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen dan Aceh Timur. Data utama yang digunakan adalah data sekunder yang dikompilasi dari laporan tahunan dinas terkait dan laporan-laporan penelitian yang pernah dilakukan. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara baik langsung maupun tidak langsung (kuisioner) terhadap petugas yang membidangi bidang berkenaan. Data primer juga diperoleh dengan pengamatan langsung dilapangan pada beberapa lokasi yang ditinjau. Dari survey ini dapat disimpulkan bahwa setiap lokasi yang disurvey memiliki karakteristik dan keunggulan dan kelemahan masing-masing, namun demikian secara umum dinilai semua kawasan ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan Minapolitan. Model minapolitan yang dapat dikembangkan adalah berbasis kombinasi antara perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan wisata bahari. Kata kunci: Perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan, dan wisata bahari
Pendahuluan Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). Oleh karena itu pengembangan sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara 68
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
umum di kawasan ini. Namun sayangnya kondisi perekonomian sebagai besar nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya masih sangat memprihatinkan. Oleh karena itu kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian agar dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. Dalam rangka memenuhi harapan tersebut, diperlukan kebijakan strategis yang inovatif didasarkan pada realitas permasalahan dan kondisi masa depan yang diharapkan dengan menerapkan langkah-langkah terobosan yang efektif. Untuk itu diperlukan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke lautan (maritime), yang disebut dengan Revolusi Biru. Pada tataran implementasinya diperlukan sistem pembangunan sektor kelautan dan perikanan terpadu berbasis wilayah yang disebut dengan konsep minapolitan (KKP, 2011). Program pengembangan kawasan minapolitan ini bertujuan untuk: (a) Meningkatkan produksi, produktifitas, dan kualitas produk kelautan dan perikanan; (b) Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolahan ikan yang adil dan merata; dan Mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Pembangunan perikanan Indonesia selama ini dinilai belum berhasil mengangkat perekonomian masyarakat nelayan secara nyata, oleh karena itu diperlukan suatu terobosan baru untuk mengatasi berbagai permasaalahan yang ada selama ini, pembangunan yang bersifat sektoral dan tidak terencana dengan baik mungkin adalah salah satu sebab belum berhasilnya pembangunan perikanan Indonesia selama ini. Oleh karena itu minapolitan diharapkan menjadi jawaban terhadap permasalah tersebut. Dalam konsep minapolitan koordinasi dan sinergi berbagai stakeholder yang terlibat adalah menjadi kunci keberhasil program minapolitan. Provinsi Aceh memiliki peluang yang besar untuk pengembangan kawasan minapolitan di beberapa kabupaten/kota, misalnya Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Timur. Menurut Pedoman Umum Minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), bahwa suatu kawasan dapat ditetapkan dan dikembangkan sebagai kawasan minapolitan apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Kesesuaian dengan Renstra Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan. b. Memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi. c. Letak geografis yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan d. Terdapat unit produksi, pengolahan dan atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif berproduksi, mengolah dan atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi dan mempunyai matarantai produksi pengolahan dan atau pemasaran yang saling terkait. e. Tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan dan atau pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha dan fasilitas penyuluhan dan pelatihan. Kajian awal ini bertujuan untuk melakukan pemetaan potensi pengembangan kawasan minapolitan dibeberapa lokasi dalam Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen dan Aceh Timur. Hasil kajian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait sebagai pedoman dasar dalam penetapan dan perencanaan pengembangan kawasan minapolitan.
Bahan dan Metode Lokasi dan waktu Survey ini dilakukan pada bulan November-Desember 2011 di beberapa kawasan, penetapan kawasan survey berpedoman pada sentra-sentra perikanan yang telah ada dan tumbuh secara alami, untuk tujuan tersebut tim berkoordinasikan dengan instansi terkait, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Aceh, sehingga dipilih enam lokasi yang berada pada empat kabupaten untuk disurvey, yaitu Aceh Jaya (Calang dan sekitarnya), Aceh Besar (Kota 69
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Jantho dan Lampuuk-Leupung-Lhoong), Rayeak dan Peureulak).
Bireuen
(Jangka)
dan
Aceh
Timur
(Idi
Teknik pengumpulan dan analis Data Data utama yang digunakan adalah data sekunder yang dikompilasi dari laporan tahunan dinas terkait dan laporan-laporan penelitian yang pernah dilakukan. Data ini diperoleh secara langsung dari pihak terkait atau melalui situs-situs online, buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung dan tidak langsung (kuisioner) terhadap petugas yang membidangi bidang berkenaan. Data primer juga diperoleh dengan pengamatan langsung di lapangan pada beberapa lokasi yang ditinjau. Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam tabel dan gambar dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif, untuk dilihat sejauh mana kawasan tersebut memenuhi persyaratan kawasan minapolitan yang sebagaimana disyaratkan. Adapun kawasan yang disurvey adalah sebagai berikut: 1. Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar 2. Lampuuk-Leupung-Lhoong, Kabupaten Aceh Besar 3. Jangka Mesjid, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen 4. Blang Geulumpang, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur 5. Kuala Bugak, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. 6. Calang, Aceh Jaya Berdasarkan data potensi ini, maka dapat diketahui karakteristikkarakteristik dari setiap kawasan tersebut dan dengan mengacu kepada persyaratan kawasan untuk minapolitan.
Hasil dan Pembahasan Hasil Sebaran calon lokasi untuk pengembangan kawasan minapolitan Aceh difokuskan pada 6 lokasi, yaitu Kota Jantho, Cluster Lampuuk-Leupung-Lhoong, Kabupaten Aceh Besar; Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen; Kecamatan Idi Rayeuk dan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur; dan dan Calang, Aceh Jaya (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi rencana pengembangan kawasan minapolitan di Aceh (I:Kota Jantho, Aceh Besar, II:Kluster Lampuuk-Leupung-Lhoong, Aceh Besar, III: Jangka, Bireuen, IV: Idi Rayeuk, Aceh Timur, V: Peureulak, Aceh Timur dan VI. Calang, Aceh Jaya) 70
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Menurut pedoman dasar penetapan dan perencanaan pengembangan kawasan minapolitan, maka pelaksanaan rencana pengembangan kawasan minapolitan perlu dinilai dari beberapa aspek, diantaranya aspek potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, fasilitas utama dan pendukung yang ada di masing-masing lokasi minapolitan dan komoditi unggulan. Penelitian yang telah dilakukan di masing-masing lokasi mengenai pengembangan kawasan minapolitan, hingga komitmen daerah dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan dengan adanya surat keputusan (SK), peraturan daerah atau komitmen dalam bentuk anggaran adalah menjadi acuan dalam penetapan kawasan minapolitan. Jika dilihat dari sisi ekonomi, maka aspek yang dinilai antara lain serapan tenaga kerja di wilayah tersebut, orientasi pasar, model kemitraan yang telah dikembangkan antara masyarakat dan corporate serta dampak pengembangan kawasan minapolitan terhadap perekonomian di masing-masing wilayah. Rangkuman hasil survey disajikan pada Tabel 1 sampai Tabel 7. Table 1. Potensi sumberdaya manusia yang dimiliki pada masing-masing lokasi. No.
Lokasi
Potensi sumberdaya manusia yang mendukung
1. 2.
15 orang tenaga penyuluh dari BPP Lhoknga. 11 orang tenaga penyuluh dari DKP dan Badan ketahanan pangan Kabupaten Aceh Besar.
3.
Jantho, Aceh Besar Kluster LampuukLeupung-Lhoong, Aceh Besar Jangka, Bireuen
4.
Idi Rayeuk, Aceh Timur
5.
Peureulak, Aceh Timur
6.
Calang, Aceh Jaya
Fasilitator di Livelihood Service Centre yang terletak di beberapa kecamatan di Bireuen, yaitu kecamatan Jangka, Kecamatan Gandapura dan Kecamatan Samalanga. (masing-masing LSC tersebut memiliki 2 orang fasilitator) 8 orang Bapeluh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Timur, 39 orang SATGAS yang menangani pengembangan kawasan minapolitan. 2 orang Bapeluh yang menangani pengembangan kawasan minapolitan, 39 orang SATGAS yang menangani pengembangan kawasan minapolitan. 8 orang tenaga penyuluh ketahanan pangan, 3 orang penyuluh BPP pada setiap kecamatan, 1 orang penyuluh perikanan tenaga kontrak (PPTK), 3 orang penyuluh Pengembangan usaha Manapedesaan (PUMP)
Tabel 2. Keberadaan Peraturan Pemerintah (SK) Kepala Daerah di masing-masing kabupaten. No.
Lokasi
Peraturan Pemerintah (SK) Kepala Daerah
1.
Aceh Besar
- SK. No 101 Tahun 2010, tentang Penetapan Kecamatan Kota Jantho sebagai Kawasan Minapolitan Budidaya ikan air tawar Kab. Aceh Besar - SK. No 273 Tahun 2010, tentang pembentukan kelompok kerja (POKJA) pengembangan kawasan minapolitan budidaya ikan air tawar Kab. Aceh Besar.
2.
Bireuen
3.
Aceh Timur
4.
Aceh Jaya
SK Bupati Bireuen Tahun 2010 tentang penetapan kawasan minapolitan di kabupaten Bireueun dengan pusat kawasan (Minapolis) Kecamatan Jangka dan didukung oleh 4 Kecamatan sekitarnya sebagai hinterland, yaitu Kecamatan Gandapura, Peusangan, Kuala dan Kecamatan Jeumpa. Belum ada Surat Keputusan Bupati atau Perda, namun komitmen pemerintah setempat dinilai tinggi, ditandai dengan telah dibentuknya badan penyuluh (Bapeluh) dan satuan tugas (Satgas) yang menangani pengembangan kawasan minapolitan. Belum ada Surat Keputusan Bupati atau Perda tentang pengembangan kawasan minapolitan di Aceh Jaya, namun pemerintah setempat memiliki komitmen yang kuat untuk pengembangan kawasan minapolitan ditandai dengan adanya alokasi anggaran untuk penyusunan rencana tata ruang dan DED kawasan minapolitan pada tahun 2012.
71
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Tabel 3. Komoditas unggulan di masing-masing lokasi No. 1.
Lokasi Jantho, Aceh Besar
2.
Kluster Lampuuk – Leupung -Lhoong, Aceh Besar
3.
Jangka, Bireuen
4.
Idi Rayeuk, Aceh Timur
5.
Peureulak, Aceh Timur
6.
Calang, Aceh Jaya
Komoditas unggulan Budidaya ikan air tawar: ikan nila, ikan bawal, ikan bandeng, udang galah, ikan mas, ikan gurame, ikan gabus, ikan lele dan ikan hias. Perikanan tangkap: ikan-ikan karang, udang/lobster dan ikan teri. Perikanan budidaya: ikan nila, kepiting, ikan bandeng dan ikan lele. Industri pengolahan: ikan asin, ikan peda dan teri kering. Wisata bahari: terumbu karang dan penyu (marine protection area). Perikanan tangkap: ikan tuna, tongkol, kakap, kerapu dan teri. Perikanan budidaya: udang windu, ikan bandeng, ikan nila, mujair dan kepiting bakau. Perikanan tangkap: tuna, tenggiri, sunglir, cakalang, lisong, tongkol, layang biru, layang deles, kembung, madidihang dan tembang. Tongkol, kerapu, kakap, ikan kue, udang windu dan bandeng. Perikanan tangkap: Kerapu, lobster, udang windu, udang sabu, ikan tuna, tongkol, kakap, bilis. Perikanan budidaya: ikan bandeng, lobster, ikan kerapu, udang, ikan kereuling dan ikan hias. Industri pengolahan: ikan asin, ikan peda, ikan teri kering. Wisata bahari: terumbu karang dan pulau-pulai kecil (marine protection area).
Tabel 4. Potensi wilayah, sarana dan prasarana pendukung di masing-masing lokasi No. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
Lokasi Jantho, Aceh Besar
Potensi - Lahan kolam ±50 Ha, dan yang telah produktif ± 5 ha. - Balai Benih Ikan Air Tawar - Adanya Balai Penyuluh Pertanian & Perikanan - Lhoknga - Memiliki sumber air tawar yang berlimpah - Balai benih ikan air tawar Kluster Lampuuk – Perahu tanpa motor= 150 unit, boat dompleng= 120 unit, Leupung - Lhoong, Aceh boat < 5GT= 60 unit, boat 5-20 GT = 7 Unit, boat >20 GT Besar = 3 Unit Jangka, Bireuen Armada perikanan= 2.153 unit, PPI= 3 unit, TPI= 15 unit, fasilitas docking= 2 unit, dermaga tambat labuh= 1 Unit, sungai utama = 13 buah. Hatchery= 51 unit, gedung UPP= 2 unit, pasar ikan= 19 unit, muara/Kuala= 25 buah, saluran Tambak= 554 Km Idi Rayeuk, Aceh Timur Tambak 148,2 ha, kolam 0,8 ha, perahu tanpa motor= 20 unit, boat < 5 GT = 76 unit, boat 5-20 GT = 199 unit, boat > 20 GT = 142 unit. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Idi merupakan salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Aceh, berlokasi di Idi Rayeuk Aceh Timur, pelabuhan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dengan luas lahan 61 Ha. Fasilitas yang tersedia di PPP ini antara lain: Dermaga (Wharf/Pier) = 250 m2, Jetty = 1.800 m, Pemecah gelombang= 800 m, Kolam Pelabuhan/Alur Sungai = 6 Ha, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) = 600 m2, Kantor Administrasi Pelabuhan = 452m2, Gedung Pengepakan = 2 unit, Tangki Air + Instalasi = 1 unit, Tangki Solar + Instalasi/SPBN = 2 unit, Listrik + Instalasi (sisi barat)= 1 unit, Dock/Slipway = 30 GT, Tower Central Radio Nelayan = 1 unit, Kendaraan Pelabuhan = 3 unit, Fork Lift = 2 unit, Selain itu,terdapat juga beberapa fasilitas penunjang lainnya, seperti: Rumah Staf, MCK umum, kios nelayan dan Keselamatan Pelayaran (Pos PolAirud). Peureulak, Aceh Timur Boat < 5 GT = 79 unit, boat 5-20 GT = 15 unit, boat > 20 GT = 6 unit, hatchery 1 unit. Calang, Aceh Jaya Perahu tanpa motor= 61 unit, motor tempel= 71 unit, <5 GT= 25 unit, 5 sampai 10 GT= 12 unit, > 10 GT= 1 unit. Balai benih ikan air tawar.
72
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Tabel 5. Fasilitas laboratorium yang tersedia dimasing-masing lokasi No.
Lokasi
Fasilitas laboratotium yang tersedia
1. 2.
Balai Benih Ikan Air Tawar, Jantho. Belum tersedia
3.
Jantho, Aceh Besar Kluster LampuukLeupung-Lhoong, Aceh Besar Jangka, Bireuen
4.
Idi Rayeuk, Aceh Timur
Telah tersedia lab. Untuk pengukuran parameter perikanan budidaya (pH meter, DO meter, dll) di Livelihood Service Centre (LSC) yang terletak di beberapa kecamatan di Bireuen, yaitu kecamatan Jangka, Kecamatan Gandapura dan Kecamatan Samalanga. Tidak ada data
5.
Peureulak, Aceh Timur
Tidak ada data
6.
Calang, Aceh Jaya
Balai Benih Ikan Air Tawar Krueng Sabee
Tabel 6. Orientasi pasar di masing-masing lokasi No.
Lokasi
1.
Jantho, Aceh Besar
2.
Kluster LampuukLeupungLhoong, Aceh Besar
Lokal dan expor
3.
Jangka, Bireuen Idi Rayeuk, Aceh Timur
Lokal dan nasional Lokal dan nasional
5.
Peureulak, Aceh Timur
Lokal
6.
Calang, Aceh Jaya
Lokal dan ekspor
4.
Orientasi Pasar Lokal
Keterangan Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Kota Banda Aceh (52 Km), Sigli (50 Km) dan restoran lokal setempat. Hasil produksi perikanan umumnya dipasarkan ke Kota Banda Aceh (52 Km), Medan (500 km) dan Ekpor ke Malaysia. Jumlah produksi: Tahun 2008 (27,18 Ton) Tahun 2009 (32,07 Ton) dan Tahun 2010 (45,52 Ton). Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Singli (100 km), Banda Aceh 180 km, Medan 300 km. Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Medan, Banda Aceh, Takengon, Bireun dan Lhokseumawe. Jumlah produksi per tahun 2008= 12.127 ton 2009= 10.895 ton 2010= 9.764 ton Hasil produksi ikan olahan berupa ikan Asin, Ikan Kering dan Terasi di pasarkan ke kota-kota seperti Banda Aceh, Takengon, Meulaboh, Langsa dan Medan. Produksi perikanan tangkap pertahun 2010= 6,177,4 Ton Hasil produksi ikan berupa ikan asin dan udang sabu untuk pasar lokal, ikan tuna, kerapu, kakap dan lobster untuk pasar ekspor.
Tabel 7. Serapan tenaga kerja di masing-masing lokasi No. 1. 2.
3.
Lokasi Jantho, Aceh Besar Kluster LampuukLeupung-Lhoong, Aceh Besar Jangka, Bireuen
4. 5.
Idi Rayeuk, Aceh Timur Peureulak, Aceh Timur
6.
Calang, Aceh Jaya
Serapan Tenaga Kerja Lebih kurang 100 orang Lebih kurang 1.000 orang
Nelayan : 12.489 orang, Petani tambak: 5.299 orang, Petani KJA air payau: 205 orang Nelayan: 5.277 orang Nelayan: 870 orang, Petambak: 631 orang, Pengolah: 10 orang Nelayan tangkap: 485 orang, Nelayan budidaya: 802 orang Pengolah: 15 orang
73
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Pembahasan Kabupaten Aceh Besar Kawasan minapolitan yang akan dikembangkan di Aceh Besar terdapat di dua lokasi dengan beberapa kawasan pendukung, yaitu Kota Jantho dan kluster Lampuuk-Leupung-Lhoong. Pengembangan kawasan minapolitan di Kota Jantho diarahkan pada usaha budidaya ikan air tawar baik untuk tujuan konsumsi maupun ikan hias. Sumber air tawar yang melimpah sepanjang tahun dapat menjadikan kawasan ini sebagai sentra perikanan air tawar untuk Provinsi Aceh dimasa depan. Hal ini selaras dengan pernyataan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Aceh Besar, bahwa, pengembangan minapolitan di Kota Jantho akan bertumpu pada perikanan budidaya air tawar, dengan komoditas unggulan antara lain ikan nila, ikan bawal, ikan bandeng, udang galah, ikan mas, ikan gurame, ikan gabus, ikan lele dan ikan keureling (Personal komunikasi dengan Kepala DKP Aceh Besar). Rencana pengembangan kawasan minapolitan di Kota Jantho ini telah ditetapkan dengan Perbub, antara lain: SK. No 101 Tahun 2010, tentang Penetapan Kecamatan Kota Jantho sebagai Kawasan Minapolitan Budidaya ikan air tawar Kab. Aceh Besar, dan SK. No 273 Tahun 2010, tentang pembentukan kelompok kerja (POKJA) pengembangan kawasan minapolitan budidaya ikan air tawar Kabupaten Aceh Besar. Pengembangan usaha budidaya perikanan terutama perikanan air tawar di Kota Jantho perlu didukung oleh ketersediaan benih dan pakan yang mencukupi. Dalam hal pasokan benih tidak menjadi kendala karena sudah tersedia balai benih ikan air tawar di kawasan ini, namun demikian penyediaan pakan mungkin akan menjadi kendala karena belum adanya industri pakan ikan, umumnya petani ikan masih sangat bergantung pada pakan komersil yang dijual dipasaran dengan harga relatif tinggi sehingga menyebabkan margin keuntungan menjadi rendah. Oleh karena itu peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasaran pendukung tersebut. Sedangkan potensi pengembangan kawasan minapolitan di kluster LampuukLeupung-Lhoong bertumpu pada perikanan laut baik perikanan tangkap maupun budidaya, industri rumah tangga pengolahan ikan dan wisata bahari. Saat ini industri pengolahan ikan di Leupung sudah mulai menunjukkan peningkatan, namun demikian maih diperlukan peningkatan kapasitas dan modal kerja, sehingga kualitas ikan olahan menjadi lebih baik dan layak untuk diekspor. Kawasan ini juga berpotensi dijadikan kawasan wisata bahari karena memiliki teluk yang yang terlindung dan secara geografis sangat strategis. Untuk mendukung hal tersebut maka diperlukan adanya intervensi berupa rehabilitasi terumbu karang dan hutan bakau yang rusak pasca tsunami 2004 lalu, sehingga dengan demikian keragaman dan jumlah ikan karang akan meningkat dan menjadi daya tarik pagi pengujung. Lindawati et al.(2010) melaporkan bahwa secara rata-rata keterkaitan sektor perikanan dan pariwisata bahari dalam perekonomian Sulawesi Utara misalnya termasuk dalam kategori kuat dan termasuk ke dalam kelompok sektor andalan/unggulan. Untuk mendukung pengembangan industri pengolahan ikan diperlukan adanya pasokan ikan segar dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu usaha rehabilitasi terumbu karang dan hutan bakau diharapkan akan dapat meningkatkan populasi atau stok ikan di alam, selain itu juga diperlukan adanya rumpon-rumpon pantai tempat ikan-ikan berkumpul sehingga memudahkan nelayan menangkap dengan efektif. Lampuuk sudah dikenal sebagai kawasan wisata bagi masyarakat lokal, kawasan ini memiliki pantai yang indah dan terumbu karang yang cukup baik, selain itu di kawasan ini juga terdapat stasiun penelitian/penangkaran penyu yang diprakarsai oleh beberapa NGO lokal dan internasional bekerjasama dengan pemerintah setempat. Sehingga menjadikan kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dan penelitian. Kabupaten Bireuen Secara administrasi, Kabupaten Bireuen memiliki 17 Kecamatan dengan 11 Kecamatan diantaranya berada pada kawasan pesisir pantai. Luas wilayah Kabupaten Bireuen mencapai 1.901 Km2 dengan jumlah penduduk 379.000 jiwa. Kabupaten Bireuen memilki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang 74
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
cukup memadai, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Letak geografis berdasarkan UU Republik Indonesia No 48 Tahun 1999 berada pada 4° 54’- 5° 18’ LU dan 96° 20’ – 97° 21’ BT (Bappeda Aceh, 2008). Daerah ini telah memiliki Aquaculture Livelihood Service Centre (ALSC) yang terletak di beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Jangka, Kecamatan Gandapura dan Kecamatan Samalanga yang berfungsi sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan. Selain itu, ALSC juga berfungsi sebagai laboratorium sederhana. Selain itu, dukungan pemerintah juga sangat tinggi ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati Bireuen Tahun 2010 tentang penetapan kawasan minapolitan di Kabupaten Bireueun dengan pusat kawasan (minapolis) di Kecamatan Jangka dan didukung oleh 4 Kecamatan sekitarnya sebagai hinterland, yaitu Kecamatan Gandapura, Peusangan, Kuala dan Kecamatan Jeumpa. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Jangka berprofesi sebagai petani tambak dan nelayan. Komoditi unggulan perikanan tangkap antara lain ikan tuna, ikan tongkol, ikan kakap, ikan kerapu dan ikan teri. Sedangkan komoditas perikanan budidaya berupa udang windu, ikan bandeng, ikan nila, ikan mujair dan kepiting. Kabupaten Aceh Timur Kepala Daerah (Bupati) Aceh Timur telah membentuk SATGAS (Satuan Tugas) yang menangani pengembangan kawasan minapolitan. Dipandang dari sisi sumberdaya manusia, Kebupaten Aceh Timur dinilai sudah mencukupi, namun demikian dari segi kualitas baik pendidikan maupun ketrampilan masih perlu ditingkatan. Hal ini mengingat konsep pengembangan kawasan minapolitan adalah hal baru, walaupun sebenarnya isu yang tergantung didalamnya bukanlah hal yang baru. Suatu hal yang penting dalam konsep ini adalah keterpaduan atau sinergitas antara berbagai faktor dan sumberdaya yang terlibat untuk diarahkan dan bekerja untuk mencapai tujuan yang sama. Kabupaten Aceh Timur memiliki potensi yang unggul terutama dari infrastruktur dan fasilitas pelabuhan, oleh karena itu pengembangan kawasan minapolitan di daerah ini perlu bertumpu kepada perikanan tangkap disamping tetap memperhatikan perkembangan perikanan budidaya karena terdapat lebih kurang 148 ha tambak yang dapat diberdayakan dan dikembangkan menjadi tambak produktif. Untuk meningkatkan nilai (added value) hasil produksi perikanan, maka pengembangan industri pengolahan ikan juga perlu mendapatkan perhatian. Kabupaten Aceh Jaya Calang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sentra perikanan tangkap di pantai barat Aceh, oleh karena itu model minapolitan yang mungkin dikembangkan adalah berbasis perikanan tangkap dengan sentra pengembangan pengolahan hasil-hasil perikanan dengan dukungan perikanan budidaya khususnya berbasis ikan lokal ekonomis tinggi, misalnya ikan keureling (Genus Tor). Aceh Jaya sudah memiliki pelabuhan penyeberangan antar pulau sehingga dapat digunakan untuk jalur pengangkutan bahan baku dari beberapa daerah penyangga misalnya Aceh Barat, Nagan Raya dan Simeulue (DKP Aceh Jaya, 2011). Kawasan minapolitan di daerah ini terletak di beberapa desa yang tergabung dalam dua kecamatan yaitu Kecamatan Krueng Sabee dan Kecamatan Setia Bakti. Pengembangan perikanan budidaya dinilai memiliki potensi yang baik karena banyak kawasan yang dapat dikonversi sebagai lahan budidaya, selain itu juga telah tersedia balai benih ikan air tawar untuk mendukung usaha budidaya. Namun demikian fasilitas produksi pakan buatan masih belum tersedia. Selain ketersediaan benih yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi, pakan juga memegang peran yang sangat penting, mengingat cost yang dikeluarkan untuk pakan dapat mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Selain itu komitmen pemerintah setempat dinilai juga tinggi untuk mengembangkan wilayah ini sebagai sentra perikanan tangkap dan budidaya. Untuk tujuan tersebut beberapa program yang dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan minapolitan ini antara lain pengadaan rumpon pantai, subsidi BBM bagi nelayan, rehabilitasi hutan bakau dan terumbu karang. Sedangkan dalam bidang pengolahan, peningkatan kualitas ikan olahan baik dari segi teknis pengolahan maupun pengemasan sangat diperlukan. Pengembangan kawasan minapolitan memberikan harapan baru bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan, namun demikian masih banyak kendala yang dihadapi 75
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
dan diselesaikan agar program ini dapat berjalan dan berlanjut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryawati & Purnomo (2011) menunjukkan bahwa aspek ekologi, ekonomi, teknologi dan infrastruktur kurang berkelanjutan, aspek sosial budaya cukup berlanjut, aspek politik, hukum dan kelembagaan sangat berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa sinergi antara para stakeholder yang terlibat belum maksimal. Walaupun secara umum semua kawasan memiliki potensi untuk dikembangkan, namun masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi, komitmen pemerintah daerah adalah salah satu kunci penting dalam menyelesaikan berbagai kelemahan yang ada. Menurut Virginia et al. (2010)beberapa permasaalahan yang sering dijumpai pada lokasi minapolitan adalah sarana dan prasarana kurang memadai, keterbatasan jenis produk olahan, lembaga yang ada baik lembaga permodalan maupun penyuluhan belum berperan aktif dan informasi pasar masih kurang.
Kesimpulan Setiap lokasi yang disurvei memiliki karakteristik, keunggulan dan kelemahan masing-masing, namun demikian secara umum semua kawasan ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan minapolitan. Aceh Jaya memiliki keunggulan dalam bidang perikanan tangkap dan pengolahan, disamping juga memiliki potensi yang baik untuk perikanan budidaya dan wisata bahari. Aceh Besar memiliki potensi yang unggul dalam bidang perikanan budidaya air tawar terutama di wilayah Jantho, selain itu sektor wisata bahari di kluster Lampuuk-Luepung-Lhoong adalah salah satu potensi lain yang sangat menarik dan baik untuk dikembangkan di Aceh Besar. Sedangkan di Kabupaten Bireuen, pengembangan minapolitan dapat bertumpu pada perikanan tambak, pengolahan dan perikanan tangkap. Sedangkan di Kabupaten Aceh Timur dapat difokuskan pada perikana tangkap, pengolahan dan perikanan budidaya sebagai penyokong. Namun demikian diperlukan kajian lanjutan dan mendalam pada setiap lokasi untuk mendapatkan gambaran yang lebih detil masing-masing lokasi dalam penyusunan master plan bagi setiap kawasan.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh Ditjen Dikti melalui skim penelitian Strategis Nasional Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (Pentranas MP3EI 2011-2025), oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Dikti atas dukungan dana penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga kami sampaikan kepada Ketua Lembaga Penelitian universitas Syiah yang telah menfasilitasi penelitian ini, penghargaan juga kami sampaikan kepada koordinator koridor Sumatera, Rektor Universitas Lampung atas kerjasama dan koordinasi yang baik selama persiapan, pelaksaan dan pelaporan penelitian ini.
Daftar Pustaka Bappeda Aceh. 2008. Geografi pemerintah Aceh. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Provinsi NAD, Banda Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar. 2010. Pengembangan Kawasan Minapolitan Kota Jantho, di Kabupaten Aceh Besar, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar, Jantho, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya. 2011. Pengembangan Kawasan Minapolitan Aceh Jaya, di Kabupaten Aceh Jaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Jaya, Calang, Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bireuen. 2010. Pengembangan Kawasan Minapolitan Kabupaten Bireuen, Dinas Kelautan dan Periakanan, Bireuen, Provinsi Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, 2010. Pelabuhan Perikanan Pantai Idi, Kabupaten Aceh Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Aceh. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Pedoman Umum Minapolitan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Lindawati, Sastrawidjaja, Tajerin. 2010. J. Bijak dan Riset Sosek KP. .5(2): 145-158 76
Depik, 1(1): 68-77 April 2012 ISSN 2089-7790
Suryawati S.H., A.H. Purnomo. 2011. Analisis ex-ante keberlanjutan program minapolitan. J. Sosek KP, 6(1): 61-81. Virginia E., N. Sari, A. Subagio. 2010. Pengembangan kawasan minapolitan Kecamatan Puger: Studi kasus Desa Puger Kulon dan Puger Wetan. Thesis Universitas Brawijaya, Malang. Yusuf, Q. 2003. Empowerment of Panglima Laot in Aceh. International workshop on Marine Science and Resource. Banda Aceh, 11-13 March, 2003.
77
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790
Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya keramba jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di perairan pantai timur Bangka Tengah Identification of location for the development of floating net cages based on environmental and water quality factors in east coast Bangka Tengah District Junaidi M. Affan* Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. Waters of the east coast of Bangka Regency has higher potency for development of mariculture livelihood. The Geographic Information Systems (GIS) can be used to determine the suitable location for these activities. Spatial analysis on every measured parameters were conducted and then its overlay to determine the feasibility of locations. The suitability location was categorized into four levels i.e very suitable, moderately suitable, suitable with conditions, and not suitable. The results showed that there are at least 127,746 ha of areas have potency for mariculture location, of these 122,950 ha (96.25%) are very suitable and suitable, while 4796 ha (3.75%) are moderately suitable for fish farming. However, based on field verification, about 8.627 ha of areas are recommended for fish mariculture developement, this is situated at Pulau Ketawai Island, Pulau Panjang dan Pulau Bujur. Key Words : Geographic Information Systems, overlay, fish, mariculture, and cage Abstrak. Perairan pantai timur Kabupaten Bangka memiliki sumberdaya laut yang baik dikembangkan sebagai lokasi budidaya perikanan. Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk menentukan lokasi tersebut dengan metode interpolasi parameter oseanografi hasil pengukuran di stasiun yang telah ditetapkan secara acak dan sistematis. Analisis spasial terhadap masing-masing parameter dilakukan tumpang tindih (overlay)untuk memperoleh lokasi kelayakan dengan kategori sangat layak, cukup layak, layak bersyarat dan tidak layak terhadap kelayakan kegiatan budidaya laut. Dari hasil analisis terdapat potensi lokasi seluas 127.746 ha, dimana 122.950 ha (96,25%) diantaranya sangat layak sampai layak, dab 4.796 ha (3,75%) cukup layak untuk peruntukan budidaya ikan. Namun demikian berdasarkan hasil verifikasi lapangan hanya 8.627 ha saja yang direkomendasikan untuk pengemabangan, lokasi ini terletak di sekitar Pulau Ketawai, Pulau Panjang dan Pulau Bujur. Kata Kunci : Sistim Informai Geografis, tumpang tindah, ikan, marikultur dan keramba
Pendahuluan Pengembangan budidaya laut merupakan usaha meningkatkan produksi dan sekaligus merupakan langkah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dalam rangka mengimbangi pemanfaatan dengan cara penangkapan. Usaha budidaya merupakan salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perairan yang berwawasan lingkungan. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi sumberdaya laut yang besar, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal disebabkan masyarakat masih menggantungkan kehidupan dari hasil penambangan, khususnya di Kabupaten Bangka Tengah. Aktivitas masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah selain menambang timah yang merusak lingkungan juga sebagai nelayan tradisional. Hampir 70% masyarakat di kabupaten ini perekonomiannya didukung 78
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790 dari hasil penambangan. Saat ini dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan timah telah dirasakan oleh masyarakat, pemerintah dalam hal ini sedang mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas. Menanggapi permasalahan tersebut diperlukan kegiataan usaha alternatif untuk beralih profesi seperti budidaya ikan di laut. Perairan pantai timur Bangka Tengah memiliki sumberdaya laut yang dapat digunakan sebagai lokasi budidaya laut. Pemilihan lokasi yang tepat dan baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha budidaya laut disamping ketersedian benih, pakan serta terjaminnya pasar dan harga. Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan faktor lingkungan dan kualitas air. Kelayakan lokasi merupakan hasil kesesuaian di antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya terhadap lingkungan fisik perairan. Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi kondisi oseanografi dan kualitas perairan serta topografi dasar laut. Penggunaan teknologi SIG dapat membantu analisis untuk memilih lokasi yang tepat berdasarkan data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan. Parameter ini didapatkan dari hasil pengukuran dan pengambilan sampel air di stasiun penelitian yang telah ditentukan secara acak. Dalam bidang perikanan, penggunaan teknik SIG untuk pertama kalinya digunakan oleh Kapetsky et al. (1987), kini metode ini telah berkembang dan banyak digunakan di dunia untuk menentukan lokasi kesesuaian lahan budidaya laut, di Indonesia teknik ini telah dimanfaatkan mengeksplorasi lahan budidaya diantaranya Suyarso (2007), Radiarta et al. (2005), Radiarta et al. (2004), Utojo et al. (2004), Pramono et al. (2005). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan luasan dan memilih lokasi yang tepat untuk usaha budidaya kerapu di perairan Bangka Tengah sebagai upaya menciptakan usaha alternatif bagi masyarakat. Hasil analisis kesesuaian lokasi budidaya berupa data tematik spasial pesisir dan laut diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi para perencana/stakeholder dalam menentukan peruntukan suatu wilayah pesisir yang sesuai dengan potensi dan daya dukungnya.
Bahan dan Metode Data kualitas perairan dikumpulkan berasal dari tujuh titik stasiun yang mewakili lokasi pengamatan, untuk menganalisa secara spasial, titik-titik tersebut terlebih dahulu dilakukan interpolosi. Beberapa metode untuk melakukan interpolasi diantaranya metode trend, spline, krigging dan Inverse Distance Weight, (IDW). Pramono et al. (2005) dan Jhonson et al., 2001 (lihat Radiarta et al., 2006) menyebutkan bahwa metode IDW lebih tepat untuk menginterpolasi data fisik wilayah pesisir karena tidak menghasilkan nilai melebihi data yang disampel. Metode ini mengasumsikan tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal sehingga memberikan bobot yang besar pada sel yang terdekat dengan titik dibandingkan pada sel yang jauh dengan titik. Sedangkan metode spline hanya cocok digunakan untuk membuat ketinggian permukaan bumi, ketinggian muka air tanah ataupun konsentrasi polusi udara. Dari hasil pengukuran dan analisa sampel air pada masing-masing stasiun, selanjutnya diolah dengan menggunakan software Arc View 3.2 pada menu image analysis dilakukan interpolasi dengan metode IDW hingga menghasilkan layer data spasial masing-masing parameter kualitas perairan. Layer ini digunakan sebagai masukan untuk overlay, dengan memasukkan formula yang berupa syarat pembatas untuk hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya maka didapatkanlah peta lokasi yang layak untuk budidaya, pada lokasi yang layak ini selanjutnya dihitung luasannya. Beveridge (1996) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi budidaya menjadi dua yaitu faktor lingkungan meliputi kedalaman, kecerahan, kecepatan arus dan faktor kualitas perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, nitrit, amoniak dan silikat). Pengelompokan ini menurut Nath et al., 2000 (lihat Radiarta et al., 2006) didasarkan atas pengaruh paramete, parameter dari faktor lingkungan akan mempengaruhi daya tahan hidup ikan laut sementara faktor kualitas akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan daya tahan hidup ikan. Berikut syarat pembatas kehidupan dan perkembangan komoditas budidaya dan nilai parameter kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam penelitian ini, data parameter fisika dan kimia oseanografi didapatkan dari hasil pengukuran lapangan tahun 2008 dan 2009. Untuk 79
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790 memastikan dan membuktikan hasil penentuan kelayakan November 2009 dilakukan verifikasi lapangan dengan kembali terhadap parameter fisika perairan.
lokasi, pada bulan melakukan pengukuran
Tabel 1.Kesesuaian parameter perairan untuk budidaya ikan laut dalam KJA(Radiarta et al., 2006; Beveridge, 1996 Mayunar et al., 1995 dan Ismail et al.,1998) Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kedalaman (m) Kecerahan (m) Kecepatan arus (cm/dt) Suhu perairan (°C) Salinitas (ppt) Derajat keasaman (pH) Oksigen terlarut (mg/l)
Sangat Sesuai, S1 10 – 20 > 3 5 – 15 28 – 32 31 – 35 > 7 > 7
Cukup Sesuai, S2 20 – 25 2 – 3 15 – 25 25 – 28 28 – 31 6 – 7 5 – 7
Sesuai bersyarat, S3 25 – 30 1 – 2 25 – 35 20 – 25 25 – 28 4 – 6 3 – 5
Tidak Sesuai, N < 10 & > 30 < 1 < 5 & >35 <20 & >32 <25 & >35 < 4 <3
Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan kelayakan budidaya ikan laut mengacu dari hasil penelitian Ahmat at al. (1991), Atjo (1992), Mubarak et al. (1990), Radiarta et al. (2007) dan Utojo et al. (2007). Penentuan tingkat kesesuaian budidaya untuk masing-masing parameter didasarkan dari pengaruh parameter terhadap komoditas budidaya. Sistem skor 1 sampai 4 digunakan dalam penelitian ini dengan rincian tingkat kesesuaian sebagai berikut : (1) Tidak layak / tidak sesuai : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, namun membutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang cukup besar (2) Cukup layak / sesuai bersyarat : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, namun membutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang cukup besar (3) Layak / sesuai : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, dengan sedikit membutuhkan biaya, tenaga dan waktu (4) Sangat layak / sangat sesuai : sesuai dimanfaatkan untuk budidaya ikan laut dalam KJA.
Hasil dan Pembahasan Hasil analisis dan overlay data dengan menggunakan software Arc View didapatkan peta kesesuaian berdasarkan masing-masing parameter, faktor lingkungan dan kualitas perairan serta gabungan kedua faktor. Gambar 1 menunjukkan peta kesesuaian dan luasan masing-masing kesesuaian. Hasil penelitian dari 7 stasiun pada tahun 2009 menunjukkan nilai kisaran masingmasing parameter yaitu kedalaman laut 7 – 18 m, kecerahan 4,61 – 5,54 m, kecepatan arus 7,3 33,5 cm/dt, suhu 29,26 – 29,38 oC, salinitas 32,61 – 32,74 ppt, pH 7,95 – 8,20 dan konsentrasi oksigen terlarut 3,51 – 4,67 mg/l. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan paramater terhadap budidaya laut menunjukkan bahwa secara umum hasil pengukuran pada tahun 2009 berada pada kategori sesuai. Khususnya suhu, salinitas dan pH berada dalam kriteria sangat sesuai untuk budidaya laut. Sedangkan parameter lainnya berada pada kategori cukup sesuai dan sesuai bersyarat serta terdapat beberapa lokasi yang tidak sesuai untuk budidaya ikan berdasarkan parameter kedalaman pada kedalaman tertentu. Kesesuaian berdasarkan faktor lingkungan Kedalaman perairan sangat penting bagi kelayakan budidaya, Beveridge (1996) menyebutkan bahwa kedalaman optimal saat surut antara dasar keramba dengan dasar perairan adalah 4 – 5 m, hasil penelitian menunjukkan nilai kedalaman perairan berkisar dari 7 – 18 m, nilai ini berdasarkan Kepmenneg-KLH masih layak untuk budidaya laut. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi, nilai kedalaman berada dalam kategori sangat layak hingga tidak layak untuk budidaya laut. Untuk budidaya ikan dalam KJA 28.687 ha (22,46%) yang sangat layak, sedangkan sisanya tidak layak (Gambar 1a). Kecerahan menunjukkan kemampuan penetrasi cahaya kedalam perairan. Tingkat penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh partikel yang tersuspensi dan 80
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790 terlarut dalam air sehingga mengurangi laju fotosintesis. Menurut KepmennegKLH (1988), kecerahan untuk kegiatan budidaya perikanan sebaiknya lebih dari 3 m. Kecerahan perairan dari hasil penelitian berkisar 4,61 – 5,55 m (40 - 65%) masih baik untuk budidaya perikanan (kecerahan > 3 m), namun untuk budidaya rumput laut dan tiram mutiara masih baik hanya untuk lokasi tertentu yang kecerahan >5 m. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi, nilai kecerahan berada dalam kategori sangat layak dan layak untuk komoditas budidaya laut dengan luasan 89.884 ha (70,36%) yang sangat layak, sedangkan sisanya berada dalam kategori layak (Gambar 1b). Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air. Di samping itu berhubungan dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi organisme penempel (fouling) pada jaring sehingga desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus serta kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, karang). Mayunar et al.(1995) menyebutkan organisme penempel akan lebih banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cm/dt sehingga akan mengurangi sirkulasi air dan oksigen. Namun demikian, Ahmad et al. (1991) mengemukakan kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA berkisar 5 – 15 cm/dt. Berdasarkan hasil pemetaan kecepatan arus, didapatkan luasan wilayah secara umum sangat layak, layak dan layak bersyarat untuk pengembangan budidaya ikan dalam keramba dengan luasan yang sangat layak 49.678 ha (38,89%), 76.177 ha (59,63%) layak dan sangat sedikit yang layak bersyarat 1.891 ha (1,48%) (Gambar 1c). Hasil pemetaan kelayakan masing-masing parameter faktor lingkungan yang selanjutnya di-overlay-kan untuk mengetahui kelayakan berdasarkan faktor lingkungan didapatkan bahwa untuk budidaya ikan dalam KJA masih sesuai dilakukan di perairan timur Bangka Tengah, hal ini ditunjukkan dari hasil pemetaan berada dalam kategori sangat layak (22,46%), layak (73,79%) dan kategori cukup layak (layak bersyarat) 3,75% (Gambar 1h). Kesesuaian berdasarkan faktor kualitas air Suhu berperan penting bagi kehidupan dan perkembangan biota laut, peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar 29,26 – 29,38 oC, kisaran suhu ini berada dalam kategori sangat layak untuk perairan. Mayunar et al., (1995) menyebutkan suhu optimum untuk budidaya ikan adalah 27 – 32 oC, sedangkan untuk budidaya rumput laut membutuhkan suhu pada kisaran 20 – 30 oC (Mubarak et al., 1990) dan untuk tiram 20 – 32 oC (Atjo, 1992). Hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter suhu, menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian sangat layak (127.746 ha; 100 %) untuk dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram (Gambar 1d). Salinitas perairan hasil penelitian 32,62 – 32,74 ppt, kisaran ini masih baik untuk kegiatan budidaya baik perikanan, rumput laut maupun tiram karena salinitas optimal untuk budidaya ketiga komoditas tersebut berada pada kisaran 30 – 35 ppt. Khusus untuk budidaya perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan sesuai dengan jenis ikan yang akan dibudidaya. Hal ini disebabkan ikan tertentu membutuh salinitas tertentu pula. Ikan memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas, nilai salinitas yang sesuai untuk ikan berkisar 20 – 34 ppm (Imanto et al., 1995) beberapa jenis ikan memiliki nilai salinitas berbeda. Kerapu secara umum memiliki salinitas optimum pada kisaran 27 – 34 ppm (Ahmad et al., 1991; Mayunar et al., 1995). Seperti halnya dengan suhu, hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter salinitas, juga menunjukkan semua lokasi penelitian sangat layak untuk dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram (Gambar 1e).
81
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790
(a). Kedalaman
(b). kecerahan
(c). Kecepatan arus
(d). suhu
(e). salinitas
(f). pH
(g). Oksigen terlarut
(h). faktor lingkungan
(i). faktor kualitas air
(j). gabungan faktor
Gambar 1. Kelayakan budidaya ikan dalam KJA berdasarkan masing-masing parameter, faktor dan gabungan kedua faktor (a) kedalaman (m), (b) kecerahan (m) dan (c) kecepatan arus (cm/dt), (d) suhu (C), (e) salinitas (ppt), (f) pH dan (g) oksigen terlarut (mg/l), (h) faktor lingkungan, (i)faktor kualitas perairan dan (j) kelayakan dari kedua faktor.
82
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790 Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Nilai pH air laut berkisar 7,5 – 8,4 dan semakin rendah ke wilayah pantai karena pengaruh air tawar. Boyd & Lichtkoppler (1979) (lihat Mayunar et al., 1995) menyebutkan pH optimal untuk budidaya ikan 6,5 – 9,0, dan 7,5 – 8,5 untuk budidaya rumput laut (Utojo et al., 2007; Mubarak et al., 1990) serta 6,75 – 9 untuk tiram mutiara (Atjo, 1992). Hasil pemetaan derajat keasaman untuk komoditas ikan dan rumput menunjukkan hasil yang sama seperti halnya suhu dan salitas yaitu sangat layak semua lokasi. Namun berbeda untuk tiram mutiara yang membutuhkan pH optimum pertumbuhannya yang lebih rendah 6,75 – 7,0 (hasil pengukuran lapangan 7,95 – 8,20) dibandingkan ikan dan rumput laut, sehingga kelayakan lokasi hanya 36.688 ha (28,27%) berada dalam kategori layak dan sisanya 71,28 % tidak layak (Gambar 1f). Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen didalam air dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen, begitu juga sebaliknya. Mayunar et al. (1995) menyebutkan untuk bertahan hidup ikan memerlukan kadar oksigen 1 mg/l, namun untuk dapat tumbuh dan berkembang minimal 3 mg/l. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang optimal berkisar 5 – 8 mg/l (Ahmad et al., 1991). Hasil penelitian menunjukkan kisaran 4,15 – 4,67 mg/l, nilai ini berdasarkan Kepmenneg-LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut (KMNLH, 2004) menunjukkan kondisi perairan kurang baik karena oksigen terlarut dibawah 5 mg/l. Hasil pemetaan oksigen menunjukkan bahwa kelayakan oksigen untuk budidaya ikan semua lokasi berada pada kategori layak bersyarat (100%) artinya membutuhkan perlakuan khusus jika dilakukan budidaya dengan memasang aerator untuk meningkatkan oksigen (Gambar 1g). Secara umum, gabungan parameter faktor kualitas air, didapatkan peta kelayakan seluruh lokasi penelitian berada dalam kategori sangat sesuai (100%) untuk budidaya ikan dalam KJA (Gambar 1i dan Lampiran 1). Secara umum, konsentrasi zat hara diatas sangat sesuai untuk budidaya laut berdasarkan Kepmenneg-KLH sehingga tidak dilakukan analisis spasial untuk mengetahui kelayakan lokasi, tetapi sebagai data pendukung untuk analisa dan pengambilan keputusan. Kesesuaian berdasarkan komoditas ikan kerapu Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang bernilai ekonomis tinggi dan menjadi salah satu komoditas ekspor terutama ke Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan,Malaysia dan Amerika Serikat. Untuk memenuhi permintaan pasar, nelayan umumnya masih menangkap ikan kerapu dari alam dan masih sedikit dari hasil budidaya. Di Indonesia terdapat tujuh genus ikan kerapu, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari tujuh genus tersebut umumnya hanya genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus yang termasuk komersial terutama untuk pasaran internasional, seperti ikan kerapu bebek, kerapu sunuk (termasuk genus Plectropomus), kerapu lumpur dan ikan kerapu macan (termasuk genus Epninephelus). Dari beberapa jenis ikan kerapu komersial tersebut, ikan kerapu sunuk atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis Epinephelus suillus yang banyak dibudidayakan oleh petani, karena jenis ikan ini pertumbuhannya lebih cepat daripada jenis ikan kerapu lainnya dan benihnya selain diperoleh dari alam (penangkapan) juga sudah dapat dihasilkan dari balai benih. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi untuk pengembangan usaha budidaya laut didapatkan lokasi sangat layak dan layak berdasarkan gabungan faktor lingkungan serta semua lokasi sangat layak berdasarkan gabungan faktor kualitas air Hasil gabungan kedua faktor ini menunjukkan bahwa hampir semua lokasi lokasi sangat layak untuk kembangkan budidaya ikan dalam keramba jaring apung (Gambar 1j). Walaupun dari hasil pemetaan bahwa secara umum wilayah perairan timur Bangka Tengah sangat layak dilakukan usaha pengembangan budidaya
83
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790 ikan dalam KJA, namun pemanfaatannya harus memperhatikan keberlanjutan karena budidaya ikan dapat menimbulkan dampak lingkungan berupa kotoran ikan dan sisa pakan. Oleh karena itu perlu dipadukan dengan budidaya rumput, karena rumput laut dapat menyerap zat hara berupa fosfat, nitogen dan zat hara lainnya untuk kehidupannya. Dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan usaha untuk kegiatan budidaya seperti yang dikemukan oleh Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution, GESAMP pada tahun 2002 (lihat Radiarta et al., 2006), agar tidak terjadi pencemaran lingkungan sekitarnya, maka potensi yang ada tidak semuanya dimanfaatkan untuk budidaya tetapi harus disisakan untuk daerah penyangga. Hasil verifikasi lapangan di sekitar Pulau Ketawai dan Pulau Panjang serta Pulau Bujur menunjukkan hasil pengukuran parameter oseanografi berada dalam kategori sesuai untuk budidaya seperti halnya hasil pemetaan. Hasil pemetaan menunjukkan hampir semua wilayah kajian termasuk dalam kategori sesuai, namun berdasarkan pertimbangan aspek fisik lokasi dan keterjangkau, maka direkomendasikan lokasi budidaya seluas 1.626 ha disekitar pulau Ketawai dan seluas 7.000 ha disekitar Pulau Panjang dan Pulau Bujur (Gambar 2). 106 °10'
106°15'
106°20'
106 °25'
2°00'
2°00'
KESESUAIAN WILAYAH BUDIDAYA LAUT DI PERAIRAN TIMUR BANGKA TENGAH U
#
15
c# St 1
cSt 2
4
c St 3
8
12
Kilometer
2°5'
2°5'
0 14
LEGENDA Tg Bunga
c 12
13
#
11 2°10'
P. Panjang
10 #
9
Lokasi Stasiun Lokasi Verifikasi Daratan
St 4
8
cSt 7
#
2°10'
P. Bangka
#
#
P. Bujur
#
c
#
Wilayah Kesesuaian Lingkungan Sangat Sesuai Cukup Sesuai
Tg Udang
Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai
7
3
c
#
4
#
2°30'
P. Bebuar
3°00'
2°20'
2°20'
P. B an gka
2°30'
P. Ketawai
105°00' 105°30' 106°00' 106°30' 107°00' 107°30'
2°00'
#
St 5
5
2°00'
#
#
3°00'
2°15'
2
Tg Lempuyang
6
1°30'
c
2°15'
1 St 6 #
1°30'
#
105°00' 105°30' 106°00' 106°30' 107°00' 107°30'
Sumber :
106 °10'
106°15'
106°20'
106 °25'
Gambar 2. Lokasi dan luasan yang direkomendasikan untuk pengembangan budidaya
Pemanfaatan untuk budidaya ikan dalam KJA sekitar 10% dari total luasan yang direkomendasikan berarti 863 ha. Biasanya untuk budidaya ikan dalam KJA, 1 unit usaha keramba terdiri dari 4 keramba dengan ukuran 2 x 2 x 2 m3, maka 1 ha lokasi pengembangan usaha budidaya dapat dimanfaatkan 60 unit keramba. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa, khusus untuk perairan timur direkomendasikan 60 unit keramba/ha x 863 ha = 51.780 unit keramba.
Kesimpulan Pemetaan kelayakaan lokasi pengembangan budidaya, namun pertimbangan aspek fisik lokasi pengembangan budidaya laut dapat disekitar Pulau Panjang dan Pulau
menunjukkan terdapat luasan yang cukup untuk berdasarkan hasil verifikasi lapangan dan serta keterjangkauan, maka disarankan lokasi dilakukan disekitar pulau Ketawai 1.626 ha dan Bujur seluas 7.000 ha.
84
Depik, 1(1):78-85 April 2012 ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S. Diana, S. Redjeki, A.S. Pranowo, S. Murtiningsih. 1991. Operasional pembesaran kerapu dalam keramba jaring apung. Dalam Mansur, A. (Ed.). Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone, (7): 8 – 10.
Atjo, H. 1992. Potensi sumberdaya kekerangan Kabupaten Barru . Dalam Mansur, A. (Ed.). 1992. Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Watampone. Hal 8 – 10. Beveridge, M.C.M. 1996. Cage aquaculture (eds 2nd). Fishing News Books LTD. Farnham, Surrey, England. 352 p. Ismail, W., A. Wijono. 1995. Lingkungan laut: Pelestarian dan pengelolaannya bagi lahan budidaya perikanan. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian: 157 – 171. Imanto, P.T., N. Lisyanto, B. Priono. 1995. Desain dan konstruksi keramba jaring apung untuk budidaya ikan laut, halaman 171 - 178 dalam Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian.KMNKLH (= Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup). 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup No. KEP02/MENKLH/1/1988 Tentang pedoman penetapan Baku mutu Lingkungan. Jakarta. Kapetsky, J.M., L. McGregor, H. Nanne, 1987. A Geographical Information System and Satellite Remote Sensing to Plan for Aquaculture Development: A FAO-UNEP/ GRID Cooperation Study in Costa Rica. FAO Fish. Tech Pap. (287).51 pp Mayunar, R. Purba, P.T. Imanto. 1995. Pemilihan lokasi budidaya ikan laut. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian: 179 – 189. Pramono, G.H., H. Suryanto, W. Ambarwulan. 2005. Prosedur dan spesifikasi teknis analisis kesesuaian budidaya kerapu dalam keramba jaring apung. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut. Bakosurtanal, Jakarta. 41 hal. Radiarta, I.N., T.H. Prihadi, A. Saputra, J. Haryadi, O. Johan. 2006. Penentuan lokasi budidaya ikan KJA menggunakan analisis multikriteria dengan SIG di Teluk Kapontori, Sultenggara. Jurnal Riset Akukultur, 1(3): 303 -318 Radiarta, I.N, A. Saputra, O. Johan. 2005. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan usaha budidaya laut dengan aplikasi inderaja dan sistem informasi geografi di perairan Lemito,Provinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11(1): 114 Radiarta, I.N, A. Saputra, B. Pariono. 2004. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(5): 19-32 Rachmansyah, Makamur, Tarunamulia. 2005. Pendugaan daya dukung perairan Teluk Awarange bagi pengembangan budidaya bandeng dalam keramba jaring apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11(1): 81 – 92. Utojo, A. Mansyur, Rahmansyah, Hasnawi. 2004. Identifikasi kelayakan lokasi budidaya rumput laut di kota baru, Kalimantan Selatan. Jurnal Riset Akukultur, 1(3): 303 -318. Utojo, A. Mansyur, A.M. Pirzan, Tarunamulia, B. Pantjara. 2007. Identifikasi kelayakan lahan untuk pengembangan usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(5): 1-18.
85